Sabtu, 05 April 2025

Al-Haqiqah Al-Muhammadiyyah: Hakikat Kenabian dalam Dimensi Metafisika Islam

Al-Haqiqah Al-Muhammadiyyah

Hakikat Kenabian dalam Dimensi Metafisika Islam


Alihkan ke: Pemikiran Ibn ‘Arabi.


Abstrak

Artikel ini membahas konsep al-Haqiqah al-Muhammadiyyah sebagai fondasi metafisika kenabian dalam tradisi Islam, khususnya dalam kerangka pemikiran tasawuf falsafi. Dengan menelusuri akar konseptual dari sumber-sumber utama seperti al-Futuhat al-Makkiyyah dan Fusus al-Hikam karya Ibn ‘Arabi, serta pemikiran tokoh-tokoh sufi klasik seperti al-Hallaj, al-Ghazali, al-Qusyairi, Abdul Qadir al-Jilani, dan Abdul Karim al-Jili, artikel ini mengungkap bagaimana Rasulullah Saw diposisikan bukan hanya sebagai Nabi penutup secara historis, tetapi juga sebagai entitas kosmis yang menjadi asal mula dan tujuan akhir penciptaan. Pembahasan dilengkapi dengan analisis terhadap hadis-hadis terkait nūr Muhammad, penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang relevan, serta kritik dari para ulama seperti Ibn Taymiyyah dan ilmuwan hadis terhadap aspek-aspek teologis dari konsep ini. Artikel ini juga mengelaborasi relevansi al-Haqiqah al-Muhammadiyyah dalam konteks kontemporer, baik sebagai paradigma spiritual dalam menghadapi krisis eksistensial, maupun sebagai model pendidikan akhlak dan dialog antarperadaban. Dengan pendekatan multidisipliner yang menggabungkan kajian teologis, historis, dan filosofis, artikel ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap hakikat kenabian dalam Islam memiliki potensi besar untuk memperkuat dimensi spiritual umat di era modern.


Kata Kunci: Al-Haqiqah al-Muhammadiyyah, kenabian, Ibn ‘Arabi, tasawuf, metafisika Islam, nūr Muhammad, insan kamil, spiritualitas kontemporer.


PEMBAHASAN

Konsep Al-Haqiqah Al-Muhammadiyyah Ibn ‘Arabi


1.           Pendahuluan

Konsep hakikat dalam pemikiran Islam bukan hanya merujuk pada makna literal “kebenaran” atau “inti realitas,” tetapi telah berkembang menjadi kategori penting dalam berbagai cabang keilmuan Islam, terutama dalam tasawuf dan filsafat Islam. Dalam kerangka tasawuf, hakikat menandai kedalaman spiritual yang melampaui dimensi lahiriah (syariat) dan batiniah (thariqah), menuju realitas terdalam dari wujud yang berkaitan erat dengan aspek ilahiah dan ketuhanan.¹ Salah satu pengembangan terpenting dari konsep ini adalah gagasan tentang al-Haqiqah al-Muhammadiyyah, yaitu hakikat metafisik Rasulullah Muhammad Saw sebagai entitas primordial dan pusat kesadaran kosmik dalam pandangan spiritual para sufi besar seperti Ibn ‘Arabi, al-Ghazali, dan Abdul Karim al-Jili.²

Al-Haqiqah al-Muhammadiyyah dipahami sebagai realitas pertama yang diciptakan oleh Allah dan dari padanya seluruh eksistensi dimanifestasikan. Dalam istilah sufistik, ia adalah "nūr Muhammad" atau cahaya Muhammad, yang disebut sebagai awal kejadian (awwal mā khalaqallāhu nūrī).³ Meski hadits tersebut tergolong lemah sanadnya menurut sebagian ulama hadis, namun maknanya telah dihayati secara mendalam dalam tradisi mistik Islam dan dijadikan dasar kosmologi spiritual oleh banyak tokoh sufi.⁴ Dalam konteks ini, Rasulullah Saw bukan sekadar manusia historis, tetapi manifestasi dari realitas ilahiah yang menjadi perantara antara Tuhan dan makhluk.

Pemikiran metafisis tentang hakikat kenabian ini mengalami artikulasi filosofis dan simbolis paling kompleks dalam karya-karya Ibn ‘Arabi, khususnya dalam Futuhat al-Makkiyah dan Fusus al-Hikam, di mana beliau menggambarkan al-Haqiqah al-Muhammadiyyah sebagai “permulaan semua bentuk wujud” dan “maqam tertinggi insan kamil”.⁵ Ia menempatkan Rasulullah sebagai model sempurna (al-insān al-kāmil) yang merepresentasikan kesempurnaan penciptaan, wahyu, dan tajalli (manifestasi Tuhan dalam ciptaan).⁶

Kajian terhadap konsep ini menjadi semakin relevan dalam konteks pencarian spiritual modern dan pemahaman mendalam terhadap posisi Rasulullah Saw bukan hanya dalam sejarah, tetapi juga dalam ontologi dan metafisika Islam. Selain itu, pembahasan ini berkontribusi dalam menjembatani antara pendekatan tekstual (tafsir dan hadis) dengan pendekatan maknawi (batiniah dan filsafat spiritual) dalam kajian Islam kontemporer.

Melalui artikel ini, pembaca akan diajak menelusuri akar teologis, landasan tekstual, dan refleksi tasawuf terhadap al-Haqiqah al-Muhammadiyyah, sekaligus mempertimbangkan kritik dan apresiasi dari berbagai kalangan ulama untuk membentuk pemahaman yang seimbang, ilmiah, dan bersifat membangun.


Footnotes

[1]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi's Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 130.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 148–149.

[3]                Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Khasa’is al-Kubra, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 12.

[4]                Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman al-Sakhawi, al-Maqasid al-Hasanah fi Bayan Kathirin min al-Ahadith al-Mushtaharah ‘ala al-Alsinah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 49.

[5]                Ibn ‘Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah, ed. ‘Uthman Yahya (Beirut: Dar al-Sadir, 1999), vol. 1, 160–162.

[6]                Abdul Karim al-Jili, al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 18–21.


2.           Konsep Hakikat dalam Tradisi Islam

Dalam khazanah keilmuan Islam, istilah ḥaqīqah memiliki kedudukan penting sebagai bagian dari perangkat epistemologis untuk memahami realitas. Secara etimologis, ḥaqīqah berasal dari akar kata ḥaqq yang berarti kebenaran atau sesuatu yang tetap dan nyata. Dalam terminologi klasik, ḥaqīqah didefinisikan sebagai "sesuatu dalam keadaan aslinya tanpa tambahan atau pengurangan", sebagaimana dinyatakan oleh al-Jurjani dalam at-Ta'rifat.¹ Dalam ilmu usul fikih, istilah ini digunakan untuk membedakan antara makna literal (ḥaqīqī) dan makna metaforis (majāzī).² Namun, dalam perkembangan spiritual dan metafisis Islam, istilah ini mengalami perluasan makna yang signifikan.

Dalam tasawuf, ḥaqīqah dipahami sebagai tingkat tertinggi dalam perjalanan spiritual seorang hamba menuju Tuhan. Al-Qusyairi dalam Risālah Qusyairiyyah membagi jalan spiritual ke dalam empat tahap utama: syariat, thariqah, ḥaqīqah, dan ma‘rifah.³ Di tahap ḥaqīqah, seorang salik (pejalan spiritual) dikatakan telah menyaksikan realitas sejati di balik tirai fenomena duniawi. Dalam pengertian ini, ḥaqīqah bukan sekadar pengetahuan rasional, melainkan pengalaman batin yang intuitif dan langsung terhadap kebenaran ilahiah.

Pemahaman ini juga mendapat penguatan dari pandangan al-Ghazali dalam karyanya Mishkāt al-Anwār, di mana ia menegaskan bahwa cahaya hakiki adalah nūr Allāh yang dengannya segala sesuatu dapat dipahami dalam realitas terdalamnya.⁴ Menurutnya, persepsi indrawi dan akal harus ditransendensi untuk mencapai pengetahuan hakiki, yang bersumber dari “cahaya batin” yang dianugerahkan oleh Allah kepada hamba-Nya yang ikhlas dan bersih hatinya.

Sementara itu, dalam filsafat Islam, terutama dalam pemikiran Ibn Sina dan al-Farabi, ḥaqīqah diidentikkan dengan esensi (māhiyyah) suatu entitas, yaitu sifat dasar yang membuat sesuatu itu "menjadi dirinya sendiri".⁵ Dalam kerangka ini, realitas fisik hanyalah manifestasi dari esensi yang lebih tinggi. Pandangan ini kemudian beresonansi dengan doktrin mistik Ibn ‘Arabi yang melihat bahwa ḥaqīqah tertinggi adalah al-Haqīqah al-Muhammadiyyah, sebagai nūr wujūd (cahaya keberadaan) pertama yang diciptakan oleh Allah dan menjadi dasar ontologis segala bentuk wujud.⁶

Dengan demikian, dalam tradisi Islam, konsep ḥaqīqah merupakan simpul penting antara epistemologi, ontologi, dan spiritualitas. Ia menjadi jembatan antara apa yang lahiriah (syariat) dengan apa yang batiniah (hakikat), antara realitas tampak dengan realitas sejati. Dalam konteks ini, memahami al-Haqīqah al-Muhammadiyyah menuntut pemahaman mendalam terhadap konsep ḥaqīqah secara integral dalam pelbagai dimensi keilmuan Islam.


Footnotes

[1]                Ali ibn Muhammad al-Jurjani, at-Taʿrīfāt, ed. Ibrahim al-Abyari (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1985), 78.

[2]                Wahbah az-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami, vol. 1 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1996), 111.

[3]                Abu al-Qasim al-Qusyairi, al-Risālah al-Qusyairiyyah, ed. Abd al-Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Ma’arif, 2002), 53–54.

[4]                Abu Hamid al-Ghazali, Mishkāt al-Anwār, ed. Abdurrahman Badawi (Beirut: Dar al-Andalus, 1986), 23–26.

[5]                Ibn Sina, al-Shifāʾ: al-Ilāhiyyāt, ed. Ibrahim Madkour (Kairo: al-Hayah al-‘Ammah li al-Kitab, 1960), 112–114.

[6]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 130–133.


3.           Konsep Al-Haqiqah al-Muhammadiyyah Menurut Ibn ‘Arabi

Konsep al-Haqiqah al-Muhammadiyyah merupakan salah satu pilar utama dalam metafisika Ibn ‘Arabi, yang memainkan peran sentral dalam kerangka ontologis dan kosmologis pemikirannya. Dalam Futūḥāt al-Makkiyyah, Ibn ‘Arabi menyatakan bahwa al-Haqiqah al-Muhammadiyyah adalah manifestasi awal dari kehendak Tuhan dalam menciptakan alam semesta, yakni sebagai bentuk pertama dari wujūd mutlaq (eksistensi mutlak) yang meniscayakan keberadaan makhluk lainnya.¹ Istilah ini merujuk pada realitas esensial dari Nabi Muhammad Saw yang bersifat primordial, transenden, dan menjadi sumber segala bentuk ciptaan.

Ibn ‘Arabi menyebut Rasulullah sebagai al-insān al-kāmil (manusia sempurna), yang tidak hanya menyempurnakan dimensi spiritual umat manusia, tetapi juga merepresentasikan totalitas ciptaan yang tercermin dari sifat-sifat Ilahi.² Dalam konteks ini, al-Haqiqah al-Muhammadiyyah bukanlah sosok manusia historis semata, melainkan realitas metafisis yang menjadi titik awal dan titik akhir dari siklus penciptaan (al-mabdaʾ wa al-maʿād).³ Ia adalah refleksi sempurna dari al-Asmā’ wa al-Ṣifāt (Nama dan Sifat Allah), menjadikan Rasulullah sebagai cermin bagi tajalli Ilahi dalam eksistensi.

Salah satu konsepsi kunci dari Ibn ‘Arabi adalah bahwa al-Haqiqah al-Muhammadiyyah merupakan “nafas ilahi” pertama yang mengandung potensi seluruh makhluk. Hal ini dikenal dengan istilah nūr Muhammad, yang menurut Ibn ‘Arabi telah ada sebelum penciptaan alam semesta.⁴ Ia menulis: “Rasulullah adalah asal segala ciptaan, dan dari hakikat beliau, segala sesuatu memancar.”_⁵ Dengan demikian, hakikat kenabian Muhammad bersifat kosmis dan ontologis, bukan sekadar fungsional atau sosial.

Dalam Fuṣūṣ al-Ḥikam, Ibn ‘Arabi lebih lanjut menjelaskan bahwa para nabi merupakan manifestasi parsial dari al-Haqiqah al-Muhammadiyyah, dengan Nabi Muhammad sebagai bentuk manifestasi sempurna (khatam al-nubuwwah wa al-wilāyah).⁶ Dalam sistem hierarki spiritual Ibn ‘Arabi, semua eksistensi adalah bentuk partikular dari satu realitas universal, dan Rasulullah adalah pusat dari lingkaran eksistensial tersebut. Oleh karena itu, kenabian tidak dipahami secara historis saja, melainkan sebagai prinsip metafisika universal yang hadir dalam setiap zaman.

Konsep ini juga berkaitan erat dengan doktrin wahdat al-wujūd (kesatuan wujud), di mana seluruh realitas dipandang sebagai manifestasi dari satu wujud ilahi. Al-Haqiqah al-Muhammadiyyah bertindak sebagai jembatan antara al-Haqq (Yang Maha Benar) dan al-Khalq (ciptaan), memungkinkan keberadaan makhluk tanpa melanggar prinsip keesaan Tuhan.⁷

Namun, penting untuk dicatat bahwa pemikiran ini tidak lepas dari kritik. Beberapa ulama, seperti Ibn Taymiyyah, menilai bahwa konsep tersebut dapat membawa pada pemahaman yang menyimpang jika tidak disikapi secara hati-hati.⁸ Karena itu, pendekatan terhadap al-Haqiqah al-Muhammadiyyah harus senantiasa berada dalam koridor adab ilmiah dan spiritual, dengan mempertimbangkan kedalaman makna simbolis serta batasan akidah Ahlus Sunnah.


Footnotes

[1]                Ibn ‘Arabi, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. ‘Uthman Yahya (Beirut: Dar Ṣadir, 1999), vol. 1, 160.

[2]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 132–134.

[3]                Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1984), 251.

[4]                Ibn ‘Arabi, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, vol. 2, 42.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 150.

[6]                Ibn ‘Arabi, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu al-‘Ala Afifi (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1946), 45–47.

[7]                Chittick, The Sufi Path of Knowledge, 140.

[8]                Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, vol. 2 (Madinah: Mujamma‘ al-Malik Fahd li Ṭibā‘at al-Muṣḥaf al-Sharīf, 2005), 146–147.


4.           Landasan Hadis dan Tafsir terhadap Konsep Ini

Konsep al-Haqiqah al-Muhammadiyyah tidak berdiri di luar kerangka tradisi tekstual Islam. Ia berakar dari sejumlah riwayat hadis dan penafsiran Al-Qur’an yang, meskipun dalam sebagian kasus diperselisihkan dari sisi kekuatan sanad, telah mendapat perhatian besar dari para sufi dan mufassir klasik dalam rangka mengungkap dimensi batin dari kenabian Muhammad Saw.

Salah satu hadis yang paling sering dikaitkan dengan doktrin ini adalah riwayat yang berbunyi: “Awwalu mā khalaqallāhu nūrī” (“Yang pertama kali diciptakan Allah adalah cahayaku”).¹ Hadis ini dinukil dalam berbagai sumber, seperti al-Khasa’is al-Kubra karya Jalaluddin al-Suyuthi, dan dikomentari pula oleh Imam al-Qastalani dalam al-Mawāhib al-Ladunniyyah. Namun, dari sisi sanad, para ahli hadis seperti al-Sakhawi dalam al-Maqāsid al-Hasanah dan Ibn al-Jawzi dalam al-Maudhu’at mengategorikan hadis ini sebagai lemah (ḍa‘īf) bahkan sebagian menganggapnya mawḍū‘ (palsu).² Meski demikian, para sufi tidak mengambil nilai doktrinalnya dari kekuatan sanad semata, melainkan dari makna yang mendalam dan kesesuaiannya dengan pengalaman spiritual.³

Dari sisi Al-Qur’an, konsep al-Haqiqah al-Muhammadiyyah banyak dikaitkan dengan QS An-Nūr (24) ayat 35, yang berbunyi:

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ

“Allāhu nūru as-samāwāti wa al-ardh. Mathalu nūrihi ka-mishkāt...”

(Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya seperti sebuah lubang yang tidak tembus...).⁴

Ayat ini dijadikan dasar kontemplatif oleh para mufassir dan sufi untuk menjelaskan makna simbolik dari nūr (cahaya) sebagai sarana tajalli (penampakan) Tuhan kepada makhluk. Fakhruddin al-Razi dalam Tafsīr al-Kabīr menjelaskan bahwa cahaya ini tidak bisa dimaknai secara inderawi, tetapi harus ditangkap sebagai cahaya metafisis yang menjadi sebab dikenalnya segala sesuatu.⁵ Dalam kerangka ini, nūr Muhammad dipahami sebagai manifestasi pertama dari cahaya Ilahi.

Ibn ‘Ajibah, seorang sufi-mufassir dari Maroko, menafsirkan ayat tersebut sebagai isyarat terhadap al-Haqiqah al-Muhammadiyyah yang berfungsi sebagai wasilah utama antara al-Ḥaqq dan al-Khalq. Dalam tafsirnya, ia menulis bahwa “cahaya yang dimaksud dalam ayat ini adalah nūr Muhammad, sebagai sebab munculnya segala makhluk dari alam ketiadaan.”_⁶

Ayat lain yang juga sering dikaitkan adalah QS al-Aḥzāb (33) ayat 45–46, di mana Rasulullah disebut sebagai sārijan munīrā (pelita yang menerangi). Ayat ini memperkuat kedudukan Nabi sebagai pusat pencerahan spiritual dan simbol perantara antara Tuhan dan manusia.⁷

Dengan demikian, meskipun dalil hadis tentang nūr Muhammad diperselisihkan dari sisi sanad, banyak mufassir dan tokoh spiritual klasik yang menemukan dasar simbolik dan kosmis dari konsep al-Haqiqah al-Muhammadiyyah dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa pemaknaan terhadap kenabian Muhammad Saw telah melampaui batasan sejarah dan fiqih, menuju wilayah kontemplatif dan metafisis, yang memperkaya khazanah teologis dan spiritual Islam.


Footnotes

[1]                Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Khaṣā’iṣ al-Kubrā, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 12.

[2]                Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman al-Sakhawi, al-Maqāṣid al-Ḥasanah fī Bayān Kathīr min al-Aḥādīth al-Mushtaharah ‘alā al-Alsinah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 49; Ibn al-Jawzi, al-Mawḍū‘āt, ed. Abdul Rahman Muhammad ‘Uthman (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1990), 1:296.

[3]                Annemarie Schimmel, And Muhammad Is His Messenger: The Veneration of the Prophet in Islamic Piety (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1985), 119.

[4]                QS An-Nūr (24): 35.

[5]                Fakhr al-Din al-Razi, Tafsīr al-Kabīr, vol. 23 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1997), 227–230.

[6]                Ahmad ibn ‘Ajibah, al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qur’ān al-Majīd, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 258.

[7]                QS al-Aḥzāb (33): 45–46.


5.           Perspektif Ulama Tasawuf Klasik

Konsep al-Haqiqah al-Muhammadiyyah tidak hanya dikembangkan oleh Ibn ‘Arabi, tetapi juga telah menjadi bagian integral dari diskursus para ulama sufi klasik sejak masa awal tasawuf Islam. Para tokoh sufi melihat Rasulullah Saw bukan hanya sebagai nabi terakhir secara historis, tetapi juga sebagai entitas metafisis yang mencerminkan kesempurnaan ilahiah dan pusat ontologi spiritual seluruh makhluk. Pemahaman ini memperkaya wacana kenabian dengan dimensi kosmis dan simbolik yang mendalam.

5.1.       Al-Hallaj dan Nūr Muhammad

Salah satu tokoh awal yang menunjukkan kedekatan gagasannya dengan al-Haqiqah al-Muhammadiyyah adalah al-Husayn ibn Mansur al-Hallaj (w. 309 H). Dalam karya-karyanya seperti Ṭāwāsīn, al-Hallaj sering menyebut tentang “cahaya Muhammad” sebagai realitas primordial yang lebih dahulu ada sebelum penciptaan dunia. Ia menulis: “Allah menciptakan ruh Muhammad dari cahaya-Nya, dan dari ruh Muhammad terciptalah segala yang lain.”_¹ Walaupun tidak menyebutkan istilah al-Haqiqah al-Muhammadiyyah secara eksplisit, narasi al-Hallaj sarat dengan simbolisme mistik yang menjadikan Nabi Muhammad sebagai pusat segala eksistensi.

5.2.       Imam al-Ghazali dan Hikmah Nubuwwah

Dalam karya Mishkāt al-Anwār, Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) mengembangkan pemikiran tentang cahaya kenabian (nūr al-nubuwwah) yang dapat dimaknai sebagai bentuk epistemologis dan ontologis dari hakikat Muhammad. Menurut al-Ghazali, cahaya kenabian adalah medium antara realitas ilahi dengan dunia ciptaan, dan para nabi adalah manusia yang telah menyerap cahaya tersebut sepenuhnya.² Walau tidak secara eksplisit berbicara tentang al-Haqiqah al-Muhammadiyyah dalam istilah Ibn ‘Arabi, struktur pemikiran al-Ghazali tentang “hierarki cahaya” sangat koheren dengan konsepsi sufi tentang eksistensi kenabian sebagai pusat cahaya kosmis.

5.3.       Al-Qusyairi dan Dimensi Batini Rasulullah

Abu al-Qasim al-Qusyairi (w. 465 H), dalam al-Risālah al-Qusyairiyyah, menjelaskan posisi Nabi Muhammad Saw dalam konteks spiritual sebagai “Imam para wali” dan “pusat makna-makna batin.”_³ Ia menyebut bahwa maqam Rasulullah bukan hanya sebagai pembawa risalah syariat, tetapi sebagai manifestasi rahmat Ilahi yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Dalam pandangan al-Qusyairi, Rasulullah adalah pemimpin para salik yang menunjukkan jalan menuju al-Haqq, sehingga posisinya melampaui sejarah dan menjelma sebagai poros dari seluruh tingkatan spiritualitas.

5.4.       Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan Cahaya Kenabian

Dalam al-Fatḥ al-Rabbānī, Syekh Abdul Qadir al-Jilani (w. 561 H) menyampaikan bahwa nūr Muhammad adalah asal dari semua ruh.⁴ Ia menegaskan bahwa “ruh Nabi Muhammad Saw diciptakan sebelum ruh Adam, dan seluruh eksistensi bergantung pada ruh tersebut.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa Syekh Abdul Qadir al-Jilani memahami kenabian Muhammad tidak hanya sebagai tugas risalah, melainkan sebagai aspek fundamental dalam struktur keberadaan.⁵

5.5.       Abdul Karim al-Jili dan Sistematika Al-Insān al-Kāmil

Puncak konseptualisasi al-Haqiqah al-Muhammadiyyah dalam tasawuf klasik terlihat dalam karya Abdul Karim al-Jili (w. 832 H) berjudul al-Insān al-Kāmil fī Maʿrifat al-Awākhir wa al-Awā’il. Dalam kitab ini, al-Jili mengembangkan teori tentang “manusia sempurna” yang intisarinya adalah hakikat Muhammad. Menurut al-Jili, al-Haqiqah al-Muhammadiyyah adalah bentuk manifestasi tertinggi dari Nama dan Sifat Allah, dan setiap bentuk kesempurnaan spiritual dalam wujud manusia sejati adalah pancaran dari hakikat tersebut.⁶


Kontribusi para sufi klasik ini menunjukkan bahwa konsep al-Haqiqah al-Muhammadiyyah telah menjadi tema sentral dalam spiritualitas Islam. Ia bukan sekadar doktrin spekulatif, melainkan fondasi dari pemahaman sufi tentang alam semesta, kenabian, dan relasi manusia dengan Tuhan. Walaupun dirumuskan dengan pendekatan yang berbeda-beda, seluruh tokoh ini sepakat menempatkan Nabi Muhammad Saw sebagai pusat ontologis dan epistimologis dari tatanan spiritual Islam.


Footnotes

[1]                Al-Husayn ibn Mansur al-Hallaj, Ṭāwāsīn, ed. Louis Massignon (Beirut: Dar al-Fikr, 1973), 92.

[2]                Abu Hamid al-Ghazali, Mishkāt al-Anwār, ed. Abdurrahman Badawi (Beirut: Dar al-Andalus, 1986), 25–28.

[3]                Abu al-Qasim al-Qusyairi, al-Risālah al-Qusyairiyyah, ed. Abd al-Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Ma’arif, 2002), 118.

[4]                Abdul Qadir al-Jilani, al-Fatḥ al-Rabbānī wa al-Faiḍ al-Raḥmānī, ed. Ihsan Ilahi Zahir (Lahore: Maktabah Salafiyyah, 1975), 21.

[5]                Ibid., 45.

[6]                Abdul Karim al-Jili, al-Insān al-Kāmil fī Maʿrifat al-Awākhir wa al-Awā’il (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 18–24.


6.           Fungsi dan Kedudukan Al-Haqiqah al-Muhammadiyyah

Konsep al-Haqiqah al-Muhammadiyyah dalam tradisi tasawuf bukan hanya menjadi wacana teoritis metafisika, tetapi memiliki fungsi yang vital dalam struktur ontologi Islam dan kedudukan sentral dalam pemahaman kosmologi spiritual. Dalam kerangka Ibn ‘Arabi dan para pengikutnya, al-Haqiqah al-Muhammadiyyah berfungsi sebagai perantara utama (wasīṭah kubrā) antara Tuhan (al-Ḥaqq) dan makhluk (al-Khalq), serta sebagai fondasi awal penciptaan (arché) yang menjadi sebab eksistensi segala sesuatu.¹

Sebagai maqām al-jamʿ (tingkatan kesatuan), al-Haqiqah al-Muhammadiyyah berperan sebagai cermin yang memantulkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dalam bentuk eksistensial. Menurut Ibn ‘Arabi, "tidak ada satu pun nama Allah yang tidak terefleksi dalam diri Muhammad," karena Rasulullah adalah entitas yang mengandung secara total semua potensi kesempurnaan yang dimungkinkan dalam wujud.² Oleh sebab itu, hakikat Muhammad dipandang sebagai majmaʿ al-asmāʾ (pusat penyatuan seluruh nama-nama Ilahi), menjadikannya tempat tajallī paling sempurna dan titik temu antara yang mutlak dan yang nisbi.³

Fungsi lain dari al-Haqiqah al-Muhammadiyyah adalah sebagai sumber nubuwwah (kenabian), walāyah (kewalian), dan bahkan ʿilm (pengetahuan hakiki). Ibn ‘Arabi menegaskan bahwa setiap nabi dan wali mendapatkan bagian dari nūr Muhammad, dan tidak satu pun bentuk petunjuk ilahi turun kecuali melalui hakikat ini sebagai saluran utamanya.⁴ Hal ini mengukuhkan posisi Rasulullah Saw bukan hanya sebagai Nabi penutup secara historis, tetapi juga sebagai sumber laten seluruh bentuk bimbingan spiritual sepanjang zaman.⁵

Dalam pandangan Abdul Karim al-Jili, al-Haqiqah al-Muhammadiyyah adalah bentuk kesempurnaan (kamāl) dari manifestasi Tuhan dalam wujud manusia. Ia menyebut hakikat ini sebagai "al-ṣūrah al-kāmilah" (wujud sempurna) yang telah menjadi teladan absolut (qudwah mutlaqah) bagi seluruh bentuk keberadaan.⁶ Oleh karena itu, al-Haqiqah al-Muhammadiyyah berperan bukan hanya sebagai asal mula (mabdaʾ), tetapi juga sebagai tujuan akhir (maʿād) dari perjalanan makhluk menuju Tuhan.

Konsepsi ini juga mengandung fungsi pedagogis dan spiritual. Dalam praktik suluk, para sufi meyakini bahwa semakin dekat seorang salik dengan al-Haqiqah al-Muhammadiyyah, semakin terang pula cahayanya dalam menempuh jalan menuju ma‘rifatullah. Di sini, Rasulullah Saw dipahami sebagai pembimbing batin, bukan hanya dalam arti syariat tetapi juga dalam proses penyingkapan hakikat realitas terdalam.⁷

Kedudukan hakikat ini bahkan disamakan dengan logos dalam filsafat neoplatonik, atau al-‘aql al-awwal dalam filsafat Islam, karena fungsinya sebagai prinsip penghubung antara Yang Mutlak dengan yang terindera.⁸ Namun, tidak seperti filsafat murni yang cenderung abstrak, konsep al-Haqiqah al-Muhammadiyyah memiliki dimensi spiritual yang hidup dan bersifat transformatif dalam pengalaman keberagamaan.

Secara teologis dan kosmologis, hakikat ini menjelaskan bagaimana Allah menghadirkan sifat-sifat-Nya dalam semesta tanpa kehilangan keesaan-Nya. Karena itu, al-Haqiqah al-Muhammadiyyah memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai simpul keseimbangan antara tanzīh (penafian keserupaan Allah dengan makhluk) dan tasbīh (penegasan kedekatan Allah dengan makhluk).⁹ Ia adalah tajassud (personifikasi) rahmat ilahi dalam wujud cahaya yang menjadi pangkal sekaligus puncak dari sistem keberadaan.


Footnotes

[1]                Ibn ‘Arabi, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. ‘Uthman Yahya (Beirut: Dar Ṣadir, 1999), vol. 1, 159–160.

[2]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 132.

[3]                Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1984), 251–252.

[4]                Ibn ‘Arabi, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu al-‘Ala Afifi (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1946), 47.

[5]                Claude Addas, Quest for the Red Sulphur: The Life of Ibn ‘Arabi, trans. Peter Kingsley (Cambridge: Islamic Texts Society, 1993), 265.

[6]                Abdul Karim al-Jili, al-Insān al-Kāmil fī Maʿrifat al-Awākhir wa al-Awā’il (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 21–24.

[7]                Abu al-Qasim al-Qusyairi, al-Risālah al-Qusyairiyyah, ed. Abd al-Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2002), 119.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 84.

[9]                Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur’an: Semantics of the Qur’anic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 196–197.


7.           Perdebatan Teologis dan Pandangan Kritik

Konsep al-Haqiqah al-Muhammadiyyah yang berakar dalam tradisi tasawuf filosofis, terutama dalam pemikiran Ibn ‘Arabi dan murid-murid intelektualnya, tidak luput dari perdebatan panjang di kalangan ulama Islam. Perdebatan ini berkisar pada pertanyaan mendasar seputar legitimasi doktrin tersebut dalam akidah Islam, validitas epistemologisnya, serta potensi penyimpangan makna teologis yang dapat muncul dari interpretasi berlebihan terhadap konsep ini.

7.1.       Kritik Salafi terhadap Konsep Metafisis Kenabian

Tokoh yang paling tegas menolak dan mengkritisi konsep-konsep tasawuf falsafi semacam al-Haqiqah al-Muhammadiyyah adalah Ibn Taymiyyah (w. 728 H). Ia menolak keras gagasan bahwa Rasulullah Saw memiliki eksistensi metafisis primordial yang bersifat universal atau kosmis. Dalam Majmūʿ al-Fatāwā, Ibn Taymiyyah menyatakan bahwa keyakinan semacam ini tidak memiliki dasar dalam Al-Qur'an dan Sunnah yang sahih, dan dapat menyeret seseorang pada pemahaman filsafat Yunani dan doktrin-doktrin hulūl (inkarnasi) serta ittihād (penyatuan makhluk dengan Tuhan).¹ Menurut Ibn Taymiyyah, Rasulullah Saw adalah manusia yang diangkat menjadi Nabi, bukan entitas metafisik pra-eksistensial yang menjadi sumber wujud semua makhluk.

7.2.       Skeptisisme Ilmuwan Hadis terhadap Hadis "Nūr Muhammad"

Kritik juga datang dari kalangan ahli hadis seperti Ibn al-Jawzi, al-Sakhawi, dan al-Shawkani, yang menyatakan bahwa hadis populer “Awwalu mā khalaqallāhu nūrī” tergolong dha‘īf bahkan ada yang menganggapnya sebagai mawdhū‘ (palsu).² Oleh karena itu, mereka menilai bahwa doktrin yang dibangun di atas hadis ini tidak dapat dijadikan pijakan teologis yang kokoh. Mereka mengingatkan agar umat Islam tidak menjadikan teks-teks lemah sebagai dasar pembentukan keyakinan metafisik, khususnya yang menyangkut kedudukan Rasulullah Saw yang bisa dengan mudah disalahartikan.

7.3.       Respons Moderat dari Ulama Sunni

Meski demikian, sebagian ulama dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama‘ah menempuh jalur moderat. Mereka tidak menolak sepenuhnya gagasan al-Haqiqah al-Muhammadiyyah, tetapi menekankan pentingnya memahami konsep ini dalam konteks simbolik dan spiritual, bukan secara literal. Imam al-Suyuthi, meskipun mengutip hadis nūr Muhammad, memberikan catatan tentang kelemahan sanadnya namun tidak menolaknya secara mutlak.³ Ia memilih untuk menafsirkan hadis tersebut dalam kerangka fadlī (keutamaan Nabi), bukan ontologis kosmis secara filosofis.

Pendekatan yang seimbang ini juga diikuti oleh ulama tafsir seperti Fakhruddin al-Razi, yang dalam Tafsīr al-Kabīr menafsirkan ayat “Allāhu nūru al-samāwāti wa al-arḍ” (QS An-Nūr [24] ayat 35) dengan membuka ruang bagi pemaknaan spiritual yang mendalam, termasuk kemungkinan penafsiran tentang nūr Muhammad, namun tetap menjaga jarak dari pemaknaan ekstrem yang bisa mengaburkan batas antara Tuhan dan makhluk.⁴

7.4.       Implikasi Teologis dalam Dunia Kontemporer

Dalam wacana Islam kontemporer, beberapa cendekiawan Muslim juga menyoroti problem konseptual dari al-Haqiqah al-Muhammadiyyah ketika dipahami secara harfiah atau tidak kontekstual. Fazlur Rahman misalnya, mengingatkan bahwa pencampuran antara teologi simbolik dan ontologi metafisis yang berlebihan dalam tradisi tasawuf dapat menyulitkan pembentukan doktrin Islam yang rasional dan berbasis nash yang kokoh.⁵ Namun, ia tetap mengakui nilai simbolik dan kultural dari pemuliaan terhadap Rasulullah dalam ekspresi tasawuf.

Sementara itu, pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr dan William Chittick menekankan bahwa al-Haqiqah al-Muhammadiyyah justru menyediakan alternatif spiritual yang mendalam terhadap krisis eksistensial modern, karena ia menawarkan model insān kāmil sebagai jembatan antara manusia dan Tuhan dalam dunia yang semakin profan.⁶


Kesimpulan Sementara

Perdebatan mengenai al-Haqiqah al-Muhammadiyyah menunjukkan dinamika internal dalam khazanah pemikiran Islam yang kaya. Kritik dari kalangan salafi dan ahli hadis mengingatkan umat akan bahaya interpretasi yang berlebihan, sementara pendekatan moderat dan simbolik dari ulama sufi dan Sunni klasik menjaga kesucian makna kenabian. Di sisi lain, para pemikir kontemporer melihatnya sebagai simbol spiritual yang memiliki potensi besar dalam membentuk pemahaman Islam yang transformatif dan relevan dengan tantangan zaman.


Footnotes

[1]                Ibn Taymiyyah, Majmūʿ al-Fatāwā, vol. 2 (Madinah: Mujamma‘ al-Malik Fahd li Ṭibāʿat al-Muṣḥaf, 2005), 134–135.

[2]                Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman al-Sakhawi, al-Maqāṣid al-Ḥasanah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 49; Ibn al-Jawzi, al-Mawḍūʿāt, ed. Abdul Rahman Muhammad ‘Uthman (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1990), 1:296.

[3]                Jalaluddin al-Suyuthi, al-Khaṣā’iṣ al-Kubrā, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 12–13.

[4]                Fakhruddin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr, vol. 23 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1997), 227–230.

[5]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 134–136.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 150; William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 160.


8.           Relevansi Kontemporer dan Implikasi Spiritual

Di tengah krisis eksistensial manusia modern—yang ditandai oleh kekosongan spiritual, reduksi nilai-nilai transenden, dan dominasi materialisme—konsep al-Haqiqah al-Muhammadiyyah menawarkan model pemulihan makna yang mendalam. Dalam kerangka ini, hakikat kenabian tidak hanya dipahami sebagai institusi historis yang telah selesai, tetapi sebagai pusat spiritual yang terus hidup dan aktif menuntun jiwa manusia menuju kesempurnaan eksistensial (kamāl al-wujūd).¹

8.1.       Model Kesempurnaan Manusia dalam Dunia Modern

Konsep al-Haqiqah al-Muhammadiyyah berperan sebagai paradigma spiritual bagi manusia kontemporer yang mencari makna eksistensial di tengah runtuhnya otoritas-otoritas nilai tradisional. Dalam pemikiran Abdul Karim al-Jili, hakikat Muhammad merupakan manifestasi al-Insān al-Kāmil, manusia ideal yang menjadi perantara antara Tuhan dan alam, serta contoh sempurna dalam keilmuan, etika, dan spiritualitas.² Model ini menjadi sangat relevan ketika manusia modern berusaha mendamaikan realitas fisik dan spiritual dalam hidupnya.

Dengan menjadikan Rasulullah Saw sebagai pusat pencarian makna, konsep ini memperluas cakupan spiritualitas Islam dari sekadar ibadah ritual ke arah transformasi batiniah. Hal ini sejalan dengan pandangan William Chittick, yang menekankan bahwa pemahaman Ibn ‘Arabi tentang al-Haqiqah al-Muhammadiyyah mampu mempertemukan disiplin teologis dan pengalaman mistis dalam cara yang sistematis dan eksistensial.³

8.2.       Peran dalam Pendidikan Spiritual dan Akhlak

Konsep ini juga sangat bermanfaat dalam pendidikan karakter dan pembentukan akhlak. Keteladanan Rasulullah sebagai refleksi hakikat Ilahi mendorong umat Islam untuk menjadikan spiritualitas sebagai fondasi etika sosial.⁴ Dengan pendekatan ini, pendidikan tidak hanya berorientasi pada kognisi dan keterampilan duniawi, melainkan juga pada pembentukan kesadaran ruhani dan integritas moral.

Dalam tradisi sufi, pengenalan terhadap al-Haqiqah al-Muhammadiyyah dilakukan melalui proses tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), mujahadah (perjuangan melawan hawa nafsu), dan ittibāʿ (pengikutan) kepada akhlak Nabi. Proses ini tidak bersifat teoritis semata, tetapi menjadi sarana internalisasi nilai-nilai Ilahi dalam kehidupan sehari-hari.⁵

8.3.       Landasan Dialog Antar Peradaban

Di luar komunitas Muslim, al-Haqiqah al-Muhammadiyyah juga membuka ruang bagi dialog antarperadaban melalui konsep logos universal yang bersifat inklusif. Pemahaman ini memungkinkan adanya pengakuan terhadap dimensi kenabian sebagai manifestasi kebijaksanaan ilahiah dalam berbagai bentuk peradaban.⁶ Dalam kerangka inilah, Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa hakikat Muhammad dapat dibaca sebagai simbol kesatuan religius transhistoris yang dapat mempertemukan Islam dengan tradisi hikmah Timur dan Barat.⁷

8.4.       Respon terhadap Degradasi Spiritualitas Global

Dalam lanskap spiritual global yang semakin kehilangan arah akibat sekularisasi, al-Haqiqah al-Muhammadiyyah memberikan titik orientasi yang kuat untuk merekonstruksi kesadaran ketuhanan. Ia bukan hanya simbol ajaran Islam, tetapi juga pusat spiritual yang memberikan energi ruhani bagi semua pencari kebenaran. Seperti yang ditegaskan oleh Chittick, hakikat Muhammad adalah "realitas batin seluruh agama yang membawa manusia pada pencerahan ilahiah."_⁸


Kesimpulan

Dengan menjadikan al-Haqiqah al-Muhammadiyyah sebagai lensa kontemplatif, umat Islam dapat menemukan kembali makna kenabian sebagai pusat hidup spiritual yang aktif dan kontekstual. Ia adalah jembatan antara Tuhan dan manusia, antara langit dan bumi, dan antara yang transenden dan yang imanen. Dalam dunia yang terus berubah dan penuh tantangan, konsep ini dapat menjadi fondasi teologis sekaligus inspirasi etis untuk membangun kehidupan pribadi dan sosial yang seimbang, berakar pada spiritualitas, dan berorientasi pada kesempurnaan moral dan metafisik.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam's Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 68–70.

[2]                Abdul Karim al-Jili, al-Insān al-Kāmil fī Maʿrifat al-Awākhir wa al-Awā’il (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 22–26.

[3]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 155–157.

[4]                Al-Qur’an, Surah al-Ahzab (33): 21.

[5]                Abu al-Qasim al-Qusyairi, al-Risālah al-Qusyairiyyah, ed. Abd al-Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2002), 87–89.

[6]                Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1984), 258–260.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 150–151.

[8]                William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabi's Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 240.


9.           Penutup

Pembahasan mengenai al-Haqiqah al-Muhammadiyyah mengungkap kedalaman dan keluasan pemikiran Islam dalam melihat kenabian tidak hanya sebagai fenomena historis, tetapi juga sebagai realitas metafisis dan spiritual yang melintasi ruang dan waktu. Melalui kacamata para sufi besar seperti Ibn ‘Arabi dan Abdul Karim al-Jili, konsep ini menjelma sebagai landasan kosmologis dari penciptaan dan sebagai poros ontologis dalam relasi antara Tuhan dan makhluk.¹ Rasulullah Saw tidak hanya hadir sebagai penyampai wahyu, tetapi sebagai manifestasi tertinggi dari cahaya ilahi yang menjadi sumber segala bentuk eksistensi.

Walaupun konsep ini mendapat kritik dari berbagai kalangan, terutama dari ulama Salafi dan ahli hadis yang menekankan keutuhan akidah dan kehati-hatian dalam menggunakan sumber-sumber lemah,² pendekatan moderat dari ulama Sunni klasik seperti al-Ghazali dan al-Qusyairi menunjukkan bahwa konsep ini dapat ditempatkan secara proporsional sebagai ekspresi batin dari kecintaan dan pemuliaan terhadap Rasulullah Saw, selama tidak melanggar prinsip tauhid dan ajaran pokok Islam.³

Dalam konteks kontemporer, al-Haqiqah al-Muhammadiyyah dapat dimaknai kembali sebagai simbol pencerahan spiritual dan teladan kesempurnaan insani dalam dunia yang dilanda krisis identitas dan spiritualitas.⁴ Kehadiran Rasulullah sebagai al-Insān al-Kāmil menawarkan jalan tengah antara realitas transenden dan kehidupan duniawi yang konkret. Ia menjadi model integral bagi pembangunan etika, pendidikan karakter, dan rekonstruksi makna dalam peradaban modern.

Melalui penggalian yang cermat terhadap sumber-sumber Al-Qur’an, hadits, tafsir klasik, dan literatur tasawuf, artikel ini menunjukkan bahwa al-Haqiqah al-Muhammadiyyah bukan sekadar doktrin spekulatif, tetapi bagian dari warisan spiritual Islam yang kaya. Pemaknaan terhadap konsep ini perlu dijaga dengan adab ilmiah, kecermatan metodologis, dan kebeningan niat, agar tidak terjatuh pada ekstremisme maknawi atau penolakan sempit terhadap kedalaman tradisi.

Dengan demikian, memahami al-Haqiqah al-Muhammadiyyah adalah bagian dari upaya memuliakan Rasulullah Saw secara utuh: tidak hanya sebagai Nabi dan Rasul, tetapi sebagai poros cinta, cahaya, dan kesempurnaan yang menginspirasi jalan hidup menuju Tuhan dalam kerangka Islam yang holistik, moderat, dan transformatif.⁵


Footnotes

[1]                Ibn ‘Arabi, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. ‘Uthman Yahya (Beirut: Dar Ṣadir, 1999), vol. 1, 160; Abdul Karim al-Jili, al-Insān al-Kāmil fī Maʿrifat al-Awākhir wa al-Awā’il (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 22–24.

[2]                Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman al-Sakhawi, al-Maqāṣid al-Ḥasanah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 49; Ibn Taymiyyah, Majmūʿ al-Fatāwā, vol. 2 (Madinah: Mujamma‘ al-Malik Fahd, 2005), 134–135.

[3]                Abu Hamid al-Ghazali, Mishkāt al-Anwār, ed. Abdurrahman Badawi (Beirut: Dar al-Andalus, 1986), 23–26; Abu al-Qasim al-Qusyairi, al-Risālah al-Qusyairiyyah, ed. Abd al-Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Maʿarif, 2002), 118–120.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam's Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 70–72.

[5]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 140–142.


Daftar Pustaka

Addas, C. (1993). Quest for the red sulphur: The life of Ibn ʿArabi (P. Kingsley, Trans.). Islamic Texts Society.

Al-Ghazali, A. H. (1986). Mishkat al-anwar (A. Badawi, Ed.). Dar al-Andalus.

Al-Hallaj, A. M. (1973). Tawasin (L. Massignon, Ed.). Dar al-Fikr.

Al-Jili, A. K. (2004). Al-insan al-kamil fi maʿrifat al-awakhir wa al-awail. Dar al-Kutub al-ʿIlmiyyah.

Al-Jurjani, A. I. M. (1985). At-taʿrifat (I. al-Abyari, Ed.). Dar al-Kitab al-‘Arabi.

Al-Qusyairi, A. Q. (2002). Al-risalah al-qusyairiyyah (A. H. Mahmud, Ed.). Dar al-Maʿarif.

Al-Razi, F. (1997). Tafsir al-kabir. Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi.

Al-Sakhawi, M. b. A. R. (2002). Al-maqasid al-hasanah fi bayan kathir min al-ahadith al-mushtaharah ‘ala al-alsinah. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Suyuti, J. (1990). Al-khasa’is al-kubra (Vol. 1). Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of knowledge: Ibn al-ʿArabi’s metaphysics of imagination. State University of New York Press.

Chittick, W. C. (1998). The self-disclosure of God: Principles of Ibn al-ʿArabi's cosmology. State University of New York Press.

Fazlur Rahman. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.

Ibn ʿAjibah, A. (2002). Al-bahr al-madid fi tafsir al-Qur’an al-majid (Vol. 5). Dar al-Kutub al-ʿIlmiyyah.

Ibn ʿArabi. (1946). Fusus al-hikam (A. A. Afifi, Ed.). Dar al-Kitab al-‘Arabi.

Ibn ʿArabi. (1999). Al-futuhat al-makkiyyah (ʿU. Yahya, Ed.). Dar Ṣadir.

Ibn al-Jawzi, A. F. (1990). Al-mawduʿat (ʿA. M. ʿUthman, Ed.). Al-Maktabah al-ʿIlmiyyah.

Ibn Sina. (1960). Al-shifa’: Al-ilahiyyat (I. Madkour, Ed.). Al-Hayah al-‘Ammah li al-Kitab.

Ibn Taymiyyah. (2005). Majmuʿ al-fatawa (Vol. 2). Mujammaʿ al-Malik Fahd li Tibaʿat al-Mushaf al-Sharif.

Izutsu, T. (1984). Sufism and Taoism: A comparative study of key philosophical concepts. University of California Press.

Izutsu, T. (2002). God and man in the Qur’an: Semantics of the Qur’anic Weltanschauung. Islamic Book Trust.

Nasr, S. H. (1964). Three Muslim sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi. Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. State University of New York Press.

Nasr, S. H. (2007). The garden of truth: The vision and promise of Sufism, Islam’s mystical tradition. HarperOne.

Schimmel, A. (1985). And Muhammad is His Messenger: The veneration of the Prophet in Islamic piety. University of North Carolina Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar