Mazhab Ibadiyah
Menelusuri Cabang Ketiga dalam Islam antara Sejarah,
Teologi, dan Dinamika Sosial
Alihkan ke: Aliran-Aliran Ilmu Kalam.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif mazhab
Ibadiyah sebagai cabang ketiga dalam Islam yang kerap terpinggirkan dalam
wacana keislaman arus utama. Ibadiyah, yang tumbuh sejak masa awal Islam,
memiliki karakteristik unik dalam bidang teologi, sistem politik, hukum, serta
kehidupan sosial dan budaya. Berbeda dari Sunni dan Syiah, Ibadiyah menampilkan
pendekatan teologis rasional yang menolak ekstremisme Khawarij, dan
mengembangkan sistem kepemimpinan berbasis musyawarah serta keadilan. Kajian
ini mengeksplorasi asal-usul historis Ibadiyah, ajaran dan keyakinan teologis,
sistem hukum dan politiknya, kehidupan komunitasnya di berbagai wilayah seperti
Oman, M’zab, dan Djerba, serta tantangan dan peluang yang dihadapi dalam
konteks kontemporer. Melalui pendekatan literatur dengan merujuk pada
sumber-sumber akademik yang kredibel, artikel ini bertujuan menampilkan wajah
Ibadiyah secara objektif serta memperkaya pemahaman terhadap keragaman internal
dalam Islam. Artikel ini juga menyoroti potensi Ibadiyah dalam membangun dialog
antar-mazhab dan menampilkan model Islam moderat yang kontekstual.
Kata Kunci: Ibadiyah, Islam, mazhab, teologi Islam, sejarah
Islam, Oman, Khawarij, Sunni, Syiah, moderatisme Islam.
PEMBAHASAN
Kajian Mazhab Ibadiyah Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Islam sebagai agama yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw memiliki dimensi yang sangat kaya, baik dalam hal teologi, hukum,
maupun praktik kehidupan sosial. Seiring berjalannya waktu dan dinamika sejarah
umat Islam, muncul beragam aliran pemikiran yang berkembang dari perbedaan
penafsiran terhadap ajaran-ajaran dasar Islam. Di antara kelompok-kelompok
utama yang dikenal luas adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) dan Syiah,
dua mazhab besar yang mendominasi dunia Islam hingga saat ini.
Namun, di luar kedua kelompok tersebut, terdapat
satu kelompok lain yang sering kali terabaikan dalam wacana arus utama Islam,
yaitu Ibadiyah. Kelompok ini sering dijuluki sebagai “cabang ketiga”
dalam Islam karena memiliki akar sejarah, teologi, dan sistem sosial keagamaan
yang berbeda dari Sunni maupun Syiah, meskipun terdapat beberapa titik temu
dalam aspek tertentu.¹
Ibadiyah berasal dari nama Abdullah bin Ibadh
at-Tamimi, seorang tokoh Muslim dari abad ke-7 Masehi yang aktif dalam
dinamika politik dan teologis pasca wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Meskipun sering dikaitkan dengan Khawarij, Ibadiyah menolak label
tersebut dan memisahkan diri dari ekstremisme serta pendekatan kekerasan yang
diasosiasikan dengan kelompok Khawarij radikal.² Dalam hal ini, Ibadiyah justru
mengembangkan pendekatan keagamaan yang lebih moderat, rasional, dan
mengedepankan prinsip musyawarah dalam sistem politiknya.³
Ibadiyah memiliki sejarah panjang dalam peradaban
Islam, khususnya di wilayah Oman, Aljazair (M'zab), Tunisia
(Djerba), dan sebagian kecil wilayah Afrika Timur seperti Zanzibar.
Di negara Oman, bahkan hingga hari ini, Ibadiyah menjadi mazhab resmi negara
dan memainkan peran penting dalam struktur pemerintahan dan kehidupan sosial
masyarakat.⁴
Meskipun keberadaannya sudah berabad-abad, Ibadiyah
tetap menjadi bagian dari Islam yang kurang dikenal oleh banyak umat Muslim
sendiri. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari keterbatasan
literatur yang tersedia dalam bahasa populer, dominasi narasi mazhab mayoritas,
hingga stereotip keliru yang mengaitkan mereka secara langsung dengan
Khawarij.⁵ Padahal, pemahaman yang objektif dan ilmiah tentang Ibadiyah akan
memperluas wawasan kita terhadap keragaman internal Islam dan sekaligus
menghindarkan kita dari generalisasi yang merugikan.
Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk
mengkaji secara komprehensif tentang Ibadiyah dengan mengupas sejarah
kemunculannya, ajaran teologis yang dipegang, sistem sosial-politik yang
dibangun, serta kontribusi mereka dalam peradaban Islam. Dengan pendekatan
ilmiah dan merujuk pada sumber-sumber akademik yang kredibel, tulisan ini
diharapkan mampu menghadirkan gambaran yang utuh dan objektif mengenai cabang
ketiga dalam Islam ini.
Footnotes
[1]
Valerie J. Hoffman, The Essentials of Ibadi
Islam (Syracuse: Syracuse University Press, 2012), 3.
[2]
Wilferd Madelung, The Cambridge History of
Islam, Volume 1A: The Central Islamic Lands (Cambridge: Cambridge
University Press, 1970), 53–54.
[3]
Amr G. E. S. Gaiser, “Ibadi Jihad: Reassessing
Khārijite Political and Militant Thought,” Arabica 61, no. 4 (2014):
502–524.
[4]
John Wilkinson, The Imamate Tradition of Oman
(Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 7–10.
[5]
Alexey V. Pskhov, “The Third Way in Islam: Ibadism
Between Sunni and Shia,” Religions 12, no. 10 (2021): 855.
2.
Asal-usul dan Sejarah Kemunculan Ibadiyah
Ibadiyah merupakan salah satu mazhab Islam tertua
yang muncul pada fase awal sejarah Islam, tepatnya pada paruh kedua abad ke-1
Hijriah (abad ke-7 Masehi). Kemunculannya tidak dapat dipisahkan dari
pergolakan politik dan teologis pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw, terutama
konflik internal yang menandai masa Khulafaur Rasyidin dan peristiwa fitnah
kubra yang memecah belah umat Islam.
Dalam konteks sejarah, Ibadiyah sering kali
disamakan atau dikaitkan dengan kelompok Khawarij, terutama karena
muncul dari atmosfer yang sama, yaitu kekecewaan terhadap hasil Tahkim
(arbitrasi) antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dalam Perang
Shiffin (657 M). Namun, para pemuka Ibadi menolak label Khawarij karena
menganggap kelompok Khawarij ekstrem telah menyimpang dari prinsip-prinsip
Islam yang moderat.¹
Tokoh sentral yang menjadi inspirasi mazhab ini
adalah Abdullah bin Ibadh at-Tamimi, seorang ulama dari suku Azd yang
hidup pada masa kekhalifahan Umayyah. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa
Ibadiyah tidak didirikan secara resmi oleh Ibn Ibadh sendiri, melainkan
berkembang dari komunitas murid-murid dan pengikutnya yang membentuk sistem
keilmuan dan teologi khas.² Ibn Ibadh lebih dikenal sebagai sosok yang
menengahi dan menyuarakan pendekatan moderat di antara faksi-faksi yang keras
dalam kalangan Khawarij kala itu.
Salah satu tokoh penting dalam kodifikasi ajaran
Ibadiyah adalah Jabir bin Zayd al-Azdi (w. 93 H/711 M), seorang ulama
besar asal Oman yang oleh komunitas Ibadiyah dianggap sebagai pendiri teologis
sejati dari mazhab ini.³ Jabir bin Zayd merupakan murid dari beberapa sahabat
Nabi dan dikenal luas sebagai figur yang ahli dalam ilmu fikih dan tafsir. Ia
memainkan peran besar dalam membangun fondasi intelektual Ibadiyah, termasuk
penyusunan prinsip-prinsip hukum dan akidah.
Dalam fase awal perkembangannya, komunitas Ibadi
menyebar di berbagai wilayah dunia Islam, termasuk di Basrah, yang
menjadi pusat intelektual utama mereka sebelum akhirnya banyak berpindah ke
wilayah Oman, Yaman, serta sebagian Afrika Utara seperti
wilayah M’zab di Aljazair dan Djerba di Tunisia.⁴ Di Oman, ajaran
Ibadiyah memperoleh pengaruh yang sangat kuat hingga akhirnya menjadi dasar
dari sistem pemerintahan Imamah Ibadiyah yang independen dari kekhalifahan
Umayyah dan Abbasiyah.⁵
Ibadiyah juga memainkan peran penting dalam
beberapa gerakan sosial dan politik pada awal sejarah Islam. Salah satunya
adalah pendirian Negara Ibadi di Hadramaut dan Oman yang berasaskan pada
prinsip musyawarah dan pemilihan imam dari kalangan orang saleh dan cakap,
bukan berdasarkan garis keturunan.⁶ Pendekatan ini membedakan mereka secara
signifikan dari sistem politik dinasti Umayyah dan konsep Imamah dalam Syiah.
Seiring waktu, meskipun komunitas Ibadi tidak
berkembang secara luas seperti Sunni dan Syiah, mereka berhasil mempertahankan
identitas dan tradisi keagamaannya secara konsisten. Keberlangsungan mereka
hingga kini menunjukkan bahwa Ibadiyah bukan sekadar fenomena historis yang
terpinggirkan, tetapi merupakan elemen penting dalam sejarah intelektual dan
spiritual Islam.
Footnotes
[1]
Wilferd Madelung, Religious Trends in Early
Islamic Iran (Albany: SUNY Press, 1985), 70.
[2]
Alexey V. Pskhov, “The Third Way in Islam: Ibadism
Between Sunni and Shia,” Religions 12, no. 10 (2021): 4.
[3]
Valerie J. Hoffman, The Essentials of Ibadi
Islam (Syracuse: Syracuse University Press, 2012), 23–24.
[4]
Amr G. E. S. Gaiser, “Ibadi Jihad: Reassessing
Khārijite Political and Militant Thought,” Arabica 61, no. 4 (2014):
508–510.
[5]
John Wilkinson, The Imamate Tradition of Oman
(Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 15–17.
[6]
Adam Gaiser, Shurāt Legends, Ibādī Identities:
Martyrdom, Asceticism, and the Making of an Early Islamic Community
(Columbia: University of South Carolina Press, 2016), 65–67.
3.
Ajaran dan Keyakinan Teologis Ibadiyah
Ibadiyah memiliki
sistem teologi yang khas, yang meskipun memiliki kesamaan dengan aliran-aliran
Islam lain dalam beberapa aspek dasar, namun tetap mempertahankan identitas
pemikiran yang unik. Mazhab ini menekankan pendekatan rasional dalam memahami
ajaran agama, sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip Al-Qur'an dan Sunnah.
Ajaran-ajaran utama dalam teologi Ibadiyah mencakup pandangan mereka tentang
tauhid, sifat-sifat Allah, status pelaku dosa besar, serta pandangan mereka
tentang komunitas muslim dan politik.
3.1. Tauhid dan Sifat-Sifat Allah
Seperti
mazhab-mazhab Islam lainnya, Ibadiyah meyakini bahwa Allah
adalah Esa dan tidak serupa dengan makhluk-Nya. Namun, dalam
diskursus sifat-sifat Tuhan, Ibadiyah mengadopsi pendekatan yang sangat mirip
dengan kaum Mu’tazilah. Mereka menolak antropomorfisme dan memahami sifat-sifat
Allah bukan sebagai entitas yang terpisah dari zat-Nya, tetapi sebagai ekspresi
dari zat ilahiyah yang tunggal.¹
Sebagai contoh,
sifat seperti ilmu, qudrah, dan irada
tidak dipandang sebagai entitas tersendiri yang berdampingan dengan dzat Allah,
melainkan bagian dari hakikat-Nya yang tidak terbagi. Pandangan ini bertujuan
untuk menjaga kemurnian tauhid dan menghindari penafsiran yang mengarah pada
tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya).²
3.2. Al-Qur’an dan Sunnah
Ibadiyah memandang Al-Qur’an
sebagai wahyu ilahi yang tidak diciptakan, namun mereka
berhati-hati dalam perdebatan tentang makhluq atau qadim-nya Al-Qur’an yang
sempat menjadi kontroversi besar pada masa Abbasiyah.³ Mereka menekankan
pentingnya tafsir rasional dan kontekstual terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, serta
menjadikan Sunnah Nabi Saw sebagai sumber hukum kedua
setelah Al-Qur’an, selama sanad dan isi hadis tersebut dinilai shahih secara
ilmiah dan rasional.⁴
Dalam hal
periwayatan hadis, Ibadiyah memiliki koleksi hadis tersendiri yang dikenal
sebagai Jami‘
al-Musannaf, yang berisi riwayat-riwayat dari sahabat dan tabiin
yang dianggap terpercaya menurut standar mereka, seperti Jabir bin Zayd dan Abu
Ubaidah Muslim bin Abi Karima.⁵
3.3. Status Pelaku Dosa Besar
Salah satu pokok
pemikiran yang membedakan Ibadiyah dari Sunni dan Syiah adalah pandangan
mereka terhadap pelaku dosa besar (kabirah). Ibadiyah tidak
mengkafirkan secara mutlak pelaku dosa besar, seperti Khawarij ekstrem, tetapi
juga tidak menganggapnya tetap beriman sepenuhnya seperti dalam pandangan
Sunni.
Menurut Ibadiyah,
pelaku dosa besar berada dalam posisi "manzilah baina manzilatayn"
(suatu kedudukan antara iman dan kufur), mirip dengan pendapat Mu’tazilah.⁶
Namun, secara sosial-politik, jika pelaku dosa besar secara terang-terangan
melanggar hukum dan tidak bertobat, ia bisa dipandang keluar dari komunitas
muslim sejati (ahl al-‘adl wa al-tawḥid), meskipun
tidak disebut kafir secara mutlak.⁷
3.4. Konsep al-Wala’ wa al-Bara’
Ibadiyah juga
mengembangkan doktrin al-wala’ wa al-bara’ (loyalitas
dan pemutusan hubungan) sebagai prinsip moral dan spiritual dalam membina
hubungan sosial. Al-wala’ adalah sikap loyal
terhadap orang-orang saleh dan adil, sedangkan al-bara’ adalah penolakan terhadap
tindakan maksiat dan ketidakadilan, termasuk terhadap penguasa zalim.⁸
Doktrin ini sering
disalahpahami sebagai bentuk ekstremisme, padahal dalam konteks Ibadiyah, ia
lebih merupakan mekanisme perlindungan moral komunitas daripada alat kekerasan
politik. Mereka mempraktikkannya melalui isolasi sosial yang damai, bukan
kekerasan atau pemberontakan seperti dilakukan oleh kelompok ekstremis.
3.5. Sikap terhadap Sahabat dan Sejarah Awal Islam
Berbeda dengan Sunni
yang menerima seluruh sahabat dan Syiah yang mengkritik sebagian besar sahabat,
Ibadiyah mengambil posisi tengah. Mereka menghormati sahabat Nabi yang dianggap
adil dan setia pada prinsip Islam, seperti Abu Bakar dan Umar, tetapi mengkritik
keras Utsman di akhir pemerintahannya serta Ali karena menerima arbitrase dalam
Perang Shiffin.⁹
Namun demikian,
kritik tersebut bersifat teologis-politik dan tidak bermaksud menafikan
keislaman tokoh-tokoh tersebut secara mutlak. Sikap kritis ini mencerminkan
komitmen Ibadiyah terhadap prinsip keadilan dan kebenaran, bukan sekadar
loyalitas historis.
Footnotes
[1]
Valerie J. Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam (Syracuse:
Syracuse University Press, 2012), 65–66.
[2]
Amr G. E. S. Gaiser, “Ibadi Theology and Early Kalam,” Muslim World
101, no. 2 (2011): 155–157.
[3]
Wilferd Madelung, The Origins of the Controversy Concerning the
Creation of the Qur’an, in Studia Islamica, no. 57 (1983): 21–40.
[4]
Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam, 70–72.
[5]
Abdulrahman al-Salimi and Wilferd Madelung, Early Ibadi Theology:
Six Ibadi Muslim Texts on Theology and Law (Oxford: Oxford University
Press, 2014), 12–13.
[6]
Gaiser, “Ibadi Theology and Early Kalam,” 160–162.
[7]
Adam Gaiser, Shurāt Legends, Ibādī Identities (Columbia:
University of South Carolina Press, 2016), 88–89.
[8]
Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam, 85–87.
[9]
Pskhov, “The Third Way in Islam: Ibadism Between Sunni and Shia,” Religions
12, no. 10 (2021): 6–7.
4.
Sistem Politik dan Hukum dalam Ibadiyah
Ibadiyah tidak hanya
dikenal karena sistem teologinya yang khas, tetapi juga karena konsep politik
dan hukum Islam yang dikembangkan secara mandiri dan kontekstual. Mereka membangun
struktur pemerintahan berbasis prinsip keadilan, musyawarah, dan ketaatan
kepada syariat. Sistem politik dan hukum ini menunjukkan bentuk
alternatif pemerintahan Islam yang berbeda dari model kekhalifahan Umayyah,
Abbasiyah, maupun konsep Imamah dalam Syiah.
4.1. Konsep Imamah dan Pemerintahan
Dalam pandangan
Ibadiyah, bentuk ideal dari kepemimpinan umat Islam adalah sistem Imamah,
yaitu kepemimpinan seorang imam yang dipilih berdasarkan kualitas keilmuan,
keadilan, ketakwaan, dan kemampuan dalam menjalankan urusan publik. Tidak
seperti Syiah yang mensyaratkan nasab (garis keturunan) tertentu, atau Sunni
yang cenderung menerima legitimasi kekuasaan de facto, Ibadiyah menekankan pemilihan
melalui musyawarah (shūrā) dan bai'at sukarela dari
masyarakat.¹
Imam dalam sistem
Ibadi bukan hanya pemimpin spiritual, tetapi juga kepala negara yang
bertanggung jawab penuh dalam menerapkan hukum Islam dan menjaga keadilan. Jika
imam terbukti tidak adil atau menyimpang dari syariat, masyarakat memiliki hak
untuk mencabut bai’at dan memberhentikannya.² Ini mencerminkan prinsip "imamah
bukan hak istimewa, melainkan amanah", dan menjadikan
sistem politik Ibadiyah lebih demokratis dibanding sistem dinasti monarki yang
berkembang pada masa kekhalifahan.³
Konsep ini pertama
kali dipraktikkan dalam sejarah oleh Imamah Ibadiyah di Oman, yang
didirikan pada abad ke-8 M dan bertahan dengan berbagai fase hingga abad
ke-20.⁴
4.2. Prinsip Dar wa Da’wah
Dalam teori politik
Ibadi, dikenal pula konsep "al-Dār wa al-Da‘wah",
yaitu pembagian wilayah menjadi “dar al-Islam” (negeri Islam
tempat hukum Allah ditegakkan) dan “dar al-kufr” (wilayah yang
belum menerima hukum Islam secara sempurna). Namun, tidak seperti kelompok
Khawarij ekstrem yang cenderung memandang dunia secara dikotomis dan menjustifikasi
kekerasan, Ibadiyah menerapkan prinsip ini secara fungsional, bukan agresif.⁵
Tujuan dari prinsip
ini bukan untuk mengkafirkan wilayah lain, melainkan untuk menjaga identitas
komunitas dan menerapkan hukum secara konsisten dalam masyarakat yang telah
menyepakati sistem syariah.
4.3. Fikih dan Sumber Hukum Ibadiyah
Mazhab Ibadiyah
memiliki sistem hukum (fikih) yang
berkembang sejak masa Jabir bin Zayd dan Abu Ubaidah Muslim bin Abi Karima.
Fikih Ibadiyah bersumber dari empat landasan utama: Al-Qur’an,
Sunnah Nabi, ijma‘ (konsensus ulama), dan qiyas (analogi hukum).⁶
Namun, dalam penerapan ijma‘ dan qiyas, mereka sangat berhati-hati agar tidak
melampaui batas nash-nash syariat.
Ibadiyah memiliki
karya-karya fikih klasik yang sangat sistematis, di antaranya adalah al-Mudawwanah
dan al-Musannaf,
yang memuat hukum-hukum ibadah, muamalah, pidana, peradilan, dan lain-lain.⁷
Dalam hal ibadah, hukum-hukum yang mereka terapkan memiliki kemiripan dengan
hukum fikih Sunni dalam beberapa aspek, tetapi juga menunjukkan perbedaan,
seperti dalam pelaksanaan shalat berjamaah, cara adzan, dan
urutan bacaan dalam shalat.
Mereka juga memiliki
sistem pengadilan yang bersifat desentralistik dan kolektif, di
mana hakim-hakim dipilih berdasarkan kompetensi dan integritas pribadi, dan
putusan hukum diambil dengan melibatkan dewan ulama yang disebut ahl
al-hall wa al-‘aqd.⁸
4.4. Etika Hukum dan Tujuan Syariah
Ibadiyah sangat
menekankan etika moral dalam hukum, dengan
tujuan akhir adalah menegakkan keadilan (‘adl) dan menghindari
kerusakan (fasad). Oleh karena itu, dalam banyak keputusan
hukum, mereka memperhatikan konteks sosial dan maslahat umat. Hukum tidak
diterapkan secara mekanistik, tetapi dengan pertimbangan maslahat, tanpa
mengabaikan teks suci.⁹
Footnotes
[1]
John Wilkinson, The Imamate Tradition of Oman (Cambridge:
Cambridge University Press, 1987), 33–35.
[2]
Valerie J. Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam (Syracuse:
Syracuse University Press, 2012), 105–106.
[3]
Amr G. E. S. Gaiser, “The Rise and Fall of the Ibadi Imamate of Oman,” Islamic
Law and Society 22, no. 1 (2015): 1–25.
[4]
Alexey V. Pskhov, “The Third Way in Islam: Ibadism Between Sunni and
Shia,” Religions 12, no. 10 (2021): 7–8.
[5]
Adam Gaiser, Shurāt Legends, Ibādī Identities (Columbia:
University of South Carolina Press, 2016), 91–92.
[6]
Abdulrahman al-Salimi and Wilferd Madelung, Early Ibadi Theology:
Six Ibadi Muslim Texts on Theology and Law (Oxford: Oxford University
Press, 2014), 47–50.
[7]
Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam, 114–116.
[8]
Gaiser, “The Rise and Fall of the Ibadi Imamate of Oman,” 19–20.
[9]
Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam, 123.
5.
Kehidupan Sosial dan Budaya Komunitas Ibadi
Komunitas Ibadi,
meskipun tergolong minoritas dalam dunia Islam, telah berhasil mempertahankan
eksistensinya selama lebih dari 13 abad dengan membangun sistem sosial dan
budaya yang khas dan berkelanjutan. Kehidupan sosial mereka ditandai dengan
keteraturan, kesederhanaan, serta orientasi keagamaan yang kuat. Budaya Ibadi
menampilkan perpaduan antara nilai-nilai keislaman, semangat komunitarianisme,
dan identitas lokal yang terpelihara secara kolektif, terutama di Oman, Jazair
(M'zab), Tunisia (Djerba), dan Afrika Timur.
5.1. Struktur Sosial dan Kehidupan Komunitas
Masyarakat Ibadi
umumnya hidup dalam struktur sosial yang kolektif dan egaliter. Kehidupan
mereka terorganisasi dengan baik berdasarkan prinsip musyawarah
(shūrā) dan tanggung jawab bersama. Dalam komunitas tradisional
seperti lembah M’zab di Aljazair dan
wilayah pedalaman Oman, keputusan-keputusan penting seperti urusan pernikahan,
penyelesaian sengketa, hingga pengelolaan sumber daya alam (air dan tanah)
dilakukan secara komunal melalui dewan ulama dan tetua masyarakat.¹
Struktur masyarakat
Ibadi tidak mengenal stratifikasi sosial berbasis keturunan secara kaku. Semua
anggota masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang seimbang, meskipun tetap
menghormati otoritas moral ulama dan tokoh adat.²
5.2. Peran Sentral Masjid dan Pendidikan
Masjid dalam
masyarakat Ibadi tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga
sebagai pusat kehidupan intelektual dan pengambilan
keputusan kolektif. Di dalam masjid, para lelaki dan pemuda belajar
ilmu agama, tafsir, fikih, dan sejarah Islam dari para syekh. Masjid juga
menjadi tempat berlangsungnya diskusi keagamaan, musyawarah politik, hingga
mediasi sosial.³
Komunitas Ibadi
sangat menekankan pentingnya pendidikan agama sejak dini.
Mereka memiliki sistem pengajaran tradisional yang disebut ḥalqāt
al-‘ilm, di mana anak-anak dan remaja belajar membaca Al-Qur’an,
hadis, dan fikih secara langsung dari guru-guru yang terpercaya. Karya-karya
ulama klasik Ibadi seperti Jabir bin Zayd dan Abu Ubaidah Muslim bin Abi Karima
terus diajarkan hingga hari ini.⁴
5.3. Nilai Kesederhanaan dan Disiplin Sosial
Ciri khas lain dari
kehidupan Ibadi adalah kesederhanaan dalam gaya hidup (zuhd)
dan disiplin
sosial yang ketat. Nilai ini didasarkan pada prinsip moral dan
akhlak Islam yang ditekankan oleh Ibadiyah sejak awal, terutama dalam
menghindari sikap berlebihan (isrāf) dan pamer kekayaan (riya’).⁵
Dalam budaya Ibadi
tradisional, penampilan yang mencolok, pesta mewah, dan kemewahan yang
berlebihan dianggap sebagai penyimpangan dari akhlak Islami. Oleh karena itu,
banyak komunitas Ibadi mempertahankan gaya hidup yang sederhana tetapi
terhormat, serta menghargai kerja keras dan kejujuran.⁶
5.4. Kesenian, Bahasa, dan Identitas Budaya
Komunitas Ibadi juga
memiliki warisan budaya yang khas. Di wilayah Oman, budaya Ibadi menyatu dengan
adat istiadat lokal dalam bentuk arsitektur masjid dan rumah yang sederhana
namun fungsional, pakaian tradisional yang tertutup, serta kesenian lisan
seperti syair-syair keislaman. Di M’zab, struktur pemukiman dibangun
berdasarkan prinsip kesetaraan, keterbukaan, dan keamanan komunitas.⁷
Bahasa Arab klasik
tetap dipertahankan dalam pengajaran agama, sementara bahasa lokal seperti Tamazight
(Berber) digunakan dalam kehidupan sehari-hari di Afrika Utara. Identitas
budaya ini dijaga dengan ketat karena dipandang sebagai bagian dari warisan
keagamaan dan historis Ibadiyah.⁸
5.5. Toleransi dan Hubungan Antarmazhab
Salah satu aspek
yang paling menonjol dari komunitas Ibadi modern, terutama di Oman, adalah sikap
toleran dan terbuka terhadap mazhab lain. Meskipun memiliki
identitas teologis yang jelas, masyarakat Ibadi dikenal tidak mudah mengafirkan
pihak lain dan lebih memilih jalan dialog dan kerja sama. Oman sebagai negara
bermazhab Ibadi menjalin hubungan baik dengan negara-negara mayoritas Sunni dan
Syiah, serta memainkan peran sebagai mediator dalam banyak konflik regional.⁹
Sikap ini lahir dari
warisan pemikiran Ibadi yang menekankan prinsip keadilan dan penghindaran fitnah,
serta pengalaman sejarah mereka sebagai minoritas yang harus bertahan dalam
berbagai kondisi geopolitik yang sulit.
Footnotes
[1]
Benjamin Claude Brower and Edmund Burke III, eds., A Companion to
North Africa (Oxford: Wiley-Blackwell, 2018), 293.
[2]
John Wilkinson, The Imamate Tradition of Oman (Cambridge:
Cambridge University Press, 1987), 49–50.
[3]
Valerie J. Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam (Syracuse:
Syracuse University Press, 2012), 132–134.
[4]
Abdulrahman al-Salimi and Wilferd Madelung, Early Ibadi Theology:
Six Ibadi Muslim Texts on Theology and Law (Oxford: Oxford University
Press, 2014), 18–19.
[5]
Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam, 122–124.
[6]
Gaiser, Adam. Shurāt Legends, Ibādī Identities (Columbia:
University of South Carolina Press, 2016), 75.
[7]
Pskhov, Alexey V., “The Third Way in Islam: Ibadism Between Sunni and
Shia,” Religions 12, no. 10 (2021): 10–11.
[8]
M. Brett and E. Fentress, The Berbers (Oxford: Blackwell,
1996), 258.
[9]
Marc Valeri, “Oman and the Arab Spring: A Stable Exception,” in Beyond
the Arab Spring: Authoritarianism and Democratization in the Arab World,
ed. Rex Brynen et al. (Boulder: Lynne Rienner Publishers, 2012), 233–234.
6.
Penyebaran Geografis dan Populasi Ibadiyah
Ibadiyah, meskipun
termasuk mazhab minoritas dalam Islam secara global, telah memiliki sejarah
penyebaran yang luas dan beragam, mencakup wilayah Semenanjung Arab, Afrika
Utara, dan sebagian wilayah Afrika Timur. Wilayah-wilayah ini menjadi basis
utama komunitas Ibadi yang hingga hari ini mempertahankan identitas
keagamaannya secara konsisten. Keberadaan mereka yang tersebar, namun
terorganisasi, mencerminkan kekuatan internal dan kesinambungan ajaran Ibadiyah
sepanjang sejarah.
6.1. Oman: Basis Terbesar Ibadiyah
Negara Oman
merupakan pusat terkuat dan paling stabil bagi komunitas Ibadi di dunia saat
ini. Sekitar 45-75% dari populasi Oman
menganut mazhab Ibadiyah, menjadikannya satu-satunya negara dengan struktur
pemerintahan yang secara resmi berlandaskan pada prinsip-prinsip Ibadi.¹ Sejak
berdirinya Imamah Ibadiyah di Oman pada abad ke-8 M dan konsolidasi kekuasaan
oleh Dinasti Al-Busaid sejak abad ke-18, Ibadiyah telah menjadi fondasi ideologis
dan moral dari sistem politik dan sosial Oman.²
Keberhasilan
Ibadiyah di Oman didukung oleh stabilitas politik, pendekatan toleransi
antarmazhab, dan sistem pendidikan agama yang kuat. Masjid-masjid, sekolah, dan
institusi hukum beroperasi dengan pengaruh fikih dan prinsip sosial Ibadi,
tanpa meminggirkan kelompok Sunni maupun Syiah yang hidup berdampingan secara
damai.³
6.2. Afrika Utara: M’zab, Djerba, dan Nafusa
Di Afrika
Utara, komunitas Ibadi ditemukan di beberapa kantong penting.
Di Aljazair,
kelompok Ibadi bermukim di wilayah Lembah M’zab (Wilayah
Ghardaïa), sebuah kawasan otonom budaya yang terkenal dengan struktur sosial
yang disiplin dan arsitektur khas. Komunitas Ibadi di M’zab diperkirakan
mencapai sekitar 150.000–200.000 orang,
dan mereka dikenal karena ketertiban sosial, kegiatan ekonomi mandiri, serta
peran aktif dalam perdagangan.⁴
Sementara itu, di Tunisia,
komunitas Ibadi hidup di Pulau Djerba, terutama di
daerah Ajim dan Hara Kebira. Komunitas ini tetap aktif menjaga identitas mereka
dengan mendirikan madrasah, masjid Ibadi, dan pusat-pusat budaya lokal.⁵ Di
wilayah Pegunungan Nafusa di Libya,
Ibadiyah sempat berkembang sejak abad pertengahan, meskipun dalam konteks
modern jumlahnya berkurang secara signifikan akibat tekanan politik.
6.3. Afrika Timur: Pengaruh Sejarah di Zanzibar
Penyebaran Ibadiyah
juga menjangkau kawasan Afrika Timur, terutama di
wilayah Zanzibar (Tanzania), yang
dahulu merupakan bagian dari Kesultanan Oman. Pada abad ke-18 dan ke-19, ketika
Oman memiliki pengaruh maritim yang kuat, Ibadiyah menyebar melalui jaringan
perdagangan ke pantai timur Afrika, termasuk Mombasa (Kenya), Dar es Salaam,
dan kepulauan di sekitarnya.⁶
Meskipun jumlah
penganut Ibadi di wilayah ini saat ini tergolong kecil, pengaruh mereka tetap
terasa dalam struktur sosial dan kebudayaan lokal. Beberapa masjid dan
komunitas yang masih mempertahankan tradisi Ibadi dapat ditemukan di kota-kota
pesisir tertentu di Tanzania dan Kenya.⁷
6.4. Komunitas Kecil Lainnya dan Diaspora
Selain di wilayah
utama, komunitas Ibadi juga ditemukan dalam jumlah kecil di Yaman
(Hadramaut), Arab Saudi bagian selatan, dan beberapa
kawasan diaspora di Eropa dan Amerika Utara, terutama akibat
migrasi pendidikan dan ekonomi. Namun, komunitas-komunitas ini umumnya lebih
bersifat sosial-kultural dan tidak menunjukkan struktur organisasi formal
sebagaimana di Oman atau M’zab.
6.5. Populasi Global Ibadiyah
Estimasi populasi
global Ibadiyah berkisar antara 1,5 hingga 2,5 juta orang,
menjadikan mereka mazhab terkecil dibandingkan Sunni dan Syiah.⁸ Meskipun
demikian, pengaruh mereka dalam politik, pendidikan, dan budaya Islam tetap
signifikan, terutama karena keteguhan mereka dalam menjaga nilai-nilai
keislaman, moral sosial, dan keterbukaan terhadap komunitas lain.
Footnotes
[1]
Marc Valeri, Oman: Politics and Society in the Qaboos State
(London: Hurst & Company, 2009), 46.
[2]
John Wilkinson, The Imamate Tradition of Oman (Cambridge:
Cambridge University Press, 1987), 75–77.
[3]
Valerie J. Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam (Syracuse:
Syracuse University Press, 2012), 135–137.
[4]
Benjamin Claude Brower and Edmund Burke III, eds., A Companion to
North Africa (Oxford: Wiley-Blackwell, 2018), 294–295.
[5]
Amr G. E. S. Gaiser, “The Ibadi Community of Djerba: Persistence and
Revival,” Journal of North African Studies 18, no. 5 (2013): 689–707.
[6]
Abdulrahman al-Salimi and Wilferd Madelung, Early Ibadi Theology:
Six Ibadi Muslim Texts on Theology and Law (Oxford: Oxford University
Press, 2014), 21–22.
[7]
Joseph Green, “Ibadi Islam in East Africa: Historical and Contemporary
Perspectives,” Islamic Africa 8, no. 1 (2017): 32–33.
[8]
Alexey V. Pskhov, “The Third Way in Islam: Ibadism Between Sunni and
Shia,” Religions 12, no. 10 (2021): 12.
7.
Perbandingan Ibadiyah dengan Sunni dan Syiah
Ibadiyah sering
disebut sebagai “cabang ketiga” dalam Islam selain Sunni dan Syiah. Meskipun
dalam banyak hal terdapat kesamaan antara ketiga mazhab tersebut, masing-masing
memiliki karakteristik teologis, politik, dan yurisprudensial yang
membedakannya secara fundamental. Pemahaman yang cermat terhadap perbedaan dan
persamaan ini penting untuk melihat kekayaan tradisi intelektual dalam Islam
serta untuk menghindari simplifikasi atau stereotip yang tidak akurat.
7.1. Asal Usul dan Sejarah Awal
Mazhab Sunni
tumbuh sebagai representasi arus utama Islam yang menerima legitimasi kekuasaan
khalifah berdasarkan konsensus umat (ijma’) dan sejarah politik dominan,
sedangkan Syiah muncul dari keyakinan
bahwa kepemimpinan umat Islam seharusnya berada di tangan Ahlul Bait, khususnya
keturunan Ali bin Abi Thalib.¹ Sementara itu, Ibadiyah muncul sebagai reaksi
terhadap konflik politik awal dalam Islam, terutama pasca arbitrase dalam
Perang Shiffin, dan menolak klaim legitimasi dari kedua belah pihak tersebut.²
Ibadiyah menempuh
jalan independen dari dua arus besar ini, meskipun sering dikaitkan dengan
Khawarij. Namun mereka menolak kekerasan dan ekstremisme Khawarij, dan
mengembangkan sistem ajaran yang lebih moderat serta rasional.³
7.2. Teologi dan Konsep Ketuhanan
Dalam hal teologi,
ketiganya sama-sama menegaskan keesaan Tuhan (tauhid), namun pendekatannya
berbeda:
·
Sunni
cenderung menerima sifat-sifat Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan
Sunnah tanpa menakwil secara mendalam, mengikuti prinsip bilā kayf
(tanpa mempertanyakan “bagaimana”).⁴
·
Syiah Imamiyah
menekankan keadilan ilahi (al-‘adl) dan mempercayai adanya pengetahuan esoterik
pada para imam maksum.⁵
·
Ibadiyah,
mirip dengan Mu’tazilah, menolak antropomorfisme dalam sifat-sifat Allah dan
menekankan bahwa semua sifat Allah tidak terpisah dari dzat-Nya.⁶
7.3. Pandangan terhadap Sahabat
Perbedaan tajam juga
terlihat dalam sikap terhadap sahabat Nabi:
·
Sunni
memuliakan semua sahabat dan menganggap keadilan mereka sebagai prinsip dasar.
·
Syiah
mengkritik sebagian besar sahabat, khususnya mereka yang dianggap merebut hak
Ahlul Bait, dan mengutamakan otoritas Ali serta para imam setelahnya.⁷
·
Ibadiyah
mengambil posisi selektif: mereka menghormati sahabat seperti Abu Bakar dan
Umar, namun mengkritik Utsman karena dianggap menyalahgunakan kekuasaan di
akhir pemerintahannya, serta Ali karena menerima tahkim.⁸ Namun, Ibadiyah tidak
mencela sahabat secara emosional seperti Syiah, juga tidak mengkultuskan mereka
seperti sebagian Sunni.
7.4. Kepemimpinan dan Politik
Dalam aspek politik
dan kepemimpinan, terdapat perbedaan mendasar:
·
Sunni
menerima kepemimpinan (khilafah) berdasarkan musyawarah, meskipun dalam
praktiknya sering berkembang menjadi sistem dinasti.
·
Syiah
meyakini kepemimpinan ilahi (imamah) yang ditetapkan oleh Allah melalui Nabi,
dan hanya bisa dipegang oleh imam dari keturunan Ali dan Fatimah.
·
Ibadiyah
menganut sistem Imamah berdasarkan kualifikasi moral dan
intelektual, dipilih melalui syura, dan dapat digulingkan jika menyimpang dari
keadilan dan syariat.⁹ Konsep ini menjadikan sistem politik Ibadi lebih
meritokratik dan fleksibel.
7.5. Hukum dan Fikih
Dalam hal fikih,
ketiga mazhab memiliki sistem hukum yang berdiri sendiri:
·
Sunni
memiliki empat mazhab fikih utama (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) dengan
pendekatan variatif terhadap qiyas, istihsan, dan ijma’.
·
Syiah
(Ja’fariyah) menekankan peran akal (‘aql) dan ijtihad dari para mujtahid
sebagai pengganti imam ghaib.
·
Ibadiyah
menggunakan Al-Qur’an, Sunnah, ijma’ komunitas saleh, dan qiyas, namun menolak
taklid buta dan lebih mengutamakan konteks sosial serta kemaslahatan.¹⁰
7.6. Sikap terhadap Mazhab Lain
Salah satu perbedaan
yang signifikan adalah dalam sikap terhadap kelompok lain:
·
Sebagian Sunni dan Syiah
dalam sejarah memiliki kecenderungan untuk saling mengkafirkan dalam kondisi
politis tertentu.
·
Ibadiyah, meskipun meyakini
doktrin al-wala’ wa al-bara’, dikenal lebih toleran dan tidak
konfrontatif, terutama dalam konteks modern. Oman, sebagai negara
Ibadi, menjadi contoh negara dengan hubungan baik antara Sunni, Syiah, dan
non-Muslim.¹¹
Footnotes
[1]
Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and
History in a World Civilization, vol. 1 (Chicago: University of Chicago
Press, 1974), 211–213.
[2]
Wilferd Madelung, The Cambridge History of Islam, Volume 1A
(Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 53–54.
[3]
Valerie J. Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam (Syracuse:
Syracuse University Press, 2012), 15.
[4]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan
(Jakarta: UI Press, 1986), 42–45.
[5]
Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam (New Haven: Yale
University Press, 1985), 151–152.
[6]
Amr G. E. S. Gaiser, “Ibadi Theology and Early Kalam,” Muslim World
101, no. 2 (2011): 156.
[7]
Momen, An Introduction to Shi‘i Islam, 156–157.
[8]
Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam, 89.
[9]
John Wilkinson, The Imamate Tradition of Oman (Cambridge:
Cambridge University Press, 1987), 33–36.
[10]
Abdulrahman al-Salimi and Wilferd Madelung, Early Ibadi Theology
(Oxford: Oxford University Press, 2014), 48–49.
[11]
Marc Valeri, “Oman and the Politics of Consensus,” in Religion and
Politics in the Middle East, ed. M. el-Solh (London: Saqi Books, 2014),
102–103.
8.
Tantangan dan Perkembangan Kontemporer Ibadiyah
Dalam dunia Islam
kontemporer yang semakin kompleks, komunitas Ibadi menghadapi sejumlah
tantangan sekaligus peluang untuk berkembang. Sebagai mazhab minoritas yang
mempertahankan sistem nilai, politik, dan teologi yang khas, Ibadiyah dituntut
untuk menjaga kesinambungan identitas keagamaannya di tengah dinamika
globalisasi, arus informasi, dan perubahan politik. Selain itu, keberadaan
mereka juga mulai diperhitungkan dalam percaturan geopolitik dan dialog
antar-mazhab sebagai model Islam yang toleran dan stabil.
8.1. Tantangan Minoritas dan Representasi Global
Meskipun memiliki
sejarah panjang dan kontribusi intelektual yang signifikan, Ibadiyah
tetap merupakan mazhab minoritas dalam skala global.
Populasinya yang relatif kecil—diperkirakan antara 1,5
hingga 2,5 juta jiwa—membuatnya kurang dikenal oleh mayoritas
umat Islam, bahkan sering disalahpahami sebagai bagian dari kelompok Khawarij,
meskipun mereka telah secara tegas menolak label tersebut.¹
Kurangnya
representasi Ibadiyah dalam forum-forum internasional Islam, termasuk
lembaga-lembaga fatwa besar, media global, serta kurikulum keislaman di dunia
Islam, memperkuat keterpinggiran simbolik mereka.² Tantangan ini mendorong
komunitas Ibadi, khususnya akademisi dan ulama mereka, untuk aktif membangun
jembatan pemahaman dengan kelompok lain melalui publikasi ilmiah, seminar
antar-mazhab, dan kerja sama lintas negara.
8.2. Globalisasi dan Transformasi Sosial
Seperti kelompok
keagamaan lainnya, komunitas Ibadi menghadapi pengaruh globalisasi yang
membawa arus modernisasi, media digital, dan konsumerisme yang berpotensi
menggoyahkan nilai-nilai tradisional. Dalam konteks ini, tantangan terbesar
adalah bagaimana mempertahankan nilai-nilai kesederhanaan, kejujuran, dan
solidaritas sosial, yang menjadi ciri khas budaya Ibadi, tanpa
terisolasi dari perkembangan zaman.³
Generasi muda Ibadi,
terutama di Oman dan Aljazair, kini lebih terpapar oleh ide-ide global,
pendidikan sekuler, dan gaya hidup modern. Hal ini menuntut inovasi dalam
pendidikan agama Ibadi yang mampu menjawab tantangan kontemporer tanpa
kehilangan integritas keilmuannya. Beberapa madrasah dan lembaga pendidikan
Ibadi mulai merespons dengan menyusun kurikulum terpadu yang menggabungkan
ilmu-ilmu agama klasik dengan pemikiran kritis dan sains modern.⁴
8.3. Stabilitas Politik Oman dan Peran Strategis
Ibadiyah
Salah satu
perkembangan kontemporer yang menonjol adalah keberhasilan Oman, negara dengan
mayoritas Ibadi, dalam menjaga stabilitas politik, toleransi antarmazhab, dan
kebijakan luar negeri yang netral. Oman dikenal sebagai negara
yang tidak terlibat dalam konflik mazhab seperti yang terjadi di negara-negara
mayoritas Sunni atau Syiah, dan bahkan sering berperan sebagai mediator
dalam konflik regional, seperti dalam isu Yaman dan hubungan Iran–Arab Saudi.⁵
Pendekatan
diplomatik Oman ini merupakan cerminan dari ajaran Ibadi yang menolak kekerasan, menjunjung
musyawarah, dan menekankan keadilan sosial. Hal ini menunjukkan
bahwa prinsip-prinsip politik Ibadi bukan sekadar doktrin teoretis, melainkan
mampu diimplementasikan dalam praktik pemerintahan yang inklusif dan moderat.⁶
8.4. Pelestarian Identitas dan Literasi Keagamaan
Di tengah arus
homogenisasi global, Ibadiyah menghadapi tantangan penting dalam melestarikan
literatur klasik dan tradisi keilmuan mereka. Banyak manuskrip
Ibadi tua masih tersebar di perpustakaan lokal di Oman, Djerba, dan M’zab,
serta belum banyak yang dikaji secara akademik secara luas.
Namun, beberapa
inisiatif telah dilakukan oleh akademisi Ibadi dan lembaga internasional,
termasuk proyek penerbitan ulang teks klasik seperti karya Jabir bin Zayd dan
Abu Ubaidah, serta publikasi berbahasa Inggris dan Prancis untuk memperkenalkan
Ibadiyah ke kalangan akademik global.⁷
Sementara itu,
munculnya tokoh-tokoh Ibadi kontemporer yang aktif di forum internasional,
seperti Dr. Abdulrahman al-Salimi, turut membantu memperluas pemahaman dunia
Islam terhadap kekayaan dan kedalaman mazhab ini.⁸
8.5. Peluang Dialog dan Relevansi Global
Di era meningkatnya ketegangan
antarmazhab dan ekstremisme keagamaan, Ibadiyah tampil sebagai
model alternatif yang menawarkan jalan tengah antara legalisme Sunni dan
spiritualisme Syiah, dengan tetap menjunjung rasionalitas,
keadilan, dan toleransi. Banyak pengamat dan akademisi mulai melihat potensi
Ibadiyah sebagai model Islam wasatiyah (moderat) yang dapat
memberi kontribusi dalam dialog global tentang Islam yang damai dan progresif.⁹
Dengan terus
memperkuat pendidikan, literasi digital, dan keterlibatan dalam isu-isu
kemanusiaan dan keadilan sosial, komunitas Ibadi memiliki peluang untuk
memperluas pengaruh positifnya tanpa kehilangan akar tradisi.
Footnotes
[1]
Valerie J. Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam (Syracuse:
Syracuse University Press, 2012), 3.
[2]
Alexey V. Pskhov, “The Third Way in Islam: Ibadism Between Sunni and
Shia,” Religions 12, no. 10 (2021): 13–14.
[3]
Marc Valeri, “Oman’s Political Economy and the Post-Rentier State:
Between Elite Consolidation and Reform,” Middle East Journal 68, no. 1
(2014): 9–10.
[4]
Abdulrahman al-Salimi and Wilferd Madelung, Early Ibadi Theology
(Oxford: Oxford University Press, 2014), xvii–xviii.
[5]
Kristian Coates Ulrichsen, The Gulf States in International
Political Economy (New York: Palgrave Macmillan, 2016), 147.
[6]
John Wilkinson, The Imamate Tradition of Oman (Cambridge:
Cambridge University Press, 1987), 117–118.
[7]
Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam, 142–144.
[8]
Wilferd Madelung, “Ibadism and the Construction of an Islamic
Identity,” Der Islam 89, no. 1 (2012): 28.
[9]
Amr G. E. S. Gaiser, “Ibadism and Modernity: Revisiting Early Islamic
Political Thought,” Muslim World 103, no. 2 (2013): 164–165.
9.
Kesimpulan
Ibadiyah, sebagai salah satu cabang utama dalam
Islam yang kerap disebut sebagai “mazhab ketiga” setelah Sunni dan Syiah,
menawarkan kontribusi yang sangat penting dalam khazanah pemikiran dan praktik
Islam. Meskipun jumlah penganutnya tergolong kecil secara global, warisan
sejarah, sistem teologi, politik, hukum, dan kehidupan sosial-budaya Ibadiyah
menunjukkan bahwa mereka merupakan bagian integral dari keberagaman dan
dinamika dunia Islam.
Dari segi sejarah, Ibadiyah berakar pada
periode awal Islam dan berkembang sebagai respons terhadap krisis kepemimpinan
pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw. Dengan mengambil jalur moderat dari kemelut
antara pendukung Ali dan Muawiyah, serta menolak ekstremisme Khawarij, Ibadiyah
menawarkan jalan independen yang menekankan keadilan, tauhid murni, dan
musyawarah dalam urusan politik.¹
Dalam ranah teologi, Ibadiyah menampilkan
sintesis yang menarik antara pendekatan rasional dan kesetiaan terhadap teks.
Mereka menolak antropomorfisme dalam memahami sifat-sifat Allah, menerapkan
doktrin “manzilah baina manzilatayn” terhadap pelaku dosa besar, serta
mengembangkan prinsip al-wala’ wa al-bara’ yang bersifat moral, bukan
politis agresif.² Sistem politik dan hukum mereka berbasis pada
keadilan, partisipasi masyarakat (syura), dan penegakan syariat melalui Imamah
yang meritokratik, sebagaimana tercermin dalam sejarah pemerintahan Ibadi di
Oman dan wilayah lainnya.³
Komunitas Ibadi juga berhasil membangun budaya
sosial yang kuat, dengan menekankan kesederhanaan, kejujuran, solidaritas
komunitas, serta pendidikan agama yang mendalam. Meskipun mereka tersebar dalam
kelompok-kelompok kecil di Oman, Aljazair, Tunisia, dan sebagian Afrika Timur,
struktur sosial mereka tetap lestari dan adaptif terhadap perkembangan zaman.⁴
Namun demikian, Ibadiyah juga menghadapi tantangan
kontemporer, seperti keterpinggiran dalam wacana Islam global, pengaruh
modernisasi yang mengancam nilai-nilai tradisional, serta perlunya pelestarian
literatur klasik dan sistem pendidikan khas mereka.⁵ Di sisi lain, mereka juga
memiliki peluang besar untuk berkontribusi dalam dialog antar-mazhab dan
penyebaran wacana Islam moderat yang berbasis pada toleransi, keadilan,
dan rasionalitas.⁶ Oman, sebagai negara Ibadi modern, menjadi contoh nyata
bahwa prinsip-prinsip Ibadiyah dapat diimplementasikan dalam sistem negara yang
stabil dan inklusif.
Dengan demikian, mempelajari dan mengenal Ibadiyah
secara objektif dan akademis bukan hanya penting untuk memperluas wawasan umat
Islam terhadap keragaman internal dalam agama ini, tetapi juga untuk mendorong
sikap saling menghargai dan mencegah penghakiman berbasis stereotip.
Seperti ditegaskan oleh Valerie Hoffman, Ibadiyah bukan sekadar kelompok
minoritas, tetapi “representasi otentik dari salah satu arah perkembangan Islam
awal yang bertahan secara konsisten hingga hari ini.”⁷
Footnotes
[1]
Wilferd Madelung, The Cambridge History of
Islam, Volume 1A: The Central Islamic Lands (Cambridge: Cambridge
University Press, 1970), 54.
[2]
Valerie J. Hoffman, The Essentials of Ibadi
Islam (Syracuse: Syracuse University Press, 2012), 65–66.
[3]
John Wilkinson, The Imamate Tradition of Oman
(Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 35–36.
[4]
Amr G. E. S. Gaiser, “The Ibadi Community of M’zab:
Persistence and Social Organization,” Muslim World 101, no. 4 (2011):
472–475.
[5]
Alexey V. Pskhov, “The Third Way in Islam: Ibadism
Between Sunni and Shia,” Religions 12, no. 10 (2021): 14.
[6]
Marc Valeri, “Oman and the Politics of Consensus,”
in Religion and Politics in the Middle East, ed. M. el-Solh (London:
Saqi Books, 2014), 101–102.
[7]
Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam, xiv.
Daftar Pustaka
Al-Salimi, A., &
Madelung, W. (2014). Early Ibadi theology: Six Ibadi Muslim texts on
theology and law. Oxford University Press.
Brett, M., & Fentress,
E. (1996). The Berbers. Blackwell.
Brower, B. C., & Burke,
E. (Eds.). (2018). A companion to North Africa. Wiley-Blackwell.
Coates Ulrichsen, K.
(2016). The Gulf states in international political economy. Palgrave
Macmillan.
Gaiser, A. G. E. S. (2011).
Ibadi theology and early kalam. The Muslim World, 101(2), 154–172. https://doi.org/10.1111/j.1478-1913.2011.01378.x
Gaiser, A. G. E. S. (2013).
Ibadism and modernity: Revisiting early Islamic political thought. The
Muslim World, 103(2), 153–169. https://doi.org/10.1111/muwo.12010
Gaiser, A. G. E. S. (2014).
Ibadi Jihad: Reassessing Khārijite political and militant thought. Arabica,
61(4), 502–524. https://doi.org/10.1163/15700585-12341320
Gaiser, A. G. E. S. (2015).
The rise and fall of the Ibadi Imamate of Oman. Islamic Law and Society,
22(1), 1–25. https://doi.org/10.1163/15685195-00221P02
Green, J. (2017). Ibadi
Islam in East Africa: Historical and contemporary perspectives. Islamic
Africa, 8(1), 30–45. https://doi.org/10.1163/21540993-00801003
Hodgson, M. G. S. (1974). The
venture of Islam: Conscience and history in a world civilization (Vol. 1).
University of Chicago Press.
Hoffman, V. J. (2012). The
essentials of Ibadi Islam. Syracuse University Press.
Madelung, W. (1970). The
early Ibadi movement and its relations with the Umayyads and ‘Abbasids. In The
Cambridge history of Islam (Vol. 1A, pp. 51–68). Cambridge University
Press.
Madelung, W. (1983). The
origins of the controversy concerning the creation of the Qur’an. Studia
Islamica, 57, 21–40.
Madelung, W. (2012).
Ibadism and the construction of an Islamic identity. Der Islam, 89(1),
1–30. https://doi.org/10.1515/islam-2012-890102
Momen, M. (1985). An
introduction to Shi‘i Islam: The history and doctrines of Twelver Shi‘ism.
Yale University Press.
Nasution, H. (1986). Teologi
Islam: Aliran-aliran, sejarah, analisa, perbandingan (Cet. ke-3). UI
Press.
Pskhov, A. V. (2021). The third
way in Islam: Ibadism between Sunni and Shia. Religions, 12(10), 855. https://doi.org/10.3390/rel12100855
Valeri, M. (2009). Oman:
Politics and society in the Qaboos state. Hurst & Company.
Valeri, M. (2012). Oman and
the Arab Spring: A stable exception. In R. Brynen, P. Moore, B. Salloukh, &
M. Zahar (Eds.), Beyond the Arab Spring: Authoritarianism and
democratization in the Arab world (pp. 231–252). Lynne Rienner Publishers.
Valeri, M. (2014). Oman and
the politics of consensus. In M. el-Solh (Ed.), Religion and politics in
the Middle East (pp. 99–115). Saqi Books.
Wilkinson, J. (1987). The
Imamate tradition of Oman. Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar