Syuhada
Konsep Mati Syahid dalam
Perspektif Al-Qur'an dan Hadits
Abstrak
Artikel ini mengkaji konsep syuhada (mati
syahid) dalam Islam berdasarkan perspektif Al-Qur'an dan Hadits, dengan
merujuk pada tafsir klasik, kitab-kitab fiqih, serta studi kontemporer.
Pembahasan diawali dengan penjelasan teologis tentang syuhada dalam Al-Qur'an
yang menekankan kehidupan mulia para syuhada di sisi Allah. Kajian Hadits
memperluas pemahaman dengan menjelaskan klasifikasi syahid dan keutamaan
mereka, termasuk pengampunan dosa dan kedudukan tinggi di akhirat. Perspektif
tafsir klasik dari ulama seperti Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, dan Al-Razi
menambahkan dimensi spiritual yang mendalam, sementara ulama fiqih membahas
tata cara pengurusan jenazah dan implikasi hukum terkait syuhada. Studi
kontemporer memperluas makna syuhada ke dalam konteks modern, mencakup
perjuangan melawan ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik. Artikel ini
menyimpulkan bahwa syuhada adalah simbol keikhlasan, pengorbanan, dan keteguhan
iman yang relevan dalam berbagai konteks kehidupan, menjadikannya teladan abadi
bagi umat Islam.
Kata Kunci: Syuhada,
mati syahid, Al-Qur'an, Hadits, tafsir klasik, fiqih Islam, dimensi spiritual,
studi kontemporer, keutamaan syuhada.
1.
Pendahuluan
Konsep syuhada
atau mati
syahid merupakan salah satu tema penting dalam ajaran Islam
yang berkaitan dengan keimanan, pengorbanan, dan keutamaan spiritual. Dalam
terminologi Islam, istilah syahid memiliki makna khusus, yaitu
seseorang yang meninggal dalam
keadaan membela agama Allah atau memperjuangkan kebenaran (fi
sabilillah). Kata syahid berasal dari akar kata Arab syahida
(شهد), yang berarti "menyaksikan"
atau "memberikan kesaksian." Dalam konteks ini, seorang syahid
dianggap sebagai saksi kebenaran dan keimanan di hadapan Allah Swt.¹
Pentingnya memahami
konsep mati syahid tidak hanya terletak pada keutamaannya dalam pandangan
Islam, tetapi juga pada pengaruhnya terhadap semangat perjuangan umat Muslim sepanjang sejarah. Syahid bukan hanya
dilihat sebagai status akhir yang istimewa, tetapi juga mencerminkan bentuk
keberanian, ketulusan, dan pengorbanan yang menjadi inspirasi bagi generasi
Muslim dalam berbagai konteks, baik dalam jihad fisik maupun dalam perjuangan
sosial dan spiritual.²
Al-Qur'an dan Hadits memberikan landasan yang kuat
mengenai keutamaan syuhada. Dalam Al-Qur'an, Allah Swt berfirman:
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap
orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu) mati; bahkan
(sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”³ (QS.
Al-Baqarah [02] ayat 154)
Ayat ini menunjukkan
bahwa syuhada memiliki kehidupan khusus di sisi Allah Swt, meskipun mereka
telah wafat secara fisik. Dalam Hadits Nabi Muhammad Saw, juga disebutkan bahwa syahid memiliki derajat yang tinggi di
akhirat, bahkan dosa-dosanya akan diampuni kecuali utang.⁴
Dalam pembahasan
lebih lanjut, konsep syuhada akan dikaji
melalui perspektif Al-Qur'an, Hadits, penjelasan dari tafsir klasik, pandangan
ulama dalam kitab-kitab klasik, serta analisis dari jurnal ilmiah Islam
kontemporer. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang mendalam
dan komprehensif mengenai makna dan kedudukan syuhada dalam Islam, sehingga
umat Muslim dapat mengapresiasi dan mengambil pelajaran dari ajaran yang
terkandung dalam konsep ini.
Catatan Kaki
[1]
Edward W. Lane, Arabic-English Lexicon, vol. 1
(Cambridge: Islamic Texts Society, 1984), 1475.
[2]
Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of
Chicago Press, 1979), 42.
[3]
Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah [02] ayat 154.
[4]
Muhammad ibn Isma'il Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab Al-Jihad wa
al-Siyar, Hadis No. 2790.
2.
Konsep Syuhada dalam Al-Qur'an
Konsep syuhada
dalam Al-Qur'an memiliki landasan teologis yang kuat, menggambarkan posisi
istimewa para syahid di sisi Allah Swt. Kata syuhada sendiri disebutkan dalam
berbagai konteks dalam Al-Qur'an, baik sebagai saksi kebenaran maupun sebagai mereka yang gugur dalam perjuangan
membela agama Allah (fi sabilillah).¹ Pemahaman tentang
syuhada dalam Islam tidak hanya mencakup dimensi fisik dari kematian, tetapi
juga dimensi spiritual yang menempatkan mereka sebagai makhluk mulia yang
dijanjikan kehidupan abadi di akhirat.
Salah satu ayat
utama yang membahas keutamaan
syuhada adalah QS. Ali Imran [03] ayat 169-171:
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang
yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya
dengan mendapat rezeki. Mereka bergembira dengan karunia yang diberikan Allah
kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal
di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada rasa takut pada mereka
dan mereka tidak bersedih hati.”²
Ayat ini menegaskan
bahwa para syuhada tidak dianggap mati dalam pandangan Allah, melainkan hidup
dengan mendapatkan rezeki dan kebahagiaan di sisi-Nya. Penafsiran para ulama
tafsir klasik terhadap ayat ini memberikan gambaran yang lebih luas tentang
keadaan syuhada. Ibnu Katsir, misalnya,
menjelaskan bahwa kehidupan para syuhada adalah kehidupan ruhani yang diberi
kemuliaan oleh Allah, di mana mereka menikmati berbagai nikmat surga tanpa
menunggu hari kiamat.³
Dalam QS. Al-Baqarah
[02] ayat 154, Allah Swt juga
berfirman:
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap
orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu) mati; bahkan
(sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”⁴
Tafsir Al-Qurtubi
menguraikan bahwa ayat ini bertujuan untuk memberikan motivasi kepada kaum
Muslim agar tidak takut menghadapi kematian di jalan Allah. Kehidupan yang
dimaksud di sini adalah kehidupan khusus yang dianugerahkan Allah sebagai
bentuk penghargaan kepada para syuhada.⁵
Tafsir Al-Razi
menambahkan bahwa ayat-ayat tersebut menunjukkan keutamaan spiritual syuhada
yang melampaui pemahaman manusia biasa. Kehidupan syuhada di akhirat menjadi simbol kemenangan iman atas
ketakutan duniawi.⁶
Selain itu, konsep
syuhada juga menyiratkan hubungan erat antara iman, pengorbanan, dan keadilan. Dalam QS. An-Nisa [04] ayat 69-70,
Allah menyebutkan bahwa para syuhada berada dalam golongan yang dimuliakan
bersama para nabi, shiddiqin, dan shalihin:
“Dan barang siapa menaati Allah dan
Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi
nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh.
Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia
dari Allah, dan cukuplah Allah yang Maha Mengetahui.”⁷
Ayat ini menempatkan
syuhada dalam barisan orang-orang yang mendapatkan derajat tertinggi di surga.
Mereka tidak hanya dihormati karena perjuangannya, tetapi juga karena keikhlasan dan kesetiaan mereka dalam
menjalankan perintah Allah.
Dengan demikian, konsep syuhada dalam Al-Qur'an tidak hanya
memberikan gambaran tentang keutamaan mereka di akhirat, tetapi juga memberikan
inspirasi kepada umat Islam untuk hidup dalam ketaatan dan perjuangan demi
kebenaran.
Catatan Kaki
[1]
Edward W. Lane, Arabic-English Lexicon, vol. 1
(Cambridge: Islamic Texts Society, 1984), 1475.
[2]
Al-Qur'an, QS. Ali Imran [03] ayat 169-171.
[3]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, ed.
Muhammad Nasiruddin Al-Albani (Riyadh: Darus Salam, 1999), 2:259.
[4]
Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah [02] ayat 154.
[5]
Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, ed.
Abdullah ibn Abdul Muhsin At-Turki (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 2006), 1:234.
[6]
Fakhruddin Al-Razi, Mafatih Al-Ghaib, vol. 2 (Beirut:
Dar Ihya Turath Al-Arabi, 1981), 314.
[7]
Al-Qur'an, QS. An-Nisa [04] ayat 69-70.
3.
Konsep Syuhada dalam Hadits
Hadits-hadits Nabi
Muhammad Saw memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai konsep syuhada
(mati syahid), termasuk klasifikasi, keutamaan, dan pengampunan dosa bagi mereka yang mendapatkan status ini. Dalam
pandangan Islam, syahid tidak hanya merujuk pada seseorang yang gugur dalam perang fisik membela agama,
tetapi juga mencakup berbagai kondisi lain yang diakui Nabi Saw sebagai bagian
dari mati syahid.¹
3.1.
Klasifikasi Syahid dalam Hadits
Hadits-hadits yang
diriwayatkan dalam kitab-kitab sahih menjelaskan berbagai jenis syahid. Dalam
salah satu hadits, Rasulullah Saw bersabda:
“Ada lima jenis syahid: orang yang meninggal
karena penyakit tha’un, orang yang meninggal karena sakit perut, orang yang
tenggelam, orang yang tertimpa runtuhan, dan orang yang mati syahid di jalan
Allah.”²
Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, menunjukkan bahwa syahid tidak hanya
terbatas pada jihad fisik, tetapi juga meliputi kondisi-kondisi tertentu yang
melibatkan penderitaan dan pengorbanan.
Lebih lanjut, Nabi Saw
juga menyebutkan bahwa wanita
yang meninggal saat melahirkan termasuk dalam kategori syahid:
“Wanita yang meninggal karena melahirkan
adalah syahidah.”³
Hadits ini
memberikan penghormatan kepada perjuangan kaum wanita dalam menghadapi risiko
kehidupan, khususnya dalam melahirkan generasi baru umat Islam.
3.2.
Keutamaan Syuhada
Rasulullah Saw menjelaskan
keutamaan mati syahid dalam berbagai hadits. Salah satu keutamaan yang paling
sering disebut adalah pengampunan dosa. Dalam sebuah hadits, Nabi Saw bersabda:
“Semua dosa orang yang mati syahid diampuni
kecuali utang.”⁴
Hadits ini
menunjukkan bahwa meskipun
syahid memiliki kedudukan tinggi, tanggung jawab duniawi seperti utang tetap
menjadi beban yang harus diselesaikan.
Dalam hadits lain,
Nabi Saw menyebutkan bahwa syuhada
akan langsung masuk surga tanpa hisab:
“Tidak ada seorang pun yang masuk surga yang
ingin kembali ke dunia, kecuali orang yang mati syahid. Ia ingin kembali ke
dunia untuk mati syahid sepuluh kali karena ia melihat kemuliaan yang diberikan
kepadanya.”⁵
Hadits ini, yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, menggambarkan betapa agungnya pahala
dan kedudukan syahid di akhirat.
3.3.
Perspektif Kitab-Kitab Hadits
Kitab-kitab hadits
klasik memberikan pengelompokan syahid berdasarkan konteks sosial dan
spiritual. Dalam Sahih Bukhari dan Sahih
Muslim, bab khusus tentang
jihad dan syuhada menunjukkan berbagai dimensi mati syahid, baik dalam perang
maupun kondisi lainnya. Imam Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim menjelaskan
bahwa kategori syahid dapat dibagi menjadi:
1)
Syahid
dunia dan akhirat, yaitu mereka yang gugur dalam jihad yang
sah.
2)
Syahid
akhirat, yaitu mereka yang meninggal dalam kondisi tertentu
seperti penyakit tha’un, melahirkan, tenggelam, atau kecelakaan fatal.⁶
3.4.
Dimensi Spiritual Mati Syahid
Dalam dimensi
spiritual, hadits juga menekankan bahwa niat menjadi syarat penting untuk memperoleh status syahid. Rasulullah Saw bersabda:
“Barang siapa yang meninggal dengan niat
tulus untuk berjihad di jalan Allah, ia akan diberi pahala syahid, meskipun ia
tidak ikut berjihad atau terbunuh di medan perang.”⁷
Hadits ini
menunjukkan bahwa jihad tidak semata-mata diukur oleh tindakan fisik, tetapi
juga oleh niat tulus dalam hati seorang
Muslim.
Penutup
Hadits-hadits
tentang syuhada menegaskan bahwa mati syahid adalah bentuk tertinggi dari
keimanan dan pengorbanan dalam Islam. Selain memberikan kedudukan spiritual yang tinggi di akhirat, konsep syahid dalam
hadits juga menjadi motivasi bagi umat Islam untuk menjalani kehidupan yang
penuh dengan pengorbanan, keikhlasan, dan tanggung jawab.
Catatan Kaki
[1]
Muhammad ibn Isma'il Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab Al-Jihad wa
al-Siyar, Hadis No. 2790.
[2]
Muslim ibn Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Al-Iman, Hadis
No. 1914.
[3]
Abu Dawud Sulaiman ibn Al-Ash'ath, Sunan Abi Dawud, Kitab Al-Jihad,
Hadis No. 3111.
[4]
Muhammad ibn Isma'il Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab Al-Jihad wa
al-Siyar, Hadis No. 2797.
[5]
Muslim ibn Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Al-Iman, Hadis
No. 1901.
[6]
Yahya ibn Sharaf Al-Nawawi, Syarah Sahih Muslim, ed. Khalil
Ma'mun Syiha (Beirut: Dar Al-Ma'rifah, 1996), 13:33.
[7]
Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 5, Hadis No.
3462.
4.
Penjelasan Tafsir Klasik tentang Syuhada
Dalam tradisi tafsir
klasik, konsep syuhada (mati
syahid) dijelaskan secara mendalam, menyoroti makna teologis dan spiritualnya berdasarkan
ayat-ayat Al-Qur'an. Para mufassir klasik seperti Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, dan
Fakhruddin Al-Razi memberikan analisis yang mendalam terhadap ayat-ayat yang
berhubungan dengan syuhada, mengaitkannya dengan konteks jihad, pengorbanan,
dan janji kehidupan abadi di akhirat.
4.1.
Tafsir QS. Ali Imran [03] ayat 169-171
Ayat ini merupakan
landasan utama dalam pembahasan tentang syuhada:
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang
yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya
dengan mendapat rezeki.”¹
Ibnu Katsir
menjelaskan bahwa kehidupan yang dimaksud dalam ayat ini adalah kehidupan
ruhani di alam barzakh, di mana para syuhada memperoleh berbagai nikmat dari
Allah Swt.² Para syuhada mendapatkan rezeki berupa kenikmatan surgawi sebagai penghormatan atas pengorbanan
mereka dalam membela agama Allah.³
Al-Qurtubi menambahkan
bahwa kata yahyauna
(hidup) dalam ayat ini menunjukkan kehidupan yang nyata di sisi Allah, bukan
hanya sekadar penghormatan simbolik. Kehidupan mereka lebih mulia dibandingkan
kehidupan duniawi karena mereka telah melampaui ujian dunia dengan kesabaran
dan pengorbanan.⁴
Al-Razi dalam Mafatih
al-Ghaib menyoroti bahwa kehidupan syuhada mencerminkan kebahagiaan
spiritual yang mendalam. Ia menjelaskan bahwa para syuhada terus "menghidupkan" semangat iman di
kalangan umat Islam melalui keteladanan mereka, sehingga kehidupan mereka
memiliki dimensi spiritual yang abadi.⁵
4.2.
Tafsir QS. Al-Baqarah [02] ayat 154
Dalam ayat ini Allah
Swt berfirman:
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap
orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya)
mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”⁶
Menurut Ibnu Katsir,
ayat ini mengajarkan kepada umat Islam untuk tidak meremehkan nilai pengorbanan
orang-orang yang gugur di jalan Allah. Kehidupan mereka di sisi Allah merupakan
kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan dan kenikmatan abadi.⁷
Al-Qurtubi
memberikan penekanan bahwa hayyah (kehidupan) di sini adalah
bentuk penghormatan khusus dari Allah yang tidak dapat dipahami oleh manusia
secara rasional. Ayat ini juga bertujuan untuk memberikan motivasi kepada umat
Islam agar tidak takut terhadap kematian di jalan Allah.⁸
4.3.
Tafsir QS. An-Nisa ayat 69
Ayat ini menyebutkan
syuhada sebagai bagian dari kelompok yang diberi nikmat oleh Allah:
“Dan barang siapa menaati Allah dan
Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi
nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh.”⁹
Dalam tafsirnya,
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa syuhada termasuk dalam kelompok yang dimuliakan
karena mereka telah membuktikan keimanan mereka melalui tindakan nyata.¹⁰ Para
syuhada menjadi teladan yang menunjukkan bagaimana ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya membawa seseorang kepada kebahagiaan abadi.¹¹
Al-Qurtubi menyoroti
bahwa penggabungan syuhada dengan nabi, shiddiqin, dan shalihin dalam ayat ini
menunjukkan betapa tingginya kedudukan mereka di sisi Allah. Mereka dipandang
sebagai kelompok yang istimewa di akhirat, yang dijanjikan surga tanpa hisab.¹²
4.4.
Pendekatan Tematik dalam Tafsir Klasik
Para mufassir klasik
sering mengaitkan konsep syuhada dengan jihad fi sabilillah, yang tidak hanya
mencakup perang fisik tetapi juga segala bentuk pengorbanan demi menegakkan
agama Allah. Tafsir Al-Baghawi, misalnya, menjelaskan bahwa syahid adalah
simbol keberanian dan keikhlasan, yang tidak hanya ditujukan untuk mengatasi
musuh eksternal tetapi juga untuk menaklukkan hawa nafsu dan ketakutan
duniawi.¹³
Dalam Tafsir
Al-Jassas, Al-Jassas menambahkan dimensi hukum dalam pembahasan
tentang syuhada, menekankan pentingnya niat dalam memperoleh status syahid.¹⁴
Jika niat seseorang tulus untuk membela agama Allah, maka ia akan mendapatkan
pahala syahid, meskipun tidak terlibat langsung dalam pertempuran.
Kesimpulan
Penjelasan tafsir
klasik tentang syuhada menunjukkan bahwa konsep ini memiliki makna yang
mendalam dalam Islam. Syuhada tidak hanya dihormati karena keberanian mereka,
tetapi juga karena pengorbanan mereka menjadi teladan iman yang abadi. Para
mufassir klasik memberikan penjelasan komprehensif yang tidak hanya teologis
tetapi juga spiritual, menjadikan syuhada sebagai simbol kesempurnaan iman.
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur'an, QS. Ali Imran [03] ayat 169.
[2]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, ed.
Muhammad Nasiruddin Al-Albani (Riyadh: Darus Salam, 1999), 2:259.
[3]
Ibid., 2:260.
[4]
Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, ed.
Abdullah ibn Abdul Muhsin At-Turki (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 2006), 4:234.
[5]
Fakhruddin Al-Razi, Mafatih Al-Ghaib, vol. 2 (Beirut:
Dar Ihya Turath Al-Arabi, 1981), 314.
[6]
Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah [02] ayat 154.
[7]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, 1:231.
[8]
Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, 1:234.
[9]
Al-Qur'an, QS. An-Nisa [04] ayat 69.
[10]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, 2:415.
[11]
Ibid., 2:416.
[12]
Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, 4:232.
[13]
Al-Baghawi, Ma'alim at-Tanzil, ed. Muhammad
al-Sayyid al-Jurjani (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1989), 1:452.
[14]
Al-Jassas, Ahkam al-Qur'an, ed. Abdullah ibn
Abdul Muhsin At-Turki (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1994), 2:93.
5.
Perspektif Fiqih dan Ulama Klasik
Dalam tradisi Islam,
konsep syuhada
(mati
syahid) tidak hanya menjadi topik dalam tafsir dan hadits, tetapi
juga mendapatkan perhatian khusus dalam fiqih. Para fuqaha dari mazhab-mazhab
utama dalam Islam memberikan penguraian yang mendalam tentang kategori syuhada,
status hukum mereka, dan tata cara pengurusan jenazah mereka. Pembahasan ini
memperkaya pemahaman mengenai syuhada sebagai fenomena yang tidak hanya
bersifat spiritual tetapi juga memiliki implikasi hukum.
5.1.
Klasifikasi Syuhada dalam Perspektif Fiqih
Para ulama klasik
membagi syuhada menjadi tiga kategori utama berdasarkan konteks syahidnya:
1)
Syahid dunia dan
akhirat
Mereka yang gugur dalam jihad fisik yang sah dan
memenuhi syarat fiqih, seperti niat tulus membela agama Allah (fi
sabilillah). Ulama sepakat bahwa mereka tidak perlu dimandikan atau
dikafani dengan kain tambahan karena jasad mereka dianggap suci.¹
2)
Syahid akhirat saja
Orang-orang yang meninggal dalam keadaan tertentu
seperti wabah, tenggelam, melahirkan, atau kecelakaan, sebagaimana disebutkan
dalam hadits Nabi Saw. Mereka tetap diperlakukan seperti jenazah biasa,
dimandikan, dikafani, dan dishalatkan.²
3)
Syahid dunia saja
Orang yang gugur dalam perang tetapi dengan niat
yang tidak tulus, seperti mencari harta rampasan atau popularitas. Mereka tidak
mendapatkan status spiritual sebagai syuhada di akhirat.³
5.2.
Tata Cara Pengurusan Jenazah Syuhada
Dalam Al-Mughni,
Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa jenazah syuhada perang tidak perlu dimandikan
karena darah mereka dianggap sebagai simbol perjuangan yang akan menjadi saksi
amal mereka di akhirat. Mereka hanya dikuburkan dengan pakaian yang mereka
kenakan saat gugur.⁴ Mazhab Syafi’i dan Hanbali sepakat dalam hal ini,
sementara mazhab Maliki menambahkan bahwa jika ditemukan najis pada jenazah,
maka harus dibersihkan terlebih dahulu.⁵
Namun, bagi syuhada
akhirat seperti mereka yang meninggal karena wabah atau melahirkan, hukum
pengurusan jenazah mengikuti tata cara umum, termasuk mandi, kafan, dan shalat
jenazah.⁶
5.3.
Syarat-Syarat Menjadi Syahid
Fiqih klasik
memberikan syarat-syarat tertentu bagi seseorang untuk dianggap sebagai syahid:
1)
Niat yang benar
Segala amal tergantung pada niatnya. Imam Nawawi
dalam Al-Majmu' menekankan pentingnya niat untuk membela agama Allah
sebagai syarat utama bagi status syuhada.⁷
2)
Konteks Jihad yang Sah
Jihad harus dilakukan dengan tujuan yang
dibenarkan oleh syariat. Perang yang tidak sesuai syariat atau dengan niat yang
keliru tidak mengangkat status seseorang menjadi syuhada.⁸
3)
Meninggal di Jalan
Allah
Seseorang harus meninggal dalam keadaan berjuang
di jalan Allah, baik dalam perang maupun dalam kondisi yang disetarakan oleh
hadits, seperti terkena wabah atau melahirkan.⁹
5.4.
Perbedaan Mazhab dalam Konsep Syuhada
Setiap mazhab
memiliki pendekatan yang sedikit berbeda dalam mendefinisikan syuhada:
·
Mazhab
Hanafi
Mazhab ini lebih cenderung menekankan syuhada
dalam konteks jihad fisik. Jenazah syuhada perang tidak dimandikan karena
kemuliaan darah mereka.¹⁰
·
Mazhab
Maliki
Mazhab ini lebih inklusif, mencakup syahid karena
sebab-sebab non-fisik seperti sakit perut atau tenggelam. Mazhab ini juga
menekankan pentingnya kebersihan jenazah sebelum dikuburkan.¹¹
·
Mazhab
Syafi’i dan Hanbali
Kedua mazhab ini sepakat dalam memuliakan syuhada
perang dengan tidak memandikan jenazah mereka, tetapi mereka menekankan
pentingnya niat sebagai dasar utama status syuhada.¹²
5.5.
Hikmah Fiqih tentang Syuhada
Dalam perspektif
fiqih, konsep syuhada tidak hanya tentang kematian fisik tetapi juga tentang
pengorbanan, ketulusan, dan komitmen terhadap ajaran agama. Para fuqaha
memandang syuhada sebagai teladan yang mengingatkan umat Islam tentang
pentingnya keikhlasan dalam amal dan keteguhan dalam memperjuangkan kebenaran.
Sebagaimana ditegaskan oleh Al-Nawawi, syuhada adalah bukti hidup tentang
kekuatan iman dan kerelaan berkorban demi agama.¹³
Catatan Kaki
[1]
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, ed. Abdullah ibn Abdul
Muhsin At-Turki (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1997), 2:386.
[2]
Yahya ibn Sharaf Al-Nawawi, Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzab, ed.
Muhammad Najib Al-Muti’i (Beirut: Dar Al-Fikr, 2000), 5:223.
[3]
Ibid., 5:224.
[4]
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 2:390.
[5]
Malik ibn Anas, Al-Muwatta', ed. Muhammad Fathi
Al-Banna (Cairo: Dar Al-Turath Al-Arabi, 1992), 1:170.
[6]
Al-Nawawi, Al-Majmu', 5:225.
[7]
Yahya ibn Sharaf Al-Nawawi, Riyadhus Shalihin, ed. Muhammad
Nasiruddin Al-Albani (Riyadh: Maktabah Darus Salam, 1999), Bab 11.
[8]
Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i, Al-Umm, ed. Rif'at Fauzi Abd
Al-Muthalib (Beirut: Dar Al-Wafa, 1997), 3:276.
[9]
Al-Nawawi, Al-Majmu', 5:226.
[10]
Abu Bakr Al-Kasani, Bada’i Al-Sana’i fi Tartib Al-Syara’i
(Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1986), 7:113.
[11]
Malik ibn Anas, Al-Muwatta', 1:171.
[12]
Al-Syafi’i, Al-Umm, 3:278.
[13]
Al-Nawawi, Al-Majmu', 5:228.
6.
Dimensi Spiritual dan Keutamaan Mati Syahid
Mati syahid (syahid)
dalam Islam tidak hanya dipandang sebagai akhir dari perjuangan fisik atau
jihad, tetapi juga sebagai bentuk pengabdian tertinggi yang mendatangkan
keutamaan spiritual. Dimensi spiritual ini tercermin dalam berbagai ayat
Al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad Saw yang menjelaskan kedudukan istimewa
syuhada di sisi Allah Swt. Dalam perspektif Islam, para syuhada bukan hanya
dihormati di dunia, tetapi juga mendapatkan balasan besar di akhirat.
6.1.
Kedudukan Ruh Para Syuhada
Al-Qur'an menegaskan
bahwa para syuhada tidak mati, tetapi hidup di sisi Allah. Dalam QS. Ali Imran
[03] ayat 169-170, Allah Swt berfirman:
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang
yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya
dengan mendapat rezeki. Mereka bergembira dengan karunia yang diberikan Allah
kepada mereka.”¹
Tafsir klasik
seperti karya Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan kehidupan
ruhani para syuhada di alam barzakh, di mana mereka mendapatkan rezeki berupa
kenikmatan dan kebahagiaan spiritual.² Ruh mereka ditempatkan di tempat mulia
yang penuh dengan kemuliaan dan rahmat Allah Swt.
Hadits Nabi Muhammad
Saw juga mempertegas kedudukan ruh para syuhada. Dalam sebuah riwayat, Nabi Saw
bersabda:
“Ruh-ruh para syuhada berada di dalam
burung-burung hijau yang terbang ke mana saja mereka kehendaki di surga.
Kemudian mereka kembali ke lentera yang bergantung di bawah Arsy Allah.”³
Hadits ini
menunjukkan bahwa para syuhada mendapatkan kehormatan langsung di sisi Allah,
bebas dari penderitaan duniawi.
6.2.
Pengampunan Dosa dan Pahala yang Berlipat
Mati syahid dianggap
sebagai salah satu jalan pengampunan dosa. Dalam sebuah hadits, Nabi Saw bersabda:
“Semua dosa orang yang mati syahid akan
diampuni kecuali utang.”⁴
Hadits ini
memberikan gambaran bahwa syahid adalah bentuk pengorbanan yang diterima Allah Swt
sebagai penebusan dosa. Namun, tanggung jawab sosial seperti utang tetap harus
diselesaikan, menunjukkan keseimbangan antara tanggung jawab individu kepada
Allah dan sesama manusia.
Keutamaan lainnya
adalah pahala yang berlipat bagi syuhada. Nabi Saw menyebutkan bahwa syuhada
akan mendapatkan surga tanpa hisab. Dalam sebuah hadits, beliau bersabda:
“Tidak ada seorang pun yang masuk surga yang
ingin kembali ke dunia, kecuali orang yang mati syahid. Ia ingin kembali ke
dunia untuk mati syahid sepuluh kali karena ia melihat kemuliaan yang diberikan
kepadanya.”⁵
6.3.
Syuhada sebagai Teladan Keikhlasan dan
Pengorbanan
Mati syahid juga
merepresentasikan bentuk keikhlasan tertinggi dalam menjalankan perintah Allah Swt.
Syuhada menunjukkan bagaimana seorang Muslim rela mengorbankan harta, jiwa, dan
nyawanya demi menegakkan kebenaran. Dalam Islam, pengorbanan semacam ini bukan
sekadar tindakan fisik, tetapi cerminan keimanan yang mendalam.
Syuhada menjadi
teladan bagi umat Islam dalam menghadapi ujian kehidupan. Sebagaimana
dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, syuhada adalah
simbol perjuangan melawan hawa nafsu dan ketakutan duniawi. Pengorbanan mereka
mengajarkan umat Islam untuk mendahulukan ketaatan kepada Allah di atas
segalanya.⁶
6.4.
Kehidupan Abadi dan Kebahagiaan di Akhirat
Dalam QS. An-Nisa
[04] ayat 69-70, Allah Swt menyebutkan syuhada sebagai salah satu golongan yang
dimuliakan di akhirat:
“Dan barang siapa menaati Allah dan
Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi
nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh.
Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”⁷
Para mufassir
seperti Al-Qurtubi menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan derajat tinggi para
syuhada di surga, di mana mereka akan hidup berdampingan dengan para nabi dan
orang-orang yang saleh.⁸ Kehidupan mereka di akhirat adalah simbol kemenangan
iman atas kefanaan dunia.
6.5.
Dimensi Spiritual Mati Syahid dalam Konteks
Kehidupan
Selain sebagai
status akhir, mati syahid juga memiliki dimensi spiritual yang relevan dalam
kehidupan sehari-hari. Imam Nawawi menjelaskan bahwa jihad yang mengantarkan
seseorang kepada syahid tidak selalu berbentuk perang fisik. Perjuangan melawan
hawa nafsu, menegakkan keadilan, dan menjaga agama di tengah godaan duniawi
juga memiliki nilai syahid jika dilakukan dengan keikhlasan.⁹
Kesimpulan
Dimensi spiritual
dan keutamaan mati syahid menjadikannya sebagai salah satu pencapaian tertinggi
dalam Islam. Syuhada tidak hanya dihormati karena keberanian dan pengorbanan
mereka, tetapi juga karena kedudukan mulia yang mereka dapatkan di sisi Allah
SWT. Konsep ini menjadi inspirasi bagi umat Islam untuk menjalani hidup dengan
penuh keikhlasan, pengabdian, dan komitmen kepada nilai-nilai agama.
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur'an, QS. Ali Imran [03] ayat 169-170.
[2]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, ed.
Muhammad Nasiruddin Al-Albani (Riyadh: Darus Salam, 1999), 2:259.
[3]
Muslim ibn Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Al-Iman, Hadis
No. 1917.
[4]
Muhammad ibn Isma'il Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab Al-Jihad wa
al-Siyar, Hadis No. 2790.
[5]
Muslim ibn Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Al-Iman, Hadis
No. 1901.
[6]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, ed. Abdullah
al-Sayid (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1983), 4:121.
[7]
Al-Qur'an, QS. An-Nisa [04] ayat 69-70.
[8]
Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, ed.
Abdullah ibn Abdul Muhsin At-Turki (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 2006), 5:234.
[9]
Yahya ibn Sharaf Al-Nawawi, Riyadhus Shalihin, ed. Muhammad
Nasiruddin Al-Albani (Riyadh: Maktabah Darus Salam, 1999), Bab 12.
7.
Studi Kontemporer tentang Syuhada
Konsep syuhada
telah menjadi objek kajian yang menarik bagi banyak akademisi Islam
kontemporer, baik dalam konteks teologis, sosial, maupun politik. Kajian modern
tentang syuhada mencoba menggali makna, aplikasi, dan relevansinya dalam dunia
yang terus berkembang. Dalam konteks ini, penekanan diberikan pada bagaimana
konsep syuhada, yang berasal dari Al-Qur'an dan Hadits, dapat dipahami secara
kontekstual tanpa kehilangan esensi spiritualnya.
7.1.
Makna Syuhada dalam Perspektif Modern
Studi kontemporer
mencoba mendekonstruksi makna syuhada dengan memperluas cakupannya di luar
perang fisik. Menurut Fazlur Rahman, syuhada tidak hanya terbatas pada mereka
yang meninggal dalam perang fisik, tetapi juga mencakup individu yang berjuang
untuk nilai-nilai keadilan, kebenaran, dan pembebasan manusia dari penindasan.¹
Perspektif ini mengaitkan syuhada dengan jihad sosial dan intelektual yang
dilakukan untuk memperbaiki kondisi umat manusia.
Karen Armstrong juga
menyoroti bahwa syuhada dalam Islam modern sering disalahartikan karena
dipengaruhi oleh konteks politik tertentu. Ia berpendapat bahwa syuhada sejati
adalah mereka yang dengan tulus berjuang demi perdamaian dan kebaikan, bukan untuk
kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.²
7.2.
Reinterpretasi Syuhada dalam Jihad Kontemporer
Dalam kajian
kontemporer, konsep syuhada sering dikaitkan dengan isu jihad. Ulama dan
intelektual modern seperti Yusuf Al-Qaradawi menekankan bahwa jihad dan syuhada
harus dipahami dalam kerangka keadilan dan keikhlasan. Menurutnya, syuhada
adalah mereka yang berjuang untuk menegakkan nilai-nilai Islam secara damai
atau melawan kezaliman dengan cara yang sah sesuai syariat.³
Namun,
reinterpretasi ini juga menghadapi tantangan karena adanya distorsi makna jihad
dan syuhada dalam beberapa konteks ekstremis. Studi dari Khaled Abou El Fadl
menyoroti bagaimana kelompok-kelompok tertentu menyalahgunakan konsep syuhada
untuk membenarkan tindakan kekerasan. Ia menegaskan bahwa syuhada dalam Islam
tidak dapat dikaitkan dengan tindakan yang melanggar prinsip dasar Islam
seperti menjaga kehidupan manusia.⁴
7.3.
Syuhada dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
Dalam diskursus hak
asasi manusia, beberapa akademisi mencoba mengaitkan konsep syuhada dengan
perjuangan melawan penindasan global. Abul A'la Maududi, misalnya, menekankan
bahwa syuhada adalah mereka yang berkorban untuk menegakkan keadilan
universal.⁵ Pandangan ini relevan dalam konteks perjuangan melawan kolonialisme,
apartheid, dan pelanggaran hak asasi manusia di berbagai belahan dunia.
Pendekatan ini
menjadikan syuhada sebagai simbol solidaritas global untuk melawan
ketidakadilan, menghubungkannya dengan nilai-nilai Islam yang mendorong
pembebasan manusia dari penindasan.
7.4.
Kajian Akademik dan Jurnal Ilmiah
Studi akademik
tentang syuhada banyak ditemukan dalam jurnal-jurnal ilmiah Islam. Salah
satunya adalah artikel dalam Journal of Islamic Studies yang
menyoroti transformasi makna syuhada dalam dunia modern. Penulis artikel
tersebut menekankan bahwa konsep syuhada tetap relevan, tetapi perlu
disesuaikan dengan konteks sosial-politik yang berubah.⁶
Dalam The
Muslim World Journal, sebuah artikel menyoroti peran syuhada dalam
membangun ketahanan moral umat Islam di tengah tantangan globalisasi. Artikel
tersebut menggarisbawahi bahwa syuhada adalah inspirasi bagi perjuangan
kolektif umat untuk menghadapi berbagai tantangan zaman.⁷
7.5.
Relevansi Konsep Syuhada di Era Modern
Kajian kontemporer
menunjukkan bahwa konsep syuhada tetap relevan di era modern, asalkan pemahaman
terhadapnya tidak dipersempit hanya pada konteks perang. Syuhada dapat mencakup
mereka yang berjuang melawan penindasan sosial, ekonomi, dan politik dengan
cara-cara damai dan bermartabat. Dalam konteks ini, syuhada adalah teladan
pengorbanan, keikhlasan, dan komitmen terhadap prinsip-prinsip Islam.
Kesimpulan
Studi kontemporer
tentang syuhada memperluas pemahaman kita terhadap konsep ini. Para akademisi
mencoba mereinterpretasi makna syuhada agar lebih relevan dengan tantangan
zaman modern, sambil tetap menjaga esensinya sesuai dengan ajaran Al-Qur'an dan
Hadits. Dengan demikian, syuhada tidak hanya menjadi simbol pengorbanan dalam
perang fisik, tetapi juga dalam perjuangan sosial, intelektual, dan spiritual.
Catatan Kaki
[1]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press,
1982), 145.
[2]
Karen Armstrong, Islam: A Short History (New York:
Modern Library, 2002), 112.
[3]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh Al-Jihad (Cairo: Dar
Al-Shorouq, 2009), 1:124.
[4]
Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the
Extremists (San Francisco: HarperSanFrancisco, 2005), 54-56.
[5]
Abul A'la Maududi, Towards Understanding Islam
(Leicester: Islamic Foundation, 1978), 89.
[6]
Muhammad Hashim Kamali, “The Ethics of War and Peace in Islam,” Journal
of Islamic Studies 17, no. 3 (2006): 145-147.
[7]
Osman Bakar, “Spiritual Dimensions of Jihad in the Modern World,” The
Muslim World Journal 94, no. 2 (2004): 123-125.
8.
Kesimpulan
Konsep syuhada
(mati
syahid) dalam Islam mencerminkan nilai spiritual, teologis, dan
sosial yang sangat mendalam. Al-Qur'an dan Hadits memberikan landasan yang
kokoh mengenai keutamaan para syuhada, menjadikan mereka sebagai simbol
pengorbanan tertinggi dalam membela kebenaran dan menegakkan nilai-nilai
keimanan. Dalam tafsir klasik, fiqih, dan studi kontemporer, syuhada dipahami
sebagai manifestasi keikhlasan dan keteguhan iman yang mendalam, yang layak
menjadi teladan bagi umat Muslim sepanjang zaman.
8.1.
Esensi Spiritual Syuhada
Syuhada menempati
posisi yang istimewa dalam Islam karena keberanian mereka mengorbankan jiwa
demi Allah Swt. Dalam QS. Ali Imran [03] ayat 169-171, Allah Swt menegaskan
bahwa para syuhada tidak mati, tetapi hidup dengan kebahagiaan di sisi-Nya.¹
Tafsir klasik seperti karya Ibnu Katsir dan Al-Qurtubi menegaskan bahwa
kehidupan ini adalah kehidupan ruhani yang penuh dengan rahmat dan karunia.²
Hadits-hadits Nabi
Muhammad Saw juga menggarisbawahi keutamaan syuhada, termasuk pengampunan dosa
dan kedudukan mereka di surga.³ Ruh mereka yang berada di bawah Arsy Allah
menjadi bukti penghormatan Ilahi terhadap pengorbanan mereka.⁴
8.2.
Relevansi Syuhada dalam Konteks Sosial dan
Spiritual
Dalam kajian fiqih,
syuhada diklasifikasikan berdasarkan kontribusi dan pengorbanan mereka, baik
dalam jihad fisik maupun dalam kondisi lain seperti wabah, tenggelam, atau
melahirkan.⁵ Hal ini menunjukkan bahwa Islam memberikan penghormatan yang besar
terhadap setiap bentuk perjuangan yang tulus.
Kajian kontemporer
memperluas pemahaman ini dengan menyoroti dimensi sosial syuhada. Para syuhada
tidak hanya dipandang sebagai pahlawan perang, tetapi juga sebagai pejuang
keadilan dan kebenaran yang melawan penindasan dalam segala bentuknya.⁶
Perspektif ini menjadikan syuhada relevan dalam perjuangan global melawan
ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi.
8.3.
Inspirasi bagi Kehidupan Modern
Konsep syuhada
memberikan pelajaran penting bagi umat Islam untuk menjalani kehidupan dengan
penuh keikhlasan dan pengabdian. Syuhada menjadi teladan keberanian, ketulusan,
dan komitmen kepada nilai-nilai Islam. Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa
semangat syuhada adalah refleksi dari jihad melawan hawa nafsu dan godaan
duniawi.⁷
Dalam dunia modern,
reinterpretasi konsep syuhada menjadi penting untuk menghadapi tantangan
global. Syuhada tidak hanya merepresentasikan kematian yang mulia, tetapi juga
perjuangan hidup yang mendukung nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan
perdamaian.⁸
8.4.
Konklusi Akhir
Syuhada adalah
teladan abadi yang menunjukkan bagaimana manusia dapat mencapai puncak
spiritualitas melalui pengorbanan yang tulus dan iman yang kokoh. Dalam setiap
zaman, konsep ini memberikan inspirasi bagi umat Islam untuk terus berjuang
melawan ketidakadilan dan menjaga keimanan dalam menghadapi ujian kehidupan.
Dengan memahami syuhada dalam konteks Al-Qur'an, Hadits, tafsir klasik, fiqih,
dan studi kontemporer, umat Islam dapat mengambil hikmah yang mendalam untuk
memperkuat iman dan integritas moral mereka.
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur'an, QS. Ali Imran [03] ayat 169-171.
[2]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, ed.
Muhammad Nasiruddin Al-Albani (Riyadh: Darus Salam, 1999), 2:259; Al-Qurtubi, Al-Jami'
li Ahkam al-Qur'an, ed. Abdullah ibn Abdul Muhsin At-Turki (Beirut:
Muassasah Al-Risalah, 2006), 4:234.
[3]
Muslim ibn Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Al-Iman, Hadis
No. 1917; Muhammad ibn Isma'il Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab Al-Jihad wa
al-Siyar, Hadis No. 2790.
[4]
Muslim ibn Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Al-Iman, Hadis
No. 1917.
[5]
Yahya ibn Sharaf Al-Nawawi, Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzab, ed.
Muhammad Najib Al-Muti’i (Beirut: Dar Al-Fikr, 2000), 5:223.
[6]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh Al-Jihad (Cairo: Dar
Al-Shorouq, 2009), 1:124; Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the
Extremists (San Francisco: HarperSanFrancisco, 2005), 54-56.
[7]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, ed. Abdullah
al-Sayid (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1983), 4:121.
[8]
Osman Bakar, “Spiritual Dimensions of Jihad in the Modern World,” The
Muslim World Journal 94, no. 2 (2004): 123-125.
Daftar Pustaka
Abou El Fadl, K. (2005). The great theft:
Wrestling Islam from the extremists. San Francisco, CA: HarperSanFrancisco.
Al-Ghazali, A. H. (1983). Ihya Ulumuddin
(4th ed., A. Al-Sayid, Ed.). Beirut, Lebanon: Dar al-Ma’rifah.
Al-Qaradawi, Y. (2009). Fiqh Al-Jihad (Vol.
1). Cairo, Egypt: Dar Al-Shorouq.
Al-Qurtubi, A. A. (2006). Al-Jami’ li Ahkam
al-Qur’an (A. A. Al-Turki, Ed.). Beirut, Lebanon: Muassasah Al-Risalah.
Al-Syafi’i, M. I. (1997). Al-Umm (R. F. A.
Al-Muthalib, Ed.). Beirut, Lebanon: Dar Al-Wafa.
Armstrong, K. (2002). Islam: A short history.
New York, NY: Modern Library.
Bakar, O. (2004). Spiritual dimensions of jihad in
the modern world. The Muslim World Journal, 94(2), 123–125.
Hashim Kamali, M. (2006). The ethics of war and
peace in Islam. Journal of Islamic Studies, 17(3), 145–147.
Ibn Kathir, I. (1999). Tafsir Al-Qur’an
Al-‘Azhim (M. N. Al-Albani, Ed.). Riyadh, Saudi Arabia: Darus Salam.
Maududi, A. A. (1978). Towards understanding
Islam. Leicester, UK: Islamic Foundation.
Nawawi, Y. I. (2000). Al-Majmu’ Syarah
Al-Muhadzab (M. N. Al-Muti’i, Ed.). Beirut, Lebanon: Dar Al-Fikr.
Rahman, F. (1982). Islam and modernity:
Transformation of an intellectual tradition. Chicago, IL: University of
Chicago Press.
Razi, F. (1981). Mafatih Al-Ghaib (Vol. 2).
Beirut, Lebanon: Dar Ihya Turath Al-Arabi.
Muslim ibn Al-Hajjaj. (2006). Sahih Muslim.
Retrieved from various editions and translations.
Muhammad ibn Isma’il Al-Bukhari. (2004). Sahih
al-Bukhari. Retrieved from various editions and translations.
Osman, B. (2004). Spiritual dimensions of jihad in
the modern world. The Muslim World Journal, 94(2), 123–125.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar