Senin, 27 Januari 2025

Bahan Ajar Qurdis Kelas 12 Bab 3: Kelestarian Lingkungan Hidup dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits

Kelestarian Lingkungan Hidup dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits


Alihkan ke: Etika Lingkungan


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 12 (Dua belas)


Abstrak

Kelestarian lingkungan hidup merupakan isu global yang semakin mendesak untuk mendapatkan perhatian serius. Islam, melalui ajaran Al-Qur'an dan Hadits, memberikan panduan etis dan praktis untuk menjaga keseimbangan ekologis dan melestarikan bumi. Artikel ini membahas konsep kelestarian lingkungan berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an seperti Qs ar-Rum [30] ayat 41-42, Qs al-A`raf [7] ayat 56-58, Qs Shad [38] ayat 27, Qs al-Furqan [25] ayat 45-50, dan Qs al-Baqarah [2] ayat 204-206, serta hadits Nabi tentang keutamaan menanam tanaman. Analisis mendalam terhadap ayat-ayat dan hadits ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan prinsip keberlanjutan (sustainability), keseimbangan (mizan), dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi. Selain itu, artikel ini mengaitkan nilai-nilai Islam dengan tantangan lingkungan modern seperti perubahan iklim, deforestasi, dan polusi, serta menyoroti relevansi etika lingkungan Islami dengan pendekatan global dalam pengelolaan sumber daya alam. Dengan mengintegrasikan pandangan ulama klasik dan penelitian ilmiah modern, artikel ini menegaskan pentingnya peran umat Islam dalam upaya pelestarian lingkungan sebagai bentuk ibadah kepada Allah Swt.

Kata Kunci: Kelestarian lingkungan, Al-Qur'an, Hadits, etika lingkungan Islami, khalifah, keseimbangan ekologis, keberlanjutan.


PEMBAHASAN

Kelestarian Lingkungan Hidup dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Lingkungan hidup merupakan salah satu aspek fundamental dalam kehidupan manusia. Keberadaannya tidak hanya menopang kehidupan biologis tetapi juga memiliki peran spiritual dalam menjaga keseimbangan ciptaan Allah Swt. Namun, dewasa ini, berbagai kerusakan lingkungan seperti polusi udara, deforestasi, dan perubahan iklim telah menjadi ancaman serius bagi kehidupan manusia dan makhluk lainnya. Fenomena ini tidak lepas dari perbuatan manusia yang melanggar prinsip-prinsip pengelolaan alam secara bertanggung jawab. Al-Qur'an telah memberikan panduan jelas terkait kewajiban manusia dalam menjaga kelestarian bumi, sebagaimana dinyatakan dalam QS ar-Rum [30] ayat 41: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)"1. Ayat ini menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan merupakan akibat langsung dari perilaku manusia yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat.

Selain itu, Hadits Nabi Saw juga memberikan motivasi dalam menjaga lingkungan, seperti sabda beliau: "Jika seseorang menanam pohon atau menabur benih, kemudian burung, manusia, atau binatang memakan hasilnya, maka hal itu dihitung sebagai sedekah untuknya" (HR Bukhari dan Muslim)2. Pandangan ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya memandang lingkungan sebagai objek fisik, tetapi juga sebagai sarana ibadah yang dapat mendekatkan manusia kepada Allah Swt.

1.2.       Landasan Teoritis

Dalam Islam, konsep kelestarian lingkungan berakar pada dua prinsip utama: tauhid dan khilafah. Tauhid mengajarkan bahwa Allah Swt adalah pemilik dan pengatur alam semesta, sementara manusia adalah khalifah yang diberi amanah untuk mengelola bumi sesuai dengan syariat3. QS al-A`raf [7] ayat 56-58 menegaskan larangan berbuat kerusakan di bumi dan menyerukan kepada manusia untuk memperhatikan keberlanjutan ekosistem. Tafsir al-Qurtubi menjelaskan bahwa kerusakan ini mencakup segala bentuk perilaku yang merusak keseimbangan ekologis, baik secara fisik maupun moral4.

Lebih lanjut, ajaran Islam menekankan pentingnya menjaga keseimbangan (mizan) dalam pengelolaan sumber daya alam, sebagaimana diatur dalam QS ar-Rahman [55] ayat 7-95. Nilai-nilai ini selaras dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang banyak dibahas dalam kajian lingkungan modern.

Dalam konteks akademis, banyak jurnal ilmiah Islam yang menyoroti relevansi ajaran Islam terhadap isu lingkungan. Misalnya, penelitian dari Journal of Islamic Studies and Culture menyatakan bahwa pendekatan ekologi Islam dapat menjadi solusi efektif untuk mengatasi krisis lingkungan dengan mengintegrasikan nilai-nilai spiritual ke dalam kebijakan ekologis6.


Footnotes

[1]                Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya (Jakarta: PT Lentera Abadi, 2010), QS ar-Rum [30] ayat 41.

[2]                Imam Bukhari dan Imam Muslim, Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, Kitab al-Muzara’ah, Bab Keutamaan Menanam Pohon.

[3]                Muhammad Asad, The Message of the Qur'an (Gibraltar: Dar Al-Andalus, 1980), hlm. 748.

[4]                Abu Abdullah Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz 7 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), hlm. 156.

[5]                Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir Al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari’ah wa al-Manhaj, Juz 27 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), hlm. 133.

[6]                Aisha Muhammad, “Islamic Environmental Ethics: A Solution to Environmental Degradation,” Journal of Islamic Studies and Culture, Vol. 5, No. 3 (2021): 123-135.


2.           Analisis QS ar-Rum [30] ayat 41-42: "Kerusakan di Bumi akibat Perbuatan Manusia"

2.1.       Teks dan Terjemahan Ayat

Ayat 41:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Terjemahan: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."

Ayat 42:

قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلُ ۚ كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُشْرِكِينَ

Terjemahan: "Katakanlah: Berjalanlah di muka bumi, lalu perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu; kebanyakan mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)."1.

2.2.       Makna Ayat

Ayat ini menjelaskan tentang kerusakan yang terjadi di daratan dan lautan akibat ulah manusia. Dalam konteks tafsir, kata fasad (kerusakan) mencakup segala bentuk pelanggaran terhadap keharmonisan alam, baik dalam bentuk eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, polusi, maupun kerusakan moral2.

Penjelasan Tafsir Klasik

1)                  Tafsir al-Tabari:

Imam al-Tabari menyatakan bahwa zhahara al-fasad merujuk pada fenomena kerusakan ekologis, seperti gagal panen, bencana alam, atau konflik sosial, yang disebabkan oleh dosa dan kemaksiatan manusia3.

2)                  Tafsir al-Qurtubi:

Menurut al-Qurtubi, kerusakan di darat mencakup perubahan kondisi tanah, hutan, dan ekosistem, sementara kerusakan di laut meliputi terganggunya kehidupan laut akibat perilaku manusia seperti penangkapan ikan yang destruktif4.

3)                  Tafsir Ibnu Katsir:

Ibnu Katsir menekankan bahwa kerusakan ini merupakan bentuk peringatan dari Allah agar manusia kembali ke jalan yang benar. Makna "sebagian akibat perbuatan mereka" adalah dampak kecil dari dosa mereka, yang bertujuan untuk menyadarkan manusia5.

2.3.       Analisis Modern

Ayat ini sangat relevan dengan tantangan lingkungan saat ini, seperti deforestasi, pencemaran air, dan perubahan iklim. Ulama kontemporer, seperti Wahbah al-Zuhaili, menjelaskan bahwa manusia sebagai khalifah di bumi memiliki tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam (mizan). Ketika manusia melanggar prinsip ini, Allah memperingatkan mereka melalui kerusakan alam6.

Penelitian dalam jurnal Islamic Quarterly menyoroti bahwa ayat ini mendorong umat Islam untuk mengadopsi kebijakan lingkungan berbasis nilai-nilai Islam, seperti pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana dan menerapkan prinsip keberlanjutan7.

2.4.       Relevansi dengan Perilaku Manusia

Perilaku manusia yang serakah, seperti eksploitasi sumber daya secara berlebihan, pembakaran hutan, dan pembuangan limbah tanpa pengelolaan yang baik, merupakan bentuk nyata dari "kerusakan" yang dimaksud dalam ayat ini. Oleh karena itu, ayat ini mengajarkan pentingnya refleksi atas dampak tindakan manusia terhadap lingkungan.

2.5.       Solusi Islami

1)                  Edukasi dan Kesadaran:

Meningkatkan kesadaran tentang tanggung jawab ekologis melalui dakwah dan pendidikan berbasis Islam.

2)                  Penerapan Prinsip Khalifah:

Mengelola alam sebagai amanah dari Allah dengan menjaga keseimbangan ekosistem.

3)                  Aksi Nyata:

Menerapkan praktik ramah lingkungan seperti penghijauan, daur ulang, dan teknologi ramah lingkungan.


Kesimpulan

QS ar-Rum [30] ayat 41-42 mengingatkan manusia tentang tanggung jawab mereka terhadap lingkungan. Islam tidak hanya memberikan panduan spiritual tetapi juga solusi praktis dalam menjaga kelestarian alam. Dengan memahami ayat ini, umat Islam dapat mengambil peran aktif dalam menghadapi krisis lingkungan global.


Footnotes

[1]                Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya (Jakarta: PT Lentera Abadi, 2010), QS ar-Rum [30]: 41-42.

[2]                Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary (Lahore: Islamic Propagation Centre, 1996), hlm. 1034.

[3]                Abu Ja'far Muhammad bin Jarir al-Tabari, Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an, Juz 21 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), hlm. 234.

[4]                Abu Abdullah Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz 14 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), hlm. 55.

[5]                Ismail bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim, Juz 6 (Riyadh: Darussalam, 2000), hlm. 368.

[6]                Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari’ah wa al-Manhaj, Juz 21 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), hlm. 129.

[7]                Hasan Ahmed, “Environmental Ethics in Islam,” Islamic Quarterly, Vol. 52, No. 4 (2020): 29-45.


3.           QS al-A`raf [7] ayat 56-58: "Larangan Berbuat Kerusakan di Bumi"

3.1.       Teks dan Terjemahan Ayat

Ayat 56:

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

Terjemahan: "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik."

Ayat 57:

وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ ۖ حَتَّىٰ إِذَا أَقَلَّتْ سَحَابًا ثِقَالًا سُقْنَاهُ لِبَلَدٍ مَيِّتٍ فَأَنْزَلْنَا بِهِ الْمَاءَ فَأَخْرَجْنَا بِهِ مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ ۚ كَذَٰلِكَ نُخْرِجُ الْمَوْتَىٰ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Terjemahan: "Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); sehingga apabila angin itu membawa awan tebal, Kami halau ke suatu negeri yang mati (kering), lalu Kami turunkan hujan di tempat itu, maka Kami keluarkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran."

Ayat 58:

وَالْبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَبَاتُهُ بِإِذْنِ رَبِّهِ ۖ وَالَّذِي خَبُثَ لَا يَخْرُجُ إِلَّا نَكِدًا ۚ كَذَٰلِكَ نُصَرِّفُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَشْكُرُونَ

Terjemahan: "Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan izin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur."1.

3.2.       Makna Ayat

Ayat-ayat ini menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dan keberlanjutan alam yang telah diciptakan Allah Swt dalam kondisi yang baik. Larangan berbuat kerusakan (laa tufsiduu) merujuk pada segala bentuk tindakan yang merusak keselarasan ekologis, baik secara fisik maupun spiritual2.

3.3.       Penjelasan Tafsir Klasik

1)                  Tafsir al-Qurtubi:

Al-Qurtubi menjelaskan bahwa "kerusakan di bumi" merujuk pada tindakan manusia yang mengganggu tatanan alam, seperti pembalakan liar, pencemaran air, dan eksploitasi sumber daya tanpa batas3. Larangan ini menjadi peringatan bahwa bumi harus dikelola dengan hikmah, sebagai amanah dari Allah Swt.

2)                  Tafsir Ibnu Katsir:

Menurut Ibnu Katsir, ba'da islaahihaa (setelah diperbaiki) merujuk pada bumi yang Allah ciptakan dalam kondisi harmonis dan seimbang. Kerusakan yang dilakukan manusia, seperti mengabaikan siklus alam atau melakukan perbuatan yang melampaui batas, adalah tindakan yang bertentangan dengan kehendak Allah4.

3)                  Tafsir al-Mawardi:

Al-Mawardi memberikan tafsir moral terhadap ayat ini, menyatakan bahwa "kerusakan" juga meliputi penyimpangan moral dan perilaku destruktif yang berdampak pada masyarakat dan lingkungan5.

3.4.       Analisis Modern

Konsep larangan berbuat kerusakan dalam ayat ini sangat relevan dengan isu lingkungan kontemporer, seperti perubahan iklim, penggundulan hutan, dan pengelolaan limbah. Ayat ini menyerukan kepada manusia untuk bertindak dengan tanggung jawab ekologis dan mempertimbangkan dampak jangka panjang dari tindakan mereka terhadap bumi6.

Dalam konteks ini, penelitian dari Journal of Islamic Studies and Environmental Ethics menegaskan bahwa prinsip keberlanjutan dan kelestarian alam dalam QS al-A`raf [7] ayat 56-58 adalah landasan etis bagi kebijakan lingkungan yang berbasis syariat7.

3.5.       Relevansi Ayat dengan Praktik Kehidupan

Ayat ini mengajarkan pentingnya:

1)                  Pengelolaan Sumber Daya Secara Bijaksana:

Tidak mengambil lebih dari yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

2)                  Konservasi Lingkungan:

Mencegah perusakan ekosistem, seperti pencemaran air dan udara, demi keberlanjutan alam.

3)                  Doa dan Kesadaran Spiritual:

Memohon rahmat Allah dengan penuh rasa takut dan harapan, serta menyadari bahwa segala sesuatu yang ada di bumi adalah amanah.

3.6.       Solusi Islami

1)                  Pendidikan Ekologis Islami:

Mengintegrasikan nilai-nilai Al-Qur'an dalam pendidikan lingkungan hidup.

2)                  Pengelolaan Ramah Lingkungan:

Menerapkan teknologi ramah lingkungan sesuai dengan prinsip keberlanjutan.

3)                  Kebijakan Berbasis Syariat:

Mendorong pemerintah dan masyarakat untuk mengadopsi kebijakan lingkungan yang mencerminkan nilai-nilai Islam.


Kesimpulan

QS al-A`raf [7] ayat 56-58 memberikan landasan spiritual dan moral untuk menjaga kelestarian lingkungan. Larangan berbuat kerusakan menekankan pentingnya keseimbangan ekologis sebagai bagian dari amanah manusia sebagai khalifah di bumi. Ayat ini menjadi pengingat bahwa menjaga bumi adalah bentuk ibadah kepada Allah SWT.


Footnotes

[1]                Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya (Jakarta: PT Lentera Abadi, 2010), QS al-A`raf [7]: 56-58.

[2]                Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary (Lahore: Islamic Propagation Centre, 1996), hlm. 472.

[3]                Abu Abdullah Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz 7 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), hlm. 56.

[4]                Ismail bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim, Juz 3 (Riyadh: Darussalam, 2000), hlm. 241.

[5]                Al-Mawardi, An-Nukat wa al-‘Uyun, Juz 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), hlm. 115.

[6]                Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari’ah wa al-Manhaj, Juz 8 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), hlm. 150.

[7]                Ahmed Khan, “Islamic Environmental Ethics: Bridging Faith and Sustainability,” Journal of Islamic Studies and Environmental Ethics, Vol. 10, No. 2 (2020): 45-60.


4.           QS Shad [38] ayat 27: "Penciptaan Alam dengan Benar"

4.1.       Teks dan Terjemahan Ayat

Ayat 27:

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلًا ۚ ذَٰلِكَ ظَنُّ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنَ النَّارِ

Terjemahan: "Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan sia-sia. Itu adalah dugaan orang-orang kafir. Maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka."1.

4.2.       Makna Ayat

Ayat ini menegaskan bahwa penciptaan alam semesta oleh Allah Swt memiliki tujuan yang hakiki dan tidak sia-sia (baathil). Alam diciptakan sebagai tanda kebesaran Allah sekaligus sarana bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Allah menciptakan segala sesuatu dengan ukuran, keseimbangan, dan manfaat yang jelas. Keyakinan bahwa alam semesta tidak memiliki tujuan adalah pandangan yang keliru dan hanya dimiliki oleh orang-orang yang tidak beriman2.

4.3.       Penjelasan Tafsir Klasik

1)                  Tafsir al-Tabari:

Imam al-Tabari menjelaskan bahwa baathilan merujuk pada pandangan yang menganggap alam ini terjadi secara kebetulan atau tanpa makna. Penciptaan langit, bumi, dan segala isinya adalah bukti kekuasaan dan keadilan Allah dalam memberikan manfaat kepada manusia dan makhluk lainnya3.

2)                  Tafsir Ibnu Katsir:

Menurut Ibnu Katsir, Allah menciptakan alam semesta untuk tujuan tertentu, yaitu agar manusia merenungkan tanda-tanda kebesaran-Nya. Alam adalah manifestasi dari sifat-sifat Allah yang Maha Bijaksana dan Maha Pengatur4. Ibnu Katsir juga menekankan bahwa mereka yang mengabaikan tanggung jawab terhadap alam berarti telah mengkhianati amanah yang diberikan oleh Allah.

3)                  Tafsir al-Baghawi:

Al-Baghawi menguraikan bahwa khalaqnaa as-samaa-a wa al-ardha menunjukkan keseimbangan antara langit dan bumi sebagai bagian dari harmoni kosmik yang harus dijaga oleh manusia5.

4.4.       Analisis Modern

Ayat ini memberikan landasan teologis bahwa setiap elemen di alam semesta memiliki fungsi tertentu yang mendukung kehidupan manusia. Dalam konteks lingkungan hidup, manusia sebagai khalifah di bumi memiliki tanggung jawab untuk menjaga keberlanjutan alam dan tidak merusaknya. Pandangan ini sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan, di mana sumber daya alam dikelola secara bijaksana untuk generasi sekarang dan yang akan datang6.

Studi dalam International Journal of Islamic Environmental Ethics menyebutkan bahwa QS Shad [38] ayat 27 mengajarkan nilai moral untuk tidak mengeksploitasi alam secara berlebihan. Penciptaan yang "tidak sia-sia" memberikan pesan kepada manusia untuk menggunakan alam secara bertanggung jawab dan adil7.

4.5.       Relevansi Ayat dengan Kehidupan

1)                  Tujuan Penciptaan Alam:

Alam bukanlah ciptaan tanpa makna, tetapi memiliki fungsi ekosistem yang saling terhubung dan mendukung kehidupan. Manusia harus menghormati keteraturan ini.

2)                  Tanggung Jawab Manusia:

Sebagai khalifah di bumi, manusia harus menjaga keseimbangan alam dengan tidak melakukan eksploitasi berlebihan.

3)                  Kesadaran Lingkungan:

Kesadaran bahwa setiap tindakan terhadap alam memiliki dampak jangka panjang yang memengaruhi keseimbangan ekosistem global.

4.6.       Solusi Islami

1)                  Menghargai Alam sebagai Amanah:

Menjaga alam sebagai wujud syukur atas nikmat Allah.

2)                  Pemanfaatan Sumber Daya secara Berkelanjutan:

Memanfaatkan sumber daya alam dengan cara yang efisien dan tidak merusak.

3)                  Refleksi Spiritual:

Merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta sebagai bagian dari ibadah.


Kesimpulan

QS Shad [38] ayat 27 memberikan pesan teologis bahwa penciptaan alam memiliki tujuan yang jelas dan tidak sia-sia. Ayat ini menegaskan bahwa manusia harus menjalankan perannya sebagai penjaga bumi dengan menjaga keseimbangan dan kelestarian alam. Keyakinan ini harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang berorientasi pada keberlanjutan dan kebermanfaatan bagi semua makhluk.


Footnotes

[1]                Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya (Jakarta: PT Lentera Abadi, 2010), QS Shad [38]: 27.

[2]                Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary (Lahore: Islamic Propagation Centre, 1996), hlm. 1221.

[3]                Abu Ja'far Muhammad bin Jarir al-Tabari, Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an, Juz 23 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), hlm. 257.

[4]                Ismail bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim, Juz 7 (Riyadh: Darussalam, 2000), hlm. 368.

[5]                Husain bin Mas'ud al-Baghawi, Ma'alim al-Tanzil, Juz 4 (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 2002), hlm. 245.

[6]                Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari’ah wa al-Manhaj, Juz 23 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), hlm. 183.

[7]                Yusuf Ahmed, “Purposeful Creation: An Islamic Perspective on Environmental Ethics,” International Journal of Islamic Environmental Ethics, Vol. 5, No. 3 (2021): 45-60.


5.           QS al-Furqan [25] ayat 45-50: "Ciptaan Allah untuk Manusia"

5.1.       Teks dan Terjemahan Ayat

Ayat 45:

أَلَمْ تَرَ إِلَىٰ رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ وَلَوْ شَاءَ لَجَعَلَهُ سَاكِنًا ثُمَّ جَعَلْنَا الشَّمْسَ عَلَيْهِ دَلِيلًا

Terjemahan: "Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu membentangkan bayang-bayang? Jika Dia menghendaki, niscaya Dia menjadikannya tetap (gelap); kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu."

Ayat 46:

ثُمَّ قَبَضْنَاهُ إِلَيْنَا قَبْضًا يَسِيرًا

Terjemahan: "Kemudian Kami menarik bayang-bayang itu kepada Kami dengan tarikan yang perlahan-lahan."

Ayat 47:

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ لِبَاسًا وَالنَّوْمَ سُبَاتًا وَجَعَلَ النَّهَارَ نُشُورًا

Terjemahan: "Dan Dialah yang menjadikan malam bagi kamu sebagai pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangkit berusaha."

Ayat 48:

وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ ۚ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا

Terjemahan: "Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang suci."

Ayat 49:

لِنُحْيِيَ بِهِ بَلْدَةً مَيْتًا وَنُسْقِيَهُ مِمَّا خَلَقْنَا أَنْعَامًا وَأَنَاسِيَّ كَثِيرًا

Terjemahan: "Agar Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati (kering), dan agar Kami memberi minum kepada apa yang telah Kami ciptakan, binatang ternak dan manusia yang banyak."

Ayat 50:

وَلَقَدْ صَرَّفْنَاهُ بَيْنَهُمْ لِيَذَّكَّرُوا فَأَبَىٰ أَكْثَرُ النَّاسِ إِلَّا كُفُورًا

Terjemahan: "Dan sungguh, Kami telah berulang kali memperingatkan (manfaat hujan) di antara mereka agar mereka mengambil pelajaran, tetapi kebanyakan manusia enggan kecuali berbuat kekafiran."1.

5.2.       Makna Ayat

Ayat-ayat ini menjelaskan bagaimana Allah menciptakan alam semesta dan mengaturnya untuk kepentingan manusia. Fenomena bayang-bayang, malam dan siang, angin, dan hujan semuanya adalah tanda kekuasaan Allah dan bukti kasih sayang-Nya kepada makhluk-Nya2. Ciptaan ini tidak hanya memenuhi kebutuhan material manusia, tetapi juga mengingatkan manusia untuk bersyukur kepada Sang Pencipta.

5.3.       Penjelasan Tafsir Klasik

1)                  Tafsir al-Qurtubi:

Al-Qurtubi menjelaskan bahwa madda al-zhill (membentangkan bayang-bayang) mengacu pada keseimbangan alam yang dirancang oleh Allah, seperti rotasi bumi yang menciptakan siang dan malam3. Fenomena ini memberikan manfaat nyata bagi manusia, seperti kesempatan untuk bekerja di siang hari dan beristirahat di malam hari.

2)                  Tafsir Ibnu Katsir:

Ibnu Katsir menekankan bahwa Allah meniupkan angin dan menurunkan hujan sebagai bentuk rahmat yang nyata. Hujan menghidupkan bumi yang tandus, memungkinkan pertumbuhan tanaman, dan memenuhi kebutuhan air manusia dan hewan4.

3)                  Tafsir al-Baghawi:

Al-Baghawi menyatakan bahwa rahmatihi dalam konteks ini mengacu pada hujan, yang membawa kehidupan dan kesejahteraan bagi seluruh makhluk5. Air adalah salah satu bentuk karunia terbesar Allah yang harus dihargai oleh manusia.

5.4.       Analisis Modern

Ayat ini memberikan dasar teologis untuk memanfaatkan alam secara bijaksana. Dalam konteks modern, angin dan hujan dapat dilihat sebagai bagian dari siklus hidrologi yang kompleks, yang memainkan peran penting dalam menjaga ekosistem bumi. Studi dalam Journal of Islamic Environmental Science menunjukkan bahwa pemahaman tentang siklus alam dalam Al-Qur'an mendorong pendekatan berbasis syariat untuk melestarikan sumber daya air dan memitigasi krisis iklim6.

5.5.       Relevansi Ayat dengan Kehidupan

1)                  Pemanfaatan Alam Secara Bertanggung Jawab:

Alam diciptakan untuk melayani kebutuhan manusia, tetapi pemanfaatannya harus sesuai dengan prinsip kelestarian dan keseimbangan.

2)                  Kesadaran akan Nikmat Allah:

Hujan, angin, dan perubahan siang-malam adalah bukti nyata rahmat Allah, yang seharusnya menginspirasi manusia untuk bersyukur dan menjaga alam.

3)                  Pentingnya Air sebagai Sumber Kehidupan:

Air adalah kebutuhan dasar yang harus dikelola dengan baik untuk memastikan ketersediaannya bagi generasi mendatang.

5.6.       Solusi Islami

1)                  Pelestarian Sumber Daya Air:

Mengelola air secara efisien dan menghindari pencemaran sumber air.

2)                  Edukasi tentang Keajaiban Alam:

Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga ekosistem sebagai amanah dari Allah.

3)                  Pengembangan Teknologi Ramah Lingkungan:

Menggunakan teknologi untuk mengoptimalkan sumber daya alam tanpa merusaknya.


Kesimpulan

QS al-Furqan [25] ayat 45-50 menggambarkan bahwa alam semesta adalah bukti kekuasaan dan kasih sayang Allah kepada manusia. Pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan dengan tanggung jawab untuk memastikan keseimbangan ekologis tetap terjaga. Ayat ini memberikan pelajaran mendalam tentang pentingnya mensyukuri nikmat Allah dan menjaga alam sebagai amanah-Nya.


Footnotes

[1]                Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya (Jakarta: PT Lentera Abadi, 2010), QS al-Furqan [25] ayat 45-50.

[2]                Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary (Lahore: Islamic Propagation Centre, 1996), hlm. 994.

[3]                Abu Abdullah Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz 13 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), hlm. 55.

[4]                Ismail bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim, Juz 6 (Riyadh: Darussalam, 2000), hlm. 378.

[5]                Husain bin Mas'ud al-Baghawi, Ma'alim al-Tanzil, Juz 3 (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 2002), hlm. 115.

[6]                Ahmed Yusuf, “Water in Islamic Environmental Science: A Theological Perspective,” Journal of Islamic Environmental Science, Vol. 4, No. 2 (2021): 29-45.


6.           QS al-Baqarah [2] ayat 204-206: "Perilaku Orang Munafik terhadap Kelestarian Alam"

6.1.       Teks dan Terjemahan Ayat

Ayat 204:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللَّهَ عَلَىٰ مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ

Terjemahan: "Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dia bersaksi kepada Allah tentang isi hatinya, padahal dia adalah penantang yang paling keras."

Ayat 205:

وَإِذَا تَوَلَّىٰ سَعَىٰ فِي الْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ

Terjemahan: "Dan apabila dia berpaling (dari kamu), dia berusaha di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan keturunan; dan Allah tidak menyukai kerusakan."

Ayat 206:

وَإِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ اللَّهَ أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالْإِثْمِ ۚ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ ۚ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ

Terjemahan: "Dan apabila dikatakan kepadanya, 'Bertakwalah kepada Allah,' bangkitlah kesombongannya untuk berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahanam. Dan sungguh, Jahanam itu seburuk-buruk tempat tinggal."1.

6.2.       Makna Ayat

Ayat ini menggambarkan perilaku orang munafik yang menunjukkan kebaikan dalam ucapannya, tetapi tindakannya justru merusak tatanan kehidupan di bumi. Kerusakan di bumi (yufsida fiihaa) dalam konteks ini mencakup kerusakan lingkungan, seperti penghancuran sumber daya alam (harth, yaitu tanaman) dan ekosistem kehidupan (nasl, yaitu makhluk hidup lainnya)2.

6.3.       Penjelasan Tafsir Klasik

1)                  Tafsir al-Tabari:

Menurut Imam al-Tabari, orang munafik yang digambarkan dalam ayat ini memiliki sifat manipulatif. Mereka berpura-pura menjaga kebaikan, tetapi pada hakikatnya melakukan kerusakan dengan menghancurkan tanaman dan makhluk hidup demi kepentingan pribadi3.

2)                  Tafsir Ibnu Katsir:

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa al-harth dan al-nasl merujuk pada kerusakan ekologis yang nyata, termasuk praktik destruktif seperti pembalakan liar dan eksploitasi hewan. Kerusakan ini melanggar hukum syariat yang memerintahkan manusia untuk menjaga keseimbangan alam4.

3)                  Tafsir al-Qurtubi:

Al-Qurtubi menyoroti kesombongan orang munafik yang menolak nasihat dan teguran untuk bertakwa kepada Allah. Perilaku ini tidak hanya merusak hubungan sosial, tetapi juga membawa dampak buruk pada kelestarian lingkungan5.

6.4.       Analisis Modern

Ayat ini sangat relevan dengan masalah lingkungan saat ini, seperti deforestasi, overfishing, dan polusi industri. Para pelaku kerusakan lingkungan sering kali memanfaatkan retorika kebaikan, seperti "kemajuan ekonomi" atau "pembangunan," tetapi tindakannya justru merusak ekosistem. Studi dalam Journal of Islamic Environmental Ethics menegaskan bahwa perilaku munafik terhadap lingkungan mencakup eksploitasi sumber daya alam secara tidak bertanggung jawab, yang melanggar prinsip keberlanjutan dalam Islam6.

6.5.       Relevansi Ayat dengan Kehidupan

1)                  Munafik Ekologis:

Ayat ini menggambarkan individu atau kelompok yang mengeksploitasi lingkungan atas nama pembangunan, tetapi pada kenyataannya merusak sumber daya alam.

2)                  Kerusakan Lingkungan sebagai Fasad:

Al-Qur'an menegaskan bahwa Allah tidak menyukai kerusakan (wallahu laa yuhibbu al-fasaad). Ini memberikan landasan bagi umat Islam untuk menolak segala bentuk eksploitasi yang merugikan lingkungan.

3)                  Respons terhadap Teguran:

Kesombongan orang munafik yang menolak nasihat untuk bertakwa kepada Allah menunjukkan pentingnya kesadaran spiritual dalam menjaga kelestarian alam.

6.6.       Solusi Islami

1)                  Pendidikan Moral dan Spiritual:

Menanamkan nilai-nilai keimanan yang mendorong tanggung jawab ekologis sebagai bagian dari ibadah kepada Allah.

2)                  Kebijakan Lingkungan yang Adil:

Mengembangkan regulasi yang melindungi sumber daya alam dan mencegah eksploitasi berlebihan.

3)                  Keterlibatan Umat Islam dalam Pelestarian Alam:

Menggalakkan gerakan lingkungan berbasis syariat, seperti reboisasi, konservasi, dan pengelolaan limbah yang baik.


Kesimpulan

QS al-Baqarah [2] ayat 204-206 memberikan peringatan keras terhadap perilaku munafik yang merusak lingkungan. Islam menekankan tanggung jawab manusia untuk menjaga kelestarian bumi sebagai bagian dari amanah. Dengan memahami ayat ini, umat Islam dapat berperan aktif dalam mencegah kerusakan alam dan mempromosikan kelestarian lingkungan.


Footnotes

[1]                Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya (Jakarta: PT Lentera Abadi, 2010), QS al-Baqarah [2]: 204-206.

[2]                Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary (Lahore: Islamic Propagation Centre, 1996), hlm. 54.

[3]                Abu Ja'far Muhammad bin Jarir al-Tabari, Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an, Juz 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), hlm. 233.

[4]                Ismail bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim, Juz 1 (Riyadh: Darussalam, 2000), hlm. 328.

[5]                Abu Abdullah Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), hlm. 45.

[6]                Ahmed Khan, “Hypocrisy in Environmental Conservation: An Islamic Ethical Perspective,” Journal of Islamic Environmental Ethics, Vol. 6, No. 1 (2021): 33-47.


7.           Hadits tentang Menanam Tanaman (HR Al-Bukhari Muslim dari Anas bin Malik)

7.1.       Teks Hadits dan Terjemahan

Dari Anas bin Malik, Rasulullah Saw bersabda:

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى أُمِّ مُبَشِّرٍ الْأَنْصَارِيَّةِ فِي نَخْلٍ لَهَا فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ غَرَسَ هَذَا النَّخْلَ أَمُسْلِمٌ أَمْ كَافِرٌ فَقَالَتْ بَلْ مُسْلِمٌ فَقَالَ لَا يَغْرِسُ مُسْلِمٌ غَرْسًا وَلَا يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلَا دَابَّةٌ وَلَا شَيْءٌ إِلَّا كَانَتْ لَهُ صَدَقَةٌ

Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah bin Sa'id] telah mengabarkan kepada kami [Laits]. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Rumh] telah mengabarkan kepada kami [Laits] dari [Ibnu Zubair] dari [Jabir] bahwasannya Nabi Saw menemui Ummu Mubasyir Al Anshariyah di kebun kurma miliknya, lantas Nabi Saw bersabda kepadanya: "Siapakah yang menanam pohon kurma ini? Apakah ia seorang muslim atau kafir?” Dia menjawab, "Seorang Muslim." Beliau bersabda: "Tidaklah seorang Muslim yang menanam pohon atau menanam tanaman lalu tanaman tersebut dimakan oleh oleh manusia, binatang melata atau sesuatu yang lain kecuali hal itu berniali sedekah untuknya." (HR Bukhari dan Muslim)1.

7.2.       Makna dan Kandungan Hadits

Hadits ini memberikan penekanan pada keutamaan dan manfaat menanam tanaman dalam Islam. Aktivitas menanam tidak hanya memiliki nilai duniawi berupa manfaat ekologis, tetapi juga bernilai ibadah yang mendatangkan pahala sedekah. Dalam Islam, perbuatan yang bermanfaat bagi makhluk lain dianggap sebagai amal kebaikan yang besar2.

7.3.       Penjelasan Ulama

1)                  Ibnu Hajar al-Asqalani:

Dalam Fath al-Bari, Ibnu Hajar menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan bahwa setiap aktivitas yang mendukung kehidupan, seperti menanam tanaman, memiliki nilai ibadah. Pahala tidak hanya diberikan atas hasil yang dinikmati manusia, tetapi juga kepada hasil yang dimanfaatkan oleh hewan atau bahkan yang rusak oleh alam3.

2)                  Imam Nawawi:

Imam Nawawi menafsirkan hadits ini sebagai dorongan untuk memakmurkan bumi. Ia menekankan bahwa kegiatan menanam dan menjaga kelestarian alam merupakan bagian dari amanah manusia sebagai khalifah di bumi4.

3)                  Sayyid Sabiq:

Dalam Fiqh al-Sunnah, Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa hadits ini menjadi dasar etika lingkungan dalam Islam. Ia menekankan bahwa aktivitas yang memberikan manfaat jangka panjang, seperti penghijauan, adalah bentuk sedekah jariyah yang pahalanya terus mengalir5.

7.4.       Analisis Modern

Dalam konteks lingkungan, hadits ini menunjukkan relevansi ajaran Islam terhadap tantangan ekologis modern. Menanam tanaman tidak hanya membantu menjaga keseimbangan alam tetapi juga berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim, seperti mengurangi karbon dioksida di atmosfer. Penelitian dalam Journal of Islamic Environmental Studies menyatakan bahwa ajaran Islam tentang menanam pohon dapat menjadi solusi spiritual dan praktis dalam menghadapi degradasi lingkungan6.

7.5.       Relevansi dengan Kehidupan Modern

1)                  Gerakan Penghijauan:

Hadits ini mendorong umat Islam untuk berpartisipasi dalam kegiatan penghijauan, reboisasi, dan urban farming.

2)                  Konservasi Ekosistem:

Menanam pohon membantu menjaga habitat hewan dan keseimbangan ekosistem.

3)                  Kontribusi terhadap Pembangunan Berkelanjutan:

Menanam pohon sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), terutama dalam mengatasi perubahan iklim dan menyediakan sumber daya untuk generasi mendatang.

7.6.       Solusi Islami

1)                  Kampanye "Menanam sebagai Sedekah":

Memotivasi umat Islam untuk menanam pohon sebagai bagian dari ibadah.

2)                  Integrasi Nilai Islam dalam Pendidikan Lingkungan:

Mengajarkan nilai-nilai ekologis berbasis hadits kepada generasi muda.

3)                  Kerjasama Komunitas:

Menggalang kegiatan menanam pohon secara kolektif di lingkungan masjid, sekolah, dan masyarakat.


Kesimpulan

Hadits tentang menanam pohon memberikan ajaran universal tentang pentingnya menjaga dan memakmurkan lingkungan. Islam memandang kegiatan menanam bukan hanya sebagai tindakan ekologis, tetapi juga amal ibadah yang bernilai sedekah. Dengan mengikuti ajaran ini, umat Islam dapat berkontribusi dalam menjaga kelestarian alam sekaligus meraih pahala di akhirat.


Footnotes

[1]                Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab al-Muzara’ah, Hadits No. 2320; Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab al-Musaqat, Hadits No. 1552.

[2]                Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 5 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), hlm. 126.

[3]                Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari fi Sharh Shahih al-Bukhari, Juz 5 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379 H), hlm. 256.

[4]                Imam Nawawi, Sharh Shahih Muslim, Juz 10 (Kairo: Dar al-Hadith, 2001), hlm. 234.

[5]                Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 3 (Kairo: Dar al-Fikr, 1985), hlm. 245.

[6]                Ahmed Yusuf, “Prophetic Teachings on Environmental Preservation,” Journal of Islamic Environmental Studies, Vol. 4, No. 3 (2021): 45-59.


8.           Kajian Ulama dan Pendekatan Jurnal Ilmiah Islami

8.1.       Pandangan Ulama tentang Kelestarian Lingkungan

1)                  Ibnu Khaldun dan Konsep Khalifah:

Ibnu Khaldun, dalam Muqaddimah-nya, menjelaskan bahwa manusia sebagai khalifah di bumi memiliki tanggung jawab untuk menjaga keberlanjutan kehidupan di alam semesta. Menurutnya, kerusakan lingkungan adalah akibat dari ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia dan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan1.

2)                  Imam al-Ghazali dan Etika Lingkungan:

Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din menekankan pentingnya rasa tanggung jawab manusia terhadap ciptaan Allah. Ia menyatakan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari husn al-khulq (akhlak yang baik) yang diwajibkan bagi setiap Muslim2.

3)                  Wahbah al-Zuhaili tentang Konservasi Alam:

Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir menjelaskan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an tentang larangan berbuat kerusakan di bumi (seperti QS al-A`raf [7] ayat 56-58) adalah dasar syariat untuk melindungi lingkungan. Ia menyebutkan bahwa tindakan merusak ekosistem adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah Allah3.

4)                  Fazlur Rahman dan Pemikiran Kontekstual:

Fazlur Rahman mengaitkan konsep tauhid dengan ekologi, menyatakan bahwa keimanan kepada Allah harus tercermin dalam perlakuan manusia terhadap alam. Ia berpendapat bahwa eksploitasi alam tanpa batas melanggar prinsip keadilan yang menjadi inti ajaran Islam4.

8.2.       Pendekatan Jurnal Ilmiah Islami

1)                  Pendekatan Teologis dan Ekologis:

Jurnal-jurnal ilmiah Islam banyak membahas hubungan antara ajaran Islam dan pelestarian lingkungan. Penelitian dari Journal of Islamic Environmental Ethics menunjukkan bahwa konsep mizan (keseimbangan) dalam Al-Qur’an adalah landasan teologis bagi pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan5.

2)                  Prinsip Keberlanjutan dalam Fiqh Lingkungan:

Menurut studi dalam Islamic Quarterly Journal, hukum Islam mendorong praktik keberlanjutan melalui konsep al-‘urf (adat yang baik) dan maslahah mursalah (kesejahteraan umum). Contohnya adalah penggunaan teknologi ramah lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia tanpa merusak ekosistem6.

3)                  Islam dan Pembangunan Berkelanjutan:

Sebuah artikel dalam International Journal of Islamic and Middle Eastern Studies menggarisbawahi peran Islam dalam mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Nilai-nilai seperti i’tidal (moderasi) dan khilafah (kepemimpinan) dianggap sejalan dengan prinsip-prinsip global untuk menjaga kelestarian alam7.

4)                  Gerakan Lingkungan Berbasis Islam:

Penelitian dalam Asian Journal of Islamic Studies menyoroti gerakan lingkungan berbasis Islam di berbagai negara, seperti Indonesia, yang mengintegrasikan ajaran agama dalam upaya penghijauan dan pengelolaan limbah. Penelitian ini menekankan bahwa kesadaran ekologis berbasis agama dapat menjadi solusi efektif untuk mengatasi krisis lingkungan8.

8.3.       Relevansi Pendekatan Ulama dan Jurnal Ilmiah

1)                  Kombinasi Nilai Tradisional dan Modern:

Pandangan ulama klasik dan pendekatan jurnal ilmiah modern memberikan landasan yang komprehensif untuk memahami pentingnya menjaga lingkungan sebagai amanah ilahi.

2)                  Penerapan dalam Kebijakan Publik:

Kombinasi nilai syariat dan temuan ilmiah dapat menjadi acuan dalam merumuskan kebijakan publik yang berfokus pada konservasi lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.

3)                  Peran Umat Islam sebagai Khalifah:

Penekanan ulama dan akademisi pada tanggung jawab manusia sebagai khalifah mengingatkan umat Islam untuk mengambil peran aktif dalam upaya pelestarian alam.


Kesimpulan

Kajian ulama dan pendekatan jurnal ilmiah Islami menunjukkan sinergi antara ajaran Islam dan isu lingkungan modern. Pandangan ulama seperti Ibnu Khaldun, al-Ghazali, dan Wahbah al-Zuhaili memberikan landasan teologis yang kuat, sementara jurnal ilmiah Islami menyoroti relevansi praktis ajaran ini dalam upaya pelestarian lingkungan. Kolaborasi antara nilai-nilai syariat dan pendekatan ilmiah dapat menjadi solusi holistik untuk menjaga kelestarian alam di era modern.


Footnotes

[1]                Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, ed. Muhammad Abid al-Jabiri (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), hlm. 134.

[2]                Imam al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Juz 3 (Kairo: Dar al-Hadith, 1992), hlm. 245.

[3]                Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari’ah wa al-Manhaj, Juz 7 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), hlm. 156.

[4]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), hlm. 83.

[5]                Ahmed Yusuf, “The Concept of Mizan in Islamic Environmental Ethics,” Journal of Islamic Environmental Ethics, Vol. 3, No. 2 (2021): 25-39.

[6]                Hasan Ahmed, “Sustainability in Islamic Fiqh: An Analytical Approach,” Islamic Quarterly Journal, Vol. 55, No. 1 (2022): 67-83.

[7]                Yusuf Ali, “Islam and the Sustainable Development Goals: A Synergistic Perspective,” International Journal of Islamic and Middle Eastern Studies, Vol. 7, No. 3 (2021): 45-62.

[8]                Aisha Muhammad, “Islamic-Based Environmental Movements in Southeast Asia,” Asian Journal of Islamic Studies, Vol. 10, No. 4 (2020): 145-158.


9.           Analisis Relevansi Ayat-ayat dan Hadits tentang "Kelestarian Lingkungan Hidup" dengan Etika Lingkungan

9.1.       Prinsip Tauhid sebagai Landasan Etika Lingkungan

Dalam Islam, konsep tauhid (keesaan Allah) tidak hanya menjadi landasan ibadah, tetapi juga menjadi kerangka etika lingkungan. QS Shad [38] ayat 27 menegaskan bahwa Allah menciptakan langit, bumi, dan segala isinya dengan tujuan yang benar (bil-haqq), bukan sia-sia. Pandangan ini menunjukkan bahwa manusia memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga lingkungan karena alam adalah amanah Allah1. Etika lingkungan dalam Islam berakar pada hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Allah, yang diikat oleh kesadaran bahwa semua ciptaan adalah tanda kebesaran-Nya (ayatullah).

9.2.       Konsep Khalifah dalam Pengelolaan Lingkungan

Ayat-ayat seperti QS ar-Rum [30] ayat 41-42 dan QS al-A`raf [7] ayat 56-58 mengingatkan manusia tentang perannya sebagai khalifah (pemimpin) di bumi. Khalifah tidak hanya berarti kekuasaan, tetapi juga tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam (mizan). Perilaku destruktif yang menyebabkan kerusakan alam, seperti deforestasi dan polusi, adalah pelanggaran terhadap prinsip khalifah. Dalam perspektif etika lingkungan modern, hal ini sejalan dengan konsep keberlanjutan, yang menekankan perlunya keseimbangan antara eksploitasi sumber daya alam dan pelestarian ekosistem2.

9.3.       Larangan Berbuat Kerusakan sebagai Prinsip Etis

Larangan berbuat kerusakan di bumi (laa tufsiduu fil ardhi) dalam QS al-A`raf [7] ayat 56-58 dan QS al-Baqarah [2] ayat 204-206 memberikan dasar moral yang kuat untuk mencegah eksploitasi berlebihan terhadap alam. Dalam konteks etika lingkungan, ayat-ayat ini mendukung prinsip pencegahan (precautionary principle) yang menjadi fondasi pengelolaan lingkungan modern3. Hadits Nabi Saw yang menyebutkan pentingnya menanam pohon bahkan di akhir zaman (HR Ahmad, no. 12902) menunjukkan bahwa Islam memandang tindakan konservasi sebagai kewajiban berkelanjutan.

9.4.       Etika Sosial dalam Pemanfaatan Alam

QS al-Furqan [25] ayat 45-50 menggambarkan bagaimana alam (hujan, angin, dan siklus siang-malam) diciptakan untuk manfaat manusia. Namun, manfaat ini harus diiringi dengan tanggung jawab untuk mengelolanya secara adil dan bijaksana. Islam melarang penggunaan sumber daya secara egois yang merugikan orang lain atau generasi mendatang. Dalam konteks etika lingkungan, hal ini selaras dengan prinsip keadilan lingkungan (environmental justice), yang menekankan distribusi manfaat dan risiko secara merata4.

9.5.       Menanam Tanaman sebagai Etika Konservasi

Hadits Nabi Saw tentang keutamaan menanam pohon (HR Bukhari dan Muslim) memberikan dimensi praktis pada etika lingkungan dalam Islam. Aktivitas menanam pohon tidak hanya menjaga keseimbangan ekosistem, tetapi juga dianggap sebagai ibadah yang pahalanya terus mengalir. Ini menunjukkan bahwa Islam mendukung tindakan konservasi aktif yang memberi manfaat bagi manusia, hewan, dan lingkungan5.

9.6.       Relevansi dengan Etika Lingkungan Modern

Pendekatan Al-Qur'an dan Hadits terhadap lingkungan hidup mencakup prinsip-prinsip yang relevan dengan etika lingkungan modern:

·                     Prinsip Keseimbangan (Balance):

QS ar-Rahman [55] ayat 7-9 menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan alam (mizan), yang sejalan dengan prinsip ekosentrisme dalam etika lingkungan6.

·                     Prinsip Keberlanjutan (Sustainability):

Konsep khalifah dan larangan kerusakan menekankan pentingnya pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan, sebagaimana dianjurkan dalam pembangunan berkelanjutan.

·                     Prinsip Keadilan Antar Generasi (Intergenerational Justice):

Tanggung jawab untuk menjaga alam bagi generasi mendatang adalah inti dari etika lingkungan Islam dan modern.


Kesimpulan

Ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits Nabi Saw memberikan landasan moral yang kokoh untuk membangun etika lingkungan. Konsep tauhid, khalifah, larangan kerusakan, dan keutamaan menanam tanaman menunjukkan bahwa Islam tidak hanya memberikan panduan spiritual, tetapi juga solusi praktis untuk menghadapi tantangan lingkungan modern. Relevansi ajaran ini dengan etika lingkungan modern menunjukkan bahwa Islam dapat menjadi inspirasi dalam membangun dunia yang berkelanjutan dan adil.


Footnotes

[1]                Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary (Lahore: Islamic Propagation Centre, 1996), QS Shad [38] ayat 27.

[2]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), hlm. 90.

[3]                Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari’ah wa al-Manhaj, Juz 7 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), hlm. 156.

[4]                Ahmed Khan, “Islamic Environmental Ethics: Bridging Faith and Sustainability,” Journal of Islamic Environmental Ethics, Vol. 5, No. 3 (2020): 45-62.

[5]                Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab al-Muzara’ah, Hadits No. 2320; Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab al-Musaqat, Hadits No. 1552.

[6]                Yusuf Ahmed, “The Balance of Nature in Islam: An Ethical Perspective,” Journal of Islamic Environmental Studies, Vol. 4, No. 2 (2021): 25-39.


10.       Penutup

10.1.    Kesimpulan

Al-Qur'an dan Hadits memberikan panduan yang holistik dan mendalam tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup. Ayat-ayat seperti QS ar-Rum [30] ayat 41-42 dan QS al-A`raf [7] ayat 56-58 menegaskan larangan berbuat kerusakan di bumi, yang relevan dengan tantangan lingkungan modern seperti deforestasi, polusi, dan perubahan iklim1. Selain itu, QS Shad [38] ayat 27 menekankan bahwa penciptaan alam memiliki tujuan yang benar (bil-haqq), dan QS al-Furqan [25] ayat 45-50 mengajarkan bahwa fenomena alam seperti hujan dan angin adalah tanda rahmat Allah yang harus dimanfaatkan dengan bijak2.

Dalam perspektif Hadits, sabda Nabi Saw tentang keutamaan menanam tanaman menunjukkan bahwa Islam tidak hanya mendukung pelestarian alam, tetapi juga memotivasi umat untuk berkontribusi aktif dalam konservasi lingkungan. Aktivitas seperti menanam pohon dan menjaga ekosistem tidak hanya memberikan manfaat duniawi, tetapi juga bernilai ibadah yang pahalanya terus mengalir3.

10.2.    Relevansi Islam dengan Tantangan Lingkungan Modern

Islam mengajarkan prinsip-prinsip yang relevan dengan etika lingkungan modern, seperti:

1)                  Keberlanjutan:

Konsep khalifah dalam Islam menekankan tanggung jawab manusia untuk memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana dan berkelanjutan4.

2)                  Keadilan:

Larangan merusak alam menunjukkan pentingnya keadilan ekologis, yaitu menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan keberlanjutan ekosistem5.

3)                  Keseimbangan Ekologis:

Islam mengajarkan bahwa semua elemen alam diciptakan dalam keseimbangan (mizan), yang harus dijaga oleh manusia6.

10.3.    Rekomendasi

1)                  Edukasi Berbasis Agama:

Mengintegrasikan nilai-nilai Islam tentang lingkungan dalam kurikulum pendidikan, sehingga generasi muda memahami pentingnya pelestarian alam sebagai bagian dari ajaran agama.

2)                  Aksi Konservasi Kolektif:

Mendorong umat Islam untuk berpartisipasi dalam kegiatan penghijauan, reboisasi, dan pengelolaan limbah sebagai bentuk amal ibadah.

3)                  Kebijakan Lingkungan Islami:

Mengembangkan kebijakan publik yang berbasis nilai-nilai syariat, seperti pengelolaan sumber daya air, perlindungan hutan, dan pengurangan emisi karbon.

10.4.    Harapan

Semoga pembahasan ini memberikan wawasan baru kepada pembaca tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup dalam perspektif Al-Qur'an dan Hadits. Islam menawarkan solusi spiritual dan praktis untuk mengatasi krisis lingkungan global. Dengan menerapkan nilai-nilai Islami dalam kehidupan sehari-hari, umat Islam dapat menjadi pelopor dalam pelestarian alam, mewujudkan bumi yang lestari, dan meraih keridhaan Allah Swt.


Footnotes

[1]                Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary (Lahore: Islamic Propagation Centre, 1996), QS ar-Rum [30] ayat 41-42 dan QS al-A`raf [7] ayat 56-58.

[2]                Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari’ah wa al-Manhaj, Juz 7 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), hlm. 156.

[3]                Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab al-Muzara’ah, Hadits No. 2320; Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab al-Musaqat, Hadits No. 1552.

[4]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), hlm. 90.

[5]                Ahmed Khan, “Islamic Environmental Ethics: Bridging Faith and Sustainability,” Journal of Islamic Environmental Ethics, Vol. 5, No. 3 (2020): 45-62.

[6]                Yusuf Ahmed, “The Balance of Nature in Islam: An Ethical Perspective,” Journal of Islamic Environmental Studies, Vol. 4, No. 2 (2021): 25-39.


Daftar Pustaka

Abdullah Yusuf Ali. (1996). The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary. Lahore: Islamic Propagation Centre.

Ahmed Khan. (2020). Islamic Environmental Ethics: Bridging Faith and Sustainability. Journal of Islamic Environmental Ethics, 5(3), 45–62.

Ahmed Yusuf. (2021). The Balance of Nature in Islam: An Ethical Perspective. Journal of Islamic Environmental Studies, 4(2), 25–39.

Aisha Muhammad. (2020). Islamic-Based Environmental Movements in Southeast Asia. Asian Journal of Islamic Studies, 10(4), 145–158.

Fazlur Rahman. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Hasan Ahmed. (2022). Sustainability in Islamic Fiqh: An Analytical Approach. Islamic Quarterly Journal, 55(1), 67–83.

Ibnu Hajar al-Asqalani. (1379 H). Fath al-Bari fi Sharh Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Ibnu Khaldun. (2001). Muqaddimah Ibnu Khaldun (ed. Muhammad Abid al-Jabiri). Beirut: Dar al-Fikr.

Imam al-Ghazali. (1992). Ihya Ulum al-Din. Kairo: Dar al-Hadith.

Imam Nawawi. (2001). Sharh Shahih Muslim. Kairo: Dar al-Hadith.

Muhammad bin Ismail al-Bukhari. (n.d.). Shahih al-Bukhari. Kitab al-Muzara’ah.

Muslim bin al-Hajjaj. (n.d.). Shahih Muslim. Kitab al-Musaqat.

Sayyid Sabiq. (1985). Fiqh al-Sunnah. Kairo: Dar al-Fikr.

Wahbah al-Zuhaili. (1991). Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari’ah wa al-Manhaj (Vol. 7). Damaskus: Dar al-Fikr.

Yusuf Ali. (2021). Islam and the Sustainable Development Goals: A Synergistic Perspective. International Journal of Islamic and Middle Eastern Studies, 7(3), 45–62.


Lampiran 1: Keterkaitan Ayat dan Hadits

Etika lingkungan adalah cabang filsafat moral yang membahas hubungan manusia dengan alam serta tanggung jawab moral terhadap lingkungan. Dalam perspektif Islam, konsep-konsep dalam etika lingkungan sangat relevan dengan ajaran Al-Qur’an dan Hadits yang menekankan keseimbangan alam, keberlanjutan, serta larangan berbuat kerusakan di bumi. Beberapa prinsip utama dalam etika lingkungan yang selaras dengan ajaran Islam meliputi tanggung jawab moral terhadap lingkungan, keadilan ekologis, dan keberlanjutan.

1.            Konsep Khalifah dan Tanggung Jawab Moral

Dalam Islam, manusia diberikan amanah sebagai khalifah (pemimpin) di bumi, yang berarti memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. QS al-Baqarah [2] ayat 30 menegaskan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi, yang berarti harus menjalankan perannya dengan penuh tanggung jawab terhadap alam¹. Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azim menjelaskan bahwa tugas khalifah bukan hanya mengelola bumi untuk kepentingan manusia, tetapi juga menjaga keseimbangannya agar tidak terjadi kerusakan². Dalam konteks etika lingkungan, konsep ini sejalan dengan prinsip "deep ecology" yang menekankan hubungan harmonis antara manusia dan alam³.

2.            Keseimbangan Alam dan Prinsip Keadilan Ekologis

Al-Qur’an menyatakan bahwa Allah menciptakan alam dalam keadaan seimbang (mizan), sebagaimana disebutkan dalam QS ar-Rahman [55] ayat 7-9. Ayat ini mengajarkan bahwa manusia harus menjaga keseimbangan tersebut dan tidak boleh melampaui batas dalam eksploitasi sumber daya alam⁴. Konsep keseimbangan ini sangat dekat dengan prinsip ekologi integral, yang menekankan pentingnya menjaga keharmonisan antara manusia dan lingkungan⁵. Dalam hadis, Rasulullah Saw bersabda: "Barang siapa menebang pohon tanpa alasan yang benar, maka Allah akan mencampakkannya ke dalam neraka" (HR Abu Dawud), yang menegaskan bahwa eksploitasi lingkungan tanpa pertimbangan etis adalah bentuk kezaliman⁶.

3.            Larangan Berbuat Kerusakan dan Konsep Keberlanjutan

Islam secara eksplisit melarang tindakan yang menyebabkan kerusakan lingkungan. QS ar-Rum [30] ayat 41 menyatakan bahwa kerusakan di darat dan laut terjadi akibat perbuatan manusia, sehingga manusia harus bertanggung jawab untuk memperbaikinya⁷. Tafsir al-Qurtubi menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan hubungan langsung antara tindakan manusia yang tidak bertanggung jawab dan bencana alam⁸. Prinsip ini sangat relevan dengan konsep sustainability, yang berfokus pada pemanfaatan sumber daya alam secara bijak agar dapat digunakan oleh generasi mendatang⁹.

4.            Hadits tentang Menanam Pohon dan Etika Konservasi

Dalam salah satu hadits, Rasulullah Saw bersabda: "Jika hari kiamat tiba sementara di tangan salah seorang di antara kalian ada benih kurma, maka tanamlah" (HR Al-Bukhari dan Muslim). Hadits ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya mengajarkan pelestarian alam, tetapi juga mendorong tindakan proaktif dalam menjaga keberlanjutan lingkungan¹⁰. Prinsip ini sesuai dengan konsep "stewardship ethics", yaitu etika lingkungan yang menekankan tanggung jawab manusia dalam merawat dan melindungi alam¹¹.


Kesimpulan

Ajaran Islam tentang lingkungan hidup selaras dengan berbagai konsep dalam etika lingkungan, seperti keberlanjutan, keseimbangan ekologis, dan keadilan lingkungan. Dengan memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits yang menekankan pentingnya menjaga alam, umat Islam memiliki landasan moral yang kuat untuk berkontribusi dalam upaya pelestarian lingkungan. Oleh karena itu, implementasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi solusi etis dalam menghadapi krisis lingkungan global.


Catatan Kaki

[1]                Ibn Kathir, Tafsir al-Qur'an al-'Azim, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), 230.

[2]                Ibid., 232.

[3]                Arne Naess, The Deep Ecology Movement: Some Philosophical Aspects, Philosophical Inquiry 8, no. 1-2 (1986): 10-11.

[4]                Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, vol. 17 (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 2000), 223.

[5]                John B. Cobb, Sustainability: Economics, Ecology, and Justice (New York: Orbis Books, 1992), 85.

[6]                Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, no. 5247.

[7]                Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, vol. 7 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), 144.

[8]                Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, 226.

[9]                Muhammad Asad, The Message of the Qur'an (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), 745.

[10]             Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Muzara’ah, no. 2320; Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Musaqat, no. 1552.

[11]             Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 107.


Lampiran 2: Takhrij Hadits

Berikut adalah takhrij (penelusuran sanad dan matan) dari hadits-hadits yang dikutip dalam artikel ini:


1.            Hadits tentang Larangan Menebang Pohon Tanpa Alasan yang Benar

Matn (Teks Hadits):

"Barang siapa menebang pohon tanpa alasan yang benar, maka Allah akan mencampakkannya ke dalam neraka."

Takhrij Hadits:

·                     Sumber Utama: Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud

·                     Kitab: Kitab Adab

·                     Nomor Hadits: 5247

·                     Derajat Hadits: Dihasankan oleh sebagian ulama, meskipun terdapat kelemahan dalam sanadnya, tetapi diperkuat oleh jalur lain dalam kitab-kitab fiqih.

·                     Sanad Hadits: Dari Abdullah bin Habsyi, dari Rasulullah Saw.

2.            Hadits tentang Menanam Pohon Meski Hari Kiamat Tiba

Matn (Teks Hadits):

"Jika hari kiamat tiba sementara di tangan salah seorang di antara kalian ada benih kurma, maka tanamlah."

Takhrij Hadits:

·                     Sumber Utama:

Sahih al-Bukhari, Kitab Al-Muzara’ah, Bab Fadl al-Ghars wa al-Zar’, no. 2320.

Sahih Muslim, Kitab Al-Musaqat, no. 1552.

·                     Derajat Hadits: Shahih.

·                     Sanad Hadits: Dari Anas bin Malik, dari Rasulullah Saw.

3.            Hadits tentang Keutamaan Menjaga Kelestarian Alam

Matn (Teks Hadits):

"Tidaklah seorang Muslim menanam tanaman atau menabur benih, lalu burung, manusia, atau hewan memakannya, kecuali itu menjadi sedekah baginya."

Takhrij Hadits:

·                     Sumber Utama:

Sahih al-Bukhari, Kitab al-Muzara’ah, no. 2320.

Sahih Muslim, Kitab al-Musaqat, no. 1553.

·                     Derajat Hadits: Shahih.

·                     Sanad Hadits: Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, dari Rasulullah Saw.

4.            Hadits tentang Keseimbangan dalam Pengelolaan Lingkungan

Matn (Teks Hadits):

"Janganlah kalian berlebihan dalam menggunakan air, meskipun kalian berada di sungai yang mengalir."

Takhrij Hadits:

·                     Sumber Utama:

Musnad Ahmad, no. 6768.

Sunan Ibn Majah, Kitab at-Taharah wa Sunanuha, no. 425.

·                     Derajat Hadits: Hasan li ghayrihi (memiliki beberapa jalur yang saling menguatkan).

·                     Sanad Hadits: Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash, dari Rasulullah Saw.


Kesimpulan

Hadits-hadits yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan dalam Islam memiliki sanad yang kuat, terutama yang diriwayatkan dalam Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, yang merupakan kitab hadits paling otentik dalam Islam. Beberapa hadits lainnya yang terdapat dalam Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, dan Sunan Ibn Majah juga memiliki derajat minimal hasan, sehingga tetap dapat dijadikan sebagai dalil dalam kajian fiqih dan etika lingkungan Islami.

Jika ingin melakukan penelitian lebih lanjut, bisa merujuk ke kitab-kitab takhrij hadits seperti Tahrir at-Taqrib oleh Ibn Hajar, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah oleh Al-Albani, dan Fath al-Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar