Pemikiran Karl Marx
Kritik Kapitalisme dan Gagasan Masyarakat Tanpa Kelas
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat.
Marxisme–Leninisme, Pemikiran Vladimir Lenin.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif pemikiran
Karl Marx, seorang filsuf dan teoritikus sosial terkemuka abad ke-19 yang
memberikan kontribusi besar dalam memahami dinamika sosial, ekonomi, dan
politik modern. Fokus utama artikel ini adalah penjabaran terhadap dasar-dasar
filsafat Marx, kritiknya terhadap kapitalisme, konsep perjuangan kelas, serta
visi idealnya mengenai masyarakat tanpa kelas (komunisme). Melalui pendekatan
materialisme historis dan dialektika materialis, Marx menjelaskan bahwa perubahan
sosial didorong oleh konflik kelas yang berakar pada struktur ekonomi
masyarakat. Kapitalisme dikritik karena menciptakan alienasi, eksploitasi
tenaga kerja, dan ketimpangan struktural yang bersifat sistemik. Marx
menawarkan komunisme sebagai alternatif, yaitu sistem sosial yang menghapus
kepemilikan pribadi atas alat produksi dan membangun distribusi berbasis
kebutuhan. Artikel ini juga membahas pengaruh Marx dalam ilmu sosial dan
gerakan politik global, serta menghadirkan berbagai kritik terhadap pendekatannya,
baik dari sisi teoretis maupun historis. Melalui sintesis dari literatur
akademik dan referensi primer, artikel ini menekankan bahwa pemikiran Marx
tetap relevan sebagai alat analisis kritis terhadap berbagai ketimpangan dalam
masyarakat kontemporer.
Kata Kunci: Karl Marx, kapitalisme, komunisme, materialisme
historis, perjuangan kelas, masyarakat tanpa kelas, teori sosial kritis,
marxisme.
PEMBAHASAN
Telaah Kritis atas Pemikiran Karl Marx
1.
Pendahuluan
Karl Marx
(1818–1883) merupakan salah satu filsuf dan teoritikus sosial paling
berpengaruh dalam sejarah modern. Pemikirannya telah menjadi fondasi bagi
banyak gerakan politik dan ekonomi, serta turut membentuk arah perdebatan
intelektual sepanjang abad ke-19 hingga kontemporer. Di tengah dinamika
kapitalisme global dan krisis sosial-ekonomi yang terus terjadi, pemikiran Marx
kembali mendapatkan perhatian dalam diskursus akademik dan aktivisme politik.
Marx tidak hanya dikenal sebagai pendiri teori komunisme ilmiah, tetapi juga
sebagai kritikus tajam terhadap sistem kapitalisme yang menurutnya menghasilkan
ketimpangan sosial, alienasi manusia, dan eksploitasi kelas pekerja.1
Pemikiran Marx
sangat kompleks karena merupakan sintesis dari berbagai tradisi intelektual:
filsafat Jerman, sosialisme Prancis, dan ekonomi politik Inggris.2
Ia banyak dipengaruhi oleh filsafat dialektika Hegel, namun menolak idealisme
Hegelian dan menggantinya dengan pendekatan materialis, yang kemudian dikenal
sebagai materialisme historis. Dengan
pendekatan ini, Marx memandang bahwa sejarah manusia adalah sejarah perjuangan
kelas, di mana struktur ekonomi menentukan bentuk kehidupan sosial, politik,
dan ideologi.3
Salah satu
kontribusi utama Marx adalah kritiknya terhadap kapitalisme. Dalam karya
monumentalnya, Das Kapital, Marx menjelaskan
bagaimana sistem kapitalisme bekerja melalui akumulasi modal, eksploitasi
tenaga kerja, dan produksi komoditas untuk keuntungan. Ia memperkenalkan konsep
nilai
lebih (surplus value) sebagai inti dari eksploitasi kapitalis,
di mana buruh menciptakan nilai yang lebih besar dari upah yang mereka terima,
dan kelebihan itu diserap oleh pemilik modal.4 Selain itu, Marx juga
mengangkat konsep alienasi, yakni keterasingan
manusia dari hasil kerjanya, dari proses kerja itu sendiri, dari sesama manusia,
bahkan dari potensi kemanusiaannya sendiri dalam sistem produksi kapitalis.5
Melalui analisis
tersebut, Marx tidak hanya menawarkan kritik, tetapi juga alternatif visi
sosial yang dikenal sebagai komunisme: sebuah masyarakat tanpa kelas, tanpa
kepemilikan pribadi atas alat produksi, dan diatur berdasarkan prinsip “dari
masing-masing menurut kemampuannya, kepada masing-masing menurut kebutuhannya.”_6
Walaupun implementasi historis dari gagasan Marx dalam bentuk negara-negara
sosialis mengalami banyak tantangan dan kritik, namun pemikirannya tetap
relevan sebagai lensa untuk menganalisis ketimpangan dan krisis dalam
masyarakat modern.
Oleh karena itu, artikel
ini bertujuan untuk menelusuri pokok-pokok pemikiran Karl Marx secara
komprehensif, mulai dari landasan filosofis hingga kritik terhadap kapitalisme
dan gagasan tentang masyarakat ideal. Pendekatan ini bertujuan tidak hanya
untuk memahami pemikiran Marx secara teoritis, tetapi juga untuk menilai
kontribusinya dalam konteks sosial kontemporer.
Footnotes
[1]
Terrell Carver, Marx (Cambridge: Polity Press, 2003), 1–3.
[2]
David McLellan, Karl Marx: A Biography (London: Papermac, 1995), 55–58.
[3]
Robert C. Tucker, ed., The
Marx-Engels Reader, 2nd ed. (New
York: W.W. Norton & Company, 1978), xx.
[4]
Karl Marx, Capital: A Critique of
Political Economy, Volume I, trans.
Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 320–330.
[5]
Karl Marx, “Estranged Labour,” in Economic
and Philosophic Manuscripts of 1844,
ed. Dirk J. Struik (New York: International Publishers, 1964), 70–81.
[6]
Karl Marx, “Critique of the Gotha Program,” in The Marx-Engels Reader,
ed. Robert C. Tucker (New York: W.W. Norton & Company, 1978), 531.
2.
Biografi
Singkat Karl Marx
Karl Marx lahir pada
tanggal 5 Mei 1818 di Trier, sebuah kota kecil di wilayah Rheinland, Jerman
(saat itu bagian dari Kekaisaran Prusia). Ia berasal dari keluarga Yahudi yang
kemudian berpindah agama menjadi Protestan untuk menghindari diskriminasi
sosial dan pembatasan hukum yang berlaku di bawah pemerintahan Prusia saat itu.1
Ayahnya, Heinrich Marx, adalah seorang pengacara yang menganut nilai-nilai
liberal dan Rasionalisme ala Pencerahan, yang banyak memengaruhi pola pikir
muda Karl sejak dini.2
Marx menempuh
pendidikan tinggi di Universitas Bonn dan kemudian melanjutkan ke Universitas
Berlin, tempat ia mendalami filsafat, khususnya ajaran Hegelian. Di Berlin,
Marx bergabung dengan kelompok “Hegelian Kiri”, sebuah komunitas
intelektual yang mengkritik agama dan institusi negara dengan menggunakan
metode dialektika Hegelian namun dalam arah yang lebih radikal dan materialis.3
Pada tahun 1841, ia meraih gelar doktor dalam bidang filsafat dengan disertasi
bertajuk The
Difference Between the Democritean and Epicurean Philosophy of Nature—sebuah
kajian mendalam tentang filsafat alam kuno, yang menunjukkan minat awal Marx
terhadap hubungan antara teori dan realitas material.4
Setelah gagal
memperoleh posisi akademik karena pandangan politiknya yang kontroversial, Marx
beralih menjadi jurnalis dan penulis. Ia menjadi editor Rheinische
Zeitung, sebuah surat kabar liberal di Köln, namun koran tersebut
segera ditutup oleh pemerintah karena artikel-artikelnya yang dianggap terlalu
radikal.5 Pada tahun 1843, Marx menikahi Jenny von Westphalen,
kekasih masa kecilnya dari keluarga bangsawan, dan kemudian pindah ke Paris,
tempat ia bertemu dengan Friedrich Engels—pertemuan yang akan mengubah arah
pemikirannya secara mendalam.
Engels, yang juga
seorang pemikir dan aktivis revolusioner, memperkenalkan Marx pada realitas
kelas pekerja industri serta konsep-konsep ekonomi politik Inggris. Kolaborasi
mereka menghasilkan karya penting The Communist Manifesto pada tahun
1848, yang menjadi salah satu dokumen politik paling berpengaruh dalam sejarah
modern.6 Keduanya terus bekerja sama sepanjang hidup Marx, dengan
Engels memberikan dukungan finansial dan intelektual yang sangat besar dalam
penyusunan karya Das Kapital, magnum opus Marx yang
membahas struktur dan dinamika sistem kapitalisme secara mendalam.7
Setelah serangkaian
pengusiran dari beberapa negara karena aktivitas politiknya, Marx akhirnya
menetap di London pada tahun 1849 dan menghabiskan sisa hidupnya di sana hingga
wafat pada 14 Maret 1883. Di London, ia hidup dalam kondisi finansial yang
sulit, namun tetap produktif menulis dan melakukan riset ekonomi. Meskipun
sebagian besar pemikirannya tidak banyak diakui selama masa hidupnya, warisan
intelektualnya kemudian menjelma menjadi gerakan besar yang memengaruhi
revolusi politik di berbagai negara pada abad ke-20.8
Footnotes
[1]
David McLellan, Karl Marx: A Biography (London: Papermac, 1995), 3–4.
[2]
Isaiah Berlin, Karl Marx: His Life and
Environment (New York: Oxford
University Press, 1963), 14–16.
[3]
Shlomo Avineri, The Social and
Political Thought of Karl Marx
(Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 13–15.
[4]
Karl Marx, Doctoral Dissertation:
The Difference Between the Democritean and Epicurean Philosophy of Nature, trans. M. Mugge (Berlin: 1841).
[5]
Francis Wheen, Karl Marx: A Life (New York: W.W. Norton & Company, 2000), 59–62.
[6]
Karl Marx and Friedrich Engels, The
Communist Manifesto, ed. Gareth
Stedman Jones (London: Penguin Books, 2002), x–xii.
[7]
Terrell Carver, Marx (Cambridge: Polity Press, 2003), 23–25.
[8]
Eric Hobsbawm, How to Change the
World: Reflections on Marx and Marxism
(New Haven: Yale University Press, 2011), 45–49.
3.
Dasar-dasar
Filsafat Karl Marx
Filsafat Karl Marx
merupakan hasil sintesis dari berbagai aliran pemikiran yang berkembang pada
abad ke-19, terutama filsafat idealisme Jerman, sosialisme Prancis, dan ekonomi
politik Inggris. Di antara berbagai dasar pemikiran tersebut, dua pilar utama
yang membentuk kerangka filsafat Marx adalah materialisme historis dan dialektika
materialis. Kedua konsep ini membentuk fondasi teoretis untuk
kritik Marx terhadap kapitalisme dan penjelasan tentang dinamika perubahan
sosial dalam sejarah umat manusia.
3.1.
Materialisme
Historis (Historical Materialism)
Materialisme
historis adalah pendekatan Marx dalam memahami perkembangan sejarah manusia
berdasarkan kondisi material dan ekonomi sebagai faktor penentu utama. Berbeda
dari pendekatan idealis Hegel yang memandang bahwa ide atau kesadaran adalah
kekuatan pendorong sejarah, Marx membalikkan tesis tersebut dan menyatakan
bahwa "bukan
kesadaran manusia yang menentukan keberadaannya, tetapi keberadaan sosialnya
yang menentukan kesadarannya."_1
Artinya, struktur ekonomi dan hubungan produksi dalam suatu masyarakat
menentukan bentuk kesadaran sosial, budaya, dan politik.
Dalam Preface
to A Contribution to the Critique of Political Economy (1859), Marx
menyatakan bahwa setiap masyarakat dibangun atas dasar “basis” (struktur
ekonomi: hubungan produksi dan kekuatan produksi) dan “superstruktur”
(ideologi, hukum, agama, politik). Perubahan dalam kekuatan produksi akan
memunculkan kontradiksi dengan hubungan produksi yang lama, dan kontradiksi ini
menjadi sumber dari perubahan sosial dan revolusi.2
Materialisme
historis juga menekankan pentingnya perjuangan kelas sebagai motor
penggerak sejarah. Marx menyatakan bahwa “sejarah semua masyarakat hingga
kini adalah sejarah perjuangan kelas,” yaitu konflik antara
kelompok-kelompok yang memiliki dan menguasai alat produksi dengan mereka yang
tidak memiliki (misalnya: borjuis dan proletar dalam masyarakat kapitalis).3
3.2.
Dialektika
Materialis
Dialektika
materialis adalah adaptasi dan transformasi Marx terhadap metode dialektika
Hegel, namun dalam bentuk materialis. Hegel menggunakan dialektika untuk
menjelaskan perkembangan ide melalui proses kontradiksi dan sintesis; Marx
justru menerapkan prinsip itu pada dunia material dan hubungan sosial ekonomi.
Ia menyatakan bahwa perubahan historis bukan hasil dari ide-ide abstrak,
melainkan dari konflik-konflik nyata dalam masyarakat, khususnya konflik kelas.4
Proses dialektika
dalam pemikiran Marx tidak bersifat linier, tetapi bersifat dinamis dan
kontradiktif: perubahan sosial terjadi melalui kontradiksi internal dalam
struktur masyarakat. Contohnya, dalam kapitalisme terdapat kontradiksi antara
produktivitas ekonomi yang tinggi dan distribusi kekayaan yang timpang; atau
antara kepemilikan pribadi atas alat produksi dan sifat kerja kolektif dalam
industri modern.5
Dengan pendekatan
ini, Marx memandang sejarah sebagai suatu proses yang bergerak melalui
tahapan-tahapan: komunalisme primitif, feodalisme, kapitalisme, sosialisme, dan
akhirnya komunisme. Setiap tahap mengandung benih kontradiksi yang akan
memunculkan sistem baru melalui perjuangan sosial.6
Secara keseluruhan,
dasar-dasar filsafat Marx merupakan upaya untuk memahami dan mengubah dunia
secara radikal. Seperti yang ia tegaskan dalam Theses on Feuerbach: “Para
filsuf hanya menafsirkan dunia dengan berbagai cara; yang penting adalah
mengubahnya.”_7 Maka dari itu, filsafat
Marx tidak sekadar bersifat teoritis, tetapi juga revolusioner—sebuah filsafat
praksis yang menyatu dengan perjuangan nyata dalam kehidupan sosial.
Footnotes
[1]
Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy,
trans. S.W. Ryazanskaya (Moscow: Progress Publishers, 1977), 20.
[2]
Ibid., 21–23.
[3]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, ed.
Gareth Stedman Jones (London: Penguin Books, 2002), 219.
[4]
Shlomo Avineri, The Social and Political Thought of Karl Marx
(Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 42–45.
[5]
David McLellan, Marxism After Marx (London: Macmillan, 1979),
15–18.
[6]
Terrell Carver, Marx (Cambridge: Polity Press, 2003), 31–33.
[7]
Karl Marx, “Theses on Feuerbach,” in The Marx-Engels Reader,
ed. Robert C. Tucker (New York: W.W. Norton & Company, 1978), 145.
4.
Kritik
terhadap Kapitalisme
Kritik Karl Marx
terhadap kapitalisme adalah salah satu kontribusi intelektualnya yang paling
mendalam dan berpengaruh. Dalam berbagai karyanya, terutama Das
Kapital, Marx mengupas secara sistematis bagaimana sistem
kapitalisme bekerja dan mengapa ia memandangnya sebagai sistem yang
eksploitatif, tidak adil, dan pada akhirnya mengandung benih kehancurannya
sendiri. Terdapat beberapa aspek kunci dari kritik Marx terhadap kapitalisme,
di antaranya konsep alienasi, eksploitasi
kelas pekerja, dan komodifikasi dalam relasi sosial.
4.1.
Alienasi
(Entfremdung)
Salah satu konsep
utama dalam kritik Marx terhadap kapitalisme adalah alienasi,
yaitu keterasingan manusia dari dirinya sendiri, pekerjaannya, dan sesamanya.
Dalam sistem kapitalis, buruh tidak memiliki kendali atas proses produksi
maupun hasil kerjanya. Mereka bekerja bukan karena ekspresi diri atau kebutuhan
kreatif, melainkan karena keterpaksaan ekonomi untuk bertahan hidup. Marx
menyatakan bahwa dalam sistem kapitalisme, “pekerja menjadi komoditas”
dan tidak lebih dari alat untuk menciptakan keuntungan bagi pemilik modal.1
Dalam Economic
and Philosophic Manuscripts of 1844, Marx mengidentifikasi empat
jenis alienasi: keterasingan dari produk kerja, dari proses kerja, dari hakikat
manusia, dan dari sesama manusia.2 Semua
bentuk alienasi ini adalah konsekuensi dari struktur produksi kapitalis di mana
buruh dipisahkan dari alat produksi dan dikendalikan oleh kekuatan eksternal
yang mengatur nilai tukar, bukan nilai guna atau kemanusiaan.
4.2.
Eksploitasi dan
Nilai Lebih (Surplus Value)
Dalam Das
Kapital, Marx mengembangkan konsep nilai lebih (Mehrwert)
sebagai inti dari eksploitasi kapitalis. Ia menyatakan bahwa buruh menciptakan
nilai yang lebih besar daripada nilai upah yang mereka terima. Selisih antara
nilai total yang dihasilkan buruh dan upah yang dibayarkan kepada mereka adalah
nilai lebih—yang kemudian menjadi keuntungan pemilik modal.3
Eksploitasi ini
tidak bersifat kasat mata karena terbungkus dalam hubungan “bebas”
antara buruh dan majikan. Namun, secara struktural, relasi ini sangat timpang
karena buruh tidak memiliki alat produksi dan terpaksa menjual tenaga kerjanya
sebagai satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Marx menyatakan bahwa “kapital
adalah kerja mati yang hidup dengan menyedot kerja hidup seperti vampir.”_4
4.3.
Komodifikasi
Kehidupan Sosial
Kapitalisme menurut
Marx bukan hanya sistem ekonomi, melainkan juga sistem sosial yang mengubah
segala sesuatu menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan, termasuk tenaga
kerja, waktu, bahkan relasi manusia. Dalam analisis Marx, fenomena ini disebut
sebagai fetishisme komoditas (commodity
fetishism), di mana hubungan antarmanusia dalam produksi digantikan
oleh hubungan antarbarang yang tampak seperti “alami”.5
Misalnya, nilai
suatu barang tampak berasal dari barang itu sendiri, padahal sebenarnya nilai itu
adalah hasil kerja manusia. Dengan demikian, kapitalisme menciptakan ilusi
seolah-olah hubungan sosial adalah hubungan antara benda, yang menutupi
kenyataan bahwa ada relasi kekuasaan dan eksploitasi di balik proses produksi.6
4.4.
Krisis dan
Kontradiksi Internal Kapitalisme
Menurut Marx,
kapitalisme mengandung kontradiksi internal yang pada akhirnya akan
menghancurkan sistem itu sendiri. Di satu sisi, kapitalisme mendorong kemajuan
teknologi dan produktivitas; namun di sisi lain, ia juga menciptakan konsentrasi
kekayaan di tangan segelintir orang, menciptakan ketimpangan sosial yang
ekstrem dan memperbesar jurang antara kelas pekerja dan pemilik modal.7
Kontradiksi ini
menyebabkan krisis overproduksi, di mana
sistem menghasilkan lebih banyak barang daripada yang bisa diserap pasar karena
keterbatasan daya beli buruh. Akibatnya, terjadi stagnasi ekonomi, pengangguran
massal, dan ketidakstabilan sosial—yang menurut Marx akan mengarah pada
kehancuran sistem kapitalis itu sendiri dan membuka jalan bagi revolusi sosial.8
Kesimpulan Sementara
Kritik Marx terhadap
kapitalisme bersifat struktural dan historis: ia tidak hanya mengkritik
ketimpangan dalam distribusi kekayaan, tetapi juga mengungkap logika dasar
sistem kapitalisme sebagai sistem yang menghasilkan ketimpangan itu secara
inheren. Pemikiran ini kemudian menjadi dasar bagi berbagai gerakan politik
kiri dan teori kritis dalam filsafat sosial dan ekonomi modern.
Footnotes
[1]
Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844,
trans. Martin Milligan (New York: International Publishers, 1964), 71–75.
[2]
Ibid., 66–77.
[3]
Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Volume I,
trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 300–315.
[4]
Ibid., 342.
[5]
Ibid., 163–167.
[6]
David Harvey, A Companion to Marx’s Capital (London: Verso,
2010), 38–41.
[7]
Ernest Mandel, An Introduction to Marxist Economic Theory (New
York: Pathfinder, 1979), 56–59.
[8]
Terry Eagleton, Why Marx Was Right (New Haven: Yale University
Press, 2011), 42–45.
5.
Konsep
Perjuangan Kelas dan Revolusi
Salah satu inti
utama dari teori sosial Karl Marx adalah konsep perjuangan kelas (class
struggle), yang ia anggap sebagai kekuatan pendorong utama dalam
sejarah umat manusia. Bagi Marx, sejarah bukanlah hasil dari kehendak individu
atau ide-ide besar semata, melainkan hasil dari konflik kepentingan antara
kelompok-kelompok sosial yang memiliki posisi berbeda dalam sistem produksi.
Dalam The
Communist Manifesto, Marx dan Engels secara tegas menyatakan:
"Sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga
saat ini adalah sejarah perjuangan kelas."_1
5.1.
Struktur Kelas dalam
Kapitalisme
Dalam masyarakat
kapitalis, Marx membagi struktur kelas secara fundamental menjadi dua: borjuis
dan proletar.
Kaum borjuis (bourgeoisie) adalah kelas yang memiliki alat produksi (tanah,
pabrik, modal), sedangkan kaum proletar adalah mereka yang tidak memiliki
apa-apa selain tenaga kerjanya, yang mereka jual kepada pemilik modal untuk
bertahan hidup.2
Marx memandang
relasi antara kedua kelas ini sebagai hubungan yang bersifat antagonistik.
Borjuis memperoleh keuntungan dari eksploitasi kerja proletar, sementara
proletar semakin teralienasi dan dimiskinkan oleh sistem yang secara struktural
menguntungkan pemilik modal. Dengan demikian, ketegangan antara kedua kelas ini
merupakan sumber utama dinamika sosial dalam kapitalisme.
5.2.
Kesadaran Kelas dan
Kesadaran Palsu
Agar perjuangan
kelas dapat menjadi kekuatan revolusioner yang nyata, kaum proletar perlu
memiliki kesadaran kelas (class
consciousness). Marx membedakan antara “kelas dalam dirinya”
(class in
itself) dan “kelas untuk dirinya” (class
for itself). Sebuah kelas baru memiliki potensi revolusioner ketika
ia menyadari posisi objektifnya dalam sistem produksi dan menyatukan diri dalam
perjuangan bersama.3
Namun, Marx juga
mengakui adanya kesadaran palsu (false
consciousness), yaitu kondisi di mana kelas pekerja menerima
ideologi dominan yang justru menutupi realitas eksploitasi yang mereka alami.
Ideologi ini diproduksi dan disebarkan melalui lembaga-lembaga seperti
pendidikan, agama, dan media yang dikendalikan oleh kelas dominan.4
5.3.
Revolusi Sebagai
Sarana Perubahan Sosial
Menurut Marx,
perubahan sosial yang sejati hanya bisa terjadi melalui revolusi
kelas pekerja yang menggulingkan sistem kapitalis. Revolusi
bukan sekadar pergantian penguasa, tetapi perubahan radikal terhadap struktur
ekonomi dan kepemilikan alat produksi. Marx menegaskan bahwa kaum proletar
adalah “penggali kubur” kapitalisme dan pada akhirnya akan membentuk
masyarakat tanpa kelas melalui penghapusan kepemilikan pribadi atas alat
produksi.5
Dalam The
Communist Manifesto, Marx dan Engels menyatakan bahwa proletariat,
sebagai kelas yang paling tertindas dan tidak memiliki kepentingan untuk
mempertahankan struktur lama, memiliki potensi untuk menjadi agen transformasi
sejarah:
“Kaum proletar
tidak memiliki apa-apa selain rantai untuk dilepaskan. Mereka punya dunia untuk
dimenangkan.”_6
Revolusi, menurut
Marx, akan melalui tahap-tahap tertentu: pertama, perebutan kekuasaan politik
oleh proletar (diktator proletariat), kemudian reorganisasi sistem produksi
secara kolektif, dan pada akhirnya menuju masyarakat komunis yang sepenuhnya
bebas dari kelas, negara, dan eksploitasi.
5.4.
Warisan dan
Relevansi Konsep Ini
Konsep perjuangan
kelas Marx memberikan kerangka teoretis bagi berbagai gerakan sosial di abad
ke-20, termasuk revolusi Rusia 1917, gerakan buruh di Eropa dan Amerika, serta
teori-teori Marxis dalam bidang sosiologi, politik, dan ekonomi. Meskipun
konteks dunia telah berubah dengan hadirnya kapitalisme global, fleksibilitas
kerja, dan transformasi teknologi, gagasan bahwa ketimpangan struktural menciptakan
ketegangan sosial tetap relevan untuk menganalisis berbagai ketidakadilan
kontemporer.7
Footnotes
[1]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, ed.
Gareth Stedman Jones (London: Penguin Books, 2002), 219.
[2]
David McLellan, Karl Marx: A Biography (London: Papermac,
1995), 347–349.
[3]
Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Volume I,
trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 989–990.
[4]
Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatuses,
in Lenin and Philosophy and Other Essays (New York: Monthly Review
Press, 1971), 127–186.
[5]
Shlomo Avineri, The Social and Political Thought of Karl Marx
(Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 180–183.
[6]
Marx and Engels, The Communist Manifesto, 244.
[7]
Erik Olin Wright, Class Counts: Comparative Studies in Class
Analysis (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 6–9.
6.
Gagasan
Masyarakat Tanpa Kelas
Gagasan tentang masyarakat
tanpa kelas merupakan tujuan akhir dalam proyek teoritis dan
praksis Karl Marx. Visi ini tidak hanya menjadi cita-cita politik, tetapi juga
menjadi bagian integral dari teori historis dan filosofis Marx mengenai
perkembangan masyarakat manusia. Dalam pandangannya, masyarakat tanpa kelas
adalah bentuk tertinggi dari evolusi sosial, di mana eksploitasi, alienasi, dan
penindasan struktural telah dihapus secara menyeluruh. Masyarakat semacam ini
akan terbentuk melalui perjuangan revolusioner kelas pekerja, yang
menggulingkan kapitalisme dan menggantinya dengan sistem komunal berbasis
produksi kolektif.
6.1.
Konsep Komunisme
dalam Pemikiran Marx
Marx menggambarkan
masyarakat tanpa kelas sebagai komunisme, yakni suatu tatanan
sosial di mana tidak ada lagi kepemilikan pribadi atas alat produksi, tidak ada
kelas-kelas sosial, dan tidak ada negara dalam bentuk represif seperti dalam
masyarakat borjuis. Dalam Critique of the Gotha Program
(1875), Marx merumuskan prinsip dasar komunisme dengan kalimat yang terkenal:
“Dari masing-masing menurut kemampuannya,
kepada masing-masing menurut kebutuhannya.”_1
Dalam masyarakat
semacam ini, manusia tidak lagi bekerja demi upah, melainkan demi pemenuhan
kebutuhan bersama dan pengembangan potensi diri secara utuh. Kerja tidak lagi
menjadi bentuk keterpaksaan ekonomis, melainkan sarana ekspresi diri dan
kontribusi terhadap masyarakat. Marx melihat bahwa komunisme akan memulihkan
esensi kemanusiaan yang tercerabut oleh sistem kapitalis.2
6.2.
Tahapan Menuju
Masyarakat Tanpa Kelas
Marx tidak
membayangkan transisi menuju komunisme terjadi secara instan. Ia mengakui
perlunya tahap peralihan, yaitu sosialisme
atau diktator
proletariat, di mana kelas pekerja mengambil alih kekuasaan
negara untuk menghancurkan struktur lama dan membangun fondasi baru bagi
masyarakat tanpa kelas.3
Dalam tahap ini,
alat produksi dimiliki secara kolektif, distribusi hasil produksi dilakukan
secara adil, dan peran negara bersifat sementara—hanya sebagai alat transisi
untuk memberantas sisa-sisa kelas lama. Ketika kontradiksi kelas sepenuhnya
dihapus, negara sebagai instrumen kekuasaan represif akan “menghilang dengan
sendirinya” (wither away), karena tidak ada lagi kelas yang perlu
ditekan atau dilindungi secara politik.4
6.3.
Ciri-ciri Masyarakat
Tanpa Kelas
Ciri-ciri masyarakat
tanpa kelas dalam kerangka Marxian antara lain:
·
Tidak
adanya kepemilikan pribadi atas alat produksi, semua dikelola
oleh komunitas atau kolektif.
·
Distribusi
berbasis kebutuhan, bukan berdasarkan kerja atau kontribusi
individual.
·
Penghapusan
pembagian kerja yang memisahkan antara kerja manual dan kerja intelektual,
sehingga manusia dapat mengembangkan seluruh potensi dirinya.
·
Tidak
adanya negara sebagai instrumen penindas, karena hilangnya
kontradiksi kelas membuat kekuasaan koersif tak lagi diperlukan.
·
Relasi
sosial yang bersifat kooperatif, bukan kompetitif seperti dalam
kapitalisme.5
Marx memandang bahwa
masyarakat komunis tidak hanya lebih adil secara ekonomi, tetapi juga
memungkinkan pembentukan “manusia seutuhnya” (the
fully developed human being) yang tidak teralienasi dari aktivitas
hidupnya dan sesama manusia.
6.4.
Kritik terhadap
Utopianisme dan Respons Marx
Berbeda dengan
sosialisme utopis yang digagas tokoh seperti Charles Fourier atau Robert Owen,
Marx menolak merancang model detail masyarakat masa depan. Ia menekankan bahwa komunisme
bukan ideal normatif yang direkayasa secara imajinatif, tetapi
hasil dari kondisi material dan perjuangan historis konkret. Oleh karena itu,
Marx menyebut pendekatannya sebagai sosialisme ilmiah, yang
bertumpu pada analisis ekonomi dan dinamika sejarah yang objektif.6
6.5.
Relevansi Gagasan
Ini dalam Dunia Kontemporer
Meskipun proyek
komunisme dalam bentuk negara-negara seperti Uni Soviet dan RRT menghadapi
kritik keras atas praktik otoriter dan kegagalan ekonominya, gagasan Marx
tentang masyarakat tanpa kelas tetap hidup sebagai visi normatif yang menantang
ketimpangan global. Dalam konteks neoliberalisme, krisis ekologi, dan
ketimpangan digital, pemikiran Marx tentang distribusi adil dan kepemilikan
kolektif atas sumber daya kembali menarik perhatian sebagai alternatif terhadap
kapitalisme yang dianggap destruktif.7
Footnotes
[1]
Karl Marx, Critique of the Gotha Program, in The
Marx-Engels Reader, ed. Robert C. Tucker (New York: W.W. Norton &
Company, 1978), 531.
[2]
Shlomo Avineri, The Social and Political Thought of Karl Marx
(Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 225–227.
[3]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, ed.
Gareth Stedman Jones (London: Penguin Books, 2002), 247.
[4]
Friedrich Engels, Anti-Dühring, trans. Emile Burns (Moscow:
Progress Publishers, 1978), 303–306.
[5]
Terry Eagleton, Why Marx Was Right (New Haven: Yale University
Press, 2011), 155–159.
[6]
Hal Draper, Karl Marx’s Theory of Revolution, Volume 1: State and
Bureaucracy (New York: Monthly Review Press, 1977), 79–83.
[7]
Erik Olin Wright, Envisioning Real Utopias (London: Verso,
2010), 3–7.
7.
Pengaruh
dan Relevansi Pemikiran Karl Marx
Pemikiran Karl Marx
memiliki pengaruh yang sangat luas, melintasi batas-batas disiplin ilmu dan
praktik politik. Meskipun ia hidup pada abad ke-19, ide-idenya tentang
kapitalisme, kelas, alienasi, dan perjuangan sosial tetap menjadi referensi
penting dalam pemikiran kontemporer. Pengaruh Marx menjalar ke berbagai bidang
seperti sosiologi, filsafat, ekonomi, ilmu politik, antropologi, bahkan studi
budaya dan sastra. Selain itu, pemikirannya juga menjadi dasar ideologis bagi
berbagai gerakan politik revolusioner dan reformis sepanjang abad ke-20 hingga
kini.
7.1.
Pengaruh dalam Ilmu
Sosial dan Humaniora
Dalam ranah
akademik, Marx diakui sebagai salah satu "bapak pendiri"
sosiologi modern, sejajar dengan Emile Durkheim dan Max Weber. Analisisnya
terhadap struktur kelas, relasi produksi, dan kesadaran sosial menjadi landasan
bagi teori-teori struktural dan konflik dalam sosiologi kontemporer.1
Pemikirannya juga mendorong lahirnya Teori Kritis melalui Mazhab
Frankfurt, yang menggabungkan analisis Marxian dengan psikologi, budaya, dan
estetika dalam rangka mengkritik ideologi dan dominasi dalam masyarakat modern.2
Dalam filsafat,
pengaruh Marx tampak dalam pemikiran eksistensialis (seperti Jean-Paul Sartre),
strukturalis (Louis Althusser), hingga postmodernisme kiri (Fredric Jameson).
Marx juga memengaruhi perkembangan teori poskolonial, terutama dalam wacana
mengenai imperialisme dan ketimpangan global.3
7.2.
Pengaruh dalam
Gerakan Politik dan Sosial
Secara politik,
pemikiran Marx menjadi fondasi bagi berbagai ideologi dan gerakan kiri seperti sosialisme,
komunisme,
dan marxisme-leninisme.
Revolusi Rusia 1917 yang dipimpin oleh Vladimir Lenin mengklaim sebagai
realisasi teori Marx dalam praktik, meskipun banyak penafsir menilai bahwa
penerapan di bawah rezim Soviet menyimpang dari ajaran Marx yang asli.4
Di negara-negara
Dunia Ketiga, gagasan Marx digunakan sebagai alat untuk menganalisis dan
melawan penjajahan serta ketimpangan struktural. Pemimpin seperti Mao Zedong di
Tiongkok dan Fidel Castro di Kuba mengadopsi pendekatan Marxian untuk membentuk
sistem pemerintahan dan ekonomi alternatif terhadap kapitalisme Barat.5
Gerakan buruh internasional juga banyak mengacu pada prinsip-prinsip Marx untuk
menuntut hak-hak ekonomi, jaminan sosial, dan keadilan distribusi.
7.3.
Relevansi dalam
Konteks Kontemporer
Meskipun komunisme
sebagai sistem negara menghadapi kritik dan kemunduran pasca-Perang Dingin,
relevansi pemikiran Marx justru kembali mengemuka pada era globalisasi dan
kapitalisme digital. Ketimpangan ekonomi yang semakin tajam, monopoli korporasi
teknologi, eksploitasi tenaga kerja gig economy, serta krisis ekologis menjadi
titik-titik perhatian yang dianalisis ulang dengan pendekatan Marxian.
Studi oleh ekonom
seperti Thomas Piketty menunjukkan
bahwa distribusi kekayaan dalam kapitalisme cenderung terkonsentrasi di tangan
minoritas—sebuah analisis yang menguatkan tesis Marx tentang akumulasi modal
dan krisis sistemik kapitalisme.6 Di sisi lain, gerakan
sosial kontemporer seperti Occupy Wall Street, gerakan buruh digital, dan
aktivisme iklim juga menggunakan kerangka Marxian untuk mengkritik ketimpangan
struktural dan sistem ekonomi global yang eksploitatif.7
7.4.
Kritik dan Penilaian
Ulang terhadap Warisan Marx
Tentu, pemikiran
Marx tidak lepas dari kritik. Beberapa kalangan menilai bahwa gagasannya
terlalu deterministik secara ekonomi, mengabaikan kompleksitas budaya, gender,
dan etnis dalam struktur masyarakat. Kritik juga ditujukan pada gagasan “negara
proletariat” yang dalam praktik sering menjadi bentuk otoritarianisme.
Meski demikian, penilaian ulang terhadap Marx dalam beberapa dekade terakhir
menunjukkan bahwa banyak aspek pemikirannya tetap memiliki daya analisis yang
tajam terhadap dinamika kapitalisme modern.8
Kesimpulan Sementara
Warisan Marx jauh
melampaui batas-batas ideologi tertentu. Ia bukan hanya tokoh revolusi, tetapi
juga seorang pemikir kritis yang membuka ruang bagi analisis struktural
terhadap masyarakat. Gagasan Marx tetap relevan bukan karena ia memberikan “jawaban
akhir”, tetapi karena ia menyediakan alat analisis yang kuat untuk
memahami dan mengkritik ketimpangan serta mendorong perubahan sosial yang lebih
adil.
Footnotes
[1]
Anthony Giddens, Capitalism and Modern Social Theory: An Analysis
of the Writings of Marx, Durkheim and Max Weber (Cambridge: Cambridge
University Press, 1971), 1–3.
[2]
Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment,
trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), x–xii.
[3]
Edward W. Said, Culture and Imperialism (New York: Vintage
Books, 1993), 256–259.
[4]
Stephen A. Resnick and Richard D. Wolff, New Departures in Marxian
Theory (New York: Routledge, 2006), 74–77.
[5]
Robert J.C. Young, Postcolonialism: An Historical Introduction
(Oxford: Blackwell, 2001), 328–331.
[6]
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, trans.
Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 1–20.
[7]
Nancy Fraser, The Old Is Dying and the New Cannot Be Born: From
Progressive Neoliberalism to Trump and Beyond (London: Verso, 2019),
10–13.
[8]
Alex Callinicos, The Revolutionary Ideas of Karl Marx (London:
Bookmarks, 2010), 165–169.
8.
Kritik
terhadap Pemikiran Marx
Meskipun pemikiran
Karl Marx telah memberikan pengaruh besar dalam sejarah intelektual dan politik
modern, banyak pula kritik yang dilontarkan terhadap aspek-aspek fundamental
dari teorinya. Kritik terhadap Marx datang dari berbagai perspektif—baik dari
kalangan liberal, konservatif, maupun sesama pemikir kiri yang mencoba merevisi
atau menanggapi ulang pemikirannya dalam konteks kontemporer. Kritik-kritik
tersebut mencakup aspek metodologis, prediksi historis, implikasi politik,
serta etika dari visi masyarakat tanpa kelas.
8.1.
Kritik terhadap
Determinisme Ekonomis
Salah satu kritik
paling umum terhadap Marx adalah determinisme ekonomis dalam
pendekatannya terhadap sejarah. Marx menekankan bahwa perkembangan sejarah
ditentukan oleh kondisi material dan hubungan produksi, yang dianggap terlalu
menyederhanakan realitas sosial dan mengabaikan faktor-faktor lain seperti
budaya, agama, gender, dan psikologi.1 Max
Weber, misalnya, dalam karyanya The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism, menunjukkan bahwa nilai-nilai religius juga dapat
memainkan peran penting dalam membentuk struktur ekonomi.2
Kritikus lain
menilai bahwa struktur “basis dan superstruktur” Marx terlalu kaku,
sehingga cenderung mengabaikan dinamika kompleks yang bekerja secara timbal
balik antara ekonomi dan kesadaran sosial. Oleh karena itu, banyak teori sosial
kontemporer yang mengusulkan pendekatan yang lebih multidimensi, seperti dalam
teori structuration
oleh Anthony Giddens yang menekankan interaksi antara agen dan struktur.3
8.2.
Kegagalan Prediksi
Sejarah
Marx meramalkan
bahwa kapitalisme akan runtuh akibat krisis internal dan digantikan oleh
sosialisme melalui revolusi proletariat global. Namun, sejarah menunjukkan
bahwa kapitalisme tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang dan beradaptasi
melalui reformasi sosial, teknologi, dan ekspansi global. Sebaliknya, revolusi
proletariat seperti yang terjadi di Rusia, Tiongkok, dan tempat lain tidak
terjadi di negara-negara industri maju seperti yang diprediksi Marx, tetapi di
negara-negara dengan struktur feodal dan ekonomi agraris.4
Selain itu, kelas
pekerja dalam masyarakat kapitalis modern tidak menjadi semakin miskin seperti
yang dikemukakan dalam teori peluruhan proletariat (immiseration
thesis), tetapi dalam banyak kasus mengalami peningkatan standar
hidup akibat reformasi sosial, serikat pekerja, dan negara kesejahteraan.5
8.3.
Kritik terhadap Implementasi
Politik Marxisme
Kritik besar
terhadap Marx sering diarahkan pada bagaimana pemikirannya diimplementasikan
dalam bentuk negara—khususnya dalam rezim komunis seperti Uni Soviet di bawah
Stalin, Cina di bawah Mao Zedong, dan Korea Utara. Rezim-rezim ini, meskipun
mengklaim sebagai perwujudan ajaran Marx, ditandai oleh otoritarianisme,
pelanggaran HAM, ekonomi yang tidak efisien, dan kultus individu.
Sebagian kritikus
menyatakan bahwa kegagalan-kegagalan ini adalah konsekuensi logis dari teori Marx,
yang mengedepankan penghapusan kepemilikan pribadi dan kontrol negara atas
ekonomi. Friedrich Hayek dalam The Road to Serfdom berargumen
bahwa perencanaan ekonomi terpusat seperti yang disarankan oleh marxisme
niscaya akan mengarah pada penindasan politik dan hilangnya kebebasan individu.6
Namun, pendukung Marx membedakan antara ajaran asli Marx dan penyimpangan oleh
rezim totaliter yang mengklaim berbicara atas namanya.
8.4.
Kritik dari
Perspektif Etika dan Utopianisme
Gagasan Marx tentang
masyarakat tanpa kelas juga dikritik sebagai utopis dan tidak realistis.
Kritikus berpendapat bahwa penghapusan kelas sosial dan kepemilikan pribadi
tidak hanya sulit dicapai, tetapi juga bertentangan dengan sifat dasar manusia
yang memiliki dorongan kepemilikan, ambisi, dan diferensiasi sosial.7
Lebih jauh, sistem
distribusi “menurut kebutuhan” seperti yang diajukan Marx dianggap rawan
disalahgunakan dan sulit diimplementasikan secara adil tanpa menciptakan
birokrasi yang represif. Selain itu, absennya insentif individu dalam
masyarakat komunal dianggap dapat menurunkan produktivitas dan kreativitas
manusia.8
8.5.
Respons Marxis
Kontemporer terhadap Kritik
Sebagai respons
terhadap kritik-kritik tersebut, banyak pemikir Marxis kontemporer berusaha
merevisi dan memperbarui pemikiran Marx. Misalnya, Erik
Olin Wright mengembangkan model real utopias sebagai pendekatan
praktis untuk menciptakan bentuk-bentuk sosial alternatif yang lebih demokratis
dan egaliter dalam konteks dunia modern tanpa meniru model negara komunis
otoriter.9
Demikian pula, David
Harvey dan Nancy Fraser merevitalisasi
teori Marx untuk menjelaskan krisis kapitalisme kontemporer, termasuk
ketimpangan global, neoliberalisme, dan kerusakan ekologi, dengan pendekatan
yang lebih terbuka terhadap pluralitas faktor sosial dan identitas.10
Kesimpulan Sementara
Kritik terhadap Marx
tidak meniadakan kontribusinya yang besar dalam pemikiran sosial dan politik.
Justru, banyak kritik tersebut mendorong pembacaan ulang terhadap Marx dan
memunculkan pendekatan baru dalam memahami dinamika kapitalisme dan perjuangan
sosial. Pemikiran Marx tetap relevan, bukan sebagai dogma, tetapi sebagai
kerangka kritis yang terus berkembang dan beradaptasi dengan tantangan zaman.
Footnotes
[1]
Jon Elster, Making Sense of Marx (Cambridge: Cambridge
University Press, 1985), 5–7.
[2]
Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism,
trans. Talcott Parsons (New York: Scribner, 1958), 35–37.
[3]
Anthony Giddens, The Constitution of Society: Outline of the Theory
of Structuration (Berkeley: University of California Press, 1984), 1–10.
[4]
Leszek Kołakowski, Main Currents of Marxism: Its Rise, Growth and
Dissolution, vol. 1 (Oxford: Clarendon Press, 1978), 301–305.
[5]
Robert Heilbroner, Marxism: For and Against (New York: W.W.
Norton & Company, 1980), 92–94.
[6]
Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom (Chicago: University
of Chicago Press, 1944), 67–70.
[7]
Karl Popper, The Open Society and Its Enemies, vol. 2 (London:
Routledge, 1945), 134–136.
[8]
Raymond Aron, The Opium of the Intellectuals, trans. Terence
Kilmartin (New York: W.W. Norton & Company, 1962), 91–93.
[9]
Erik Olin Wright, Envisioning Real Utopias (London: Verso,
2010), 10–15.
[10]
David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford
University Press, 2005), 156–160; Nancy Fraser, The Old Is Dying and the
New Cannot Be Born (London: Verso, 2019), 19–22.
9.
Kesimpulan
Karl Marx adalah
seorang pemikir yang telah meninggalkan warisan intelektual yang luar biasa
dalam sejarah filsafat, ilmu sosial, dan gerakan politik modern. Melalui
analisis tajam terhadap kapitalisme, Marx menyajikan kerangka berpikir radikal
yang berangkat dari materialisme historis dan dialektika
materialis, menempatkan relasi produksi dan perjuangan kelas
sebagai inti dari dinamika sejarah manusia.1 Ia tidak sekadar
menawarkan kritik moral terhadap ketimpangan ekonomi, tetapi membangun sebuah
teori ilmiah mengenai struktur masyarakat dan mekanisme perubahan sosial.
Kritik Marx terhadap
kapitalisme menyoroti bagaimana sistem ini menciptakan alienasi,
eksploitasi,
dan komodifikasi
dalam kehidupan manusia sehari-hari. Ia menunjukkan bahwa relasi sosial dalam
kapitalisme tidak bersifat netral, melainkan dibangun atas dasar dominasi kelas
yang terstruktur secara ekonomi.2 Dalam konteks ini, Marx
memproyeksikan lahirnya revolusi proletariat yang akan mengakhiri sistem
kapitalis dan membuka jalan menuju masyarakat tanpa kelas, yakni
komunisme, sebagai bentuk tertinggi dari kebebasan dan kesetaraan manusia.3
Pengaruh pemikiran
Marx sangat luas, baik dalam teori maupun praktik. Ia menginspirasi berbagai
gerakan sosial dan revolusi di abad ke-20, serta menjadi fondasi bagi disiplin
akademik seperti sosiologi kritis, ekonomi politik, studi budaya, dan teori
poskolonial. Meski banyak ramalannya tidak terbukti secara harfiah, relevansi
kritik Marx terhadap kapitalisme justru semakin terasa dalam dunia yang
diwarnai ketimpangan global, krisis ekologis, dan hegemoni pasar bebas.4
Namun demikian,
pemikiran Marx juga mengundang banyak kritik. Sebagian menilai pendekatannya
terlalu reduksionis dan mengabaikan kompleksitas budaya, psikologis, dan etika
dalam masyarakat manusia. Implementasi politik atas nama Marxisme juga sering
berujung pada rezim otoriter yang menyimpang dari visi emansipatoris Marx.5
Kritik-kritik ini mendorong para pemikir Marxis kontemporer untuk merevisi dan
memperkaya teori Marx dengan pendekatan yang lebih plural dan kontekstual,
sebagaimana dilakukan oleh tokoh-tokoh seperti Erik Olin Wright, Nancy Fraser,
dan David Harvey.6
Secara keseluruhan,
pemikiran Karl Marx tetap menjadi alat kritik yang kuat dan relevan
untuk memahami dunia modern. Ia tidak memberikan resep final, melainkan
menawarkan kerangka analitis dan etika transformasional
untuk menilai dan mengubah kondisi sosial yang tidak adil. Seperti yang ia
tegaskan dalam Theses on Feuerbach, tujuan utama
filsafat bukanlah sekadar menafsirkan dunia, tetapi mengubahnya.7
Footnotes
[1]
Shlomo Avineri, The Social and Political Thought of Karl Marx
(Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 41–44.
[2]
Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844,
trans. Martin Milligan (New York: International Publishers, 1964), 66–75.
[3]
Karl Marx, Critique of the Gotha Program, in The
Marx-Engels Reader, ed. Robert C. Tucker (New York: W.W. Norton &
Company, 1978), 531.
[4]
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, trans.
Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 1–10.
[5]
Karl Popper, The Open Society and Its Enemies, vol. 2 (London:
Routledge, 1945), 135–138.
[6]
Erik Olin Wright, Envisioning Real Utopias (London: Verso,
2010), 1–5; Nancy Fraser, Fortunes of Feminism (London: Verso, 2013),
210–215; David Harvey, The Limits to Capital (London: Verso, 2006),
6–8.
[7]
Karl Marx, “Theses on Feuerbach,” in The Marx-Engels Reader,
ed. Robert C. Tucker (New York: W.W. Norton & Company, 1978), 145.
Daftar Pustaka
Althusser, L. (1971). Lenin and philosophy and
other essays (B. Brewster, Trans.). Monthly Review Press.
Aron, R. (1962). The opium of the intellectuals
(T. Kilmartin, Trans.). W. W. Norton & Company.
Avineri, S. (1968). The social and political
thought of Karl Marx. Cambridge University Press.
Berlin, I. (1963). Karl Marx: His life and
environment. Oxford University Press.
Callinicos, A. (2010). The revolutionary ideas
of Karl Marx. Bookmarks.
Draper, H. (1977). Karl Marx’s theory of
revolution: Vol. 1. State and bureaucracy. Monthly Review Press.
Eagleton, T. (2011). Why Marx was right.
Yale University Press.
Engels, F. (1978). Anti-Dühring (E. Burns,
Trans.). Progress Publishers.
Fraser, N. (2013). Fortunes of feminism: From
state-managed capitalism to neoliberal crisis. Verso.
Fraser, N. (2019). The old is dying and the new
cannot be born: From progressive neoliberalism to Trump and beyond. Verso.
Giddens, A. (1971). Capitalism and modern social
theory: An analysis of the writings of Marx, Durkheim and Max Weber.
Cambridge University Press.
Giddens, A. (1984). The constitution of society:
Outline of the theory of structuration. University of California Press.
Harvey, D. (2005). A brief history of
neoliberalism. Oxford University Press.
Harvey, D. (2006). The limits to capital.
Verso.
Harvey, D. (2010). A companion to Marx’s Capital.
Verso.
Hayek, F. A. (1944). The road to serfdom.
University of Chicago Press.
Heilbroner, R. (1980). Marxism: For and against.
W. W. Norton & Company.
Horkheimer, M., & Adorno, T. W. (2002). Dialectic
of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press.
Kołakowski, L. (1978). Main currents of Marxism:
Its rise, growth and dissolution (Vol. 1). Clarendon Press.
Marx, K. (1964). Economic and philosophic
manuscripts of 1844 (M. Milligan, Trans.). International Publishers.
Marx, K. (1977). A contribution to the critique
of political economy (S. W. Ryazanskaya, Trans.). Progress Publishers.
Marx, K. (1990). Capital: A critique of
political economy: Volume I (B. Fowkes, Trans.). Penguin Books.
Marx, K. (2002). The Communist manifesto (G.
S. Jones, Ed.). Penguin Books.
Marx, K., & Engels, F. (1978). The Marx-Engels
reader (R. C. Tucker, Ed., 2nd ed.). W. W. Norton & Company.
McLellan, D. (1995). Karl Marx: A biography
(Rev. ed.). Papermac.
McLellan, D. (1979). Marxism after Marx.
Macmillan.
Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first
century (A. Goldhammer, Trans.). Harvard University Press.
Popper, K. (1945). The open society and its
enemies: Vol. 2. The high tide of prophecy: Hegel, Marx and the aftermath.
Routledge.
Resnick, S. A., & Wolff, R. D. (2006). New
departures in Marxian theory. Routledge.
Said, E. W. (1993). Culture and imperialism.
Vintage Books.
Weber, M. (1958). The Protestant ethic and the
spirit of capitalism (T. Parsons, Trans.). Scribner.
Wheen, F. (2000). Karl Marx: A life. W. W.
Norton & Company.
Wright, E. O. (1997). Class counts: Comparative
studies in class analysis. Cambridge University Press.
Wright, E. O. (2010). Envisioning real utopias.
Verso.
Young, R. J. C. (2001). Postcolonialism: An
historical introduction. Blackwell.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar