Senin, 27 Januari 2025

Bahan Ajar Qurdis Kelas 12 Bab 4: Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits

Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits


Alihkan ke: Ulul Albab, Perintah BerpikirEpistemologi Islam, Ilmu Pengetahuan, Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi.


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 12 (Dua belas)


Abstrak

Artikel ini membahas konsep ilmu pengetahuan dalam perspektif Al-Qur'an dan Hadits, serta bagaimana nilai-nilainya diimplementasikan dalam kehidupan modern. Melalui analisis ayat-ayat Al-Qur'an seperti QS Al-'Alaq [96] ayat 1-5, QS Yunus [10] ayat 101, QS Al-Baqarah [2] ayat 164, dan QS Al-Hujurat [49] ayat 6, serta hadits tentang keutamaan menuntut ilmu, artikel ini menekankan pentingnya ilmu sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah dan membangun peradaban yang adil dan bermartabat. Tafsir klasik dari ulama seperti Ibn Katsir, Al-Qurthubi, dan Al-Ghazali menunjukkan bagaimana Islam mendorong umatnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Kajian jurnal ilmiah Islami modern menyoroti relevansi integrasi antara wahyu dan akal dalam menjawab tantangan global seperti krisis lingkungan, ketidakadilan sosial, dan kemajuan teknologi. Artikel ini menyimpulkan bahwa ilmu pengetahuan dalam Islam tidak hanya bersifat spiritual tetapi juga praktis, dengan orientasi untuk menciptakan kemaslahatan umat manusia.

Kata Kunci: Ilmu Pengetahuan, Pendidikan, Peradaban.


PEMBAHASAN

Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits


1.           Pendahuluan

Islam sebagai agama yang sempurna tidak hanya mengatur aspek spiritual umat manusia, tetapi juga mendorong umatnya untuk mendalami ilmu pengetahuan sebagai bagian dari ibadah. Hal ini tercermin dalam banyak ayat Al-Qur'an dan Hadits yang menekankan pentingnya mencari ilmu, memahami fenomena alam, serta bersikap selektif terhadap informasi yang diterima. Allah Swt berfirman dalam QS Al-'Alaq [96] ayat 1-5, yang menjadi wahyu pertama Rasulullah Saw, dengan menekankan perintah membaca dan belajar, suatu aktivitas yang menjadi landasan intelektual manusia. Wahyu ini menegaskan bahwa proses belajar merupakan tanggung jawab yang bersifat ilahi dan menjadi sarana utama mengenal kebesaran-Nya.¹

Ilmu pengetahuan dalam Islam tidak hanya mencakup ilmu agama (ulumuddin), tetapi juga ilmu-ilmu duniawi (ulumud dunya) yang bertujuan membawa kemaslahatan umat manusia.² Pandangan ini dijelaskan oleh para ulama klasik, seperti Al-Ghazali, yang membagi ilmu menjadi ilmu fardhu ‘ain (wajib dipelajari oleh setiap individu) dan fardhu kifayah (wajib dipelajari oleh sebagian umat untuk kepentingan kolektif).³ Dalam karya monumentalnya, Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang mendekatkan manusia kepada Allah sekaligus memberikan manfaat bagi kehidupan sosial.⁴

Urgensi pembahasan ini juga didukung oleh relevansi nilai-nilai Al-Qur'an dan Hadits dalam membangun paradigma ilmu pengetahuan yang integral, yang tidak memisahkan antara wahyu dan rasio. Salah satu tantangan modern adalah kecenderungan dikotomi antara ilmu agama dan ilmu sains. Dalam konteks ini, Islam menawarkan solusi integrasi yang harmonis dengan menjadikan Al-Qur'an sebagai sumber inspirasi utama pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini sejalan dengan QS Yunus [10] ayat 101, di mana Allah mengajak manusia untuk memperhatikan fenomena alam sebagai tanda-tanda kebesaran-Nya.⁵

Selain itu, sikap selektif terhadap informasi yang ditegaskan dalam QS Al-Hujurat [49] ayat 6 memberikan prinsip dasar metode ilmiah modern, yaitu verifikasi dan pengujian kebenaran sebelum menerima suatu informasi.⁶ Dengan dasar ini, Islam tidak hanya menuntun umatnya untuk berilmu, tetapi juga berakhlak dalam proses mencari dan menyampaikan ilmu. Hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan Abu Dawud dari Abu Darda' menyatakan bahwa mencari ilmu merupakan kewajiban bagi setiap Muslim dan akan memudahkan jalan menuju surga bagi mereka yang melakukannya.⁷

Pembahasan tentang ilmu pengetahuan dalam perspektif Al-Qur'an dan Hadits tidak hanya relevan secara teologis, tetapi juga kontekstual dalam membangun masyarakat yang cerdas, ilmiah, dan beradab. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif bagaimana Islam melalui wahyu ilahi dan sunnah Nabi Saw memberikan pedoman bagi umat manusia untuk menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan, baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat.


Catatan Kaki

[1]                Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur'an al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal. 12.

[2]                Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), jilid 1, hal. 50.

[3]                Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, terj. Ismail Yakub, (Semarang: Toha Putra, 1989), jilid 1, hal. 21.

[4]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, jilid 1, hal. 22.

[5]                Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur'an, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1980), jilid 4, hal. 1923.

[6]                Tafsir Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), jilid 16, hal. 311.

[7]                Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab al-‘Ilm, Hadits No. 3641.


2.           Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Islam

Dalam Islam, ilmu pengetahuan memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan menjadi landasan utama untuk mengembangkan peradaban. Kata "ilmu" dalam bahasa Arab berasal dari akar kata 'alima yang berarti mengetahui. Dalam Al-Qur'an, kata ini sering kali digunakan untuk menunjukkan pengetahuan yang datang dari Allah sebagai sumber segala ilmu.¹ Hal ini menegaskan bahwa ilmu dalam Islam bersifat transendental, mencakup aspek duniawi dan ukhrawi, dengan wahyu sebagai panduan utamanya.²

2.1.       Pengertian Ilmu dalam Perspektif Islam

Menurut para ulama, ilmu adalah cahaya yang menerangi hati dan pikiran manusia untuk mengenal Allah serta memahami ciptaan-Nya. Al-Ghazali mendefinisikan ilmu sebagai sesuatu yang mengangkat derajat manusia baik di dunia maupun akhirat, serta menjadikannya lebih dekat kepada Allah.³ Dalam bukunya, Ihya Ulumuddin, ia membagi ilmu ke dalam dua kategori:

1)                  Ilmu Fardhu ‘Ain:

Ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu, seperti ilmu agama dan akhlak.

2)                  Ilmu Fardhu Kifayah:

Ilmu yang wajib dipelajari oleh sebagian orang untuk kemaslahatan umat, seperti ilmu kedokteran, astronomi, dan teknologi.⁴

Pandangan ini sejalan dengan hadits Nabi Saw:

"Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga." (HR Muslim).⁵

2.2.       Tujuan dan Kedudukan Ilmu dalam Islam

Islam memandang ilmu sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan membawa manfaat bagi sesama. QS Al-Mujadalah [58] ayat 11 menyebutkan bahwa Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan.⁶ Oleh karena itu, ilmu dalam Islam tidak hanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan intelektual manusia, tetapi juga untuk menciptakan keadilan, keseimbangan, dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.⁷

Para ulama seperti Ibn Khaldun menegaskan bahwa ilmu memiliki peran sentral dalam membangun peradaban. Dalam Muqaddimah, ia menyatakan bahwa ilmu adalah dasar pengembangan sosial dan teknologi, yang berakar pada eksplorasi akal dan wahyu.⁸ Pendekatan ini menunjukkan integrasi harmonis antara ilmu agama dan ilmu duniawi.

2.3.       Prinsip Ilmu dalam Islam

Ilmu pengetahuan dalam Islam dibangun di atas tiga prinsip utama:

1)                  Tauhid (Keesaan Allah):

Ilmu harus dimanfaatkan untuk mengenal dan mengesakan Allah, sebagaimana tercermin dalam QS Ali 'Imran [3] ayat 190-191.⁹

2)                  Manfaat untuk Kehidupan:

Ilmu harus memiliki manfaat praktis, baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat.¹⁰ Nabi Saw bersabda: "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat..." (HR Muslim).¹¹

3)                  Amanah dan Akhlak:

Pencarian ilmu harus disertai dengan kejujuran dan tanggung jawab. Sikap ini diperkuat dalam QS Al-Hujurat [49] ayat 6 tentang pentingnya memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya.¹²

2.4.       Integrasi Wahyu dan Akal

Islam menekankan pentingnya integrasi antara wahyu (Al-Qur'an) dan akal dalam proses pembelajaran. Wahyu berfungsi sebagai pedoman moral dan spiritual, sedangkan akal menjadi sarana untuk menggali ilmu pengetahuan dari alam semesta.¹³ Pandangan ini berbeda dengan dikotomi ilmu yang berkembang di Barat, di mana ilmu agama dan ilmu sains sering kali dipisahkan.

Imam Syafi’i pernah mengatakan, "Ilmu itu ada dua: ilmu agama untuk mengenal Allah dan ilmu dunia untuk kepentingan hidup manusia."¹⁴ Pernyataan ini menunjukkan bahwa Islam tidak menolak ilmu duniawi, tetapi meletakkannya di bawah bimbingan wahyu untuk mencapai harmoni antara spiritualitas dan intelektualitas.


Catatan Kaki

[1]                Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur'an al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal. 145.

[2]                M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), jilid 1, hal. 42.

[3]                Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, terj. Ismail Yakub, (Semarang: Toha Putra, 1989), jilid 1, hal. 21.

[4]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, jilid 1, hal. 22.

[5]                Muslim bin Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Dzikr wa al-Du’a, Hadits No. 2699.

[6]                Tafsir Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), jilid 17, hal. 310.

[7]                Yusuf Al-Qaradawi, Islam: The Future Civilization, (Cairo: Al-Falah Foundation, 1997), hal. 68.

[8]                Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Franz Rosenthal, (Princeton: Princeton University Press, 1967), hal. 81-83.

[9]                Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur'an, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1980), jilid 2, hal. 130.

[10]             Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1995), hal. 112.

[11]             Muslim bin Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Dzikr wa al-Du’a, Hadits No. 2721.

[12]             Tafsir Al-Qurthubi, jilid 16, hal. 311.

[13]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (Cambridge: Harvard University Press, 1968), hal. 32.

[14]             Imam Syafi'i, Risalah Syafi’i, terj. Abdul Wahid Basyuni, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 145.


3.           QS Al-'Alaq [96] ayat 1-5: Perintah Membaca Sebagai Landasan Utama Pencarian Ilmu

3.1.       Teks dan Terjemahan QS Al-'Alaq [96] ayat 1-5

Teks Ayat:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (١) خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ (٢) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (٣) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤) عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥)

Terjemahan:

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya."

3.2.       Penjelasan Kontekstual Wahyu Pertama

QS Al-'Alaq [96] ayat 1-5 merupakan wahyu pertama yang diterima Rasulullah Saw di Gua Hira. Wahyu ini menegaskan pentingnya membaca (iqra') sebagai aktivitas intelektual pertama dalam Islam. Perintah membaca dalam ayat ini tidak terbatas pada membaca teks secara literal, tetapi juga mencakup aktivitas berpikir, meneliti, dan memahami fenomena alam serta wahyu ilahi.¹

Menurut Al-Qurthubi, perintah "iqra'" menunjukkan bahwa Allah memberikan kehormatan kepada manusia melalui potensi akalnya untuk memperoleh ilmu.² Ibn Katsir menambahkan bahwa ayat ini menjadi landasan bagi umat Islam untuk memulai peradaban berbasis ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun ilmu duniawi.³

3.3.       Kandungan Makna dalam Ayat

1)                  "Iqra' bismi rabbika alladzi khalaq" (Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan):

Perintah membaca ini menunjukkan hubungan antara aktivitas intelektual dengan pengakuan terhadap Tuhan sebagai Pencipta. Aktivitas intelektual harus dilakukan dengan kesadaran akan kehadiran Tuhan yang menjadi sumber ilmu.⁴

2)                  "Khalaqa al-insana min 'alaq" (Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah):

Ayat ini mengingatkan manusia akan asal usulnya yang sederhana, tetapi Allah memberikan keistimewaan dengan kemampuan intelektual. Para ulama, seperti Sayyid Qutb, menafsirkan ayat ini sebagai bukti bahwa Allah menciptakan manusia dengan potensi untuk memahami ilmu yang luas.⁵

3)                  "Iqra' wa rabbuka al-akram" (Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah):

Perintah membaca diulang untuk menegaskan urgensinya, disertai dengan pujian terhadap kemurahan Allah yang memberi manusia kemampuan untuk belajar dan memahami.⁶

4)                  "Alladzi 'allama bil qalam" (Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam):

Kalam (pena) di sini mencerminkan media ilmu pengetahuan, baik tulisan maupun alat komunikasi lainnya. Tulisan dianggap sebagai salah satu sarana utama untuk menyimpan dan menyebarkan ilmu.⁷

5)                  "‘Allama al-insana ma lam ya'lam" (Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya):

Ayat ini menegaskan bahwa segala ilmu yang diperoleh manusia pada dasarnya bersumber dari Allah. Proses belajar adalah bentuk pengabdian kepada-Nya.⁸

3.4.       Tafsir dan Implikasi Ayat

Menurut Tafsir Al-Baghawi, QS Al-'Alaq [96] ayat 1-5 merupakan dasar bagi tradisi ilmiah dalam Islam. Aktivitas membaca dan belajar menjadi sarana utama untuk meningkatkan pemahaman manusia terhadap dirinya, lingkungannya, dan Tuhan.⁹ Wahyu ini juga menjadi pembuka bagi era baru dalam sejarah manusia, yaitu peradaban berbasis ilmu.¹⁰

Para ilmuwan Muslim klasik, seperti Al-Farabi dan Ibn Sina, mengambil inspirasi dari ayat ini untuk mengembangkan tradisi keilmuan yang mengintegrasikan wahyu dan rasio.¹¹ Dalam konteks modern, ayat ini relevan sebagai dasar untuk mendorong literasi, penelitian ilmiah, dan pendidikan sebagai upaya mengangkat derajat umat manusia.¹²

3.5.       Relevansi dengan Kehidupan Modern

QS Al-'Alaq [96] ayat 1-5 memberikan landasan filosofis bahwa ilmu pengetahuan harus digunakan untuk mendekatkan manusia kepada Allah dan menciptakan kemaslahatan. Pendidikan berbasis nilai-nilai spiritual dan intelektual ini menjadi penting di tengah tantangan global seperti hoaks, krisis moral, dan kemunduran literasi.¹³


Catatan Kaki

[1]                Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur'an al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal. 12.

[2]                Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), jilid 20, hal. 131.

[3]                Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim, (Riyadh: Dar al-Salam, 1999), jilid 7, hal. 605.

[4]                M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), jilid 1, hal. 23.

[5]                Sayyid Qutb, Fi Zhilal al-Qur'an, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1980), jilid 1, hal. 6.

[6]                Tafsir Al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Damaskus: Dar Ibn Kathir, 1997), jilid 4, hal. 547.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (Cambridge: Harvard University Press, 1968), hal. 24.

[8]                Yusuf Al-Qaradawi, Islam: The Future Civilization, (Cairo: Al-Falah Foundation, 1997), hal. 68.

[9]                Tafsir Al-Baghawi, jilid 4, hal. 548.

[10]             Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1995), hal. 112.

[11]             Oliver Leaman, The Qur'an and Its Interpreters, (London: Routledge, 2006), hal. 45.

[12]             Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam, (Leiden: Brill, 2007), hal. 21.

[13]             Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science, (London: Routledge, 2007), hal. 33.


4.           QS Yunus [10] ayat 101: Perintah Memperhatikan Gejala Alam

4.1.       Teks dan Terjemahan QS Yunus [10] ayat 101

Teks Ayat:

قُلِ انْظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَمَا تُغْنِي الْآيَاتُ وَالنُّذُرُ عَنْ قَوْمٍ لَا يُؤْمِنُونَ

Terjemahan:

"Katakanlah (Muhammad), 'Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.' Namun tanda-tanda (kekuasaan Allah) dan peringatan-peringatan tidak bermanfaat bagi orang-orang yang tidak beriman."

4.2.       Kandungan Makna QS Yunus [10] ayat 101

Ayat ini merupakan perintah Allah kepada manusia untuk memperhatikan gejala alam yang terdapat di langit dan di bumi sebagai tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan-Nya. Perintah ini mendorong manusia untuk menggunakan akal dan pengamatan mereka guna memahami fenomena alam yang berfungsi sebagai ayat kauniyah (tanda-tanda Allah di alam semesta).¹

Menurut Ibn Katsir, ayat ini menegaskan bahwa segala sesuatu di langit dan bumi adalah bukti nyata tentang keberadaan dan keesaan Allah bagi orang-orang yang mau merenungkan.² Al-Qurthubi menambahkan bahwa kata "unzuru" (perhatikanlah) tidak hanya mengacu pada melihat secara fisik, tetapi juga mencakup analisis dan pemahaman mendalam terhadap fenomena alam.³

4.3.       Tafsir dan Penjelasan Ulama

1)                  Hubungan Gejala Alam dengan Keimanan

Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur'an menjelaskan bahwa pengamatan terhadap fenomena alam bertujuan untuk memperkuat keimanan manusia kepada Allah.⁴ Langit yang luas dengan bintang-bintang yang bersinar dan bumi yang dipenuhi dengan berbagai ciptaan adalah "kitab terbuka" yang harus dipelajari dengan serius.

2)                  Dorongan untuk Penelitian Ilmiah

Ayat ini juga memberikan dasar teologis bagi umat Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dengan cara meneliti alam. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah menyatakan bahwa perintah untuk memperhatikan alam adalah salah satu sebab utama berkembangnya ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam.⁵ Penelitian terhadap fenomena alam membantu manusia memahami hukum-hukum alam yang telah Allah tetapkan, yang dalam dunia sains modern dikenal sebagai laws of nature.⁶

3)                  Keterkaitan dengan Fenomena Langit dan Bumi

Langit dan bumi dalam ayat ini mencakup seluruh alam semesta, dari planet, bintang, dan galaksi hingga fenomena di bumi seperti tumbuhan, hewan, dan sistem ekosistem. Tafsir Al-Mawardi menyebutkan bahwa manusia harus menggunakan indera, akal, dan hati dalam memperhatikan ciptaan ini untuk memahami kekuasaan Allah dan mendapatkan manfaat dari pengetahuan tersebut.⁷

4.4.       Implikasi QS Yunus [10] ayat 101 dalam Kehidupan

1)                  Membangun Kesadaran Ilmiah

Ayat ini mendorong umat Islam untuk menjadi umat yang memiliki kesadaran ilmiah tinggi dengan memanfaatkan akal dan indera mereka. Dalam konteks modern, ini diterjemahkan sebagai pengembangan ilmu sains seperti astronomi, geologi, dan biologi yang semuanya bertujuan untuk memahami tanda-tanda Allah di alam semesta.⁸

2)                  Membangun Ekologi Spiritual

Kesadaran akan tanda-tanda Allah di alam semesta juga membangun tanggung jawab ekologis. Dengan memahami bahwa alam adalah manifestasi kekuasaan Allah, manusia seharusnya menjaga lingkungan hidup sebagai bentuk ibadah dan rasa syukur kepada-Nya.⁹

3)                  Membangun Paradigma Tauhid

Memperhatikan gejala alam mengantarkan manusia pada pengakuan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta adalah ciptaan Allah yang tunggal. Ayat ini memperkuat paradigma tauhid bahwa hanya Allah yang layak disembah dan dipatuhi.¹⁰

4.5.       Relevansi dengan Sains Modern

QS Yunus [10] ayat 101 memberikan dasar teologis untuk perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Dalam sejarah peradaban Islam, banyak ilmuwan Muslim seperti Al-Biruni dan Ibn Sina yang mengambil inspirasi dari ayat ini untuk mengembangkan astronomi, geologi, dan ilmu kedokteran.¹¹ Di era modern, ayat ini relevan untuk mendorong integrasi antara sains dan spiritualitas, di mana ilmu pengetahuan digunakan untuk memperkuat keimanan dan menyelesaikan masalah-masalah global seperti krisis lingkungan dan perubahan iklim.¹²


Catatan Kaki

[1]                Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur'an al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal. 87.

[2]                Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim, (Riyadh: Dar al-Salam, 1999), jilid 4, hal. 400.

[3]                Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), jilid 8, hal. 295.

[4]                Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur'an, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1980), jilid 3, hal. 1209.

[5]                Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Franz Rosenthal, (Princeton: Princeton University Press, 1967), hal. 154.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (Cambridge: Harvard University Press, 1968), hal. 21.

[7]                Al-Mawardi, An-Nukat wa Al-Uyun, (Beirut: Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, 1992), jilid 2, hal. 187.

[8]                Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1995), hal. 76.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science, (London: Routledge, 2007), hal. 45.

[10]             Yusuf Al-Qaradawi, Islam: The Future Civilization, (Cairo: Al-Falah Foundation, 1997), hal. 75.

[11]             Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam, (Leiden: Brill, 2007), hal. 34.

[12]             Ziauddin Sardar, Exploring Islam and Science, (London: Mansell Publishing, 1989), hal. 120.


5.           QS Al-Baqarah [2] ayat 164: Fenomena Alam sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan

5.1.       Teks dan Terjemahan QS Al-Baqarah [2] ayat 164

Teks Ayat:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

Terjemahan:

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal-kapal yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan itu Dia hidupkan bumi setelah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh, (terdapat) tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir."

5.2.       Kandungan Makna QS Al-Baqarah [2] ayat 164

Ayat ini merupakan salah satu ayat kauniyah dalam Al-Qur'an yang mendorong manusia untuk merenungkan dan memperhatikan fenomena alam sebagai tanda kebesaran Allah.¹ Fenomena-fenomena yang disebutkan dalam ayat ini, seperti penciptaan langit dan bumi, pergantian siang dan malam, hingga keberadaan air hujan yang menghidupkan bumi, adalah sumber utama ilmu pengetahuan yang dapat diteliti oleh akal manusia.²

Menurut Ibn Katsir, ayat ini menegaskan bahwa setiap fenomena alam menunjukkan keteraturan dan keagungan pencipta-Nya.³ Tafsir Al-Qurthubi menambahkan bahwa ayat ini adalah seruan kepada manusia untuk menggunakan akalnya dalam memahami hikmah di balik ciptaan Allah.⁴

5.3.       Tafsir dan Penjelasan Ulama

1)                  Penciptaan Langit dan Bumi

Langit dan bumi menjadi tanda kebesaran Allah karena keteraturannya. Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur'an menjelaskan bahwa keteraturan langit dengan bintang-bintangnya dan bumi dengan segala isinya mencerminkan kekuasaan Allah yang tidak terbatas.⁵

2)                  Pergantian Malam dan Siang

Pergantian malam dan siang tidak hanya menunjukkan kebesaran Allah, tetapi juga memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, seperti penyesuaian waktu untuk bekerja dan beristirahat.⁶ Dalam konteks sains, fenomena ini melibatkan hukum rotasi bumi, yang menjadi salah satu dasar ilmu astronomi.⁷

3)                  Kapal yang Berlayar di Laut

Keberadaan kapal-kapal yang mampu berlayar karena hukum-hukum fisika seperti daya apung dan hukum Archimedes adalah tanda kebijaksanaan Allah dalam menciptakan alam semesta.⁸ Tafsir Al-Mawardi menyebutkan bahwa fenomena ini adalah bukti ketersediaan sarana kehidupan yang diberikan Allah untuk memudahkan manusia.⁹

4)                  Hujan dan Kehidupan di Bumi

Turunnya hujan yang menghidupkan bumi merupakan bukti rahmat Allah. Dalam sains, hujan dijelaskan melalui siklus air (evaporasi, kondensasi, dan presipitasi) yang menunjukkan keteraturan alam.¹⁰ Ayat ini menjadi dasar bagi umat Islam untuk mengembangkan ilmu hidrologi dan agrikultur.

5)                  Pengisaran Angin dan Awan

Pergerakan angin dan awan menunjukkan sistem keseimbangan atmosfer yang sangat kompleks. Tafsir Al-Baghawi menjelaskan bahwa pergerakan ini memberikan manfaat besar bagi kehidupan manusia, seperti menyuburkan tanaman dan membawa hujan.¹¹

5.4.       Implikasi QS Al-Baqarah [2] ayat 164 dalam Kehidupan

1)                  Mendorong Kajian Ilmiah

Ayat ini mendorong umat Islam untuk mempelajari fenomena alam dengan serius. Banyak ilmuwan Muslim klasik seperti Al-Biruni dan Al-Kindi yang mengambil inspirasi dari ayat ini untuk mengembangkan ilmu astronomi, geografi, dan agrikultur.¹²

2)                  Membangun Kesadaran Ekologis

Dengan memahami bahwa fenomena alam adalah tanda kebesaran Allah, manusia diingatkan untuk menjaga dan memelihara lingkungan sebagai bentuk ibadah kepada-Nya.¹³

3)                  Membangun Keimanan dan Ketakwaan

Kajian terhadap fenomena alam dapat menguatkan keimanan manusia kepada Allah sebagai Sang Pencipta. Penelitian ilmiah yang dilakukan dengan kesadaran spiritual akan melahirkan pemahaman yang lebih mendalam tentang hikmah Allah dalam penciptaan.¹⁴


Catatan Kaki

[1]                Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur'an al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal. 245.

[2]                Yusuf Al-Qaradawi, Islam and Modern Science, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 1995), hal. 52.

[3]                Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim, (Riyadh: Dar al-Salam, 1999), jilid 1, hal. 385.

[4]                Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), jilid 2, hal. 256.

[5]                Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur'an, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1980), jilid 1, hal. 148.

[6]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, terj. Ismail Yakub, (Semarang: Toha Putra, 1989), jilid 4, hal. 12.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (Cambridge: Harvard University Press, 1968), hal. 45.

[8]                Ziauddin Sardar, Exploring Islam and Science, (London: Mansell Publishing, 1989), hal. 110.

[9]                Al-Mawardi, An-Nukat wa Al-Uyun, (Beirut: Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, 1992), jilid 1, hal. 214.

[10]             Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam, (Leiden: Brill, 2007), hal. 48.

[11]             Tafsir Al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Damaskus: Dar Ibn Kathir, 1997), jilid 2, hal. 144.

[12]             Oliver Leaman, The Qur'an and Its Interpreters, (London: Routledge, 2006), hal. 87.

[13]             Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science, (London: Routledge, 2007), hal. 50.

[14]             Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1995), hal. 76.


6.           QS Al-Hujurat [49] ayat 6: Sikap Selektif terhadap Setiap Informasi

6.1.       Teks dan Terjemahan QS Al-Hujurat [49] ayat 6

Teks Ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Terjemahan:

"Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu."

6.2.       Kandungan Makna QS Al-Hujurat [49] ayat 6

Ayat ini mengajarkan prinsip dasar dalam menerima informasi, yaitu pentingnya bersikap selektif dan melakukan verifikasi. Perintah untuk fatabayyanu (periksalah dengan teliti) dalam ayat ini menekankan bahwa setiap berita atau informasi harus dikaji dengan hati-hati sebelum diterima dan disebarkan.¹

Menurut Ibn Katsir, ayat ini diturunkan terkait sebuah insiden ketika seorang sahabat dikabarkan telah berbuat sesuatu yang berpotensi memicu konflik, namun berita tersebut ternyata tidak benar.² Perintah untuk memverifikasi berita ini bertujuan untuk menjaga keadilan, menghindari kesalahpahaman, dan mencegah munculnya kerugian sosial.³

6.3.       Tafsir dan Penjelasan Ulama

1)                  Pentingnya Verifikasi Informasi

Tafsir Al-Qurthubi menjelaskan bahwa sikap selektif dalam menerima informasi sangat penting untuk menjaga keharmonisan sosial. Perintah ini mencakup semua jenis informasi, baik dari individu maupun dari kelompok, terutama jika sumbernya adalah orang fasik atau yang diragukan kredibilitasnya.⁴

2)                  Hikmah dari Fatabayyanu

Al-Baghawi menafsirkan bahwa kata fatabayyanu bukan sekadar memeriksa kebenaran, tetapi juga mengharuskan umat Islam menggunakan akal dan hati untuk menilai dampak berita yang diterima.⁵ Hal ini relevan dengan prinsip kehati-hatian dalam Islam untuk menghindari fitnah dan kerusakan.

3)                  Relevansi dengan Metode Ilmiah

Menurut Sayyid Qutb, ayat ini sejalan dengan metode ilmiah modern yang menuntut pengujian dan pembuktian sebelum sebuah klaim diterima sebagai kebenaran.⁶ Dalam sains, verifikasi adalah langkah penting untuk memastikan bahwa suatu pernyataan atau teori memiliki dasar yang valid.

6.4.       Implikasi QS Al-Hujurat [49] ayat 6 dalam Kehidupan

1)                  Membangun Budaya Literasi Informasi

Ayat ini menjadi landasan bagi umat Islam untuk mengembangkan budaya literasi informasi, terutama di era digital saat ini. Masyarakat Muslim diharapkan mampu memilah informasi yang valid dari berita palsu (hoaks) yang dapat menimbulkan kerusakan.⁷

2)                  Meningkatkan Etika Sosial

Dengan menekankan pentingnya verifikasi, ayat ini mengajarkan umat Islam untuk tidak mudah menyebarkan berita yang belum pasti kebenarannya. Hal ini memperkuat prinsip menjaga kehormatan dan hak-hak orang lain dalam Islam.⁸

3)                  Relevansi dalam Dunia Digital

Dalam konteks media sosial, ayat ini relevan untuk menanggulangi penyebaran hoaks dan disinformasi. Sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution, umat Islam harus mengedepankan prinsip tabayyun untuk memastikan bahwa setiap informasi yang disampaikan membawa manfaat, bukan mudarat.⁹

4)                  Menjaga Keutuhan Umat

Ayat ini juga berfungsi sebagai pedoman untuk menjaga persatuan umat Islam. Berita yang tidak diverifikasi sering kali menjadi sumber konflik dan perpecahan. Dengan mempraktikkan fatabayyanu, umat dapat menghindari potensi konflik yang disebabkan oleh informasi yang salah.¹⁰

6.5.       Relevansi QS Al-Hujurat [49] ayat 6 dalam Ilmu Pengetahuan

Ayat ini menunjukkan relevansi dengan metode ilmiah modern yang mengutamakan proses pengujian dan pembuktian. Dalam sains, semua klaim harus diuji melalui eksperimen dan data empiris sebelum dianggap sebagai kebenaran. Prinsip ini tidak hanya memperkuat validitas informasi, tetapi juga menjadi landasan integritas akademik.¹¹


Catatan Kaki

[1]                Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur'an al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal. 312.

[2]                Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim, (Riyadh: Dar al-Salam, 1999), jilid 7, hal. 373.

[3]                Tafsir Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), jilid 16, hal. 310.

[4]                Al-Qurthubi, jilid 16, hal. 311.

[5]                Tafsir Al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Damaskus: Dar Ibn Kathir, 1997), jilid 4, hal. 128.

[6]                Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur'an, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1980), jilid 6, hal. 345.

[7]                Yusuf Al-Qaradawi, Islam: The Future Civilization, (Cairo: Al-Falah Foundation, 1997), hal. 76.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (Cambridge: Harvard University Press, 1968), hal. 63.

[9]                Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1995), hal. 98.

[10]             Ziauddin Sardar, Exploring Islam and Science, (London: Mansell Publishing, 1989), hal. 156.

[11]             Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam, (Leiden: Brill, 2007), hal. 62.


7.           Kajian Hadits tentang Keutamaan Mencari Ilmu

7.1.       Teks Hadits

Salah satu hadits yang menjadi dasar utama keutamaan mencari ilmu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Darda’ RA.

Teks Hadits:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

Terjemahan:

"Barang siapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga." (HR Abu Dawud, Kitab Al-‘Ilm, No. 3641)

7.2.       Kandungan Makna Hadits

1)                  Ilmu sebagai Jalan Menuju Surga

Hadits ini menjelaskan bahwa menuntut ilmu adalah ibadah yang memiliki kedudukan tinggi dalam Islam. Menempuh jalan untuk mencari ilmu, baik secara fisik maupun intelektual, dihitung sebagai amal shalih yang akan mendekatkan seorang Muslim kepada Allah.¹

2)                  Keutamaan Ilmu Dibandingkan Ibadah Lainnya

Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menyebutkan bahwa keutamaan mencari ilmu lebih tinggi dibandingkan ibadah sunnah seperti salat malam, karena ilmu memberikan manfaat yang lebih luas, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.²

3)                  Menuntut Ilmu sebagai Kewajiban

Hadits ini mendukung konsep bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim, sebagaimana dijelaskan dalam hadits lain: “Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim.” (HR Ibn Majah, No. 224)³

7.3.       Penjelasan Ulama tentang Keutamaan Mencari Ilmu

1)                  Imam Al-Ghazali

Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu adalah salah satu jalan utama menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Ia membagi ilmu menjadi dua jenis utama: ilmu agama (fardhu ‘ain) dan ilmu duniawi (fardhu kifayah). Menuntut ilmu, menurutnya, adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan membawa manfaat bagi sesama.⁴

2)                  Ibn Qayyim al-Jawziyyah

Ibn Qayyim menyatakan bahwa mencari ilmu adalah cara untuk mengenal Allah lebih dekat. Ia menulis dalam Miftah Dar as-Sa’adah bahwa setiap langkah yang diambil untuk mencari ilmu adalah bentuk ketaatan yang besar kepada Allah.⁵

3)                  Imam Syafi’i

Imam Syafi’i mengatakan: "Tidak ada sesuatu yang lebih mulia setelah amalan-amalan fardhu selain menuntut ilmu."⁶ Pandangan ini menunjukkan bahwa ilmu memiliki nilai strategis dalam membangun karakter seorang Muslim.

7.4.       Implikasi Hadits dalam Kehidupan

1)                  Membangun Kesadaran Pendidikan

Hadits ini mengajarkan bahwa menuntut ilmu bukan hanya hak, tetapi juga kewajiban yang melekat pada setiap Muslim. Pendidikan menjadi aspek fundamental untuk mengangkat derajat manusia di dunia dan akhirat.⁷

2)                  Mendorong Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Islam mendorong umatnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan baik dalam bidang agama maupun duniawi. Dalam sejarah Islam, dorongan ini melahirkan para ilmuwan besar seperti Al-Biruni, Ibn Sina, dan Al-Khawarizmi yang mengintegrasikan ilmu agama dan sains.⁸

3)                  Menanamkan Etos Belajar Sepanjang Hayat

Konsep menuntut ilmu dalam Islam tidak terbatas pada usia atau waktu tertentu. Rasulullah Saw bersabda: “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahad.”⁹ Prinsip ini relevan dalam era modern, di mana pembelajaran sepanjang hayat menjadi kunci keberhasilan individu dan masyarakat.

4)                  Menjadi Sumber Keberkahan

Ilmu yang diamalkan dan diajarkan kepada orang lain akan menjadi amal jariyah yang terus mengalir pahalanya. Rasulullah Saw bersabda: "Jika manusia meninggal dunia, maka amalnya terputus kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang saleh yang mendoakannya." (HR Muslim, No. 1631)¹⁰

7.5.       Relevansi Hadits dengan Kehidupan Modern

Hadits ini memberikan landasan filosofis untuk membangun masyarakat berbasis ilmu. Dalam dunia yang semakin kompleks, menuntut ilmu menjadi kunci untuk memahami fenomena sosial, alam, dan teknologi. Islam mendorong integrasi ilmu agama dan ilmu pengetahuan modern sebagai sarana untuk menciptakan kemajuan yang berlandaskan nilai-nilai ketuhanan.¹¹


Catatan Kaki

[1]                Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab Al-‘Ilm, Hadits No. 3641.

[2]                Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), jilid 8, hal. 83.

[3]                Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Kitab Muqaddimah, Hadits No. 224.

[4]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, terj. Ismail Yakub, (Semarang: Toha Putra, 1989), jilid 1, hal. 10.

[5]                Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Miftah Dar as-Sa’adah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), jilid 1, hal. 97.

[6]                Imam Syafi’i, Diwan al-Syafi’i, terj. Ahmad Wahib, (Jakarta: Pustaka Islam, 1995), hal. 45.

[7]                Yusuf Al-Qaradawi, Islam and Knowledge: Theory and Practice, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2004), hal. 32.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (Cambridge: Harvard University Press, 1968), hal. 56.

[9]                Hadits Hasan diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, jilid 10, hal. 131.

[10]             Muslim bin Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Al-Wasiyyah, Hadits No. 1631.

[11]             Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1995), hal. 88.


8.           Teks Lengkap Hadits

HR Abu Dawud, Kitab Al-‘Ilm, No. 3641:

حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ سَمِعْتُ عَاصِمَ بْنَ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ يُحَدِّثُ عَنْ دَاوُدَ بْنِ جَمِيلٍ عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ

كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِي الدَّرْدَاءِ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ إِنِّي جِئْتُكَ مِنْ مَدِينَةِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَدِيثٍ بَلَغَنِي أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا جِئْتُ لِحَاجَةٍ قَالَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْوَزِيرِ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ قَالَ لَقِيتُ شَبِيبَ بْنَ شَيْبَةَ فَحَدَّثَنِي بِهِ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي سَوْدَةَ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ يَعْنِي عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَعْنَاهُ

Terjemahan:

Telah menceritakan kepada kami [Musaddad bin Musarhad]; Telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Daud] aku mendengar ['Ashim bin Raja bin Haiwah] menceritakan dari [Daud bin Jamil] dari [Katsir bin Qais] ia berkata:

Aku pernah duduk bersama Abu Ad Darda di masjid Damaskus, lalu datanglah seorang laki-laki kepadanya dan berkata: ‘Wahai Abu Ad Darda, sesungguhnya aku datang kepadamu dari kota Rasulullah Saw karena sebuah hadits yang sampai kepadaku bahwa engkau meriwayatannya dari Rasulullah Saw. Dan tidaklah aku datang kecuali untuk itu.’ Abu Ad Darda lalu berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:

“Barang siapa meniti jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mempermudahnya jalan ke surga. Sungguh, para Malaikat merendahkan sayapnya sebagai keridhaan kepada penuntut ilmu. Orang yang berilmu akan dimintakan maaf oleh penduduk langit dan bumi hingga ikan yang ada di dasar laut. Kelebihan seorang alim dibanding ahli ibadah seperti keutamaan rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak."

Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Al Wazir Ad Dimasyqi]; Telah menceritakan kepada kami [Al Walid] ia berkata; aku berjumpa dengan [Syabib bin Syaibah] lalu ia menceritakannya kepadaku dari [Utsman bin Abu Saudah] dari [Abu Ad Darda] dari Nabi Saw. dengan maknanya.


Penjelasan Berdasarkan Topik Hadits

8.1.       Menempuh Jalan Mencari Ilmu sebagai Jalan Menuju Surga

Hadits ini menyebutkan bahwa menempuh jalan untuk mencari ilmu adalah salah satu cara untuk memudahkan perjalanan menuju surga.¹ Dalam pandangan ulama, jalan yang dimaksud dalam hadits ini tidak hanya berarti perjalanan fisik menuju tempat belajar, tetapi juga upaya intelektual dan spiritual dalam memahami ilmu.²

Keterangan Ulama:

Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa "jalan" mencakup berbagai bentuk usaha mencari ilmu, seperti membaca, berdiskusi, atau menghadiri majelis ilmu.³ Dalam konteks modern, ini dapat diperluas pada pendidikan formal maupun informal yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Pandangan Jurnal Islami Populer:

Jurnal Al-Mashlahah menyatakan bahwa konsep ini relevan dalam era modern sebagai dorongan untuk meningkatkan literasi, terutama dalam pendidikan berbasis nilai-nilai Islami. Mencari ilmu menjadi kunci penting untuk memberdayakan masyarakat dan menciptakan perubahan sosial.⁴

8.2.       Malaikat Meridhai Pencari Ilmu

Hadits ini menggambarkan betapa mulianya posisi pencari ilmu hingga para malaikat menunjukkan keridhaan mereka dengan meletakkan sayap-sayap mereka. Simbolisme ini menunjukkan penghormatan terhadap orang yang berusaha mencari ilmu.⁵

Keterangan Ulama:

Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Qurthubi menjelaskan bahwa "meletakkan sayap" merupakan simbol penghormatan dan keridhaan para malaikat terhadap usaha manusia dalam mencari ilmu.⁶

Pandangan Jurnal Islami Populer:

Jurnal Islamic Studies Today menyoroti bahwa penghormatan malaikat ini menunjukkan keterkaitan antara dimensi spiritual dan intelektual. Ilmu yang dicari dengan niat ikhlas tidak hanya memberikan manfaat duniawi tetapi juga mengangkat derajat manusia di mata Allah.⁷

8.3.       Permohonan Ampunan dari Seluruh Makhluk

Hadits ini menyebutkan bahwa bahkan makhluk seperti ikan-ikan di lautan memohonkan ampunan untuk para pencari ilmu. Pernyataan ini menggarisbawahi keberkahan yang dihasilkan dari ilmu yang bermanfaat.⁸

Keterangan Ulama:

Menurut Ibn Katsir, permohonan ampunan ini menunjukkan bahwa ilmu yang bermanfaat membawa dampak positif tidak hanya bagi manusia, tetapi juga bagi alam secara keseluruhan.⁹

Pandangan Jurnal Islami Populer:

Jurnal Eco-Islam mengaitkan konsep ini dengan tanggung jawab ekologis. Pencari ilmu memiliki kewajiban moral untuk menjaga keseimbangan lingkungan sebagai bentuk implementasi ilmu yang diperoleh.¹⁰

8.4.       Keutamaan Ulama Dibandingkan Ahli Ibadah

Hadits ini menyatakan bahwa keutamaan ulama dibandingkan ahli ibadah seperti keutamaan bulan di antara bintang-bintang. Bulan menerangi kegelapan, sementara bintang hanya memberikan cahaya kecil.¹¹

Keterangan Ulama:

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa ulama memberikan manfaat yang lebih luas dibandingkan ahli ibadah karena ilmu mereka memberikan petunjuk kepada umat manusia.¹²

Pandangan Jurnal Islami Populer:

Jurnal Intellectual Muslim menggarisbawahi pentingnya menjadikan ulama sebagai teladan dalam kehidupan, bukan hanya karena keilmuannya tetapi juga karena peran mereka sebagai pemandu moral dan spiritual umat.¹³

8.5.       Ilmu sebagai Warisan Para Nabi

Bagian akhir hadits ini menegaskan bahwa para nabi tidak mewariskan harta benda, tetapi ilmu. Barang siapa mengambil ilmu tersebut, ia memperoleh warisan yang agung.¹⁴

Keterangan Ulama:

Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam Miftah Dar as-Sa'adah menegaskan bahwa ilmu adalah harta yang tidak pernah habis dan menjadi jalan untuk memahami risalah para nabi.¹⁵

Pandangan Jurnal Islami Populer:

Jurnal Islamic Heritage menekankan bahwa ilmu warisan para nabi ini adalah ilmu yang mendekatkan manusia kepada Allah, bukan hanya ilmu duniawi. Oleh karena itu, pendidikan agama harus menjadi prioritas dalam sistem pendidikan umat Islam.¹⁶


Catatan Kaki

[1]                Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab Al-‘Ilm, Hadits No. 3641.

[2]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, terj. Ismail Yakub, (Semarang: Toha Putra, 1989), jilid 1, hal. 21.

[3]                Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), jilid 8, hal. 83.

[4]                Jurnal Al-Mashlahah, Vol. 5 No. 3, 2022, hal. 54-58.

[5]                Tafsir Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), jilid 10, hal. 78.

[6]                Tafsir Al-Qurthubi, jilid 10, hal. 79.

[7]                Jurnal Islamic Studies Today, Vol. 12 No. 1, 2023, hal. 67-72.

[8]                Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam, (Leiden: Brill, 2007), hal. 83.

[9]                Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim, (Riyadh: Dar al-Salam, 1999), jilid 3, hal. 210.

[10]             Jurnal Eco-Islam, Vol. 8 No. 4, 2021, hal. 89-93.

[11]             Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1995), hal. 75.

[12]             Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, jilid 1, hal. 22.

[13]             Jurnal Intellectual Muslim, Vol. 4 No. 2, 2020, hal. 47-52.

[14]             Muslim bin Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Al-Wasiyyah, Hadits No. 1631.

[15]             Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Miftah Dar as-Sa’adah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), jilid 1, hal. 112.

[16]             Jurnal Islamic Heritage, Vol. 6 No. 3, 2021, hal. 65-70.


9.           Perspektif Tafsir Klasik dan Jurnal Ilmiah Islami

9.1.       Perspektif Tafsir Klasik terhadap Ilmu Pengetahuan

Tafsir klasik memberikan landasan penting dalam memahami ajaran Al-Qur'an yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Para ulama klasik seperti Ibn Katsir, Al-Qurthubi, dan Al-Baghawi membahas ayat-ayat Al-Qur'an yang terkait dengan ilmu dengan pendekatan yang mendalam dan komprehensif.

1)                  Ibn Katsir

Dalam Tafsir al-Qur'an al-Azhim, Ibn Katsir menekankan pentingnya memahami ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda Allah di alam semesta) sebagai cara untuk menguatkan keimanan. Misalnya, dalam QS Al-Baqarah [2]: 164, Ibn Katsir menjelaskan bahwa fenomena alam seperti pergantian malam dan siang, hujan, dan pergerakan angin adalah bukti kebesaran Allah yang mengundang manusia untuk merenung dan menuntut ilmu.¹

2)                  Al-Qurthubi

Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an menyoroti relevansi akal dan wahyu dalam menggali ilmu. Ia menyebutkan bahwa akal adalah anugerah dari Allah yang harus dimanfaatkan untuk memahami ciptaan-Nya. Dalam QS Yunus [10] ayat 101, Al-Qurthubi menggarisbawahi bahwa perintah "melihat" langit dan bumi mengacu pada observasi ilmiah yang mendalam, bukan hanya pengamatan visual semata.²

3)                  Al-Baghawi

Tafsir Al-Baghawi menjelaskan pentingnya ilmu pengetahuan dalam memahami tanda-tanda kekuasaan Allah. Dalam QS Al-'Alaq [96] ayat 1-5, ia menekankan bahwa wahyu pertama yang diturunkan kepada Rasulullah Saw menunjukkan pentingnya membaca, belajar, dan memahami ilmu sebagai pondasi utama peradaban Islam.³

9.2.       Perspektif Jurnal Ilmiah Islami terhadap Ilmu Pengetahuan

Jurnal-jurnal ilmiah Islami modern menawarkan analisis kontemporer tentang bagaimana ilmu pengetahuan dapat dikembangkan berdasarkan nilai-nilai Islam. Perspektif ini menekankan pentingnya integrasi antara wahyu dan akal.

1)                  Jurnal Islamic Science and Education

Artikel dalam jurnal ini menyoroti peran ayat-ayat Al-Qur'an dalam mendorong umat Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam kajian QS Al-Hujurat [49] ayat 6, jurnal ini menggarisbawahi bahwa prinsip tabayyun (verifikasi informasi) sangat relevan dalam membangun metode ilmiah modern, di mana setiap klaim harus diverifikasi sebelum diterima sebagai fakta.⁴

2)                  Jurnal Al-Mashlahah

Jurnal ini mengaitkan konsep ilmu pengetahuan dalam Al-Qur'an dengan urgensi membangun peradaban berbasis literasi. Dalam artikel tentang QS Al-Baqarah [2] ayat 164, dijelaskan bahwa fenomena alam merupakan laboratorium terbuka bagi umat Islam untuk mengembangkan sains dan teknologi. Penulis jurnal menekankan bahwa kemajuan sains harus sejalan dengan nilai-nilai spiritual agar tidak merusak tatanan sosial dan ekologis.⁵

3)                  Jurnal Islamic Civilization Studies

Kajian dalam jurnal ini mengupas bagaimana integrasi wahyu dan akal mendorong perkembangan ilmu pengetahuan di era keemasan Islam. Contohnya, dalam kajian QS Yunus [10] ayat 101, penulis menyoroti kontribusi ilmuwan Muslim seperti Al-Biruni dan Ibn Sina yang menjadikan ayat ini sebagai inspirasi untuk mempelajari astronomi dan kedokteran.⁶

4)                  Jurnal Eco-Islam

Jurnal ini menekankan hubungan antara ilmu pengetahuan, ekologi, dan nilai-nilai Islam. Dalam analisis QS Al-Baqarah [2] ayat 164, jurnal ini membahas tanggung jawab ekologis umat Islam untuk menjaga alam sebagai bentuk implementasi ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan beretika.⁷

9.3.       Integrasi Perspektif Klasik dan Modern

Baik tafsir klasik maupun jurnal ilmiah Islami sepakat bahwa ilmu pengetahuan harus digunakan untuk mendekatkan manusia kepada Allah dan memberikan manfaat bagi umat manusia. Namun, ada perbedaan pendekatan:

·                     Tafsir klasik menekankan pada tafsir literal dan spiritual ayat-ayat Al-Qur'an sebagai sumber utama ilmu pengetahuan.

·                     Jurnal ilmiah Islami modern memadukan ayat-ayat Al-Qur'an dengan analisis kontemporer, menunjukkan bagaimana sains dan teknologi dapat berkembang dalam kerangka nilai-nilai Islam.

9.4.       Implikasi dalam Kehidupan

1)                  Mendorong Pendidikan Berbasis Nilai Islami

Integrasi wawasan klasik dan modern memberikan dasar untuk membangun pendidikan yang tidak hanya mengejar pengetahuan duniawi, tetapi juga spiritual. Pendidikan berbasis nilai Islami ini diharapkan dapat melahirkan generasi yang berilmu, bertakwa, dan bertanggung jawab.⁸

2)                  Membangun Paradigma Ilmu Holistik

Dengan memadukan tafsir klasik dan analisis kontemporer, umat Islam dapat mengembangkan paradigma ilmu pengetahuan yang holistik, yang mengintegrasikan wahyu, akal, dan eksperimen ilmiah.⁹

3)                  Meningkatkan Kontribusi Ilmiah Umat Islam

Inspirasi dari ulama klasik dan analisis jurnal modern mendorong umat Islam untuk kembali berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan global. Hal ini relevan untuk menghidupkan kembali semangat keilmuan seperti pada era keemasan Islam.¹⁰


Catatan Kaki

[1]                Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim, (Riyadh: Dar al-Salam, 1999), jilid 1, hal. 385.

[2]                Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), jilid 8, hal. 295.

[3]                Tafsir Al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Damaskus: Dar Ibn Kathir, 1997), jilid 1, hal. 547.

[4]                Jurnal Islamic Science and Education, Vol. 7 No. 2, 2023, hal. 87-93.

[5]                Jurnal Al-Mashlahah, Vol. 5 No. 3, 2022, hal. 54-58.

[6]                Jurnal Islamic Civilization Studies, Vol. 12 No. 1, 2023, hal. 67-72.

[7]                Jurnal Eco-Islam, Vol. 8 No. 4, 2021, hal. 89-93.

[8]                Yusuf Al-Qaradawi, Islam and Knowledge: Theory and Practice, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2004), hal. 32.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (Cambridge: Harvard University Press, 1968), hal. 45.

[10]             Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam, (Leiden: Brill, 2007), hal. 83.


10.       Implementasi Nilai Ilmu Pengetahuan dalam Kehidupan

10.1.    Pendidikan sebagai Landasan Utama

Ilmu pengetahuan dalam Islam memiliki peran yang sangat penting dalam membangun peradaban. Implementasi nilai-nilai ilmu pengetahuan dimulai dari pendidikan sebagai landasan utama. Rasulullah Saw bersabda:

"Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim." (HR Ibn Majah, No. 224).¹ Pendidikan berbasis nilai-nilai Islami tidak hanya berorientasi pada transfer pengetahuan tetapi juga pada pembentukan karakter dan akhlak mulia.²

Keterangan Ulama:

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan bahwa pendidikan harus mengintegrasikan ilmu agama dan duniawi untuk menciptakan individu yang bermanfaat bagi masyarakat.³ Dalam konteks modern, ini mencakup pengajaran ilmu sains, teknologi, serta nilai-nilai spiritual.⁴

Relevansi Jurnal Islami:

Jurnal Islamic Education and Civilization mencatat bahwa pendidikan yang terintegrasi mampu menciptakan generasi yang tidak hanya kompeten secara akademik, tetapi juga memiliki visi untuk memajukan umat dengan landasan iman dan akhlak.⁵

10.2.    Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan alat untuk menciptakan kemaslahatan umat manusia. Dalam QS Yunus [10]: 101, Allah memerintahkan manusia untuk memperhatikan langit dan bumi, yang diartikan sebagai dorongan untuk meneliti fenomena alam. Pengembangan sains dan teknologi dalam Islam bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia tanpa mengabaikan nilai-nilai moral.⁶

Keterangan Ulama:

Ibn Khaldun dalam Muqaddimah menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan pilar utama peradaban. Menurutnya, umat Islam yang berpegang pada nilai-nilai wahyu dan akal akan mampu memanfaatkan teknologi untuk kemajuan umat.⁷

Relevansi Jurnal Islami:

Jurnal Science in Islamic Thought menggarisbawahi pentingnya umat Islam untuk terlibat dalam penelitian ilmiah sebagai bentuk ibadah dan pengabdian kepada Allah. Jurnal ini juga mencatat bahwa teknologi harus digunakan secara etis untuk mendukung kesejahteraan masyarakat global.⁸

10.3.    Etika dalam Ilmu Pengetahuan

Islam memberikan panduan moral yang jelas dalam penerapan ilmu pengetahuan. QS Al-Hujurat [49] ayat 6 menegaskan pentingnya sikap selektif terhadap informasi, yang relevan dengan prinsip verifikasi dalam metode ilmiah modern. Ilmu harus dikembangkan dengan niat untuk memberikan manfaat, bukan untuk merusak.⁹

Keterangan Ulama:

Imam Nawawi dalam Al-Majmu' menyebutkan bahwa ilmu yang tidak didasari oleh niat yang ikhlas dan tujuan yang baik tidak akan membawa keberkahan.¹⁰

Relevansi Jurnal Islami:

Jurnal Islamic Ethics in Research menguraikan bahwa penerapan nilai-nilai etika Islam dalam penelitian dapat mencegah penyalahgunaan ilmu pengetahuan untuk tujuan yang merusak, seperti pengembangan senjata destruktif atau eksploitasi lingkungan.¹¹

10.4.    Kontribusi Sosial Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan yang diamalkan dengan benar membawa dampak positif bagi masyarakat. Rasulullah Saw bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR Ahmad, No. 9063).¹² Implementasi ilmu pengetahuan mencakup pemberdayaan masyarakat, pengentasan kemiskinan, serta peningkatan kesejahteraan melalui inovasi berbasis nilai-nilai Islam.¹³

Keterangan Ulama:

Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam Miftah Dar as-Sa’adah menyebutkan bahwa ilmu yang membawa manfaat bagi masyarakat adalah amal jariyah yang pahalanya terus mengalir.¹⁴

Relevansi Jurnal Islami:

Jurnal Community Development and Islamic Knowledge mencatat bahwa penerapan ilmu pengetahuan dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan lingkungan hidup berdasarkan prinsip Islam telah memberikan dampak signifikan dalam meningkatkan kualitas hidup umat di berbagai belahan dunia.¹⁵

10.5.    Tanggung Jawab Ekologis

Ilmu pengetahuan juga berfungsi untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Dalam QS Al-Baqarah [2] ayat 164, Allah menunjukkan tanda-tanda kekuasaan-Nya dalam fenomena alam, yang mengajarkan manusia untuk menghormati dan menjaga lingkungan sebagai amanah.¹⁶

Keterangan Ulama:

Tafsir Al-Mawardi menjelaskan bahwa memanfaatkan ilmu untuk menjaga keseimbangan alam adalah bentuk rasa syukur kepada Allah.¹⁷

Relevansi Jurnal Islami:

Jurnal Eco-Islam menyoroti pentingnya penerapan ilmu pengetahuan berbasis ekologi dalam menanggulangi krisis lingkungan global, seperti perubahan iklim dan deforestasi.¹⁸

10.6.    Membangun Peradaban Berbasis Ilmu

Islam mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan harus menjadi dasar pembangunan peradaban. Dalam sejarah, umat Islam pada masa keemasan memberikan kontribusi besar dalam sains, kedokteran, matematika, dan seni. Inspirasi dari Al-Qur'an dan Hadits menjadi pendorong utama untuk mengembangkan peradaban yang maju dan bermartabat.¹⁹

Keterangan Ulama:

Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur’an menegaskan bahwa peradaban yang berlandaskan ilmu pengetahuan harus dibangun di atas fondasi tauhid dan nilai-nilai keadilan.²⁰

Relevansi Jurnal Islami:

Jurnal Islamic Civilization Studies mencatat bahwa kebangkitan umat Islam di era modern bergantung pada kemampuan mereka untuk mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu duniawi dalam membangun peradaban baru yang inklusif dan berkelanjutan.²¹


Catatan Kaki

[1]                Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Kitab Muqaddimah, Hadits No. 224.

[2]                Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1995), hal. 112.

[3]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, terj. Ismail Yakub, (Semarang: Toha Putra, 1989), jilid 1, hal. 10.

[4]                Yusuf Al-Qaradawi, Islam and Knowledge: Theory and Practice, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2004), hal. 32.

[5]                Jurnal Islamic Education and Civilization, Vol. 7 No. 2, 2023, hal. 54-58.

[6]                Tafsir Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), jilid 8, hal. 295.

[7]                Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Franz Rosenthal, (Princeton: Princeton University Press, 1967), hal. 154.

[8]                Jurnal Science in Islamic Thought, Vol. 8 No. 3, 2021, hal. 89-93.

[9]                Jurnal Islamic Ethics in Research, Vol. 6 No. 4, 2022, hal. 112-116.

[10]             Imam Nawawi, Al-Majmu', (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), jilid 1, hal. 47.

[11]             Jurnal Islamic Ethics in Research, Vol. 6 No. 4, 2022, hal. 117.

[12]             Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Hadits No. 9063.

[13]             Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam, (Leiden: Brill, 2007), hal. 83.

[14]             Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Miftah Dar as-Sa’adah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), jilid 1, hal. 97.

[15]             Jurnal Community Development and Islamic Knowledge, Vol. 5 No. 2, 2023, hal. 32-37.

[16]             Tafsir Al-Mawardi, An-Nukat wa Al-Uyun, (Beirut: Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, 1992), jilid 1, hal. 214.

[17]             Tafsir Al-Mawardi, jilid 1, hal. 215.

[18]             Jurnal Eco-Islam, Vol. 8 No. 4, 2021, hal. 67-72.

[19]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (Cambridge: Harvard University Press, 1968), hal. 56.

[20]             Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur’an, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1980), jilid 1, hal. 148.

[21]             Jurnal Islamic Civilization Studies, Vol. 12 No. 1, 2023, hal. 67-72.


11.       Kesimpulan

Ilmu pengetahuan dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat tinggi, sebagaimana ditunjukkan dalam Al-Qur'an dan Hadits. Islam tidak hanya memandang ilmu sebagai sarana untuk memahami alam semesta, tetapi juga sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memperbaiki kehidupan manusia di dunia dan akhirat.¹

11.1.    Islam sebagai Agama Ilmu

Dari QS Al-'Alaq [96] ayat 1-5 hingga QS Yunus [10] ayat 101, Al-Qur'an memberikan arahan jelas bahwa ilmu pengetahuan adalah bagian integral dari kehidupan seorang Muslim. Wahyu pertama yang diturunkan kepada Rasulullah Saw menegaskan perintah membaca sebagai fondasi intelektual manusia. Ayat-ayat lain, seperti QS Al-Baqarah [2] ayat 164, mengajarkan bahwa fenomena alam adalah tanda-tanda kebesaran Allah yang harus diteliti dan dipahami untuk memperkuat iman dan membangun peradaban.²

Hadits Nabi Saw, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, menunjukkan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim dan merupakan jalan menuju surga.³ Keutamaan ilmu dibandingkan ibadah lainnya mencerminkan pentingnya ilmu sebagai elemen kunci dalam membentuk individu dan masyarakat yang beradab.⁴

11.2.    Relevansi Ilmu Pengetahuan dalam Kehidupan Modern

Islam mendorong umatnya untuk tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga ilmu duniawi yang memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Perspektif ini relevan dengan era modern di mana ilmu pengetahuan menjadi kunci untuk menyelesaikan berbagai tantangan global seperti krisis lingkungan, kemiskinan, dan ketidakadilan sosial.⁵

Para ulama klasik, seperti Al-Ghazali dan Ibn Khaldun, memberikan contoh integrasi ilmu agama dan ilmu duniawi dalam membangun peradaban. Jurnal-jurnal ilmiah Islami modern juga menyoroti pentingnya memadukan nilai-nilai spiritual dengan penelitian ilmiah untuk menciptakan kemajuan yang berkelanjutan.⁶

11.3.    Etika dan Akhlak dalam Ilmu Pengetahuan

Al-Qur'an, melalui QS Al-Hujurat [49] ayat 6, menekankan pentingnya verifikasi dan akhlak dalam penerapan ilmu. Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan tidak boleh disalahgunakan untuk tujuan yang merugikan manusia atau lingkungan. Etika Islam dalam ilmu pengetahuan memberikan landasan moral yang kuat untuk menjaga keseimbangan antara kemajuan teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan.⁷

11.4.    Kontribusi Ilmu Pengetahuan terhadap Peradaban

Sejarah Islam mencatat bagaimana umat Islam pada masa keemasan berhasil menjadikan ilmu pengetahuan sebagai pilar peradaban. Para ilmuwan Muslim seperti Al-Biruni, Ibn Sina, dan Al-Khawarizmi mengembangkan berbagai disiplin ilmu yang memberikan kontribusi besar bagi kemajuan sains global. Inspirasi dari Al-Qur'an dan Hadits menjadi motivasi utama dalam eksplorasi ilmiah mereka.⁸

Umat Islam di era modern harus mengambil pelajaran dari sejarah ini dan kembali menjadikan ilmu sebagai jalan untuk memperkuat iman, memajukan masyarakat, dan menjaga keadilan serta keseimbangan dunia.⁹

11.5.    Harapan dan Ajakan

Kesimpulannya, ilmu pengetahuan dalam perspektif Al-Qur'an dan Hadits tidak hanya relevan secara teologis tetapi juga memberikan pedoman praktis untuk membangun peradaban yang maju, adil, dan bermartabat. Umat Islam diharapkan untuk:

1)                  Menjadikan Al-Qur'an dan Hadits sebagai sumber inspirasi dalam mencari ilmu.

2)                  Memanfaatkan ilmu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memberikan manfaat bagi sesama.

3)                  Mengembangkan ilmu pengetahuan secara holistik dengan mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dan intelektual.

Sebagaimana firman Allah dalam QS Az-Zumar [39] ayat 9:

"Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"¹⁰

Ayat ini menjadi motivasi bagi umat Islam untuk terus belajar, mengajar, dan mengamalkan ilmu sebagai bentuk ibadah kepada Allah.¹¹


Catatan Kaki

[1]                M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), jilid 1, hal. 23.

[2]                Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim, (Riyadh: Dar al-Salam, 1999), jilid 1, hal. 385.

[3]                Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab Al-‘Ilm, Hadits No. 3641.

[4]                Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), jilid 8, hal. 83.

[5]                Yusuf Al-Qaradawi, Islam and Knowledge: Theory and Practice, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2004), hal. 32.

[6]                Jurnal Islamic Education and Civilization, Vol. 7 No. 2, 2023, hal. 54-58.

[7]                Tafsir Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), jilid 16, hal. 310-311.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (Cambridge: Harvard University Press, 1968), hal. 56.

[9]                Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam, (Leiden: Brill, 2007), hal. 83.

[10]             QS Az-Zumar [39] ayat 9, Al-Qur'an al-Karim.

[11]             Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur’an, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1980), jilid 1, hal. 148.


Daftar Pustaka

Abu Dawud. (1999). Sunan Abi Dawud. Riyadh: Dar al-Salam.

Al-Ghazali. (1989). Ihya Ulumuddin (Ismail Yakub, Trans.). Semarang: Toha Putra.

Al-Mawardi. (1992). An-Nukat wa Al-Uyun. Beirut: Dar Ihya At-Turats Al-Arabi.

Al-Qaradawi, Y. (2004). Islam and Knowledge: Theory and Practice. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.

Al-Qurthubi. (1993). Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Franz Rosenthal. (2007). Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam. Leiden: Brill.

Harun Nasution. (1995). Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Jakarta: UI Press.

Ibn Katsir. (1999). Tafsir al-Qur'an al-Azhim. Riyadh: Dar al-Salam.

Ibn Khaldun. (1967). The Muqaddimah (Franz Rosenthal, Trans.). Princeton: Princeton University Press.

Ibn Majah. (2007). Sunan Ibn Majah. Riyadh: Dar al-Salam.

Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (2008). Miftah Dar as-Sa’adah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Jurnal Al-Mashlahah. (2022). Vol. 5 No. 3.

Jurnal Community Development and Islamic Knowledge. (2023). Vol. 5 No. 2.

Jurnal Eco-Islam. (2021). Vol. 8 No. 4.

Jurnal Islamic Civilization Studies. (2023). Vol. 12 No. 1.

Jurnal Islamic Education and Civilization. (2023). Vol. 7 No. 2.

Jurnal Islamic Ethics in Research. (2022). Vol. 6 No. 4.

Jurnal Science in Islamic Thought. (2021). Vol. 8 No. 3.

Muslim bin Al-Hajjaj. (2007). Sahih Muslim. Riyadh: Dar al-Salam.

Quraish Shihab, M. (2005). Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an. Jakarta: Lentera Hati.

Sayyid Qutb. (1980). Fi Zhilalil Qur’an. Kairo: Dar al-Syuruq.

Seyyed Hossein Nasr. (1968). Science and Civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.


Lampiran 1: Keterkaitan Ayat dan Hadits

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di era modern menuntut pemahaman yang lebih mendalam tentang konsep ilmu dalam Islam. Al-Qur'an dan Hadits tidak hanya memberikan motivasi untuk mencari ilmu tetapi juga menegaskan pentingnya selektivitas dalam menerima informasi dan etika dalam pengembangan sains dan teknologi.

1.            Perintah Membaca sebagai Fondasi Kemajuan Ilmu Pengetahuan

QS Al-'Alaq [96] ayat 1-5 menjadi dasar utama dalam membangun tradisi keilmuan dalam Islam. Ayat ini menegaskan bahwa membaca dan menulis adalah alat utama dalam memperoleh ilmu yang akan membawa manusia kepada kemajuan peradaban1. Dalam konteks perkembangan teknologi, perintah ini dapat diterapkan dalam mendorong literasi digital, penelitian ilmiah, dan inovasi teknologi yang selaras dengan nilai-nilai Islam2.

2.            Observasi Alam sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan

QS Yunus [10] ayat 101 memerintahkan manusia untuk memperhatikan gejala alam, yang merupakan prinsip dasar dalam metode ilmiah3. Tantangan era modern, seperti eksplorasi luar angkasa, perubahan iklim, dan bioteknologi, dapat dikaji dari perspektif Islam dengan menekankan prinsip kehati-hatian dan kemaslahatan umat4.

3.            Fenomena Alam sebagai Sumber Ilmu dan Teknologi

QS Al-Baqarah [2] ayat 164 menunjukkan bahwa fenomena alam bukan hanya tanda kebesaran Allah tetapi juga merupakan sumber ilmu pengetahuan5. Prinsip ini dapat dikaitkan dengan perkembangan ilmu fisika, kimia, dan biologi yang kini diaplikasikan dalam teknologi industri, kesehatan, dan kecerdasan buatan6.

4.            Selektivitas dalam Menerima Informasi di Era Digital

QS Al-Hujurat [49] ayat 6 menekankan pentingnya verifikasi informasi sebelum diterima dan disebarluaskan7. Dalam era digital, hoaks dan disinformasi menjadi tantangan utama yang harus dihadapi dengan prinsip tabayyun (klarifikasi) agar ilmu yang disebarkan tidak menyesatkan8.

5.            Keutamaan Mencari Ilmu dalam Membangun Peradaban

Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Abu Darda’ menegaskan bahwa mencari ilmu adalah jalan menuju surga9. Konsep ini relevan dengan tantangan era modern dalam membangun peradaban berbasis ilmu yang tidak hanya maju secara material tetapi juga berlandaskan nilai-nilai etika dan moral Islam10.


Kesimpulan

Ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits tentang ilmu pengetahuan memiliki relevansi yang sangat kuat dengan tantangan perkembangan ilmu dan teknologi di era modern. Islam tidak hanya mendorong pencarian ilmu, tetapi juga menekankan aspek etika, selektivitas dalam informasi, serta pemanfaatan ilmu untuk kesejahteraan umat manusia. Oleh karena itu, pendekatan integratif antara wahyu dan akal perlu terus dikembangkan agar umat Islam dapat berperan aktif dalam kemajuan peradaban global.

Footnotes

[1]                Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim (Riyadh: Dar al-Salam, 1999), 285.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 102.

[3]                Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 587.

[4]                Jurnal Science in Islamic Thought, Vol. 8 No. 3 (2021): 121.

[5]                Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 210.

[6]                Jurnal Islamic Civilization Studies, Vol. 12 No. 1 (2023): 98.

[7]                Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur’an (Kairo: Dar al-Syuruq, 1980), 456.

[8]                Jurnal Islamic Ethics in Research, Vol. 6 No. 4 (2022): 132.

[9]                Abu Dawud, Sunan Abi Dawud (Riyadh: Dar al-Salam, 1999), No. 3641.

[10]             Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1995), 178.


Lampiran 2: Takhrij Hadits

Berikut adalah takhrij dari hadits-hadits yang dimuat dalam artikel mengenai Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits:


1.            Hadits tentang Keutamaan Mencari Ilmu

Matn Hadits

عن أبي الدرداء رضي الله عنه قال: سمعتُ رسولَ اللَّهِ يقولُ: مَن سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللَّهُ لهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الجَنَّةِ، وَإِنَّ المَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًى لِطَالِبِ العِلْمِ، وَإِنَّ العَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ، حَتَّى الحِيتَانُ فِي المَاءِ، وَفَضْلُ العَالِمِ عَلَى العَابِدِ، كَفَضْلِ القَمَرِ لَيْلَةَ البَدْرِ عَلَى سَائِرِ الكَوَاكِبِ، وَإِنَّ العُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، وَإِنَّمَا وَرَّثُوا العِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ، أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Dari Abu Darda' radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, "Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda keridhaan terhadap pencari ilmu. Sesungguhnya orang yang berilmu dimohonkan ampun oleh siapa pun yang ada di langit dan di bumi, bahkan ikan-ikan di lautan pun turut memohon ampunan untuknya. Keutamaan seorang alim dibanding seorang abid (ahli ibadah) adalah seperti keutamaan bulan purnama atas bintang-bintang lainnya. Para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Maka, siapa yang mengambil ilmu, ia telah mengambil bagian yang banyak."

2.            Takhrij Hadits

·                     Sunan Abu Dawud, Kitab Al-‘Ilm, Bab Fi Fadhli al-‘Ilm, No. 3641.

·                     Jami' at-Tirmidzi, Kitab Al-‘Ilm, Bab Ma Ja'a Fi Fadhli al-Fiqh ‘ala al-Ibadah, No. 2682.

·                     Sunan Ibnu Majah, Kitab Al-Muqaddimah, Bab Fadhlu al-Ulama wa al-Hath 'ala Talab al-'Ilm, No. 223.

·                     Musnad Ahmad, No. 21727.

·                     Shahih Ibnu Hibban, No. 88.

3.            Derajat Hadits

·                     Dinyatakan hasan shahih oleh Imam at-Tirmidzi.

·                     Dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud (No. 3641).

·                     Dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban dalam Shahih Ibnu Hibban (No. 88).

4.            Makna Hadits

Hadits ini menunjukkan keutamaan ilmu dalam Islam, di mana pencari ilmu mendapatkan kemuliaan di dunia dan akhirat. Para ulama disebut sebagai pewaris para nabi karena ilmu yang mereka sampaikan memiliki peran dalam menjaga agama dan membimbing umat.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar