Al-Jamaah dalam Pemikiran Islam Klasik
Fondasi Teologis dan Relevansi Kontemporer
Alihkan ke: Aliran-Aliran Ilmu Kalam.
Abstrak
Artikel ini mengkaji konsep Al-Jamaah
sebagai salah satu aliran pemikiran penting dalam sejarah Islam klasik yang
memiliki peran sentral dalam menjaga kemurnian ajaran dan persatuan umat.
Istilah Al-Jamaah secara linguistik berarti komunitas atau kelompok yang
bersatu, namun secara teologis dan historis mengacu pada kelompok mayoritas
umat Islam yang mengikuti ajaran Rasulullah Saw dan para sahabat, serta menolak
bentuk-bentuk perpecahan dan ekstremisme. Kajian ini menelusuri asal-usul Al-Jamaah,
karakteristik utamanya, keterkaitannya dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah,
hingga relevansinya dalam menjawab tantangan zaman modern seperti radikalisme,
disintegrasi sosial, dan krisis otoritas keagamaan. Melalui pendekatan
deskriptif-analitis berbasis sumber-sumber klasik dan kontemporer yang
kredibel, artikel ini menunjukkan bahwa Al-Jamaah tidak hanya menjadi
warisan ideologis Islam klasik, tetapi juga solusi visioner dalam merawat
moderasi, toleransi, dan persatuan umat Islam dewasa ini. Artikel ini juga
memberikan rekomendasi untuk membumikan nilai-nilai Al-Jamaah dalam
sistem pendidikan dan praksis keagamaan modern dalam kerangka berpikir Ahlus
Sunnah wal Jamaah.
Kata Kunci: Al-Jamaah, Ahlus Sunnah wal Jamaah, pemikiran Islam
klasik, moderasi, persatuan umat, radikalisme, sejarah Islam, akidah.
PEMBAHASAN
Al-Jamaah dalam Pemikiran Islam Klasik
1.
Pendahuluan
Dalam lintasan sejarah pemikiran Islam, istilah Al-Jamaah
memiliki posisi yang sangat penting, baik secara teologis, sosiologis, maupun
politis. Secara etimologis, Al-Jamaah berasal dari akar kata jama‘a
yang berarti mengumpulkan, berkumpul, atau bersatu. Dalam terminologi Islam
klasik, istilah ini merujuk pada komunitas mayoritas umat Islam yang berpegang
teguh pada sunnah Nabi Muhammad Saw dan ijma‘ para sahabat, serta menolak
segala bentuk perpecahan yang dapat merusak kesatuan umat.¹
Makna Al-Jamaah menjadi semakin signifikan
dalam sejarah ketika umat Islam menghadapi berbagai krisis pasca wafatnya
Rasulullah Saw, terutama saat terjadi konflik politik dan munculnya
aliran-aliran seperti Khawarij, Syi’ah, dan Murji’ah. Dalam kondisi seperti
ini, Al-Jamaah diposisikan sebagai representasi dari kelompok yang berkomitmen
menjaga persatuan, menjauhi sikap ekstrem, dan tetap loyal terhadap
pemerintahan Muslim yang sah selama tidak menunjukkan kekufuran yang nyata.²
Oleh karena itu, istilah Al-Jamaah tidak hanya menjadi simbol keagamaan,
tetapi juga menjadi instrumen penting dalam menjaga stabilitas sosial dan
politik dalam masyarakat Muslim awal.
Dalam khazanah Ahlus Sunnah wal Jamaah, Al-Jamaah
sering disandingkan dengan istilah As-Sunnah, membentuk konstruksi
epistemologis Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang merujuk pada kelompok yang
konsisten mengikuti ajaran Nabi dan para sahabat.³ Mereka menghindari
jalan-jalan pemikiran ekstrem yang muncul dari pemahaman tekstualis yang kaku
atau rasionalisme berlebihan. Dalam teologi, kelompok ini kemudian terwakili
oleh mazhab Asy‘ariyah dan Maturidiyah, yang menjembatani antara nash dan akal,
serta memperkuat posisi Al-Jamaah dalam menghadapi berbagai tantangan
pemikiran sepanjang sejarah.⁴
Relevansi kajian tentang Al-Jamaah semakin
penting dalam konteks kontemporer, di mana umat Islam menghadapi tantangan
globalisasi, radikalisme, dan disintegrasi sosial. Menggali kembali
prinsip-prinsip dasar Al-Jamaah tidak hanya berarti melihat sejarah,
tetapi juga menegaskan kembali urgensi persatuan, moderasi (wasathiyyah), dan
komitmen terhadap sunnah sebagai fondasi utama kehidupan keislaman. Sebagaimana
ditegaskan dalam sebuah hadis Nabi Saw:
مَن فارَقَ الجماعةَ شِبْرًا، فقد خَلَعَ رِبْقَةَ
الإسلامِ مِن عُنُقِهِ
"Barang siapa yang memisahkan diri dari al-jamaah sejengkal saja,
maka ia telah mencabut ikatan Islam dari lehernya."_⁵
Dengan demikian, pemahaman tentang Al-Jamaah
tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah, perkembangan teologi Islam, serta
relevansi sosial-politik umat. Kajian ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih
dalam eksistensi Al-Jamaah sebagai salah satu aliran pemikiran Islam
klasik yang memainkan peran penting dalam menjaga kemurnian ajaran Islam
sekaligus persatuan umat.
Catatan
Kaki
[1]
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, ed. ‘Ali Shiri
(Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 1999), jil. 1, hlm. 345.
[2]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), hlm. 53–56.
[3]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and
Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), hlm. 82.
[4]
Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Franz
Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), hlm. 456–459.
[5]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab
al-Imarah, Hadis no. 1851.
2.
Pengertian
Al-Jamaah
Secara etimologis, istilah al-jamā‘ah
berasal dari bahasa Arab, dari akar kata jama‘a–yajma‘u, yang berarti “mengumpulkan”
atau “berkumpul.” Dalam konteks kebahasaan, al-jamā‘ah merujuk
pada sekelompok orang yang bersatu dalam suatu tujuan atau kepentingan
bersama.¹ Dalam terminologi keagamaan Islam, istilah ini mengandung makna lebih
luas dan dalam, yakni menunjuk pada komunitas Muslim yang tetap berpegang pada
ajaran Nabi Muhammad Saw dan menjunjung tinggi prinsip kesatuan umat.²
Dalam sumber-sumber klasik Islam, al-jamā‘ah
sering kali dikaitkan dengan kelompok mayoritas umat Islam yang
konsisten mengikuti ajaran Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Pandangan ini
merujuk pada sabda Nabi Saw:
إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ،
فَإِذَا رَأَيْتُمُ ٱخْتِلَافًا، فَعَلَيْكُم بِٱلْجَمَاعَةِ
“Sesungguhnya umatku tidak akan sepakat dalam kesesatan, maka apabila
kalian melihat perselisihan, ikutilah al-jamā‘ah.”_³
Hadis ini menegaskan bahwa al-jamā‘ah
merupakan tolok ukur kebenaran dalam beragama, selama prinsipnya bersandar pada
al-Qur’an, Sunnah, dan ijma‘ (konsensus) para sahabat. Imam al-Syathibi dalam al-I‘tiṣām
menegaskan bahwa yang dimaksud al-jamā‘ah dalam istilah syariat adalah kumpulan
orang-orang yang berjalan di atas kebenaran berdasarkan ajaran Rasulullah Saw
dan para sahabatnya, bukan semata-mata jumlah mayoritas secara statistik.⁴
Makna al-jamā‘ah juga tidak dapat dilepaskan
dari aspek sosial-politik dalam sejarah Islam. Setelah wafatnya Rasulullah Saw,
umat Islam menghadapi berbagai konflik dan perpecahan, sehingga muncul urgensi
untuk mempertahankan kesatuan umat. Dalam konteks ini, al-jamā‘ah
dimaknai sebagai sikap kolektif umat Islam dalam menaati pemimpin Muslim yang
sah dan menghindari perpecahan (furqah), sebagaimana ditegaskan oleh
para ulama seperti Imam Ahmad ibn Hanbal dan Ibn Taymiyyah.⁵
Secara teologis, al-jamā‘ah kemudian menjadi
istilah kunci dalam pembentukan identitas Ahlus Sunnah wal Jamaah, yaitu
kelompok yang tetap setia kepada sunnah Nabi dan menjaga kesatuan dengan
menjauhi sikap ekstrem. Dalam pandangan ini, al-jamā‘ah mencakup dimensi
akidah, manhaj (metodologi), dan sikap sosial terhadap realitas umat.⁶
Dengan demikian, Al-Jamaah bukan sekadar
istilah linguistik atau politis, melainkan sebuah konsep yang merangkum
nilai-nilai pokok dalam Islam, yaitu kesatuan, kebenaran, dan loyalitas
terhadap sunnah. Ia menjadi fondasi penting dalam menjaga kemurnian ajaran dan
keutuhan barisan umat Islam sepanjang sejarah.
Catatan
Kaki
[1]
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, ed. ‘Ali Shiri
(Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 1999), jil. 1, hlm. 345.
[2]
Yusuf al-Qaradawi, al-Sahwah al-Islamiyyah bayna
al-Ikhtilaf al-Masyru‘ wa al-Tafarruq al-Madhmum (Kairo: Maktabah Wahbah,
1990), hlm. 25–26.
[3]
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Sunnah,
Hadis no. 4597.
[4]
Al-Syathibi, al-I‘tiṣām, ed. Muhammad
al-Shaghir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), jil. 2, hlm. 260–262.
[5]
Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, ed. ‘Abd
al-Rahman ibn Qasim (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadithah, 1981), jil. 3,
hlm. 157.
[6]
Ahmad ibn Hanbal, Usul al-Sunnah, dalam Majmu‘
Rasā’il al-Imam Ahmad, ed. Muhammad ibn Sa‘id (Riyadh: Dar al-Fadilah,
1998), hlm. 47–48.
3.
Asal-Usul
dan Konteks Sejarah
Istilah Al-Jamaah mulai memperoleh makna
teologis dan politis yang signifikan dalam sejarah Islam sejak masa-masa awal
pasca wafatnya Rasulullah Saw pada tahun 11 H/632 M. Pada masa itu, umat Islam
memasuki periode penuh dinamika politik dan pergolakan, yang ditandai dengan
munculnya berbagai kelompok dan aliran pemikiran, serta konflik internal yang
memuncak pada Perang Jamal (656 M) dan Perang Shiffin (657 M).¹ Dalam konteks
inilah, kebutuhan akan kesatuan dan keutuhan umat menjadi sangat mendesak,
sehingga lahir gagasan tentang Al-Jamaah sebagai simbol kesatuan umat
Islam yang berpegang pada sunnah dan ijma‘.
Secara historis, fase awal dari pembentukan konsep Al-Jamaah
dapat ditelusuri sejak masa Khulafaur Rasyidin, khususnya masa kekhalifahan Abu
Bakar dan Umar ibn al-Khattab, ketika penegakan prinsip syura
(musyawarah) dan konsensus sahabat (ijma‘) menjadi landasan penting dalam
pengambilan keputusan.² Namun, setelah terbunuhnya Khalifah Utsman ibn Affan
dan terjadinya fitnah besar yang mengawali konflik antara Ali ibn Abi Thalib
dan Muawiyah ibn Abi Sufyan, umat Islam mulai terpecah ke dalam beberapa
golongan: Khawarij, yang menolak legitimasi kekuasaan Ali dan Muawiyah; Syi’ah,
yang mendukung keimaman Ali secara eksklusif; serta Murji’ah, yang
mengedepankan sikap menangguhkan penilaian terhadap pelaku dosa besar.³
Di tengah fragmentasi ini, muncullah kesadaran
kolektif dari sebagian besar umat Islam untuk tetap berada di tengah—yakni
tidak memihak kepada ekstremisme teologis maupun pemberontakan politik.
Kelompok inilah yang kemudian diidentifikasi sebagai Al-Jamaah, yaitu
golongan umat Islam yang berpegang pada ajaran Rasulullah Saw, ijma‘ sahabat,
dan bersikap moderat dalam menyikapi konflik internal umat.⁴
Dalam hadis-hadis Nabi Saw, konsep Al-Jamaah
telah diantisipasi dan disorot dengan serius. Dalam salah satu hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ أُمَّتِي سَتَفْتَرِقُ عَلَىٰ ثَلَاثٍ
وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً، قِيلَ: مَنْ هِيَ
يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي.
“Sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga
golongan. Semuanya di neraka kecuali satu, yaitu yang mengikuti apa yang aku
dan para sahabatku berada di atasnya.”_⁵
Hadis ini dijadikan pijakan oleh para ulama Ahlus
Sunnah untuk menegaskan bahwa Al-Jamaah merujuk kepada golongan yang
berpegang teguh pada ajaran Nabi dan para sahabat, serta menghindari fanatisme
kelompok.
Pada masa kekuasaan Khalifah Muawiyah ibn Abi Sufyan,
khususnya setelah peristiwa tahkim (arbitrase) antara Ali dan Muawiyah, umat
Islam memasuki masa stabilitas politik relatif, yang oleh sebagian sejarawan
disebut sebagai periode awal terbentuknya institusi al-jamā‘ah al-Islāmiyyah
secara politis.⁶ Periode ini menandai awal dari pemahaman bahwa menjaga
kesatuan umat di bawah pemimpin Muslim, meskipun tidak ideal, lebih utama
daripada perpecahan yang menimbulkan fitnah. Imam Ahmad ibn Hanbal bahkan
menegaskan bahwa salah satu prinsip dasar Ahlus Sunnah adalah ketaatan
kepada pemimpin Muslim selama tidak memerintahkan kemaksiatan, demi menjaga
keutuhan Al-Jamaah.⁷
Dengan demikian, asal-usul Al-Jamaah tidak
dapat dilepaskan dari realitas sejarah umat Islam yang penuh konflik internal.
Munculnya istilah ini merupakan respons terhadap perpecahan dan ekstremisme,
dengan misi utama menjaga kesatuan akidah, manhaj, dan struktur sosial umat. Ia
menjadi representasi dari sikap tengah (moderasi) yang berupaya menyeimbangkan
antara tuntutan agama dan realitas politik.
Catatan
Kaki
[1]
Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam:
Conscience and History in a World Civilization, Vol. 1 (Chicago: University
of Chicago Press, 1974), hlm. 202–205.
[2]
Ali Muhammad al-Sallabi, Abu Bakr al-Siddiq: His
Life and Times, terj. Nasiruddin al-Khattab (Riyadh: International Islamic
Publishing House, 2007), hlm. 151–158.
[3]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, Jilid 1 (Jakarta: UI Press, 1990), hlm. 119–121.
[4]
W. Montgomery Watt, The Formative Period of
Islamic Thought (Oxford: Oneworld Publications, 1998), hlm. 81–84.
[5]
Abu ‘Isa Muhammad al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi,
Kitab al-Iman, Hadis no. 2641.
[6]
Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the
Caliphates, 2nd ed. (New York: Pearson Education Limited, 2004), hlm.
124–127.
[7]
Ahmad ibn Hanbal, Usul al-Sunnah, dalam Majmu‘
Rasā’il al-Imam Ahmad, ed. Muhammad ibn Sa‘id (Riyadh: Dar al-Fadilah,
1998), hlm. 48.
4.
Karakteristik
Al-Jamaah
Al-Jamaah sebagai representasi umat Islam yang lurus dan moderat memiliki
sejumlah karakteristik yang menonjol, baik dalam aspek teologis, sosial, maupun
politik. Karakteristik ini tidak hanya membedakannya dari kelompok-kelompok
ekstrem seperti Khawarij dan Rafidhah (Syi’ah ekstrem), tetapi juga
menjadikannya landasan akidah dan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah sepanjang
sejarah.
4.1.
Berpegang Teguh pada al-Qur’an,
Sunnah, dan Ijma‘
Karakter paling mendasar dari Al-Jamaah
adalah komitmen mereka terhadap al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw sebagai sumber utama ajaran Islam, disertai dengan penghargaan
tinggi terhadap ijma‘ (konsensus) para sahabat.⁽¹⁾ Mereka tidak keluar dari
pemahaman generasi Salaf (tiga generasi awal Islam) dan menjadikan ijma‘
sebagai otoritas kolektif yang dijaga dalam bingkai kebenaran.⁽²⁾
Imam al-Syafi’i menekankan bahwa ijma‘ umat tidak
akan terjadi kecuali atas dasar kebenaran, karena Allah tidak akan mengumpulkan
umat ini dalam kesesatan.⁽³⁾ Inilah sebabnya mengapa Al-Jamaah tidak
bersandar kepada akal semata dalam memahami agama, tetapi mendudukkan akal
sebagai sarana untuk memahami nash, bukan sebagai hakim atasnya.
4.2.
Loyalitas terhadap Pemimpin Muslim
yang Sah
Salah satu prinsip penting dalam Al-Jamaah
adalah ketaatan terhadap pemimpin Muslim (imam/khalifah) selama tidak
memerintahkan kemaksiatan atau kekufuran yang nyata. Hal ini berakar pada
hadits Nabi Saw:
اِسْمَعُوا وَأَطِيعُوا، وَإِنْ اسْتُعْمِلَ
عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّهُ رَأْسُ زَبِيبَةٍ
“Dengarkan dan taatilah pemimpin kalian, meskipun yang memimpin
kalian adalah seorang budak Habsyi.”_⁽⁴⁾
Imam Ahmad ibn Hanbal menegaskan bahwa termasuk
prinsip Ahlus Sunnah adalah tidak memberontak kepada penguasa, walaupun mereka
berlaku zalim.⁽⁵⁾ Hal ini dimaksudkan bukan untuk melegitimasi kezaliman,
tetapi demi menjaga stabilitas dan menghindari fitnah yang lebih besar,
sebagaimana yang pernah dialami umat Islam dalam berbagai konflik politik awal.
4.3.
Menjaga Persatuan dan Menolak
Perpecahan
Al-Jamaah sangat menekankan ukhuwah Islamiyyah dan persatuan umat. Mereka
menjauhi sikap fanatisme kelompok (ta‘aṣṣub), sektarianisme, dan konflik
internal yang dapat melemahkan barisan kaum Muslimin. Dalam al-Qur’an
ditegaskan:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا
تَفَرَّقُوا ۚ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai-berai...” (Q.S. Ali ‘Imran [3] ayat 103).⁽⁶⁾
Ulama seperti al-Syathibi dan Ibn Taymiyyah
berulang kali mengingatkan bahwa perpecahan umat bukan hanya dosa sosial,
tetapi juga penyimpangan akidah jika didasari hawa nafsu dan kebencian terhadap
sesama Muslim.⁽⁷⁾
4.4.
Moderat dan Seimbang dalam Memahami
Agama
Karakter moderasi (wasathiyyah) merupakan
ciri khas utama Al-Jamaah. Mereka menghindari sikap ekstrem kanan
(berlebih-lebihan dalam ibadah atau pengkafiran) maupun ekstrem kiri
(mengabaikan syariat).⁽⁸⁾ Dalam pandangan ini, Al-Jamaah adalah jalan
tengah antara Khawarij yang mudah mengkafirkan dan Murji’ah yang menunda
penghakiman terhadap pelaku dosa besar.⁽⁹⁾
Keseimbangan ini juga terlihat dalam pendekatan
mereka terhadap akal dan nash. Al-Jamaah tidak menolak akal seperti
kelompok literalis ekstrem, tetapi juga tidak mendewakannya seperti para
rasionalis murni. Imam al-Ghazali menyebut pendekatan ini sebagai “jalan
keselamatan,” karena seimbang antara syariat dan realitas.¹⁰
Kesimpulan
Sementara
Dari karakteristik-karakteristik tersebut dapat
disimpulkan bahwa Al-Jamaah adalah komunitas yang mengedepankan kesetiaan
terhadap sumber otoritatif agama, ketaatan sosial dalam bingkai keadilan,
serta komitmen terhadap persatuan dan moderasi dalam berpikir. Dalam
sejarah Islam, prinsip-prinsip ini telah menjaga kestabilan teologis dan sosial
umat di tengah berbagai gejolak pemikiran dan politik.
Catatan
Kaki
[1]
Al-Syathibi, al-I‘tiṣām, ed. Muhammad
al-Shaghir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), jil. 2, hlm. 250.
[2]
Ahmad ibn Hanbal, Usul al-Sunnah, dalam Majmu‘
Rasā’il al-Imam Ahmad, ed. Muhammad ibn Sa‘id (Riyadh: Dar al-Fadilah,
1998), hlm. 46–48.
[3]
Al-Syafi‘i, al-Risalah, ed. Ahmad Muhammad
Shakir (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), hlm. 473.
[4]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab
al-Imarah, Hadis no. 1838.
[5]
Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah
(Riyadh: Mu’assasah al-Risalah, 1986), jil. 3, hlm. 395.
[6]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2005), hlm. 68.
[7]
Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, ed. ‘Abd
al-Rahman ibn Qasim (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadithah, 1981), jil. 3,
hlm. 156.
[8]
Yusuf al-Qaradawi, al-Khasha’is al-‘Ammah li
al-Islam (Kairo: Maktabah Wahbah, 1991), hlm. 53–54.
[9]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), hlm. 65–67.
[10]
Al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dalal, ed. Jamil
Saliba (Beirut: Dar al-Andalus, 1978), hlm. 115–116.
5.
Hubungan
dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah
Istilah Al-Jamaah secara historis dan
konseptual memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan Ahlus Sunnah wal
Jamaah, bahkan dalam perkembangan teologi Islam klasik, keduanya sering
dianggap sebagai satu kesatuan yang saling menguatkan. Meskipun secara
linguistik Al-Jamaah berarti “kelompok” atau “komunitas yang
bersatu”, sedangkan Ahlus Sunnah berarti “pengikut sunnah (ajaran
Nabi Muhammad Saw)”, keduanya dalam praktik teologis merujuk kepada
golongan yang mengikuti ajaran Islam secara lurus berdasarkan al-Qur’an,
sunnah, dan ijma‘ sahabat.¹
5.1.
Historisitas Penyatuan Istilah
Penggabungan istilah Ahlus Sunnah dan Al-Jamaah
mulai populer pada masa pasca fitnah (konflik besar) dalam Islam, khususnya
setelah masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib dan munculnya berbagai aliran seperti
Khawarij, Syi’ah, dan Murji’ah. Dalam upaya menegaskan identitas ortodoksi,
para ulama menyebut kelompok umat Islam yang berpegang pada sunnah Nabi dan
konsensus sahabat sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah.² Imam al-Tahawi dalam
Aqidah al-Tahawiyyah menyebutkan bahwa prinsip Ahlus Sunnah adalah
mengikuti jamaah kaum Muslimin dan menjauhi perpecahan (furqah).³
Secara doktrinal, Ahlus Sunnah wal Jamaah
adalah lanjutan dari prinsip Al-Jamaah yang telah diletakkan sejak masa
sahabat. Kedua istilah ini menjadi fondasi bagi kelompok mayoritas umat Islam
yang berkomitmen menjaga kemurnian ajaran Islam, menjauhi sikap ekstrem, dan
mendukung stabilitas sosial-politik umat.⁴
5.2.
Konsistensi dalam Akidah dan Manhaj
Al-Jamaah dalam konteks Ahlus Sunnah bukan hanya bersifat sosial atau politis,
tetapi juga teologis. Para ulama menekankan bahwa Al-Jamaah adalah
komunitas yang tidak hanya bersatu secara fisik, tetapi juga bersatu dalam
akidah dan manhaj. Imam Ibn al-Jawzi menjelaskan bahwa salah satu ciri utama
Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah tidak mudah mengkafirkan sesama Muslim dan
menjauhi perdebatan yang bersifat destruktif.⁵
Dalam hal akidah, Ahlus Sunnah wal Jamaah
yang juga disebut sebagai Al-Jamaah menghindari pandangan ekstrem
seperti doktrin Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar, atau doktrin
Murji’ah yang menganggap amal perbuatan tidak mempengaruhi keimanan. Sebaliknya,
mereka menempuh jalan tengah yang menyeimbangkan antara iman dan amal.⁶
5.3.
Institusionalisasi dalam Mazhab
Sunni
Hubungan antara Al-Jamaah dan Ahlus
Sunnah semakin menguat ketika lahirnya institusi keilmuan Islam klasik,
terutama dengan munculnya mazhab-mazhab Ahlus Sunnah seperti:
·
Asy‘ariyah, yang
dikembangkan oleh Abu al-Hasan al-Asy‘ari (w. 324 H),
·
Maturidiyah, oleh Abu
Mansur al-Maturidi (w. 333 H),
·
Dan mazhab-mazhab fiqih yang berpengaruh seperti Hanafi, Maliki,
Syafi’i, dan Hanbali.⁷
Meskipun memiliki pendekatan rasional atau tekstual
yang berbeda, semua mazhab ini berada di bawah payung Ahlus Sunnah wal
Jamaah, karena tetap setia pada prinsip-prinsip utama Al-Jamaah
dalam hal akidah, keadilan sosial, serta loyalitas terhadap umat dan ulama.
Imam al-Dhahabi mencatat bahwa siapa pun yang
mengakui rukun iman dan Islam serta mencintai sahabat Nabi, tidak membenci
Ahlus Sunnah, dan tidak mengikuti hawa nafsu kelompok-kelompok sesat, maka ia
termasuk dalam Al-Jamaah.⁸
5.4.
Relevansi Teologis dan Sosiologis
Dalam konteks modern, penyebutan Ahlus Sunnah
wal Jamaah sebagai kelanjutan dari Al-Jamaah juga menegaskan
pentingnya moderasi, toleransi, dan ukhuwah Islamiyah. Banyak lembaga
pendidikan, ormas, dan otoritas keagamaan di dunia Islam menggunakan identitas
ini untuk mengukuhkan posisi mereka sebagai representasi Islam arus utama.
Misalnya, Nahdlatul Ulama di Indonesia secara eksplisit menggunakan istilah Ahlus
Sunnah wal Jamaah sebagai kerangka manhaj berpikir dan bertindak.⁹
Kesimpulan
Sementara
Dengan demikian, Al-Jamaah dan Ahlus
Sunnah wal Jamaah bukanlah dua entitas terpisah, melainkan satu kesatuan
ideologis dan historis yang mengakar kuat dalam tradisi Islam klasik. Al-Jamaah
menjadi landasan sosial dan spiritual, sementara Ahlus Sunnah mempertegas
komitmen terhadap sunnah Nabi dan keteguhan dalam menjaga kemurnian akidah.
Keduanya membentuk pilar utama dalam menjaga ortodoksi dan kesatuan umat Islam
sepanjang zaman.
Catatan
Kaki
[1]
Al-Syathibi, al-I‘tiṣām, ed. Muhammad al-Shaghir (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), jil. 2, hlm. 235.
[2]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah,
Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), hlm. 56–57.
[3]
Abu Ja‘far al-Tahawi, Aqidah al-Tahawiyyah, syarah
oleh Ibn Abi al-‘Izz (Beirut: al-Maktabah al-Islamiyyah, 2000), hlm. 12–13.
[4]
Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, ed. ‘Abd al-Rahman
ibn Qasim (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadithah, 1981), jil. 3, hlm. 157–158.
[5]
Ibn al-Jawzi, Talbis Iblis, ed. Ahmad al-Turki
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), hlm. 25–27.
[6]
W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic
Thought (Oxford: Oneworld Publications, 1998), hlm. 82–84.
[7]
Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Franz Rosenthal
(Princeton: Princeton University Press, 1967), hlm. 461–463.
[8]
Al-Dhahabi, Siyar A‘lam al-Nubala’, ed. Shu‘ayb
al-Arna’uth (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1984), jil. 20, hlm. 295.
[9]
Abdul Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama:
Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 2009), hlm. 47–48.
6.
Relevansi
Konsep Al-Jamaah dalam Konteks Modern
Dalam era kontemporer yang ditandai dengan
globalisasi, krisis identitas, konflik sektarian, serta berkembangnya
ekstremisme dan liberalisme dalam memahami agama, konsep Al-Jamaah
kembali memperoleh urgensi dan relevansi yang tinggi. Sebagai simbol kesatuan
dan moderasi, Al-Jamaah menawarkan fondasi teologis dan sosial yang kuat
untuk menjaga integritas umat Islam sekaligus menavigasi tantangan zaman secara
bijaksana.
6.1.
Menangkal Radikalisme dan
Ekstremisme
Salah satu krisis terbesar umat Islam dewasa ini
adalah munculnya berbagai kelompok ekstrem yang mengklaim legitimasi agama,
seperti kelompok takfiri (mudah mengkafirkan), radikalis ideologis, maupun
teroris yang melakukan kekerasan atas nama Islam. Dalam hal ini, konsep Al-Jamaah
menjadi benteng teologis karena menolak sikap berlebihan (ghuluw) dan
penyelewengan dari prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.¹
Al-Jamaah, dalam bingkai Ahlus Sunnah wal Jamaah, menolak klaim sepihak
tentang kebenaran yang eksklusif serta memperingatkan bahaya pemikiran ekstrem
yang keluar dari kesepakatan umat.² Dalam sejarah, Khawarij dijadikan contoh
kelompok yang keluar dari Al-Jamaah karena terlalu mudah mengkafirkan
pelaku dosa besar dan menghalalkan darah sesama Muslim.³ Maka, Al-Jamaah
menegaskan pentingnya prinsip tasamuh (toleransi), ta‘awun (kerja sama), dan
ishlah (rekonsiliasi), yang semuanya sangat dibutuhkan dalam merawat harmoni
sosial keagamaan.
6.2.
Memperkuat Moderasi dan Wasathiyyah
Islam
Al-Jamaah secara inheren adalah pengejawantahan dari prinsip wasathiyyah
(moderat) sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
“Dan demikian (pula) Kami telah
menjadikan kamu umat yang wasath (tengah/moderat)...” (Q.S. al-Baqarah [2]
ayat 143).⁴
Sebagai komunitas arus utama umat Islam, Al-Jamaah
berada di tengah-tengah antara aliran yang terlalu mengedepankan literalisme
tanpa ruh (tekstualis ekstrem) dan yang terlalu liberal dalam menafsirkan
ajaran agama tanpa batas syariat. Dalam bidang pemikiran Islam modern, gagasan wasathiyyah
telah diadopsi oleh banyak lembaga internasional seperti Al-Azhar, Nahdlatul
Ulama, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai pendekatan dakwah
dan pendidikan keislaman.⁵
Konsep Al-Jamaah dalam kerangka ini menjadi
jembatan antara masa lalu dan masa depan, tradisi dan inovasi, teks dan
konteks.⁶
6.3.
Menjaga Persatuan Umat di Tengah
Fragmentasi
Zaman modern juga ditandai dengan tingginya
polarisasi—baik dalam aspek politik, mazhab, maupun ideologi. Perselisihan umat
yang tajam di media sosial, mimbar keagamaan, hingga politik identitas
mengancam ruh ukhuwah Islamiyyah. Dalam konteks ini, semangat Al-Jamaah
sangat dibutuhkan sebagai upaya menjaga tali kesatuan umat Islam.
Para ulama seperti Ibn Taymiyyah menekankan bahwa
bersatu dalam kebaikan lebih utama daripada menang dalam perdebatan yang
membawa perpecahan.⁷ Dalam kerangka ini, Al-Jamaah bukan sekadar bentuk
struktural dari kesatuan, tetapi juga substansi spiritual dari sikap saling
memuliakan antar sesama Muslim.⁸
6.4.
Kontribusi terhadap Peradaban dan
Kemanusiaan
Relevansi Al-Jamaah juga tampak dalam
kontribusinya terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Melalui pendekatan
kolektif dan moderatnya, Al-Jamaah membuka ruang dialog, kerja sama
lintas mazhab dan budaya, serta partisipasi dalam membangun peradaban yang adil
dan berkeadaban. Inilah esensi rahmatan lil-‘alamin yang dibawa oleh
Islam.
Dalam forum dunia seperti Muktamar Fikih Islam
Internasional dan Forum Ulama Dunia, semangat Al-Jamaah
menjadi dasar bagi kesepakatan dalam merespons isu-isu global seperti perubahan
iklim, perdamaian dunia, dan krisis kemanusiaan.⁹
Kesimpulan
Sementara
Konsep Al-Jamaah tidak kehilangan
relevansinya dalam dunia modern. Justru, nilai-nilai yang dikandungnya—yaitu
kesatuan, moderasi, loyalitas terhadap sunnah, serta toleransi—menjadi sangat
dibutuhkan dalam menjawab tantangan zaman. Dalam konteks keindonesiaan dan
global, semangat Al-Jamaah menjadi landasan strategis dalam membangun
masyarakat Muslim yang kuat dalam akidah, lembut dalam muamalah, dan cerdas
dalam menyikapi perubahan dunia.
Catatan
Kaki
[1]
Yusuf al-Qaradawi, al-Sahwah al-Islamiyyah bayna
al-Ikhtilaf al-Masyru‘ wa al-Tafarruq al-Madhmum (Kairo: Maktabah Wahbah,
1990), hlm. 25–30.
[2]
Ahmad ibn Hanbal, Usul al-Sunnah, dalam Majmu‘
Rasā’il al-Imam Ahmad, ed. Muhammad ibn Sa‘id (Riyadh: Dar al-Fadilah,
1998), hlm. 46–48.
[3]
Ibn Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah, jil. 7
(Beirut: Dar al-Fikr, 1997), hlm. 280–285.
[4]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2005), Q.S. al-Baqarah [2] ayat
143.
[5]
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, al-Salafiyyah
Marhalah Zamaniyyah Mubarakah la Madhhab Islami (Beirut: Dar al-Fikr,
1988), hlm. 41–43.
[6]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious
Thought in Islam (Lahore: Iqbal Academy, 1982), hlm. 101–102.
[7]
Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, ed. ‘Abd al-Rahman
ibn Qasim (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadithah, 1981), jil. 28, hlm. 15–16.
[8]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, jil. 2
(Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2002), hlm. 165–166.
[9]
International Islamic Fiqh Academy (IIFA), Proceedings
of the 20th Session, Amman, Jordan, 2012.
7.
Penutup
7.1.
Kesimpulan
Berdasarkan kajian komprehensif terhadap konsep Al-Jamaah,
dapat disimpulkan bahwa Al-Jamaah bukan sekadar istilah sosiologis,
melainkan sebuah entitas ideologis, teologis, dan historis yang
merepresentasikan komitmen terhadap kesatuan umat, kesetiaan terhadap sunnah,
dan moderasi dalam beragama. Istilah ini muncul sebagai respons terhadap perpecahan
internal umat Islam pasca wafatnya Rasulullah Saw, dan terus berkembang menjadi
fondasi dari kelompok mayoritas umat Islam yang kemudian dikenal sebagai Ahlus
Sunnah wal Jamaah.¹
Sebagai konsep utama dalam pemikiran Islam klasik, Al-Jamaah
mencerminkan semangat untuk menjaga kemurnian ajaran Islam melalui penguatan
prinsip-prinsip pokok, seperti: berpegang teguh pada al-Qur’an, sunnah, dan
ijma‘; menjauhi perpecahan; serta mentaati pemimpin Muslim selama dalam koridor
syariat.² Dalam konteks sejarah, Al-Jamaah menjadi simbol integrasi
antara keyakinan, kebijakan sosial-politik, dan akhlak kolektif umat Islam.³
Pada era modern, relevansi Al-Jamaah tidak
hanya terletak pada nilai-nilai persatuan dan ketertiban, tetapi juga pada
kemampuannya untuk menjadi solusi teologis dan sosiologis atas berbagai
tantangan umat: ekstremisme, sekularisasi, konflik mazhab, hingga disintegrasi
sosial akibat media digital.⁴ Maka, Al-Jamaah bukan hanya warisan masa
lalu, melainkan juga proyek masa depan umat Islam yang ingin tetap teguh dalam
akidah dan fleksibel dalam menghadapi perubahan zaman.
7.2.
Rekomendasi (Dalam Konteks Berpikir
Ahlus Sunnah wal Jamaah)
7.2.1.
Menanamkan Nilai Wasathiyyah dalam
Pendidikan Islam
Penting bagi lembaga pendidikan Islam untuk
memasukkan konsep Al-Jamaah dalam kurikulum akidah dan pemikiran Islam
sebagai bentuk implementasi manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah. Pemahaman
tentang jalan tengah (wasathiyyah) yang diusung oleh Al-Jamaah harus ditanamkan
sejak dini guna membentuk pribadi Muslim yang kokoh dalam akidah dan toleran
dalam bermuamalah.⁵
7.2.2. Menghindari Fanatisme Mazhab
dan Membangun Ukhuwah
Umat Islam diimbau untuk menjauhi sikap fanatik
kelompok yang dapat mengarah pada perpecahan. Dalam perspektif Ahlus Sunnah
wal Jamaah, mencintai kebenaran lebih utama daripada mencintai kelompok.
Oleh karena itu, setiap Muslim perlu menumbuhkan rasa hormat terhadap perbedaan
yang dibenarkan dalam Islam, sebagaimana dilakukan oleh para ulama salaf.⁶
7.2.3. Menghidupkan Tradisi Ijma‘
dan Musyawarah dalam Menyikapi Masalah Umat
Salah satu karakter khas Al-Jamaah adalah
menjunjung tinggi ijma‘ (konsensus) sebagai sumber hukum ketiga setelah
al-Qur’an dan sunnah. Di tengah banyaknya isu-isu kontemporer, umat Islam perlu
kembali kepada nilai-nilai ijma‘ dan musyawarah sebagai metode kolektif dalam
mengambil keputusan keagamaan.⁷
7.2.4. Membangun Loyalitas terhadap
Pemimpin Umat yang Sah
Dalam konteks bernegara, prinsip Al-Jamaah
mengajarkan pentingnya ketaatan terhadap pemimpin Muslim selama tidak
memerintahkan maksiat. Hal ini menjadi pilar dalam menjaga stabilitas sosial
dan mencegah munculnya fitnah akibat pemberontakan atau sikap anarkis.⁸ Oleh
karena itu, umat Islam perlu membangun kesadaran kolektif untuk menjaga ketertiban
dan mendukung pemimpin dalam kebaikan.
7.2.5. Menjadi Agen Persatuan dan
Perdamaian Umat
Muslim yang berpikir dalam kerangka Ahlus Sunnah
wal Jamaah seharusnya mengambil peran sebagai penjaga persatuan (al-muwaḥḥidūn)
dan penengah konflik. Hal ini bisa dilakukan melalui dakwah yang penuh hikmah,
membangun jejaring antarormas, serta memperkuat sinergi lintas komunitas demi
menjaga ukhuwah Islamiyah.⁹
Catatan
Kaki
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), hlm. 53–56.
[2]
Ahmad ibn Hanbal, Usul al-Sunnah, dalam Majmu‘
Rasā’il al-Imam Ahmad, ed. Muhammad ibn Sa‘id (Riyadh: Dar al-Fadilah,
1998), hlm. 46–48.
[3]
Al-Syathibi, al-I‘tiṣām, ed. Muhammad
al-Shaghir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), jil. 2, hlm. 240–242.
[4]
Yusuf al-Qaradawi, al-Sahwah al-Islamiyyah bayna
al-Ikhtilaf al-Masyru‘ wa al-Tafarruq al-Madhmum (Kairo: Maktabah Wahbah,
1990), hlm. 28–31.
[5]
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, al-Salafiyyah
Marhalah Zamaniyyah Mubarakah la Madhhab Islami (Beirut: Dar al-Fikr,
1988), hlm. 41–42.
[6]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, jil. 2
(Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2002), hlm. 201.
[7]
Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, ed. ‘Abd
al-Rahman ibn Qasim (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadithah, 1981), jil. 20,
hlm. 164–165.
[8]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab
al-Imarah, Hadis no. 1839.
[9]
W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1968), hlm. 91–93.
Daftar Pustaka
Abu Dawud. (n.d.). Sunan Abi Dawud (Kitab
al-Sunnah, Hadis No. 4597). Beirut: Dar al-Fikr.
Abu Ja‘far al-Tahawi. (2000). Aqidah
al-Tahawiyyah (Syarh Ibn Abi al-‘Izz). Beirut: al-Maktabah al-Islamiyyah.
Al-Buthi, M. S. R. (1988). Al-Salafiyyah
Marhalah Zamaniyyah Mubarakah la Madhhab Islami. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Dhahabi, S. M. (1984). Siyar A‘lam al-Nubala’
(Ed. Shu‘ayb al-Arna’uth). Beirut: Mu’assasah al-Risalah.
Al-Ghazali. (1978). Al-Munqidz min al-Dalal
(Ed. Jamil Saliba). Beirut: Dar al-Andalus.
Al-Ghazali. (2002). Ihya’ ‘Ulum al-Din (Vol.
2). Kairo: Dar al-Ma‘arif.
Al-Qaradawi, Y. (1990). Al-Sahwah al-Islamiyyah
bayna al-Ikhtilaf al-Masyru‘ wa al-Tafarruq al-Madhmum. Kairo: Maktabah
Wahbah.
Al-Syafi‘i. (2002). Al-Risalah (Ed. Ahmad
Muhammad Shakir). Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Syathibi. (1997). Al-I‘tiṣām (Ed.
Muhammad al-Shaghir) (Vol. 2). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Departemen Agama RI. (2005). Al-Qur’an dan
Terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an.
Ghazali, A. M. (2009). Argumen Pluralisme Agama:
Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an. Jakarta: Paramadina.
Harun Nasution. (1990). Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya (Vol. 1). Jakarta: UI Press.
Harun Nasution. (1996). Teologi Islam:
Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press.
Hodgson, M. G. S. (1974). The Venture of Islam:
Conscience and History in a World Civilization (Vol. 1). Chicago: University
of Chicago Press.
Ibn Hanbal, A. (1998). Usul al-Sunnah, dalam
Majmu‘ Rasā’il al-Imam Ahmad (Ed. Muhammad ibn Sa‘id). Riyadh: Dar
al-Fadilah.
Ibn al-Jawzi. (2001). Talbis Iblis (Ed.
Ahmad al-Turki). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ibn Kathir. (1997). Al-Bidayah wa al-Nihayah
(Vol. 7). Beirut: Dar al-Fikr.
Ibn Khaldun. (1967). The Muqaddimah (Trans.
Franz Rosenthal). Princeton: Princeton University Press.
Ibn Manzur. (1999). Lisan al-‘Arab (Ed. ‘Ali
Shiri) (Vol. 1). Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi.
Ibn Taymiyyah. (1981). Majmu‘ al-Fatawa (Ed.
‘Abd al-Rahman ibn Qasim). Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadithah.
Ibn Taymiyyah. (1986). Minhaj al-Sunnah
al-Nabawiyyah. Riyadh: Mu’assasah al-Risalah.
International Islamic Fiqh Academy. (2012). Proceedings
of the 20th Session. Amman, Jordan.
Iqbal, M. (1982). The Reconstruction of
Religious Thought in Islam. Lahore: Iqbal Academy.
Kennedy, H. (2004). The Prophet and the Age of
the Caliphates (2nd ed.). New York: Pearson Education Limited.
Muslim ibn al-Hajjaj. (n.d.). Sahih Muslim
(Kitab al-Imarah, Hadis No. 1838–1851).
Ramadhan al-Buthi, M. S. (1988). Al-Salafiyyah
Marhalah Zamaniyyah Mubarakah la Madhhab Islami. Beirut: Dar al-Fikr.
Watt, W. M. (1968). Islamic Political Thought.
Edinburgh: Edinburgh University Press.
Watt, W. M. (1985). Islamic Philosophy and
Theology. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Watt, W. M. (1998). The Formative Period of
Islamic Thought. Oxford: Oneworld Publications.
Lampiran: Keterkaitan antara Al-Jamaah dan Madzhab Ahlus Sunnah
Keterkaitan antara Al-Jamaah dan Madzhab
Ahlus Sunnah sangat erat, bahkan dapat dikatakan bahwa dalam banyak
konteks, keduanya merupakan dua sisi dari satu kesatuan dalam kerangka
pemikiran Islam klasik yang moderat dan arus utama (mainstream).
Penjelasan berikut menggambarkan secara sistematis hubungan antara keduanya:
1.
Kesamaan Asas: Komitmen terhadap
Sunnah dan Ijma‘
Al-Jamaah secara konseptual merujuk pada komunitas umat Islam yang bersatu dalam
mengikuti ajaran Rasulullah Saw dan para sahabat,
serta menolak bentuk penyimpangan teologis maupun ekstremisme. Prinsip ini
menjadi dasar identitas Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang menjadikan al-Qur’an,
sunnah, dan ijma‘ sebagai fondasi utama dalam akidah dan hukum.¹
Dengan demikian, Al-Jamaah bukan hanya
istilah sosial, tetapi juga penegasan teologis terhadap prinsip-prinsip Ahlus
Sunnah, terutama dalam menyikapi perpecahan yang ditimbulkan oleh aliran-aliran
seperti Khawarij, Syi’ah Rafidhah, dan Mu’tazilah.²
2.
Al-Jamaah sebagai Identitas Kolektif
Ahlus Sunnah
Dalam banyak karya ulama klasik, istilah Al-Jamaah
dijadikan sinonim atau atribut identitas dari Ahlus Sunnah, misalnya
oleh Imam Ahmad ibn Hanbal yang menyebut bahwa bagian dari prinsip Ahlus Sunnah
adalah “berpegang kepada Al-Jamaah dan menjauhi perpecahan.”³
Hal ini juga ditegaskan dalam teks-teks teologis
seperti Aqidah al-Tahawiyyah, di mana disebutkan bahwa orang beriman
wajib “bersatu bersama jamaah kaum Muslimin” dan tidak keluar dari jalan
mayoritas.⁴ Oleh karena itu, Al-Jamaah di sini menjadi manifestasi
praksis dari manhaj Ahlus Sunnah dalam kehidupan beragama dan
bermasyarakat.
3.
Reproduksi Ajaran Al-Jamaah dalam
Mazhab Sunni
Empat mazhab besar dalam Ahlus Sunnah (Hanafi,
Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali) juga membentuk institusi hukum dan akidah yang
menjunjung tinggi prinsip Al-Jamaah. Meski berbeda dalam aspek furu‘
(cabang hukum), mereka semua sepakat dalam hal ushuluddin (prinsip akidah),
termasuk:
·
Penghormatan kepada sahabat,
·
Menolak ekstremisme dalam takfir,
·
Ketaatan terhadap pemimpin Muslim,
·
Komitmen terhadap kesatuan umat.⁵
Oleh karena itu, mengikuti salah satu dari empat
mazhab ini pada hakikatnya adalah bagian dari Al-Jamaah, karena mereka
tumbuh dari tradisi Ahlus Sunnah yang menjaga prinsip-prinsip keislaman yang
sahih.
4.
Koreksi terhadap Kelompok Menyimpang
melalui Prinsip Al-Jamaah
Al-Jamaah juga menjadi parameter bagi Ahlus Sunnah dalam mengidentifikasi
penyimpangan teologis dan gerakan sesat. Dalam sejarah, kelompok yang
menyimpang dari jalan Al-Jamaah sering kali teridentifikasi sebagai
golongan ahlul bid‘ah, seperti:
·
Khawarij, karena
mengkafirkan pelaku dosa besar,
·
Murji’ah, karena
memisahkan iman dari amal,
·
Mu’tazilah, karena
mendahulukan akal secara mutlak atas nash.⁶
Dalam kerangka ini, Al-Jamaah adalah
pengawal ortodoksi, sedangkan Ahlus Sunnah adalah nama mazhab atau
orientasi teologis yang mengemban tugas itu secara sistematis.
5.
Ahlus Sunnah wal Jamaah: Evolusi
Istilah dari Al-Jamaah
Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah sebenarnya
merupakan perluasan dan pemantapan istilah Al-Jamaah seiring berkembangnya
perdebatan teologis pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriah. Sunnah merujuk pada
komitmen terhadap ajaran Nabi, sementara Al-Jamaah menunjukkan
keberpihakan terhadap ijma‘ sahabat dan mayoritas umat.⁷
Keduanya kemudian dipakai sebagai istilah resmi
dalam menjelaskan akidah umat Islam yang lurus, dan diadopsi dalam berbagai
lembaga keislaman klasik dan kontemporer sebagai identitas resmi keagamaan,
misalnya oleh Al-Azhar, Nahdlatul Ulama, dan banyak institusi Islam dunia.
Kesimpulan
Dengan demikian, Al-Jamaah adalah roh kolektif
dari Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ia menjadi simbol keutuhan umat, sekaligus
penanda ortodoksi Islam yang konsisten dengan ajaran Nabi Saw dan para sahabat.
Dalam konteks berpikir Ahlus Sunnah, menghidupkan semangat Al-Jamaah
berarti menegakkan nilai-nilai moderasi, toleransi, dan kesatuan—serta menjaga
warisan teologis dari distorsi ekstremisme maupun liberalisme.
Catatan
Kaki
[1]
Al-Syathibi, al-I‘tiṣām, ed. Muhammad
al-Shaghir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 2:235.
[2]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), hlm. 56.
[3]
Ahmad ibn Hanbal, Usul al-Sunnah, dalam Majmu‘
Rasā’il al-Imam Ahmad, ed. Muhammad ibn Sa‘id (Riyadh: Dar al-Fadilah,
1998), hlm. 47.
[4]
Abu Ja‘far al-Tahawi, Aqidah al-Tahawiyyah
(Beirut: al-Maktabah al-Islamiyyah, 2000), hlm. 12.
[5]
Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Franz
Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), hlm. 461–463.
[6]
W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic
Thought (Oxford: Oneworld Publications, 1998), hlm. 82.
[7]
Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, ed. ‘Abd
al-Rahman ibn Qasim (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadithah, 1981), 3:157–158.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar