Metode-Metode dalam Filsafat
Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel
Abstrak
Metode dalam filsafat merupakan alat fundamental
yang digunakan untuk menganalisis, mengkritisi, dan membangun sistem pemikiran
yang sistematis. Artikel ini mengkaji berbagai metode filsafat yang telah
berkembang dalam sejarah pemikiran manusia, termasuk rasionalisme, empirisme,
fenomenologi, hermeneutika, dialektika, analisis logis, dan skeptisisme. Setiap
metode memiliki keunggulan dan keterbatasannya masing-masing dalam memahami
realitas, kebenaran, dan nilai-nilai kehidupan. Perbandingan antara metode-metode
ini menunjukkan bagaimana pendekatan yang berbeda dapat melengkapi satu sama
lain dalam berbagai kajian ilmiah dan filosofis. Selain itu, artikel ini juga
membahas bagaimana metode filsafat diterapkan dalam ilmu pengetahuan, etika,
kajian agama, dan kehidupan sehari-hari. Dengan memahami dan mengintegrasikan
berbagai metode filsafat, individu dapat mengembangkan pola pikir yang lebih
kritis, rasional, dan reflektif dalam menghadapi tantangan intelektual serta
sosial.
Kata Kunci: Metode filsafat, rasionalisme, empirisme,
fenomenologi, hermeneutika, dialektika, analisis logis, skeptisisme, ilmu pengetahuan, etika, kajian agama.
PEMBAHASAN
Metode-Metode dalam Filsafat
1.
Pendahuluan
Filsafat sebagai suatu
disiplin ilmu memiliki metode khas dalam menjelajahi dan memahami realitas,
kebenaran, serta hakikat keberadaan. Metode dalam filsafat bukan sekadar
prosedur teknis, tetapi lebih dari itu, ia mencerminkan cara berpikir yang
sistematis, reflektif, dan kritis terhadap berbagai persoalan fundamental
kehidupan manusia. Setiap cabang filsafat, baik itu metafisika, epistemologi,
etika, maupun estetika, mengandalkan metode tertentu untuk membangun dan
menguji konsep-konsepnya. Oleh karena itu, pemahaman tentang metode-metode
dalam filsafat menjadi sangat penting untuk mengakses dan menginterpretasi berbagai
aliran pemikiran filosofis yang berkembang sepanjang sejarah.
1.1.
Pengertian Metode
dalam Filsafat
Metode dalam filsafat dapat
didefinisikan sebagai cara atau prosedur yang digunakan untuk memperoleh,
menganalisis, dan mengevaluasi pengetahuan serta argumen filosofis. Metode ini
memiliki tujuan utama untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar yang tidak
hanya berkaitan dengan dunia fisik tetapi juga dengan hakikat realitas,
eksistensi, dan nilai-nilai yang mendasari kehidupan manusia. Menurut Robert Audi
dalam The Cambridge Dictionary of Philosophy, metode filsafat
merupakan seperangkat teknik sistematis yang digunakan dalam analisis
konseptual, pengujian proposisi, serta refleksi kritis terhadap fenomena
tertentu.1
Dalam sejarah pemikiran
manusia, metode filsafat telah berkembang dengan beragam pendekatan, mulai dari
metode rasionalisme yang menekankan peran akal dalam memahami realitas hingga
metode empirisme yang mengutamakan pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan.
Sementara itu, metode hermeneutika berfokus pada penafsiran makna, dan metode
fenomenologi berusaha memahami pengalaman manusia sebagaimana adanya. Perbedaan
metode ini mencerminkan keragaman perspektif dalam memahami dunia dan realitas
yang melingkupinya.
1.2.
Pentingnya Metode
dalam Kajian Filsafat
Penerapan metode dalam
filsafat memiliki signifikansi yang luas dalam kajian ilmiah dan pemikiran
kritis. Pertama, metode filsafat memungkinkan adanya sistematisasi dalam
penyelidikan filosofis, sehingga argumen dan kesimpulan yang dihasilkan dapat
dipertanggungjawabkan secara logis. Bertrand Russell menegaskan bahwa metode
filsafat tidak hanya penting dalam membangun sistem berpikir yang konsisten tetapi
juga berperan dalam membentuk dasar bagi ilmu pengetahuan.2
Kedua, metode filsafat
membantu dalam membangun landasan epistemologis yang kokoh. Misalnya, metode
skeptisisme yang dikembangkan oleh Pyrrho dan Descartes bertujuan untuk menguji
validitas suatu pengetahuan sebelum menerimanya sebagai kebenaran yang sah.3
Dengan demikian, metode ini menghindarkan seseorang dari kesalahan berpikir dan
bias kognitif dalam memahami dunia.
Ketiga, dalam ranah etika dan
filsafat moral, metode filsafat membantu dalam mengevaluasi prinsip-prinsip
normatif yang mendasari keputusan dan tindakan manusia. Misalnya, metode
dialektis Hegel memberikan pemahaman tentang dinamika perubahan sosial dan
perkembangan sejarah melalui proses tesis, antitesis, dan sintesis.4
Oleh karena itu, pemahaman terhadap metode filsafat tidak hanya relevan dalam
konteks akademik tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam
mengambil keputusan yang rasional dan bertanggung jawab.
1.3.
Tujuan dan Cakupan
Artikel
Artikel ini bertujuan untuk
memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai metode-metode yang digunakan
dalam filsafat. Pembahasan akan mencakup berbagai pendekatan metodologis yang
berkembang dalam sejarah filsafat, seperti metode rasional, empiris,
fenomenologis, hermeneutis, dialektis, analitis, dan skeptis. Dengan merujuk
pada sumber-sumber akademik yang kredibel, artikel ini akan menjelaskan
prinsip-prinsip dasar setiap metode, tokoh-tokoh utama yang mengembangkannya,
serta penerapannya dalam kajian filsafat dan ilmu pengetahuan.
Cakupan pembahasan dalam
artikel ini akan dimulai dengan pengenalan konsep metode dalam filsafat,
dilanjutkan dengan klasifikasi metode, perbandingan berbagai pendekatan
metodologis, serta penerapannya dalam berbagai disiplin ilmu dan kehidupan.
Dengan demikian, diharapkan pembaca dapat memahami bagaimana metode dalam
filsafat berkontribusi terhadap perkembangan ilmu dan pemikiran manusia.
Footnotes
[1]
Robert Audi, The Cambridge Dictionary of Philosophy, 3rd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 634.
[2]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (New York: Oxford
University Press, 1912), 45.
[3]
Richard H. Popkin, The History of Skepticism: From Savonarola to
Bayle, rev. ed. (Oxford: Oxford University Press, 2003), 23.
[4]
Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Phenomenology of Spirit, trans.
A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 81.
2.
Konsep Dasar Metode dalam Filsafat
Metode dalam filsafat
memiliki peran yang sangat fundamental dalam membangun dan mengembangkan sistem
berpikir yang logis dan sistematis. Tanpa metode yang jelas, filsafat hanya
akan menjadi sekumpulan spekulasi yang tidak dapat diuji atau dipertanggungjawabkan.
Oleh karena itu, pemahaman tentang konsep dasar metode filsafat menjadi kunci
dalam menelusuri berbagai pendekatan yang digunakan oleh para filsuf dalam
memahami realitas, kebenaran, dan eksistensi.
2.1.
Definisi Metode
Filsafat Menurut Para Ahli
Metode dalam filsafat dapat
diartikan sebagai prosedur sistematis yang digunakan untuk menganalisis,
mengkritisi, dan membangun pemikiran filosofis. Menurut Robert Audi, metode
filsafat merupakan cara berpikir yang bertujuan untuk mencapai pemahaman yang
lebih dalam tentang konsep-konsep fundamental seperti keberadaan, kebenaran,
dan moralitas melalui analisis rasional dan refleksi kritis.1
Sementara itu, Richard Creel
dalam karyanya Thinking Philosophically menjelaskan bahwa metode
filsafat tidak hanya berfokus pada pemecahan masalah secara logis, tetapi juga
mempertimbangkan aspek konseptual, historis, dan normatif dalam memahami suatu
fenomena.2 Pendekatan ini berbeda dengan metode ilmiah yang lebih
menekankan pada observasi empiris dan eksperimen sebagai sarana utama dalam
memperoleh pengetahuan.
2.2.
Perbedaan Metode
Filsafat dengan Metode Ilmu Lainnya
Dalam memahami hakikat metode
filsafat, penting untuk membedakannya dari metode yang digunakan dalam ilmu
lain, seperti metode ilmiah dalam sains atau metode historis dalam sejarah.
1)
Metode Filsafat vs. Metode
Ilmiah
Metode ilmiah dalam sains modern didasarkan pada
pengamatan, hipotesis, eksperimen, dan verifikasi empiris. Francis Bacon,
sebagai salah satu tokoh perintis metode ilmiah, menekankan pentingnya induksi
dalam memperoleh pengetahuan melalui pengalaman dan eksperimen.3
Sebaliknya, metode filsafat lebih menekankan pada refleksi rasional dan
argumentasi logis dalam memahami konsep-konsep abstrak seperti esensi, nilai,
dan moralitas.
2)
Metode Filsafat vs. Metode
Teologis
Dalam teologi, metode yang digunakan sering kali
mengandalkan wahyu dan otoritas kitab suci sebagai dasar utama kebenaran.
Metode filsafat, di sisi lain, berusaha mencari kebenaran melalui rasionalitas
dan analisis kritis tanpa bergantung pada dogma tertentu. Thomas Aquinas adalah
salah satu filsuf yang mengintegrasikan metode filsafat dengan teologi dalam
upayanya untuk membuktikan eksistensi Tuhan melalui argumen rasional seperti causality
dan contingency.4
3)
Metode Filsafat vs. Metode
Historis
Metode dalam sejarah berfokus pada pengumpulan
dan interpretasi fakta-fakta masa lalu berdasarkan bukti-bukti yang tersedia.
Sementara itu, metode filsafat tidak hanya terbatas pada fakta sejarah tetapi
juga mempertimbangkan makna, konsep, dan implikasi dari suatu peristiwa dalam
kerangka pemikiran yang lebih luas.5
2.3.
Peran Metode dalam
Pencarian Kebenaran Filsafat
Penerapan metode dalam
filsafat memiliki tujuan utama untuk mencapai kebenaran yang rasional dan dapat
dipertanggungjawabkan. Dalam konteks ini, metode filsafat memainkan beberapa
peran penting:
1)
Membantu dalam
Menganalisis Konsep-Konsep Abstrak
Filsafat sering kali berurusan dengan
konsep-konsep yang tidak dapat diukur secara empiris, seperti keadilan,
kebebasan, dan eksistensi. Metode filsafat, seperti analisis konseptual yang
diperkenalkan oleh Ludwig Wittgenstein, memungkinkan filsuf untuk membedah
makna suatu konsep secara lebih jelas dan sistematis.6
2)
Menjadi Alat untuk Menguji
Kebenaran Sebuah Pernyataan
Metode filsafat memungkinkan para pemikir untuk
menguji validitas suatu argumen melalui pendekatan rasional dan dialektis.
Plato, dalam dialog-dialognya, menggunakan metode dialektika sebagai cara untuk
menggali kebenaran melalui perdebatan dan penyelidikan logis.7
3)
Menyediakan Kerangka
Berpikir yang Konsisten dan Kritis
Filsafat tidak hanya berusaha menjawab
pertanyaan, tetapi juga mempertanyakan jawaban itu sendiri. Dengan adanya
metode yang jelas, filsuf dapat memastikan bahwa suatu pemikiran tidak hanya
bersifat spekulatif, tetapi memiliki dasar logis yang kuat. Sebagai contoh,
metode skeptis yang dikembangkan oleh Descartes bertujuan untuk meragukan
segala sesuatu hingga ditemukan dasar kebenaran yang tak terbantahkan.8
Kesimpulan
Konsep dasar metode dalam
filsafat mencakup definisi, perbedaannya dengan metode ilmu lain, serta
perannya dalam pencarian kebenaran. Berbeda dengan metode ilmiah yang berbasis
empirisme dan eksperimen, metode filsafat lebih berorientasi pada refleksi
rasional dan analisis kritis terhadap konsep-konsep abstrak. Pemahaman mengenai
metode dalam filsafat tidak hanya membantu dalam membangun sistem berpikir yang
logis, tetapi juga memungkinkan eksplorasi yang lebih dalam terhadap realitas,
eksistensi, dan nilai-nilai kehidupan manusia.
Footnotes
[1]
Robert Audi, The Cambridge Dictionary of Philosophy, 3rd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 634.
[2]
Richard E. Creel, Thinking Philosophically: An Introduction to
Critical Reflection and Rational Inquiry (Malden, MA: Blackwell
Publishing, 2001), 27.
[3]
Francis Bacon, Novum Organum, trans. James Spedding, Robert
Leslie Ellis, and Douglas Denon Heath (New York: Collier, 1902), 12.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros, 1947), I, q. 2, a. 3.
[5]
R. G. Collingwood, The Idea of History (Oxford: Oxford
University Press, 1946), 45.
[6]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.
E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 88.
[7]
Plato, The Republic, trans. Benjamin Jowett (New York: Oxford
University Press, 1941), 327a–328b.
[8]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 18.
3.
Klasifikasi Metode dalam Filsafat
Metode dalam filsafat
berkembang seiring dengan pertumbuhan pemikiran manusia dalam memahami
realitas, pengetahuan, dan nilai-nilai. Para filsuf telah mengembangkan
berbagai metode untuk mengeksplorasi dan menguji kebenaran berdasarkan
pendekatan yang berbeda-beda. Dalam filsafat, metode tidak hanya mencerminkan
cara berpikir tertentu tetapi juga menjadi instrumen utama dalam membangun
sistem pemikiran yang sistematis dan argumentatif. Berdasarkan sejarah dan
karakteristiknya, metode filsafat dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa
kategori utama, termasuk metode rasional, empiris, fenomenologis, hermeneutik,
dialektis, analitis, dan skeptis.
3.1.
Metode Rasional
(Rationalism Method)
Metode rasional berakar pada
keyakinan bahwa akal (reason) adalah sumber utama pengetahuan. Rasionalisme
berusaha memahami realitas melalui deduksi logis dan pemikiran yang bersifat
apriori, yaitu sebelum pengalaman. Filsuf seperti René Descartes dan Immanuel
Kant mengembangkan metode ini sebagai fondasi epistemologi mereka.
René Descartes dalam Meditations
on First Philosophy menyatakan bahwa dalam mencapai kepastian, seseorang
harus memulai dengan meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan dan hanya
menerima kebenaran yang dapat dipastikan oleh akal.1 Descartes
menggunakan metode ini untuk menemukan prinsip fundamental "Cogito,
ergo sum" (Aku berpikir, maka aku ada).
Immanuel Kant melengkapi
metode ini dengan mengajukan teori "apriori synthetic judgments"
dalam Critique of Pure Reason, yang menunjukkan bahwa akal memiliki
struktur bawaan yang memungkinkan kita memahami dunia tanpa bergantung
sepenuhnya pada pengalaman.2
3.2.
Metode Empiris
(Empirical Method)
Berlawanan dengan metode
rasional, metode empiris menekankan bahwa pengalaman inderawi adalah sumber
utama pengetahuan. Para filsuf empirisme seperti John Locke, George Berkeley,
dan David Hume menolak gagasan bahwa manusia memiliki ide bawaan dan
berpendapat bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman.
John Locke dalam An Essay
Concerning Human Understanding menggambarkan manusia sebagai tabula
rasa (lembaran kosong) yang memperoleh pengetahuan melalui pengalaman dan
persepsi.3 David Hume lebih lanjut mengembangkan pendekatan ini
dengan menekankan pentingnya hubungan kausal yang didasarkan pada kebiasaan dan
bukan pada kepastian logis.4
Metode empiris menjadi
landasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern, terutama dalam pendekatan
induktif yang diperkenalkan oleh Francis Bacon dalam Novum Organum.5
3.3.
Metode Fenomenologis
(Phenomenological Method)
Metode fenomenologi berusaha
memahami pengalaman manusia secara langsung, tanpa prasangka teoritis atau
interpretasi yang diajukan sebelumnya. Metode ini dikembangkan oleh Edmund
Husserl, yang memperkenalkan konsep "reduksi fenomenologis"
untuk mengisolasi esensi pengalaman.6
Husserl dalam Logical
Investigations berpendapat bahwa metode fenomenologi harus
"menghapus" asumsi tentang dunia luar dan hanya berfokus pada
bagaimana sesuatu tampak dalam kesadaran kita.7 Pendekatan ini
kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Martin Heidegger dalam Being and
Time, di mana ia menambahkan dimensi eksistensial dalam analisis fenomenologi.8
3.4.
Metode Hermeneutik
(Hermeneutic Method)
Hermeneutika adalah metode
filsafat yang berfokus pada interpretasi makna, terutama dalam teks dan bahasa.
Metode ini berasal dari tradisi penafsiran kitab suci tetapi berkembang menjadi
pendekatan umum dalam ilmu humaniora dan filsafat.
Friedrich Schleiermacher
dianggap sebagai salah satu pelopor hermeneutika modern dengan menekankan
pentingnya memahami konteks historis dan psikologis dari teks.9
Kemudian, Hans-Georg Gadamer dalam Truth and Method mengembangkan
konsep "lingkaran hermeneutik", yang menyatakan bahwa
pemahaman adalah proses dinamis yang melibatkan interaksi antara bagian dan
keseluruhan.10
Metode ini sering digunakan
dalam kajian filsafat bahasa, filsafat agama, dan kritik sastra untuk
menafsirkan makna dalam teks dan wacana.
3.5.
Metode Dialektis
(Dialectical Method)
Metode dialektika adalah
proses pemikiran yang berupaya mencapai kebenaran melalui perdebatan antara
tesis dan antitesis yang menghasilkan sintesis baru. Metode ini memiliki akar
dalam dialog Socrates tetapi dikembangkan lebih lanjut oleh G. W. F. Hegel.
Hegel dalam Phenomenology
of Spirit menjelaskan bahwa sejarah pemikiran manusia berkembang melalui
gerakan dialektis, di mana setiap ide (tesis) menimbulkan lawan (antitesis),
dan dari kontradiksi ini lahir pemahaman baru (sintesis).11
Karl Marx kemudian mengadopsi
metode ini dalam teori materialisme dialektisnya, di mana ia menerapkan
dialektika Hegel untuk menganalisis dinamika sosial dan ekonomi.12
3.6.
Metode Analitis
(Analytical Method)
Metode analitis adalah
pendekatan yang berfokus pada klarifikasi bahasa dan logika dalam filsafat.
Metode ini dikembangkan dalam tradisi filsafat analitik, yang dipelopori oleh
Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein, dan G. E. Moore.
Bertrand Russell dalam On
Denoting menekankan pentingnya analisis logis dalam mengklarifikasi makna
pernyataan filosofis.13 Ludwig Wittgenstein dalam Tractatus
Logico-Philosophicus berpendapat bahwa banyak masalah filsafat sebenarnya
adalah masalah bahasa dan dapat diselesaikan melalui analisis logis.14
Metode ini menjadi dominan
dalam filsafat analitik modern dan banyak digunakan dalam kajian logika,
filsafat bahasa, dan epistemologi.
3.7.
Metode Skeptis
(Skeptical Method)
Metode skeptis menekankan
pentingnya meragukan semua klaim kebenaran sebelum menerimanya sebagai sesuatu
yang valid. Skeptisisme telah ada sejak zaman Yunani kuno, dengan Pyrrho
sebagai salah satu tokoh utamanya.
David Hume dalam A
Treatise of Human Nature mengembangkan skeptisisme empiris dengan
menunjukkan bahwa hubungan kausalitas tidak pernah bisa dipastikan sepenuhnya,
melainkan hanya didasarkan pada kebiasaan.15
Skeptisisme modern masih digunakan
sebagai pendekatan kritis dalam epistemologi dan filsafat ilmu, terutama dalam
menguji batas-batas pengetahuan manusia.
Kesimpulan
Klasifikasi metode dalam
filsafat mencerminkan berbagai pendekatan dalam memahami realitas dan
pengetahuan. Setiap metode memiliki keunggulan dan batasannya sendiri, serta
diterapkan dalam berbagai bidang filsafat. Pemahaman terhadap metode-metode ini
sangat penting untuk menelusuri perkembangan pemikiran manusia dan membangun
argumen filosofis yang kuat.
Footnotes
[1]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 18.
[2]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 134.
[3]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London:
Thomas Basset, 1690), 33.
[4]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), 56.
[5]
Francis Bacon, Novum Organum, trans. James Spedding (New York:
Collier, 1902), 23.
[6]
Edmund Husserl, Logical Investigations, trans. J. N. Findlay
(London: Routledge, 1970), 32.
[8]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 103.
[9]
Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, trans.
Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 21.
[10]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
(New York: Continuum, 2004), 278.
[11]
G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller
(Oxford: Oxford University Press, 1977), 81.
[12]
Karl Marx, Das Kapital, trans. Ben Fowkes (London: Penguin,
1976), 87.
[13]
Bertrand Russell, On Denoting (Mind 14, no. 56, 1905), 479.
[14]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C.
K. Ogden (London: Routledge, 1922), 3.1.
[15]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1888), 89.
4.
Perbandingan Metode-Metode Filsafat
Dalam filsafat, berbagai
metode telah dikembangkan untuk memahami realitas, kebenaran, dan eksistensi
manusia. Meskipun setiap metode memiliki pendekatan dan prinsipnya sendiri,
perbandingan antar metode dapat membantu dalam memahami keunggulan,
keterbatasan, dan relevansi masing-masing dalam konteks pemikiran filosofis.
Bab ini akan membandingkan metode filsafat dari berbagai perspektif, termasuk
rasionalisme, empirisme, fenomenologi, hermeneutika, dialektika, analisis
logis, dan skeptisisme.
4.1.
Keunggulan dan
Keterbatasan Masing-Masing Metode
Setiap metode dalam filsafat
memiliki keunggulan dalam menjelaskan aspek tertentu dari pemikiran manusia,
tetapi juga memiliki keterbatasan yang perlu dipahami.
4.1.1.
Metode Rasional vs.
Metode Empiris
Metode rasional menekankan
bahwa akal adalah sumber utama pengetahuan. Tokoh seperti René Descartes
berpendapat bahwa kebenaran hanya dapat ditemukan melalui deduksi logis dan
pemikiran apriori.1 Sebaliknya, metode empiris yang dikembangkan
oleh John Locke dan David Hume menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari
pengalaman inderawi.2
Keunggulan rasionalisme
terletak pada kemampuannya dalam membangun sistem pemikiran yang konsisten dan
sistematis. Namun, kritik terhadap rasionalisme muncul karena kecenderungannya
untuk mengabaikan pengalaman empiris dalam memahami dunia nyata.3
Sebaliknya, empirisme menawarkan pendekatan berbasis bukti, tetapi sering
dikritik karena ketidakmampuannya dalam menjelaskan konsep-konsep abstrak
seperti moralitas dan metafisika.4
4.1.2.
Metode Fenomenologi
vs. Metode Hermeneutika
Fenomenologi yang
dikembangkan oleh Edmund Husserl berfokus pada bagaimana sesuatu tampak dalam
kesadaran kita, tanpa prasangka atau interpretasi yang dibebankan sebelumnya.5
Sementara itu, hermeneutika, yang dipelopori oleh Friedrich Schleiermacher dan
Hans-Georg Gadamer, lebih menekankan pada proses interpretasi, khususnya dalam
memahami teks dan makna.6
Keunggulan metode
fenomenologi terletak pada kemampuannya dalam menggali pengalaman manusia
secara langsung, tanpa intervensi teori eksternal. Namun, metode ini dikritik
karena kurangnya perhatian terhadap konteks historis dan sosial dalam memahami
pengalaman manusia.7 Sebaliknya, metode hermeneutika lebih unggul
dalam analisis makna dalam teks dan budaya, tetapi memiliki keterbatasan dalam
memberikan pemahaman objektif terhadap realitas yang diamati.8
4.1.3.
Metode Dialektis vs.
Metode Analitis
Metode dialektis, yang
dikembangkan oleh G. W. F. Hegel dan diterapkan dalam materialisme historis
Karl Marx, menekankan pada kontradiksi sebagai motor penggerak perkembangan
pemikiran dan masyarakat.9 Di sisi lain, metode analitis yang
digunakan oleh Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein berfokus pada analisis
logis dan bahasa dalam filsafat.10
Metode dialektis memiliki
keunggulan dalam memahami perubahan historis dan sosial secara dinamis. Namun,
kritik utama terhadap metode ini adalah kecenderungannya yang terlalu abstrak
dan sulit diterapkan secara konkret dalam analisis individual.11
Metode analitis, di sisi lain, unggul dalam membedah konsep secara jelas dan
menghindari ambiguitas bahasa, tetapi sering dianggap terlalu teknis dan
terbatas dalam membahas isu-isu metafisika dan nilai-nilai sosial.12
4.1.4.
Metode Skeptis:
Kritik terhadap Kepastian Pengetahuan
Metode skeptis, yang
dikembangkan oleh Pyrrho dan kemudian diperluas oleh David Hume, berusaha
menguji validitas klaim kebenaran sebelum menerimanya sebagai fakta.13
Skeptisisme memiliki keunggulan dalam mendorong pemikiran kritis dan
menghindari dogmatisme. Namun, jika diterapkan secara ekstrem, metode ini dapat
menyebabkan relativisme yang menghambat perkembangan ilmu pengetahuan dan
filsafat itu sendiri.14
4.2.
Integrasi Berbagai
Metode dalam Kajian Filsafat Kontemporer
Dalam filsafat kontemporer,
integrasi berbagai metode semakin diperlukan untuk menjawab tantangan pemikiran
yang kompleks. Misalnya, dalam filsafat sains, metode empiris dan analitis
sering digunakan bersama untuk menguji hipotesis dan menjelaskan konsep-konsep
ilmiah secara lebih jelas.15 Sementara itu, dalam studi budaya dan
humaniora, metode hermeneutika dan fenomenologi sering dikombinasikan untuk
memahami pengalaman manusia dalam konteks historis dan sosialnya.16
Pendekatan interdisipliner
ini menunjukkan bahwa tidak ada satu metode yang superior secara absolut,
melainkan setiap metode memiliki peran dan kegunaannya masing-masing sesuai
dengan konteks penggunaannya.
4.3.
Relevansi Metode
Filsafat dalam Kajian Ilmu Sosial dan Humaniora
Metode-metode filsafat tidak
hanya digunakan dalam diskursus akademik tetapi juga dalam analisis sosial,
etika, dan politik. Misalnya, metode dialektika sering digunakan dalam kajian
ekonomi politik untuk memahami dinamika kapitalisme dan perubahan sosial.17
Sementara itu, metode skeptis sering digunakan dalam analisis media dan wacana
kritis untuk menilai kebenaran informasi di era digital.18
Dengan demikian, pemahaman
tentang berbagai metode filsafat tidak hanya penting dalam kajian teoretis
tetapi juga memiliki implikasi luas dalam kehidupan praktis, terutama dalam
membentuk cara berpikir yang kritis dan sistematis.
Kesimpulan
Perbandingan metode-metode
dalam filsafat menunjukkan bahwa setiap pendekatan memiliki keunggulan dan
keterbatasannya masing-masing. Rasionalisme dan empirisme berdebat mengenai
sumber utama pengetahuan, sementara fenomenologi dan hermeneutika berusaha
memahami pengalaman manusia dari perspektif yang berbeda. Metode dialektis dan
analitis menawarkan cara berpikir yang kontras dalam memahami konsep dan
perubahan sosial, sementara skeptisisme berperan sebagai alat kritik terhadap
klaim kebenaran yang tidak berdasar.
Dalam filsafat kontemporer,
integrasi berbagai metode menjadi semakin penting untuk memahami realitas yang
kompleks. Dengan memahami dan mengombinasikan metode yang tepat, filsafat dapat
terus berkembang sebagai alat untuk menelaah realitas, kebenaran, dan
nilai-nilai dalam kehidupan manusia.
Footnotes
[1]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 18.
[2]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London:
Thomas Basset, 1690), 33.
[3]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 134.
[4]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), 56.
[5]
Edmund Husserl, Logical Investigations, trans. J. N. Findlay
(London: Routledge, 1970), 32.
[6]
Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, trans.
Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 21.
[7]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 103.
[8]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
(New York: Continuum, 2004), 278.
[9]
G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller
(Oxford: Oxford University Press, 1977), 81.
[10]
Bertrand Russell, On Denoting (Mind 14, no. 56, 1905), 479.
[11]
Karl Marx, Das Kapital, trans. Ben Fowkes (London: Penguin,
1976), 87.
[12]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.
E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 88.
[13]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1888), 89.
[14]
Richard Popkin, The History of Skepticism: From Savonarola to Bayle
(Oxford: Oxford University Press, 2003), 23.
[15]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. Julius
Freed and Lan Freed (New York: Routledge, 2002), 27.
[16]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of
Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 44.
[17]
Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, trans.
Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International
Publishers, 1971), 235.
[18]
Noam Chomsky and Edward S. Herman, Manufacturing Consent: The
Political Economy of the Mass Media (New York: Pantheon Books, 1988), 12.
5.
Aplikasi Metode Filsafat dalam Kajian Ilmiah
dan Kehidupan
Metode dalam filsafat tidak
hanya digunakan dalam ranah akademik, tetapi juga memiliki implikasi luas dalam
kehidupan sehari-hari dan ilmu pengetahuan. Dengan pendekatan yang
beragam—rasionalisme, empirisme, fenomenologi, hermeneutika, dialektika,
analisis logis, dan skeptisisme—filsafat telah berkontribusi secara signifikan
dalam perkembangan ilmu pengetahuan, etika, politik, dan cara berpikir manusia
secara umum. Bab ini akan membahas bagaimana metode filsafat diaplikasikan
dalam ilmu pengetahuan dan kehidupan praktis, menunjukkan relevansi dan
dampaknya dalam dunia modern.
5.1.
Metode Filsafat
dalam Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan modern
banyak dipengaruhi oleh metode filsafat dalam penyusunan teori dan analisis.
Beberapa metode filsafat yang memiliki dampak besar dalam perkembangan ilmu
pengetahuan adalah rasionalisme, empirisme, dan metode analitis.
5.1.1.
Rasionalisme dan
Logika dalam Ilmu Pengetahuan
Metode rasional digunakan
dalam berbagai cabang ilmu yang membutuhkan deduksi logis dan penalaran
apriori, seperti matematika dan logika formal. Misalnya, teori geometri
Euclidean dan prinsip-prinsip dasar dalam logika matematika dikembangkan
berdasarkan pemikiran deduktif yang mengikuti prinsip rasional.1
Karl Popper dalam The
Logic of Scientific Discovery menegaskan bahwa dalam ilmu pengetahuan,
hipotesis ilmiah sering kali muncul dari intuisi rasional sebelum diuji secara
empiris.2 Hal ini menunjukkan bahwa metode rasional tetap menjadi
bagian penting dalam proses ilmiah, terutama dalam pengembangan teori sebelum
dilakukan pengujian eksperimen.
5.1.2.
Empirisme sebagai
Dasar Metode Ilmiah
Metode empiris memainkan
peran utama dalam ilmu pengetahuan modern, khususnya dalam bidang sains alam
seperti fisika, kimia, dan biologi. Francis Bacon dalam Novum Organum
menekankan pentingnya metode induktif dalam memperoleh pengetahuan melalui
observasi dan eksperimen.3
Pendekatan empiris juga
diterapkan dalam ilmu sosial, seperti psikologi dan antropologi, di mana
penelitian berbasis data observasional digunakan untuk memahami perilaku
manusia.4 Sehingga, empirisme menjadi pondasi utama dalam metode
ilmiah modern yang berbasis bukti.
5.1.3.
Metode Analitis
dalam Ilmu Pengetahuan
Filsafat analitik telah
memberikan kontribusi besar dalam pengembangan ilmu komputer, linguistik, dan
logika. Bertrand Russell dan Alfred North Whitehead dalam Principia
Mathematica menggunakan metode analitis untuk menyusun dasar-dasar logika
matematika.5
Selain itu, Ludwig
Wittgenstein dalam Tractatus Logico-Philosophicus berpendapat bahwa
bahasa dan logika memiliki peran krusial dalam memahami dunia.6
Pendekatan ini telah menginspirasi perkembangan kecerdasan buatan (AI) dan
teori informasi, yang menggunakan metode analitis untuk menyusun sistem
pemrosesan data yang lebih efisien.
5.2.
Metode Filsafat
dalam Etika dan Moralitas
Metode filsafat juga sangat
berpengaruh dalam membentuk prinsip-prinsip etika dan moralitas. Beberapa
metode yang sering digunakan dalam kajian etika adalah metode dialektis,
fenomenologi, dan hermeneutika.
5.2.1.
Metode Dialektis
dalam Kajian Etika
Metode dialektis digunakan
dalam memahami perkembangan pemikiran etika sepanjang sejarah. Georg Wilhelm
Friedrich Hegel dalam Phenomenology of Spirit menekankan bahwa
perubahan dalam moralitas terjadi melalui proses dialektis yang melibatkan
kontradiksi antara nilai-nilai lama dan baru.7
Karl Marx kemudian menerapkan
metode dialektis dalam analisis etika sosial, terutama dalam kajian eksploitasi
kelas pekerja dalam sistem kapitalis.8 Pemikiran ini menjadi dasar
dalam filsafat politik dan ekonomi yang berfokus pada keadilan sosial.
5.2.2.
Fenomenologi dan
Pemahaman Moralitas
Fenomenologi berkontribusi
dalam analisis pengalaman moral manusia. Emmanuel Levinas dalam Totality
and Infinity mengusulkan bahwa etika harus didasarkan pada pengalaman
langsung dalam menghadapi "yang lain" (the Other).9
Pendekatan fenomenologis
memungkinkan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana nilai-nilai moral
terbentuk dalam interaksi sosial dan pengalaman individu.
5.2.3.
Hermeneutika dan
Penafsiran Etika
Metode hermeneutika digunakan
untuk memahami teks-teks etika dan hukum dalam konteks budaya dan sejarahnya.
Hans-Georg Gadamer dalam Truth and Method menjelaskan bahwa pemahaman
moral selalu terjadi dalam konteks historis yang terus berkembang.10
Pendekatan ini sering
digunakan dalam filsafat hukum dan studi agama untuk menafsirkan norma-norma
moral dalam teks-teks klasik seperti hukum Islam, filsafat Yunani, dan etika
Kristen.
5.3.
Kontribusi Metode
Filsafat dalam Kajian Agama dan Spiritualitas
Metode filsafat juga
digunakan dalam kajian agama untuk memahami konsep ketuhanan, wahyu, dan
hubungan antara akal dan iman.
5.3.1.
Rasionalisme dan
Teologi Filosofis
Dalam filsafat agama, metode
rasional digunakan untuk membangun argumen rasional tentang keberadaan Tuhan.
Thomas Aquinas dalam Summa Theologica mengembangkan argumen kosmologis
dan teleologis yang menggunakan logika deduktif untuk membuktikan keberadaan
Tuhan.11
5.3.2.
Skeptisisme dalam
Kritik Teologi
David Hume dalam Dialogues
Concerning Natural Religion menerapkan metode skeptis untuk mengkritik
argumen teologis tentang Tuhan yang berdasarkan keajaiban dan wahyu.12
Pendekatan skeptis ini berkontribusi dalam pengembangan filsafat agama modern
yang lebih kritis terhadap dogma.
5.4.
Implikasi Metode
Filsafat dalam Kehidupan Sehari-hari
Metode filsafat juga memiliki
relevansi dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam pengambilan keputusan,
pemecahan masalah, dan pengembangan pola pikir kritis.
1)
Pengambilan
Keputusan Rasional
Dengan memahami metode rasional dan
skeptis, seseorang dapat menghindari bias kognitif dalam membuat keputusan.13
2)
Pemahaman
Terhadap Berita dan Informasi
Dengan pendekatan hermeneutika dan skeptisisme,
seseorang dapat lebih kritis dalam menafsirkan berita dan propaganda di media.14
3)
Peningkatan
Kualitas Dialog dan Komunikasi
Metode dialektis dan analitis dapat
membantu dalam membangun diskusi yang lebih logis dan produktif.15
Kesimpulan
Metode filsafat tidak hanya
berperan dalam diskursus akademik, tetapi juga memiliki dampak nyata dalam
berbagai bidang ilmu dan kehidupan sehari-hari. Dari sains hingga etika, dari
kajian agama hingga pengambilan keputusan, metode-metode filsafat membantu
manusia memahami dan mengatasi tantangan intelektual serta sosial.
Footnotes
[1]
Euclid, Elements, trans. Thomas L. Heath (New York: Dover
Publications, 1956), 3.
[2]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. Julius
Freed and Lan Freed (New York: Routledge, 2002), 27.
[3]
Francis Bacon, Novum Organum, trans. James Spedding (New York:
Collier, 1902), 45.
[4]
John B. Watson, Behaviorism (New York: Norton, 1925), 12.
[5]
Bertrand Russell and Alfred North Whitehead, Principia Mathematica
(Cambridge: Cambridge University Press, 1910), 6.
[6]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C.
K. Ogden (London: Routledge, 1922), 4.
[7]
G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller
(Oxford: Oxford University Press, 1977), 91.
[8]
Karl Marx, Das Kapital, trans. Ben Fowkes (London: Penguin,
1976), 132.
[9]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso
Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 45.
[10]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
(New York: Continuum, 2004), 298.
[11]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros, 1947), I, q. 2, a. 3.
[12]
David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ed. Norman
Kemp Smith (Indianapolis: Hackett, 1980), 27.
[13]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2011), 45.
[14]
Noam Chomsky and Edward S. Herman, Manufacturing Consent: The
Political Economy of the Mass Media (New York: Pantheon Books, 1988), 23.
[15]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume 1: Reason
and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon
Press, 1984), 67.
6.
Kesimpulan
Metode dalam filsafat
merupakan alat utama yang memungkinkan manusia untuk memahami realitas,
pengetahuan, dan nilai-nilai moral secara sistematis dan kritis. Sepanjang
sejarah, berbagai metode telah dikembangkan oleh para filsuf untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang eksistensi, epistemologi, etika, dan
estetika. Setiap metode memiliki karakteristik unik yang menjadikannya relevan
dalam berbagai konteks keilmuan dan kehidupan sehari-hari.
6.1.
Metode Filsafat dan
Perannya dalam Pemikiran Manusia
Beragamnya metode filsafat
menunjukkan bahwa tidak ada satu pendekatan tunggal yang dapat mencakup seluruh
spektrum pemikiran manusia. Metode rasionalisme menekankan
kekuatan akal dalam mencapai pengetahuan yang pasti, sebagaimana diungkapkan
oleh René Descartes dalam prinsip cogito ergo sum.1
Sebaliknya, metode empirisme yang dikembangkan oleh John Locke
dan David Hume menegaskan bahwa pengalaman inderawi adalah sumber utama
pengetahuan.2
Di sisi lain, pendekatan fenomenologi,
sebagaimana dikembangkan oleh Edmund Husserl, berusaha memahami esensi
pengalaman manusia dengan mengesampingkan prasangka teoretis.3
Sementara itu, hermeneutika yang diperkenalkan oleh Friedrich
Schleiermacher dan Hans-Georg Gadamer berfokus pada interpretasi makna dalam
teks dan budaya.4
Metode dialektika,
yang diajukan oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel dan diterapkan dalam
materialisme historis Karl Marx, memberikan wawasan tentang bagaimana perubahan
terjadi dalam pemikiran dan masyarakat melalui kontradiksi dan sintesis.5
Sebaliknya, metode analitis yang dikembangkan oleh Bertrand
Russell dan Ludwig Wittgenstein lebih menekankan pada analisis bahasa dan
logika untuk menghindari ambiguitas dalam pemikiran filosofis.6
Terakhir, metode skeptisisme, sebagaimana dirumuskan oleh
Pyrrho dan dikembangkan lebih lanjut oleh David Hume, mendorong sikap kritis
terhadap klaim kebenaran yang belum terbukti.7
6.2.
Pentingnya Integrasi
Berbagai Metode dalam Kajian Filsafat
Dalam filsafat kontemporer,
integrasi berbagai metode semakin diperlukan untuk memahami persoalan yang
kompleks. Karl Popper dalam The Logic of Scientific Discovery
menekankan bahwa pendekatan rasional dan empiris harus digunakan secara
komplementer dalam pengembangan ilmu pengetahuan.8 Fenomenologi dan
hermeneutika juga sering digunakan bersama dalam kajian humaniora untuk
memahami pengalaman manusia dalam konteks sosial dan historisnya.9
Metode dialektika dan
analitis, yang sebelumnya dianggap berlawanan, kini juga semakin banyak
digunakan secara bersama-sama, terutama dalam filsafat politik dan linguistik.10
Dengan demikian, perpaduan berbagai metode filsafat tidak hanya memperkaya cara
manusia memahami dunia, tetapi juga mendorong perkembangan ilmu pengetahuan,
etika, dan filsafat sosial.
6.3.
Dampak Metode
Filsafat dalam Ilmu Pengetahuan dan Kehidupan
Metode filsafat tidak hanya
berkontribusi dalam kajian akademik, tetapi juga memiliki dampak luas dalam
kehidupan sehari-hari. Metode rasional dan skeptis membantu
individu dalam mengambil keputusan yang lebih objektif dan rasional,
menghindarkan mereka dari bias kognitif yang dapat menyesatkan.11 Metode
hermeneutika dan fenomenologi memungkinkan pemahaman yang lebih
mendalam terhadap teks dan budaya, membantu dalam dialog antaragama dan studi
sosial.12
Dalam ilmu pengetahuan, metode
empiris dan analitis telah membentuk fondasi bagi penelitian ilmiah
modern. Francis Bacon dalam Novum Organum menegaskan bahwa pengamatan
dan eksperimen adalah kunci dalam membangun ilmu yang valid.13
Sementara itu, dalam bidang politik dan ekonomi, metode dialektika
digunakan untuk memahami dinamika perubahan sosial dan ketimpangan ekonomi.14
Dalam dunia digital dan
media, metode skeptisisme menjadi alat yang sangat penting
dalam menganalisis informasi dan menghindari penyebaran berita palsu (hoaks).
Noam Chomsky dan Edward S. Herman dalam Manufacturing Consent menyoroti
bagaimana media dapat membentuk opini publik dan bagaimana pemikiran kritis
diperlukan untuk menguji informasi yang beredar.15
Kesimpulan Akhir
Metode filsafat telah
memberikan kontribusi yang besar dalam membentuk cara manusia berpikir,
memahami dunia, dan memecahkan masalah yang kompleks. Setiap metode memiliki
keunggulan dan keterbatasan masing-masing, sehingga pendekatan yang paling
efektif adalah dengan mengintegrasikan berbagai metode sesuai dengan
konteksnya.
Dalam dunia yang semakin
kompleks dan penuh tantangan, pemahaman yang mendalam tentang metode filsafat
menjadi semakin penting. Dengan berpikir kritis, rasional, dan analitis,
manusia dapat mengambil keputusan yang lebih baik, memahami realitas dengan
lebih jelas, serta membangun peradaban yang lebih adil dan berkeadaban.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Immanuel Kant dalam Critique of Pure Reason,
"Pemahaman tanpa konsep adalah buta, dan konsep tanpa pengalaman adalah
kosong."16
Footnotes
[1]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 18.
[2]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London:
Thomas Basset, 1690), 33.
[3]
Edmund Husserl, Logical Investigations, trans. J. N. Findlay
(London: Routledge, 1970), 32.
[4]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
(New York: Continuum, 2004), 278.
[5]
G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller
(Oxford: Oxford University Press, 1977), 81.
[6]
Bertrand Russell, On Denoting (Mind 14, no. 56, 1905), 479.
[7]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1888), 89.
[8]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. Julius
Freed and Lan Freed (New York: Routledge, 2002), 27.
[9]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of
Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 44.
[10]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume 1:
Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston:
Beacon Press, 1984), 67.
[11]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2011), 45.
[12]
Noam Chomsky and Edward S. Herman, Manufacturing Consent: The
Political Economy of the Mass Media (New York: Pantheon Books, 1988), 23.
[13]
Francis Bacon, Novum Organum, trans. James Spedding (New York:
Collier, 1902), 45.
[14]
Karl Marx, Das Kapital, trans. Ben Fowkes (London: Penguin,
1976), 132.
[15]
Noam Chomsky and Edward S. Herman, Manufacturing Consent: The
Political Economy of the Mass Media (New York: Pantheon Books, 1988), 47.
[16]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 134.
Daftar Pustaka
Bacon, F. (1902). Novum Organum (J.
Spedding, Trans.). Collier.
Chomsky, N., & Herman, E. S. (1988). Manufacturing
consent: The political economy of the mass media. Pantheon Books.
Descartes, R. (1996). Meditations on first
philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J.
Weinsheimer, Trans.). Continuum.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action, volume 1: Reason and the rationalization of society (T. McCarthy,
Trans.). Beacon Press.
Hegel, G. W. F. (1977). Phenomenology of spirit
(A. V. Miller, Trans.). Oxford University Press.
Hume, D. (1888). A treatise of human nature (L.
A. Selby-Bigge, Ed.). Clarendon Press.
Hume, D. (1980). Dialogues concerning natural
religion (N. Kemp Smith, Ed.). Hackett.
Husserl, E. (1970). Logical investigations
(J. N. Findlay, Trans.). Routledge.
Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow.
Farrar, Straus and Giroux.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.
Locke, J. (1690). An essay concerning human
understanding. Thomas Basset.
Marx, K. (1976). Das Kapital (B. Fowkes,
Trans.). Penguin.
Popper, K. (2002). The logic of scientific
discovery (J. Freed & L. Freed, Trans.). Routledge.
Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory:
Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University Press.
Russell, B. (1905). On denoting. Mind, 14(56),
479-493.
Russell, B., & Whitehead, A. N. (1910). Principia
mathematica. Cambridge University Press.
Schleiermacher, F. (1998). Hermeneutics and
criticism (A. Bowie, Trans.). Cambridge University Press.
Wittgenstein, L. (1922). Tractatus
logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). Routledge.
Levinas, E. (1969). Totality and infinity
(A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.
Euclid. (1956). Elements (T. L. Heath,
Trans.). Dover Publications.
Watson, J. B. (1925). Behaviorism. Norton.
Aquinas, T. (1947). Summa Theologica
(Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar