Rabu, 22 Januari 2025

Filsafat Pendidikan Progresif: Konsep, Prinsip, dan Implikasinya dalam Pendidikan Modern

Filsafat Pendidikan Progresif

Konsep, Prinsip, dan Implikasinya dalam Pendidikan Modern


Abstrak

Artikel ini membahas filsafat pendidikan progresif, dengan fokus pada konsep, prinsip, dan implikasinya dalam pendidikan modern. Pendidikan progresif menekankan pembelajaran berbasis pengalaman, pengembangan potensi individu, dan penerapan nilai-nilai demokrasi dalam proses pembelajaran. Artikel ini mengeksplorasi teori-teori yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh penting seperti John Dewey, Maria Montessori, dan Nel Noddings, yang memandang pendidikan sebagai alat untuk mempersiapkan individu yang berpikir kritis, kreatif, dan berpartisipasi aktif dalam masyarakat. Dalam konteks pendidikan modern, filsafat ini menunjukkan relevansi dalam mengatasi tantangan globalisasi dan kemajuan teknologi. Meskipun demikian, terdapat tantangan dan kritik terkait implementasi pendidikan progresif, seperti resistensi terhadap perubahan, keterbatasan sumber daya, dan kesulitan dalam evaluasi. Artikel ini juga mengidentifikasi cara-cara untuk mengatasi tantangan tersebut dan meningkatkan penerapan prinsip pendidikan progresif dalam praktik pendidikan sehari-hari.

Kata Kunci: Filsafat Pendidikan Progresif, Pembelajaran Berbasis Pengalaman, Demokrasi, John Dewey, Maria Montessori, Implikasi Pendidikan, Evaluasi Pendidikan, Tantangan Pendidikan.


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Filsafat pendidikan progresif merupakan salah satu aliran pendidikan yang berfokus pada pembelajaran berbasis pengalaman, partisipasi aktif siswa, dan relevansi dengan kehidupan nyata. Aliran ini berkembang sebagai respons terhadap pendekatan tradisional yang dianggap terlalu kaku, berpusat pada guru, dan kurang mempertimbangkan kebutuhan individu siswa. John Dewey, salah satu tokoh utama pendidikan progresif, menegaskan bahwa pendidikan harus menjadi alat untuk mengembangkan potensi siswa secara penuh dan mempersiapkan mereka untuk berkontribusi dalam kehidupan bermasyarakat.¹

Dalam konteks pendidikan modern, konsep pendidikan progresif menjadi semakin relevan karena kebutuhan akan generasi yang mampu berpikir kritis, bekerja secara kolaboratif, dan memecahkan masalah kompleks. Hal ini selaras dengan perubahan lanskap global yang menuntut inovasi dan kemampuan adaptasi.² Selain itu, pendekatan ini juga berkontribusi pada pembentukan karakter peserta didik, terutama dalam membangun kesadaran sosial dan tanggung jawab demokratis.³

1.2.       Rumusan Masalah

Meskipun pendidikan progresif menawarkan paradigma baru yang menarik, penerapannya tidak selalu mudah. Banyak institusi pendidikan yang masih menghadapi tantangan dalam mengintegrasikan prinsip-prinsip ini, terutama dalam sistem pendidikan formal yang terstruktur. Oleh karena itu, beberapa pertanyaan yang menjadi fokus artikel ini adalah:

1)                  Mengapa filsafat pendidikan progresif dianggap penting dalam era modern?

2)                  Bagaimana konsep dan prinsipnya dapat diterapkan secara efektif dalam pendidikan?

3)                  Apa saja tantangan dan solusi yang mungkin dihadapi dalam implementasinya?

1.3.       Tujuan Penulisan

Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman mendalam tentang filsafat pendidikan progresif, mulai dari landasan teoretis hingga penerapannya. Penulis juga berupaya menguraikan bagaimana konsep ini dapat membantu menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif, inovatif, dan relevan dengan kebutuhan abad ke-21.⁴ Dengan pembahasan ini, diharapkan para pendidik, pembuat kebijakan, dan pembaca umum dapat memperoleh wawasan yang lebih baik tentang bagaimana mengintegrasikan prinsip-prinsip pendidikan progresif dalam berbagai konteks.


Catatan Kaki

[1]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 45-48.

[2]                Tony Wagner, Creating Innovators: The Making of Young People Who Will Change the World (New York: Scribner, 2012), 25-30.

[3]                Nel Noddings, Philosophy of Education (Boulder: Westview Press, 2016), 60-65.

[4]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 20-23.


2.           Landasan Teoritis Filsafat Pendidikan Progresif

2.1.       Sejarah dan Perkembangan

Filsafat pendidikan progresif berakar pada pemikiran tokoh-tokoh besar seperti Jean-Jacques Rousseau, John Dewey, dan Maria Montessori, yang masing-masing memberikan kontribusi signifikan terhadap pendekatan ini. Rousseau, dalam bukunya Émile, menekankan pentingnya mendidik anak sesuai dengan fitrah alami mereka dan bukan berdasarkan tuntutan masyarakat yang kaku.¹ Pemikiran ini menjadi dasar penting bagi pendekatan pendidikan yang berpusat pada peserta didik.

John Dewey kemudian memperluas gagasan ini dengan menekankan bahwa pendidikan adalah "proses sosial" yang melibatkan pengalaman nyata. Dalam pandangan Dewey, sekolah adalah "miniatur masyarakat" di mana siswa belajar untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat.² Sebagai salah satu pelopor filsafat pendidikan progresif, Dewey memperkenalkan konsep "learning by doing," yang menekankan pentingnya pembelajaran berbasis pengalaman nyata dalam membangun pengetahuan.

Maria Montessori menambahkan dimensi baru dengan merancang pendekatan pendidikan yang memfasilitasi pembelajaran mandiri. Melalui metode Montessori, ia mendorong lingkungan belajar yang mendukung eksplorasi individu sesuai minat dan kebutuhan siswa.³

2.2.       Definisi dan Konsep Utama

Filsafat pendidikan progresif menolak pendekatan tradisional yang menekankan hafalan dan otoritas guru. Sebaliknya, pendidikan progresif mengutamakan siswa sebagai subjek pembelajaran, dengan kurikulum yang dirancang berdasarkan minat dan kebutuhan mereka.⁴

Konsep utama pendidikan progresif mencakup:

·                     Pengalaman sebagai Inti Pembelajaran:

Dewey menyatakan bahwa pengalaman adalah fondasi dari pembelajaran yang bermakna.⁵ Pendidikan progresif menekankan bahwa siswa belajar lebih efektif melalui aktivitas langsung dan relevansi praktis.

·                     Pendidikan sebagai Proses Sosial:

Pendidikan tidak hanya bertujuan untuk individu tetapi juga untuk mengembangkan kemampuan siswa berpartisipasi dalam masyarakat yang demokratis.⁶

·                     Kurikulum yang Fleksibel:

Kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan dan minat siswa, sehingga menciptakan ruang untuk pembelajaran yang kreatif dan relevan.⁷

2.3.       Perbedaan dengan Pendekatan Tradisional

Pendidikan progresif berbeda signifikan dari pendekatan tradisional. Dalam pendekatan tradisional, guru berperan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, sementara siswa dianggap sebagai penerima pasif. Sebaliknya, pendidikan progresif menempatkan siswa sebagai pusat proses pembelajaran, dengan peran guru sebagai fasilitator.⁸

Perbedaan lain terletak pada metode evaluasi. Dalam pendidikan tradisional, evaluasi sering berbasis tes tertulis dan nilai akhir. Sebaliknya, pendidikan progresif menggunakan metode evaluasi yang lebih komprehensif, seperti portofolio, proyek, dan observasi proses belajar.⁹


Catatan Kaki

[1]                Jean-Jacques Rousseau, Émile: Or On Education, trans. Allan Bloom (New York: Basic Books, 1979), 12-16.

[2]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 34-37.

[3]                Maria Montessori, The Montessori Method (New York: Schocken Books, 1964), 89-92.

[4]                Nel Noddings, Philosophy of Education (Boulder: Westview Press, 2016), 72-75.

[5]                John Dewey, Experience and Education (New York: Kappa Delta Pi, 1938), 25-28.

[6]                Tony Wagner, Creating Innovators: The Making of Young People Who Will Change the World (New York: Scribner, 2012), 40-43.

[7]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 50-52.

[8]                Nel Noddings, Philosophy of Education, 80-82.

[9]                Deborah Meier, The Power of Their Ideas: Lessons for America from a Small School in Harlem (Boston: Beacon Press, 1995), 112-114.


3.           Prinsip-Prinsip Filsafat Pendidikan Progresif

3.1.       Pendidikan sebagai Proses Berkelanjutan

Salah satu prinsip utama filsafat pendidikan progresif adalah pandangan bahwa pendidikan adalah proses berkelanjutan yang tidak pernah berhenti. John Dewey menyatakan bahwa pendidikan bukan sekadar persiapan untuk kehidupan, melainkan kehidupan itu sendiri.¹ Dalam pandangan ini, pembelajaran adalah perjalanan yang terus berkembang berdasarkan pengalaman, di mana siswa diajak untuk belajar dari interaksi dengan lingkungan mereka.

Prinsip ini terlihat dalam pendekatan “learning by doing,” yang memungkinkan siswa memperoleh pemahaman yang lebih mendalam melalui aktivitas praktis.² Sebagai contoh, proyek-proyek berbasis masalah (problem-based learning) menjadi salah satu implementasi konkret dari gagasan ini.³

3.2.       Pemberdayaan Peserta Didik

Pendidikan progresif menempatkan siswa sebagai subjek utama dalam proses pembelajaran. Hal ini berarti siswa didorong untuk berpikir kritis, mengembangkan kreativitas, dan mengambil tanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri.⁴ Maria Montessori menekankan bahwa peran guru adalah menciptakan lingkungan belajar yang mendukung eksplorasi siswa secara mandiri.⁵

Selain itu, pendidikan progresif juga menekankan pentingnya keterlibatan siswa dalam proses pengambilan keputusan, baik dalam pemilihan topik pembelajaran maupun dalam menentukan cara belajar yang paling efektif bagi mereka. Hal ini menciptakan rasa kepemilikan atas pembelajaran yang meningkatkan motivasi siswa.⁶

3.3.       Fokus pada Kebutuhan Individu

Filsafat pendidikan progresif mengakui bahwa setiap siswa adalah individu unik dengan kebutuhan, minat, dan gaya belajar yang berbeda. Oleh karena itu, kurikulum harus fleksibel dan dapat disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.⁷ Nel Noddings menekankan bahwa pendidikan yang efektif adalah pendidikan yang menghormati kebutuhan emosional, intelektual, dan sosial siswa.⁸

Pendekatan ini berfokus pada pembelajaran yang personal dan inklusif, di mana siswa tidak hanya dinilai berdasarkan hasil tes semata, tetapi juga melalui observasi proses belajar, kreativitas, dan kontribusi mereka dalam kelompok.⁹

3.4.       Pendidikan sebagai Bagian dari Demokrasi

Pendidikan progresif memandang sekolah sebagai miniatur masyarakat demokratis, di mana siswa belajar untuk hidup dalam harmoni dan saling menghormati.¹⁰ John Dewey menekankan bahwa pendidikan harus mengajarkan nilai-nilai demokrasi seperti kerja sama, toleransi, dan tanggung jawab sosial.¹¹

Implementasi prinsip ini dapat terlihat dalam metode pembelajaran kolaboratif, di mana siswa bekerja dalam kelompok untuk memecahkan masalah nyata. Selain itu, pengembangan kemampuan berpikir kritis dan kesadaran sosial menjadi fokus utama untuk membentuk siswa yang mampu berkontribusi pada masyarakat mereka.¹²


Catatan Kaki

[1]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 45-48.

[2]                John Dewey, Experience and Education (New York: Kappa Delta Pi, 1938), 25-27.

[3]                Tony Wagner, Creating Innovators: The Making of Young People Who Will Change the World (New York: Scribner, 2012), 52-55.

[4]                Nel Noddings, Philosophy of Education (Boulder: Westview Press, 2016), 80-83.

[5]                Maria Montessori, The Montessori Method (New York: Schocken Books, 1964), 70-73.

[6]                Deborah Meier, The Power of Their Ideas: Lessons for America from a Small School in Harlem (Boston: Beacon Press, 1995), 100-102.

[7]                Nel Noddings, Philosophy of Education, 72-75.

[8]                Ibid., 78.

[9]                Alfie Kohn, The Schools Our Children Deserve: Moving Beyond Traditional Classrooms and "Tougher Standards" (Boston: Houghton Mifflin, 1999), 64-66.

[10]             John Dewey, Democracy and Education, 87-90.

[11]             Ibid., 92.

[12]             Tony Wagner, Creating Innovators, 60-63.


4.           Implikasi Filsafat Pendidikan Progresif dalam Praktik

4.1.       Penerapan di Ruang Kelas

Implikasi utama filsafat pendidikan progresif terlihat dalam perubahan cara pengajaran di ruang kelas. Model pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) menjadi salah satu strategi populer yang mengedepankan prinsip "learning by doing" seperti yang diajarkan oleh John Dewey.¹ Metode ini memungkinkan siswa untuk mengeksplorasi isu-isu nyata dan menghasilkan solusi kreatif, yang tidak hanya memperkuat keterampilan berpikir kritis tetapi juga relevansi pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari.²

Sebagai contoh, seorang guru dapat mengarahkan siswa untuk mempelajari isu lingkungan di komunitas mereka dan kemudian merancang solusi, seperti kampanye daur ulang atau desain sistem pengelolaan limbah. Dalam pendekatan ini, siswa belajar melalui kolaborasi, penelitian mandiri, dan presentasi hasil mereka kepada audiens nyata.³

4.2.       Peran Guru dalam Pendidikan Progresif

Dalam pendidikan progresif, peran guru berubah dari instruktur menjadi fasilitator. Guru tidak lagi hanya mentransfer pengetahuan tetapi juga menciptakan lingkungan yang mendukung eksplorasi, diskusi, dan pembelajaran mandiri.⁴ Sebagai fasilitator, guru harus mampu memahami kebutuhan individu siswa dan mengadaptasi strategi pengajaran sesuai dengan minat dan kemampuan masing-masing.⁵

Misalnya, dalam metode Montessori, guru bertugas mengamati perkembangan siswa dan menyediakan alat belajar yang sesuai untuk mendukung eksplorasi mereka.⁶ Guru juga didorong untuk mendorong siswa mengeksplorasi ide-ide mereka sendiri, daripada memberikan jawaban langsung.⁷

4.3.       Evaluasi Berbasis Kompetensi

Evaluasi dalam pendidikan progresif berfokus pada perkembangan holistik siswa daripada sekadar pencapaian akademik. Penilaian berbasis kompetensi digunakan untuk mengukur keterampilan, pemahaman konsep, dan kemampuan aplikatif siswa dalam konteks kehidupan nyata.⁸

Sebagai contoh, portofolio dan rubrik kinerja sering digunakan untuk mengevaluasi kemajuan siswa secara menyeluruh. Portofolio memungkinkan siswa untuk menunjukkan hasil kerja mereka, seperti proyek penelitian, karya seni, atau tulisan reflektif, yang mencerminkan pembelajaran mereka selama periode tertentu.⁹ Hal ini memberikan gambaran yang lebih komprehensif dibandingkan dengan tes standar.¹⁰

4.4.       Penggunaan Teknologi dalam Pendidikan Progresif

Dalam dunia modern, teknologi menjadi alat penting untuk mendukung penerapan pendidikan progresif. Penggunaan perangkat digital memungkinkan pembelajaran yang lebih interaktif dan personal.¹¹ Misalnya, platform pembelajaran daring dapat memberikan akses kepada siswa untuk belajar sesuai dengan kecepatan mereka sendiri, sementara aplikasi berbasis proyek memungkinkan kolaborasi lintas batas geografis.¹²

Penggunaan teknologi juga memberikan peluang untuk menyimulasikan pengalaman dunia nyata, seperti eksperimen virtual atau simulasi bisnis, yang memperkaya pengalaman belajar siswa.¹³


Catatan Kaki

[1]                John Dewey, Experience and Education (New York: Kappa Delta Pi, 1938), 22-25.

[2]                Tony Wagner, Creating Innovators: The Making of Young People Who Will Change the World (New York: Scribner, 2012), 45-48.

[3]                Alfie Kohn, The Schools Our Children Deserve: Moving Beyond Traditional Classrooms and "Tougher Standards" (Boston: Houghton Mifflin, 1999), 60-62.

[4]                Nel Noddings, Philosophy of Education (Boulder: Westview Press, 2016), 70-73.

[5]                Deborah Meier, The Power of Their Ideas: Lessons for America from a Small School in Harlem (Boston: Beacon Press, 1995), 92-94.

[6]                Maria Montessori, The Montessori Method (New York: Schocken Books, 1964), 65-68.

[7]                Ibid., 70.

[8]                Alfie Kohn, The Schools Our Children Deserve, 64-66.

[9]                Deborah Meier, The Power of Their Ideas, 98-101.

[10]             Nel Noddings, Philosophy of Education, 78-79.

[11]             Tony Wagner, Creating Innovators, 50-53.

[12]             Bernard R. Robin, “The Educational Uses of Digital Storytelling,” Journal of Computing in Teacher Education 24, no. 3 (2008): 158-161.

[13]             R. Keith Sawyer, The Cambridge Handbook of the Learning Sciences (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 340-345.


5.           Tantangan dan Kritik terhadap Pendidikan Progresif

5.1.       Tantangan dalam Implementasi

Meskipun filsafat pendidikan progresif memiliki banyak kelebihan, implementasinya tidak selalu mudah. Salah satu tantangan utama adalah resistensi terhadap perubahan dalam sistem pendidikan tradisional yang sudah mapan.¹ Banyak institusi pendidikan masih mengandalkan pendekatan berbasis hafalan dan evaluasi berbasis ujian, sehingga sulit untuk mengadopsi pendekatan yang lebih fleksibel seperti pendidikan progresif.²

Selain itu, keterbatasan sumber daya juga menjadi hambatan. Penerapan metode pembelajaran berbasis pengalaman dan proyek memerlukan waktu lebih banyak, pelatihan guru yang intensif, serta fasilitas yang memadai.³ Di banyak negara berkembang, akses terhadap teknologi dan bahan ajar yang mendukung metode ini juga masih terbatas.⁴

5.2.       Kritik terhadap Efektivitas

Beberapa kritikus berpendapat bahwa pendidikan progresif tidak selalu menghasilkan hasil yang diharapkan. Salah satu kritik utama adalah bahwa pendekatan ini dianggap kurang memberikan struktur yang jelas, sehingga dapat menyulitkan siswa yang membutuhkan arahan lebih konkret.⁵ Misalnya, Diane Ravitch berargumen bahwa fokus pada pembelajaran yang sepenuhnya berbasis minat siswa dapat mengabaikan kurikulum inti yang penting untuk membangun dasar pengetahuan umum.⁶

Kritik lain menyebutkan bahwa metode ini mungkin lebih cocok untuk siswa dengan latar belakang sosial-ekonomi tertentu, terutama mereka yang sudah memiliki akses ke lingkungan pembelajaran yang mendukung.⁷ Dalam konteks ini, pendidikan progresif berisiko memperbesar kesenjangan pendidikan antara kelompok yang memiliki akses dan yang tidak.⁸

5.3.       Kesulitan dalam Evaluasi

Evaluasi pembelajaran dalam pendidikan progresif juga menjadi salah satu area yang sering dikritik. Dalam banyak kasus, pendekatan ini menggunakan metode penilaian kualitatif seperti portofolio, observasi, dan rubrik kinerja.⁹ Namun, metode ini dianggap subjektif dan sulit untuk diukur secara kuantitatif, sehingga menyulitkan perbandingan antara siswa atau institusi.¹⁰

Selain itu, sistem pendidikan formal sering kali masih bergantung pada hasil tes standar untuk mengukur pencapaian siswa, yang bertentangan dengan prinsip pendidikan progresif.¹¹ Ketidaksesuaian ini menciptakan tekanan bagi guru dan siswa untuk tetap memenuhi standar tradisional sambil mencoba menerapkan metode progresif.

5.4.       Kompleksitas Peran Guru

Guru dalam pendidikan progresif memiliki tanggung jawab yang lebih kompleks dibandingkan dengan sistem tradisional. Mereka tidak hanya harus menguasai materi pelajaran tetapi juga mampu menjadi fasilitator yang dapat memotivasi siswa, mengelola dinamika kelas, dan menyesuaikan pembelajaran berdasarkan kebutuhan individu siswa.¹²

Kesulitan ini sering kali diperparah oleh kurangnya pelatihan guru yang memadai.¹³ Tanpa pelatihan yang tepat, guru mungkin merasa kesulitan menerapkan prinsip pendidikan progresif secara efektif, yang pada akhirnya dapat memengaruhi hasil pembelajaran siswa.


Catatan Kaki

[1]                Alfie Kohn, The Schools Our Children Deserve: Moving Beyond Traditional Classrooms and "Tougher Standards" (Boston: Houghton Mifflin, 1999), 50-52.

[2]                Nel Noddings, Philosophy of Education (Boulder: Westview Press, 2016), 68-71.

[3]                Tony Wagner, Creating Innovators: The Making of Young People Who Will Change the World (New York: Scribner, 2012), 40-42.

[4]                John Smyth, Critical Pedagogy for Social Justice (New York: Bloomsbury, 2011), 122-124.

[5]                Diane Ravitch, Left Back: A Century of Battles Over School Reform (New York: Simon & Schuster, 2000), 115-117.

[6]                Ibid., 118-120.

[7]                Deborah Meier, The Power of Their Ideas: Lessons for America from a Small School in Harlem (Boston: Beacon Press, 1995), 70-73.

[8]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 87-90.

[9]                Alfie Kohn, The Schools Our Children Deserve, 60-63.

[10]             Diane Ravitch, Left Back: A Century of Battles Over School Reform, 150-152.

[11]             Nel Noddings, Philosophy of Education, 75-78.

[12]             Maria Montessori, The Montessori Method (New York: Schocken Books, 1964), 88-90.

[13]             Tony Wagner, Creating Innovators, 65-67.


6.           Penutup

Filsafat pendidikan progresif menawarkan perspektif revolusioner dalam dunia pendidikan modern, menekankan pembelajaran berbasis pengalaman, pengembangan individu, dan penerapan nilai-nilai demokrasi. Prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh seperti John Dewey, Maria Montessori, dan Nel Noddings menempatkan siswa sebagai pusat dari proses pembelajaran, menjadikan pendidikan sebagai proses yang holistik dan berkelanjutan.¹

Namun, filsafat ini bukan tanpa tantangan. Resistensi terhadap perubahan, keterbatasan sumber daya, dan kesulitan dalam evaluasi menjadi hambatan yang sering dihadapi dalam implementasi pendidikan progresif.² Kritik terhadap efektivitas metode ini, terutama dalam memberikan struktur yang cukup dan memastikan kesetaraan akses, menjadi pengingat bahwa setiap pendekatan pendidikan harus dilihat dalam konteks yang lebih luas.³

Meskipun demikian, filsafat pendidikan progresif memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembaruan pendidikan, terutama dalam dunia yang terus berubah dengan tantangan globalisasi dan perkembangan teknologi. Pendekatan ini mendorong siswa untuk menjadi pemikir kritis, kreatif, dan berdaya dalam menghadapi dinamika kehidupan modern.⁴

Dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut, penting bagi para pendidik, pembuat kebijakan, dan komunitas untuk berkolaborasi dalam menciptakan lingkungan yang mendukung prinsip-prinsip pendidikan progresif. Peningkatan pelatihan guru, investasi dalam teknologi pendidikan, dan adopsi sistem evaluasi yang lebih inklusif dapat menjadi langkah konkret untuk memperkuat penerapan filsafat ini dalam praktik sehari-hari.⁵

Sebagai kesimpulan, filsafat pendidikan progresif tetap relevan dalam konteks pendidikan modern. Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip progresif ke dalam sistem pendidikan, kita tidak hanya membangun siswa yang lebih kompeten tetapi juga menciptakan masyarakat yang lebih demokratis, inklusif, dan inovatif.⁶


Catatan Kaki

[1]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 45-48; Maria Montessori, The Montessori Method (New York: Schocken Books, 1964), 65-68.

[2]                Alfie Kohn, The Schools Our Children Deserve: Moving Beyond Traditional Classrooms and "Tougher Standards" (Boston: Houghton Mifflin, 1999), 50-52; Diane Ravitch, Left Back: A Century of Battles Over School Reform (New York: Simon & Schuster, 2000), 115-117.

[3]                Nel Noddings, Philosophy of Education (Boulder: Westview Press, 2016), 70-73; Deborah Meier, The Power of Their Ideas: Lessons for America from a Small School in Harlem (Boston: Beacon Press, 1995), 70-73.

[4]                Tony Wagner, Creating Innovators: The Making of Young People Who Will Change the World (New York: Scribner, 2012), 40-42; Bernard R. Robin, “The Educational Uses of Digital Storytelling,” Journal of Computing in Teacher Education 24, no. 3 (2008): 158-161.

[5]                John Smyth, Critical Pedagogy for Social Justice (New York: Bloomsbury, 2011), 122-124; Diane Ravitch, Left Back: A Century of Battles Over School Reform, 150-152.

[6]                John Dewey, Experience and Education (New York: Kappa Delta Pi, 1938), 22-25; Nel Noddings, Philosophy of Education, 75-78.


Daftar Pustaka


Dewey, J. (1916). Democracy and education. New York, NY: Macmillan.

Dewey, J. (1938). Experience and education. New York, NY: Kappa Delta Pi.

Kohn, A. (1999). The schools our children deserve: Moving beyond traditional classrooms and "tougher standards". Boston, MA: Houghton Mifflin.

Meier, D. (1995). The power of their ideas: Lessons for America from a small school in Harlem. Boston, MA: Beacon Press.

Montessori, M. (1964). The Montessori method. New York, NY: Schocken Books.

Noddings, N. (2016). Philosophy of education (4th ed.). Boulder, CO: Westview Press.

Ravitch, D. (2000). Left back: A century of battles over school reform. New York, NY: Simon & Schuster.

Robin, B. R. (2008). The educational uses of digital storytelling. Journal of Computing in Teacher Education, 24(3), 158–161.

Smyth, J. (2011). Critical pedagogy for social justice. New York, NY: Bloomsbury.

Wagner, T. (2012). Creating innovators: The making of young people who will change the world. New York, NY: Scribner.

Sawyer, R. K. (2006). The Cambridge handbook of the learning sciences. Cambridge, UK: Cambridge University Press.


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar