Ekonomi Berkelanjutan
Strategi Transformatif Menuju Pembangunan Inklusif dan
Ketahanan Ekologis
Alihkan ke: Ilmu Ekonomi.
Abstrak
Artikel ini membahas konsep ekonomi berkelanjutan
sebagai paradigma alternatif terhadap model ekonomi konvensional yang
berorientasi pada pertumbuhan tanpa batas. Ekonomi berkelanjutan ditelaah
sebagai kerangka transformatif yang mengintegrasikan dimensi ekonomi, sosial,
dan ekologis untuk mencapai pembangunan yang adil, inklusif, dan tahan terhadap
krisis ekologis global. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif berbasis studi
literatur dari sumber-sumber ilmiah yang kredibel, artikel ini mengulas sejarah
perkembangan gagasan keberlanjutan, konseptualisasi tiga pilarnya, serta
implementasinya di berbagai negara seperti Swedia, Jerman, dan Kosta Rika.
Pembahasan juga mencakup kritik terhadap praktik greenwashing, kooptasi
kapitalisme hijau, serta reduksionisme teknokratis dalam pelaksanaan ekonomi berkelanjutan.
Selanjutnya, artikel ini menempatkan ekonomi berkelanjutan dalam perspektif
filsafat dan etika lingkungan, khususnya melalui pendekatan ekosentrisme, land
ethic, dan prinsip tanggung jawab antargenerasi. Di akhir, disampaikan
rekomendasi strategis untuk memperkuat transformasi ekonomi menuju model yang
regeneratif dan berkeadilan ekologis. Dengan demikian, artikel ini menegaskan
pentingnya perubahan paradigma dari dominasi manusia atas alam menuju hubungan
timbal balik yang harmonis demi keberlangsungan hidup seluruh komunitas
kehidupan.
Kata Kunci: Ekonomi Berkelanjutan; Pembangunan Inklusif; Etika
Lingkungan; Triple Bottom Line; Ekosentrisme; Green Economy; Tanggung Jawab
Antargenerasi; Transformasi Ekonomi; Ketahanan Ekologis; Ekonomi Regeneratif.
PEMBAHASAN
Telaah Model Transformatif Ekonomi Berkelanjutan
1.
Pendahuluan
Krisis multidimensi
yang melanda dunia pada abad ke-21, seperti perubahan iklim, kerusakan
lingkungan, ketimpangan sosial, dan ketidakadilan ekonomi, menandakan kegagalan
sistem ekonomi konvensional dalam menjamin keberlanjutan hidup umat manusia.
Model ekonomi yang berlandaskan pada prinsip pertumbuhan tanpa batas dan
eksploitasi sumber daya alam secara intensif telah menghasilkan kemakmuran yang
timpang dan degradasi ekologis yang meluas.¹ Dalam konteks inilah, gagasan
mengenai ekonomi
berkelanjutan (sustainable economy) muncul sebagai paradigma
alternatif yang menekankan keseimbangan antara kemajuan ekonomi, keadilan
sosial, dan keberlanjutan lingkungan.
Konsep ekonomi
berkelanjutan tidak semata-mata mengacu pada efisiensi ekonomi atau pertumbuhan
hijau, melainkan juga pada restrukturisasi mendalam terhadap nilai-nilai dasar
sistem produksi, konsumsi, dan distribusi dalam masyarakat.² Gagasan ini
merupakan perluasan dari dokumen seminal Our Common Future (1987) yang
menekankan pentingnya pembangunan yang "memenuhi kebutuhan masa kini tanpa
mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya
sendiri."_³ Dalam perkembangannya, ekonomi berkelanjutan menjadi bagian
integral dari kerangka global Sustainable Development Goals (SDGs) yang
dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), khususnya pada tujuan-tujuan
seperti kerja layak dan pertumbuhan ekonomi (Tujuan 8), konsumsi dan produksi
yang bertanggung jawab (Tujuan 12), serta aksi terhadap perubahan iklim (Tujuan
13).⁴
Lebih dari sekadar
respons teknokratis, ekonomi berkelanjutan merepresentasikan perubahan
paradigma dalam cara manusia memaknai hubungan antara ekonomi dan biosfer. Kate
Raworth dalam Doughnut Economics (2017)
mengusulkan kerangka kerja yang menggambarkan batas ekologis dan fondasi sosial
sebagai ruang aman dan adil bagi umat manusia, yang disebut sebagai safe and
just space for humanity.⁵ Dalam kerangka ini, pembangunan ekonomi
tidak boleh melampaui batas-batas planet (planetary boundaries) maupun
mengabaikan hak-hak dasar sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan
kesetaraan.⁶
Artikel ini
bertujuan untuk mengeksplorasi secara komprehensif gagasan dan praktik ekonomi
berkelanjutan, mulai dari konseptualisasi dan sejarah perkembangannya, hingga
penerapannya dalam berbagai konteks kebijakan. Selain itu, artikel ini juga
mengkaji tantangan serta kritik terhadap konsep ini, sekaligus menawarkan
kerangka etik dan filosofis sebagai fondasi normatif dalam mengarahkan
transformasi ekonomi menuju masa depan yang inklusif dan ekologis.
Footnotes
[1]
Tim Jackson, Prosperity Without Growth: Foundations for the Economy
of Tomorrow (London: Routledge, 2009), 14–16.
[2]
Herman E. Daly, Steady-State Economics (Washington, DC: Island
Press, 1991), 22–25.
[3]
World Commission on Environment and Development, Our Common Future
(Oxford: Oxford University Press, 1987), 43.
[4]
United Nations, Transforming Our World: The 2030 Agenda for
Sustainable Development (New York: United Nations, 2015), Goals 8, 12, and
13.
[5]
Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a
21st-Century Economist (White River Junction, VT: Chelsea Green
Publishing, 2017), 38–42.
[6]
Johan Rockström et al., “A Safe Operating Space for Humanity,” Nature
461, no. 7263 (2009): 472–475.
2.
Konseptualisasi
Ekonomi Berkelanjutan
Ekonomi
berkelanjutan (sustainable economy) merupakan
suatu kerangka pemikiran dan praktik ekonomi yang dirancang untuk memastikan
kelangsungan hidup manusia dalam jangka panjang tanpa merusak sistem penunjang
kehidupan ekologis. Model ini mengintegrasikan dimensi ekonomi, sosial, dan
lingkungan secara seimbang dan saling terkait, dengan tujuan utama menciptakan
kesejahteraan manusia dalam batas-batas daya dukung bumi.¹ Dalam pengertian
paling dasar, ekonomi berkelanjutan mengacu pada sistem ekonomi yang “dapat
mempertahankan produktivitasnya sepanjang waktu tanpa mengorbankan
fungsi-fungsi ekologis atau keadilan antar generasi.”_²
Secara normatif,
konsep ini lahir sebagai kritik terhadap paradigma ekonomi neoklasik yang
dominan sejak Revolusi Industri, yang menempatkan pertumbuhan sebagai tujuan
utama, dengan asumsi bahwa kemajuan teknologi dapat mengatasi setiap kendala
ekologis.³ Pendekatan ekonomi konvensional semacam itu cenderung mengabaikan
keterbatasan biofisik planet dan mengartikan alam sebagai faktor eksternal
(externalities) dalam perhitungan ekonomi. Sebaliknya, ekonomi berkelanjutan
justru menekankan bahwa ekosistem bukan hanya sumber daya ekonomi, tetapi
merupakan dasar kehidupan yang tak tergantikan.⁴
Menurut Herman Daly,
ekonomi yang benar-benar berkelanjutan adalah ekonomi yang steady-state—yakni,
tidak terus-menerus tumbuh dalam hal skala fisik, tetapi tetap dinamis dalam
kualitas dan efisiensi.⁵ Ini menandakan pergeseran dari logika akumulasi menuju
logika keseimbangan. Lebih lanjut, ekonomi berkelanjutan juga menuntut
transformasi dalam sistem nilai dan tujuan pembangunan: dari kuantitas menuju
kualitas, dari konsumsi menuju konservasi, dan dari ekspansi menuju
regenerasi.⁶
Dalam praksis
kebijakan, ekonomi berkelanjutan ditopang oleh tiga pilar utama:
1)
Pilar Ekonomi,
yang mencakup efisiensi sumber daya, inovasi hijau, dan penciptaan nilai tambah
yang tidak merusak lingkungan;
2)
Pilar Sosial,
yang meliputi keadilan sosial, pengentasan kemiskinan, partisipasi masyarakat,
dan distribusi manfaat ekonomi yang merata;
3)
Pilar Lingkungan,
yang berfokus pada pelestarian ekosistem, pengendalian polusi, dan penggunaan
sumber daya alam secara bijaksana.⁷
Dalam banyak
literatur, ketiga pilar ini sering digambarkan sebagai fondasi dari triple
bottom line (TBL), yakni keberhasilan ekonomi yang tidak hanya
diukur melalui keuntungan (profit), tetapi juga melalui
dampaknya terhadap masyarakat (people) dan lingkungan (planet).⁸
Dalam konteks yang lebih progresif, Kate Raworth bahkan mengembangkan model doughnut
economics sebagai visualisasi dari batas sosial dan ekologis, di
mana pembangunan ekonomi seharusnya berlangsung dalam “ruang aman dan adil bagi umat manusia”
tanpa melampaui ambang batas bumi atau merendahkan martabat manusia.⁹
Konseptualisasi
ekonomi berkelanjutan ini semakin penting di tengah krisis global seperti
perubahan iklim, krisis energi, dan ketimpangan ekonomi yang semakin menganga.
Dalam situasi tersebut, pendekatan ekonomi berkelanjutan menjadi tidak hanya
relevan, tetapi juga mendesak sebagai kerangka normatif dan praktis dalam
merancang masa depan yang adil dan layak huni bagi semua.
Footnotes
[1]
Jeffrey D. Sachs, The Age of Sustainable Development (New
York: Columbia University Press, 2015), 10–12.
[2]
Robert Costanza et al., “An Introduction to Ecological Economics,” in Ecological
Economics: Principles and Applications, 2nd ed. (Washington, DC: Island
Press, 2014), 5–7.
[3]
Nicholas Georgescu-Roegen, The Entropy Law and the Economic Process
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 21–25.
[4]
Herman E. Daly and Joshua Farley, Ecological Economics: Principles
and Applications, 2nd ed. (Washington, DC: Island Press, 2011), 34–38.
[5]
Herman E. Daly, Steady-State Economics (Washington, DC: Island
Press, 1991), 17–20.
[6]
Tim Jackson, Prosperity Without Growth: Foundations for the Economy
of Tomorrow (London: Routledge, 2009), 79–81.
[7]
United Nations Environment Programme (UNEP), Towards a Green
Economy: Pathways to Sustainable Development and Poverty Eradication
(Nairobi: UNEP, 2011), 13–16.
[8]
John Elkington, “Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of 21st
Century Business,” Capstone Publishing (1997): 70–73.
[9]
Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a
21st-Century Economist (White River Junction, VT: Chelsea Green
Publishing, 2017), 38–42.
3.
Sejarah
Perkembangan Gagasan Ekonomi Berkelanjutan
Gagasan tentang
ekonomi berkelanjutan tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan merupakan hasil
evolusi pemikiran multidisipliner yang mencerminkan respons terhadap krisis
lingkungan, krisis sosial, dan keterbatasan model pembangunan konvensional.
Akarnya dapat ditelusuri jauh ke belakang, ketika para pemikir klasik seperti
Thomas Malthus memperingatkan tentang keterbatasan sumber daya alam dalam
menopang pertumbuhan penduduk.¹ Namun, perhatian yang lebih sistematis terhadap
keberlanjutan ekonomi baru mencuat pada paruh kedua abad ke-20, seiring dengan
meningkatnya kesadaran akan dampak negatif pembangunan industri terhadap
lingkungan.
Tonggak penting
dalam sejarah gagasan ini terjadi pada tahun 1972, ketika The Club
of Rome menerbitkan laporan berjudul The Limits to Growth. Menggunakan
pendekatan pemodelan sistem dinamis, laporan ini memperingatkan bahwa jika tren
pertumbuhan populasi, industrialisasi, dan eksploitasi sumber daya terus
berlanjut, maka sistem global akan mencapai batas-batas ekologisnya dalam waktu
yang tidak terlalu lama.² Pesan utama dari laporan tersebut adalah bahwa
pertumbuhan ekonomi yang tidak terkendali akan mengarah pada keruntuhan
ekologis dan sosial—sebuah peringatan dini terhadap konsekuensi dari sistem
ekonomi yang tidak berkelanjutan.
Pada tahun yang
sama, Konferensi Stockholm (1972), yang merupakan konferensi lingkungan hidup
pertama tingkat global yang diadakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, menjadi
momentum awal dimulainya integrasi isu lingkungan dalam kebijakan pembangunan internasional.³
Namun, baru pada tahun 1987 istilah sustainable development memperoleh
legitimasi global ketika World Commission on Environment and Development
(WCED) menerbitkan laporan Our Common Future, yang dikenal
juga sebagai Brundtland Report. Dalam laporan
ini, pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai “pembangunan yang
memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang
untuk memenuhi kebutuhannya.”_⁴ Definisi ini menjadi rujukan utama dalam
pengembangan konsep ekonomi berkelanjutan secara formal.
Sepanjang dekade
1990-an hingga awal 2000-an, pemikiran ekonomi berkelanjutan terus berkembang
dalam interaksi dengan gerakan lingkungan hidup, studi pembangunan, dan ilmu
ekonomi ekologis. Dalam ranah akademik, ekonomi ekologis muncul sebagai
disiplin baru yang menolak asumsi-asumsi dasar ekonomi neoklasik, dan
sebaliknya menekankan integrasi antara sistem ekonomi dan sistem ekologis.
Herman Daly, salah satu pelopor ekonomi ekologis, menekankan pentingnya steady-state
economy, yaitu kondisi ekonomi yang mempertahankan ukuran fisik
yang stabil dalam batas daya dukung lingkungan.⁵ Pemikirannya menandai
pergeseran paradigmatik dalam cara ekonomi dipahami—bukan sebagai sistem yang
otonom, melainkan sebagai subsistem dari biosfer.
Perkembangan
signifikan lainnya terjadi pada awal abad ke-21 ketika konsep ekonomi
berkelanjutan mulai dimasukkan dalam kerangka kebijakan global, seperti dalam
dokumen Millennium
Development Goals (MDGs) dan kemudian Sustainable Development Goals (SDGs).
Dalam SDGs yang disahkan pada tahun 2015, konsep ekonomi berkelanjutan
diartikulasikan secara eksplisit dalam berbagai tujuan, termasuk keadilan
sosial, pengurangan ketimpangan, konsumsi-produksi berkelanjutan, dan aksi
terhadap perubahan iklim.⁶
Gagasan ekonomi
berkelanjutan juga memperoleh penguatan melalui karya-karya kontemporer seperti
Prosperity
Without Growth oleh Tim Jackson dan Doughnut Economics oleh Kate
Raworth, yang menyajikan kritik tajam terhadap paradigma pertumbuhan dan
menawarkan kerangka baru berbasis regenerasi dan keseimbangan ekosistem.⁷
Dengan demikian, sejarah perkembangan ekonomi berkelanjutan merupakan
perjalanan panjang transformasi intelektual dan kebijakan, dari kritik terhadap
pertumbuhan menuju pencarian paradigma ekonomi yang mampu menjamin kelangsungan
hidup manusia dan bumi secara bersamaan.
Footnotes
[1]
Thomas Malthus, An Essay on the Principle of Population
(London: J. Johnson, 1798).
[2]
Donella H. Meadows et al., The Limits to Growth: A Report for the
Club of Rome’s Project on the Predicament of Mankind (New York: Universe
Books, 1972), 23–27.
[3]
United Nations, Report of the United Nations Conference on the
Human Environment (Stockholm Conference) (New York: United Nations, 1972).
[4]
World Commission on Environment and Development, Our Common Future
(Oxford: Oxford University Press, 1987), 43.
[5]
Herman E. Daly, Beyond Growth: The Economics of Sustainable
Development (Boston: Beacon Press, 1996), 14–17.
[6]
United Nations, Transforming Our World: The 2030 Agenda for
Sustainable Development (New York: United Nations, 2015), Goals 8, 12, and
13.
[7]
Tim Jackson, Prosperity Without Growth: Foundations for the Economy
of Tomorrow (London: Routledge, 2009); Kate Raworth, Doughnut Economics:
Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist (White River Junction,
VT: Chelsea Green Publishing, 2017), 20–25.
4.
Pilar-Pilar
Ekonomi Berkelanjutan
Ekonomi
berkelanjutan dibangun di atas fondasi tiga pilar utama yang saling berkaitan
dan tak terpisahkan: ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Ketiganya membentuk kerangka integratif yang dikenal luas sebagai triple
bottom line, sebuah pendekatan yang menilai keberhasilan
pembangunan bukan hanya dari sisi keuntungan finansial (profit),
tetapi juga dari dampaknya terhadap manusia (people) dan lingkungan (planet).¹
Konsep ini menuntut integrasi lintas sektor agar pembangunan tidak bersifat
eksploitatif, melainkan regeneratif dan inklusif.
4.1.
Pilar Ekonomi: Efisiensi, Inovasi, dan
Keseimbangan Produksi
Pilar ekonomi dalam
kerangka berkelanjutan menekankan pada pentingnya efisiensi penggunaan sumber
daya alam, pengembangan teknologi bersih, dan transisi menuju sistem ekonomi
rendah karbon. Fokusnya bukan pada pertumbuhan kuantitatif semata, melainkan
pada kualitas pertumbuhan yang mendukung keberlanjutan jangka panjang.² Dalam
model ini, inovasi hijau (green innovation) dan ekonomi
sirkular (circular
economy) menjadi kunci utama, di mana limbah dikurangi dan nilai
sumber daya dipertahankan selama mungkin melalui daur ulang, penggunaan
kembali, dan desain berkelanjutan.³
Penerapan prinsip
ekonomi berkelanjutan mencakup internalisasi biaya eksternalitas negatif
seperti polusi dan degradasi lahan ke dalam harga barang dan jasa, serta
restrukturisasi insentif ekonomi agar mendorong investasi pada energi
terbarukan dan teknologi ramah lingkungan.⁴ Ini juga menuntut perubahan
indikator ekonomi dari Produk Domestik Bruto (PDB) menuju ukuran yang lebih
holistik seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Genuine Progress Indicator
(GPI), atau Human Development Index (HDI) yang memperhitungkan kesejahteraan
dan kualitas hidup.⁵
4.2.
Pilar Sosial: Keadilan, Inklusi, dan
Pemberdayaan
Aspek sosial dari
ekonomi berkelanjutan menggarisbawahi pentingnya keadilan distribusi,
pemberdayaan masyarakat marginal, dan perlindungan terhadap hak-hak dasar
manusia. Ekonomi tidak bisa dianggap berkelanjutan jika menghasilkan
ketimpangan yang semakin melebar, eksploitasi tenaga kerja, atau marjinalisasi
komunitas adat.⁶ Oleh karena itu, inklusi ekonomi dan sosial menjadi syarat
utama keberlanjutan sejati, yang tidak hanya mengejar efisiensi tetapi juga
memperhatikan keadilan.
Pembangunan
berkelanjutan harus melibatkan partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan
dan pengambilan keputusan, serta memastikan akses yang adil terhadap sumber
daya dan kesempatan ekonomi. Dalam konteks ini, model community-based
economy dan pendekatan social entrepreneurship menjadi
solusi untuk menciptakan kemandirian sosial yang sejalan dengan konservasi
lingkungan.⁷
4.3.
Pilar Lingkungan: Daya Dukung Ekologis dan
Regenerasi Alam
Pilar lingkungan
menekankan bahwa keberlanjutan ekonomi hanya dapat tercapai bila aktivitas
manusia berlangsung dalam batas daya dukung ekologis bumi (planetary
boundaries).⁸ Ekonomi yang berkelanjutan harus mempertimbangkan
pelestarian biodiversitas, konservasi air dan tanah, perlindungan ekosistem,
serta pengurangan emisi karbon dan polutan lainnya.
Menurut konsep safe
operating space dari Johan Rockström dan kolega, ekonomi harus
beroperasi dalam batas-batas ekologis yang memungkinkan biosfer untuk pulih dan
terus menopang kehidupan manusia.⁹ Ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi tidak
boleh mengorbankan fungsi-fungsi dasar ekosistem, seperti penyerapan karbon,
siklus air, dan keseimbangan iklim.
Prinsip precautionary
dan polluter
pays menjadi bagian penting dalam implementasi pilar ini, yang
mendorong negara dan pelaku usaha untuk tidak hanya mencegah kerusakan, tetapi
juga bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkannya.¹⁰
Ketiga pilar ini
membentuk landasan holistik dari ekonomi berkelanjutan yang tidak hanya
berorientasi pada efisiensi dan profitabilitas, tetapi juga pada keadilan
antargenerasi dan keberlangsungan ekosistem. Keseimbangan antar pilar menjadi
kunci keberhasilan implementasi model ekonomi yang mampu menjawab tantangan
abad ke-21 secara adil dan regeneratif.
Footnotes
[1]
John Elkington, Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of
21st Century Business (Oxford: Capstone Publishing, 1997), 70–73.
[2]
Jeffrey D. Sachs, The Age of Sustainable Development (New
York: Columbia University Press, 2015), 112–115.
[3]
Ken Webster, The Circular Economy: A Wealth of Flows (Isle of
Wight: Ellen MacArthur Foundation Publishing, 2015), 25–29.
[4]
Herman E. Daly and Joshua Farley, Ecological Economics: Principles
and Applications, 2nd ed. (Washington, DC: Island Press, 2011), 134–138.
[5]
Robert Costanza et al., “Beyond GDP: The Need for New Measures of
Progress,” The Pardee Papers no. 4 (Boston University, 2009): 3–8.
[6]
Amartya Sen, Development as Freedom (Oxford: Oxford University
Press, 1999), 87–92.
[7]
United Nations Development Programme (UNDP), Human Development
Report 2016: Human Development for Everyone (New York: UNDP, 2016), 48–53.
[8]
Johan Rockström et al., “A Safe Operating Space for Humanity,” Nature
461, no. 7263 (2009): 472–475.
[9]
Will Steffen et al., “Planetary Boundaries: Guiding Human Development
on a Changing Planet,” Science 347, no. 6223 (2015): 1259855.
[10]
United Nations Environment Programme (UNEP), Global Environment
Outlook 5 (Nairobi: UNEP, 2012), 56–59.
5.
Implementasi
Ekonomi Berkelanjutan di Berbagai Negara
Implementasi ekonomi
berkelanjutan di berbagai negara mencerminkan beragam pendekatan, kapasitas
kelembagaan, dan konteks sosial-ekologis yang berbeda-beda. Meski secara
prinsip mengacu pada integrasi antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan
pelestarian lingkungan, strategi pelaksanaannya sangat bergantung pada
kebijakan nasional, instrumen fiskal, budaya politik, dan partisipasi
masyarakat sipil. Berbagai negara telah menerapkan model transformatif menuju
ekonomi berkelanjutan dengan menyesuaikan kerangka kebijakan mereka pada tujuan
jangka panjang pembangunan rendah karbon, sirkularitas sumber daya, serta
perlindungan hak-hak sosial.
5.1.
Negara-Negara Skandinavia: Model Green Welfare
State
Negara-negara
Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia,
dan Denmark,
sering dianggap sebagai pelopor dalam penerapan ekonomi berkelanjutan karena
mampu menggabungkan efisiensi ekonomi dengan keadilan sosial dan perlindungan
lingkungan. Swedia, misalnya, telah menetapkan target ambisius untuk mencapai
netralitas karbon pada tahun 2045, melalui kombinasi sistem pajak karbon,
subsidi energi terbarukan, dan transisi sistem transportasi menuju
elektrifikasi.¹ Selain itu, Norwegia menggunakan pendapatan dari ekspor minyak
untuk membiayai dana kekayaan negara (sovereign wealth fund) terbesar di
dunia, yang diinvestasikan dengan prinsip-prinsip tanggung jawab sosial dan
lingkungan.²
Model green
welfare state yang diterapkan di kawasan ini menunjukkan bahwa
kesejahteraan sosial tidak bertentangan dengan keberlanjutan ekologis.
Sebaliknya, sistem perlindungan sosial yang kuat dapat menjadi landasan stabil
bagi transformasi ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.³
5.2.
Jerman: Transisi Energi dalam Kerangka
“Energiewende”
Jerman merupakan
contoh penting dari negara industri maju yang secara aktif mentransformasikan
sistem energinya melalui kebijakan Energiewende, yaitu transisi
dari energi fosil dan nuklir menuju energi terbarukan seperti tenaga angin,
matahari, dan biomassa.⁴ Sejak awal 2000-an, kebijakan ini didorong oleh
kombinasi insentif fiskal, feed-in tariffs, serta investasi besar dalam riset
dan pengembangan teknologi hijau. Energiewende juga menyasar efisiensi energi
pada sektor perumahan dan industri, serta pengurangan emisi gas rumah kaca
sebesar 55% pada tahun 2030 dibandingkan level 1990.⁵
Keberhasilan Jerman
dalam mengintegrasikan ekonomi hijau dengan penciptaan lapangan kerja
baru—disebut sebagai green jobs—menunjukkan bahwa
transformasi energi dapat menjadi penggerak pembangunan ekonomi yang inklusif
dan inovatif.⁶
5.3.
Kosta Rika: Negara Kecil dengan Ambisi Besar
Kosta Rika, sebuah
negara kecil di Amerika Tengah, telah menjadi percontohan global dalam hal
transisi energi bersih dan konservasi keanekaragaman hayati. Lebih dari 98%
kebutuhan energinya dipenuhi dari sumber terbarukan, terutama hidro, panas
bumi, dan angin.⁷ Selain itu, pemerintah Kosta Rika secara aktif melakukan
reforestasi, membentuk kawasan lindung yang luas (sekitar 25% dari total
wilayah negara), serta mengadopsi sistem pembayaran jasa lingkungan (payment
for ecosystem services) yang menghargai kontribusi petani dan
komunitas lokal terhadap pelestarian ekosistem.⁸
Keberhasilan Kosta
Rika menegaskan bahwa pendekatan berbasis eco-development tidak hanya relevan
bagi negara maju, tetapi juga dapat diterapkan secara efektif oleh negara
berkembang dengan komitmen politik yang kuat dan keterlibatan masyarakat.
5.4.
Indeks dan Indikator Alternatif dalam Evaluasi
Ekonomi Berkelanjutan
Untuk mengukur
keberhasilan implementasi ekonomi berkelanjutan, banyak negara mulai
menggunakan indikator alternatif selain Produk Domestik Bruto (PDB). Misalnya, Bhutan
mengadopsi Gross
National Happiness (GNH) yang menggabungkan aspek spiritual,
sosial, dan lingkungan dalam penilaian kesejahteraan nasional.⁹ Sementara itu, New
Zealand telah menyusun Wellbeing Budget yang
mengalokasikan dana berdasarkan dampak sosial dan lingkungan, bukan semata
pertumbuhan ekonomi.¹⁰
Penggunaan indikator
seperti Human
Development Index (HDI), Genuine Progress Indicator (GPI),
dan Happy
Planet Index (HPI) menunjukkan adanya pergeseran metodologi dalam
mengevaluasi pembangunan, dari pendekatan kuantitatif menuju pendekatan
kualitatif yang lebih menyeluruh.¹¹
Implementasi ekonomi
berkelanjutan di berbagai negara menunjukkan bahwa meskipun pendekatan dan
instrumennya beragam, seluruhnya didasarkan pada prinsip yang sama: bahwa
kesejahteraan manusia tidak dapat dipisahkan dari kesehatan sosial dan
ekosistem bumi. Negara-negara yang berhasil menerapkan strategi ini secara
konsisten adalah mereka yang mampu menyinergikan kebijakan jangka panjang,
inovasi teknologi, kesadaran masyarakat, dan tata kelola yang visioner.
Footnotes
[1]
Swedish Ministry of the Environment and Energy, Sweden’s Climate
Policy Framework (Stockholm: Government Offices of Sweden, 2017), 4–7.
[2]
Norges Bank Investment Management, Responsible Investment Report
2022 (Oslo: NBIM, 2023), 11–13.
[3]
Ingolfur Blühdorn, “Sustaining the Unsustainable: Symbolic Politics and
the Politics of Simulation,” Environmental Politics 16, no. 2 (2007):
251–275.
[4]
Craig Morris and Arne Jungjohann, Energy Democracy: Germany’s
Energiewende to Renewables (New York: Palgrave Macmillan, 2016), 19–23.
[5]
Federal Ministry for Economic Affairs and Climate Action (BMWK), The
Energy of the Future: Fifth “Energiewende” Monitoring Report (Berlin:
BMWK, 2016), 5–10.
[6]
International Labour Organization (ILO), World Employment and Social
Outlook 2018: Greening with Jobs (Geneva: ILO, 2018), 40–45.
[7]
Instituto Costarricense de Electricidad (ICE), Informe de Gestión
Ambiental 2022 (San José: ICE, 2023), 9–12.
[8]
Silvia I. Arriagada and Edwin Zepeda, “Payment for Environmental
Services in Costa Rica: Evaluation, Lessons and Future Outlook,” Ecological
Economics 65, no. 4 (2008): 725–736.
[9]
Karma Ura et al., A Short Guide to Gross National Happiness Index
(Thimphu: Centre for Bhutan Studies, 2012), 6–9.
[10]
New Zealand Treasury, The Wellbeing Budget 2021 (Wellington:
New Zealand Government, 2021), 3–6.
[11]
Robert Costanza et al., “Time to Leave GDP Behind,” Nature
505, no. 7483 (2014): 283–285.
6.
Tantangan
dan Kritik terhadap Ekonomi Berkelanjutan
Meskipun konsep
ekonomi berkelanjutan telah memperoleh penerimaan luas di tingkat global dan
menjadi bagian dari kebijakan pembangunan banyak negara, pelaksanaannya masih
menghadapi beragam tantangan struktural, epistemologis, dan politis. Di samping
itu, berbagai kritik juga dilontarkan oleh kalangan akademisi dan aktivis
lingkungan terhadap kekaburan definisi, dominasi pendekatan teknokratis, dan
potensi kooptasi oleh kepentingan kapitalisme global. Pemahaman kritis terhadap
tantangan dan kritik ini penting agar ekonomi berkelanjutan tidak berhenti
sebagai slogan normatif, melainkan benar-benar mampu menjadi kerangka
transformatif.
6.1.
Ambiguitas Konseptual dan Fragmentasi Kebijakan
Salah satu tantangan
utama dalam ekonomi berkelanjutan adalah ambiguitas konseptual. Istilah sustainability
sendiri sering kali digunakan secara luas dan longgar tanpa definisi
operasional yang tegas, sehingga memungkinkan berbagai aktor—pemerintah,
perusahaan, dan LSM—menafsirkan dan mengimplementasikannya secara berbeda,
bahkan kontradiktif.¹ Hal ini menciptakan ruang bagi praktik greenwashing,
di mana perusahaan atau institusi mengklaim keberlanjutan tanpa perubahan
substansial dalam model bisnis atau dampak lingkungannya.²
Ketiadaan indikator
baku dan sistem pengukuran yang holistik juga memperumit evaluasi efektivitas
kebijakan ekonomi berkelanjutan. Banyak negara mengadopsi tujuan jangka panjang
tanpa rencana aksi konkret, atau tanpa koordinasi antarsektor yang memadai,
sehingga terjadi fragmentasi kebijakan yang
melemahkan daya transformatif dari strategi keberlanjutan.³
6.2.
Kritik terhadap Kooptasi Kapitalisme Hijau
Kritik paling tajam
datang dari pendekatan ekonomi politik lingkungan
(political ecology) dan degrowth movement, yang menyatakan
bahwa ekonomi berkelanjutan, sebagaimana dipraktikkan saat ini, cenderung
melestarikan kerangka kapitalisme global dengan wajah hijau.⁴ Dalam pandangan
ini, upaya untuk "menghijaukan" pertumbuhan ekonomi dianggap
kontradiktif secara internal, karena logika pertumbuhan terus-menerus tidak
kompatibel dengan sistem bumi yang memiliki batas.⁵
Jason Hickel, salah
satu pengkritik terkemuka, menilai bahwa pendekatan ekonomi berkelanjutan
terlalu fokus pada efisiensi teknologi dan pengurangan intensitas emisi, namun
gagal mengakui bahwa konsumsi berlebih dan akumulasi kapital adalah akar dari
krisis ekologi global.⁶ Ia mengajukan pendekatan post-growth atau degrowth,
yakni transisi menuju ekonomi yang tidak bergantung pada ekspansi ekonomi
terus-menerus, tetapi menekankan distribusi kesejahteraan, pelambatan produksi
yang tidak perlu, dan pelestarian ekosistem.
6.3.
Ketimpangan Global dalam Kapasitas dan Akses
Implementasi ekonomi
berkelanjutan juga dihadapkan pada ketimpangan antara negara maju dan negara
berkembang, baik dalam hal kapasitas institusional, akses
terhadap teknologi bersih, maupun ketersediaan sumber daya pendanaan.
Negara-negara berkembang sering kali terjebak dalam dilema antara mengejar
pertumbuhan ekonomi untuk mengentaskan kemiskinan dan memenuhi kebutuhan dasar
warganya, dengan tuntutan global untuk menekan emisi dan menjaga konservasi.⁷
Selain itu, beban
transisi ekologis seringkali tidak didistribusikan secara adil. Negara-negara
berkembang yang memiliki jejak karbon historis rendah justru harus menanggung
konsekuensi dari degradasi lingkungan global yang disebabkan oleh
industrialisasi negara-negara utara.⁸ Hal ini menimbulkan pertanyaan etis dan
politis mengenai prinsip tanggung jawab bersama tetapi berbeda (common
but differentiated responsibilities) yang belum sepenuhnya
diterapkan secara adil dalam perjanjian internasional.⁹
6.4.
Reduksi Isu Keberlanjutan Menjadi Masalah
Teknis
Kritik lainnya
adalah reduksionisme
teknokratis dalam pendekatan ekonomi berkelanjutan. Dalam
banyak kebijakan, keberlanjutan cenderung direduksi menjadi persoalan teknis
seperti efisiensi energi, pengelolaan limbah, atau inovasi teknologi tanpa
memperhitungkan perubahan struktural dalam sistem produksi dan konsumsi
global.¹⁰ Padahal, tantangan keberlanjutan memerlukan pendekatan sistemik yang
menyentuh dimensi budaya, moral, dan institusional secara mendalam.
Dalam hal ini,
pendekatan etika lingkungan dan ekologi politik menekankan bahwa transformasi
ekonomi berkelanjutan membutuhkan reorientasi nilai-nilai sosial, pembongkaran
relasi kekuasaan yang eksploitatif, dan partisipasi demokratis dalam
pengambilan kebijakan.¹¹ Dengan demikian, keberlanjutan bukan hanya tentang how to
sustain, tetapi juga what to sustain, why,
dan for whom.
Ekonomi
berkelanjutan, meskipun menawarkan kerangka konseptual yang kuat, harus
dikembangkan secara kritis dan reflektif agar tidak terjebak dalam reproduksi
ketimpangan dan eksploitasi dalam format baru. Dengan menyadari tantangan dan
kritik ini, kita dapat mendorong pembangunan yang benar-benar transformatif:
yang tidak hanya hijau di permukaan, tetapi adil dan regeneratif pada
substansinya.
Footnotes
[1]
Michael Redclift, Sustainable Development: Exploring the
Contradictions (London: Routledge, 2005), 9–12.
[2]
Richard Welford, “Hijacking Environmentalism: Corporate Responses to
Sustainable Development,” Greener Management International 29 (2000):
107–119.
[3]
Benjamin Cashore et al., “Can Governance ‘Manage’ Globalization? The
Case of Forest Certification in East Asia,” Journal of Environment &
Development 13, no. 1 (2004): 34–61.
[4]
James O’Connor, “Capitalism, Nature, Socialism: A Theoretical
Introduction,” Capitalism Nature Socialism 1, no. 1 (1988): 11–38.
[5]
Giorgos Kallis et al., Degrowth: A Vocabulary for a New Era (London:
Routledge, 2015), 3–7.
[6]
Jason Hickel, Less is More: How Degrowth Will Save the World
(London: Penguin Random House, 2020), 35–40.
[7]
Thomas Tanner and Leo Horn-Phathanothai, Climate Change and
Development (London: Routledge, 2014), 22–28.
[8]
Kevin Anderson and Alice Bows, “A New Paradigm for Climate Change,” Nature
Climate Change 2, no. 9 (2012): 639–640.
[9]
Lavanya Rajamani, “The Principle of Common But Differentiated
Responsibility and the Balance of Commitments Under the Climate Regime,” Review
of European Community & International Environmental Law 9, no. 2
(2000): 120–131.
[10]
Clive L. Spash, “The Brave New World of Carbon Trading,” New
Political Economy 15, no. 2 (2010): 169–195.
[11]
Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental
Sustainability and Theories of Distributive Justice (Oxford: Oxford
University Press, 1998), 45–47.
7.
Ekonomi
Berkelanjutan dalam Perspektif Filsafat dan Etika Lingkungan
Gagasan ekonomi
berkelanjutan tidak hanya berakar pada kebutuhan teknis dan kebijakan publik,
tetapi juga bersandar pada refleksi filosofis dan kerangka etika
yang menuntut peninjauan ulang terhadap relasi manusia dengan alam. Dalam
konteks ini, ekonomi tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral yang
melandasi tujuan hidup manusia, hubungan antargenerasi, dan tanggung jawab
terhadap komunitas ekologis yang lebih luas. Perspektif filsafat dan etika
lingkungan memberi dasar normatif yang esensial bagi keberlanjutan, menuntut
pergeseran paradigma dari dominasi terhadap alam menuju koeksistensi yang
harmonis.
7.1.
Etika Lingkungan: Dari Antroposentrisme ke
Ekosentrisme
Tradisi etika
lingkungan mengidentifikasi dua orientasi utama dalam memandang alam: antroposentrisme,
yang menempatkan manusia sebagai pusat nilai dan kepentingan, serta ekosentrisme,
yang mengakui nilai intrinsik semua entitas alam di luar kegunaannya bagi
manusia.¹ Dalam paradigma antroposentris, lingkungan hanya dipertahankan sejauh
berguna untuk kesejahteraan manusia; sementara dalam paradigma ekosentris, alam
memiliki hak dan nilai moral yang harus dihormati dalam dirinya sendiri.²
Pandangan ekosentris
ini diperkuat oleh pendekatan deep ecology dari Arne Naess,
yang menegaskan pentingnya biosfer equality—yakni bahwa semua
makhluk hidup memiliki hak untuk berkembang secara setara.³ Konsekuensinya,
aktivitas ekonomi tidak boleh dijustifikasi semata-mata berdasarkan manfaatnya
bagi manusia, melainkan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap keutuhan
sistem kehidupan.⁴ Gagasan ini menantang struktur ekonomi modern yang kerap
menempatkan pertumbuhan dan konsumsi sebagai ukuran utama keberhasilan.
7.2.
Land Ethic dan Keadilan Ekologis
Kontribusi penting
dalam etika lingkungan datang dari Aldo Leopold melalui konsep land
ethic, yaitu prinsip moral yang memperluas komunitas etis
manusia untuk mencakup tanah, air, tumbuhan, dan hewan—singkatnya, seluruh ekosistem.⁵
Leopold menulis bahwa “suatu hal benar jika ia cenderung melestarikan
integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas biotik; dan salah jika
sebaliknya.”_⁶ Prinsip ini menyiratkan bahwa ekonomi berkelanjutan
seharusnya tidak hanya mengejar efisiensi atau pertumbuhan, tetapi juga
mengupayakan harmoni dan kelestarian jangka panjang dari komunitas kehidupan.
Konsep keadilan
ekologis (ecological justice) juga berkembang sebagai perluasan
dari keadilan sosial, mencakup tanggung jawab etis terhadap makhluk non-manusia
dan generasi mendatang.⁷ Dalam kerangka ini, eksploitasi sumber daya alam dan
marginalisasi masyarakat adat dianggap sebagai bentuk ketidakadilan yang tidak
dapat dibenarkan, karena merusak hak moral dari komunitas yang lebih luas, baik
manusia maupun bukan manusia.
7.3.
Tanggung Jawab Antargenerasi dan Prinsip
Kehati-hatian
Salah satu aspek
filosofis kunci dalam ekonomi berkelanjutan adalah tanggung
jawab antargenerasi. Prinsip ini mengandaikan bahwa generasi
sekarang memiliki kewajiban moral untuk menjaga keberlanjutan bumi demi
generasi mendatang. Filsuf Hans Jonas menekankan pentingnya etika
tanggung jawab (ethics of responsibility) dalam
menghadapi teknologi dan ekonomi modern yang berdampak besar terhadap masa
depan planet.⁸ Ia menyatakan bahwa tindakan manusia modern harus selalu
mempertimbangkan akibat jangka panjangnya terhadap kehidupan di masa depan.
Bersamaan dengan
itu, prinsip kehati-hatian (precautionary
principle) menjadi landasan normatif dalam mengambil keputusan
kebijakan yang menyangkut risiko ekologis yang tinggi namun belum sepenuhnya dapat
diprediksi. Prinsip ini menyerukan agar beban pembuktian keamanan suatu
kegiatan ekonomi berada pada pelaku, bukan pada korban potensial.⁹ Dengan
demikian, pendekatan etis ini menghindarkan ekonomi berkelanjutan dari sekadar
spekulasi teknokratik dan memperkuat dimensi moral dari setiap aktivitas
pembangunan.
7.4.
Spiritualitas dan Ekonomi Regeneratif
Beberapa pendekatan
kontemporer mengaitkan ekonomi berkelanjutan dengan dimensi spiritualitas
ekologis, terutama dalam konteks agama dan budaya lokal. Paus Fransiskus
dalam ensiklik Laudato Si’ menekankan pentingnya integral
ecology yang menyatukan keadilan sosial, pelestarian alam, dan
spiritualitas manusia dalam satu kesatuan moral.¹⁰ Dalam kerangka ini, ekonomi
bukan hanya sistem produksi, tetapi juga ekspresi nilai dan orientasi hidup
manusia dalam dunia ciptaan.
Sejalan dengan itu,
gagasan ekonomi regeneratif muncul
sebagai pendekatan lanjutan dari keberlanjutan, yang tidak hanya mempertahankan
sistem kehidupan, tetapi juga memulihkan dan memperkuatnya secara aktif.¹¹
Pendekatan ini menekankan bahwa aktivitas ekonomi harus bersifat simbiotik
dengan siklus alam dan mampu menghidupkan kembali ekosistem yang rusak,
sekaligus membangun komunitas manusia yang resilien dan adil.
Dengan demikian,
ekonomi berkelanjutan dalam perspektif filsafat dan etika lingkungan bukan
sekadar kerangka kebijakan teknis, tetapi merupakan ekspresi dari perubahan
mendalam dalam cara manusia memaknai dirinya sebagai bagian dari komunitas
ekologis. Ia menuntut pergeseran dari logika dominasi menuju logika relasi,
dari eksploitatif ke regeneratif, dan dari kepentingan sesaat menuju tanggung
jawab lintas waktu dan ruang.
Footnotes
[1]
Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the
Twenty-First Century, 2nd ed. (Cambridge: Polity Press, 2014), 19–21.
[2]
Bryan G. Norton, Toward Unity Among Environmentalists (Oxford:
Oxford University Press, 1991), 47–50.
[3]
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an
Ecosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 168–170.
[4]
Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New
Foundations for Environmentalism (Albany: State University of New York
Press, 1990), 110–115.
[5]
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford
University Press, 1949), 201–226.
[6]
Ibid., 224.
[7]
Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of
Environmental Sustainability and Theories of Distributive Justice (Oxford:
Oxford University Press, 1998), 34–36.
[8]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 8–15.
[9]
Sandin, Per, “Dimensions of the Precautionary Principle,” Human and
Ecological Risk Assessment 5, no. 5 (1999): 889–907.
[10]
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), sec. 137–162.
[11]
Daniel Christian Wahl, Designing Regenerative Cultures
(Axminster: Triarchy Press, 2016), 32–37.
8.
Kesimpulan
dan Rekomendasi
8.1.
Kesimpulan
Ekonomi
berkelanjutan hadir sebagai respon normatif dan praktis terhadap berbagai
krisis multidimensi yang dihadapi dunia modern—mulai dari degradasi ekologis,
ketimpangan sosial, hingga ancaman terhadap keberlangsungan hidup
antargenerasi. Konsep ini tidak sekadar mengusulkan modifikasi teknis atas
sistem ekonomi yang ada, tetapi merupakan upaya transformatif untuk menyusun
kembali kerangka pembangunan berdasarkan keadilan sosial, kelestarian lingkungan, dan
kesejahteraan jangka panjang.
Sebagaimana telah
diuraikan dalam bagian sebelumnya, ekonomi berkelanjutan berdiri di atas tiga
pilar fundamental: efisiensi dan inovasi ekonomi, keadilan sosial dan
pemberdayaan komunitas, serta konservasi dan regenerasi lingkungan.¹
Implementasinya di berbagai negara—baik di Eropa, Amerika Latin, maupun
Asia—menunjukkan bahwa ekonomi berkelanjutan dapat diwujudkan melalui kombinasi
kebijakan progresif, sistem tata kelola yang inklusif, serta partisipasi aktif
masyarakat sipil.²
Namun, meskipun
telah banyak dikembangkan dalam tataran diskursus dan kebijakan, ekonomi
berkelanjutan masih menghadapi berbagai tantangan substantif, seperti
ambiguitas definisi, greenwashing, ketimpangan global dalam sumber daya dan
teknologi, serta kooptasi kapitalisme hijau.³ Oleh karena itu, diperlukan
fondasi filosofis dan etika lingkungan yang kuat—seperti land ethic,
ekosentrisme, dan prinsip tanggung jawab antargenerasi—untuk memastikan bahwa
ekonomi berkelanjutan tidak tereduksi menjadi jargon teknokratis semata.⁴
Dengan kata lain,
ekonomi berkelanjutan bukan hanya tentang apa yang harus diubah, tetapi juga mengapa
dan untuk
siapa perubahan itu dilakukan. Keberlanjutan sejati menuntut
perubahan dalam cara berpikir, berproduksi, dan berelasi—baik dengan sesama
manusia maupun dengan seluruh komunitas kehidupan.
8.2.
Rekomendasi
1)
Perumusan Indikator
Keberlanjutan yang Holistik dan Terukur
Pemerintah dan lembaga internasional perlu
mengembangkan dan menerapkan indikator keberlanjutan yang tidak hanya berbasis
ekonomi (seperti PDB), tetapi juga mencakup aspek sosial, ekologis, dan
spiritual. Indikator seperti Genuine Progress Indicator (GPI) dan Happy
Planet Index (HPI) dapat menjadi alternatif yang lebih representatif.⁵
2)
Penguatan Tata Kelola
Multi-Level dan Partisipatif
Implementasi ekonomi berkelanjutan harus
melibatkan koordinasi lintas sektor (pemerintah, masyarakat sipil, swasta, dan
akademisi), serta menekankan prinsip partisipasi publik dalam perencanaan dan
pengambilan keputusan.⁶ Pendekatan bottom-up yang melibatkan komunitas
lokal menjadi krusial dalam memastikan keadilan dan efektivitas program.
3)
Transformasi Kurikulum
Pendidikan Ekonomi dan Lingkungan
Institusi pendidikan harus mereformasi kurikulum
ekonomi agar tidak hanya mengajarkan prinsip-prinsip neoklasik, tetapi juga
memperkenalkan paradigma ekonomi ekologis, etika lingkungan, dan model
regeneratif. Hal ini penting untuk membentuk generasi yang memiliki kesadaran
ekologis dan tanggung jawab sosial.⁷
4)
Reorientasi Kebijakan
Fiskal dan Insentif Pasar
Negara perlu menyusun kebijakan fiskal yang
mendukung kegiatan ekonomi berkelanjutan, seperti pajak karbon, subsidi energi
terbarukan, dan insentif untuk inovasi hijau. Selain itu, penghapusan subsidi
untuk industri yang merusak lingkungan menjadi keharusan moral dan strategis.⁸
5)
Pengembangan Ekonomi
Regeneratif sebagai Tahap Lanjutan
Dalam jangka panjang, perlu ada transisi dari
ekonomi yang hanya berkelanjutan menuju ekonomi yang regeneratif—yakni
model ekonomi yang mampu memulihkan ekosistem, memberdayakan komunitas, dan
menyeimbangkan relasi sosial-ekologis secara mendalam.⁹
Ekonomi
berkelanjutan harus dipandang bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai
jalan menuju peradaban yang adil secara sosial, stabil secara ekologis, dan
bermartabat secara moral. Ia membutuhkan tidak hanya komitmen kebijakan, tetapi
juga perubahan paradigma—dari dominasi menuju harmoni, dari konsumsi menuju
konservasi, dan dari eksploitasi menuju regenerasi.
Footnotes
[1]
John Elkington, Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of
21st Century Business (Oxford: Capstone Publishing, 1997), 70–73.
[2]
Craig Morris and Arne Jungjohann, Energy Democracy: Germany’s
Energiewende to Renewables (New York: Palgrave Macmillan, 2016), 19–23;
Silvia Arriagada and Edwin Zepeda, “Payment for Environmental Services in Costa
Rica,” Ecological Economics 65, no. 4 (2008): 725–736.
[3]
Jason Hickel, Less is More: How Degrowth Will Save the World
(London: Penguin Random House, 2020), 35–40; Richard Welford, “Hijacking
Environmentalism,” Greener Management International 29 (2000):
107–119.
[4]
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford
University Press, 1949), 224; Hans Jonas, The Imperative of Responsibility
(Chicago: University of Chicago Press, 1984), 8–15.
[5]
Robert Costanza et al., “Time to Leave GDP Behind,” Nature
505, no. 7483 (2014): 283–285.
[6]
Thomas Tanner and Leo Horn-Phathanothai, Climate Change and
Development (London: Routledge, 2014), 52–54.
[7]
Herman E. Daly and Joshua Farley, Ecological Economics: Principles
and Applications, 2nd ed. (Washington, DC: Island Press, 2011), 260–263.
[8]
United Nations Environment Programme (UNEP), Towards a Green
Economy: Pathways to Sustainable Development and Poverty Eradication
(Nairobi: UNEP, 2011), 27–30.
[9]
Daniel Christian Wahl, Designing Regenerative Cultures
(Axminster: Triarchy Press, 2016), 12–17.
Daftar Pustaka
Arriagada, S. I., & Zepeda, E. (2008). Payment
for environmental services in Costa Rica: Evaluation, lessons and future
outlook. Ecological Economics, 65(4), 725–736. https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2007.07.031
Attfield, R. (2014). Environmental ethics: An
overview for the twenty-first century (2nd ed.). Polity Press.
Blühdorn, I. (2007). Sustaining the unsustainable:
Symbolic politics and the politics of simulation. Environmental Politics, 16(2),
251–275. https://doi.org/10.1080/09644010701211759
Cashore, B., Auld, G., & Newsom, D. (2004). Can
governance “manage” globalization? The case of forest certification in East
Asia. Journal of Environment & Development, 13(1), 34–61. https://doi.org/10.1177/1070496503260406
Costanza, R., Hart, M., Posner, S., & Talberth,
J. (2009). Beyond GDP: The need for new measures of progress (Pardee
Paper No. 4). Boston University, The Frederick S. Pardee Center for the Study
of the Longer-Range Future.
Costanza, R., Kubiszewski, I., Giovannini, E.,
Lovins, H., McGlade, J., Pickett, K. E., ... & Wilkinson, R. (2014). Time
to leave GDP behind. Nature, 505(7483), 283–285. https://doi.org/10.1038/505283a
Daly, H. E. (1991). Steady-state economics
(2nd ed.). Island Press.
Daly, H. E. (1996). Beyond growth: The economics
of sustainable development. Beacon Press.
Daly, H. E., & Farley, J. (2011). Ecological
economics: Principles and applications (2nd ed.). Island Press.
Dobson, A. (1998). Justice and the environment:
Conceptions of environmental sustainability and theories of distributive
justice. Oxford University Press.
Elkington, J. (1997). Cannibals with forks: The
triple bottom line of 21st century business. Capstone Publishing.
Fox, W. (1990). Toward a transpersonal ecology:
Developing new foundations for environmentalism. State University of New
York Press.
Georgescu-Roegen, N. (1971). The entropy law and
the economic process. Harvard University Press.
Hickel, J. (2020). Less is more: How degrowth
will save the world. Penguin Random House.
International Labour Organization. (2018). World
employment and social outlook 2018: Greening with jobs. International
Labour Organization.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Kallis, G., Demaria, F., & D’Alisa, G. (2015). Degrowth:
A vocabulary for a new era. Routledge.
Laudato Si’: On care for our common home. (2015).
Vatican City: Libreria Editrice Vaticana.
Leopold, A. (1949). A sand county almanac.
Oxford University Press.
Malthus, T. (1798). An essay on the principle of
population. J. Johnson.
Meadows, D. H., Meadows, D. L., Randers, J., &
Behrens III, W. W. (1972). The limits to growth: A report for the Club of
Rome’s project on the predicament of mankind. Universe Books.
Morris, C., & Jungjohann, A. (2016). Energy
democracy: Germany’s Energiewende to renewables. Palgrave Macmillan.
Naess, A. (1989). Ecology, community and
lifestyle: Outline of an ecosophy. Cambridge University Press.
New Zealand Treasury. (2021). The wellbeing
budget 2021. https://www.treasury.govt.nz/publications/wellbeing-budget
Norton, B. G. (1991). Toward unity among
environmentalists. Oxford University Press.
OECD. (2019). Green growth indicators 2019.
OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/9789264307438-en
Pope Francis. (2015). Laudato Si’: On care for
our common home. Libreria Editrice Vaticana.
Rajamani, L. (2000). The principle of common but
differentiated responsibility and the balance of commitments under the climate
regime. Review of European Community & International Environmental Law,
9(2), 120–131. https://doi.org/10.1111/1467-9388.00243
Redclift, M. (2005). Sustainable development:
Exploring the contradictions (2nd ed.). Routledge.
Rockström, J., Steffen, W., Noone, K., Persson, Å.,
Chapin, F. S., Lambin, E. F., ... & Foley, J. A. (2009). A safe operating
space for humanity. Nature, 461(7263), 472–475. https://doi.org/10.1038/461472a
Sandin, P. (1999). Dimensions of the precautionary
principle. Human and Ecological Risk Assessment: An International Journal, 5(5),
889–907. https://doi.org/10.1080/10807039991289185
Sachs, J. D. (2015). The age of sustainable
development. Columbia University Press.
Sen, A. (1999). Development as freedom.
Oxford University Press.
Spash, C. L. (2010). The brave new world of carbon
trading. New Political Economy, 15(2), 169–195. https://doi.org/10.1080/13563460903556049
Swedish Ministry of the Environment and Energy.
(2017). Sweden’s climate policy framework. Government Offices of Sweden.
Tanner, T., & Horn-Phathanothai, L. (2014). Climate
change and development. Routledge.
United Nations. (1972). Report of the United
Nations Conference on the Human Environment (Stockholm Conference). United
Nations.
United Nations. (1987). Our common future.
Oxford University Press.
United Nations. (2015). Transforming our world:
The 2030 agenda for sustainable development. https://sdgs.un.org/2030agenda
United Nations Development Programme. (2016). Human
development report 2016: Human development for everyone. UNDP.
United Nations Environment Programme. (2011). Towards
a green economy: Pathways to sustainable development and poverty eradication.
UNEP.
United Nations Environment Programme. (2012). Global
environment outlook 5. UNEP.
Ura, K., Alkire, S., Zangmo, T., & Wangdi, K.
(2012). A short guide to gross national happiness index. Centre for
Bhutan Studies.
Wahl, D. C. (2016). Designing regenerative
cultures. Triarchy Press.
Webster, K. (2015). The circular economy: A
wealth of flows. Ellen MacArthur Foundation Publishing.
Welford, R. (2000). Hijacking environmentalism:
Corporate responses to sustainable development. Greener Management
International, 29, 107–119.
Will Steffen, Richardson, K., Rockström, J.,
Cornell, S. E., Fetzer, I., Bennett, E. M., ... & Sörlin, S. (2015).
Planetary boundaries: Guiding human development on a changing planet. Science,
347(6223), 1259855. https://doi.org/10.1126/science.1259855
Tidak ada komentar:
Posting Komentar