Sabtu, 16 November 2024

Metode-Metode dalam Filsafat

Metode-Metode dalam Filsafat

Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel


Abstrak

Metode dalam filsafat merupakan alat fundamental yang digunakan untuk menganalisis, mengkritisi, dan membangun sistem pemikiran yang sistematis. Artikel ini mengkaji berbagai metode filsafat yang telah berkembang dalam sejarah pemikiran manusia, termasuk rasionalisme, empirisme, fenomenologi, hermeneutika, dialektika, analisis logis, dan skeptisisme. Setiap metode memiliki keunggulan dan keterbatasannya masing-masing dalam memahami realitas, kebenaran, dan nilai-nilai kehidupan. Perbandingan antara metode-metode ini menunjukkan bagaimana pendekatan yang berbeda dapat melengkapi satu sama lain dalam berbagai kajian ilmiah dan filosofis. Selain itu, artikel ini juga membahas bagaimana metode filsafat diterapkan dalam ilmu pengetahuan, etika, kajian agama, dan kehidupan sehari-hari. Dengan memahami dan mengintegrasikan berbagai metode filsafat, individu dapat mengembangkan pola pikir yang lebih kritis, rasional, dan reflektif dalam menghadapi tantangan intelektual serta sosial.

Kata Kunci: Metode filsafat, rasionalisme, empirisme, fenomenologi, hermeneutika, dialektika, analisis logis, skeptisisme, ilmu pengetahuan, etika, kajian agama.


PEMBAHASAN

Metode-Metode dalam Filsafat


1.           Pendahuluan

Filsafat sebagai suatu disiplin ilmu memiliki metode khas dalam menjelajahi dan memahami realitas, kebenaran, serta hakikat keberadaan. Metode dalam filsafat bukan sekadar prosedur teknis, tetapi lebih dari itu, ia mencerminkan cara berpikir yang sistematis, reflektif, dan kritis terhadap berbagai persoalan fundamental kehidupan manusia. Setiap cabang filsafat, baik itu metafisika, epistemologi, etika, maupun estetika, mengandalkan metode tertentu untuk membangun dan menguji konsep-konsepnya. Oleh karena itu, pemahaman tentang metode-metode dalam filsafat menjadi sangat penting untuk mengakses dan menginterpretasi berbagai aliran pemikiran filosofis yang berkembang sepanjang sejarah.

1.1.       Pengertian Metode dalam Filsafat

Metode dalam filsafat dapat didefinisikan sebagai cara atau prosedur yang digunakan untuk memperoleh, menganalisis, dan mengevaluasi pengetahuan serta argumen filosofis. Metode ini memiliki tujuan utama untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar yang tidak hanya berkaitan dengan dunia fisik tetapi juga dengan hakikat realitas, eksistensi, dan nilai-nilai yang mendasari kehidupan manusia. Menurut Robert Audi dalam The Cambridge Dictionary of Philosophy, metode filsafat merupakan seperangkat teknik sistematis yang digunakan dalam analisis konseptual, pengujian proposisi, serta refleksi kritis terhadap fenomena tertentu.1

Dalam sejarah pemikiran manusia, metode filsafat telah berkembang dengan beragam pendekatan, mulai dari metode rasionalisme yang menekankan peran akal dalam memahami realitas hingga metode empirisme yang mengutamakan pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Sementara itu, metode hermeneutika berfokus pada penafsiran makna, dan metode fenomenologi berusaha memahami pengalaman manusia sebagaimana adanya. Perbedaan metode ini mencerminkan keragaman perspektif dalam memahami dunia dan realitas yang melingkupinya.

1.2.       Pentingnya Metode dalam Kajian Filsafat

Penerapan metode dalam filsafat memiliki signifikansi yang luas dalam kajian ilmiah dan pemikiran kritis. Pertama, metode filsafat memungkinkan adanya sistematisasi dalam penyelidikan filosofis, sehingga argumen dan kesimpulan yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan secara logis. Bertrand Russell menegaskan bahwa metode filsafat tidak hanya penting dalam membangun sistem berpikir yang konsisten tetapi juga berperan dalam membentuk dasar bagi ilmu pengetahuan.2

Kedua, metode filsafat membantu dalam membangun landasan epistemologis yang kokoh. Misalnya, metode skeptisisme yang dikembangkan oleh Pyrrho dan Descartes bertujuan untuk menguji validitas suatu pengetahuan sebelum menerimanya sebagai kebenaran yang sah.3 Dengan demikian, metode ini menghindarkan seseorang dari kesalahan berpikir dan bias kognitif dalam memahami dunia.

Ketiga, dalam ranah etika dan filsafat moral, metode filsafat membantu dalam mengevaluasi prinsip-prinsip normatif yang mendasari keputusan dan tindakan manusia. Misalnya, metode dialektis Hegel memberikan pemahaman tentang dinamika perubahan sosial dan perkembangan sejarah melalui proses tesis, antitesis, dan sintesis.4 Oleh karena itu, pemahaman terhadap metode filsafat tidak hanya relevan dalam konteks akademik tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam mengambil keputusan yang rasional dan bertanggung jawab.

1.3.       Tujuan dan Cakupan Artikel

Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai metode-metode yang digunakan dalam filsafat. Pembahasan akan mencakup berbagai pendekatan metodologis yang berkembang dalam sejarah filsafat, seperti metode rasional, empiris, fenomenologis, hermeneutis, dialektis, analitis, dan skeptis. Dengan merujuk pada sumber-sumber akademik yang kredibel, artikel ini akan menjelaskan prinsip-prinsip dasar setiap metode, tokoh-tokoh utama yang mengembangkannya, serta penerapannya dalam kajian filsafat dan ilmu pengetahuan.

Cakupan pembahasan dalam artikel ini akan dimulai dengan pengenalan konsep metode dalam filsafat, dilanjutkan dengan klasifikasi metode, perbandingan berbagai pendekatan metodologis, serta penerapannya dalam berbagai disiplin ilmu dan kehidupan. Dengan demikian, diharapkan pembaca dapat memahami bagaimana metode dalam filsafat berkontribusi terhadap perkembangan ilmu dan pemikiran manusia.


Footnotes

[1]                Robert Audi, The Cambridge Dictionary of Philosophy, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 634.

[2]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (New York: Oxford University Press, 1912), 45.

[3]                Richard H. Popkin, The History of Skepticism: From Savonarola to Bayle, rev. ed. (Oxford: Oxford University Press, 2003), 23.

[4]                Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 81.


2.           Konsep Dasar Metode dalam Filsafat

Metode dalam filsafat memiliki peran yang sangat fundamental dalam membangun dan mengembangkan sistem berpikir yang logis dan sistematis. Tanpa metode yang jelas, filsafat hanya akan menjadi sekumpulan spekulasi yang tidak dapat diuji atau dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, pemahaman tentang konsep dasar metode filsafat menjadi kunci dalam menelusuri berbagai pendekatan yang digunakan oleh para filsuf dalam memahami realitas, kebenaran, dan eksistensi.

2.1.       Definisi Metode Filsafat Menurut Para Ahli

Metode dalam filsafat dapat diartikan sebagai prosedur sistematis yang digunakan untuk menganalisis, mengkritisi, dan membangun pemikiran filosofis. Menurut Robert Audi, metode filsafat merupakan cara berpikir yang bertujuan untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang konsep-konsep fundamental seperti keberadaan, kebenaran, dan moralitas melalui analisis rasional dan refleksi kritis.1

Sementara itu, Richard Creel dalam karyanya Thinking Philosophically menjelaskan bahwa metode filsafat tidak hanya berfokus pada pemecahan masalah secara logis, tetapi juga mempertimbangkan aspek konseptual, historis, dan normatif dalam memahami suatu fenomena.2 Pendekatan ini berbeda dengan metode ilmiah yang lebih menekankan pada observasi empiris dan eksperimen sebagai sarana utama dalam memperoleh pengetahuan.

2.2.       Perbedaan Metode Filsafat dengan Metode Ilmu Lainnya

Dalam memahami hakikat metode filsafat, penting untuk membedakannya dari metode yang digunakan dalam ilmu lain, seperti metode ilmiah dalam sains atau metode historis dalam sejarah.

1)                  Metode Filsafat vs. Metode Ilmiah

Metode ilmiah dalam sains modern didasarkan pada pengamatan, hipotesis, eksperimen, dan verifikasi empiris. Francis Bacon, sebagai salah satu tokoh perintis metode ilmiah, menekankan pentingnya induksi dalam memperoleh pengetahuan melalui pengalaman dan eksperimen.3 Sebaliknya, metode filsafat lebih menekankan pada refleksi rasional dan argumentasi logis dalam memahami konsep-konsep abstrak seperti esensi, nilai, dan moralitas.

2)                  Metode Filsafat vs. Metode Teologis

Dalam teologi, metode yang digunakan sering kali mengandalkan wahyu dan otoritas kitab suci sebagai dasar utama kebenaran. Metode filsafat, di sisi lain, berusaha mencari kebenaran melalui rasionalitas dan analisis kritis tanpa bergantung pada dogma tertentu. Thomas Aquinas adalah salah satu filsuf yang mengintegrasikan metode filsafat dengan teologi dalam upayanya untuk membuktikan eksistensi Tuhan melalui argumen rasional seperti causality dan contingency.4

3)                  Metode Filsafat vs. Metode Historis

Metode dalam sejarah berfokus pada pengumpulan dan interpretasi fakta-fakta masa lalu berdasarkan bukti-bukti yang tersedia. Sementara itu, metode filsafat tidak hanya terbatas pada fakta sejarah tetapi juga mempertimbangkan makna, konsep, dan implikasi dari suatu peristiwa dalam kerangka pemikiran yang lebih luas.5

2.3.       Peran Metode dalam Pencarian Kebenaran Filsafat

Penerapan metode dalam filsafat memiliki tujuan utama untuk mencapai kebenaran yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam konteks ini, metode filsafat memainkan beberapa peran penting:

1)                  Membantu dalam Menganalisis Konsep-Konsep Abstrak

Filsafat sering kali berurusan dengan konsep-konsep yang tidak dapat diukur secara empiris, seperti keadilan, kebebasan, dan eksistensi. Metode filsafat, seperti analisis konseptual yang diperkenalkan oleh Ludwig Wittgenstein, memungkinkan filsuf untuk membedah makna suatu konsep secara lebih jelas dan sistematis.6

2)                  Menjadi Alat untuk Menguji Kebenaran Sebuah Pernyataan

Metode filsafat memungkinkan para pemikir untuk menguji validitas suatu argumen melalui pendekatan rasional dan dialektis. Plato, dalam dialog-dialognya, menggunakan metode dialektika sebagai cara untuk menggali kebenaran melalui perdebatan dan penyelidikan logis.7

3)                  Menyediakan Kerangka Berpikir yang Konsisten dan Kritis

Filsafat tidak hanya berusaha menjawab pertanyaan, tetapi juga mempertanyakan jawaban itu sendiri. Dengan adanya metode yang jelas, filsuf dapat memastikan bahwa suatu pemikiran tidak hanya bersifat spekulatif, tetapi memiliki dasar logis yang kuat. Sebagai contoh, metode skeptis yang dikembangkan oleh Descartes bertujuan untuk meragukan segala sesuatu hingga ditemukan dasar kebenaran yang tak terbantahkan.8


Kesimpulan

Konsep dasar metode dalam filsafat mencakup definisi, perbedaannya dengan metode ilmu lain, serta perannya dalam pencarian kebenaran. Berbeda dengan metode ilmiah yang berbasis empirisme dan eksperimen, metode filsafat lebih berorientasi pada refleksi rasional dan analisis kritis terhadap konsep-konsep abstrak. Pemahaman mengenai metode dalam filsafat tidak hanya membantu dalam membangun sistem berpikir yang logis, tetapi juga memungkinkan eksplorasi yang lebih dalam terhadap realitas, eksistensi, dan nilai-nilai kehidupan manusia.


Footnotes

[1]                Robert Audi, The Cambridge Dictionary of Philosophy, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 634.

[2]                Richard E. Creel, Thinking Philosophically: An Introduction to Critical Reflection and Rational Inquiry (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2001), 27.

[3]                Francis Bacon, Novum Organum, trans. James Spedding, Robert Leslie Ellis, and Douglas Denon Heath (New York: Collier, 1902), 12.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros, 1947), I, q. 2, a. 3.

[5]                R. G. Collingwood, The Idea of History (Oxford: Oxford University Press, 1946), 45.

[6]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 88.

[7]                Plato, The Republic, trans. Benjamin Jowett (New York: Oxford University Press, 1941), 327a–328b.

[8]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 18.


3.           Klasifikasi Metode dalam Filsafat

Metode dalam filsafat berkembang seiring dengan pertumbuhan pemikiran manusia dalam memahami realitas, pengetahuan, dan nilai-nilai. Para filsuf telah mengembangkan berbagai metode untuk mengeksplorasi dan menguji kebenaran berdasarkan pendekatan yang berbeda-beda. Dalam filsafat, metode tidak hanya mencerminkan cara berpikir tertentu tetapi juga menjadi instrumen utama dalam membangun sistem pemikiran yang sistematis dan argumentatif. Berdasarkan sejarah dan karakteristiknya, metode filsafat dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori utama, termasuk metode rasional, empiris, fenomenologis, hermeneutik, dialektis, analitis, dan skeptis.

3.1.       Metode Rasional (Rationalism Method)

Metode rasional berakar pada keyakinan bahwa akal (reason) adalah sumber utama pengetahuan. Rasionalisme berusaha memahami realitas melalui deduksi logis dan pemikiran yang bersifat apriori, yaitu sebelum pengalaman. Filsuf seperti René Descartes dan Immanuel Kant mengembangkan metode ini sebagai fondasi epistemologi mereka.

René Descartes dalam Meditations on First Philosophy menyatakan bahwa dalam mencapai kepastian, seseorang harus memulai dengan meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan dan hanya menerima kebenaran yang dapat dipastikan oleh akal.1 Descartes menggunakan metode ini untuk menemukan prinsip fundamental "Cogito, ergo sum" (Aku berpikir, maka aku ada).

Immanuel Kant melengkapi metode ini dengan mengajukan teori "apriori synthetic judgments" dalam Critique of Pure Reason, yang menunjukkan bahwa akal memiliki struktur bawaan yang memungkinkan kita memahami dunia tanpa bergantung sepenuhnya pada pengalaman.2

3.2.       Metode Empiris (Empirical Method)

Berlawanan dengan metode rasional, metode empiris menekankan bahwa pengalaman inderawi adalah sumber utama pengetahuan. Para filsuf empirisme seperti John Locke, George Berkeley, dan David Hume menolak gagasan bahwa manusia memiliki ide bawaan dan berpendapat bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman.

John Locke dalam An Essay Concerning Human Understanding menggambarkan manusia sebagai tabula rasa (lembaran kosong) yang memperoleh pengetahuan melalui pengalaman dan persepsi.3 David Hume lebih lanjut mengembangkan pendekatan ini dengan menekankan pentingnya hubungan kausal yang didasarkan pada kebiasaan dan bukan pada kepastian logis.4

Metode empiris menjadi landasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern, terutama dalam pendekatan induktif yang diperkenalkan oleh Francis Bacon dalam Novum Organum.5

3.3.       Metode Fenomenologis (Phenomenological Method)

Metode fenomenologi berusaha memahami pengalaman manusia secara langsung, tanpa prasangka teoritis atau interpretasi yang diajukan sebelumnya. Metode ini dikembangkan oleh Edmund Husserl, yang memperkenalkan konsep "reduksi fenomenologis" untuk mengisolasi esensi pengalaman.6

Husserl dalam Logical Investigations berpendapat bahwa metode fenomenologi harus "menghapus" asumsi tentang dunia luar dan hanya berfokus pada bagaimana sesuatu tampak dalam kesadaran kita.7 Pendekatan ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Martin Heidegger dalam Being and Time, di mana ia menambahkan dimensi eksistensial dalam analisis fenomenologi.8

3.4.       Metode Hermeneutik (Hermeneutic Method)

Hermeneutika adalah metode filsafat yang berfokus pada interpretasi makna, terutama dalam teks dan bahasa. Metode ini berasal dari tradisi penafsiran kitab suci tetapi berkembang menjadi pendekatan umum dalam ilmu humaniora dan filsafat.

Friedrich Schleiermacher dianggap sebagai salah satu pelopor hermeneutika modern dengan menekankan pentingnya memahami konteks historis dan psikologis dari teks.9 Kemudian, Hans-Georg Gadamer dalam Truth and Method mengembangkan konsep "lingkaran hermeneutik", yang menyatakan bahwa pemahaman adalah proses dinamis yang melibatkan interaksi antara bagian dan keseluruhan.10

Metode ini sering digunakan dalam kajian filsafat bahasa, filsafat agama, dan kritik sastra untuk menafsirkan makna dalam teks dan wacana.

3.5.       Metode Dialektis (Dialectical Method)

Metode dialektika adalah proses pemikiran yang berupaya mencapai kebenaran melalui perdebatan antara tesis dan antitesis yang menghasilkan sintesis baru. Metode ini memiliki akar dalam dialog Socrates tetapi dikembangkan lebih lanjut oleh G. W. F. Hegel.

Hegel dalam Phenomenology of Spirit menjelaskan bahwa sejarah pemikiran manusia berkembang melalui gerakan dialektis, di mana setiap ide (tesis) menimbulkan lawan (antitesis), dan dari kontradiksi ini lahir pemahaman baru (sintesis).11

Karl Marx kemudian mengadopsi metode ini dalam teori materialisme dialektisnya, di mana ia menerapkan dialektika Hegel untuk menganalisis dinamika sosial dan ekonomi.12

3.6.       Metode Analitis (Analytical Method)

Metode analitis adalah pendekatan yang berfokus pada klarifikasi bahasa dan logika dalam filsafat. Metode ini dikembangkan dalam tradisi filsafat analitik, yang dipelopori oleh Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein, dan G. E. Moore.

Bertrand Russell dalam On Denoting menekankan pentingnya analisis logis dalam mengklarifikasi makna pernyataan filosofis.13 Ludwig Wittgenstein dalam Tractatus Logico-Philosophicus berpendapat bahwa banyak masalah filsafat sebenarnya adalah masalah bahasa dan dapat diselesaikan melalui analisis logis.14

Metode ini menjadi dominan dalam filsafat analitik modern dan banyak digunakan dalam kajian logika, filsafat bahasa, dan epistemologi.

3.7.       Metode Skeptis (Skeptical Method)

Metode skeptis menekankan pentingnya meragukan semua klaim kebenaran sebelum menerimanya sebagai sesuatu yang valid. Skeptisisme telah ada sejak zaman Yunani kuno, dengan Pyrrho sebagai salah satu tokoh utamanya.

David Hume dalam A Treatise of Human Nature mengembangkan skeptisisme empiris dengan menunjukkan bahwa hubungan kausalitas tidak pernah bisa dipastikan sepenuhnya, melainkan hanya didasarkan pada kebiasaan.15

Skeptisisme modern masih digunakan sebagai pendekatan kritis dalam epistemologi dan filsafat ilmu, terutama dalam menguji batas-batas pengetahuan manusia.


Kesimpulan

Klasifikasi metode dalam filsafat mencerminkan berbagai pendekatan dalam memahami realitas dan pengetahuan. Setiap metode memiliki keunggulan dan batasannya sendiri, serta diterapkan dalam berbagai bidang filsafat. Pemahaman terhadap metode-metode ini sangat penting untuk menelusuri perkembangan pemikiran manusia dan membangun argumen filosofis yang kuat.


Footnotes

[1]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 18.

[2]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 134.

[3]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Thomas Basset, 1690), 33.

[4]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), 56.

[5]                Francis Bacon, Novum Organum, trans. James Spedding (New York: Collier, 1902), 23.

[6]                Edmund Husserl, Logical Investigations, trans. J. N. Findlay (London: Routledge, 1970), 32.

[7]                Ibid., 45.

[8]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 103.

[9]                Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, trans. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 21.

[10]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer (New York: Continuum, 2004), 278.

[11]             G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 81.

[12]             Karl Marx, Das Kapital, trans. Ben Fowkes (London: Penguin, 1976), 87.

[13]             Bertrand Russell, On Denoting (Mind 14, no. 56, 1905), 479.

[14]             Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C. K. Ogden (London: Routledge, 1922), 3.1.

[15]             David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1888), 89.


4.           Perbandingan Metode-Metode Filsafat

Dalam filsafat, berbagai metode telah dikembangkan untuk memahami realitas, kebenaran, dan eksistensi manusia. Meskipun setiap metode memiliki pendekatan dan prinsipnya sendiri, perbandingan antar metode dapat membantu dalam memahami keunggulan, keterbatasan, dan relevansi masing-masing dalam konteks pemikiran filosofis. Bab ini akan membandingkan metode filsafat dari berbagai perspektif, termasuk rasionalisme, empirisme, fenomenologi, hermeneutika, dialektika, analisis logis, dan skeptisisme.

4.1.       Keunggulan dan Keterbatasan Masing-Masing Metode

Setiap metode dalam filsafat memiliki keunggulan dalam menjelaskan aspek tertentu dari pemikiran manusia, tetapi juga memiliki keterbatasan yang perlu dipahami.

4.1.1.    Metode Rasional vs. Metode Empiris

Metode rasional menekankan bahwa akal adalah sumber utama pengetahuan. Tokoh seperti René Descartes berpendapat bahwa kebenaran hanya dapat ditemukan melalui deduksi logis dan pemikiran apriori.1 Sebaliknya, metode empiris yang dikembangkan oleh John Locke dan David Hume menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman inderawi.2

Keunggulan rasionalisme terletak pada kemampuannya dalam membangun sistem pemikiran yang konsisten dan sistematis. Namun, kritik terhadap rasionalisme muncul karena kecenderungannya untuk mengabaikan pengalaman empiris dalam memahami dunia nyata.3 Sebaliknya, empirisme menawarkan pendekatan berbasis bukti, tetapi sering dikritik karena ketidakmampuannya dalam menjelaskan konsep-konsep abstrak seperti moralitas dan metafisika.4

4.1.2.    Metode Fenomenologi vs. Metode Hermeneutika

Fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund Husserl berfokus pada bagaimana sesuatu tampak dalam kesadaran kita, tanpa prasangka atau interpretasi yang dibebankan sebelumnya.5 Sementara itu, hermeneutika, yang dipelopori oleh Friedrich Schleiermacher dan Hans-Georg Gadamer, lebih menekankan pada proses interpretasi, khususnya dalam memahami teks dan makna.6

Keunggulan metode fenomenologi terletak pada kemampuannya dalam menggali pengalaman manusia secara langsung, tanpa intervensi teori eksternal. Namun, metode ini dikritik karena kurangnya perhatian terhadap konteks historis dan sosial dalam memahami pengalaman manusia.7 Sebaliknya, metode hermeneutika lebih unggul dalam analisis makna dalam teks dan budaya, tetapi memiliki keterbatasan dalam memberikan pemahaman objektif terhadap realitas yang diamati.8

4.1.3.    Metode Dialektis vs. Metode Analitis

Metode dialektis, yang dikembangkan oleh G. W. F. Hegel dan diterapkan dalam materialisme historis Karl Marx, menekankan pada kontradiksi sebagai motor penggerak perkembangan pemikiran dan masyarakat.9 Di sisi lain, metode analitis yang digunakan oleh Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein berfokus pada analisis logis dan bahasa dalam filsafat.10

Metode dialektis memiliki keunggulan dalam memahami perubahan historis dan sosial secara dinamis. Namun, kritik utama terhadap metode ini adalah kecenderungannya yang terlalu abstrak dan sulit diterapkan secara konkret dalam analisis individual.11 Metode analitis, di sisi lain, unggul dalam membedah konsep secara jelas dan menghindari ambiguitas bahasa, tetapi sering dianggap terlalu teknis dan terbatas dalam membahas isu-isu metafisika dan nilai-nilai sosial.12

4.1.4.    Metode Skeptis: Kritik terhadap Kepastian Pengetahuan

Metode skeptis, yang dikembangkan oleh Pyrrho dan kemudian diperluas oleh David Hume, berusaha menguji validitas klaim kebenaran sebelum menerimanya sebagai fakta.13 Skeptisisme memiliki keunggulan dalam mendorong pemikiran kritis dan menghindari dogmatisme. Namun, jika diterapkan secara ekstrem, metode ini dapat menyebabkan relativisme yang menghambat perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat itu sendiri.14

4.2.       Integrasi Berbagai Metode dalam Kajian Filsafat Kontemporer

Dalam filsafat kontemporer, integrasi berbagai metode semakin diperlukan untuk menjawab tantangan pemikiran yang kompleks. Misalnya, dalam filsafat sains, metode empiris dan analitis sering digunakan bersama untuk menguji hipotesis dan menjelaskan konsep-konsep ilmiah secara lebih jelas.15 Sementara itu, dalam studi budaya dan humaniora, metode hermeneutika dan fenomenologi sering dikombinasikan untuk memahami pengalaman manusia dalam konteks historis dan sosialnya.16

Pendekatan interdisipliner ini menunjukkan bahwa tidak ada satu metode yang superior secara absolut, melainkan setiap metode memiliki peran dan kegunaannya masing-masing sesuai dengan konteks penggunaannya.

4.3.       Relevansi Metode Filsafat dalam Kajian Ilmu Sosial dan Humaniora

Metode-metode filsafat tidak hanya digunakan dalam diskursus akademik tetapi juga dalam analisis sosial, etika, dan politik. Misalnya, metode dialektika sering digunakan dalam kajian ekonomi politik untuk memahami dinamika kapitalisme dan perubahan sosial.17 Sementara itu, metode skeptis sering digunakan dalam analisis media dan wacana kritis untuk menilai kebenaran informasi di era digital.18

Dengan demikian, pemahaman tentang berbagai metode filsafat tidak hanya penting dalam kajian teoretis tetapi juga memiliki implikasi luas dalam kehidupan praktis, terutama dalam membentuk cara berpikir yang kritis dan sistematis.


Kesimpulan

Perbandingan metode-metode dalam filsafat menunjukkan bahwa setiap pendekatan memiliki keunggulan dan keterbatasannya masing-masing. Rasionalisme dan empirisme berdebat mengenai sumber utama pengetahuan, sementara fenomenologi dan hermeneutika berusaha memahami pengalaman manusia dari perspektif yang berbeda. Metode dialektis dan analitis menawarkan cara berpikir yang kontras dalam memahami konsep dan perubahan sosial, sementara skeptisisme berperan sebagai alat kritik terhadap klaim kebenaran yang tidak berdasar.

Dalam filsafat kontemporer, integrasi berbagai metode menjadi semakin penting untuk memahami realitas yang kompleks. Dengan memahami dan mengombinasikan metode yang tepat, filsafat dapat terus berkembang sebagai alat untuk menelaah realitas, kebenaran, dan nilai-nilai dalam kehidupan manusia.


Footnotes

[1]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 18.

[2]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Thomas Basset, 1690), 33.

[3]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 134.

[4]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), 56.

[5]                Edmund Husserl, Logical Investigations, trans. J. N. Findlay (London: Routledge, 1970), 32.

[6]                Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, trans. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 21.

[7]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 103.

[8]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer (New York: Continuum, 2004), 278.

[9]                G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 81.

[10]             Bertrand Russell, On Denoting (Mind 14, no. 56, 1905), 479.

[11]             Karl Marx, Das Kapital, trans. Ben Fowkes (London: Penguin, 1976), 87.

[12]             Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 88.

[13]             David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1888), 89.

[14]             Richard Popkin, The History of Skepticism: From Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 23.

[15]             Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. Julius Freed and Lan Freed (New York: Routledge, 2002), 27.

[16]             Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 44.

[17]             Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International Publishers, 1971), 235.

[18]             Noam Chomsky and Edward S. Herman, Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media (New York: Pantheon Books, 1988), 12.


5.           Aplikasi Metode Filsafat dalam Kajian Ilmiah dan Kehidupan

Metode dalam filsafat tidak hanya digunakan dalam ranah akademik, tetapi juga memiliki implikasi luas dalam kehidupan sehari-hari dan ilmu pengetahuan. Dengan pendekatan yang beragam—rasionalisme, empirisme, fenomenologi, hermeneutika, dialektika, analisis logis, dan skeptisisme—filsafat telah berkontribusi secara signifikan dalam perkembangan ilmu pengetahuan, etika, politik, dan cara berpikir manusia secara umum. Bab ini akan membahas bagaimana metode filsafat diaplikasikan dalam ilmu pengetahuan dan kehidupan praktis, menunjukkan relevansi dan dampaknya dalam dunia modern.

5.1.       Metode Filsafat dalam Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan modern banyak dipengaruhi oleh metode filsafat dalam penyusunan teori dan analisis. Beberapa metode filsafat yang memiliki dampak besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah rasionalisme, empirisme, dan metode analitis.

5.1.1.    Rasionalisme dan Logika dalam Ilmu Pengetahuan

Metode rasional digunakan dalam berbagai cabang ilmu yang membutuhkan deduksi logis dan penalaran apriori, seperti matematika dan logika formal. Misalnya, teori geometri Euclidean dan prinsip-prinsip dasar dalam logika matematika dikembangkan berdasarkan pemikiran deduktif yang mengikuti prinsip rasional.1

Karl Popper dalam The Logic of Scientific Discovery menegaskan bahwa dalam ilmu pengetahuan, hipotesis ilmiah sering kali muncul dari intuisi rasional sebelum diuji secara empiris.2 Hal ini menunjukkan bahwa metode rasional tetap menjadi bagian penting dalam proses ilmiah, terutama dalam pengembangan teori sebelum dilakukan pengujian eksperimen.

5.1.2.    Empirisme sebagai Dasar Metode Ilmiah

Metode empiris memainkan peran utama dalam ilmu pengetahuan modern, khususnya dalam bidang sains alam seperti fisika, kimia, dan biologi. Francis Bacon dalam Novum Organum menekankan pentingnya metode induktif dalam memperoleh pengetahuan melalui observasi dan eksperimen.3

Pendekatan empiris juga diterapkan dalam ilmu sosial, seperti psikologi dan antropologi, di mana penelitian berbasis data observasional digunakan untuk memahami perilaku manusia.4 Sehingga, empirisme menjadi pondasi utama dalam metode ilmiah modern yang berbasis bukti.

5.1.3.    Metode Analitis dalam Ilmu Pengetahuan

Filsafat analitik telah memberikan kontribusi besar dalam pengembangan ilmu komputer, linguistik, dan logika. Bertrand Russell dan Alfred North Whitehead dalam Principia Mathematica menggunakan metode analitis untuk menyusun dasar-dasar logika matematika.5

Selain itu, Ludwig Wittgenstein dalam Tractatus Logico-Philosophicus berpendapat bahwa bahasa dan logika memiliki peran krusial dalam memahami dunia.6 Pendekatan ini telah menginspirasi perkembangan kecerdasan buatan (AI) dan teori informasi, yang menggunakan metode analitis untuk menyusun sistem pemrosesan data yang lebih efisien.

5.2.       Metode Filsafat dalam Etika dan Moralitas

Metode filsafat juga sangat berpengaruh dalam membentuk prinsip-prinsip etika dan moralitas. Beberapa metode yang sering digunakan dalam kajian etika adalah metode dialektis, fenomenologi, dan hermeneutika.

5.2.1.    Metode Dialektis dalam Kajian Etika

Metode dialektis digunakan dalam memahami perkembangan pemikiran etika sepanjang sejarah. Georg Wilhelm Friedrich Hegel dalam Phenomenology of Spirit menekankan bahwa perubahan dalam moralitas terjadi melalui proses dialektis yang melibatkan kontradiksi antara nilai-nilai lama dan baru.7

Karl Marx kemudian menerapkan metode dialektis dalam analisis etika sosial, terutama dalam kajian eksploitasi kelas pekerja dalam sistem kapitalis.8 Pemikiran ini menjadi dasar dalam filsafat politik dan ekonomi yang berfokus pada keadilan sosial.

5.2.2.    Fenomenologi dan Pemahaman Moralitas

Fenomenologi berkontribusi dalam analisis pengalaman moral manusia. Emmanuel Levinas dalam Totality and Infinity mengusulkan bahwa etika harus didasarkan pada pengalaman langsung dalam menghadapi "yang lain" (the Other).9

Pendekatan fenomenologis memungkinkan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana nilai-nilai moral terbentuk dalam interaksi sosial dan pengalaman individu.

5.2.3.    Hermeneutika dan Penafsiran Etika

Metode hermeneutika digunakan untuk memahami teks-teks etika dan hukum dalam konteks budaya dan sejarahnya. Hans-Georg Gadamer dalam Truth and Method menjelaskan bahwa pemahaman moral selalu terjadi dalam konteks historis yang terus berkembang.10

Pendekatan ini sering digunakan dalam filsafat hukum dan studi agama untuk menafsirkan norma-norma moral dalam teks-teks klasik seperti hukum Islam, filsafat Yunani, dan etika Kristen.

5.3.       Kontribusi Metode Filsafat dalam Kajian Agama dan Spiritualitas

Metode filsafat juga digunakan dalam kajian agama untuk memahami konsep ketuhanan, wahyu, dan hubungan antara akal dan iman.

5.3.1.    Rasionalisme dan Teologi Filosofis

Dalam filsafat agama, metode rasional digunakan untuk membangun argumen rasional tentang keberadaan Tuhan. Thomas Aquinas dalam Summa Theologica mengembangkan argumen kosmologis dan teleologis yang menggunakan logika deduktif untuk membuktikan keberadaan Tuhan.11

5.3.2.    Skeptisisme dalam Kritik Teologi

David Hume dalam Dialogues Concerning Natural Religion menerapkan metode skeptis untuk mengkritik argumen teologis tentang Tuhan yang berdasarkan keajaiban dan wahyu.12 Pendekatan skeptis ini berkontribusi dalam pengembangan filsafat agama modern yang lebih kritis terhadap dogma.

5.4.       Implikasi Metode Filsafat dalam Kehidupan Sehari-hari

Metode filsafat juga memiliki relevansi dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam pengambilan keputusan, pemecahan masalah, dan pengembangan pola pikir kritis.

1)                  Pengambilan Keputusan Rasional

Dengan memahami metode rasional dan skeptis, seseorang dapat menghindari bias kognitif dalam membuat keputusan.13

2)                  Pemahaman Terhadap Berita dan Informasi

Dengan pendekatan hermeneutika dan skeptisisme, seseorang dapat lebih kritis dalam menafsirkan berita dan propaganda di media.14

3)                  Peningkatan Kualitas Dialog dan Komunikasi

Metode dialektis dan analitis dapat membantu dalam membangun diskusi yang lebih logis dan produktif.15


Kesimpulan

Metode filsafat tidak hanya berperan dalam diskursus akademik, tetapi juga memiliki dampak nyata dalam berbagai bidang ilmu dan kehidupan sehari-hari. Dari sains hingga etika, dari kajian agama hingga pengambilan keputusan, metode-metode filsafat membantu manusia memahami dan mengatasi tantangan intelektual serta sosial.


Footnotes

[1]                Euclid, Elements, trans. Thomas L. Heath (New York: Dover Publications, 1956), 3.

[2]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. Julius Freed and Lan Freed (New York: Routledge, 2002), 27.

[3]                Francis Bacon, Novum Organum, trans. James Spedding (New York: Collier, 1902), 45.

[4]                John B. Watson, Behaviorism (New York: Norton, 1925), 12.

[5]                Bertrand Russell and Alfred North Whitehead, Principia Mathematica (Cambridge: Cambridge University Press, 1910), 6.

[6]                Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C. K. Ogden (London: Routledge, 1922), 4.

[7]                G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 91.

[8]                Karl Marx, Das Kapital, trans. Ben Fowkes (London: Penguin, 1976), 132.

[9]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 45.

[10]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer (New York: Continuum, 2004), 298.

[11]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros, 1947), I, q. 2, a. 3.

[12]             David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ed. Norman Kemp Smith (Indianapolis: Hackett, 1980), 27.

[13]             Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 45.

[14]             Noam Chomsky and Edward S. Herman, Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media (New York: Pantheon Books, 1988), 23.

[15]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 67.


6.           Kesimpulan

Metode dalam filsafat merupakan alat utama yang memungkinkan manusia untuk memahami realitas, pengetahuan, dan nilai-nilai moral secara sistematis dan kritis. Sepanjang sejarah, berbagai metode telah dikembangkan oleh para filsuf untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang eksistensi, epistemologi, etika, dan estetika. Setiap metode memiliki karakteristik unik yang menjadikannya relevan dalam berbagai konteks keilmuan dan kehidupan sehari-hari.

6.1.       Metode Filsafat dan Perannya dalam Pemikiran Manusia

Beragamnya metode filsafat menunjukkan bahwa tidak ada satu pendekatan tunggal yang dapat mencakup seluruh spektrum pemikiran manusia. Metode rasionalisme menekankan kekuatan akal dalam mencapai pengetahuan yang pasti, sebagaimana diungkapkan oleh René Descartes dalam prinsip cogito ergo sum.1 Sebaliknya, metode empirisme yang dikembangkan oleh John Locke dan David Hume menegaskan bahwa pengalaman inderawi adalah sumber utama pengetahuan.2

Di sisi lain, pendekatan fenomenologi, sebagaimana dikembangkan oleh Edmund Husserl, berusaha memahami esensi pengalaman manusia dengan mengesampingkan prasangka teoretis.3 Sementara itu, hermeneutika yang diperkenalkan oleh Friedrich Schleiermacher dan Hans-Georg Gadamer berfokus pada interpretasi makna dalam teks dan budaya.4

Metode dialektika, yang diajukan oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel dan diterapkan dalam materialisme historis Karl Marx, memberikan wawasan tentang bagaimana perubahan terjadi dalam pemikiran dan masyarakat melalui kontradiksi dan sintesis.5 Sebaliknya, metode analitis yang dikembangkan oleh Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein lebih menekankan pada analisis bahasa dan logika untuk menghindari ambiguitas dalam pemikiran filosofis.6 Terakhir, metode skeptisisme, sebagaimana dirumuskan oleh Pyrrho dan dikembangkan lebih lanjut oleh David Hume, mendorong sikap kritis terhadap klaim kebenaran yang belum terbukti.7

6.2.       Pentingnya Integrasi Berbagai Metode dalam Kajian Filsafat

Dalam filsafat kontemporer, integrasi berbagai metode semakin diperlukan untuk memahami persoalan yang kompleks. Karl Popper dalam The Logic of Scientific Discovery menekankan bahwa pendekatan rasional dan empiris harus digunakan secara komplementer dalam pengembangan ilmu pengetahuan.8 Fenomenologi dan hermeneutika juga sering digunakan bersama dalam kajian humaniora untuk memahami pengalaman manusia dalam konteks sosial dan historisnya.9

Metode dialektika dan analitis, yang sebelumnya dianggap berlawanan, kini juga semakin banyak digunakan secara bersama-sama, terutama dalam filsafat politik dan linguistik.10 Dengan demikian, perpaduan berbagai metode filsafat tidak hanya memperkaya cara manusia memahami dunia, tetapi juga mendorong perkembangan ilmu pengetahuan, etika, dan filsafat sosial.

6.3.       Dampak Metode Filsafat dalam Ilmu Pengetahuan dan Kehidupan

Metode filsafat tidak hanya berkontribusi dalam kajian akademik, tetapi juga memiliki dampak luas dalam kehidupan sehari-hari. Metode rasional dan skeptis membantu individu dalam mengambil keputusan yang lebih objektif dan rasional, menghindarkan mereka dari bias kognitif yang dapat menyesatkan.11 Metode hermeneutika dan fenomenologi memungkinkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap teks dan budaya, membantu dalam dialog antaragama dan studi sosial.12

Dalam ilmu pengetahuan, metode empiris dan analitis telah membentuk fondasi bagi penelitian ilmiah modern. Francis Bacon dalam Novum Organum menegaskan bahwa pengamatan dan eksperimen adalah kunci dalam membangun ilmu yang valid.13 Sementara itu, dalam bidang politik dan ekonomi, metode dialektika digunakan untuk memahami dinamika perubahan sosial dan ketimpangan ekonomi.14

Dalam dunia digital dan media, metode skeptisisme menjadi alat yang sangat penting dalam menganalisis informasi dan menghindari penyebaran berita palsu (hoaks). Noam Chomsky dan Edward S. Herman dalam Manufacturing Consent menyoroti bagaimana media dapat membentuk opini publik dan bagaimana pemikiran kritis diperlukan untuk menguji informasi yang beredar.15


Kesimpulan Akhir

Metode filsafat telah memberikan kontribusi yang besar dalam membentuk cara manusia berpikir, memahami dunia, dan memecahkan masalah yang kompleks. Setiap metode memiliki keunggulan dan keterbatasan masing-masing, sehingga pendekatan yang paling efektif adalah dengan mengintegrasikan berbagai metode sesuai dengan konteksnya.

Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh tantangan, pemahaman yang mendalam tentang metode filsafat menjadi semakin penting. Dengan berpikir kritis, rasional, dan analitis, manusia dapat mengambil keputusan yang lebih baik, memahami realitas dengan lebih jelas, serta membangun peradaban yang lebih adil dan berkeadaban. Sebagaimana yang dikatakan oleh Immanuel Kant dalam Critique of Pure Reason, "Pemahaman tanpa konsep adalah buta, dan konsep tanpa pengalaman adalah kosong."16


Footnotes

[1]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 18.

[2]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Thomas Basset, 1690), 33.

[3]                Edmund Husserl, Logical Investigations, trans. J. N. Findlay (London: Routledge, 1970), 32.

[4]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer (New York: Continuum, 2004), 278.

[5]                G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 81.

[6]                Bertrand Russell, On Denoting (Mind 14, no. 56, 1905), 479.

[7]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1888), 89.

[8]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. Julius Freed and Lan Freed (New York: Routledge, 2002), 27.

[9]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 44.

[10]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 67.

[11]             Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 45.

[12]             Noam Chomsky and Edward S. Herman, Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media (New York: Pantheon Books, 1988), 23.

[13]             Francis Bacon, Novum Organum, trans. James Spedding (New York: Collier, 1902), 45.

[14]             Karl Marx, Das Kapital, trans. Ben Fowkes (London: Penguin, 1976), 132.

[15]             Noam Chomsky and Edward S. Herman, Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media (New York: Pantheon Books, 1988), 47.

[16]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 134.


Daftar Pustaka

Bacon, F. (1902). Novum Organum (J. Spedding, Trans.). Collier.

Chomsky, N., & Herman, E. S. (1988). Manufacturing consent: The political economy of the mass media. Pantheon Books.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer, Trans.). Continuum.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action, volume 1: Reason and the rationalization of society (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Hegel, G. W. F. (1977). Phenomenology of spirit (A. V. Miller, Trans.). Oxford University Press.

Hume, D. (1888). A treatise of human nature (L. A. Selby-Bigge, Ed.). Clarendon Press.

Hume, D. (1980). Dialogues concerning natural religion (N. Kemp Smith, Ed.). Hackett.

Husserl, E. (1970). Logical investigations (J. N. Findlay, Trans.). Routledge.

Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow. Farrar, Straus and Giroux.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.

Locke, J. (1690). An essay concerning human understanding. Thomas Basset.

Marx, K. (1976). Das Kapital (B. Fowkes, Trans.). Penguin.

Popper, K. (2002). The logic of scientific discovery (J. Freed & L. Freed, Trans.). Routledge.

Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory: Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University Press.

Russell, B. (1905). On denoting. Mind, 14(56), 479-493.

Russell, B., & Whitehead, A. N. (1910). Principia mathematica. Cambridge University Press.

Schleiermacher, F. (1998). Hermeneutics and criticism (A. Bowie, Trans.). Cambridge University Press.

Wittgenstein, L. (1922). Tractatus logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). Routledge.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

Euclid. (1956). Elements (T. L. Heath, Trans.). Dover Publications.

Watson, J. B. (1925). Behaviorism. Norton.

Aquinas, T. (1947). Summa Theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar