Minggu, 20 April 2025

Materi 5 LDK 2025: Etika Kompetisi dan Jiwa Sportivitas

Materi 5 LDK 2025

Etika Kompetisi dan Jiwa Sportivitas

“Fondasi Moral dalam Dunia Olahraga dan Kehidupan Sosial”


Alihkan ke: MPK, OSIS.


Abstrak

Artikel ini membahas pentingnya etika kompetisi dan jiwa sportivitas sebagai fondasi moral yang esensial dalam berbagai dimensi kehidupan manusia, khususnya dalam konteks olahraga, pendidikan, dan kehidupan sosial. Kompetisi yang tidak disertai etika berpotensi melahirkan perilaku destruktif, manipulatif, dan tidak adil. Sebaliknya, kompetisi yang dilandasi nilai-nilai sportivitas seperti kejujuran, respek, tanggung jawab, dan pengendalian diri akan membentuk individu yang berintegritas dan kolaboratif. Artikel ini menyajikan pembahasan teoritis mengenai konsep etika kompetisi dan sportivitas, serta relevansinya dalam membentuk karakter dan tatanan sosial yang sehat. Selain itu, diuraikan pula tantangan dalam menegakkan nilai-nilai tersebut, seperti budaya menang-untuk-menang, komersialisasi olahraga, dan lemahnya pendidikan nilai. Melalui studi kasus dan praktik baik di berbagai konteks—termasuk dunia olahraga profesional, pendidikan karakter di sekolah, serta gerakan sosial berbasis sportivitas—artikel ini menawarkan strategi konkret untuk menanamkan jiwa sportivitas sejak dini. Dengan pendekatan multidisipliner dan berbasis pada literatur akademik, artikel ini menegaskan bahwa etika kompetisi dan sportivitas bukan hanya ideal moral, tetapi juga kebutuhan praktis dalam membangun masyarakat yang adil, tangguh, dan bermartabat.

Kata Kunci: Etika kompetisi; sportivitas; pendidikan karakter; nilai moral; pendidikan jasmani; keadilan sosial; pengembangan kepribadian.


PEMBAHASAN

Etika Kompetisi dan Jiwa Sportivitas


1.           Pendahuluan

Kompetisi merupakan bagian tak terpisahkan dari dinamika kehidupan manusia. Baik dalam konteks olahraga, pendidikan, maupun dunia kerja, manusia cenderung berlomba untuk mencapai prestasi dan pengakuan. Dalam dunia modern yang serba cepat dan kompetitif, keberhasilan sering kali diukur melalui kemampuan individu atau kelompok dalam mengungguli yang lain. Namun, ketika semangat kompetisi melampaui batas etis dan moral, maka yang muncul adalah persaingan tidak sehat, manipulasi, bahkan kekerasan simbolik maupun fisik yang mengaburkan nilai luhur dari kompetisi itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan fondasi etis yang kuat guna membimbing perilaku kompetitif ke arah yang konstruktif dan bermartabat.

Dalam kerangka ini, etika kompetisi bukan sekadar seperangkat aturan formal, melainkan prinsip moral yang mengatur tindakan manusia dalam persaingan. Etika ini mencakup kejujuran, keadilan, integritas, dan penghormatan terhadap lawan sebagai mitra dalam proses pembelajaran dan pengembangan diri. Seperti yang dinyatakan oleh Simon, olahraga dan kompetisi seharusnya menjadi sarana untuk mengembangkan karakter, bukan sekadar arena pembuktian superioritas fisik atau teknis semata.¹

Salah satu nilai penting dalam etika kompetisi adalah sportivitas, yaitu sikap mental yang menjunjung tinggi kejujuran, penerimaan hasil, dan penghormatan terhadap semua pihak yang terlibat dalam suatu kompetisi. Sportivitas mencerminkan kematangan emosional dan kedewasaan moral, yang tak hanya berlaku dalam pertandingan olahraga, tetapi juga dalam interaksi sosial yang lebih luas. Menurut Shields dan Bredemeier, sportivitas merupakan manifestasi dari nilai-nilai moral seperti empati, rasa hormat, dan tanggung jawab sosial, yang dapat ditumbuhkan melalui proses pendidikan yang konsisten.²

Dalam konteks pendidikan, kompetisi sering digunakan sebagai alat untuk memotivasi siswa dalam mencapai prestasi. Namun, tanpa penguatan nilai-nilai etis dan sportivitas, kompetisi bisa berujung pada perilaku egoistik, tidak jujur, dan agresif. Pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler seperti olahraga, debat, maupun olimpiade akademik menjadi medan strategis dalam membentuk jiwa sportivitas sejak dini.³ Pembentukan karakter ini memiliki implikasi besar dalam kehidupan sosial, karena individu yang menjunjung tinggi sportivitas cenderung mampu bekerja sama, menghormati perbedaan, dan menyelesaikan konflik secara damai.

Dengan demikian, pembahasan tentang etika kompetisi dan jiwa sportivitas menjadi sangat relevan dalam upaya membangun masyarakat yang sehat secara moral dan sosial. Artikel ini bertujuan untuk mengulas secara mendalam konsep-konsep dasar, nilai-nilai kunci, serta tantangan dan strategi dalam menanamkan etika kompetisi dan sportivitas, khususnya dalam konteks pendidikan dan kehidupan masyarakat modern.


Footnotes

[1]                Robert L. Simon, Fair Play: The Ethics of Sport, 4th ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2016), 12–14.

[2]                David L. Shields and Brenda Bredemeier, Character Development and Physical Activity (Champaign, IL: Human Kinetics, 1995), 78–80.

[3]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 155–158.


2.           Konsep Dasar Etika Kompetisi

Kompetisi, dalam hakikatnya, merupakan bagian alami dari dinamika sosial dan perkembangan manusia. Sejak kecil, individu belajar bersaing—baik dalam permainan, pendidikan, maupun aktivitas sosial lainnya. Dalam pengertian umum, kompetisi adalah suatu proses di mana dua pihak atau lebih berupaya mencapai tujuan tertentu yang hanya bisa dicapai oleh sebagian dari mereka, sehingga menimbulkan perlombaan.¹ Dalam konteks ini, kompetisi menjadi sarana pembentukan identitas, motivasi, dan pencapaian diri. Namun, tanpa bingkai etika yang jelas, kompetisi dapat berubah menjadi alat dominasi, eksklusi, dan bahkan perusakan moral.

Etika kompetisi merujuk pada seperangkat nilai dan prinsip moral yang mengarahkan individu dalam bersaing secara adil dan bermartabat. Prinsip-prinsip utama dalam etika ini antara lain: kejujuran (tidak menipu atau curang), keadilan (memperlakukan semua pihak setara dalam aturan yang berlaku), integritas (konsistensi antara niat dan tindakan), serta penghormatan terhadap orang lain dan aturan.² Dalam filsafat moral, etika kompetisi sangat dekat dengan teori deontologi Kantian, yang menekankan pentingnya menjadikan manusia sebagai tujuan, bukan sebagai alat semata.³ Dengan kata lain, dalam kompetisi yang etis, lawan bukanlah musuh yang harus dihancurkan, tetapi mitra yang membantu seseorang tumbuh dan berkembang.

Secara psikologis, kompetisi dapat memberikan dampak positif seperti meningkatkan motivasi intrinsik, menumbuhkan ketekunan, dan mempercepat perkembangan keterampilan.⁴ Namun, penelitian juga menunjukkan bahwa kompetisi tanpa nilai dapat memicu stres berlebihan, perilaku agresif, dan menurunnya empati sosial. Oleh karena itu, kompetisi sehat adalah bentuk kompetisi yang didasari oleh kesadaran akan nilai moral dan keseimbangan antara tujuan individu dan kebaikan bersama.

Dalam dunia olahraga, etika kompetisi menjadi landasan penting dalam membangun budaya bertanding yang tidak hanya mengejar kemenangan, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini sejalan dengan pandangan Arnold yang menegaskan bahwa olahraga mengandung nilai pedagogis yang kuat bila dijalankan dalam semangat fair play.⁵ Fair play bukan sekadar ketaatan terhadap aturan, tetapi juga mencakup sikap mental yang menghargai lawan, menerima hasil dengan lapang dada, dan menolak segala bentuk manipulasi dalam pertandingan.

Di luar arena olahraga, konsep etika kompetisi juga penting dalam dunia pendidikan dan profesional. Dalam pendidikan, misalnya, pemberian penghargaan kepada siswa berprestasi tidak boleh mengorbankan nilai kejujuran dan kerjasama.⁶ Sementara itu, di dunia kerja, kompetisi yang sehat mendorong inovasi dan produktivitas, sedangkan kompetisi tidak etis sering kali memicu sabotase dan praktik tidak profesional.

Dengan demikian, memahami konsep dasar etika kompetisi menjadi landasan utama dalam membangun budaya kompetitif yang sehat dan beradab. Kompetisi yang diarahkan oleh nilai moral bukan hanya menghasilkan pemenang, tetapi juga membentuk individu yang matang secara emosional dan bertanggung jawab secara sosial.


Footnotes

[1]                Morton Deutsch, “A Theory of Cooperation and Competition,” Human Relations 2, no. 2 (1949): 129–152.

[2]                Robert L. Simon, Fair Play: The Ethics of Sport, 4th ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2016), 33–35.

[3]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 37–39.

[4]                David C. Johnson and Roger T. Johnson, “Cooperation and Competition: Theory and Research,” in Interaction in Cooperative Groups, ed. Robert Hertz-Lazarowitz and Norman Miller (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 23–37.

[5]                Peter Arnold, “Sport, Ethics and Education,” Journal of Moral Education 19, no. 2 (1990): 117–126.

[6]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 120–125.


3.           Makna dan Nilai Jiwa Sportivitas

Sportivitas adalah konsep moral yang berakar dalam budaya kompetisi, khususnya dalam bidang olahraga, namun nilai-nilainya bersifat universal dan relevan dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Secara etimologis, istilah sportivitas berasal dari kata “sport” yang berarti permainan atau pertandingan, dan ditambahkan akhiran “-ivitas” yang menunjukkan suatu kondisi atau sifat. Dengan demikian, sportivitas dapat dimaknai sebagai sikap atau karakter moral yang tercermin dalam perilaku individu ketika berkompetisi secara jujur, adil, dan penuh hormat terhadap lawan maupun aturan.¹

Shields dan Bredemeier mendefinisikan sportivitas sebagai ekspresi nilai-nilai moral seperti kejujuran, tanggung jawab, empati, dan rasa hormat dalam konteks kompetitif.² Dalam pandangan mereka, sportivitas bukan hanya tentang menerima kekalahan atau bersikap baik saat menang, melainkan juga tentang keterlibatan etis yang mendalam dalam proses pertandingan itu sendiri. Hal ini sejalan dengan gagasan bahwa sportivitas mencerminkan orientasi moral terhadap orang lain dan terhadap sistem nilai yang lebih besar daripada sekadar hasil akhir pertandingan.

Sportivitas memiliki sejumlah dimensi penting yang perlu dipahami secara komprehensif. Pertama, respek terhadap lawan; dalam jiwa sportivitas, lawan bukanlah musuh yang harus dihancurkan, melainkan mitra yang turut membentuk pengalaman kompetitif secara bermakna.³ Kedua, keterbukaan terhadap hasil, baik kemenangan maupun kekalahan, dengan sikap legowo dan tidak menyalahkan pihak lain.⁴ Ketiga, pengendalian diri, yaitu kemampuan mengelola emosi dan perilaku secara dewasa, khususnya dalam situasi yang memicu frustrasi atau provokasi.⁵ Keempat, komitmen terhadap aturan dan semangat permainan (spirit of the game), yang menekankan bahwa aturan bukan hanya untuk ditaati secara formal, tetapi juga untuk dijunjung secara etis.

Nilai-nilai yang terkandung dalam sportivitas erat kaitannya dengan pembentukan karakter individu. Menurut Arnold, sportivitas merupakan bagian dari pendidikan moral yang bertujuan membentuk pribadi yang otonom, bertanggung jawab, dan sadar akan nilai kolektif.⁶ Sportivitas mengajarkan pentingnya mengedepankan proses, bukan sekadar hasil. Hal ini sangat kontras dengan budaya menang-untuk-menang yang sering kali mengabaikan integritas pribadi dan solidaritas sosial.

Dalam konteks pendidikan, sportivitas menjadi komponen penting dalam pengembangan kurikulum pendidikan karakter. Melalui kegiatan olahraga, lomba akademik, atau kerja tim di kelas, siswa dapat belajar menghadapi tantangan, menghargai perbedaan, dan mengelola konflik secara konstruktif.⁷ Oleh karena itu, sportivitas bukan hanya dibentuk melalui instruksi, tetapi juga melalui pengalaman langsung yang merefleksikan nilai-nilai moral dalam tindakan nyata.

Penting untuk disadari bahwa sportivitas bukanlah sikap bawaan, melainkan hasil dari pembinaan yang konsisten. Hal ini menuntut keterlibatan aktif dari pendidik, pelatih, orang tua, dan institusi sosial lainnya untuk menjadi teladan dan fasilitator nilai-nilai tersebut.⁸ Dalam masyarakat yang semakin kompetitif dan terfragmentasi, penanaman jiwa sportivitas menjadi investasi moral jangka panjang yang sangat krusial untuk membangun komunitas yang beretika dan harmonis.


Footnotes

[1]                Clifford and Feezell, Sport and Moral Education (Champaign, IL: Human Kinetics, 1997), 29.

[2]                David L. Shields and Brenda Bredemeier, Character Development and Physical Activity (Champaign, IL: Human Kinetics, 1995), 26–30.

[3]                William J. Morgan, “Sportsmanship and the Competitive Ethos,” Journal of the Philosophy of Sport 16 (1989): 19–25.

[4]                Robert L. Simon, Fair Play: The Ethics of Sport, 4th ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2016), 43–45.

[5]                Jim Parry, “Fair Play in Sport: A Moral Norm System,” Sport, Ethics and Philosophy 3, no. 2 (2009): 158–170.

[6]                Peter Arnold, “Education, Sport and the Development of Ethically Competent Persons,” Quest 48, no. 2 (1996): 304–316.

[7]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 170–173.

[8]                Maureen R. Weiss et al., “Promoting Positive Youth Development Through Physical Activity,” President’s Council on Physical Fitness and Sports Research Digest 3, no. 11 (2008): 1–8.


4.           Etika Kompetisi dalam Konteks Olahraga

Olahraga, sejak awal peradaban manusia, telah menjadi salah satu arena utama dalam mengekspresikan kompetisi yang terstruktur dan terukur. Dalam olahraga modern, kompetisi tidak hanya menjadi sarana pengembangan fisik dan keterampilan teknis, tetapi juga menjadi panggung moral tempat nilai-nilai seperti keadilan, kejujuran, dan penghormatan terhadap sesama diuji dan dibentuk. Etika kompetisi dalam konteks olahraga memiliki posisi strategis karena olahraga menyatukan tujuan pencapaian dan pengembangan karakter dalam satu kerangka pengalaman yang konkret dan emosional.

Secara filosofis, etika olahraga (sport ethics) menuntut bahwa kompetisi harus didasarkan pada prinsip keadilan, respek terhadap aturan, dan pengakuan terhadap lawan sebagai partisipan yang setara.¹ Dalam hal ini, konsep fair play tidak cukup hanya dimaknai sebagai ketaatan formal terhadap peraturan, melainkan harus dimaknai sebagai semangat moral untuk berkompetisi secara adil dan terhormat.² Seperti dikemukakan oleh Morgan, semangat fair play menyiratkan bahwa kemenangan sejati adalah kemenangan yang dicapai tanpa manipulasi, intimidasi, atau pelanggaran prinsip moral.³

Namun, kenyataan di lapangan sering kali menunjukkan ketegangan antara tuntutan untuk menang dan prinsip-prinsip etika. Komersialisasi olahraga profesional, tekanan sponsor, dan ekspektasi publik dapat mendorong atlet, pelatih, atau institusi untuk mengorbankan etika demi hasil. Berbagai kasus pelanggaran seperti penggunaan doping, pengaturan skor (match fixing), atau manipulasi usia dalam turnamen usia muda adalah contoh nyata erosi etika kompetisi dalam olahraga.⁴ Ironisnya, dalam mengejar kemenangan, olahraga yang seharusnya menjadi alat pendidikan karakter berubah menjadi wahana degradasi moral.

Dalam konteks ini, peran pelatih, wasit, dan lembaga olahraga sangat krusial dalam menjaga dan menegakkan etika kompetisi. Pelatih, misalnya, tidak hanya berfungsi sebagai pembimbing teknis, tetapi juga sebagai figur otoritas moral yang menanamkan nilai-nilai sportivitas kepada atlet.⁵ Studi menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan pelatih yang demokratis dan berbasis nilai cenderung menghasilkan perilaku sportivitas yang lebih tinggi di kalangan atlet.⁶ Demikian pula, wasit yang adil dan tegas memainkan peran penting dalam menjaga integritas pertandingan sebagai ruang yang aman, adil, dan bermartabat.

Pendidikan etika melalui olahraga juga dapat dimaksimalkan dalam kegiatan ekstrakurikuler dan program pendidikan jasmani di sekolah. Dalam lingkungan ini, olahraga bukan sekadar kompetisi antarkelas, tetapi juga wahana pembelajaran sosial dan moral. Ketika siswa belajar menerima kekalahan, menghormati keputusan wasit, atau bekerja sama dalam tim, mereka sesungguhnya sedang membangun fondasi karakter yang penting untuk kehidupan bermasyarakat.⁷ Dalam hal ini, etika kompetisi bukan lagi sekadar regulasi teknis, tetapi bagian dari proses pembentukan kepribadian yang utuh.

Model pendekatan yang mengintegrasikan penguatan karakter dengan praktik olahraga, seperti Teaching Personal and Social Responsibility (TPSR), telah terbukti efektif dalam menumbuhkan kesadaran etis di kalangan peserta didik. Program ini menekankan tanggung jawab pribadi dan sosial sebagai bagian dari aktivitas fisik, membentuk kesadaran bahwa keberhasilan sejati dalam olahraga tidak hanya terletak pada kemenangan, tetapi juga pada cara mencapainya.⁸

Dengan demikian, etika kompetisi dalam konteks olahraga adalah panggilan untuk memelihara integritas, menghormati lawan, dan menjadikan olahraga sebagai alat pembentukan karakter, bukan sekadar sarana hiburan atau pencapaian prestise. Keseimbangan antara semangat menang dan nilai moral inilah yang menjadi inti dari sportivitas sejati.


Footnotes

[1]                William J. Morgan, Ethics in Sport, 3rd ed. (Champaign, IL: Human Kinetics, 2018), 4–6.

[2]                Robert L. Simon, Fair Play: The Ethics of Sport, 4th ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2016), 51–54.

[3]                William J. Morgan, “Sportsmanship and the Competitive Ethos,” Journal of the Philosophy of Sport 16 (1989): 22–25.

[4]                Verner Møller, “Doping and the Olympic Games: A Never-Ending Story,” Sport in Society 13, no. 3 (2010): 437–449.

[5]                Paul M. Pedersen and Lucie Thibault, Contemporary Sport Management, 6th ed. (Champaign, IL: Human Kinetics, 2019), 127–129.

[6]                Alan L. Smith, Maureen R. Weiss, and Daniel Gould, “Predicting Children’s Development of Sportspersonship and Social Morality,” The Sport Psychologist 11, no. 1 (1997): 11–26.

[7]                Peter Arnold, “Education, Sport and the Development of Ethically Competent Persons,” Quest 48, no. 2 (1996): 312–315.

[8]                Don Hellison, Teaching Personal and Social Responsibility Through Physical Activity, 3rd ed. (Champaign, IL: Human Kinetics, 2011), 17–19.


5.           Relevansi Etika Kompetisi dalam Kehidupan Sosial dan Pendidikan

Etika kompetisi dan jiwa sportivitas tidak hanya penting dalam dunia olahraga, tetapi juga memiliki relevansi yang mendalam dalam kehidupan sosial dan dunia pendidikan. Kompetisi adalah bagian tak terelakkan dari dinamika sosial, mulai dari seleksi pekerjaan, perlombaan akademik, hingga kontestasi politik. Namun, keberadaan kompetisi dalam masyarakat hanya akan bermakna positif jika dibingkai dalam prinsip etis yang menghargai keadilan, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap orang lain.

Dalam konteks kehidupan sosial, etika kompetisi sangat diperlukan untuk mencegah kecenderungan individualisme ekstrem, manipulasi, dan konflik destruktif yang muncul ketika kompetisi tidak dikendalikan oleh norma moral. Menurut Sennett, masyarakat modern yang sangat kompetitif sering kali melahirkan budaya kerja yang menekankan performa pribadi di atas kerja sama kolektif, sehingga memperlemah solidaritas sosial.¹ Oleh karena itu, menanamkan nilai sportivitas dalam interaksi sosial menjadi penting untuk menjaga kohesi masyarakat dan membangun pola relasi yang saling menghormati.

Etika kompetisi dalam dunia kerja, misalnya, terlihat dalam bentuk persaingan sehat antarindividu untuk memperoleh posisi atau prestasi, namun tetap menjaga prinsip fair play, keterbukaan informasi, dan penghargaan terhadap kontribusi orang lain.² Ketika kompetisi dikelola secara etis, ia dapat mendorong inovasi, meningkatkan produktivitas, dan membangun iklim kerja yang dinamis. Namun sebaliknya, ketika nilai-nilai etis diabaikan, kompetisi dapat melahirkan lingkungan kerja yang penuh tekanan, intrik, dan ketidakpercayaan.

Di bidang pendidikan, penerapan etika kompetisi menjadi semakin penting seiring dengan meningkatnya penggunaan sistem evaluasi berbasis peringkat, lomba akademik, dan program pengayaan.³ Pendidikan sering kali menjadi ruang kompetitif bagi siswa dalam mengejar nilai, beasiswa, atau penghargaan lainnya. Namun, tanpa pembinaan karakter yang memadai, persaingan tersebut dapat mendorong praktik-praktik tidak etis seperti mencontek, memanipulasi data tugas, bahkan bullying terhadap siswa yang dianggap sebagai ancaman akademik.⁴

Untuk itu, pendekatan pendidikan karakter perlu mengintegrasikan pemahaman dan praktik etika kompetisi ke dalam kurikulum dan kegiatan pembelajaran. Lickona menekankan bahwa membentuk karakter siswa bukan hanya tentang pengajaran nilai secara kognitif, tetapi juga melalui pembiasaan dalam tindakan nyata.⁵ Sekolah perlu menciptakan lingkungan yang mengajarkan siswa bagaimana bersaing secara sehat, menerima kekalahan, menghargai kemenangan orang lain, dan mengembangkan empati terhadap sesama.

Program-program seperti ko-kurikuler dan ekstrakurikuler—termasuk kegiatan olahraga, lomba ilmiah, debat, atau kerja kelompok—merupakan wahana strategis untuk menanamkan nilai sportivitas. Dalam kegiatan tersebut, siswa tidak hanya dilatih untuk menang, tetapi juga untuk belajar dari kegagalan, menghargai proses, dan menjaga etika dalam berinteraksi.⁶

Lebih jauh, penguatan etika kompetisi juga penting dalam kepemimpinan siswa, seperti organisasi OSIS, Pramuka, dan forum musyawarah siswa. Dalam forum-forum ini, siswa belajar menghadapi dinamika persaingan ide dan kepemimpinan dengan cara yang etis, argumentatif, dan konstruktif. Proses ini bukan hanya memperkuat jiwa kepemimpinan, tetapi juga membentuk pola pikir demokratis yang berakar pada penghormatan terhadap perbedaan.

Dengan demikian, penerapan etika kompetisi dalam kehidupan sosial dan pendidikan bukan hanya soal moralitas individual, tetapi juga investasi dalam membangun masyarakat yang adil, sehat, dan bermartabat. Jiwa sportivitas menjadi jembatan antara pencapaian personal dan tanggung jawab sosial, yang keduanya sangat penting dalam pembentukan karakter generasi masa depan.


Footnotes

[1]                Richard Sennett, The Corrosion of Character: The Personal Consequences of Work in the New Capitalism (New York: W. W. Norton, 1998), 24–27.

[2]                Jeffrey Pfeffer, Power: Why Some People Have It and Others Don’t (New York: HarperBusiness, 2010), 112–114.

[3]                Alfie Kohn, “The Case Against Competition,” Phi Delta Kappan 74, no. 6 (1993): 555–561.

[4]                Maurice J. Elias et al., Promoting Social and Emotional Learning: Guidelines for Educators (Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development, 1997), 38–41.

[5]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 51–53.

[6]                David L. Shields and Brenda Bredemeier, Character Development and Physical Activity (Champaign, IL: Human Kinetics, 1995), 105–110.


6.           Tantangan dan Problematika dalam Menegakkan Etika Kompetisi

Meskipun nilai-nilai etika kompetisi dan sportivitas telah diakui secara luas sebagai bagian penting dalam pembentukan karakter dan keharmonisan sosial, praktik di lapangan menunjukkan bahwa penerapannya masih menghadapi banyak tantangan. Tantangan-tantangan ini bersifat struktural, kultural, dan psikologis, serta muncul dalam berbagai konteks, mulai dari pendidikan, olahraga, hingga dunia profesional.

Salah satu tantangan utama adalah dominasi paradigma kemenangan sebagai satu-satunya indikator keberhasilan. Dalam banyak kasus, terutama di lingkungan olahraga kompetitif dan sistem pendidikan yang sangat menekankan hasil, individu diajarkan untuk fokus pada kemenangan dengan segala cara, termasuk dengan mengorbankan integritas dan nilai moral.¹ Konsep ini sering kali diperkuat oleh tekanan eksternal seperti tuntutan orang tua, sponsor, atau lembaga yang mengukur prestasi hanya melalui skor, ranking, atau medali.² Akibatnya, etika menjadi subordinat dari ambisi, dan perilaku tidak sportif pun dianggap sebagai bagian dari strategi untuk menang.

Kedua, terdapat komersialisasi dan profesionalisasi kompetisi, terutama dalam dunia olahraga dan industri kreatif. Ketika olahraga dijadikan komoditas yang mendatangkan keuntungan finansial besar, prinsip moral sering kali dikompromikan.³ Skandal doping, pengaturan pertandingan, dan manipulasi data peserta dalam kompetisi adalah cerminan bagaimana nilai-nilai sportivitas sering tergeser oleh motif ekonomi dan politik.⁴ Dalam sistem ini, kemenangan tidak lagi menjadi sarana untuk pembinaan karakter, tetapi alat untuk mengejar ketenaran dan keuntungan material.

Ketiga, budaya sosial yang kompetitif secara berlebihan (hyper-competitiveness) turut memperparah problematika etika. Dalam budaya ini, keberhasilan pribadi dipandang sebagai hasil dari pengunggulan atas orang lain, bukan sebagai bagian dari kolaborasi atau kontribusi bersama.⁵ Menurut Ryckman, individu yang tumbuh dalam budaya seperti ini cenderung menunjukkan tingkat empati yang rendah, perilaku agresif, serta kecenderungan untuk memanipulasi lawan.⁶ Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip-prinsip sportivitas yang menjunjung tinggi respek dan kesetaraan.

Selain itu, kurangnya pendidikan nilai dan refleksi moral yang sistematis di berbagai institusi turut menjadi kendala dalam menegakkan etika kompetisi. Banyak lembaga pendidikan atau organisasi olahraga masih memusatkan perhatian pada aspek teknis dan prestasi, tanpa memberikan ruang bagi peserta untuk merefleksikan tindakan dan sikap mereka dalam proses kompetitif.⁷ Padahal, refleksi moral sangat penting untuk membangun kesadaran dan otonomi etis, yaitu kemampuan untuk menilai dan memilih tindakan yang benar secara mandiri.

Tantangan lainnya juga muncul dari media dan teknologi digital, yang sering kali mempromosikan narasi kompetisi yang toksik dan dangkal. Konten-konten digital yang viral sering kali menampilkan kemenangan sebagai bentuk dominasi atau penghinaan terhadap pihak lain, bukan sebagai pencapaian kolektif yang etis.⁸ Hal ini membentuk pola pikir generasi muda bahwa pengakuan dan popularitas lebih penting daripada integritas dan sportivitas.

Menghadapi tantangan-tantangan tersebut, diperlukan intervensi multidimensional—baik melalui kebijakan, pendidikan, pembinaan karakter, maupun reformasi sistem evaluasi prestasi. Pihak-pihak seperti pendidik, pelatih, orang tua, pemimpin komunitas, dan media harus bekerja sama membangun budaya kompetitif yang sehat dan bermartabat. Tanpa upaya bersama, etika kompetisi akan terus menjadi wacana ideal tanpa penerapan yang nyata dalam kehidupan.


Footnotes

[1]                Alfie Kohn, No Contest: The Case Against Competition, 2nd ed. (Boston: Houghton Mifflin, 1992), 15–18.

[2]                David Light Shields and Brenda Light Bredemeier, True Competition: A Guide to Pursuing Excellence in Sport and Society (Champaign, IL: Human Kinetics, 2009), 41–44.

[3]                Jennifer Hargreaves and Eric Dunning, eds., Sport, Cultures, and Ideologies (London: Routledge, 2002), 72–75.

[4]                Verner Møller, “The Ethics of Doping and Anti-Doping: Redeeming the Soul of Sport?” Sport in Society 13, no. 3 (2010): 432–447.

[5]                Richard Sennett, The Culture of the New Capitalism (New Haven: Yale University Press, 2006), 53–55.

[6]                Richard M. Ryckman et al., “Development and Validation of a Hypercompetitive Attitude Scale,” Journal of Personality Assessment 56, no. 3 (1991): 456–467.

[7]                Don Hellison, Teaching Responsibility through Physical Activity, 3rd ed. (Champaign, IL: Human Kinetics, 2011), 33–36.

[8]                Henry Jenkins et al., Confronting the Challenges of Participatory Culture: Media Education for the 21st Century (Cambridge, MA: MIT Press, 2009), 13–15.


7.           Strategi Menanamkan Jiwa Sportivitas Sejak Dini

Penanaman jiwa sportivitas sejak usia dini merupakan fondasi penting dalam membentuk generasi yang kompetitif secara sehat, bermoral, dan bertanggung jawab secara sosial. Sportivitas sebagai wujud dari nilai-nilai moral seperti kejujuran, tanggung jawab, rasa hormat, dan toleransi, tidak terbentuk secara instan. Ia merupakan hasil dari proses pendidikan, pembiasaan, dan keteladanan yang berlangsung secara konsisten dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.¹ Oleh karena itu, strategi untuk menanamkan sportivitas harus bersifat sistematis, kontekstual, dan integratif.

Strategi pertama adalah melalui peran aktif keluarga sebagai agen pendidikan pertama dan utama. Keluarga merupakan tempat awal di mana anak belajar tentang aturan, interaksi sosial, serta bagaimana menghadapi kemenangan dan kekalahan.² Orang tua yang memberikan contoh sportivitas dalam kehidupan sehari-hari—seperti menghargai pendapat anak, tidak bersikap kasar saat kalah dalam permainan keluarga, dan memberikan penghargaan terhadap usaha anak, bukan hanya hasilnya—akan menciptakan suasana edukatif yang mendukung internalisasi nilai-nilai sportivitas.³

Strategi kedua adalah melalui pendidikan karakter di lingkungan sekolah, khususnya melalui integrasi nilai sportivitas dalam kurikulum dan kegiatan pembelajaran. Sekolah harus menjadi ruang aman bagi peserta didik untuk belajar bersaing secara sehat, mengembangkan empati, dan mengelola kegagalan dengan bijak. Menurut Lickona, pendidikan karakter yang berhasil adalah yang menyatukan aspek kognitif (pengetahuan tentang nilai), afektif (perasaan terhadap nilai), dan perilaku (tindakan berdasarkan nilai).⁴ Dalam konteks ini, guru memiliki peran strategis untuk menjadi role model dan fasilitator nilai-nilai tersebut.

Program pendidikan jasmani dan kegiatan ekstrakurikuler juga menyediakan wadah yang sangat efektif untuk membentuk jiwa sportivitas. Aktivitas olahraga, permainan kelompok, dan kompetisi antarkelas dapat dijadikan media untuk melatih penerimaan terhadap hasil pertandingan, kerja sama tim, dan penghargaan terhadap lawan.⁵ Penelitian menunjukkan bahwa partisipasi dalam aktivitas fisik yang diarahkan dengan pendekatan pedagogis dapat meningkatkan dimensi sportivitas seperti respek terhadap aturan, wasit, dan rekan setim.⁶ Dalam hal ini, pendekatan Teaching Personal and Social Responsibility (TPSR) yang dikembangkan oleh Don Hellison sangat relevan. TPSR mengajarkan lima level tanggung jawab: penghormatan terhadap orang lain, partisipasi, otonomi, kepedulian sosial, dan transfer nilai ke kehidupan di luar lapangan.⁷

Strategi berikutnya adalah pelibatan komunitas dan media sosial sebagai ruang pembelajaran etis. Di era digital, anak dan remaja sangat terpengaruh oleh figur publik dan narasi media. Oleh karena itu, penting untuk mendorong tokoh masyarakat, atlet, dan konten kreator untuk mempromosikan perilaku sportif dan etika kompetitif melalui berbagai platform.⁸ Kampanye publik, video edukatif, serta cerita inspiratif tentang tokoh-tokoh yang menjunjung tinggi sportivitas dapat memperkuat pembelajaran nilai secara tidak langsung namun berkesan.

Selain itu, strategi penting lainnya adalah memberikan ruang refleksi dan umpan balik terhadap pengalaman kompetitif anak. Refleksi setelah pertandingan atau kegiatan kompetitif, baik menang maupun kalah, dapat membantu anak memahami perasaan, tindakan, dan dampaknya terhadap orang lain.⁹ Melalui refleksi ini, anak belajar bahwa sportivitas bukan sekadar mengikuti aturan, tetapi lebih dalam dari itu—yakni menjadi manusia yang bermartabat dalam setiap situasi persaingan.

Dengan demikian, menanamkan jiwa sportivitas sejak dini memerlukan kolaborasi yang sinergis antara keluarga, sekolah, masyarakat, dan media. Pendidikan nilai yang bersifat holistik dan berbasis pengalaman akan membentuk individu yang tidak hanya kompetitif, tetapi juga beretika, toleran, dan berjiwa besar.


Footnotes

[1]                David L. Shields and Brenda Light Bredemeier, Character Development and Physical Activity (Champaign, IL: Human Kinetics, 1995), 20–24.

[2]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 49–53.

[3]                James P. Comer, “Educating Whole Child for the Whole World: The Role of Family,” Harvard Educational Review 81, no. 1 (2011): 1–9.

[4]                Lickona, Educating for Character, 71–74.

[5]                Peter Arnold, “Sport, Ethics and Education,” Journal of Moral Education 19, no. 2 (1990): 117–126.

[6]                Alan L. Smith and Maureen R. Weiss, “Developmental Sport and Exercise Psychology: A Lifespan Perspective,” in Developmental Sport and Exercise Psychology: A Lifespan Perspective, ed. Maureen R. Weiss (Morgantown, WV: Fitness Information Technology, 2004), 407–410.

[7]                Don Hellison, Teaching Personal and Social Responsibility through Physical Activity, 3rd ed. (Champaign, IL: Human Kinetics, 2011), 19–21.

[8]                Henry Jenkins et al., Participatory Culture in a Networked Era: A Conversation on Youth, Learning, Commerce, and Politics (Cambridge: Polity Press, 2016), 89–92.

[9]                Maurice J. Elias et al., Promoting Social and Emotional Learning: Guidelines for Educators (Alexandria, VA: ASCD, 1997), 85–88.


8.           Studi Kasus dan Praktik Baik

Untuk memahami bagaimana etika kompetisi dan jiwa sportivitas dapat diterapkan secara nyata, penting untuk meninjau sejumlah studi kasus dan praktik baik dari berbagai bidang kehidupan, khususnya olahraga, pendidikan, dan komunitas sosial. Studi-studi ini menunjukkan bahwa nilai-nilai seperti kejujuran, respek terhadap lawan, penerimaan terhadap kekalahan, serta keberanian untuk bersikap adil tetap dapat ditegakkan, bahkan dalam situasi kompetitif yang sangat intens.

8.1.       Sportivitas dalam Dunia Olahraga Profesional

Salah satu contoh menonjol dari sportivitas dalam olahraga profesional adalah tindakan Paolo Di Canio, pemain sepak bola asal Italia, yang pada tahun 2000 menghentikan pertandingan dan menolak mencetak gol ketika melihat kiper lawan cedera di lapangan. Alih-alih memanfaatkan situasi tersebut untuk mencetak gol kemenangan, ia memilih menang secara bermartabat. FIFA kemudian memberikan penghargaan Fair Play Award atas tindakannya tersebut.¹ Tindakan ini menggambarkan bahwa dalam tekanan tinggi sekalipun, sportivitas tetap dapat dijadikan pedoman perilaku yang luhur.

Contoh lainnya adalah Roger Federer, petenis dunia yang secara konsisten dipuji tidak hanya karena prestasinya, tetapi juga karena sikap respek yang ditunjukkannya terhadap lawan, wasit, dan penonton. Federer dikenal sebagai atlet yang jarang menunjukkan perilaku destruktif di lapangan dan mampu menjaga emosi dalam kemenangan maupun kekalahan.² Keteladanan seperti ini menjadi model penting bagi atlet muda dalam menumbuhkan etika kompetisi yang elegan dan beradab.

8.2.       Praktik Baik di Lingkungan Pendidikan

Dalam lingkungan pendidikan, program seperti Teaching Personal and Social Responsibility (TPSR) telah berhasil diterapkan di sejumlah sekolah dasar dan menengah sebagai bagian dari pembelajaran jasmani dan pengembangan karakter. Program ini berfokus pada pembelajaran nilai tanggung jawab pribadi, kerja sama tim, dan respek terhadap orang lain. Studi yang dilakukan oleh Martinek dan Hellison menunjukkan bahwa siswa yang mengikuti TPSR secara signifikan meningkatkan kesadaran moral dan keterampilan sosial mereka, khususnya dalam konteks kompetitif.³

Contoh praktik baik juga dapat ditemukan di Sekolah Karakter di New York yang menerapkan prinsip "Win with humility, lose with dignity" dalam semua kegiatan kompetitif siswa.⁴ Guru-guru dilatih untuk memberikan feedback yang berfokus pada proses, bukan hanya hasil, serta memberi penghargaan atas sikap sportif meskipun tidak menang. Program ini menciptakan iklim belajar yang menekankan penguatan nilai etis, bukan hanya pencapaian akademik.

8.3.       Inisiatif Komunitas dan Gerakan Sosial

Selain institusi formal, komunitas dan gerakan sosial juga telah memainkan peran penting dalam menumbuhkan sportivitas. Salah satu inisiatif adalah PeacePlayers International, sebuah organisasi yang menggunakan permainan bola basket untuk menyatukan pemuda dari latar belakang konflik seperti di Irlandia Utara, Siprus, dan Timur Tengah.⁵ Dengan menjadikan olahraga sebagai medium membangun hubungan antarindividu yang sebelumnya bermusuhan, program ini berhasil memperkuat nilai sportivitas, kerja sama, dan toleransi lintas identitas sosial.

Contoh serupa juga terlihat dari gerakan lokal di Indonesia, seperti Festival Sepak Bola Anak Indonesia (FSAI), yang tidak hanya menilai tim berdasarkan skor, tetapi juga memberikan penghargaan khusus untuk “Tim Paling Sportif” dan “Pemain Paling Inspiratif”.⁶ Pendekatan ini menggeser paradigma kompetisi anak dari sekadar menang-kalah ke arah pembinaan nilai dan karakter.


Footnotes

[1]                FIFA, “FIFA Fair Play Award 2001: Paolo Di Canio,” FIFA.com, diakses 5 April 2025, https://www.fifa.com.

[2]                John B. Walters, “The Gentleman Champion: A Sociological Profile of Roger Federer,” Sport in Society 17, no. 2 (2014): 205–218.

[3]                Thomas Martinek and Don Hellison, “Fostering Personal and Social Responsibility through Physical Activity: Implications for Educational Practice,” Quest 61, no. 1 (2009): 34–48.

[4]                Carol Dweck, Mindset: The New Psychology of Success (New York: Random House, 2006), 146–148.

[5]                Karen L. Mapp and Paul J. Goren, Powerful Partnerships: A Teacher’s Guide to Engaging Families for Student Success (New York: Scholastic, 2019), 112.

[6]                Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia (Kemenpora), Laporan Tahunan Program Pembinaan Sepak Bola Usia Dini, 2022.


9.           Penutup

Etika kompetisi dan jiwa sportivitas merupakan fondasi moral yang tidak hanya relevan dalam dunia olahraga, tetapi juga dalam kehidupan sosial, pendidikan, dan profesional. Kompetisi yang dijalankan tanpa prinsip etika cenderung melahirkan ketimpangan, ketidakadilan, dan bahkan kekerasan simbolik maupun struktural. Sebaliknya, kompetisi yang berlandaskan sportivitas dapat menjadi sarana efektif dalam membentuk karakter individu yang kuat, adil, dan bertanggung jawab.

Sportivitas tidak hanya mencerminkan kepatuhan terhadap aturan formal, tetapi juga mengandung makna moral yang lebih dalam: menghargai lawan, menerima kekalahan dengan lapang dada, dan tidak menggunakan segala cara untuk menang.⁽¹⁾ Nilai-nilai ini menjadi semakin penting dalam era modern yang ditandai oleh budaya kompetitif yang ekstrem, tekanan prestasi, dan godaan pragmatisme yang mengabaikan integritas. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran kolektif untuk mengembangkan etika kompetisi yang sehat dan berkelanjutan.

Pembahasan dalam artikel ini telah menunjukkan bahwa upaya menanamkan sportivitas harus dilakukan sejak dini, melalui peran aktif keluarga, institusi pendidikan, komunitas, serta media. Program seperti Teaching Personal and Social Responsibility (TPSR), pembelajaran berbasis karakter, dan kompetisi yang menekankan proses ketimbang hasil telah terbukti mampu menumbuhkan kesadaran etis dalam diri peserta didik.⁽²⁾ Di sisi lain, teladan dari dunia olahraga profesional dan gerakan sosial berbasis sportivitas menunjukkan bahwa penerapan nilai-nilai ini bukanlah sesuatu yang utopis, melainkan dapat diwujudkan secara konkret.

Tantangan tetap ada, seperti tekanan komersialisasi, budaya menang-untuk-menang, dan lemahnya pendidikan nilai. Namun, tantangan ini bukan alasan untuk menyerah, melainkan menjadi panggilan bagi para pendidik, pembuat kebijakan, pelatih, dan pemimpin masyarakat untuk terus memperjuangkan integritas dan keadilan dalam setiap bentuk persaingan. Sebagaimana dikemukakan oleh Shields dan Bredemeier, kompetisi sejati adalah ketika seseorang tidak hanya mengejar kemenangan, tetapi juga menjaga martabat dirinya dan orang lain dalam proses itu.⁽³⁾

Dengan menginternalisasi nilai-nilai sportivitas dan etika kompetisi, masyarakat dapat menciptakan lingkungan sosial yang lebih adil, kolaboratif, dan bermartabat. Pendidikan moral melalui kompetisi bukan hanya menciptakan pemenang di arena pertandingan, tetapi juga membentuk warga negara yang beretika dan bertanggung jawab dalam kehidupan nyata.


Footnotes

[1]                Robert L. Simon, Fair Play: The Ethics of Sport, 4th ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2016), 50–52.

[2]                Don Hellison, Teaching Personal and Social Responsibility through Physical Activity, 3rd ed. (Champaign, IL: Human Kinetics, 2011), 21–25.

[3]                David L. Shields and Brenda Light Bredemeier, True Competition: A Guide to Pursuing Excellence in Sport and Society (Champaign, IL: Human Kinetics, 2009), 3–7.


Daftar Pustaka

Arnold, P. (1990). Sport, ethics and education. Journal of Moral Education, 19(2), 117–126. https://doi.org/10.1080/0305724900190206

Arnold, P. (1996). Education, sport and the development of ethically competent persons. Quest, 48(2), 304–316. https://doi.org/10.1080/00336297.1996.10484201

Comer, J. P. (2011). Educating whole child for the whole world: The role of family. Harvard Educational Review, 81(1), 1–9. https://doi.org/10.17763/haer.81.1.g616825n1v46q853

Dweck, C. (2006). Mindset: The new psychology of success. Random House.

Elias, M. J., Zins, J. E., Weissberg, R. P., Frey, K. S., Greenberg, M. T., Haynes, N. M., Kessler, R., Schwab-Stone, M. E., & Shriver, T. P. (1997). Promoting social and emotional learning: Guidelines for educators. Association for Supervision and Curriculum Development.

FIFA. (2001). FIFA Fair Play Award 2001: Paolo Di Canio. Retrieved April 5, 2025, from https://www.fifa.com

Hargreaves, J., & Dunning, E. (Eds.). (2002). Sport, cultures, and ideologies. Routledge.

Hellison, D. (2011). Teaching personal and social responsibility through physical activity (3rd ed.). Human Kinetics.

Jenkins, H., Ito, M., & boyd, d. (2016). Participatory culture in a networked era: A conversation on youth, learning, commerce, and politics. Polity Press.

Jenkins, H., Purushotma, R., Clinton, K., Weigel, M., & Robison, A. (2009). Confronting the challenges of participatory culture: Media education for the 21st century. MIT Press.

Kemenpora RI. (2022). Laporan tahunan program pembinaan sepak bola usia dini. Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia.

Kohn, A. (1992). No contest: The case against competition (2nd ed.). Houghton Mifflin.

Kohn, A. (1993). The case against competition. Phi Delta Kappan, 74(6), 555–561.

Lickona, T. (1991). Educating for character: How our schools can teach respect and responsibility. Bantam Books.

Mapp, K. L., & Goren, P. J. (2019). Powerful partnerships: A teacher’s guide to engaging families for student success. Scholastic.

Martinek, T., & Hellison, D. (2009). Fostering personal and social responsibility through physical activity: Implications for educational practice. Quest, 61(1), 34–48. https://doi.org/10.1080/00336297.2009.10483606

Morgan, W. J. (1989). Sportsmanship and the competitive ethos. Journal of the Philosophy of Sport, 16(1), 19–25. https://doi.org/10.1080/00948705.1989.9714450

Morgan, W. J. (Ed.). (2018). Ethics in sport (3rd ed.). Human Kinetics.

Møller, V. (2010). The ethics of doping and anti-doping: Redeeming the soul of sport? Sport in Society, 13(3), 432–447. https://doi.org/10.1080/17430431003588109

Parry, J. (2009). Fair play in sport: A moral norm system. Sport, Ethics and Philosophy, 3(2), 158–170. https://doi.org/10.1080/17511320903063338

Pedersen, P. M., & Thibault, L. (2019). Contemporary sport management (6th ed.). Human Kinetics.

Pfeffer, J. (2010). Power: Why some people have it and others don’t. HarperBusiness.

Ryckman, R. M., Hammer, M., Kaczor, L. M., & Gold, J. A. (1991). Development and validation of a Hypercompetitive Attitude Scale. Journal of Personality Assessment, 56(3), 456–467. https://doi.org/10.1207/s15327752jpa5603_11

Sennett, R. (1998). The corrosion of character: The personal consequences of work in the new capitalism. W. W. Norton.

Sennett, R. (2006). The culture of the new capitalism. Yale University Press.

Shields, D. L., & Bredemeier, B. L. (1995). Character development and physical activity. Human Kinetics.

Shields, D. L., & Bredemeier, B. L. (2009). True competition: A guide to pursuing excellence in sport and society. Human Kinetics.

Simon, R. L. (2016). Fair play: The ethics of sport (4th ed.). Westview Press.

Smith, A. L., & Weiss, M. R. (2004). Developmental sport and exercise psychology: A lifespan perspective. In M. R. Weiss (Ed.), Developmental sport and exercise psychology: A lifespan perspective (pp. 407–410). Fitness Information Technology.

Walters, J. B. (2014). The gentleman champion: A sociological profile of Roger Federer. Sport in Society, 17(2), 205–218. https://doi.org/10.1080/17430437.2013.790891


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar