Mencegah Kemungkaran (Hisbah)
Konsep, Metodologi, dan
Implementasi dalam Islam
Abstrak
Hisbah, sebagai salah satu bentuk pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar, merupakan kewajiban dalam Islam yang bertujuan menjaga
moralitas, keadilan, dan keseimbangan sosial. Artikel ini mengkaji secara
mendalam konsep dasar hisbah, dasar teologisnya dalam Al-Quran dan hadis,
prinsip-prinsip pelaksanaan, serta metodologi yang sesuai dengan syariat.
Dengan menyoroti pelaksanaan hisbah di berbagai era, seperti masa Nabi Muhammad
Saw, Khulafaurasyidin, dan kekhalifahan Islam, artikel ini menunjukkan bahwa
hisbah tidak hanya memiliki relevansi spiritual tetapi juga kontribusi sosial
dan politik yang signifikan.
Dalam konteks modern, hisbah menghadapi tantangan baru,
seperti pengaruh globalisasi, konflik nilai dengan modernitas, dan
penyalahgunaan media digital. Artikel ini menekankan pentingnya pelaksanaan
hisbah yang berbasis ilmu, hikmah, dan pendekatan persuasif untuk menjawab
tantangan zaman. Studi kasus dari sejarah Islam memberikan pelajaran berharga
tentang bagaimana hisbah dapat diadaptasi dalam kehidupan modern untuk menjaga
nilai-nilai moral di tengah perubahan sosial yang cepat.
Kata Kunci: Hisbah, Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, Islam, Moralitas,
Metodologi, Implementasi Modern, Media Digital, Sejarah Islam.
1.
Pendahuluan
Mencegah kemungkaran adalah salah satu prinsip
utama dalam ajaran Islam yang dikenal dengan istilah hisbah. Secara
etimologis, kata hisbah berasal dari akar kata Arab "hasiba"
yang berarti memperhitungkan atau mengawasi. Dalam konteks syariat, hisbah
diartikan sebagai upaya seorang Muslim untuk mengajak kepada kebaikan (amar
ma’ruf) dan mencegah perbuatan buruk (nahi mungkar). Konsep ini
merupakan salah satu pilar penting dalam membangun masyarakat Islami yang kokoh
dan harmonis.
Islam menempatkan Amar ma’ruf nahi mungkar sebagai
kewajiban agama yang bersifat kolektif (fardhu kifayah), yang harus
dilaksanakan demi menjaga kemaslahatan umum. Dalil Al-Quran yang menekankan
kewajiban ini antara lain: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat
yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
yang mungkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS Ali Imran [3]
ayat 104). Ayat ini menjadi landasan utama bahwa Amar ma’ruf nahi mungkar bukan
hanya kewajiban individu, tetapi juga kewajiban kolektif masyarakat Islam untuk
menjaga tatanan sosial yang sehat dan berlandaskan nilai-nilai agama.¹
Selain Al-Quran, hadis Rasulullah Saw juga
memberikan panduan yang jelas tentang pentingnya hisbah. Dalam sebuah hadis
riwayat Muslim, Rasulullah bersabda: “Barang siapa di antara kalian melihat
kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu,
maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu
adalah selemah-lemah iman.”² Hadis ini menunjukkan hierarki tindakan dalam
mencegah kemungkaran sesuai dengan kemampuan individu dan kondisi sosial.
Hisbah tidak hanya memiliki dimensi spiritual,
tetapi juga dimensi sosial dan politik. Dalam sejarah Islam, institusi hisbah
pernah menjadi salah satu lembaga penting dalam pemerintahan Islam. Pada masa
kekhalifahan, tugas muhtasib (pengawas hisbah) mencakup pengawasan
pasar, penegakan keadilan, dan pencegahan penyimpangan moral di masyarakat.³
Hal ini menunjukkan bahwa hisbah merupakan mekanisme integral dalam membangun
peradaban yang adil dan bermartabat.
Namun, pelaksanaan hisbah tidak selalu berjalan
tanpa tantangan. Dinamika sosial, budaya, dan politik sering kali memengaruhi
efektivitas implementasi hisbah. Di era modern, tantangan baru muncul, seperti
penyebaran kemungkaran melalui media digital dan konflik nilai antara prinsip
Islam dan modernitas. Oleh karena itu, penting untuk memahami konsep,
metodologi, dan implementasi hisbah secara mendalam agar dapat diterapkan
dengan bijaksana dan efektif dalam konteks kekinian.
Melalui artikel ini, pembahasan tentang hisbah akan
dikaji secara komprehensif dengan merujuk pada sumber-sumber kredibel dari
Al-Quran, hadis, kitab klasik, dan pandangan ulama kontemporer. Dengan
demikian, artikel ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang luas tentang
pentingnya mencegah kemungkaran sebagai bagian dari tanggung jawab seorang
Muslim terhadap masyarakatnya.
Catatan Kaki
[1]
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Text,
Translation and Commentary (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 94.
[2]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab
al-Iman, Bab 20, Hadis No. 49.
[3]
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to
History, terj. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press,
2005), 332.
2.
Dasar Teologis Hisbah dalam Islam
2.1. Dalil Al-Quran dan Hadis
Hisbah, atau upaya
mencegah kemungkaran (nahi mungkar) dan menyeru kepada
kebaikan (amar
ma’ruf), memiliki dasar teologis yang kuat dalam Al-Quran dan
hadis. Al-Quran menegaskan pentingnya peran umat Islam sebagai penjaga kebaikan
melalui perintah Amar ma’ruf nahi mungkar. Salah satu ayat yang secara
eksplisit mendukung hal ini adalah: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah
dari yang mungkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS
Ali Imran [3] ayat 104).¹ Ayat ini menekankan kewajiban kolektif umat Islam untuk melibatkan diri dalam
menjaga moralitas dan menegakkan keadilan.
Ayat lain, seperti
QS At-Taubah [9] ayat 71, menegaskan bahwa Amar ma’ruf nahi mungkar adalah
karakteristik utama orang beriman: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki
dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mendirikan salat,
menunaikan zakat, serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya.”²
Selain Al-Quran,
hadis juga menjadi landasan penting dalam pelaksanaan hisbah. Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa di antara
kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya;
jika tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.”³
Hadis ini memberikan panduan hierarkis tentang bagaimana seorang Muslim dapat
melaksanakan tugas hisbah sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya.
2.2. Pandangan Ulama tentang Hisbah
Para ulama klasik
dan kontemporer telah memberikan perhatian besar terhadap konsep hisbah. Imam
Al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin, menyatakan bahwa Amar ma’ruf nahi mungkar adalah inti dari dakwah Islam dan merupakan salah satu
faktor penegak syariat di masyarakat.⁴ Beliau menekankan bahwa tanpa hisbah,
masyarakat akan kehilangan arah moral dan terjerumus dalam kemaksiatan.
Ibn Taymiyyah, dalam
Al-Hisbah
fi al-Islam, memberikan definisi teknis tentang hisbah sebagai
tugas kolektif yang bertujuan untuk memastikan bahwa masyarakat menjalankan
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Menurut Ibn Taymiyyah, pelaksanaan
hisbah tidak hanya terkait dengan ibadah personal, tetapi juga mencakup
pengaturan sosial, seperti pengawasan pasar dan perlindungan hak-hak
masyarakat.⁵
Pendekatan ulama
terhadap hisbah juga mencakup aspek keadilan dan hikmah. Mereka sepakat bahwa
pelaksanaan hisbah harus dilakukan dengan ilmu, bijaksana, dan tanpa
menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Sebagaimana ditegaskan oleh Imam
Nawawi, “Nahi mungkar tidak boleh dilakukan dengan cara yang menyebabkan
keburukan yang lebih besar dari kemungkaran itu sendiri.”⁶
Kesimpulan
Dasar teologis
hisbah yang diambil dari Al-Quran, hadis, dan pandangan ulama menunjukkan bahwa
mencegah kemungkaran adalah bagian integral dari keimanan seorang Muslim.
Kewajiban ini bersifat kolektif dan menjadi tanggung jawab umat Islam untuk
mewujudkan masyarakat yang bermoral dan sesuai dengan ajaran Islam.
Catatan Kaki
[1]
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Text, Translation and
Commentary (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 94.
[2]
Muhammad Asad, The Message of the Qur'an
(Gibraltar: Dar Al-Andalus, 1980), 262.
[3]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Iman, Bab
20, Hadis No. 49.
[4]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, ed. Abdul Qadir al-Arna'ut
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), Juz 2, 243.
[5]
Ibn Taymiyyah, Al-Hisbah fi al-Islam, ed. Muhammad
Badr (Cairo: Dar al-Salam, 2006), 15.
[6]
Yahya ibn Sharaf al-Nawawi, Al-Majmu' Sharh al-Muhadhdhab, ed.
Muhammad Najib al-Muti’i (Cairo: Dar al-Fikr, 1994), Juz 5, 250.
3.
Hakikat dan Konsep Dasar Hisbah
3.1. Definisi Hisbah
Secara bahasa,
istilah hisbah
berasal dari akar kata Arab "hasiba" yang berarti
menghitung, mengawasi, atau mempertanggungjawabkan.¹ Dalam terminologi Islam, hisbah
diartikan sebagai kewajiban seorang Muslim untuk memerintahkan kebaikan (amar
ma’ruf) dan mencegah kemungkaran (nahi mungkar). Definisi ini
mencakup tindakan proaktif untuk menjaga harmoni sosial berdasarkan syariat
Islam. Ibn Taymiyyah menyatakan bahwa hisbah adalah aktivitas yang
dilakukan untuk memastikan kepatuhan umat terhadap perintah Allah dan
larangan-Nya di berbagai aspek kehidupan.²
3.2. Tujuan dan Fungsi Hisbah
Tujuan utama hisbah
adalah mewujudkan masyarakat yang bermoral dan berkeadilan sesuai dengan
nilai-nilai Islam. Fungsi utama hisbah mencakup:
·
Menjaga
Kemaslahatan Umat:
Dengan mencegah kemungkaran, hisbah
memastikan bahwa masyarakat tetap berada dalam koridor syariat yang melindungi
hak-hak individu dan kolektif.³
·
Meningkatkan
Kesadaran Sosial:
Hisbah mengajarkan tanggung jawab
kolektif terhadap kondisi sosial, moral, dan spiritual masyarakat.⁴
·
Melindungi
Nilai-Nilai Agama:
Hisbah berperan dalam menjaga kemurnian
ajaran Islam dari penyimpangan.⁵
Imam Al-Ghazali
menekankan bahwa hisbah adalah pilar utama dalam menjaga syariat Islam. Beliau
menyebutkan bahwa tanpa Amar ma’ruf nahi mungkar,
kemaksiatan akan merajalela, dan masyarakat akan kehilangan arah moral.⁶
3.3. Subjek dan Objek Hisbah
3.3.1.
Subjek Hisbah:
Hisbah adalah
tanggung jawab setiap Muslim, baik sebagai individu maupun kelompok. Namun,
dalam konteks tertentu, tugas ini dapat menjadi tanggung jawab pemerintah atau
institusi resmi. Sebagaimana disebutkan dalam QS Ali Imran [3] ayat 104, ada
segolongan umat yang secara khusus bertanggung jawab untuk menyeru kepada
kebaikan dan mencegah kemungkaran.⁷
3.3.2.
Objek Hisbah:
Objek hisbah
mencakup segala bentuk kemungkaran yang nyata dan bertentangan dengan prinsip
syariat Islam. Menurut Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah,
kemungkaran yang menjadi objek hisbah adalah tindakan yang:
1)
Telah terbukti secara pasti
bertentangan dengan syariat.
2)
Dilakukan secara
terang-terangan di ruang publik.
3)
Tidak menimbulkan kerusakan
yang lebih besar jika dicegah.⁸
3.4. Landasan Syariat dalam Pelaksanaan Hisbah
Landasan syariat
untuk pelaksanaan hisbah bersumber dari perintah Amar ma’ruf nahi mungkar dalam
Al-Quran dan hadis. Salah satu ayat yang mendukung konsep ini adalah QS Al-Hajj
[22] ayat 41: “(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka
di muka bumi, mereka mendirikan salat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar.”⁹ Ayat ini menunjukkan bahwa hisbah
adalah bagian dari misi kepemimpinan seorang Muslim dalam menegakkan syariat.
Hadis Rasulullah Saw
juga memberikan landasan penting bagi pelaksanaan hisbah. Beliau bersabda: “Agama
itu nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau
menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan untuk para pemimpin kaum
Muslimin serta masyarakat umum.”¹⁰ Hadis ini menegaskan bahwa nasihat, yang
merupakan salah satu bentuk hisbah, adalah bagian integral dari agama Islam.
Kesimpulan
Hisbah adalah konsep
Islam yang bertujuan untuk menjaga nilai-nilai moral dan sosial sesuai dengan
ajaran syariat. Dengan melibatkan setiap individu Muslim dan institusi
masyarakat, hisbah berfungsi sebagai alat untuk mencegah penyimpangan,
memperbaiki keadaan sosial, dan mewujudkan kehidupan yang harmonis berdasarkan
prinsip Islam.
Catatan Kaki
[1]
Edward William Lane, An Arabic-English Lexicon (Beirut:
Librairie du Liban, 1968), 510.
[2]
Ibn Taymiyyah, Al-Hisbah fi al-Islam, ed. Muhammad
Badr (Cairo: Dar al-Salam, 2006), 14.
[3]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, ed. Abdul Qadir
al-Arna’ut (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), Juz 2, 248.
[4]
Khalid Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the
Extremists (New York: HarperSanFrancisco, 2005), 96.
[5]
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Da’wah, ed. Abdul Rahman
Khalifa (Cairo: Maktabah Wahbah, 1996), 45.
[6]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 2, 245.
[7]
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Text, Translation and
Commentary (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 94.
[8]
Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah wa Al-Wilayat
Ad-Diniyyah, ed. Fadhlullah Harun (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1989), 284.
[9]
Muhammad Asad, The Message of the Qur'an
(Gibraltar: Dar Al-Andalus, 1980), 522.
[10]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Iman, Bab
20, Hadis No. 55.
4.
Prinsip-Prinsip Hisbah
Pelaksanaan hisbah
memerlukan pemahaman prinsip-prinsip dasar yang menjamin bahwa proses Amar ma’ruf nahi mungkar dilakukan dengan tepat, efektif, dan sesuai syariat.
Prinsip-prinsip ini berfungsi sebagai panduan etis dan teknis untuk menghindari
penyimpangan dalam pelaksanaannya.
4.1. Prinsip Keadilan
Keadilan adalah inti
dari semua aktivitas dalam Islam, termasuk dalam pelaksanaan hisbah. Seorang
pelaksana hisbah (muhtasib) wajib bertindak adil
tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau hubungan pribadi dengan subjek
hisbah. QS An-Nisa [4] ayat 135 menegaskan:
"Wahai
orang-orang yang beriman! Jadilah kamu orang-orang yang menegakkan keadilan,
menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap
kedua orang tua dan kerabatmu.”¹
Ibn Taymiyyah
menekankan bahwa tanpa keadilan, hisbah dapat menjadi alat penindasan. Ia mengingatkan
bahwa Amar ma’ruf nahi mungkar tidak boleh dilakukan dengan melampaui batas
atau mengabaikan hak-hak pihak lain.²
4.2. Berdasarkan Ilmu
Prinsip ini
menegaskan bahwa hisbah harus dilandasi oleh pemahaman yang benar tentang
syariat. Kemungkaran yang dicegah harus jelas definisinya dalam Islam, dan
tindakan yang diambil harus sesuai dengan ajaran agama. Imam Al-Ghazali
menekankan pentingnya ilmu dalam Ihya Ulumuddin, dengan menyatakan
bahwa muhtasib
yang tidak memahami syariat dapat berisiko menimbulkan kerusakan yang lebih
besar.³
Pelaksana hisbah
juga harus memahami konteks sosial dan dampak potensial dari tindakannya. Hal
ini sesuai dengan QS Yusuf [12] ayat 108:
"Katakanlah:
‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah
dengan bashirah (ilmu dan hikmah).”⁴
4.3. Prioritas dan Gradualisme
Islam mengajarkan
bahwa Amar ma’ruf nahi mungkar harus dilakukan secara bertahap dengan
memperhatikan prioritas. Penyelesaian kemungkaran yang lebih besar harus
didahulukan daripada kemungkaran kecil.⁵ Dalam hal ini, Rasulullah Saw memberikan
contoh ketika beliau menahan diri untuk tidak merombak Ka’bah meskipun struktur
bangunan tersebut telah diubah oleh kaum Quraisy. Beliau bersabda: “Seandainya
bukan karena kaummu baru saja meninggalkan masa jahiliah, aku pasti akan
merobohkan Ka’bah dan membangun kembali sesuai dengan pondasi Ibrahim.”⁶
Hal ini menunjukkan pentingnya mempertimbangkan kemaslahatan dan mudarat dalam
pelaksanaan hisbah.
4.4. Tidak Menimbulkan Kerusakan yang Lebih Besar
Prinsip ini
menegaskan bahwa tindakan nahi mungkar tidak boleh menimbulkan kerusakan yang
lebih besar dari kemungkaran itu sendiri. Jika upaya hisbah dapat memicu
fitnah, perpecahan, atau konflik sosial yang lebih parah, maka tindakan
tersebut harus dihentikan. Imam Nawawi dalam Al-Majmu' menegaskan: “Kemungkaran
hanya boleh dicegah jika pencegahan tersebut tidak menyebabkan bahaya yang
lebih besar.”⁷
Contoh praktis dari
prinsip ini adalah pelarangan Rasulullah terhadap tindakan seorang sahabat yang
ingin membunuh pemimpin munafik, Abdullah bin Ubay. Rasulullah bersabda: “Jangan,
agar orang-orang tidak mengatakan bahwa Muhammad membunuh sahabatnya.”⁸
Keputusan ini mencerminkan hikmah Rasulullah dalam menghindari dampak negatif
yang lebih luas.
4.5. Hikmah dan Kesantunan
Prinsip hikmah dan
kesantunan ditekankan dalam QS An-Nahl [16] ayat 125:
"Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik.”⁹ Ayat ini menunjukkan bahwa
pelaksanaan hisbah harus dilakukan dengan bijaksana, tanpa kekerasan atau
tindakan kasar. Dalam konteks sosial, hikmah dapat mencakup pendekatan
persuasif yang memperhatikan psikologi individu atau kelompok.
Kesimpulan
Prinsip-prinsip
hisbah yang meliputi keadilan, ilmu, prioritas, hikmah, dan kehati-hatian dalam
menghindari kerusakan, menjadi landasan penting bagi pelaksanaan Amar ma’ruf nahi mungkar yang efektif dan sesuai syariat. Dengan memahami dan menerapkan
prinsip-prinsip ini, umat Islam dapat menjalankan hisbah dengan cara yang
mencerminkan nilai-nilai Islam sekaligus menjaga stabilitas masyarakat.
Catatan Kaki
[1]
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Text, Translation and
Commentary (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 178.
[2]
Ibn Taymiyyah, Al-Hisbah fi al-Islam, ed. Muhammad
Badr (Cairo: Dar al-Salam, 2006), 45.
[3]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, ed. Abdul Qadir
al-Arna’ut (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), Juz 2, 249.
[4]
Muhammad Asad, The Message of the Qur'an
(Gibraltar: Dar Al-Andalus, 1980), 382.
[5]
Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah wa Al-Wilayat
Ad-Diniyyah, ed. Fadhlullah Harun (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1989), 268.
[6]
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Hajj,
Bab 42, Hadis No. 1586.
[7]
Yahya ibn Sharaf al-Nawawi, Al-Majmu' Sharh al-Muhadhdhab, ed.
Muhammad Najib al-Muti’i (Cairo: Dar al-Fikr, 1994), Juz 5, 250.
[8]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Iman, Bab
34, Hadis No. 279.
[9]
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Text, Translation and
Commentary, 528.
5.
Metodologi dalam Mencegah Kemungkaran
Pelaksanaan hisbah
atau mencegah kemungkaran membutuhkan metodologi yang tepat agar efektif, tidak
menimbulkan kerusakan, dan sesuai dengan syariat Islam. Metodologi ini mencakup
tahapan, etika, dan kriteria tertentu yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan Amar ma’ruf nahi mungkar.
5.1. Tahapan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Pelaksanaan hisbah
memiliki hierarki tindakan yang didasarkan pada hadis Rasulullah Saw:
"Barang siapa
di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan
tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu juga,
maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.”¹ Dari hadis ini,
para ulama menyusun tiga tahapan utama dalam pelaksanaan hisbah:
1)
Mengubah dengan Tangan
(Kekuasaan):
Tindakan ini dilakukan oleh pihak yang memiliki
otoritas atau kekuasaan, seperti pemerintah, untuk mencegah kemungkaran secara
langsung. Ibn Khaldun menyatakan bahwa salah satu fungsi pemerintah dalam Islam
adalah menjalankan hisbah melalui lembaga formal seperti muhtasib.²
Namun, bagi individu yang tidak memiliki otoritas, tindakan ini tidak
dianjurkan karena dapat memicu kerusakan yang lebih besar.
2)
Mengubah dengan Lisan
(Nasihat):
Tahapan ini menjadi kewajiban bagi individu yang
mampu memberikan nasihat atau peringatan kepada pelaku kemungkaran dengan cara
yang bijaksana. QS An-Nahl [16] ayat 125 menegaskan: “Serulah (manusia) kepada
jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik.”³ Nasihat yang diberikan harus disampaikan secara
santun dan penuh kasih sayang agar pesan dapat diterima dengan baik.
3)
Mengingkari dengan
Hati:
Ini adalah tingkat paling minimal dari hisbah, di
mana seseorang tidak memiliki kapasitas untuk bertindak secara langsung, tetapi
ia tetap membenci kemungkaran di dalam hatinya. Imam Al-Nawawi menjelaskan
bahwa tahap ini menunjukkan seseorang masih memiliki keimanan meskipun tidak
mampu bertindak lebih jauh.⁴
5.2. Etika dalam Melaksanakan Hisbah
Dalam pelaksanaan
hisbah, Islam menetapkan beberapa etika yang harus diperhatikan oleh seorang
pelaksana:
1)
Hikmah dan Kesabaran:
Pelaksana hisbah harus bersikap bijaksana dalam
memilih waktu, tempat, dan cara untuk mencegah kemungkaran. Ibn Qayyim
Al-Jawziyyah menekankan pentingnya kesabaran dalam menghadapi pelaku
kemungkaran, karena perubahan sosial membutuhkan waktu.⁵
2)
Menghindari Kekerasan:
Sebagaimana ditekankan dalam QS Ali Imran [3]
ayat 159, Rasulullah Saw diperintahkan untuk bersikap lemah lembut kepada
umatnya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka.”⁶
3)
Menjaga Privasi dan
Kehormatan:
Kemungkaran yang tidak dilakukan secara
terang-terangan tidak boleh diungkapkan kepada publik. Ibn Hajar Al-Asqalani
dalam Fath al-Bari menegaskan bahwa seorang Muslim
dilarang memata-matai kesalahan saudaranya, karena hal ini bertentangan dengan
prinsip menjaga kehormatan individu.⁷
5.3. Kriteria Kemungkaran yang Harus Dicegah
Tidak semua
kemungkaran dapat dicegah tanpa mempertimbangkan dampak dan syarat tertentu.
Menurut para ulama, kemungkaran yang harus dicegah memenuhi kriteria berikut:
1)
Kemungkaran yang Jelas
dan Nyata:
Pelaksana hisbah harus memastikan bahwa perbuatan
tersebut bertentangan dengan syariat Islam berdasarkan dalil yang jelas.
Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah
menegaskan bahwa tindakan pencegahan hanya sah jika kemungkaran tersebut sudah
diketahui dengan pasti, bukan berdasarkan dugaan.⁸
2)
Kemungkaran yang Sedang
Terjadi:
Hisbah dilakukan terhadap kemungkaran yang sedang
berlangsung, bukan yang sudah berlalu atau kemungkinan akan terjadi.⁹
3)
Tidak Menimbulkan
Kerusakan yang Lebih Besar:
Jika pencegahan kemungkaran berpotensi
menyebabkan bahaya yang lebih besar, seperti konflik sosial atau fitnah, maka
tindakan tersebut harus dihindari. Prinsip ini sejalan dengan kaidah fikih: “Menolak
kerusakan lebih didahulukan daripada mendatangkan kebaikan.”¹⁰
Kesimpulan
Metodologi hisbah
yang mencakup tahapan tindakan, etika pelaksanaan, dan kriteria kemungkaran
memberikan panduan praktis dalam menjalankan Amar ma’ruf nahi mungkar. Dengan
memahami metode ini, pelaksanaan hisbah dapat dilakukan secara efektif, penuh
hikmah, dan tanpa menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
Catatan Kaki
[1]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Iman, Bab
20, Hadis No. 49.
[2]
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History,
terj. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 2005), 334.
[3]
Muhammad Asad, The Message of the Qur'an
(Gibraltar: Dar Al-Andalus, 1980), 385.
[4]
Yahya ibn Sharaf al-Nawawi, Riyadh as-Salihin, ed. Muhammad
Nasiruddin al-Albani (Riyadh: Darussalam, 2002), 112.
[5]
Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, Madarij as-Salikin (Cairo: Dar
al-Hadith, 2002), Juz 2, 72.
[6]
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Text, Translation and
Commentary (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 142.
[7]
Ibn Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari,
ed. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1989), Juz 10, 441.
[8]
Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah wa Al-Wilayat
Ad-Diniyyah, ed. Fadhlullah Harun (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1989), 285.
[9]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, ed. Abdul Qadir
al-Arna’ut (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), Juz 2, 245.
[10]
Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh
(Damascus: Dar al-Fikr, 2008), Juz 1, 517.
6.
Implementasi Hisbah dalam Kehidupan Modern
Dalam konteks
modern, implementasi hisbah menghadapi tantangan yang lebih kompleks karena
perubahan sosial, budaya, dan teknologi. Namun, prinsip hisbah tetap relevan
sebagai mekanisme untuk menjaga nilai-nilai moral, memperkuat harmoni sosial,
dan mencegah penyimpangan. Implementasi ini mencakup peran individu, keluarga,
masyarakat, institusi pemerintah, hingga penggunaan media digital sebagai
sarana hisbah.
6.1. Peran Individu, Keluarga, dan Masyarakat
6.1.1.
Individu:
Setiap Muslim
memiliki tanggung jawab personal untuk melaksanakan hisbah sesuai kemampuannya.
Rasulullah Saw bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin
bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.”¹ Individu dapat menjalankan
hisbah dengan memberikan nasihat kepada orang-orang di sekitarnya, menyampaikan
kebaikan melalui media sosial, atau menghindari kemungkaran dalam kehidupan
sehari-hari.
6.1.2.
Keluarga:
Keluarga adalah
tempat pertama pelaksanaan hisbah. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk
mendidik anak-anak mereka sesuai nilai-nilai Islam. QS At-Tahrim [66] ayat 6
memerintahkan: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka.”² Ayat ini menjadi landasan bahwa pencegahan
kemungkaran dimulai dari lingkup keluarga.
6.1.3.
Masyarakat:
Di tingkat
masyarakat, hisbah dilakukan secara kolektif melalui pengawasan sosial.
Masyarakat yang peduli terhadap lingkungan sosialnya dapat menciptakan budaya Amar ma’ruf nahi mungkar. Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah
menyebutkan bahwa hisbah harus mencakup pengawasan terhadap kegiatan sosial dan
ekonomi masyarakat.³
6.2. Hisbah dalam Institusi Pemerintahan
Pemerintah memiliki
peran strategis dalam pelaksanaan hisbah melalui pembentukan kebijakan yang
mendukung Amar ma’ruf nahi mungkar. Ibn Khaldun menyatakan bahwa salah satu
tugas utama pemerintahan Islam adalah memastikan syariat ditegakkan, termasuk
melalui lembaga hisbah.⁴
Contoh implementasi
hisbah oleh pemerintah adalah pengawasan terhadap pasar, perlindungan hak
konsumen, dan penegakan hukum moral. Lembaga hisbah di masa kekhalifahan,
seperti institusi muhtasib, berfungsi untuk mengawasi
perdagangan, mencegah penipuan, dan melindungi kesejahteraan masyarakat.⁵
Dalam konteks
modern, beberapa negara Islam, seperti Arab Saudi dan Malaysia, memiliki
lembaga khusus untuk menjalankan fungsi hisbah, meskipun bentuk dan fungsinya
telah disesuaikan dengan kebutuhan zaman.⁶
6.3. Media dan Teknologi sebagai Sarana Hisbah
Kemajuan teknologi
dan media digital memberikan peluang baru untuk melaksanakan hisbah, tetapi
juga menghadirkan tantangan unik.
6.3.1.
Media Sosial:
Media sosial dapat
digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan dan mencegah
kemungkaran. Kampanye kesadaran sosial, konten dakwah, dan diskusi daring dapat
menjadi bentuk implementasi hisbah di era digital.⁷ Namun, penggunaan media
sosial juga memerlukan kehati-hatian agar tidak menjadi sarana untuk
menyebarkan fitnah atau kebencian.
6.3.2.
Platform Digital:
Berbagai platform
digital, seperti aplikasi Islami, dapat membantu umat Islam melaksanakan
hisbah, misalnya dengan menyediakan pengingat salat, konten edukasi, atau forum
diskusi untuk mendukung Amar ma’ruf nahi mungkar.⁸
6.3.3.
Tantangan Era
Digital:
Di sisi lain, era
digital juga memperbesar risiko penyebaran kemungkaran, seperti pornografi,
hoaks, dan ujaran kebencian. Oleh karena itu, diperlukan regulasi dan
pengawasan yang bijaksana untuk menjaga agar teknologi digunakan untuk
kebaikan.⁹
6.4. Tantangan dalam Implementasi Hisbah Modern
Implementasi hisbah
di era modern menghadapi berbagai tantangan, antara lain:
·
Konflik
Nilai Modernitas dan Tradisi:
Prinsip hisbah sering kali berbenturan dengan
nilai-nilai modern yang mendukung liberalisme dan individualisme. Hal ini
memerlukan pendekatan yang bijaksana agar hisbah tidak dipandang sebagai
tindakan represif.¹⁰
·
Kurangnya
Pemahaman Syariat:
Banyak individu yang kurang memahami prinsip dan
metode hisbah, sehingga pelaksanaannya tidak efektif atau bahkan
kontraproduktif.
·
Globalisasi
dan Media Sosial:
Kemudahan akses informasi global dapat
memperbesar eksposur masyarakat terhadap nilai-nilai yang bertentangan dengan
Islam. Hisbah harus beradaptasi dengan fenomena ini untuk tetap relevan.
Kesimpulan
Implementasi hisbah
dalam kehidupan modern harus disesuaikan dengan dinamika sosial dan teknologi.
Peran individu, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan media digital sangat
penting dalam menjaga nilai-nilai Islam dan mencegah kemungkaran. Dengan
pendekatan yang bijaksana dan berbasis ilmu, hisbah dapat menjadi solusi yang
efektif untuk menghadapi tantangan moral di era globalisasi.
Catatan Kaki
[1]
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Ahkam,
Bab 2, Hadis No. 893.
[2]
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Text, Translation and
Commentary (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 142.
[3]
Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah wa Al-Wilayat
Ad-Diniyyah, ed. Fadhlullah Harun (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1989), 285.
[4]
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History,
terj. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 2005), 332.
[5]
Ibn Taymiyyah, Al-Hisbah fi al-Islam, ed. Muhammad
Badr (Cairo: Dar al-Salam, 2006), 45.
[6]
Khalid Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the
Extremists (New York: HarperSanFrancisco, 2005), 121.
[7]
Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh
(Damascus: Dar al-Fikr, 2008), Juz 1, 532.
[8]
Asma Afsaruddin, Contemporary Issues in Islam
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2015), 98.
[9]
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Da’wah, ed. Abdul Rahman
Khalifa (Cairo: Maktabah Wahbah, 1996), 89.
[10]
Sherman A. Jackson, Islam and the Problem of Black Suffering
(New York: Oxford University Press, 2009), 64.
7.
Kendala dan Tantangan dalam Pelaksanaan Hisbah
Pelaksanaan hisbah
dalam konteks modern menghadapi berbagai kendala dan tantangan yang berasal
dari dinamika sosial, politik, budaya, dan teknologi. Tantangan-tantangan ini
memengaruhi efektivitas Amar ma’ruf nahi mungkar dalam menjaga nilai-nilai
moral masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk memahami kendala yang dihadapi
agar dapat diatasi secara strategis dan bijaksana.
7.1. Minimnya Pemahaman tentang Syariat
Salah satu kendala
utama dalam pelaksanaan hisbah adalah kurangnya pemahaman tentang syariat Islam
di kalangan umat. Pelaksanaan hisbah memerlukan ilmu yang mendalam, baik
tentang hukum syariat maupun metodologi yang sesuai. Imam Al-Ghazali dalam Ihya
Ulumuddin menekankan bahwa hisbah harus dilakukan dengan dasar
ilmu dan kebijaksanaan, karena tanpa keduanya, tindakan Amar ma’ruf nahi mungkar dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar.¹
Banyak individu yang
tidak memahami konsep hisbah dengan baik sering kali melaksanakan nahi mungkar
secara emosional, tanpa memperhatikan etika atau dampak yang dihasilkan. Hal
ini berpotensi menciptakan konflik sosial atau ketegangan dalam masyarakat.
7.2. Kehilangan Keberanian Moral
Kehilangan
keberanian moral juga menjadi tantangan signifikan dalam pelaksanaan hisbah.
Dalam masyarakat modern yang cenderung menonjolkan kebebasan individu,
pelaksanaan hisbah sering kali dianggap sebagai bentuk intervensi atau
intoleransi. Rasulullah Saw bersabda:
"Akan datang
suatu masa di mana orang-orang tidak berani mengatakan kepada pelaku
kemungkaran, 'Bertakwalah kepada Allah.'”²
Budaya takut
terhadap kritik, tekanan sosial, atau bahkan ancaman hukum membuat banyak
individu enggan untuk menjalankan hisbah, meskipun mereka menyaksikan
kemungkaran secara langsung.
7.3. Konflik dengan Nilai Modernisme dan Liberalisme
Globalisasi dan
modernisme telah membawa nilai-nilai baru, seperti liberalisme, yang sering
kali bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Dalam pandangan liberalisme,
kebebasan individu dianggap sebagai hak utama yang tidak boleh diganggu,
termasuk dalam aspek moralitas. Hal ini menciptakan tantangan bagi pelaksanaan
hisbah, karena nahi mungkar sering kali dipersepsikan sebagai pelanggaran
terhadap kebebasan individu.³
Sherman A. Jackson
menjelaskan bahwa masyarakat modern sering kali memandang tindakan hisbah
sebagai bentuk represif yang bertentangan dengan prinsip kebebasan individu.
Oleh karena itu, pelaksanaan hisbah harus disesuaikan dengan cara yang lebih
persuasif dan edukatif.⁴
7.4. Tantangan Era Digital
Kemajuan teknologi
dan era digital menghadirkan tantangan baru dalam pelaksanaan hisbah. Media
sosial, misalnya, telah menjadi sarana untuk menyebarkan kemungkaran, seperti
ujaran kebencian, pornografi, dan hoaks. Penyebaran informasi yang begitu cepat
membuat upaya nahi mungkar menjadi lebih kompleks.⁵
Di sisi lain, media
sosial juga memberikan tantangan dalam bentuk penyalahgunaan hisbah. Beberapa
individu atau kelompok menggunakan platform ini untuk menyebarkan kritik yang
tidak konstruktif atau bahkan melakukan shaming publik, yang bertentangan
dengan prinsip Islam dalam menjaga privasi dan kehormatan individu.⁶
7.5. Kurangnya Dukungan Institusional
Hisbah memerlukan
dukungan institusional agar dapat dilaksanakan secara efektif di tingkat
masyarakat. Namun, di banyak negara, lembaga hisbah tidak lagi menjadi bagian
dari sistem pemerintahan. Ibn Taymiyyah dalam Al-Hisbah fi al-Islam menekankan
bahwa pemerintah memiliki peran penting dalam menjalankan fungsi hisbah untuk
menjaga tatanan sosial.⁷
Ketidakhadiran
lembaga formal membuat pelaksanaan hisbah bergantung pada individu atau
komunitas yang sering kali memiliki keterbatasan dalam hal otoritas dan sumber
daya. Hal ini menyebabkan hisbah kehilangan daya efektivitasnya dalam mencegah
kemungkaran di masyarakat.
7.6. Tantangan Multikulturalisme
Dalam masyarakat
multikultural, pelaksanaan hisbah menghadapi tantangan berupa perbedaan
nilai-nilai dan norma antara berbagai kelompok. Apa yang dianggap kemungkaran
dalam Islam mungkin tidak dipahami dengan cara yang sama oleh komunitas lain.
Hal ini memerlukan pendekatan yang lebih dialogis dan toleran untuk menghindari
konflik antarbudaya.⁸
Kesimpulan
Kendala dan
tantangan dalam pelaksanaan hisbah di era modern tidak dapat diabaikan,
mengingat kompleksitas masyarakat yang terus berkembang. Untuk mengatasi
kendala ini, diperlukan pendekatan berbasis ilmu, kebijaksanaan, dan strategi
yang sesuai dengan konteks sosial. Dengan demikian, Amar ma’ruf nahi mungkar dapat tetap relevan dan efektif dalam menjaga nilai-nilai Islam di tengah
perubahan zaman.
Catatan Kaki
[1]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, ed. Abdul Qadir
al-Arna’ut (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), Juz 2, 248.
[2]
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Fitan,
Bab 19, Hadis No. 709.
[3]
Khalid Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the
Extremists (New York: HarperSanFrancisco, 2005), 95.
[4]
Sherman A. Jackson, Islam and the Problem of Black Suffering
(New York: Oxford University Press, 2009), 72.
[5]
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Da’wah, ed. Abdul Rahman
Khalifa (Cairo: Maktabah Wahbah, 1996), 92.
[6]
Asma Afsaruddin, Contemporary Issues in Islam
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2015), 101.
[7]
Ibn Taymiyyah, Al-Hisbah fi al-Islam, ed. Muhammad
Badr (Cairo: Dar al-Salam, 2006), 15.
[8]
Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh
(Damascus: Dar al-Fikr, 2008), Juz 1, 537.
8.
Studi Kasus: Praktik Hisbah dalam Sejarah Islam
Hisbah telah menjadi
bagian integral dari sejarah peradaban Islam. Praktiknya tidak hanya terbatas
pada individu tetapi juga dijalankan oleh lembaga resmi dalam pemerintahan
Islam. Studi kasus berikut memberikan gambaran tentang implementasi hisbah di
berbagai periode sejarah Islam, khususnya pada masa Nabi Muhammad Saw,
Khulafaurasyidin, dan era kekhalifahan.
8.1. Hisbah pada Masa Nabi Muhammad Saw
Pada masa Nabi
Muhammad Saw, hisbah dilakukan dengan penuh hikmah dan langsung di bawah
pengawasan beliau sebagai pemimpin umat. Nabi sering memberikan teguran atau
arahan kepada individu atau kelompok yang melakukan kemungkaran. Salah satu
contoh yang terkenal adalah ketika Nabi melihat seseorang memakan bawang mentah
sebelum masuk masjid, beliau bersabda:
"Barang
siapa memakan tanaman ini (bawang putih atau bawang merah), hendaklah ia
menjauhi masjid kami, karena malaikat terganggu dengan apa yang mengganggu
manusia."¹
Tindakan ini
menunjukkan bahwa Nabi mencegah kemungkaran secara langsung dengan pendekatan
yang bersifat edukatif.
Nabi juga menunjuk
individu tertentu untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap praktik ekonomi
dan perdagangan. Misalnya, Said bin Sa’id diangkat sebagai pengawas pasar di
Madinah.² Peran ini mirip dengan fungsi muhtasib pada masa berikutnya.
8.2. Hisbah pada Masa Khulafaurasyidin
Pada era
Khulafaurasyidin, praktik hisbah berkembang lebih sistematis. Para khalifah
mempraktikkan hisbah dengan mengawasi langsung pelaksanaan Amar ma’ruf nahi mungkar di masyarakat.
·
Abu
Bakar Ash-Shiddiq (R.A.):
Abu Bakar secara tegas melaksanakan hisbah,
terutama dalam memerangi kelompok yang menolak membayar zakat setelah wafatnya
Nabi. Beliau berkata: “Demi Allah, aku akan memerangi orang yang membedakan
antara salat dan zakat.”³ Langkah ini menunjukkan pentingnya hisbah untuk
menjaga kepatuhan umat terhadap syariat Islam.
·
Umar
bin Khattab (R.A.):
Umar dikenal sebagai sosok pemimpin yang sangat
peduli terhadap keadilan sosial. Beliau sering melakukan inspeksi langsung di
pasar untuk memastikan tidak ada praktik penipuan. Dalam salah satu peristiwa,
Umar menegur seorang pedagang yang menjual susu yang telah dicampur dengan
air.⁴ Umar juga memperkenalkan sistem regulasi pasar dengan menunjuk muhtasib
yang bertugas memastikan keadilan dalam transaksi ekonomi.⁵
8.3. Hisbah pada Era Kekhalifahan Abbasiyah
Pada masa
kekhalifahan Abbasiyah, hisbah berkembang menjadi lembaga formal. Khalifah
Harun al-Rasyid (786–809 M) mendirikan sistem muhtasib sebagai pengawas resmi
yang bertugas memastikan masyarakat menjalankan Amar ma’ruf nahi mungkar. Tugas
mereka mencakup pengawasan pasar, kebersihan kota, hingga moralitas masyarakat.⁶
Ibn Khaldun
menjelaskan bahwa muhtasib memiliki kewenangan untuk
memberikan sanksi kepada individu atau kelompok yang melanggar syariat.⁷ Namun,
pelaksanaan hisbah selalu dilakukan dengan prinsip keadilan dan tanpa
penyalahgunaan kekuasaan.
8.4. Hisbah pada Era Andalusia
Di Andalusia,
praktik hisbah mencapai puncaknya dengan pembentukan lembaga khusus yang
mengawasi berbagai aspek kehidupan masyarakat. Institusi hisbah di Andalusia
memiliki peran yang luas, mencakup pengawasan perdagangan, arsitektur, dan
kebersihan kota. Para muhtasib di Andalusia juga
bertanggung jawab dalam memastikan masjid-masjid tetap menjadi tempat ibadah
yang suci dan bebas dari aktivitas non-ibadah.⁸
8.5. Analisis Kesuksesan dan Tantangan Hisbah dalam
Sejarah
Keberhasilan hisbah
dalam sejarah Islam terletak pada beberapa faktor:
·
Dukungan penuh dari
pemimpin yang memahami pentingnya Amar ma’ruf nahi mungkar.
·
Pembentukan lembaga formal
seperti muhtasib
yang menjalankan hisbah secara sistematis.
·
Pengawasan yang berbasis
ilmu dan hikmah, sehingga pelaksanaan hisbah tidak menimbulkan kerusakan.
Namun, ada juga
tantangan yang dihadapi, seperti:
·
Resistensi dari individu
atau kelompok yang merasa dirugikan oleh pelaksanaan hisbah.
·
Penyalahgunaan kekuasaan
oleh muhtasib
dalam beberapa kasus, yang menodai nilai-nilai keadilan hisbah.
Kesimpulan
Studi kasus
pelaksanaan hisbah dalam sejarah Islam menunjukkan bagaimana Amar ma’ruf nahi mungkar menjadi pilar utama dalam menjaga nilai-nilai moral dan sosial. Dari
masa Nabi Muhammad Saw hingga era kekhalifahan, hisbah berkembang menjadi
praktik yang terorganisasi dan memberikan dampak besar terhadap kesejahteraan
masyarakat. Pengalaman sejarah ini menjadi pelajaran penting dalam mengadaptasi
hisbah untuk konteks modern.
Catatan Kaki
[1]
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab
al-Ath'imah, Bab 51, Hadis No. 854.
[2]
Ibn Sa'd, Kitab al-Tabaqat al-Kubra, ed.
Muhammad Abdul Qadir (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), Juz 2, 142.
[3]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Iman, Bab
29, Hadis No. 42.
[4]
Ibn Kathir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, ed.
Abdullah al-Turki (Cairo: Dar Hajar, 1998), Juz 7, 109.
[5]
Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah wa Al-Wilayat
Ad-Diniyyah, ed. Fadhlullah Harun (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1989), 276.
[6]
Ibn Taymiyyah, Al-Hisbah fi al-Islam, ed. Muhammad
Badr (Cairo: Dar al-Salam, 2006), 54.
[7]
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History,
terj. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 2005), 335.
[8]
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Da’wah, ed. Abdul Rahman
Khalifa (Cairo: Maktabah Wahbah, 1996), 91.
9.
Penutup
Hisbah, sebagai upaya untuk mencegah kemungkaran (nahi
mungkar) dan menyeru kepada kebaikan (amar ma’ruf), adalah salah
satu kewajiban penting dalam Islam. Konsep ini tidak hanya menjadi pilar ajaran
agama, tetapi juga
berfungsi sebagai mekanisme sosial untuk menjaga moralitas, keadilan, dan
keseimbangan dalam masyarakat. Sebagaimana disebutkan dalam QS Ali Imran [3]
ayat 110:
"Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang
mungkar, dan beriman kepada Allah."¹ Ayat ini menegaskan bahwa
pelaksanaan hisbah adalah salah satu karakteristik utama umat Islam.
Dalam sejarah Islam, hisbah telah memainkan peran
yang sangat signifikan, baik pada masa Nabi Muhammad Saw maupun era
kekhalifahan. Praktiknya melibatkan individu, keluarga, masyarakat, dan bahkan institusi formal seperti lembaga muhtasib. Ibn
Taymiyyah menegaskan bahwa hisbah merupakan tanggung jawab kolektif umat untuk
menjaga tatanan sosial sesuai dengan syariat Islam.²
Namun, pelaksanaan hisbah di era modern menghadapi
berbagai tantangan, termasuk pengaruh globalisasi, konflik nilai antara Islam
dan modernitas, serta penyalahgunaan teknologi.³ Untuk mengatasi tantangan ini,
diperlukan pendekatan yang lebih
fleksibel dan adaptif. Penggunaan media digital, misalnya, dapat menjadi sarana
yang efektif untuk menyebarkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, asalkan
dilakukan dengan prinsip-prinsip hikmah dan kesantunan.
Di sisi lain, pelaksanaan hisbah juga harus tetap
berpijak pada prinsip keadilan dan ilmu. Kemungkaran yang dicegah harus jelas
dan nyata, serta tindakan yang dilakukan tidak boleh menimbulkan kerusakan yang
lebih besar. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengingatkan bahwa hisbah
harus dilandasi oleh ilmu dan kebijaksanaan agar dapat menciptakan
kemaslahatan, bukan konflik.⁴
Sebagai bagian dari komitmen terhadap ajaran Islam,
umat Muslim harus terus menghidupkan semangat hisbah dalam kehidupan sehari-hari, baik melalui tindakan
personal, peran keluarga, maupun kerja sama sosial. Dengan demikian, hisbah
tidak hanya menjadi kewajiban agama, tetapi juga jalan untuk mewujudkan
masyarakat yang adil, harmonis, dan bermartabat.
Melalui artikel ini, diharapkan pemahaman yang
lebih mendalam tentang konsep, metodologi, dan implementasi hisbah dapat
mendorong umat Islam untuk berperan aktif dalam menjaga nilai-nilai moral di
tengah tantangan zaman.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
"Barang siapa di antara kalian melihat
kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya;
dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah
iman."⁵ Hadis ini mengingatkan
kita bahwa pelaksanaan hisbah adalah bagian integral dari iman yang tidak boleh
diabaikan.
Catatan Kaki
[1]
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Text,
Translation and Commentary (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 142.
[2]
Ibn Taymiyyah, Al-Hisbah fi al-Islam, ed.
Muhammad Badr (Cairo: Dar al-Salam, 2006), 15.
[3]
Asma Afsaruddin, Contemporary Issues in Islam
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2015), 97.
[4]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, ed.
Abdul Qadir al-Arna’ut (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), Juz 2, 248.
[5]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab
al-Iman, Bab 20, Hadis No. 49.
Daftar Pustaka
Abou El Fadl, K. (2005). The
Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists. New York, NY:
HarperSanFrancisco.
Al-Bukhari, M. I. (1997). Sahih
al-Bukhari. Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Ghazali, A. H. (2005). Ihya
Ulumuddin (A. Q. al-Arna’ut, Ed.). Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah.
Al-Mawardi, A. H. (1989). Al-Ahkam
As-Sulthaniyyah wa Al-Wilayat Ad-Diniyyah (F. Harun, Ed.). Beirut,
Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Qaradawi, Y. (1996). Fiqh
al-Da’wah (A. R. Khalifa, Ed.). Cairo, Egypt: Maktabah Wahbah.
Asad, M. (1980). The
Message of the Qur’an. Gibraltar: Dar Al-Andalus.
Afsaruddin, A. (2015). Contemporary
Issues in Islam. Edinburgh, Scotland: Edinburgh University Press.
Ibn Hajar al-Asqalani, A.
A. (1989). Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari
(M. F. Abdul Baqi, Ed.). Beirut, Lebanon: Dar al-Ma’rifah.
Ibn Khaldun, A. R. (2005). The
Muqaddimah: An Introduction to History (F. Rosenthal, Trans.).
Princeton, NJ: Princeton University Press.
Ibn Kathir, I. U. (1998). Al-Bidayah
wa An-Nihayah (A. al-Turki, Ed.). Cairo, Egypt: Dar Hajar.
Ibn Sa’d, M. (2001). Kitab
al-Tabaqat al-Kubra (M. Abdul Qadir, Ed.). Beirut, Lebanon: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah.
Ibn Taymiyyah, A. (2006). Al-Hisbah
fi al-Islam (M. Badr, Ed.). Cairo, Egypt: Dar al-Salam.
Jackson, S. A. (2009). Islam
and the Problem of Black Suffering. New York, NY: Oxford University
Press.
Lane, E. W. (1968). An
Arabic-English Lexicon. Beirut, Lebanon: Librairie du Liban.
Muslim ibn al-Hajjaj.
(2002). Sahih Muslim. Riyadh, Saudi Arabia: Darussalam.
Yusuf Ali, A. (2007). The
Holy Quran: Text, Translation and Commentary. Kuala Lumpur,
Malaysia: Islamic Book Trust.
Wahbah al-Zuhayli, W.
(2008). Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Damascus, Syria: Dar
al-Fikr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar