Minggu, 19 Januari 2025

Mencegah Kemungkaran (Hisbah)

Mencegah Kemungkaran (Hisbah)

Konsep, Metodologi, dan Implementasi dalam Islam


Abstrak

Hisbah, sebagai salah satu bentuk pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar, merupakan kewajiban dalam Islam yang bertujuan menjaga moralitas, keadilan, dan keseimbangan sosial. Artikel ini mengkaji secara mendalam konsep dasar hisbah, dasar teologisnya dalam Al-Quran dan hadis, prinsip-prinsip pelaksanaan, serta metodologi yang sesuai dengan syariat. Dengan menyoroti pelaksanaan hisbah di berbagai era, seperti masa Nabi Muhammad Saw, Khulafaurasyidin, dan kekhalifahan Islam, artikel ini menunjukkan bahwa hisbah tidak hanya memiliki relevansi spiritual tetapi juga kontribusi sosial dan politik yang signifikan.

Dalam konteks modern, hisbah menghadapi tantangan baru, seperti pengaruh globalisasi, konflik nilai dengan modernitas, dan penyalahgunaan media digital. Artikel ini menekankan pentingnya pelaksanaan hisbah yang berbasis ilmu, hikmah, dan pendekatan persuasif untuk menjawab tantangan zaman. Studi kasus dari sejarah Islam memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana hisbah dapat diadaptasi dalam kehidupan modern untuk menjaga nilai-nilai moral di tengah perubahan sosial yang cepat.

Kata Kunci: Hisbah, Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, Islam, Moralitas, Metodologi, Implementasi Modern, Media Digital, Sejarah Islam.


1.           Pendahuluan

Mencegah kemungkaran adalah salah satu prinsip utama dalam ajaran Islam yang dikenal dengan istilah hisbah. Secara etimologis, kata hisbah berasal dari akar kata Arab "hasiba" yang berarti memperhitungkan atau mengawasi. Dalam konteks syariat, hisbah diartikan sebagai upaya seorang Muslim untuk mengajak kepada kebaikan (amar ma’ruf) dan mencegah perbuatan buruk (nahi mungkar). Konsep ini merupakan salah satu pilar penting dalam membangun masyarakat Islami yang kokoh dan harmonis.

Islam menempatkan Amar ma’ruf nahi mungkar sebagai kewajiban agama yang bersifat kolektif (fardhu kifayah), yang harus dilaksanakan demi menjaga kemaslahatan umum. Dalil Al-Quran yang menekankan kewajiban ini antara lain: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS Ali Imran [3] ayat 104). Ayat ini menjadi landasan utama bahwa Amar ma’ruf nahi mungkar bukan hanya kewajiban individu, tetapi juga kewajiban kolektif masyarakat Islam untuk menjaga tatanan sosial yang sehat dan berlandaskan nilai-nilai agama.¹

Selain Al-Quran, hadis Rasulullah Saw juga memberikan panduan yang jelas tentang pentingnya hisbah. Dalam sebuah hadis riwayat Muslim, Rasulullah bersabda: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.”² Hadis ini menunjukkan hierarki tindakan dalam mencegah kemungkaran sesuai dengan kemampuan individu dan kondisi sosial.

Hisbah tidak hanya memiliki dimensi spiritual, tetapi juga dimensi sosial dan politik. Dalam sejarah Islam, institusi hisbah pernah menjadi salah satu lembaga penting dalam pemerintahan Islam. Pada masa kekhalifahan, tugas muhtasib (pengawas hisbah) mencakup pengawasan pasar, penegakan keadilan, dan pencegahan penyimpangan moral di masyarakat.³ Hal ini menunjukkan bahwa hisbah merupakan mekanisme integral dalam membangun peradaban yang adil dan bermartabat.

Namun, pelaksanaan hisbah tidak selalu berjalan tanpa tantangan. Dinamika sosial, budaya, dan politik sering kali memengaruhi efektivitas implementasi hisbah. Di era modern, tantangan baru muncul, seperti penyebaran kemungkaran melalui media digital dan konflik nilai antara prinsip Islam dan modernitas. Oleh karena itu, penting untuk memahami konsep, metodologi, dan implementasi hisbah secara mendalam agar dapat diterapkan dengan bijaksana dan efektif dalam konteks kekinian.

Melalui artikel ini, pembahasan tentang hisbah akan dikaji secara komprehensif dengan merujuk pada sumber-sumber kredibel dari Al-Quran, hadis, kitab klasik, dan pandangan ulama kontemporer. Dengan demikian, artikel ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang luas tentang pentingnya mencegah kemungkaran sebagai bagian dari tanggung jawab seorang Muslim terhadap masyarakatnya.


Catatan Kaki

[1]                Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Text, Translation and Commentary (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 94.

[2]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Iman, Bab 20, Hadis No. 49.

[3]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, terj. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 2005), 332.


2.           Dasar Teologis Hisbah dalam Islam

2.1.       Dalil Al-Quran dan Hadis

Hisbah, atau upaya mencegah kemungkaran (nahi mungkar) dan menyeru kepada kebaikan (amar ma’ruf), memiliki dasar teologis yang kuat dalam Al-Quran dan hadis. Al-Quran menegaskan pentingnya peran umat Islam sebagai penjaga kebaikan melalui perintah Amar ma’ruf nahi mungkar. Salah satu ayat yang secara eksplisit mendukung hal ini adalah: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS Ali Imran [3] ayat 104).¹ Ayat ini menekankan kewajiban kolektif umat Islam untuk melibatkan diri dalam menjaga moralitas dan menegakkan keadilan.

Ayat lain, seperti QS At-Taubah [9] ayat 71, menegaskan bahwa Amar ma’ruf nahi mungkar adalah karakteristik utama orang beriman: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya.”²

Selain Al-Quran, hadis juga menjadi landasan penting dalam pelaksanaan hisbah. Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.”³ Hadis ini memberikan panduan hierarkis tentang bagaimana seorang Muslim dapat melaksanakan tugas hisbah sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya.

2.2.       Pandangan Ulama tentang Hisbah

Para ulama klasik dan kontemporer telah memberikan perhatian besar terhadap konsep hisbah. Imam Al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin, menyatakan bahwa Amar ma’ruf nahi mungkar adalah inti dari dakwah Islam dan merupakan salah satu faktor penegak syariat di masyarakat.⁴ Beliau menekankan bahwa tanpa hisbah, masyarakat akan kehilangan arah moral dan terjerumus dalam kemaksiatan.

Ibn Taymiyyah, dalam Al-Hisbah fi al-Islam, memberikan definisi teknis tentang hisbah sebagai tugas kolektif yang bertujuan untuk memastikan bahwa masyarakat menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Menurut Ibn Taymiyyah, pelaksanaan hisbah tidak hanya terkait dengan ibadah personal, tetapi juga mencakup pengaturan sosial, seperti pengawasan pasar dan perlindungan hak-hak masyarakat.⁵

Pendekatan ulama terhadap hisbah juga mencakup aspek keadilan dan hikmah. Mereka sepakat bahwa pelaksanaan hisbah harus dilakukan dengan ilmu, bijaksana, dan tanpa menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Sebagaimana ditegaskan oleh Imam Nawawi, “Nahi mungkar tidak boleh dilakukan dengan cara yang menyebabkan keburukan yang lebih besar dari kemungkaran itu sendiri.”⁶


Kesimpulan

Dasar teologis hisbah yang diambil dari Al-Quran, hadis, dan pandangan ulama menunjukkan bahwa mencegah kemungkaran adalah bagian integral dari keimanan seorang Muslim. Kewajiban ini bersifat kolektif dan menjadi tanggung jawab umat Islam untuk mewujudkan masyarakat yang bermoral dan sesuai dengan ajaran Islam.


Catatan Kaki

[1]                Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Text, Translation and Commentary (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 94.

[2]                Muhammad Asad, The Message of the Qur'an (Gibraltar: Dar Al-Andalus, 1980), 262.

[3]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Iman, Bab 20, Hadis No. 49.

[4]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, ed. Abdul Qadir al-Arna'ut (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), Juz 2, 243.

[5]                Ibn Taymiyyah, Al-Hisbah fi al-Islam, ed. Muhammad Badr (Cairo: Dar al-Salam, 2006), 15.

[6]                Yahya ibn Sharaf al-Nawawi, Al-Majmu' Sharh al-Muhadhdhab, ed. Muhammad Najib al-Muti’i (Cairo: Dar al-Fikr, 1994), Juz 5, 250.


3.           Hakikat dan Konsep Dasar Hisbah

3.1.       Definisi Hisbah

Secara bahasa, istilah hisbah berasal dari akar kata Arab "hasiba" yang berarti menghitung, mengawasi, atau mempertanggungjawabkan.¹ Dalam terminologi Islam, hisbah diartikan sebagai kewajiban seorang Muslim untuk memerintahkan kebaikan (amar ma’ruf) dan mencegah kemungkaran (nahi mungkar). Definisi ini mencakup tindakan proaktif untuk menjaga harmoni sosial berdasarkan syariat Islam. Ibn Taymiyyah menyatakan bahwa hisbah adalah aktivitas yang dilakukan untuk memastikan kepatuhan umat terhadap perintah Allah dan larangan-Nya di berbagai aspek kehidupan.²

3.2.       Tujuan dan Fungsi Hisbah

Tujuan utama hisbah adalah mewujudkan masyarakat yang bermoral dan berkeadilan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Fungsi utama hisbah mencakup:

·                     Menjaga Kemaslahatan Umat:

Dengan mencegah kemungkaran, hisbah memastikan bahwa masyarakat tetap berada dalam koridor syariat yang melindungi hak-hak individu dan kolektif.³

·                     Meningkatkan Kesadaran Sosial:

Hisbah mengajarkan tanggung jawab kolektif terhadap kondisi sosial, moral, dan spiritual masyarakat.⁴

·                     Melindungi Nilai-Nilai Agama:

Hisbah berperan dalam menjaga kemurnian ajaran Islam dari penyimpangan.⁵

Imam Al-Ghazali menekankan bahwa hisbah adalah pilar utama dalam menjaga syariat Islam. Beliau menyebutkan bahwa tanpa Amar ma’ruf nahi mungkar, kemaksiatan akan merajalela, dan masyarakat akan kehilangan arah moral.⁶

3.3.       Subjek dan Objek Hisbah

3.3.1.    Subjek Hisbah:

Hisbah adalah tanggung jawab setiap Muslim, baik sebagai individu maupun kelompok. Namun, dalam konteks tertentu, tugas ini dapat menjadi tanggung jawab pemerintah atau institusi resmi. Sebagaimana disebutkan dalam QS Ali Imran [3] ayat 104, ada segolongan umat yang secara khusus bertanggung jawab untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.⁷

3.3.2.    Objek Hisbah:

Objek hisbah mencakup segala bentuk kemungkaran yang nyata dan bertentangan dengan prinsip syariat Islam. Menurut Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, kemungkaran yang menjadi objek hisbah adalah tindakan yang:

1)                  Telah terbukti secara pasti bertentangan dengan syariat.

2)                  Dilakukan secara terang-terangan di ruang publik.

3)                  Tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar jika dicegah.⁸

3.4.       Landasan Syariat dalam Pelaksanaan Hisbah

Landasan syariat untuk pelaksanaan hisbah bersumber dari perintah Amar ma’ruf nahi mungkar dalam Al-Quran dan hadis. Salah satu ayat yang mendukung konsep ini adalah QS Al-Hajj [22] ayat 41: “(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, mereka mendirikan salat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar.”⁹ Ayat ini menunjukkan bahwa hisbah adalah bagian dari misi kepemimpinan seorang Muslim dalam menegakkan syariat.

Hadis Rasulullah Saw juga memberikan landasan penting bagi pelaksanaan hisbah. Beliau bersabda: “Agama itu nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan untuk para pemimpin kaum Muslimin serta masyarakat umum.”¹⁰ Hadis ini menegaskan bahwa nasihat, yang merupakan salah satu bentuk hisbah, adalah bagian integral dari agama Islam.


Kesimpulan

Hisbah adalah konsep Islam yang bertujuan untuk menjaga nilai-nilai moral dan sosial sesuai dengan ajaran syariat. Dengan melibatkan setiap individu Muslim dan institusi masyarakat, hisbah berfungsi sebagai alat untuk mencegah penyimpangan, memperbaiki keadaan sosial, dan mewujudkan kehidupan yang harmonis berdasarkan prinsip Islam.


Catatan Kaki

[1]                Edward William Lane, An Arabic-English Lexicon (Beirut: Librairie du Liban, 1968), 510.

[2]                Ibn Taymiyyah, Al-Hisbah fi al-Islam, ed. Muhammad Badr (Cairo: Dar al-Salam, 2006), 14.

[3]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, ed. Abdul Qadir al-Arna’ut (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), Juz 2, 248.

[4]                Khalid Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (New York: HarperSanFrancisco, 2005), 96.

[5]                Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Da’wah, ed. Abdul Rahman Khalifa (Cairo: Maktabah Wahbah, 1996), 45.

[6]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 2, 245.

[7]                Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Text, Translation and Commentary (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 94.

[8]                Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah wa Al-Wilayat Ad-Diniyyah, ed. Fadhlullah Harun (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1989), 284.

[9]                Muhammad Asad, The Message of the Qur'an (Gibraltar: Dar Al-Andalus, 1980), 522.

[10]             Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Iman, Bab 20, Hadis No. 55.


4.           Prinsip-Prinsip Hisbah

Pelaksanaan hisbah memerlukan pemahaman prinsip-prinsip dasar yang menjamin bahwa proses Amar ma’ruf nahi mungkar dilakukan dengan tepat, efektif, dan sesuai syariat. Prinsip-prinsip ini berfungsi sebagai panduan etis dan teknis untuk menghindari penyimpangan dalam pelaksanaannya.

4.1.       Prinsip Keadilan

Keadilan adalah inti dari semua aktivitas dalam Islam, termasuk dalam pelaksanaan hisbah. Seorang pelaksana hisbah (muhtasib) wajib bertindak adil tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau hubungan pribadi dengan subjek hisbah. QS An-Nisa [4] ayat 135 menegaskan:

"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu orang-orang yang menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap kedua orang tua dan kerabatmu.”¹

Ibn Taymiyyah menekankan bahwa tanpa keadilan, hisbah dapat menjadi alat penindasan. Ia mengingatkan bahwa Amar ma’ruf nahi mungkar tidak boleh dilakukan dengan melampaui batas atau mengabaikan hak-hak pihak lain.²

4.2.       Berdasarkan Ilmu

Prinsip ini menegaskan bahwa hisbah harus dilandasi oleh pemahaman yang benar tentang syariat. Kemungkaran yang dicegah harus jelas definisinya dalam Islam, dan tindakan yang diambil harus sesuai dengan ajaran agama. Imam Al-Ghazali menekankan pentingnya ilmu dalam Ihya Ulumuddin, dengan menyatakan bahwa muhtasib yang tidak memahami syariat dapat berisiko menimbulkan kerusakan yang lebih besar.³

Pelaksana hisbah juga harus memahami konteks sosial dan dampak potensial dari tindakannya. Hal ini sesuai dengan QS Yusuf [12] ayat 108:

"Katakanlah: ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan bashirah (ilmu dan hikmah).”⁴

4.3.       Prioritas dan Gradualisme

Islam mengajarkan bahwa Amar ma’ruf nahi mungkar harus dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan prioritas. Penyelesaian kemungkaran yang lebih besar harus didahulukan daripada kemungkaran kecil.⁵ Dalam hal ini, Rasulullah Saw memberikan contoh ketika beliau menahan diri untuk tidak merombak Ka’bah meskipun struktur bangunan tersebut telah diubah oleh kaum Quraisy. Beliau bersabda: “Seandainya bukan karena kaummu baru saja meninggalkan masa jahiliah, aku pasti akan merobohkan Ka’bah dan membangun kembali sesuai dengan pondasi Ibrahim.”⁶ Hal ini menunjukkan pentingnya mempertimbangkan kemaslahatan dan mudarat dalam pelaksanaan hisbah.

4.4.       Tidak Menimbulkan Kerusakan yang Lebih Besar

Prinsip ini menegaskan bahwa tindakan nahi mungkar tidak boleh menimbulkan kerusakan yang lebih besar dari kemungkaran itu sendiri. Jika upaya hisbah dapat memicu fitnah, perpecahan, atau konflik sosial yang lebih parah, maka tindakan tersebut harus dihentikan. Imam Nawawi dalam Al-Majmu' menegaskan: “Kemungkaran hanya boleh dicegah jika pencegahan tersebut tidak menyebabkan bahaya yang lebih besar.”⁷

Contoh praktis dari prinsip ini adalah pelarangan Rasulullah terhadap tindakan seorang sahabat yang ingin membunuh pemimpin munafik, Abdullah bin Ubay. Rasulullah bersabda: “Jangan, agar orang-orang tidak mengatakan bahwa Muhammad membunuh sahabatnya.”⁸ Keputusan ini mencerminkan hikmah Rasulullah dalam menghindari dampak negatif yang lebih luas.

4.5.       Hikmah dan Kesantunan

Prinsip hikmah dan kesantunan ditekankan dalam QS An-Nahl [16] ayat 125:

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”⁹ Ayat ini menunjukkan bahwa pelaksanaan hisbah harus dilakukan dengan bijaksana, tanpa kekerasan atau tindakan kasar. Dalam konteks sosial, hikmah dapat mencakup pendekatan persuasif yang memperhatikan psikologi individu atau kelompok.


Kesimpulan

Prinsip-prinsip hisbah yang meliputi keadilan, ilmu, prioritas, hikmah, dan kehati-hatian dalam menghindari kerusakan, menjadi landasan penting bagi pelaksanaan Amar ma’ruf nahi mungkar yang efektif dan sesuai syariat. Dengan memahami dan menerapkan prinsip-prinsip ini, umat Islam dapat menjalankan hisbah dengan cara yang mencerminkan nilai-nilai Islam sekaligus menjaga stabilitas masyarakat.


Catatan Kaki

[1]                Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Text, Translation and Commentary (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 178.

[2]                Ibn Taymiyyah, Al-Hisbah fi al-Islam, ed. Muhammad Badr (Cairo: Dar al-Salam, 2006), 45.

[3]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, ed. Abdul Qadir al-Arna’ut (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), Juz 2, 249.

[4]                Muhammad Asad, The Message of the Qur'an (Gibraltar: Dar Al-Andalus, 1980), 382.

[5]                Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah wa Al-Wilayat Ad-Diniyyah, ed. Fadhlullah Harun (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1989), 268.

[6]                Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Hajj, Bab 42, Hadis No. 1586.

[7]                Yahya ibn Sharaf al-Nawawi, Al-Majmu' Sharh al-Muhadhdhab, ed. Muhammad Najib al-Muti’i (Cairo: Dar al-Fikr, 1994), Juz 5, 250.

[8]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Iman, Bab 34, Hadis No. 279.

[9]                Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Text, Translation and Commentary, 528.


5.           Metodologi dalam Mencegah Kemungkaran

Pelaksanaan hisbah atau mencegah kemungkaran membutuhkan metodologi yang tepat agar efektif, tidak menimbulkan kerusakan, dan sesuai dengan syariat Islam. Metodologi ini mencakup tahapan, etika, dan kriteria tertentu yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan Amar ma’ruf nahi mungkar.

5.1.       Tahapan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Pelaksanaan hisbah memiliki hierarki tindakan yang didasarkan pada hadis Rasulullah Saw:

"Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.”¹ Dari hadis ini, para ulama menyusun tiga tahapan utama dalam pelaksanaan hisbah:

1)                  Mengubah dengan Tangan (Kekuasaan):

Tindakan ini dilakukan oleh pihak yang memiliki otoritas atau kekuasaan, seperti pemerintah, untuk mencegah kemungkaran secara langsung. Ibn Khaldun menyatakan bahwa salah satu fungsi pemerintah dalam Islam adalah menjalankan hisbah melalui lembaga formal seperti muhtasib.² Namun, bagi individu yang tidak memiliki otoritas, tindakan ini tidak dianjurkan karena dapat memicu kerusakan yang lebih besar.

2)                  Mengubah dengan Lisan (Nasihat):

Tahapan ini menjadi kewajiban bagi individu yang mampu memberikan nasihat atau peringatan kepada pelaku kemungkaran dengan cara yang bijaksana. QS An-Nahl [16] ayat 125 menegaskan: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”³ Nasihat yang diberikan harus disampaikan secara santun dan penuh kasih sayang agar pesan dapat diterima dengan baik.

3)                  Mengingkari dengan Hati:

Ini adalah tingkat paling minimal dari hisbah, di mana seseorang tidak memiliki kapasitas untuk bertindak secara langsung, tetapi ia tetap membenci kemungkaran di dalam hatinya. Imam Al-Nawawi menjelaskan bahwa tahap ini menunjukkan seseorang masih memiliki keimanan meskipun tidak mampu bertindak lebih jauh.⁴

5.2.       Etika dalam Melaksanakan Hisbah

Dalam pelaksanaan hisbah, Islam menetapkan beberapa etika yang harus diperhatikan oleh seorang pelaksana:

1)                  Hikmah dan Kesabaran:

Pelaksana hisbah harus bersikap bijaksana dalam memilih waktu, tempat, dan cara untuk mencegah kemungkaran. Ibn Qayyim Al-Jawziyyah menekankan pentingnya kesabaran dalam menghadapi pelaku kemungkaran, karena perubahan sosial membutuhkan waktu.⁵

2)                  Menghindari Kekerasan:

Sebagaimana ditekankan dalam QS Ali Imran [3] ayat 159, Rasulullah Saw diperintahkan untuk bersikap lemah lembut kepada umatnya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.”⁶

3)                  Menjaga Privasi dan Kehormatan:

Kemungkaran yang tidak dilakukan secara terang-terangan tidak boleh diungkapkan kepada publik. Ibn Hajar Al-Asqalani dalam Fath al-Bari menegaskan bahwa seorang Muslim dilarang memata-matai kesalahan saudaranya, karena hal ini bertentangan dengan prinsip menjaga kehormatan individu.⁷

5.3.       Kriteria Kemungkaran yang Harus Dicegah

Tidak semua kemungkaran dapat dicegah tanpa mempertimbangkan dampak dan syarat tertentu. Menurut para ulama, kemungkaran yang harus dicegah memenuhi kriteria berikut:

1)                  Kemungkaran yang Jelas dan Nyata:

Pelaksana hisbah harus memastikan bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan syariat Islam berdasarkan dalil yang jelas. Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah menegaskan bahwa tindakan pencegahan hanya sah jika kemungkaran tersebut sudah diketahui dengan pasti, bukan berdasarkan dugaan.⁸

2)                  Kemungkaran yang Sedang Terjadi:

Hisbah dilakukan terhadap kemungkaran yang sedang berlangsung, bukan yang sudah berlalu atau kemungkinan akan terjadi.⁹

3)                  Tidak Menimbulkan Kerusakan yang Lebih Besar:

Jika pencegahan kemungkaran berpotensi menyebabkan bahaya yang lebih besar, seperti konflik sosial atau fitnah, maka tindakan tersebut harus dihindari. Prinsip ini sejalan dengan kaidah fikih: “Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mendatangkan kebaikan.”¹⁰


Kesimpulan

Metodologi hisbah yang mencakup tahapan tindakan, etika pelaksanaan, dan kriteria kemungkaran memberikan panduan praktis dalam menjalankan Amar ma’ruf nahi mungkar. Dengan memahami metode ini, pelaksanaan hisbah dapat dilakukan secara efektif, penuh hikmah, dan tanpa menimbulkan kerusakan yang lebih besar.


Catatan Kaki

[1]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Iman, Bab 20, Hadis No. 49.

[2]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, terj. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 2005), 334.

[3]                Muhammad Asad, The Message of the Qur'an (Gibraltar: Dar Al-Andalus, 1980), 385.

[4]                Yahya ibn Sharaf al-Nawawi, Riyadh as-Salihin, ed. Muhammad Nasiruddin al-Albani (Riyadh: Darussalam, 2002), 112.

[5]                Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, Madarij as-Salikin (Cairo: Dar al-Hadith, 2002), Juz 2, 72.

[6]                Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Text, Translation and Commentary (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 142.

[7]                Ibn Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari, ed. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1989), Juz 10, 441.

[8]                Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah wa Al-Wilayat Ad-Diniyyah, ed. Fadhlullah Harun (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1989), 285.

[9]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, ed. Abdul Qadir al-Arna’ut (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), Juz 2, 245.

[10]             Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damascus: Dar al-Fikr, 2008), Juz 1, 517.


6.           Implementasi Hisbah dalam Kehidupan Modern

Dalam konteks modern, implementasi hisbah menghadapi tantangan yang lebih kompleks karena perubahan sosial, budaya, dan teknologi. Namun, prinsip hisbah tetap relevan sebagai mekanisme untuk menjaga nilai-nilai moral, memperkuat harmoni sosial, dan mencegah penyimpangan. Implementasi ini mencakup peran individu, keluarga, masyarakat, institusi pemerintah, hingga penggunaan media digital sebagai sarana hisbah.

6.1.       Peran Individu, Keluarga, dan Masyarakat

6.1.1.    Individu:

Setiap Muslim memiliki tanggung jawab personal untuk melaksanakan hisbah sesuai kemampuannya. Rasulullah Saw bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.”¹ Individu dapat menjalankan hisbah dengan memberikan nasihat kepada orang-orang di sekitarnya, menyampaikan kebaikan melalui media sosial, atau menghindari kemungkaran dalam kehidupan sehari-hari.

6.1.2.    Keluarga:

Keluarga adalah tempat pertama pelaksanaan hisbah. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik anak-anak mereka sesuai nilai-nilai Islam. QS At-Tahrim [66] ayat 6 memerintahkan: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”² Ayat ini menjadi landasan bahwa pencegahan kemungkaran dimulai dari lingkup keluarga.

6.1.3.    Masyarakat:

Di tingkat masyarakat, hisbah dilakukan secara kolektif melalui pengawasan sosial. Masyarakat yang peduli terhadap lingkungan sosialnya dapat menciptakan budaya Amar ma’ruf nahi mungkar. Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah menyebutkan bahwa hisbah harus mencakup pengawasan terhadap kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat.³

6.2.       Hisbah dalam Institusi Pemerintahan

Pemerintah memiliki peran strategis dalam pelaksanaan hisbah melalui pembentukan kebijakan yang mendukung Amar ma’ruf nahi mungkar. Ibn Khaldun menyatakan bahwa salah satu tugas utama pemerintahan Islam adalah memastikan syariat ditegakkan, termasuk melalui lembaga hisbah.⁴

Contoh implementasi hisbah oleh pemerintah adalah pengawasan terhadap pasar, perlindungan hak konsumen, dan penegakan hukum moral. Lembaga hisbah di masa kekhalifahan, seperti institusi muhtasib, berfungsi untuk mengawasi perdagangan, mencegah penipuan, dan melindungi kesejahteraan masyarakat.⁵

Dalam konteks modern, beberapa negara Islam, seperti Arab Saudi dan Malaysia, memiliki lembaga khusus untuk menjalankan fungsi hisbah, meskipun bentuk dan fungsinya telah disesuaikan dengan kebutuhan zaman.⁶

6.3.       Media dan Teknologi sebagai Sarana Hisbah

Kemajuan teknologi dan media digital memberikan peluang baru untuk melaksanakan hisbah, tetapi juga menghadirkan tantangan unik.

6.3.1.    Media Sosial:

Media sosial dapat digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Kampanye kesadaran sosial, konten dakwah, dan diskusi daring dapat menjadi bentuk implementasi hisbah di era digital.⁷ Namun, penggunaan media sosial juga memerlukan kehati-hatian agar tidak menjadi sarana untuk menyebarkan fitnah atau kebencian.

6.3.2.    Platform Digital:

Berbagai platform digital, seperti aplikasi Islami, dapat membantu umat Islam melaksanakan hisbah, misalnya dengan menyediakan pengingat salat, konten edukasi, atau forum diskusi untuk mendukung Amar ma’ruf nahi mungkar.⁸

6.3.3.    Tantangan Era Digital:

Di sisi lain, era digital juga memperbesar risiko penyebaran kemungkaran, seperti pornografi, hoaks, dan ujaran kebencian. Oleh karena itu, diperlukan regulasi dan pengawasan yang bijaksana untuk menjaga agar teknologi digunakan untuk kebaikan.⁹

6.4.       Tantangan dalam Implementasi Hisbah Modern

Implementasi hisbah di era modern menghadapi berbagai tantangan, antara lain:

·                     Konflik Nilai Modernitas dan Tradisi:

Prinsip hisbah sering kali berbenturan dengan nilai-nilai modern yang mendukung liberalisme dan individualisme. Hal ini memerlukan pendekatan yang bijaksana agar hisbah tidak dipandang sebagai tindakan represif.¹⁰

·                     Kurangnya Pemahaman Syariat:

Banyak individu yang kurang memahami prinsip dan metode hisbah, sehingga pelaksanaannya tidak efektif atau bahkan kontraproduktif.

·                     Globalisasi dan Media Sosial:

Kemudahan akses informasi global dapat memperbesar eksposur masyarakat terhadap nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam. Hisbah harus beradaptasi dengan fenomena ini untuk tetap relevan.


Kesimpulan

Implementasi hisbah dalam kehidupan modern harus disesuaikan dengan dinamika sosial dan teknologi. Peran individu, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan media digital sangat penting dalam menjaga nilai-nilai Islam dan mencegah kemungkaran. Dengan pendekatan yang bijaksana dan berbasis ilmu, hisbah dapat menjadi solusi yang efektif untuk menghadapi tantangan moral di era globalisasi.


Catatan Kaki

[1]                Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Ahkam, Bab 2, Hadis No. 893.

[2]                Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Text, Translation and Commentary (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 142.

[3]                Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah wa Al-Wilayat Ad-Diniyyah, ed. Fadhlullah Harun (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1989), 285.

[4]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, terj. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 2005), 332.

[5]                Ibn Taymiyyah, Al-Hisbah fi al-Islam, ed. Muhammad Badr (Cairo: Dar al-Salam, 2006), 45.

[6]                Khalid Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (New York: HarperSanFrancisco, 2005), 121.

[7]                Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damascus: Dar al-Fikr, 2008), Juz 1, 532.

[8]                Asma Afsaruddin, Contemporary Issues in Islam (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2015), 98.

[9]                Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Da’wah, ed. Abdul Rahman Khalifa (Cairo: Maktabah Wahbah, 1996), 89.

[10]             Sherman A. Jackson, Islam and the Problem of Black Suffering (New York: Oxford University Press, 2009), 64.


7.           Kendala dan Tantangan dalam Pelaksanaan Hisbah

Pelaksanaan hisbah dalam konteks modern menghadapi berbagai kendala dan tantangan yang berasal dari dinamika sosial, politik, budaya, dan teknologi. Tantangan-tantangan ini memengaruhi efektivitas Amar ma’ruf nahi mungkar dalam menjaga nilai-nilai moral masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk memahami kendala yang dihadapi agar dapat diatasi secara strategis dan bijaksana.

7.1.       Minimnya Pemahaman tentang Syariat

Salah satu kendala utama dalam pelaksanaan hisbah adalah kurangnya pemahaman tentang syariat Islam di kalangan umat. Pelaksanaan hisbah memerlukan ilmu yang mendalam, baik tentang hukum syariat maupun metodologi yang sesuai. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menekankan bahwa hisbah harus dilakukan dengan dasar ilmu dan kebijaksanaan, karena tanpa keduanya, tindakan Amar ma’ruf nahi mungkar dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar.¹

Banyak individu yang tidak memahami konsep hisbah dengan baik sering kali melaksanakan nahi mungkar secara emosional, tanpa memperhatikan etika atau dampak yang dihasilkan. Hal ini berpotensi menciptakan konflik sosial atau ketegangan dalam masyarakat.

7.2.       Kehilangan Keberanian Moral

Kehilangan keberanian moral juga menjadi tantangan signifikan dalam pelaksanaan hisbah. Dalam masyarakat modern yang cenderung menonjolkan kebebasan individu, pelaksanaan hisbah sering kali dianggap sebagai bentuk intervensi atau intoleransi. Rasulullah Saw bersabda:

"Akan datang suatu masa di mana orang-orang tidak berani mengatakan kepada pelaku kemungkaran, 'Bertakwalah kepada Allah.'”²

Budaya takut terhadap kritik, tekanan sosial, atau bahkan ancaman hukum membuat banyak individu enggan untuk menjalankan hisbah, meskipun mereka menyaksikan kemungkaran secara langsung.

7.3.       Konflik dengan Nilai Modernisme dan Liberalisme

Globalisasi dan modernisme telah membawa nilai-nilai baru, seperti liberalisme, yang sering kali bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Dalam pandangan liberalisme, kebebasan individu dianggap sebagai hak utama yang tidak boleh diganggu, termasuk dalam aspek moralitas. Hal ini menciptakan tantangan bagi pelaksanaan hisbah, karena nahi mungkar sering kali dipersepsikan sebagai pelanggaran terhadap kebebasan individu.³

Sherman A. Jackson menjelaskan bahwa masyarakat modern sering kali memandang tindakan hisbah sebagai bentuk represif yang bertentangan dengan prinsip kebebasan individu. Oleh karena itu, pelaksanaan hisbah harus disesuaikan dengan cara yang lebih persuasif dan edukatif.⁴

7.4.       Tantangan Era Digital

Kemajuan teknologi dan era digital menghadirkan tantangan baru dalam pelaksanaan hisbah. Media sosial, misalnya, telah menjadi sarana untuk menyebarkan kemungkaran, seperti ujaran kebencian, pornografi, dan hoaks. Penyebaran informasi yang begitu cepat membuat upaya nahi mungkar menjadi lebih kompleks.⁵

Di sisi lain, media sosial juga memberikan tantangan dalam bentuk penyalahgunaan hisbah. Beberapa individu atau kelompok menggunakan platform ini untuk menyebarkan kritik yang tidak konstruktif atau bahkan melakukan shaming publik, yang bertentangan dengan prinsip Islam dalam menjaga privasi dan kehormatan individu.⁶

7.5.       Kurangnya Dukungan Institusional

Hisbah memerlukan dukungan institusional agar dapat dilaksanakan secara efektif di tingkat masyarakat. Namun, di banyak negara, lembaga hisbah tidak lagi menjadi bagian dari sistem pemerintahan. Ibn Taymiyyah dalam Al-Hisbah fi al-Islam menekankan bahwa pemerintah memiliki peran penting dalam menjalankan fungsi hisbah untuk menjaga tatanan sosial.⁷

Ketidakhadiran lembaga formal membuat pelaksanaan hisbah bergantung pada individu atau komunitas yang sering kali memiliki keterbatasan dalam hal otoritas dan sumber daya. Hal ini menyebabkan hisbah kehilangan daya efektivitasnya dalam mencegah kemungkaran di masyarakat.

7.6.       Tantangan Multikulturalisme

Dalam masyarakat multikultural, pelaksanaan hisbah menghadapi tantangan berupa perbedaan nilai-nilai dan norma antara berbagai kelompok. Apa yang dianggap kemungkaran dalam Islam mungkin tidak dipahami dengan cara yang sama oleh komunitas lain. Hal ini memerlukan pendekatan yang lebih dialogis dan toleran untuk menghindari konflik antarbudaya.⁸


Kesimpulan

Kendala dan tantangan dalam pelaksanaan hisbah di era modern tidak dapat diabaikan, mengingat kompleksitas masyarakat yang terus berkembang. Untuk mengatasi kendala ini, diperlukan pendekatan berbasis ilmu, kebijaksanaan, dan strategi yang sesuai dengan konteks sosial. Dengan demikian, Amar ma’ruf nahi mungkar dapat tetap relevan dan efektif dalam menjaga nilai-nilai Islam di tengah perubahan zaman.


Catatan Kaki

[1]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, ed. Abdul Qadir al-Arna’ut (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), Juz 2, 248.

[2]                Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Fitan, Bab 19, Hadis No. 709.

[3]                Khalid Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (New York: HarperSanFrancisco, 2005), 95.

[4]                Sherman A. Jackson, Islam and the Problem of Black Suffering (New York: Oxford University Press, 2009), 72.

[5]                Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Da’wah, ed. Abdul Rahman Khalifa (Cairo: Maktabah Wahbah, 1996), 92.

[6]                Asma Afsaruddin, Contemporary Issues in Islam (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2015), 101.

[7]                Ibn Taymiyyah, Al-Hisbah fi al-Islam, ed. Muhammad Badr (Cairo: Dar al-Salam, 2006), 15.

[8]                Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damascus: Dar al-Fikr, 2008), Juz 1, 537.


8.           Studi Kasus: Praktik Hisbah dalam Sejarah Islam

Hisbah telah menjadi bagian integral dari sejarah peradaban Islam. Praktiknya tidak hanya terbatas pada individu tetapi juga dijalankan oleh lembaga resmi dalam pemerintahan Islam. Studi kasus berikut memberikan gambaran tentang implementasi hisbah di berbagai periode sejarah Islam, khususnya pada masa Nabi Muhammad Saw, Khulafaurasyidin, dan era kekhalifahan.

8.1.       Hisbah pada Masa Nabi Muhammad Saw

Pada masa Nabi Muhammad Saw, hisbah dilakukan dengan penuh hikmah dan langsung di bawah pengawasan beliau sebagai pemimpin umat. Nabi sering memberikan teguran atau arahan kepada individu atau kelompok yang melakukan kemungkaran. Salah satu contoh yang terkenal adalah ketika Nabi melihat seseorang memakan bawang mentah sebelum masuk masjid, beliau bersabda:

"Barang siapa memakan tanaman ini (bawang putih atau bawang merah), hendaklah ia menjauhi masjid kami, karena malaikat terganggu dengan apa yang mengganggu manusia."¹

Tindakan ini menunjukkan bahwa Nabi mencegah kemungkaran secara langsung dengan pendekatan yang bersifat edukatif.

Nabi juga menunjuk individu tertentu untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap praktik ekonomi dan perdagangan. Misalnya, Said bin Sa’id diangkat sebagai pengawas pasar di Madinah.² Peran ini mirip dengan fungsi muhtasib pada masa berikutnya.

8.2.       Hisbah pada Masa Khulafaurasyidin

Pada era Khulafaurasyidin, praktik hisbah berkembang lebih sistematis. Para khalifah mempraktikkan hisbah dengan mengawasi langsung pelaksanaan Amar ma’ruf nahi mungkar di masyarakat.

·                     Abu Bakar Ash-Shiddiq (R.A.):

Abu Bakar secara tegas melaksanakan hisbah, terutama dalam memerangi kelompok yang menolak membayar zakat setelah wafatnya Nabi. Beliau berkata: “Demi Allah, aku akan memerangi orang yang membedakan antara salat dan zakat.”³ Langkah ini menunjukkan pentingnya hisbah untuk menjaga kepatuhan umat terhadap syariat Islam.

·                     Umar bin Khattab (R.A.):

Umar dikenal sebagai sosok pemimpin yang sangat peduli terhadap keadilan sosial. Beliau sering melakukan inspeksi langsung di pasar untuk memastikan tidak ada praktik penipuan. Dalam salah satu peristiwa, Umar menegur seorang pedagang yang menjual susu yang telah dicampur dengan air.⁴ Umar juga memperkenalkan sistem regulasi pasar dengan menunjuk muhtasib yang bertugas memastikan keadilan dalam transaksi ekonomi.⁵

8.3.       Hisbah pada Era Kekhalifahan Abbasiyah

Pada masa kekhalifahan Abbasiyah, hisbah berkembang menjadi lembaga formal. Khalifah Harun al-Rasyid (786–809 M) mendirikan sistem muhtasib sebagai pengawas resmi yang bertugas memastikan masyarakat menjalankan Amar ma’ruf nahi mungkar. Tugas mereka mencakup pengawasan pasar, kebersihan kota, hingga moralitas masyarakat.⁶

Ibn Khaldun menjelaskan bahwa muhtasib memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi kepada individu atau kelompok yang melanggar syariat.⁷ Namun, pelaksanaan hisbah selalu dilakukan dengan prinsip keadilan dan tanpa penyalahgunaan kekuasaan.

8.4.       Hisbah pada Era Andalusia

Di Andalusia, praktik hisbah mencapai puncaknya dengan pembentukan lembaga khusus yang mengawasi berbagai aspek kehidupan masyarakat. Institusi hisbah di Andalusia memiliki peran yang luas, mencakup pengawasan perdagangan, arsitektur, dan kebersihan kota. Para muhtasib di Andalusia juga bertanggung jawab dalam memastikan masjid-masjid tetap menjadi tempat ibadah yang suci dan bebas dari aktivitas non-ibadah.⁸

8.5.       Analisis Kesuksesan dan Tantangan Hisbah dalam Sejarah

Keberhasilan hisbah dalam sejarah Islam terletak pada beberapa faktor:

·                     Dukungan penuh dari pemimpin yang memahami pentingnya Amar ma’ruf nahi mungkar.

·                     Pembentukan lembaga formal seperti muhtasib yang menjalankan hisbah secara sistematis.

·                     Pengawasan yang berbasis ilmu dan hikmah, sehingga pelaksanaan hisbah tidak menimbulkan kerusakan.

Namun, ada juga tantangan yang dihadapi, seperti:

·                     Resistensi dari individu atau kelompok yang merasa dirugikan oleh pelaksanaan hisbah.

·                     Penyalahgunaan kekuasaan oleh muhtasib dalam beberapa kasus, yang menodai nilai-nilai keadilan hisbah.


Kesimpulan

Studi kasus pelaksanaan hisbah dalam sejarah Islam menunjukkan bagaimana Amar ma’ruf nahi mungkar menjadi pilar utama dalam menjaga nilai-nilai moral dan sosial. Dari masa Nabi Muhammad Saw hingga era kekhalifahan, hisbah berkembang menjadi praktik yang terorganisasi dan memberikan dampak besar terhadap kesejahteraan masyarakat. Pengalaman sejarah ini menjadi pelajaran penting dalam mengadaptasi hisbah untuk konteks modern.


Catatan Kaki

[1]                Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Ath'imah, Bab 51, Hadis No. 854.

[2]                Ibn Sa'd, Kitab al-Tabaqat al-Kubra, ed. Muhammad Abdul Qadir (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), Juz 2, 142.

[3]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Iman, Bab 29, Hadis No. 42.

[4]                Ibn Kathir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, ed. Abdullah al-Turki (Cairo: Dar Hajar, 1998), Juz 7, 109.

[5]                Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah wa Al-Wilayat Ad-Diniyyah, ed. Fadhlullah Harun (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1989), 276.

[6]                Ibn Taymiyyah, Al-Hisbah fi al-Islam, ed. Muhammad Badr (Cairo: Dar al-Salam, 2006), 54.

[7]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, terj. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 2005), 335.

[8]                Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Da’wah, ed. Abdul Rahman Khalifa (Cairo: Maktabah Wahbah, 1996), 91.


9.           Penutup

Hisbah, sebagai upaya untuk mencegah kemungkaran (nahi mungkar) dan menyeru kepada kebaikan (amar ma’ruf), adalah salah satu kewajiban penting dalam Islam. Konsep ini tidak hanya menjadi pilar ajaran agama, tetapi juga berfungsi sebagai mekanisme sosial untuk menjaga moralitas, keadilan, dan keseimbangan dalam masyarakat. Sebagaimana disebutkan dalam QS Ali Imran [3] ayat 110:

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah."¹ Ayat ini menegaskan bahwa pelaksanaan hisbah adalah salah satu karakteristik utama umat Islam.

Dalam sejarah Islam, hisbah telah memainkan peran yang sangat signifikan, baik pada masa Nabi Muhammad Saw maupun era kekhalifahan. Praktiknya melibatkan individu, keluarga, masyarakat, dan bahkan institusi formal seperti lembaga muhtasib. Ibn Taymiyyah menegaskan bahwa hisbah merupakan tanggung jawab kolektif umat untuk menjaga tatanan sosial sesuai dengan syariat Islam.²

Namun, pelaksanaan hisbah di era modern menghadapi berbagai tantangan, termasuk pengaruh globalisasi, konflik nilai antara Islam dan modernitas, serta penyalahgunaan teknologi.³ Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pendekatan yang lebih fleksibel dan adaptif. Penggunaan media digital, misalnya, dapat menjadi sarana yang efektif untuk menyebarkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, asalkan dilakukan dengan prinsip-prinsip hikmah dan kesantunan.

Di sisi lain, pelaksanaan hisbah juga harus tetap berpijak pada prinsip keadilan dan ilmu. Kemungkaran yang dicegah harus jelas dan nyata, serta tindakan yang dilakukan tidak boleh menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengingatkan bahwa hisbah harus dilandasi oleh ilmu dan kebijaksanaan agar dapat menciptakan kemaslahatan, bukan konflik.⁴

Sebagai bagian dari komitmen terhadap ajaran Islam, umat Muslim harus terus menghidupkan semangat hisbah dalam kehidupan sehari-hari, baik melalui tindakan personal, peran keluarga, maupun kerja sama sosial. Dengan demikian, hisbah tidak hanya menjadi kewajiban agama, tetapi juga jalan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, harmonis, dan bermartabat.

Melalui artikel ini, diharapkan pemahaman yang lebih mendalam tentang konsep, metodologi, dan implementasi hisbah dapat mendorong umat Islam untuk berperan aktif dalam menjaga nilai-nilai moral di tengah tantangan zaman. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

"Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman."⁵ Hadis ini mengingatkan kita bahwa pelaksanaan hisbah adalah bagian integral dari iman yang tidak boleh diabaikan.


Catatan Kaki

[1]                Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Text, Translation and Commentary (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 142.

[2]                Ibn Taymiyyah, Al-Hisbah fi al-Islam, ed. Muhammad Badr (Cairo: Dar al-Salam, 2006), 15.

[3]                Asma Afsaruddin, Contemporary Issues in Islam (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2015), 97.

[4]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, ed. Abdul Qadir al-Arna’ut (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), Juz 2, 248.

[5]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Iman, Bab 20, Hadis No. 49.


Daftar Pustaka

Abou El Fadl, K. (2005). The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists. New York, NY: HarperSanFrancisco.

Al-Bukhari, M. I. (1997). Sahih al-Bukhari. Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Ghazali, A. H. (2005). Ihya Ulumuddin (A. Q. al-Arna’ut, Ed.). Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Mawardi, A. H. (1989). Al-Ahkam As-Sulthaniyyah wa Al-Wilayat Ad-Diniyyah (F. Harun, Ed.). Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Qaradawi, Y. (1996). Fiqh al-Da’wah (A. R. Khalifa, Ed.). Cairo, Egypt: Maktabah Wahbah.

Asad, M. (1980). The Message of the Qur’an. Gibraltar: Dar Al-Andalus.

Afsaruddin, A. (2015). Contemporary Issues in Islam. Edinburgh, Scotland: Edinburgh University Press.

Ibn Hajar al-Asqalani, A. A. (1989). Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari (M. F. Abdul Baqi, Ed.). Beirut, Lebanon: Dar al-Ma’rifah.

Ibn Khaldun, A. R. (2005). The Muqaddimah: An Introduction to History (F. Rosenthal, Trans.). Princeton, NJ: Princeton University Press.

Ibn Kathir, I. U. (1998). Al-Bidayah wa An-Nihayah (A. al-Turki, Ed.). Cairo, Egypt: Dar Hajar.

Ibn Sa’d, M. (2001). Kitab al-Tabaqat al-Kubra (M. Abdul Qadir, Ed.). Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Ibn Taymiyyah, A. (2006). Al-Hisbah fi al-Islam (M. Badr, Ed.). Cairo, Egypt: Dar al-Salam.

Jackson, S. A. (2009). Islam and the Problem of Black Suffering. New York, NY: Oxford University Press.

Lane, E. W. (1968). An Arabic-English Lexicon. Beirut, Lebanon: Librairie du Liban.

Muslim ibn al-Hajjaj. (2002). Sahih Muslim. Riyadh, Saudi Arabia: Darussalam.

Yusuf Ali, A. (2007). The Holy Quran: Text, Translation and Commentary. Kuala Lumpur, Malaysia: Islamic Book Trust.

Wahbah al-Zuhayli, W. (2008). Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Damascus, Syria: Dar al-Fikr.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar