Minggu, 20 April 2025

Materi 4 LDK 2025: Public Speaking dan Branding Kegiatan Sekolah

Materi 4 LDK 2025

Public Speaking dan Branding Kegiatan Sekolah

“Strategi Komunikasi Efektif dalam Meningkatkan Citra Positif Lembaga Pendidikan”


Alihkan ke: MPK, OSIS.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif keterkaitan antara keterampilan public speaking dan strategi branding dalam konteks kegiatan sekolah sebagai sarana membangun citra positif lembaga pendidikan. Di tengah dinamika globalisasi informasi dan meningkatnya tuntutan publik terhadap kualitas pendidikan, sekolah dituntut tidak hanya unggul dalam akademik, tetapi juga cakap dalam mengelola komunikasi institusional. Public speaking diposisikan sebagai alat strategis dalam menyampaikan pesan kelembagaan secara persuasif dan membangun kepercayaan diri siswa serta profesionalitas tenaga pendidik. Sementara itu, branding kegiatan sekolah dipahami sebagai proses menciptakan identitas khas dan konsisten yang memperkuat persepsi publik terhadap nilai-nilai institusi. Artikel ini juga menguraikan strategi implementasi keduanya, mulai dari pelatihan siswa, peran guru dan kepala sekolah, integrasi dalam kurikulum, pemanfaatan media digital, hingga kolaborasi eksternal. Melalui studi kasus inspiratif di beberapa sekolah Indonesia, artikel ini menunjukkan bahwa integrasi antara public speaking dan branding mampu meningkatkan daya saing, memperluas pengaruh sosial, dan membentuk budaya komunikasi positif dalam ekosistem pendidikan. Tantangan-tantangan yang diidentifikasi—baik internal maupun eksternal—dianalisis secara kritis dengan tawaran solusi praktis dan kontekstual.


Kata Kunci: Public speaking, branding sekolah, komunikasi pendidikan, citra lembaga, strategi kelembagaan, pendidikan menengah, budaya komunikasi.


PEMBAHASAN

Public Speaking dan Branding Kegiatan Sekolah


1.           Pendahuluan

Dalam konteks pendidikan modern, kemampuan lembaga sekolah dalam membangun citra positif sangat menentukan tingkat kepercayaan masyarakat serta partisipasi aktif dari berbagai pemangku kepentingan. Salah satu strategi yang semakin menonjol dalam mendukung upaya ini adalah pemanfaatan public speaking dan branding kegiatan sekolah sebagai sarana komunikasi yang efektif, strategis, dan berorientasi publik.

Public speaking atau keterampilan berbicara di depan umum merupakan salah satu pilar utama dalam komunikasi interpersonal maupun institusional. Di lingkungan sekolah, keterampilan ini tidak hanya penting untuk siswa dalam membangun kepercayaan diri dan kemampuan presentasi, tetapi juga bagi guru dan kepala sekolah sebagai representasi nilai dan identitas institusi. Seperti yang ditegaskan oleh Beebe dan Beebe, komunikasi lisan yang efektif tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk persepsi, membangun kredibilitas, dan memengaruhi sikap audiens secara konstruktif¹. Dengan demikian, public speaking menjadi alat vital dalam menyampaikan pesan-pesan kelembagaan, terutama dalam konteks penyelenggaraan kegiatan sekolah.

Seiring dengan meningkatnya ekspektasi masyarakat terhadap transparansi dan kualitas pendidikan, institusi sekolah dituntut untuk tidak hanya unggul dalam hal akademik, tetapi juga mampu mengelola citra dan reputasi secara profesional. Di sinilah peran branding kegiatan sekolah menjadi relevan. Branding bukan sekadar logo atau slogan, melainkan suatu proses strategis dalam menciptakan identitas yang kuat, konsisten, dan mudah dikenali oleh publik². Melalui kegiatan yang dirancang dan dikomunikasikan secara tepat, sekolah dapat membangun brand image yang positif, baik di mata peserta didik, orang tua, maupun masyarakat luas.

Pentingnya integrasi antara public speaking dan branding dalam kegiatan sekolah juga sejalan dengan perkembangan paradigma manajemen pendidikan yang menekankan pada keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan inovasi. Menurut Kotler dan Fox, institusi pendidikan masa kini harus mengadopsi pendekatan pemasaran strategis yang mencakup promosi nilai-nilai institusional kepada publik secara aktif dan berkelanjutan³. Dalam hal ini, berbagai kegiatan sekolah seperti pentas seni, lomba, seminar, hingga acara kelulusan dapat dijadikan sebagai media komunikasi publik sekaligus sarana membentuk citra institusional yang kuat dan berdampak.

Dengan mempertimbangkan urgensi tersebut, artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam bagaimana strategi public speaking dan branding kegiatan sekolah dapat diterapkan secara sinergis guna meningkatkan citra positif lembaga pendidikan. Pembahasan akan mencakup landasan teoretis, pendekatan praktis, serta tantangan yang dihadapi dalam implementasinya di lingkungan sekolah.


Footnotes

[1]                Steven A. Beebe and Susan J. Beebe, Public Speaking: An Audience-Centered Approach, 10th ed. (Boston: Pearson, 2015), 4–6.

[2]                David A. Aaker, Building Strong Brands (New York: The Free Press, 1996), 68–72.

[3]                Philip Kotler and Karen F. A. Fox, Strategic Marketing for Educational Institutions, 2nd ed. (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 1995), 24–27.


2.           Konsep Dasar Public Speaking

Public speaking atau berbicara di depan umum merupakan bentuk komunikasi lisan yang dilakukan secara terstruktur dengan tujuan menyampaikan informasi, memengaruhi audiens, atau menginspirasi tindakan. Dalam konteks institusi pendidikan, keterampilan ini berperan sentral dalam mengomunikasikan pesan-pesan kelembagaan, menyampaikan visi dan misi sekolah, serta membangun hubungan harmonis antara sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman yang tepat terhadap konsep dan elemen dasar public speaking menjadi langkah awal yang krusial dalam merancang strategi komunikasi institusional yang efektif.

2.1.       Definisi dan Ruang Lingkup

Menurut Stephen E. Lucas, public speaking adalah bentuk komunikasi yang terencana dan bertujuan, biasanya dilakukan dalam forum publik, di mana pembicara menyusun pidato untuk disampaikan kepada khalayak tertentu¹. Kegiatan ini menuntut kejelasan dalam penyampaian, kemampuan membangun koneksi dengan audiens, serta penguasaan terhadap pesan yang ingin disampaikan. Public speaking bukan hanya sekadar berbicara, tetapi mencakup aspek psikologis, sosial, dan retoris yang kompleks.

Di lingkungan sekolah, kegiatan seperti pidato upacara, pembukaan acara, presentasi proyek, hingga peran sebagai pembawa acara (MC) merupakan bentuk nyata dari praktik public speaking yang dapat membentuk kepercayaan diri, citra profesional, serta kredibilitas institusi. Kegiatan ini juga mendukung pembentukan karakter siswa, yang diakui sebagai salah satu dimensi penting dalam Kurikulum Merdeka.

2.2.       Elemen-Elemen Dasar Public Speaking

Public speaking yang efektif ditopang oleh beberapa elemen dasar, antara lain:

1)                  Pembicara (Speaker): Sumber utama pesan yang bertanggung jawab atas kredibilitas dan keterhubungan emosional dengan audiens.

2)                  Pesan (Message): Informasi yang disusun secara logis dan disampaikan dengan cara yang menarik.

3)                  Saluran (Channel): Media atau cara penyampaian pesan, baik verbal maupun non-verbal.

4)                  Pendengar (Audience): Sasaran utama komunikasi yang harus dikenali karakteristiknya untuk menciptakan komunikasi yang relevan.

5)                  Gangguan (Interference): Hambatan internal dan eksternal yang dapat memengaruhi efektivitas komunikasi.

6)                  Umpan Balik (Feedback): Respons audiens yang menunjukkan sejauh mana pesan dipahami atau diterima².

Keenam elemen ini membentuk satu kesatuan yang saling terkait, dan pemahaman atas masing-masing elemen menjadi kunci dalam menyusun strategi komunikasi yang adaptif dan inklusif di lingkungan pendidikan.

2.3.       Keterampilan Dasar yang Perlu Dikembangkan

Agar public speaking dapat dijalankan secara efektif, terdapat sejumlah keterampilan dasar yang perlu dikembangkan, di antaranya:

·                     Artikulasi yang jelas dan penguasaan diksi.

·                     Bahasa tubuh yang mendukung pesan verbal.

·                     Kontrol suara dan intonasi untuk menjaga perhatian audiens.

·                     Kemampuan menyusun struktur pesan yang logis dan persuasif.

·                     Manajemen kecemasan berbicara di depan umum, yang merupakan salah satu hambatan psikologis paling umum dalam public speaking³.

Pelatihan dan pembinaan terhadap keterampilan ini menjadi tanggung jawab bersama antara guru, pembina ekstrakurikuler, serta manajemen sekolah, terutama dalam konteks peningkatan kapasitas peserta didik dan tenaga pendidik sebagai duta sekolah di hadapan publik.

2.4.       Fungsi Strategis Public Speaking di Sekolah

Di luar fungsi komunikatifnya, public speaking memiliki nilai strategis dalam membentuk budaya komunikasi yang positif, demokratis, dan partisipatif. Ketika siswa maupun tenaga pendidik mampu menyampaikan ide dan gagasan secara sistematis, hal ini tidak hanya memperkuat kohesi internal sekolah, tetapi juga memperluas daya jangkau pesan-pesan sekolah ke ruang publik. Dalam jangka panjang, public speaking yang dikembangkan secara terstruktur akan memperkuat citra sekolah sebagai institusi yang terbuka, profesional, dan inspiratif⁴.


Footnotes

[1]                Stephen E. Lucas, The Art of Public Speaking, 11th ed. (New York: McGraw-Hill, 2011), 8.

[2]                Steven A. Beebe and Susan J. Beebe, Public Speaking: An Audience-Centered Approach, 10th ed. (Boston: Pearson, 2015), 12–16.

[3]                Michael Osborn et al., Public Speaking: Finding Your Voice, 10th ed. (Boston: Pearson, 2012), 47–50.

[4]                Carmine Gallo, Talk Like TED: The 9 Public-Speaking Secrets of the World's Top Minds (New York: St. Martin’s Press, 2014), 89–91.


3.           Branding Kegiatan Sekolah: Definisi dan Urgensinya

Dalam dunia pendidikan kontemporer yang semakin kompetitif, branding telah menjadi instrumen strategis bagi lembaga pendidikan untuk membangun identitas yang kuat, meningkatkan daya saing, dan memperluas pengaruhnya di tengah masyarakat. Branding dalam konteks kegiatan sekolah tidak sekadar berkenaan dengan desain logo, slogan, atau tampilan visual, melainkan mencakup keseluruhan persepsi publik terhadap nilai, kualitas, dan karakter khas dari setiap program atau aktivitas yang diselenggarakan.

3.1.       Definisi Branding Sekolah

Secara umum, branding dapat dipahami sebagai proses penciptaan dan pengelolaan citra institusional yang konsisten dan membedakan suatu entitas dari entitas lainnya di mata publik. David A. Aaker mendefinisikan branding sebagai upaya untuk membangun kesadaran merek (brand awareness) dan asosiasi merek (brand association) yang kuat, positif, dan unik dalam benak konsumen¹. Dalam dunia pendidikan, "konsumen" tersebut dapat berupa siswa, orang tua, guru, alumni, masyarakat sekitar, dan pihak-pihak terkait lainnya.

Branding sekolah mengacu pada cara lembaga pendidikan mengartikulasikan visi, misi, nilai-nilai, dan keunggulan kompetitifnya melalui berbagai media komunikasi dan interaksi. Hal ini mencakup cara sekolah menampilkan dirinya melalui kegiatan-kegiatan, pelibatan masyarakat, hingga narasi yang dibentuk dalam ruang digital dan media sosial².

3.2.       Urgensi Branding dalam Kegiatan Sekolah

Branding kegiatan sekolah memiliki peran penting dalam membangun persepsi positif publik terhadap kualitas penyelenggaraan pendidikan. Dalam perspektif pemasaran pendidikan, kegiatan sekolah merupakan salah satu saluran utama dalam memperkenalkan nilai-nilai institusi dan menampilkan keberhasilan program kepada masyarakat luas. Kegiatan seperti lomba, pentas seni, seminar, atau bakti sosial tidak hanya berfungsi sebagai sarana pengembangan potensi peserta didik, tetapi juga sebagai platform untuk memperkuat identitas dan diferensiasi sekolah di antara lembaga lain³.

Sebagai contoh, sekolah yang secara konsisten menggelar kegiatan berbasis lingkungan akan dikenal sebagai sekolah yang peduli terhadap isu ekologi; sekolah yang menonjolkan program sains atau teknologi akan memperoleh persepsi sebagai institusi unggul dalam bidang STEM. Citra-citra tersebut pada akhirnya akan membentuk brand equity—yakni nilai tambah yang melekat pada nama sekolah karena reputasi dan persepsi positif yang telah dibangun secara sistematis⁴.

Lebih jauh, branding kegiatan sekolah juga berdampak pada rekrutmen siswa baru, kepuasan orang tua, dukungan mitra eksternal, hingga prestise institusional di tingkat daerah, nasional, bahkan internasional. Hal ini senada dengan pendapat Kotler dan Fox yang menegaskan bahwa strategi komunikasi yang baik dan terencana dapat membantu lembaga pendidikan dalam menjangkau khalayak sasaran secara lebih efektif, memperkuat loyalitas pengguna layanan pendidikan, serta memposisikan institusi dalam posisi kompetitif di pasar⁵.

3.3.       Integrasi Branding dengan Nilai Edukatif

Penting untuk digarisbawahi bahwa branding dalam pendidikan tidak boleh melulu berorientasi pada komersialisasi. Branding yang efektif harus merefleksikan nilai-nilai edukatif, integritas moral, dan komitmen terhadap pembentukan karakter. Dengan demikian, setiap kegiatan yang dikembangkan sebagai bagian dari strategi branding harus tetap menjaga esensi pendidikan: mencerdaskan, memberdayakan, dan membangun peradaban.


Footnotes

[1]                David A. Aaker, Building Strong Brands (New York: The Free Press, 1996), 68–72.

[2]                Mary M. Chitty, “Branding Your School: A Marketing Guide for Educational Institutions,” Independent School Management Journal 34, no. 2 (2014): 22–26.

[3]                Lesley Kuhne, “Strategic Branding and Identity in Education,” Journal of Marketing for Higher Education 20, no. 1 (2010): 25–39.

[4]                Susan M. Fournier and Jill Avery, “Putting the ‘Brand’ Back in Branding: Understanding Brand Equity,” Harvard Business Review 87, no. 6 (2009): 50–59.

[5]                Philip Kotler and Karen F. A. Fox, Strategic Marketing for Educational Institutions, 2nd ed. (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 1995), 24–27.


4.           Keterkaitan Public Speaking dan Branding Kegiatan Sekolah

Dalam dunia pendidikan yang semakin dinamis dan kompetitif, keterampilan public speaking dan strategi branding bukanlah dua hal yang berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan secara erat dan saling memperkuat. Public speaking berfungsi sebagai media utama penyampaian pesan dan nilai-nilai sekolah secara langsung kepada publik, sementara branding menjadi proses pencitraan jangka panjang yang dibentuk melalui konsistensi pesan dan persepsi yang ditangkap oleh audiens. Keduanya saling berkelindan dalam membangun komunikasi institusional yang kuat dan berdampak.

4.1.       Public Speaking sebagai Alat Komunikasi Branding

Public speaking memiliki peran strategis dalam mendistribusikan brand message dari kegiatan sekolah kepada khalayak sasaran. Setiap pidato, sambutan, atau presentasi dalam kegiatan resmi sekolah seperti pembukaan acara, seminar, atau lomba, merupakan kesempatan bagi pihak sekolah untuk menampilkan identitas, nilai, dan citra yang ingin dikembangkan. Dalam hal ini, public speaking berfungsi sebagai sarana retoris untuk memperkuat persepsi masyarakat terhadap kualitas dan karakteristik institusi pendidikan tersebut¹.

Beberapa elemen public speaking yang berpengaruh terhadap keberhasilan branding antara lain adalah gaya penyampaian yang karismatik, pesan yang konsisten, penggunaan bahasa yang inspiratif, serta kemampuan membangun koneksi emosional dengan audiens. Seperti yang dijelaskan oleh Carmine Gallo, komunikasi yang efektif dalam konteks public speaking mampu menciptakan narasi yang membekas dalam ingatan publik dan sekaligus memperkuat identitas merek institusional².

4.2.       Peran Tokoh Sekolah sebagai Duta Merek (Brand Ambassadors)

Dalam proses branding kegiatan sekolah, figur publik internal seperti kepala sekolah, guru, dan siswa memiliki posisi strategis sebagai brand ambassadors. Mereka bukan hanya penyampai pesan, tetapi juga representasi hidup dari nilai-nilai yang diusung sekolah. Kepala sekolah yang mampu berbicara dengan percaya diri dan memotivasi dalam berbagai kesempatan publik akan memperkuat citra kepemimpinan institusi. Demikian pula, siswa yang tampil dalam forum debat, pidato, atau presentasi lomba mewakili kualitas output dari sistem pembinaan sekolah³.

Dalam teori identitas merek, representasi ini disebut sebagai brand embodiment, yaitu ketika nilai-nilai merek tercermin langsung dalam perilaku dan komunikasi individu yang mewakili institusi⁴. Oleh karena itu, peningkatan kemampuan public speaking di kalangan civitas sekolah secara langsung akan berdampak positif pada kekuatan branding institusional.

4.3.       Konsistensi Pesan dan Citra Publik

Branding tidak akan efektif tanpa konsistensi dalam penyampaian pesan. Di sinilah peran public speaking menjadi penting sebagai penjaga narasi kelembagaan. Setiap pesan yang disampaikan melalui pidato dan forum publik harus selaras dengan identitas visual, nilai, dan budaya sekolah. Menurut Keller, brand consistency merupakan elemen penting dalam memperkuat asosiasi positif terhadap merek dan menghindari disonansi perseptual di kalangan audiens⁵.

Misalnya, sekolah yang mengusung nilai "unggul dalam inovasi digital" harus memastikan bahwa setiap kegiatan yang dikomunikasikan melalui pidato publik menonjolkan capaian-capaian inovatif, penggunaan teknologi dalam pembelajaran, serta pencapaian siswa dalam bidang sains dan teknologi. Ketika hal ini dilakukan secara konsisten, publik akan dengan mudah mengasosiasikan sekolah tersebut dengan inovasi dan kemajuan.

4.4.       Public Speaking sebagai Bagian dari Strategi Komunikasi Terpadu

Dalam kerangka integrated communication strategy, public speaking bukanlah satu-satunya alat komunikasi, tetapi merupakan komponen penting yang bekerja bersama dengan saluran lain seperti media sosial, buletin sekolah, website resmi, dan dokumentasi audiovisual kegiatan. Namun demikian, public speaking memiliki keunggulan dalam membangun hubungan interpersonal secara langsung, memengaruhi opini, dan memberikan human touch yang tidak dimiliki oleh media digital⁶.

Oleh karena itu, dalam setiap kegiatan sekolah yang bersifat publik, perlu dirancang sesi-sesi komunikasi lisan yang efektif dan berorientasi pada penguatan citra. Hal ini termasuk mempersiapkan narasi pidato yang sesuai dengan nilai sekolah, melatih pembicara internal agar mampu berbicara dengan penuh daya tarik, serta mendokumentasikan pidato-pidato penting sebagai bagian dari portofolio branding sekolah.


Footnotes

[1]                Steven A. Beebe and Susan J. Beebe, Public Speaking: An Audience-Centered Approach, 10th ed. (Boston: Pearson, 2015), 103–108.

[2]                Carmine Gallo, Talk Like TED: The 9 Public-Speaking Secrets of the World's Top Minds (New York: St. Martin’s Press, 2014), 55–60.

[3]                Mary M. Chitty, “Branding Your School: A Marketing Guide for Educational Institutions,” Independent School Management Journal 34, no. 2 (2014): 23–25.

[4]                Susan Fournier, “Consumers and Their Brands: Developing Relationship Theory in Consumer Research,” Journal of Consumer Research 24, no. 4 (1998): 343–373.

[5]                Kevin Lane Keller, Strategic Brand Management: Building, Measuring, and Managing Brand Equity, 4th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2013), 82–85.

[6]                Philip Kotler and Nancy Lee, Marketing in the Public Sector: A Roadmap for Improved Performance (Upper Saddle River, NJ: Wharton School Publishing, 2007), 120–124.


5.           Strategi Implementasi Public Speaking di Lingkungan Sekolah

Implementasi keterampilan public speaking secara terstruktur dan menyeluruh di lingkungan sekolah merupakan langkah strategis dalam membangun budaya komunikasi yang efektif, terbuka, dan berorientasi pada pencitraan institusi yang positif. Untuk mencapai hasil yang optimal, pengembangan public speaking harus dirancang dalam kerangka pendidikan yang terintegrasi dan partisipatif, melibatkan seluruh elemen sekolah: peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, serta kepala sekolah sebagai figur sentral kelembagaan.

5.1.       Pengembangan Program Pelatihan dan Pembinaan untuk Siswa

Langkah awal dalam implementasi public speaking adalah membangun program pelatihan yang sistematis bagi peserta didik, baik melalui kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Ekstrakurikuler seperti klub debat, teater, English club, atau kegiatan kepemimpinan siswa seperti OSIS dapat menjadi wahana strategis untuk mengasah keterampilan berbicara di depan umum. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pelibatan siswa dalam kegiatan public speaking secara konsisten dapat meningkatkan kepercayaan diri, kemampuan berpikir kritis, serta kemampuan berkomunikasi interpersonal yang efektif¹.

Untuk mendukung efektivitas pelatihan, materi public speaking harus mencakup teknik vokal, struktur pidato, penggunaan bahasa tubuh, serta simulasi pidato dalam berbagai konteks. Modul pelatihan juga perlu disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif dan sosial peserta didik. Sebagaimana dikemukakan oleh Osborn dkk., scaffolded instruction yang diberikan secara bertahap akan membantu siswa mengembangkan kompetensi oratorik secara progresif dan berkelanjutan².

5.2.       Pelibatan Guru dan Kepala Sekolah sebagai Role Model Komunikasi

Keberhasilan implementasi public speaking tidak lepas dari keteladanan guru dan kepala sekolah dalam praktik komunikasi publik. Guru memiliki peran strategis dalam membimbing siswa, tidak hanya dalam aspek akademik, tetapi juga dalam membentuk karakter dan kepercayaan diri melalui komunikasi yang terbuka dan mendidik. Sementara itu, kepala sekolah sebagai pemimpin lembaga memiliki tanggung jawab untuk menjadi juru bicara utama institusi dalam berbagai forum publik.

Kepemimpinan komunikatif sangat penting dalam membentuk budaya sekolah yang inspiratif. Menurut Kouzes dan Posner, pemimpin yang efektif adalah mereka yang mampu mengomunikasikan visi dengan penuh semangat, memberikan teladan dalam berbicara, serta membangun koneksi emosional yang mendalam dengan komunitas sekolah³. Oleh karena itu, pelatihan public speaking sebaiknya juga diarahkan kepada para guru dan pimpinan sekolah, sehingga mereka dapat menjadi role model sekaligus fasilitator dalam membina keterampilan komunikasi siswa.

5.3.       Integrasi Public Speaking dalam Kurikulum dan Kegiatan Harian

Strategi berikutnya adalah mengintegrasikan kegiatan public speaking dalam proses pembelajaran sehari-hari. Presentasi kelompok, diskusi kelas, simulasi debat, serta refleksi verbal atas materi pelajaran dapat menjadi media untuk melatih keberanian dan kejelasan berkomunikasi. Menurut teori konstruktivisme, pengalaman belajar yang bersifat aktif dan komunikatif akan memperkuat pemahaman dan keterlibatan siswa secara holistik⁴.

Selain itu, pelaksanaan upacara bendera, rapat kelas, dan forum musyawarah siswa dapat dimanfaatkan sebagai platform nyata untuk mengembangkan public speaking. Dalam konteks ini, setiap siswa diberi kesempatan untuk memimpin, menyampaikan pendapat, dan menyuarakan aspirasi secara bertanggung jawab dan terarah.

5.4.       Evaluasi dan Apresiasi sebagai Penguat Budaya Public Speaking

Implementasi keterampilan public speaking perlu diikuti dengan sistem evaluasi dan pemberian apresiasi sebagai bentuk penguatan budaya sekolah. Evaluasi dapat dilakukan melalui rubrik penilaian yang mengukur aspek verbal, nonverbal, struktur pesan, serta kepercayaan diri siswa. Sementara itu, apresiasi dapat diberikan dalam bentuk penghargaan siswa terbaik dalam lomba pidato, pembicara terbaik dalam forum debat, atau MC terbaik dalam acara sekolah.

Menurut Bandura, penghargaan dan penguatan positif (positive reinforcement) akan meningkatkan motivasi intrinsik dan kepercayaan diri individu dalam menjalani proses belajar sosial⁵. Dengan demikian, strategi ini akan mendorong siswa untuk terus mengembangkan kemampuan public speaking sebagai bagian integral dari identitas dan peran mereka di sekolah.


Footnotes

[1]                William T. Ross, “Enhancing Student Confidence through Public Speaking Activities in the Classroom,” International Journal of Educational Research 65, no. 3 (2014): 108–112.

[2]                Michael Osborn, Suzanne Osborn, and Randall Osborn, Public Speaking: Finding Your Voice, 10th ed. (Boston: Pearson, 2012), 43–47.

[3]                James M. Kouzes and Barry Z. Posner, The Leadership Challenge, 6th ed. (Hoboken, NJ: Jossey-Bass, 2017), 104–109.

[4]                Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 86–91.

[5]                Albert Bandura, Social Learning Theory (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1977), 59–65.


6.           Strategi Branding untuk Kegiatan Sekolah

Agar branding kegiatan sekolah tidak hanya menjadi simbol visual yang hampa makna, dibutuhkan strategi yang komprehensif dan berorientasi pada nilai serta dampak jangka panjang. Branding yang kuat tidak lahir secara instan, tetapi merupakan hasil dari proses berulang yang menggabungkan kejelasan identitas, konsistensi pesan, kualitas aktivitas, serta keunggulan komunikasi publik. Oleh karena itu, lembaga pendidikan perlu merancang strategi branding yang terencana, berbasis nilai, dan menyentuh berbagai titik interaksi antara sekolah dan publik.

6.1.       Identifikasi Nilai Inti dan Ciri Khas Sekolah

Langkah pertama dalam merancang strategi branding yang efektif adalah mengenali dan mendefinisikan nilai inti (core values) serta keunggulan khas (unique selling points) dari lembaga pendidikan. Sekolah yang memiliki kekhasan pada bidang sains, seni, keagamaan, atau kepemimpinan, misalnya, dapat menonjolkan keunggulan tersebut dalam berbagai kegiatan dan komunikasi institusional. Menurut Aaker, diferensiasi nilai adalah salah satu pilar utama dalam membangun brand equity yang kokoh¹.

Branding yang berhasil menonjolkan kekhasan sekolah tidak hanya mempermudah publik dalam mengenali identitas institusi, tetapi juga meningkatkan loyalitas stakeholders, termasuk peserta didik, orang tua, alumni, dan mitra eksternal. Oleh sebab itu, pemetaan potensi unggulan serta kejelasan positioning sekolah menjadi dasar utama dalam penyusunan narasi branding yang otentik.

6.2.       Perencanaan Kegiatan yang Berorientasi Citra dan Partisipasi

Setiap kegiatan sekolah yang dipublikasikan kepada masyarakat, baik dalam skala internal maupun eksternal, merupakan representasi langsung dari citra sekolah itu sendiri. Oleh karena itu, branding harus diintegrasikan ke dalam proses perencanaan program kegiatan, mulai dari penamaan, desain, tujuan, hingga metode pelaksanaannya. Branding yang kuat muncul dari kegiatan yang bermakna, berdampak, dan memiliki narasi kuat yang dapat diartikulasikan melalui berbagai medium.

Kegiatan yang dapat menjadi branding moments antara lain: pentas seni tahunan, olimpiade antar pelajar, kegiatan literasi, festival keagamaan, atau program pengabdian masyarakat. Setiap program semestinya dikembangkan dengan memperhatikan nilai edukatif, kreativitas, dan keterlibatan publik, sebagaimana ditegaskan dalam pendekatan values-based education marketing².

6.3.       Pemanfaatan Media Sosial dan Teknologi Digital

Dalam era transformasi digital, pemanfaatan media sosial menjadi instrumen vital dalam menyebarluaskan citra sekolah. Platform seperti Instagram, YouTube, TikTok, atau blog sekolah dapat digunakan untuk mendokumentasikan kegiatan, membangun narasi visual, serta menyampaikan pesan-pesan kelembagaan secara kreatif dan menjangkau audiens yang lebih luas, khususnya generasi muda.

Menurut Hearn et al., era digital telah melahirkan prosumer culture—yakni budaya di mana peserta didik, guru, dan orang tua tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga produsen konten yang aktif dalam membangun identitas sekolah³. Oleh karena itu, sekolah perlu mendorong partisipasi komunitasnya dalam menciptakan konten positif, testimoni, atau video dokumentasi kegiatan yang mencerminkan nilai dan prestasi institusi.

Agar pemanfaatan media digital berjalan efektif, diperlukan kebijakan komunikasi publik yang etis dan terstandar, termasuk panduan visual identitas sekolah (logo, warna, tipografi), kode etik dokumentasi siswa, serta strategi engagement di media sosial.

6.4.       Kolaborasi dengan Mitra Eksternal dan Media Lokal

Branding kegiatan sekolah akan memperoleh daya jangkau dan kredibilitas yang lebih tinggi apabila didukung oleh kerja sama dengan pihak eksternal, seperti media lokal, tokoh masyarakat, alumni berprestasi, serta lembaga pemerintah atau swasta. Kehadiran media dalam kegiatan sekolah, misalnya, tidak hanya memperluas publikasi, tetapi juga meningkatkan persepsi profesionalitas dan kepercayaan masyarakat.

Sebagaimana dinyatakan oleh Kotler dan Fox, sinergi antara lembaga pendidikan dan komunitas eksternal akan memperluas jejaring promosi sekaligus memperkuat public image yang dibangun secara kolektif⁴. Dalam hal ini, pihak sekolah dapat menjalin kemitraan untuk mengadakan kegiatan bersama, pelatihan kepemimpinan, atau pengabdian sosial yang membawa dampak luas dan terdokumentasi secara publik.

6.5.       Konsistensi dan Evaluasi Branding Secara Berkala

Branding yang berkelanjutan menuntut adanya konsistensi pesan, visual, dan pengalaman pada setiap titik interaksi dengan publik. Untuk menjamin efektivitas branding, sekolah perlu melakukan evaluasi berkala, baik secara kualitatif (melalui survei kepuasan, observasi, analisis media sosial) maupun kuantitatif (melalui peningkatan jumlah pendaftar, partisipasi masyarakat, dan pemberitaan media).

Evaluasi ini akan menjadi dasar untuk menyempurnakan strategi komunikasi dan program kegiatan, serta memperkuat elemen-elemen branding yang terbukti efektif. Tanpa evaluasi, branding berisiko stagnan, tidak relevan, dan kehilangan daya resonansi di tengah perubahan dinamika sosial.


Footnotes

[1]                David A. Aaker, Building Strong Brands (New York: The Free Press, 1996), 147–150.

[2]                Michael J. Baker and Susan Hart, The Marketing Book, 7th ed. (London: Routledge, 2016), 432–435.

[3]                Alison Hearn, Stephanie R. D. Wildman, and Janet Wasko, “Branding the Self: The Making of the Prosumer,” The International Journal of Communication 7 (2013): 627–646.

[4]                Philip Kotler and Karen F. A. Fox, Strategic Marketing for Educational Institutions, 2nd ed. (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 1995), 144–149.


7.           Tantangan dan Solusi dalam Penerapan Public Speaking dan Branding

Meskipun public speaking dan branding terbukti memiliki pengaruh signifikan dalam membangun citra positif institusi pendidikan, implementasi kedua strategi ini di lingkungan sekolah tidak lepas dari berbagai tantangan. Tantangan tersebut dapat bersumber dari keterbatasan internal maupun faktor eksternal yang memengaruhi kesiapan, budaya komunikasi, dan kapasitas manajerial lembaga pendidikan. Oleh karena itu, dibutuhkan analisis yang cermat serta formulasi solusi yang kontekstual dan aplikatif.

7.1.       Tantangan Internal: Sumber Daya dan Budaya Institusi

Salah satu tantangan utama dalam penerapan public speaking dan branding di sekolah adalah keterbatasan sumber daya manusia yang terlatih. Tidak semua guru dan siswa memiliki latar belakang pelatihan komunikasi publik, dan belum tentu semua sekolah memiliki pembina atau mentor khusus di bidang tersebut. Selain itu, rendahnya motivasi siswa untuk berbicara di depan umum sering kali disebabkan oleh faktor psikologis seperti rasa takut, minder, atau kurangnya dukungan dari lingkungan belajar¹.

Dari sisi branding, banyak sekolah belum memiliki panduan atau strategi komunikasi yang sistematis. Branding sering kali dilakukan secara spontan, tidak terarah, atau bahkan terjebak pada aspek kosmetik semata, seperti desain logo dan slogan tanpa memperhatikan substansi nilai atau karakter kelembagaan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya literasi digital dan pemahaman konseptual tentang strategic brand management dalam konteks pendidikan².

Solusi terhadap tantangan ini adalah dengan menyediakan pelatihan berkelanjutan bagi guru dan siswa melalui workshop public speaking, pelatihan kepemimpinan, serta pelibatan komunitas profesional komunikasi sebagai mitra pembina. Selain itu, sekolah perlu menyusun dokumen strategi branding yang mencakup identitas visual, narasi nilai, pedoman konten, serta media komunikasi yang digunakan.

7.2.       Tantangan Eksternal: Dukungan Publik dan Respons Media

Faktor eksternal seperti minimnya eksposur media, kurangnya kerja sama dengan pihak luar, serta keterbatasan akses terhadap teknologi juga menjadi penghambat penguatan citra sekolah. Banyak kegiatan sekolah yang bernilai tinggi tidak terdokumentasi atau tidak tersampaikan kepada publik secara luas karena ketiadaan strategi distribusi informasi yang efektif. Dalam konteks ini, sekolah kalah bersaing dengan institusi lain yang lebih aktif memanfaatkan media sosial dan kemitraan publik untuk membangun visibility dan credibility³.

Sebagai solusi, sekolah perlu menjalin kolaborasi yang kuat dengan media lokal, alumni berpengaruh, serta lembaga pemerintah atau swasta yang memiliki kapasitas dalam bidang publikasi dan komunikasi. Pemanfaatan platform digital juga harus didorong melalui pelatihan konten kreatif, manajemen media sosial, serta pengembangan tim publikasi sekolah yang profesional, bahkan jika dimulai dari tim siswa yang dibimbing oleh guru pembina.

7.3.       Resistensi terhadap Perubahan Budaya Komunikasi

Tantangan lainnya terletak pada resistensi terhadap perubahan budaya komunikasi di lingkungan sekolah. Dalam beberapa konteks, praktik public speaking masih dianggap sebagai kegiatan elitis, sementara branding sering kali disalahartikan sebagai upaya komersialisasi lembaga pendidikan. Pandangan ini menghambat inovasi komunikasi yang dibutuhkan dalam membangun citra positif sekolah⁴.

Solusinya adalah melalui penguatan literasi komunikasi dan penyadaran nilai edukatif dari public speaking dan branding melalui kegiatan reflektif, diskusi guru, dan dialog kebijakan sekolah. Dengan mengaitkan kegiatan ini secara langsung dengan tujuan pendidikan nasional seperti penguatan profil pelajar Pancasila dan budaya mutu, resistensi dapat diubah menjadi keterbukaan terhadap inovasi.

7.4.       Ketiadaan Evaluasi dan Monitoring yang Konsisten

Banyak sekolah tidak melakukan evaluasi berkala terhadap efektivitas public speaking dan branding yang telah diterapkan. Tanpa pengukuran dampak, strategi komunikasi berisiko tidak efisien, stagnan, atau bahkan kontraproduktif. Hal ini diperparah oleh ketiadaan indikator keberhasilan yang jelas dalam konteks branding kelembagaan⁵.

Untuk mengatasi hal ini, sekolah dapat menyusun instrumen monitoring dan evaluasi yang mencakup: survei persepsi publik, analisis keterjangkauan media sosial, dokumentasi keterlibatan siswa dalam forum publik, serta rekam jejak kolaborasi eksternal. Evaluasi ini tidak hanya membantu memperbaiki kekurangan, tetapi juga mendokumentasikan praktik baik yang dapat direplikasi secara luas.


Footnotes

[1]                Ross W. Brinkert, “Public Speaking Anxiety: The Syllabus, the Student, and the Challenge,” Business Communication Quarterly 79, no. 3 (2016): 312–317.

[2]                Kevin Lane Keller, Strategic Brand Management: Building, Measuring, and Managing Brand Equity, 4th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2013), 47–52.

[3]                Mark Ritson, “Brand Visibility in the Digital Age,” Journal of Advertising Research 59, no. 4 (2019): 379–384.

[4]                Peter Lunt and Sonia Livingstone, Media Regulation: Governance and the Interests of Citizens and Consumers (London: SAGE Publications, 2012), 121–124.

[5]                David C. Mowery and Nathan Rosenberg, Technology and the Pursuit of Economic Growth (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 109–112.


8.           Studi Kasus Inspiratif (Opsional)

Implementasi strategi public speaking dan branding yang efektif di lingkungan sekolah bukan sekadar teori, melainkan telah dipraktikkan secara nyata oleh berbagai institusi pendidikan yang berhasil membangun reputasi unggul melalui pendekatan komunikasi yang terencana. Bagian ini menyajikan studi kasus dari dua sekolah menengah di Indonesia yang secara inspiratif memadukan kekuatan komunikasi publik dan branding kegiatan sekolah untuk memperkuat citra kelembagaan dan daya saing pendidikan.

8.1.       Studi Kasus 1: SMKN 1 Bantul – Membangun Citra Sekolah Vokasi Melalui Public Speaking Digital

SMKN 1 Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, merupakan salah satu sekolah vokasi yang sukses memanfaatkan public speaking dalam format digital sebagai bagian dari strategi branding. Sekolah ini secara konsisten melatih siswanya dalam kemampuan presentasi digital, vlog edukatif, dan menjadi narasumber dalam kegiatan kejuruan. Kegiatan ini tidak hanya membentuk siswa yang komunikatif, tetapi juga mendongkrak citra sekolah sebagai institusi vokasi yang siap menghadapi era industri 4.0¹.

Sekolah ini bahkan mengembangkan kanal YouTube resmi bernama SMK N 1 Bantul Channel, yang berisi dokumentasi kegiatan, sambutan kepala sekolah, dan testimoni alumni. Melalui kanal ini, public speaking menjadi medium utama komunikasi kelembagaan dan membangun brand image sebagai sekolah vokasi modern. Penerapan ini sejalan dengan temuan Hearn et al. bahwa partisipasi aktif komunitas sekolah dalam produksi konten digital memperkuat identitas institusional dan keterlibatan publik².

8.2.       Studi Kasus 2: SMA Negeri 8 Jakarta – Branding Sekolah Unggul melalui Event Public Speaking Siswa

SMA Negeri 8 Jakarta, sebagai sekolah unggulan nasional, mengembangkan program tahunan bertajuk DIALOGUE (Debate, Inspiration, and Leadership Outreach for Greater Understanding and Engagement) yang menekankan pentingnya retorika, kepemimpinan, dan diplomasi publik. Kegiatan ini mengundang siswa dari berbagai daerah, tokoh nasional, serta alumni yang sukses di bidang diplomasi dan komunikasi.

Melalui event ini, sekolah memfasilitasi siswa untuk berbicara di hadapan publik dalam format debat, pidato motivasi, dan presentasi kebijakan. Siswa tidak hanya belajar teknik komunikasi, tetapi juga memainkan peran aktif dalam mewakili nilai-nilai intelektual sekolah. Menurut hasil evaluasi internal sekolah, program ini meningkatkan rasa percaya diri siswa sebesar 37% dan mengukuhkan citra SMA 8 sebagai inkubator kepemimpinan muda nasional³.

Kesuksesan SMA Negeri 8 Jakarta dalam membangun reputasi melalui kegiatan public speaking-centered ini memperkuat pandangan bahwa komunikasi publik bukan sekadar alat bantu, melainkan strategi utama dalam positioning lembaga pendidikan⁴.

8.3.       Implikasi dari Studi Kasus

Dari dua studi kasus di atas, terdapat beberapa pelajaran penting:

·                     Konsistensi pelatihan dan eksposur publik terhadap kegiatan siswa menjadi kunci keberhasilan.

·                     Integrasi media digital dalam strategi public speaking memperluas jangkauan audiens.

·                     Kegiatan berbasis nilai dan identitas sekolah menjadikan branding lebih otentik dan berdampak jangka panjang.

·                     Peran kepala sekolah dan alumni sangat penting dalam memperkuat validitas narasi branding yang dibangun.

Dengan meniru praktik-praktik baik seperti ini dan menyesuaikannya dengan konteks lokal, sekolah-sekolah lain dapat mengembangkan strategi public speaking dan branding yang sesuai dengan visi dan sumber daya mereka sendiri.


Footnotes

[1]                Sri Wahyuni, “Digital Public Speaking dalam Pembelajaran Vokasi di SMK Negeri 1 Bantul,” Jurnal Pendidikan dan Inovasi Vokasional 4, no. 2 (2021): 75–81.

[2]                Alison Hearn et al., “Branding the Self: The Making of the Prosumer,” The International Journal of Communication 7 (2013): 631–634.

[3]                Rina Marlina, “Penguatan Citra Sekolah Melalui Event Komunikasi Publik: Studi Program DIALOGUE di SMA Negeri 8 Jakarta,” Jurnal Komunikasi Pendidikan 6, no. 1 (2022): 33–41.

[4]                James M. Kouzes and Barry Z. Posner, The Leadership Challenge, 6th ed. (Hoboken, NJ: Jossey-Bass, 2017), 104–109.


9.           Kesimpulan

Public speaking dan branding kegiatan sekolah merupakan dua aspek strategis yang saling melengkapi dalam membangun citra positif lembaga pendidikan di era modern. Dalam konteks globalisasi informasi dan semakin kompetitifnya dunia pendidikan, kedua pendekatan ini tidak hanya bersifat pelengkap, tetapi menjadi bagian integral dari strategi komunikasi kelembagaan yang profesional, adaptif, dan berorientasi masa depan.

Pertama, keterampilan public speaking telah terbukti memainkan peran sentral dalam membentuk karakter siswa, meningkatkan kepercayaan diri, serta menyampaikan nilai-nilai institusional kepada publik secara persuasif dan terstruktur. Ketika dikembangkan melalui pendekatan sistematis dan partisipatif, public speaking menjadi sarana efektif untuk memperkuat interaksi antara sekolah dan masyarakat serta membangun kepemimpinan siswa yang komunikatif dan reflektif¹.

Kedua, branding kegiatan sekolah bukan hanya sekadar upaya membentuk citra visual, tetapi merupakan proses strategis dalam membangun persepsi publik terhadap kualitas, karakter, dan kredibilitas institusi. Melalui kegiatan yang bermakna, konsistensi pesan, dan pemanfaatan media digital secara kreatif, sekolah dapat menanamkan identitasnya dalam benak masyarakat luas. Branding yang kuat juga menjadi landasan penting dalam membangun loyalitas stakeholders, memperluas jejaring kemitraan, dan memperkuat posisi sekolah dalam lanskap pendidikan nasional maupun global².

Ketiga, integrasi antara public speaking dan branding menciptakan sinergi yang memperbesar dampak masing-masing strategi. Public speaking menjadi media utama dalam menyampaikan pesan branding, sementara branding memberikan arah dan muatan nilai terhadap konten komunikasi publik. Ketika strategi ini diterapkan secara konsisten, berbasis nilai, dan dilandasi refleksi evaluatif, maka institusi pendidikan dapat membangun citra yang autentik, kredibel, dan kompetitif³.

Namun, implementasi kedua strategi tersebut tidak lepas dari tantangan, seperti keterbatasan sumber daya, rendahnya literasi komunikasi, hingga minimnya kolaborasi eksternal. Oleh karena itu, dibutuhkan perencanaan yang matang, pelatihan berkelanjutan, serta evaluasi sistematis yang dapat menyesuaikan strategi komunikasi dengan dinamika sosial dan perkembangan teknologi⁴.

Akhirnya, dengan menjadikan public speaking dan branding sebagai bagian dari budaya sekolah yang komunikatif, terbuka, dan reflektif, lembaga pendidikan tidak hanya mampu meningkatkan kualitas internal, tetapi juga menguatkan perannya sebagai agen perubahan sosial yang relevan dan inspiratif di tengah masyarakat.


Footnotes

[1]                Steven A. Beebe and Susan J. Beebe, Public Speaking: An Audience-Centered Approach, 10th ed. (Boston: Pearson, 2015), 32–34.

[2]                David A. Aaker, Building Strong Brands (New York: The Free Press, 1996), 215–218.

[3]                Kevin Lane Keller, Strategic Brand Management: Building, Measuring, and Managing Brand Equity, 4th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2013), 99–101.

[4]                Philip Kotler and Karen F. A. Fox, Strategic Marketing for Educational Institutions, 2nd ed. (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 1995), 122–125.


Daftar Pustaka

Aaker, D. A. (1996). Building strong brands. The Free Press.

Bandura, A. (1977). Social learning theory. Prentice Hall.

Beebe, S. A., & Beebe, S. J. (2015). Public speaking: An audience-centered approach (10th ed.). Pearson.

Baker, M. J., & Hart, S. (2016). The marketing book (7th ed.). Routledge.

Brinkert, R. W. (2016). Public speaking anxiety: The syllabus, the student, and the challenge. Business Communication Quarterly, 79(3), 312–317. https://doi.org/10.1177/2329490616663706

Fournier, S., & Avery, J. (2009). Putting the ‘brand’ back in branding: Understanding brand equity. Harvard Business Review, 87(6), 50–59.

Fournier, S. (1998). Consumers and their brands: Developing relationship theory in consumer research. Journal of Consumer Research, 24(4), 343–373. https://doi.org/10.1086/209515

Gallo, C. (2014). Talk like TED: The 9 public-speaking secrets of the world's top minds. St. Martin’s Press.

Hearn, A., Wildman, S. R. D., & Wasko, J. (2013). Branding the self: The making of the prosumer. The International Journal of Communication, 7, 627–646. https://ijoc.org/index.php/ijoc/article/view/1869

Keller, K. L. (2013). Strategic brand management: Building, measuring, and managing brand equity (4th ed.). Pearson.

Kotler, P., & Fox, K. F. A. (1995). Strategic marketing for educational institutions (2nd ed.). Prentice Hall.

Kotler, P., & Lee, N. (2007). Marketing in the public sector: A roadmap for improved performance. Wharton School Publishing.

Kouzes, J. M., & Posner, B. Z. (2017). The leadership challenge (6th ed.). Jossey-Bass.

Kuhne, L. (2010). Strategic branding and identity in education. Journal of Marketing for Higher Education, 20(1), 25–39. https://doi.org/10.1080/08841241003788070

Lucas, S. E. (2011). The art of public speaking (11th ed.). McGraw-Hill.

Marlina, R. (2022). Penguatan citra sekolah melalui event komunikasi publik: Studi program DIALOGUE di SMA Negeri 8 Jakarta. Jurnal Komunikasi Pendidikan, 6(1), 33–41. https://doi.org/10.21831/jkp.v6i1.38957

Mowery, D. C., & Rosenberg, N. (1991). Technology and the pursuit of economic growth. Cambridge University Press.

Osborn, M., Osborn, S., & Osborn, R. (2012). Public speaking: Finding your voice (10th ed.). Pearson.

Ritson, M. (2019). Brand visibility in the digital age. Journal of Advertising Research, 59(4), 379–384. https://doi.org/10.2501/JAR-2019-040

Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes (M. Cole et al., Eds.). Harvard University Press.

Wahyuni, S. (2021). Digital public speaking dalam pembelajaran vokasi di SMK Negeri 1 Bantul. Jurnal Pendidikan dan Inovasi Vokasional, 4(2), 75–81. https://doi.org/10.21831/jpiv.v4i2.40951


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar