Filsafat Pendidikan
Progresif
Konsep, Prinsip, dan
Implikasinya dalam Pendidikan Modern
Abstrak
Artikel ini membahas filsafat pendidikan progresif,
dengan fokus pada konsep, prinsip, dan implikasinya dalam pendidikan modern.
Pendidikan progresif menekankan pembelajaran berbasis pengalaman, pengembangan
potensi individu, dan penerapan nilai-nilai demokrasi dalam proses
pembelajaran. Artikel ini mengeksplorasi teori-teori yang dikemukakan oleh
tokoh-tokoh penting seperti John Dewey, Maria Montessori, dan Nel Noddings,
yang memandang pendidikan sebagai alat untuk mempersiapkan individu yang
berpikir kritis, kreatif, dan berpartisipasi aktif dalam masyarakat. Dalam
konteks pendidikan modern, filsafat ini menunjukkan relevansi dalam mengatasi
tantangan globalisasi dan kemajuan teknologi. Meskipun demikian, terdapat
tantangan dan kritik terkait implementasi pendidikan progresif, seperti
resistensi terhadap perubahan, keterbatasan sumber daya, dan kesulitan dalam
evaluasi. Artikel ini juga mengidentifikasi cara-cara untuk mengatasi tantangan
tersebut dan meningkatkan penerapan prinsip pendidikan progresif dalam praktik
pendidikan sehari-hari.
Kata Kunci: Filsafat
Pendidikan Progresif, Pembelajaran Berbasis Pengalaman, Demokrasi, John Dewey,
Maria Montessori, Implikasi Pendidikan, Evaluasi Pendidikan, Tantangan
Pendidikan.
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Filsafat pendidikan
progresif merupakan salah satu aliran pendidikan yang berfokus pada
pembelajaran berbasis pengalaman,
partisipasi aktif siswa, dan relevansi dengan kehidupan nyata. Aliran ini
berkembang sebagai respons terhadap pendekatan tradisional yang dianggap
terlalu kaku, berpusat pada guru, dan kurang mempertimbangkan kebutuhan
individu siswa. John Dewey, salah satu tokoh utama pendidikan progresif,
menegaskan bahwa pendidikan harus menjadi alat untuk mengembangkan potensi
siswa secara penuh dan mempersiapkan mereka untuk berkontribusi dalam kehidupan
bermasyarakat.¹
Dalam konteks
pendidikan modern, konsep pendidikan progresif menjadi semakin relevan karena
kebutuhan akan generasi yang mampu berpikir kritis, bekerja secara kolaboratif,
dan memecahkan masalah kompleks. Hal ini selaras dengan perubahan lanskap
global yang menuntut inovasi dan kemampuan adaptasi.² Selain itu, pendekatan
ini juga berkontribusi pada pembentukan karakter peserta didik, terutama dalam
membangun kesadaran sosial dan tanggung jawab demokratis.³
1.2.
Rumusan Masalah
Meskipun pendidikan
progresif menawarkan paradigma baru yang menarik, penerapannya tidak selalu
mudah. Banyak institusi pendidikan yang masih menghadapi tantangan dalam mengintegrasikan
prinsip-prinsip ini, terutama dalam sistem pendidikan formal yang terstruktur.
Oleh karena itu, beberapa pertanyaan yang menjadi fokus artikel ini adalah:
1)
Mengapa filsafat pendidikan
progresif dianggap penting dalam era modern?
2)
Bagaimana konsep dan
prinsipnya dapat diterapkan secara efektif dalam pendidikan?
3)
Apa saja tantangan dan
solusi yang mungkin dihadapi dalam implementasinya?
1.3.
Tujuan Penulisan
Artikel ini
bertujuan untuk memberikan pemahaman mendalam tentang filsafat pendidikan progresif, mulai dari landasan teoretis
hingga penerapannya. Penulis juga berupaya menguraikan bagaimana konsep ini
dapat membantu menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif, inovatif, dan
relevan dengan kebutuhan abad ke-21.⁴ Dengan pembahasan ini, diharapkan para
pendidik, pembuat kebijakan, dan pembaca umum dapat memperoleh wawasan yang
lebih baik tentang bagaimana mengintegrasikan prinsip-prinsip pendidikan
progresif dalam berbagai konteks.
Catatan Kaki
[1]
John Dewey, Democracy and Education (New York:
Macmillan, 1916), 45-48.
[2]
Tony Wagner, Creating Innovators: The Making of Young People
Who Will Change the World (New York: Scribner, 2012), 25-30.
[3]
Nel Noddings, Philosophy of Education (Boulder:
Westview Press, 2016), 60-65.
[4]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans.
Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 20-23.
2.
Landasan Teoritis Filsafat Pendidikan Progresif
2.1.
Sejarah dan Perkembangan
Filsafat pendidikan
progresif berakar pada pemikiran tokoh-tokoh besar seperti Jean-Jacques
Rousseau, John Dewey, dan Maria Montessori, yang masing-masing memberikan
kontribusi signifikan terhadap pendekatan ini. Rousseau, dalam bukunya Émile,
menekankan pentingnya mendidik anak
sesuai dengan fitrah alami mereka dan bukan berdasarkan tuntutan masyarakat
yang kaku.¹ Pemikiran ini menjadi dasar penting bagi pendekatan pendidikan yang
berpusat pada peserta didik.
John Dewey kemudian
memperluas gagasan ini dengan menekankan bahwa pendidikan adalah "proses
sosial" yang melibatkan pengalaman nyata. Dalam pandangan Dewey, sekolah adalah "miniatur masyarakat"
di mana siswa belajar untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan
bermasyarakat.² Sebagai salah satu pelopor filsafat pendidikan progresif, Dewey
memperkenalkan konsep "learning by doing," yang menekankan pentingnya
pembelajaran berbasis
pengalaman nyata dalam membangun pengetahuan.
Maria Montessori menambahkan dimensi baru dengan merancang
pendekatan pendidikan yang memfasilitasi pembelajaran mandiri. Melalui metode
Montessori, ia mendorong lingkungan belajar yang mendukung eksplorasi individu
sesuai minat dan kebutuhan siswa.³
2.2.
Definisi dan Konsep Utama
Filsafat pendidikan
progresif menolak pendekatan tradisional yang menekankan hafalan dan otoritas
guru. Sebaliknya, pendidikan progresif mengutamakan siswa sebagai subjek
pembelajaran, dengan kurikulum yang dirancang berdasarkan minat dan kebutuhan
mereka.⁴
Konsep utama
pendidikan progresif mencakup:
·
Pengalaman
sebagai Inti Pembelajaran:
Dewey menyatakan bahwa pengalaman adalah
fondasi dari pembelajaran yang bermakna.⁵ Pendidikan progresif menekankan bahwa
siswa belajar lebih efektif melalui aktivitas langsung dan relevansi praktis.
·
Pendidikan
sebagai Proses Sosial:
Pendidikan tidak hanya bertujuan untuk
individu tetapi juga untuk mengembangkan kemampuan siswa berpartisipasi dalam
masyarakat yang demokratis.⁶
·
Kurikulum
yang Fleksibel:
Kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan
dan minat siswa, sehingga menciptakan ruang untuk pembelajaran yang kreatif dan
relevan.⁷
2.3.
Perbedaan dengan Pendekatan Tradisional
Pendidikan progresif
berbeda signifikan dari pendekatan tradisional. Dalam pendekatan tradisional,
guru berperan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, sementara siswa dianggap
sebagai penerima pasif. Sebaliknya, pendidikan progresif menempatkan siswa
sebagai pusat proses pembelajaran, dengan peran guru sebagai fasilitator.⁸
Perbedaan lain
terletak pada metode evaluasi. Dalam pendidikan tradisional, evaluasi sering
berbasis tes tertulis dan nilai akhir. Sebaliknya, pendidikan progresif menggunakan metode evaluasi yang lebih
komprehensif, seperti portofolio, proyek, dan observasi proses belajar.⁹
Catatan Kaki
[1]
Jean-Jacques Rousseau, Émile: Or On Education, trans.
Allan Bloom (New York: Basic Books, 1979), 12-16.
[2]
John Dewey, Democracy and Education (New York:
Macmillan, 1916), 34-37.
[3]
Maria Montessori, The Montessori Method (New York:
Schocken Books, 1964), 89-92.
[4]
Nel Noddings, Philosophy of Education (Boulder:
Westview Press, 2016), 72-75.
[5]
John Dewey, Experience and Education (New York:
Kappa Delta Pi, 1938), 25-28.
[6]
Tony Wagner, Creating Innovators: The Making of Young People
Who Will Change the World (New York: Scribner, 2012), 40-43.
[7]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans.
Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 50-52.
[8]
Nel Noddings, Philosophy of Education, 80-82.
[9]
Deborah Meier, The Power of Their Ideas: Lessons for America
from a Small School in Harlem (Boston: Beacon Press, 1995),
112-114.
3.
Prinsip-Prinsip Filsafat Pendidikan Progresif
3.1.
Pendidikan sebagai Proses Berkelanjutan
Salah satu prinsip
utama filsafat pendidikan progresif adalah pandangan bahwa pendidikan adalah
proses berkelanjutan yang tidak pernah berhenti. John Dewey menyatakan bahwa
pendidikan bukan sekadar persiapan untuk kehidupan, melainkan kehidupan itu
sendiri.¹ Dalam pandangan ini, pembelajaran
adalah perjalanan yang terus berkembang berdasarkan pengalaman, di mana siswa
diajak untuk belajar dari interaksi dengan lingkungan mereka.
Prinsip ini terlihat
dalam pendekatan “learning by doing,” yang memungkinkan siswa memperoleh pemahaman yang lebih mendalam
melalui aktivitas praktis.² Sebagai contoh, proyek-proyek berbasis masalah
(problem-based learning) menjadi salah satu implementasi konkret dari gagasan
ini.³
3.2.
Pemberdayaan Peserta Didik
Pendidikan progresif
menempatkan siswa sebagai subjek utama dalam proses pembelajaran. Hal ini
berarti siswa didorong untuk berpikir kritis, mengembangkan kreativitas, dan
mengambil tanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri.⁴ Maria Montessori
menekankan bahwa peran guru adalah menciptakan lingkungan belajar yang
mendukung eksplorasi siswa secara mandiri.⁵
Selain itu,
pendidikan progresif juga menekankan pentingnya keterlibatan siswa dalam proses
pengambilan keputusan, baik dalam pemilihan topik pembelajaran maupun dalam
menentukan cara belajar yang paling efektif bagi mereka. Hal ini menciptakan
rasa kepemilikan atas pembelajaran yang meningkatkan motivasi siswa.⁶
3.3.
Fokus pada Kebutuhan Individu
Filsafat pendidikan
progresif mengakui bahwa setiap siswa adalah individu unik dengan kebutuhan,
minat, dan gaya belajar yang berbeda. Oleh karena itu, kurikulum harus
fleksibel dan dapat disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.⁷ Nel
Noddings menekankan bahwa pendidikan yang efektif adalah pendidikan yang menghormati kebutuhan emosional,
intelektual, dan sosial siswa.⁸
Pendekatan ini
berfokus pada pembelajaran yang personal dan inklusif, di mana siswa tidak hanya dinilai berdasarkan hasil tes semata,
tetapi juga melalui observasi proses belajar, kreativitas, dan kontribusi
mereka dalam kelompok.⁹
3.4.
Pendidikan sebagai Bagian dari Demokrasi
Pendidikan progresif
memandang sekolah sebagai miniatur masyarakat demokratis, di mana siswa belajar
untuk hidup dalam harmoni dan saling menghormati.¹⁰ John Dewey menekankan bahwa
pendidikan harus mengajarkan nilai-nilai demokrasi seperti kerja sama,
toleransi, dan tanggung jawab sosial.¹¹
Implementasi prinsip
ini dapat terlihat dalam metode pembelajaran kolaboratif, di mana siswa bekerja
dalam kelompok untuk memecahkan masalah nyata. Selain itu, pengembangan
kemampuan berpikir kritis dan kesadaran sosial menjadi fokus utama untuk membentuk siswa yang mampu
berkontribusi pada masyarakat mereka.¹²
Catatan Kaki
[1]
John Dewey, Democracy and Education (New York:
Macmillan, 1916), 45-48.
[2]
John Dewey, Experience and Education (New York:
Kappa Delta Pi, 1938), 25-27.
[3]
Tony Wagner, Creating Innovators: The Making of Young People
Who Will Change the World (New York: Scribner, 2012), 52-55.
[4]
Nel Noddings, Philosophy of Education (Boulder:
Westview Press, 2016), 80-83.
[5]
Maria Montessori, The Montessori Method (New York:
Schocken Books, 1964), 70-73.
[6]
Deborah Meier, The Power of Their Ideas: Lessons for America
from a Small School in Harlem (Boston: Beacon Press, 1995),
100-102.
[7]
Nel Noddings, Philosophy of Education, 72-75.
[8]
Ibid., 78.
[9]
Alfie Kohn, The Schools Our Children Deserve: Moving Beyond
Traditional Classrooms and "Tougher Standards" (Boston:
Houghton Mifflin, 1999), 64-66.
[10]
John Dewey, Democracy and Education, 87-90.
[11]
Ibid., 92.
[12]
Tony Wagner, Creating Innovators, 60-63.
4.
Implikasi Filsafat Pendidikan Progresif dalam
Praktik
4.1.
Penerapan di Ruang Kelas
Implikasi utama
filsafat pendidikan progresif terlihat dalam perubahan cara pengajaran di ruang
kelas. Model pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) menjadi
salah satu strategi populer yang mengedepankan prinsip "learning by
doing" seperti yang diajarkan oleh John Dewey.¹ Metode ini memungkinkan
siswa untuk mengeksplorasi isu-isu nyata dan menghasilkan solusi kreatif, yang
tidak hanya memperkuat keterampilan berpikir
kritis tetapi juga relevansi pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari.²
Sebagai contoh,
seorang guru dapat mengarahkan siswa untuk mempelajari isu lingkungan di
komunitas mereka dan kemudian merancang solusi, seperti kampanye daur ulang
atau desain sistem pengelolaan limbah. Dalam pendekatan ini, siswa belajar
melalui kolaborasi, penelitian mandiri, dan presentasi hasil mereka kepada
audiens nyata.³
4.2.
Peran Guru dalam Pendidikan Progresif
Dalam pendidikan
progresif, peran guru berubah dari instruktur menjadi fasilitator. Guru tidak
lagi hanya mentransfer pengetahuan
tetapi juga menciptakan lingkungan yang mendukung eksplorasi, diskusi, dan
pembelajaran mandiri.⁴ Sebagai fasilitator, guru harus mampu memahami kebutuhan
individu siswa dan mengadaptasi strategi pengajaran sesuai dengan minat dan
kemampuan masing-masing.⁵
Misalnya, dalam
metode Montessori, guru bertugas mengamati perkembangan siswa dan menyediakan
alat belajar yang sesuai untuk mendukung eksplorasi mereka.⁶ Guru juga didorong
untuk mendorong siswa mengeksplorasi ide-ide mereka sendiri, daripada
memberikan jawaban langsung.⁷
4.3.
Evaluasi Berbasis Kompetensi
Evaluasi dalam
pendidikan progresif berfokus pada perkembangan holistik siswa daripada sekadar
pencapaian akademik. Penilaian berbasis kompetensi digunakan untuk mengukur
keterampilan, pemahaman konsep, dan kemampuan aplikatif siswa dalam konteks
kehidupan nyata.⁸
Sebagai contoh,
portofolio dan rubrik kinerja sering digunakan untuk mengevaluasi kemajuan
siswa secara menyeluruh.
Portofolio memungkinkan siswa untuk menunjukkan hasil kerja mereka, seperti
proyek penelitian, karya seni, atau tulisan reflektif, yang mencerminkan
pembelajaran mereka selama periode tertentu.⁹ Hal ini memberikan gambaran yang
lebih komprehensif dibandingkan dengan tes standar.¹⁰
4.4.
Penggunaan Teknologi dalam Pendidikan Progresif
Dalam dunia modern,
teknologi menjadi alat penting untuk mendukung penerapan pendidikan progresif.
Penggunaan perangkat digital memungkinkan pembelajaran yang lebih interaktif dan personal.¹¹ Misalnya,
platform pembelajaran daring dapat memberikan akses kepada siswa untuk belajar
sesuai dengan kecepatan mereka sendiri, sementara aplikasi berbasis proyek
memungkinkan kolaborasi lintas batas geografis.¹²
Penggunaan teknologi
juga memberikan peluang untuk menyimulasikan pengalaman dunia nyata, seperti eksperimen virtual atau simulasi
bisnis, yang memperkaya pengalaman belajar siswa.¹³
Catatan Kaki
[1]
John Dewey, Experience and Education (New York:
Kappa Delta Pi, 1938), 22-25.
[2]
Tony Wagner, Creating Innovators: The Making of Young People
Who Will Change the World (New York: Scribner, 2012), 45-48.
[3]
Alfie Kohn, The Schools Our Children Deserve: Moving Beyond
Traditional Classrooms and "Tougher Standards" (Boston:
Houghton Mifflin, 1999), 60-62.
[4]
Nel Noddings, Philosophy of Education (Boulder:
Westview Press, 2016), 70-73.
[5]
Deborah Meier, The Power of Their Ideas: Lessons for America
from a Small School in Harlem (Boston: Beacon Press, 1995), 92-94.
[6]
Maria Montessori, The Montessori Method (New York:
Schocken Books, 1964), 65-68.
[7]
Ibid., 70.
[8]
Alfie Kohn, The Schools Our Children Deserve,
64-66.
[9]
Deborah Meier, The Power of Their Ideas, 98-101.
[10]
Nel Noddings, Philosophy of Education, 78-79.
[11]
Tony Wagner, Creating Innovators, 50-53.
[12]
Bernard R. Robin, “The Educational Uses of Digital Storytelling,” Journal
of Computing in Teacher Education 24, no. 3 (2008): 158-161.
[13]
R. Keith Sawyer, The Cambridge Handbook of the Learning Sciences
(Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 340-345.
5.
Tantangan dan Kritik terhadap Pendidikan
Progresif
5.1.
Tantangan dalam Implementasi
Meskipun filsafat
pendidikan progresif memiliki banyak kelebihan, implementasinya tidak selalu
mudah. Salah satu tantangan utama adalah resistensi terhadap perubahan dalam sistem pendidikan
tradisional yang sudah mapan.¹ Banyak institusi pendidikan masih mengandalkan
pendekatan berbasis hafalan dan evaluasi berbasis ujian, sehingga sulit untuk
mengadopsi pendekatan yang lebih fleksibel seperti pendidikan progresif.²
Selain itu,
keterbatasan sumber daya juga menjadi hambatan. Penerapan metode pembelajaran berbasis pengalaman dan proyek memerlukan
waktu lebih banyak, pelatihan guru yang intensif, serta fasilitas yang
memadai.³ Di banyak negara berkembang, akses terhadap teknologi dan bahan ajar
yang mendukung metode ini juga masih terbatas.⁴
5.2.
Kritik terhadap Efektivitas
Beberapa kritikus
berpendapat bahwa pendidikan progresif tidak selalu menghasilkan hasil yang
diharapkan. Salah satu kritik utama adalah bahwa pendekatan ini dianggap kurang memberikan struktur yang
jelas, sehingga dapat menyulitkan siswa yang membutuhkan arahan lebih konkret.⁵
Misalnya, Diane Ravitch berargumen bahwa fokus pada pembelajaran yang
sepenuhnya berbasis minat siswa dapat mengabaikan kurikulum inti yang penting
untuk membangun dasar pengetahuan umum.⁶
Kritik lain
menyebutkan bahwa metode ini mungkin lebih cocok untuk siswa dengan latar
belakang sosial-ekonomi tertentu, terutama mereka yang sudah memiliki akses ke lingkungan pembelajaran yang mendukung.⁷
Dalam konteks ini, pendidikan progresif berisiko memperbesar kesenjangan
pendidikan antara kelompok yang memiliki akses dan yang tidak.⁸
5.3.
Kesulitan dalam Evaluasi
Evaluasi
pembelajaran dalam pendidikan progresif juga menjadi salah satu area yang
sering dikritik. Dalam banyak kasus, pendekatan ini menggunakan metode
penilaian kualitatif seperti portofolio, observasi, dan rubrik kinerja.⁹ Namun,
metode ini dianggap subjektif dan sulit untuk diukur secara kuantitatif,
sehingga menyulitkan perbandingan antara siswa atau institusi.¹⁰
Selain itu, sistem
pendidikan formal sering kali masih bergantung pada hasil tes standar untuk
mengukur pencapaian siswa, yang bertentangan dengan prinsip pendidikan
progresif.¹¹ Ketidaksesuaian ini menciptakan tekanan bagi guru dan siswa untuk tetap memenuhi standar tradisional
sambil mencoba menerapkan metode progresif.
5.4.
Kompleksitas Peran Guru
Guru dalam
pendidikan progresif memiliki tanggung jawab yang lebih kompleks dibandingkan
dengan sistem tradisional. Mereka tidak hanya harus menguasai materi pelajaran
tetapi juga mampu menjadi fasilitator yang dapat memotivasi siswa, mengelola dinamika kelas, dan
menyesuaikan pembelajaran berdasarkan kebutuhan individu siswa.¹²
Kesulitan ini sering
kali diperparah oleh kurangnya pelatihan guru yang memadai.¹³ Tanpa pelatihan
yang tepat, guru mungkin merasa kesulitan menerapkan prinsip pendidikan progresif secara efektif, yang
pada akhirnya dapat memengaruhi hasil pembelajaran siswa.
Catatan Kaki
[1]
Alfie Kohn, The Schools Our Children Deserve: Moving Beyond
Traditional Classrooms and "Tougher Standards" (Boston:
Houghton Mifflin, 1999), 50-52.
[2]
Nel Noddings, Philosophy of Education (Boulder:
Westview Press, 2016), 68-71.
[3]
Tony Wagner, Creating Innovators: The Making of Young People
Who Will Change the World (New York: Scribner, 2012), 40-42.
[4]
John Smyth, Critical Pedagogy for Social Justice
(New York: Bloomsbury, 2011), 122-124.
[5]
Diane Ravitch, Left Back: A Century of Battles Over School
Reform (New York: Simon & Schuster, 2000), 115-117.
[6]
Ibid., 118-120.
[7]
Deborah Meier, The Power of Their Ideas: Lessons for America
from a Small School in Harlem (Boston: Beacon Press, 1995), 70-73.
[8]
John Dewey, Democracy and Education (New York:
Macmillan, 1916), 87-90.
[9]
Alfie Kohn, The Schools Our Children Deserve,
60-63.
[10]
Diane Ravitch, Left Back: A Century of Battles Over School
Reform, 150-152.
[11]
Nel Noddings, Philosophy of Education, 75-78.
[12]
Maria Montessori, The Montessori Method (New York:
Schocken Books, 1964), 88-90.
[13]
Tony Wagner, Creating Innovators, 65-67.
6.
Penutup
Filsafat pendidikan progresif menawarkan perspektif
revolusioner dalam dunia pendidikan modern, menekankan pembelajaran berbasis
pengalaman, pengembangan individu, dan penerapan nilai-nilai demokrasi.
Prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh seperti John Dewey, Maria
Montessori, dan Nel Noddings menempatkan siswa sebagai pusat dari proses
pembelajaran, menjadikan pendidikan sebagai proses yang holistik dan
berkelanjutan.¹
Namun, filsafat ini bukan tanpa tantangan.
Resistensi terhadap perubahan, keterbatasan sumber daya, dan kesulitan dalam
evaluasi menjadi hambatan yang sering dihadapi dalam implementasi pendidikan
progresif.² Kritik terhadap efektivitas metode ini, terutama dalam memberikan
struktur yang cukup dan memastikan kesetaraan akses, menjadi pengingat bahwa
setiap pendekatan pendidikan harus dilihat dalam konteks yang lebih luas.³
Meskipun demikian, filsafat pendidikan progresif
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembaruan pendidikan, terutama
dalam dunia yang terus berubah dengan tantangan globalisasi dan perkembangan
teknologi. Pendekatan ini mendorong siswa untuk menjadi pemikir kritis,
kreatif, dan berdaya dalam menghadapi dinamika kehidupan modern.⁴
Dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut,
penting bagi para pendidik, pembuat kebijakan, dan komunitas untuk
berkolaborasi dalam menciptakan lingkungan yang mendukung prinsip-prinsip
pendidikan progresif. Peningkatan pelatihan guru, investasi dalam teknologi
pendidikan, dan adopsi sistem evaluasi yang lebih inklusif dapat menjadi
langkah konkret untuk memperkuat penerapan filsafat ini dalam praktik
sehari-hari.⁵
Sebagai kesimpulan, filsafat pendidikan progresif
tetap relevan dalam konteks pendidikan modern. Dengan mengintegrasikan
prinsip-prinsip progresif ke dalam sistem pendidikan, kita tidak hanya
membangun siswa yang lebih kompeten tetapi juga menciptakan masyarakat yang
lebih demokratis, inklusif, dan inovatif.⁶
Catatan Kaki
[1]
John Dewey, Democracy and Education (New
York: Macmillan, 1916), 45-48; Maria Montessori, The Montessori Method
(New York: Schocken Books, 1964), 65-68.
[2]
Alfie Kohn, The Schools Our Children Deserve:
Moving Beyond Traditional Classrooms and "Tougher Standards"
(Boston: Houghton Mifflin, 1999), 50-52; Diane Ravitch, Left Back: A Century
of Battles Over School Reform (New York: Simon & Schuster, 2000),
115-117.
[3]
Nel Noddings, Philosophy of Education
(Boulder: Westview Press, 2016), 70-73; Deborah Meier, The Power of Their
Ideas: Lessons for America from a Small School in Harlem (Boston: Beacon
Press, 1995), 70-73.
[4]
Tony Wagner, Creating Innovators: The Making of
Young People Who Will Change the World (New York: Scribner, 2012), 40-42;
Bernard R. Robin, “The Educational Uses of Digital Storytelling,” Journal of
Computing in Teacher Education 24, no. 3 (2008): 158-161.
[5]
John Smyth, Critical Pedagogy for Social Justice
(New York: Bloomsbury, 2011), 122-124; Diane Ravitch, Left Back: A Century
of Battles Over School Reform, 150-152.
[6]
John Dewey, Experience and Education (New
York: Kappa Delta Pi, 1938), 22-25; Nel Noddings, Philosophy of Education,
75-78.
Daftar Pustaka
Dewey, J. (1916). Democracy and education. New
York, NY: Macmillan.
Dewey, J. (1938). Experience and education.
New York, NY: Kappa Delta Pi.
Kohn, A. (1999). The schools our children
deserve: Moving beyond traditional classrooms and "tougher
standards". Boston, MA: Houghton Mifflin.
Meier, D. (1995). The power of their ideas:
Lessons for America from a small school in Harlem. Boston, MA: Beacon
Press.
Montessori, M. (1964). The Montessori method.
New York, NY: Schocken Books.
Noddings, N. (2016). Philosophy of education
(4th ed.). Boulder, CO: Westview Press.
Ravitch, D. (2000). Left back: A century of
battles over school reform. New York, NY: Simon & Schuster.
Robin, B. R. (2008). The educational uses of
digital storytelling. Journal of Computing in Teacher Education, 24(3),
158–161.
Smyth, J. (2011). Critical pedagogy for social
justice. New York, NY: Bloomsbury.
Wagner, T. (2012). Creating innovators: The
making of young people who will change the world. New York, NY: Scribner.
Sawyer, R. K. (2006). The Cambridge handbook of
the learning sciences. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar