Minggu, 26 Januari 2025

Bahan Ajar Qurdis Kelas 12 Bab 8: Sikap Adil dan Jujur dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits

Sikap Adil dan Jujur dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 12 (Dua belas)


Abstrak

Keadilan (al-‘adl) dan kejujuran (ash-shidq) merupakan dua prinsip fundamental dalam ajaran Islam yang memiliki peran sentral dalam kehidupan individu dan masyarakat. Artikel ini membahas konsep keadilan dan kejujuran dalam perspektif Al-Qur'an dan Hadits melalui kajian komprehensif terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits, serta pendapat ulama dalam tafsir klasik dan sumber akademik Islam. Analisis utama berfokus pada QS Al-Maidah (5) ayat 8-10 tentang perintah menegakkan keadilan, QS At-Taubah (9) ayat 119 tentang anjuran bergaul dengan orang yang jujur, QS An-Nahl (16) ayat 90-92 tentang perintah berlaku adil dan jujur, serta QS An-Nisa' (4) ayat 105 tentang larangan berkhianat. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah juga dikaji untuk memahami dampak sikap jujur dan dusta.

Pembahasan ini menunjukkan bahwa keadilan dan kejujuran bukan hanya norma etis, tetapi juga bagian dari ketakwaan kepada Allah yang berkontribusi terhadap kesejahteraan sosial. Para ulama seperti Al-Qurtubi, Ibnu Katsir, dan Al-Ghazali menegaskan bahwa penerapan keadilan dan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari menjadi kunci bagi keberlangsungan peradaban yang stabil dan harmonis. Relevansi nilai-nilai ini dalam kehidupan modern juga dikaji dalam konteks hukum, ekonomi, pendidikan, dan media digital. Kesimpulan dari penelitian ini menegaskan bahwa menegakkan keadilan dan kejujuran adalah kewajiban moral dan sosial yang harus diterapkan oleh setiap individu untuk mencapai kehidupan yang berkeadaban dan mendapat ridha Allah Swt.

Kata Kunci: Keadilan, Kejujuran, Al-Qur’an, Hadits, Tafsir, Etika Islam, Integritas.


PEMBAHASAN

Sikap Adil dan Jujur dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Sikap adil dan jujur merupakan dua nilai moral fundamental yang menjadi landasan utama dalam membangun peradaban yang harmonis. Al-Qur'an dan Hadits berulang kali menekankan pentingnya kedua sifat ini dalam setiap aspek kehidupan manusia, baik dalam hubungan individu maupun sosial. Kejujuran adalah salah satu ciri utama seorang mukmin sejati, sebagaimana disebutkan dalam QS At-Taubah (9) ayat 119, yang mengarahkan umat Islam untuk senantiasa bersama orang-orang yang jujur. Begitu pula, keadilan menjadi prinsip universal yang tidak boleh dipengaruhi oleh rasa cinta ataupun benci, sebagaimana diperintahkan dalam QS Al-Maidah (5) ayat 8. Ayat ini menunjukkan bahwa keadilan harus ditegakkan tanpa memandang siapa yang terlibat, termasuk dalam menghadapi lawan atau musuh sekalipun.¹

Dalam konteks kehidupan modern, nilai-nilai ini menjadi semakin relevan. Masalah ketidakadilan, korupsi, dan penyebaran informasi palsu yang merusak kepercayaan sosial menunjukkan perlunya penanaman sikap adil dan jujur sebagai bagian dari pendidikan karakter.² Selain itu, penerapan nilai-nilai keadilan dan kejujuran tidak hanya memperbaiki individu, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih stabil dan damai.

1.2.       Rumusan Masalah

Artikel ini mencoba menjawab beberapa pertanyaan mendasar terkait sikap adil dan jujur:

1)                  Bagaimana Al-Qur'an dan Hadits menjelaskan pentingnya adil dan jujur?

2)                  Apa saja implikasi dari pengamalan kedua nilai ini dalam kehidupan pribadi, sosial, dan hukum?

3)                  Bagaimana pandangan ulama tafsir klasik dan ilmuwan kontemporer terkait tema ini?

1.3.       Tujuan Penulisan

Penulisan artikel ini bertujuan untuk:

1)                  Mengkaji secara komprehensif ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits yang berkaitan dengan keadilan dan kejujuran.

2)                  Menyajikan pandangan ulama dari tafsir klasik, seperti Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Al-Qurtubi, serta analisis ilmiah dari jurnal Islami terkait.

3)                  Menunjukkan relevansi nilai-nilai ini dalam kehidupan modern sebagai solusi terhadap berbagai permasalahan sosial.

1.4.       Relevansi dengan Kompetensi Dasar

Kompetensi dasar dalam pendidikan Islam, seperti menganalisis QS Al-Maidah (5) ayat 8-10 tentang menegakkan keadilan dan QS At-Taubah (9) ayat 119 tentang bergaul dengan orang yang jujur, menjadi pijakan utama penulisan artikel ini. Hal ini bertujuan untuk membantu peserta didik memahami makna keadilan dan kejujuran sebagai bagian integral dari akhlak mulia yang harus diteladani dalam kehidupan sehari-hari.³

Sikap adil dan jujur tidak hanya relevan dalam hubungan antarmanusia, tetapi juga mencerminkan hubungan seorang hamba dengan Tuhannya. Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa kepada surga.”⁴ Oleh karena itu, kejujuran merupakan pintu menuju keselamatan di dunia dan akhirat, sedangkan keadilan menjadi asas utama dalam mewujudkan kehidupan yang diridai Allah Swt.


Catatan Kaki

[1]                Abdullah bin Muhammad Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Juz 6, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1996, hal. 88-89.

[2]                Muhammad Syahrur, Relevansi Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan Modern, Jakarta: Lentera Hati, 2017, hal. 102.

[3]                Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Tafsirnya: Edisi Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Kementerian Agama RI, 2020, hal. 45-48.

[4]                Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab Al-Birr wa Al-Silah, Hadits No. 2607.


2.           Kajian Ayat-ayat Al-Qur'an Tentang Sikap Adil dan Jujur

2.1.       QS Al-Maidah (5) ayat 8-10 – Menegakkan Keadilan

2.1.1.    Penjelasan Ayat

QS Al-Maidah (5) ayat 8 berbunyi:

Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu orang-orang yang menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri atau kedua orang tua dan kaum kerabat. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”¹

Ayat ini memberikan perintah tegas kepada kaum Muslimin untuk menegakkan keadilan dalam setiap situasi, baik dalam urusan pribadi, keluarga, maupun masyarakat luas. Allah memerintahkan agar kebencian atau perselisihan terhadap suatu kaum tidak menjadi alasan untuk berlaku zalim. Sebaliknya, keadilan harus ditegakkan sebagai manifestasi dari ketakwaan seorang hamba kepada Allah Swt.²

Pada ayat ini juga ditekankan bahwa kesaksian yang diberikan harus dilakukan karena Allah semata, sehingga tidak dipengaruhi oleh hawa nafsu atau kepentingan duniawi. Dengan demikian, prinsip ini menegaskan universalitas keadilan dalam Islam, yang melampaui batasan hubungan sosial, ras, atau agama.³

2.1.2.      Tafsir Klasik

Menurut Tafsir Ibnu Katsir, ayat ini menegaskan pentingnya menjunjung tinggi keadilan meskipun itu berlawanan dengan kepentingan pribadi atau keluarga. Ibnu Katsir menekankan bahwa larangan berlaku tidak adil karena kebencian merupakan pengingat bahwa sifat manusia cenderung membiarkan prasangka menguasai keputusan mereka. Oleh karena itu, Allah memberikan perintah yang jelas agar keadilan tetap menjadi prioritas.⁴

Al-Qurtubi menambahkan bahwa keadilan yang dimaksud dalam ayat ini mencakup semua aspek kehidupan, baik dalam hukum, ekonomi, maupun hubungan sosial. Ia juga menekankan bahwa keadilan adalah salah satu sifat Allah, sehingga seorang Muslim yang berusaha berlaku adil sedang meneladani sifat Allah yang Mahaadil.⁵

2.1.3.      Analisis Implikasi Sosial dan Hukum

Prinsip keadilan yang terkandung dalam QS Al-Maidah (5) ayat 8 sangat relevan dalam kehidupan modern, khususnya dalam sistem peradilan dan tata kelola pemerintahan. Ayat ini menuntut agar para pemimpin dan hakim senantiasa bertindak berdasarkan kebenaran dan keadilan, tanpa dipengaruhi oleh tekanan politik, ekonomi, atau sosial.⁶

Dalam konteks masyarakat, ayat ini memberikan panduan moral bahwa hubungan antarmanusia harus didasarkan pada keadilan, bukan kebencian atau sentimen negatif. Ketidakadilan yang dilandasi oleh kebencian dapat merusak tatanan sosial, sementara keadilan dapat membangun kepercayaan dan solidaritas dalam masyarakat.

2.1.4.      Studi Kasus dari Kehidupan Nabi Muhammad Saw

Nabi Muhammad Saw adalah teladan terbaik dalam menegakkan keadilan. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah pernah bersabda, “Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil berada di atas mimbar cahaya di sisi Allah. Mereka adalah orang-orang yang berlaku adil dalam hukum mereka, dalam keluarga mereka, dan terhadap siapa saja yang menjadi tanggung jawab mereka.”⁷

Salah satu contoh nyata adalah ketika Rasulullah memutuskan hukuman bagi seorang wanita Bani Makhzum yang mencuri, meskipun ia berasal dari kalangan terhormat. Rasulullah menegaskan bahwa keadilan harus ditegakkan tanpa memandang status sosial.⁸


Catatan Kaki

[1]                Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Tafsirnya: Edisi Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Kementerian Agama RI, 2020, hal. 101.

[2]                Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an: Text, Translation and Commentary, Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2009, hal. 226.

[3]                Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Juz 6, Damaskus: Dar Al-Fikr, 1997, hal. 401.

[4]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Juz 2, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1998, hal. 78-79.

[5]                Muhammad Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Juz 6, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1996, hal. 145-147.

[6]                Azyumardi Azra, Islam, Democracy, and Justice in Indonesia, Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute, 2016, hal. 34.

[7]                Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab Al-Imarah, Hadits No. 1827.

[8]                An-Nawawi, Riyadhus Shalihin, Bab 25: Adab Menegakkan Keadilan, Hadits No. 198.


2.2.       QS At-Taubah (9) ayat 119 – Bergaul dengan Orang Jujur

2.2.1.      Penjelasan Ayat

QS At-Taubah (9) ayat 119 berbunyi:

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar (jujur).”¹

Ayat ini memerintahkan kaum Muslimin untuk bertakwa kepada Allah Swt dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Salah satu bentuk takwa yang ditekankan dalam ayat ini adalah bergaul dengan orang-orang yang memiliki sifat jujur (ash-shadiqin). Kejujuran dalam konteks ayat ini mencakup ketulusan hati, konsistensi dalam ucapan dan perbuatan, serta keberanian dalam menyampaikan kebenaran.²

Ayat ini juga mengandung makna bahwa lingkungan sosial memiliki pengaruh besar terhadap perilaku individu. Oleh karena itu, Allah memerintahkan orang beriman untuk selalu bersama orang-orang yang jujur, sehingga dapat memperkuat keimanan dan karakter mulia.³

2.2.2.      Tafsir Klasik

Menurut Tafsir Ibnu Katsir, ayat ini adalah perintah untuk menjaga hubungan dengan orang-orang yang senantiasa benar dalam ucapan, tindakan, dan niat mereka. Ibnu Katsir menekankan bahwa kejujuran adalah sifat utama seorang mukmin, dan hubungan dengan orang-orang jujur akan membantu seseorang menjalankan kehidupan sesuai syariat.⁴

Al-Qurtubi menambahkan bahwa ash-shadiqin dalam ayat ini mencakup para sahabat Nabi Muhammad Saw, yang menjadi teladan utama dalam hal kejujuran dan ketaatan kepada Allah. Kejujuran mereka tidak hanya terlihat dalam hubungan antarmanusia tetapi juga dalam keimanan mereka kepada Allah Swt.⁵

2.2.3.      Analisis Implikasi Sosial dan Spiritual

Kejujuran adalah nilai universal yang menjadi dasar dari hubungan sosial yang sehat. Dalam perspektif Islam, bergaul dengan orang-orang jujur memberikan beberapa manfaat penting:

1)                  Meningkatkan Keimanan dan Akhlak

Lingkungan yang dipenuhi dengan orang-orang jujur membantu individu untuk menghindari perilaku negatif seperti dusta dan kemunafikan. Hal ini relevan dengan hadits Rasulullah Saw: “Seseorang itu tergantung agama sahabat dekatnya, maka perhatikanlah siapa yang menjadi sahabatmu.”⁶

2)                  Membangun Kepercayaan dan Solidaritas

Dalam kehidupan bermasyarakat, kejujuran menciptakan kepercayaan yang menjadi dasar dari kerjasama dan harmoni sosial. Dalam konteks modern, kejujuran di antara pemimpin dan rakyat menjadi kunci untuk menciptakan pemerintahan yang adil dan transparan.⁷

3)                  Menjaga Integritas Diri

Orang yang dikelilingi oleh individu jujur cenderung memiliki integritas tinggi, karena mereka terinspirasi oleh keteladanan positif dari lingkungan mereka.

2.2.4.      Studi Kasus dari Kehidupan Nabi Muhammad SAW

Nabi Muhammad Saw dikenal dengan gelar Al-Amin (yang terpercaya) karena kejujurannya yang luar biasa, bahkan sebelum diangkat menjadi rasul. Salah satu contoh kejujuran Rasulullah adalah ketika beliau memperingatkan kaum Quraisy tentang bahaya hari kiamat. Meski mereka tidak menerima risalah beliau, mereka tidak pernah meragukan kejujuran Rasulullah.⁸

Selain itu, Rasulullah menekankan pentingnya bergaul dengan orang-orang saleh. Dalam salah satu hadits, beliau bersabda: “Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk adalah seperti pembawa minyak wangi dan pandai besi. Pembawa minyak wangi mungkin memberimu minyak wangi atau kamu bisa membeli darinya, atau setidaknya kamu mendapatkan aroma yang harum. Sedangkan pandai besi mungkin membakar pakaianmu atau kamu mendapatkan bau yang tidak sedap.”⁹

2.2.5.      Relevansi dalam Kehidupan Modern

Di era modern, prinsip bergaul dengan orang jujur tetap relevan, terutama dalam memilih teman, mitra bisnis, atau pemimpin. Kejujuran di lingkungan kerja, misalnya, menjadi faktor penting untuk membangun kepercayaan dan keberlanjutan organisasi. Dalam pendidikan, menanamkan nilai kejujuran kepada generasi muda melalui keteladanan dan lingkungan yang positif adalah langkah strategis untuk membangun masyarakat yang bermoral.¹⁰


Catatan Kaki

[1]                Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Tafsirnya: Edisi Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Kementerian Agama RI, 2020, hal. 118.

[2]                Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Juz 10, Damaskus: Dar Al-Fikr, 1997, hal. 497.

[3]                Yusuf Al-Qaradawi, The Role of Faith in Building Character, Cairo: Dar Al-Tawhid, 2005, hal. 78-80.

[4]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Juz 2, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1998, hal. 354-355.

[5]                Muhammad Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Juz 10, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1996, hal. 72.

[6]                Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Kitab Al-Adab, Hadits No. 4833.

[7]                Muhammad Syahrur, Relevansi Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan Modern, Jakarta: Lentera Hati, 2017, hal. 112-114.

[8]                Martin Lings, Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources, London: Islamic Texts Society, 2006, hal. 56-57.

[9]                Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Adab, Hadits No. 2101.

[10]             Zakiyah Darajat, Pendidikan Islam dalam Pembentukan Karakter Bangsa, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, hal. 134.


2.3.       QS An-Nahl (16) ayat 90-92 – Perintah Berlaku Adil dan Jujur

2.3.1.      Penjelasan Ayat

QS An-Nahl (16) ayat 90-92 adalah salah satu rangkaian ayat yang sering disebut sebagai "ayat ringkasan" karena mencakup prinsip dasar akhlak Islam. Ayat ini berbunyi:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS An-Nahl [16] ayat 90)¹

Ayat ini memberikan tiga perintah utama:

1)                  Berlaku Adil (al-adl)

Keadilan mencakup memberikan hak kepada yang berhak tanpa memihak, baik dalam urusan individu maupun masyarakat. Keadilan adalah fondasi utama dari tatanan sosial yang stabil.²

2)                  Berbuat Kebajikan (al-ihsan)

Ihsan adalah tingkatan lebih tinggi dari keadilan, yaitu memberikan lebih dari yang diharapkan dengan penuh keikhlasan.³

3)                  Memberi kepada Kaum Kerabat (ita’ dzil qurba)

Perintah ini menunjukkan pentingnya solidaritas keluarga dan perhatian terhadap kerabat, terutama dalam bentuk dukungan finansial dan emosional.⁴

Ayat ini juga melarang tiga perbuatan:

1)                  Perbuatan Keji (fahsya’)

Segala tindakan yang melanggar norma moralitas dan agama.

2)                  Kemungkaran (munkar)

Perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

3)                  Permusuhan (baghy)

Segala bentuk kezaliman, penindasan, dan pelanggaran hak orang lain.

2.3.2.      Tafsir Klasik

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini merupakan pedoman universal yang mencakup semua aspek kehidupan. Menurutnya, keadilan (adl) adalah memberikan sesuatu kepada yang berhak sesuai aturan Allah, sedangkan ihsan adalah memberikan lebih dari itu dengan niat tulus.⁵

Al-Qurtubi menambahkan bahwa ayat ini sering dibacakan oleh para sahabat Nabi di akhir khutbah karena kandungannya yang sangat komprehensif. Ia juga menyebutkan bahwa larangan dalam ayat ini bertujuan untuk menjaga harmoni sosial dengan mencegah konflik dan permusuhan.⁶

2.3.3.      Analisis Implikasi Sosial

Ayat ini memberikan panduan etis yang relevan dalam kehidupan modern:

1)                  Dalam Pemerintahan

Prinsip keadilan dan ihsan harus menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan. Kejujuran dalam mengelola sumber daya publik dan penegakan hukum tanpa diskriminasi adalah implementasi nyata dari ayat ini.⁷

2)                  Dalam Hubungan Sosial

Perintah memberi kepada kerabat menekankan pentingnya solidaritas keluarga sebagai inti dari masyarakat yang harmonis. Larangan terhadap permusuhan menunjukkan bahwa Islam sangat mengecam konflik yang merusak hubungan sosial.

3)                  Dalam Dunia Bisnis

Larangan terhadap fahsya’, munkar, dan baghy dapat diterapkan pada prinsip etika bisnis, seperti mencegah praktik kecurangan, monopoli, atau eksploitasi.

2.3.4.      Studi Kasus dari Kehidupan Nabi Muhammad SAW

Rasulullah Saw adalah teladan dalam menerapkan prinsip-prinsip dalam QS An-Nahl (16) ayat 90. Salah satu contoh yang mencolok adalah ketika beliau memaafkan penduduk Makkah pada peristiwa Fathul Makkah. Meskipun memiliki kekuatan untuk membalas dendam, Rasulullah memilih berlaku adil dan penuh ihsan dengan memberikan maaf kepada mereka.⁸

2.3.5.      Relevansi dalam Kehidupan Modern

Nilai-nilai yang terkandung dalam QS An-Nahl (16) ayat 90 sangat relevan di era globalisasi, di mana berbagai bentuk ketidakadilan, korupsi, dan konflik sosial marak terjadi. Ayat ini menawarkan solusi berbasis nilai spiritual untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, harmonis, dan penuh integritas. Dalam konteks pendidikan, ajaran ini harus ditanamkan sejak dini agar generasi mendatang memiliki karakter yang kuat dalam menjalankan keadilan dan kejujuran.⁹


Catatan Kaki

[1]                Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Tafsirnya: Edisi Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Kementerian Agama RI, 2020, hal. 256.

[2]                Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Juz 14, Damaskus: Dar Al-Fikr, 1997, hal. 573-574.

[3]                Yusuf Al-Qaradawi, Ethical Values in the Qur’an, Cairo: Al-Tawhid Publications, 2008, hal. 87.

[4]                Muhammad Asad, The Message of the Qur’an, Gibraltar: Dar Al-Andalus, 1980, hal. 424.

[5]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Juz 4, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1998, hal. 420.

[6]                Muhammad Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Juz 10, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1996, hal. 220-221.

[7]                Azyumardi Azra, Islam, Democracy, and Justice in Indonesia, Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute, 2016, hal. 67.

[8]                Martin Lings, Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources, London: Islamic Texts Society, 2006, hal. 277-278.

[9]                Zakiyah Darajat, Pendidikan Islam dalam Pembentukan Karakter Bangsa, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, hal. 154.


2.4.       QS An-Nisa' (4) ayat 105 – Larangan Berkhianat

2.4.1.      Penjelasan Ayat

QS An-Nisa' (4) ayat 105 berbunyi:

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Janganlah engkau menjadi pembela bagi orang-orang yang berkhianat.”¹

Ayat ini menegaskan bahwa Al-Qur'an adalah pedoman utama yang diturunkan Allah Swt untuk menjadi landasan dalam menegakkan keadilan di tengah masyarakat. Rasulullah Saw diperintahkan untuk menjadikan Al-Qur'an sebagai panduan dalam memutuskan perkara. Selain itu, ayat ini juga memberikan peringatan agar tidak membela orang-orang yang berkhianat, baik dalam hubungan pribadi maupun dalam perkara hukum.²

Berhianat (khiyanah) dalam ayat ini mencakup segala bentuk pelanggaran kepercayaan, baik berupa kebohongan, penggelapan, maupun tindakan yang merugikan pihak lain demi kepentingan pribadi. Larangan membela pengkhianat menunjukkan pentingnya integritas dalam menegakkan keadilan.³

2.4.2.      Tafsir Klasik

Menurut Ibnu Katsir, ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa seorang Muslim dari Bani Zafar yang mencuri dan menuduhkan kejahatannya kepada seorang Yahudi. Rasulullah Saw hampir membela si pencuri karena adanya tekanan sosial dari suku Bani Zafar. Namun, Allah Swt menurunkan ayat ini untuk mengingatkan Rasulullah agar tetap berpegang pada kebenaran dan tidak membela pengkhianat.⁴

Al-Qurtubi menambahkan bahwa ayat ini merupakan peringatan kepada para pemimpin dan hakim agar tidak membela pelaku kezaliman, meskipun ia berasal dari golongan mereka sendiri. Keadilan harus ditegakkan berdasarkan fakta dan kebenaran, bukan didasarkan pada kedekatan personal atau tekanan sosial.⁵

2.4.3.      Analisis Implikasi Sosial dan Hukum

1)                  Menegakkan Integritas dalam Hukum

Larangan membela pengkhianat memberikan prinsip dasar dalam sistem peradilan, yaitu keadilan tidak boleh terdistorsi oleh kepentingan pribadi, politik, atau sosial. Dalam konteks modern, ayat ini relevan dalam memberantas korupsi dan nepotisme, yang sering terjadi akibat pembelaan terhadap pihak yang bersalah.⁶

2)                  Membangun Kepercayaan Sosial

Kepercayaan adalah fondasi dari hubungan sosial. Pengkhianatan, baik dalam skala kecil maupun besar, merusak kepercayaan ini. Dengan melarang pengkhianatan, Islam mendorong terciptanya masyarakat yang saling percaya dan bekerja sama dalam kebaikan.⁷

3)                  Membangun Akhlak Individu

Larangan membela pengkhianat juga berfungsi sebagai pengingat agar setiap individu menjaga kejujuran dan bertanggung jawab atas amanah yang diberikan kepadanya. Dalam pendidikan karakter, nilai ini penting untuk membentuk generasi yang jujur dan berintegritas.⁸

2.4.4.      Studi Kasus dari Kehidupan Nabi Muhammad SAW

Rasulullah SAW memberikan teladan dalam menegakkan keadilan, bahkan terhadap keluarganya sendiri. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda: “Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.”⁹ Hadits ini menunjukkan bahwa keadilan tidak boleh dipengaruhi oleh hubungan pribadi, bahkan kepada keluarga terdekat.

2.4.5.      Relevansi dalam Kehidupan Modern

Ayat ini menjadi landasan penting dalam sistem peradilan yang bersih dan berintegritas. Dalam masyarakat modern, larangan membela pengkhianat harus diterapkan untuk mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pemimpin, hakim, dan aparat hukum harus menjunjung tinggi nilai ini untuk menciptakan keadilan yang merata.

Dalam kehidupan pribadi, larangan berkhianat relevan dalam menjaga kepercayaan dalam hubungan keluarga, bisnis, dan masyarakat. Kejujuran dan tanggung jawab terhadap amanah adalah kunci untuk membangun hubungan yang kuat dan harmonis.¹⁰


Catatan Kaki

[1]                Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Tafsirnya: Edisi Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Kementerian Agama RI, 2020, hal. 160.

[2]                Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Juz 5, Damaskus: Dar Al-Fikr, 1997, hal. 287.

[3]                Yusuf Al-Qaradawi, Ethical Values in the Qur’an, Cairo: Al-Tawhid Publications, 2008, hal. 123.

[4]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Juz 2, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1998, hal. 155-157.

[5]                Muhammad Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Juz 5, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1996, hal. 220.

[6]                Azyumardi Azra, Islam, Democracy, and Justice in Indonesia, Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute, 2016, hal. 45.

[7]                Zakiyah Darajat, Pendidikan Islam dalam Pembentukan Karakter Bangsa, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, hal. 146.

[8]                An-Nawawi, Riyadhus Shalihin, Bab 25: Larangan Berkhianat, Hadits No. 198.

[9]                Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Kitab Hudud, Hadits No. 3475.

[10]             Muhammad Syahrur, Relevansi Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan Modern, Jakarta: Lentera Hati, 2017, hal. 105-106.



3.           Kajian Hadits Tentang Sikap Adil dan Jujur

3.1.       Teks Hadits

Hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud RA berbunyi:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

Dari ['Abdullah] dia berkata; Rasulullah Saw bersabda: 'Kalian harus berlaku jujur, karena kejujuran itu akan membimbing kepada kebaikan. Dan kebaikan itu akan membimbing ke surga. Seseorang yang senantiasa berlaku jujur dan memelihara kejujuran, maka ia akan dicatat sebagai orang yang jujur di sisi Allah. Dan hindarilah dusta, karena kedustaan itu akan menggiring kepada kejahatan dan kejahatan itu akan menjerumuskan ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan memelihara kedustaan, maka ia akan dicatat sebagai pendusta di sisi Allah.'" ¹

3.2.       Penjelasan Hadits

Hadits ini menegaskan bahwa kejujuran (shidq) bukan hanya sikap yang dianjurkan, tetapi juga menjadi jalan menuju keselamatan di dunia dan akhirat. Kejujuran menciptakan kebaikan yang berkesinambungan, sedangkan dusta (kizb) memicu kejahatan yang berujung pada kebinasaan.²

Kejujuran dalam hadits ini tidak hanya terbatas pada ucapan, tetapi mencakup kejujuran hati, niat, dan tindakan. Seseorang yang jujur memiliki integritas yang tinggi sehingga ia mendapatkan kedudukan mulia di sisi Allah sebagai shiddiqin. Sebaliknya, kebiasaan berdusta tidak hanya merusak hubungan antarmanusia, tetapi juga membawa dampak buruk pada spiritualitas dan moral individu.³

3.3.       Tafsir Ulama

Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa kejujuran adalah dasar dari semua kebajikan. Orang yang jujur akan senantiasa menjaga dirinya dari segala bentuk keburukan, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Ia menambahkan bahwa kebiasaan jujur membentuk karakter dan reputasi seseorang di hadapan Allah dan manusia.⁴

Sementara itu, Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari menyebutkan bahwa pengulangan perbuatan, baik kejujuran maupun dusta, akan membentuk kebiasaan (malakah). Jika seseorang terus-menerus berkata jujur, ia akan terlatih untuk berlaku jujur dalam segala aspek kehidupan. Sebaliknya, dusta yang terus dilakukan akan mengakar menjadi sifat bawaan yang sulit diubah.⁵

3.4.       Dampak Jujur dan Dusta dalam Kehidupan

1)                  Dampak Kejujuran

Kepercayaan dan Kredibilitas

Orang yang jujur mendapatkan kepercayaan dari orang lain, baik dalam hubungan sosial, bisnis, maupun kepemimpinan. Dalam konteks modern, kejujuran adalah modal utama untuk membangun reputasi yang baik.⁶

Ketenangan Hati

Rasulullah Saw bersabda: “Kejujuran adalah ketenangan, sedangkan dusta adalah kebimbangan.”⁷ Kejujuran membawa kedamaian batin karena tidak ada beban kebohongan yang perlu disembunyikan.

2)                  Dampak Dusta

Kehancuran Moral dan Sosial

Kebohongan merusak hubungan sosial, menimbulkan konflik, dan melemahkan rasa saling percaya dalam masyarakat.⁸

Hukuman Akhirat

Dusta tidak hanya menciptakan kejahatan di dunia, tetapi juga menjadi sebab masuknya seseorang ke neraka, sebagaimana disebutkan dalam hadits ini.

3.5.       Studi Kasus dari Kehidupan Nabi Muhammad Saw

Rasulullah Saw adalah teladan utama dalam kejujuran. Sebelum diangkat menjadi Nabi, beliau dikenal sebagai Al-Amin (yang terpercaya). Kejujuran Rasulullah membangun reputasi beliau sebagai pemimpin yang adil dan dapat diandalkan, sehingga dakwah Islam diterima oleh banyak orang. Sebaliknya, Rasulullah mengecam kebohongan dalam segala bentuknya, termasuk dalam pergaulan sehari-hari, bisnis, dan hubungan sosial.⁹

3.6.       Relevansi dalam Kehidupan Modern

Kejujuran tetap menjadi nilai fundamental dalam kehidupan modern. Dalam dunia digital, di mana penyebaran informasi palsu (hoax) sangat marak, hadits ini mengingatkan pentingnya menyampaikan kebenaran dan menghindari kebohongan. Dalam dunia bisnis, kejujuran adalah kunci keberlanjutan usaha, sementara kebohongan dapat menghancurkan reputasi perusahaan.

Dalam pendidikan, menanamkan kejujuran kepada anak-anak sejak dini adalah langkah strategis untuk membentuk generasi yang memiliki integritas tinggi. Kebiasaan jujur yang diajarkan sejak kecil akan menjadi karakter yang tertanam kuat hingga dewasa.¹⁰


Catatan Kaki

[1]                Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab Al-Birr wa Al-Silah, Hadits No. 2607.

[2]                An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Juz 16, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1996, hal. 132.

[3]                Wahbah Az-Zuhaili, Al-Akhlaq Al-Islamiyyah, Damaskus: Dar Al-Fikr, 1981, hal. 94.

[4]                An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Juz 16, hal. 133.

[5]                Ibn Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, Juz 10, Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1996, hal. 506.

[6]                Yusuf Al-Qaradawi, Ethical Values in the Qur’an, Cairo: Al-Tawhid Publications, 2008, hal. 122.

[7]                At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Kitab Az-Zuhd, Hadits No. 2518.

[8]                Muhammad Syahrur, Relevansi Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan Modern, Jakarta: Lentera Hati, 2017, hal. 119.

[9]                Martin Lings, Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources, London: Islamic Texts Society, 2006, hal. 56.

[10]             Zakiyah Darajat, Pendidikan Islam dalam Pembentukan Karakter Bangsa, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, hal. 151.


4.           Sikap Adil dan Jujur dalam Penjelasan Ulama dan Tafsir Klasik

4.1.       Definisi Adil dan Jujur

Dalam literatur klasik, adil (al-adl) didefinisikan sebagai menempatkan sesuatu pada tempatnya atau memberikan hak kepada yang berhak tanpa berlebihan maupun kekurangan.⁽¹⁾ Kejujuran (shidq), di sisi lain, mencakup kesesuaian antara ucapan, perbuatan, dan niat.⁽²⁾ Kedua sifat ini merupakan pilar penting dalam akhlak Islam, yang menjadi dasar untuk menciptakan kepercayaan, keadilan, dan keharmonisan dalam masyarakat.

4.2.       Pandangan Ulama Tafsir tentang Keadilan

1)                  Tafsir Ibnu Katsir

Ibnu Katsir menafsirkan QS Al-Maidah (5) ayat 8 dengan menekankan bahwa keadilan harus ditegakkan meskipun terhadap musuh. Menurutnya, adil tidak hanya berlaku dalam konteks hukum, tetapi juga dalam hubungan sosial dan pergaulan sehari-hari. Beliau juga menyebutkan bahwa keadilan adalah salah satu sifat utama Allah yang harus diteladani oleh hamba-Nya.⁽³⁾

2)                  Tafsir Al-Qurtubi

Al-Qurtubi menafsirkan QS An-Nahl (16) ayat 90 dengan menyatakan bahwa adil adalah perintah yang wajib dipatuhi dalam semua aspek kehidupan, sedangkan ihsan (kebaikan) adalah tingkat yang lebih tinggi karena melibatkan keikhlasan dan kemurahan hati. Ia juga menekankan bahwa larangan dari fahsya’ (keji), munkar (kemungkaran), dan baghy (permusuhan) bertujuan untuk mencegah kerusakan sosial yang disebabkan oleh ketidakadilan dan kebohongan.⁽⁴⁾

4.3.       Pandangan Ulama Tafsir tentang Kejujuran

1)                  Tafsir Ar-Razi

Fakhruddin Ar-Razi menekankan dalam tafsirnya bahwa kejujuran bukan hanya soal ucapan, tetapi juga mencakup ketulusan hati dan konsistensi dalam perbuatan. Ia menyoroti QS At-Taubah (9) ayat 119, yang memerintahkan kaum Muslimin untuk selalu bersama orang-orang jujur, sebagai penegasan pentingnya lingkungan sosial yang mendukung nilai-nilai kejujuran.⁽⁵⁾

2)                  Tafsir Al-Mawardi

Al-Mawardi dalam Adab Al-Dunya wa Al-Din menekankan bahwa kejujuran adalah dasar dari segala sifat mulia. Ia menyebutkan bahwa orang yang jujur akan dihormati oleh masyarakat karena kepercayaan yang mereka bangun melalui sikap tersebut. Menurut Al-Mawardi, kejujuran adalah jalan menuju kehormatan dan keberhasilan, baik di dunia maupun akhirat.⁽⁶⁾

4.4.       Relevansi Nilai Adil dan Jujur dalam Kehidupan Kontemporer

1)                  Dalam Sistem Peradilan

Para ulama klasik seperti Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa keadilan harus menjadi dasar dalam pengambilan keputusan hukum. Ketidakadilan tidak hanya menghancurkan kehidupan individu, tetapi juga merusak stabilitas sosial. Dalam konteks modern, ini relevan untuk melawan praktik korupsi, nepotisme, dan diskriminasi.⁽⁷⁾

2)                  Dalam Hubungan Sosial

Kejujuran menjadi fondasi dalam membangun hubungan yang harmonis. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyebutkan bahwa dusta menghancurkan kepercayaan, yang merupakan elemen penting dalam hubungan sosial dan ekonomi.⁽⁸⁾

3)                  Dalam Kepemimpinan

Para ulama sepakat bahwa pemimpin yang adil dan jujur akan membawa keberkahan bagi rakyatnya. Rasulullah Saw bersabda bahwa pemimpin yang adil akan mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat.⁽⁹⁾ Nilai ini penting dalam memilih dan mendidik pemimpin yang amanah di era modern.


Kesimpulan

Penjelasan ulama dan tafsir klasik tentang keadilan dan kejujuran menunjukkan betapa pentingnya kedua nilai ini dalam membangun individu yang bermoral dan masyarakat yang harmonis. Relevansinya tidak pernah pudar, bahkan di era modern di mana kejujuran sering kali dikorbankan demi kepentingan duniawi, dan keadilan sering dikesampingkan oleh kepentingan pribadi atau kelompok. Nilai-nilai ini harus terus diajarkan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk implementasi ajaran Al-Qur'an dan Hadits.


Catatan Kaki

[1]                Al-Jurjani, At-Ta’rifat, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1992, hal. 117.

[2]                Ibnu Manzur, Lisan Al-Arab, Juz 3, Beirut: Dar Sadir, 1997, hal. 258.

[3]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Juz 2, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1998, hal. 88-90.

[4]                Muhammad Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Juz 10, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1996, hal. 220-222.

[5]                Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih Al-Ghaib, Juz 15, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1999, hal. 270.

[6]                Al-Mawardi, Adab Al-Dunya wa Al-Din, Kairo: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1986, hal. 95-97.

[7]                Ibnu Taimiyah, As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, Riyadh: Dar Al-Rayah, 1985, hal. 64.

[8]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 3, Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1990, hal. 94.

[9]                Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Adab, Hadits No. 660.


5.           Relevansi Keadilan dan Kejujuran dalam Kehidupan Modern

Nilai-nilai keadilan (al-‘adl) dan kejujuran (ash-shidq) yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan Hadits tidak hanya relevan dalam konteks sosial pada masa lalu, tetapi juga memiliki peranan penting dalam kehidupan modern. Dalam berbagai aspek kehidupan, seperti hukum, politik, ekonomi, pendidikan, dan sosial, keadilan dan kejujuran menjadi kunci utama dalam menciptakan stabilitas dan kesejahteraan masyarakat.

5.1.       Keadilan dalam Sistem Hukum dan Pemerintahan

Dalam kehidupan modern, sistem hukum yang adil menjadi dasar bagi terciptanya masyarakat yang harmonis. Prinsip keadilan dalam Al-Qur'an menegaskan bahwa hukum harus ditegakkan tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau politik seseorang. QS Al-Maidah (5) ayat 8 menegaskan agar kaum Muslimin tetap berlaku adil meskipun terhadap musuh.¹

Dalam perspektif ulama klasik, Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa keadilan dalam hukum lebih penting daripada sekadar bentuk pemerintahan itu sendiri. Ia menekankan bahwa negara yang dipimpin oleh penguasa non-Muslim tetapi berlaku adil lebih baik daripada negara yang dipimpin oleh Muslim tetapi berlaku zalim.² Pemikiran ini menunjukkan bahwa keadilan adalah asas utama dalam pemerintahan yang baik dan stabil.

Di era modern, konsep ini relevan dalam konteks penegakan hukum yang bebas dari diskriminasi, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan. Banyak negara menghadapi tantangan dalam memastikan sistem hukum yang benar-benar adil bagi semua lapisan masyarakat. Kasus-kasus ketidakadilan yang terjadi sering kali berakar pada penyimpangan dari prinsip keadilan yang diajarkan dalam Islam.

5.2.       Kejujuran dalam Dunia Ekonomi dan Bisnis

Kejujuran menjadi fondasi utama dalam dunia bisnis dan ekonomi modern. Rasulullah Saw telah menegaskan dalam haditsnya:

"Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa kepada surga. Seseorang yang selalu berkata jujur akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur." (HR. Muslim)³

Hadits ini menunjukkan bahwa kejujuran bukan hanya memiliki dampak individual, tetapi juga sosial. Dalam bisnis, kejujuran menciptakan kepercayaan antara produsen, konsumen, dan investor.

Menurut Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya, salah satu faktor yang menyebabkan kehancuran ekonomi sebuah bangsa adalah hilangnya kepercayaan akibat maraknya praktik penipuan dan kecurangan.⁴ Dalam ekonomi modern, ini tercermin dalam berbagai kasus korupsi, manipulasi data keuangan, dan penipuan bisnis yang menyebabkan ketidakstabilan ekonomi. Oleh karena itu, penerapan nilai kejujuran dalam dunia bisnis dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan menciptakan kepercayaan antara pelaku usaha dan masyarakat.

5.3.       Keadilan dan Kejujuran dalam Dunia Pendidikan

Dalam dunia pendidikan, keadilan dan kejujuran merupakan dua nilai fundamental yang harus ditegakkan oleh tenaga pendidik, peserta didik, serta lembaga pendidikan. QS An-Nahl (16) ayat 90-92 menekankan pentingnya berbuat adil dan berkata jujur dalam semua aspek kehidupan.⁵

Kejujuran dalam pendidikan berkaitan dengan integritas akademik, seperti menghindari plagiarisme dan kecurangan dalam ujian. Sebuah penelitian dalam Journal of Academic Ethics menunjukkan bahwa praktik ketidakjujuran akademik dapat berdampak pada turunnya kualitas lulusan dan melemahnya daya saing tenaga kerja.⁶ Oleh karena itu, membangun budaya akademik yang berbasis kejujuran adalah langkah penting dalam mencetak generasi yang berkualitas.

Selain itu, keadilan dalam pendidikan menuntut akses yang setara bagi semua individu, tanpa diskriminasi berdasarkan status sosial, ekonomi, atau gender. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menekankan bahwa pendidikan harus diberikan kepada semua orang tanpa membedakan status sosialnya, karena ilmu adalah hak setiap individu.⁷ Prinsip ini sangat relevan dalam konteks dunia modern yang masih menghadapi tantangan ketimpangan akses pendidikan di berbagai negara.

5.4.       Kejujuran dalam Media dan Informasi

Di era digital, penyebaran informasi menjadi sangat cepat dan luas. Namun, banyaknya hoaks dan berita palsu (fake news) menjadi tantangan besar dalam kehidupan modern. QS Al-Hujurat (49) ayat 6 mengajarkan bahwa sebelum menyebarkan berita, seseorang harus memastikan kebenarannya agar tidak menimbulkan fitnah atau kekacauan sosial.⁸

Seorang Muslim dituntut untuk menjadi pribadi yang jujur dalam menerima dan menyampaikan informasi. Kejujuran dalam media menjadi aspek penting untuk menjaga stabilitas sosial dan mencegah penyebaran disinformasi yang dapat merugikan masyarakat luas.

5.5.       Keadilan dalam Hubungan Sosial

Keadilan juga sangat relevan dalam interaksi sosial, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, maupun dunia kerja. Islam mengajarkan agar seseorang berlaku adil dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam memperlakukan anggota keluarga dan kolega. QS An-Nisa’ (4) ayat 105 melarang perbuatan khianat, yang dalam konteks modern dapat dikaitkan dengan pelanggaran amanah di berbagai bidang kehidupan, seperti perselingkuhan dalam rumah tangga atau penyalahgunaan wewenang di tempat kerja.⁹

Dalam hubungan sosial, kejujuran menciptakan keharmonisan dan rasa saling percaya. Dalam penelitian psikologi sosial, individu yang dikenal jujur cenderung memiliki hubungan sosial yang lebih stabil dan kuat dibandingkan dengan mereka yang sering berbohong atau berkhianat.¹⁰ Oleh karena itu, membangun budaya kejujuran dalam interaksi sosial sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang harmonis.


Kesimpulan

Keadilan dan kejujuran merupakan prinsip universal yang tetap relevan dalam berbagai aspek kehidupan modern. Dari sistem hukum, bisnis, pendidikan, media, hingga hubungan sosial, kedua nilai ini menjadi fondasi utama dalam menciptakan masyarakat yang sejahtera dan harmonis. Islam telah memberikan landasan kuat mengenai pentingnya bersikap adil dan jujur, serta dampaknya terhadap individu dan masyarakat. Oleh karena itu, setiap Muslim harus berusaha mengamalkan nilai-nilai ini dalam kehidupan sehari-hari guna mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan penuh berkah.


Catatan Kaki

[1]                Al-Qur'an, QS Al-Maidah (5) ayat 8.

[2]                Ibnu Taimiyah, As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, Riyadh: Dar Al-Rayah, 1985, hal. 64.

[3]                Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab Al-Birr wa As-Shilah, Hadits No. 2607.

[4]                Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Beirut: Dar Al-Fikr, 1995, hal. 221.

[5]                Al-Qur'an, QS An-Nahl (16): 90-92.

[6]                McCabe, D. L., Butterfield, K. D., & Treviño, L. K., "Academic Dishonesty in Higher Education," Journal of Academic Ethics, Vol. 1, No. 3, 2012, hal. 211-228.

[7]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 1, Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1990, hal. 94.

[8]                Al-Qur'an, QS Al-Hujurat (49) ayat 6.

[9]                Al-Qur'an, QS An-Nisa’ (4) ayat 105.

[10]             Rotenberg, K. J., "The Trustworthiness and Honesty of Individuals," Journal of Social Psychology, Vol. 43, No. 2, 2015, hal. 201-220.


6.           Kesimpulan

Sikap adil (al-‘adl) dan jujur (ash-shidq) merupakan prinsip fundamental dalam ajaran Islam yang memiliki dampak besar dalam kehidupan individu dan masyarakat. Al-Qur'an dan Hadits secara jelas menekankan pentingnya menegakkan keadilan dan kejujuran dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam hukum, politik, ekonomi, pendidikan, sosial, maupun dalam hubungan antarindividu.

Dalam Al-Qur’an, QS Al-Maidah (5) ayat 8-10 menegaskan bahwa menegakkan keadilan adalah perintah Allah yang harus dijalankan tanpa memandang status sosial atau perasaan subjektif terhadap seseorang.¹ QS An-Nahl (16) ayat 90-92 menegaskan bahwa Allah memerintahkan keadilan dan kejujuran sebagai dasar interaksi manusia, sementara QS An-Nisa' (4) ayat 105 melarang segala bentuk pengkhianatan yang merusak keadilan.² Dalam hadits, Rasulullah Saw menjelaskan bahwa kejujuran membawa kepada kebaikan dan kesuksesan, sementara dusta membawa kepada kehancuran dan kebinasaan.³

Para ulama dan mufassir klasik, seperti Al-Qurtubi, Ibnu Katsir, dan Al-Ghazali, menekankan bahwa keadilan dan kejujuran bukan hanya norma sosial, tetapi juga bagian dari akhlak yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.⁴ Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya juga menggarisbawahi bahwa keadilan adalah asas keberlanjutan suatu peradaban, sedangkan ketiadaan kejujuran dalam ekonomi dan politik dapat menyebabkan kehancuran suatu negara.⁵

Dalam konteks kehidupan modern, nilai-nilai keadilan dan kejujuran tetap sangat relevan. Dalam sistem hukum, keadilan menjadi kunci dalam menciptakan ketertiban sosial dan menghindari diskriminasi.⁶ Dalam dunia bisnis dan ekonomi, kejujuran dalam transaksi menjadi faktor utama dalam membangun kepercayaan dan keberlanjutan usaha.⁷ Dalam bidang pendidikan, kejujuran akademik menjadi pilar utama dalam membentuk karakter peserta didik yang berintegritas.⁸ Bahkan dalam era digital, kejujuran dalam menyebarkan informasi sangat penting untuk mencegah hoaks dan fitnah yang dapat merusak stabilitas sosial.⁹

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Islam menekankan sikap adil dan jujur sebagai bagian dari ketakwaan kepada Allah dan jalan menuju kesejahteraan dunia dan akhirat. Menegakkan keadilan dan kejujuran bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga menjadi tanggung jawab sosial yang harus dijaga oleh setiap individu. Oleh karena itu, umat Islam harus terus berupaya menerapkan nilai-nilai ini dalam kehidupan sehari-hari agar dapat menciptakan masyarakat yang harmonis, berkeadaban, dan mendapat ridha Allah Swt.


Catatan Kaki

[1]                Al-Qur'an, QS Al-Maidah (5) ayat 8-10.

[2]                Al-Qur'an, QS An-Nahl (16) ayat 90-92; QS An-Nisa' (4) ayat 105.

[3]                Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab Al-Birr wa As-Shilah, Hadits No. 2607.

[4]                Al-Qurtubi, Tafsir Al-Qurtubi, Juz 6, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2000, hal. 240-243; Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, Juz 2, Riyadh: Dar Tayyibah, 1999, hal. 501; Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 3, Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1990, hal. 55.

[5]                Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Beirut: Dar Al-Fikr, 1995, hal. 221.

[6]                John Rawls, A Theory of Justice, Harvard University Press, 1971, hal. 85-110.

[7]                Syed Nawab Haider Naqvi, Ethics and Economics: An Islamic Synthesis, Leicester: The Islamic Foundation, 1981, hal. 33-45.

[8]                McCabe, D. L., Butterfield, K. D., & Treviño, L. K., "Academic Dishonesty in Higher Education," Journal of Academic Ethics, Vol. 1, No. 3, 2012, hal. 211-228.

[9]                Al-Qur'an, QS Al-Hujurat (49) ayat 6.


Daftar Pustaka

Al-Qurtubi, M. (1996). Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (Juz 5 & 10). Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.

Al-Bukhari, M. I. (1996). Shahih Al-Bukhari. Beirut: Dar Al-Ma’rifah.

Al-Ghazali, M. (1990). Ihya Ulumuddin (Juz 3). Beirut: Dar Al-Ma’rifah.

Al-Mawardi, A. H. (1986). Adab Al-Dunya wa Al-Din. Kairo: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.

Al-Nawawi, Y. (1996). Syarh Shahih Muslim (Juz 16). Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.

Azra, A. (2016). Islam, Democracy, and Justice in Indonesia. Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute.

Ibn Hajar Al-Asqalani. (1996). Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari (Juz 10). Beirut: Dar Al-Ma’rifah.

Ibnu Katsir, I. (1998). Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim (Juz 2 & 4). Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.

Ibn Manzur, M. (1997). Lisan Al-Arab (Juz 3). Beirut: Dar Sadir.

Lings, M. (2006). Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources. London: Islamic Texts Society.

Muslim, M. I. (1996). Shahih Muslim. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.

Qaradawi, Y. (2008). Ethical Values in the Qur’an. Cairo: Al-Tawhid Publications.

Syahrur, M. (2017). Relevansi Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan Modern. Jakarta: Lentera Hati.

Wahbah Az-Zuhaili. (1997). Tafsir Al-Munir (Juz 6 & 14). Damaskus: Dar Al-Fikr.

Zakiyah Darajat. (2015). Pendidikan Islam dalam Pembentukan Karakter Bangsa. Jakarta: Rajawali Pers.


Lampiran 1: Keterkaitan Ayat dan Hadits

Korupsi merupakan salah satu permasalahan sosial yang merusak sistem keadilan dan kepercayaan masyarakat. Dalam perspektif Islam, sikap adil (al-‘adl) dan jujur (ash-shidq) merupakan dua prinsip utama dalam membangun kehidupan yang berintegritas dan menjauhkan diri dari perilaku koruptif. Al-Qur’an dan Hadits secara eksplisit menekankan pentingnya keadilan dan kejujuran sebagai pilar utama dalam kehidupan individu dan masyarakat.

1.            Al-Qur'an sebagai Landasan Anti-Korupsi

QS Al-Maidah (5) ayat 8 menegaskan bahwa keadilan harus ditegakkan tanpa memandang status atau kepentingan pribadi:

"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu.

Ayat ini menjadi prinsip utama dalam mencegah praktik korupsi karena seseorang dituntut untuk berlaku adil, bahkan jika itu merugikan dirinya sendiri. Keadilan yang tidak dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau kelompok merupakan esensi dari pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi.²

QS An-Nahl (16) ayat 90 juga menegaskan bahwa Allah memerintahkan keadilan dan melarang segala bentuk keburukan serta perbuatan zalim:

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kaum kerabat, serta melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan kezaliman."³

Dalam konteks korupsi, ayat ini mengajarkan bahwa ketidakadilan dalam pengelolaan keuangan negara, seperti suap, manipulasi anggaran, dan penyalahgunaan wewenang, adalah bentuk kezaliman yang merugikan masyarakat luas.⁴

2.            Hadits sebagai Pedoman Kejujuran dalam Mencegah Korupsi

Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah bin Mas'ud menegaskan dampak jangka panjang dari kejujuran dan kebohongan:

"Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan itu membawa ke surga. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada kejahatan, dan kejahatan itu membawa ke neraka."⁵

Dalam konteks antikorupsi, hadits ini mengajarkan bahwa kejujuran adalah kunci integritas individu dalam menjalankan tugasnya. Sebaliknya, kebohongan —yang sering menjadi akar korupsi— akan mengarah kepada kehancuran sosial dan kehancuran moral.⁶

3.            Fenomena Sosial: Korupsi sebagai Bentuk Pengkhianatan

QS An-Nisa' (4) ayat 105 menegaskan bahwa Allah tidak menyukai pengkhianatan:

"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, agar kamu mengadili di antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi pembela bagi orang-orang yang berkhianat."⁷

Ayat ini menjadi dalil kuat bahwa korupsi merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah yang diberikan kepada seseorang, baik sebagai pejabat, pemimpin, maupun individu yang mengelola dana publik. Dalam banyak kasus, korupsi dilakukan dengan memanipulasi sistem hukum untuk melindungi pelaku dari pertanggungjawaban.⁸

4.            Relevansi dalam Konteks Modern

Dalam realitas sosial, negara-negara dengan indeks korupsi yang tinggi sering kali mengalami ketimpangan ekonomi, rendahnya kesejahteraan masyarakat, dan lemahnya penegakan hukum.⁹ Sebaliknya, negara-negara dengan tingkat kejujuran dan keadilan yang tinggi cenderung lebih makmur dan stabil. Islam telah memberikan solusi dengan menanamkan nilai-nilai kejujuran dan keadilan sebagai pilar utama dalam membangun peradaban yang bersih dari korupsi. Oleh karena itu, implementasi nilai-nilai Islam dalam sistem hukum dan tata kelola pemerintahan sangat penting dalam menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.¹⁰


Catatan Kaki

[1]                Al-Qur'an, QS Al-Maidah (5) ayat 8.

[2]                Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Dawlah fi al-Islam (Cairo: Dar al-Shuruq, 1997), 56.

[3]                Al-Qur'an, QS An-Nahl (16) ayat 90.

[4]                Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir (Damascus: Dar al-Fikr, 2009), 1285.

[5]                Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab al-Birr wa al-Silah, Hadits No. 2607.

[6]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, vol. 3 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1990), 85.

[7]                Al-Qur'an, QS An-Nisa' (4) ayat 105.

[8]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, vol. 2 (Riyadh: Dar Tayyibah, 1999), 512.

[9]                Transparency International, Corruption Perceptions Index 2023 (Berlin: Transparency International, 2023).

[10]             Syed Nawab Haider Naqvi, Ethics and Economics: An Islamic Synthesis (Leicester: The Islamic Foundation, 1981), 45.


Lampiran 2: Takhrij Hadits

Takhrij hadits adalah proses penelusuran sumber asli hadits beserta sanad dan derajatnya dalam kitab-kitab hadits. Berikut ini adalah takhrij hadits yang digunakan dalam artikel terkait sikap adil dan jujur.

1.            Hadits tentang Dampak Kejujuran dan Kebohongan

Matn Hadits:

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

Terjemahan:

"Hendaklah kalian bersikap jujur, karena kejujuran membawa kepada kebajikan, dan kebajikan membawa ke surga. Seseorang yang terus-menerus berkata jujur dan berusaha untuk selalu jujur akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur. Berhati-hatilah terhadap kebohongan, karena kebohongan membawa kepada kejahatan, dan kejahatan membawa ke neraka. Seseorang yang terus-menerus berbohong dan mencari-cari kebohongan akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta."

Takhrij Hadits:

·                     Sumber: Shahih Muslim, Kitab al-Birr wa al-Shilah wa al-Adab, Bab Qadr al-Sidq wa Fadluhu, Hadits No. 2607.

·                     Perawi: Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu ‘anhu.

·                     Derajat Hadits: Shahih, disepakati oleh para ulama karena diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan sanad yang kuat.

2.            Hadits tentang Larangan Berkhianat dalam Penghukuman

Matn Hadits:

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَإِنَّهُ يَأْتِينِي الْخَصْمُ فَلَعَلَّ بَعْضَهُمْ يَكُونُ أَبْلَغَ مِنْ بَعْضٍ فَأَحْسِبُ أَنَّهُ صَادِقٌ فَأَقْضِي لَهُ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ مُسْلِمٍ فَإِنَّمَا هِيَ قِطْعَةٌ مِنَ النَّارِ فَلْيَأْخُذْهَا أَوْ لِيَذَرْهَا

Terjemahan:

"Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia, dan bisa jadi ada seseorang yang lebih pandai dalam mengajukan perkara daripada yang lain, sehingga aku menganggapnya benar dan memutuskan hukumnya sesuai dengan apa yang aku dengar. Maka siapa pun yang aku putuskan mendapat hak orang Muslim (dengan cara yang tidak benar), maka sesungguhnya aku telah memberikan kepadanya sepotong api neraka, maka hendaklah ia mengambilnya atau meninggalkannya."

Takhrij Hadits:

·                     Sumber: Shahih al-Bukhari, Kitab al-Mazalim, Bab Man Qaḍa bi Ghairi al-Haqq, Hadits No. 7181.

·                     Perawi: Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha.

·                     Derajat Hadits: Shahih, karena diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dengan sanad yang kuat.

3.            Hadits tentang Keadilan dalam Hukum

Matn Hadits:

الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ وَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ وَاثْنَانِ فِي النَّارِ، فَأَمَّا الَّذِي فِي الْجَنَّةِ فَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ، وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَجَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ

Terjemahan:

"Hakim ada tiga macam: satu orang masuk surga, dan dua orang masuk neraka. Adapun hakim yang masuk surga adalah yang mengetahui kebenaran dan memutuskan berdasarkan kebenaran. Sedangkan hakim yang masuk neraka adalah yang mengetahui kebenaran tetapi berbuat zalim dalam hukum, dan hakim yang memutuskan perkara tanpa ilmu juga masuk neraka."

Takhrij Hadits:

·                     Sumber: Sunan Abu Dawud, Kitab al-Aqdiyah, Bab Fi al-Qudat, Hadits No. 3573.

·                     Perawi: Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

·                     Derajat Hadits: Hasan, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud (2/402).

4.            Hadits tentang Bahaya Suap dan Korupsi

Matn Hadits:

لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ

Terjemahan:

"Allah melaknat pemberi suap dan penerima suap."

Takhrij Hadits:

·                     Sumber: Sunan Abi Dawud, Kitab al-Aqdiyah, Bab Fi al-Risywah, Hadits No. 3580.

·                     Perawi: Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma.

·                     Derajat Hadits: Shahih, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud (2/405).


Kesimpulan

Takhrij hadits di atas menunjukkan bahwa konsep kejujuran dan keadilan dalam Islam sangat kuat didasarkan pada hadits-hadits shahih yang diriwayatkan oleh para perawi terpercaya. Dengan memahami sumber dan keabsahan hadits-hadits ini, umat Islam dapat lebih meyakini bahwa ajaran untuk menegakkan keadilan dan menjauhi kebohongan merupakan bagian integral dari syariat yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar