Sabtu, 19 April 2025

Sistem Pemerintahan: Tipologi, Dinamika, dan Implikasinya dalam Tata Kelola Negara Modern

Sistem Pemerintahan

Tipologi, Dinamika, dan Implikasinya dalam Tata Kelola Negara Modern


Alihkan ke: Ilmu Pemerintahan, Konsep Keadilan dan Negara Ideal.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang sistem pemerintahan sebagai salah satu pilar fundamental dalam penyelenggaraan negara modern. Dengan pendekatan multidisipliner yang mencakup perspektif politik, hukum, sejarah, dan tata kelola, artikel ini mengkaji pengertian, tipologi, dan evolusi historis sistem pemerintahan, serta dinamika implementasinya di berbagai negara, termasuk Indonesia. Fokus utama diarahkan pada bagaimana desain institusional sistem pemerintahan—baik parlementer, presidensial, maupun semi-presidensial—mempengaruhi kualitas demokrasi, efektivitas pemerintahan, akuntabilitas kekuasaan, serta stabilitas politik. Studi kasus Indonesia disorot secara khusus, mulai dari masa awal kemerdekaan hingga era Reformasi, untuk menunjukkan kompleksitas hubungan antara norma konstitusional dan praktik politik. Artikel ini juga menekankan pentingnya reformasi kelembagaan dan penguatan budaya demokrasi sebagai syarat terciptanya tata kelola negara yang berkelanjutan. Dengan merujuk pada literatur akademik yang kredibel dan terkini, artikel ini bertujuan memberikan kontribusi teoritis dan praktis bagi pengembangan sistem pemerintahan yang demokratis, inklusif, dan responsif terhadap tantangan zaman.

Kata Kunci: Sistem pemerintahan, demokrasi, tata kelola, presidensialisme, parlementer, konstitusi, Indonesia, checks and balances, efektivitas kelembagaan, reformasi politik.


PEMBAHASAN

Telaah Komprehansif tentang Sistem Pemerintahan Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Sistem pemerintahan merupakan struktur mendasar yang menentukan pola interaksi antara lembaga-lembaga kekuasaan dalam suatu negara, serta mengatur bagaimana kekuasaan tersebut diperoleh, dijalankan, dan dipertanggungjawabkan. Dalam ilmu politik modern, sistem pemerintahan tidak hanya menjadi kerangka normatif dalam penyusunan konstitusi, tetapi juga instrumen strategis dalam menjaga stabilitas politik, menyeimbangkan kekuasaan, serta menjamin efektivitas pemerintahan dalam melayani kepentingan publik.¹

Beragam bentuk sistem pemerintahan yang berkembang di berbagai belahan dunia mencerminkan respons historis dan sosiologis terhadap dinamika kekuasaan, aspirasi rakyat, serta tantangan yang dihadapi negara dalam mencapai tata kelola yang demokratis dan berkeadilan. Dalam perspektif teoritis, Giovanni Sartori menyatakan bahwa sistem pemerintahan adalah bentuk institusional dari mekanisme pembagian kekuasaan yang mengatur hubungan antara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, termasuk cara kerja dan batas-batas kewenangan masing-masing.²

Tiga bentuk sistem pemerintahan utama yang umum dikenal dalam studi komparatif adalah sistem parlementer, sistem presidensial, dan sistem semi-presidensial.³ Setiap model tersebut memiliki implikasi struktural dan praktis yang khas dalam hal pengambilan keputusan politik, hubungan antarlembaga negara, serta akuntabilitas pemerintahan. Selain itu, dalam praktiknya, sistem pemerintahan tidak selalu berjalan sesuai kerangka normatif yang diidealkan dalam teori, karena dipengaruhi oleh konfigurasi politik, budaya hukum, serta kapasitas institusional negara.⁴

Dalam konteks kontemporer, studi terhadap sistem pemerintahan menjadi semakin signifikan, terutama ketika dihadapkan pada isu-isu seperti krisis kepercayaan publik, otoritarianisme baru, serta kegagalan sistem demokrasi dalam mewujudkan pemerintahan yang efektif dan inklusif. David Held menekankan bahwa pemilihan sistem pemerintahan tidak sekadar persoalan desain kelembagaan, tetapi juga menyangkut nilai-nilai demokrasi, partisipasi rakyat, dan keadilan sosial.⁵ Oleh karena itu, pemahaman kritis terhadap ragam sistem pemerintahan serta dinamika implementasinya diperlukan untuk membangun tata kelola negara yang adaptif, responsif, dan berkelanjutan.

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara sistematis konsep dasar, tipologi utama, dinamika implementasi, dan implikasi sistem pemerintahan terhadap tata kelola negara modern. Dengan pendekatan multidisipliner dan berbasis pada sumber-sumber ilmiah yang kredibel, diharapkan tulisan ini dapat memberikan kontribusi dalam memperluas wacana akademik dan praktik kenegaraan yang lebih reflektif dan kontekstual.


Footnotes

[1]                Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 42.

[2]                Giovanni Sartori, Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes (New York: NYU Press, 1997), 29.

[3]                Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press, 2012), 125.

[4]                Alfred Stepan and Cindy Skach, “Constitutional Frameworks and Democratic Consolidation: Parliamentarism versus Presidentialism,” World Politics 46, no. 1 (October 1993): 1–22.

[5]                David Held, Models of Democracy, 3rd ed. (Cambridge: Polity Press, 2006), 3–5.


2.           Pengertian dan Dasar Konseptual Sistem Pemerintahan

Konsep sistem pemerintahan merupakan pilar utama dalam studi ilmu politik dan hukum tata negara, karena menyangkut bagaimana kekuasaan negara dibentuk, didistribusikan, dan dijalankan melalui institusi-institusi formal. Secara etimologis, istilah "sistem" berasal dari bahasa Yunani systēma, yang berarti suatu kesatuan dari bagian-bagian yang saling berkaitan dan bekerja bersama. Dalam konteks pemerintahan, sistem pemerintahan dipahami sebagai suatu konfigurasi institusional yang mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara, terutama antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.¹

Menurut Miriam Budiardjo, sistem pemerintahan adalah struktur hubungan kerja antar lembaga negara yang menentukan bagaimana kekuasaan negara dijalankan, siapa yang memegangnya, dan bagaimana pertanggungjawabannya kepada rakyat.² Sistem ini bukan hanya menyangkut aspek normatif dalam konstitusi, tetapi juga mencerminkan hasil kompromi politik, sejarah ketatanegaraan, dan nilai-nilai ideologis yang hidup dalam masyarakat. Giovanni Sartori menegaskan bahwa sistem pemerintahan tidak hanya ditentukan oleh rumusan teks konstitusi, melainkan oleh operational reality—yakni bagaimana lembaga-lembaga negara berinteraksi dalam praktik.³

Dalam kerangka teori institusional, sistem pemerintahan dapat dilihat sebagai mekanisme governance yang meregulasi sirkulasi kekuasaan dan proses pembuatan kebijakan publik. Teori ini memandang bahwa desain sistem pemerintahan akan memengaruhi efektivitas negara dalam merespons kebutuhan warganya, menjaga akuntabilitas, serta menjamin stabilitas politik.⁴ Oleh karena itu, dalam studi komparatif, para ilmuwan politik seperti Arend Lijphart dan Alfred Stepan banyak membandingkan berbagai bentuk sistem pemerintahan untuk memahami sejauh mana struktur formal dapat menghasilkan performa demokrasi yang berbeda.⁵

Dari sudut pandang normatif, sistem pemerintahan juga berlandaskan pada prinsip-prinsip dasar negara hukum (Rechtsstaat), seperti pembagian kekuasaan (separation of powers), supremasi konstitusi, dan prinsip checks and balances. Gagasan ini merujuk pada teori klasik Montesquieu yang menekankan bahwa kekuasaan harus dipisahkan agar tidak terjadi konsentrasi kekuasaan yang berujung pada tirani.⁶ Dalam praktik kenegaraan modern, prinsip ini diwujudkan dalam struktur lembaga negara yang memiliki kewenangan berbeda namun saling mengawasi satu sama lain.

Dengan demikian, pengertian sistem pemerintahan tidak dapat dilepaskan dari kerangka teoretis dan kontekstual yang mendasarinya. Ia adalah hasil konstruksi historis, sosial, dan politik yang mencerminkan aspirasi masyarakat untuk menciptakan tata kelola negara yang sah, adil, dan efektif. Kajian mendalam terhadap sistem pemerintahan menuntut pemahaman terhadap teks konstitusi, praktik politik, struktur institusi, serta norma sosial yang berkembang dalam masyarakat.


Footnotes

[1]                Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 44.

[2]                Ibid., 45.

[3]                Giovanni Sartori, Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes (New York: NYU Press, 1997), 29–30.

[4]                B. Guy Peters, Institutional Theory in Political Science: The ‘New Institutionalism’, 3rd ed. (London: Continuum, 2012), 115.

[5]                Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press, 2012), 1–15; Alfred Stepan and Cindy Skach, “Presidentialism and Parliamentarism in Comparative Perspective,” in The Failure of Presidential Democracy, ed. Juan J. Linz and Arturo Valenzuela (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1994), 119–136.

[6]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler, Basia C. Miller, and Harold S. Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 155.


3.           Tipologi Sistem Pemerintahan

Dalam kajian ilmu politik dan tata negara, sistem pemerintahan diklasifikasikan berdasarkan pola hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif, terutama dalam hal pembagian kekuasaan, mekanisme pengawasan, dan pertanggungjawaban kekuasaan. Tipologi sistem pemerintahan yang paling dikenal secara global meliputi tiga bentuk utama: sistem parlementer, sistem presidensial, dan sistem semi-presidensial. Klasifikasi ini memungkinkan analisis komparatif yang sistematis terhadap struktur kelembagaan dan performa demokrasi dalam berbagai negara.¹

3.1.       Sistem Pemerintahan Parlementer

Sistem parlementer ditandai oleh supremasi parlemen sebagai pusat kekuasaan legislatif dan kontrol terhadap eksekutif. Kepala pemerintahan (biasanya perdana menteri) berasal dari partai mayoritas di parlemen dan bertanggung jawab langsung kepada lembaga legislatif tersebut. Jika kehilangan kepercayaan dari parlemen, pemerintah harus mundur atau dibubarkan melalui mosi tidak percaya.²

Model ini banyak dianut oleh negara-negara yang menganut tradisi demokrasi parlementer seperti Inggris, India, dan Jepang. Keunggulan sistem parlementer terletak pada fleksibilitas dan efisiensi pengambilan kebijakan karena eksekutif berasal dari mayoritas legislatif. Namun, kekurangannya adalah potensi instabilitas politik jika tidak ada partai dominan atau dalam kondisi koalisi rapuh.³

Menurut Arend Lijphart, sistem parlementer memiliki kecenderungan untuk menghasilkan pemerintahan koalisi yang lebih representatif, serta menguatkan sistem checks and balances secara internal melalui pengawasan parlemen yang aktif.⁴

3.2.       Sistem Pemerintahan Presidensial

Dalam sistem presidensial, terdapat pemisahan kekuasaan yang tegas antara eksekutif dan legislatif. Presiden, sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, dipilih secara langsung oleh rakyat dan memiliki masa jabatan tetap. Ia tidak bertanggung jawab kepada parlemen secara langsung dan tidak dapat diberhentikan kecuali melalui proses hukum seperti impeachment.⁵

Sistem ini mengedepankan prinsip independensi lembaga, namun menghadapi risiko terjadinya kebuntuan (gridlock) antara eksekutif dan legislatif, terutama dalam sistem multipartai seperti Indonesia. Giovanni Sartori mengingatkan bahwa sistem presidensial menuntut desain institusional yang matang agar tidak jatuh dalam konsentrasi kekuasaan atau ketegangan antarlembaga.⁶

Amerika Serikat merupakan contoh klasik dari sistem presidensial yang stabil, sementara banyak negara Amerika Latin mengalami krisis akibat ketegangan antara presiden dan legislatif, terutama ketika tidak ada konsensus politik yang kuat.⁷ Indonesia, sejak amandemen UUD 1945, secara formal menganut sistem presidensial, namun dalam praktiknya terdapat banyak elemen parlementer yang membuatnya menjadi presidensialisme yang bercorak koalisi.⁸

3.3.       Sistem Pemerintahan Semi-Presidensial

Sistem semi-presidensial adalah bentuk hibrida yang menggabungkan elemen dari sistem presidensial dan parlementer. Dalam model ini, terdapat seorang presiden yang dipilih langsung oleh rakyat dengan wewenang tertentu, serta perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen. Relasi kekuasaan antara presiden dan perdana menteri tergantung pada konstitusi dan praktik politik yang berkembang di masing-masing negara.⁹

Prancis merupakan contoh yang paling dikenal dari sistem semi-presidensial, di mana presiden memegang kendali atas kebijakan luar negeri dan pertahanan, sedangkan perdana menteri mengelola urusan domestik sehari-hari.⁽¹⁰⁾ Model ini memberikan fleksibilitas lebih tinggi dalam pembagian kekuasaan, namun juga dapat memunculkan dualisme dalam kepemimpinan, terutama jika presiden dan parlemen berasal dari kubu politik yang berbeda (cohabitation).⁽¹¹⁾

3.4.       Sistem Pemerintahan Sentralistik/Komunis

Di luar tiga sistem utama tersebut, terdapat pula sistem pemerintahan yang bercorak otoriter atau komunis, seperti yang dianut oleh Republik Rakyat Tiongkok dan Korea Utara. Sistem ini biasanya didasarkan pada supremasi partai tunggal dan tidak mengenal prinsip pemisahan kekuasaan secara fungsional. Dalam model ini, pemerintahan dikendalikan secara sentralistik dan ideologis oleh elit partai, dan partisipasi politik rakyat bersifat terbatas.⁽¹²⁾

Meskipun tidak bersandar pada prinsip demokrasi liberal, sistem seperti ini tetap menunjukkan bentuk sistematis dari pengelolaan kekuasaan, meski seringkali disertai dengan pembatasan hak-hak sipil dan politik yang signifikan.⁽¹³⁾


Footnotes

[1]                Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press, 2012), 75.

[2]                Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 138.

[3]                Ibid., 140.

[4]                Lijphart, Patterns of Democracy, 88–90.

[5]                Juan J. Linz, “The Perils of Presidentialism,” Journal of Democracy 1, no. 1 (1990): 51–69.

[6]                Giovanni Sartori, Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes (New York: NYU Press, 1997), 123.

[7]                Scott Mainwaring and Matthew Soberg Shugart, eds., Presidentialism and Democracy in Latin America (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 20–25.

[8]                Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 67–72.

[9]                Maurice Duverger, “A New Political System Model: Semi-Presidential Government,” European Journal of Political Research 8, no. 2 (1980): 165–187.

[10]             Robert Elgie, Semi-Presidentialism: Sub-Types and Democratic Performance (Oxford: Oxford University Press, 2011), 35.

[11]             Ibid., 41–43.

[12]             Cheng Li, Chinese Politics in the Xi Jinping Era: Reassessing Collective Leadership (Washington, D.C.: Brookings Institution Press, 2016), 21.

[13]             Steven Levitsky and Lucan Way, Competitive Authoritarianism: Hybrid Regimes after the Cold War (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 87.


4.           Evolusi Historis Sistem Pemerintahan

Perkembangan sistem pemerintahan sepanjang sejarah tidak dapat dilepaskan dari dinamika politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi proses pembentukan negara dan tata kelolanya. Evolusi sistem pemerintahan merefleksikan proses transisi dari model kekuasaan tradisional—seperti monarki absolut—ke bentuk-bentuk pemerintahan yang lebih terstruktur secara institusional dan demokratis. Perubahan tersebut tidak hanya terjadi sebagai akibat dari perubahan internal suatu masyarakat, melainkan juga melalui pengaruh global, revolusi, kolonialisme, dan desentralisasi kekuasaan.¹

4.1.       Dari Monarki Absolut ke Konstitusionalisme

Pada masa pramodern, sistem pemerintahan didominasi oleh model monarki absolut, di mana raja atau penguasa memegang kekuasaan penuh atas pemerintahan dan rakyat. Kekuasaan tersebut seringkali dianggap sebagai hak ilahi (divine right of kings) dan tidak terbatas oleh hukum positif.² Namun, seiring berkembangnya kesadaran akan hak-hak individu dan perlunya pembatasan kekuasaan, muncul tuntutan untuk menata ulang relasi antara penguasa dan rakyat.

Salah satu tonggak penting dalam evolusi sistem pemerintahan adalah ditandatanganinya Magna Carta pada tahun 1215 di Inggris, yang menjadi dasar awal pembatasan kekuasaan raja dan awal mula tradisi konstitusionalisme.³ Gerakan ini berlanjut dengan munculnya Revolusi Inggris (1642–1651), yang melahirkan sistem parlementer dan menjadikan parlemen sebagai institusi penyeimbang terhadap kekuasaan raja.⁴

4.2.       Revolusi dan Pembentukan Sistem Demokratis

Revolusi-revolusi besar seperti Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Prancis (1789) menandai babak baru dalam sejarah sistem pemerintahan. Revolusi Amerika menghasilkan konstitusi tertulis pertama di dunia modern, yang memperkenalkan sistem presidensial dengan prinsip pemisahan kekuasaan secara tegas.⁵ Sementara itu, Revolusi Prancis menghancurkan struktur feodal dan membuka jalan bagi pembentukan pemerintahan republik yang berbasis pada prinsip kedaulatan rakyat.⁶

Kedua revolusi tersebut memicu gelombang perubahan di berbagai belahan dunia dan menjadi inspirasi utama dalam pembentukan negara-negara merdeka yang baru, terutama pada abad ke-19 dan ke-20. Konstitusi sebagai dokumen hukum tertinggi menjadi fondasi sistem pemerintahan modern, menggantikan legitimasi turun-temurun dengan mandat demokratis.⁷

4.3.       Era Kolonialisme dan Warisan Sistem Pemerintahan

Masa kolonialisme turut membentuk konfigurasi sistem pemerintahan di negara-negara jajahan. Kolonialisme tidak hanya mengeksploitasi sumber daya dan tenaga kerja, tetapi juga memperkenalkan model administrasi pemerintahan modern seperti birokrasi kolonial, sistem hukum sipil, dan struktur pemerintahan pusat-daerah.⁸

Setelah kemerdekaan, banyak negara bekas jajahan mewarisi sistem pemerintahan yang bercorak kolonial, baik dalam bentuk presidensial ala Amerika Serikat maupun parlementer ala Inggris. Namun, karena ketidaksesuaian antara sistem warisan tersebut dengan struktur sosial dan budaya lokal, tidak sedikit negara mengalami kegagalan institusional yang berujung pada otoritarianisme atau instabilitas politik.⁹

4.4.       Desentralisasi dan Demokratisasi Abad ke-20 dan 21

Setelah Perang Dunia II, terutama sejak era 1970-an, dunia menyaksikan gelombang besar demokratisasi dan reformasi sistem pemerintahan. Gelombang ketiga demokratisasi yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington menunjukkan bahwa banyak negara di Amerika Latin, Eropa Timur, dan Asia mengalami transisi dari pemerintahan otoriter ke demokrasi dengan sistem pemerintahan yang lebih terbuka.¹⁰

Transformasi sistem pemerintahan juga ditandai dengan peningkatan peran lembaga-lembaga demokratis, reformasi konstitusi, serta adopsi prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance). Di sisi lain, munculnya tantangan baru seperti populisme, disinformasi, dan ketimpangan global menguji daya tahan sistem pemerintahan yang ada.¹¹

Evolusi historis sistem pemerintahan tidak hanya menunjukkan perubahan struktur formal kekuasaan, tetapi juga mencerminkan dinamika ideologis, sosial, dan kultural dalam pencarian sistem yang paling sesuai untuk mewujudkan keadilan, efektivitas, dan legitimasi kekuasaan. Oleh karena itu, studi terhadap sejarah sistem pemerintahan memberikan landasan penting dalam memahami dan merancang model pemerintahan yang kontekstual dan adaptif di era modern.


Footnotes

[1]                Brian R. Nelson, The Making of the Modern State: A Theoretical Evolution (New York: Palgrave Macmillan, 2006), 23.

[2]                Quentin Skinner, The Foundations of Modern Political Thought, Volume 2: The Age of Reformation (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 247.

[3]                J. C. Holt, Magna Carta, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 3–5.

[4]                David L. Smith, A History of the Modern British Isles, 1603–1707: The Double Crown (Oxford: Blackwell, 1998), 134.

[5]                Jack N. Rakove, Original Meanings: Politics and Ideas in the Making of the Constitution (New York: Alfred A. Knopf, 1996), 45–48.

[6]                William Doyle, The Oxford History of the French Revolution, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 112–114.

[7]                Cheryl Saunders, “Constitutional Courts in Comparative Perspective,” Journal of Comparative Law 3, no. 1 (2008): 4.

[8]                Mahmood Mamdani, Citizen and Subject: Contemporary Africa and the Legacy of Late Colonialism (Princeton: Princeton University Press, 1996), 15.

[9]                Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1999), 43–47.

[10]             Samuel P. Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (Norman: University of Oklahoma Press, 1991), 15.

[11]             Thomas Carothers, “Democracy Support and Development Aid: The Elusive Synthesis,” Journal of Democracy 21, no. 4 (2010): 12–26.


5.           Prinsip-Prinsip Demokrasi dan Pembagian Kekuasaan

Salah satu fondasi utama dalam penyusunan sistem pemerintahan modern adalah prinsip demokrasi yang berlandaskan pada kedaulatan rakyat dan pembagian kekuasaan. Demokrasi, dalam pengertian substantif, tidak hanya mengacu pada pemilihan umum yang bebas dan adil, tetapi juga pada keberlangsungan lembaga-lembaga negara yang menjamin kebebasan sipil, supremasi hukum, dan mekanisme akuntabilitas.¹ Oleh karena itu, hubungan antara prinsip-prinsip demokrasi dan pembagian kekuasaan menjadi titik sentral dalam analisis sistem pemerintahan yang sehat dan berfungsi.

5.1.       Demokrasi: Kedaulatan Rakyat dan Pemerintahan Berdasarkan Hukum

Demokrasi secara etimologis berasal dari kata Yunani demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan), yang berarti kekuasaan berada di tangan rakyat.² Dalam praktik kenegaraan modern, demokrasi dipahami sebagai suatu sistem pemerintahan yang menjamin partisipasi rakyat dalam proses politik, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang mereka pilih.³

Robert A. Dahl menyebutkan dua dimensi utama dari demokrasi: kontestasi (persaingan yang terbuka dalam memperoleh kekuasaan) dan partisipasi (keterlibatan luas warga negara dalam proses politik).⁴ Prinsip ini menuntut keberadaan mekanisme pemilu yang bebas, kebebasan berpendapat dan berserikat, serta akses terhadap informasi publik.

Namun, demokrasi yang prosedural saja tidak cukup. Ia harus dibarengi dengan rule of law atau prinsip negara hukum, yang menempatkan hukum sebagai kekuasaan tertinggi dan mengikat semua warga negara, termasuk penguasa.⁵ Dalam konteks ini, supremasi konstitusi, independensi lembaga peradilan, dan jaminan hak asasi manusia menjadi pilar utama yang menopang legitimasi sistem pemerintahan demokratis.

5.2.       Pembagian Kekuasaan: Menjaga Keseimbangan dan Mencegah Tirani

Gagasan pembagian kekuasaan pertama kali dikemukakan secara sistematis oleh Montesquieu dalam karya klasiknya De l’esprit des lois (The Spirit of the Laws), di mana ia mengusulkan pemisahan antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif guna mencegah akumulasi kekuasaan dalam satu tangan yang berpotensi tiranik.⁶

Montesquieu berargumen bahwa “Il n’y a point encore de liberté si la puissance de juger n’est pas séparée de la puissance législative et de l’exécutrice.” (tidak akan ada kebebasan jika kekuasaan kehakiman tidak dipisahkan dari legislatif dan eksekutif).⁷ Konsep ini kemudian menjadi prinsip universal dalam desain konstitusional negara-negara demokratis.

Dalam sistem parlementer, pemisahan kekuasaan bersifat fusion of powers, di mana eksekutif merupakan bagian dari legislatif dan bertanggung jawab kepada parlemen. Sementara dalam sistem presidensial, prinsip separation of powers diterapkan secara lebih ketat, dengan pemisahan struktural dan fungsional antar lembaga.⁸

Pembagian kekuasaan ini diperkuat dengan mekanisme checks and balances yang memungkinkan satu lembaga mengontrol atau mengimbangi kekuasaan lembaga lainnya.⁹ Hal ini sangat penting dalam menjaga stabilitas dan akuntabilitas sistem pemerintahan serta mencegah penyalahgunaan wewenang.

5.3.       Integrasi Demokrasi dan Struktur Institusional

Dalam praktik, keberhasilan integrasi prinsip-prinsip demokrasi dan pembagian kekuasaan sangat bergantung pada desain institusi dan budaya politik suatu negara. Arend Lijphart mengemukakan bahwa sistem pemerintahan yang mampu menyeimbangkan kekuasaan antar lembaga, sambil tetap membuka ruang partisipasi politik yang luas, cenderung lebih stabil dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.¹⁰

Demokrasi memerlukan institusi-institusi yang tidak hanya demokratis secara formal, tetapi juga substantif dalam melayani kepentingan publik, mengelola konflik, dan menjamin perlindungan hak minoritas. Oleh karena itu, desain sistem pemerintahan tidak boleh bersifat normatif semata, melainkan harus mempertimbangkan realitas sosial, struktur kekuasaan, dan kesiapan institusional yang ada.¹¹


Footnotes

[1]                Larry Diamond and Leonardo Morlino, “The Quality of Democracy: An Overview,” Journal of Democracy 15, no. 4 (2004): 20.

[2]                Giovanni Sartori, The Theory of Democracy Revisited, vol. 1 (Chatham, NJ: Chatham House, 1987), 7.

[3]                Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 109.

[4]                Robert A. Dahl, Polyarchy: Participation and Opposition (New Haven: Yale University Press, 1971), 3–7.

[5]                Tom Bingham, The Rule of Law (London: Penguin Books, 2011), 37–39.

[6]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler, Basia C. Miller, and Harold S. Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 157.

[7]                Ibid., 155.

[8]                Juan J. Linz, “Presidential or Parliamentary Democracy: Does It Make a Difference?” in The Failure of Presidential Democracy, ed. Juan J. Linz and Arturo Valenzuela (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1994), 8–11.

[9]                B. Guy Peters, The Politics of Bureaucracy, 6th ed. (New York: Routledge, 2010), 83.

[10]             Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press, 2012), 295.

[11]             Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Societies (New Haven: Yale University Press, 1968), 10–12.


6.           Dinamika Implementasi Sistem Pemerintahan

Implementasi sistem pemerintahan tidak selalu mencerminkan desain normatif yang ditetapkan dalam konstitusi. Dalam kenyataannya, berbagai faktor sosial-politik, budaya hukum, konfigurasi kekuatan politik, serta kapasitas kelembagaan sangat memengaruhi bagaimana sistem pemerintahan dijalankan. Oleh karena itu, memahami dinamika implementasi sistem pemerintahan memerlukan pendekatan kontekstual yang memperhatikan interaksi antara struktur formal dan praktik aktual di lapangan.¹

6.1.       Kesenjangan antara Desain Konstitusional dan Praktik Institusional

Meskipun sistem pemerintahan dirancang dengan prinsip-prinsip ideal seperti pemisahan kekuasaan, checks and balances, dan kedaulatan rakyat, dalam banyak kasus terjadi implementation gap antara apa yang tertulis dalam konstitusi dan kenyataan politik yang berlangsung.² Giovanni Sartori menyebut fenomena ini sebagai constitutional façade, yaitu situasi di mana struktur konstitusional hanya bersifat simbolik dan tidak sepenuhnya dijalankan secara efektif.³

Kesenjangan ini umumnya disebabkan oleh lemahnya institusi penegakan hukum, dominasi elit politik, serta budaya politik patrimonial yang mengutamakan loyalitas personal daripada rasionalitas kelembagaan.⁴ Dalam beberapa negara, presiden atau perdana menteri bahkan melampaui batas kekuasaannya karena lemahnya mekanisme pengawasan dari legislatif atau yudikatif.

6.2.       Peran Partai Politik dan Sistem Kepartaian

Partai politik memainkan peran sentral dalam dinamika sistem pemerintahan, baik dalam sistem presidensial maupun parlementer. Dalam sistem parlementer, efektivitas pemerintahan sangat bergantung pada stabilitas koalisi partai di parlemen. Ketidakstabilan koalisi sering kali menyebabkan jatuh bangunnya kabinet dan menghambat kelangsungan kebijakan publik.⁵

Sementara itu, dalam sistem presidensial, fragmentasi partai politik di parlemen dapat menyebabkan kebuntuan (gridlock) antara eksekutif dan legislatif, terutama ketika presiden berasal dari partai minoritas.⁶ Di banyak negara berkembang, sistem multipartai tanpa regulasi yang memadai telah memunculkan praktik politik transaksional dan kooptasi kekuasaan oleh kelompok oligarkis.⁷

Dalam studi komparatifnya, Scott Mainwaring menunjukkan bahwa stabilitas sistem presidensial sangat dipengaruhi oleh jenis sistem kepartaian yang dianut. Sistem presidensial cenderung lebih stabil jika didukung oleh sistem dua partai atau partai dominan, dibandingkan dengan sistem multipartai yang terfragmentasi.⁸

6.3.       Budaya Politik dan Legitimasi Kekuasaan

Budaya politik merupakan variabel penting dalam menentukan keberhasilan implementasi sistem pemerintahan. Gabriel Almond dan Sidney Verba menjelaskan bahwa masyarakat dengan budaya politik partisipatif dan kepercayaan tinggi terhadap institusi publik cenderung lebih mendukung efektivitas pemerintahan.⁹ Sebaliknya, budaya politik yang apatis, paternalistik, atau penuh kecurigaan dapat melemahkan legitimasi sistem yang berlaku.

Dalam konteks ini, legitimasi bukan hanya soal legalitas formal, tetapi juga persepsi masyarakat terhadap keabsahan dan moralitas kekuasaan.¹⁰ Oleh karena itu, pembangunan sistem pemerintahan yang kuat memerlukan upaya pendidikan politik, penguatan masyarakat sipil, dan pemberdayaan warga negara untuk aktif terlibat dalam pengambilan keputusan publik.

6.4.       Kapasitas Institusional dan Tata Kelola

Keberhasilan implementasi sistem pemerintahan juga sangat dipengaruhi oleh kapasitas institusional, yaitu kemampuan lembaga-lembaga negara dalam merumuskan, melaksanakan, dan mengevaluasi kebijakan publik secara efisien dan akuntabel.¹¹ Negara-negara dengan birokrasi profesional, independen, dan responsif cenderung mampu menjalankan sistem pemerintahan secara lebih stabil dan efektif.

Sebaliknya, negara dengan kapasitas institusional rendah sering kali menghadapi tantangan serius berupa korupsi, tumpang tindih kewenangan, lemahnya koordinasi antar lembaga, serta resistensi terhadap reformasi kelembagaan.¹² Dalam situasi seperti ini, sistem pemerintahan yang dirancang secara ideal menjadi tidak operasional karena tidak didukung oleh infrastruktur kelembagaan yang memadai.


Footnotes

[1]                B. Guy Peters, Institutional Theory in Political Science: The New Institutionalism, 3rd ed. (London: Continuum, 2012), 94.

[2]                Cheryl Saunders, “Constitutional Design and Implementation,” International Journal of Constitutional Law 13, no. 3 (2015): 528–530.

[3]                Giovanni Sartori, Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes (New York: NYU Press, 1997), 135.

[4]                Thomas Carothers, “The End of the Transition Paradigm,” Journal of Democracy 13, no. 1 (2002): 7–9.

[5]                Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press, 2012), 98.

[6]                Juan J. Linz, “The Perils of Presidentialism,” Journal of Democracy 1, no. 1 (1990): 51.

[7]                Edward Aspinall and Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 2019), 23–26.

[8]                Scott Mainwaring and Matthew Shugart, eds., Presidentialism and Democracy in Latin America (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 16.

[9]                Gabriel A. Almond and Sidney Verba, The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations (Princeton: Princeton University Press, 1963), 14–16.

[10]             David Beetham, The Legitimation of Power (London: Macmillan, 1991), 11.

[11]             Merilee S. Grindle, Good Enough Governance: Poverty Reduction and Reform in Developing Countries (Washington, D.C.: World Bank, 2004), 526.

[12]             Francis Fukuyama, Political Order and Political Decay: From the Industrial Revolution to the Globalization of Democracy (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2014), 124–126.


7.           Sistem Pemerintahan di Indonesia: Kajian Konstitusional dan Praktis

Sejak kemerdekaannya pada tahun 1945, Indonesia telah mengalami berbagai perubahan dalam sistem pemerintahan, baik secara normatif dalam konstitusi maupun dalam praktik politiknya. Sistem pemerintahan Indonesia tidak pernah sepenuhnya statis, melainkan menunjukkan dinamika yang erat kaitannya dengan konfigurasi kekuasaan, kebutuhan stabilitas politik, serta tekanan dari masyarakat dan elite politik.⁽¹⁾ Oleh karena itu, kajian terhadap sistem pemerintahan Indonesia harus dilakukan dengan membedakan antara aspek konstitusional (tekstual) dan aspek praktis (implementatif).

7.1.       Periode Awal Kemerdekaan (1945–1959): Parlementer dalam Bingkai Presidensial

UUD 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 secara eksplisit menganut sistem pemerintahan presidensial, di mana presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, dan tidak bertanggung jawab kepada lembaga legislatif.⁽²⁾ Namun, dalam praktiknya, sistem pemerintahan yang dijalankan justru menyerupai sistem parlementer, ditandai dengan adanya kabinet yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang berperan sebagai parlemen.⁽³⁾

Pergeseran ini terjadi karena keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X pada 16 Oktober 1945 yang memberikan kewenangan legislatif kepada KNIP dan melemahkan posisi presiden. Sejak saat itu, Indonesia mengalami periode pemerintahan parlementer, dengan kabinet yang sering berganti dan pemerintahan yang tidak stabil.⁽⁴⁾

7.2.       Masa Demokrasi Terpimpin (1959–1965): Kembali ke Presidensialisme Otokratis

Ketidakstabilan politik pada masa parlementer mendorong Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 dan mengakhiri sistem parlementer.⁽⁵⁾ Namun, yang terjadi kemudian bukanlah penguatan sistem presidensial yang demokratis, melainkan munculnya pemerintahan otoriter yang terpusat pada figur presiden. Masa ini dikenal sebagai Demokrasi Terpimpin, di mana kekuasaan legislatif dan yudikatif dikooptasi oleh eksekutif, dan peran partai politik direduksi.⁽⁶⁾

Dalam praktiknya, Demokrasi Terpimpin menyimpang dari semangat konstitusi karena sistem pemerintahan dijalankan secara personalistik dan represif, dengan melemahnya sistem checks and balances yang seharusnya menjadi ciri khas sistem presidensial.⁽⁷⁾

7.3.       Orde Baru (1966–1998): Presidensialisme yang Terinstitusionalisasi tetapi Terpusat

Rezim Orde Baru di bawah Soeharto secara formal tetap menggunakan UUD 1945 dan sistem presidensial. Namun, kekuasaan presiden diperkuat melalui dominasi terhadap lembaga legislatif, pengendalian militer, serta pembatasan terhadap oposisi politik.⁽⁸⁾ Sistem pemerintahan pada masa ini ditandai oleh stabilitas politik yang tinggi tetapi dengan biaya besar terhadap demokrasi, partisipasi rakyat, dan kebebasan sipil.

Dalam praktik, sistem presidensial Orde Baru berjalan dengan dominasi satu partai (Golkar), serta adanya kooptasi lembaga legislatif dan yudikatif yang membuat mekanisme checks and balances tidak berjalan efektif.⁽⁹⁾ Banyak peneliti menyebut sistem ini sebagai presidensialisme otoriter, yakni sistem pemerintahan presidensial yang kehilangan substansi demokratisnya.¹⁰

7.4.       Era Reformasi (1998–sekarang): Penguatan Presidensialisme Konstitusional

Kejatuhan Soeharto pada tahun 1998 menandai dimulainya era Reformasi yang mendorong perubahan besar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali (1999–2002) mengubah secara signifikan struktur sistem pemerintahan Indonesia ke arah presidensialisme yang lebih demokratis dan konstitusional.¹¹

Perubahan penting meliputi:

·                     Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat (Pasal 6A)

·                     Pembatasan masa jabatan presiden (maksimal dua periode)

·                     Penguatan lembaga perwakilan (DPR dan DPD)

·                     Pembentukan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial

·                     Pemisahan dan penegasan fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif

Reformasi ini menegaskan kembalinya Indonesia ke model presidensial yang lebih genuine, dengan mekanisme checks and balances yang diperkuat dan prinsip kedaulatan rakyat yang lebih nyata dalam sistem pemilu.¹² Namun demikian, dalam praktiknya, sistem presidensial Indonesia menghadapi tantangan berupa koalisi multipartai yang lemah, politik transaksional, dan ketimpangan relasi antara presiden dan parlemen.¹³

Jimly Asshiddiqie menyebut sistem pemerintahan Indonesia pasca-Reformasi sebagai “presidensialisme dalam lingkungan multipartai yang kompleks,” yang menuntut kreativitas dan kehati-hatian dalam membangun koalisi pemerintahan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi.¹⁴


Footnotes

[1]                Bagir Manan, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 (Yogyakarta: FH UII Press, 2001), 3.

[2]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pembukaan dan Pasal 4.

[3]                Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 73.

[4]                Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 141.

[5]                Abdul Gaffar Karim, Demokrasi dan Desentralisasi di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 22.

[6]                Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1962), 469.

[7]                Daniel S. Lev, “Judicial Authority and the Struggle for an Indonesian Rechtsstaat,” Law & Society Review 13, no. 1 (1978): 41–69.

[8]                Vedi R. Hadiz, Power and Politics in Indonesia (London: Routledge, 2004), 36.

[9]                Donald K. Emmerson, ed., Indonesia Beyond Suharto: Polity, Economy, Society, Transition (Armonk: M. E. Sharpe, 1999), 48–51.

[10]             Marcus Mietzner, “Authoritarianism and Democracy in Indonesia: The Rise of the Technocrats,” Journal of Democracy 16, no. 2 (2005): 115–129.

[11]             Denny Indrayana, Indonesian Constitutional Reform 1999–2002: An Evaluation of Constitution-Making in Transition (Jakarta: Kompas, 2008), 201–207.

[12]             Tim Lindsey, Indonesia: Law and Society, 2nd ed. (Sydney: Federation Press, 2008), 57–58.

[13]             Edward Aspinall and Marcus Mietzner, Politics in Contemporary Indonesia: Institutional Change and Democratic Consolidation (Singapore: ISEAS Publishing, 2010), 95.

[14]             Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945 (Jakarta: FH UI, 2004), 104.


8.           Implikasi Sistem Pemerintahan terhadap Tata Kelola dan Demokrasi

Sistem pemerintahan yang diadopsi oleh suatu negara memainkan peran penting dalam menentukan arah dan kualitas governance (tata kelola pemerintahan) serta konsolidasi demokrasi. Model sistem pemerintahan yang dipilih bukan hanya soal teknis kelembagaan, melainkan berimplikasi langsung terhadap sejauh mana kekuasaan dapat dikelola secara efektif, akuntabel, dan demokratis.¹ Oleh karena itu, analisis implikasi sistem pemerintahan terhadap tata kelola negara dan demokrasi menjadi penting dalam mengevaluasi sejauh mana suatu sistem mampu merespons kebutuhan masyarakat, menjamin stabilitas politik, dan menegakkan supremasi hukum.

8.1.       Efektivitas Pemerintahan dan Kualitas Kebijakan Publik

Salah satu indikator keberhasilan sistem pemerintahan adalah sejauh mana ia mampu menghasilkan kebijakan publik yang efektif, responsif, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.² Dalam sistem parlementer, koherensi antara lembaga legislatif dan eksekutif—karena berasal dari koalisi atau partai mayoritas yang sama—sering kali mempercepat proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan. Namun, model ini juga rawan terhadap instabilitas apabila terjadi perpecahan koalisi atau perubahan dukungan politik.³

Sebaliknya, dalam sistem presidensial, stabilitas masa jabatan eksekutif memungkinkan perencanaan dan pelaksanaan kebijakan jangka menengah hingga panjang, tetapi dapat menghadapi gridlock atau kebuntuan antara presiden dan parlemen jika tidak terjadi sinergi politik.⁴ Situasi ini umum terjadi dalam sistem multipartai, seperti yang terjadi di Indonesia dan beberapa negara Amerika Latin.⁵

8.2.       Akuntabilitas dan Mekanisme Checks and Balances

Sistem pemerintahan yang baik harus menjamin bahwa pemegang kekuasaan dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan dan kebijakan mereka. Akuntabilitas ini dapat bersifat horizontal (antarlembaga negara) dan vertikal (antara pemerintah dan rakyat).⁶ Dalam sistem parlementer, akuntabilitas politik terhadap parlemen bersifat langsung dan dapat mendorong pengawasan yang kuat terhadap kebijakan eksekutif. Namun, jika partai penguasa mendominasi parlemen secara absolut, fungsi pengawasan dapat menjadi lemah.

Sistem presidensial menjanjikan pemisahan kekuasaan yang tegas, tetapi efektivitas mekanisme checks and balances sangat bergantung pada independensi lembaga legislatif dan yudikatif.⁷ Dalam praktiknya, hubungan yang terlalu dominan dari presiden terhadap lembaga pengawas dapat mengarah pada konsentrasi kekuasaan dan merosotnya kualitas demokrasi.⁸

8.3.       Stabilitas Politik dan Ketahanan Demokrasi

Sistem pemerintahan juga berimplikasi pada stabilitas politik dan keberlanjutan demokrasi. Lijphart berargumen bahwa sistem parlementer cenderung lebih cocok diterapkan di negara dengan masyarakat plural, karena lebih inklusif dalam mengakomodasi berbagai kepentingan politik melalui koalisi.⁹ Namun, sistem ini juga berisiko mengalami governing instability jika tidak ada partai dominan atau mekanisme koalisi yang kuat.

Sementara itu, sistem presidensial dinilai memberikan regime stability karena menjamin kepastian masa jabatan eksekutif. Akan tetapi, sistem ini lebih rentan terhadap regime breakdown ketika terjadi krisis legitimasi atau konflik antara eksekutif dan legislatif, seperti yang banyak terjadi di Amerika Latin.¹⁰

Oleh karena itu, keberhasilan sistem pemerintahan dalam menjaga stabilitas politik dan memperkuat demokrasi tidak hanya bergantung pada desain institusional, tetapi juga pada kualitas aktor politik, budaya politik, serta kekuatan masyarakat sipil.

8.4.       Representasi, Inklusivitas, dan Partisipasi Publik

Sistem pemerintahan juga berdampak pada seberapa besar ruang partisipasi dan representasi yang tersedia bagi warga negara. Model parlementer cenderung membuka ruang partisipasi yang lebih luas dalam konteks representasi partai politik dan kebijakan publik berbasis konsensus.¹¹ Dalam sistem presidensial, partisipasi rakyat diwujudkan secara langsung melalui pemilihan eksekutif, tetapi dapat menyempit pada tingkat lokal dan legislatif apabila sistem kepartaian tidak inklusif.¹²

Di negara-negara berkembang, pembentukan sistem pemerintahan yang representatif dan partisipatif menjadi tantangan tersendiri karena keterbatasan infrastruktur demokrasi, rendahnya literasi politik, dan dominasi elite. Oleh karena itu, reformasi sistem pemerintahan harus memperhatikan prinsip-prinsip inklusivitas dan partisipasi untuk membangun legitimasi dan keberlanjutan demokrasi yang substansial.¹³


Footnotes

[1]                Francis Fukuyama, Political Order and Political Decay: From the Industrial Revolution to the Globalization of Democracy (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2014), 127.

[2]                Merilee S. Grindle, “Good Governance: The Inflation of an Idea,” HKS Faculty Research Working Paper Series (2010): 7.

[3]                Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press, 2012), 84.

[4]                Scott Mainwaring and Matthew Shugart, eds., Presidentialism and Democracy in Latin America (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 15.

[5]                Marcus Mietzner, “Indonesia’s Democratic Stagnation: Anti-Reformist Elites and Resilient Civil Society,” Democratization 21, no. 2 (2014): 209–229.

[6]                Andreas Schedler, The Politics of Uncertainty: Sustaining and Subverting Electoral Authoritarianism (Oxford: Oxford University Press, 2013), 92.

[7]                Juan J. Linz, “The Perils of Presidentialism,” Journal of Democracy 1, no. 1 (1990): 51–69.

[8]                Thomas Carothers, “The End of the Transition Paradigm,” Journal of Democracy 13, no. 1 (2002): 10.

[9]                Arend Lijphart, Thinking about Democracy: Power Sharing and Majority Rule in Theory and Practice (London: Routledge, 2008), 33–35.

[10]             Jennifer McCoy, Presidentialism and Democratic Stability in Latin America, in Constructing Democratic Governance in Latin America, ed. Jorge I. Domínguez and Michael Shifter (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2003), 80–83.

[11]             David Held, Models of Democracy, 3rd ed. (Cambridge: Polity Press, 2006), 218.

[12]             Lisa Blaydes, Elections and Distributive Politics in Mubarak’s Egypt (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 39–40.

[13]             Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1999), 93–95.


9.           Penutup

Studi mengenai sistem pemerintahan memiliki urgensi yang tinggi dalam upaya membangun negara modern yang demokratis, efektif, dan berkeadilan. Melalui pemetaan terhadap tipologi, evolusi historis, prinsip-prinsip dasar, hingga dinamika implementatifnya, dapat dipahami bahwa sistem pemerintahan bukan hanya kerangka institusional yang bersifat normatif, tetapi juga entitas yang hidup dan terus beradaptasi dengan konteks sosial, politik, dan budaya yang melingkupinya.¹

Sistem parlementer, presidensial, semi-presidensial, maupun model alternatif seperti pemerintahan komunis atau otoriter, masing-masing memiliki karakteristik, keunggulan, dan kelemahan tersendiri. Efektivitasnya sangat ditentukan oleh kesiapan institusi, konfigurasi kekuatan politik, kualitas aktor pemerintahan, serta budaya politik masyarakatnya.² Seperti dikemukakan oleh Giovanni Sartori, tidak ada sistem pemerintahan yang “ideal” secara universal; yang ada adalah sistem yang “appropriate” bagi kondisi historis dan sosiologis suatu negara.³

Dalam konteks Indonesia, perjalanan panjang dari sistem parlementer semu, demokrasi terpimpin, presidensialisme otoriter Orde Baru, hingga era Reformasi mencerminkan dinamika yang kompleks antara formalisasi sistem dan realitas praksis politik. Amandemen konstitusi pasca-1998 berhasil membangun fondasi sistem presidensial yang lebih demokratis, namun tantangan implementasi tetap mengemuka dalam bentuk politik transaksional, lemahnya checks and balances, serta dominasi elite dalam proses pengambilan kebijakan.⁴

Implikasi dari sistem pemerintahan terhadap tata kelola negara dan kualitas demokrasi sangatlah nyata. Sistem pemerintahan yang efektif dapat mendorong lahirnya kebijakan yang responsif, pemerintahan yang akuntabel, serta penguatan stabilitas politik dan legitimasi kekuasaan. Sebaliknya, sistem yang tidak berfungsi optimal cenderung melahirkan ketimpangan, krisis kepercayaan publik, serta melemahnya institusi-institusi demokratis.⁵

Oleh karena itu, desain sistem pemerintahan harus senantiasa dikaji dan disesuaikan dengan perkembangan zaman serta kebutuhan bangsa. Reformasi kelembagaan, penguatan masyarakat sipil, pendidikan politik yang progresif, serta pemantapan budaya hukum menjadi elemen-elemen krusial dalam membangun sistem pemerintahan yang tidak hanya demokratis secara prosedural, tetapi juga substansial.⁶

Sebagai penutup, dapat ditegaskan bahwa sistem pemerintahan merupakan cerminan dari cara suatu bangsa mengelola kekuasaan secara beradab dan bertanggung jawab. Kajian multidisipliner terhadap sistem ini tidak hanya berkontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadi dasar normatif dan praktis dalam upaya mewujudkan negara yang adil, inklusif, dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Brian R. Nelson, The Making of the Modern State: A Theoretical Evolution (New York: Palgrave Macmillan, 2006), 11.

[2]                Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press, 2012), 301.

[3]                Giovanni Sartori, Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes (New York: NYU Press, 1997), 137.

[4]                Denny Indrayana, Indonesian Constitutional Reform 1999–2002: An Evaluation of Constitution-Making in Transition (Jakarta: Kompas, 2008), 235–237.

[5]                Francis Fukuyama, State-Building: Governance and World Order in the 21st Century (Ithaca: Cornell University Press, 2004), 28.

[6]                Merilee S. Grindle, “Good Enough Governance Revisited,” Development Policy Review 29, no. S1 (2011): S221–S236.


Daftar Pustaka

Almond, G. A., & Verba, S. (1963). The civic culture: Political attitudes and democracy in five nations. Princeton University Press.

Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Democracy for sale: Elections, clientelism, and the state in Indonesia. Cornell University Press.

Aspinall, E., & Mietzner, M. (2010). Politics in contemporary Indonesia: Institutional change and democratic consolidation. ISEAS Publishing.

Beetham, D. (1991). The legitimation of power. Macmillan.

Bingham, T. (2011). The rule of law. Penguin Books.

Blaydes, L. (2011). Elections and distributive politics in Mubarak’s Egypt. Cambridge University Press.

Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar ilmu politik (ed. revisi). Gramedia Pustaka Utama.

Carothers, T. (2002). The end of the transition paradigm. Journal of Democracy, 13(1), 5–21.

Carothers, T. (2010). Democracy support and development aid: The elusive synthesis. Journal of Democracy, 21(4), 12–26.

Diamond, L. (1999). Developing democracy: Toward consolidation. Johns Hopkins University Press.

Diamond, L., & Morlino, L. (2004). The quality of democracy: An overview. Journal of Democracy, 15(4), 20–31.

Doyle, W. (2002). The Oxford history of the French Revolution (2nd ed.). Oxford University Press.

Duverger, M. (1980). A new political system model: Semi-presidential government. European Journal of Political Research, 8(2), 165–187.

Elgie, R. (2011). Semi-presidentialism: Sub-types and democratic performance. Oxford University Press.

Emmerson, D. K. (Ed.). (1999). Indonesia beyond Suharto: Polity, economy, society, transition. M. E. Sharpe.

Feith, H. (1962). The decline of constitutional democracy in Indonesia. Cornell University Press.

Fukuyama, F. (2004). State-building: Governance and world order in the 21st century. Cornell University Press.

Fukuyama, F. (2014). Political order and political decay: From the industrial revolution to the globalization of democracy. Farrar, Straus and Giroux.

Gaffar Karim, A. (2005). Demokrasi dan desentralisasi di Indonesia: Reformasi, daerah, dan rakyat. Pustaka Pelajar.

Grindle, M. S. (2004). Good enough governance: Poverty reduction and reform in developing countries. World Bank.

Grindle, M. S. (2010). Good governance: The inflation of an idea. HKS Faculty Research Working Paper Series.

Grindle, M. S. (2011). Good enough governance revisited. Development Policy Review, 29(S1), S221–S236.

Hadiz, V. R. (2004). Power and politics in Indonesia. Routledge.

Held, D. (2006). Models of democracy (3rd ed.). Polity Press.

Holt, J. C. (1992). Magna Carta (2nd ed.). Cambridge University Press.

Huntington, S. P. (1968). Political order in changing societies. Yale University Press.

Huntington, S. P. (1991). The third wave: Democratization in the late twentieth century. University of Oklahoma Press.

Indrayana, D. (2008). Indonesian constitutional reform 1999–2002: An evaluation of constitution-making in transition. Kompas.

Lijphart, A. (2008). Thinking about democracy: Power sharing and majority rule in theory and practice. Routledge.

Lijphart, A. (2012). Patterns of democracy: Government forms and performance in thirty-six countries (2nd ed.). Yale University Press.

Lindsey, T. (2008). Indonesia: Law and society (2nd ed.). Federation Press.

Linz, J. J. (1990). The perils of presidentialism. Journal of Democracy, 1(1), 51–69.

Linz, J. J. (1994). Presidential or parliamentary democracy: Does it make a difference? In J. J. Linz & A. Valenzuela (Eds.), The failure of presidential democracy (Vol. 1, pp. 3–87). Johns Hopkins University Press.

Mainwaring, S., & Shugart, M. S. (Eds.). (1997). Presidentialism and democracy in Latin America. Cambridge University Press.

Mamdani, M. (1996). Citizen and subject: Contemporary Africa and the legacy of late colonialism. Princeton University Press.

McCoy, J. (2003). Presidentialism and democratic stability in Latin America. In J. I. Domínguez & M. Shifter (Eds.), Constructing democratic governance in Latin America (pp. 80–95). Johns Hopkins University Press.

Mietzner, M. (2005). Authoritarianism and democracy in Indonesia: The rise of the technocrats. Journal of Democracy, 16(2), 115–129.

Mietzner, M. (2014). Indonesia’s democratic stagnation: Anti-reformist elites and resilient civil society. Democratization, 21(2), 209–229.

Montesquieu. (1989). The spirit of the laws (A. M. Cohler, B. C. Miller, & H. S. Stone, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1748)

Nelson, B. R. (2006). The making of the modern state: A theoretical evolution. Palgrave Macmillan.

Peters, B. G. (2010). The politics of bureaucracy (6th ed.). Routledge.

Peters, B. G. (2012). Institutional theory in political science: The new institutionalism (3rd ed.). Continuum.

Rakove, J. N. (1996). Original meanings: Politics and ideas in the making of the Constitution. Alfred A. Knopf.

Sartori, G. (1987). The theory of democracy revisited (Vol. 1). Chatham House.

Sartori, G. (1997). Comparative constitutional engineering: An inquiry into structures, incentives and outcomes (2nd ed.). NYU Press.

Schedler, A. (2013). The politics of uncertainty: Sustaining and subverting electoral authoritarianism. Oxford University Press.

Skinner, Q. (1978). The foundations of modern political thought: The age of reformation (Vol. 2). Cambridge University Press.

Smith, D. L. (1998). A history of the modern British Isles, 1603–1707: The double crown. Blackwell.

Saunders, C. (2008). Constitutional courts in comparative perspective. Journal of Comparative Law, 3(1), 1–16.

Saunders, C. (2015). Constitutional design and implementation. International Journal of Constitutional Law, 13(3), 527–546.

Lev, D. S. (1978). Judicial authority and the struggle for an Indonesian Rechtsstaat. Law & Society Review, 13(1), 41–69.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar