Jumat, 18 April 2025

Socrates dalam Dialog-Dialog Plato: Eksplorasi Pemikiran, Metode, dan Kontribusi terhadap Filsafat Barat

Socrates dalam Dialog-Dialog Plato

Eksplorasi Pemikiran, Metode, dan Kontribusi terhadap Filsafat Barat


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif representasi pemikiran, metode, dan kontribusi Socrates sebagaimana ditampilkan dalam dialog-dialog Plato. Meskipun Socrates tidak menulis karya filsafat sendiri, pemikirannya tetap lestari melalui karya Plato yang menjadikannya tokoh sentral dalam berbagai dialog seperti Euthyphro, Apology, Crito, Meno, Phaedo, Symposium, Phaedrus, dan Republic. Kajian ini menelusuri perkembangan tematik dan filosofis dalam dialog-dialog tersebut, dari permasalahan etika dan epistemologi dalam periode awal hingga gagasan metafisika dan politik dalam periode pertengahan dan akhir. Artikel ini juga menyoroti metode elenchus dan maieutic Socrates sebagai fondasi dari pendekatan dialektis dalam pencarian pengetahuan. Selain itu, dibahas pula relevansi pemikiran Socrates dalam konteks kontemporer, khususnya dalam bidang etika eksistensial, pendidikan kritis, hermeneutika, dan teori demokrasi deliberatif. Melalui pendekatan historis-filosofis yang mendalam dan didukung oleh referensi akademik yang kredibel, artikel ini menunjukkan bahwa warisan Socrates tidak hanya membentuk filsafat Barat secara fundamental, tetapi juga terus mengilhami diskursus filosofis hingga masa kini.

Kata Kunci: Socrates, Plato, dialog filosofis, elenchus, maieutic, etika, metafisika, filsafat kontemporer, pendidikan kritis, hermeneutika.


PEMBAHASAN

Socrates dalam Dialog-Dialog Plato


1.           Pendahuluan

Socrates merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Barat, meskipun ia sendiri tidak meninggalkan karya tulis apa pun. Pemikiran dan metode filosofisnya dikenal terutama melalui tulisan para muridnya, khususnya Plato, yang menjadikan Socrates sebagai tokoh utama dalam sebagian besar dialog filsafatnya. Oleh karena itu, untuk memahami pemikiran Socrates, para filsuf dan sejarawan filsafat banyak bergantung pada interpretasi yang diberikan oleh Plato dalam dialog-dialognya seperti Euthyphro, Apology, Crito, Meno, dan Phaedo

Plato tidak hanya menyampaikan argumen-argumen filosofis Socrates, tetapi juga mempersembahkan gaya penyampaian unik melalui bentuk dialog yang menggambarkan karakter, suasana, dan alur pemikiran yang hidup. Metode ini tidak hanya merekam isi pemikiran, melainkan juga menghidupkan proses filsafat sebagai pencarian yang dinamis dan reflektif.² Dalam konteks ini, perbedaan antara “Socrates historis” dan “Socrates Platonik” menjadi penting. Socrates historis dipahami sebagai tokoh nyata yang hidup di Athena abad ke-5 SM dan mempraktikkan filsafat melalui tanya jawab di ruang publik, sementara Socrates Platonik adalah representasi sastra dan filosofis yang dikembangkan oleh Plato untuk mengekspresikan ide-idenya sendiri.³

Dialog-dialog Plato tidak hanya berfungsi sebagai media dokumentasi pemikiran Socrates, tetapi juga sebagai perangkat filosofis yang memungkinkan eksplorasi konsep-konsep mendalam seperti kesalehan, kebajikan, keadilan, dan keabadian jiwa. Misalnya, Apology menampilkan pembelaan diri Socrates dalam pengadilan yang menekankan pentingnya misi filosofisnya sebagai panggilan ilahi, sedangkan Phaedo menjelajahi argumen-argumen metafisik mengenai keberadaan jiwa setelah kematian.⁴ Dengan demikian, dialog-dialog ini menjadi warisan intelektual yang membentuk dasar dari banyak cabang filsafat, termasuk etika, epistemologi, dan metafisika.

Dalam artikel ini, akan dikaji secara sistematis bagaimana Socrates ditampilkan dalam karya-karya Plato, baik dari sisi tematik maupun metodologis, serta bagaimana pengaruhnya membentuk struktur utama pemikiran filsafat Barat. Kajian ini juga akan menyoroti metode Socrates yang khas—yakni elenchus dan maieutika—serta kontribusinya dalam perkembangan tradisi rasional, dialogis, dan etis dalam wacana filosofis hingga masa kontemporer.


Catatan Kaki

[1]                Thomas C. Brickhouse and Nicholas D. Smith, Plato’s Socrates (Oxford: Oxford University Press, 1994), 3–5.

[2]                Francisco J. Gonzalez, Dialectic and Dialogue: Plato’s Practice of Philosophical Inquiry (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1998), 18–21.

[3]                Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 45–48.

[4]                Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford: Oxford University Press, 1981), 6–8.


2.           Socrates dalam Tradisi Dialogis Plato

Salah satu warisan terbesar Plato bagi sejarah filsafat adalah pemakaian bentuk dialog sebagai medium utama penyampaian ide-ide filosofis. Dalam hampir seluruh dialognya, Plato menampilkan tokoh Socrates sebagai figur sentral yang memandu diskusi, menantang pendapat lawan bicaranya, dan menggali kebenaran melalui serangkaian pertanyaan yang tajam dan reflektif. Bentuk dialog ini tidak hanya merupakan pilihan estetis, melainkan juga merupakan ekspresi metodologis yang mencerminkan esensi dari praktik filosofis Socrates sendiri: filsafat sebagai kegiatan dialektis dan dialogis.¹

Dialog dalam karya Plato bukan sekadar wadah penyampaian gagasan, melainkan juga merupakan bagian integral dari cara berpikir filosofis yang ia wariskan. Melalui dialog, pembaca tidak disuguhi doktrin yang dogmatis, melainkan diundang untuk turut serta dalam proses pencarian kebenaran. Metode ini sejalan dengan apa yang oleh Socrates disebut sebagai elenchus, yakni teknik pengujian konseptual melalui serangkaian pertanyaan yang mengarahkan lawan bicara pada kesadaran akan ketidaktahuannya.² Karenanya, bentuk dialog tidak hanya mendramatisasi pencarian kebenaran, tetapi juga menempatkan pembaca dalam posisi aktif untuk terlibat dalam proses tersebut.

Keputusan Plato untuk menjadikan Socrates sebagai tokoh utama dalam dialog-dialognya mengundang perdebatan tentang sejauh mana yang ditampilkan adalah pemikiran Socrates yang historis atau konstruksi filosofis Plato sendiri. Banyak sarjana membedakan antara Socrates historis (historical Socrates) dan Socrates Platonik (Platonic Socrates).³ Socrates historis dikenal terutama melalui kesaksian Xenophon, Aristophanes, dan terutama Plato sendiri; namun, karena Plato memiliki agenda filosofis yang berkembang, sebagian kalangan menganggap bahwa dalam dialog-dialog pertengahan dan akhir (seperti Republic atau Phaedo), Plato sudah lebih banyak menampilkan pemikirannya sendiri ketimbang sekadar mewakili sang guru.⁴

Meski demikian, tidak dapat disangkal bahwa figur Socrates dalam dialog-dialog Plato memiliki daya tarik yang luar biasa. Ia digambarkan sebagai sosok yang rendah hati namun tajam, tidak mengklaim pengetahuan tetapi menggugat anggapan orang lain dengan logika dan ironi yang mendalam. Socrates dalam dialog Plato bukanlah seorang guru yang mengajarkan dogma, melainkan fasilitator intelektual yang membangkitkan kesadaran dan refleksi.⁵ Bentuk ini menjadikan dialog bukan hanya sebagai alat pedagogis, tetapi juga sebagai ekspresi epistemologis—bahwa pengetahuan sejati bukanlah hasil indoktrinasi, melainkan buah dari pertanyaan, kritik, dan dialog yang terus-menerus.

Secara umum, tradisi dialogis Plato, dengan tokoh sentral Socrates, memberikan warisan metodologis yang penting bagi perkembangan filsafat Barat: bahwa filsafat bukanlah kumpulan kesimpulan, melainkan praktik yang terbuka terhadap keraguan, keberagaman pendapat, dan pencarian kebenaran melalui akal dan komunikasi.


Catatan Kaki

[1]                Francisco J. Gonzalez, Dialectic and Dialogue: Plato’s Practice of Philosophical Inquiry (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1998), 1–3.

[2]                Hugh H. Benson, Socratic Wisdom: The Model of Knowledge in Plato's Early Dialogues (Oxford: Oxford University Press, 2000), 11–15.

[3]                Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 45–50.

[4]                Thomas C. Brickhouse and Nicholas D. Smith, Plato’s Socrates (Oxford: Oxford University Press, 1994), 7–10.

[5]                Charles H. Kahn, Plato and the Socratic Dialogue: The Philosophical Use of a Literary Form (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 73–75.


3.           Analisis Tematik terhadap Dialog-Dialog Awal

Dialog-dialog awal Plato yang menampilkan tokoh Socrates secara umum dianggap sebagai representasi paling otentik dari pemikiran dan metode Socrates historis.¹ Dalam dialog-dialog ini, Socrates tampak lebih fokus pada penyelidikan moral dan konsep etika sehari-hari, menggunakan metode elenchus untuk menguji keyakinan para tokohnya. Tema-tema yang diangkat bersifat fundamental namun menantang, seperti definisi kesalehan, kebajikan, pengetahuan, dan tanggung jawab hukum. Empat dialog utama yang termasuk dalam periode awal ini adalah Euthyphro, Apology, Crito, dan Meno. Masing-masing memberikan kontribusi penting terhadap pemahaman kita akan karakter filosofis dan metodologis Socrates.

3.1.       Euthyphro: Kesalehan dan Dilema Etika

Dalam Euthyphro, Socrates mendiskusikan makna “kesalehan” (ὅσιος) dengan seorang pemuda bernama Euthyphro yang hendak menuntut ayahnya atas tindakan yang dianggap tidak saleh. Socrates, dengan metode elenchus-nya, menggugat definisi-definisi yang diberikan Euthyphro, terutama mengenai apakah sesuatu itu saleh karena dicintai para dewa atau dicintai para dewa karena saleh.² Dilema ini menyoroti ketegangan antara etika teonom dan otonom, serta mengundang refleksi mendalam tentang dasar moralitas.

"Apakah yang saleh dicintai para dewa karena saleh, ataukah sesuatu menjadi saleh karena dicintai para dewa?" adalah salah satu kutipan paling terkenal yang menjadi dasar bagi debat panjang dalam etika normatif.³

3.2.       Apology: Misi Filosofis dan Integritas Moral

Apology menyajikan pidato pembelaan Socrates dalam pengadilan Athena saat ia dituduh merusak akhlak pemuda dan tidak mengakui dewa-dewa kota. Dalam pembelaannya, Socrates menegaskan bahwa misinya adalah menjalankan perintah ilahi untuk menguji manusia dan membangkitkan kesadaran akan ketidaktahuan mereka. Ia menolak permintaan untuk berhenti berfilsafat meskipun itu akan menyelamatkan hidupnya.⁴

Pidato ini mencerminkan integritas moral dan komitmen Socrates terhadap kebenaran dan kehidupan filosofis. Ia menyatakan, “the unexamined life is not worth living” sebagai prinsip etika dan eksistensial yang menggema hingga kini.⁵

3.3.       Crito: Keadilan, Hukum, dan Tanggung Jawab Sosial

Dalam Crito, Socrates dikunjungi oleh sahabatnya Crito yang mengajaknya melarikan diri dari penjara. Dialog ini mengeksplorasi dilema antara kewajiban moral terhadap diri sendiri dan ketaatan terhadap hukum negara. Socrates berargumen bahwa melanggar hukum akan merusak tatanan masyarakat dan keadilan itu sendiri, meskipun hukum tersebut menjatuhkan vonis yang tidak adil kepadanya.⁶

Di sini Socrates memperkenalkan prinsip kontrak sosial secara implisit—bahwa seseorang yang telah menerima manfaat dari suatu negara terikat untuk tunduk pada hukum-hukumnya.⁷ Argumentasi ini menjadi landasan awal bagi teori keadilan dan kewarganegaraan dalam filsafat politik Barat.

3.4.       Meno: Kebajikan, Pengetahuan, dan Reinkarnasi Epistemik

Meno adalah dialog yang membahas apakah kebajikan (ἀρετή) dapat diajarkan. Dalam prosesnya, Socrates mengembangkan beberapa gagasan penting seperti teori reminiscence (anamnesis), yaitu bahwa jiwa manusia telah mengetahui kebenaran sebelumnya dan hanya perlu “mengingatnya” kembali melalui proses filosofis.⁸

Socrates juga mendemonstrasikan metode pengujian pengetahuan melalui interaksi dengan seorang budak yang berhasil membuktikan teorema geometri sederhana, meskipun ia tidak pernah mempelajarinya sebelumnya.⁹ Ini menjadi fondasi dari pemikiran epistemologis dalam tradisi rasionalisme, sekaligus menunjukkan keterkaitan antara filsafat, pendidikan, dan pembentukan kebajikan.


Secara keseluruhan, dialog-dialog awal Plato memperlihatkan ciri khas Socrates sebagai filsuf yang menolak jawaban dogmatis, menggugat konsensus sosial, dan menekankan pentingnya penyelidikan moral melalui dialog. Ia bukan hanya seorang pengajar, tetapi seorang penggugah kesadaran, yang meyakini bahwa kehidupan yang bermakna hanya bisa dicapai melalui pencarian kebenaran yang tak henti-henti.


Catatan Kaki

[1]                Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 46–49.

[2]                Plato, Euthyphro, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 10a–11b.

[3]                Mark L. McPherran, The Religion of Socrates (University Park, PA: Pennsylvania State University Press, 1996), 120–125.

[4]                Plato, Apology, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 20c–30c.

[5]                Ibid., 38a.

[6]                Plato, Crito, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 50a–54d.

[7]                Richard Kraut, Socrates and the State (Princeton: Princeton University Press, 1984), 58–60.

[8]                Plato, Meno, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 81a–86c.

[9]                Dominic Scott, Plato’s Meno (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 65–68.


4.           Konsep Metafisik dan Etika dalam Dialog Pertengahan dan Akhir

Dialog-dialog pertengahan dan akhir dalam karya Plato menunjukkan perkembangan signifikan dalam kompleksitas tema dan kedalaman spekulasi metafisik. Meskipun Socrates masih menjadi tokoh utama dalam sebagian besar karya ini, para filsuf umumnya sepakat bahwa suara filosofis Plato mulai mendominasi dalam penyajian konsep-konsep besar seperti bentuk ideal (eidos), keabadian jiwa, cinta ilahi, dan struktur negara yang adil.¹ Dalam dialog seperti Phaedo, Phaedrus, Symposium, dan Republic, gagasan metafisik dan etika saling berkaitan erat, menunjukkan transisi dari metode elenchus menuju upaya sistematis untuk membangun teori-teori filosofis yang koheren.

4.1.       Phaedo: Keabadian Jiwa dan Dunia Bentuk

Phaedo merupakan salah satu dialog paling penting dalam periode pertengahan Plato, di mana ia menampilkan percakapan terakhir Socrates menjelang eksekusinya. Dialog ini menggambarkan diskusi tentang keabadian jiwa dan hubungan antara dunia inderawi dengan dunia bentuk (Forms). Socrates, dalam pembicaraan dengan murid-muridnya, mengemukakan bahwa jiwa tidak hanya eksis setelah kematian, tetapi juga memiliki pengetahuan bawaan yang berasal dari dunia bentuk—suatu ranah metafisik yang kekal dan tidak berubah.²

Gagasan ini memperlihatkan hubungan antara epistemologi dan metafisika dalam pemikiran Platonik: pengetahuan sejati tidak diperoleh melalui pengalaman indrawi, melainkan melalui pengingatan (anamnesis) akan bentuk-bentuk yang telah dilihat jiwa sebelum inkarnasi.³ Dengan demikian, etika kehidupan filosofis menjadi jalan untuk memurnikan jiwa agar dapat kembali pada kebenaran abadi.⁴

4.2.       Phaedrus: Jiwa, Cinta, dan Transendensi

Dalam Phaedrus, Plato mengeksplorasi hubungan antara cinta (eros), jiwa, dan keabadian. Di sini, Socrates menggambarkan struktur jiwa sebagai kereta bersayap yang ditarik oleh dua kuda: satu mulia dan jinak (representasi rasio), satu liar dan penuh nafsu (representasi keinginan).⁵ Cinta yang sejati mendorong jiwa untuk “mengingat” bentuk keindahan yang pernah dilihatnya di dunia bentuk, dan karena itu memiliki fungsi transendental dan etis.

Cinta, dalam pengertian ini, bukan sekadar hasrat emosional, tetapi dorongan ilahi untuk mendekati kebaikan dan kebenaran.⁶ Socrates menekankan bahwa melalui relasi yang diarahkan oleh cinta filosofis, manusia dapat mencapai kondisi ekstase spiritual dan memurnikan jiwanya dari keterikatan duniawi.

4.3.       Symposium: Dialektika Cinta dan Tangga Menuju Bentuk Tertinggi

Symposium membangun konsep cinta sebagai proses dialektis yang mengantarkan jiwa dari ketertarikan pada tubuh fisik menuju penghargaan terhadap keindahan rohani, akhirnya mencapai kontemplasi terhadap “Bentuk Keindahan” itu sendiri.⁷ Dalam pidato Socrates yang mengutip Diotima, cinta dipahami sebagai “daimon” atau perantara antara manusia dan dewa, yang menggerakkan jiwa untuk melampaui dunia fana.

Model tangga cinta Diotima menggambarkan tahapan-tahapan spiritual dari cinta individual ke cinta universal, dari yang konkret ke yang abstrak, dari yang fana ke yang abadi.⁸ Konsep ini memperkuat penggambaran Socrates sebagai pencari kebenaran yang tidak puas dengan permukaan, tetapi selalu mendaki menuju yang absolut dan hakiki.

4.4.       Republic: Jiwa, Keadilan, dan Negara Ideal

Dalam Republic, Plato menggunakan tokoh Socrates untuk membangun model negara ideal yang merefleksikan struktur internal jiwa manusia. Jiwa manusia terdiri dari tiga bagian: rasional, emosional, dan keinginan, dan ketiganya harus berada dalam harmoni agar seseorang menjadi adil.⁹ Negara ideal juga dibagi ke dalam tiga kelas: filsuf-pemimpin (rasio), penjaga (keberanian), dan produsen (keinginan), masing-masing mencerminkan struktur jiwa.

Keadilan, baik dalam jiwa maupun negara, dipahami sebagai keteraturan yang memungkinkan setiap elemen menjalankan fungsinya tanpa mengganggu yang lain.¹⁰ Dengan demikian, etika dan politik dalam Republic tidak terpisah dari metafisika, melainkan merupakan manifestasi konkret dari tatanan kosmis dan rasional yang digambarkan Plato melalui Socrates.


Dialog-dialog pertengahan dan akhir Plato menunjukkan perkembangan dari dialog aporetik yang menggugat definisi, menuju konstruksi metafisika dan etika yang integral dan sistematis. Sosok Socrates dalam dialog ini bukan hanya pemantik pemikiran, tetapi juga pengemban ide-ide filosofis yang menjangkau jauh melampaui zamannya—menjadi dasar bagi tradisi filsafat rasionalisme, idealisme, dan humanisme di Barat.


Catatan Kaki

[1]                Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 71–75.

[2]                Plato, Phaedo, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 70a–84b.

[3]                Dominic Scott, Plato’s Meno (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 86–88.

[4]                Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford: Oxford University Press, 1981), 29–31.

[5]                Plato, Phaedrus, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 246a–249d.

[6]                Charles H. Kahn, Plato and the Socratic Dialogue: The Philosophical Use of a Literary Form (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 210–212.

[7]                Plato, Symposium, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 201d–212b.

[8]                Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 177–180.

[9]                Plato, Republic, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), Book IV, 435b–441c.

[10]             Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic, 147–151.


5.           Metode Socrates: Elenchus dan Maieutic

Salah satu kontribusi paling khas Socrates dalam tradisi filsafat Barat adalah pengembangan metode bertanya yang khas, yang dikenal sebagai elenchus dan maieutic. Metode ini bukan hanya teknik argumen, melainkan juga pendekatan pedagogis dan epistemologis yang menekankan pentingnya pengujian diri, pengakuan atas ketidaktahuan, dan pencarian kebenaran melalui dialog.¹ Melalui metode ini, Socrates memposisikan dirinya bukan sebagai pengajar yang mengklaim pengetahuan, tetapi sebagai mitra dialog yang menuntun lawan bicaranya untuk menemukan pengetahuan secara mandiri.

5.1.       Elenchus: Pengujian Konseptual dan Kesadaran atas Ketidaktahuan

Istilah elenchus (ἔλεγχος) dalam konteks Socrates merujuk pada bentuk pengujian silang terhadap klaim atau keyakinan seseorang melalui serangkaian pertanyaan logis.² Tujuan utama metode ini bukan sekadar membantah lawan bicara, melainkan mengungkapkan ketidakkonsistenan dalam cara berpikir dan memperlihatkan bahwa pengetahuan yang diyakini sering kali bersifat dangkal atau tidak berdasar.

Dialog-dialog seperti Euthyphro, Laches, dan Charmides memperlihatkan bagaimana Socrates menantang lawan bicaranya untuk mendefinisikan konsep-konsep seperti kesalehan, keberanian, atau kesopanan, dan kemudian menunjukkan kontradiksi internal dalam definisi yang mereka berikan.³ Hasil dari proses ini biasanya bersifat aporetik—yakni tidak menghasilkan kesimpulan final—namun menghasilkan bentuk pencerahan kritis: pengakuan atas ketidaktahuan sebagai awal dari filsafat sejati.⁴

Gregory Vlastos menyebut metode elenchus sebagai suatu bentuk “uji konsistensi internal,” yang menilai apakah seseorang benar-benar memahami apa yang mereka percayai.⁵ Metode ini tidak hanya menunjukkan kelemahan pengetahuan semu, tetapi juga menanamkan kebiasaan berpikir reflektif dan logis, yang menjadi fondasi etika intelektual dalam filsafat.

5.2.       Maieutic: “Kebidanan Intelektual” dan Penemuan Pengetahuan

Selain elenchus, Socrates juga menggambarkan dirinya sebagai “bidan” yang membantu kelahiran ide dari dalam diri murid-muridnya—sebuah pendekatan yang ia sebut sebagai maieutic (μαιευτική).⁶ Dalam Theaetetus, Socrates menegaskan bahwa sebagaimana ibunya adalah bidan bagi tubuh, ia adalah bidan bagi jiwa: membantu orang lain “melahirkan” kebenaran melalui proses dialog, bukan dengan mentransfer pengetahuan dari luar.

Metode maieutic mengandaikan bahwa kebenaran sudah terkandung dalam jiwa manusia, dan tugas filsuf adalah membimbing proses artikulasinya.⁷ Ini sejalan dengan teori anamnesis dalam Meno dan Phaedo, yang menyatakan bahwa pengetahuan sejati bukan diperoleh, melainkan diingat kembali. Dalam konteks ini, peran Socrates sebagai fasilitator sangat menonjol—ia tidak menggurui, tetapi menggugah dan memandu pencarian makna yang otentik.

Maieutika juga merepresentasikan etika dialog yang inklusif: mengakui potensi kognitif setiap manusia dan menolak otoritarianisme dalam pendidikan.⁸ Socrates menekankan bahwa proses berpikir kritis dan kejujuran intelektual jauh lebih penting daripada mencapai kesimpulan tunggal. Dalam pengertian ini, filsafat bukan sekadar sistem pengetahuan, melainkan praktik kebijaksanaan.


Metode Socrates, sebagaimana tercermin dalam elenchus dan maieutic, telah memberikan kontribusi yang mendalam terhadap perkembangan epistemologi, etika diskursif, dan pedagogi filosofis. Ia membentuk paradigma filsafat sebagai kegiatan terbuka yang menghargai pertanyaan, keberanian intelektual, dan kerendahan hati. Metode ini terus menginspirasi praktik pendidikan kritis dan dialogis dalam berbagai tradisi filsafat hingga masa kini.


Catatan Kaki

[1]                Hugh H. Benson, Socratic Wisdom: The Model of Knowledge in Plato’s Early Dialogues (Oxford: Oxford University Press, 2000), 12–16.

[2]                Richard Robinson, Plato’s Earlier Dialectic (Oxford: Clarendon Press, 1953), 7–10.

[3]                Plato, Euthyphro and Laches, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997).

[4]                Terence Irwin, Plato’s Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1995), 49–53.

[5]                Gregory Vlastos, “The Socratic Elenchus,” in Socratic Studies (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 1–37.

[6]                Plato, Theaetetus, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 150b–151d.

[7]                Dominic Scott, Plato’s Meno (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 74–76.

[8]                Martha C. Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1997), 20–23.


6.           Relevansi Pemikiran Socrates bagi Filsafat Kontemporer

Pemikiran dan metode Socrates yang terekam dalam dialog-dialog Plato tetap memainkan peranan yang luar biasa penting dalam wacana filsafat kontemporer. Meskipun ia hidup lebih dari dua milenium yang lalu, prinsip-prinsip dasar yang diusung Socrates—seperti pencarian kebenaran melalui dialog, pengakuan atas ketidaktahuan, dan komitmen terhadap kehidupan yang diperiksa secara kritis—terus membentuk dan menantang kerangka filsafat modern dan postmodern.

6.1.       Etika Eksistensial dan Kehidupan yang Diperiksa

Salah satu warisan intelektual paling terkenal dari Socrates adalah pernyataannya bahwa “the unexamined life is not worth living” (βίος ἀνεξέταστος οὐ βιωτὸς ἀνθρώπῳ).¹ Gagasan ini telah menjadi batu pijakan bagi berbagai arus pemikiran etika eksistensial dalam filsafat abad ke-20, terutama dalam karya-karya Jean-Paul Sartre dan Albert Camus yang menekankan tanggung jawab individu terhadap makna hidupnya.² Socrates menjadi figur model bagi filsuf yang melihat filsafat bukan hanya sebagai teori, tetapi sebagai cara hidup yang otentik, penuh refleksi, dan terbuka terhadap kritik diri.

6.2.       Kontribusi terhadap Metode Dialektis dan Hermeneutika

Metode elenchus Socrates telah memberikan inspirasi penting bagi pengembangan metode dialektika dalam tradisi Hegelian dan hermeneutika filosofis kontemporer.³ Hans-Georg Gadamer, dalam karya monumentalnya Truth and Method, menempatkan dialog Socrates sebagai contoh awal dari pemahaman hermeneutik yang otentik—yakni bahwa pengertian berkembang bukan melalui penerimaan otoritatif atas kebenaran, tetapi melalui proses tanya-jawab yang melibatkan partisipasi aktif dari setiap subjek.⁴

Dalam pendidikan dan etika diskursif kontemporer, tokoh seperti Jürgen Habermas mengadopsi semangat Socrates dalam teorinya tentang tindakan komunikatif, di mana konsensus rasional dicapai melalui dialog terbuka dan tanpa paksaan.⁵ Dengan demikian, metode Socrates berkontribusi pada gagasan masyarakat deliberatif yang demokratis dan rasional.

6.3.       Pendidikan Kritis dan Transformasi Pedagogis

Pemikiran Socrates juga sangat berpengaruh dalam filsafat pendidikan, terutama dalam gagasan critical pedagogy sebagaimana dikembangkan oleh Paulo Freire.⁶ Freire mengadopsi semangat maieutic Socrates dalam Pedagogy of the Oppressed, di mana pendidikan dilihat bukan sebagai transmisi pengetahuan satu arah, tetapi sebagai proses dialogis yang membangkitkan kesadaran kritis (conscientization). Guru dalam model ini bukanlah sumber otoritatif pengetahuan, melainkan mitra dialog yang membimbing pembelajar untuk menemukan kebenaran secara mandiri.

Model pendidikan yang berakar pada metode Socrates kini diterapkan secara luas dalam program pendidikan liberal arts, pelatihan kepemimpinan reflektif, dan pendekatan inquiry-based learning.⁷ Hal ini membuktikan bahwa filosofi pengajaran Socrates masih sangat relevan dalam konteks global yang menuntut kemampuan berpikir kritis, kolaboratif, dan etis.

6.4.       Relevansi Sosial dan Politik dalam Era Demokrasi dan Krisis Kebenaran

Dalam konteks sosial-politik, Socrates dapat dibaca sebagai simbol keberanian intelektual yang menolak tunduk pada tekanan mayoritas dan tetap setia pada nurani dan akal. Dalam era post-truth dan meningkatnya polarisasi wacana publik, metode dialogis dan komitmen etis Socrates menjadi sangat penting untuk memulihkan rasionalitas dalam ruang publik.⁸

Socrates menunjukkan bahwa filsuf sejati tidak hanya berpikir dalam isolasi akademik, tetapi juga terlibat secara aktif dalam masyarakat, bahkan jika itu berarti menghadapi konsekuensi yang fatal. Komitmennya terhadap kebenaran dan keadilan, meskipun berhadapan dengan risiko kematian, menjadikannya contoh abadi tentang integritas moral dalam kehidupan publik.


Dengan demikian, pemikiran Socrates melampaui konteks sejarahnya dan tetap menjadi sumber inspirasi dalam bidang etika, epistemologi, hermeneutika, pendidikan, dan politik. Ia bukan hanya pendiri filsafat Barat, tetapi juga seorang archetype dari pencari kebijaksanaan sejati—yang terus menantang generasi demi generasi untuk hidup dengan lebih jujur, lebih rasional, dan lebih manusiawi.


Catatan Kaki

[1]                Plato, Apology, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 38a.

[2]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 18–21.

[3]                Richard J. Bernstein, Beyond Objectivism and Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1983), 150–155.

[4]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 360–364.

[5]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 17–19.

[6]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 66–67.

[7]                Nel Noddings, Philosophy of Education (Boulder, CO: Westview Press, 2012), 45–48.

[8]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 24–27.


7.           Penutup

Socrates adalah figur sentral dalam sejarah filsafat yang terus hidup dalam teks, gagasan, dan metode, terutama melalui karya-karya Plato. Meskipun ia tidak meninggalkan karya tulis, pengaruhnya sangat besar karena Plato menghadirkan kembali kehidupan dan pemikirannya dalam bentuk dialog filosofis yang dinamis, reflektif, dan terbuka terhadap pertanyaan.¹ Dialog-dialog ini tidak hanya menjadi saksi atas pemikiran etis dan metafisik Socrates, tetapi juga memperlihatkan praktik filosofis sebagai suatu gaya hidup yang ditandai oleh pencarian makna, kebijaksanaan, dan keberanian intelektual.

Pembahasan dalam artikel ini menunjukkan bahwa kontribusi Socrates meliputi berbagai bidang utama dalam filsafat: dari epistemologi dan etika hingga metafisika dan pendidikan.² Dalam dialog awal seperti Euthyphro, Apology, Crito, dan Meno, Socrates tampil sebagai penggugat moralitas sosial dan penguji ketidakkonsistenan logis melalui metode elenchus.³ Sementara dalam dialog pertengahan dan akhir seperti Phaedo, Symposium, dan Republic, tampak perluasan cakupan pemikirannya menuju metafisika tentang jiwa, bentuk ideal, dan negara adil, yang meskipun lebih kental nuansa Platoniknya, tetap menampilkan roh dan prinsip-prinsip Socratis.⁴

Metode elenchus dan maieutic yang digunakan Socrates membentuk dasar pendekatan filsafat sebagai upaya dialektis dan dialogis, bukan hanya pengumpulan pengetahuan, tetapi transformasi diri.⁵ Gagasan bahwa kebenaran harus digali, bukan diajarkan secara dogmatis, menjadi prinsip pedagogis yang masih sangat relevan dalam pendidikan kritis dan demokratis masa kini.⁶ Begitu pula, komitmennya terhadap “kehidupan yang diperiksa” (the examined life) menjadikan filsafat bukan sekadar disiplin akademik, tetapi jalan hidup yang membimbing manusia untuk hidup secara lebih jujur, bertanggung jawab, dan sadar akan keterbatasan dirinya.⁷

Dalam era modern dan kontemporer, pemikiran Socrates terus menjadi inspirasi bagi filsuf eksistensialis, hermeneut, pendidik progresif, dan pembela demokrasi deliberatif.⁸ Ia adalah ikon keberanian intelektual, simbol integritas moral, dan model dari filsuf sejati yang bersedia mati demi prinsip-prinsipnya. Oleh karena itu, penggalian terhadap dialog-dialog Plato yang menampilkan Socrates bukan hanya merupakan usaha historis, melainkan juga merupakan upaya filosofis untuk terus memperbaharui peran filsafat dalam kehidupan manusia.

Dengan demikian, Socrates bukan sekadar pendiri filsafat Barat secara historis, tetapi juga fondasi yang terus menopang dan menantang filsafat di setiap zaman. Dialognya yang tidak berkesudahan dengan dunia menjadi undangan abadi untuk berpikir, bertanya, dan menjadi manusia yang lebih bijak.


Catatan Kaki

[1]                Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 2–5.

[2]                Hugh H. Benson, Socratic Wisdom: The Model of Knowledge in Plato’s Early Dialogues (Oxford: Oxford University Press, 2000), 9–11.

[3]                Plato, Euthyphro, Apology, Crito, Meno, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997).

[4]                Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford: Oxford University Press, 1981), 44–48.

[5]                Francisco J. Gonzalez, Dialectic and Dialogue: Plato’s Practice of Philosophical Inquiry (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1998), 19–22.

[6]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 71–73.

[7]                Plato, Apology, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 38a.

[8]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 15–19.


Daftar Pustaka

Annas, J. (1981). An introduction to Plato’s Republic. Oxford University Press.

Bernstein, R. J. (1983). Beyond objectivism and relativism: Science, hermeneutics, and praxis. University of Pennsylvania Press.

Benson, H. H. (2000). Socratic wisdom: The model of knowledge in Plato’s early dialogues. Oxford University Press.

Brickhouse, T. C., & Smith, N. D. (1994). Plato’s Socrates. Oxford University Press.

Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum. (Original work published 1970)

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum. (Original work published 1960)

Gonzalez, F. J. (1998). Dialectic and dialogue: Plato’s practice of philosophical inquiry. Northwestern University Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action: Reason and the rationalization of society (Vol. 1) (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Irwin, T. (1995). Plato’s ethics. Oxford University Press.

Kahn, C. H. (1996). Plato and the Socratic dialogue: The philosophical use of a literary form. Cambridge University Press.

McPherran, M. L. (1996). The religion of Socrates. Pennsylvania State University Press.

Noddings, N. (2012). Philosophy of education (3rd ed.). Westview Press.

Nussbaum, M. C. (1986). The fragility of goodness: Luck and ethics in Greek tragedy and philosophy. Cambridge University Press.

Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why democracy needs the humanities. Princeton University Press.

Plato. (1997). Plato: Complete works (J. M. Cooper, Ed.). Hackett Publishing.

Robinson, R. (1953). Plato’s earlier dialectic. Clarendon Press.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press. (Original work published 1946)

Scott, D. (2006). Plato’s Meno. Cambridge University Press.

Vlastos, G. (1991). Socrates: Ironist and moral philosopher. Cornell University Press.

Vlastos, G. (1994). Socratic studies. Cambridge University Press.


Lampiran: Tentang Dialog Socrates

Sokrates dikenal dengan dialog-dialog filosofisnya, yang sebagian besar ditulis oleh Plato. Beberapa dialog yang paling terkenal dan penting termasuk Euthyphro, Apology, Crito, Meno, dan Phaedo. Dialog-dialog ini sering digunakan untuk mempelajari pemikiran dan metode Socrates, serta untuk memahami konsep-konsep penting dalam filsafat Plato. 

Selain dialog-dialog di atas, Plato juga menulis banyak dialog lain yang menampilkan Socrates sebagai tokoh utama, seperti Phaedrus, Symposium, dan Republic. Melalui dialog-dialog ini, Plato membahas berbagai topik, termasuk sifat kebajikan, keabadian jiwa, dan hakikat kesalehan. 

Beberapa dialog Socrates yang terkenal:

·                     Euthyphro: Menjelajahi definisi kesalehan.

·                     Apology: Menjelaskan pertahanan Socrates dalam persidangan dan keyakinan akan misinya.

·                     Crito: Menjelaskan pilihan Socrates untuk tinggal di penjara dan menolak untuk melarikan diri.

·                     Meno: Menjelaskan teori pengetahuan Socrates dan bagaimana kebenaran bisa ditemukan melalui pertanyaan dan diskusi.

·                     Phaedo: Menjelaskan teori keabadian jiwa dan konsep bentuk. 

Selain dialog-dialog tersebut, Plato juga menulis dialog-dialog lain yang menampilkan Socrates:

·                     Phaedrus: Menjelaskan teori cinta dan keabadian jiwa.

·                     Symposium: Menjelaskan teori cinta Plato.

·                     Republic: Menjelaskan teori negara ideal dan konsep keadilan. 

Melalui dialog-dialog ini, Plato memberikan gambaran tentang pemikiran Socrates, metode Socrates, dan berbagai konsep filosofis penting dalam filsafat Barat.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar