Sistem Pemerintahan
Tipologi, Dinamika, dan Implikasinya dalam Tata Kelola
Negara Modern
Alihkan ke: Ilmu
Pemerintahan,
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang
sistem pemerintahan sebagai salah satu pilar fundamental dalam penyelenggaraan
negara modern. Dengan pendekatan multidisipliner yang mencakup perspektif
politik, hukum, sejarah, dan tata kelola, artikel ini mengkaji pengertian,
tipologi, dan evolusi historis sistem pemerintahan, serta dinamika
implementasinya di berbagai negara, termasuk Indonesia. Fokus utama diarahkan
pada bagaimana desain institusional sistem pemerintahan—baik parlementer,
presidensial, maupun semi-presidensial—mempengaruhi kualitas demokrasi,
efektivitas pemerintahan, akuntabilitas kekuasaan, serta stabilitas politik.
Studi kasus Indonesia disorot secara khusus, mulai dari masa awal kemerdekaan hingga
era Reformasi, untuk menunjukkan kompleksitas hubungan antara norma
konstitusional dan praktik politik. Artikel ini juga menekankan pentingnya
reformasi kelembagaan dan penguatan budaya demokrasi sebagai syarat terciptanya
tata kelola negara yang berkelanjutan. Dengan merujuk pada literatur akademik
yang kredibel dan terkini, artikel ini bertujuan memberikan kontribusi teoritis
dan praktis bagi pengembangan sistem pemerintahan yang demokratis, inklusif,
dan responsif terhadap tantangan zaman.
Kata Kunci: Sistem pemerintahan, demokrasi, tata kelola,
presidensialisme, parlementer, konstitusi, Indonesia, checks and balances,
efektivitas kelembagaan, reformasi politik.
PEMBAHASAN
Telaah Komprehansif tentang Sistem Pemerintahan
Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Sistem pemerintahan merupakan struktur mendasar
yang menentukan pola interaksi antara lembaga-lembaga kekuasaan dalam suatu
negara, serta mengatur bagaimana kekuasaan tersebut diperoleh, dijalankan, dan
dipertanggungjawabkan. Dalam ilmu politik modern, sistem pemerintahan tidak
hanya menjadi kerangka normatif dalam penyusunan konstitusi, tetapi juga
instrumen strategis dalam menjaga stabilitas politik, menyeimbangkan kekuasaan,
serta menjamin efektivitas pemerintahan dalam melayani kepentingan publik.¹
Beragam bentuk sistem pemerintahan yang berkembang di
berbagai belahan dunia mencerminkan respons historis dan sosiologis terhadap
dinamika kekuasaan, aspirasi rakyat, serta tantangan yang dihadapi negara dalam
mencapai tata kelola yang demokratis dan berkeadilan. Dalam perspektif
teoritis, Giovanni Sartori menyatakan bahwa sistem pemerintahan adalah bentuk
institusional dari mekanisme pembagian kekuasaan yang mengatur hubungan antara
lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, termasuk cara kerja dan
batas-batas kewenangan masing-masing.²
Tiga bentuk sistem pemerintahan utama yang umum
dikenal dalam studi komparatif adalah sistem parlementer, sistem presidensial,
dan sistem semi-presidensial.³ Setiap model tersebut memiliki implikasi
struktural dan praktis yang khas dalam hal pengambilan keputusan politik,
hubungan antarlembaga negara, serta akuntabilitas pemerintahan. Selain itu,
dalam praktiknya, sistem pemerintahan tidak selalu berjalan sesuai kerangka
normatif yang diidealkan dalam teori, karena dipengaruhi oleh konfigurasi
politik, budaya hukum, serta kapasitas institusional negara.⁴
Dalam konteks kontemporer, studi terhadap sistem
pemerintahan menjadi semakin signifikan, terutama ketika dihadapkan pada
isu-isu seperti krisis kepercayaan publik, otoritarianisme baru, serta
kegagalan sistem demokrasi dalam mewujudkan pemerintahan yang efektif dan
inklusif. David Held menekankan bahwa pemilihan sistem pemerintahan tidak
sekadar persoalan desain kelembagaan, tetapi juga menyangkut nilai-nilai
demokrasi, partisipasi rakyat, dan keadilan sosial.⁵ Oleh karena itu, pemahaman
kritis terhadap ragam sistem pemerintahan serta dinamika implementasinya
diperlukan untuk membangun tata kelola negara yang adaptif, responsif, dan
berkelanjutan.
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara
sistematis konsep dasar, tipologi utama, dinamika implementasi, dan implikasi
sistem pemerintahan terhadap tata kelola negara modern. Dengan pendekatan
multidisipliner dan berbasis pada sumber-sumber ilmiah yang kredibel,
diharapkan tulisan ini dapat memberikan kontribusi dalam memperluas wacana
akademik dan praktik kenegaraan yang lebih reflektif dan kontekstual.
Footnotes
[1]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008), 42.
[2]
Giovanni Sartori, Comparative Constitutional
Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes (New York:
NYU Press, 1997), 29.
[3]
Arend Lijphart, Patterns of Democracy:
Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale
University Press, 2012), 125.
[4]
Alfred Stepan and Cindy Skach, “Constitutional
Frameworks and Democratic Consolidation: Parliamentarism versus
Presidentialism,” World Politics 46, no. 1 (October 1993): 1–22.
[5]
David Held, Models of Democracy, 3rd ed.
(Cambridge: Polity Press, 2006), 3–5.
2.
Pengertian
dan Dasar Konseptual Sistem Pemerintahan
Konsep sistem pemerintahan merupakan pilar utama
dalam studi ilmu politik dan hukum tata negara, karena menyangkut bagaimana
kekuasaan negara dibentuk, didistribusikan, dan dijalankan melalui
institusi-institusi formal. Secara etimologis, istilah "sistem"
berasal dari bahasa Yunani systēma, yang berarti suatu kesatuan dari
bagian-bagian yang saling berkaitan dan bekerja bersama. Dalam konteks
pemerintahan, sistem pemerintahan dipahami sebagai suatu konfigurasi
institusional yang mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara,
terutama antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.¹
Menurut Miriam Budiardjo, sistem pemerintahan
adalah struktur hubungan kerja antar lembaga negara yang menentukan bagaimana
kekuasaan negara dijalankan, siapa yang memegangnya, dan bagaimana
pertanggungjawabannya kepada rakyat.² Sistem ini bukan hanya menyangkut aspek
normatif dalam konstitusi, tetapi juga mencerminkan hasil kompromi politik,
sejarah ketatanegaraan, dan nilai-nilai ideologis yang hidup dalam masyarakat. Giovanni
Sartori menegaskan bahwa sistem pemerintahan tidak hanya ditentukan oleh
rumusan teks konstitusi, melainkan oleh operational reality—yakni
bagaimana lembaga-lembaga negara berinteraksi dalam praktik.³
Dalam kerangka teori institusional, sistem pemerintahan
dapat dilihat sebagai mekanisme governance yang meregulasi sirkulasi
kekuasaan dan proses pembuatan kebijakan publik. Teori ini memandang bahwa
desain sistem pemerintahan akan memengaruhi efektivitas negara dalam merespons
kebutuhan warganya, menjaga akuntabilitas, serta menjamin stabilitas politik.⁴
Oleh karena itu, dalam studi komparatif, para ilmuwan politik seperti Arend
Lijphart dan Alfred Stepan banyak membandingkan berbagai bentuk sistem
pemerintahan untuk memahami sejauh mana struktur formal dapat menghasilkan
performa demokrasi yang berbeda.⁵
Dari sudut pandang normatif, sistem pemerintahan
juga berlandaskan pada prinsip-prinsip dasar negara hukum (Rechtsstaat),
seperti pembagian kekuasaan (separation of powers), supremasi
konstitusi, dan prinsip checks and balances. Gagasan ini merujuk pada teori
klasik Montesquieu yang menekankan bahwa kekuasaan harus dipisahkan agar tidak
terjadi konsentrasi kekuasaan yang berujung pada tirani.⁶ Dalam praktik
kenegaraan modern, prinsip ini diwujudkan dalam struktur lembaga negara yang
memiliki kewenangan berbeda namun saling mengawasi satu sama lain.
Dengan demikian, pengertian sistem pemerintahan
tidak dapat dilepaskan dari kerangka teoretis dan kontekstual yang
mendasarinya. Ia adalah hasil konstruksi historis, sosial, dan politik yang
mencerminkan aspirasi masyarakat untuk menciptakan tata kelola negara yang sah,
adil, dan efektif. Kajian mendalam terhadap sistem pemerintahan menuntut
pemahaman terhadap teks konstitusi, praktik politik, struktur institusi, serta
norma sosial yang berkembang dalam masyarakat.
Footnotes
[1]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 44.
[2]
Ibid., 45.
[3]
Giovanni Sartori, Comparative Constitutional
Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes (New York:
NYU Press, 1997), 29–30.
[4]
B. Guy Peters, Institutional Theory in Political
Science: The ‘New Institutionalism’, 3rd ed. (London: Continuum, 2012),
115.
[5]
Arend Lijphart, Patterns of Democracy:
Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale
University Press, 2012), 1–15; Alfred Stepan and Cindy Skach, “Presidentialism
and Parliamentarism in Comparative Perspective,” in The Failure of
Presidential Democracy, ed. Juan J. Linz and Arturo Valenzuela (Baltimore:
Johns Hopkins University Press, 1994), 119–136.
[6]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans.
Anne M. Cohler, Basia C. Miller, and Harold S. Stone (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 155.
3.
Tipologi
Sistem Pemerintahan
Dalam kajian ilmu politik dan tata negara, sistem
pemerintahan diklasifikasikan berdasarkan pola hubungan antara lembaga
eksekutif dan legislatif, terutama dalam hal pembagian kekuasaan, mekanisme
pengawasan, dan pertanggungjawaban kekuasaan. Tipologi sistem pemerintahan yang
paling dikenal secara global meliputi tiga bentuk utama: sistem parlementer,
sistem presidensial, dan sistem semi-presidensial. Klasifikasi ini memungkinkan
analisis komparatif yang sistematis terhadap struktur kelembagaan dan performa
demokrasi dalam berbagai negara.¹
3.1.
Sistem Pemerintahan
Parlementer
Sistem parlementer ditandai oleh supremasi parlemen
sebagai pusat kekuasaan legislatif dan kontrol terhadap eksekutif. Kepala
pemerintahan (biasanya perdana menteri) berasal dari partai mayoritas di
parlemen dan bertanggung jawab langsung kepada lembaga legislatif tersebut.
Jika kehilangan kepercayaan dari parlemen, pemerintah harus mundur atau
dibubarkan melalui mosi tidak percaya.²
Model ini banyak dianut oleh negara-negara yang
menganut tradisi demokrasi parlementer seperti Inggris, India, dan Jepang.
Keunggulan sistem parlementer terletak pada fleksibilitas dan efisiensi
pengambilan kebijakan karena eksekutif berasal dari mayoritas legislatif. Namun,
kekurangannya adalah potensi instabilitas politik jika tidak ada partai dominan
atau dalam kondisi koalisi rapuh.³
Menurut Arend Lijphart, sistem parlementer memiliki
kecenderungan untuk menghasilkan pemerintahan koalisi yang lebih representatif,
serta menguatkan sistem checks and balances secara internal melalui pengawasan
parlemen yang aktif.⁴
3.2.
Sistem Pemerintahan
Presidensial
Dalam sistem presidensial, terdapat pemisahan
kekuasaan yang tegas antara eksekutif dan legislatif. Presiden, sebagai kepala
negara sekaligus kepala pemerintahan, dipilih secara langsung oleh rakyat dan
memiliki masa jabatan tetap. Ia tidak bertanggung jawab kepada parlemen secara
langsung dan tidak dapat diberhentikan kecuali melalui proses hukum seperti
impeachment.⁵
Sistem ini mengedepankan prinsip independensi
lembaga, namun menghadapi risiko terjadinya kebuntuan (gridlock) antara
eksekutif dan legislatif, terutama dalam sistem multipartai seperti Indonesia.
Giovanni Sartori mengingatkan bahwa sistem presidensial menuntut desain
institusional yang matang agar tidak jatuh dalam konsentrasi kekuasaan atau
ketegangan antarlembaga.⁶
Amerika Serikat merupakan contoh klasik dari sistem
presidensial yang stabil, sementara banyak negara Amerika Latin mengalami
krisis akibat ketegangan antara presiden dan legislatif, terutama ketika tidak
ada konsensus politik yang kuat.⁷ Indonesia, sejak amandemen UUD 1945, secara
formal menganut sistem presidensial, namun dalam praktiknya terdapat banyak
elemen parlementer yang membuatnya menjadi presidensialisme yang bercorak
koalisi.⁸
3.3.
Sistem Pemerintahan
Semi-Presidensial
Sistem semi-presidensial adalah bentuk hibrida yang
menggabungkan elemen dari sistem presidensial dan parlementer. Dalam model ini,
terdapat seorang presiden yang dipilih langsung oleh rakyat dengan wewenang
tertentu, serta perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen. Relasi
kekuasaan antara presiden dan perdana menteri tergantung pada konstitusi dan
praktik politik yang berkembang di masing-masing negara.⁹
Prancis merupakan contoh yang paling dikenal dari
sistem semi-presidensial, di mana presiden memegang kendali atas kebijakan luar
negeri dan pertahanan, sedangkan perdana menteri mengelola urusan domestik
sehari-hari.⁽¹⁰⁾ Model ini memberikan fleksibilitas lebih tinggi dalam
pembagian kekuasaan, namun juga dapat memunculkan dualisme dalam kepemimpinan,
terutama jika presiden dan parlemen berasal dari kubu politik yang berbeda (cohabitation).⁽¹¹⁾
3.4.
Sistem Pemerintahan
Sentralistik/Komunis
Di luar tiga sistem utama tersebut, terdapat pula
sistem pemerintahan yang bercorak otoriter atau komunis, seperti yang dianut
oleh Republik Rakyat Tiongkok dan Korea Utara. Sistem ini biasanya didasarkan
pada supremasi partai tunggal dan tidak mengenal prinsip pemisahan kekuasaan
secara fungsional. Dalam model ini, pemerintahan dikendalikan secara
sentralistik dan ideologis oleh elit partai, dan partisipasi politik rakyat
bersifat terbatas.⁽¹²⁾
Meskipun tidak bersandar pada prinsip demokrasi
liberal, sistem seperti ini tetap menunjukkan bentuk sistematis dari
pengelolaan kekuasaan, meski seringkali disertai dengan pembatasan hak-hak
sipil dan politik yang signifikan.⁽¹³⁾
Footnotes
[1]
Arend Lijphart, Patterns of Democracy:
Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale
University Press, 2012), 75.
[2]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 138.
[3]
Ibid., 140.
[4]
Lijphart, Patterns of Democracy, 88–90.
[5]
Juan J. Linz, “The Perils of Presidentialism,” Journal
of Democracy 1, no. 1 (1990): 51–69.
[6]
Giovanni Sartori, Comparative Constitutional
Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes (New York:
NYU Press, 1997), 123.
[7]
Scott Mainwaring and Matthew Soberg Shugart, eds., Presidentialism
and Democracy in Latin America (Cambridge: Cambridge University Press,
1997), 20–25.
[8]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 67–72.
[9]
Maurice Duverger, “A New Political System Model:
Semi-Presidential Government,” European Journal of Political Research 8,
no. 2 (1980): 165–187.
[10]
Robert Elgie, Semi-Presidentialism: Sub-Types
and Democratic Performance (Oxford: Oxford University Press, 2011), 35.
[11]
Ibid., 41–43.
[12]
Cheng Li, Chinese Politics in the Xi Jinping
Era: Reassessing Collective Leadership (Washington, D.C.: Brookings
Institution Press, 2016), 21.
[13]
Steven Levitsky and Lucan Way, Competitive
Authoritarianism: Hybrid Regimes after the Cold War (Cambridge: Cambridge
University Press, 2010), 87.
4.
Evolusi
Historis Sistem Pemerintahan
Perkembangan sistem pemerintahan sepanjang sejarah
tidak dapat dilepaskan dari dinamika politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang
mempengaruhi proses pembentukan negara dan tata kelolanya. Evolusi sistem
pemerintahan merefleksikan proses transisi dari model kekuasaan
tradisional—seperti monarki absolut—ke bentuk-bentuk pemerintahan yang lebih
terstruktur secara institusional dan demokratis. Perubahan tersebut tidak hanya
terjadi sebagai akibat dari perubahan internal suatu masyarakat, melainkan juga
melalui pengaruh global, revolusi, kolonialisme, dan desentralisasi kekuasaan.¹
4.1.
Dari Monarki Absolut ke
Konstitusionalisme
Pada masa pramodern, sistem pemerintahan didominasi
oleh model monarki absolut, di mana raja atau penguasa memegang kekuasaan penuh
atas pemerintahan dan rakyat. Kekuasaan tersebut seringkali dianggap sebagai
hak ilahi (divine right of kings) dan tidak terbatas oleh hukum
positif.² Namun, seiring berkembangnya kesadaran akan hak-hak individu dan
perlunya pembatasan kekuasaan, muncul tuntutan untuk menata ulang relasi antara
penguasa dan rakyat.
Salah satu tonggak penting dalam evolusi sistem
pemerintahan adalah ditandatanganinya Magna Carta pada tahun 1215 di
Inggris, yang menjadi dasar awal pembatasan kekuasaan raja dan awal mula
tradisi konstitusionalisme.³ Gerakan ini berlanjut dengan munculnya Revolusi
Inggris (1642–1651), yang melahirkan sistem parlementer dan menjadikan parlemen
sebagai institusi penyeimbang terhadap kekuasaan raja.⁴
4.2.
Revolusi dan Pembentukan
Sistem Demokratis
Revolusi-revolusi besar seperti Revolusi Amerika
(1776) dan Revolusi Prancis (1789) menandai babak baru dalam sejarah sistem
pemerintahan. Revolusi Amerika menghasilkan konstitusi tertulis pertama di
dunia modern, yang memperkenalkan sistem presidensial dengan prinsip pemisahan
kekuasaan secara tegas.⁵ Sementara itu, Revolusi Prancis menghancurkan struktur
feodal dan membuka jalan bagi pembentukan pemerintahan republik yang berbasis
pada prinsip kedaulatan rakyat.⁶
Kedua revolusi tersebut memicu gelombang perubahan
di berbagai belahan dunia dan menjadi inspirasi utama dalam pembentukan
negara-negara merdeka yang baru, terutama pada abad ke-19 dan ke-20. Konstitusi
sebagai dokumen hukum tertinggi menjadi fondasi sistem pemerintahan modern,
menggantikan legitimasi turun-temurun dengan mandat demokratis.⁷
4.3.
Era Kolonialisme dan
Warisan Sistem Pemerintahan
Masa kolonialisme turut membentuk konfigurasi
sistem pemerintahan di negara-negara jajahan. Kolonialisme tidak hanya
mengeksploitasi sumber daya dan tenaga kerja, tetapi juga memperkenalkan model
administrasi pemerintahan modern seperti birokrasi kolonial, sistem hukum
sipil, dan struktur pemerintahan pusat-daerah.⁸
Setelah kemerdekaan, banyak negara bekas jajahan
mewarisi sistem pemerintahan yang bercorak kolonial, baik dalam bentuk
presidensial ala Amerika Serikat maupun parlementer ala Inggris. Namun, karena
ketidaksesuaian antara sistem warisan tersebut dengan struktur sosial dan
budaya lokal, tidak sedikit negara mengalami kegagalan institusional yang
berujung pada otoritarianisme atau instabilitas politik.⁹
4.4.
Desentralisasi dan
Demokratisasi Abad ke-20 dan 21
Setelah Perang Dunia II, terutama sejak era
1970-an, dunia menyaksikan gelombang besar demokratisasi dan reformasi sistem
pemerintahan. Gelombang ketiga demokratisasi yang dikemukakan oleh Samuel P.
Huntington menunjukkan bahwa banyak negara di Amerika Latin, Eropa Timur, dan
Asia mengalami transisi dari pemerintahan otoriter ke demokrasi dengan sistem
pemerintahan yang lebih terbuka.¹⁰
Transformasi sistem pemerintahan juga ditandai
dengan peningkatan peran lembaga-lembaga demokratis, reformasi konstitusi,
serta adopsi prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance). Di
sisi lain, munculnya tantangan baru seperti populisme, disinformasi, dan
ketimpangan global menguji daya tahan sistem pemerintahan yang ada.¹¹
Evolusi historis sistem pemerintahan tidak hanya
menunjukkan perubahan struktur formal kekuasaan, tetapi juga mencerminkan
dinamika ideologis, sosial, dan kultural dalam pencarian sistem yang paling
sesuai untuk mewujudkan keadilan, efektivitas, dan legitimasi kekuasaan. Oleh
karena itu, studi terhadap sejarah sistem pemerintahan memberikan landasan
penting dalam memahami dan merancang model pemerintahan yang kontekstual dan
adaptif di era modern.
Footnotes
[1]
Brian R. Nelson, The Making of the Modern State:
A Theoretical Evolution (New York: Palgrave Macmillan, 2006), 23.
[2]
Quentin Skinner, The Foundations of Modern
Political Thought, Volume 2: The Age of Reformation (Cambridge: Cambridge
University Press, 1978), 247.
[3]
J. C. Holt, Magna Carta, 2nd ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 1992), 3–5.
[4]
David L. Smith, A History of the Modern British
Isles, 1603–1707: The Double Crown (Oxford: Blackwell, 1998), 134.
[5]
Jack N. Rakove, Original Meanings: Politics and
Ideas in the Making of the Constitution (New York: Alfred A. Knopf, 1996),
45–48.
[6]
William Doyle, The Oxford History of the French
Revolution, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 112–114.
[7]
Cheryl Saunders, “Constitutional Courts in
Comparative Perspective,” Journal of Comparative Law 3, no. 1 (2008): 4.
[8]
Mahmood Mamdani, Citizen and Subject:
Contemporary Africa and the Legacy of Late Colonialism (Princeton:
Princeton University Press, 1996), 15.
[9]
Larry Diamond, Developing Democracy: Toward
Consolidation (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1999), 43–47.
[10]
Samuel P. Huntington, The Third Wave:
Democratization in the Late Twentieth Century (Norman: University of
Oklahoma Press, 1991), 15.
[11]
Thomas Carothers, “Democracy Support and
Development Aid: The Elusive Synthesis,” Journal of Democracy 21, no. 4
(2010): 12–26.
5.
Prinsip-Prinsip
Demokrasi dan Pembagian Kekuasaan
Salah satu fondasi utama dalam penyusunan sistem
pemerintahan modern adalah prinsip demokrasi yang berlandaskan pada kedaulatan
rakyat dan pembagian kekuasaan. Demokrasi, dalam pengertian substantif,
tidak hanya mengacu pada pemilihan umum yang bebas dan adil, tetapi juga pada
keberlangsungan lembaga-lembaga negara yang menjamin kebebasan sipil, supremasi
hukum, dan mekanisme akuntabilitas.¹ Oleh karena itu, hubungan antara
prinsip-prinsip demokrasi dan pembagian kekuasaan menjadi titik sentral dalam
analisis sistem pemerintahan yang sehat dan berfungsi.
5.1.
Demokrasi: Kedaulatan
Rakyat dan Pemerintahan Berdasarkan Hukum
Demokrasi secara etimologis berasal dari kata
Yunani demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan), yang berarti
kekuasaan berada di tangan rakyat.² Dalam praktik kenegaraan modern, demokrasi
dipahami sebagai suatu sistem pemerintahan yang menjamin partisipasi rakyat
dalam proses politik, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang
mereka pilih.³
Robert A. Dahl menyebutkan dua dimensi utama dari
demokrasi: kontestasi (persaingan yang terbuka dalam memperoleh
kekuasaan) dan partisipasi (keterlibatan luas warga negara dalam proses
politik).⁴ Prinsip ini menuntut keberadaan mekanisme pemilu yang bebas,
kebebasan berpendapat dan berserikat, serta akses terhadap informasi publik.
Namun, demokrasi yang prosedural saja tidak cukup.
Ia harus dibarengi dengan rule of law atau prinsip negara hukum, yang
menempatkan hukum sebagai kekuasaan tertinggi dan mengikat semua warga negara,
termasuk penguasa.⁵ Dalam konteks ini, supremasi konstitusi, independensi
lembaga peradilan, dan jaminan hak asasi manusia menjadi pilar utama yang
menopang legitimasi sistem pemerintahan demokratis.
5.2.
Pembagian Kekuasaan:
Menjaga Keseimbangan dan Mencegah Tirani
Gagasan pembagian kekuasaan pertama kali
dikemukakan secara sistematis oleh Montesquieu dalam karya klasiknya De
l’esprit des lois (The Spirit of the Laws), di mana ia mengusulkan
pemisahan antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif guna mencegah
akumulasi kekuasaan dalam satu tangan yang berpotensi tiranik.⁶
Montesquieu berargumen bahwa “Il n’y a point
encore de liberté si la puissance de juger n’est pas séparée de la puissance
législative et de l’exécutrice.” (tidak akan ada kebebasan jika kekuasaan
kehakiman tidak dipisahkan dari legislatif dan eksekutif).⁷ Konsep ini kemudian
menjadi prinsip universal dalam desain konstitusional negara-negara demokratis.
Dalam sistem parlementer, pemisahan kekuasaan
bersifat fusion of powers, di mana eksekutif merupakan bagian dari
legislatif dan bertanggung jawab kepada parlemen. Sementara dalam sistem
presidensial, prinsip separation of powers diterapkan secara lebih
ketat, dengan pemisahan struktural dan fungsional antar lembaga.⁸
Pembagian kekuasaan ini diperkuat dengan mekanisme checks
and balances yang memungkinkan satu lembaga mengontrol atau mengimbangi
kekuasaan lembaga lainnya.⁹ Hal ini sangat penting dalam menjaga stabilitas dan
akuntabilitas sistem pemerintahan serta mencegah penyalahgunaan wewenang.
5.3.
Integrasi Demokrasi dan
Struktur Institusional
Dalam praktik, keberhasilan integrasi
prinsip-prinsip demokrasi dan pembagian kekuasaan sangat bergantung pada desain
institusi dan budaya politik suatu negara. Arend Lijphart mengemukakan bahwa
sistem pemerintahan yang mampu menyeimbangkan kekuasaan antar lembaga, sambil
tetap membuka ruang partisipasi politik yang luas, cenderung lebih stabil dan
responsif terhadap kebutuhan masyarakat.¹⁰
Demokrasi memerlukan institusi-institusi yang tidak
hanya demokratis secara formal, tetapi juga substantif dalam melayani
kepentingan publik, mengelola konflik, dan menjamin perlindungan hak minoritas.
Oleh karena itu, desain sistem pemerintahan tidak boleh bersifat normatif
semata, melainkan harus mempertimbangkan realitas sosial, struktur kekuasaan,
dan kesiapan institusional yang ada.¹¹
Footnotes
[1]
Larry Diamond and Leonardo Morlino, “The Quality of
Democracy: An Overview,” Journal of Democracy 15, no. 4 (2004): 20.
[2]
Giovanni Sartori, The Theory of Democracy
Revisited, vol. 1 (Chatham, NJ: Chatham House, 1987), 7.
[3]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 109.
[4]
Robert A. Dahl, Polyarchy: Participation and
Opposition (New Haven: Yale University Press, 1971), 3–7.
[5]
Tom Bingham, The Rule of Law (London:
Penguin Books, 2011), 37–39.
[6]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans.
Anne M. Cohler, Basia C. Miller, and Harold S. Stone (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 157.
[7]
Ibid., 155.
[8]
Juan J. Linz, “Presidential or Parliamentary
Democracy: Does It Make a Difference?” in The Failure of Presidential
Democracy, ed. Juan J. Linz and Arturo Valenzuela (Baltimore: Johns Hopkins
University Press, 1994), 8–11.
[9]
B. Guy Peters, The Politics of Bureaucracy,
6th ed. (New York: Routledge, 2010), 83.
[10]
Arend Lijphart, Patterns of Democracy:
Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale
University Press, 2012), 295.
[11]
Samuel P. Huntington, Political Order in
Changing Societies (New Haven: Yale University Press, 1968), 10–12.
6.
Dinamika
Implementasi Sistem Pemerintahan
Implementasi sistem pemerintahan tidak selalu
mencerminkan desain normatif yang ditetapkan dalam konstitusi. Dalam
kenyataannya, berbagai faktor sosial-politik, budaya hukum, konfigurasi
kekuatan politik, serta kapasitas kelembagaan sangat memengaruhi bagaimana
sistem pemerintahan dijalankan. Oleh karena itu, memahami dinamika implementasi
sistem pemerintahan memerlukan pendekatan kontekstual yang memperhatikan
interaksi antara struktur formal dan praktik aktual di lapangan.¹
6.1.
Kesenjangan antara Desain
Konstitusional dan Praktik Institusional
Meskipun sistem pemerintahan dirancang dengan
prinsip-prinsip ideal seperti pemisahan kekuasaan, checks and balances, dan
kedaulatan rakyat, dalam banyak kasus terjadi implementation gap antara
apa yang tertulis dalam konstitusi dan kenyataan politik yang berlangsung.²
Giovanni Sartori menyebut fenomena ini sebagai constitutional façade,
yaitu situasi di mana struktur konstitusional hanya bersifat simbolik dan tidak
sepenuhnya dijalankan secara efektif.³
Kesenjangan ini umumnya disebabkan oleh lemahnya
institusi penegakan hukum, dominasi elit politik, serta budaya politik
patrimonial yang mengutamakan loyalitas personal daripada rasionalitas
kelembagaan.⁴ Dalam beberapa negara, presiden atau perdana menteri bahkan melampaui
batas kekuasaannya karena lemahnya mekanisme pengawasan dari legislatif atau
yudikatif.
6.2.
Peran Partai Politik dan
Sistem Kepartaian
Partai politik memainkan peran sentral dalam
dinamika sistem pemerintahan, baik dalam sistem presidensial maupun parlementer.
Dalam sistem parlementer, efektivitas pemerintahan sangat bergantung pada
stabilitas koalisi partai di parlemen. Ketidakstabilan koalisi sering kali
menyebabkan jatuh bangunnya kabinet dan menghambat kelangsungan kebijakan
publik.⁵
Sementara itu, dalam sistem presidensial,
fragmentasi partai politik di parlemen dapat menyebabkan kebuntuan (gridlock)
antara eksekutif dan legislatif, terutama ketika presiden berasal dari partai
minoritas.⁶ Di banyak negara berkembang, sistem multipartai tanpa regulasi yang
memadai telah memunculkan praktik politik transaksional dan kooptasi kekuasaan
oleh kelompok oligarkis.⁷
Dalam studi komparatifnya, Scott Mainwaring
menunjukkan bahwa stabilitas sistem presidensial sangat dipengaruhi oleh jenis
sistem kepartaian yang dianut. Sistem presidensial cenderung lebih stabil jika
didukung oleh sistem dua partai atau partai dominan, dibandingkan dengan sistem
multipartai yang terfragmentasi.⁸
6.3.
Budaya Politik dan
Legitimasi Kekuasaan
Budaya politik merupakan variabel penting dalam
menentukan keberhasilan implementasi sistem pemerintahan. Gabriel Almond dan
Sidney Verba menjelaskan bahwa masyarakat dengan budaya politik partisipatif
dan kepercayaan tinggi terhadap institusi publik cenderung lebih mendukung
efektivitas pemerintahan.⁹ Sebaliknya, budaya politik yang apatis,
paternalistik, atau penuh kecurigaan dapat melemahkan legitimasi sistem yang
berlaku.
Dalam konteks ini, legitimasi bukan hanya soal
legalitas formal, tetapi juga persepsi masyarakat terhadap keabsahan dan moralitas
kekuasaan.¹⁰ Oleh karena itu, pembangunan sistem pemerintahan yang kuat
memerlukan upaya pendidikan politik, penguatan masyarakat sipil, dan
pemberdayaan warga negara untuk aktif terlibat dalam pengambilan keputusan
publik.
6.4.
Kapasitas Institusional dan
Tata Kelola
Keberhasilan implementasi sistem pemerintahan juga
sangat dipengaruhi oleh kapasitas institusional, yaitu kemampuan
lembaga-lembaga negara dalam merumuskan, melaksanakan, dan mengevaluasi
kebijakan publik secara efisien dan akuntabel.¹¹ Negara-negara dengan birokrasi
profesional, independen, dan responsif cenderung mampu menjalankan sistem
pemerintahan secara lebih stabil dan efektif.
Sebaliknya, negara dengan kapasitas institusional
rendah sering kali menghadapi tantangan serius berupa korupsi, tumpang tindih
kewenangan, lemahnya koordinasi antar lembaga, serta resistensi terhadap
reformasi kelembagaan.¹² Dalam situasi seperti ini, sistem pemerintahan yang
dirancang secara ideal menjadi tidak operasional karena tidak didukung oleh
infrastruktur kelembagaan yang memadai.
Footnotes
[1]
B. Guy Peters, Institutional Theory in Political
Science: The New Institutionalism, 3rd ed. (London: Continuum, 2012), 94.
[2]
Cheryl Saunders, “Constitutional Design and
Implementation,” International Journal of Constitutional Law 13, no. 3
(2015): 528–530.
[3]
Giovanni Sartori, Comparative Constitutional
Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes (New York:
NYU Press, 1997), 135.
[4]
Thomas Carothers, “The End of the Transition
Paradigm,” Journal of Democracy 13, no. 1 (2002): 7–9.
[5]
Arend Lijphart, Patterns of Democracy:
Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale
University Press, 2012), 98.
[6]
Juan J. Linz, “The Perils of Presidentialism,” Journal
of Democracy 1, no. 1 (1990): 51.
[7]
Edward Aspinall and Ward Berenschot, Democracy
for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca:
Cornell University Press, 2019), 23–26.
[8]
Scott Mainwaring and Matthew Shugart, eds., Presidentialism
and Democracy in Latin America (Cambridge: Cambridge University Press,
1997), 16.
[9]
Gabriel A. Almond and Sidney Verba, The Civic
Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations (Princeton: Princeton
University Press, 1963), 14–16.
[10]
David Beetham, The Legitimation of Power
(London: Macmillan, 1991), 11.
[11]
Merilee S. Grindle, Good Enough Governance:
Poverty Reduction and Reform in Developing Countries (Washington, D.C.:
World Bank, 2004), 526.
[12]
Francis Fukuyama, Political Order and Political
Decay: From the Industrial Revolution to the Globalization of Democracy
(New York: Farrar, Straus and Giroux, 2014), 124–126.
7.
Sistem
Pemerintahan di Indonesia: Kajian Konstitusional dan Praktis
Sejak kemerdekaannya pada tahun 1945, Indonesia
telah mengalami berbagai perubahan dalam sistem pemerintahan, baik secara
normatif dalam konstitusi maupun dalam praktik politiknya. Sistem pemerintahan
Indonesia tidak pernah sepenuhnya statis, melainkan menunjukkan dinamika yang
erat kaitannya dengan konfigurasi kekuasaan, kebutuhan stabilitas politik,
serta tekanan dari masyarakat dan elite politik.⁽¹⁾ Oleh karena itu, kajian
terhadap sistem pemerintahan Indonesia harus dilakukan dengan membedakan antara
aspek konstitusional (tekstual) dan aspek praktis (implementatif).
7.1.
Periode Awal Kemerdekaan
(1945–1959): Parlementer dalam Bingkai Presidensial
UUD 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945
secara eksplisit menganut sistem pemerintahan presidensial, di mana presiden
adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, dan tidak bertanggung jawab
kepada lembaga legislatif.⁽²⁾ Namun, dalam praktiknya, sistem pemerintahan yang
dijalankan justru menyerupai sistem parlementer, ditandai dengan adanya kabinet
yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang
berperan sebagai parlemen.⁽³⁾
Pergeseran ini terjadi karena keluarnya Maklumat
Wakil Presiden No. X pada 16 Oktober 1945 yang memberikan kewenangan legislatif
kepada KNIP dan melemahkan posisi presiden. Sejak saat itu, Indonesia mengalami
periode pemerintahan parlementer, dengan kabinet yang sering berganti dan
pemerintahan yang tidak stabil.⁽⁴⁾
7.2.
Masa Demokrasi Terpimpin
(1959–1965): Kembali ke Presidensialisme Otokratis
Ketidakstabilan politik pada masa parlementer
mendorong Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang
memberlakukan kembali UUD 1945 dan mengakhiri sistem parlementer.⁽⁵⁾ Namun,
yang terjadi kemudian bukanlah penguatan sistem presidensial yang demokratis,
melainkan munculnya pemerintahan otoriter yang terpusat pada figur presiden.
Masa ini dikenal sebagai Demokrasi Terpimpin, di mana kekuasaan legislatif dan
yudikatif dikooptasi oleh eksekutif, dan peran partai politik direduksi.⁽⁶⁾
Dalam praktiknya, Demokrasi Terpimpin menyimpang
dari semangat konstitusi karena sistem pemerintahan dijalankan secara
personalistik dan represif, dengan melemahnya sistem checks and balances yang
seharusnya menjadi ciri khas sistem presidensial.⁽⁷⁾
7.3.
Orde Baru (1966–1998):
Presidensialisme yang Terinstitusionalisasi tetapi Terpusat
Rezim Orde Baru di bawah Soeharto secara formal
tetap menggunakan UUD 1945 dan sistem presidensial. Namun, kekuasaan presiden
diperkuat melalui dominasi terhadap lembaga legislatif, pengendalian militer,
serta pembatasan terhadap oposisi politik.⁽⁸⁾ Sistem pemerintahan pada masa ini
ditandai oleh stabilitas politik yang tinggi tetapi dengan biaya besar terhadap
demokrasi, partisipasi rakyat, dan kebebasan sipil.
Dalam praktik, sistem presidensial Orde Baru
berjalan dengan dominasi satu partai (Golkar), serta adanya kooptasi lembaga
legislatif dan yudikatif yang membuat mekanisme checks and balances tidak
berjalan efektif.⁽⁹⁾ Banyak peneliti menyebut sistem ini sebagai presidensialisme
otoriter, yakni sistem pemerintahan presidensial yang kehilangan substansi
demokratisnya.¹⁰
7.4.
Era Reformasi
(1998–sekarang): Penguatan Presidensialisme Konstitusional
Kejatuhan Soeharto pada tahun 1998 menandai
dimulainya era Reformasi yang mendorong perubahan besar dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali (1999–2002)
mengubah secara signifikan struktur sistem pemerintahan Indonesia ke arah
presidensialisme yang lebih demokratis dan konstitusional.¹¹
Perubahan penting meliputi:
·
Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat (Pasal 6A)
·
Pembatasan masa jabatan presiden (maksimal dua periode)
·
Penguatan lembaga perwakilan (DPR dan DPD)
·
Pembentukan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial
·
Pemisahan dan penegasan fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif
Reformasi ini menegaskan kembalinya Indonesia ke
model presidensial yang lebih genuine, dengan mekanisme checks and
balances yang diperkuat dan prinsip kedaulatan rakyat yang lebih nyata dalam
sistem pemilu.¹² Namun demikian, dalam praktiknya, sistem presidensial
Indonesia menghadapi tantangan berupa koalisi multipartai yang lemah, politik
transaksional, dan ketimpangan relasi antara presiden dan parlemen.¹³
Jimly Asshiddiqie menyebut sistem pemerintahan
Indonesia pasca-Reformasi sebagai “presidensialisme dalam lingkungan
multipartai yang kompleks,” yang menuntut kreativitas dan kehati-hatian dalam
membangun koalisi pemerintahan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi.¹⁴
Footnotes
[1]
Bagir Manan, Sistem Pemerintahan Indonesia
Menurut UUD 1945 (Yogyakarta: FH UII Press, 2001), 3.
[2]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Pembukaan dan Pasal 4.
[3]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 73.
[4]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 141.
[5]
Abdul Gaffar Karim, Demokrasi dan Desentralisasi
di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 22.
[6]
Herbert Feith, The Decline of Constitutional
Democracy in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1962), 469.
[7]
Daniel S. Lev, “Judicial Authority and the Struggle
for an Indonesian Rechtsstaat,” Law & Society Review 13, no. 1
(1978): 41–69.
[8]
Vedi R. Hadiz, Power and Politics in Indonesia
(London: Routledge, 2004), 36.
[9]
Donald K. Emmerson, ed., Indonesia Beyond Suharto:
Polity, Economy, Society, Transition (Armonk: M. E. Sharpe, 1999), 48–51.
[10]
Marcus Mietzner, “Authoritarianism and Democracy in
Indonesia: The Rise of the Technocrats,” Journal of Democracy 16, no. 2
(2005): 115–129.
[11]
Denny Indrayana, Indonesian Constitutional
Reform 1999–2002: An Evaluation of Constitution-Making in Transition
(Jakarta: Kompas, 2008), 201–207.
[12]
Tim Lindsey, Indonesia: Law and Society, 2nd
ed. (Sydney: Federation Press, 2008), 57–58.
[13]
Edward Aspinall and Marcus Mietzner, Politics in
Contemporary Indonesia: Institutional Change and Democratic Consolidation
(Singapore: ISEAS Publishing, 2010), 95.
[14]
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan
Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945 (Jakarta: FH UI, 2004), 104.
8.
Implikasi
Sistem Pemerintahan terhadap Tata Kelola dan Demokrasi
Sistem pemerintahan yang diadopsi oleh suatu negara
memainkan peran penting dalam menentukan arah dan kualitas governance
(tata kelola pemerintahan) serta konsolidasi demokrasi. Model sistem
pemerintahan yang dipilih bukan hanya soal teknis kelembagaan, melainkan
berimplikasi langsung terhadap sejauh mana kekuasaan dapat dikelola secara
efektif, akuntabel, dan demokratis.¹ Oleh karena itu, analisis implikasi sistem
pemerintahan terhadap tata kelola negara dan demokrasi menjadi penting dalam
mengevaluasi sejauh mana suatu sistem mampu merespons kebutuhan masyarakat,
menjamin stabilitas politik, dan menegakkan supremasi hukum.
8.1.
Efektivitas Pemerintahan dan
Kualitas Kebijakan Publik
Salah satu indikator keberhasilan sistem
pemerintahan adalah sejauh mana ia mampu menghasilkan kebijakan publik yang
efektif, responsif, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.² Dalam sistem
parlementer, koherensi antara lembaga legislatif dan eksekutif—karena berasal
dari koalisi atau partai mayoritas yang sama—sering kali mempercepat proses
pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan. Namun, model ini juga rawan
terhadap instabilitas apabila terjadi perpecahan koalisi atau perubahan
dukungan politik.³
Sebaliknya, dalam sistem presidensial, stabilitas
masa jabatan eksekutif memungkinkan perencanaan dan pelaksanaan kebijakan
jangka menengah hingga panjang, tetapi dapat menghadapi gridlock atau
kebuntuan antara presiden dan parlemen jika tidak terjadi sinergi politik.⁴
Situasi ini umum terjadi dalam sistem multipartai, seperti yang terjadi di
Indonesia dan beberapa negara Amerika Latin.⁵
8.2.
Akuntabilitas dan Mekanisme
Checks and Balances
Sistem pemerintahan yang baik harus menjamin bahwa
pemegang kekuasaan dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan dan
kebijakan mereka. Akuntabilitas ini dapat bersifat horizontal (antarlembaga
negara) dan vertikal (antara pemerintah dan rakyat).⁶ Dalam sistem parlementer,
akuntabilitas politik terhadap parlemen bersifat langsung dan dapat mendorong
pengawasan yang kuat terhadap kebijakan eksekutif. Namun, jika partai penguasa
mendominasi parlemen secara absolut, fungsi pengawasan dapat menjadi lemah.
Sistem presidensial menjanjikan pemisahan kekuasaan
yang tegas, tetapi efektivitas mekanisme checks and balances sangat
bergantung pada independensi lembaga legislatif dan yudikatif.⁷ Dalam
praktiknya, hubungan yang terlalu dominan dari presiden terhadap lembaga
pengawas dapat mengarah pada konsentrasi kekuasaan dan merosotnya kualitas
demokrasi.⁸
8.3.
Stabilitas Politik dan
Ketahanan Demokrasi
Sistem pemerintahan juga berimplikasi pada
stabilitas politik dan keberlanjutan demokrasi. Lijphart berargumen bahwa
sistem parlementer cenderung lebih cocok diterapkan di negara dengan masyarakat
plural, karena lebih inklusif dalam mengakomodasi berbagai kepentingan politik
melalui koalisi.⁹ Namun, sistem ini juga berisiko mengalami governing
instability jika tidak ada partai dominan atau mekanisme koalisi yang kuat.
Sementara itu, sistem presidensial dinilai
memberikan regime stability karena menjamin kepastian masa jabatan
eksekutif. Akan tetapi, sistem ini lebih rentan terhadap regime breakdown
ketika terjadi krisis legitimasi atau konflik antara eksekutif dan legislatif,
seperti yang banyak terjadi di Amerika Latin.¹⁰
Oleh karena itu, keberhasilan sistem pemerintahan
dalam menjaga stabilitas politik dan memperkuat demokrasi tidak hanya
bergantung pada desain institusional, tetapi juga pada kualitas aktor politik,
budaya politik, serta kekuatan masyarakat sipil.
8.4.
Representasi, Inklusivitas,
dan Partisipasi Publik
Sistem pemerintahan juga berdampak pada seberapa
besar ruang partisipasi dan representasi yang tersedia bagi warga negara. Model
parlementer cenderung membuka ruang partisipasi yang lebih luas dalam konteks
representasi partai politik dan kebijakan publik berbasis konsensus.¹¹ Dalam
sistem presidensial, partisipasi rakyat diwujudkan secara langsung melalui
pemilihan eksekutif, tetapi dapat menyempit pada tingkat lokal dan legislatif
apabila sistem kepartaian tidak inklusif.¹²
Di negara-negara berkembang, pembentukan sistem
pemerintahan yang representatif dan partisipatif menjadi tantangan tersendiri
karena keterbatasan infrastruktur demokrasi, rendahnya literasi politik, dan
dominasi elite. Oleh karena itu, reformasi sistem pemerintahan harus
memperhatikan prinsip-prinsip inklusivitas dan partisipasi untuk membangun
legitimasi dan keberlanjutan demokrasi yang substansial.¹³
Footnotes
[1]
Francis Fukuyama, Political Order and Political
Decay: From the Industrial Revolution to the Globalization of Democracy
(New York: Farrar, Straus and Giroux, 2014), 127.
[2]
Merilee S. Grindle, “Good Governance: The Inflation
of an Idea,” HKS Faculty Research Working Paper Series (2010): 7.
[3]
Arend Lijphart, Patterns of Democracy:
Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale
University Press, 2012), 84.
[4]
Scott Mainwaring and Matthew Shugart, eds., Presidentialism
and Democracy in Latin America (Cambridge: Cambridge University Press,
1997), 15.
[5]
Marcus Mietzner, “Indonesia’s Democratic
Stagnation: Anti-Reformist Elites and Resilient Civil Society,” Democratization
21, no. 2 (2014): 209–229.
[6]
Andreas Schedler, The Politics of Uncertainty:
Sustaining and Subverting Electoral Authoritarianism (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 92.
[7]
Juan J. Linz, “The Perils of Presidentialism,” Journal
of Democracy 1, no. 1 (1990): 51–69.
[8]
Thomas Carothers, “The End of the Transition
Paradigm,” Journal of Democracy 13, no. 1 (2002): 10.
[9]
Arend Lijphart, Thinking about Democracy: Power
Sharing and Majority Rule in Theory and Practice (London: Routledge, 2008),
33–35.
[10]
Jennifer McCoy, Presidentialism and Democratic
Stability in Latin America, in Constructing Democratic Governance in
Latin America, ed. Jorge I. Domínguez and Michael Shifter (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 2003), 80–83.
[11]
David Held, Models of Democracy, 3rd ed.
(Cambridge: Polity Press, 2006), 218.
[12]
Lisa Blaydes, Elections and Distributive
Politics in Mubarak’s Egypt (Cambridge: Cambridge University Press, 2011),
39–40.
[13]
Larry Diamond, Developing Democracy: Toward
Consolidation (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1999), 93–95.
9.
Penutup
Studi mengenai sistem pemerintahan memiliki urgensi
yang tinggi dalam upaya membangun negara modern yang demokratis, efektif, dan
berkeadilan. Melalui pemetaan terhadap tipologi, evolusi historis,
prinsip-prinsip dasar, hingga dinamika implementatifnya, dapat dipahami bahwa
sistem pemerintahan bukan hanya kerangka institusional yang bersifat normatif,
tetapi juga entitas yang hidup dan terus beradaptasi dengan konteks sosial,
politik, dan budaya yang melingkupinya.¹
Sistem parlementer, presidensial,
semi-presidensial, maupun model alternatif seperti pemerintahan komunis atau
otoriter, masing-masing memiliki karakteristik, keunggulan, dan kelemahan
tersendiri. Efektivitasnya sangat ditentukan oleh kesiapan institusi,
konfigurasi kekuatan politik, kualitas aktor pemerintahan, serta budaya politik
masyarakatnya.² Seperti dikemukakan oleh Giovanni Sartori, tidak ada sistem
pemerintahan yang “ideal” secara universal; yang ada adalah sistem yang “appropriate”
bagi kondisi historis dan sosiologis suatu negara.³
Dalam konteks Indonesia, perjalanan panjang dari
sistem parlementer semu, demokrasi terpimpin, presidensialisme otoriter Orde
Baru, hingga era Reformasi mencerminkan dinamika yang kompleks antara
formalisasi sistem dan realitas praksis politik. Amandemen konstitusi
pasca-1998 berhasil membangun fondasi sistem presidensial yang lebih
demokratis, namun tantangan implementasi tetap mengemuka dalam bentuk politik
transaksional, lemahnya checks and balances, serta dominasi elite dalam proses
pengambilan kebijakan.⁴
Implikasi dari sistem pemerintahan terhadap tata
kelola negara dan kualitas demokrasi sangatlah nyata. Sistem pemerintahan yang
efektif dapat mendorong lahirnya kebijakan yang responsif, pemerintahan yang
akuntabel, serta penguatan stabilitas politik dan legitimasi kekuasaan.
Sebaliknya, sistem yang tidak berfungsi optimal cenderung melahirkan
ketimpangan, krisis kepercayaan publik, serta melemahnya institusi-institusi
demokratis.⁵
Oleh karena itu, desain sistem pemerintahan harus
senantiasa dikaji dan disesuaikan dengan perkembangan zaman serta kebutuhan
bangsa. Reformasi kelembagaan, penguatan masyarakat sipil, pendidikan politik
yang progresif, serta pemantapan budaya hukum menjadi elemen-elemen krusial
dalam membangun sistem pemerintahan yang tidak hanya demokratis secara
prosedural, tetapi juga substansial.⁶
Sebagai penutup, dapat ditegaskan bahwa sistem
pemerintahan merupakan cerminan dari cara suatu bangsa mengelola kekuasaan
secara beradab dan bertanggung jawab. Kajian multidisipliner terhadap sistem
ini tidak hanya berkontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga
menjadi dasar normatif dan praktis dalam upaya mewujudkan negara yang adil,
inklusif, dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Brian R. Nelson, The Making of the Modern State:
A Theoretical Evolution (New York: Palgrave Macmillan, 2006), 11.
[2]
Arend Lijphart, Patterns of Democracy:
Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale
University Press, 2012), 301.
[3]
Giovanni Sartori, Comparative Constitutional
Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes (New York:
NYU Press, 1997), 137.
[4]
Denny Indrayana, Indonesian Constitutional
Reform 1999–2002: An Evaluation of Constitution-Making in Transition
(Jakarta: Kompas, 2008), 235–237.
[5]
Francis Fukuyama, State-Building: Governance and
World Order in the 21st Century (Ithaca: Cornell University Press, 2004),
28.
[6]
Merilee S. Grindle, “Good Enough Governance
Revisited,” Development Policy Review 29, no. S1 (2011): S221–S236.
Daftar Pustaka
Almond, G. A., & Verba, S. (1963). The civic
culture: Political attitudes and democracy in five nations. Princeton
University Press.
Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Democracy
for sale: Elections, clientelism, and the state in Indonesia. Cornell
University Press.
Aspinall, E., & Mietzner, M. (2010). Politics
in contemporary Indonesia: Institutional change and democratic consolidation.
ISEAS Publishing.
Beetham, D. (1991). The legitimation of power.
Macmillan.
Bingham, T. (2011). The rule of law. Penguin
Books.
Blaydes, L. (2011). Elections and distributive
politics in Mubarak’s Egypt. Cambridge University Press.
Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar ilmu politik
(ed. revisi). Gramedia Pustaka Utama.
Carothers, T. (2002). The end of the transition paradigm.
Journal of Democracy, 13(1), 5–21.
Carothers, T. (2010). Democracy support and
development aid: The elusive synthesis. Journal of Democracy, 21(4),
12–26.
Diamond, L. (1999). Developing democracy: Toward
consolidation. Johns Hopkins University Press.
Diamond, L., & Morlino, L. (2004). The quality
of democracy: An overview. Journal of Democracy, 15(4), 20–31.
Doyle, W. (2002). The Oxford history of the
French Revolution (2nd ed.). Oxford University Press.
Duverger, M. (1980). A new political system model:
Semi-presidential government. European Journal of Political Research, 8(2),
165–187.
Elgie, R. (2011). Semi-presidentialism:
Sub-types and democratic performance. Oxford University Press.
Emmerson, D. K. (Ed.). (1999). Indonesia beyond
Suharto: Polity, economy, society, transition. M. E. Sharpe.
Feith, H. (1962). The decline of constitutional
democracy in Indonesia. Cornell University Press.
Fukuyama, F. (2004). State-building: Governance
and world order in the 21st century. Cornell University Press.
Fukuyama, F. (2014). Political order and
political decay: From the industrial revolution to the globalization of
democracy. Farrar, Straus and Giroux.
Gaffar Karim, A. (2005). Demokrasi dan
desentralisasi di Indonesia: Reformasi, daerah, dan rakyat. Pustaka
Pelajar.
Grindle, M. S. (2004). Good enough governance:
Poverty reduction and reform in developing countries. World Bank.
Grindle, M. S. (2010). Good governance: The
inflation of an idea. HKS Faculty Research Working Paper Series.
Grindle, M. S. (2011). Good enough governance
revisited. Development Policy Review, 29(S1), S221–S236.
Hadiz, V. R. (2004). Power and politics in
Indonesia. Routledge.
Held, D. (2006). Models of democracy (3rd
ed.). Polity Press.
Holt, J. C. (1992). Magna Carta (2nd ed.).
Cambridge University Press.
Huntington, S. P. (1968). Political order in
changing societies. Yale University Press.
Huntington, S. P. (1991). The third wave:
Democratization in the late twentieth century. University of Oklahoma
Press.
Indrayana, D. (2008). Indonesian constitutional
reform 1999–2002: An evaluation of constitution-making in transition.
Kompas.
Lijphart, A. (2008). Thinking about democracy:
Power sharing and majority rule in theory and practice. Routledge.
Lijphart, A. (2012). Patterns of democracy:
Government forms and performance in thirty-six countries (2nd ed.). Yale
University Press.
Lindsey, T. (2008). Indonesia: Law and society
(2nd ed.). Federation Press.
Linz, J. J. (1990). The perils of presidentialism. Journal
of Democracy, 1(1), 51–69.
Linz, J. J. (1994). Presidential or parliamentary
democracy: Does it make a difference? In J. J. Linz & A. Valenzuela (Eds.),
The failure of presidential democracy (Vol. 1, pp. 3–87). Johns Hopkins
University Press.
Mainwaring, S., & Shugart, M. S. (Eds.).
(1997). Presidentialism and democracy in Latin America. Cambridge
University Press.
Mamdani, M. (1996). Citizen and subject:
Contemporary Africa and the legacy of late colonialism. Princeton
University Press.
McCoy, J. (2003). Presidentialism and democratic
stability in Latin America. In J. I. Domínguez & M. Shifter (Eds.), Constructing
democratic governance in Latin America (pp. 80–95). Johns Hopkins
University Press.
Mietzner, M. (2005). Authoritarianism and democracy
in Indonesia: The rise of the technocrats. Journal of Democracy, 16(2),
115–129.
Mietzner, M. (2014). Indonesia’s democratic
stagnation: Anti-reformist elites and resilient civil society. Democratization,
21(2), 209–229.
Montesquieu. (1989). The spirit of the laws
(A. M. Cohler, B. C. Miller, & H. S. Stone, Trans.). Cambridge University
Press. (Original work published 1748)
Nelson, B. R. (2006). The making of the modern
state: A theoretical evolution. Palgrave Macmillan.
Peters, B. G. (2010). The politics of
bureaucracy (6th ed.). Routledge.
Peters, B. G. (2012). Institutional theory in
political science: The new institutionalism (3rd ed.). Continuum.
Rakove, J. N. (1996). Original meanings:
Politics and ideas in the making of the Constitution. Alfred A. Knopf.
Sartori, G. (1987). The theory of democracy
revisited (Vol. 1). Chatham House.
Sartori, G. (1997). Comparative constitutional
engineering: An inquiry into structures, incentives and outcomes (2nd ed.).
NYU Press.
Schedler, A. (2013). The politics of
uncertainty: Sustaining and subverting electoral authoritarianism. Oxford
University Press.
Skinner, Q. (1978). The foundations of modern
political thought: The age of reformation (Vol. 2). Cambridge University
Press.
Smith, D. L. (1998). A history of the modern
British Isles, 1603–1707: The double crown. Blackwell.
Saunders, C. (2008). Constitutional courts in
comparative perspective. Journal of Comparative Law, 3(1), 1–16.
Saunders, C. (2015). Constitutional design and
implementation. International Journal of Constitutional Law, 13(3),
527–546.
Lev, D. S. (1978). Judicial authority and the
struggle for an Indonesian Rechtsstaat. Law & Society Review, 13(1),
41–69.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar