Hermeneutika Islam
Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel
Alihkan ke: Matode Haermeneutika dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji dinamika hermeneutika Islam
sebagai pendekatan interpretatif terhadap teks-teks keagamaan, khususnya
Al-Qur’an, yang berkembang dalam wacana pemikiran Islam kontemporer. Dengan
menelusuri akar-akar epistemologis dari tradisi tafsir klasik seperti tafsir,
ta’wīl, dan ijtihād, serta mengkaji kontribusi tokoh-tokoh
seperti Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Arkoun, dan Abdulkarim
Soroush, artikel ini menyoroti bagaimana hermeneutika digunakan sebagai alat
untuk memahami dan merelevansikan pesan-pesan wahyu dalam konteks zaman modern.
Dibahas pula kritik-kritik terhadap hermeneutika dari kalangan tradisionalis,
yang menyoroti isu relativisme makna dan ancaman terhadap otoritas teks.
Melalui analisis studi kasus pada ayat-ayat terkait gender, kebebasan beragama,
dan pluralisme, artikel ini menunjukkan bahwa hermeneutika Islam dapat
memperkaya pemahaman keagamaan yang kontekstual dan etis. Implikasi
epistemologis dan etis dari pendekatan ini juga ditelaah sebagai bagian dari
upaya merekonstruksi hubungan antara teks, penafsir, dan realitas sosial.
Artikel ini merekomendasikan pengembangan pendekatan hermeneutik Islam yang
integratif—yang menghormati otoritas wahyu sekaligus terbuka terhadap kritik
dan dinamika sosial kontemporer.
Kata Kunci: Hermeneutika Islam, tafsir, ta’wīl, Fazlur Rahman,
Nasr Hamid Abu Zayd, penafsiran Al-Qur’an, kontekstualisasi, epistemologi
Islam, pluralisme, etika interpretasi.
PEMBAHASAN
Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Dalam sejarah
peradaban Islam, tafsir Al-Qur’an telah menjadi disiplin utama yang menunjukkan
dinamika intelektual umat Islam dalam memahami wahyu ilahi. Sejak era klasik,
para ulama telah mengembangkan metodologi tafsir berbasis linguistik, teologis,
hukum, dan spiritual sebagai respon terhadap kebutuhan kontekstual masyarakat
Muslim. Namun, memasuki era modern, muncul kebutuhan untuk meninjau ulang
metode interpretasi tersebut dalam rangka merespons tantangan zaman, seperti
pluralitas pemahaman, krisis otoritas, dan perubahan sosial-budaya yang cepat.
Dalam konteks inilah, hermeneutika, sebagai ilmu interpretasi teks yang
berkembang di dunia Barat, mulai mendapat perhatian dalam studi keislaman
kontemporer.
Hermeneutika yang
semula muncul dalam tradisi pemahaman teks-teks klasik Yunani, Bibel, dan
sastra, kini menjelma sebagai cabang filsafat yang menekankan pentingnya
hubungan antara teks, penafsir, dan konteks historis. Para tokoh seperti
Friedrich Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, dan Hans-Georg
Gadamer telah memberikan kontribusi penting dalam menggeser hermeneutika dari sekadar
metode menuju ranah ontologis dan epistemologis pemahaman manusia atas makna
hidup melalui teks¹. Pendekatan ini kemudian menarik perhatian para pemikir
Muslim modern yang ingin menafsirkan ulang teks-teks suci dengan pendekatan
yang lebih responsif terhadap realitas kontemporer.
Dalam kerangka ini,
muncul istilah “Hermeneutika
Islam” yang merujuk pada usaha-usaha kontemporer untuk
mengintegrasikan prinsip-prinsip hermeneutik ke dalam pembacaan terhadap
Al-Qur’an. Tokoh-tokoh seperti Fazlur Rahman dengan double movement theory, Nasr Hamid
Abu Zayd dengan pendekatan historis-teksual, dan Mohammed Arkoun dengan gagasan
dekonstruksi epistemologi klasik Islam, merupakan pelopor dalam memperkenalkan
nuansa baru dalam diskursus tafsir². Mereka menyadari bahwa teks suci tidak
berdiri dalam ruang hampa, tetapi senantiasa berinteraksi dengan horizon
sejarah, bahasa, budaya, dan ideologi³.
Meski demikian,
pengenalan hermeneutika dalam studi Islam tidak lepas dari kritik dan
resistensi, khususnya dari kalangan tradisionalis yang memandang bahwa
pendekatan ini berpotensi mengancam kemurnian makna wahyu. Isu otoritas tafsir,
relativisme makna, dan kekhawatiran terhadap dekonstruksi keimanan menjadi
polemik yang terus bergulir. Oleh karena itu, penting untuk mengeksplorasi
hermeneutika Islam tidak sebagai upaya sekulerisasi makna wahyu, tetapi sebagai
instrumen ilmiah yang dapat memperkaya khazanah tafsir dalam menghadapi
kompleksitas dunia modern⁴.
Artikel ini
bertujuan untuk mengulas perkembangan, konsep-konsep kunci, tokoh-tokoh utama,
serta pro dan kontra terkait hermeneutika Islam. Dengan demikian, diharapkan
pembahasan ini mampu memberikan pemahaman menyeluruh terhadap bagaimana tradisi
tafsir Islam dapat berdialog secara kritis dengan pendekatan interpretatif kontemporer
demi menciptakan pemahaman keagamaan yang relevan dan kontekstual.
Footnotes
[1]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 295–300.
[2]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 6–7;
Nasr Hamid Abu Zayd, Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical
Analysis (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006), 49–52; Mohammed
Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers, trans.
Robert D. Lee (Boulder: Westview Press, 1994), 33–35.
[3]
Farid Esack, The Qur’an: A Short Introduction (Oxford:
Oneworld Publications, 2002), 77–79.
[4]
Adonis, “Tradition and Modernity in Arab Society,” Diogenes
44, no. 176 (1996): 65–72.
2.
Pengertian Hermeneutika: Asal-Usul dan Evolusi
Konseptual
Hermeneutika
merupakan cabang filsafat dan metodologi yang memusatkan perhatian pada proses
pemahaman dan interpretasi teks, khususnya teks-teks yang sarat makna dan
historisitas. Kata “hermeneutika” berasal dari bahasa Yunani hermēneuein,
yang berarti “menafsirkan” atau “menerangkan,” dan erat kaitannya
dengan tokoh mitologis Hermes, sang pembawa pesan dari para dewa yang bertugas
menyampaikan dan menerjemahkan makna pesan-pesan ilahiah kepada manusia¹.
Seiring berjalannya waktu, hermeneutika berkembang menjadi suatu disiplin
intelektual yang tidak hanya fokus pada teks-teks suci atau sastra, tetapi juga
mencakup dimensi eksistensial dan fenomenologis dari pemahaman manusia atas
dunia.
Pada mulanya,
hermeneutika merupakan bagian dari teologi Kristen yang berkonsentrasi pada
penafsiran Alkitab. Pada masa Reformasi Protestan, hermeneutika memainkan
peranan penting dalam memerdekakan penafsiran Kitab Suci dari otoritas Gereja,
sebagaimana dicontohkan oleh Martin Luther dan tokoh-tokoh reformis lainnya².
Perkembangan selanjutnya terjadi pada abad ke-19 dengan Friedrich
Schleiermacher yang dikenal sebagai peletak dasar hermeneutika modern. Ia
menekankan pentingnya memahami konteks linguistik dan psikologis dari penulis
teks. Schleiermacher berupaya menyatukan pemahaman gramatikal dan teknikal
dalam kerangka interpretasi³.
Wilhelm Dilthey
kemudian memperluas cakupan hermeneutika ke dalam ranah ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften),
menjadikannya sebagai metode untuk memahami tindakan dan ekspresi manusia yang
terikat oleh sejarah dan pengalaman hidup. Menurut Dilthey, interpretasi adalah
jembatan antara pengalaman individu dan makna objektif dari teks⁴.
Perubahan radikal
dalam pemikiran hermeneutika muncul dengan kontribusi Martin Heidegger, yang
memindahkan fokus hermeneutika dari metode ke filsafat eksistensial. Dalam
karyanya Being
and Time, Heidegger menegaskan bahwa hermeneutika adalah dasar dari
pemahaman manusia terhadap keberadaan (Being), bukan hanya sekadar alat
untuk memahami teks⁵. Hermeneutika dalam pengertian ini menjadi ontologis,
berkaitan dengan struktur pengalaman manusia dalam dunia yang terlempar (Geworfenheit)
dan pemahamannya terhadap eksistensi.
Puncak dari
hermeneutika filosofis dikembangkan oleh Hans-Georg Gadamer, murid Heidegger,
melalui karya monumentalnya Truth and Method. Gadamer menolak
objektivitas absolut dalam interpretasi dan memperkenalkan konsep “fusi
horizon” (Horizontverschmelzung), yakni
pertemuan antara horizon makna masa lalu (teks) dan masa kini (penafsir) dalam
proses dialogis yang terbuka. Menurut Gadamer, pemahaman tidak pernah bebas
nilai, melainkan selalu dipengaruhi oleh prasangka, tradisi, dan bahasa⁶.
Dengan demikian,
hermeneutika telah mengalami pergeseran dari sekadar teknik interpretasi menuju
filsafat pemahaman manusia secara menyeluruh. Evolusi ini membuka ruang untuk
pendekatan lintas budaya dan agama, termasuk dalam konteks Islam, untuk
menafsirkan ulang warisan teks keagamaan dengan mempertimbangkan dinamika
sejarah, bahasa, dan pemahaman kontekstual.
Footnotes
[1]
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern
University Press, 1969), 13–14.
[2]
Anthony C. Thiselton, The Two Horizons: New Testament Hermeneutics
and Philosophical Description (Grand Rapids: Eerdmans, 1980), 23–25.
[3]
Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics: The Handwritten Manuscripts,
ed. Heinz Kimmerle, trans. James Duke and Jack Forstman (Missoula: Scholars
Press, 1977), 72–75.
[4]
Wilhelm Dilthey, Selected Works, Volume IV: Hermeneutics and the
Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton:
Princeton University Press, 1996), 150–152.
[5]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 182–185.
[6]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 265–271.
3.
Konsep Hermeneutika dalam Tradisi Islam
Meskipun istilah “hermeneutika”
berasal dari tradisi Barat, konsep-konsep serupa dalam tradisi intelektual
Islam telah lama eksis dalam bentuk yang khas dan berakar pada pendekatan
keilmuan yang dikembangkan oleh para ulama klasik. Dalam konteks Islam, upaya
memahami dan menafsirkan wahyu (Al-Qur’an dan Hadis) telah melahirkan disiplin
ilmu tafsir yang kaya dengan pendekatan linguistik, teologis, hukum, dan mistik.
Oleh karena itu, ketika membicarakan hermeneutika dalam Islam, penting untuk
memahami bahwa umat Islam telah mengembangkan kerangka interpretatif
tersendiri, meskipun tidak dengan terminologi yang sama seperti dalam tradisi
Barat.
Salah satu konsep
paling mendasar dalam tradisi tafsir Islam adalah tafsir
itu sendiri, yakni penjelasan makna ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan konteks
bahasa Arab, asbāb al-nuzūl (sebab-sebab turunnya ayat), dan pemahaman para
sahabat. Ilmu ini terus berkembang sejak masa klasik dengan kontribusi para
mufassir seperti al-Ṭabarī, yang dalam Jāmiʿ al-Bayān menggabungkan
pendekatan riwayah dan dirayah; al-Zamakhsharī, yang menekankan aspek balaghah
(retorika); serta Fakhr al-Dīn al-Rāzī yang memperluas tafsir ke ranah teologis
dan filsafat⁽¹⁾.
Di luar tafsir,
terdapat pula konsep ta’wīl, yang sering dipahami
sebagai penafsiran makna batiniah dari teks, berbeda dari makna lahiriah yang
dijelaskan dalam tafsir. Ta’wīl menjadi sangat penting dalam tradisi teologi
dan tasawuf, di mana teks dipahami tidak semata-mata secara literal, melainkan
dalam kerangka spiritual atau filosofis. Tokoh-tokoh seperti al-Ghazālī dan Ibn
ʿArabī memandang bahwa makna teks Al-Qur’an dapat berlapis-lapis sesuai dengan
tingkat kedalaman spiritual dan intelektual pembacanya⁽²⁾.
Konsep ijtihād
dan istinbāṭ
al-ahkām juga merepresentasikan proses hermeneutis dalam Islam.
Ijtihād merujuk pada upaya intelektual seorang mujtahid untuk menggali hukum
dari sumber-sumber utama Islam melalui proses penalaran dan analisis
kontekstual. Dalam hal ini, teks dipahami tidak hanya berdasarkan lafaz, tetapi
juga dengan mempertimbangkan maqāṣid al-sharīʿah (tujuan syariat), situasi
sosial, dan perkembangan zaman⁽³⁾. Ini menunjukkan adanya dinamika antara teks
dan konteks dalam epistemologi hukum Islam.
Para ulama klasik
juga telah menggunakan pendekatan semiotik dan linguistik untuk menafsirkan
teks. Misalnya, pemahaman terhadap ʿām dan khāṣ, muṭlaq
dan muqayyad, nasakh dan mansūkh, serta mafhūm
al-mukhālafah, merupakan instrumen rasional-linguistik yang
secara fungsional sejalan dengan prinsip-prinsip hermeneutika modern⁽⁴⁾. Dalam
hal ini, tampak bahwa tradisi Islam mengembangkan mekanisme penafsiran yang
memungkinkan terjadinya negosiasi makna berdasarkan teks, penafsir, dan realitas
sosial.
Namun demikian,
tidak dapat disangkal bahwa karakter hermeneutika dalam Islam lebih bersifat
teosentris daripada antropologis. Teks wahyu diposisikan sebagai sumber absolut
yang memiliki otoritas ilahiah, sehingga pendekatan tafsir dan ta’wīl dilakukan
dalam bingkai adab terhadap wahyu dan kepatuhan terhadap metodologi yang
ditetapkan oleh ulama terdahulu. Inilah yang membedakan hermeneutika Islam dari
hermeneutika Barat yang cenderung mengedepankan otonomi penafsir⁽⁵⁾.
Oleh karena itu,
ketika membicarakan hermeneutika Islam, perlu dipahami
bahwa yang dimaksud bukanlah sekadar adopsi metode Barat, tetapi lebih kepada
refleksi kritis atas warisan intelektual Islam dalam menafsirkan teks, serta
usaha untuk memformulasikan pendekatan kontekstual yang tetap bersandar pada
otoritas wahyu. Konsep-konsep seperti tafsir, ta’wīl, dan ijtihād
merupakan representasi khas dari upaya interpretatif dalam khazanah Islam yang,
jika dikembangkan secara metodologis, dapat menjadi bentuk hermeneutika Islam
yang otentik dan mandiri.
Footnotes
[1]
Tarif Khalidi, The Arabic Historical Tradition and the Early
Islamic Conquests (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 18–22.
[2]
Abu Hamid al-Ghazālī, Jawāhir al-Qur’ān, ed. Muḥammad ʿAbd
al-Salām (Beirut: Dār al-Minhāj, 2005), 42–45; William C. Chittick, The
Sufi Path of Knowledge: Ibn al-ʿArabi’s Metaphysics of Imagination
(Albany: State University of New York Press, 1989), 151–155.
[3]
Mohammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence,
3rd ed. (Cambridge: Islamic Texts Society, 2003), 369–373.
[4]
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An
Introduction to Sunni Usul al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press,
1997), 84–87.
[5]
Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic
Hermeneutics (Leiden: Brill, 2004), 29–30.
4.
Hermeneutika Islam Kontemporer: Lintas
Perspektif
Wacana hermeneutika
dalam Islam mengalami transformasi signifikan pada abad ke-20 seiring dengan
munculnya pemikir-pemikir Muslim modern yang merespons tantangan modernitas,
pluralitas budaya, dan perubahan sosial-politik. Mereka menyadari keterbatasan
metode tafsir klasik dalam menjawab problematika kontemporer, serta pentingnya
mengembangkan pendekatan interpretatif yang lebih dinamis, kontekstual, dan
interdisipliner. Dalam hal ini, hermeneutika tidak dimaknai sebagai sekadar
adopsi dari teori Barat, tetapi sebagai upaya reflektif untuk menafsirkan ulang
wahyu dalam terang realitas historis dan sosial umat Islam masa kini.
4.1.
Fazlur Rahman dan Teori
Gerak Ganda (Double Movement Theory)
Fazlur Rahman
merupakan salah satu tokoh penting dalam wacana hermeneutika Islam kontemporer.
Ia menawarkan pendekatan double movement sebagai kerangka
metodologis untuk memahami Al-Qur’an. Langkah pertama adalah menelusuri makna
dan tujuan moral dari ayat-ayat Al-Qur’an dalam konteks sosio-historisnya;
langkah kedua adalah mentransformasikan prinsip-prinsip tersebut untuk
diterapkan dalam konteks modern⁽¹⁾. Dengan demikian, menurut Rahman, Al-Qur’an
tidak hanya dipahami secara tekstual, melainkan melalui penalaran etis yang
progresif dan responsif terhadap perubahan zaman. Ia juga menekankan pentingnya
penggunaan nalar rasional (ʿaql) dalam penafsiran sebagai sarana untuk menghindari
literalisme yang kaku⁽²⁾.
4.2.
Nasr Hamid Abu Zayd: Teks
sebagai Produk Budaya
Nasr Hamid Abu Zayd
mengusulkan pendekatan hermeneutika yang menekankan historisitas teks dan
pentingnya memandang Al-Qur’an sebagai wacana budaya. Baginya, teks suci harus
dilihat sebagai produk interaksi antara wahyu ilahi dan respon historis Nabi
Muhammad dan masyarakat Arab pada masanya⁽³⁾. Abu Zayd membedakan antara nash
(teks literal) dan maʿnā (makna kontekstual), dan
menolak pandangan bahwa teks memiliki makna tunggal dan tetap. Ia juga
mengkritik pendekatan tafsir tradisional yang, menurutnya, membekukan makna dan
menghambat kemajuan pemikiran Islam⁽⁴⁾. Pendekatannya ini menggabungkan
linguistik modern, analisis wacana, dan semiotika dalam menafsirkan teks
Al-Qur’an.
4.3.
Mohammed Arkoun dan Kritik
terhadap Rasionalitas Islam Klasik
Mohammed Arkoun
memperkenalkan pendekatan aplikatif-dekonstruktif dalam studi
Islam, di mana ia menyerukan “dekonsekrasi” teks keagamaan dari hegemoni
otoritas klasik. Menurut Arkoun, ilmu-ilmu keislaman tradisional telah
membentuk “zona larangan berpikir” yang membatasi kebebasan
intelektual⁽⁵⁾. Ia menekankan pentingnya membuka kembali “arsip nalar Islam”
melalui pendekatan interdisipliner yang melibatkan sejarah, antropologi, dan
kritisisme modern. Konsep Islamic reason yang ia kritik
adalah bentuk rasionalitas ortodoks yang menurutnya telah menjauh dari dinamika
pemikiran awal Islam yang terbuka dan kritis⁽⁶⁾. Ia juga mempromosikan
pendekatan “hermeneutika positif” yang memungkinkan reinterpretasi
Al-Qur’an dalam rangka pembebasan dan transformasi sosial.
4.4.
Abdul Karim Soroush:
Pluralitas Penafsiran dan Historicity Wahyu
Abdul Karim Soroush,
pemikir dari Iran, memperkenalkan gagasan bahwa wahyu bersifat ilahi, tetapi
pemahaman terhadap wahyu (tafsir) bersifat manusiawi dan karenanya bersifat
relatif dan berubah⁽⁷⁾. Ia membedakan antara religious knowledge dan religion
itself, dan menyatakan bahwa karena pengetahuan keagamaan selalu
berada dalam kerangka interpretatif, maka ia tunduk pada perubahan dan revisi.
Gagasannya ini berimplikasi pada pengakuan terhadap pluralitas tafsir dan
pentingnya keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan dalam proses
memahami teks suci. Bagi Soroush, hermeneutika bukan hanya alat untuk memahami
teks, tetapi sarana untuk mendialogkan agama dengan modernitas⁽⁸⁾.
4.5.
Implikasi Umum: Pergeseran
Paradigma Tafsir
Pemikiran keempat
tokoh di atas menunjukkan adanya pergeseran paradigma dalam studi tafsir dan
pemikiran Islam kontemporer. Pendekatan hermeneutik Islam kontemporer tidak
hanya bersifat akademik, tetapi juga bersifat transformatif, yakni bertujuan
membentuk masyarakat yang adil, inklusif, dan berorientasi pada nilai-nilai
kemanusiaan. Meskipun pendekatan-pendekatan ini mengundang kontroversi dan
kritik, khususnya dari kalangan ulama tradisional, namun kontribusi mereka
tetap penting dalam merumuskan ulang relasi antara teks, konteks, dan penafsir.
Footnotes
[1]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 6–9.
[2]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago:
University of Chicago Press, 2009), 5–7.
[3]
Nasr Hamid Abu Zayd, Reformation of Islamic Thought: A Critical
Historical Analysis (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006), 38–42.
[4]
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Naṣṣ: Dirāsah fī ʿUlūm al-Qurʾān
(Casablanca: al-Markaz al-Thaqāfī al-ʿArabī, 1990), 10–13.
[5]
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon
Answers, trans. Robert D. Lee (Boulder: Westview Press, 1994), 20–25.
[6]
Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought
(London: Saqi Books, 2002), 78–81.
[7]
Abdulkarim Soroush, Reason, Freedom, and Democracy in Islam:
Essential Writings of Abdolkarim Soroush, ed. Mahmoud Sadri and Ahmad
Sadri (Oxford: Oxford University Press, 2000), 34–36.
[8]
Abdolkarim Soroush, “The Evolution and Devolution of Religious
Knowledge,” Critique: Critical Middle Eastern Studies 9, no. 17
(2000): 57–70.
5.
Kritik terhadap Hermeneutika Islam
Perkembangan
hermeneutika Islam sebagai pendekatan baru dalam memahami teks-teks keagamaan,
khususnya Al-Qur’an, tidak hanya membuka peluang bagi pembaruan pemikiran
Islam, tetapi juga memunculkan beragam kritik, baik dari kalangan
tradisionalis, konservatif, maupun akademisi Muslim sendiri. Kritik-kritik ini
umumnya berkisar pada persoalan otoritas teks, relativisme makna, dan
kekhawatiran terhadap sekularisasi pemahaman keagamaan. Oleh karena itu,
penting untuk mengevaluasi secara kritis perdebatan yang menyertai wacana ini,
guna membedakan antara kritik epistemologis yang konstruktif dengan resistensi
ideologis yang bersifat defensif.
5.1.
Ancaman terhadap Otoritas
Wahyu
Salah satu kritik
utama terhadap hermeneutika Islam datang dari kalangan tradisionalis dan
konservatif yang melihat pendekatan ini sebagai ancaman terhadap kemurnian dan
otoritas wahyu. Mereka berpendapat bahwa hermeneutika, khususnya dalam
bentuknya yang diadopsi dari Barat, cenderung merelatifkan makna teks suci dan
menempatkan akal manusia di atas otoritas ilahi⁽¹⁾. Dalam pandangan ini, teks
Al-Qur’an memiliki makna tetap yang telah ditentukan oleh Allah dan dijelaskan
melalui sunnah Nabi dan konsensus para sahabat serta ulama salaf, sehingga
tidak dapat ditafsirkan sembarangan berdasarkan preferensi subjektif penafsir.
Pandangan ini
didasarkan pada anggapan bahwa hermeneutika Barat lahir dari konteks sekuler
dan liberal, yang menolak wahyu sebagai sumber kebenaran mutlak. Oleh karena itu,
penerapan pendekatan tersebut dalam tafsir Al-Qur’an dianggap sebagai bentuk
infiltrasi pemikiran Barat yang dapat mengaburkan batas antara wahyu dan nalar
manusia⁽²⁾. Kritik ini banyak disuarakan oleh ulama-ulama Salafi, seperti Nasir
al-Din al-Albani dan Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin, yang menekankan
pentingnya ittibāʿ (mengikuti) pemahaman generasi awal Islam secara literal dan
harfiah⁽³⁾.
5.2.
Relativisme Makna dan
Ketidakpastian Tafsir
Kritik lain yang
cukup signifikan adalah kekhawatiran akan relativisme makna yang melekat
pada hermeneutika. Dengan mengedepankan konsep historicity dan subjektivitas
penafsir, pendekatan hermeneutis membuka ruang bagi pluralitas interpretasi
yang nyaris tak terbatas. Hal ini dapat menimbulkan kekaburan dalam menentukan
makna yang benar atau sahih dari suatu teks, terutama dalam konteks hukum atau
teologi yang menuntut kejelasan dan kepastian hukum (qaṭʿīyah)⁽⁴⁾.
Sebagian kritikus,
seperti Hasan Hanafi, meskipun mendukung pembaruan, tetap memperingatkan agar
pluralitas tafsir tidak terjebak dalam “anarkisme interpretasi” yang
dapat menghilangkan orientasi normatif wahyu⁽⁵⁾. Pendekatan ini dianggap
berpotensi mengikis otoritas keilmuan ulama, dan membuka celah bagi pembacaan
teks yang liar dan tidak bertanggung jawab secara metodologis maupun etis.
5.3.
Keterputusan dengan Tradisi
Klasik
Pendekatan
hermeneutika kontemporer juga dituding terputus dari warisan intelektual klasik
Islam. Banyak pemikir hermeneutik Muslim dianggap lebih banyak mengacu pada
filsuf-filsuf Barat seperti Schleiermacher, Gadamer, atau Ricoeur, daripada
memperkaya pendekatan yang sudah mapan dalam khazanah tafsir dan usul al-fiqh.
Hal ini memunculkan kekhawatiran akan terjadinya dekontekstualisasi pemikiran
Islam dari akar tradisinya sendiri⁽⁶⁾.
Aliyah Rasyid
Basalamah, dalam kritiknya terhadap hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd,
menegaskan bahwa pendekatan semacam itu justru berangkat dari epistemologi
sekuler yang tidak kompatibel dengan worldview Islam. Ia juga menyatakan bahwa
penolakan terhadap makna otoritatif teks dapat merusak struktur normatif Islam
yang selama ini dijaga melalui disiplin-disiplin klasik⁽⁷⁾.
5.4.
Respon-Respon Moderat dan
Rekonsiliatif
Di tengah kritik
tersebut, sejumlah pemikir mencoba mengambil posisi tengah yang lebih moderat
dan dialogis. Mereka mengakui perlunya pembaruan dalam metodologi tafsir,
tetapi tetap dalam kerangka epistemologi Islam yang menghargai otoritas teks
dan metode klasik. Ulama seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Rida, meskipun tidak
menyebut istilah hermeneutika, telah membuka ruang interpretasi baru dalam
penafsiran ayat-ayat sosial dan politik Al-Qur’an dengan mempertimbangkan
konteks zamannya⁽⁸⁾.
Pendekatan
integratif ini juga dikembangkan oleh akademisi seperti Mohammad Hashim Kamali,
yang memadukan prinsip maqāṣid al-sharīʿah dengan kajian kontekstual dalam
hukum Islam tanpa menanggalkan fondasi keilmuan tradisional⁽⁹⁾. Dengan
demikian, wacana hermeneutika Islam tetap dapat berkembang secara kritis tanpa
harus meninggalkan akar otoritas religius dan metodologisnya.
Footnotes
[1]
Yusuf al-Qaradawi, Kayfa Nata‘āmal Maʿa al-Qur’ān al-ʿAẓīm
(Kairo: Dār al-Shurūq, 1999), 102–104.
[2]
Adian Husaini, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an (Jakarta:
Gema Insani, 2005), 43–46.
[3]
Nasir al-Din al-Albani, Silsilat al-Aḥādīth al-Ṣaḥīḥah
(Riyadh: Maktabah al-Ma‘ārif, 1995), 1:37–40.
[4]
Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of
the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 112–115.
[5]
Hassan Hanafi, Religion, Ideology, and Development (Cairo:
General Egyptian Book Organization, 1981), 97–101.
[6]
Syamsuddin Arif, “Hermeneutika dan Studi Islam: Tinjauan
Epistemologis,” Afkar: Jurnal Akidah dan Pemikiran Islam 9, no. 1
(2008): 45–47.
[7]
Aliyah Rasyid Basalamah, “Kritik Terhadap Hermeneutika Nasr Hamid Abu
Zayd,” Jurnal Studi Islam 3, no. 2 (2015): 210–213.
[8]
Muhammad Abduh, Tafsir al-Manār, ed. Rasyid Rida (Beirut: Dār
al-Fikr, 1994), 1:15–20.
[9]
Mohammad Hashim Kamali, Maqasid al-Shariah, Ijtihad and
Civilisational Renewal (London: IIIT, 2012), 55–60.
6.
Relevansi Hermeneutika Islam dalam Dunia
Kontemporer
Dalam era modern
yang ditandai oleh kompleksitas sosial, pluralisme budaya, serta dinamika
politik dan teknologi yang masif, kebutuhan akan pembacaan teks-teks keagamaan
yang kontekstual dan inklusif semakin mendesak. Hermeneutika Islam, sebagai
pendekatan interpretatif yang memperhitungkan relasi antara teks, penafsir, dan
konteks historis, menawarkan jalan tengah antara kesetiaan terhadap otoritas
wahyu dan keterbukaan terhadap perubahan zaman. Relevansinya tidak hanya
terbatas pada bidang teologi dan tafsir, melainkan juga meluas ke ranah sosial,
hukum, pendidikan, serta dialog lintas agama.
6.1.
Menjembatani Tradisi dan
Modernitas
Salah satu peran
penting hermeneutika Islam adalah menjembatani ketegangan antara warisan klasik
dan tuntutan zaman modern. Pendekatan ini memungkinkan teks Al-Qur’an dibaca
ulang dalam cahaya realitas kontemporer tanpa harus mengorbankan integritas
wahyu. Dengan menggunakan metodologi seperti double movement (Fazlur Rahman)
atau analisis historis-kultural (Nasr Hamid Abu Zayd), pemaknaan terhadap teks
dapat diperluas agar sejalan dengan prinsip-prinsip universal Islam seperti
keadilan, kasih sayang, dan kemaslahatan⁽¹⁾.
Penerapan prinsip
maqāṣid al-sharīʿah (tujuan-tujuan hukum Islam) juga mendapat penguatan dalam
kerangka hermeneutika, yakni sebagai upaya memahami hikmah di balik teks dan
tidak sekadar membekukannya dalam formalisme hukum. Pendekatan ini sangat relevan
dalam mengatasi isu-isu seperti kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan
keadilan sosial⁽²⁾.
6.2.
Kontribusi terhadap Wacana
Sosial dan Humanistik
Hermeneutika Islam
kontemporer juga memberikan kontribusi penting dalam membangun kesadaran sosial
dan humanisme berbasis nilai-nilai keislaman. Pemaknaan ulang terhadap
ayat-ayat yang berkaitan dengan relasi antaragama, hak minoritas, atau peran
perempuan, menjadi bagian dari proyek intelektual yang menempatkan Islam
sebagai agama yang responsif terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal⁽³⁾.
Sebagai contoh,
pembacaan progresif terhadap QS. al-Nisāʾ [4] ayat 34 atau QS. al-Baqarah [2]
ayat 256 oleh para pemikir seperti Amina Wadud dan Farid Esack menunjukkan
bahwa interpretasi yang kontekstual dapat memperkuat inklusivitas, bukan
mereduksi makna ilahiah⁽⁴⁾. Dalam hal ini, hermeneutika berfungsi sebagai alat
kritik atas tafsir-tafsir patriarkal atau hegemonik yang telah mengakar dalam
sejarah.
6.3.
Revitalisasi Pemikiran Islam
dan Pendidikan
Dalam ranah
pendidikan Islam, hermeneutika membuka jalan untuk merumuskan kurikulum
keagamaan yang tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga analitis dan
reflektif. Mahasiswa dan pelajar didorong untuk tidak sekadar menghafal makna
teks, tetapi juga memahami konteks historisnya, dinamika pemaknaannya, serta
implikasinya terhadap kehidupan modern. Pendekatan ini dapat membentuk generasi
Muslim yang berpikir kritis, toleran, dan adaptif terhadap perkembangan
global⁽⁵⁾.
Institusi-institusi
seperti International Islamic University Malaysia (IIUM) dan Institute for the
Study of Islamic Thought and Civilizations (ISTAC) telah mengintegrasikan
wacana hermeneutika dalam pendidikan tinggi, sebagai bagian dari pengembangan Islamic
worldview yang tidak sempit dan eksklusif⁽⁶⁾.
6.4.
Peran dalam Dialog Lintas
Agama dan Budaya
Hermeneutika Islam
juga berperan dalam memfasilitasi dialog antaragama dan antarperadaban.
Pendekatan ini memungkinkan Muslim untuk membaca teks mereka dengan kesadaran
akan pluralitas, membuka ruang bagi penghargaan terhadap tradisi agama lain
tanpa mengorbankan keyakinan internal. Pendekatan seperti ini sangat penting
dalam membangun koeksistensi damai di tengah masyarakat multikultural dan
multireligius⁽⁷⁾.
Dalam konteks global
yang sarat dengan konflik identitas, pemaknaan inklusif terhadap ayat-ayat yang
bersifat normatif menjadi kunci untuk menciptakan ruang dialog yang
konstruktif, saling memahami, dan menumbuhkan empati antar umat beragama.
Footnotes
[1]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 147–149.
[2]
Mohammad Hashim Kamali, Maqasid al-Shariah Made Simple
(London: The International Institute of Islamic Thought, 2008), 21–23.
[3]
Nasr Hamid Abu Zayd, Reformation of Islamic Thought: A Critical
Historical Analysis (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006), 76–79.
[4]
Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a
Woman’s Perspective, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2006),
43–45; Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic
Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (Oxford:
Oneworld Publications, 1997), 112–114.
[5]
Syamsuddin Arif, “Reaktualisasi Nalar Tafsir dalam Pendidikan Tinggi
Islam,” Islamia: Jurnal Pemikiran Islam 12, no. 2 (2017): 15–18.
[6]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam: A Study in
Islamic Philosophies of Science (Kuala Lumpur: ISTAC, 1992), 91–93.
[7]
John L. Esposito and Ibrahim Kalin, eds., Islamophobia: The
Challenge of Pluralism in the 21st Century (New York: Oxford University
Press, 2011), 183–185.
7.
Studi Kasus Aplikasi Hermeneutika dalam
Penafsiran Ayat
Untuk memahami
secara konkret bagaimana pendekatan hermeneutika diterapkan dalam penafsiran
Al-Qur’an, perlu dikaji beberapa studi kasus terhadap ayat-ayat yang kerap
menimbulkan perdebatan dalam masyarakat Muslim kontemporer. Studi ini
memperlihatkan bagaimana pendekatan hermeneutik membuka ruang interpretatif
yang mempertimbangkan unsur historis, sosial, dan etis dari teks, tanpa
mengabaikan otoritas wahyu. Di bawah ini dikemukakan tiga kasus representatif
yang telah banyak dianalisis oleh para pemikir Muslim modern.
7.1.
QS. al-Nisāʾ [4] ayat 34 – Relasi Gender dan
Otoritas Suami
Ayat ini menyatakan
bahwa "laki-laki adalah qawwām atas perempuan..." yang selama
ini dipahami sebagai legitimasi terhadap kepemimpinan laki-laki dalam rumah
tangga dan, oleh sebagian kalangan, sebagai pembenaran terhadap kekerasan
domestik. Penafsiran tradisional umumnya menekankan pada struktur patriarkal
masyarakat Arab, di mana laki-laki diposisikan sebagai penanggung jawab dan
pemimpin⁽¹⁾.
Namun, pendekatan
hermeneutik—seperti yang ditawarkan oleh Amina Wadud—mempertanyakan
universalitas makna ayat tersebut. Wadud menekankan pentingnya membedakan
antara teks (nass) dan konteks sosial pada saat
ayat diturunkan. Ia menunjukkan bahwa kata qawwāmūn lebih tepat dipahami
sebagai tanggung jawab finansial dan moral, bukan dominasi mutlak⁽²⁾. Lebih
jauh, Wadud mengusulkan bahwa prinsip keadilan dan kesalingan (reciprocity)
dalam Al-Qur’an menjadi kerangka utama interpretasi relasi gender, bukan
struktur hierarkis yang kaku.
7.2.
QS. al-Baqarah [2] ayat 256 – Kebebasan Beragama
Ayat ini menyatakan
“lā ikrāha fī al-dīn” (tidak ada paksaan dalam agama), yang
sering dijadikan landasan normatif atas prinsip kebebasan beragama dalam Islam.
Penafsiran klasik mengaitkan ayat ini dengan konteks spesifik turunnya ayat
terkait anak-anak dari kaum Anshar yang sebelumnya masuk agama lain, lalu ingin
dipaksa masuk Islam oleh orang tuanya setelah hijrah⁽³⁾.
Dalam konteks
hermeneutika, tokoh seperti Abdulaziz Sachedina menafsirkan
ayat ini dalam kerangka hak asasi manusia dan pluralitas agama. Menurutnya,
Al-Qur’an mengakui keberagaman keyakinan sebagai bagian dari kehendak Tuhan
(lihat QS. al-Māʾidah [5] ayat 48), sehingga “lā ikrāha fī al-dīn” bukan
sekadar ayat situasional, melainkan prinsip universal yang menegaskan kebebasan
memilih keyakinan⁽⁴⁾. Pendekatan ini menolak pemaksaan ideologis dan memberikan
ruang bagi koeksistensi antaragama dalam masyarakat modern.
7.3.
QS. al-Kāfirūn [109] ayat 1–6 – Pluralisme dan
Toleransi
Surat ini berisi
penolakan terhadap kompromi akidah dengan kaum musyrik Mekkah. Secara literal,
ayat-ayat tersebut menyatakan perbedaan tegas antara keyakinan Islam dan
kekafiran. Tafsir tradisional menekankan aspek peneguhan identitas keimanan dan
penolakan terhadap sinkretisme religius⁽⁵⁾.
Namun, dalam
pendekatan hermeneutika kontekstual, Farid Esack menafsirkan surat
ini sebagai pengakuan atas perbedaan keyakinan dan afirmasi terhadap prinsip
toleransi. Ia menekankan bahwa penolakan dalam surat tersebut tidak disertai
kekerasan atau permusuhan, melainkan pengakuan akan hak masing-masing dalam
berkeyakinan⁽⁶⁾. Dalam pembacaan ini, pluralisme religius dipahami sebagai
realitas yang harus diterima, bukan dihilangkan, selaras dengan nilai-nilai
etika Qur’ani.
Kesimpulan Aplikasi
Ketiga studi kasus
di atas menunjukkan bagaimana hermeneutika Islam dapat digunakan untuk membaca
ulang teks-teks keagamaan secara kontekstual, kritis, dan berkeadilan.
Pendekatan ini tidak menafikan otoritas teks, tetapi menekankan pentingnya
keterlibatan aktif penafsir dalam menggali makna yang relevan dengan dinamika
sosial masa kini. Dengan demikian, hermeneutika Islam tidak bertujuan
menggantikan tafsir tradisional, melainkan melengkapinya dengan perspektif yang
lebih segar dan aplikatif.
Footnotes
[1]
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr al-Kabīr (Beirut: Dār al-Fikr,
n.d.), 10:90–92.
[2]
Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a
Woman’s Perspective, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2006),
68–74.
[3]
al-Ṭabarī, Jāmiʿ al-Bayān fī Taʾwīl Āy al-Qurʾān, ed. Aḥmad
Shākir (Kairo: Dār al-Maʿārif, 2000), 3:12–14.
[4]
Abdulaziz Sachedina, The Islamic Roots of Democratic Pluralism
(Oxford: Oxford University Press, 2001), 43–47.
[5]
al-Zamakhsharī, al-Kashshāf ʿan Ḥaqāʾiq al-Tanzīl, ed. ʿAbd
al-Raḥmān al-Muʿallimī (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1995), 4:801–802.
[6]
Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic
Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (Oxford:
Oneworld Publications, 1997), 105–109.
8.
Implikasi Epistemologis dan Etis
Penerapan
hermeneutika dalam studi Islam, khususnya dalam memahami teks wahyu, tidak
hanya membawa konsekuensi metodologis, tetapi juga memiliki implikasi yang luas
dalam bidang epistemologi (teori pengetahuan) dan etika interpretasi. Dalam
konteks ini, hermeneutika Islam menantang cara-cara tradisional dalam memahami
teks, serta mengajukan paradigma baru yang lebih inklusif, kritis, dan
reflektif. Namun, di balik peluang itu, terdapat pula tantangan serius terkait
otoritas, kebenaran, dan tanggung jawab moral penafsir.
8.1.
Epistemologi Penafsiran:
Siapa yang Berwenang Menafsirkan Teks?
Salah satu implikasi
paling mendasar dari pendekatan hermeneutika adalah pembongkaran batas-batas
otoritas tafsir yang selama ini didominasi oleh ulama dan lembaga keilmuan
tertentu. Dalam kerangka ini, hermeneutika menempatkan proses pemahaman sebagai
interaksi dinamis antara teks, pembaca, dan konteks sosial. Hal ini menimbulkan
pertanyaan epistemologis penting: siapakah yang sah menafsirkan teks wahyu?
Menurut Hans-Georg
Gadamer, pemahaman adalah produk “fusi horizon” antara penafsir dan teks, di
mana tidak ada posisi netral absolut dalam interpretasi⁽¹⁾. Dalam konteks
Islam, pendekatan ini membuka kemungkinan partisipasi yang lebih luas dalam
diskursus tafsir, termasuk dari kalangan perempuan, akademisi sekuler, dan
masyarakat sipil. Namun, keterbukaan epistemik ini juga harus dibarengi dengan
kompetensi metodologis dan kesadaran akan tanggung jawab terhadap teks yang
dimaknai⁽²⁾.
Dalam kerangka
epistemologi Islam, tokoh seperti Mohammad Hashim Kamali
mengusulkan pendekatan integratif yang menggabungkan otoritas tradisional dan
keterbukaan terhadap pendekatan kritis kontemporer. Baginya, ijtihad
kontemporer harus berpijak pada maqāṣid al-sharīʿah, bukan hanya pada
literalitas teks, agar tetap berada dalam orbit nilai-nilai dasar Islam⁽³⁾.
8.2.
Tantangan Relativisme dan
Validitas Makna
Hermeneutika
kontemporer, terutama dalam pengaruhnya dari filsafat pascamodern, menimbulkan
tantangan besar dalam hal kebenaran makna. Jika setiap pembacaan dipengaruhi
oleh latar historis, bahasa, dan subjektivitas penafsir, apakah masih mungkin
menetapkan makna “benar” dari sebuah teks?
Kekhawatiran akan relativisme
makna menjadi kritik epistemologis yang serius. Jika semua
tafsir dianggap setara dan sah, bagaimana membedakan antara interpretasi yang
sahih dan yang menyimpang? Dalam konteks ini, para pemikir Muslim seperti Nasr
Hamid Abu Zayd menekankan bahwa keabsahan suatu penafsiran
bukan hanya ditentukan oleh kesesuaian literal, tetapi oleh kemampuannya
menjawab kebutuhan zaman dan mempertahankan nilai-nilai substansial Al-Qur’an
seperti keadilan, rahmat, dan kemaslahatan⁽⁴⁾.
Sebaliknya,
pendekatan tradisional menekankan pentingnya konsensus (ijmāʿ), sanad, dan
metodologi usul al-tafsīr sebagai tolok ukur validitas. Dalam kerangka
hermeneutik Islam, pertarungan epistemik antara dua pendekatan ini terus
berlangsung dan memerlukan sintesis yang bijaksana.
8.3.
Etika Interpretasi: Tanggung
Jawab Penafsir
Implikasi
hermeneutika juga menyentuh aspek etika, yaitu kesadaran bahwa setiap
penafsiran memiliki dampak sosial, politik, bahkan spiritual. Oleh karena itu,
penafsir tidak hanya bertanggung jawab secara akademis, tetapi juga secara
moral terhadap dampak dari penafsirannya terhadap masyarakat.
Paul
Ricoeur menyebut bahwa interpretasi selalu mengandung unsur “penggandaan
makna,” yang membuka peluang kreatif sekaligus risiko manipulatif⁽⁵⁾. Dalam
konteks Islam, etika interpretasi menuntut sikap tawādhuʿ (kerendahan hati),
adab terhadap wahyu, serta keterbukaan terhadap koreksi dan perbedaan.
Sebagaimana
dikemukakan oleh Mohammed Arkoun, etika
penafsiran harus didasarkan pada “niat untuk membebaskan,” bukan untuk
mendominasi atau memonopoli kebenaran⁽⁶⁾. Dengan demikian, hermeneutika Islam
bukanlah arena untuk menunjukkan superioritas nalar individu, tetapi sebagai
sarana untuk mendekatkan diri kepada pesan-pesan luhur Al-Qur’an.
8.4.
Arah Baru: Sintesis antara
Rasionalitas dan Spiritualitas
Akhirnya, implikasi
paling progresif dari hermeneutika Islam adalah kemampuannya membentuk
paradigma pemahaman teks yang holistik, di mana rasionalitas dan spiritualitas
saling menopang. Di satu sisi, pendekatan hermeneutik menuntut kejelasan
metodologis, pemahaman historis, dan argumentasi logis; di sisi lain, ia juga
mengakui peran pengalaman batin, kesadaran etik, dan kepekaan transenden dalam
memahami wahyu.
Dalam kerangka ini,
hermeneutika Islam memiliki potensi besar sebagai jembatan antara ilmu, iman,
dan amal. Ia tidak sekadar menjadi alat kritik terhadap tafsir tradisional,
tetapi juga sebagai jalan pengembangan pemahaman Islam yang kontekstual, etis,
dan menyeluruh.
Footnotes
[1]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 269–271.
[2]
Muhammad Shahrur, al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirāʾah Muʿāṣirah
(Damaskus: al-Ahālī, 1990), 52–56.
[3]
Mohammad Hashim Kamali, Maqasid al-Shariah, Ijtihad and
Civilisational Renewal (London: The International Institute of Islamic
Thought, 2012), 58–61.
[4]
Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic
Hermeneutics (Leiden: Brill, 2004), 85–87.
[5]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of
Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 34–36.
[6]
Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought
(London: Saqi Books, 2002), 129–131.
9.
Simpulan
Diskursus tentang hermeneutika
Islam merupakan bagian dari dinamika intelektual yang
mencerminkan upaya serius umat Islam untuk merespons tantangan zaman modern
dalam memahami teks wahyu. Dalam kerangka sejarahnya, umat Islam sesungguhnya
telah memiliki warisan metodologis yang kaya dalam bentuk ilmu tafsir, ta’wīl,
ijtihād, dan usul al-fiqh, yang dapat dilihat sebagai bentuk-bentuk awal dari
praktik hermeneutika⁽¹⁾. Namun, perkembangan wacana ini di era kontemporer
menuntut pendekatan baru yang lebih responsif terhadap kompleksitas sosial,
historis, dan epistemologis dunia modern.
Melalui tokoh-tokoh
seperti Fazlur Rahman, Nasr
Hamid Abu Zayd, Mohammed Arkoun, dan Abdulkarim
Soroush, hermeneutika Islam dikembangkan bukan sebagai
penolakan terhadap tradisi, melainkan sebagai usaha untuk memperluas horizon
pemahaman terhadap teks keagamaan dengan memperhitungkan dinamika konteks dan
subjektivitas penafsir⁽²⁾. Pendekatan ini berupaya menjaga keseimbangan antara
otoritas teks dan peran aktif akal serta pengalaman manusia dalam memahami
pesan wahyu.
Di sisi lain, wacana
hermeneutika juga menghadapi kritik serius dari kalangan tradisionalis yang
mengkhawatirkan potensi relativisme makna, dekonstruksi otoritas teks, dan
penyimpangan dari maqām kesakralan wahyu⁽³⁾. Kritik tersebut menyoroti
pentingnya disiplin metodologis dan adab penafsiran yang berlandaskan pada
nilai-nilai normatif Islam. Dalam kerangka ini, muncul kebutuhan akan
pendekatan integratif yang tidak hanya mempertimbangkan kebutuhan kontemporer,
tetapi juga tetap berakar pada epistemologi Islam.
Relevansi
hermeneutika Islam di era kontemporer sangat signifikan, baik dalam konteks
pembacaan ulang ayat-ayat sensitif (seperti tentang gender, pluralisme, dan
kebebasan beragama), maupun dalam penguatan prinsip-prinsip etis dan humanistik
Al-Qur’an dalam kehidupan publik. Selain itu, hermeneutika Islam dapat menjadi
jembatan untuk membangun dialog antaragama, memperkuat pendidikan Islam yang
kritis, serta mendorong lahirnya tafsir yang lebih adil, inklusif, dan
kontekstual⁽⁴⁾.
Secara
epistemologis, hermeneutika Islam menegaskan bahwa pemahaman terhadap teks
tidak dapat dilepaskan dari horizon penafsir dan realitas sosialnya. Oleh
karena itu, pendekatan ini menuntut keterbukaan, kesadaran historis, dan
tanggung jawab etis yang tinggi dalam membaca wahyu. Ia bukan semata-mata
metode teknis, melainkan laku intelektual dan spiritual yang menyatukan akal,
hati, dan iman⁽⁵⁾.
Dengan demikian,
hermeneutika Islam merupakan tawaran metodologis sekaligus praksis untuk
merevitalisasi pemikiran Islam secara kreatif dan bertanggung jawab. Ia
bukanlah ancaman terhadap tradisi, tetapi peluang untuk memperkaya khazanah
tafsir agar lebih kontributif dalam menjawab tantangan zaman—tanpa melepaskan
akar normatifnya sebagai agama wahyu.
Footnotes
[1]
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An
Introduction to Sunni Usul al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press,
1997), 45–49.
[2]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 6–9; Nasr
Hamid Abu Zayd, Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical
Analysis (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006), 73–75; Mohammed
Arkoun, Rethinking Islam (Boulder: Westview Press, 1994), 20–23;
Abdulkarim Soroush, Reason, Freedom, and Democracy in Islam (Oxford:
Oxford University Press, 2000), 32–34.
[3]
Adian Husaini, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an (Jakarta:
Gema Insani, 2005), 44–48.
[4]
Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic
Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (Oxford:
Oneworld Publications, 1997), 102–106.
[5]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of
Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 12–15;
Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought
(London: Saqi Books, 2002), 131–133.
Daftar Pustaka
Abduh, M., & Rida, R. (1994). Tafsir
al-Manār (Vol. 1). Beirut: Dār al-Fikr.
Abu Zayd, N. H. (1990). Mafhūm al-Naṣṣ: Dirāsah
fī ʿUlūm al-Qurʾān. Casablanca: al-Markaz al-Thaqāfī al-ʿArabī.
Abu Zayd, N. H. (2004). Rethinking the Qur’an:
Towards a Humanistic Hermeneutics. Leiden: Brill.
Abu Zayd, N. H. (2006). Reformation of Islamic
Thought: A Critical Historical Analysis. Amsterdam: Amsterdam University
Press.
al-Albani, N. (1995). Silsilat al-Aḥādīth
al-Ṣaḥīḥah (Vol. 1). Riyadh: Maktabah al-Maʿārif.
al-Ghazālī, A. H. (2005). Jawāhir al-Qur’ān
(M. ʿAbd al-Salām, Ed.). Beirut: Dār al-Minhāj.
al-Ṭabarī, M. J. (2000). Jāmiʿ al-Bayān fī
Taʾwīl Āy al-Qurʾān (A. Shākir, Ed.). Kairo: Dār al-Maʿārif.
al-Zamakhsharī, M. A. (1995). al-Kashshāf ʿan
Ḥaqāʾiq al-Tanzīl (ʿA. R. al-Muʿallimī, Ed.). Beirut: Dār al-Kutub
al-ʿIlmiyyah.
Arkoun, M. (1994). Rethinking Islam: Common
Questions, Uncommon Answers (R. D. Lee, Trans.). Boulder: Westview Press.
Arkoun, M. (2002). The Unthought in Contemporary
Islamic Thought. London: Saqi Books.
Basalamah, A. R. (2015). Kritik terhadap
hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd. Jurnal Studi Islam, 3(2), 210–213.
Chittick, W. C. (1989). The Sufi Path of
Knowledge: Ibn al-ʿArabi’s Metaphysics of Imagination. Albany: State
University of New York Press.
Esack, F. (1997). Qur’an, Liberation and
Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against
Oppression. Oxford: Oneworld Publications.
Esposito, J. L., & Kalin, I. (Eds.). (2011). Islamophobia:
The Challenge of Pluralism in the 21st Century. New York: Oxford University
Press.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and Method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). New York: Continuum.
Hallaq, W. B. (1997). A History of Islamic Legal
Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh. Cambridge: Cambridge
University Press.
Hanafi, H. (1981). Religion, Ideology, and
Development. Cairo: General Egyptian Book Organization.
Husaini, A. (2005). Hermeneutika dan Tafsir
Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani.
Kamali, M. H. (2003). Principles of Islamic
Jurisprudence (3rd ed.). Cambridge: Islamic Texts Society.
Kamali, M. H. (2008). Maqasid al-Shariah Made
Simple. London: The International Institute of Islamic Thought.
Kamali, M. H. (2012). Maqasid al-Shariah,
Ijtihad and Civilisational Renewal. London: The International Institute of
Islamic Thought.
Palmer, R. E. (1969). Hermeneutics:
Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer.
Evanston: Northwestern University Press.
Rahman, F. (1982). Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago
Press.
Rahman, F. (2009). Major Themes of the Qur’an
(2nd ed.). Chicago: University of Chicago Press.
Ricoeur, P. (1976). Interpretation Theory:
Discourse and the Surplus of Meaning. Fort Worth: Texas Christian
University Press.
Sachedina, A. (2001). The Islamic Roots of
Democratic Pluralism. Oxford: Oxford University Press.
Schleiermacher, F. (1977). Hermeneutics: The
Handwritten Manuscripts (H. Kimmerle, Ed.; J. Duke & J. Forstman,
Trans.). Missoula: Scholars Press.
Shahrur, M. (1990). al-Kitāb wa al-Qur’ān:
Qirāʾah Muʿāṣirah. Damaskus: al-Ahālī.
Soroush, A. K. (2000). Reason, Freedom, and
Democracy in Islam: Essential Writings of Abdolkarim Soroush (M. Sadri
& A. Sadri, Eds.). Oxford: Oxford University Press.
Soroush, A. K. (2000). The evolution and devolution
of religious knowledge. Critique: Critical Middle Eastern Studies,
9(17), 57–70.
Syamsuddin, A. (2008). Hermeneutika dan studi
Islam: Tinjauan epistemologis. Afkar: Jurnal Akidah dan Pemikiran Islam,
9(1), 45–47.
Syamsuddin, A. (2017). Reaktualisasi nalar tafsir
dalam pendidikan tinggi Islam. Islamia: Jurnal Pemikiran Islam, 12(2),
15–18.
Wadud, A. (2006). Qur’an and Woman: Rereading
the Sacred Text from a Woman’s Perspective (2nd ed.). Oxford: Oxford
University Press.
Zamakhsharī, M. A. (n.d.). Tafsīr al-Kashshāf.
Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar