Sabtu, 12 April 2025

Ekonomi Berkelanjutan: Strategi Transformatif Menuju Pembangunan Inklusif dan Ketahanan Ekologis

Ekonomi Berkelanjutan

Strategi Transformatif Menuju Pembangunan Inklusif dan Ketahanan Ekologis


Alihkan ke: Ilmu Ekonomi.


Abstrak

Artikel ini membahas konsep ekonomi berkelanjutan sebagai paradigma alternatif terhadap model ekonomi konvensional yang berorientasi pada pertumbuhan tanpa batas. Ekonomi berkelanjutan ditelaah sebagai kerangka transformatif yang mengintegrasikan dimensi ekonomi, sosial, dan ekologis untuk mencapai pembangunan yang adil, inklusif, dan tahan terhadap krisis ekologis global. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif berbasis studi literatur dari sumber-sumber ilmiah yang kredibel, artikel ini mengulas sejarah perkembangan gagasan keberlanjutan, konseptualisasi tiga pilarnya, serta implementasinya di berbagai negara seperti Swedia, Jerman, dan Kosta Rika. Pembahasan juga mencakup kritik terhadap praktik greenwashing, kooptasi kapitalisme hijau, serta reduksionisme teknokratis dalam pelaksanaan ekonomi berkelanjutan. Selanjutnya, artikel ini menempatkan ekonomi berkelanjutan dalam perspektif filsafat dan etika lingkungan, khususnya melalui pendekatan ekosentrisme, land ethic, dan prinsip tanggung jawab antargenerasi. Di akhir, disampaikan rekomendasi strategis untuk memperkuat transformasi ekonomi menuju model yang regeneratif dan berkeadilan ekologis. Dengan demikian, artikel ini menegaskan pentingnya perubahan paradigma dari dominasi manusia atas alam menuju hubungan timbal balik yang harmonis demi keberlangsungan hidup seluruh komunitas kehidupan.

Kata Kunci: Ekonomi Berkelanjutan; Pembangunan Inklusif; Etika Lingkungan; Triple Bottom Line; Ekosentrisme; Green Economy; Tanggung Jawab Antargenerasi; Transformasi Ekonomi; Ketahanan Ekologis; Ekonomi Regeneratif.


PEMBAHASAN

Telaah Model Transformatif Ekonomi Berkelanjutan


1.           Pendahuluan

Krisis multidimensi yang melanda dunia pada abad ke-21, seperti perubahan iklim, kerusakan lingkungan, ketimpangan sosial, dan ketidakadilan ekonomi, menandakan kegagalan sistem ekonomi konvensional dalam menjamin keberlanjutan hidup umat manusia. Model ekonomi yang berlandaskan pada prinsip pertumbuhan tanpa batas dan eksploitasi sumber daya alam secara intensif telah menghasilkan kemakmuran yang timpang dan degradasi ekologis yang meluas.¹ Dalam konteks inilah, gagasan mengenai ekonomi berkelanjutan (sustainable economy) muncul sebagai paradigma alternatif yang menekankan keseimbangan antara kemajuan ekonomi, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan.

Konsep ekonomi berkelanjutan tidak semata-mata mengacu pada efisiensi ekonomi atau pertumbuhan hijau, melainkan juga pada restrukturisasi mendalam terhadap nilai-nilai dasar sistem produksi, konsumsi, dan distribusi dalam masyarakat.² Gagasan ini merupakan perluasan dari dokumen seminal Our Common Future (1987) yang menekankan pentingnya pembangunan yang "memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri."_³ Dalam perkembangannya, ekonomi berkelanjutan menjadi bagian integral dari kerangka global Sustainable Development Goals (SDGs) yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), khususnya pada tujuan-tujuan seperti kerja layak dan pertumbuhan ekonomi (Tujuan 8), konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab (Tujuan 12), serta aksi terhadap perubahan iklim (Tujuan 13).⁴

Lebih dari sekadar respons teknokratis, ekonomi berkelanjutan merepresentasikan perubahan paradigma dalam cara manusia memaknai hubungan antara ekonomi dan biosfer. Kate Raworth dalam Doughnut Economics (2017) mengusulkan kerangka kerja yang menggambarkan batas ekologis dan fondasi sosial sebagai ruang aman dan adil bagi umat manusia, yang disebut sebagai safe and just space for humanity.⁵ Dalam kerangka ini, pembangunan ekonomi tidak boleh melampaui batas-batas planet (planetary boundaries) maupun mengabaikan hak-hak dasar sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan kesetaraan.⁶

Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi secara komprehensif gagasan dan praktik ekonomi berkelanjutan, mulai dari konseptualisasi dan sejarah perkembangannya, hingga penerapannya dalam berbagai konteks kebijakan. Selain itu, artikel ini juga mengkaji tantangan serta kritik terhadap konsep ini, sekaligus menawarkan kerangka etik dan filosofis sebagai fondasi normatif dalam mengarahkan transformasi ekonomi menuju masa depan yang inklusif dan ekologis.


Footnotes

[1]                Tim Jackson, Prosperity Without Growth: Foundations for the Economy of Tomorrow (London: Routledge, 2009), 14–16.

[2]                Herman E. Daly, Steady-State Economics (Washington, DC: Island Press, 1991), 22–25.

[3]                World Commission on Environment and Development, Our Common Future (Oxford: Oxford University Press, 1987), 43.

[4]                United Nations, Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development (New York: United Nations, 2015), Goals 8, 12, and 13.

[5]                Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist (White River Junction, VT: Chelsea Green Publishing, 2017), 38–42.

[6]                Johan Rockström et al., “A Safe Operating Space for Humanity,” Nature 461, no. 7263 (2009): 472–475.


2.           Konseptualisasi Ekonomi Berkelanjutan

Ekonomi berkelanjutan (sustainable economy) merupakan suatu kerangka pemikiran dan praktik ekonomi yang dirancang untuk memastikan kelangsungan hidup manusia dalam jangka panjang tanpa merusak sistem penunjang kehidupan ekologis. Model ini mengintegrasikan dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan secara seimbang dan saling terkait, dengan tujuan utama menciptakan kesejahteraan manusia dalam batas-batas daya dukung bumi.¹ Dalam pengertian paling dasar, ekonomi berkelanjutan mengacu pada sistem ekonomi yang “dapat mempertahankan produktivitasnya sepanjang waktu tanpa mengorbankan fungsi-fungsi ekologis atau keadilan antar generasi.”_²

Secara normatif, konsep ini lahir sebagai kritik terhadap paradigma ekonomi neoklasik yang dominan sejak Revolusi Industri, yang menempatkan pertumbuhan sebagai tujuan utama, dengan asumsi bahwa kemajuan teknologi dapat mengatasi setiap kendala ekologis.³ Pendekatan ekonomi konvensional semacam itu cenderung mengabaikan keterbatasan biofisik planet dan mengartikan alam sebagai faktor eksternal (externalities) dalam perhitungan ekonomi. Sebaliknya, ekonomi berkelanjutan justru menekankan bahwa ekosistem bukan hanya sumber daya ekonomi, tetapi merupakan dasar kehidupan yang tak tergantikan.⁴

Menurut Herman Daly, ekonomi yang benar-benar berkelanjutan adalah ekonomi yang steady-state—yakni, tidak terus-menerus tumbuh dalam hal skala fisik, tetapi tetap dinamis dalam kualitas dan efisiensi.⁵ Ini menandakan pergeseran dari logika akumulasi menuju logika keseimbangan. Lebih lanjut, ekonomi berkelanjutan juga menuntut transformasi dalam sistem nilai dan tujuan pembangunan: dari kuantitas menuju kualitas, dari konsumsi menuju konservasi, dan dari ekspansi menuju regenerasi.⁶

Dalam praksis kebijakan, ekonomi berkelanjutan ditopang oleh tiga pilar utama:

1)                  Pilar Ekonomi, yang mencakup efisiensi sumber daya, inovasi hijau, dan penciptaan nilai tambah yang tidak merusak lingkungan;

2)                  Pilar Sosial, yang meliputi keadilan sosial, pengentasan kemiskinan, partisipasi masyarakat, dan distribusi manfaat ekonomi yang merata;

3)                  Pilar Lingkungan, yang berfokus pada pelestarian ekosistem, pengendalian polusi, dan penggunaan sumber daya alam secara bijaksana.⁷

Dalam banyak literatur, ketiga pilar ini sering digambarkan sebagai fondasi dari triple bottom line (TBL), yakni keberhasilan ekonomi yang tidak hanya diukur melalui keuntungan (profit), tetapi juga melalui dampaknya terhadap masyarakat (people) dan lingkungan (planet).⁸ Dalam konteks yang lebih progresif, Kate Raworth bahkan mengembangkan model doughnut economics sebagai visualisasi dari batas sosial dan ekologis, di mana pembangunan ekonomi seharusnya berlangsung dalam “ruang aman dan adil bagi umat manusia” tanpa melampaui ambang batas bumi atau merendahkan martabat manusia.⁹

Konseptualisasi ekonomi berkelanjutan ini semakin penting di tengah krisis global seperti perubahan iklim, krisis energi, dan ketimpangan ekonomi yang semakin menganga. Dalam situasi tersebut, pendekatan ekonomi berkelanjutan menjadi tidak hanya relevan, tetapi juga mendesak sebagai kerangka normatif dan praktis dalam merancang masa depan yang adil dan layak huni bagi semua.


Footnotes

[1]                Jeffrey D. Sachs, The Age of Sustainable Development (New York: Columbia University Press, 2015), 10–12.

[2]                Robert Costanza et al., “An Introduction to Ecological Economics,” in Ecological Economics: Principles and Applications, 2nd ed. (Washington, DC: Island Press, 2014), 5–7.

[3]                Nicholas Georgescu-Roegen, The Entropy Law and the Economic Process (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 21–25.

[4]                Herman E. Daly and Joshua Farley, Ecological Economics: Principles and Applications, 2nd ed. (Washington, DC: Island Press, 2011), 34–38.

[5]                Herman E. Daly, Steady-State Economics (Washington, DC: Island Press, 1991), 17–20.

[6]                Tim Jackson, Prosperity Without Growth: Foundations for the Economy of Tomorrow (London: Routledge, 2009), 79–81.

[7]                United Nations Environment Programme (UNEP), Towards a Green Economy: Pathways to Sustainable Development and Poverty Eradication (Nairobi: UNEP, 2011), 13–16.

[8]                John Elkington, “Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century Business,” Capstone Publishing (1997): 70–73.

[9]                Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist (White River Junction, VT: Chelsea Green Publishing, 2017), 38–42.


3.           Sejarah Perkembangan Gagasan Ekonomi Berkelanjutan

Gagasan tentang ekonomi berkelanjutan tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan merupakan hasil evolusi pemikiran multidisipliner yang mencerminkan respons terhadap krisis lingkungan, krisis sosial, dan keterbatasan model pembangunan konvensional. Akarnya dapat ditelusuri jauh ke belakang, ketika para pemikir klasik seperti Thomas Malthus memperingatkan tentang keterbatasan sumber daya alam dalam menopang pertumbuhan penduduk.¹ Namun, perhatian yang lebih sistematis terhadap keberlanjutan ekonomi baru mencuat pada paruh kedua abad ke-20, seiring dengan meningkatnya kesadaran akan dampak negatif pembangunan industri terhadap lingkungan.

Tonggak penting dalam sejarah gagasan ini terjadi pada tahun 1972, ketika The Club of Rome menerbitkan laporan berjudul The Limits to Growth. Menggunakan pendekatan pemodelan sistem dinamis, laporan ini memperingatkan bahwa jika tren pertumbuhan populasi, industrialisasi, dan eksploitasi sumber daya terus berlanjut, maka sistem global akan mencapai batas-batas ekologisnya dalam waktu yang tidak terlalu lama.² Pesan utama dari laporan tersebut adalah bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak terkendali akan mengarah pada keruntuhan ekologis dan sosial—sebuah peringatan dini terhadap konsekuensi dari sistem ekonomi yang tidak berkelanjutan.

Pada tahun yang sama, Konferensi Stockholm (1972), yang merupakan konferensi lingkungan hidup pertama tingkat global yang diadakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, menjadi momentum awal dimulainya integrasi isu lingkungan dalam kebijakan pembangunan internasional.³ Namun, baru pada tahun 1987 istilah sustainable development memperoleh legitimasi global ketika World Commission on Environment and Development (WCED) menerbitkan laporan Our Common Future, yang dikenal juga sebagai Brundtland Report. Dalam laporan ini, pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.”_⁴ Definisi ini menjadi rujukan utama dalam pengembangan konsep ekonomi berkelanjutan secara formal.

Sepanjang dekade 1990-an hingga awal 2000-an, pemikiran ekonomi berkelanjutan terus berkembang dalam interaksi dengan gerakan lingkungan hidup, studi pembangunan, dan ilmu ekonomi ekologis. Dalam ranah akademik, ekonomi ekologis muncul sebagai disiplin baru yang menolak asumsi-asumsi dasar ekonomi neoklasik, dan sebaliknya menekankan integrasi antara sistem ekonomi dan sistem ekologis. Herman Daly, salah satu pelopor ekonomi ekologis, menekankan pentingnya steady-state economy, yaitu kondisi ekonomi yang mempertahankan ukuran fisik yang stabil dalam batas daya dukung lingkungan.⁵ Pemikirannya menandai pergeseran paradigmatik dalam cara ekonomi dipahami—bukan sebagai sistem yang otonom, melainkan sebagai subsistem dari biosfer.

Perkembangan signifikan lainnya terjadi pada awal abad ke-21 ketika konsep ekonomi berkelanjutan mulai dimasukkan dalam kerangka kebijakan global, seperti dalam dokumen Millennium Development Goals (MDGs) dan kemudian Sustainable Development Goals (SDGs). Dalam SDGs yang disahkan pada tahun 2015, konsep ekonomi berkelanjutan diartikulasikan secara eksplisit dalam berbagai tujuan, termasuk keadilan sosial, pengurangan ketimpangan, konsumsi-produksi berkelanjutan, dan aksi terhadap perubahan iklim.⁶

Gagasan ekonomi berkelanjutan juga memperoleh penguatan melalui karya-karya kontemporer seperti Prosperity Without Growth oleh Tim Jackson dan Doughnut Economics oleh Kate Raworth, yang menyajikan kritik tajam terhadap paradigma pertumbuhan dan menawarkan kerangka baru berbasis regenerasi dan keseimbangan ekosistem.⁷ Dengan demikian, sejarah perkembangan ekonomi berkelanjutan merupakan perjalanan panjang transformasi intelektual dan kebijakan, dari kritik terhadap pertumbuhan menuju pencarian paradigma ekonomi yang mampu menjamin kelangsungan hidup manusia dan bumi secara bersamaan.


Footnotes

[1]                Thomas Malthus, An Essay on the Principle of Population (London: J. Johnson, 1798).

[2]                Donella H. Meadows et al., The Limits to Growth: A Report for the Club of Rome’s Project on the Predicament of Mankind (New York: Universe Books, 1972), 23–27.

[3]                United Nations, Report of the United Nations Conference on the Human Environment (Stockholm Conference) (New York: United Nations, 1972).

[4]                World Commission on Environment and Development, Our Common Future (Oxford: Oxford University Press, 1987), 43.

[5]                Herman E. Daly, Beyond Growth: The Economics of Sustainable Development (Boston: Beacon Press, 1996), 14–17.

[6]                United Nations, Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development (New York: United Nations, 2015), Goals 8, 12, and 13.

[7]                Tim Jackson, Prosperity Without Growth: Foundations for the Economy of Tomorrow (London: Routledge, 2009); Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist (White River Junction, VT: Chelsea Green Publishing, 2017), 20–25.


4.           Pilar-Pilar Ekonomi Berkelanjutan

Ekonomi berkelanjutan dibangun di atas fondasi tiga pilar utama yang saling berkaitan dan tak terpisahkan: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ketiganya membentuk kerangka integratif yang dikenal luas sebagai triple bottom line, sebuah pendekatan yang menilai keberhasilan pembangunan bukan hanya dari sisi keuntungan finansial (profit), tetapi juga dari dampaknya terhadap manusia (people) dan lingkungan (planet).¹ Konsep ini menuntut integrasi lintas sektor agar pembangunan tidak bersifat eksploitatif, melainkan regeneratif dan inklusif.

4.1.       Pilar Ekonomi: Efisiensi, Inovasi, dan Keseimbangan Produksi

Pilar ekonomi dalam kerangka berkelanjutan menekankan pada pentingnya efisiensi penggunaan sumber daya alam, pengembangan teknologi bersih, dan transisi menuju sistem ekonomi rendah karbon. Fokusnya bukan pada pertumbuhan kuantitatif semata, melainkan pada kualitas pertumbuhan yang mendukung keberlanjutan jangka panjang.² Dalam model ini, inovasi hijau (green innovation) dan ekonomi sirkular (circular economy) menjadi kunci utama, di mana limbah dikurangi dan nilai sumber daya dipertahankan selama mungkin melalui daur ulang, penggunaan kembali, dan desain berkelanjutan.³

Penerapan prinsip ekonomi berkelanjutan mencakup internalisasi biaya eksternalitas negatif seperti polusi dan degradasi lahan ke dalam harga barang dan jasa, serta restrukturisasi insentif ekonomi agar mendorong investasi pada energi terbarukan dan teknologi ramah lingkungan.⁴ Ini juga menuntut perubahan indikator ekonomi dari Produk Domestik Bruto (PDB) menuju ukuran yang lebih holistik seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Genuine Progress Indicator (GPI), atau Human Development Index (HDI) yang memperhitungkan kesejahteraan dan kualitas hidup.⁵

4.2.       Pilar Sosial: Keadilan, Inklusi, dan Pemberdayaan

Aspek sosial dari ekonomi berkelanjutan menggarisbawahi pentingnya keadilan distribusi, pemberdayaan masyarakat marginal, dan perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia. Ekonomi tidak bisa dianggap berkelanjutan jika menghasilkan ketimpangan yang semakin melebar, eksploitasi tenaga kerja, atau marjinalisasi komunitas adat.⁶ Oleh karena itu, inklusi ekonomi dan sosial menjadi syarat utama keberlanjutan sejati, yang tidak hanya mengejar efisiensi tetapi juga memperhatikan keadilan.

Pembangunan berkelanjutan harus melibatkan partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, serta memastikan akses yang adil terhadap sumber daya dan kesempatan ekonomi. Dalam konteks ini, model community-based economy dan pendekatan social entrepreneurship menjadi solusi untuk menciptakan kemandirian sosial yang sejalan dengan konservasi lingkungan.⁷

4.3.       Pilar Lingkungan: Daya Dukung Ekologis dan Regenerasi Alam

Pilar lingkungan menekankan bahwa keberlanjutan ekonomi hanya dapat tercapai bila aktivitas manusia berlangsung dalam batas daya dukung ekologis bumi (planetary boundaries).⁸ Ekonomi yang berkelanjutan harus mempertimbangkan pelestarian biodiversitas, konservasi air dan tanah, perlindungan ekosistem, serta pengurangan emisi karbon dan polutan lainnya.

Menurut konsep safe operating space dari Johan Rockström dan kolega, ekonomi harus beroperasi dalam batas-batas ekologis yang memungkinkan biosfer untuk pulih dan terus menopang kehidupan manusia.⁹ Ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi tidak boleh mengorbankan fungsi-fungsi dasar ekosistem, seperti penyerapan karbon, siklus air, dan keseimbangan iklim.

Prinsip precautionary dan polluter pays menjadi bagian penting dalam implementasi pilar ini, yang mendorong negara dan pelaku usaha untuk tidak hanya mencegah kerusakan, tetapi juga bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkannya.¹⁰


Ketiga pilar ini membentuk landasan holistik dari ekonomi berkelanjutan yang tidak hanya berorientasi pada efisiensi dan profitabilitas, tetapi juga pada keadilan antargenerasi dan keberlangsungan ekosistem. Keseimbangan antar pilar menjadi kunci keberhasilan implementasi model ekonomi yang mampu menjawab tantangan abad ke-21 secara adil dan regeneratif.


Footnotes

[1]                John Elkington, Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century Business (Oxford: Capstone Publishing, 1997), 70–73.

[2]                Jeffrey D. Sachs, The Age of Sustainable Development (New York: Columbia University Press, 2015), 112–115.

[3]                Ken Webster, The Circular Economy: A Wealth of Flows (Isle of Wight: Ellen MacArthur Foundation Publishing, 2015), 25–29.

[4]                Herman E. Daly and Joshua Farley, Ecological Economics: Principles and Applications, 2nd ed. (Washington, DC: Island Press, 2011), 134–138.

[5]                Robert Costanza et al., “Beyond GDP: The Need for New Measures of Progress,” The Pardee Papers no. 4 (Boston University, 2009): 3–8.

[6]                Amartya Sen, Development as Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1999), 87–92.

[7]                United Nations Development Programme (UNDP), Human Development Report 2016: Human Development for Everyone (New York: UNDP, 2016), 48–53.

[8]                Johan Rockström et al., “A Safe Operating Space for Humanity,” Nature 461, no. 7263 (2009): 472–475.

[9]                Will Steffen et al., “Planetary Boundaries: Guiding Human Development on a Changing Planet,” Science 347, no. 6223 (2015): 1259855.

[10]             United Nations Environment Programme (UNEP), Global Environment Outlook 5 (Nairobi: UNEP, 2012), 56–59.


5.           Implementasi Ekonomi Berkelanjutan di Berbagai Negara

Implementasi ekonomi berkelanjutan di berbagai negara mencerminkan beragam pendekatan, kapasitas kelembagaan, dan konteks sosial-ekologis yang berbeda-beda. Meski secara prinsip mengacu pada integrasi antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan pelestarian lingkungan, strategi pelaksanaannya sangat bergantung pada kebijakan nasional, instrumen fiskal, budaya politik, dan partisipasi masyarakat sipil. Berbagai negara telah menerapkan model transformatif menuju ekonomi berkelanjutan dengan menyesuaikan kerangka kebijakan mereka pada tujuan jangka panjang pembangunan rendah karbon, sirkularitas sumber daya, serta perlindungan hak-hak sosial.

5.1.       Negara-Negara Skandinavia: Model Green Welfare State

Negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, dan Denmark, sering dianggap sebagai pelopor dalam penerapan ekonomi berkelanjutan karena mampu menggabungkan efisiensi ekonomi dengan keadilan sosial dan perlindungan lingkungan. Swedia, misalnya, telah menetapkan target ambisius untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2045, melalui kombinasi sistem pajak karbon, subsidi energi terbarukan, dan transisi sistem transportasi menuju elektrifikasi.¹ Selain itu, Norwegia menggunakan pendapatan dari ekspor minyak untuk membiayai dana kekayaan negara (sovereign wealth fund) terbesar di dunia, yang diinvestasikan dengan prinsip-prinsip tanggung jawab sosial dan lingkungan.²

Model green welfare state yang diterapkan di kawasan ini menunjukkan bahwa kesejahteraan sosial tidak bertentangan dengan keberlanjutan ekologis. Sebaliknya, sistem perlindungan sosial yang kuat dapat menjadi landasan stabil bagi transformasi ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.³

5.2.       Jerman: Transisi Energi dalam Kerangka “Energiewende”

Jerman merupakan contoh penting dari negara industri maju yang secara aktif mentransformasikan sistem energinya melalui kebijakan Energiewende, yaitu transisi dari energi fosil dan nuklir menuju energi terbarukan seperti tenaga angin, matahari, dan biomassa.⁴ Sejak awal 2000-an, kebijakan ini didorong oleh kombinasi insentif fiskal, feed-in tariffs, serta investasi besar dalam riset dan pengembangan teknologi hijau. Energiewende juga menyasar efisiensi energi pada sektor perumahan dan industri, serta pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 55% pada tahun 2030 dibandingkan level 1990.⁵

Keberhasilan Jerman dalam mengintegrasikan ekonomi hijau dengan penciptaan lapangan kerja baru—disebut sebagai green jobs—menunjukkan bahwa transformasi energi dapat menjadi penggerak pembangunan ekonomi yang inklusif dan inovatif.⁶

5.3.       Kosta Rika: Negara Kecil dengan Ambisi Besar

Kosta Rika, sebuah negara kecil di Amerika Tengah, telah menjadi percontohan global dalam hal transisi energi bersih dan konservasi keanekaragaman hayati. Lebih dari 98% kebutuhan energinya dipenuhi dari sumber terbarukan, terutama hidro, panas bumi, dan angin.⁷ Selain itu, pemerintah Kosta Rika secara aktif melakukan reforestasi, membentuk kawasan lindung yang luas (sekitar 25% dari total wilayah negara), serta mengadopsi sistem pembayaran jasa lingkungan (payment for ecosystem services) yang menghargai kontribusi petani dan komunitas lokal terhadap pelestarian ekosistem.⁸

Keberhasilan Kosta Rika menegaskan bahwa pendekatan berbasis eco-development tidak hanya relevan bagi negara maju, tetapi juga dapat diterapkan secara efektif oleh negara berkembang dengan komitmen politik yang kuat dan keterlibatan masyarakat.

5.4.       Indeks dan Indikator Alternatif dalam Evaluasi Ekonomi Berkelanjutan

Untuk mengukur keberhasilan implementasi ekonomi berkelanjutan, banyak negara mulai menggunakan indikator alternatif selain Produk Domestik Bruto (PDB). Misalnya, Bhutan mengadopsi Gross National Happiness (GNH) yang menggabungkan aspek spiritual, sosial, dan lingkungan dalam penilaian kesejahteraan nasional.⁹ Sementara itu, New Zealand telah menyusun Wellbeing Budget yang mengalokasikan dana berdasarkan dampak sosial dan lingkungan, bukan semata pertumbuhan ekonomi.¹⁰

Penggunaan indikator seperti Human Development Index (HDI), Genuine Progress Indicator (GPI), dan Happy Planet Index (HPI) menunjukkan adanya pergeseran metodologi dalam mengevaluasi pembangunan, dari pendekatan kuantitatif menuju pendekatan kualitatif yang lebih menyeluruh.¹¹


Implementasi ekonomi berkelanjutan di berbagai negara menunjukkan bahwa meskipun pendekatan dan instrumennya beragam, seluruhnya didasarkan pada prinsip yang sama: bahwa kesejahteraan manusia tidak dapat dipisahkan dari kesehatan sosial dan ekosistem bumi. Negara-negara yang berhasil menerapkan strategi ini secara konsisten adalah mereka yang mampu menyinergikan kebijakan jangka panjang, inovasi teknologi, kesadaran masyarakat, dan tata kelola yang visioner.


Footnotes

[1]                Swedish Ministry of the Environment and Energy, Sweden’s Climate Policy Framework (Stockholm: Government Offices of Sweden, 2017), 4–7.

[2]                Norges Bank Investment Management, Responsible Investment Report 2022 (Oslo: NBIM, 2023), 11–13.

[3]                Ingolfur Blühdorn, “Sustaining the Unsustainable: Symbolic Politics and the Politics of Simulation,” Environmental Politics 16, no. 2 (2007): 251–275.

[4]                Craig Morris and Arne Jungjohann, Energy Democracy: Germany’s Energiewende to Renewables (New York: Palgrave Macmillan, 2016), 19–23.

[5]                Federal Ministry for Economic Affairs and Climate Action (BMWK), The Energy of the Future: Fifth “Energiewende” Monitoring Report (Berlin: BMWK, 2016), 5–10.

[6]                International Labour Organization (ILO), World Employment and Social Outlook 2018: Greening with Jobs (Geneva: ILO, 2018), 40–45.

[7]                Instituto Costarricense de Electricidad (ICE), Informe de Gestión Ambiental 2022 (San José: ICE, 2023), 9–12.

[8]                Silvia I. Arriagada and Edwin Zepeda, “Payment for Environmental Services in Costa Rica: Evaluation, Lessons and Future Outlook,” Ecological Economics 65, no. 4 (2008): 725–736.

[9]                Karma Ura et al., A Short Guide to Gross National Happiness Index (Thimphu: Centre for Bhutan Studies, 2012), 6–9.

[10]             New Zealand Treasury, The Wellbeing Budget 2021 (Wellington: New Zealand Government, 2021), 3–6.

[11]             Robert Costanza et al., “Time to Leave GDP Behind,” Nature 505, no. 7483 (2014): 283–285.


6.           Tantangan dan Kritik terhadap Ekonomi Berkelanjutan

Meskipun konsep ekonomi berkelanjutan telah memperoleh penerimaan luas di tingkat global dan menjadi bagian dari kebijakan pembangunan banyak negara, pelaksanaannya masih menghadapi beragam tantangan struktural, epistemologis, dan politis. Di samping itu, berbagai kritik juga dilontarkan oleh kalangan akademisi dan aktivis lingkungan terhadap kekaburan definisi, dominasi pendekatan teknokratis, dan potensi kooptasi oleh kepentingan kapitalisme global. Pemahaman kritis terhadap tantangan dan kritik ini penting agar ekonomi berkelanjutan tidak berhenti sebagai slogan normatif, melainkan benar-benar mampu menjadi kerangka transformatif.

6.1.       Ambiguitas Konseptual dan Fragmentasi Kebijakan

Salah satu tantangan utama dalam ekonomi berkelanjutan adalah ambiguitas konseptual. Istilah sustainability sendiri sering kali digunakan secara luas dan longgar tanpa definisi operasional yang tegas, sehingga memungkinkan berbagai aktor—pemerintah, perusahaan, dan LSM—menafsirkan dan mengimplementasikannya secara berbeda, bahkan kontradiktif.¹ Hal ini menciptakan ruang bagi praktik greenwashing, di mana perusahaan atau institusi mengklaim keberlanjutan tanpa perubahan substansial dalam model bisnis atau dampak lingkungannya.²

Ketiadaan indikator baku dan sistem pengukuran yang holistik juga memperumit evaluasi efektivitas kebijakan ekonomi berkelanjutan. Banyak negara mengadopsi tujuan jangka panjang tanpa rencana aksi konkret, atau tanpa koordinasi antarsektor yang memadai, sehingga terjadi fragmentasi kebijakan yang melemahkan daya transformatif dari strategi keberlanjutan.³

6.2.       Kritik terhadap Kooptasi Kapitalisme Hijau

Kritik paling tajam datang dari pendekatan ekonomi politik lingkungan (political ecology) dan degrowth movement, yang menyatakan bahwa ekonomi berkelanjutan, sebagaimana dipraktikkan saat ini, cenderung melestarikan kerangka kapitalisme global dengan wajah hijau.⁴ Dalam pandangan ini, upaya untuk "menghijaukan" pertumbuhan ekonomi dianggap kontradiktif secara internal, karena logika pertumbuhan terus-menerus tidak kompatibel dengan sistem bumi yang memiliki batas.⁵

Jason Hickel, salah satu pengkritik terkemuka, menilai bahwa pendekatan ekonomi berkelanjutan terlalu fokus pada efisiensi teknologi dan pengurangan intensitas emisi, namun gagal mengakui bahwa konsumsi berlebih dan akumulasi kapital adalah akar dari krisis ekologi global.⁶ Ia mengajukan pendekatan post-growth atau degrowth, yakni transisi menuju ekonomi yang tidak bergantung pada ekspansi ekonomi terus-menerus, tetapi menekankan distribusi kesejahteraan, pelambatan produksi yang tidak perlu, dan pelestarian ekosistem.

6.3.       Ketimpangan Global dalam Kapasitas dan Akses

Implementasi ekonomi berkelanjutan juga dihadapkan pada ketimpangan antara negara maju dan negara berkembang, baik dalam hal kapasitas institusional, akses terhadap teknologi bersih, maupun ketersediaan sumber daya pendanaan. Negara-negara berkembang sering kali terjebak dalam dilema antara mengejar pertumbuhan ekonomi untuk mengentaskan kemiskinan dan memenuhi kebutuhan dasar warganya, dengan tuntutan global untuk menekan emisi dan menjaga konservasi.⁷

Selain itu, beban transisi ekologis seringkali tidak didistribusikan secara adil. Negara-negara berkembang yang memiliki jejak karbon historis rendah justru harus menanggung konsekuensi dari degradasi lingkungan global yang disebabkan oleh industrialisasi negara-negara utara.⁸ Hal ini menimbulkan pertanyaan etis dan politis mengenai prinsip tanggung jawab bersama tetapi berbeda (common but differentiated responsibilities) yang belum sepenuhnya diterapkan secara adil dalam perjanjian internasional.⁹

6.4.       Reduksi Isu Keberlanjutan Menjadi Masalah Teknis

Kritik lainnya adalah reduksionisme teknokratis dalam pendekatan ekonomi berkelanjutan. Dalam banyak kebijakan, keberlanjutan cenderung direduksi menjadi persoalan teknis seperti efisiensi energi, pengelolaan limbah, atau inovasi teknologi tanpa memperhitungkan perubahan struktural dalam sistem produksi dan konsumsi global.¹⁰ Padahal, tantangan keberlanjutan memerlukan pendekatan sistemik yang menyentuh dimensi budaya, moral, dan institusional secara mendalam.

Dalam hal ini, pendekatan etika lingkungan dan ekologi politik menekankan bahwa transformasi ekonomi berkelanjutan membutuhkan reorientasi nilai-nilai sosial, pembongkaran relasi kekuasaan yang eksploitatif, dan partisipasi demokratis dalam pengambilan kebijakan.¹¹ Dengan demikian, keberlanjutan bukan hanya tentang how to sustain, tetapi juga what to sustain, why, dan for whom.


Ekonomi berkelanjutan, meskipun menawarkan kerangka konseptual yang kuat, harus dikembangkan secara kritis dan reflektif agar tidak terjebak dalam reproduksi ketimpangan dan eksploitasi dalam format baru. Dengan menyadari tantangan dan kritik ini, kita dapat mendorong pembangunan yang benar-benar transformatif: yang tidak hanya hijau di permukaan, tetapi adil dan regeneratif pada substansinya.


Footnotes

[1]                Michael Redclift, Sustainable Development: Exploring the Contradictions (London: Routledge, 2005), 9–12.

[2]                Richard Welford, “Hijacking Environmentalism: Corporate Responses to Sustainable Development,” Greener Management International 29 (2000): 107–119.

[3]                Benjamin Cashore et al., “Can Governance ‘Manage’ Globalization? The Case of Forest Certification in East Asia,” Journal of Environment & Development 13, no. 1 (2004): 34–61.

[4]                James O’Connor, “Capitalism, Nature, Socialism: A Theoretical Introduction,” Capitalism Nature Socialism 1, no. 1 (1988): 11–38.

[5]                Giorgos Kallis et al., Degrowth: A Vocabulary for a New Era (London: Routledge, 2015), 3–7.

[6]                Jason Hickel, Less is More: How Degrowth Will Save the World (London: Penguin Random House, 2020), 35–40.

[7]                Thomas Tanner and Leo Horn-Phathanothai, Climate Change and Development (London: Routledge, 2014), 22–28.

[8]                Kevin Anderson and Alice Bows, “A New Paradigm for Climate Change,” Nature Climate Change 2, no. 9 (2012): 639–640.

[9]                Lavanya Rajamani, “The Principle of Common But Differentiated Responsibility and the Balance of Commitments Under the Climate Regime,” Review of European Community & International Environmental Law 9, no. 2 (2000): 120–131.

[10]             Clive L. Spash, “The Brave New World of Carbon Trading,” New Political Economy 15, no. 2 (2010): 169–195.

[11]             Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Theories of Distributive Justice (Oxford: Oxford University Press, 1998), 45–47.


7.           Ekonomi Berkelanjutan dalam Perspektif Filsafat dan Etika Lingkungan

Gagasan ekonomi berkelanjutan tidak hanya berakar pada kebutuhan teknis dan kebijakan publik, tetapi juga bersandar pada refleksi filosofis dan kerangka etika yang menuntut peninjauan ulang terhadap relasi manusia dengan alam. Dalam konteks ini, ekonomi tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral yang melandasi tujuan hidup manusia, hubungan antargenerasi, dan tanggung jawab terhadap komunitas ekologis yang lebih luas. Perspektif filsafat dan etika lingkungan memberi dasar normatif yang esensial bagi keberlanjutan, menuntut pergeseran paradigma dari dominasi terhadap alam menuju koeksistensi yang harmonis.

7.1.       Etika Lingkungan: Dari Antroposentrisme ke Ekosentrisme

Tradisi etika lingkungan mengidentifikasi dua orientasi utama dalam memandang alam: antroposentrisme, yang menempatkan manusia sebagai pusat nilai dan kepentingan, serta ekosentrisme, yang mengakui nilai intrinsik semua entitas alam di luar kegunaannya bagi manusia.¹ Dalam paradigma antroposentris, lingkungan hanya dipertahankan sejauh berguna untuk kesejahteraan manusia; sementara dalam paradigma ekosentris, alam memiliki hak dan nilai moral yang harus dihormati dalam dirinya sendiri.²

Pandangan ekosentris ini diperkuat oleh pendekatan deep ecology dari Arne Naess, yang menegaskan pentingnya biosfer equality—yakni bahwa semua makhluk hidup memiliki hak untuk berkembang secara setara.³ Konsekuensinya, aktivitas ekonomi tidak boleh dijustifikasi semata-mata berdasarkan manfaatnya bagi manusia, melainkan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap keutuhan sistem kehidupan.⁴ Gagasan ini menantang struktur ekonomi modern yang kerap menempatkan pertumbuhan dan konsumsi sebagai ukuran utama keberhasilan.

7.2.       Land Ethic dan Keadilan Ekologis

Kontribusi penting dalam etika lingkungan datang dari Aldo Leopold melalui konsep land ethic, yaitu prinsip moral yang memperluas komunitas etis manusia untuk mencakup tanah, air, tumbuhan, dan hewan—singkatnya, seluruh ekosistem.⁵ Leopold menulis bahwa “suatu hal benar jika ia cenderung melestarikan integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas biotik; dan salah jika sebaliknya.”_⁶ Prinsip ini menyiratkan bahwa ekonomi berkelanjutan seharusnya tidak hanya mengejar efisiensi atau pertumbuhan, tetapi juga mengupayakan harmoni dan kelestarian jangka panjang dari komunitas kehidupan.

Konsep keadilan ekologis (ecological justice) juga berkembang sebagai perluasan dari keadilan sosial, mencakup tanggung jawab etis terhadap makhluk non-manusia dan generasi mendatang.⁷ Dalam kerangka ini, eksploitasi sumber daya alam dan marginalisasi masyarakat adat dianggap sebagai bentuk ketidakadilan yang tidak dapat dibenarkan, karena merusak hak moral dari komunitas yang lebih luas, baik manusia maupun bukan manusia.

7.3.       Tanggung Jawab Antargenerasi dan Prinsip Kehati-hatian

Salah satu aspek filosofis kunci dalam ekonomi berkelanjutan adalah tanggung jawab antargenerasi. Prinsip ini mengandaikan bahwa generasi sekarang memiliki kewajiban moral untuk menjaga keberlanjutan bumi demi generasi mendatang. Filsuf Hans Jonas menekankan pentingnya etika tanggung jawab (ethics of responsibility) dalam menghadapi teknologi dan ekonomi modern yang berdampak besar terhadap masa depan planet.⁸ Ia menyatakan bahwa tindakan manusia modern harus selalu mempertimbangkan akibat jangka panjangnya terhadap kehidupan di masa depan.

Bersamaan dengan itu, prinsip kehati-hatian (precautionary principle) menjadi landasan normatif dalam mengambil keputusan kebijakan yang menyangkut risiko ekologis yang tinggi namun belum sepenuhnya dapat diprediksi. Prinsip ini menyerukan agar beban pembuktian keamanan suatu kegiatan ekonomi berada pada pelaku, bukan pada korban potensial.⁹ Dengan demikian, pendekatan etis ini menghindarkan ekonomi berkelanjutan dari sekadar spekulasi teknokratik dan memperkuat dimensi moral dari setiap aktivitas pembangunan.

7.4.       Spiritualitas dan Ekonomi Regeneratif

Beberapa pendekatan kontemporer mengaitkan ekonomi berkelanjutan dengan dimensi spiritualitas ekologis, terutama dalam konteks agama dan budaya lokal. Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ menekankan pentingnya integral ecology yang menyatukan keadilan sosial, pelestarian alam, dan spiritualitas manusia dalam satu kesatuan moral.¹⁰ Dalam kerangka ini, ekonomi bukan hanya sistem produksi, tetapi juga ekspresi nilai dan orientasi hidup manusia dalam dunia ciptaan.

Sejalan dengan itu, gagasan ekonomi regeneratif muncul sebagai pendekatan lanjutan dari keberlanjutan, yang tidak hanya mempertahankan sistem kehidupan, tetapi juga memulihkan dan memperkuatnya secara aktif.¹¹ Pendekatan ini menekankan bahwa aktivitas ekonomi harus bersifat simbiotik dengan siklus alam dan mampu menghidupkan kembali ekosistem yang rusak, sekaligus membangun komunitas manusia yang resilien dan adil.


Dengan demikian, ekonomi berkelanjutan dalam perspektif filsafat dan etika lingkungan bukan sekadar kerangka kebijakan teknis, tetapi merupakan ekspresi dari perubahan mendalam dalam cara manusia memaknai dirinya sebagai bagian dari komunitas ekologis. Ia menuntut pergeseran dari logika dominasi menuju logika relasi, dari eksploitatif ke regeneratif, dan dari kepentingan sesaat menuju tanggung jawab lintas waktu dan ruang.


Footnotes

[1]                Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century, 2nd ed. (Cambridge: Polity Press, 2014), 19–21.

[2]                Bryan G. Norton, Toward Unity Among Environmentalists (Oxford: Oxford University Press, 1991), 47–50.

[3]                Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 168–170.

[4]                Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New Foundations for Environmentalism (Albany: State University of New York Press, 1990), 110–115.

[5]                Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 201–226.

[6]                Ibid., 224.

[7]                Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Theories of Distributive Justice (Oxford: Oxford University Press, 1998), 34–36.

[8]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 8–15.

[9]                Sandin, Per, “Dimensions of the Precautionary Principle,” Human and Ecological Risk Assessment 5, no. 5 (1999): 889–907.

[10]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), sec. 137–162.

[11]             Daniel Christian Wahl, Designing Regenerative Cultures (Axminster: Triarchy Press, 2016), 32–37.


8.           Kesimpulan dan Rekomendasi

8.1.       Kesimpulan

Ekonomi berkelanjutan hadir sebagai respon normatif dan praktis terhadap berbagai krisis multidimensi yang dihadapi dunia modern—mulai dari degradasi ekologis, ketimpangan sosial, hingga ancaman terhadap keberlangsungan hidup antargenerasi. Konsep ini tidak sekadar mengusulkan modifikasi teknis atas sistem ekonomi yang ada, tetapi merupakan upaya transformatif untuk menyusun kembali kerangka pembangunan berdasarkan keadilan sosial, kelestarian lingkungan, dan kesejahteraan jangka panjang.

Sebagaimana telah diuraikan dalam bagian sebelumnya, ekonomi berkelanjutan berdiri di atas tiga pilar fundamental: efisiensi dan inovasi ekonomi, keadilan sosial dan pemberdayaan komunitas, serta konservasi dan regenerasi lingkungan.¹ Implementasinya di berbagai negara—baik di Eropa, Amerika Latin, maupun Asia—menunjukkan bahwa ekonomi berkelanjutan dapat diwujudkan melalui kombinasi kebijakan progresif, sistem tata kelola yang inklusif, serta partisipasi aktif masyarakat sipil.²

Namun, meskipun telah banyak dikembangkan dalam tataran diskursus dan kebijakan, ekonomi berkelanjutan masih menghadapi berbagai tantangan substantif, seperti ambiguitas definisi, greenwashing, ketimpangan global dalam sumber daya dan teknologi, serta kooptasi kapitalisme hijau.³ Oleh karena itu, diperlukan fondasi filosofis dan etika lingkungan yang kuat—seperti land ethic, ekosentrisme, dan prinsip tanggung jawab antargenerasi—untuk memastikan bahwa ekonomi berkelanjutan tidak tereduksi menjadi jargon teknokratis semata.⁴

Dengan kata lain, ekonomi berkelanjutan bukan hanya tentang apa yang harus diubah, tetapi juga mengapa dan untuk siapa perubahan itu dilakukan. Keberlanjutan sejati menuntut perubahan dalam cara berpikir, berproduksi, dan berelasi—baik dengan sesama manusia maupun dengan seluruh komunitas kehidupan.

8.2.       Rekomendasi

1)                  Perumusan Indikator Keberlanjutan yang Holistik dan Terukur

Pemerintah dan lembaga internasional perlu mengembangkan dan menerapkan indikator keberlanjutan yang tidak hanya berbasis ekonomi (seperti PDB), tetapi juga mencakup aspek sosial, ekologis, dan spiritual. Indikator seperti Genuine Progress Indicator (GPI) dan Happy Planet Index (HPI) dapat menjadi alternatif yang lebih representatif.⁵

2)                  Penguatan Tata Kelola Multi-Level dan Partisipatif

Implementasi ekonomi berkelanjutan harus melibatkan koordinasi lintas sektor (pemerintah, masyarakat sipil, swasta, dan akademisi), serta menekankan prinsip partisipasi publik dalam perencanaan dan pengambilan keputusan.⁶ Pendekatan bottom-up yang melibatkan komunitas lokal menjadi krusial dalam memastikan keadilan dan efektivitas program.

3)                  Transformasi Kurikulum Pendidikan Ekonomi dan Lingkungan

Institusi pendidikan harus mereformasi kurikulum ekonomi agar tidak hanya mengajarkan prinsip-prinsip neoklasik, tetapi juga memperkenalkan paradigma ekonomi ekologis, etika lingkungan, dan model regeneratif. Hal ini penting untuk membentuk generasi yang memiliki kesadaran ekologis dan tanggung jawab sosial.⁷

4)                  Reorientasi Kebijakan Fiskal dan Insentif Pasar

Negara perlu menyusun kebijakan fiskal yang mendukung kegiatan ekonomi berkelanjutan, seperti pajak karbon, subsidi energi terbarukan, dan insentif untuk inovasi hijau. Selain itu, penghapusan subsidi untuk industri yang merusak lingkungan menjadi keharusan moral dan strategis.⁸

5)                  Pengembangan Ekonomi Regeneratif sebagai Tahap Lanjutan

Dalam jangka panjang, perlu ada transisi dari ekonomi yang hanya berkelanjutan menuju ekonomi yang regeneratif—yakni model ekonomi yang mampu memulihkan ekosistem, memberdayakan komunitas, dan menyeimbangkan relasi sosial-ekologis secara mendalam.⁹


Ekonomi berkelanjutan harus dipandang bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai jalan menuju peradaban yang adil secara sosial, stabil secara ekologis, dan bermartabat secara moral. Ia membutuhkan tidak hanya komitmen kebijakan, tetapi juga perubahan paradigma—dari dominasi menuju harmoni, dari konsumsi menuju konservasi, dan dari eksploitasi menuju regenerasi.


Footnotes

[1]                John Elkington, Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century Business (Oxford: Capstone Publishing, 1997), 70–73.

[2]                Craig Morris and Arne Jungjohann, Energy Democracy: Germany’s Energiewende to Renewables (New York: Palgrave Macmillan, 2016), 19–23; Silvia Arriagada and Edwin Zepeda, “Payment for Environmental Services in Costa Rica,” Ecological Economics 65, no. 4 (2008): 725–736.

[3]                Jason Hickel, Less is More: How Degrowth Will Save the World (London: Penguin Random House, 2020), 35–40; Richard Welford, “Hijacking Environmentalism,” Greener Management International 29 (2000): 107–119.

[4]                Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 224; Hans Jonas, The Imperative of Responsibility (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 8–15.

[5]                Robert Costanza et al., “Time to Leave GDP Behind,” Nature 505, no. 7483 (2014): 283–285.

[6]                Thomas Tanner and Leo Horn-Phathanothai, Climate Change and Development (London: Routledge, 2014), 52–54.

[7]                Herman E. Daly and Joshua Farley, Ecological Economics: Principles and Applications, 2nd ed. (Washington, DC: Island Press, 2011), 260–263.

[8]                United Nations Environment Programme (UNEP), Towards a Green Economy: Pathways to Sustainable Development and Poverty Eradication (Nairobi: UNEP, 2011), 27–30.

[9]                Daniel Christian Wahl, Designing Regenerative Cultures (Axminster: Triarchy Press, 2016), 12–17.


Daftar Pustaka

Arriagada, S. I., & Zepeda, E. (2008). Payment for environmental services in Costa Rica: Evaluation, lessons and future outlook. Ecological Economics, 65(4), 725–736. https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2007.07.031

Attfield, R. (2014). Environmental ethics: An overview for the twenty-first century (2nd ed.). Polity Press.

Blühdorn, I. (2007). Sustaining the unsustainable: Symbolic politics and the politics of simulation. Environmental Politics, 16(2), 251–275. https://doi.org/10.1080/09644010701211759

Cashore, B., Auld, G., & Newsom, D. (2004). Can governance “manage” globalization? The case of forest certification in East Asia. Journal of Environment & Development, 13(1), 34–61. https://doi.org/10.1177/1070496503260406

Costanza, R., Hart, M., Posner, S., & Talberth, J. (2009). Beyond GDP: The need for new measures of progress (Pardee Paper No. 4). Boston University, The Frederick S. Pardee Center for the Study of the Longer-Range Future.

Costanza, R., Kubiszewski, I., Giovannini, E., Lovins, H., McGlade, J., Pickett, K. E., ... & Wilkinson, R. (2014). Time to leave GDP behind. Nature, 505(7483), 283–285. https://doi.org/10.1038/505283a

Daly, H. E. (1991). Steady-state economics (2nd ed.). Island Press.

Daly, H. E. (1996). Beyond growth: The economics of sustainable development. Beacon Press.

Daly, H. E., & Farley, J. (2011). Ecological economics: Principles and applications (2nd ed.). Island Press.

Dobson, A. (1998). Justice and the environment: Conceptions of environmental sustainability and theories of distributive justice. Oxford University Press.

Elkington, J. (1997). Cannibals with forks: The triple bottom line of 21st century business. Capstone Publishing.

Fox, W. (1990). Toward a transpersonal ecology: Developing new foundations for environmentalism. State University of New York Press.

Georgescu-Roegen, N. (1971). The entropy law and the economic process. Harvard University Press.

Hickel, J. (2020). Less is more: How degrowth will save the world. Penguin Random House.

International Labour Organization. (2018). World employment and social outlook 2018: Greening with jobs. International Labour Organization.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Kallis, G., Demaria, F., & D’Alisa, G. (2015). Degrowth: A vocabulary for a new era. Routledge.

Laudato Si’: On care for our common home. (2015). Vatican City: Libreria Editrice Vaticana.

Leopold, A. (1949). A sand county almanac. Oxford University Press.

Malthus, T. (1798). An essay on the principle of population. J. Johnson.

Meadows, D. H., Meadows, D. L., Randers, J., & Behrens III, W. W. (1972). The limits to growth: A report for the Club of Rome’s project on the predicament of mankind. Universe Books.

Morris, C., & Jungjohann, A. (2016). Energy democracy: Germany’s Energiewende to renewables. Palgrave Macmillan.

Naess, A. (1989). Ecology, community and lifestyle: Outline of an ecosophy. Cambridge University Press.

New Zealand Treasury. (2021). The wellbeing budget 2021. https://www.treasury.govt.nz/publications/wellbeing-budget

Norton, B. G. (1991). Toward unity among environmentalists. Oxford University Press.

OECD. (2019). Green growth indicators 2019. OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/9789264307438-en

Pope Francis. (2015). Laudato Si’: On care for our common home. Libreria Editrice Vaticana.

Rajamani, L. (2000). The principle of common but differentiated responsibility and the balance of commitments under the climate regime. Review of European Community & International Environmental Law, 9(2), 120–131. https://doi.org/10.1111/1467-9388.00243

Redclift, M. (2005). Sustainable development: Exploring the contradictions (2nd ed.). Routledge.

Rockström, J., Steffen, W., Noone, K., Persson, Å., Chapin, F. S., Lambin, E. F., ... & Foley, J. A. (2009). A safe operating space for humanity. Nature, 461(7263), 472–475. https://doi.org/10.1038/461472a

Sandin, P. (1999). Dimensions of the precautionary principle. Human and Ecological Risk Assessment: An International Journal, 5(5), 889–907. https://doi.org/10.1080/10807039991289185

Sachs, J. D. (2015). The age of sustainable development. Columbia University Press.

Sen, A. (1999). Development as freedom. Oxford University Press.

Spash, C. L. (2010). The brave new world of carbon trading. New Political Economy, 15(2), 169–195. https://doi.org/10.1080/13563460903556049

Swedish Ministry of the Environment and Energy. (2017). Sweden’s climate policy framework. Government Offices of Sweden.

Tanner, T., & Horn-Phathanothai, L. (2014). Climate change and development. Routledge.

United Nations. (1972). Report of the United Nations Conference on the Human Environment (Stockholm Conference). United Nations.

United Nations. (1987). Our common future. Oxford University Press.

United Nations. (2015). Transforming our world: The 2030 agenda for sustainable development. https://sdgs.un.org/2030agenda

United Nations Development Programme. (2016). Human development report 2016: Human development for everyone. UNDP.

United Nations Environment Programme. (2011). Towards a green economy: Pathways to sustainable development and poverty eradication. UNEP.

United Nations Environment Programme. (2012). Global environment outlook 5. UNEP.

Ura, K., Alkire, S., Zangmo, T., & Wangdi, K. (2012). A short guide to gross national happiness index. Centre for Bhutan Studies.

Wahl, D. C. (2016). Designing regenerative cultures. Triarchy Press.

Webster, K. (2015). The circular economy: A wealth of flows. Ellen MacArthur Foundation Publishing.

Welford, R. (2000). Hijacking environmentalism: Corporate responses to sustainable development. Greener Management International, 29, 107–119.

Will Steffen, Richardson, K., Rockström, J., Cornell, S. E., Fetzer, I., Bennett, E. M., ... & Sörlin, S. (2015). Planetary boundaries: Guiding human development on a changing planet. Science, 347(6223), 1259855. https://doi.org/10.1126/science.1259855


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar