Sikap Adil dan
Jujur dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits
Nama Satuan :
Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran :
Al-Qur’an Hadits
Kelas :
12 (Dua belas)
Abstrak
Keadilan (al-‘adl)
dan kejujuran (ash-shidq) merupakan dua prinsip fundamental dalam
ajaran Islam yang memiliki peran sentral dalam kehidupan individu dan
masyarakat. Artikel ini membahas konsep keadilan dan kejujuran dalam perspektif
Al-Qur'an dan Hadits melalui kajian komprehensif terhadap ayat-ayat Al-Qur’an,
Hadits, serta pendapat ulama dalam tafsir klasik dan sumber akademik Islam.
Analisis utama berfokus pada QS Al-Maidah (5) ayat 8-10 tentang perintah
menegakkan keadilan, QS At-Taubah (9) ayat 119 tentang anjuran bergaul dengan
orang yang jujur, QS An-Nahl (16) ayat 90-92 tentang perintah berlaku adil dan
jujur, serta QS An-Nisa' (4) ayat 105 tentang larangan berkhianat. Hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah juga dikaji untuk memahami dampak sikap
jujur dan dusta.
Pembahasan ini menunjukkan
bahwa keadilan dan kejujuran bukan hanya norma etis, tetapi juga bagian dari
ketakwaan kepada Allah yang berkontribusi terhadap kesejahteraan sosial. Para
ulama seperti Al-Qurtubi, Ibnu Katsir, dan Al-Ghazali menegaskan bahwa
penerapan keadilan dan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari menjadi kunci bagi
keberlangsungan peradaban yang stabil dan harmonis. Relevansi nilai-nilai ini
dalam kehidupan modern juga dikaji dalam konteks hukum, ekonomi, pendidikan,
dan media digital. Kesimpulan dari penelitian ini menegaskan bahwa menegakkan
keadilan dan kejujuran adalah kewajiban moral dan sosial yang harus diterapkan
oleh setiap individu untuk mencapai kehidupan yang berkeadaban dan mendapat
ridha Allah Swt.
Kata Kunci: Keadilan,
Kejujuran, Al-Qur’an, Hadits, Tafsir, Etika Islam, Integritas.
PEMBAHASAN
Sikap Adil dan Jujur dalam
Perspektif Al-Qur'an dan Hadits
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Sikap adil dan jujur
merupakan dua nilai moral fundamental yang menjadi landasan utama dalam
membangun peradaban yang harmonis. Al-Qur'an dan Hadits berulang kali
menekankan pentingnya kedua sifat ini dalam setiap aspek kehidupan manusia,
baik dalam hubungan individu maupun sosial. Kejujuran adalah salah satu ciri
utama seorang mukmin sejati, sebagaimana disebutkan dalam QS At-Taubah (9) ayat
119, yang mengarahkan umat Islam untuk senantiasa bersama orang-orang yang
jujur. Begitu pula, keadilan menjadi prinsip universal yang tidak boleh
dipengaruhi oleh rasa cinta ataupun benci, sebagaimana diperintahkan dalam QS
Al-Maidah (5) ayat 8. Ayat ini menunjukkan bahwa keadilan harus ditegakkan
tanpa memandang siapa yang terlibat, termasuk dalam menghadapi lawan atau musuh
sekalipun.¹
Dalam konteks kehidupan
modern, nilai-nilai ini menjadi semakin relevan. Masalah ketidakadilan,
korupsi, dan penyebaran informasi palsu yang merusak kepercayaan sosial
menunjukkan perlunya penanaman sikap adil dan jujur sebagai bagian dari
pendidikan karakter.² Selain itu, penerapan nilai-nilai keadilan dan kejujuran
tidak hanya memperbaiki individu, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih
stabil dan damai.
1.2. Rumusan Masalah
Artikel ini mencoba menjawab
beberapa pertanyaan mendasar terkait sikap adil dan jujur:
1)
Bagaimana Al-Qur'an dan Hadits menjelaskan pentingnya adil dan jujur?
2)
Apa saja implikasi dari pengamalan kedua nilai ini dalam kehidupan
pribadi, sosial, dan hukum?
3)
Bagaimana pandangan ulama tafsir klasik dan ilmuwan kontemporer terkait
tema ini?
1.3. Tujuan Penulisan
Penulisan artikel ini
bertujuan untuk:
1)
Mengkaji secara komprehensif ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits yang
berkaitan dengan keadilan dan kejujuran.
2)
Menyajikan pandangan ulama dari tafsir klasik, seperti Tafsir Ibnu
Katsir dan Tafsir Al-Qurtubi, serta analisis ilmiah dari jurnal Islami terkait.
3)
Menunjukkan relevansi nilai-nilai ini dalam kehidupan modern sebagai
solusi terhadap berbagai permasalahan sosial.
1.4. Relevansi dengan Kompetensi Dasar
Kompetensi dasar dalam
pendidikan Islam, seperti menganalisis QS Al-Maidah (5) ayat 8-10 tentang
menegakkan keadilan dan QS At-Taubah (9) ayat 119 tentang bergaul dengan orang
yang jujur, menjadi pijakan utama penulisan artikel ini. Hal ini bertujuan
untuk membantu peserta didik memahami makna keadilan dan kejujuran sebagai
bagian integral dari akhlak mulia yang harus diteladani dalam kehidupan
sehari-hari.³
Sikap adil dan jujur tidak
hanya relevan dalam hubungan antarmanusia, tetapi juga mencerminkan hubungan
seorang hamba dengan Tuhannya. Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan,
dan kebaikan membawa kepada surga.”⁴ Oleh karena itu, kejujuran merupakan
pintu menuju keselamatan di dunia dan akhirat, sedangkan keadilan menjadi asas
utama dalam mewujudkan kehidupan yang diridai Allah Swt.
Catatan Kaki
[1]
Abdullah bin Muhammad Al-Qurtubi, Al-Jami’ li
Ahkam Al-Qur’an, Juz 6, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1996, hal. 88-89.
[2]
Muhammad Syahrur, Relevansi Nilai-Nilai Islam
dalam Kehidupan Modern, Jakarta: Lentera Hati, 2017, hal. 102.
[3]
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an
dan Tafsirnya: Edisi Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Kementerian Agama RI,
2020, hal. 45-48.
[4]
Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab Al-Birr wa
Al-Silah, Hadits No. 2607.
2.
Kajian
Ayat-ayat Al-Qur'an Tentang Sikap Adil dan Jujur
2.1. QS Al-Maidah (5) ayat 8-10 – Menegakkan Keadilan
2.1.1.
Penjelasan
Ayat
QS Al-Maidah (5) ayat 8
berbunyi:
“Wahai orang-orang yang
beriman! Jadilah kamu orang-orang yang menegakkan keadilan, menjadi saksi
karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri atau kedua orang tua dan kaum
kerabat. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Bertakwalah kepada
Allah, sungguh Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”¹
Ayat ini memberikan perintah
tegas kepada kaum Muslimin untuk menegakkan keadilan dalam setiap situasi, baik
dalam urusan pribadi, keluarga, maupun masyarakat luas. Allah memerintahkan
agar kebencian atau perselisihan terhadap suatu kaum tidak menjadi alasan untuk
berlaku zalim. Sebaliknya, keadilan harus ditegakkan sebagai manifestasi dari
ketakwaan seorang hamba kepada Allah Swt.²
Pada ayat ini juga ditekankan
bahwa kesaksian yang diberikan harus dilakukan karena Allah semata, sehingga
tidak dipengaruhi oleh hawa nafsu atau kepentingan duniawi. Dengan demikian,
prinsip ini menegaskan universalitas keadilan dalam Islam, yang melampaui
batasan hubungan sosial, ras, atau agama.³
2.1.2.
Tafsir
Klasik
Menurut Tafsir Ibnu Katsir,
ayat ini menegaskan pentingnya menjunjung tinggi keadilan meskipun itu
berlawanan dengan kepentingan pribadi atau keluarga. Ibnu Katsir menekankan bahwa
larangan berlaku tidak adil karena kebencian merupakan pengingat bahwa sifat
manusia cenderung membiarkan prasangka menguasai keputusan mereka. Oleh karena
itu, Allah memberikan perintah yang jelas agar keadilan tetap menjadi
prioritas.⁴
Al-Qurtubi menambahkan bahwa
keadilan yang dimaksud dalam ayat ini mencakup semua aspek kehidupan, baik
dalam hukum, ekonomi, maupun hubungan sosial. Ia juga menekankan bahwa keadilan
adalah salah satu sifat Allah, sehingga seorang Muslim yang berusaha berlaku
adil sedang meneladani sifat Allah yang Mahaadil.⁵
2.1.3.
Analisis
Implikasi Sosial dan Hukum
Prinsip keadilan yang
terkandung dalam QS Al-Maidah (5) ayat 8 sangat relevan dalam kehidupan modern,
khususnya dalam sistem peradilan dan tata kelola pemerintahan. Ayat ini
menuntut agar para pemimpin dan hakim senantiasa bertindak berdasarkan
kebenaran dan keadilan, tanpa dipengaruhi oleh tekanan politik, ekonomi, atau
sosial.⁶
Dalam konteks masyarakat,
ayat ini memberikan panduan moral bahwa hubungan antarmanusia harus didasarkan
pada keadilan, bukan kebencian atau sentimen negatif. Ketidakadilan yang
dilandasi oleh kebencian dapat merusak tatanan sosial, sementara keadilan dapat
membangun kepercayaan dan solidaritas dalam masyarakat.
2.1.4.
Studi
Kasus dari Kehidupan Nabi Muhammad Saw
Nabi Muhammad Saw adalah
teladan terbaik dalam menegakkan keadilan. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah
pernah bersabda, “Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil berada di atas
mimbar cahaya di sisi Allah. Mereka adalah orang-orang yang berlaku adil dalam
hukum mereka, dalam keluarga mereka, dan terhadap siapa saja yang menjadi
tanggung jawab mereka.”⁷
Salah satu contoh nyata
adalah ketika Rasulullah memutuskan hukuman bagi seorang wanita Bani Makhzum
yang mencuri, meskipun ia berasal dari kalangan terhormat. Rasulullah
menegaskan bahwa keadilan harus ditegakkan tanpa memandang status sosial.⁸
Catatan Kaki
[1]
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Tafsirnya: Edisi Pendidikan Agama
Islam, Jakarta: Kementerian Agama RI, 2020, hal. 101.
[2]
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an: Text, Translation and
Commentary, Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2009, hal. 226.
[3]
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Juz 6, Damaskus:
Dar Al-Fikr, 1997, hal. 401.
[4]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Juz 2,
Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1998, hal. 78-79.
[5]
Muhammad Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Juz 6,
Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1996, hal. 145-147.
[6]
Azyumardi Azra, Islam, Democracy, and Justice in Indonesia,
Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute, 2016, hal. 34.
[7]
Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab Al-Imarah,
Hadits No. 1827.
[8]
An-Nawawi, Riyadhus Shalihin, Bab 25: Adab Menegakkan
Keadilan, Hadits No. 198.
2.2. QS At-Taubah (9) ayat 119 – Bergaul dengan Orang
Jujur
2.2.1.
Penjelasan
Ayat
QS At-Taubah (9) ayat 119
berbunyi:
“Wahai orang-orang yang
beriman! Bertakwalah kepada Allah dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar
(jujur).”¹
Ayat ini memerintahkan kaum
Muslimin untuk bertakwa kepada Allah Swt dengan menjalankan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya. Salah satu bentuk takwa yang ditekankan dalam ayat ini
adalah bergaul dengan orang-orang yang memiliki sifat jujur (ash-shadiqin).
Kejujuran dalam konteks ayat ini mencakup ketulusan hati, konsistensi dalam
ucapan dan perbuatan, serta keberanian dalam menyampaikan kebenaran.²
Ayat ini juga mengandung
makna bahwa lingkungan sosial memiliki pengaruh besar terhadap perilaku
individu. Oleh karena itu, Allah memerintahkan orang beriman untuk selalu
bersama orang-orang yang jujur, sehingga dapat memperkuat keimanan dan karakter
mulia.³
2.2.2.
Tafsir
Klasik
Menurut Tafsir Ibnu Katsir,
ayat ini adalah perintah untuk menjaga hubungan dengan orang-orang yang
senantiasa benar dalam ucapan, tindakan, dan niat mereka. Ibnu Katsir
menekankan bahwa kejujuran adalah sifat utama seorang mukmin, dan hubungan
dengan orang-orang jujur akan membantu seseorang menjalankan kehidupan sesuai
syariat.⁴
Al-Qurtubi menambahkan bahwa ash-shadiqin
dalam ayat ini mencakup para sahabat Nabi Muhammad Saw, yang menjadi teladan
utama dalam hal kejujuran dan ketaatan kepada Allah. Kejujuran mereka tidak
hanya terlihat dalam hubungan antarmanusia tetapi juga dalam keimanan mereka
kepada Allah Swt.⁵
2.2.3.
Analisis
Implikasi Sosial dan Spiritual
Kejujuran adalah nilai
universal yang menjadi dasar dari hubungan sosial yang sehat. Dalam perspektif
Islam, bergaul dengan orang-orang jujur memberikan beberapa manfaat penting:
1)
Meningkatkan Keimanan
dan Akhlak
Lingkungan yang dipenuhi dengan orang-orang jujur
membantu individu untuk menghindari perilaku negatif seperti dusta dan
kemunafikan. Hal ini relevan dengan hadits Rasulullah Saw: “Seseorang itu
tergantung agama sahabat dekatnya, maka perhatikanlah siapa yang menjadi
sahabatmu.”⁶
2)
Membangun Kepercayaan
dan Solidaritas
Dalam kehidupan bermasyarakat, kejujuran
menciptakan kepercayaan yang menjadi dasar dari kerjasama dan harmoni sosial.
Dalam konteks modern, kejujuran di antara pemimpin dan rakyat menjadi kunci
untuk menciptakan pemerintahan yang adil dan transparan.⁷
3)
Menjaga Integritas Diri
Orang yang dikelilingi oleh individu jujur
cenderung memiliki integritas tinggi, karena mereka terinspirasi oleh
keteladanan positif dari lingkungan mereka.
2.2.4.
Studi
Kasus dari Kehidupan Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad Saw dikenal
dengan gelar Al-Amin (yang terpercaya) karena kejujurannya yang luar
biasa, bahkan sebelum diangkat menjadi rasul. Salah satu contoh kejujuran
Rasulullah adalah ketika beliau memperingatkan kaum Quraisy tentang bahaya hari
kiamat. Meski mereka tidak menerima risalah beliau, mereka tidak pernah
meragukan kejujuran Rasulullah.⁸
Selain itu, Rasulullah
menekankan pentingnya bergaul dengan orang-orang saleh. Dalam salah satu
hadits, beliau bersabda: “Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk
adalah seperti pembawa minyak wangi dan pandai besi. Pembawa minyak wangi
mungkin memberimu minyak wangi atau kamu bisa membeli darinya, atau setidaknya
kamu mendapatkan aroma yang harum. Sedangkan pandai besi mungkin membakar
pakaianmu atau kamu mendapatkan bau yang tidak sedap.”⁹
2.2.5.
Relevansi
dalam Kehidupan Modern
Di era modern, prinsip
bergaul dengan orang jujur tetap relevan, terutama dalam memilih teman, mitra
bisnis, atau pemimpin. Kejujuran di lingkungan kerja, misalnya, menjadi faktor
penting untuk membangun kepercayaan dan keberlanjutan organisasi. Dalam pendidikan,
menanamkan nilai kejujuran kepada generasi muda melalui keteladanan dan
lingkungan yang positif adalah langkah strategis untuk membangun masyarakat
yang bermoral.¹⁰
Catatan Kaki
[1]
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Tafsirnya: Edisi Pendidikan Agama
Islam, Jakarta: Kementerian Agama RI, 2020, hal. 118.
[2]
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Juz 10, Damaskus:
Dar Al-Fikr, 1997, hal. 497.
[3]
Yusuf Al-Qaradawi, The Role of Faith in Building Character,
Cairo: Dar Al-Tawhid, 2005, hal. 78-80.
[4]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Juz 2,
Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1998, hal. 354-355.
[5]
Muhammad Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Juz
10, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1996, hal. 72.
[6]
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Kitab Al-Adab,
Hadits No. 4833.
[7]
Muhammad Syahrur, Relevansi Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan
Modern, Jakarta: Lentera Hati, 2017, hal. 112-114.
[8]
Martin Lings, Muhammad: His Life Based on the Earliest
Sources, London: Islamic Texts Society, 2006, hal. 56-57.
[9]
Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Adab,
Hadits No. 2101.
[10]
Zakiyah Darajat, Pendidikan Islam dalam Pembentukan Karakter
Bangsa, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, hal. 134.
2.3. QS An-Nahl (16) ayat 90-92 – Perintah Berlaku Adil
dan Jujur
2.3.1.
Penjelasan
Ayat
QS An-Nahl (16) ayat 90-92
adalah salah satu rangkaian ayat yang sering disebut sebagai "ayat
ringkasan" karena mencakup prinsip dasar akhlak Islam. Ayat ini
berbunyi:
“Sesungguhnya Allah
menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS
An-Nahl [16] ayat 90)¹
Ayat ini memberikan tiga
perintah utama:
1)
Berlaku Adil
(al-adl)
Keadilan mencakup memberikan hak kepada yang
berhak tanpa memihak, baik dalam urusan individu maupun masyarakat. Keadilan
adalah fondasi utama dari tatanan sosial yang stabil.²
2)
Berbuat Kebajikan
(al-ihsan)
Ihsan adalah tingkatan lebih tinggi dari
keadilan, yaitu memberikan lebih dari yang diharapkan dengan penuh keikhlasan.³
3)
Memberi kepada Kaum
Kerabat (ita’ dzil qurba)
Perintah ini menunjukkan pentingnya solidaritas
keluarga dan perhatian terhadap kerabat, terutama dalam bentuk dukungan
finansial dan emosional.⁴
Ayat ini juga melarang tiga
perbuatan:
1)
Perbuatan
Keji (fahsya’)
Segala tindakan yang melanggar norma
moralitas dan agama.
2)
Kemungkaran
(munkar)
Perbuatan yang bertentangan dengan
nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
3)
Permusuhan
(baghy)
Segala bentuk kezaliman, penindasan, dan
pelanggaran hak orang lain.
2.3.2.
Tafsir
Klasik
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa
ayat ini merupakan pedoman universal yang mencakup semua aspek kehidupan.
Menurutnya, keadilan (adl) adalah memberikan sesuatu kepada yang
berhak sesuai aturan Allah, sedangkan ihsan adalah memberikan lebih dari itu
dengan niat tulus.⁵
Al-Qurtubi menambahkan bahwa
ayat ini sering dibacakan oleh para sahabat Nabi di akhir khutbah karena
kandungannya yang sangat komprehensif. Ia juga menyebutkan bahwa larangan dalam
ayat ini bertujuan untuk menjaga harmoni sosial dengan mencegah konflik dan
permusuhan.⁶
2.3.3.
Analisis
Implikasi Sosial
Ayat ini memberikan panduan
etis yang relevan dalam kehidupan modern:
1)
Dalam Pemerintahan
Prinsip keadilan dan ihsan harus menjadi dasar
dalam pengambilan kebijakan. Kejujuran dalam mengelola sumber daya publik dan
penegakan hukum tanpa diskriminasi adalah implementasi nyata dari ayat ini.⁷
2)
Dalam Hubungan Sosial
Perintah memberi kepada kerabat menekankan
pentingnya solidaritas keluarga sebagai inti dari masyarakat yang harmonis.
Larangan terhadap permusuhan menunjukkan bahwa Islam sangat mengecam konflik
yang merusak hubungan sosial.
3)
Dalam Dunia Bisnis
Larangan terhadap fahsya’, munkar,
dan baghy dapat diterapkan pada prinsip etika bisnis, seperti mencegah
praktik kecurangan, monopoli, atau eksploitasi.
2.3.4.
Studi
Kasus dari Kehidupan Nabi Muhammad SAW
Rasulullah Saw adalah teladan
dalam menerapkan prinsip-prinsip dalam QS An-Nahl (16) ayat 90. Salah satu
contoh yang mencolok adalah ketika beliau memaafkan penduduk Makkah pada
peristiwa Fathul Makkah. Meskipun memiliki kekuatan untuk membalas dendam,
Rasulullah memilih berlaku adil dan penuh ihsan dengan memberikan maaf kepada
mereka.⁸
2.3.5.
Relevansi
dalam Kehidupan Modern
Nilai-nilai yang terkandung
dalam QS An-Nahl (16) ayat 90 sangat relevan di era globalisasi, di mana
berbagai bentuk ketidakadilan, korupsi, dan konflik sosial marak terjadi. Ayat
ini menawarkan solusi berbasis nilai spiritual untuk menciptakan tatanan
masyarakat yang adil, harmonis, dan penuh integritas. Dalam konteks pendidikan,
ajaran ini harus ditanamkan sejak dini agar generasi mendatang memiliki
karakter yang kuat dalam menjalankan keadilan dan kejujuran.⁹
Catatan Kaki
[1]
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Tafsirnya: Edisi Pendidikan Agama
Islam, Jakarta: Kementerian Agama RI, 2020, hal. 256.
[2]
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Juz 14, Damaskus:
Dar Al-Fikr, 1997, hal. 573-574.
[3]
Yusuf Al-Qaradawi, Ethical Values in the Qur’an,
Cairo: Al-Tawhid Publications, 2008, hal. 87.
[4]
Muhammad Asad, The Message of the Qur’an,
Gibraltar: Dar Al-Andalus, 1980, hal. 424.
[5]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Juz 4,
Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1998, hal. 420.
[6]
Muhammad Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Juz
10, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1996, hal. 220-221.
[7]
Azyumardi Azra, Islam, Democracy, and Justice in Indonesia,
Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute, 2016, hal. 67.
[8]
Martin Lings, Muhammad: His Life Based on the Earliest
Sources, London: Islamic Texts Society, 2006, hal. 277-278.
[9]
Zakiyah Darajat, Pendidikan Islam dalam Pembentukan Karakter
Bangsa, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, hal. 154.
2.4. QS An-Nisa' (4) ayat 105 – Larangan Berkhianat
2.4.1.
Penjelasan
Ayat
QS An-Nisa' (4) ayat 105
berbunyi:
“Sesungguhnya Kami telah
menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa
kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan
Allah kepadamu. Janganlah engkau menjadi pembela bagi orang-orang yang
berkhianat.”¹
Ayat ini menegaskan bahwa
Al-Qur'an adalah pedoman utama yang diturunkan Allah Swt untuk menjadi landasan
dalam menegakkan keadilan di tengah masyarakat. Rasulullah Saw diperintahkan
untuk menjadikan Al-Qur'an sebagai panduan dalam memutuskan perkara. Selain
itu, ayat ini juga memberikan peringatan agar tidak membela orang-orang yang
berkhianat, baik dalam hubungan pribadi maupun dalam perkara hukum.²
Berhianat (khiyanah)
dalam ayat ini mencakup segala bentuk pelanggaran kepercayaan, baik berupa
kebohongan, penggelapan, maupun tindakan yang merugikan pihak lain demi
kepentingan pribadi. Larangan membela pengkhianat menunjukkan pentingnya
integritas dalam menegakkan keadilan.³
2.4.2.
Tafsir
Klasik
Menurut Ibnu Katsir, ayat ini
turun berkaitan dengan peristiwa seorang Muslim dari Bani Zafar yang mencuri
dan menuduhkan kejahatannya kepada seorang Yahudi. Rasulullah Saw hampir
membela si pencuri karena adanya tekanan sosial dari suku Bani Zafar. Namun,
Allah Swt menurunkan ayat ini untuk mengingatkan Rasulullah agar tetap
berpegang pada kebenaran dan tidak membela pengkhianat.⁴
Al-Qurtubi menambahkan bahwa
ayat ini merupakan peringatan kepada para pemimpin dan hakim agar tidak membela
pelaku kezaliman, meskipun ia berasal dari golongan mereka sendiri. Keadilan
harus ditegakkan berdasarkan fakta dan kebenaran, bukan didasarkan pada
kedekatan personal atau tekanan sosial.⁵
2.4.3.
Analisis
Implikasi Sosial dan Hukum
1)
Menegakkan Integritas
dalam Hukum
Larangan membela pengkhianat memberikan prinsip
dasar dalam sistem peradilan, yaitu keadilan tidak boleh terdistorsi oleh
kepentingan pribadi, politik, atau sosial. Dalam konteks modern, ayat ini
relevan dalam memberantas korupsi dan nepotisme, yang sering terjadi akibat
pembelaan terhadap pihak yang bersalah.⁶
2)
Membangun Kepercayaan
Sosial
Kepercayaan adalah fondasi dari hubungan sosial.
Pengkhianatan, baik dalam skala kecil maupun besar, merusak kepercayaan ini.
Dengan melarang pengkhianatan, Islam mendorong terciptanya masyarakat yang
saling percaya dan bekerja sama dalam kebaikan.⁷
3)
Membangun Akhlak
Individu
Larangan membela pengkhianat juga berfungsi
sebagai pengingat agar setiap individu menjaga kejujuran dan bertanggung jawab
atas amanah yang diberikan kepadanya. Dalam pendidikan karakter, nilai ini
penting untuk membentuk generasi yang jujur dan berintegritas.⁸
2.4.4.
Studi
Kasus dari Kehidupan Nabi Muhammad SAW
Rasulullah SAW memberikan
teladan dalam menegakkan keadilan, bahkan terhadap keluarganya sendiri. Dalam
sebuah hadits, Rasulullah bersabda: “Demi Allah, seandainya Fatimah binti
Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.”⁹
Hadits ini menunjukkan bahwa keadilan tidak boleh dipengaruhi oleh hubungan
pribadi, bahkan kepada keluarga terdekat.
2.4.5.
Relevansi
dalam Kehidupan Modern
Ayat ini menjadi landasan
penting dalam sistem peradilan yang bersih dan berintegritas. Dalam masyarakat
modern, larangan membela pengkhianat harus diterapkan untuk mencegah praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pemimpin, hakim, dan aparat hukum harus
menjunjung tinggi nilai ini untuk menciptakan keadilan yang merata.
Dalam kehidupan pribadi,
larangan berkhianat relevan dalam menjaga kepercayaan dalam hubungan keluarga,
bisnis, dan masyarakat. Kejujuran dan tanggung jawab terhadap amanah adalah
kunci untuk membangun hubungan yang kuat dan harmonis.¹⁰
Catatan Kaki
[1]
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Tafsirnya: Edisi Pendidikan Agama
Islam, Jakarta: Kementerian Agama RI, 2020, hal. 160.
[2]
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Juz 5, Damaskus:
Dar Al-Fikr, 1997, hal. 287.
[3]
Yusuf Al-Qaradawi, Ethical Values in the Qur’an,
Cairo: Al-Tawhid Publications, 2008, hal. 123.
[4]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Juz 2,
Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1998, hal. 155-157.
[5]
Muhammad Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Juz 5,
Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1996, hal. 220.
[6]
Azyumardi Azra, Islam, Democracy, and Justice in Indonesia,
Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute, 2016, hal. 45.
[7]
Zakiyah Darajat, Pendidikan Islam dalam Pembentukan Karakter
Bangsa, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, hal. 146.
[8]
An-Nawawi, Riyadhus Shalihin, Bab 25: Larangan
Berkhianat, Hadits No. 198.
[9]
Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Kitab Hudud,
Hadits No. 3475.
[10]
Muhammad Syahrur, Relevansi Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan
Modern, Jakarta: Lentera Hati, 2017, hal. 105-106.
3.
Kajian
Hadits Tentang Sikap Adil dan Jujur
3.1.
Teks Hadits
Hadits yang diriwayatkan oleh
Abdullah bin Mas’ud RA berbunyi:
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ
الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى
الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ
فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى
النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى
يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
Dari ['Abdullah] dia berkata;
Rasulullah Saw bersabda: 'Kalian harus berlaku jujur, karena kejujuran itu
akan membimbing kepada kebaikan. Dan kebaikan itu akan membimbing ke surga.
Seseorang yang senantiasa berlaku jujur dan memelihara kejujuran, maka ia akan
dicatat sebagai orang yang jujur di sisi Allah. Dan hindarilah dusta, karena
kedustaan itu akan menggiring kepada kejahatan dan kejahatan itu akan
menjerumuskan ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan memelihara
kedustaan, maka ia akan dicatat sebagai pendusta di sisi Allah.'" ¹
3.2.
Penjelasan Hadits
Hadits ini menegaskan bahwa
kejujuran (shidq) bukan hanya sikap yang dianjurkan, tetapi juga
menjadi jalan menuju keselamatan di dunia dan akhirat. Kejujuran menciptakan
kebaikan yang berkesinambungan, sedangkan dusta (kizb) memicu
kejahatan yang berujung pada kebinasaan.²
Kejujuran dalam hadits ini
tidak hanya terbatas pada ucapan, tetapi mencakup kejujuran hati, niat, dan
tindakan. Seseorang yang jujur memiliki integritas yang tinggi sehingga ia
mendapatkan kedudukan mulia di sisi Allah sebagai shiddiqin.
Sebaliknya, kebiasaan berdusta tidak hanya merusak hubungan antarmanusia,
tetapi juga membawa dampak buruk pada spiritualitas dan moral individu.³
3.3.
Tafsir Ulama
Imam Nawawi dalam Syarh
Shahih Muslim menjelaskan bahwa kejujuran adalah dasar dari semua
kebajikan. Orang yang jujur akan senantiasa menjaga dirinya dari segala bentuk
keburukan, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Ia menambahkan bahwa kebiasaan
jujur membentuk karakter dan reputasi seseorang di hadapan Allah dan manusia.⁴
Sementara itu, Ibn Hajar
al-Asqalani dalam Fathul Bari menyebutkan bahwa pengulangan perbuatan,
baik kejujuran maupun dusta, akan membentuk kebiasaan (malakah). Jika
seseorang terus-menerus berkata jujur, ia akan terlatih untuk berlaku jujur
dalam segala aspek kehidupan. Sebaliknya, dusta yang terus dilakukan akan
mengakar menjadi sifat bawaan yang sulit diubah.⁵
3.4.
Dampak Jujur dan Dusta dalam Kehidupan
1)
Dampak Kejujuran
Kepercayaan dan
Kredibilitas
Orang yang jujur mendapatkan kepercayaan dari
orang lain, baik dalam hubungan sosial, bisnis, maupun kepemimpinan. Dalam
konteks modern, kejujuran adalah modal utama untuk membangun reputasi yang
baik.⁶
Ketenangan Hati
Rasulullah Saw bersabda: “Kejujuran adalah
ketenangan, sedangkan dusta adalah kebimbangan.”⁷ Kejujuran membawa
kedamaian batin karena tidak ada beban kebohongan yang perlu disembunyikan.
2)
Dampak Dusta
Kehancuran Moral dan
Sosial
Kebohongan merusak hubungan sosial, menimbulkan
konflik, dan melemahkan rasa saling percaya dalam masyarakat.⁸
Hukuman Akhirat
Dusta tidak hanya menciptakan kejahatan di dunia,
tetapi juga menjadi sebab masuknya seseorang ke neraka, sebagaimana disebutkan
dalam hadits ini.
3.5.
Studi Kasus dari Kehidupan Nabi Muhammad Saw
Rasulullah Saw adalah teladan
utama dalam kejujuran. Sebelum diangkat menjadi Nabi, beliau dikenal sebagai Al-Amin
(yang terpercaya). Kejujuran Rasulullah membangun reputasi beliau sebagai
pemimpin yang adil dan dapat diandalkan, sehingga dakwah Islam diterima oleh
banyak orang. Sebaliknya, Rasulullah mengecam kebohongan dalam segala
bentuknya, termasuk dalam pergaulan sehari-hari, bisnis, dan hubungan sosial.⁹
3.6.
Relevansi dalam Kehidupan Modern
Kejujuran tetap menjadi nilai
fundamental dalam kehidupan modern. Dalam dunia digital, di mana penyebaran informasi
palsu (hoax) sangat marak, hadits ini mengingatkan pentingnya
menyampaikan kebenaran dan menghindari kebohongan. Dalam dunia bisnis,
kejujuran adalah kunci keberlanjutan usaha, sementara kebohongan dapat
menghancurkan reputasi perusahaan.
Dalam pendidikan, menanamkan
kejujuran kepada anak-anak sejak dini adalah langkah strategis untuk membentuk
generasi yang memiliki integritas tinggi. Kebiasaan jujur yang diajarkan sejak
kecil akan menjadi karakter yang tertanam kuat hingga dewasa.¹⁰
Catatan Kaki
[1]
Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab Al-Birr wa
Al-Silah, Hadits No. 2607.
[2]
An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Juz 16,
Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1996, hal. 132.
[3]
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Akhlaq Al-Islamiyyah, Damaskus:
Dar Al-Fikr, 1981, hal. 94.
[4]
An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Juz 16, hal.
133.
[5]
Ibn Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari,
Juz 10, Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1996, hal. 506.
[6]
Yusuf Al-Qaradawi, Ethical Values in the Qur’an,
Cairo: Al-Tawhid Publications, 2008, hal. 122.
[7]
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Kitab Az-Zuhd,
Hadits No. 2518.
[8]
Muhammad Syahrur, Relevansi Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan
Modern, Jakarta: Lentera Hati, 2017, hal. 119.
[9]
Martin Lings, Muhammad: His Life Based on the Earliest
Sources, London: Islamic Texts Society, 2006, hal. 56.
[10]
Zakiyah Darajat, Pendidikan Islam dalam Pembentukan Karakter
Bangsa, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, hal. 151.
4.
Sikap
Adil dan Jujur dalam Penjelasan Ulama dan Tafsir Klasik
4.1.
Definisi Adil dan Jujur
Dalam literatur klasik, adil
(al-adl) didefinisikan sebagai menempatkan sesuatu pada tempatnya atau
memberikan hak kepada yang berhak tanpa berlebihan maupun kekurangan.⁽¹⁾
Kejujuran (shidq), di sisi lain, mencakup kesesuaian antara ucapan,
perbuatan, dan niat.⁽²⁾ Kedua sifat ini merupakan pilar penting dalam akhlak
Islam, yang menjadi dasar untuk menciptakan kepercayaan, keadilan, dan
keharmonisan dalam masyarakat.
4.2.
Pandangan Ulama Tafsir tentang Keadilan
1)
Tafsir Ibnu Katsir
Ibnu Katsir menafsirkan QS Al-Maidah (5) ayat 8
dengan menekankan bahwa keadilan harus ditegakkan meskipun terhadap musuh.
Menurutnya, adil tidak hanya berlaku dalam konteks hukum, tetapi juga dalam
hubungan sosial dan pergaulan sehari-hari. Beliau juga menyebutkan bahwa
keadilan adalah salah satu sifat utama Allah yang harus diteladani oleh
hamba-Nya.⁽³⁾
2)
Tafsir Al-Qurtubi
Al-Qurtubi menafsirkan QS An-Nahl (16) ayat 90
dengan menyatakan bahwa adil adalah perintah yang wajib dipatuhi dalam semua
aspek kehidupan, sedangkan ihsan (kebaikan) adalah tingkat yang lebih
tinggi karena melibatkan keikhlasan dan kemurahan hati. Ia juga menekankan
bahwa larangan dari fahsya’ (keji), munkar (kemungkaran), dan
baghy (permusuhan) bertujuan untuk mencegah kerusakan sosial yang
disebabkan oleh ketidakadilan dan kebohongan.⁽⁴⁾
4.3.
Pandangan Ulama Tafsir tentang Kejujuran
1)
Tafsir Ar-Razi
Fakhruddin Ar-Razi menekankan dalam tafsirnya
bahwa kejujuran bukan hanya soal ucapan, tetapi juga mencakup ketulusan hati
dan konsistensi dalam perbuatan. Ia menyoroti QS At-Taubah (9) ayat 119, yang
memerintahkan kaum Muslimin untuk selalu bersama orang-orang jujur, sebagai
penegasan pentingnya lingkungan sosial yang mendukung nilai-nilai kejujuran.⁽⁵⁾
2)
Tafsir Al-Mawardi
Al-Mawardi dalam Adab Al-Dunya wa Al-Din
menekankan bahwa kejujuran adalah dasar dari segala sifat mulia. Ia menyebutkan
bahwa orang yang jujur akan dihormati oleh masyarakat karena kepercayaan yang
mereka bangun melalui sikap tersebut. Menurut Al-Mawardi, kejujuran adalah
jalan menuju kehormatan dan keberhasilan, baik di dunia maupun akhirat.⁽⁶⁾
4.4.
Relevansi Nilai Adil dan Jujur dalam Kehidupan
Kontemporer
1)
Dalam Sistem Peradilan
Para ulama klasik seperti Ibnu Taimiyah
menegaskan bahwa keadilan harus menjadi dasar dalam pengambilan keputusan
hukum. Ketidakadilan tidak hanya menghancurkan kehidupan individu, tetapi juga
merusak stabilitas sosial. Dalam konteks modern, ini relevan untuk melawan
praktik korupsi, nepotisme, dan diskriminasi.⁽⁷⁾
2)
Dalam Hubungan Sosial
Kejujuran menjadi fondasi dalam membangun
hubungan yang harmonis. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin
menyebutkan bahwa dusta menghancurkan kepercayaan, yang merupakan elemen
penting dalam hubungan sosial dan ekonomi.⁽⁸⁾
3)
Dalam Kepemimpinan
Para ulama sepakat bahwa pemimpin yang adil dan
jujur akan membawa keberkahan bagi rakyatnya. Rasulullah Saw bersabda bahwa
pemimpin yang adil akan mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat.⁽⁹⁾ Nilai
ini penting dalam memilih dan mendidik pemimpin yang amanah di era modern.
Kesimpulan
Penjelasan ulama dan tafsir
klasik tentang keadilan dan kejujuran menunjukkan betapa pentingnya kedua nilai
ini dalam membangun individu yang bermoral dan masyarakat yang harmonis.
Relevansinya tidak pernah pudar, bahkan di era modern di mana kejujuran sering
kali dikorbankan demi kepentingan duniawi, dan keadilan sering dikesampingkan
oleh kepentingan pribadi atau kelompok. Nilai-nilai ini harus terus diajarkan
dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk implementasi ajaran
Al-Qur'an dan Hadits.
Catatan Kaki
[1]
Al-Jurjani, At-Ta’rifat, Beirut: Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyyah, 1992, hal. 117.
[2]
Ibnu Manzur, Lisan Al-Arab, Juz 3, Beirut: Dar Sadir,
1997, hal. 258.
[3]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Juz 2,
Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1998, hal. 88-90.
[4]
Muhammad Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Juz
10, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1996, hal. 220-222.
[5]
Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih Al-Ghaib, Juz 15, Beirut:
Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1999, hal. 270.
[6]
Al-Mawardi, Adab Al-Dunya wa Al-Din, Kairo: Dar
Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1986, hal. 95-97.
[7]
Ibnu Taimiyah, As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, Riyadh:
Dar Al-Rayah, 1985, hal. 64.
[8]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 3, Beirut: Dar
Al-Ma’rifah, 1990, hal. 94.
[9]
Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Adab,
Hadits No. 660.
5.
Relevansi
Keadilan dan Kejujuran dalam Kehidupan Modern
Nilai-nilai keadilan (al-‘adl)
dan kejujuran (ash-shidq) yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan Hadits
tidak hanya relevan dalam konteks sosial pada masa lalu, tetapi juga memiliki
peranan penting dalam kehidupan modern. Dalam berbagai aspek kehidupan, seperti
hukum, politik, ekonomi, pendidikan, dan sosial, keadilan dan kejujuran menjadi
kunci utama dalam menciptakan stabilitas dan kesejahteraan masyarakat.
5.1.
Keadilan dalam Sistem Hukum dan Pemerintahan
Dalam kehidupan modern,
sistem hukum yang adil menjadi dasar bagi terciptanya masyarakat yang harmonis.
Prinsip keadilan dalam Al-Qur'an menegaskan bahwa hukum harus ditegakkan tanpa
memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau politik seseorang. QS Al-Maidah
(5) ayat 8 menegaskan agar kaum Muslimin tetap berlaku adil meskipun terhadap
musuh.¹
Dalam perspektif ulama
klasik, Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa keadilan dalam hukum lebih penting
daripada sekadar bentuk pemerintahan itu sendiri. Ia menekankan bahwa negara
yang dipimpin oleh penguasa non-Muslim tetapi berlaku adil lebih baik daripada
negara yang dipimpin oleh Muslim tetapi berlaku zalim.² Pemikiran ini
menunjukkan bahwa keadilan adalah asas utama dalam pemerintahan yang baik dan
stabil.
Di era modern, konsep ini
relevan dalam konteks penegakan hukum yang bebas dari diskriminasi, korupsi, dan
penyalahgunaan kekuasaan. Banyak negara menghadapi tantangan dalam memastikan
sistem hukum yang benar-benar adil bagi semua lapisan masyarakat. Kasus-kasus
ketidakadilan yang terjadi sering kali berakar pada penyimpangan dari prinsip
keadilan yang diajarkan dalam Islam.
5.2.
Kejujuran dalam Dunia Ekonomi dan Bisnis
Kejujuran menjadi fondasi
utama dalam dunia bisnis dan ekonomi modern. Rasulullah Saw telah menegaskan
dalam haditsnya:
"Sesungguhnya
kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa kepada surga. Seseorang
yang selalu berkata jujur akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang
jujur." (HR. Muslim)³
Hadits ini menunjukkan bahwa
kejujuran bukan hanya memiliki dampak individual, tetapi juga sosial. Dalam
bisnis, kejujuran menciptakan kepercayaan antara produsen, konsumen, dan
investor.
Menurut Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya,
salah satu faktor yang menyebabkan kehancuran ekonomi sebuah bangsa adalah
hilangnya kepercayaan akibat maraknya praktik penipuan dan kecurangan.⁴ Dalam
ekonomi modern, ini tercermin dalam berbagai kasus korupsi, manipulasi data
keuangan, dan penipuan bisnis yang menyebabkan ketidakstabilan ekonomi. Oleh
karena itu, penerapan nilai kejujuran dalam dunia bisnis dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan menciptakan kepercayaan antara
pelaku usaha dan masyarakat.
5.3.
Keadilan dan Kejujuran dalam Dunia Pendidikan
Dalam dunia pendidikan,
keadilan dan kejujuran merupakan dua nilai fundamental yang harus ditegakkan
oleh tenaga pendidik, peserta didik, serta lembaga pendidikan. QS An-Nahl (16)
ayat 90-92 menekankan pentingnya berbuat adil dan berkata jujur dalam semua
aspek kehidupan.⁵
Kejujuran dalam pendidikan
berkaitan dengan integritas akademik, seperti menghindari plagiarisme dan
kecurangan dalam ujian. Sebuah penelitian dalam Journal of Academic Ethics
menunjukkan bahwa praktik ketidakjujuran akademik dapat berdampak pada turunnya
kualitas lulusan dan melemahnya daya saing tenaga kerja.⁶ Oleh karena itu,
membangun budaya akademik yang berbasis kejujuran adalah langkah penting dalam
mencetak generasi yang berkualitas.
Selain itu, keadilan dalam
pendidikan menuntut akses yang setara bagi semua individu, tanpa diskriminasi
berdasarkan status sosial, ekonomi, atau gender. Imam Al-Ghazali dalam Ihya
Ulumuddin menekankan bahwa pendidikan harus diberikan kepada semua orang
tanpa membedakan status sosialnya, karena ilmu adalah hak setiap individu.⁷
Prinsip ini sangat relevan dalam konteks dunia modern yang masih menghadapi
tantangan ketimpangan akses pendidikan di berbagai negara.
5.4.
Kejujuran dalam Media dan Informasi
Di era digital, penyebaran
informasi menjadi sangat cepat dan luas. Namun, banyaknya hoaks dan berita
palsu (fake news) menjadi tantangan besar dalam kehidupan modern. QS
Al-Hujurat (49) ayat 6 mengajarkan bahwa sebelum menyebarkan berita, seseorang
harus memastikan kebenarannya agar tidak menimbulkan fitnah atau kekacauan
sosial.⁸
Seorang Muslim dituntut untuk
menjadi pribadi yang jujur dalam menerima dan menyampaikan informasi. Kejujuran
dalam media menjadi aspek penting untuk menjaga stabilitas sosial dan mencegah
penyebaran disinformasi yang dapat merugikan masyarakat luas.
5.5.
Keadilan dalam Hubungan Sosial
Keadilan juga sangat relevan
dalam interaksi sosial, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, maupun dunia
kerja. Islam mengajarkan agar seseorang berlaku adil dalam segala aspek
kehidupan, termasuk dalam memperlakukan anggota keluarga dan kolega. QS
An-Nisa’ (4) ayat 105 melarang perbuatan khianat, yang dalam konteks modern
dapat dikaitkan dengan pelanggaran amanah di berbagai bidang kehidupan, seperti
perselingkuhan dalam rumah tangga atau penyalahgunaan wewenang di tempat
kerja.⁹
Dalam hubungan sosial,
kejujuran menciptakan keharmonisan dan rasa saling percaya. Dalam penelitian
psikologi sosial, individu yang dikenal jujur cenderung memiliki hubungan
sosial yang lebih stabil dan kuat dibandingkan dengan mereka yang sering
berbohong atau berkhianat.¹⁰ Oleh karena itu, membangun budaya kejujuran dalam
interaksi sosial sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang harmonis.
Kesimpulan
Keadilan dan kejujuran
merupakan prinsip universal yang tetap relevan dalam berbagai aspek kehidupan
modern. Dari sistem hukum, bisnis, pendidikan, media, hingga hubungan sosial,
kedua nilai ini menjadi fondasi utama dalam menciptakan masyarakat yang
sejahtera dan harmonis. Islam telah memberikan landasan kuat mengenai
pentingnya bersikap adil dan jujur, serta dampaknya terhadap individu dan
masyarakat. Oleh karena itu, setiap Muslim harus berusaha mengamalkan
nilai-nilai ini dalam kehidupan sehari-hari guna mewujudkan kehidupan yang
lebih baik dan penuh berkah.
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur'an, QS Al-Maidah (5) ayat 8.
[2]
Ibnu Taimiyah, As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, Riyadh:
Dar Al-Rayah, 1985, hal. 64.
[3]
Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab Al-Birr wa
As-Shilah, Hadits No. 2607.
[4]
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Beirut: Dar Al-Fikr,
1995, hal. 221.
[5]
Al-Qur'an, QS An-Nahl (16): 90-92.
[6]
McCabe, D. L., Butterfield, K. D., & Treviño, L. K., "Academic
Dishonesty in Higher Education," Journal of Academic Ethics, Vol. 1,
No. 3, 2012, hal. 211-228.
[7]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 1, Beirut: Dar
Al-Ma’rifah, 1990, hal. 94.
[8]
Al-Qur'an, QS Al-Hujurat (49) ayat 6.
[9]
Al-Qur'an, QS An-Nisa’ (4) ayat 105.
[10]
Rotenberg, K. J., "The Trustworthiness and Honesty of
Individuals," Journal of Social Psychology, Vol.
43, No. 2, 2015, hal. 201-220.
6.
Kesimpulan
Sikap adil (al-‘adl)
dan jujur (ash-shidq) merupakan prinsip fundamental dalam ajaran Islam
yang memiliki dampak besar dalam kehidupan individu dan masyarakat. Al-Qur'an
dan Hadits secara jelas menekankan pentingnya menegakkan keadilan dan kejujuran
dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam hukum, politik, ekonomi, pendidikan,
sosial, maupun dalam hubungan antarindividu.
Dalam Al-Qur’an, QS Al-Maidah
(5) ayat 8-10 menegaskan bahwa menegakkan keadilan adalah perintah Allah yang
harus dijalankan tanpa memandang status sosial atau perasaan subjektif terhadap
seseorang.¹ QS An-Nahl (16) ayat 90-92 menegaskan bahwa Allah memerintahkan
keadilan dan kejujuran sebagai dasar interaksi manusia, sementara QS An-Nisa'
(4) ayat 105 melarang segala bentuk pengkhianatan yang merusak keadilan.² Dalam
hadits, Rasulullah Saw menjelaskan bahwa kejujuran membawa kepada kebaikan dan
kesuksesan, sementara dusta membawa kepada kehancuran dan kebinasaan.³
Para ulama dan mufassir
klasik, seperti Al-Qurtubi, Ibnu Katsir, dan Al-Ghazali, menekankan bahwa
keadilan dan kejujuran bukan hanya norma sosial, tetapi juga bagian dari akhlak
yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.⁴ Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya
juga menggarisbawahi bahwa keadilan adalah asas keberlanjutan suatu peradaban,
sedangkan ketiadaan kejujuran dalam ekonomi dan politik dapat menyebabkan
kehancuran suatu negara.⁵
Dalam konteks kehidupan
modern, nilai-nilai keadilan dan kejujuran tetap sangat relevan. Dalam sistem
hukum, keadilan menjadi kunci dalam menciptakan ketertiban sosial dan
menghindari diskriminasi.⁶ Dalam dunia bisnis dan ekonomi, kejujuran dalam
transaksi menjadi faktor utama dalam membangun kepercayaan dan keberlanjutan
usaha.⁷ Dalam bidang pendidikan, kejujuran akademik menjadi pilar utama dalam
membentuk karakter peserta didik yang berintegritas.⁸ Bahkan dalam era digital,
kejujuran dalam menyebarkan informasi sangat penting untuk mencegah hoaks dan
fitnah yang dapat merusak stabilitas sosial.⁹
Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa Islam menekankan sikap adil dan jujur sebagai bagian dari
ketakwaan kepada Allah dan jalan menuju kesejahteraan dunia dan akhirat.
Menegakkan keadilan dan kejujuran bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga
menjadi tanggung jawab sosial yang harus dijaga oleh setiap individu. Oleh
karena itu, umat Islam harus terus berupaya menerapkan nilai-nilai ini dalam
kehidupan sehari-hari agar dapat menciptakan masyarakat yang harmonis,
berkeadaban, dan mendapat ridha Allah Swt.
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur'an, QS Al-Maidah (5) ayat 8-10.
[2]
Al-Qur'an, QS An-Nahl (16) ayat 90-92; QS An-Nisa'
(4) ayat 105.
[3]
Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab
Al-Birr wa As-Shilah, Hadits No. 2607.
[4]
Al-Qurtubi, Tafsir Al-Qurtubi, Juz 6,
Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2000, hal. 240-243; Ibnu Katsir, Tafsir
Al-Qur’an Al-‘Adzim, Juz 2, Riyadh: Dar Tayyibah, 1999, hal. 501;
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 3, Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1990, hal.
55.
[5]
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Beirut: Dar
Al-Fikr, 1995, hal. 221.
[6]
John Rawls, A Theory of Justice, Harvard
University Press, 1971, hal. 85-110.
[7]
Syed Nawab Haider Naqvi, Ethics and Economics:
An Islamic Synthesis, Leicester: The Islamic Foundation, 1981, hal. 33-45.
[8]
McCabe, D. L., Butterfield, K. D., & Treviño,
L. K., "Academic Dishonesty in Higher Education," Journal of
Academic Ethics, Vol. 1, No. 3, 2012, hal. 211-228.
[9]
Al-Qur'an, QS Al-Hujurat (49) ayat 6.
Daftar Pustaka
Al-Qurtubi, M. (1996). Al-Jami’ li Ahkam
Al-Qur’an (Juz 5 & 10). Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.
Al-Bukhari, M. I. (1996). Shahih Al-Bukhari.
Beirut: Dar Al-Ma’rifah.
Al-Ghazali, M. (1990). Ihya Ulumuddin (Juz
3). Beirut: Dar Al-Ma’rifah.
Al-Mawardi, A. H. (1986). Adab Al-Dunya wa
Al-Din. Kairo: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.
Al-Nawawi, Y. (1996). Syarh Shahih Muslim
(Juz 16). Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.
Azra, A. (2016). Islam, Democracy, and Justice
in Indonesia. Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute.
Ibn Hajar Al-Asqalani. (1996). Fathul Bari Syarh
Shahih Al-Bukhari (Juz 10). Beirut: Dar Al-Ma’rifah.
Ibnu Katsir, I. (1998). Tafsir Al-Qur’an
Al-‘Azhim (Juz 2 & 4). Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.
Ibn Manzur, M. (1997). Lisan Al-Arab (Juz
3). Beirut: Dar Sadir.
Lings, M. (2006). Muhammad: His Life Based on
the Earliest Sources. London: Islamic Texts Society.
Muslim, M. I. (1996). Shahih Muslim. Beirut:
Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.
Qaradawi, Y. (2008). Ethical Values in the
Qur’an. Cairo: Al-Tawhid Publications.
Syahrur, M. (2017). Relevansi Nilai-Nilai Islam
dalam Kehidupan Modern. Jakarta: Lentera Hati.
Wahbah Az-Zuhaili. (1997). Tafsir Al-Munir
(Juz 6 & 14). Damaskus: Dar Al-Fikr.
Zakiyah Darajat. (2015). Pendidikan Islam dalam
Pembentukan Karakter Bangsa. Jakarta: Rajawali Pers.
Lampiran 1: Keterkaitan Ayat dan Hadits
Korupsi merupakan salah satu permasalahan sosial
yang merusak sistem keadilan dan kepercayaan masyarakat. Dalam perspektif
Islam, sikap adil (al-‘adl) dan jujur (ash-shidq) merupakan dua
prinsip utama dalam membangun kehidupan yang berintegritas dan menjauhkan diri
dari perilaku koruptif. Al-Qur’an dan Hadits secara eksplisit menekankan
pentingnya keadilan dan kejujuran sebagai pilar utama dalam kehidupan individu
dan masyarakat.
1.
Al-Qur'an
sebagai Landasan Anti-Korupsi
QS Al-Maidah (5) ayat 8 menegaskan bahwa keadilan
harus ditegakkan tanpa memandang status atau kepentingan pribadi:
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah
kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah,
walaupun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu."¹
Ayat ini menjadi prinsip utama dalam mencegah
praktik korupsi karena seseorang dituntut untuk berlaku adil, bahkan jika itu
merugikan dirinya sendiri. Keadilan yang tidak dipengaruhi oleh kepentingan
pribadi atau kelompok merupakan esensi dari pemerintahan yang bersih dan bebas
dari korupsi.²
QS An-Nahl (16) ayat 90 juga menegaskan bahwa Allah
memerintahkan keadilan dan melarang segala bentuk keburukan serta perbuatan
zalim:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku
adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kaum kerabat, serta melarang
perbuatan keji, kemungkaran, dan kezaliman."³
Dalam konteks korupsi, ayat ini mengajarkan bahwa
ketidakadilan dalam pengelolaan keuangan negara, seperti suap, manipulasi
anggaran, dan penyalahgunaan wewenang, adalah bentuk kezaliman yang merugikan
masyarakat luas.⁴
2.
Hadits
sebagai Pedoman Kejujuran dalam Mencegah Korupsi
Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah
bin Mas'ud menegaskan dampak jangka panjang dari kejujuran dan kebohongan:
"Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada
kebaikan, dan kebaikan itu membawa ke surga. Dan sesungguhnya dusta itu membawa
kepada kejahatan, dan kejahatan itu membawa ke neraka."⁵
Dalam konteks antikorupsi, hadits ini mengajarkan
bahwa kejujuran adalah kunci integritas individu dalam menjalankan tugasnya.
Sebaliknya, kebohongan —yang sering menjadi akar korupsi— akan mengarah kepada
kehancuran sosial dan kehancuran moral.⁶
3.
Fenomena
Sosial: Korupsi sebagai Bentuk Pengkhianatan
QS An-Nisa' (4) ayat 105 menegaskan bahwa Allah
tidak menyukai pengkhianatan:
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab
kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, agar kamu mengadili di
antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah
engkau menjadi pembela bagi orang-orang yang berkhianat."⁷
Ayat ini menjadi dalil kuat bahwa korupsi merupakan
bentuk pengkhianatan terhadap amanah yang diberikan kepada seseorang, baik
sebagai pejabat, pemimpin, maupun individu yang mengelola dana publik. Dalam
banyak kasus, korupsi dilakukan dengan memanipulasi sistem hukum untuk
melindungi pelaku dari pertanggungjawaban.⁸
4.
Relevansi
dalam Konteks Modern
Dalam realitas sosial, negara-negara dengan indeks
korupsi yang tinggi sering kali mengalami ketimpangan ekonomi, rendahnya
kesejahteraan masyarakat, dan lemahnya penegakan hukum.⁹ Sebaliknya,
negara-negara dengan tingkat kejujuran dan keadilan yang tinggi cenderung lebih
makmur dan stabil. Islam telah memberikan solusi dengan menanamkan nilai-nilai
kejujuran dan keadilan sebagai pilar utama dalam membangun peradaban yang
bersih dari korupsi. Oleh karena itu, implementasi nilai-nilai Islam dalam
sistem hukum dan tata kelola pemerintahan sangat penting dalam menciptakan
masyarakat yang adil dan sejahtera.¹⁰
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur'an, QS Al-Maidah (5) ayat 8.
[2]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Dawlah fi al-Islam
(Cairo: Dar al-Shuruq, 1997), 56.
[3]
Al-Qur'an, QS An-Nahl (16) ayat 90.
[4]
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir
(Damascus: Dar al-Fikr, 2009), 1285.
[5]
Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab
al-Birr wa al-Silah, Hadits No. 2607.
[6]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, vol. 3 (Beirut:
Dar al-Ma’rifah, 1990), 85.
[7]
Al-Qur'an, QS An-Nisa' (4) ayat 105.
[8]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim,
vol. 2 (Riyadh: Dar Tayyibah, 1999), 512.
[9]
Transparency International, Corruption
Perceptions Index 2023 (Berlin: Transparency International, 2023).
[10]
Syed Nawab Haider Naqvi, Ethics and Economics:
An Islamic Synthesis (Leicester: The Islamic Foundation, 1981), 45.
Lampiran 2: Takhrij Hadits
Takhrij hadits adalah proses penelusuran sumber
asli hadits beserta sanad dan derajatnya dalam kitab-kitab hadits. Berikut ini
adalah takhrij hadits yang digunakan dalam artikel terkait sikap adil dan
jujur.
1.
Hadits
tentang Dampak Kejujuran dan Kebohongan
Matn
Hadits:
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ
الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ
وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ
اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى
الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ
يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
Terjemahan:
"Hendaklah kalian bersikap jujur, karena
kejujuran membawa kepada kebajikan, dan kebajikan membawa ke surga. Seseorang
yang terus-menerus berkata jujur dan berusaha untuk selalu jujur akan dicatat
di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur. Berhati-hatilah terhadap
kebohongan, karena kebohongan membawa kepada kejahatan, dan kejahatan membawa
ke neraka. Seseorang yang terus-menerus berbohong dan mencari-cari kebohongan
akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta."
Takhrij
Hadits:
·
Sumber: Shahih
Muslim, Kitab al-Birr wa al-Shilah wa al-Adab, Bab Qadr al-Sidq wa Fadluhu,
Hadits No. 2607.
·
Perawi:
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu ‘anhu.
·
Derajat Hadits: Shahih,
disepakati oleh para ulama karena diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan sanad
yang kuat.
2.
Hadits
tentang Larangan Berkhianat dalam Penghukuman
Matn
Hadits:
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَإِنَّهُ
يَأْتِينِي الْخَصْمُ فَلَعَلَّ بَعْضَهُمْ يَكُونُ أَبْلَغَ مِنْ بَعْضٍ
فَأَحْسِبُ أَنَّهُ صَادِقٌ فَأَقْضِي لَهُ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ مُسْلِمٍ
فَإِنَّمَا هِيَ قِطْعَةٌ مِنَ النَّارِ فَلْيَأْخُذْهَا أَوْ لِيَذَرْهَا
Terjemahan:
"Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia,
dan bisa jadi ada seseorang yang lebih pandai dalam mengajukan perkara daripada
yang lain, sehingga aku menganggapnya benar dan memutuskan hukumnya sesuai
dengan apa yang aku dengar. Maka siapa pun yang aku putuskan mendapat hak orang
Muslim (dengan cara yang tidak benar), maka sesungguhnya aku telah memberikan
kepadanya sepotong api neraka, maka hendaklah ia mengambilnya atau
meninggalkannya."
Takhrij
Hadits:
·
Sumber: Shahih
al-Bukhari, Kitab al-Mazalim, Bab Man Qaḍa bi Ghairi al-Haqq, Hadits No.
7181.
·
Perawi:
Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha.
·
Derajat Hadits: Shahih,
karena diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dengan sanad yang kuat.
3.
Hadits
tentang Keadilan dalam Hukum
Matn
Hadits:
الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ وَاحِدٌ فِي
الْجَنَّةِ وَاثْنَانِ فِي النَّارِ، فَأَمَّا الَّذِي فِي الْجَنَّةِ فَرَجُلٌ
عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ، وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَجَارَ فِي الْحُكْمِ
فَهُوَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ
Terjemahan:
"Hakim ada tiga macam: satu orang masuk surga,
dan dua orang masuk neraka. Adapun hakim yang masuk surga adalah yang
mengetahui kebenaran dan memutuskan berdasarkan kebenaran. Sedangkan hakim yang
masuk neraka adalah yang mengetahui kebenaran tetapi berbuat zalim dalam hukum,
dan hakim yang memutuskan perkara tanpa ilmu juga masuk neraka."
Takhrij
Hadits:
·
Sumber: Sunan
Abu Dawud, Kitab al-Aqdiyah, Bab Fi al-Qudat, Hadits No. 3573.
·
Perawi:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
·
Derajat Hadits: Hasan,
dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud (2/402).
4.
Hadits
tentang Bahaya Suap dan Korupsi
Matn
Hadits:
لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ
وَالْمُرْتَشِيَ
Terjemahan:
"Allah melaknat pemberi suap dan penerima
suap."
Takhrij
Hadits:
·
Sumber: Sunan
Abi Dawud, Kitab al-Aqdiyah, Bab Fi al-Risywah, Hadits No. 3580.
·
Perawi:
Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma.
·
Derajat Hadits: Shahih,
dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud (2/405).
Kesimpulan
Takhrij hadits di atas menunjukkan bahwa konsep
kejujuran dan keadilan dalam Islam sangat kuat didasarkan pada hadits-hadits
shahih yang diriwayatkan oleh para perawi terpercaya. Dengan memahami sumber
dan keabsahan hadits-hadits ini, umat Islam dapat lebih meyakini bahwa ajaran
untuk menegakkan keadilan dan menjauhi kebohongan merupakan bagian integral
dari syariat yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar