Era Post-truth
Disinformasi, Kepentingan Politik, dan Krisis Kebenaran
dalam Wacana Publik
Alihkan ke: Tantangan Zaman Modern.
Pembagian Zaman dalam Sejarah.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara
komprehensif dinamika era post-truth sebagai fenomena sosial-politik
yang ditandai oleh dominasi emosi, opini pribadi, dan identitas kelompok dalam
pembentukan opini publik, menggantikan posisi kebenaran objektif sebagai
fondasi diskursus demokratis. Dengan pendekatan interdisipliner yang mengacu
pada literatur filsafat, komunikasi, ilmu politik, dan media studies, artikel
ini menelusuri akar historis dan konseptual dari gejala post-truth, termasuk
peran teknologi digital, media sosial, dan strategi disinformasi dalam
memanipulasi opini publik.
Secara khusus, dibahas
bagaimana politik identitas digunakan untuk memperkuat polarisasi dan
membenarkan diseminasi informasi yang menyesatkan demi kepentingan kekuasaan.
Dampaknya terhadap demokrasi dan masyarakat sipil ditelaah melalui kerangka
krisis epistemik dan erosi kepercayaan terhadap institusi publik. Artikel ini
juga menawarkan solusi berbasis literasi kritis, etika komunikasi, reformasi
institusional media, dan teknologi etis sebagai strategi integral untuk merebut
kembali ruang publik yang rasional, adil, dan berbasis fakta. Kesimpulan
artikel menekankan pentingnya membangun kembali ekosistem kebenaran melalui
kerja kolektif lintas sektor dan penguatan nilai-nilai kewargaan yang berbasis
tanggung jawab epistemik.
Kata Kunci: Post-truth,
disinformasi, politik identitas, literasi kritis, ruang publik, demokrasi,
media digital, etika komunikasi, krisis epistemik, algoritma media sosial.
PEMBAHASAN
Telaah Kritis Era Post-truth Berdasarkan Referensi
Kredibel
1.
Pendahuluan: Menelusuri Gejala Post-truth
Dalam beberapa dekade terakhir,
dunia menyaksikan pergeseran dramatis dalam cara individu dan kelompok sosial
membentuk pemahaman terhadap realitas. Istilah post-truth, yang
dinobatkan sebagai “Word of the Year” oleh Oxford Dictionaries
pada tahun 2016, merujuk pada situasi di mana fakta objektif menjadi kurang
berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan
keyakinan pribadi.¹ Fenomena ini mengindikasikan krisis epistemologis yang
mendalam, di mana batas antara fakta dan fiksi menjadi kabur, serta kepercayaan
terhadap otoritas pengetahuan mengalami kemerosotan drastis.
Gejala post-truth tidak
muncul dalam ruang hampa. Ia tumbuh subur di tengah meningkatnya polarisasi
politik, diseminasi informasi yang tak terbendung melalui media sosial, dan
melemahnya otoritas institusional seperti sains, jurnalisme, dan akademia.²
Dalam konteks ini, kebenaran tidak lagi menjadi hasil verifikasi logis atau
pengujian empiris, melainkan sebuah konstruksi naratif yang ditentukan oleh
siapa yang paling mampu mengontrol opini dan persepsi publik.³ Maka, dalam
masyarakat post-truth, yang menjadi penting bukan lagi validitas informasi,
melainkan seberapa besar informasi itu dapat memengaruhi perasaan dan
memperkuat identitas kelompok tertentu.
Salah satu aspek mendasar
dari era post-truth adalah pergeseran fokus komunikasi publik dari fakta ke
afeksi—yaitu bagaimana pesan dirancang untuk menggugah emosi, bukan
menyampaikan kebenaran. Sebagaimana dijelaskan oleh Ralph Keyes, masyarakat
kini lebih toleran terhadap “kebohongan putih” (white lies), bahkan
ketika hal tersebut berdampak pada keputusan sosial dan politik yang luas.⁴
Keyes menyebut kondisi ini sebagai "kecenderungan sosial untuk
menyepelekan keakuratan demi efektivitas retoris."_⁵ Hal ini membuka jalan
bagi disinformasi terstruktur yang digunakan oleh aktor-aktor politik maupun
media untuk membentuk opini sesuai agenda mereka.
Selain itu, dalam masyarakat
yang terkoneksi secara digital, platform media sosial berperan sebagai
akselerator penyebaran informasi yang belum tervalidasi. Konten yang viral
sering kali lebih dihargai daripada konten yang benar. Sebuah studi penting
oleh Soroush Vosoughi dan rekan-rekannya di Science menunjukkan bahwa
berita palsu (false news) menyebar lebih cepat, lebih luas, dan lebih
dalam dibandingkan dengan berita yang benar.⁶ Temuan ini memperkuat klaim bahwa
emosi—seperti kemarahan, ketakutan, dan kejutan—merupakan pendorong utama dalam
distribusi informasi di era post-truth.
Dalam konteks ini, peran
media dan politik menjadi krusial. Manipulasi wacana oleh politisi populis,
polarisasi oleh media partisan, serta algoritma digital yang menciptakan ruang
gema (echo chambers) menjadikan masyarakat semakin sulit membedakan
antara fakta dan propaganda.⁷ Oleh karena itu, memahami dan mengkritisi gejala
post-truth merupakan langkah penting untuk menjaga integritas ruang publik,
memperkuat fondasi demokrasi, dan memulihkan kembali penghargaan terhadap
kebenaran dalam kehidupan sosial.
Footnotes
[1]
Oxford Dictionaries, Word of the Year 2016, accessed March 25,
2025, https://languages.oup.com/word-of-the-year/2016/.
[2]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018),
3–5.
[3]
Matthew d’Ancona, Post-Truth: The New War on Truth and How to Fight
Back (London: Ebury Press, 2017), 4–7.
[4]
Ralph Keyes, The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in
Contemporary Life (New York: St. Martin’s Press, 2004), 15.
[5]
Ibid., 20.
[6]
Soroush Vosoughi, Deb Roy, and Sinan Aral, “The Spread of True and
False News Online,” Science 359, no. 6380 (2018): 1146–1151, https://doi.org/10.1126/science.aap9559.
[7]
Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social
Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 80–93.
2.
Landasan Konseptual: Apa Itu Post-truth?
Istilah post-truth
mengacu pada kondisi sosial di mana fakta objektif kehilangan signifikansinya
dalam membentuk opini publik, karena tergeser oleh daya tarik emosi dan
keyakinan pribadi.¹ Menurut Oxford Dictionaries, post-truth adalah “relating
to or denoting circumstances in which objective facts are less influential in
shaping public opinion than appeals to emotion and personal belief.”_²
Dalam tatanan diskursif ini, fakta bukan lagi basis utama dalam membangun
konsensus, melainkan subordinat dari narasi emosional yang diproduksi dan
disebarluaskan untuk tujuan politik, ideologis, atau ekonomis.
Secara filosofis, konsep
post-truth memiliki akar dalam relativisme epistemologis yang berkembang dalam
pascamodernisme.³ Dalam kerangka ini, kebenaran tidak dipandang sebagai
representasi objektif realitas, tetapi sebagai konstruksi sosial yang tunduk
pada kekuasaan, bahasa, dan konteks historis. Hal ini memunculkan implikasi
serius terhadap epistemologi publik: apabila semua klaim dianggap setara secara
epistemik hanya karena didasarkan pada keyakinan atau pengalaman subjektif,
maka batas antara fakta dan opini, pengetahuan dan keyakinan,
menjadi kabur.⁴
Lee McIntyre dalam bukunya Post-Truth
menjelaskan bahwa era post-truth bukan sekadar pergeseran bahasa atau nilai,
melainkan bentuk penolakan sistematis terhadap metode pencarian kebenaran
ilmiah dan rasional.⁵ Ia menyebut bahwa post-truth muncul dari gabungan antara motivated
reasoning, confirmation bias, dan politisasi kebenaran, di mana
aktor-aktor berkepentingan menciptakan “realitas alternatif” untuk
mendukung narasi mereka.⁶ Dengan demikian, post-truth bukan berarti tidak ada
kebenaran, tetapi kebenaran telah kehilangan relevansi dalam ruang publik.
Dari sudut pandang komunikasi
politik, era post-truth ditandai oleh meningkatnya praktik disinformasi,
propaganda berbasis emosi, dan manipulasi opini melalui media sosial.⁷ Dalam
konteks ini, media bukan lagi penjaga kebenaran (gatekeeper of truth),
melainkan arena pertarungan narasi yang saling bersaing tanpa komitmen terhadap
verifikasi. Claire Wardle menyebut fenomena ini sebagai “information
disorder,” yaitu disrupsi serius terhadap ekosistem informasi akibat
kombinasi antara misinformasi, disinformasi, dan malinformasi.⁸
Perlu dicatat pula bahwa
post-truth bukan berarti masyarakat menjadi lebih bodoh atau kurang
berpendidikan, melainkan karena struktur dan intensi penyampaian informasi
telah berubah secara radikal. Dalam lingkungan digital yang diatur oleh
algoritma dan logika keterlibatan (engagement), informasi yang viral
sering kali lebih berpengaruh daripada informasi yang benar.⁹ Hal ini
memperkuat apa yang oleh Jayson Harsin disebut sebagai attention economy,
yakni ekonomi berbasis perhatian yang mendorong distorsi dan sensasionalisme
demi klik dan keterlibatan.¹⁰
Oleh karena itu, untuk
memahami post-truth secara konseptual, kita perlu mengkaji relasi antara
kebenaran, kepercayaan, dan kekuasaan informasi. Dalam dunia di mana batas
antara fakta dan fiksi dikaburkan secara strategis, post-truth mencerminkan
krisis epistemik yang menuntut respons kritis dari berbagai disiplin
ilmu—filsafat, komunikasi, sosiologi, dan ilmu politik.
Footnotes
[1]
McIntyre, Lee. Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 5.
[2]
Oxford Dictionaries, Word of the Year 2016, accessed March 25,
2025, https://languages.oup.com/word-of-the-year/2016/.
[3]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.
[4]
Kakutani, Michiko. The Death of Truth (New York: Tim Duggan
Books, 2018), 28–32.
[5]
McIntyre, Post-Truth, 10.
[6]
Ibid., 25–27.
[7]
d’Ancona, Matthew. Post-Truth: The New War on Truth and How to
Fight Back (London: Ebury Press, 2017), 13–17.
[8]
Claire Wardle and Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward
an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making (Strasbourg:
Council of Europe, 2017), 9–12.
[9]
Vosoughi, Soroush, Deb Roy, and Sinan Aral. “The Spread of True and
False News Online,” Science 359, no. 6380 (2018): 1146–1151, https://doi.org/10.1126/science.aap9559.
[10]
Harsin, Jayson. “Regimes of Posttruth, Postpolitics and Attention
Economies,” Communication, Culture & Critique 8, no. 2 (2015):
327–333.
3.
Sejarah dan Latar Belakang Kemunculan Era
Post-truth
Fenomena post-truth
bukanlah gejala yang muncul secara tiba-tiba, melainkan hasil dari proses
historis yang panjang, yang melibatkan perkembangan teknologi komunikasi,
dinamika politik global, serta transformasi budaya dalam memahami kebenaran.
Dalam lintasan sejarah modern, disinformasi dan propaganda telah memainkan peran
penting, terutama pada era totalitarianisme abad ke-20. Rezim seperti Nazi
Jerman di bawah Joseph Goebbels dan Uni Soviet di bawah Stalin menggunakan
teknik komunikasi massa untuk mengendalikan narasi dan menciptakan “kebenaran
resmi” yang bertujuan menundukkan akal publik.¹
Pasca Perang Dunia II,
strategi komunikasi politik berkembang melalui teknik propaganda yang lebih
subtil, memanfaatkan media televisi, opini elite, dan manipulasi psikologis
dalam kampanye.² Namun, transformasi besar terjadi pada akhir abad ke-20 dan
awal abad ke-21, ketika kemunculan internet dan media sosial mengubah secara
radikal cara informasi disebarkan, dikonsumsi, dan dibentuk.³ Pergeseran ini
berkontribusi pada desentralisasi otoritas informasi: jika dahulu lembaga
seperti pers, akademia, dan lembaga negara menjadi penjaga gerbang kebenaran (gatekeepers
of truth), kini ruang publik digital memberikan peluang yang sama bagi
siapa pun untuk memproduksi dan mendistribusikan informasi, termasuk yang
bersifat manipulatif.⁴
Salah satu tonggak penting
yang menandai transisi ke era post-truth adalah peristiwa politik global yang
berlangsung pada pertengahan 2010-an, khususnya Brexit dan Pemilihan Presiden
Amerika Serikat 2016. Dalam dua peristiwa tersebut, penggunaan informasi yang
salah secara strategis terbukti sangat berpengaruh terhadap hasil akhir. Dalam
kampanye Brexit, misalnya, klaim palsu mengenai dana Uni Eropa yang dapat
dialihkan ke sistem kesehatan Inggris menjadi isu utama yang memengaruhi
publik, walaupun belakangan dibantah oleh otoritas independen.⁵ Demikian pula
dalam Pilpres AS 2016, berbagai investigasi menunjukkan bahwa berita palsu
lebih banyak beredar dibandingkan berita valid, dan aktor-aktor asing turut
memainkan peran dalam menyebarkan disinformasi politik melalui platform
digital.⁶
Kemunculan big data,
algoritma media sosial, dan mikro-targeting politik memperparah kondisi ini.
Informasi tidak lagi dikonsumsi secara kolektif dalam satu ruang wacana
bersama, tetapi difragmentasi berdasarkan preferensi pribadi dan psikografik,
menciptakan ruang gema (echo chambers) dan gelembung penyaringan (filter
bubbles).⁷ Dalam kondisi ini, publik tidak hanya dibatasi dari informasi
yang berlawanan, tetapi juga diperkuat dalam keyakinannya sendiri, tanpa
konfrontasi terhadap fakta yang berbeda. Akibatnya, “kebenaran” menjadi relatif
terhadap komunitas informasi tertentu.
Dalam kerangka inilah Michiko
Kakutani menyebut bahwa post-truth merupakan “produk dari dekade-dekade
keruntuhan kepercayaan terhadap institusi, penyebaran relativisme kultural, dan
bangkitnya populisme yang membenci elite dan fakta objektif.”_⁸ Era ini
mencerminkan bukan hanya krisis epistemik, tetapi juga krisis
kepercayaan—terhadap media, pemerintah, dan bahkan terhadap kemampuan publik
sendiri untuk membedakan yang benar dari yang salah.
Dengan demikian, memahami
latar historis era post-truth mengharuskan kita melihat keterkaitan antara
perkembangan teknologi komunikasi, strategi politik populis, serta melemahnya
struktur otoritas tradisional dalam menentukan validitas informasi. Kombinasi
dari ketiga faktor ini menciptakan medan diskursif baru di mana kebenaran bukan
lagi soal bukti, melainkan soal siapa yang mampu mengontrol narasi.
Footnotes
[1]
Jason Stanley, How Propaganda Works (Princeton: Princeton
University Press, 2015), 120–135.
[2]
Edward Bernays, Propaganda (New York: Ig Publishing, 2004
[1928]), 37–56.
[3]
Manuel Castells, Networks of Outrage and Hope: Social Movements in
the Internet Age (Cambridge: Polity Press, 2015), 45–49.
[4]
Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social
Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 6–10.
[5]
Matthew d’Ancona, Post-Truth: The New War on Truth and How to Fight
Back (London: Ebury Press, 2017), 24–26.
[6]
Hunt Allcott and Matthew Gentzkow, “Social Media and Fake News in the
2016 Election,” Journal of Economic Perspectives 31, no. 2 (2017):
211–236.
[7]
Eli Pariser, The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from
You (New York: Penguin Books, 2011), 9–16.
[8]
Michiko Kakutani, The Death of Truth (New York: Tim Duggan
Books, 2018), 11–14.
4.
Peran Media dalam Produksi dan Distorsi
Kebenaran
Dalam era post-truth,
media memainkan peran ganda yang paradoksal: di satu sisi sebagai penghasil
informasi yang potensial mencerdaskan publik, namun di sisi lain sebagai agen
disinformasi yang turut memperkeruh batas antara fakta dan fiksi. Media telah
berevolusi dari sekadar penyampai fakta menjadi arsitek narasi sosial-politik
yang dapat dibentuk oleh kepentingan ekonomi, ideologi, dan algoritma digital.¹
Transformasi ini sangat berpengaruh terhadap cara masyarakat memaknai kebenaran
di ruang publik.
Media tradisional seperti
surat kabar dan televisi sebelumnya menjalankan fungsi sebagai gatekeepers
of truth, yang bertanggung jawab menjaga integritas informasi melalui
proses verifikasi dan prinsip etika jurnalistik. Namun, munculnya media
digital, khususnya platform media sosial, telah mendisrupsi sistem tersebut.
Informasi kini bersirkulasi tanpa proses editorial yang ketat, dan algoritma
yang mengatur distribusi konten lebih mengutamakan keterlibatan emosional (engagement)
dibandingkan validitas.²
Fenomena ini diperparah oleh
algoritma personalisasi yang menciptakan filter bubbles dan echo
chambers, di mana pengguna hanya terpapar pada informasi yang sesuai
dengan preferensi dan keyakinannya.³ Eli Pariser menggambarkan kondisi ini
sebagai “gelembung informasi” yang secara tidak sadar mengasingkan
individu dari perspektif yang berseberangan, sehingga memperkuat polarisasi dan
memperlemah dialog kritis.⁴ Akibatnya, kebenaran menjadi bersifat sektarian,
bergantung pada komunitas informasi yang mengonsumsinya.
Studi oleh Soroush Vosoughi
dan koleganya yang dipublikasikan di Science mengonfirmasi bahwa
berita palsu menyebar lebih cepat, lebih luas, dan lebih dalam dibandingkan
berita yang benar di media sosial.⁵ Mekanisme penyebaran tersebut sangat
dipengaruhi oleh dimensi emosional dari konten yang viral, seperti
keterkejutan, kemarahan, atau empati, yang sering kali dieksploitasi oleh media
partisan atau pelaku politik. Dalam ekosistem seperti ini, peran media bukan
lagi sekadar menyediakan fakta, tetapi juga memproduksi makna dan memanipulasi
persepsi.
Selain itu, munculnya
aktor-aktor non-jurnalistik yang memproduksi “berita” tanpa standar etika
maupun mekanisme akuntabilitas memperburuk krisis kebenaran. Situs-situs clickbait,
kanal YouTube konspiratif, dan akun anonim di media sosial menjadi sumber utama
disinformasi yang sulit dilacak, namun memiliki daya pengaruh luar biasa.⁶
Claire Wardle menyebut hal ini sebagai “information disorder” — sebuah
kerusakan ekosistem informasi yang mencakup misinformation (informasi
salah tanpa niat jahat), disinformation (informasi salah yang
disengaja), dan malinformation (informasi benar yang disebarkan untuk
menyakiti).⁷
Tak kalah penting, media juga
tunduk pada logika ekonomi digital yang mengutamakan keterlibatan pengguna
sebagai sumber pemasukan utama melalui iklan daring. Dalam attention
economy, nilai informasi tidak lagi ditentukan oleh akurasinya, tetapi
oleh seberapa besar klik, komentar, dan bagikan yang dapat dihasilkan.⁸
Akibatnya, jurnalisme pun tertekan untuk memproduksi konten yang sensasional
demi trafik, sehingga mengaburkan batas antara informasi publik dan hiburan
yang membentuk persepsi.
Dalam konteks ini, media
bukan hanya instrumen komunikasi, melainkan kekuatan epistemologis yang
menentukan realitas sosial-politik. Produksi kebenaran di era post-truth
menjadi terdistorsi karena media lebih berfungsi sebagai mediasi naratif yang
tunduk pada algoritma dan kepentingan ekonomi-politik.⁹ Maka dari itu, memahami
peran media secara kritis menjadi syarat mutlak untuk membongkar mekanisme
pembentukan opini publik dan disinformasi dalam lanskap informasi kontemporer.
Footnotes
[1]
Manuel Castells, Communication Power (Oxford: Oxford
University Press, 2009), 137–140.
[2]
Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social
Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 67–70.
[3]
Luciano Floridi, “The Fight for Digital Sovereignty: What It Is, and
Why It Matters, Especially for the EU,” Philosophy & Technology
33, no. 3 (2020): 369–378.
[4]
Eli Pariser, The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from
You (New York: Penguin Books, 2011), 9–17.
[5]
Soroush Vosoughi, Deb Roy, and Sinan Aral, “The Spread of True and
False News Online,” Science 359, no. 6380 (2018): 1146–1151.
[6]
Hunt Allcott and Matthew Gentzkow, “Social Media and Fake News in the
2016 Election,” Journal of Economic Perspectives 31, no. 2 (2017):
211–236.
[7]
Claire Wardle and Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward
an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making (Strasbourg:
Council of Europe, 2017), 9–12.
[8]
Tim Wu, The Attention Merchants: The Epic Scramble to Get Inside Our
Heads (New York: Vintage Books, 2016), 254–260.
[9]
Jayson Harsin, “Regimes of Posttruth, Postpolitics, and Attention
Economies,” Communication, Culture & Critique 8, no. 2 (2015):
327–333.
5.
Politik Identitas dan Manipulasi Opini Publik
Dalam era post-truth,
politik identitas menjadi salah satu instrumen paling efektif dalam membentuk
opini publik yang tidak lagi berpijak pada kebenaran objektif, tetapi pada
afiliasi emosional dan simbolik terhadap kelompok sosial tertentu. Politik
identitas merujuk pada strategi mobilisasi politik yang menekankan perbedaan
etnis, agama, ras, gender, atau orientasi ideologis sebagai dasar utama
keterikatan politik.¹ Dalam konteks post-truth, strategi ini kerap
dikombinasikan dengan disinformasi dan retorika emosional untuk menggalang
dukungan, memperkuat polarisasi, serta membungkam diskursus rasional.
Salah satu karakteristik
utama dari politik identitas di era post-truth adalah penggunaan narasi “kita
versus mereka”, yang mengeksploitasi ketakutan dan kebencian terhadap kelompok
lain demi meraih keuntungan elektoral atau mempertahankan kekuasaan.² Dalam
narasi ini, lawan politik kerap direduksi sebagai ancaman eksistensial terhadap
nilai-nilai, budaya, atau identitas kelompok tertentu.³ Akibatnya, perdebatan
politik menjadi arena konflik emosional, bukan rasionalitas deliberatif. Dalam
situasi seperti ini, fakta sering kali dikonstruksi ulang untuk mendukung
narasi ideologis yang telah ada sebelumnya—sebuah mekanisme yang dikenal
sebagai motivated reasoning.⁴
Manipulasi opini publik
melalui politik identitas juga sangat terbantu oleh perkembangan teknologi
digital dan media sosial. Data pribadi pengguna yang dikumpulkan melalui
algoritma memungkinkan aktor politik melakukan microtargeting, yaitu
penyebaran pesan kampanye yang disesuaikan secara spesifik untuk kelompok
tertentu berdasarkan emosi, ketakutan, dan identitas mereka.⁵ Praktik ini
memungkinkan penyebaran disinformasi dalam format yang sangat personal,
memperbesar efek bias kognitif seperti confirmation bias (kecenderungan
mempercayai informasi yang sejalan dengan keyakinan pribadi) dan ingroup
favoritism (kecenderungan mendukung kelompok sendiri).⁶
Kasus nyata dari manipulasi
politik berbasis identitas dan disinformasi terjadi dalam Pemilu Presiden
Amerika Serikat tahun 2016. Investigasi menunjukkan bahwa aktor-aktor asing dan
domestik secara sistematis memanfaatkan isu ras, agama, dan nasionalisme untuk
menyebarkan hoaks dan memecah belah publik melalui media sosial. Salah satu
laporan yang disusun oleh Senate Intelligence Committee menyebut bahwa
akun-akun palsu yang dikelola oleh Internet Research Agency (IRA)
Rusia secara aktif menargetkan komunitas Afrika-Amerika, Kristen konservatif,
dan nasionalis kulit putih dengan pesan-pesan yang bersifat provokatif dan manipulatif.⁷
Politik identitas juga tampak
dalam kampanye populis di berbagai negara, dari India hingga Brasil, Turki
hingga Filipina. Pemimpin populis sering mengklaim diri sebagai representasi “suara
rakyat” melawan elite globalis atau minoritas yang dianggap mengancam
identitas nasional.⁸ Dalam retorika semacam ini, kebenaran diposisikan sebagai
sesuatu yang fleksibel dan bisa dinegosiasikan demi “kepentingan rakyat”
yang ditafsirkan secara sepihak oleh sang pemimpin.⁹ Matthew d’Ancona menyebut
fenomena ini sebagai “weaponization of identity”—yakni penggunaan
identitas sebagai senjata retoris yang menghancurkan batas antara opini dan
fakta.¹⁰
Efek dari manipulasi
identitas ini sangat merusak tatanan demokrasi deliberatif. Ketika kebenaran
diperalat untuk mengukuhkan afiliasi identitas dan bukan sebagai dasar dialog
rasional, maka ruang publik kehilangan fondasinya sebagai arena diskusi
berbasis argumen dan bukti. Hal ini mendorong fragmentasi sosial, menurunkan
kepercayaan antar kelompok, dan melemahkan kemampuan masyarakat untuk
menyepakati hal-hal mendasar dalam kehidupan bersama.
Dengan demikian, dalam era
post-truth, politik identitas bukan hanya strategi elektoral, melainkan juga
perangkat epistemologis yang mengonstruksi realitas berdasarkan afiliasi
emosional. Memahami dinamika ini menjadi kunci untuk mengkritisi bagaimana
opini publik dibentuk bukan oleh fakta, tetapi oleh narasi yang diproduksi
secara strategis demi mengaburkan batas antara yang nyata dan yang diyakini.
Footnotes
[1]
Francis Fukuyama, Identity: The Demand for Dignity and the Politics
of Resentment (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2018), 6–8.
[2]
Yascha Mounk, The People vs. Democracy: Why Our Freedom Is in
Danger and How to Save It (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2018),
113–117.
[3]
Ruth Wodak, The Politics of Fear: What Right-Wing Populist
Discourses Mean (London: Sage, 2015), 45–50.
[4]
Brendan Nyhan and Jason Reifler, “When Corrections Fail: The
Persistence of Political Misperceptions,” Political Behavior 32, no. 2
(2010): 303–330.
[5]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for
a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs,
2019), 239–252.
[6]
Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social
Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 102–106.
[7]
U.S. Senate Select Committee on Intelligence, Report on Russian
Active Measures Campaigns and Interference in the 2016 U.S. Election, Vol.
2, (Washington, DC: U.S. Government Printing Office, 2019), 21–38.
[8]
Jan-Werner Müller, What Is Populism? (Philadelphia: University
of Pennsylvania Press, 2016), 32–35.
[9]
Jason Stanley, How Fascism Works: The Politics of Us and Them
(New York: Random House, 2018), 9–13.
[10]
Matthew d’Ancona, Post-Truth: The New War on Truth and How to Fight
Back (London: Ebury Press, 2017), 54–56.
6.
Dampak Era Post-truth terhadap Demokrasi dan
Masyarakat Sipil
Era post-truth
membawa konsekuensi serius terhadap fondasi demokrasi dan keberlanjutan
masyarakat sipil yang sehat. Demokrasi modern bertumpu pada asumsi bahwa warga
negara mengambil keputusan politik berdasarkan informasi yang akurat, diskursus
rasional, dan kepercayaan terhadap institusi publik.¹ Namun, ketika
disinformasi dan narasi emosional menggantikan fakta sebagai dasar pengambilan
keputusan, prinsip-prinsip deliberatif demokrasi mulai terkikis secara
sistemik.
Salah satu dampak paling
mencolok dari post-truth adalah keruntuhan kepercayaan
terhadap lembaga-lembaga demokratis. Media arus utama,
institusi akademik, lembaga pemerintah, bahkan ilmu pengetahuan itu sendiri
mengalami delegitimasi di mata sebagian publik, terutama ketika informasi yang
disampaikan tidak sesuai dengan keyakinan atau identitas politik mereka.² Dalam
konteks ini, masyarakat tidak lagi menilai validitas berdasarkan bukti atau
otoritas pengetahuan, melainkan berdasarkan kesesuaian informasi dengan
afiliasi emosional atau ideologis mereka—sebuah kondisi yang memperparah epistemic
tribalism.³
Selain itu, fenomena ini
turut memperburuk fragmentasi wacana publik.
Dalam masyarakat yang terpolarisasi secara digital, warga negara hidup dalam “realitas
paralel” yang terpisah oleh echo chambers dan filter bubbles,
di mana narasi dominan ditentukan oleh algoritma yang memperkuat keyakinan
eksisting.⁴ Hal ini tidak hanya menghambat dialog lintas kelompok, tetapi juga
mempersulit tercapainya konsensus sosial atas isu-isu penting. Sunstein
mencatat bahwa keterpecahan wacana ini berdampak langsung pada menurunnya
kualitas deliberasi politik dan meningkatnya intoleransi terhadap pandangan
yang berbeda.⁵
Post-truth juga
melemahkan kapasitas masyarakat sipil dalam
mengontrol kekuasaan. Salah satu fungsi vital masyarakat sipil
adalah melakukan pengawasan kritis terhadap kebijakan publik, tindakan pemerintah,
dan akuntabilitas elite politik. Namun dalam lanskap informasi yang sarat
disinformasi, kemampuan publik untuk membedakan antara kritik konstruktif dan
propaganda menjadi semakin kabur.⁶ Hal ini membuka celah bagi penyalahgunaan
kekuasaan dan manipulasi persepsi publik oleh aktor-aktor dominan, terutama
ketika populisme dan otoritarianisme memanfaatkan narasi palsu untuk
menjustifikasi tindakan represif.
Krisis kepercayaan ini juga
berdampak pada pembentukan opini publik yang sehat,
khususnya di kalangan generasi muda. Dalam situasi di mana kebenaran menjadi
relatif dan tidak stabil, nilai-nilai seperti integritas, rasionalitas, dan
tanggung jawab sosial menjadi terpinggirkan. Kakutani menyebut bahwa ketika
publik tidak lagi peduli terhadap akurasi atau objektivitas, maka “kebenaran”
menjadi komoditas yang dapat dinegosiasikan berdasarkan kepentingan, bukan
sebagai landasan moral atau intelektual.⁷ Akibatnya, pendidikan kewarganegaraan
(civic education) dan literasi kritis menghadapi tantangan baru yang kompleks
dan multidimensi.
Dampak lain yang tidak kalah
penting adalah ancaman terhadap kebebasan pers.
Di berbagai negara, otoritas politik memanfaatkan sentimen post-truth untuk
melabeli media independen sebagai “penyebar berita palsu” atau “musuh
rakyat”, sehingga menjustifikasi pembungkaman terhadap kritik dan oposisi.⁸
Ketika jurnalisme investigatif digantikan oleh opini partisan dan berita
sensasional, maka ruang publik kehilangan mekanisme checks and balances yang
vital bagi keberlangsungan demokrasi.
Dalam jangka panjang, kondisi
ini dapat mengarah pada demokrasi iliberal atau
bahkan regresi demokrasi, di mana prosedur elektoral tetap berlangsung, tetapi
nilai-nilai kebenaran, kebebasan, dan akuntabilitas publik semakin mengabur.⁹
Oleh karena itu, respons terhadap krisis post-truth tidak cukup hanya bersifat
teknologis atau regulatif, melainkan menuntut rekonstruksi nilai-nilai
kewargaan, literasi media, serta penguatan kapasitas institusi publik untuk
memulihkan otoritas epistemik dan kepercayaan sosial.
Footnotes
[1]
John Keane, The Life and Death of Democracy (London: Simon
& Schuster, 2009), 743–746.
[2]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018),
33–36.
[3]
Michael P. Lynch, Know-It-All Society: Truth and Arrogance in
Political Culture (Cambridge, MA: MIT Press, 2019), 89–91.
[4]
Eli Pariser, The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from
You (New York: Penguin Books, 2011), 16–22.
[5]
Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social
Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 109–114.
[6]
Claire Wardle and Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward
an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making (Strasbourg:
Council of Europe, 2017), 24–26.
[7]
Michiko Kakutani, The Death of Truth (New York: Tim Duggan
Books, 2018), 61–64.
[8]
Reporters Without Borders, 2023 World Press Freedom Index,
accessed March 30, 2025, https://rsf.org/en/index.
[9]
Steven Levitsky and Daniel Ziblatt, How Democracies Die (New
York: Crown Publishing, 2018), 6–9.
7.
Strategi Literasi Kritis dan Etika Komunikasi
Menghadapi tantangan
epistemologis dan sosial-politik di era post-truth, dibutuhkan
strategi sistemik yang berfokus pada penguatan literasi kritis
dan revitalisasi etika komunikasi. Literasi
kritis tidak hanya mencakup kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga mencakup
kecakapan untuk menafsirkan, mengevaluasi, dan menanggapi informasi secara
reflektif dan bertanggung jawab.¹ Dalam konteks ini, pendidikan media dan
informasi (media and information literacy/MIL) menjadi pilar penting untuk
membentuk warga yang tahan terhadap disinformasi dan manipulasi naratif.
Menurut Julian McDougall
dkk., pendidikan literasi media di era post-truth harus memperluas ruang
lingkupnya dari sekadar mengenali hoaks menjadi pengembangan kemampuan kognitif
dan metakognitif untuk mengidentifikasi bias, agenda tersembunyi, serta
struktur kekuasaan dalam penyampaian pesan.² Ini mencakup pemahaman tentang
cara kerja algoritma media sosial, ekonomi perhatian (attention economy),
serta mekanisme produksi konten dalam ekosistem digital.³ Maka, literasi kritis
tidak cukup bersifat teknis, tetapi harus bersifat ideologis dan reflektif.
Dalam tataran praktis,
strategi literasi kritis dapat diwujudkan melalui integrasi kurikulum yang
mengajarkan:
·
Analisis
diskursif terhadap narasi media;
·
Pemahaman
konteks sosial dan politik di balik informasi;
·
Penguatan
kemampuan verifikasi fakta (fact-checking) dan evaluasi sumber;
·
Pengembangan
empati lintas perspektif, guna meruntuhkan sekat echo
chambers.⁴
Selain itu, pendekatan dialogis
dan partisipatif dalam pendidikan literasi perlu diutamakan.
Sebagaimana ditegaskan oleh Paulo Freire, literasi sejati bersifat
emansipatoris, yakni membebaskan manusia dari struktur dominasi dan membuka
ruang kesadaran kritis (conscientização) terhadap realitas sosial.⁵
Dengan demikian, literasi kritis harus bersifat transformatif, membentuk
kesadaran warga terhadap relasi kuasa dalam sistem komunikasi modern.
Di samping literasi, revitalisasi
etika komunikasi menjadi sangat krusial. Era
post-truth menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi tanpa disertai tanggung
jawab epistemik dapat menjadi alat disinformasi massal. Oleh karena itu,
diperlukan norma komunikasi publik yang berbasis pada integritas, kejujuran,
dan kesediaan untuk dikoreksi.⁶ Dalam tradisi filsafat komunikasi, etika
diskursif sebagaimana dikembangkan oleh Jürgen Habermas menekankan pentingnya communicative
rationality, yakni komunikasi yang berlandaskan pada pengakuan timbal
balik, argumentasi terbuka, dan orientasi pada kebenaran intersubjektif.⁷
Etika komunikasi juga
berkaitan erat dengan peran media dan jurnalisme. Dalam konteks ini, media
harus menghidupkan kembali prinsip public accountability, verifiability,
dan transparency.⁸ Lembaga media profesional perlu meningkatkan
kualitas jurnalisme investigatif, memperkuat mekanisme koreksi (correction
mechanisms), dan mengedukasi publik tentang cara kerja jurnalisme berbasis
data dan bukti.
Tidak kalah penting, strategi
perlawanan terhadap disinformasi juga dapat memanfaatkan teknologi
berbasis kecerdasan buatan (AI). Teknologi semacam ini sudah
banyak digunakan untuk mendeteksi hoaks, mengidentifikasi bot, dan menyaring
konten berbahaya secara otomatis. Namun, pendekatan ini harus selalu
diseimbangkan dengan jaminan hak-hak digital, seperti privasi, kebebasan
informasi, dan akses yang adil.⁹
Sebagai penutup, pembangunan
masyarakat yang tangguh dalam menghadapi era post-truth membutuhkan
sinergi antara pendidikan literasi kritis, peneguhan etika komunikasi,
reformasi institusi media, dan inovasi teknologi yang beretika. Hanya melalui
kombinasi pendekatan kognitif, moral, dan struktural inilah kita dapat
membentuk ruang publik yang lebih sehat dan demokratis.
Footnotes
[1]
Renee Hobbs, Exploring the Roots of Digital and Media Literacy
through Personal Narrative (Philadelphia: Temple University Press, 2017),
22–25.
[2]
Julian McDougall et al., “Teaching Media Literacy in the Era of
Post-truth,” Media Education Research Journal 9, no. 1 (2019): 5–17.
[3]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for
a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs,
2019), 277–283.
[4]
Claire Wardle, “Understanding Information Disorder,” First Draft News,
2019, https://firstdraftnews.org/articles/understanding-information-disorder/.
[5]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 67–74.
[6]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018),
75–78.
[7]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1
(Boston: Beacon Press, 1984), 285–287.
[8]
Bill Kovach and Tom Rosenstiel, The Elements of Journalism: What
Newspeople Should Know and the Public Should Expect (New York: Three
Rivers Press, 2007), 41–48.
[9]
Luciano Floridi, “Artificial Intelligence, Responsibility and the
Future of Ethics,” Philosophy & Technology 30, no. 1 (2017): 1–3.
8.
Kesimpulan: Merebut Kembali Kebenaran dalam
Ruang Publik
Era post-truth telah
mengubah lanskap komunikasi publik secara radikal, menantang tidak hanya
nilai-nilai epistemologis tentang kebenaran, tetapi juga tatanan sosial-politik
yang mendasari demokrasi kontemporer. Dalam konteks ini, kebenaran bukan lagi
dipahami sebagai hasil penalaran logis dan verifikasi empiris, melainkan
sebagai konstruksi naratif yang dapat dinegosiasikan oleh aktor-aktor yang
paling mampu memanipulasi emosi, identitas, dan algoritma digital.¹
Sebagaimana ditunjukkan oleh
Lee McIntyre, ancaman utama dari era post-truth bukan sekadar tersebarnya
informasi palsu, tetapi terkikisnya komitmen kolektif terhadap pentingnya
kebenaran itu sendiri.² Ketika kebenaran direduksi menjadi opini atau strategi
retoris, maka seluruh fondasi kehidupan demokratis—seperti deliberasi rasional,
akuntabilitas publik, dan penghormatan terhadap fakta—menjadi rapuh.³ Dalam
kondisi ini, ruang publik mengalami krisis legitimasi karena tidak lagi mampu
menyediakan medan diskursif yang terbuka, adil, dan berbasis bukti.
Untuk merebut kembali
kebenaran dalam ruang publik, diperlukan pendekatan multidimensional yang
melampaui respons teknokratik semata. Pertama, revitalisasi nilai
kebenaran sebagai komitmen etis perlu dijadikan prioritas dalam
wacana publik. Kebenaran tidak boleh dipandang sekadar sebagai alat persuasif,
tetapi sebagai nilai moral yang menjamin keberlangsungan masyarakat sipil yang
rasional dan adil.⁴ Hal ini menuntut partisipasi aktif dari semua aktor—negara,
media, akademisi, dan warga negara—dalam menolak normalisasi disinformasi.
Kedua, penguatan
literasi kritis dan pedagogi kebebasan harus menjadi agenda
strategis dalam pendidikan formal maupun informal. Paulo Freire menekankan
bahwa pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang mampu membangun
kesadaran kritis terhadap realitas sosial, termasuk dalam hal bagaimana
informasi dibentuk, diedarkan, dan dimanipulasi.⁵ Dalam era post-truth,
pendidikan tidak hanya mengajarkan cara membaca dan menulis, tetapi juga
mengembangkan kemampuan untuk membaca dunia secara kritis.
Ketiga, transformasi
struktural dalam industri media dan regulasi platform digital
menjadi sangat mendesak. Sementara teknologi seperti kecerdasan buatan dapat
membantu mendeteksi disinformasi, solusi yang bersifat struktural harus
mencakup transparansi algoritma, perlindungan data pribadi, dan regulasi
terhadap ekonomi atensi yang mendewakan keterlibatan di atas kebenaran.⁶ Dalam
hal ini, Floridi mengingatkan bahwa teknologi informasi harus diatur secara
etis, agar tidak menjadi instrumen perusak otonomi epistemik individu.⁷
Keempat, pemulihan
ruang deliberatif publik yang inklusif merupakan kunci untuk
melawan fragmentasi sosial akibat filter bubbles dan polarisasi
digital. Model komunikasi yang dikembangkan oleh Jürgen Habermas, yaitu communicative
action, menawarkan kerangka teoritis untuk menciptakan ruang dialog yang
rasional, partisipatif, dan berbasis pada pengakuan timbal balik.⁸ Konsep ini
menekankan bahwa dalam masyarakat demokratis, pencarian kebenaran harus
dilakukan melalui diskusi terbuka yang melibatkan berbagai sudut pandang secara
setara.
Pada akhirnya, merebut
kembali kebenaran dalam ruang publik bukan sekadar soal memulihkan informasi
yang benar, tetapi soal membangun kembali ekosistem kepercayaan
sosial yang berlandaskan pada akuntabilitas, rasionalitas, dan
keadaban publik.⁹ Ini adalah proyek jangka panjang yang memerlukan kerja
kolektif lintas sektor, disiplin, dan generasi. Dalam dunia yang semakin
kompleks dan terkoneksi, mempertahankan kebenaran bukanlah pilihan akademik,
melainkan kewajiban demokratis.
Footnotes
[1]
Michiko Kakutani, The Death of Truth (New York: Tim Duggan
Books, 2018), 22–25.
[2]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018),
14–18.
[3]
Matthew d’Ancona, Post-Truth: The New War on Truth and How to Fight
Back (London: Ebury Press, 2017), 11–13.
[4]
Michael P. Lynch, The Internet of Us: Knowing More and
Understanding Less in the Age of Big Data (New York: Liveright, 2016),
115–118.
[5]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 71–74.
[6]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for
a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs,
2019), 289–294.
[7]
Luciano Floridi, “The Ethics of Information,” Philosophy &
Technology 25, no. 4 (2012): 271–273.
[8]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1
(Boston: Beacon Press, 1984), 86–89.
[9]
Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social
Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 199–203.
Daftar Pustaka
Allcott, H., &
Gentzkow, M. (2017). Social media and fake news in the 2016 election. Journal
of Economic Perspectives, 31(2), 211–236. https://doi.org/10.1257/jep.31.2.211
Bernays, E. (2004). Propaganda.
Ig Publishing. (Karya asli diterbitkan 1928)
Castells, M. (2009). Communication
power. Oxford University Press.
Castells, M. (2015). Networks
of outrage and hope: Social movements in the internet age (2nd ed.).
Polity Press.
d’Ancona, M. (2017). Post-truth:
The new war on truth and how to fight back. Ebury Press.
Floridi, L. (2012). The
ethics of information. Philosophy & Technology, 25(4), 271–273. https://doi.org/10.1007/s13347-012-0080-1
Floridi, L. (2020). The
fight for digital sovereignty: What it is, and why it matters, especially for
the EU. Philosophy & Technology, 33, 369–378. https://doi.org/10.1007/s13347-020-00423-6
Freire, P. (2000). Pedagogy
of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum. (Karya asli diterbitkan
1970)
Fukuyama, F. (2018). Identity:
The demand for dignity and the politics of resentment. Farrar, Straus and
Giroux.
Habermas, J. (1984). The
theory of communicative action (Vol. 1). Beacon Press.
Harsin, J. (2015). Regimes
of posttruth, postpolitics, and attention economies. Communication, Culture
& Critique, 8(2), 327–333. https://doi.org/10.1111/cccr.12097
Hobbs, R. (2017). Exploring
the roots of digital and media literacy through personal narrative. Temple
University Press.
Kakutani, M. (2018). The
death of truth. Tim Duggan Books.
Keane, J. (2009). The
life and death of democracy. Simon & Schuster.
Keyes, R. (2004). The
post-truth era: Dishonesty and deception in contemporary life. St.
Martin’s Press.
Kovach, B., &
Rosenstiel, T. (2007). The elements of journalism: What newspeople should
know and the public should expect (Rev. ed.). Three Rivers Press.
Levitsky, S., &
Ziblatt, D. (2018). How democracies die. Crown Publishing.
Lynch, M. P. (2016). The
internet of us: Knowing more and understanding less in the age of big data.
Liveright.
Lynch, M. P. (2019). Know-it-all
society: Truth and arrogance in political culture. MIT Press.
McDougall, J., Zezulkova,
M., van Driel, B., & Sternadel, D. (2019). Teaching media literacy in the
era of post-truth. Media Education Research Journal, 9(1), 5–17.
McIntyre, L. (2018). Post-truth.
MIT Press.
Mounk, Y. (2018). The
people vs. democracy: Why our freedom is in danger and how to save it.
Harvard University Press.
Müller, J.-W. (2016). What
is populism? University of Pennsylvania Press.
Nyhan, B., & Reifler,
J. (2010). When corrections fail: The persistence of political misperceptions. Political
Behavior, 32(2), 303–330. https://doi.org/10.1007/s11109-010-9112-2
Oxford Dictionaries.
(2016). Word of the year 2016. https://languages.oup.com/word-of-the-year/2016/
Pariser, E. (2011). The
filter bubble: What the internet is hiding from you. Penguin Books.
Reporters Without Borders.
(2023). 2023 world press freedom index. https://rsf.org/en/index
Stanley, J. (2015). How
propaganda works. Princeton University Press.
Stanley, J. (2018). How
fascism works: The politics of us and them. Random House.
Sunstein, C. R. (2017). #Republic:
Divided democracy in the age of social media. Princeton University Press.
Vosoughi, S., Roy, D.,
& Aral, S. (2018). The spread of true and false news online. Science,
359(6380), 1146–1151. https://doi.org/10.1126/science.aap9559
Wardle, C. (2019).
Understanding information disorder. First Draft News. https://firstdraftnews.org/articles/understanding-information-disorder/
Wardle, C., &
Derakhshan, H. (2017). Information disorder: Toward an interdisciplinary
framework for research and policy making. Council of Europe.
Wodak, R. (2015). The
politics of fear: What right-wing populist discourses mean. Sage.
Wu, T. (2016). The
attention merchants: The epic scramble to get inside our heads. Vintage
Books.
Zuboff, S. (2019). The
age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new
frontier of power. PublicAffairs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar