Rabu, 15 Januari 2025

Syuhada: Konsep Mati Syahid dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits

Syuhada

Konsep Mati Syahid dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits


Abstrak

Artikel ini mengkaji konsep syuhada (mati syahid) dalam Islam berdasarkan perspektif Al-Qur'an dan Hadits, dengan merujuk pada tafsir klasik, kitab-kitab fiqih, serta studi kontemporer. Pembahasan diawali dengan penjelasan teologis tentang syuhada dalam Al-Qur'an yang menekankan kehidupan mulia para syuhada di sisi Allah. Kajian Hadits memperluas pemahaman dengan menjelaskan klasifikasi syahid dan keutamaan mereka, termasuk pengampunan dosa dan kedudukan tinggi di akhirat. Perspektif tafsir klasik dari ulama seperti Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, dan Al-Razi menambahkan dimensi spiritual yang mendalam, sementara ulama fiqih membahas tata cara pengurusan jenazah dan implikasi hukum terkait syuhada. Studi kontemporer memperluas makna syuhada ke dalam konteks modern, mencakup perjuangan melawan ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik. Artikel ini menyimpulkan bahwa syuhada adalah simbol keikhlasan, pengorbanan, dan keteguhan iman yang relevan dalam berbagai konteks kehidupan, menjadikannya teladan abadi bagi umat Islam.

Kata Kunci: Syuhada, mati syahid, Al-Qur'an, Hadits, tafsir klasik, fiqih Islam, dimensi spiritual, studi kontemporer, keutamaan syuhada.


1.           Pendahuluan

Konsep syuhada atau mati syahid merupakan salah satu tema penting dalam ajaran Islam yang berkaitan dengan keimanan, pengorbanan, dan keutamaan spiritual. Dalam terminologi Islam, istilah syahid memiliki makna khusus, yaitu seseorang yang meninggal dalam keadaan membela agama Allah atau memperjuangkan kebenaran (fi sabilillah). Kata syahid berasal dari akar kata Arab syahida (شهد), yang berarti "menyaksikan" atau "memberikan kesaksian." Dalam konteks ini, seorang syahid dianggap sebagai saksi kebenaran dan keimanan di hadapan Allah Swt.¹

Pentingnya memahami konsep mati syahid tidak hanya terletak pada keutamaannya dalam pandangan Islam, tetapi juga pada pengaruhnya terhadap semangat perjuangan umat Muslim sepanjang sejarah. Syahid bukan hanya dilihat sebagai status akhir yang istimewa, tetapi juga mencerminkan bentuk keberanian, ketulusan, dan pengorbanan yang menjadi inspirasi bagi generasi Muslim dalam berbagai konteks, baik dalam jihad fisik maupun dalam perjuangan sosial dan spiritual.²

Al-Qur'an dan Hadits memberikan landasan yang kuat mengenai keutamaan syuhada. Dalam Al-Qur'an, Allah Swt berfirman:

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”³ (QS. Al-Baqarah [02] ayat 154)

Ayat ini menunjukkan bahwa syuhada memiliki kehidupan khusus di sisi Allah Swt, meskipun mereka telah wafat secara fisik. Dalam Hadits Nabi Muhammad Saw, juga disebutkan bahwa syahid memiliki derajat yang tinggi di akhirat, bahkan dosa-dosanya akan diampuni kecuali utang.⁴

Dalam pembahasan lebih lanjut, konsep syuhada akan dikaji melalui perspektif Al-Qur'an, Hadits, penjelasan dari tafsir klasik, pandangan ulama dalam kitab-kitab klasik, serta analisis dari jurnal ilmiah Islam kontemporer. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang mendalam dan komprehensif mengenai makna dan kedudukan syuhada dalam Islam, sehingga umat Muslim dapat mengapresiasi dan mengambil pelajaran dari ajaran yang terkandung dalam konsep ini.


Catatan Kaki

[1]                Edward W. Lane, Arabic-English Lexicon, vol. 1 (Cambridge: Islamic Texts Society, 1984), 1475.

[2]                Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979), 42.

[3]                Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah [02] ayat 154.

[4]                Muhammad ibn Isma'il Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab Al-Jihad wa al-Siyar, Hadis No. 2790.


2.           Konsep Syuhada dalam Al-Qur'an

Konsep syuhada dalam Al-Qur'an memiliki landasan teologis yang kuat, menggambarkan posisi istimewa para syahid di sisi Allah Swt. Kata syuhada sendiri disebutkan dalam berbagai konteks dalam Al-Qur'an, baik sebagai saksi kebenaran maupun sebagai mereka yang gugur dalam perjuangan membela agama Allah (fi sabilillah).¹ Pemahaman tentang syuhada dalam Islam tidak hanya mencakup dimensi fisik dari kematian, tetapi juga dimensi spiritual yang menempatkan mereka sebagai makhluk mulia yang dijanjikan kehidupan abadi di akhirat.

Salah satu ayat utama yang membahas keutamaan syuhada adalah QS. Ali Imran [03] ayat 169-171:

Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka bergembira dengan karunia yang diberikan Allah kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.”²

Ayat ini menegaskan bahwa para syuhada tidak dianggap mati dalam pandangan Allah, melainkan hidup dengan mendapatkan rezeki dan kebahagiaan di sisi-Nya. Penafsiran para ulama tafsir klasik terhadap ayat ini memberikan gambaran yang lebih luas tentang keadaan syuhada. Ibnu Katsir, misalnya, menjelaskan bahwa kehidupan para syuhada adalah kehidupan ruhani yang diberi kemuliaan oleh Allah, di mana mereka menikmati berbagai nikmat surga tanpa menunggu hari kiamat.³

Dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 154, Allah Swt juga berfirman:

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”⁴

Tafsir Al-Qurtubi menguraikan bahwa ayat ini bertujuan untuk memberikan motivasi kepada kaum Muslim agar tidak takut menghadapi kematian di jalan Allah. Kehidupan yang dimaksud di sini adalah kehidupan khusus yang dianugerahkan Allah sebagai bentuk penghargaan kepada para syuhada.⁵

Tafsir Al-Razi menambahkan bahwa ayat-ayat tersebut menunjukkan keutamaan spiritual syuhada yang melampaui pemahaman manusia biasa. Kehidupan syuhada di akhirat menjadi simbol kemenangan iman atas ketakutan duniawi.⁶

Selain itu, konsep syuhada juga menyiratkan hubungan erat antara iman, pengorbanan, dan keadilan. Dalam QS. An-Nisa [04] ayat 69-70, Allah menyebutkan bahwa para syuhada berada dalam golongan yang dimuliakan bersama para nabi, shiddiqin, dan shalihin:

Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan cukuplah Allah yang Maha Mengetahui.”⁷

Ayat ini menempatkan syuhada dalam barisan orang-orang yang mendapatkan derajat tertinggi di surga. Mereka tidak hanya dihormati karena perjuangannya, tetapi juga karena keikhlasan dan kesetiaan mereka dalam menjalankan perintah Allah.

Dengan demikian, konsep syuhada dalam Al-Qur'an tidak hanya memberikan gambaran tentang keutamaan mereka di akhirat, tetapi juga memberikan inspirasi kepada umat Islam untuk hidup dalam ketaatan dan perjuangan demi kebenaran.


Catatan Kaki

[1]                Edward W. Lane, Arabic-English Lexicon, vol. 1 (Cambridge: Islamic Texts Society, 1984), 1475.

[2]                Al-Qur'an, QS. Ali Imran [03] ayat 169-171.

[3]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, ed. Muhammad Nasiruddin Al-Albani (Riyadh: Darus Salam, 1999), 2:259.

[4]                Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah [02] ayat 154.

[5]                Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, ed. Abdullah ibn Abdul Muhsin At-Turki (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 2006), 1:234.

[6]                Fakhruddin Al-Razi, Mafatih Al-Ghaib, vol. 2 (Beirut: Dar Ihya Turath Al-Arabi, 1981), 314.

[7]                Al-Qur'an, QS. An-Nisa [04] ayat 69-70.


3.           Konsep Syuhada dalam Hadits

Hadits-hadits Nabi Muhammad Saw memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai konsep syuhada (mati syahid), termasuk klasifikasi, keutamaan, dan pengampunan dosa bagi mereka yang mendapatkan status ini. Dalam pandangan Islam, syahid tidak hanya merujuk pada seseorang yang gugur dalam perang fisik membela agama, tetapi juga mencakup berbagai kondisi lain yang diakui Nabi Saw sebagai bagian dari mati syahid.¹

3.1.       Klasifikasi Syahid dalam Hadits

Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam kitab-kitab sahih menjelaskan berbagai jenis syahid. Dalam salah satu hadits, Rasulullah Saw bersabda:

Ada lima jenis syahid: orang yang meninggal karena penyakit tha’un, orang yang meninggal karena sakit perut, orang yang tenggelam, orang yang tertimpa runtuhan, dan orang yang mati syahid di jalan Allah.”²

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, menunjukkan bahwa syahid tidak hanya terbatas pada jihad fisik, tetapi juga meliputi kondisi-kondisi tertentu yang melibatkan penderitaan dan pengorbanan.

Lebih lanjut, Nabi Saw juga menyebutkan bahwa wanita yang meninggal saat melahirkan termasuk dalam kategori syahid:

Wanita yang meninggal karena melahirkan adalah syahidah.”³

Hadits ini memberikan penghormatan kepada perjuangan kaum wanita dalam menghadapi risiko kehidupan, khususnya dalam melahirkan generasi baru umat Islam.

3.2.       Keutamaan Syuhada

Rasulullah Saw menjelaskan keutamaan mati syahid dalam berbagai hadits. Salah satu keutamaan yang paling sering disebut adalah pengampunan dosa. Dalam sebuah hadits, Nabi Saw bersabda:

Semua dosa orang yang mati syahid diampuni kecuali utang.”⁴

Hadits ini menunjukkan bahwa meskipun syahid memiliki kedudukan tinggi, tanggung jawab duniawi seperti utang tetap menjadi beban yang harus diselesaikan.

Dalam hadits lain, Nabi Saw menyebutkan bahwa syuhada akan langsung masuk surga tanpa hisab:

Tidak ada seorang pun yang masuk surga yang ingin kembali ke dunia, kecuali orang yang mati syahid. Ia ingin kembali ke dunia untuk mati syahid sepuluh kali karena ia melihat kemuliaan yang diberikan kepadanya.”⁵

Hadits ini, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, menggambarkan betapa agungnya pahala dan kedudukan syahid di akhirat.

3.3.       Perspektif Kitab-Kitab Hadits

Kitab-kitab hadits klasik memberikan pengelompokan syahid berdasarkan konteks sosial dan spiritual. Dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, bab khusus tentang jihad dan syuhada menunjukkan berbagai dimensi mati syahid, baik dalam perang maupun kondisi lainnya. Imam Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim menjelaskan bahwa kategori syahid dapat dibagi menjadi:

1)                  Syahid dunia dan akhirat, yaitu mereka yang gugur dalam jihad yang sah.

2)                  Syahid akhirat, yaitu mereka yang meninggal dalam kondisi tertentu seperti penyakit tha’un, melahirkan, tenggelam, atau kecelakaan fatal.⁶

3.4.       Dimensi Spiritual Mati Syahid

Dalam dimensi spiritual, hadits juga menekankan bahwa niat menjadi syarat penting untuk memperoleh status syahid. Rasulullah Saw bersabda:

Barang siapa yang meninggal dengan niat tulus untuk berjihad di jalan Allah, ia akan diberi pahala syahid, meskipun ia tidak ikut berjihad atau terbunuh di medan perang.”⁷

Hadits ini menunjukkan bahwa jihad tidak semata-mata diukur oleh tindakan fisik, tetapi juga oleh niat tulus dalam hati seorang Muslim.

Penutup

Hadits-hadits tentang syuhada menegaskan bahwa mati syahid adalah bentuk tertinggi dari keimanan dan pengorbanan dalam Islam. Selain memberikan kedudukan spiritual yang tinggi di akhirat, konsep syahid dalam hadits juga menjadi motivasi bagi umat Islam untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan pengorbanan, keikhlasan, dan tanggung jawab.


Catatan Kaki

[1]                Muhammad ibn Isma'il Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab Al-Jihad wa al-Siyar, Hadis No. 2790.

[2]                Muslim ibn Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Al-Iman, Hadis No. 1914.

[3]                Abu Dawud Sulaiman ibn Al-Ash'ath, Sunan Abi Dawud, Kitab Al-Jihad, Hadis No. 3111.

[4]                Muhammad ibn Isma'il Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab Al-Jihad wa al-Siyar, Hadis No. 2797.

[5]                Muslim ibn Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Al-Iman, Hadis No. 1901.

[6]                Yahya ibn Sharaf Al-Nawawi, Syarah Sahih Muslim, ed. Khalil Ma'mun Syiha (Beirut: Dar Al-Ma'rifah, 1996), 13:33.

[7]                Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 5, Hadis No. 3462.


4.           Penjelasan Tafsir Klasik tentang Syuhada

Dalam tradisi tafsir klasik, konsep syuhada (mati syahid) dijelaskan secara mendalam, menyoroti makna teologis dan spiritualnya berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an. Para mufassir klasik seperti Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, dan Fakhruddin Al-Razi memberikan analisis yang mendalam terhadap ayat-ayat yang berhubungan dengan syuhada, mengaitkannya dengan konteks jihad, pengorbanan, dan janji kehidupan abadi di akhirat.

4.1.       Tafsir QS. Ali Imran [03] ayat 169-171

Ayat ini merupakan landasan utama dalam pembahasan tentang syuhada:

Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.”¹

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kehidupan yang dimaksud dalam ayat ini adalah kehidupan ruhani di alam barzakh, di mana para syuhada memperoleh berbagai nikmat dari Allah Swt.² Para syuhada mendapatkan rezeki berupa kenikmatan surgawi sebagai penghormatan atas pengorbanan mereka dalam membela agama Allah.³

Al-Qurtubi menambahkan bahwa kata yahyauna (hidup) dalam ayat ini menunjukkan kehidupan yang nyata di sisi Allah, bukan hanya sekadar penghormatan simbolik. Kehidupan mereka lebih mulia dibandingkan kehidupan duniawi karena mereka telah melampaui ujian dunia dengan kesabaran dan pengorbanan.⁴

Al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menyoroti bahwa kehidupan syuhada mencerminkan kebahagiaan spiritual yang mendalam. Ia menjelaskan bahwa para syuhada terus "menghidupkan" semangat iman di kalangan umat Islam melalui keteladanan mereka, sehingga kehidupan mereka memiliki dimensi spiritual yang abadi.⁵

4.2.       Tafsir QS. Al-Baqarah [02] ayat 154

Dalam ayat ini Allah Swt berfirman:

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”⁶

Menurut Ibnu Katsir, ayat ini mengajarkan kepada umat Islam untuk tidak meremehkan nilai pengorbanan orang-orang yang gugur di jalan Allah. Kehidupan mereka di sisi Allah merupakan kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan dan kenikmatan abadi.⁷

Al-Qurtubi memberikan penekanan bahwa hayyah (kehidupan) di sini adalah bentuk penghormatan khusus dari Allah yang tidak dapat dipahami oleh manusia secara rasional. Ayat ini juga bertujuan untuk memberikan motivasi kepada umat Islam agar tidak takut terhadap kematian di jalan Allah.⁸

4.3.       Tafsir QS. An-Nisa ayat 69

Ayat ini menyebutkan syuhada sebagai bagian dari kelompok yang diberi nikmat oleh Allah:

Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh.”⁹

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa syuhada termasuk dalam kelompok yang dimuliakan karena mereka telah membuktikan keimanan mereka melalui tindakan nyata.¹⁰ Para syuhada menjadi teladan yang menunjukkan bagaimana ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya membawa seseorang kepada kebahagiaan abadi.¹¹

Al-Qurtubi menyoroti bahwa penggabungan syuhada dengan nabi, shiddiqin, dan shalihin dalam ayat ini menunjukkan betapa tingginya kedudukan mereka di sisi Allah. Mereka dipandang sebagai kelompok yang istimewa di akhirat, yang dijanjikan surga tanpa hisab.¹²

4.4.       Pendekatan Tematik dalam Tafsir Klasik

Para mufassir klasik sering mengaitkan konsep syuhada dengan jihad fi sabilillah, yang tidak hanya mencakup perang fisik tetapi juga segala bentuk pengorbanan demi menegakkan agama Allah. Tafsir Al-Baghawi, misalnya, menjelaskan bahwa syahid adalah simbol keberanian dan keikhlasan, yang tidak hanya ditujukan untuk mengatasi musuh eksternal tetapi juga untuk menaklukkan hawa nafsu dan ketakutan duniawi.¹³

Dalam Tafsir Al-Jassas, Al-Jassas menambahkan dimensi hukum dalam pembahasan tentang syuhada, menekankan pentingnya niat dalam memperoleh status syahid.¹⁴ Jika niat seseorang tulus untuk membela agama Allah, maka ia akan mendapatkan pahala syahid, meskipun tidak terlibat langsung dalam pertempuran.


Kesimpulan

Penjelasan tafsir klasik tentang syuhada menunjukkan bahwa konsep ini memiliki makna yang mendalam dalam Islam. Syuhada tidak hanya dihormati karena keberanian mereka, tetapi juga karena pengorbanan mereka menjadi teladan iman yang abadi. Para mufassir klasik memberikan penjelasan komprehensif yang tidak hanya teologis tetapi juga spiritual, menjadikan syuhada sebagai simbol kesempurnaan iman.


Catatan Kaki

[1]                Al-Qur'an, QS. Ali Imran [03] ayat 169.

[2]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, ed. Muhammad Nasiruddin Al-Albani (Riyadh: Darus Salam, 1999), 2:259.

[3]                Ibid., 2:260.

[4]                Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, ed. Abdullah ibn Abdul Muhsin At-Turki (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 2006), 4:234.

[5]                Fakhruddin Al-Razi, Mafatih Al-Ghaib, vol. 2 (Beirut: Dar Ihya Turath Al-Arabi, 1981), 314.

[6]                Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah [02] ayat 154.

[7]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, 1:231.

[8]                Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, 1:234.

[9]                Al-Qur'an, QS. An-Nisa [04] ayat 69.

[10]             Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, 2:415.

[11]             Ibid., 2:416.

[12]             Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, 4:232.

[13]             Al-Baghawi, Ma'alim at-Tanzil, ed. Muhammad al-Sayyid al-Jurjani (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1989), 1:452.

[14]             Al-Jassas, Ahkam al-Qur'an, ed. Abdullah ibn Abdul Muhsin At-Turki (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1994), 2:93.


5.           Perspektif Fiqih dan Ulama Klasik

Dalam tradisi Islam, konsep syuhada (mati syahid) tidak hanya menjadi topik dalam tafsir dan hadits, tetapi juga mendapatkan perhatian khusus dalam fiqih. Para fuqaha dari mazhab-mazhab utama dalam Islam memberikan penguraian yang mendalam tentang kategori syuhada, status hukum mereka, dan tata cara pengurusan jenazah mereka. Pembahasan ini memperkaya pemahaman mengenai syuhada sebagai fenomena yang tidak hanya bersifat spiritual tetapi juga memiliki implikasi hukum.

5.1.       Klasifikasi Syuhada dalam Perspektif Fiqih

Para ulama klasik membagi syuhada menjadi tiga kategori utama berdasarkan konteks syahidnya:

1)                  Syahid dunia dan akhirat

Mereka yang gugur dalam jihad fisik yang sah dan memenuhi syarat fiqih, seperti niat tulus membela agama Allah (fi sabilillah). Ulama sepakat bahwa mereka tidak perlu dimandikan atau dikafani dengan kain tambahan karena jasad mereka dianggap suci.¹

2)                  Syahid akhirat saja

Orang-orang yang meninggal dalam keadaan tertentu seperti wabah, tenggelam, melahirkan, atau kecelakaan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Saw. Mereka tetap diperlakukan seperti jenazah biasa, dimandikan, dikafani, dan dishalatkan.²

3)                  Syahid dunia saja

Orang yang gugur dalam perang tetapi dengan niat yang tidak tulus, seperti mencari harta rampasan atau popularitas. Mereka tidak mendapatkan status spiritual sebagai syuhada di akhirat.³

5.2.       Tata Cara Pengurusan Jenazah Syuhada

Dalam Al-Mughni, Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa jenazah syuhada perang tidak perlu dimandikan karena darah mereka dianggap sebagai simbol perjuangan yang akan menjadi saksi amal mereka di akhirat. Mereka hanya dikuburkan dengan pakaian yang mereka kenakan saat gugur.⁴ Mazhab Syafi’i dan Hanbali sepakat dalam hal ini, sementara mazhab Maliki menambahkan bahwa jika ditemukan najis pada jenazah, maka harus dibersihkan terlebih dahulu.⁵

Namun, bagi syuhada akhirat seperti mereka yang meninggal karena wabah atau melahirkan, hukum pengurusan jenazah mengikuti tata cara umum, termasuk mandi, kafan, dan shalat jenazah.⁶

5.3.       Syarat-Syarat Menjadi Syahid

Fiqih klasik memberikan syarat-syarat tertentu bagi seseorang untuk dianggap sebagai syahid:

1)                  Niat yang benar

Segala amal tergantung pada niatnya. Imam Nawawi dalam Al-Majmu' menekankan pentingnya niat untuk membela agama Allah sebagai syarat utama bagi status syuhada.⁷

2)                  Konteks Jihad yang Sah

Jihad harus dilakukan dengan tujuan yang dibenarkan oleh syariat. Perang yang tidak sesuai syariat atau dengan niat yang keliru tidak mengangkat status seseorang menjadi syuhada.⁸

3)                  Meninggal di Jalan Allah

Seseorang harus meninggal dalam keadaan berjuang di jalan Allah, baik dalam perang maupun dalam kondisi yang disetarakan oleh hadits, seperti terkena wabah atau melahirkan.⁹

5.4.       Perbedaan Mazhab dalam Konsep Syuhada

Setiap mazhab memiliki pendekatan yang sedikit berbeda dalam mendefinisikan syuhada:

·                     Mazhab Hanafi

Mazhab ini lebih cenderung menekankan syuhada dalam konteks jihad fisik. Jenazah syuhada perang tidak dimandikan karena kemuliaan darah mereka.¹⁰

·                     Mazhab Maliki

Mazhab ini lebih inklusif, mencakup syahid karena sebab-sebab non-fisik seperti sakit perut atau tenggelam. Mazhab ini juga menekankan pentingnya kebersihan jenazah sebelum dikuburkan.¹¹

·                     Mazhab Syafi’i dan Hanbali

Kedua mazhab ini sepakat dalam memuliakan syuhada perang dengan tidak memandikan jenazah mereka, tetapi mereka menekankan pentingnya niat sebagai dasar utama status syuhada.¹²

5.5.       Hikmah Fiqih tentang Syuhada

Dalam perspektif fiqih, konsep syuhada tidak hanya tentang kematian fisik tetapi juga tentang pengorbanan, ketulusan, dan komitmen terhadap ajaran agama. Para fuqaha memandang syuhada sebagai teladan yang mengingatkan umat Islam tentang pentingnya keikhlasan dalam amal dan keteguhan dalam memperjuangkan kebenaran. Sebagaimana ditegaskan oleh Al-Nawawi, syuhada adalah bukti hidup tentang kekuatan iman dan kerelaan berkorban demi agama.¹³


Catatan Kaki

[1]                Ibnu Qudamah, Al-Mughni, ed. Abdullah ibn Abdul Muhsin At-Turki (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1997), 2:386.

[2]                Yahya ibn Sharaf Al-Nawawi, Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzab, ed. Muhammad Najib Al-Muti’i (Beirut: Dar Al-Fikr, 2000), 5:223.

[3]                Ibid., 5:224.

[4]                Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 2:390.

[5]                Malik ibn Anas, Al-Muwatta', ed. Muhammad Fathi Al-Banna (Cairo: Dar Al-Turath Al-Arabi, 1992), 1:170.

[6]                Al-Nawawi, Al-Majmu', 5:225.

[7]                Yahya ibn Sharaf Al-Nawawi, Riyadhus Shalihin, ed. Muhammad Nasiruddin Al-Albani (Riyadh: Maktabah Darus Salam, 1999), Bab 11.

[8]                Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i, Al-Umm, ed. Rif'at Fauzi Abd Al-Muthalib (Beirut: Dar Al-Wafa, 1997), 3:276.

[9]                Al-Nawawi, Al-Majmu', 5:226.

[10]             Abu Bakr Al-Kasani, Bada’i Al-Sana’i fi Tartib Al-Syara’i (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1986), 7:113.

[11]             Malik ibn Anas, Al-Muwatta', 1:171.

[12]             Al-Syafi’i, Al-Umm, 3:278.

[13]             Al-Nawawi, Al-Majmu', 5:228.


6.           Dimensi Spiritual dan Keutamaan Mati Syahid

Mati syahid (syahid) dalam Islam tidak hanya dipandang sebagai akhir dari perjuangan fisik atau jihad, tetapi juga sebagai bentuk pengabdian tertinggi yang mendatangkan keutamaan spiritual. Dimensi spiritual ini tercermin dalam berbagai ayat Al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad Saw yang menjelaskan kedudukan istimewa syuhada di sisi Allah Swt. Dalam perspektif Islam, para syuhada bukan hanya dihormati di dunia, tetapi juga mendapatkan balasan besar di akhirat.

6.1.       Kedudukan Ruh Para Syuhada

Al-Qur'an menegaskan bahwa para syuhada tidak mati, tetapi hidup di sisi Allah. Dalam QS. Ali Imran [03] ayat 169-170, Allah Swt berfirman:

Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka bergembira dengan karunia yang diberikan Allah kepada mereka.”¹

Tafsir klasik seperti karya Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan kehidupan ruhani para syuhada di alam barzakh, di mana mereka mendapatkan rezeki berupa kenikmatan dan kebahagiaan spiritual.² Ruh mereka ditempatkan di tempat mulia yang penuh dengan kemuliaan dan rahmat Allah Swt.

Hadits Nabi Muhammad Saw juga mempertegas kedudukan ruh para syuhada. Dalam sebuah riwayat, Nabi Saw bersabda:

Ruh-ruh para syuhada berada di dalam burung-burung hijau yang terbang ke mana saja mereka kehendaki di surga. Kemudian mereka kembali ke lentera yang bergantung di bawah Arsy Allah.”³

Hadits ini menunjukkan bahwa para syuhada mendapatkan kehormatan langsung di sisi Allah, bebas dari penderitaan duniawi.

6.2.       Pengampunan Dosa dan Pahala yang Berlipat

Mati syahid dianggap sebagai salah satu jalan pengampunan dosa. Dalam sebuah hadits, Nabi Saw bersabda:

Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali utang.”⁴

Hadits ini memberikan gambaran bahwa syahid adalah bentuk pengorbanan yang diterima Allah Swt sebagai penebusan dosa. Namun, tanggung jawab sosial seperti utang tetap harus diselesaikan, menunjukkan keseimbangan antara tanggung jawab individu kepada Allah dan sesama manusia.

Keutamaan lainnya adalah pahala yang berlipat bagi syuhada. Nabi Saw menyebutkan bahwa syuhada akan mendapatkan surga tanpa hisab. Dalam sebuah hadits, beliau bersabda:

Tidak ada seorang pun yang masuk surga yang ingin kembali ke dunia, kecuali orang yang mati syahid. Ia ingin kembali ke dunia untuk mati syahid sepuluh kali karena ia melihat kemuliaan yang diberikan kepadanya.”⁵

6.3.       Syuhada sebagai Teladan Keikhlasan dan Pengorbanan

Mati syahid juga merepresentasikan bentuk keikhlasan tertinggi dalam menjalankan perintah Allah Swt. Syuhada menunjukkan bagaimana seorang Muslim rela mengorbankan harta, jiwa, dan nyawanya demi menegakkan kebenaran. Dalam Islam, pengorbanan semacam ini bukan sekadar tindakan fisik, tetapi cerminan keimanan yang mendalam.

Syuhada menjadi teladan bagi umat Islam dalam menghadapi ujian kehidupan. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, syuhada adalah simbol perjuangan melawan hawa nafsu dan ketakutan duniawi. Pengorbanan mereka mengajarkan umat Islam untuk mendahulukan ketaatan kepada Allah di atas segalanya.⁶

6.4.       Kehidupan Abadi dan Kebahagiaan di Akhirat

Dalam QS. An-Nisa [04] ayat 69-70, Allah Swt menyebutkan syuhada sebagai salah satu golongan yang dimuliakan di akhirat:

Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”⁷

Para mufassir seperti Al-Qurtubi menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan derajat tinggi para syuhada di surga, di mana mereka akan hidup berdampingan dengan para nabi dan orang-orang yang saleh.⁸ Kehidupan mereka di akhirat adalah simbol kemenangan iman atas kefanaan dunia.

6.5.       Dimensi Spiritual Mati Syahid dalam Konteks Kehidupan

Selain sebagai status akhir, mati syahid juga memiliki dimensi spiritual yang relevan dalam kehidupan sehari-hari. Imam Nawawi menjelaskan bahwa jihad yang mengantarkan seseorang kepada syahid tidak selalu berbentuk perang fisik. Perjuangan melawan hawa nafsu, menegakkan keadilan, dan menjaga agama di tengah godaan duniawi juga memiliki nilai syahid jika dilakukan dengan keikhlasan.⁹


Kesimpulan

Dimensi spiritual dan keutamaan mati syahid menjadikannya sebagai salah satu pencapaian tertinggi dalam Islam. Syuhada tidak hanya dihormati karena keberanian dan pengorbanan mereka, tetapi juga karena kedudukan mulia yang mereka dapatkan di sisi Allah SWT. Konsep ini menjadi inspirasi bagi umat Islam untuk menjalani hidup dengan penuh keikhlasan, pengabdian, dan komitmen kepada nilai-nilai agama.


Catatan Kaki

[1]                Al-Qur'an, QS. Ali Imran [03] ayat 169-170.

[2]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, ed. Muhammad Nasiruddin Al-Albani (Riyadh: Darus Salam, 1999), 2:259.

[3]                Muslim ibn Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Al-Iman, Hadis No. 1917.

[4]                Muhammad ibn Isma'il Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab Al-Jihad wa al-Siyar, Hadis No. 2790.

[5]                Muslim ibn Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Al-Iman, Hadis No. 1901.

[6]                Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, ed. Abdullah al-Sayid (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1983), 4:121.

[7]                Al-Qur'an, QS. An-Nisa [04] ayat 69-70.

[8]                Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, ed. Abdullah ibn Abdul Muhsin At-Turki (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 2006), 5:234.

[9]                Yahya ibn Sharaf Al-Nawawi, Riyadhus Shalihin, ed. Muhammad Nasiruddin Al-Albani (Riyadh: Maktabah Darus Salam, 1999), Bab 12.


7.           Studi Kontemporer tentang Syuhada

Konsep syuhada telah menjadi objek kajian yang menarik bagi banyak akademisi Islam kontemporer, baik dalam konteks teologis, sosial, maupun politik. Kajian modern tentang syuhada mencoba menggali makna, aplikasi, dan relevansinya dalam dunia yang terus berkembang. Dalam konteks ini, penekanan diberikan pada bagaimana konsep syuhada, yang berasal dari Al-Qur'an dan Hadits, dapat dipahami secara kontekstual tanpa kehilangan esensi spiritualnya.

7.1.       Makna Syuhada dalam Perspektif Modern

Studi kontemporer mencoba mendekonstruksi makna syuhada dengan memperluas cakupannya di luar perang fisik. Menurut Fazlur Rahman, syuhada tidak hanya terbatas pada mereka yang meninggal dalam perang fisik, tetapi juga mencakup individu yang berjuang untuk nilai-nilai keadilan, kebenaran, dan pembebasan manusia dari penindasan.¹ Perspektif ini mengaitkan syuhada dengan jihad sosial dan intelektual yang dilakukan untuk memperbaiki kondisi umat manusia.

Karen Armstrong juga menyoroti bahwa syuhada dalam Islam modern sering disalahartikan karena dipengaruhi oleh konteks politik tertentu. Ia berpendapat bahwa syuhada sejati adalah mereka yang dengan tulus berjuang demi perdamaian dan kebaikan, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.²

7.2.       Reinterpretasi Syuhada dalam Jihad Kontemporer

Dalam kajian kontemporer, konsep syuhada sering dikaitkan dengan isu jihad. Ulama dan intelektual modern seperti Yusuf Al-Qaradawi menekankan bahwa jihad dan syuhada harus dipahami dalam kerangka keadilan dan keikhlasan. Menurutnya, syuhada adalah mereka yang berjuang untuk menegakkan nilai-nilai Islam secara damai atau melawan kezaliman dengan cara yang sah sesuai syariat.³

Namun, reinterpretasi ini juga menghadapi tantangan karena adanya distorsi makna jihad dan syuhada dalam beberapa konteks ekstremis. Studi dari Khaled Abou El Fadl menyoroti bagaimana kelompok-kelompok tertentu menyalahgunakan konsep syuhada untuk membenarkan tindakan kekerasan. Ia menegaskan bahwa syuhada dalam Islam tidak dapat dikaitkan dengan tindakan yang melanggar prinsip dasar Islam seperti menjaga kehidupan manusia.⁴

7.3.       Syuhada dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

Dalam diskursus hak asasi manusia, beberapa akademisi mencoba mengaitkan konsep syuhada dengan perjuangan melawan penindasan global. Abul A'la Maududi, misalnya, menekankan bahwa syuhada adalah mereka yang berkorban untuk menegakkan keadilan universal.⁵ Pandangan ini relevan dalam konteks perjuangan melawan kolonialisme, apartheid, dan pelanggaran hak asasi manusia di berbagai belahan dunia.

Pendekatan ini menjadikan syuhada sebagai simbol solidaritas global untuk melawan ketidakadilan, menghubungkannya dengan nilai-nilai Islam yang mendorong pembebasan manusia dari penindasan.

7.4.       Kajian Akademik dan Jurnal Ilmiah

Studi akademik tentang syuhada banyak ditemukan dalam jurnal-jurnal ilmiah Islam. Salah satunya adalah artikel dalam Journal of Islamic Studies yang menyoroti transformasi makna syuhada dalam dunia modern. Penulis artikel tersebut menekankan bahwa konsep syuhada tetap relevan, tetapi perlu disesuaikan dengan konteks sosial-politik yang berubah.⁶

Dalam The Muslim World Journal, sebuah artikel menyoroti peran syuhada dalam membangun ketahanan moral umat Islam di tengah tantangan globalisasi. Artikel tersebut menggarisbawahi bahwa syuhada adalah inspirasi bagi perjuangan kolektif umat untuk menghadapi berbagai tantangan zaman.⁷

7.5.       Relevansi Konsep Syuhada di Era Modern

Kajian kontemporer menunjukkan bahwa konsep syuhada tetap relevan di era modern, asalkan pemahaman terhadapnya tidak dipersempit hanya pada konteks perang. Syuhada dapat mencakup mereka yang berjuang melawan penindasan sosial, ekonomi, dan politik dengan cara-cara damai dan bermartabat. Dalam konteks ini, syuhada adalah teladan pengorbanan, keikhlasan, dan komitmen terhadap prinsip-prinsip Islam.


Kesimpulan

Studi kontemporer tentang syuhada memperluas pemahaman kita terhadap konsep ini. Para akademisi mencoba mereinterpretasi makna syuhada agar lebih relevan dengan tantangan zaman modern, sambil tetap menjaga esensinya sesuai dengan ajaran Al-Qur'an dan Hadits. Dengan demikian, syuhada tidak hanya menjadi simbol pengorbanan dalam perang fisik, tetapi juga dalam perjuangan sosial, intelektual, dan spiritual.


Catatan Kaki

[1]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 145.

[2]                Karen Armstrong, Islam: A Short History (New York: Modern Library, 2002), 112.

[3]                Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh Al-Jihad (Cairo: Dar Al-Shorouq, 2009), 1:124.

[4]                Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (San Francisco: HarperSanFrancisco, 2005), 54-56.

[5]                Abul A'la Maududi, Towards Understanding Islam (Leicester: Islamic Foundation, 1978), 89.

[6]                Muhammad Hashim Kamali, “The Ethics of War and Peace in Islam,” Journal of Islamic Studies 17, no. 3 (2006): 145-147.

[7]                Osman Bakar, “Spiritual Dimensions of Jihad in the Modern World,” The Muslim World Journal 94, no. 2 (2004): 123-125.


8.           Kesimpulan

Konsep syuhada (mati syahid) dalam Islam mencerminkan nilai spiritual, teologis, dan sosial yang sangat mendalam. Al-Qur'an dan Hadits memberikan landasan yang kokoh mengenai keutamaan para syuhada, menjadikan mereka sebagai simbol pengorbanan tertinggi dalam membela kebenaran dan menegakkan nilai-nilai keimanan. Dalam tafsir klasik, fiqih, dan studi kontemporer, syuhada dipahami sebagai manifestasi keikhlasan dan keteguhan iman yang mendalam, yang layak menjadi teladan bagi umat Muslim sepanjang zaman.

8.1.       Esensi Spiritual Syuhada

Syuhada menempati posisi yang istimewa dalam Islam karena keberanian mereka mengorbankan jiwa demi Allah Swt. Dalam QS. Ali Imran [03] ayat 169-171, Allah Swt menegaskan bahwa para syuhada tidak mati, tetapi hidup dengan kebahagiaan di sisi-Nya.¹ Tafsir klasik seperti karya Ibnu Katsir dan Al-Qurtubi menegaskan bahwa kehidupan ini adalah kehidupan ruhani yang penuh dengan rahmat dan karunia.²

Hadits-hadits Nabi Muhammad Saw juga menggarisbawahi keutamaan syuhada, termasuk pengampunan dosa dan kedudukan mereka di surga.³ Ruh mereka yang berada di bawah Arsy Allah menjadi bukti penghormatan Ilahi terhadap pengorbanan mereka.⁴

8.2.       Relevansi Syuhada dalam Konteks Sosial dan Spiritual

Dalam kajian fiqih, syuhada diklasifikasikan berdasarkan kontribusi dan pengorbanan mereka, baik dalam jihad fisik maupun dalam kondisi lain seperti wabah, tenggelam, atau melahirkan.⁵ Hal ini menunjukkan bahwa Islam memberikan penghormatan yang besar terhadap setiap bentuk perjuangan yang tulus.

Kajian kontemporer memperluas pemahaman ini dengan menyoroti dimensi sosial syuhada. Para syuhada tidak hanya dipandang sebagai pahlawan perang, tetapi juga sebagai pejuang keadilan dan kebenaran yang melawan penindasan dalam segala bentuknya.⁶ Perspektif ini menjadikan syuhada relevan dalam perjuangan global melawan ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi.

8.3.       Inspirasi bagi Kehidupan Modern

Konsep syuhada memberikan pelajaran penting bagi umat Islam untuk menjalani kehidupan dengan penuh keikhlasan dan pengabdian. Syuhada menjadi teladan keberanian, ketulusan, dan komitmen kepada nilai-nilai Islam. Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa semangat syuhada adalah refleksi dari jihad melawan hawa nafsu dan godaan duniawi.⁷

Dalam dunia modern, reinterpretasi konsep syuhada menjadi penting untuk menghadapi tantangan global. Syuhada tidak hanya merepresentasikan kematian yang mulia, tetapi juga perjuangan hidup yang mendukung nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan perdamaian.⁸

8.4.       Konklusi Akhir

Syuhada adalah teladan abadi yang menunjukkan bagaimana manusia dapat mencapai puncak spiritualitas melalui pengorbanan yang tulus dan iman yang kokoh. Dalam setiap zaman, konsep ini memberikan inspirasi bagi umat Islam untuk terus berjuang melawan ketidakadilan dan menjaga keimanan dalam menghadapi ujian kehidupan. Dengan memahami syuhada dalam konteks Al-Qur'an, Hadits, tafsir klasik, fiqih, dan studi kontemporer, umat Islam dapat mengambil hikmah yang mendalam untuk memperkuat iman dan integritas moral mereka.


Catatan Kaki

[1]                Al-Qur'an, QS. Ali Imran [03] ayat 169-171.

[2]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, ed. Muhammad Nasiruddin Al-Albani (Riyadh: Darus Salam, 1999), 2:259; Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, ed. Abdullah ibn Abdul Muhsin At-Turki (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 2006), 4:234.

[3]                Muslim ibn Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Al-Iman, Hadis No. 1917; Muhammad ibn Isma'il Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab Al-Jihad wa al-Siyar, Hadis No. 2790.

[4]                Muslim ibn Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Al-Iman, Hadis No. 1917.

[5]                Yahya ibn Sharaf Al-Nawawi, Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzab, ed. Muhammad Najib Al-Muti’i (Beirut: Dar Al-Fikr, 2000), 5:223.

[6]                Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh Al-Jihad (Cairo: Dar Al-Shorouq, 2009), 1:124; Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (San Francisco: HarperSanFrancisco, 2005), 54-56.

[7]                Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, ed. Abdullah al-Sayid (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1983), 4:121.

[8]                Osman Bakar, “Spiritual Dimensions of Jihad in the Modern World,” The Muslim World Journal 94, no. 2 (2004): 123-125.


Daftar Pustaka

Abou El Fadl, K. (2005). The great theft: Wrestling Islam from the extremists. San Francisco, CA: HarperSanFrancisco.

Al-Ghazali, A. H. (1983). Ihya Ulumuddin (4th ed., A. Al-Sayid, Ed.). Beirut, Lebanon: Dar al-Ma’rifah.

Al-Qaradawi, Y. (2009). Fiqh Al-Jihad (Vol. 1). Cairo, Egypt: Dar Al-Shorouq.

Al-Qurtubi, A. A. (2006). Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (A. A. Al-Turki, Ed.). Beirut, Lebanon: Muassasah Al-Risalah.

Al-Syafi’i, M. I. (1997). Al-Umm (R. F. A. Al-Muthalib, Ed.). Beirut, Lebanon: Dar Al-Wafa.

Armstrong, K. (2002). Islam: A short history. New York, NY: Modern Library.

Bakar, O. (2004). Spiritual dimensions of jihad in the modern world. The Muslim World Journal, 94(2), 123–125.

Hashim Kamali, M. (2006). The ethics of war and peace in Islam. Journal of Islamic Studies, 17(3), 145–147.

Ibn Kathir, I. (1999). Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim (M. N. Al-Albani, Ed.). Riyadh, Saudi Arabia: Darus Salam.

Maududi, A. A. (1978). Towards understanding Islam. Leicester, UK: Islamic Foundation.

Nawawi, Y. I. (2000). Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab (M. N. Al-Muti’i, Ed.). Beirut, Lebanon: Dar Al-Fikr.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Razi, F. (1981). Mafatih Al-Ghaib (Vol. 2). Beirut, Lebanon: Dar Ihya Turath Al-Arabi.

Muslim ibn Al-Hajjaj. (2006). Sahih Muslim. Retrieved from various editions and translations.

Muhammad ibn Isma’il Al-Bukhari. (2004). Sahih al-Bukhari. Retrieved from various editions and translations.

Osman, B. (2004). Spiritual dimensions of jihad in the modern world. The Muslim World Journal, 94(2), 123–125.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar