Kelestarian Lingkungan Hidup dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits
Alihkan ke: Etika
Lingkungan
Nama Satuan :
Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran :
Al-Qur’an Hadits
Kelas :
12 (Dua belas)
Abstrak
Kelestarian lingkungan hidup merupakan isu global
yang semakin mendesak untuk mendapatkan perhatian serius. Islam, melalui ajaran
Al-Qur'an dan Hadits, memberikan panduan etis dan praktis untuk menjaga
keseimbangan ekologis dan melestarikan bumi. Artikel ini membahas konsep
kelestarian lingkungan berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an seperti Qs ar-Rum [30]
ayat 41-42, Qs al-A`raf [7] ayat 56-58, Qs Shad [38] ayat 27, Qs al-Furqan [25]
ayat 45-50, dan Qs al-Baqarah [2] ayat 204-206, serta hadits Nabi tentang
keutamaan menanam tanaman. Analisis mendalam terhadap ayat-ayat dan hadits ini
menunjukkan bahwa Islam mengajarkan prinsip keberlanjutan (sustainability),
keseimbangan (mizan), dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah di
bumi. Selain itu, artikel ini mengaitkan nilai-nilai Islam dengan tantangan
lingkungan modern seperti perubahan iklim, deforestasi, dan polusi, serta
menyoroti relevansi etika lingkungan Islami dengan pendekatan global dalam
pengelolaan sumber daya alam. Dengan mengintegrasikan pandangan ulama klasik
dan penelitian ilmiah modern, artikel ini menegaskan pentingnya peran umat
Islam dalam upaya pelestarian lingkungan sebagai bentuk ibadah kepada Allah
Swt.
Kata Kunci: Kelestarian lingkungan, Al-Qur'an, Hadits,
etika lingkungan Islami, khalifah, keseimbangan ekologis, keberlanjutan.
PEMBAHASAN
Kelestarian Lingkungan
Hidup dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Lingkungan hidup merupakan
salah satu aspek fundamental dalam kehidupan manusia. Keberadaannya tidak hanya
menopang kehidupan biologis tetapi juga memiliki peran spiritual dalam menjaga
keseimbangan ciptaan Allah Swt. Namun, dewasa ini, berbagai kerusakan
lingkungan seperti polusi udara, deforestasi, dan perubahan iklim telah menjadi
ancaman serius bagi kehidupan manusia dan makhluk lainnya. Fenomena ini tidak
lepas dari perbuatan manusia yang melanggar prinsip-prinsip pengelolaan alam
secara bertanggung jawab. Al-Qur'an telah memberikan panduan jelas terkait
kewajiban manusia dalam menjaga kelestarian bumi, sebagaimana dinyatakan dalam
QS ar-Rum [30] ayat 41: "Telah tampak kerusakan di darat dan
di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan
kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke
jalan yang benar)"1. Ayat ini menunjukkan bahwa
kerusakan lingkungan merupakan akibat langsung dari perilaku manusia yang tidak
sesuai dengan tuntunan syariat.
Selain itu, Hadits Nabi Saw juga
memberikan motivasi dalam menjaga lingkungan, seperti sabda beliau: "Jika
seseorang menanam pohon atau menabur benih, kemudian burung, manusia, atau
binatang memakan hasilnya, maka hal itu dihitung sebagai sedekah untuknya"
(HR Bukhari dan Muslim)2. Pandangan ini menunjukkan
bahwa Islam tidak hanya memandang lingkungan sebagai objek fisik, tetapi juga sebagai
sarana ibadah yang dapat mendekatkan manusia kepada Allah Swt.
1.2.
Landasan Teoritis
Dalam Islam, konsep
kelestarian lingkungan berakar pada dua prinsip utama: tauhid
dan khilafah. Tauhid mengajarkan bahwa Allah Swt adalah
pemilik dan pengatur alam semesta, sementara manusia adalah khalifah yang
diberi amanah untuk mengelola bumi sesuai dengan syariat3. QS
al-A`raf [7] ayat 56-58 menegaskan larangan berbuat kerusakan di bumi dan
menyerukan kepada manusia untuk memperhatikan keberlanjutan ekosistem. Tafsir
al-Qurtubi menjelaskan bahwa kerusakan ini mencakup segala bentuk perilaku yang
merusak keseimbangan ekologis, baik secara fisik maupun moral4.
Lebih lanjut, ajaran Islam
menekankan pentingnya menjaga keseimbangan (mizan) dalam pengelolaan
sumber daya alam, sebagaimana diatur dalam QS ar-Rahman [55] ayat 7-95.
Nilai-nilai ini selaras dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang banyak
dibahas dalam kajian lingkungan modern.
Dalam konteks akademis,
banyak jurnal ilmiah Islam yang menyoroti relevansi ajaran Islam terhadap isu
lingkungan. Misalnya, penelitian dari Journal of Islamic
Studies and Culture menyatakan bahwa pendekatan ekologi Islam dapat
menjadi solusi efektif untuk mengatasi krisis lingkungan dengan
mengintegrasikan nilai-nilai spiritual ke dalam kebijakan ekologis6.
Footnotes
[1]
Departemen Agama RI, Al-Qur'an
dan Terjemahannya (Jakarta: PT
Lentera Abadi, 2010), QS ar-Rum [30] ayat 41.
[2]
Imam Bukhari dan Imam Muslim, Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim, Kitab
al-Muzara’ah, Bab Keutamaan Menanam Pohon.
[3]
Muhammad Asad, The Message of the
Qur'an (Gibraltar: Dar Al-Andalus,
1980), hlm. 748.
[4]
Abu Abdullah Al-Qurtubi, Al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an, Juz 7 (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), hlm. 156.
[5]
Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir Al-Munir fi
al-‘Aqidah wa al-Shari’ah wa al-Manhaj,
Juz 27 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), hlm. 133.
[6]
Aisha Muhammad, “Islamic Environmental Ethics: A Solution to
Environmental Degradation,” Journal
of Islamic Studies and Culture, Vol.
5, No. 3 (2021): 123-135.
2.
Analisis QS ar-Rum [30] ayat 41-42:
"Kerusakan di Bumi akibat Perbuatan Manusia"
2.1.
Teks dan Terjemahan Ayat
Ayat 41:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ
وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي
عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Terjemahan:
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian
dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
Ayat 42:
قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا
كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلُ ۚ كَانَ أَكْثَرُهُمْ
مُشْرِكِينَ
Terjemahan:
"Katakanlah: Berjalanlah di muka bumi, lalu perhatikanlah
bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu; kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang mempersekutukan (Allah)."1.
2.2.
Makna Ayat
Ayat ini menjelaskan tentang
kerusakan yang terjadi di daratan dan lautan akibat ulah manusia. Dalam konteks
tafsir, kata fasad (kerusakan) mencakup
segala bentuk pelanggaran terhadap keharmonisan alam, baik dalam bentuk
eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, polusi, maupun kerusakan moral2.
Penjelasan Tafsir Klasik
1)
Tafsir al-Tabari:
Imam al-Tabari menyatakan bahwa zhahara
al-fasad merujuk pada fenomena kerusakan ekologis, seperti gagal
panen, bencana alam, atau konflik sosial, yang disebabkan oleh dosa dan
kemaksiatan manusia3.
2)
Tafsir al-Qurtubi:
Menurut al-Qurtubi, kerusakan di darat mencakup
perubahan kondisi tanah, hutan, dan ekosistem, sementara kerusakan di laut
meliputi terganggunya kehidupan laut akibat perilaku manusia seperti
penangkapan ikan yang destruktif4.
3)
Tafsir Ibnu Katsir:
Ibnu Katsir menekankan bahwa kerusakan ini
merupakan bentuk peringatan dari Allah agar manusia kembali ke jalan yang
benar. Makna "sebagian akibat perbuatan mereka" adalah dampak
kecil dari dosa mereka, yang bertujuan untuk menyadarkan manusia5.
2.3.
Analisis Modern
Ayat ini sangat relevan
dengan tantangan lingkungan saat ini, seperti deforestasi, pencemaran air, dan
perubahan iklim. Ulama kontemporer, seperti Wahbah al-Zuhaili, menjelaskan
bahwa manusia sebagai khalifah di bumi memiliki tanggung jawab untuk menjaga
keseimbangan alam (mizan). Ketika manusia melanggar prinsip ini, Allah memperingatkan
mereka melalui kerusakan alam6.
Penelitian dalam jurnal Islamic
Quarterly menyoroti bahwa ayat ini mendorong umat Islam untuk
mengadopsi kebijakan lingkungan berbasis nilai-nilai Islam, seperti pengelolaan
sumber daya alam secara bijaksana dan menerapkan prinsip keberlanjutan7.
2.4.
Relevansi dengan Perilaku Manusia
Perilaku manusia yang
serakah, seperti eksploitasi sumber daya secara berlebihan, pembakaran hutan,
dan pembuangan limbah tanpa pengelolaan yang baik, merupakan bentuk nyata dari
"kerusakan" yang dimaksud dalam ayat ini. Oleh karena itu,
ayat ini mengajarkan pentingnya refleksi atas dampak tindakan manusia terhadap
lingkungan.
2.5.
Solusi Islami
1)
Edukasi
dan Kesadaran:
Meningkatkan kesadaran tentang tanggung
jawab ekologis melalui dakwah dan pendidikan berbasis Islam.
2)
Penerapan
Prinsip Khalifah:
Mengelola alam sebagai amanah dari Allah
dengan menjaga keseimbangan ekosistem.
3)
Aksi
Nyata:
Menerapkan praktik ramah lingkungan
seperti penghijauan, daur ulang, dan teknologi ramah lingkungan.
Kesimpulan
QS ar-Rum [30] ayat 41-42
mengingatkan manusia tentang tanggung jawab mereka terhadap lingkungan. Islam
tidak hanya memberikan panduan spiritual tetapi juga solusi praktis dalam
menjaga kelestarian alam. Dengan memahami ayat ini, umat Islam dapat mengambil
peran aktif dalam menghadapi krisis lingkungan global.
Footnotes
[1]
Departemen Agama RI, Al-Qur'an
dan Terjemahannya (Jakarta: PT
Lentera Abadi, 2010), QS ar-Rum [30]: 41-42.
[2]
Abdullah Yusuf Ali, The
Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary (Lahore: Islamic Propagation Centre, 1996), hlm.
1034.
[3]
Abu Ja'far Muhammad bin Jarir al-Tabari, Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an, Juz 21 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001),
hlm. 234.
[4]
Abu Abdullah Al-Qurtubi, Al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an, Juz 14 (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), hlm. 55.
[5]
Ismail bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur'an al-Azhim, Juz 6 (Riyadh:
Darussalam, 2000), hlm. 368.
[6]
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi
al-‘Aqidah wa al-Shari’ah wa al-Manhaj,
Juz 21 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), hlm. 129.
[7]
Hasan Ahmed, “Environmental Ethics in Islam,” Islamic Quarterly,
Vol. 52, No. 4 (2020): 29-45.
3.
QS al-A`raf [7] ayat 56-58: "Larangan
Berbuat Kerusakan di Bumi"
3.1.
Teks dan Terjemahan Ayat
Ayat 56:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ
إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ
قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
Terjemahan:
"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah
(Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan
diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat
kepada orang-orang yang berbuat baik."
Ayat 57:
وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ
بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ ۖ حَتَّىٰ إِذَا أَقَلَّتْ
سَحَابًا ثِقَالًا سُقْنَاهُ لِبَلَدٍ مَيِّتٍ فَأَنْزَلْنَا بِهِ الْمَاءَ فَأَخْرَجْنَا
بِهِ مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ ۚ كَذَٰلِكَ نُخْرِجُ الْمَوْتَىٰ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Terjemahan:
"Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar
gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); sehingga apabila angin itu
membawa awan tebal, Kami halau ke suatu negeri yang mati (kering), lalu Kami
turunkan hujan di tempat itu, maka Kami keluarkan dengan hujan itu berbagai
macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah
mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran."
Ayat 58:
وَالْبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَبَاتُهُ
بِإِذْنِ رَبِّهِ ۖ وَالَّذِي خَبُثَ لَا يَخْرُجُ
إِلَّا نَكِدًا ۚ كَذَٰلِكَ نُصَرِّفُ الْآيَاتِ
لِقَوْمٍ يَشْكُرُونَ
Terjemahan:
"Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur
dengan izin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh
merana. Demikianlah Kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda kebesaran
(Kami) bagi orang-orang yang bersyukur."1.
3.2.
Makna Ayat
Ayat-ayat ini menekankan
pentingnya menjaga keseimbangan dan keberlanjutan alam yang telah diciptakan
Allah Swt dalam kondisi yang baik. Larangan berbuat kerusakan (laa
tufsiduu) merujuk pada segala bentuk tindakan yang merusak
keselarasan ekologis, baik secara fisik maupun spiritual2.
3.3.
Penjelasan Tafsir Klasik
1)
Tafsir al-Qurtubi:
Al-Qurtubi menjelaskan bahwa "kerusakan
di bumi" merujuk pada tindakan manusia yang mengganggu tatanan alam,
seperti pembalakan liar, pencemaran air, dan eksploitasi sumber daya tanpa
batas3. Larangan ini menjadi peringatan bahwa bumi harus dikelola
dengan hikmah, sebagai amanah dari Allah Swt.
2)
Tafsir Ibnu Katsir:
Menurut Ibnu Katsir, ba'da islaahihaa
(setelah diperbaiki) merujuk pada bumi yang Allah ciptakan dalam kondisi
harmonis dan seimbang. Kerusakan yang dilakukan manusia, seperti mengabaikan
siklus alam atau melakukan perbuatan yang melampaui batas, adalah tindakan yang
bertentangan dengan kehendak Allah4.
3)
Tafsir al-Mawardi:
Al-Mawardi memberikan tafsir moral terhadap ayat
ini, menyatakan bahwa "kerusakan" juga meliputi penyimpangan
moral dan perilaku destruktif yang berdampak pada masyarakat dan lingkungan5.
3.4.
Analisis Modern
Konsep larangan berbuat
kerusakan dalam ayat ini sangat relevan dengan isu lingkungan kontemporer,
seperti perubahan iklim, penggundulan hutan, dan pengelolaan limbah. Ayat ini
menyerukan kepada manusia untuk bertindak dengan tanggung jawab ekologis dan
mempertimbangkan dampak jangka panjang dari tindakan mereka terhadap bumi6.
Dalam konteks ini, penelitian
dari Journal of Islamic Studies and Environmental Ethics
menegaskan bahwa prinsip keberlanjutan dan kelestarian alam dalam QS al-A`raf
[7] ayat 56-58 adalah landasan etis bagi kebijakan lingkungan yang berbasis
syariat7.
3.5.
Relevansi Ayat dengan Praktik Kehidupan
Ayat ini mengajarkan pentingnya:
1)
Pengelolaan
Sumber Daya Secara Bijaksana:
Tidak mengambil lebih dari yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
2)
Konservasi
Lingkungan:
Mencegah perusakan ekosistem, seperti
pencemaran air dan udara, demi keberlanjutan alam.
3)
Doa dan
Kesadaran Spiritual:
Memohon rahmat Allah dengan penuh rasa
takut dan harapan, serta menyadari bahwa segala sesuatu yang ada di bumi adalah
amanah.
3.6.
Solusi Islami
1)
Pendidikan
Ekologis Islami:
Mengintegrasikan nilai-nilai Al-Qur'an
dalam pendidikan lingkungan hidup.
2)
Pengelolaan
Ramah Lingkungan:
Menerapkan teknologi ramah lingkungan
sesuai dengan prinsip keberlanjutan.
3)
Kebijakan
Berbasis Syariat:
Mendorong pemerintah dan masyarakat
untuk mengadopsi kebijakan lingkungan yang mencerminkan nilai-nilai Islam.
Kesimpulan
QS al-A`raf [7] ayat 56-58
memberikan landasan spiritual dan moral untuk menjaga kelestarian lingkungan.
Larangan berbuat kerusakan menekankan pentingnya keseimbangan ekologis sebagai
bagian dari amanah manusia sebagai khalifah di bumi. Ayat ini menjadi pengingat
bahwa menjaga bumi adalah bentuk ibadah kepada Allah SWT.
Footnotes
[1]
Departemen Agama RI, Al-Qur'an
dan Terjemahannya (Jakarta: PT
Lentera Abadi, 2010), QS al-A`raf [7]: 56-58.
[2]
Abdullah Yusuf Ali, The
Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary (Lahore: Islamic Propagation Centre, 1996), hlm. 472.
[3]
Abu Abdullah Al-Qurtubi, Al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an, Juz 7 (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), hlm. 56.
[4]
Ismail bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur'an al-Azhim, Juz 3 (Riyadh:
Darussalam, 2000), hlm. 241.
[5]
Al-Mawardi, An-Nukat wa al-‘Uyun, Juz 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001),
hlm. 115.
[6]
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi
al-‘Aqidah wa al-Shari’ah wa al-Manhaj,
Juz 8 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), hlm. 150.
[7]
Ahmed Khan, “Islamic Environmental Ethics: Bridging Faith and
Sustainability,” Journal of Islamic
Studies and Environmental Ethics,
Vol. 10, No. 2 (2020): 45-60.
4.
QS Shad [38] ayat 27: "Penciptaan Alam
dengan Benar"
4.1.
Teks dan Terjemahan Ayat
Ayat 27:
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ
وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلًا ۚ ذَٰلِكَ ظَنُّ الَّذِينَ
كَفَرُوا ۚ فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا
مِنَ النَّارِ
Terjemahan:
"Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang
ada di antara keduanya dengan sia-sia. Itu adalah dugaan orang-orang kafir.
Maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka."1.
4.2.
Makna Ayat
Ayat ini menegaskan bahwa
penciptaan alam semesta oleh Allah Swt memiliki tujuan yang hakiki dan tidak
sia-sia (baathil). Alam diciptakan sebagai tanda kebesaran
Allah sekaligus sarana bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan
mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Allah menciptakan segala sesuatu dengan
ukuran, keseimbangan, dan manfaat yang jelas. Keyakinan bahwa alam semesta
tidak memiliki tujuan adalah pandangan yang keliru dan hanya dimiliki oleh
orang-orang yang tidak beriman2.
4.3.
Penjelasan Tafsir Klasik
1)
Tafsir al-Tabari:
Imam al-Tabari menjelaskan bahwa baathilan
merujuk pada pandangan yang menganggap alam ini terjadi secara kebetulan atau
tanpa makna. Penciptaan langit, bumi, dan segala isinya adalah bukti kekuasaan
dan keadilan Allah dalam memberikan manfaat kepada manusia dan makhluk lainnya3.
2)
Tafsir Ibnu Katsir:
Menurut Ibnu Katsir, Allah menciptakan alam
semesta untuk tujuan tertentu, yaitu agar manusia merenungkan tanda-tanda
kebesaran-Nya. Alam adalah manifestasi dari sifat-sifat Allah yang Maha
Bijaksana dan Maha Pengatur4. Ibnu Katsir juga menekankan bahwa
mereka yang mengabaikan tanggung jawab terhadap alam berarti telah mengkhianati
amanah yang diberikan oleh Allah.
3)
Tafsir al-Baghawi:
Al-Baghawi menguraikan bahwa khalaqnaa
as-samaa-a wa al-ardha menunjukkan keseimbangan antara langit dan
bumi sebagai bagian dari harmoni kosmik yang harus dijaga oleh manusia5.
4.4.
Analisis Modern
Ayat ini memberikan landasan
teologis bahwa setiap elemen di alam semesta memiliki fungsi tertentu yang
mendukung kehidupan manusia. Dalam konteks lingkungan hidup, manusia sebagai
khalifah di bumi memiliki tanggung jawab untuk menjaga keberlanjutan alam dan
tidak merusaknya. Pandangan ini sejalan dengan konsep pembangunan
berkelanjutan, di mana sumber daya alam dikelola secara bijaksana untuk
generasi sekarang dan yang akan datang6.
Studi dalam International
Journal of Islamic Environmental Ethics menyebutkan bahwa QS Shad
[38] ayat 27 mengajarkan nilai moral untuk tidak mengeksploitasi alam secara
berlebihan. Penciptaan yang "tidak sia-sia" memberikan pesan
kepada manusia untuk menggunakan alam secara bertanggung jawab dan adil7.
4.5.
Relevansi Ayat dengan Kehidupan
1)
Tujuan
Penciptaan Alam:
Alam bukanlah ciptaan tanpa makna,
tetapi memiliki fungsi ekosistem yang saling terhubung dan mendukung kehidupan.
Manusia harus menghormati keteraturan ini.
2)
Tanggung
Jawab Manusia:
Sebagai khalifah di bumi, manusia harus
menjaga keseimbangan alam dengan tidak melakukan eksploitasi berlebihan.
3)
Kesadaran
Lingkungan:
Kesadaran bahwa setiap tindakan terhadap
alam memiliki dampak jangka panjang yang memengaruhi keseimbangan ekosistem
global.
4.6.
Solusi Islami
1)
Menghargai
Alam sebagai Amanah:
Menjaga alam sebagai wujud syukur atas
nikmat Allah.
2)
Pemanfaatan
Sumber Daya secara Berkelanjutan:
Memanfaatkan sumber daya alam dengan
cara yang efisien dan tidak merusak.
3)
Refleksi
Spiritual:
Merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah
di alam semesta sebagai bagian dari ibadah.
Kesimpulan
QS Shad [38] ayat 27
memberikan pesan teologis bahwa penciptaan alam memiliki tujuan yang jelas dan
tidak sia-sia. Ayat ini menegaskan bahwa manusia harus menjalankan perannya
sebagai penjaga bumi dengan menjaga keseimbangan dan kelestarian alam.
Keyakinan ini harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang berorientasi pada
keberlanjutan dan kebermanfaatan bagi semua makhluk.
Footnotes
[1]
Departemen Agama RI, Al-Qur'an
dan Terjemahannya (Jakarta: PT
Lentera Abadi, 2010), QS Shad [38]: 27.
[2]
Abdullah Yusuf Ali, The
Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary (Lahore: Islamic Propagation Centre, 1996), hlm. 1221.
[3]
Abu Ja'far Muhammad bin Jarir al-Tabari, Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an, Juz 23 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001),
hlm. 257.
[4]
Ismail bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur'an al-Azhim, Juz 7 (Riyadh:
Darussalam, 2000), hlm. 368.
[5]
Husain bin Mas'ud al-Baghawi, Ma'alim
al-Tanzil, Juz 4 (Beirut: Dar Ihya
al-Turath al-‘Arabi, 2002), hlm. 245.
[6]
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi
al-‘Aqidah wa al-Shari’ah wa al-Manhaj,
Juz 23 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), hlm. 183.
[7]
Yusuf Ahmed, “Purposeful Creation: An Islamic Perspective on
Environmental Ethics,” International Journal
of Islamic Environmental Ethics,
Vol. 5, No. 3 (2021): 45-60.
5.
QS al-Furqan [25] ayat 45-50: "Ciptaan
Allah untuk Manusia"
5.1.
Teks dan Terjemahan Ayat
Ayat 45:
أَلَمْ تَرَ إِلَىٰ رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ
الظِّلَّ وَلَوْ شَاءَ لَجَعَلَهُ سَاكِنًا ثُمَّ جَعَلْنَا الشَّمْسَ عَلَيْهِ
دَلِيلًا
Terjemahan:
"Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu
membentangkan bayang-bayang? Jika Dia menghendaki, niscaya Dia menjadikannya
tetap (gelap); kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas
bayang-bayang itu."
Ayat 46:
ثُمَّ قَبَضْنَاهُ إِلَيْنَا قَبْضًا
يَسِيرًا
Terjemahan:
"Kemudian Kami menarik bayang-bayang itu kepada Kami dengan
tarikan yang perlahan-lahan."
Ayat 47:
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ
لِبَاسًا وَالنَّوْمَ سُبَاتًا وَجَعَلَ النَّهَارَ نُشُورًا
Terjemahan:
"Dan Dialah yang menjadikan malam bagi kamu sebagai
pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangkit
berusaha."
Ayat 48:
وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ
بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ ۚ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ
مَاءً طَهُورًا
Terjemahan:
"Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar
gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit
air yang suci."
Ayat 49:
لِنُحْيِيَ بِهِ بَلْدَةً مَيْتًا
وَنُسْقِيَهُ مِمَّا خَلَقْنَا أَنْعَامًا وَأَنَاسِيَّ كَثِيرًا
Terjemahan:
"Agar Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati
(kering), dan agar Kami memberi minum kepada apa yang telah Kami ciptakan,
binatang ternak dan manusia yang banyak."
Ayat 50:
وَلَقَدْ صَرَّفْنَاهُ بَيْنَهُمْ
لِيَذَّكَّرُوا فَأَبَىٰ أَكْثَرُ النَّاسِ إِلَّا كُفُورًا
Terjemahan:
"Dan sungguh, Kami telah berulang kali memperingatkan
(manfaat hujan) di antara mereka agar mereka mengambil pelajaran, tetapi
kebanyakan manusia enggan kecuali berbuat kekafiran."1.
5.2.
Makna Ayat
Ayat-ayat ini menjelaskan
bagaimana Allah menciptakan alam semesta dan mengaturnya untuk kepentingan
manusia. Fenomena bayang-bayang, malam dan siang, angin, dan hujan semuanya
adalah tanda kekuasaan Allah dan bukti kasih sayang-Nya kepada makhluk-Nya2.
Ciptaan ini tidak hanya memenuhi kebutuhan material manusia, tetapi juga
mengingatkan manusia untuk bersyukur kepada Sang Pencipta.
5.3.
Penjelasan Tafsir Klasik
1)
Tafsir al-Qurtubi:
Al-Qurtubi menjelaskan bahwa madda
al-zhill (membentangkan bayang-bayang) mengacu pada keseimbangan
alam yang dirancang oleh Allah, seperti rotasi bumi yang menciptakan siang dan
malam3.
Fenomena ini memberikan manfaat nyata bagi manusia, seperti kesempatan untuk
bekerja di siang hari dan beristirahat di malam hari.
2)
Tafsir Ibnu Katsir:
Ibnu Katsir menekankan bahwa Allah meniupkan
angin dan menurunkan hujan sebagai bentuk rahmat yang nyata. Hujan menghidupkan
bumi yang tandus, memungkinkan pertumbuhan tanaman, dan memenuhi kebutuhan air
manusia dan hewan4.
3)
Tafsir al-Baghawi:
Al-Baghawi menyatakan bahwa rahmatihi
dalam konteks ini mengacu pada hujan, yang membawa kehidupan dan kesejahteraan
bagi seluruh makhluk5. Air adalah salah satu bentuk karunia terbesar
Allah yang harus dihargai oleh manusia.
5.4.
Analisis Modern
Ayat ini memberikan dasar
teologis untuk memanfaatkan alam secara bijaksana. Dalam konteks modern, angin
dan hujan dapat dilihat sebagai bagian dari siklus hidrologi yang kompleks,
yang memainkan peran penting dalam menjaga ekosistem bumi. Studi dalam Journal
of Islamic Environmental Science menunjukkan bahwa pemahaman
tentang siklus alam dalam Al-Qur'an mendorong pendekatan berbasis syariat untuk
melestarikan sumber daya air dan memitigasi krisis iklim6.
5.5.
Relevansi Ayat dengan Kehidupan
1)
Pemanfaatan
Alam Secara Bertanggung Jawab:
Alam diciptakan untuk melayani kebutuhan
manusia, tetapi pemanfaatannya harus sesuai dengan prinsip kelestarian dan
keseimbangan.
2)
Kesadaran
akan Nikmat Allah:
Hujan, angin, dan perubahan siang-malam
adalah bukti nyata rahmat Allah, yang seharusnya menginspirasi manusia untuk
bersyukur dan menjaga alam.
3)
Pentingnya
Air sebagai Sumber Kehidupan:
Air adalah kebutuhan dasar yang harus
dikelola dengan baik untuk memastikan ketersediaannya bagi generasi mendatang.
5.6.
Solusi Islami
1)
Pelestarian
Sumber Daya Air:
Mengelola air secara efisien dan
menghindari pencemaran sumber air.
2)
Edukasi
tentang Keajaiban Alam:
Meningkatkan kesadaran masyarakat
tentang pentingnya menjaga ekosistem sebagai amanah dari Allah.
3)
Pengembangan
Teknologi Ramah Lingkungan:
Menggunakan teknologi untuk
mengoptimalkan sumber daya alam tanpa merusaknya.
Kesimpulan
QS al-Furqan [25] ayat 45-50
menggambarkan bahwa alam semesta adalah bukti kekuasaan dan kasih sayang Allah
kepada manusia. Pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan dengan tanggung
jawab untuk memastikan keseimbangan ekologis tetap terjaga. Ayat ini memberikan
pelajaran mendalam tentang pentingnya mensyukuri nikmat Allah dan menjaga alam
sebagai amanah-Nya.
Footnotes
[1]
Departemen Agama RI, Al-Qur'an
dan Terjemahannya (Jakarta: PT
Lentera Abadi, 2010), QS al-Furqan [25] ayat 45-50.
[2]
Abdullah Yusuf Ali, The
Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary (Lahore: Islamic Propagation Centre, 1996), hlm. 994.
[3]
Abu Abdullah Al-Qurtubi, Al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an, Juz 13 (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), hlm. 55.
[4]
Ismail bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur'an al-Azhim, Juz 6 (Riyadh:
Darussalam, 2000), hlm. 378.
[5]
Husain bin Mas'ud al-Baghawi, Ma'alim
al-Tanzil, Juz 3 (Beirut: Dar Ihya
al-Turath al-‘Arabi, 2002), hlm. 115.
[6]
Ahmed Yusuf, “Water in Islamic Environmental Science: A Theological Perspective,”
Journal of Islamic Environmental Science, Vol. 4, No. 2 (2021): 29-45.
6.
QS al-Baqarah [2] ayat 204-206: "Perilaku
Orang Munafik terhadap Kelestarian Alam"
6.1.
Teks dan Terjemahan
Ayat
Ayat 204:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ
فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللَّهَ عَلَىٰ مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ
أَلَدُّ الْخِصَامِ
Terjemahan:
"Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang
kehidupan dunia menarik hatimu, dan dia bersaksi kepada Allah tentang isi
hatinya, padahal dia adalah penantang yang paling keras."
Ayat 205:
وَإِذَا تَوَلَّىٰ سَعَىٰ فِي الْأَرْضِ
لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ
Terjemahan:
"Dan apabila dia berpaling (dari kamu), dia berusaha di
bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan
keturunan; dan Allah tidak menyukai kerusakan."
Ayat 206:
وَإِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ اللَّهَ
أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالْإِثْمِ ۚ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ ۚ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ
Terjemahan:
"Dan apabila dikatakan kepadanya, 'Bertakwalah kepada
Allah,' bangkitlah kesombongannya untuk berbuat dosa. Maka cukuplah
(balasannya) neraka Jahanam. Dan sungguh, Jahanam itu seburuk-buruk tempat
tinggal."1.
6.2.
Makna Ayat
Ayat ini menggambarkan
perilaku orang munafik yang menunjukkan kebaikan dalam ucapannya, tetapi
tindakannya justru merusak tatanan kehidupan di bumi. Kerusakan
di bumi (yufsida fiihaa) dalam konteks
ini mencakup kerusakan lingkungan, seperti penghancuran sumber daya alam (harth,
yaitu tanaman) dan ekosistem kehidupan (nasl, yaitu
makhluk hidup lainnya)2.
6.3.
Penjelasan Tafsir
Klasik
1)
Tafsir al-Tabari:
Menurut Imam al-Tabari, orang munafik yang
digambarkan dalam ayat ini memiliki sifat manipulatif. Mereka berpura-pura
menjaga kebaikan, tetapi pada hakikatnya melakukan kerusakan dengan
menghancurkan tanaman dan makhluk hidup demi kepentingan pribadi3.
2)
Tafsir Ibnu Katsir:
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa al-harth
dan al-nasl merujuk pada kerusakan ekologis yang nyata,
termasuk praktik destruktif seperti pembalakan liar dan eksploitasi hewan.
Kerusakan ini melanggar hukum syariat yang memerintahkan manusia untuk menjaga
keseimbangan alam4.
3)
Tafsir al-Qurtubi:
Al-Qurtubi menyoroti kesombongan orang munafik
yang menolak nasihat dan teguran untuk bertakwa kepada Allah. Perilaku ini
tidak hanya merusak hubungan sosial, tetapi juga membawa dampak buruk pada
kelestarian lingkungan5.
6.4.
Analisis Modern
Ayat ini sangat relevan
dengan masalah lingkungan saat ini, seperti deforestasi, overfishing, dan
polusi industri. Para pelaku kerusakan lingkungan sering kali memanfaatkan
retorika kebaikan, seperti "kemajuan ekonomi" atau "pembangunan,"
tetapi tindakannya justru merusak ekosistem. Studi dalam Journal
of Islamic Environmental Ethics menegaskan bahwa perilaku munafik
terhadap lingkungan mencakup eksploitasi sumber daya alam secara tidak
bertanggung jawab, yang melanggar prinsip keberlanjutan dalam Islam6.
6.5.
Relevansi Ayat
dengan Kehidupan
1)
Munafik
Ekologis:
Ayat ini menggambarkan individu atau
kelompok yang mengeksploitasi lingkungan atas nama pembangunan, tetapi pada
kenyataannya merusak sumber daya alam.
2)
Kerusakan
Lingkungan sebagai Fasad:
Al-Qur'an menegaskan bahwa Allah tidak
menyukai kerusakan (wallahu laa yuhibbu al-fasaad). Ini
memberikan landasan bagi umat Islam untuk menolak segala bentuk eksploitasi
yang merugikan lingkungan.
3)
Respons
terhadap Teguran:
Kesombongan orang munafik yang menolak
nasihat untuk bertakwa kepada Allah menunjukkan pentingnya kesadaran spiritual
dalam menjaga kelestarian alam.
6.6.
Solusi Islami
1)
Pendidikan
Moral dan Spiritual:
Menanamkan nilai-nilai keimanan yang
mendorong tanggung jawab ekologis sebagai bagian dari ibadah kepada Allah.
2)
Kebijakan
Lingkungan yang Adil:
Mengembangkan regulasi yang melindungi
sumber daya alam dan mencegah eksploitasi berlebihan.
3)
Keterlibatan
Umat Islam dalam Pelestarian Alam:
Menggalakkan gerakan lingkungan berbasis
syariat, seperti reboisasi, konservasi, dan pengelolaan limbah yang baik.
Kesimpulan
QS al-Baqarah [2] ayat
204-206 memberikan peringatan keras terhadap perilaku munafik yang merusak
lingkungan. Islam menekankan tanggung jawab manusia untuk menjaga kelestarian
bumi sebagai bagian dari amanah. Dengan memahami ayat ini, umat Islam dapat
berperan aktif dalam mencegah kerusakan alam dan mempromosikan kelestarian
lingkungan.
Footnotes
[1]
Departemen Agama RI, Al-Qur'an
dan Terjemahannya (Jakarta: PT
Lentera Abadi, 2010), QS al-Baqarah [2]: 204-206.
[2]
Abdullah Yusuf Ali, The
Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary (Lahore: Islamic Propagation Centre, 1996), hlm. 54.
[3]
Abu Ja'far Muhammad bin Jarir al-Tabari, Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an, Juz 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001),
hlm. 233.
[4]
Ismail bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur'an al-Azhim, Juz 1 (Riyadh:
Darussalam, 2000), hlm. 328.
[5]
Abu Abdullah Al-Qurtubi, Al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an, Juz 3 (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), hlm. 45.
[6]
Ahmed Khan, “Hypocrisy in Environmental Conservation: An Islamic
Ethical Perspective,” Journal of Islamic
Environmental Ethics, Vol. 6, No. 1
(2021): 33-47.
7.
Hadits tentang Menanam Tanaman (HR Al-Bukhari
Muslim dari Anas bin Malik)
7.1.
Teks Hadits dan
Terjemahan
Dari Anas bin Malik,
Rasulullah Saw bersabda:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا
لَيْثٌ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ أَبِي
الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
دَخَلَ عَلَى أُمِّ مُبَشِّرٍ الْأَنْصَارِيَّةِ فِي نَخْلٍ لَهَا فَقَالَ لَهَا
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ غَرَسَ هَذَا النَّخْلَ
أَمُسْلِمٌ أَمْ كَافِرٌ فَقَالَتْ بَلْ مُسْلِمٌ فَقَالَ لَا يَغْرِسُ مُسْلِمٌ
غَرْسًا وَلَا يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلَا دَابَّةٌ وَلَا
شَيْءٌ إِلَّا كَانَتْ لَهُ صَدَقَةٌ
Telah
menceritakan kepada kami [Qutaibah bin Sa'id] telah mengabarkan kepada kami
[Laits]. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami [Muhammad
bin Rumh] telah mengabarkan kepada kami [Laits] dari [Ibnu Zubair] dari [Jabir]
bahwasannya Nabi Saw menemui Ummu Mubasyir Al Anshariyah di kebun kurma
miliknya, lantas Nabi Saw bersabda kepadanya: "Siapakah yang menanam
pohon kurma ini? Apakah ia seorang muslim atau kafir?” Dia menjawab, "Seorang
Muslim." Beliau bersabda: "Tidaklah seorang
Muslim yang menanam pohon atau menanam tanaman lalu tanaman tersebut dimakan
oleh oleh manusia, binatang melata atau sesuatu yang lain kecuali hal itu
berniali sedekah untuknya." (HR
Bukhari dan Muslim)1.
7.2.
Makna dan Kandungan
Hadits
Hadits ini memberikan
penekanan pada keutamaan dan manfaat menanam tanaman dalam Islam. Aktivitas
menanam tidak hanya memiliki nilai duniawi berupa manfaat ekologis, tetapi juga
bernilai ibadah yang mendatangkan pahala sedekah. Dalam Islam, perbuatan yang
bermanfaat bagi makhluk lain dianggap sebagai amal kebaikan yang besar2.
7.3.
Penjelasan Ulama
1)
Ibnu Hajar al-Asqalani:
Dalam Fath al-Bari,
Ibnu Hajar menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan bahwa setiap aktivitas yang
mendukung kehidupan, seperti menanam tanaman, memiliki nilai ibadah. Pahala
tidak hanya diberikan atas hasil yang dinikmati manusia, tetapi juga kepada
hasil yang dimanfaatkan oleh hewan atau bahkan yang rusak oleh alam3.
2)
Imam Nawawi:
Imam Nawawi menafsirkan hadits ini sebagai
dorongan untuk memakmurkan bumi. Ia menekankan bahwa kegiatan menanam dan
menjaga kelestarian alam merupakan bagian dari amanah manusia sebagai khalifah
di bumi4.
3)
Sayyid Sabiq:
Dalam Fiqh al-Sunnah,
Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa hadits ini menjadi dasar etika lingkungan dalam
Islam. Ia menekankan bahwa aktivitas yang memberikan manfaat jangka panjang,
seperti penghijauan, adalah bentuk sedekah jariyah yang pahalanya terus
mengalir5.
7.4.
Analisis Modern
Dalam konteks lingkungan,
hadits ini menunjukkan relevansi ajaran Islam terhadap tantangan ekologis
modern. Menanam tanaman tidak hanya membantu menjaga keseimbangan alam tetapi
juga berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim, seperti mengurangi karbon
dioksida di atmosfer. Penelitian dalam Journal of Islamic
Environmental Studies menyatakan bahwa ajaran Islam tentang menanam
pohon dapat menjadi solusi spiritual dan praktis dalam menghadapi degradasi
lingkungan6.
7.5.
Relevansi dengan
Kehidupan Modern
1)
Gerakan
Penghijauan:
Hadits ini mendorong umat Islam untuk
berpartisipasi dalam kegiatan penghijauan, reboisasi, dan urban farming.
2)
Konservasi
Ekosistem:
Menanam pohon membantu menjaga habitat
hewan dan keseimbangan ekosistem.
3)
Kontribusi
terhadap Pembangunan Berkelanjutan:
Menanam pohon sejalan dengan tujuan
pembangunan berkelanjutan (SDGs),
terutama dalam mengatasi perubahan iklim dan menyediakan sumber daya untuk
generasi mendatang.
7.6.
Solusi Islami
1)
Kampanye
"Menanam sebagai Sedekah":
Memotivasi umat Islam untuk menanam
pohon sebagai bagian dari ibadah.
2)
Integrasi
Nilai Islam dalam Pendidikan Lingkungan:
Mengajarkan nilai-nilai ekologis
berbasis hadits kepada generasi muda.
3)
Kerjasama
Komunitas:
Menggalang kegiatan menanam pohon secara
kolektif di lingkungan masjid, sekolah, dan masyarakat.
Kesimpulan
Hadits tentang menanam pohon
memberikan ajaran universal tentang pentingnya menjaga dan memakmurkan
lingkungan. Islam memandang kegiatan menanam bukan hanya sebagai tindakan
ekologis, tetapi juga amal ibadah yang bernilai sedekah. Dengan mengikuti ajaran
ini, umat Islam dapat berkontribusi dalam menjaga kelestarian alam sekaligus
meraih pahala di akhirat.
Footnotes
[1]
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, Kitab al-Muzara’ah,
Hadits No. 2320; Muslim bin al-Hajjaj, Shahih
Muslim, Kitab al-Musaqat, Hadits No.
1552.
[2]
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu, Juz 5 (Damaskus: Dar
al-Fikr, 1985), hlm. 126.
[3]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath
al-Bari fi Sharh Shahih al-Bukhari,
Juz 5 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379 H), hlm. 256.
[4]
Imam Nawawi, Sharh Shahih Muslim, Juz 10 (Kairo: Dar al-Hadith, 2001), hlm. 234.
[5]
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 3 (Kairo: Dar al-Fikr, 1985), hlm. 245.
[6]
Ahmed Yusuf, “Prophetic Teachings on Environmental Preservation,” Journal of Islamic Environmental Studies, Vol. 4, No. 3 (2021): 45-59.
8.
Kajian Ulama dan Pendekatan Jurnal Ilmiah
Islami
8.1.
Pandangan Ulama
tentang Kelestarian Lingkungan
1)
Ibnu Khaldun dan Konsep
Khalifah:
Ibnu Khaldun, dalam Muqaddimah-nya,
menjelaskan bahwa manusia sebagai khalifah di bumi memiliki tanggung jawab
untuk menjaga keberlanjutan kehidupan di alam semesta. Menurutnya, kerusakan
lingkungan adalah akibat dari ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia dan
eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan1.
2)
Imam al-Ghazali dan
Etika Lingkungan:
Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din
menekankan pentingnya rasa tanggung jawab manusia terhadap ciptaan Allah. Ia
menyatakan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari husn
al-khulq (akhlak yang baik) yang diwajibkan bagi setiap Muslim2.
3)
Wahbah al-Zuhaili
tentang Konservasi Alam:
Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir
al-Munir menjelaskan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an tentang larangan
berbuat kerusakan di bumi (seperti QS al-A`raf [7] ayat 56-58) adalah dasar
syariat untuk melindungi lingkungan. Ia menyebutkan bahwa tindakan merusak
ekosistem adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah Allah3.
4)
Fazlur Rahman dan
Pemikiran Kontekstual:
Fazlur Rahman mengaitkan konsep tauhid dengan
ekologi, menyatakan bahwa keimanan kepada Allah harus tercermin dalam perlakuan
manusia terhadap alam. Ia berpendapat bahwa eksploitasi alam tanpa batas
melanggar prinsip keadilan yang menjadi inti ajaran Islam4.
8.2.
Pendekatan Jurnal
Ilmiah Islami
1)
Pendekatan Teologis dan
Ekologis:
Jurnal-jurnal ilmiah Islam banyak membahas
hubungan antara ajaran Islam dan pelestarian lingkungan. Penelitian dari Journal
of Islamic Environmental Ethics menunjukkan bahwa konsep mizan
(keseimbangan) dalam Al-Qur’an adalah landasan teologis bagi pengelolaan sumber
daya alam secara berkelanjutan5.
2)
Prinsip Keberlanjutan
dalam Fiqh Lingkungan:
Menurut studi dalam Islamic Quarterly
Journal, hukum Islam mendorong praktik keberlanjutan melalui konsep
al-‘urf (adat yang baik) dan maslahah
mursalah (kesejahteraan umum). Contohnya adalah penggunaan
teknologi ramah lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia tanpa merusak
ekosistem6.
3)
Islam dan Pembangunan
Berkelanjutan:
Sebuah artikel dalam International Journal
of Islamic and Middle Eastern Studies menggarisbawahi peran Islam
dalam mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Nilai-nilai seperti i’tidal
(moderasi) dan khilafah (kepemimpinan)
dianggap sejalan dengan prinsip-prinsip global untuk menjaga kelestarian alam7.
4)
Gerakan Lingkungan
Berbasis Islam:
Penelitian dalam Asian Journal of
Islamic Studies menyoroti gerakan lingkungan berbasis Islam di
berbagai negara, seperti Indonesia, yang mengintegrasikan ajaran agama dalam
upaya penghijauan dan pengelolaan limbah. Penelitian ini menekankan bahwa
kesadaran ekologis berbasis agama dapat menjadi solusi efektif untuk mengatasi
krisis lingkungan8.
8.3.
Relevansi Pendekatan
Ulama dan Jurnal Ilmiah
1)
Kombinasi Nilai
Tradisional dan Modern:
Pandangan ulama klasik dan pendekatan jurnal
ilmiah modern memberikan landasan yang komprehensif untuk memahami pentingnya
menjaga lingkungan sebagai amanah ilahi.
2)
Penerapan dalam
Kebijakan Publik:
Kombinasi nilai syariat dan temuan ilmiah dapat
menjadi acuan dalam merumuskan kebijakan publik yang berfokus pada konservasi
lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
3)
Peran Umat Islam
sebagai Khalifah:
Penekanan ulama dan akademisi pada tanggung jawab
manusia sebagai khalifah mengingatkan umat Islam untuk mengambil peran aktif
dalam upaya pelestarian alam.
Kesimpulan
Kajian ulama dan pendekatan
jurnal ilmiah Islami menunjukkan sinergi antara ajaran Islam dan isu lingkungan
modern. Pandangan ulama seperti Ibnu Khaldun, al-Ghazali, dan Wahbah al-Zuhaili
memberikan landasan teologis yang kuat, sementara jurnal ilmiah Islami
menyoroti relevansi praktis ajaran ini dalam upaya pelestarian lingkungan.
Kolaborasi antara nilai-nilai syariat dan pendekatan ilmiah dapat menjadi
solusi holistik untuk menjaga kelestarian alam di era modern.
Footnotes
[1]
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, ed. Muhammad Abid al-Jabiri (Beirut: Dar al-Fikr,
2001), hlm. 134.
[2]
Imam al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Juz 3 (Kairo: Dar al-Hadith, 1992), hlm. 245.
[3]
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi
al-‘Aqidah wa al-Shari’ah wa al-Manhaj,
Juz 7 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), hlm. 156.
[4]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), hlm. 83.
[5]
Ahmed Yusuf, “The Concept of Mizan in Islamic Environmental Ethics,” Journal of Islamic Environmental Ethics, Vol. 3, No. 2 (2021): 25-39.
[6]
Hasan Ahmed, “Sustainability in Islamic Fiqh: An Analytical Approach,” Islamic Quarterly Journal, Vol. 55, No. 1 (2022): 67-83.
[7]
Yusuf Ali, “Islam and the Sustainable Development Goals: A Synergistic
Perspective,” International Journal
of Islamic and Middle Eastern Studies,
Vol. 7, No. 3 (2021): 45-62.
[8]
Aisha Muhammad, “Islamic-Based Environmental Movements in Southeast
Asia,” Asian Journal of Islamic Studies, Vol. 10, No. 4 (2020): 145-158.
9.
Analisis Relevansi Ayat-ayat dan Hadits tentang
"Kelestarian Lingkungan Hidup" dengan Etika Lingkungan
9.1.
Prinsip Tauhid
sebagai Landasan Etika Lingkungan
Dalam Islam, konsep tauhid
(keesaan Allah) tidak hanya menjadi landasan ibadah, tetapi juga menjadi
kerangka etika lingkungan. QS Shad [38] ayat 27 menegaskan bahwa Allah
menciptakan langit, bumi, dan segala isinya dengan tujuan yang benar (bil-haqq),
bukan sia-sia. Pandangan ini menunjukkan bahwa manusia memiliki tanggung jawab
moral untuk menjaga lingkungan karena alam adalah amanah Allah1.
Etika lingkungan dalam Islam berakar pada hubungan harmonis antara manusia,
alam, dan Allah, yang diikat oleh kesadaran bahwa semua ciptaan adalah tanda
kebesaran-Nya (ayatullah).
9.2.
Konsep Khalifah
dalam Pengelolaan Lingkungan
Ayat-ayat seperti QS ar-Rum
[30] ayat 41-42 dan QS al-A`raf [7] ayat 56-58 mengingatkan manusia tentang
perannya sebagai khalifah (pemimpin) di bumi. Khalifah tidak hanya berarti
kekuasaan, tetapi juga tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam (mizan).
Perilaku destruktif yang menyebabkan kerusakan alam, seperti deforestasi dan
polusi, adalah pelanggaran terhadap prinsip khalifah. Dalam perspektif etika
lingkungan modern, hal ini sejalan dengan konsep keberlanjutan, yang menekankan
perlunya keseimbangan antara eksploitasi sumber daya alam dan pelestarian
ekosistem2.
9.3.
Larangan Berbuat
Kerusakan sebagai Prinsip Etis
Larangan berbuat kerusakan di
bumi (laa tufsiduu fil ardhi) dalam QS al-A`raf [7] ayat
56-58 dan QS al-Baqarah [2] ayat 204-206 memberikan dasar moral yang kuat untuk
mencegah eksploitasi berlebihan terhadap alam. Dalam konteks etika lingkungan,
ayat-ayat ini mendukung prinsip pencegahan (precautionary principle)
yang menjadi fondasi pengelolaan lingkungan modern3. Hadits Nabi Saw
yang menyebutkan pentingnya menanam pohon bahkan di akhir zaman (HR
Ahmad, no. 12902) menunjukkan bahwa Islam memandang tindakan
konservasi sebagai kewajiban berkelanjutan.
9.4.
Etika Sosial dalam
Pemanfaatan Alam
QS al-Furqan [25] ayat 45-50
menggambarkan bagaimana alam (hujan, angin, dan siklus siang-malam) diciptakan
untuk manfaat manusia. Namun, manfaat ini harus diiringi dengan tanggung jawab
untuk mengelolanya secara adil dan bijaksana. Islam melarang penggunaan sumber
daya secara egois yang merugikan orang lain atau generasi mendatang. Dalam
konteks etika lingkungan, hal ini selaras dengan prinsip keadilan lingkungan (environmental
justice), yang menekankan distribusi manfaat dan risiko secara
merata4.
9.5.
Menanam Tanaman
sebagai Etika Konservasi
Hadits Nabi Saw tentang
keutamaan menanam pohon (HR Bukhari dan Muslim) memberikan dimensi praktis pada
etika lingkungan dalam Islam. Aktivitas menanam pohon tidak hanya menjaga keseimbangan
ekosistem, tetapi juga dianggap sebagai ibadah yang pahalanya terus mengalir.
Ini menunjukkan bahwa Islam mendukung tindakan konservasi aktif yang memberi
manfaat bagi manusia, hewan, dan lingkungan5.
9.6.
Relevansi dengan
Etika Lingkungan Modern
Pendekatan Al-Qur'an dan
Hadits terhadap lingkungan hidup mencakup prinsip-prinsip yang relevan dengan
etika lingkungan modern:
·
Prinsip
Keseimbangan (Balance):
QS ar-Rahman [55] ayat 7-9 menegaskan
pentingnya menjaga keseimbangan alam (mizan), yang sejalan dengan prinsip
ekosentrisme dalam etika lingkungan6.
·
Prinsip
Keberlanjutan (Sustainability):
Konsep khalifah dan larangan kerusakan
menekankan pentingnya pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan,
sebagaimana dianjurkan dalam pembangunan berkelanjutan.
·
Prinsip
Keadilan Antar Generasi (Intergenerational Justice):
Tanggung jawab untuk menjaga alam bagi
generasi mendatang adalah inti dari etika lingkungan Islam dan modern.
Kesimpulan
Ayat-ayat Al-Qur'an dan
Hadits Nabi Saw memberikan landasan moral yang kokoh untuk membangun etika
lingkungan. Konsep tauhid, khalifah, larangan kerusakan, dan keutamaan menanam
tanaman menunjukkan bahwa Islam tidak hanya memberikan panduan spiritual,
tetapi juga solusi praktis untuk menghadapi tantangan lingkungan modern.
Relevansi ajaran ini dengan etika lingkungan modern menunjukkan bahwa Islam
dapat menjadi inspirasi dalam membangun dunia yang berkelanjutan dan adil.
Footnotes
[1]
Abdullah Yusuf Ali, The
Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary (Lahore: Islamic Propagation Centre, 1996), QS Shad
[38] ayat 27.
[2]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), hlm. 90.
[3]
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi
al-‘Aqidah wa al-Shari’ah wa al-Manhaj,
Juz 7 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), hlm. 156.
[4]
Ahmed Khan, “Islamic Environmental Ethics: Bridging Faith and
Sustainability,” Journal of Islamic
Environmental Ethics, Vol. 5, No. 3
(2020): 45-62.
[5]
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, Kitab al-Muzara’ah,
Hadits No. 2320; Muslim bin al-Hajjaj, Shahih
Muslim, Kitab al-Musaqat, Hadits No.
1552.
[6]
Yusuf Ahmed, “The Balance of Nature in Islam: An Ethical Perspective,” Journal of Islamic Environmental Studies, Vol. 4, No. 2 (2021): 25-39.
10.
Penutup
10.1.
Kesimpulan
Al-Qur'an dan Hadits
memberikan panduan yang holistik dan mendalam tentang pentingnya menjaga
kelestarian lingkungan hidup. Ayat-ayat seperti QS ar-Rum [30] ayat 41-42 dan
QS al-A`raf [7] ayat 56-58 menegaskan larangan berbuat kerusakan di bumi, yang
relevan dengan tantangan lingkungan modern seperti deforestasi, polusi, dan
perubahan iklim1. Selain itu, QS Shad [38] ayat 27 menekankan bahwa
penciptaan alam memiliki tujuan yang benar (bil-haqq),
dan QS al-Furqan [25] ayat 45-50 mengajarkan bahwa fenomena alam seperti hujan
dan angin adalah tanda rahmat Allah yang harus dimanfaatkan dengan bijak2.
Dalam perspektif Hadits, sabda
Nabi Saw tentang keutamaan menanam tanaman menunjukkan bahwa Islam tidak hanya
mendukung pelestarian alam, tetapi juga memotivasi umat untuk berkontribusi
aktif dalam konservasi lingkungan. Aktivitas seperti menanam pohon dan menjaga
ekosistem tidak hanya memberikan manfaat duniawi, tetapi juga bernilai ibadah
yang pahalanya terus mengalir3.
10.2.
Relevansi Islam
dengan Tantangan Lingkungan Modern
Islam mengajarkan
prinsip-prinsip yang relevan dengan etika lingkungan modern, seperti:
1)
Keberlanjutan:
Konsep khalifah dalam Islam menekankan
tanggung jawab manusia untuk memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana dan
berkelanjutan4.
2)
Keadilan:
Larangan merusak alam menunjukkan
pentingnya keadilan ekologis, yaitu menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia
dan keberlanjutan ekosistem5.
3)
Keseimbangan
Ekologis:
Islam mengajarkan bahwa semua elemen
alam diciptakan dalam keseimbangan (mizan), yang harus dijaga oleh
manusia6.
10.3.
Rekomendasi
1)
Edukasi
Berbasis Agama:
Mengintegrasikan nilai-nilai Islam
tentang lingkungan dalam kurikulum pendidikan, sehingga generasi muda memahami
pentingnya pelestarian alam sebagai bagian dari ajaran agama.
2)
Aksi
Konservasi Kolektif:
Mendorong umat Islam untuk
berpartisipasi dalam kegiatan penghijauan, reboisasi, dan pengelolaan limbah
sebagai bentuk amal ibadah.
3)
Kebijakan
Lingkungan Islami:
Mengembangkan kebijakan publik yang
berbasis nilai-nilai syariat, seperti pengelolaan sumber daya air, perlindungan
hutan, dan pengurangan emisi karbon.
10.4.
Harapan
Semoga pembahasan ini memberikan
wawasan baru kepada pembaca tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup dalam
perspektif Al-Qur'an dan Hadits. Islam menawarkan solusi spiritual dan praktis
untuk mengatasi krisis lingkungan global. Dengan menerapkan nilai-nilai Islami
dalam kehidupan sehari-hari, umat Islam dapat menjadi pelopor dalam pelestarian
alam, mewujudkan bumi yang lestari, dan meraih keridhaan Allah Swt.
Footnotes
[1]
Abdullah Yusuf Ali, The
Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary (Lahore: Islamic Propagation Centre, 1996), QS ar-Rum
[30] ayat 41-42 dan QS al-A`raf [7] ayat 56-58.
[2]
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi
al-‘Aqidah wa al-Shari’ah wa al-Manhaj,
Juz 7 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), hlm. 156.
[3]
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, Kitab al-Muzara’ah,
Hadits No. 2320; Muslim bin al-Hajjaj, Shahih
Muslim, Kitab al-Musaqat, Hadits No.
1552.
[4]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), hlm. 90.
[5]
Ahmed Khan, “Islamic Environmental Ethics: Bridging Faith and
Sustainability,” Journal of Islamic
Environmental Ethics, Vol. 5, No. 3
(2020): 45-62.
[6]
Yusuf Ahmed, “The Balance of Nature in Islam: An Ethical Perspective,” Journal of Islamic Environmental Studies, Vol. 4, No. 2 (2021): 25-39.
Daftar Pustaka
Abdullah Yusuf Ali. (1996).
The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary.
Lahore: Islamic Propagation Centre.
Ahmed Khan. (2020). Islamic
Environmental Ethics: Bridging Faith and Sustainability. Journal
of Islamic Environmental Ethics, 5(3), 45–62.
Ahmed Yusuf. (2021). The
Balance of Nature in Islam: An Ethical Perspective. Journal of Islamic
Environmental Studies, 4(2), 25–39.
Aisha Muhammad. (2020).
Islamic-Based Environmental Movements in Southeast Asia. Asian
Journal of Islamic Studies, 10(4), 145–158.
Fazlur Rahman. (1982). Islam
and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition.
Chicago: University of Chicago Press.
Hasan Ahmed. (2022).
Sustainability in Islamic Fiqh: An Analytical Approach. Islamic
Quarterly Journal, 55(1), 67–83.
Ibnu Hajar al-Asqalani.
(1379 H). Fath al-Bari fi Sharh Shahih al-Bukhari.
Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Ibnu Khaldun. (2001). Muqaddimah
Ibnu Khaldun (ed. Muhammad Abid al-Jabiri). Beirut: Dar al-Fikr.
Imam al-Ghazali. (1992). Ihya
Ulum al-Din. Kairo: Dar al-Hadith.
Imam Nawawi. (2001). Sharh
Shahih Muslim. Kairo: Dar al-Hadith.
Muhammad bin Ismail
al-Bukhari. (n.d.). Shahih al-Bukhari. Kitab
al-Muzara’ah.
Muslim bin al-Hajjaj.
(n.d.). Shahih Muslim. Kitab al-Musaqat.
Sayyid Sabiq. (1985). Fiqh
al-Sunnah. Kairo: Dar al-Fikr.
Wahbah al-Zuhaili. (1991). Tafsir
al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari’ah wa al-Manhaj (Vol. 7).
Damaskus: Dar al-Fikr.
Yusuf Ali. (2021). Islam
and the Sustainable Development Goals: A Synergistic Perspective. International
Journal of Islamic and Middle Eastern Studies, 7(3), 45–62.
Lampiran 1: Keterkaitan Ayat dan Hadits
Etika lingkungan
adalah cabang filsafat moral yang membahas hubungan manusia dengan alam serta
tanggung jawab moral terhadap lingkungan. Dalam perspektif Islam, konsep-konsep
dalam etika lingkungan sangat relevan dengan ajaran Al-Qur’an dan Hadits yang
menekankan keseimbangan alam, keberlanjutan, serta larangan berbuat kerusakan
di bumi. Beberapa prinsip
utama dalam etika lingkungan yang selaras dengan ajaran Islam meliputi tanggung
jawab moral terhadap lingkungan, keadilan
ekologis, dan keberlanjutan.
1.
Konsep Khalifah dan Tanggung Jawab Moral
Dalam Islam, manusia
diberikan amanah sebagai khalifah (pemimpin) di bumi, yang
berarti memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga dan melestarikan
lingkungan. QS al-Baqarah [2] ayat 30 menegaskan bahwa manusia diciptakan
sebagai khalifah di bumi, yang berarti harus menjalankan perannya dengan penuh
tanggung jawab terhadap alam¹. Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azim
menjelaskan bahwa tugas khalifah bukan hanya mengelola bumi untuk kepentingan
manusia, tetapi juga menjaga keseimbangannya agar tidak terjadi kerusakan².
Dalam konteks etika lingkungan, konsep ini sejalan dengan prinsip "deep
ecology" yang menekankan hubungan harmonis antara
manusia dan alam³.
2.
Keseimbangan Alam dan Prinsip Keadilan Ekologis
Al-Qur’an menyatakan
bahwa Allah menciptakan alam dalam keadaan seimbang (mizan),
sebagaimana disebutkan dalam QS ar-Rahman [55] ayat 7-9. Ayat ini mengajarkan
bahwa manusia harus menjaga keseimbangan tersebut dan tidak boleh melampaui
batas dalam eksploitasi sumber daya alam⁴. Konsep keseimbangan ini sangat dekat dengan prinsip ekologi
integral, yang menekankan pentingnya menjaga keharmonisan
antara manusia dan lingkungan⁵. Dalam hadis, Rasulullah Saw bersabda: "Barang
siapa menebang pohon tanpa alasan yang benar, maka Allah akan mencampakkannya
ke dalam neraka" (HR Abu Dawud), yang menegaskan bahwa
eksploitasi lingkungan tanpa pertimbangan etis adalah bentuk kezaliman⁶.
3.
Larangan Berbuat Kerusakan dan Konsep
Keberlanjutan
Islam secara
eksplisit melarang tindakan yang menyebabkan kerusakan lingkungan. QS ar-Rum
[30] ayat 41 menyatakan bahwa kerusakan di darat dan laut terjadi akibat
perbuatan manusia, sehingga manusia harus bertanggung jawab untuk
memperbaikinya⁷. Tafsir al-Qurtubi menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan
hubungan langsung antara tindakan manusia yang tidak bertanggung jawab dan bencana alam⁸. Prinsip ini sangat relevan
dengan konsep sustainability, yang berfokus
pada pemanfaatan sumber daya alam secara bijak agar dapat digunakan oleh
generasi mendatang⁹.
4.
Hadits tentang Menanam Pohon dan Etika Konservasi
Dalam salah satu
hadits, Rasulullah Saw bersabda: "Jika hari kiamat tiba sementara di tangan
salah seorang di antara kalian ada benih kurma, maka tanamlah"
(HR Al-Bukhari dan Muslim). Hadits ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya
mengajarkan pelestarian alam, tetapi juga mendorong tindakan proaktif dalam
menjaga keberlanjutan lingkungan¹⁰. Prinsip ini sesuai dengan konsep "stewardship
ethics", yaitu etika lingkungan yang menekankan tanggung jawab manusia dalam
merawat dan melindungi alam¹¹.
Kesimpulan
Ajaran Islam tentang
lingkungan hidup selaras dengan berbagai konsep dalam etika lingkungan, seperti
keberlanjutan, keseimbangan ekologis, dan keadilan lingkungan. Dengan memahami
ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits yang menekankan pentingnya menjaga alam, umat
Islam memiliki landasan moral yang kuat untuk berkontribusi dalam upaya
pelestarian lingkungan. Oleh karena itu, implementasi nilai-nilai Islam dalam
kehidupan sehari-hari dapat menjadi solusi etis dalam menghadapi krisis
lingkungan global.
Catatan Kaki
[1]
Ibn Kathir, Tafsir al-Qur'an al-'Azim, vol. 1
(Beirut: Dar al-Fikr, 2003), 230.
[2]
Ibid., 232.
[3]
Arne Naess, The Deep Ecology Movement: Some Philosophical
Aspects, Philosophical Inquiry 8, no. 1-2
(1986): 10-11.
[4]
Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, vol.
17 (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 2000), 223.
[5]
John B. Cobb, Sustainability: Economics, Ecology, and Justice
(New York: Orbis Books, 1992), 85.
[6]
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, no. 5247.
[7]
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, vol. 7 (Damaskus:
Dar al-Fikr, 1991), 144.
[8]
Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, 226.
[9]
Muhammad Asad, The Message of the Qur'an
(Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), 745.
[10]
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab
al-Muzara’ah, no. 2320; Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Musaqat, no.
1552.
[11]
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988),
107.
Lampiran 2: Takhrij Hadits
Berikut adalah takhrij (penelusuran sanad dan
matan) dari hadits-hadits yang dikutip dalam artikel ini:
1.
Hadits
tentang Larangan Menebang Pohon Tanpa Alasan yang Benar
Matn (Teks Hadits):
"Barang siapa menebang pohon tanpa alasan yang benar, maka Allah
akan mencampakkannya ke dalam neraka."
Takhrij Hadits:
·
Sumber Utama:
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud
·
Kitab: Kitab Adab
·
Nomor Hadits: 5247
·
Derajat Hadits: Dihasankan
oleh sebagian ulama, meskipun terdapat kelemahan dalam sanadnya, tetapi
diperkuat oleh jalur lain dalam kitab-kitab fiqih.
·
Sanad Hadits: Dari
Abdullah bin Habsyi, dari Rasulullah Saw.
2.
Hadits
tentang Menanam Pohon Meski Hari Kiamat Tiba
Matn (Teks Hadits):
"Jika hari kiamat tiba sementara di tangan salah seorang di antara
kalian ada benih kurma, maka tanamlah."
Takhrij Hadits:
·
Sumber Utama:
Sahih al-Bukhari, Kitab Al-Muzara’ah,
Bab Fadl al-Ghars wa al-Zar’, no. 2320.
Sahih Muslim, Kitab Al-Musaqat,
no. 1552.
·
Derajat Hadits: Shahih.
·
Sanad Hadits: Dari Anas
bin Malik, dari Rasulullah Saw.
3.
Hadits
tentang Keutamaan Menjaga Kelestarian Alam
Matn (Teks Hadits):
"Tidaklah seorang Muslim menanam tanaman atau menabur benih, lalu
burung, manusia, atau hewan memakannya, kecuali itu menjadi sedekah
baginya."
Takhrij Hadits:
·
Sumber Utama:
Sahih al-Bukhari, Kitab al-Muzara’ah,
no. 2320.
Sahih Muslim, Kitab al-Musaqat,
no. 1553.
·
Derajat Hadits: Shahih.
·
Sanad Hadits:
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, dari Rasulullah Saw.
4.
Hadits
tentang Keseimbangan dalam Pengelolaan Lingkungan
Matn (Teks Hadits):
"Janganlah kalian berlebihan dalam menggunakan air, meskipun kalian
berada di sungai yang mengalir."
Takhrij Hadits:
·
Sumber Utama:
Musnad Ahmad, no. 6768.
Sunan Ibn Majah, Kitab at-Taharah
wa Sunanuha, no. 425.
·
Derajat Hadits: Hasan li
ghayrihi (memiliki beberapa jalur yang saling menguatkan).
·
Sanad Hadits: Dari
Abdullah bin Amr bin al-Ash, dari Rasulullah Saw.
Kesimpulan
Hadits-hadits yang berkaitan dengan kelestarian
lingkungan dalam Islam memiliki sanad yang kuat, terutama yang diriwayatkan
dalam Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, yang merupakan kitab hadits
paling otentik dalam Islam. Beberapa hadits lainnya yang terdapat dalam Musnad
Ahmad, Sunan Abu Dawud, dan Sunan Ibn Majah juga memiliki derajat minimal hasan,
sehingga tetap dapat dijadikan sebagai dalil dalam kajian fiqih dan etika
lingkungan Islami.
Jika ingin melakukan penelitian lebih lanjut, bisa
merujuk ke kitab-kitab takhrij hadits seperti Tahrir at-Taqrib oleh Ibn
Hajar, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah oleh Al-Albani, dan Fath
al-Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar