Uang
Sejarah, Fungsi, dan nilai Uang dalam Perspektif
Ekonomi, Sosial, dan Filosofis
Alihkan ke: Ilmu Ekonomi.
Abstrak
Artikel ini mengkaji sejarah, fungsi, dan nilai
uang dalam perspektif ekonomi, sosial, dan filosofis. Dimulai dari sistem
barter hingga lahirnya uang digital dan kripto, artikel ini menunjukkan bahwa
uang merupakan konstruksi sosial yang terus berevolusi sesuai dengan
perkembangan peradaban manusia. Uang tidak hanya dipahami sebagai alat tukar,
tetapi juga sebagai satuan hitung, penyimpan nilai, dan standar pembayaran yang
ditangguhkan. Nilai uang modern, terutama fiat money, ditentukan bukan oleh
nilai intrinsik, melainkan oleh kepercayaan publik, kebijakan negara, dan
stabilitas ekonomi. Di era digital, munculnya cryptocurrency dan Central Bank Digital
Currency (CBDC) menandai transformasi besar dalam sistem moneter global. Selain
itu, dari perspektif sosial dan filosofis, uang dipahami sebagai simbol
kekuasaan, alat relasi sosial, dan bahkan sebagai entitas ideologis yang
mempengaruhi etika serta eksistensi manusia. Melalui pendekatan interdisipliner
dan berbasis referensi akademik, artikel ini memberikan pemahaman komprehensif
mengenai peran dan makna uang dalam membentuk dinamika kehidupan manusia.
Kata Kunci: Uang, sejarah ekonomi, fiat money, uang digital,
cryptocurrency, kepercayaan sosial, fungsi uang, CBDC, nilai uang, filsafat
uang.
PEMBAHASAN
Pemahaman Komprehensif Mengenai Peran dan Makna Uang
1.
Pendahuluan
Uang adalah salah
satu penemuan paling revolusioner dalam sejarah peradaban manusia.
Keberadaannya tidak hanya mempermudah pertukaran barang dan jasa, tetapi juga
mengubah struktur sosial, politik, dan ekonomi masyarakat secara mendalam.
Dalam kehidupan sehari-hari, uang tampak sebagai sesuatu yang sederhana—alat
tukar untuk membeli kebutuhan. Namun di balik kesederhanaan itu, uang menyimpan
sejarah panjang tentang evolusi ide, sistem kepercayaan, dan kontrol kekuasaan.
Secara umum, uang
dapat didefinisikan sebagai alat tukar yang diterima secara luas oleh masyarakat
dalam transaksi ekonomi. Definisi ini mencerminkan fungsi dasarnya sebagai
media yang mempermudah pertukaran, menggantikan sistem barter yang tidak
efisien. Menurut N. Gregory Mankiw, uang adalah "aset yang digunakan
secara reguler oleh masyarakat untuk membeli barang dan jasa dari orang lain."_¹
Definisi ini tidak hanya menekankan sifat praktis uang, tetapi juga menunjukkan
peran sosialnya dalam memediasi hubungan ekonomi antarindividu.
Dalam perspektif
sejarah, sistem barter menjadi fondasi awal interaksi ekonomi sebelum manusia
mengenal uang. Namun, sistem tersebut memiliki kelemahan mendasar, yakni
kebutuhan akan “double coincidence of wants”—situasi di mana dua pihak
memiliki keinginan untuk saling menukar barang yang dimiliki masing-masing.²
Kebutuhan akan alat tukar yang lebih efisien inilah yang kemudian melahirkan
berbagai bentuk uang, mulai dari uang barang (seperti garam, kulit, dan logam
mulia) hingga uang kertas dan uang digital yang kita kenal saat ini.
Lebih jauh, uang
bukan hanya berfungsi sebagai alat tukar, tetapi juga sebagai satuan hitung,
penyimpan nilai, dan alat pembayaran utang. Paul A. Samuelson dan William D.
Nordhaus menjelaskan bahwa uang merupakan “alat serba guna dalam
perekonomian modern yang memungkinkan masyarakat memisahkan kegiatan penjualan
dari pembelian, sehingga menciptakan fleksibilitas ekonomi yang lebih besar.”_³
Dengan berkembangnya
teknologi, uang juga mengalami transformasi digital. Kini, uang tidak hanya
hadir dalam bentuk fisik, tetapi juga sebagai angka-angka elektronik di sistem
perbankan. Ini menunjukkan bahwa nilai uang tidak selalu bergantung pada bentuk
materialnya, melainkan pada kepercayaan masyarakat dan otoritas
hukum yang mengatur dan menjaminnya.⁴
Tulisan ini
bertujuan untuk menjelaskan secara sistematis dan mendalam mengenai sejarah,
fungsi, serta sumber nilai uang dalam konteks ekonomi dan peradaban manusia.
Dengan pemahaman yang komprehensif, diharapkan pembaca dapat melihat uang bukan
sekadar alat tukar, melainkan sebagai produk peradaban yang mencerminkan
dinamika sosial, ekonomi, dan bahkan spiritual.
Footnotes
[1]
N. Gregory Mankiw, Principles of Economics, 8th ed. (Boston:
Cengage Learning, 2018), 580.
[2]
Charles P. Kindleberger, A Financial History of Western Europe,
2nd ed. (New York: Oxford University Press, 1993), 29.
[3]
Paul A. Samuelson and William D. Nordhaus, Economics, 19th ed.
(New York: McGraw-Hill, 2010), 453.
[4]
Yuval Noah Harari, Sapiens: A Brief History of Humankind
(London: Harvill Secker, 2014), 186.
2.
Pengertian
Uang Menurut Para Ahli
Pemahaman mengenai
uang telah mengalami perkembangan seiring dengan kompleksitas sistem ekonomi
dan dinamika masyarakat. Dalam ilmu ekonomi, uang tidak hanya dipahami sebagai
benda fisik yang digunakan untuk membeli barang dan jasa, tetapi juga sebagai
suatu konstruksi sosial dan simbol nilai yang disepakati bersama. Berbagai
definisi telah diajukan oleh para ekonom dan institusi keuangan untuk
menjelaskan apa itu uang, fungsi-fungsinya, dan perannya dalam kehidupan
ekonomi.
Salah satu definisi
yang paling dikenal luas berasal dari N. Gregory Mankiw, yang
menyatakan bahwa "uang adalah segala sesuatu yang secara umum digunakan
oleh masyarakat untuk membeli barang dan jasa atau membayar utang."_¹
Definisi ini menekankan aspek fungsi sosial dan penerimaan
umum (acceptability) dari uang sebagai instrumen pertukaran.
Konsep ini juga menunjukkan bahwa uang tidak harus selalu berupa logam mulia
atau kertas cetakan negara, selama ia diterima secara luas dalam suatu
komunitas ekonomi.
Sementara itu,
menurut Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus,
uang adalah "alat yang memungkinkan masyarakat untuk memisahkan
kegiatan penjualan dan pembelian, serta memperlancar transaksi ekonomi dengan
efisien."_² Mereka menekankan bahwa uang adalah sarana penghubung yang
penting dalam menciptakan pasar yang dinamis dan memungkinkan spesialisasi
serta pembagian kerja dalam sistem ekonomi modern.
Dalam literatur
klasik, Adam Smith tidak secara
eksplisit memberikan definisi teknis mengenai uang, tetapi dalam karyanya The
Wealth of Nations, ia menjelaskan bahwa uang adalah hasil dari
kebutuhan praktis untuk mengatasi keterbatasan sistem barter.³ Ini menunjukkan
bahwa uang dipandang sebagai solusi historis atas kesulitan pertukaran
langsung.
Karl
Marx, dalam perspektif kritisnya, mendefinisikan uang sebagai
bentuk manifestasi dari nilai kerja komoditas yang telah mengalami "reifikasi"
(pemfosilan sosial).⁴ Bagi Marx, uang bukan hanya alat tukar, tetapi juga
cermin dari relasi kuasa dalam sistem kapitalisme, di mana nilai-nilai sosial
direduksi menjadi nilai tukar ekonomi.
Adapun Bank
Indonesia, sebagai otoritas moneter nasional, mendefinisikan
uang sebagai “segala sesuatu yang dapat diterima secara umum sebagai alat
pembayaran yang sah di suatu wilayah tertentu.”_⁵ Definisi ini mencerminkan
pendekatan legalistik yang menempatkan uang dalam kerangka sistem hukum dan
otoritas negara.
Berbagai definisi
ini menunjukkan bahwa uang adalah konsep multidimensional: ia adalah alat
ekonomi, produk sejarah, dan sekaligus fenomena
sosial yang tidak bisa dilepaskan dari konteks budaya, hukum,
dan politik suatu masyarakat. Oleh karena itu, memahami pengertian uang dari
berbagai perspektif membantu kita untuk lebih kritis dalam memaknai perannya
dalam kehidupan sehari-hari.
Footnotes
[1]
N. Gregory Mankiw, Principles of Economics, 8th ed. (Boston:
Cengage Learning, 2018), 580.
[2]
Paul A. Samuelson and William D. Nordhaus, Economics, 19th ed.
(New York: McGraw-Hill, 2010), 453.
[3]
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of
Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776), Book I, Chapter IV.
[4]
Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Vol. 1,
trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 163–168.
[5]
Bank Indonesia, “Uang dan Kebanksentralan,” Materi Literasi Ekonomi
dan Keuangan, accessed April 10, 2025, https://www.bi.go.id.
3.
Sejarah
dan Evolusi Uang
Sejarah uang
mencerminkan dinamika perubahan dalam peradaban manusia, dari pertukaran barang
secara langsung hingga pada sistem moneter digital yang kompleks. Perkembangan
ini tidak hanya berkaitan dengan kemajuan teknologi, tetapi juga dengan
kemajuan dalam hal kepercayaan, sistem hukum, dan pengelolaan kekuasaan
ekonomi.
3.1.
Sistem Barter
Sebelum mengenal
uang, manusia menggunakan sistem barter sebagai bentuk pertukaran ekonomi yang
paling awal. Barter mengandalkan prinsip saling tukar barang atau jasa
berdasarkan kebutuhan masing-masing pihak. Meski sederhana, sistem ini memiliki
kelemahan mendasar, yaitu ketergantungan pada double coincidence of wants,
yakni kedua pihak harus sama-sama memiliki dan menginginkan barang yang
ditawarkan satu sama lain.¹ Kelemahan ini membuat barter tidak efisien dalam
masyarakat yang semakin kompleks dan berkembang.
3.2.
Uang Barang (Commodity Money)
Untuk mengatasi
kesulitan barter, masyarakat mulai menggunakan barang-barang tertentu yang dianggap bernilai
tinggi dan diterima secara umum sebagai alat tukar. Bentuk awal
dari uang ini disebut sebagai uang barang (commodity money).
Contohnya meliputi garam di Ethiopia, kulit binatang di Rusia, atau biji kakao
di Amerika Tengah.² Barang-barang tersebut memiliki nilai
intrinsik karena dapat digunakan langsung atau memiliki
kelangkaan yang nyata. Uang barang ini menjadi awal dari kesadaran masyarakat
bahwa nilai tukar dapat dinyatakan dalam satuan standar.
3.3.
Uang Logam
Sekitar abad ke-7
SM, masyarakat Lydia (kini bagian dari Turki) dikenal sebagai yang pertama kali
mencetak uang logam dari emas dan perak,
yang diberi cap resmi untuk menjamin bobot dan keasliannya.³ Penggunaan logam
mulia memberikan keunggulan karena tahan lama, mudah dibagi, dan memiliki nilai
yang relatif stabil. Dalam peradaban Islam, uang logam seperti dinar
(emas) dan dirham (perak) menjadi alat
tukar resmi yang disesuaikan dengan timbangan syar’i.⁴
Uang logam juga
menandai awal dari intervensi negara dalam sistem moneter. Kekuasaan penguasa
dalam mencetak dan mengatur nilai uang menciptakan hubungan erat antara uang
dan otoritas politik, sebuah prinsip yang bertahan hingga hari ini dalam bentuk
bank sentral.
3.4.
Uang Kertas
Seiring perkembangan
perdagangan, uang logam menjadi tidak praktis dalam jumlah besar. Muncullah uang
kertas sebagai bentuk janji tertulis yang dapat ditukarkan
kembali dengan logam mulia. Inovasi ini pertama kali berkembang di Tiongkok
pada masa Dinasti Tang dan Song, lalu menyebar ke dunia Islam dan Eropa.⁵ Di
Eropa, bankir swasta dan pemerintah mulai menerbitkan surat berharga atau
banknote yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran.
Namun, sejak abad ke-20,
sistem standar emas (gold standard) mulai ditinggalkan dan uang kertas tidak
lagi dijamin oleh emas, melainkan hanya berdasarkan kepercayaan
terhadap pemerintah yang mengeluarkannya. Inilah yang disebut
sebagai fiat money, yaitu uang yang
bernilai karena ditetapkan oleh hukum, bukan karena memiliki nilai intrinsik.⁶
3.5.
Uang Digital dan Elektronik
Memasuki abad ke-21,
uang mengalami transformasi besar melalui digitalisasi. Kini, sebagian besar
uang tidak lagi berwujud fisik, melainkan hadir dalam bentuk saldo
elektronik, baik melalui sistem perbankan maupun aplikasi
dompet digital. Transaksi elektronik, kartu debit, dan QR code menjadi bagian
dari kehidupan ekonomi global. Selain itu, muncul pula cryptocurrency
seperti Bitcoin, yang meskipun belum diterima secara universal, menunjukkan
potensi bentuk uang yang terdesentralisasi dan berbasis teknologi blockchain.⁷
Perkembangan ini
menunjukkan bahwa fungsi uang tetap sama, namun
bentuk dan medianya terus berubah sesuai kemajuan teknologi, struktur sosial,
dan sistem kepercayaan yang menopangnya.
Footnotes
[1]
Charles P. Kindleberger, A Financial History of Western Europe,
2nd ed. (New York: Oxford University Press, 1993), 29.
[2]
Glyn Davies, A History of Money: From Ancient Times to the Present
Day (Cardiff: University of Wales Press, 2002), 45.
[3]
Richard A. Radford, "The Economic Organization of a P.O.W.
Camp," Economica 12, no. 48 (1945): 189–201.
[4]
Abul A'la Maududi, Economic Teachings of the Prophet (Lahore:
Islamic Publications Ltd., 1975), 121–123.
[5]
Robert Mundell, “The Birth of Coinage,” Columbia University Working
Paper, 2000, https://www.columbia.edu.
[6]
Niall Ferguson, The Ascent of Money: A Financial History of the
World (New York: Penguin Press, 2008), 40–43.
[7]
Satoshi Nakamoto, “Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System,”
2008, https://bitcoin.org/bitcoin.pdf.
4.
Fungsi-fungsi
Uang
Fungsi uang
merupakan aspek kunci yang menjelaskan mengapa uang menjadi elemen fundamental
dalam sistem ekonomi. Dalam kerangka ekonomi klasik dan modern, uang tidak
hanya dipandang sebagai alat tukar, tetapi juga sebagai sarana penting untuk
mengukur, menyimpan, dan menyelesaikan nilai ekonomi. Para ekonom umumnya mengakui
empat fungsi utama uang: alat tukar, satuan
hitung, penyimpan nilai, dan standar
pembayaran yang ditangguhkan.
4.1.
Alat Tukar (Medium of Exchange)
Fungsi utama uang
adalah sebagai alat tukar yang memfasilitasi
transaksi ekonomi antara berbagai pihak. Dalam sistem barter, transaksi
memerlukan kesesuaian keinginan antara dua pihak yang terlibat—suatu kondisi
yang disebut sebagai double coincidence of wants. Uang
menghilangkan kebutuhan akan kecocokan ini dengan menyediakan sarana pertukaran
yang diterima secara luas.¹
Menurut Mankiw, uang
memungkinkan individu untuk memperoleh barang dan jasa tanpa harus menyediakan
barang atau jasa yang diinginkan oleh pihak lain secara langsung, sehingga
meningkatkan efisiensi dan spesialisasi dalam produksi.² Dalam pandangan ini,
uang berperan sebagai pelumas roda perdagangan yang mempercepat arus barang dan
jasa dalam pasar.
4.2.
Satuan Hitung (Unit of Account)
Uang juga berfungsi
sebagai satuan hitung, yaitu alat untuk
mengukur dan membandingkan nilai barang dan jasa secara kuantitatif. Fungsi ini
memungkinkan harga barang ditentukan secara seragam dan konsisten, sehingga
memudahkan dalam perencanaan ekonomi, pengambilan keputusan, dan pelaporan
akuntansi.³
Misalnya, tanpa uang
sebagai satuan hitung, harga barang harus dinyatakan dalam perbandingan
langsung dengan barang lain (seperti dalam barter), yang akan sangat rumit jika
jumlah barang yang diperjualbelikan sangat banyak. Dalam sistem pasar, uang
menyederhanakan informasi ekonomi dan menjadi dasar bagi sistem harga yang
rasional.
4.3.
Penyimpan Nilai (Store of Value)
Uang dapat digunakan
sebagai penyimpan nilai, artinya uang
dapat disimpan dan digunakan di masa depan untuk membeli barang atau jasa.⁴
Fungsi ini membuat uang dapat digunakan tidak hanya untuk konsumsi saat ini,
tetapi juga sebagai sarana menabung atau berinvestasi.
Namun, fungsi ini
sangat tergantung pada stabilitas nilai uang itu
sendiri. Dalam kondisi inflasi yang tinggi, uang kehilangan kemampuannya untuk
menyimpan nilai karena daya belinya menurun dari waktu ke waktu. Oleh karena
itu, stabilitas ekonomi menjadi syarat penting agar fungsi ini berjalan secara
efektif.
4.4.
Alat Pembayaran yang Ditangguhkan (Standard of
Deferred Payment)
Fungsi keempat dari
uang adalah sebagai alat pembayaran yang ditangguhkan,
yaitu kemampuan uang untuk digunakan dalam penyelesaian transaksi yang
dilakukan secara kredit. Dalam konteks ini, uang menjadi standar dalam kontrak
utang-piutang, baik dalam perdagangan maupun lembaga keuangan.⁵
Fungsi ini
memerlukan adanya kepercayaan terhadap stabilitas dan legalitas uang dalam
jangka panjang. Oleh karena itu, peran negara atau otoritas moneter sangat
penting dalam menjamin bahwa uang tetap sah dan diterima di masa depan.
Fungsi-fungsi uang
ini tidak bersifat terpisah, melainkan saling berkaitan satu sama lain.
Keberhasilan suatu sistem moneter ditentukan oleh seberapa baik uang dapat
menjalankan keempat fungsi tersebut secara bersamaan. Dalam praktiknya,
kemajuan teknologi dan inovasi keuangan terus menguji batas-batas fungsi uang
ini, terutama dengan munculnya bentuk-bentuk baru seperti uang
digital dan kripto yang menantang otoritas moneter tradisional.
Footnotes
[1]
Charles P. Kindleberger, A Financial History of Western Europe,
2nd ed. (New York: Oxford University Press, 1993), 29.
[2]
N. Gregory Mankiw, Principles of Economics, 8th ed. (Boston:
Cengage Learning, 2018), 581.
[3]
Paul A. Samuelson and William D. Nordhaus, Economics, 19th ed.
(New York: McGraw-Hill, 2010), 455.
[4]
Glyn Davies, A History of Money: From Ancient Times to the Present
Day (Cardiff: University of Wales Press, 2002), 59–60.
[5]
Frederic S. Mishkin, The Economics of Money, Banking, and Financial
Markets, 11th ed. (New York: Pearson, 2019), 64.
5.
Sumber
dan Dasar Nilai Uang
Nilai uang merupakan
fondasi utama dari keberfungsian sistem moneter. Tanpa adanya kepercayaan
terhadap nilai yang melekat pada uang, alat tukar ini kehilangan daya gunanya.
Namun, yang menarik adalah bahwa nilai uang modern tidak bersumber dari
kandungan fisik atau logam mulia, melainkan dari faktor-faktor
abstrak seperti kepercayaan, peraturan
hukum, dan kebijakan ekonomi. Pemahaman
mengenai sumber dan dasar nilai uang penting untuk menjelaskan mengapa uang
dapat digunakan secara luas dan tetap memiliki daya beli di tengah perubahan
bentuk dan media.
5.1.
Nilai Intrinsik vs Nilai Nominal
Dalam sejarah
ekonomi, dikenal dua jenis nilai uang: nilai intrinsik dan nilai
nominal. Nilai intrinsik merujuk pada nilai bahan fisik dari
uang itu sendiri—misalnya emas atau perak dalam uang logam kuno—yang memiliki
nilai pasar meskipun tidak digunakan sebagai uang.¹ Sebaliknya, nilai nominal
adalah nilai yang tercetak atau dinyatakan dalam satuan mata uang, yang sering
kali jauh lebih tinggi dari nilai fisiknya. Dalam konteks uang modern (fiat money),
nilai nominal menjadi dominan, karena uang tidak lagi didukung oleh komoditas
fisik apa pun.
5.2.
Uang sebagai Fiat Money
Sejak
ditinggalkannya standar emas secara global pada
abad ke-20, hampir seluruh mata uang dunia kini berbentuk fiat
money—yaitu uang yang nilainya tidak dijamin oleh emas atau
barang berharga lainnya, tetapi ditetapkan oleh otoritas hukum dan diterima
karena kepercayaan
publik.² Paul Krugman menegaskan bahwa kepercayaan terhadap
kemampuan pemerintah untuk menjaga kestabilan ekonomi dan moneter menjadi
elemen utama dalam menopang nilai uang fiat.³
Konsep ini menggeser
peran uang dari benda bernilai menjadi simbol hukum dan kepercayaan sosial.
Pemerintah, melalui undang-undang dan otoritas bank sentral, menetapkan bahwa
uang tersebut legal tender, yaitu alat
pembayaran sah yang wajib diterima untuk menyelesaikan kewajiban finansial.
5.3.
Peran Bank Sentral dalam Menjaga Nilai Uang
Bank sentral
memegang peran krusial dalam mengelola nilai uang melalui
kebijakan moneter. Salah satu fungsi utama bank sentral adalah menjaga stabilitas
harga, yaitu mengendalikan inflasi agar daya beli uang tidak
terus menurun.⁴ Jika jumlah uang beredar terlalu banyak tanpa dukungan
pertumbuhan ekonomi yang seimbang, maka inflasi akan terjadi dan menurunkan nilai
riil uang.
Menurut Frederic S.
Mishkin, pengendalian inflasi melalui suku bunga, operasi pasar terbuka, dan
pengawasan sektor perbankan merupakan alat utama bank sentral untuk menjaga
agar uang tetap dipercaya dan nilainya stabil.⁵ Tanpa pengelolaan yang
hati-hati, kepercayaan masyarakat bisa hilang dan uang tidak lagi berfungsi
dengan efektif.
5.4.
Faktor-faktor Eksternal yang Mempengaruhi Nilai
Uang
Selain kebijakan
internal, nilai uang juga dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal seperti:
·
Permintaan
dan penawaran uang di pasar
·
Kondisi
ekonomi global
·
Tingkat
kepercayaan terhadap pemerintah dan lembaga keuangan
·
Stabilitas
politik dan sosial
Fluktuasi nilai
tukar mata uang, misalnya, mencerminkan penilaian pasar global terhadap
kekuatan ekonomi suatu negara. Negara dengan defisit anggaran besar atau
konflik politik biasanya akan mengalami penurunan nilai mata uang karena
berkurangnya kepercayaan investor.⁶
5.5.
Perspektif Sosiologis dan Psikologis: Uang
sebagai Kepercayaan Kolektif
Nilai uang juga dapat
dipahami dari perspektif sosiologis. Yuval Noah Harari menyatakan
bahwa uang adalah salah satu bentuk realitas intersubjektif terbesar dalam
sejarah manusia—ia tidak memiliki nilai objektif, tetapi bertahan
karena keyakinan bersama bahwa uang memiliki nilai.⁷ Maka,
nilai uang lebih merupakan hasil dari kontrak sosial dan narasi bersama, bukan
sekadar logam, kertas, atau angka digital.
Dengan demikian, nilai
uang modern tidak ditentukan oleh wujud fisik atau jaminan emas,
melainkan oleh kepercayaan kolektif yang dipelihara oleh
institusi negara, hukum, dan kebijakan ekonomi. Dalam dunia
yang semakin kompleks dan digital, menjaga kepercayaan ini menjadi lebih
penting dari sebelumnya.
Footnotes
[1]
Glyn Davies, A History of Money: From Ancient Times to the Present
Day (Cardiff: University of Wales Press, 2002), 59–62.
[2]
Niall Ferguson, The Ascent of Money: A Financial History of the
World (New York: Penguin Press, 2008), 42–44.
[3]
Paul Krugman and Robin Wells, Macroeconomics, 5th ed. (New
York: Worth Publishers, 2018), 363.
[4]
Bank Indonesia, “Stabilitas Nilai Rupiah,” Bank Indonesia Official
Website, accessed April 10, 2025, https://www.bi.go.id.
[5]
Frederic S. Mishkin, The Economics of Money, Banking, and Financial
Markets, 11th ed. (New York: Pearson, 2019), 138–145.
[6]
Maurice Obstfeld, Kenneth Rogoff, Foundations of International
Macroeconomics (Cambridge: MIT Press, 1996), 581–583.
[7]
Yuval Noah Harari, Sapiens: A Brief History of Humankind
(London: Harvill Secker, 2014), 186.
6.
Perkembangan
Modern: Uang Digital dan Kripto
Perkembangan
teknologi digital telah membawa transformasi besar dalam cara manusia memahami
dan menggunakan uang. Dari uang kertas dan logam, kini dunia bergerak ke arah
sistem pembayaran nontunai, uang
digital, dan bahkan mata uang kripto. Evolusi ini
tidak hanya mengubah bentuk fisik uang, tetapi juga menantang otoritas moneter
konvensional serta konsep dasar mengenai nilai, kepercayaan, dan peran negara
dalam sistem keuangan.
6.1.
Uang Digital dan Elektronik
Uang digital merujuk
pada bentuk uang yang disimpan dan ditransaksikan secara elektronik. Bentuk ini
mencakup berbagai inovasi seperti e-money, mobile
banking, dan dompet digital (e-wallet)
seperti GoPay, OVO, Dana, dan lainnya.¹ Menurut Bank for International
Settlements (BIS), uang digital memiliki karakteristik sebagai "alat
pembayaran berbasis data dan sistem terpusat atau terdesentralisasi yang dapat
diakses melalui perangkat elektronik".²
Di Indonesia, Bank
Indonesia mengklasifikasikan uang elektronik sebagai alat
pembayaran yang diterbitkan berdasarkan nilai uang yang disetor terlebih dahulu
kepada penerbit (prepaid).³ Bentuk uang ini semakin populer karena memberikan
kemudahan, kecepatan, dan efisiensi dalam transaksi sehari-hari, baik di sektor
formal maupun informal.
Transformasi ini
memperkuat tren menuju cashless society, di mana uang
fisik semakin tergantikan oleh data digital yang terintegrasi dalam sistem
perbankan dan teknologi finansial (fintech). Namun, perkembangan ini juga
menimbulkan tantangan baru, seperti keamanan siber, inklusi keuangan, dan
risiko privasi data.
6.2.
Central Bank Digital Currency (CBDC)
Sebagai respons atas
perkembangan teknologi dan munculnya kripto, banyak bank sentral mulai
merancang Central Bank Digital Currency (CBDC),
yaitu bentuk uang digital yang dikeluarkan langsung oleh bank sentral dan
memiliki status legal tender.⁴
CBDC dimaksudkan
untuk mempertahankan kendali negara atas sistem moneter, sekaligus menjawab
kebutuhan masyarakat akan instrumen pembayaran digital yang aman dan stabil.
Bank Indonesia sendiri tengah mengembangkan Proyek Garuda sebagai inisiatif
eksplorasi atas potensi rupiah digital.⁵
6.3.
Cryptocurrency: Uang atau Aset Digital?
Salah satu terobosan
paling kontroversial dalam sejarah keuangan modern adalah munculnya cryptocurrency,
dengan Bitcoin
sebagai pelopornya pada tahun 2009 oleh sosok anonim bernama Satoshi
Nakamoto.⁶ Cryptocurrency menggunakan teknologi blockchain
untuk mencatat transaksi secara terdesentralisasi dan terenkripsi, tanpa
memerlukan perantara seperti bank atau otoritas moneter.
Bitcoin dan aset
kripto lainnya sering disebut sebagai "uang tanpa negara",
karena tidak bergantung pada otoritas sentral mana pun.⁷ Namun, keberadaannya
memunculkan perdebatan: apakah cryptocurrency dapat dianggap sebagai uang dalam
pengertian ekonomi klasik? Sebagian besar ekonom menilai bahwa saat ini,
cryptocurrency lebih tepat disebut aset spekulatif, bukan alat
tukar utama, karena volatilitas harganya yang tinggi dan keterbatasan
penerimaan di masyarakat luas.⁸
Meskipun demikian,
teknologi di balik kripto—yakni blockchain—dianggap sebagai inovasi penting
dalam pencatatan keuangan yang transparan dan aman. Penggunaan kripto juga
menggugah diskusi baru tentang desentralisasi nilai, kebebasan
ekonomi, dan tantangan terhadap hegemoni mata uang
konvensional.
6.4.
Tantangan dan Prospek Masa Depan
Uang digital dan
kripto menawarkan banyak peluang, namun juga membawa tantangan besar:
·
Regulasi
dan pengawasan terhadap transaksi digital dan aset kripto yang
lintas batas
·
Kesenjangan
digital yang dapat memperlebar ketidaksetaraan akses ke sistem
keuangan
·
Keamanan
siber dan risiko pencucian uang melalui sistem yang sulit
dilacak
Ke depan,
kemungkinan besar kita akan hidup dalam sistem keuangan yang hibrida,
di mana uang kertas, uang digital resmi, dan teknologi blockchain saling
berinteraksi. Tantangan utama adalah bagaimana memastikan bahwa transisi ini
tetap inklusif,
stabil, dan terpercaya.
Footnotes
[1]
Bank Indonesia, “Mengenal Uang Elektronik,” Bank Indonesia Official
Website, accessed April 10, 2025, https://www.bi.go.id.
[2]
Bank for International Settlements, “Central Bank Digital Currencies:
Foundational Principles and Core Features,” BIS Report No. 1, October 2020, 5.
[3]
Ibid.
[4]
International Monetary Fund, “The Rise of Central Bank Digital
Currencies,” IMF Fintech Notes, No. 2020/001, 2020, 2–4.
[5]
Bank Indonesia, “Proyek Garuda: Menjawab Tantangan Masa Depan Uang
Digital,” Bank Indonesia Insight, accessed April 10, 2025, https://www.bi.go.id.
[6]
Satoshi Nakamoto, “Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System,”
2008, https://bitcoin.org/bitcoin.pdf.
[7]
Niall Ferguson, The Ascent of Money: A Financial History of the
World (New York: Penguin Press, 2008), 294.
[8]
Nouriel Roubini, “The Big Blockchain Lie,” Project Syndicate,
October 2018, https://www.project-syndicate.org.
7.
Uang
dalam Perspektif Sosial dan Filosofis
Di luar dimensi
ekonomi dan teknis, uang juga memiliki makna yang dalam dalam ranah sosial
dan filosofis.
Sebagai simbol nilai dan kekuasaan, uang mempengaruhi tidak hanya cara manusia
bertukar barang dan jasa, tetapi juga bagaimana mereka membangun hubungan
sosial, struktur kekuasaan, dan bahkan pandangan
hidup. Uang menjadi representasi dari sistem kepercayaan
kolektif, dan karenanya memainkan peran ideologis dan budaya yang sangat kuat
dalam peradaban manusia.
7.1.
Uang sebagai Konstruksi Sosial
Secara sosiologis,
uang tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial yang melahirkannya. Ia tidak
memiliki nilai objektif, melainkan dihasilkan dari kesepakatan bersama
untuk mengakui dan menerima sesuatu sebagai alat tukar. Hal ini ditegaskan oleh
Georg
Simmel, yang menyatakan bahwa uang merupakan salah satu bentuk
tertinggi dari relasi sosial modern karena ia mewujudkan proses abstraksi dari
nilai-nilai sosial menjadi satuan moneter.¹ Dalam pandangan ini, uang bukan
hanya alat tukar, tetapi juga abstraksi dari kepercayaan dan kontrak sosial.
Lebih jauh, uang
membentuk pola hubungan antarmanusia yang lebih impersonal. Ketika relasi
pertukaran dimediasi oleh uang, hubungan personal yang sebelumnya berbasis
barter atau patronase digantikan oleh mekanisme ekonomi yang netral dan
seragam. Ini membuat masyarakat menjadi lebih rasional dalam pertukaran, tetapi
juga lebih
terfragmentasi dalam hubungan sosial.²
7.2.
Uang sebagai Simbol Kekuasaan dan Ketimpangan
Dalam filsafat
sosial kritis, uang sering dianggap sebagai alat hegemoni dan kontrol. Karl
Marx, misalnya, melihat uang sebagai bentuk “kekuasaan
sosial yang terasing”, yang mampu mengubah semua kualitas menjadi
kuantitas.³ Ia menulis bahwa uang dapat mengubah keberanian menjadi
kepengecutan, cinta menjadi komoditas, dan martabat menjadi angka.⁴ Dalam
konteks ini, uang dipahami sebagai instrumen reifikasi, yaitu ketika
hubungan sosial direduksi menjadi relasi antara benda-benda ekonomi.
Sementara itu, Pierre
Bourdieu menyatakan bahwa uang adalah bentuk modal
simbolik yang beroperasi dalam struktur sosial sebagai alat
legitimasi dan penguasaan.⁵ Siapa yang menguasai uang, menguasai akses terhadap
pendidikan, politik, dan bahkan budaya.
Dengan demikian,
uang tidak hanya mencerminkan nilai tukar, tetapi juga menentukan
siapa yang memiliki kekuasaan dan siapa yang tidak, baik dalam
skala individu maupun negara. Ketimpangan distribusi uang menciptakan
ketimpangan kesempatan dan struktur sosial yang hirarkis.
7.3.
Uang dan Nilai-nilai Moral
Dalam perspektif
etika, uang telah lama menjadi subjek perdebatan filosofis. Dalam filsafat
klasik, misalnya, Aristoteles membedakan antara “ekonomia”
(pengelolaan rumah tangga untuk kebutuhan hidup) dan “chrematistik”
(pencarian uang demi uang). Aristoteles memandang bahwa pengejaran uang sebagai
tujuan itu sendiri merupakan bentuk penyimpangan moral.⁶
Sementara itu, ajaran-ajaran
agama—termasuk Islam, Kristen, dan Yahudi—menegaskan bahwa uang
bukanlah tujuan, melainkan alat. Pengumpulan uang secara berlebihan, ketamakan,
dan praktik riba dianggap merusak tatanan sosial dan moral.⁷ Dalam Islam,
misalnya, uang tidak boleh menghasilkan uang dengan cara yang tidak adil atau
eksploitatif, dan harus digunakan dalam transaksi yang nyata dan halal.⁸
Dengan kata lain,
uang harus berada dalam kendali etika dan nilai-nilai moral,
bukan menjadi entitas yang menentukan etika itu sendiri.
7.4.
Uang dan Eksistensi Manusia
Dari sudut pandang
filsafat eksistensial, uang sering dipertanyakan dalam kaitannya dengan makna
hidup manusia. Dalam masyarakat kapitalistik modern, pencarian
uang seringkali diasosiasikan dengan kesuksesan, prestise, dan status sosial,
sehingga nilai-nilai intrinsik manusia seperti kasih sayang, solidaritas, dan
spiritualitas terpinggirkan.
Menurut Erich
Fromm, manusia modern telah berpindah dari being
(menjadi) ke having (memiliki), di mana
keberadaan seseorang diukur dari seberapa banyak ia memiliki, bukan siapa
dirinya.⁹ Uang dalam konteks ini menjadi simbol dari alienasi manusia terhadap
esensi kemanusiaannya sendiri.
Dengan demikian,
uang tidak sekadar instrumen ekonomi, tetapi juga cermin
peradaban—ia memanifestasikan harapan, ketakutan, kekuasaan,
dan nilai-nilai yang dihidupi masyarakat. Pemahaman yang holistik terhadap uang
menuntut kita tidak hanya menguasai teknis penggunaannya, tetapi juga memaknainya
secara kritis dan etis dalam kehidupan.
Footnotes
[1]
Georg Simmel, The Philosophy of Money, trans. Tom Bottomore and
David Frisby, 3rd ed. (London: Routledge, 2004), 176–179.
[2]
Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (Cambridge:
Polity Press, 1990), 26–27.
[3]
Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844,
trans. Martin Milligan (Mineola: Dover Publications, 2007), 131.
[4]
Ibid., 132.
[5]
Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgement of
Taste, trans. Richard Nice (Cambridge: Harvard University Press, 1984),
114–116.
[6]
Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon
Press, 1885), Book I, Chapter 9.
[7]
Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism,
trans. Talcott Parsons (London: Routledge, 2001), 40–41.
[8]
M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester:
The Islamic Foundation, 1992), 108–111.
[9]
Erich Fromm, To Have or to Be?, trans. James Cohen (New York:
Harper & Row, 1976), 32–35.
8.
Kesimpulan
Dalam perjalanan
sejarahnya, uang telah berevolusi dari barang-barang kebutuhan dasar seperti
garam dan kulit binatang menjadi logam mulia, kertas, hingga bentuk paling abstrak
dalam dunia digital. Transformasi ini menunjukkan bahwa uang bukanlah entitas
yang bersifat tetap, melainkan produk sosial yang dinamis,
berkembang seiring dengan perubahan struktur ekonomi, teknologi, dan
nilai-nilai budaya suatu masyarakat.¹
Secara ekonomi, uang
terbukti menjadi instrumen vital yang memungkinkan sistem perdagangan dan
produksi berkembang dengan efisien. Fungsi-fungsi uang sebagai alat tukar,
satuan hitung, penyimpan nilai, dan standar pembayaran utang menjadi pondasi
utama bagi terbentuknya pasar modern dan sistem keuangan
global.² Namun demikian, fungsi-fungsi ini hanya dapat berjalan apabila
masyarakat memiliki kepercayaan terhadap
nilai uang, stabilitas ekonomi, dan legitimasi otoritas yang mengaturnya.³
Dalam konteks
kontemporer, kemunculan uang digital, e-money,
dan cryptocurrency
merevolusi cara manusia berinteraksi dengan uang. Teknologi mempercepat
transaksi, memperluas inklusi keuangan, dan membuka peluang baru dalam inovasi
ekonomi. Namun di sisi lain, ia juga menghadirkan tantangan serius seperti pengawasan
regulatif, kerentanan siber, dan potensi desentralisasi
kekuasaan moneter.⁴ Respon bank sentral melalui pengembangan CBDC
(Central Bank Digital Currency) adalah salah satu upaya adaptif
negara dalam mempertahankan kedaulatan sistem keuangan di era digital.⁵
Lebih dari sekadar
alat tukar, uang juga memainkan peran sosiologis dan filosofis. Ia
merepresentasikan relasi kekuasaan, kepercayaan kolektif, dan bahkan
nilai-nilai moral masyarakat. Dalam masyarakat modern, uang tidak hanya
menentukan apa yang bisa dibeli, tetapi juga sering kali menjadi indikator status
sosial, pengaruh politik, dan bahkan identitas
personal.⁶ Oleh karena itu, pemahaman tentang uang tidak cukup
hanya dari sisi teknis-ekonomi, melainkan perlu dilengkapi dengan pemikiran
kritis, historis, dan etis.
Sebagaimana
disampaikan oleh Yuval Noah Harari, uang adalah
“realitas intersubjektif yang paling sukses dalam sejarah manusia,” karena
nilainya hanya ada sejauh semua orang sepakat untuk mempercayainya.⁷ Dengan
demikian, tantangan terbesar dalam menjaga nilai uang bukanlah terletak pada
logam, kertas, atau kode digital yang membentuknya, melainkan pada stabilitas
kepercayaan kolektif yang mendasarinya.
Akhirnya, pemahaman
yang utuh tentang uang—sebagai alat, simbol, dan sistem kepercayaan—dapat
membantu kita menyikapi peran uang secara bijak, kritis,
dan proporsional
dalam kehidupan pribadi maupun dalam membentuk masyarakat yang adil dan
beradab.
Footnotes
[1]
Glyn Davies, A History of Money: From Ancient Times to the Present
Day (Cardiff: University of Wales Press, 2002), 1–3.
[2]
N. Gregory Mankiw, Principles of Economics, 8th ed. (Boston:
Cengage Learning, 2018), 580–582.
[3]
Paul Krugman and Robin Wells, Macroeconomics, 5th ed. (New
York: Worth Publishers, 2018), 363.
[4]
International Monetary Fund, “The Rise of Central Bank Digital
Currencies,” IMF Fintech Notes, No. 2020/001, 2020, 2–6.
[5]
Bank Indonesia, “Proyek Garuda: Menjawab Tantangan Masa Depan Uang
Digital,” Bank Indonesia Insight, accessed April 10, 2025, https://www.bi.go.id.
[6]
Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgement of
Taste, trans. Richard Nice (Cambridge: Harvard University Press, 1984),
114–116.
[7]
Yuval Noah Harari, Sapiens: A Brief History of Humankind
(London: Harvill Secker, 2014), 186.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1885). Politics (B. Jowett,
Trans.). Oxford: Clarendon Press.
(Asli diterbitkan sekitar abad ke-4 SM)
Bank for International Settlements. (2020). Central
bank digital currencies: Foundational principles and core features (Report
No. 1). https://www.bis.org
Bank Indonesia. (2025). Mengenal uang elektronik.
https://www.bi.go.id
Bank Indonesia. (2025). Proyek Garuda: Menjawab
tantangan masa depan uang digital. https://www.bi.go.id
Bourdieu, P. (1984). Distinction: A social
critique of the judgement of taste (R. Nice, Trans.). Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Chapra, M. U. (1992). Islam and the economic
challenge. Leicester: The Islamic Foundation.
Davies, G. (2002). A history of money: From
ancient times to the present day (3rd ed.). Cardiff: University of Wales
Press.
Ferguson, N. (2008). The ascent of money: A
financial history of the world. New York: Penguin Press.
Fromm, E. (1976). To have or to be? (J.
Cohen, Trans.). New York: Harper & Row.
Giddens, A. (1990). The consequences of
modernity. Cambridge: Polity Press.
Harari, Y. N. (2014). Sapiens: A brief history
of humankind. London: Harvill Secker.
International Monetary Fund. (2020). The rise of
central bank digital currencies (IMF Fintech Notes No. 2020/001).
Kindleberger, C. P. (1993). A financial history
of Western Europe (2nd ed.). New York: Oxford University Press.
Krugman, P., & Wells, R. (2018). Macroeconomics
(5th ed.). New York: Worth Publishers.
Maududi, A. A. (1975). Economic teachings of the
Prophet. Lahore: Islamic Publications Ltd.
Mankiw, N. G. (2018). Principles of economics
(8th ed.). Boston: Cengage Learning.
Marx, K. (2007). Economic and philosophic
manuscripts of 1844 (M. Milligan, Trans.). Mineola, NY: Dover Publications.
(Asli ditulis tahun 1844)
Mishkin, F. S. (2019). The economics of money,
banking, and financial markets (11th ed.). New York: Pearson.
Nakamoto, S. (2008). Bitcoin: A peer-to-peer
electronic cash system. https://bitcoin.org/bitcoin.pdf
Obstfeld, M., & Rogoff, K. (1996). Foundations
of international macroeconomics. Cambridge, MA: MIT Press.
Radford, R. A. (1945). The economic organization of
a P.O.W. camp. Economica, 12(48), 189–201.
Roubini, N. (2018, October). The big blockchain
lie. Project Syndicate. https://www.project-syndicate.org
Samuelson, P. A., & Nordhaus, W. D. (2010). Economics
(19th ed.). New York: McGraw-Hill.
Simmel, G. (2004). The philosophy of money
(T. Bottomore & D. Frisby, Trans., 3rd ed.). London: Routledge.
(Asli diterbitkan tahun 1900)
Smith, A. (1776). An inquiry into the nature and
causes of the wealth of nations. London: W. Strahan and T. Cadell.
Weber, M. (2001). The Protestant ethic and the
spirit of capitalism (T. Parsons, Trans.). London: Routledge.
(Asli diterbitkan tahun 1905)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar