Ahlul Hadits
Antara Warisan Salaf dan Tantangan Zaman
Alihkan ke: Aliran-Aliran Ilmu Kalam.
Abstrak
Artikel ini membahas secara
komprehensif tentang Ahlul Hadits sebagai salah satu aliran pemikiran
Islam klasik yang memainkan peran sentral dalam menjaga keaslian ajaran Islam.
Dengan pendekatan yang berbasis pada Al-Qur’an dan Sunnah shahih, Ahlul Hadits
menolak penggunaan akal secara spekulatif dalam perkara akidah dan hukum, serta
menghindari perdebatan teologis yang bersifat rasionalistik sebagaimana
dilakukan oleh kelompok Ahlur Ra’yi dan Ahli Kalam. Artikel ini menguraikan
latar belakang historis kemunculan Ahlul Hadits, karakteristik metodologinya,
tokoh-tokoh utamanya, serta kontribusinya terhadap pembentukan doktrin Ahlus
Sunnah wal Jama‘ah. Selain itu, disampaikan pula kritik terhadap pendekatan
Ahlul Hadits dan bagaimana warisan intelektual mereka tetap relevan dalam
menghadapi tantangan pemikiran Islam kontemporer. Artikel ini ditutup dengan
rekomendasi berpikir dalam bingkai Ahlus Sunnah wal Jama‘ah agar semangat
ilmiah dan spiritual Ahlul Hadits dapat terus dilestarikan dan dikembangkan
secara kontekstual di era modern.
Kata Kunci: Ahlul
Hadits, Ahlus Sunnah wal Jama‘ah, pemikiran Islam klasik, hadits, akidah salaf,
ilmu kalam, tekstualisme, teologi Islam.
PEMBAHASAN
Kajian Ahlul Hadits Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Dalam khazanah sejarah
intelektual Islam, perkembangan pemikiran teologis (kalām) merupakan salah satu
aspek yang sangat menonjol. Berbagai aliran muncul sebagai respons atas
dinamika sosial-politik dan tantangan pemikiran pada masa-masa awal Islam, terutama
seiring meluasnya wilayah kekuasaan Islam yang beriringan dengan masuknya
berbagai pengaruh filsafat asing, terutama dari Yunani dan Persia. Salah satu
aliran penting yang muncul dalam konteks ini adalah Ahlul Hadits,
yaitu kelompok ulama dan pemikir Islam yang secara konsisten berpegang pada Al-Qur’an
dan Sunnah shahih sebagai dasar utama dalam memahami aqidah dan hukum
Islam, serta menolak dominasi akal dan spekulasi filosofis dalam urusan
keimanan.
Gerakan Ahlul Hadits tumbuh
sebagai bentuk reaksi atas dominasi Ahlur Ra’yi di kalangan
ulama tertentu, khususnya di wilayah Kufah, serta sebagai penolakan terhadap
aliran-aliran rasionalistik seperti Mu’tazilah yang
memposisikan akal sebagai otoritas tertinggi dalam menafsirkan nash-nash agama.
Menurut Ignaz Goldziher, Ahlul Hadits merupakan cikal bakal
dari semangat ortodoksi Islam yang menekankan pentingnya kembali kepada riwayat
dan tradisi Nabi yang otentik, sekaligus menjaga kemurnian ajaran dari pengaruh
eksternal dan penafsiran yang menyimpang.1
Salah satu tokoh sentral dari
Ahlul Hadits adalah Imam Ahmad bin Hanbal (164–241 H), yang
dikenal karena keteguhannya dalam menolak doktrin “khalq al-Qur’an”
(Al-Qur’an adalah makhluk), sebuah ajaran yang saat itu dipaksakan oleh
penguasa Dinasti Abbasiyah yang menganut pemikiran Mu’tazilah. Dalam peristiwa
yang dikenal sebagai Mihnah, Imam Ahmad menjadi simbol
resistensi terhadap intervensi negara dalam hal aqidah, sekaligus memperkuat
posisi Ahlul Hadits sebagai aliran yang memelihara integritas keagamaan berdasarkan
dalil-dalil yang sahih.2
Berbeda dengan
kelompok-kelompok teologis lain yang cenderung melakukan ta’wil terhadap
ayat-ayat mutasyabihat, Ahlul Hadits justru memegang prinsip “bilā kaifa”,
yaitu menerima teks sebagaimana adanya tanpa menanyakan “bagaimana”
bentuk atau hakikatnya. Mereka juga memiliki kecenderungan untuk tawaqquf
(menahan diri) dari membahas secara mendalam hal-hal yang bersifat ghaibiyah
atau yang tidak dijelaskan secara rinci oleh nash.3 Pendekatan ini
tidak hanya menandai metode mereka dalam memahami sifat-sifat Allah, tetapi
juga menjadi ciri khas dalam kerangka epistemologi mereka secara keseluruhan.
Dengan demikian, Ahlul Hadits
tidak hanya memainkan peran penting dalam membentengi umat dari penyimpangan
akidah, tetapi juga meletakkan dasar-dasar ortodoksi Sunni
yang menjadi rujukan utama bagi banyak generasi sesudahnya. Pengaruhnya bahkan
berlanjut hingga masa kini, terutama dalam wacana gerakan salafiyah dan
pemurnian Islam yang menyerukan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah sesuai
dengan pemahaman salaf al-shalih.4
Catatan
Kaki
[1]
Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, trans. Andras and Ruth Hamori (Princeton: Princeton
University Press, 1981), 37–40.
[2]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 89–90.
[3]
Ibn Taymiyyah, Darʾ Taʿāruḍ al-ʿAql wa al-Naql, ed. Muhammad Rasyid Ridha (Beirut: Dar al-Ma‘rifah,
1979), 1:10.
[4]
Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the
Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld
Publications, 2009), 185–186.
2.
Pengertian Ahlul Hadits
Istilah Ahlul Hadits
secara harfiah berarti “para pengikut hadits” atau “komunitas ahli
hadits”, yaitu kelompok ulama yang menaruh perhatian besar terhadap riwayat
Nabi Muhammad Saw dalam bentuk
hadits-hadits shahih sebagai sumber utama pemahaman agama. Dalam konteks
teologis dan pemikiran Islam klasik, istilah ini merujuk pada aliran
pemikiran yang menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai landasan utama dalam
membangun akidah, sekaligus menolak penggunaan akal secara
spekulatif, sebagaimana lazim digunakan oleh para teolog rasionalis
seperti Mu’tazilah.1
Ahlul Hadits muncul sebagai
sebuah arus pemikiran tekstualis yang memprioritaskan naql
(wahyu dan riwayat) dibanding ‘aql (akal). Mereka meyakini bahwa dalam
urusan yang menyangkut keimanan, khususnya yang berkaitan dengan sifat-sifat
Allah, hari akhir, dan hal-hal ghaib lainnya, hanya wahyu ilahi yang dapat
dijadikan sandaran otoritatif. Pendekatan ini tidak menafikan penggunaan akal
sepenuhnya, namun akal dibatasi fungsinya hanya sebagai alat untuk memahami
nash, bukan untuk menakwilkannya secara bebas.2
Menurut Harald Motzki,
Ahlul Hadits merupakan kelompok yang sangat ketat dalam verifikasi
sanad dan matan hadits, serta berperan besar dalam menyaring ajaran
Islam dari unsur-unsur luar yang masuk melalui proses sejarah dan interaksi
budaya dengan non-Muslim.3 Karakter ini membuat mereka memiliki
reputasi sebagai penjaga autentisitas tradisi Islam yang murni. Mereka tidak
hanya menolak bid’ah secara tegas, tetapi juga memandang setiap bentuk inovasi
teologis yang tidak memiliki landasan dari Al-Qur’an dan Sunnah sebagai
penyimpangan.
Selain dalam aspek teologis,
istilah Ahlul Hadits juga memiliki cakupan yang lebih luas dalam literatur
klasik, yaitu untuk merujuk pada para ulama yang mengabdikan hidupnya
dalam mengumpulkan, menyeleksi, meriwayatkan, dan mengajarkan hadits Nabi.
Dalam pengertian ini, Ahlul Hadits memiliki dimensi ilmiah-historis,
yang menjadikan mereka sebagai pionir dalam perkembangan ilmu-ilmu keislaman,
khususnya ilmu hadits, jarh wa ta’dil, dan tarikh rijal.4
Lebih lanjut, menurut Ahmad
bin Hanbal, seorang figur utama Ahlul Hadits, karakteristik kelompok
ini dapat dikenali dari sikap tawadhu’, kecintaan kepada Sunnah, menjauhi perdebatan
kalam, serta konsistensi dalam berpegang pada pemahaman para sahabat dan
tabi’in dalam masalah akidah.5 Prinsip ini yang kelak menjadi
fondasi dari akidah salafiyyah dalam sejarah pemikiran Islam.
Catatan
Kaki
[1]
Richard C. Martin, ed., Encyclopedia of Islam and the Muslim
World, vol. 1 (New York: Macmillan
Reference USA, 2004), 24.
[2]
W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973),
261–263.
[3]
Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan
Fiqh Before the Classical Schools (Leiden:
Brill, 2002), 3–5.
[4]
Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the
Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld
Publications, 2009), 25–27.
[5]
Ibn Qudamah al-Maqdisi, Lumʿat al-Iʿtiqād al-Hādi ilā Sabīl
al-Rashād (Beirut: Muʾassasat al-Risālah,
2004), 9.
3.
Latar Belakang Munculnya Ahlul Hadits
Munculnya Ahlul
Hadits tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial, politik, dan
intelektual dunia Islam pada dua abad pertama Hijriyah. Perkembangan pesat
wilayah kekuasaan Islam sejak masa Khulafaur Rasyidin hingga Dinasti Umayyah
dan Abbasiyah, membuka ruang interaksi dengan berbagai budaya dan tradisi
intelektual non-Arab, termasuk filsafat Yunani, pemikiran Persia, serta agama-agama
Samawi seperti Yahudi dan Kristen. Interaksi ini berdampak pada munculnya
keragaman pemikiran dalam tubuh umat Islam, termasuk dalam ranah teologi (ilmu
kalām).1
Salah satu pemicu utama
lahirnya Ahlul Hadits adalah reaksi terhadap munculnya pemikiran spekulatif,
terutama yang berkembang dalam kalangan aliran Mu’tazilah.
Aliran ini dikenal mengedepankan penggunaan akal sebagai tolok ukur utama dalam
memahami ajaran agama, bahkan hingga menafsirkan ulang ayat-ayat Al-Qur’an yang
berkaitan dengan sifat-sifat Allah, hari kiamat, dan ketetapan takdir. Dominasi
pemikiran Mu’tazilah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun (w.
218 H), menyebabkan keresahan di kalangan ulama yang berpandangan bahwa
kebenaran Islam harus dikembalikan pada nash yang otentik,
bukan pada filsafat asing atau logika rasional murni.2
Gerakan Ahlul Hadits juga
muncul sebagai reaksi terhadap kelompok Ahlur Ra’yi, yaitu
golongan ulama yang lebih mengutamakan ijtihad rasional dan analogi
(qiyas), terutama yang berkembang di Kufah. Ahlur Ra’yi kerap dikritik
oleh Ahlul Hadits karena dianggap terlalu longgar dalam menafsirkan teks agama
dan terlalu mengandalkan akal dalam menetapkan hukum. Sebaliknya, Ahlul Hadits
lebih menekankan pentingnya penggunaan riwayat yang sahih dari Nabi dan
para sahabat sebagai dasar pengambilan hukum dan akidah.3
Konflik pemikiran ini
memuncak dalam peristiwa yang dikenal sebagai Mihnah
(Inkuisisi), yakni ujian akidah yang dilancarkan oleh penguasa Abbasiyah
terhadap para ulama yang menolak doktrin “khalq al-Qur’an” (Al-Qur’an
adalah makhluk). Ulama besar Ahlul Hadits, Imam Ahmad bin Hanbal,
menjadi simbol perlawanan terhadap pemaksaan ideologi rasionalistik negara. Ia
mengalami penyiksaan dan penjara karena tetap berpegang teguh pada keyakinannya
bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah yang qadim dan bukan makhluk.4
Dari sinilah Ahlul Hadits
tampil sebagai penjaga ortodoksi Islam yang berpegang pada
pemahaman generasi awal umat Islam (salaf), yang menolak perdebatan
teologis spekulatif serta menjunjung tinggi prinsip ittibaʿ (mengikuti
dalil yang sahih). Mereka menolak segala bentuk bid’ah dan memperjuangkan
pemurnian ajaran Islam dari pengaruh eksternal yang tidak bersumber dari wahyu.5
Dengan demikian, kemunculan
Ahlul Hadits bukan hanya sebuah reaksi teologis, tetapi juga merupakan gerakan
intelektual dan spiritual untuk menjaga keaslian ajaran Islam.
Dalam jangka panjang, aliran ini turut membentuk fondasi akidah Ahlus
Sunnah wal Jamaah, yang berpengaruh luas dalam sejarah pemikiran Islam
hingga era kontemporer.6
Catatan
Kaki
[1]
Richard C. Martin, ed., Encyclopedia of Islam and the Muslim
World, vol. 1 (New York: Macmillan
Reference USA, 2004), 24.
[2]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 79–81.
[3]
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madhahib al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1996), 123.
[4]
Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the
Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld
Publications, 2009), 92–94.
[5]
Ibn Taymiyyah, Majmuʿ al-Fatāwā, ed. ʿAbd al-Rahman bin Qasim (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadithah,
1979), 3:345.
[6]
Yasir Qadhi, An Introduction to the Sciences of the Qur’aan (Birmingham: Al-Hidaayah Publishing, 1999), 214–215.
4.
Tokoh-Tokoh Utama Ahlul Hadits
Dalam sejarah perkembangan
pemikiran Islam klasik, Ahlul Hadits tidak hanya dikenal
sebagai kelompok tekstualis yang mengutamakan Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi juga
melahirkan para tokoh besar yang memainkan peran sentral dalam menjaga
kemurnian ajaran Islam dan membangun kerangka ilmiah dalam ilmu hadits serta
akidah salaf. Para tokoh ini hidup di berbagai wilayah pusat keilmuan Islam
seperti Madinah, Mekah, Baghdad, dan Syam. Mereka dikenal karena konsistensinya
dalam membela pemahaman Islam berdasarkan riwayat yang sahih dan menghindari
perdebatan spekulatif dalam teologi.
4.1.
Imam Ahmad bin Hanbal
(164–241 H / 780–855 M)
Imam Ahmad adalah tokoh
paling menonjol dalam gerakan Ahlul Hadits. Ia dikenal sebagai ulama besar yang
menguasai hadits, fiqh, dan teologi, sekaligus sebagai pendiri mazhab Hanbali,
salah satu dari empat mazhab fikih utama dalam Islam. Salah satu kontribusi
terbesarnya adalah kitab Musnad Ahmad, sebuah koleksi besar
hadits yang berisi lebih dari 30.000 riwayat.1
Peran Imam Ahmad dalam
mempertahankan akidah Ahlul Hadits sangat menonjol, terutama dalam peristiwa Mihnah
(Inkuisisi), ketika penguasa Abbasiyah memaksakan doktrin Mu’tazilah bahwa
Al-Qur’an adalah makhluk. Imam Ahmad menolak pandangan tersebut dan tetap
bersikukuh pada keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah yang tidak
diciptakan. Keteguhannya membuat ia dipenjara dan disiksa, namun hal itu justru
mengokohkan posisi Ahlul Hadits sebagai penjaga ortodoksi Islam.2
4.2.
Sufyan ats-Tsauri
(97–161 H / 716–778 M)
Sufyan ats-Tsauri adalah
seorang tabi‘ut tabi‘in, ahli hadits, dan ulama zuhud yang sangat dihormati
dalam tradisi Ahlul Hadits. Ia dikenal sebagai pendiri mazhab fikih yang sempat
berkembang luas sebelum kemudian tidak berlanjut. Sufyan sangat kritis terhadap
pemikiran rasionalistik dan lebih memilih pendekatan riwayat yang sahih dalam
memahami agama.3
Ia juga dikenal sebagai
seorang yang menghindari kedekatan dengan penguasa dan dunia politik, serta
sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Kontribusinya dalam pengembangan
ilmu hadits dan sikapnya yang tegas terhadap bid‘ah menjadikan namanya
dihormati dalam kalangan Ahlul Hadits.4
4.3.
Abdullah bin
al-Mubarak (118–181 H / 736–797 M)
Abdullah bin al-Mubarak
merupakan ulama besar yang berasal dari Khurasan dan termasuk generasi tabi‘ut
tabi‘in. Ia dikenal sebagai ahli hadits, ahli fiqh, sekaligus pejuang yang
pernah ikut serta dalam jihad fisik membela kaum Muslimin. Dalam pemikiran, ia
sangat menjunjung tinggi Sunnah dan menolak keras penggunaan akal tanpa dasar
nash.5
Ibnu al-Mubarak juga terkenal
dengan ketekunannya dalam menyaring hadits dan memerangi perawi-perawi yang
lemah atau palsu. Ia menulis beberapa karya penting dalam bidang akidah dan
zuhud, serta menjadi rujukan utama bagi generasi Ahlul Hadits sesudahnya.6
4.4.
Ishaq bin Rahuyah (161–238
H / 778–853 M)
Ishaq bin Rahuyah adalah
murid dari Abdullah bin al-Mubarak dan guru dari Imam al-Bukhari. Ia termasuk
tokoh penting dalam Ahlul Hadits yang dikenal karena kekuatan hafalan dan
penguasaan terhadap ilmu sanad. Dalam bidang akidah, ia menegaskan pentingnya
menerima nash sebagaimana adanya dan menolak takwil rasional terhadap ayat-ayat
sifat.7
Ia juga dikenal karena
komentarnya yang mendorong al-Bukhari menyusun karya monumental Sahih
al-Bukhari, yang menjadi tonggak penting dalam tradisi Ahlul Hadits.8
Tokoh-tokoh di atas menjadi
pondasi kokoh dalam pembentukan karakteristik Ahlul Hadits: berpegang teguh
pada Sunnah, menjunjung tinggi sanad, menolak bid‘ah, dan menjauhi debat
spekulatif. Mereka tidak hanya menjadi perawi dan penyaring hadits, tetapi juga
teladan dalam akhlak, keteguhan aqidah, dan ketekunan ilmiah
yang memberi warisan besar bagi umat Islam sepanjang sejarah.
Catatan
Kaki
[1]
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1995), 1:5.
[2]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 90–91.
[3]
Christopher Melchert, The Formation of the Sunni Schools of
Law, 9th–10th Centuries C.E. (Leiden:
Brill, 1997), 42.
[4]
Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the
Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld
Publications, 2009), 45–46.
[5]
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1968), 5:289.
[6]
Abdul Fattah Abu Ghuddah, Siyar A‘lam al-Nubala’ oleh al-Dzahabi, edisi takhrij (Beirut: Mu’assasah
al-Risalah, 1993), 8:395–396.
[7]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Ijtima‘ al-Juyush al-Islamiyyah (Kairo: Maktabah al-Qur’an, 1988), 51–52.
[8]
Al-Dzahabi, Tadhkirat al-Huffaz (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 2:432.
5.
Karakteristik Pemikiran Ahlul Hadits
Pemikiran Ahlul Hadits
menempati posisi unik dalam sejarah teologi Islam. Kelompok ini memiliki
pendekatan yang khas, berbeda baik dari aliran teologis rasionalis seperti Mu’tazilah
maupun dari kelompok fikih yang cenderung menggunakan ra’yu
seperti sebagian ulama Kufah. Berikut adalah karakteristik utama pemikiran
Ahlul Hadits:
5.1.
Berpegang Teguh pada
Nash (Al-Qur’an dan Hadits)
Ciri paling menonjol dari
Ahlul Hadits adalah komitmen mereka untuk menjadikan Al-Qur’an dan
Hadits sahih sebagai sumber utama dan satu-satunya rujukan dalam
membangun akidah dan hukum. Mereka menolak untuk menjadikan akal sebagai
otoritas penentu dalam masalah keimanan, terutama dalam hal yang menyangkut
sifat-sifat Allah, perkara ghaib, dan takdir. Pemikiran ini didasarkan pada
keyakinan bahwa kebenaran mutlak hanya dapat diperoleh melalui wahyu yang
otentik.1
Dalam hal ini, Ahlul Hadits
juga lebih memilih untuk menukil daripada menakwil,
yakni mereka menerima nash sebagaimana adanya (secara zahir), tanpa mencoba
memaknai ulang secara rasional, kecuali dengan petunjuk dari riwayat sahih
lainnya.2
5.2.
Sikap terhadap
Sifat-Sifat Allah (Bilā Kaifa)
Ahlul Hadits memiliki
pendekatan yang khas dalam memahami sifat-sifat Allah: mereka
menerima seluruh sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah tanpa
melakukan takyīf (menanyakan bagaimana), ta’wīl
(penafsiran menyimpang), tahrīf (pengubahan makna),
ataupun ta’ṭīl (penolakan total terhadap makna). Mereka
meyakini bahwa Allah memiliki sifat sebagaimana disebutkan dalam nash, namun
tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk (tasybīh) dan tanpa mengingkari makna
yang telah ditetapkan syariat.3
Prinsip ini dikenal dengan
istilah “bilā kaifa” yang pertama kali diungkapkan oleh Imam
Malik ketika ditanya tentang istiwā’ Allah di atas ‘Arsy:
ٱلِٱسْتِوَاءُ مَعْلُومٌ، وَٱلْكَيْفُ مَجْهُولٌ،
وَٱلْإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَٱلسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ
“al-istiwā’ ma‘lūm,
wal-kaifu majhūl, wa al-īmān bihi wājib, wa as-su’āl ‘anhu bid‘ah”
“Istiwā’ itu
diketahui maknanya, namun bagaimana caranya tidak diketahui, mengimaninya
wajib, dan mempertanyakannya adalah bid‘ah.”_4
5.3.
Penolakan terhadap
Ilmu Kalam dan Spekulasi Akal
Salah satu sikap tegas Ahlul
Hadits adalah penolakan terhadap ilmu kalam, terutama versi
yang spekulatif seperti yang dikembangkan oleh aliran Mu’tazilah dan sebagian
Asy’ariyyah dalam fase awal. Mereka memandang bahwa penggunaan filsafat dan
logika dalam urusan aqidah membuka jalan bagi penyimpangan dari ajaran Nabi dan
para sahabat.5
Imam Ahmad bin Hanbal secara
eksplisit melarang berdebat dalam agama dengan menggunakan qiyas dan logika
tanpa dasar nash. Ia berpendapat bahwa para sahabat Nabi tidak dikenal sebagai
ahli kalam, tetapi sebagai pengikut wahyu yang murni dan lurus.6
5.4.
Mengutamakan Riwayat
Shahih dan Kritis terhadap Bid‘ah
Ahlul Hadits sangat
berhati-hati dalam menerima hadits dan selalu menilai keabsahan sanad serta
matannya. Mereka juga sangat kritis terhadap bid‘ah, yakni
segala bentuk ibadah atau keyakinan yang tidak memiliki dasar dari Al-Qur’an
dan Sunnah serta tidak dikenal dalam praktik generasi salaf. Oleh karena itu,
mereka sering mengkritik kelompok-kelompok seperti Qadariyyah, Jahmiyyah, dan
Rafidhah.7
5.5.
Menjaga Sunnah dan
Menghidupkan Praktik Salaf
Kelompok Ahlul Hadits juga
dikenal karena komitmennya terhadap praktik keagamaan para sahabat dan
tabi‘in. Mereka melihat generasi awal umat Islam sebagai model ideal
dalam memahami dan mengamalkan Islam. Prinsip al-ittibāʿ (mengikuti
sunnah) lebih diutamakan daripada ibtidāʿ (berinovasi dalam agama).
Dalam banyak hal, pendekatan ini kemudian menjadi ciri khas akidah Ahlus
Sunnah wal Jamaah yang mengakar kuat dalam sejarah Islam.8
Catatan
Kaki
[1]
Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the
Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld
Publications, 2009), 81–83.
[2]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 93.
[3]
Ibn Taymiyyah, Darʾ Taʿāruḍ al-ʿAql wa al-Naql, ed. Muhammad Rasyid Ridha (Beirut: Dar al-Ma‘rifah,
1979), 1:10–12.
[4]
Al-Dhahabi, Siyar Aʿlām al-Nubalāʾ, ed. Shuʿaib al-Arna’uth (Beirut: Mu’assasah
al-Risālah, 1997), 8:105.
[5]
Ibn Qudamah al-Maqdisi, Taḥrīm al-Naẓar fī Kutub Ahl al-Kalām (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 35–36.
[6]
Ahmad bin Hanbal, Usūl al-Sunnah, ed. al-Sayyid al-Jilani (Makkah: Maktabah al-Dār, 1994), 12–14.
[7]
Ibn Bāz, Majmūʿ Fatāwā wa Maqālāt Mutanawwiʿah, vol. 1 (Riyadh: Dār al-ʿĀṣimah, 2001), 344.
[8]
Muhammad Nasiruddin al-Albani, Muqaddimah Syarh al-‘Aqidah
al-Tahawiyyah, ed. Ali Hasan al-Halabi
(Amman: Maktabah al-Ma’arif, 1998), 9.
6.
Perbedaan dengan Ahlur Ra’yi dan Ahli Kalam
Dalam sejarah pemikiran Islam
klasik, perbedaan metode dan pendekatan antara Ahlul Hadits, Ahlur
Ra’yi, dan Ahli Kalam menjadi salah satu dinamika
penting dalam perkembangan teologi dan fiqh. Masing-masing kelompok memiliki
pendekatan tersendiri dalam memahami nash (teks agama), peran akal, dan cara
menetapkan keyakinan serta hukum.
Berikut adalah
perbedaan-perbedaan utama Ahlul Hadits dibandingkan dengan dua aliran pemikiran
lainnya:
6.1.
Dibandingkan dengan
Ahlur Ra’yi
Ahlur Ra’yi
adalah kelompok yang lebih menekankan penggunaan akal (ra’yu)
dan qiyas (analogi) dalam memahami dan menetapkan hukum,
terutama dalam kasus-kasus yang tidak ditemukan secara eksplisit dalam nash.
·
Ahlul Hadits
mendasarkan pemahaman agama sepenuhnya pada nash (Al-Qur’an dan hadits
shahih). Mereka hanya menerima ra’yu dalam batas yang sangat terbatas
dan tidak bertentangan dengan riwayat. Sebaliknya, Ahlur Ra’yi cenderung
menggunakan ra’yu lebih luas, terutama dalam konteks fiqh.1
·
Dalam metodologi hukum, Ahlur
Ra’yi lebih menekankan rasionalisasi hukum dan
melihat maslahat sebagai landasan penting, sedangkan Ahlul Hadits lebih
berhati-hati dan sering kali menolak ijtihad jika tidak ada dukungan dari
sunnah atau atsar.2
·
Wilayah geografis juga
turut mempengaruhi: Ahlul Hadits lebih dominan di Madinah dan
Hijaz yang memiliki tradisi kuat dalam periwayatan hadits, sementara Ahlur
Ra’yi berkembang di Kufah yang cenderung jauh dari sumber riwayat,
sehingga mengandalkan akal dalam banyak hal.3
6.2.
Dibandingkan dengan
Ahli Kalam
Ahli Kalam
adalah aliran yang menggunakan pendekatan filsafat dan logika dalam merumuskan
persoalan-persoalan teologis. Aliran ini meliputi kelompok seperti Mu’tazilah,
sebagian Asy’ariyyah, dan Maturidiyyah.
·
Ahlul Hadits
menolak penggunaan akal sebagai sumber utama dalam akidah,
sedangkan Ahli Kalam menjadikan akal sebagai dasar untuk menetapkan eksistensi
Tuhan, keadilan-Nya, dan sifat-sifat-Nya, bahkan terkadang menolak nash yang
bertentangan dengan prinsip rasionalitas.4
·
Dalam memahami sifat-sifat
Allah, Ahlul Hadits menerima ayat-ayat sifat secara zahir
tanpa ta’wil atau takwil simbolik, dengan prinsip bilā kaifa (tanpa
menanyakan bagaimana). Sedangkan Ahli Kalam, seperti Mu’tazilah dan Asy’ariyyah
awal, melakukan ta’wil terhadap ayat-ayat yang dinilai
mengandung makna antropomorfis.5
·
Ahli Kalam cenderung
mengembangkan sistem teologis yang sistematis dan filosofis,
sedangkan Ahlul Hadits menolak konsep semacam itu dan lebih memilih pendekatan
yang sederhana dan langsung berdasar riwayat.6
·
Ahlul Hadits
juga menentang perdebatan teologis yang berkembang dalam majelis-majelis ilmu
kalam, dan menganggapnya sebagai bid‘ah yang tidak dikenal di
masa Nabi dan para sahabat.7
Perbedaan-perbedaan tersebut
menunjukkan bahwa Ahlul Hadits lebih menekankan kesetiaan terhadap
tradisi riwayat dan lebih bersifat konservatif dalam akidah
dan hukum, dibandingkan dengan Ahlur Ra’yi yang rasional dalam fiqh,
dan Ahli Kalam yang rasional dalam akidah.
Catatan
Kaki
[1]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 78–79.
[2]
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madhahib al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1996), 125.
[3]
Christopher Melchert, The Formation of the Sunni Schools of
Law, 9th–10th Centuries C.E. (Leiden:
Brill, 1997), 44.
[4]
Richard C. Martin, ed., Encyclopedia of Islam and the Muslim
World, vol. 1 (New York: Macmillan Reference
USA, 2004), 29.
[5]
Ibn Taymiyyah, Darʾ Taʿāruḍ al-ʿAql wa al-Naql, ed. Muhammad Rasyid Ridha (Beirut: Dar al-Ma‘rifah,
1979), 1:16–17.
[6]
Al-Ghazali, Iljam al-‘Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1997), 52–53.
[7]
Ibn Qudamah al-Maqdisi, Taḥrīm al-Naẓar fī Kutub Ahl
al-Kalām (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1993), 11–12.
7.
Pengaruh dan Warisan Ahlul Hadits
Peran Ahlul Hadits
dalam sejarah pemikiran Islam tidak hanya terbatas pada masa kemunculannya pada
abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah, melainkan berlanjut dan memberikan pengaruh
besar dalam pembentukan arus utama teologi dan hukum Islam hingga
zaman modern. Pengaruh itu dapat dilihat dalam berbagai aspek, baik dalam
bentuk institusional, metodologis, maupun ideologis.
7.1.
Dasar Teologis Ahlus
Sunnah wal Jama‘ah
Salah satu warisan terpenting
Ahlul Hadits adalah kontribusinya dalam pembentukan doktrin Ahlus
Sunnah wal Jama‘ah, khususnya dalam aspek teologi (akidah). Banyak
prinsip akidah Sunni, seperti pengakuan terhadap seluruh sifat Allah tanpa
ta’wil, iman terhadap nash secara tekstual, serta penolakan terhadap ilmu kalam
spekulatif, secara langsung bersumber dari pendekatan Ahlul Hadits.1
Imam Ahmad bin Hanbal,
sebagai tokoh sentral Ahlul Hadits, bahkan dianggap sebagai simbol konsistensi
akidah salaf dan salah satu pendiri kerangka teologis Sunni yang kemudian
dilestarikan oleh ulama setelahnya seperti Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim
al-Jawziyyah.2
7.2.
Pengaruh terhadap
Madzhab Hanbali dan Ulama Salaf
Dalam ranah fiqh, pemikiran
Ahlul Hadits sangat mewarnai madzhab Hanbali, yang secara
metodologis lebih mengutamakan hadits dibanding qiyas atau istihsan. Mazhab ini
cenderung menghindari penggunaan ra’yu kecuali dalam kondisi darurat dan selalu
berusaha mencari landasan dari Sunnah atau atsar sahabat.3
Warisan ini kemudian
diteruskan oleh para ulama salaf dan penggerak tajdid
(pembaruan) Islam yang berusaha kembali kepada sumber-sumber otentik Islam. Di
antara tokoh yang melanjutkan semangat Ahlul Hadits adalah Ibn
Taymiyyah (w. 728 H) yang banyak menulis dalam membela akidah salaf
dan mengkritik ilmu kalam serta praktik-praktik bid‘ah.4
7.3.
Pembentukan Tradisi
Ilmiah Hadits
Ahlul Hadits juga sangat
berperan dalam pengkodifikasian ilmu hadits, baik dalam bentuk
penyusunan kitab hadits seperti Musnad Ahmad, Sahih al-Bukhari,
dan Sahih Muslim, maupun dalam pengembangan metodologi kritik sanad
dan matan. Para ulama Ahlul Hadits meletakkan dasar-dasar ilmu jarh wa
ta‘dil, musthalah al-hadits, dan ‘ilal
al-hadits yang menjadi standar ilmiah dalam menilai keotentikan
riwayat.5
Dengan demikian, mereka telah
menciptakan tradisi ilmiah yang ketat dan sistematis yang
kemudian menjadi pilar penting dalam studi keislaman sepanjang zaman. Tradisi
ini juga menjadi penghalang masuknya riwayat palsu dan ajaran asing yang tidak
sesuai dengan ajaran Nabi.6
7.4.
Pengaruh terhadap
Gerakan Reformasi Islam
Warisan pemikiran Ahlul
Hadits mendapat relevansi baru pada masa modern, khususnya
dalam gerakan-gerakan reformasi Islam (tajdid dan ishlah) yang
menyerukan pemurnian ajaran Islam dari praktik-praktik bid‘ah
dan takhayul. Tokoh-tokoh seperti Muhammad bin Abdul Wahhab di
Jazirah Arab, Syah Waliullah ad-Dihlawi di India, hingga Jamaluddin
al-Afghani dan Muhammad Abduh di Mesir, menunjukkan
pengaruh pemikiran Ahlul Hadits, meskipun dengan konteks yang beragam.7
Gerakan Salafiyyah
kontemporer yang menyerukan kembali kepada pemahaman salaf shalih
dalam akidah, ibadah, dan muamalah, juga banyak mengadopsi prinsip-prinsip
Ahlul Hadits sebagai fondasi utama gerakan mereka. Meski demikian, warisan ini
sering kali mengalami perbedaan dalam penafsiran dan aplikasinya dalam realitas
sosial dan politik yang berbeda.8
Dengan seluruh kontribusi
tersebut, Ahlul Hadits tidak hanya menjadi penjaga tradisi keagamaan
yang otentik, tetapi juga memainkan peran penting dalam dinamika
intelektual Islam dari masa klasik hingga modern. Komitmen mereka
terhadap nash, keotentikan sumber, dan kehati-hatian dalam beragama menjadi
nilai warisan yang terus relevan sepanjang zaman.
Catatan
Kaki
[1]
Ibn Taymiyyah, Majmūʿ al-Fatāwā, ed. ʿAbd al-Rahman bin Qasim (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadithah,
1979), 3:345–346.
[2]
Henri Laoust, Essai sur les doctrines sociales et politiques
de Ibn Taymiyya (Cairo: Institut Français
d’Archéologie Orientale, 1939), 35–36.
[3]
Christopher Melchert, The Formation of the Sunni Schools of
Law, 9th–10th Centuries C.E. (Leiden:
Brill, 1997), 98–99.
[4]
Jon Hoover, Ibn Taymiyya's Theodicy of Perpetual Optimism (Leiden: Brill, 2007), 41–42.
[5]
Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the
Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld
Publications, 2009), 101–104.
[6]
Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan
Fiqh Before the Classical Schools (Leiden:
Brill, 2002), 65.
[7]
Yusra Yusuf, “Pengaruh Pemikiran Ahlul Hadits dalam Gerakan Tajdid di
Dunia Islam,” Jurnal Pemikiran Islam 12, no. 2 (2020): 145–147.
[8]
Muhammad Qasim Zaman, The Ulama in Contemporary Islam:
Custodians of Change (Princeton: Princeton
University Press, 2002), 53–55.
8.
Kritik terhadap Ahlul Hadits
Meskipun Ahlul Hadits
memiliki peranan penting dalam menjaga otentisitas ajaran Islam dan menegakkan
prinsip-prinsip ortodoksi, namun pendekatan mereka tidak luput dari kritik,
baik dari kalangan sezaman maupun dari para intelektual Islam generasi
berikutnya. Kritik-kritik tersebut muncul terutama dalam konteks epistemologis,
metodologis, dan praktikal, serta berkaitan dengan
keterbatasan mereka dalam merespons tantangan intelektual yang kompleks.
8.1.
Kritik terhadap
Kecenderungan Tekstualisme Ekstrem
Salah satu kritik utama
terhadap Ahlul Hadits adalah kecenderungan mereka yang dianggap terlalu tekstualis
(literal) dalam memahami nash. Mereka dinilai terlalu kaku dalam
menafsirkan ayat-ayat dan hadits, bahkan pada persoalan yang membutuhkan
pendekatan kontekstual atau pemikiran kritis. Kritik ini terutama datang dari
kalangan Ahlur Ra’yi dan Ahli Kalam, yang menilai bahwa Ahlul Hadits sering
kali mengabaikan maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan syariat) dan
tidak memberikan ruang yang cukup bagi peran akal dalam memahami
syariat.1
Imam Abu Hanifah, misalnya,
dalam beberapa riwayat dikabarkan menyayangkan pendekatan yang hanya berpegang
pada hadits secara zahir tanpa mempertimbangkan konteks atau sebab turunnya
(asbāb al-wurūd).2
8.2.
Penolakan terhadap
Rasionalisasi dalam Akidah
Ahlul Hadits dikritik karena menolak
ilmu kalam dan diskusi rasional tentang akidah, yang dianggap sebagai
sarana penting dalam membela Islam terhadap serangan filsafat dan ideologi
luar. Para teolog seperti al-Ghazali dan Fakhruddin
ar-Razi menilai bahwa membatasi akidah hanya pada teks tanpa
argumentasi logis akan membuat Islam tampak tidak mampu menghadapi pemikiran
rasional dari luar, seperti filsafat Yunani atau ajaran Kristen yang memiliki
tradisi apologetik yang kuat.3
Dalam pandangan ini,
pendekatan Ahlul Hadits dianggap reaktif dan defensif, serta
tidak cukup memberikan jawaban sistematis terhadap berbagai pertanyaan
filosofis dan metafisik yang berkembang pada masa kejayaan peradaban Islam.4
8.3.
Keterbatasan dalam
Konteks Sosial dan Politik
Sebagian sarjana modern juga
mengkritik Ahlul Hadits karena pendekatannya yang tidak sensitif
terhadap dinamika sosial dan politik, sehingga dianggap kurang relevan
dalam merespons isu-isu kontemporer. Mereka cenderung melihat hukum dan akidah
secara normatif tanpa memperhatikan konteks perubahan zaman dan
kebutuhan masyarakat.
Sebagai contoh, dalam
menghadapi persoalan keadilan sosial, hak perempuan, atau sistem pemerintahan,
sebagian kelompok yang mengadopsi pendekatan Ahlul Hadits modern sering kali
dianggap tidak mampu memberikan solusi aplikatif, karena terlalu fokus pada
teks dan riwayat literal.5
8.4.
Fragmentasi Pandangan
dan Klaim Kebenaran Tunggal
Ahlul Hadits juga dikritik karena
dalam praktiknya sering muncul klaim monopoli kebenaran dan
penilaian takfīr terhadap kelompok lain yang berbeda pandangan, bahkan terhadap
sesama Muslim. Ini terutama terjadi dalam versi ekstrem dari gerakan
salafi-haditsi kontemporer, yang secara historis mengklaim kesinambungan dengan
Ahlul Hadits klasik.
Beberapa pengamat menilai
bahwa pendekatan ini berpotensi menimbulkan fragmentasi internal umat
Islam, memperlebar jarak dengan kelompok lain seperti Asy’ariyyah,
Maturidiyyah, dan kalangan tasawuf, padahal semuanya termasuk dalam spektrum
Ahlus Sunnah wal Jama‘ah dalam pengertian luas.6
Kesimpulan
Sementara
Kritik-kritik ini tidak
serta-merta menafikan peran besar Ahlul Hadits dalam sejarah pemikiran Islam,
tetapi justru menunjukkan bahwa setiap pendekatan keagamaan memiliki
kelebihan dan keterbatasan. Dengan memahami kritik ini secara
obyektif, umat Islam dapat mengapresiasi kontribusi Ahlul Hadits sekaligus
membuka ruang bagi pendekatan yang lebih integratif antara nash dan akal,
antara tradisi dan pembaruan.
Catatan
Kaki
[1]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 95–97.
[2]
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madhahib al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1996), 127–128.
[3]
Al-Ghazali, Iljam al-‘Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1997), 49–51.
[4]
Richard C. Martin, ed., Encyclopedia of Islam and the Muslim
World, vol. 1 (New York: Macmillan
Reference USA, 2004), 31.
[5]
Muhammad Qasim Zaman, The Ulama in Contemporary Islam:
Custodians of Change (Princeton: Princeton
University Press, 2002), 61–62.
[6]
Jonathan A.C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and
Choices of Interpreting the Prophet’s Legacy
(Oxford: Oneworld Publications, 2014), 215–217.
9.
Relevansi dalam Konteks Kekinian
Di tengah dinamika pemikiran
Islam kontemporer yang kompleks, pendekatan Ahlul Hadits tetap
memiliki relevansi signifikan, terutama dalam hal pemurnian
ajaran Islam, komitmen terhadap sumber otentik, serta
sebagai reaksi terhadap liberalisasi pemikiran agama. Meskipun
muncul dalam konteks klasik, warisan intelektual dan spiritual Ahlul Hadits
terus dihidupkan dan disesuaikan oleh berbagai kalangan, baik dalam bentuk
gerakan dakwah, pendidikan, maupun diskursus keislaman global.
9.1.
Komitmen terhadap
Otentisitas Ajaran Islam
Di tengah maraknya
penafsiran-penafsiran baru terhadap Islam—baik dari kalangan internal maupun
eksternal—pendekatan Ahlul Hadits menjadi pengingat penting akan perlunya beragama
berdasarkan dalil yang sahih dan bersumber langsung dari Al-Qur’an dan
Sunnah. Komitmen Ahlul Hadits terhadap sanad dan riwayat yang valid menjadi
penyeimbang dari kecenderungan hermeneutika liar atau liberalisasi
tafsir dalam wacana keislaman modern.1
Gerakan dakwah yang
menyerukan kembali kepada “manhaj salaf” seperti Salafiyyah di Timur
Tengah atau Ahlus Sunnah wal Jama‘ah di Asia Tenggara, banyak mengambil spirit
ini sebagai dasar pijakan mereka. Mereka menekankan pentingnya mengikuti
pemahaman sahabat dan tabi‘in sebagai jalan tengah yang aman dari penyimpangan.2
9.2.
Koreksi terhadap
Praktik Keagamaan yang Menyimpang
Pendekatan Ahlul Hadits juga
relevan sebagai upaya untuk mengoreksi berbagai bentuk bid‘ah,
khurafat, dan praktik sinkretistik yang berkembang dalam masyarakat
Muslim. Dalam banyak komunitas Muslim tradisional, masih ditemukan
bentuk-bentuk pengamalan yang tidak berdasar pada dalil yang sahih, baik dalam
ibadah, akidah, maupun muamalah.
Melalui pendekatan yang
kritis dan berbasis pada Sunnah, Ahlul Hadits menjadi penggerak reformasi
internal umat Islam agar beribadah dan beragama sesuai dengan tuntunan
Nabi Muhammad Saw tanpa tambahan atau pengurangan.3
9.3.
Penegasan Identitas
Teologis Sunni
Dalam konteks global yang
ditandai dengan kembalinya kesadaran identitas keagamaan, pendekatan Ahlul
Hadits juga menjadi rambu penting dalam menjaga identitas teologis
Sunni. Ketika berhadapan dengan aliran Syiah, sekularisme, atau
gerakan ekstremis, pemikiran Ahlul Hadits memberikan fondasi yang kuat dalam
mempertahankan posisi moderat dan berlandaskan dalil dalam memahami
prinsip-prinsip keimanan.
Hal ini tampak dalam berbagai
forum internasional seperti Majelis Ulama Dunia, yang sering
merujuk pada prinsip-prinsip akidah salaf dalam merespons isu-isu kontemporer
seperti radikalisme, pluralisme, dan dekonstruksi nash agama.4
9.4.
Tantangan dan Adaptasi
terhadap Konteks Modern
Meski demikian, pendekatan
Ahlul Hadits juga menghadapi tantangan besar dalam kontekstualisasi
ajaran. Dunia modern menuntut respons cepat dan kompleks terhadap
isu-isu kontemporer seperti hak asasi manusia, demokrasi, bioetika, dan
teknologi. Di sinilah pentingnya pengembangan pendekatan Ahlul Hadits yang
tetap berpegang pada prinsip riwayat, tetapi terbuka
terhadap ijtihad kontekstual yang terarah, dengan tetap menghargai
maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan syariat).5
Para pemikir seperti Shaykh
al-Albani, Yusuf al-Qaradawi, dan Muhammad
Sa‘id Ramadhan al-Buthi, meski berbeda latar belakang, sama-sama
menunjukkan bahwa penggabungan antara kesetiaan terhadap Sunnah dan
keberanian berijtihad adalah kunci untuk menjadikan warisan Ahlul
Hadits tetap hidup dan relevan.6
Dengan demikian, pendekatan
Ahlul Hadits bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan sumber
inspirasi peradaban Islam kontemporer. Relevansi Ahlul Hadits justru
semakin terasa ketika umat Islam dihadapkan pada krisis otoritas keagamaan,
banjir informasi keislaman yang tidak terfilter, serta ancaman global terhadap
identitas dan integritas ajaran Islam.
Catatan
Kaki
[1]
Jonathan A.C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and
Choices of Interpreting the Prophet’s Legacy
(Oxford: Oneworld Publications, 2014), 211–214.
[2]
Muhammad Qasim Zaman, The Ulama in Contemporary Islam: Custodians
of Change (Princeton: Princeton University
Press, 2002), 65–67.
[3]
Yasir Qadhi, An Introduction to the Sciences of the Hadith (Birmingham: Al-Hidaayah Publishing, 2006), 12–13.
[4]
Ahmad ibn ‘Abd al-Halim Ibn Taymiyyah, Majmūʿ al-Fatāwā, ed. ʿAbd al-Rahman bin Qasim (Riyadh: Maktabah
al-Riyadh al-Hadithah, 1979), 4:95–96.
[5]
Khaled Abou El Fadl, Speaking in God's Name: Islamic Law,
Authority and Women (Oxford: Oneworld
Publications, 2001), 102–105.
[6]
Muhammad Sa‘id Ramadhan al-Buthi, As-Salafiyyah: Marhalah Zamaniyyah
Mubārakah, Lā Madhhab Islāmī (Beirut: Dar
al-Fikr, 1993), 33–36.
10.
Penutup
10.1.
Kesimpulan
Eksplorasi terhadap pemikiran
Ahlul Hadits menunjukkan bahwa aliran ini merupakan salah satu
tonggak penting dalam pembentukan teologi dan metodologi ilmiah Islam klasik.
Muncul sebagai reaksi atas dominasi rasionalisme teologis dan pemikiran
spekulatif, Ahlul Hadits membawa pendekatan berbasis nash (Al-Qur’an
dan Sunnah) yang ketat, serta menolak penggunaan akal secara
berlebihan dalam urusan akidah dan hukum. Keistimewaan Ahlul Hadits terletak
pada komitmennya terhadap keotentikan riwayat, sikap
kehati-hatian dalam beragama, serta penolakan terhadap inovasi (bid‘ah) yang
tidak berdasar pada Sunnah.
Tokoh-tokoh seperti Imam
Ahmad bin Hanbal, Sufyan ats-Tsauri, dan Abdullah
bin al-Mubarak menjadi simbol dari keteguhan manhaj ini, yang tidak
hanya menjaga kemurnian ajaran Islam, tetapi juga mewariskan tradisi
ilmiah hadits yang menjadi pondasi keilmuan Islam hingga kini.1
Meskipun mendapat kritik atas sikap tekstualisnya, warisan Ahlul Hadits tetap
relevan dalam menjawab tantangan pemikiran modern, terutama dalam menjaga
identitas keislaman dan menjawab derasnya arus liberalisasi tafsir agama.2
10.2.
Rekomendasi dalam
Konteks Berpikir Ahlus Sunnah wal Jama‘ah
Sebagai bagian dari tradisi Ahlus
Sunnah wal Jama‘ah, pemikiran Ahlul Hadits memberikan pelajaran
penting bagi generasi Muslim kontemporer. Untuk itu, berikut beberapa rekomendasi
yang dapat dijadikan pedoman dalam mengembangkan pemikiran Islam yang seimbang
dan otentik:
·
Menghidupkan
semangat ittiba‘ (mengikuti Sunnah) dengan ilmu, bukan sekadar sikap
fanatik terhadap riwayat.
Perlu ada upaya untuk menghidupkan semangat
penelitian hadits dan pengkajian sanad di kalangan generasi muda, sesuai dengan
tradisi ilmiah yang diwariskan oleh para ulama Ahlul Hadits.3
·
Menjaga
keseimbangan antara nash dan akal.
Dalam semangat Ahlus Sunnah wal Jama‘ah, akal
bukanlah musuh wahyu, tetapi pelengkapnya. Maka, meskipun Ahlul Hadits menolak
ta’wil yang liar, perlu ruang bagi ijtihad yang sehat dan kontekstual untuk
menjawab persoalan zaman, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
syariat.4
·
Memperkuat literasi
akidah salafiyah secara inklusif dan santun.
Warisan Ahlul Hadits sering kali diidentikkan
dengan eksklusivisme dan takfīr terhadap pihak lain. Dalam konteks Ahlus Sunnah
wal Jama‘ah yang mengedepankan ukhuwah dan toleransi internal, pendekatan Ahlul
Hadits perlu diterjemahkan dalam bingkai hikmah, mau‘izhah hasanah,
dan dialog terbuka yang ilmiah.5
·
Menjadikan metode
Ahlul Hadits sebagai alat kritik terhadap penyimpangan, bukan sebagai
alat monopoli kebenaran.
Pendekatan berbasis Sunnah sangat penting dalam
menangkal pemikiran menyimpang, namun harus dilakukan secara adil,
proporsional, dan dengan mengedepankan adab ilmiah sebagaimana diajarkan oleh
para ulama terdahulu.6
Dengan menempatkan warisan
Ahlul Hadits secara proporsional, umat Islam akan mampu membangun peradaban
ilmu dan iman yang kokoh, berakar pada wahyu, namun responsif terhadap
realitas. Pendekatan ini juga akan menjaga kesinambungan nilai-nilai Ahlus
Sunnah wal Jama‘ah sebagai poros moderasi dan keseimbangan dalam Islam.
Catatan
Kaki
[1]
Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the
Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld
Publications, 2009), 92–94.
[2]
Richard C. Martin, ed., Encyclopedia of Islam and the Muslim
World, vol. 1 (New York: Macmillan
Reference USA, 2004), 30–31.
[3]
Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan
Fiqh Before the Classical Schools (Leiden:
Brill, 2002), 4–5.
[4]
Ibn Taymiyyah, Darʾ Taʿāruḍ al-ʿAql wa al-Naql, ed. Muhammad Rasyid Ridha (Beirut: Dar al-Maʿrifah,
1979), 1:10–12.
[5]
Al-Ghazali, Ihyaʾ ‘Ulum al-Din, ed. Badawi Turgay (Beirut: Dar al-Maʿrifah, 2005), 1:24–25.
[6]
Muhammad Sa‘id Ramadhan al-Buthi, As-Salafiyyah: Marhalah
Zamaniyyah Mubārakah, Lā Madhhab Islāmī
(Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 43–45.
Daftar Pustaka
Abou El Fadl, K. (2001). Speaking
in God's name: Islamic law, authority and women. Oxford: Oneworld
Publications.
al-Buthi, M. S. R. (1993). As-Salafiyyah:
Marhalah Zamaniyyah Mubārakah, Lā Madhhab Islāmī. Beirut: Dar al-Fikr.
al-Ghazali. (1997). Iljām
al-‘awām ‘an ‘ilm al-kalām (Vol. 1). Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi.
al-Ghazali. (2005). Ihyaʾ
‘ulum al-din (B. Turgay, Ed.). Beirut: Dar al-Maʿrifah.
al-Dzahabi, S. M. (1997). Siyar
A‘lam al-Nubala’ (S. al-Arna’uth, Ed.). Beirut: Mu’assasah al-Risalah.
al-Dzahabi, S. M. (1998). Tadhkirat
al-Huffaz (Vol. 2). Beirut: Dar al-Fikr.
Ahmad bin Hanbal. (1994). Usūl
al-Sunnah (A. al-Jilani, Ed.). Makkah: Maktabah al-Dār.
Ahmad bin Hanbal. (1995). Musnad
Ahmad (A. M. Syakir, Ed.). Beirut: al-Maktab al-Islami.
Brown, J. A. C. (2009). Hadith:
Muhammad’s legacy in the medieval and modern world. Oxford: Oneworld
Publications.
Brown, J. A. C. (2014). Misquoting
Muhammad: The challenge and choices of interpreting the Prophet’s legacy.
Oxford: Oneworld Publications.
Hoover, J. (2007). Ibn
Taymiyya's theodicy of perpetual optimism. Leiden: Brill.
Ibn Bāz, A. A. (2001). Majmūʿ
fatāwā wa maqālāt mutanawwiʿah (Vol. 1). Riyadh: Dār al-ʿĀṣimah.
Ibn Hajar al-‘Asqalani.
(1968). Tahdzib al-Tahdzib (Vol. 5). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah.
(1988). Ijtimaʿ al-juyush al-Islamiyyah. Kairo: Maktabah al-Qur’an.
Ibn Qudamah al-Maqdisi.
(1993). Taḥrīm al-naẓar fī kutub ahl al-kalām. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ibn Taymiyyah. (1979). Darʾ
taʿāruḍ al-ʿaql wa al-naql (M. R. Ridha, Ed.). Beirut: Dar al-Maʿrifah.
Ibn Taymiyyah. (1979). Majmūʿ
al-fatāwā (ʿA. R. bin Qasim, Ed.). Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadithah.
Laoust, H. (1939). Essai
sur les doctrines sociales et politiques de Ibn Taymiyya. Cairo: Institut
Français d’Archéologie Orientale.
Martin, R. C. (Ed.).
(2004). Encyclopedia of Islam and the Muslim world (Vol. 1). New York:
Macmillan Reference USA.
Melchert, C. (1997). The
formation of the Sunni schools of law, 9th–10th centuries C.E. Leiden:
Brill.
Motzki, H. (2002). The
origins of Islamic jurisprudence: Meccan fiqh before the classical schools.
Leiden: Brill.
Qadhi, Y. (2006). An
introduction to the sciences of the Hadith. Birmingham: Al-Hidaayah
Publishing.
Watt, W. M. (1973). The
formative period of Islamic thought. Edinburgh: Edinburgh University
Press.
Watt, W. M. (1985). Islamic
philosophy and theology. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Yusuf, Y. (2020). Pengaruh
pemikiran Ahlul Hadits dalam gerakan tajdid di dunia Islam. Jurnal
Pemikiran Islam, 12(2), 145–147.
Zahrah, M. A. (1996). Tarikh
al-madhahib al-Islamiyyah. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi.
Zaman, M. Q. (2002). The
ulama in contemporary Islam: Custodians of change. Princeton: Princeton
University Press.
Lampiran: Hubungan Ahlul Hadits dan
Al-Atsariyah
Ahlul Hadits dalam
pembahasan ini sangat berkaitan dengan Al-Atsariyah, bahkan dalam
banyak literatur klasik dan modern, kedua istilah ini sering kali
merujuk pada tradisi pemikiran yang sama, terutama dalam hal akidah
dan pendekatan terhadap nash.
1.
Al-Atsariyah sebagai
Kelanjutan atau Nama Teologis Ahlul Hadits
Istilah Al-Atsariyah
(الأثرية
)
berasal dari kata al-atsar, yang berarti
riwayat atau peninggalan, khususnya dari Nabi Muhammad Saw dan para sahabat.
Secara istilah, Al-Atsariyah adalah aliran teologi Islam yang
menekankan keyakinan berdasarkan atsar (riwayat yang sahih) dan
menolak penggunaan rasionalisme dalam urusan akidah. Dalam hal ini, Al-Atsariyah
identik dengan Ahlul Hadits dalam makna teologis.
Imam Ibn Taymiyyah bahkan
sering menyebut madzhab akidah Ahlul Hadits dengan istilah "madhhab
ahl al-atsar" atau "madhhab
as-salaf", yang berarti sama dengan madzhab orang-orang yang
mengikuti riwayat dan pemahaman generasi pertama umat Islam.1
2.
Ciri-Ciri Teologis
yang Sama
Baik Ahlul Hadits
maupun Al-Atsariyah:
·
Mengimani seluruh
sifat-sifat Allah sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an dan Hadits tanpa
ta’wil, takyif, tahrif, atau ta’thil.
·
Menerapkan prinsip bilā
kaifa (tanpa membahas bagaimana bentuknya).
·
Menolak perdebatan ilmu
kalam dan pendekatan rasional-filosofis dalam menetapkan akidah.
·
Mendasarkan kebenaran agama
kepada nash, bukan akal atau filsafat.
Oleh karena itu, Ahlul
Hadits adalah representasi praktis dari pemikiran Al-Atsariyah, dan Al-Atsariyah
adalah formulasi teologis dari manhaj Ahlul Hadits.2
3.
Penggunaan Istilah
dalam Sejarah
·
Pada abad ke-2 dan 3 H,
istilah Ahlul Hadits lebih banyak digunakan sebagai sebutan
bagi komunitas ulama yang memprioritaskan hadits dan menolak bid‘ah.
·
Istilah Al-Atsariyah
muncul dan berkembang sebagai istilah teologis formal dalam
diskursus ilmu kalam Sunni, khususnya ketika membedakan antara madzhab Salaf
(Atsari) dan kalangan Asy‘ariyah atau Maturidiyah.3
4.
Tokoh-Tokoh Bersama
Tokoh-tokoh Ahlul Hadits
seperti:
·
Imam Ahmad bin
Hanbal
·
Sufyan ats-Tsauri
·
Abdullah bin
al-Mubarak
·
Ishaq bin Rahuyah
... juga disebut sebagai imam-imam
Al-Atsariyah, karena mereka menolak kalam dan menetapkan sifat-sifat
Allah sesuai pemahaman sahabat tanpa penakwilan spekulatif.4
Kesimpulan
Ahlul Hadits
dan Al-Atsariyah adalah dua istilah yang saling
terkait erat, dan bahkan dalam konteks pembahasan akidah, merujuk
pada satu tradisi pemikiran yang sama. Perbedaannya hanya terletak
pada nuansa istilah: Ahlul Hadits lebih menekankan komunitas
dan praktik keilmuan hadits, sedangkan Al-Atsariyah menekankan doktrin
dan posisi teologis dari pendekatan tersebut.
Footnotes
[1]
Ibn Taymiyyah, Majmūʿ al-Fatāwā, ed. ʿAbd al-Rahman bin Qasim (Riyadh: Maktabah
al-Riyadh al-Hadithah, 1979), 5:11.
[2]
Al-Saffarini, Lawāmiʿ al-Anwār al-Bahiyyah, ed. Muhammad al-Hamud (Riyadh: Maktabah al-Rushd,
1995), 1:43–45.
[3]
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of
Learning in Islam and the West
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 157–159.
[4]
Henri Laoust, Essai sur les doctrines sociales et
politiques de Ibn Taymiyya (Cairo:
IFAO, 1939), 33–34.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar