Selasa, 29 April 2025

Uang: Sejarah, Fungsi, dan Nilai Uang dalam Perspektif Ekonomi, Sosial, dan Filosofis

Uang

Sejarah, Fungsi, dan nilai Uang dalam Perspektif Ekonomi, Sosial, dan Filosofis


Alihkan ke: Ilmu Ekonomi.


Abstrak

Artikel ini mengkaji sejarah, fungsi, dan nilai uang dalam perspektif ekonomi, sosial, dan filosofis. Dimulai dari sistem barter hingga lahirnya uang digital dan kripto, artikel ini menunjukkan bahwa uang merupakan konstruksi sosial yang terus berevolusi sesuai dengan perkembangan peradaban manusia. Uang tidak hanya dipahami sebagai alat tukar, tetapi juga sebagai satuan hitung, penyimpan nilai, dan standar pembayaran yang ditangguhkan. Nilai uang modern, terutama fiat money, ditentukan bukan oleh nilai intrinsik, melainkan oleh kepercayaan publik, kebijakan negara, dan stabilitas ekonomi. Di era digital, munculnya cryptocurrency dan Central Bank Digital Currency (CBDC) menandai transformasi besar dalam sistem moneter global. Selain itu, dari perspektif sosial dan filosofis, uang dipahami sebagai simbol kekuasaan, alat relasi sosial, dan bahkan sebagai entitas ideologis yang mempengaruhi etika serta eksistensi manusia. Melalui pendekatan interdisipliner dan berbasis referensi akademik, artikel ini memberikan pemahaman komprehensif mengenai peran dan makna uang dalam membentuk dinamika kehidupan manusia.

Kata Kunci: Uang, sejarah ekonomi, fiat money, uang digital, cryptocurrency, kepercayaan sosial, fungsi uang, CBDC, nilai uang, filsafat uang.


PEMBAHASAN

Pemahaman Komprehensif Mengenai Peran dan Makna Uang


1.           Pendahuluan

Uang adalah salah satu penemuan paling revolusioner dalam sejarah peradaban manusia. Keberadaannya tidak hanya mempermudah pertukaran barang dan jasa, tetapi juga mengubah struktur sosial, politik, dan ekonomi masyarakat secara mendalam. Dalam kehidupan sehari-hari, uang tampak sebagai sesuatu yang sederhana—alat tukar untuk membeli kebutuhan. Namun di balik kesederhanaan itu, uang menyimpan sejarah panjang tentang evolusi ide, sistem kepercayaan, dan kontrol kekuasaan.

Secara umum, uang dapat didefinisikan sebagai alat tukar yang diterima secara luas oleh masyarakat dalam transaksi ekonomi. Definisi ini mencerminkan fungsi dasarnya sebagai media yang mempermudah pertukaran, menggantikan sistem barter yang tidak efisien. Menurut N. Gregory Mankiw, uang adalah "aset yang digunakan secara reguler oleh masyarakat untuk membeli barang dan jasa dari orang lain."_¹ Definisi ini tidak hanya menekankan sifat praktis uang, tetapi juga menunjukkan peran sosialnya dalam memediasi hubungan ekonomi antarindividu.

Dalam perspektif sejarah, sistem barter menjadi fondasi awal interaksi ekonomi sebelum manusia mengenal uang. Namun, sistem tersebut memiliki kelemahan mendasar, yakni kebutuhan akan “double coincidence of wants”—situasi di mana dua pihak memiliki keinginan untuk saling menukar barang yang dimiliki masing-masing.² Kebutuhan akan alat tukar yang lebih efisien inilah yang kemudian melahirkan berbagai bentuk uang, mulai dari uang barang (seperti garam, kulit, dan logam mulia) hingga uang kertas dan uang digital yang kita kenal saat ini.

Lebih jauh, uang bukan hanya berfungsi sebagai alat tukar, tetapi juga sebagai satuan hitung, penyimpan nilai, dan alat pembayaran utang. Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus menjelaskan bahwa uang merupakan “alat serba guna dalam perekonomian modern yang memungkinkan masyarakat memisahkan kegiatan penjualan dari pembelian, sehingga menciptakan fleksibilitas ekonomi yang lebih besar.”_³

Dengan berkembangnya teknologi, uang juga mengalami transformasi digital. Kini, uang tidak hanya hadir dalam bentuk fisik, tetapi juga sebagai angka-angka elektronik di sistem perbankan. Ini menunjukkan bahwa nilai uang tidak selalu bergantung pada bentuk materialnya, melainkan pada kepercayaan masyarakat dan otoritas hukum yang mengatur dan menjaminnya.⁴

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan secara sistematis dan mendalam mengenai sejarah, fungsi, serta sumber nilai uang dalam konteks ekonomi dan peradaban manusia. Dengan pemahaman yang komprehensif, diharapkan pembaca dapat melihat uang bukan sekadar alat tukar, melainkan sebagai produk peradaban yang mencerminkan dinamika sosial, ekonomi, dan bahkan spiritual.


Footnotes

[1]                N. Gregory Mankiw, Principles of Economics, 8th ed. (Boston: Cengage Learning, 2018), 580.

[2]                Charles P. Kindleberger, A Financial History of Western Europe, 2nd ed. (New York: Oxford University Press, 1993), 29.

[3]                Paul A. Samuelson and William D. Nordhaus, Economics, 19th ed. (New York: McGraw-Hill, 2010), 453.

[4]                Yuval Noah Harari, Sapiens: A Brief History of Humankind (London: Harvill Secker, 2014), 186.


2.           Pengertian Uang Menurut Para Ahli

Pemahaman mengenai uang telah mengalami perkembangan seiring dengan kompleksitas sistem ekonomi dan dinamika masyarakat. Dalam ilmu ekonomi, uang tidak hanya dipahami sebagai benda fisik yang digunakan untuk membeli barang dan jasa, tetapi juga sebagai suatu konstruksi sosial dan simbol nilai yang disepakati bersama. Berbagai definisi telah diajukan oleh para ekonom dan institusi keuangan untuk menjelaskan apa itu uang, fungsi-fungsinya, dan perannya dalam kehidupan ekonomi.

Salah satu definisi yang paling dikenal luas berasal dari N. Gregory Mankiw, yang menyatakan bahwa "uang adalah segala sesuatu yang secara umum digunakan oleh masyarakat untuk membeli barang dan jasa atau membayar utang."_¹ Definisi ini menekankan aspek fungsi sosial dan penerimaan umum (acceptability) dari uang sebagai instrumen pertukaran. Konsep ini juga menunjukkan bahwa uang tidak harus selalu berupa logam mulia atau kertas cetakan negara, selama ia diterima secara luas dalam suatu komunitas ekonomi.

Sementara itu, menurut Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus, uang adalah "alat yang memungkinkan masyarakat untuk memisahkan kegiatan penjualan dan pembelian, serta memperlancar transaksi ekonomi dengan efisien."_² Mereka menekankan bahwa uang adalah sarana penghubung yang penting dalam menciptakan pasar yang dinamis dan memungkinkan spesialisasi serta pembagian kerja dalam sistem ekonomi modern.

Dalam literatur klasik, Adam Smith tidak secara eksplisit memberikan definisi teknis mengenai uang, tetapi dalam karyanya The Wealth of Nations, ia menjelaskan bahwa uang adalah hasil dari kebutuhan praktis untuk mengatasi keterbatasan sistem barter.³ Ini menunjukkan bahwa uang dipandang sebagai solusi historis atas kesulitan pertukaran langsung.

Karl Marx, dalam perspektif kritisnya, mendefinisikan uang sebagai bentuk manifestasi dari nilai kerja komoditas yang telah mengalami "reifikasi" (pemfosilan sosial).⁴ Bagi Marx, uang bukan hanya alat tukar, tetapi juga cermin dari relasi kuasa dalam sistem kapitalisme, di mana nilai-nilai sosial direduksi menjadi nilai tukar ekonomi.

Adapun Bank Indonesia, sebagai otoritas moneter nasional, mendefinisikan uang sebagai “segala sesuatu yang dapat diterima secara umum sebagai alat pembayaran yang sah di suatu wilayah tertentu.”_⁵ Definisi ini mencerminkan pendekatan legalistik yang menempatkan uang dalam kerangka sistem hukum dan otoritas negara.

Berbagai definisi ini menunjukkan bahwa uang adalah konsep multidimensional: ia adalah alat ekonomi, produk sejarah, dan sekaligus fenomena sosial yang tidak bisa dilepaskan dari konteks budaya, hukum, dan politik suatu masyarakat. Oleh karena itu, memahami pengertian uang dari berbagai perspektif membantu kita untuk lebih kritis dalam memaknai perannya dalam kehidupan sehari-hari.


Footnotes

[1]                N. Gregory Mankiw, Principles of Economics, 8th ed. (Boston: Cengage Learning, 2018), 580.

[2]                Paul A. Samuelson and William D. Nordhaus, Economics, 19th ed. (New York: McGraw-Hill, 2010), 453.

[3]                Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776), Book I, Chapter IV.

[4]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Vol. 1, trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 163–168.

[5]                Bank Indonesia, “Uang dan Kebanksentralan,” Materi Literasi Ekonomi dan Keuangan, accessed April 10, 2025, https://www.bi.go.id.


3.           Sejarah dan Evolusi Uang

Sejarah uang mencerminkan dinamika perubahan dalam peradaban manusia, dari pertukaran barang secara langsung hingga pada sistem moneter digital yang kompleks. Perkembangan ini tidak hanya berkaitan dengan kemajuan teknologi, tetapi juga dengan kemajuan dalam hal kepercayaan, sistem hukum, dan pengelolaan kekuasaan ekonomi.

3.1.       Sistem Barter

Sebelum mengenal uang, manusia menggunakan sistem barter sebagai bentuk pertukaran ekonomi yang paling awal. Barter mengandalkan prinsip saling tukar barang atau jasa berdasarkan kebutuhan masing-masing pihak. Meski sederhana, sistem ini memiliki kelemahan mendasar, yaitu ketergantungan pada double coincidence of wants, yakni kedua pihak harus sama-sama memiliki dan menginginkan barang yang ditawarkan satu sama lain.¹ Kelemahan ini membuat barter tidak efisien dalam masyarakat yang semakin kompleks dan berkembang.

3.2.       Uang Barang (Commodity Money)

Untuk mengatasi kesulitan barter, masyarakat mulai menggunakan barang-barang tertentu yang dianggap bernilai tinggi dan diterima secara umum sebagai alat tukar. Bentuk awal dari uang ini disebut sebagai uang barang (commodity money). Contohnya meliputi garam di Ethiopia, kulit binatang di Rusia, atau biji kakao di Amerika Tengah.² Barang-barang tersebut memiliki nilai intrinsik karena dapat digunakan langsung atau memiliki kelangkaan yang nyata. Uang barang ini menjadi awal dari kesadaran masyarakat bahwa nilai tukar dapat dinyatakan dalam satuan standar.

3.3.       Uang Logam

Sekitar abad ke-7 SM, masyarakat Lydia (kini bagian dari Turki) dikenal sebagai yang pertama kali mencetak uang logam dari emas dan perak, yang diberi cap resmi untuk menjamin bobot dan keasliannya.³ Penggunaan logam mulia memberikan keunggulan karena tahan lama, mudah dibagi, dan memiliki nilai yang relatif stabil. Dalam peradaban Islam, uang logam seperti dinar (emas) dan dirham (perak) menjadi alat tukar resmi yang disesuaikan dengan timbangan syar’i.⁴

Uang logam juga menandai awal dari intervensi negara dalam sistem moneter. Kekuasaan penguasa dalam mencetak dan mengatur nilai uang menciptakan hubungan erat antara uang dan otoritas politik, sebuah prinsip yang bertahan hingga hari ini dalam bentuk bank sentral.

3.4.       Uang Kertas

Seiring perkembangan perdagangan, uang logam menjadi tidak praktis dalam jumlah besar. Muncullah uang kertas sebagai bentuk janji tertulis yang dapat ditukarkan kembali dengan logam mulia. Inovasi ini pertama kali berkembang di Tiongkok pada masa Dinasti Tang dan Song, lalu menyebar ke dunia Islam dan Eropa.⁵ Di Eropa, bankir swasta dan pemerintah mulai menerbitkan surat berharga atau banknote yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran.

Namun, sejak abad ke-20, sistem standar emas (gold standard) mulai ditinggalkan dan uang kertas tidak lagi dijamin oleh emas, melainkan hanya berdasarkan kepercayaan terhadap pemerintah yang mengeluarkannya. Inilah yang disebut sebagai fiat money, yaitu uang yang bernilai karena ditetapkan oleh hukum, bukan karena memiliki nilai intrinsik.⁶

3.5.       Uang Digital dan Elektronik

Memasuki abad ke-21, uang mengalami transformasi besar melalui digitalisasi. Kini, sebagian besar uang tidak lagi berwujud fisik, melainkan hadir dalam bentuk saldo elektronik, baik melalui sistem perbankan maupun aplikasi dompet digital. Transaksi elektronik, kartu debit, dan QR code menjadi bagian dari kehidupan ekonomi global. Selain itu, muncul pula cryptocurrency seperti Bitcoin, yang meskipun belum diterima secara universal, menunjukkan potensi bentuk uang yang terdesentralisasi dan berbasis teknologi blockchain.⁷

Perkembangan ini menunjukkan bahwa fungsi uang tetap sama, namun bentuk dan medianya terus berubah sesuai kemajuan teknologi, struktur sosial, dan sistem kepercayaan yang menopangnya.


Footnotes

[1]                Charles P. Kindleberger, A Financial History of Western Europe, 2nd ed. (New York: Oxford University Press, 1993), 29.

[2]                Glyn Davies, A History of Money: From Ancient Times to the Present Day (Cardiff: University of Wales Press, 2002), 45.

[3]                Richard A. Radford, "The Economic Organization of a P.O.W. Camp," Economica 12, no. 48 (1945): 189–201.

[4]                Abul A'la Maududi, Economic Teachings of the Prophet (Lahore: Islamic Publications Ltd., 1975), 121–123.

[5]                Robert Mundell, “The Birth of Coinage,” Columbia University Working Paper, 2000, https://www.columbia.edu.

[6]                Niall Ferguson, The Ascent of Money: A Financial History of the World (New York: Penguin Press, 2008), 40–43.

[7]                Satoshi Nakamoto, “Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System,” 2008, https://bitcoin.org/bitcoin.pdf.


4.           Fungsi-fungsi Uang

Fungsi uang merupakan aspek kunci yang menjelaskan mengapa uang menjadi elemen fundamental dalam sistem ekonomi. Dalam kerangka ekonomi klasik dan modern, uang tidak hanya dipandang sebagai alat tukar, tetapi juga sebagai sarana penting untuk mengukur, menyimpan, dan menyelesaikan nilai ekonomi. Para ekonom umumnya mengakui empat fungsi utama uang: alat tukar, satuan hitung, penyimpan nilai, dan standar pembayaran yang ditangguhkan.

4.1.       Alat Tukar (Medium of Exchange)

Fungsi utama uang adalah sebagai alat tukar yang memfasilitasi transaksi ekonomi antara berbagai pihak. Dalam sistem barter, transaksi memerlukan kesesuaian keinginan antara dua pihak yang terlibat—suatu kondisi yang disebut sebagai double coincidence of wants. Uang menghilangkan kebutuhan akan kecocokan ini dengan menyediakan sarana pertukaran yang diterima secara luas.¹

Menurut Mankiw, uang memungkinkan individu untuk memperoleh barang dan jasa tanpa harus menyediakan barang atau jasa yang diinginkan oleh pihak lain secara langsung, sehingga meningkatkan efisiensi dan spesialisasi dalam produksi.² Dalam pandangan ini, uang berperan sebagai pelumas roda perdagangan yang mempercepat arus barang dan jasa dalam pasar.

4.2.       Satuan Hitung (Unit of Account)

Uang juga berfungsi sebagai satuan hitung, yaitu alat untuk mengukur dan membandingkan nilai barang dan jasa secara kuantitatif. Fungsi ini memungkinkan harga barang ditentukan secara seragam dan konsisten, sehingga memudahkan dalam perencanaan ekonomi, pengambilan keputusan, dan pelaporan akuntansi.³

Misalnya, tanpa uang sebagai satuan hitung, harga barang harus dinyatakan dalam perbandingan langsung dengan barang lain (seperti dalam barter), yang akan sangat rumit jika jumlah barang yang diperjualbelikan sangat banyak. Dalam sistem pasar, uang menyederhanakan informasi ekonomi dan menjadi dasar bagi sistem harga yang rasional.

4.3.       Penyimpan Nilai (Store of Value)

Uang dapat digunakan sebagai penyimpan nilai, artinya uang dapat disimpan dan digunakan di masa depan untuk membeli barang atau jasa.⁴ Fungsi ini membuat uang dapat digunakan tidak hanya untuk konsumsi saat ini, tetapi juga sebagai sarana menabung atau berinvestasi.

Namun, fungsi ini sangat tergantung pada stabilitas nilai uang itu sendiri. Dalam kondisi inflasi yang tinggi, uang kehilangan kemampuannya untuk menyimpan nilai karena daya belinya menurun dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, stabilitas ekonomi menjadi syarat penting agar fungsi ini berjalan secara efektif.

4.4.       Alat Pembayaran yang Ditangguhkan (Standard of Deferred Payment)

Fungsi keempat dari uang adalah sebagai alat pembayaran yang ditangguhkan, yaitu kemampuan uang untuk digunakan dalam penyelesaian transaksi yang dilakukan secara kredit. Dalam konteks ini, uang menjadi standar dalam kontrak utang-piutang, baik dalam perdagangan maupun lembaga keuangan.⁵

Fungsi ini memerlukan adanya kepercayaan terhadap stabilitas dan legalitas uang dalam jangka panjang. Oleh karena itu, peran negara atau otoritas moneter sangat penting dalam menjamin bahwa uang tetap sah dan diterima di masa depan.


Fungsi-fungsi uang ini tidak bersifat terpisah, melainkan saling berkaitan satu sama lain. Keberhasilan suatu sistem moneter ditentukan oleh seberapa baik uang dapat menjalankan keempat fungsi tersebut secara bersamaan. Dalam praktiknya, kemajuan teknologi dan inovasi keuangan terus menguji batas-batas fungsi uang ini, terutama dengan munculnya bentuk-bentuk baru seperti uang digital dan kripto yang menantang otoritas moneter tradisional.


Footnotes

[1]                Charles P. Kindleberger, A Financial History of Western Europe, 2nd ed. (New York: Oxford University Press, 1993), 29.

[2]                N. Gregory Mankiw, Principles of Economics, 8th ed. (Boston: Cengage Learning, 2018), 581.

[3]                Paul A. Samuelson and William D. Nordhaus, Economics, 19th ed. (New York: McGraw-Hill, 2010), 455.

[4]                Glyn Davies, A History of Money: From Ancient Times to the Present Day (Cardiff: University of Wales Press, 2002), 59–60.

[5]                Frederic S. Mishkin, The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, 11th ed. (New York: Pearson, 2019), 64.


5.           Sumber dan Dasar Nilai Uang

Nilai uang merupakan fondasi utama dari keberfungsian sistem moneter. Tanpa adanya kepercayaan terhadap nilai yang melekat pada uang, alat tukar ini kehilangan daya gunanya. Namun, yang menarik adalah bahwa nilai uang modern tidak bersumber dari kandungan fisik atau logam mulia, melainkan dari faktor-faktor abstrak seperti kepercayaan, peraturan hukum, dan kebijakan ekonomi. Pemahaman mengenai sumber dan dasar nilai uang penting untuk menjelaskan mengapa uang dapat digunakan secara luas dan tetap memiliki daya beli di tengah perubahan bentuk dan media.

5.1.       Nilai Intrinsik vs Nilai Nominal

Dalam sejarah ekonomi, dikenal dua jenis nilai uang: nilai intrinsik dan nilai nominal. Nilai intrinsik merujuk pada nilai bahan fisik dari uang itu sendiri—misalnya emas atau perak dalam uang logam kuno—yang memiliki nilai pasar meskipun tidak digunakan sebagai uang.¹ Sebaliknya, nilai nominal adalah nilai yang tercetak atau dinyatakan dalam satuan mata uang, yang sering kali jauh lebih tinggi dari nilai fisiknya. Dalam konteks uang modern (fiat money), nilai nominal menjadi dominan, karena uang tidak lagi didukung oleh komoditas fisik apa pun.

5.2.       Uang sebagai Fiat Money

Sejak ditinggalkannya standar emas secara global pada abad ke-20, hampir seluruh mata uang dunia kini berbentuk fiat money—yaitu uang yang nilainya tidak dijamin oleh emas atau barang berharga lainnya, tetapi ditetapkan oleh otoritas hukum dan diterima karena kepercayaan publik.² Paul Krugman menegaskan bahwa kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah untuk menjaga kestabilan ekonomi dan moneter menjadi elemen utama dalam menopang nilai uang fiat.³

Konsep ini menggeser peran uang dari benda bernilai menjadi simbol hukum dan kepercayaan sosial. Pemerintah, melalui undang-undang dan otoritas bank sentral, menetapkan bahwa uang tersebut legal tender, yaitu alat pembayaran sah yang wajib diterima untuk menyelesaikan kewajiban finansial.

5.3.       Peran Bank Sentral dalam Menjaga Nilai Uang

Bank sentral memegang peran krusial dalam mengelola nilai uang melalui kebijakan moneter. Salah satu fungsi utama bank sentral adalah menjaga stabilitas harga, yaitu mengendalikan inflasi agar daya beli uang tidak terus menurun.⁴ Jika jumlah uang beredar terlalu banyak tanpa dukungan pertumbuhan ekonomi yang seimbang, maka inflasi akan terjadi dan menurunkan nilai riil uang.

Menurut Frederic S. Mishkin, pengendalian inflasi melalui suku bunga, operasi pasar terbuka, dan pengawasan sektor perbankan merupakan alat utama bank sentral untuk menjaga agar uang tetap dipercaya dan nilainya stabil.⁵ Tanpa pengelolaan yang hati-hati, kepercayaan masyarakat bisa hilang dan uang tidak lagi berfungsi dengan efektif.

5.4.       Faktor-faktor Eksternal yang Mempengaruhi Nilai Uang

Selain kebijakan internal, nilai uang juga dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal seperti:

·                     Permintaan dan penawaran uang di pasar

·                     Kondisi ekonomi global

·                     Tingkat kepercayaan terhadap pemerintah dan lembaga keuangan

·                     Stabilitas politik dan sosial

Fluktuasi nilai tukar mata uang, misalnya, mencerminkan penilaian pasar global terhadap kekuatan ekonomi suatu negara. Negara dengan defisit anggaran besar atau konflik politik biasanya akan mengalami penurunan nilai mata uang karena berkurangnya kepercayaan investor.⁶

5.5.       Perspektif Sosiologis dan Psikologis: Uang sebagai Kepercayaan Kolektif

Nilai uang juga dapat dipahami dari perspektif sosiologis. Yuval Noah Harari menyatakan bahwa uang adalah salah satu bentuk realitas intersubjektif terbesar dalam sejarah manusia—ia tidak memiliki nilai objektif, tetapi bertahan karena keyakinan bersama bahwa uang memiliki nilai.⁷ Maka, nilai uang lebih merupakan hasil dari kontrak sosial dan narasi bersama, bukan sekadar logam, kertas, atau angka digital.


Dengan demikian, nilai uang modern tidak ditentukan oleh wujud fisik atau jaminan emas, melainkan oleh kepercayaan kolektif yang dipelihara oleh institusi negara, hukum, dan kebijakan ekonomi. Dalam dunia yang semakin kompleks dan digital, menjaga kepercayaan ini menjadi lebih penting dari sebelumnya.


Footnotes

[1]                Glyn Davies, A History of Money: From Ancient Times to the Present Day (Cardiff: University of Wales Press, 2002), 59–62.

[2]                Niall Ferguson, The Ascent of Money: A Financial History of the World (New York: Penguin Press, 2008), 42–44.

[3]                Paul Krugman and Robin Wells, Macroeconomics, 5th ed. (New York: Worth Publishers, 2018), 363.

[4]                Bank Indonesia, “Stabilitas Nilai Rupiah,” Bank Indonesia Official Website, accessed April 10, 2025, https://www.bi.go.id.

[5]                Frederic S. Mishkin, The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, 11th ed. (New York: Pearson, 2019), 138–145.

[6]                Maurice Obstfeld, Kenneth Rogoff, Foundations of International Macroeconomics (Cambridge: MIT Press, 1996), 581–583.

[7]                Yuval Noah Harari, Sapiens: A Brief History of Humankind (London: Harvill Secker, 2014), 186.


6.           Perkembangan Modern: Uang Digital dan Kripto

Perkembangan teknologi digital telah membawa transformasi besar dalam cara manusia memahami dan menggunakan uang. Dari uang kertas dan logam, kini dunia bergerak ke arah sistem pembayaran nontunai, uang digital, dan bahkan mata uang kripto. Evolusi ini tidak hanya mengubah bentuk fisik uang, tetapi juga menantang otoritas moneter konvensional serta konsep dasar mengenai nilai, kepercayaan, dan peran negara dalam sistem keuangan.

6.1.       Uang Digital dan Elektronik

Uang digital merujuk pada bentuk uang yang disimpan dan ditransaksikan secara elektronik. Bentuk ini mencakup berbagai inovasi seperti e-money, mobile banking, dan dompet digital (e-wallet) seperti GoPay, OVO, Dana, dan lainnya.¹ Menurut Bank for International Settlements (BIS), uang digital memiliki karakteristik sebagai "alat pembayaran berbasis data dan sistem terpusat atau terdesentralisasi yang dapat diakses melalui perangkat elektronik".²

Di Indonesia, Bank Indonesia mengklasifikasikan uang elektronik sebagai alat pembayaran yang diterbitkan berdasarkan nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit (prepaid).³ Bentuk uang ini semakin populer karena memberikan kemudahan, kecepatan, dan efisiensi dalam transaksi sehari-hari, baik di sektor formal maupun informal.

Transformasi ini memperkuat tren menuju cashless society, di mana uang fisik semakin tergantikan oleh data digital yang terintegrasi dalam sistem perbankan dan teknologi finansial (fintech). Namun, perkembangan ini juga menimbulkan tantangan baru, seperti keamanan siber, inklusi keuangan, dan risiko privasi data.

6.2.       Central Bank Digital Currency (CBDC)

Sebagai respons atas perkembangan teknologi dan munculnya kripto, banyak bank sentral mulai merancang Central Bank Digital Currency (CBDC), yaitu bentuk uang digital yang dikeluarkan langsung oleh bank sentral dan memiliki status legal tender.⁴

CBDC dimaksudkan untuk mempertahankan kendali negara atas sistem moneter, sekaligus menjawab kebutuhan masyarakat akan instrumen pembayaran digital yang aman dan stabil. Bank Indonesia sendiri tengah mengembangkan Proyek Garuda sebagai inisiatif eksplorasi atas potensi rupiah digital.⁵

6.3.       Cryptocurrency: Uang atau Aset Digital?

Salah satu terobosan paling kontroversial dalam sejarah keuangan modern adalah munculnya cryptocurrency, dengan Bitcoin sebagai pelopornya pada tahun 2009 oleh sosok anonim bernama Satoshi Nakamoto.⁶ Cryptocurrency menggunakan teknologi blockchain untuk mencatat transaksi secara terdesentralisasi dan terenkripsi, tanpa memerlukan perantara seperti bank atau otoritas moneter.

Bitcoin dan aset kripto lainnya sering disebut sebagai "uang tanpa negara", karena tidak bergantung pada otoritas sentral mana pun.⁷ Namun, keberadaannya memunculkan perdebatan: apakah cryptocurrency dapat dianggap sebagai uang dalam pengertian ekonomi klasik? Sebagian besar ekonom menilai bahwa saat ini, cryptocurrency lebih tepat disebut aset spekulatif, bukan alat tukar utama, karena volatilitas harganya yang tinggi dan keterbatasan penerimaan di masyarakat luas.⁸

Meskipun demikian, teknologi di balik kripto—yakni blockchain—dianggap sebagai inovasi penting dalam pencatatan keuangan yang transparan dan aman. Penggunaan kripto juga menggugah diskusi baru tentang desentralisasi nilai, kebebasan ekonomi, dan tantangan terhadap hegemoni mata uang konvensional.

6.4.       Tantangan dan Prospek Masa Depan

Uang digital dan kripto menawarkan banyak peluang, namun juga membawa tantangan besar:

·                     Regulasi dan pengawasan terhadap transaksi digital dan aset kripto yang lintas batas

·                     Kesenjangan digital yang dapat memperlebar ketidaksetaraan akses ke sistem keuangan

·                     Keamanan siber dan risiko pencucian uang melalui sistem yang sulit dilacak

Ke depan, kemungkinan besar kita akan hidup dalam sistem keuangan yang hibrida, di mana uang kertas, uang digital resmi, dan teknologi blockchain saling berinteraksi. Tantangan utama adalah bagaimana memastikan bahwa transisi ini tetap inklusif, stabil, dan terpercaya.


Footnotes

[1]                Bank Indonesia, “Mengenal Uang Elektronik,” Bank Indonesia Official Website, accessed April 10, 2025, https://www.bi.go.id.

[2]                Bank for International Settlements, “Central Bank Digital Currencies: Foundational Principles and Core Features,” BIS Report No. 1, October 2020, 5.

[3]                Ibid.

[4]                International Monetary Fund, “The Rise of Central Bank Digital Currencies,” IMF Fintech Notes, No. 2020/001, 2020, 2–4.

[5]                Bank Indonesia, “Proyek Garuda: Menjawab Tantangan Masa Depan Uang Digital,” Bank Indonesia Insight, accessed April 10, 2025, https://www.bi.go.id.

[6]                Satoshi Nakamoto, “Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System,” 2008, https://bitcoin.org/bitcoin.pdf.

[7]                Niall Ferguson, The Ascent of Money: A Financial History of the World (New York: Penguin Press, 2008), 294.

[8]                Nouriel Roubini, “The Big Blockchain Lie,” Project Syndicate, October 2018, https://www.project-syndicate.org.


7.           Uang dalam Perspektif Sosial dan Filosofis

Di luar dimensi ekonomi dan teknis, uang juga memiliki makna yang dalam dalam ranah sosial dan filosofis. Sebagai simbol nilai dan kekuasaan, uang mempengaruhi tidak hanya cara manusia bertukar barang dan jasa, tetapi juga bagaimana mereka membangun hubungan sosial, struktur kekuasaan, dan bahkan pandangan hidup. Uang menjadi representasi dari sistem kepercayaan kolektif, dan karenanya memainkan peran ideologis dan budaya yang sangat kuat dalam peradaban manusia.

7.1.       Uang sebagai Konstruksi Sosial

Secara sosiologis, uang tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial yang melahirkannya. Ia tidak memiliki nilai objektif, melainkan dihasilkan dari kesepakatan bersama untuk mengakui dan menerima sesuatu sebagai alat tukar. Hal ini ditegaskan oleh Georg Simmel, yang menyatakan bahwa uang merupakan salah satu bentuk tertinggi dari relasi sosial modern karena ia mewujudkan proses abstraksi dari nilai-nilai sosial menjadi satuan moneter.¹ Dalam pandangan ini, uang bukan hanya alat tukar, tetapi juga abstraksi dari kepercayaan dan kontrak sosial.

Lebih jauh, uang membentuk pola hubungan antarmanusia yang lebih impersonal. Ketika relasi pertukaran dimediasi oleh uang, hubungan personal yang sebelumnya berbasis barter atau patronase digantikan oleh mekanisme ekonomi yang netral dan seragam. Ini membuat masyarakat menjadi lebih rasional dalam pertukaran, tetapi juga lebih terfragmentasi dalam hubungan sosial

7.2.       Uang sebagai Simbol Kekuasaan dan Ketimpangan

Dalam filsafat sosial kritis, uang sering dianggap sebagai alat hegemoni dan kontrol. Karl Marx, misalnya, melihat uang sebagai bentuk “kekuasaan sosial yang terasing”, yang mampu mengubah semua kualitas menjadi kuantitas.³ Ia menulis bahwa uang dapat mengubah keberanian menjadi kepengecutan, cinta menjadi komoditas, dan martabat menjadi angka.⁴ Dalam konteks ini, uang dipahami sebagai instrumen reifikasi, yaitu ketika hubungan sosial direduksi menjadi relasi antara benda-benda ekonomi.

Sementara itu, Pierre Bourdieu menyatakan bahwa uang adalah bentuk modal simbolik yang beroperasi dalam struktur sosial sebagai alat legitimasi dan penguasaan.⁵ Siapa yang menguasai uang, menguasai akses terhadap pendidikan, politik, dan bahkan budaya.

Dengan demikian, uang tidak hanya mencerminkan nilai tukar, tetapi juga menentukan siapa yang memiliki kekuasaan dan siapa yang tidak, baik dalam skala individu maupun negara. Ketimpangan distribusi uang menciptakan ketimpangan kesempatan dan struktur sosial yang hirarkis.

7.3.       Uang dan Nilai-nilai Moral

Dalam perspektif etika, uang telah lama menjadi subjek perdebatan filosofis. Dalam filsafat klasik, misalnya, Aristoteles membedakan antara “ekonomia” (pengelolaan rumah tangga untuk kebutuhan hidup) dan “chrematistik” (pencarian uang demi uang). Aristoteles memandang bahwa pengejaran uang sebagai tujuan itu sendiri merupakan bentuk penyimpangan moral.⁶

Sementara itu, ajaran-ajaran agama—termasuk Islam, Kristen, dan Yahudi—menegaskan bahwa uang bukanlah tujuan, melainkan alat. Pengumpulan uang secara berlebihan, ketamakan, dan praktik riba dianggap merusak tatanan sosial dan moral.⁷ Dalam Islam, misalnya, uang tidak boleh menghasilkan uang dengan cara yang tidak adil atau eksploitatif, dan harus digunakan dalam transaksi yang nyata dan halal.⁸

Dengan kata lain, uang harus berada dalam kendali etika dan nilai-nilai moral, bukan menjadi entitas yang menentukan etika itu sendiri.

7.4.       Uang dan Eksistensi Manusia

Dari sudut pandang filsafat eksistensial, uang sering dipertanyakan dalam kaitannya dengan makna hidup manusia. Dalam masyarakat kapitalistik modern, pencarian uang seringkali diasosiasikan dengan kesuksesan, prestise, dan status sosial, sehingga nilai-nilai intrinsik manusia seperti kasih sayang, solidaritas, dan spiritualitas terpinggirkan.

Menurut Erich Fromm, manusia modern telah berpindah dari being (menjadi) ke having (memiliki), di mana keberadaan seseorang diukur dari seberapa banyak ia memiliki, bukan siapa dirinya.⁹ Uang dalam konteks ini menjadi simbol dari alienasi manusia terhadap esensi kemanusiaannya sendiri.


Dengan demikian, uang tidak sekadar instrumen ekonomi, tetapi juga cermin peradaban—ia memanifestasikan harapan, ketakutan, kekuasaan, dan nilai-nilai yang dihidupi masyarakat. Pemahaman yang holistik terhadap uang menuntut kita tidak hanya menguasai teknis penggunaannya, tetapi juga memaknainya secara kritis dan etis dalam kehidupan.


Footnotes

[1]                Georg Simmel, The Philosophy of Money, trans. Tom Bottomore and David Frisby, 3rd ed. (London: Routledge, 2004), 176–179.

[2]                Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (Cambridge: Polity Press, 1990), 26–27.

[3]                Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, trans. Martin Milligan (Mineola: Dover Publications, 2007), 131.

[4]                Ibid., 132.

[5]                Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, trans. Richard Nice (Cambridge: Harvard University Press, 1984), 114–116.

[6]                Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1885), Book I, Chapter 9.

[7]                Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, trans. Talcott Parsons (London: Routledge, 2001), 40–41.

[8]                M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester: The Islamic Foundation, 1992), 108–111.

[9]                Erich Fromm, To Have or to Be?, trans. James Cohen (New York: Harper & Row, 1976), 32–35.


8.           Kesimpulan

Dalam perjalanan sejarahnya, uang telah berevolusi dari barang-barang kebutuhan dasar seperti garam dan kulit binatang menjadi logam mulia, kertas, hingga bentuk paling abstrak dalam dunia digital. Transformasi ini menunjukkan bahwa uang bukanlah entitas yang bersifat tetap, melainkan produk sosial yang dinamis, berkembang seiring dengan perubahan struktur ekonomi, teknologi, dan nilai-nilai budaya suatu masyarakat.¹

Secara ekonomi, uang terbukti menjadi instrumen vital yang memungkinkan sistem perdagangan dan produksi berkembang dengan efisien. Fungsi-fungsi uang sebagai alat tukar, satuan hitung, penyimpan nilai, dan standar pembayaran utang menjadi pondasi utama bagi terbentuknya pasar modern dan sistem keuangan global.² Namun demikian, fungsi-fungsi ini hanya dapat berjalan apabila masyarakat memiliki kepercayaan terhadap nilai uang, stabilitas ekonomi, dan legitimasi otoritas yang mengaturnya.³

Dalam konteks kontemporer, kemunculan uang digital, e-money, dan cryptocurrency merevolusi cara manusia berinteraksi dengan uang. Teknologi mempercepat transaksi, memperluas inklusi keuangan, dan membuka peluang baru dalam inovasi ekonomi. Namun di sisi lain, ia juga menghadirkan tantangan serius seperti pengawasan regulatif, kerentanan siber, dan potensi desentralisasi kekuasaan moneter.⁴ Respon bank sentral melalui pengembangan CBDC (Central Bank Digital Currency) adalah salah satu upaya adaptif negara dalam mempertahankan kedaulatan sistem keuangan di era digital.⁵

Lebih dari sekadar alat tukar, uang juga memainkan peran sosiologis dan filosofis. Ia merepresentasikan relasi kekuasaan, kepercayaan kolektif, dan bahkan nilai-nilai moral masyarakat. Dalam masyarakat modern, uang tidak hanya menentukan apa yang bisa dibeli, tetapi juga sering kali menjadi indikator status sosial, pengaruh politik, dan bahkan identitas personal.⁶ Oleh karena itu, pemahaman tentang uang tidak cukup hanya dari sisi teknis-ekonomi, melainkan perlu dilengkapi dengan pemikiran kritis, historis, dan etis.

Sebagaimana disampaikan oleh Yuval Noah Harari, uang adalah “realitas intersubjektif yang paling sukses dalam sejarah manusia,” karena nilainya hanya ada sejauh semua orang sepakat untuk mempercayainya.⁷ Dengan demikian, tantangan terbesar dalam menjaga nilai uang bukanlah terletak pada logam, kertas, atau kode digital yang membentuknya, melainkan pada stabilitas kepercayaan kolektif yang mendasarinya.

Akhirnya, pemahaman yang utuh tentang uang—sebagai alat, simbol, dan sistem kepercayaan—dapat membantu kita menyikapi peran uang secara bijak, kritis, dan proporsional dalam kehidupan pribadi maupun dalam membentuk masyarakat yang adil dan beradab.


Footnotes

[1]                Glyn Davies, A History of Money: From Ancient Times to the Present Day (Cardiff: University of Wales Press, 2002), 1–3.

[2]                N. Gregory Mankiw, Principles of Economics, 8th ed. (Boston: Cengage Learning, 2018), 580–582.

[3]                Paul Krugman and Robin Wells, Macroeconomics, 5th ed. (New York: Worth Publishers, 2018), 363.

[4]                International Monetary Fund, “The Rise of Central Bank Digital Currencies,” IMF Fintech Notes, No. 2020/001, 2020, 2–6.

[5]                Bank Indonesia, “Proyek Garuda: Menjawab Tantangan Masa Depan Uang Digital,” Bank Indonesia Insight, accessed April 10, 2025, https://www.bi.go.id.

[6]                Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, trans. Richard Nice (Cambridge: Harvard University Press, 1984), 114–116.

[7]                Yuval Noah Harari, Sapiens: A Brief History of Humankind (London: Harvill Secker, 2014), 186.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1885). Politics (B. Jowett, Trans.). Oxford: Clarendon Press.
(Asli diterbitkan sekitar abad ke-4 SM)

Bank for International Settlements. (2020). Central bank digital currencies: Foundational principles and core features (Report No. 1). https://www.bis.org

Bank Indonesia. (2025). Mengenal uang elektronik. https://www.bi.go.id

Bank Indonesia. (2025). Proyek Garuda: Menjawab tantangan masa depan uang digital. https://www.bi.go.id

Bourdieu, P. (1984). Distinction: A social critique of the judgement of taste (R. Nice, Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Chapra, M. U. (1992). Islam and the economic challenge. Leicester: The Islamic Foundation.

Davies, G. (2002). A history of money: From ancient times to the present day (3rd ed.). Cardiff: University of Wales Press.

Ferguson, N. (2008). The ascent of money: A financial history of the world. New York: Penguin Press.

Fromm, E. (1976). To have or to be? (J. Cohen, Trans.). New York: Harper & Row.

Giddens, A. (1990). The consequences of modernity. Cambridge: Polity Press.

Harari, Y. N. (2014). Sapiens: A brief history of humankind. London: Harvill Secker.

International Monetary Fund. (2020). The rise of central bank digital currencies (IMF Fintech Notes No. 2020/001).

Kindleberger, C. P. (1993). A financial history of Western Europe (2nd ed.). New York: Oxford University Press.

Krugman, P., & Wells, R. (2018). Macroeconomics (5th ed.). New York: Worth Publishers.

Maududi, A. A. (1975). Economic teachings of the Prophet. Lahore: Islamic Publications Ltd.

Mankiw, N. G. (2018). Principles of economics (8th ed.). Boston: Cengage Learning.

Marx, K. (2007). Economic and philosophic manuscripts of 1844 (M. Milligan, Trans.). Mineola, NY: Dover Publications.
(Asli ditulis tahun 1844)

Mishkin, F. S. (2019). The economics of money, banking, and financial markets (11th ed.). New York: Pearson.

Nakamoto, S. (2008). Bitcoin: A peer-to-peer electronic cash system. https://bitcoin.org/bitcoin.pdf

Obstfeld, M., & Rogoff, K. (1996). Foundations of international macroeconomics. Cambridge, MA: MIT Press.

Radford, R. A. (1945). The economic organization of a P.O.W. camp. Economica, 12(48), 189–201.

Roubini, N. (2018, October). The big blockchain lie. Project Syndicate. https://www.project-syndicate.org

Samuelson, P. A., & Nordhaus, W. D. (2010). Economics (19th ed.). New York: McGraw-Hill.

Simmel, G. (2004). The philosophy of money (T. Bottomore & D. Frisby, Trans., 3rd ed.). London: Routledge.
(Asli diterbitkan tahun 1900)

Smith, A. (1776). An inquiry into the nature and causes of the wealth of nations. London: W. Strahan and T. Cadell.

Weber, M. (2001). The Protestant ethic and the spirit of capitalism (T. Parsons, Trans.). London: Routledge.
(Asli diterbitkan tahun 1905)


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar