Minggu, 27 April 2025

Eksperimen Libet: Tinjauan Ilmiah dan Filosofis terhadap Percobaan Libet dan Implikasinya bagi Konsep Kesadaran dan Tindakan Manusia

Eksperimen Libet

Tinjauan Ilmiah dan Filosofis terhadap Percobaan Libet dan Implikasinya bagi Konsep Kesadaran dan Tindakan Manusia


Alihkan ke: Free Will.


Abstrak

Eksperimen Benjamin Libet pada awal 1980-an menandai tonggak penting dalam studi ilmiah tentang hubungan antara kesadaran, niat, dan tindakan manusia. Temuannya bahwa aktivitas otak mendahului kesadaran subjektif tentang niat untuk bertindak menimbulkan tantangan serius terhadap konsep tradisional kehendak bebas. Artikel ini mengkaji konteks historis dan teoritis mengenai kehendak bebas dalam filsafat, mendeskripsikan secara rinci metodologi dan temuan eksperimen Libet, serta membahas implikasi filosofis yang muncul darinya, terutama dalam kaitannya dengan determinisme, epifenomenalisme, dan kompatibilisme. Berbagai kritik metodologis dan konseptual terhadap eksperimen Libet juga dipaparkan, termasuk kajian dari studi-studi replikasi dan eksperimen lanjutan menggunakan teknik neuroimaging mutakhir seperti fMRI dan MEG. Selain itu, artikel ini mengeksplorasi model-model kontemporer dari neurosains kognitif yang menawarkan perspektif alternatif terhadap kehendak, termasuk model kompetisi neural dan model akumulasi stokastik. Akhirnya, artikel ini menganalisis implikasi etis dan hukum dari temuan neurosains terhadap pertanggungjawaban moral dan pidana, serta mempertimbangkan perlunya redefinisi kehendak bebas dalam kerangka multidisipliner. Artikel ini menyimpulkan bahwa walaupun hasil-hasil neurosains menantang pandangan klasik tentang kehendak bebas, konsep tersebut tetap relevan dan perlu direkonstruksi untuk mencerminkan dinamika antara proses sadar dan tidak sadar dalam tindakan manusia.

Kata Kunci: Kehendak Bebas, Eksperimen Libet, Neurosains Kognitif, Kesadaran, Tanggung Jawab Moral, Determinisme, Epifenomenalisme, Kompatibilisme, Agensi Manusia, Neuroetika.


PEMBAHASAN

Menyoal Kebebasan Kehendak


1.           Pendahuluan

Pertanyaan mengenai kebebasan kehendak (free will) telah lama menjadi topik utama dalam diskursus filsafat dan etika. Apakah manusia sungguh-sungguh memiliki kendali atas tindakan mereka, ataukah keputusan dan perilaku hanya merupakan hasil deterministik dari proses biologis dan lingkungan, adalah sebuah dilema yang merentang dari era klasik hingga era ilmu pengetahuan modern. Di tengah perdebatan ini, kemajuan dalam neurosains kognitif memberikan dimensi baru terhadap eksplorasi kehendak bebas dengan pendekatan eksperimental yang terukur.

Salah satu titik penting dalam perkembangan ini adalah eksperimen yang dilakukan oleh Benjamin Libet pada awal 1980-an. Dalam rangka meneliti hubungan antara niat sadar dan aktivitas otak, Libet melakukan serangkaian percobaan elektrofisiologis yang mendeteksi potensi kesiapan motorik (readiness potential) yang muncul sebelum subjek secara sadar menyatakan telah berniat untuk melakukan suatu tindakan. Temuan ini mengejutkan karena menunjukkan bahwa otak memulai aktivitas motorik sebelum individu menyadari niat untuk bertindak, sehingga menimbulkan perdebatan luas mengenai apakah niat sadar memiliki peran kausal dalam tindakan manusia, atau hanya merupakan epifenomena dari proses neurologis yang telah berlangsung sebelumnya.¹

Temuan Libet kemudian menantang asumsi fundamental dalam filsafat moral dan hukum, yang selama ini mendasarkan pertanggungjawaban pada kapasitas individu untuk membuat keputusan secara sadar dan bebas. Jika tindakan manusia ternyata diprakarsai oleh proses otak yang tidak disadari, maka ruang untuk kebebasan kehendak dalam arti konvensional menjadi semakin sempit.² Dalam konteks ini, eksperimen Libet tidak hanya menjadi bukti ilmiah, tetapi juga medan perdebatan antara pendekatan neurobiologis yang deterministik dengan pendekatan filosofis yang mempertahankan otonomi manusia.

Namun demikian, pembacaan terhadap hasil-hasil Libet tidak bersifat tunggal. Beberapa filsuf dan ahli saraf seperti Daniel Dennett, Alfred Mele, dan Patrick Haggard memberikan interpretasi yang lebih nuansa terhadap makna readiness potential dan kesadaran, serta mempertanyakan validitas pengukuran waktu niat sadar dalam eksperimen tersebut.³ Oleh karena itu, memahami eksperimen Libet dan implikasinya memerlukan pendekatan multidisipliner yang melibatkan metodologi ilmiah, epistemologi filsafat pikiran, serta tinjauan etis terhadap makna tanggung jawab dan kebebasan dalam perilaku manusia.

Artikel ini bertujuan untuk membahas secara komprehensif eksperimen Libet, interpretasi ilmiah dan filosofisnya, kritik-kritik metodologis, serta implikasi konseptual terhadap kehendak bebas. Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam mengenai relasi antara kesadaran, otak, dan tindakan dalam perspektif kontemporer.


Catatan Kaki

[1]                Benjamin Libet, Mind Time: The Temporal Factor in Consciousness (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 123–127.

[2]                Daniel M. Wegner, The Illusion of Conscious Will (Cambridge, MA: MIT Press, 2002), 64–70.

[3]                Alfred R. Mele, Free: Why Science Hasn’t Disproved Free Will (New York: Oxford University Press, 2014), 26–33; Patrick Haggard, “Conscious Intention and Motor Cognition,” Trends in Cognitive Sciences 9, no. 6 (2005): 290–295.


2.           Konteks Historis dan Teoritis

Persoalan mengenai kehendak bebas (free will) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perenungan filsafat Barat sejak masa Yunani Kuno. Dalam kerangka metafisika klasik, konsep kehendak bebas diartikulasikan sebagai kapasitas rasional manusia untuk membuat pilihan yang tidak ditentukan sepenuhnya oleh sebab-sebab eksternal. Aristoteles, misalnya, membedakan antara tindakan yang dilakukan secara sukarela (voluntary) dan yang tidak sukarela, serta mengaitkan tanggung jawab moral dengan adanya pilihan yang sadar.¹

Pada masa modern, René Descartes menempatkan kehendak sebagai esensi dari subjektivitas manusia. Dalam Meditations on First Philosophy, Descartes menyatakan bahwa kehendak bebas merupakan ciri ilahi yang diberikan Tuhan kepada manusia, dan karenanya merupakan aspek yang paling sempurna dalam diri manusia.² Namun, dalam kerangka dualisme Cartesian, kehendak dipisahkan dari mekanisme tubuh fisik, menciptakan pertanyaan baru tentang bagaimana entitas non-material seperti pikiran dapat memengaruhi dunia material.

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan alam, muncul tantangan terhadap kebebasan kehendak dari determinisme ilmiah. Dalam pandangan deterministik Newtonian, setiap peristiwa fisik ditentukan oleh hukum sebab-akibat yang ketat, sehingga tampaknya tidak menyisakan ruang bagi kehendak yang otonom.³ Tantangan ini diperkuat oleh pemikiran para filsuf seperti Baruch Spinoza dan David Hume. Spinoza, misalnya, menolak kehendak bebas dengan menyatakan bahwa kebebasan hanyalah ilusi akibat ketidaktahuan terhadap sebab-sebab dari tindakan kita.⁴ Hume, di sisi lain, mengusulkan pendekatan compatibilist, dengan mendefinisikan kebebasan sebagai kebebasan bertindak sesuai kehendak, meskipun kehendak itu sendiri ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya.⁵

Pada abad ke-20, perkembangan filsafat pikiran dan ilmu kognitif membawa pendekatan baru dalam memahami kehendak manusia. Dalam pandangan materialis reduksionis, kesadaran dan kehendak dianggap sebagai produk dari aktivitas saraf otak, bukan sebagai entitas yang berdiri sendiri. Pendekatan ini menempatkan fungsi mental dalam kerangka biologis, membuka jalan bagi eksperimen empiris untuk mempelajari aspek-aspek mental, termasuk niat, kesadaran, dan keputusan.⁶

Munculnya neurosains kognitif sebagai disiplin interdisipliner yang menggabungkan psikologi eksperimental, fisiologi saraf, dan teknologi pencitraan otak menjadi titik balik dalam upaya menguji validitas empiris dari konsep kehendak bebas. Dalam konteks inilah percobaan Benjamin Libet menjadi signifikan. Libet berusaha mengeksplorasi dimensi temporal dari kesadaran dan tindakan melalui pengukuran waktu aktivitas otak dan pelaporan niat sadar. Dengan demikian, eksperimennya tidak hanya mencerminkan perkembangan teknologi dalam studi otak, tetapi juga mewakili tahap baru dalam debat historis yang telah berlangsung selama berabad-abad mengenai hubungan antara kehendak, kesadaran, dan determinisme.⁷

Dengan merujuk pada warisan intelektual ini, dapat dipahami bahwa percobaan Libet tidak berdiri dalam ruang hampa, melainkan menjadi simpul dari pertarungan panjang antara determinisme ilmiah dan kebebasan moral. Kajian terhadap konteks historis dan teoritis ini penting untuk memahami secara utuh implikasi filosofis dari temuan-temuan dalam ilmu saraf kontemporer.


Catatan Kaki

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book III, 1110a–1113b.

[2]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), Meditation IV.

[3]                Earman, John, A Primer on Determinism (Dordrecht: Reidel, 1986), 12–14.

[4]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), Part I, Proposition 29–36.

[5]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 2007), Section VIII.

[6]                Patricia S. Churchland, Neurophilosophy: Toward a Unified Science of the Mind-Brain (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 335–340.

[7]                Benjamin Libet, Mind Time: The Temporal Factor in Consciousness (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 96–102.


3.           Eksperimen Libet: Desain, Prosedur, dan Temuan

Eksperimen yang dilakukan oleh Benjamin Libet pada awal tahun 1980-an merupakan upaya revolusioner dalam menelaah hubungan antara kesadaran subjektif dan aktivitas otak yang mendahului suatu tindakan motorik sukarela. Dalam percobaan ini, Libet berusaha mengukur momen ketika seseorang secara sadar memutuskan untuk bergerak dan membandingkannya dengan aktivitas otak yang terjadi sebelum keputusan tersebut. Eksperimen ini menjadi pionir dalam mengkaji pertanyaan filosofis kuno mengenai kehendak bebas melalui pendekatan empiris berbasis neurosains.

3.1.       Desain Eksperimen

Libet melibatkan partisipan yang diminta untuk melakukan gerakan sederhana, seperti menekuk pergelangan tangan atau jari pada waktu pilihan mereka sendiri, tanpa adanya isyarat eksternal. Selama percobaan, tiga aspek utama dicatat:

1)                  Aktivitas otak, terutama potensi kesiapan atau readiness potential (RP), direkam menggunakan electroencephalography (EEG).

2)                  Waktu tindakan motorik yang dilakukan oleh subjek direkam menggunakan sensor.

3)                  Waktu munculnya niat sadar untuk bergerak (W-judgment) dilaporkan oleh subjek melalui pengamatan terhadap titik pada jam khusus (disebut “Libet clock”) yang berputar satu putaran tiap 2,56 detik.⁽¹⁾

Dengan pendekatan ini, Libet dapat membandingkan waktu munculnya RP (aktivitas otak tak disadari), waktu niat sadar (kesadaran subyektif), dan waktu pelaksanaan tindakan.

3.2.       Hasil Utama dan Temuan

Temuan utama Libet menunjukkan bahwa aktivitas otak (RP) muncul sekitar 550 milidetik sebelum tindakan, sedangkan niat sadar untuk bertindak baru muncul sekitar 200 milidetik sebelum tindakan itu dilakukan.⁽²⁾ Dengan kata lain, otak tampaknya telah "memulai" proses gerakan jauh sebelum subjek menyadari bahwa mereka ingin melakukannya. Temuan ini menantang pandangan umum bahwa kesadaran adalah penyebab utama dari tindakan sukarela.

Libet menginterpretasikan hasil ini dengan menyatakan bahwa kesadaran tidak menyebabkan dimulainya tindakan, tetapi masih memiliki peran dalam “fungsi veto” atau kemampuan untuk menghentikan tindakan yang telah dimulai oleh proses otak tidak sadar. Ia menyebut ini sebagai "free won't", suatu bentuk kebebasan negatif yang memungkinkan manusia untuk membatalkan tindakan yang tidak diinginkan setelah niat bawah sadar muncul.⁽³⁾

3.3.       Kekuatan dan Keterbatasan Eksperimen

Eksperimen Libet banyak dipuji karena menjadi jembatan antara kajian filosofis kehendak dan metodologi ilmiah. Namun, sejumlah kritikus mencatat keterbatasan eksperimen ini. Salah satunya adalah bahwa tindakan yang diteliti sangat sederhana dan tidak melibatkan pengambilan keputusan kompleks yang relevan secara moral. Selain itu, pelaporan waktu niat sadar bersifat retrospektif dan sangat bergantung pada persepsi waktu individu, yang dapat bias.⁽⁴⁾

Kritik lainnya mempertanyakan apakah RP benar-benar menandai niat untuk bertindak, atau hanya refleksi dari aktivasi motorik spontan yang tidak berkaitan dengan keputusan sadar. Patrick Haggard dan Martin Eimer, misalnya, menunjukkan bahwa RP mungkin merupakan hasil dari akumulasi rangsangan neural yang tidak selalu berujung pada tindakan.⁽⁵⁾

Meskipun demikian, eksperimen Libet tetap menjadi batu pijakan penting dalam perdebatan modern mengenai kesadaran, niat, dan tanggung jawab moral, serta telah menginspirasi sejumlah studi lanjutan dengan teknologi yang lebih mutakhir seperti fMRI dan analisis decoding saraf.


Catatan Kaki

[1]                Benjamin Libet et al., “Time of Conscious Intention to Act in Relation to Onset of Cerebral Activity (Readiness-Potential): The Unconscious Initiation of a Freely Voluntary Act,” Brain 106, no. 3 (1983): 623–642.

[2]                Libet, Mind Time: The Temporal Factor in Consciousness (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 123–127.

[3]                Ibid., 136–138.

[4]                Alfred R. Mele, Free: Why Science Hasn’t Disproved Free Will (New York: Oxford University Press, 2014), 28–32.

[5]                Patrick Haggard and Martin Eimer, “On the Relation between Brain Potentials and the Awareness of Voluntary Movements,” Experimental Brain Research 126, no. 1 (1999): 128–133.


4.           Implikasi Filosofis terhadap Kebebasan Kehendak

Temuan dari percobaan Benjamin Libet menimbulkan guncangan besar dalam wacana filosofis mengenai kebebasan kehendak. Jika tindakan motorik sederhana dimulai oleh aktivitas otak yang tidak disadari sebelum individu menyadari keinginannya untuk bertindak, hal ini tampaknya mendukung pandangan deterministik bahwa manusia tidak benar-benar memiliki kontrol penuh atas keputusan dan tindakan mereka. Implikasi ini telah menjadi bahan diskusi intensif di kalangan filsuf pikiran, ahli etika, dan ilmuwan kognitif.

4.1.       Epifenomenalisme dan Determinisme

Salah satu interpretasi radikal dari hasil Libet adalah bahwa kesadaran hanyalah epifenomena, yakni hasil sampingan dari proses otak yang tidak memiliki kekuatan kausal terhadap tindakan. Dalam pandangan ini, perasaan bahwa kita “memutuskan” untuk bertindak hanyalah ilusi yang diciptakan setelah otak sudah memulai tindakan tersebut. Daniel Wegner, misalnya, dalam bukunya The Illusion of Conscious Will, berargumen bahwa perasaan memiliki kendali terhadap tindakan kita sebenarnya adalah konstruksi naratif yang dibangun setelah fakta, untuk memberikan rasa konsistensi pada perilaku kita.¹

Interpretasi ini memperkuat posisi deterministik, di mana setiap keputusan dan tindakan manusia adalah hasil dari rangkaian sebab-akibat biologis dan lingkungan yang tidak dapat diintervensi secara bebas oleh individu. Jika niat sadar muncul setelah otak telah membuat keputusan, maka kehendak bebas dalam arti tradisional — sebagai kapasitas untuk memulai tindakan secara otonom — menjadi diragukan.

4.2.       Kompatibilisme: Upaya Rekonsiliasi

Namun, tidak semua respon terhadap eksperimen Libet bersifat eliminatif terhadap kehendak bebas. Para kompatibilis seperti Daniel Dennett berpendapat bahwa kehendak bebas tetap dapat dipertahankan jika didefinisikan secara lebih fleksibel. Dalam Freedom Evolves, Dennett menyatakan bahwa kehendak bebas tidak harus diartikan sebagai kemampuan untuk bertindak secara independen dari sebab-sebab fisik, tetapi sebagai kemampuan untuk bertindak berdasarkan alasan, refleksi, dan evaluasi, meskipun semua ini terjadi dalam sistem biologis yang deterministik.²

Dennett mengkritik eksperimen Libet karena hanya melibatkan gerakan motorik sederhana, bukan keputusan bermakna yang melibatkan pertimbangan rasional atau moral. Oleh karena itu, dia berpendapat bahwa hasil Libet tidak serta merta menggugurkan ide tentang kehendak bebas dalam konteks keputusan penting dalam kehidupan nyata.³

4.3.       Kritik terhadap Interpretasi Deterministik

Filsuf seperti Alfred Mele juga mengingatkan bahwa terlalu cepat menarik kesimpulan metafisik dari eksperimen Libet adalah keliru. Dalam Free: Why Science Hasn’t Disproved Free Will, Mele berargumen bahwa readiness potential (RP) mungkin tidak mewakili keputusan untuk bertindak, tetapi hanya refleksi dari kesiapan motorik yang belum tentu berujung pada tindakan aktual.⁴ Dengan kata lain, RP bisa menjadi tanda bahwa sistem saraf sedang bersiap, tetapi keputusan sadar bisa tetap berperan dalam mengkonfirmasi atau membatalkan tindakan itu.

Lebih lanjut, Mele menunjukkan bahwa kesadaran memiliki jendela waktu (sekitar 200 milidetik sebelum tindakan) untuk membatalkan tindakan, sebuah aspek yang juga diakui Libet sebagai “fungsi veto”.⁵ Jika veto ini dioperasikan secara sadar, maka ada ruang bagi bentuk kehendak bebas dalam bentuk pengendalian negatif atas perilaku.

4.4.       Revisi Terhadap Konsep Kehendak Bebas

Implikasi dari eksperimen Libet memaksa filsuf dan ilmuwan untuk mempertimbangkan revisi terhadap konsep tradisional tentang kehendak bebas. Model kehendak yang lebih kontemporer cenderung menekankan:

·                     Multilevel agency: keputusan dan tindakan melibatkan berbagai tingkatan proses kognitif, mulai dari otomatisasi tak sadar hingga deliberasi sadar.

·                     Kebebasan berbasis kapasitas: kehendak bebas dipandang sebagai kapasitas untuk melakukan kontrol reflektif terhadap tindakan, bukan kebebasan absolut dari sebab-akibat fisik.⁶

Dengan demikian, walaupun percobaan Libet meruntuhkan bentuk kehendak bebas libertarian (yang menuntut kebebasan absolut dari determinasi), ia masih menyisakan ruang untuk model kehendak bebas yang lebih realistik dan sesuai dengan temuan ilmiah.


Kesimpulan Awal

Eksperimen Libet memperkaya perdebatan klasik mengenai kehendak bebas dengan memberikan data empiris yang perlu dipertimbangkan serius. Namun, interpretasi terhadap data tersebut tetap tergantung pada kerangka konseptual yang digunakan, dan belum mengakhiri perdebatan filosofis mengenai kebebasan, tanggung jawab, dan agensi manusia.


Catatan Kaki

[1]                Daniel M. Wegner, The Illusion of Conscious Will (Cambridge, MA: MIT Press, 2002), 65–72.

[2]                Daniel C. Dennett, Freedom Evolves (New York: Viking, 2003), 165–172.

[3]                Ibid., 178–181.

[4]                Alfred R. Mele, Free: Why Science Hasn’t Disproved Free Will (New York: Oxford University Press, 2014), 34–38.

[5]                Benjamin Libet, Mind Time: The Temporal Factor in Consciousness (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 137–140.

[6]                Neil Levy, Hard Luck: How Luck Undermines Free Will and Moral Responsibility (Oxford: Oxford University Press, 2011), 89–95.


5.           Kritik terhadap Percobaan Libet

Meskipun percobaan Benjamin Libet dianggap sebagai tonggak penting dalam studi ilmiah tentang kehendak bebas, ia juga telah menjadi subjek berbagai kritik metodologis dan konseptual. Sejumlah ahli saraf, filsuf, dan psikolog mengemukakan bahwa baik desain eksperimen maupun interpretasi atas hasilnya memiliki keterbatasan yang signifikan. Kritik-kritik ini penting untuk memahami sejauh mana validitas kesimpulan yang diambil dari eksperimen tersebut dan bagaimana temuan Libet sebaiknya diposisikan dalam debat tentang kehendak bebas.

5.1.       Kritik terhadap Metodologi Eksperimen

Salah satu kritik utama terhadap eksperimen Libet adalah ketidakakuratan dalam pengukuran waktu kesadaran subjektif. Penentuan waktu kemunculan niat sadar (W-judgment) mengandalkan laporan introspektif partisipan tentang posisi titik pada "Libet clock" saat mereka pertama kali menyadari keinginan untuk bertindak. Mekanisme ini rentan terhadap bias retrospektif, ilusi waktu, dan kesalahan persepsi, sehingga mempertanyakan ketepatan data yang diperoleh.¹

Matthew Davidson menyoroti bahwa sistem persepsi manusia terhadap waktu bersifat fluktuatif, dan bahwa ada latensi antara pengalaman sadar dan kesadaran akan pengalaman itu, yang dapat menggeser pelaporan waktu secara sistematis.² Dengan kata lain, pelaporan waktu niat sadar mungkin lebih mencerminkan rekonstruksi memori daripada kesadaran real-time.

5.2.       Apakah Readiness Potential Merepresentasikan Keputusan?

Kritik penting lainnya menyangkut interpretasi readiness potential (RP) itu sendiri. Tidak semua peneliti sepakat bahwa RP mencerminkan keputusan atau niat untuk bertindak. Patrick Haggard dan Martin Eimer menunjukkan bahwa RP dapat dihasilkan oleh akumulasi fluktuasi aktivitas neuron spontan, tanpa melibatkan proses keputusan sadar.³ Menurut hipotesis akumulasi ini, RP hanya menandai bahwa sistem motorik mendekati ambang aktivasi, bukan bahwa keputusan sadar untuk bertindak telah dibuat.

Dalam konteks ini, RP bisa saja hadir tanpa berujung pada tindakan aktual, dan tindakan sadar bisa tetap memiliki peran penting dalam memverifikasi, mengkonfirmasi, atau membatalkan gerakan yang disiapkan secara otomatis.

5.3.       Keterbatasan Kompleksitas Tugas

Eksperimen Libet melibatkan tugas motorik sederhana seperti menekan tombol atau menggerakkan pergelangan tangan, yang tidak merepresentasikan kompleksitas keputusan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Alfred Mele menekankan bahwa keputusan etis, sosial, atau strategis yang membutuhkan pertimbangan rasional dan deliberasi tidak dapat disamakan begitu saja dengan gerakan motorik spontan.⁴ Oleh karena itu, generalisasi hasil eksperimen ini ke seluruh ranah kehendak bebas manusia dianggap berlebihan.

Selain itu, dalam tindakan kompleks, ada keterlibatan aktif dari proses kognitif tingkat tinggi seperti perencanaan, evaluasi konsekuensi, dan pengambilan keputusan berbasis nilai, yang mungkin melibatkan kesadaran secara lebih substantif daripada dalam gerakan motorik sederhana.

5.4.       Masalah Interpretasi Filosofis

Sejumlah filsuf berargumen bahwa meskipun temuan Libet menantang pemahaman tradisional tentang kehendak bebas, mereka tidak cukup untuk menyimpulkan nihilisme moral atau penghapusan tanggung jawab pribadi. Neil Levy mengemukakan bahwa kehendak bebas tidak harus dipahami sebagai kemampuan untuk menginisiasi tindakan tanpa sebab, tetapi lebih kepada kapasitas untuk mengontrol tindakan berdasarkan refleksi dan evaluasi.⁵ Eksperimen Libet, dalam pandangan ini, mungkin lebih banyak membicarakan tentang mekanisme permulaan tindakan spontan daripada tentang kapasitas reflektif manusia secara keseluruhan.

Lebih jauh lagi, kritik terhadap determinisme biologis mengingatkan bahwa dalam kerangka kompatibilisme, determinasi tidak serta-merta meniadakan kebebasan, selama individu dapat bertindak sesuai dengan keinginan, nilai, dan pertimbangan internal mereka.

5.5.       Replikasi dan Eksperimen Alternatif

Studi lanjutan dengan teknik yang lebih canggih seperti fMRI oleh Soon et al. (2008) menemukan bahwa keputusan sederhana dapat diprediksi beberapa detik sebelum kesadaran, namun prediksi ini tidak bersifat absolut dan hanya akurat sekitar 60 persen.⁶ Temuan ini memperkuat pandangan bahwa kecenderungan menuju keputusan mungkin telah dimulai secara tidak sadar, tetapi ruang untuk pengaruh sadar dalam proses pengambilan keputusan tetap ada.

Selain itu, peneliti seperti Aaron Schurger mengusulkan bahwa RP bisa dipahami dalam kerangka model akumulasi stokastik, di mana tindakan terjadi setelah fluktuasi aktivitas neural mencapai ambang tertentu, tanpa memerlukan keputusan deterministik awal.⁷ Model ini lebih kompatibel dengan ide bahwa ada campuran antara faktor sadar dan tidak sadar dalam pengambilan keputusan.


Kesimpulan Awal atas Kritik

Eksperimen Libet membawa sumbangan penting terhadap studi ilmiah tentang kehendak, namun interpretasinya memerlukan kehati-hatian. Baik keterbatasan metodologis maupun kompleksitas konseptual menunjukkan bahwa pertanyaan tentang kehendak bebas tetap terbuka, dan bahwa temuan neurofisiologis harus dipahami dalam kerangka integratif yang mencakup aspek biologis, psikologis, dan filosofis dari agensi manusia.


Catatan Kaki

[1]                Benjamin Libet, Mind Time: The Temporal Factor in Consciousness (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 123–125.

[2]                Matthew Davidson, “Why Libet’s Studies Don’t Pose a Threat to Free Will,” Philosophy and Phenomenological Research 94, no. 3 (2017): 743–760.

[3]                Patrick Haggard and Martin Eimer, “On the Relation between Brain Potentials and the Awareness of Voluntary Movements,” Experimental Brain Research 126, no. 1 (1999): 128–133.

[4]                Alfred R. Mele, Effective Intentions: The Power of Conscious Will (New York: Oxford University Press, 2009), 61–68.

[5]                Neil Levy, Hard Luck: How Luck Undermines Free Will and Moral Responsibility (Oxford: Oxford University Press, 2011), 93–98.

[6]                Chun Siong Soon et al., “Unconscious Determinants of Free Decisions in the Human Brain,” Nature Neuroscience 11, no. 5 (2008): 543–545.

[7]                Aaron Schurger, Jacobo Sitt, and Stanislas Dehaene, “An Accumulator Model for Spontaneous Neural Activity Prior to Self-Initiated Movement,” Proceedings of the National Academy of Sciences 109, no. 42 (2012): E2904–E2913.


6.           Replikasi dan Eksperimen Lanjutan

Sejak publikasi eksperimen awal Benjamin Libet, banyak upaya telah dilakukan untuk mereplikasi, mengembangkan, dan menafsirkan ulang hasil-hasilnya menggunakan teknologi neuroimaging yang lebih canggih dan metodologi eksperimental yang lebih ketat. Studi-studi lanjutan ini tidak hanya memperkaya pemahaman tentang hubungan antara kesadaran dan tindakan, tetapi juga memperlihatkan kompleksitas lebih lanjut dari persoalan kehendak bebas.

6.1.       Penelitian Chun Siong Soon dan Rekan-rekan (2008)

Salah satu replikasi dan pengembangan paling berpengaruh dilakukan oleh Chun Siong Soon bersama koleganya pada tahun 2008 menggunakan teknik functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI). Dalam studi ini, peserta diminta memilih secara bebas untuk menekan satu dari dua tombol dengan jari kiri atau kanan, sambil aktivitas otak mereka dipantau.⁽¹⁾

Hasilnya menunjukkan bahwa pola aktivitas di korteks prefrontal dan parietal dapat memprediksi pilihan peserta hingga 7 detik sebelum mereka secara sadar melaporkannya. Model decoding berbasis machine learning yang digunakan dalam studi ini menunjukkan akurasi prediksi sekitar 60%, jauh di atas tingkat kebetulan 50%, namun tetap menunjukkan adanya elemen ketidakpastian.⁽²⁾

Interpretasi utama dari temuan ini adalah bahwa kecenderungan menuju suatu keputusan sudah mulai terbentuk di otak jauh sebelum kesadaran eksplisit tentang keputusan itu muncul. Namun, karena prediksi tidak mencapai 100%, masih ada ruang bagi faktor kesadaran dalam menentukan hasil akhir.

6.2.       Model Akumulasi Neural: Alternatif terhadap Interpretasi Deterministik

Sebagai respons terhadap temuan Libet dan Soon, Aaron Schurger dan rekan-rekannya mengusulkan model akumulasi stokastik (accumulator model) pada tahun 2012. Dalam model ini, aktivitas readiness potential (RP) tidak diartikan sebagai persiapan keputusan spesifik, melainkan sebagai hasil dari akumulasi fluktuasi neural spontan yang secara kebetulan melampaui ambang batas, memicu tindakan.⁽³⁾

Model ini menyarankan bahwa keputusan untuk bertindak, terutama dalam konteks tugas-tugas tanpa tekanan waktu atau konsekuensi berat, bisa merupakan hasil dari proses dinamis di mana kesadaran tetap memiliki kesempatan untuk mengintervensi sebelum aksi dilakukan. Dengan demikian, akumulasi stokastik menawarkan penjelasan alternatif yang lebih fleksibel, yang tidak sepenuhnya menafikan peran kesadaran dalam proses pengambilan keputusan.

6.3.       Penelitian Tambahan dan Pendekatan Berbasis Magnetoencephalography (MEG)

Metode lain seperti magnetoencephalography (MEG) telah digunakan untuk mempelajari lebih rinci waktu dan lokasi aktivitas otak yang terkait dengan tindakan sukarela. Misalnya, penelitian oleh Jo et al. (2013) menggunakan MEG menemukan bahwa prediksi niat untuk bertindak muncul dalam jaringan motorik dan prefrontal beberapa ratus milidetik sebelum tindakan, namun mereka juga mengidentifikasi keterlibatan dinamis dan berlapis dalam pengambilan keputusan.⁽⁴⁾

Penelitian ini menunjukkan bahwa, alih-alih ada satu "titik keputusan" sebelum tindakan, proses pengambilan keputusan lebih merupakan kontinum kompleks yang melibatkan berbagai tingkatan representasi dan kontrol neural.

6.4.       Studi tentang Fungsi "Veto"

Sejumlah eksperimen juga berusaha menguji hipotesis fungsi veto Libet, yaitu kemampuan kesadaran untuk menghentikan tindakan setelah inisiasi neural tidak sadar terjadi. Studi-studi seperti yang dilakukan oleh Schultze-Kraft et al. (2016) menunjukkan bahwa subjek dapat, dalam beberapa kasus, membatalkan tindakan yang telah diprogram oleh otak dengan memberikan sinyal penghentian pada waktu yang sangat sempit sebelum tindakan terealisasi.⁽⁵⁾

Temuan ini mendukung ide bahwa meskipun banyak dari proses pengambilan keputusan awal mungkin terjadi secara tidak sadar, kontrol sadar terhadap output tindakan tetap mungkin dilakukan, meskipun dalam jendela waktu yang sangat terbatas.


6.5.       Implikasi dari Penelitian Lanjutan

Replikasi dan eksperimen lanjutan memperlihatkan bahwa kesadaran mungkin tidak menjadi inisiator utama tindakan sederhana, tetapi tetap berperan penting dalam mengendalikan, memverifikasi, atau membatalkan tindakan-tindakan tersebut. Ini memberikan justifikasi bagi pandangan bahwa kehendak bebas tidak sepenuhnya dihapus oleh determinasi neural awal, melainkan bahwa agensi manusia beroperasi dalam konteks kompleks antara proses sadar dan tidak sadar.

Studi-studi ini juga mendorong pengembangan pemahaman baru tentang kehendak bebas sebagai fenomena berjenjang dan berproses, bukan sebagai keputusan tiba-tiba atau momen singular.


Catatan Kaki

[1]                Chun Siong Soon et al., “Unconscious Determinants of Free Decisions in the Human Brain,” Nature Neuroscience 11, no. 5 (2008): 543–545.

[2]                Ibid., 544.

[3]                Aaron Schurger, Jacobo Sitt, and Stanislas Dehaene, “An Accumulator Model for Spontaneous Neural Activity Prior to Self-Initiated Movement,” Proceedings of the National Academy of Sciences 109, no. 42 (2012): E2904–E2913.

[4]                Hyeon-Ae Jo et al., “Spontaneous Fluctuations in Neural Activity Dissociate Action Preparation from Action Initiation,” Nature Communications 4 (2013): Article 2064.

[5]                Matthias Schultze-Kraft et al., “Prediction of Volitional Decisions by Monitoring Ongoing Brain Activity,” Current Biology 26, no. 5 (2016): 689–694.


7.           Perspektif Alternatif: Neurosains Kontemporer dan Model Kehendak

Seiring dengan kemajuan teknologi neuroimaging dan teori-teori kognitif, para peneliti dalam bidang neurosains kontemporer mengembangkan pendekatan baru untuk memahami hubungan antara aktivitas otak, kesadaran, dan tindakan. Perspektif ini berupaya menghindari interpretasi reduksionistik atas eksperimen Libet, dan sebagai gantinya menawarkan model kehendak yang lebih kompleks dan berlapis, yang mempertimbangkan kontribusi proses sadar dan tidak sadar secara dinamis.

7.1.       Model Kompetisi Neural dan Dinamika Keputusan

Salah satu pendekatan kontemporer yang berkembang adalah model kompetisi neural (neural competition models). Dalam model ini, keputusan untuk bertindak tidak dilihat sebagai hasil dari satu impuls tunggal yang memicu tindakan, melainkan sebagai hasil kompetisi di antara populasi neuron yang mewakili alternatif tindakan yang berbeda.⁽¹⁾

Patrick Haggard berpendapat bahwa niat sadar untuk bertindak muncul ketika satu kumpulan representasi tindakan menjadi dominan melalui proses kompetitif ini.⁽²⁾ Kesadaran, dalam pandangan ini, berfungsi untuk mengkonsolidasikan keputusan yang telah diolah pada tingkat bawah sadar, sekaligus menyediakan mekanisme refleksi dan pengendalian yang dapat mengubah atau membatalkan kecenderungan awal.

Model kompetisi ini selaras dengan hasil eksperimen akumulasi stokastik, seperti yang dikemukakan Aaron Schurger, yang menunjukkan bahwa kesiapan untuk bertindak berkembang secara bertahap melalui akumulasi fluktuasi aktivitas neural menuju ambang aksi.⁽³⁾

7.2.       Model Integrasi Waktu dan Persepsi Kehendak

Peneliti lain, seperti Masao Matsuhashi dan Mark Hallett, mengusulkan bahwa terdapat proses integrasi waktu dalam pembentukan niat sadar.⁽⁴⁾ Mereka menunjukkan bahwa niat untuk bertindak dapat dideteksi melalui teknik stimulasi magnetik transkranial (transcranial magnetic stimulation atau TMS) beberapa saat sebelum tindakan terjadi, bahkan sebelum subjek menyadarinya secara eksplisit.

Penemuan ini mendukung gagasan bahwa kesadaran niat bukanlah peristiwa diskret, tetapi hasil dari akumulasi bertahap informasi internal yang pada akhirnya melampaui ambang batas perhatian sadar. Kesadaran niat, dengan demikian, mungkin merupakan fenomena yang dibangun secara progresif, bukan instan, dan karena itu mungkin lebih terlibat dalam pengambilan keputusan daripada yang disarankan oleh eksperimen Libet.

7.3.       Peran Sistem Eksekutif dalam Agensi

Penelitian terkini dalam kognisi eksekutif menempatkan fungsi lobus prefrontal sebagai pusat kontrol atas perilaku yang melibatkan perencanaan, evaluasi, inhibisi, dan pengaturan keputusan.⁽⁵⁾ Ini berarti bahwa kehendak bebas dapat dipahami sebagai hasil dari proses kompleks di mana sistem eksekutif mengintegrasikan berbagai input internal dan eksternal untuk mengarahkan tindakan secara sadar.

Filsuf dan neurosaintis seperti Michael Gazzaniga mengajukan bahwa otak bertindak sebagai “sistem interpretator” yang menggabungkan output dari berbagai subsistem neural untuk membentuk narasi kohesif tentang "keputusan" dan "niat."⁽⁶⁾ Dalam kerangka ini, agensi tidak bersumber dari satu titik tunggal dalam otak, melainkan dari interaksi dinamis antara berbagai wilayah otak.

7.4.       Pendekatan Interdisipliner terhadap Kehendak Bebas

Dalam menjawab tantangan Libet, banyak ilmuwan mengadvokasi pendekatan interdisipliner yang menggabungkan temuan neurosains dengan teori-teori filosofis tentang kontrol reflektif, otonomi, dan tanggung jawab moral. Misalnya, Walter Glannon berpendapat bahwa kehendak bebas lebih baik dipahami sebagai kemampuan untuk mengatur tindakan melalui kontrol sadar terhadap impuls-impuls bawaan, bukan sebagai kebebasan metafisik absolut.⁽⁷⁾

Model-model ini menyarankan bahwa, meskipun banyak dari inisiasi tindakan terjadi di luar kesadaran, kemampuan manusia untuk menilai, menahan, atau mengarahkan tindakan tersebut tetap merupakan bentuk autentik dari kehendak bebas.


Kesimpulan Awal atas Perspektif Alternatif

Perspektif alternatif dari neurosains kontemporer menunjukkan bahwa kehendak bebas tidak harus diartikan sebagai kebebasan dari semua determinasi neural, melainkan sebagai kemampuan untuk mengontrol dan mengarahkan perilaku berdasarkan proses reflektif yang berkembang di dalam sistem otak yang kompleks. Kesadaran, dalam model ini, tetap memiliki fungsi penting dalam memberikan arah, nilai, dan koreksi terhadap kecenderungan tindakan yang muncul dari proses bawah sadar.

Pendekatan ini membuka ruang untuk memahami kehendak bebas sebagai fenomena bertingkat, hasil dari dinamika antara proses sadar dan tidak sadar, dan dengan demikian mempertahankan relevansi moral dan praktis dari agensi manusia di era neurosains modern.


Catatan Kaki

[1]                Patrick Haggard, “Conscious Intention and Motor Cognition,” Trends in Cognitive Sciences 9, no. 6 (2005): 290–295.

[2]                Ibid., 291.

[3]                Aaron Schurger, Jacobo Sitt, and Stanislas Dehaene, “An Accumulator Model for Spontaneous Neural Activity Prior to Self-Initiated Movement,” Proceedings of the National Academy of Sciences 109, no. 42 (2012): E2904–E2913.

[4]                Masao Matsuhashi and Mark Hallett, “The Timing of the Conscious Intention to Move,” European Journal of Neuroscience 28, no. 11 (2008): 2344–2351.

[5]                David Badre and John D. E. Gabrieli, “Frontal Lobe Mechanisms That Resolve Proactive Interference,” Cerebral Cortex 14, no. 7 (2004): 829–836.

[6]                Michael S. Gazzaniga, Who's in Charge?: Free Will and the Science of the Brain (New York: Ecco, 2011), 88–93.

[7]                Walter Glannon, Brain, Body, and Mind: Neuroethics with a Human Face (New York: Oxford University Press, 2011), 45–49.


8.           Implikasi Etis dan Hukum

Eksperimen Libet dan studi-studi lanjutan dalam neurosains tentang niat dan kesadaran tidak hanya berdampak pada diskursus filosofis, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius dalam ranah etika dan hukum. Jika tindakan manusia dipicu oleh proses otak yang tidak disadari sebelum kemunculan niat sadar, maka pondasi normatif yang selama ini menopang konsep tanggung jawab moral dan hukum turut dipertanyakan. Apakah seseorang tetap dapat dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya jika tindakan tersebut didahului oleh aktivitas neural yang tak disadari?

8.1.       Tanggung Jawab Moral dalam Perspektif Neurosains

Secara tradisional, tanggung jawab moral diasumsikan bersumber dari kemampuan seseorang untuk bertindak secara sadar dan bebas. Namun, temuan seperti readiness potential (RP) dan prediksi keputusan berbasis pola aktivitas otak sebelum kesadaran muncul menantang asumsi ini. Jika tindakan sudah “diputuskan” oleh otak sebelum individu menyadarinya, maka akuntabilitas personal tampaknya tergeser oleh determinan biologis.

Joshua Greene dan Jonathan Cohen berargumen bahwa neurosains tidak harus menggantikan sistem hukum, tetapi dapat merevolusi cara kita memahami niat dan tanggung jawab. Mereka berpendapat bahwa banyak aspek perilaku manusia yang dianggap sebagai hasil dari "pilihan bebas" mungkin sebetulnya merupakan produk dari predisposisi neurologis atau keadaan mental yang tidak disadari. Namun, mereka juga mengakui bahwa sistem hukum tetap memerlukan struktur tanggung jawab sebagai mekanisme sosial yang fungsional.¹

Dalam perspektif ini, muncul pemikiran bahwa hukuman harus diarahkan pada rehabilitasi dan pencegahan, bukan pembalasan atas kesalahan moral yang didasarkan pada asumsi kehendak bebas yang metafisik. Maka, sistem keadilan dapat diposisikan ulang untuk mengakomodasi pemahaman ilmiah tentang otak, sambil tetap mempertahankan kerangka etik-praktis yang dapat diterapkan secara sosial.

8.2.       Kapabilitas untuk Kontrol sebagai Dasar Tanggung Jawab

Walter Glannon membela pendekatan yang lebih moderat dengan menyatakan bahwa tanggung jawab moral dan hukum dapat tetap dipertahankan jika individu memiliki kapasitas untuk kontrol reflektif, meskipun sebagian proses mentalnya terjadi secara tidak sadar.² Dalam konteks ini, kehendak bebas bukan berarti kebebasan dari semua sebab, tetapi kemampuan untuk mengatur dan mengevaluasi kecenderungan perilaku melalui kesadaran.

Dengan demikian, pelaku kejahatan yang masih memiliki kapasitas untuk membedakan yang benar dan salah serta mengontrol tindakannya dapat tetap dimintai pertanggungjawaban, meskipun faktor biologis seperti impulsifitas atau gangguan otak ikut memengaruhi perilakunya.

8.3.       Implikasi terhadap Evaluasi Kompetensi Hukum

Temuan neurosains juga berdampak pada penilaian kompetensi individu dalam hukum pidana, seperti dalam kasus pembelaan karena gangguan kejiwaan (insanity defense) atau penurunan kapasitas kontrol (diminished responsibility). Neurosains modern memungkinkan deteksi kelainan struktural atau fungsional di otak yang terkait dengan perilaku agresif, impulsif, atau tidak rasional.

Misalnya, gangguan pada korteks prefrontal ventromedial, yang berperan dalam pengambilan keputusan moral dan inhibisi impuls, telah dikaitkan dengan peningkatan perilaku antisosial dan pelanggaran norma sosial.³ Jika seorang terdakwa memiliki kerusakan atau disfungsi pada wilayah ini, maka dapat muncul argumen bahwa ia kurang mampu menjalankan kontrol sadar atas tindakannya, dan karena itu pengadilan perlu mempertimbangkan faktor neurologis ini dalam menjatuhkan hukuman.

8.4.       Etika Intervensi Neurosains

Isu etis lainnya adalah potensi penggunaan pengetahuan neurosains untuk intervensi perilaku, seperti neuroenhancement, manipulasi niat melalui stimulasi otak, atau deteksi dini kecenderungan kriminal. Teknologi seperti brain-computer interface (BCI), neurofeedback, atau stimulasi otak dalam bisa berkontribusi pada pengendalian perilaku di masa depan.

Namun, intervensi semacam ini menimbulkan kekhawatiran etis serius: Apakah intervensi semacam itu melanggar otonomi individu? Apakah seseorang dapat dianggap bertindak secara bebas jika niatnya dimodifikasi melalui teknologi?_

Komite bioetika internasional seperti UNESCO Bioethics Committee menekankan bahwa prinsip-prinsip martabat manusia, otonomi, dan persetujuan sadar harus tetap menjadi dasar dalam penerapan teknologi berbasis neurosains.⁵ Dalam konteks ini, diperlukan regulasi dan norma etik yang ketat untuk memastikan bahwa temuan-temuan tentang otak tidak digunakan secara represif atau manipulatif.


Kesimpulan Awal atas Implikasi Etis dan Hukum

Eksperimen Libet dan temuan-temuan lanjutan membuka kembali perdebatan tentang apa artinya menjadi agen moral dan hukum. Meskipun terdapat indikasi bahwa proses bawah sadar memulai tindakan manusia, kemampuan untuk mengendalikan, menilai, dan mengarahkan tindakan secara sadar tetap menjadi dasar yang sah bagi konsep tanggung jawab. Oleh karena itu, pendekatan etik dan hukum ke depan harus lebih bersifat pragmatis, berbasis ilmu pengetahuan, dan tetap mempertahankan nilai-nilai otonomi dan keadilan dalam masyarakat.


Catatan Kaki

[1]                Joshua D. Greene and Jonathan D. Cohen, “For the Law, Neuroscience Changes Nothing and Everything,” Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences 359, no. 1451 (2004): 1775–1785.

[2]                Walter Glannon, Neuroethics: An Introduction with Readings (New York: Oxford University Press, 2011), 58–63.

[3]                Antoine Bechara et al., “Deciding Advantageously Before Knowing the Advantageous Strategy,” Science 275, no. 5304 (1997): 1293–1295.

[4]                Nicole A. Vincent, “Neuromanaging Normativity,” Neuroethics 4, no. 1 (2011): 35–49.

[5]                UNESCO International Bioethics Committee, Report of the IBC on the Ethical Issues of Neurotechnology (Paris: UNESCO, 2014), 6–10.


9.           Kesimpulan

Eksperimen Libet dan berbagai studi lanjutan dalam bidang neurosains telah memberikan kontribusi signifikan terhadap pemahaman ilmiah tentang hubungan antara kesadaran, niat, dan tindakan manusia. Temuan bahwa aktivitas otak (readiness potential) mendahului kesadaran subjektif mengenai niat untuk bertindak telah memicu perdebatan luas tentang realitas kehendak bebas, tidak hanya dalam bidang filsafat pikiran, tetapi juga dalam etika, hukum, dan ilmu kognitif.

Namun, seperti yang telah dibahas secara menyeluruh dalam artikel ini, interpretasi deterministik terhadap hasil eksperimen Libet bukanlah satu-satunya kemungkinan. Sejumlah kritik metodologis menyoroti keterbatasan dalam pengukuran waktu niat sadar, sifat simplistik tugas eksperimental, dan ambiguitas makna readiness potential, yang semuanya menunjukkan bahwa kesimpulan tentang nihilnya kehendak bebas belum dapat dinyatakan secara definitif.¹

Eksperimen lanjutan, seperti yang dilakukan oleh Chun Siong Soon et al. melalui teknik fMRI, memang menunjukkan adanya pola aktivitas neural yang mendahului keputusan sadar, namun akurasi prediksi yang tidak sempurna serta keterlibatan wilayah-wilayah otak yang berbeda menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan manusia adalah multifaset dan tidak semata-mata deterministik.² Lebih jauh, model-model alternatif seperti accumulator model yang diajukan Aaron Schurger memperlihatkan bahwa proses neural menuju tindakan dapat melibatkan dinamika stokastik, di mana peran kesadaran tetap signifikan, khususnya dalam penguatan atau penghambatan aksi.³

Dari sudut pandang filosofis, hasil-hasil eksperimen Libet tidak serta merta membatalkan eksistensi kehendak bebas, melainkan menantang pengertian klasik tentang kehendak bebas sebagai kebebasan metafisik dari kausalitas. Pandangan kompatibilis, seperti yang diajukan oleh Daniel Dennett dan Alfred Mele, berpendapat bahwa kehendak bebas dapat difahami sebagai kapasitas untuk mengontrol, merefleksi, dan mengevaluasi tindakan, walaupun dalam konteks sebab-akibat biologis yang kompleks.⁴

Dalam bidang etika dan hukum, diskursus tentang kehendak bebas tetap memiliki relevansi praktis, terutama dalam konteks pertanggungjawaban moral dan pidana. Pendekatan neuroetika kontemporer, sebagaimana yang dikemukakan oleh Walter Glannon dan Greene & Cohen, menunjukkan bahwa meskipun banyak proses mental terjadi secara tak sadar, kemampuan untuk mengontrol dan menilai tindakan secara sadar tetap menjadi dasar rasional bagi sistem hukum dan moralitas modern.⁵

Secara keseluruhan, artikel ini menyimpulkan bahwa:

·                     Eksperimen Libet adalah tonggak penting dalam menjembatani ilmu saraf dan filsafat, namun hasilnya harus dipahami secara hati-hati dan tidak diinterpretasikan secara simplistis.

·                     Kesadaran dan kehendak mungkin bukan pemicu awal tindakan, tetapi tetap berperan dalam pengendalian dan modifikasi tindakan yang telah diinisiasi secara bawah sadar.

·                     Kehendak bebas bukanlah absolut, tetapi dapat dipahami sebagai kemampuan bertingkat untuk menavigasi antara impuls neural dan kontrol sadar dalam konteks sosial dan etis.

·                     Tanggung jawab moral dan hukum tetap valid selama individu masih memiliki kapasitas untuk refleksi dan kontrol, meskipun dibatasi oleh faktor-faktor neurofisiologis.

Maka, dalam menghadapi tantangan dari ilmu saraf modern, konsep kehendak bebas dan agensi manusia tidak perlu ditinggalkan, tetapi perlu direkonstruksi secara konseptual agar sesuai dengan temuan empiris tanpa kehilangan daya normatifnya.


Catatan Kaki

[1]                Alfred R. Mele, Free: Why Science Hasn’t Disproved Free Will (New York: Oxford University Press, 2014), 33–41.

[2]                Chun Siong Soon et al., “Unconscious Determinants of Free Decisions in the Human Brain,” Nature Neuroscience 11, no. 5 (2008): 543–545.

[3]                Aaron Schurger, Jacobo Sitt, and Stanislas Dehaene, “An Accumulator Model for Spontaneous Neural Activity Prior to Self-Initiated Movement,” Proceedings of the National Academy of Sciences 109, no. 42 (2012): E2904–E2913.

[4]                Daniel C. Dennett, Freedom Evolves (New York: Viking, 2003), 157–164; Alfred R. Mele, Effective Intentions: The Power of Conscious Will (New York: Oxford University Press, 2009), 81–85.

[5]                Joshua D. Greene and Jonathan D. Cohen, “For the Law, Neuroscience Changes Nothing and Everything,” Philosophical Transactions of the Royal Society B 359, no. 1451 (2004): 1775–1785; Walter Glannon, Brain, Body, and Mind: Neuroethics with a Human Face (New York: Oxford University Press, 2011), 45–49.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.

Badre, D., & Gabrieli, J. D. E. (2004). Frontal lobe mechanisms that resolve proactive interference. Cerebral Cortex, 14(7), 829–836. https://doi.org/10.1093/cercor/bhh043

Bechara, A., Damasio, H., Tranel, D., & Damasio, A. R. (1997). Deciding advantageously before knowing the advantageous strategy. Science, 275(5304), 1293–1295. https://doi.org/10.1126/science.275.5304.1293

Davidson, M. (2017). Why Libet’s studies don’t pose a threat to free will. Philosophy and Phenomenological Research, 94(3), 743–760. https://doi.org/10.1111/phpr.12245

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.

Dennett, D. C. (2003). Freedom evolves. Viking.

Earman, J. (1986). A primer on determinism. Reidel.

Gazzaniga, M. S. (2011). Who's in charge?: Free will and the science of the brain. Ecco.

Glannon, W. (2011). Brain, body, and mind: Neuroethics with a human face. Oxford University Press.

Glannon, W. (2011). Neuroethics: An introduction with readings. Oxford University Press.

Greene, J. D., & Cohen, J. D. (2004). For the law, neuroscience changes nothing and everything. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences, 359(1451), 1775–1785. https://doi.org/10.1098/rstb.2004.1546

Haggard, P. (2005). Conscious intention and motor cognition. Trends in Cognitive Sciences, 9(6), 290–295. https://doi.org/10.1016/j.tics.2005.04.012

Haggard, P., & Eimer, M. (1999). On the relation between brain potentials and the awareness of voluntary movements. Experimental Brain Research, 126(1), 128–133. https://doi.org/10.1007/s002210050722

Jo, H.-A., Wittmann, M., Hinterberger, T., & Schmidt, S. (2013). Spontaneous fluctuations in neural activity dissociate action preparation from action initiation. Nature Communications, 4, 2064. https://doi.org/10.1038/ncomms3064

Levy, N. (2011). Hard luck: How luck undermines free will and moral responsibility. Oxford University Press.

Libet, B. (2004). Mind time: The temporal factor in consciousness. Harvard University Press.

Libet, B., Gleason, C. A., Wright, E. W., & Pearl, D. K. (1983). Time of conscious intention to act in relation to onset of cerebral activity (readiness-potential): The unconscious initiation of a freely voluntary act. Brain, 106(3), 623–642. https://doi.org/10.1093/brain/106.3.623

Matsuhashi, M., & Hallett, M. (2008). The timing of the conscious intention to move. European Journal of Neuroscience, 28(11), 2344–2351. https://doi.org/10.1111/j.1460-9568.2008.06525.x

Mele, A. R. (2009). Effective intentions: The power of conscious will. Oxford University Press.

Mele, A. R. (2014). Free: Why science hasn’t disproved free will. Oxford University Press.

Schultze-Kraft, M., Birman, D., Rusconi, M., Allefeld, C., Görgen, K., Dähne, S., Haynes, J.-D., & Blankertz, B. (2016). Prediction of volitional decisions by monitoring ongoing brain activity. Current Biology, 26(5), 689–694. https://doi.org/10.1016/j.cub.2016.01.017

Schurger, A., Sitt, J. D., & Dehaene, S. (2012). An accumulator model for spontaneous neural activity prior to self-initiated movement. Proceedings of the National Academy of Sciences, 109(42), E2904–E2913. https://doi.org/10.1073/pnas.1210467109

Soon, C. S., Brass, M., Heinze, H.-J., & Haynes, J.-D. (2008). Unconscious determinants of free decisions in the human brain. Nature Neuroscience, 11(5), 543–545. https://doi.org/10.1038/nn.2112

Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley, Trans.). Penguin Classics.

UNESCO International Bioethics Committee. (2014). Report of the IBC on the ethical issues of neurotechnology. UNESCO.

Vincent, N. A. (2011). Neuromanaging normativity. Neuroethics, 4(1), 35–49. https://doi.org/10.1007/s12152-010-9099-9

Wegner, D. M. (2002). The illusion of conscious will. MIT Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar