Pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas
Islamisasi Ilmu dan Epistemologi Tauhid
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara mendalam pemikiran Syed
Muhammad Naquib al-Attas dalam bidang filsafat pendidikan Islam, dengan fokus
pada konsep Islamisasi ilmu dan epistemologi tauhid. Melalui pendekatan
konseptual-filosofis, al-Attas menawarkan kritik tajam terhadap dominasi
worldview sekuler dalam ilmu pengetahuan modern, serta membangun kerangka
epistemologis alternatif yang bersumber dari nilai-nilai Islam. Artikel ini
memaparkan secara sistematis biografi intelektual al-Attas, konsep dasar
pemikirannya mengenai ilmu, adab, ta’dib, dan pandangan dunia Islam, serta
strategi Islamisasi ilmu yang berorientasi pada pembersihan konsep-konsep
ilmiah dari pengaruh sekularisme. Selain itu, artikel ini juga mengkaji
relevansi serta kritik terhadap pemikirannya dalam konteks pendidikan dan
peradaban Islam kontemporer. Temuan artikel ini menunjukkan bahwa pemikiran
al-Attas memiliki signifikansi strategis dalam merancang paradigma pendidikan
Islam yang integral dan transformatif, serta dalam meneguhkan peran ilmu sebagai
sarana menuju ma‘rifah dan peradaban beradab.
Kata Kunci: Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islamisasi Ilmu,
Epistemologi Islam, Tauhid, Ta’dib, Adab, Pandangan Dunia Islam, Pendidikan
Islam, Filsafat Islam Kontemporer.
PEMBAHASAN
Telaah Filsafat Pendidikan dan Pemikiran Syed Muhammad
Naquib al-Attas
1.
Pendahuluan
Dalam beberapa
dekade terakhir, dunia Islam menghadapi tantangan besar dalam ranah intelektual
dan epistemologis, terutama akibat dominasi paradigma keilmuan sekuler yang lahir
dari modernitas Barat. Konsekuensinya, terjadi pergeseran mendasar dalam cara
umat Islam memahami realitas, ilmu, dan pendidikan. Pergeseran ini bukan hanya
memengaruhi konten dan kurikulum pendidikan, tetapi juga membentuk cara
berpikir umat terhadap nilai-nilai kebenaran, etika, dan makna keberadaan. Di
tengah arus ini, muncul sejumlah pemikir Muslim kontemporer yang berupaya
melakukan rekonstruksi paradigma ilmu, salah satunya adalah Syed
Muhammad Naquib al-Attas, tokoh penting dalam filsafat Islam
dan pemikiran pendidikan Islam modern.
Al-Attas menilai
bahwa krisis peradaban Islam bukan terletak pada kekurangan ilmu secara
kuantitatif, melainkan pada kekacauan ilmu dari sisi konseptual dan
epistemologis. Ia mengemukakan bahwa ilmu yang masuk ke dunia Islam
pascakolonial tidak netral, tetapi sarat dengan pandangan dunia (weltanschauung)
sekuler yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Dalam konteks
inilah ia memperkenalkan konsep Islamisasi ilmu, bukan dalam
arti menjadikan ilmu berlabel "Islam", melainkan menyucikan
kembali konsep-konsep dasar keilmuan dari pengaruh sekularisme dan
materialisme, serta mengembalikannya ke dalam kerangka epistemologi tauhid yang
integral dengan adab dan akhlak Islami.¹
Pemikiran al-Attas
dalam bidang epistemologi Islam, filsafat pendidikan, dan linguistik filsafati
menunjukkan orisinalitas dan kedalaman intelektual yang khas. Ia memadukan
khazanah keilmuan tradisional Islam dengan metode-metode kontemporer untuk
menjawab tantangan zaman. Salah satu kontribusi utamanya adalah pemaknaan ulang
terhadap konsep ta’dib sebagai tujuan utama
pendidikan Islam.² Dalam pandangannya, pendidikan bukan sekadar transfer
pengetahuan, tetapi proses pembentukan insan beradab yang mampu memahami,
menginternalisasi, dan mengimplementasikan ilmu dalam kerangka kehambaan kepada
Allah.³
Urgensi untuk
menelaah pemikiran al-Attas menjadi semakin penting dalam konteks kebangkitan
peradaban Islam yang berbasis ilmu dan spiritualitas. Kajian terhadap
gagasannya menawarkan alternatif paradigmatik terhadap dominasi pendekatan
positivistik dan dualistik dalam ilmu pengetahuan modern. Lebih jauh, pemikiran
al-Attas menjadi dasar bagi pengembangan epistemologi Islam yang bersifat
integral, spiritual, dan kontekstual dengan realitas umat Muslim kontemporer.⁴
Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara sistematis
pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas mengenai Islamisasi ilmu dan
epistemologi tauhid, serta kontribusinya terhadap filsafat pendidikan Islam.
Footnotes
[1]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1993), 131–135.
[2]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1980), 13–15.
[3]
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of
Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of
Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 225–229.
[4]
Osman Bakar, “The Islamization of Knowledge: A Conceptual Analysis,” Islamic
Quarterly 36, no. 2 (1992): 124–128.
2.
Biografi
Intelektual Syed Muhammad Naquib al-Attas
Syed Muhammad Naquib
al-Attas adalah salah satu pemikir Muslim paling berpengaruh dalam diskursus
filsafat Islam kontemporer, khususnya dalam bidang pendidikan, epistemologi,
dan peradaban. Ia lahir pada tanggal 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat,
Indonesia, dalam sebuah keluarga terpandang yang berasal dari keturunan Ba
'Alawi Hadhrami, yang memiliki akar intelektual dan spiritual yang kuat. Latar
belakang keluarganya memberikan pengaruh awal terhadap pembentukan kepribadian
religius dan kecintaan pada ilmu sejak usia dini.¹
Ketika masih muda,
al-Attas hijrah ke Malaysia dan melanjutkan pendidikan formalnya di Royal
Military College, Port Dickson, dan kemudian bergabung dengan Angkatan
Bersenjata Malaysia. Namun, minatnya terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan
membawanya keluar dari dunia militer menuju jalur akademik. Ia melanjutkan
studi di University of Malaya, kemudian memperoleh gelar M.A. dalam bidang
Studi Islam dari McGill University, Kanada, serta menyelesaikan gelar Ph.D.
dalam bidang Filsafat Islam di University of London di bawah bimbingan pakar
Islam ternama seperti Toshihiko Izutsu dan Martin Lings.²
Jejak intelektual
al-Attas ditandai oleh sintesis antara ilmu-ilmu tradisional Islam dan
pendekatan filosofis yang mendalam terhadap masalah-masalah epistemologis
modern. Ia tidak hanya menguasai bahasa Arab dan Inggris dengan sangat baik,
tetapi juga mendalami bahasa-bahasa klasik seperti Latin dan Yunani, serta
menulis secara produktif dalam bahasa Melayu dan Inggris.³ Kemampuan linguistik
dan kedalaman filosofis ini menjadikannya pemikir yang mampu menjembatani
tradisi keilmuan klasik Islam dengan tantangan intelektual kontemporer.
Kontribusi al-Attas
dalam pengembangan institusi pendidikan Islam modern juga sangat signifikan. Ia
adalah pendiri dan direktur pertama International Institute of Islamic Thought and
Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur, sebuah pusat pemikiran
dan riset yang berfokus pada integrasi antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai
Islam. Melalui ISTAC, al-Attas mengembangkan visi pendidikan Islam berbasis ta’dib,
serta memformulasikan kerangka Islamisasi ilmu yang menjadi fondasi pemikiran
keislaman modern di Malaysia dan dunia Islam secara umum.⁴
Di samping itu,
al-Attas dikenal sebagai salah satu pemikir yang mengembangkan Islamic
worldview (pandangan dunia Islam) sebagai pendekatan epistemologis
yang holistik, menolak dikotomi antara ilmu agama dan ilmu dunia. Pandangan ini
tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga dituangkan dalam sistematika
kurikulum dan institusi pendidikan yang ia rancang.⁵
Dengan latar
belakang keilmuan yang mendalam, keluasan wawasan lintas tradisi, dan
keberanian filosofis untuk merumuskan paradigma baru dalam pendidikan Islam,
Syed Muhammad Naquib al-Attas telah meletakkan fondasi intelektual yang kokoh
bagi perkembangan pemikiran Islam kontemporer. Pemikiran-pemikirannya tidak
hanya bersifat lokal, tetapi juga telah mempengaruhi gerakan intelektual di
berbagai belahan dunia Islam, termasuk Indonesia, Turki, Iran, dan Pakistan.
Footnotes
[1]
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of
Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of
Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 21–24.
[2]
Osman Bakar, “Syed Muhammad Naquib al-Attas: The Concept of Knowledge
in Islam,” Islamic Quarterly 40, no. 3 (1996): 213–216.
[3]
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Beacon on the Crest of a Hill: A Brief
Intellectual History of IIUM and IIIT (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2015),
45–47.
[4]
Muhammad Zainiy Uthman, “The Vision of Education According to
al-Attas,” Al-Shajarah 10, no. 2 (2005): 145–147.
[5]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 1–5.
3.
Konsep
Dasar Pemikiran al-Attas
Pemikiran Syed
Muhammad Naquib al-Attas dibangun atas dasar pandangan dunia Islam yang
integral, yang bertumpu pada konsep tauhid sebagai asas metafisis
dan epistemologis. Bagi al-Attas, akar dari krisis intelektual umat Islam
dewasa ini adalah keterputusan antara ilmu dan nilai, yang disebabkan oleh
penetrasi paradigma sekular yang tidak bersumber dari Islam. Oleh karena itu,
ia mengembangkan seperangkat konsep dasar untuk merumuskan kembali fondasi ilmu
dalam kerangka pandangan dunia Islam.
3.1.
Konsep Ilmu: Pengetahuan yang Diberkahi
Al-Attas
mendefinisikan ilmu sebagai "pengenalan terhadap sesuatu sesuai dengan
hakikatnya" (knowledge of something in conformity with its
true nature).⁽¹⁾ Ilmu dalam pandangan ini tidak hanya bersifat
rasional dan empiris, tetapi juga mencakup dimensi spiritual dan intuitif. Ia
menolak definisi ilmu yang sekadar bersifat instrumental atau netral,
sebagaimana dikembangkan dalam tradisi positivistik modern. Sebaliknya, ilmu
dalam Islam harus mengarahkan manusia kepada ma’rifah (pengenalan terhadap
Tuhan), memperkuat keimanan, dan mendorong keteraturan dalam jiwa serta
masyarakat.⁽²⁾
3.2.
Konsep Adab dan Ta’dib
Salah satu konsep
sentral dalam pemikiran al-Attas adalah adab, yaitu disiplin diri,
kesopanan spiritual, dan pengenalan terhadap tempat sesuatu secara tepat dalam
tatanan wujud. Adab merupakan cerminan dari integritas akhlak dan intelektual
seorang insan yang berilmu. Berdasarkan prinsip ini, ia mengajukan istilah ta’dib
sebagai pendekatan alternatif terhadap pendidikan Islam—berbeda dari konsep tarbiyah
atau ta’līm
yang dominan dalam dunia Islam kontemporer.⁽³⁾
Menurut al-Attas,
pendidikan Islam sejati bukanlah sekadar proses transmisi pengetahuan (transfer
of knowledge), melainkan pembentukan insan yang beradab (insān
ādib), yang mampu membedakan antara yang hak dan yang batil
berdasarkan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, tujuan akhir pendidikan adalah
penanaman adab, bukan sekadar kecakapan profesional.⁽⁴⁾
3.3.
Epistemologi Tauhid
Dalam struktur
pengetahuan Islam, al-Attas menekankan integrasi antara wahyu, akal, dan
intuisi (kashf).
Ia mengkritik dikotomi antara ilmu agama dan ilmu dunia, serta dikotomi antara
rasionalisme dan spiritualisme. Epistemologi tauhid yang ia kembangkan menolak
dikotomi-dikotomi tersebut, dan memandang bahwa seluruh bentuk ilmu harus
dikembalikan kepada prinsip tawḥīd sebagai pusat orientasi
nilai dan makna.⁽⁵⁾
Dalam kerangka
tauhid, semua cabang ilmu memiliki hierarki dan arah yang jelas: mengabdi
kepada kebenaran yang mutlak, yakni Allah Swt. Oleh karena itu, al-Attas juga mengembangkan kerangka
klasifikasi ilmu berdasarkan orientasi terhadap kebenaran dan manfaatnya bagi
tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa).⁽⁶⁾
3.4.
Konsep Pandangan Dunia Islam (Islamic
Worldview)
Bagi al-Attas, salah
satu langkah paling mendesak dalam membangun kembali peradaban Islam adalah
membentuk kembali worldview Islam yang sejati.
Pandangan dunia Islam tidak hanya merupakan persepsi terhadap dunia lahiriah,
melainkan struktur batiniah tentang realitas yang mencakup metafisika,
kosmologi, psikologi, etika, dan teleologi.⁽⁷⁾
Dalam pandangannya,
worldview Islam meliputi unsur-unsur fundamental seperti Tuhan (Allah), wahyu,
kenabian, jiwa manusia, ilmu, adab, dan keadilan. Ketika worldview ini
digantikan oleh worldview Barat yang sekuler dan dualistik, maka terjadi
kekacauan intelektual dan etis yang mengakibatkan dekadensi spiritual dalam
masyarakat Muslim.⁽⁸⁾ Oleh karena itu, rekonstruksi worldview Islam merupakan
syarat mutlak bagi proses Islamisasi ilmu.
Footnotes
[1]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 2–5.
[2]
Ibid., 10–11.
[3]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1980), 13–18.
[4]
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of
Syed Muhammad Naquib al-Attas (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 230–235.
[5]
Osman Bakar, “The Unity of Knowledge and the Integration of Knowledge
in the Islamic Worldview,” Islam & Science 4, no. 1 (2006): 55–59.
[6]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1993), 145–148.
[7]
Al-Attas, Prolegomena, 3–4.
[8]
Muhammad Zainiy Uthman, “The Worldview of Islam: A Fundamental
Foundation for an Islamic Philosophy of Education,” Journal of Islamic and
Arabic Education 1, no. 1 (2009): 1–12.
4.
Islamisasi
Ilmu Menurut al-Attas
Konsep Islamisasi
ilmu merupakan salah satu gagasan paling berpengaruh dan khas
dalam pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas. Gagasan ini lahir dari kesadaran
kritis terhadap dampak kolonialisme dan modernitas Barat yang telah menanamkan
sistem pengetahuan sekuler ke dalam struktur intelektual umat Islam. Menurut
al-Attas, krisis peradaban Islam tidak hanya bersifat politis atau ekonomis,
tetapi bersumber dari krisis epistemologis, yakni
kekacauan dalam cara umat Islam memahami dan mengonstruksi ilmu.¹
4.1.
Latar Belakang Historis Islamisasi Ilmu
Islamisasi ilmu
menurut al-Attas merupakan respon terhadap infiltrasi paradigma ilmu Barat
modern yang sekuler, dualistik, dan materialistik. Ilmu Barat modern, menurutnya,
tidak bersifat netral karena mengandung nilai-nilai dan worldview tersendiri
yang bertentangan dengan worldview Islam. Al-Attas menegaskan bahwa “neutrality
of knowledge is a false assumption”, karena ilmu selalu berakar
pada asumsi metafisik tertentu.² Karena itu, Islamisasi ilmu bukan hanya soal
labelisasi “Islam” terhadap disiplin-disiplin ilmu, melainkan transformasi
nilai dan konsep dasar ilmu agar sesuai dengan pandangan dunia Islam.
4.2.
Definisi dan Tujuan Islamisasi Ilmu
Al-Attas
mendefinisikan Islamisasi ilmu sebagai “liberating the Muslim mind from secular
domination of knowledge and re-infusing Islamic elements into the conceptual
structure of knowledge.”_³ Tujuan dari Islamisasi ilmu adalah
membebaskan umat Islam dari belenggu pemikiran Barat yang sekuler, kemudian
membangun kembali struktur ilmu yang bertumpu pada prinsip-prinsip tauhid,
adab,
dan hakikat
insan. Gagasan ini berakar pada keyakinan bahwa ilmu dalam Islam
bukan hanya alat untuk menguasai dunia, tetapi juga sarana untuk mencapai ma‘rifah,
yaitu pengenalan hakiki terhadap Tuhan.
4.3.
Strategi Islamisasi: Konsep Kunci dan
Reinterpretasi
Islamisasi ilmu
menurut al-Attas dilakukan melalui pendekatan konseptual dan filosofis, bukan
sekadar teknis atau pragmatis. Ia memulai dengan menyoroti bahwa banyak konsep
dasar yang digunakan dalam sains sosial dan humaniora modern—seperti “religion,”
“secular,” “freedom,” “development,” “progress,”
dan lain-lain—mengandung muatan filosofis Barat yang asing dan tidak selaras
dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, tugas Islamisasi adalah menyaring,
merevisi, dan mendefinisikan ulang konsep-konsep kunci dalam
ilmu agar bersesuaian dengan epistemologi Islam.⁴
Dalam proses ini,
bahasa memainkan peran penting. Al-Attas menunjukkan bahwa banyak istilah yang
dalam bahasa Arab klasik memiliki makna adiluhung telah mengalami penyimpangan
makna ketika diterjemahkan dan diadopsi ke dalam konteks ilmu modern. Misalnya,
konsep “din” sering disempitkan menjadi “agama,” padahal dalam
tradisi Islam “din” mencakup sistem hidup yang komprehensif.⁵
4.4.
Perbedaan Pendekatan dengan al-Faruqi
Konsep Islamisasi
ilmu juga dikembangkan oleh tokoh lain seperti Ismail Raji al-Faruqi. Namun,
pendekatan keduanya memiliki perbedaan mendasar. Al-Faruqi menekankan rekonstruksi
kurikulum dan integrasi ilmu-ilmu keislaman dan modern secara institusional,
sedangkan al-Attas menekankan pentingnya reformulasi konseptual dan pemurnian makna
sebagai fondasi epistemologis.⁶ Bagi al-Attas, tanpa pembenahan konsep dan
struktur makna, proses Islamisasi akan bersifat superfisial dan tidak menyentuh
akar masalah.
4.5.
Islamisasi sebagai Proyek Peradaban
Islamisasi ilmu
tidak dimaknai al-Attas sebagai proyek temporer, melainkan sebagai proyek
peradaban yang menyentuh aspek ilmu, bahasa, budaya, dan
pembentukan insan kamil. Ia menekankan pentingnya pengembangan institusi
pendidikan yang mampu merealisasikan worldview Islam secara nyata dalam
kehidupan akademik dan sosial.⁷ ISTAC (International Institute of Islamic
Thought and Civilization), yang didirikannya, merupakan salah satu realisasi
praktis dari visi tersebut—institusi yang mengintegrasikan antara keilmuan
klasik dan kontemporer dalam kerangka adab dan tauhid.
Dengan demikian,
Islamisasi ilmu menurut al-Attas adalah usaha sistematis untuk mengembalikan
kedudukan ilmu dalam Islam sebagai amanah, yaitu tanggung jawab
ilahiyah yang harus dipelajari, diajarkan, dan diamalkan untuk kemaslahatan
umat dan kedekatan dengan Tuhan. Ini bukan hanya proyek akademik, tetapi juga
merupakan jalan menuju pembentukan peradaban Islam yang kokoh secara spiritual
dan intelektual.
Footnotes
[1]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1993), 133–135.
[2]
Ibid., 36.
[3]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 30–31.
[4]
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of
Syed Muhammad Naquib al-Attas (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 157–160.
[5]
Osman Bakar, “The Islamization of Knowledge: A Conceptual Analysis,” Islamic
Quarterly 36, no. 2 (1992): 123–126.
[6]
Zainal Abidin Bagir, “Islamization of Knowledge in Comparative
Perspective: Syed M. Naquib al-Attas and Ismail Raji al-Faruqi,” Studia
Islamika 5, no. 2 (1998): 82–85.
[7]
Muhammad Zainiy Uthman, “The Vision of Education According to
al-Attas,” Al-Shajarah 10, no. 2 (2005): 152–154.
5.
Pemikiran
Filsafat Bahasa dan Dunia Pandangan Islam
Syed Muhammad Naquib
al-Attas tidak hanya dikenal sebagai filsuf pendidikan dan pemikir epistemologi
Islam, tetapi juga sebagai pelopor dalam pengembangan filsafat
bahasa Islam (Islamic philosophy of language). Baginya, bahasa
bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga sarana utama pembentukan makna dan
pembawa pandangan dunia (worldview). Melalui bahasa,
konsep-konsep fundamental dalam Islam dipahami, ditransmisikan, dan dihidupkan.
Oleh karena itu, bahasa memiliki posisi sentral dalam upaya Islamisasi ilmu dan
rekonstruksi peradaban Islam.
5.1.
Bahasa sebagai Pembawa Makna dan Konsep Islami
Al-Attas
berpandangan bahwa setiap bahasa besar di dunia mengandung worldview
tersendiri yang termanifestasi dalam kosa kata, struktur kalimat, serta
konotasi semantik. Bahasa Arab, menurutnya, sebagai bahasa wahyu (luġah
al-Qur’ān), bukan hanya medium komunikasi ilahi, tetapi juga
pembentuk struktur intelektual dan spiritual umat Islam.¹ Bahasa ini memuat
konsep-konsep kunci seperti ‘ilm, ḥikmah, ʿadl, nafs, ʿaql, taqwā, yang tidak memiliki padanan
makna sempurna dalam bahasa lain, terutama dalam bahasa Barat sekuler yang
sering kali mereduksi makna spiritual menjadi semata rasional atau empiris.²
Pentingnya
penguasaan dan pelestarian bahasa Arab klasik menjadi bagian dari proyek
intelektual al-Attas untuk menjaga keutuhan dan kedalaman pemahaman terhadap
ajaran Islam. Ia menolak pendekatan transliteratif yang cenderung memindahkan
istilah-istilah Barat ke dalam bahasa Islam tanpa menyaring muatan
worldview-nya. Oleh karena itu, proses Islamisasi ilmu juga berarti pembersihan
istilah-istilah ilmiah dari pengaruh worldview sekuler dan
pengembalian makna istilah kepada rujukan wahyu dan bahasa Islam.³
5.2.
Kritik terhadap Bahaya Terminologi
Sekuler-Barat
Al-Attas menyoroti
bahwa adopsi istilah dari peradaban Barat ke dalam wacana Islam—seperti religion,
freedom,
secularism,
dan modernization—telah
menimbulkan disorientasi makna dalam pemahaman umat terhadap ajaran Islam.
Misalnya, istilah “religion” tidak memadai untuk menerjemahkan konsep dīn,
karena dīn
dalam Islam mencakup keseluruhan sistem hidup, tidak hanya urusan spiritual
atau kepercayaan pribadi.⁴ Ketidaktepatan terjemahan ini, menurut al-Attas,
berdampak pada distorsi epistemologis dan hilangnya keutuhan pandangan dunia
Islam dalam persepsi umat.
Sebagai alternatif,
ia menganjurkan pendekatan etimologis-historis-filosofis dalam
memahami istilah dan konsep. Bahasa tidak boleh dipahami secara ahistoris atau
netral, karena kata-kata menyimpan sejarah dan muatan nilai.⁵ Dengan demikian,
pembaruan ilmu dalam Islam harus dimulai dari penjernihan makna konsep-konsep kunci,
termasuk melalui pelacakan asal-usul dan pergeseran makna yang telah terjadi
akibat kolonialisasi intelektual.
5.3.
Pandangan Dunia Islam (Islamic Worldview)
Al-Attas
mengembangkan teori worldview Islam sebagai struktur
konseptual yang menyeluruh dan terintegrasi, yang mendasari cara umat Islam
memahami realitas, kebenaran, ilmu, manusia, dan Tuhan. Worldview ini berbeda
secara radikal dari secular worldview, karena berpijak
pada prinsip tauhid, kesatuan pengetahuan, dan keabadian makna.⁶ Dalam
worldview Islam, realitas tidak dibagi secara dikotomik antara dunia dan
akhirat, materi dan spiritualitas, atau ilmu agama dan ilmu dunia. Semua aspek
kehidupan terhubung secara harmonis dalam kesadaran tauhidik.
Menurut al-Attas,
worldview Islam terdiri dari elemen-elemen mendasar seperti:
·
Konsep
wujud (being): bahwa segala sesuatu bersumber dari dan menuju
kepada Allah.
·
Konsep
ilmu: sebagai pencerahan jiwa, bukan sekadar akumulasi
informasi.
·
Konsep
adab: sebagai kesadaran akan keteraturan dan hirarki ontologis
dalam ciptaan.
·
Konsep
insan: sebagai makhluk berakal, bertanggung jawab, dan memiliki
tujuan transenden.⁷
Worldview ini
bersifat holistik dan sakral, berbeda dari worldview Barat yang sekuler dan
reduksionis. Oleh karena itu, tugas utama kaum intelektual Muslim adalah menghidupkan
kembali worldview Islam melalui rekonstruksi bahasa, makna, dan struktur ilmu
yang sesuai dengan nilai-nilai wahyu.
Footnotes
[1]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 11–13.
[2]
Ibid., 16–17.
[3]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1993), 107–109.
[4]
Osman Bakar, “Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic
Philosophies of Science,” Islamic Quarterly 38, no. 3 (1994): 185–187.
[5]
Muhammad Zainiy Uthman, “The Role of Language in Islamic Worldview:
Perspectives from al-Attas,” Al-Shajarah 8, no. 1 (2003): 17–22.
[6]
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of
Syed Muhammad Naquib al-Attas (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 278–281.
[7]
Al-Attas, Prolegomena, 1–5.
6.
Kritik
dan Relevansi Pemikiran al-Attas
Pemikiran Syed
Muhammad Naquib al-Attas, khususnya mengenai Islamisasi ilmu dan epistemologi
tauhid, telah memberikan kontribusi besar dalam membentuk diskursus pemikiran
Islam kontemporer. Namun sebagaimana tokoh besar lainnya, gagasan-gagasannya
tidak luput dari kritik, baik dari kalangan akademisi Muslim maupun pemikir
Barat. Meskipun demikian, pemikirannya tetap relevan dan bahkan semakin mendesak
untuk dikaji ulang dalam konteks tantangan globalisasi dan krisis makna dalam
pendidikan modern.
6.1.
Kritik terhadap Pendekatan Konseptual dan
Elitis
Salah satu kritik
utama terhadap al-Attas adalah kecenderungan pendekatannya yang sangat
konseptual dan filosofis sehingga dianggap sulit untuk diimplementasikan dalam
kebijakan pendidikan secara praktis. Beberapa pengamat menilai bahwa
konsep-konsep seperti ta’dib, adab, atau Islamisasi
ilmu bersifat abstrak dan lebih mudah diterima di tingkat diskursus
akademik daripada diterapkan dalam sistem pendidikan nasional yang
pluralistik.¹
Selain itu,
pendekatannya juga dinilai elitis karena menekankan pentingnya penguasaan
tradisi intelektual klasik dan bahasa Arab secara mendalam. Hal ini dianggap
menyulitkan bagi kalangan pendidikan di tingkat dasar-menengah yang tidak
memiliki latar belakang keilmuan yang kuat.² Di sisi lain, para pendukung
al-Attas justru melihat hal ini sebagai bentuk keteguhan epistemologis, bukan
kekurangan, karena al-Attas mengutamakan pembentukan struktur berpikir Islam
yang utuh, bukan sekadar pembaruan permukaan.
6.2.
Perbandingan dengan Pendekatan al-Faruqi
Kritik lainnya
datang dari perbandingan antara pendekatan al-Attas dan tokoh Islamisasi ilmu
lainnya, seperti Ismail Raji al-Faruqi. Sementara al-Faruqi fokus pada
integrasi antara ilmu-ilmu modern dan keislaman melalui rekonstruksi kurikulum,
al-Attas menekankan pembersihan konseptual ilmu sebagai
langkah awal. Beberapa pengkaji menilai bahwa pendekatan al-Faruqi lebih
operasional dan aplikatif dalam konteks perguruan tinggi modern.³ Namun
demikian, pendekatan al-Attas dianggap lebih kokoh secara filosofis karena
menyentuh akar epistemologis dan bahasa yang membentuk struktur ilmu itu
sendiri.⁴
6.3.
Relevansi dalam Konteks Krisis Pendidikan dan
Ilmu Modern
Terlepas dari kritik
tersebut, pemikiran al-Attas semakin relevan dalam konteks krisis pendidikan
modern yang cenderung pragmatis dan terlepas dari nilai. Sistem pendidikan
global yang terjebak dalam logika pasar, pengukuran kuantitatif, dan fragmentasi
ilmu telah menghasilkan generasi yang teknokratis tetapi kehilangan makna hidup
dan etika. Dalam konteks ini, al-Attas mengingatkan bahwa pendidikan bukan
sekadar penguasaan keterampilan, tetapi proses pembentukan insan beradab yang
mengenal tujuan hidup secara transenden.⁵
Konsep ta’dib
dan integrasi ilmu-spiritualitas dalam pemikiran al-Attas juga menjadi sangat
relevan dalam menghadapi tantangan radikalisasi dan dekadensi moral di kalangan
generasi muda Muslim. Ia menawarkan pendekatan pendidikan yang tidak memisahkan
akal dari jiwa, pengetahuan dari hikmah, dan sains dari nilai-nilai ilahiyah.⁶
6.4.
Pengaruh dan Penerapan di Dunia Islam
Secara faktual,
pemikiran al-Attas telah memberikan pengaruh besar terhadap pembentukan
kurikulum dan lembaga pendidikan tinggi Islam, terutama di Malaysia, Indonesia,
dan negara-negara Asia Selatan. Konsep Islamisasi ilmu telah menjadi inspirasi
dalam pendirian institusi seperti ISTAC (International Institute of Islamic
Thought and Civilization), IIUM (International Islamic University Malaysia),
dan berbagai fakultas studi Islam di universitas-universitas di Timur dan
Barat.⁷
Pemikiran al-Attas
juga menjadi rujukan penting dalam diskursus filsafat Islam, studi peradaban,
dan teori pendidikan Islam di tingkat internasional. Banyak karya akademik yang
menjadikannya sebagai salah satu tokoh utama dalam pengembangan epistemologi
Islam kontemporer, bersanding dengan nama-nama besar seperti al-Faruqi, Nasr,
dan Bakar.
Footnotes
[1]
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of
Syed Muhammad Naquib al-Attas (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 251–252.
[2]
Muhammad Zainiy Uthman, “The Vision of Education According to
al-Attas,” Al-Shajarah 10, no. 2 (2005): 158–159.
[3]
Zainal Abidin Bagir, “Islamization of Knowledge in Comparative
Perspective: Syed M. Naquib al-Attas and Ismail Raji al-Faruqi,” Studia
Islamika 5, no. 2 (1998): 85–87.
[4]
Osman Bakar, “The Islamization of Knowledge: A Conceptual Analysis,” Islamic
Quarterly 36, no. 2 (1992): 129–132.
[5]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1980), 15–17.
[6]
Al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993),
131–135.
[7]
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Beacon on the Crest of a Hill: A Brief
Intellectual History of IIUM and IIIT (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2015),
38–40.
7.
Kesimpulan
Pemikiran Syed
Muhammad Naquib al-Attas merupakan sumbangan besar bagi wacana filsafat Islam
kontemporer, khususnya dalam merespon krisis epistemologis yang melanda umat
Islam di era modern. Melalui gagasan Islamisasi ilmu, al-Attas tidak
hanya menawarkan kritik terhadap dominasi worldview sekuler-Barat dalam sistem
pendidikan, tetapi juga membangun alternatif epistemologis yang bersumber dari tauhid,
adab, dan pandangan dunia Islam yang integral.¹
Islamisasi ilmu
dalam perspektif al-Attas bukan sekadar proyek teknokratis atau integrasi
kurikulum, melainkan rekonstruksi mendasar terhadap struktur konseptual ilmu
pengetahuan. Ia memulai dari penjernihan istilah, penelusuran akar makna, serta
penyusunan ulang kerangka epistemik berdasarkan prinsip metafisis Islam. Dalam
kerangka ini, ilmu bukanlah sesuatu yang netral, melainkan sarat dengan nilai
dan asumsi-asumsi ontologis.² Karena itu, pembebasan ilmu dari pengaruh sekuler
menjadi langkah awal dalam membangun kembali peradaban Islam yang utuh secara
intelektual dan spiritual.
Selain itu, al-Attas
menekankan pentingnya pendidikan berbasis ta’dib, yang berfungsi sebagai
sarana pembentukan manusia beradab (insān ādib). Tujuan utama pendidikan dalam Islam
bukan hanya pencapaian kognitif, tetapi juga pembentukan kepribadian yang
selaras dengan nilai-nilai ilahiyah.³ Hal ini mengkritik pendekatan pendidikan
modern yang lebih menekankan aspek utilitarian dan instrumental, serta
cenderung mengabaikan aspek spiritual dan moral.
Konsep worldview
Islam (pandangan dunia Islam) yang dikembangkan al-Attas merupakan
kerangka filosofis yang menyatukan berbagai aspek kehidupan—ontologi,
epistemologi, etika, dan kosmologi—dalam satu sistem nilai yang berpusat pada tauhid.
Dalam worldview ini, ilmu bukanlah tujuan akhir, melainkan wasilah menuju
pengenalan hakiki terhadap Tuhan (ma‘rifatullāh).⁴ Dengan demikian, seluruh
aktivitas keilmuan, pendidikan, dan kebudayaan harus diarahkan untuk mewujudkan
peradaban yang memuliakan manusia sebagai khalifah dan hamba Allah.
Kendati pendekatan
al-Attas menuai kritik karena dinilai terlalu konseptual dan sulit
diimplementasikan secara praktis dalam konteks sistem pendidikan nasional yang
pluralistik, gagasan-gagasannya tetap relevan dan signifikan. Terutama dalam
menjawab krisis makna, fragmentasi ilmu, dan degradasi etika dalam pendidikan
kontemporer. Islamisasi ilmu, sebagaimana dirumuskan al-Attas, tidak hanya
penting untuk komunitas akademik Muslim, tetapi juga merupakan bagian dari
perjuangan intelektual global dalam mengembalikan makna kemanusiaan dalam ilmu
pengetahuan.⁵
Dengan demikian,
pemikiran al-Attas merupakan warisan intelektual yang tidak hanya perlu dikaji
secara akademik, tetapi juga diaktualisasikan dalam kebijakan pendidikan,
pembentukan kurikulum, dan pengembangan institusi keilmuan yang mampu
menanamkan nilai, makna, dan integritas dalam seluruh cabang ilmu pengetahuan.
Footnotes
[1]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1993), 131–133.
[2]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 2–5.
[3]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1980), 15–18.
[4]
Osman Bakar, “The Worldview of Islam and Its Implications for Knowledge
and Education,” Islamic Quarterly 36, no. 3 (1992): 155–158.
[5]
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of
Syed Muhammad Naquib al-Attas (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 275–278.
Daftar Pustaka
Al-Attas, S. M. N. (1980). The concept of
education in Islam: A framework for an Islamic philosophy of education.
Kuala Lumpur: ISTAC.
Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and secularism.
Kuala Lumpur: ISTAC.
Al-Attas, S. M. N. (1995). Prolegomena to the
metaphysics of Islam: An exposition of the fundamental elements of the
worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.
Bagir, Z. A. (1998). Islamization of knowledge in
comparative perspective: Syed M. Naquib al-Attas and Ismail Raji al-Faruqi. Studia
Islamika, 5(2), 71–94.
Bakar, O. (1992). The Islamization of knowledge: A
conceptual analysis. Islamic Quarterly, 36(2), 122–134.
Bakar, O. (1992). The worldview of Islam and its
implications for knowledge and education. Islamic Quarterly, 36(3),
154–162.
Bakar, O. (1994). Classification of knowledge in
Islam: A study in Islamic philosophies of science. London: Islamic Texts
Society.
Uthman, M. Z. (2003). The role of language in
Islamic worldview: Perspectives from al-Attas. Al-Shajarah, 8(1), 15–30.
Uthman, M. Z. (2005). The vision of education
according to al-Attas. Al-Shajarah, 10(2), 145–160.
Wan Daud, W. M. N. (1998). The educational
philosophy and practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An exposition of the
original concept of Islamization. Kuala Lumpur: ISTAC.
Wan Daud, W. M. N. (2015). The beacon on the
crest of a hill: A brief intellectual history of IIUM and IIIT. Kuala Lumpur:
IIUM Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar