Sabtu, 12 April 2025

Pemikiran Karl Marx: Kritik Kapitalisme dan Gagasan Masyarakat Tanpa Kelas

Pemikiran Karl Marx

Kritik Kapitalisme dan Gagasan Masyarakat Tanpa Kelas


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat.

Marxisme–Leninisme, Pemikiran Vladimir Lenin.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif pemikiran Karl Marx, seorang filsuf dan teoritikus sosial terkemuka abad ke-19 yang memberikan kontribusi besar dalam memahami dinamika sosial, ekonomi, dan politik modern. Fokus utama artikel ini adalah penjabaran terhadap dasar-dasar filsafat Marx, kritiknya terhadap kapitalisme, konsep perjuangan kelas, serta visi idealnya mengenai masyarakat tanpa kelas (komunisme). Melalui pendekatan materialisme historis dan dialektika materialis, Marx menjelaskan bahwa perubahan sosial didorong oleh konflik kelas yang berakar pada struktur ekonomi masyarakat. Kapitalisme dikritik karena menciptakan alienasi, eksploitasi tenaga kerja, dan ketimpangan struktural yang bersifat sistemik. Marx menawarkan komunisme sebagai alternatif, yaitu sistem sosial yang menghapus kepemilikan pribadi atas alat produksi dan membangun distribusi berbasis kebutuhan. Artikel ini juga membahas pengaruh Marx dalam ilmu sosial dan gerakan politik global, serta menghadirkan berbagai kritik terhadap pendekatannya, baik dari sisi teoretis maupun historis. Melalui sintesis dari literatur akademik dan referensi primer, artikel ini menekankan bahwa pemikiran Marx tetap relevan sebagai alat analisis kritis terhadap berbagai ketimpangan dalam masyarakat kontemporer.

Kata Kunci: Karl Marx, kapitalisme, komunisme, materialisme historis, perjuangan kelas, masyarakat tanpa kelas, teori sosial kritis, marxisme.


PEMBAHASAN

Telaah Kritis atas Pemikiran Karl Marx


1.           Pendahuluan

Karl Marx (1818–1883) merupakan salah satu filsuf dan teoritikus sosial paling berpengaruh dalam sejarah modern. Pemikirannya telah menjadi fondasi bagi banyak gerakan politik dan ekonomi, serta turut membentuk arah perdebatan intelektual sepanjang abad ke-19 hingga kontemporer. Di tengah dinamika kapitalisme global dan krisis sosial-ekonomi yang terus terjadi, pemikiran Marx kembali mendapatkan perhatian dalam diskursus akademik dan aktivisme politik. Marx tidak hanya dikenal sebagai pendiri teori komunisme ilmiah, tetapi juga sebagai kritikus tajam terhadap sistem kapitalisme yang menurutnya menghasilkan ketimpangan sosial, alienasi manusia, dan eksploitasi kelas pekerja.1

Pemikiran Marx sangat kompleks karena merupakan sintesis dari berbagai tradisi intelektual: filsafat Jerman, sosialisme Prancis, dan ekonomi politik Inggris.2 Ia banyak dipengaruhi oleh filsafat dialektika Hegel, namun menolak idealisme Hegelian dan menggantinya dengan pendekatan materialis, yang kemudian dikenal sebagai materialisme historis. Dengan pendekatan ini, Marx memandang bahwa sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas, di mana struktur ekonomi menentukan bentuk kehidupan sosial, politik, dan ideologi.3

Salah satu kontribusi utama Marx adalah kritiknya terhadap kapitalisme. Dalam karya monumentalnya, Das Kapital, Marx menjelaskan bagaimana sistem kapitalisme bekerja melalui akumulasi modal, eksploitasi tenaga kerja, dan produksi komoditas untuk keuntungan. Ia memperkenalkan konsep nilai lebih (surplus value) sebagai inti dari eksploitasi kapitalis, di mana buruh menciptakan nilai yang lebih besar dari upah yang mereka terima, dan kelebihan itu diserap oleh pemilik modal.4 Selain itu, Marx juga mengangkat konsep alienasi, yakni keterasingan manusia dari hasil kerjanya, dari proses kerja itu sendiri, dari sesama manusia, bahkan dari potensi kemanusiaannya sendiri dalam sistem produksi kapitalis.5

Melalui analisis tersebut, Marx tidak hanya menawarkan kritik, tetapi juga alternatif visi sosial yang dikenal sebagai komunisme: sebuah masyarakat tanpa kelas, tanpa kepemilikan pribadi atas alat produksi, dan diatur berdasarkan prinsip “dari masing-masing menurut kemampuannya, kepada masing-masing menurut kebutuhannya.”_6 Walaupun implementasi historis dari gagasan Marx dalam bentuk negara-negara sosialis mengalami banyak tantangan dan kritik, namun pemikirannya tetap relevan sebagai lensa untuk menganalisis ketimpangan dan krisis dalam masyarakat modern.

Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menelusuri pokok-pokok pemikiran Karl Marx secara komprehensif, mulai dari landasan filosofis hingga kritik terhadap kapitalisme dan gagasan tentang masyarakat ideal. Pendekatan ini bertujuan tidak hanya untuk memahami pemikiran Marx secara teoritis, tetapi juga untuk menilai kontribusinya dalam konteks sosial kontemporer.


Footnotes

[1]                Terrell Carver, Marx (Cambridge: Polity Press, 2003), 1–3.

[2]                David McLellan, Karl Marx: A Biography (London: Papermac, 1995), 55–58.

[3]                Robert C. Tucker, ed., The Marx-Engels Reader, 2nd ed. (New York: W.W. Norton & Company, 1978), xx.

[4]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Volume I, trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 320–330.

[5]                Karl Marx, “Estranged Labour,” in Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, ed. Dirk J. Struik (New York: International Publishers, 1964), 70–81.

[6]                Karl Marx, “Critique of the Gotha Program,” in The Marx-Engels Reader, ed. Robert C. Tucker (New York: W.W. Norton & Company, 1978), 531.


2.           Biografi Singkat Karl Marx

Karl Marx lahir pada tanggal 5 Mei 1818 di Trier, sebuah kota kecil di wilayah Rheinland, Jerman (saat itu bagian dari Kekaisaran Prusia). Ia berasal dari keluarga Yahudi yang kemudian berpindah agama menjadi Protestan untuk menghindari diskriminasi sosial dan pembatasan hukum yang berlaku di bawah pemerintahan Prusia saat itu.1 Ayahnya, Heinrich Marx, adalah seorang pengacara yang menganut nilai-nilai liberal dan Rasionalisme ala Pencerahan, yang banyak memengaruhi pola pikir muda Karl sejak dini.2

Marx menempuh pendidikan tinggi di Universitas Bonn dan kemudian melanjutkan ke Universitas Berlin, tempat ia mendalami filsafat, khususnya ajaran Hegelian. Di Berlin, Marx bergabung dengan kelompok “Hegelian Kiri”, sebuah komunitas intelektual yang mengkritik agama dan institusi negara dengan menggunakan metode dialektika Hegelian namun dalam arah yang lebih radikal dan materialis.3 Pada tahun 1841, ia meraih gelar doktor dalam bidang filsafat dengan disertasi bertajuk The Difference Between the Democritean and Epicurean Philosophy of Nature—sebuah kajian mendalam tentang filsafat alam kuno, yang menunjukkan minat awal Marx terhadap hubungan antara teori dan realitas material.4

Setelah gagal memperoleh posisi akademik karena pandangan politiknya yang kontroversial, Marx beralih menjadi jurnalis dan penulis. Ia menjadi editor Rheinische Zeitung, sebuah surat kabar liberal di Köln, namun koran tersebut segera ditutup oleh pemerintah karena artikel-artikelnya yang dianggap terlalu radikal.5 Pada tahun 1843, Marx menikahi Jenny von Westphalen, kekasih masa kecilnya dari keluarga bangsawan, dan kemudian pindah ke Paris, tempat ia bertemu dengan Friedrich Engels—pertemuan yang akan mengubah arah pemikirannya secara mendalam.

Engels, yang juga seorang pemikir dan aktivis revolusioner, memperkenalkan Marx pada realitas kelas pekerja industri serta konsep-konsep ekonomi politik Inggris. Kolaborasi mereka menghasilkan karya penting The Communist Manifesto pada tahun 1848, yang menjadi salah satu dokumen politik paling berpengaruh dalam sejarah modern.6 Keduanya terus bekerja sama sepanjang hidup Marx, dengan Engels memberikan dukungan finansial dan intelektual yang sangat besar dalam penyusunan karya Das Kapital, magnum opus Marx yang membahas struktur dan dinamika sistem kapitalisme secara mendalam.7

Setelah serangkaian pengusiran dari beberapa negara karena aktivitas politiknya, Marx akhirnya menetap di London pada tahun 1849 dan menghabiskan sisa hidupnya di sana hingga wafat pada 14 Maret 1883. Di London, ia hidup dalam kondisi finansial yang sulit, namun tetap produktif menulis dan melakukan riset ekonomi. Meskipun sebagian besar pemikirannya tidak banyak diakui selama masa hidupnya, warisan intelektualnya kemudian menjelma menjadi gerakan besar yang memengaruhi revolusi politik di berbagai negara pada abad ke-20.8


Footnotes

[1]                David McLellan, Karl Marx: A Biography (London: Papermac, 1995), 3–4.

[2]                Isaiah Berlin, Karl Marx: His Life and Environment (New York: Oxford University Press, 1963), 14–16.

[3]                Shlomo Avineri, The Social and Political Thought of Karl Marx (Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 13–15.

[4]                Karl Marx, Doctoral Dissertation: The Difference Between the Democritean and Epicurean Philosophy of Nature, trans. M. Mugge (Berlin: 1841).

[5]                Francis Wheen, Karl Marx: A Life (New York: W.W. Norton & Company, 2000), 59–62.

[6]                Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, ed. Gareth Stedman Jones (London: Penguin Books, 2002), x–xii.

[7]                Terrell Carver, Marx (Cambridge: Polity Press, 2003), 23–25.

[8]                Eric Hobsbawm, How to Change the World: Reflections on Marx and Marxism (New Haven: Yale University Press, 2011), 45–49.


3.           Dasar-dasar Filsafat Karl Marx

Filsafat Karl Marx merupakan hasil sintesis dari berbagai aliran pemikiran yang berkembang pada abad ke-19, terutama filsafat idealisme Jerman, sosialisme Prancis, dan ekonomi politik Inggris. Di antara berbagai dasar pemikiran tersebut, dua pilar utama yang membentuk kerangka filsafat Marx adalah materialisme historis dan dialektika materialis. Kedua konsep ini membentuk fondasi teoretis untuk kritik Marx terhadap kapitalisme dan penjelasan tentang dinamika perubahan sosial dalam sejarah umat manusia.

3.1.       Materialisme Historis (Historical Materialism)

Materialisme historis adalah pendekatan Marx dalam memahami perkembangan sejarah manusia berdasarkan kondisi material dan ekonomi sebagai faktor penentu utama. Berbeda dari pendekatan idealis Hegel yang memandang bahwa ide atau kesadaran adalah kekuatan pendorong sejarah, Marx membalikkan tesis tersebut dan menyatakan bahwa "bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaannya, tetapi keberadaan sosialnya yang menentukan kesadarannya."_1 Artinya, struktur ekonomi dan hubungan produksi dalam suatu masyarakat menentukan bentuk kesadaran sosial, budaya, dan politik.

Dalam Preface to A Contribution to the Critique of Political Economy (1859), Marx menyatakan bahwa setiap masyarakat dibangun atas dasar “basis” (struktur ekonomi: hubungan produksi dan kekuatan produksi) dan “superstruktur” (ideologi, hukum, agama, politik). Perubahan dalam kekuatan produksi akan memunculkan kontradiksi dengan hubungan produksi yang lama, dan kontradiksi ini menjadi sumber dari perubahan sosial dan revolusi.2

Materialisme historis juga menekankan pentingnya perjuangan kelas sebagai motor penggerak sejarah. Marx menyatakan bahwa “sejarah semua masyarakat hingga kini adalah sejarah perjuangan kelas,” yaitu konflik antara kelompok-kelompok yang memiliki dan menguasai alat produksi dengan mereka yang tidak memiliki (misalnya: borjuis dan proletar dalam masyarakat kapitalis).3

3.2.       Dialektika Materialis

Dialektika materialis adalah adaptasi dan transformasi Marx terhadap metode dialektika Hegel, namun dalam bentuk materialis. Hegel menggunakan dialektika untuk menjelaskan perkembangan ide melalui proses kontradiksi dan sintesis; Marx justru menerapkan prinsip itu pada dunia material dan hubungan sosial ekonomi. Ia menyatakan bahwa perubahan historis bukan hasil dari ide-ide abstrak, melainkan dari konflik-konflik nyata dalam masyarakat, khususnya konflik kelas.4

Proses dialektika dalam pemikiran Marx tidak bersifat linier, tetapi bersifat dinamis dan kontradiktif: perubahan sosial terjadi melalui kontradiksi internal dalam struktur masyarakat. Contohnya, dalam kapitalisme terdapat kontradiksi antara produktivitas ekonomi yang tinggi dan distribusi kekayaan yang timpang; atau antara kepemilikan pribadi atas alat produksi dan sifat kerja kolektif dalam industri modern.5

Dengan pendekatan ini, Marx memandang sejarah sebagai suatu proses yang bergerak melalui tahapan-tahapan: komunalisme primitif, feodalisme, kapitalisme, sosialisme, dan akhirnya komunisme. Setiap tahap mengandung benih kontradiksi yang akan memunculkan sistem baru melalui perjuangan sosial.6


Secara keseluruhan, dasar-dasar filsafat Marx merupakan upaya untuk memahami dan mengubah dunia secara radikal. Seperti yang ia tegaskan dalam Theses on Feuerbach: “Para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan berbagai cara; yang penting adalah mengubahnya.”_7 Maka dari itu, filsafat Marx tidak sekadar bersifat teoritis, tetapi juga revolusioner—sebuah filsafat praksis yang menyatu dengan perjuangan nyata dalam kehidupan sosial.


Footnotes

[1]                Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, trans. S.W. Ryazanskaya (Moscow: Progress Publishers, 1977), 20.

[2]                Ibid., 21–23.

[3]                Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, ed. Gareth Stedman Jones (London: Penguin Books, 2002), 219.

[4]                Shlomo Avineri, The Social and Political Thought of Karl Marx (Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 42–45.

[5]                David McLellan, Marxism After Marx (London: Macmillan, 1979), 15–18.

[6]                Terrell Carver, Marx (Cambridge: Polity Press, 2003), 31–33.

[7]                Karl Marx, “Theses on Feuerbach,” in The Marx-Engels Reader, ed. Robert C. Tucker (New York: W.W. Norton & Company, 1978), 145.


4.           Kritik terhadap Kapitalisme

Kritik Karl Marx terhadap kapitalisme adalah salah satu kontribusi intelektualnya yang paling mendalam dan berpengaruh. Dalam berbagai karyanya, terutama Das Kapital, Marx mengupas secara sistematis bagaimana sistem kapitalisme bekerja dan mengapa ia memandangnya sebagai sistem yang eksploitatif, tidak adil, dan pada akhirnya mengandung benih kehancurannya sendiri. Terdapat beberapa aspek kunci dari kritik Marx terhadap kapitalisme, di antaranya konsep alienasi, eksploitasi kelas pekerja, dan komodifikasi dalam relasi sosial.

4.1.       Alienasi (Entfremdung)

Salah satu konsep utama dalam kritik Marx terhadap kapitalisme adalah alienasi, yaitu keterasingan manusia dari dirinya sendiri, pekerjaannya, dan sesamanya. Dalam sistem kapitalis, buruh tidak memiliki kendali atas proses produksi maupun hasil kerjanya. Mereka bekerja bukan karena ekspresi diri atau kebutuhan kreatif, melainkan karena keterpaksaan ekonomi untuk bertahan hidup. Marx menyatakan bahwa dalam sistem kapitalisme, “pekerja menjadi komoditas” dan tidak lebih dari alat untuk menciptakan keuntungan bagi pemilik modal.1

Dalam Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, Marx mengidentifikasi empat jenis alienasi: keterasingan dari produk kerja, dari proses kerja, dari hakikat manusia, dan dari sesama manusia.2 Semua bentuk alienasi ini adalah konsekuensi dari struktur produksi kapitalis di mana buruh dipisahkan dari alat produksi dan dikendalikan oleh kekuatan eksternal yang mengatur nilai tukar, bukan nilai guna atau kemanusiaan.

4.2.       Eksploitasi dan Nilai Lebih (Surplus Value)

Dalam Das Kapital, Marx mengembangkan konsep nilai lebih (Mehrwert) sebagai inti dari eksploitasi kapitalis. Ia menyatakan bahwa buruh menciptakan nilai yang lebih besar daripada nilai upah yang mereka terima. Selisih antara nilai total yang dihasilkan buruh dan upah yang dibayarkan kepada mereka adalah nilai lebih—yang kemudian menjadi keuntungan pemilik modal.3

Eksploitasi ini tidak bersifat kasat mata karena terbungkus dalam hubungan “bebas” antara buruh dan majikan. Namun, secara struktural, relasi ini sangat timpang karena buruh tidak memiliki alat produksi dan terpaksa menjual tenaga kerjanya sebagai satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Marx menyatakan bahwa “kapital adalah kerja mati yang hidup dengan menyedot kerja hidup seperti vampir.”_4

4.3.       Komodifikasi Kehidupan Sosial

Kapitalisme menurut Marx bukan hanya sistem ekonomi, melainkan juga sistem sosial yang mengubah segala sesuatu menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan, termasuk tenaga kerja, waktu, bahkan relasi manusia. Dalam analisis Marx, fenomena ini disebut sebagai fetishisme komoditas (commodity fetishism), di mana hubungan antarmanusia dalam produksi digantikan oleh hubungan antarbarang yang tampak seperti “alami”.5

Misalnya, nilai suatu barang tampak berasal dari barang itu sendiri, padahal sebenarnya nilai itu adalah hasil kerja manusia. Dengan demikian, kapitalisme menciptakan ilusi seolah-olah hubungan sosial adalah hubungan antara benda, yang menutupi kenyataan bahwa ada relasi kekuasaan dan eksploitasi di balik proses produksi.6

4.4.       Krisis dan Kontradiksi Internal Kapitalisme

Menurut Marx, kapitalisme mengandung kontradiksi internal yang pada akhirnya akan menghancurkan sistem itu sendiri. Di satu sisi, kapitalisme mendorong kemajuan teknologi dan produktivitas; namun di sisi lain, ia juga menciptakan konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang, menciptakan ketimpangan sosial yang ekstrem dan memperbesar jurang antara kelas pekerja dan pemilik modal.7

Kontradiksi ini menyebabkan krisis overproduksi, di mana sistem menghasilkan lebih banyak barang daripada yang bisa diserap pasar karena keterbatasan daya beli buruh. Akibatnya, terjadi stagnasi ekonomi, pengangguran massal, dan ketidakstabilan sosial—yang menurut Marx akan mengarah pada kehancuran sistem kapitalis itu sendiri dan membuka jalan bagi revolusi sosial.8


Kesimpulan Sementara

Kritik Marx terhadap kapitalisme bersifat struktural dan historis: ia tidak hanya mengkritik ketimpangan dalam distribusi kekayaan, tetapi juga mengungkap logika dasar sistem kapitalisme sebagai sistem yang menghasilkan ketimpangan itu secara inheren. Pemikiran ini kemudian menjadi dasar bagi berbagai gerakan politik kiri dan teori kritis dalam filsafat sosial dan ekonomi modern.


Footnotes

[1]                Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, trans. Martin Milligan (New York: International Publishers, 1964), 71–75.

[2]                Ibid., 66–77.

[3]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Volume I, trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 300–315.

[4]                Ibid., 342.

[5]                Ibid., 163–167.

[6]                David Harvey, A Companion to Marx’s Capital (London: Verso, 2010), 38–41.

[7]                Ernest Mandel, An Introduction to Marxist Economic Theory (New York: Pathfinder, 1979), 56–59.

[8]                Terry Eagleton, Why Marx Was Right (New Haven: Yale University Press, 2011), 42–45.


5.           Konsep Perjuangan Kelas dan Revolusi

Salah satu inti utama dari teori sosial Karl Marx adalah konsep perjuangan kelas (class struggle), yang ia anggap sebagai kekuatan pendorong utama dalam sejarah umat manusia. Bagi Marx, sejarah bukanlah hasil dari kehendak individu atau ide-ide besar semata, melainkan hasil dari konflik kepentingan antara kelompok-kelompok sosial yang memiliki posisi berbeda dalam sistem produksi. Dalam The Communist Manifesto, Marx dan Engels secara tegas menyatakan:

"Sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga saat ini adalah sejarah perjuangan kelas."_1

5.1.       Struktur Kelas dalam Kapitalisme

Dalam masyarakat kapitalis, Marx membagi struktur kelas secara fundamental menjadi dua: borjuis dan proletar. Kaum borjuis (bourgeoisie) adalah kelas yang memiliki alat produksi (tanah, pabrik, modal), sedangkan kaum proletar adalah mereka yang tidak memiliki apa-apa selain tenaga kerjanya, yang mereka jual kepada pemilik modal untuk bertahan hidup.2

Marx memandang relasi antara kedua kelas ini sebagai hubungan yang bersifat antagonistik. Borjuis memperoleh keuntungan dari eksploitasi kerja proletar, sementara proletar semakin teralienasi dan dimiskinkan oleh sistem yang secara struktural menguntungkan pemilik modal. Dengan demikian, ketegangan antara kedua kelas ini merupakan sumber utama dinamika sosial dalam kapitalisme.

5.2.       Kesadaran Kelas dan Kesadaran Palsu

Agar perjuangan kelas dapat menjadi kekuatan revolusioner yang nyata, kaum proletar perlu memiliki kesadaran kelas (class consciousness). Marx membedakan antara “kelas dalam dirinya” (class in itself) dan “kelas untuk dirinya” (class for itself). Sebuah kelas baru memiliki potensi revolusioner ketika ia menyadari posisi objektifnya dalam sistem produksi dan menyatukan diri dalam perjuangan bersama.3

Namun, Marx juga mengakui adanya kesadaran palsu (false consciousness), yaitu kondisi di mana kelas pekerja menerima ideologi dominan yang justru menutupi realitas eksploitasi yang mereka alami. Ideologi ini diproduksi dan disebarkan melalui lembaga-lembaga seperti pendidikan, agama, dan media yang dikendalikan oleh kelas dominan.4

5.3.       Revolusi Sebagai Sarana Perubahan Sosial

Menurut Marx, perubahan sosial yang sejati hanya bisa terjadi melalui revolusi kelas pekerja yang menggulingkan sistem kapitalis. Revolusi bukan sekadar pergantian penguasa, tetapi perubahan radikal terhadap struktur ekonomi dan kepemilikan alat produksi. Marx menegaskan bahwa kaum proletar adalah “penggali kubur” kapitalisme dan pada akhirnya akan membentuk masyarakat tanpa kelas melalui penghapusan kepemilikan pribadi atas alat produksi.5

Dalam The Communist Manifesto, Marx dan Engels menyatakan bahwa proletariat, sebagai kelas yang paling tertindas dan tidak memiliki kepentingan untuk mempertahankan struktur lama, memiliki potensi untuk menjadi agen transformasi sejarah:

Kaum proletar tidak memiliki apa-apa selain rantai untuk dilepaskan. Mereka punya dunia untuk dimenangkan.”_6

Revolusi, menurut Marx, akan melalui tahap-tahap tertentu: pertama, perebutan kekuasaan politik oleh proletar (diktator proletariat), kemudian reorganisasi sistem produksi secara kolektif, dan pada akhirnya menuju masyarakat komunis yang sepenuhnya bebas dari kelas, negara, dan eksploitasi.

5.4.       Warisan dan Relevansi Konsep Ini

Konsep perjuangan kelas Marx memberikan kerangka teoretis bagi berbagai gerakan sosial di abad ke-20, termasuk revolusi Rusia 1917, gerakan buruh di Eropa dan Amerika, serta teori-teori Marxis dalam bidang sosiologi, politik, dan ekonomi. Meskipun konteks dunia telah berubah dengan hadirnya kapitalisme global, fleksibilitas kerja, dan transformasi teknologi, gagasan bahwa ketimpangan struktural menciptakan ketegangan sosial tetap relevan untuk menganalisis berbagai ketidakadilan kontemporer.7


Footnotes

[1]                Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, ed. Gareth Stedman Jones (London: Penguin Books, 2002), 219.

[2]                David McLellan, Karl Marx: A Biography (London: Papermac, 1995), 347–349.

[3]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Volume I, trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 989–990.

[4]                Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatuses, in Lenin and Philosophy and Other Essays (New York: Monthly Review Press, 1971), 127–186.

[5]                Shlomo Avineri, The Social and Political Thought of Karl Marx (Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 180–183.

[6]                Marx and Engels, The Communist Manifesto, 244.

[7]                Erik Olin Wright, Class Counts: Comparative Studies in Class Analysis (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 6–9.


6.           Gagasan Masyarakat Tanpa Kelas

Gagasan tentang masyarakat tanpa kelas merupakan tujuan akhir dalam proyek teoritis dan praksis Karl Marx. Visi ini tidak hanya menjadi cita-cita politik, tetapi juga menjadi bagian integral dari teori historis dan filosofis Marx mengenai perkembangan masyarakat manusia. Dalam pandangannya, masyarakat tanpa kelas adalah bentuk tertinggi dari evolusi sosial, di mana eksploitasi, alienasi, dan penindasan struktural telah dihapus secara menyeluruh. Masyarakat semacam ini akan terbentuk melalui perjuangan revolusioner kelas pekerja, yang menggulingkan kapitalisme dan menggantinya dengan sistem komunal berbasis produksi kolektif.

6.1.       Konsep Komunisme dalam Pemikiran Marx

Marx menggambarkan masyarakat tanpa kelas sebagai komunisme, yakni suatu tatanan sosial di mana tidak ada lagi kepemilikan pribadi atas alat produksi, tidak ada kelas-kelas sosial, dan tidak ada negara dalam bentuk represif seperti dalam masyarakat borjuis. Dalam Critique of the Gotha Program (1875), Marx merumuskan prinsip dasar komunisme dengan kalimat yang terkenal:

Dari masing-masing menurut kemampuannya, kepada masing-masing menurut kebutuhannya.”_1

Dalam masyarakat semacam ini, manusia tidak lagi bekerja demi upah, melainkan demi pemenuhan kebutuhan bersama dan pengembangan potensi diri secara utuh. Kerja tidak lagi menjadi bentuk keterpaksaan ekonomis, melainkan sarana ekspresi diri dan kontribusi terhadap masyarakat. Marx melihat bahwa komunisme akan memulihkan esensi kemanusiaan yang tercerabut oleh sistem kapitalis.2

6.2.       Tahapan Menuju Masyarakat Tanpa Kelas

Marx tidak membayangkan transisi menuju komunisme terjadi secara instan. Ia mengakui perlunya tahap peralihan, yaitu sosialisme atau diktator proletariat, di mana kelas pekerja mengambil alih kekuasaan negara untuk menghancurkan struktur lama dan membangun fondasi baru bagi masyarakat tanpa kelas.3

Dalam tahap ini, alat produksi dimiliki secara kolektif, distribusi hasil produksi dilakukan secara adil, dan peran negara bersifat sementara—hanya sebagai alat transisi untuk memberantas sisa-sisa kelas lama. Ketika kontradiksi kelas sepenuhnya dihapus, negara sebagai instrumen kekuasaan represif akan “menghilang dengan sendirinya” (wither away), karena tidak ada lagi kelas yang perlu ditekan atau dilindungi secara politik.4

6.3.       Ciri-ciri Masyarakat Tanpa Kelas

Ciri-ciri masyarakat tanpa kelas dalam kerangka Marxian antara lain:

·                     Tidak adanya kepemilikan pribadi atas alat produksi, semua dikelola oleh komunitas atau kolektif.

·                     Distribusi berbasis kebutuhan, bukan berdasarkan kerja atau kontribusi individual.

·                     Penghapusan pembagian kerja yang memisahkan antara kerja manual dan kerja intelektual, sehingga manusia dapat mengembangkan seluruh potensi dirinya.

·                     Tidak adanya negara sebagai instrumen penindas, karena hilangnya kontradiksi kelas membuat kekuasaan koersif tak lagi diperlukan.

·                     Relasi sosial yang bersifat kooperatif, bukan kompetitif seperti dalam kapitalisme.5

Marx memandang bahwa masyarakat komunis tidak hanya lebih adil secara ekonomi, tetapi juga memungkinkan pembentukan “manusia seutuhnya” (the fully developed human being) yang tidak teralienasi dari aktivitas hidupnya dan sesama manusia.

6.4.       Kritik terhadap Utopianisme dan Respons Marx

Berbeda dengan sosialisme utopis yang digagas tokoh seperti Charles Fourier atau Robert Owen, Marx menolak merancang model detail masyarakat masa depan. Ia menekankan bahwa komunisme bukan ideal normatif yang direkayasa secara imajinatif, tetapi hasil dari kondisi material dan perjuangan historis konkret. Oleh karena itu, Marx menyebut pendekatannya sebagai sosialisme ilmiah, yang bertumpu pada analisis ekonomi dan dinamika sejarah yang objektif.6

6.5.       Relevansi Gagasan Ini dalam Dunia Kontemporer

Meskipun proyek komunisme dalam bentuk negara-negara seperti Uni Soviet dan RRT menghadapi kritik keras atas praktik otoriter dan kegagalan ekonominya, gagasan Marx tentang masyarakat tanpa kelas tetap hidup sebagai visi normatif yang menantang ketimpangan global. Dalam konteks neoliberalisme, krisis ekologi, dan ketimpangan digital, pemikiran Marx tentang distribusi adil dan kepemilikan kolektif atas sumber daya kembali menarik perhatian sebagai alternatif terhadap kapitalisme yang dianggap destruktif.7


Footnotes

[1]                Karl Marx, Critique of the Gotha Program, in The Marx-Engels Reader, ed. Robert C. Tucker (New York: W.W. Norton & Company, 1978), 531.

[2]                Shlomo Avineri, The Social and Political Thought of Karl Marx (Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 225–227.

[3]                Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, ed. Gareth Stedman Jones (London: Penguin Books, 2002), 247.

[4]                Friedrich Engels, Anti-Dühring, trans. Emile Burns (Moscow: Progress Publishers, 1978), 303–306.

[5]                Terry Eagleton, Why Marx Was Right (New Haven: Yale University Press, 2011), 155–159.

[6]                Hal Draper, Karl Marx’s Theory of Revolution, Volume 1: State and Bureaucracy (New York: Monthly Review Press, 1977), 79–83.

[7]                Erik Olin Wright, Envisioning Real Utopias (London: Verso, 2010), 3–7.


7.           Pengaruh dan Relevansi Pemikiran Karl Marx

Pemikiran Karl Marx memiliki pengaruh yang sangat luas, melintasi batas-batas disiplin ilmu dan praktik politik. Meskipun ia hidup pada abad ke-19, ide-idenya tentang kapitalisme, kelas, alienasi, dan perjuangan sosial tetap menjadi referensi penting dalam pemikiran kontemporer. Pengaruh Marx menjalar ke berbagai bidang seperti sosiologi, filsafat, ekonomi, ilmu politik, antropologi, bahkan studi budaya dan sastra. Selain itu, pemikirannya juga menjadi dasar ideologis bagi berbagai gerakan politik revolusioner dan reformis sepanjang abad ke-20 hingga kini.

7.1.       Pengaruh dalam Ilmu Sosial dan Humaniora

Dalam ranah akademik, Marx diakui sebagai salah satu "bapak pendiri" sosiologi modern, sejajar dengan Emile Durkheim dan Max Weber. Analisisnya terhadap struktur kelas, relasi produksi, dan kesadaran sosial menjadi landasan bagi teori-teori struktural dan konflik dalam sosiologi kontemporer.1 Pemikirannya juga mendorong lahirnya Teori Kritis melalui Mazhab Frankfurt, yang menggabungkan analisis Marxian dengan psikologi, budaya, dan estetika dalam rangka mengkritik ideologi dan dominasi dalam masyarakat modern.2

Dalam filsafat, pengaruh Marx tampak dalam pemikiran eksistensialis (seperti Jean-Paul Sartre), strukturalis (Louis Althusser), hingga postmodernisme kiri (Fredric Jameson). Marx juga memengaruhi perkembangan teori poskolonial, terutama dalam wacana mengenai imperialisme dan ketimpangan global.3

7.2.       Pengaruh dalam Gerakan Politik dan Sosial

Secara politik, pemikiran Marx menjadi fondasi bagi berbagai ideologi dan gerakan kiri seperti sosialisme, komunisme, dan marxisme-leninisme. Revolusi Rusia 1917 yang dipimpin oleh Vladimir Lenin mengklaim sebagai realisasi teori Marx dalam praktik, meskipun banyak penafsir menilai bahwa penerapan di bawah rezim Soviet menyimpang dari ajaran Marx yang asli.4

Di negara-negara Dunia Ketiga, gagasan Marx digunakan sebagai alat untuk menganalisis dan melawan penjajahan serta ketimpangan struktural. Pemimpin seperti Mao Zedong di Tiongkok dan Fidel Castro di Kuba mengadopsi pendekatan Marxian untuk membentuk sistem pemerintahan dan ekonomi alternatif terhadap kapitalisme Barat.5 Gerakan buruh internasional juga banyak mengacu pada prinsip-prinsip Marx untuk menuntut hak-hak ekonomi, jaminan sosial, dan keadilan distribusi.

7.3.       Relevansi dalam Konteks Kontemporer

Meskipun komunisme sebagai sistem negara menghadapi kritik dan kemunduran pasca-Perang Dingin, relevansi pemikiran Marx justru kembali mengemuka pada era globalisasi dan kapitalisme digital. Ketimpangan ekonomi yang semakin tajam, monopoli korporasi teknologi, eksploitasi tenaga kerja gig economy, serta krisis ekologis menjadi titik-titik perhatian yang dianalisis ulang dengan pendekatan Marxian.

Studi oleh ekonom seperti Thomas Piketty menunjukkan bahwa distribusi kekayaan dalam kapitalisme cenderung terkonsentrasi di tangan minoritas—sebuah analisis yang menguatkan tesis Marx tentang akumulasi modal dan krisis sistemik kapitalisme.6 Di sisi lain, gerakan sosial kontemporer seperti Occupy Wall Street, gerakan buruh digital, dan aktivisme iklim juga menggunakan kerangka Marxian untuk mengkritik ketimpangan struktural dan sistem ekonomi global yang eksploitatif.7

7.4.       Kritik dan Penilaian Ulang terhadap Warisan Marx

Tentu, pemikiran Marx tidak lepas dari kritik. Beberapa kalangan menilai bahwa gagasannya terlalu deterministik secara ekonomi, mengabaikan kompleksitas budaya, gender, dan etnis dalam struktur masyarakat. Kritik juga ditujukan pada gagasan “negara proletariat” yang dalam praktik sering menjadi bentuk otoritarianisme. Meski demikian, penilaian ulang terhadap Marx dalam beberapa dekade terakhir menunjukkan bahwa banyak aspek pemikirannya tetap memiliki daya analisis yang tajam terhadap dinamika kapitalisme modern.8


Kesimpulan Sementara

Warisan Marx jauh melampaui batas-batas ideologi tertentu. Ia bukan hanya tokoh revolusi, tetapi juga seorang pemikir kritis yang membuka ruang bagi analisis struktural terhadap masyarakat. Gagasan Marx tetap relevan bukan karena ia memberikan “jawaban akhir”, tetapi karena ia menyediakan alat analisis yang kuat untuk memahami dan mengkritik ketimpangan serta mendorong perubahan sosial yang lebih adil.


Footnotes

[1]                Anthony Giddens, Capitalism and Modern Social Theory: An Analysis of the Writings of Marx, Durkheim and Max Weber (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), 1–3.

[2]                Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), x–xii.

[3]                Edward W. Said, Culture and Imperialism (New York: Vintage Books, 1993), 256–259.

[4]                Stephen A. Resnick and Richard D. Wolff, New Departures in Marxian Theory (New York: Routledge, 2006), 74–77.

[5]                Robert J.C. Young, Postcolonialism: An Historical Introduction (Oxford: Blackwell, 2001), 328–331.

[6]                Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, trans. Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 1–20.

[7]                Nancy Fraser, The Old Is Dying and the New Cannot Be Born: From Progressive Neoliberalism to Trump and Beyond (London: Verso, 2019), 10–13.

[8]                Alex Callinicos, The Revolutionary Ideas of Karl Marx (London: Bookmarks, 2010), 165–169.


8.           Kritik terhadap Pemikiran Marx

Meskipun pemikiran Karl Marx telah memberikan pengaruh besar dalam sejarah intelektual dan politik modern, banyak pula kritik yang dilontarkan terhadap aspek-aspek fundamental dari teorinya. Kritik terhadap Marx datang dari berbagai perspektif—baik dari kalangan liberal, konservatif, maupun sesama pemikir kiri yang mencoba merevisi atau menanggapi ulang pemikirannya dalam konteks kontemporer. Kritik-kritik tersebut mencakup aspek metodologis, prediksi historis, implikasi politik, serta etika dari visi masyarakat tanpa kelas.

8.1.       Kritik terhadap Determinisme Ekonomis

Salah satu kritik paling umum terhadap Marx adalah determinisme ekonomis dalam pendekatannya terhadap sejarah. Marx menekankan bahwa perkembangan sejarah ditentukan oleh kondisi material dan hubungan produksi, yang dianggap terlalu menyederhanakan realitas sosial dan mengabaikan faktor-faktor lain seperti budaya, agama, gender, dan psikologi.1 Max Weber, misalnya, dalam karyanya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, menunjukkan bahwa nilai-nilai religius juga dapat memainkan peran penting dalam membentuk struktur ekonomi.2

Kritikus lain menilai bahwa struktur “basis dan superstruktur” Marx terlalu kaku, sehingga cenderung mengabaikan dinamika kompleks yang bekerja secara timbal balik antara ekonomi dan kesadaran sosial. Oleh karena itu, banyak teori sosial kontemporer yang mengusulkan pendekatan yang lebih multidimensi, seperti dalam teori structuration oleh Anthony Giddens yang menekankan interaksi antara agen dan struktur.3

8.2.       Kegagalan Prediksi Sejarah

Marx meramalkan bahwa kapitalisme akan runtuh akibat krisis internal dan digantikan oleh sosialisme melalui revolusi proletariat global. Namun, sejarah menunjukkan bahwa kapitalisme tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang dan beradaptasi melalui reformasi sosial, teknologi, dan ekspansi global. Sebaliknya, revolusi proletariat seperti yang terjadi di Rusia, Tiongkok, dan tempat lain tidak terjadi di negara-negara industri maju seperti yang diprediksi Marx, tetapi di negara-negara dengan struktur feodal dan ekonomi agraris.4

Selain itu, kelas pekerja dalam masyarakat kapitalis modern tidak menjadi semakin miskin seperti yang dikemukakan dalam teori peluruhan proletariat (immiseration thesis), tetapi dalam banyak kasus mengalami peningkatan standar hidup akibat reformasi sosial, serikat pekerja, dan negara kesejahteraan.5

8.3.       Kritik terhadap Implementasi Politik Marxisme

Kritik besar terhadap Marx sering diarahkan pada bagaimana pemikirannya diimplementasikan dalam bentuk negara—khususnya dalam rezim komunis seperti Uni Soviet di bawah Stalin, Cina di bawah Mao Zedong, dan Korea Utara. Rezim-rezim ini, meskipun mengklaim sebagai perwujudan ajaran Marx, ditandai oleh otoritarianisme, pelanggaran HAM, ekonomi yang tidak efisien, dan kultus individu.

Sebagian kritikus menyatakan bahwa kegagalan-kegagalan ini adalah konsekuensi logis dari teori Marx, yang mengedepankan penghapusan kepemilikan pribadi dan kontrol negara atas ekonomi. Friedrich Hayek dalam The Road to Serfdom berargumen bahwa perencanaan ekonomi terpusat seperti yang disarankan oleh marxisme niscaya akan mengarah pada penindasan politik dan hilangnya kebebasan individu.6 Namun, pendukung Marx membedakan antara ajaran asli Marx dan penyimpangan oleh rezim totaliter yang mengklaim berbicara atas namanya.

8.4.       Kritik dari Perspektif Etika dan Utopianisme

Gagasan Marx tentang masyarakat tanpa kelas juga dikritik sebagai utopis dan tidak realistis. Kritikus berpendapat bahwa penghapusan kelas sosial dan kepemilikan pribadi tidak hanya sulit dicapai, tetapi juga bertentangan dengan sifat dasar manusia yang memiliki dorongan kepemilikan, ambisi, dan diferensiasi sosial.7

Lebih jauh, sistem distribusi “menurut kebutuhan” seperti yang diajukan Marx dianggap rawan disalahgunakan dan sulit diimplementasikan secara adil tanpa menciptakan birokrasi yang represif. Selain itu, absennya insentif individu dalam masyarakat komunal dianggap dapat menurunkan produktivitas dan kreativitas manusia.8

8.5.       Respons Marxis Kontemporer terhadap Kritik

Sebagai respons terhadap kritik-kritik tersebut, banyak pemikir Marxis kontemporer berusaha merevisi dan memperbarui pemikiran Marx. Misalnya, Erik Olin Wright mengembangkan model real utopias sebagai pendekatan praktis untuk menciptakan bentuk-bentuk sosial alternatif yang lebih demokratis dan egaliter dalam konteks dunia modern tanpa meniru model negara komunis otoriter.9

Demikian pula, David Harvey dan Nancy Fraser merevitalisasi teori Marx untuk menjelaskan krisis kapitalisme kontemporer, termasuk ketimpangan global, neoliberalisme, dan kerusakan ekologi, dengan pendekatan yang lebih terbuka terhadap pluralitas faktor sosial dan identitas.10


Kesimpulan Sementara

Kritik terhadap Marx tidak meniadakan kontribusinya yang besar dalam pemikiran sosial dan politik. Justru, banyak kritik tersebut mendorong pembacaan ulang terhadap Marx dan memunculkan pendekatan baru dalam memahami dinamika kapitalisme dan perjuangan sosial. Pemikiran Marx tetap relevan, bukan sebagai dogma, tetapi sebagai kerangka kritis yang terus berkembang dan beradaptasi dengan tantangan zaman.


Footnotes

[1]                Jon Elster, Making Sense of Marx (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 5–7.

[2]                Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, trans. Talcott Parsons (New York: Scribner, 1958), 35–37.

[3]                Anthony Giddens, The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (Berkeley: University of California Press, 1984), 1–10.

[4]                Leszek Kołakowski, Main Currents of Marxism: Its Rise, Growth and Dissolution, vol. 1 (Oxford: Clarendon Press, 1978), 301–305.

[5]                Robert Heilbroner, Marxism: For and Against (New York: W.W. Norton & Company, 1980), 92–94.

[6]                Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom (Chicago: University of Chicago Press, 1944), 67–70.

[7]                Karl Popper, The Open Society and Its Enemies, vol. 2 (London: Routledge, 1945), 134–136.

[8]                Raymond Aron, The Opium of the Intellectuals, trans. Terence Kilmartin (New York: W.W. Norton & Company, 1962), 91–93.

[9]                Erik Olin Wright, Envisioning Real Utopias (London: Verso, 2010), 10–15.

[10]             David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford University Press, 2005), 156–160; Nancy Fraser, The Old Is Dying and the New Cannot Be Born (London: Verso, 2019), 19–22.


9.           Kesimpulan

Karl Marx adalah seorang pemikir yang telah meninggalkan warisan intelektual yang luar biasa dalam sejarah filsafat, ilmu sosial, dan gerakan politik modern. Melalui analisis tajam terhadap kapitalisme, Marx menyajikan kerangka berpikir radikal yang berangkat dari materialisme historis dan dialektika materialis, menempatkan relasi produksi dan perjuangan kelas sebagai inti dari dinamika sejarah manusia.1 Ia tidak sekadar menawarkan kritik moral terhadap ketimpangan ekonomi, tetapi membangun sebuah teori ilmiah mengenai struktur masyarakat dan mekanisme perubahan sosial.

Kritik Marx terhadap kapitalisme menyoroti bagaimana sistem ini menciptakan alienasi, eksploitasi, dan komodifikasi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Ia menunjukkan bahwa relasi sosial dalam kapitalisme tidak bersifat netral, melainkan dibangun atas dasar dominasi kelas yang terstruktur secara ekonomi.2 Dalam konteks ini, Marx memproyeksikan lahirnya revolusi proletariat yang akan mengakhiri sistem kapitalis dan membuka jalan menuju masyarakat tanpa kelas, yakni komunisme, sebagai bentuk tertinggi dari kebebasan dan kesetaraan manusia.3

Pengaruh pemikiran Marx sangat luas, baik dalam teori maupun praktik. Ia menginspirasi berbagai gerakan sosial dan revolusi di abad ke-20, serta menjadi fondasi bagi disiplin akademik seperti sosiologi kritis, ekonomi politik, studi budaya, dan teori poskolonial. Meski banyak ramalannya tidak terbukti secara harfiah, relevansi kritik Marx terhadap kapitalisme justru semakin terasa dalam dunia yang diwarnai ketimpangan global, krisis ekologis, dan hegemoni pasar bebas.4

Namun demikian, pemikiran Marx juga mengundang banyak kritik. Sebagian menilai pendekatannya terlalu reduksionis dan mengabaikan kompleksitas budaya, psikologis, dan etika dalam masyarakat manusia. Implementasi politik atas nama Marxisme juga sering berujung pada rezim otoriter yang menyimpang dari visi emansipatoris Marx.5 Kritik-kritik ini mendorong para pemikir Marxis kontemporer untuk merevisi dan memperkaya teori Marx dengan pendekatan yang lebih plural dan kontekstual, sebagaimana dilakukan oleh tokoh-tokoh seperti Erik Olin Wright, Nancy Fraser, dan David Harvey.6

Secara keseluruhan, pemikiran Karl Marx tetap menjadi alat kritik yang kuat dan relevan untuk memahami dunia modern. Ia tidak memberikan resep final, melainkan menawarkan kerangka analitis dan etika transformasional untuk menilai dan mengubah kondisi sosial yang tidak adil. Seperti yang ia tegaskan dalam Theses on Feuerbach, tujuan utama filsafat bukanlah sekadar menafsirkan dunia, tetapi mengubahnya.7


Footnotes

[1]                Shlomo Avineri, The Social and Political Thought of Karl Marx (Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 41–44.

[2]                Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, trans. Martin Milligan (New York: International Publishers, 1964), 66–75.

[3]                Karl Marx, Critique of the Gotha Program, in The Marx-Engels Reader, ed. Robert C. Tucker (New York: W.W. Norton & Company, 1978), 531.

[4]                Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, trans. Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 1–10.

[5]                Karl Popper, The Open Society and Its Enemies, vol. 2 (London: Routledge, 1945), 135–138.

[6]                Erik Olin Wright, Envisioning Real Utopias (London: Verso, 2010), 1–5; Nancy Fraser, Fortunes of Feminism (London: Verso, 2013), 210–215; David Harvey, The Limits to Capital (London: Verso, 2006), 6–8.

[7]                Karl Marx, “Theses on Feuerbach,” in The Marx-Engels Reader, ed. Robert C. Tucker (New York: W.W. Norton & Company, 1978), 145.


Daftar Pustaka

Althusser, L. (1971). Lenin and philosophy and other essays (B. Brewster, Trans.). Monthly Review Press.

Aron, R. (1962). The opium of the intellectuals (T. Kilmartin, Trans.). W. W. Norton & Company.

Avineri, S. (1968). The social and political thought of Karl Marx. Cambridge University Press.

Berlin, I. (1963). Karl Marx: His life and environment. Oxford University Press.

Callinicos, A. (2010). The revolutionary ideas of Karl Marx. Bookmarks.

Draper, H. (1977). Karl Marx’s theory of revolution: Vol. 1. State and bureaucracy. Monthly Review Press.

Eagleton, T. (2011). Why Marx was right. Yale University Press.

Engels, F. (1978). Anti-Dühring (E. Burns, Trans.). Progress Publishers.

Fraser, N. (2013). Fortunes of feminism: From state-managed capitalism to neoliberal crisis. Verso.

Fraser, N. (2019). The old is dying and the new cannot be born: From progressive neoliberalism to Trump and beyond. Verso.

Giddens, A. (1971). Capitalism and modern social theory: An analysis of the writings of Marx, Durkheim and Max Weber. Cambridge University Press.

Giddens, A. (1984). The constitution of society: Outline of the theory of structuration. University of California Press.

Harvey, D. (2005). A brief history of neoliberalism. Oxford University Press.

Harvey, D. (2006). The limits to capital. Verso.

Harvey, D. (2010). A companion to Marx’s Capital. Verso.

Hayek, F. A. (1944). The road to serfdom. University of Chicago Press.

Heilbroner, R. (1980). Marxism: For and against. W. W. Norton & Company.

Horkheimer, M., & Adorno, T. W. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press.

Kołakowski, L. (1978). Main currents of Marxism: Its rise, growth and dissolution (Vol. 1). Clarendon Press.

Marx, K. (1964). Economic and philosophic manuscripts of 1844 (M. Milligan, Trans.). International Publishers.

Marx, K. (1977). A contribution to the critique of political economy (S. W. Ryazanskaya, Trans.). Progress Publishers.

Marx, K. (1990). Capital: A critique of political economy: Volume I (B. Fowkes, Trans.). Penguin Books.

Marx, K. (2002). The Communist manifesto (G. S. Jones, Ed.). Penguin Books.

Marx, K., & Engels, F. (1978). The Marx-Engels reader (R. C. Tucker, Ed., 2nd ed.). W. W. Norton & Company.

McLellan, D. (1995). Karl Marx: A biography (Rev. ed.). Papermac.

McLellan, D. (1979). Marxism after Marx. Macmillan.

Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first century (A. Goldhammer, Trans.). Harvard University Press.

Popper, K. (1945). The open society and its enemies: Vol. 2. The high tide of prophecy: Hegel, Marx and the aftermath. Routledge.

Resnick, S. A., & Wolff, R. D. (2006). New departures in Marxian theory. Routledge.

Said, E. W. (1993). Culture and imperialism. Vintage Books.

Weber, M. (1958). The Protestant ethic and the spirit of capitalism (T. Parsons, Trans.). Scribner.

Wheen, F. (2000). Karl Marx: A life. W. W. Norton & Company.

Wright, E. O. (1997). Class counts: Comparative studies in class analysis. Cambridge University Press.

Wright, E. O. (2010). Envisioning real utopias. Verso.

Young, R. J. C. (2001). Postcolonialism: An historical introduction. Blackwell.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar