Materi 4 LDK 2025
Public Speaking dan Branding Kegiatan Sekolah
“Strategi Komunikasi Efektif dalam Meningkatkan Citra
Positif Lembaga Pendidikan”
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif
keterkaitan antara keterampilan public speaking dan strategi branding
dalam konteks kegiatan sekolah sebagai sarana membangun citra positif lembaga
pendidikan. Di tengah dinamika globalisasi informasi dan meningkatnya tuntutan
publik terhadap kualitas pendidikan, sekolah dituntut tidak hanya unggul dalam
akademik, tetapi juga cakap dalam mengelola komunikasi institusional. Public
speaking diposisikan sebagai alat strategis dalam menyampaikan pesan
kelembagaan secara persuasif dan membangun kepercayaan diri siswa serta
profesionalitas tenaga pendidik. Sementara itu, branding kegiatan sekolah
dipahami sebagai proses menciptakan identitas khas dan konsisten yang
memperkuat persepsi publik terhadap nilai-nilai institusi. Artikel ini juga
menguraikan strategi implementasi keduanya, mulai dari pelatihan siswa, peran
guru dan kepala sekolah, integrasi dalam kurikulum, pemanfaatan media digital,
hingga kolaborasi eksternal. Melalui studi kasus inspiratif di beberapa sekolah
Indonesia, artikel ini menunjukkan bahwa integrasi antara public speaking dan
branding mampu meningkatkan daya saing, memperluas pengaruh sosial, dan
membentuk budaya komunikasi positif dalam ekosistem pendidikan.
Tantangan-tantangan yang diidentifikasi—baik internal maupun
eksternal—dianalisis secara kritis dengan tawaran solusi praktis dan
kontekstual.
Kata Kunci: Public speaking, branding sekolah, komunikasi
pendidikan, citra lembaga, strategi kelembagaan, pendidikan menengah, budaya
komunikasi.
PEMBAHASAN
Public Speaking dan Branding Kegiatan Sekolah
1.
Pendahuluan
Dalam konteks
pendidikan modern, kemampuan lembaga sekolah dalam membangun citra positif
sangat menentukan tingkat kepercayaan masyarakat serta partisipasi aktif dari
berbagai pemangku kepentingan. Salah satu strategi yang semakin menonjol dalam
mendukung upaya ini adalah pemanfaatan public speaking dan branding
kegiatan sekolah sebagai sarana komunikasi yang efektif, strategis, dan
berorientasi publik.
Public speaking atau
keterampilan berbicara di depan umum merupakan salah satu pilar utama dalam
komunikasi interpersonal maupun institusional. Di lingkungan sekolah, keterampilan
ini tidak hanya penting untuk siswa dalam membangun kepercayaan diri dan
kemampuan presentasi, tetapi juga bagi guru dan kepala sekolah sebagai
representasi nilai dan identitas institusi. Seperti yang ditegaskan oleh Beebe
dan Beebe, komunikasi lisan yang efektif tidak hanya menyampaikan informasi,
tetapi juga membentuk persepsi, membangun kredibilitas, dan memengaruhi sikap
audiens secara konstruktif¹. Dengan demikian, public speaking menjadi alat
vital dalam menyampaikan pesan-pesan kelembagaan, terutama dalam konteks
penyelenggaraan kegiatan sekolah.
Seiring dengan
meningkatnya ekspektasi masyarakat terhadap transparansi dan kualitas
pendidikan, institusi sekolah dituntut untuk tidak hanya unggul dalam hal
akademik, tetapi juga mampu mengelola citra dan reputasi secara profesional. Di
sinilah peran branding kegiatan sekolah menjadi relevan. Branding bukan sekadar
logo atau slogan, melainkan suatu proses strategis dalam menciptakan identitas
yang kuat, konsisten, dan mudah dikenali oleh publik². Melalui kegiatan yang
dirancang dan dikomunikasikan secara tepat, sekolah dapat membangun brand
image yang positif, baik di mata peserta didik, orang tua, maupun
masyarakat luas.
Pentingnya integrasi
antara public speaking dan branding dalam kegiatan sekolah juga sejalan dengan
perkembangan paradigma manajemen pendidikan yang menekankan pada keterbukaan,
partisipasi masyarakat, dan inovasi. Menurut Kotler dan Fox, institusi
pendidikan masa kini harus mengadopsi pendekatan pemasaran strategis yang
mencakup promosi nilai-nilai institusional kepada publik secara aktif dan
berkelanjutan³. Dalam hal ini, berbagai kegiatan sekolah seperti pentas seni,
lomba, seminar, hingga acara kelulusan dapat dijadikan sebagai media komunikasi
publik sekaligus sarana membentuk citra institusional yang kuat dan berdampak.
Dengan
mempertimbangkan urgensi tersebut, artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara
mendalam bagaimana strategi public speaking dan branding kegiatan sekolah dapat
diterapkan secara sinergis guna meningkatkan citra positif lembaga pendidikan.
Pembahasan akan mencakup landasan teoretis, pendekatan praktis, serta tantangan
yang dihadapi dalam implementasinya di lingkungan sekolah.
Footnotes
[1]
Steven A. Beebe and Susan J. Beebe, Public Speaking: An
Audience-Centered Approach, 10th ed. (Boston: Pearson, 2015), 4–6.
[2]
David A. Aaker, Building Strong Brands (New York: The Free
Press, 1996), 68–72.
[3]
Philip Kotler and Karen F. A. Fox, Strategic Marketing for
Educational Institutions, 2nd ed. (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall,
1995), 24–27.
2.
Konsep Dasar Public Speaking
Public speaking atau
berbicara di depan umum merupakan bentuk komunikasi lisan yang dilakukan secara
terstruktur dengan tujuan menyampaikan informasi, memengaruhi audiens, atau
menginspirasi tindakan. Dalam konteks institusi pendidikan, keterampilan ini
berperan sentral dalam mengomunikasikan pesan-pesan kelembagaan, menyampaikan
visi dan misi sekolah, serta membangun hubungan harmonis antara sekolah dan
masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman yang tepat terhadap konsep dan elemen
dasar public speaking menjadi langkah awal yang krusial dalam merancang
strategi komunikasi institusional yang efektif.
2.1.
Definisi dan Ruang Lingkup
Menurut Stephen E.
Lucas, public speaking adalah bentuk komunikasi yang terencana dan bertujuan,
biasanya dilakukan dalam forum publik, di mana pembicara menyusun pidato untuk
disampaikan kepada khalayak tertentu¹. Kegiatan ini menuntut kejelasan dalam
penyampaian, kemampuan membangun koneksi dengan audiens, serta penguasaan terhadap
pesan yang ingin disampaikan. Public speaking bukan hanya sekadar berbicara,
tetapi mencakup aspek psikologis, sosial, dan retoris yang kompleks.
Di lingkungan
sekolah, kegiatan seperti pidato upacara, pembukaan acara, presentasi proyek,
hingga peran sebagai pembawa acara (MC) merupakan bentuk nyata dari praktik
public speaking yang dapat membentuk kepercayaan diri, citra profesional, serta
kredibilitas institusi. Kegiatan ini juga mendukung pembentukan karakter siswa,
yang diakui sebagai salah satu dimensi penting dalam Kurikulum Merdeka.
2.2.
Elemen-Elemen Dasar Public Speaking
Public speaking yang
efektif ditopang oleh beberapa elemen dasar, antara lain:
1)
Pembicara (Speaker):
Sumber utama pesan yang bertanggung jawab atas kredibilitas dan keterhubungan
emosional dengan audiens.
2)
Pesan (Message):
Informasi yang disusun secara logis dan disampaikan dengan cara yang menarik.
3)
Saluran (Channel):
Media atau cara penyampaian pesan, baik verbal maupun non-verbal.
4)
Pendengar (Audience):
Sasaran utama komunikasi yang harus dikenali karakteristiknya untuk menciptakan
komunikasi yang relevan.
5)
Gangguan
(Interference): Hambatan internal dan eksternal yang dapat
memengaruhi efektivitas komunikasi.
6)
Umpan Balik (Feedback):
Respons audiens yang menunjukkan sejauh mana pesan dipahami atau diterima².
Keenam elemen ini
membentuk satu kesatuan yang saling terkait, dan pemahaman atas masing-masing
elemen menjadi kunci dalam menyusun strategi komunikasi yang adaptif dan
inklusif di lingkungan pendidikan.
2.3.
Keterampilan Dasar yang Perlu Dikembangkan
Agar public speaking
dapat dijalankan secara efektif, terdapat sejumlah keterampilan dasar yang
perlu dikembangkan, di antaranya:
·
Artikulasi
yang jelas dan penguasaan diksi.
·
Bahasa
tubuh yang mendukung pesan verbal.
·
Kontrol
suara dan intonasi untuk menjaga perhatian audiens.
·
Kemampuan
menyusun struktur pesan yang logis dan persuasif.
·
Manajemen
kecemasan berbicara di depan umum, yang merupakan salah satu
hambatan psikologis paling umum dalam public speaking³.
Pelatihan dan pembinaan
terhadap keterampilan ini menjadi tanggung jawab bersama antara guru, pembina
ekstrakurikuler, serta manajemen sekolah, terutama dalam konteks peningkatan
kapasitas peserta didik dan tenaga pendidik sebagai duta sekolah di hadapan
publik.
2.4.
Fungsi Strategis Public Speaking di Sekolah
Di luar fungsi
komunikatifnya, public speaking memiliki nilai strategis dalam membentuk budaya
komunikasi yang positif, demokratis, dan partisipatif. Ketika siswa maupun
tenaga pendidik mampu menyampaikan ide dan gagasan secara sistematis, hal ini
tidak hanya memperkuat kohesi internal sekolah, tetapi juga memperluas daya
jangkau pesan-pesan sekolah ke ruang publik. Dalam jangka panjang, public
speaking yang dikembangkan secara terstruktur akan memperkuat citra sekolah
sebagai institusi yang terbuka, profesional, dan inspiratif⁴.
Footnotes
[1]
Stephen E. Lucas, The Art of Public Speaking, 11th ed. (New
York: McGraw-Hill, 2011), 8.
[2]
Steven A. Beebe and Susan J. Beebe, Public Speaking: An
Audience-Centered Approach, 10th ed. (Boston: Pearson, 2015), 12–16.
[3]
Michael Osborn et al., Public Speaking: Finding Your Voice,
10th ed. (Boston: Pearson, 2012), 47–50.
[4]
Carmine Gallo, Talk Like TED: The 9 Public-Speaking Secrets of the
World's Top Minds (New York: St. Martin’s Press, 2014), 89–91.
3.
Branding Kegiatan Sekolah: Definisi dan
Urgensinya
Dalam dunia
pendidikan kontemporer yang semakin kompetitif, branding telah menjadi
instrumen strategis bagi lembaga pendidikan untuk membangun identitas yang
kuat, meningkatkan daya saing, dan memperluas pengaruhnya di tengah masyarakat.
Branding dalam konteks kegiatan sekolah tidak sekadar berkenaan dengan desain
logo, slogan, atau tampilan visual, melainkan mencakup keseluruhan persepsi
publik terhadap nilai, kualitas, dan karakter khas dari setiap program atau
aktivitas yang diselenggarakan.
3.1.
Definisi Branding Sekolah
Secara umum,
branding dapat dipahami sebagai proses penciptaan dan pengelolaan citra
institusional yang konsisten dan membedakan suatu entitas dari entitas lainnya
di mata publik. David A. Aaker mendefinisikan branding sebagai upaya untuk
membangun kesadaran merek (brand awareness) dan asosiasi merek
(brand
association) yang kuat, positif, dan unik dalam benak konsumen¹.
Dalam dunia pendidikan, "konsumen" tersebut dapat berupa
siswa, orang tua, guru, alumni, masyarakat sekitar, dan pihak-pihak terkait
lainnya.
Branding sekolah
mengacu pada cara lembaga pendidikan mengartikulasikan visi, misi, nilai-nilai,
dan keunggulan kompetitifnya melalui berbagai media komunikasi dan interaksi.
Hal ini mencakup cara sekolah menampilkan dirinya melalui kegiatan-kegiatan,
pelibatan masyarakat, hingga narasi yang dibentuk dalam ruang digital dan media
sosial².
3.2.
Urgensi Branding dalam Kegiatan Sekolah
Branding kegiatan
sekolah memiliki peran penting dalam membangun persepsi positif publik terhadap
kualitas penyelenggaraan pendidikan. Dalam perspektif pemasaran pendidikan,
kegiatan sekolah merupakan salah satu saluran utama dalam memperkenalkan
nilai-nilai institusi dan menampilkan keberhasilan program kepada masyarakat
luas. Kegiatan seperti lomba, pentas seni, seminar, atau bakti sosial tidak
hanya berfungsi sebagai sarana pengembangan potensi peserta didik, tetapi juga
sebagai platform
untuk memperkuat identitas dan diferensiasi sekolah di antara lembaga lain³.
Sebagai contoh,
sekolah yang secara konsisten menggelar kegiatan berbasis lingkungan akan
dikenal sebagai sekolah yang peduli terhadap isu ekologi; sekolah yang
menonjolkan program sains atau teknologi akan memperoleh persepsi sebagai
institusi unggul dalam bidang STEM. Citra-citra tersebut pada akhirnya akan
membentuk brand
equity—yakni nilai tambah yang melekat pada nama sekolah karena
reputasi dan persepsi positif yang telah dibangun secara sistematis⁴.
Lebih jauh, branding
kegiatan sekolah juga berdampak pada rekrutmen siswa baru, kepuasan
orang tua, dukungan mitra eksternal,
hingga prestise
institusional di tingkat daerah, nasional, bahkan
internasional. Hal ini senada dengan pendapat Kotler dan Fox yang menegaskan
bahwa strategi komunikasi yang baik dan terencana dapat membantu lembaga
pendidikan dalam menjangkau khalayak sasaran secara lebih efektif, memperkuat
loyalitas pengguna layanan pendidikan, serta memposisikan institusi dalam
posisi kompetitif di pasar⁵.
3.3.
Integrasi Branding dengan Nilai Edukatif
Penting untuk
digarisbawahi bahwa branding dalam pendidikan tidak boleh melulu berorientasi
pada komersialisasi. Branding yang efektif harus merefleksikan nilai-nilai
edukatif, integritas moral, dan komitmen terhadap pembentukan karakter. Dengan
demikian, setiap kegiatan yang dikembangkan sebagai bagian dari strategi
branding harus tetap menjaga esensi pendidikan: mencerdaskan, memberdayakan,
dan membangun peradaban.
Footnotes
[1]
David A. Aaker, Building Strong Brands (New York: The Free
Press, 1996), 68–72.
[2]
Mary M. Chitty, “Branding Your School: A Marketing Guide for
Educational Institutions,” Independent School Management Journal 34,
no. 2 (2014): 22–26.
[3]
Lesley Kuhne, “Strategic Branding and Identity in Education,” Journal
of Marketing for Higher Education 20, no. 1 (2010): 25–39.
[4]
Susan M. Fournier and Jill Avery, “Putting the ‘Brand’ Back in
Branding: Understanding Brand Equity,” Harvard Business Review 87, no.
6 (2009): 50–59.
[5]
Philip Kotler and Karen F. A. Fox, Strategic Marketing for
Educational Institutions, 2nd ed. (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall,
1995), 24–27.
4.
Keterkaitan Public Speaking dan Branding
Kegiatan Sekolah
Dalam dunia
pendidikan yang semakin dinamis dan kompetitif, keterampilan public speaking
dan strategi branding bukanlah dua hal yang berdiri sendiri, melainkan saling
berkaitan secara erat dan saling memperkuat. Public speaking berfungsi sebagai
media utama penyampaian pesan dan nilai-nilai sekolah secara langsung kepada
publik, sementara branding menjadi proses pencitraan jangka panjang yang
dibentuk melalui konsistensi pesan dan persepsi yang ditangkap oleh audiens.
Keduanya saling berkelindan dalam membangun komunikasi institusional yang kuat
dan berdampak.
4.1.
Public Speaking sebagai Alat Komunikasi
Branding
Public speaking
memiliki peran strategis dalam mendistribusikan brand message dari kegiatan sekolah
kepada khalayak sasaran. Setiap pidato, sambutan, atau presentasi dalam
kegiatan resmi sekolah seperti pembukaan acara, seminar, atau lomba, merupakan
kesempatan bagi pihak sekolah untuk menampilkan identitas, nilai, dan citra
yang ingin dikembangkan. Dalam hal ini, public speaking berfungsi sebagai
sarana retoris untuk memperkuat persepsi masyarakat terhadap kualitas dan
karakteristik institusi pendidikan tersebut¹.
Beberapa elemen
public speaking yang berpengaruh terhadap keberhasilan branding antara lain
adalah gaya penyampaian yang karismatik, pesan yang konsisten, penggunaan
bahasa yang inspiratif, serta kemampuan membangun koneksi emosional dengan
audiens. Seperti yang dijelaskan oleh Carmine Gallo, komunikasi yang efektif
dalam konteks public speaking mampu menciptakan narasi yang membekas dalam
ingatan publik dan sekaligus memperkuat identitas merek institusional².
4.2.
Peran Tokoh Sekolah sebagai Duta Merek (Brand
Ambassadors)
Dalam proses
branding kegiatan sekolah, figur publik internal seperti kepala sekolah, guru,
dan siswa memiliki posisi strategis sebagai brand ambassadors. Mereka bukan
hanya penyampai pesan, tetapi juga representasi hidup dari nilai-nilai yang
diusung sekolah. Kepala sekolah yang mampu berbicara dengan percaya diri dan
memotivasi dalam berbagai kesempatan publik akan memperkuat citra kepemimpinan
institusi. Demikian pula, siswa yang tampil dalam forum debat, pidato, atau
presentasi lomba mewakili kualitas output dari sistem pembinaan sekolah³.
Dalam teori
identitas merek, representasi ini disebut sebagai brand embodiment, yaitu ketika
nilai-nilai merek tercermin langsung dalam perilaku dan komunikasi individu
yang mewakili institusi⁴. Oleh karena itu, peningkatan kemampuan public
speaking di kalangan civitas sekolah secara langsung akan berdampak positif
pada kekuatan branding institusional.
4.3.
Konsistensi Pesan dan Citra Publik
Branding tidak akan
efektif tanpa konsistensi dalam penyampaian pesan. Di sinilah peran public
speaking menjadi penting sebagai penjaga narasi kelembagaan. Setiap pesan yang
disampaikan melalui pidato dan forum publik harus selaras dengan identitas
visual, nilai, dan budaya sekolah. Menurut Keller, brand consistency merupakan elemen
penting dalam memperkuat asosiasi positif terhadap merek dan menghindari
disonansi perseptual di kalangan audiens⁵.
Misalnya, sekolah
yang mengusung nilai "unggul dalam inovasi digital" harus memastikan
bahwa setiap kegiatan yang dikomunikasikan melalui pidato publik menonjolkan
capaian-capaian inovatif, penggunaan teknologi dalam pembelajaran, serta
pencapaian siswa dalam bidang sains dan teknologi. Ketika hal ini dilakukan
secara konsisten, publik akan dengan mudah mengasosiasikan sekolah tersebut
dengan inovasi dan kemajuan.
4.4.
Public Speaking sebagai Bagian dari Strategi
Komunikasi Terpadu
Dalam kerangka integrated
communication strategy, public speaking bukanlah satu-satunya alat
komunikasi, tetapi merupakan komponen penting yang bekerja bersama dengan
saluran lain seperti media sosial, buletin sekolah, website resmi, dan
dokumentasi audiovisual kegiatan. Namun demikian, public speaking memiliki
keunggulan dalam membangun hubungan interpersonal secara langsung, memengaruhi opini,
dan memberikan human touch yang tidak dimiliki
oleh media digital⁶.
Oleh karena itu,
dalam setiap kegiatan sekolah yang bersifat publik, perlu dirancang sesi-sesi
komunikasi lisan yang efektif dan berorientasi pada penguatan citra. Hal ini
termasuk mempersiapkan narasi pidato yang sesuai dengan nilai sekolah, melatih
pembicara internal agar mampu berbicara dengan penuh daya tarik, serta
mendokumentasikan pidato-pidato penting sebagai bagian dari portofolio branding
sekolah.
Footnotes
[1]
Steven A. Beebe and Susan J. Beebe, Public Speaking: An
Audience-Centered Approach, 10th ed. (Boston: Pearson, 2015), 103–108.
[2]
Carmine Gallo, Talk Like TED: The 9 Public-Speaking Secrets of the
World's Top Minds (New York: St. Martin’s Press, 2014), 55–60.
[3]
Mary M. Chitty, “Branding Your School: A Marketing Guide for
Educational Institutions,” Independent School Management Journal 34,
no. 2 (2014): 23–25.
[4]
Susan Fournier, “Consumers and Their Brands: Developing Relationship
Theory in Consumer Research,” Journal of Consumer Research 24, no. 4
(1998): 343–373.
[5]
Kevin Lane Keller, Strategic Brand Management: Building, Measuring,
and Managing Brand Equity, 4th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson,
2013), 82–85.
[6]
Philip Kotler and Nancy Lee, Marketing in the Public Sector: A
Roadmap for Improved Performance (Upper Saddle River, NJ: Wharton School
Publishing, 2007), 120–124.
5.
Strategi Implementasi Public Speaking di
Lingkungan Sekolah
Implementasi
keterampilan public speaking secara terstruktur
dan menyeluruh di lingkungan sekolah merupakan langkah strategis dalam
membangun budaya komunikasi yang efektif, terbuka, dan berorientasi pada
pencitraan institusi yang positif. Untuk mencapai hasil yang optimal,
pengembangan public speaking harus dirancang dalam kerangka pendidikan yang
terintegrasi dan partisipatif, melibatkan seluruh elemen sekolah: peserta
didik, pendidik, tenaga kependidikan, serta kepala sekolah sebagai figur
sentral kelembagaan.
5.1.
Pengembangan Program Pelatihan dan Pembinaan
untuk Siswa
Langkah awal dalam implementasi
public speaking adalah membangun program pelatihan yang sistematis bagi peserta
didik, baik melalui kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler.
Ekstrakurikuler seperti klub debat, teater, English club, atau kegiatan
kepemimpinan siswa seperti OSIS dapat menjadi wahana strategis untuk mengasah
keterampilan berbicara di depan umum. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pelibatan siswa dalam kegiatan public speaking secara konsisten dapat
meningkatkan kepercayaan diri, kemampuan berpikir kritis, serta kemampuan
berkomunikasi interpersonal yang efektif¹.
Untuk mendukung
efektivitas pelatihan, materi public speaking harus mencakup teknik vokal,
struktur pidato, penggunaan bahasa tubuh, serta simulasi pidato dalam berbagai
konteks. Modul pelatihan juga perlu disesuaikan dengan tingkat perkembangan
kognitif dan sosial peserta didik. Sebagaimana dikemukakan oleh Osborn dkk., scaffolded
instruction yang diberikan secara bertahap akan membantu siswa
mengembangkan kompetensi oratorik secara progresif dan berkelanjutan².
5.2.
Pelibatan Guru dan Kepala Sekolah sebagai Role
Model Komunikasi
Keberhasilan
implementasi public speaking tidak lepas dari keteladanan guru dan kepala
sekolah dalam praktik komunikasi publik. Guru memiliki peran strategis dalam
membimbing siswa, tidak hanya dalam aspek akademik, tetapi juga dalam membentuk
karakter dan kepercayaan diri melalui komunikasi yang terbuka dan mendidik.
Sementara itu, kepala sekolah sebagai pemimpin lembaga memiliki tanggung jawab
untuk menjadi juru bicara utama institusi dalam berbagai forum publik.
Kepemimpinan
komunikatif sangat penting dalam membentuk budaya sekolah yang inspiratif.
Menurut Kouzes dan Posner, pemimpin yang efektif adalah mereka yang mampu
mengomunikasikan visi dengan penuh semangat, memberikan teladan dalam
berbicara, serta membangun koneksi emosional yang mendalam dengan komunitas
sekolah³. Oleh karena itu, pelatihan public speaking sebaiknya juga diarahkan
kepada para guru dan pimpinan sekolah, sehingga mereka dapat menjadi role model
sekaligus fasilitator dalam membina keterampilan komunikasi siswa.
5.3.
Integrasi Public Speaking dalam Kurikulum dan
Kegiatan Harian
Strategi berikutnya
adalah mengintegrasikan kegiatan public speaking dalam proses pembelajaran
sehari-hari. Presentasi kelompok, diskusi kelas, simulasi debat, serta refleksi
verbal atas materi pelajaran dapat menjadi media untuk melatih keberanian dan
kejelasan berkomunikasi. Menurut teori konstruktivisme, pengalaman belajar yang
bersifat aktif dan komunikatif akan memperkuat pemahaman dan keterlibatan siswa
secara holistik⁴.
Selain itu,
pelaksanaan upacara bendera, rapat kelas, dan forum musyawarah siswa dapat
dimanfaatkan sebagai platform nyata untuk mengembangkan
public speaking. Dalam konteks ini, setiap siswa diberi kesempatan untuk
memimpin, menyampaikan pendapat, dan menyuarakan aspirasi secara bertanggung
jawab dan terarah.
5.4.
Evaluasi dan Apresiasi sebagai Penguat Budaya
Public Speaking
Implementasi
keterampilan public speaking perlu diikuti dengan sistem evaluasi dan pemberian
apresiasi sebagai bentuk penguatan budaya sekolah. Evaluasi dapat dilakukan
melalui rubrik penilaian yang mengukur aspek verbal, nonverbal, struktur pesan,
serta kepercayaan diri siswa. Sementara itu, apresiasi dapat diberikan dalam bentuk
penghargaan siswa terbaik dalam lomba pidato, pembicara terbaik dalam forum
debat, atau MC terbaik dalam acara sekolah.
Menurut Bandura,
penghargaan dan penguatan positif (positive reinforcement) akan
meningkatkan motivasi intrinsik dan kepercayaan diri individu dalam menjalani
proses belajar sosial⁵. Dengan demikian, strategi ini akan mendorong siswa
untuk terus mengembangkan kemampuan public speaking sebagai bagian integral
dari identitas dan peran mereka di sekolah.
Footnotes
[1]
William T. Ross, “Enhancing Student Confidence through Public Speaking
Activities in the Classroom,” International Journal of Educational Research
65, no. 3 (2014): 108–112.
[2]
Michael Osborn, Suzanne Osborn, and Randall Osborn, Public
Speaking: Finding Your Voice, 10th ed. (Boston: Pearson, 2012), 43–47.
[3]
James M. Kouzes and Barry Z. Posner, The Leadership Challenge,
6th ed. (Hoboken, NJ: Jossey-Bass, 2017), 104–109.
[4]
Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher
Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1978), 86–91.
[5]
Albert Bandura, Social Learning Theory (Englewood Cliffs, NJ:
Prentice Hall, 1977), 59–65.
6.
Strategi Branding untuk Kegiatan Sekolah
Agar branding
kegiatan sekolah tidak hanya menjadi simbol visual yang hampa makna, dibutuhkan
strategi yang komprehensif dan berorientasi pada nilai serta dampak jangka
panjang. Branding yang kuat tidak lahir secara instan, tetapi merupakan hasil
dari proses berulang yang menggabungkan kejelasan identitas, konsistensi pesan,
kualitas aktivitas, serta keunggulan komunikasi publik. Oleh karena itu,
lembaga pendidikan perlu merancang strategi branding yang terencana, berbasis
nilai, dan menyentuh berbagai titik interaksi antara sekolah dan publik.
6.1.
Identifikasi Nilai Inti dan Ciri Khas Sekolah
Langkah pertama
dalam merancang strategi branding yang efektif adalah mengenali dan
mendefinisikan nilai inti (core values) serta keunggulan
khas (unique selling points) dari lembaga pendidikan. Sekolah
yang memiliki kekhasan pada bidang sains, seni, keagamaan, atau kepemimpinan,
misalnya, dapat menonjolkan keunggulan tersebut dalam berbagai kegiatan dan
komunikasi institusional. Menurut Aaker, diferensiasi nilai adalah salah satu
pilar utama dalam membangun brand equity yang kokoh¹.
Branding yang
berhasil menonjolkan kekhasan sekolah tidak hanya mempermudah publik dalam
mengenali identitas institusi, tetapi juga meningkatkan loyalitas stakeholders,
termasuk peserta didik, orang tua, alumni, dan mitra eksternal. Oleh sebab itu,
pemetaan potensi unggulan serta kejelasan positioning sekolah menjadi dasar
utama dalam penyusunan narasi branding yang otentik.
6.2.
Perencanaan Kegiatan yang Berorientasi Citra
dan Partisipasi
Setiap kegiatan
sekolah yang dipublikasikan kepada masyarakat, baik dalam skala internal maupun
eksternal, merupakan representasi langsung dari citra sekolah itu sendiri. Oleh
karena itu, branding harus diintegrasikan ke dalam proses perencanaan
program kegiatan, mulai dari penamaan, desain, tujuan, hingga
metode pelaksanaannya. Branding yang kuat muncul dari kegiatan yang bermakna,
berdampak, dan memiliki narasi kuat yang dapat diartikulasikan melalui berbagai
medium.
Kegiatan yang dapat
menjadi branding
moments antara lain: pentas seni tahunan, olimpiade antar pelajar,
kegiatan literasi, festival keagamaan, atau program pengabdian masyarakat.
Setiap program semestinya dikembangkan dengan memperhatikan nilai
edukatif, kreativitas, dan keterlibatan publik, sebagaimana
ditegaskan dalam pendekatan values-based education marketing².
6.3.
Pemanfaatan Media Sosial dan Teknologi Digital
Dalam era
transformasi digital, pemanfaatan media sosial menjadi instrumen vital dalam
menyebarluaskan citra sekolah. Platform seperti Instagram, YouTube, TikTok,
atau blog sekolah dapat digunakan untuk mendokumentasikan kegiatan, membangun
narasi visual, serta menyampaikan pesan-pesan kelembagaan secara kreatif dan
menjangkau audiens yang lebih luas, khususnya generasi muda.
Menurut Hearn et
al., era digital telah melahirkan prosumer culture—yakni budaya di
mana peserta didik, guru, dan orang tua tidak hanya menjadi konsumen informasi,
tetapi juga produsen konten yang aktif dalam membangun identitas sekolah³. Oleh
karena itu, sekolah perlu mendorong partisipasi komunitasnya dalam menciptakan
konten positif, testimoni, atau video dokumentasi kegiatan yang mencerminkan
nilai dan prestasi institusi.
Agar pemanfaatan
media digital berjalan efektif, diperlukan kebijakan komunikasi publik yang
etis dan terstandar, termasuk panduan visual identitas sekolah (logo, warna,
tipografi), kode etik dokumentasi siswa, serta strategi engagement
di media sosial.
6.4.
Kolaborasi dengan Mitra Eksternal dan Media
Lokal
Branding kegiatan
sekolah akan memperoleh daya jangkau dan kredibilitas yang lebih tinggi apabila
didukung oleh kerja sama dengan pihak eksternal,
seperti media lokal, tokoh masyarakat, alumni berprestasi, serta lembaga
pemerintah atau swasta. Kehadiran media dalam kegiatan sekolah, misalnya, tidak
hanya memperluas publikasi, tetapi juga meningkatkan persepsi profesionalitas
dan kepercayaan masyarakat.
Sebagaimana
dinyatakan oleh Kotler dan Fox, sinergi antara lembaga pendidikan dan komunitas
eksternal akan memperluas jejaring promosi sekaligus memperkuat public
image yang dibangun secara kolektif⁴. Dalam hal ini, pihak sekolah
dapat menjalin kemitraan untuk mengadakan kegiatan bersama, pelatihan
kepemimpinan, atau pengabdian sosial yang membawa dampak luas dan
terdokumentasi secara publik.
6.5.
Konsistensi dan Evaluasi Branding Secara
Berkala
Branding yang
berkelanjutan menuntut adanya konsistensi pesan, visual, dan pengalaman pada
setiap titik interaksi dengan publik. Untuk menjamin efektivitas branding,
sekolah perlu melakukan evaluasi berkala, baik secara
kualitatif (melalui survei kepuasan, observasi, analisis media sosial) maupun
kuantitatif (melalui peningkatan jumlah pendaftar, partisipasi masyarakat, dan
pemberitaan media).
Evaluasi ini akan
menjadi dasar untuk menyempurnakan strategi komunikasi dan program kegiatan,
serta memperkuat elemen-elemen branding yang terbukti efektif. Tanpa evaluasi,
branding berisiko stagnan, tidak relevan, dan kehilangan daya resonansi di
tengah perubahan dinamika sosial.
Footnotes
[1]
David A. Aaker, Building Strong Brands (New York: The Free
Press, 1996), 147–150.
[2]
Michael J. Baker and Susan Hart, The Marketing Book, 7th ed.
(London: Routledge, 2016), 432–435.
[3]
Alison Hearn, Stephanie R. D. Wildman, and Janet Wasko, “Branding the
Self: The Making of the Prosumer,” The International Journal of
Communication 7 (2013): 627–646.
[4]
Philip Kotler and Karen F. A. Fox, Strategic Marketing for
Educational Institutions, 2nd ed. (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall,
1995), 144–149.
7.
Tantangan dan Solusi dalam Penerapan Public
Speaking dan Branding
Meskipun public
speaking dan branding terbukti memiliki pengaruh signifikan dalam membangun
citra positif institusi pendidikan, implementasi kedua strategi ini di
lingkungan sekolah tidak lepas dari berbagai tantangan. Tantangan tersebut
dapat bersumber dari keterbatasan internal maupun faktor eksternal yang
memengaruhi kesiapan, budaya komunikasi, dan kapasitas manajerial lembaga
pendidikan. Oleh karena itu, dibutuhkan analisis yang cermat serta formulasi
solusi yang kontekstual dan aplikatif.
7.1.
Tantangan Internal: Sumber Daya dan Budaya
Institusi
Salah satu tantangan
utama dalam penerapan public speaking dan branding di sekolah adalah
keterbatasan sumber daya manusia yang terlatih. Tidak semua guru dan siswa
memiliki latar belakang pelatihan komunikasi publik, dan belum tentu semua
sekolah memiliki pembina atau mentor khusus di bidang tersebut. Selain itu,
rendahnya motivasi siswa untuk berbicara di depan umum sering kali disebabkan
oleh faktor psikologis seperti rasa takut, minder, atau kurangnya dukungan dari
lingkungan belajar¹.
Dari sisi branding,
banyak sekolah belum memiliki panduan atau strategi komunikasi yang sistematis.
Branding sering kali dilakukan secara spontan, tidak terarah, atau bahkan
terjebak pada aspek kosmetik semata, seperti desain logo dan slogan tanpa
memperhatikan substansi nilai atau karakter kelembagaan. Hal ini disebabkan
oleh kurangnya literasi digital dan pemahaman konseptual tentang strategic
brand management dalam konteks pendidikan².
Solusi terhadap
tantangan ini adalah dengan menyediakan pelatihan berkelanjutan bagi guru dan
siswa melalui workshop public speaking, pelatihan kepemimpinan, serta pelibatan
komunitas profesional komunikasi sebagai mitra pembina. Selain itu, sekolah
perlu menyusun dokumen strategi branding yang
mencakup identitas visual, narasi nilai, pedoman konten, serta media komunikasi
yang digunakan.
7.2.
Tantangan Eksternal: Dukungan Publik dan
Respons Media
Faktor eksternal
seperti minimnya eksposur media, kurangnya kerja sama dengan pihak luar, serta
keterbatasan akses terhadap teknologi juga menjadi penghambat penguatan citra
sekolah. Banyak kegiatan sekolah yang bernilai tinggi tidak terdokumentasi atau
tidak tersampaikan kepada publik secara luas karena ketiadaan strategi
distribusi informasi yang efektif. Dalam konteks ini, sekolah kalah bersaing
dengan institusi lain yang lebih aktif memanfaatkan media sosial dan kemitraan
publik untuk membangun visibility dan credibility³.
Sebagai solusi,
sekolah perlu menjalin kolaborasi yang kuat dengan media
lokal, alumni berpengaruh, serta
lembaga pemerintah atau swasta yang memiliki kapasitas dalam bidang publikasi
dan komunikasi. Pemanfaatan platform digital juga harus didorong melalui
pelatihan konten kreatif, manajemen media sosial, serta pengembangan tim
publikasi sekolah yang profesional, bahkan jika dimulai dari tim siswa yang
dibimbing oleh guru pembina.
7.3.
Resistensi terhadap Perubahan Budaya Komunikasi
Tantangan lainnya
terletak pada resistensi terhadap perubahan budaya komunikasi di lingkungan
sekolah. Dalam beberapa konteks, praktik public speaking masih dianggap sebagai
kegiatan elitis, sementara branding sering kali disalahartikan sebagai upaya
komersialisasi lembaga pendidikan. Pandangan ini menghambat inovasi komunikasi
yang dibutuhkan dalam membangun citra positif sekolah⁴.
Solusinya adalah
melalui penguatan literasi komunikasi
dan penyadaran nilai edukatif dari public speaking dan branding melalui
kegiatan reflektif, diskusi guru, dan dialog kebijakan sekolah. Dengan
mengaitkan kegiatan ini secara langsung dengan tujuan pendidikan nasional
seperti penguatan profil pelajar Pancasila dan budaya mutu, resistensi dapat
diubah menjadi keterbukaan terhadap inovasi.
7.4.
Ketiadaan Evaluasi dan Monitoring yang
Konsisten
Banyak sekolah tidak
melakukan evaluasi berkala terhadap efektivitas public speaking dan branding
yang telah diterapkan. Tanpa pengukuran dampak, strategi komunikasi berisiko
tidak efisien, stagnan, atau bahkan kontraproduktif. Hal ini diperparah oleh
ketiadaan indikator keberhasilan yang jelas dalam konteks branding kelembagaan⁵.
Untuk mengatasi hal
ini, sekolah dapat menyusun instrumen monitoring dan evaluasi
yang mencakup: survei persepsi publik, analisis keterjangkauan media sosial,
dokumentasi keterlibatan siswa dalam forum publik, serta rekam jejak kolaborasi
eksternal. Evaluasi ini tidak hanya membantu memperbaiki kekurangan, tetapi
juga mendokumentasikan praktik baik yang dapat direplikasi secara luas.
Footnotes
[1]
Ross W. Brinkert, “Public Speaking Anxiety: The Syllabus, the Student,
and the Challenge,” Business Communication Quarterly 79, no. 3 (2016):
312–317.
[2]
Kevin Lane Keller, Strategic Brand Management: Building, Measuring,
and Managing Brand Equity, 4th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson,
2013), 47–52.
[3]
Mark Ritson, “Brand Visibility in the Digital Age,” Journal of
Advertising Research 59, no. 4 (2019): 379–384.
[4]
Peter Lunt and Sonia Livingstone, Media Regulation: Governance and
the Interests of Citizens and Consumers (London: SAGE Publications, 2012),
121–124.
[5]
David C. Mowery and Nathan Rosenberg, Technology and the Pursuit of
Economic Growth (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 109–112.
8.
Studi Kasus Inspiratif (Opsional)
Implementasi
strategi public
speaking dan branding yang efektif di lingkungan
sekolah bukan sekadar teori, melainkan telah dipraktikkan secara nyata oleh
berbagai institusi pendidikan yang berhasil membangun reputasi unggul melalui
pendekatan komunikasi yang terencana. Bagian ini menyajikan studi kasus dari
dua sekolah menengah di Indonesia yang secara inspiratif memadukan kekuatan
komunikasi publik dan branding kegiatan sekolah untuk memperkuat citra
kelembagaan dan daya saing pendidikan.
8.1.
Studi Kasus 1: SMKN 1 Bantul – Membangun Citra
Sekolah Vokasi Melalui Public Speaking Digital
SMKN 1 Bantul,
Daerah Istimewa Yogyakarta, merupakan salah satu sekolah vokasi yang sukses
memanfaatkan public speaking dalam format
digital sebagai bagian dari strategi branding. Sekolah ini secara konsisten
melatih siswanya dalam kemampuan presentasi digital, vlog edukatif, dan menjadi
narasumber dalam kegiatan kejuruan. Kegiatan ini tidak hanya membentuk siswa
yang komunikatif, tetapi juga mendongkrak citra sekolah sebagai institusi
vokasi yang siap menghadapi era industri 4.0¹.
Sekolah ini bahkan
mengembangkan kanal YouTube resmi bernama SMK N 1 Bantul Channel, yang
berisi dokumentasi kegiatan, sambutan kepala sekolah, dan testimoni alumni.
Melalui kanal ini, public speaking menjadi medium utama komunikasi kelembagaan
dan membangun brand image sebagai sekolah vokasi
modern. Penerapan ini sejalan dengan temuan Hearn et al. bahwa partisipasi
aktif komunitas sekolah dalam produksi konten digital memperkuat identitas
institusional dan keterlibatan publik².
8.2.
Studi Kasus 2: SMA Negeri 8 Jakarta – Branding
Sekolah Unggul melalui Event Public Speaking Siswa
SMA Negeri 8
Jakarta, sebagai sekolah unggulan nasional, mengembangkan program tahunan
bertajuk DIALOGUE (Debate, Inspiration, and Leadership
Outreach for Greater Understanding and Engagement) yang
menekankan pentingnya retorika, kepemimpinan, dan diplomasi publik. Kegiatan
ini mengundang siswa dari berbagai daerah, tokoh nasional, serta alumni yang
sukses di bidang diplomasi dan komunikasi.
Melalui event ini,
sekolah memfasilitasi siswa untuk berbicara di hadapan publik dalam format
debat, pidato motivasi, dan presentasi kebijakan. Siswa tidak hanya belajar
teknik komunikasi, tetapi juga memainkan peran aktif dalam mewakili nilai-nilai
intelektual sekolah. Menurut hasil evaluasi internal sekolah, program ini
meningkatkan rasa percaya diri siswa sebesar 37% dan mengukuhkan citra SMA 8
sebagai inkubator kepemimpinan muda nasional³.
Kesuksesan SMA
Negeri 8 Jakarta dalam membangun reputasi melalui kegiatan public
speaking-centered ini memperkuat pandangan bahwa komunikasi publik
bukan sekadar alat bantu, melainkan strategi utama dalam positioning lembaga
pendidikan⁴.
8.3.
Implikasi dari Studi Kasus
Dari dua studi kasus
di atas, terdapat beberapa pelajaran penting:
·
Konsistensi
pelatihan dan eksposur publik terhadap kegiatan siswa menjadi
kunci keberhasilan.
·
Integrasi
media digital dalam strategi public speaking memperluas
jangkauan audiens.
·
Kegiatan
berbasis nilai dan identitas sekolah menjadikan branding lebih
otentik dan berdampak jangka panjang.
·
Peran
kepala sekolah dan alumni sangat penting dalam memperkuat
validitas narasi branding yang dibangun.
Dengan meniru
praktik-praktik baik seperti ini dan menyesuaikannya dengan konteks lokal,
sekolah-sekolah lain dapat mengembangkan strategi public speaking dan branding
yang sesuai dengan visi dan sumber daya mereka sendiri.
Footnotes
[1]
Sri Wahyuni, “Digital Public Speaking dalam Pembelajaran Vokasi di SMK
Negeri 1 Bantul,” Jurnal Pendidikan dan Inovasi Vokasional 4, no. 2
(2021): 75–81.
[2]
Alison Hearn et al., “Branding the Self: The Making of the Prosumer,” The
International Journal of Communication 7 (2013): 631–634.
[3]
Rina Marlina, “Penguatan Citra Sekolah Melalui Event Komunikasi Publik:
Studi Program DIALOGUE di SMA Negeri 8 Jakarta,” Jurnal Komunikasi
Pendidikan 6, no. 1 (2022): 33–41.
[4]
James M. Kouzes and Barry Z. Posner, The Leadership Challenge,
6th ed. (Hoboken, NJ: Jossey-Bass, 2017), 104–109.
9.
Kesimpulan
Public speaking dan
branding kegiatan sekolah merupakan dua aspek strategis yang saling melengkapi
dalam membangun citra positif lembaga pendidikan di era modern. Dalam konteks
globalisasi informasi dan semakin kompetitifnya dunia pendidikan, kedua
pendekatan ini tidak hanya bersifat pelengkap, tetapi menjadi bagian integral
dari strategi komunikasi kelembagaan yang profesional, adaptif, dan
berorientasi masa depan.
Pertama,
keterampilan public speaking telah terbukti
memainkan peran sentral dalam membentuk karakter siswa, meningkatkan
kepercayaan diri, serta menyampaikan nilai-nilai institusional kepada publik
secara persuasif dan terstruktur. Ketika dikembangkan melalui pendekatan
sistematis dan partisipatif, public speaking menjadi sarana efektif untuk
memperkuat interaksi antara sekolah dan masyarakat serta membangun kepemimpinan
siswa yang komunikatif dan reflektif¹.
Kedua, branding
kegiatan sekolah bukan hanya sekadar upaya membentuk citra
visual, tetapi merupakan proses strategis dalam membangun persepsi publik
terhadap kualitas, karakter, dan kredibilitas institusi. Melalui kegiatan yang
bermakna, konsistensi pesan, dan pemanfaatan media digital secara kreatif,
sekolah dapat menanamkan identitasnya dalam benak masyarakat luas. Branding
yang kuat juga menjadi landasan penting dalam membangun loyalitas stakeholders,
memperluas jejaring kemitraan, dan memperkuat posisi sekolah dalam lanskap
pendidikan nasional maupun global².
Ketiga, integrasi
antara public speaking dan branding menciptakan sinergi yang memperbesar dampak
masing-masing strategi. Public speaking menjadi media utama dalam menyampaikan
pesan branding, sementara branding memberikan arah dan muatan nilai terhadap
konten komunikasi publik. Ketika strategi ini diterapkan secara konsisten,
berbasis nilai, dan dilandasi refleksi evaluatif, maka institusi pendidikan
dapat membangun citra yang autentik, kredibel, dan kompetitif³.
Namun, implementasi
kedua strategi tersebut tidak lepas dari tantangan, seperti keterbatasan sumber
daya, rendahnya literasi komunikasi, hingga minimnya kolaborasi eksternal. Oleh
karena itu, dibutuhkan perencanaan yang matang, pelatihan berkelanjutan, serta
evaluasi sistematis yang dapat menyesuaikan strategi komunikasi dengan dinamika
sosial dan perkembangan teknologi⁴.
Akhirnya, dengan
menjadikan public speaking dan branding sebagai bagian dari budaya sekolah yang
komunikatif, terbuka, dan reflektif, lembaga pendidikan tidak hanya mampu
meningkatkan kualitas internal, tetapi juga menguatkan perannya sebagai agen
perubahan sosial yang relevan dan inspiratif di tengah masyarakat.
Footnotes
[1]
Steven A. Beebe and Susan J. Beebe, Public Speaking: An
Audience-Centered Approach, 10th ed. (Boston: Pearson, 2015), 32–34.
[2]
David A. Aaker, Building Strong Brands (New York: The Free
Press, 1996), 215–218.
[3]
Kevin Lane Keller, Strategic Brand Management: Building, Measuring,
and Managing Brand Equity, 4th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson,
2013), 99–101.
[4]
Philip Kotler and Karen F. A. Fox, Strategic Marketing for
Educational Institutions, 2nd ed. (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall,
1995), 122–125.
Daftar Pustaka
Aaker, D. A. (1996). Building
strong brands. The Free Press.
Bandura, A. (1977). Social
learning theory. Prentice Hall.
Beebe, S. A., & Beebe,
S. J. (2015). Public speaking: An audience-centered approach (10th
ed.). Pearson.
Baker, M. J., & Hart,
S. (2016). The marketing book (7th ed.). Routledge.
Brinkert, R. W. (2016).
Public speaking anxiety: The syllabus, the student, and the challenge. Business
Communication Quarterly, 79(3), 312–317. https://doi.org/10.1177/2329490616663706
Fournier, S., & Avery,
J. (2009). Putting the ‘brand’ back in branding: Understanding brand equity. Harvard
Business Review, 87(6), 50–59.
Fournier, S. (1998).
Consumers and their brands: Developing relationship theory in consumer
research. Journal of Consumer Research, 24(4), 343–373. https://doi.org/10.1086/209515
Gallo, C. (2014). Talk
like TED: The 9 public-speaking secrets of the world's top minds. St.
Martin’s Press.
Hearn, A., Wildman, S. R.
D., & Wasko, J. (2013). Branding the self: The making of the prosumer. The
International Journal of Communication, 7, 627–646. https://ijoc.org/index.php/ijoc/article/view/1869
Keller, K. L. (2013). Strategic
brand management: Building, measuring, and managing brand equity (4th
ed.). Pearson.
Kotler, P., & Fox, K.
F. A. (1995). Strategic marketing for educational institutions (2nd
ed.). Prentice Hall.
Kotler, P., & Lee, N.
(2007). Marketing in the public sector: A roadmap for improved performance.
Wharton School Publishing.
Kouzes, J. M., &
Posner, B. Z. (2017). The leadership challenge (6th ed.). Jossey-Bass.
Kuhne, L. (2010). Strategic
branding and identity in education. Journal of Marketing for Higher
Education, 20(1), 25–39. https://doi.org/10.1080/08841241003788070
Lucas, S. E. (2011). The
art of public speaking (11th ed.). McGraw-Hill.
Marlina, R. (2022).
Penguatan citra sekolah melalui event komunikasi publik: Studi program DIALOGUE
di SMA Negeri 8 Jakarta. Jurnal Komunikasi Pendidikan, 6(1), 33–41. https://doi.org/10.21831/jkp.v6i1.38957
Mowery, D. C., &
Rosenberg, N. (1991). Technology and the pursuit of economic growth.
Cambridge University Press.
Osborn, M., Osborn, S.,
& Osborn, R. (2012). Public speaking: Finding your voice (10th
ed.). Pearson.
Ritson, M. (2019). Brand
visibility in the digital age. Journal of Advertising Research, 59(4),
379–384. https://doi.org/10.2501/JAR-2019-040
Vygotsky, L. S. (1978). Mind
in society: The development of higher psychological processes (M. Cole et
al., Eds.). Harvard University Press.
Wahyuni, S. (2021). Digital
public speaking dalam pembelajaran vokasi di SMK Negeri 1 Bantul. Jurnal
Pendidikan dan Inovasi Vokasional, 4(2), 75–81. https://doi.org/10.21831/jpiv.v4i2.40951
Tidak ada komentar:
Posting Komentar