Perintah Berpikir dalam Al-Qur’an
Urgensi, Metode, dan Implikasinya bagi Kehidupan Muslim
Alihkan ke: Prinsip-Prinsip Berpikir Filosofis, Cara Berpikir dan Peran Filsafat dalam
Pembentukannya.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep perintah
berpikir dalam Al-Qur’an, yang merupakan bagian integral dari ajaran Islam
dalam membentuk manusia yang beriman, berakal sehat, dan berperadaban tinggi.
Al-Qur’an tidak hanya mendorong manusia untuk menggunakan akalnya, tetapi juga
memberikan metode berpikir yang bersifat induktif, deduktif, reflektif, dan
dialogis. Perintah berpikir meliputi aktivitas tafakkur, ta‘aqqul,
tadabbur, dan i‘tibar, yang bertujuan untuk mengenal Allah,
mengambil pelajaran dari alam dan sejarah, menumbuhkan etika, serta membangun
ilmu pengetahuan dan masyarakat yang dinamis. Artikel ini juga mengkaji tafsir
ulama klasik dan kontemporer tentang ayat-ayat berpikir, serta menguraikan
dampak positif implementasinya dalam kehidupan pribadi, sosial, dan peradaban.
Di sisi lain, Al-Qur’an memberikan peringatan keras kepada kaum yang tidak
menggunakan akalnya, yang mengarah pada kesesatan spiritual dan kemunduran
intelektual. Di tengah tantangan era modern—seperti budaya instan,
anti-intelektualisme, dan disinformasi—strategi aktualisasi berpikir Qur’ani
menjadi sangat penting. Strategi tersebut mencakup revitalisasi literasi
Qur’ani, pembaruan pendidikan, penguatan tradisi ijtihad, dan peran media
dakwah yang edukatif. Dengan demikian, berpikir dalam Islam bukan sekadar
aktivitas rasional, melainkan ibadah yang melahirkan kemaslahatan multidimensi
dalam kehidupan umat manusia.
Kata Kunci: Berpikir dalam Al-Qur’an, Akal, Tafakkur, Tadabbur,
Ijtihad, Literasi Qur’ani, Pendidikan Islam, Peradaban Islam.
PEMBAHASAN
Perintah Berpikir dalam Al-Qur’an
1.
Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai
kitab suci umat Islam bukan hanya berisi ajaran-ajaran teologis dan hukum,
tetapi juga merupakan kitab yang memuliakan akal dan mendorong aktivitas
berpikir secara aktif, reflektif, dan mendalam. Perintah untuk menggunakan akal
dan berpikir disebutkan dalam berbagai bentuk dalam Al-Qur’an, seperti melalui
kata kerja yatafakkarun
(mereka berpikir), ya‘qilun (mereka menggunakan akal),
yatadabbarun
(mereka merenungkan), dan yandzurun (mereka memperhatikan).
Penyebutan perintah berpikir ini menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama yang
membatasi akal, tetapi justru mengakui akal sebagai anugerah Ilahi yang sangat
penting dalam memahami wahyu, realitas kehidupan, dan mencapai kesempurnaan
iman.1
Keterpaduan antara
akal dan wahyu merupakan salah satu ciri khas epistemologi Islam. Dr. Naquib
al-Attas menegaskan bahwa akal dalam Islam dipandang sebagai alat untuk
mencapai ma‘rifah
(pengetahuan yang benar), dan ia tidak boleh dipisahkan dari nilai-nilai wahyu.2
Oleh karena itu, perintah berpikir dalam Al-Qur’an bukanlah aktivitas bebas
nilai, melainkan berpikir dalam kerangka tauhid dan etika Qur’ani. Aktivitas berpikir
yang dipuji Al-Qur’an adalah berpikir yang membawa manusia kepada kesadaran
akan keberadaan, kekuasaan, dan kebesaran Allah Swt., serta menggugah hati
untuk tunduk kepada-Nya.
Lebih dari itu,
Al-Qur’an tidak hanya mengarahkan manusia untuk berpikir tentang ayat-ayat
tertulis (al-ayat
al-matluwwah) tetapi juga ayat-ayat kauniyah (al-ayat
al-manzhurah)—yakni fenomena alam dan peristiwa sejarah—yang
semuanya merupakan objek renungan untuk memperdalam keimanan.3
Inilah yang mendorong munculnya semangat keilmuan dan peradaban dalam sejarah
Islam klasik, di mana para ulama dan ilmuwan Muslim seperti Al-Farabi, Ibnu
Sina, dan Al-Ghazali mengintegrasikan antara wahyu dan akal dalam berbagai
disiplin ilmu.
Di tengah tantangan
modern, ketika pola pikir instan dan budaya informasi dangkal makin
mendominasi, ajakan Al-Qur’an untuk berpikir menjadi sangat relevan. Umat Islam
perlu merevitalisasi tradisi berpikir kritis dan mendalam yang bersumber dari
nilai-nilai Qur’ani, agar mampu menghadapi tantangan zaman dengan bijak dan
bernilai. Pemahaman yang komprehensif terhadap perintah berpikir dalam
Al-Qur’an dapat menjadi fondasi penting dalam membentuk insan Muslim yang
berilmu, beriman, dan berintegritas tinggi.
Dengan latar
belakang tersebut, artikel ini akan mengkaji secara sistematis perintah
berpikir dalam Al-Qur’an dari segi istilah, ayat-ayat terkait, tafsir para
ulama, serta implikasinya terhadap kehidupan pribadi dan sosial umat Islam.
Kajian ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjadikan
berpikir sebagai bagian integral dari kehidupan beragama dan bermasyarakat,
sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur’an.
Footnotes
[1]
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1999), 173–175.
[2]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1993), 15–18.
[3]
Yusuf al-Qaradawi, Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Qur’an
(Terj. Abu Umar Basyir) (Jakarta: Robbani Press, 2002), 66–68.
2.
Konsep Berpikir
dalam Islam
Islam memandang
aktivitas berpikir sebagai salah satu ciri utama manusia yang membedakannya
dari makhluk lain. Dalam Al-Qur’an, berbagai istilah digunakan untuk
menggambarkan kegiatan berpikir, masing-masing memiliki nuansa makna dan
konteks tertentu. Di antara istilah yang sering digunakan adalah tafakkur
(تفكر), tadabbur (تدبر), ta‘aqqul (تعقل), dan i‘tibar (اعتبار). Keempat istilah ini menunjukkan
bentuk-bentuk berpikir yang berbeda, namun semuanya mengarah pada refleksi
mendalam terhadap ciptaan Allah, wahyu-Nya, dan realitas kehidupan.
2.1.
Istilah-Istilah Kunci dalam
Al-Qur’an
Tafakkur
adalah aktivitas berpikir mendalam dan reflektif, sering kali terkait dengan
fenomena alam, kehidupan, dan keberadaan manusia. Tafakkur dalam Islam bukan
sekadar berpikir logis, tetapi juga melibatkan dimensi spiritual dan etis.
Misalnya dalam QS. Ali ‘Imran [03] ayat 191, Allah memuji orang-orang yang
senantiasa mengingat-Nya dan berpikir tentang penciptaan langit dan bumi
sebagai bentuk kesadaran tauhid.1
Tadabbur
berarti merenungi secara mendalam untuk mengambil makna yang tersembunyi.
Istilah ini digunakan ketika Allah menyeru manusia agar merenungkan
Al-Qur’an, sebagaimana dalam QS. Muhammad [47] ayat 24, “Apakah
mereka tidak merenungkan Al-Qur’an ataukah hati mereka telah terkunci?”_2
Tadabbur bukan sekadar membaca, tetapi juga menyelami nilai-nilai yang tersirat
untuk diinternalisasi dalam kehidupan.
Ta‘aqqul
berkaitan dengan penggunaan akal secara aktif untuk menimbang, menilai, dan
memahami. Aktivitas ini menjadi sangat penting karena akal disebut dalam
Al-Qur’an sebagai anugerah yang harus digunakan secara bertanggung jawab. Kata
kerja ya‘qilun
dan la
ya‘qilun muncul berulang kali sebagai pujian bagi yang menggunakan
akalnya dan celaan bagi yang lalai.3
I‘tibar
adalah proses mengambil pelajaran dari suatu peristiwa atau fenomena,
sebagaimana dalam QS. Al-Hasyr [59] ayat 2, di mana Allah menyeru manusia untuk
mengambil ibrah dari sejarah kehancuran suatu kaum. Kata ini juga mengandung
makna historis dan sosial, mengajak manusia untuk tidak hanya melihat tetapi
juga belajar dari masa lalu.
2.2.
Fungsi Akal Menurut Islam
Akal dalam Islam
memiliki fungsi sentral sebagai alat untuk memahami wahyu, membedakan yang
benar dan salah, serta mencapai pengetahuan yang bermakna (ma‘rifah).
Menurut al-Ghazali, akal adalah penerima cahaya wahyu dan menjadi
dasar dalam memikul beban taklif syariat.4 Tanpa akal, manusia tidak
akan mampu menjalankan kewajiban agama.
Dalam epistemologi
Islam, akal tidak berdiri sendiri tetapi harus dipandu oleh wahyu. Pendekatan
ini berbeda dari rasionalisme Barat yang menempatkan akal sebagai sumber utama
dan tertinggi kebenaran. Syed Muhammad Naquib al-Attas menegaskan bahwa akal
dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai adab dan wahyu, karena
pengetahuan sejati hanya tercapai melalui kesatuan antara rasio, intuisi
ruhani, dan petunjuk ilahi.5
2.3.
Integrasi Berpikir Rasional dan
Spiritualitas
Berpikir dalam Islam
bukanlah kegiatan mekanistik dan bebas nilai. Aktivitas berpikir yang sejati
harus melahirkan iman, bukan sekadar informasi.
Dalam pandangan Sayyid Qutb, berpikir yang benar adalah yang membawa hati
kepada keagungan Allah dan memperkuat komitmen moral terhadap ajaran-Nya.6
Oleh karena itu, berpikir dalam Islam selalu mengandung dimensi teosentris:
orientasinya adalah Allah, bukan semata kepentingan duniawi atau
intelektualisme kosong.
Footnotes
[1]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an, Jilid 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2001), 480.
[2]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2005), QS. Muhammad [47] ayat 24.
[3]
Zainal Abidin, “Pemikiran Islam Tentang Akal dan Peranannya dalam
Menafsirkan Wahyu,” Jurnal Ilmu Ushuluddin, vol. 13, no. 2 (2014):
137–138.
[4]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 1 (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, tt), 92–93.
[5]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), 134–135.
[6]
Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur’an, Jilid 5 (Kairo: Dar
al-Shuruq, 1980), 2891.
3.
Ayat-ayat Al-Qur’an
yang Memerintahkan untuk Berpikir
Salah satu
keistimewaan Al-Qur’an adalah ajakannya yang terus-menerus kepada manusia untuk
menggunakan akal dan berpikir. Aktivitas berpikir dalam Al-Qur’an bukan hanya
bersifat kognitif, tetapi juga mengandung nilai-nilai spiritual dan moral.
Perintah untuk berpikir tersebar di banyak ayat dan menggunakan beragam diksi,
seperti yatafakkarun
(يتفكرون), ya‘qilun
(يعقلون), yatadabbarun
(يتدبرون), dan yandzurun
(ينظرون). Istilah-istilah ini
tidak sekadar menunjukkan kemampuan rasional, tetapi juga mendorong manusia
untuk mencapai kesadaran eksistensial yang mengarah pada pengakuan terhadap
keesaan Allah (tauhid) dan kebenaran risalah Islam.
3.1.
Ayat-ayat tentang Tafakkur dan
Perenungan terhadap Alam Semesta
Salah satu ayat yang
paling eksplisit dalam memerintahkan tafakkur adalah QS. Ali
‘Imran [3] ayat 190–191:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ )190(الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ
قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ
فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ )191(
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi orang-orang yang berakal. (190) (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan
kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka".”_1
Ayat ini menegaskan
bahwa berpikir tentang fenomena alam merupakan jalan menuju keimanan yang
mendalam. Menurut Ibnu Katsir, tafakkur dalam ayat ini bukan sekadar analisis
rasional, tetapi kontemplasi spiritual yang mengantarkan kepada pengakuan akan
kebesaran Allah dan kesadaran akan keterbatasan diri manusia.2
3.2.
Ayat-ayat tentang Tadabbur dan Perenungan
terhadap Wahyu
Al-Qur’an juga
menyeru manusia untuk melakukan tadabbur terhadap ayat-ayatnya.
Salah satunya terdapat dalam QS. Sad [38] ayat 29:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ
لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
“(Ini adalah) sebuah Kitab yang Kami turunkan
kepadamu penuh dengan berkah agar mereka merenungkan (ayat-ayat)nya dan
agar orang-orang yang berakal mendapat pelajaran.”_3
Sayyid Qutb dalam Fi
Zhilalil Qur’an menafsirkan bahwa tadabbur adalah proses menyelami
makna ayat-ayat Allah dengan hati yang hidup, bukan sekadar dengan logika
kering. Ia menekankan bahwa wahyu Allah mengandung dimensi moral dan spiritual
yang hanya bisa diresapi dengan renungan yang jujur dan mendalam.4
3.3.
Ayat-ayat tentang Ta‘aqqul dan
Kecaman terhadap Ketidakpedulian Akal
Al-Qur’an tidak
hanya memuji mereka yang menggunakan akalnya, tetapi juga mengecam orang-orang
yang tidak berpikir. Dalam QS. Yunus [10] ayat 100 disebutkan:
وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ
“... Dan Allah menimpakan kemurkaan kepada
orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.”_5
Kata la
ya‘qilun (tidak menggunakan akal) dalam ayat ini menunjukkan bahwa
meninggalkan aktivitas berpikir adalah bentuk penyimpangan dari fitrah manusia.
Menurut Al-Raghib al-Ashfahani, akal adalah alat utama untuk memahami
kebenaran, dan mengabaikannya berarti menutup pintu hidayah.6
3.4.
Ayat-ayat tentang I‘tibar dan
Pengambilan Pelajaran dari Sejarah
QS. Al-Hasyr
[59] ayat 2 berbicara tentang kehancuran Bani Nadhir dan menyeru kaum Muslimin
untuk mengambil pelajaran:
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
“...Maka ambillah (kejadian itu) sebagai
pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan!”_7
Penggunaan kata fa'tabiru
(ambillah pelajaran) menegaskan pentingnya sejarah sebagai sarana berpikir
kritis dan evaluatif. Dr. Yusuf al-Qaradawi menjelaskan bahwa Al-Qur’an
mendorong umat Islam untuk tidak hanya menghafal sejarah, tetapi juga
menggunakannya sebagai cermin kehidupan sosial-politik masa kini.8
3.5.
Statistik dan Frekuensi Kata dalam
Al-Qur’an
Menurut hasil
penelitian tematik Al-Qur’an, kata kerja yang terkait dengan akal dan berpikir
seperti ya‘qilun,
yatafakkarun,
dan yatadabbarun
muncul lebih dari 70 kali dalam bentuk yang
berbeda-beda. Hal ini menunjukkan urgensi luar biasa dari perintah berpikir
dalam ajaran Islam.9
Footnotes
[1]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2005), QS. Ali ‘Imran [03] ayat 190–191.
[2]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Jilid 2 (Beirut: Dar
al-Fikr, 1999), 219.
[3]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, QS. Sad [38]
ayat 29.
[4]
Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur’an, Jilid 6 (Kairo: Dar
al-Shuruq, 1980), 3346.
[5]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, QS. Yunus:
100.
[6]
Al-Raghib al-Ashfahani, Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, ed.
Safwan ‘Adnān Dāwūdī (Damaskus: Dar al-Qalam, 2002), 560.
[7]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, QS. Al-Hasyr
[59] ayat 2.
[8]
Yusuf al-Qaradawi, Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Qur’an,
terj. Abu Umar Basyir (Jakarta: Robbani Press, 2002), 67.
[9]
Khaeruddin Nasution, “Konsep Akal dalam Al-Qur’an: Tinjauan Linguistik
dan Teologis,” Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis, vol. 16, no.
1 (2015): 29–30.
4.
Tujuan dan Hikmah
Perintah Berpikir dalam Al-Qur’an
Perintah berpikir
dalam Al-Qur’an tidak dimaksudkan sekadar untuk eksplorasi intelektual atau
pengetahuan rasional belaka, melainkan merupakan bagian integral dari proyek pembentukan
manusia seutuhnya—yang sadar akan Tuhannya, memahami realitas dirinya, dan
bertanggung jawab atas tindakannya. Dalam perspektif Islam, berpikir adalah
sarana utama untuk mendekatkan diri kepada Allah, mengenal tanda-tanda
kekuasaan-Nya, serta membangun peradaban berdasarkan nilai-nilai Ilahiyah.
4.1.
Menguatkan Keimanan dan Mengenal
Allah (Ma’rifatullah)
Salah satu tujuan
utama berpikir menurut Al-Qur’an adalah untuk mengenal dan mengakui keesaan
Allah (tauhid). Tafakkur terhadap ciptaan-Nya, terhadap susunan langit dan
bumi, siklus alam, serta kompleksitas makhluk hidup, semuanya bertujuan untuk
mengarahkan akal kepada keimanan yang kokoh. Dalam QS. Ali 'Imran [03] ayat
191, orang-orang yang berpikir disebutkan sebagai mereka yang akhirnya
menyadari:
رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا
سُبْحَانَكَ
“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan
ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau ...”_1.
Menurut Al-Ghazali,
mengenal Allah adalah tujuan tertinggi dari semua bentuk ilmu dan perenungan.
Akal berfungsi sebagai jembatan antara manusia dan pengetahuan tentang
Tuhannya, sehingga berpikir adalah ibadah jika dilakukan dengan niat yang benar
dan dalam bimbingan wahyu.2
4.2.
Mengambil Pelajaran dari Fenomena
dan Sejarah
Al-Qur’an mendorong
umatnya untuk membaca alam semesta dan sejarah umat manusia sebagai “kitab
terbuka” yang penuh pelajaran. Dalam QS. Yusuf [12] ayat 111 dinyatakan
bahwa dalam kisah-kisah para nabi dan umat terdahulu terdapat ibrah
(pelajaran) bagi orang-orang yang berpikir. Tujuan dari berpikir di sini adalah
agar manusia tidak mengulangi kesalahan yang sama dan mampu membangun masa
depan yang lebih baik dengan menyerap nilai-nilai dari sejarah.
Sebagaimana
dijelaskan oleh Fazlur Rahman, Al-Qur’an menggunakan sejarah bukan hanya untuk mendokumentasikan
masa lalu, melainkan untuk menciptakan kesadaran moral dan sosial yang relevan
untuk semua zaman.3 Oleh karena itu, berpikir dalam Islam juga
bersifat reflektif dan evaluatif terhadap dinamika kehidupan.
4.3.
Mendorong Etika dan Kesadaran Moral
Berpikir dalam Islam
bukanlah aktivitas bebas nilai. Justru salah satu hikmah utama berpikir adalah
untuk menumbuhkan kesadaran etis yang mendorong
manusia berbuat baik dan menjauhi keburukan. Al-Qur’an mencela keras mereka
yang memiliki kemampuan berpikir tetapi tidak menggunakannya untuk membedakan
mana yang hak dan batil (QS. Al-A’raf [07] ayat 179). Ayat ini menunjukkan
bahwa berpikir yang tidak berbuah kesadaran moral adalah bentuk kelalaian yang
tercela.
Pemikiran dalam
Islam, sebagaimana dijelaskan oleh M. Amin Abdullah, harus dilandasi oleh
kerangka nilai. Ilmu tanpa etika akan melahirkan kehancuran. Oleh karena itu,
wahyu berfungsi sebagai panduan normatif bagi akal agar aktivitas berpikir
tidak liar, tetapi mengarah pada kebijaksanaan dan kebajikan.4
4.4.
Menumbuhkan Semangat Keilmuan dan
Inovasi
Selain bertujuan
spiritual, perintah berpikir dalam Al-Qur’an juga memiliki dimensi peradaban.
Dorongan untuk berpikir melahirkan semangat mencari ilmu, meneliti fenomena,
dan mengembangkan teknologi. Inilah yang menjadi fondasi kemajuan peradaban
Islam pada masa klasik. Menurut Syed Hossein Nasr, keterpaduan antara ilmu dan
spiritualitas yang didorong oleh wahyu Islam menghasilkan ilmuwan yang tidak
hanya cerdas secara intelektual tetapi juga saleh secara moral.5
Al-Qur’an membuka
ruang seluas-luasnya untuk eksplorasi ilmu pengetahuan, selama tetap berada
dalam koridor tauhid dan kemaslahatan. Oleh karena itu, berpikir adalah awal
dari ijtihad,
dari penemuan, dan dari inovasi yang berakar pada iman.
Footnotes
[1]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2005), QS. Ali ‘Imran [03] ayat 191.
[2]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 1 (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, t.t.), 93.
[3]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
11–12.
[4]
M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 103.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 12–13.
5.
Tafsir Ulama
terhadap Perintah Berpikir
Para mufassir (ahli
tafsir) dari masa klasik hingga kontemporer telah memberikan perhatian besar
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk berpikir. Mereka
tidak hanya menafsirkan lafaz dan struktur gramatikal ayat, tetapi juga
menggali dimensi filosofis, spiritual, dan moral dari perintah berpikir
tersebut. Hal ini menegaskan bahwa berpikir bukanlah aktivitas netral dalam
Islam, melainkan sarana untuk meraih kesempurnaan iman dan integritas akhlak.
5.1.
Tafsir Klasik: Pendekatan Linguistik
dan Teologis
Dalam Tafsir
al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’an, Imam al-Qurṭubī menjelaskan bahwa
perintah untuk berpikir dalam QS. Ali ‘Imran [03] ayat 191 menandakan
pentingnya menghubungkan antara dzikir (mengingat Allah) dan tafakkur
(merenungi ciptaan-Nya) sebagai dua aspek ibadah yang tidak
dapat dipisahkan. Ia menekankan bahwa berpikir tentang penciptaan langit dan bumi
adalah jalan menuju pengakuan akan keesaan Allah dan kehambaan manusia di
hadapan-Nya.1
Sementara itu, dalam
Tafsir
al-Ṭabarī, Ibnu Jarir al-Ṭabarī menafsirkan ayat-ayat yang
memerintahkan berpikir sebagai bentuk dorongan Al-Qur’an untuk menggunakan potensi
akal yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia. Ia menyebutkan bahwa
berpikir bukan hanya berarti memproses informasi secara logis, tetapi juga
mencakup pengambilan pelajaran dari fenomena alam dan peristiwa sejarah.2
Ibnu Katsīr dalam Tafsīr
al-Qur’ān al-‘Aẓīm juga memaknai berpikir dalam konteks keimanan.
Dalam tafsir QS. Al-Ghasyiyah [88] ayat 17–20, ia menunjukkan bahwa perintah
memperhatikan unta, langit, gunung, dan bumi adalah isyarat agar manusia
merenungi kebesaran ciptaan Allah, sehingga lahirlah rasa syukur dan
penghambaan yang tulus.3
5.2.
Tafsir Sufi: Integrasi Akal dan Hati
Dalam tafsir-tafsir
bernuansa tasawuf, seperti Tafsīr al-Kashānī atau Tafsīr
al-Nūr karya Ismail Haqqi, berpikir dipandang bukan hanya sebagai
aktivitas rasional, tetapi juga sebagai perjalanan batin. Para sufi memaknai
tafakkur sebagai tajalli al-haqq fi al-‘aql
(penyingkapan hakikat dalam akal). Artinya, berpikir bukan sekadar menimbang
sebab-akibat, tetapi menyaksikan kehadiran Tuhan dalam segala sesuatu.4
Al-Ghazālī, dalam
karyanya Iḥyā’
‘Ulūm al-Dīn, menyatakan bahwa tafakkur adalah kunci bagi
kebangkitan ruhani. Ia menyebut berpikir sebagai “cermin
hati”, yang dengannya manusia bisa mengenal dirinya dan
mengenal Tuhan. Oleh karena itu, berpikir merupakan salah satu bentuk ibadah
hati yang paling utama.5
5.3.
Tafsir Kontemporer: Pendekatan
Tematik dan Kontekstual
Dalam Tafsir
al-Miṣbāḥ, M. Quraish Shihab menekankan bahwa perintah berpikir
dalam Al-Qur’an bukan semata perenungan ilmiah, tetapi juga ajakan untuk
merasakan dan menggugah hati nurani. Ia menyoroti pentingnya keterpaduan antara
akal dan qalb dalam memahami petunjuk Ilahi. Dalam menafsirkan QS. Sad [38]
ayat 29 tentang tadabbur Al-Qur’an, Shihab menyatakan bahwa aktivitas berpikir
mesti melahirkan transformasi perilaku dan etika.6
Sayyid Quṭb, dalam Fī Ẓilāl
al-Qur’an, mengembangkan tafsir berpikir dalam konteks perjuangan
sosial dan spiritual. Ia menganggap berpikir sebagai alat
untuk membebaskan manusia dari dominasi thaghut dan sistem jahiliyyah.
Menurutnya, berpikir yang Islami bukan hanya kontemplatif, tetapi juga
revolusioner dalam makna moral dan sosial.7
5.4.
Tafsir Tematik (Maudhu‘i): Kajian
Interdisipliner
Dalam pendekatan
tematik, para sarjana kontemporer seperti Musthafa Muslim dan Ahmad al-Raisūnī
mengembangkan metode tafsir mawḍū‘ī untuk mengkaji perintah
berpikir sebagai tema terintegrasi dalam seluruh Al-Qur’an. Mereka menunjukkan
bahwa Al-Qur’an menggunakan pendekatan rasional dan dialogis dalam menyampaikan
kebenaran, seperti dalam argumen tentang penciptaan, kenabian, hari kiamat, dan
syariah. Kajian ini penting untuk membangun paradigma berpikir Islami yang
berakar pada wahyu namun terbuka terhadap realitas zaman.8
Footnotes
[1]
Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’an, Jilid 4 (Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 419.
[2]
Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, Jilid 15
(Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1992), 236.
[3]
Ibnu Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Jilid 4 (Beirut: Dār
al-Fikr, 1999), 473–474.
[4]
Ismail Haqqi, Rūḥ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur’ān, Jilid 1
(Istanbul: Dār al-Fikr, 2002), 87.
[5]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Jilid 3 (Beirut: Dār
al-Ma‘rifah, t.t.), 16–17.
[6]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an, Jilid 13 (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 230–231.
[7]
Sayyid Quṭb, Fī Ẓilāl al-Qur’an, Jilid 6 (Kairo: Dār
al-Shurūq, 1980), 3349–3350.
[8]
Musthafa Muslim, Mabāḥith fī ‘Ilm al-Tafsīr al-Mawḍū‘ī
(Damaskus: Dār al-Fikr, 2001), 45–48.
6.
Metode Berpikir
dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an tidak
hanya menyeru umat manusia untuk berpikir, tetapi juga mengarahkan bagaimana
cara berpikir yang benar dan bermanfaat. Metode berpikir dalam Al-Qur’an
bukanlah spekulatif atau bebas nilai, tetapi berbasis pada tauhid dan bertujuan
membawa manusia kepada kebenaran, kebaikan, dan petunjuk ilahi. Dalam hal ini,
Al-Qur’an menggunakan berbagai pendekatan berpikir yang dapat dikategorikan ke
dalam metode induktif, deduktif,
analitis-reflektif,
dan dialogis-argumentatif.
6.1.
Metode Induktif (Istiqra’i)
Al-Qur’an sering
kali mengajak manusia untuk mengamati fakta empiris di alam
semesta, kemudian menarik kesimpulan tentang keberadaan, kekuasaan, dan
kebijaksanaan Allah. Metode ini sejalan dengan prinsip berpikir induktif,
yaitu berpikir dari hal-hal khusus menuju kesimpulan umum.
Contoh klasik dari
pendekatan ini terdapat dalam QS. Al-Ghasyiyah [88] ayat 17–20:
أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ
(17) وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ (18) وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ (19) وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ
(20)
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta
bagaimana dia diciptakan, (17) Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? (18) Dan
gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? (19) Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
(20)”_1
Ayat ini mendorong
manusia untuk merenungi fenomena-fenomena konkret sebagai sarana untuk
membangun kesadaran metafisik dan teologis. Menurut Harun Nasution, metode ini
menjadi dasar bagi berkembangnya pendekatan empiris dalam filsafat dan sains
Islam klasik, karena alam dipahami sebagai "kitab terbuka"
yang dapat dibaca dengan akal sehat.2
6.2.
Metode Deduktif (Qiyāsī)
Al-Qur’an juga
menggunakan pendekatan deduktif, yaitu mengemukakan
prinsip-prinsip umum lalu menurunkannya ke dalam bentuk aplikasi praktis. Dalam
QS. Al-Baqarah [02] ayat 164, misalnya, Allah menjelaskan prinsip ketauhidan
melalui sejumlah contoh konkret dari kehidupan sehari-hari seperti perputaran
malam dan siang, hujan, dan angin. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa
segala sesuatu tunduk kepada satu sistem dan satu pencipta.
Metode ini digunakan
Al-Qur’an untuk menunjukkan bahwa kesimpulan teologis dan moral dapat diambil
dari prinsip dasar iman. Dalam tafsir kontemporer, pendekatan ini banyak
digunakan dalam pengembangan hukum Islam melalui ijtihad qiyāsī (analogi).3
6.3.
Metode Analitis-Reflektif
Metode ini
menekankan pendalaman makna, bukan sekadar
pengumpulan data atau pengamatan fisik. Dalam QS. Sad [38] ayat 29, Allah
berfirman:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ
لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
“(Ini adalah) Kitab
yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka merenungkan ayat-ayat-Nya
dan agar orang-orang yang berakal mendapat pelajaran.”_4
Kata yatadabbarun
dalam ayat tersebut menunjukkan aktivitas berpikir yang mendalam, analitis, dan
reflektif. Menurut Quraish Shihab, ini bukan sekadar pemahaman literal terhadap
teks wahyu, tetapi juga menyentuh aspek kontekstual, spiritual, dan praktis.5
6.4.
Metode Dialogis dan Argumentatif
Salah satu keunikan
Al-Qur’an adalah seringnya menggunakan pendekatan dialogis dan argumentatif.
Banyak ayat yang memuat dialog antara Allah dan manusia, antara para
nabi dan kaumnya, atau antara orang beriman dan kafir, untuk
mengajak berpikir, menggugah kesadaran, atau membantah pandangan yang keliru.
Contohnya adalah QS.
Al-Ankabut [29] ayat 61:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada
mereka: ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan
bulan?’ Tentu mereka akan menjawab: ‘Allah.’ Maka mengapa mereka bisa
dipalingkan (dari kebenaran)?”_6
Menurut Sayyid Qutb,
ayat-ayat seperti ini menunjukkan bahwa berpikir dalam Islam harus mampu menggugah
nurani, bukan hanya mengandalkan logika rasional formal.
Al-Qur’an berdialog dengan manusia melalui pertanyaan-pertanyaan kritis dan
menyentuh, untuk membuka jalan menuju hidayah.7
6.5.
Keseimbangan antara Akal dan Wahyu
Metode berpikir
Qur’ani juga sangat menekankan pentingnya keseimbangan antara akal
(‘aql) dan wahyu (naql). Islam tidak
menolak akal, tetapi juga tidak menjadikannya otoritas tertinggi di atas wahyu.
Pemikiran yang benar adalah yang disinari oleh petunjuk ilahi dan diarahkan
kepada tujuan moral dan spiritual.
Syed Muhammad Naquib
al-Attas menyebut metode berpikir Qur’ani sebagai bentuk “ta‘aqqul
muta’abbid” (penggunaan akal dalam nuansa penghambaan), yaitu
proses berpikir yang mengantarkan manusia pada kesadaran akan makna kehidupan
dan tanggung jawab eksistensialnya.8
Footnotes
[1]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2005), QS. Al-Ghasyiyah [88] ayat 17–20.
[2]
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press,
1986), 67–69.
[3]
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid 1 (Damaskus:
Dar al-Fikr, 1986), 528–529.
[4]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, QS. Sad [38]
ayat 29.
[5]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur’an, Jilid 13 (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 232.
[6]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, QS. Al-Ankabut
[29] ayat 61.
[7]
Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur’an, Jilid 5 (Kairo: Dar
al-Shuruq, 1980), 2761.
[8]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1993), 17.
7.
Dampak Positif dari
Implementasi Perintah Berpikir
Implementasi
perintah berpikir sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur’an membawa dampak yang
sangat luas, baik dalam ranah spiritual pribadi, sosial kemasyarakatan, maupun
pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban. Berpikir dalam Islam bukan hanya
aktivitas rasional, melainkan sebuah proses transformasi menyeluruh yang
mencakup dimensi iman, etika, dan intelektualitas.
Semakin tinggi kesadaran berpikir seorang Muslim, semakin kuat pula
kontribusinya dalam mewujudkan masyarakat yang beriman, cerdas, dan beradab.
7.1.
Dalam Kehidupan Pribadi: Memperkuat
Iman dan Membangun Akhlak
Berpikir yang
diarahkan oleh wahyu akan mengantarkan seseorang pada keimanan yang kokoh dan
kesadaran eksistensial yang mendalam. Aktivitas tafakkur, tadabbur,
dan ta‘aqqul
memperkuat relasi spiritual antara hamba dan Tuhannya. Dalam QS. Ali ‘Imran
[03] ayat 191, dijelaskan bahwa orang-orang yang berpikir tentang penciptaan
langit dan bumi akan sampai pada pengakuan: "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia…”—ungkapan iman yang lahir dari
proses perenungan mendalam.1
Menurut Imam
Al-Ghazālī, salah satu manfaat utama berpikir adalah tumbuhnya khauf
(takut kepada Allah) dan raja’ (harap kepada rahmat-Nya),
yang menjadi fondasi akhlak seorang mukmin sejati.2 Dengan kata
lain, berpikir bukan hanya memproduksi pengetahuan, tetapi juga menumbuhkan
kualitas spiritual dan akhlak yang luhur.
7.2.
Dalam Kehidupan Sosial: Membangun
Masyarakat Ilmiah dan Kritis
Al-Qur’an mencela
keras budaya taklid buta dan mendorong umatnya untuk menjadi masyarakat yang
aktif berpikir, kritis, dan reflektif. QS. Al-Baqarah [02] ayat 170
menggambarkan kaum yang mengikuti nenek moyang mereka tanpa berpikir sebagai
kaum yang sesat. Ini menunjukkan bahwa berpikir dalam Islam adalah hak
sekaligus kewajiban sosial, karena menyangkut kualitas keputusan
yang diambil oleh masyarakat.
Dalam konteks
modern, umat Islam yang menerapkan nilai-nilai berpikir Qur’ani akan cenderung
mengembangkan budaya diskusi terbuka, musyawarah,
dan ijtihad
kolektif, yang semuanya merupakan pilar masyarakat demokratis dan
berkeadaban. Menurut Azyumardi Azra, peradaban Islam klasik tumbuh dan
berkembang karena tingginya semangat berpikir, meneliti, dan mengkritisi
tradisi secara konstruktif.3
7.3.
Dalam Dunia Ilmu Pengetahuan dan
Peradaban
Salah satu dampak
paling monumental dari implementasi perintah berpikir dalam Islam adalah
munculnya peradaban keilmuan Islam yang megah pada abad ke-8 hingga ke-14 M. Di
masa itu, para ilmuwan Muslim seperti Ibn Sina, Al-Khawarizmi, Al-Biruni, dan
Ibn Haytham memadukan antara semangat ilmiah dan nilai-nilai spiritual.
Menurut George
Saliba, kemajuan sains Islam klasik bukan sekadar hasil adopsi pengetahuan
Yunani, tetapi lahir dari kerangka berpikir Qur’ani yang menjadikan alam
sebagai objek kajian untuk mengenal Sang Pencipta dan mewujudkan kemaslahatan
umat manusia.4 Ini menunjukkan bahwa berpikir yang dilandasi iman
tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan, bahkan justru menjadi pemicunya.
7.4.
Dalam Pengambilan Keputusan dan
Solusi Kehidupan
Al-Qur’an mendorong
manusia untuk menggunakan akal dalam menyelesaikan masalah kehidupan
secara arif dan berkeadilan. Dalam banyak ayat, seperti QS. Az-Zumar [39] ayat
9, disebutkan bahwa orang yang berilmu dan berpikir tidak sama dengan orang
yang tidak mengetahuinya. Ini mengisyaratkan bahwa kapasitas berpikir menjadi
dasar bagi kepemimpinan yang bijak dan pengambilan keputusan yang tepat.
M. Amin Abdullah
menyatakan bahwa umat Islam masa kini membutuhkan integrasi antara akal
rasional, hati nurani, dan nilai wahyu dalam menghadapi
persoalan kompleks dunia modern. Tanpa berpikir secara sistematis dan Qur’ani,
umat akan mudah terjebak pada reaksi emosional, ideologi sesat, atau sikap
fatalistis.5
Kesimpulan
Sementara
Dampak positif dari
implementasi perintah berpikir dalam Al-Qur’an sangat luas dan mendalam. Ia
bukan hanya membentuk insan yang beriman dan berakhlak, tetapi juga masyarakat
yang cerdas, terbuka, dan berperadaban tinggi. Inilah bukti bahwa berpikir
dalam Islam bukan sekadar kegiatan intelektual, tetapi sebuah ibadah,
kontribusi sosial, dan fondasi peradaban.
Footnotes
[1]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2005), QS. Ali ‘Imran [03] ayat 191.
[2]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Jilid 3 (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, t.t.), 16–17.
[3]
Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Kehilangan Arah
(Bandung: Mizan, 2004), 51–53.
[4]
George Saliba, Islamic Science and the Making of the European
Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 41–44.
[5]
M. Amin Abdullah, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan
Etika (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017), 101–103.
8.
Ancaman terhadap
Kaum yang Tidak Menggunakan Akal
Selain memberikan
dorongan kuat untuk berpikir, Al-Qur’an juga memberikan peringatan keras kepada
mereka yang meninggalkan fungsi akalnya.
Al-Qur’an menyandingkan kegagalan berpikir dengan kesesatan spiritual dan
moral, bahkan menyamakannya dengan sifat-sifat binatang atau makhluk yang lebih
rendah. Hal ini menunjukkan bahwa tidak menggunakan akal secara benar adalah
bentuk penolakan terhadap potensi Ilahiah yang telah Allah anugerahkan kepada
manusia.
8.1.
Kecaman terhadap Sikap Lalai dan
Taklid Buta
Salah satu bentuk
celaan dalam Al-Qur’an tertuju kepada kaum yang tidak menggunakan akalnya dalam
menyikapi ajaran Allah. QS. Al-A’raf [7] ayat 179 menyatakan:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ
الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ
أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ
هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan sungguh, Kami jadikan untuk (isi
neraka) Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati tetapi
tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata
tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga tetapi
tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka seperti hewan ternak, bahkan
lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”_1
Ayat ini
menggambarkan bahwa manusia yang tidak menggunakan akalnya untuk memahami
petunjuk Allah sejatinya telah menanggalkan identitas kemanusiaannya.
Menurut Ibnu Katsīr, mereka lebih buruk dari hewan karena hewan tidak diberi
akal, sedangkan manusia diberi tetapi memilih untuk mengabaikannya.2
8.2.
Taklid sebagai Penghambat Hidayah
Al-Qur’an juga
mengecam sikap taklid buta—menerima tradisi
tanpa berpikir atau menimbang kebenarannya. QS. Al-Baqarah [2] ayat 170
mengungkapkan fenomena ini:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ
اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا
يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka:
‘Ikutilah apa yang diturunkan Allah,’ mereka menjawab: ‘(Tidak), kami hanya
mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami.’ Apakah mereka akan
mengikuti juga walaupun nenek moyang mereka tidak mengetahui apa pun dan tidak
mendapat petunjuk?”_3
Tafsir Al-Qurṭubī
menegaskan bahwa ayat ini adalah kritik terhadap kaum musyrikin yang menjadikan
warisan nenek moyang sebagai standar kebenaran, meski bertentangan dengan
wahyu. Ia menyebut taklid buta sebagai bentuk kekerdilan intelektual dan
spiritual.4
8.3.
Kerugian Akhirat bagi yang Tidak
Menggunakan Akal
Al-Qur’an juga
mengaitkan penyesalan di akhirat dengan
kegagalan menggunakan akal di dunia. QS. Al-Mulk [67] ayat 10 menyebutkan
ucapan para penghuni neraka:
وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا
كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ
“Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami
mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya kami tidak termasuk
penghuni neraka yang menyala-nyala.’”_5
Sayyid Quṭb
menafsirkan bahwa ayat ini mengandung pelajaran penting bahwa keselamatan
akhirat sangat tergantung pada kemauan menggunakan akal untuk
merenungi kebenaran selama di dunia. Ketiadaan refleksi dan pendengaran
terhadap kebenaran menjadi sebab utama kesesatan abadi.6
8.4.
Kemandekan Peradaban sebagai Dampak
Kultural
Secara sosiologis,
umat yang tidak membudayakan berpikir akan menghadapi kemandekan
intelektual dan kemunduran peradaban. Sejarah mencatat bahwa
ketika semangat ijtihad dan berpikir kritis mulai
meredup di dunia Islam, maka kemajuan ilmu pengetahuan pun mengalami stagnasi.
Nurcholish Madjid
menyatakan bahwa kejatuhan peradaban Islam bukan semata karena serangan luar,
tetapi karena kejumudan dalam berpikir dan dominasi taklid
dalam pemahaman agama.7 Oleh karena itu, menjadikan akal
sebagai alat aktif untuk memahami agama dan realitas merupakan salah satu
strategi kebangkitan peradaban Islam yang visioner dan kontekstual.
Kesimpulan
Sementara
Ancaman terhadap
kaum yang tidak menggunakan akalnya merupakan peringatan serius dari Al-Qur’an.
Tidak berpikir adalah bentuk pembangkangan terhadap anugerah akal dan potensi
kemanusiaan. Dampaknya tidak hanya bersifat individual dalam bentuk kesesatan
spiritual, tetapi juga kolektif dalam bentuk kemunduran umat. Karena itu,
membudayakan berpikir Qur’ani adalah salah satu agenda utama dalam membangun
kembali kejayaan umat Islam.
Footnotes
[1]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2005), QS. Al-A’raf [07] ayat 179.
[2]
Ibnu Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Jilid 3 (Beirut: Dār
al-Fikr, 1999), 433.
[3]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, QS. Al-Baqarah
[02] ayat 170.
[4]
Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’an, Jilid 2 (Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 137.
[5]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, QS. Al-Mulk:
10.
[6]
Sayyid Quṭb, Fī Ẓilāl al-Qur’an, Jilid 6 (Kairo: Dār
al-Shurūq, 1980), 3459.
[7]
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah
Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta:
Paramadina, 1992), 282.
9.
Tantangan dan
Strategi Aktualisasi Perintah Berpikir di Era Modern
Di era modern dan
digital yang ditandai oleh banjir informasi, perubahan sosial yang cepat,
serta kompleksitas kehidupan global, umat Islam menghadapi
tantangan besar dalam mengaktualisasikan nilai-nilai berpikir sebagaimana
diperintahkan dalam Al-Qur’an. Perintah berpikir bukan hanya ajakan spiritual,
tetapi juga panggilan untuk membentuk generasi yang kritis,
bijak, dan visioner dalam merespons realitas kontemporer.
Namun, tantangan-tantangan zaman modern sering kali menghambat optimalisasi
potensi berpikir dalam masyarakat Muslim.
9.1.
Tantangan: Budaya Instan dan
Distraksi Informasi
Salah satu tantangan
utama di era digital adalah budaya instan, yang mendorong
manusia untuk menginginkan segala sesuatu secara cepat tanpa proses berpikir
mendalam. Media sosial, algoritma digital, dan gaya hidup multitasking telah
menurunkan kapasitas refleksi dan kontemplasi dalam masyarakat, termasuk dalam hal
keberagamaan.
Menurut Ziauddin
Sardar, peradaban kontemporer tengah mengalami krisis "shallow thinking"
(pemikiran dangkal), yang berbahaya bagi integritas spiritual dan intelektual
umat manusia.1 Dalam konteks ini, umat Islam berisiko menjalankan
agama secara mekanis, ritualistik, atau dogmatis tanpa proses perenungan yang
benar.
9.2.
Tantangan: Radikalisme dan
Penyempitan Makna Akal
Di sisi lain,
berkembang pula kelompok-kelompok yang menyempitkan makna berpikir dalam Islam,
dengan menolak penggunaan akal dalam memahami agama secara kontekstual. Sikap
anti-intelektual ini dapat melahirkan pandangan keagamaan yang kaku, ekstrem,
dan tertutup terhadap perbedaan.
Sebagaimana dicatat
oleh Bassam Tibi, radikalisme keagamaan sering kali muncul dari ketiadaan budaya
berpikir kritis dan perenungan etis dalam memahami teks-teks keagamaan.2
Akibatnya, wahyu disalahgunakan untuk pembenaran ideologi, bukan sebagai
petunjuk menuju kebijaksanaan.
9.3.
Strategi: Membangun Tradisi Literasi
dan Pemikiran Kritis Qur’ani
Untuk menjawab
tantangan tersebut, perlu dikembangkan strategi literasi Qur’ani yang komprehensif,
yang menekankan pentingnya tadabbur, tafakkur,
dan ta‘aqqul
dalam kehidupan umat. Literasi di sini bukan hanya kemampuan membaca teks
Al-Qur’an secara lafzi, tetapi juga kemampuan memahami dan mengaitkannya dengan
persoalan kehidupan secara kontekstual.
Program pendidikan
Islam di berbagai tingkat harus mengintegrasikan pendekatan berpikir tematik
(maudhu‘i) dalam studi Al-Qur’an. M. Amin Abdullah mendorong model integratif-interkonektif
dalam pendidikan Islam yang memadukan nalar keagamaan, sosial, dan sains
sebagai aktualisasi dari perintah berpikir.3
9.4.
Strategi: Revitalisasi Ijtihad dan
Wacana Intelektual Islam
Strategi berikutnya
adalah menghidupkan
kembali tradisi ijtihad dan diskursus keilmuan Islam yang
terbuka dan progresif. Ijtihad adalah bentuk paling nyata dari perintah
berpikir dalam Islam, karena menuntut penggunaan akal secara maksimal dalam
rangka mencari solusi terhadap persoalan-persoalan kontemporer yang belum
memiliki dalil eksplisit.
Menurut Fazlur
Rahman, ijtihad yang sejati harus berangkat dari pemahaman maqashid (tujuan)
syariah, bukan semata-mata dari bunyi literal teks.4 Ini hanya bisa
dicapai jika umat terbiasa berpikir sistematis, memahami konteks, dan berani
menggali hikmah di balik hukum.
9.5.
Strategi: Peran Lembaga Pendidikan
dan Media Keislaman
Lembaga pendidikan,
baik formal maupun non-formal, memiliki peran strategis dalam membudayakan
berpikir Qur’ani. Kurikulum yang menekankan hafalan semata harus ditinjau ulang
agar dapat memberi ruang lebih luas pada pembelajaran yang berbasis pada
pemahaman, pemikiran kritis, dan aplikatif.
Selain itu, media
Islam digital juga harus mengambil peran dalam menyajikan konten-konten yang
mengedukasi umat untuk berpikir secara mendalam dan tidak terjebak pada
provokasi emosional. Menurut Asef Bayat, pembaruan sosial dan pemikiran Islam
sangat bergantung pada keberanian para intelektual dan pendidik untuk merawat
nalar publik yang sehat.5
Kesimpulan
Sementara
Mengaktualisasikan
perintah berpikir di era modern membutuhkan kesadaran kolektif untuk
mengatasi tantangan budaya instan, anti-intelektualisme, dan penyempitan makna
agama. Strategi yang tepat meliputi penguatan literasi Qur’ani, revitalisasi
ijtihad, reformasi pendidikan, dan pengelolaan media Islam yang mendidik.
Dengan itu, umat Islam dapat membangun peradaban yang tercerahkan, berakar pada
wahyu, dan relevan dalam zaman.
Footnotes
[1]
Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of
the Sacred Text of Islam (New York: Oxford University Press, 2011), 57.
[2]
Bassam Tibi, The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and
the New World Disorder (Berkeley: University of California Press, 1998),
39–41.
[3]
M. Amin Abdullah, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan
Etika (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017), 128–130.
[4]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
18–20.
[5]
Asef Bayat, Making Islam Democratic: Social Movements and the
Post-Islamist Turn (Stanford: Stanford University Press, 2007), 221–223.
10.
Penutup
Al-Qur’an sebagai
kitab suci umat Islam telah memberikan perhatian yang luar biasa terhadap peran
akal dan aktivitas berpikir dalam kehidupan manusia. Ayat-ayat yang mengandung
perintah untuk tafakkur (merenung), ta‘aqqul
(menggunakan akal), tadabbur (merenungi wahyu), dan i‘tibar
(mengambil pelajaran) tersebar luas dalam berbagai konteks: teologis,
kosmologis, historis, hingga moral. Ini menunjukkan bahwa berpikir dalam
pandangan Islam bukan sekadar aktivitas intelektual, tetapi merupakan bagian
integral dari ibadah dan ketaatan kepada Allah.
Berpikir dalam
Al-Qur’an berfungsi untuk membangun iman yang kokoh, menyadarkan manusia akan
kebesaran Allah, menuntunnya kepada akhlak yang mulia, serta mengarahkannya
pada konstruksi sosial yang adil dan beradab. Perintah berpikir merupakan
bentuk penghormatan Islam terhadap potensi rasional manusia dan menjadi dasar
bagi berkembangnya tradisi keilmuan serta peradaban Islam yang gemilang di masa
lalu1.
Namun demikian,
realitas umat Islam kontemporer memperlihatkan adanya tantangan serius dalam
mengaktualisasikan perintah berpikir tersebut. Di tengah derasnya arus
informasi, ideologi ekstrem, serta dominasi budaya instan, umat Islam
memerlukan revitalisasi nalar Qur’ani yang
menempatkan akal sebagai sarana memahami wahyu secara mendalam, kontekstual,
dan transformatif2.
Strategi yang harus
dilakukan meliputi penguatan literasi Al-Qur’an, pembaruan kurikulum pendidikan
Islam, penyuburan budaya ijtihad, serta pembinaan masyarakat yang terbuka
terhadap dialog dan refleksi. Semua ini hanya mungkin tercapai jika berpikir
diposisikan kembali sebagai tanggung jawab spiritual dan sosial
seorang Muslim dalam rangka menunaikan amanah kekhalifahan di bumi3.
Sebagaimana
diungkapkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, berpikir dalam Islam adalah
upaya menempatkan segala sesuatu pada tempatnya (adab), dan dengan demikian menjadi
jalan menuju tafaqquh fi al-din—pemahaman agama
yang mendalam, bukan semata ritual, tetapi menyeluruh terhadap nilai-nilai
kehidupan4.
Oleh karena itu,
pembudayaan berpikir Qur’ani harus menjadi agenda utama umat Islam di setiap
lini kehidupan: pendidikan, dakwah, keluarga, media, dan pemerintahan. Semoga
dengan itu, kita dapat membentuk generasi yang beriman dengan hujjah, berakhlak
dengan ilmu, dan berperadaban dengan nilai.
Footnotes
[1]
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1999), 173–175.
[2]
M. Amin Abdullah, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan
Etika (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017), 131–133.
[3]
Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam untuk Pelajar (Jakarta:
Prenada Media, 2003), 202.
[4]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), 23.
Daftar Pustaka
Abdullah, M. A. (1999). Studi agama:
Normativitas atau historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdullah, M. A. (2017). Islam sebagai ilmu: Epistemologi,
metodologi, dan etika. Yogyakarta: IRCiSoD.
Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and secularism.
Kuala Lumpur: ISTAC.
Al-Attas, S. M. N. (2001). Prolegomena to the
metaphysics of Islam: An exposition of the fundamental elements of the
worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.
Al-Ghazali, A. H. (n.d.). Ihya’ ‘Ulum al-Din
(Vols. 1–4). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
Al-Qurṭubī, M. A. (2000). Al-Jāmi‘ li Aḥkām
al-Qur’an (Vols. 2 & 4). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Raghib al-Ashfahani. (2002). Al-Mufradat fi
Gharib al-Qur’an (S. ‘A. Dāwūdī, Ed.). Damaskus: Dar al-Qalam.
Al-Ṭabarī, I. J. (1992). Jāmi‘ al-Bayān ‘an
Ta’wīl Āy al-Qur’ān (Vol. 15). Kairo: Dār al-Ma‘ārif.
Azra, A. (2003). Ensiklopedi Islam untuk pelajar.
Jakarta: Prenada Media.
Azra, A. (2004). Islam substantif: Agar umat
tidak kehilangan arah. Bandung: Mizan.
Bayat, A. (2007). Making Islam democratic:
Social movements and the post-Islamist turn. Stanford, CA: Stanford
University Press.
Departemen Agama Republik Indonesia. (2005). Al-Qur’an
dan terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.
Ibnu Katsīr, I. K. (1999). Tafsīr al-Qur’ān
al-‘Aẓīm (Vols. 2–4). Beirut: Dār al-Fikr.
Madjid, N. (1992). Islam, doktrin, dan
peradaban: Sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan
kemodernan. Jakarta: Paramadina.
Muslim, M. (2001). Mabāḥith fī ‘Ilm al-Tafsīr
al-Mawḍū‘ī. Damaskus: Dār al-Fikr.
Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in
Islam. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Nasution, H. (1986). Akal dan wahyu dalam Islam.
Jakarta: UI Press.
Nasution, K. (2015). Konsep akal dalam Al-Qur’an:
Tinjauan linguistik dan teologis. Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis,
16(1), 23–34.
Qaradawi, Y. (2002). Bagaimana berinteraksi
dengan Al-Qur’an (A. U. Basyir, Trans.). Jakarta: Robbani Press. (Asli
diterbitkan 1999)
Qutb, S. (1980). Fi Zhilalil Qur’an (Vols.
5–6). Kairo: Dar al-Shuruq.
Saliba, G. (2007). Islamic science and the
making of the European Renaissance. Cambridge, MA: MIT Press.
Sardar, Z. (2011). Reading the Qur’an: The
contemporary relevance of the sacred text of Islam. New York, NY: Oxford
University Press.
Shihab, M. Q. (1999). Membumikan Al-Qur’an:
Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat. Bandung: Mizan.
Shihab, M. Q. (2001–2005). Tafsir al-Miṣbāḥ:
Pesan, kesan, dan keserasian Al-Qur’an (Vols. 2 & 13). Jakarta: Lentera
Hati.
Tibi, B. (1998). The challenge of
fundamentalism: Political Islam and the new world disorder. Berkeley:
University of California Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar