Socrates dalam Dialog-Dialog Plato
Eksplorasi Pemikiran, Metode, dan Kontribusi terhadap
Filsafat Barat
Abstrak
Artikel ini membahas secara
komprehensif representasi pemikiran, metode, dan kontribusi Socrates
sebagaimana ditampilkan dalam dialog-dialog Plato. Meskipun Socrates tidak
menulis karya filsafat sendiri, pemikirannya tetap lestari melalui karya Plato
yang menjadikannya tokoh sentral dalam berbagai dialog seperti Euthyphro,
Apology, Crito, Meno, Phaedo, Symposium,
Phaedrus, dan Republic. Kajian ini menelusuri perkembangan
tematik dan filosofis dalam dialog-dialog tersebut, dari permasalahan etika dan
epistemologi dalam periode awal hingga gagasan metafisika dan politik dalam
periode pertengahan dan akhir. Artikel ini juga menyoroti metode elenchus
dan maieutic Socrates sebagai fondasi dari pendekatan dialektis dalam
pencarian pengetahuan. Selain itu, dibahas pula relevansi pemikiran Socrates dalam
konteks kontemporer, khususnya dalam bidang etika eksistensial, pendidikan
kritis, hermeneutika, dan teori demokrasi deliberatif. Melalui pendekatan
historis-filosofis yang mendalam dan didukung oleh referensi akademik yang
kredibel, artikel ini menunjukkan bahwa warisan Socrates tidak hanya membentuk
filsafat Barat secara fundamental, tetapi juga terus mengilhami diskursus
filosofis hingga masa kini.
Kata Kunci: Socrates, Plato, dialog filosofis,
elenchus, maieutic, etika, metafisika, filsafat kontemporer, pendidikan kritis,
hermeneutika.
PEMBAHASAN
Socrates dalam Dialog-Dialog Plato
1.
Pendahuluan
Socrates merupakan salah satu
tokoh paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Barat, meskipun ia sendiri
tidak meninggalkan karya tulis apa pun. Pemikiran dan metode filosofisnya
dikenal terutama melalui tulisan para muridnya, khususnya Plato, yang
menjadikan Socrates sebagai tokoh utama dalam sebagian besar dialog
filsafatnya. Oleh karena itu, untuk memahami pemikiran Socrates, para filsuf
dan sejarawan filsafat banyak bergantung pada interpretasi yang diberikan oleh
Plato dalam dialog-dialognya seperti Euthyphro, Apology, Crito,
Meno, dan Phaedo.¹
Plato tidak hanya
menyampaikan argumen-argumen filosofis Socrates, tetapi juga mempersembahkan
gaya penyampaian unik melalui bentuk dialog yang menggambarkan karakter,
suasana, dan alur pemikiran yang hidup. Metode ini tidak hanya merekam isi
pemikiran, melainkan juga menghidupkan proses filsafat sebagai pencarian yang
dinamis dan reflektif.² Dalam konteks ini, perbedaan antara “Socrates
historis” dan “Socrates Platonik” menjadi penting. Socrates historis
dipahami sebagai tokoh nyata yang hidup di Athena abad ke-5 SM dan
mempraktikkan filsafat melalui tanya jawab di ruang publik, sementara Socrates
Platonik adalah representasi sastra dan filosofis yang dikembangkan oleh Plato
untuk mengekspresikan ide-idenya sendiri.³
Dialog-dialog Plato tidak
hanya berfungsi sebagai media dokumentasi pemikiran Socrates, tetapi juga
sebagai perangkat filosofis yang memungkinkan eksplorasi konsep-konsep mendalam
seperti kesalehan, kebajikan, keadilan, dan keabadian jiwa. Misalnya, Apology
menampilkan pembelaan diri Socrates dalam pengadilan yang menekankan pentingnya
misi filosofisnya sebagai panggilan ilahi, sedangkan Phaedo menjelajahi
argumen-argumen metafisik mengenai keberadaan jiwa setelah kematian.⁴ Dengan
demikian, dialog-dialog ini menjadi warisan intelektual yang membentuk dasar
dari banyak cabang filsafat, termasuk etika, epistemologi, dan metafisika.
Dalam artikel ini, akan
dikaji secara sistematis bagaimana Socrates ditampilkan dalam karya-karya
Plato, baik dari sisi tematik maupun metodologis, serta bagaimana pengaruhnya
membentuk struktur utama pemikiran filsafat Barat. Kajian ini juga akan
menyoroti metode Socrates yang khas—yakni elenchus dan maieutika—serta
kontribusinya dalam perkembangan tradisi rasional, dialogis, dan etis dalam
wacana filosofis hingga masa kontemporer.
Catatan Kaki
[1]
Thomas C. Brickhouse and Nicholas D. Smith, Plato’s Socrates
(Oxford: Oxford University Press, 1994), 3–5.
[2]
Francisco J. Gonzalez, Dialectic and Dialogue: Plato’s Practice of
Philosophical Inquiry (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1998),
18–21.
[3]
Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher
(Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 45–48.
[4]
Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford:
Oxford University Press, 1981), 6–8.
2.
Socrates
dalam Tradisi Dialogis Plato
Salah satu warisan terbesar
Plato bagi sejarah filsafat adalah pemakaian bentuk dialog sebagai medium utama
penyampaian ide-ide filosofis. Dalam hampir seluruh dialognya, Plato
menampilkan tokoh Socrates sebagai figur sentral yang memandu diskusi,
menantang pendapat lawan bicaranya, dan menggali kebenaran melalui serangkaian
pertanyaan yang tajam dan reflektif. Bentuk dialog ini tidak hanya merupakan
pilihan estetis, melainkan juga merupakan ekspresi metodologis yang
mencerminkan esensi dari praktik filosofis Socrates sendiri: filsafat sebagai
kegiatan dialektis dan dialogis.¹
Dialog dalam karya Plato
bukan sekadar wadah penyampaian gagasan, melainkan juga merupakan bagian
integral dari cara berpikir filosofis yang ia wariskan. Melalui dialog, pembaca
tidak disuguhi doktrin yang dogmatis, melainkan diundang untuk turut serta
dalam proses pencarian kebenaran. Metode ini sejalan dengan apa yang oleh
Socrates disebut sebagai elenchus, yakni teknik pengujian konseptual
melalui serangkaian pertanyaan yang mengarahkan lawan bicara pada kesadaran
akan ketidaktahuannya.² Karenanya, bentuk dialog tidak hanya mendramatisasi
pencarian kebenaran, tetapi juga menempatkan pembaca dalam posisi aktif untuk
terlibat dalam proses tersebut.
Keputusan Plato untuk
menjadikan Socrates sebagai tokoh utama dalam dialog-dialognya mengundang
perdebatan tentang sejauh mana yang ditampilkan adalah pemikiran Socrates yang
historis atau konstruksi filosofis Plato sendiri. Banyak sarjana membedakan antara
Socrates historis (historical Socrates) dan Socrates Platonik
(Platonic Socrates).³ Socrates historis dikenal terutama melalui kesaksian
Xenophon, Aristophanes, dan terutama Plato sendiri; namun, karena Plato
memiliki agenda filosofis yang berkembang, sebagian kalangan menganggap bahwa
dalam dialog-dialog pertengahan dan akhir (seperti Republic atau Phaedo),
Plato sudah lebih banyak menampilkan pemikirannya sendiri ketimbang sekadar
mewakili sang guru.⁴
Meski demikian, tidak dapat
disangkal bahwa figur Socrates dalam dialog-dialog Plato memiliki daya tarik
yang luar biasa. Ia digambarkan sebagai sosok yang rendah hati namun tajam,
tidak mengklaim pengetahuan tetapi menggugat anggapan orang lain dengan logika
dan ironi yang mendalam. Socrates dalam dialog Plato bukanlah seorang guru yang
mengajarkan dogma, melainkan fasilitator intelektual yang membangkitkan
kesadaran dan refleksi.⁵ Bentuk ini menjadikan dialog bukan hanya sebagai alat
pedagogis, tetapi juga sebagai ekspresi epistemologis—bahwa pengetahuan sejati
bukanlah hasil indoktrinasi, melainkan buah dari pertanyaan, kritik, dan dialog
yang terus-menerus.
Secara umum, tradisi dialogis
Plato, dengan tokoh sentral Socrates, memberikan warisan metodologis yang
penting bagi perkembangan filsafat Barat: bahwa filsafat bukanlah kumpulan
kesimpulan, melainkan praktik yang terbuka terhadap keraguan, keberagaman
pendapat, dan pencarian kebenaran melalui akal dan komunikasi.
Catatan Kaki
[1]
Francisco J. Gonzalez, Dialectic and Dialogue: Plato’s Practice of
Philosophical Inquiry (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1998),
1–3.
[2]
Hugh H. Benson, Socratic Wisdom: The Model of Knowledge in Plato's
Early Dialogues (Oxford: Oxford University Press, 2000), 11–15.
[3]
Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher
(Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 45–50.
[4]
Thomas C. Brickhouse and Nicholas D. Smith, Plato’s Socrates
(Oxford: Oxford University Press, 1994), 7–10.
[5]
Charles H. Kahn, Plato and the Socratic Dialogue: The Philosophical
Use of a Literary Form (Cambridge: Cambridge University Press, 1996),
73–75.
3.
Analisis
Tematik terhadap Dialog-Dialog Awal
Dialog-dialog awal Plato yang
menampilkan tokoh Socrates secara umum dianggap sebagai representasi paling
otentik dari pemikiran dan metode Socrates historis.¹ Dalam dialog-dialog ini,
Socrates tampak lebih fokus pada penyelidikan moral dan konsep etika
sehari-hari, menggunakan metode elenchus untuk menguji keyakinan para tokohnya.
Tema-tema yang diangkat bersifat fundamental namun menantang, seperti definisi
kesalehan, kebajikan, pengetahuan, dan tanggung jawab hukum. Empat dialog utama
yang termasuk dalam periode awal ini adalah Euthyphro, Apology,
Crito, dan Meno. Masing-masing memberikan kontribusi penting
terhadap pemahaman kita akan karakter filosofis dan metodologis Socrates.
3.1.
Euthyphro: Kesalehan dan Dilema Etika
Dalam Euthyphro,
Socrates mendiskusikan makna “kesalehan” (ὅσιος) dengan seorang pemuda
bernama Euthyphro yang hendak menuntut ayahnya atas tindakan yang dianggap
tidak saleh. Socrates, dengan metode elenchus-nya, menggugat definisi-definisi
yang diberikan Euthyphro, terutama mengenai apakah sesuatu itu saleh karena
dicintai para dewa atau dicintai para dewa karena saleh.² Dilema ini menyoroti
ketegangan antara etika teonom dan otonom, serta mengundang refleksi mendalam
tentang dasar moralitas.
"Apakah yang saleh
dicintai para dewa karena saleh, ataukah sesuatu menjadi saleh karena dicintai
para dewa?" adalah salah satu kutipan paling terkenal yang menjadi
dasar bagi debat panjang dalam etika normatif.³
3.2.
Apology: Misi Filosofis dan Integritas Moral
Apology menyajikan
pidato pembelaan Socrates dalam pengadilan Athena saat ia dituduh merusak
akhlak pemuda dan tidak mengakui dewa-dewa kota. Dalam pembelaannya, Socrates
menegaskan bahwa misinya adalah menjalankan perintah ilahi untuk menguji manusia
dan membangkitkan kesadaran akan ketidaktahuan mereka. Ia menolak permintaan
untuk berhenti berfilsafat meskipun itu akan menyelamatkan hidupnya.⁴
Pidato ini mencerminkan
integritas moral dan komitmen Socrates terhadap kebenaran dan kehidupan
filosofis. Ia menyatakan, “the unexamined life is not worth living”
sebagai prinsip etika dan eksistensial yang menggema hingga kini.⁵
3.3.
Crito: Keadilan, Hukum, dan Tanggung Jawab
Sosial
Dalam Crito,
Socrates dikunjungi oleh sahabatnya Crito yang mengajaknya melarikan diri dari
penjara. Dialog ini mengeksplorasi dilema antara kewajiban moral terhadap diri
sendiri dan ketaatan terhadap hukum negara. Socrates berargumen bahwa melanggar
hukum akan merusak tatanan masyarakat dan keadilan itu sendiri, meskipun hukum
tersebut menjatuhkan vonis yang tidak adil kepadanya.⁶
Di sini Socrates
memperkenalkan prinsip kontrak sosial secara implisit—bahwa seseorang yang
telah menerima manfaat dari suatu negara terikat untuk tunduk pada
hukum-hukumnya.⁷ Argumentasi ini menjadi landasan awal bagi teori keadilan dan
kewarganegaraan dalam filsafat politik Barat.
3.4.
Meno: Kebajikan, Pengetahuan, dan Reinkarnasi
Epistemik
Meno adalah dialog
yang membahas apakah kebajikan (ἀρετή) dapat diajarkan. Dalam prosesnya,
Socrates mengembangkan beberapa gagasan penting seperti teori reminiscence
(anamnesis), yaitu bahwa jiwa manusia telah mengetahui kebenaran sebelumnya dan
hanya perlu “mengingatnya” kembali melalui proses filosofis.⁸
Socrates juga
mendemonstrasikan metode pengujian pengetahuan melalui interaksi dengan seorang
budak yang berhasil membuktikan teorema geometri sederhana, meskipun ia tidak
pernah mempelajarinya sebelumnya.⁹ Ini menjadi fondasi dari pemikiran
epistemologis dalam tradisi rasionalisme, sekaligus menunjukkan keterkaitan
antara filsafat, pendidikan, dan pembentukan kebajikan.
Secara keseluruhan,
dialog-dialog awal Plato memperlihatkan ciri khas Socrates sebagai filsuf yang
menolak jawaban dogmatis, menggugat konsensus sosial, dan menekankan pentingnya
penyelidikan moral melalui dialog. Ia bukan hanya seorang pengajar, tetapi
seorang penggugah kesadaran, yang meyakini bahwa kehidupan yang bermakna hanya
bisa dicapai melalui pencarian kebenaran yang tak henti-henti.
Catatan Kaki
[1]
Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher
(Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 46–49.
[2]
Plato, Euthyphro, in Plato: Complete Works, ed. John
M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 10a–11b.
[3]
Mark L. McPherran, The Religion of Socrates (University Park,
PA: Pennsylvania State University Press, 1996), 120–125.
[4]
Plato, Apology, in Plato: Complete Works, ed. John M.
Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 20c–30c.
[5]
Ibid., 38a.
[6]
Plato, Crito, in Plato: Complete Works, ed. John M.
Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 50a–54d.
[7]
Richard Kraut, Socrates and the State (Princeton: Princeton
University Press, 1984), 58–60.
[8]
Plato, Meno, in Plato: Complete Works, ed. John M.
Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 81a–86c.
[9]
Dominic Scott, Plato’s Meno (Cambridge: Cambridge University
Press, 2006), 65–68.
4.
Konsep
Metafisik dan Etika dalam Dialog Pertengahan dan Akhir
Dialog-dialog pertengahan dan
akhir dalam karya Plato menunjukkan perkembangan signifikan dalam kompleksitas
tema dan kedalaman spekulasi metafisik. Meskipun Socrates masih menjadi tokoh
utama dalam sebagian besar karya ini, para filsuf umumnya sepakat bahwa suara
filosofis Plato mulai mendominasi dalam penyajian konsep-konsep besar seperti
bentuk ideal (eidos), keabadian jiwa, cinta ilahi, dan struktur negara
yang adil.¹ Dalam dialog seperti Phaedo, Phaedrus, Symposium,
dan Republic, gagasan metafisik dan etika saling berkaitan erat,
menunjukkan transisi dari metode elenchus menuju upaya sistematis untuk
membangun teori-teori filosofis yang koheren.
4.1.
Phaedo: Keabadian Jiwa dan Dunia Bentuk
Phaedo merupakan
salah satu dialog paling penting dalam periode pertengahan Plato, di mana ia
menampilkan percakapan terakhir Socrates menjelang eksekusinya. Dialog ini
menggambarkan diskusi tentang keabadian jiwa dan hubungan antara dunia
inderawi dengan dunia bentuk (Forms). Socrates, dalam pembicaraan
dengan murid-muridnya, mengemukakan bahwa jiwa tidak hanya eksis setelah
kematian, tetapi juga memiliki pengetahuan bawaan yang berasal dari dunia
bentuk—suatu ranah metafisik yang kekal dan tidak berubah.²
Gagasan ini memperlihatkan
hubungan antara epistemologi dan metafisika dalam pemikiran Platonik:
pengetahuan sejati tidak diperoleh melalui pengalaman indrawi, melainkan
melalui pengingatan (anamnesis) akan bentuk-bentuk yang telah dilihat
jiwa sebelum inkarnasi.³ Dengan demikian, etika kehidupan filosofis menjadi
jalan untuk memurnikan jiwa agar dapat kembali pada kebenaran abadi.⁴
4.2.
Phaedrus: Jiwa, Cinta, dan Transendensi
Dalam Phaedrus,
Plato mengeksplorasi hubungan antara cinta (eros), jiwa, dan
keabadian. Di sini, Socrates menggambarkan struktur jiwa sebagai kereta
bersayap yang ditarik oleh dua kuda: satu mulia dan jinak (representasi rasio),
satu liar dan penuh nafsu (representasi keinginan).⁵ Cinta yang sejati
mendorong jiwa untuk “mengingat” bentuk keindahan yang pernah dilihatnya
di dunia bentuk, dan karena itu memiliki fungsi transendental dan etis.
Cinta, dalam pengertian ini,
bukan sekadar hasrat emosional, tetapi dorongan ilahi untuk mendekati kebaikan
dan kebenaran.⁶ Socrates menekankan bahwa melalui relasi yang diarahkan oleh
cinta filosofis, manusia dapat mencapai kondisi ekstase spiritual dan
memurnikan jiwanya dari keterikatan duniawi.
4.3.
Symposium: Dialektika Cinta dan Tangga Menuju
Bentuk Tertinggi
Symposium membangun
konsep cinta sebagai proses dialektis yang mengantarkan jiwa dari ketertarikan
pada tubuh fisik menuju penghargaan terhadap keindahan rohani, akhirnya
mencapai kontemplasi terhadap “Bentuk Keindahan” itu sendiri.⁷ Dalam
pidato Socrates yang mengutip Diotima, cinta dipahami sebagai “daimon”
atau perantara antara manusia dan dewa, yang menggerakkan jiwa untuk melampaui
dunia fana.
Model tangga cinta
Diotima menggambarkan tahapan-tahapan spiritual dari cinta individual ke cinta
universal, dari yang konkret ke yang abstrak, dari yang fana ke yang abadi.⁸
Konsep ini memperkuat penggambaran Socrates sebagai pencari kebenaran yang
tidak puas dengan permukaan, tetapi selalu mendaki menuju yang absolut dan
hakiki.
4.4.
Republic: Jiwa, Keadilan, dan Negara Ideal
Dalam Republic,
Plato menggunakan tokoh Socrates untuk membangun model negara ideal yang
merefleksikan struktur internal jiwa manusia. Jiwa manusia terdiri dari tiga
bagian: rasional, emosional, dan keinginan, dan ketiganya harus berada dalam
harmoni agar seseorang menjadi adil.⁹ Negara ideal juga dibagi ke dalam tiga
kelas: filsuf-pemimpin (rasio), penjaga (keberanian), dan produsen (keinginan),
masing-masing mencerminkan struktur jiwa.
Keadilan, baik dalam jiwa
maupun negara, dipahami sebagai keteraturan yang memungkinkan setiap elemen
menjalankan fungsinya tanpa mengganggu yang lain.¹⁰ Dengan demikian, etika dan
politik dalam Republic tidak terpisah dari metafisika, melainkan
merupakan manifestasi konkret dari tatanan kosmis dan rasional yang digambarkan
Plato melalui Socrates.
Dialog-dialog pertengahan dan
akhir Plato menunjukkan perkembangan dari dialog aporetik yang menggugat
definisi, menuju konstruksi metafisika dan etika yang integral dan sistematis.
Sosok Socrates dalam dialog ini bukan hanya pemantik pemikiran, tetapi juga
pengemban ide-ide filosofis yang menjangkau jauh melampaui zamannya—menjadi
dasar bagi tradisi filsafat rasionalisme, idealisme, dan humanisme di Barat.
Catatan Kaki
[1]
Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher
(Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 71–75.
[2]
Plato, Phaedo, in Plato: Complete Works, ed. John M.
Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 70a–84b.
[3]
Dominic Scott, Plato’s Meno (Cambridge: Cambridge University
Press, 2006), 86–88.
[4]
Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford:
Oxford University Press, 1981), 29–31.
[5]
Plato, Phaedrus, in Plato: Complete Works, ed. John
M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 246a–249d.
[6]
Charles H. Kahn, Plato and the Socratic Dialogue: The Philosophical
Use of a Literary Form (Cambridge: Cambridge University Press, 1996),
210–212.
[7]
Plato, Symposium, in Plato: Complete Works, ed. John
M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 201d–212b.
[8]
Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness (Cambridge:
Cambridge University Press, 1986), 177–180.
[9]
Plato, Republic, in Plato: Complete Works, ed. John
M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), Book IV, 435b–441c.
[10]
Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic, 147–151.
5.
Metode
Socrates: Elenchus dan Maieutic
Salah satu kontribusi paling
khas Socrates dalam tradisi filsafat Barat adalah pengembangan metode bertanya
yang khas, yang dikenal sebagai elenchus dan maieutic. Metode
ini bukan hanya teknik argumen, melainkan juga pendekatan pedagogis dan
epistemologis yang menekankan pentingnya pengujian diri, pengakuan atas
ketidaktahuan, dan pencarian kebenaran melalui dialog.¹ Melalui metode ini,
Socrates memposisikan dirinya bukan sebagai pengajar yang mengklaim
pengetahuan, tetapi sebagai mitra dialog yang menuntun lawan bicaranya untuk
menemukan pengetahuan secara mandiri.
5.1.
Elenchus: Pengujian Konseptual dan Kesadaran
atas Ketidaktahuan
Istilah elenchus (ἔλεγχος)
dalam konteks Socrates merujuk pada bentuk pengujian silang terhadap klaim atau
keyakinan seseorang melalui serangkaian pertanyaan logis.² Tujuan utama metode
ini bukan sekadar membantah lawan bicara, melainkan mengungkapkan
ketidakkonsistenan dalam cara berpikir dan memperlihatkan bahwa pengetahuan
yang diyakini sering kali bersifat dangkal atau tidak berdasar.
Dialog-dialog seperti Euthyphro,
Laches, dan Charmides memperlihatkan bagaimana Socrates
menantang lawan bicaranya untuk mendefinisikan konsep-konsep seperti kesalehan,
keberanian, atau kesopanan, dan kemudian menunjukkan kontradiksi internal dalam
definisi yang mereka berikan.³ Hasil dari proses ini biasanya bersifat aporetik—yakni
tidak menghasilkan kesimpulan final—namun menghasilkan bentuk pencerahan
kritis: pengakuan atas ketidaktahuan sebagai awal dari filsafat sejati.⁴
Gregory Vlastos menyebut
metode elenchus sebagai suatu bentuk “uji konsistensi internal,” yang
menilai apakah seseorang benar-benar memahami apa yang mereka percayai.⁵ Metode
ini tidak hanya menunjukkan kelemahan pengetahuan semu, tetapi juga menanamkan
kebiasaan berpikir reflektif dan logis, yang menjadi fondasi etika intelektual
dalam filsafat.
5.2.
Maieutic: “Kebidanan Intelektual” dan Penemuan
Pengetahuan
Selain elenchus, Socrates
juga menggambarkan dirinya sebagai “bidan” yang membantu kelahiran ide
dari dalam diri murid-muridnya—sebuah pendekatan yang ia sebut sebagai maieutic
(μαιευτική).⁶ Dalam Theaetetus, Socrates menegaskan bahwa sebagaimana
ibunya adalah bidan bagi tubuh, ia adalah bidan bagi jiwa: membantu orang lain
“melahirkan” kebenaran melalui proses dialog, bukan dengan mentransfer
pengetahuan dari luar.
Metode maieutic mengandaikan
bahwa kebenaran sudah terkandung dalam jiwa manusia, dan tugas filsuf adalah
membimbing proses artikulasinya.⁷ Ini sejalan dengan teori anamnesis
dalam Meno dan Phaedo, yang menyatakan bahwa pengetahuan
sejati bukan diperoleh, melainkan diingat kembali. Dalam konteks ini, peran
Socrates sebagai fasilitator sangat menonjol—ia tidak menggurui, tetapi
menggugah dan memandu pencarian makna yang otentik.
Maieutika juga
merepresentasikan etika dialog yang inklusif: mengakui potensi kognitif setiap
manusia dan menolak otoritarianisme dalam pendidikan.⁸ Socrates menekankan
bahwa proses berpikir kritis dan kejujuran intelektual jauh lebih penting
daripada mencapai kesimpulan tunggal. Dalam pengertian ini, filsafat bukan
sekadar sistem pengetahuan, melainkan praktik kebijaksanaan.
Metode Socrates, sebagaimana
tercermin dalam elenchus dan maieutic, telah memberikan
kontribusi yang mendalam terhadap perkembangan epistemologi, etika diskursif,
dan pedagogi filosofis. Ia membentuk paradigma filsafat sebagai kegiatan
terbuka yang menghargai pertanyaan, keberanian intelektual, dan kerendahan
hati. Metode ini terus menginspirasi praktik pendidikan kritis dan dialogis
dalam berbagai tradisi filsafat hingga masa kini.
Catatan Kaki
[1]
Hugh H. Benson, Socratic Wisdom: The Model of Knowledge in Plato’s
Early Dialogues (Oxford: Oxford University Press, 2000), 12–16.
[2]
Richard Robinson, Plato’s Earlier Dialectic (Oxford: Clarendon
Press, 1953), 7–10.
[3]
Plato, Euthyphro and Laches, in Plato: Complete
Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997).
[4]
Terence Irwin, Plato’s Ethics (Oxford: Oxford University
Press, 1995), 49–53.
[5]
Gregory Vlastos, “The Socratic Elenchus,” in Socratic Studies
(Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 1–37.
[6]
Plato, Theaetetus, in Plato: Complete Works, ed. John
M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 150b–151d.
[7]
Dominic Scott, Plato’s Meno (Cambridge: Cambridge University
Press, 2006), 74–76.
[8]
Martha C. Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of
Reform in Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1997), 20–23.
6.
Relevansi
Pemikiran Socrates bagi Filsafat Kontemporer
Pemikiran dan metode Socrates
yang terekam dalam dialog-dialog Plato tetap memainkan peranan yang luar biasa
penting dalam wacana filsafat kontemporer. Meskipun ia hidup lebih dari dua
milenium yang lalu, prinsip-prinsip dasar yang diusung Socrates—seperti
pencarian kebenaran melalui dialog, pengakuan atas ketidaktahuan, dan komitmen
terhadap kehidupan yang diperiksa secara kritis—terus membentuk dan menantang
kerangka filsafat modern dan postmodern.
6.1.
Etika Eksistensial dan Kehidupan yang Diperiksa
Salah satu warisan
intelektual paling terkenal dari Socrates adalah pernyataannya bahwa “the
unexamined life is not worth living” (βίος ἀνεξέταστος οὐ βιωτὸς
ἀνθρώπῳ).¹ Gagasan ini telah menjadi batu pijakan bagi berbagai arus pemikiran
etika eksistensial dalam filsafat abad ke-20, terutama dalam karya-karya
Jean-Paul Sartre dan Albert Camus yang menekankan tanggung jawab individu
terhadap makna hidupnya.² Socrates menjadi figur model bagi filsuf yang melihat
filsafat bukan hanya sebagai teori, tetapi sebagai cara hidup yang otentik,
penuh refleksi, dan terbuka terhadap kritik diri.
6.2.
Kontribusi terhadap Metode Dialektis dan
Hermeneutika
Metode elenchus Socrates
telah memberikan inspirasi penting bagi pengembangan metode dialektika dalam
tradisi Hegelian dan hermeneutika filosofis kontemporer.³ Hans-Georg Gadamer,
dalam karya monumentalnya Truth and Method, menempatkan dialog
Socrates sebagai contoh awal dari pemahaman hermeneutik yang otentik—yakni
bahwa pengertian berkembang bukan melalui penerimaan otoritatif atas kebenaran,
tetapi melalui proses tanya-jawab yang melibatkan partisipasi aktif dari setiap
subjek.⁴
Dalam pendidikan dan etika
diskursif kontemporer, tokoh seperti Jürgen Habermas mengadopsi semangat
Socrates dalam teorinya tentang tindakan komunikatif, di mana konsensus
rasional dicapai melalui dialog terbuka dan tanpa paksaan.⁵ Dengan demikian,
metode Socrates berkontribusi pada gagasan masyarakat deliberatif yang
demokratis dan rasional.
6.3.
Pendidikan Kritis dan Transformasi Pedagogis
Pemikiran Socrates juga
sangat berpengaruh dalam filsafat pendidikan, terutama dalam gagasan critical
pedagogy sebagaimana dikembangkan oleh Paulo Freire.⁶ Freire mengadopsi
semangat maieutic Socrates dalam Pedagogy of the Oppressed,
di mana pendidikan dilihat bukan sebagai transmisi pengetahuan satu arah,
tetapi sebagai proses dialogis yang membangkitkan kesadaran kritis (conscientization).
Guru dalam model ini bukanlah sumber otoritatif pengetahuan, melainkan mitra
dialog yang membimbing pembelajar untuk menemukan kebenaran secara mandiri.
Model pendidikan yang berakar
pada metode Socrates kini diterapkan secara luas dalam program pendidikan
liberal arts, pelatihan kepemimpinan reflektif, dan pendekatan inquiry-based
learning.⁷ Hal ini membuktikan bahwa filosofi pengajaran Socrates masih
sangat relevan dalam konteks global yang menuntut kemampuan berpikir kritis,
kolaboratif, dan etis.
6.4.
Relevansi Sosial dan Politik dalam Era
Demokrasi dan Krisis Kebenaran
Dalam konteks sosial-politik,
Socrates dapat dibaca sebagai simbol keberanian intelektual yang menolak tunduk
pada tekanan mayoritas dan tetap setia pada nurani dan akal. Dalam era
post-truth dan meningkatnya polarisasi wacana publik, metode dialogis dan
komitmen etis Socrates menjadi sangat penting untuk memulihkan rasionalitas
dalam ruang publik.⁸
Socrates menunjukkan bahwa
filsuf sejati tidak hanya berpikir dalam isolasi akademik, tetapi juga terlibat
secara aktif dalam masyarakat, bahkan jika itu berarti menghadapi konsekuensi
yang fatal. Komitmennya terhadap kebenaran dan keadilan, meskipun berhadapan
dengan risiko kematian, menjadikannya contoh abadi tentang integritas moral
dalam kehidupan publik.
Dengan demikian, pemikiran
Socrates melampaui konteks sejarahnya dan tetap menjadi sumber inspirasi dalam
bidang etika, epistemologi, hermeneutika, pendidikan, dan politik. Ia bukan
hanya pendiri filsafat Barat, tetapi juga seorang archetype dari
pencari kebijaksanaan sejati—yang terus menantang generasi demi generasi untuk
hidup dengan lebih jujur, lebih rasional, dan lebih manusiawi.
Catatan Kaki
[1]
Plato, Apology, in Plato: Complete Works, ed. John M.
Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 38a.
[2]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 18–21.
[3]
Richard J. Bernstein, Beyond Objectivism and Relativism: Science,
Hermeneutics, and Praxis (Philadelphia: University of Pennsylvania Press,
1983), 150–155.
[4]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 360–364.
[5]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 17–19.
[6]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 66–67.
[7]
Nel Noddings, Philosophy of Education (Boulder, CO: Westview
Press, 2012), 45–48.
[8]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 24–27.
7.
Penutup
Socrates adalah figur sentral
dalam sejarah filsafat yang terus hidup dalam teks, gagasan, dan metode,
terutama melalui karya-karya Plato. Meskipun ia tidak meninggalkan karya tulis,
pengaruhnya sangat besar karena Plato menghadirkan kembali kehidupan dan pemikirannya
dalam bentuk dialog filosofis yang dinamis, reflektif, dan terbuka terhadap
pertanyaan.¹ Dialog-dialog ini tidak hanya menjadi saksi atas pemikiran etis
dan metafisik Socrates, tetapi juga memperlihatkan praktik filosofis sebagai
suatu gaya hidup yang ditandai oleh pencarian makna, kebijaksanaan, dan
keberanian intelektual.
Pembahasan dalam artikel ini
menunjukkan bahwa kontribusi Socrates meliputi berbagai bidang utama dalam
filsafat: dari epistemologi dan etika hingga metafisika dan pendidikan.² Dalam
dialog awal seperti Euthyphro, Apology, Crito, dan Meno,
Socrates tampil sebagai penggugat moralitas sosial dan penguji
ketidakkonsistenan logis melalui metode elenchus.³ Sementara dalam
dialog pertengahan dan akhir seperti Phaedo, Symposium, dan Republic,
tampak perluasan cakupan pemikirannya menuju metafisika tentang jiwa, bentuk
ideal, dan negara adil, yang meskipun lebih kental nuansa Platoniknya, tetap
menampilkan roh dan prinsip-prinsip Socratis.⁴
Metode elenchus dan maieutic
yang digunakan Socrates membentuk dasar pendekatan filsafat sebagai upaya
dialektis dan dialogis, bukan hanya pengumpulan pengetahuan, tetapi
transformasi diri.⁵ Gagasan bahwa kebenaran harus digali, bukan diajarkan
secara dogmatis, menjadi prinsip pedagogis yang masih sangat relevan dalam
pendidikan kritis dan demokratis masa kini.⁶ Begitu pula, komitmennya terhadap
“kehidupan yang diperiksa” (the examined life) menjadikan
filsafat bukan sekadar disiplin akademik, tetapi jalan hidup yang membimbing
manusia untuk hidup secara lebih jujur, bertanggung jawab, dan sadar akan
keterbatasan dirinya.⁷
Dalam era modern dan
kontemporer, pemikiran Socrates terus menjadi inspirasi bagi filsuf
eksistensialis, hermeneut, pendidik progresif, dan pembela demokrasi
deliberatif.⁸ Ia adalah ikon keberanian intelektual, simbol integritas moral,
dan model dari filsuf sejati yang bersedia mati demi prinsip-prinsipnya. Oleh
karena itu, penggalian terhadap dialog-dialog Plato yang menampilkan Socrates
bukan hanya merupakan usaha historis, melainkan juga merupakan upaya filosofis
untuk terus memperbaharui peran filsafat dalam kehidupan manusia.
Dengan demikian, Socrates
bukan sekadar pendiri filsafat Barat secara historis, tetapi juga fondasi yang
terus menopang dan menantang filsafat di setiap zaman. Dialognya yang tidak
berkesudahan dengan dunia menjadi undangan abadi untuk berpikir, bertanya, dan
menjadi manusia yang lebih bijak.
Catatan Kaki
[1]
Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher
(Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 2–5.
[2]
Hugh H. Benson, Socratic Wisdom: The Model of Knowledge in Plato’s
Early Dialogues (Oxford: Oxford University Press, 2000), 9–11.
[3]
Plato, Euthyphro, Apology, Crito, Meno, in Plato: Complete
Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997).
[4]
Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford:
Oxford University Press, 1981), 44–48.
[5]
Francisco J. Gonzalez, Dialectic and Dialogue: Plato’s Practice of
Philosophical Inquiry (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1998),
19–22.
[6]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 71–73.
[7]
Plato, Apology, in Plato: Complete Works, ed. John M.
Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 38a.
[8]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 15–19.
Daftar Pustaka
Annas, J. (1981). An
introduction to Plato’s Republic. Oxford University Press.
Bernstein, R. J. (1983). Beyond
objectivism and relativism: Science, hermeneutics, and praxis. University
of Pennsylvania Press.
Benson, H. H. (2000). Socratic
wisdom: The model of knowledge in Plato’s early dialogues. Oxford
University Press.
Brickhouse, T. C., &
Smith, N. D. (1994). Plato’s Socrates. Oxford University Press.
Freire, P. (2000). Pedagogy
of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum. (Original work
published 1970)
Gadamer, H.-G. (2004). Truth
and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.
(Original work published 1960)
Gonzalez, F. J. (1998). Dialectic
and dialogue: Plato’s practice of philosophical inquiry. Northwestern
University Press.
Habermas, J. (1984). The
theory of communicative action: Reason and the rationalization of society (Vol.
1) (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.
Irwin, T. (1995). Plato’s
ethics. Oxford University Press.
Kahn, C. H. (1996). Plato
and the Socratic dialogue: The philosophical use of a literary form.
Cambridge University Press.
McPherran, M. L. (1996). The
religion of Socrates. Pennsylvania State University Press.
Noddings, N. (2012). Philosophy
of education (3rd ed.). Westview Press.
Nussbaum, M. C. (1986). The
fragility of goodness: Luck and ethics in Greek tragedy and philosophy.
Cambridge University Press.
Nussbaum, M. C. (2010). Not
for profit: Why democracy needs the humanities. Princeton University
Press.
Plato. (1997). Plato:
Complete works (J. M. Cooper, Ed.). Hackett Publishing.
Robinson, R. (1953). Plato’s
earlier dialectic. Clarendon Press.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism
is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press. (Original work
published 1946)
Scott, D. (2006). Plato’s
Meno. Cambridge University Press.
Vlastos, G. (1991). Socrates:
Ironist and moral philosopher. Cornell University Press.
Vlastos, G. (1994). Socratic
studies. Cambridge University Press.
Lampiran:
Tentang Dialog Socrates
Sokrates dikenal dengan
dialog-dialog filosofisnya, yang sebagian besar ditulis oleh
Plato. Beberapa dialog yang paling terkenal dan penting termasuk Euthyphro,
Apology, Crito, Meno, dan Phaedo. Dialog-dialog
ini sering digunakan untuk mempelajari pemikiran dan metode Socrates, serta
untuk memahami konsep-konsep penting dalam filsafat Plato.
Selain dialog-dialog di atas,
Plato juga menulis banyak dialog lain yang menampilkan Socrates sebagai tokoh
utama, seperti Phaedrus, Symposium, dan Republic. Melalui dialog-dialog
ini, Plato membahas berbagai topik, termasuk sifat kebajikan, keabadian jiwa,
dan hakikat kesalehan.
Beberapa dialog Socrates yang
terkenal:
·
Euthyphro: Menjelajahi
definisi kesalehan.
·
Apology: Menjelaskan
pertahanan Socrates dalam persidangan dan keyakinan akan misinya.
·
Crito: Menjelaskan
pilihan Socrates untuk tinggal di penjara dan menolak untuk melarikan diri.
·
Meno: Menjelaskan
teori pengetahuan Socrates dan bagaimana kebenaran bisa ditemukan melalui
pertanyaan dan diskusi.
·
Phaedo: Menjelaskan
teori keabadian jiwa dan konsep bentuk.
Selain dialog-dialog tersebut,
Plato juga menulis dialog-dialog lain yang menampilkan Socrates:
·
Phaedrus: Menjelaskan
teori cinta dan keabadian jiwa.
·
Symposium: Menjelaskan
teori cinta Plato.
·
Republic: Menjelaskan
teori negara ideal dan konsep keadilan.
Melalui dialog-dialog ini, Plato
memberikan gambaran tentang pemikiran Socrates, metode Socrates, dan berbagai
konsep filosofis penting dalam filsafat Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar