Selasa, 01 April 2025

Mazhab Ibadiyah: Menelusuri Cabang Ketiga dalam Islam antara Sejarah, Teologi, dan Dinamika Sosial

Mazhab Ibadiyah

Menelusuri Cabang Ketiga dalam Islam antara Sejarah, Teologi, dan Dinamika Sosial


Alihkan ke: Aliran-Aliran Ilmu Kalam.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif mazhab Ibadiyah sebagai cabang ketiga dalam Islam yang kerap terpinggirkan dalam wacana keislaman arus utama. Ibadiyah, yang tumbuh sejak masa awal Islam, memiliki karakteristik unik dalam bidang teologi, sistem politik, hukum, serta kehidupan sosial dan budaya. Berbeda dari Sunni dan Syiah, Ibadiyah menampilkan pendekatan teologis rasional yang menolak ekstremisme Khawarij, dan mengembangkan sistem kepemimpinan berbasis musyawarah serta keadilan. Kajian ini mengeksplorasi asal-usul historis Ibadiyah, ajaran dan keyakinan teologis, sistem hukum dan politiknya, kehidupan komunitasnya di berbagai wilayah seperti Oman, M’zab, dan Djerba, serta tantangan dan peluang yang dihadapi dalam konteks kontemporer. Melalui pendekatan literatur dengan merujuk pada sumber-sumber akademik yang kredibel, artikel ini bertujuan menampilkan wajah Ibadiyah secara objektif serta memperkaya pemahaman terhadap keragaman internal dalam Islam. Artikel ini juga menyoroti potensi Ibadiyah dalam membangun dialog antar-mazhab dan menampilkan model Islam moderat yang kontekstual.

Kata Kunci: Ibadiyah, Islam, mazhab, teologi Islam, sejarah Islam, Oman, Khawarij, Sunni, Syiah, moderatisme Islam.


PEMBAHASAN

Kajian Mazhab Ibadiyah Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Islam sebagai agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw memiliki dimensi yang sangat kaya, baik dalam hal teologi, hukum, maupun praktik kehidupan sosial. Seiring berjalannya waktu dan dinamika sejarah umat Islam, muncul beragam aliran pemikiran yang berkembang dari perbedaan penafsiran terhadap ajaran-ajaran dasar Islam. Di antara kelompok-kelompok utama yang dikenal luas adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) dan Syiah, dua mazhab besar yang mendominasi dunia Islam hingga saat ini.

Namun, di luar kedua kelompok tersebut, terdapat satu kelompok lain yang sering kali terabaikan dalam wacana arus utama Islam, yaitu Ibadiyah. Kelompok ini sering dijuluki sebagai “cabang ketiga” dalam Islam karena memiliki akar sejarah, teologi, dan sistem sosial keagamaan yang berbeda dari Sunni maupun Syiah, meskipun terdapat beberapa titik temu dalam aspek tertentu.¹

Ibadiyah berasal dari nama Abdullah bin Ibadh at-Tamimi, seorang tokoh Muslim dari abad ke-7 Masehi yang aktif dalam dinamika politik dan teologis pasca wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib. Meskipun sering dikaitkan dengan Khawarij, Ibadiyah menolak label tersebut dan memisahkan diri dari ekstremisme serta pendekatan kekerasan yang diasosiasikan dengan kelompok Khawarij radikal.² Dalam hal ini, Ibadiyah justru mengembangkan pendekatan keagamaan yang lebih moderat, rasional, dan mengedepankan prinsip musyawarah dalam sistem politiknya.³

Ibadiyah memiliki sejarah panjang dalam peradaban Islam, khususnya di wilayah Oman, Aljazair (M'zab), Tunisia (Djerba), dan sebagian kecil wilayah Afrika Timur seperti Zanzibar. Di negara Oman, bahkan hingga hari ini, Ibadiyah menjadi mazhab resmi negara dan memainkan peran penting dalam struktur pemerintahan dan kehidupan sosial masyarakat.⁴

Meskipun keberadaannya sudah berabad-abad, Ibadiyah tetap menjadi bagian dari Islam yang kurang dikenal oleh banyak umat Muslim sendiri. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari keterbatasan literatur yang tersedia dalam bahasa populer, dominasi narasi mazhab mayoritas, hingga stereotip keliru yang mengaitkan mereka secara langsung dengan Khawarij.⁵ Padahal, pemahaman yang objektif dan ilmiah tentang Ibadiyah akan memperluas wawasan kita terhadap keragaman internal Islam dan sekaligus menghindarkan kita dari generalisasi yang merugikan.

Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif tentang Ibadiyah dengan mengupas sejarah kemunculannya, ajaran teologis yang dipegang, sistem sosial-politik yang dibangun, serta kontribusi mereka dalam peradaban Islam. Dengan pendekatan ilmiah dan merujuk pada sumber-sumber akademik yang kredibel, tulisan ini diharapkan mampu menghadirkan gambaran yang utuh dan objektif mengenai cabang ketiga dalam Islam ini.


Footnotes

[1]                Valerie J. Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam (Syracuse: Syracuse University Press, 2012), 3.

[2]                Wilferd Madelung, The Cambridge History of Islam, Volume 1A: The Central Islamic Lands (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 53–54.

[3]                Amr G. E. S. Gaiser, “Ibadi Jihad: Reassessing Khārijite Political and Militant Thought,” Arabica 61, no. 4 (2014): 502–524.

[4]                John Wilkinson, The Imamate Tradition of Oman (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 7–10.

[5]                Alexey V. Pskhov, “The Third Way in Islam: Ibadism Between Sunni and Shia,” Religions 12, no. 10 (2021): 855.


2.           Asal-usul dan Sejarah Kemunculan Ibadiyah

Ibadiyah merupakan salah satu mazhab Islam tertua yang muncul pada fase awal sejarah Islam, tepatnya pada paruh kedua abad ke-1 Hijriah (abad ke-7 Masehi). Kemunculannya tidak dapat dipisahkan dari pergolakan politik dan teologis pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw, terutama konflik internal yang menandai masa Khulafaur Rasyidin dan peristiwa fitnah kubra yang memecah belah umat Islam.

Dalam konteks sejarah, Ibadiyah sering kali disamakan atau dikaitkan dengan kelompok Khawarij, terutama karena muncul dari atmosfer yang sama, yaitu kekecewaan terhadap hasil Tahkim (arbitrasi) antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dalam Perang Shiffin (657 M). Namun, para pemuka Ibadi menolak label Khawarij karena menganggap kelompok Khawarij ekstrem telah menyimpang dari prinsip-prinsip Islam yang moderat.¹

Tokoh sentral yang menjadi inspirasi mazhab ini adalah Abdullah bin Ibadh at-Tamimi, seorang ulama dari suku Azd yang hidup pada masa kekhalifahan Umayyah. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa Ibadiyah tidak didirikan secara resmi oleh Ibn Ibadh sendiri, melainkan berkembang dari komunitas murid-murid dan pengikutnya yang membentuk sistem keilmuan dan teologi khas.² Ibn Ibadh lebih dikenal sebagai sosok yang menengahi dan menyuarakan pendekatan moderat di antara faksi-faksi yang keras dalam kalangan Khawarij kala itu.

Salah satu tokoh penting dalam kodifikasi ajaran Ibadiyah adalah Jabir bin Zayd al-Azdi (w. 93 H/711 M), seorang ulama besar asal Oman yang oleh komunitas Ibadiyah dianggap sebagai pendiri teologis sejati dari mazhab ini.³ Jabir bin Zayd merupakan murid dari beberapa sahabat Nabi dan dikenal luas sebagai figur yang ahli dalam ilmu fikih dan tafsir. Ia memainkan peran besar dalam membangun fondasi intelektual Ibadiyah, termasuk penyusunan prinsip-prinsip hukum dan akidah.

Dalam fase awal perkembangannya, komunitas Ibadi menyebar di berbagai wilayah dunia Islam, termasuk di Basrah, yang menjadi pusat intelektual utama mereka sebelum akhirnya banyak berpindah ke wilayah Oman, Yaman, serta sebagian Afrika Utara seperti wilayah M’zab di Aljazair dan Djerba di Tunisia.⁴ Di Oman, ajaran Ibadiyah memperoleh pengaruh yang sangat kuat hingga akhirnya menjadi dasar dari sistem pemerintahan Imamah Ibadiyah yang independen dari kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah.⁵

Ibadiyah juga memainkan peran penting dalam beberapa gerakan sosial dan politik pada awal sejarah Islam. Salah satunya adalah pendirian Negara Ibadi di Hadramaut dan Oman yang berasaskan pada prinsip musyawarah dan pemilihan imam dari kalangan orang saleh dan cakap, bukan berdasarkan garis keturunan.⁶ Pendekatan ini membedakan mereka secara signifikan dari sistem politik dinasti Umayyah dan konsep Imamah dalam Syiah.

Seiring waktu, meskipun komunitas Ibadi tidak berkembang secara luas seperti Sunni dan Syiah, mereka berhasil mempertahankan identitas dan tradisi keagamaannya secara konsisten. Keberlangsungan mereka hingga kini menunjukkan bahwa Ibadiyah bukan sekadar fenomena historis yang terpinggirkan, tetapi merupakan elemen penting dalam sejarah intelektual dan spiritual Islam.


Footnotes

[1]                Wilferd Madelung, Religious Trends in Early Islamic Iran (Albany: SUNY Press, 1985), 70.

[2]                Alexey V. Pskhov, “The Third Way in Islam: Ibadism Between Sunni and Shia,” Religions 12, no. 10 (2021): 4.

[3]                Valerie J. Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam (Syracuse: Syracuse University Press, 2012), 23–24.

[4]                Amr G. E. S. Gaiser, “Ibadi Jihad: Reassessing Khārijite Political and Militant Thought,” Arabica 61, no. 4 (2014): 508–510.

[5]                John Wilkinson, The Imamate Tradition of Oman (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 15–17.

[6]                Adam Gaiser, Shurāt Legends, Ibādī Identities: Martyrdom, Asceticism, and the Making of an Early Islamic Community (Columbia: University of South Carolina Press, 2016), 65–67.


3.           Ajaran dan Keyakinan Teologis Ibadiyah

Ibadiyah memiliki sistem teologi yang khas, yang meskipun memiliki kesamaan dengan aliran-aliran Islam lain dalam beberapa aspek dasar, namun tetap mempertahankan identitas pemikiran yang unik. Mazhab ini menekankan pendekatan rasional dalam memahami ajaran agama, sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip Al-Qur'an dan Sunnah. Ajaran-ajaran utama dalam teologi Ibadiyah mencakup pandangan mereka tentang tauhid, sifat-sifat Allah, status pelaku dosa besar, serta pandangan mereka tentang komunitas muslim dan politik.

3.1.       Tauhid dan Sifat-Sifat Allah

Seperti mazhab-mazhab Islam lainnya, Ibadiyah meyakini bahwa Allah adalah Esa dan tidak serupa dengan makhluk-Nya. Namun, dalam diskursus sifat-sifat Tuhan, Ibadiyah mengadopsi pendekatan yang sangat mirip dengan kaum Mu’tazilah. Mereka menolak antropomorfisme dan memahami sifat-sifat Allah bukan sebagai entitas yang terpisah dari zat-Nya, tetapi sebagai ekspresi dari zat ilahiyah yang tunggal.¹

Sebagai contoh, sifat seperti ilmu, qudrah, dan irada tidak dipandang sebagai entitas tersendiri yang berdampingan dengan dzat Allah, melainkan bagian dari hakikat-Nya yang tidak terbagi. Pandangan ini bertujuan untuk menjaga kemurnian tauhid dan menghindari penafsiran yang mengarah pada tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya).²

3.2.       Al-Qur’an dan Sunnah

Ibadiyah memandang Al-Qur’an sebagai wahyu ilahi yang tidak diciptakan, namun mereka berhati-hati dalam perdebatan tentang makhluq atau qadim-nya Al-Qur’an yang sempat menjadi kontroversi besar pada masa Abbasiyah.³ Mereka menekankan pentingnya tafsir rasional dan kontekstual terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, serta menjadikan Sunnah Nabi Saw sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an, selama sanad dan isi hadis tersebut dinilai shahih secara ilmiah dan rasional.⁴

Dalam hal periwayatan hadis, Ibadiyah memiliki koleksi hadis tersendiri yang dikenal sebagai Jami‘ al-Musannaf, yang berisi riwayat-riwayat dari sahabat dan tabiin yang dianggap terpercaya menurut standar mereka, seperti Jabir bin Zayd dan Abu Ubaidah Muslim bin Abi Karima.⁵

3.3.       Status Pelaku Dosa Besar

Salah satu pokok pemikiran yang membedakan Ibadiyah dari Sunni dan Syiah adalah pandangan mereka terhadap pelaku dosa besar (kabirah). Ibadiyah tidak mengkafirkan secara mutlak pelaku dosa besar, seperti Khawarij ekstrem, tetapi juga tidak menganggapnya tetap beriman sepenuhnya seperti dalam pandangan Sunni.

Menurut Ibadiyah, pelaku dosa besar berada dalam posisi "manzilah baina manzilatayn" (suatu kedudukan antara iman dan kufur), mirip dengan pendapat Mu’tazilah.⁶ Namun, secara sosial-politik, jika pelaku dosa besar secara terang-terangan melanggar hukum dan tidak bertobat, ia bisa dipandang keluar dari komunitas muslim sejati (ahl al-‘adl wa al-tawḥid), meskipun tidak disebut kafir secara mutlak.⁷

3.4.       Konsep al-Wala’ wa al-Bara’

Ibadiyah juga mengembangkan doktrin al-wala’ wa al-bara’ (loyalitas dan pemutusan hubungan) sebagai prinsip moral dan spiritual dalam membina hubungan sosial. Al-wala’ adalah sikap loyal terhadap orang-orang saleh dan adil, sedangkan al-bara’ adalah penolakan terhadap tindakan maksiat dan ketidakadilan, termasuk terhadap penguasa zalim.⁸

Doktrin ini sering disalahpahami sebagai bentuk ekstremisme, padahal dalam konteks Ibadiyah, ia lebih merupakan mekanisme perlindungan moral komunitas daripada alat kekerasan politik. Mereka mempraktikkannya melalui isolasi sosial yang damai, bukan kekerasan atau pemberontakan seperti dilakukan oleh kelompok ekstremis.

3.5.       Sikap terhadap Sahabat dan Sejarah Awal Islam

Berbeda dengan Sunni yang menerima seluruh sahabat dan Syiah yang mengkritik sebagian besar sahabat, Ibadiyah mengambil posisi tengah. Mereka menghormati sahabat Nabi yang dianggap adil dan setia pada prinsip Islam, seperti Abu Bakar dan Umar, tetapi mengkritik keras Utsman di akhir pemerintahannya serta Ali karena menerima arbitrase dalam Perang Shiffin.⁹

Namun demikian, kritik tersebut bersifat teologis-politik dan tidak bermaksud menafikan keislaman tokoh-tokoh tersebut secara mutlak. Sikap kritis ini mencerminkan komitmen Ibadiyah terhadap prinsip keadilan dan kebenaran, bukan sekadar loyalitas historis.


Footnotes

[1]                Valerie J. Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam (Syracuse: Syracuse University Press, 2012), 65–66.

[2]                Amr G. E. S. Gaiser, “Ibadi Theology and Early Kalam,” Muslim World 101, no. 2 (2011): 155–157.

[3]                Wilferd Madelung, The Origins of the Controversy Concerning the Creation of the Qur’an, in Studia Islamica, no. 57 (1983): 21–40.

[4]                Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam, 70–72.

[5]                Abdulrahman al-Salimi and Wilferd Madelung, Early Ibadi Theology: Six Ibadi Muslim Texts on Theology and Law (Oxford: Oxford University Press, 2014), 12–13.

[6]                Gaiser, “Ibadi Theology and Early Kalam,” 160–162.

[7]                Adam Gaiser, Shurāt Legends, Ibādī Identities (Columbia: University of South Carolina Press, 2016), 88–89.

[8]                Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam, 85–87.

[9]                Pskhov, “The Third Way in Islam: Ibadism Between Sunni and Shia,” Religions 12, no. 10 (2021): 6–7.


4.           Sistem Politik dan Hukum dalam Ibadiyah

Ibadiyah tidak hanya dikenal karena sistem teologinya yang khas, tetapi juga karena konsep politik dan hukum Islam yang dikembangkan secara mandiri dan kontekstual. Mereka membangun struktur pemerintahan berbasis prinsip keadilan, musyawarah, dan ketaatan kepada syariat. Sistem politik dan hukum ini menunjukkan bentuk alternatif pemerintahan Islam yang berbeda dari model kekhalifahan Umayyah, Abbasiyah, maupun konsep Imamah dalam Syiah.

4.1.       Konsep Imamah dan Pemerintahan

Dalam pandangan Ibadiyah, bentuk ideal dari kepemimpinan umat Islam adalah sistem Imamah, yaitu kepemimpinan seorang imam yang dipilih berdasarkan kualitas keilmuan, keadilan, ketakwaan, dan kemampuan dalam menjalankan urusan publik. Tidak seperti Syiah yang mensyaratkan nasab (garis keturunan) tertentu, atau Sunni yang cenderung menerima legitimasi kekuasaan de facto, Ibadiyah menekankan pemilihan melalui musyawarah (shūrā) dan bai'at sukarela dari masyarakat.¹

Imam dalam sistem Ibadi bukan hanya pemimpin spiritual, tetapi juga kepala negara yang bertanggung jawab penuh dalam menerapkan hukum Islam dan menjaga keadilan. Jika imam terbukti tidak adil atau menyimpang dari syariat, masyarakat memiliki hak untuk mencabut bai’at dan memberhentikannya.² Ini mencerminkan prinsip "imamah bukan hak istimewa, melainkan amanah", dan menjadikan sistem politik Ibadiyah lebih demokratis dibanding sistem dinasti monarki yang berkembang pada masa kekhalifahan.³

Konsep ini pertama kali dipraktikkan dalam sejarah oleh Imamah Ibadiyah di Oman, yang didirikan pada abad ke-8 M dan bertahan dengan berbagai fase hingga abad ke-20.⁴

4.2.       Prinsip Dar wa Da’wah

Dalam teori politik Ibadi, dikenal pula konsep "al-Dār wa al-Da‘wah", yaitu pembagian wilayah menjadi “dar al-Islam” (negeri Islam tempat hukum Allah ditegakkan) dan “dar al-kufr” (wilayah yang belum menerima hukum Islam secara sempurna). Namun, tidak seperti kelompok Khawarij ekstrem yang cenderung memandang dunia secara dikotomis dan menjustifikasi kekerasan, Ibadiyah menerapkan prinsip ini secara fungsional, bukan agresif.⁵

Tujuan dari prinsip ini bukan untuk mengkafirkan wilayah lain, melainkan untuk menjaga identitas komunitas dan menerapkan hukum secara konsisten dalam masyarakat yang telah menyepakati sistem syariah.

4.3.       Fikih dan Sumber Hukum Ibadiyah

Mazhab Ibadiyah memiliki sistem hukum (fikih) yang berkembang sejak masa Jabir bin Zayd dan Abu Ubaidah Muslim bin Abi Karima. Fikih Ibadiyah bersumber dari empat landasan utama: Al-Qur’an, Sunnah Nabi, ijma‘ (konsensus ulama), dan qiyas (analogi hukum).⁶ Namun, dalam penerapan ijma‘ dan qiyas, mereka sangat berhati-hati agar tidak melampaui batas nash-nash syariat.

Ibadiyah memiliki karya-karya fikih klasik yang sangat sistematis, di antaranya adalah al-Mudawwanah dan al-Musannaf, yang memuat hukum-hukum ibadah, muamalah, pidana, peradilan, dan lain-lain.⁷ Dalam hal ibadah, hukum-hukum yang mereka terapkan memiliki kemiripan dengan hukum fikih Sunni dalam beberapa aspek, tetapi juga menunjukkan perbedaan, seperti dalam pelaksanaan shalat berjamaah, cara adzan, dan urutan bacaan dalam shalat.

Mereka juga memiliki sistem pengadilan yang bersifat desentralistik dan kolektif, di mana hakim-hakim dipilih berdasarkan kompetensi dan integritas pribadi, dan putusan hukum diambil dengan melibatkan dewan ulama yang disebut ahl al-hall wa al-‘aqd.⁸

4.4.       Etika Hukum dan Tujuan Syariah

Ibadiyah sangat menekankan etika moral dalam hukum, dengan tujuan akhir adalah menegakkan keadilan (‘adl) dan menghindari kerusakan (fasad). Oleh karena itu, dalam banyak keputusan hukum, mereka memperhatikan konteks sosial dan maslahat umat. Hukum tidak diterapkan secara mekanistik, tetapi dengan pertimbangan maslahat, tanpa mengabaikan teks suci.⁹


Footnotes

[1]                John Wilkinson, The Imamate Tradition of Oman (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 33–35.

[2]                Valerie J. Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam (Syracuse: Syracuse University Press, 2012), 105–106.

[3]                Amr G. E. S. Gaiser, “The Rise and Fall of the Ibadi Imamate of Oman,” Islamic Law and Society 22, no. 1 (2015): 1–25.

[4]                Alexey V. Pskhov, “The Third Way in Islam: Ibadism Between Sunni and Shia,” Religions 12, no. 10 (2021): 7–8.

[5]                Adam Gaiser, Shurāt Legends, Ibādī Identities (Columbia: University of South Carolina Press, 2016), 91–92.

[6]                Abdulrahman al-Salimi and Wilferd Madelung, Early Ibadi Theology: Six Ibadi Muslim Texts on Theology and Law (Oxford: Oxford University Press, 2014), 47–50.

[7]                Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam, 114–116.

[8]                Gaiser, “The Rise and Fall of the Ibadi Imamate of Oman,” 19–20.

[9]                Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam, 123.


5.           Kehidupan Sosial dan Budaya Komunitas Ibadi

Komunitas Ibadi, meskipun tergolong minoritas dalam dunia Islam, telah berhasil mempertahankan eksistensinya selama lebih dari 13 abad dengan membangun sistem sosial dan budaya yang khas dan berkelanjutan. Kehidupan sosial mereka ditandai dengan keteraturan, kesederhanaan, serta orientasi keagamaan yang kuat. Budaya Ibadi menampilkan perpaduan antara nilai-nilai keislaman, semangat komunitarianisme, dan identitas lokal yang terpelihara secara kolektif, terutama di Oman, Jazair (M'zab), Tunisia (Djerba), dan Afrika Timur.

5.1.       Struktur Sosial dan Kehidupan Komunitas

Masyarakat Ibadi umumnya hidup dalam struktur sosial yang kolektif dan egaliter. Kehidupan mereka terorganisasi dengan baik berdasarkan prinsip musyawarah (shūrā) dan tanggung jawab bersama. Dalam komunitas tradisional seperti lembah M’zab di Aljazair dan wilayah pedalaman Oman, keputusan-keputusan penting seperti urusan pernikahan, penyelesaian sengketa, hingga pengelolaan sumber daya alam (air dan tanah) dilakukan secara komunal melalui dewan ulama dan tetua masyarakat.¹

Struktur masyarakat Ibadi tidak mengenal stratifikasi sosial berbasis keturunan secara kaku. Semua anggota masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang seimbang, meskipun tetap menghormati otoritas moral ulama dan tokoh adat.²

5.2.       Peran Sentral Masjid dan Pendidikan

Masjid dalam masyarakat Ibadi tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat kehidupan intelektual dan pengambilan keputusan kolektif. Di dalam masjid, para lelaki dan pemuda belajar ilmu agama, tafsir, fikih, dan sejarah Islam dari para syekh. Masjid juga menjadi tempat berlangsungnya diskusi keagamaan, musyawarah politik, hingga mediasi sosial.³

Komunitas Ibadi sangat menekankan pentingnya pendidikan agama sejak dini. Mereka memiliki sistem pengajaran tradisional yang disebut ḥalqāt al-‘ilm, di mana anak-anak dan remaja belajar membaca Al-Qur’an, hadis, dan fikih secara langsung dari guru-guru yang terpercaya. Karya-karya ulama klasik Ibadi seperti Jabir bin Zayd dan Abu Ubaidah Muslim bin Abi Karima terus diajarkan hingga hari ini.⁴

5.3.       Nilai Kesederhanaan dan Disiplin Sosial

Ciri khas lain dari kehidupan Ibadi adalah kesederhanaan dalam gaya hidup (zuhd) dan disiplin sosial yang ketat. Nilai ini didasarkan pada prinsip moral dan akhlak Islam yang ditekankan oleh Ibadiyah sejak awal, terutama dalam menghindari sikap berlebihan (isrāf) dan pamer kekayaan (riya’).⁵

Dalam budaya Ibadi tradisional, penampilan yang mencolok, pesta mewah, dan kemewahan yang berlebihan dianggap sebagai penyimpangan dari akhlak Islami. Oleh karena itu, banyak komunitas Ibadi mempertahankan gaya hidup yang sederhana tetapi terhormat, serta menghargai kerja keras dan kejujuran.⁶

5.4.       Kesenian, Bahasa, dan Identitas Budaya

Komunitas Ibadi juga memiliki warisan budaya yang khas. Di wilayah Oman, budaya Ibadi menyatu dengan adat istiadat lokal dalam bentuk arsitektur masjid dan rumah yang sederhana namun fungsional, pakaian tradisional yang tertutup, serta kesenian lisan seperti syair-syair keislaman. Di M’zab, struktur pemukiman dibangun berdasarkan prinsip kesetaraan, keterbukaan, dan keamanan komunitas.⁷

Bahasa Arab klasik tetap dipertahankan dalam pengajaran agama, sementara bahasa lokal seperti Tamazight (Berber) digunakan dalam kehidupan sehari-hari di Afrika Utara. Identitas budaya ini dijaga dengan ketat karena dipandang sebagai bagian dari warisan keagamaan dan historis Ibadiyah.⁸

5.5.       Toleransi dan Hubungan Antarmazhab

Salah satu aspek yang paling menonjol dari komunitas Ibadi modern, terutama di Oman, adalah sikap toleran dan terbuka terhadap mazhab lain. Meskipun memiliki identitas teologis yang jelas, masyarakat Ibadi dikenal tidak mudah mengafirkan pihak lain dan lebih memilih jalan dialog dan kerja sama. Oman sebagai negara bermazhab Ibadi menjalin hubungan baik dengan negara-negara mayoritas Sunni dan Syiah, serta memainkan peran sebagai mediator dalam banyak konflik regional.⁹

Sikap ini lahir dari warisan pemikiran Ibadi yang menekankan prinsip keadilan dan penghindaran fitnah, serta pengalaman sejarah mereka sebagai minoritas yang harus bertahan dalam berbagai kondisi geopolitik yang sulit.


Footnotes

[1]                Benjamin Claude Brower and Edmund Burke III, eds., A Companion to North Africa (Oxford: Wiley-Blackwell, 2018), 293.

[2]                John Wilkinson, The Imamate Tradition of Oman (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 49–50.

[3]                Valerie J. Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam (Syracuse: Syracuse University Press, 2012), 132–134.

[4]                Abdulrahman al-Salimi and Wilferd Madelung, Early Ibadi Theology: Six Ibadi Muslim Texts on Theology and Law (Oxford: Oxford University Press, 2014), 18–19.

[5]                Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam, 122–124.

[6]                Gaiser, Adam. Shurāt Legends, Ibādī Identities (Columbia: University of South Carolina Press, 2016), 75.

[7]                Pskhov, Alexey V., “The Third Way in Islam: Ibadism Between Sunni and Shia,” Religions 12, no. 10 (2021): 10–11.

[8]                M. Brett and E. Fentress, The Berbers (Oxford: Blackwell, 1996), 258.

[9]                Marc Valeri, “Oman and the Arab Spring: A Stable Exception,” in Beyond the Arab Spring: Authoritarianism and Democratization in the Arab World, ed. Rex Brynen et al. (Boulder: Lynne Rienner Publishers, 2012), 233–234.


6.           Penyebaran Geografis dan Populasi Ibadiyah

Ibadiyah, meskipun termasuk mazhab minoritas dalam Islam secara global, telah memiliki sejarah penyebaran yang luas dan beragam, mencakup wilayah Semenanjung Arab, Afrika Utara, dan sebagian wilayah Afrika Timur. Wilayah-wilayah ini menjadi basis utama komunitas Ibadi yang hingga hari ini mempertahankan identitas keagamaannya secara konsisten. Keberadaan mereka yang tersebar, namun terorganisasi, mencerminkan kekuatan internal dan kesinambungan ajaran Ibadiyah sepanjang sejarah.

6.1.       Oman: Basis Terbesar Ibadiyah

Negara Oman merupakan pusat terkuat dan paling stabil bagi komunitas Ibadi di dunia saat ini. Sekitar 45-75% dari populasi Oman menganut mazhab Ibadiyah, menjadikannya satu-satunya negara dengan struktur pemerintahan yang secara resmi berlandaskan pada prinsip-prinsip Ibadi.¹ Sejak berdirinya Imamah Ibadiyah di Oman pada abad ke-8 M dan konsolidasi kekuasaan oleh Dinasti Al-Busaid sejak abad ke-18, Ibadiyah telah menjadi fondasi ideologis dan moral dari sistem politik dan sosial Oman.²

Keberhasilan Ibadiyah di Oman didukung oleh stabilitas politik, pendekatan toleransi antarmazhab, dan sistem pendidikan agama yang kuat. Masjid-masjid, sekolah, dan institusi hukum beroperasi dengan pengaruh fikih dan prinsip sosial Ibadi, tanpa meminggirkan kelompok Sunni maupun Syiah yang hidup berdampingan secara damai.³

6.2.       Afrika Utara: M’zab, Djerba, dan Nafusa

Di Afrika Utara, komunitas Ibadi ditemukan di beberapa kantong penting. Di Aljazair, kelompok Ibadi bermukim di wilayah Lembah M’zab (Wilayah Ghardaïa), sebuah kawasan otonom budaya yang terkenal dengan struktur sosial yang disiplin dan arsitektur khas. Komunitas Ibadi di M’zab diperkirakan mencapai sekitar 150.000–200.000 orang, dan mereka dikenal karena ketertiban sosial, kegiatan ekonomi mandiri, serta peran aktif dalam perdagangan.⁴

Sementara itu, di Tunisia, komunitas Ibadi hidup di Pulau Djerba, terutama di daerah Ajim dan Hara Kebira. Komunitas ini tetap aktif menjaga identitas mereka dengan mendirikan madrasah, masjid Ibadi, dan pusat-pusat budaya lokal.⁵ Di wilayah Pegunungan Nafusa di Libya, Ibadiyah sempat berkembang sejak abad pertengahan, meskipun dalam konteks modern jumlahnya berkurang secara signifikan akibat tekanan politik.

6.3.       Afrika Timur: Pengaruh Sejarah di Zanzibar

Penyebaran Ibadiyah juga menjangkau kawasan Afrika Timur, terutama di wilayah Zanzibar (Tanzania), yang dahulu merupakan bagian dari Kesultanan Oman. Pada abad ke-18 dan ke-19, ketika Oman memiliki pengaruh maritim yang kuat, Ibadiyah menyebar melalui jaringan perdagangan ke pantai timur Afrika, termasuk Mombasa (Kenya), Dar es Salaam, dan kepulauan di sekitarnya.⁶

Meskipun jumlah penganut Ibadi di wilayah ini saat ini tergolong kecil, pengaruh mereka tetap terasa dalam struktur sosial dan kebudayaan lokal. Beberapa masjid dan komunitas yang masih mempertahankan tradisi Ibadi dapat ditemukan di kota-kota pesisir tertentu di Tanzania dan Kenya.⁷

6.4.       Komunitas Kecil Lainnya dan Diaspora

Selain di wilayah utama, komunitas Ibadi juga ditemukan dalam jumlah kecil di Yaman (Hadramaut), Arab Saudi bagian selatan, dan beberapa kawasan diaspora di Eropa dan Amerika Utara, terutama akibat migrasi pendidikan dan ekonomi. Namun, komunitas-komunitas ini umumnya lebih bersifat sosial-kultural dan tidak menunjukkan struktur organisasi formal sebagaimana di Oman atau M’zab.

6.5.       Populasi Global Ibadiyah

Estimasi populasi global Ibadiyah berkisar antara 1,5 hingga 2,5 juta orang, menjadikan mereka mazhab terkecil dibandingkan Sunni dan Syiah.⁸ Meskipun demikian, pengaruh mereka dalam politik, pendidikan, dan budaya Islam tetap signifikan, terutama karena keteguhan mereka dalam menjaga nilai-nilai keislaman, moral sosial, dan keterbukaan terhadap komunitas lain.


Footnotes

[1]                Marc Valeri, Oman: Politics and Society in the Qaboos State (London: Hurst & Company, 2009), 46.

[2]                John Wilkinson, The Imamate Tradition of Oman (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 75–77.

[3]                Valerie J. Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam (Syracuse: Syracuse University Press, 2012), 135–137.

[4]                Benjamin Claude Brower and Edmund Burke III, eds., A Companion to North Africa (Oxford: Wiley-Blackwell, 2018), 294–295.

[5]                Amr G. E. S. Gaiser, “The Ibadi Community of Djerba: Persistence and Revival,” Journal of North African Studies 18, no. 5 (2013): 689–707.

[6]                Abdulrahman al-Salimi and Wilferd Madelung, Early Ibadi Theology: Six Ibadi Muslim Texts on Theology and Law (Oxford: Oxford University Press, 2014), 21–22.

[7]                Joseph Green, “Ibadi Islam in East Africa: Historical and Contemporary Perspectives,” Islamic Africa 8, no. 1 (2017): 32–33.

[8]                Alexey V. Pskhov, “The Third Way in Islam: Ibadism Between Sunni and Shia,” Religions 12, no. 10 (2021): 12.


7.           Perbandingan Ibadiyah dengan Sunni dan Syiah

Ibadiyah sering disebut sebagai “cabang ketiga” dalam Islam selain Sunni dan Syiah. Meskipun dalam banyak hal terdapat kesamaan antara ketiga mazhab tersebut, masing-masing memiliki karakteristik teologis, politik, dan yurisprudensial yang membedakannya secara fundamental. Pemahaman yang cermat terhadap perbedaan dan persamaan ini penting untuk melihat kekayaan tradisi intelektual dalam Islam serta untuk menghindari simplifikasi atau stereotip yang tidak akurat.

7.1.       Asal Usul dan Sejarah Awal

Mazhab Sunni tumbuh sebagai representasi arus utama Islam yang menerima legitimasi kekuasaan khalifah berdasarkan konsensus umat (ijma’) dan sejarah politik dominan, sedangkan Syiah muncul dari keyakinan bahwa kepemimpinan umat Islam seharusnya berada di tangan Ahlul Bait, khususnya keturunan Ali bin Abi Thalib.¹ Sementara itu, Ibadiyah muncul sebagai reaksi terhadap konflik politik awal dalam Islam, terutama pasca arbitrase dalam Perang Shiffin, dan menolak klaim legitimasi dari kedua belah pihak tersebut.²

Ibadiyah menempuh jalan independen dari dua arus besar ini, meskipun sering dikaitkan dengan Khawarij. Namun mereka menolak kekerasan dan ekstremisme Khawarij, dan mengembangkan sistem ajaran yang lebih moderat serta rasional.³

7.2.       Teologi dan Konsep Ketuhanan

Dalam hal teologi, ketiganya sama-sama menegaskan keesaan Tuhan (tauhid), namun pendekatannya berbeda:

·                     Sunni cenderung menerima sifat-sifat Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah tanpa menakwil secara mendalam, mengikuti prinsip bilā kayf (tanpa mempertanyakan “bagaimana”).⁴

·                     Syiah Imamiyah menekankan keadilan ilahi (al-‘adl) dan mempercayai adanya pengetahuan esoterik pada para imam maksum.⁵

·                     Ibadiyah, mirip dengan Mu’tazilah, menolak antropomorfisme dalam sifat-sifat Allah dan menekankan bahwa semua sifat Allah tidak terpisah dari dzat-Nya.⁶

7.3.       Pandangan terhadap Sahabat

Perbedaan tajam juga terlihat dalam sikap terhadap sahabat Nabi:

·                     Sunni memuliakan semua sahabat dan menganggap keadilan mereka sebagai prinsip dasar.

·                     Syiah mengkritik sebagian besar sahabat, khususnya mereka yang dianggap merebut hak Ahlul Bait, dan mengutamakan otoritas Ali serta para imam setelahnya.⁷

·                     Ibadiyah mengambil posisi selektif: mereka menghormati sahabat seperti Abu Bakar dan Umar, namun mengkritik Utsman karena dianggap menyalahgunakan kekuasaan di akhir pemerintahannya, serta Ali karena menerima tahkim.⁸ Namun, Ibadiyah tidak mencela sahabat secara emosional seperti Syiah, juga tidak mengkultuskan mereka seperti sebagian Sunni.

7.4.       Kepemimpinan dan Politik

Dalam aspek politik dan kepemimpinan, terdapat perbedaan mendasar:

·                     Sunni menerima kepemimpinan (khilafah) berdasarkan musyawarah, meskipun dalam praktiknya sering berkembang menjadi sistem dinasti.

·                     Syiah meyakini kepemimpinan ilahi (imamah) yang ditetapkan oleh Allah melalui Nabi, dan hanya bisa dipegang oleh imam dari keturunan Ali dan Fatimah.

·                     Ibadiyah menganut sistem Imamah berdasarkan kualifikasi moral dan intelektual, dipilih melalui syura, dan dapat digulingkan jika menyimpang dari keadilan dan syariat.⁹ Konsep ini menjadikan sistem politik Ibadi lebih meritokratik dan fleksibel.

7.5.       Hukum dan Fikih

Dalam hal fikih, ketiga mazhab memiliki sistem hukum yang berdiri sendiri:

·                     Sunni memiliki empat mazhab fikih utama (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) dengan pendekatan variatif terhadap qiyas, istihsan, dan ijma’.

·                     Syiah (Ja’fariyah) menekankan peran akal (‘aql) dan ijtihad dari para mujtahid sebagai pengganti imam ghaib.

·                     Ibadiyah menggunakan Al-Qur’an, Sunnah, ijma’ komunitas saleh, dan qiyas, namun menolak taklid buta dan lebih mengutamakan konteks sosial serta kemaslahatan.¹⁰

7.6.       Sikap terhadap Mazhab Lain

Salah satu perbedaan yang signifikan adalah dalam sikap terhadap kelompok lain:

·                     Sebagian Sunni dan Syiah dalam sejarah memiliki kecenderungan untuk saling mengkafirkan dalam kondisi politis tertentu.

·                     Ibadiyah, meskipun meyakini doktrin al-wala’ wa al-bara’, dikenal lebih toleran dan tidak konfrontatif, terutama dalam konteks modern. Oman, sebagai negara Ibadi, menjadi contoh negara dengan hubungan baik antara Sunni, Syiah, dan non-Muslim.¹¹


Footnotes

[1]                Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 211–213.

[2]                Wilferd Madelung, The Cambridge History of Islam, Volume 1A (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 53–54.

[3]                Valerie J. Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam (Syracuse: Syracuse University Press, 2012), 15.

[4]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 42–45.

[5]                Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam (New Haven: Yale University Press, 1985), 151–152.

[6]                Amr G. E. S. Gaiser, “Ibadi Theology and Early Kalam,” Muslim World 101, no. 2 (2011): 156.

[7]                Momen, An Introduction to Shi‘i Islam, 156–157.

[8]                Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam, 89.

[9]                John Wilkinson, The Imamate Tradition of Oman (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 33–36.

[10]             Abdulrahman al-Salimi and Wilferd Madelung, Early Ibadi Theology (Oxford: Oxford University Press, 2014), 48–49.

[11]             Marc Valeri, “Oman and the Politics of Consensus,” in Religion and Politics in the Middle East, ed. M. el-Solh (London: Saqi Books, 2014), 102–103.


8.           Tantangan dan Perkembangan Kontemporer Ibadiyah

Dalam dunia Islam kontemporer yang semakin kompleks, komunitas Ibadi menghadapi sejumlah tantangan sekaligus peluang untuk berkembang. Sebagai mazhab minoritas yang mempertahankan sistem nilai, politik, dan teologi yang khas, Ibadiyah dituntut untuk menjaga kesinambungan identitas keagamaannya di tengah dinamika globalisasi, arus informasi, dan perubahan politik. Selain itu, keberadaan mereka juga mulai diperhitungkan dalam percaturan geopolitik dan dialog antar-mazhab sebagai model Islam yang toleran dan stabil.

8.1.       Tantangan Minoritas dan Representasi Global

Meskipun memiliki sejarah panjang dan kontribusi intelektual yang signifikan, Ibadiyah tetap merupakan mazhab minoritas dalam skala global. Populasinya yang relatif kecil—diperkirakan antara 1,5 hingga 2,5 juta jiwa—membuatnya kurang dikenal oleh mayoritas umat Islam, bahkan sering disalahpahami sebagai bagian dari kelompok Khawarij, meskipun mereka telah secara tegas menolak label tersebut.¹

Kurangnya representasi Ibadiyah dalam forum-forum internasional Islam, termasuk lembaga-lembaga fatwa besar, media global, serta kurikulum keislaman di dunia Islam, memperkuat keterpinggiran simbolik mereka.² Tantangan ini mendorong komunitas Ibadi, khususnya akademisi dan ulama mereka, untuk aktif membangun jembatan pemahaman dengan kelompok lain melalui publikasi ilmiah, seminar antar-mazhab, dan kerja sama lintas negara.

8.2.       Globalisasi dan Transformasi Sosial

Seperti kelompok keagamaan lainnya, komunitas Ibadi menghadapi pengaruh globalisasi yang membawa arus modernisasi, media digital, dan konsumerisme yang berpotensi menggoyahkan nilai-nilai tradisional. Dalam konteks ini, tantangan terbesar adalah bagaimana mempertahankan nilai-nilai kesederhanaan, kejujuran, dan solidaritas sosial, yang menjadi ciri khas budaya Ibadi, tanpa terisolasi dari perkembangan zaman.³

Generasi muda Ibadi, terutama di Oman dan Aljazair, kini lebih terpapar oleh ide-ide global, pendidikan sekuler, dan gaya hidup modern. Hal ini menuntut inovasi dalam pendidikan agama Ibadi yang mampu menjawab tantangan kontemporer tanpa kehilangan integritas keilmuannya. Beberapa madrasah dan lembaga pendidikan Ibadi mulai merespons dengan menyusun kurikulum terpadu yang menggabungkan ilmu-ilmu agama klasik dengan pemikiran kritis dan sains modern.⁴

8.3.       Stabilitas Politik Oman dan Peran Strategis Ibadiyah

Salah satu perkembangan kontemporer yang menonjol adalah keberhasilan Oman, negara dengan mayoritas Ibadi, dalam menjaga stabilitas politik, toleransi antarmazhab, dan kebijakan luar negeri yang netral. Oman dikenal sebagai negara yang tidak terlibat dalam konflik mazhab seperti yang terjadi di negara-negara mayoritas Sunni atau Syiah, dan bahkan sering berperan sebagai mediator dalam konflik regional, seperti dalam isu Yaman dan hubungan Iran–Arab Saudi.⁵

Pendekatan diplomatik Oman ini merupakan cerminan dari ajaran Ibadi yang menolak kekerasan, menjunjung musyawarah, dan menekankan keadilan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip politik Ibadi bukan sekadar doktrin teoretis, melainkan mampu diimplementasikan dalam praktik pemerintahan yang inklusif dan moderat.⁶

8.4.       Pelestarian Identitas dan Literasi Keagamaan

Di tengah arus homogenisasi global, Ibadiyah menghadapi tantangan penting dalam melestarikan literatur klasik dan tradisi keilmuan mereka. Banyak manuskrip Ibadi tua masih tersebar di perpustakaan lokal di Oman, Djerba, dan M’zab, serta belum banyak yang dikaji secara akademik secara luas.

Namun, beberapa inisiatif telah dilakukan oleh akademisi Ibadi dan lembaga internasional, termasuk proyek penerbitan ulang teks klasik seperti karya Jabir bin Zayd dan Abu Ubaidah, serta publikasi berbahasa Inggris dan Prancis untuk memperkenalkan Ibadiyah ke kalangan akademik global.⁷

Sementara itu, munculnya tokoh-tokoh Ibadi kontemporer yang aktif di forum internasional, seperti Dr. Abdulrahman al-Salimi, turut membantu memperluas pemahaman dunia Islam terhadap kekayaan dan kedalaman mazhab ini.⁸

8.5.       Peluang Dialog dan Relevansi Global

Di era meningkatnya ketegangan antarmazhab dan ekstremisme keagamaan, Ibadiyah tampil sebagai model alternatif yang menawarkan jalan tengah antara legalisme Sunni dan spiritualisme Syiah, dengan tetap menjunjung rasionalitas, keadilan, dan toleransi. Banyak pengamat dan akademisi mulai melihat potensi Ibadiyah sebagai model Islam wasatiyah (moderat) yang dapat memberi kontribusi dalam dialog global tentang Islam yang damai dan progresif.⁹

Dengan terus memperkuat pendidikan, literasi digital, dan keterlibatan dalam isu-isu kemanusiaan dan keadilan sosial, komunitas Ibadi memiliki peluang untuk memperluas pengaruh positifnya tanpa kehilangan akar tradisi.


Footnotes

[1]                Valerie J. Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam (Syracuse: Syracuse University Press, 2012), 3.

[2]                Alexey V. Pskhov, “The Third Way in Islam: Ibadism Between Sunni and Shia,” Religions 12, no. 10 (2021): 13–14.

[3]                Marc Valeri, “Oman’s Political Economy and the Post-Rentier State: Between Elite Consolidation and Reform,” Middle East Journal 68, no. 1 (2014): 9–10.

[4]                Abdulrahman al-Salimi and Wilferd Madelung, Early Ibadi Theology (Oxford: Oxford University Press, 2014), xvii–xviii.

[5]                Kristian Coates Ulrichsen, The Gulf States in International Political Economy (New York: Palgrave Macmillan, 2016), 147.

[6]                John Wilkinson, The Imamate Tradition of Oman (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 117–118.

[7]                Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam, 142–144.

[8]                Wilferd Madelung, “Ibadism and the Construction of an Islamic Identity,” Der Islam 89, no. 1 (2012): 28.

[9]                Amr G. E. S. Gaiser, “Ibadism and Modernity: Revisiting Early Islamic Political Thought,” Muslim World 103, no. 2 (2013): 164–165.


9.           Kesimpulan

Ibadiyah, sebagai salah satu cabang utama dalam Islam yang kerap disebut sebagai “mazhab ketiga” setelah Sunni dan Syiah, menawarkan kontribusi yang sangat penting dalam khazanah pemikiran dan praktik Islam. Meskipun jumlah penganutnya tergolong kecil secara global, warisan sejarah, sistem teologi, politik, hukum, dan kehidupan sosial-budaya Ibadiyah menunjukkan bahwa mereka merupakan bagian integral dari keberagaman dan dinamika dunia Islam.

Dari segi sejarah, Ibadiyah berakar pada periode awal Islam dan berkembang sebagai respons terhadap krisis kepemimpinan pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw. Dengan mengambil jalur moderat dari kemelut antara pendukung Ali dan Muawiyah, serta menolak ekstremisme Khawarij, Ibadiyah menawarkan jalan independen yang menekankan keadilan, tauhid murni, dan musyawarah dalam urusan politik.¹

Dalam ranah teologi, Ibadiyah menampilkan sintesis yang menarik antara pendekatan rasional dan kesetiaan terhadap teks. Mereka menolak antropomorfisme dalam memahami sifat-sifat Allah, menerapkan doktrin “manzilah baina manzilatayn” terhadap pelaku dosa besar, serta mengembangkan prinsip al-wala’ wa al-bara’ yang bersifat moral, bukan politis agresif.² Sistem politik dan hukum mereka berbasis pada keadilan, partisipasi masyarakat (syura), dan penegakan syariat melalui Imamah yang meritokratik, sebagaimana tercermin dalam sejarah pemerintahan Ibadi di Oman dan wilayah lainnya.³

Komunitas Ibadi juga berhasil membangun budaya sosial yang kuat, dengan menekankan kesederhanaan, kejujuran, solidaritas komunitas, serta pendidikan agama yang mendalam. Meskipun mereka tersebar dalam kelompok-kelompok kecil di Oman, Aljazair, Tunisia, dan sebagian Afrika Timur, struktur sosial mereka tetap lestari dan adaptif terhadap perkembangan zaman.⁴

Namun demikian, Ibadiyah juga menghadapi tantangan kontemporer, seperti keterpinggiran dalam wacana Islam global, pengaruh modernisasi yang mengancam nilai-nilai tradisional, serta perlunya pelestarian literatur klasik dan sistem pendidikan khas mereka.⁵ Di sisi lain, mereka juga memiliki peluang besar untuk berkontribusi dalam dialog antar-mazhab dan penyebaran wacana Islam moderat yang berbasis pada toleransi, keadilan, dan rasionalitas.⁶ Oman, sebagai negara Ibadi modern, menjadi contoh nyata bahwa prinsip-prinsip Ibadiyah dapat diimplementasikan dalam sistem negara yang stabil dan inklusif.

Dengan demikian, mempelajari dan mengenal Ibadiyah secara objektif dan akademis bukan hanya penting untuk memperluas wawasan umat Islam terhadap keragaman internal dalam agama ini, tetapi juga untuk mendorong sikap saling menghargai dan mencegah penghakiman berbasis stereotip. Seperti ditegaskan oleh Valerie Hoffman, Ibadiyah bukan sekadar kelompok minoritas, tetapi “representasi otentik dari salah satu arah perkembangan Islam awal yang bertahan secara konsisten hingga hari ini.”⁷


Footnotes

[1]                Wilferd Madelung, The Cambridge History of Islam, Volume 1A: The Central Islamic Lands (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 54.

[2]                Valerie J. Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam (Syracuse: Syracuse University Press, 2012), 65–66.

[3]                John Wilkinson, The Imamate Tradition of Oman (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 35–36.

[4]                Amr G. E. S. Gaiser, “The Ibadi Community of M’zab: Persistence and Social Organization,” Muslim World 101, no. 4 (2011): 472–475.

[5]                Alexey V. Pskhov, “The Third Way in Islam: Ibadism Between Sunni and Shia,” Religions 12, no. 10 (2021): 14.

[6]                Marc Valeri, “Oman and the Politics of Consensus,” in Religion and Politics in the Middle East, ed. M. el-Solh (London: Saqi Books, 2014), 101–102.

[7]                Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam, xiv.


Daftar Pustaka

Al-Salimi, A., & Madelung, W. (2014). Early Ibadi theology: Six Ibadi Muslim texts on theology and law. Oxford University Press.

Brett, M., & Fentress, E. (1996). The Berbers. Blackwell.

Brower, B. C., & Burke, E. (Eds.). (2018). A companion to North Africa. Wiley-Blackwell.

Coates Ulrichsen, K. (2016). The Gulf states in international political economy. Palgrave Macmillan.

Gaiser, A. G. E. S. (2011). Ibadi theology and early kalam. The Muslim World, 101(2), 154–172. https://doi.org/10.1111/j.1478-1913.2011.01378.x

Gaiser, A. G. E. S. (2013). Ibadism and modernity: Revisiting early Islamic political thought. The Muslim World, 103(2), 153–169. https://doi.org/10.1111/muwo.12010

Gaiser, A. G. E. S. (2014). Ibadi Jihad: Reassessing Khārijite political and militant thought. Arabica, 61(4), 502–524. https://doi.org/10.1163/15700585-12341320

Gaiser, A. G. E. S. (2015). The rise and fall of the Ibadi Imamate of Oman. Islamic Law and Society, 22(1), 1–25. https://doi.org/10.1163/15685195-00221P02

Green, J. (2017). Ibadi Islam in East Africa: Historical and contemporary perspectives. Islamic Africa, 8(1), 30–45. https://doi.org/10.1163/21540993-00801003

Hodgson, M. G. S. (1974). The venture of Islam: Conscience and history in a world civilization (Vol. 1). University of Chicago Press.

Hoffman, V. J. (2012). The essentials of Ibadi Islam. Syracuse University Press.

Madelung, W. (1970). The early Ibadi movement and its relations with the Umayyads and ‘Abbasids. In The Cambridge history of Islam (Vol. 1A, pp. 51–68). Cambridge University Press.

Madelung, W. (1983). The origins of the controversy concerning the creation of the Qur’an. Studia Islamica, 57, 21–40.

Madelung, W. (2012). Ibadism and the construction of an Islamic identity. Der Islam, 89(1), 1–30. https://doi.org/10.1515/islam-2012-890102

Momen, M. (1985). An introduction to Shi‘i Islam: The history and doctrines of Twelver Shi‘ism. Yale University Press.

Nasution, H. (1986). Teologi Islam: Aliran-aliran, sejarah, analisa, perbandingan (Cet. ke-3). UI Press.

Pskhov, A. V. (2021). The third way in Islam: Ibadism between Sunni and Shia. Religions, 12(10), 855. https://doi.org/10.3390/rel12100855

Valeri, M. (2009). Oman: Politics and society in the Qaboos state. Hurst & Company.

Valeri, M. (2012). Oman and the Arab Spring: A stable exception. In R. Brynen, P. Moore, B. Salloukh, & M. Zahar (Eds.), Beyond the Arab Spring: Authoritarianism and democratization in the Arab world (pp. 231–252). Lynne Rienner Publishers.

Valeri, M. (2014). Oman and the politics of consensus. In M. el-Solh (Ed.), Religion and politics in the Middle East (pp. 99–115). Saqi Books.

Wilkinson, J. (1987). The Imamate tradition of Oman. Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar