Rabu, 16 April 2025

Pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas: Islamisasi Ilmu dan Epistemologi Tauhid

Pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas

Islamisasi Ilmu dan Epistemologi Tauhid


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara mendalam pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam bidang filsafat pendidikan Islam, dengan fokus pada konsep Islamisasi ilmu dan epistemologi tauhid. Melalui pendekatan konseptual-filosofis, al-Attas menawarkan kritik tajam terhadap dominasi worldview sekuler dalam ilmu pengetahuan modern, serta membangun kerangka epistemologis alternatif yang bersumber dari nilai-nilai Islam. Artikel ini memaparkan secara sistematis biografi intelektual al-Attas, konsep dasar pemikirannya mengenai ilmu, adab, ta’dib, dan pandangan dunia Islam, serta strategi Islamisasi ilmu yang berorientasi pada pembersihan konsep-konsep ilmiah dari pengaruh sekularisme. Selain itu, artikel ini juga mengkaji relevansi serta kritik terhadap pemikirannya dalam konteks pendidikan dan peradaban Islam kontemporer. Temuan artikel ini menunjukkan bahwa pemikiran al-Attas memiliki signifikansi strategis dalam merancang paradigma pendidikan Islam yang integral dan transformatif, serta dalam meneguhkan peran ilmu sebagai sarana menuju ma‘rifah dan peradaban beradab.

Kata Kunci: Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islamisasi Ilmu, Epistemologi Islam, Tauhid, Ta’dib, Adab, Pandangan Dunia Islam, Pendidikan Islam, Filsafat Islam Kontemporer.


PEMBAHASAN

Telaah Filsafat Pendidikan dan Pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas


1.           Pendahuluan

Dalam beberapa dekade terakhir, dunia Islam menghadapi tantangan besar dalam ranah intelektual dan epistemologis, terutama akibat dominasi paradigma keilmuan sekuler yang lahir dari modernitas Barat. Konsekuensinya, terjadi pergeseran mendasar dalam cara umat Islam memahami realitas, ilmu, dan pendidikan. Pergeseran ini bukan hanya memengaruhi konten dan kurikulum pendidikan, tetapi juga membentuk cara berpikir umat terhadap nilai-nilai kebenaran, etika, dan makna keberadaan. Di tengah arus ini, muncul sejumlah pemikir Muslim kontemporer yang berupaya melakukan rekonstruksi paradigma ilmu, salah satunya adalah Syed Muhammad Naquib al-Attas, tokoh penting dalam filsafat Islam dan pemikiran pendidikan Islam modern.

Al-Attas menilai bahwa krisis peradaban Islam bukan terletak pada kekurangan ilmu secara kuantitatif, melainkan pada kekacauan ilmu dari sisi konseptual dan epistemologis. Ia mengemukakan bahwa ilmu yang masuk ke dunia Islam pascakolonial tidak netral, tetapi sarat dengan pandangan dunia (weltanschauung) sekuler yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Dalam konteks inilah ia memperkenalkan konsep Islamisasi ilmu, bukan dalam arti menjadikan ilmu berlabel "Islam", melainkan menyucikan kembali konsep-konsep dasar keilmuan dari pengaruh sekularisme dan materialisme, serta mengembalikannya ke dalam kerangka epistemologi tauhid yang integral dengan adab dan akhlak Islami.¹

Pemikiran al-Attas dalam bidang epistemologi Islam, filsafat pendidikan, dan linguistik filsafati menunjukkan orisinalitas dan kedalaman intelektual yang khas. Ia memadukan khazanah keilmuan tradisional Islam dengan metode-metode kontemporer untuk menjawab tantangan zaman. Salah satu kontribusi utamanya adalah pemaknaan ulang terhadap konsep ta’dib sebagai tujuan utama pendidikan Islam.² Dalam pandangannya, pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi proses pembentukan insan beradab yang mampu memahami, menginternalisasi, dan mengimplementasikan ilmu dalam kerangka kehambaan kepada Allah.³

Urgensi untuk menelaah pemikiran al-Attas menjadi semakin penting dalam konteks kebangkitan peradaban Islam yang berbasis ilmu dan spiritualitas. Kajian terhadap gagasannya menawarkan alternatif paradigmatik terhadap dominasi pendekatan positivistik dan dualistik dalam ilmu pengetahuan modern. Lebih jauh, pemikiran al-Attas menjadi dasar bagi pengembangan epistemologi Islam yang bersifat integral, spiritual, dan kontekstual dengan realitas umat Muslim kontemporer.⁴ Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara sistematis pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas mengenai Islamisasi ilmu dan epistemologi tauhid, serta kontribusinya terhadap filsafat pendidikan Islam.


Footnotes

[1]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 131–135.

[2]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1980), 13–15.

[3]                Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 225–229.

[4]                Osman Bakar, “The Islamization of Knowledge: A Conceptual Analysis,” Islamic Quarterly 36, no. 2 (1992): 124–128.


2.           Biografi Intelektual Syed Muhammad Naquib al-Attas

Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah salah satu pemikir Muslim paling berpengaruh dalam diskursus filsafat Islam kontemporer, khususnya dalam bidang pendidikan, epistemologi, dan peradaban. Ia lahir pada tanggal 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat, Indonesia, dalam sebuah keluarga terpandang yang berasal dari keturunan Ba 'Alawi Hadhrami, yang memiliki akar intelektual dan spiritual yang kuat. Latar belakang keluarganya memberikan pengaruh awal terhadap pembentukan kepribadian religius dan kecintaan pada ilmu sejak usia dini.¹

Ketika masih muda, al-Attas hijrah ke Malaysia dan melanjutkan pendidikan formalnya di Royal Military College, Port Dickson, dan kemudian bergabung dengan Angkatan Bersenjata Malaysia. Namun, minatnya terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan membawanya keluar dari dunia militer menuju jalur akademik. Ia melanjutkan studi di University of Malaya, kemudian memperoleh gelar M.A. dalam bidang Studi Islam dari McGill University, Kanada, serta menyelesaikan gelar Ph.D. dalam bidang Filsafat Islam di University of London di bawah bimbingan pakar Islam ternama seperti Toshihiko Izutsu dan Martin Lings.²

Jejak intelektual al-Attas ditandai oleh sintesis antara ilmu-ilmu tradisional Islam dan pendekatan filosofis yang mendalam terhadap masalah-masalah epistemologis modern. Ia tidak hanya menguasai bahasa Arab dan Inggris dengan sangat baik, tetapi juga mendalami bahasa-bahasa klasik seperti Latin dan Yunani, serta menulis secara produktif dalam bahasa Melayu dan Inggris.³ Kemampuan linguistik dan kedalaman filosofis ini menjadikannya pemikir yang mampu menjembatani tradisi keilmuan klasik Islam dengan tantangan intelektual kontemporer.

Kontribusi al-Attas dalam pengembangan institusi pendidikan Islam modern juga sangat signifikan. Ia adalah pendiri dan direktur pertama International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur, sebuah pusat pemikiran dan riset yang berfokus pada integrasi antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam. Melalui ISTAC, al-Attas mengembangkan visi pendidikan Islam berbasis ta’dib, serta memformulasikan kerangka Islamisasi ilmu yang menjadi fondasi pemikiran keislaman modern di Malaysia dan dunia Islam secara umum.⁴

Di samping itu, al-Attas dikenal sebagai salah satu pemikir yang mengembangkan Islamic worldview (pandangan dunia Islam) sebagai pendekatan epistemologis yang holistik, menolak dikotomi antara ilmu agama dan ilmu dunia. Pandangan ini tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga dituangkan dalam sistematika kurikulum dan institusi pendidikan yang ia rancang.⁵

Dengan latar belakang keilmuan yang mendalam, keluasan wawasan lintas tradisi, dan keberanian filosofis untuk merumuskan paradigma baru dalam pendidikan Islam, Syed Muhammad Naquib al-Attas telah meletakkan fondasi intelektual yang kokoh bagi perkembangan pemikiran Islam kontemporer. Pemikiran-pemikirannya tidak hanya bersifat lokal, tetapi juga telah mempengaruhi gerakan intelektual di berbagai belahan dunia Islam, termasuk Indonesia, Turki, Iran, dan Pakistan.


Footnotes

[1]                Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 21–24.

[2]                Osman Bakar, “Syed Muhammad Naquib al-Attas: The Concept of Knowledge in Islam,” Islamic Quarterly 40, no. 3 (1996): 213–216.

[3]                Wan Mohd Nor Wan Daud, The Beacon on the Crest of a Hill: A Brief Intellectual History of IIUM and IIIT (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2015), 45–47.

[4]                Muhammad Zainiy Uthman, “The Vision of Education According to al-Attas,” Al-Shajarah 10, no. 2 (2005): 145–147.

[5]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 1–5.


3.           Konsep Dasar Pemikiran al-Attas

Pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas dibangun atas dasar pandangan dunia Islam yang integral, yang bertumpu pada konsep tauhid sebagai asas metafisis dan epistemologis. Bagi al-Attas, akar dari krisis intelektual umat Islam dewasa ini adalah keterputusan antara ilmu dan nilai, yang disebabkan oleh penetrasi paradigma sekular yang tidak bersumber dari Islam. Oleh karena itu, ia mengembangkan seperangkat konsep dasar untuk merumuskan kembali fondasi ilmu dalam kerangka pandangan dunia Islam.

3.1.       Konsep Ilmu: Pengetahuan yang Diberkahi

Al-Attas mendefinisikan ilmu sebagai "pengenalan terhadap sesuatu sesuai dengan hakikatnya" (knowledge of something in conformity with its true nature).⁽¹⁾ Ilmu dalam pandangan ini tidak hanya bersifat rasional dan empiris, tetapi juga mencakup dimensi spiritual dan intuitif. Ia menolak definisi ilmu yang sekadar bersifat instrumental atau netral, sebagaimana dikembangkan dalam tradisi positivistik modern. Sebaliknya, ilmu dalam Islam harus mengarahkan manusia kepada ma’rifah (pengenalan terhadap Tuhan), memperkuat keimanan, dan mendorong keteraturan dalam jiwa serta masyarakat.⁽²⁾

3.2.       Konsep Adab dan Ta’dib

Salah satu konsep sentral dalam pemikiran al-Attas adalah adab, yaitu disiplin diri, kesopanan spiritual, dan pengenalan terhadap tempat sesuatu secara tepat dalam tatanan wujud. Adab merupakan cerminan dari integritas akhlak dan intelektual seorang insan yang berilmu. Berdasarkan prinsip ini, ia mengajukan istilah ta’dib sebagai pendekatan alternatif terhadap pendidikan Islam—berbeda dari konsep tarbiyah atau ta’līm yang dominan dalam dunia Islam kontemporer.⁽³⁾

Menurut al-Attas, pendidikan Islam sejati bukanlah sekadar proses transmisi pengetahuan (transfer of knowledge), melainkan pembentukan insan yang beradab (insān ādib), yang mampu membedakan antara yang hak dan yang batil berdasarkan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, tujuan akhir pendidikan adalah penanaman adab, bukan sekadar kecakapan profesional.⁽⁴⁾

3.3.       Epistemologi Tauhid

Dalam struktur pengetahuan Islam, al-Attas menekankan integrasi antara wahyu, akal, dan intuisi (kashf). Ia mengkritik dikotomi antara ilmu agama dan ilmu dunia, serta dikotomi antara rasionalisme dan spiritualisme. Epistemologi tauhid yang ia kembangkan menolak dikotomi-dikotomi tersebut, dan memandang bahwa seluruh bentuk ilmu harus dikembalikan kepada prinsip tawḥīd sebagai pusat orientasi nilai dan makna.⁽⁵⁾

Dalam kerangka tauhid, semua cabang ilmu memiliki hierarki dan arah yang jelas: mengabdi kepada kebenaran yang mutlak, yakni Allah Swt. Oleh karena itu, al-Attas juga mengembangkan kerangka klasifikasi ilmu berdasarkan orientasi terhadap kebenaran dan manfaatnya bagi tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa).⁽⁶⁾

3.4.       Konsep Pandangan Dunia Islam (Islamic Worldview)

Bagi al-Attas, salah satu langkah paling mendesak dalam membangun kembali peradaban Islam adalah membentuk kembali worldview Islam yang sejati. Pandangan dunia Islam tidak hanya merupakan persepsi terhadap dunia lahiriah, melainkan struktur batiniah tentang realitas yang mencakup metafisika, kosmologi, psikologi, etika, dan teleologi.⁽⁷⁾

Dalam pandangannya, worldview Islam meliputi unsur-unsur fundamental seperti Tuhan (Allah), wahyu, kenabian, jiwa manusia, ilmu, adab, dan keadilan. Ketika worldview ini digantikan oleh worldview Barat yang sekuler dan dualistik, maka terjadi kekacauan intelektual dan etis yang mengakibatkan dekadensi spiritual dalam masyarakat Muslim.⁽⁸⁾ Oleh karena itu, rekonstruksi worldview Islam merupakan syarat mutlak bagi proses Islamisasi ilmu.


Footnotes

[1]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 2–5.

[2]                Ibid., 10–11.

[3]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1980), 13–18.

[4]                Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 230–235.

[5]                Osman Bakar, “The Unity of Knowledge and the Integration of Knowledge in the Islamic Worldview,” Islam & Science 4, no. 1 (2006): 55–59.

[6]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 145–148.

[7]                Al-Attas, Prolegomena, 3–4.

[8]                Muhammad Zainiy Uthman, “The Worldview of Islam: A Fundamental Foundation for an Islamic Philosophy of Education,” Journal of Islamic and Arabic Education 1, no. 1 (2009): 1–12.


4.           Islamisasi Ilmu Menurut al-Attas

Konsep Islamisasi ilmu merupakan salah satu gagasan paling berpengaruh dan khas dalam pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas. Gagasan ini lahir dari kesadaran kritis terhadap dampak kolonialisme dan modernitas Barat yang telah menanamkan sistem pengetahuan sekuler ke dalam struktur intelektual umat Islam. Menurut al-Attas, krisis peradaban Islam tidak hanya bersifat politis atau ekonomis, tetapi bersumber dari krisis epistemologis, yakni kekacauan dalam cara umat Islam memahami dan mengonstruksi ilmu.¹

4.1.       Latar Belakang Historis Islamisasi Ilmu

Islamisasi ilmu menurut al-Attas merupakan respon terhadap infiltrasi paradigma ilmu Barat modern yang sekuler, dualistik, dan materialistik. Ilmu Barat modern, menurutnya, tidak bersifat netral karena mengandung nilai-nilai dan worldview tersendiri yang bertentangan dengan worldview Islam. Al-Attas menegaskan bahwa “neutrality of knowledge is a false assumption”, karena ilmu selalu berakar pada asumsi metafisik tertentu.² Karena itu, Islamisasi ilmu bukan hanya soal labelisasi “Islam” terhadap disiplin-disiplin ilmu, melainkan transformasi nilai dan konsep dasar ilmu agar sesuai dengan pandangan dunia Islam.

4.2.       Definisi dan Tujuan Islamisasi Ilmu

Al-Attas mendefinisikan Islamisasi ilmu sebagai “liberating the Muslim mind from secular domination of knowledge and re-infusing Islamic elements into the conceptual structure of knowledge.”_³ Tujuan dari Islamisasi ilmu adalah membebaskan umat Islam dari belenggu pemikiran Barat yang sekuler, kemudian membangun kembali struktur ilmu yang bertumpu pada prinsip-prinsip tauhid, adab, dan hakikat insan. Gagasan ini berakar pada keyakinan bahwa ilmu dalam Islam bukan hanya alat untuk menguasai dunia, tetapi juga sarana untuk mencapai ma‘rifah, yaitu pengenalan hakiki terhadap Tuhan.

4.3.       Strategi Islamisasi: Konsep Kunci dan Reinterpretasi

Islamisasi ilmu menurut al-Attas dilakukan melalui pendekatan konseptual dan filosofis, bukan sekadar teknis atau pragmatis. Ia memulai dengan menyoroti bahwa banyak konsep dasar yang digunakan dalam sains sosial dan humaniora modern—seperti “religion,” “secular,” “freedom,” “development,” “progress,” dan lain-lain—mengandung muatan filosofis Barat yang asing dan tidak selaras dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, tugas Islamisasi adalah menyaring, merevisi, dan mendefinisikan ulang konsep-konsep kunci dalam ilmu agar bersesuaian dengan epistemologi Islam.⁴

Dalam proses ini, bahasa memainkan peran penting. Al-Attas menunjukkan bahwa banyak istilah yang dalam bahasa Arab klasik memiliki makna adiluhung telah mengalami penyimpangan makna ketika diterjemahkan dan diadopsi ke dalam konteks ilmu modern. Misalnya, konsep “din” sering disempitkan menjadi “agama,” padahal dalam tradisi Islam “din” mencakup sistem hidup yang komprehensif.⁵

4.4.       Perbedaan Pendekatan dengan al-Faruqi

Konsep Islamisasi ilmu juga dikembangkan oleh tokoh lain seperti Ismail Raji al-Faruqi. Namun, pendekatan keduanya memiliki perbedaan mendasar. Al-Faruqi menekankan rekonstruksi kurikulum dan integrasi ilmu-ilmu keislaman dan modern secara institusional, sedangkan al-Attas menekankan pentingnya reformulasi konseptual dan pemurnian makna sebagai fondasi epistemologis.⁶ Bagi al-Attas, tanpa pembenahan konsep dan struktur makna, proses Islamisasi akan bersifat superfisial dan tidak menyentuh akar masalah.

4.5.       Islamisasi sebagai Proyek Peradaban

Islamisasi ilmu tidak dimaknai al-Attas sebagai proyek temporer, melainkan sebagai proyek peradaban yang menyentuh aspek ilmu, bahasa, budaya, dan pembentukan insan kamil. Ia menekankan pentingnya pengembangan institusi pendidikan yang mampu merealisasikan worldview Islam secara nyata dalam kehidupan akademik dan sosial.⁷ ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization), yang didirikannya, merupakan salah satu realisasi praktis dari visi tersebut—institusi yang mengintegrasikan antara keilmuan klasik dan kontemporer dalam kerangka adab dan tauhid.

Dengan demikian, Islamisasi ilmu menurut al-Attas adalah usaha sistematis untuk mengembalikan kedudukan ilmu dalam Islam sebagai amanah, yaitu tanggung jawab ilahiyah yang harus dipelajari, diajarkan, dan diamalkan untuk kemaslahatan umat dan kedekatan dengan Tuhan. Ini bukan hanya proyek akademik, tetapi juga merupakan jalan menuju pembentukan peradaban Islam yang kokoh secara spiritual dan intelektual.


Footnotes

[1]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 133–135.

[2]                Ibid., 36.

[3]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 30–31.

[4]                Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 157–160.

[5]                Osman Bakar, “The Islamization of Knowledge: A Conceptual Analysis,” Islamic Quarterly 36, no. 2 (1992): 123–126.

[6]                Zainal Abidin Bagir, “Islamization of Knowledge in Comparative Perspective: Syed M. Naquib al-Attas and Ismail Raji al-Faruqi,” Studia Islamika 5, no. 2 (1998): 82–85.

[7]                Muhammad Zainiy Uthman, “The Vision of Education According to al-Attas,” Al-Shajarah 10, no. 2 (2005): 152–154.


5.           Pemikiran Filsafat Bahasa dan Dunia Pandangan Islam

Syed Muhammad Naquib al-Attas tidak hanya dikenal sebagai filsuf pendidikan dan pemikir epistemologi Islam, tetapi juga sebagai pelopor dalam pengembangan filsafat bahasa Islam (Islamic philosophy of language). Baginya, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga sarana utama pembentukan makna dan pembawa pandangan dunia (worldview). Melalui bahasa, konsep-konsep fundamental dalam Islam dipahami, ditransmisikan, dan dihidupkan. Oleh karena itu, bahasa memiliki posisi sentral dalam upaya Islamisasi ilmu dan rekonstruksi peradaban Islam.

5.1.       Bahasa sebagai Pembawa Makna dan Konsep Islami

Al-Attas berpandangan bahwa setiap bahasa besar di dunia mengandung worldview tersendiri yang termanifestasi dalam kosa kata, struktur kalimat, serta konotasi semantik. Bahasa Arab, menurutnya, sebagai bahasa wahyu (luġah al-Qur’ān), bukan hanya medium komunikasi ilahi, tetapi juga pembentuk struktur intelektual dan spiritual umat Islam.¹ Bahasa ini memuat konsep-konsep kunci seperti ‘ilm, ḥikmah, ʿadl, nafs, ʿaql, taqwā, yang tidak memiliki padanan makna sempurna dalam bahasa lain, terutama dalam bahasa Barat sekuler yang sering kali mereduksi makna spiritual menjadi semata rasional atau empiris.²

Pentingnya penguasaan dan pelestarian bahasa Arab klasik menjadi bagian dari proyek intelektual al-Attas untuk menjaga keutuhan dan kedalaman pemahaman terhadap ajaran Islam. Ia menolak pendekatan transliteratif yang cenderung memindahkan istilah-istilah Barat ke dalam bahasa Islam tanpa menyaring muatan worldview-nya. Oleh karena itu, proses Islamisasi ilmu juga berarti pembersihan istilah-istilah ilmiah dari pengaruh worldview sekuler dan pengembalian makna istilah kepada rujukan wahyu dan bahasa Islam.³

5.2.       Kritik terhadap Bahaya Terminologi Sekuler-Barat

Al-Attas menyoroti bahwa adopsi istilah dari peradaban Barat ke dalam wacana Islam—seperti religion, freedom, secularism, dan modernization—telah menimbulkan disorientasi makna dalam pemahaman umat terhadap ajaran Islam. Misalnya, istilah “religion” tidak memadai untuk menerjemahkan konsep dīn, karena dīn dalam Islam mencakup keseluruhan sistem hidup, tidak hanya urusan spiritual atau kepercayaan pribadi.⁴ Ketidaktepatan terjemahan ini, menurut al-Attas, berdampak pada distorsi epistemologis dan hilangnya keutuhan pandangan dunia Islam dalam persepsi umat.

Sebagai alternatif, ia menganjurkan pendekatan etimologis-historis-filosofis dalam memahami istilah dan konsep. Bahasa tidak boleh dipahami secara ahistoris atau netral, karena kata-kata menyimpan sejarah dan muatan nilai.⁵ Dengan demikian, pembaruan ilmu dalam Islam harus dimulai dari penjernihan makna konsep-konsep kunci, termasuk melalui pelacakan asal-usul dan pergeseran makna yang telah terjadi akibat kolonialisasi intelektual.

5.3.       Pandangan Dunia Islam (Islamic Worldview)

Al-Attas mengembangkan teori worldview Islam sebagai struktur konseptual yang menyeluruh dan terintegrasi, yang mendasari cara umat Islam memahami realitas, kebenaran, ilmu, manusia, dan Tuhan. Worldview ini berbeda secara radikal dari secular worldview, karena berpijak pada prinsip tauhid, kesatuan pengetahuan, dan keabadian makna.⁶ Dalam worldview Islam, realitas tidak dibagi secara dikotomik antara dunia dan akhirat, materi dan spiritualitas, atau ilmu agama dan ilmu dunia. Semua aspek kehidupan terhubung secara harmonis dalam kesadaran tauhidik.

Menurut al-Attas, worldview Islam terdiri dari elemen-elemen mendasar seperti:

·                     Konsep wujud (being): bahwa segala sesuatu bersumber dari dan menuju kepada Allah.

·                     Konsep ilmu: sebagai pencerahan jiwa, bukan sekadar akumulasi informasi.

·                     Konsep adab: sebagai kesadaran akan keteraturan dan hirarki ontologis dalam ciptaan.

·                     Konsep insan: sebagai makhluk berakal, bertanggung jawab, dan memiliki tujuan transenden.⁷

Worldview ini bersifat holistik dan sakral, berbeda dari worldview Barat yang sekuler dan reduksionis. Oleh karena itu, tugas utama kaum intelektual Muslim adalah menghidupkan kembali worldview Islam melalui rekonstruksi bahasa, makna, dan struktur ilmu yang sesuai dengan nilai-nilai wahyu.


Footnotes

[1]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 11–13.

[2]                Ibid., 16–17.

[3]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 107–109.

[4]                Osman Bakar, “Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic Philosophies of Science,” Islamic Quarterly 38, no. 3 (1994): 185–187.

[5]                Muhammad Zainiy Uthman, “The Role of Language in Islamic Worldview: Perspectives from al-Attas,” Al-Shajarah 8, no. 1 (2003): 17–22.

[6]                Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 278–281.

[7]                Al-Attas, Prolegomena, 1–5.


6.           Kritik dan Relevansi Pemikiran al-Attas

Pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas, khususnya mengenai Islamisasi ilmu dan epistemologi tauhid, telah memberikan kontribusi besar dalam membentuk diskursus pemikiran Islam kontemporer. Namun sebagaimana tokoh besar lainnya, gagasan-gagasannya tidak luput dari kritik, baik dari kalangan akademisi Muslim maupun pemikir Barat. Meskipun demikian, pemikirannya tetap relevan dan bahkan semakin mendesak untuk dikaji ulang dalam konteks tantangan globalisasi dan krisis makna dalam pendidikan modern.

6.1.       Kritik terhadap Pendekatan Konseptual dan Elitis

Salah satu kritik utama terhadap al-Attas adalah kecenderungan pendekatannya yang sangat konseptual dan filosofis sehingga dianggap sulit untuk diimplementasikan dalam kebijakan pendidikan secara praktis. Beberapa pengamat menilai bahwa konsep-konsep seperti ta’dib, adab, atau Islamisasi ilmu bersifat abstrak dan lebih mudah diterima di tingkat diskursus akademik daripada diterapkan dalam sistem pendidikan nasional yang pluralistik.¹

Selain itu, pendekatannya juga dinilai elitis karena menekankan pentingnya penguasaan tradisi intelektual klasik dan bahasa Arab secara mendalam. Hal ini dianggap menyulitkan bagi kalangan pendidikan di tingkat dasar-menengah yang tidak memiliki latar belakang keilmuan yang kuat.² Di sisi lain, para pendukung al-Attas justru melihat hal ini sebagai bentuk keteguhan epistemologis, bukan kekurangan, karena al-Attas mengutamakan pembentukan struktur berpikir Islam yang utuh, bukan sekadar pembaruan permukaan.

6.2.       Perbandingan dengan Pendekatan al-Faruqi

Kritik lainnya datang dari perbandingan antara pendekatan al-Attas dan tokoh Islamisasi ilmu lainnya, seperti Ismail Raji al-Faruqi. Sementara al-Faruqi fokus pada integrasi antara ilmu-ilmu modern dan keislaman melalui rekonstruksi kurikulum, al-Attas menekankan pembersihan konseptual ilmu sebagai langkah awal. Beberapa pengkaji menilai bahwa pendekatan al-Faruqi lebih operasional dan aplikatif dalam konteks perguruan tinggi modern.³ Namun demikian, pendekatan al-Attas dianggap lebih kokoh secara filosofis karena menyentuh akar epistemologis dan bahasa yang membentuk struktur ilmu itu sendiri.⁴

6.3.       Relevansi dalam Konteks Krisis Pendidikan dan Ilmu Modern

Terlepas dari kritik tersebut, pemikiran al-Attas semakin relevan dalam konteks krisis pendidikan modern yang cenderung pragmatis dan terlepas dari nilai. Sistem pendidikan global yang terjebak dalam logika pasar, pengukuran kuantitatif, dan fragmentasi ilmu telah menghasilkan generasi yang teknokratis tetapi kehilangan makna hidup dan etika. Dalam konteks ini, al-Attas mengingatkan bahwa pendidikan bukan sekadar penguasaan keterampilan, tetapi proses pembentukan insan beradab yang mengenal tujuan hidup secara transenden.⁵

Konsep ta’dib dan integrasi ilmu-spiritualitas dalam pemikiran al-Attas juga menjadi sangat relevan dalam menghadapi tantangan radikalisasi dan dekadensi moral di kalangan generasi muda Muslim. Ia menawarkan pendekatan pendidikan yang tidak memisahkan akal dari jiwa, pengetahuan dari hikmah, dan sains dari nilai-nilai ilahiyah.⁶

6.4.       Pengaruh dan Penerapan di Dunia Islam

Secara faktual, pemikiran al-Attas telah memberikan pengaruh besar terhadap pembentukan kurikulum dan lembaga pendidikan tinggi Islam, terutama di Malaysia, Indonesia, dan negara-negara Asia Selatan. Konsep Islamisasi ilmu telah menjadi inspirasi dalam pendirian institusi seperti ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization), IIUM (International Islamic University Malaysia), dan berbagai fakultas studi Islam di universitas-universitas di Timur dan Barat.⁷

Pemikiran al-Attas juga menjadi rujukan penting dalam diskursus filsafat Islam, studi peradaban, dan teori pendidikan Islam di tingkat internasional. Banyak karya akademik yang menjadikannya sebagai salah satu tokoh utama dalam pengembangan epistemologi Islam kontemporer, bersanding dengan nama-nama besar seperti al-Faruqi, Nasr, dan Bakar.


Footnotes

[1]                Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 251–252.

[2]                Muhammad Zainiy Uthman, “The Vision of Education According to al-Attas,” Al-Shajarah 10, no. 2 (2005): 158–159.

[3]                Zainal Abidin Bagir, “Islamization of Knowledge in Comparative Perspective: Syed M. Naquib al-Attas and Ismail Raji al-Faruqi,” Studia Islamika 5, no. 2 (1998): 85–87.

[4]                Osman Bakar, “The Islamization of Knowledge: A Conceptual Analysis,” Islamic Quarterly 36, no. 2 (1992): 129–132.

[5]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1980), 15–17.

[6]                Al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 131–135.

[7]                Wan Mohd Nor Wan Daud, The Beacon on the Crest of a Hill: A Brief Intellectual History of IIUM and IIIT (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2015), 38–40.


7.           Kesimpulan

Pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan sumbangan besar bagi wacana filsafat Islam kontemporer, khususnya dalam merespon krisis epistemologis yang melanda umat Islam di era modern. Melalui gagasan Islamisasi ilmu, al-Attas tidak hanya menawarkan kritik terhadap dominasi worldview sekuler-Barat dalam sistem pendidikan, tetapi juga membangun alternatif epistemologis yang bersumber dari tauhid, adab, dan pandangan dunia Islam yang integral.¹

Islamisasi ilmu dalam perspektif al-Attas bukan sekadar proyek teknokratis atau integrasi kurikulum, melainkan rekonstruksi mendasar terhadap struktur konseptual ilmu pengetahuan. Ia memulai dari penjernihan istilah, penelusuran akar makna, serta penyusunan ulang kerangka epistemik berdasarkan prinsip metafisis Islam. Dalam kerangka ini, ilmu bukanlah sesuatu yang netral, melainkan sarat dengan nilai dan asumsi-asumsi ontologis.² Karena itu, pembebasan ilmu dari pengaruh sekuler menjadi langkah awal dalam membangun kembali peradaban Islam yang utuh secara intelektual dan spiritual.

Selain itu, al-Attas menekankan pentingnya pendidikan berbasis ta’dib, yang berfungsi sebagai sarana pembentukan manusia beradab (insān ādib). Tujuan utama pendidikan dalam Islam bukan hanya pencapaian kognitif, tetapi juga pembentukan kepribadian yang selaras dengan nilai-nilai ilahiyah.³ Hal ini mengkritik pendekatan pendidikan modern yang lebih menekankan aspek utilitarian dan instrumental, serta cenderung mengabaikan aspek spiritual dan moral.

Konsep worldview Islam (pandangan dunia Islam) yang dikembangkan al-Attas merupakan kerangka filosofis yang menyatukan berbagai aspek kehidupan—ontologi, epistemologi, etika, dan kosmologi—dalam satu sistem nilai yang berpusat pada tauhid. Dalam worldview ini, ilmu bukanlah tujuan akhir, melainkan wasilah menuju pengenalan hakiki terhadap Tuhan (ma‘rifatullāh).⁴ Dengan demikian, seluruh aktivitas keilmuan, pendidikan, dan kebudayaan harus diarahkan untuk mewujudkan peradaban yang memuliakan manusia sebagai khalifah dan hamba Allah.

Kendati pendekatan al-Attas menuai kritik karena dinilai terlalu konseptual dan sulit diimplementasikan secara praktis dalam konteks sistem pendidikan nasional yang pluralistik, gagasan-gagasannya tetap relevan dan signifikan. Terutama dalam menjawab krisis makna, fragmentasi ilmu, dan degradasi etika dalam pendidikan kontemporer. Islamisasi ilmu, sebagaimana dirumuskan al-Attas, tidak hanya penting untuk komunitas akademik Muslim, tetapi juga merupakan bagian dari perjuangan intelektual global dalam mengembalikan makna kemanusiaan dalam ilmu pengetahuan.⁵

Dengan demikian, pemikiran al-Attas merupakan warisan intelektual yang tidak hanya perlu dikaji secara akademik, tetapi juga diaktualisasikan dalam kebijakan pendidikan, pembentukan kurikulum, dan pengembangan institusi keilmuan yang mampu menanamkan nilai, makna, dan integritas dalam seluruh cabang ilmu pengetahuan.


Footnotes

[1]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 131–133.

[2]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 2–5.

[3]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1980), 15–18.

[4]                Osman Bakar, “The Worldview of Islam and Its Implications for Knowledge and Education,” Islamic Quarterly 36, no. 3 (1992): 155–158.

[5]                Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 275–278.


Daftar Pustaka

Al-Attas, S. M. N. (1980). The concept of education in Islam: A framework for an Islamic philosophy of education. Kuala Lumpur: ISTAC.

Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.

Al-Attas, S. M. N. (1995). Prolegomena to the metaphysics of Islam: An exposition of the fundamental elements of the worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.

Bagir, Z. A. (1998). Islamization of knowledge in comparative perspective: Syed M. Naquib al-Attas and Ismail Raji al-Faruqi. Studia Islamika, 5(2), 71–94.

Bakar, O. (1992). The Islamization of knowledge: A conceptual analysis. Islamic Quarterly, 36(2), 122–134.

Bakar, O. (1992). The worldview of Islam and its implications for knowledge and education. Islamic Quarterly, 36(3), 154–162.

Bakar, O. (1994). Classification of knowledge in Islam: A study in Islamic philosophies of science. London: Islamic Texts Society.

Uthman, M. Z. (2003). The role of language in Islamic worldview: Perspectives from al-Attas. Al-Shajarah, 8(1), 15–30.

Uthman, M. Z. (2005). The vision of education according to al-Attas. Al-Shajarah, 10(2), 145–160.

Wan Daud, W. M. N. (1998). The educational philosophy and practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An exposition of the original concept of Islamization. Kuala Lumpur: ISTAC.

Wan Daud, W. M. N. (2015). The beacon on the crest of a hill: A brief intellectual history of IIUM and IIIT. Kuala Lumpur: IIUM Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar