Kamis, 17 April 2025

Aliran Metafisik: Konsep, Tokoh, dan Relevansinya

Aliran Metafisik

Konsep, Tokoh, dan Relevansinya


Alihkan ke: Aliran-Aliran dalam Filsafat.

Naturalisme; Supernaturalisme; Panteisme; Panenteisme; Agnostisisme; Ateisme; Teisme; Transendentalisme.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif berbagai aliran utama dalam filsafat metafisika, dengan menelusuri kerangka konsep, tokoh sentral, serta kontribusi intelektual masing-masing aliran terhadap pemahaman manusia tentang realitas. Dimulai dari realisme metafisik yang menekankan objektivitas eksistensi, artikel ini mengkaji secara sistematis aliran-aliran seperti nominalisme, idealisme, materialisme, eksistensialisme, metafisika proses, hingga pendekatan kontemporer dalam tradisi filsafat analitik. Setiap aliran dianalisis dari sudut pandang historis dan konseptual, untuk menunjukkan perbedaan pandangan tentang struktur realitas, relasi antara subjek dan objek, serta cara memperoleh pengetahuan metafisik. Lebih lanjut, artikel ini mengulas dialog kritis dan titik temu antar aliran, serta relevansi metafisika dalam konteks modern seperti filsafat sains, etika teknologi, filsafat pikiran, dan isu-isu ekoteologis. Dengan pendekatan analitis dan integratif, artikel ini menegaskan bahwa metafisika tetap menjadi pilar penting dalam upaya manusia memahami eksistensi dan makna terdalam dari kenyataan, serta menawarkan kontribusi vital dalam menyikapi tantangan filosofis dan praktis dunia kontemporer.

Kata Kunci: Metafisika, Realisme, Idealisme, Materialisme, Eksistensialisme, Filsafat Kontemporer, Ontologi, Filsafat Analitik, Proses, Modalitas.


PEMBAHASAN

Menelusuri Aliran-Aliran Metafisik dalam Filsafat


1.           Pendahuluan

Metafisika merupakan salah satu cabang tertua dan paling fundamental dalam filsafat, yang membahas hakikat realitas paling dasar—apa yang benar-benar “ada” dan bagaimana eksistensi itu dapat dipahami. Istilah metafisika berasal dari bahasa Yunani ta meta ta physika, yang berarti “sesudah fisika,” digunakan pertama kali oleh para editor karya Aristoteles untuk menyusun bagian-bagian karyanya yang membahas persoalan-persoalan yang melampaui studi fisika atau alam jasmani.¹ Sejak masa Aristoteles, metafisika telah menjadi pencarian filosofis untuk memahami keberadaan sebagai keberadaan (being qua being) dan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah yang benar-benar nyata? Apakah segala sesuatu memiliki esensi? Apakah hanya yang material yang eksis?

Dalam sejarah filsafat, metafisika sering dipandang sebagai “filsafat pertama” (prima philosophia), karena ia menjadi dasar konseptual bagi pemikiran-pemikiran lain dalam filsafat seperti epistemologi, etika, dan logika.² Aristoteles, dalam Metaphysics, menyebut studi ini sebagai pencarian terhadap prinsip-prinsip dan sebab-sebab paling awal dari segala sesuatu.³ Karena itu, metafisika bukan sekadar spekulasi abstrak, melainkan sebuah disiplin yang berupaya menyingkap struktur paling fundamental dari kenyataan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi di balik pengalaman empiris.

Sepanjang sejarah pemikiran Barat dan Timur, metafisika telah mengalami perkembangan yang kompleks dengan munculnya berbagai aliran atau pendekatan yang memiliki jawaban berbeda atas persoalan ontologis. Misalnya, kaum realis metafisik seperti Plato dan Thomas Aquinas meyakini bahwa realitas memiliki struktur objektif yang independen dari pikiran manusia. Sebaliknya, para nominalis dan empiris seperti William of Ockham dan David Hume menolak klaim universalitas, dan memandang realitas sebagai sekumpulan fakta-fakta partikular yang hanya bisa diketahui melalui pengalaman.⁴ Bahkan di era modern dan kontemporer, metafisika tidak kehilangan daya tariknya. Berbagai aliran seperti idealisme Jerman, eksistensialisme, metafisika proses, hingga metafisika analitik kontemporer terus memperkaya khazanah pemikiran metafisis.

Meskipun metafisika sering dikritik oleh para positivis logis pada awal abad ke-20 karena dianggap tidak memiliki verifikasi empiris yang memadai, namun pemikiran kontemporer menunjukkan adanya kebangkitan minat terhadap pertanyaan-pertanyaan metafisis dalam bentuk yang lebih ketat secara logis dan semantik.⁵ Hal ini menandakan bahwa manusia tetap dan akan selalu terdorong untuk bertanya tentang “apa itu kenyataan” secara mendalam, bukan hanya dalam batasan observasi ilmiah, tetapi juga dalam pengertian eksistensial dan spekulatif.

Tujuan dari artikel ini adalah untuk menyajikan sebuah telaah sistematis terhadap berbagai aliran dalam metafisika, dengan menyoroti konsep-konsep kunci, tokoh-tokoh utama, serta perdebatan yang menyertainya. Pendekatan yang digunakan bersifat historis dan konseptual, dengan mengacu pada karya-karya klasik dan kontemporer yang kredibel. Diharapkan pembaca dapat memperoleh pemahaman yang utuh tentang bagaimana aliran-aliran metafisik berkembang, saling berinteraksi, dan tetap relevan dalam pemikiran filsafat modern.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. 1, Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 264.

[2]                Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics, trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2000), 9–10.

[3]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 689–692.

[4]                Richard Taylor, Metaphysics (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1992), 1–17.

[5]                Peter van Inwagen and Dean Zimmerman, eds., Metaphysics: The Big Questions (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2008), 3–7.


2.           Konsep Dasar Metafisika

Metafisika secara tradisional dipahami sebagai cabang filsafat yang menyelidiki hakikat keberadaan (being) dan struktur dasar realitas. Dalam pengertian klasik, metafisika tidak hanya menanyakan apa yang ada, tetapi juga mengapa sesuatu ada dan bagaimana ia bisa ada sebagaimana adanya. Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang diajukan dalam metafisika meliputi: Apa yang dimaksud dengan “ada”? Apakah ada perbedaan antara esensi dan eksistensi? Apakah realitas itu tunggal atau plural? Apakah perubahan itu nyata atau ilusi?

Secara etimologis, istilah metafisika berasal dari penataan redaksional karya Aristoteles oleh Andronikos dari Rodos, yang menempatkan risalah tentang keberadaan dan prinsip-prinsip dasar realitas setelah karya Physics, sehingga disebut ta meta ta physika—secara harfiah berarti “apa yang datang setelah fisika”.¹ Namun, isi dari metafisika Aristoteles tidak sekadar merupakan kelanjutan dari fisika, melainkan merupakan fondasi konseptual yang lebih mendasar, karena membahas being qua being (ada sejauh ia adalah ada), yakni eksistensi dalam pengertiannya yang paling universal.²

Dalam sejarah filsafat, metafisika mencakup sejumlah subbidang utama:

1)                  Ontologi – kajian tentang hakikat “ada” dan struktur realitas, termasuk kategori-kategori esensial seperti substansi, atribut, hubungan, ruang, dan waktu.³

2)                  Kosmologi metafisik – menelaah asal-usul dan struktur alam semesta, bukan dalam kerangka ilmiah empiris, tetapi dari sudut pandang prinsip-prinsip rasional dan filosofis.⁴

3)                  Teologi metafisik – kajian tentang keberadaan Tuhan, keabadian, dan kemungkinan eksistensi entitas non-materi.

4)                  Metametafisika – cabang kontemporer yang menyelidiki status epistemologis dan metodologis dari klaim-klaim metafisik itu sendiri.⁵

Metafisika sering dikaitkan dengan pembahasan tentang substansi (apa yang menjadi dasar keberadaan sesuatu), identitas dan perubahan (apakah suatu entitas tetap sama walau berubah), serta kausalitas (mengapa sesuatu terjadi). Aristoteles, misalnya, mengembangkan teori tentang empat sebab (material, formal, efisien, dan final) sebagai kerangka untuk menjelaskan keberadaan secara menyeluruh.⁶ Di sisi lain, dalam tradisi modern, Immanuel Kant menyatakan bahwa metafisika harus dibatasi oleh batas-batas rasio murni, karena banyak klaim metafisik tidak dapat diverifikasi melalui pengalaman. Dalam Critique of Pure Reason, Kant mengusulkan pendekatan kritis terhadap metafisika yang tetap mempertahankan peran pentingnya dalam struktur pengetahuan manusia, namun harus ditopang oleh analisis rasional terhadap kemungkinan kondisi pengalaman.⁷

Perdebatan antara realisme dan anti-realisme dalam metafisika mencerminkan ketegangan antara keyakinan bahwa realitas bersifat independen dari pikiran (realisme) dan klaim bahwa realitas hanya dapat dipahami melalui konstruksi linguistik, budaya, atau mental (anti-realisme).⁸ Ketegangan ini juga tercermin dalam pertentangan antara metafisika klasik yang bersifat esensialis dan metafisika kontemporer yang banyak dipengaruhi oleh filsafat analitik dan logika formal.

Pada era kontemporer, metafisika mengalami revitalisasi terutama melalui filsafat analitik, yang membawa pendekatan baru berbasis bahasa, logika, dan modalitas (kemungkinan dan keharusan). Tokoh-tokoh seperti Saul Kripke dan David Lewis memformulasikan kembali persoalan-persoalan klasik metafisika dalam kerangka dunia-mungkin (possible worlds) dan identitas leksikal, yang membuka jalan bagi pembahasan baru tentang esensi, identitas, dan eksistensi.⁹

Dengan demikian, metafisika bukan sekadar warisan pemikiran kuno, melainkan medan kontemporer filsafat yang aktif dan relevan. Ia terus berkembang melalui dialog antara tradisi klasik dan pendekatan analitik, serta tetap menjadi medan penting bagi pencarian makna terdalam dari keberadaan.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. 1, Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 264.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 689.

[3]                Peter van Inwagen and Meghan Sullivan, Metaphysics: The Fundamentals (New York: Routledge, 2015), 6–8.

[4]                William Hasker, “Cosmological Argument,” in The Oxford Handbook of Philosophy of Religion, ed. William J. Wainwright (Oxford: Oxford University Press, 2005), 140–155.

[5]                Amie L. Thomasson, “Metaphysical Disputes and Metalinguistic Negotiation,” Philosophical Perspectives 30, no. 1 (2016): 319–340.

[6]                Aristotle, Physics, trans. R.P. Hardie and R.K. Gaye, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 315–325.

[7]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A51/B75–A64/B89.

[8]                Michael Dummett, Truth and Other Enigmas (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 146–165.

[9]                Saul Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 48–77.


3.           Klasifikasi Aliran-Aliran Metafisik

Metafisika, sebagai disiplin yang membahas hakikat realitas terdalam, telah melahirkan beragam aliran pemikiran yang merepresentasikan upaya manusia untuk memahami apa yang benar-benar ada dan bagaimana keberadaan itu dapat dijelaskan. Keragaman aliran ini mencerminkan perbedaan asumsi dasar, metode, serta kerangka konseptual yang digunakan oleh para filsuf dalam menjawab persoalan-persoalan metafisis yang sama. Masing-masing aliran membawa perspektif yang khas mengenai eksistensi, substansi, identitas, perubahan, hingga hubungan antara pikiran dan realitas. Oleh karena itu, untuk memahami cakupan metafisika secara utuh, penting untuk mengklasifikasikan dan menelaah aliran-aliran utama dalam sejarah filsafat metafisik, baik yang bersumber dari tradisi klasik maupun yang berkembang dalam wacana kontemporer.

3.1.       Realisme Metafisik

Realisme metafisik adalah pandangan yang menyatakan bahwa realitas memiliki struktur objektif yang eksis secara independen dari pikiran, bahasa, atau persepsi manusia. Dalam kerangka ini, kebenaran metafisis bukanlah konstruksi sosial atau linguistik, melainkan korespondensi antara pikiran dan realitas yang bersifat tetap, stabil, dan dapat dikenali melalui rasio.¹ Realisme metafisik menjadi fondasi bagi banyak tradisi filsafat klasik dan skolastik, yang meyakini bahwa dunia memiliki tatanan ontologis yang dapat diselidiki secara rasional.

Akar historis realisme metafisik dapat ditemukan dalam pemikiran Plato dan Aristoteles. Bagi Plato, realitas sejati terletak dalam dunia ide atau bentuk-bentuk universal (eide), yang bersifat abadi dan tidak berubah, berbeda dengan dunia inderawi yang hanya merupakan bayangan atau penampakan dari realitas sejati. Dalam Republic dan Phaedo, Plato menyatakan bahwa pengetahuan sejati (episteme) hanya dapat diperoleh melalui pemahaman terhadap bentuk-bentuk ini, bukan dari pengalaman empiris yang bersifat fluktuatif.²

Aristoteles, meskipun mengkritik dualisme Plato, tetap mempertahankan pendekatan realistis dengan memberikan tempat bagi substansi (ousia) sebagai dasar dari keberadaan. Ia mengembangkan teori hylemorfisme, yaitu bahwa segala benda tersusun dari dua aspek: materi (hyle) dan bentuk (morphe). Realitas tidak berada di luar dunia, melainkan terwujud dalam hal-hal partikular yang memiliki esensi internal. Dengan demikian, realisme Aristoteles bersifat lebih “duniawi” namun tetap metafisik karena mengakui adanya struktur hakiki dalam segala sesuatu.³

Realisme metafisik juga mendapat tempat yang kuat dalam tradisi skolastik, terutama dalam pemikiran Thomas Aquinas. Dalam sistemnya, Aquinas menggabungkan metafisika Aristoteles dengan teologi Kristen untuk menunjukkan bahwa eksistensi bukan hanya atribut, melainkan aktus yang membuat esensi menjadi nyata. Ia membedakan antara essentia (hakikat) dan existentia (keberadaan), dan berargumen bahwa hanya Tuhan yang esensinya identik dengan eksistensinya.⁴ Pandangan ini membentuk dasar bagi metafisika teistik yang memandang Tuhan sebagai sumber seluruh realitas.

Ciri penting dari realisme metafisik adalah afirmasi terhadap universalia, yakni gagasan bahwa sifat-sifat umum seperti “keadilan” atau “manusia” memiliki eksistensi objektif. Dalam perdebatan abad pertengahan antara realisme dan nominalisme, kaum realis seperti Anselmus dan Aquinas menegaskan bahwa universalia ada dalam pikiran Tuhan dan terealisasi dalam dunia ciptaan. Hal ini bertolak belakang dengan nominalisme yang menolak eksistensi realitas universal dan menganggapnya sebagai sekadar nama-nama buatan pikiran.⁵

Realisme metafisik terus dipertahankan dalam berbagai varian hingga masa modern dan kontemporer, termasuk dalam tradisi filsafat analitik. Tokoh seperti Alvin Plantinga dan David Armstrong membela bentuk realisme yang terstruktur secara logis dan sistematis. Plantinga, misalnya, dalam kerangka modal realism dan essentialism, menyatakan bahwa makna esensial suatu entitas tergantung pada eksistensinya dalam dunia-mungkin tertentu.⁶

Realisme metafisik memiliki implikasi luas tidak hanya dalam ontologi, tetapi juga dalam epistemologi dan etika. Jika realitas bersifat objektif, maka kebenaran dan nilai moral pun bisa dianggap memiliki dasar yang tetap. Inilah sebabnya mengapa realisme metafisik tetap menjadi salah satu aliran sentral dalam filsafat, terutama bagi mereka yang mencari kepastian ontologis di tengah relativisme modern.

3.2.       Nominalisme dan Empirisme Metafisik

Nominalisme dan empirisme merupakan dua pendekatan metafisik yang saling beririsan dalam menolak klaim-klaim metafisika tradisional mengenai keberadaan entitas universal dan realitas transenden. Kedua aliran ini berpijak pada keyakinan bahwa pengetahuan tentang realitas hanya dapat diperoleh melalui pengalaman indrawi, dan bahwa konsep-konsep umum atau universalitas tidak memiliki eksistensi independen di luar benda-benda partikular.7

Nominalisme, secara khusus, adalah pandangan metafisik yang menolak realitas objektif dari universalia atau bentuk-bentuk umum. Dalam kerangka ini, istilah seperti “manusia”, “keadilan”, atau “warna merah” hanyalah nama (nomina) yang digunakan untuk mengelompokkan individu-individu yang memiliki kemiripan tertentu, bukan entitas yang benar-benar ada secara mandiri.8 Salah satu tokoh utama nominalisme adalah William of Ockham (1287–1347), yang terkenal karena prinsip lex parsimoniae atau Occam’s Razor: “Entitas tidak boleh dikalikan tanpa kebutuhan.” Prinsip ini menjadi dasar untuk menolak asumsi metafisik yang tidak dapat diverifikasi melalui pengalaman atau yang tidak diperlukan untuk menjelaskan fenomena dunia.9 Bagi Ockham, hanya individu-individu partikular yang benar-benar eksis; konsep umum hanyalah konstruksi mental belaka.

Nominalisme abad pertengahan muncul sebagai reaksi terhadap realisme skolastik yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Thomas Aquinas dan Duns Scotus. Realisme tersebut berpendapat bahwa universalia memiliki dasar ontologis baik dalam pikiran Tuhan maupun dalam struktur realitas itu sendiri. Sebaliknya, para nominalis memandang bahwa segala konsep hanya merupakan simbol linguistik yang tidak memiliki dasar dalam dunia objektif.10 Konsekuensinya, pengetahuan metafisik tentang esensi universal menjadi tidak mungkin, dan semua pengenalan terbatas pada entitas-individu.

Sementara itu, empirisme metafisik merupakan posisi filosofis yang menyatakan bahwa realitas hanya dapat diketahui melalui pengalaman langsung dan bahwa setiap konsep atau ide metafisik harus, untuk menjadi bermakna, berakar pada pengalaman empiris. Tokoh kunci dari pendekatan ini adalah David Hume (1711–1776), yang dalam A Treatise of Human Nature dan An Enquiry Concerning Human Understanding secara sistematis membongkar berbagai asumsi metafisika tradisional mengenai substansi, kausalitas, dan identitas personal.11 Bagi Hume, gagasan tentang “substansi” hanyalah kebiasaan pikiran yang terbentuk dari pengulangan pengalaman sensorik; tidak ada bukti empiris yang membenarkan eksistensi entitas permanen di balik gejala-gejala yang tampak.

Hume juga menolak konsep kausalitas sebagai relasi niscaya antara dua peristiwa; menurutnya, yang kita amati hanyalah keteraturan—bahwa satu peristiwa selalu diikuti oleh peristiwa lain—tanpa adanya kepastian bahwa hubungan tersebut bersifat mutlak.12 Hal ini mengguncang fondasi metafisika klasik yang mendasarkan pengetahuan pada prinsip sebab-akibat sebagai sesuatu yang universal dan niscaya. Implikasi dari pandangan Hume sangat radikal: tidak ada dasar yang pasti untuk pengetahuan metafisik di luar pengalaman, dan karenanya banyak pernyataan metafisika hanyalah ilusi linguistik yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara epistemologis.

Baik nominalisme maupun empirisme metafisik berkontribusi besar terhadap kritik terhadap metafisika spekulatif dan mendorong perkembangan metode ilmiah modern yang mengutamakan observasi dan verifikasi empiris. Dalam konteks ini, aliran-aliran ini mewakili bentuk “anti-metafisika” dalam sejarah pemikiran, meskipun secara paradoks mereka tetap termasuk dalam diskursus metafisik karena menyampaikan klaim tentang hakikat realitas dan pengetahuan.

Pandangan-pandangan ini berpengaruh besar dalam perkembangan filsafat modern, terutama dalam tradisi empirisme Inggris dan dalam gerakan positivisme logis abad ke-20 yang menolak validitas klaim metafisik jika tidak dapat diuji secara empiris. Namun demikian, sejumlah filsuf kontemporer tetap mengakui pentingnya nominalisme dan empirisme metafisik sebagai kritik internal terhadap kecenderungan metafisika klasik yang terlalu spekulatif dan esensialis.13

3.3.       Idealisme Metafisik

Idealisme metafisik adalah pandangan bahwa realitas pada hakikatnya bersifat mental, spiritual, atau ideatif, bukan material. Dalam aliran ini, eksistensi bergantung pada kesadaran, pikiran, atau rasio, dan segala sesuatu yang ada hanya dapat dipahami secara benar dalam kaitannya dengan aktivitas subjek yang mengetahui.14 Berbeda dari realisme metafisik yang menekankan pada keberadaan objektif di luar pikiran, idealisme menyatakan bahwa realitas, pada dasarnya, adalah hasil atau bagian dari aktivitas kesadaran.

Salah satu bentuk awal idealisme metafisik dapat ditemukan dalam filsafat Plato, yang mengembangkan teori tentang eidos atau bentuk-bentuk ideal sebagai realitas sejati. Namun, idealisme sebagai sistem metafisika yang eksplisit berkembang terutama dalam pemikiran modern, dimulai dari George Berkeley (1685–1753), seorang uskup dan filsuf Irlandia. Dalam A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, Berkeley mengemukakan doktrin esse est percipi—“ada adalah dipersepsi.”_15 Menurutnya, benda-benda tidak memiliki eksistensi independen dari persepsi; keberadaan mereka tergantung pada adanya pikiran yang mengamati. Namun, agar eksistensi dunia tetap stabil meskipun tidak selalu dipersepsi oleh manusia, Berkeley menegaskan keberadaan Tuhan sebagai pengamat universal yang selalu mempersepsi segalanya.16

Pengembangan idealisme metafisik lebih sistematis terjadi dalam pemikiran Immanuel Kant (1724–1804). Meskipun Kant sendiri menolak label “idealis metafisik”, pemikirannya menandai transisi penting dari empirisme menuju idealisme transendental. Dalam Critique of Pure Reason, Kant mengajukan bahwa kita tidak pernah mengetahui “das Ding an sich” (benda pada dirinya), melainkan hanya fenomena—realitas sebagaimana ditangkap oleh struktur a priori kesadaran manusia, seperti ruang, waktu, dan kategori-kategori pikiran.17 Bagi Kant, dunia sebagaimana kita ketahui bukanlah dunia “sebagaimana adanya,” tetapi dunia yang telah diformat oleh struktur kognitif subjek. Meskipun ini bukan idealisme dalam arti subjektif ekstrem, posisi Kant tetap menunjukkan bahwa realitas yang dikenal manusia sangat ditentukan oleh kesadaran.

Puncak idealisme metafisik klasik tercapai dalam filsafat G.W.F. Hegel (1770–1831), yang mengembangkan sistem idealisme absolut (absolute idealism). Dalam Phenomenology of Spirit dan Science of Logic, Hegel mengemukakan bahwa realitas pada dasarnya adalah roh (Geist) yang mewujudkan dan merealisasikan diri melalui sejarah, budaya, dan pemikiran.18 Segala perubahan dalam dunia merupakan momen dari dialektika ide—tesis, antitesis, dan sintesis—yang membawa kesadaran menuju kesatuan dengan dirinya sendiri. Tidak ada pemisahan antara subjek dan objek, karena realitas adalah kesatuan rasional yang menyatakan dirinya dalam dunia.

Selain Eropa, bentuk idealisme metafisik juga berkembang dalam filsafat Timur, misalnya dalam Advaita Vedanta yang dikembangkan oleh Adi Shankara. Aliran ini memandang bahwa realitas sejati adalah Brahman, kesadaran murni yang tak berubah, sementara dunia fenomenal (maya) hanyalah penampakan yang bersifat ilusif.19 Dengan demikian, kesadaran adalah entitas metafisik yang utama, dan pembebasan dicapai melalui penyadaran akan kesatuan antara atman (diri) dan Brahman.

Pada abad ke-20, idealisme mengalami banyak kritik, terutama dari tradisi filsafat analitik dan eksistensialisme, yang menilai idealisme terlalu abstrak dan sistematik. Namun demikian, idealisme metafisik tetap memengaruhi banyak pemikiran kontemporer, termasuk dalam bidang filsafat agama, estetika, dan teori kesadaran. Filsuf seperti Josiah Royce, R.G. Collingwood, dan bahkan beberapa tokoh dalam fenomenologi seperti Edmund Husserl, mempertahankan aspek-aspek idealis dalam memahami struktur pengalaman dan realitas.20

Inti dari idealisme metafisik terletak pada kepercayaannya bahwa realitas bukan sesuatu yang semata-mata “ditemukan”, tetapi juga “diciptakan” melalui struktur kesadaran dan aktivitas intelektual manusia atau roh kosmik. Oleh karena itu, aliran ini mengundang refleksi mendalam tentang hubungan antara pikiran dan dunia, serta tempat kesadaran dalam tatanan ontologis realitas.

3.4.       Materialisme dan Fisikalisme

Materialisme dan fisikalisme merupakan dua pendekatan metafisik yang menyatakan bahwa realitas pada dasarnya bersifat material atau fisik, dan bahwa segala sesuatu yang eksis dapat dijelaskan melalui prinsip-prinsip materi dan hukum-hukum alam.21 Kedua aliran ini sering digunakan secara bergantian, namun dalam konteks kontemporer, fisikalisme lebih sering digunakan karena cakupannya yang mencakup bukan hanya materi klasik, tetapi juga entitas fisika modern seperti medan, gelombang, dan energi.22

Materialisme memiliki akar yang sangat tua dalam sejarah filsafat Barat, dimulai dari para filsuf pra-Sokratik seperti Leukippos dan Demokritos, yang mengajukan teori atomisme: bahwa seluruh realitas terdiri atas atom-atom yang bergerak dalam ruang kosong. Menurut Demokritos, bahkan jiwa manusia adalah kumpulan atom yang halus dan bergerak cepat, dan tidak ada keberadaan spiritual atau transenden di luar materi.23 Pendekatan ini menekankan bahwa segala fenomena, termasuk pikiran dan perasaan, dapat dijelaskan melalui kombinasi mekanis unsur-unsur fisik.

Materialisme mengalami revitalisasi pada zaman modern melalui pemikiran Thomas Hobbes, yang dalam Leviathan menegaskan bahwa semua realitas, termasuk aktivitas mental dan sosial, dapat dijelaskan secara mekanistik. Bagi Hobbes, "tidak ada hal lain selain tubuh" (bodies only), dan semua gerak termasuk kehendak dan pemikiran adalah hasil dari gerak dalam tubuh.24 Materialisme ini juga menjadi landasan bagi pemikiran Karl Marx, yang mengembangkan materialisme historis—pandangan bahwa kesadaran manusia ditentukan oleh kondisi-kondisi material ekonomi, bukan sebaliknya.25

Dalam perkembangan filsafat abad ke-20, istilah fisikalisme muncul sebagai bentuk materialisme yang lebih sesuai dengan ilmu pengetahuan kontemporer. Fisikalisme menyatakan bahwa semua entitas dan peristiwa yang ada adalah fisik atau bergantung sepenuhnya pada entitas fisik, dan bahwa tidak ada entitas non-fisik seperti jiwa atau Tuhan.26 Salah satu bentuk fisikalisme yang berpengaruh adalah reduksionisme, yang mengklaim bahwa entitas atau fenomena tingkat tinggi (seperti pikiran) dapat direduksi ke istilah-istilah ilmu fisika atau neurobiologi. Tokoh-tokoh seperti J.J.C. Smart dan U.T. Place mengembangkan Identity Theory of Mind, yaitu gagasan bahwa keadaan mental identik dengan keadaan otak tertentu.27

Namun, kritik terhadap fisikalisme reduksionis muncul dalam bentuk non-reduktif fisikalisme, yang mengakui bahwa meskipun realitas terdiri dari entitas fisik, fenomena mental tidak dapat sepenuhnya direduksi ke dalam istilah fisik tanpa kehilangan maknanya. Filsuf seperti Hilary Putnam dan Jaegwon Kim berargumen bahwa meskipun semua fenomena bergantung pada basis fisik, mereka memiliki tingkat penjelasan yang otonom dan tidak dapat direduksi secara langsung.28

Pandangan yang lebih radikal dikenal sebagai eliminativisme, yang diajukan oleh filsuf seperti Paul Churchland, menyatakan bahwa kategori-kategori psikologis tradisional seperti "keyakinan" dan "keinginan" adalah bagian dari "psikologi rakyat" (folk psychology) yang akan digantikan oleh terminologi ilmu saraf seiring perkembangan ilmu pengetahuan.29 Dalam perspektif ini, bukan hanya bahwa pikiran adalah fisik, melainkan bahwa cara kita memahami pikiran saat ini akan terbukti salah dan usang.

Materialisme dan fisikalisme memiliki pengaruh besar dalam filsafat ilmu, filsafat pikiran, dan ilmu kognitif modern. Aliran ini juga menantang pandangan-pandangan dualistik atau spiritualistik tentang eksistensi manusia dan dunia. Meskipun ditentang oleh idealisme dan pendekatan dualistik, materialisme dan fisikalisme tetap menjadi salah satu pendekatan dominan dalam metafisika kontemporer karena konsistensinya dengan metode ilmiah dan kemampuannya dalam memberikan penjelasan kausal terhadap realitas.

3.5.       Eksistensialisme Metafisik

Eksistensialisme metafisik merupakan pendekatan dalam filsafat yang menempatkan eksistensi manusia sebagai pusat perhatian ontologis, bukan esensi universal atau struktur objektif realitas. Aliran ini menolak pendekatan metafisika klasik yang mendahulukan esensi atas eksistensi dan menggantikannya dengan pemahaman bahwa eksistensi manusia mendahului esensinya, serta bahwa realitas tidak dapat dipahami secara utuh tanpa mempertimbangkan dimensi keberadaan individual, subjektif, dan temporal.30

Eksistensialisme berakar pada kritik terhadap metafisika sistematik dan abstrak yang dianggap mengabaikan pengalaman konkret manusia. Søren Kierkegaard (1813–1855), yang sering disebut sebagai bapak eksistensialisme, menekankan pentingnya keberadaan individual, keputusan eksistensial, dan lompatan iman (leap of faith) dalam menghadapi absurditas dan ketegangan eksistensial seperti kecemasan (angst) dan keputusasaan (fortvivlelse).31 Kierkegaard memandang bahwa metafisika tradisional gagal karena tidak mampu merespons persoalan hidup manusia secara eksistensial, khususnya dalam relasinya dengan Tuhan dan dirinya sendiri.

Dalam versi ateistik eksistensialisme, Jean-Paul Sartre (1905–1980) mengembangkan gagasan bahwa manusia tidak memiliki kodrat tetap (essence) yang mendahului keberadaannya. Dalam karya utamanya L’Être et le Néant (Being and Nothingness), Sartre menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang "mengada-dalam-dunia" dan terus-menerus membentuk dirinya melalui pilihan dan tindakan.32 Realitas manusia ditandai oleh ketiadaan (néant)—kemampuan untuk mengingkari, menunda, dan merancang ulang eksistensi. Ketiadaan ini memungkinkan kebebasan radikal, tetapi sekaligus membawa beban tanggung jawab dan kecemasan karena tidak ada “hakikat tetap” yang dapat dijadikan pegangan.33 Dengan demikian, metafisika eksistensialis menempatkan manusia sebagai proyek terbuka, bukan sebagai substansi statis seperti dalam metafisika Aristotelian.

Martin Heidegger (1889–1976), meskipun tidak menyebut dirinya eksistensialis, memberikan kontribusi besar terhadap fondasi ontologis aliran ini. Dalam Sein und Zeit (Being and Time), Heidegger mengkritik sejarah metafisika Barat karena melupakan pertanyaan fundamental: apa arti “ada” itu sendiri? Menurutnya, subjek dari metafisika seharusnya bukan benda atau struktur realitas objektif, melainkan Dasein—manusia sebagai makhluk yang memiliki pengertian tentang keberadaan.34 Dasein tidak bersifat netral, melainkan selalu terlibat dalam dunia, berada “di dalam” waktu, dan ditandai oleh pengalaman-pengalaman seperti kekhawatiran (Besorgen), keterlemparan (Geworfenheit), dan kematian (Sein-zum-Tode).35

Eksistensialisme metafisik juga membahas keterbatasan akal dan pengalaman absurditas. Filsuf seperti Albert Camus, meskipun lebih dikenal dalam ranah sastra dan filsafat kehidupan, mengemukakan bahwa manusia hidup dalam dunia yang tidak menyediakan makna inheren. Dalam Le Mythe de Sisyphe, Camus menyatakan bahwa absurditas muncul dari pertentangan antara pencarian manusia akan makna dan ketidakpedulian alam semesta.36 Dalam konteks ini, eksistensialisme bukan sekadar filsafat tentang manusia, melainkan refleksi metafisik mengenai kondisi dasar keberadaan: keterlemparan, kebebasan, tanggung jawab, dan pencarian makna dalam keterbatasan eksistensi.

Ciri khas eksistensialisme metafisik adalah bahwa ia mengganti sistem metafisika abstrak dengan deskripsi eksistensi yang konkret, reflektif, dan sering kali tragis. Dalam arti ini, ia menolak pendekatan esensialis, rasionalistik, atau mekanistik, dan lebih memilih untuk menggambarkan bagaimana manusia mengalami dan memberi makna terhadap keberadaannya.37

Eksistensialisme metafisik tetap memiliki pengaruh besar dalam teologi, sastra, psikologi eksistensial, dan filsafat kontemporer, terutama dalam kaitannya dengan kritik terhadap objektivisme ilmiah dan penekanan pada pengalaman subjektif. Meskipun tidak menawarkan sistem metafisika yang tertutup dan koheren seperti aliran klasik, eksistensialisme menyajikan pendekatan alternatif yang mendalam terhadap pertanyaan metafisik tertua: apa artinya ada?

3.6.       Metafisika Proses

Metafisika proses (process metaphysics) adalah aliran dalam filsafat metafisika yang menegaskan bahwa perubahan, dinamika, dan proses adalah karakter paling fundamental dari realitas, lebih mendasar daripada keberadaan statis atau substansi permanen. Berbeda dari metafisika tradisional yang memusatkan perhatian pada entitas tetap dan esensi yang tak berubah, metafisika proses memandang dunia sebagai jaringan relasi yang senantiasa berkembang dan menjadi.38

Dasar filosofis metafisika proses berakar pada pemikiran pra-Sokratik seperti Herakleitos, yang menyatakan bahwa "segala sesuatu mengalir" (panta rhei) dan bahwa perubahan adalah inti dari realitas.39 Namun, bentuk sistematis dari metafisika proses modern dirumuskan oleh Alfred North Whitehead (1861–1947), seorang matematikawan dan filsuf Inggris. Dalam karya monumentalnya Process and Reality, Whitehead mengembangkan sistem metafisika yang disebutnya sebagai "organisme filosofis", yang berupaya menjelaskan realitas sebagai rangkaian peristiwa atau aktualisasi pengalaman (actual occasions), bukan sebagai benda-benda statis.40

Menurut Whitehead, elemen dasar realitas bukanlah partikel materi, melainkan peristiwa-peristiwa pengalaman yang saling berhubungan. Ia menolak dikotomi klasik antara subjek dan objek, serta antara pikiran dan dunia luar. Sebaliknya, semua entitas memiliki aspek mental dan fisik, dan seluruh alam semesta merupakan proses ko-kreatif yang berlangsung terus-menerus.41 Dalam pandangannya, bahkan Tuhan bukanlah entitas absolut dan tak berubah, tetapi ikut serta dalam proses dunia, dengan dua aspek utama: aspek primordial (prinsip kemungkinan yang tak berubah) dan aspek konsekuen (yang berhubungan dengan dunia dan berkembang bersamanya).42

Metafisika proses juga mendapat pengembangan lebih lanjut dari Charles Hartshorne (1897–2000), yang memperkenalkan konsep panenteisme—bahwa Tuhan meliputi dunia dan sekaligus melampauinya, serta berubah secara afektif bersama pengalaman dunia.43 Bagi Hartshorne, pemahaman tentang Tuhan sebagai dinamis dan berelasi lebih koheren dengan pengalaman religius dan moral manusia dibandingkan konsep klasik Tuhan yang statis dan tak terpengaruh.

Ciri khas metafisika proses adalah penolakan terhadap substansialisme, yakni pandangan bahwa realitas terdiri atas benda-benda yang mandiri dan tetap. Sebaliknya, segala sesuatu dalam metafisika proses bersifat interdependen, temporal, dan memiliki dimensi perkembangan. Konsep-konsep seperti kesadaran, waktu, nilai, dan relasi menjadi pusat perhatiannya. Dalam sistem Whitehead, misalnya, waktu bukan hanya suatu dimensi yang netral, melainkan struktur dasar eksistensi itu sendiri—setiap entitas adalah momen dalam aliran waktu yang saling berhubungan secara kausal.44

Relevansi metafisika proses semakin meningkat dalam era kontemporer, khususnya dalam dialog antara filsafat, ilmu pengetahuan, dan teologi. Dalam filsafat sains, metafisika proses menawarkan paradigma yang sejalan dengan fisika kuantum dan teori sistem kompleks, yang memandang realitas sebagai medan kemungkinan dan perubahan, bukan sebagai kumpulan objek tetap.45 Dalam teologi, pendekatan proses memungkinkan reinterpretasi tentang sifat Tuhan yang lebih relasional, terbuka terhadap doa dan penderitaan, serta terlibat aktif dalam sejarah dunia.

Namun, metafisika proses juga menuai kritik. Sebagian filsuf mempertanyakan apakah konsep seperti actual occasions benar-benar dapat memberikan penjelasan yang lebih baik dibandingkan model metafisika tradisional.46 Meski demikian, metafisika proses tetap menjadi alternatif serius dalam wacana metafisika kontemporer, khususnya bagi mereka yang mencari model realitas yang lebih dinamis, ekologis, dan terbuka terhadap kompleksitas pengalaman manusia.

3.7.       Metafisika Kontemporer dan Analitik

Metafisika kontemporer dan analitik menandai kebangkitan dan reformulasi studi metafisika dalam filsafat abad ke-20 dan ke-21, khususnya dalam tradisi filsafat berbahasa Inggris. Setelah sempat ditolak oleh gerakan positivisme logis, yang menganggap pernyataan metafisik sebagai nonsens karena tidak dapat diverifikasi secara empiris, metafisika kembali mendapat tempat dalam diskursus filsafat analitik berkat perkembangan dalam logika simbolik, semantik, dan teori bahasa.47

Salah satu momen penting dalam revitalisasi metafisika analitik adalah munculnya filsafat bahasa biasa dan logika modal, yang memungkinkan pernyataan metafisik dikaji dengan presisi dan kejelasan yang sebelumnya tidak tersedia dalam metafisika klasik.48 Metafisika analitik modern lebih berfokus pada penjelasan tentang struktur logis realitas, menggunakan konsep-konsep seperti modalitas (kemungkinan dan keharusan), identitas personal, relasi kausal, dan struktur ontologis dari dunia.

Tokoh sentral dalam kebangkitan metafisika analitik adalah Saul Kripke, yang dalam kuliahnya Naming and Necessity (1980) membongkar teori deskriptif referensi dan memperkenalkan teori penunjukan kaku (rigid designation). Menurut Kripke, nama-nama seperti “Aristoteles” merujuk secara langsung kepada individu tertentu dalam semua dunia-mungkin di mana individu itu eksis, tanpa melalui deskripsi apapun.49 Hal ini memiliki konsekuensi besar bagi metafisika, karena membuka kembali diskusi tentang esensi metafisik, identitas trans-temporal, dan realitas modal.50

Sumbangan lain yang tak kalah penting datang dari David Lewis, yang mengembangkan teori dunia-mungkin (possible worlds) secara radikal. Dalam On the Plurality of Worlds (1986), Lewis menyatakan bahwa dunia-mungkin bukan sekadar cara berbicara, melainkan eksistensi nyata yang setara dengan dunia aktual kita.51 Pandangan ini, yang disebut modal realism, memungkinkan analisis logis yang sangat kuat terhadap berbagai problem metafisik seperti kemungkinan, kausalitas, dan kontrafaktual.52 Meskipun pandangannya kontroversial, Lewis berhasil menempatkan metafisika di jantung filsafat analitik modern.

Metafisika analitik juga mencakup diskusi tentang ontologi—apa yang benar-benar ada. Willard Van Orman Quine, dalam esainya “On What There Is” (1948), mengajukan prinsip bahwa komitmen ontologis seseorang dapat ditentukan dari bentuk logis teorinya, yang dikenal sebagai “kriteria Quine.”_53 Quine menolak dikotomi analitik-sintetik yang menjadi dasar positivisme logis dan membuka ruang bagi metafisika yang konsisten secara logis dan empiris. Ia menegaskan bahwa pertanyaan-pertanyaan metafisik sah-sah saja sejauh dapat disusun dalam kerangka logika formal dan berkontribusi terhadap kesatuan sains.

Di samping itu, metafisika kontemporer juga menjangkau isu-isu seperti identitas personal, keberlanjutan objek, realitas waktu, dan relasi antara pikiran dan tubuh.54 Filsuf seperti Peter van Inwagen, Alvin Plantinga, dan Lynne Rudder Baker mengembangkan metafisika dengan latar belakang religius dan epistemologis, menyumbang pada dialog antara metafisika dan filsafat agama, serta memperluas cakupan metafisika ke wilayah kepercayaan, kemungkinan dunia-transenden, dan kebebasan kehendak.

Pendekatan kontemporer ini memperlihatkan bahwa metafisika tidak lagi identik dengan spekulasi bebas, melainkan sebagai bidang sistematis yang berakar pada analisis logis, argumentasi ketat, dan keterkaitan erat dengan epistemologi dan semantik. Meski tidak selalu bersepakat dalam ontologi tertentu, metafisika analitik menyumbang kerangka metodologis yang sangat berharga dalam menjawab pertanyaan mendalam mengenai struktur dan status realitas.


Penutup Bagian

Pembahasan mengenai berbagai aliran dalam metafisika menunjukkan betapa kompleks dan beragamnya pendekatan manusia dalam memahami realitas pada tingkat terdalam. Setiap aliran—mulai dari realisme metafisik yang menekankan objektivitas eksistensi, nominalisme dan empirisme yang memprioritaskan pengalaman partikular, idealisme yang mengedepankan peran kesadaran, materialisme dan fisikalisme yang menundukkan segala sesuatu kepada hukum-hukum fisik, hingga eksistensialisme yang mengangkat keberadaan manusia konkret, serta metafisika proses dan metafisika analitik kontemporer yang menghadirkan kerangka baru dalam memahami dinamika dan struktur realitas—memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan filsafat.

Perbedaan mendasar antara satu aliran dengan aliran lain tidak sekadar terletak pada jawaban atas pertanyaan metafisik, melainkan pada cara memahami apa yang layak disebut sebagai “ada”, bagaimana struktur eksistensi itu dikonsepsi, serta apa makna dari menjadi dalam konteks dunia dan kesadaran. Masing-masing pendekatan menawarkan titik tolak, instrumen konseptual, dan horizon refleksi yang khas, sekaligus membuka ruang perdebatan yang terus hidup dalam diskursus metafisika hingga hari ini.

Dengan memahami klasifikasi ini, pembaca tidak hanya dapat mengenali beragam wajah metafisika, tetapi juga menyadari bahwa setiap usaha manusia untuk memahami realitas selalu melibatkan pilihan filosofis yang berakar pada asumsi-asumsi ontologis yang mendalam. Kesadaran terhadap pilihan-pilihan ini menjadi landasan penting bagi pengembangan pemikiran kritis dan reflektif dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan dasar tentang keberadaan, makna, dan dunia tempat manusia hidup.


Footnotes

[1]                Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 4th ed. (New York: Routledge, 2020), 5–7.

[2]                Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube, rev. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 514a–520a.

[3]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 689–692.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.3, a.4.

[5]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. 2, Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 113–120.

[6]                Alvin Plantinga, The Nature of Necessity (Oxford: Clarendon Press, 1974), 7–14.

[7]                Michael J. Loux and Thomas M. Crisp, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 4th ed. (New York: Routledge, 2020), 14–15.

[8]                John Marenbon, Medieval Philosophy: An Historical and Philosophical Introduction (London: Routledge, 2007), 201–203.

[9]                William of Ockham, Ockham’s Theory of Terms: Part I of the Summa Logicae, trans. Michael J. Loux (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1974), 10–12.

[10]             Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. 2, Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 215–219.

[11]             David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge, rev. P.H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1978), 1.1.4–1.4.6.

[12]             David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), sec. VII.

[13]             A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Penguin Books, 2001), 34–47.

[14]             Michael J. Loux and Thomas M. Crisp, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 4th ed. (New York: Routledge, 2020), 60–63.

[15]             George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998), §§3–6.

[16]             Ibid., §§27–33.

[17]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A19/B33–A49/B73.

[18]             G.W.F. Hegel, The Phenomenology of Spirit, trans. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 17–25.

[19]             Eliot Deutsch, Advaita Vedanta: A Philosophical Reconstruction (Honolulu: University of Hawaii Press, 1973), 9–15.

[20]             Josiah Royce, The World and the Individual, vol. 1 (New York: Macmillan, 1899), xii–xiv; Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (Dordrecht: Kluwer Academic, 1983), 92–97.

[21]             Michael J. Loux and Thomas M. Crisp, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 4th ed. (New York: Routledge, 2020), 119–122.

[22]             Daniel Stoljar, Physicalism (London: Routledge, 2010), 7–10.

[23]             G.S. Kirk, J.E. Raven, and M. Schofield, The Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 410–417.

[24]             Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), chap. 1–6.

[25]             Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, trans. N.I. Stone (Chicago: Charles H. Kerr, 1904), xii–xiii.

[26]             Jaegwon Kim, Philosophy of Mind, 3rd ed. (Boulder: Westview Press, 2011), 94–96.

[27]             J.J.C. Smart, “Sensations and Brain Processes,” Philosophical Review 68, no. 2 (1959): 141–156.

[28]             Hilary Putnam, “The Nature of Mental States,” in Mind, Language and Reality: Philosophical Papers, vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 429–440; Jaegwon Kim, Supervenience and Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 3–25.

[29]             Paul M. Churchland, Eliminative Materialism and the Propositional Attitudes, Journal of Philosophy 78, no. 2 (1981): 67–90.

[30]             William L. Craig, The Cosmological Argument from Plato to Leibniz (London: Macmillan, 1980), 134.

[31]             Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety, trans. Reidar Thomte (Princeton: Princeton University Press, 1980), 42–49.

[32]             Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 22–34.

[33]             Ibid., 66–70.

[34]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–38.

[35]             Ibid., 174–234.

[36]             Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O'Brien (New York: Vintage International, 1991), 3–19.

[37]             Robert C. Solomon, Existentialism (New York: Oxford University Press, 2006), 97–115.

[38]             Nicholas Rescher, Process Metaphysics: An Introduction to Process Philosophy (Albany: State University of New York Press, 1996), 1–3.

[39]             G.S. Kirk, J.E. Raven, and M. Schofield, The Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 188–191.

[40]             Alfred North Whitehead, Process and Reality: An Essay in Cosmology, ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 22–24.

[41]             Ibid., 34–40.

[42]             Ibid., 343–350.

[43]             Charles Hartshorne, The Divine Relativity: A Social Conception of God (New Haven: Yale University Press, 1948), 5–9.

[44]             John B. Cobb Jr. and David Ray Griffin, Process Theology: An Introductory Exposition (Philadelphia: Westminster Press, 1976), 28–34.

[45]             Philip Clayton, God and Contemporary Science (Grand Rapids: Eerdmans, 1997), 112–115.

[46]             William Lane Craig, God, Time, and Eternity: The Coherence of Theism II (Dordrecht: Springer, 2001), 83–88.

[47]             A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Penguin Books, 2001), 40–42.

[48]             Timothy Williamson, Modal Logic as Metaphysics (Oxford: Oxford University Press, 2013), 1–5.

[49]             Saul Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 48–52.

[50]             Ibid., 110–125.

[51]             David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell, 1986), 1–5.

[52]             Ibid., 86–103.

[53]             W.V.O. Quine, “On What There Is,” Review of Metaphysics 2, no. 1 (1948): 21–38.

[54]             Michael J. Loux and Thomas M. Crisp, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 4th ed. (New York: Routledge, 2020), 169–205.


4.           Perbandingan dan Dialog antar-Aliran

Studi perbandingan dalam metafisika tidak hanya bertujuan untuk menempatkan setiap aliran dalam kerangka kategoris yang terpisah, tetapi juga untuk menyingkap ketegangan epistemologis, ontologis, dan metodologis yang membentuk dinamika pemikiran metafisik sepanjang sejarah filsafat. Perbedaan mendasar antara aliran-aliran metafisik terletak pada jawaban mereka terhadap pertanyaan “apa yang benar-benar ada?”, “bagaimana kita mengetahuinya?”, dan “apa struktur dasar dari realitas?”.

Salah satu ketegangan paling mencolok muncul antara realisme metafisik dan nominalisme. Realisme metafisik, baik dalam bentuk Platonik maupun Aristotelian, mengasumsikan bahwa struktur realitas bersifat objektif dan independen dari pikiran, serta mencakup entitas-entitas universal yang bersifat tetap.¹ Sebaliknya, nominalisme menolak eksistensi entitas universal yang bersifat objektif, dan memandang konsep-konsep seperti “manusia” atau “keadilan” hanyalah konvensi linguistik atau abstraksi mental belaka.² Perdebatan ini mencerminkan perbedaan dalam memahami ontologi dan semantik: apakah bahasa kita mengacu pada struktur ontologis nyata, ataukah sekadar cara mengorganisir pengalaman?

Konflik lain terjadi antara idealisme dan materialisme/fisikalisme. Idealisme menempatkan kesadaran, pikiran, atau roh sebagai dasar realitas; bagi Berkeley dan Hegel, dunia fisik hanyalah aspek dari pengalaman mental atau aktualisasi roh absolut.³ Sebaliknya, fisikalisme menyatakan bahwa semua yang ada pada akhirnya bersifat fisik, dan fenomena mental pun dapat dijelaskan melalui hukum-hukum materi.⁴ Perdebatan antara kedua aliran ini masih relevan dalam filsafat pikiran kontemporer, khususnya dalam diskusi mengenai reduktionisme mental dan kesadaran fenomenal (qualia).⁵

Sementara itu, eksistensialisme metafisik dan metafisika proses memperkenalkan perspektif baru yang menantang asumsi-asumsi statis dalam metafisika klasik. Kedua aliran ini menekankan bahwa realitas bersifat dinamis, historis, dan melibatkan keterlibatan subjek secara eksistensial. Bagi eksistensialisme, makna keberadaan tidak ditemukan dalam esensi yang tetap, melainkan dalam keputusan, kebebasan, dan keterlemparan manusia dalam dunia.⁶ Sementara metafisika proses, terutama melalui pemikiran Whitehead dan Hartshorne, memandang seluruh realitas sebagai rangkaian peristiwa dan relasi yang berproses.⁷ Dalam pengertian ini, kedua aliran menolak substansialisme metafisik, dan lebih memilih ontologi temporal dan relasional.

Menariknya, metafisika analitik kontemporer berupaya menjembatani ketegangan-ketegangan tersebut melalui pendekatan logis, konseptual, dan sistematis terhadap permasalahan metafisika klasik. Teori possible worlds yang dikembangkan oleh David Lewis, misalnya, memungkinkan penilaian ulang terhadap modalitas, esensi, dan eksistensi alternatif dalam kerangka ontologi yang ketat.⁸ Demikian pula, pendekatan Kripke dalam Naming and Necessity membuka kembali diskusi metafisik tentang identitas dan referensi tanpa kembali pada spekulasi pra-analitik.⁹ Ini menunjukkan bahwa metafisika dapat diperkaya melalui dialog antar-aliran, bukan melalui penolakan mutlak.

Di sisi lain, sejumlah filsuf kontemporer mencoba membangun metafisika integratif atau pluralistik yang tidak hanya mengakui perbedaan paradigma, tetapi juga mencoba mencari titik temu. Misalnya, beberapa pendekatan dalam teologi filosofis mencoba menggabungkan elemen idealisme, realisme, dan prosesualisme dalam menjelaskan Tuhan dan dunia.¹⁰ Demikian pula, dalam filsafat ilmu dan ekologi, pendekatan proses dan relasional cenderung mendapatkan tempat karena lebih mampu menjelaskan kompleksitas sistem alam yang tidak bisa dipahami hanya dengan paradigma fisikistik reduksionis.

Dengan demikian, dialog antar-aliran metafisik tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga memberikan wawasan metodologis dalam menyikapi batas-batas pengetahuan manusia tentang realitas. Alih-alih memilih satu posisi secara eksklusif, filsuf kontemporer cenderung bersikap kritis dan eklektis—menggabungkan wawasan dari berbagai pendekatan untuk merumuskan jawaban yang lebih menyeluruh, kontekstual, dan terbuka terhadap dimensi-dimensi baru realitas.


Footnotes

[1]                Michael J. Loux and Thomas M. Crisp, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 4th ed. (New York: Routledge, 2020), 23–30.

[2]                John Marenbon, Medieval Philosophy: An Historical and Philosophical Introduction (London: Routledge, 2007), 201–203.

[3]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998), §§3–6; G.W.F. Hegel, The Phenomenology of Spirit, trans. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 17–25.

[4]                Jaegwon Kim, Philosophy of Mind, 3rd ed. (Boulder: Westview Press, 2011), 94–96.

[5]                Thomas Nagel, “What Is It Like to Be a Bat?” The Philosophical Review 83, no. 4 (1974): 435–450.

[6]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 22–34.

[7]                Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 22–24.

[8]                David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell, 1986), 1–5.

[9]                Saul Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 48–77.

[10]             Charles Hartshorne, The Divine Relativity: A Social Conception of God (New Haven: Yale University Press, 1948), 5–20.


5.           Relevansi Aliran-Aliran Metafisik dalam Konteks Modern

Di tengah perkembangan sains, teknologi, dan filsafat kontemporer, metafisika tetap mempertahankan posisinya sebagai ranah reflektif yang membahas pertanyaan mendasar tentang keberadaan, kenyataan, dan struktur terdalam dari segala sesuatu. Berbagai aliran metafisika yang telah berkembang sejak zaman klasik tidak hanya berfungsi sebagai warisan historis, tetapi juga menjadi kerangka konseptual yang terus direkonstruksi dalam menjawab tantangan zaman modern.

Dalam bidang ilmu pengetahuan alam, metafisika memberikan kontribusi penting dalam merumuskan dasar ontologis berbagai teori ilmiah. Fisikalisme dan materialisme, misalnya, menjadi fondasi filosofis bagi pendekatan reduksionis dalam biologi, fisika, dan neuroilmu.¹ Namun, dengan munculnya fenomena kompleks dalam fisika kuantum dan teori relativitas, banyak ilmuwan dan filsuf mulai mempertanyakan kecukupan model materialistik murni. Beberapa konsep dalam fisika kontemporer, seperti entanglement atau non-locality, menantang pemahaman tradisional tentang ruang, waktu, dan kausalitas—hal-hal yang sejak lama menjadi bahan kajian metafisika.² Akibatnya, metafisika proses dan pendekatan relasional kini mulai diperhitungkan sebagai alternatif yang lebih kompatibel dengan sains modern.³

Dalam ranah filsafat pikiran, relevansi metafisika tampak nyata dalam perdebatan tentang kesadaran, identitas personal, dan kehendak bebas. Teori identitas dan fisikalisme telah dikritik karena kesulitannya menjelaskan aspek fenomenal dari pengalaman sadar (qualia). Filsuf seperti David Chalmers mengangkat kembali persoalan metafisik tentang “masalah sulit kesadaran” (the hard problem of consciousness) dan menegaskan bahwa pendekatan fisik saja tidak mencukupi untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana pengalaman subjektif terjadi.⁴ Dalam konteks ini, metafisika idealis, dualisme interaksionis, atau bahkan pendekatan panpsikisme mulai kembali dibahas secara serius dalam diskursus ilmiah dan filosofis.⁵

Dalam filsafat agama dan teologi, metafisika berperan dalam merumuskan kembali konsep tentang Tuhan, waktu, kehendak bebas, dan keabadian jiwa. Konsep-konsep dari metafisika klasik, seperti esensi dan eksistensi dalam filsafat Thomistik, terus dikembangkan dalam dialog antara filsafat dan teologi.⁶ Sementara itu, metafisika proses menawarkan pandangan yang lebih dinamis dan relasional tentang Tuhan, yang lebih sesuai dengan pandangan dunia kontemporer yang menekankan interkonektivitas dan keterlibatan etis.⁷ Relevansi metafisika dalam diskursus teologis juga mencakup isu-isu ekoteologis, di mana pendekatan ontologi relasional atau prosesual dianggap lebih mampu mendukung kesadaran ekologis dan tanggung jawab moral terhadap alam.

Metafisika juga semakin penting dalam etika dan filsafat teknologi, khususnya ketika berhadapan dengan perkembangan kecerdasan buatan, bioteknologi, dan transhumanisme. Pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang membuat seseorang menjadi manusia, apa yang dimaksud dengan identitas dan keberlanjutan personal, serta bagaimana kita memaknai keberadaan dalam dunia digital, semuanya mengandung dimensi metafisik yang mendalam.⁸ Apakah “kesadaran buatan” benar-benar mungkin? Apakah rekayasa genetika dapat mengubah esensi manusia? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak dapat dijawab hanya dari sudut pandang teknis atau biologis, melainkan menuntut pemahaman ontologis yang mendalam—bidang yang secara klasik digarap oleh metafisika.

Selain itu, dalam ranah sosial dan politik, metafisika memiliki kontribusi dalam mendasari teori tentang keadilan, kebebasan, dan identitas kolektif. Debat kontemporer mengenai hak asasi manusia, identitas gender, dan keadilan sosial melibatkan asumsi metafisik tentang natur manusia, hakikat kebebasan, dan konsep nilai.⁹ Dengan demikian, metafisika tidak lagi dipandang sebagai spekulasi abstrak yang terpisah dari kehidupan praktis, tetapi justru sebagai fondasi konseptual yang memberi arah bagi refleksi etis dan kebijakan publik.

Akhirnya, dalam konteks global yang semakin plural dan kompleks, terjadi kecenderungan menuju metafisika pluralistik dan integratif, yang membuka ruang bagi dialog antar-aliran, bahkan antartradisi filsafat Timur dan Barat.¹⁰ Misalnya, relasi antara metafisika Advaita Vedanta dan idealisme Barat, atau antara prosesualisme Whitehead dan Buddhisme Mahayana, menunjukkan bahwa metafisika dapat menjadi medan pertemuan antarvisi dunia yang berbeda. Kecenderungan ini memperlihatkan bahwa keberagaman dalam pemikiran metafisik tidak selalu menjadi sumber konflik, melainkan bisa menjadi sumber kekayaan konseptual dan spiritual dalam membangun pemahaman yang lebih luas tentang realitas.


Footnotes

[1]                Jaegwon Kim, Philosophy of Mind, 3rd ed. (Boulder: Westview Press, 2011), 94–96.

[2]                Henry P. Stapp, Mindful Universe: Quantum Mechanics and the Participating Observer (Berlin: Springer, 2011), 22–28.

[3]                Nicholas Rescher, Process Metaphysics: An Introduction to Process Philosophy (Albany: State University of New York Press, 1996), 45–48.

[4]                David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (New York: Oxford University Press, 1996), 3–6.

[5]                Galen Strawson, “Realistic Monism: Why Physicalism Entails Panpsychism,” Journal of Consciousness Studies 13, no. 10–11 (2006): 3–31.

[6]                Edward Feser, Aquinas: A Beginner’s Guide (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 58–70.

[7]                Charles Hartshorne, The Divine Relativity: A Social Conception of God (New Haven: Yale University Press, 1948), 15–22.

[8]                Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 241–260.

[9]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 28–44.

[10]             Eliot Deutsch, Comparative Philosophy: Western, Indian, and Chinese Philosophies Compared (Honolulu: University of Hawaii Press, 1985), 112–119.


6.           Kesimpulan

Metafisika sebagai cabang filsafat yang paling mendasar tetap menunjukkan daya tahan dan vitalitasnya dalam sejarah intelektual manusia. Melalui eksplorasi terhadap berbagai aliran metafisik—dari realisme, nominalisme, idealisme, materialisme, eksistensialisme, prosesualisme, hingga metafisika analitik kontemporer—kita dapat melihat bahwa perbedaan-perbedaan di antara aliran-aliran tersebut bukanlah sekadar persoalan terminologis, melainkan mencerminkan variasi pandangan yang mendalam tentang sifat kenyataan, struktur eksistensi, dan hubungan antara subjek dan dunia

Setiap aliran metafisik menyuguhkan paradigma dan metodologi yang khas dalam memahami apa yang “ada” dan bagaimana kita dapat mengetahuinya. Realisme dan idealisme, misalnya, bertolak dari asumsi metafisik yang sangat berbeda tentang apakah realitas bersifat independen atau justru dikonstruksi melalui kesadaran.² Sementara itu, pendekatan empiris dan fisikalis menantang metafisika tradisional dengan menuntut akuntabilitas epistemik yang berbasis pada pengalaman dan sains.³ Eksistensialisme dan metafisika proses, pada sisi lain, membawa fokus pada keberadaan konkret, relasionalitas, dan waktu, yang sering kali diabaikan oleh pendekatan metafisika sistematis klasik.⁴

Dalam konteks kontemporer, metafisika tidak lagi terkungkung oleh batasan-batasan doktrinal atau dikotomis. Berbagai pendekatan sekarang saling bersilang dan berdialog. Filsafat analitik telah membuka ruang bagi metafisika yang lebih presisi dan terstruktur, sementara pengaruh dari filsafat kontinental, Timur, dan teologi memperkaya lanskap pemikiran metafisik secara lintas budaya dan multidisipliner.⁵ Dengan demikian, metafisika saat ini bukan hanya ladang spekulasi, melainkan ruang reflektif untuk merumuskan ulang makna eksistensi dalam terang pengetahuan ilmiah, kesadaran etis, dan pengalaman spiritual.

Lebih jauh, relevansi metafisika sangat terasa dalam pelbagai ranah aktual: dari perdebatan tentang kesadaran dan kecerdasan buatan, hingga pertanyaan tentang keberlanjutan ekologis dan makna keadilan sosial. Ketika manusia dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mendasar yang tidak dapat dijawab semata-mata oleh ilmu empiris, metafisika hadir sebagai kerangka konseptual dan eksistensial yang membantu menavigasi kompleksitas realitas.⁶ Oleh karena itu, mengkaji dan memahami aliran-aliran metafisik bukanlah sekadar upaya historis, melainkan sebuah tindakan reflektif-filosofis yang mendalam, yang membuka ruang bagi pemikiran yang lebih terbuka, transformatif, dan kritis.

Dengan menelusuri sejarah, tokoh, dan tema-tema utama dalam metafisika, kita tidak hanya memperkaya wawasan intelektual, tetapi juga membangun landasan untuk berpikir secara lebih radikal dan menyeluruh tentang keberadaan, kebenaran, dan kemungkinan. Dalam dunia yang terus berubah dan penuh ambiguitas, metafisika tetap menjadi sarana untuk merumuskan harapan akan koherensi, makna, dan pemahaman mendalam tentang kehidupan manusia dalam keseluruhannya.⁷


Footnotes

[1]                Michael J. Loux and Thomas M. Crisp, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 4th ed. (New York: Routledge, 2020), 2–5.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. 1 (New York: Image Books, 1993), 302–309.

[3]                A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Penguin Books, 2001), 34–40.

[4]                Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 27–34.

[5]                Timothy Williamson, Modal Logic as Metaphysics (Oxford: Oxford University Press, 2013), 10–15; Eliot Deutsch, Comparative Philosophy: Western, Indian, and Chinese Philosophies Compared (Honolulu: University of Hawaii Press, 1985), 112–119.

[6]                David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (New York: Oxford University Press, 1996), 3–6.

[7]                Robert C. Solomon, Big Questions: A Short Introduction to Philosophy, 9th ed. (Boston: Cengage Learning, 2014), 103–105.


Daftar Pustaka

Ayer, A. J. (2001). Language, truth and logic. Penguin Books.

Berkeley, G. (1998). A treatise concerning the principles of human knowledge (J. Dancy, Ed.). Oxford University Press.

Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). Vintage International. (Original work published 1942)

Chalmers, D. J. (1996). The conscious mind: In search of a fundamental theory. Oxford University Press.

Churchland, P. M. (1981). Eliminative materialism and the propositional attitudes. The Journal of Philosophy, 78(2), 67–90.

Clayton, P. (1997). God and contemporary science. Eerdmans.

Cobb, J. B., Jr., & Griffin, D. R. (1976). Process theology: An introductory exposition. Westminster Press.

Copleston, F. (1993). A history of philosophy: Volume 1, Greece and Rome. Image Books.

Copleston, F. (1993). A history of philosophy: Volume 2, Medieval philosophy. Image Books.

Craig, W. L. (1980). The cosmological argument from Plato to Leibniz. Macmillan.

Craig, W. L. (2001). God, time, and eternity: The coherence of theism II. Springer.

Deutsch, E. (1973). Advaita Vedanta: A philosophical reconstruction. University of Hawaii Press.

Deutsch, E. (1985). Comparative philosophy: Western, Indian, and Chinese philosophies compared. University of Hawaii Press.

Floridi, L. (2011). The philosophy of information. Oxford University Press.

Feser, E. (2009). Aquinas: A beginner’s guide. Oneworld Publications.

Hartshorne, C. (1948). The divine relativity: A social conception of God. Yale University Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work published 1927)

Hobbes, T. (1996). Leviathan (R. Tuck, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1651)

Hume, D. (1978). A treatise of human nature (L. A. Selby-Bigge, Ed.; P. H. Nidditch, Rev.). Clarendon Press.

Hume, D. (1999). An enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press.

Kant, I. (1929). Critique of pure reason (N. Kemp Smith, Trans.). Macmillan. (Original work published 1781)

Kim, J. (1993). Supervenience and mind. Cambridge University Press.

Kim, J. (2011). Philosophy of mind (3rd ed.). Westview Press.

Kirk, G. S., Raven, J. E., & Schofield, M. (1983). The presocratic philosophers (2nd ed.). Cambridge University Press.

Kripke, S. (1980). Naming and necessity. Harvard University Press.

Lewis, D. (1986). On the plurality of worlds. Blackwell.

Loux, M. J., & Crisp, T. M. (2020). Metaphysics: A contemporary introduction (4th ed.). Routledge.

Marx, K. (1904). A contribution to the critique of political economy (N. I. Stone, Trans.). Charles H. Kerr. (Original work published 1859)

Marenbon, J. (2007). Medieval philosophy: An historical and philosophical introduction. Routledge.

Nagel, T. (1974). What is it like to be a bat? The Philosophical Review, 83(4), 435–450.

Plantinga, A. (1974). The nature of necessity. Clarendon Press.

Putnam, H. (1975). The nature of mental states. In Mind, language and reality: Philosophical papers (Vol. 2, pp. 429–440). Cambridge University Press.

Quine, W. V. O. (1948). On what there is. The Review of Metaphysics, 2(1), 21–38.

Rescher, N. (1996). Process metaphysics: An introduction to process philosophy. State University of New York Press.

Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press. (Original work published 1943)

Smart, J. J. C. (1959). Sensations and brain processes. The Philosophical Review, 68(2), 141–156.

Solomon, R. C. (2006). Existentialism (2nd ed.). Oxford University Press.

Solomon, R. C. (2014). Big questions: A short introduction to philosophy (9th ed.). Cengage Learning.

Stapp, H. P. (2011). Mindful universe: Quantum mechanics and the participating observer. Springer.

Strawson, G. (2006). Realistic monism: Why physicalism entails panpsychism. Journal of Consciousness Studies, 13(10–11), 3–31.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Whitehead, A. N. (1978). Process and reality: An essay in cosmology (D. R. Griffin & D. W. Sherburne, Eds.). Free Press. (Original work published 1929)

Williamson, T. (2013). Modal logic as metaphysics. Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar