Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits
Alihkan ke: Ulul Albab, Perintah Berpikir, Epistemologi Islam, Ilmu Pengetahuan, Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi.
Nama Satuan :
Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran :
Al-Qur’an Hadits
Kelas :
12 (Dua belas)
Abstrak
Artikel ini membahas konsep ilmu pengetahuan dalam
perspektif Al-Qur'an dan Hadits, serta bagaimana nilai-nilainya
diimplementasikan dalam kehidupan modern. Melalui analisis ayat-ayat Al-Qur'an
seperti QS Al-'Alaq [96] ayat 1-5, QS Yunus [10] ayat 101, QS Al-Baqarah [2]
ayat 164, dan QS Al-Hujurat [49] ayat 6, serta hadits tentang keutamaan
menuntut ilmu, artikel ini menekankan pentingnya ilmu sebagai sarana
mendekatkan diri kepada Allah dan membangun peradaban yang adil dan
bermartabat. Tafsir klasik dari ulama seperti Ibn Katsir, Al-Qurthubi, dan
Al-Ghazali menunjukkan bagaimana Islam mendorong umatnya untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Kajian jurnal ilmiah Islami modern menyoroti
relevansi integrasi antara wahyu dan akal dalam menjawab tantangan global
seperti krisis lingkungan, ketidakadilan sosial, dan kemajuan teknologi.
Artikel ini menyimpulkan bahwa ilmu pengetahuan dalam Islam tidak hanya
bersifat spiritual tetapi juga praktis, dengan orientasi untuk menciptakan
kemaslahatan umat manusia.
Kata Kunci: Ilmu Pengetahuan, Pendidikan, Peradaban.
PEMBAHASAN
Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits
1.
Pendahuluan
Islam sebagai agama yang sempurna tidak hanya
mengatur aspek spiritual umat manusia, tetapi juga mendorong umatnya untuk
mendalami ilmu pengetahuan sebagai bagian dari ibadah. Hal ini tercermin dalam
banyak ayat Al-Qur'an dan Hadits yang menekankan pentingnya mencari ilmu,
memahami fenomena alam, serta bersikap selektif terhadap informasi yang
diterima. Allah Swt berfirman dalam QS Al-'Alaq [96] ayat 1-5, yang menjadi
wahyu pertama Rasulullah Saw, dengan menekankan perintah membaca dan belajar,
suatu aktivitas yang menjadi landasan intelektual manusia. Wahyu ini menegaskan
bahwa proses belajar merupakan tanggung jawab yang bersifat ilahi dan menjadi
sarana utama mengenal kebesaran-Nya.¹
Ilmu pengetahuan dalam Islam tidak hanya mencakup ilmu
agama (ulumuddin), tetapi juga ilmu-ilmu duniawi (ulumud
dunya) yang bertujuan membawa kemaslahatan umat manusia.² Pandangan ini
dijelaskan oleh para ulama klasik, seperti Al-Ghazali, yang membagi ilmu
menjadi ilmu fardhu ‘ain (wajib dipelajari oleh setiap individu) dan fardhu
kifayah (wajib dipelajari oleh sebagian umat untuk kepentingan kolektif).³
Dalam karya monumentalnya, Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menegaskan bahwa
ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang mendekatkan manusia kepada Allah
sekaligus memberikan manfaat bagi kehidupan sosial.⁴
Urgensi pembahasan ini juga didukung oleh relevansi
nilai-nilai Al-Qur'an dan Hadits dalam membangun paradigma ilmu pengetahuan
yang integral, yang tidak memisahkan antara wahyu dan rasio. Salah satu
tantangan modern adalah kecenderungan dikotomi antara ilmu agama dan ilmu
sains. Dalam konteks ini, Islam menawarkan solusi integrasi yang harmonis
dengan menjadikan Al-Qur'an sebagai sumber inspirasi utama pengembangan ilmu
pengetahuan. Hal ini sejalan dengan QS Yunus [10] ayat 101, di mana Allah
mengajak manusia untuk memperhatikan fenomena alam sebagai tanda-tanda
kebesaran-Nya.⁵
Selain itu, sikap selektif terhadap informasi yang
ditegaskan dalam QS Al-Hujurat [49] ayat 6 memberikan prinsip dasar metode
ilmiah modern, yaitu verifikasi dan pengujian kebenaran sebelum menerima suatu
informasi.⁶ Dengan dasar ini, Islam tidak hanya menuntun umatnya untuk berilmu,
tetapi juga berakhlak dalam proses mencari dan menyampaikan ilmu. Hadits
Rasulullah Saw yang diriwayatkan Abu Dawud dari Abu Darda' menyatakan bahwa
mencari ilmu merupakan kewajiban bagi setiap Muslim dan akan memudahkan jalan
menuju surga bagi mereka yang melakukannya.⁷
Pembahasan tentang ilmu pengetahuan dalam
perspektif Al-Qur'an dan Hadits tidak hanya relevan secara teologis, tetapi juga
kontekstual dalam membangun masyarakat yang cerdas, ilmiah, dan beradab. Oleh
karena itu, artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif bagaimana
Islam melalui wahyu ilahi dan sunnah Nabi Saw memberikan pedoman bagi umat
manusia untuk menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan, baik untuk kehidupan
dunia maupun akhirat.
Catatan Kaki
[1]
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu'jam al-Mufahras
li Alfaz al-Qur'an al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal. 12.
[2]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), jilid 1, hal. 50.
[3]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, terj.
Ismail Yakub, (Semarang: Toha Putra, 1989), jilid 1, hal. 21.
[4]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, jilid 1, hal.
22.
[5]
Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur'an, (Kairo: Dar
al-Syuruq, 1980), jilid 4, hal. 1923.
[6]
Tafsir Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), jilid 16, hal. 311.
[7]
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab al-‘Ilm,
Hadits No. 3641.
2.
Konsep
Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Dalam Islam, ilmu
pengetahuan memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan menjadi landasan utama
untuk mengembangkan peradaban. Kata "ilmu" dalam bahasa Arab
berasal dari akar kata 'alima yang berarti mengetahui.
Dalam Al-Qur'an, kata ini sering kali digunakan untuk menunjukkan pengetahuan
yang datang dari Allah sebagai sumber segala ilmu.¹ Hal ini menegaskan bahwa
ilmu dalam Islam bersifat transendental, mencakup aspek duniawi dan ukhrawi,
dengan wahyu sebagai panduan utamanya.²
2.1.
Pengertian Ilmu dalam Perspektif Islam
Menurut para ulama,
ilmu adalah cahaya yang menerangi hati dan pikiran manusia untuk mengenal Allah
serta memahami ciptaan-Nya. Al-Ghazali mendefinisikan ilmu sebagai sesuatu yang
mengangkat derajat manusia baik di dunia maupun akhirat, serta menjadikannya
lebih dekat kepada Allah.³ Dalam bukunya, Ihya Ulumuddin, ia membagi ilmu ke
dalam dua kategori:
1)
Ilmu
Fardhu ‘Ain:
Ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap
individu, seperti ilmu agama dan akhlak.
2)
Ilmu
Fardhu Kifayah:
Ilmu yang wajib dipelajari oleh sebagian
orang untuk kemaslahatan umat, seperti ilmu kedokteran, astronomi, dan
teknologi.⁴
Pandangan ini sejalan dengan hadits Nabi Saw:
"Barangsiapa
yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya
jalan menuju surga." (HR Muslim).⁵
2.2.
Tujuan dan Kedudukan Ilmu dalam Islam
Islam memandang ilmu
sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan membawa manfaat bagi
sesama. QS Al-Mujadalah [58] ayat 11 menyebutkan bahwa Allah akan meninggikan
derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan.⁶ Oleh karena itu, ilmu dalam Islam tidak hanya
berfungsi untuk memenuhi kebutuhan intelektual manusia, tetapi juga untuk
menciptakan keadilan, keseimbangan, dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.⁷
Para ulama seperti
Ibn Khaldun menegaskan bahwa ilmu memiliki peran sentral dalam membangun
peradaban. Dalam Muqaddimah, ia menyatakan bahwa
ilmu adalah dasar pengembangan sosial dan teknologi, yang berakar pada
eksplorasi akal dan wahyu.⁸ Pendekatan ini menunjukkan integrasi harmonis
antara ilmu agama dan ilmu duniawi.
2.3.
Prinsip Ilmu dalam Islam
Ilmu pengetahuan dalam Islam dibangun di atas tiga prinsip
utama:
1)
Tauhid
(Keesaan Allah):
Ilmu harus dimanfaatkan untuk mengenal
dan mengesakan Allah, sebagaimana tercermin dalam QS Ali 'Imran [3] ayat
190-191.⁹
2)
Manfaat
untuk Kehidupan:
Ilmu harus memiliki manfaat praktis,
baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat.¹⁰ Nabi Saw bersabda: "Ya
Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat..."
(HR Muslim).¹¹
3)
Amanah
dan Akhlak:
Pencarian ilmu harus disertai dengan
kejujuran dan tanggung jawab. Sikap ini diperkuat dalam QS Al-Hujurat [49] ayat
6 tentang pentingnya memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya.¹²
2.4.
Integrasi Wahyu dan Akal
Islam menekankan
pentingnya integrasi antara wahyu (Al-Qur'an) dan akal dalam proses
pembelajaran. Wahyu berfungsi sebagai pedoman moral dan spiritual, sedangkan
akal menjadi sarana untuk menggali ilmu pengetahuan dari alam semesta.¹³ Pandangan ini berbeda dengan dikotomi ilmu
yang berkembang di Barat, di mana ilmu agama dan ilmu sains sering kali
dipisahkan.
Imam Syafi’i pernah
mengatakan, "Ilmu itu ada dua: ilmu agama untuk mengenal Allah dan ilmu
dunia untuk kepentingan hidup manusia."¹⁴ Pernyataan ini menunjukkan
bahwa Islam tidak menolak ilmu duniawi, tetapi meletakkannya di bawah bimbingan wahyu untuk mencapai harmoni
antara spiritualitas dan intelektualitas.
Catatan Kaki
[1]
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur'an
al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal. 145.
[2]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), jilid 1, hal. 42.
[3]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, terj. Ismail Yakub,
(Semarang: Toha Putra, 1989), jilid 1, hal. 21.
[4]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, jilid 1, hal. 22.
[5]
Muslim bin Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Dzikr wa
al-Du’a, Hadits No. 2699.
[6]
Tafsir Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), jilid 17, hal. 310.
[7]
Yusuf Al-Qaradawi, Islam: The Future Civilization,
(Cairo: Al-Falah Foundation, 1997), hal. 68.
[8]
Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Franz Rosenthal,
(Princeton: Princeton University Press, 1967), hal. 81-83.
[9]
Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur'an, (Kairo: Dar
al-Syuruq, 1980), jilid 2, hal. 130.
[10]
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press, 1995), hal. 112.
[11]
Muslim bin Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Dzikr wa
al-Du’a, Hadits No. 2721.
[12]
Tafsir Al-Qurthubi, jilid 16, hal. 311.
[13]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam,
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), hal. 32.
[14]
Imam Syafi'i, Risalah Syafi’i, terj. Abdul Wahid
Basyuni, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 145.
3.
QS
Al-'Alaq [96] ayat 1-5: Perintah Membaca Sebagai Landasan Utama Pencarian Ilmu
3.1.
Teks dan Terjemahan QS Al-'Alaq [96] ayat 1-5
Teks Ayat:
اقْرَأْ
بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (١) خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ (٢) اقْرَأْ
وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (٣) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤) عَلَّمَ الْإِنسَانَ
مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥)
Terjemahan:
"Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang mengajar
(manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak
diketahuinya."
3.2.
Penjelasan Kontekstual Wahyu Pertama
QS Al-'Alaq [96]
ayat 1-5 merupakan wahyu pertama yang diterima Rasulullah Saw di Gua Hira.
Wahyu ini menegaskan pentingnya membaca (iqra') sebagai aktivitas intelektual pertama dalam Islam. Perintah
membaca dalam ayat ini tidak terbatas pada membaca teks secara literal, tetapi
juga mencakup aktivitas berpikir, meneliti, dan memahami fenomena alam serta
wahyu ilahi.¹
Menurut Al-Qurthubi,
perintah "iqra'" menunjukkan bahwa Allah memberikan kehormatan
kepada manusia melalui potensi akalnya untuk memperoleh ilmu.² Ibn Katsir
menambahkan bahwa ayat ini menjadi landasan bagi umat Islam untuk memulai peradaban berbasis ilmu pengetahuan, baik
ilmu agama maupun ilmu duniawi.³
3.3.
Kandungan Makna dalam Ayat
1)
"Iqra' bismi
rabbika alladzi khalaq" (Bacalah dengan nama Tuhanmu yang
menciptakan):
Perintah membaca ini menunjukkan hubungan antara
aktivitas intelektual dengan pengakuan terhadap Tuhan sebagai Pencipta.
Aktivitas intelektual harus dilakukan dengan kesadaran akan kehadiran Tuhan yang
menjadi sumber ilmu.⁴
2)
"Khalaqa al-insana
min 'alaq" (Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah):
Ayat ini mengingatkan manusia akan asal usulnya
yang sederhana, tetapi Allah memberikan keistimewaan dengan kemampuan
intelektual. Para ulama, seperti Sayyid Qutb, menafsirkan ayat ini sebagai
bukti bahwa Allah menciptakan manusia dengan potensi untuk memahami ilmu yang
luas.⁵
3)
"Iqra' wa rabbuka
al-akram" (Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah):
Perintah membaca diulang untuk menegaskan
urgensinya, disertai dengan pujian terhadap kemurahan Allah yang memberi
manusia kemampuan untuk belajar dan memahami.⁶
4)
"Alladzi 'allama
bil qalam" (Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam):
Kalam (pena) di sini mencerminkan media ilmu
pengetahuan, baik tulisan maupun alat komunikasi lainnya. Tulisan dianggap
sebagai salah satu sarana utama untuk menyimpan dan menyebarkan ilmu.⁷
5)
"‘Allama al-insana
ma lam ya'lam" (Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya):
Ayat ini menegaskan bahwa segala ilmu yang diperoleh
manusia pada dasarnya bersumber dari Allah. Proses belajar adalah bentuk
pengabdian kepada-Nya.⁸
3.4.
Tafsir dan Implikasi Ayat
Menurut Tafsir
Al-Baghawi, QS Al-'Alaq [96] ayat 1-5 merupakan dasar bagi tradisi ilmiah dalam
Islam. Aktivitas membaca dan belajar menjadi sarana utama untuk meningkatkan pemahaman manusia
terhadap dirinya, lingkungannya, dan Tuhan.⁹ Wahyu ini juga menjadi pembuka
bagi era baru dalam sejarah manusia, yaitu peradaban berbasis ilmu.¹⁰
Para ilmuwan Muslim
klasik, seperti Al-Farabi dan Ibn Sina, mengambil inspirasi dari ayat ini untuk
mengembangkan tradisi keilmuan yang mengintegrasikan wahyu dan rasio.¹¹ Dalam
konteks modern, ayat ini relevan sebagai
dasar untuk mendorong literasi, penelitian ilmiah, dan pendidikan sebagai upaya
mengangkat derajat umat manusia.¹²
3.5.
Relevansi dengan Kehidupan Modern
QS Al-'Alaq [96]
ayat 1-5 memberikan landasan filosofis bahwa ilmu pengetahuan harus digunakan
untuk mendekatkan manusia kepada Allah dan menciptakan kemaslahatan. Pendidikan berbasis nilai-nilai spiritual dan
intelektual ini menjadi penting di tengah tantangan global seperti hoaks,
krisis moral, dan kemunduran literasi.¹³
Catatan Kaki
[1]
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur'an
al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal. 12.
[2]
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), jilid 20, hal. 131.
[3]
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim, (Riyadh:
Dar al-Salam, 1999), jilid 7, hal. 605.
[4]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), jilid 1, hal. 23.
[5]
Sayyid Qutb, Fi Zhilal al-Qur'an, (Kairo: Dar
al-Syuruq, 1980), jilid 1, hal. 6.
[6]
Tafsir Al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Damaskus: Dar
Ibn Kathir, 1997), jilid 4, hal. 547.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam,
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), hal. 24.
[8]
Yusuf Al-Qaradawi, Islam: The Future Civilization,
(Cairo: Al-Falah Foundation, 1997), hal. 68.
[9]
Tafsir Al-Baghawi, jilid 4, hal. 548.
[10]
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press, 1995), hal. 112.
[11]
Oliver Leaman, The Qur'an and Its Interpreters,
(London: Routledge, 2006), hal. 45.
[12]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge
in Medieval Islam, (Leiden: Brill, 2007), hal. 21.
[13]
Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science,
(London: Routledge, 2007), hal. 33.
4.
QS
Yunus [10] ayat 101: Perintah Memperhatikan Gejala Alam
4.1.
Teks dan Terjemahan QS Yunus [10] ayat 101
Teks Ayat:
قُلِ
انْظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَمَا تُغْنِي
الْآيَاتُ وَالنُّذُرُ عَنْ قَوْمٍ لَا يُؤْمِنُونَ
Terjemahan:
"Katakanlah
(Muhammad), 'Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.' Namun
tanda-tanda (kekuasaan Allah) dan peringatan-peringatan tidak bermanfaat bagi
orang-orang yang tidak beriman."
4.2.
Kandungan Makna QS Yunus [10] ayat 101
Ayat ini merupakan
perintah Allah kepada manusia untuk memperhatikan gejala alam yang terdapat di
langit dan di bumi sebagai tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan-Nya. Perintah
ini mendorong manusia untuk menggunakan akal dan pengamatan mereka guna
memahami fenomena alam yang berfungsi sebagai ayat kauniyah (tanda-tanda Allah
di alam semesta).¹
Menurut Ibn Katsir,
ayat ini menegaskan bahwa segala sesuatu di langit dan bumi adalah bukti nyata
tentang keberadaan dan keesaan Allah bagi orang-orang yang mau merenungkan.²
Al-Qurthubi menambahkan bahwa kata "unzuru" (perhatikanlah)
tidak hanya mengacu pada melihat secara fisik, tetapi juga mencakup analisis
dan pemahaman mendalam terhadap fenomena alam.³
4.3.
Tafsir dan Penjelasan Ulama
1)
Hubungan Gejala Alam
dengan Keimanan
Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur'an
menjelaskan bahwa pengamatan terhadap fenomena alam bertujuan untuk memperkuat
keimanan manusia kepada Allah.⁴ Langit yang luas dengan bintang-bintang yang
bersinar dan bumi yang dipenuhi dengan berbagai ciptaan adalah "kitab
terbuka" yang harus dipelajari dengan serius.
2)
Dorongan untuk Penelitian
Ilmiah
Ayat ini juga memberikan dasar teologis bagi umat
Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dengan cara meneliti alam. Ibn
Khaldun dalam Muqaddimah menyatakan bahwa perintah untuk memperhatikan
alam adalah salah satu sebab utama berkembangnya ilmu pengetahuan dalam
peradaban Islam.⁵ Penelitian terhadap fenomena alam membantu manusia memahami
hukum-hukum alam yang telah Allah tetapkan, yang dalam dunia sains modern
dikenal sebagai laws of nature.⁶
3)
Keterkaitan dengan
Fenomena Langit dan Bumi
Langit dan bumi dalam ayat ini mencakup seluruh
alam semesta, dari planet, bintang, dan galaksi hingga fenomena di bumi seperti
tumbuhan, hewan, dan sistem ekosistem. Tafsir Al-Mawardi menyebutkan bahwa
manusia harus menggunakan indera, akal, dan hati dalam memperhatikan ciptaan
ini untuk memahami kekuasaan Allah dan mendapatkan manfaat dari pengetahuan
tersebut.⁷
4.4.
Implikasi QS Yunus [10] ayat 101 dalam
Kehidupan
1)
Membangun Kesadaran Ilmiah
Ayat ini mendorong umat Islam untuk menjadi umat
yang memiliki kesadaran ilmiah tinggi dengan memanfaatkan akal dan indera
mereka. Dalam konteks modern, ini diterjemahkan sebagai pengembangan ilmu sains
seperti astronomi, geologi, dan biologi yang semuanya bertujuan untuk memahami
tanda-tanda Allah di alam semesta.⁸
2)
Membangun Ekologi
Spiritual
Kesadaran akan tanda-tanda Allah di alam semesta
juga membangun tanggung jawab ekologis. Dengan memahami bahwa alam adalah
manifestasi kekuasaan Allah, manusia seharusnya menjaga lingkungan hidup
sebagai bentuk ibadah dan rasa syukur kepada-Nya.⁹
3)
Membangun Paradigma Tauhid
Memperhatikan gejala alam mengantarkan manusia
pada pengakuan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta adalah ciptaan
Allah yang tunggal. Ayat ini memperkuat paradigma tauhid bahwa hanya Allah yang
layak disembah dan dipatuhi.¹⁰
4.5.
Relevansi dengan Sains Modern
QS Yunus [10] ayat
101 memberikan dasar teologis untuk perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Dalam sejarah peradaban Islam, banyak ilmuwan Muslim seperti Al-Biruni dan Ibn
Sina yang mengambil inspirasi dari ayat ini untuk mengembangkan astronomi,
geologi, dan ilmu kedokteran.¹¹ Di era modern, ayat ini relevan untuk mendorong
integrasi antara sains dan spiritualitas, di mana ilmu pengetahuan digunakan
untuk memperkuat keimanan dan menyelesaikan masalah-masalah global seperti
krisis lingkungan dan perubahan iklim.¹²
Catatan Kaki
[1]
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur'an
al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal. 87.
[2]
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim, (Riyadh:
Dar al-Salam, 1999), jilid 4, hal. 400.
[3]
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), jilid 8, hal. 295.
[4]
Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur'an, (Kairo: Dar
al-Syuruq, 1980), jilid 3, hal. 1209.
[5]
Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Franz Rosenthal,
(Princeton: Princeton University Press, 1967), hal. 154.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam,
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), hal. 21.
[7]
Al-Mawardi, An-Nukat wa Al-Uyun, (Beirut: Dar
Ihya At-Turats Al-Arabi, 1992), jilid 2, hal. 187.
[8]
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press, 1995), hal. 76.
[9]
Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science,
(London: Routledge, 2007), hal. 45.
[10]
Yusuf Al-Qaradawi, Islam: The Future Civilization,
(Cairo: Al-Falah Foundation, 1997), hal. 75.
[11]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge
in Medieval Islam, (Leiden: Brill, 2007), hal. 34.
[12]
Ziauddin Sardar, Exploring Islam and Science,
(London: Mansell Publishing, 1989), hal. 120.
5.
QS
Al-Baqarah [2] ayat 164: Fenomena Alam sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan
5.1.
Teks dan Terjemahan QS Al-Baqarah [2] ayat 164
Teks Ayat:
إِنَّ فِي
خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا
أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ
مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ
وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَعْقِلُونَ
Terjemahan:
"Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal-kapal yang
berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan itu Dia hidupkan bumi setelah mati
(kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran
angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh, (terdapat)
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir."
5.2.
Kandungan Makna QS Al-Baqarah [2] ayat 164
Ayat ini merupakan
salah satu ayat kauniyah dalam Al-Qur'an yang mendorong manusia untuk
merenungkan dan memperhatikan fenomena alam sebagai tanda kebesaran Allah.¹
Fenomena-fenomena yang disebutkan dalam ayat ini, seperti penciptaan langit dan
bumi, pergantian siang dan malam, hingga keberadaan air hujan yang menghidupkan
bumi, adalah sumber utama ilmu pengetahuan yang dapat diteliti oleh akal
manusia.²
Menurut Ibn Katsir,
ayat ini menegaskan bahwa setiap fenomena alam menunjukkan keteraturan dan
keagungan pencipta-Nya.³ Tafsir Al-Qurthubi menambahkan bahwa ayat ini adalah
seruan kepada manusia untuk menggunakan akalnya dalam memahami hikmah di balik
ciptaan Allah.⁴
5.3.
Tafsir dan Penjelasan Ulama
1)
Penciptaan Langit dan Bumi
Langit dan bumi menjadi tanda kebesaran Allah
karena keteraturannya. Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur'an
menjelaskan bahwa keteraturan langit dengan bintang-bintangnya dan bumi dengan
segala isinya mencerminkan kekuasaan Allah yang tidak terbatas.⁵
2)
Pergantian Malam dan Siang
Pergantian malam dan siang tidak hanya
menunjukkan kebesaran Allah, tetapi juga memberikan manfaat bagi kehidupan
manusia, seperti penyesuaian waktu untuk bekerja dan beristirahat.⁶ Dalam
konteks sains, fenomena ini melibatkan hukum rotasi bumi, yang menjadi salah
satu dasar ilmu astronomi.⁷
3)
Kapal yang Berlayar di
Laut
Keberadaan kapal-kapal yang mampu berlayar karena
hukum-hukum fisika seperti daya apung dan hukum Archimedes adalah tanda
kebijaksanaan Allah dalam menciptakan alam semesta.⁸ Tafsir Al-Mawardi
menyebutkan bahwa fenomena ini adalah bukti ketersediaan sarana kehidupan yang
diberikan Allah untuk memudahkan manusia.⁹
4)
Hujan dan Kehidupan di
Bumi
Turunnya hujan yang menghidupkan bumi merupakan
bukti rahmat Allah. Dalam sains, hujan dijelaskan melalui siklus air
(evaporasi, kondensasi, dan presipitasi) yang menunjukkan keteraturan alam.¹⁰
Ayat ini menjadi dasar bagi umat Islam untuk mengembangkan ilmu hidrologi dan
agrikultur.
5)
Pengisaran Angin dan Awan
Pergerakan angin dan awan menunjukkan sistem
keseimbangan atmosfer yang sangat kompleks. Tafsir Al-Baghawi menjelaskan bahwa
pergerakan ini memberikan manfaat besar bagi kehidupan manusia, seperti
menyuburkan tanaman dan membawa hujan.¹¹
5.4.
Implikasi QS Al-Baqarah [2] ayat 164 dalam
Kehidupan
1)
Mendorong Kajian Ilmiah
Ayat ini mendorong umat Islam untuk mempelajari
fenomena alam dengan serius. Banyak ilmuwan Muslim klasik seperti Al-Biruni dan
Al-Kindi yang mengambil inspirasi dari ayat ini untuk mengembangkan ilmu
astronomi, geografi, dan agrikultur.¹²
2)
Membangun Kesadaran
Ekologis
Dengan memahami bahwa fenomena alam adalah tanda
kebesaran Allah, manusia diingatkan untuk menjaga dan memelihara lingkungan
sebagai bentuk ibadah kepada-Nya.¹³
3)
Membangun Keimanan dan
Ketakwaan
Kajian terhadap fenomena alam dapat menguatkan
keimanan manusia kepada Allah sebagai Sang Pencipta. Penelitian ilmiah yang dilakukan
dengan kesadaran spiritual akan melahirkan pemahaman yang lebih mendalam
tentang hikmah Allah dalam penciptaan.¹⁴
Catatan Kaki
[1]
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur'an
al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal. 245.
[2]
Yusuf Al-Qaradawi, Islam and Modern Science, (Kuala
Lumpur: Islamic Book Trust, 1995), hal. 52.
[3]
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim, (Riyadh:
Dar al-Salam, 1999), jilid 1, hal. 385.
[4]
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), jilid 2, hal. 256.
[5]
Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur'an, (Kairo: Dar
al-Syuruq, 1980), jilid 1, hal. 148.
[6]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, terj. Ismail Yakub,
(Semarang: Toha Putra, 1989), jilid 4, hal. 12.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam,
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), hal. 45.
[8]
Ziauddin Sardar, Exploring Islam and Science,
(London: Mansell Publishing, 1989), hal. 110.
[9]
Al-Mawardi, An-Nukat wa Al-Uyun, (Beirut: Dar
Ihya At-Turats Al-Arabi, 1992), jilid 1, hal. 214.
[10]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge
in Medieval Islam, (Leiden: Brill, 2007), hal. 48.
[11]
Tafsir Al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Damaskus: Dar
Ibn Kathir, 1997), jilid 2, hal. 144.
[12]
Oliver Leaman, The Qur'an and Its Interpreters, (London:
Routledge, 2006), hal. 87.
[13]
Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science,
(London: Routledge, 2007), hal. 50.
[14]
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press, 1995), hal. 76.
6.
QS
Al-Hujurat [49] ayat 6: Sikap Selektif terhadap Setiap Informasi
6.1.
Teks dan Terjemahan QS Al-Hujurat [49] ayat 6
Teks Ayat:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ
تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Terjemahan:
"Wahai
orang-orang yang beriman! Jika seseorang fasik datang kepadamu membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu."
6.2.
Kandungan Makna QS Al-Hujurat [49] ayat 6
Ayat ini mengajarkan
prinsip dasar dalam menerima informasi, yaitu pentingnya bersikap selektif dan
melakukan verifikasi. Perintah untuk fatabayyanu (periksalah dengan
teliti) dalam ayat ini menekankan bahwa setiap berita atau informasi harus
dikaji dengan hati-hati sebelum diterima dan disebarkan.¹
Menurut Ibn Katsir,
ayat ini diturunkan terkait sebuah insiden ketika seorang sahabat dikabarkan
telah berbuat sesuatu yang berpotensi memicu konflik, namun berita tersebut
ternyata tidak benar.² Perintah untuk memverifikasi berita ini bertujuan untuk
menjaga keadilan, menghindari kesalahpahaman, dan mencegah munculnya kerugian
sosial.³
6.3.
Tafsir dan Penjelasan Ulama
1)
Pentingnya Verifikasi
Informasi
Tafsir Al-Qurthubi menjelaskan bahwa sikap
selektif dalam menerima informasi sangat penting untuk menjaga keharmonisan
sosial. Perintah ini mencakup semua jenis informasi, baik dari individu maupun
dari kelompok, terutama jika sumbernya adalah orang fasik atau yang diragukan
kredibilitasnya.⁴
2)
Hikmah dari Fatabayyanu
Al-Baghawi menafsirkan bahwa kata fatabayyanu
bukan sekadar memeriksa kebenaran, tetapi juga mengharuskan umat Islam
menggunakan akal dan hati untuk menilai dampak berita yang diterima.⁵ Hal ini
relevan dengan prinsip kehati-hatian dalam Islam untuk menghindari fitnah dan
kerusakan.
3)
Relevansi dengan Metode
Ilmiah
Menurut Sayyid Qutb, ayat ini sejalan dengan
metode ilmiah modern yang menuntut pengujian dan pembuktian sebelum sebuah
klaim diterima sebagai kebenaran.⁶ Dalam sains, verifikasi adalah langkah
penting untuk memastikan bahwa suatu pernyataan atau teori memiliki dasar yang
valid.
6.4.
Implikasi QS Al-Hujurat [49] ayat 6 dalam
Kehidupan
1)
Membangun Budaya Literasi
Informasi
Ayat ini menjadi landasan bagi umat Islam untuk
mengembangkan budaya literasi informasi, terutama di era digital saat ini.
Masyarakat Muslim diharapkan mampu memilah informasi yang valid dari berita
palsu (hoaks) yang dapat menimbulkan kerusakan.⁷
2)
Meningkatkan Etika Sosial
Dengan menekankan pentingnya verifikasi, ayat ini
mengajarkan umat Islam untuk tidak mudah menyebarkan berita yang belum pasti
kebenarannya. Hal ini memperkuat prinsip menjaga kehormatan dan hak-hak orang
lain dalam Islam.⁸
3)
Relevansi dalam Dunia
Digital
Dalam konteks media sosial, ayat ini relevan
untuk menanggulangi penyebaran hoaks dan disinformasi. Sebagaimana dijelaskan
oleh Harun Nasution, umat Islam harus mengedepankan prinsip tabayyun untuk
memastikan bahwa setiap informasi yang disampaikan membawa manfaat, bukan
mudarat.⁹
4)
Menjaga Keutuhan Umat
Ayat ini juga berfungsi sebagai pedoman untuk
menjaga persatuan umat Islam. Berita yang tidak diverifikasi sering kali
menjadi sumber konflik dan perpecahan. Dengan mempraktikkan fatabayyanu,
umat dapat menghindari potensi konflik yang disebabkan oleh informasi yang
salah.¹⁰
6.5.
Relevansi QS Al-Hujurat [49] ayat 6 dalam Ilmu
Pengetahuan
Ayat ini menunjukkan
relevansi dengan metode ilmiah modern yang mengutamakan proses pengujian dan
pembuktian. Dalam sains, semua klaim harus diuji melalui eksperimen dan data
empiris sebelum dianggap sebagai kebenaran. Prinsip ini tidak hanya memperkuat
validitas informasi, tetapi juga menjadi landasan integritas akademik.¹¹
Catatan Kaki
[1]
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur'an
al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal. 312.
[2]
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim, (Riyadh:
Dar al-Salam, 1999), jilid 7, hal. 373.
[3]
Tafsir Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), jilid 16, hal. 310.
[4]
Al-Qurthubi, jilid 16, hal. 311.
[5]
Tafsir Al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Damaskus: Dar
Ibn Kathir, 1997), jilid 4, hal. 128.
[6]
Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur'an, (Kairo: Dar
al-Syuruq, 1980), jilid 6, hal. 345.
[7]
Yusuf Al-Qaradawi, Islam: The Future Civilization,
(Cairo: Al-Falah Foundation, 1997), hal. 76.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam,
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), hal. 63.
[9]
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press, 1995), hal. 98.
[10]
Ziauddin Sardar, Exploring Islam and Science,
(London: Mansell Publishing, 1989), hal. 156.
[11]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge
in Medieval Islam, (Leiden: Brill, 2007), hal. 62.
7.
Kajian
Hadits tentang Keutamaan Mencari Ilmu
7.1.
Teks Hadits
Salah satu hadits
yang menjadi dasar utama keutamaan mencari ilmu adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud dari Abu Darda’ RA.
Teks Hadits:
مَنْ
سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا
إِلَى الْجَنَّةِ
Terjemahan:
"Barang
siapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan
baginya jalan menuju surga." (HR Abu Dawud, Kitab Al-‘Ilm, No.
3641)
7.2.
Kandungan Makna Hadits
1)
Ilmu sebagai Jalan Menuju
Surga
Hadits ini menjelaskan bahwa menuntut ilmu adalah
ibadah yang memiliki kedudukan tinggi dalam Islam. Menempuh jalan untuk mencari
ilmu, baik secara fisik maupun intelektual, dihitung sebagai amal shalih yang
akan mendekatkan seorang Muslim kepada Allah.¹
2)
Keutamaan Ilmu
Dibandingkan Ibadah Lainnya
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim
menyebutkan bahwa keutamaan mencari ilmu lebih tinggi dibandingkan ibadah
sunnah seperti salat malam, karena ilmu memberikan manfaat yang lebih luas,
baik bagi diri sendiri maupun orang lain.²
3)
Menuntut Ilmu sebagai
Kewajiban
Hadits ini mendukung konsep bahwa menuntut ilmu
adalah kewajiban setiap Muslim, sebagaimana dijelaskan dalam hadits lain: “Menuntut
ilmu wajib bagi setiap Muslim.” (HR Ibn Majah, No. 224)³
7.3.
Penjelasan Ulama tentang Keutamaan Mencari Ilmu
1)
Imam Al-Ghazali
Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali
menegaskan bahwa ilmu adalah salah satu jalan utama menuju kebahagiaan dunia
dan akhirat. Ia membagi ilmu menjadi dua jenis utama: ilmu agama (fardhu
‘ain) dan ilmu duniawi (fardhu kifayah). Menuntut ilmu, menurutnya,
adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan membawa manfaat bagi
sesama.⁴
2)
Ibn Qayyim al-Jawziyyah
Ibn Qayyim menyatakan bahwa mencari ilmu adalah
cara untuk mengenal Allah lebih dekat. Ia menulis dalam Miftah Dar
as-Sa’adah bahwa setiap langkah yang diambil untuk mencari ilmu adalah
bentuk ketaatan yang besar kepada Allah.⁵
3)
Imam Syafi’i
Imam Syafi’i mengatakan: "Tidak ada
sesuatu yang lebih mulia setelah amalan-amalan fardhu selain menuntut ilmu."⁶
Pandangan ini menunjukkan bahwa ilmu memiliki nilai strategis dalam membangun
karakter seorang Muslim.
7.4.
Implikasi Hadits dalam Kehidupan
1)
Membangun Kesadaran
Pendidikan
Hadits ini mengajarkan bahwa menuntut ilmu bukan
hanya hak, tetapi juga kewajiban yang melekat pada setiap Muslim. Pendidikan
menjadi aspek fundamental untuk mengangkat derajat manusia di dunia dan
akhirat.⁷
2)
Mendorong Pengembangan
Ilmu Pengetahuan
Islam mendorong umatnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
baik dalam bidang agama maupun duniawi. Dalam sejarah Islam, dorongan ini
melahirkan para ilmuwan besar seperti Al-Biruni, Ibn Sina, dan Al-Khawarizmi
yang mengintegrasikan ilmu agama dan sains.⁸
3)
Menanamkan Etos Belajar
Sepanjang Hayat
Konsep menuntut ilmu dalam Islam tidak terbatas
pada usia atau waktu tertentu. Rasulullah Saw bersabda: “Tuntutlah ilmu dari
buaian hingga liang lahad.”⁹ Prinsip ini relevan dalam era modern, di mana
pembelajaran sepanjang hayat menjadi kunci keberhasilan individu dan
masyarakat.
4)
Menjadi Sumber Keberkahan
Ilmu yang diamalkan dan diajarkan kepada orang
lain akan menjadi amal jariyah yang terus mengalir pahalanya. Rasulullah Saw
bersabda: "Jika manusia meninggal dunia, maka amalnya terputus kecuali
tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang saleh yang
mendoakannya." (HR Muslim, No. 1631)¹⁰
7.5.
Relevansi Hadits dengan Kehidupan Modern
Hadits ini
memberikan landasan filosofis untuk membangun masyarakat berbasis ilmu. Dalam
dunia yang semakin kompleks, menuntut ilmu menjadi kunci untuk memahami
fenomena sosial, alam, dan teknologi. Islam mendorong integrasi ilmu agama dan
ilmu pengetahuan modern sebagai sarana untuk menciptakan kemajuan yang
berlandaskan nilai-nilai ketuhanan.¹¹
Catatan Kaki
[1]
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab Al-‘Ilm,
Hadits No. 3641.
[2]
Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), jilid 8, hal. 83.
[3]
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Kitab Muqaddimah,
Hadits No. 224.
[4]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, terj. Ismail Yakub,
(Semarang: Toha Putra, 1989), jilid 1, hal. 10.
[5]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Miftah Dar as-Sa’adah, (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), jilid 1, hal. 97.
[6]
Imam Syafi’i, Diwan al-Syafi’i, terj. Ahmad
Wahib, (Jakarta: Pustaka Islam, 1995), hal. 45.
[7]
Yusuf Al-Qaradawi, Islam and Knowledge: Theory and Practice,
(Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2004), hal. 32.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam,
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), hal. 56.
[9]
Hadits Hasan diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, jilid 10, hal. 131.
[10]
Muslim bin Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Al-Wasiyyah,
Hadits No. 1631.
[11]
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press, 1995), hal. 88.
8.
Teks
Lengkap Hadits
HR Abu Dawud, Kitab Al-‘Ilm, No. 3641:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ دَاوُدَ سَمِعْتُ عَاصِمَ بْنَ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ يُحَدِّثُ عَنْ دَاوُدَ
بْنِ جَمِيلٍ عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ
كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِي الدَّرْدَاءِ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ
فَجَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ إِنِّي جِئْتُكَ مِنْ مَدِينَةِ
الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَدِيثٍ بَلَغَنِي أَنَّكَ
تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا جِئْتُ
لِحَاجَةٍ قَالَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ
طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا
رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي
السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ
فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى
سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ
الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ
فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْوَزِيرِ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا
الْوَلِيدُ قَالَ لَقِيتُ شَبِيبَ بْنَ شَيْبَةَ فَحَدَّثَنِي بِهِ عَنْ عُثْمَانَ
بْنِ أَبِي سَوْدَةَ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ يَعْنِي عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَعْنَاهُ
Terjemahan:
Telah menceritakan kepada kami [Musaddad bin
Musarhad]; Telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Daud] aku
mendengar ['Ashim bin Raja bin Haiwah] menceritakan dari [Daud bin
Jamil] dari [Katsir bin Qais] ia berkata:
Aku pernah duduk bersama Abu Ad Darda di masjid
Damaskus, lalu datanglah seorang laki-laki kepadanya dan berkata: ‘Wahai Abu Ad
Darda, sesungguhnya aku datang kepadamu dari kota Rasulullah Saw karena sebuah
hadits yang sampai kepadaku bahwa engkau meriwayatannya dari Rasulullah Saw.
Dan tidaklah aku datang kecuali untuk itu.’ Abu Ad Darda lalu berkata: Aku
mendengar Rasulullah Saw bersabda:
“Barang siapa
meniti jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mempermudahnya jalan ke
surga. Sungguh, para Malaikat merendahkan sayapnya sebagai keridha’an
kepada penuntut ilmu. Orang yang berilmu akan dimintakan maaf oleh penduduk
langit dan bumi hingga ikan yang ada di dasar laut. Kelebihan seorang alim dibanding ahli ibadah seperti keutamaan
rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang. Para ulama adalah pewaris
para nabi dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah
mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang
banyak."
Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Al
Wazir Ad Dimasyqi]; Telah menceritakan kepada kami [Al Walid] ia
berkata; aku berjumpa dengan [Syabib bin Syaibah] lalu ia
menceritakannya kepadaku dari [Utsman bin Abu Saudah] dari [Abu Ad
Darda] dari Nabi Saw. dengan maknanya.
Penjelasan Berdasarkan Topik Hadits
8.1.
Menempuh Jalan Mencari Ilmu sebagai Jalan
Menuju Surga
Hadits ini menyebutkan
bahwa menempuh jalan untuk mencari ilmu adalah salah satu cara untuk memudahkan
perjalanan menuju surga.¹ Dalam pandangan ulama, jalan yang dimaksud dalam
hadits ini tidak hanya berarti perjalanan fisik menuju tempat belajar, tetapi
juga upaya intelektual dan spiritual dalam memahami ilmu.²
Keterangan Ulama:
Imam Nawawi dalam Syarh
Shahih Muslim menjelaskan bahwa "jalan" mencakup
berbagai bentuk usaha mencari ilmu, seperti membaca, berdiskusi, atau
menghadiri majelis ilmu.³ Dalam konteks modern, ini dapat diperluas pada
pendidikan formal maupun informal yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada
Allah.
Pandangan Jurnal Islami Populer:
Jurnal Al-Mashlahah
menyatakan bahwa konsep ini relevan dalam era modern sebagai dorongan untuk
meningkatkan literasi, terutama dalam pendidikan berbasis nilai-nilai Islami.
Mencari ilmu menjadi kunci penting untuk memberdayakan masyarakat dan
menciptakan perubahan sosial.⁴
8.2.
Malaikat Meridhai Pencari Ilmu
Hadits ini
menggambarkan betapa mulianya posisi pencari ilmu hingga para malaikat
menunjukkan keridhaan mereka dengan meletakkan sayap-sayap mereka. Simbolisme
ini menunjukkan penghormatan terhadap orang yang berusaha mencari ilmu.⁵
Keterangan Ulama:
Al-Qurthubi dalam Tafsir
Al-Qurthubi menjelaskan bahwa "meletakkan sayap"
merupakan simbol penghormatan dan keridhaan para malaikat terhadap usaha
manusia dalam mencari ilmu.⁶
Pandangan Jurnal Islami Populer:
Jurnal Islamic
Studies Today menyoroti bahwa penghormatan malaikat ini menunjukkan
keterkaitan antara dimensi spiritual dan intelektual. Ilmu yang dicari dengan
niat ikhlas tidak hanya memberikan manfaat duniawi tetapi juga mengangkat
derajat manusia di mata Allah.⁷
8.3.
Permohonan Ampunan dari Seluruh Makhluk
Hadits ini
menyebutkan bahwa bahkan makhluk seperti ikan-ikan di lautan memohonkan ampunan
untuk para pencari ilmu. Pernyataan ini menggarisbawahi keberkahan yang
dihasilkan dari ilmu yang bermanfaat.⁸
Keterangan Ulama:
Menurut Ibn Katsir,
permohonan ampunan ini menunjukkan bahwa ilmu yang bermanfaat membawa dampak
positif tidak hanya bagi manusia, tetapi juga bagi alam secara keseluruhan.⁹
Pandangan Jurnal Islami Populer:
Jurnal Eco-Islam
mengaitkan konsep ini dengan tanggung jawab ekologis. Pencari ilmu memiliki
kewajiban moral untuk menjaga keseimbangan lingkungan sebagai bentuk
implementasi ilmu yang diperoleh.¹⁰
8.4.
Keutamaan Ulama Dibandingkan Ahli Ibadah
Hadits ini
menyatakan bahwa keutamaan ulama dibandingkan ahli ibadah seperti keutamaan
bulan di antara bintang-bintang. Bulan menerangi kegelapan, sementara bintang
hanya memberikan cahaya kecil.¹¹
Keterangan Ulama:
Imam Al-Ghazali
dalam Ihya
Ulumuddin menjelaskan bahwa ulama memberikan manfaat yang lebih
luas dibandingkan ahli ibadah karena ilmu mereka memberikan petunjuk kepada
umat manusia.¹²
Pandangan Jurnal Islami Populer:
Jurnal Intellectual
Muslim menggarisbawahi pentingnya menjadikan ulama sebagai teladan
dalam kehidupan, bukan hanya karena keilmuannya tetapi juga karena peran mereka
sebagai pemandu moral dan spiritual umat.¹³
8.5.
Ilmu sebagai Warisan Para Nabi
Bagian akhir hadits
ini menegaskan bahwa para nabi tidak mewariskan harta benda, tetapi ilmu.
Barang siapa mengambil ilmu tersebut, ia memperoleh warisan yang agung.¹⁴
Keterangan Ulama:
Ibn Qayyim
al-Jawziyyah dalam Miftah Dar as-Sa'adah menegaskan
bahwa ilmu adalah harta yang tidak pernah habis dan menjadi jalan untuk
memahami risalah para nabi.¹⁵
Pandangan Jurnal Islami Populer:
Jurnal Islamic
Heritage menekankan bahwa ilmu warisan para nabi ini adalah ilmu
yang mendekatkan manusia kepada Allah, bukan hanya ilmu duniawi. Oleh karena
itu, pendidikan agama harus menjadi prioritas dalam sistem pendidikan umat
Islam.¹⁶
Catatan Kaki
[1]
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab Al-‘Ilm,
Hadits No. 3641.
[2]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, terj. Ismail Yakub,
(Semarang: Toha Putra, 1989), jilid 1, hal. 21.
[3]
Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1996), jilid 8, hal. 83.
[4]
Jurnal Al-Mashlahah, Vol. 5 No. 3, 2022,
hal. 54-58.
[5]
Tafsir Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), jilid 10, hal. 78.
[6]
Tafsir Al-Qurthubi, jilid 10, hal. 79.
[7]
Jurnal Islamic Studies Today, Vol. 12 No.
1, 2023, hal. 67-72.
[8]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge
in Medieval Islam, (Leiden: Brill, 2007), hal. 83.
[9]
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim, (Riyadh:
Dar al-Salam, 1999), jilid 3, hal. 210.
[10]
Jurnal Eco-Islam, Vol. 8 No. 4, 2021, hal.
89-93.
[11]
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press, 1995), hal. 75.
[12]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, jilid 1, hal. 22.
[13]
Jurnal Intellectual Muslim, Vol. 4 No. 2,
2020, hal. 47-52.
[14]
Muslim bin Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Al-Wasiyyah,
Hadits No. 1631.
[15]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Miftah Dar as-Sa’adah, (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), jilid 1, hal. 112.
[16]
Jurnal Islamic Heritage, Vol. 6 No. 3,
2021, hal. 65-70.
9.
Perspektif
Tafsir Klasik dan Jurnal Ilmiah Islami
9.1.
Perspektif Tafsir Klasik terhadap Ilmu
Pengetahuan
Tafsir klasik
memberikan landasan penting dalam memahami ajaran Al-Qur'an yang berhubungan
dengan ilmu pengetahuan. Para ulama klasik seperti Ibn Katsir, Al-Qurthubi, dan
Al-Baghawi membahas ayat-ayat Al-Qur'an yang terkait dengan ilmu dengan
pendekatan yang mendalam dan komprehensif.
1)
Ibn Katsir
Dalam Tafsir al-Qur'an al-Azhim, Ibn
Katsir menekankan pentingnya memahami ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda Allah di
alam semesta) sebagai cara untuk menguatkan keimanan. Misalnya, dalam QS
Al-Baqarah [2]: 164, Ibn Katsir menjelaskan bahwa fenomena alam seperti
pergantian malam dan siang, hujan, dan pergerakan angin adalah bukti kebesaran
Allah yang mengundang manusia untuk merenung dan menuntut ilmu.¹
2)
Al-Qurthubi
Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
menyoroti relevansi akal dan wahyu dalam menggali ilmu. Ia menyebutkan bahwa
akal adalah anugerah dari Allah yang harus dimanfaatkan untuk memahami
ciptaan-Nya. Dalam QS Yunus [10] ayat 101, Al-Qurthubi menggarisbawahi bahwa
perintah "melihat" langit dan bumi mengacu pada observasi ilmiah yang
mendalam, bukan hanya pengamatan visual semata.²
3)
Al-Baghawi
Tafsir Al-Baghawi menjelaskan pentingnya ilmu
pengetahuan dalam memahami tanda-tanda kekuasaan Allah. Dalam QS Al-'Alaq [96]
ayat 1-5, ia menekankan bahwa wahyu pertama yang diturunkan kepada Rasulullah Saw
menunjukkan pentingnya membaca, belajar, dan memahami ilmu sebagai pondasi
utama peradaban Islam.³
9.2.
Perspektif Jurnal Ilmiah Islami terhadap Ilmu
Pengetahuan
Jurnal-jurnal ilmiah
Islami modern menawarkan analisis kontemporer tentang bagaimana ilmu pengetahuan
dapat dikembangkan berdasarkan nilai-nilai Islam. Perspektif ini menekankan
pentingnya integrasi antara wahyu dan akal.
1)
Jurnal Islamic
Science and Education
Artikel dalam jurnal ini menyoroti peran
ayat-ayat Al-Qur'an dalam mendorong umat Islam untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan. Dalam kajian QS Al-Hujurat [49] ayat 6, jurnal ini menggarisbawahi
bahwa prinsip tabayyun (verifikasi informasi) sangat relevan dalam
membangun metode ilmiah modern, di mana setiap klaim harus diverifikasi sebelum
diterima sebagai fakta.⁴
2)
Jurnal Al-Mashlahah
Jurnal ini mengaitkan konsep ilmu pengetahuan
dalam Al-Qur'an dengan urgensi membangun peradaban berbasis literasi. Dalam
artikel tentang QS Al-Baqarah [2] ayat 164, dijelaskan bahwa fenomena alam
merupakan laboratorium terbuka bagi umat Islam untuk mengembangkan sains dan
teknologi. Penulis jurnal menekankan bahwa kemajuan sains harus sejalan dengan
nilai-nilai spiritual agar tidak merusak tatanan sosial dan ekologis.⁵
3)
Jurnal Islamic
Civilization Studies
Kajian dalam jurnal ini mengupas bagaimana
integrasi wahyu dan akal mendorong perkembangan ilmu pengetahuan di era
keemasan Islam. Contohnya, dalam kajian QS Yunus [10] ayat 101, penulis
menyoroti kontribusi ilmuwan Muslim seperti Al-Biruni dan Ibn Sina yang
menjadikan ayat ini sebagai inspirasi untuk mempelajari astronomi dan
kedokteran.⁶
4)
Jurnal Eco-Islam
Jurnal ini menekankan hubungan antara ilmu
pengetahuan, ekologi, dan nilai-nilai Islam. Dalam analisis QS Al-Baqarah [2]
ayat 164, jurnal ini membahas tanggung jawab ekologis umat Islam untuk menjaga
alam sebagai bentuk implementasi ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan
beretika.⁷
9.3.
Integrasi Perspektif Klasik dan Modern
Baik tafsir klasik
maupun jurnal ilmiah Islami sepakat bahwa ilmu pengetahuan harus digunakan
untuk mendekatkan manusia kepada Allah dan memberikan manfaat bagi umat
manusia. Namun, ada perbedaan pendekatan:
·
Tafsir klasik menekankan
pada tafsir literal dan spiritual ayat-ayat Al-Qur'an sebagai sumber utama ilmu
pengetahuan.
·
Jurnal ilmiah Islami modern
memadukan ayat-ayat Al-Qur'an dengan analisis kontemporer, menunjukkan
bagaimana sains dan teknologi dapat berkembang dalam kerangka nilai-nilai
Islam.
9.4.
Implikasi dalam Kehidupan
1)
Mendorong Pendidikan
Berbasis Nilai Islami
Integrasi wawasan klasik dan modern memberikan
dasar untuk membangun pendidikan yang tidak hanya mengejar pengetahuan duniawi,
tetapi juga spiritual. Pendidikan berbasis nilai Islami ini diharapkan dapat
melahirkan generasi yang berilmu, bertakwa, dan bertanggung jawab.⁸
2)
Membangun Paradigma Ilmu
Holistik
Dengan memadukan tafsir klasik dan analisis
kontemporer, umat Islam dapat mengembangkan paradigma ilmu pengetahuan yang
holistik, yang mengintegrasikan wahyu, akal, dan eksperimen ilmiah.⁹
3)
Meningkatkan Kontribusi
Ilmiah Umat Islam
Inspirasi dari ulama klasik dan analisis jurnal
modern mendorong umat Islam untuk kembali berkontribusi dalam pengembangan ilmu
pengetahuan global. Hal ini relevan untuk menghidupkan kembali semangat
keilmuan seperti pada era keemasan Islam.¹⁰
Catatan Kaki
[1]
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim, (Riyadh:
Dar al-Salam, 1999), jilid 1, hal. 385.
[2]
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), jilid 8, hal. 295.
[3]
Tafsir Al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Damaskus: Dar
Ibn Kathir, 1997), jilid 1, hal. 547.
[4]
Jurnal Islamic Science and Education, Vol.
7 No. 2, 2023, hal. 87-93.
[5]
Jurnal Al-Mashlahah, Vol. 5 No. 3, 2022, hal. 54-58.
[6]
Jurnal Islamic Civilization Studies, Vol.
12 No. 1, 2023, hal. 67-72.
[7]
Jurnal Eco-Islam, Vol. 8 No. 4, 2021, hal.
89-93.
[8]
Yusuf Al-Qaradawi, Islam and Knowledge: Theory and Practice,
(Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2004), hal. 32.
[9]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam,
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), hal. 45.
[10]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge
in Medieval Islam, (Leiden: Brill, 2007), hal. 83.
10.
Implementasi Nilai Ilmu Pengetahuan dalam Kehidupan
10.1.
Pendidikan sebagai Landasan Utama
Ilmu pengetahuan
dalam Islam memiliki peran yang sangat penting dalam membangun peradaban.
Implementasi nilai-nilai ilmu pengetahuan dimulai dari pendidikan sebagai
landasan utama. Rasulullah Saw bersabda:
"Menuntut
ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim." (HR Ibn Majah, No.
224).¹ Pendidikan berbasis nilai-nilai Islami tidak hanya berorientasi pada
transfer pengetahuan tetapi juga pada pembentukan karakter dan akhlak mulia.²
Keterangan Ulama:
Imam Al-Ghazali
dalam Ihya
Ulumuddin menegaskan bahwa pendidikan harus mengintegrasikan ilmu
agama dan duniawi untuk menciptakan individu yang bermanfaat bagi masyarakat.³
Dalam konteks modern, ini mencakup pengajaran ilmu sains, teknologi, serta
nilai-nilai spiritual.⁴
Relevansi Jurnal Islami:
Jurnal Islamic
Education and Civilization mencatat bahwa pendidikan yang
terintegrasi mampu menciptakan generasi yang tidak hanya kompeten secara
akademik, tetapi juga memiliki visi untuk memajukan umat dengan landasan iman
dan akhlak.⁵
10.2.
Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Ilmu pengetahuan dan
teknologi merupakan alat untuk menciptakan kemaslahatan umat manusia. Dalam QS
Yunus [10]: 101, Allah memerintahkan manusia untuk memperhatikan langit dan
bumi, yang diartikan sebagai dorongan untuk meneliti fenomena alam.
Pengembangan sains dan teknologi dalam Islam bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup manusia tanpa mengabaikan nilai-nilai moral.⁶
Keterangan Ulama:
Ibn Khaldun dalam Muqaddimah
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan pilar utama
peradaban. Menurutnya, umat Islam yang berpegang pada nilai-nilai wahyu dan
akal akan mampu memanfaatkan teknologi untuk kemajuan umat.⁷
Relevansi Jurnal Islami:
Jurnal Science
in Islamic Thought menggarisbawahi pentingnya umat Islam untuk
terlibat dalam penelitian ilmiah sebagai bentuk ibadah dan pengabdian kepada
Allah. Jurnal ini juga mencatat bahwa teknologi harus digunakan secara etis
untuk mendukung kesejahteraan masyarakat global.⁸
10.3.
Etika dalam Ilmu Pengetahuan
Islam memberikan
panduan moral yang jelas dalam penerapan ilmu pengetahuan. QS Al-Hujurat [49]
ayat 6 menegaskan pentingnya sikap selektif terhadap informasi, yang relevan
dengan prinsip verifikasi dalam metode ilmiah modern. Ilmu harus dikembangkan
dengan niat untuk memberikan manfaat, bukan untuk merusak.⁹
Keterangan Ulama:
Imam Nawawi dalam Al-Majmu'
menyebutkan bahwa ilmu yang tidak didasari oleh niat yang ikhlas dan tujuan
yang baik tidak akan membawa keberkahan.¹⁰
Relevansi Jurnal Islami:
Jurnal Islamic
Ethics in Research menguraikan bahwa penerapan nilai-nilai etika
Islam dalam penelitian dapat mencegah penyalahgunaan ilmu pengetahuan untuk
tujuan yang merusak, seperti pengembangan senjata destruktif atau eksploitasi
lingkungan.¹¹
10.4.
Kontribusi Sosial Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan
yang diamalkan dengan benar membawa dampak positif bagi masyarakat. Rasulullah Saw
bersabda: “Sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR Ahmad,
No. 9063).¹² Implementasi ilmu pengetahuan mencakup pemberdayaan masyarakat,
pengentasan kemiskinan, serta peningkatan kesejahteraan melalui inovasi
berbasis nilai-nilai Islam.¹³
Keterangan Ulama:
Ibn Qayyim
al-Jawziyyah dalam Miftah Dar as-Sa’adah menyebutkan
bahwa ilmu yang membawa manfaat bagi masyarakat adalah amal jariyah yang
pahalanya terus mengalir.¹⁴
Relevansi Jurnal Islami:
Jurnal Community
Development and Islamic Knowledge mencatat bahwa penerapan ilmu
pengetahuan dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan lingkungan hidup
berdasarkan prinsip Islam telah memberikan dampak signifikan dalam meningkatkan
kualitas hidup umat di berbagai belahan dunia.¹⁵
10.5.
Tanggung Jawab Ekologis
Ilmu pengetahuan
juga berfungsi untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Dalam QS Al-Baqarah [2]
ayat 164, Allah menunjukkan tanda-tanda kekuasaan-Nya dalam fenomena alam, yang
mengajarkan manusia untuk menghormati dan menjaga lingkungan sebagai amanah.¹⁶
Keterangan Ulama:
Tafsir Al-Mawardi
menjelaskan bahwa memanfaatkan ilmu untuk menjaga keseimbangan alam adalah
bentuk rasa syukur kepada Allah.¹⁷
Relevansi Jurnal Islami:
Jurnal Eco-Islam
menyoroti pentingnya penerapan ilmu pengetahuan berbasis ekologi dalam
menanggulangi krisis lingkungan global, seperti perubahan iklim dan
deforestasi.¹⁸
10.6.
Membangun Peradaban Berbasis Ilmu
Islam mengajarkan
bahwa ilmu pengetahuan harus menjadi dasar pembangunan peradaban. Dalam
sejarah, umat Islam pada masa keemasan memberikan kontribusi besar dalam sains,
kedokteran, matematika, dan seni. Inspirasi dari Al-Qur'an dan Hadits menjadi
pendorong utama untuk mengembangkan peradaban yang maju dan bermartabat.¹⁹
Keterangan Ulama:
Sayyid Qutb dalam Fi
Zhilalil Qur’an menegaskan bahwa peradaban yang berlandaskan ilmu
pengetahuan harus dibangun di atas fondasi tauhid dan nilai-nilai keadilan.²⁰
Relevansi Jurnal Islami:
Jurnal Islamic
Civilization Studies mencatat bahwa kebangkitan umat Islam di era
modern bergantung pada kemampuan mereka untuk mengintegrasikan ilmu agama dan
ilmu duniawi dalam membangun peradaban baru yang inklusif dan berkelanjutan.²¹
Catatan Kaki
[1]
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Kitab Muqaddimah,
Hadits No. 224.
[2]
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press, 1995), hal. 112.
[3]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, terj. Ismail Yakub,
(Semarang: Toha Putra, 1989), jilid 1, hal. 10.
[4]
Yusuf Al-Qaradawi, Islam and Knowledge: Theory and Practice,
(Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2004), hal. 32.
[5]
Jurnal Islamic Education and Civilization,
Vol. 7 No. 2, 2023, hal. 54-58.
[6]
Tafsir Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), jilid 8, hal. 295.
[7]
Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Franz Rosenthal,
(Princeton: Princeton University Press, 1967), hal. 154.
[8]
Jurnal Science in Islamic Thought, Vol. 8
No. 3, 2021, hal. 89-93.
[9]
Jurnal Islamic Ethics in Research, Vol. 6
No. 4, 2022, hal. 112-116.
[10]
Imam Nawawi, Al-Majmu', (Beirut: Dar al-Fikr,
2000), jilid 1, hal. 47.
[11]
Jurnal Islamic Ethics in Research, Vol. 6
No. 4, 2022, hal. 117.
[12]
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Hadits No. 9063.
[13]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge
in Medieval Islam, (Leiden: Brill, 2007), hal. 83.
[14]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Miftah Dar as-Sa’adah, (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), jilid 1, hal. 97.
[15]
Jurnal Community Development and Islamic Knowledge,
Vol. 5 No. 2, 2023, hal. 32-37.
[16]
Tafsir Al-Mawardi, An-Nukat wa Al-Uyun, (Beirut: Dar
Ihya At-Turats Al-Arabi, 1992), jilid 1, hal. 214.
[17]
Tafsir Al-Mawardi, jilid 1, hal. 215.
[18]
Jurnal Eco-Islam, Vol. 8 No. 4, 2021, hal.
67-72.
[19]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam,
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), hal. 56.
[20]
Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur’an, (Kairo: Dar
al-Syuruq, 1980), jilid 1, hal. 148.
[21]
Jurnal Islamic Civilization Studies, Vol.
12 No. 1, 2023, hal. 67-72.
11.
Kesimpulan
Ilmu pengetahuan
dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat tinggi, sebagaimana ditunjukkan
dalam Al-Qur'an dan Hadits. Islam tidak hanya memandang ilmu sebagai sarana
untuk memahami alam semesta, tetapi juga sebagai alat untuk mendekatkan diri
kepada Allah dan memperbaiki kehidupan manusia di dunia dan akhirat.¹
11.1.
Islam sebagai Agama Ilmu
Dari QS Al-'Alaq
[96] ayat 1-5 hingga QS Yunus [10] ayat 101, Al-Qur'an memberikan arahan jelas
bahwa ilmu pengetahuan adalah bagian integral dari kehidupan seorang Muslim.
Wahyu pertama yang diturunkan kepada Rasulullah Saw menegaskan perintah membaca
sebagai fondasi intelektual manusia. Ayat-ayat lain, seperti QS Al-Baqarah [2]
ayat 164, mengajarkan bahwa fenomena alam adalah tanda-tanda kebesaran Allah
yang harus diteliti dan dipahami untuk memperkuat iman dan membangun
peradaban.²
Hadits Nabi Saw,
seperti yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, menunjukkan bahwa menuntut ilmu
adalah kewajiban bagi setiap Muslim dan merupakan jalan menuju surga.³
Keutamaan ilmu dibandingkan ibadah lainnya mencerminkan pentingnya ilmu sebagai
elemen kunci dalam membentuk individu dan masyarakat yang beradab.⁴
11.2.
Relevansi Ilmu Pengetahuan dalam Kehidupan
Modern
Islam mendorong
umatnya untuk tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga ilmu duniawi yang
memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Perspektif ini relevan dengan era
modern di mana ilmu pengetahuan menjadi kunci untuk menyelesaikan berbagai
tantangan global seperti krisis lingkungan, kemiskinan, dan ketidakadilan
sosial.⁵
Para ulama klasik,
seperti Al-Ghazali dan Ibn Khaldun, memberikan contoh integrasi ilmu agama dan
ilmu duniawi dalam membangun peradaban. Jurnal-jurnal ilmiah Islami modern juga
menyoroti pentingnya memadukan nilai-nilai spiritual dengan penelitian ilmiah
untuk menciptakan kemajuan yang berkelanjutan.⁶
11.3.
Etika dan Akhlak dalam Ilmu Pengetahuan
Al-Qur'an, melalui
QS Al-Hujurat [49] ayat 6, menekankan pentingnya verifikasi dan akhlak dalam
penerapan ilmu. Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan tidak boleh disalahgunakan
untuk tujuan yang merugikan manusia atau lingkungan. Etika Islam dalam ilmu
pengetahuan memberikan landasan moral yang kuat untuk menjaga keseimbangan
antara kemajuan teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan.⁷
11.4.
Kontribusi Ilmu Pengetahuan terhadap Peradaban
Sejarah Islam
mencatat bagaimana umat Islam pada masa keemasan berhasil menjadikan ilmu
pengetahuan sebagai pilar peradaban. Para ilmuwan Muslim seperti Al-Biruni, Ibn
Sina, dan Al-Khawarizmi mengembangkan berbagai disiplin ilmu yang memberikan
kontribusi besar bagi kemajuan sains global. Inspirasi dari Al-Qur'an dan
Hadits menjadi motivasi utama dalam eksplorasi ilmiah mereka.⁸
Umat Islam di era
modern harus mengambil pelajaran dari sejarah ini dan kembali menjadikan ilmu
sebagai jalan untuk memperkuat iman, memajukan masyarakat, dan menjaga keadilan
serta keseimbangan dunia.⁹
11.5.
Harapan dan Ajakan
Kesimpulannya, ilmu
pengetahuan dalam perspektif Al-Qur'an dan Hadits tidak hanya relevan secara
teologis tetapi juga memberikan pedoman praktis untuk membangun peradaban yang
maju, adil, dan bermartabat. Umat Islam diharapkan untuk:
1)
Menjadikan Al-Qur'an dan
Hadits sebagai sumber inspirasi dalam mencari ilmu.
2)
Memanfaatkan ilmu untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan memberikan manfaat bagi sesama.
3)
Mengembangkan ilmu
pengetahuan secara holistik dengan mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dan
intelektual.
Sebagaimana firman
Allah dalam QS Az-Zumar [39] ayat 9:
"Katakanlah:
Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?"¹⁰
Ayat ini menjadi
motivasi bagi umat Islam untuk terus belajar, mengajar, dan mengamalkan ilmu
sebagai bentuk ibadah kepada Allah.¹¹
Catatan Kaki
[1]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), jilid 1, hal. 23.
[2]
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim, (Riyadh:
Dar al-Salam, 1999), jilid 1, hal. 385.
[3]
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab Al-‘Ilm,
Hadits No. 3641.
[4]
Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), jilid 8, hal. 83.
[5]
Yusuf Al-Qaradawi, Islam and Knowledge: Theory and Practice,
(Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2004), hal. 32.
[6]
Jurnal Islamic Education and Civilization,
Vol. 7 No. 2, 2023, hal. 54-58.
[7]
Tafsir Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), jilid 16, hal. 310-311.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam,
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), hal. 56.
[9]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge
in Medieval Islam, (Leiden: Brill, 2007), hal. 83.
[10]
QS Az-Zumar [39] ayat 9, Al-Qur'an al-Karim.
[11]
Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur’an, (Kairo: Dar
al-Syuruq, 1980), jilid 1, hal. 148.
Daftar Pustaka
Abu Dawud. (1999). Sunan
Abi Dawud. Riyadh: Dar al-Salam.
Al-Ghazali. (1989). Ihya
Ulumuddin (Ismail Yakub, Trans.). Semarang: Toha Putra.
Al-Mawardi. (1992). An-Nukat
wa Al-Uyun. Beirut: Dar Ihya At-Turats Al-Arabi.
Al-Qaradawi, Y. (2004). Islam
and Knowledge: Theory and Practice. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.
Al-Qurthubi. (1993). Al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Franz Rosenthal. (2007). Knowledge
Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam. Leiden: Brill.
Harun Nasution. (1995). Islam
Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Jakarta: UI Press.
Ibn Katsir. (1999). Tafsir
al-Qur'an al-Azhim. Riyadh: Dar al-Salam.
Ibn Khaldun. (1967). The
Muqaddimah (Franz Rosenthal, Trans.). Princeton: Princeton University
Press.
Ibn Majah. (2007). Sunan
Ibn Majah. Riyadh: Dar al-Salam.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah.
(2008). Miftah Dar as-Sa’adah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Jurnal Al-Mashlahah.
(2022). Vol. 5 No. 3.
Jurnal Community Development
and Islamic Knowledge. (2023). Vol. 5 No. 2.
Jurnal Eco-Islam.
(2021). Vol. 8 No. 4.
Jurnal Islamic
Civilization Studies. (2023). Vol. 12 No. 1.
Jurnal Islamic
Education and Civilization. (2023). Vol. 7 No. 2.
Jurnal Islamic Ethics
in Research. (2022). Vol. 6 No. 4.
Jurnal Science in
Islamic Thought. (2021). Vol. 8 No. 3.
Muslim bin Al-Hajjaj.
(2007). Sahih Muslim. Riyadh: Dar al-Salam.
Quraish Shihab, M. (2005). Tafsir
Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an. Jakarta: Lentera Hati.
Sayyid Qutb. (1980). Fi
Zhilalil Qur’an. Kairo: Dar al-Syuruq.
Seyyed Hossein Nasr.
(1968). Science and Civilization in Islam. Cambridge: Harvard
University Press.
Lampiran 1: Keterkaitan Ayat dan Hadits
Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi di era modern menuntut pemahaman yang lebih mendalam tentang
konsep ilmu dalam Islam. Al-Qur'an dan Hadits tidak hanya memberikan motivasi
untuk mencari ilmu tetapi juga menegaskan pentingnya selektivitas dalam
menerima informasi dan etika dalam pengembangan sains dan teknologi.
1.
Perintah Membaca sebagai Fondasi Kemajuan Ilmu
Pengetahuan
QS Al-'Alaq [96] ayat 1-5
menjadi dasar utama dalam membangun tradisi keilmuan dalam Islam. Ayat ini
menegaskan bahwa membaca dan menulis adalah alat utama dalam memperoleh ilmu
yang akan membawa manusia kepada kemajuan peradaban1. Dalam konteks
perkembangan teknologi, perintah ini dapat diterapkan dalam mendorong literasi
digital, penelitian ilmiah, dan inovasi teknologi yang selaras dengan
nilai-nilai Islam2.
2.
Observasi Alam sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan
QS Yunus [10] ayat 101
memerintahkan manusia untuk memperhatikan gejala alam, yang merupakan prinsip
dasar dalam metode ilmiah3. Tantangan era modern, seperti eksplorasi
luar angkasa, perubahan iklim, dan bioteknologi, dapat dikaji dari perspektif
Islam dengan menekankan prinsip kehati-hatian dan kemaslahatan umat4.
3.
Fenomena Alam sebagai Sumber Ilmu dan Teknologi
QS Al-Baqarah [2] ayat 164
menunjukkan bahwa fenomena alam bukan hanya tanda kebesaran Allah tetapi juga
merupakan sumber ilmu pengetahuan5. Prinsip ini dapat dikaitkan
dengan perkembangan ilmu fisika, kimia, dan biologi yang kini diaplikasikan
dalam teknologi industri, kesehatan, dan kecerdasan buatan6.
4.
Selektivitas dalam Menerima Informasi di Era
Digital
QS Al-Hujurat [49] ayat 6
menekankan pentingnya verifikasi informasi sebelum diterima dan disebarluaskan7.
Dalam era digital, hoaks dan disinformasi menjadi tantangan utama yang harus
dihadapi dengan prinsip tabayyun (klarifikasi) agar ilmu yang disebarkan tidak
menyesatkan8.
5.
Keutamaan Mencari Ilmu dalam Membangun Peradaban
Hadits yang diriwayatkan Abu
Dawud dari Abu Darda’ menegaskan bahwa mencari ilmu adalah jalan menuju surga9.
Konsep ini relevan dengan tantangan era modern dalam membangun peradaban
berbasis ilmu yang tidak hanya maju secara material tetapi juga berlandaskan
nilai-nilai etika dan moral Islam10.
Kesimpulan
Ayat-ayat Al-Qur’an dan
Hadits tentang ilmu pengetahuan memiliki relevansi yang sangat kuat dengan
tantangan perkembangan ilmu dan teknologi di era modern. Islam tidak hanya
mendorong pencarian ilmu, tetapi juga menekankan aspek etika, selektivitas
dalam informasi, serta pemanfaatan ilmu untuk kesejahteraan umat manusia. Oleh
karena itu, pendekatan integratif antara wahyu dan akal perlu terus
dikembangkan agar umat Islam dapat berperan aktif dalam kemajuan peradaban
global.
Footnotes
[1]
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim (Riyadh: Dar al-Salam,
1999), 285.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 102.
[3]
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1993), 587.
[4]
Jurnal Science in Islamic Thought, Vol. 8 No. 3 (2021): 121.
[5]
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 210.
[6]
Jurnal Islamic Civilization Studies, Vol. 12 No. 1 (2023): 98.
[7]
Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur’an (Kairo: Dar al-Syuruq, 1980),
456.
[8]
Jurnal Islamic Ethics in Research, Vol. 6 No. 4 (2022): 132.
[9]
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud (Riyadh: Dar al-Salam, 1999), No.
3641.
[10]
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran
(Jakarta: UI Press, 1995), 178.
Lampiran 2: Takhrij Hadits
Berikut adalah takhrij dari
hadits-hadits yang dimuat dalam artikel mengenai Ilmu Pengetahuan dalam
Perspektif Al-Qur'an dan Hadits:
1.
Hadits tentang Keutamaan Mencari Ilmu
Matn Hadits
عن أبي الدرداء رضي الله عنه قال: سمعتُ رسولَ اللَّهِ ﷺ يقولُ: مَن
سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللَّهُ لهُ بِهِ طَرِيقًا
إِلَى الجَنَّةِ، وَإِنَّ المَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًى لِطَالِبِ
العِلْمِ، وَإِنَّ العَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ
فِي الْأَرْضِ، حَتَّى الحِيتَانُ فِي المَاءِ، وَفَضْلُ العَالِمِ عَلَى
العَابِدِ، كَفَضْلِ القَمَرِ لَيْلَةَ البَدْرِ عَلَى سَائِرِ الكَوَاكِبِ،
وَإِنَّ العُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ
يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، وَإِنَّمَا وَرَّثُوا العِلْمَ، فَمَنْ
أَخَذَهُ، أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Dari Abu Darda' radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, "Barang siapa menempuh jalan
untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.
Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda keridhaan terhadap
pencari ilmu. Sesungguhnya orang yang berilmu dimohonkan ampun oleh siapa pun
yang ada di langit dan di bumi, bahkan ikan-ikan di lautan pun turut memohon
ampunan untuknya. Keutamaan seorang alim dibanding seorang abid (ahli ibadah)
adalah seperti keutamaan bulan purnama atas bintang-bintang lainnya. Para ulama
adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham,
tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Maka, siapa yang mengambil ilmu, ia telah
mengambil bagian yang banyak."
2.
Takhrij Hadits
·
Sunan
Abu Dawud, Kitab Al-‘Ilm, Bab Fi
Fadhli al-‘Ilm, No. 3641.
·
Jami'
at-Tirmidzi, Kitab Al-‘Ilm, Bab Ma Ja'a
Fi Fadhli al-Fiqh ‘ala al-Ibadah, No. 2682.
·
Sunan
Ibnu Majah, Kitab Al-Muqaddimah, Bab Fadhlu
al-Ulama wa al-Hath 'ala Talab al-'Ilm, No. 223.
·
Musnad
Ahmad, No. 21727.
·
Shahih
Ibnu Hibban, No. 88.
3.
Derajat Hadits
·
Dinyatakan hasan
shahih oleh Imam at-Tirmidzi.
·
Dinyatakan shahih
oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud (No. 3641).
·
Dinyatakan shahih
oleh Imam Ibnu Hibban dalam Shahih Ibnu Hibban (No. 88).
4.
Makna Hadits
Hadits ini menunjukkan
keutamaan ilmu dalam Islam, di mana pencari ilmu mendapatkan kemuliaan di dunia
dan akhirat. Para ulama disebut sebagai pewaris para nabi karena ilmu yang
mereka sampaikan memiliki peran dalam menjaga agama dan membimbing umat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar