Selasa, 01 April 2025

Al-Jamaah dalam Pemikiran Islam Klasik

Al-Jamaah dalam Pemikiran Islam Klasik

Fondasi Teologis dan Relevansi Kontemporer


Alihkan ke: Aliran-Aliran Ilmu Kalam.


Abstrak

Artikel ini mengkaji konsep Al-Jamaah sebagai salah satu aliran pemikiran penting dalam sejarah Islam klasik yang memiliki peran sentral dalam menjaga kemurnian ajaran dan persatuan umat. Istilah Al-Jamaah secara linguistik berarti komunitas atau kelompok yang bersatu, namun secara teologis dan historis mengacu pada kelompok mayoritas umat Islam yang mengikuti ajaran Rasulullah Saw dan para sahabat, serta menolak bentuk-bentuk perpecahan dan ekstremisme. Kajian ini menelusuri asal-usul Al-Jamaah, karakteristik utamanya, keterkaitannya dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah, hingga relevansinya dalam menjawab tantangan zaman modern seperti radikalisme, disintegrasi sosial, dan krisis otoritas keagamaan. Melalui pendekatan deskriptif-analitis berbasis sumber-sumber klasik dan kontemporer yang kredibel, artikel ini menunjukkan bahwa Al-Jamaah tidak hanya menjadi warisan ideologis Islam klasik, tetapi juga solusi visioner dalam merawat moderasi, toleransi, dan persatuan umat Islam dewasa ini. Artikel ini juga memberikan rekomendasi untuk membumikan nilai-nilai Al-Jamaah dalam sistem pendidikan dan praksis keagamaan modern dalam kerangka berpikir Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Kata Kunci: Al-Jamaah, Ahlus Sunnah wal Jamaah, pemikiran Islam klasik, moderasi, persatuan umat, radikalisme, sejarah Islam, akidah.


PEMBAHASAN

Al-Jamaah dalam Pemikiran Islam Klasik


1.           Pendahuluan

Dalam lintasan sejarah pemikiran Islam, istilah Al-Jamaah memiliki posisi yang sangat penting, baik secara teologis, sosiologis, maupun politis. Secara etimologis, Al-Jamaah berasal dari akar kata jama‘a yang berarti mengumpulkan, berkumpul, atau bersatu. Dalam terminologi Islam klasik, istilah ini merujuk pada komunitas mayoritas umat Islam yang berpegang teguh pada sunnah Nabi Muhammad Saw dan ijma‘ para sahabat, serta menolak segala bentuk perpecahan yang dapat merusak kesatuan umat.¹

Makna Al-Jamaah menjadi semakin signifikan dalam sejarah ketika umat Islam menghadapi berbagai krisis pasca wafatnya Rasulullah Saw, terutama saat terjadi konflik politik dan munculnya aliran-aliran seperti Khawarij, Syi’ah, dan Murji’ah. Dalam kondisi seperti ini, Al-Jamaah diposisikan sebagai representasi dari kelompok yang berkomitmen menjaga persatuan, menjauhi sikap ekstrem, dan tetap loyal terhadap pemerintahan Muslim yang sah selama tidak menunjukkan kekufuran yang nyata.² Oleh karena itu, istilah Al-Jamaah tidak hanya menjadi simbol keagamaan, tetapi juga menjadi instrumen penting dalam menjaga stabilitas sosial dan politik dalam masyarakat Muslim awal.

Dalam khazanah Ahlus Sunnah wal Jamaah, Al-Jamaah sering disandingkan dengan istilah As-Sunnah, membentuk konstruksi epistemologis Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang merujuk pada kelompok yang konsisten mengikuti ajaran Nabi dan para sahabat.³ Mereka menghindari jalan-jalan pemikiran ekstrem yang muncul dari pemahaman tekstualis yang kaku atau rasionalisme berlebihan. Dalam teologi, kelompok ini kemudian terwakili oleh mazhab Asy‘ariyah dan Maturidiyah, yang menjembatani antara nash dan akal, serta memperkuat posisi Al-Jamaah dalam menghadapi berbagai tantangan pemikiran sepanjang sejarah.⁴

Relevansi kajian tentang Al-Jamaah semakin penting dalam konteks kontemporer, di mana umat Islam menghadapi tantangan globalisasi, radikalisme, dan disintegrasi sosial. Menggali kembali prinsip-prinsip dasar Al-Jamaah tidak hanya berarti melihat sejarah, tetapi juga menegaskan kembali urgensi persatuan, moderasi (wasathiyyah), dan komitmen terhadap sunnah sebagai fondasi utama kehidupan keislaman. Sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadis Nabi Saw:

مَن فارَقَ الجماعةَ شِبْرًا، فقد خَلَعَ رِبْقَةَ الإسلامِ مِن عُنُقِهِ

"Barang siapa yang memisahkan diri dari al-jamaah sejengkal saja, maka ia telah mencabut ikatan Islam dari lehernya."_⁵

Dengan demikian, pemahaman tentang Al-Jamaah tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah, perkembangan teologi Islam, serta relevansi sosial-politik umat. Kajian ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih dalam eksistensi Al-Jamaah sebagai salah satu aliran pemikiran Islam klasik yang memainkan peran penting dalam menjaga kemurnian ajaran Islam sekaligus persatuan umat.


Catatan Kaki

[1]                Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, ed. ‘Ali Shiri (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 1999), jil. 1, hlm. 345.

[2]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), hlm. 53–56.

[3]                W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), hlm. 82.

[4]                Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), hlm. 456–459.

[5]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Imarah, Hadis no. 1851.


2.           Pengertian Al-Jamaah

Secara etimologis, istilah al-jamā‘ah berasal dari bahasa Arab, dari akar kata jama‘a–yajma‘u, yang berarti “mengumpulkan” atau “berkumpul.” Dalam konteks kebahasaan, al-jamā‘ah merujuk pada sekelompok orang yang bersatu dalam suatu tujuan atau kepentingan bersama.¹ Dalam terminologi keagamaan Islam, istilah ini mengandung makna lebih luas dan dalam, yakni menunjuk pada komunitas Muslim yang tetap berpegang pada ajaran Nabi Muhammad Saw dan menjunjung tinggi prinsip kesatuan umat.²

Dalam sumber-sumber klasik Islam, al-jamā‘ah sering kali dikaitkan dengan kelompok mayoritas umat Islam yang konsisten mengikuti ajaran Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Pandangan ini merujuk pada sabda Nabi Saw:

إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ، فَإِذَا رَأَيْتُمُ ٱخْتِلَافًا، فَعَلَيْكُم بِٱلْجَمَاعَةِ

Sesungguhnya umatku tidak akan sepakat dalam kesesatan, maka apabila kalian melihat perselisihan, ikutilah al-jamā‘ah.”_³

Hadis ini menegaskan bahwa al-jamā‘ah merupakan tolok ukur kebenaran dalam beragama, selama prinsipnya bersandar pada al-Qur’an, Sunnah, dan ijma‘ (konsensus) para sahabat. Imam al-Syathibi dalam al-I‘tiṣām menegaskan bahwa yang dimaksud al-jamā‘ah dalam istilah syariat adalah kumpulan orang-orang yang berjalan di atas kebenaran berdasarkan ajaran Rasulullah Saw dan para sahabatnya, bukan semata-mata jumlah mayoritas secara statistik.⁴

Makna al-jamā‘ah juga tidak dapat dilepaskan dari aspek sosial-politik dalam sejarah Islam. Setelah wafatnya Rasulullah Saw, umat Islam menghadapi berbagai konflik dan perpecahan, sehingga muncul urgensi untuk mempertahankan kesatuan umat. Dalam konteks ini, al-jamā‘ah dimaknai sebagai sikap kolektif umat Islam dalam menaati pemimpin Muslim yang sah dan menghindari perpecahan (furqah), sebagaimana ditegaskan oleh para ulama seperti Imam Ahmad ibn Hanbal dan Ibn Taymiyyah.⁵

Secara teologis, al-jamā‘ah kemudian menjadi istilah kunci dalam pembentukan identitas Ahlus Sunnah wal Jamaah, yaitu kelompok yang tetap setia kepada sunnah Nabi dan menjaga kesatuan dengan menjauhi sikap ekstrem. Dalam pandangan ini, al-jamā‘ah mencakup dimensi akidah, manhaj (metodologi), dan sikap sosial terhadap realitas umat.⁶

Dengan demikian, Al-Jamaah bukan sekadar istilah linguistik atau politis, melainkan sebuah konsep yang merangkum nilai-nilai pokok dalam Islam, yaitu kesatuan, kebenaran, dan loyalitas terhadap sunnah. Ia menjadi fondasi penting dalam menjaga kemurnian ajaran dan keutuhan barisan umat Islam sepanjang sejarah.


Catatan Kaki

[1]                Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, ed. ‘Ali Shiri (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 1999), jil. 1, hlm. 345.

[2]                Yusuf al-Qaradawi, al-Sahwah al-Islamiyyah bayna al-Ikhtilaf al-Masyru‘ wa al-Tafarruq al-Madhmum (Kairo: Maktabah Wahbah, 1990), hlm. 25–26.

[3]                Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Sunnah, Hadis no. 4597.

[4]                Al-Syathibi, al-I‘tiṣām, ed. Muhammad al-Shaghir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), jil. 2, hlm. 260–262.

[5]                Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, ed. ‘Abd al-Rahman ibn Qasim (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadithah, 1981), jil. 3, hlm. 157.

[6]                Ahmad ibn Hanbal, Usul al-Sunnah, dalam Majmu‘ Rasā’il al-Imam Ahmad, ed. Muhammad ibn Sa‘id (Riyadh: Dar al-Fadilah, 1998), hlm. 47–48.


3.           Asal-Usul dan Konteks Sejarah

Istilah Al-Jamaah mulai memperoleh makna teologis dan politis yang signifikan dalam sejarah Islam sejak masa-masa awal pasca wafatnya Rasulullah Saw pada tahun 11 H/632 M. Pada masa itu, umat Islam memasuki periode penuh dinamika politik dan pergolakan, yang ditandai dengan munculnya berbagai kelompok dan aliran pemikiran, serta konflik internal yang memuncak pada Perang Jamal (656 M) dan Perang Shiffin (657 M).¹ Dalam konteks inilah, kebutuhan akan kesatuan dan keutuhan umat menjadi sangat mendesak, sehingga lahir gagasan tentang Al-Jamaah sebagai simbol kesatuan umat Islam yang berpegang pada sunnah dan ijma‘.

Secara historis, fase awal dari pembentukan konsep Al-Jamaah dapat ditelusuri sejak masa Khulafaur Rasyidin, khususnya masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar ibn al-Khattab, ketika penegakan prinsip syura (musyawarah) dan konsensus sahabat (ijma‘) menjadi landasan penting dalam pengambilan keputusan.² Namun, setelah terbunuhnya Khalifah Utsman ibn Affan dan terjadinya fitnah besar yang mengawali konflik antara Ali ibn Abi Thalib dan Muawiyah ibn Abi Sufyan, umat Islam mulai terpecah ke dalam beberapa golongan: Khawarij, yang menolak legitimasi kekuasaan Ali dan Muawiyah; Syi’ah, yang mendukung keimaman Ali secara eksklusif; serta Murji’ah, yang mengedepankan sikap menangguhkan penilaian terhadap pelaku dosa besar.³

Di tengah fragmentasi ini, muncullah kesadaran kolektif dari sebagian besar umat Islam untuk tetap berada di tengah—yakni tidak memihak kepada ekstremisme teologis maupun pemberontakan politik. Kelompok inilah yang kemudian diidentifikasi sebagai Al-Jamaah, yaitu golongan umat Islam yang berpegang pada ajaran Rasulullah Saw, ijma‘ sahabat, dan bersikap moderat dalam menyikapi konflik internal umat.⁴

Dalam hadis-hadis Nabi Saw, konsep Al-Jamaah telah diantisipasi dan disorot dengan serius. Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Rasulullah Saw bersabda:

إِنَّ أُمَّتِي سَتَفْتَرِقُ عَلَىٰ ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً، قِيلَ: مَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي.

Sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya di neraka kecuali satu, yaitu yang mengikuti apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.”_⁵

Hadis ini dijadikan pijakan oleh para ulama Ahlus Sunnah untuk menegaskan bahwa Al-Jamaah merujuk kepada golongan yang berpegang teguh pada ajaran Nabi dan para sahabat, serta menghindari fanatisme kelompok.

Pada masa kekuasaan Khalifah Muawiyah ibn Abi Sufyan, khususnya setelah peristiwa tahkim (arbitrase) antara Ali dan Muawiyah, umat Islam memasuki masa stabilitas politik relatif, yang oleh sebagian sejarawan disebut sebagai periode awal terbentuknya institusi al-jamā‘ah al-Islāmiyyah secara politis.⁶ Periode ini menandai awal dari pemahaman bahwa menjaga kesatuan umat di bawah pemimpin Muslim, meskipun tidak ideal, lebih utama daripada perpecahan yang menimbulkan fitnah. Imam Ahmad ibn Hanbal bahkan menegaskan bahwa salah satu prinsip dasar Ahlus Sunnah adalah ketaatan kepada pemimpin Muslim selama tidak memerintahkan kemaksiatan, demi menjaga keutuhan Al-Jamaah.

Dengan demikian, asal-usul Al-Jamaah tidak dapat dilepaskan dari realitas sejarah umat Islam yang penuh konflik internal. Munculnya istilah ini merupakan respons terhadap perpecahan dan ekstremisme, dengan misi utama menjaga kesatuan akidah, manhaj, dan struktur sosial umat. Ia menjadi representasi dari sikap tengah (moderasi) yang berupaya menyeimbangkan antara tuntutan agama dan realitas politik.


Catatan Kaki

[1]                Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), hlm. 202–205.

[2]                Ali Muhammad al-Sallabi, Abu Bakr al-Siddiq: His Life and Times, terj. Nasiruddin al-Khattab (Riyadh: International Islamic Publishing House, 2007), hlm. 151–158.

[3]                Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1 (Jakarta: UI Press, 1990), hlm. 119–121.

[4]                W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Oxford: Oneworld Publications, 1998), hlm. 81–84.

[5]                Abu ‘Isa Muhammad al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Kitab al-Iman, Hadis no. 2641.

[6]                Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates, 2nd ed. (New York: Pearson Education Limited, 2004), hlm. 124–127.

[7]                Ahmad ibn Hanbal, Usul al-Sunnah, dalam Majmu‘ Rasā’il al-Imam Ahmad, ed. Muhammad ibn Sa‘id (Riyadh: Dar al-Fadilah, 1998), hlm. 48.


4.           Karakteristik Al-Jamaah

Al-Jamaah sebagai representasi umat Islam yang lurus dan moderat memiliki sejumlah karakteristik yang menonjol, baik dalam aspek teologis, sosial, maupun politik. Karakteristik ini tidak hanya membedakannya dari kelompok-kelompok ekstrem seperti Khawarij dan Rafidhah (Syi’ah ekstrem), tetapi juga menjadikannya landasan akidah dan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah sepanjang sejarah.

4.1.       Berpegang Teguh pada al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma‘

Karakter paling mendasar dari Al-Jamaah adalah komitmen mereka terhadap al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw sebagai sumber utama ajaran Islam, disertai dengan penghargaan tinggi terhadap ijma‘ (konsensus) para sahabat.⁽¹⁾ Mereka tidak keluar dari pemahaman generasi Salaf (tiga generasi awal Islam) dan menjadikan ijma‘ sebagai otoritas kolektif yang dijaga dalam bingkai kebenaran.⁽²⁾

Imam al-Syafi’i menekankan bahwa ijma‘ umat tidak akan terjadi kecuali atas dasar kebenaran, karena Allah tidak akan mengumpulkan umat ini dalam kesesatan.⁽³⁾ Inilah sebabnya mengapa Al-Jamaah tidak bersandar kepada akal semata dalam memahami agama, tetapi mendudukkan akal sebagai sarana untuk memahami nash, bukan sebagai hakim atasnya.

4.2.       Loyalitas terhadap Pemimpin Muslim yang Sah

Salah satu prinsip penting dalam Al-Jamaah adalah ketaatan terhadap pemimpin Muslim (imam/khalifah) selama tidak memerintahkan kemaksiatan atau kekufuran yang nyata. Hal ini berakar pada hadits Nabi Saw:

اِسْمَعُوا وَأَطِيعُوا، وَإِنْ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّهُ رَأْسُ زَبِيبَةٍ

Dengarkan dan taatilah pemimpin kalian, meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak Habsyi.”_⁽⁴⁾

Imam Ahmad ibn Hanbal menegaskan bahwa termasuk prinsip Ahlus Sunnah adalah tidak memberontak kepada penguasa, walaupun mereka berlaku zalim.⁽⁵⁾ Hal ini dimaksudkan bukan untuk melegitimasi kezaliman, tetapi demi menjaga stabilitas dan menghindari fitnah yang lebih besar, sebagaimana yang pernah dialami umat Islam dalam berbagai konflik politik awal.

4.3.       Menjaga Persatuan dan Menolak Perpecahan

Al-Jamaah sangat menekankan ukhuwah Islamiyyah dan persatuan umat. Mereka menjauhi sikap fanatisme kelompok (ta‘aṣṣub), sektarianisme, dan konflik internal yang dapat melemahkan barisan kaum Muslimin. Dalam al-Qur’an ditegaskan:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ 

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai...” (Q.S. Ali ‘Imran [3] ayat 103).⁽⁶⁾

Ulama seperti al-Syathibi dan Ibn Taymiyyah berulang kali mengingatkan bahwa perpecahan umat bukan hanya dosa sosial, tetapi juga penyimpangan akidah jika didasari hawa nafsu dan kebencian terhadap sesama Muslim.⁽⁷⁾

4.4.       Moderat dan Seimbang dalam Memahami Agama

Karakter moderasi (wasathiyyah) merupakan ciri khas utama Al-Jamaah. Mereka menghindari sikap ekstrem kanan (berlebih-lebihan dalam ibadah atau pengkafiran) maupun ekstrem kiri (mengabaikan syariat).⁽⁸⁾ Dalam pandangan ini, Al-Jamaah adalah jalan tengah antara Khawarij yang mudah mengkafirkan dan Murji’ah yang menunda penghakiman terhadap pelaku dosa besar.⁽⁹⁾

Keseimbangan ini juga terlihat dalam pendekatan mereka terhadap akal dan nash. Al-Jamaah tidak menolak akal seperti kelompok literalis ekstrem, tetapi juga tidak mendewakannya seperti para rasionalis murni. Imam al-Ghazali menyebut pendekatan ini sebagai “jalan keselamatan,” karena seimbang antara syariat dan realitas.¹⁰


Kesimpulan Sementara

Dari karakteristik-karakteristik tersebut dapat disimpulkan bahwa Al-Jamaah adalah komunitas yang mengedepankan kesetiaan terhadap sumber otoritatif agama, ketaatan sosial dalam bingkai keadilan, serta komitmen terhadap persatuan dan moderasi dalam berpikir. Dalam sejarah Islam, prinsip-prinsip ini telah menjaga kestabilan teologis dan sosial umat di tengah berbagai gejolak pemikiran dan politik.


Catatan Kaki

[1]                Al-Syathibi, al-I‘tiṣām, ed. Muhammad al-Shaghir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), jil. 2, hlm. 250.

[2]                Ahmad ibn Hanbal, Usul al-Sunnah, dalam Majmu‘ Rasā’il al-Imam Ahmad, ed. Muhammad ibn Sa‘id (Riyadh: Dar al-Fadilah, 1998), hlm. 46–48.

[3]                Al-Syafi‘i, al-Risalah, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), hlm. 473.

[4]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Imarah, Hadis no. 1838.

[5]                Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah (Riyadh: Mu’assasah al-Risalah, 1986), jil. 3, hlm. 395.

[6]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2005), hlm. 68.

[7]                Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, ed. ‘Abd al-Rahman ibn Qasim (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadithah, 1981), jil. 3, hlm. 156.

[8]                Yusuf al-Qaradawi, al-Khasha’is al-‘Ammah li al-Islam (Kairo: Maktabah Wahbah, 1991), hlm. 53–54.

[9]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), hlm. 65–67.

[10]             Al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dalal, ed. Jamil Saliba (Beirut: Dar al-Andalus, 1978), hlm. 115–116.


5.           Hubungan dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah

Istilah Al-Jamaah secara historis dan konseptual memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah, bahkan dalam perkembangan teologi Islam klasik, keduanya sering dianggap sebagai satu kesatuan yang saling menguatkan. Meskipun secara linguistik Al-Jamaah berarti “kelompok” atau “komunitas yang bersatu”, sedangkan Ahlus Sunnah berarti “pengikut sunnah (ajaran Nabi Muhammad Saw)”, keduanya dalam praktik teologis merujuk kepada golongan yang mengikuti ajaran Islam secara lurus berdasarkan al-Qur’an, sunnah, dan ijma‘ sahabat.¹

5.1.       Historisitas Penyatuan Istilah

Penggabungan istilah Ahlus Sunnah dan Al-Jamaah mulai populer pada masa pasca fitnah (konflik besar) dalam Islam, khususnya setelah masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib dan munculnya berbagai aliran seperti Khawarij, Syi’ah, dan Murji’ah. Dalam upaya menegaskan identitas ortodoksi, para ulama menyebut kelompok umat Islam yang berpegang pada sunnah Nabi dan konsensus sahabat sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah.² Imam al-Tahawi dalam Aqidah al-Tahawiyyah menyebutkan bahwa prinsip Ahlus Sunnah adalah mengikuti jamaah kaum Muslimin dan menjauhi perpecahan (furqah).³

Secara doktrinal, Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah lanjutan dari prinsip Al-Jamaah yang telah diletakkan sejak masa sahabat. Kedua istilah ini menjadi fondasi bagi kelompok mayoritas umat Islam yang berkomitmen menjaga kemurnian ajaran Islam, menjauhi sikap ekstrem, dan mendukung stabilitas sosial-politik umat.⁴

5.2.       Konsistensi dalam Akidah dan Manhaj

Al-Jamaah dalam konteks Ahlus Sunnah bukan hanya bersifat sosial atau politis, tetapi juga teologis. Para ulama menekankan bahwa Al-Jamaah adalah komunitas yang tidak hanya bersatu secara fisik, tetapi juga bersatu dalam akidah dan manhaj. Imam Ibn al-Jawzi menjelaskan bahwa salah satu ciri utama Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah tidak mudah mengkafirkan sesama Muslim dan menjauhi perdebatan yang bersifat destruktif.⁵

Dalam hal akidah, Ahlus Sunnah wal Jamaah yang juga disebut sebagai Al-Jamaah menghindari pandangan ekstrem seperti doktrin Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar, atau doktrin Murji’ah yang menganggap amal perbuatan tidak mempengaruhi keimanan. Sebaliknya, mereka menempuh jalan tengah yang menyeimbangkan antara iman dan amal.⁶

5.3.       Institusionalisasi dalam Mazhab Sunni

Hubungan antara Al-Jamaah dan Ahlus Sunnah semakin menguat ketika lahirnya institusi keilmuan Islam klasik, terutama dengan munculnya mazhab-mazhab Ahlus Sunnah seperti:

·                     Asy‘ariyah, yang dikembangkan oleh Abu al-Hasan al-Asy‘ari (w. 324 H),

·                     Maturidiyah, oleh Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H),

·                     Dan mazhab-mazhab fiqih yang berpengaruh seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.⁷

Meskipun memiliki pendekatan rasional atau tekstual yang berbeda, semua mazhab ini berada di bawah payung Ahlus Sunnah wal Jamaah, karena tetap setia pada prinsip-prinsip utama Al-Jamaah dalam hal akidah, keadilan sosial, serta loyalitas terhadap umat dan ulama.

Imam al-Dhahabi mencatat bahwa siapa pun yang mengakui rukun iman dan Islam serta mencintai sahabat Nabi, tidak membenci Ahlus Sunnah, dan tidak mengikuti hawa nafsu kelompok-kelompok sesat, maka ia termasuk dalam Al-Jamaah.⁸

5.4.       Relevansi Teologis dan Sosiologis

Dalam konteks modern, penyebutan Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai kelanjutan dari Al-Jamaah juga menegaskan pentingnya moderasi, toleransi, dan ukhuwah Islamiyah. Banyak lembaga pendidikan, ormas, dan otoritas keagamaan di dunia Islam menggunakan identitas ini untuk mengukuhkan posisi mereka sebagai representasi Islam arus utama. Misalnya, Nahdlatul Ulama di Indonesia secara eksplisit menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai kerangka manhaj berpikir dan bertindak.⁹


Kesimpulan Sementara

Dengan demikian, Al-Jamaah dan Ahlus Sunnah wal Jamaah bukanlah dua entitas terpisah, melainkan satu kesatuan ideologis dan historis yang mengakar kuat dalam tradisi Islam klasik. Al-Jamaah menjadi landasan sosial dan spiritual, sementara Ahlus Sunnah mempertegas komitmen terhadap sunnah Nabi dan keteguhan dalam menjaga kemurnian akidah. Keduanya membentuk pilar utama dalam menjaga ortodoksi dan kesatuan umat Islam sepanjang zaman.


Catatan Kaki

[1]                Al-Syathibi, al-I‘tiṣām, ed. Muhammad al-Shaghir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), jil. 2, hlm. 235.

[2]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), hlm. 56–57.

[3]                Abu Ja‘far al-Tahawi, Aqidah al-Tahawiyyah, syarah oleh Ibn Abi al-‘Izz (Beirut: al-Maktabah al-Islamiyyah, 2000), hlm. 12–13.

[4]                Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, ed. ‘Abd al-Rahman ibn Qasim (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadithah, 1981), jil. 3, hlm. 157–158.

[5]                Ibn al-Jawzi, Talbis Iblis, ed. Ahmad al-Turki (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), hlm. 25–27.

[6]                W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Oxford: Oneworld Publications, 1998), hlm. 82–84.

[7]                Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), hlm. 461–463.

[8]                Al-Dhahabi, Siyar A‘lam al-Nubala’, ed. Shu‘ayb al-Arna’uth (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1984), jil. 20, hlm. 295.

[9]                Abdul Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 2009), hlm. 47–48.


6.           Relevansi Konsep Al-Jamaah dalam Konteks Modern

Dalam era kontemporer yang ditandai dengan globalisasi, krisis identitas, konflik sektarian, serta berkembangnya ekstremisme dan liberalisme dalam memahami agama, konsep Al-Jamaah kembali memperoleh urgensi dan relevansi yang tinggi. Sebagai simbol kesatuan dan moderasi, Al-Jamaah menawarkan fondasi teologis dan sosial yang kuat untuk menjaga integritas umat Islam sekaligus menavigasi tantangan zaman secara bijaksana.

6.1.       Menangkal Radikalisme dan Ekstremisme

Salah satu krisis terbesar umat Islam dewasa ini adalah munculnya berbagai kelompok ekstrem yang mengklaim legitimasi agama, seperti kelompok takfiri (mudah mengkafirkan), radikalis ideologis, maupun teroris yang melakukan kekerasan atas nama Islam. Dalam hal ini, konsep Al-Jamaah menjadi benteng teologis karena menolak sikap berlebihan (ghuluw) dan penyelewengan dari prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.¹

Al-Jamaah, dalam bingkai Ahlus Sunnah wal Jamaah, menolak klaim sepihak tentang kebenaran yang eksklusif serta memperingatkan bahaya pemikiran ekstrem yang keluar dari kesepakatan umat.² Dalam sejarah, Khawarij dijadikan contoh kelompok yang keluar dari Al-Jamaah karena terlalu mudah mengkafirkan pelaku dosa besar dan menghalalkan darah sesama Muslim.³ Maka, Al-Jamaah menegaskan pentingnya prinsip tasamuh (toleransi), ta‘awun (kerja sama), dan ishlah (rekonsiliasi), yang semuanya sangat dibutuhkan dalam merawat harmoni sosial keagamaan.

6.2.       Memperkuat Moderasi dan Wasathiyyah Islam

Al-Jamaah secara inheren adalah pengejawantahan dari prinsip wasathiyyah (moderat) sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا 

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu umat yang wasath (tengah/moderat)...” (Q.S. al-Baqarah [2] ayat 143).⁴

Sebagai komunitas arus utama umat Islam, Al-Jamaah berada di tengah-tengah antara aliran yang terlalu mengedepankan literalisme tanpa ruh (tekstualis ekstrem) dan yang terlalu liberal dalam menafsirkan ajaran agama tanpa batas syariat. Dalam bidang pemikiran Islam modern, gagasan wasathiyyah telah diadopsi oleh banyak lembaga internasional seperti Al-Azhar, Nahdlatul Ulama, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai pendekatan dakwah dan pendidikan keislaman.⁵

Konsep Al-Jamaah dalam kerangka ini menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, tradisi dan inovasi, teks dan konteks.⁶

6.3.       Menjaga Persatuan Umat di Tengah Fragmentasi

Zaman modern juga ditandai dengan tingginya polarisasi—baik dalam aspek politik, mazhab, maupun ideologi. Perselisihan umat yang tajam di media sosial, mimbar keagamaan, hingga politik identitas mengancam ruh ukhuwah Islamiyyah. Dalam konteks ini, semangat Al-Jamaah sangat dibutuhkan sebagai upaya menjaga tali kesatuan umat Islam.

Para ulama seperti Ibn Taymiyyah menekankan bahwa bersatu dalam kebaikan lebih utama daripada menang dalam perdebatan yang membawa perpecahan.⁷ Dalam kerangka ini, Al-Jamaah bukan sekadar bentuk struktural dari kesatuan, tetapi juga substansi spiritual dari sikap saling memuliakan antar sesama Muslim.⁸

6.4.       Kontribusi terhadap Peradaban dan Kemanusiaan

Relevansi Al-Jamaah juga tampak dalam kontribusinya terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Melalui pendekatan kolektif dan moderatnya, Al-Jamaah membuka ruang dialog, kerja sama lintas mazhab dan budaya, serta partisipasi dalam membangun peradaban yang adil dan berkeadaban. Inilah esensi rahmatan lil-‘alamin yang dibawa oleh Islam.

Dalam forum dunia seperti Muktamar Fikih Islam Internasional dan Forum Ulama Dunia, semangat Al-Jamaah menjadi dasar bagi kesepakatan dalam merespons isu-isu global seperti perubahan iklim, perdamaian dunia, dan krisis kemanusiaan.⁹


Kesimpulan Sementara

Konsep Al-Jamaah tidak kehilangan relevansinya dalam dunia modern. Justru, nilai-nilai yang dikandungnya—yaitu kesatuan, moderasi, loyalitas terhadap sunnah, serta toleransi—menjadi sangat dibutuhkan dalam menjawab tantangan zaman. Dalam konteks keindonesiaan dan global, semangat Al-Jamaah menjadi landasan strategis dalam membangun masyarakat Muslim yang kuat dalam akidah, lembut dalam muamalah, dan cerdas dalam menyikapi perubahan dunia.


Catatan Kaki

[1]                Yusuf al-Qaradawi, al-Sahwah al-Islamiyyah bayna al-Ikhtilaf al-Masyru‘ wa al-Tafarruq al-Madhmum (Kairo: Maktabah Wahbah, 1990), hlm. 25–30.

[2]                Ahmad ibn Hanbal, Usul al-Sunnah, dalam Majmu‘ Rasā’il al-Imam Ahmad, ed. Muhammad ibn Sa‘id (Riyadh: Dar al-Fadilah, 1998), hlm. 46–48.

[3]                Ibn Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah, jil. 7 (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), hlm. 280–285.

[4]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2005), Q.S. al-Baqarah [2] ayat 143.

[5]                Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, al-Salafiyyah Marhalah Zamaniyyah Mubarakah la Madhhab Islami (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 41–43.

[6]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Iqbal Academy, 1982), hlm. 101–102.

[7]                Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, ed. ‘Abd al-Rahman ibn Qasim (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadithah, 1981), jil. 28, hlm. 15–16.

[8]                Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, jil. 2 (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2002), hlm. 165–166.

[9]                International Islamic Fiqh Academy (IIFA), Proceedings of the 20th Session, Amman, Jordan, 2012.


7.           Penutup

7.1.       Kesimpulan

Berdasarkan kajian komprehensif terhadap konsep Al-Jamaah, dapat disimpulkan bahwa Al-Jamaah bukan sekadar istilah sosiologis, melainkan sebuah entitas ideologis, teologis, dan historis yang merepresentasikan komitmen terhadap kesatuan umat, kesetiaan terhadap sunnah, dan moderasi dalam beragama. Istilah ini muncul sebagai respons terhadap perpecahan internal umat Islam pasca wafatnya Rasulullah Saw, dan terus berkembang menjadi fondasi dari kelompok mayoritas umat Islam yang kemudian dikenal sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah

Sebagai konsep utama dalam pemikiran Islam klasik, Al-Jamaah mencerminkan semangat untuk menjaga kemurnian ajaran Islam melalui penguatan prinsip-prinsip pokok, seperti: berpegang teguh pada al-Qur’an, sunnah, dan ijma‘; menjauhi perpecahan; serta mentaati pemimpin Muslim selama dalam koridor syariat.² Dalam konteks sejarah, Al-Jamaah menjadi simbol integrasi antara keyakinan, kebijakan sosial-politik, dan akhlak kolektif umat Islam.³

Pada era modern, relevansi Al-Jamaah tidak hanya terletak pada nilai-nilai persatuan dan ketertiban, tetapi juga pada kemampuannya untuk menjadi solusi teologis dan sosiologis atas berbagai tantangan umat: ekstremisme, sekularisasi, konflik mazhab, hingga disintegrasi sosial akibat media digital.⁴ Maka, Al-Jamaah bukan hanya warisan masa lalu, melainkan juga proyek masa depan umat Islam yang ingin tetap teguh dalam akidah dan fleksibel dalam menghadapi perubahan zaman.

7.2.       Rekomendasi (Dalam Konteks Berpikir Ahlus Sunnah wal Jamaah)

7.2.1.    Menanamkan Nilai Wasathiyyah dalam Pendidikan Islam

Penting bagi lembaga pendidikan Islam untuk memasukkan konsep Al-Jamaah dalam kurikulum akidah dan pemikiran Islam sebagai bentuk implementasi manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah. Pemahaman tentang jalan tengah (wasathiyyah) yang diusung oleh Al-Jamaah harus ditanamkan sejak dini guna membentuk pribadi Muslim yang kokoh dalam akidah dan toleran dalam bermuamalah.⁵

7.2.2.    Menghindari Fanatisme Mazhab dan Membangun Ukhuwah

Umat Islam diimbau untuk menjauhi sikap fanatik kelompok yang dapat mengarah pada perpecahan. Dalam perspektif Ahlus Sunnah wal Jamaah, mencintai kebenaran lebih utama daripada mencintai kelompok. Oleh karena itu, setiap Muslim perlu menumbuhkan rasa hormat terhadap perbedaan yang dibenarkan dalam Islam, sebagaimana dilakukan oleh para ulama salaf.⁶

7.2.3.    Menghidupkan Tradisi Ijma‘ dan Musyawarah dalam Menyikapi Masalah Umat

Salah satu karakter khas Al-Jamaah adalah menjunjung tinggi ijma‘ (konsensus) sebagai sumber hukum ketiga setelah al-Qur’an dan sunnah. Di tengah banyaknya isu-isu kontemporer, umat Islam perlu kembali kepada nilai-nilai ijma‘ dan musyawarah sebagai metode kolektif dalam mengambil keputusan keagamaan.⁷

7.2.4.    Membangun Loyalitas terhadap Pemimpin Umat yang Sah

Dalam konteks bernegara, prinsip Al-Jamaah mengajarkan pentingnya ketaatan terhadap pemimpin Muslim selama tidak memerintahkan maksiat. Hal ini menjadi pilar dalam menjaga stabilitas sosial dan mencegah munculnya fitnah akibat pemberontakan atau sikap anarkis.⁸ Oleh karena itu, umat Islam perlu membangun kesadaran kolektif untuk menjaga ketertiban dan mendukung pemimpin dalam kebaikan.

7.2.5.    Menjadi Agen Persatuan dan Perdamaian Umat

Muslim yang berpikir dalam kerangka Ahlus Sunnah wal Jamaah seharusnya mengambil peran sebagai penjaga persatuan (al-muwaḥḥidūn) dan penengah konflik. Hal ini bisa dilakukan melalui dakwah yang penuh hikmah, membangun jejaring antarormas, serta memperkuat sinergi lintas komunitas demi menjaga ukhuwah Islamiyah.⁹


Catatan Kaki

[1]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), hlm. 53–56.

[2]                Ahmad ibn Hanbal, Usul al-Sunnah, dalam Majmu‘ Rasā’il al-Imam Ahmad, ed. Muhammad ibn Sa‘id (Riyadh: Dar al-Fadilah, 1998), hlm. 46–48.

[3]                Al-Syathibi, al-I‘tiṣām, ed. Muhammad al-Shaghir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), jil. 2, hlm. 240–242.

[4]                Yusuf al-Qaradawi, al-Sahwah al-Islamiyyah bayna al-Ikhtilaf al-Masyru‘ wa al-Tafarruq al-Madhmum (Kairo: Maktabah Wahbah, 1990), hlm. 28–31.

[5]                Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, al-Salafiyyah Marhalah Zamaniyyah Mubarakah la Madhhab Islami (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 41–42.

[6]                Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, jil. 2 (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2002), hlm. 201.

[7]                Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, ed. ‘Abd al-Rahman ibn Qasim (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadithah, 1981), jil. 20, hlm. 164–165.

[8]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Imarah, Hadis no. 1839.

[9]                W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1968), hlm. 91–93.


Daftar Pustaka

Abu Dawud. (n.d.). Sunan Abi Dawud (Kitab al-Sunnah, Hadis No. 4597). Beirut: Dar al-Fikr.

Abu Ja‘far al-Tahawi. (2000). Aqidah al-Tahawiyyah (Syarh Ibn Abi al-‘Izz). Beirut: al-Maktabah al-Islamiyyah.

Al-Buthi, M. S. R. (1988). Al-Salafiyyah Marhalah Zamaniyyah Mubarakah la Madhhab Islami. Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Dhahabi, S. M. (1984). Siyar A‘lam al-Nubala’ (Ed. Shu‘ayb al-Arna’uth). Beirut: Mu’assasah al-Risalah.

Al-Ghazali. (1978). Al-Munqidz min al-Dalal (Ed. Jamil Saliba). Beirut: Dar al-Andalus.

Al-Ghazali. (2002). Ihya’ ‘Ulum al-Din (Vol. 2). Kairo: Dar al-Ma‘arif.

Al-Qaradawi, Y. (1990). Al-Sahwah al-Islamiyyah bayna al-Ikhtilaf al-Masyru‘ wa al-Tafarruq al-Madhmum. Kairo: Maktabah Wahbah.

Al-Syafi‘i. (2002). Al-Risalah (Ed. Ahmad Muhammad Shakir). Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Syathibi. (1997). Al-I‘tiṣām (Ed. Muhammad al-Shaghir) (Vol. 2). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Departemen Agama RI. (2005). Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an.

Ghazali, A. M. (2009). Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an. Jakarta: Paramadina.

Harun Nasution. (1990). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Vol. 1). Jakarta: UI Press.

Harun Nasution. (1996). Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press.

Hodgson, M. G. S. (1974). The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization (Vol. 1). Chicago: University of Chicago Press.

Ibn Hanbal, A. (1998). Usul al-Sunnah, dalam Majmu‘ Rasā’il al-Imam Ahmad (Ed. Muhammad ibn Sa‘id). Riyadh: Dar al-Fadilah.

Ibn al-Jawzi. (2001). Talbis Iblis (Ed. Ahmad al-Turki). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibn Kathir. (1997). Al-Bidayah wa al-Nihayah (Vol. 7). Beirut: Dar al-Fikr.

Ibn Khaldun. (1967). The Muqaddimah (Trans. Franz Rosenthal). Princeton: Princeton University Press.

Ibn Manzur. (1999). Lisan al-‘Arab (Ed. ‘Ali Shiri) (Vol. 1). Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi.

Ibn Taymiyyah. (1981). Majmu‘ al-Fatawa (Ed. ‘Abd al-Rahman ibn Qasim). Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadithah.

Ibn Taymiyyah. (1986). Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah. Riyadh: Mu’assasah al-Risalah.

International Islamic Fiqh Academy. (2012). Proceedings of the 20th Session. Amman, Jordan.

Iqbal, M. (1982). The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Lahore: Iqbal Academy.

Kennedy, H. (2004). The Prophet and the Age of the Caliphates (2nd ed.). New York: Pearson Education Limited.

Muslim ibn al-Hajjaj. (n.d.). Sahih Muslim (Kitab al-Imarah, Hadis No. 1838–1851).

Ramadhan al-Buthi, M. S. (1988). Al-Salafiyyah Marhalah Zamaniyyah Mubarakah la Madhhab Islami. Beirut: Dar al-Fikr.

Watt, W. M. (1968). Islamic Political Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Watt, W. M. (1985). Islamic Philosophy and Theology. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Watt, W. M. (1998). The Formative Period of Islamic Thought. Oxford: Oneworld Publications.


Lampiran: Keterkaitan antara Al-Jamaah dan Madzhab Ahlus Sunnah

Keterkaitan antara Al-Jamaah dan Madzhab Ahlus Sunnah sangat erat, bahkan dapat dikatakan bahwa dalam banyak konteks, keduanya merupakan dua sisi dari satu kesatuan dalam kerangka pemikiran Islam klasik yang moderat dan arus utama (mainstream). Penjelasan berikut menggambarkan secara sistematis hubungan antara keduanya:

1.            Kesamaan Asas: Komitmen terhadap Sunnah dan Ijma‘

Al-Jamaah secara konseptual merujuk pada komunitas umat Islam yang bersatu dalam mengikuti ajaran Rasulullah Saw dan para sahabat, serta menolak bentuk penyimpangan teologis maupun ekstremisme. Prinsip ini menjadi dasar identitas Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang menjadikan al-Qur’an, sunnah, dan ijma‘ sebagai fondasi utama dalam akidah dan hukum.¹

Dengan demikian, Al-Jamaah bukan hanya istilah sosial, tetapi juga penegasan teologis terhadap prinsip-prinsip Ahlus Sunnah, terutama dalam menyikapi perpecahan yang ditimbulkan oleh aliran-aliran seperti Khawarij, Syi’ah Rafidhah, dan Mu’tazilah.²

2.            Al-Jamaah sebagai Identitas Kolektif Ahlus Sunnah

Dalam banyak karya ulama klasik, istilah Al-Jamaah dijadikan sinonim atau atribut identitas dari Ahlus Sunnah, misalnya oleh Imam Ahmad ibn Hanbal yang menyebut bahwa bagian dari prinsip Ahlus Sunnah adalah “berpegang kepada Al-Jamaah dan menjauhi perpecahan.”³

Hal ini juga ditegaskan dalam teks-teks teologis seperti Aqidah al-Tahawiyyah, di mana disebutkan bahwa orang beriman wajib “bersatu bersama jamaah kaum Muslimin” dan tidak keluar dari jalan mayoritas.⁴ Oleh karena itu, Al-Jamaah di sini menjadi manifestasi praksis dari manhaj Ahlus Sunnah dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.

3.            Reproduksi Ajaran Al-Jamaah dalam Mazhab Sunni

Empat mazhab besar dalam Ahlus Sunnah (Hanafi, Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali) juga membentuk institusi hukum dan akidah yang menjunjung tinggi prinsip Al-Jamaah. Meski berbeda dalam aspek furu‘ (cabang hukum), mereka semua sepakat dalam hal ushuluddin (prinsip akidah), termasuk:

·                     Penghormatan kepada sahabat,

·                     Menolak ekstremisme dalam takfir,

·                     Ketaatan terhadap pemimpin Muslim,

·                     Komitmen terhadap kesatuan umat.⁵

Oleh karena itu, mengikuti salah satu dari empat mazhab ini pada hakikatnya adalah bagian dari Al-Jamaah, karena mereka tumbuh dari tradisi Ahlus Sunnah yang menjaga prinsip-prinsip keislaman yang sahih.

4.            Koreksi terhadap Kelompok Menyimpang melalui Prinsip Al-Jamaah

Al-Jamaah juga menjadi parameter bagi Ahlus Sunnah dalam mengidentifikasi penyimpangan teologis dan gerakan sesat. Dalam sejarah, kelompok yang menyimpang dari jalan Al-Jamaah sering kali teridentifikasi sebagai golongan ahlul bid‘ah, seperti:

·                     Khawarij, karena mengkafirkan pelaku dosa besar,

·                     Murji’ah, karena memisahkan iman dari amal,

·                     Mu’tazilah, karena mendahulukan akal secara mutlak atas nash.⁶

Dalam kerangka ini, Al-Jamaah adalah pengawal ortodoksi, sedangkan Ahlus Sunnah adalah nama mazhab atau orientasi teologis yang mengemban tugas itu secara sistematis.

5.            Ahlus Sunnah wal Jamaah: Evolusi Istilah dari Al-Jamaah

Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah sebenarnya merupakan perluasan dan pemantapan istilah Al-Jamaah seiring berkembangnya perdebatan teologis pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriah. Sunnah merujuk pada komitmen terhadap ajaran Nabi, sementara Al-Jamaah menunjukkan keberpihakan terhadap ijma‘ sahabat dan mayoritas umat.⁷

Keduanya kemudian dipakai sebagai istilah resmi dalam menjelaskan akidah umat Islam yang lurus, dan diadopsi dalam berbagai lembaga keislaman klasik dan kontemporer sebagai identitas resmi keagamaan, misalnya oleh Al-Azhar, Nahdlatul Ulama, dan banyak institusi Islam dunia.


Kesimpulan

Dengan demikian, Al-Jamaah adalah roh kolektif dari Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ia menjadi simbol keutuhan umat, sekaligus penanda ortodoksi Islam yang konsisten dengan ajaran Nabi Saw dan para sahabat. Dalam konteks berpikir Ahlus Sunnah, menghidupkan semangat Al-Jamaah berarti menegakkan nilai-nilai moderasi, toleransi, dan kesatuan—serta menjaga warisan teologis dari distorsi ekstremisme maupun liberalisme.


Catatan Kaki

[1]                Al-Syathibi, al-I‘tiṣām, ed. Muhammad al-Shaghir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 2:235.

[2]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), hlm. 56.

[3]                Ahmad ibn Hanbal, Usul al-Sunnah, dalam Majmu‘ Rasā’il al-Imam Ahmad, ed. Muhammad ibn Sa‘id (Riyadh: Dar al-Fadilah, 1998), hlm. 47.

[4]                Abu Ja‘far al-Tahawi, Aqidah al-Tahawiyyah (Beirut: al-Maktabah al-Islamiyyah, 2000), hlm. 12.

[5]                Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), hlm. 461–463.

[6]                W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Oxford: Oneworld Publications, 1998), hlm. 82.

[7]                Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, ed. ‘Abd al-Rahman ibn Qasim (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadithah, 1981), 3:157–158.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar