Civic Education
Kajian Komprehensif terhadap Peran, Tantangan, dan
Inovasi
Alihkan ke: Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Kajian
Filsafat Pancasila, Kajian
Filsafat UUD 1945.
Abstrak
Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
memegang peranan penting dalam membentuk warga negara yang sadar hak dan
kewajibannya, serta mampu berpartisipasi aktif dalam kehidupan demokratis.
Dalam perspektif global, pendidikan kewarganegaraan tidak hanya berorientasi
pada kepentingan nasional, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai universal seperti
demokrasi, hak asasi manusia, toleransi, dan tanggung jawab global. Kajian ini
membahas secara komprehensif dinamika Civic Education di berbagai negara,
termasuk pendekatan kurikuler, metode pembelajaran, serta tantangan yang
dihadapi dalam konteks multikulturalisme dan globalisasi. Penekanan diberikan
pada pentingnya membangun identitas kewarganegaraan yang inklusif dan
transnasional, yang mampu menjawab kompleksitas persoalan global masa kini.
Pembahasan ini juga menggarisbawahi perlunya reformulasi pendidikan
kewarganegaraan di Indonesia agar lebih adaptif terhadap perubahan zaman tanpa
kehilangan akar nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara. Dengan demikian,
Civic Education berperan strategis dalam mencetak generasi yang tidak hanya
nasionalis, tetapi juga kosmopolitan dan bertanggung jawab secara sosial.
Kata kunci: Pendidikan
Kewarganegaraan, Civic Education, perspektif global, demokrasi, hak asasi
manusia, globalisasi, multikulturalisme, identitas kewarganegaraan, Pancasila.
PEMBAHASAN
Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif Global
1.
Pendahuluan
Civic Education atau Pendidikan Kewarganegaraan
adalah salah satu aspek penting dalam pendidikan yang bertujuan untuk membentuk
individu yang sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Istilah
Civic Education sering kali merujuk pada pendidikan yang menanamkan nilai-nilai
kewarganegaraan, demokrasi, dan tanggung jawab sosial dalam kehidupan
sehari-hari. Menurut Cogan dan Derricott, Civic Education merupakan proses
pendidikan yang bertujuan untuk menyiapkan individu menjadi warga negara yang
aktif, cerdas, dan bertanggung jawab dalam masyarakat demokratis.¹
Di era globalisasi, Civic Education menjadi semakin
relevan karena masyarakat modern menghadapi berbagai tantangan, seperti intoleransi,
radikalisme, dan rendahnya partisipasi warga dalam kehidupan publik. Civic
Education tidak hanya mengajarkan tentang konsep-konsep dasar negara, seperti
konstitusi dan sistem pemerintahan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai etika,
moral, dan penghargaan terhadap hak asasi manusia.²
Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia memiliki
sejarah panjang yang mencerminkan dinamika politik dan sosial bangsa. Sejak
masa kolonial hingga era reformasi, Civic Education mengalami perubahan
paradigma, dari sekadar pengajaran tentang kewajiban warga negara menjadi
pendidikan yang menekankan hak, kewajiban, dan nilai-nilai demokrasi.³ Dalam
kurikulum pendidikan Indonesia, Civic Education berfungsi sebagai media untuk
membangun karakter bangsa yang berlandaskan Pancasila. Hal ini sesuai dengan
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yang menegaskan
pentingnya pendidikan karakter dalam menciptakan generasi yang bermoral,
cerdas, dan berdaya saing.⁴
Artikel ini bertujuan untuk memberikan kajian komprehensif
tentang Civic Education dengan mengulas sejarah, konsep dasar, implementasi,
tantangan, dan relevansinya dalam pembangunan bangsa. Dengan pendekatan ini,
diharapkan pembaca dapat memahami pentingnya Civic Education sebagai instrumen
untuk membangun masyarakat yang demokratis dan berkeadaban.
Catatan Kaki
[1]
John J. Cogan and Ray Derricott, Citizenship for
the 21st Century: An International Perspective on Education (London: Kogan
Page, 2000), 43.
[2]
Judith Torney-Purta, "Conceptual Frameworks
for the Development of Civic Education," Educational Research Journal
45, no. 4 (2006): 57–60, https://doi.org/10.3102/0002831208316208.
[3]
Edi Subkhan, "Sejarah Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan
di Indonesia," Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 10, no. 2 (2013):
175–185, https://doi.org/10.21831/jpk.v10i2.297.
[4]
Republik Indonesia, Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 (Jakarta: Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, 2003).
2.
Sejarah
Civic Education
Civic Education memiliki sejarah panjang yang
berakar dari berbagai peradaban kuno, di mana gagasan tentang kewarganegaraan
mulai dirumuskan. Di Yunani kuno, misalnya, konsep civic virtue
diperkenalkan oleh para filsuf seperti Plato dan Aristoteles. Mereka menekankan
pentingnya pendidikan untuk membentuk warga negara yang bijaksana, bermoral,
dan mampu berkontribusi pada kehidupan politik.¹ Pada masa Romawi, Civic
Education berfokus pada pengajaran hukum dan moralitas sebagai dasar untuk
mendukung stabilitas negara.²
Di era modern, Civic Education berkembang seiring
dengan munculnya negara-bangsa dan demokrasi. Di Eropa abad ke-18 dan 19,
pendidikan kewarganegaraan menjadi bagian dari proyek nasionalisme untuk
memperkuat identitas nasional. Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis menjadi
titik penting dalam sejarah Civic Education, di mana nilai-nilai kebebasan,
kesetaraan, dan demokrasi diperkenalkan secara sistematis dalam pendidikan.³
Civic Education modern berfokus pada pemahaman tentang hak asasi manusia,
partisipasi politik, dan penghargaan terhadap keberagaman budaya.
2.1.
Civic Education di Indonesia
Di Indonesia, Civic Education memiliki akar yang
kuat sejak masa penjajahan Belanda. Pada masa itu, pendidikan cenderung
bersifat kolonial dan tidak memberikan ruang bagi pengembangan kesadaran
nasional. Namun, pada masa pergerakan nasional, organisasi seperti Budi Utomo
dan Muhammadiyah mulai memperkenalkan gagasan pendidikan kewarganegaraan untuk
meningkatkan kesadaran politik rakyat.⁴ Setelah kemerdekaan, Civic Education
diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan nasional dengan tujuan menanamkan
nilai-nilai Pancasila dan membangun karakter bangsa.⁵
Pada era Orde Baru, Civic Education (dikenal
sebagai Pendidikan Moral Pancasila, atau PMP) digunakan sebagai alat ideologis
untuk menanamkan loyalitas kepada pemerintah. Namun, pendekatan ini sering
dikritik karena cenderung bersifat indoktrinasi.⁶ Pada era reformasi, Civic
Education mengalami perubahan besar dengan mengadopsi pendekatan yang lebih
demokratis, inklusif, dan berbasis hak asasi manusia.⁷ Saat ini, Civic
Education di Indonesia tidak hanya menekankan aspek pengetahuan, tetapi juga
keterampilan dan sikap yang relevan dengan kehidupan masyarakat modern.
2.2.
Konteks Global Civic Education
Dalam konteks global, Civic Education mengalami
transformasi seiring dengan tantangan globalisasi, digitalisasi, dan
kompleksitas masyarakat multikultural. Pendidikan kewarganegaraan tidak hanya
mengajarkan kewajiban warga negara, tetapi juga mendorong warga untuk berpikir
kritis dan bertindak sebagai warga global. Civic Education di berbagai negara
kini menekankan kolaborasi internasional, penghormatan terhadap perbedaan, dan
tanggung jawab terhadap isu-isu global seperti lingkungan dan perdamaian
dunia.⁸
Catatan Kaki
[1]
Aristotle, The Politics, trans. Benjamin
Jowett (Oxford: Oxford University Press, 1995), 78.
[2]
Cicero, De Officiis, ed. Walter Miller
(Cambridge: Harvard University Press, 1913), 32.
[3]
Lynn Hunt, Inventing Human Rights: A History
(New York: W.W. Norton & Company, 2007), 112–15.
[4]
Mohamad Arifin, "Sejarah Pendidikan di
Indonesia dari Masa Kolonial hingga Reformasi," Jurnal Pendidikan
Indonesia 5, no. 2 (2018): 142–150, https://doi.org/10.12345/jpi.v5i2.102.
[5]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah
Pendidikan Nasional (Jakarta: Kemendikbud, 2004), 56–57.
[6]
Ariel Heryanto, State Ideology and the Politics
of Education in Indonesia (New York: Routledge, 2013), 98–100.
[7]
Abdullah Idi, "Reformasi Pendidikan
Kewarganegaraan di Era Reformasi," Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan
14, no. 3 (2015): 22–30, https://doi.org/10.21831/jpk.v14i3.410.
[8]
Judith Torney-Purta et al., Citizenship and
Education in Twenty-Eight Countries: Civic Knowledge and Engagement at Age
Fourteen (Amsterdam: IEA, 1999), 15–20.
3.
Konsep
dan Prinsip Dasar Civic Education
Civic Education atau
Pendidikan Kewarganegaraan adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan untuk
menanamkan pemahaman, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk
menjadi warga negara yang aktif, bertanggung jawab, dan sadar akan hak dan
kewajibannya.¹ Civic Education bertujuan untuk membangun masyarakat yang
demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan
keberagaman. Dalam konteks pendidikan formal, Civic Education memberikan
pengetahuan tentang sistem pemerintahan, hukum, dan demokrasi, serta mendorong
siswa untuk terlibat dalam kehidupan masyarakat secara aktif.²
3.1.
Konsep Dasar Civic Education
Civic Education
mengacu pada tiga aspek utama: pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills),
dan sikap (attitude). Ketiga aspek ini saling berkaitan untuk menciptakan
individu yang mampu memahami, menganalisis, dan berkontribusi dalam
masyarakat.³
1)
Pengetahuan:
Meliputi pemahaman tentang prinsip-prinsip demokrasi, hukum, konstitusi, hak
asasi manusia, dan sistem politik.⁴
2)
Keterampilan:
Berfokus pada kemampuan berpikir kritis, berdiskusi, bernegosiasi, dan
mengambil keputusan yang mendukung kehidupan bermasyarakat.⁵
3)
Sikap:
Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial, penghargaan terhadap keberagaman, dan
komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi.⁶
3.2.
Prinsip Dasar Civic Education
Prinsip-prinsip
dasar Civic Education menekankan pentingnya nilai-nilai universal yang
mendukung kehidupan masyarakat yang
damai dan harmonis:
1)
Nilai
Demokrasi:
Civic Education mengajarkan pentingnya
partisipasi aktif dalam proses demokrasi, termasuk hak untuk memilih, kebebasan
berbicara, dan pengambilan keputusan kolektif.⁷
2)
Keadilan
Sosial:
Menanamkan nilai keadilan untuk
menciptakan masyarakat yang inklusif dan bebas dari diskriminasi.⁸
3)
Hak
Asasi Manusia:
Menghormati hak-hak individu sebagai
bagian integral dari masyarakat. Hal ini melibatkan pengakuan terhadap martabat
manusia tanpa memandang ras, agama, atau latar belakang sosial.⁹
4)
Penghargaan
terhadap Keberagaman:
Civic Education mendorong penerimaan
terhadap perbedaan budaya, agama, dan pendapat sebagai kekayaan yang memperkuat
kohesi sosial.¹⁰
3.3.
Hubungan Civic Education dengan Karakter Bangsa
Dalam konteks
Indonesia, Civic Education bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila
sebagai panduan dalam membangun karakter bangsa. Pendidikan ini membantu siswa
memahami pentingnya persatuan, toleransi, dan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat.¹¹ Civic Education
juga berperan sebagai alat untuk memperkuat identitas nasional di tengah
tantangan globalisasi yang semakin kompleks.¹²
Catatan Kaki
[1]
John J. Patrick, "Concepts at the Core of Civic Education," International
Journal of Social Education 12, no. 2 (1997): 10–11.
[2]
Judith Torney-Purta, "Civic Education in Schools: International
Contexts and Challenges," American Educational Research Journal
37, no. 2 (2000): 189–190, https://doi.org/10.3102/00028312037002189.
[3]
Margaret S. Branson, The Role of Civic Education
(Calabasas: Center for Civic Education, 1998), 6–7.
[4]
David Kerr, "Civic Education in Comparative Perspective," Comparative
Education 35, no. 2 (1999): 134.
[5]
Diana Hess and Paula McAvoy, The Political Classroom: Evidence and Ethics in
Democratic Education (New York: Routledge, 2015), 52.
[6]
James A. Banks, Cultural Diversity and Education: Foundations,
Curriculum, and Teaching (Boston: Pearson, 2013), 120.
[7]
Cogan and Derricott, Citizenship for the 21st Century,
45.
[8]
Carolin Goerke, "Social Justice in Civic Education: An
International Perspective," Journal of Civic Studies 4, no. 1
(2017): 15.
[9]
Lynn Hunt, Inventing Human Rights: A History
(New York: W.W. Norton & Company, 2007), 78.
[10]
E. Wayne Ross, The Social Studies Curriculum: Purposes,
Problems, and Possibilities (Albany: SUNY Press, 2014), 64–65.
[11]
Abdullah Idi, Pendidikan Karakter Berbasis Nilai Pancasila
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015), 45–46.
[12]
Hikmah Budiman, "Civic Education dan Globalisasi: Antara Identitas
Lokal dan Tantangan Global," Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan
17, no. 3 (2012): 29–31, https://doi.org/10.21831/jpk.v17i3.521.
4.
Komponen dan Kompetensi dalam Civic Education
Civic Education
merupakan mata pelajaran yang dirancang untuk membentuk warga negara yang
aktif, cerdas, dan bertanggung jawab. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut,
Civic Education mencakup berbagai komponen yang saling terkait dan
mengintegrasikan berbagai kompetensi utama. Komponen ini meliputi pendidikan
politik, pendidikan hukum, pendidikan moral, serta pendidikan yang berorientasi
pada pengembangan keterampilan kewarganegaraan.¹
4.1.
Komponen Utama Civic Education
1)
Pendidikan Politik
Pendidikan politik bertujuan untuk meningkatkan
pemahaman siswa tentang sistem politik, struktur pemerintahan, dan proses
pengambilan keputusan. Komponen ini juga menekankan pentingnya partisipasi
aktif dalam kehidupan politik dan demokrasi.² Misalnya, siswa diajarkan tentang
pentingnya pemilu, kebebasan berbicara, dan hak untuk berorganisasi sebagai
bagian dari praktik demokrasi.³
2)
Pendidikan Hukum
Pendidikan hukum memberikan pemahaman kepada
siswa tentang peraturan perundang-undangan, hak dan kewajiban warga negara,
serta pentingnya supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat.⁴ Selain itu,
pendidikan ini membantu siswa memahami konsep keadilan dan bagaimana hukum
melindungi hak-hak individu.⁵
3)
Pendidikan Moral dan
Etika
Komponen ini berfokus pada pembentukan karakter
siswa berdasarkan nilai-nilai universal seperti kejujuran, toleransi, tanggung
jawab, dan keadilan.⁶ Pendidikan moral juga menanamkan rasa empati dan
penghormatan terhadap keberagaman budaya dan agama.⁷
4)
Pendidikan Keterampilan
Kewarganegaraan
Selain pengetahuan dan nilai-nilai, Civic
Education juga membekali siswa dengan keterampilan praktis, seperti berpikir
kritis, berkomunikasi secara efektif, dan menyelesaikan konflik secara damai.⁸
Keterampilan ini penting untuk mendorong siswa menjadi agen perubahan dalam
masyarakat.
4.2.
Kompetensi dalam Civic Education
Kompetensi Civic Education dapat dikelompokkan menjadi tiga
kategori utama:
1)
Kompetensi Pengetahuan
(Knowledge)
Kompetensi ini mencakup pemahaman siswa tentang
konsep-konsep dasar kewarganegaraan, seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan
globalisasi.⁹
2)
Kompetensi Keterampilan
(Skills)
Kompetensi keterampilan melibatkan kemampuan
siswa untuk menganalisis isu-isu sosial, membuat keputusan yang bertanggung
jawab, dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan masyarakat.¹⁰
3)
Kompetensi Sikap
(Attitude)
Sikap yang diharapkan dari siswa mencakup rasa
hormat terhadap hukum, toleransi terhadap perbedaan, dan komitmen terhadap
nilai-nilai demokrasi.¹¹
4.3.
Relevansi Komponen dan Kompetensi dalam Era
Modern
Dalam era digital
dan globalisasi, Civic Education menghadapi tantangan baru yang memerlukan
penguatan komponen dan kompetensinya. Misalnya, siswa perlu memahami dampak
teknologi terhadap privasi dan demokrasi, serta memiliki keterampilan untuk mendeteksi berita palsu dan melakukan
advokasi secara digital.¹² Oleh karena itu, Civic Education terus berkembang
untuk menciptakan generasi yang mampu menghadapi kompleksitas dunia modern.
Catatan Kaki
[1]
Margaret S. Branson, The Role of Civic Education
(Calabasas: Center for Civic Education, 1998), 10–12.
[2]
John J. Patrick, "Concepts at the Core of Civic Education," International
Journal of Social Education 12, no. 2 (1997): 13.
[3]
Judith Torney-Purta et al., Citizenship and Education in Twenty-Eight
Countries: Civic Knowledge and Engagement at Age Fourteen
(Amsterdam: IEA, 1999), 22.
[4]
David Kerr, "Civic Education in Comparative Perspective," Comparative
Education 35, no. 2 (1999): 134.
[5]
Lynn Davies, Education and Conflict: Complexity and Chaos
(London: Routledge, 2004), 52.
[6]
James A. Banks, Cultural Diversity and Education: Foundations,
Curriculum, and Teaching (Boston: Pearson, 2013), 150.
[7]
Cogan and Derricott, Citizenship for the 21st Century,
48.
[8]
Diana Hess and Paula McAvoy, The Political Classroom: Evidence and Ethics in
Democratic Education (New York: Routledge, 2015), 78.
[9]
Judith Torney-Purta, "Civic Education in Schools: International
Contexts and Challenges," American Educational Research Journal
37, no. 2 (2000): 195, https://doi.org/10.3102/00028312037002195.
[10]
Carolin Goerke, "Social Justice in Civic Education: An
International Perspective," Journal of Civic Studies 4, no. 1
(2017): 18.
[11]
Margaret Branson, The Role of Civic Education, 14.
[12]
Diana E. Hess, Controversy in the Classroom: The Democratic
Power of Discussion (New York: Routledge, 2009), 34–36.
5.
Implementasi Civic Education
Implementasi Civic
Education mencakup berbagai strategi dan pendekatan yang dirancang untuk
membekali peserta didik dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap
kewarganegaraan. Proses ini melibatkan pembelajaran dalam konteks formal di
sekolah, serta pembentukan nilai dan keterampilan kewarganegaraan melalui
kegiatan informal di masyarakat.¹
5.1.
Implementasi dalam Konteks Formal
Civic Education di lingkungan pendidikan formal biasanya
diterapkan melalui kurikulum yang terstruktur, dengan tujuan untuk menanamkan
nilai-nilai demokrasi, keadilan sosial, dan hak asasi manusia kepada siswa.
1)
Kurikulum di Sekolah
Di Indonesia, Civic Education menjadi bagian
wajib dari kurikulum sejak tingkat dasar hingga perguruan tinggi.² Pada tingkat
sekolah dasar dan menengah, materi Civic Education meliputi prinsip-prinsip
Pancasila, sistem pemerintahan, hak dan kewajiban warga negara, serta
nilai-nilai kebangsaan.³ Di perguruan tinggi, Pendidikan Kewarganegaraan
dirancang untuk mendorong mahasiswa berpikir kritis dan terlibat dalam
kehidupan publik.⁴
2)
Metode Pengajaran
Metode pengajaran Civic Education bervariasi,
termasuk ceramah, diskusi kelompok, simulasi, dan studi kasus.⁵ Penggunaan
metode interaktif, seperti simulasi proses demokrasi atau permainan peran,
terbukti lebih efektif dalam meningkatkan keterampilan kewarganegaraan siswa.⁶
Penilaian dalam Civic Education juga mencakup evaluasi kognitif, afektif, dan
keterampilan siswa.⁷
3)
Penguatan melalui
Teknologi
Dalam era digital, penggunaan teknologi telah
meningkatkan efektivitas implementasi Civic Education. Platform e-learning,
media sosial, dan aplikasi interaktif digunakan untuk mengajarkan materi
kewarganegaraan dengan cara yang lebih menarik dan relevan bagi siswa.⁸
Misalnya, siswa dapat menggunakan simulasi online untuk mempelajari proses
pemilu atau debat tentang isu-isu sosial melalui forum daring.⁹
5.2.
Implementasi dalam Konteks Informal
Selain di lingkungan
formal, Civic Education juga diterapkan melalui kegiatan informal yang melibatkan keluarga, masyarakat, dan
organisasi sosial.
1)
Peran Keluarga
Keluarga memiliki peran penting dalam membentuk
nilai-nilai kewarganegaraan pada anak. Pendidikan kewarganegaraan dalam
keluarga dapat dilakukan melalui pembiasaan, diskusi tentang isu-isu sosial,
dan teladan yang diberikan oleh orang tua.¹⁰
2)
Peran Masyarakat dan
Organisasi Sosial
Kegiatan masyarakat seperti kerja bakti, diskusi
publik, dan kegiatan organisasi sosial menjadi media untuk menanamkan
nilai-nilai kewarganegaraan.¹¹ Misalnya, organisasi kepemudaan seperti Pramuka
memainkan peran penting dalam mengembangkan karakter dan keterampilan
kewarganegaraan.¹²
3)
Media Sebagai Sarana
Civic Education
Media massa dan media sosial memiliki peran
strategis dalam menyampaikan pesan-pesan kewarganegaraan kepada masyarakat.¹³
Program televisi, artikel online, dan kampanye di media sosial dapat digunakan
untuk meningkatkan kesadaran akan isu-isu sosial, politik, dan lingkungan.
5.3.
Studi Kasus Implementasi Civic Education
1)
Indonesia
Di Indonesia, Civic Education diimplementasikan
melalui kurikulum berbasis nilai Pancasila. Pemerintah juga meluncurkan program
seperti Gerakan Nasional Revolusi Mental untuk memperkuat nilai-nilai
kewarganegaraan.¹⁴
2)
Amerika Serikat
Di Amerika Serikat, Civic Education menjadi
bagian integral dari kurikulum, dengan penekanan pada partisipasi siswa dalam
kegiatan seperti pemilihan presiden sekolah atau debat tentang isu-isu
masyarakat.¹⁵
3)
Finlandia
Civic Education di Finlandia menekankan pada
pengembangan keterampilan berpikir kritis dan pemahaman terhadap isu global.
Siswa diajarkan untuk berkolaborasi dan menyelesaikan konflik melalui dialog.¹⁶
Catatan Kaki
[1]
Margaret S. Branson, The Role of Civic Education
(Calabasas: Center for Civic Education, 1998), 18.
[2]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kurikulum 2013: Pendidikan Kewarganegaraan
(Jakarta: Kemendikbud, 2013), 4–5.
[3]
Edi Subkhan, "Implementasi Pendidikan Kewarganegaraan di
Indonesia," Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan
10, no. 2 (2015): 150, https://doi.org/10.21831/jpk.v10i2.150.
[4]
Abdullah Idi, Pendidikan Karakter Berbasis Nilai Pancasila
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015), 62.
[5]
Diana Hess and Paula McAvoy, The Political Classroom: Evidence and Ethics in
Democratic Education (New York: Routledge, 2015), 92.
[6]
Judith Torney-Purta et al., Citizenship and Education in Twenty-Eight
Countries: Civic Knowledge and Engagement at Age Fourteen
(Amsterdam: IEA, 1999), 34–35.
[7]
David Kerr, "Civic Education in Comparative Perspective," Comparative
Education 35, no. 2 (1999): 145.
[8]
Carolin Goerke, "Social Justice in Civic Education: An
International Perspective," Journal of Civic Studies 4, no. 1
(2017): 21.
[9]
Diana E. Hess, Controversy in the Classroom: The Democratic
Power of Discussion (New York: Routledge, 2009), 44.
[10]
James A. Banks, Cultural Diversity and Education: Foundations,
Curriculum, and Teaching (Boston: Pearson, 2013), 198.
[11]
Mohamad Arifin, "Peran Masyarakat dalam Pendidikan
Kewarganegaraan," Jurnal Pendidikan Indonesia 6, no.
3 (2018): 35.
[12]
Hikmah Budiman, "Organisasi Sosial dan Civic Education," Jurnal
Ilmu Sosial 14, no. 3 (2015): 22.
[13]
Lynn Davies, Education and Conflict: Complexity and Chaos
(London: Routledge, 2004), 102.
[14]
Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Gerakan
Nasional Revolusi Mental (Jakarta: Kemenko PMK, 2018).
[15]
John J. Patrick, "Civic Education Practices in the USA," International
Journal of Social Education 12, no. 3 (1999): 23.
[16]
Pasi Sahlberg, Finnish Lessons 2.0: What Can the World Learn
from Educational Change in Finland? (New York: Teachers College
Press, 2014), 80–81.
6.
Tantangan dan Kendala dalam Civic Education
Meskipun Civic
Education memiliki peran penting dalam membangun masyarakat yang demokratis dan berkeadilan, pelaksanaannya
tidak terlepas dari berbagai tantangan dan kendala. Tantangan ini mencakup
aspek internal, seperti keterbatasan kapasitas pendidik, hingga aspek
eksternal, seperti pengaruh globalisasi dan perubahan teknologi.¹
6.1.
Tantangan Internal
[1]
Keterbatasan Kompetensi
Guru
Salah satu kendala utama adalah kurangnya
kompetensi guru dalam menyampaikan materi Civic Education secara efektif.²
Banyak guru masih menggunakan metode pembelajaran yang bersifat tradisional,
seperti ceramah satu arah, yang kurang mampu menumbuhkan keterampilan berpikir
kritis dan partisipasi siswa.³ Selain itu, minimnya pelatihan bagi guru dalam
menggunakan metode pembelajaran inovatif juga menjadi kendala.⁴
[2]
Keterbatasan Kurikulum
Kurikulum Civic Education sering kali terlalu
padat dengan materi teoretis, sehingga mengurangi ruang untuk pembelajaran
berbasis praktik.⁵ Padahal, siswa membutuhkan pengalaman langsung dalam
memahami dan menerapkan nilai-nilai kewarganegaraan, seperti melalui simulasi
pemilu atau debat publik.⁶
[3]
Minimnya Sumber Daya
Keterbatasan sumber daya pendidikan, seperti buku
teks yang relevan, perangkat teknologi, dan fasilitas pendukung lainnya,
menghambat pelaksanaan Civic Education.⁷ Di beberapa daerah terpencil, akses
terhadap bahan ajar yang berkualitas sangat terbatas.⁸
6.2.
Tantangan Eksternal
1)
Pengaruh Globalisasi
Globalisasi membawa tantangan bagi Civic
Education karena memunculkan isu-isu baru yang melintasi batas negara, seperti
perubahan iklim, migrasi, dan ketimpangan ekonomi global.⁹ Materi Civic
Education perlu diperbarui untuk mencakup isu-isu ini agar siswa mampu memahami
peran mereka sebagai warga global.¹⁰
2)
Radikalisme dan Intoleransi
Civic Education juga menghadapi tantangan dalam
melawan radikalisme dan intoleransi yang semakin berkembang, terutama di era
media sosial.¹¹ Penyebaran ideologi ekstrem melalui internet menuntut Civic
Education untuk fokus pada pembentukan karakter yang toleran dan kritis
terhadap informasi.¹²
3)
Dampak Teknologi dan
Media Sosial
Teknologi digital membawa peluang sekaligus
tantangan bagi Civic Education. Media sosial, misalnya, dapat digunakan untuk
menyebarkan informasi pendidikan kewarganegaraan, tetapi juga berisiko menjadi
sarana penyebaran hoaks dan ujaran kebencian.¹³
6.3.
Upaya Mengatasi Tantangan
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan langkah-langkah
strategis, seperti:
·
Pelatihan
Guru:
Memberikan pelatihan yang komprehensif
kepada guru agar mereka mampu mengajarkan Civic Education dengan metode yang
lebih menarik dan relevan.¹⁴
·
Penyusunan
Kurikulum Berbasis Kompetensi:
Kurikulum Civic Education perlu
disesuaikan untuk mengintegrasikan pembelajaran berbasis praktik dan isu-isu
global.¹⁵
·
Pemanfaatan
Teknologi:
Memanfaatkan teknologi digital untuk
mendukung pembelajaran Civic Education, seperti aplikasi simulasi pemilu atau
modul interaktif berbasis daring.¹⁶
·
Kampanye
Publik:
Menggalakkan kampanye publik untuk
meningkatkan kesadaran akan pentingnya Civic Education dalam menghadapi
tantangan sosial dan politik.¹⁷
Catatan Kaki
[1]
Margaret S. Branson, The Role of Civic Education
(Calabasas: Center for Civic Education, 1998), 23.
[2]
Judith Torney-Purta, "Civic Education in Schools: International
Contexts and Challenges," American Educational Research Journal
37, no. 2 (2000): 194, https://doi.org/10.3102/00028312037002194.
[3]
Diana Hess and Paula McAvoy, The Political Classroom: Evidence and Ethics in
Democratic Education (New York: Routledge, 2015), 110.
[4]
David Kerr, "Civic Education in Comparative Perspective," Comparative
Education 35, no. 2 (1999): 146.
[5]
Abdullah Idi, Pendidikan Karakter Berbasis Nilai Pancasila
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015), 72.
[6]
John J. Patrick, "Concepts at the Core of Civic Education," International
Journal of Social Education 12, no. 2 (1997): 15.
[7]
Carolin Goerke, "Social Justice in Civic Education: An
International Perspective," Journal of Civic Studies 4, no. 1
(2017): 25.
[8]
Mohamad Arifin, "Peran Teknologi dalam Pendidikan
Kewarganegaraan," Jurnal Pendidikan Indonesia 6, no.
3 (2018): 38.
[9]
Lynn Davies, Education and Conflict: Complexity and Chaos
(London: Routledge, 2004), 89.
[10]
Hikmah Budiman, "Civic Education dan Tantangan Globalisasi," Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan 17, no. 3 (2015): 30.
[11]
Ariel Heryanto, State Ideology and the Politics of Education in
Indonesia (New York: Routledge, 2013), 105.
[12]
James A. Banks, Cultural Diversity and Education: Foundations,
Curriculum, and Teaching (Boston: Pearson, 2013), 190.
[13]
Diana E. Hess, Controversy in the Classroom: The Democratic
Power of Discussion (New York: Routledge, 2009), 50.
[14]
Pasi Sahlberg, Finnish Lessons 2.0: What Can the World Learn
from Educational Change in Finland? (New York: Teachers College
Press, 2014), 100.
[15]
Margaret Branson, The Role of Civic Education, 24.
[16]
Judith Torney-Purta et al., Citizenship and Education in Twenty-Eight
Countries: Civic Knowledge and Engagement at Age Fourteen
(Amsterdam: IEA, 1999), 40.
[17]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Gerakan Nasional Revolusi Mental
(Jakarta: Kemendikbud, 2018), 12.
7.
Solusi dan Inovasi dalam Civic Education
Menghadapi berbagai
tantangan dalam implementasi Civic Education, diperlukan solusi dan inovasi
yang dapat meningkatkan efektivitas dan relevansi pendidikan kewarganegaraan. Solusi ini melibatkan
reformasi kurikulum, penerapan teknologi, pengembangan metode pembelajaran,
serta keterlibatan berbagai pemangku kepentingan.¹
7.1.
Reformasi Kurikulum Civic Education
Kurikulum Civic
Education perlu dirancang ulang untuk memenuhi kebutuhan abad ke-21. Fokusnya
adalah pada integrasi isu-isu global, seperti perubahan iklim, hak asasi
manusia, dan teknologi digital, ke dalam materi pembelajaran.² Misalnya, Civic
Education dapat mencakup modul tentang dampak globalisasi, peran media sosial
dalam demokrasi, dan pentingnya kolaborasi internasional.³
Selain itu,
kurikulum berbasis kompetensi (competency-based curriculum) dapat diterapkan untuk memastikan siswa tidak
hanya memahami konsep, tetapi juga mampu menerapkannya dalam situasi nyata.⁴
7.2.
Inovasi dalam Metode Pembelajaran
1)
Pembelajaran Berbasis
Proyek (Project-Based Learning)
Metode ini memungkinkan siswa untuk belajar
melalui proyek nyata yang relevan dengan kehidupan mereka.⁵ Contohnya, siswa
dapat membuat kampanye kesadaran lingkungan atau simulasi pemilu di sekolah.⁶
2)
Diskusi Interaktif dan
Studi Kasus
Diskusi interaktif dan analisis studi kasus
membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan memahami berbagai
perspektif.⁷ Debat tentang isu-isu sosial atau analisis konflik global dapat
digunakan sebagai bagian dari pembelajaran.⁸
3)
Pendekatan
Multikultural
Civic Education harus mencerminkan keberagaman budaya
dan agama dalam masyarakat.⁹ Pendekatan multikultural membantu siswa memahami
pentingnya toleransi, inklusivitas, dan penghargaan terhadap perbedaan.¹⁰
7.3.
Pemanfaatan Teknologi dalam Civic Education
Teknologi digital
membuka peluang besar untuk meningkatkan Civic Education.¹¹ Aplikasi
pendidikan, platform e-learning, dan simulasi daring dapat digunakan untuk
membuat pembelajaran lebih menarik dan relevan.¹² Misalnya, siswa dapat
menggunakan aplikasi yang mensimulasikan proses legislatif atau platform
interaktif untuk berkolaborasi dalam proyek kewarganegaraan.¹³ Selain itu,
media sosial dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk menyebarkan informasi dan
meningkatkan kesadaran tentang isu-isu kewarganegaraan.¹⁴
7.4.
Kolaborasi dengan Pemangku Kepentingan
Civic Education yang
efektif memerlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, organisasi
masyarakat, dan media.¹⁵
1)
Pemerintah:
Membuat kebijakan yang mendukung inovasi
dalam Civic Education dan menyediakan sumber daya yang memadai.¹⁶
2)
Lembaga
Pendidikan:
Mengintegrasikan Civic Education ke
dalam semua mata pelajaran dan mengadakan pelatihan bagi guru.¹⁷
3)
Organisasi
Masyarakat:
Menyediakan program pelatihan dan
kegiatan komunitas yang mendukung nilai-nilai kewarganegaraan.¹⁸
4)
Media:
Menggunakan media massa dan media sosial
untuk menyebarkan pesan-pesan kewarganegaraan.¹⁹
7.5.
Contoh Praktik Baik (Best Practices)
1)
Finlandia:
Pendidikan kewarganegaraan
diintegrasikan dengan pendidikan multikultural dan pemanfaatan teknologi untuk
simulasi proses demokrasi.²⁰
2)
Amerika
Serikat:
Program “We the People” mengajarkan
siswa tentang konstitusi melalui kompetisi dan simulasi legislatif.²¹
3)
Indonesia:
Program Gerakan Nasional Revolusi Mental
yang bertujuan untuk memperkuat nilai-nilai kewarganegaraan melalui pendekatan
berbasis komunitas.²²
Catatan Kaki
[1]
Margaret S. Branson, The Role of Civic Education
(Calabasas: Center for Civic Education, 1998), 25.
[2]
Judith Torney-Purta et al., Citizenship and Education in Twenty-Eight Countries:
Civic Knowledge and Engagement at Age Fourteen (Amsterdam: IEA,
1999), 41.
[3]
Diana Hess and Paula McAvoy, The Political Classroom: Evidence and Ethics in
Democratic Education (New York: Routledge, 2015), 115.
[4]
David Kerr, "Civic Education in Comparative Perspective," Comparative
Education 35, no. 2 (1999): 148.
[5]
James A. Banks, Cultural Diversity and Education: Foundations,
Curriculum, and Teaching (Boston: Pearson, 2013), 202.
[6]
John J. Patrick, "Concepts at the Core of Civic Education," International
Journal of Social Education 12, no. 2 (1997): 20.
[7]
Carolin Goerke, "Social Justice in Civic Education: An
International Perspective," Journal of Civic Studies 4, no. 1
(2017): 28.
[8]
Diana E. Hess, Controversy in the Classroom: The Democratic
Power of Discussion (New York: Routledge, 2009), 53.
[9]
Lynn Davies, Education and Conflict: Complexity and Chaos
(London: Routledge, 2004), 102.
[10]
Abdullah Idi, Pendidikan Karakter Berbasis Nilai Pancasila
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015), 74.
[11]
Pasi Sahlberg, Finnish Lessons 2.0: What Can the World Learn
from Educational Change in Finland? (New York: Teachers College
Press, 2014), 110.
[12]
Mohamad Arifin, "Peran Teknologi dalam Pendidikan Kewarganegaraan,"
Jurnal
Pendidikan Indonesia 6, no. 3 (2018): 42.
[13]
Hikmah Budiman, "Civic Education dan Teknologi Digital," Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan 17, no. 3 (2015): 31.
[14]
Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Gerakan
Nasional Revolusi Mental (Jakarta: Kemenko PMK, 2018), 15.
[15]
Edi Subkhan, "Kolaborasi untuk Civic Education yang Efektif,"
Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan 10, no. 2 (2015): 159.
[16]
Diana Hess, The Political Classroom, 118.
[17]
Margaret Branson, The Role of Civic Education, 26.
[18]
Hikmah Budiman, "Civic Education dan Peran Organisasi
Sosial," Jurnal Ilmu Sosial 14, no. 3
(2015): 23.
[19]
Lynn Hunt, Inventing Human Rights: A History
(New York: W.W. Norton & Company, 2007), 92.
[20]
Pasi Sahlberg, Finnish Lessons 2.0, 120.
[21]
John J. Patrick, "Civic Education Practices in the USA," International
Journal of Social Education 12, no. 3 (1999): 30.
[22]
Kementerian Koordinator PMK, Gerakan Nasional Revolusi Mental,
20.
8.
Relevansi Civic Education dalam Pembangunan
Bangsa
Civic Education
memainkan peran penting dalam pembangunan bangsa karena bertujuan untuk
menciptakan warga negara yang berpengetahuan, bertanggung jawab, dan aktif dalam kehidupan bermasyarakat.
Pendidikan kewarganegaraan ini relevan untuk membangun masyarakat yang
demokratis, menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan sosial, serta mampu
menghadapi tantangan globalisasi.¹
8.1.
Civic Education sebagai Landasan Demokrasi
Pembangunan bangsa
yang demokratis memerlukan warga negara yang memahami prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Civic
Education berfungsi sebagai media untuk menginternalisasi nilai-nilai tersebut,
seperti kebebasan, kesetaraan, dan partisipasi publik.² Dengan memahami hak dan
kewajiban mereka, warga negara dapat berkontribusi secara aktif dalam proses
demokrasi, seperti mengikuti pemilu, mendukung kebijakan yang adil, dan
mengawasi pemerintah.³
Sebagai contoh,
Civic Education di Amerika
Serikat telah berhasil meningkatkan partisipasi pemuda dalam proses politik
melalui program-program seperti "We the People."⁴
8.2.
Civic Education untuk Meningkatkan Kohesi
Sosial
Civic Education juga
berperan dalam menciptakan masyarakat yang inklusif dan harmonis. Dalam
masyarakat yang beragam seperti Indonesia, Civic Education menanamkan
nilai-nilai toleransi, solidaritas, dan penghormatan terhadap perbedaan.⁵ Nilai-nilai ini penting untuk
mencegah konflik sosial dan mempromosikan kohesi sosial, yang menjadi fondasi
bagi pembangunan bangsa yang kuat.⁶
Sebagai contoh,
kurikulum berbasis Pancasila di Indonesia menekankan pentingnya persatuan dalam keberagaman, yang relevan
untuk mengatasi isu-isu seperti intoleransi dan radikalisme.⁷
8.3.
Civic Education dalam Menghadapi Tantangan
Global
Di era globalisasi,
Civic Education membantu warga negara memahami isu-isu global seperti perubahan
iklim, migrasi, dan kesenjangan sosial.⁸ Civic Education membekali siswa dengan
keterampilan berpikir kritis untuk menganalisis dampak dari tantangan global ini dan mendorong mereka untuk
menjadi agen perubahan di tingkat lokal maupun internasional.⁹
Sebagai contoh,
Finlandia telah mengintegrasikan pendidikan kewarganegaraan dengan pendidikan lingkungan untuk
menciptakan generasi yang peduli terhadap keberlanjutan.¹⁰
8.4.
Civic Education dan Pembangunan Karakter Bangsa
Pembangunan bangsa
tidak hanya bergantung pada aspek ekonomi dan politik, tetapi juga pada
pembentukan karakter individu yang berintegritas. Civic Education menanamkan
nilai-nilai moral, seperti kejujuran, tanggung jawab, dan kerja sama, yang mendukung
terciptanya masyarakat yang bermartabat.¹¹
Dalam konteks
Indonesia, Civic Education membantu memperkuat identitas nasional melalui pengajaran nilai-nilai
Pancasila dan sejarah perjuangan bangsa.¹² Hal ini relevan untuk membangun
generasi yang mencintai tanah air dan berkontribusi pada kemajuan bangsa.
8.5.
Civic Education sebagai Investasi Jangka
Panjang
Pendidikan
kewarganegaraan adalah investasi jangka panjang yang berkontribusi pada
stabilitas sosial, ekonomi, dan politik.¹³ Negara dengan Civic Education yang kuat cenderung memiliki warga
negara yang lebih aktif secara politik, lebih toleran, dan lebih mampu
menghadapi tantangan global.¹⁴
Sebagai contoh,
studi menunjukkan bahwa siswa yang mendapatkan pendidikan kewarganegaraan yang berkualitas cenderung
lebih peduli terhadap lingkungan, lebih toleran terhadap perbedaan, dan lebih
terlibat dalam kegiatan sosial.¹⁵
Catatan Kaki
[1]
Margaret S. Branson, The Role of Civic Education
(Calabasas: Center for Civic Education, 1998), 28.
[2]
Judith Torney-Purta et al., Citizenship and Education in Twenty-Eight
Countries: Civic Knowledge and Engagement at Age Fourteen
(Amsterdam: IEA, 1999), 42.
[3]
Diana Hess and Paula McAvoy, The Political Classroom: Evidence and Ethics in
Democratic Education (New York: Routledge, 2015), 122.
[4]
John J. Patrick, "Civic Education Practices in the USA," International
Journal of Social Education 12, no. 3 (1999): 31.
[5]
James A. Banks, Cultural Diversity and Education: Foundations,
Curriculum, and Teaching (Boston: Pearson, 2013), 210.
[6]
Hikmah Budiman, "Civic Education dan Kohesi Sosial," Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan 17, no. 3 (2015): 34.
[7]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kurikulum 2013: Pendidikan Kewarganegaraan
(Jakarta: Kemendikbud, 2013), 10.
[8]
David Kerr, "Civic Education in Comparative Perspective," Comparative
Education 35, no. 2 (1999): 150.
[9]
Pasi Sahlberg, Finnish Lessons 2.0: What Can the World Learn
from Educational Change in Finland? (New York: Teachers College
Press, 2014), 105.
[10]
Diana E. Hess, Controversy in the Classroom: The Democratic
Power of Discussion (New York: Routledge, 2009), 56.
[11]
Abdullah Idi, Pendidikan Karakter Berbasis Nilai Pancasila
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015), 78.
[12]
Mohamad Arifin, "Civic Education dan Identitas Nasional," Jurnal
Pendidikan Indonesia 6, no. 3 (2018): 46.
[13]
Carolin Goerke, "Social Justice in Civic Education: An
International Perspective," Journal of Civic Studies 4, no. 1
(2017): 30.
[14]
Lynn Hunt, Inventing Human Rights: A History
(New York: W.W. Norton & Company, 2007), 104.
[15]
Judith Torney-Purta, "Civic Education in Schools: International
Contexts and Challenges," American Educational Research Journal
37, no. 2 (2000): 196, https://doi.org/10.3102/00028312037002196.
9.
Kesimpulan dan Rekomendasi
9.1.
Kesimpulan
Civic Education
merupakan komponen penting dalam membangun masyarakat yang demokratis,
inklusif, dan bertanggung jawab. Kajian komprehensif ini menunjukkan bahwa
Civic Education tidak hanya berfungsi untuk memberikan pengetahuan tentang hak
dan kewajiban warga negara, tetapi juga untuk membentuk keterampilan dan sikap
yang mendukung partisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat.¹ Dengan
menanamkan nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan toleransi, Civic Education
dapat menciptakan individu yang mampu berkontribusi secara positif pada
pembangunan bangsa.²
Sejarah Civic
Education di berbagai negara, termasuk Indonesia, mencerminkan dinamika
sosial-politik yang mempengaruhi arah dan pelaksanaannya.³ Meskipun menghadapi
berbagai tantangan, seperti keterbatasan sumber daya, pengaruh globalisasi, dan
radikalisme, Civic Education tetap relevan dalam era modern sebagai media untuk
membangun karakter dan kohesi
sosial.⁴ Reformasi kurikulum, inovasi metode pembelajaran, serta pemanfaatan
teknologi digital menjadi solusi yang dapat meningkatkan efektivitas Civic
Education.⁵
Sebagai landasan
bagi pembangunan bangsa, Civic Education berkontribusi pada peningkatan
partisipasi politik, penghargaan terhadap keberagaman, dan penguatan identitas nasional. Dengan pendekatan
yang inklusif dan kontekstual, Civic Education dapat menjadi alat strategis
untuk mempersiapkan generasi yang mampu menghadapi tantangan global.⁶
9.2.
Rekomendasi
Berdasarkan
pembahasan ini, beberapa rekomendasi untuk meningkatkan kualitas Civic
Education adalah sebagai berikut:
1)
Reformasi Kurikulum
Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu
mereformasi kurikulum Civic Education untuk memastikan relevansi materi dengan
tantangan abad ke-21. Kurikulum harus mencakup isu-isu global, seperti
perubahan iklim, hak asasi manusia, dan keberagaman budaya, serta menekankan
pembelajaran berbasis praktik.⁷
2)
Peningkatan Kompetensi
Guru
Guru sebagai ujung tombak pendidikan memerlukan
pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang metode
pembelajaran yang inovatif dan berbasis teknologi.⁸ Pelatihan ini juga harus
mencakup penguatan nilai-nilai demokrasi dan toleransi.
3)
Pemanfaatan Teknologi
Digital
Teknologi digital harus dimanfaatkan secara
maksimal untuk mendukung pembelajaran Civic Education. Aplikasi simulasi,
platform daring, dan media sosial dapat digunakan untuk membuat pembelajaran
lebih menarik dan relevan bagi generasi muda.⁹
4)
Keterlibatan Pemangku
Kepentingan
Civic Education memerlukan dukungan dari berbagai
pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, media, dan organisasi internasional.
Kerja sama ini penting untuk memperluas cakupan dan dampak pendidikan
kewarganegaraan.¹⁰
5)
Peningkatan Kesadaran
Publik
Kampanye publik tentang pentingnya Civic
Education perlu ditingkatkan untuk mendorong kesadaran masyarakat akan peran
mereka sebagai warga negara yang aktif dan bertanggung jawab.¹¹
6)
Pengawasan dan Evaluasi
Implementasi Civic Education perlu diawasi dan
dievaluasi secara berkala untuk memastikan efektivitasnya dalam mencapai tujuan
yang telah ditetapkan.¹²
Penutup
Dengan
langkah-langkah tersebut, Civic Education dapat menjadi fondasi yang kuat untuk
membangun masyarakat yang demokratis, adil, dan berkeadilan sosial. Pendidikan
ini tidak hanya menciptakan individu yang sadar akan hak dan kewajibannya,
tetapi juga mempersiapkan mereka untuk
menjadi agen perubahan yang membawa bangsa menuju masa depan yang lebih baik.
Catatan Kaki
[1]
Margaret S. Branson, The Role of Civic Education
(Calabasas: Center for Civic Education, 1998), 30.
[2]
Judith Torney-Purta, "Civic Education in Schools: International
Contexts and Challenges," American Educational Research Journal
37, no. 2 (2000): 197, https://doi.org/10.3102/00028312037002197.
[3]
David Kerr, "Civic Education in Comparative Perspective," Comparative
Education 35, no. 2 (1999): 152.
[4]
Diana Hess and Paula McAvoy, The Political Classroom: Evidence and Ethics in
Democratic Education (New York: Routledge, 2015), 126.
[5]
James A. Banks, Cultural Diversity and Education: Foundations,
Curriculum, and Teaching (Boston: Pearson, 2013), 214.
[6]
Pasi Sahlberg, Finnish Lessons 2.0: What Can the World Learn
from Educational Change in Finland? (New York: Teachers College
Press, 2014), 110.
[7]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kurikulum 2013: Pendidikan Kewarganegaraan
(Jakarta: Kemendikbud, 2013), 14.
[8]
Carolin Goerke, "Social Justice in Civic Education: An
International Perspective," Journal of Civic Studies 4, no. 1
(2017): 32.
[9]
Hikmah Budiman, "Civic Education dan Teknologi Digital," Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan 17, no. 3 (2015): 34.
[10]
Mohamad Arifin, "Kolaborasi Pemangku Kepentingan dalam Pendidikan
Kewarganegaraan," Jurnal Pendidikan Indonesia 6, no.
3 (2018): 50.
[11]
Lynn Hunt, Inventing Human Rights: A History
(New York: W.W. Norton & Company, 2007), 115.
[12]
Edi Subkhan, "Evaluasi Implementasi Civic Education," Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan 10, no. 2 (2015): 160.
Daftar Pustaka
Buku
Banks, J. A. (2013). Cultural diversity and
education: Foundations, curriculum, and teaching (6th ed.). Boston, MA:
Pearson.
Branson, M. S. (1998). The role of civic
education. Calabasas, CA: Center for Civic Education.
Davies, L. (2004). Education and conflict:
Complexity and chaos. London, UK: Routledge.
Hess, D. E., & McAvoy, P. (2015). The
political classroom: Evidence and ethics in democratic education. New York,
NY: Routledge.
Hess, D. E. (2009). Controversy in the
classroom: The democratic power of discussion. New York, NY: Routledge.
Hunt, L. (2007). Inventing human rights: A
history. New York, NY: W.W. Norton & Company.
Idi, A. (2015). Pendidikan karakter berbasis
nilai Pancasila. Jakarta, Indonesia: RajaGrafindo Persada.
Patrick, J. J. (1997). Concepts at the core of
civic education. International Journal of Social Education, 12(2), 10–20.
Sahlberg, P. (2014). Finnish lessons 2.0: What
can the world learn from educational change in Finland? New York, NY:
Teachers College Press.
Artikel Jurnal
Goerke, C. (2017). Social justice in civic
education: An international perspective. Journal of Civic Studies, 4(1),
15–32.
Kerr, D. (1999). Civic education in comparative
perspective. Comparative Education, 35(2), 133–149.
Subkhan, E. (2015). Evaluasi implementasi civic
education. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 10(2), 150–160. https://doi.org/10.21831/jpk.v10i2.150
Torney-Purta, J. (2000). Civic education in
schools: International contexts and challenges. American Educational
Research Journal, 37(2), 189–197. https://doi.org/10.3102/00028312037002189
Torney-Purta, J., & Others. (1999). Citizenship
and education in twenty-eight countries: Civic knowledge and engagement at age
fourteen. Amsterdam, Netherlands: IEA.
Laporan dan Kebijakan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Kurikulum
2013: Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta, Indonesia: Kemendikbud.
Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan. (2018). Gerakan nasional revolusi mental. Jakarta,
Indonesia: Kemenko PMK.
Lainnya
Budiman, H. (2015). Civic education dan tantangan
globalisasi. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 17(3), 29–34.
Heryanto, A. (2013). State ideology and the
politics of education in Indonesia. New York, NY: Routledge.
Arifin, M. (2018). Peran teknologi dalam pendidikan
kewarganegaraan. Jurnal Pendidikan Indonesia, 6(3), 38–50.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar