Materi 5 LDK 2025
Etika Kompetisi dan Jiwa Sportivitas
“Fondasi Moral dalam Dunia Olahraga dan Kehidupan
Sosial”
Abstrak
Artikel ini membahas pentingnya etika kompetisi dan
jiwa sportivitas sebagai fondasi moral yang esensial dalam berbagai dimensi
kehidupan manusia, khususnya dalam konteks olahraga, pendidikan, dan kehidupan
sosial. Kompetisi yang tidak disertai etika berpotensi melahirkan perilaku
destruktif, manipulatif, dan tidak adil. Sebaliknya, kompetisi yang dilandasi
nilai-nilai sportivitas seperti kejujuran, respek, tanggung jawab, dan
pengendalian diri akan membentuk individu yang berintegritas dan kolaboratif.
Artikel ini menyajikan pembahasan teoritis mengenai konsep etika kompetisi dan
sportivitas, serta relevansinya dalam membentuk karakter dan tatanan sosial
yang sehat. Selain itu, diuraikan pula tantangan dalam menegakkan nilai-nilai
tersebut, seperti budaya menang-untuk-menang, komersialisasi olahraga, dan
lemahnya pendidikan nilai. Melalui studi kasus dan praktik baik di berbagai
konteks—termasuk dunia olahraga profesional, pendidikan karakter di sekolah,
serta gerakan sosial berbasis sportivitas—artikel ini menawarkan strategi
konkret untuk menanamkan jiwa sportivitas sejak dini. Dengan pendekatan
multidisipliner dan berbasis pada literatur akademik, artikel ini menegaskan
bahwa etika kompetisi dan sportivitas bukan hanya ideal moral, tetapi juga
kebutuhan praktis dalam membangun masyarakat yang adil, tangguh, dan
bermartabat.
Kata Kunci: Etika kompetisi; sportivitas; pendidikan
karakter; nilai moral; pendidikan jasmani; keadilan sosial; pengembangan
kepribadian.
PEMBAHASAN
Etika Kompetisi dan Jiwa Sportivitas
1.
Pendahuluan
Kompetisi merupakan bagian tak terpisahkan dari
dinamika kehidupan manusia. Baik dalam konteks olahraga, pendidikan, maupun
dunia kerja, manusia cenderung berlomba untuk mencapai prestasi dan pengakuan.
Dalam dunia modern yang serba cepat dan kompetitif, keberhasilan sering kali
diukur melalui kemampuan individu atau kelompok dalam mengungguli yang lain.
Namun, ketika semangat kompetisi melampaui batas etis dan moral, maka yang
muncul adalah persaingan tidak sehat, manipulasi, bahkan kekerasan simbolik
maupun fisik yang mengaburkan nilai luhur dari kompetisi itu sendiri. Oleh
karena itu, diperlukan fondasi etis yang kuat guna membimbing perilaku
kompetitif ke arah yang konstruktif dan bermartabat.
Dalam kerangka ini, etika kompetisi bukan
sekadar seperangkat aturan formal, melainkan prinsip moral yang mengatur
tindakan manusia dalam persaingan. Etika ini mencakup kejujuran, keadilan,
integritas, dan penghormatan terhadap lawan sebagai mitra dalam proses
pembelajaran dan pengembangan diri. Seperti yang dinyatakan oleh Simon,
olahraga dan kompetisi seharusnya menjadi sarana untuk mengembangkan karakter,
bukan sekadar arena pembuktian superioritas fisik atau teknis semata.¹
Salah satu nilai penting dalam etika kompetisi
adalah sportivitas, yaitu sikap mental yang menjunjung tinggi kejujuran,
penerimaan hasil, dan penghormatan terhadap semua pihak yang terlibat dalam
suatu kompetisi. Sportivitas mencerminkan kematangan emosional dan kedewasaan
moral, yang tak hanya berlaku dalam pertandingan olahraga, tetapi juga dalam
interaksi sosial yang lebih luas. Menurut Shields dan Bredemeier, sportivitas
merupakan manifestasi dari nilai-nilai moral seperti empati, rasa hormat, dan
tanggung jawab sosial, yang dapat ditumbuhkan melalui proses pendidikan yang
konsisten.²
Dalam konteks pendidikan, kompetisi sering
digunakan sebagai alat untuk memotivasi siswa dalam mencapai prestasi. Namun,
tanpa penguatan nilai-nilai etis dan sportivitas, kompetisi bisa berujung pada
perilaku egoistik, tidak jujur, dan agresif. Pendidikan karakter melalui
kegiatan ekstrakurikuler seperti olahraga, debat, maupun olimpiade akademik
menjadi medan strategis dalam membentuk jiwa sportivitas sejak dini.³
Pembentukan karakter ini memiliki implikasi besar dalam kehidupan sosial,
karena individu yang menjunjung tinggi sportivitas cenderung mampu bekerja
sama, menghormati perbedaan, dan menyelesaikan konflik secara damai.
Dengan demikian, pembahasan tentang etika kompetisi
dan jiwa sportivitas menjadi sangat relevan dalam upaya membangun masyarakat
yang sehat secara moral dan sosial. Artikel ini bertujuan untuk mengulas secara
mendalam konsep-konsep dasar, nilai-nilai kunci, serta tantangan dan strategi
dalam menanamkan etika kompetisi dan sportivitas, khususnya dalam konteks
pendidikan dan kehidupan masyarakat modern.
Footnotes
[1]
Robert L. Simon, Fair Play: The Ethics of Sport,
4th ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2016), 12–14.
[2]
David L. Shields and Brenda Bredemeier, Character
Development and Physical Activity (Champaign, IL: Human Kinetics, 1995),
78–80.
[3]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our
Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books,
1991), 155–158.
2.
Konsep Dasar Etika Kompetisi
Kompetisi, dalam hakikatnya, merupakan bagian alami
dari dinamika sosial dan perkembangan manusia. Sejak kecil, individu belajar
bersaing—baik dalam permainan, pendidikan, maupun aktivitas sosial lainnya.
Dalam pengertian umum, kompetisi adalah suatu proses di mana dua pihak atau
lebih berupaya mencapai tujuan tertentu yang hanya bisa dicapai oleh sebagian
dari mereka, sehingga menimbulkan perlombaan.¹ Dalam konteks ini, kompetisi
menjadi sarana pembentukan identitas, motivasi, dan pencapaian diri. Namun,
tanpa bingkai etika yang jelas, kompetisi dapat berubah menjadi alat dominasi,
eksklusi, dan bahkan perusakan moral.
Etika kompetisi merujuk pada seperangkat nilai dan prinsip moral yang mengarahkan individu
dalam bersaing secara adil dan bermartabat. Prinsip-prinsip utama dalam etika
ini antara lain: kejujuran (tidak menipu atau curang), keadilan
(memperlakukan semua pihak setara dalam aturan yang berlaku), integritas
(konsistensi antara niat dan tindakan), serta penghormatan terhadap orang
lain dan aturan.² Dalam filsafat moral, etika kompetisi sangat dekat dengan
teori deontologi Kantian, yang menekankan pentingnya menjadikan manusia sebagai
tujuan, bukan sebagai alat semata.³ Dengan kata lain, dalam kompetisi yang
etis, lawan bukanlah musuh yang harus dihancurkan, tetapi mitra yang membantu
seseorang tumbuh dan berkembang.
Secara psikologis, kompetisi dapat memberikan
dampak positif seperti meningkatkan motivasi intrinsik, menumbuhkan ketekunan,
dan mempercepat perkembangan keterampilan.⁴ Namun, penelitian juga menunjukkan
bahwa kompetisi tanpa nilai dapat memicu stres berlebihan, perilaku agresif,
dan menurunnya empati sosial. Oleh karena itu, kompetisi sehat adalah
bentuk kompetisi yang didasari oleh kesadaran akan nilai moral dan keseimbangan
antara tujuan individu dan kebaikan bersama.
Dalam dunia olahraga, etika kompetisi menjadi
landasan penting dalam membangun budaya bertanding yang tidak hanya mengejar
kemenangan, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini
sejalan dengan pandangan Arnold yang menegaskan bahwa olahraga mengandung nilai
pedagogis yang kuat bila dijalankan dalam semangat fair play.⁵ Fair play bukan
sekadar ketaatan terhadap aturan, tetapi juga mencakup sikap mental yang
menghargai lawan, menerima hasil dengan lapang dada, dan menolak segala bentuk
manipulasi dalam pertandingan.
Di luar arena olahraga, konsep etika kompetisi juga
penting dalam dunia pendidikan dan profesional. Dalam pendidikan, misalnya,
pemberian penghargaan kepada siswa berprestasi tidak boleh mengorbankan nilai
kejujuran dan kerjasama.⁶ Sementara itu, di dunia kerja, kompetisi yang sehat
mendorong inovasi dan produktivitas, sedangkan kompetisi tidak etis sering kali
memicu sabotase dan praktik tidak profesional.
Dengan demikian, memahami konsep dasar etika
kompetisi menjadi landasan utama dalam membangun budaya kompetitif yang sehat
dan beradab. Kompetisi yang diarahkan oleh nilai moral bukan hanya menghasilkan
pemenang, tetapi juga membentuk individu yang matang secara emosional dan
bertanggung jawab secara sosial.
Footnotes
[1]
Morton Deutsch, “A Theory of Cooperation and
Competition,” Human Relations 2, no. 2 (1949): 129–152.
[2]
Robert L. Simon, Fair Play: The Ethics of Sport,
4th ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2016), 33–35.
[3]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
37–39.
[4]
David C. Johnson and Roger T. Johnson, “Cooperation
and Competition: Theory and Research,” in Interaction in Cooperative Groups,
ed. Robert Hertz-Lazarowitz and Norman Miller (Cambridge: Cambridge University
Press, 1992), 23–37.
[5]
Peter Arnold, “Sport, Ethics and Education,” Journal
of Moral Education 19, no. 2 (1990): 117–126.
[6]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our
Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books,
1991), 120–125.
3.
Makna dan Nilai Jiwa Sportivitas
Sportivitas adalah konsep moral yang berakar dalam budaya kompetisi, khususnya
dalam bidang olahraga, namun nilai-nilainya bersifat universal dan relevan
dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Secara etimologis, istilah sportivitas
berasal dari kata “sport” yang berarti permainan atau pertandingan, dan
ditambahkan akhiran “-ivitas” yang menunjukkan suatu kondisi atau sifat.
Dengan demikian, sportivitas dapat dimaknai sebagai sikap atau karakter moral
yang tercermin dalam perilaku individu ketika berkompetisi secara jujur, adil,
dan penuh hormat terhadap lawan maupun aturan.¹
Shields dan Bredemeier mendefinisikan sportivitas
sebagai ekspresi nilai-nilai moral seperti kejujuran, tanggung jawab, empati,
dan rasa hormat dalam konteks kompetitif.² Dalam pandangan mereka, sportivitas
bukan hanya tentang menerima kekalahan atau bersikap baik saat menang, melainkan
juga tentang keterlibatan etis yang mendalam dalam proses pertandingan itu
sendiri. Hal ini sejalan dengan gagasan bahwa sportivitas mencerminkan
orientasi moral terhadap orang lain dan terhadap sistem nilai yang lebih besar
daripada sekadar hasil akhir pertandingan.
Sportivitas memiliki sejumlah dimensi penting yang
perlu dipahami secara komprehensif. Pertama,
respek terhadap lawan; dalam jiwa sportivitas, lawan bukanlah musuh yang
harus dihancurkan, melainkan mitra yang turut membentuk pengalaman kompetitif
secara bermakna.³ Kedua, keterbukaan
terhadap hasil, baik kemenangan maupun kekalahan, dengan sikap legowo dan
tidak menyalahkan pihak lain.⁴ Ketiga, pengendalian
diri, yaitu kemampuan mengelola emosi dan perilaku secara dewasa, khususnya
dalam situasi yang memicu frustrasi atau provokasi.⁵ Keempat, komitmen terhadap aturan dan semangat permainan
(spirit of the game), yang menekankan bahwa aturan bukan hanya untuk
ditaati secara formal, tetapi juga untuk dijunjung secara etis.
Nilai-nilai yang terkandung dalam sportivitas erat
kaitannya dengan pembentukan karakter individu. Menurut Arnold,
sportivitas merupakan bagian dari pendidikan moral yang bertujuan membentuk
pribadi yang otonom, bertanggung jawab, dan sadar akan nilai kolektif.⁶
Sportivitas mengajarkan pentingnya mengedepankan proses, bukan sekadar hasil.
Hal ini sangat kontras dengan budaya menang-untuk-menang yang sering kali
mengabaikan integritas pribadi dan solidaritas sosial.
Dalam konteks pendidikan, sportivitas menjadi
komponen penting dalam pengembangan kurikulum pendidikan karakter.
Melalui kegiatan olahraga, lomba akademik, atau kerja tim di kelas, siswa dapat
belajar menghadapi tantangan, menghargai perbedaan, dan mengelola konflik
secara konstruktif.⁷ Oleh karena itu, sportivitas bukan hanya dibentuk melalui
instruksi, tetapi juga melalui pengalaman langsung yang merefleksikan
nilai-nilai moral dalam tindakan nyata.
Penting untuk disadari bahwa sportivitas bukanlah
sikap bawaan, melainkan hasil dari pembinaan yang konsisten. Hal ini menuntut
keterlibatan aktif dari pendidik, pelatih, orang tua, dan institusi sosial
lainnya untuk menjadi teladan dan fasilitator nilai-nilai tersebut.⁸ Dalam
masyarakat yang semakin kompetitif dan terfragmentasi, penanaman jiwa
sportivitas menjadi investasi moral jangka panjang yang sangat krusial untuk
membangun komunitas yang beretika dan harmonis.
Footnotes
[1]
Clifford and Feezell, Sport and Moral Education
(Champaign, IL: Human Kinetics, 1997), 29.
[2]
David L. Shields and Brenda Bredemeier, Character
Development and Physical Activity (Champaign, IL: Human Kinetics, 1995),
26–30.
[3]
William J. Morgan, “Sportsmanship and the
Competitive Ethos,” Journal of the Philosophy of Sport 16 (1989): 19–25.
[4]
Robert L. Simon, Fair Play: The Ethics of Sport,
4th ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2016), 43–45.
[5]
Jim Parry, “Fair Play in Sport: A Moral Norm
System,” Sport, Ethics and Philosophy 3, no. 2 (2009): 158–170.
[6]
Peter Arnold, “Education, Sport and the Development
of Ethically Competent Persons,” Quest 48, no. 2 (1996): 304–316.
[7]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our
Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books,
1991), 170–173.
[8]
Maureen R. Weiss et al., “Promoting Positive Youth
Development Through Physical Activity,” President’s Council on Physical
Fitness and Sports Research Digest 3, no. 11 (2008): 1–8.
4.
Etika Kompetisi dalam Konteks Olahraga
Olahraga, sejak awal peradaban manusia, telah
menjadi salah satu arena utama dalam mengekspresikan kompetisi yang terstruktur
dan terukur. Dalam olahraga modern, kompetisi tidak hanya menjadi sarana
pengembangan fisik dan keterampilan teknis, tetapi juga menjadi panggung moral
tempat nilai-nilai seperti keadilan, kejujuran, dan penghormatan terhadap
sesama diuji dan dibentuk. Etika kompetisi dalam konteks olahraga memiliki
posisi strategis karena olahraga menyatukan tujuan pencapaian dan pengembangan
karakter dalam satu kerangka pengalaman yang konkret dan emosional.
Secara filosofis, etika olahraga (sport
ethics) menuntut bahwa kompetisi harus didasarkan pada prinsip keadilan, respek
terhadap aturan, dan pengakuan terhadap lawan sebagai partisipan yang setara.¹
Dalam hal ini, konsep fair play tidak cukup hanya dimaknai sebagai
ketaatan formal terhadap peraturan, melainkan harus dimaknai sebagai semangat
moral untuk berkompetisi secara adil dan terhormat.² Seperti dikemukakan oleh
Morgan, semangat fair play menyiratkan bahwa kemenangan sejati adalah
kemenangan yang dicapai tanpa manipulasi, intimidasi, atau pelanggaran prinsip
moral.³
Namun, kenyataan di lapangan sering kali
menunjukkan ketegangan antara tuntutan untuk menang dan prinsip-prinsip etika.
Komersialisasi olahraga profesional, tekanan sponsor, dan ekspektasi publik
dapat mendorong atlet, pelatih, atau institusi untuk mengorbankan etika demi
hasil. Berbagai kasus pelanggaran seperti penggunaan doping, pengaturan skor (match
fixing), atau manipulasi usia dalam turnamen usia muda adalah contoh nyata
erosi etika kompetisi dalam olahraga.⁴ Ironisnya, dalam mengejar kemenangan,
olahraga yang seharusnya menjadi alat pendidikan karakter berubah menjadi
wahana degradasi moral.
Dalam konteks ini, peran pelatih, wasit, dan
lembaga olahraga sangat krusial dalam menjaga dan menegakkan etika kompetisi.
Pelatih, misalnya, tidak hanya berfungsi sebagai pembimbing teknis, tetapi juga
sebagai figur otoritas moral yang menanamkan nilai-nilai sportivitas kepada
atlet.⁵ Studi menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan pelatih yang demokratis dan
berbasis nilai cenderung menghasilkan perilaku sportivitas yang lebih tinggi di
kalangan atlet.⁶ Demikian pula, wasit yang adil dan tegas memainkan peran
penting dalam menjaga integritas pertandingan sebagai ruang yang aman, adil,
dan bermartabat.
Pendidikan etika melalui olahraga juga dapat dimaksimalkan dalam kegiatan
ekstrakurikuler dan program pendidikan jasmani di sekolah. Dalam lingkungan
ini, olahraga bukan sekadar kompetisi antarkelas, tetapi juga wahana
pembelajaran sosial dan moral. Ketika siswa belajar menerima kekalahan,
menghormati keputusan wasit, atau bekerja sama dalam tim, mereka sesungguhnya
sedang membangun fondasi karakter yang penting untuk kehidupan bermasyarakat.⁷
Dalam hal ini, etika kompetisi bukan lagi sekadar regulasi teknis, tetapi
bagian dari proses pembentukan kepribadian yang utuh.
Model pendekatan yang mengintegrasikan penguatan
karakter dengan praktik olahraga, seperti Teaching Personal and Social
Responsibility (TPSR), telah terbukti efektif dalam menumbuhkan kesadaran
etis di kalangan peserta didik. Program ini menekankan tanggung jawab pribadi
dan sosial sebagai bagian dari aktivitas fisik, membentuk kesadaran bahwa
keberhasilan sejati dalam olahraga tidak hanya terletak pada kemenangan, tetapi
juga pada cara mencapainya.⁸
Dengan demikian, etika kompetisi dalam konteks
olahraga adalah panggilan untuk memelihara integritas, menghormati lawan, dan
menjadikan olahraga sebagai alat pembentukan karakter, bukan sekadar sarana
hiburan atau pencapaian prestise. Keseimbangan antara semangat menang dan nilai
moral inilah yang menjadi inti dari sportivitas sejati.
Footnotes
[1]
William J. Morgan, Ethics in Sport, 3rd ed.
(Champaign, IL: Human Kinetics, 2018), 4–6.
[2]
Robert L. Simon, Fair Play: The Ethics of Sport,
4th ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2016), 51–54.
[3]
William J. Morgan, “Sportsmanship and the
Competitive Ethos,” Journal of the Philosophy of Sport 16 (1989): 22–25.
[4]
Verner Møller, “Doping and the Olympic Games: A
Never-Ending Story,” Sport in Society 13, no. 3 (2010): 437–449.
[5]
Paul M. Pedersen and Lucie Thibault, Contemporary
Sport Management, 6th ed. (Champaign, IL: Human Kinetics, 2019), 127–129.
[6]
Alan L. Smith, Maureen R. Weiss, and Daniel Gould,
“Predicting Children’s Development of Sportspersonship and Social Morality,” The
Sport Psychologist 11, no. 1 (1997): 11–26.
[7]
Peter Arnold, “Education, Sport and the Development
of Ethically Competent Persons,” Quest 48, no. 2 (1996): 312–315.
[8]
Don Hellison, Teaching Personal and Social
Responsibility Through Physical Activity, 3rd ed. (Champaign, IL: Human
Kinetics, 2011), 17–19.
5.
Relevansi Etika Kompetisi dalam Kehidupan
Sosial dan Pendidikan
Etika kompetisi dan jiwa sportivitas tidak hanya
penting dalam dunia olahraga, tetapi juga memiliki relevansi yang mendalam
dalam kehidupan sosial dan dunia pendidikan. Kompetisi adalah bagian tak
terelakkan dari dinamika sosial, mulai dari seleksi pekerjaan, perlombaan
akademik, hingga kontestasi politik. Namun, keberadaan kompetisi dalam
masyarakat hanya akan bermakna positif jika dibingkai dalam prinsip etis yang
menghargai keadilan, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap orang lain.
Dalam konteks kehidupan sosial, etika kompetisi
sangat diperlukan untuk mencegah kecenderungan individualisme ekstrem,
manipulasi, dan konflik destruktif yang muncul ketika kompetisi tidak
dikendalikan oleh norma moral. Menurut Sennett, masyarakat modern yang sangat
kompetitif sering kali melahirkan budaya kerja yang menekankan performa pribadi
di atas kerja sama kolektif, sehingga memperlemah solidaritas sosial.¹ Oleh
karena itu, menanamkan nilai sportivitas dalam interaksi sosial menjadi penting
untuk menjaga kohesi masyarakat dan membangun pola relasi yang saling
menghormati.
Etika kompetisi dalam dunia kerja, misalnya, terlihat dalam bentuk persaingan sehat antarindividu
untuk memperoleh posisi atau prestasi, namun tetap menjaga prinsip fair play,
keterbukaan informasi, dan penghargaan terhadap kontribusi orang lain.² Ketika
kompetisi dikelola secara etis, ia dapat mendorong inovasi, meningkatkan
produktivitas, dan membangun iklim kerja yang dinamis. Namun sebaliknya, ketika
nilai-nilai etis diabaikan, kompetisi dapat melahirkan lingkungan kerja yang
penuh tekanan, intrik, dan ketidakpercayaan.
Di bidang pendidikan, penerapan etika kompetisi
menjadi semakin penting seiring dengan meningkatnya penggunaan sistem evaluasi
berbasis peringkat, lomba akademik, dan program pengayaan.³ Pendidikan sering
kali menjadi ruang kompetitif bagi siswa dalam mengejar nilai, beasiswa, atau
penghargaan lainnya. Namun, tanpa pembinaan karakter yang memadai, persaingan
tersebut dapat mendorong praktik-praktik tidak etis seperti mencontek,
memanipulasi data tugas, bahkan bullying terhadap siswa yang dianggap sebagai
ancaman akademik.⁴
Untuk itu, pendekatan pendidikan karakter
perlu mengintegrasikan pemahaman dan praktik etika kompetisi ke dalam kurikulum
dan kegiatan pembelajaran. Lickona menekankan bahwa membentuk karakter siswa
bukan hanya tentang pengajaran nilai secara kognitif, tetapi juga melalui
pembiasaan dalam tindakan nyata.⁵ Sekolah perlu menciptakan lingkungan yang
mengajarkan siswa bagaimana bersaing secara sehat, menerima kekalahan,
menghargai kemenangan orang lain, dan mengembangkan empati terhadap sesama.
Program-program seperti ko-kurikuler dan
ekstrakurikuler—termasuk kegiatan olahraga, lomba ilmiah, debat, atau kerja
kelompok—merupakan wahana strategis untuk menanamkan nilai sportivitas. Dalam
kegiatan tersebut, siswa tidak hanya dilatih untuk menang, tetapi juga untuk
belajar dari kegagalan, menghargai proses, dan menjaga etika dalam
berinteraksi.⁶
Lebih jauh, penguatan etika kompetisi juga penting
dalam kepemimpinan siswa, seperti organisasi OSIS, Pramuka, dan forum
musyawarah siswa. Dalam forum-forum ini, siswa belajar menghadapi dinamika
persaingan ide dan kepemimpinan dengan cara yang etis, argumentatif, dan
konstruktif. Proses ini bukan hanya memperkuat jiwa kepemimpinan, tetapi juga
membentuk pola pikir demokratis yang berakar pada penghormatan terhadap
perbedaan.
Dengan demikian, penerapan etika kompetisi dalam kehidupan
sosial dan pendidikan bukan hanya soal moralitas individual, tetapi juga
investasi dalam membangun masyarakat yang adil, sehat, dan bermartabat.
Jiwa sportivitas menjadi jembatan antara pencapaian personal dan tanggung jawab
sosial, yang keduanya sangat penting dalam pembentukan karakter generasi masa
depan.
Footnotes
[1]
Richard Sennett, The Corrosion of Character: The
Personal Consequences of Work in the New Capitalism (New York: W. W.
Norton, 1998), 24–27.
[2]
Jeffrey Pfeffer, Power: Why Some People Have It
and Others Don’t (New York: HarperBusiness, 2010), 112–114.
[3]
Alfie Kohn, “The Case Against Competition,” Phi
Delta Kappan 74, no. 6 (1993): 555–561.
[4]
Maurice J. Elias et al., Promoting Social and
Emotional Learning: Guidelines for Educators (Alexandria, VA: Association
for Supervision and Curriculum Development, 1997), 38–41.
[5]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our
Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books,
1991), 51–53.
[6]
David L. Shields and Brenda Bredemeier, Character
Development and Physical Activity (Champaign, IL: Human Kinetics, 1995),
105–110.
6.
Tantangan dan Problematika dalam Menegakkan
Etika Kompetisi
Meskipun nilai-nilai etika kompetisi dan
sportivitas telah diakui secara luas sebagai bagian penting dalam pembentukan
karakter dan keharmonisan sosial, praktik di lapangan menunjukkan bahwa
penerapannya masih menghadapi banyak tantangan. Tantangan-tantangan ini
bersifat struktural, kultural, dan psikologis, serta muncul dalam berbagai konteks,
mulai dari pendidikan, olahraga, hingga dunia profesional.
Salah satu tantangan utama adalah dominasi
paradigma kemenangan sebagai satu-satunya indikator keberhasilan. Dalam
banyak kasus, terutama di lingkungan olahraga kompetitif dan sistem pendidikan yang
sangat menekankan hasil, individu diajarkan untuk fokus pada kemenangan dengan
segala cara, termasuk dengan mengorbankan integritas dan nilai moral.¹ Konsep
ini sering kali diperkuat oleh tekanan eksternal seperti tuntutan orang tua,
sponsor, atau lembaga yang mengukur prestasi hanya melalui skor, ranking, atau
medali.² Akibatnya, etika menjadi subordinat dari ambisi, dan perilaku tidak
sportif pun dianggap sebagai bagian dari strategi untuk menang.
Kedua, terdapat komersialisasi dan
profesionalisasi kompetisi, terutama dalam dunia olahraga dan industri
kreatif. Ketika olahraga dijadikan komoditas yang mendatangkan keuntungan
finansial besar, prinsip moral sering kali dikompromikan.³ Skandal doping,
pengaturan pertandingan, dan manipulasi data peserta dalam kompetisi adalah
cerminan bagaimana nilai-nilai sportivitas sering tergeser oleh motif ekonomi
dan politik.⁴ Dalam sistem ini, kemenangan tidak lagi menjadi sarana untuk
pembinaan karakter, tetapi alat untuk mengejar ketenaran dan keuntungan material.
Ketiga, budaya sosial yang kompetitif secara
berlebihan (hyper-competitiveness) turut memperparah problematika etika.
Dalam budaya ini, keberhasilan pribadi dipandang sebagai hasil dari
pengunggulan atas orang lain, bukan sebagai bagian dari kolaborasi atau
kontribusi bersama.⁵ Menurut Ryckman, individu yang tumbuh dalam budaya seperti
ini cenderung menunjukkan tingkat empati yang rendah, perilaku agresif, serta
kecenderungan untuk memanipulasi lawan.⁶ Hal ini tentu bertentangan dengan
prinsip-prinsip sportivitas yang menjunjung tinggi respek dan kesetaraan.
Selain itu, kurangnya pendidikan nilai dan
refleksi moral yang sistematis di berbagai institusi turut menjadi kendala
dalam menegakkan etika kompetisi. Banyak lembaga pendidikan atau organisasi
olahraga masih memusatkan perhatian pada aspek teknis dan prestasi, tanpa
memberikan ruang bagi peserta untuk merefleksikan tindakan dan sikap mereka
dalam proses kompetitif.⁷ Padahal, refleksi moral sangat penting untuk
membangun kesadaran dan otonomi etis, yaitu kemampuan untuk menilai dan memilih
tindakan yang benar secara mandiri.
Tantangan
lainnya juga muncul dari media dan teknologi digital, yang sering kali
mempromosikan narasi kompetisi yang toksik dan dangkal. Konten-konten digital
yang viral sering kali menampilkan kemenangan sebagai bentuk dominasi atau
penghinaan terhadap pihak lain, bukan sebagai pencapaian kolektif yang etis.⁸
Hal ini membentuk pola pikir generasi muda bahwa pengakuan dan popularitas
lebih penting daripada integritas dan sportivitas.
Menghadapi tantangan-tantangan tersebut, diperlukan
intervensi multidimensional—baik melalui kebijakan, pendidikan,
pembinaan karakter, maupun reformasi sistem evaluasi prestasi. Pihak-pihak
seperti pendidik, pelatih, orang tua, pemimpin komunitas, dan media harus
bekerja sama membangun budaya kompetitif yang sehat dan bermartabat. Tanpa
upaya bersama, etika kompetisi akan terus menjadi wacana ideal tanpa penerapan
yang nyata dalam kehidupan.
Footnotes
[1]
Alfie Kohn, No Contest: The Case Against Competition,
2nd ed. (Boston: Houghton Mifflin, 1992), 15–18.
[2]
David Light Shields and Brenda Light Bredemeier, True
Competition: A Guide to Pursuing Excellence in Sport and Society
(Champaign, IL: Human Kinetics, 2009), 41–44.
[3]
Jennifer Hargreaves and Eric Dunning, eds., Sport,
Cultures, and Ideologies (London: Routledge, 2002), 72–75.
[4]
Verner Møller, “The Ethics of Doping and
Anti-Doping: Redeeming the Soul of Sport?” Sport in Society 13, no. 3
(2010): 432–447.
[5]
Richard Sennett, The Culture of the New Capitalism
(New Haven: Yale University Press, 2006), 53–55.
[6]
Richard M. Ryckman et al., “Development and
Validation of a Hypercompetitive Attitude Scale,” Journal of Personality
Assessment 56, no. 3 (1991): 456–467.
[7]
Don Hellison, Teaching Responsibility through Physical
Activity, 3rd ed. (Champaign, IL: Human Kinetics, 2011), 33–36.
[8]
Henry Jenkins et al., Confronting the Challenges
of Participatory Culture: Media Education for the 21st Century (Cambridge,
MA: MIT Press, 2009), 13–15.
7.
Strategi Menanamkan Jiwa Sportivitas Sejak Dini
Penanaman jiwa sportivitas sejak usia dini
merupakan fondasi penting dalam membentuk generasi yang kompetitif secara
sehat, bermoral, dan bertanggung jawab secara sosial. Sportivitas sebagai wujud
dari nilai-nilai moral seperti kejujuran, tanggung jawab, rasa hormat, dan
toleransi, tidak terbentuk secara instan. Ia merupakan hasil dari proses
pendidikan, pembiasaan, dan keteladanan yang berlangsung secara konsisten dalam
lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.¹ Oleh karena itu, strategi untuk
menanamkan sportivitas harus bersifat sistematis, kontekstual, dan integratif.
Strategi pertama adalah melalui peran aktif
keluarga sebagai agen pendidikan pertama dan utama. Keluarga merupakan
tempat awal di mana anak belajar tentang aturan, interaksi sosial, serta
bagaimana menghadapi kemenangan dan kekalahan.² Orang tua yang memberikan
contoh sportivitas dalam kehidupan sehari-hari—seperti menghargai pendapat
anak, tidak bersikap kasar saat kalah dalam permainan keluarga, dan memberikan
penghargaan terhadap usaha anak, bukan hanya hasilnya—akan menciptakan suasana
edukatif yang mendukung internalisasi nilai-nilai sportivitas.³
Strategi kedua adalah melalui pendidikan karakter
di lingkungan sekolah, khususnya melalui integrasi nilai sportivitas dalam
kurikulum dan kegiatan pembelajaran. Sekolah harus menjadi ruang aman bagi
peserta didik untuk belajar bersaing secara sehat, mengembangkan empati, dan
mengelola kegagalan dengan bijak. Menurut Lickona, pendidikan karakter yang
berhasil adalah yang menyatukan aspek kognitif (pengetahuan tentang nilai),
afektif (perasaan terhadap nilai), dan perilaku (tindakan berdasarkan nilai).⁴
Dalam konteks ini, guru memiliki peran strategis untuk menjadi role model dan
fasilitator nilai-nilai tersebut.
Program pendidikan jasmani dan kegiatan
ekstrakurikuler juga menyediakan wadah yang sangat efektif untuk membentuk
jiwa sportivitas. Aktivitas olahraga, permainan kelompok, dan kompetisi antarkelas
dapat dijadikan media untuk melatih penerimaan terhadap hasil pertandingan,
kerja sama tim, dan penghargaan terhadap lawan.⁵ Penelitian menunjukkan bahwa
partisipasi dalam aktivitas fisik yang diarahkan dengan pendekatan pedagogis
dapat meningkatkan dimensi sportivitas seperti respek terhadap aturan, wasit,
dan rekan setim.⁶ Dalam hal ini, pendekatan Teaching Personal and Social
Responsibility (TPSR) yang dikembangkan oleh Don Hellison sangat relevan.
TPSR mengajarkan lima level tanggung jawab: penghormatan terhadap orang lain,
partisipasi, otonomi, kepedulian sosial, dan transfer nilai ke kehidupan di
luar lapangan.⁷
Strategi berikutnya adalah pelibatan komunitas
dan media sosial sebagai ruang pembelajaran etis. Di era digital, anak dan
remaja sangat terpengaruh oleh figur publik dan narasi media. Oleh karena itu,
penting untuk mendorong tokoh masyarakat, atlet, dan konten kreator untuk
mempromosikan perilaku sportif dan etika kompetitif melalui berbagai platform.⁸
Kampanye publik, video edukatif, serta cerita inspiratif tentang tokoh-tokoh
yang menjunjung tinggi sportivitas dapat memperkuat pembelajaran nilai secara
tidak langsung namun berkesan.
Selain itu, strategi penting lainnya adalah memberikan
ruang refleksi dan umpan balik terhadap pengalaman kompetitif anak.
Refleksi setelah pertandingan atau kegiatan kompetitif, baik menang maupun
kalah, dapat membantu anak memahami perasaan, tindakan, dan dampaknya terhadap
orang lain.⁹ Melalui refleksi ini, anak belajar bahwa sportivitas bukan sekadar
mengikuti aturan, tetapi lebih dalam dari itu—yakni menjadi manusia yang
bermartabat dalam setiap situasi persaingan.
Dengan demikian, menanamkan jiwa sportivitas sejak
dini memerlukan kolaborasi yang sinergis antara keluarga, sekolah, masyarakat,
dan media. Pendidikan nilai yang bersifat holistik dan berbasis pengalaman akan
membentuk individu yang tidak hanya kompetitif, tetapi juga beretika, toleran,
dan berjiwa besar.
Footnotes
[1]
David L. Shields and Brenda Light Bredemeier, Character
Development and Physical Activity (Champaign, IL: Human Kinetics, 1995),
20–24.
[2]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our
Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991),
49–53.
[3]
James P. Comer, “Educating Whole Child for the
Whole World: The Role of Family,” Harvard Educational Review 81, no. 1
(2011): 1–9.
[4]
Lickona, Educating for Character, 71–74.
[5]
Peter Arnold, “Sport, Ethics and Education,” Journal
of Moral Education 19, no. 2 (1990): 117–126.
[6]
Alan L. Smith and Maureen R. Weiss, “Developmental
Sport and Exercise Psychology: A Lifespan Perspective,” in Developmental
Sport and Exercise Psychology: A Lifespan Perspective, ed. Maureen R. Weiss
(Morgantown, WV: Fitness Information Technology, 2004), 407–410.
[7]
Don Hellison, Teaching Personal and Social
Responsibility through Physical Activity, 3rd ed. (Champaign, IL: Human
Kinetics, 2011), 19–21.
[8]
Henry Jenkins et al., Participatory Culture in a
Networked Era: A Conversation on Youth, Learning, Commerce, and Politics
(Cambridge: Polity Press, 2016), 89–92.
[9]
Maurice J. Elias et al., Promoting Social and
Emotional Learning: Guidelines for Educators (Alexandria, VA: ASCD, 1997),
85–88.
8.
Studi Kasus dan Praktik Baik
Untuk memahami
bagaimana etika kompetisi dan jiwa sportivitas dapat diterapkan secara nyata,
penting untuk meninjau sejumlah studi kasus dan praktik baik
dari berbagai bidang kehidupan, khususnya olahraga, pendidikan, dan komunitas
sosial. Studi-studi ini menunjukkan bahwa nilai-nilai seperti kejujuran, respek
terhadap lawan, penerimaan terhadap kekalahan, serta keberanian untuk bersikap
adil tetap dapat ditegakkan, bahkan dalam situasi kompetitif yang sangat
intens.
8.1.
Sportivitas dalam
Dunia Olahraga Profesional
Salah satu contoh
menonjol dari sportivitas dalam olahraga profesional adalah tindakan
Paolo Di Canio, pemain sepak bola asal Italia, yang pada tahun
2000 menghentikan pertandingan dan menolak mencetak gol ketika melihat kiper
lawan cedera di lapangan. Alih-alih memanfaatkan situasi tersebut untuk
mencetak gol kemenangan, ia memilih menang secara bermartabat. FIFA kemudian
memberikan penghargaan Fair Play Award atas tindakannya
tersebut.¹ Tindakan ini menggambarkan bahwa dalam tekanan tinggi sekalipun,
sportivitas tetap dapat dijadikan pedoman perilaku yang luhur.
Contoh lainnya
adalah Roger
Federer, petenis dunia yang secara konsisten dipuji tidak hanya
karena prestasinya, tetapi juga karena sikap respek yang ditunjukkannya
terhadap lawan, wasit, dan penonton. Federer dikenal sebagai atlet yang jarang
menunjukkan perilaku destruktif di lapangan dan mampu menjaga emosi dalam
kemenangan maupun kekalahan.² Keteladanan seperti ini menjadi model penting
bagi atlet muda dalam menumbuhkan etika kompetisi yang elegan dan beradab.
8.2.
Praktik Baik di
Lingkungan Pendidikan
Dalam lingkungan
pendidikan, program seperti Teaching Personal and Social Responsibility
(TPSR) telah berhasil diterapkan di sejumlah sekolah dasar dan
menengah sebagai bagian dari pembelajaran jasmani dan pengembangan karakter.
Program ini berfokus pada pembelajaran nilai tanggung jawab pribadi, kerja sama
tim, dan respek terhadap orang lain. Studi yang dilakukan oleh Martinek dan
Hellison menunjukkan bahwa siswa yang mengikuti TPSR secara signifikan meningkatkan
kesadaran moral dan keterampilan sosial mereka, khususnya dalam konteks
kompetitif.³
Contoh praktik baik
juga dapat ditemukan di Sekolah Karakter di New York
yang menerapkan prinsip "Win with humility, lose with dignity"
dalam semua kegiatan kompetitif siswa.⁴ Guru-guru dilatih untuk memberikan feedback
yang berfokus pada proses, bukan hanya hasil, serta memberi penghargaan atas
sikap sportif meskipun tidak menang. Program ini menciptakan iklim belajar yang
menekankan penguatan nilai etis, bukan hanya pencapaian akademik.
8.3.
Inisiatif Komunitas
dan Gerakan Sosial
Selain institusi
formal, komunitas dan gerakan sosial juga telah memainkan peran penting dalam
menumbuhkan sportivitas. Salah satu inisiatif adalah PeacePlayers
International, sebuah organisasi yang menggunakan permainan
bola basket untuk menyatukan pemuda dari latar belakang konflik seperti di
Irlandia Utara, Siprus, dan Timur Tengah.⁵ Dengan menjadikan olahraga sebagai
medium membangun hubungan antarindividu yang sebelumnya bermusuhan, program ini
berhasil memperkuat nilai sportivitas, kerja sama, dan toleransi lintas
identitas sosial.
Contoh serupa juga
terlihat dari gerakan lokal di Indonesia, seperti Festival
Sepak Bola Anak Indonesia (FSAI), yang tidak hanya menilai tim
berdasarkan skor, tetapi juga memberikan penghargaan khusus untuk “Tim
Paling Sportif” dan “Pemain Paling Inspiratif”.⁶
Pendekatan ini menggeser paradigma kompetisi anak dari sekadar menang-kalah ke
arah pembinaan nilai dan karakter.
Footnotes
[1]
FIFA, “FIFA Fair Play Award 2001: Paolo Di Canio,” FIFA.com,
diakses 5 April 2025, https://www.fifa.com.
[2]
John B. Walters, “The Gentleman Champion: A Sociological Profile of
Roger Federer,” Sport in Society 17, no. 2 (2014): 205–218.
[3]
Thomas Martinek and Don Hellison, “Fostering Personal and Social
Responsibility through Physical Activity: Implications for Educational
Practice,” Quest 61, no. 1 (2009): 34–48.
[4]
Carol Dweck, Mindset: The New Psychology of Success (New York:
Random House, 2006), 146–148.
[5]
Karen L. Mapp and Paul J. Goren, Powerful Partnerships: A Teacher’s
Guide to Engaging Families for Student Success (New York: Scholastic,
2019), 112.
[6]
Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia (Kemenpora), Laporan
Tahunan Program Pembinaan Sepak Bola Usia Dini, 2022.
9.
Penutup
Etika kompetisi dan jiwa sportivitas merupakan
fondasi moral yang tidak hanya relevan dalam dunia olahraga, tetapi juga dalam
kehidupan sosial, pendidikan, dan profesional. Kompetisi yang dijalankan tanpa
prinsip etika cenderung melahirkan ketimpangan, ketidakadilan, dan bahkan
kekerasan simbolik maupun struktural. Sebaliknya, kompetisi yang berlandaskan
sportivitas dapat menjadi sarana efektif dalam membentuk karakter individu yang
kuat, adil, dan bertanggung jawab.
Sportivitas tidak hanya mencerminkan kepatuhan
terhadap aturan formal, tetapi juga mengandung makna moral yang lebih dalam:
menghargai lawan, menerima kekalahan dengan lapang dada, dan tidak menggunakan
segala cara untuk menang.⁽¹⁾ Nilai-nilai ini menjadi semakin penting dalam era
modern yang ditandai oleh budaya kompetitif yang ekstrem, tekanan prestasi, dan
godaan pragmatisme yang mengabaikan integritas. Oleh karena itu, diperlukan
kesadaran kolektif untuk mengembangkan etika kompetisi yang sehat dan
berkelanjutan.
Pembahasan dalam artikel ini telah menunjukkan
bahwa upaya menanamkan sportivitas harus dilakukan sejak dini, melalui peran
aktif keluarga, institusi pendidikan, komunitas, serta media. Program seperti Teaching
Personal and Social Responsibility (TPSR), pembelajaran berbasis karakter,
dan kompetisi yang menekankan proses ketimbang hasil telah terbukti mampu
menumbuhkan kesadaran etis dalam diri peserta didik.⁽²⁾ Di sisi lain, teladan
dari dunia olahraga profesional dan gerakan sosial berbasis sportivitas
menunjukkan bahwa penerapan nilai-nilai ini bukanlah sesuatu yang utopis,
melainkan dapat diwujudkan secara konkret.
Tantangan tetap ada, seperti tekanan
komersialisasi, budaya menang-untuk-menang, dan lemahnya pendidikan nilai.
Namun, tantangan ini bukan alasan untuk menyerah, melainkan menjadi panggilan
bagi para pendidik, pembuat kebijakan, pelatih, dan pemimpin masyarakat untuk
terus memperjuangkan integritas dan keadilan dalam setiap bentuk persaingan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Shields dan Bredemeier, kompetisi sejati adalah
ketika seseorang tidak hanya mengejar kemenangan, tetapi juga menjaga martabat
dirinya dan orang lain dalam proses itu.⁽³⁾
Dengan menginternalisasi nilai-nilai sportivitas
dan etika kompetisi, masyarakat dapat menciptakan lingkungan sosial yang lebih
adil, kolaboratif, dan bermartabat. Pendidikan moral melalui kompetisi bukan
hanya menciptakan pemenang di arena pertandingan, tetapi juga membentuk warga
negara yang beretika dan bertanggung jawab dalam kehidupan nyata.
Footnotes
[1]
Robert L. Simon, Fair Play: The Ethics of Sport,
4th ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2016), 50–52.
[2]
Don Hellison, Teaching Personal and Social
Responsibility through Physical Activity, 3rd ed. (Champaign, IL: Human
Kinetics, 2011), 21–25.
[3]
David L. Shields and Brenda Light Bredemeier, True
Competition: A Guide to Pursuing Excellence in Sport and Society (Champaign,
IL: Human Kinetics, 2009), 3–7.
Daftar Pustaka
Arnold, P. (1990). Sport,
ethics and education. Journal of Moral Education, 19(2), 117–126. https://doi.org/10.1080/0305724900190206
Arnold, P. (1996).
Education, sport and the development of ethically competent persons. Quest,
48(2), 304–316. https://doi.org/10.1080/00336297.1996.10484201
Comer, J. P. (2011).
Educating whole child for the whole world: The role of family. Harvard
Educational Review, 81(1), 1–9. https://doi.org/10.17763/haer.81.1.g616825n1v46q853
Dweck, C. (2006). Mindset:
The new psychology of success. Random House.
Elias, M. J., Zins, J. E.,
Weissberg, R. P., Frey, K. S., Greenberg, M. T., Haynes, N. M., Kessler, R.,
Schwab-Stone, M. E., & Shriver, T. P. (1997). Promoting social and
emotional learning: Guidelines for educators. Association for Supervision
and Curriculum Development.
FIFA. (2001). FIFA Fair
Play Award 2001: Paolo Di Canio. Retrieved April 5, 2025, from https://www.fifa.com
Hargreaves, J., &
Dunning, E. (Eds.). (2002). Sport, cultures, and ideologies.
Routledge.
Hellison, D. (2011). Teaching
personal and social responsibility through physical activity (3rd ed.).
Human Kinetics.
Jenkins, H., Ito, M., &
boyd, d. (2016). Participatory culture in a networked era: A conversation
on youth, learning, commerce, and politics. Polity Press.
Jenkins, H., Purushotma,
R., Clinton, K., Weigel, M., & Robison, A. (2009). Confronting the
challenges of participatory culture: Media education for the 21st century.
MIT Press.
Kemenpora RI. (2022). Laporan
tahunan program pembinaan sepak bola usia dini. Kementerian Pemuda dan
Olahraga Republik Indonesia.
Kohn, A. (1992). No
contest: The case against competition (2nd ed.). Houghton Mifflin.
Kohn, A. (1993). The case
against competition. Phi Delta Kappan, 74(6), 555–561.
Lickona, T. (1991). Educating
for character: How our schools can teach respect and responsibility.
Bantam Books.
Mapp, K. L., & Goren,
P. J. (2019). Powerful partnerships: A teacher’s guide to engaging families
for student success. Scholastic.
Martinek, T., &
Hellison, D. (2009). Fostering personal and social responsibility through
physical activity: Implications for educational practice. Quest, 61(1),
34–48. https://doi.org/10.1080/00336297.2009.10483606
Morgan, W. J. (1989).
Sportsmanship and the competitive ethos. Journal of the Philosophy of
Sport, 16(1), 19–25. https://doi.org/10.1080/00948705.1989.9714450
Morgan, W. J. (Ed.).
(2018). Ethics in sport (3rd ed.). Human Kinetics.
Møller, V. (2010). The
ethics of doping and anti-doping: Redeeming the soul of sport? Sport in
Society, 13(3), 432–447. https://doi.org/10.1080/17430431003588109
Parry, J. (2009). Fair play
in sport: A moral norm system. Sport, Ethics and Philosophy, 3(2),
158–170. https://doi.org/10.1080/17511320903063338
Pedersen, P. M., &
Thibault, L. (2019). Contemporary sport management (6th ed.). Human
Kinetics.
Pfeffer, J. (2010). Power:
Why some people have it and others don’t. HarperBusiness.
Ryckman, R. M., Hammer, M.,
Kaczor, L. M., & Gold, J. A. (1991). Development and validation of a
Hypercompetitive Attitude Scale. Journal of Personality Assessment, 56(3),
456–467. https://doi.org/10.1207/s15327752jpa5603_11
Sennett, R. (1998). The
corrosion of character: The personal consequences of work in the new capitalism.
W. W. Norton.
Sennett, R. (2006). The
culture of the new capitalism. Yale University Press.
Shields, D. L., &
Bredemeier, B. L. (1995). Character development and physical activity.
Human Kinetics.
Shields, D. L., &
Bredemeier, B. L. (2009). True competition: A guide to pursuing excellence
in sport and society. Human Kinetics.
Simon, R. L. (2016). Fair
play: The ethics of sport (4th ed.). Westview Press.
Smith, A. L., & Weiss,
M. R. (2004). Developmental sport and exercise psychology: A lifespan perspective.
In M. R. Weiss (Ed.), Developmental sport and exercise psychology: A
lifespan perspective (pp. 407–410). Fitness Information Technology.
Walters, J. B. (2014). The
gentleman champion: A sociological profile of Roger Federer. Sport in
Society, 17(2), 205–218. https://doi.org/10.1080/17430437.2013.790891
Tidak ada komentar:
Posting Komentar