Aliran Metafisik
Konsep, Tokoh, dan Relevansinya
Alihkan ke: Aliran-Aliran dalam Filsafat.
Naturalisme; Supernaturalisme;
Panteisme; Panenteisme; Agnostisisme;
Ateisme; Teisme; Transendentalisme.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif berbagai
aliran utama dalam filsafat metafisika, dengan menelusuri kerangka konsep,
tokoh sentral, serta kontribusi intelektual masing-masing aliran terhadap
pemahaman manusia tentang realitas. Dimulai dari realisme metafisik yang
menekankan objektivitas eksistensi, artikel ini mengkaji secara sistematis
aliran-aliran seperti nominalisme, idealisme, materialisme, eksistensialisme,
metafisika proses, hingga pendekatan kontemporer dalam tradisi filsafat
analitik. Setiap aliran dianalisis dari sudut pandang historis dan konseptual,
untuk menunjukkan perbedaan pandangan tentang struktur realitas, relasi antara
subjek dan objek, serta cara memperoleh pengetahuan metafisik. Lebih lanjut,
artikel ini mengulas dialog kritis dan titik temu antar aliran, serta relevansi
metafisika dalam konteks modern seperti filsafat sains, etika teknologi,
filsafat pikiran, dan isu-isu ekoteologis. Dengan pendekatan analitis dan
integratif, artikel ini menegaskan bahwa metafisika tetap menjadi pilar penting
dalam upaya manusia memahami eksistensi dan makna terdalam dari kenyataan,
serta menawarkan kontribusi vital dalam menyikapi tantangan filosofis dan
praktis dunia kontemporer.
Kata Kunci: Metafisika, Realisme, Idealisme, Materialisme,
Eksistensialisme, Filsafat Kontemporer, Ontologi, Filsafat Analitik, Proses,
Modalitas.
PEMBAHASAN
Menelusuri Aliran-Aliran Metafisik dalam Filsafat
1.
Pendahuluan
Metafisika merupakan salah satu cabang tertua dan
paling fundamental dalam filsafat, yang membahas hakikat realitas paling
dasar—apa yang benar-benar “ada” dan bagaimana eksistensi itu dapat
dipahami. Istilah metafisika berasal dari bahasa Yunani ta meta ta
physika, yang berarti “sesudah fisika,” digunakan pertama kali oleh
para editor karya Aristoteles untuk menyusun bagian-bagian karyanya yang
membahas persoalan-persoalan yang melampaui studi fisika atau alam jasmani.¹
Sejak masa Aristoteles, metafisika telah menjadi pencarian filosofis untuk
memahami keberadaan sebagai keberadaan (being qua being) dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah yang benar-benar nyata? Apakah segala
sesuatu memiliki esensi? Apakah hanya yang material yang eksis?
Dalam sejarah filsafat, metafisika sering dipandang
sebagai “filsafat pertama” (prima philosophia), karena ia menjadi
dasar konseptual bagi pemikiran-pemikiran lain dalam filsafat seperti
epistemologi, etika, dan logika.² Aristoteles, dalam Metaphysics,
menyebut studi ini sebagai pencarian terhadap prinsip-prinsip dan sebab-sebab
paling awal dari segala sesuatu.³ Karena itu, metafisika bukan sekadar
spekulasi abstrak, melainkan sebuah disiplin yang berupaya menyingkap struktur
paling fundamental dari kenyataan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi di
balik pengalaman empiris.
Sepanjang sejarah pemikiran Barat dan Timur,
metafisika telah mengalami perkembangan yang kompleks dengan munculnya berbagai
aliran atau pendekatan yang memiliki jawaban berbeda atas persoalan ontologis.
Misalnya, kaum realis metafisik seperti Plato dan Thomas Aquinas meyakini bahwa
realitas memiliki struktur objektif yang independen dari pikiran manusia.
Sebaliknya, para nominalis dan empiris seperti William of Ockham dan David Hume
menolak klaim universalitas, dan memandang realitas sebagai sekumpulan
fakta-fakta partikular yang hanya bisa diketahui melalui pengalaman.⁴ Bahkan di
era modern dan kontemporer, metafisika tidak kehilangan daya tariknya. Berbagai
aliran seperti idealisme Jerman, eksistensialisme, metafisika proses, hingga
metafisika analitik kontemporer terus memperkaya khazanah pemikiran metafisis.
Meskipun metafisika sering dikritik oleh para
positivis logis pada awal abad ke-20 karena dianggap tidak memiliki verifikasi
empiris yang memadai, namun pemikiran kontemporer menunjukkan adanya
kebangkitan minat terhadap pertanyaan-pertanyaan metafisis dalam bentuk yang
lebih ketat secara logis dan semantik.⁵ Hal ini menandakan bahwa manusia tetap
dan akan selalu terdorong untuk bertanya tentang “apa itu kenyataan”
secara mendalam, bukan hanya dalam batasan observasi ilmiah, tetapi juga dalam
pengertian eksistensial dan spekulatif.
Tujuan dari artikel ini adalah untuk menyajikan
sebuah telaah sistematis terhadap berbagai aliran dalam metafisika, dengan
menyoroti konsep-konsep kunci, tokoh-tokoh utama, serta perdebatan yang
menyertainya. Pendekatan yang digunakan bersifat historis dan konseptual,
dengan mengacu pada karya-karya klasik dan kontemporer yang kredibel.
Diharapkan pembaca dapat memperoleh pemahaman yang utuh tentang bagaimana
aliran-aliran metafisik berkembang, saling berinteraksi, dan tetap relevan
dalam pemikiran filsafat modern.
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
vol. 1, Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 264.
[2]
Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics,
trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2000),
9–10.
[3]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in
The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern
Library, 2001), 689–692.
[4]
Richard Taylor, Metaphysics (Englewood
Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1992), 1–17.
[5]
Peter van Inwagen and Dean Zimmerman, eds., Metaphysics:
The Big Questions (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2008), 3–7.
2.
Konsep Dasar
Metafisika
Metafisika secara tradisional dipahami sebagai
cabang filsafat yang menyelidiki hakikat keberadaan (being) dan struktur
dasar realitas. Dalam pengertian klasik, metafisika tidak hanya menanyakan apa
yang ada, tetapi juga mengapa sesuatu ada dan bagaimana ia bisa
ada sebagaimana adanya. Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang diajukan dalam
metafisika meliputi: Apa yang dimaksud dengan “ada”? Apakah ada
perbedaan antara esensi dan eksistensi? Apakah realitas itu tunggal atau
plural? Apakah perubahan itu nyata atau ilusi?
Secara etimologis, istilah metafisika
berasal dari penataan redaksional karya Aristoteles oleh Andronikos dari Rodos,
yang menempatkan risalah tentang keberadaan dan prinsip-prinsip dasar realitas setelah
karya Physics, sehingga disebut ta meta ta physika—secara harfiah
berarti “apa yang datang setelah fisika”.¹ Namun, isi dari metafisika
Aristoteles tidak sekadar merupakan kelanjutan dari fisika, melainkan merupakan
fondasi konseptual yang lebih mendasar, karena membahas being qua being
(ada sejauh ia adalah ada), yakni eksistensi dalam pengertiannya yang paling
universal.²
Dalam sejarah filsafat, metafisika mencakup
sejumlah subbidang utama:
1)
Ontologi – kajian
tentang hakikat “ada” dan struktur realitas, termasuk kategori-kategori
esensial seperti substansi, atribut, hubungan, ruang, dan waktu.³
2)
Kosmologi metafisik – menelaah
asal-usul dan struktur alam semesta, bukan dalam kerangka ilmiah empiris, tetapi
dari sudut pandang prinsip-prinsip rasional dan filosofis.⁴
3)
Teologi metafisik – kajian
tentang keberadaan Tuhan, keabadian, dan kemungkinan eksistensi entitas
non-materi.
4)
Metametafisika – cabang
kontemporer yang menyelidiki status epistemologis dan metodologis dari
klaim-klaim metafisik itu sendiri.⁵
Metafisika sering dikaitkan dengan pembahasan
tentang substansi (apa yang menjadi dasar keberadaan sesuatu), identitas
dan perubahan (apakah suatu entitas tetap sama walau berubah), serta kausalitas
(mengapa sesuatu terjadi). Aristoteles, misalnya, mengembangkan teori tentang
empat sebab (material, formal, efisien, dan final) sebagai kerangka untuk
menjelaskan keberadaan secara menyeluruh.⁶ Di sisi lain, dalam tradisi modern,
Immanuel Kant menyatakan bahwa metafisika harus dibatasi oleh batas-batas rasio
murni, karena banyak klaim metafisik tidak dapat diverifikasi melalui
pengalaman. Dalam Critique of Pure Reason, Kant mengusulkan pendekatan
kritis terhadap metafisika yang tetap mempertahankan peran pentingnya dalam
struktur pengetahuan manusia, namun harus ditopang oleh analisis rasional
terhadap kemungkinan kondisi pengalaman.⁷
Perdebatan antara realisme dan anti-realisme
dalam metafisika mencerminkan ketegangan antara keyakinan bahwa realitas
bersifat independen dari pikiran (realisme) dan klaim bahwa realitas hanya
dapat dipahami melalui konstruksi linguistik, budaya, atau mental
(anti-realisme).⁸ Ketegangan ini juga tercermin dalam pertentangan antara
metafisika klasik yang bersifat esensialis dan metafisika kontemporer yang
banyak dipengaruhi oleh filsafat analitik dan logika formal.
Pada era kontemporer, metafisika mengalami
revitalisasi terutama melalui filsafat analitik, yang membawa pendekatan baru
berbasis bahasa, logika, dan modalitas (kemungkinan dan keharusan). Tokoh-tokoh
seperti Saul Kripke dan David Lewis memformulasikan kembali persoalan-persoalan
klasik metafisika dalam kerangka dunia-mungkin (possible worlds) dan
identitas leksikal, yang membuka jalan bagi pembahasan baru tentang esensi,
identitas, dan eksistensi.⁹
Dengan demikian, metafisika bukan sekadar warisan
pemikiran kuno, melainkan medan kontemporer filsafat yang aktif dan relevan. Ia
terus berkembang melalui dialog antara tradisi klasik dan pendekatan analitik,
serta tetap menjadi medan penting bagi pencarian makna terdalam dari
keberadaan.
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
vol. 1, Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 264.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in
The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern
Library, 2001), 689.
[3]
Peter van Inwagen and Meghan Sullivan, Metaphysics:
The Fundamentals (New York: Routledge, 2015), 6–8.
[4]
William Hasker, “Cosmological Argument,” in The
Oxford Handbook of Philosophy of Religion, ed. William J. Wainwright
(Oxford: Oxford University Press, 2005), 140–155.
[5]
Amie L. Thomasson, “Metaphysical Disputes and
Metalinguistic Negotiation,” Philosophical Perspectives 30, no. 1
(2016): 319–340.
[6]
Aristotle, Physics, trans. R.P. Hardie and
R.K. Gaye, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes
(Princeton: Princeton University Press, 1984), 315–325.
[7]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A51/B75–A64/B89.
[8]
Michael Dummett, Truth and Other Enigmas
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 146–165.
[9]
Saul Kripke, Naming and Necessity
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 48–77.
3.
Klasifikasi
Aliran-Aliran Metafisik
Metafisika, sebagai
disiplin yang membahas hakikat realitas terdalam, telah melahirkan beragam
aliran pemikiran yang merepresentasikan upaya manusia untuk memahami apa yang
benar-benar ada dan bagaimana keberadaan itu dapat dijelaskan. Keragaman aliran
ini mencerminkan perbedaan asumsi dasar, metode, serta kerangka konseptual yang
digunakan oleh para filsuf dalam menjawab persoalan-persoalan metafisis yang
sama. Masing-masing aliran membawa perspektif yang khas mengenai eksistensi,
substansi, identitas, perubahan, hingga hubungan antara pikiran dan realitas.
Oleh karena itu, untuk memahami cakupan metafisika secara utuh, penting untuk
mengklasifikasikan dan menelaah aliran-aliran utama dalam sejarah filsafat
metafisik, baik yang bersumber dari tradisi klasik maupun yang berkembang dalam
wacana kontemporer.
3.1.
Realisme Metafisik
Realisme metafisik adalah pandangan yang menyatakan
bahwa realitas memiliki struktur objektif yang eksis secara independen dari
pikiran, bahasa, atau persepsi manusia. Dalam kerangka ini, kebenaran metafisis
bukanlah konstruksi sosial atau linguistik, melainkan korespondensi antara
pikiran dan realitas yang bersifat tetap, stabil, dan dapat dikenali melalui
rasio.¹ Realisme metafisik menjadi fondasi bagi banyak tradisi filsafat klasik
dan skolastik, yang meyakini bahwa dunia memiliki tatanan ontologis yang dapat
diselidiki secara rasional.
Akar historis realisme metafisik dapat ditemukan
dalam pemikiran Plato dan Aristoteles. Bagi Plato, realitas sejati terletak
dalam dunia ide atau bentuk-bentuk universal (eide), yang bersifat abadi
dan tidak berubah, berbeda dengan dunia inderawi yang hanya merupakan bayangan
atau penampakan dari realitas sejati. Dalam Republic dan Phaedo,
Plato menyatakan bahwa pengetahuan sejati (episteme) hanya dapat
diperoleh melalui pemahaman terhadap bentuk-bentuk ini, bukan dari pengalaman
empiris yang bersifat fluktuatif.²
Aristoteles, meskipun mengkritik dualisme Plato,
tetap mempertahankan pendekatan realistis dengan memberikan tempat bagi substansi
(ousia) sebagai dasar dari keberadaan. Ia mengembangkan teori
hylemorfisme, yaitu bahwa segala benda tersusun dari dua aspek: materi
(hyle) dan bentuk (morphe). Realitas tidak berada di luar dunia,
melainkan terwujud dalam hal-hal partikular yang memiliki esensi internal.
Dengan demikian, realisme Aristoteles bersifat lebih “duniawi” namun tetap
metafisik karena mengakui adanya struktur hakiki dalam segala sesuatu.³
Realisme metafisik juga mendapat tempat yang kuat
dalam tradisi skolastik, terutama dalam pemikiran Thomas Aquinas. Dalam sistemnya,
Aquinas menggabungkan metafisika Aristoteles dengan teologi Kristen untuk
menunjukkan bahwa eksistensi bukan hanya atribut, melainkan aktus yang membuat
esensi menjadi nyata. Ia membedakan antara essentia (hakikat) dan existentia
(keberadaan), dan berargumen bahwa hanya Tuhan yang esensinya identik dengan
eksistensinya.⁴ Pandangan ini membentuk dasar bagi metafisika teistik yang
memandang Tuhan sebagai sumber seluruh realitas.
Ciri penting dari realisme metafisik adalah
afirmasi terhadap universalia, yakni gagasan bahwa sifat-sifat umum
seperti “keadilan” atau “manusia” memiliki eksistensi objektif.
Dalam perdebatan abad pertengahan antara realisme dan nominalisme, kaum realis
seperti Anselmus dan Aquinas menegaskan bahwa universalia ada dalam pikiran
Tuhan dan terealisasi dalam dunia ciptaan. Hal ini bertolak belakang dengan
nominalisme yang menolak eksistensi realitas universal dan menganggapnya
sebagai sekadar nama-nama buatan pikiran.⁵
Realisme metafisik terus dipertahankan dalam
berbagai varian hingga masa modern dan kontemporer, termasuk dalam tradisi
filsafat analitik. Tokoh seperti Alvin Plantinga dan David Armstrong membela
bentuk realisme yang terstruktur secara logis dan sistematis. Plantinga,
misalnya, dalam kerangka modal realism dan essentialism,
menyatakan bahwa makna esensial suatu entitas tergantung pada eksistensinya
dalam dunia-mungkin tertentu.⁶
Realisme metafisik memiliki implikasi luas tidak
hanya dalam ontologi, tetapi juga dalam epistemologi dan etika. Jika realitas
bersifat objektif, maka kebenaran dan nilai moral pun bisa dianggap memiliki
dasar yang tetap. Inilah sebabnya mengapa realisme metafisik tetap menjadi
salah satu aliran sentral dalam filsafat, terutama bagi mereka yang mencari
kepastian ontologis di tengah relativisme modern.
3.2.
Nominalisme dan Empirisme
Metafisik
Nominalisme dan empirisme merupakan dua pendekatan
metafisik yang saling beririsan dalam menolak klaim-klaim metafisika
tradisional mengenai keberadaan entitas universal dan realitas transenden.
Kedua aliran ini berpijak pada keyakinan bahwa pengetahuan tentang realitas
hanya dapat diperoleh melalui pengalaman indrawi, dan bahwa konsep-konsep umum
atau universalitas tidak memiliki eksistensi independen di luar benda-benda
partikular.7
Nominalisme, secara khusus, adalah pandangan metafisik yang menolak realitas
objektif dari universalia atau bentuk-bentuk umum. Dalam kerangka ini,
istilah seperti “manusia”, “keadilan”, atau “warna merah”
hanyalah nama (nomina) yang digunakan untuk mengelompokkan
individu-individu yang memiliki kemiripan tertentu, bukan entitas yang
benar-benar ada secara mandiri.8 Salah satu tokoh utama nominalisme
adalah William of Ockham (1287–1347), yang terkenal karena prinsip lex
parsimoniae atau Occam’s Razor: “Entitas tidak boleh dikalikan tanpa kebutuhan.”
Prinsip ini menjadi dasar untuk menolak asumsi metafisik yang tidak dapat
diverifikasi melalui pengalaman atau yang tidak diperlukan untuk menjelaskan
fenomena dunia.9 Bagi Ockham, hanya individu-individu partikular
yang benar-benar eksis; konsep umum hanyalah konstruksi mental belaka.
Nominalisme abad pertengahan muncul sebagai reaksi
terhadap realisme skolastik yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Thomas
Aquinas dan Duns Scotus. Realisme tersebut berpendapat bahwa universalia
memiliki dasar ontologis baik dalam pikiran Tuhan maupun dalam struktur
realitas itu sendiri. Sebaliknya, para nominalis memandang bahwa segala konsep
hanya merupakan simbol linguistik yang tidak memiliki dasar dalam dunia
objektif.10 Konsekuensinya, pengetahuan metafisik tentang esensi
universal menjadi tidak mungkin, dan semua pengenalan terbatas pada
entitas-individu.
Sementara itu, empirisme metafisik merupakan
posisi filosofis yang menyatakan bahwa realitas hanya dapat diketahui melalui
pengalaman langsung dan bahwa setiap konsep atau ide metafisik harus, untuk
menjadi bermakna, berakar pada pengalaman empiris. Tokoh kunci dari pendekatan
ini adalah David Hume (1711–1776), yang dalam A Treatise of Human
Nature dan An Enquiry Concerning Human Understanding secara sistematis
membongkar berbagai asumsi metafisika tradisional mengenai substansi,
kausalitas, dan identitas personal.11 Bagi Hume, gagasan tentang “substansi”
hanyalah kebiasaan pikiran yang terbentuk dari pengulangan pengalaman sensorik;
tidak ada bukti empiris yang membenarkan eksistensi entitas permanen di balik
gejala-gejala yang tampak.
Hume juga menolak konsep kausalitas sebagai relasi
niscaya antara dua peristiwa; menurutnya, yang kita amati hanyalah
keteraturan—bahwa satu peristiwa selalu diikuti oleh peristiwa lain—tanpa
adanya kepastian bahwa hubungan tersebut bersifat mutlak.12 Hal ini
mengguncang fondasi metafisika klasik yang mendasarkan pengetahuan pada prinsip
sebab-akibat sebagai sesuatu yang universal dan niscaya. Implikasi dari
pandangan Hume sangat radikal: tidak ada dasar yang pasti untuk pengetahuan
metafisik di luar pengalaman, dan karenanya banyak pernyataan metafisika
hanyalah ilusi linguistik yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
epistemologis.
Baik nominalisme maupun empirisme metafisik
berkontribusi besar terhadap kritik terhadap metafisika spekulatif dan
mendorong perkembangan metode ilmiah modern yang mengutamakan observasi dan
verifikasi empiris. Dalam konteks ini, aliran-aliran ini mewakili bentuk “anti-metafisika”
dalam sejarah pemikiran, meskipun secara paradoks mereka tetap termasuk dalam
diskursus metafisik karena menyampaikan klaim tentang hakikat realitas dan
pengetahuan.
Pandangan-pandangan ini berpengaruh besar dalam
perkembangan filsafat modern, terutama dalam tradisi empirisme Inggris dan
dalam gerakan positivisme logis abad ke-20 yang menolak validitas klaim
metafisik jika tidak dapat diuji secara empiris. Namun demikian, sejumlah
filsuf kontemporer tetap mengakui pentingnya nominalisme dan empirisme
metafisik sebagai kritik internal terhadap kecenderungan metafisika klasik yang
terlalu spekulatif dan esensialis.13
3.3.
Idealisme Metafisik
Idealisme metafisik adalah pandangan bahwa realitas
pada hakikatnya bersifat mental, spiritual, atau ideatif, bukan material.
Dalam aliran ini, eksistensi bergantung pada kesadaran, pikiran, atau rasio,
dan segala sesuatu yang ada hanya dapat dipahami secara benar dalam kaitannya
dengan aktivitas subjek yang mengetahui.14 Berbeda dari realisme
metafisik yang menekankan pada keberadaan objektif di luar pikiran, idealisme
menyatakan bahwa realitas, pada dasarnya, adalah hasil atau bagian dari
aktivitas kesadaran.
Salah satu bentuk awal idealisme metafisik dapat
ditemukan dalam filsafat Plato, yang mengembangkan teori tentang eidos
atau bentuk-bentuk ideal sebagai realitas sejati. Namun, idealisme sebagai
sistem metafisika yang eksplisit berkembang terutama dalam pemikiran modern,
dimulai dari George Berkeley (1685–1753), seorang uskup dan filsuf Irlandia.
Dalam A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, Berkeley
mengemukakan doktrin esse est percipi—“ada adalah dipersepsi.”_15
Menurutnya, benda-benda tidak memiliki eksistensi independen dari persepsi;
keberadaan mereka tergantung pada adanya pikiran yang mengamati. Namun, agar
eksistensi dunia tetap stabil meskipun tidak selalu dipersepsi oleh manusia,
Berkeley menegaskan keberadaan Tuhan sebagai pengamat universal yang selalu
mempersepsi segalanya.16
Pengembangan idealisme metafisik lebih sistematis
terjadi dalam pemikiran Immanuel Kant (1724–1804). Meskipun Kant sendiri
menolak label “idealis metafisik”, pemikirannya menandai transisi
penting dari empirisme menuju idealisme transendental. Dalam Critique of
Pure Reason, Kant mengajukan bahwa kita tidak pernah mengetahui “das
Ding an sich” (benda pada dirinya), melainkan hanya fenomena—realitas
sebagaimana ditangkap oleh struktur a priori kesadaran manusia, seperti ruang,
waktu, dan kategori-kategori pikiran.17 Bagi Kant, dunia sebagaimana
kita ketahui bukanlah dunia “sebagaimana adanya,” tetapi dunia yang
telah diformat oleh struktur kognitif subjek. Meskipun ini bukan idealisme
dalam arti subjektif ekstrem, posisi Kant tetap menunjukkan bahwa realitas yang
dikenal manusia sangat ditentukan oleh kesadaran.
Puncak idealisme metafisik klasik tercapai dalam
filsafat G.W.F. Hegel (1770–1831), yang mengembangkan sistem idealisme
absolut (absolute idealism). Dalam Phenomenology of Spirit dan Science
of Logic, Hegel mengemukakan bahwa realitas pada dasarnya adalah roh
(Geist) yang mewujudkan dan merealisasikan diri melalui sejarah, budaya,
dan pemikiran.18 Segala perubahan dalam dunia merupakan momen dari
dialektika ide—tesis, antitesis, dan sintesis—yang membawa kesadaran menuju
kesatuan dengan dirinya sendiri. Tidak ada pemisahan antara subjek dan objek,
karena realitas adalah kesatuan rasional yang menyatakan dirinya dalam dunia.
Selain Eropa, bentuk idealisme metafisik juga
berkembang dalam filsafat Timur, misalnya dalam Advaita Vedanta yang dikembangkan
oleh Adi Shankara. Aliran ini memandang bahwa realitas sejati adalah Brahman,
kesadaran murni yang tak berubah, sementara dunia fenomenal (maya) hanyalah
penampakan yang bersifat ilusif.19 Dengan demikian, kesadaran adalah
entitas metafisik yang utama, dan pembebasan dicapai melalui penyadaran akan
kesatuan antara atman (diri) dan Brahman.
Pada abad ke-20, idealisme mengalami banyak kritik,
terutama dari tradisi filsafat analitik dan eksistensialisme, yang menilai
idealisme terlalu abstrak dan sistematik. Namun demikian, idealisme metafisik
tetap memengaruhi banyak pemikiran kontemporer, termasuk dalam bidang filsafat
agama, estetika, dan teori kesadaran. Filsuf seperti Josiah Royce, R.G.
Collingwood, dan bahkan beberapa tokoh dalam fenomenologi seperti Edmund
Husserl, mempertahankan aspek-aspek idealis dalam memahami struktur pengalaman
dan realitas.20
Inti dari idealisme metafisik terletak pada
kepercayaannya bahwa realitas bukan sesuatu yang semata-mata “ditemukan”,
tetapi juga “diciptakan” melalui struktur kesadaran dan aktivitas intelektual
manusia atau roh kosmik. Oleh karena itu, aliran ini mengundang refleksi
mendalam tentang hubungan antara pikiran dan dunia, serta tempat kesadaran
dalam tatanan ontologis realitas.
3.4.
Materialisme dan
Fisikalisme
Materialisme dan fisikalisme merupakan dua pendekatan metafisik yang
menyatakan bahwa realitas pada dasarnya bersifat material atau fisik,
dan bahwa segala sesuatu yang eksis dapat dijelaskan melalui prinsip-prinsip
materi dan hukum-hukum alam.21 Kedua aliran ini sering digunakan
secara bergantian, namun dalam konteks kontemporer, fisikalisme lebih sering
digunakan karena cakupannya yang mencakup bukan hanya materi klasik, tetapi
juga entitas fisika modern seperti medan, gelombang, dan energi.22
Materialisme memiliki akar yang sangat tua dalam sejarah
filsafat Barat, dimulai dari para filsuf pra-Sokratik seperti Leukippos
dan Demokritos, yang mengajukan teori atomisme: bahwa seluruh
realitas terdiri atas atom-atom yang bergerak dalam ruang kosong. Menurut
Demokritos, bahkan jiwa manusia adalah kumpulan atom yang halus dan bergerak
cepat, dan tidak ada keberadaan spiritual atau transenden di luar materi.23
Pendekatan ini menekankan bahwa segala fenomena, termasuk pikiran dan perasaan,
dapat dijelaskan melalui kombinasi mekanis unsur-unsur fisik.
Materialisme mengalami revitalisasi pada zaman
modern melalui pemikiran Thomas Hobbes, yang dalam Leviathan
menegaskan bahwa semua realitas, termasuk aktivitas mental dan sosial, dapat
dijelaskan secara mekanistik. Bagi Hobbes, "tidak ada hal lain selain tubuh"
(bodies only), dan semua gerak termasuk kehendak dan pemikiran adalah hasil
dari gerak dalam tubuh.24 Materialisme ini juga menjadi landasan
bagi pemikiran Karl Marx, yang mengembangkan materialisme historis—pandangan
bahwa kesadaran manusia ditentukan oleh kondisi-kondisi material ekonomi, bukan
sebaliknya.25
Dalam perkembangan filsafat abad ke-20, istilah fisikalisme
muncul sebagai bentuk materialisme yang lebih sesuai dengan ilmu pengetahuan
kontemporer. Fisikalisme menyatakan bahwa semua entitas dan peristiwa yang
ada adalah fisik atau bergantung sepenuhnya pada entitas fisik, dan bahwa
tidak ada entitas non-fisik seperti jiwa atau Tuhan.26 Salah satu
bentuk fisikalisme yang berpengaruh adalah reduksionisme, yang mengklaim
bahwa entitas atau fenomena tingkat tinggi (seperti pikiran) dapat direduksi ke
istilah-istilah ilmu fisika atau neurobiologi. Tokoh-tokoh seperti J.J.C.
Smart dan U.T. Place mengembangkan Identity Theory of Mind,
yaitu gagasan bahwa keadaan mental identik dengan keadaan otak tertentu.27
Namun, kritik terhadap fisikalisme reduksionis
muncul dalam bentuk non-reduktif fisikalisme, yang mengakui bahwa
meskipun realitas terdiri dari entitas fisik, fenomena mental tidak dapat
sepenuhnya direduksi ke dalam istilah fisik tanpa kehilangan maknanya. Filsuf
seperti Hilary Putnam dan Jaegwon Kim berargumen bahwa meskipun
semua fenomena bergantung pada basis fisik, mereka memiliki tingkat penjelasan
yang otonom dan tidak dapat direduksi secara langsung.28
Pandangan yang lebih radikal dikenal sebagai eliminativisme,
yang diajukan oleh filsuf seperti Paul Churchland, menyatakan bahwa
kategori-kategori psikologis tradisional seperti "keyakinan"
dan "keinginan" adalah bagian dari "psikologi rakyat"
(folk psychology) yang akan digantikan oleh terminologi ilmu saraf
seiring perkembangan ilmu pengetahuan.29 Dalam perspektif ini, bukan
hanya bahwa pikiran adalah fisik, melainkan bahwa cara kita memahami pikiran
saat ini akan terbukti salah dan usang.
Materialisme dan fisikalisme memiliki pengaruh
besar dalam filsafat ilmu, filsafat pikiran, dan ilmu kognitif modern. Aliran
ini juga menantang pandangan-pandangan dualistik atau spiritualistik tentang
eksistensi manusia dan dunia. Meskipun ditentang oleh idealisme dan pendekatan
dualistik, materialisme dan fisikalisme tetap menjadi salah satu pendekatan
dominan dalam metafisika kontemporer karena konsistensinya dengan metode ilmiah
dan kemampuannya dalam memberikan penjelasan kausal terhadap realitas.
3.5.
Eksistensialisme Metafisik
Eksistensialisme metafisik merupakan pendekatan
dalam filsafat yang menempatkan eksistensi manusia sebagai pusat perhatian
ontologis, bukan esensi universal atau struktur objektif realitas. Aliran
ini menolak pendekatan metafisika klasik yang mendahulukan esensi atas
eksistensi dan menggantikannya dengan pemahaman bahwa eksistensi manusia
mendahului esensinya, serta bahwa realitas tidak dapat dipahami secara utuh
tanpa mempertimbangkan dimensi keberadaan individual, subjektif, dan temporal.30
Eksistensialisme berakar pada kritik terhadap
metafisika sistematik dan abstrak yang dianggap mengabaikan pengalaman konkret
manusia. Søren Kierkegaard (1813–1855), yang sering disebut sebagai
bapak eksistensialisme, menekankan pentingnya keberadaan individual,
keputusan eksistensial, dan lompatan iman (leap of faith) dalam
menghadapi absurditas dan ketegangan eksistensial seperti kecemasan (angst)
dan keputusasaan (fortvivlelse).31 Kierkegaard memandang
bahwa metafisika tradisional gagal karena tidak mampu merespons persoalan hidup
manusia secara eksistensial, khususnya dalam relasinya dengan Tuhan dan dirinya
sendiri.
Dalam versi ateistik eksistensialisme, Jean-Paul
Sartre (1905–1980) mengembangkan gagasan bahwa manusia tidak memiliki
kodrat tetap (essence) yang mendahului keberadaannya. Dalam karya
utamanya L’Être et le Néant (Being and Nothingness), Sartre
menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang "mengada-dalam-dunia"
dan terus-menerus membentuk dirinya melalui pilihan dan tindakan.32
Realitas manusia ditandai oleh ketiadaan (néant)—kemampuan untuk
mengingkari, menunda, dan merancang ulang eksistensi. Ketiadaan ini
memungkinkan kebebasan radikal, tetapi sekaligus membawa beban tanggung jawab
dan kecemasan karena tidak ada “hakikat tetap” yang dapat dijadikan
pegangan.33 Dengan demikian, metafisika eksistensialis menempatkan manusia
sebagai proyek terbuka, bukan sebagai substansi statis seperti dalam
metafisika Aristotelian.
Martin Heidegger (1889–1976), meskipun tidak menyebut dirinya eksistensialis, memberikan
kontribusi besar terhadap fondasi ontologis aliran ini. Dalam Sein und Zeit
(Being and Time), Heidegger mengkritik sejarah metafisika Barat karena
melupakan pertanyaan fundamental: apa arti “ada” itu sendiri? Menurutnya,
subjek dari metafisika seharusnya bukan benda atau struktur realitas objektif,
melainkan Dasein—manusia sebagai makhluk yang memiliki pengertian
tentang keberadaan.34 Dasein tidak bersifat netral, melainkan selalu
terlibat dalam dunia, berada “di dalam” waktu, dan ditandai oleh
pengalaman-pengalaman seperti kekhawatiran (Besorgen), keterlemparan (Geworfenheit),
dan kematian (Sein-zum-Tode).35
Eksistensialisme metafisik juga membahas keterbatasan
akal dan pengalaman absurditas. Filsuf seperti Albert Camus,
meskipun lebih dikenal dalam ranah sastra dan filsafat kehidupan, mengemukakan
bahwa manusia hidup dalam dunia yang tidak menyediakan makna inheren. Dalam Le
Mythe de Sisyphe, Camus menyatakan bahwa absurditas muncul dari
pertentangan antara pencarian manusia akan makna dan ketidakpedulian alam
semesta.36 Dalam konteks ini, eksistensialisme bukan sekadar
filsafat tentang manusia, melainkan refleksi metafisik mengenai kondisi dasar
keberadaan: keterlemparan, kebebasan, tanggung jawab, dan pencarian makna dalam
keterbatasan eksistensi.
Ciri khas eksistensialisme metafisik adalah bahwa
ia mengganti sistem metafisika abstrak dengan deskripsi eksistensi yang
konkret, reflektif, dan sering kali tragis. Dalam arti ini, ia menolak
pendekatan esensialis, rasionalistik, atau mekanistik, dan lebih memilih untuk
menggambarkan bagaimana manusia mengalami dan memberi makna terhadap
keberadaannya.37
Eksistensialisme metafisik tetap memiliki pengaruh
besar dalam teologi, sastra, psikologi eksistensial, dan filsafat kontemporer,
terutama dalam kaitannya dengan kritik terhadap objektivisme ilmiah dan
penekanan pada pengalaman subjektif. Meskipun tidak menawarkan sistem
metafisika yang tertutup dan koheren seperti aliran klasik, eksistensialisme
menyajikan pendekatan alternatif yang mendalam terhadap pertanyaan metafisik
tertua: apa artinya ada?
3.6.
Metafisika Proses
Metafisika proses (process metaphysics) adalah aliran dalam filsafat metafisika yang
menegaskan bahwa perubahan, dinamika, dan proses adalah karakter paling
fundamental dari realitas, lebih mendasar daripada keberadaan statis atau
substansi permanen. Berbeda dari metafisika tradisional yang memusatkan
perhatian pada entitas tetap dan esensi yang tak berubah, metafisika proses
memandang dunia sebagai jaringan relasi yang senantiasa berkembang dan menjadi.38
Dasar filosofis metafisika proses berakar pada
pemikiran pra-Sokratik seperti Herakleitos, yang menyatakan bahwa "segala
sesuatu mengalir" (panta rhei) dan bahwa perubahan adalah inti
dari realitas.39 Namun, bentuk sistematis dari metafisika proses
modern dirumuskan oleh Alfred North Whitehead (1861–1947), seorang
matematikawan dan filsuf Inggris. Dalam karya monumentalnya Process and
Reality, Whitehead mengembangkan sistem metafisika yang disebutnya sebagai "organisme
filosofis", yang berupaya menjelaskan realitas sebagai rangkaian
peristiwa atau aktualisasi pengalaman (actual occasions), bukan
sebagai benda-benda statis.40
Menurut Whitehead, elemen dasar realitas bukanlah
partikel materi, melainkan peristiwa-peristiwa pengalaman yang saling
berhubungan. Ia menolak dikotomi klasik antara subjek dan objek, serta antara
pikiran dan dunia luar. Sebaliknya, semua entitas memiliki aspek mental dan
fisik, dan seluruh alam semesta merupakan proses ko-kreatif yang berlangsung
terus-menerus.41 Dalam pandangannya, bahkan Tuhan bukanlah entitas
absolut dan tak berubah, tetapi ikut serta dalam proses dunia, dengan dua aspek
utama: aspek primordial (prinsip kemungkinan yang tak berubah) dan aspek
konsekuen (yang berhubungan dengan dunia dan berkembang bersamanya).42
Metafisika proses juga mendapat pengembangan lebih
lanjut dari Charles Hartshorne (1897–2000), yang memperkenalkan konsep panenteisme—bahwa
Tuhan meliputi dunia dan sekaligus melampauinya, serta berubah secara afektif
bersama pengalaman dunia.43 Bagi Hartshorne, pemahaman tentang Tuhan
sebagai dinamis dan berelasi lebih koheren dengan pengalaman religius dan moral
manusia dibandingkan konsep klasik Tuhan yang statis dan tak terpengaruh.
Ciri khas metafisika proses adalah penolakan
terhadap substansialisme, yakni pandangan bahwa realitas terdiri atas
benda-benda yang mandiri dan tetap. Sebaliknya, segala sesuatu dalam metafisika
proses bersifat interdependen, temporal, dan memiliki dimensi perkembangan.
Konsep-konsep seperti kesadaran, waktu, nilai, dan relasi menjadi pusat
perhatiannya. Dalam sistem Whitehead, misalnya, waktu bukan hanya suatu dimensi
yang netral, melainkan struktur dasar eksistensi itu sendiri—setiap entitas
adalah momen dalam aliran waktu yang saling berhubungan secara kausal.44
Relevansi metafisika proses semakin meningkat dalam
era kontemporer, khususnya dalam dialog antara filsafat, ilmu pengetahuan,
dan teologi. Dalam filsafat sains, metafisika proses menawarkan paradigma
yang sejalan dengan fisika kuantum dan teori sistem kompleks, yang memandang
realitas sebagai medan kemungkinan dan perubahan, bukan sebagai kumpulan objek
tetap.45 Dalam teologi, pendekatan proses memungkinkan
reinterpretasi tentang sifat Tuhan yang lebih relasional, terbuka terhadap doa
dan penderitaan, serta terlibat aktif dalam sejarah dunia.
Namun, metafisika proses juga menuai kritik.
Sebagian filsuf mempertanyakan apakah konsep seperti actual occasions
benar-benar dapat memberikan penjelasan yang lebih baik dibandingkan model
metafisika tradisional.46 Meski demikian, metafisika proses tetap
menjadi alternatif serius dalam wacana metafisika kontemporer, khususnya bagi
mereka yang mencari model realitas yang lebih dinamis, ekologis, dan terbuka
terhadap kompleksitas pengalaman manusia.
3.7.
Metafisika Kontemporer dan
Analitik
Metafisika kontemporer dan analitik menandai kebangkitan dan reformulasi studi
metafisika dalam filsafat abad ke-20 dan ke-21, khususnya dalam tradisi
filsafat berbahasa Inggris. Setelah sempat ditolak oleh gerakan positivisme
logis, yang menganggap pernyataan metafisik sebagai nonsens karena tidak
dapat diverifikasi secara empiris, metafisika kembali mendapat tempat dalam
diskursus filsafat analitik berkat perkembangan dalam logika simbolik,
semantik, dan teori bahasa.47
Salah satu momen penting dalam revitalisasi
metafisika analitik adalah munculnya filsafat bahasa biasa dan logika
modal, yang memungkinkan pernyataan metafisik dikaji dengan presisi dan
kejelasan yang sebelumnya tidak tersedia dalam metafisika klasik.48
Metafisika analitik modern lebih berfokus pada penjelasan tentang struktur
logis realitas, menggunakan konsep-konsep seperti modalitas
(kemungkinan dan keharusan), identitas personal, relasi kausal,
dan struktur ontologis dari dunia.
Tokoh sentral dalam kebangkitan metafisika analitik
adalah Saul Kripke, yang dalam kuliahnya Naming and Necessity
(1980) membongkar teori deskriptif referensi dan memperkenalkan teori penunjukan
kaku (rigid designation). Menurut Kripke, nama-nama seperti “Aristoteles”
merujuk secara langsung kepada individu tertentu dalam semua dunia-mungkin di
mana individu itu eksis, tanpa melalui deskripsi apapun.49 Hal ini
memiliki konsekuensi besar bagi metafisika, karena membuka kembali diskusi
tentang esensi metafisik, identitas trans-temporal, dan realitas
modal.50
Sumbangan lain yang tak kalah penting datang dari David
Lewis, yang mengembangkan teori dunia-mungkin (possible worlds)
secara radikal. Dalam On the Plurality of Worlds (1986), Lewis
menyatakan bahwa dunia-mungkin bukan sekadar cara berbicara, melainkan
eksistensi nyata yang setara dengan dunia aktual kita.51 Pandangan
ini, yang disebut modal realism, memungkinkan analisis logis yang sangat
kuat terhadap berbagai problem metafisik seperti kemungkinan, kausalitas, dan
kontrafaktual.52 Meskipun pandangannya kontroversial, Lewis berhasil
menempatkan metafisika di jantung filsafat analitik modern.
Metafisika analitik juga mencakup diskusi tentang ontologi—apa
yang benar-benar ada. Willard Van Orman Quine, dalam esainya “On What
There Is” (1948), mengajukan prinsip bahwa komitmen ontologis seseorang
dapat ditentukan dari bentuk logis teorinya, yang dikenal sebagai “kriteria
Quine.”_53 Quine menolak dikotomi analitik-sintetik yang menjadi
dasar positivisme logis dan membuka ruang bagi metafisika yang konsisten secara
logis dan empiris. Ia menegaskan bahwa pertanyaan-pertanyaan metafisik sah-sah
saja sejauh dapat disusun dalam kerangka logika formal dan berkontribusi
terhadap kesatuan sains.
Di samping itu, metafisika kontemporer juga
menjangkau isu-isu seperti identitas personal, keberlanjutan objek,
realitas waktu, dan relasi antara pikiran dan tubuh.54
Filsuf seperti Peter van Inwagen, Alvin Plantinga, dan Lynne
Rudder Baker mengembangkan metafisika dengan latar belakang religius dan
epistemologis, menyumbang pada dialog antara metafisika dan filsafat agama,
serta memperluas cakupan metafisika ke wilayah kepercayaan, kemungkinan
dunia-transenden, dan kebebasan kehendak.
Pendekatan kontemporer ini memperlihatkan bahwa
metafisika tidak lagi identik dengan spekulasi bebas, melainkan sebagai bidang
sistematis yang berakar pada analisis logis, argumentasi ketat, dan
keterkaitan erat dengan epistemologi dan semantik. Meski tidak selalu
bersepakat dalam ontologi tertentu, metafisika analitik menyumbang kerangka
metodologis yang sangat berharga dalam menjawab pertanyaan mendalam mengenai
struktur dan status realitas.
Penutup Bagian
Pembahasan mengenai berbagai
aliran dalam metafisika menunjukkan betapa kompleks dan beragamnya pendekatan
manusia dalam memahami realitas pada tingkat terdalam. Setiap aliran—mulai dari
realisme metafisik yang menekankan objektivitas eksistensi, nominalisme
dan empirisme yang memprioritaskan pengalaman partikular, idealisme
yang mengedepankan peran kesadaran, materialisme dan fisikalisme
yang menundukkan segala sesuatu kepada hukum-hukum fisik, hingga eksistensialisme
yang mengangkat keberadaan manusia konkret, serta metafisika proses dan
metafisika analitik kontemporer yang menghadirkan kerangka baru dalam
memahami dinamika dan struktur realitas—memberikan kontribusi signifikan
terhadap perkembangan filsafat.
Perbedaan mendasar antara
satu aliran dengan aliran lain tidak sekadar terletak pada jawaban atas
pertanyaan metafisik, melainkan pada cara memahami apa yang layak
disebut sebagai “ada”, bagaimana struktur eksistensi itu
dikonsepsi, serta apa makna dari menjadi dalam konteks dunia
dan kesadaran. Masing-masing pendekatan menawarkan titik tolak,
instrumen konseptual, dan horizon refleksi yang khas, sekaligus membuka ruang
perdebatan yang terus hidup dalam diskursus metafisika hingga hari ini.
Dengan memahami klasifikasi
ini, pembaca tidak hanya dapat mengenali beragam wajah metafisika, tetapi juga
menyadari bahwa setiap usaha manusia untuk memahami realitas selalu melibatkan
pilihan filosofis yang berakar pada asumsi-asumsi ontologis yang mendalam.
Kesadaran terhadap pilihan-pilihan ini menjadi landasan penting bagi
pengembangan pemikiran kritis dan reflektif dalam menghadapi
pertanyaan-pertanyaan dasar tentang keberadaan, makna, dan dunia tempat manusia
hidup.
Footnotes
[1]
Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary
Introduction, 4th ed. (New York: Routledge, 2020), 5–7.
[2]
Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube, rev.
C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 514a–520a.
[3]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in
The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern
Library, 2001), 689–692.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I,
q.3, a.4.
[5]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
vol. 2, Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 113–120.
[6]
Alvin Plantinga, The Nature of Necessity (Oxford:
Clarendon Press, 1974), 7–14.
[7]
Michael J. Loux and Thomas M. Crisp, Metaphysics:
A Contemporary Introduction, 4th ed. (New York: Routledge, 2020), 14–15.
[8]
John Marenbon, Medieval Philosophy: An
Historical and Philosophical Introduction (London: Routledge, 2007),
201–203.
[9]
William of Ockham, Ockham’s Theory of Terms:
Part I of the Summa Logicae, trans. Michael J. Loux (Notre Dame: University
of Notre Dame Press, 1974), 10–12.
[10]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
vol. 2, Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 215–219.
[11]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed.
L.A. Selby-Bigge, rev. P.H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1978),
1.1.4–1.4.6.
[12]
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press,
1999), sec. VII.
[13]
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Penguin Books, 2001), 34–47.
[14]
Michael J. Loux and Thomas M. Crisp, Metaphysics:
A Contemporary Introduction, 4th ed. (New York: Routledge, 2020), 60–63.
[15]
George Berkeley, A Treatise Concerning the
Principles of Human Knowledge, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford
University Press, 1998), §§3–6.
[16]
Ibid., §§27–33.
[17]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A19/B33–A49/B73.
[18]
G.W.F. Hegel, The Phenomenology of Spirit,
trans. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 17–25.
[19]
Eliot Deutsch, Advaita Vedanta: A Philosophical
Reconstruction (Honolulu: University of Hawaii Press, 1973), 9–15.
[20]
Josiah Royce, The World and the Individual,
vol. 1 (New York: Macmillan, 1899), xii–xiv; Edmund Husserl, Ideas
Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy,
trans. F. Kersten (Dordrecht: Kluwer Academic, 1983), 92–97.
[21]
Michael J. Loux and Thomas M. Crisp, Metaphysics:
A Contemporary Introduction, 4th ed. (New York: Routledge, 2020), 119–122.
[22]
Daniel Stoljar, Physicalism (London:
Routledge, 2010), 7–10.
[23]
G.S. Kirk, J.E. Raven, and M. Schofield, The
Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983),
410–417.
[24]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), chap. 1–6.
[25]
Karl Marx, A Contribution to the Critique of
Political Economy, trans. N.I. Stone (Chicago: Charles H. Kerr, 1904),
xii–xiii.
[26]
Jaegwon Kim, Philosophy of Mind, 3rd ed.
(Boulder: Westview Press, 2011), 94–96.
[27]
J.J.C. Smart, “Sensations and Brain Processes,” Philosophical
Review 68, no. 2 (1959): 141–156.
[28]
Hilary Putnam, “The Nature of Mental States,” in Mind,
Language and Reality: Philosophical Papers, vol. 2 (Cambridge: Cambridge
University Press, 1975), 429–440; Jaegwon Kim, Supervenience and Mind
(Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 3–25.
[29]
Paul M. Churchland, Eliminative Materialism and
the Propositional Attitudes, Journal of Philosophy 78, no. 2 (1981):
67–90.
[30]
William L. Craig, The Cosmological Argument from
Plato to Leibniz (London: Macmillan, 1980), 134.
[31]
Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety,
trans. Reidar Thomte (Princeton: Princeton University Press, 1980), 42–49.
[32]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 22–34.
[33]
Ibid., 66–70.
[34]
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–38.
[35]
Ibid., 174–234.
[36]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans.
Justin O'Brien (New York: Vintage International, 1991), 3–19.
[37]
Robert C. Solomon, Existentialism (New York:
Oxford University Press, 2006), 97–115.
[38]
Nicholas Rescher, Process Metaphysics: An
Introduction to Process Philosophy (Albany: State University of New York
Press, 1996), 1–3.
[39]
G.S. Kirk, J.E. Raven, and M. Schofield, The
Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983),
188–191.
[40]
Alfred North Whitehead, Process and Reality: An
Essay in Cosmology, ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New
York: Free Press, 1978), 22–24.
[41]
Ibid., 34–40.
[42]
Ibid., 343–350.
[43]
Charles Hartshorne, The Divine Relativity: A
Social Conception of God (New Haven: Yale University Press, 1948), 5–9.
[44]
John B. Cobb Jr. and David Ray Griffin, Process
Theology: An Introductory Exposition (Philadelphia: Westminster Press,
1976), 28–34.
[45]
Philip Clayton, God and Contemporary Science
(Grand Rapids: Eerdmans, 1997), 112–115.
[46]
William Lane Craig, God, Time, and Eternity: The
Coherence of Theism II (Dordrecht: Springer, 2001), 83–88.
[47]
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Penguin Books, 2001), 40–42.
[48]
Timothy Williamson, Modal Logic as Metaphysics
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 1–5.
[49]
Saul Kripke, Naming and Necessity
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 48–52.
[50]
Ibid., 110–125.
[51]
David Lewis, On the Plurality of Worlds
(Oxford: Blackwell, 1986), 1–5.
[52]
Ibid., 86–103.
[53]
W.V.O. Quine, “On What There Is,” Review of
Metaphysics 2, no. 1 (1948): 21–38.
[54]
Michael J. Loux and Thomas M. Crisp, Metaphysics:
A Contemporary Introduction, 4th ed. (New York: Routledge, 2020), 169–205.
4.
Perbandingan
dan Dialog antar-Aliran
Studi perbandingan dalam metafisika tidak hanya
bertujuan untuk menempatkan setiap aliran dalam kerangka kategoris yang
terpisah, tetapi juga untuk menyingkap ketegangan epistemologis, ontologis,
dan metodologis yang membentuk dinamika pemikiran metafisik sepanjang
sejarah filsafat. Perbedaan mendasar antara aliran-aliran metafisik terletak
pada jawaban mereka terhadap pertanyaan “apa yang benar-benar ada?”,
“bagaimana kita mengetahuinya?”, dan “apa struktur dasar dari realitas?”.
Salah satu ketegangan paling mencolok muncul antara
realisme metafisik dan nominalisme. Realisme metafisik, baik
dalam bentuk Platonik maupun Aristotelian, mengasumsikan bahwa struktur
realitas bersifat objektif dan independen dari pikiran, serta mencakup
entitas-entitas universal yang bersifat tetap.¹ Sebaliknya, nominalisme menolak
eksistensi entitas universal yang bersifat objektif, dan memandang
konsep-konsep seperti “manusia” atau “keadilan” hanyalah konvensi
linguistik atau abstraksi mental belaka.² Perdebatan ini
mencerminkan perbedaan dalam memahami ontologi dan semantik: apakah bahasa kita
mengacu pada struktur ontologis nyata, ataukah sekadar cara mengorganisir
pengalaman?
Konflik lain terjadi antara idealisme dan materialisme/fisikalisme.
Idealisme menempatkan kesadaran, pikiran, atau roh sebagai dasar realitas;
bagi Berkeley dan Hegel, dunia fisik hanyalah aspek dari pengalaman mental atau
aktualisasi roh absolut.³ Sebaliknya, fisikalisme menyatakan bahwa semua yang
ada pada akhirnya bersifat fisik, dan fenomena mental pun dapat dijelaskan
melalui hukum-hukum materi.⁴ Perdebatan antara kedua aliran ini masih relevan
dalam filsafat pikiran kontemporer, khususnya dalam diskusi mengenai reduktionisme
mental dan kesadaran fenomenal (qualia).⁵
Sementara itu, eksistensialisme metafisik
dan metafisika proses memperkenalkan perspektif baru yang menantang
asumsi-asumsi statis dalam metafisika klasik. Kedua aliran ini menekankan bahwa
realitas bersifat dinamis, historis, dan melibatkan keterlibatan subjek
secara eksistensial. Bagi eksistensialisme, makna keberadaan tidak ditemukan
dalam esensi yang tetap, melainkan dalam keputusan, kebebasan, dan
keterlemparan manusia dalam dunia.⁶ Sementara metafisika proses, terutama
melalui pemikiran Whitehead dan Hartshorne, memandang seluruh realitas sebagai
rangkaian peristiwa dan relasi yang berproses.⁷ Dalam pengertian ini, kedua
aliran menolak substansialisme metafisik, dan lebih memilih ontologi
temporal dan relasional.
Menariknya, metafisika analitik kontemporer
berupaya menjembatani ketegangan-ketegangan tersebut melalui pendekatan logis,
konseptual, dan sistematis terhadap permasalahan metafisika klasik. Teori possible
worlds yang dikembangkan oleh David Lewis, misalnya, memungkinkan penilaian
ulang terhadap modalitas, esensi, dan eksistensi alternatif dalam kerangka ontologi
yang ketat.⁸ Demikian pula, pendekatan Kripke dalam Naming and Necessity
membuka kembali diskusi metafisik tentang identitas dan referensi tanpa kembali
pada spekulasi pra-analitik.⁹ Ini menunjukkan bahwa metafisika dapat diperkaya
melalui dialog antar-aliran, bukan melalui penolakan mutlak.
Di sisi lain, sejumlah filsuf kontemporer mencoba
membangun metafisika integratif atau pluralistik yang tidak hanya
mengakui perbedaan paradigma, tetapi juga mencoba mencari titik temu. Misalnya,
beberapa pendekatan dalam teologi filosofis mencoba menggabungkan elemen
idealisme, realisme, dan prosesualisme dalam menjelaskan Tuhan dan dunia.¹⁰
Demikian pula, dalam filsafat ilmu dan ekologi, pendekatan proses dan
relasional cenderung mendapatkan tempat karena lebih mampu menjelaskan
kompleksitas sistem alam yang tidak bisa dipahami hanya dengan paradigma
fisikistik reduksionis.
Dengan demikian, dialog antar-aliran metafisik
tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga memberikan wawasan metodologis
dalam menyikapi batas-batas pengetahuan manusia tentang realitas. Alih-alih
memilih satu posisi secara eksklusif, filsuf kontemporer cenderung bersikap
kritis dan eklektis—menggabungkan wawasan dari berbagai pendekatan untuk
merumuskan jawaban yang lebih menyeluruh, kontekstual, dan terbuka terhadap
dimensi-dimensi baru realitas.
Footnotes
[1]
Michael J. Loux and Thomas M. Crisp, Metaphysics:
A Contemporary Introduction, 4th ed. (New York: Routledge, 2020), 23–30.
[2]
John Marenbon, Medieval Philosophy: An
Historical and Philosophical Introduction (London: Routledge, 2007),
201–203.
[3]
George Berkeley, A Treatise Concerning the
Principles of Human Knowledge, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford
University Press, 1998), §§3–6; G.W.F. Hegel, The Phenomenology of Spirit,
trans. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 17–25.
[4]
Jaegwon Kim, Philosophy of Mind, 3rd ed.
(Boulder: Westview Press, 2011), 94–96.
[5]
Thomas Nagel, “What Is It Like to Be a Bat?” The
Philosophical Review 83, no. 4 (1974): 435–450.
[6]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 22–34.
[7]
Alfred North Whitehead, Process and Reality,
ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978),
22–24.
[8]
David Lewis, On the Plurality of Worlds
(Oxford: Blackwell, 1986), 1–5.
[9]
Saul Kripke, Naming and Necessity
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 48–77.
[10]
Charles Hartshorne, The Divine Relativity: A
Social Conception of God (New Haven: Yale University Press, 1948), 5–20.
5.
Relevansi
Aliran-Aliran Metafisik dalam Konteks Modern
Di tengah perkembangan sains, teknologi, dan
filsafat kontemporer, metafisika tetap mempertahankan posisinya sebagai ranah
reflektif yang membahas pertanyaan mendasar tentang keberadaan, kenyataan,
dan struktur terdalam dari segala sesuatu. Berbagai aliran metafisika yang
telah berkembang sejak zaman klasik tidak hanya berfungsi sebagai warisan
historis, tetapi juga menjadi kerangka konseptual yang terus direkonstruksi
dalam menjawab tantangan zaman modern.
Dalam bidang ilmu pengetahuan alam,
metafisika memberikan kontribusi penting dalam merumuskan dasar ontologis
berbagai teori ilmiah. Fisikalisme dan materialisme, misalnya, menjadi fondasi
filosofis bagi pendekatan reduksionis dalam biologi, fisika, dan neuroilmu.¹
Namun, dengan munculnya fenomena kompleks dalam fisika kuantum dan teori relativitas,
banyak ilmuwan dan filsuf mulai mempertanyakan kecukupan model materialistik
murni. Beberapa konsep dalam fisika kontemporer, seperti entanglement atau
non-locality, menantang pemahaman tradisional tentang ruang, waktu, dan
kausalitas—hal-hal yang sejak lama menjadi bahan kajian metafisika.² Akibatnya,
metafisika proses dan pendekatan relasional kini mulai diperhitungkan sebagai
alternatif yang lebih kompatibel dengan sains modern.³
Dalam ranah filsafat pikiran, relevansi
metafisika tampak nyata dalam perdebatan tentang kesadaran, identitas
personal, dan kehendak bebas. Teori identitas dan fisikalisme telah
dikritik karena kesulitannya menjelaskan aspek fenomenal dari pengalaman sadar
(qualia). Filsuf seperti David Chalmers mengangkat kembali persoalan
metafisik tentang “masalah sulit kesadaran” (the hard problem of
consciousness) dan menegaskan bahwa pendekatan fisik saja tidak mencukupi
untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana pengalaman subjektif terjadi.⁴ Dalam
konteks ini, metafisika idealis, dualisme interaksionis, atau bahkan pendekatan
panpsikisme mulai kembali dibahas secara serius dalam diskursus ilmiah dan
filosofis.⁵
Dalam filsafat agama dan teologi, metafisika
berperan dalam merumuskan kembali konsep tentang Tuhan, waktu, kehendak bebas,
dan keabadian jiwa. Konsep-konsep dari metafisika klasik, seperti esensi dan
eksistensi dalam filsafat Thomistik, terus dikembangkan dalam dialog antara
filsafat dan teologi.⁶ Sementara itu, metafisika proses menawarkan pandangan
yang lebih dinamis dan relasional tentang Tuhan, yang lebih sesuai dengan
pandangan dunia kontemporer yang menekankan interkonektivitas dan keterlibatan
etis.⁷ Relevansi metafisika dalam diskursus teologis juga mencakup isu-isu
ekoteologis, di mana pendekatan ontologi relasional atau prosesual dianggap
lebih mampu mendukung kesadaran ekologis dan tanggung jawab moral terhadap
alam.
Metafisika juga semakin penting dalam etika dan
filsafat teknologi, khususnya ketika berhadapan dengan perkembangan
kecerdasan buatan, bioteknologi, dan transhumanisme. Pertanyaan-pertanyaan
tentang apa yang membuat seseorang menjadi manusia, apa yang dimaksud dengan
identitas dan keberlanjutan personal, serta bagaimana kita memaknai keberadaan
dalam dunia digital, semuanya mengandung dimensi metafisik yang mendalam.⁸
Apakah “kesadaran buatan” benar-benar mungkin? Apakah rekayasa genetika
dapat mengubah esensi manusia? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak dapat dijawab
hanya dari sudut pandang teknis atau biologis, melainkan menuntut pemahaman
ontologis yang mendalam—bidang yang secara klasik digarap oleh metafisika.
Selain itu, dalam ranah sosial dan politik,
metafisika memiliki kontribusi dalam mendasari teori tentang keadilan,
kebebasan, dan identitas kolektif. Debat kontemporer mengenai hak asasi
manusia, identitas gender, dan keadilan sosial melibatkan asumsi metafisik
tentang natur manusia, hakikat kebebasan, dan konsep nilai.⁹ Dengan demikian,
metafisika tidak lagi dipandang sebagai spekulasi abstrak yang terpisah dari
kehidupan praktis, tetapi justru sebagai fondasi konseptual yang memberi arah
bagi refleksi etis dan kebijakan publik.
Akhirnya, dalam konteks global yang semakin plural
dan kompleks, terjadi kecenderungan menuju metafisika pluralistik dan
integratif, yang membuka ruang bagi dialog antar-aliran, bahkan
antartradisi filsafat Timur dan Barat.¹⁰ Misalnya, relasi antara metafisika
Advaita Vedanta dan idealisme Barat, atau antara prosesualisme Whitehead dan
Buddhisme Mahayana, menunjukkan bahwa metafisika dapat menjadi medan pertemuan
antarvisi dunia yang berbeda. Kecenderungan ini memperlihatkan bahwa
keberagaman dalam pemikiran metafisik tidak selalu menjadi sumber konflik,
melainkan bisa menjadi sumber kekayaan konseptual dan spiritual dalam
membangun pemahaman yang lebih luas tentang realitas.
Footnotes
[1]
Jaegwon Kim, Philosophy of Mind, 3rd ed.
(Boulder: Westview Press, 2011), 94–96.
[2]
Henry P. Stapp, Mindful Universe: Quantum
Mechanics and the Participating Observer (Berlin: Springer, 2011), 22–28.
[3]
Nicholas Rescher, Process Metaphysics: An
Introduction to Process Philosophy (Albany: State University of New York
Press, 1996), 45–48.
[4]
David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search
of a Fundamental Theory (New York: Oxford University Press, 1996), 3–6.
[5]
Galen Strawson, “Realistic Monism: Why Physicalism
Entails Panpsychism,” Journal of Consciousness Studies 13, no. 10–11
(2006): 3–31.
[6]
Edward Feser, Aquinas: A Beginner’s Guide
(Oxford: Oneworld Publications, 2009), 58–70.
[7]
Charles Hartshorne, The Divine Relativity: A
Social Conception of God (New Haven: Yale University Press, 1948), 15–22.
[8]
Luciano Floridi, The Philosophy of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 241–260.
[9]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making
of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989),
28–44.
[10]
Eliot Deutsch, Comparative Philosophy: Western,
Indian, and Chinese Philosophies Compared (Honolulu: University of Hawaii
Press, 1985), 112–119.
6.
Kesimpulan
Metafisika sebagai cabang filsafat yang paling
mendasar tetap menunjukkan daya tahan dan vitalitasnya dalam sejarah
intelektual manusia. Melalui eksplorasi terhadap berbagai aliran metafisik—dari
realisme, nominalisme, idealisme, materialisme, eksistensialisme,
prosesualisme, hingga metafisika analitik kontemporer—kita dapat
melihat bahwa perbedaan-perbedaan di antara aliran-aliran tersebut bukanlah
sekadar persoalan terminologis, melainkan mencerminkan variasi pandangan
yang mendalam tentang sifat kenyataan, struktur eksistensi, dan hubungan antara
subjek dan dunia.¹
Setiap aliran metafisik menyuguhkan paradigma dan
metodologi yang khas dalam memahami apa yang “ada” dan bagaimana kita
dapat mengetahuinya. Realisme dan idealisme, misalnya, bertolak dari asumsi
metafisik yang sangat berbeda tentang apakah realitas bersifat independen atau
justru dikonstruksi melalui kesadaran.² Sementara itu, pendekatan empiris dan
fisikalis menantang metafisika tradisional dengan menuntut akuntabilitas
epistemik yang berbasis pada pengalaman dan sains.³ Eksistensialisme dan
metafisika proses, pada sisi lain, membawa fokus pada keberadaan konkret,
relasionalitas, dan waktu, yang sering kali diabaikan oleh pendekatan
metafisika sistematis klasik.⁴
Dalam konteks kontemporer, metafisika tidak lagi
terkungkung oleh batasan-batasan doktrinal atau dikotomis. Berbagai pendekatan
sekarang saling bersilang dan berdialog. Filsafat analitik telah membuka ruang
bagi metafisika yang lebih presisi dan terstruktur, sementara pengaruh dari
filsafat kontinental, Timur, dan teologi memperkaya lanskap pemikiran metafisik
secara lintas budaya dan multidisipliner.⁵ Dengan demikian, metafisika saat
ini bukan hanya ladang spekulasi, melainkan ruang reflektif untuk merumuskan
ulang makna eksistensi dalam terang pengetahuan ilmiah, kesadaran etis, dan
pengalaman spiritual.
Lebih jauh, relevansi metafisika sangat terasa
dalam pelbagai ranah aktual: dari perdebatan tentang kesadaran dan kecerdasan
buatan, hingga pertanyaan tentang keberlanjutan ekologis dan makna keadilan
sosial. Ketika manusia dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mendasar yang
tidak dapat dijawab semata-mata oleh ilmu empiris, metafisika hadir sebagai kerangka
konseptual dan eksistensial yang membantu menavigasi kompleksitas
realitas.⁶ Oleh karena itu, mengkaji dan memahami aliran-aliran metafisik
bukanlah sekadar upaya historis, melainkan sebuah tindakan
reflektif-filosofis yang mendalam, yang membuka ruang bagi pemikiran yang
lebih terbuka, transformatif, dan kritis.
Dengan menelusuri sejarah, tokoh, dan tema-tema
utama dalam metafisika, kita tidak hanya memperkaya wawasan intelektual, tetapi
juga membangun landasan untuk berpikir secara lebih radikal dan menyeluruh
tentang keberadaan, kebenaran, dan kemungkinan. Dalam dunia yang terus
berubah dan penuh ambiguitas, metafisika tetap menjadi sarana untuk merumuskan
harapan akan koherensi, makna, dan pemahaman mendalam tentang kehidupan manusia
dalam keseluruhannya.⁷
Footnotes
[1]
Michael J. Loux and Thomas M. Crisp, Metaphysics:
A Contemporary Introduction, 4th ed. (New York: Routledge, 2020), 2–5.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
vol. 1 (New York: Image Books, 1993), 302–309.
[3]
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Penguin Books, 2001), 34–40.
[4]
Alfred North Whitehead, Process and Reality,
ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978),
27–34.
[5]
Timothy Williamson, Modal Logic as Metaphysics
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 10–15; Eliot Deutsch, Comparative
Philosophy: Western, Indian, and Chinese Philosophies Compared (Honolulu:
University of Hawaii Press, 1985), 112–119.
[6]
David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search
of a Fundamental Theory (New York: Oxford University Press, 1996), 3–6.
[7]
Robert C. Solomon, Big Questions: A Short Introduction
to Philosophy, 9th ed. (Boston: Cengage Learning, 2014), 103–105.
Daftar Pustaka
Ayer, A. J. (2001). Language, truth and logic.
Penguin Books.
Berkeley, G. (1998). A treatise concerning the
principles of human knowledge (J. Dancy, Ed.). Oxford University Press.
Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J.
O’Brien, Trans.). Vintage International. (Original work published 1942)
Chalmers, D. J. (1996). The conscious mind: In
search of a fundamental theory. Oxford University Press.
Churchland, P. M. (1981). Eliminative materialism
and the propositional attitudes. The Journal of Philosophy, 78(2),
67–90.
Clayton, P. (1997). God and contemporary science.
Eerdmans.
Cobb, J. B., Jr., & Griffin, D. R. (1976). Process
theology: An introductory exposition. Westminster Press.
Copleston, F. (1993). A history of philosophy:
Volume 1, Greece and Rome. Image Books.
Copleston, F. (1993). A history of philosophy:
Volume 2, Medieval philosophy. Image Books.
Craig, W. L. (1980). The cosmological argument
from Plato to Leibniz. Macmillan.
Craig, W. L. (2001). God, time, and eternity:
The coherence of theism II. Springer.
Deutsch, E. (1973). Advaita Vedanta: A
philosophical reconstruction. University of Hawaii Press.
Deutsch, E. (1985). Comparative philosophy:
Western, Indian, and Chinese philosophies compared. University of Hawaii
Press.
Floridi, L. (2011). The philosophy of
information. Oxford University Press.
Feser, E. (2009). Aquinas: A beginner’s guide.
Oneworld Publications.
Hartshorne, C. (1948). The divine relativity: A
social conception of God. Yale University Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work
published 1927)
Hobbes, T. (1996). Leviathan (R. Tuck, Ed.).
Cambridge University Press. (Original work published 1651)
Hume, D. (1978). A treatise of human nature
(L. A. Selby-Bigge, Ed.; P. H. Nidditch, Rev.). Clarendon Press.
Hume, D. (1999). An enquiry concerning human
understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press.
Kant, I. (1929). Critique of pure reason (N.
Kemp Smith, Trans.). Macmillan. (Original work published 1781)
Kim, J. (1993). Supervenience and mind.
Cambridge University Press.
Kim, J. (2011). Philosophy of mind (3rd
ed.). Westview Press.
Kirk, G. S., Raven, J. E., & Schofield, M.
(1983). The presocratic philosophers (2nd ed.). Cambridge University
Press.
Kripke, S. (1980). Naming and necessity.
Harvard University Press.
Lewis, D. (1986). On the plurality of worlds.
Blackwell.
Loux, M. J., & Crisp, T. M. (2020). Metaphysics:
A contemporary introduction (4th ed.). Routledge.
Marx, K. (1904). A contribution to the critique
of political economy (N. I. Stone, Trans.). Charles H. Kerr. (Original work
published 1859)
Marenbon, J. (2007). Medieval philosophy: An
historical and philosophical introduction. Routledge.
Nagel, T. (1974). What is it like to be a bat? The
Philosophical Review, 83(4), 435–450.
Plantinga, A. (1974). The nature of necessity.
Clarendon Press.
Putnam, H. (1975). The nature of mental states. In Mind,
language and reality: Philosophical papers (Vol. 2, pp. 429–440). Cambridge
University Press.
Quine, W. V. O. (1948). On what there is. The
Review of Metaphysics, 2(1), 21–38.
Rescher, N. (1996). Process metaphysics: An
introduction to process philosophy. State University of New York Press.
Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness
(H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press. (Original work published 1943)
Smart, J. J. C. (1959). Sensations and brain
processes. The Philosophical Review, 68(2), 141–156.
Solomon, R. C. (2006). Existentialism (2nd
ed.). Oxford University Press.
Solomon, R. C. (2014). Big questions: A short
introduction to philosophy (9th ed.). Cengage Learning.
Stapp, H. P. (2011). Mindful universe: Quantum
mechanics and the participating observer. Springer.
Strawson, G. (2006). Realistic monism: Why
physicalism entails panpsychism. Journal of Consciousness Studies, 13(10–11),
3–31.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The
making of the modern identity. Harvard University Press.
Whitehead, A. N. (1978). Process and reality: An
essay in cosmology (D. R. Griffin & D. W. Sherburne, Eds.). Free Press.
(Original work published 1929)
Williamson, T. (2013). Modal logic as
metaphysics. Oxford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar