Kamis, 17 April 2025

Era Post-truth: Disinformasi, Kepentingan Politik, dan Krisis Kebenaran dalam Wacana Publik

Era Post-truth

Disinformasi, Kepentingan Politik, dan Krisis Kebenaran dalam Wacana Publik


Alihkan ke: Tantangan Zaman Modern.

Pembagian Zaman dalam Sejarah.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif dinamika era post-truth sebagai fenomena sosial-politik yang ditandai oleh dominasi emosi, opini pribadi, dan identitas kelompok dalam pembentukan opini publik, menggantikan posisi kebenaran objektif sebagai fondasi diskursus demokratis. Dengan pendekatan interdisipliner yang mengacu pada literatur filsafat, komunikasi, ilmu politik, dan media studies, artikel ini menelusuri akar historis dan konseptual dari gejala post-truth, termasuk peran teknologi digital, media sosial, dan strategi disinformasi dalam memanipulasi opini publik.

Secara khusus, dibahas bagaimana politik identitas digunakan untuk memperkuat polarisasi dan membenarkan diseminasi informasi yang menyesatkan demi kepentingan kekuasaan. Dampaknya terhadap demokrasi dan masyarakat sipil ditelaah melalui kerangka krisis epistemik dan erosi kepercayaan terhadap institusi publik. Artikel ini juga menawarkan solusi berbasis literasi kritis, etika komunikasi, reformasi institusional media, dan teknologi etis sebagai strategi integral untuk merebut kembali ruang publik yang rasional, adil, dan berbasis fakta. Kesimpulan artikel menekankan pentingnya membangun kembali ekosistem kebenaran melalui kerja kolektif lintas sektor dan penguatan nilai-nilai kewargaan yang berbasis tanggung jawab epistemik.

Kata Kunci: Post-truth, disinformasi, politik identitas, literasi kritis, ruang publik, demokrasi, media digital, etika komunikasi, krisis epistemik, algoritma media sosial.


PEMBAHASAN

Telaah Kritis Era Post-truth Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan: Menelusuri Gejala Post-truth

Dalam beberapa dekade terakhir, dunia menyaksikan pergeseran dramatis dalam cara individu dan kelompok sosial membentuk pemahaman terhadap realitas. Istilah post-truth, yang dinobatkan sebagai “Word of the Year” oleh Oxford Dictionaries pada tahun 2016, merujuk pada situasi di mana fakta objektif menjadi kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi.¹ Fenomena ini mengindikasikan krisis epistemologis yang mendalam, di mana batas antara fakta dan fiksi menjadi kabur, serta kepercayaan terhadap otoritas pengetahuan mengalami kemerosotan drastis.

Gejala post-truth tidak muncul dalam ruang hampa. Ia tumbuh subur di tengah meningkatnya polarisasi politik, diseminasi informasi yang tak terbendung melalui media sosial, dan melemahnya otoritas institusional seperti sains, jurnalisme, dan akademia.² Dalam konteks ini, kebenaran tidak lagi menjadi hasil verifikasi logis atau pengujian empiris, melainkan sebuah konstruksi naratif yang ditentukan oleh siapa yang paling mampu mengontrol opini dan persepsi publik.³ Maka, dalam masyarakat post-truth, yang menjadi penting bukan lagi validitas informasi, melainkan seberapa besar informasi itu dapat memengaruhi perasaan dan memperkuat identitas kelompok tertentu.

Salah satu aspek mendasar dari era post-truth adalah pergeseran fokus komunikasi publik dari fakta ke afeksi—yaitu bagaimana pesan dirancang untuk menggugah emosi, bukan menyampaikan kebenaran. Sebagaimana dijelaskan oleh Ralph Keyes, masyarakat kini lebih toleran terhadap “kebohongan putih” (white lies), bahkan ketika hal tersebut berdampak pada keputusan sosial dan politik yang luas.⁴ Keyes menyebut kondisi ini sebagai "kecenderungan sosial untuk menyepelekan keakuratan demi efektivitas retoris."_⁵ Hal ini membuka jalan bagi disinformasi terstruktur yang digunakan oleh aktor-aktor politik maupun media untuk membentuk opini sesuai agenda mereka.

Selain itu, dalam masyarakat yang terkoneksi secara digital, platform media sosial berperan sebagai akselerator penyebaran informasi yang belum tervalidasi. Konten yang viral sering kali lebih dihargai daripada konten yang benar. Sebuah studi penting oleh Soroush Vosoughi dan rekan-rekannya di Science menunjukkan bahwa berita palsu (false news) menyebar lebih cepat, lebih luas, dan lebih dalam dibandingkan dengan berita yang benar.⁶ Temuan ini memperkuat klaim bahwa emosi—seperti kemarahan, ketakutan, dan kejutan—merupakan pendorong utama dalam distribusi informasi di era post-truth.

Dalam konteks ini, peran media dan politik menjadi krusial. Manipulasi wacana oleh politisi populis, polarisasi oleh media partisan, serta algoritma digital yang menciptakan ruang gema (echo chambers) menjadikan masyarakat semakin sulit membedakan antara fakta dan propaganda.⁷ Oleh karena itu, memahami dan mengkritisi gejala post-truth merupakan langkah penting untuk menjaga integritas ruang publik, memperkuat fondasi demokrasi, dan memulihkan kembali penghargaan terhadap kebenaran dalam kehidupan sosial.


Footnotes

[1]                Oxford Dictionaries, Word of the Year 2016, accessed March 25, 2025, https://languages.oup.com/word-of-the-year/2016/.

[2]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 3–5.

[3]                Matthew d’Ancona, Post-Truth: The New War on Truth and How to Fight Back (London: Ebury Press, 2017), 4–7.

[4]                Ralph Keyes, The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life (New York: St. Martin’s Press, 2004), 15.

[5]                Ibid., 20.

[6]                Soroush Vosoughi, Deb Roy, and Sinan Aral, “The Spread of True and False News Online,” Science 359, no. 6380 (2018): 1146–1151, https://doi.org/10.1126/science.aap9559.

[7]                Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 80–93.


2.           Landasan Konseptual: Apa Itu Post-truth?

Istilah post-truth mengacu pada kondisi sosial di mana fakta objektif kehilangan signifikansinya dalam membentuk opini publik, karena tergeser oleh daya tarik emosi dan keyakinan pribadi.¹ Menurut Oxford Dictionaries, post-truth adalah “relating to or denoting circumstances in which objective facts are less influential in shaping public opinion than appeals to emotion and personal belief.”_² Dalam tatanan diskursif ini, fakta bukan lagi basis utama dalam membangun konsensus, melainkan subordinat dari narasi emosional yang diproduksi dan disebarluaskan untuk tujuan politik, ideologis, atau ekonomis.

Secara filosofis, konsep post-truth memiliki akar dalam relativisme epistemologis yang berkembang dalam pascamodernisme.³ Dalam kerangka ini, kebenaran tidak dipandang sebagai representasi objektif realitas, tetapi sebagai konstruksi sosial yang tunduk pada kekuasaan, bahasa, dan konteks historis. Hal ini memunculkan implikasi serius terhadap epistemologi publik: apabila semua klaim dianggap setara secara epistemik hanya karena didasarkan pada keyakinan atau pengalaman subjektif, maka batas antara fakta dan opini, pengetahuan dan keyakinan, menjadi kabur.⁴

Lee McIntyre dalam bukunya Post-Truth menjelaskan bahwa era post-truth bukan sekadar pergeseran bahasa atau nilai, melainkan bentuk penolakan sistematis terhadap metode pencarian kebenaran ilmiah dan rasional.⁵ Ia menyebut bahwa post-truth muncul dari gabungan antara motivated reasoning, confirmation bias, dan politisasi kebenaran, di mana aktor-aktor berkepentingan menciptakan “realitas alternatif” untuk mendukung narasi mereka.⁶ Dengan demikian, post-truth bukan berarti tidak ada kebenaran, tetapi kebenaran telah kehilangan relevansi dalam ruang publik.

Dari sudut pandang komunikasi politik, era post-truth ditandai oleh meningkatnya praktik disinformasi, propaganda berbasis emosi, dan manipulasi opini melalui media sosial.⁷ Dalam konteks ini, media bukan lagi penjaga kebenaran (gatekeeper of truth), melainkan arena pertarungan narasi yang saling bersaing tanpa komitmen terhadap verifikasi. Claire Wardle menyebut fenomena ini sebagai “information disorder,” yaitu disrupsi serius terhadap ekosistem informasi akibat kombinasi antara misinformasi, disinformasi, dan malinformasi.⁸

Perlu dicatat pula bahwa post-truth bukan berarti masyarakat menjadi lebih bodoh atau kurang berpendidikan, melainkan karena struktur dan intensi penyampaian informasi telah berubah secara radikal. Dalam lingkungan digital yang diatur oleh algoritma dan logika keterlibatan (engagement), informasi yang viral sering kali lebih berpengaruh daripada informasi yang benar.⁹ Hal ini memperkuat apa yang oleh Jayson Harsin disebut sebagai attention economy, yakni ekonomi berbasis perhatian yang mendorong distorsi dan sensasionalisme demi klik dan keterlibatan.¹⁰

Oleh karena itu, untuk memahami post-truth secara konseptual, kita perlu mengkaji relasi antara kebenaran, kepercayaan, dan kekuasaan informasi. Dalam dunia di mana batas antara fakta dan fiksi dikaburkan secara strategis, post-truth mencerminkan krisis epistemik yang menuntut respons kritis dari berbagai disiplin ilmu—filsafat, komunikasi, sosiologi, dan ilmu politik.


Footnotes

[1]                McIntyre, Lee. Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 5.

[2]                Oxford Dictionaries, Word of the Year 2016, accessed March 25, 2025, https://languages.oup.com/word-of-the-year/2016/.

[3]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.

[4]                Kakutani, Michiko. The Death of Truth (New York: Tim Duggan Books, 2018), 28–32.

[5]                McIntyre, Post-Truth, 10.

[6]                Ibid., 25–27.

[7]                d’Ancona, Matthew. Post-Truth: The New War on Truth and How to Fight Back (London: Ebury Press, 2017), 13–17.

[8]                Claire Wardle and Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making (Strasbourg: Council of Europe, 2017), 9–12.

[9]                Vosoughi, Soroush, Deb Roy, and Sinan Aral. “The Spread of True and False News Online,” Science 359, no. 6380 (2018): 1146–1151, https://doi.org/10.1126/science.aap9559.

[10]             Harsin, Jayson. “Regimes of Posttruth, Postpolitics and Attention Economies,” Communication, Culture & Critique 8, no. 2 (2015): 327–333.


3.           Sejarah dan Latar Belakang Kemunculan Era Post-truth

Fenomena post-truth bukanlah gejala yang muncul secara tiba-tiba, melainkan hasil dari proses historis yang panjang, yang melibatkan perkembangan teknologi komunikasi, dinamika politik global, serta transformasi budaya dalam memahami kebenaran. Dalam lintasan sejarah modern, disinformasi dan propaganda telah memainkan peran penting, terutama pada era totalitarianisme abad ke-20. Rezim seperti Nazi Jerman di bawah Joseph Goebbels dan Uni Soviet di bawah Stalin menggunakan teknik komunikasi massa untuk mengendalikan narasi dan menciptakan “kebenaran resmi” yang bertujuan menundukkan akal publik.¹

Pasca Perang Dunia II, strategi komunikasi politik berkembang melalui teknik propaganda yang lebih subtil, memanfaatkan media televisi, opini elite, dan manipulasi psikologis dalam kampanye.² Namun, transformasi besar terjadi pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, ketika kemunculan internet dan media sosial mengubah secara radikal cara informasi disebarkan, dikonsumsi, dan dibentuk.³ Pergeseran ini berkontribusi pada desentralisasi otoritas informasi: jika dahulu lembaga seperti pers, akademia, dan lembaga negara menjadi penjaga gerbang kebenaran (gatekeepers of truth), kini ruang publik digital memberikan peluang yang sama bagi siapa pun untuk memproduksi dan mendistribusikan informasi, termasuk yang bersifat manipulatif.⁴

Salah satu tonggak penting yang menandai transisi ke era post-truth adalah peristiwa politik global yang berlangsung pada pertengahan 2010-an, khususnya Brexit dan Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016. Dalam dua peristiwa tersebut, penggunaan informasi yang salah secara strategis terbukti sangat berpengaruh terhadap hasil akhir. Dalam kampanye Brexit, misalnya, klaim palsu mengenai dana Uni Eropa yang dapat dialihkan ke sistem kesehatan Inggris menjadi isu utama yang memengaruhi publik, walaupun belakangan dibantah oleh otoritas independen.⁵ Demikian pula dalam Pilpres AS 2016, berbagai investigasi menunjukkan bahwa berita palsu lebih banyak beredar dibandingkan berita valid, dan aktor-aktor asing turut memainkan peran dalam menyebarkan disinformasi politik melalui platform digital.⁶

Kemunculan big data, algoritma media sosial, dan mikro-targeting politik memperparah kondisi ini. Informasi tidak lagi dikonsumsi secara kolektif dalam satu ruang wacana bersama, tetapi difragmentasi berdasarkan preferensi pribadi dan psikografik, menciptakan ruang gema (echo chambers) dan gelembung penyaringan (filter bubbles).⁷ Dalam kondisi ini, publik tidak hanya dibatasi dari informasi yang berlawanan, tetapi juga diperkuat dalam keyakinannya sendiri, tanpa konfrontasi terhadap fakta yang berbeda. Akibatnya, “kebenaran” menjadi relatif terhadap komunitas informasi tertentu.

Dalam kerangka inilah Michiko Kakutani menyebut bahwa post-truth merupakan “produk dari dekade-dekade keruntuhan kepercayaan terhadap institusi, penyebaran relativisme kultural, dan bangkitnya populisme yang membenci elite dan fakta objektif.”_⁸ Era ini mencerminkan bukan hanya krisis epistemik, tetapi juga krisis kepercayaan—terhadap media, pemerintah, dan bahkan terhadap kemampuan publik sendiri untuk membedakan yang benar dari yang salah.

Dengan demikian, memahami latar historis era post-truth mengharuskan kita melihat keterkaitan antara perkembangan teknologi komunikasi, strategi politik populis, serta melemahnya struktur otoritas tradisional dalam menentukan validitas informasi. Kombinasi dari ketiga faktor ini menciptakan medan diskursif baru di mana kebenaran bukan lagi soal bukti, melainkan soal siapa yang mampu mengontrol narasi.


Footnotes

[1]                Jason Stanley, How Propaganda Works (Princeton: Princeton University Press, 2015), 120–135.

[2]                Edward Bernays, Propaganda (New York: Ig Publishing, 2004 [1928]), 37–56.

[3]                Manuel Castells, Networks of Outrage and Hope: Social Movements in the Internet Age (Cambridge: Polity Press, 2015), 45–49.

[4]                Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 6–10.

[5]                Matthew d’Ancona, Post-Truth: The New War on Truth and How to Fight Back (London: Ebury Press, 2017), 24–26.

[6]                Hunt Allcott and Matthew Gentzkow, “Social Media and Fake News in the 2016 Election,” Journal of Economic Perspectives 31, no. 2 (2017): 211–236.

[7]                Eli Pariser, The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You (New York: Penguin Books, 2011), 9–16.

[8]                Michiko Kakutani, The Death of Truth (New York: Tim Duggan Books, 2018), 11–14.


4.           Peran Media dalam Produksi dan Distorsi Kebenaran

Dalam era post-truth, media memainkan peran ganda yang paradoksal: di satu sisi sebagai penghasil informasi yang potensial mencerdaskan publik, namun di sisi lain sebagai agen disinformasi yang turut memperkeruh batas antara fakta dan fiksi. Media telah berevolusi dari sekadar penyampai fakta menjadi arsitek narasi sosial-politik yang dapat dibentuk oleh kepentingan ekonomi, ideologi, dan algoritma digital.¹ Transformasi ini sangat berpengaruh terhadap cara masyarakat memaknai kebenaran di ruang publik.

Media tradisional seperti surat kabar dan televisi sebelumnya menjalankan fungsi sebagai gatekeepers of truth, yang bertanggung jawab menjaga integritas informasi melalui proses verifikasi dan prinsip etika jurnalistik. Namun, munculnya media digital, khususnya platform media sosial, telah mendisrupsi sistem tersebut. Informasi kini bersirkulasi tanpa proses editorial yang ketat, dan algoritma yang mengatur distribusi konten lebih mengutamakan keterlibatan emosional (engagement) dibandingkan validitas.²

Fenomena ini diperparah oleh algoritma personalisasi yang menciptakan filter bubbles dan echo chambers, di mana pengguna hanya terpapar pada informasi yang sesuai dengan preferensi dan keyakinannya.³ Eli Pariser menggambarkan kondisi ini sebagai “gelembung informasi” yang secara tidak sadar mengasingkan individu dari perspektif yang berseberangan, sehingga memperkuat polarisasi dan memperlemah dialog kritis.⁴ Akibatnya, kebenaran menjadi bersifat sektarian, bergantung pada komunitas informasi yang mengonsumsinya.

Studi oleh Soroush Vosoughi dan koleganya yang dipublikasikan di Science mengonfirmasi bahwa berita palsu menyebar lebih cepat, lebih luas, dan lebih dalam dibandingkan berita yang benar di media sosial.⁵ Mekanisme penyebaran tersebut sangat dipengaruhi oleh dimensi emosional dari konten yang viral, seperti keterkejutan, kemarahan, atau empati, yang sering kali dieksploitasi oleh media partisan atau pelaku politik. Dalam ekosistem seperti ini, peran media bukan lagi sekadar menyediakan fakta, tetapi juga memproduksi makna dan memanipulasi persepsi.

Selain itu, munculnya aktor-aktor non-jurnalistik yang memproduksi “berita” tanpa standar etika maupun mekanisme akuntabilitas memperburuk krisis kebenaran. Situs-situs clickbait, kanal YouTube konspiratif, dan akun anonim di media sosial menjadi sumber utama disinformasi yang sulit dilacak, namun memiliki daya pengaruh luar biasa.⁶ Claire Wardle menyebut hal ini sebagai “information disorder” — sebuah kerusakan ekosistem informasi yang mencakup misinformation (informasi salah tanpa niat jahat), disinformation (informasi salah yang disengaja), dan malinformation (informasi benar yang disebarkan untuk menyakiti).⁷

Tak kalah penting, media juga tunduk pada logika ekonomi digital yang mengutamakan keterlibatan pengguna sebagai sumber pemasukan utama melalui iklan daring. Dalam attention economy, nilai informasi tidak lagi ditentukan oleh akurasinya, tetapi oleh seberapa besar klik, komentar, dan bagikan yang dapat dihasilkan.⁸ Akibatnya, jurnalisme pun tertekan untuk memproduksi konten yang sensasional demi trafik, sehingga mengaburkan batas antara informasi publik dan hiburan yang membentuk persepsi.

Dalam konteks ini, media bukan hanya instrumen komunikasi, melainkan kekuatan epistemologis yang menentukan realitas sosial-politik. Produksi kebenaran di era post-truth menjadi terdistorsi karena media lebih berfungsi sebagai mediasi naratif yang tunduk pada algoritma dan kepentingan ekonomi-politik.⁹ Maka dari itu, memahami peran media secara kritis menjadi syarat mutlak untuk membongkar mekanisme pembentukan opini publik dan disinformasi dalam lanskap informasi kontemporer.


Footnotes

[1]                Manuel Castells, Communication Power (Oxford: Oxford University Press, 2009), 137–140.

[2]                Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 67–70.

[3]                Luciano Floridi, “The Fight for Digital Sovereignty: What It Is, and Why It Matters, Especially for the EU,” Philosophy & Technology 33, no. 3 (2020): 369–378.

[4]                Eli Pariser, The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You (New York: Penguin Books, 2011), 9–17.

[5]                Soroush Vosoughi, Deb Roy, and Sinan Aral, “The Spread of True and False News Online,” Science 359, no. 6380 (2018): 1146–1151.

[6]                Hunt Allcott and Matthew Gentzkow, “Social Media and Fake News in the 2016 Election,” Journal of Economic Perspectives 31, no. 2 (2017): 211–236.

[7]                Claire Wardle and Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making (Strasbourg: Council of Europe, 2017), 9–12.

[8]                Tim Wu, The Attention Merchants: The Epic Scramble to Get Inside Our Heads (New York: Vintage Books, 2016), 254–260.

[9]                Jayson Harsin, “Regimes of Posttruth, Postpolitics, and Attention Economies,” Communication, Culture & Critique 8, no. 2 (2015): 327–333.


5.           Politik Identitas dan Manipulasi Opini Publik

Dalam era post-truth, politik identitas menjadi salah satu instrumen paling efektif dalam membentuk opini publik yang tidak lagi berpijak pada kebenaran objektif, tetapi pada afiliasi emosional dan simbolik terhadap kelompok sosial tertentu. Politik identitas merujuk pada strategi mobilisasi politik yang menekankan perbedaan etnis, agama, ras, gender, atau orientasi ideologis sebagai dasar utama keterikatan politik.¹ Dalam konteks post-truth, strategi ini kerap dikombinasikan dengan disinformasi dan retorika emosional untuk menggalang dukungan, memperkuat polarisasi, serta membungkam diskursus rasional.

Salah satu karakteristik utama dari politik identitas di era post-truth adalah penggunaan narasi “kita versus mereka”, yang mengeksploitasi ketakutan dan kebencian terhadap kelompok lain demi meraih keuntungan elektoral atau mempertahankan kekuasaan.² Dalam narasi ini, lawan politik kerap direduksi sebagai ancaman eksistensial terhadap nilai-nilai, budaya, atau identitas kelompok tertentu.³ Akibatnya, perdebatan politik menjadi arena konflik emosional, bukan rasionalitas deliberatif. Dalam situasi seperti ini, fakta sering kali dikonstruksi ulang untuk mendukung narasi ideologis yang telah ada sebelumnya—sebuah mekanisme yang dikenal sebagai motivated reasoning.⁴

Manipulasi opini publik melalui politik identitas juga sangat terbantu oleh perkembangan teknologi digital dan media sosial. Data pribadi pengguna yang dikumpulkan melalui algoritma memungkinkan aktor politik melakukan microtargeting, yaitu penyebaran pesan kampanye yang disesuaikan secara spesifik untuk kelompok tertentu berdasarkan emosi, ketakutan, dan identitas mereka.⁵ Praktik ini memungkinkan penyebaran disinformasi dalam format yang sangat personal, memperbesar efek bias kognitif seperti confirmation bias (kecenderungan mempercayai informasi yang sejalan dengan keyakinan pribadi) dan ingroup favoritism (kecenderungan mendukung kelompok sendiri).⁶

Kasus nyata dari manipulasi politik berbasis identitas dan disinformasi terjadi dalam Pemilu Presiden Amerika Serikat tahun 2016. Investigasi menunjukkan bahwa aktor-aktor asing dan domestik secara sistematis memanfaatkan isu ras, agama, dan nasionalisme untuk menyebarkan hoaks dan memecah belah publik melalui media sosial. Salah satu laporan yang disusun oleh Senate Intelligence Committee menyebut bahwa akun-akun palsu yang dikelola oleh Internet Research Agency (IRA) Rusia secara aktif menargetkan komunitas Afrika-Amerika, Kristen konservatif, dan nasionalis kulit putih dengan pesan-pesan yang bersifat provokatif dan manipulatif.⁷

Politik identitas juga tampak dalam kampanye populis di berbagai negara, dari India hingga Brasil, Turki hingga Filipina. Pemimpin populis sering mengklaim diri sebagai representasi “suara rakyat” melawan elite globalis atau minoritas yang dianggap mengancam identitas nasional.⁸ Dalam retorika semacam ini, kebenaran diposisikan sebagai sesuatu yang fleksibel dan bisa dinegosiasikan demi “kepentingan rakyat” yang ditafsirkan secara sepihak oleh sang pemimpin.⁹ Matthew d’Ancona menyebut fenomena ini sebagai “weaponization of identity”—yakni penggunaan identitas sebagai senjata retoris yang menghancurkan batas antara opini dan fakta.¹⁰

Efek dari manipulasi identitas ini sangat merusak tatanan demokrasi deliberatif. Ketika kebenaran diperalat untuk mengukuhkan afiliasi identitas dan bukan sebagai dasar dialog rasional, maka ruang publik kehilangan fondasinya sebagai arena diskusi berbasis argumen dan bukti. Hal ini mendorong fragmentasi sosial, menurunkan kepercayaan antar kelompok, dan melemahkan kemampuan masyarakat untuk menyepakati hal-hal mendasar dalam kehidupan bersama.

Dengan demikian, dalam era post-truth, politik identitas bukan hanya strategi elektoral, melainkan juga perangkat epistemologis yang mengonstruksi realitas berdasarkan afiliasi emosional. Memahami dinamika ini menjadi kunci untuk mengkritisi bagaimana opini publik dibentuk bukan oleh fakta, tetapi oleh narasi yang diproduksi secara strategis demi mengaburkan batas antara yang nyata dan yang diyakini.


Footnotes

[1]                Francis Fukuyama, Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2018), 6–8.

[2]                Yascha Mounk, The People vs. Democracy: Why Our Freedom Is in Danger and How to Save It (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2018), 113–117.

[3]                Ruth Wodak, The Politics of Fear: What Right-Wing Populist Discourses Mean (London: Sage, 2015), 45–50.

[4]                Brendan Nyhan and Jason Reifler, “When Corrections Fail: The Persistence of Political Misperceptions,” Political Behavior 32, no. 2 (2010): 303–330.

[5]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 239–252.

[6]                Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 102–106.

[7]                U.S. Senate Select Committee on Intelligence, Report on Russian Active Measures Campaigns and Interference in the 2016 U.S. Election, Vol. 2, (Washington, DC: U.S. Government Printing Office, 2019), 21–38.

[8]                Jan-Werner Müller, What Is Populism? (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2016), 32–35.

[9]                Jason Stanley, How Fascism Works: The Politics of Us and Them (New York: Random House, 2018), 9–13.

[10]             Matthew d’Ancona, Post-Truth: The New War on Truth and How to Fight Back (London: Ebury Press, 2017), 54–56.


6.           Dampak Era Post-truth terhadap Demokrasi dan Masyarakat Sipil

Era post-truth membawa konsekuensi serius terhadap fondasi demokrasi dan keberlanjutan masyarakat sipil yang sehat. Demokrasi modern bertumpu pada asumsi bahwa warga negara mengambil keputusan politik berdasarkan informasi yang akurat, diskursus rasional, dan kepercayaan terhadap institusi publik.¹ Namun, ketika disinformasi dan narasi emosional menggantikan fakta sebagai dasar pengambilan keputusan, prinsip-prinsip deliberatif demokrasi mulai terkikis secara sistemik.

Salah satu dampak paling mencolok dari post-truth adalah keruntuhan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga demokratis. Media arus utama, institusi akademik, lembaga pemerintah, bahkan ilmu pengetahuan itu sendiri mengalami delegitimasi di mata sebagian publik, terutama ketika informasi yang disampaikan tidak sesuai dengan keyakinan atau identitas politik mereka.² Dalam konteks ini, masyarakat tidak lagi menilai validitas berdasarkan bukti atau otoritas pengetahuan, melainkan berdasarkan kesesuaian informasi dengan afiliasi emosional atau ideologis mereka—sebuah kondisi yang memperparah epistemic tribalism

Selain itu, fenomena ini turut memperburuk fragmentasi wacana publik. Dalam masyarakat yang terpolarisasi secara digital, warga negara hidup dalam “realitas paralel” yang terpisah oleh echo chambers dan filter bubbles, di mana narasi dominan ditentukan oleh algoritma yang memperkuat keyakinan eksisting.⁴ Hal ini tidak hanya menghambat dialog lintas kelompok, tetapi juga mempersulit tercapainya konsensus sosial atas isu-isu penting. Sunstein mencatat bahwa keterpecahan wacana ini berdampak langsung pada menurunnya kualitas deliberasi politik dan meningkatnya intoleransi terhadap pandangan yang berbeda.⁵

Post-truth juga melemahkan kapasitas masyarakat sipil dalam mengontrol kekuasaan. Salah satu fungsi vital masyarakat sipil adalah melakukan pengawasan kritis terhadap kebijakan publik, tindakan pemerintah, dan akuntabilitas elite politik. Namun dalam lanskap informasi yang sarat disinformasi, kemampuan publik untuk membedakan antara kritik konstruktif dan propaganda menjadi semakin kabur.⁶ Hal ini membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan dan manipulasi persepsi publik oleh aktor-aktor dominan, terutama ketika populisme dan otoritarianisme memanfaatkan narasi palsu untuk menjustifikasi tindakan represif.

Krisis kepercayaan ini juga berdampak pada pembentukan opini publik yang sehat, khususnya di kalangan generasi muda. Dalam situasi di mana kebenaran menjadi relatif dan tidak stabil, nilai-nilai seperti integritas, rasionalitas, dan tanggung jawab sosial menjadi terpinggirkan. Kakutani menyebut bahwa ketika publik tidak lagi peduli terhadap akurasi atau objektivitas, maka “kebenaran” menjadi komoditas yang dapat dinegosiasikan berdasarkan kepentingan, bukan sebagai landasan moral atau intelektual.⁷ Akibatnya, pendidikan kewarganegaraan (civic education) dan literasi kritis menghadapi tantangan baru yang kompleks dan multidimensi.

Dampak lain yang tidak kalah penting adalah ancaman terhadap kebebasan pers. Di berbagai negara, otoritas politik memanfaatkan sentimen post-truth untuk melabeli media independen sebagai “penyebar berita palsu” atau “musuh rakyat”, sehingga menjustifikasi pembungkaman terhadap kritik dan oposisi.⁸ Ketika jurnalisme investigatif digantikan oleh opini partisan dan berita sensasional, maka ruang publik kehilangan mekanisme checks and balances yang vital bagi keberlangsungan demokrasi.

Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat mengarah pada demokrasi iliberal atau bahkan regresi demokrasi, di mana prosedur elektoral tetap berlangsung, tetapi nilai-nilai kebenaran, kebebasan, dan akuntabilitas publik semakin mengabur.⁹ Oleh karena itu, respons terhadap krisis post-truth tidak cukup hanya bersifat teknologis atau regulatif, melainkan menuntut rekonstruksi nilai-nilai kewargaan, literasi media, serta penguatan kapasitas institusi publik untuk memulihkan otoritas epistemik dan kepercayaan sosial.


Footnotes

[1]                John Keane, The Life and Death of Democracy (London: Simon & Schuster, 2009), 743–746.

[2]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 33–36.

[3]                Michael P. Lynch, Know-It-All Society: Truth and Arrogance in Political Culture (Cambridge, MA: MIT Press, 2019), 89–91.

[4]                Eli Pariser, The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You (New York: Penguin Books, 2011), 16–22.

[5]                Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 109–114.

[6]                Claire Wardle and Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making (Strasbourg: Council of Europe, 2017), 24–26.

[7]                Michiko Kakutani, The Death of Truth (New York: Tim Duggan Books, 2018), 61–64.

[8]                Reporters Without Borders, 2023 World Press Freedom Index, accessed March 30, 2025, https://rsf.org/en/index.

[9]                Steven Levitsky and Daniel Ziblatt, How Democracies Die (New York: Crown Publishing, 2018), 6–9.


7.           Strategi Literasi Kritis dan Etika Komunikasi

Menghadapi tantangan epistemologis dan sosial-politik di era post-truth, dibutuhkan strategi sistemik yang berfokus pada penguatan literasi kritis dan revitalisasi etika komunikasi. Literasi kritis tidak hanya mencakup kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga mencakup kecakapan untuk menafsirkan, mengevaluasi, dan menanggapi informasi secara reflektif dan bertanggung jawab.¹ Dalam konteks ini, pendidikan media dan informasi (media and information literacy/MIL) menjadi pilar penting untuk membentuk warga yang tahan terhadap disinformasi dan manipulasi naratif.

Menurut Julian McDougall dkk., pendidikan literasi media di era post-truth harus memperluas ruang lingkupnya dari sekadar mengenali hoaks menjadi pengembangan kemampuan kognitif dan metakognitif untuk mengidentifikasi bias, agenda tersembunyi, serta struktur kekuasaan dalam penyampaian pesan.² Ini mencakup pemahaman tentang cara kerja algoritma media sosial, ekonomi perhatian (attention economy), serta mekanisme produksi konten dalam ekosistem digital.³ Maka, literasi kritis tidak cukup bersifat teknis, tetapi harus bersifat ideologis dan reflektif.

Dalam tataran praktis, strategi literasi kritis dapat diwujudkan melalui integrasi kurikulum yang mengajarkan:

·                     Analisis diskursif terhadap narasi media;

·                     Pemahaman konteks sosial dan politik di balik informasi;

·                     Penguatan kemampuan verifikasi fakta (fact-checking) dan evaluasi sumber;

·                     Pengembangan empati lintas perspektif, guna meruntuhkan sekat echo chambers.⁴

Selain itu, pendekatan dialogis dan partisipatif dalam pendidikan literasi perlu diutamakan. Sebagaimana ditegaskan oleh Paulo Freire, literasi sejati bersifat emansipatoris, yakni membebaskan manusia dari struktur dominasi dan membuka ruang kesadaran kritis (conscientização) terhadap realitas sosial.⁵ Dengan demikian, literasi kritis harus bersifat transformatif, membentuk kesadaran warga terhadap relasi kuasa dalam sistem komunikasi modern.

Di samping literasi, revitalisasi etika komunikasi menjadi sangat krusial. Era post-truth menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi tanpa disertai tanggung jawab epistemik dapat menjadi alat disinformasi massal. Oleh karena itu, diperlukan norma komunikasi publik yang berbasis pada integritas, kejujuran, dan kesediaan untuk dikoreksi.⁶ Dalam tradisi filsafat komunikasi, etika diskursif sebagaimana dikembangkan oleh Jürgen Habermas menekankan pentingnya communicative rationality, yakni komunikasi yang berlandaskan pada pengakuan timbal balik, argumentasi terbuka, dan orientasi pada kebenaran intersubjektif.⁷

Etika komunikasi juga berkaitan erat dengan peran media dan jurnalisme. Dalam konteks ini, media harus menghidupkan kembali prinsip public accountability, verifiability, dan transparency.⁸ Lembaga media profesional perlu meningkatkan kualitas jurnalisme investigatif, memperkuat mekanisme koreksi (correction mechanisms), dan mengedukasi publik tentang cara kerja jurnalisme berbasis data dan bukti.

Tidak kalah penting, strategi perlawanan terhadap disinformasi juga dapat memanfaatkan teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI). Teknologi semacam ini sudah banyak digunakan untuk mendeteksi hoaks, mengidentifikasi bot, dan menyaring konten berbahaya secara otomatis. Namun, pendekatan ini harus selalu diseimbangkan dengan jaminan hak-hak digital, seperti privasi, kebebasan informasi, dan akses yang adil.⁹

Sebagai penutup, pembangunan masyarakat yang tangguh dalam menghadapi era post-truth membutuhkan sinergi antara pendidikan literasi kritis, peneguhan etika komunikasi, reformasi institusi media, dan inovasi teknologi yang beretika. Hanya melalui kombinasi pendekatan kognitif, moral, dan struktural inilah kita dapat membentuk ruang publik yang lebih sehat dan demokratis.


Footnotes

[1]                Renee Hobbs, Exploring the Roots of Digital and Media Literacy through Personal Narrative (Philadelphia: Temple University Press, 2017), 22–25.

[2]                Julian McDougall et al., “Teaching Media Literacy in the Era of Post-truth,” Media Education Research Journal 9, no. 1 (2019): 5–17.

[3]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 277–283.

[4]                Claire Wardle, “Understanding Information Disorder,” First Draft News, 2019, https://firstdraftnews.org/articles/understanding-information-disorder/.

[5]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 67–74.

[6]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 75–78.

[7]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285–287.

[8]                Bill Kovach and Tom Rosenstiel, The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (New York: Three Rivers Press, 2007), 41–48.

[9]                Luciano Floridi, “Artificial Intelligence, Responsibility and the Future of Ethics,” Philosophy & Technology 30, no. 1 (2017): 1–3.


8.           Kesimpulan: Merebut Kembali Kebenaran dalam Ruang Publik

Era post-truth telah mengubah lanskap komunikasi publik secara radikal, menantang tidak hanya nilai-nilai epistemologis tentang kebenaran, tetapi juga tatanan sosial-politik yang mendasari demokrasi kontemporer. Dalam konteks ini, kebenaran bukan lagi dipahami sebagai hasil penalaran logis dan verifikasi empiris, melainkan sebagai konstruksi naratif yang dapat dinegosiasikan oleh aktor-aktor yang paling mampu memanipulasi emosi, identitas, dan algoritma digital.¹

Sebagaimana ditunjukkan oleh Lee McIntyre, ancaman utama dari era post-truth bukan sekadar tersebarnya informasi palsu, tetapi terkikisnya komitmen kolektif terhadap pentingnya kebenaran itu sendiri.² Ketika kebenaran direduksi menjadi opini atau strategi retoris, maka seluruh fondasi kehidupan demokratis—seperti deliberasi rasional, akuntabilitas publik, dan penghormatan terhadap fakta—menjadi rapuh.³ Dalam kondisi ini, ruang publik mengalami krisis legitimasi karena tidak lagi mampu menyediakan medan diskursif yang terbuka, adil, dan berbasis bukti.

Untuk merebut kembali kebenaran dalam ruang publik, diperlukan pendekatan multidimensional yang melampaui respons teknokratik semata. Pertama, revitalisasi nilai kebenaran sebagai komitmen etis perlu dijadikan prioritas dalam wacana publik. Kebenaran tidak boleh dipandang sekadar sebagai alat persuasif, tetapi sebagai nilai moral yang menjamin keberlangsungan masyarakat sipil yang rasional dan adil.⁴ Hal ini menuntut partisipasi aktif dari semua aktor—negara, media, akademisi, dan warga negara—dalam menolak normalisasi disinformasi.

Kedua, penguatan literasi kritis dan pedagogi kebebasan harus menjadi agenda strategis dalam pendidikan formal maupun informal. Paulo Freire menekankan bahwa pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang mampu membangun kesadaran kritis terhadap realitas sosial, termasuk dalam hal bagaimana informasi dibentuk, diedarkan, dan dimanipulasi.⁵ Dalam era post-truth, pendidikan tidak hanya mengajarkan cara membaca dan menulis, tetapi juga mengembangkan kemampuan untuk membaca dunia secara kritis.

Ketiga, transformasi struktural dalam industri media dan regulasi platform digital menjadi sangat mendesak. Sementara teknologi seperti kecerdasan buatan dapat membantu mendeteksi disinformasi, solusi yang bersifat struktural harus mencakup transparansi algoritma, perlindungan data pribadi, dan regulasi terhadap ekonomi atensi yang mendewakan keterlibatan di atas kebenaran.⁶ Dalam hal ini, Floridi mengingatkan bahwa teknologi informasi harus diatur secara etis, agar tidak menjadi instrumen perusak otonomi epistemik individu.⁷

Keempat, pemulihan ruang deliberatif publik yang inklusif merupakan kunci untuk melawan fragmentasi sosial akibat filter bubbles dan polarisasi digital. Model komunikasi yang dikembangkan oleh Jürgen Habermas, yaitu communicative action, menawarkan kerangka teoritis untuk menciptakan ruang dialog yang rasional, partisipatif, dan berbasis pada pengakuan timbal balik.⁸ Konsep ini menekankan bahwa dalam masyarakat demokratis, pencarian kebenaran harus dilakukan melalui diskusi terbuka yang melibatkan berbagai sudut pandang secara setara.

Pada akhirnya, merebut kembali kebenaran dalam ruang publik bukan sekadar soal memulihkan informasi yang benar, tetapi soal membangun kembali ekosistem kepercayaan sosial yang berlandaskan pada akuntabilitas, rasionalitas, dan keadaban publik.⁹ Ini adalah proyek jangka panjang yang memerlukan kerja kolektif lintas sektor, disiplin, dan generasi. Dalam dunia yang semakin kompleks dan terkoneksi, mempertahankan kebenaran bukanlah pilihan akademik, melainkan kewajiban demokratis.


Footnotes

[1]                Michiko Kakutani, The Death of Truth (New York: Tim Duggan Books, 2018), 22–25.

[2]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 14–18.

[3]                Matthew d’Ancona, Post-Truth: The New War on Truth and How to Fight Back (London: Ebury Press, 2017), 11–13.

[4]                Michael P. Lynch, The Internet of Us: Knowing More and Understanding Less in the Age of Big Data (New York: Liveright, 2016), 115–118.

[5]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 71–74.

[6]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 289–294.

[7]                Luciano Floridi, “The Ethics of Information,” Philosophy & Technology 25, no. 4 (2012): 271–273.

[8]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86–89.

[9]                Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 199–203.


Daftar Pustaka

Allcott, H., & Gentzkow, M. (2017). Social media and fake news in the 2016 election. Journal of Economic Perspectives, 31(2), 211–236. https://doi.org/10.1257/jep.31.2.211

Bernays, E. (2004). Propaganda. Ig Publishing. (Karya asli diterbitkan 1928)

Castells, M. (2009). Communication power. Oxford University Press.

Castells, M. (2015). Networks of outrage and hope: Social movements in the internet age (2nd ed.). Polity Press.

d’Ancona, M. (2017). Post-truth: The new war on truth and how to fight back. Ebury Press.

Floridi, L. (2012). The ethics of information. Philosophy & Technology, 25(4), 271–273. https://doi.org/10.1007/s13347-012-0080-1

Floridi, L. (2020). The fight for digital sovereignty: What it is, and why it matters, especially for the EU. Philosophy & Technology, 33, 369–378. https://doi.org/10.1007/s13347-020-00423-6

Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum. (Karya asli diterbitkan 1970)

Fukuyama, F. (2018). Identity: The demand for dignity and the politics of resentment. Farrar, Straus and Giroux.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vol. 1). Beacon Press.

Harsin, J. (2015). Regimes of posttruth, postpolitics, and attention economies. Communication, Culture & Critique, 8(2), 327–333. https://doi.org/10.1111/cccr.12097

Hobbs, R. (2017). Exploring the roots of digital and media literacy through personal narrative. Temple University Press.

Kakutani, M. (2018). The death of truth. Tim Duggan Books.

Keane, J. (2009). The life and death of democracy. Simon & Schuster.

Keyes, R. (2004). The post-truth era: Dishonesty and deception in contemporary life. St. Martin’s Press.

Kovach, B., & Rosenstiel, T. (2007). The elements of journalism: What newspeople should know and the public should expect (Rev. ed.). Three Rivers Press.

Levitsky, S., & Ziblatt, D. (2018). How democracies die. Crown Publishing.

Lynch, M. P. (2016). The internet of us: Knowing more and understanding less in the age of big data. Liveright.

Lynch, M. P. (2019). Know-it-all society: Truth and arrogance in political culture. MIT Press.

McDougall, J., Zezulkova, M., van Driel, B., & Sternadel, D. (2019). Teaching media literacy in the era of post-truth. Media Education Research Journal, 9(1), 5–17.

McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.

Mounk, Y. (2018). The people vs. democracy: Why our freedom is in danger and how to save it. Harvard University Press.

Müller, J.-W. (2016). What is populism? University of Pennsylvania Press.

Nyhan, B., & Reifler, J. (2010). When corrections fail: The persistence of political misperceptions. Political Behavior, 32(2), 303–330. https://doi.org/10.1007/s11109-010-9112-2

Oxford Dictionaries. (2016). Word of the year 2016. https://languages.oup.com/word-of-the-year/2016/

Pariser, E. (2011). The filter bubble: What the internet is hiding from you. Penguin Books.

Reporters Without Borders. (2023). 2023 world press freedom index. https://rsf.org/en/index

Stanley, J. (2015). How propaganda works. Princeton University Press.

Stanley, J. (2018). How fascism works: The politics of us and them. Random House.

Sunstein, C. R. (2017). #Republic: Divided democracy in the age of social media. Princeton University Press.

Vosoughi, S., Roy, D., & Aral, S. (2018). The spread of true and false news online. Science, 359(6380), 1146–1151. https://doi.org/10.1126/science.aap9559

Wardle, C. (2019). Understanding information disorder. First Draft News. https://firstdraftnews.org/articles/understanding-information-disorder/

Wardle, C., & Derakhshan, H. (2017). Information disorder: Toward an interdisciplinary framework for research and policy making. Council of Europe.

Wodak, R. (2015). The politics of fear: What right-wing populist discourses mean. Sage.

Wu, T. (2016). The attention merchants: The epic scramble to get inside our heads. Vintage Books.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar