Selasa, 01 April 2025

Ahlul Hadits: Antara Warisan Salaf dan Tantangan Zaman

Ahlul Hadits

Antara Warisan Salaf dan Tantangan Zaman


Alihkan ke: Aliran-Aliran Ilmu Kalam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang Ahlul Hadits sebagai salah satu aliran pemikiran Islam klasik yang memainkan peran sentral dalam menjaga keaslian ajaran Islam. Dengan pendekatan yang berbasis pada Al-Qur’an dan Sunnah shahih, Ahlul Hadits menolak penggunaan akal secara spekulatif dalam perkara akidah dan hukum, serta menghindari perdebatan teologis yang bersifat rasionalistik sebagaimana dilakukan oleh kelompok Ahlur Ra’yi dan Ahli Kalam. Artikel ini menguraikan latar belakang historis kemunculan Ahlul Hadits, karakteristik metodologinya, tokoh-tokoh utamanya, serta kontribusinya terhadap pembentukan doktrin Ahlus Sunnah wal Jama‘ah. Selain itu, disampaikan pula kritik terhadap pendekatan Ahlul Hadits dan bagaimana warisan intelektual mereka tetap relevan dalam menghadapi tantangan pemikiran Islam kontemporer. Artikel ini ditutup dengan rekomendasi berpikir dalam bingkai Ahlus Sunnah wal Jama‘ah agar semangat ilmiah dan spiritual Ahlul Hadits dapat terus dilestarikan dan dikembangkan secara kontekstual di era modern.

Kata Kunci: Ahlul Hadits, Ahlus Sunnah wal Jama‘ah, pemikiran Islam klasik, hadits, akidah salaf, ilmu kalam, tekstualisme, teologi Islam.


PEMBAHASAN

Kajian Ahlul Hadits Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Dalam khazanah sejarah intelektual Islam, perkembangan pemikiran teologis (kalām) merupakan salah satu aspek yang sangat menonjol. Berbagai aliran muncul sebagai respons atas dinamika sosial-politik dan tantangan pemikiran pada masa-masa awal Islam, terutama seiring meluasnya wilayah kekuasaan Islam yang beriringan dengan masuknya berbagai pengaruh filsafat asing, terutama dari Yunani dan Persia. Salah satu aliran penting yang muncul dalam konteks ini adalah Ahlul Hadits, yaitu kelompok ulama dan pemikir Islam yang secara konsisten berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah shahih sebagai dasar utama dalam memahami aqidah dan hukum Islam, serta menolak dominasi akal dan spekulasi filosofis dalam urusan keimanan.

Gerakan Ahlul Hadits tumbuh sebagai bentuk reaksi atas dominasi Ahlur Ra’yi di kalangan ulama tertentu, khususnya di wilayah Kufah, serta sebagai penolakan terhadap aliran-aliran rasionalistik seperti Mu’tazilah yang memposisikan akal sebagai otoritas tertinggi dalam menafsirkan nash-nash agama. Menurut Ignaz Goldziher, Ahlul Hadits merupakan cikal bakal dari semangat ortodoksi Islam yang menekankan pentingnya kembali kepada riwayat dan tradisi Nabi yang otentik, sekaligus menjaga kemurnian ajaran dari pengaruh eksternal dan penafsiran yang menyimpang.1

Salah satu tokoh sentral dari Ahlul Hadits adalah Imam Ahmad bin Hanbal (164–241 H), yang dikenal karena keteguhannya dalam menolak doktrin “khalq al-Qur’an” (Al-Qur’an adalah makhluk), sebuah ajaran yang saat itu dipaksakan oleh penguasa Dinasti Abbasiyah yang menganut pemikiran Mu’tazilah. Dalam peristiwa yang dikenal sebagai Mihnah, Imam Ahmad menjadi simbol resistensi terhadap intervensi negara dalam hal aqidah, sekaligus memperkuat posisi Ahlul Hadits sebagai aliran yang memelihara integritas keagamaan berdasarkan dalil-dalil yang sahih.2

Berbeda dengan kelompok-kelompok teologis lain yang cenderung melakukan ta’wil terhadap ayat-ayat mutasyabihat, Ahlul Hadits justru memegang prinsip “bilā kaifa”, yaitu menerima teks sebagaimana adanya tanpa menanyakan “bagaimana” bentuk atau hakikatnya. Mereka juga memiliki kecenderungan untuk tawaqquf (menahan diri) dari membahas secara mendalam hal-hal yang bersifat ghaibiyah atau yang tidak dijelaskan secara rinci oleh nash.3 Pendekatan ini tidak hanya menandai metode mereka dalam memahami sifat-sifat Allah, tetapi juga menjadi ciri khas dalam kerangka epistemologi mereka secara keseluruhan.

Dengan demikian, Ahlul Hadits tidak hanya memainkan peran penting dalam membentengi umat dari penyimpangan akidah, tetapi juga meletakkan dasar-dasar ortodoksi Sunni yang menjadi rujukan utama bagi banyak generasi sesudahnya. Pengaruhnya bahkan berlanjut hingga masa kini, terutama dalam wacana gerakan salafiyah dan pemurnian Islam yang menyerukan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman salaf al-shalih.4


Catatan Kaki

[1]                Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, trans. Andras and Ruth Hamori (Princeton: Princeton University Press, 1981), 37–40.

[2]                W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 89–90.

[3]                Ibn Taymiyyah, Darʾ Taʿāruḍ al-ʿAql wa al-Naql, ed. Muhammad Rasyid Ridha (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1979), 1:10.

[4]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 185–186.


2.           Pengertian Ahlul Hadits

Istilah Ahlul Hadits secara harfiah berarti “para pengikut hadits” atau “komunitas ahli hadits”, yaitu kelompok ulama yang menaruh perhatian besar terhadap riwayat Nabi Muhammad Saw dalam bentuk hadits-hadits shahih sebagai sumber utama pemahaman agama. Dalam konteks teologis dan pemikiran Islam klasik, istilah ini merujuk pada aliran pemikiran yang menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai landasan utama dalam membangun akidah, sekaligus menolak penggunaan akal secara spekulatif, sebagaimana lazim digunakan oleh para teolog rasionalis seperti Mu’tazilah.1

Ahlul Hadits muncul sebagai sebuah arus pemikiran tekstualis yang memprioritaskan naql (wahyu dan riwayat) dibanding ‘aql (akal). Mereka meyakini bahwa dalam urusan yang menyangkut keimanan, khususnya yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah, hari akhir, dan hal-hal ghaib lainnya, hanya wahyu ilahi yang dapat dijadikan sandaran otoritatif. Pendekatan ini tidak menafikan penggunaan akal sepenuhnya, namun akal dibatasi fungsinya hanya sebagai alat untuk memahami nash, bukan untuk menakwilkannya secara bebas.2

Menurut Harald Motzki, Ahlul Hadits merupakan kelompok yang sangat ketat dalam verifikasi sanad dan matan hadits, serta berperan besar dalam menyaring ajaran Islam dari unsur-unsur luar yang masuk melalui proses sejarah dan interaksi budaya dengan non-Muslim.3 Karakter ini membuat mereka memiliki reputasi sebagai penjaga autentisitas tradisi Islam yang murni. Mereka tidak hanya menolak bid’ah secara tegas, tetapi juga memandang setiap bentuk inovasi teologis yang tidak memiliki landasan dari Al-Qur’an dan Sunnah sebagai penyimpangan.

Selain dalam aspek teologis, istilah Ahlul Hadits juga memiliki cakupan yang lebih luas dalam literatur klasik, yaitu untuk merujuk pada para ulama yang mengabdikan hidupnya dalam mengumpulkan, menyeleksi, meriwayatkan, dan mengajarkan hadits Nabi. Dalam pengertian ini, Ahlul Hadits memiliki dimensi ilmiah-historis, yang menjadikan mereka sebagai pionir dalam perkembangan ilmu-ilmu keislaman, khususnya ilmu hadits, jarh wa ta’dil, dan tarikh rijal.4

Lebih lanjut, menurut Ahmad bin Hanbal, seorang figur utama Ahlul Hadits, karakteristik kelompok ini dapat dikenali dari sikap tawadhu’, kecintaan kepada Sunnah, menjauhi perdebatan kalam, serta konsistensi dalam berpegang pada pemahaman para sahabat dan tabi’in dalam masalah akidah.5 Prinsip ini yang kelak menjadi fondasi dari akidah salafiyyah dalam sejarah pemikiran Islam.


Catatan Kaki

[1]                Richard C. Martin, ed., Encyclopedia of Islam and the Muslim World, vol. 1 (New York: Macmillan Reference USA, 2004), 24.

[2]                W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 261–263.

[3]                Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh Before the Classical Schools (Leiden: Brill, 2002), 3–5.

[4]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 25–27.

[5]                Ibn Qudamah al-Maqdisi, Lumʿat al-Iʿtiqād al-Hādi ilā Sabīl al-Rashād (Beirut: Muʾassasat al-Risālah, 2004), 9.


3.           Latar Belakang Munculnya Ahlul Hadits

Munculnya Ahlul Hadits tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial, politik, dan intelektual dunia Islam pada dua abad pertama Hijriyah. Perkembangan pesat wilayah kekuasaan Islam sejak masa Khulafaur Rasyidin hingga Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, membuka ruang interaksi dengan berbagai budaya dan tradisi intelektual non-Arab, termasuk filsafat Yunani, pemikiran Persia, serta agama-agama Samawi seperti Yahudi dan Kristen. Interaksi ini berdampak pada munculnya keragaman pemikiran dalam tubuh umat Islam, termasuk dalam ranah teologi (ilmu kalām).1

Salah satu pemicu utama lahirnya Ahlul Hadits adalah reaksi terhadap munculnya pemikiran spekulatif, terutama yang berkembang dalam kalangan aliran Mu’tazilah. Aliran ini dikenal mengedepankan penggunaan akal sebagai tolok ukur utama dalam memahami ajaran agama, bahkan hingga menafsirkan ulang ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah, hari kiamat, dan ketetapan takdir. Dominasi pemikiran Mu’tazilah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun (w. 218 H), menyebabkan keresahan di kalangan ulama yang berpandangan bahwa kebenaran Islam harus dikembalikan pada nash yang otentik, bukan pada filsafat asing atau logika rasional murni.2

Gerakan Ahlul Hadits juga muncul sebagai reaksi terhadap kelompok Ahlur Ra’yi, yaitu golongan ulama yang lebih mengutamakan ijtihad rasional dan analogi (qiyas), terutama yang berkembang di Kufah. Ahlur Ra’yi kerap dikritik oleh Ahlul Hadits karena dianggap terlalu longgar dalam menafsirkan teks agama dan terlalu mengandalkan akal dalam menetapkan hukum. Sebaliknya, Ahlul Hadits lebih menekankan pentingnya penggunaan riwayat yang sahih dari Nabi dan para sahabat sebagai dasar pengambilan hukum dan akidah.3

Konflik pemikiran ini memuncak dalam peristiwa yang dikenal sebagai Mihnah (Inkuisisi), yakni ujian akidah yang dilancarkan oleh penguasa Abbasiyah terhadap para ulama yang menolak doktrin “khalq al-Qur’an” (Al-Qur’an adalah makhluk). Ulama besar Ahlul Hadits, Imam Ahmad bin Hanbal, menjadi simbol perlawanan terhadap pemaksaan ideologi rasionalistik negara. Ia mengalami penyiksaan dan penjara karena tetap berpegang teguh pada keyakinannya bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah yang qadim dan bukan makhluk.4

Dari sinilah Ahlul Hadits tampil sebagai penjaga ortodoksi Islam yang berpegang pada pemahaman generasi awal umat Islam (salaf), yang menolak perdebatan teologis spekulatif serta menjunjung tinggi prinsip ittibaʿ (mengikuti dalil yang sahih). Mereka menolak segala bentuk bid’ah dan memperjuangkan pemurnian ajaran Islam dari pengaruh eksternal yang tidak bersumber dari wahyu.5

Dengan demikian, kemunculan Ahlul Hadits bukan hanya sebuah reaksi teologis, tetapi juga merupakan gerakan intelektual dan spiritual untuk menjaga keaslian ajaran Islam. Dalam jangka panjang, aliran ini turut membentuk fondasi akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang berpengaruh luas dalam sejarah pemikiran Islam hingga era kontemporer.6


Catatan Kaki

[1]                Richard C. Martin, ed., Encyclopedia of Islam and the Muslim World, vol. 1 (New York: Macmillan Reference USA, 2004), 24.

[2]                W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 79–81.

[3]                Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madhahib al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1996), 123.

[4]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 92–94.

[5]                Ibn Taymiyyah, Majmuʿ al-Fatāwā, ed. ʿAbd al-Rahman bin Qasim (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadithah, 1979), 3:345.

[6]                Yasir Qadhi, An Introduction to the Sciences of the Qur’aan (Birmingham: Al-Hidaayah Publishing, 1999), 214–215.


4.           Tokoh-Tokoh Utama Ahlul Hadits

Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam klasik, Ahlul Hadits tidak hanya dikenal sebagai kelompok tekstualis yang mengutamakan Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi juga melahirkan para tokoh besar yang memainkan peran sentral dalam menjaga kemurnian ajaran Islam dan membangun kerangka ilmiah dalam ilmu hadits serta akidah salaf. Para tokoh ini hidup di berbagai wilayah pusat keilmuan Islam seperti Madinah, Mekah, Baghdad, dan Syam. Mereka dikenal karena konsistensinya dalam membela pemahaman Islam berdasarkan riwayat yang sahih dan menghindari perdebatan spekulatif dalam teologi.

4.1.       Imam Ahmad bin Hanbal (164–241 H / 780–855 M)

Imam Ahmad adalah tokoh paling menonjol dalam gerakan Ahlul Hadits. Ia dikenal sebagai ulama besar yang menguasai hadits, fiqh, dan teologi, sekaligus sebagai pendiri mazhab Hanbali, salah satu dari empat mazhab fikih utama dalam Islam. Salah satu kontribusi terbesarnya adalah kitab Musnad Ahmad, sebuah koleksi besar hadits yang berisi lebih dari 30.000 riwayat.1

Peran Imam Ahmad dalam mempertahankan akidah Ahlul Hadits sangat menonjol, terutama dalam peristiwa Mihnah (Inkuisisi), ketika penguasa Abbasiyah memaksakan doktrin Mu’tazilah bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Imam Ahmad menolak pandangan tersebut dan tetap bersikukuh pada keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah yang tidak diciptakan. Keteguhannya membuat ia dipenjara dan disiksa, namun hal itu justru mengokohkan posisi Ahlul Hadits sebagai penjaga ortodoksi Islam.2

4.2.       Sufyan ats-Tsauri (97–161 H / 716–778 M)

Sufyan ats-Tsauri adalah seorang tabi‘ut tabi‘in, ahli hadits, dan ulama zuhud yang sangat dihormati dalam tradisi Ahlul Hadits. Ia dikenal sebagai pendiri mazhab fikih yang sempat berkembang luas sebelum kemudian tidak berlanjut. Sufyan sangat kritis terhadap pemikiran rasionalistik dan lebih memilih pendekatan riwayat yang sahih dalam memahami agama.3

Ia juga dikenal sebagai seorang yang menghindari kedekatan dengan penguasa dan dunia politik, serta sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Kontribusinya dalam pengembangan ilmu hadits dan sikapnya yang tegas terhadap bid‘ah menjadikan namanya dihormati dalam kalangan Ahlul Hadits.4

4.3.       Abdullah bin al-Mubarak (118–181 H / 736–797 M)

Abdullah bin al-Mubarak merupakan ulama besar yang berasal dari Khurasan dan termasuk generasi tabi‘ut tabi‘in. Ia dikenal sebagai ahli hadits, ahli fiqh, sekaligus pejuang yang pernah ikut serta dalam jihad fisik membela kaum Muslimin. Dalam pemikiran, ia sangat menjunjung tinggi Sunnah dan menolak keras penggunaan akal tanpa dasar nash.5

Ibnu al-Mubarak juga terkenal dengan ketekunannya dalam menyaring hadits dan memerangi perawi-perawi yang lemah atau palsu. Ia menulis beberapa karya penting dalam bidang akidah dan zuhud, serta menjadi rujukan utama bagi generasi Ahlul Hadits sesudahnya.6

4.4.       Ishaq bin Rahuyah (161–238 H / 778–853 M)

Ishaq bin Rahuyah adalah murid dari Abdullah bin al-Mubarak dan guru dari Imam al-Bukhari. Ia termasuk tokoh penting dalam Ahlul Hadits yang dikenal karena kekuatan hafalan dan penguasaan terhadap ilmu sanad. Dalam bidang akidah, ia menegaskan pentingnya menerima nash sebagaimana adanya dan menolak takwil rasional terhadap ayat-ayat sifat.7

Ia juga dikenal karena komentarnya yang mendorong al-Bukhari menyusun karya monumental Sahih al-Bukhari, yang menjadi tonggak penting dalam tradisi Ahlul Hadits.8


Tokoh-tokoh di atas menjadi pondasi kokoh dalam pembentukan karakteristik Ahlul Hadits: berpegang teguh pada Sunnah, menjunjung tinggi sanad, menolak bid‘ah, dan menjauhi debat spekulatif. Mereka tidak hanya menjadi perawi dan penyaring hadits, tetapi juga teladan dalam akhlak, keteguhan aqidah, dan ketekunan ilmiah yang memberi warisan besar bagi umat Islam sepanjang sejarah.


Catatan Kaki

[1]                Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1995), 1:5.

[2]                W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 90–91.

[3]                Christopher Melchert, The Formation of the Sunni Schools of Law, 9th–10th Centuries C.E. (Leiden: Brill, 1997), 42.

[4]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 45–46.

[5]                Ibn Hajar al-‘Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1968), 5:289.

[6]                Abdul Fattah Abu Ghuddah, Siyar A‘lam al-Nubala’ oleh al-Dzahabi, edisi takhrij (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1993), 8:395–396.

[7]                Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Ijtima‘ al-Juyush al-Islamiyyah (Kairo: Maktabah al-Qur’an, 1988), 51–52.

[8]                Al-Dzahabi, Tadhkirat al-Huffaz (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 2:432.


5.           Karakteristik Pemikiran Ahlul Hadits

Pemikiran Ahlul Hadits menempati posisi unik dalam sejarah teologi Islam. Kelompok ini memiliki pendekatan yang khas, berbeda baik dari aliran teologis rasionalis seperti Mu’tazilah maupun dari kelompok fikih yang cenderung menggunakan ra’yu seperti sebagian ulama Kufah. Berikut adalah karakteristik utama pemikiran Ahlul Hadits:

5.1.       Berpegang Teguh pada Nash (Al-Qur’an dan Hadits)

Ciri paling menonjol dari Ahlul Hadits adalah komitmen mereka untuk menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sahih sebagai sumber utama dan satu-satunya rujukan dalam membangun akidah dan hukum. Mereka menolak untuk menjadikan akal sebagai otoritas penentu dalam masalah keimanan, terutama dalam hal yang menyangkut sifat-sifat Allah, perkara ghaib, dan takdir. Pemikiran ini didasarkan pada keyakinan bahwa kebenaran mutlak hanya dapat diperoleh melalui wahyu yang otentik.1

Dalam hal ini, Ahlul Hadits juga lebih memilih untuk menukil daripada menakwil, yakni mereka menerima nash sebagaimana adanya (secara zahir), tanpa mencoba memaknai ulang secara rasional, kecuali dengan petunjuk dari riwayat sahih lainnya.2

5.2.       Sikap terhadap Sifat-Sifat Allah (Bilā Kaifa)

Ahlul Hadits memiliki pendekatan yang khas dalam memahami sifat-sifat Allah: mereka menerima seluruh sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah tanpa melakukan takyīf (menanyakan bagaimana), ta’wīl (penafsiran menyimpang), tahrīf (pengubahan makna), ataupun ta’ṭīl (penolakan total terhadap makna). Mereka meyakini bahwa Allah memiliki sifat sebagaimana disebutkan dalam nash, namun tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk (tasybīh) dan tanpa mengingkari makna yang telah ditetapkan syariat.3

Prinsip ini dikenal dengan istilah “bilā kaifa” yang pertama kali diungkapkan oleh Imam Malik ketika ditanya tentang istiwā’ Allah di atas ‘Arsy:

ٱلِٱسْتِوَاءُ مَعْلُومٌ، وَٱلْكَيْفُ مَجْهُولٌ، وَٱلْإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَٱلسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ

al-istiwā’ ma‘lūm, wal-kaifu majhūl, wa al-īmān bihi wājib, wa as-su’āl ‘anhu bid‘ah

Istiwā’ itu diketahui maknanya, namun bagaimana caranya tidak diketahui, mengimaninya wajib, dan mempertanyakannya adalah bid‘ah.”_4

5.3.       Penolakan terhadap Ilmu Kalam dan Spekulasi Akal

Salah satu sikap tegas Ahlul Hadits adalah penolakan terhadap ilmu kalam, terutama versi yang spekulatif seperti yang dikembangkan oleh aliran Mu’tazilah dan sebagian Asy’ariyyah dalam fase awal. Mereka memandang bahwa penggunaan filsafat dan logika dalam urusan aqidah membuka jalan bagi penyimpangan dari ajaran Nabi dan para sahabat.5

Imam Ahmad bin Hanbal secara eksplisit melarang berdebat dalam agama dengan menggunakan qiyas dan logika tanpa dasar nash. Ia berpendapat bahwa para sahabat Nabi tidak dikenal sebagai ahli kalam, tetapi sebagai pengikut wahyu yang murni dan lurus.6

5.4.       Mengutamakan Riwayat Shahih dan Kritis terhadap Bid‘ah

Ahlul Hadits sangat berhati-hati dalam menerima hadits dan selalu menilai keabsahan sanad serta matannya. Mereka juga sangat kritis terhadap bid‘ah, yakni segala bentuk ibadah atau keyakinan yang tidak memiliki dasar dari Al-Qur’an dan Sunnah serta tidak dikenal dalam praktik generasi salaf. Oleh karena itu, mereka sering mengkritik kelompok-kelompok seperti Qadariyyah, Jahmiyyah, dan Rafidhah.7

5.5.       Menjaga Sunnah dan Menghidupkan Praktik Salaf

Kelompok Ahlul Hadits juga dikenal karena komitmennya terhadap praktik keagamaan para sahabat dan tabi‘in. Mereka melihat generasi awal umat Islam sebagai model ideal dalam memahami dan mengamalkan Islam. Prinsip al-ittibāʿ (mengikuti sunnah) lebih diutamakan daripada ibtidāʿ (berinovasi dalam agama). Dalam banyak hal, pendekatan ini kemudian menjadi ciri khas akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mengakar kuat dalam sejarah Islam.8


Catatan Kaki

[1]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 81–83.

[2]                W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 93.

[3]                Ibn Taymiyyah, Darʾ Taʿāruḍ al-ʿAql wa al-Naql, ed. Muhammad Rasyid Ridha (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1979), 1:10–12.

[4]                Al-Dhahabi, Siyar Aʿlām al-Nubalāʾ, ed. Shuʿaib al-Arna’uth (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1997), 8:105.

[5]                Ibn Qudamah al-Maqdisi, Taḥrīm al-Naẓar fī Kutub Ahl al-Kalām (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 35–36.

[6]                Ahmad bin Hanbal, Usūl al-Sunnah, ed. al-Sayyid al-Jilani (Makkah: Maktabah al-Dār, 1994), 12–14.

[7]                Ibn Bāz, Majmūʿ Fatāwā wa Maqālāt Mutanawwiʿah, vol. 1 (Riyadh: Dār al-ʿĀṣimah, 2001), 344.

[8]                Muhammad Nasiruddin al-Albani, Muqaddimah Syarh al-‘Aqidah al-Tahawiyyah, ed. Ali Hasan al-Halabi (Amman: Maktabah al-Ma’arif, 1998), 9.


6.           Perbedaan dengan Ahlur Ra’yi dan Ahli Kalam

Dalam sejarah pemikiran Islam klasik, perbedaan metode dan pendekatan antara Ahlul Hadits, Ahlur Ra’yi, dan Ahli Kalam menjadi salah satu dinamika penting dalam perkembangan teologi dan fiqh. Masing-masing kelompok memiliki pendekatan tersendiri dalam memahami nash (teks agama), peran akal, dan cara menetapkan keyakinan serta hukum.

Berikut adalah perbedaan-perbedaan utama Ahlul Hadits dibandingkan dengan dua aliran pemikiran lainnya:

6.1.       Dibandingkan dengan Ahlur Ra’yi

Ahlur Ra’yi adalah kelompok yang lebih menekankan penggunaan akal (ra’yu) dan qiyas (analogi) dalam memahami dan menetapkan hukum, terutama dalam kasus-kasus yang tidak ditemukan secara eksplisit dalam nash.

·                     Ahlul Hadits mendasarkan pemahaman agama sepenuhnya pada nash (Al-Qur’an dan hadits shahih). Mereka hanya menerima ra’yu dalam batas yang sangat terbatas dan tidak bertentangan dengan riwayat. Sebaliknya, Ahlur Ra’yi cenderung menggunakan ra’yu lebih luas, terutama dalam konteks fiqh.1

·                     Dalam metodologi hukum, Ahlur Ra’yi lebih menekankan rasionalisasi hukum dan melihat maslahat sebagai landasan penting, sedangkan Ahlul Hadits lebih berhati-hati dan sering kali menolak ijtihad jika tidak ada dukungan dari sunnah atau atsar.2

·                     Wilayah geografis juga turut mempengaruhi: Ahlul Hadits lebih dominan di Madinah dan Hijaz yang memiliki tradisi kuat dalam periwayatan hadits, sementara Ahlur Ra’yi berkembang di Kufah yang cenderung jauh dari sumber riwayat, sehingga mengandalkan akal dalam banyak hal.3

6.2.       Dibandingkan dengan Ahli Kalam

Ahli Kalam adalah aliran yang menggunakan pendekatan filsafat dan logika dalam merumuskan persoalan-persoalan teologis. Aliran ini meliputi kelompok seperti Mu’tazilah, sebagian Asy’ariyyah, dan Maturidiyyah.

·                     Ahlul Hadits menolak penggunaan akal sebagai sumber utama dalam akidah, sedangkan Ahli Kalam menjadikan akal sebagai dasar untuk menetapkan eksistensi Tuhan, keadilan-Nya, dan sifat-sifat-Nya, bahkan terkadang menolak nash yang bertentangan dengan prinsip rasionalitas.4

·                     Dalam memahami sifat-sifat Allah, Ahlul Hadits menerima ayat-ayat sifat secara zahir tanpa ta’wil atau takwil simbolik, dengan prinsip bilā kaifa (tanpa menanyakan bagaimana). Sedangkan Ahli Kalam, seperti Mu’tazilah dan Asy’ariyyah awal, melakukan ta’wil terhadap ayat-ayat yang dinilai mengandung makna antropomorfis.5

·                     Ahli Kalam cenderung mengembangkan sistem teologis yang sistematis dan filosofis, sedangkan Ahlul Hadits menolak konsep semacam itu dan lebih memilih pendekatan yang sederhana dan langsung berdasar riwayat.6

·                     Ahlul Hadits juga menentang perdebatan teologis yang berkembang dalam majelis-majelis ilmu kalam, dan menganggapnya sebagai bid‘ah yang tidak dikenal di masa Nabi dan para sahabat.7

Perbedaan-perbedaan tersebut menunjukkan bahwa Ahlul Hadits lebih menekankan kesetiaan terhadap tradisi riwayat dan lebih bersifat konservatif dalam akidah dan hukum, dibandingkan dengan Ahlur Ra’yi yang rasional dalam fiqh, dan Ahli Kalam yang rasional dalam akidah.


Catatan Kaki

[1]                W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 78–79.

[2]                Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madhahib al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1996), 125.

[3]                Christopher Melchert, The Formation of the Sunni Schools of Law, 9th–10th Centuries C.E. (Leiden: Brill, 1997), 44.

[4]                Richard C. Martin, ed., Encyclopedia of Islam and the Muslim World, vol. 1 (New York: Macmillan Reference USA, 2004), 29.

[5]                Ibn Taymiyyah, Darʾ Taʿāruḍ al-ʿAql wa al-Naql, ed. Muhammad Rasyid Ridha (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1979), 1:16–17.

[6]                Al-Ghazali, Iljam al-‘Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1997), 52–53.

[7]                Ibn Qudamah al-Maqdisi, Taḥrīm al-Naẓar fī Kutub Ahl al-Kalām (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 11–12.


7.           Pengaruh dan Warisan Ahlul Hadits

Peran Ahlul Hadits dalam sejarah pemikiran Islam tidak hanya terbatas pada masa kemunculannya pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah, melainkan berlanjut dan memberikan pengaruh besar dalam pembentukan arus utama teologi dan hukum Islam hingga zaman modern. Pengaruh itu dapat dilihat dalam berbagai aspek, baik dalam bentuk institusional, metodologis, maupun ideologis.

7.1.       Dasar Teologis Ahlus Sunnah wal Jama‘ah

Salah satu warisan terpenting Ahlul Hadits adalah kontribusinya dalam pembentukan doktrin Ahlus Sunnah wal Jama‘ah, khususnya dalam aspek teologi (akidah). Banyak prinsip akidah Sunni, seperti pengakuan terhadap seluruh sifat Allah tanpa ta’wil, iman terhadap nash secara tekstual, serta penolakan terhadap ilmu kalam spekulatif, secara langsung bersumber dari pendekatan Ahlul Hadits.1

Imam Ahmad bin Hanbal, sebagai tokoh sentral Ahlul Hadits, bahkan dianggap sebagai simbol konsistensi akidah salaf dan salah satu pendiri kerangka teologis Sunni yang kemudian dilestarikan oleh ulama setelahnya seperti Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah.2

7.2.       Pengaruh terhadap Madzhab Hanbali dan Ulama Salaf

Dalam ranah fiqh, pemikiran Ahlul Hadits sangat mewarnai madzhab Hanbali, yang secara metodologis lebih mengutamakan hadits dibanding qiyas atau istihsan. Mazhab ini cenderung menghindari penggunaan ra’yu kecuali dalam kondisi darurat dan selalu berusaha mencari landasan dari Sunnah atau atsar sahabat.3

Warisan ini kemudian diteruskan oleh para ulama salaf dan penggerak tajdid (pembaruan) Islam yang berusaha kembali kepada sumber-sumber otentik Islam. Di antara tokoh yang melanjutkan semangat Ahlul Hadits adalah Ibn Taymiyyah (w. 728 H) yang banyak menulis dalam membela akidah salaf dan mengkritik ilmu kalam serta praktik-praktik bid‘ah.4

7.3.       Pembentukan Tradisi Ilmiah Hadits

Ahlul Hadits juga sangat berperan dalam pengkodifikasian ilmu hadits, baik dalam bentuk penyusunan kitab hadits seperti Musnad Ahmad, Sahih al-Bukhari, dan Sahih Muslim, maupun dalam pengembangan metodologi kritik sanad dan matan. Para ulama Ahlul Hadits meletakkan dasar-dasar ilmu jarh wa ta‘dil, musthalah al-hadits, dan ‘ilal al-hadits yang menjadi standar ilmiah dalam menilai keotentikan riwayat.5

Dengan demikian, mereka telah menciptakan tradisi ilmiah yang ketat dan sistematis yang kemudian menjadi pilar penting dalam studi keislaman sepanjang zaman. Tradisi ini juga menjadi penghalang masuknya riwayat palsu dan ajaran asing yang tidak sesuai dengan ajaran Nabi.6

7.4.       Pengaruh terhadap Gerakan Reformasi Islam

Warisan pemikiran Ahlul Hadits mendapat relevansi baru pada masa modern, khususnya dalam gerakan-gerakan reformasi Islam (tajdid dan ishlah) yang menyerukan pemurnian ajaran Islam dari praktik-praktik bid‘ah dan takhayul. Tokoh-tokoh seperti Muhammad bin Abdul Wahhab di Jazirah Arab, Syah Waliullah ad-Dihlawi di India, hingga Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh di Mesir, menunjukkan pengaruh pemikiran Ahlul Hadits, meskipun dengan konteks yang beragam.7

Gerakan Salafiyyah kontemporer yang menyerukan kembali kepada pemahaman salaf shalih dalam akidah, ibadah, dan muamalah, juga banyak mengadopsi prinsip-prinsip Ahlul Hadits sebagai fondasi utama gerakan mereka. Meski demikian, warisan ini sering kali mengalami perbedaan dalam penafsiran dan aplikasinya dalam realitas sosial dan politik yang berbeda.8


Dengan seluruh kontribusi tersebut, Ahlul Hadits tidak hanya menjadi penjaga tradisi keagamaan yang otentik, tetapi juga memainkan peran penting dalam dinamika intelektual Islam dari masa klasik hingga modern. Komitmen mereka terhadap nash, keotentikan sumber, dan kehati-hatian dalam beragama menjadi nilai warisan yang terus relevan sepanjang zaman.


Catatan Kaki

[1]                Ibn Taymiyyah, Majmūʿ al-Fatāwā, ed. ʿAbd al-Rahman bin Qasim (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadithah, 1979), 3:345–346.

[2]                Henri Laoust, Essai sur les doctrines sociales et politiques de Ibn Taymiyya (Cairo: Institut Français d’Archéologie Orientale, 1939), 35–36.

[3]                Christopher Melchert, The Formation of the Sunni Schools of Law, 9th–10th Centuries C.E. (Leiden: Brill, 1997), 98–99.

[4]                Jon Hoover, Ibn Taymiyya's Theodicy of Perpetual Optimism (Leiden: Brill, 2007), 41–42.

[5]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 101–104.

[6]                Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh Before the Classical Schools (Leiden: Brill, 2002), 65.

[7]                Yusra Yusuf, “Pengaruh Pemikiran Ahlul Hadits dalam Gerakan Tajdid di Dunia Islam,” Jurnal Pemikiran Islam 12, no. 2 (2020): 145–147.

[8]                Muhammad Qasim Zaman, The Ulama in Contemporary Islam: Custodians of Change (Princeton: Princeton University Press, 2002), 53–55.


8.           Kritik terhadap Ahlul Hadits

Meskipun Ahlul Hadits memiliki peranan penting dalam menjaga otentisitas ajaran Islam dan menegakkan prinsip-prinsip ortodoksi, namun pendekatan mereka tidak luput dari kritik, baik dari kalangan sezaman maupun dari para intelektual Islam generasi berikutnya. Kritik-kritik tersebut muncul terutama dalam konteks epistemologis, metodologis, dan praktikal, serta berkaitan dengan keterbatasan mereka dalam merespons tantangan intelektual yang kompleks.

8.1.       Kritik terhadap Kecenderungan Tekstualisme Ekstrem

Salah satu kritik utama terhadap Ahlul Hadits adalah kecenderungan mereka yang dianggap terlalu tekstualis (literal) dalam memahami nash. Mereka dinilai terlalu kaku dalam menafsirkan ayat-ayat dan hadits, bahkan pada persoalan yang membutuhkan pendekatan kontekstual atau pemikiran kritis. Kritik ini terutama datang dari kalangan Ahlur Ra’yi dan Ahli Kalam, yang menilai bahwa Ahlul Hadits sering kali mengabaikan maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan syariat) dan tidak memberikan ruang yang cukup bagi peran akal dalam memahami syariat.1

Imam Abu Hanifah, misalnya, dalam beberapa riwayat dikabarkan menyayangkan pendekatan yang hanya berpegang pada hadits secara zahir tanpa mempertimbangkan konteks atau sebab turunnya (asbāb al-wurūd).2

8.2.       Penolakan terhadap Rasionalisasi dalam Akidah

Ahlul Hadits dikritik karena menolak ilmu kalam dan diskusi rasional tentang akidah, yang dianggap sebagai sarana penting dalam membela Islam terhadap serangan filsafat dan ideologi luar. Para teolog seperti al-Ghazali dan Fakhruddin ar-Razi menilai bahwa membatasi akidah hanya pada teks tanpa argumentasi logis akan membuat Islam tampak tidak mampu menghadapi pemikiran rasional dari luar, seperti filsafat Yunani atau ajaran Kristen yang memiliki tradisi apologetik yang kuat.3

Dalam pandangan ini, pendekatan Ahlul Hadits dianggap reaktif dan defensif, serta tidak cukup memberikan jawaban sistematis terhadap berbagai pertanyaan filosofis dan metafisik yang berkembang pada masa kejayaan peradaban Islam.4

8.3.       Keterbatasan dalam Konteks Sosial dan Politik

Sebagian sarjana modern juga mengkritik Ahlul Hadits karena pendekatannya yang tidak sensitif terhadap dinamika sosial dan politik, sehingga dianggap kurang relevan dalam merespons isu-isu kontemporer. Mereka cenderung melihat hukum dan akidah secara normatif tanpa memperhatikan konteks perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat.

Sebagai contoh, dalam menghadapi persoalan keadilan sosial, hak perempuan, atau sistem pemerintahan, sebagian kelompok yang mengadopsi pendekatan Ahlul Hadits modern sering kali dianggap tidak mampu memberikan solusi aplikatif, karena terlalu fokus pada teks dan riwayat literal.5

8.4.       Fragmentasi Pandangan dan Klaim Kebenaran Tunggal

Ahlul Hadits juga dikritik karena dalam praktiknya sering muncul klaim monopoli kebenaran dan penilaian takfīr terhadap kelompok lain yang berbeda pandangan, bahkan terhadap sesama Muslim. Ini terutama terjadi dalam versi ekstrem dari gerakan salafi-haditsi kontemporer, yang secara historis mengklaim kesinambungan dengan Ahlul Hadits klasik.

Beberapa pengamat menilai bahwa pendekatan ini berpotensi menimbulkan fragmentasi internal umat Islam, memperlebar jarak dengan kelompok lain seperti Asy’ariyyah, Maturidiyyah, dan kalangan tasawuf, padahal semuanya termasuk dalam spektrum Ahlus Sunnah wal Jama‘ah dalam pengertian luas.6


Kesimpulan Sementara

Kritik-kritik ini tidak serta-merta menafikan peran besar Ahlul Hadits dalam sejarah pemikiran Islam, tetapi justru menunjukkan bahwa setiap pendekatan keagamaan memiliki kelebihan dan keterbatasan. Dengan memahami kritik ini secara obyektif, umat Islam dapat mengapresiasi kontribusi Ahlul Hadits sekaligus membuka ruang bagi pendekatan yang lebih integratif antara nash dan akal, antara tradisi dan pembaruan.


Catatan Kaki

[1]                W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 95–97.

[2]                Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madhahib al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1996), 127–128.

[3]                Al-Ghazali, Iljam al-‘Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1997), 49–51.

[4]                Richard C. Martin, ed., Encyclopedia of Islam and the Muslim World, vol. 1 (New York: Macmillan Reference USA, 2004), 31.

[5]                Muhammad Qasim Zaman, The Ulama in Contemporary Islam: Custodians of Change (Princeton: Princeton University Press, 2002), 61–62.

[6]                Jonathan A.C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices of Interpreting the Prophet’s Legacy (Oxford: Oneworld Publications, 2014), 215–217.


9.           Relevansi dalam Konteks Kekinian

Di tengah dinamika pemikiran Islam kontemporer yang kompleks, pendekatan Ahlul Hadits tetap memiliki relevansi signifikan, terutama dalam hal pemurnian ajaran Islam, komitmen terhadap sumber otentik, serta sebagai reaksi terhadap liberalisasi pemikiran agama. Meskipun muncul dalam konteks klasik, warisan intelektual dan spiritual Ahlul Hadits terus dihidupkan dan disesuaikan oleh berbagai kalangan, baik dalam bentuk gerakan dakwah, pendidikan, maupun diskursus keislaman global.

9.1.       Komitmen terhadap Otentisitas Ajaran Islam

Di tengah maraknya penafsiran-penafsiran baru terhadap Islam—baik dari kalangan internal maupun eksternal—pendekatan Ahlul Hadits menjadi pengingat penting akan perlunya beragama berdasarkan dalil yang sahih dan bersumber langsung dari Al-Qur’an dan Sunnah. Komitmen Ahlul Hadits terhadap sanad dan riwayat yang valid menjadi penyeimbang dari kecenderungan hermeneutika liar atau liberalisasi tafsir dalam wacana keislaman modern.1

Gerakan dakwah yang menyerukan kembali kepada “manhaj salaf” seperti Salafiyyah di Timur Tengah atau Ahlus Sunnah wal Jama‘ah di Asia Tenggara, banyak mengambil spirit ini sebagai dasar pijakan mereka. Mereka menekankan pentingnya mengikuti pemahaman sahabat dan tabi‘in sebagai jalan tengah yang aman dari penyimpangan.2

9.2.       Koreksi terhadap Praktik Keagamaan yang Menyimpang

Pendekatan Ahlul Hadits juga relevan sebagai upaya untuk mengoreksi berbagai bentuk bid‘ah, khurafat, dan praktik sinkretistik yang berkembang dalam masyarakat Muslim. Dalam banyak komunitas Muslim tradisional, masih ditemukan bentuk-bentuk pengamalan yang tidak berdasar pada dalil yang sahih, baik dalam ibadah, akidah, maupun muamalah.

Melalui pendekatan yang kritis dan berbasis pada Sunnah, Ahlul Hadits menjadi penggerak reformasi internal umat Islam agar beribadah dan beragama sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad Saw tanpa tambahan atau pengurangan.3

9.3.       Penegasan Identitas Teologis Sunni

Dalam konteks global yang ditandai dengan kembalinya kesadaran identitas keagamaan, pendekatan Ahlul Hadits juga menjadi rambu penting dalam menjaga identitas teologis Sunni. Ketika berhadapan dengan aliran Syiah, sekularisme, atau gerakan ekstremis, pemikiran Ahlul Hadits memberikan fondasi yang kuat dalam mempertahankan posisi moderat dan berlandaskan dalil dalam memahami prinsip-prinsip keimanan.

Hal ini tampak dalam berbagai forum internasional seperti Majelis Ulama Dunia, yang sering merujuk pada prinsip-prinsip akidah salaf dalam merespons isu-isu kontemporer seperti radikalisme, pluralisme, dan dekonstruksi nash agama.4

9.4.       Tantangan dan Adaptasi terhadap Konteks Modern

Meski demikian, pendekatan Ahlul Hadits juga menghadapi tantangan besar dalam kontekstualisasi ajaran. Dunia modern menuntut respons cepat dan kompleks terhadap isu-isu kontemporer seperti hak asasi manusia, demokrasi, bioetika, dan teknologi. Di sinilah pentingnya pengembangan pendekatan Ahlul Hadits yang tetap berpegang pada prinsip riwayat, tetapi terbuka terhadap ijtihad kontekstual yang terarah, dengan tetap menghargai maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan syariat).5

Para pemikir seperti Shaykh al-Albani, Yusuf al-Qaradawi, dan Muhammad Sa‘id Ramadhan al-Buthi, meski berbeda latar belakang, sama-sama menunjukkan bahwa penggabungan antara kesetiaan terhadap Sunnah dan keberanian berijtihad adalah kunci untuk menjadikan warisan Ahlul Hadits tetap hidup dan relevan.6


Dengan demikian, pendekatan Ahlul Hadits bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan sumber inspirasi peradaban Islam kontemporer. Relevansi Ahlul Hadits justru semakin terasa ketika umat Islam dihadapkan pada krisis otoritas keagamaan, banjir informasi keislaman yang tidak terfilter, serta ancaman global terhadap identitas dan integritas ajaran Islam.


Catatan Kaki

[1]                Jonathan A.C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices of Interpreting the Prophet’s Legacy (Oxford: Oneworld Publications, 2014), 211–214.

[2]                Muhammad Qasim Zaman, The Ulama in Contemporary Islam: Custodians of Change (Princeton: Princeton University Press, 2002), 65–67.

[3]                Yasir Qadhi, An Introduction to the Sciences of the Hadith (Birmingham: Al-Hidaayah Publishing, 2006), 12–13.

[4]                Ahmad ibn ‘Abd al-Halim Ibn Taymiyyah, Majmūʿ al-Fatāwā, ed. ʿAbd al-Rahman bin Qasim (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadithah, 1979), 4:95–96.

[5]                Khaled Abou El Fadl, Speaking in God's Name: Islamic Law, Authority and Women (Oxford: Oneworld Publications, 2001), 102–105.

[6]                Muhammad Sa‘id Ramadhan al-Buthi, As-Salafiyyah: Marhalah Zamaniyyah Mubārakah, Lā Madhhab Islāmī (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 33–36.


10.       Penutup

10.1.    Kesimpulan

Eksplorasi terhadap pemikiran Ahlul Hadits menunjukkan bahwa aliran ini merupakan salah satu tonggak penting dalam pembentukan teologi dan metodologi ilmiah Islam klasik. Muncul sebagai reaksi atas dominasi rasionalisme teologis dan pemikiran spekulatif, Ahlul Hadits membawa pendekatan berbasis nash (Al-Qur’an dan Sunnah) yang ketat, serta menolak penggunaan akal secara berlebihan dalam urusan akidah dan hukum. Keistimewaan Ahlul Hadits terletak pada komitmennya terhadap keotentikan riwayat, sikap kehati-hatian dalam beragama, serta penolakan terhadap inovasi (bid‘ah) yang tidak berdasar pada Sunnah.

Tokoh-tokoh seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Sufyan ats-Tsauri, dan Abdullah bin al-Mubarak menjadi simbol dari keteguhan manhaj ini, yang tidak hanya menjaga kemurnian ajaran Islam, tetapi juga mewariskan tradisi ilmiah hadits yang menjadi pondasi keilmuan Islam hingga kini.1 Meskipun mendapat kritik atas sikap tekstualisnya, warisan Ahlul Hadits tetap relevan dalam menjawab tantangan pemikiran modern, terutama dalam menjaga identitas keislaman dan menjawab derasnya arus liberalisasi tafsir agama.2

10.2.    Rekomendasi dalam Konteks Berpikir Ahlus Sunnah wal Jama‘ah

Sebagai bagian dari tradisi Ahlus Sunnah wal Jama‘ah, pemikiran Ahlul Hadits memberikan pelajaran penting bagi generasi Muslim kontemporer. Untuk itu, berikut beberapa rekomendasi yang dapat dijadikan pedoman dalam mengembangkan pemikiran Islam yang seimbang dan otentik:

·                     Menghidupkan semangat ittiba‘ (mengikuti Sunnah) dengan ilmu, bukan sekadar sikap fanatik terhadap riwayat.

Perlu ada upaya untuk menghidupkan semangat penelitian hadits dan pengkajian sanad di kalangan generasi muda, sesuai dengan tradisi ilmiah yang diwariskan oleh para ulama Ahlul Hadits.3

·                     Menjaga keseimbangan antara nash dan akal.

Dalam semangat Ahlus Sunnah wal Jama‘ah, akal bukanlah musuh wahyu, tetapi pelengkapnya. Maka, meskipun Ahlul Hadits menolak ta’wil yang liar, perlu ruang bagi ijtihad yang sehat dan kontekstual untuk menjawab persoalan zaman, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.4

·                     Memperkuat literasi akidah salafiyah secara inklusif dan santun.

Warisan Ahlul Hadits sering kali diidentikkan dengan eksklusivisme dan takfīr terhadap pihak lain. Dalam konteks Ahlus Sunnah wal Jama‘ah yang mengedepankan ukhuwah dan toleransi internal, pendekatan Ahlul Hadits perlu diterjemahkan dalam bingkai hikmah, mau‘izhah hasanah, dan dialog terbuka yang ilmiah.5

·                     Menjadikan metode Ahlul Hadits sebagai alat kritik terhadap penyimpangan, bukan sebagai alat monopoli kebenaran.

Pendekatan berbasis Sunnah sangat penting dalam menangkal pemikiran menyimpang, namun harus dilakukan secara adil, proporsional, dan dengan mengedepankan adab ilmiah sebagaimana diajarkan oleh para ulama terdahulu.6

Dengan menempatkan warisan Ahlul Hadits secara proporsional, umat Islam akan mampu membangun peradaban ilmu dan iman yang kokoh, berakar pada wahyu, namun responsif terhadap realitas. Pendekatan ini juga akan menjaga kesinambungan nilai-nilai Ahlus Sunnah wal Jama‘ah sebagai poros moderasi dan keseimbangan dalam Islam.


Catatan Kaki

[1]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 92–94.

[2]                Richard C. Martin, ed., Encyclopedia of Islam and the Muslim World, vol. 1 (New York: Macmillan Reference USA, 2004), 30–31.

[3]                Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh Before the Classical Schools (Leiden: Brill, 2002), 4–5.

[4]                Ibn Taymiyyah, Darʾ Taʿāruḍ al-ʿAql wa al-Naql, ed. Muhammad Rasyid Ridha (Beirut: Dar al-Maʿrifah, 1979), 1:10–12.

[5]                Al-Ghazali, Ihyaʾ ‘Ulum al-Din, ed. Badawi Turgay (Beirut: Dar al-Maʿrifah, 2005), 1:24–25.

[6]                Muhammad Sa‘id Ramadhan al-Buthi, As-Salafiyyah: Marhalah Zamaniyyah Mubārakah, Lā Madhhab Islāmī (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 43–45.


Daftar Pustaka

Abou El Fadl, K. (2001). Speaking in God's name: Islamic law, authority and women. Oxford: Oneworld Publications.

al-Buthi, M. S. R. (1993). As-Salafiyyah: Marhalah Zamaniyyah Mubārakah, Lā Madhhab Islāmī. Beirut: Dar al-Fikr.

al-Ghazali. (1997). Iljām al-‘awām ‘an ‘ilm al-kalām (Vol. 1). Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi.

al-Ghazali. (2005). Ihyaʾ ‘ulum al-din (B. Turgay, Ed.). Beirut: Dar al-Maʿrifah.

al-Dzahabi, S. M. (1997). Siyar A‘lam al-Nubala’ (S. al-Arna’uth, Ed.). Beirut: Mu’assasah al-Risalah.

al-Dzahabi, S. M. (1998). Tadhkirat al-Huffaz (Vol. 2). Beirut: Dar al-Fikr.

Ahmad bin Hanbal. (1994). Usūl al-Sunnah (A. al-Jilani, Ed.). Makkah: Maktabah al-Dār.

Ahmad bin Hanbal. (1995). Musnad Ahmad (A. M. Syakir, Ed.). Beirut: al-Maktab al-Islami.

Brown, J. A. C. (2009). Hadith: Muhammad’s legacy in the medieval and modern world. Oxford: Oneworld Publications.

Brown, J. A. C. (2014). Misquoting Muhammad: The challenge and choices of interpreting the Prophet’s legacy. Oxford: Oneworld Publications.

Hoover, J. (2007). Ibn Taymiyya's theodicy of perpetual optimism. Leiden: Brill.

Ibn Bāz, A. A. (2001). Majmūʿ fatāwā wa maqālāt mutanawwiʿah (Vol. 1). Riyadh: Dār al-ʿĀṣimah.

Ibn Hajar al-‘Asqalani. (1968). Tahdzib al-Tahdzib (Vol. 5). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.

Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (1988). Ijtimaʿ al-juyush al-Islamiyyah. Kairo: Maktabah al-Qur’an.

Ibn Qudamah al-Maqdisi. (1993). Taḥrīm al-naẓar fī kutub ahl al-kalām. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibn Taymiyyah. (1979). Darʾ taʿāruḍ al-ʿaql wa al-naql (M. R. Ridha, Ed.). Beirut: Dar al-Maʿrifah.

Ibn Taymiyyah. (1979). Majmūʿ al-fatāwā (ʿA. R. bin Qasim, Ed.). Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadithah.

Laoust, H. (1939). Essai sur les doctrines sociales et politiques de Ibn Taymiyya. Cairo: Institut Français d’Archéologie Orientale.

Martin, R. C. (Ed.). (2004). Encyclopedia of Islam and the Muslim world (Vol. 1). New York: Macmillan Reference USA.

Melchert, C. (1997). The formation of the Sunni schools of law, 9th–10th centuries C.E. Leiden: Brill.

Motzki, H. (2002). The origins of Islamic jurisprudence: Meccan fiqh before the classical schools. Leiden: Brill.

Qadhi, Y. (2006). An introduction to the sciences of the Hadith. Birmingham: Al-Hidaayah Publishing.

Watt, W. M. (1973). The formative period of Islamic thought. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Watt, W. M. (1985). Islamic philosophy and theology. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Yusuf, Y. (2020). Pengaruh pemikiran Ahlul Hadits dalam gerakan tajdid di dunia Islam. Jurnal Pemikiran Islam, 12(2), 145–147.

Zahrah, M. A. (1996). Tarikh al-madhahib al-Islamiyyah. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi.

Zaman, M. Q. (2002). The ulama in contemporary Islam: Custodians of change. Princeton: Princeton University Press.


Lampiran: Hubungan Ahlul Hadits dan Al-Atsariyah

Ahlul Hadits dalam pembahasan ini sangat berkaitan dengan Al-Atsariyah, bahkan dalam banyak literatur klasik dan modern, kedua istilah ini sering kali merujuk pada tradisi pemikiran yang sama, terutama dalam hal akidah dan pendekatan terhadap nash.

1.            Al-Atsariyah sebagai Kelanjutan atau Nama Teologis Ahlul Hadits

Istilah Al-Atsariyah (الأثرية) berasal dari kata al-atsar, yang berarti riwayat atau peninggalan, khususnya dari Nabi Muhammad Saw dan para sahabat. Secara istilah, Al-Atsariyah adalah aliran teologi Islam yang menekankan keyakinan berdasarkan atsar (riwayat yang sahih) dan menolak penggunaan rasionalisme dalam urusan akidah. Dalam hal ini, Al-Atsariyah identik dengan Ahlul Hadits dalam makna teologis.

Imam Ibn Taymiyyah bahkan sering menyebut madzhab akidah Ahlul Hadits dengan istilah "madhhab ahl al-atsar" atau "madhhab as-salaf", yang berarti sama dengan madzhab orang-orang yang mengikuti riwayat dan pemahaman generasi pertama umat Islam.1

2.            Ciri-Ciri Teologis yang Sama

Baik Ahlul Hadits maupun Al-Atsariyah:

·                     Mengimani seluruh sifat-sifat Allah sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an dan Hadits tanpa ta’wil, takyif, tahrif, atau ta’thil.

·                     Menerapkan prinsip bilā kaifa (tanpa membahas bagaimana bentuknya).

·                     Menolak perdebatan ilmu kalam dan pendekatan rasional-filosofis dalam menetapkan akidah.

·                     Mendasarkan kebenaran agama kepada nash, bukan akal atau filsafat.

Oleh karena itu, Ahlul Hadits adalah representasi praktis dari pemikiran Al-Atsariyah, dan Al-Atsariyah adalah formulasi teologis dari manhaj Ahlul Hadits.2

3.            Penggunaan Istilah dalam Sejarah

·                     Pada abad ke-2 dan 3 H, istilah Ahlul Hadits lebih banyak digunakan sebagai sebutan bagi komunitas ulama yang memprioritaskan hadits dan menolak bid‘ah.

·                     Istilah Al-Atsariyah muncul dan berkembang sebagai istilah teologis formal dalam diskursus ilmu kalam Sunni, khususnya ketika membedakan antara madzhab Salaf (Atsari) dan kalangan Asy‘ariyah atau Maturidiyah.3

4.            Tokoh-Tokoh Bersama

Tokoh-tokoh Ahlul Hadits seperti:

·                     Imam Ahmad bin Hanbal

·                     Sufyan ats-Tsauri

·                     Abdullah bin al-Mubarak

·                     Ishaq bin Rahuyah

... juga disebut sebagai imam-imam Al-Atsariyah, karena mereka menolak kalam dan menetapkan sifat-sifat Allah sesuai pemahaman sahabat tanpa penakwilan spekulatif.4


Kesimpulan

Ahlul Hadits dan Al-Atsariyah adalah dua istilah yang saling terkait erat, dan bahkan dalam konteks pembahasan akidah, merujuk pada satu tradisi pemikiran yang sama. Perbedaannya hanya terletak pada nuansa istilah: Ahlul Hadits lebih menekankan komunitas dan praktik keilmuan hadits, sedangkan Al-Atsariyah menekankan doktrin dan posisi teologis dari pendekatan tersebut.


Footnotes

[1]                Ibn Taymiyyah, Majmūʿ al-Fatāwā, ed. ʿAbd al-Rahman bin Qasim (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadithah, 1979), 5:11.

[2]                Al-Saffarini, Lawāmiʿ al-Anwār al-Bahiyyah, ed. Muhammad al-Hamud (Riyadh: Maktabah al-Rushd, 1995), 1:43–45.

[3]                George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 157–159.

[4]                Henri Laoust, Essai sur les doctrines sociales et politiques de Ibn Taymiyya (Cairo: IFAO, 1939), 33–34.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar