Sabtu, 26 April 2025

Hermeneutika Islam: Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel

Hermeneutika Islam

Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel


Alihkan ke: Matode Haermeneutika dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji dinamika hermeneutika Islam sebagai pendekatan interpretatif terhadap teks-teks keagamaan, khususnya Al-Qur’an, yang berkembang dalam wacana pemikiran Islam kontemporer. Dengan menelusuri akar-akar epistemologis dari tradisi tafsir klasik seperti tafsir, ta’wīl, dan ijtihād, serta mengkaji kontribusi tokoh-tokoh seperti Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Arkoun, dan Abdulkarim Soroush, artikel ini menyoroti bagaimana hermeneutika digunakan sebagai alat untuk memahami dan merelevansikan pesan-pesan wahyu dalam konteks zaman modern. Dibahas pula kritik-kritik terhadap hermeneutika dari kalangan tradisionalis, yang menyoroti isu relativisme makna dan ancaman terhadap otoritas teks. Melalui analisis studi kasus pada ayat-ayat terkait gender, kebebasan beragama, dan pluralisme, artikel ini menunjukkan bahwa hermeneutika Islam dapat memperkaya pemahaman keagamaan yang kontekstual dan etis. Implikasi epistemologis dan etis dari pendekatan ini juga ditelaah sebagai bagian dari upaya merekonstruksi hubungan antara teks, penafsir, dan realitas sosial. Artikel ini merekomendasikan pengembangan pendekatan hermeneutik Islam yang integratif—yang menghormati otoritas wahyu sekaligus terbuka terhadap kritik dan dinamika sosial kontemporer.

Kata Kunci: Hermeneutika Islam, tafsir, ta’wīl, Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, penafsiran Al-Qur’an, kontekstualisasi, epistemologi Islam, pluralisme, etika interpretasi.


PEMBAHASAN

Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah peradaban Islam, tafsir Al-Qur’an telah menjadi disiplin utama yang menunjukkan dinamika intelektual umat Islam dalam memahami wahyu ilahi. Sejak era klasik, para ulama telah mengembangkan metodologi tafsir berbasis linguistik, teologis, hukum, dan spiritual sebagai respon terhadap kebutuhan kontekstual masyarakat Muslim. Namun, memasuki era modern, muncul kebutuhan untuk meninjau ulang metode interpretasi tersebut dalam rangka merespons tantangan zaman, seperti pluralitas pemahaman, krisis otoritas, dan perubahan sosial-budaya yang cepat. Dalam konteks inilah, hermeneutika, sebagai ilmu interpretasi teks yang berkembang di dunia Barat, mulai mendapat perhatian dalam studi keislaman kontemporer.

Hermeneutika yang semula muncul dalam tradisi pemahaman teks-teks klasik Yunani, Bibel, dan sastra, kini menjelma sebagai cabang filsafat yang menekankan pentingnya hubungan antara teks, penafsir, dan konteks historis. Para tokoh seperti Friedrich Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, dan Hans-Georg Gadamer telah memberikan kontribusi penting dalam menggeser hermeneutika dari sekadar metode menuju ranah ontologis dan epistemologis pemahaman manusia atas makna hidup melalui teks¹. Pendekatan ini kemudian menarik perhatian para pemikir Muslim modern yang ingin menafsirkan ulang teks-teks suci dengan pendekatan yang lebih responsif terhadap realitas kontemporer.

Dalam kerangka ini, muncul istilah “Hermeneutika Islam” yang merujuk pada usaha-usaha kontemporer untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip hermeneutik ke dalam pembacaan terhadap Al-Qur’an. Tokoh-tokoh seperti Fazlur Rahman dengan double movement theory, Nasr Hamid Abu Zayd dengan pendekatan historis-teksual, dan Mohammed Arkoun dengan gagasan dekonstruksi epistemologi klasik Islam, merupakan pelopor dalam memperkenalkan nuansa baru dalam diskursus tafsir². Mereka menyadari bahwa teks suci tidak berdiri dalam ruang hampa, tetapi senantiasa berinteraksi dengan horizon sejarah, bahasa, budaya, dan ideologi³.

Meski demikian, pengenalan hermeneutika dalam studi Islam tidak lepas dari kritik dan resistensi, khususnya dari kalangan tradisionalis yang memandang bahwa pendekatan ini berpotensi mengancam kemurnian makna wahyu. Isu otoritas tafsir, relativisme makna, dan kekhawatiran terhadap dekonstruksi keimanan menjadi polemik yang terus bergulir. Oleh karena itu, penting untuk mengeksplorasi hermeneutika Islam tidak sebagai upaya sekulerisasi makna wahyu, tetapi sebagai instrumen ilmiah yang dapat memperkaya khazanah tafsir dalam menghadapi kompleksitas dunia modern⁴.

Artikel ini bertujuan untuk mengulas perkembangan, konsep-konsep kunci, tokoh-tokoh utama, serta pro dan kontra terkait hermeneutika Islam. Dengan demikian, diharapkan pembahasan ini mampu memberikan pemahaman menyeluruh terhadap bagaimana tradisi tafsir Islam dapat berdialog secara kritis dengan pendekatan interpretatif kontemporer demi menciptakan pemahaman keagamaan yang relevan dan kontekstual.


Footnotes

[1]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 295–300.

[2]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 6–7; Nasr Hamid Abu Zayd, Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical Analysis (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006), 49–52; Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers, trans. Robert D. Lee (Boulder: Westview Press, 1994), 33–35.

[3]                Farid Esack, The Qur’an: A Short Introduction (Oxford: Oneworld Publications, 2002), 77–79.

[4]                Adonis, “Tradition and Modernity in Arab Society,” Diogenes 44, no. 176 (1996): 65–72.


2.           Pengertian Hermeneutika: Asal-Usul dan Evolusi Konseptual

Hermeneutika merupakan cabang filsafat dan metodologi yang memusatkan perhatian pada proses pemahaman dan interpretasi teks, khususnya teks-teks yang sarat makna dan historisitas. Kata “hermeneutika” berasal dari bahasa Yunani hermēneuein, yang berarti “menafsirkan” atau “menerangkan,” dan erat kaitannya dengan tokoh mitologis Hermes, sang pembawa pesan dari para dewa yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan makna pesan-pesan ilahiah kepada manusia¹. Seiring berjalannya waktu, hermeneutika berkembang menjadi suatu disiplin intelektual yang tidak hanya fokus pada teks-teks suci atau sastra, tetapi juga mencakup dimensi eksistensial dan fenomenologis dari pemahaman manusia atas dunia.

Pada mulanya, hermeneutika merupakan bagian dari teologi Kristen yang berkonsentrasi pada penafsiran Alkitab. Pada masa Reformasi Protestan, hermeneutika memainkan peranan penting dalam memerdekakan penafsiran Kitab Suci dari otoritas Gereja, sebagaimana dicontohkan oleh Martin Luther dan tokoh-tokoh reformis lainnya². Perkembangan selanjutnya terjadi pada abad ke-19 dengan Friedrich Schleiermacher yang dikenal sebagai peletak dasar hermeneutika modern. Ia menekankan pentingnya memahami konteks linguistik dan psikologis dari penulis teks. Schleiermacher berupaya menyatukan pemahaman gramatikal dan teknikal dalam kerangka interpretasi³.

Wilhelm Dilthey kemudian memperluas cakupan hermeneutika ke dalam ranah ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften), menjadikannya sebagai metode untuk memahami tindakan dan ekspresi manusia yang terikat oleh sejarah dan pengalaman hidup. Menurut Dilthey, interpretasi adalah jembatan antara pengalaman individu dan makna objektif dari teks⁴.

Perubahan radikal dalam pemikiran hermeneutika muncul dengan kontribusi Martin Heidegger, yang memindahkan fokus hermeneutika dari metode ke filsafat eksistensial. Dalam karyanya Being and Time, Heidegger menegaskan bahwa hermeneutika adalah dasar dari pemahaman manusia terhadap keberadaan (Being), bukan hanya sekadar alat untuk memahami teks⁵. Hermeneutika dalam pengertian ini menjadi ontologis, berkaitan dengan struktur pengalaman manusia dalam dunia yang terlempar (Geworfenheit) dan pemahamannya terhadap eksistensi.

Puncak dari hermeneutika filosofis dikembangkan oleh Hans-Georg Gadamer, murid Heidegger, melalui karya monumentalnya Truth and Method. Gadamer menolak objektivitas absolut dalam interpretasi dan memperkenalkan konsep “fusi horizon” (Horizontverschmelzung), yakni pertemuan antara horizon makna masa lalu (teks) dan masa kini (penafsir) dalam proses dialogis yang terbuka. Menurut Gadamer, pemahaman tidak pernah bebas nilai, melainkan selalu dipengaruhi oleh prasangka, tradisi, dan bahasa⁶.

Dengan demikian, hermeneutika telah mengalami pergeseran dari sekadar teknik interpretasi menuju filsafat pemahaman manusia secara menyeluruh. Evolusi ini membuka ruang untuk pendekatan lintas budaya dan agama, termasuk dalam konteks Islam, untuk menafsirkan ulang warisan teks keagamaan dengan mempertimbangkan dinamika sejarah, bahasa, dan pemahaman kontekstual.


Footnotes

[1]                Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 13–14.

[2]                Anthony C. Thiselton, The Two Horizons: New Testament Hermeneutics and Philosophical Description (Grand Rapids: Eerdmans, 1980), 23–25.

[3]                Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics: The Handwritten Manuscripts, ed. Heinz Kimmerle, trans. James Duke and Jack Forstman (Missoula: Scholars Press, 1977), 72–75.

[4]                Wilhelm Dilthey, Selected Works, Volume IV: Hermeneutics and the Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton: Princeton University Press, 1996), 150–152.

[5]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 182–185.

[6]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 265–271.


3.           Konsep Hermeneutika dalam Tradisi Islam

Meskipun istilah “hermeneutika” berasal dari tradisi Barat, konsep-konsep serupa dalam tradisi intelektual Islam telah lama eksis dalam bentuk yang khas dan berakar pada pendekatan keilmuan yang dikembangkan oleh para ulama klasik. Dalam konteks Islam, upaya memahami dan menafsirkan wahyu (Al-Qur’an dan Hadis) telah melahirkan disiplin ilmu tafsir yang kaya dengan pendekatan linguistik, teologis, hukum, dan mistik. Oleh karena itu, ketika membicarakan hermeneutika dalam Islam, penting untuk memahami bahwa umat Islam telah mengembangkan kerangka interpretatif tersendiri, meskipun tidak dengan terminologi yang sama seperti dalam tradisi Barat.

Salah satu konsep paling mendasar dalam tradisi tafsir Islam adalah tafsir itu sendiri, yakni penjelasan makna ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan konteks bahasa Arab, asbāb al-nuzūl (sebab-sebab turunnya ayat), dan pemahaman para sahabat. Ilmu ini terus berkembang sejak masa klasik dengan kontribusi para mufassir seperti al-Ṭabarī, yang dalam Jāmiʿ al-Bayān menggabungkan pendekatan riwayah dan dirayah; al-Zamakhsharī, yang menekankan aspek balaghah (retorika); serta Fakhr al-Dīn al-Rāzī yang memperluas tafsir ke ranah teologis dan filsafat⁽¹⁾.

Di luar tafsir, terdapat pula konsep ta’wīl, yang sering dipahami sebagai penafsiran makna batiniah dari teks, berbeda dari makna lahiriah yang dijelaskan dalam tafsir. Ta’wīl menjadi sangat penting dalam tradisi teologi dan tasawuf, di mana teks dipahami tidak semata-mata secara literal, melainkan dalam kerangka spiritual atau filosofis. Tokoh-tokoh seperti al-Ghazālī dan Ibn ʿArabī memandang bahwa makna teks Al-Qur’an dapat berlapis-lapis sesuai dengan tingkat kedalaman spiritual dan intelektual pembacanya⁽²⁾.

Konsep ijtihād dan istinbāṭ al-ahkām juga merepresentasikan proses hermeneutis dalam Islam. Ijtihād merujuk pada upaya intelektual seorang mujtahid untuk menggali hukum dari sumber-sumber utama Islam melalui proses penalaran dan analisis kontekstual. Dalam hal ini, teks dipahami tidak hanya berdasarkan lafaz, tetapi juga dengan mempertimbangkan maqāṣid al-sharīʿah (tujuan syariat), situasi sosial, dan perkembangan zaman⁽³⁾. Ini menunjukkan adanya dinamika antara teks dan konteks dalam epistemologi hukum Islam.

Para ulama klasik juga telah menggunakan pendekatan semiotik dan linguistik untuk menafsirkan teks. Misalnya, pemahaman terhadap ʿām dan khāṣ, muṭlaq dan muqayyad, nasakh dan mansūkh, serta mafhūm al-mukhālafah, merupakan instrumen rasional-linguistik yang secara fungsional sejalan dengan prinsip-prinsip hermeneutika modern⁽⁴⁾. Dalam hal ini, tampak bahwa tradisi Islam mengembangkan mekanisme penafsiran yang memungkinkan terjadinya negosiasi makna berdasarkan teks, penafsir, dan realitas sosial.

Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa karakter hermeneutika dalam Islam lebih bersifat teosentris daripada antropologis. Teks wahyu diposisikan sebagai sumber absolut yang memiliki otoritas ilahiah, sehingga pendekatan tafsir dan ta’wīl dilakukan dalam bingkai adab terhadap wahyu dan kepatuhan terhadap metodologi yang ditetapkan oleh ulama terdahulu. Inilah yang membedakan hermeneutika Islam dari hermeneutika Barat yang cenderung mengedepankan otonomi penafsir⁽⁵⁾.

Oleh karena itu, ketika membicarakan hermeneutika Islam, perlu dipahami bahwa yang dimaksud bukanlah sekadar adopsi metode Barat, tetapi lebih kepada refleksi kritis atas warisan intelektual Islam dalam menafsirkan teks, serta usaha untuk memformulasikan pendekatan kontekstual yang tetap bersandar pada otoritas wahyu. Konsep-konsep seperti tafsir, ta’wīl, dan ijtihād merupakan representasi khas dari upaya interpretatif dalam khazanah Islam yang, jika dikembangkan secara metodologis, dapat menjadi bentuk hermeneutika Islam yang otentik dan mandiri.


Footnotes

[1]                Tarif Khalidi, The Arabic Historical Tradition and the Early Islamic Conquests (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 18–22.

[2]                Abu Hamid al-Ghazālī, Jawāhir al-Qur’ān, ed. Muḥammad ʿAbd al-Salām (Beirut: Dār al-Minhāj, 2005), 42–45; William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-ʿArabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 151–155.

[3]                Mohammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence, 3rd ed. (Cambridge: Islamic Texts Society, 2003), 369–373.

[4]                Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 84–87.

[5]                Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics (Leiden: Brill, 2004), 29–30.


4.           Hermeneutika Islam Kontemporer: Lintas Perspektif

Wacana hermeneutika dalam Islam mengalami transformasi signifikan pada abad ke-20 seiring dengan munculnya pemikir-pemikir Muslim modern yang merespons tantangan modernitas, pluralitas budaya, dan perubahan sosial-politik. Mereka menyadari keterbatasan metode tafsir klasik dalam menjawab problematika kontemporer, serta pentingnya mengembangkan pendekatan interpretatif yang lebih dinamis, kontekstual, dan interdisipliner. Dalam hal ini, hermeneutika tidak dimaknai sebagai sekadar adopsi dari teori Barat, tetapi sebagai upaya reflektif untuk menafsirkan ulang wahyu dalam terang realitas historis dan sosial umat Islam masa kini.

4.1.       Fazlur Rahman dan Teori Gerak Ganda (Double Movement Theory)

Fazlur Rahman merupakan salah satu tokoh penting dalam wacana hermeneutika Islam kontemporer. Ia menawarkan pendekatan double movement sebagai kerangka metodologis untuk memahami Al-Qur’an. Langkah pertama adalah menelusuri makna dan tujuan moral dari ayat-ayat Al-Qur’an dalam konteks sosio-historisnya; langkah kedua adalah mentransformasikan prinsip-prinsip tersebut untuk diterapkan dalam konteks modern⁽¹⁾. Dengan demikian, menurut Rahman, Al-Qur’an tidak hanya dipahami secara tekstual, melainkan melalui penalaran etis yang progresif dan responsif terhadap perubahan zaman. Ia juga menekankan pentingnya penggunaan nalar rasional (ʿaql) dalam penafsiran sebagai sarana untuk menghindari literalisme yang kaku⁽²⁾.

4.2.       Nasr Hamid Abu Zayd: Teks sebagai Produk Budaya

Nasr Hamid Abu Zayd mengusulkan pendekatan hermeneutika yang menekankan historisitas teks dan pentingnya memandang Al-Qur’an sebagai wacana budaya. Baginya, teks suci harus dilihat sebagai produk interaksi antara wahyu ilahi dan respon historis Nabi Muhammad dan masyarakat Arab pada masanya⁽³⁾. Abu Zayd membedakan antara nash (teks literal) dan maʿnā (makna kontekstual), dan menolak pandangan bahwa teks memiliki makna tunggal dan tetap. Ia juga mengkritik pendekatan tafsir tradisional yang, menurutnya, membekukan makna dan menghambat kemajuan pemikiran Islam⁽⁴⁾. Pendekatannya ini menggabungkan linguistik modern, analisis wacana, dan semiotika dalam menafsirkan teks Al-Qur’an.

4.3.       Mohammed Arkoun dan Kritik terhadap Rasionalitas Islam Klasik

Mohammed Arkoun memperkenalkan pendekatan aplikatif-dekonstruktif dalam studi Islam, di mana ia menyerukan “dekonsekrasi” teks keagamaan dari hegemoni otoritas klasik. Menurut Arkoun, ilmu-ilmu keislaman tradisional telah membentuk “zona larangan berpikir” yang membatasi kebebasan intelektual⁽⁵⁾. Ia menekankan pentingnya membuka kembali “arsip nalar Islam” melalui pendekatan interdisipliner yang melibatkan sejarah, antropologi, dan kritisisme modern. Konsep Islamic reason yang ia kritik adalah bentuk rasionalitas ortodoks yang menurutnya telah menjauh dari dinamika pemikiran awal Islam yang terbuka dan kritis⁽⁶⁾. Ia juga mempromosikan pendekatan “hermeneutika positif” yang memungkinkan reinterpretasi Al-Qur’an dalam rangka pembebasan dan transformasi sosial.

4.4.       Abdul Karim Soroush: Pluralitas Penafsiran dan Historicity Wahyu

Abdul Karim Soroush, pemikir dari Iran, memperkenalkan gagasan bahwa wahyu bersifat ilahi, tetapi pemahaman terhadap wahyu (tafsir) bersifat manusiawi dan karenanya bersifat relatif dan berubah⁽⁷⁾. Ia membedakan antara religious knowledge dan religion itself, dan menyatakan bahwa karena pengetahuan keagamaan selalu berada dalam kerangka interpretatif, maka ia tunduk pada perubahan dan revisi. Gagasannya ini berimplikasi pada pengakuan terhadap pluralitas tafsir dan pentingnya keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan dalam proses memahami teks suci. Bagi Soroush, hermeneutika bukan hanya alat untuk memahami teks, tetapi sarana untuk mendialogkan agama dengan modernitas⁽⁸⁾.

4.5.       Implikasi Umum: Pergeseran Paradigma Tafsir

Pemikiran keempat tokoh di atas menunjukkan adanya pergeseran paradigma dalam studi tafsir dan pemikiran Islam kontemporer. Pendekatan hermeneutik Islam kontemporer tidak hanya bersifat akademik, tetapi juga bersifat transformatif, yakni bertujuan membentuk masyarakat yang adil, inklusif, dan berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan. Meskipun pendekatan-pendekatan ini mengundang kontroversi dan kritik, khususnya dari kalangan ulama tradisional, namun kontribusi mereka tetap penting dalam merumuskan ulang relasi antara teks, konteks, dan penafsir.


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 6–9.

[2]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 5–7.

[3]                Nasr Hamid Abu Zayd, Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical Analysis (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006), 38–42.

[4]                Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Naṣṣ: Dirāsah fī ʿUlūm al-Qurʾān (Casablanca: al-Markaz al-Thaqāfī al-ʿArabī, 1990), 10–13.

[5]                Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers, trans. Robert D. Lee (Boulder: Westview Press, 1994), 20–25.

[6]                Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought (London: Saqi Books, 2002), 78–81.

[7]                Abdulkarim Soroush, Reason, Freedom, and Democracy in Islam: Essential Writings of Abdolkarim Soroush, ed. Mahmoud Sadri and Ahmad Sadri (Oxford: Oxford University Press, 2000), 34–36.

[8]                Abdolkarim Soroush, “The Evolution and Devolution of Religious Knowledge,” Critique: Critical Middle Eastern Studies 9, no. 17 (2000): 57–70.


5.           Kritik terhadap Hermeneutika Islam

Perkembangan hermeneutika Islam sebagai pendekatan baru dalam memahami teks-teks keagamaan, khususnya Al-Qur’an, tidak hanya membuka peluang bagi pembaruan pemikiran Islam, tetapi juga memunculkan beragam kritik, baik dari kalangan tradisionalis, konservatif, maupun akademisi Muslim sendiri. Kritik-kritik ini umumnya berkisar pada persoalan otoritas teks, relativisme makna, dan kekhawatiran terhadap sekularisasi pemahaman keagamaan. Oleh karena itu, penting untuk mengevaluasi secara kritis perdebatan yang menyertai wacana ini, guna membedakan antara kritik epistemologis yang konstruktif dengan resistensi ideologis yang bersifat defensif.

5.1.       Ancaman terhadap Otoritas Wahyu

Salah satu kritik utama terhadap hermeneutika Islam datang dari kalangan tradisionalis dan konservatif yang melihat pendekatan ini sebagai ancaman terhadap kemurnian dan otoritas wahyu. Mereka berpendapat bahwa hermeneutika, khususnya dalam bentuknya yang diadopsi dari Barat, cenderung merelatifkan makna teks suci dan menempatkan akal manusia di atas otoritas ilahi⁽¹⁾. Dalam pandangan ini, teks Al-Qur’an memiliki makna tetap yang telah ditentukan oleh Allah dan dijelaskan melalui sunnah Nabi dan konsensus para sahabat serta ulama salaf, sehingga tidak dapat ditafsirkan sembarangan berdasarkan preferensi subjektif penafsir.

Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa hermeneutika Barat lahir dari konteks sekuler dan liberal, yang menolak wahyu sebagai sumber kebenaran mutlak. Oleh karena itu, penerapan pendekatan tersebut dalam tafsir Al-Qur’an dianggap sebagai bentuk infiltrasi pemikiran Barat yang dapat mengaburkan batas antara wahyu dan nalar manusia⁽²⁾. Kritik ini banyak disuarakan oleh ulama-ulama Salafi, seperti Nasir al-Din al-Albani dan Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin, yang menekankan pentingnya ittibāʿ (mengikuti) pemahaman generasi awal Islam secara literal dan harfiah⁽³⁾.

5.2.       Relativisme Makna dan Ketidakpastian Tafsir

Kritik lain yang cukup signifikan adalah kekhawatiran akan relativisme makna yang melekat pada hermeneutika. Dengan mengedepankan konsep historicity dan subjektivitas penafsir, pendekatan hermeneutis membuka ruang bagi pluralitas interpretasi yang nyaris tak terbatas. Hal ini dapat menimbulkan kekaburan dalam menentukan makna yang benar atau sahih dari suatu teks, terutama dalam konteks hukum atau teologi yang menuntut kejelasan dan kepastian hukum (qaṭʿīyah)⁽⁴⁾.

Sebagian kritikus, seperti Hasan Hanafi, meskipun mendukung pembaruan, tetap memperingatkan agar pluralitas tafsir tidak terjebak dalam “anarkisme interpretasi” yang dapat menghilangkan orientasi normatif wahyu⁽⁵⁾. Pendekatan ini dianggap berpotensi mengikis otoritas keilmuan ulama, dan membuka celah bagi pembacaan teks yang liar dan tidak bertanggung jawab secara metodologis maupun etis.

5.3.       Keterputusan dengan Tradisi Klasik

Pendekatan hermeneutika kontemporer juga dituding terputus dari warisan intelektual klasik Islam. Banyak pemikir hermeneutik Muslim dianggap lebih banyak mengacu pada filsuf-filsuf Barat seperti Schleiermacher, Gadamer, atau Ricoeur, daripada memperkaya pendekatan yang sudah mapan dalam khazanah tafsir dan usul al-fiqh. Hal ini memunculkan kekhawatiran akan terjadinya dekontekstualisasi pemikiran Islam dari akar tradisinya sendiri⁽⁶⁾.

Aliyah Rasyid Basalamah, dalam kritiknya terhadap hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, menegaskan bahwa pendekatan semacam itu justru berangkat dari epistemologi sekuler yang tidak kompatibel dengan worldview Islam. Ia juga menyatakan bahwa penolakan terhadap makna otoritatif teks dapat merusak struktur normatif Islam yang selama ini dijaga melalui disiplin-disiplin klasik⁽⁷⁾.

5.4.       Respon-Respon Moderat dan Rekonsiliatif

Di tengah kritik tersebut, sejumlah pemikir mencoba mengambil posisi tengah yang lebih moderat dan dialogis. Mereka mengakui perlunya pembaruan dalam metodologi tafsir, tetapi tetap dalam kerangka epistemologi Islam yang menghargai otoritas teks dan metode klasik. Ulama seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Rida, meskipun tidak menyebut istilah hermeneutika, telah membuka ruang interpretasi baru dalam penafsiran ayat-ayat sosial dan politik Al-Qur’an dengan mempertimbangkan konteks zamannya⁽⁸⁾.

Pendekatan integratif ini juga dikembangkan oleh akademisi seperti Mohammad Hashim Kamali, yang memadukan prinsip maqāṣid al-sharīʿah dengan kajian kontekstual dalam hukum Islam tanpa menanggalkan fondasi keilmuan tradisional⁽⁹⁾. Dengan demikian, wacana hermeneutika Islam tetap dapat berkembang secara kritis tanpa harus meninggalkan akar otoritas religius dan metodologisnya.


Footnotes

[1]                Yusuf al-Qaradawi, Kayfa Nata‘āmal Maʿa al-Qur’ān al-ʿAẓīm (Kairo: Dār al-Shurūq, 1999), 102–104.

[2]                Adian Husaini, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani, 2005), 43–46.

[3]                Nasir al-Din al-Albani, Silsilat al-Aḥādīth al-Ṣaḥīḥah (Riyadh: Maktabah al-Ma‘ārif, 1995), 1:37–40.

[4]                Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 112–115.

[5]                Hassan Hanafi, Religion, Ideology, and Development (Cairo: General Egyptian Book Organization, 1981), 97–101.

[6]                Syamsuddin Arif, “Hermeneutika dan Studi Islam: Tinjauan Epistemologis,” Afkar: Jurnal Akidah dan Pemikiran Islam 9, no. 1 (2008): 45–47.

[7]                Aliyah Rasyid Basalamah, “Kritik Terhadap Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd,” Jurnal Studi Islam 3, no. 2 (2015): 210–213.

[8]                Muhammad Abduh, Tafsir al-Manār, ed. Rasyid Rida (Beirut: Dār al-Fikr, 1994), 1:15–20.

[9]                Mohammad Hashim Kamali, Maqasid al-Shariah, Ijtihad and Civilisational Renewal (London: IIIT, 2012), 55–60.


6.           Relevansi Hermeneutika Islam dalam Dunia Kontemporer

Dalam era modern yang ditandai oleh kompleksitas sosial, pluralisme budaya, serta dinamika politik dan teknologi yang masif, kebutuhan akan pembacaan teks-teks keagamaan yang kontekstual dan inklusif semakin mendesak. Hermeneutika Islam, sebagai pendekatan interpretatif yang memperhitungkan relasi antara teks, penafsir, dan konteks historis, menawarkan jalan tengah antara kesetiaan terhadap otoritas wahyu dan keterbukaan terhadap perubahan zaman. Relevansinya tidak hanya terbatas pada bidang teologi dan tafsir, melainkan juga meluas ke ranah sosial, hukum, pendidikan, serta dialog lintas agama.

6.1.       Menjembatani Tradisi dan Modernitas

Salah satu peran penting hermeneutika Islam adalah menjembatani ketegangan antara warisan klasik dan tuntutan zaman modern. Pendekatan ini memungkinkan teks Al-Qur’an dibaca ulang dalam cahaya realitas kontemporer tanpa harus mengorbankan integritas wahyu. Dengan menggunakan metodologi seperti double movement (Fazlur Rahman) atau analisis historis-kultural (Nasr Hamid Abu Zayd), pemaknaan terhadap teks dapat diperluas agar sejalan dengan prinsip-prinsip universal Islam seperti keadilan, kasih sayang, dan kemaslahatan⁽¹⁾.

Penerapan prinsip maqāṣid al-sharīʿah (tujuan-tujuan hukum Islam) juga mendapat penguatan dalam kerangka hermeneutika, yakni sebagai upaya memahami hikmah di balik teks dan tidak sekadar membekukannya dalam formalisme hukum. Pendekatan ini sangat relevan dalam mengatasi isu-isu seperti kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan keadilan sosial⁽²⁾.

6.2.       Kontribusi terhadap Wacana Sosial dan Humanistik

Hermeneutika Islam kontemporer juga memberikan kontribusi penting dalam membangun kesadaran sosial dan humanisme berbasis nilai-nilai keislaman. Pemaknaan ulang terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan relasi antaragama, hak minoritas, atau peran perempuan, menjadi bagian dari proyek intelektual yang menempatkan Islam sebagai agama yang responsif terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal⁽³⁾.

Sebagai contoh, pembacaan progresif terhadap QS. al-Nisāʾ [4] ayat 34 atau QS. al-Baqarah [2] ayat 256 oleh para pemikir seperti Amina Wadud dan Farid Esack menunjukkan bahwa interpretasi yang kontekstual dapat memperkuat inklusivitas, bukan mereduksi makna ilahiah⁽⁴⁾. Dalam hal ini, hermeneutika berfungsi sebagai alat kritik atas tafsir-tafsir patriarkal atau hegemonik yang telah mengakar dalam sejarah.

6.3.       Revitalisasi Pemikiran Islam dan Pendidikan

Dalam ranah pendidikan Islam, hermeneutika membuka jalan untuk merumuskan kurikulum keagamaan yang tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga analitis dan reflektif. Mahasiswa dan pelajar didorong untuk tidak sekadar menghafal makna teks, tetapi juga memahami konteks historisnya, dinamika pemaknaannya, serta implikasinya terhadap kehidupan modern. Pendekatan ini dapat membentuk generasi Muslim yang berpikir kritis, toleran, dan adaptif terhadap perkembangan global⁽⁵⁾.

Institusi-institusi seperti International Islamic University Malaysia (IIUM) dan Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (ISTAC) telah mengintegrasikan wacana hermeneutika dalam pendidikan tinggi, sebagai bagian dari pengembangan Islamic worldview yang tidak sempit dan eksklusif⁽⁶⁾.

6.4.       Peran dalam Dialog Lintas Agama dan Budaya

Hermeneutika Islam juga berperan dalam memfasilitasi dialog antaragama dan antarperadaban. Pendekatan ini memungkinkan Muslim untuk membaca teks mereka dengan kesadaran akan pluralitas, membuka ruang bagi penghargaan terhadap tradisi agama lain tanpa mengorbankan keyakinan internal. Pendekatan seperti ini sangat penting dalam membangun koeksistensi damai di tengah masyarakat multikultural dan multireligius⁽⁷⁾.

Dalam konteks global yang sarat dengan konflik identitas, pemaknaan inklusif terhadap ayat-ayat yang bersifat normatif menjadi kunci untuk menciptakan ruang dialog yang konstruktif, saling memahami, dan menumbuhkan empati antar umat beragama.


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 147–149.

[2]                Mohammad Hashim Kamali, Maqasid al-Shariah Made Simple (London: The International Institute of Islamic Thought, 2008), 21–23.

[3]                Nasr Hamid Abu Zayd, Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical Analysis (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006), 76–79.

[4]                Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2006), 43–45; Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 112–114.

[5]                Syamsuddin Arif, “Reaktualisasi Nalar Tafsir dalam Pendidikan Tinggi Islam,” Islamia: Jurnal Pemikiran Islam 12, no. 2 (2017): 15–18.

[6]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic Philosophies of Science (Kuala Lumpur: ISTAC, 1992), 91–93.

[7]                John L. Esposito and Ibrahim Kalin, eds., Islamophobia: The Challenge of Pluralism in the 21st Century (New York: Oxford University Press, 2011), 183–185.


7.           Studi Kasus Aplikasi Hermeneutika dalam Penafsiran Ayat

Untuk memahami secara konkret bagaimana pendekatan hermeneutika diterapkan dalam penafsiran Al-Qur’an, perlu dikaji beberapa studi kasus terhadap ayat-ayat yang kerap menimbulkan perdebatan dalam masyarakat Muslim kontemporer. Studi ini memperlihatkan bagaimana pendekatan hermeneutik membuka ruang interpretatif yang mempertimbangkan unsur historis, sosial, dan etis dari teks, tanpa mengabaikan otoritas wahyu. Di bawah ini dikemukakan tiga kasus representatif yang telah banyak dianalisis oleh para pemikir Muslim modern.

7.1.       QS. al-Nisāʾ [4] ayat 34 – Relasi Gender dan Otoritas Suami

Ayat ini menyatakan bahwa "laki-laki adalah qawwām atas perempuan..." yang selama ini dipahami sebagai legitimasi terhadap kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga dan, oleh sebagian kalangan, sebagai pembenaran terhadap kekerasan domestik. Penafsiran tradisional umumnya menekankan pada struktur patriarkal masyarakat Arab, di mana laki-laki diposisikan sebagai penanggung jawab dan pemimpin⁽¹⁾.

Namun, pendekatan hermeneutik—seperti yang ditawarkan oleh Amina Wadud—mempertanyakan universalitas makna ayat tersebut. Wadud menekankan pentingnya membedakan antara teks (nass) dan konteks sosial pada saat ayat diturunkan. Ia menunjukkan bahwa kata qawwāmūn lebih tepat dipahami sebagai tanggung jawab finansial dan moral, bukan dominasi mutlak⁽²⁾. Lebih jauh, Wadud mengusulkan bahwa prinsip keadilan dan kesalingan (reciprocity) dalam Al-Qur’an menjadi kerangka utama interpretasi relasi gender, bukan struktur hierarkis yang kaku.

7.2.       QS. al-Baqarah [2] ayat 256 – Kebebasan Beragama

Ayat ini menyatakan “lā ikrāha fī al-dīn” (tidak ada paksaan dalam agama), yang sering dijadikan landasan normatif atas prinsip kebebasan beragama dalam Islam. Penafsiran klasik mengaitkan ayat ini dengan konteks spesifik turunnya ayat terkait anak-anak dari kaum Anshar yang sebelumnya masuk agama lain, lalu ingin dipaksa masuk Islam oleh orang tuanya setelah hijrah⁽³⁾.

Dalam konteks hermeneutika, tokoh seperti Abdulaziz Sachedina menafsirkan ayat ini dalam kerangka hak asasi manusia dan pluralitas agama. Menurutnya, Al-Qur’an mengakui keberagaman keyakinan sebagai bagian dari kehendak Tuhan (lihat QS. al-Māʾidah [5] ayat 48), sehingga “lā ikrāha fī al-dīn” bukan sekadar ayat situasional, melainkan prinsip universal yang menegaskan kebebasan memilih keyakinan⁽⁴⁾. Pendekatan ini menolak pemaksaan ideologis dan memberikan ruang bagi koeksistensi antaragama dalam masyarakat modern.

7.3.       QS. al-Kāfirūn [109] ayat 1–6 – Pluralisme dan Toleransi

Surat ini berisi penolakan terhadap kompromi akidah dengan kaum musyrik Mekkah. Secara literal, ayat-ayat tersebut menyatakan perbedaan tegas antara keyakinan Islam dan kekafiran. Tafsir tradisional menekankan aspek peneguhan identitas keimanan dan penolakan terhadap sinkretisme religius⁽⁵⁾.

Namun, dalam pendekatan hermeneutika kontekstual, Farid Esack menafsirkan surat ini sebagai pengakuan atas perbedaan keyakinan dan afirmasi terhadap prinsip toleransi. Ia menekankan bahwa penolakan dalam surat tersebut tidak disertai kekerasan atau permusuhan, melainkan pengakuan akan hak masing-masing dalam berkeyakinan⁽⁶⁾. Dalam pembacaan ini, pluralisme religius dipahami sebagai realitas yang harus diterima, bukan dihilangkan, selaras dengan nilai-nilai etika Qur’ani.


Kesimpulan Aplikasi

Ketiga studi kasus di atas menunjukkan bagaimana hermeneutika Islam dapat digunakan untuk membaca ulang teks-teks keagamaan secara kontekstual, kritis, dan berkeadilan. Pendekatan ini tidak menafikan otoritas teks, tetapi menekankan pentingnya keterlibatan aktif penafsir dalam menggali makna yang relevan dengan dinamika sosial masa kini. Dengan demikian, hermeneutika Islam tidak bertujuan menggantikan tafsir tradisional, melainkan melengkapinya dengan perspektif yang lebih segar dan aplikatif.


Footnotes

[1]                Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr al-Kabīr (Beirut: Dār al-Fikr, n.d.), 10:90–92.

[2]                Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2006), 68–74.

[3]                al-Ṭabarī, Jāmiʿ al-Bayān fī Taʾwīl Āy al-Qurʾān, ed. Aḥmad Shākir (Kairo: Dār al-Maʿārif, 2000), 3:12–14.

[4]                Abdulaziz Sachedina, The Islamic Roots of Democratic Pluralism (Oxford: Oxford University Press, 2001), 43–47.

[5]                al-Zamakhsharī, al-Kashshāf ʿan Ḥaqāʾiq al-Tanzīl, ed. ʿAbd al-Raḥmān al-Muʿallimī (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1995), 4:801–802.

[6]                Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 105–109.


8.           Implikasi Epistemologis dan Etis

Penerapan hermeneutika dalam studi Islam, khususnya dalam memahami teks wahyu, tidak hanya membawa konsekuensi metodologis, tetapi juga memiliki implikasi yang luas dalam bidang epistemologi (teori pengetahuan) dan etika interpretasi. Dalam konteks ini, hermeneutika Islam menantang cara-cara tradisional dalam memahami teks, serta mengajukan paradigma baru yang lebih inklusif, kritis, dan reflektif. Namun, di balik peluang itu, terdapat pula tantangan serius terkait otoritas, kebenaran, dan tanggung jawab moral penafsir.

8.1.       Epistemologi Penafsiran: Siapa yang Berwenang Menafsirkan Teks?

Salah satu implikasi paling mendasar dari pendekatan hermeneutika adalah pembongkaran batas-batas otoritas tafsir yang selama ini didominasi oleh ulama dan lembaga keilmuan tertentu. Dalam kerangka ini, hermeneutika menempatkan proses pemahaman sebagai interaksi dinamis antara teks, pembaca, dan konteks sosial. Hal ini menimbulkan pertanyaan epistemologis penting: siapakah yang sah menafsirkan teks wahyu?

Menurut Hans-Georg Gadamer, pemahaman adalah produk “fusi horizon” antara penafsir dan teks, di mana tidak ada posisi netral absolut dalam interpretasi⁽¹⁾. Dalam konteks Islam, pendekatan ini membuka kemungkinan partisipasi yang lebih luas dalam diskursus tafsir, termasuk dari kalangan perempuan, akademisi sekuler, dan masyarakat sipil. Namun, keterbukaan epistemik ini juga harus dibarengi dengan kompetensi metodologis dan kesadaran akan tanggung jawab terhadap teks yang dimaknai⁽²⁾.

Dalam kerangka epistemologi Islam, tokoh seperti Mohammad Hashim Kamali mengusulkan pendekatan integratif yang menggabungkan otoritas tradisional dan keterbukaan terhadap pendekatan kritis kontemporer. Baginya, ijtihad kontemporer harus berpijak pada maqāṣid al-sharīʿah, bukan hanya pada literalitas teks, agar tetap berada dalam orbit nilai-nilai dasar Islam⁽³⁾.

8.2.       Tantangan Relativisme dan Validitas Makna

Hermeneutika kontemporer, terutama dalam pengaruhnya dari filsafat pascamodern, menimbulkan tantangan besar dalam hal kebenaran makna. Jika setiap pembacaan dipengaruhi oleh latar historis, bahasa, dan subjektivitas penafsir, apakah masih mungkin menetapkan makna “benar” dari sebuah teks?

Kekhawatiran akan relativisme makna menjadi kritik epistemologis yang serius. Jika semua tafsir dianggap setara dan sah, bagaimana membedakan antara interpretasi yang sahih dan yang menyimpang? Dalam konteks ini, para pemikir Muslim seperti Nasr Hamid Abu Zayd menekankan bahwa keabsahan suatu penafsiran bukan hanya ditentukan oleh kesesuaian literal, tetapi oleh kemampuannya menjawab kebutuhan zaman dan mempertahankan nilai-nilai substansial Al-Qur’an seperti keadilan, rahmat, dan kemaslahatan⁽⁴⁾.

Sebaliknya, pendekatan tradisional menekankan pentingnya konsensus (ijmāʿ), sanad, dan metodologi usul al-tafsīr sebagai tolok ukur validitas. Dalam kerangka hermeneutik Islam, pertarungan epistemik antara dua pendekatan ini terus berlangsung dan memerlukan sintesis yang bijaksana.

8.3.       Etika Interpretasi: Tanggung Jawab Penafsir

Implikasi hermeneutika juga menyentuh aspek etika, yaitu kesadaran bahwa setiap penafsiran memiliki dampak sosial, politik, bahkan spiritual. Oleh karena itu, penafsir tidak hanya bertanggung jawab secara akademis, tetapi juga secara moral terhadap dampak dari penafsirannya terhadap masyarakat.

Paul Ricoeur menyebut bahwa interpretasi selalu mengandung unsur “penggandaan makna,” yang membuka peluang kreatif sekaligus risiko manipulatif⁽⁵⁾. Dalam konteks Islam, etika interpretasi menuntut sikap tawādhuʿ (kerendahan hati), adab terhadap wahyu, serta keterbukaan terhadap koreksi dan perbedaan.

Sebagaimana dikemukakan oleh Mohammed Arkoun, etika penafsiran harus didasarkan pada “niat untuk membebaskan,” bukan untuk mendominasi atau memonopoli kebenaran⁽⁶⁾. Dengan demikian, hermeneutika Islam bukanlah arena untuk menunjukkan superioritas nalar individu, tetapi sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada pesan-pesan luhur Al-Qur’an.

8.4.       Arah Baru: Sintesis antara Rasionalitas dan Spiritualitas

Akhirnya, implikasi paling progresif dari hermeneutika Islam adalah kemampuannya membentuk paradigma pemahaman teks yang holistik, di mana rasionalitas dan spiritualitas saling menopang. Di satu sisi, pendekatan hermeneutik menuntut kejelasan metodologis, pemahaman historis, dan argumentasi logis; di sisi lain, ia juga mengakui peran pengalaman batin, kesadaran etik, dan kepekaan transenden dalam memahami wahyu.

Dalam kerangka ini, hermeneutika Islam memiliki potensi besar sebagai jembatan antara ilmu, iman, dan amal. Ia tidak sekadar menjadi alat kritik terhadap tafsir tradisional, tetapi juga sebagai jalan pengembangan pemahaman Islam yang kontekstual, etis, dan menyeluruh.


Footnotes

[1]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 269–271.

[2]                Muhammad Shahrur, al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirāʾah Muʿāṣirah (Damaskus: al-Ahālī, 1990), 52–56.

[3]                Mohammad Hashim Kamali, Maqasid al-Shariah, Ijtihad and Civilisational Renewal (London: The International Institute of Islamic Thought, 2012), 58–61.

[4]                Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics (Leiden: Brill, 2004), 85–87.

[5]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 34–36.

[6]                Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought (London: Saqi Books, 2002), 129–131.


9.           Simpulan

Diskursus tentang hermeneutika Islam merupakan bagian dari dinamika intelektual yang mencerminkan upaya serius umat Islam untuk merespons tantangan zaman modern dalam memahami teks wahyu. Dalam kerangka sejarahnya, umat Islam sesungguhnya telah memiliki warisan metodologis yang kaya dalam bentuk ilmu tafsir, ta’wīl, ijtihād, dan usul al-fiqh, yang dapat dilihat sebagai bentuk-bentuk awal dari praktik hermeneutika⁽¹⁾. Namun, perkembangan wacana ini di era kontemporer menuntut pendekatan baru yang lebih responsif terhadap kompleksitas sosial, historis, dan epistemologis dunia modern.

Melalui tokoh-tokoh seperti Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Arkoun, dan Abdulkarim Soroush, hermeneutika Islam dikembangkan bukan sebagai penolakan terhadap tradisi, melainkan sebagai usaha untuk memperluas horizon pemahaman terhadap teks keagamaan dengan memperhitungkan dinamika konteks dan subjektivitas penafsir⁽²⁾. Pendekatan ini berupaya menjaga keseimbangan antara otoritas teks dan peran aktif akal serta pengalaman manusia dalam memahami pesan wahyu.

Di sisi lain, wacana hermeneutika juga menghadapi kritik serius dari kalangan tradisionalis yang mengkhawatirkan potensi relativisme makna, dekonstruksi otoritas teks, dan penyimpangan dari maqām kesakralan wahyu⁽³⁾. Kritik tersebut menyoroti pentingnya disiplin metodologis dan adab penafsiran yang berlandaskan pada nilai-nilai normatif Islam. Dalam kerangka ini, muncul kebutuhan akan pendekatan integratif yang tidak hanya mempertimbangkan kebutuhan kontemporer, tetapi juga tetap berakar pada epistemologi Islam.

Relevansi hermeneutika Islam di era kontemporer sangat signifikan, baik dalam konteks pembacaan ulang ayat-ayat sensitif (seperti tentang gender, pluralisme, dan kebebasan beragama), maupun dalam penguatan prinsip-prinsip etis dan humanistik Al-Qur’an dalam kehidupan publik. Selain itu, hermeneutika Islam dapat menjadi jembatan untuk membangun dialog antaragama, memperkuat pendidikan Islam yang kritis, serta mendorong lahirnya tafsir yang lebih adil, inklusif, dan kontekstual⁽⁴⁾.

Secara epistemologis, hermeneutika Islam menegaskan bahwa pemahaman terhadap teks tidak dapat dilepaskan dari horizon penafsir dan realitas sosialnya. Oleh karena itu, pendekatan ini menuntut keterbukaan, kesadaran historis, dan tanggung jawab etis yang tinggi dalam membaca wahyu. Ia bukan semata-mata metode teknis, melainkan laku intelektual dan spiritual yang menyatukan akal, hati, dan iman⁽⁵⁾.

Dengan demikian, hermeneutika Islam merupakan tawaran metodologis sekaligus praksis untuk merevitalisasi pemikiran Islam secara kreatif dan bertanggung jawab. Ia bukanlah ancaman terhadap tradisi, tetapi peluang untuk memperkaya khazanah tafsir agar lebih kontributif dalam menjawab tantangan zaman—tanpa melepaskan akar normatifnya sebagai agama wahyu.


Footnotes

[1]                Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 45–49.

[2]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 6–9; Nasr Hamid Abu Zayd, Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical Analysis (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006), 73–75; Mohammed Arkoun, Rethinking Islam (Boulder: Westview Press, 1994), 20–23; Abdulkarim Soroush, Reason, Freedom, and Democracy in Islam (Oxford: Oxford University Press, 2000), 32–34.

[3]                Adian Husaini, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani, 2005), 44–48.

[4]                Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 102–106.

[5]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 12–15; Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought (London: Saqi Books, 2002), 131–133.


Daftar Pustaka

Abduh, M., & Rida, R. (1994). Tafsir al-Manār (Vol. 1). Beirut: Dār al-Fikr.

Abu Zayd, N. H. (1990). Mafhūm al-Naṣṣ: Dirāsah fī ʿUlūm al-Qurʾān. Casablanca: al-Markaz al-Thaqāfī al-ʿArabī.

Abu Zayd, N. H. (2004). Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics. Leiden: Brill.

Abu Zayd, N. H. (2006). Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical Analysis. Amsterdam: Amsterdam University Press.

al-Albani, N. (1995). Silsilat al-Aḥādīth al-Ṣaḥīḥah (Vol. 1). Riyadh: Maktabah al-Maʿārif.

al-Ghazālī, A. H. (2005). Jawāhir al-Qur’ān (M. ʿAbd al-Salām, Ed.). Beirut: Dār al-Minhāj.

al-Ṭabarī, M. J. (2000). Jāmiʿ al-Bayān fī Taʾwīl Āy al-Qurʾān (A. Shākir, Ed.). Kairo: Dār al-Maʿārif.

al-Zamakhsharī, M. A. (1995). al-Kashshāf ʿan Ḥaqāʾiq al-Tanzīl (ʿA. R. al-Muʿallimī, Ed.). Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.

Arkoun, M. (1994). Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers (R. D. Lee, Trans.). Boulder: Westview Press.

Arkoun, M. (2002). The Unthought in Contemporary Islamic Thought. London: Saqi Books.

Basalamah, A. R. (2015). Kritik terhadap hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd. Jurnal Studi Islam, 3(2), 210–213.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-ʿArabi’s Metaphysics of Imagination. Albany: State University of New York Press.

Esack, F. (1997). Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression. Oxford: Oneworld Publications.

Esposito, J. L., & Kalin, I. (Eds.). (2011). Islamophobia: The Challenge of Pluralism in the 21st Century. New York: Oxford University Press.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and Method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). New York: Continuum.

Hallaq, W. B. (1997). A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh. Cambridge: Cambridge University Press.

Hanafi, H. (1981). Religion, Ideology, and Development. Cairo: General Egyptian Book Organization.

Husaini, A. (2005). Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani.

Kamali, M. H. (2003). Principles of Islamic Jurisprudence (3rd ed.). Cambridge: Islamic Texts Society.

Kamali, M. H. (2008). Maqasid al-Shariah Made Simple. London: The International Institute of Islamic Thought.

Kamali, M. H. (2012). Maqasid al-Shariah, Ijtihad and Civilisational Renewal. London: The International Institute of Islamic Thought.

Palmer, R. E. (1969). Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Evanston: Northwestern University Press.

Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Rahman, F. (2009). Major Themes of the Qur’an (2nd ed.). Chicago: University of Chicago Press.

Ricoeur, P. (1976). Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. Fort Worth: Texas Christian University Press.

Sachedina, A. (2001). The Islamic Roots of Democratic Pluralism. Oxford: Oxford University Press.

Schleiermacher, F. (1977). Hermeneutics: The Handwritten Manuscripts (H. Kimmerle, Ed.; J. Duke & J. Forstman, Trans.). Missoula: Scholars Press.

Shahrur, M. (1990). al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirāʾah Muʿāṣirah. Damaskus: al-Ahālī.

Soroush, A. K. (2000). Reason, Freedom, and Democracy in Islam: Essential Writings of Abdolkarim Soroush (M. Sadri & A. Sadri, Eds.). Oxford: Oxford University Press.

Soroush, A. K. (2000). The evolution and devolution of religious knowledge. Critique: Critical Middle Eastern Studies, 9(17), 57–70.

Syamsuddin, A. (2008). Hermeneutika dan studi Islam: Tinjauan epistemologis. Afkar: Jurnal Akidah dan Pemikiran Islam, 9(1), 45–47.

Syamsuddin, A. (2017). Reaktualisasi nalar tafsir dalam pendidikan tinggi Islam. Islamia: Jurnal Pemikiran Islam, 12(2), 15–18.

Wadud, A. (2006). Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (2nd ed.). Oxford: Oxford University Press.

Zamakhsharī, M. A. (n.d.). Tafsīr al-Kashshāf. Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar