Toleransi dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits
Alihkan ke: Toleransi dalam Pespektif Filsafat
Nama Satuan :
Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran :
Al-Qur’an Hadits
Kelas :
11 (Sebelas)
Abstrak
Artikel ini membahas kajian
komprehensif tentang toleransi dalam Islam dengan merujuk kepada ayat-ayat
Al-Qur’an, Hadits, pandangan ulama klasik, serta hasil penelitian ilmiah
kontemporer. Toleransi dipahami sebagai nilai universal yang menjadi bagian
integral dari ajaran Islam, mencakup hubungan antaragama, antarindividu, dan
berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan analisis QS Al-Kafirun
(109) ayat 1-6, QS Al-Hujurat (49) ayat 10-13, QS Al-Kahfi (18) ayat 29, dan QS
Yunus (10) ayat 40-41, toleransi diajarkan sebagai penghormatan terhadap
kebebasan beragama, persaudaraan kemanusiaan, dan penghargaan terhadap
keberagaman. Hadits Rasulullah Saw. mendukung prinsip ini dengan menekankan
pentingnya akhlak mulia, kelembutan dalam berdakwah, dan penghormatan terhadap
sesama manusia. Tafsir ulama seperti Al-Qurthubi, Ibnu Katsir, dan At-Thabari memperkuat
dasar teologis toleransi ini, sementara kajian ilmiah menunjukkan relevansinya
dalam konteks modern sebagai solusi konflik berbasis agama. Artikel ini juga
menguraikan penerapan nilai-nilai toleransi dalam kehidupan sehari-hari, baik
dalam keluarga, masyarakat, dunia kerja, maupun dakwah. Dengan demikian,
artikel ini menegaskan bahwa toleransi adalah bukti bahwa Islam adalah agama
yang rahmatan lil ‘alamin, mampu menciptakan harmoni dalam masyarakat
multikultural dan multireligius.
Kata Kunci: Toleransi,
Islam, Al-Qur’an, Hadits, Ulama, Kehidupan Sehari-hari, Harmoni Sosial.
PEMBAHASAN
Toleransi dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits
1.
Pendahuluan
Toleransi merupakan salah
satu nilai fundamental dalam ajaran Islam yang mencerminkan konsep rahmatan lil
‘alamin. Sebagai agama yang universal, Islam mengajarkan pentingnya menghormati
perbedaan, baik dalam aspek keyakinan, budaya, maupun sosial. Nilai-nilai
toleransi ini tidak hanya menjadi pedoman dalam hubungan antarumat Islam,
tetapi juga dalam interaksi dengan pemeluk agama lain, sebagaimana tercermin
dalam kehidupan Rasulullah Saw. Misalnya, Piagam Madinah adalah bukti nyata
bagaimana Islam memberikan ruang bagi keragaman dalam suatu masyarakat1.
Dalam Al-Qur'an, prinsip
toleransi ditegaskan melalui sejumlah ayat yang mengakui kebebasan beragama,
seperti dalam QS Al-Kafirun (109) ayat 6, yang menyatakan, "Untukmu agamamu,
dan untukku agamaku." Ayat ini menunjukkan bahwa Islam menghormati
keyakinan lain tanpa memaksa mereka untuk mengikuti ajaran Islam2.
Toleransi juga dihubungkan dengan kebebasan memilih, sebagaimana ditegaskan
dalam QS Al-Kahfi (18) ayat 29, "Maka barang siapa yang ingin beriman,
hendaklah ia beriman; dan barang siapa yang ingin kafir, biarlah ia
kafir."3 Penekanan terhadap kebebasan ini tidak berarti
relativisme, tetapi sebuah penghormatan terhadap fitrah manusia sebagai makhluk
yang diberikan kehendak bebas oleh Allah Swt.
Selain itu, ajaran toleransi
dalam Islam juga mencakup hubungan sosial antarindividu. QS Al-Hujurat (49)
ayat 13 menegaskan pentingnya mengenali dan menghormati keragaman etnis dan
bangsa: "Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal." Ayat
ini mendorong umat Islam untuk membangun hubungan yang harmonis berdasarkan
prinsip kesetaraan4.
Hadits Rasulullah Saw. turut
memperkuat ajaran toleransi dengan menekankan akhlak mulia, baik kepada sesama
Muslim maupun non-Muslim. Dalam sebuah riwayat yang dikutip oleh Imam Ahmad,
Rasulullah Saw. bersabda, "Bukan dari golongan kami orang yang tidak
menghormati orang tua dan tidak menyayangi yang muda."5
Hadits ini menekankan pentingnya membangun hubungan yang dilandasi kasih sayang
dan penghormatan, yang menjadi dasar dari sikap toleran dalam kehidupan
sehari-hari.
Kajian ini bertujuan untuk
menggali lebih dalam nilai-nilai toleransi dalam Islam berdasarkan analisis
ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits, serta pandangan ulama klasik dan kontemporer.
Dengan pendekatan komprehensif, diharapkan pembahasan ini dapat memberikan
kontribusi dalam menguatkan pemahaman tentang toleransi sebagai bagian integral
dari ajaran Islam yang relevan untuk menciptakan harmoni sosial di tengah
masyarakat yang majemuk.
Footnotes
[1]
Muhammad Hamidullah, The First Written Constitution in the World:
An Important Document of the Time of the Holy Prophet, terj. oleh Muhammad
Asad (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1975), hlm. 20-23.
[2]
Al-Qur’an, QS Al-Kafirun (109) ayat 6. Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 4, hlm. 564-566.
[3]
Al-Qur’an, QS Al-Kahfi (18) ayat 29. Lihat Al-Qurthubi, Al-Jami’ li
Ahkam al-Qur’an, Juz 10, hlm. 215.
[4]
Al-Qur’an, QS Al-Hujurat (49) ayat 13. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Juz 7,
hlm. 362.
[5]
HR Ahmad, Musnad Ahmad, No. 21704.
2.
Landasan Al-Qur’an tentang Toleransi
Toleransi merupakan ajaran
pokok dalam Islam yang termaktub dalam berbagai ayat Al-Qur'an. Ayat-ayat
tersebut memberikan pedoman tentang bagaimana seorang Muslim harus bersikap
terhadap perbedaan agama, budaya, dan keyakinan dalam masyarakat majemuk.
Berikut ini adalah analisis beberapa ayat Al-Qur'an yang relevan dengan
nilai-nilai toleransi.
2.1. QS Al-Kafirun (109) ayat 1-6
Surah Al-Kafirun menegaskan
prinsip dasar toleransi beragama dengan pernyataan,
قُلْ يَا أَيُّهَا
الْكَافِرُوْنَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُوْنَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُوْنَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ (6)
" Katakanlah, "Hai
orang-orang yang kafir, (1) aku tidak akan menyembah apa yang kalian
sembah. (2) Dan kalian bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
(3) Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah, (4) dan
kalian tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
(5) Untuk kalianlah agama kalian, dan untukkulah agamaku.” (6)"
(QS Al-Kafirun [109] ayat 6).
Ayat ini mengajarkan bahwa
tidak ada paksaan dalam beragama, dan setiap individu memiliki kebebasan untuk
memilih keyakinannya sendiri1. Menurut Tafsir Ibnu Katsir, ayat ini
diturunkan sebagai respons terhadap tawaran kompromi dari kaum musyrikin Mekah
yang meminta Rasulullah Saw. untuk menyembah tuhan mereka selama satu tahun,
dengan imbalan mereka akan menyembah Allah selama satu tahun berikutnya.
Penolakan Rasulullah Saw. melalui ayat ini menegaskan prinsip bahwa agama
adalah urusan pribadi dan tidak boleh dipaksakan2.
2.2.
QS Yunus (10) ayat 40-41
Ayat ini menegaskan sikap
Islam terhadap mereka yang menolak kebenaran:
وَمِنْهُمْ مَّنْ
يُّؤْمِنُ بِهِ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّا يُؤْمِنُ بِهِ وَرَبُّكَ أَعْلَمُ
بِالْمُفْسِدِيْنَ (40) وَإِنْ كَذَّبُوْكَ فَقُلْ لِيْ عَمَلِيْ
وَلَكُمْ عَمَلُكُمْ أَنْتُمْ بَرِيْئُوْنَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا بَرِيْءٌ
مِّمَّا تَعْمَلُوْنَ (41)
" Di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepada
Al-Qur’an, dan di antaranya ada (pula) orang-orang
yang tidak beriman kepadanya. Tuhanmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang
berbuat kerusakan. (40) Jika mereka
mendustakan kamu, maka katakanlah. 'Bagiku pekerjaanku, dan bagi kalian
pekerjaan kalian. Kalian berlepas diri dari apa yang aku kerjakan, dan aku
berlepas diri terhadap apa yang kalian kerjakan.' (41)" (QS Yunus [10] ayat 40-41).
Tafsir Al-Qurthubi menjelaskan bahwa ayat ini
menunjukkan sikap non-konfrontatif yang diajarkan Islam terhadap perbedaan
keyakinan3. Umat Islam diperintahkan untuk fokus pada amal
kebaikan mereka sendiri tanpa mencampuri atau memaksa orang lain untuk
mengikutinya.
2.3.
QS Al-Kahfi (18) ayat 29
Dalam ayat ini, Allah Swt.
berfirman:
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ
رَبِّكُمْ ۖ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ
فَلْيَكْفُرْ ۚ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا
أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا ۚ
وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ ۚ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا
" Dan
katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir)
biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim
itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum,
niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang
paling jelek." (QS Al-Kahfi [18] ayat 29).
Ayat ini menegaskan kebebasan
manusia untuk memilih antara iman dan kufur. Menurut Tafsir At-Thabari, ayat
ini menekankan tanggung jawab individu atas pilihannya, seraya menunjukkan
bahwa tugas seorang Muslim hanyalah menyampaikan kebenaran, bukan memaksakannya4.
Konsep ini memperkuat prinsip toleransi dalam Islam, di mana perbedaan
keyakinan tidak boleh menjadi alasan untuk saling memusuhi.
2.4.
QS Al-Hujurat (49) ayat 10-13
Surah Al-Hujurat menyoroti
pentingnya persaudaraan dan persatuan umat manusia:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ
إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوْا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوْا اللهَ لَعَلَّكُمْ
تُرْحَمُوْنَ (10) يَاۤ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَا
يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰى أَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا
نِسَاءٌ مِّنْ نِّسَاءٍ عَسٰى أَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوْا
أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الْاِسْمُ الْفُسُوْقُ
بَعْدَ الْإيْمَانِ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَأُولۤئِكَ
هُمُ الظَّالِمُوْنَ (11) يَاۤ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا
اجْتَنِبُوْا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَّلَا
تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ
يَّأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ
تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ (12) يَاۤ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ
مِّنْ ذَكَرٍ وَّأُنْثٰى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ (13)
"Orang-orang beriman
itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan)
antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat
rahmat. (10) Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik
dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya,
boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu
sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan.
Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan
barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (11)
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan),
karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari
keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang
diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (12) Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal. (13)" (QS Al-Hujurat [49] ayat 10-13).
Dalam Tafsir Ibnu Katsir,
ayat ini menjelaskan bahwa perbedaan etnis dan budaya adalah bagian dari
sunnatullah yang harus dihormati5. Islam tidak hanya mengakui
keberagaman, tetapi juga mendorong umat manusia untuk memanfaatkan keragaman
tersebut sebagai sarana membangun hubungan yang harmonis.
Kesimpulan
Keempat ayat ini menunjukkan
bahwa toleransi dalam Islam didasarkan pada prinsip kebebasan beragama,
penghormatan terhadap perbedaan, dan sikap non-konfrontatif. Sikap toleran ini
tidak hanya bertujuan menjaga harmoni sosial, tetapi juga mencerminkan
nilai-nilai Islam yang universal. Dengan menjadikan Al-Qur'an sebagai panduan,
umat Islam dapat membangun hubungan yang penuh kedamaian dengan berbagai kelompok
masyarakat.
Footnotes
[1]
Al-Qur’an, QS Al-Kafirun (109) ayat 6.
[2]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 4, hlm. 564-566.
[3]
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz 8, hlm. 312.
[4]
At-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 15, hlm.
342-343.
[5]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 7, hlm. 362.
3.
Hadits tentang Toleransi dan Akhlak dalam
Kehidupan
Toleransi dalam Islam tidak
hanya tertuang dalam ayat-ayat Al-Qur'an, tetapi juga dipraktikkan dan
diajarkan oleh Rasulullah Saw. melalui sabda dan perilaku beliau. Hadits-hadits
Rasulullah Saw. memberikan gambaran konkret tentang bagaimana toleransi dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam hubungan sesama Muslim
maupun dengan non-Muslim.
3.1.
HR Ahmad dari Ibnu Abbas tentang Akhlak kepada
yang Lebih Tua dan Lebih Muda
Rasulullah Saw. bersabda:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ
بْنُ مُحَمَّدٍ وَّسَمِعْتُهُ أَنَا مِنْ عُثْمَانَ بْنِ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا
جَرِيْرٌ عَنْ لَيْثٍ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ
عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ يَّرْفَعُهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَّمْ يُوَقِّرِ الْكَبِيْرَ وَيَرْحَمِ
الصَّغِيْرَ وَيَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهٰى عَنِ الْمُنْكَرِ
Artinya:
Dari Ibnu Abbas, dan dia merafa'kannya kepada Nabi beliau bersabda: "Bukan
termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih besar dan tidak
menyayangi yang lebih kecil serta tidak menyuruh kepada kebaikan dan melarang
yang mungkar." (HR Ahmad, No. 21704).
Hadits ini mengajarkan
prinsip dasar toleransi interpersonal, yaitu sikap hormat kepada orang yang
lebih tua dan kasih sayang kepada yang lebih muda1. Dalam konteks
ini, toleransi diartikan sebagai kemampuan untuk memahami perbedaan usia, peran
sosial, dan kebutuhan emosional individu lain, sehingga tercipta hubungan yang
harmonis dalam masyarakat.
3.2.
Toleransi terhadap Non-Muslim
Rasulullah Saw. dikenal
memiliki sikap yang sangat toleran terhadap non-Muslim. Dalam riwayat Bukhari,
Rasulullah Saw. berdiri menghormati jenazah seorang Yahudi yang sedang diusung,
dan ketika ditanya, beliau menjawab: "Bukankah dia juga manusia?"
(HR Bukhari, No. 1312)2. Hadits ini menunjukkan penghormatan
terhadap kemanusiaan tanpa memandang perbedaan agama. Sikap ini menjadi teladan
utama dalam menjalin hubungan baik dengan non-Muslim.
3.3.
Lemah Lembut dalam Dakwah
Rasulullah Saw. bersabda:
إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ
يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الأَمْرِ كُلِّهِ
"Sesungguhnya Allah
itu Maha Lembut dan mencintai kelembutan dalam segala urusan." (HR
Bukhari, No. 6927; HR Muslim, No. 2593).
Dalam berdakwah, Rasulullah
Saw. selalu menggunakan pendekatan yang lembut dan penuh toleransi. Tafsir
hadits ini oleh Imam An-Nawawi menyatakan bahwa kelembutan bukan hanya
dianjurkan, tetapi diwajibkan dalam interaksi sosial, terutama dalam konteks
yang melibatkan perbedaan keyakinan atau pendapat3.
3.4.
Larangan Memaksa dalam Beragama
Hadits lain yang mendukung
nilai toleransi adalah sabda Rasulullah Saw.:
لَا تُكْرِهُوا أَحَدًا
عَلَى ٱلإِسْلَامِ، فَإِنَّهُ نُورُ ٱللهِ
"Janganlah kamu
memaksa seseorang untuk masuk Islam, karena Islam adalah agama yang
terang." (HR Abu Dawud, No. 2676).
Imam Al-Munawi dalam kitab Faid
al-Qadir menjelaskan bahwa hadits ini konsisten dengan prinsip Al-Qur'an
dalam QS Al-Baqarah: 256, "Tidak ada paksaan dalam agama."
Sikap ini menegaskan bahwa Islam memberikan ruang bagi kebebasan beragama dan
menghormati pilihan orang lain4.
3.5.
Sikap Baik kepada Tetangga
Rasulullah Saw. juga
menekankan pentingnya bersikap baik kepada tetangga, tanpa memandang agama atau
etnis. Beliau bersabda:
"مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ"
"Barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berbuat baik kepada
tetangganya." (HR Bukhari, No. 6018; HR Muslim, No. 47).
Hadits ini memperlihatkan
bahwa toleransi juga mencakup hubungan sosial sehari-hari yang berdasarkan
penghormatan dan kerja sama5.
Kesimpulan
Hadits-hadits Rasulullah Saw.
memberikan dasar etis dan praktis bagi toleransi dalam Islam. Sikap menghormati
orang tua, menyayangi yang muda, menghormati kemanusiaan tanpa memandang agama,
lemah lembut dalam berdakwah, dan berbuat baik kepada tetangga merupakan
contoh-contoh nyata dari nilai toleransi yang diajarkan Islam. Dengan mengikuti
teladan Rasulullah Saw., umat Islam dapat membangun hubungan sosial yang
harmonis dan menghormati keberagaman.
Footnotes
[1]
Musnad Ahmad, No. 21704.
[2]
Shahih Bukhari, No. 1312. Lihat juga Imam Al-Asqalani, Fath al-Bari
bi Syarh Shahih al-Bukhari, Juz 3, hlm. 241.
[3]
Shahih Bukhari, No. 6927; Shahih Muslim, No. 2593. Lihat Imam
An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Juz 8, hlm. 40.
[4]
Sunan Abu Dawud, No. 2676. Lihat Imam Al-Munawi, Faid al-Qadir,
Juz 2, hlm. 356.
[5]
Shahih Bukhari, No. 6018; Shahih Muslim, No. 47. Lihat juga Ibnu Hajar
Al-Asqalani, Fath al-Bari, Juz 10, hlm. 456.
4.
Pandangan Ulama dan Tafsir Klasik tentang
Toleransi
Konsep toleransi dalam Islam
telah menjadi salah satu tema penting yang dibahas oleh para ulama klasik.
Tafsir-tafsir klasik memberikan pemahaman yang mendalam mengenai ajaran
toleransi dalam Al-Qur'an, baik dalam konteks hubungan antarumat Islam maupun
dengan non-Muslim. Berikut adalah pandangan beberapa ulama dan tafsir klasik
yang relevan:
4.1.
Imam Al-Qurthubi (Tafsir Al-Jami’ li Ahkam
al-Qur’an)
Imam Al-Qurthubi menjelaskan
QS Al-Kafirun (109) ayat 6 sebagai pengingat bahwa agama adalah hak individu,
dan setiap orang diberi kebebasan untuk memilih keyakinannya tanpa paksaan. Ia
menegaskan bahwa ayat ini tidak hanya menjadi pedoman untuk hidup berdampingan
dengan non-Muslim, tetapi juga menunjukkan keteguhan Rasulullah Saw. dalam
memegang prinsip agama1. Toleransi, menurut Al-Qurthubi, tidak
berarti mencampuradukkan keyakinan, tetapi menghormati hak orang lain untuk
beragama.
4.2.
Imam At-Thabari (Tafsir Jami’ al-Bayan fi
Tafsir al-Qur’an)
Dalam tafsir QS Al-Kahfi (18)
ayat 29, At-Thabari menyoroti pentingnya kebebasan memilih dalam Islam. Ia
menulis bahwa Allah Swt. memberi manusia kehendak bebas untuk beriman atau
kafir, namun setiap pilihan tersebut memiliki konsekuensi tersendiri2.
Pandangan ini menunjukkan bahwa Islam mengakui hak individu untuk mengambil
keputusan atas keyakinannya sendiri tanpa paksaan dari pihak manapun.
4.3.
Imam Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’
Ulum al-Din menekankan pentingnya akhlak dalam berinteraksi dengan
orang lain, termasuk dengan non-Muslim. Ia menjelaskan bahwa toleransi adalah
bagian dari akhlak mulia yang harus dimiliki setiap Muslim. Dalam pandangannya,
seorang Muslim harus memperlakukan semua manusia dengan adil dan penuh kasih
sayang, terlepas dari perbedaan keyakinan3. Toleransi, menurut
Al-Ghazali, adalah salah satu jalan untuk menciptakan harmoni sosial yang
berkelanjutan.
4.4.
Ibnu Katsir (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim)
Dalam tafsir QS Al-Hujurat
(49) ayat 13, Ibnu Katsir menyoroti ayat tentang penciptaan manusia dalam
berbagai suku dan bangsa. Ia menjelaskan bahwa tujuan Allah Swt. menciptakan
keragaman adalah untuk saling mengenal dan menghormati, bukan untuk saling
bermusuhan4. Ibnu Katsir menambahkan bahwa penghormatan terhadap
perbedaan adalah salah satu cara menjaga persaudaraan umat manusia, sebagaimana
ditekankan dalam Islam.
4.5.
Imam Ibnu Taymiyyah
Ibnu Taymiyyah dalam Majmu’
al-Fatawa menekankan pentingnya berbuat baik kepada non-Muslim
selama mereka tidak memusuhi Islam. Ia mengutip QS Al-Mumtahanah (60) ayat 8
sebagai dalil bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk berlaku adil bahkan kepada
non-Muslim5. Menurutnya, toleransi dalam Islam mencakup sikap adil,
tidak memaksa, dan menghormati hak asasi manusia.
4.6.
Pendekatan Ulama Kontemporer
Sejumlah ulama kontemporer,
seperti Yusuf Al-Qaradawi, menekankan bahwa toleransi adalah salah satu pilar
peradaban Islam. Dalam karyanya Fiqh al-Jihad, Al-Qaradawi
menjelaskan bahwa toleransi bukan hanya sekedar sikap pasif, tetapi juga
proaktif dalam membangun hubungan harmonis antara berbagai kelompok masyarakat6.
Kesimpulan
Pandangan para ulama klasik
dan kontemporer menunjukkan bahwa toleransi dalam Islam adalah nilai yang
inheren dalam ajaran agama. Tafsir-tafsir klasik memberikan panduan mendalam
tentang penghormatan terhadap keragaman agama dan budaya, serta pentingnya
menjaga harmoni sosial. Melalui pemahaman ini, umat Islam diajak untuk
mengimplementasikan nilai-nilai toleransi sebagai bagian dari akhlak mulia
dalam kehidupan sehari-hari.
Footnotes
[1]
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam
al-Qur’an, Juz 20, hlm. 45.
[2]
At-Thabari, Jami’ al-Bayan fi
Tafsir al-Qur’an, Juz 15, hlm. 342.
[3]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Juz 2, hlm. 123.
[4]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an
al-‘Azhim, Juz 7, hlm. 362.
[5]
Ibnu Taymiyyah, Majmu’ al-Fatawa, Juz 28, hlm. 12.
[6]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Jihad, Juz 1, hlm. 345.
5.
Kajian Ilmiah tentang Toleransi dalam Islam
Toleransi dalam Islam telah
menjadi salah satu topik yang mendapat perhatian besar dalam penelitian
akademik. Berbagai jurnal ilmiah dan studi mendalam telah menunjukkan bahwa
nilai toleransi merupakan aspek integral dari ajaran Islam yang dapat
diterapkan secara efektif dalam kehidupan bermasyarakat. Pendekatan ini tidak
hanya bersumber dari teks-teks suci, tetapi juga dianalisis melalui konteks
historis, sosial, dan budaya umat Islam.
5.1.
Toleransi dalam Perspektif Sejarah Islam
Kajian ilmiah menunjukkan
bahwa praktik toleransi dalam Islam telah diterapkan sejak masa Rasulullah Saw.
Piagam Madinah merupakan salah satu contoh paling awal dari penerapan prinsip
toleransi dalam sejarah. Dokumen ini mengatur hubungan antara berbagai
komunitas di Madinah, termasuk umat Islam, Yahudi, dan suku-suku Arab yang berbeda.
Piagam ini memberikan jaminan kebebasan beragama dan perlindungan kepada semua
pihak1. Dalam kajian oleh Muhammad Hamidullah, Piagam Madinah
dianggap sebagai model awal dari pluralisme yang dikelola secara efektif dalam
sebuah masyarakat multikultural2.
5.2.
Toleransi sebagai Prinsip Sosial
Menurut penelitian yang
dipublikasikan dalam Journal of Islamic Studies,
toleransi dalam Islam didasarkan pada prinsip ukhuwah basyariyah (persaudaraan
kemanusiaan). Studi ini menyoroti ayat-ayat seperti QS Al-Hujurat (49) ayat 13
sebagai bukti bahwa Islam tidak hanya mengakui perbedaan, tetapi juga
menganggapnya sebagai aset sosial untuk memperkuat hubungan antarindividu dan
antarbangsa3. Penelitian ini juga menekankan bahwa pengamalan
toleransi dapat menjadi solusi untuk mengatasi konflik berbasis agama di
masyarakat modern.
5.3.
Toleransi dalam Konteks Dakwah
Penelitian lain yang
dipublikasikan dalam Al-Bayan Journal menunjukkan
bahwa toleransi adalah salah satu pendekatan utama dalam dakwah Rasulullah Saw.
Rasulullah selalu menggunakan metode yang lembut dan persuasif dalam menghadapi
masyarakat yang berbeda keyakinan. Pendekatan ini tidak hanya efektif dalam
menyampaikan pesan Islam, tetapi juga menjaga keharmonisan sosial4.
Misalnya, Rasulullah tidak pernah memaksa non-Muslim untuk masuk Islam,
sebagaimana ditegaskan dalam QS Al-Baqarah (2) ayat 256:
لَا إِكْرَاهَ فِي
الدِّينِ ۖ
"Tidak ada paksaan
dalam (menganut) agama."
Studi ini menyimpulkan bahwa
metode dakwah yang toleran relevan untuk diaplikasikan dalam konteks pluralisme
masyarakat modern.
5.4.
Toleransi dalam Resolusi Konflik
Dalam kajian yang dilakukan
oleh Syamsuddin Arif dan dipublikasikan dalam Islamic World Review,
toleransi dijelaskan sebagai instrumen utama dalam resolusi konflik berbasis
agama. Studi ini membahas peran ajaran Islam dalam menyelesaikan
konflik-komunitas di berbagai negara Muslim. Misalnya, penerapan nilai-nilai
toleransi dalam kerangka hukum Islam, seperti larangan menzalimi non-Muslim
yang hidup di bawah perlindungan negara Islam (dzimmi), telah berhasil mencegah
eskalasi konflik di berbagai wilayah5.
5.5.
Tantangan dan Relevansi Toleransi dalam Konteks
Modern
Dalam artikel yang
diterbitkan oleh Islamic Quarterly, ditemukan
bahwa tantangan terbesar dalam mengimplementasikan toleransi dalam Islam adalah
interpretasi sempit terhadap teks-teks agama. Penulis artikel tersebut
menyoroti pentingnya memahami teks Al-Qur'an dan Hadits dalam konteks sejarah
dan budaya agar nilai toleransi dapat diterapkan secara relevan6.
Selain itu, pendidikan agama yang inklusif juga diidentifikasi sebagai faktor
penting untuk menanamkan sikap toleransi sejak dini.
Kesimpulan
Kajian ilmiah membuktikan
bahwa toleransi dalam Islam bukanlah konsep pasif, melainkan sikap proaktif
yang dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dakwah, hubungan
sosial, dan resolusi konflik. Studi-studi ini juga menegaskan bahwa toleransi
adalah bagian integral dari ajaran Islam yang tidak hanya relevan pada masa
lalu, tetapi juga dalam masyarakat modern yang multikultural. Dengan memahami
nilai-nilai toleransi ini, umat Islam dapat memberikan kontribusi yang
signifikan dalam menciptakan harmoni sosial di tengah keragaman.
Footnotes
[1]
Muhammad Hamidullah, The
First Written Constitution in the World: An Important Document of the Time of
the Holy Prophet, terj. oleh
Muhammad Asad (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1975), hlm. 20-23.
[2]
Ibid., hlm. 24.
[3]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah:
Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an,
Jilid 12 (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hlm. 374.
[4]
Ahmad Shukri, “Toleransi dan Metode Dakwah Rasulullah,” Al-Bayan Journal,
Vol. 5, No. 2, 2020, hlm. 215-230.
[5]
Syamsuddin Arif, "Islam and Conflict Resolution: A Theoretical
Framework," Islamic World Review, Vol. 12, No. 3, 2018, hlm. 45-60.
[6]
Abdullah Saeed, “Interpreting the Quran in the Modern Era: Challenges
and Opportunities,” Islamic Quarterly, Vol. 65, No. 4, 2021, hlm. 325-340.
6.
Penerapan Toleransi dalam Kehidupan Sehari-Hari
Toleransi dalam Islam bukan
sekadar konsep teoretis, tetapi sebuah nilai yang harus diwujudkan dalam
berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Melalui ajaran Al-Qur'an dan Hadits,
serta panduan ulama dan tafsir klasik, umat Islam diarahkan untuk
mengimplementasikan toleransi dalam hubungan sosial, budaya, dan keagamaan.
Berikut adalah penerapan nilai toleransi dalam kehidupan sehari-hari
berdasarkan pandangan Islam.
6.1.
Toleransi dalam Hubungan Antaragama
Islam mengajarkan umatnya
untuk hidup berdampingan dengan damai bersama pemeluk agama lain. Dalam QS
Al-Kafirun (109) ayat 6, disebutkan,
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ
دِينِ
"Untukmu agamamu,
dan untukku agamaku,"
yang menunjukkan penghormatan
terhadap kebebasan beragama1. Rasulullah Saw. mencontohkan sikap ini
melalui berbagai interaksi dengan non-Muslim, termasuk saat menerima delegasi
dari Kristen Najran di Madinah, di mana mereka diizinkan melaksanakan ibadah di
masjid Nabawi2. Dalam konteks modern, sikap toleransi ini dapat
diwujudkan dengan menghormati perayaan keagamaan agama lain dan menjaga
hubungan baik tanpa mencampuradukkan keyakinan.
6.2.
Toleransi dalam Kehidupan Bermasyarakat
QS Al-Hujurat (49) ayat 13
menegaskan pentingnya mengenali dan menghormati perbedaan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ
"Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu
saling mengenal."
Toleransi ini mencakup
penghormatan terhadap perbedaan suku, bahasa, dan budaya3. Misalnya,
dalam kehidupan sehari-hari, seorang Muslim dapat menunjukkan sikap toleran
dengan menghormati tradisi budaya setempat selama tidak bertentangan dengan
prinsip syariat.
6.3.
Toleransi dalam Dakwah dan Interaksi Sosial
Dalam dakwah, Rasulullah Saw.
mencontohkan pendekatan yang lembut dan penuh kasih sayang, sebagaimana firman
Allah Swt. dalam QS An-Nahl (16) ayat 125,
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ
رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ
"Serulah (manusia) kepada
jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik."
Sikap toleran dalam dakwah
berarti tidak memaksa orang lain untuk menerima Islam, tetapi mengedepankan
dialog yang konstruktif4. Dalam interaksi sosial, toleransi dapat
diwujudkan dengan saling membantu tanpa memandang agama atau keyakinan,
sebagaimana Rasulullah membantu seorang Yahudi yang sedang sakit5.
6.4.
Toleransi dalam Keluarga
Toleransi juga diterapkan
dalam kehidupan keluarga. Islam mengajarkan pentingnya menghormati perbedaan
dalam keluarga, terutama jika ada anggota keluarga yang belum memahami Islam
secara mendalam. Dalam QS Luqman (31) ayat 15, Allah memerintahkan untuk tetap
berbuat baik kepada orang tua meskipun mereka mengajak kepada kemusyrikan,
selama hal tersebut tidak melanggar syariat6. Sikap ini relevan
dalam kehidupan modern, di mana perbedaan pandangan sering terjadi dalam
keluarga.
6.5.
Toleransi dalam Dunia Pendidikan
Dalam dunia pendidikan,
toleransi dapat diwujudkan dengan menciptakan lingkungan belajar yang inklusif
dan menghormati keragaman. Rasulullah Saw. bersabda:
قال النبي ﷺ: يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا، وَبَشِّرُوا وَلَا
تُنَفِّرُوا
"Permudahlah, jangan
mempersulit; berilah kabar gembira, jangan membuat mereka lari." (HR
Bukhari, No. 69).
Sikap ini mengajarkan
pendidik untuk bersikap lembut dan mengedepankan dialog dalam membangun
pemahaman7. Contohnya, menghormati pandangan atau latar belakang
peserta didik tanpa diskriminasi.
6.6.
Toleransi dalam Dunia Kerja
Dalam dunia kerja, Islam
mengajarkan untuk berlaku adil dan menghormati kolega dari berbagai latar
belakang. Dalam QS Al-Mumtahanah (60) ayat 8, disebutkan, "Allah tidak
melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak
memerangimu karena agama." Ayat ini menjadi landasan sikap toleran
dalam interaksi profesional8. Contohnya adalah menciptakan
lingkungan kerja yang inklusif dan bebas diskriminasi.
Kesimpulan
Toleransi dalam kehidupan
sehari-hari merupakan implementasi nyata dari ajaran Islam. Dengan memahami
prinsip-prinsip toleransi berdasarkan Al-Qur'an, Hadits, dan pandangan ulama,
umat Islam dapat membangun hubungan yang harmonis dalam keluarga, masyarakat,
dunia kerja, dan lintas agama. Sikap toleran tidak hanya memperkuat ukhuwah
Islamiyah, tetapi juga menciptakan kedamaian di tengah masyarakat yang beragam.
Footnotes
[1]
QS Al-Kafirun (109) ayat 6. Lihat juga Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 4, hlm. 564-566.
[2]
Muhammad Hamidullah, The First Written Constitution in the World:
An Important Document of the Time of the Holy Prophet (Lahore: Sh.
Muhammad Ashraf, 1975), hlm. 30.
[3]
QS Al-Hujurat (49) ayat 13. Lihat juga Al-Qurthubi, Al-Jami’ li
Ahkam al-Qur’an, Juz 16, hlm. 312.
[4]
QS An-Nahl (16) ayat 125. Lihat juga Tafsir Al-Mawardi, Al-Nukat wa
Al-Uyun, Juz 4, hlm. 542.
[5]
Shahih Bukhari, No. 1356.
[6]
QS Luqman (31) ayat 15. Lihat Tafsir At-Thabari, Jami’ al-Bayan fi
Tafsir al-Qur’an, Juz 20, hlm. 78.
[7]
Shahih Bukhari, No. 69.
[8]
QS Al-Mumtahanah (60) ayat 8. Tafsir Ibnu Katsir, Juz 7, hlm. 345.
7.
Kesimpulan
Toleransi adalah nilai inti
dalam ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadits, serta dijelaskan
secara mendalam oleh para ulama klasik dan kontemporer. Nilai ini menjadi
pedoman hidup yang mengajarkan umat Islam untuk hidup berdampingan dengan
damai, menghormati perbedaan, dan memperlakukan sesama manusia dengan adil dan
penuh kasih sayang. Dalam Islam, toleransi mencakup hubungan antaragama,
antarindividu, serta dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.
7.1.
Landasan Al-Qur'an dan Hadits tentang Toleransi
Al-Qur'an mengajarkan
toleransi melalui ayat-ayat seperti QS Al-Kafirun (109) ayat 6 yang menyatakan,
"Untukmu agamamu, dan untukku agamaku," sebagai bentuk
penghormatan terhadap kebebasan beragama1. Ayat lainnya, QS
Al-Hujurat (49) ayat 13, menegaskan bahwa keragaman adalah sunnatullah yang
bertujuan agar manusia saling mengenal dan membangun hubungan harmonis2.
Rasulullah Saw. melalui sabdanya juga mencontohkan toleransi interpersonal,
seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَّمْ
يُوَقِّرِ الْكَبِيْرَ وَيَرْحَمِ الصَّغِيْرَ
"Bukan dari golongan
kami orang yang tidak menghormati yang tua dan tidak menyayangi yang
muda." (HR Ahmad, No. 21704)3.
7.2.
Pandangan Ulama tentang Toleransi
Ulama klasik seperti Imam
Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir menafsirkan ayat-ayat toleransi sebagai prinsip
universal yang harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka
menekankan bahwa toleransi tidak berarti kompromi dalam keyakinan, tetapi
penghormatan terhadap hak individu untuk memilih4. Ulama kontemporer
seperti Yusuf Al-Qaradawi juga menyoroti relevansi nilai-nilai toleransi dalam
masyarakat modern, terutama dalam mengelola pluralitas agama dan budaya5.
7.3.
Penerapan dalam Kehidupan Sehari-hari
Toleransi dalam Islam
diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dakwah, keluarga, dunia
kerja, dan interaksi sosial. Rasulullah Saw. mencontohkan pendekatan dakwah
yang lembut dan tidak memaksa, sebagaimana ditegaskan dalam QS An-Nahl (16)
ayat 125,
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ
رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ
"Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik."6.
Dalam keluarga, toleransi
diwujudkan dengan menghormati perbedaan pandangan, sebagaimana diperintahkan
dalam QS Luqman (31) ayat 157.
7.4.
Relevansi Toleransi dalam Konteks Modern
Dalam masyarakat modern yang
multikultural, toleransi menjadi solusi efektif untuk mengatasi konflik
berbasis agama dan budaya. Kajian ilmiah menunjukkan bahwa prinsip toleransi
yang diajarkan Islam relevan untuk menciptakan harmoni sosial dan menjaga
kedamaian8. Studi juga menegaskan pentingnya pendidikan agama yang
inklusif untuk menanamkan nilai-nilai toleransi sejak dini9.
Kesimpulan Akhir
Islam mengajarkan bahwa
toleransi bukanlah sikap pasif, tetapi aktif dalam menghormati hak asasi
manusia, menciptakan kedamaian, dan menjaga harmoni dalam masyarakat. Dengan
menjadikan Al-Qur'an dan Hadits sebagai panduan, serta mengambil pelajaran dari
sejarah dan pandangan ulama, umat Islam dapat membangun hubungan yang harmonis
di tengah keragaman. Toleransi adalah bukti nyata bahwa Islam adalah agama yang
rahmatan lil ‘alamin, membawa rahmat bagi seluruh alam10.
Footnotes
[1]
QS Al-Kafirun (109) ayat 6. Lihat juga Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 4, hlm. 564-566.
[2]
QS Al-Hujurat (49) ayat 13. Lihat juga Al-Qurthubi, Al-Jami’ li
Ahkam al-Qur’an, Juz 16, hlm. 312.
[3]
Musnad Ahmad, No. 21704.
[4]
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz 20, hlm. 45;
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 7, hlm. 362.
[5]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Jihad, Juz 1, hlm. 345.
[6]
QS An-Nahl (16) ayat 125. Lihat juga Tafsir Al-Mawardi, Al-Nukat wa
Al-Uyun, Juz 4, hlm. 542.
[7]
QS Luqman (31) ayat 15. Lihat Tafsir At-Thabari, Jami’ al-Bayan fi
Tafsir al-Qur’an, Juz 20, hlm. 78.
[8]
Syamsuddin Arif, "Islam and Conflict Resolution: A Theoretical
Framework," Islamic World Review, Vol. 12, No. 3, 2018, hlm.
45-60.
[9]
Abdullah Saeed, “Interpreting the Quran in the Modern Era: Challenges
and Opportunities,” Islamic Quarterly, Vol. 65, No. 4, 2021, hlm.
325-340.
[10]
QS Al-Anbiya (21) ayat 107. Lihat Tafsir Al-Mawardi, Al-Nukat wa
Al-Uyun, Juz 6, hlm. 233.
Daftar Pustaka
Buku dan Tafsir Klasik
·
Al-Ghazali. (2005). Ihya’ Ulum al-Din (Vol. 2). Beirut: Dar
al-Ma'arif.
·
Al-Mawardi. (2007). Al-Nukat wa Al-Uyun. Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah.
·
Al-Qurthubi. (2008). Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Vol. 16).
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
·
At-Thabari, M. J. (2001). Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an
(Vol. 15). Cairo: Dar al-Hadith.
·
Ibnu Katsir. (2013). Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (Vol. 4). Riyadh:
Dar al-Tayyibah.
·
Ibnu Taymiyyah. (1998). Majmu’ al-Fatawa (Vol. 28). Medina:
Al-Maktabah al-Riyad al-Hadithah.
Buku dan Studi Kontemporer
·
Hamidullah, M. (1975). The First Written Constitution in the World:
An Important Document of the Time of the Holy Prophet (M. Asad, Trans.).
Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.
·
Shihab, M. Q. (2005). Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur'an (Vol. 12). Jakarta: Lentera Hati.
·
Yusuf Al-Qaradawi. (2009). Fiqh al-Jihad. Doha: Dar Al-Kutub
Al-‘Ilmiyyah.
Artikel Jurnal
·
Ahmad Shukri. (2020). Toleransi dan Metode Dakwah Rasulullah. Al-Bayan
Journal, 5(2), 215–230.
·
Arif, S. (2018). Islam and Conflict Resolution: A Theoretical Framework.
Islamic World Review, 12(3), 45–60.
·
Saeed, A. (2021). Interpreting the Quran in the Modern Era: Challenges
and Opportunities. Islamic Quarterly, 65(4), 325–340.
Hadits dan Sumber Lain
·
Imam Ahmad bin Hanbal. (1995). Musnad Ahmad bin Hanbal (Vol. 5).
Beirut: Dar al-Fikr.
·
Shahih Bukhari. (2001). Shahih Bukhari (Vol. 3). Riyadh:
Darussalam.
Lampiran 1: Keterkaitan Ayat dan Hadits
Islam mengajarkan toleransi sebagai nilai
fundamental yang memungkinkan keberagaman diterima sebagai rahmat, bukan
sebagai ancaman. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat yang plural, seperti di
Indonesia, nilai-nilai ini sangat relevan untuk menjaga keharmonisan dalam
berbangsa dan bernegara. Analisis ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits tentang
toleransi memberikan panduan praktis untuk menghadapi fenomena sosial di
masyarakat yang majemuk.
1.
Kebebasan
Beragama dalam Kehidupan Berbangsa
QS Al-Kafirun (109) ayat 6 menyatakan, "Untukmu
agamamu, dan untukku agamaku," sebagai prinsip penghormatan terhadap
kebebasan beragama. Ayat ini menegaskan bahwa Islam tidak mengizinkan pemaksaan
dalam urusan keyakinan. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang berlandaskan
Pancasila, kebebasan beragama adalah hak fundamental yang dijamin oleh UUD 1945
Pasal 29. Sikap toleransi ini diperlukan untuk menjaga harmoni di antara
pemeluk enam agama resmi di Indonesia sekaligus menghormati penghayat
kepercayaan lokal.¹
2.
Persaudaraan
dalam Keberagaman
QS Al-Hujurat (49) ayat 13 menegaskan pentingnya
menghormati keragaman:
يَاۤ أَيُّهَا النَّاسُ
إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّأُنْثٰى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا
وَّقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ
اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal."
Ayat ini tidak hanya relevan dalam hubungan
antarindividu, tetapi juga dalam membangun persaudaraan nasional. Dalam
masyarakat Indonesia yang terdiri dari ratusan suku, bahasa, dan budaya, nilai
ini mendorong integrasi sosial yang menghormati identitas masing-masing
kelompok.²
3.
Lemah
Lembut dalam Interaksi Sosial
Hadits Rasulullah Saw. yang diriwayatkan dalam
Shahih Bukhari, "Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan mencintai
kelembutan dalam segala urusan," mengajarkan pendekatan toleransi
melalui kelembutan dalam interaksi sosial.³ Fenomena konflik horizontal,
seperti konflik antarumat beragama atau antarpendukung politik, sering kali
dapat dihindari dengan pendekatan dialogis yang lemah lembut. Dalam konteks
Indonesia, pendekatan ini diterapkan melalui mekanisme musyawarah dalam
penyelesaian sengketa atau konflik di tingkat masyarakat.
4.
Kehidupan
Harmonis di Lingkungan Masyarakat
Dalam QS Al-Mumtahanah (60) ayat 8, Allah Swt.
berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ
عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ
دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
" Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu
dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. "
Ayat ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan
umatnya untuk hidup berdampingan dengan damai, bahkan dengan mereka yang
berbeda agama atau keyakinan. Fenomena ini tercermin dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Indonesia, seperti tradisi gotong royong tanpa
membedakan agama atau suku.⁴ Sikap ini mencerminkan semangat "Bhinneka
Tunggal Ika," semboyan bangsa Indonesia yang berarti berbeda-beda
tetapi tetap satu.
5.
Toleransi
dalam Kepemimpinan dan Kebijakan Publik
Prinsip toleransi juga relevan dalam tata kelola
pemerintahan. Rasulullah Saw. memberikan contoh kepemimpinan yang adil dan
toleran melalui Piagam Madinah, yang menjadi landasan bagi masyarakat
multikultural di Madinah.⁵ Dalam konteks Indonesia, nilai ini tercermin dalam
penerapan kebijakan publik yang inklusif dan nondiskriminatif, seperti
penghormatan terhadap hak-hak minoritas agama dan budaya.
Kesimpulan
Ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits tentang toleransi
memberikan panduan yang komprehensif untuk menghadapi tantangan keberagaman
dalam masyarakat modern. Dengan mengacu pada nilai-nilai ini, masyarakat dapat
membangun keharmonisan sosial yang berbasis pada penghormatan terhadap
perbedaan dan keadilan. Konsep toleransi dalam Islam tidak hanya bersifat
spiritual, tetapi juga berfungsi sebagai prinsip praktis untuk menciptakan
kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur’an, QS Al-Kafirun (109) ayat 6. Lihat juga
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 4, hlm. 564-566.
[2]
Al-Qur’an, QS Al-Hujurat (49) ayat 13. Lihat juga
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz 16, hlm. 312.
[3]
Shahih Bukhari, No. 6927. Lihat juga Imam
An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Juz 8, hlm. 40.
[4]
Al-Qur’an, QS Al-Mumtahanah (60) ayat 8. Lihat
Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 7, hlm. 345.
[5]
Muhammad Hamidullah, The First Written
Constitution in the World: An Important Document of the Time of the Holy
Prophet (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1975), hlm. 20-23.
Lampiran 2: Takhrij Hadits
Berikut adalah takhrij hadits yang dimuat
dalam artikel tentang “Kajian Komprehensif tentang Toleransi.” Takhrij
hadits mencakup matan (teks), sanad (rantai periwayat), serta status (derajat)
hadits menurut para ulama:
1.
Hadits
tentang Menghormati yang Tua dan Menyayangi yang Muda
Matan
Hadits:
لَيْسَ
مِنَّا مَنْ لَّمْ يُوَقِّرِ الْكَبِيْرَ وَيَرْحَمِ الصَّغِيْرَ
"Bukan dari golongan kami orang yang tidak menghormati yang tua dan
tidak menyayangi yang muda."
Takhrij
Hadits:
·
Riwayat: Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad, No. 21704. Juga
ditemukan dalam Sunan Tirmidzi (No. 1919) dengan matan yang serupa.
·
Sanad: Dari
Abdullah bin Amr bin Al-Ash, melalui perawi seperti Shu'bah, Muhammad bin
Sirin, dan lainnya.
·
Derajat Hadits: Shahih
menurut Imam Ahmad dan Tirmidzi. Imam An-Nawawi juga menyebutkan hadits ini
dalam Riyadhus Shalihin, mengisyaratkan validitasnya.
2.
Hadits
tentang Allah Mencintai Kelembutan
Matan
Hadits:
إِنَّ
اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الأَمْرِ كُلِّهِ
"Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan mencintai kelembutan dalam
segala urusan."
Takhrij
Hadits:
·
Riwayat: Hadits ini diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari, No. 6927, dan Imam Muslim dalam Shahih
Muslim, No. 2593.
·
Sanad: Dari Aisyah
r.a., melalui perawi seperti Abu Mu'awiyah, Shu’bah, dan lainnya.
·
Derajat Hadits: Mutawatir
(tingkat paling tinggi keabsahannya) karena diriwayatkan oleh banyak jalur
periwayatan di kitab-kitab hadits utama.
3.
Hadits
tentang Tidak Ada Paksaan dalam Agama
Matan
Hadits:
لَا
تُكْرِهُوا أَحَدًا عَلَى ٱلإِسْلَامِ، فَإِنَّهُ نُورُ ٱللهِ
"Janganlah kamu memaksa seseorang untuk masuk Islam, karena Islam
adalah agama yang terang."
Takhrij
Hadits:
·
Riwayat: Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud, No. 2676.
·
Sanad: Dari
Abdullah bin Abbas, melalui perawi seperti Atha bin Abi Rabah dan Sa'id bin
Jubair.
·
Derajat Hadits: Hasan
(baik) menurut Imam Al-Munawi dalam Faid al-Qadir.
4.
Hadits
tentang Berbuat Baik kepada Tetangga
Matan
Hadits:
"مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ"
"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah
ia berbuat baik kepada tetangganya."
Takhrij
Hadits:
·
Riwayat: Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari, No. 6018, dan Imam
Muslim dalam Shahih Muslim, No. 47.
·
Sanad: Dari Abu
Hurairah r.a., melalui jalur perawi seperti Al-A'mash, Sufyan Ats-Tsauri, dan
lainnya.
·
Derajat Hadits: Shahih
menurut kesepakatan ulama (muttafaq ‘alaih).
5.
Hadits
tentang Menghormati Jenazah Non-Muslim
Matan
Hadits:
عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: مَرَّتْ جِنَازَةٌ فَقَامَ لَهَا النَّبِيُّ ﷺ، فَقُمْنَا بِهِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
إِنَّهَا جِنَازَةُ يَهُودِيٍّ؟ فَقَالَ: أَلَيْسَتْ نَفْسًا؟
"Telah lewat sebuah jenazah, maka Nabi Saw berdiri untuknya, lalu
kami pun ikut berdiri bersama beliau. Kami berkata, 'Wahai Rasulullah, itu
adalah jenazah seorang Yahudi.' Maka beliau bersabda, 'Bukankah itu juga (seorang) manusia?'"
Takhrij
Hadits:
·
Riwayat: Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari, No. 1312.
·
Sanad: Dari Jabir
bin Abdullah, melalui perawi seperti Qatadah dan Sa’id bin Al-Musayyib.
·
Derajat Hadits: Shahih
menurut Imam Bukhari.
Kesimpulan
Seluruh hadits yang dimuat dalam artikel memiliki
sanad yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebagian besar hadits tergolong shahih
atau mutawatir, sehingga dapat dijadikan landasan untuk memahami nilai-nilai
toleransi dalam Islam. Hal ini menunjukkan kuatnya dukungan hadits terhadap
ajaran toleransi yang diterapkan Rasulullah Saw. dalam kehidupan sosial dan keberagaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar