Selasa, 29 April 2025

Sastra dan Bahasa: Kajian Ekspresi Budaya melalui Struktur, Makna, dan Estetika

Sastra dan Bahasa

Kajian Ekspresi Budaya melalui Struktur, Makna, dan Estetika


Alihkan ke: Ilmu Humaniora.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang peran dan kedudukan sastra dan bahasa sebagai sarana ekspresi budaya dalam perspektif multidisipliner. Sastra diposisikan tidak hanya sebagai karya estetis, melainkan sebagai representasi nilai-nilai sosial, historis, dan filosofis masyarakat. Sementara itu, bahasa dianalisis sebagai sistem tanda yang merefleksikan dan membentuk cara pandang kolektif melalui struktur, makna, dan konteks penggunaannya. Artikel ini menguraikan berbagai pendekatan dalam studi sastra dan bahasa, termasuk strukturalisme, fungsionalisme, sosiolinguistik, poststrukturalisme, dan studi budaya, yang saling melengkapi dalam menyingkap dinamika teks dan wacana. Tantangan seperti globalisasi, digitalisasi komunikasi, dan marginalisasi bahasa lokal dihadirkan secara kritis, sekaligus menyoroti peluang baru dalam pengembangan digital humanities dan revitalisasi nilai-nilai lokal melalui inovasi metode dan kolaborasi keilmuan. Penelitian ini menegaskan pentingnya peran strategis sastra dan bahasa dalam membentuk masyarakat yang reflektif, inklusif, dan beradab.

Kata Kunci: Sastra, Bahasa, Ekspresi Budaya, Multidisipliner, Strukturalisme, Sosiolinguistik, Studi Budaya, Digital Humanities, Identitas, Nilai Sosial.


PEMBAHASAN

Sastra dan Bahasa dalam Perspektif Multidisipliner


1.           Pendahuluan

Sastra dan bahasa merupakan dua entitas fundamental yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Keduanya bukan sekadar sarana komunikasi atau hiburan, melainkan juga wahana ekspresi budaya, identitas kolektif, dan transformasi sosial. Dalam sejarah peradaban, bahasa berfungsi sebagai medium penyampai makna, sedangkan sastra menyusun dan menyampaikan makna itu dalam bentuk yang estetis, reflektif, dan sering kali penuh imajinasi. Oleh karena itu, mempelajari sastra dan bahasa tidak hanya menyentuh aspek linguistik atau filologis semata, melainkan juga mencakup dimensi filosofis, antropologis, sosiologis, dan bahkan politis.

Kajian tentang bahasa telah mengalami perkembangan signifikan sejak masa Ferdinand de Saussure yang memperkenalkan pendekatan strukturalis dalam linguistik. Ia memandang bahasa sebagai sistem tanda yang terdiri dari signifier (penanda) dan signified (petanda), yang tidak memiliki hubungan alamiah, melainkan arbitrer dan konvensional dalam masyarakat tertentu.¹ Pandangan ini membuka jalan bagi pendekatan-pendekatan baru dalam memahami bagaimana bahasa berfungsi dalam membentuk kenyataan sosial, sebagaimana dikembangkan lebih lanjut oleh para pemikir seperti Roland Barthes dan Noam Chomsky.

Sementara itu, sastra dipandang sebagai cermin budaya yang tidak hanya merepresentasikan realitas, tetapi juga membentuknya. Menurut Terry Eagleton, sastra merupakan praktik ideologis yang turut mengonstruksi cara pandang masyarakat terhadap dunia.² Sastra bukanlah dunia dalam dirinya sendiri, melainkan representasi dari nilai, norma, konflik, dan impian kolektif masyarakat yang melahirkannya. Dengan kata lain, sastra dan bahasa sama-sama menjadi instrumen kognitif dan budaya yang membentuk peradaban manusia dari masa ke masa.

Dalam konteks multidisipliner, kajian sastra dan bahasa menjadi sangat relevan karena mampu menjembatani berbagai pendekatan keilmuan: dari humaniora, ilmu sosial, hingga ilmu komunikasi. Pendekatan linguistik memungkinkan kita memahami struktur internal bahasa; pendekatan sastra menawarkan pemahaman atas narasi dan imajinasi kultural; sedangkan pendekatan antropologis menempatkan bahasa dan sastra sebagai produk sekaligus agen budaya.³

Di era globalisasi yang ditandai oleh percepatan informasi dan pergeseran nilai-nilai tradisional, pemahaman mendalam terhadap bahasa dan sastra menjadi krusial. Ia tidak hanya berfungsi sebagai sarana pemertahanan identitas budaya lokal di tengah homogenisasi global, tetapi juga sebagai instrumen transformasi sosial dalam membentuk masyarakat yang lebih reflektif dan beretika. Dengan demikian, kajian sastra dan bahasa tidak sekadar menjadi kegiatan akademik, tetapi juga menjadi tanggung jawab kultural dalam menjaga keberlanjutan warisan intelektual umat manusia.


Footnotes

[1]                Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin (New York: Philosophical Library, 1959), 67–70.

[2]                Terry Eagleton, Literary Theory: An Introduction (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2008), 5–7.

[3]                Dell Hymes, “The Ethnography of Speaking,” in Readings in the Sociology of Language, ed. Joshua A. Fishman (The Hague: Mouton, 1968), 99–138.


2.           Hakikat Sastra dan Bahasa

Sastra dan bahasa memiliki kedudukan istimewa dalam konstruksi budaya manusia. Keduanya merupakan fondasi utama dalam proses komunikasi, penciptaan makna, dan pembentukan identitas kolektif. Namun, untuk memahami keduanya secara mendalam, penting untuk mengkaji hakikat ontologis dan epistemologis dari sastra dan bahasa, baik dari segi definisi, fungsi, maupun interrelasinya dalam dinamika sosial.

2.1.       Definisi dan Esensi Bahasa

Bahasa adalah sistem lambang yang arbitrer dan konvensional, digunakan manusia untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan nilai-nilai dalam suatu komunitas. Definisi ini berpijak pada pendekatan struktural yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure, yang menekankan bahwa bahasa terdiri atas struktur internal (langue) dan praktik nyata dalam penggunaannya (parole).¹ Bahasa tidak hanya sekadar alat komunikasi, melainkan juga sistem kognitif yang memungkinkan manusia memahami dan mengonstruksi dunia.²

Di luar pendekatan struktural, linguistik modern juga menempatkan bahasa sebagai tindakan sosial yang membentuk dan dibentuk oleh konteks. Pendekatan pragmatik dan sosiolinguistik menekankan bahwa makna dalam bahasa tidak bersifat tetap, melainkan kontekstual dan dinamis.³ Dengan demikian, bahasa menjadi medan interaksi antara struktur dan agensi dalam masyarakat.

2.2.       Definisi dan Esensi Sastra

Sastra, dalam pengertian luas, adalah ekspresi estetis dan imajinatif dari pengalaman manusia melalui bahasa. Roman Jakobson mengemukakan bahwa fungsi puitik dalam bahasa menjadi ciri khas utama dari karya sastra, yakni fokus pada pesan itu sendiri dan bagaimana ia dikonstruksi secara estetis.⁴ Sastra tidak hanya menarasikan realitas, melainkan menciptakan realitas baru yang sarat dengan nilai-nilai ideologis, psikologis, dan kultural.

Dalam konteks sejarah pemikiran sastra, berbagai pendekatan muncul untuk menjelaskan hakikat karya sastra: pendekatan formalistik memandangnya sebagai struktur otonom yang harus dianalisis dari dalam; pendekatan sosiologis memandangnya sebagai refleksi masyarakat; sedangkan pendekatan poststrukturalis menekankan ketidakstabilan makna dalam teks.⁵ Semua pendekatan ini menunjukkan bahwa sastra merupakan medan kompleks tempat makna dinegosiasikan secara terus-menerus.

2.3.       Relasi Sastra dan Bahasa

Sastra tidak mungkin hadir tanpa bahasa, namun bahasa dalam karya sastra mengalami transformasi dari fungsi komunikatif biasa menjadi fungsi estetis dan simbolik. Dalam karya sastra, bahasa dimanfaatkan bukan semata-mata untuk menyampaikan informasi, tetapi juga untuk membangkitkan emosi, menciptakan imaji, dan menyampaikan gagasan secara implisit dan multiinterpretatif.⁶

Relasi antara sastra dan bahasa bersifat dialektis: sastra memperkaya bentuk dan makna bahasa, sementara bahasa menyediakan medium bagi ekspresi sastra. Oleh karena itu, studi sastra tidak dapat dilepaskan dari kajian linguistik, begitu pula sebaliknya, studi bahasa menjadi semakin kaya ketika digunakan untuk menganalisis teks-teks sastra yang kompleks dan kaya makna.

2.4.       Bahasa sebagai Sistem Tanda dan Sastra sebagai Wahana Budaya

Dalam teori semiotika, bahasa merupakan sistem tanda yang diinterpretasikan dalam konteks budaya tertentu. Roland Barthes mengembangkan pandangan bahwa bahasa, termasuk dalam bentuk sastranya, bukan hanya menyampaikan makna denotatif, tetapi juga makna konotatif yang sarat ideologi.⁷ Sastra kemudian berfungsi sebagai wahana budaya, karena ia mengandung nilai-nilai, pandangan dunia, dan konstruksi sosial yang hidup dalam masyarakat.

Sastra dan bahasa menjadi penjaga sekaligus penggerak budaya. Melalui karya sastra, bahasa mengalami pelestarian dan inovasi; melalui bahasa, nilai-nilai budaya ditransmisikan dan diinterpretasi ulang lintas generasi. Dengan demikian, memahami hakikat sastra dan bahasa adalah memahami dinamika hidup manusia dalam kebudayaannya.


Footnotes

[1]                Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin (New York: Philosophical Library, 1959), 9–15.

[2]                Steven Pinker, The Language Instinct: How the Mind Creates Language (New York: Harper Perennial, 2007), 18–20.

[3]                Deborah Tannen, Talking Voices: Repetition, Dialogue, and Imagery in Conversational Discourse (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 12–14.

[4]                Roman Jakobson, “Linguistics and Poetics,” in Style in Language, ed. Thomas A. Sebeok (Cambridge, MA: MIT Press, 1960), 350–377.

[5]                Terry Eagleton, Literary Theory: An Introduction (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2008), 45–61.

[6]                Jonathan Culler, Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics and the Study of Literature (London: Routledge, 2002), 28–34.

[7]                Roland Barthes, Mythologies, trans. Annette Lavers (New York: Hill and Wang, 1972), 114–118.


3.           Kajian Sastra: Bentuk, Fungsi, dan Nilai

Kajian sastra merupakan salah satu ranah penting dalam studi humaniora karena mengkaji ekspresi simbolik manusia yang paling kompleks: karya sastra. Sastra tidak hanya hadir sebagai karya artistik, melainkan juga sebagai konstruksi sosial, kultural, dan filosofis yang mencerminkan dan membentuk pengalaman manusia dalam sejarah. Pemahaman tentang bentuk, fungsi, dan nilai sastra memungkinkan kita mengapresiasi kekayaan budaya serta kompleksitas kehidupan yang diartikulasikan melalui bahasa estetis.

3.1.       Bentuk-bentuk Karya Sastra

Karya sastra hadir dalam beragam bentuk dan medium. Secara umum, sastra diklasifikasikan ke dalam tiga genre utama: prosa, puisi, dan drama. Prosa adalah bentuk naratif yang paling fleksibel dan luas digunakan dalam novel, cerpen, esai, dan bentuk naratif lainnya. Ia memungkinkan penggambaran realitas dengan detail dan keragaman perspektif.¹

Puisi, di sisi lain, merupakan bentuk yang sangat padat dan sarat makna, menggunakan struktur ritmis, metafora, dan simbol untuk membangun efek estetis dan emosional. Menurut Wellek dan Warren, puisi menciptakan dunia melalui bahasa yang dipadatkan, diintensifkan, dan diorganisir secara musikal.² Sementara itu, drama menggabungkan unsur naratif dan performatif, dengan struktur dialog dan aksi yang dirancang untuk dipentaskan.

Dalam konteks sastra lisan, seperti dongeng, mitos, legenda, atau pantun, bentuknya tidak terikat pada konvensi tertulis, tetapi pada pola oral, repetisi, dan partisipasi kolektif.³ Sastra lisan menjadi medium penting dalam masyarakat tradisional untuk mentransmisikan nilai dan pengetahuan.

3.2.       Fungsi Sastra

Sastra memiliki berbagai fungsi dalam kehidupan sosial dan budaya. Salah satu fungsi utamanya adalah sebagai media ekspresi: pengarang mengartikulasikan pengalaman subjektif, realitas sosial, atau visi moral melalui struktur naratif atau puitik.⁴ Selain itu, sastra berfungsi sebagai sarana refleksi, memungkinkan pembaca mengevaluasi realitas dari sudut pandang yang berbeda melalui imajinasi dan perenungan.

Fungsi edukatif juga melekat dalam sastra. Banyak karya sastra klasik maupun kontemporer menyampaikan pesan moral, nilai-nilai kemanusiaan, dan kritik sosial yang kuat. Karya seperti To Kill a Mockingbird oleh Harper Lee, misalnya, tidak hanya bernilai estetis, tetapi juga menjadi kritik terhadap rasisme dan ketidakadilan hukum.⁵

Fungsi lainnya adalah fungsi ideologis: sastra dapat menjadi wahana penyebaran ideologi, baik untuk mendukung kekuasaan atau sebagai alat resistensi. Dalam teori sastra Marxis, sastra dilihat sebagai medan ideologis yang merefleksikan dan mempertarungkan kepentingan kelas-kelas sosial.⁶

3.3.       Nilai-nilai dalam Sastra

Karya sastra mengandung nilai-nilai yang mencerminkan dan mengarahkan orientasi budaya masyarakat. Nilai historis tampak dalam cara sastra mendokumentasikan realitas masa lalu, seperti dalam roman sejarah atau epik tradisional. Sastra seperti Sitti Nurbaya atau Tenggelamnya Kapal van der Wijck tidak hanya mencerminkan zaman, tetapi juga menjadi artefak sejarah yang kaya interpretasi.⁷

Nilai moral dan religius juga sering muncul dalam sastra, baik secara eksplisit maupun implisit. Banyak karya puisi sufi, seperti yang ditulis oleh Jalaluddin Rumi, memadukan spiritualitas dan estetika dalam bentuk yang indah dan reflektif.⁸

Sastra juga memuat nilai filosofis, ketika ia menggali makna hidup, identitas, eksistensi, dan kebebasan. Dalam hal ini, sastra bersinggungan erat dengan filsafat, seperti terlihat dalam karya-karya Albert Camus atau Fyodor Dostoevsky.

Akhirnya, nilai estetis merupakan karakteristik khas sastra. Estetika sastra tidak hanya terkait dengan keindahan formal, tetapi juga dengan kedalaman makna, simbolisme, dan kemampuan membangkitkan pengalaman emosional yang mendalam.⁹


Footnotes

[1]                M.H. Abrams, A Glossary of Literary Terms, 7th ed. (Boston: Heinle & Heinle, 1999), 169–171.

[2]                René Wellek and Austin Warren, Theory of Literature (New York: Harcourt, Brace and Company, 1949), 146–149.

[3]                Ruth Finnegan, Oral Literature in Africa (Oxford: Oxford University Press, 1970), 30–32.

[4]                Terry Eagleton, The Event of Literature (New Haven: Yale University Press, 2012), 11–14.

[5]                Harper Lee, To Kill a Mockingbird (New York: Harper Perennial, 2006).

[6]                Raymond Williams, Marxism and Literature (Oxford: Oxford University Press, 1977), 55–58.

[7]                A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Pustaka Jaya, 1988), 192–194.

[8]                Annemarie Schimmel, The Triumphal Sun: A Study of the Works of Jalaloddin Rumi (Albany: SUNY Press, 1993), 74–76.

[9]                Jonathan Culler, Literary Theory: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 1997), 16–18.


4.           Kajian Bahasa: Struktur, Makna, dan Konteks

Bahasa merupakan sistem tanda yang kompleks dan multifungsi. Ia tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga medium representasi dunia, pembentuk identitas, dan sarana interpretasi budaya. Oleh karena itu, kajian terhadap bahasa tidak dapat dibatasi pada satu pendekatan atau dimensi semata. Untuk memahami bahasa secara utuh, perlu ditinjau dari aspek strukturnya (bagaimana bahasa dibentuk), aspek maknanya (apa yang dimaksudkan), dan konteksnya (di mana dan bagaimana ia digunakan).

4.1.       Struktur Bahasa: Tataran dan Unsur Pembentuk

Struktur bahasa merujuk pada elemen-elemen formal yang menyusun sistem bahasa, seperti fonologi (bunyi), morfologi (bentuk kata), sintaksis (struktur kalimat), semantik (makna), dan pragmatik (penggunaan dalam konteks). Pendekatan strukturalisme linguistik, sebagaimana dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure, melihat bahasa sebagai sistem relasional, di mana elemen-elemen memperoleh makna melalui hubungan diferensial dalam sistem tersebut.¹

Struktur fonologis menentukan bagaimana bunyi-bunyi dikombinasikan untuk menghasilkan ujaran yang dapat dikenali. Morfologi mengkaji pembentukan kata melalui proses afiksasi, reduplikasi, dan konversi. Sintaksis menelaah aturan penyusunan kata menjadi frasa dan kalimat yang bermakna.² Kajian terhadap struktur ini penting untuk memahami bagaimana bahasa bekerja secara sistematis sebagai alat komunikasi dan konstruksi makna.

4.2.       Makna Bahasa: Denotasi, Konotasi, dan Representasi

Makna dalam bahasa tidak pernah bersifat netral. Ia selalu terikat pada sistem simbolik dan nilai-nilai budaya masyarakat yang menggunakannya. Secara umum, makna terbagi menjadi denotatif (makna literal atau leksikal) dan konotatif (makna tambahan yang bersifat emosional, ideologis, atau kultural).³ Misalnya, kata rumah secara denotatif merujuk pada bangunan tempat tinggal, namun secara konotatif bisa bermakna kehangatan, keluarga, atau bahkan keterikatan emosional.

Dalam konteks kajian kritis, seperti yang dikembangkan oleh Roland Barthes dan para pemikir poststrukturalis, bahasa juga dipahami sebagai sistem representasi yang tidak netral. Bahasa tidak hanya merepresentasikan realitas, tetapi juga membentuk cara pandang terhadap realitas tersebut.⁴ Oleh karena itu, analisis makna dalam bahasa sering kali membuka tabir ideologi tersembunyi, bias sosial, atau konstruksi kuasa dalam masyarakat.

4.3.       Konteks Bahasa: Situasi, Relasi Sosial, dan Identitas Budaya

Bahasa selalu digunakan dalam konteks tertentu, dan konteks tersebut sangat menentukan makna serta cara penggunaan bahasa. Pendekatan pragmatik dalam linguistik menekankan pentingnya memahami situasi tuturan, termasuk maksud pembicara, hubungan sosial antara partisipan, dan latar budaya pembicaraan.⁵ Konsep seperti speech acts (tindakan tutur), implicature (makna tersirat), dan presupposition (praanggapan) menjadi perangkat penting dalam memahami bagaimana bahasa berfungsi secara nyata dalam interaksi sosial.

Selain itu, pendekatan sosiolinguistik menyoroti bagaimana variasi bahasa mencerminkan struktur sosial. Faktor seperti kelas sosial, gender, usia, pendidikan, dan etnisitas dapat memengaruhi dialek, register, dan pilihan bahasa.⁶ Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga simbol status sosial, solidaritas, atau eksklusi.

Dalam ranah antropologi linguistik, bahasa dipandang sebagai ekspresi budaya yang tidak dapat dipisahkan dari sistem kepercayaan, praktik simbolik, dan struktur nilai suatu masyarakat. Dell Hymes mengembangkan pendekatan ethnography of speaking untuk memahami bahwa setiap masyarakat memiliki aturan-aturan khusus dalam penggunaan bahasa yang merefleksikan struktur sosial dan nilai budayanya.⁷

Dengan demikian, memahami bahasa tidak cukup hanya melalui struktur atau makna literalnya, tetapi harus dilengkapi dengan pemahaman konteks pemakaiannya. Dalam bahasa, terdapat jejak budaya, relasi kuasa, ideologi, dan identitas yang saling bersilangan.


Footnotes

[1]                Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin (New York: Philosophical Library, 1959), 36–38.

[2]                Victoria Fromkin, Robert Rodman, and Nina Hyams, An Introduction to Language, 11th ed. (Boston: Cengage Learning, 2017), 65–90.

[3]                Geoffrey Leech, Semantics: The Study of Meaning, 2nd ed. (Harmondsworth: Penguin Books, 1981), 9–11.

[4]                Roland Barthes, Elements of Semiology, trans. Annette Lavers and Colin Smith (New York: Hill and Wang, 1977), 45–52.

[5]                Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 5–12.

[6]                Ronald Wardhaugh and Janet Fuller, An Introduction to Sociolinguistics, 7th ed. (Chichester: Wiley-Blackwell, 2015), 2–6.

[7]                Dell Hymes, “The Ethnography of Speaking,” in Readings in the Sociology of Language, ed. Joshua A. Fishman (The Hague: Mouton, 1968), 99–138.


5.           Sastra dan Bahasa sebagai Sarana Ekspresi Budaya

Bahasa dan sastra adalah dua instrumen utama dalam mengekspresikan budaya. Melalui keduanya, manusia tidak hanya menyampaikan gagasan, tetapi juga menstrukturkan pengalaman hidup, meneguhkan identitas, dan mentransmisikan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam kerangka multidisipliner, bahasa dan sastra bukan hanya fenomena linguistik atau estetis semata, tetapi juga merupakan medan simbolik yang merepresentasikan realitas sosial, historis, dan spiritual suatu masyarakat.

5.1.       Bahasa sebagai Cermin Struktur Berpikir Budaya

Bahasa tidak netral; ia dibentuk oleh dan sekaligus membentuk budaya. Pendekatan relativisme linguistik atau hipotesis Sapir-Whorf menunjukkan bahwa struktur bahasa memengaruhi cara manusia memahami dunia.¹ Misalnya, dalam bahasa Hopi (penduduk asli Amerika), konsep waktu sangat berbeda dari konsep waktu dalam bahasa Inggris, yang menunjukkan bagaimana bahasa mencerminkan struktur kognitif budaya tertentu.

Melalui bahasa, nilai-nilai seperti hierarki sosial, gender, kekerabatan, dan kepercayaan diekspresikan dan disistematisasi.² Oleh karena itu, mempelajari bahasa berarti menggali cara suatu masyarakat berpikir, menafsirkan dunia, dan berinteraksi secara sosial. Dalam konteks ini, bahasa menjadi "peta dunia" yang bersifat budaya.

5.2.       Sastra sebagai Narasi Kolektif Masyarakat

Sastra bukan hanya ekspresi individual, melainkan juga representasi kolektif masyarakat. Ia menjadi wahana untuk merumuskan, merayakan, atau bahkan menggugat nilai-nilai dominan dalam masyarakat. Clifford Geertz menyebut kebudayaan sebagai "sistem makna yang diwariskan" dan dalam konteks ini, sastra berperan sebagai bentuk konkret dari sistem makna tersebut.³

Karya sastra seperti epik, legenda, hikayat, maupun novel modern mengandung nilai-nilai moral, sejarah, dan identitas kolektif. Misalnya, epos Mahabharata dan Ramayana tidak hanya berisi cerita, tetapi juga membentuk kerangka etika, konsep kepemimpinan, serta gambaran relasi sosial dalam masyarakat Hindu.⁴ Demikian pula, karya-karya sastra lokal seperti La Galigo atau Serat Centhini merefleksikan pandangan hidup dan sistem nilai masyarakat Nusantara.

5.3.       Kajian Etnografi Komunikasi dan Narasi Budaya Lokal

Dalam pendekatan etnografi komunikasi, penggunaan bahasa dan narasi dilihat sebagai bagian integral dari praktik budaya yang terstruktur. Dell Hymes mengemukakan bahwa setiap masyarakat memiliki rules of speaking yang mencerminkan pola relasi sosial dan norma budaya tertentu.⁵ Dengan demikian, baik bahasa lisan maupun tulisan menjadi sarana pelestarian identitas budaya dan struktur sosial.

Sastra lisan — seperti pantun, peribahasa, atau cerita rakyat — tidak sekadar hiburan, tetapi juga perangkat edukatif dan normatif dalam masyarakat.⁶ Misalnya, pantun Melayu menyiratkan nilai kesantunan, kehati-hatian dalam berkomunikasi, serta kecintaan terhadap alam dan hubungan sosial yang harmonis.

Dalam konteks globalisasi yang mengancam homogenisasi budaya, karya-karya sastra lokal dan bentuk-bentuk bahasa daerah memiliki peran strategis dalam menjaga keragaman budaya dan memperkuat jati diri lokal di tengah arus modernisasi.⁷

5.4.       Kasus-kasus Representatif dari Ekspresi Budaya melalui Sastra dan Bahasa

Contoh konkret dari ekspresi budaya melalui sastra dan bahasa dapat ditemukan dalam berbagai tradisi. Dalam budaya Jawa, penggunaan bahasa tingkat (unggah-ungguh) merefleksikan sistem hierarki sosial dan etika dalam berkomunikasi.⁸ Dalam sastra Sunda, tembang-tembang seperti Sinom dan Kinanthi tidak hanya menekankan keindahan bahasa, tetapi juga menyampaikan ajaran hidup dan kesalehan.

Di sisi lain, dalam konteks sastra modern, penulis seperti Pramoedya Ananta Toer telah memanfaatkan bahasa sebagai instrumen kritik sosial. Melalui tetralogi Buru, ia tidak hanya menggambarkan sejarah kolonialisme, tetapi juga menantang narasi sejarah dominan dan membuka ruang bagi perspektif rakyat kecil.⁹

Dengan demikian, bahasa dan sastra bukan hanya media pasif dari budaya, tetapi juga agen aktif yang membentuk, memelihara, dan menegosiasikan budaya dalam dinamika sejarah dan sosial.


Footnotes

[1]                Edward Sapir, Language: An Introduction to the Study of Speech (New York: Harcourt, Brace and Company, 1921), 209–211.

[2]                Benjamin Lee Whorf, “The Relation of Habitual Thought and Behavior to Language,” in Language, Thought, and Reality: Selected Writings of Benjamin Lee Whorf, ed. John B. Carroll (Cambridge, MA: MIT Press, 1956), 134–159.

[3]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 89–90.

[4]                Alf Hiltebeitel, Rethinking the Mahabharata: A Reader's Guide to the Education of the Dharma King (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 3–4.

[5]                Dell Hymes, “Models of the Interaction of Language and Social Life,” in Directions in Sociolinguistics, ed. John Gumperz and Dell Hymes (New York: Holt, Rinehart, and Winston, 1972), 35–71.

[6]                Ruth Finnegan, Oral Poetry: Its Nature, Significance, and Social Context (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 15–17.

[7]                Ngugi wa Thiong’o, Decolonising the Mind: The Politics of Language in African Literature (London: James Currey, 1986), 4–6.

[8]                Benedict Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1990), 111–113.

[9]                Pramoedya Ananta Toer, This Earth of Mankind, trans. Max Lane (New York: Penguin Books, 1996), ix–xii.


6.           Pendekatan Multidisipliner dalam Studi Sastra dan Bahasa

Kajian terhadap sastra dan bahasa tidak dapat dipahami secara utuh tanpa melibatkan pendekatan dari berbagai disiplin ilmu. Kompleksitas sastra sebagai ekspresi estetis dan budaya, serta bahasa sebagai sistem sosial dan simbolik, menuntut analisis lintas disiplin. Pendekatan multidisipliner membuka ruang bagi interpretasi yang lebih kaya terhadap karya sastra dan praktik berbahasa, karena mengaitkan unsur linguistik, sosiologis, psikologis, filosofis, antropologis, dan bahkan politis dalam satu bingkai pemahaman yang integral.

6.1.       Pendekatan Linguistik: Struktural, Fungsional, dan Generatif

Dalam studi sastra dan bahasa, pendekatan linguistik klasik seperti strukturalisme memberikan fondasi awal dengan memandang bahasa sebagai sistem tanda yang memiliki struktur internal. Ferdinand de Saussure menekankan pentingnya melihat hubungan antarunsur dalam bahasa, bukan hanya elemen itu sendiri.¹ Pendekatan ini sangat berpengaruh dalam analisis puisi dan prosa, khususnya dalam mengidentifikasi pola bunyi, makna, dan bentuk.

Berikutnya, pendekatan fungsional seperti yang dikembangkan oleh Michael Halliday dalam Systemic Functional Linguistics melihat bahasa sebagai alat sosial untuk menyampaikan makna dalam konteks tertentu.² Hal ini sangat penting dalam menganalisis teks sastra dalam kaitannya dengan fungsi interpersonal, ideasional, dan tekstual.

Sementara itu, linguistik generatif yang dipelopori oleh Noam Chomsky mengkaji struktur batiniah bahasa manusia dan kompetensi gramatikal penutur.³ Meskipun lebih bersifat teoretis, pendekatan ini berkontribusi dalam memahami kemampuan kreatif manusia dalam membentuk ujaran dan menciptakan variasi ekspresi dalam sastra.

6.2.       Pendekatan Sastra: Formalistik, Historis, Sosiologis, dan Poststrukturalis

Dalam studi sastra, beragam pendekatan digunakan untuk memahami karya secara menyeluruh. Pendekatan formalistik, yang menekankan pada analisis unsur intrinsik seperti plot, tokoh, gaya bahasa, dan tema, menjadi dasar kajian estetika karya.⁴

Pendekatan historis mengaitkan karya sastra dengan konteks zamannya, baik sejarah penulis maupun kondisi sosial-politik saat teks diciptakan. Misalnya, kritik sastra historis terhadap puisi-puisi Chairil Anwar memperlihatkan bagaimana ekspresi individualisme dan eksistensialisme berakar pada pergolakan zaman kolonial dan pascakemerdekaan.⁵

Pendekatan sosiologis menempatkan sastra sebagai produk sosial yang merefleksikan dan mempengaruhi masyarakat. Lucien Goldmann menyatakan bahwa struktur karya sastra mencerminkan struktur kesadaran kolektif kelas sosial tertentu.⁶

Adapun pendekatan poststrukturalis dan dekonstruktif, yang dikembangkan oleh Jacques Derrida, menggarisbawahi ketidakstabilan makna dalam teks dan membuka ruang pembacaan plural.⁷ Ini memungkinkan teks sastra ditafsirkan berulang kali dalam berbagai konteks budaya dan ideologis.

6.3.       Integrasi dengan Ilmu Budaya, Antropologi, dan Komunikasi

Dalam era kontemporer, studi sastra dan bahasa semakin diwarnai oleh pendekatan cultural studies yang menekankan pentingnya membaca teks dalam kerangka relasi kuasa, identitas, dan ideologi. Menurut Stuart Hall, teks (termasuk teks sastra) adalah situs pergelutan makna yang bersifat dinamis dan politis.⁸

Pendekatan antropologi budaya juga berperan besar, khususnya dalam studi sastra lisan dan bahasa daerah. Clifford Geertz, dalam The Interpretation of Cultures, menempatkan narasi sebagai bentuk simbolik dari makna budaya yang lebih luas.⁹ Melalui metode etnografi, sastra dan bahasa dilihat sebagai ritual simbolik yang merefleksikan struktur kehidupan masyarakat.

Selain itu, pendekatan komunikasi memandang teks sebagai proses produksi dan resepsi makna yang dipengaruhi oleh media, institusi, dan audiens. Hal ini sangat relevan dalam konteks sastra digital, media sosial, dan adaptasi sastra ke dalam bentuk audiovisual.

6.4.       Relevansi Teori Sastra dan Bahasa dalam Konteks Pendidikan dan Budaya Kontemporer

Pendekatan multidisipliner dalam studi sastra dan bahasa tidak hanya memperluas horizon keilmuan, tetapi juga memperkuat relevansi pendidikan bahasa dan sastra dalam konteks kontemporer. Pemahaman lintas bidang memungkinkan siswa dan peneliti untuk melihat keterkaitan antara teks dan kehidupan nyata, antara ekspresi dan struktur sosial, antara bahasa dan kekuasaan.

Lebih jauh, pendekatan ini dapat berkontribusi pada pembangunan budaya literasi, penguatan identitas lokal dalam bingkai global, serta pelestarian keragaman linguistik dan sastra yang semakin terancam oleh dominasi budaya populer dan arus globalisasi.¹⁰


Footnotes

[1]                Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin (New York: Philosophical Library, 1959), 9–12.

[2]                M.A.K. Halliday, Language as Social Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meaning (London: Edward Arnold, 1978), 31–45.

[3]                Noam Chomsky, Syntactic Structures (The Hague: Mouton, 1957), 13–17.

[4]                Cleanth Brooks, The Well Wrought Urn: Studies in the Structure of Poetry (New York: Harcourt, Brace & World, 1947), 5–9.

[5]                A. Teeuw, Sastra Indonesia Modern II (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), 88–90.

[6]                Lucien Goldmann, Towards a Sociology of the Novel, trans. Alan Sheridan (London: Tavistock Publications, 1975), 23–25.

[7]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 158–162.

[8]                Stuart Hall, “Encoding/Decoding,” in Culture, Media, Language, ed. Stuart Hall et al. (London: Routledge, 1980), 128–138.

[9]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 412–415.

[10]             Henry A. Giroux, Theory and Resistance in Education: A Pedagogy for the Opposition (Westport: Bergin & Garvey, 2001), 102–105.


7.           Tantangan dan Prospek Studi Sastra dan Bahasa di Era Modern

Studi sastra dan bahasa di era modern menghadapi berbagai tantangan yang kompleks, seiring dengan berkembangnya teknologi informasi, globalisasi budaya, dan pergeseran paradigma keilmuan. Di sisi lain, era ini juga membuka prospek baru yang menjanjikan bagi pengembangan studi lintas bidang dan inovasi metode dalam analisis karya sastra dan fenomena kebahasaan. Menghadapi masa depan, penting bagi studi sastra dan bahasa untuk tidak hanya bertahan sebagai kajian akademik, tetapi juga berperan aktif dalam dinamika sosial, budaya, dan pendidikan.

7.1.       Tantangan: Homogenisasi Budaya dan Digitalisasi Komunikasi

Salah satu tantangan utama adalah homogenisasi budaya akibat globalisasi, yang sering kali menyebabkan terpinggirkannya bahasa dan sastra lokal. Bahasa-bahasa minoritas menghadapi ancaman kepunahan karena digantikan oleh bahasa global yang dominan seperti Inggris, Mandarin, atau Spanyol.¹ UNESCO mencatat bahwa lebih dari 40% dari 6.000 bahasa di dunia terancam punah karena tidak lagi digunakan dalam komunikasi antargenerasi.²

Dalam konteks sastra, dominasi budaya populer yang didorong oleh industri hiburan global juga menggeser perhatian masyarakat dari karya-karya sastra bernilai tinggi ke bentuk-bentuk narasi yang lebih ringan dan konsumtif.³ Fenomena ini berdampak pada berkurangnya minat baca terhadap karya sastra klasik dan kontemporer yang kompleks, serta mengancam keberlanjutan ekosistem kesusastraan nasional.

Digitalisasi komunikasi juga mengubah cara manusia berbahasa dan berinteraksi. Media sosial, aplikasi pesan instan, dan platform daring mendorong gaya bahasa yang serba cepat, ringkas, dan penuh simbol, yang sering kali mengabaikan tata bahasa baku dan kedalaman ekspresi.⁴ Perubahan ini menantang studi linguistik dan pendidikan bahasa untuk terus beradaptasi tanpa kehilangan kualitas keilmuan dan etika berbahasa.

7.2.       Tantangan Institusional dan Kurikuler

Studi sastra dan bahasa di lembaga pendidikan sering kali terpinggirkan oleh orientasi pendidikan yang lebih pragmatis dan berbasis pada pasar kerja. Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, mata pelajaran bahasa dan sastra cenderung dikurangi porsinya dalam kurikulum demi mengejar peningkatan capaian STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics).⁵ Akibatnya, nilai-nilai humaniora yang terkandung dalam kajian sastra dan bahasa kehilangan ruang artikulasinya di ruang pendidikan formal.

Selain itu, terbatasnya dana penelitian dan rendahnya publikasi ilmiah di bidang sastra dan linguistik menjadi hambatan dalam pengembangan pengetahuan dan kompetensi akademik di tingkat global. Hal ini menuntut peningkatan kebijakan afirmatif untuk mendukung riset multidisipliner yang berkelanjutan.

7.3.       Prospek: Inovasi Metode, Kolaborasi Ilmu, dan Revitalisasi Budaya

Meskipun menghadapi tantangan, studi sastra dan bahasa juga memiliki peluang besar dalam era modern. Kemajuan teknologi digital membuka ruang bagi pengembangan humaniora digital (digital humanities) yang memungkinkan analisis teks dengan bantuan perangkat lunak canggih seperti korpus linguistik, perangkat leksikografi digital, dan kecerdasan buatan.⁶ Teknologi ini memperkaya metode analisis dan memungkinkan eksplorasi data teks dalam skala besar.

Lebih lanjut, kolaborasi multidisipliner antara ilmu bahasa dan sastra dengan bidang lain seperti antropologi, filsafat, psikologi, media studies, bahkan artificial intelligence, membuka perspektif baru dalam memahami teks dan bahasa sebagai fenomena sosial dan kultural.⁷ Pendekatan interdisipliner ini meningkatkan relevansi kajian bahasa dan sastra dalam menjawab persoalan kontemporer seperti identitas, inklusivitas, ekologi, dan konflik sosial.

Di ranah kebudayaan, terdapat semangat revitalisasi bahasa daerah dan sastra lokal melalui proyek pelestarian digital, festival sastra, dan program pendidikan multibahasa. Gerakan-gerakan budaya seperti revitalisasi naskah nusantara, pengenalan puisi dalam media digital, serta penerbitan ulang karya sastra klasik menunjukkan bahwa masyarakat tetap memiliki kebutuhan mendalam terhadap narasi budaya yang otentik.⁸

7.4.       Peran Strategis dalam Masyarakat Masa Depan

Ke depan, studi sastra dan bahasa memiliki peran strategis sebagai penjaga keragaman budaya, penjembatan nilai antarperadaban, dan fasilitator etika komunikasi dalam masyarakat digital. Kemampuan sastra untuk menggugah empati dan kemampuan bahasa untuk menjembatani pemahaman menjadikan keduanya aset penting dalam membangun masyarakat yang inklusif, demokratis, dan humanis.

Maka dari itu, tantangan yang ada tidak seharusnya dimaknai sebagai hambatan, melainkan sebagai peluang untuk mereformulasi strategi pendidikan, riset, dan pengabdian dalam bidang sastra dan bahasa demi memperkuat relevansi dan keberlanjutannya dalam peradaban masa depan.


Footnotes

[1]                David Crystal, Language Death (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 19–21.

[2]                UNESCO, Atlas of the World’s Languages in Danger, 3rd ed., ed. Christopher Moseley (Paris: UNESCO Publishing, 2010), vii–ix.

[3]                John Storey, Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction, 7th ed. (London: Routledge, 2018), 42–45.

[4]                Naomi S. Baron, Always On: Language in an Online and Mobile World (Oxford: Oxford University Press, 2008), 104–108.

[5]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 16–19.

[6]                Matthew K. Gold and Lauren F. Klein, eds., Debates in the Digital Humanities 2019 (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2019), 57–60.

[7]                Rita Felski, The Limits of Critique (Chicago: University of Chicago Press, 2015), 23–25.

[8]                I Made Bandem and Sal Murgiyanto, Revitalisasi Budaya Nusantara (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2021), 44–49.


8.           Penutup

Kajian terhadap sastra dan bahasa dalam perspektif multidisipliner menunjukkan bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial, sistem budaya, dan dinamika historis umat manusia. Bahasa bukan semata-mata sistem tanda, dan sastra bukan sekadar karya imajinatif; keduanya merupakan medium yang merepresentasikan, merefleksikan, dan membentuk realitas budaya yang kompleks. Dalam konteks ini, studi sastra dan bahasa menjadi jendela penting untuk memahami bagaimana manusia berpikir, merasakan, dan membangun dunia simbolik yang melampaui dimensi literal.

Pemahaman terhadap struktur bahasa — mulai dari fonologi hingga pragmatik — memperlihatkan bagaimana sistem komunikasi manusia tidak hanya mengatur bunyi dan makna, tetapi juga menjembatani relasi sosial dan nilai-nilai budaya.¹ Demikian pula, pembacaan terhadap bentuk, fungsi, dan nilai dalam karya sastra memperkuat posisi sastra sebagai wahana ekspresi ideologis, historis, dan etis yang memiliki dampak transformatif dalam masyarakat.²

Melalui pendekatan multidisipliner, baik dalam kerangka linguistik struktural maupun dalam perspektif sosiologis, antropologis, dan kultural, kita dapat menyadari bahwa bahasa dan sastra beroperasi dalam jaringan makna yang luas dan dinamis.³ Studi lintas disiplin memungkinkan terciptanya dialog produktif antara teori dan praktik, antara teks dan konteks, serta antara ekspresi individu dan representasi kolektif.

Meskipun menghadapi tantangan serius di era globalisasi dan digitalisasi — seperti ancaman terhadap bahasa daerah, penurunan minat terhadap karya sastra klasik, serta tergerusnya etika berbahasa dalam ruang daring — prospek masa depan studi sastra dan bahasa tetap terbuka. Inovasi metodologis dalam digital humanities, penguatan kolaborasi interdisipliner, serta revitalisasi narasi-narasi lokal menjadi peluang strategis untuk menjadikan kajian ini lebih relevan dan berdampak luas.⁴

Lebih dari itu, sastra dan bahasa memiliki potensi besar dalam membentuk masyarakat yang lebih reflektif, inklusif, dan humanis. Seperti ditegaskan oleh Martha Nussbaum, pendidikan humaniora — termasuk sastra dan bahasa — adalah fondasi bagi demokrasi yang sehat dan peradaban yang beretika.⁵ Oleh karena itu, upaya mempertahankan, mengembangkan, dan memperluas kajian sastra dan bahasa bukan hanya merupakan tanggung jawab akademik, tetapi juga tanggung jawab sosial dan kultural.


Footnotes

[1]                Victoria Fromkin, Robert Rodman, and Nina Hyams, An Introduction to Language, 11th ed. (Boston: Cengage Learning, 2017), 65–103.

[2]                René Wellek and Austin Warren, Theory of Literature (New York: Harcourt, Brace and Company, 1949), 89–92.

[3]                Stuart Hall, Representation: Cultural Representations and Signifying Practices (London: Sage Publications, 1997), 15–23.

[4]                Matthew K. Gold and Lauren F. Klein, eds., Debates in the Digital Humanities 2019 (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2019), 101–104.

[5]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 1–5.


Daftar Pustaka

Anderson, B. (1990). Language and power: Exploring political cultures in Indonesia. Cornell University Press.

Bandem, I. M., & Murgiyanto, S. (2021). Revitalisasi budaya Nusantara. Gadjah Mada University Press.

Baron, N. S. (2008). Always on: Language in an online and mobile world. Oxford University Press.

Barthes, R. (1972). Mythologies (A. Lavers, Trans.). Hill and Wang.

Barthes, R. (1977). Elements of semiology (A. Lavers & C. Smith, Trans.). Hill and Wang.

Brooks, C. (1947). The well wrought urn: Studies in the structure of poetry. Harcourt, Brace & World.

Chomsky, N. (1957). Syntactic structures. Mouton.

Crystal, D. (2000). Language death. Cambridge University Press.

Culler, J. (1997). Literary theory: A very short introduction. Oxford University Press.

Culler, J. (2002). Structuralist poetics: Structuralism, linguistics and the study of literature. Routledge.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Eagleton, T. (2008). Literary theory: An introduction (2nd ed.). University of Minnesota Press.

Eagleton, T. (2012). The event of literature. Yale University Press.

Felski, R. (2015). The limits of critique. University of Chicago Press.

Finnegan, R. (1970). Oral literature in Africa. Oxford University Press.

Finnegan, R. (1977). Oral poetry: Its nature, significance, and social context. Cambridge University Press.

Fromkin, V., Rodman, R., & Hyams, N. (2017). An introduction to language (11th ed.). Cengage Learning.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. Basic Books.

Gold, M. K., & Klein, L. F. (Eds.). (2019). Debates in the digital humanities 2019. University of Minnesota Press.

Goldmann, L. (1975). Towards a sociology of the novel (A. Sheridan, Trans.). Tavistock Publications.

Hall, S. (1980). Encoding/decoding. In S. Hall, D. Hobson, A. Lowe, & P. Willis (Eds.), Culture, media, language (pp. 128–138). Routledge.

Hall, S. (1997). Representation: Cultural representations and signifying practices. Sage Publications.

Halliday, M. A. K. (1978). Language as social semiotic: The social interpretation of language and meaning. Edward Arnold.

Hiltebeitel, A. (2001). Rethinking the Mahabharata: A reader's guide to the education of the Dharma King. University of Chicago Press.

Hymes, D. (1968). The ethnography of speaking. In J. A. Fishman (Ed.), Readings in the sociology of language (pp. 99–138). Mouton.

Hymes, D. (1972). Models of the interaction of language and social life. In J. Gumperz & D. Hymes (Eds.), Directions in sociolinguistics (pp. 35–71). Holt, Rinehart, and Winston.

Jakobson, R. (1960). Linguistics and poetics. In T. A. Sebeok (Ed.), Style in language (pp. 350–377). MIT Press.

Lee, H. (2006). To kill a mockingbird. Harper Perennial.

Leech, G. (1981). Semantics: The study of meaning (2nd ed.). Penguin Books.

Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why democracy needs the humanities. Princeton University Press.

Pinker, S. (2007). The language instinct: How the mind creates language. Harper Perennial.

Pramoedya Ananta Toer. (1996). This earth of mankind (M. Lane, Trans.). Penguin Books.

Sapir, E. (1921). Language: An introduction to the study of speech. Harcourt, Brace and Company.

Schimmel, A. (1993). The triumphal sun: A study of the works of Jalaloddin Rumi. SUNY Press.

Storey, J. (2018). Cultural theory and popular culture: An introduction (7th ed.). Routledge.

Tannen, D. (2007). Talking voices: Repetition, dialogue, and imagery in conversational discourse (2nd ed.). Cambridge University Press.

Teeuw, A. (1988). Sastra dan ilmu sastra: Pengantar teori sastra. Pustaka Jaya.

Teeuw, A. (1989). Sastra Indonesia modern II. Pustaka Jaya.

UNESCO. (2010). Atlas of the world’s languages in danger (3rd ed., C. Moseley, Ed.). UNESCO Publishing.

Wa Thiong’o, N. (1986). Decolonising the mind: The politics of language in African literature. James Currey.

Wardhaugh, R., & Fuller, J. M. (2015). An introduction to sociolinguistics (7th ed.). Wiley-Blackwell.

Wellek, R., & Warren, A. (1949). Theory of literature. Harcourt, Brace and Company.

Whorf, B. L. (1956). The relation of habitual thought and behavior to language. In J. B. Carroll (Ed.), Language, thought, and reality: Selected writings of Benjamin Lee Whorf (pp. 134–159). MIT Press.

Williams, R. (1977). Marxism and literature. Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar