Minggu, 06 April 2025

Hakikat dalam Tasawuf: Tahapan Kedalaman Spiritual dalam Tasawuf Islam

Hakikat dalam Tasawuf

Tahapan Kedalaman Spiritual dalam Tasawuf Islam


Alihkan ke: Ilmu Tawawuf.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep ma‘rifat dalam tradisi tasawuf Islam sebagai puncak pencapaian spiritual dalam perjalanan ruhani seorang Muslim. Ma‘rifat dipahami sebagai bentuk pengetahuan batin yang lahir dari penyucian jiwa dan penyaksian terhadap realitas Ilahi, melampaui dimensi intelektual menuju pengalaman eksistensial bersama Allah. Kajian ini dimulai dengan menelaah pengertian ma‘rifat dari perspektif etimologi dan terminologi, dilanjutkan dengan eksplorasi dalil-dalilnya dari Al-Qur’an dan Hadis, serta penempatan ma‘rifat dalam hirarki tasawuf yang melibatkan tahapan syari‘at, thariqat, dan hakikat. Artikel ini juga mengulas ciri-ciri ahli ma‘rifat, membedakan antara ma‘rifat dan hakikat, serta menunjukkan peran signifikan ma‘rifat dalam kehidupan sehari-hari—baik dalam aspek ibadah, akhlak, sosial, hingga spiritualitas modern. Di samping itu, artikel ini menyoroti berbagai tantangan dan penyimpangan dalam memahami ma‘rifat, seperti klaim spiritual palsu dan penyalahgunaan istilah dalam praktik ekstrem. Melalui pendekatan tekstual terhadap karya-karya klasik dan referensi ilmiah kontemporer, tulisan ini menegaskan bahwa ma‘rifat adalah cahaya Ilahi yang harus dijemput melalui jalan yang lurus, dengan keseimbangan antara syari‘at lahiriah dan penghayatan batiniah.

Kata Kunci: Ma‘rifat, tasawuf, syari‘at, thariqat, hakikat, sufisme, spiritualitas Islam, pengalaman batin, maqām ruhani.


PEMBAHASAN

Hakikat dalam Tasawuf Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Dalam tradisi spiritual Islam, ma’rifat (معرفة) menempati posisi tertinggi dalam perjalanan ruhani seorang hamba menuju Allah. Ma’rifat dipahami sebagai bentuk tertinggi dari pengetahuan—bukan sekadar pemahaman rasional, tetapi sebuah pengalaman batin yang bersumber dari penyaksian (musyahadah) dan kesadaran ilahiah yang mendalam. Dalam khazanah tasawuf klasik, ma’rifat menjadi tahap akhir dalam proses penyucian jiwa setelah melewati tahapan syari’at, thariqat, dan hakikat. Empat tahapan ini menggambarkan jalan ruhani (suluk) yang harus ditempuh oleh setiap pencari kebenaran untuk mencapai kedekatan hakiki dengan Tuhan.

Konsep ma’rifat telah dikaji secara luas oleh para sufi besar dalam sejarah Islam. Imam Al-Ghazali, misalnya, dalam karya monumentalnya Ihya’ ‘Ulum al-Din, menyebutkan bahwa ma’rifat merupakan buah dari perjalanan spiritual yang tulus, yang hanya dapat diraih dengan mengosongkan hati dari selain Allah dan mengisinya dengan dzikir yang terus-menerus hingga tercapai fanā’, yakni lenyapnya kesadaran terhadap diri karena hanya tersisa kesadaran terhadap Allah semata.¹ Sementara itu, Al-Qusyairi dalam Risalah al-Qusyairiyah menjelaskan bahwa ma’rifat adalah cahaya yang ditanamkan Allah di dalam hati hamba-Nya yang telah suci, yang membuatnya mampu menyaksikan kebenaran dengan mata hati.²

Secara terminologis, ma’rifat sering dibedakan dari ‘ilm (ilmu) meskipun keduanya berasal dari akar kata yang sama (‘arafa). Jika ‘ilm mengacu pada pengetahuan intelektual yang dapat diperoleh melalui proses belajar, maka ma’rifat merujuk pada pengetahuan batin yang bersifat intuitif dan iluminatif, yang diperoleh melalui latihan spiritual dan karunia Ilahi.³ Oleh karena itu, dalam tasawuf, seorang ‘arif (orang yang mencapai ma’rifat) tidak hanya mengetahui tentang Allah, tetapi mengenal-Nya dengan hati dan merasakan kehadiran-Nya dalam setiap aspek kehidupan.

Relevansi pembahasan tentang ma’rifat menjadi semakin penting di tengah kehidupan modern yang cenderung materialistik dan terfragmentasi secara spiritual. Tasawuf menawarkan paradigma alternatif yang tidak hanya menekankan dimensi formal keislaman, tetapi juga memperdalam aspek batinnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Annemarie Schimmel, seorang orientalis dan pakar tasawuf, “The knowledge of God (ma‘rifa) was the ultimate goal of the Sufi path, and it could be attained only through the transformation of the self.”_⁴ Artinya, ma’rifat tidak mungkin dicapai tanpa adanya usaha keras untuk menyucikan diri dan meninggalkan ego pribadi.

Dengan landasan itulah, artikel ini akan menguraikan secara mendalam hakikat dan posisi ma’rifat dalam tasawuf Islam, berdasarkan rujukan dari kitab-kitab klasik, tafsir, hadits, serta kajian ilmiah kontemporer, untuk memberikan pemahaman yang utuh mengenai salah satu aspek paling luhur dalam spiritualitas Islam.


Footnotes

[1]                Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 234.

[2]                Abu al-Qasim Al-Qusyairi, Al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tasawwuf, ed. Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Ma’arif, 2002), 72.

[3]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 395.

[4]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 141.


2.           Pengertian Ma’rifat dalam Perspektif Bahasa dan Istilah

Secara etimologis, kata ma’rifat (معرفة) berasal dari akar kata ‘arafa (عرف), yang berarti "mengetahui", "mengenali", atau "memahami secara mendalam". Dalam disiplin ilmu bahasa Arab, bentuk ma’rifat merupakan bentuk masdar dari fi’il ‘arafa, dan berbeda dari kata ‘ilm (ilmu) meskipun keduanya seringkali diterjemahkan sebagai “pengetahuan” dalam bahasa Indonesia.¹

Para ulama memberikan pembedaan penting antara ‘ilm dan ma’rifat. ‘Ilm merujuk pada pengetahuan objektif dan rasional yang diperoleh melalui proses belajar dan pemahaman logis. Sementara itu, ma’rifat dipahami sebagai pengetahuan intuitif yang muncul dari penyaksian batin dan pengalaman spiritual langsung.² Dalam konteks tasawuf, ma’rifat merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui penyucian jiwa, mujahadah, dan limpahan cahaya (nūr) dari Allah ke dalam hati seorang hamba.

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ma’rifat merupakan buah dari penyaksian ruhani yang melampaui batas akal. Dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, ia menyatakan bahwa seorang hamba yang mencapai ma’rifat bukan hanya mengetahui tentang sifat-sifat Allah, tetapi mengenal-Nya melalui kehadiran-Nya yang dirasakan dalam kalbu.³ Al-Ghazali menegaskan bahwa ini tidak dapat diperoleh hanya melalui ilmu formal, tetapi dengan proses tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa).

Al-Qusyairi, dalam Risalah al-Qusyairiyah, membedakan ‘alim (orang yang berilmu) dan ‘arif (orang yang mencapai ma’rifat). Ia menyebut bahwa orang ‘alim mengetahui hukum-hukum syariat, sementara ‘arif mengenal Allah secara hakiki dan tunduk sepenuhnya dalam kehadiran-Nya.⁴ Hal ini menunjukkan bahwa ma’rifat berkaitan erat dengan dimensi batiniah (esoterik) dari iman dan ibadah.

Dalam kajian filsafat Islam dan tasawuf, Ibn ‘Arabi menyebut ma’rifat sebagai al-‘ilm bi Allah ‘ala wajh al-khusus—pengetahuan tentang Allah dalam bentuk yang khas dan spesifik, yang tidak bisa dicapai oleh akal semata.⁵ Ma’rifat menurutnya adalah refleksi dari hubungan ontologis antara makhluk dan Khaliq (Pencipta) yang meniscayakan penyingkapan hijab (kasyf) dan fana’ sebagai prasyarat utamanya.

Lebih lanjut, Harun Nasution menekankan bahwa dalam mazhab tasawuf, ma’rifat merupakan hasil akhir dari penyucian batin yang berkesinambungan dan dapat disebut sebagai kesadaran mistik tertinggi yang mampu membawa manusia pada pemahaman hakiki tentang eksistensi dan keesaan Tuhan.⁶ Dalam bahasa modern, ma’rifat bisa diibaratkan sebagai bentuk “kesadaran transendental” yang menyatu dengan kehadiran Ilahi secara batiniah.

Dengan demikian, ma’rifat bukan sekadar bentuk kognitif dari pengetahuan, melainkan penyingkapan langsung (kasyf) yang dialami oleh hati yang telah suci. Ia bukan hasil bacaan, melainkan hasil dzauq (rasa batin), syuhud (penyaksian ruhani), dan fana’ (lenyapnya kesadaran ego demi menyatu dalam kehendak Allah).


Footnotes

[1]                Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, ed. J. Milton Cowan (Urbana: Spoken Language Services, 1994), 665.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 92.

[3]                Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 211.

[4]                Abu al-Qasim Al-Qusyairi, Al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tasawwuf, ed. Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Ma’arif, 2002), 55.

[5]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 221.

[6]                Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), 115.


3.           Dalil Ma’rifat dari Al-Qur’an dan Hadits

Konsep ma’rifat dalam Islam bukanlah konsep asing yang semata lahir dari pemikiran sufi, melainkan memiliki dasar yang kuat dalam ajaran Al-Qur’an dan Hadits. Para ulama sufi klasik memahami bahwa ma’rifat adalah tujuan akhir dari penciptaan manusia, yaitu agar ia mengenal Tuhannya secara hakiki, bukan sekadar secara teoretik. Oleh karena itu, banyak ayat dan hadits yang dijadikan landasan oleh para sufi dalam mengembangkan konsep ini.

3.1.       Dalil dari Al-Qur’an

Salah satu ayat yang paling sering dijadikan dasar dalam pembahasan ma’rifat adalah:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzāriyāt [51] ayat 56)

Ayat ini oleh sebagian ulama tafsir dan sufi ditafsirkan lebih dalam. Misalnya, Ibnu ‘Abbas menafsirkan kata "liya‘budūn" sebagai "liya‘rifūn" (untuk mengenal-Ku).¹ Tafsir ini menunjukkan bahwa tujuan ibadah bukan sekadar ritual, melainkan menuju kepada pengenalan yang sejati terhadap Allah. Tafsir ini banyak diikuti oleh para sufi sebagai dasar bahwa ma’rifat adalah tujuan utama penciptaan manusia.

Tafsir al-Qurtubi menegaskan hal serupa, bahwa ibadah yang tidak melahirkan makrifah (pengetahuan tentang Allah) tidak mencapai esensinya. Ibadah yang benar adalah yang menumbuhkan kesadaran akan kehadiran Allah dalam hati.²

Ayat lain yang juga menjadi rujukan adalah:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ

Maka ketahuilah bahwa tidak ada tuhan selain Allah.” (QS. Muhammad [47] ayat 19)

Perintah fa‘lam (ketahuilah) dalam ayat ini menandakan bahwa pengetahuan (ma’rifat) terhadap keesaan Allah merupakan dasar dan fondasi dari iman. Dalam tafsir sufistik, pengetahuan ini tidak berhenti pada dimensi intelektual, tetapi berkembang ke dalam dimensi batiniah dan spiritual melalui pengalaman langsung akan keesaan dan kehadiran-Nya.³

3.2.       Dalil dari Hadits

Dalam hadits Nabi Muhammad Saw, dimensi ma’rifat tercermin jelas dalam Hadits Jibril, yang menjelaskan tiga tingkatan agama: Islam, Iman, dan Ihsan. Ketika Jibril bertanya tentang ihsan, Nabi menjawab:

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ، فَإِنَّهُ يَرَاكَ

"Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu." (HR. Muslim)

Menurut para sufi, maqam ihsan adalah titik tertinggi dalam perjalanan ruhani, dan menjadi dasar dari ma’rifat. Seorang hamba yang mencapai ma’rifat tidak hanya mengetahui bahwa Allah melihatnya, tetapi merasakan kehadiran Allah dalam setiap aspek hidupnya.⁴

Dalil lain yang dijadikan landasan penting adalah Hadits Qudsi berikut:

‏وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ، كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ.‏

"Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada kewajiban yang Aku tetapkan atasnya. Dan hamba-Ku terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, penglihatannya yang dengannya ia melihat, tangannya yang dengannya ia memukul, dan kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, niscaya Aku beri. Jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, pasti Aku lindungi." (HR. Bukhari)

Hadits ini dijadikan sebagai metafora transendental oleh para sufi, bahwa ketika seorang hamba mencapai cinta dan kedekatan sejati kepada Allah, maka ia mencapai tingkat ma’rifat—di mana seluruh pancaindra dan kesadarannya berada dalam kendali dan cahaya ilahi.⁵ Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa kondisi seperti ini adalah maqam tertinggi yang tidak bisa dicapai kecuali oleh mereka yang telah melewati penyucian diri secara total.⁶


Dengan demikian, dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadits memberikan fondasi kuat terhadap doktrin ma’rifat dalam tasawuf. Para sufi tidak sekadar mengembangkan doktrin berdasarkan pengalaman batin, tetapi justru mendasarkannya pada sumber-sumber utama agama, yang kemudian ditafsirkan secara mendalam melalui pendekatan ruhani yang penuh hikmah.


Footnotes

[1]                Ibn Jarir al-Tabari, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl Āy al-Qur’ān, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2000), 24:487.

[2]                Al-Qurtubi, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, Jilid 17 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 2006), 51:56.

[3]                Fakhr al-Din al-Razi, Tafsīr al-Kabīr (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), 29:99.

[4]                Muslim ibn al-Hajjaj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitab al-Iman, no. 8.

[5]                Muhammad ibn Isma‘il al-Bukhari, Ṣaḥīḥ al-Bukhari, Kitab al-Riqaq, no. 6502.

[6]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 232.


4.           Kedudukan Ma’rifat dalam Hirarki Tasawuf

Dalam tradisi tasawuf, perjalanan spiritual seorang hamba kepada Allah dikenal dengan istilah “sulūk”, yakni proses bertahap yang sistematis untuk mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Perjalanan ini biasanya dijelaskan dalam empat tahapan utama: Syari‘at, Thariqat, Hakikat, dan Ma‘rifat.¹ Setiap tahapan merupakan fondasi bagi tahap berikutnya, dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Ma‘rifat, dalam konteks ini, diposisikan sebagai puncak tertinggi dari proses penyucian diri, di mana seorang sufi mengalami kedekatan eksistensial dan penyaksian ruhani terhadap kehadiran Allah secara batiniah.

4.1.       Syari‘at: Titik Awal Formalitas

Tahap pertama dalam hierarki tasawuf adalah syari‘at, yakni pengamalan hukum-hukum Islam secara lahiriah: salat, puasa, zakat, dan sebagainya.² Bagi para sufi, syari‘at adalah fondasi awal yang wajib dilalui oleh setiap pencari (salik). Tanpa syari‘at, perjalanan ruhani akan kehilangan orientasi. Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa syari‘at adalah "kulit" yang membungkus inti, yaitu hakikat dan ma‘rifat.³

4.2.       Thariqat: Jalan Menuju Penyucian Jiwa

Tahap kedua adalah thariqat, yang bermakna “jalan”. Di tahap ini, seorang salik menjalani proses mujahadah (perjuangan spiritual) di bawah bimbingan seorang mursyid. Praktik-praktik seperti dzikir, khalwat (menyepi), dan muraqabah (kesadaran akan kehadiran Allah) menjadi instrumen utama dalam tahap ini.⁴ Thariqat membimbing seseorang untuk membersihkan hati dari penyakit batin seperti riya’, ujub, dan takabur—sebagai syarat menuju hakikat dan ma‘rifat.

4.3.       Hakikat: Pengenalan terhadap Realitas Ilahiah

Hakikat adalah tahap ketika seseorang mulai menyaksikan realitas Ilahi secara batin. Ia menyadari bahwa segala sesuatu adalah manifestasi dari kehendak dan kekuasaan Allah. Dalam pandangan Al-Qusyairi, hakikat adalah nur al-haqiqah (cahaya kebenaran) yang Allah tanamkan dalam hati para salik setelah melalui penyucian yang sungguh-sungguh.⁵ Dalam tahap ini, seseorang belum sepenuhnya “mengenal” Allah, tetapi telah mulai “menyaksikan” tanda-tanda kehadiran-Nya.

4.4.       Ma‘rifat: Tujuan Puncak Pengenalan Ruhani

Ma‘rifat adalah tahap akhir dan paling agung dalam hirarki tasawuf. Dalam tahap ini, seorang salik tidak hanya menyaksikan kehadiran Allah, tetapi merasakan dan mengenal-Nya dengan penuh cinta dan ketundukan total. Menurut Ibn ‘Ajibah, ma‘rifat adalah “pengetahuan ruhani tentang Allah yang timbul dari hati yang suci dan disinari cahaya keilahian.”_⁶ Ma‘rifat bukan sekadar pengenalan intelektual, melainkan penyatuan kesadaran antara makhluk dengan Sang Khalik dalam kerangka maḥabbah (cinta Ilahi).

Seorang ‘arif (orang yang mencapai ma‘rifat) telah melewati tahap fana’ (lenyapnya kesadaran ego) dan masuk pada baqa’ (kekekalan dalam cinta dan kehendak Allah).⁷ Dalam istilah lain, ia hidup di dunia, namun hatinya telah tenggelam dalam samudera kehadiran Ilahi. Seperti disebutkan dalam Al-Hikam karya Ibn ‘Athaillah, “Tidaklah orang yang mengenal Allah itu, kecuali mereka yang telah sirna dari selain-Nya.”_⁸

ما عَرَفَ اللهَ مَنِ اسْتَدَلَّ عَلَيْهِ بِغَيْرِهِ، ما عَرَفَ اللهَ مَنْ لَمْ يَتَفَنَّ عَنْ كُلِّ مَا سِوَاهُ.

"Tidaklah mengenal Allah orang yang menunjukkan-Nya dengan selain-Nya; tidaklah mengenal Allah orang yang belum lenyap (fana’) dari selain-Nya."

4.5.       Skema Hirarki: Kesatuan dalam Empat Tahapan

Empat tahapan tersebut bukanlah jalan yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling terkait dan saling menyempurnakan. Ma‘rifat tidak dapat diraih tanpa syari‘at, sebagaimana hakikat tidak dapat dibuka tanpa thariqat. Para ulama tasawuf menekankan bahwa barang siapa meninggalkan syari‘at demi ma‘rifat, maka ia terjerumus ke dalam kesesatan.⁹

Dengan demikian, ma‘rifat merupakan puncak dari seluruh laku spiritual, tetapi tetap berpijak pada syari‘at sebagai fondasi dasarnya. Kedudukan ma‘rifat yang luhur ini tidak boleh membuat seorang sufi merasa sombong, justru menambah ketawadhuan karena ia menyadari bahwa segala sesuatu adalah semata-mata karunia Allah Swt.


Footnotes

[1]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 27–30.

[2]                Harun Nasution, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 15.

[3]                Al-Ghazali, Ihya’, 31.

[4]                Jamil M. Abun-Nasr, Muslim Communities of Grace: The Sufi Brotherhoods in Islamic Religious Life (New York: Columbia University Press, 2007), 23.

[5]                Abu al-Qasim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, ed. Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2002), 69.

[6]                Ahmad ibn ‘Ajibah, Iqaz al-Himam fi Sharh al-Hikam (Kairo: Dar al-Turath al-Islami, 1981), 142.

[7]                Martin Lings, What Is Sufism? (Cambridge: Islamic Texts Society, 1999), 95.

[8]                Ibn ‘Atha’illah al-Iskandari, Al-Hikam, terj. Syekh Fudhail, (Surabaya: Al-Hidayah, 1996), Hikmah no. 9.

[9]                William C. Chittick, Sufism: A Short Introduction (Oxford: Oneworld Publications, 2000), 47.


5.           Ciri-Ciri dan Tanda-Tanda Ahli Ma‘rifat

Dalam literatur tasawuf klasik maupun kontemporer, seorang yang telah mencapai maqām ma‘rifat dikenal dengan sebutan ‘ārif billāh (orang yang mengenal Allah). Ma‘rifat bukan sekadar tingkatan spiritual, melainkan keadaan batin yang ditandai oleh perubahan mendalam dalam perilaku, sikap, dan orientasi hidup seseorang. Oleh karena itu, para sufi telah menyusun sejumlah indikator atau tanda-tanda yang dapat dikenali dari sosok yang mencapai ma‘rifat.

5.1.       Tawadhu‘ dan Hilangnya Keakuan (Ego)

Salah satu ciri utama dari ahli ma‘rifat adalah tawadhu‘ (kerendahan hati) yang ekstrem. Karena telah menyaksikan kebesaran dan keagungan Allah, mereka tidak melihat nilai apa pun dalam keakuan atau kehebatan diri sendiri. Imam Al-Junayd al-Baghdadi, salah seorang tokoh sentral tasawuf, menyatakan bahwa:

ٱلْعَارِفُ هُوَ ٱلَّذِي لَا ٱسْمَ لَهُ وَلَا نَعْتَ لَهُ، وَلَا حَرَكَةَ لَهُ وَلَا سُكُونَ، بَلْ فَانٍ عَنْ كُلِّ مَا سِوَى ٱللَّهِ.

Seorang ‘ārif adalah orang yang tidak memiliki nama, tidak memiliki sifat, tidak bergerak, dan tidak diam; ia telah lenyap dari segala sesuatu selain Allah.”_¹

Ungkapan ini menggambarkan fana’ total dari ego pribadi dan lenyapnya kepentingan duniawi dalam diri seorang ‘arif.

5.2.       Zuhud terhadap Dunia dan Kebergantungan Total kepada Allah

Ahli ma‘rifat biasanya hidup dalam keadaan zuhud, yakni melepaskan keterikatan hati terhadap dunia. Namun, zuhud mereka bukanlah bentuk penolakan terhadap dunia secara fisik, melainkan kondisi batin yang tidak terpengaruh oleh kenikmatan atau penderitaan duniawi.² Mereka menjadikan dunia sebagai sarana, bukan tujuan. Ibn ‘Ata’illah menulis dalam Al-Hikam:

ٱلدُّنْيَا حِجَابٌ لِلْعَارِفِينَ بِهِ، وَمَحْبُوبَةٌ لِلْجَاهِلِينَ عَلَيْهِ.

Dunia adalah hijab (penghalang) bagi orang-orang yang mengenal-Nya (Allah), dan menjadi kecintaan bagi orang-orang yang tidak mengetahui-Nya.”_³

Dengan demikian, seorang ‘arif telah menyingkap hijab tersebut dan hanya melihat Allah sebagai satu-satunya sandaran.

5.3.       Kedalaman Dzikir dan Kesadaran Spiritual

Salah satu ciri menonjol dari ahli ma‘rifat adalah konsistensi dan kekhusyukan dalam dzikir. Dzikir bukan hanya aktivitas lisan, tetapi menyatu dalam kesadaran batin yang terus-menerus hadir bersama Allah (muraqabah). Menurut Al-Qusyairi, dzikir seorang ‘arif dilakukan dengan kesadaran total dan menjadi cahaya yang menuntun hatinya kepada kebenaran.⁴ Dalam konteks ini, dzikir adalah cermin dari pengetahuan ruhani yang telah diperoleh melalui ma‘rifat.

5.4.       Sifat Rahmah dan Kelembutan terhadap Makhluk

Ahli ma‘rifat memiliki hati yang dipenuhi kasih sayang, karena mereka memandang seluruh makhluk sebagai manifestasi ciptaan Allah. Mereka tidak mudah menghakimi, tidak membalas keburukan dengan keburukan, dan sangat menjaga lisan serta perbuatan agar tidak menyakiti. Imam Al-Ghazali menyebut bahwa ‘arif akan memandang setiap makhluk dengan rasa belas kasih, karena ia menyadari bahwa semua berasal dari satu sumber yang sama, yaitu Allah.⁵

5.5.       Wara‘ dan Hati-hati dalam Hal-hal yang Syubhat

Ahli ma‘rifat sangat berhati-hati dalam perkara yang belum jelas halal-haramnya (syubhat) karena mereka sadar bahwa sedikit kelalaian bisa menggelapkan hati. Tingginya kesadaran batin membuat mereka sensitif terhadap dosa-dosa kecil maupun godaan jiwa, sehingga mereka menjaga dirinya dengan penuh kehati-hatian.⁶ Menurut tradisi sufi, seorang ‘arif lebih memilih meninggalkan perkara yang mubah jika dikhawatirkan melemahkan hubungannya dengan Allah.

5.6.       Ketenangan dan Kepasrahan dalam Ujian

Tanda lain dari ma‘rifat adalah sikap tenang, sabar, dan ridha terhadap segala takdir Allah, baik berupa nikmat maupun musibah. Seorang ‘arif telah memahami bahwa segala sesuatu datang dari Allah dan pasti mengandung hikmah.⁷ Oleh karena itu, ia tidak terguncang oleh ujian, tidak terbuai oleh nikmat. Ketenangan ini merupakan buah dari keyakinan dan keintiman ruhani yang mendalam kepada Allah.


Kesimpulan Sementara

Ciri-ciri di atas menunjukkan bahwa ma‘rifat bukan hanya status spiritual, melainkan transformasi eksistensial yang mengubah cara pandang, rasa, dan sikap seseorang terhadap Allah, dunia, dan makhluk-Nya. Para sufi menekankan bahwa tanda-tanda ini bukan untuk disombongkan, melainkan sebagai indikator keaslian perjalanan spiritual seseorang agar tidak tertipu oleh ilusi kesalehan yang palsu.


Footnotes

[1]                Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tasawwuf, ed. Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2002), 106.

[2]                Harun Nasution, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 77.

[3]                Ibn ‘Atha’illah al-Iskandari, Al-Hikam, terj. Syekh Fudhail (Surabaya: Al-Hidayah, 1996), Hikmah no. 57.

[4]                Al-Qusyairi, Risalah, 88.

[5]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 233–234.

[6]                Muhammad Amin Kurdi, Tanwir al-Qulub fi Mu‘amalat ‘Allam al-Ghuyub (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), 141.

[7]                Martin Lings, What Is Sufism? (Cambridge: Islamic Texts Society, 1999), 103.


6.           Perbedaan Ma’rifat dan Hakikat menurut Ulama Tasawuf

Dalam literatur tasawuf, istilah ma’rifat dan hakikat sering kali digunakan berdampingan dan dianggap sebagai dua maqām spiritual yang sangat tinggi. Namun, para ulama sufi memberikan penjelasan distinktif mengenai keduanya, baik dari sisi definisi, proses pencapaian, maupun implikasi ruhani yang menyertainya. Perbedaan ini penting untuk dipahami agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami struktur dan hierarki perjalanan spiritual Islam.

6.1.       Hakikat sebagai Penyaksian terhadap Realitas Ilahiah

Dalam pengertian tasawuf, hakikat merujuk pada pembukaan tabir realitas terdalam dari segala sesuatu, yakni menyaksikan bahwa di balik wujud-wujud duniawi, hanya Allah yang menjadi hakikat keberadaan. Menurut Imam Al-Qusyairi, hakikat adalah “an-nazhar bi ‘ain al-basirah” (pandang mata hati) terhadap rahasia penciptaan.¹ Seorang salik yang mencapai maqam hakikat tidak lagi melihat sebab-akibat sebagai kekuatan nyata, melainkan menyaksikan kehendak Allah sebagai satu-satunya penggerak realitas.

Al-Ghazali menegaskan bahwa hakikat adalah pengetahuan yang diperoleh bukan dari akal atau indera, melainkan dari cahaya batin (nur al-qalb) yang muncul karena penyucian jiwa secara intensif.² Dalam hal ini, hakikat menjadi tahap pembuka yang memperkenalkan seorang salik kepada dimensi Ilahi, meskipun belum mencapai kedekatan spiritual penuh.

6.2.       Ma’rifat sebagai Pengenalan Ruhani terhadap Allah

Sementara itu, ma’rifat merupakan puncak dari kesadaran spiritual yang lahir dari pengalaman langsung dan penyatuan batin dengan kehadiran Allah. Menurut Ibn ‘Ajibah:

المعرفةُ علمٌ خاصٌّ يَهَبُهُ اللهُ لِعِبادِهِ، لا يُنالُ بالتعلُّم، وإنّما هي ثمرةُ المُشاهدةِ والتجلِّي.

Ma‘rifat adalah ilmu khusus yang datang dari Allah kepada hamba-Nya, bukan hasil belajar, melainkan hasil dari musyahadah (penyaksian) dan tajalli (penampakan sifat-sifat Allah).”_³

Berbeda dengan hakikat yang lebih bersifat “pemahaman batin terhadap realitas”, ma’rifat adalah “pengenalan terhadap Allah secara personal dan intim”. Dalam hal ini, ma’rifat bukan hanya menyadari bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, tetapi juga merasakan hubungan cinta, kehambaan, dan keintiman ruhani dengan-Nya.

6.3.       Perspektif Perbandingan: Proses dan Tingkatan

Dalam kerangka perjalanan ruhani, para sufi menempatkan hakikat sebagai jalan menuju ma’rifat, bukan sebagai titik akhir. Syekh Ahmad Zarruq menjelaskan bahwa hakikat adalah “penyaksian akan kebenaran hakiki dari wujud segala sesuatu,” sedangkan ma’rifat adalah “tenggelamnya hati dalam kehadiran Allah sehingga tak ada yang terlihat kecuali Dia.”_⁴

"الحقيقةُ نَظَرُ القلبِ إلى حقيقةِ الأشياءِ من حيثُ هي مخلوقةٌ للهِ تعالى، والمعرفةُ غَيبَةُ القلبِ عما سِوى اللهِ شهودًا باللهِ، فلا يرى إلا اللهَ."

Hakikat adalah pandangan hati terhadap realitas terdalam dari segala sesuatu sebagai ciptaan Allah Ta‘ala, sedangkan ma‘rifat adalah lenyapnya hati dari selain Allah dalam penyaksian terhadap Allah, sehingga tidak melihat selain Allah.”

Dari perspektif ini, hakikat adalah bentuk kasyf (penyingkapan realitas), sedangkan ma’rifat adalah musyahadah (penyaksian ruhani langsung terhadap Allah). Artinya, ma’rifat mengandung unsur fana’ dan baqa’, sedangkan hakikat bisa dicapai tanpa kondisi spiritual seintens itu.

6.4.       Contoh Analogi Sufi

Untuk mempermudah pemahaman, para sufi klasik sering menggunakan analogi-analogi sederhana. Salah satunya adalah perumpamaan lautan dan mutiara:

·                     Hakikat adalah pengetahuan tentang adanya lautan yang dalam dan gelombang yang besar; seseorang sudah menyadari bahwa di balik permukaan ada kekuatan besar yang mengatur segalanya.

·                     Ma’rifat adalah masuk ke dalam lautan itu, menyelam, dan menemukan mutiara paling dalam, yakni pengenalan ruhani terhadap Allah.⁵

Analogi ini menekankan bahwa hakikat adalah awal dari kesadaran Ilahi, sementara ma’rifat adalah pengalaman keintiman dan kehadiran Allah secara langsung dalam kesadaran spiritual seorang hamba.

6.5.       Konvergensi dan Keterkaitan

Meski berbeda, hakikat dan ma’rifat adalah dua maqām yang tidak bisa dipisahkan. Hakikat merupakan jalan menuju ma’rifat, dan ma’rifat tidak mungkin dicapai tanpa melalui hakikat. Bahkan, dalam pandangan Ibn ‘Arabi, hakikat adalah bentuk eksternal dari realitas ilahiah yang tercermin dalam makhluk, sementara ma’rifat adalah kesadaran batin terhadap manifestasi Ilahi itu sendiri.⁶

Oleh karena itu, perbedaan keduanya bukan untuk dikotomisasi, melainkan untuk dimaknai sebagai fase-fase transformasi ruhani yang saling melengkapi, di mana seorang sufi akan terus bergerak dari pengenalan realitas menuju pengalaman eksistensial bersama Allah.


Footnotes

[1]                Abu al-Qasim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tasawwuf, ed. Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2002), 87.

[2]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 35–36.

[3]                Ahmad ibn ‘Ajibah, Iqaz al-Himam fi Sharh al-Hikam (Kairo: Dar al-Turath al-Islami, 1981), 121.

[4]                Ahmad Zarruq, Qawa‘id al-Tasawwuf, ed. ‘Abd al-Qadir ‘Isa (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 77.

[5]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 392.

[6]                Ibn ‘Arabi, Futuhat al-Makkiyyah, ed. Osman Yahya (Beirut: Dar Sadir, 2004), 2:301.


7.           Peran Ma‘rifat dalam Kehidupan Sehari-Hari

Ma‘rifat tidak hanya merupakan puncak dari maqām ruhani dalam tasawuf, tetapi juga memiliki pengaruh nyata terhadap cara seseorang menjalani kehidupan sehari-hari. Ia bukan sekadar pencapaian spiritual yang bersifat teoritis atau elitis, melainkan kondisi batin yang menjiwai seluruh dimensi eksistensi manusia: ibadah, akhlak, relasi sosial, hingga pengelolaan emosi dan hasrat. Dalam perspektif tasawuf, seseorang yang mencapai ma‘rifat tidak hidup dalam keterasingan, melainkan menampilkan transformasi nyata dalam hidup bermasyarakat.

7.1.       Ma‘rifat Membentuk Ibadah yang Penuh Kesadaran

Salah satu peran paling nyata dari ma‘rifat adalah mewujudkan kualitas ibadah yang penuh kesadaran (khusyuk dan muraqabah). Seorang ‘arif billāh beribadah bukan semata karena kewajiban, tetapi karena rasa cinta dan keintiman dengan Allah. Ibadahnya menjadi ekspresi syukur dan kerinduan ruhani, bukan sekadar rutinitas.⁽¹⁾

Hal ini sebagaimana tercermin dalam maqām ihsan yang disebut dalam Hadits Jibril, di mana seseorang beribadah seakan-akan melihat Allah, dan bila tidak mampu, ia yakin bahwa Allah melihatnya (HR. Muslim).⁽²⁾ Kesadaran ini hanya mungkin dimiliki oleh orang yang telah mencapai tingkatan ma‘rifat.

7.2.       Ma‘rifat Memunculkan Akhlak yang Luhur dan Adil

Ma‘rifat juga membentuk akhlak dan karakter yang luhur. Para sufi meyakini bahwa ketika seseorang mengenal Allah secara mendalam, maka ia juga akan memuliakan makhluk-Nya. Ma‘rifat membuat seseorang tawadhu’, lembut dalam berkata-kata, dan bijak dalam bertindak. Menurut Ibn ‘Atha’illah, ma‘rifat menghilangkan rasa sombong karena seorang ‘arif sadar bahwa segala kelebihan yang ia miliki adalah dari Allah semata.⁽³⁾

Dalam praktik sosial, hal ini tercermin pada sikap penuh kasih sayang, tidak mudah menghakimi, dan sabar dalam menghadapi ujian kehidupan. Seorang yang ma‘rifat tidak melihat manusia dari sisi lahiriah semata, tetapi dari sisi hakikatnya sebagai ciptaan Allah yang layak dihormati.

7.3.       Ma‘rifat sebagai Dasar Etika Kerja dan Tanggung Jawab Sosial

Di luar aspek ibadah, ma‘rifat juga mewarnai etika kerja dan tanggung jawab sosial. Seseorang yang telah mengenal Allah akan bekerja dengan amanah, menjauhi korupsi, dan tidak mengejar dunia dengan tamak, karena ia sadar bahwa rizki berasal dari Allah dan dunia hanyalah sarana, bukan tujuan.⁽⁴⁾

Seyyed Hossein Nasr menyebut bahwa salah satu dampak ma‘rifat dalam tataran modern adalah munculnya spiritual ecology, yakni kesadaran ekologis dan sosial yang berakar dari kesadaran terhadap kehadiran Ilahi dalam ciptaan.⁽⁵⁾ Hal ini menjadikan seorang ‘arif sebagai pribadi yang peduli terhadap lingkungan, keadilan, dan keseimbangan sosial.

7.4.       Ma‘rifat Mendidik Hati untuk Qana‘ah dan Sabar

Ma‘rifat juga berperan dalam membentuk ketenangan batin dan sikap qana‘ah (merasa cukup) dalam hidup. Ketika seseorang telah mengenal Allah sebagai al-Razzaq (Maha Pemberi Rizki) dan al-Hakim (Maha Bijaksana), maka ia tidak akan mudah gelisah oleh perubahan keadaan. Ia menerima takdir dengan penuh ridha, karena tahu bahwa setiap ketentuan adalah bagian dari rencana-Nya.⁽⁶⁾

Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa salah satu buah ma‘rifat adalah tercapainya thuma’ninah (ketenangan hati), yang membuat seorang sufi tetap tenang di tengah badai kehidupan.⁽⁷⁾ Ini menjadi modal penting dalam menghadapi dinamika dunia modern yang penuh tekanan dan persaingan.

7.5.       Ma‘rifat Sebagai Penangkal Fanatisme dan Ekstremisme

Dalam konteks sosial-keagamaan, ma‘rifat berperan sebagai penangkal terhadap fanatisme, radikalisme, dan eksklusivisme keagamaan. Orang yang telah mengenal Allah tidak mudah mengklaim bahwa hanya kelompoknya yang benar. Ia lebih memilih jalan cinta, hikmah, dan welas asih dalam berdakwah.⁽⁸⁾

Martin Lings, dalam karyanya What Is Sufism?, menyebut bahwa ma‘rifat menjadikan seseorang "beriman dengan hati yang lapang, bukan dengan pedang yang terhunus".⁽⁹⁾ Ini menunjukkan bahwa pengenalan kepada Allah menumbuhkan toleransi, bukan permusuhan.


Kesimpulan

Ma‘rifat bukanlah pengalaman mistik yang menjauhkan seseorang dari kehidupan dunia, melainkan menerangi seluruh aspeknya—dari ibadah pribadi, akhlak sosial, hingga kepedulian ekologis. Seorang ‘arif billāh tidak hidup di atas menara gading spiritual, tetapi menjadi pelita bagi sesama, karena hatinya dipenuhi cahaya Ilahi. Dalam dunia yang semakin kehilangan arah dan makna, ma‘rifat hadir sebagai fondasi spiritual yang kokoh untuk menciptakan tatanan hidup yang berkeadaban dan berketuhanan.


Footnotes

[1]                Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tasawwuf, ed. Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2002), 117.

[2]                Muslim ibn al-Hajjaj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitab al-Iman, no. 8.

[3]                Ibn ‘Atha’illah al-Iskandari, Al-Hikam, terj. Syekh Fudhail (Surabaya: Al-Hidayah, 1996), Hikmah no. 44.

[4]                Harun Nasution, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 79.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man (London: Unwin Paperbacks, 1968), 113.

[6]                William C. Chittick, The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings of Rumi (Albany: SUNY Press, 1983), 204.

[7]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 274–275.

[8]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 387.

[9]                Martin Lings, What Is Sufism? (Cambridge: Islamic Texts Society, 1999), 115.


8.           Tantangan dan Penyimpangan dalam Pemahaman Ma‘rifat

Meskipun ma‘rifat menempati posisi tertinggi dalam hirarki spiritual tasawuf, konsep ini juga menghadapi beragam tantangan dalam pemahaman dan implementasinya, baik dari sisi penyimpangan internal maupun kesalahpahaman eksternal. Karena sifatnya yang subtil dan berorientasi pada pengalaman ruhani yang mendalam, ma‘rifat kerap disalahpahami, dimanipulasi, bahkan dijadikan justifikasi bagi perilaku yang bertentangan dengan syariat. Oleh karena itu, ulama sufi secara historis menaruh perhatian serius terhadap fenomena ini.

8.1.       Penyimpangan: Mengklaim Ma‘rifat tanpa Syari‘at

Salah satu penyimpangan paling mendasar adalah klaim ma‘rifat tanpa melalui tahapan syari‘at dan thariqat. Beberapa kelompok atau individu mengaku telah mengenal Allah secara langsung (ma‘rifat) sehingga merasa tidak lagi terikat oleh kewajiban syariat seperti salat, puasa, atau hukum halal-haram. Sikap ini dikritik keras oleh para ulama sufi ortodoks, karena bertentangan dengan fondasi Islam yang menempatkan syari‘at sebagai pintu gerbang menuju ma‘rifat.

Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa tidak mungkin seseorang mencapai hakikat dan ma‘rifat tanpa terlebih dahulu menegakkan syari‘at secara utuh. Ia menulis:

مَن ظَنَّ أَنَّهُ يَصِلُ إِلَى المَعْرِفَةِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَعَمَلٍ، فَقَدِ اسْتَهْوَاهُ الشَّيْطَانُ، وَضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا.

Barangsiapa menyangka bahwa ia akan sampai kepada ma‘rifat tanpa ilmu dan amal, maka sungguh setan telah menyesatkannya, dan ia telah tersesat sejauh-jauhnya.”_¹

Demikian pula Syekh Abdul Qadir al-Jilani memperingatkan agar tidak terkecoh dengan bisikan ruhani yang mengajak keluar dari syariat. Dalam Futuh al-Ghaib, ia menekankan bahwa setiap ilham atau inspirasi ruhani yang bertentangan dengan hukum syari‘at adalah dari nafsu atau setan.²

8.2.       Klaim Ma‘rifat sebagai Jalan Kebebasan Moral

Dalam sejarah Islam, muncul pula paham ekstrem yang menggunakan istilah ma‘rifat untuk membenarkan kebebasan moral yang liar (antinomianisme), dengan alasan bahwa orang yang telah mengenal Allah tidak lagi membutuhkan aturan moral atau agama karena telah "menyatu" dengan Tuhan.³ Paham ini sering dikaitkan dengan kecenderungan hululiyah (paham penyatuan makhluk dengan Tuhan) atau ittihad (kesatuan wujud secara esensial).

Ibn Taymiyyah, meskipun bukan tokoh tasawuf, mengkritik keras kelompok yang mengklaim telah sampai pada ma‘rifat namun kemudian meninggalkan syariat. Ia menyebut mereka sebagai mulhidun (kaum sesat) yang menggunakan istilah-istilah sufi untuk menyamarkan penyimpangan akidah.⁴

8.3.       Kesalahpahaman Kalangan Awam terhadap Istilah Ma‘rifat

Tantangan lain adalah kesalahpahaman kalangan awam yang memahami ma‘rifat secara simplistis atau mistis-magis, seperti mengaitkannya dengan kemampuan supranatural, ilmu kebal, atau kemampuan membaca pikiran. Pemahaman ini jauh dari konsep ma‘rifat yang sejati sebagaimana dijelaskan para sufi klasik.

Menurut Nasr Hamid Abu Zayd, kesalahan pemahaman terhadap istilah tasawuf seperti ma‘rifat sering kali disebabkan oleh keterputusan antara teks klasik dan realitas sosial umat.⁵ Tanpa pemahaman metodologis dan bimbingan yang tepat, istilah-istilah luhur seperti ma‘rifat bisa mengalami deviasi makna.

8.4.       Tantangan dalam Konteks Modern: Reduksi Spiritualitas ke Psikologi

Dalam dunia modern, tantangan lain muncul dari reduksi ma‘rifat menjadi sekadar fenomena psikologis atau pengalaman psikis semata. Banyak pemikiran kontemporer yang memandang ma‘rifat bukan sebagai pengenalan ruhani kepada Allah, tetapi hanya sebagai bentuk pencapaian kesadaran diri (self-awareness) atau pengalaman transpersonal.

William C. Chittick mengkritik pendekatan ini karena mengabaikan dimensi transenden dan ilahiah dalam pengalaman sufi. Menurutnya, “To turn ma‘rifa into psychology is to remove its soul.”_⁶ Maka, penting untuk menjaga keseimbangan antara pendekatan rasional dan kesadaran akan dimensi sakral yang menyertai ma‘rifat.

8.5.       Solusi: Kembali kepada Pemahaman Ulama Sufi Klasik

Untuk menghadapi berbagai tantangan dan penyimpangan tersebut, kembali kepada sumber-sumber klasik tasawuf yang otoritatif menjadi langkah yang sangat penting. Ulama seperti Al-Ghazali, Al-Qusyairi, Al-Junayd, dan Ibn ‘Athaillah telah meletakkan kerangka metodologis yang ketat untuk menuntun para pencari jalan ruhani agar tidak tergelincir.

Mereka menekankan pentingnya mursyid (pembimbing spiritual), ketekunan dalam dzikir, pengamalan syari‘at, serta evaluasi terus-menerus terhadap nafsu dan ego. Dalam pandangan mereka, ma‘rifat tidak pernah menegasikan syari‘at, tetapi justru mengukuhkannya dengan makna yang lebih dalam.⁷


Kesimpulan

Ma‘rifat adalah maqām yang sangat luhur namun juga rentan terhadap penyalahgunaan. Oleh karena itu, pembahasan dan pemahaman terhadap ma‘rifat harus dilakukan dengan kehati-hatian, dengan bimbingan ilmiah dan spiritual dari para ulama sufi yang kredibel. Di tengah zaman yang rawan distorsi makna, menjaga orisinalitas pemahaman ma‘rifat adalah bagian dari menjaga kemurnian spiritualitas Islam.


Footnotes

[1]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 35–36.

[2]                Abdul Qadir al-Jilani, Futuh al-Ghaib (Beirut: Dar al-Fikr, 1982), Khutbah ke-1.

[3]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 329.

[4]                Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, Jilid 10 (Riyadh: Maktabah al-Rushd, 2004), 186–187.

[5]                Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics (Utrecht: Humanistics University Press, 2004), 102.

[6]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 419.

[7]                Abu al-Qasim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tasawwuf, ed. Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2002), 64–65.


9.           Penutup

Pembahasan tentang ma‘rifat dalam tasawuf Islam memperlihatkan betapa dalam dan agungnya kedudukan pengetahuan ruhani dalam tradisi spiritual Islam. Ma‘rifat bukan sekadar bentuk pengetahuan biasa, melainkan penyingkapan (kasyf) dan penyaksian batin (musyāhadah) terhadap realitas Ilahi yang tidak bisa dijangkau oleh akal semata. Ia adalah buah dari perjalanan spiritual yang melewati tahapan syari‘at, thariqat, dan hakikat, hingga akhirnya seorang hamba mencapai kesadaran eksistensial yang utuh terhadap kehadiran Allah.

Konsep ma‘rifat juga menunjukkan bahwa tujuan akhir kehidupan seorang Muslim bukan sekadar menjalankan ibadah secara lahiriah, tetapi mengalami kehadiran Allah secara batiniah—dalam dzikir, dalam diam, bahkan dalam aktivitas sehari-hari. Seperti ditegaskan oleh Imam Al-Ghazali, “ma‘rifat adalah cahaya dalam hati yang memancar dari kedekatan dengan Allah.”_¹ Hal ini menegaskan bahwa spiritualitas Islam bersifat holistik dan integral, tidak memisahkan antara lahir dan batin, antara ritual dan makna.

Namun demikian, pencapaian ma‘rifat bukan tanpa tantangan. Dalam lintasan sejarah, terdapat berbagai penyimpangan dalam memahami atau mengklaim ma‘rifat, mulai dari pengabaian terhadap syari‘at hingga munculnya tafsir-tafsir ekstrem seperti hulūl dan ittihād. Karena itu, para ulama sufi menekankan pentingnya pemahaman yang lurus, bersandar pada Al-Qur’an, hadits, serta bimbingan mursyid yang terpercaya.² Tanpa itu, ma‘rifat bisa menjadi alat kesesatan yang dibungkus dengan klaim spiritualitas palsu.

Di sisi lain, ma‘rifat juga memiliki relevansi yang tinggi dalam konteks kehidupan kontemporer. Dalam dunia yang terobsesi pada materialisme, kecepatan, dan kebisingan informasi, ma‘rifat menawarkan kesadaran batin, ketenangan jiwa, dan keintiman dengan Tuhan sebagai alternatif spiritual yang menyejukkan. Dalam konteks sosial, seorang ‘ārif diharapkan menjadi pribadi yang lembut, penuh kasih, beretika tinggi, dan menjunjung nilai-nilai universal Islam seperti keadilan, rahmah, dan amanah.³

Sebagai penutup, ma‘rifat adalah anugerah dari Allah yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang ikhlas, bersungguh-sungguh, dan terus-menerus membersihkan jiwanya dari noda duniawi. Ia tidak dicapai dengan ambisi intelektual, tetapi dengan kerendahan hati, kejujuran spiritual, dan cinta yang dalam kepada Allah.⁴ Seperti yang dikatakan oleh Ibn ‘Athaillah:

مَعرِفَةُ اللهِ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللهُ فِي الْقَلْبِ، لَا يُنَالُ بِالْتَعَلُّمِ وَلَا بِالْكَسْبِ، وَلَكِنْ بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ.

Ma‘rifat kepada Allah adalah cahaya yang Allah lemparkan ke dalam hati; tidak dapat diperoleh dengan belajar atau usaha, melainkan semata-mata karena karunia dan rahmat-Nya.”_⁵

Maka, semoga pemahaman terhadap ma‘rifat dalam tasawuf ini mampu menginspirasi umat Islam untuk tidak hanya berislam secara lahiriah, tetapi juga memperdalam dimensi batinnya. Dengan demikian, kehidupan yang dijalani akan lebih bermakna, penuh ketenangan, dan terhubung secara intim dengan Sang Pencipta.


Footnotes

[1]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 230.

[2]                Abu al-Qasim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tasawwuf, ed. Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2002), 64–65.

[3]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 390.

[4]                Harun Nasution, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 84.

[5]                Ibn ‘Atha’illah al-Iskandari, Al-Hikam, terj. Syekh Fudhail (Surabaya: Al-Hidayah, 1996), Hikmah no. 25.


Daftar Pustaka

Abu Zayd, N. H. (2004). Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics. Utrecht: Humanistics University Press.

Abun-Nasr, J. M. (2007). Muslim Communities of Grace: The Sufi Brotherhoods in Islamic Religious Life. New York: Columbia University Press.

Al-Ghazali, A. H. (2005). Ihya’ ‘Ulum al-Din (Vol. 3–4). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Jilani, A. Q. (1982). Futuh al-Ghaib. Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Qusyairi, A. Q. (2002). Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tasawwuf (A. H. Mahmud, Ed.). Kairo: Dar al-Ma‘arif.

Al-Razi, F. (1990). Tafsir al-Kabir. Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Tabari, M. J. (2000). Jami‘ al-Bayan fi Ta’wil Ay al-Qur’an (A. M. Shakir, Ed.). Kairo: Dar al-Ma‘arif.

Al-Qurtubi, A. M. (2006). Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an (Vol. 17). Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi.

Chittick, W. C. (1983). The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings of Rumi. Albany: State University of New York Press.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination. Albany: State University of New York Press.

Chittick, W. C. (2000). Sufism: A Short Introduction. Oxford: Oneworld Publications.

Ibn ‘Ajibah, A. (1981). Iqaz al-Himam fi Sharh al-Hikam. Kairo: Dar al-Turath al-Islami.

Ibn ‘Arabi, M. A. (2004). Futuhat al-Makkiyyah (O. Yahya, Ed.). Beirut: Dar Sadir.

Ibn ‘Atha’illah al-Iskandari. (1996). Al-Hikam (Syekh Fudhail, Trans.). Surabaya: Al-Hidayah.

Ibn Taymiyyah, A. H. (2004). Majmu‘ al-Fatawa (Vol. 10). Riyadh: Maktabah al-Rushd.

Kurdi, M. A. (1994). Tanwir al-Qulub fi Mu‘amalat ‘Allam al-Ghuyub. Beirut: Dar al-Fikr.

Lings, M. (1999). What Is Sufism? Cambridge: Islamic Texts Society.

Muslim ibn al-Hajjaj. (n.d.). Sahih Muslim.

Nasr, H. (1995). Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan.

Nasr, S. H. (1968). Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man. London: Unwin Paperbacks.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the Sacred. Albany: State University of New York Press.

Schimmel, A. (1975). Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: University of North Carolina Press.

Zarruq, A. (1993). Qawa‘id al-Tasawwuf (A. Q. ‘Isa, Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.

Wehr, H. (1994). A Dictionary of Modern Written Arabic (J. M. Cowan, Ed.). Urbana: Spoken Language Services.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar