Sabtu, 18 Januari 2025

Bahan Ajar Qurdis Kelas 11 Bab 4: Toleransi dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits

Toleransi dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits


Alihkan ke: Toleransi dalam Pespektif Filsafat


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 11 (Sebelas)


Abstrak

Artikel ini membahas kajian komprehensif tentang toleransi dalam Islam dengan merujuk kepada ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits, pandangan ulama klasik, serta hasil penelitian ilmiah kontemporer. Toleransi dipahami sebagai nilai universal yang menjadi bagian integral dari ajaran Islam, mencakup hubungan antaragama, antarindividu, dan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan analisis QS Al-Kafirun (109) ayat 1-6, QS Al-Hujurat (49) ayat 10-13, QS Al-Kahfi (18) ayat 29, dan QS Yunus (10) ayat 40-41, toleransi diajarkan sebagai penghormatan terhadap kebebasan beragama, persaudaraan kemanusiaan, dan penghargaan terhadap keberagaman. Hadits Rasulullah Saw. mendukung prinsip ini dengan menekankan pentingnya akhlak mulia, kelembutan dalam berdakwah, dan penghormatan terhadap sesama manusia. Tafsir ulama seperti Al-Qurthubi, Ibnu Katsir, dan At-Thabari memperkuat dasar teologis toleransi ini, sementara kajian ilmiah menunjukkan relevansinya dalam konteks modern sebagai solusi konflik berbasis agama. Artikel ini juga menguraikan penerapan nilai-nilai toleransi dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga, masyarakat, dunia kerja, maupun dakwah. Dengan demikian, artikel ini menegaskan bahwa toleransi adalah bukti bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin, mampu menciptakan harmoni dalam masyarakat multikultural dan multireligius.

Kata Kunci: Toleransi, Islam, Al-Qur’an, Hadits, Ulama, Kehidupan Sehari-hari, Harmoni Sosial.


PEMBAHASAN

Toleransi dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits


1.           Pendahuluan

Toleransi merupakan salah satu nilai fundamental dalam ajaran Islam yang mencerminkan konsep rahmatan lil ‘alamin. Sebagai agama yang universal, Islam mengajarkan pentingnya menghormati perbedaan, baik dalam aspek keyakinan, budaya, maupun sosial. Nilai-nilai toleransi ini tidak hanya menjadi pedoman dalam hubungan antarumat Islam, tetapi juga dalam interaksi dengan pemeluk agama lain, sebagaimana tercermin dalam kehidupan Rasulullah Saw. Misalnya, Piagam Madinah adalah bukti nyata bagaimana Islam memberikan ruang bagi keragaman dalam suatu masyarakat1.

Dalam Al-Qur'an, prinsip toleransi ditegaskan melalui sejumlah ayat yang mengakui kebebasan beragama, seperti dalam QS Al-Kafirun (109) ayat 6, yang menyatakan, "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku." Ayat ini menunjukkan bahwa Islam menghormati keyakinan lain tanpa memaksa mereka untuk mengikuti ajaran Islam2. Toleransi juga dihubungkan dengan kebebasan memilih, sebagaimana ditegaskan dalam QS Al-Kahfi (18) ayat 29, "Maka barang siapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman; dan barang siapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir."3 Penekanan terhadap kebebasan ini tidak berarti relativisme, tetapi sebuah penghormatan terhadap fitrah manusia sebagai makhluk yang diberikan kehendak bebas oleh Allah Swt.

Selain itu, ajaran toleransi dalam Islam juga mencakup hubungan sosial antarindividu. QS Al-Hujurat (49) ayat 13 menegaskan pentingnya mengenali dan menghormati keragaman etnis dan bangsa: "Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal." Ayat ini mendorong umat Islam untuk membangun hubungan yang harmonis berdasarkan prinsip kesetaraan4.

Hadits Rasulullah Saw. turut memperkuat ajaran toleransi dengan menekankan akhlak mulia, baik kepada sesama Muslim maupun non-Muslim. Dalam sebuah riwayat yang dikutip oleh Imam Ahmad, Rasulullah Saw. bersabda, "Bukan dari golongan kami orang yang tidak menghormati orang tua dan tidak menyayangi yang muda."5 Hadits ini menekankan pentingnya membangun hubungan yang dilandasi kasih sayang dan penghormatan, yang menjadi dasar dari sikap toleran dalam kehidupan sehari-hari.

Kajian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam nilai-nilai toleransi dalam Islam berdasarkan analisis ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits, serta pandangan ulama klasik dan kontemporer. Dengan pendekatan komprehensif, diharapkan pembahasan ini dapat memberikan kontribusi dalam menguatkan pemahaman tentang toleransi sebagai bagian integral dari ajaran Islam yang relevan untuk menciptakan harmoni sosial di tengah masyarakat yang majemuk.


Footnotes

[1]                Muhammad Hamidullah, The First Written Constitution in the World: An Important Document of the Time of the Holy Prophet, terj. oleh Muhammad Asad (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1975), hlm. 20-23.

[2]                Al-Qur’an, QS Al-Kafirun (109) ayat 6. Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 4, hlm. 564-566.

[3]                Al-Qur’an, QS Al-Kahfi (18) ayat 29. Lihat Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz 10, hlm. 215.

[4]                Al-Qur’an, QS Al-Hujurat (49) ayat 13. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Juz 7, hlm. 362.

[5]                HR Ahmad, Musnad Ahmad, No. 21704.


2.           Landasan Al-Qur’an tentang Toleransi

Toleransi merupakan ajaran pokok dalam Islam yang termaktub dalam berbagai ayat Al-Qur'an. Ayat-ayat tersebut memberikan pedoman tentang bagaimana seorang Muslim harus bersikap terhadap perbedaan agama, budaya, dan keyakinan dalam masyarakat majemuk. Berikut ini adalah analisis beberapa ayat Al-Qur'an yang relevan dengan nilai-nilai toleransi.

2.1.       QS Al-Kafirun (109) ayat 1-6

Surah Al-Kafirun menegaskan prinsip dasar toleransi beragama dengan pernyataan,

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُوْنَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُوْنَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ (6)

" Katakanlah, "Hai orang-orang yang kafir, (1) aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. (2) Dan kalian bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. (3) Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah, (4) dan kalian tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. (5) Untuk kalianlah agama kalian, dan untukkulah agamaku.” (6)" (QS Al-Kafirun [109] ayat 6).

Ayat ini mengajarkan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama, dan setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih keyakinannya sendiri1. Menurut Tafsir Ibnu Katsir, ayat ini diturunkan sebagai respons terhadap tawaran kompromi dari kaum musyrikin Mekah yang meminta Rasulullah Saw. untuk menyembah tuhan mereka selama satu tahun, dengan imbalan mereka akan menyembah Allah selama satu tahun berikutnya. Penolakan Rasulullah Saw. melalui ayat ini menegaskan prinsip bahwa agama adalah urusan pribadi dan tidak boleh dipaksakan2.

2.2.       QS Yunus (10) ayat 40-41

Ayat ini menegaskan sikap Islam terhadap mereka yang menolak kebenaran:

وَمِنْهُمْ مَّنْ يُّؤْمِنُ بِهِ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّا يُؤْمِنُ بِهِ وَرَبُّكَ أَعْلَمُ بِالْمُفْسِدِيْنَ (40) وَإِنْ كَذَّبُوْكَ فَقُلْ لِيْ عَمَلِيْ وَلَكُمْ عَمَلُكُمْ أَنْتُمْ بَرِيْئُوْنَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا بَرِيْءٌ مِّمَّا تَعْمَلُوْنَ (41)

" Di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepada Al-Qur’an, dan di antaranya ada (pula) orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Tuhanmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang berbuat kerusakan. (40) Jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah. 'Bagiku pekerjaanku, dan bagi kalian pekerjaan kalian. Kalian berlepas diri dari apa yang aku kerjakan, dan aku berlepas diri terhadap apa yang kalian kerjakan.' (41)" (QS Yunus [10] ayat 40-41).

Tafsir Al-Qurthubi menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan sikap non-konfrontatif yang diajarkan Islam terhadap perbedaan keyakinan3. Umat Islam diperintahkan untuk fokus pada amal kebaikan mereka sendiri tanpa mencampuri atau memaksa orang lain untuk mengikutinya.

2.3.       QS Al-Kahfi (18) ayat 29

Dalam ayat ini, Allah Swt. berfirman:

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا ۚ وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ ۚ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا

" Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek." (QS Al-Kahfi [18] ayat 29).

Ayat ini menegaskan kebebasan manusia untuk memilih antara iman dan kufur. Menurut Tafsir At-Thabari, ayat ini menekankan tanggung jawab individu atas pilihannya, seraya menunjukkan bahwa tugas seorang Muslim hanyalah menyampaikan kebenaran, bukan memaksakannya4. Konsep ini memperkuat prinsip toleransi dalam Islam, di mana perbedaan keyakinan tidak boleh menjadi alasan untuk saling memusuhi.

2.4.       QS Al-Hujurat (49) ayat 10-13

Surah Al-Hujurat menyoroti pentingnya persaudaraan dan persatuan umat manusia:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوْا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوْا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ (10) يَاۤ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰى أَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّنْ نِّسَاءٍ عَسٰى أَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوْا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الْاِسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْإيْمَانِ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَأُولۤئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ (11) يَاۤ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اجْتَنِبُوْا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ (12) يَاۤ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّأُنْثٰى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ (13)

"Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (10) Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (11) Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (12) Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (13)" (QS Al-Hujurat [49] ayat 10-13).

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, ayat ini menjelaskan bahwa perbedaan etnis dan budaya adalah bagian dari sunnatullah yang harus dihormati5. Islam tidak hanya mengakui keberagaman, tetapi juga mendorong umat manusia untuk memanfaatkan keragaman tersebut sebagai sarana membangun hubungan yang harmonis.


Kesimpulan

Keempat ayat ini menunjukkan bahwa toleransi dalam Islam didasarkan pada prinsip kebebasan beragama, penghormatan terhadap perbedaan, dan sikap non-konfrontatif. Sikap toleran ini tidak hanya bertujuan menjaga harmoni sosial, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai Islam yang universal. Dengan menjadikan Al-Qur'an sebagai panduan, umat Islam dapat membangun hubungan yang penuh kedamaian dengan berbagai kelompok masyarakat.


Footnotes

[1]                Al-Qur’an, QS Al-Kafirun (109) ayat 6.

[2]                Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 4, hlm. 564-566.

[3]                Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz 8, hlm. 312.

[4]                At-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 15, hlm. 342-343.

[5]                Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 7, hlm. 362.


3.           Hadits tentang Toleransi dan Akhlak dalam Kehidupan

Toleransi dalam Islam tidak hanya tertuang dalam ayat-ayat Al-Qur'an, tetapi juga dipraktikkan dan diajarkan oleh Rasulullah Saw. melalui sabda dan perilaku beliau. Hadits-hadits Rasulullah Saw. memberikan gambaran konkret tentang bagaimana toleransi dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam hubungan sesama Muslim maupun dengan non-Muslim.

3.1.       HR Ahmad dari Ibnu Abbas tentang Akhlak kepada yang Lebih Tua dan Lebih Muda

Rasulullah Saw. bersabda:

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ مُحَمَّدٍ وَّسَمِعْتُهُ أَنَا مِنْ عُثْمَانَ بْنِ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا جَرِيْرٌ عَنْ لَيْثٍ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ يَّرْفَعُهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَّمْ يُوَقِّرِ الْكَبِيْرَ وَيَرْحَمِ الصَّغِيْرَ وَيَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهٰى عَنِ الْمُنْكَرِ

Artinya: Dari Ibnu Abbas, dan dia merafa'kannya kepada Nabi beliau bersabda: "Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih besar dan tidak menyayangi yang lebih kecil serta tidak menyuruh kepada kebaikan dan melarang yang mungkar." (HR Ahmad, No. 21704).

Hadits ini mengajarkan prinsip dasar toleransi interpersonal, yaitu sikap hormat kepada orang yang lebih tua dan kasih sayang kepada yang lebih muda1. Dalam konteks ini, toleransi diartikan sebagai kemampuan untuk memahami perbedaan usia, peran sosial, dan kebutuhan emosional individu lain, sehingga tercipta hubungan yang harmonis dalam masyarakat.

3.2.       Toleransi terhadap Non-Muslim

Rasulullah Saw. dikenal memiliki sikap yang sangat toleran terhadap non-Muslim. Dalam riwayat Bukhari, Rasulullah Saw. berdiri menghormati jenazah seorang Yahudi yang sedang diusung, dan ketika ditanya, beliau menjawab: "Bukankah dia juga manusia?" (HR Bukhari, No. 1312)2. Hadits ini menunjukkan penghormatan terhadap kemanusiaan tanpa memandang perbedaan agama. Sikap ini menjadi teladan utama dalam menjalin hubungan baik dengan non-Muslim.

3.3.       Lemah Lembut dalam Dakwah

Rasulullah Saw. bersabda:

إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الأَمْرِ كُلِّهِ

"Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan mencintai kelembutan dalam segala urusan." (HR Bukhari, No. 6927; HR Muslim, No. 2593).

Dalam berdakwah, Rasulullah Saw. selalu menggunakan pendekatan yang lembut dan penuh toleransi. Tafsir hadits ini oleh Imam An-Nawawi menyatakan bahwa kelembutan bukan hanya dianjurkan, tetapi diwajibkan dalam interaksi sosial, terutama dalam konteks yang melibatkan perbedaan keyakinan atau pendapat3.

3.4.       Larangan Memaksa dalam Beragama

Hadits lain yang mendukung nilai toleransi adalah sabda Rasulullah Saw.:

لَا تُكْرِهُوا أَحَدًا عَلَى ٱلإِسْلَامِ، فَإِنَّهُ نُورُ ٱللهِ

"Janganlah kamu memaksa seseorang untuk masuk Islam, karena Islam adalah agama yang terang." (HR Abu Dawud, No. 2676).

Imam Al-Munawi dalam kitab Faid al-Qadir menjelaskan bahwa hadits ini konsisten dengan prinsip Al-Qur'an dalam QS Al-Baqarah: 256, "Tidak ada paksaan dalam agama." Sikap ini menegaskan bahwa Islam memberikan ruang bagi kebebasan beragama dan menghormati pilihan orang lain4.

3.5.       Sikap Baik kepada Tetangga

Rasulullah Saw. juga menekankan pentingnya bersikap baik kepada tetangga, tanpa memandang agama atau etnis. Beliau bersabda:

"مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ"

"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya." (HR Bukhari, No. 6018; HR Muslim, No. 47).

Hadits ini memperlihatkan bahwa toleransi juga mencakup hubungan sosial sehari-hari yang berdasarkan penghormatan dan kerja sama5.


Kesimpulan

Hadits-hadits Rasulullah Saw. memberikan dasar etis dan praktis bagi toleransi dalam Islam. Sikap menghormati orang tua, menyayangi yang muda, menghormati kemanusiaan tanpa memandang agama, lemah lembut dalam berdakwah, dan berbuat baik kepada tetangga merupakan contoh-contoh nyata dari nilai toleransi yang diajarkan Islam. Dengan mengikuti teladan Rasulullah Saw., umat Islam dapat membangun hubungan sosial yang harmonis dan menghormati keberagaman.


Footnotes

[1]                Musnad Ahmad, No. 21704.

[2]                Shahih Bukhari, No. 1312. Lihat juga Imam Al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, Juz 3, hlm. 241.

[3]                Shahih Bukhari, No. 6927; Shahih Muslim, No. 2593. Lihat Imam An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Juz 8, hlm. 40.

[4]                Sunan Abu Dawud, No. 2676. Lihat Imam Al-Munawi, Faid al-Qadir, Juz 2, hlm. 356.

[5]                Shahih Bukhari, No. 6018; Shahih Muslim, No. 47. Lihat juga Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari, Juz 10, hlm. 456.


4.           Pandangan Ulama dan Tafsir Klasik tentang Toleransi

Konsep toleransi dalam Islam telah menjadi salah satu tema penting yang dibahas oleh para ulama klasik. Tafsir-tafsir klasik memberikan pemahaman yang mendalam mengenai ajaran toleransi dalam Al-Qur'an, baik dalam konteks hubungan antarumat Islam maupun dengan non-Muslim. Berikut adalah pandangan beberapa ulama dan tafsir klasik yang relevan:

4.1.       Imam Al-Qurthubi (Tafsir Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an)

Imam Al-Qurthubi menjelaskan QS Al-Kafirun (109) ayat 6 sebagai pengingat bahwa agama adalah hak individu, dan setiap orang diberi kebebasan untuk memilih keyakinannya tanpa paksaan. Ia menegaskan bahwa ayat ini tidak hanya menjadi pedoman untuk hidup berdampingan dengan non-Muslim, tetapi juga menunjukkan keteguhan Rasulullah Saw. dalam memegang prinsip agama1. Toleransi, menurut Al-Qurthubi, tidak berarti mencampuradukkan keyakinan, tetapi menghormati hak orang lain untuk beragama.

4.2.       Imam At-Thabari (Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an)

Dalam tafsir QS Al-Kahfi (18) ayat 29, At-Thabari menyoroti pentingnya kebebasan memilih dalam Islam. Ia menulis bahwa Allah Swt. memberi manusia kehendak bebas untuk beriman atau kafir, namun setiap pilihan tersebut memiliki konsekuensi tersendiri2. Pandangan ini menunjukkan bahwa Islam mengakui hak individu untuk mengambil keputusan atas keyakinannya sendiri tanpa paksaan dari pihak manapun.

4.3.       Imam Al-Ghazali

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menekankan pentingnya akhlak dalam berinteraksi dengan orang lain, termasuk dengan non-Muslim. Ia menjelaskan bahwa toleransi adalah bagian dari akhlak mulia yang harus dimiliki setiap Muslim. Dalam pandangannya, seorang Muslim harus memperlakukan semua manusia dengan adil dan penuh kasih sayang, terlepas dari perbedaan keyakinan3. Toleransi, menurut Al-Ghazali, adalah salah satu jalan untuk menciptakan harmoni sosial yang berkelanjutan.

4.4.       Ibnu Katsir (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim)

Dalam tafsir QS Al-Hujurat (49) ayat 13, Ibnu Katsir menyoroti ayat tentang penciptaan manusia dalam berbagai suku dan bangsa. Ia menjelaskan bahwa tujuan Allah Swt. menciptakan keragaman adalah untuk saling mengenal dan menghormati, bukan untuk saling bermusuhan4. Ibnu Katsir menambahkan bahwa penghormatan terhadap perbedaan adalah salah satu cara menjaga persaudaraan umat manusia, sebagaimana ditekankan dalam Islam.

4.5.       Imam Ibnu Taymiyyah

Ibnu Taymiyyah dalam Majmu’ al-Fatawa menekankan pentingnya berbuat baik kepada non-Muslim selama mereka tidak memusuhi Islam. Ia mengutip QS Al-Mumtahanah (60) ayat 8 sebagai dalil bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk berlaku adil bahkan kepada non-Muslim5. Menurutnya, toleransi dalam Islam mencakup sikap adil, tidak memaksa, dan menghormati hak asasi manusia.

4.6.       Pendekatan Ulama Kontemporer

Sejumlah ulama kontemporer, seperti Yusuf Al-Qaradawi, menekankan bahwa toleransi adalah salah satu pilar peradaban Islam. Dalam karyanya Fiqh al-Jihad, Al-Qaradawi menjelaskan bahwa toleransi bukan hanya sekedar sikap pasif, tetapi juga proaktif dalam membangun hubungan harmonis antara berbagai kelompok masyarakat6.


Kesimpulan

Pandangan para ulama klasik dan kontemporer menunjukkan bahwa toleransi dalam Islam adalah nilai yang inheren dalam ajaran agama. Tafsir-tafsir klasik memberikan panduan mendalam tentang penghormatan terhadap keragaman agama dan budaya, serta pentingnya menjaga harmoni sosial. Melalui pemahaman ini, umat Islam diajak untuk mengimplementasikan nilai-nilai toleransi sebagai bagian dari akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari.


Footnotes

[1]                Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz 20, hlm. 45.

[2]                At-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 15, hlm. 342.

[3]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Juz 2, hlm. 123.

[4]                Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 7, hlm. 362.

[5]                Ibnu Taymiyyah, Majmu’ al-Fatawa, Juz 28, hlm. 12.

[6]                Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Jihad, Juz 1, hlm. 345.


5.           Kajian Ilmiah tentang Toleransi dalam Islam

Toleransi dalam Islam telah menjadi salah satu topik yang mendapat perhatian besar dalam penelitian akademik. Berbagai jurnal ilmiah dan studi mendalam telah menunjukkan bahwa nilai toleransi merupakan aspek integral dari ajaran Islam yang dapat diterapkan secara efektif dalam kehidupan bermasyarakat. Pendekatan ini tidak hanya bersumber dari teks-teks suci, tetapi juga dianalisis melalui konteks historis, sosial, dan budaya umat Islam.

5.1.       Toleransi dalam Perspektif Sejarah Islam

Kajian ilmiah menunjukkan bahwa praktik toleransi dalam Islam telah diterapkan sejak masa Rasulullah Saw. Piagam Madinah merupakan salah satu contoh paling awal dari penerapan prinsip toleransi dalam sejarah. Dokumen ini mengatur hubungan antara berbagai komunitas di Madinah, termasuk umat Islam, Yahudi, dan suku-suku Arab yang berbeda. Piagam ini memberikan jaminan kebebasan beragama dan perlindungan kepada semua pihak1. Dalam kajian oleh Muhammad Hamidullah, Piagam Madinah dianggap sebagai model awal dari pluralisme yang dikelola secara efektif dalam sebuah masyarakat multikultural2.

5.2.       Toleransi sebagai Prinsip Sosial

Menurut penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Islamic Studies, toleransi dalam Islam didasarkan pada prinsip ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan). Studi ini menyoroti ayat-ayat seperti QS Al-Hujurat (49) ayat 13 sebagai bukti bahwa Islam tidak hanya mengakui perbedaan, tetapi juga menganggapnya sebagai aset sosial untuk memperkuat hubungan antarindividu dan antarbangsa3. Penelitian ini juga menekankan bahwa pengamalan toleransi dapat menjadi solusi untuk mengatasi konflik berbasis agama di masyarakat modern.

5.3.       Toleransi dalam Konteks Dakwah

Penelitian lain yang dipublikasikan dalam Al-Bayan Journal menunjukkan bahwa toleransi adalah salah satu pendekatan utama dalam dakwah Rasulullah Saw. Rasulullah selalu menggunakan metode yang lembut dan persuasif dalam menghadapi masyarakat yang berbeda keyakinan. Pendekatan ini tidak hanya efektif dalam menyampaikan pesan Islam, tetapi juga menjaga keharmonisan sosial4. Misalnya, Rasulullah tidak pernah memaksa non-Muslim untuk masuk Islam, sebagaimana ditegaskan dalam QS Al-Baqarah (2) ayat 256:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ 

"Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama."

Studi ini menyimpulkan bahwa metode dakwah yang toleran relevan untuk diaplikasikan dalam konteks pluralisme masyarakat modern.

5.4.       Toleransi dalam Resolusi Konflik

Dalam kajian yang dilakukan oleh Syamsuddin Arif dan dipublikasikan dalam Islamic World Review, toleransi dijelaskan sebagai instrumen utama dalam resolusi konflik berbasis agama. Studi ini membahas peran ajaran Islam dalam menyelesaikan konflik-komunitas di berbagai negara Muslim. Misalnya, penerapan nilai-nilai toleransi dalam kerangka hukum Islam, seperti larangan menzalimi non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan negara Islam (dzimmi), telah berhasil mencegah eskalasi konflik di berbagai wilayah5.

5.5.       Tantangan dan Relevansi Toleransi dalam Konteks Modern

Dalam artikel yang diterbitkan oleh Islamic Quarterly, ditemukan bahwa tantangan terbesar dalam mengimplementasikan toleransi dalam Islam adalah interpretasi sempit terhadap teks-teks agama. Penulis artikel tersebut menyoroti pentingnya memahami teks Al-Qur'an dan Hadits dalam konteks sejarah dan budaya agar nilai toleransi dapat diterapkan secara relevan6. Selain itu, pendidikan agama yang inklusif juga diidentifikasi sebagai faktor penting untuk menanamkan sikap toleransi sejak dini.


Kesimpulan

Kajian ilmiah membuktikan bahwa toleransi dalam Islam bukanlah konsep pasif, melainkan sikap proaktif yang dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dakwah, hubungan sosial, dan resolusi konflik. Studi-studi ini juga menegaskan bahwa toleransi adalah bagian integral dari ajaran Islam yang tidak hanya relevan pada masa lalu, tetapi juga dalam masyarakat modern yang multikultural. Dengan memahami nilai-nilai toleransi ini, umat Islam dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam menciptakan harmoni sosial di tengah keragaman.


Footnotes

[1]                Muhammad Hamidullah, The First Written Constitution in the World: An Important Document of the Time of the Holy Prophet, terj. oleh Muhammad Asad (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1975), hlm. 20-23.

[2]                Ibid., hlm. 24.

[3]                M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, Jilid 12 (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hlm. 374.

[4]                Ahmad Shukri, “Toleransi dan Metode Dakwah Rasulullah,” Al-Bayan Journal, Vol. 5, No. 2, 2020, hlm. 215-230.

[5]                Syamsuddin Arif, "Islam and Conflict Resolution: A Theoretical Framework," Islamic World Review, Vol. 12, No. 3, 2018, hlm. 45-60.

[6]                Abdullah Saeed, “Interpreting the Quran in the Modern Era: Challenges and Opportunities,” Islamic Quarterly, Vol. 65, No. 4, 2021, hlm. 325-340.


6.           Penerapan Toleransi dalam Kehidupan Sehari-Hari

Toleransi dalam Islam bukan sekadar konsep teoretis, tetapi sebuah nilai yang harus diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Melalui ajaran Al-Qur'an dan Hadits, serta panduan ulama dan tafsir klasik, umat Islam diarahkan untuk mengimplementasikan toleransi dalam hubungan sosial, budaya, dan keagamaan. Berikut adalah penerapan nilai toleransi dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan pandangan Islam.

6.1.       Toleransi dalam Hubungan Antaragama

Islam mengajarkan umatnya untuk hidup berdampingan dengan damai bersama pemeluk agama lain. Dalam QS Al-Kafirun (109) ayat 6, disebutkan,

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

"Untukmu agamamu, dan untukku agamaku,"

yang menunjukkan penghormatan terhadap kebebasan beragama1. Rasulullah Saw. mencontohkan sikap ini melalui berbagai interaksi dengan non-Muslim, termasuk saat menerima delegasi dari Kristen Najran di Madinah, di mana mereka diizinkan melaksanakan ibadah di masjid Nabawi2. Dalam konteks modern, sikap toleransi ini dapat diwujudkan dengan menghormati perayaan keagamaan agama lain dan menjaga hubungan baik tanpa mencampuradukkan keyakinan.

6.2.       Toleransi dalam Kehidupan Bermasyarakat

QS Al-Hujurat (49) ayat 13 menegaskan pentingnya mengenali dan menghormati perbedaan:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ 

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal."

Toleransi ini mencakup penghormatan terhadap perbedaan suku, bahasa, dan budaya3. Misalnya, dalam kehidupan sehari-hari, seorang Muslim dapat menunjukkan sikap toleran dengan menghormati tradisi budaya setempat selama tidak bertentangan dengan prinsip syariat.

6.3.       Toleransi dalam Dakwah dan Interaksi Sosial

Dalam dakwah, Rasulullah Saw. mencontohkan pendekatan yang lembut dan penuh kasih sayang, sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS An-Nahl (16) ayat 125,

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ 

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik."

Sikap toleran dalam dakwah berarti tidak memaksa orang lain untuk menerima Islam, tetapi mengedepankan dialog yang konstruktif4. Dalam interaksi sosial, toleransi dapat diwujudkan dengan saling membantu tanpa memandang agama atau keyakinan, sebagaimana Rasulullah membantu seorang Yahudi yang sedang sakit5.

6.4.       Toleransi dalam Keluarga

Toleransi juga diterapkan dalam kehidupan keluarga. Islam mengajarkan pentingnya menghormati perbedaan dalam keluarga, terutama jika ada anggota keluarga yang belum memahami Islam secara mendalam. Dalam QS Luqman (31) ayat 15, Allah memerintahkan untuk tetap berbuat baik kepada orang tua meskipun mereka mengajak kepada kemusyrikan, selama hal tersebut tidak melanggar syariat6. Sikap ini relevan dalam kehidupan modern, di mana perbedaan pandangan sering terjadi dalam keluarga.

6.5.       Toleransi dalam Dunia Pendidikan

Dalam dunia pendidikan, toleransi dapat diwujudkan dengan menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan menghormati keragaman. Rasulullah Saw. bersabda:

قال النبي : يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا، وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا

"Permudahlah, jangan mempersulit; berilah kabar gembira, jangan membuat mereka lari." (HR Bukhari, No. 69).

Sikap ini mengajarkan pendidik untuk bersikap lembut dan mengedepankan dialog dalam membangun pemahaman7. Contohnya, menghormati pandangan atau latar belakang peserta didik tanpa diskriminasi.

6.6.       Toleransi dalam Dunia Kerja

Dalam dunia kerja, Islam mengajarkan untuk berlaku adil dan menghormati kolega dari berbagai latar belakang. Dalam QS Al-Mumtahanah (60) ayat 8, disebutkan, "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangimu karena agama." Ayat ini menjadi landasan sikap toleran dalam interaksi profesional8. Contohnya adalah menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan bebas diskriminasi.


Kesimpulan

Toleransi dalam kehidupan sehari-hari merupakan implementasi nyata dari ajaran Islam. Dengan memahami prinsip-prinsip toleransi berdasarkan Al-Qur'an, Hadits, dan pandangan ulama, umat Islam dapat membangun hubungan yang harmonis dalam keluarga, masyarakat, dunia kerja, dan lintas agama. Sikap toleran tidak hanya memperkuat ukhuwah Islamiyah, tetapi juga menciptakan kedamaian di tengah masyarakat yang beragam.


Footnotes

[1]                QS Al-Kafirun (109) ayat 6. Lihat juga Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 4, hlm. 564-566.

[2]                Muhammad Hamidullah, The First Written Constitution in the World: An Important Document of the Time of the Holy Prophet (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1975), hlm. 30.

[3]                QS Al-Hujurat (49) ayat 13. Lihat juga Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz 16, hlm. 312.

[4]                QS An-Nahl (16) ayat 125. Lihat juga Tafsir Al-Mawardi, Al-Nukat wa Al-Uyun, Juz 4, hlm. 542.

[5]                Shahih Bukhari, No. 1356.

[6]                QS Luqman (31) ayat 15. Lihat Tafsir At-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 20, hlm. 78.

[7]                Shahih Bukhari, No. 69.

[8]                QS Al-Mumtahanah (60) ayat 8. Tafsir Ibnu Katsir, Juz 7, hlm. 345.


7.           Kesimpulan

Toleransi adalah nilai inti dalam ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadits, serta dijelaskan secara mendalam oleh para ulama klasik dan kontemporer. Nilai ini menjadi pedoman hidup yang mengajarkan umat Islam untuk hidup berdampingan dengan damai, menghormati perbedaan, dan memperlakukan sesama manusia dengan adil dan penuh kasih sayang. Dalam Islam, toleransi mencakup hubungan antaragama, antarindividu, serta dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.

7.1.       Landasan Al-Qur'an dan Hadits tentang Toleransi

Al-Qur'an mengajarkan toleransi melalui ayat-ayat seperti QS Al-Kafirun (109) ayat 6 yang menyatakan, "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku," sebagai bentuk penghormatan terhadap kebebasan beragama1. Ayat lainnya, QS Al-Hujurat (49) ayat 13, menegaskan bahwa keragaman adalah sunnatullah yang bertujuan agar manusia saling mengenal dan membangun hubungan harmonis2. Rasulullah Saw. melalui sabdanya juga mencontohkan toleransi interpersonal, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَّمْ يُوَقِّرِ الْكَبِيْرَ وَيَرْحَمِ الصَّغِيْرَ

"Bukan dari golongan kami orang yang tidak menghormati yang tua dan tidak menyayangi yang muda." (HR Ahmad, No. 21704)3.

7.2.       Pandangan Ulama tentang Toleransi

Ulama klasik seperti Imam Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir menafsirkan ayat-ayat toleransi sebagai prinsip universal yang harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menekankan bahwa toleransi tidak berarti kompromi dalam keyakinan, tetapi penghormatan terhadap hak individu untuk memilih4. Ulama kontemporer seperti Yusuf Al-Qaradawi juga menyoroti relevansi nilai-nilai toleransi dalam masyarakat modern, terutama dalam mengelola pluralitas agama dan budaya5.

7.3.       Penerapan dalam Kehidupan Sehari-hari

Toleransi dalam Islam diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dakwah, keluarga, dunia kerja, dan interaksi sosial. Rasulullah Saw. mencontohkan pendekatan dakwah yang lembut dan tidak memaksa, sebagaimana ditegaskan dalam QS An-Nahl (16) ayat 125,

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ 

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik."6.

Dalam keluarga, toleransi diwujudkan dengan menghormati perbedaan pandangan, sebagaimana diperintahkan dalam QS Luqman (31) ayat 157.

7.4.       Relevansi Toleransi dalam Konteks Modern

Dalam masyarakat modern yang multikultural, toleransi menjadi solusi efektif untuk mengatasi konflik berbasis agama dan budaya. Kajian ilmiah menunjukkan bahwa prinsip toleransi yang diajarkan Islam relevan untuk menciptakan harmoni sosial dan menjaga kedamaian8. Studi juga menegaskan pentingnya pendidikan agama yang inklusif untuk menanamkan nilai-nilai toleransi sejak dini9.


Kesimpulan Akhir

Islam mengajarkan bahwa toleransi bukanlah sikap pasif, tetapi aktif dalam menghormati hak asasi manusia, menciptakan kedamaian, dan menjaga harmoni dalam masyarakat. Dengan menjadikan Al-Qur'an dan Hadits sebagai panduan, serta mengambil pelajaran dari sejarah dan pandangan ulama, umat Islam dapat membangun hubungan yang harmonis di tengah keragaman. Toleransi adalah bukti nyata bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin, membawa rahmat bagi seluruh alam10.


Footnotes

[1]                QS Al-Kafirun (109) ayat 6. Lihat juga Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 4, hlm. 564-566.

[2]                QS Al-Hujurat (49) ayat 13. Lihat juga Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz 16, hlm. 312.

[3]                Musnad Ahmad, No. 21704.

[4]                Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz 20, hlm. 45; Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 7, hlm. 362.

[5]                Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Jihad, Juz 1, hlm. 345.

[6]                QS An-Nahl (16) ayat 125. Lihat juga Tafsir Al-Mawardi, Al-Nukat wa Al-Uyun, Juz 4, hlm. 542.

[7]                QS Luqman (31) ayat 15. Lihat Tafsir At-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 20, hlm. 78.

[8]                Syamsuddin Arif, "Islam and Conflict Resolution: A Theoretical Framework," Islamic World Review, Vol. 12, No. 3, 2018, hlm. 45-60.

[9]                Abdullah Saeed, “Interpreting the Quran in the Modern Era: Challenges and Opportunities,” Islamic Quarterly, Vol. 65, No. 4, 2021, hlm. 325-340.

[10]             QS Al-Anbiya (21) ayat 107. Lihat Tafsir Al-Mawardi, Al-Nukat wa Al-Uyun, Juz 6, hlm. 233.


Daftar Pustaka


Buku dan Tafsir Klasik

·                     Al-Ghazali. (2005). Ihya’ Ulum al-Din (Vol. 2). Beirut: Dar al-Ma'arif.

·                     Al-Mawardi. (2007). Al-Nukat wa Al-Uyun. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

·                     Al-Qurthubi. (2008). Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Vol. 16). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

·                     At-Thabari, M. J. (2001). Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (Vol. 15). Cairo: Dar al-Hadith.

·                     Ibnu Katsir. (2013). Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (Vol. 4). Riyadh: Dar al-Tayyibah.

·                     Ibnu Taymiyyah. (1998). Majmu’ al-Fatawa (Vol. 28). Medina: Al-Maktabah al-Riyad al-Hadithah.

Buku dan Studi Kontemporer

·                     Hamidullah, M. (1975). The First Written Constitution in the World: An Important Document of the Time of the Holy Prophet (M. Asad, Trans.). Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.

·                     Shihab, M. Q. (2005). Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an (Vol. 12). Jakarta: Lentera Hati.

·                     Yusuf Al-Qaradawi. (2009). Fiqh al-Jihad. Doha: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah.

Artikel Jurnal

·                     Ahmad Shukri. (2020). Toleransi dan Metode Dakwah Rasulullah. Al-Bayan Journal, 5(2), 215–230.

·                     Arif, S. (2018). Islam and Conflict Resolution: A Theoretical Framework. Islamic World Review, 12(3), 45–60.

·                     Saeed, A. (2021). Interpreting the Quran in the Modern Era: Challenges and Opportunities. Islamic Quarterly, 65(4), 325–340.

Hadits dan Sumber Lain

·                     Imam Ahmad bin Hanbal. (1995). Musnad Ahmad bin Hanbal (Vol. 5). Beirut: Dar al-Fikr.

·                     Shahih Bukhari. (2001). Shahih Bukhari (Vol. 3). Riyadh: Darussalam.


Lampiran 1: Keterkaitan Ayat dan Hadits

Islam mengajarkan toleransi sebagai nilai fundamental yang memungkinkan keberagaman diterima sebagai rahmat, bukan sebagai ancaman. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat yang plural, seperti di Indonesia, nilai-nilai ini sangat relevan untuk menjaga keharmonisan dalam berbangsa dan bernegara. Analisis ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits tentang toleransi memberikan panduan praktis untuk menghadapi fenomena sosial di masyarakat yang majemuk.

1.            Kebebasan Beragama dalam Kehidupan Berbangsa

QS Al-Kafirun (109) ayat 6 menyatakan, "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku," sebagai prinsip penghormatan terhadap kebebasan beragama. Ayat ini menegaskan bahwa Islam tidak mengizinkan pemaksaan dalam urusan keyakinan. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang berlandaskan Pancasila, kebebasan beragama adalah hak fundamental yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal 29. Sikap toleransi ini diperlukan untuk menjaga harmoni di antara pemeluk enam agama resmi di Indonesia sekaligus menghormati penghayat kepercayaan lokal.¹

2.            Persaudaraan dalam Keberagaman

QS Al-Hujurat (49) ayat 13 menegaskan pentingnya menghormati keragaman:

يَاۤ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّأُنْثٰى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."

Ayat ini tidak hanya relevan dalam hubungan antarindividu, tetapi juga dalam membangun persaudaraan nasional. Dalam masyarakat Indonesia yang terdiri dari ratusan suku, bahasa, dan budaya, nilai ini mendorong integrasi sosial yang menghormati identitas masing-masing kelompok.²

3.            Lemah Lembut dalam Interaksi Sosial

Hadits Rasulullah Saw. yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, "Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan mencintai kelembutan dalam segala urusan," mengajarkan pendekatan toleransi melalui kelembutan dalam interaksi sosial.³ Fenomena konflik horizontal, seperti konflik antarumat beragama atau antarpendukung politik, sering kali dapat dihindari dengan pendekatan dialogis yang lemah lembut. Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini diterapkan melalui mekanisme musyawarah dalam penyelesaian sengketa atau konflik di tingkat masyarakat.

4.            Kehidupan Harmonis di Lingkungan Masyarakat

Dalam QS Al-Mumtahanah (60) ayat 8, Allah Swt. berfirman,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

" Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. "

Ayat ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk hidup berdampingan dengan damai, bahkan dengan mereka yang berbeda agama atau keyakinan. Fenomena ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, seperti tradisi gotong royong tanpa membedakan agama atau suku.⁴ Sikap ini mencerminkan semangat "Bhinneka Tunggal Ika," semboyan bangsa Indonesia yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu.

5.            Toleransi dalam Kepemimpinan dan Kebijakan Publik

Prinsip toleransi juga relevan dalam tata kelola pemerintahan. Rasulullah Saw. memberikan contoh kepemimpinan yang adil dan toleran melalui Piagam Madinah, yang menjadi landasan bagi masyarakat multikultural di Madinah.⁵ Dalam konteks Indonesia, nilai ini tercermin dalam penerapan kebijakan publik yang inklusif dan nondiskriminatif, seperti penghormatan terhadap hak-hak minoritas agama dan budaya.


Kesimpulan

Ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits tentang toleransi memberikan panduan yang komprehensif untuk menghadapi tantangan keberagaman dalam masyarakat modern. Dengan mengacu pada nilai-nilai ini, masyarakat dapat membangun keharmonisan sosial yang berbasis pada penghormatan terhadap perbedaan dan keadilan. Konsep toleransi dalam Islam tidak hanya bersifat spiritual, tetapi juga berfungsi sebagai prinsip praktis untuk menciptakan kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


Catatan Kaki

[1]                Al-Qur’an, QS Al-Kafirun (109) ayat 6. Lihat juga Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 4, hlm. 564-566.

[2]                Al-Qur’an, QS Al-Hujurat (49) ayat 13. Lihat juga Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz 16, hlm. 312.

[3]                Shahih Bukhari, No. 6927. Lihat juga Imam An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Juz 8, hlm. 40.

[4]                Al-Qur’an, QS Al-Mumtahanah (60) ayat 8. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 7, hlm. 345.

[5]                Muhammad Hamidullah, The First Written Constitution in the World: An Important Document of the Time of the Holy Prophet (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1975), hlm. 20-23.


Lampiran 2: Takhrij Hadits

Berikut adalah takhrij hadits yang dimuat dalam artikel tentang “Kajian Komprehensif tentang Toleransi.” Takhrij hadits mencakup matan (teks), sanad (rantai periwayat), serta status (derajat) hadits menurut para ulama:

1.            Hadits tentang Menghormati yang Tua dan Menyayangi yang Muda

Matan Hadits:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَّمْ يُوَقِّرِ الْكَبِيْرَ وَيَرْحَمِ الصَّغِيْرَ

"Bukan dari golongan kami orang yang tidak menghormati yang tua dan tidak menyayangi yang muda."

Takhrij Hadits:

·                     Riwayat: Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad, No. 21704. Juga ditemukan dalam Sunan Tirmidzi (No. 1919) dengan matan yang serupa.

·                     Sanad: Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash, melalui perawi seperti Shu'bah, Muhammad bin Sirin, dan lainnya.

·                     Derajat Hadits: Shahih menurut Imam Ahmad dan Tirmidzi. Imam An-Nawawi juga menyebutkan hadits ini dalam Riyadhus Shalihin, mengisyaratkan validitasnya.

2.            Hadits tentang Allah Mencintai Kelembutan

Matan Hadits:

إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الأَمْرِ كُلِّهِ

"Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan mencintai kelembutan dalam segala urusan."

Takhrij Hadits:

·                     Riwayat: Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari, No. 6927, dan Imam Muslim dalam Shahih Muslim, No. 2593.

·                     Sanad: Dari Aisyah r.a., melalui perawi seperti Abu Mu'awiyah, Shu’bah, dan lainnya.

·                     Derajat Hadits: Mutawatir (tingkat paling tinggi keabsahannya) karena diriwayatkan oleh banyak jalur periwayatan di kitab-kitab hadits utama.

3.            Hadits tentang Tidak Ada Paksaan dalam Agama

Matan Hadits:

لَا تُكْرِهُوا أَحَدًا عَلَى ٱلإِسْلَامِ، فَإِنَّهُ نُورُ ٱللهِ

"Janganlah kamu memaksa seseorang untuk masuk Islam, karena Islam adalah agama yang terang."

Takhrij Hadits:

·                     Riwayat: Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud, No. 2676.

·                     Sanad: Dari Abdullah bin Abbas, melalui perawi seperti Atha bin Abi Rabah dan Sa'id bin Jubair.

·                     Derajat Hadits: Hasan (baik) menurut Imam Al-Munawi dalam Faid al-Qadir.

4.            Hadits tentang Berbuat Baik kepada Tetangga

Matan Hadits:

"مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ"

"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya."

Takhrij Hadits:

·                     Riwayat: Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari, No. 6018, dan Imam Muslim dalam Shahih Muslim, No. 47.

·                     Sanad: Dari Abu Hurairah r.a., melalui jalur perawi seperti Al-A'mash, Sufyan Ats-Tsauri, dan lainnya.

·                     Derajat Hadits: Shahih menurut kesepakatan ulama (muttafaq ‘alaih).

5.            Hadits tentang Menghormati Jenazah Non-Muslim

Matan Hadits:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: مَرَّتْ جِنَازَةٌ فَقَامَ لَهَا النَّبِيُّ ، فَقُمْنَا بِهِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّهَا جِنَازَةُ يَهُودِيٍّ؟ فَقَالَ: أَلَيْسَتْ نَفْسًا؟

"Telah lewat sebuah jenazah, maka Nabi Saw berdiri untuknya, lalu kami pun ikut berdiri bersama beliau. Kami berkata, 'Wahai Rasulullah, itu adalah jenazah seorang Yahudi.' Maka beliau bersabda, 'Bukankah itu juga (seorang) manusia?'"

Takhrij Hadits:

·                     Riwayat: Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari, No. 1312.

·                     Sanad: Dari Jabir bin Abdullah, melalui perawi seperti Qatadah dan Sa’id bin Al-Musayyib.

·                     Derajat Hadits: Shahih menurut Imam Bukhari.


Kesimpulan

Seluruh hadits yang dimuat dalam artikel memiliki sanad yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebagian besar hadits tergolong shahih atau mutawatir, sehingga dapat dijadikan landasan untuk memahami nilai-nilai toleransi dalam Islam. Hal ini menunjukkan kuatnya dukungan hadits terhadap ajaran toleransi yang diterapkan Rasulullah Saw. dalam kehidupan sosial dan keberagaman.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar