Sastra dan Bahasa
Kajian Ekspresi Budaya melalui Struktur, Makna, dan
Estetika
Alihkan ke: Ilmu Humaniora.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang
peran dan kedudukan sastra dan bahasa sebagai sarana ekspresi budaya dalam perspektif
multidisipliner. Sastra diposisikan tidak hanya sebagai karya estetis,
melainkan sebagai representasi nilai-nilai sosial, historis, dan filosofis
masyarakat. Sementara itu, bahasa dianalisis sebagai sistem tanda yang
merefleksikan dan membentuk cara pandang kolektif melalui struktur, makna, dan
konteks penggunaannya. Artikel ini menguraikan berbagai pendekatan dalam studi
sastra dan bahasa, termasuk strukturalisme, fungsionalisme, sosiolinguistik,
poststrukturalisme, dan studi budaya, yang saling melengkapi dalam menyingkap
dinamika teks dan wacana. Tantangan seperti globalisasi, digitalisasi
komunikasi, dan marginalisasi bahasa lokal dihadirkan secara kritis, sekaligus
menyoroti peluang baru dalam pengembangan digital humanities dan
revitalisasi nilai-nilai lokal melalui inovasi metode dan kolaborasi keilmuan.
Penelitian ini menegaskan pentingnya peran strategis sastra dan bahasa dalam
membentuk masyarakat yang reflektif, inklusif, dan beradab.
Kata Kunci: Sastra, Bahasa, Ekspresi Budaya, Multidisipliner,
Strukturalisme, Sosiolinguistik, Studi Budaya, Digital Humanities, Identitas,
Nilai Sosial.
PEMBAHASAN
Sastra dan Bahasa dalam Perspektif Multidisipliner
1.
Pendahuluan
Sastra dan bahasa
merupakan dua entitas fundamental yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan
manusia. Keduanya bukan sekadar sarana komunikasi atau hiburan, melainkan juga
wahana ekspresi budaya, identitas kolektif, dan transformasi sosial. Dalam
sejarah peradaban, bahasa berfungsi sebagai medium penyampai makna, sedangkan
sastra menyusun dan menyampaikan makna itu dalam bentuk yang estetis,
reflektif, dan sering kali penuh imajinasi. Oleh karena itu, mempelajari sastra
dan bahasa tidak hanya menyentuh aspek linguistik atau filologis semata,
melainkan juga mencakup dimensi filosofis, antropologis, sosiologis, dan bahkan
politis.
Kajian tentang
bahasa telah mengalami perkembangan signifikan sejak masa Ferdinand de Saussure
yang memperkenalkan pendekatan strukturalis dalam linguistik. Ia memandang
bahasa sebagai sistem tanda yang terdiri dari signifier (penanda) dan signified
(petanda), yang tidak memiliki hubungan alamiah, melainkan arbitrer dan
konvensional dalam masyarakat tertentu.¹ Pandangan ini membuka jalan bagi
pendekatan-pendekatan baru dalam memahami bagaimana bahasa berfungsi dalam
membentuk kenyataan sosial, sebagaimana dikembangkan lebih lanjut oleh para
pemikir seperti Roland Barthes dan Noam Chomsky.
Sementara itu,
sastra dipandang sebagai cermin budaya yang tidak hanya merepresentasikan
realitas, tetapi juga membentuknya. Menurut Terry Eagleton, sastra merupakan
praktik ideologis yang turut mengonstruksi cara pandang masyarakat terhadap
dunia.² Sastra bukanlah dunia dalam dirinya sendiri, melainkan representasi
dari nilai, norma, konflik, dan impian kolektif masyarakat yang melahirkannya.
Dengan kata lain, sastra dan bahasa sama-sama menjadi instrumen kognitif dan
budaya yang membentuk peradaban manusia dari masa ke masa.
Dalam konteks
multidisipliner, kajian sastra dan bahasa menjadi sangat relevan karena mampu menjembatani
berbagai pendekatan keilmuan: dari humaniora, ilmu sosial, hingga ilmu
komunikasi. Pendekatan linguistik memungkinkan kita memahami struktur internal
bahasa; pendekatan sastra menawarkan pemahaman atas narasi dan imajinasi
kultural; sedangkan pendekatan antropologis menempatkan bahasa dan sastra
sebagai produk sekaligus agen budaya.³
Di era globalisasi
yang ditandai oleh percepatan informasi dan pergeseran nilai-nilai tradisional,
pemahaman mendalam terhadap bahasa dan sastra menjadi krusial. Ia tidak hanya
berfungsi sebagai sarana pemertahanan identitas budaya lokal di tengah
homogenisasi global, tetapi juga sebagai instrumen transformasi sosial dalam
membentuk masyarakat yang lebih reflektif dan beretika. Dengan demikian, kajian
sastra dan bahasa tidak sekadar menjadi kegiatan akademik, tetapi juga menjadi
tanggung jawab kultural dalam menjaga keberlanjutan warisan intelektual umat
manusia.
Footnotes
[1]
Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed.
Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin (New York: Philosophical
Library, 1959), 67–70.
[2]
Terry Eagleton, Literary Theory: An Introduction (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 2008), 5–7.
[3]
Dell Hymes, “The Ethnography of Speaking,” in Readings in the
Sociology of Language, ed. Joshua A. Fishman (The Hague: Mouton, 1968),
99–138.
2.
Hakikat Sastra dan Bahasa
Sastra dan bahasa
memiliki kedudukan istimewa dalam konstruksi budaya manusia. Keduanya merupakan
fondasi utama dalam proses komunikasi, penciptaan makna, dan pembentukan
identitas kolektif. Namun, untuk memahami keduanya secara mendalam, penting
untuk mengkaji hakikat ontologis dan epistemologis dari sastra dan bahasa, baik
dari segi definisi, fungsi, maupun interrelasinya dalam dinamika sosial.
2.1.
Definisi dan Esensi
Bahasa
Bahasa adalah sistem
lambang yang arbitrer dan konvensional, digunakan manusia untuk menyampaikan
pikiran, perasaan, dan nilai-nilai dalam suatu komunitas. Definisi ini berpijak
pada pendekatan struktural yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure, yang
menekankan bahwa bahasa terdiri atas struktur internal (langue)
dan praktik nyata dalam penggunaannya (parole).¹ Bahasa tidak hanya
sekadar alat komunikasi, melainkan juga sistem kognitif yang memungkinkan
manusia memahami dan mengonstruksi dunia.²
Di luar pendekatan
struktural, linguistik modern juga menempatkan bahasa sebagai tindakan sosial
yang membentuk dan dibentuk oleh konteks. Pendekatan pragmatik dan
sosiolinguistik menekankan bahwa makna dalam bahasa tidak bersifat tetap,
melainkan kontekstual dan dinamis.³ Dengan demikian, bahasa menjadi medan
interaksi antara struktur dan agensi dalam masyarakat.
2.2.
Definisi dan Esensi
Sastra
Sastra, dalam
pengertian luas, adalah ekspresi estetis dan imajinatif dari pengalaman manusia
melalui bahasa. Roman Jakobson mengemukakan bahwa fungsi puitik dalam bahasa
menjadi ciri khas utama dari karya sastra, yakni fokus pada pesan itu sendiri
dan bagaimana ia dikonstruksi secara estetis.⁴ Sastra tidak hanya menarasikan
realitas, melainkan menciptakan realitas baru yang sarat dengan nilai-nilai
ideologis, psikologis, dan kultural.
Dalam konteks
sejarah pemikiran sastra, berbagai pendekatan muncul untuk menjelaskan hakikat
karya sastra: pendekatan formalistik memandangnya sebagai struktur otonom yang
harus dianalisis dari dalam; pendekatan sosiologis memandangnya sebagai
refleksi masyarakat; sedangkan pendekatan poststrukturalis menekankan
ketidakstabilan makna dalam teks.⁵ Semua pendekatan ini menunjukkan bahwa
sastra merupakan medan kompleks tempat makna dinegosiasikan secara
terus-menerus.
2.3.
Relasi Sastra dan
Bahasa
Sastra tidak mungkin
hadir tanpa bahasa, namun bahasa dalam karya sastra mengalami transformasi dari
fungsi komunikatif biasa menjadi fungsi estetis dan simbolik. Dalam karya
sastra, bahasa dimanfaatkan bukan semata-mata untuk menyampaikan informasi,
tetapi juga untuk membangkitkan emosi, menciptakan imaji, dan menyampaikan
gagasan secara implisit dan multiinterpretatif.⁶
Relasi antara sastra
dan bahasa bersifat dialektis: sastra memperkaya bentuk dan makna bahasa,
sementara bahasa menyediakan medium bagi ekspresi sastra. Oleh karena itu,
studi sastra tidak dapat dilepaskan dari kajian linguistik, begitu pula
sebaliknya, studi bahasa menjadi semakin kaya ketika digunakan untuk
menganalisis teks-teks sastra yang kompleks dan kaya makna.
2.4.
Bahasa sebagai Sistem
Tanda dan Sastra sebagai Wahana Budaya
Dalam teori
semiotika, bahasa merupakan sistem tanda yang diinterpretasikan dalam konteks
budaya tertentu. Roland Barthes mengembangkan pandangan bahwa bahasa, termasuk
dalam bentuk sastranya, bukan hanya menyampaikan makna denotatif, tetapi juga
makna konotatif yang sarat ideologi.⁷ Sastra kemudian berfungsi sebagai wahana
budaya, karena ia mengandung nilai-nilai, pandangan dunia, dan konstruksi
sosial yang hidup dalam masyarakat.
Sastra dan bahasa
menjadi penjaga sekaligus penggerak budaya. Melalui karya sastra, bahasa
mengalami pelestarian dan inovasi; melalui bahasa, nilai-nilai budaya
ditransmisikan dan diinterpretasi ulang lintas generasi. Dengan demikian,
memahami hakikat sastra dan bahasa adalah memahami dinamika hidup manusia dalam
kebudayaannya.
Footnotes
[1]
Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed.
Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin (New York: Philosophical
Library, 1959), 9–15.
[2]
Steven Pinker, The Language Instinct: How the Mind Creates Language
(New York: Harper Perennial, 2007), 18–20.
[3]
Deborah Tannen, Talking Voices: Repetition, Dialogue, and Imagery
in Conversational Discourse (Cambridge: Cambridge University Press, 2007),
12–14.
[4]
Roman Jakobson, “Linguistics and Poetics,” in Style in Language,
ed. Thomas A. Sebeok (Cambridge, MA: MIT Press, 1960), 350–377.
[5]
Terry Eagleton, Literary Theory: An Introduction (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 2008), 45–61.
[6]
Jonathan Culler, Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics
and the Study of Literature (London: Routledge, 2002), 28–34.
[7]
Roland Barthes, Mythologies, trans. Annette Lavers (New York:
Hill and Wang, 1972), 114–118.
3.
Kajian Sastra: Bentuk, Fungsi, dan Nilai
Kajian sastra
merupakan salah satu ranah penting dalam studi humaniora karena mengkaji
ekspresi simbolik manusia yang paling kompleks: karya sastra. Sastra tidak
hanya hadir sebagai karya artistik, melainkan juga sebagai konstruksi sosial,
kultural, dan filosofis yang mencerminkan dan membentuk pengalaman manusia
dalam sejarah. Pemahaman tentang bentuk, fungsi, dan nilai sastra memungkinkan
kita mengapresiasi kekayaan budaya serta kompleksitas kehidupan yang
diartikulasikan melalui bahasa estetis.
3.1.
Bentuk-bentuk Karya
Sastra
Karya sastra hadir
dalam beragam bentuk dan medium. Secara umum, sastra diklasifikasikan ke dalam
tiga genre utama: prosa, puisi,
dan drama.
Prosa adalah bentuk naratif yang paling fleksibel dan luas digunakan dalam novel,
cerpen, esai, dan bentuk naratif lainnya. Ia memungkinkan penggambaran realitas
dengan detail dan keragaman perspektif.¹
Puisi, di sisi lain,
merupakan bentuk yang sangat padat dan sarat makna, menggunakan struktur
ritmis, metafora, dan simbol untuk membangun efek estetis dan emosional.
Menurut Wellek dan Warren, puisi menciptakan dunia melalui bahasa yang
dipadatkan, diintensifkan, dan diorganisir secara musikal.² Sementara itu,
drama menggabungkan unsur naratif dan performatif, dengan struktur dialog dan
aksi yang dirancang untuk dipentaskan.
Dalam konteks sastra
lisan, seperti dongeng, mitos, legenda, atau pantun, bentuknya tidak terikat
pada konvensi tertulis, tetapi pada pola oral, repetisi, dan partisipasi
kolektif.³ Sastra lisan menjadi medium penting dalam masyarakat tradisional
untuk mentransmisikan nilai dan pengetahuan.
3.2.
Fungsi Sastra
Sastra memiliki
berbagai fungsi dalam kehidupan sosial dan budaya. Salah satu fungsi utamanya
adalah sebagai media ekspresi: pengarang
mengartikulasikan pengalaman subjektif, realitas sosial, atau visi moral
melalui struktur naratif atau puitik.⁴ Selain itu, sastra berfungsi sebagai sarana
refleksi, memungkinkan pembaca mengevaluasi realitas dari sudut
pandang yang berbeda melalui imajinasi dan perenungan.
Fungsi edukatif juga
melekat dalam sastra. Banyak karya sastra klasik maupun kontemporer
menyampaikan pesan moral, nilai-nilai kemanusiaan, dan kritik sosial yang kuat.
Karya seperti To Kill a Mockingbird oleh Harper
Lee, misalnya, tidak hanya bernilai estetis, tetapi juga menjadi kritik
terhadap rasisme dan ketidakadilan hukum.⁵
Fungsi lainnya
adalah fungsi
ideologis: sastra dapat menjadi wahana penyebaran ideologi,
baik untuk mendukung kekuasaan atau sebagai alat resistensi. Dalam teori sastra
Marxis, sastra dilihat sebagai medan ideologis yang merefleksikan dan
mempertarungkan kepentingan kelas-kelas sosial.⁶
3.3.
Nilai-nilai dalam
Sastra
Karya sastra
mengandung nilai-nilai yang mencerminkan dan mengarahkan orientasi budaya
masyarakat. Nilai historis tampak dalam cara
sastra mendokumentasikan realitas masa lalu, seperti dalam roman sejarah atau
epik tradisional. Sastra seperti Sitti Nurbaya atau Tenggelamnya
Kapal van der Wijck tidak hanya mencerminkan zaman, tetapi juga
menjadi artefak sejarah yang kaya interpretasi.⁷
Nilai
moral dan religius juga sering muncul dalam sastra, baik secara
eksplisit maupun implisit. Banyak karya puisi sufi, seperti yang ditulis oleh
Jalaluddin Rumi, memadukan spiritualitas dan estetika dalam bentuk yang indah
dan reflektif.⁸
Sastra juga memuat nilai
filosofis, ketika ia menggali makna hidup, identitas,
eksistensi, dan kebebasan. Dalam hal ini, sastra bersinggungan erat dengan
filsafat, seperti terlihat dalam karya-karya Albert Camus atau Fyodor
Dostoevsky.
Akhirnya, nilai
estetis merupakan karakteristik khas sastra. Estetika sastra
tidak hanya terkait dengan keindahan formal, tetapi juga dengan kedalaman
makna, simbolisme, dan kemampuan membangkitkan pengalaman emosional yang
mendalam.⁹
Footnotes
[1]
M.H. Abrams, A Glossary of Literary Terms, 7th ed. (Boston:
Heinle & Heinle, 1999), 169–171.
[2]
René Wellek and Austin Warren, Theory of Literature (New York:
Harcourt, Brace and Company, 1949), 146–149.
[3]
Ruth Finnegan, Oral Literature in Africa (Oxford: Oxford
University Press, 1970), 30–32.
[4]
Terry Eagleton, The Event of Literature (New Haven: Yale
University Press, 2012), 11–14.
[5]
Harper Lee, To Kill a Mockingbird (New York: Harper Perennial,
2006).
[6]
Raymond Williams, Marxism and Literature (Oxford: Oxford
University Press, 1977), 55–58.
[7]
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1988), 192–194.
[8]
Annemarie Schimmel, The Triumphal Sun: A Study of the Works of
Jalaloddin Rumi (Albany: SUNY Press, 1993), 74–76.
[9]
Jonathan Culler, Literary Theory: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 1997), 16–18.
4.
Kajian Bahasa: Struktur, Makna, dan Konteks
Bahasa merupakan
sistem tanda yang kompleks dan multifungsi. Ia tidak hanya menjadi alat
komunikasi, tetapi juga medium representasi dunia, pembentuk identitas, dan
sarana interpretasi budaya. Oleh karena itu, kajian terhadap bahasa tidak dapat
dibatasi pada satu pendekatan atau dimensi semata. Untuk memahami bahasa secara
utuh, perlu ditinjau dari aspek strukturnya (bagaimana bahasa dibentuk), aspek maknanya
(apa yang dimaksudkan), dan konteksnya (di mana dan bagaimana ia digunakan).
4.1.
Struktur Bahasa:
Tataran dan Unsur Pembentuk
Struktur bahasa
merujuk pada elemen-elemen formal yang menyusun sistem bahasa, seperti fonologi
(bunyi), morfologi (bentuk kata), sintaksis (struktur kalimat), semantik
(makna), dan pragmatik (penggunaan dalam konteks). Pendekatan strukturalisme
linguistik, sebagaimana dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure, melihat bahasa
sebagai sistem relasional, di mana elemen-elemen memperoleh makna melalui
hubungan diferensial dalam sistem tersebut.¹
Struktur fonologis
menentukan bagaimana bunyi-bunyi dikombinasikan untuk menghasilkan ujaran yang
dapat dikenali. Morfologi mengkaji pembentukan kata melalui proses afiksasi,
reduplikasi, dan konversi. Sintaksis menelaah aturan penyusunan kata menjadi
frasa dan kalimat yang bermakna.² Kajian terhadap struktur ini penting untuk
memahami bagaimana bahasa bekerja secara sistematis sebagai alat komunikasi dan
konstruksi makna.
4.2.
Makna Bahasa: Denotasi,
Konotasi, dan Representasi
Makna dalam bahasa
tidak pernah bersifat netral. Ia selalu terikat pada sistem simbolik dan
nilai-nilai budaya masyarakat yang menggunakannya. Secara umum, makna terbagi
menjadi denotatif (makna literal atau
leksikal) dan konotatif (makna tambahan yang
bersifat emosional, ideologis, atau kultural).³ Misalnya, kata rumah
secara denotatif merujuk pada bangunan tempat tinggal, namun secara konotatif
bisa bermakna kehangatan, keluarga, atau bahkan keterikatan emosional.
Dalam konteks kajian
kritis, seperti yang dikembangkan oleh Roland Barthes dan para pemikir
poststrukturalis, bahasa juga dipahami sebagai sistem representasi yang tidak
netral. Bahasa tidak hanya merepresentasikan realitas, tetapi juga membentuk
cara pandang terhadap realitas tersebut.⁴ Oleh karena itu, analisis makna dalam
bahasa sering kali membuka tabir ideologi tersembunyi, bias sosial, atau
konstruksi kuasa dalam masyarakat.
4.3.
Konteks Bahasa:
Situasi, Relasi Sosial, dan Identitas Budaya
Bahasa selalu
digunakan dalam konteks tertentu, dan konteks tersebut sangat menentukan makna
serta cara penggunaan bahasa. Pendekatan pragmatik dalam linguistik
menekankan pentingnya memahami situasi tuturan, termasuk maksud pembicara,
hubungan sosial antara partisipan, dan latar budaya pembicaraan.⁵ Konsep
seperti speech
acts (tindakan tutur), implicature (makna tersirat), dan presupposition
(praanggapan) menjadi perangkat penting dalam memahami bagaimana bahasa
berfungsi secara nyata dalam interaksi sosial.
Selain itu,
pendekatan sosiolinguistik menyoroti
bagaimana variasi bahasa mencerminkan struktur sosial. Faktor seperti kelas
sosial, gender, usia, pendidikan, dan etnisitas dapat memengaruhi dialek,
register, dan pilihan bahasa.⁶ Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga
simbol status sosial, solidaritas, atau eksklusi.
Dalam ranah
antropologi linguistik, bahasa dipandang sebagai ekspresi budaya yang tidak
dapat dipisahkan dari sistem kepercayaan, praktik simbolik, dan struktur nilai
suatu masyarakat. Dell Hymes mengembangkan pendekatan ethnography
of speaking untuk memahami bahwa setiap masyarakat memiliki
aturan-aturan khusus dalam penggunaan bahasa yang merefleksikan struktur sosial
dan nilai budayanya.⁷
Dengan demikian,
memahami bahasa tidak cukup hanya melalui struktur atau makna literalnya,
tetapi harus dilengkapi dengan pemahaman konteks pemakaiannya. Dalam bahasa,
terdapat jejak budaya, relasi kuasa, ideologi, dan identitas yang saling
bersilangan.
Footnotes
[1]
Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed.
Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin (New York: Philosophical
Library, 1959), 36–38.
[2]
Victoria Fromkin, Robert Rodman, and Nina Hyams, An Introduction to
Language, 11th ed. (Boston: Cengage Learning, 2017), 65–90.
[3]
Geoffrey Leech, Semantics: The Study of Meaning, 2nd ed.
(Harmondsworth: Penguin Books, 1981), 9–11.
[4]
Roland Barthes, Elements of Semiology, trans. Annette Lavers
and Colin Smith (New York: Hill and Wang, 1977), 45–52.
[5]
Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1983), 5–12.
[6]
Ronald Wardhaugh and Janet Fuller, An Introduction to
Sociolinguistics, 7th ed. (Chichester: Wiley-Blackwell, 2015), 2–6.
[7]
Dell Hymes, “The Ethnography of Speaking,” in Readings in the
Sociology of Language, ed. Joshua A. Fishman (The Hague: Mouton, 1968),
99–138.
5.
Sastra dan Bahasa sebagai Sarana Ekspresi
Budaya
Bahasa dan sastra
adalah dua instrumen utama dalam mengekspresikan budaya. Melalui keduanya,
manusia tidak hanya menyampaikan gagasan, tetapi juga menstrukturkan pengalaman
hidup, meneguhkan identitas, dan mentransmisikan nilai-nilai budaya dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Dalam kerangka multidisipliner, bahasa dan
sastra bukan hanya fenomena linguistik atau estetis semata, tetapi juga
merupakan medan simbolik yang merepresentasikan realitas sosial, historis, dan
spiritual suatu masyarakat.
5.1.
Bahasa sebagai Cermin
Struktur Berpikir Budaya
Bahasa tidak netral;
ia dibentuk oleh dan sekaligus membentuk budaya. Pendekatan relativisme
linguistik atau hipotesis Sapir-Whorf
menunjukkan bahwa struktur bahasa memengaruhi cara manusia memahami dunia.¹
Misalnya, dalam bahasa Hopi (penduduk asli Amerika), konsep waktu sangat
berbeda dari konsep waktu dalam bahasa Inggris, yang menunjukkan bagaimana
bahasa mencerminkan struktur kognitif budaya tertentu.
Melalui bahasa,
nilai-nilai seperti hierarki sosial, gender, kekerabatan, dan kepercayaan
diekspresikan dan disistematisasi.² Oleh karena itu, mempelajari bahasa berarti
menggali cara suatu masyarakat berpikir, menafsirkan dunia, dan berinteraksi
secara sosial. Dalam konteks ini, bahasa menjadi "peta dunia"
yang bersifat budaya.
5.2.
Sastra sebagai Narasi
Kolektif Masyarakat
Sastra bukan hanya
ekspresi individual, melainkan juga representasi kolektif masyarakat. Ia menjadi
wahana untuk merumuskan, merayakan, atau bahkan menggugat nilai-nilai dominan
dalam masyarakat. Clifford Geertz menyebut kebudayaan sebagai "sistem
makna yang diwariskan" dan dalam konteks ini, sastra berperan sebagai
bentuk konkret dari sistem makna tersebut.³
Karya sastra seperti
epik, legenda, hikayat, maupun novel modern mengandung nilai-nilai moral,
sejarah, dan identitas kolektif. Misalnya, epos Mahabharata dan Ramayana
tidak hanya berisi cerita, tetapi juga membentuk kerangka etika, konsep kepemimpinan,
serta gambaran relasi sosial dalam masyarakat Hindu.⁴ Demikian pula,
karya-karya sastra lokal seperti La Galigo atau Serat
Centhini merefleksikan pandangan hidup dan sistem nilai masyarakat
Nusantara.
5.3.
Kajian Etnografi
Komunikasi dan Narasi Budaya Lokal
Dalam pendekatan
etnografi komunikasi, penggunaan bahasa dan narasi dilihat sebagai bagian
integral dari praktik budaya yang terstruktur. Dell Hymes mengemukakan bahwa
setiap masyarakat memiliki rules of speaking yang mencerminkan
pola relasi sosial dan norma budaya tertentu.⁵ Dengan demikian, baik bahasa
lisan maupun tulisan menjadi sarana pelestarian identitas budaya dan struktur
sosial.
Sastra lisan —
seperti pantun, peribahasa, atau cerita rakyat — tidak sekadar hiburan, tetapi
juga perangkat edukatif dan normatif dalam masyarakat.⁶ Misalnya, pantun Melayu
menyiratkan nilai kesantunan, kehati-hatian dalam berkomunikasi, serta
kecintaan terhadap alam dan hubungan sosial yang harmonis.
Dalam konteks
globalisasi yang mengancam homogenisasi budaya, karya-karya sastra lokal dan
bentuk-bentuk bahasa daerah memiliki peran strategis dalam menjaga keragaman
budaya dan memperkuat jati diri lokal di tengah arus modernisasi.⁷
5.4.
Kasus-kasus
Representatif dari Ekspresi Budaya melalui Sastra dan Bahasa
Contoh konkret dari
ekspresi budaya melalui sastra dan bahasa dapat ditemukan dalam berbagai
tradisi. Dalam budaya Jawa, penggunaan bahasa tingkat (unggah-ungguh)
merefleksikan sistem hierarki sosial dan etika dalam berkomunikasi.⁸ Dalam
sastra Sunda, tembang-tembang seperti Sinom dan Kinanthi
tidak hanya menekankan keindahan bahasa, tetapi juga menyampaikan ajaran hidup
dan kesalehan.
Di sisi lain, dalam
konteks sastra modern, penulis seperti Pramoedya Ananta Toer telah memanfaatkan
bahasa sebagai instrumen kritik sosial. Melalui tetralogi Buru,
ia tidak hanya menggambarkan sejarah kolonialisme, tetapi juga menantang narasi
sejarah dominan dan membuka ruang bagi perspektif rakyat kecil.⁹
Dengan demikian,
bahasa dan sastra bukan hanya media pasif dari budaya, tetapi juga agen aktif
yang membentuk, memelihara, dan menegosiasikan budaya dalam dinamika sejarah
dan sosial.
Footnotes
[1]
Edward Sapir, Language: An Introduction to the Study of Speech
(New York: Harcourt, Brace and Company, 1921), 209–211.
[2]
Benjamin Lee Whorf, “The Relation of Habitual Thought and Behavior to
Language,” in Language, Thought, and Reality: Selected Writings of Benjamin
Lee Whorf, ed. John B. Carroll (Cambridge, MA: MIT Press, 1956), 134–159.
[3]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York:
Basic Books, 1973), 89–90.
[4]
Alf Hiltebeitel, Rethinking the Mahabharata: A Reader's Guide to
the Education of the Dharma King (Chicago: University of Chicago Press,
2001), 3–4.
[5]
Dell Hymes, “Models of the Interaction of Language and Social Life,” in
Directions in Sociolinguistics, ed. John Gumperz and Dell Hymes (New
York: Holt, Rinehart, and Winston, 1972), 35–71.
[6]
Ruth Finnegan, Oral Poetry: Its Nature, Significance, and Social
Context (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 15–17.
[7]
Ngugi wa Thiong’o, Decolonising the Mind: The Politics of Language
in African Literature (London: James Currey, 1986), 4–6.
[8]
Benedict Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures
in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1990), 111–113.
[9]
Pramoedya Ananta Toer, This Earth of Mankind, trans. Max Lane
(New York: Penguin Books, 1996), ix–xii.
6.
Pendekatan Multidisipliner dalam Studi Sastra
dan Bahasa
Kajian terhadap
sastra dan bahasa tidak dapat dipahami secara utuh tanpa melibatkan pendekatan
dari berbagai disiplin ilmu. Kompleksitas sastra sebagai ekspresi estetis dan
budaya, serta bahasa sebagai sistem sosial dan simbolik, menuntut analisis
lintas disiplin. Pendekatan multidisipliner membuka ruang bagi interpretasi
yang lebih kaya terhadap karya sastra dan praktik berbahasa, karena mengaitkan
unsur linguistik, sosiologis, psikologis, filosofis, antropologis, dan bahkan
politis dalam satu bingkai pemahaman yang integral.
6.1.
Pendekatan Linguistik:
Struktural, Fungsional, dan Generatif
Dalam studi sastra
dan bahasa, pendekatan linguistik klasik seperti strukturalisme
memberikan fondasi awal dengan memandang bahasa sebagai sistem tanda yang
memiliki struktur internal. Ferdinand de Saussure menekankan pentingnya melihat
hubungan antarunsur dalam bahasa, bukan hanya elemen itu sendiri.¹ Pendekatan
ini sangat berpengaruh dalam analisis puisi dan prosa, khususnya dalam
mengidentifikasi pola bunyi, makna, dan bentuk.
Berikutnya,
pendekatan fungsional seperti yang
dikembangkan oleh Michael Halliday dalam Systemic Functional Linguistics
melihat bahasa sebagai alat sosial untuk menyampaikan makna dalam konteks
tertentu.² Hal ini sangat penting dalam menganalisis teks sastra dalam
kaitannya dengan fungsi interpersonal, ideasional, dan tekstual.
Sementara itu, linguistik
generatif yang dipelopori oleh Noam Chomsky mengkaji struktur
batiniah bahasa manusia dan kompetensi gramatikal penutur.³ Meskipun lebih
bersifat teoretis, pendekatan ini berkontribusi dalam memahami kemampuan
kreatif manusia dalam membentuk ujaran dan menciptakan variasi ekspresi dalam
sastra.
6.2.
Pendekatan Sastra:
Formalistik, Historis, Sosiologis, dan Poststrukturalis
Dalam studi sastra,
beragam pendekatan digunakan untuk memahami karya secara menyeluruh. Pendekatan
formalistik, yang menekankan pada analisis unsur intrinsik
seperti plot, tokoh, gaya bahasa, dan tema, menjadi dasar kajian estetika
karya.⁴
Pendekatan
historis mengaitkan karya sastra dengan konteks zamannya, baik
sejarah penulis maupun kondisi sosial-politik saat teks diciptakan. Misalnya,
kritik sastra historis terhadap puisi-puisi Chairil Anwar memperlihatkan
bagaimana ekspresi individualisme dan eksistensialisme berakar pada pergolakan
zaman kolonial dan pascakemerdekaan.⁵
Pendekatan
sosiologis menempatkan sastra sebagai produk sosial yang
merefleksikan dan mempengaruhi masyarakat. Lucien Goldmann menyatakan bahwa
struktur karya sastra mencerminkan struktur kesadaran kolektif kelas sosial
tertentu.⁶
Adapun pendekatan
poststrukturalis dan dekonstruktif, yang dikembangkan oleh
Jacques Derrida, menggarisbawahi ketidakstabilan makna dalam teks dan membuka
ruang pembacaan plural.⁷ Ini memungkinkan teks sastra ditafsirkan berulang kali
dalam berbagai konteks budaya dan ideologis.
6.3.
Integrasi dengan Ilmu
Budaya, Antropologi, dan Komunikasi
Dalam era
kontemporer, studi sastra dan bahasa semakin diwarnai oleh pendekatan cultural
studies yang menekankan pentingnya membaca teks dalam kerangka
relasi kuasa, identitas, dan ideologi. Menurut Stuart Hall, teks (termasuk teks
sastra) adalah situs pergelutan makna yang bersifat dinamis dan politis.⁸
Pendekatan antropologi
budaya juga berperan besar, khususnya dalam studi sastra lisan
dan bahasa daerah. Clifford Geertz, dalam The Interpretation of Cultures,
menempatkan narasi sebagai bentuk simbolik dari makna budaya yang lebih luas.⁹
Melalui metode etnografi, sastra dan bahasa dilihat sebagai ritual simbolik
yang merefleksikan struktur kehidupan masyarakat.
Selain itu,
pendekatan komunikasi memandang teks
sebagai proses produksi dan resepsi makna yang dipengaruhi oleh media,
institusi, dan audiens. Hal ini sangat relevan dalam konteks sastra digital,
media sosial, dan adaptasi sastra ke dalam bentuk audiovisual.
6.4.
Relevansi Teori Sastra
dan Bahasa dalam Konteks Pendidikan dan Budaya Kontemporer
Pendekatan
multidisipliner dalam studi sastra dan bahasa tidak hanya memperluas horizon
keilmuan, tetapi juga memperkuat relevansi pendidikan bahasa dan sastra dalam
konteks kontemporer. Pemahaman lintas bidang memungkinkan siswa dan peneliti
untuk melihat keterkaitan antara teks dan kehidupan nyata, antara ekspresi dan
struktur sosial, antara bahasa dan kekuasaan.
Lebih jauh,
pendekatan ini dapat berkontribusi pada pembangunan budaya literasi, penguatan
identitas lokal dalam bingkai global, serta pelestarian keragaman linguistik
dan sastra yang semakin terancam oleh dominasi budaya populer dan arus
globalisasi.¹⁰
Footnotes
[1]
Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed.
Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin (New York: Philosophical
Library, 1959), 9–12.
[2]
M.A.K. Halliday, Language as Social Semiotic: The Social
Interpretation of Language and Meaning (London: Edward Arnold, 1978),
31–45.
[3]
Noam Chomsky, Syntactic Structures (The Hague: Mouton, 1957),
13–17.
[4]
Cleanth Brooks, The Well Wrought Urn: Studies in the Structure of
Poetry (New York: Harcourt, Brace & World, 1947), 5–9.
[5]
A. Teeuw, Sastra Indonesia Modern II (Jakarta: Pustaka Jaya,
1989), 88–90.
[6]
Lucien Goldmann, Towards a Sociology of the Novel, trans. Alan
Sheridan (London: Tavistock Publications, 1975), 23–25.
[7]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 158–162.
[8]
Stuart Hall, “Encoding/Decoding,” in Culture, Media, Language,
ed. Stuart Hall et al. (London: Routledge, 1980), 128–138.
[9]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York:
Basic Books, 1973), 412–415.
[10]
Henry A. Giroux, Theory and Resistance in Education: A Pedagogy for
the Opposition (Westport: Bergin & Garvey, 2001), 102–105.
7.
Tantangan dan Prospek Studi Sastra dan Bahasa
di Era Modern
Studi sastra dan
bahasa di era modern menghadapi berbagai tantangan yang kompleks, seiring
dengan berkembangnya teknologi informasi, globalisasi budaya, dan pergeseran
paradigma keilmuan. Di sisi lain, era ini juga membuka prospek baru yang
menjanjikan bagi pengembangan studi lintas bidang dan inovasi metode dalam
analisis karya sastra dan fenomena kebahasaan. Menghadapi masa depan, penting
bagi studi sastra dan bahasa untuk tidak hanya bertahan sebagai kajian
akademik, tetapi juga berperan aktif dalam dinamika sosial, budaya, dan
pendidikan.
7.1.
Tantangan:
Homogenisasi Budaya dan Digitalisasi Komunikasi
Salah satu tantangan
utama adalah homogenisasi budaya akibat globalisasi,
yang sering kali menyebabkan terpinggirkannya bahasa dan sastra lokal.
Bahasa-bahasa minoritas menghadapi ancaman kepunahan karena digantikan oleh
bahasa global yang dominan seperti Inggris, Mandarin, atau Spanyol.¹ UNESCO
mencatat bahwa lebih dari 40% dari 6.000 bahasa di dunia terancam punah karena
tidak lagi digunakan dalam komunikasi antargenerasi.²
Dalam konteks
sastra, dominasi budaya populer yang didorong oleh industri hiburan global juga
menggeser perhatian masyarakat dari karya-karya sastra bernilai tinggi ke
bentuk-bentuk narasi yang lebih ringan dan konsumtif.³ Fenomena ini berdampak
pada berkurangnya minat baca terhadap karya sastra klasik dan kontemporer yang
kompleks, serta mengancam keberlanjutan ekosistem kesusastraan nasional.
Digitalisasi
komunikasi juga mengubah cara manusia berbahasa dan berinteraksi. Media sosial,
aplikasi pesan instan, dan platform daring mendorong gaya bahasa yang serba
cepat, ringkas, dan penuh simbol, yang sering kali mengabaikan tata bahasa baku
dan kedalaman ekspresi.⁴ Perubahan ini menantang studi linguistik dan
pendidikan bahasa untuk terus beradaptasi tanpa kehilangan kualitas keilmuan
dan etika berbahasa.
7.2.
Tantangan
Institusional dan Kurikuler
Studi sastra dan
bahasa di lembaga pendidikan sering kali terpinggirkan oleh orientasi
pendidikan yang lebih pragmatis dan berbasis pada pasar kerja. Di banyak negara
berkembang, termasuk Indonesia, mata pelajaran bahasa dan sastra cenderung
dikurangi porsinya dalam kurikulum demi mengejar peningkatan capaian STEM
(Science, Technology, Engineering, Mathematics).⁵ Akibatnya, nilai-nilai
humaniora yang terkandung dalam kajian sastra dan bahasa kehilangan ruang
artikulasinya di ruang pendidikan formal.
Selain itu, terbatasnya
dana penelitian dan rendahnya publikasi ilmiah di bidang sastra dan linguistik
menjadi hambatan dalam pengembangan pengetahuan dan kompetensi akademik di
tingkat global. Hal ini menuntut peningkatan kebijakan afirmatif untuk
mendukung riset multidisipliner yang berkelanjutan.
7.3.
Prospek: Inovasi
Metode, Kolaborasi Ilmu, dan Revitalisasi Budaya
Meskipun menghadapi
tantangan, studi sastra dan bahasa juga memiliki peluang besar dalam era
modern. Kemajuan teknologi digital membuka ruang bagi pengembangan
humaniora digital (digital humanities) yang memungkinkan
analisis teks dengan bantuan perangkat lunak canggih seperti korpus linguistik,
perangkat leksikografi digital, dan kecerdasan buatan.⁶ Teknologi ini
memperkaya metode analisis dan memungkinkan eksplorasi data teks dalam skala
besar.
Lebih lanjut, kolaborasi
multidisipliner antara ilmu bahasa dan sastra dengan bidang
lain seperti antropologi, filsafat, psikologi, media studies, bahkan artificial
intelligence, membuka perspektif baru dalam memahami teks dan bahasa sebagai
fenomena sosial dan kultural.⁷ Pendekatan interdisipliner ini meningkatkan
relevansi kajian bahasa dan sastra dalam menjawab persoalan kontemporer seperti
identitas, inklusivitas, ekologi, dan konflik sosial.
Di ranah kebudayaan,
terdapat semangat revitalisasi bahasa daerah dan sastra lokal
melalui proyek pelestarian digital, festival sastra, dan program pendidikan
multibahasa. Gerakan-gerakan budaya seperti revitalisasi naskah
nusantara, pengenalan puisi dalam media digital, serta penerbitan
ulang karya sastra klasik menunjukkan bahwa masyarakat tetap memiliki kebutuhan
mendalam terhadap narasi budaya yang otentik.⁸
7.4.
Peran Strategis dalam
Masyarakat Masa Depan
Ke depan, studi
sastra dan bahasa memiliki peran strategis sebagai penjaga keragaman
budaya, penjembatan nilai antarperadaban, dan fasilitator etika komunikasi
dalam masyarakat digital. Kemampuan sastra untuk menggugah
empati dan kemampuan bahasa untuk menjembatani pemahaman menjadikan keduanya
aset penting dalam membangun masyarakat yang inklusif, demokratis, dan humanis.
Maka dari itu,
tantangan yang ada tidak seharusnya dimaknai sebagai hambatan, melainkan
sebagai peluang untuk mereformulasi strategi pendidikan, riset, dan pengabdian
dalam bidang sastra dan bahasa demi memperkuat relevansi dan keberlanjutannya
dalam peradaban masa depan.
Footnotes
[1]
David Crystal, Language Death (Cambridge: Cambridge University
Press, 2000), 19–21.
[2]
UNESCO, Atlas of the World’s Languages in Danger, 3rd ed., ed.
Christopher Moseley (Paris: UNESCO Publishing, 2010), vii–ix.
[3]
John Storey, Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction,
7th ed. (London: Routledge, 2018), 42–45.
[4]
Naomi S. Baron, Always On: Language in an Online and Mobile World
(Oxford: Oxford University Press, 2008), 104–108.
[5]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 16–19.
[6]
Matthew K. Gold and Lauren F. Klein, eds., Debates in the Digital
Humanities 2019 (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2019), 57–60.
[7]
Rita Felski, The Limits of Critique (Chicago: University of
Chicago Press, 2015), 23–25.
[8]
I Made Bandem and Sal Murgiyanto, Revitalisasi Budaya Nusantara
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2021), 44–49.
8.
Penutup
Kajian terhadap
sastra dan bahasa dalam perspektif multidisipliner menunjukkan bahwa keduanya
tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial, sistem budaya, dan dinamika
historis umat manusia. Bahasa bukan semata-mata sistem tanda, dan sastra bukan
sekadar karya imajinatif; keduanya merupakan medium yang merepresentasikan,
merefleksikan, dan membentuk realitas budaya yang kompleks. Dalam konteks ini,
studi sastra dan bahasa menjadi jendela penting untuk memahami bagaimana
manusia berpikir, merasakan, dan membangun dunia simbolik yang melampaui
dimensi literal.
Pemahaman terhadap struktur
bahasa — mulai dari fonologi hingga pragmatik — memperlihatkan
bagaimana sistem komunikasi manusia tidak hanya mengatur bunyi dan makna,
tetapi juga menjembatani relasi sosial dan nilai-nilai budaya.¹ Demikian pula,
pembacaan terhadap bentuk, fungsi, dan nilai dalam karya sastra
memperkuat posisi sastra sebagai wahana ekspresi ideologis, historis, dan etis
yang memiliki dampak transformatif dalam masyarakat.²
Melalui pendekatan
multidisipliner, baik dalam kerangka linguistik struktural maupun dalam
perspektif sosiologis, antropologis, dan kultural, kita dapat menyadari bahwa
bahasa dan sastra beroperasi dalam jaringan makna yang luas dan dinamis.³ Studi
lintas disiplin memungkinkan terciptanya dialog produktif antara teori dan
praktik, antara teks dan konteks, serta antara ekspresi individu dan
representasi kolektif.
Meskipun menghadapi
tantangan serius di era globalisasi dan digitalisasi — seperti ancaman terhadap
bahasa daerah, penurunan minat terhadap karya sastra klasik, serta tergerusnya
etika berbahasa dalam ruang daring — prospek masa depan studi sastra dan bahasa
tetap terbuka. Inovasi metodologis dalam digital humanities, penguatan
kolaborasi interdisipliner, serta revitalisasi narasi-narasi lokal menjadi
peluang strategis untuk menjadikan kajian ini lebih relevan dan berdampak
luas.⁴
Lebih dari itu,
sastra dan bahasa memiliki potensi besar dalam membentuk masyarakat yang lebih
reflektif, inklusif, dan humanis. Seperti ditegaskan oleh Martha Nussbaum,
pendidikan humaniora — termasuk sastra dan bahasa — adalah fondasi bagi
demokrasi yang sehat dan peradaban yang beretika.⁵ Oleh karena itu, upaya
mempertahankan, mengembangkan, dan memperluas kajian sastra dan bahasa bukan
hanya merupakan tanggung jawab akademik, tetapi juga tanggung jawab sosial dan
kultural.
Footnotes
[1]
Victoria Fromkin, Robert Rodman, and Nina Hyams, An Introduction to
Language, 11th ed. (Boston: Cengage Learning, 2017), 65–103.
[2]
René Wellek and Austin Warren, Theory of Literature (New York:
Harcourt, Brace and Company, 1949), 89–92.
[3]
Stuart Hall, Representation: Cultural Representations and
Signifying Practices (London: Sage Publications, 1997), 15–23.
[4]
Matthew K. Gold and Lauren F. Klein, eds., Debates in the Digital
Humanities 2019 (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2019),
101–104.
[5]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 1–5.
Daftar Pustaka
Anderson, B. (1990). Language
and power: Exploring political cultures in Indonesia. Cornell University
Press.
Bandem, I. M., &
Murgiyanto, S. (2021). Revitalisasi budaya Nusantara. Gadjah Mada
University Press.
Baron, N. S. (2008). Always
on: Language in an online and mobile world. Oxford University Press.
Barthes, R. (1972). Mythologies
(A. Lavers, Trans.). Hill and Wang.
Barthes, R. (1977). Elements
of semiology (A. Lavers & C. Smith, Trans.). Hill and Wang.
Brooks, C. (1947). The
well wrought urn: Studies in the structure of poetry. Harcourt, Brace
& World.
Chomsky, N. (1957). Syntactic
structures. Mouton.
Crystal, D. (2000). Language
death. Cambridge University Press.
Culler, J. (1997). Literary
theory: A very short introduction. Oxford University Press.
Culler, J. (2002). Structuralist
poetics: Structuralism, linguistics and the study of literature.
Routledge.
Derrida, J. (1976). Of
grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Eagleton, T. (2008). Literary
theory: An introduction (2nd ed.). University of Minnesota Press.
Eagleton, T. (2012). The
event of literature. Yale University Press.
Felski, R. (2015). The
limits of critique. University of Chicago Press.
Finnegan, R. (1970). Oral
literature in Africa. Oxford University Press.
Finnegan, R. (1977). Oral
poetry: Its nature, significance, and social context. Cambridge University
Press.
Fromkin, V., Rodman, R.,
& Hyams, N. (2017). An introduction to language (11th ed.).
Cengage Learning.
Geertz, C. (1973). The
interpretation of cultures. Basic Books.
Gold, M. K., & Klein,
L. F. (Eds.). (2019). Debates in the digital humanities 2019.
University of Minnesota Press.
Goldmann, L. (1975). Towards
a sociology of the novel (A. Sheridan, Trans.). Tavistock Publications.
Hall, S. (1980).
Encoding/decoding. In S. Hall, D. Hobson, A. Lowe, & P. Willis (Eds.), Culture,
media, language (pp. 128–138). Routledge.
Hall, S. (1997). Representation:
Cultural representations and signifying practices. Sage Publications.
Halliday, M. A. K. (1978). Language
as social semiotic: The social interpretation of language and meaning.
Edward Arnold.
Hiltebeitel, A. (2001). Rethinking
the Mahabharata: A reader's guide to the education of the Dharma King.
University of Chicago Press.
Hymes, D. (1968). The
ethnography of speaking. In J. A. Fishman (Ed.), Readings in the sociology
of language (pp. 99–138). Mouton.
Hymes, D. (1972). Models of
the interaction of language and social life. In J. Gumperz & D. Hymes
(Eds.), Directions in sociolinguistics (pp. 35–71). Holt, Rinehart,
and Winston.
Jakobson, R. (1960).
Linguistics and poetics. In T. A. Sebeok (Ed.), Style in language (pp.
350–377). MIT Press.
Lee, H. (2006). To kill
a mockingbird. Harper Perennial.
Leech, G. (1981). Semantics:
The study of meaning (2nd ed.). Penguin Books.
Nussbaum, M. C. (2010). Not
for profit: Why democracy needs the humanities. Princeton University
Press.
Pinker, S. (2007). The
language instinct: How the mind creates language. Harper Perennial.
Pramoedya Ananta Toer.
(1996). This earth of mankind (M. Lane, Trans.). Penguin Books.
Sapir, E. (1921). Language:
An introduction to the study of speech. Harcourt, Brace and Company.
Schimmel, A. (1993). The
triumphal sun: A study of the works of Jalaloddin Rumi. SUNY Press.
Storey, J. (2018). Cultural
theory and popular culture: An introduction (7th ed.). Routledge.
Tannen, D. (2007). Talking
voices: Repetition, dialogue, and imagery in conversational discourse (2nd
ed.). Cambridge University Press.
Teeuw, A. (1988). Sastra
dan ilmu sastra: Pengantar teori sastra. Pustaka Jaya.
Teeuw, A. (1989). Sastra
Indonesia modern II. Pustaka Jaya.
UNESCO. (2010). Atlas
of the world’s languages in danger (3rd ed., C. Moseley, Ed.). UNESCO
Publishing.
Wa Thiong’o, N. (1986). Decolonising
the mind: The politics of language in African literature. James Currey.
Wardhaugh, R., &
Fuller, J. M. (2015). An introduction to sociolinguistics (7th ed.).
Wiley-Blackwell.
Wellek, R., & Warren,
A. (1949). Theory of literature. Harcourt, Brace and Company.
Whorf, B. L. (1956). The
relation of habitual thought and behavior to language. In J. B. Carroll (Ed.), Language,
thought, and reality: Selected writings of Benjamin Lee Whorf (pp.
134–159). MIT Press.
Williams, R. (1977). Marxism
and literature. Oxford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar