Hakikat dalam Tasawuf
Tahapan Kedalaman Spiritual dalam Tasawuf Islam
Alihkan ke: Ilmu Tawawuf.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep ma‘rifat
dalam tradisi tasawuf Islam sebagai puncak pencapaian spiritual dalam
perjalanan ruhani seorang Muslim. Ma‘rifat dipahami sebagai bentuk pengetahuan
batin yang lahir dari penyucian jiwa dan penyaksian terhadap realitas Ilahi,
melampaui dimensi intelektual menuju pengalaman eksistensial bersama Allah.
Kajian ini dimulai dengan menelaah pengertian ma‘rifat dari perspektif
etimologi dan terminologi, dilanjutkan dengan eksplorasi dalil-dalilnya dari
Al-Qur’an dan Hadis, serta penempatan ma‘rifat dalam hirarki tasawuf yang
melibatkan tahapan syari‘at, thariqat, dan hakikat. Artikel ini juga mengulas
ciri-ciri ahli ma‘rifat, membedakan antara ma‘rifat dan hakikat, serta
menunjukkan peran signifikan ma‘rifat dalam kehidupan sehari-hari—baik dalam
aspek ibadah, akhlak, sosial, hingga spiritualitas modern. Di samping itu,
artikel ini menyoroti berbagai tantangan dan penyimpangan dalam memahami
ma‘rifat, seperti klaim spiritual palsu dan penyalahgunaan istilah dalam
praktik ekstrem. Melalui pendekatan tekstual terhadap karya-karya klasik dan
referensi ilmiah kontemporer, tulisan ini menegaskan bahwa ma‘rifat adalah
cahaya Ilahi yang harus dijemput melalui jalan yang lurus, dengan keseimbangan
antara syari‘at lahiriah dan penghayatan batiniah.
Kata Kunci: Ma‘rifat, tasawuf, syari‘at, thariqat,
hakikat, sufisme, spiritualitas Islam, pengalaman batin, maqām ruhani.
PEMBAHASAN
Hakikat dalam Tasawuf Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Dalam tradisi spiritual Islam, ma’rifat (معرفة) menempati posisi tertinggi dalam
perjalanan ruhani seorang hamba menuju Allah. Ma’rifat dipahami sebagai bentuk
tertinggi dari pengetahuan—bukan sekadar pemahaman rasional, tetapi sebuah
pengalaman batin yang bersumber dari penyaksian (musyahadah) dan kesadaran
ilahiah yang mendalam. Dalam khazanah tasawuf klasik, ma’rifat menjadi
tahap akhir dalam proses penyucian jiwa setelah melewati tahapan syari’at,
thariqat, dan hakikat. Empat tahapan ini menggambarkan jalan
ruhani (suluk) yang harus ditempuh oleh setiap pencari kebenaran untuk mencapai
kedekatan hakiki dengan Tuhan.
Konsep ma’rifat telah dikaji secara luas oleh para
sufi besar dalam sejarah Islam. Imam Al-Ghazali, misalnya, dalam karya
monumentalnya Ihya’ ‘Ulum al-Din, menyebutkan bahwa ma’rifat merupakan
buah dari perjalanan spiritual yang tulus, yang hanya dapat diraih dengan
mengosongkan hati dari selain Allah dan mengisinya dengan dzikir yang
terus-menerus hingga tercapai fanā’, yakni lenyapnya kesadaran terhadap
diri karena hanya tersisa kesadaran terhadap Allah semata.¹ Sementara itu, Al-Qusyairi
dalam Risalah al-Qusyairiyah menjelaskan bahwa ma’rifat adalah cahaya
yang ditanamkan Allah di dalam hati hamba-Nya yang telah suci, yang membuatnya
mampu menyaksikan kebenaran dengan mata hati.²
Secara terminologis, ma’rifat sering dibedakan dari
‘ilm (ilmu) meskipun keduanya berasal dari akar kata yang sama (‘arafa).
Jika ‘ilm mengacu pada pengetahuan intelektual yang dapat diperoleh
melalui proses belajar, maka ma’rifat merujuk pada pengetahuan batin
yang bersifat intuitif dan iluminatif, yang diperoleh melalui latihan
spiritual dan karunia Ilahi.³ Oleh karena itu, dalam tasawuf, seorang ‘arif
(orang yang mencapai ma’rifat) tidak hanya mengetahui tentang Allah, tetapi mengenal-Nya
dengan hati dan merasakan kehadiran-Nya dalam setiap aspek kehidupan.
Relevansi pembahasan tentang ma’rifat menjadi
semakin penting di tengah kehidupan modern yang cenderung materialistik dan
terfragmentasi secara spiritual. Tasawuf menawarkan paradigma alternatif yang
tidak hanya menekankan dimensi formal keislaman, tetapi juga memperdalam aspek
batinnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Annemarie Schimmel, seorang orientalis
dan pakar tasawuf, “The knowledge of God (ma‘rifa) was the ultimate goal of
the Sufi path, and it could be attained only through the transformation of the
self.”_⁴ Artinya, ma’rifat tidak mungkin dicapai tanpa adanya usaha keras
untuk menyucikan diri dan meninggalkan ego pribadi.
Dengan landasan itulah, artikel ini akan
menguraikan secara mendalam hakikat dan posisi ma’rifat dalam tasawuf Islam,
berdasarkan rujukan dari kitab-kitab klasik, tafsir, hadits, serta kajian
ilmiah kontemporer, untuk memberikan pemahaman yang utuh mengenai salah
satu aspek paling luhur dalam spiritualitas Islam.
Footnotes
[1]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din,
Jilid 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 234.
[2]
Abu al-Qasim Al-Qusyairi, Al-Risalah
al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tasawwuf, ed. Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar
al-Ma’arif, 2002), 72.
[3]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 395.
[4]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam
(Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 141.
2.
Pengertian
Ma’rifat dalam Perspektif Bahasa dan Istilah
Secara etimologis, kata ma’rifat (معرفة) berasal dari akar kata ‘arafa (عرف), yang berarti "mengetahui",
"mengenali", atau "memahami secara mendalam".
Dalam disiplin ilmu bahasa Arab, bentuk ma’rifat merupakan bentuk masdar
dari fi’il ‘arafa, dan berbeda dari kata ‘ilm (ilmu) meskipun
keduanya seringkali diterjemahkan sebagai “pengetahuan” dalam bahasa
Indonesia.¹
Para ulama memberikan pembedaan penting antara ‘ilm
dan ma’rifat. ‘Ilm merujuk pada pengetahuan objektif dan
rasional yang diperoleh melalui proses belajar dan pemahaman logis.
Sementara itu, ma’rifat dipahami sebagai pengetahuan intuitif yang
muncul dari penyaksian batin dan pengalaman spiritual langsung.² Dalam
konteks tasawuf, ma’rifat merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui
penyucian jiwa, mujahadah, dan limpahan cahaya (nūr) dari Allah ke dalam hati
seorang hamba.
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ma’rifat merupakan buah dari penyaksian ruhani
yang melampaui batas akal. Dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, ia menyatakan bahwa
seorang hamba yang mencapai ma’rifat bukan hanya mengetahui tentang sifat-sifat
Allah, tetapi mengenal-Nya melalui kehadiran-Nya yang dirasakan dalam kalbu.³
Al-Ghazali menegaskan bahwa ini tidak dapat diperoleh hanya melalui ilmu
formal, tetapi dengan proses tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa).
Al-Qusyairi, dalam Risalah al-Qusyairiyah, membedakan ‘alim (orang
yang berilmu) dan ‘arif (orang yang mencapai ma’rifat). Ia menyebut
bahwa orang ‘alim mengetahui hukum-hukum syariat, sementara ‘arif
mengenal Allah secara hakiki dan tunduk sepenuhnya dalam kehadiran-Nya.⁴ Hal
ini menunjukkan bahwa ma’rifat berkaitan erat dengan dimensi batiniah
(esoterik) dari iman dan ibadah.
Dalam kajian filsafat Islam dan tasawuf, Ibn
‘Arabi menyebut ma’rifat sebagai al-‘ilm bi Allah ‘ala wajh al-khusus—pengetahuan
tentang Allah dalam bentuk yang khas dan spesifik, yang tidak bisa dicapai oleh
akal semata.⁵ Ma’rifat menurutnya adalah refleksi dari hubungan ontologis
antara makhluk dan Khaliq (Pencipta) yang meniscayakan penyingkapan hijab
(kasyf) dan fana’ sebagai prasyarat utamanya.
Lebih lanjut, Harun Nasution menekankan
bahwa dalam mazhab tasawuf, ma’rifat merupakan hasil akhir dari
penyucian batin yang berkesinambungan dan dapat disebut sebagai kesadaran
mistik tertinggi yang mampu membawa manusia pada pemahaman hakiki tentang
eksistensi dan keesaan Tuhan.⁶ Dalam bahasa modern, ma’rifat bisa diibaratkan
sebagai bentuk “kesadaran transendental” yang menyatu dengan kehadiran Ilahi
secara batiniah.
Dengan demikian, ma’rifat bukan sekadar bentuk
kognitif dari pengetahuan, melainkan penyingkapan langsung (kasyf) yang
dialami oleh hati yang telah suci. Ia bukan hasil bacaan, melainkan hasil dzauq
(rasa batin), syuhud (penyaksian ruhani), dan fana’ (lenyapnya
kesadaran ego demi menyatu dalam kehendak Allah).
Footnotes
[1]
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic,
ed. J. Milton Cowan (Urbana: Spoken Language Services, 1994), 665.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: State University of New York Press, 1989), 92.
[3]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din,
Jilid 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 211.
[4]
Abu al-Qasim Al-Qusyairi, Al-Risalah
al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tasawwuf, ed. Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar
al-Ma’arif, 2002), 55.
[5]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 221.
[6]
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan
Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), 115.
3.
Dalil
Ma’rifat dari Al-Qur’an dan Hadits
Konsep ma’rifat
dalam Islam bukanlah konsep asing yang semata lahir dari pemikiran sufi,
melainkan memiliki dasar yang kuat dalam ajaran Al-Qur’an dan Hadits. Para
ulama sufi klasik memahami bahwa ma’rifat adalah tujuan akhir dari penciptaan
manusia, yaitu agar ia mengenal Tuhannya secara hakiki,
bukan sekadar secara teoretik. Oleh karena itu, banyak ayat dan hadits yang
dijadikan landasan oleh para sufi dalam mengembangkan konsep ini.
3.1. Dalil dari Al-Qur’an
Salah satu ayat yang
paling sering dijadikan dasar dalam pembahasan ma’rifat adalah:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا
لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzāriyāt [51]
ayat 56)
Ayat ini oleh
sebagian ulama tafsir dan sufi ditafsirkan lebih dalam. Misalnya, Ibnu
‘Abbas menafsirkan kata "liya‘budūn" sebagai "liya‘rifūn"
(untuk mengenal-Ku).¹ Tafsir ini menunjukkan bahwa tujuan ibadah bukan sekadar
ritual, melainkan menuju kepada pengenalan yang sejati terhadap Allah. Tafsir
ini banyak diikuti oleh para sufi sebagai dasar bahwa ma’rifat
adalah tujuan utama penciptaan manusia.
Tafsir
al-Qurtubi menegaskan hal serupa, bahwa ibadah yang tidak
melahirkan makrifah (pengetahuan tentang Allah) tidak mencapai esensinya.
Ibadah yang benar adalah yang menumbuhkan kesadaran akan kehadiran Allah dalam
hati.²
Ayat lain yang juga
menjadi rujukan adalah:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah bahwa tidak ada
tuhan selain Allah.” (QS. Muhammad [47] ayat 19)
Perintah fa‘lam
(ketahuilah) dalam ayat ini menandakan bahwa pengetahuan (ma’rifat) terhadap keesaan Allah
merupakan dasar dan fondasi dari iman. Dalam tafsir sufistik,
pengetahuan ini tidak berhenti pada dimensi intelektual, tetapi berkembang ke
dalam dimensi batiniah dan spiritual melalui pengalaman langsung akan keesaan
dan kehadiran-Nya.³
3.2. Dalil dari Hadits
Dalam hadits Nabi
Muhammad Saw, dimensi ma’rifat
tercermin jelas dalam Hadits Jibril, yang menjelaskan
tiga tingkatan agama: Islam, Iman, dan Ihsan.
Ketika Jibril bertanya tentang ihsan, Nabi menjawab:
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ،
فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ، فَإِنَّهُ يَرَاكَ
"Engkau beribadah kepada Allah
seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu." (HR. Muslim)
Menurut para sufi, maqam
ihsan adalah titik tertinggi dalam perjalanan ruhani, dan
menjadi dasar dari ma’rifat. Seorang hamba yang mencapai ma’rifat tidak hanya
mengetahui bahwa Allah melihatnya, tetapi merasakan kehadiran Allah dalam
setiap aspek hidupnya.⁴
Dalil lain yang
dijadikan landasan penting adalah Hadits Qudsi berikut:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ
أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ
إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ، كُنْتُ سَمْعَهُ
الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي
يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِي
لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ.
"Tidaklah seorang hamba mendekatkan
diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada kewajiban yang Aku
tetapkan atasnya. Dan hamba-Ku terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan
amal-amal sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku
menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, penglihatannya yang
dengannya ia melihat, tangannya yang dengannya ia memukul, dan kakinya yang
dengannya ia berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, niscaya Aku beri. Jika ia
memohon perlindungan kepada-Ku, pasti Aku lindungi." (HR.
Bukhari)
Hadits ini dijadikan
sebagai metafora transendental oleh
para sufi, bahwa ketika seorang hamba mencapai cinta dan kedekatan sejati
kepada Allah, maka ia mencapai tingkat ma’rifat—di mana seluruh pancaindra dan
kesadarannya berada dalam kendali dan cahaya ilahi.⁵ Imam
Al-Ghazali menyebutkan bahwa kondisi seperti ini adalah maqam
tertinggi yang tidak bisa dicapai kecuali oleh mereka yang telah melewati
penyucian diri secara total.⁶
Dengan demikian,
dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadits memberikan fondasi kuat terhadap doktrin
ma’rifat dalam tasawuf. Para sufi tidak sekadar mengembangkan doktrin
berdasarkan pengalaman batin, tetapi justru mendasarkannya pada sumber-sumber
utama agama, yang kemudian ditafsirkan secara mendalam melalui pendekatan
ruhani yang penuh hikmah.
Footnotes
[1]
Ibn Jarir al-Tabari, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl Āy al-Qur’ān,
ed. Ahmad Muhammad Shakir (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2000), 24:487.
[2]
Al-Qurtubi, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, Jilid 17 (Beirut: Dar
Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 2006), 51:56.
[3]
Fakhr al-Din al-Razi, Tafsīr al-Kabīr (Beirut: Dar al-Fikr,
1990), 29:99.
[4]
Muslim ibn al-Hajjaj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitab al-Iman, no. 8.
[5]
Muhammad ibn Isma‘il al-Bukhari, Ṣaḥīḥ al-Bukhari, Kitab
al-Riqaq, no. 6502.
[6]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 4 (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 232.
4.
Kedudukan
Ma’rifat dalam Hirarki Tasawuf
Dalam tradisi tasawuf,
perjalanan spiritual seorang hamba kepada Allah dikenal dengan istilah “sulūk”,
yakni proses bertahap yang sistematis untuk mendekatkan diri kepada Sang
Khalik. Perjalanan ini biasanya dijelaskan dalam empat tahapan utama: Syari‘at,
Thariqat, Hakikat, dan Ma‘rifat.¹ Setiap tahapan merupakan
fondasi bagi tahap berikutnya, dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Ma‘rifat, dalam konteks ini, diposisikan sebagai puncak
tertinggi dari proses penyucian diri, di mana seorang sufi
mengalami kedekatan eksistensial dan penyaksian ruhani terhadap kehadiran Allah
secara batiniah.
4.1. Syari‘at: Titik Awal Formalitas
Tahap pertama dalam
hierarki tasawuf adalah syari‘at, yakni pengamalan
hukum-hukum Islam secara lahiriah: salat, puasa, zakat, dan sebagainya.² Bagi
para sufi, syari‘at adalah fondasi awal yang wajib dilalui oleh setiap pencari
(salik). Tanpa syari‘at, perjalanan ruhani akan kehilangan orientasi. Imam
Al-Ghazali menegaskan bahwa syari‘at adalah "kulit"
yang membungkus inti, yaitu hakikat dan ma‘rifat.³
4.2. Thariqat: Jalan Menuju Penyucian Jiwa
Tahap kedua adalah thariqat,
yang bermakna “jalan”. Di tahap ini, seorang salik menjalani proses mujahadah
(perjuangan spiritual) di bawah bimbingan seorang mursyid. Praktik-praktik
seperti dzikir, khalwat (menyepi), dan muraqabah (kesadaran akan kehadiran
Allah) menjadi instrumen utama dalam tahap ini.⁴ Thariqat membimbing seseorang untuk
membersihkan hati dari penyakit batin seperti riya’, ujub, dan takabur—sebagai
syarat menuju hakikat dan ma‘rifat.
4.3. Hakikat: Pengenalan terhadap Realitas Ilahiah
Hakikat
adalah tahap ketika seseorang mulai menyaksikan realitas Ilahi secara batin. Ia
menyadari bahwa segala sesuatu adalah manifestasi dari kehendak dan kekuasaan
Allah. Dalam pandangan Al-Qusyairi, hakikat adalah nur
al-haqiqah (cahaya kebenaran) yang Allah tanamkan dalam hati para
salik setelah melalui penyucian yang sungguh-sungguh.⁵ Dalam tahap ini,
seseorang belum sepenuhnya “mengenal” Allah, tetapi telah mulai “menyaksikan”
tanda-tanda kehadiran-Nya.
4.4. Ma‘rifat: Tujuan Puncak Pengenalan Ruhani
Ma‘rifat
adalah tahap akhir dan paling agung dalam hirarki tasawuf. Dalam tahap ini,
seorang salik tidak hanya menyaksikan kehadiran Allah, tetapi merasakan
dan mengenal-Nya dengan penuh cinta dan ketundukan total.
Menurut Ibn ‘Ajibah, ma‘rifat adalah “pengetahuan
ruhani tentang Allah yang timbul dari hati yang suci dan disinari cahaya
keilahian.”_⁶ Ma‘rifat bukan sekadar pengenalan intelektual, melainkan penyatuan
kesadaran antara makhluk dengan Sang Khalik dalam kerangka maḥabbah
(cinta Ilahi).
Seorang ‘arif
(orang yang mencapai ma‘rifat) telah melewati tahap fana’ (lenyapnya kesadaran ego) dan
masuk pada baqa’
(kekekalan dalam cinta dan kehendak Allah).⁷ Dalam istilah lain, ia hidup di
dunia, namun hatinya telah tenggelam dalam samudera kehadiran Ilahi. Seperti
disebutkan dalam Al-Hikam karya Ibn
‘Athaillah, “Tidaklah orang yang mengenal Allah itu, kecuali
mereka yang telah sirna dari selain-Nya.”_⁸
ما عَرَفَ اللهَ مَنِ اسْتَدَلَّ عَلَيْهِ
بِغَيْرِهِ، ما عَرَفَ اللهَ مَنْ لَمْ يَتَفَنَّ عَنْ كُلِّ مَا سِوَاهُ.
"Tidaklah mengenal Allah orang
yang menunjukkan-Nya dengan selain-Nya; tidaklah mengenal Allah orang yang
belum lenyap (fana’) dari selain-Nya."
4.5. Skema Hirarki: Kesatuan dalam Empat Tahapan
Empat tahapan
tersebut bukanlah jalan yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling terkait
dan saling menyempurnakan. Ma‘rifat tidak dapat diraih tanpa
syari‘at, sebagaimana hakikat tidak dapat dibuka tanpa thariqat. Para ulama
tasawuf menekankan bahwa barang siapa meninggalkan syari‘at demi ma‘rifat, maka
ia terjerumus ke dalam kesesatan.⁹
Dengan demikian, ma‘rifat
merupakan puncak dari seluruh laku spiritual, tetapi tetap
berpijak pada syari‘at sebagai fondasi dasarnya. Kedudukan ma‘rifat yang luhur
ini tidak boleh membuat seorang sufi merasa sombong, justru menambah
ketawadhuan karena ia menyadari bahwa segala sesuatu adalah semata-mata karunia
Allah Swt.
Footnotes
[1]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 3 (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 27–30.
[2]
Harun Nasution, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya
(Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 15.
[3]
Al-Ghazali, Ihya’, 31.
[4]
Jamil M. Abun-Nasr, Muslim Communities of Grace: The Sufi
Brotherhoods in Islamic Religious Life (New York: Columbia University
Press, 2007), 23.
[5]
Abu al-Qasim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, ed. Abdul
Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2002), 69.
[6]
Ahmad ibn ‘Ajibah, Iqaz al-Himam fi Sharh al-Hikam (Kairo: Dar
al-Turath al-Islami, 1981), 142.
[7]
Martin Lings, What Is Sufism? (Cambridge: Islamic Texts
Society, 1999), 95.
[8]
Ibn ‘Atha’illah al-Iskandari, Al-Hikam, terj. Syekh Fudhail,
(Surabaya: Al-Hidayah, 1996), Hikmah no. 9.
[9]
William C. Chittick, Sufism: A Short Introduction (Oxford:
Oneworld Publications, 2000), 47.
5.
Ciri-Ciri
dan Tanda-Tanda Ahli Ma‘rifat
Dalam literatur
tasawuf klasik maupun kontemporer, seorang yang telah mencapai maqām
ma‘rifat dikenal dengan sebutan ‘ārif billāh (orang yang mengenal
Allah). Ma‘rifat bukan sekadar tingkatan spiritual, melainkan keadaan batin
yang ditandai oleh perubahan mendalam dalam perilaku, sikap, dan orientasi
hidup seseorang. Oleh karena itu, para sufi telah menyusun sejumlah indikator
atau tanda-tanda yang dapat dikenali dari sosok yang mencapai
ma‘rifat.
5.1. Tawadhu‘ dan Hilangnya Keakuan (Ego)
Salah satu ciri
utama dari ahli ma‘rifat adalah tawadhu‘ (kerendahan hati) yang ekstrem.
Karena telah menyaksikan kebesaran dan keagungan Allah, mereka tidak melihat
nilai apa pun dalam keakuan atau kehebatan diri sendiri. Imam
Al-Junayd al-Baghdadi, salah seorang tokoh sentral tasawuf,
menyatakan bahwa:
ٱلْعَارِفُ هُوَ ٱلَّذِي لَا ٱسْمَ لَهُ وَلَا
نَعْتَ لَهُ، وَلَا حَرَكَةَ لَهُ وَلَا سُكُونَ، بَلْ فَانٍ عَنْ كُلِّ مَا سِوَى
ٱللَّهِ.
“Seorang ‘ārif adalah orang yang
tidak memiliki nama, tidak memiliki sifat, tidak bergerak, dan tidak diam; ia
telah lenyap dari segala sesuatu selain Allah.”_¹
Ungkapan ini
menggambarkan fana’ total dari ego pribadi dan lenyapnya kepentingan duniawi
dalam diri seorang ‘arif.
5.2. Zuhud terhadap Dunia dan Kebergantungan Total
kepada Allah
Ahli ma‘rifat
biasanya hidup dalam keadaan zuhud, yakni melepaskan
keterikatan hati terhadap dunia. Namun, zuhud mereka bukanlah bentuk penolakan
terhadap dunia secara fisik, melainkan kondisi batin yang tidak
terpengaruh oleh kenikmatan atau penderitaan duniawi.² Mereka
menjadikan dunia sebagai sarana, bukan tujuan. Ibn ‘Ata’illah menulis dalam Al-Hikam:
ٱلدُّنْيَا حِجَابٌ لِلْعَارِفِينَ بِهِ،
وَمَحْبُوبَةٌ لِلْجَاهِلِينَ عَلَيْهِ.
“Dunia adalah hijab (penghalang)
bagi orang-orang yang mengenal-Nya (Allah), dan menjadi kecintaan bagi
orang-orang yang tidak mengetahui-Nya.”_³
Dengan demikian,
seorang ‘arif telah menyingkap hijab tersebut dan hanya melihat Allah sebagai
satu-satunya sandaran.
5.3. Kedalaman Dzikir dan Kesadaran Spiritual
Salah satu ciri
menonjol dari ahli ma‘rifat adalah konsistensi dan kekhusyukan dalam dzikir.
Dzikir bukan hanya aktivitas lisan, tetapi menyatu dalam kesadaran batin yang
terus-menerus hadir bersama Allah (muraqabah). Menurut Al-Qusyairi,
dzikir seorang ‘arif dilakukan dengan kesadaran total dan menjadi cahaya yang
menuntun hatinya kepada kebenaran.⁴ Dalam konteks ini, dzikir adalah cermin
dari pengetahuan ruhani yang telah diperoleh melalui ma‘rifat.
5.4. Sifat Rahmah dan Kelembutan terhadap Makhluk
Ahli ma‘rifat
memiliki hati yang dipenuhi kasih sayang,
karena mereka memandang seluruh makhluk sebagai manifestasi ciptaan Allah.
Mereka tidak mudah menghakimi, tidak membalas keburukan dengan keburukan, dan
sangat menjaga lisan serta perbuatan agar tidak menyakiti. Imam
Al-Ghazali menyebut bahwa ‘arif akan memandang setiap makhluk
dengan rasa belas kasih, karena ia menyadari bahwa semua berasal dari satu
sumber yang sama, yaitu Allah.⁵
5.5. Wara‘ dan Hati-hati dalam Hal-hal yang Syubhat
Ahli ma‘rifat sangat
berhati-hati dalam perkara yang belum jelas halal-haramnya (syubhat)
karena mereka sadar bahwa sedikit kelalaian bisa menggelapkan hati. Tingginya
kesadaran batin membuat mereka sensitif terhadap dosa-dosa kecil maupun godaan
jiwa, sehingga mereka menjaga dirinya dengan penuh
kehati-hatian.⁶ Menurut tradisi sufi, seorang ‘arif lebih memilih meninggalkan
perkara yang mubah jika dikhawatirkan melemahkan hubungannya dengan Allah.
5.6. Ketenangan dan Kepasrahan dalam Ujian
Tanda lain dari
ma‘rifat adalah sikap tenang, sabar, dan ridha terhadap segala
takdir Allah, baik berupa nikmat maupun musibah. Seorang ‘arif
telah memahami bahwa segala sesuatu datang dari Allah dan pasti mengandung
hikmah.⁷ Oleh karena itu, ia tidak terguncang oleh ujian, tidak terbuai oleh
nikmat. Ketenangan ini merupakan buah dari keyakinan dan keintiman ruhani yang
mendalam kepada Allah.
Kesimpulan Sementara
Ciri-ciri di atas
menunjukkan bahwa ma‘rifat bukan hanya status spiritual, melainkan transformasi
eksistensial yang mengubah cara pandang, rasa, dan sikap
seseorang terhadap Allah, dunia, dan makhluk-Nya. Para sufi menekankan bahwa
tanda-tanda ini bukan untuk disombongkan,
melainkan sebagai indikator keaslian perjalanan spiritual seseorang agar tidak
tertipu oleh ilusi kesalehan yang palsu.
Footnotes
[1]
Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tasawwuf, ed.
Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2002), 106.
[2]
Harun Nasution, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya
(Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 77.
[3]
Ibn ‘Atha’illah al-Iskandari, Al-Hikam, terj. Syekh Fudhail
(Surabaya: Al-Hidayah, 1996), Hikmah no. 57.
[4]
Al-Qusyairi, Risalah, 88.
[5]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 4 (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 233–234.
[6]
Muhammad Amin Kurdi, Tanwir al-Qulub fi Mu‘amalat ‘Allam al-Ghuyub
(Beirut: Dar al-Fikr, 1994), 141.
[7]
Martin Lings, What Is Sufism? (Cambridge: Islamic Texts
Society, 1999), 103.
6.
Perbedaan
Ma’rifat dan Hakikat menurut Ulama Tasawuf
Dalam literatur
tasawuf, istilah ma’rifat dan hakikat
sering kali digunakan berdampingan dan dianggap sebagai dua
maqām spiritual yang sangat tinggi. Namun, para ulama sufi
memberikan penjelasan distinktif mengenai keduanya, baik dari sisi definisi,
proses pencapaian, maupun implikasi ruhani yang menyertainya. Perbedaan ini
penting untuk dipahami agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami struktur
dan hierarki perjalanan spiritual Islam.
6.1. Hakikat sebagai Penyaksian terhadap Realitas
Ilahiah
Dalam pengertian
tasawuf, hakikat
merujuk pada pembukaan tabir realitas terdalam dari segala
sesuatu, yakni menyaksikan bahwa di balik wujud-wujud duniawi,
hanya Allah yang menjadi hakikat keberadaan. Menurut Imam
Al-Qusyairi, hakikat adalah “an-nazhar bi ‘ain al-basirah”
(pandang mata hati) terhadap rahasia penciptaan.¹ Seorang salik yang mencapai
maqam hakikat tidak lagi melihat sebab-akibat sebagai kekuatan nyata, melainkan
menyaksikan kehendak Allah sebagai satu-satunya penggerak realitas.
Al-Ghazali
menegaskan bahwa hakikat adalah pengetahuan yang diperoleh bukan dari akal atau
indera, melainkan dari cahaya batin (nur al-qalb) yang muncul karena penyucian
jiwa secara intensif.² Dalam hal ini, hakikat menjadi tahap pembuka yang
memperkenalkan seorang salik kepada dimensi Ilahi, meskipun belum mencapai
kedekatan spiritual penuh.
6.2. Ma’rifat sebagai Pengenalan Ruhani terhadap Allah
Sementara itu, ma’rifat
merupakan puncak dari kesadaran spiritual
yang lahir dari pengalaman langsung dan penyatuan batin dengan kehadiran Allah.
Menurut Ibn ‘Ajibah:
المعرفةُ علمٌ خاصٌّ يَهَبُهُ اللهُ لِعِبادِهِ،
لا يُنالُ بالتعلُّم، وإنّما هي ثمرةُ المُشاهدةِ والتجلِّي.
“Ma‘rifat adalah ilmu khusus yang
datang dari Allah kepada hamba-Nya, bukan hasil belajar, melainkan hasil dari
musyahadah (penyaksian) dan tajalli (penampakan sifat-sifat Allah).”_³
Berbeda dengan
hakikat yang lebih bersifat “pemahaman batin terhadap realitas”,
ma’rifat adalah “pengenalan terhadap Allah secara personal dan
intim”. Dalam hal ini, ma’rifat bukan hanya menyadari
bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, tetapi juga merasakan
hubungan cinta, kehambaan, dan keintiman ruhani dengan-Nya.
6.3. Perspektif Perbandingan: Proses dan Tingkatan
Dalam kerangka
perjalanan ruhani, para sufi menempatkan hakikat sebagai jalan
menuju ma’rifat, bukan sebagai titik akhir. Syekh
Ahmad Zarruq menjelaskan bahwa hakikat adalah “penyaksian
akan kebenaran hakiki dari wujud segala sesuatu,” sedangkan ma’rifat adalah
“tenggelamnya hati dalam kehadiran Allah sehingga tak ada yang terlihat
kecuali Dia.”_⁴
"الحقيقةُ نَظَرُ القلبِ إلى حقيقةِ الأشياءِ من
حيثُ هي مخلوقةٌ للهِ تعالى، والمعرفةُ غَيبَةُ القلبِ عما سِوى اللهِ شهودًا
باللهِ، فلا يرى إلا اللهَ."
“Hakikat adalah pandangan hati
terhadap realitas terdalam dari segala sesuatu sebagai ciptaan Allah Ta‘ala,
sedangkan ma‘rifat adalah lenyapnya hati dari selain Allah dalam penyaksian
terhadap Allah, sehingga tidak melihat selain Allah.”
Dari perspektif ini,
hakikat
adalah bentuk kasyf (penyingkapan realitas), sedangkan ma’rifat adalah
musyahadah (penyaksian ruhani langsung terhadap Allah).
Artinya, ma’rifat mengandung unsur fana’ dan baqa’,
sedangkan hakikat bisa dicapai tanpa kondisi spiritual seintens itu.
6.4. Contoh Analogi Sufi
Untuk mempermudah
pemahaman, para sufi klasik sering menggunakan analogi-analogi sederhana.
Salah satunya adalah perumpamaan lautan dan mutiara:
·
Hakikat adalah pengetahuan
tentang adanya lautan yang dalam dan gelombang yang besar;
seseorang sudah menyadari bahwa di balik permukaan ada kekuatan besar yang
mengatur segalanya.
·
Ma’rifat adalah masuk
ke dalam lautan itu, menyelam, dan menemukan mutiara paling dalam,
yakni pengenalan ruhani terhadap Allah.⁵
Analogi ini
menekankan bahwa hakikat adalah awal dari kesadaran Ilahi, sementara ma’rifat
adalah pengalaman
keintiman dan kehadiran Allah secara langsung dalam kesadaran spiritual seorang
hamba.
6.5. Konvergensi dan Keterkaitan
Meski berbeda,
hakikat dan ma’rifat adalah dua maqām yang tidak bisa dipisahkan.
Hakikat merupakan jalan menuju ma’rifat, dan ma’rifat tidak mungkin dicapai
tanpa melalui hakikat. Bahkan, dalam pandangan Ibn ‘Arabi, hakikat adalah
bentuk eksternal dari realitas ilahiah yang tercermin dalam makhluk, sementara
ma’rifat adalah kesadaran batin terhadap manifestasi Ilahi itu sendiri.⁶
Oleh karena itu, perbedaan
keduanya bukan untuk dikotomisasi, melainkan untuk dimaknai sebagai fase-fase
transformasi ruhani yang saling melengkapi, di mana seorang
sufi akan terus bergerak dari pengenalan realitas menuju pengalaman
eksistensial bersama Allah.
Footnotes
[1]
Abu al-Qasim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm
al-Tasawwuf, ed. Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2002), 87.
[2]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 3 (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 35–36.
[3]
Ahmad ibn ‘Ajibah, Iqaz al-Himam fi Sharh al-Hikam (Kairo: Dar
al-Turath al-Islami, 1981), 121.
[4]
Ahmad Zarruq, Qawa‘id al-Tasawwuf, ed. ‘Abd al-Qadir ‘Isa (Beirut:
Dar al-Fikr, 1993), 77.
[5]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 392.
[6]
Ibn ‘Arabi, Futuhat al-Makkiyyah, ed. Osman Yahya (Beirut: Dar
Sadir, 2004), 2:301.
7.
Peran
Ma‘rifat dalam Kehidupan Sehari-Hari
Ma‘rifat tidak hanya
merupakan puncak dari maqām ruhani dalam tasawuf, tetapi juga memiliki
pengaruh nyata terhadap cara seseorang menjalani kehidupan sehari-hari.
Ia bukan sekadar pencapaian spiritual yang bersifat teoritis atau elitis,
melainkan kondisi batin yang menjiwai seluruh dimensi
eksistensi manusia: ibadah, akhlak, relasi sosial, hingga
pengelolaan emosi dan hasrat. Dalam perspektif tasawuf, seseorang yang mencapai
ma‘rifat tidak hidup dalam keterasingan, melainkan menampilkan transformasi
nyata dalam hidup bermasyarakat.
7.1. Ma‘rifat Membentuk Ibadah yang Penuh Kesadaran
Salah satu peran
paling nyata dari ma‘rifat adalah mewujudkan kualitas ibadah yang penuh kesadaran
(khusyuk dan muraqabah). Seorang ‘arif billāh beribadah bukan semata
karena kewajiban, tetapi karena rasa cinta dan keintiman dengan Allah.
Ibadahnya menjadi ekspresi syukur dan kerinduan ruhani, bukan sekadar
rutinitas.⁽¹⁾
Hal ini sebagaimana
tercermin dalam maqām ihsan yang disebut dalam Hadits
Jibril, di mana seseorang beribadah seakan-akan melihat Allah,
dan bila tidak mampu, ia yakin bahwa Allah melihatnya (HR.
Muslim).⁽²⁾ Kesadaran ini hanya mungkin dimiliki oleh orang yang telah mencapai
tingkatan ma‘rifat.
7.2. Ma‘rifat Memunculkan Akhlak yang Luhur dan Adil
Ma‘rifat juga
membentuk akhlak dan karakter yang luhur.
Para sufi meyakini bahwa ketika seseorang mengenal Allah secara mendalam, maka ia juga
akan memuliakan makhluk-Nya. Ma‘rifat membuat seseorang
tawadhu’, lembut dalam berkata-kata, dan bijak dalam bertindak. Menurut Ibn
‘Atha’illah, ma‘rifat menghilangkan rasa sombong karena seorang
‘arif sadar bahwa segala kelebihan yang ia miliki adalah dari Allah semata.⁽³⁾
Dalam praktik
sosial, hal ini tercermin pada sikap penuh kasih sayang, tidak mudah menghakimi,
dan sabar dalam menghadapi ujian kehidupan. Seorang yang ma‘rifat tidak melihat
manusia dari sisi lahiriah semata, tetapi dari sisi hakikatnya sebagai ciptaan
Allah yang layak dihormati.
7.3. Ma‘rifat sebagai Dasar Etika Kerja dan Tanggung
Jawab Sosial
Di luar aspek
ibadah, ma‘rifat juga mewarnai etika kerja dan tanggung jawab sosial.
Seseorang yang telah mengenal Allah akan bekerja dengan amanah, menjauhi
korupsi, dan tidak mengejar dunia dengan tamak, karena ia sadar bahwa rizki
berasal dari Allah dan dunia hanyalah sarana, bukan tujuan.⁽⁴⁾
Seyyed
Hossein Nasr menyebut bahwa salah satu dampak ma‘rifat dalam
tataran modern adalah munculnya spiritual ecology, yakni kesadaran
ekologis dan sosial yang berakar dari kesadaran terhadap kehadiran Ilahi dalam
ciptaan.⁽⁵⁾ Hal ini menjadikan seorang ‘arif sebagai pribadi yang peduli
terhadap lingkungan, keadilan, dan keseimbangan sosial.
7.4. Ma‘rifat Mendidik Hati untuk Qana‘ah dan Sabar
Ma‘rifat juga
berperan dalam membentuk ketenangan batin dan sikap qana‘ah
(merasa cukup) dalam hidup. Ketika seseorang telah mengenal Allah sebagai
al-Razzaq (Maha Pemberi Rizki) dan al-Hakim (Maha Bijaksana), maka ia tidak
akan mudah gelisah oleh perubahan keadaan. Ia menerima takdir dengan penuh ridha,
karena tahu bahwa setiap ketentuan adalah bagian dari rencana-Nya.⁽⁶⁾
Imam
al-Ghazali menjelaskan bahwa salah satu buah ma‘rifat adalah
tercapainya thuma’ninah (ketenangan hati), yang
membuat seorang sufi tetap tenang di tengah badai kehidupan.⁽⁷⁾ Ini menjadi
modal penting dalam menghadapi dinamika dunia modern yang penuh tekanan dan
persaingan.
7.5. Ma‘rifat Sebagai Penangkal Fanatisme dan
Ekstremisme
Dalam konteks
sosial-keagamaan, ma‘rifat berperan sebagai penangkal terhadap fanatisme, radikalisme, dan
eksklusivisme keagamaan. Orang yang telah mengenal Allah tidak
mudah mengklaim bahwa hanya kelompoknya yang benar. Ia lebih memilih jalan
cinta, hikmah, dan welas asih dalam berdakwah.⁽⁸⁾
Martin
Lings, dalam karyanya What Is Sufism?, menyebut bahwa
ma‘rifat menjadikan seseorang "beriman dengan hati yang lapang, bukan
dengan pedang yang terhunus".⁽⁹⁾ Ini menunjukkan bahwa pengenalan
kepada Allah menumbuhkan toleransi, bukan permusuhan.
Kesimpulan
Ma‘rifat bukanlah
pengalaman mistik yang menjauhkan seseorang dari kehidupan dunia, melainkan menerangi
seluruh aspeknya—dari ibadah pribadi, akhlak sosial, hingga
kepedulian ekologis. Seorang ‘arif billāh tidak hidup di atas
menara gading spiritual, tetapi menjadi pelita bagi sesama,
karena hatinya dipenuhi cahaya Ilahi. Dalam dunia yang semakin kehilangan arah
dan makna, ma‘rifat hadir sebagai fondasi spiritual yang kokoh
untuk menciptakan tatanan hidup yang berkeadaban dan berketuhanan.
Footnotes
[1]
Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tasawwuf, ed.
Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2002), 117.
[2]
Muslim ibn al-Hajjaj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitab al-Iman, no. 8.
[3]
Ibn ‘Atha’illah al-Iskandari, Al-Hikam, terj. Syekh Fudhail
(Surabaya: Al-Hidayah, 1996), Hikmah no. 44.
[4]
Harun Nasution, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta:
Bulan Bintang, 1990), 79.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern
Man (London: Unwin Paperbacks, 1968), 113.
[6]
William C. Chittick, The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings
of Rumi (Albany: SUNY Press, 1983), 204.
[7]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 4 (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 274–275.
[8]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill:
University of North Carolina Press, 1975), 387.
[9]
Martin Lings, What Is Sufism? (Cambridge: Islamic Texts
Society, 1999), 115.
8.
Tantangan
dan Penyimpangan dalam Pemahaman Ma‘rifat
Meskipun ma‘rifat
menempati posisi tertinggi dalam hirarki spiritual tasawuf, konsep ini juga
menghadapi beragam tantangan dalam pemahaman dan
implementasinya, baik dari sisi penyimpangan internal maupun
kesalahpahaman eksternal. Karena sifatnya yang subtil dan berorientasi pada
pengalaman ruhani yang mendalam, ma‘rifat kerap disalahpahami,
dimanipulasi, bahkan dijadikan justifikasi bagi perilaku yang bertentangan
dengan syariat. Oleh karena itu, ulama sufi secara historis menaruh perhatian
serius terhadap fenomena ini.
8.1. Penyimpangan: Mengklaim Ma‘rifat tanpa Syari‘at
Salah satu
penyimpangan paling mendasar adalah klaim ma‘rifat tanpa melalui tahapan syari‘at
dan thariqat. Beberapa kelompok atau individu mengaku telah
mengenal Allah secara langsung (ma‘rifat) sehingga merasa tidak lagi terikat
oleh kewajiban syariat seperti salat, puasa, atau hukum halal-haram. Sikap ini
dikritik keras oleh para ulama sufi ortodoks, karena bertentangan dengan
fondasi Islam yang menempatkan syari‘at sebagai pintu gerbang menuju ma‘rifat.
Imam
Al-Ghazali menegaskan bahwa tidak mungkin seseorang mencapai
hakikat dan ma‘rifat tanpa terlebih dahulu menegakkan syari‘at secara utuh. Ia
menulis:
مَن ظَنَّ أَنَّهُ يَصِلُ إِلَى المَعْرِفَةِ
بِغَيْرِ عِلْمٍ وَعَمَلٍ، فَقَدِ اسْتَهْوَاهُ الشَّيْطَانُ، وَضَلَّ ضَلَالًا
بَعِيدًا.
“Barangsiapa menyangka bahwa ia akan
sampai kepada ma‘rifat tanpa ilmu dan amal, maka sungguh setan telah
menyesatkannya, dan ia telah tersesat sejauh-jauhnya.”_¹
Demikian pula Syekh
Abdul Qadir al-Jilani memperingatkan agar tidak terkecoh dengan
bisikan ruhani yang mengajak keluar dari syariat. Dalam Futuh
al-Ghaib, ia menekankan bahwa setiap ilham atau inspirasi ruhani
yang bertentangan dengan hukum syari‘at adalah dari nafsu atau setan.²
8.2. Klaim Ma‘rifat sebagai Jalan Kebebasan Moral
Dalam sejarah Islam,
muncul pula paham ekstrem yang menggunakan istilah ma‘rifat untuk membenarkan kebebasan
moral yang liar (antinomianisme), dengan alasan bahwa orang
yang telah mengenal Allah tidak lagi membutuhkan aturan moral atau agama karena
telah "menyatu" dengan Tuhan.³ Paham ini sering dikaitkan
dengan kecenderungan hululiyah (paham penyatuan
makhluk dengan Tuhan) atau ittihad (kesatuan wujud secara
esensial).
Ibn
Taymiyyah, meskipun bukan tokoh tasawuf, mengkritik keras
kelompok yang mengklaim telah sampai pada ma‘rifat namun kemudian meninggalkan
syariat. Ia menyebut mereka sebagai mulhidun (kaum sesat) yang
menggunakan istilah-istilah sufi untuk menyamarkan penyimpangan akidah.⁴
8.3. Kesalahpahaman Kalangan Awam terhadap Istilah
Ma‘rifat
Tantangan lain
adalah kesalahpahaman
kalangan awam yang memahami ma‘rifat secara simplistis atau
mistis-magis, seperti mengaitkannya dengan kemampuan supranatural, ilmu kebal,
atau kemampuan membaca pikiran. Pemahaman ini jauh dari konsep ma‘rifat
yang sejati sebagaimana dijelaskan para sufi klasik.
Menurut Nasr
Hamid Abu Zayd, kesalahan pemahaman terhadap istilah tasawuf
seperti ma‘rifat
sering kali disebabkan oleh keterputusan antara teks klasik dan realitas sosial
umat.⁵ Tanpa pemahaman metodologis dan bimbingan yang tepat, istilah-istilah luhur
seperti ma‘rifat bisa mengalami deviasi makna.
8.4. Tantangan dalam Konteks Modern: Reduksi
Spiritualitas ke Psikologi
Dalam dunia modern,
tantangan lain muncul dari reduksi ma‘rifat menjadi sekadar fenomena
psikologis atau pengalaman psikis semata. Banyak pemikiran
kontemporer yang memandang ma‘rifat bukan sebagai pengenalan ruhani kepada
Allah, tetapi hanya sebagai bentuk pencapaian kesadaran diri (self-awareness)
atau pengalaman transpersonal.
William
C. Chittick mengkritik pendekatan ini karena mengabaikan
dimensi transenden dan ilahiah dalam pengalaman sufi. Menurutnya, “To turn
ma‘rifa into psychology is to remove its soul.”_⁶ Maka, penting untuk
menjaga keseimbangan antara pendekatan rasional dan kesadaran akan dimensi
sakral yang menyertai ma‘rifat.
8.5. Solusi: Kembali kepada Pemahaman Ulama Sufi Klasik
Untuk menghadapi
berbagai tantangan dan penyimpangan tersebut, kembali kepada sumber-sumber klasik tasawuf
yang otoritatif menjadi langkah yang sangat penting. Ulama
seperti Al-Ghazali, Al-Qusyairi,
Al-Junayd,
dan Ibn
‘Athaillah telah meletakkan kerangka metodologis yang ketat
untuk menuntun para pencari jalan ruhani agar tidak tergelincir.
Mereka menekankan
pentingnya mursyid (pembimbing spiritual), ketekunan dalam dzikir, pengamalan
syari‘at, serta evaluasi terus-menerus terhadap nafsu dan ego. Dalam pandangan
mereka, ma‘rifat tidak pernah menegasikan syari‘at,
tetapi justru mengukuhkannya dengan makna yang lebih dalam.⁷
Kesimpulan
Ma‘rifat adalah
maqām yang sangat luhur namun juga rentan terhadap penyalahgunaan. Oleh karena
itu, pembahasan
dan pemahaman terhadap ma‘rifat harus dilakukan dengan kehati-hatian,
dengan bimbingan ilmiah dan spiritual dari para ulama sufi yang kredibel. Di
tengah zaman yang rawan distorsi makna, menjaga orisinalitas pemahaman ma‘rifat
adalah bagian dari menjaga kemurnian spiritualitas Islam.
Footnotes
[1]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 3 (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 35–36.
[2]
Abdul Qadir al-Jilani, Futuh al-Ghaib (Beirut: Dar al-Fikr,
1982), Khutbah ke-1.
[3]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill:
University of North Carolina Press, 1975), 329.
[4]
Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, Jilid 10 (Riyadh: Maktabah
al-Rushd, 2004), 186–187.
[5]
Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic
Hermeneutics (Utrecht: Humanistics University Press, 2004), 102.
[6]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 419.
[7]
Abu al-Qasim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm
al-Tasawwuf, ed. Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2002), 64–65.
9.
Penutup
Pembahasan tentang ma‘rifat dalam tasawuf
Islam memperlihatkan betapa dalam dan agungnya kedudukan pengetahuan ruhani
dalam tradisi spiritual Islam. Ma‘rifat bukan sekadar bentuk pengetahuan biasa,
melainkan penyingkapan (kasyf) dan penyaksian batin (musyāhadah)
terhadap realitas Ilahi yang tidak bisa dijangkau oleh akal semata. Ia adalah
buah dari perjalanan spiritual yang melewati tahapan syari‘at, thariqat,
dan hakikat, hingga akhirnya seorang hamba mencapai kesadaran
eksistensial yang utuh terhadap kehadiran Allah.
Konsep ma‘rifat juga menunjukkan bahwa tujuan
akhir kehidupan seorang Muslim bukan sekadar menjalankan ibadah secara lahiriah,
tetapi mengalami kehadiran Allah secara batiniah—dalam dzikir, dalam diam,
bahkan dalam aktivitas sehari-hari. Seperti ditegaskan oleh Imam Al-Ghazali, “ma‘rifat
adalah cahaya dalam hati yang memancar dari kedekatan dengan Allah.”_¹ Hal
ini menegaskan bahwa spiritualitas Islam bersifat holistik dan integral, tidak
memisahkan antara lahir dan batin, antara ritual dan makna.
Namun demikian, pencapaian ma‘rifat bukan tanpa
tantangan. Dalam lintasan sejarah, terdapat berbagai penyimpangan dalam
memahami atau mengklaim ma‘rifat, mulai dari pengabaian terhadap syari‘at
hingga munculnya tafsir-tafsir ekstrem seperti hulūl dan ittihād.
Karena itu, para ulama sufi menekankan pentingnya pemahaman yang lurus,
bersandar pada Al-Qur’an, hadits, serta bimbingan mursyid yang terpercaya.²
Tanpa itu, ma‘rifat bisa menjadi alat kesesatan yang dibungkus dengan klaim
spiritualitas palsu.
Di sisi lain, ma‘rifat juga memiliki relevansi
yang tinggi dalam konteks kehidupan kontemporer. Dalam dunia yang terobsesi
pada materialisme, kecepatan, dan kebisingan informasi, ma‘rifat menawarkan kesadaran
batin, ketenangan jiwa, dan keintiman dengan Tuhan sebagai alternatif
spiritual yang menyejukkan. Dalam konteks sosial, seorang ‘ārif
diharapkan menjadi pribadi yang lembut, penuh kasih, beretika tinggi, dan
menjunjung nilai-nilai universal Islam seperti keadilan, rahmah, dan amanah.³
Sebagai penutup, ma‘rifat adalah anugerah dari
Allah yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang ikhlas,
bersungguh-sungguh, dan terus-menerus membersihkan jiwanya dari noda duniawi.
Ia tidak dicapai dengan ambisi intelektual, tetapi dengan kerendahan hati,
kejujuran spiritual, dan cinta yang dalam kepada Allah.⁴ Seperti yang
dikatakan oleh Ibn ‘Athaillah:
مَعرِفَةُ اللهِ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللهُ فِي
الْقَلْبِ، لَا يُنَالُ بِالْتَعَلُّمِ وَلَا بِالْكَسْبِ، وَلَكِنْ بِفَضْلِ
اللهِ وَرَحْمَتِهِ.
“Ma‘rifat kepada Allah adalah cahaya yang Allah lemparkan ke
dalam hati; tidak dapat diperoleh dengan belajar atau usaha, melainkan
semata-mata karena karunia dan rahmat-Nya.”_⁵
Maka, semoga pemahaman terhadap ma‘rifat dalam
tasawuf ini mampu menginspirasi umat Islam untuk tidak hanya berislam secara
lahiriah, tetapi juga memperdalam dimensi batinnya. Dengan demikian, kehidupan
yang dijalani akan lebih bermakna, penuh ketenangan, dan terhubung secara intim
dengan Sang Pencipta.
Footnotes
[1]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din,
Jilid 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 230.
[2]
Abu al-Qasim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah
fi ‘Ilm al-Tasawwuf, ed. Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2002),
64–65.
[3]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam
(Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 390.
[4]
Harun Nasution, Tasawuf: Perkembangan dan
Pemurniannya (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 84.
[5]
Ibn ‘Atha’illah al-Iskandari, Al-Hikam,
terj. Syekh Fudhail (Surabaya: Al-Hidayah, 1996), Hikmah no. 25.
Daftar Pustaka
Abu Zayd, N. H. (2004). Rethinking the Qur’an:
Towards a Humanistic Hermeneutics. Utrecht: Humanistics University Press.
Abun-Nasr, J. M. (2007). Muslim Communities of
Grace: The Sufi Brotherhoods in Islamic Religious Life. New York: Columbia
University Press.
Al-Ghazali, A. H. (2005). Ihya’ ‘Ulum al-Din
(Vol. 3–4). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Jilani, A. Q. (1982). Futuh al-Ghaib.
Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Qusyairi, A. Q. (2002). Risalah
al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tasawwuf (A. H. Mahmud, Ed.). Kairo: Dar
al-Ma‘arif.
Al-Razi, F. (1990). Tafsir al-Kabir. Beirut:
Dar al-Fikr.
Al-Tabari, M. J. (2000). Jami‘ al-Bayan fi
Ta’wil Ay al-Qur’an (A. M. Shakir, Ed.). Kairo: Dar al-Ma‘arif.
Al-Qurtubi, A. M. (2006). Al-Jami‘ li Ahkam
al-Qur’an (Vol. 17). Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi.
Chittick, W. C. (1983). The Sufi Path of Love:
The Spiritual Teachings of Rumi. Albany: State University of New York
Press.
Chittick, W. C. (1989). The Sufi Path of
Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination. Albany: State
University of New York Press.
Chittick, W. C. (2000). Sufism: A Short
Introduction. Oxford: Oneworld Publications.
Ibn ‘Ajibah, A. (1981). Iqaz al-Himam fi Sharh
al-Hikam. Kairo: Dar al-Turath al-Islami.
Ibn ‘Arabi, M. A. (2004). Futuhat al-Makkiyyah
(O. Yahya, Ed.). Beirut: Dar Sadir.
Ibn ‘Atha’illah al-Iskandari. (1996). Al-Hikam
(Syekh Fudhail, Trans.). Surabaya: Al-Hidayah.
Ibn Taymiyyah, A. H. (2004). Majmu‘ al-Fatawa
(Vol. 10). Riyadh: Maktabah al-Rushd.
Kurdi, M. A. (1994). Tanwir al-Qulub fi
Mu‘amalat ‘Allam al-Ghuyub. Beirut: Dar al-Fikr.
Lings, M. (1999). What Is Sufism? Cambridge:
Islamic Texts Society.
Muslim ibn al-Hajjaj. (n.d.). Sahih Muslim.
Nasr, H. (1995). Islam Rasional: Gagasan dan
Pemikiran. Bandung: Mizan.
Nasr, S. H. (1968). Man and Nature: The
Spiritual Crisis in Modern Man. London: Unwin Paperbacks.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the Sacred.
Albany: State University of New York Press.
Schimmel, A. (1975). Mystical Dimensions of
Islam. Chapel Hill: University of North Carolina Press.
Zarruq, A. (1993). Qawa‘id al-Tasawwuf (A.
Q. ‘Isa, Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.
Wehr, H. (1994). A Dictionary of Modern Written
Arabic (J. M. Cowan, Ed.). Urbana: Spoken Language Services.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar