Al-Haqiqah Al-Muhammadiyyah
Hakikat Kenabian dalam Dimensi Metafisika Islam
Alihkan ke: Pemikiran Ibn
‘Arabi.
Abstrak
Artikel ini membahas konsep al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah sebagai fondasi metafisika kenabian dalam tradisi Islam,
khususnya dalam kerangka pemikiran tasawuf falsafi. Dengan menelusuri akar
konseptual dari sumber-sumber utama seperti al-Futuhat al-Makkiyyah dan Fusus
al-Hikam karya Ibn ‘Arabi, serta pemikiran tokoh-tokoh sufi klasik seperti
al-Hallaj, al-Ghazali, al-Qusyairi, Abdul Qadir al-Jilani, dan Abdul Karim
al-Jili, artikel ini mengungkap bagaimana Rasulullah Saw diposisikan bukan
hanya sebagai Nabi penutup secara historis, tetapi juga sebagai entitas kosmis
yang menjadi asal mula dan tujuan akhir penciptaan. Pembahasan dilengkapi
dengan analisis terhadap hadis-hadis terkait nūr Muhammad, penafsiran
ayat-ayat Al-Qur’an yang relevan, serta kritik dari para ulama seperti Ibn
Taymiyyah dan ilmuwan hadis terhadap aspek-aspek teologis dari konsep ini.
Artikel ini juga mengelaborasi relevansi al-Haqiqah al-Muhammadiyyah
dalam konteks kontemporer, baik sebagai paradigma spiritual dalam menghadapi
krisis eksistensial, maupun sebagai model pendidikan akhlak dan dialog
antarperadaban. Dengan pendekatan multidisipliner yang menggabungkan kajian
teologis, historis, dan filosofis, artikel ini menunjukkan bahwa pemahaman
terhadap hakikat kenabian dalam Islam memiliki potensi besar untuk memperkuat
dimensi spiritual umat di era modern.
Kata Kunci: Al-Haqiqah al-Muhammadiyyah, kenabian, Ibn ‘Arabi, tasawuf, metafisika
Islam, nūr Muhammad, insan kamil, spiritualitas kontemporer.
PEMBAHASAN
Konsep Al-Haqiqah Al-Muhammadiyyah Ibn ‘Arabi
1.
Pendahuluan
Konsep hakikat dalam pemikiran Islam bukan
hanya merujuk pada makna literal “kebenaran” atau “inti realitas,”
tetapi telah berkembang menjadi kategori penting dalam berbagai cabang keilmuan
Islam, terutama dalam tasawuf dan filsafat Islam. Dalam kerangka tasawuf, hakikat
menandai kedalaman spiritual yang melampaui dimensi lahiriah (syariat) dan
batiniah (thariqah), menuju realitas terdalam dari wujud yang berkaitan erat
dengan aspek ilahiah dan ketuhanan.¹ Salah satu pengembangan terpenting dari
konsep ini adalah gagasan tentang al-Haqiqah al-Muhammadiyyah, yaitu
hakikat metafisik Rasulullah Muhammad Saw sebagai entitas primordial dan pusat
kesadaran kosmik dalam pandangan spiritual para sufi besar seperti Ibn ‘Arabi,
al-Ghazali, dan Abdul Karim al-Jili.²
Al-Haqiqah al-Muhammadiyyah dipahami sebagai realitas pertama yang diciptakan
oleh Allah dan dari padanya seluruh eksistensi dimanifestasikan. Dalam istilah
sufistik, ia adalah "nūr Muhammad" atau cahaya Muhammad,
yang disebut sebagai awal kejadian (awwal mā khalaqallāhu nūrī).³ Meski hadits tersebut tergolong lemah sanadnya
menurut sebagian ulama hadis, namun maknanya telah dihayati secara mendalam
dalam tradisi mistik Islam dan dijadikan dasar kosmologi spiritual oleh banyak
tokoh sufi.⁴ Dalam konteks ini, Rasulullah Saw bukan sekadar manusia historis,
tetapi manifestasi dari realitas ilahiah yang menjadi perantara antara Tuhan
dan makhluk.
Pemikiran metafisis tentang hakikat kenabian ini
mengalami artikulasi filosofis dan simbolis paling kompleks dalam karya-karya
Ibn ‘Arabi, khususnya dalam Futuhat al-Makkiyah dan Fusus al-Hikam,
di mana beliau menggambarkan al-Haqiqah al-Muhammadiyyah sebagai “permulaan
semua bentuk wujud” dan “maqam tertinggi insan kamil”.⁵ Ia
menempatkan Rasulullah sebagai model sempurna (al-insān al-kāmil) yang merepresentasikan kesempurnaan penciptaan,
wahyu, dan tajalli (manifestasi Tuhan dalam ciptaan).⁶
Kajian terhadap konsep ini menjadi semakin relevan
dalam konteks pencarian spiritual modern dan pemahaman mendalam terhadap posisi
Rasulullah Saw bukan hanya dalam sejarah, tetapi juga dalam ontologi dan
metafisika Islam. Selain itu, pembahasan ini berkontribusi dalam menjembatani
antara pendekatan tekstual (tafsir dan hadis) dengan pendekatan maknawi
(batiniah dan filsafat spiritual) dalam kajian Islam kontemporer.
Melalui artikel ini, pembaca akan diajak menelusuri
akar teologis, landasan tekstual, dan refleksi tasawuf terhadap al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah, sekaligus mempertimbangkan kritik dan apresiasi dari
berbagai kalangan ulama untuk membentuk pemahaman yang seimbang, ilmiah, dan bersifat
membangun.
Footnotes
[1]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-‘Arabi's Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New
York Press, 1989), 130.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: State University of New York Press, 1989), 148–149.
[3]
Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Khasa’is al-Kubra,
vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 12.
[4]
Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman al-Sakhawi, al-Maqasid
al-Hasanah fi Bayan Kathirin min al-Ahadith al-Mushtaharah ‘ala al-Alsinah
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 49.
[5]
Ibn ‘Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah, ed.
‘Uthman Yahya (Beirut: Dar al-Sadir, 1999), vol. 1, 160–162.
[6]
Abdul Karim al-Jili, al-Insan al-Kamil fi
Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004),
18–21.
2.
Konsep
Hakikat dalam Tradisi Islam
Dalam khazanah keilmuan Islam, istilah ḥaqīqah
memiliki kedudukan penting sebagai bagian dari perangkat epistemologis untuk
memahami realitas. Secara etimologis, ḥaqīqah berasal dari akar kata ḥaqq
yang berarti kebenaran atau sesuatu yang tetap dan nyata. Dalam terminologi
klasik, ḥaqīqah didefinisikan sebagai "sesuatu dalam keadaan
aslinya tanpa tambahan atau pengurangan", sebagaimana dinyatakan oleh
al-Jurjani dalam at-Ta'rifat.¹ Dalam ilmu usul fikih, istilah ini
digunakan untuk membedakan antara makna literal (ḥaqīqī) dan makna metaforis
(majāzī).² Namun, dalam perkembangan spiritual dan metafisis Islam, istilah ini
mengalami perluasan makna yang signifikan.
Dalam tasawuf, ḥaqīqah dipahami sebagai
tingkat tertinggi dalam perjalanan spiritual seorang hamba menuju Tuhan.
Al-Qusyairi dalam Risālah Qusyairiyyah membagi jalan spiritual ke dalam
empat tahap utama: syariat, thariqah, ḥaqīqah, dan ma‘rifah.³ Di tahap ḥaqīqah,
seorang salik (pejalan spiritual) dikatakan telah menyaksikan realitas sejati
di balik tirai fenomena duniawi. Dalam pengertian ini, ḥaqīqah bukan
sekadar pengetahuan rasional, melainkan pengalaman batin yang intuitif dan
langsung terhadap kebenaran ilahiah.
Pemahaman ini juga mendapat penguatan dari
pandangan al-Ghazali dalam karyanya Mishkāt al-Anwār, di mana ia
menegaskan bahwa cahaya hakiki adalah nūr Allāh yang dengannya segala
sesuatu dapat dipahami dalam realitas terdalamnya.⁴ Menurutnya, persepsi
indrawi dan akal harus ditransendensi untuk mencapai pengetahuan hakiki, yang
bersumber dari “cahaya batin” yang dianugerahkan oleh Allah kepada
hamba-Nya yang ikhlas dan bersih hatinya.
Sementara itu, dalam filsafat Islam, terutama dalam
pemikiran Ibn Sina dan al-Farabi, ḥaqīqah diidentikkan dengan esensi
(māhiyyah) suatu entitas, yaitu sifat dasar yang membuat sesuatu itu "menjadi
dirinya sendiri".⁵ Dalam kerangka ini, realitas fisik hanyalah
manifestasi dari esensi yang lebih tinggi. Pandangan ini kemudian beresonansi
dengan doktrin mistik Ibn ‘Arabi yang melihat bahwa ḥaqīqah tertinggi
adalah al-Haqīqah al-Muhammadiyyah, sebagai nūr wujūd (cahaya
keberadaan) pertama yang diciptakan oleh Allah dan menjadi dasar ontologis
segala bentuk wujud.⁶
Dengan demikian, dalam tradisi Islam, konsep ḥaqīqah
merupakan simpul penting antara epistemologi, ontologi, dan spiritualitas. Ia
menjadi jembatan antara apa yang lahiriah (syariat) dengan apa yang batiniah
(hakikat), antara realitas tampak dengan realitas sejati. Dalam konteks ini,
memahami al-Haqīqah al-Muhammadiyyah menuntut pemahaman mendalam
terhadap konsep ḥaqīqah secara integral dalam pelbagai dimensi keilmuan
Islam.
Footnotes
[1]
Ali ibn Muhammad al-Jurjani, at-Taʿrīfāt,
ed. Ibrahim al-Abyari (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1985), 78.
[2]
Wahbah az-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami,
vol. 1 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1996), 111.
[3]
Abu al-Qasim al-Qusyairi, al-Risālah
al-Qusyairiyyah, ed. Abd al-Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Ma’arif, 2002),
53–54.
[4]
Abu Hamid al-Ghazali, Mishkāt al-Anwār, ed.
Abdurrahman Badawi (Beirut: Dar al-Andalus, 1986), 23–26.
[5]
Ibn Sina, al-Shifāʾ: al-Ilāhiyyāt, ed.
Ibrahim Madkour (Kairo: al-Hayah al-‘Ammah li al-Kitab, 1960), 112–114.
[6]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New
York Press, 1989), 130–133.
3.
Konsep
Al-Haqiqah al-Muhammadiyyah Menurut Ibn ‘Arabi
Konsep al-Haqiqah al-Muhammadiyyah merupakan
salah satu pilar utama dalam metafisika Ibn ‘Arabi, yang memainkan peran
sentral dalam kerangka ontologis dan kosmologis pemikirannya. Dalam Futūḥāt
al-Makkiyyah, Ibn ‘Arabi menyatakan bahwa al-Haqiqah al-Muhammadiyyah
adalah manifestasi awal dari kehendak Tuhan dalam menciptakan alam semesta,
yakni sebagai bentuk pertama dari wujūd mutlaq (eksistensi mutlak) yang
meniscayakan keberadaan makhluk lainnya.¹ Istilah ini merujuk pada realitas
esensial dari Nabi Muhammad Saw yang bersifat primordial, transenden, dan
menjadi sumber segala bentuk ciptaan.
Ibn ‘Arabi menyebut Rasulullah sebagai al-insān
al-kāmil (manusia sempurna), yang tidak hanya menyempurnakan dimensi
spiritual umat manusia, tetapi juga merepresentasikan totalitas ciptaan yang
tercermin dari sifat-sifat Ilahi.² Dalam konteks ini, al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah bukanlah sosok manusia historis semata, melainkan realitas
metafisis yang menjadi titik awal dan titik akhir dari siklus penciptaan (al-mabdaʾ
wa al-maʿād).³ Ia adalah refleksi sempurna dari al-Asmā’ wa al-Ṣifāt
(Nama dan Sifat Allah), menjadikan Rasulullah sebagai cermin bagi tajalli Ilahi
dalam eksistensi.
Salah satu konsepsi kunci dari Ibn ‘Arabi adalah
bahwa al-Haqiqah al-Muhammadiyyah merupakan “nafas ilahi” pertama
yang mengandung potensi seluruh makhluk. Hal ini dikenal dengan istilah nūr
Muhammad, yang menurut Ibn ‘Arabi telah ada sebelum penciptaan alam
semesta.⁴ Ia menulis: “Rasulullah adalah asal segala ciptaan, dan dari
hakikat beliau, segala sesuatu memancar.”_⁵ Dengan demikian, hakikat
kenabian Muhammad bersifat kosmis dan ontologis, bukan sekadar fungsional atau
sosial.
Dalam Fuṣūṣ al-Ḥikam, Ibn ‘Arabi lebih
lanjut menjelaskan bahwa para nabi merupakan manifestasi parsial dari al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah, dengan Nabi Muhammad sebagai bentuk manifestasi sempurna
(khatam al-nubuwwah wa al-wilāyah).⁶ Dalam sistem hierarki spiritual Ibn
‘Arabi, semua eksistensi adalah bentuk partikular dari satu realitas universal,
dan Rasulullah adalah pusat dari lingkaran eksistensial tersebut. Oleh karena
itu, kenabian tidak dipahami secara historis saja, melainkan sebagai prinsip
metafisika universal yang hadir dalam setiap zaman.
Konsep ini juga berkaitan erat dengan doktrin wahdat
al-wujūd (kesatuan wujud), di mana seluruh realitas dipandang sebagai
manifestasi dari satu wujud ilahi. Al-Haqiqah al-Muhammadiyyah bertindak
sebagai jembatan antara al-Haqq (Yang Maha Benar) dan al-Khalq
(ciptaan), memungkinkan keberadaan makhluk tanpa melanggar prinsip keesaan
Tuhan.⁷
Namun, penting untuk dicatat bahwa pemikiran ini
tidak lepas dari kritik. Beberapa ulama, seperti Ibn Taymiyyah, menilai bahwa
konsep tersebut dapat membawa pada pemahaman yang menyimpang jika tidak
disikapi secara hati-hati.⁸ Karena itu, pendekatan terhadap al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah harus senantiasa berada dalam koridor adab ilmiah dan
spiritual, dengan mempertimbangkan kedalaman makna simbolis serta batasan
akidah Ahlus Sunnah.
Footnotes
[1]
Ibn ‘Arabi, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, ed.
‘Uthman Yahya (Beirut: Dar Ṣadir, 1999), vol. 1, 160.
[2]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New
York Press, 1989), 132–134.
[3]
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A
Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of
California Press, 1984), 251.
[4]
Ibn ‘Arabi, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, vol. 2,
42.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 150.
[6]
Ibn ‘Arabi, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu al-‘Ala
Afifi (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1946), 45–47.
[7]
Chittick, The Sufi Path of Knowledge, 140.
[8]
Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, vol. 2 (Madinah:
Mujamma‘ al-Malik Fahd li Ṭibā‘at al-Muṣḥaf al-Sharīf, 2005), 146–147.
4.
Landasan
Hadis dan Tafsir terhadap Konsep Ini
Konsep al-Haqiqah al-Muhammadiyyah tidak
berdiri di luar kerangka tradisi tekstual Islam. Ia berakar dari sejumlah
riwayat hadis dan penafsiran Al-Qur’an yang, meskipun dalam sebagian kasus
diperselisihkan dari sisi kekuatan sanad, telah mendapat perhatian besar dari
para sufi dan mufassir klasik dalam rangka mengungkap dimensi batin dari
kenabian Muhammad Saw.
Salah satu hadis yang paling sering dikaitkan
dengan doktrin ini adalah riwayat yang berbunyi: “Awwalu mā khalaqallāhu
nūrī” (“Yang pertama kali diciptakan Allah adalah cahayaku”).¹ Hadis ini
dinukil dalam berbagai sumber, seperti al-Khasa’is al-Kubra karya
Jalaluddin al-Suyuthi, dan dikomentari pula oleh Imam al-Qastalani dalam al-Mawāhib
al-Ladunniyyah. Namun, dari sisi sanad, para ahli hadis seperti al-Sakhawi
dalam al-Maqāsid al-Hasanah dan Ibn al-Jawzi dalam al-Maudhu’at
mengategorikan hadis ini sebagai lemah (ḍa‘īf) bahkan sebagian menganggapnya
mawḍū‘ (palsu).² Meski demikian, para sufi tidak mengambil nilai doktrinalnya
dari kekuatan sanad semata, melainkan dari makna yang mendalam dan
kesesuaiannya dengan pengalaman spiritual.³
Dari sisi Al-Qur’an, konsep al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah banyak dikaitkan dengan QS An-Nūr (24) ayat 35,
yang berbunyi:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ
“Allāhu nūru as-samāwāti wa al-ardh. Mathalu nūrihi
ka-mishkāt...”
(Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan
cahaya-Nya seperti sebuah lubang yang tidak tembus...).⁴
Ayat ini dijadikan dasar kontemplatif oleh para
mufassir dan sufi untuk menjelaskan makna simbolik dari nūr (cahaya)
sebagai sarana tajalli (penampakan) Tuhan kepada makhluk. Fakhruddin al-Razi
dalam Tafsīr al-Kabīr menjelaskan bahwa cahaya ini tidak bisa dimaknai
secara inderawi, tetapi harus ditangkap sebagai cahaya metafisis yang menjadi
sebab dikenalnya segala sesuatu.⁵ Dalam kerangka ini, nūr Muhammad
dipahami sebagai manifestasi pertama dari cahaya Ilahi.
Ibn ‘Ajibah, seorang sufi-mufassir dari Maroko,
menafsirkan ayat tersebut sebagai isyarat terhadap al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah yang berfungsi sebagai wasilah utama antara al-Ḥaqq dan
al-Khalq. Dalam tafsirnya, ia menulis bahwa “cahaya yang dimaksud dalam ayat
ini adalah nūr Muhammad, sebagai sebab munculnya segala makhluk
dari alam ketiadaan.”_⁶
Ayat lain yang juga sering dikaitkan adalah QS
al-Aḥzāb (33) ayat 45–46, di mana Rasulullah disebut sebagai sārijan
munīrā (pelita yang menerangi). Ayat ini memperkuat kedudukan Nabi sebagai
pusat pencerahan spiritual dan simbol perantara antara Tuhan dan manusia.⁷
Dengan demikian, meskipun dalil hadis tentang nūr
Muhammad diperselisihkan dari sisi sanad, banyak mufassir dan tokoh
spiritual klasik yang menemukan dasar simbolik dan kosmis dari konsep al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa pemaknaan
terhadap kenabian Muhammad Saw telah melampaui batasan sejarah dan fiqih,
menuju wilayah kontemplatif dan metafisis, yang memperkaya khazanah teologis
dan spiritual Islam.
Footnotes
[1]
Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Khaṣā’iṣ al-Kubrā,
vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 12.
[2]
Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman al-Sakhawi, al-Maqāṣid
al-Ḥasanah fī Bayān Kathīr min al-Aḥādīth al-Mushtaharah ‘alā al-Alsinah
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 49; Ibn al-Jawzi, al-Mawḍū‘āt,
ed. Abdul Rahman Muhammad ‘Uthman (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1990),
1:296.
[3]
Annemarie Schimmel, And Muhammad Is His
Messenger: The Veneration of the Prophet in Islamic Piety (Chapel Hill:
University of North Carolina Press, 1985), 119.
[4]
QS An-Nūr (24): 35.
[5]
Fakhr al-Din al-Razi, Tafsīr al-Kabīr, vol.
23 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1997), 227–230.
[6]
Ahmad ibn ‘Ajibah, al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr
al-Qur’ān al-Majīd, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 258.
[7]
QS al-Aḥzāb (33): 45–46.
5.
Perspektif
Ulama Tasawuf Klasik
Konsep al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah tidak hanya dikembangkan oleh Ibn ‘Arabi, tetapi
juga telah menjadi bagian integral dari diskursus para ulama sufi klasik sejak
masa awal tasawuf Islam. Para tokoh sufi melihat Rasulullah Saw bukan hanya
sebagai nabi terakhir secara historis, tetapi juga sebagai entitas metafisis
yang mencerminkan kesempurnaan ilahiah dan pusat ontologi spiritual seluruh
makhluk. Pemahaman ini memperkaya wacana kenabian dengan dimensi kosmis dan
simbolik yang mendalam.
5.1. Al-Hallaj dan Nūr Muhammad
Salah satu tokoh
awal yang menunjukkan kedekatan gagasannya dengan al-Haqiqah al-Muhammadiyyah adalah al-Husayn
ibn Mansur al-Hallaj (w. 309 H). Dalam karya-karyanya seperti Ṭāwāsīn,
al-Hallaj sering menyebut tentang “cahaya Muhammad” sebagai realitas
primordial yang lebih dahulu ada sebelum penciptaan dunia. Ia menulis: “Allah
menciptakan ruh Muhammad dari cahaya-Nya, dan dari ruh Muhammad terciptalah
segala yang lain.”_¹ Walaupun tidak menyebutkan istilah al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah secara eksplisit, narasi al-Hallaj sarat dengan
simbolisme mistik yang menjadikan Nabi Muhammad sebagai pusat segala
eksistensi.
5.2. Imam al-Ghazali dan Hikmah Nubuwwah
Dalam karya Mishkāt
al-Anwār, Imam Abu Hamid al-Ghazali (w.
505 H) mengembangkan pemikiran tentang cahaya kenabian (nūr al-nubuwwah) yang
dapat dimaknai sebagai bentuk epistemologis dan ontologis dari hakikat
Muhammad. Menurut al-Ghazali, cahaya kenabian adalah medium antara realitas
ilahi dengan dunia ciptaan, dan para nabi adalah manusia yang telah menyerap
cahaya tersebut sepenuhnya.² Walau tidak secara eksplisit berbicara tentang al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah dalam istilah Ibn ‘Arabi, struktur pemikiran
al-Ghazali tentang “hierarki cahaya” sangat koheren dengan konsepsi sufi
tentang eksistensi kenabian sebagai pusat cahaya kosmis.
5.3. Al-Qusyairi dan Dimensi Batini Rasulullah
Abu
al-Qasim al-Qusyairi (w. 465 H), dalam al-Risālah
al-Qusyairiyyah, menjelaskan posisi Nabi Muhammad Saw dalam konteks
spiritual sebagai “Imam para wali” dan “pusat makna-makna batin.”_³
Ia menyebut bahwa maqam Rasulullah bukan hanya sebagai pembawa risalah syariat,
tetapi sebagai manifestasi rahmat Ilahi yang tidak terbatas oleh ruang dan
waktu. Dalam pandangan al-Qusyairi, Rasulullah adalah pemimpin para salik yang
menunjukkan jalan menuju al-Haqq, sehingga posisinya melampaui sejarah dan
menjelma sebagai poros dari seluruh tingkatan spiritualitas.
5.4. Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan Cahaya Kenabian
Dalam al-Fatḥ
al-Rabbānī, Syekh Abdul Qadir al-Jilani (w.
561 H) menyampaikan bahwa nūr Muhammad adalah asal dari semua
ruh.⁴ Ia menegaskan bahwa “ruh Nabi
Muhammad Saw diciptakan sebelum ruh Adam, dan seluruh eksistensi bergantung
pada ruh tersebut.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa Syekh Abdul
Qadir al-Jilani memahami kenabian Muhammad tidak hanya sebagai tugas risalah,
melainkan sebagai aspek fundamental dalam struktur keberadaan.⁵
5.5. Abdul Karim al-Jili dan Sistematika Al-Insān
al-Kāmil
Puncak
konseptualisasi al-Haqiqah al-Muhammadiyyah dalam
tasawuf klasik terlihat dalam karya Abdul Karim al-Jili (w. 832 H)
berjudul al-Insān
al-Kāmil fī Maʿrifat al-Awākhir wa al-Awā’il. Dalam kitab ini,
al-Jili mengembangkan teori tentang “manusia
sempurna” yang intisarinya adalah hakikat Muhammad. Menurut al-Jili, al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah adalah bentuk manifestasi tertinggi dari Nama dan
Sifat Allah, dan setiap bentuk kesempurnaan spiritual dalam wujud manusia
sejati adalah pancaran dari hakikat tersebut.⁶
Kontribusi para sufi
klasik ini menunjukkan bahwa konsep al-Haqiqah al-Muhammadiyyah telah
menjadi tema sentral dalam spiritualitas Islam. Ia bukan sekadar doktrin
spekulatif, melainkan fondasi dari pemahaman sufi tentang alam semesta,
kenabian, dan relasi manusia dengan Tuhan. Walaupun dirumuskan dengan
pendekatan yang berbeda-beda, seluruh tokoh ini sepakat menempatkan Nabi
Muhammad Saw sebagai pusat ontologis dan epistimologis dari tatanan spiritual
Islam.
Footnotes
[1]
Al-Husayn ibn Mansur al-Hallaj, Ṭāwāsīn, ed. Louis Massignon
(Beirut: Dar al-Fikr, 1973), 92.
[2]
Abu Hamid al-Ghazali, Mishkāt al-Anwār, ed. Abdurrahman Badawi
(Beirut: Dar al-Andalus, 1986), 25–28.
[3]
Abu al-Qasim al-Qusyairi, al-Risālah al-Qusyairiyyah, ed. Abd
al-Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Ma’arif, 2002), 118.
[4]
Abdul Qadir al-Jilani, al-Fatḥ al-Rabbānī wa al-Faiḍ al-Raḥmānī,
ed. Ihsan Ilahi Zahir (Lahore: Maktabah Salafiyyah, 1975), 21.
[5]
Ibid., 45.
[6]
Abdul Karim al-Jili, al-Insān al-Kāmil fī Maʿrifat al-Awākhir wa
al-Awā’il (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 18–24.
6.
Fungsi
dan Kedudukan Al-Haqiqah al-Muhammadiyyah
Konsep al-Haqiqah al-Muhammadiyyah dalam
tradisi tasawuf bukan hanya menjadi wacana teoritis metafisika, tetapi memiliki
fungsi yang vital dalam struktur ontologi Islam dan kedudukan sentral dalam
pemahaman kosmologi spiritual. Dalam kerangka Ibn ‘Arabi dan para pengikutnya, al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah berfungsi sebagai perantara utama (wasīṭah kubrā)
antara Tuhan (al-Ḥaqq) dan makhluk (al-Khalq), serta sebagai
fondasi awal penciptaan (arché) yang menjadi sebab eksistensi segala sesuatu.¹
Sebagai maqām al-jamʿ (tingkatan kesatuan), al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah berperan sebagai cermin yang memantulkan nama-nama dan
sifat-sifat Allah dalam bentuk eksistensial. Menurut Ibn ‘Arabi, "tidak
ada satu pun nama Allah yang tidak terefleksi dalam diri Muhammad,"
karena Rasulullah adalah entitas yang mengandung secara total semua potensi
kesempurnaan yang dimungkinkan dalam wujud.² Oleh sebab itu, hakikat Muhammad
dipandang sebagai majmaʿ al-asmāʾ (pusat penyatuan seluruh nama-nama
Ilahi), menjadikannya tempat tajallī paling sempurna dan titik temu antara yang
mutlak dan yang nisbi.³
Fungsi lain dari al-Haqiqah al-Muhammadiyyah
adalah sebagai sumber nubuwwah (kenabian), walāyah (kewalian),
dan bahkan ʿilm (pengetahuan hakiki). Ibn ‘Arabi menegaskan bahwa setiap
nabi dan wali mendapatkan bagian dari nūr Muhammad, dan tidak satu pun
bentuk petunjuk ilahi turun kecuali melalui hakikat ini sebagai saluran
utamanya.⁴ Hal ini mengukuhkan posisi Rasulullah Saw bukan hanya sebagai Nabi
penutup secara historis, tetapi juga sebagai sumber laten seluruh bentuk
bimbingan spiritual sepanjang zaman.⁵
Dalam pandangan Abdul Karim al-Jili, al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah adalah bentuk kesempurnaan (kamāl) dari manifestasi
Tuhan dalam wujud manusia. Ia menyebut hakikat ini sebagai "al-ṣūrah
al-kāmilah" (wujud sempurna) yang telah menjadi teladan absolut (qudwah
mutlaqah) bagi seluruh bentuk keberadaan.⁶ Oleh karena itu, al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah berperan bukan hanya sebagai asal mula (mabdaʾ),
tetapi juga sebagai tujuan akhir (maʿād) dari perjalanan makhluk menuju
Tuhan.
Konsepsi ini juga mengandung fungsi pedagogis dan
spiritual. Dalam praktik suluk, para sufi meyakini bahwa semakin dekat seorang
salik dengan al-Haqiqah al-Muhammadiyyah, semakin terang pula cahayanya
dalam menempuh jalan menuju ma‘rifatullah. Di sini, Rasulullah Saw dipahami
sebagai pembimbing batin, bukan hanya dalam arti syariat tetapi juga dalam
proses penyingkapan hakikat realitas terdalam.⁷
Kedudukan hakikat ini bahkan disamakan dengan logos
dalam filsafat neoplatonik, atau al-‘aql al-awwal dalam filsafat Islam,
karena fungsinya sebagai prinsip penghubung antara Yang Mutlak dengan yang
terindera.⁸ Namun, tidak seperti filsafat murni yang cenderung abstrak, konsep al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah memiliki dimensi spiritual yang hidup dan bersifat
transformatif dalam pengalaman keberagamaan.
Secara teologis dan kosmologis, hakikat ini
menjelaskan bagaimana Allah menghadirkan sifat-sifat-Nya dalam semesta tanpa
kehilangan keesaan-Nya. Karena itu, al-Haqiqah al-Muhammadiyyah memiliki
kedudukan yang sangat strategis sebagai simpul keseimbangan antara tanzīh
(penafian keserupaan Allah dengan makhluk) dan tasbīh (penegasan kedekatan
Allah dengan makhluk).⁹ Ia adalah tajassud (personifikasi) rahmat ilahi
dalam wujud cahaya yang menjadi pangkal sekaligus puncak dari sistem
keberadaan.
Footnotes
[1]
Ibn ‘Arabi, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, ed.
‘Uthman Yahya (Beirut: Dar Ṣadir, 1999), vol. 1, 159–160.
[2]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New
York Press, 1989), 132.
[3]
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A
Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of
California Press, 1984), 251–252.
[4]
Ibn ‘Arabi, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu al-‘Ala
Afifi (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1946), 47.
[5]
Claude Addas, Quest for the Red Sulphur: The
Life of Ibn ‘Arabi, trans. Peter Kingsley (Cambridge: Islamic Texts
Society, 1993), 265.
[6]
Abdul Karim al-Jili, al-Insān al-Kāmil fī
Maʿrifat al-Awākhir wa al-Awā’il (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004),
21–24.
[7]
Abu al-Qasim al-Qusyairi, al-Risālah
al-Qusyairiyyah, ed. Abd al-Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2002),
119.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages:
Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge: Harvard University Press,
1964), 84.
[9]
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur’an:
Semantics of the Qur’anic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust,
2002), 196–197.
7.
Perdebatan
Teologis dan Pandangan Kritik
Konsep al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah yang berakar dalam tradisi tasawuf filosofis,
terutama dalam pemikiran Ibn ‘Arabi dan murid-murid intelektualnya, tidak luput
dari perdebatan panjang di kalangan ulama Islam. Perdebatan ini berkisar pada
pertanyaan mendasar seputar legitimasi doktrin tersebut dalam akidah Islam,
validitas epistemologisnya, serta potensi penyimpangan makna teologis yang
dapat muncul dari interpretasi berlebihan terhadap konsep ini.
7.1. Kritik Salafi terhadap Konsep Metafisis Kenabian
Tokoh yang paling
tegas menolak dan mengkritisi konsep-konsep tasawuf falsafi semacam al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah adalah Ibn Taymiyyah (w. 728 H). Ia
menolak keras gagasan bahwa Rasulullah Saw memiliki eksistensi metafisis
primordial yang bersifat universal atau kosmis. Dalam Majmūʿ
al-Fatāwā, Ibn Taymiyyah menyatakan bahwa keyakinan semacam ini
tidak memiliki dasar dalam Al-Qur'an dan Sunnah yang sahih, dan dapat menyeret
seseorang pada pemahaman filsafat Yunani dan doktrin-doktrin hulūl (inkarnasi)
serta ittihād (penyatuan makhluk dengan Tuhan).¹
Menurut Ibn Taymiyyah, Rasulullah Saw adalah manusia yang diangkat menjadi
Nabi, bukan entitas metafisik pra-eksistensial yang menjadi sumber wujud semua
makhluk.
7.2. Skeptisisme Ilmuwan Hadis terhadap Hadis "Nūr
Muhammad"
Kritik juga datang
dari kalangan ahli hadis seperti Ibn al-Jawzi, al-Sakhawi,
dan al-Shawkani,
yang menyatakan bahwa hadis populer “Awwalu mā khalaqallāhu nūrī”
tergolong dha‘īf bahkan ada yang menganggapnya sebagai mawdhū‘ (palsu).² Oleh
karena itu, mereka menilai bahwa doktrin yang dibangun di atas hadis ini tidak
dapat dijadikan pijakan teologis yang kokoh. Mereka mengingatkan agar umat
Islam tidak menjadikan teks-teks lemah sebagai dasar pembentukan keyakinan
metafisik, khususnya yang menyangkut kedudukan Rasulullah Saw yang bisa dengan
mudah disalahartikan.
7.3. Respons Moderat dari Ulama Sunni
Meski demikian,
sebagian ulama dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama‘ah menempuh jalur moderat.
Mereka tidak menolak sepenuhnya gagasan al-Haqiqah al-Muhammadiyyah, tetapi
menekankan pentingnya memahami konsep ini dalam konteks simbolik dan spiritual,
bukan secara literal. Imam al-Suyuthi, meskipun
mengutip hadis nūr Muhammad, memberikan catatan
tentang kelemahan sanadnya namun tidak menolaknya secara mutlak.³ Ia memilih
untuk menafsirkan hadis tersebut dalam kerangka fadlī (keutamaan Nabi), bukan ontologis
kosmis secara filosofis.
Pendekatan yang
seimbang ini juga diikuti oleh ulama tafsir seperti Fakhruddin
al-Razi, yang dalam Tafsīr al-Kabīr menafsirkan ayat “Allāhu
nūru al-samāwāti wa al-arḍ” (QS An-Nūr [24] ayat 35) dengan membuka
ruang bagi pemaknaan spiritual yang mendalam, termasuk kemungkinan penafsiran
tentang nūr
Muhammad, namun tetap menjaga jarak dari pemaknaan ekstrem yang
bisa mengaburkan batas antara Tuhan dan makhluk.⁴
7.4. Implikasi Teologis dalam Dunia Kontemporer
Dalam wacana Islam
kontemporer, beberapa cendekiawan Muslim juga menyoroti problem konseptual dari
al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah ketika dipahami secara harfiah atau tidak kontekstual.
Fazlur
Rahman misalnya, mengingatkan bahwa pencampuran antara teologi
simbolik dan ontologi metafisis yang berlebihan dalam tradisi tasawuf dapat
menyulitkan pembentukan doktrin Islam yang rasional dan berbasis nash yang
kokoh.⁵ Namun, ia tetap mengakui nilai simbolik dan kultural dari pemuliaan
terhadap Rasulullah dalam ekspresi tasawuf.
Sementara itu,
pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr dan William
Chittick menekankan bahwa al-Haqiqah al-Muhammadiyyah justru
menyediakan alternatif spiritual yang mendalam terhadap krisis eksistensial
modern, karena ia menawarkan model insān kāmil sebagai jembatan antara
manusia dan Tuhan dalam dunia yang semakin profan.⁶
Kesimpulan Sementara
Perdebatan mengenai al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah menunjukkan dinamika internal dalam khazanah
pemikiran Islam yang kaya. Kritik dari kalangan salafi dan ahli hadis
mengingatkan umat akan bahaya interpretasi yang berlebihan, sementara
pendekatan moderat dan simbolik dari ulama sufi dan Sunni klasik menjaga
kesucian makna kenabian. Di sisi lain, para pemikir kontemporer melihatnya
sebagai simbol spiritual yang memiliki potensi besar dalam membentuk pemahaman
Islam yang transformatif dan relevan dengan tantangan zaman.
Footnotes
[1]
Ibn Taymiyyah, Majmūʿ al-Fatāwā, vol. 2 (Madinah: Mujamma‘
al-Malik Fahd li Ṭibāʿat al-Muṣḥaf, 2005), 134–135.
[2]
Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman al-Sakhawi, al-Maqāṣid al-Ḥasanah
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 49; Ibn al-Jawzi, al-Mawḍūʿāt,
ed. Abdul Rahman Muhammad ‘Uthman (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1990),
1:296.
[3]
Jalaluddin al-Suyuthi, al-Khaṣā’iṣ al-Kubrā, vol. 1 (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 12–13.
[4]
Fakhruddin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr, vol. 23 (Beirut: Dar
Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1997), 227–230.
[5]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
134–136.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 150; William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn
al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 160.
8.
Relevansi
Kontemporer dan Implikasi Spiritual
Di tengah krisis
eksistensial manusia modern—yang ditandai oleh kekosongan spiritual, reduksi
nilai-nilai transenden, dan dominasi materialisme—konsep al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah menawarkan model pemulihan makna yang mendalam.
Dalam kerangka ini, hakikat kenabian tidak hanya dipahami sebagai institusi
historis yang telah selesai, tetapi sebagai pusat spiritual yang terus hidup
dan aktif menuntun jiwa manusia menuju kesempurnaan eksistensial (kamāl
al-wujūd).¹
8.1. Model Kesempurnaan Manusia dalam Dunia Modern
Konsep al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah berperan sebagai paradigma spiritual bagi manusia
kontemporer yang mencari makna eksistensial di tengah runtuhnya
otoritas-otoritas nilai tradisional. Dalam pemikiran Abdul
Karim al-Jili, hakikat Muhammad merupakan manifestasi al-Insān
al-Kāmil, manusia ideal yang menjadi perantara antara Tuhan dan
alam, serta contoh sempurna dalam keilmuan, etika, dan spiritualitas.² Model
ini menjadi sangat relevan ketika manusia modern berusaha mendamaikan realitas
fisik dan spiritual dalam hidupnya.
Dengan menjadikan Rasulullah
Saw sebagai pusat pencarian makna, konsep ini memperluas cakupan spiritualitas
Islam dari sekadar ibadah ritual ke arah transformasi batiniah. Hal ini sejalan
dengan pandangan William Chittick, yang
menekankan bahwa pemahaman Ibn ‘Arabi tentang al-Haqiqah al-Muhammadiyyah mampu
mempertemukan disiplin teologis dan pengalaman mistis dalam cara yang
sistematis dan eksistensial.³
8.2. Peran dalam Pendidikan Spiritual dan Akhlak
Konsep ini juga
sangat bermanfaat dalam pendidikan karakter dan pembentukan akhlak. Keteladanan
Rasulullah sebagai refleksi hakikat Ilahi mendorong umat Islam untuk menjadikan
spiritualitas sebagai fondasi etika sosial.⁴ Dengan pendekatan ini, pendidikan
tidak hanya berorientasi pada kognisi dan keterampilan duniawi, melainkan juga
pada pembentukan kesadaran ruhani dan integritas moral.
Dalam tradisi sufi,
pengenalan terhadap al-Haqiqah al-Muhammadiyyah
dilakukan melalui proses tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), mujahadah
(perjuangan melawan hawa nafsu), dan ittibāʿ (pengikutan) kepada akhlak Nabi.
Proses ini tidak bersifat teoritis semata, tetapi menjadi sarana internalisasi
nilai-nilai Ilahi dalam kehidupan sehari-hari.⁵
8.3. Landasan Dialog Antar Peradaban
Di luar komunitas
Muslim, al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah juga membuka ruang bagi dialog antarperadaban
melalui konsep logos universal yang bersifat
inklusif. Pemahaman ini memungkinkan adanya pengakuan terhadap dimensi kenabian
sebagai manifestasi kebijaksanaan ilahiah dalam berbagai bentuk peradaban.⁶
Dalam kerangka inilah, Seyyed Hossein Nasr menegaskan
bahwa hakikat Muhammad dapat dibaca sebagai simbol kesatuan religius
transhistoris yang dapat mempertemukan Islam dengan tradisi hikmah Timur dan
Barat.⁷
8.4. Respon terhadap Degradasi Spiritualitas Global
Dalam lanskap
spiritual global yang semakin kehilangan arah akibat sekularisasi, al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah memberikan titik orientasi yang kuat untuk
merekonstruksi kesadaran ketuhanan. Ia bukan hanya simbol ajaran Islam, tetapi
juga pusat spiritual yang memberikan energi ruhani bagi semua pencari
kebenaran. Seperti yang ditegaskan oleh Chittick, hakikat Muhammad
adalah "realitas batin seluruh agama yang membawa manusia pada
pencerahan ilahiah."_⁸
Kesimpulan
Dengan menjadikan al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah sebagai lensa kontemplatif, umat Islam dapat
menemukan kembali makna kenabian sebagai pusat hidup spiritual yang aktif dan
kontekstual. Ia adalah jembatan antara Tuhan dan manusia, antara langit dan
bumi, dan antara yang transenden dan yang imanen. Dalam dunia yang terus
berubah dan penuh tantangan, konsep ini dapat menjadi fondasi teologis
sekaligus inspirasi etis untuk membangun kehidupan pribadi dan sosial yang
seimbang, berakar pada spiritualitas, dan berorientasi pada kesempurnaan moral
dan metafisik.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of
Sufism, Islam's Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 68–70.
[2]
Abdul Karim al-Jili, al-Insān al-Kāmil fī Maʿrifat al-Awākhir wa
al-Awā’il (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 22–26.
[3]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 155–157.
[4]
Al-Qur’an, Surah al-Ahzab (33): 21.
[5]
Abu al-Qasim al-Qusyairi, al-Risālah al-Qusyairiyyah, ed. Abd
al-Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2002), 87–89.
[6]
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1984),
258–260.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 150–151.
[8]
William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn
al-‘Arabi's Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 240.
9.
Penutup
Pembahasan mengenai al-Haqiqah al-Muhammadiyyah
mengungkap kedalaman dan keluasan pemikiran Islam dalam melihat kenabian tidak
hanya sebagai fenomena historis, tetapi juga sebagai realitas metafisis dan
spiritual yang melintasi ruang dan waktu. Melalui kacamata para sufi besar
seperti Ibn ‘Arabi dan Abdul Karim al-Jili, konsep ini menjelma sebagai
landasan kosmologis dari penciptaan dan sebagai poros ontologis dalam relasi
antara Tuhan dan makhluk.¹ Rasulullah Saw tidak hanya hadir sebagai penyampai
wahyu, tetapi sebagai manifestasi tertinggi dari cahaya ilahi yang menjadi
sumber segala bentuk eksistensi.
Walaupun konsep ini mendapat kritik dari berbagai
kalangan, terutama dari ulama Salafi dan ahli hadis yang menekankan keutuhan
akidah dan kehati-hatian dalam menggunakan sumber-sumber lemah,² pendekatan
moderat dari ulama Sunni klasik seperti al-Ghazali dan al-Qusyairi menunjukkan
bahwa konsep ini dapat ditempatkan secara proporsional sebagai ekspresi batin
dari kecintaan dan pemuliaan terhadap Rasulullah Saw, selama tidak melanggar
prinsip tauhid dan ajaran pokok Islam.³
Dalam konteks kontemporer, al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah dapat dimaknai kembali sebagai simbol pencerahan spiritual
dan teladan kesempurnaan insani dalam dunia yang dilanda krisis identitas dan
spiritualitas.⁴ Kehadiran Rasulullah sebagai al-Insān al-Kāmil
menawarkan jalan tengah antara realitas transenden dan kehidupan duniawi yang
konkret. Ia menjadi model integral bagi pembangunan etika, pendidikan karakter,
dan rekonstruksi makna dalam peradaban modern.
Melalui penggalian yang cermat terhadap
sumber-sumber Al-Qur’an, hadits, tafsir klasik, dan literatur tasawuf, artikel
ini menunjukkan bahwa al-Haqiqah al-Muhammadiyyah bukan sekadar doktrin
spekulatif, tetapi bagian dari warisan spiritual Islam yang kaya. Pemaknaan
terhadap konsep ini perlu dijaga dengan adab ilmiah, kecermatan metodologis,
dan kebeningan niat, agar tidak terjatuh pada ekstremisme maknawi atau
penolakan sempit terhadap kedalaman tradisi.
Dengan demikian, memahami al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah adalah bagian dari upaya memuliakan Rasulullah Saw secara
utuh: tidak hanya sebagai Nabi dan Rasul, tetapi sebagai poros cinta, cahaya,
dan kesempurnaan yang menginspirasi jalan hidup menuju Tuhan dalam kerangka
Islam yang holistik, moderat, dan transformatif.⁵
Footnotes
[1]
Ibn ‘Arabi, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, ed.
‘Uthman Yahya (Beirut: Dar Ṣadir, 1999), vol. 1, 160; Abdul Karim al-Jili, al-Insān
al-Kāmil fī Maʿrifat al-Awākhir wa al-Awā’il (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2004), 22–24.
[2]
Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman al-Sakhawi, al-Maqāṣid
al-Ḥasanah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 49; Ibn Taymiyyah, Majmūʿ
al-Fatāwā, vol. 2 (Madinah: Mujamma‘ al-Malik Fahd, 2005), 134–135.
[3]
Abu Hamid al-Ghazali, Mishkāt al-Anwār, ed.
Abdurrahman Badawi (Beirut: Dar al-Andalus, 1986), 23–26; Abu al-Qasim
al-Qusyairi, al-Risālah al-Qusyairiyyah, ed. Abd al-Halim Mahmud (Kairo:
Dar al-Maʿarif, 2002), 118–120.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The
Vision and Promise of Sufism, Islam's Mystical Tradition (New York:
HarperOne, 2007), 70–72.
[5]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989),
140–142.
Daftar Pustaka
Addas, C. (1993). Quest for the red sulphur: The
life of Ibn ʿArabi (P. Kingsley, Trans.). Islamic Texts Society.
Al-Ghazali, A. H. (1986). Mishkat al-anwar
(A. Badawi, Ed.). Dar al-Andalus.
Al-Hallaj, A. M. (1973). Tawasin (L.
Massignon, Ed.). Dar al-Fikr.
Al-Jili, A. K. (2004). Al-insan al-kamil fi maʿrifat
al-awakhir wa al-awail. Dar al-Kutub al-ʿIlmiyyah.
Al-Jurjani, A. I. M. (1985). At-taʿrifat (I.
al-Abyari, Ed.). Dar al-Kitab al-‘Arabi.
Al-Qusyairi, A. Q. (2002). Al-risalah
al-qusyairiyyah (A. H. Mahmud, Ed.). Dar al-Maʿarif.
Al-Razi, F. (1997). Tafsir al-kabir. Dar
Ihya’ al-Turath al-‘Arabi.
Al-Sakhawi, M. b. A. R. (2002). Al-maqasid
al-hasanah fi bayan kathir min al-ahadith al-mushtaharah ‘ala al-alsinah.
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Suyuti, J. (1990). Al-khasa’is al-kubra
(Vol. 1). Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of
knowledge: Ibn al-ʿArabi’s metaphysics of imagination. State University of
New York Press.
Chittick, W. C. (1998). The self-disclosure of
God: Principles of Ibn al-ʿArabi's cosmology. State University of New York
Press.
Fazlur Rahman. (1982). Islam and modernity:
Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.
Ibn ʿAjibah, A. (2002). Al-bahr al-madid fi
tafsir al-Qur’an al-majid (Vol. 5). Dar al-Kutub al-ʿIlmiyyah.
Ibn ʿArabi. (1946). Fusus al-hikam (A. A.
Afifi, Ed.). Dar al-Kitab al-‘Arabi.
Ibn ʿArabi. (1999). Al-futuhat al-makkiyyah
(ʿU. Yahya, Ed.). Dar Ṣadir.
Ibn al-Jawzi, A. F. (1990). Al-mawduʿat (ʿA.
M. ʿUthman, Ed.). Al-Maktabah al-ʿIlmiyyah.
Ibn Sina. (1960). Al-shifa’: Al-ilahiyyat
(I. Madkour, Ed.). Al-Hayah al-‘Ammah li al-Kitab.
Ibn Taymiyyah. (2005). Majmuʿ al-fatawa
(Vol. 2). Mujammaʿ al-Malik Fahd li Tibaʿat al-Mushaf al-Sharif.
Izutsu, T. (1984). Sufism and Taoism: A
comparative study of key philosophical concepts. University of California
Press.
Izutsu, T. (2002). God and man in the Qur’an:
Semantics of the Qur’anic Weltanschauung. Islamic Book Trust.
Nasr, S. H. (1964). Three Muslim sages:
Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi. Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred.
State University of New York Press.
Nasr, S. H. (2007). The garden of truth: The
vision and promise of Sufism, Islam’s mystical tradition. HarperOne.
Schimmel, A. (1985). And Muhammad is His
Messenger: The veneration of the Prophet in Islamic piety. University of
North Carolina Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar