Aliran Batiniyyah
Antara Tafsir Batin dan Kontroversi Pemikiran dalam
Sejarah Islam
Alihkan ke: Aliran-Aliran Ilmu Kalam.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif aliran
Batiniyyah dalam sejarah pemikiran Islam, mulai dari asal-usul kemunculannya
dalam konteks perpecahan Sunni–Syiah, hingga pengaruhnya dalam bidang teologi,
filsafat, budaya, dan politik Islam. Batiniyyah dikenal sebagai aliran yang
menekankan makna batin (esoterik) dari ajaran agama dan memandang otoritas imam
ma‘ṣūm sebagai kunci untuk memahami hakikat agama. Artikel ini menjelaskan
perkembangan cabang-cabang utama Batiniyyah, seperti Ismailiyah, Nizariyah,
Druze, dan Musta‘liyah, serta kontribusi mereka dalam bidang pendidikan,
arsitektur, filsafat, dan sastra. Di sisi lain, artikel ini juga mengulas
kritik keras terhadap Batiniyyah dari kalangan ulama Sunni dan Syiah, termasuk
tuduhan penolakan syariat, ketertutupan ajaran, dan motif politik tersembunyi.
Dalam dunia kontemporer, beberapa komunitas Batiniyyah seperti Nizari
Ismailiyah dan Bohra tetap bertahan dengan transformasi yang progresif. Melalui
pendekatan historis dan akademik berbasis sumber primer dan sekunder yang
kredibel, artikel ini menawarkan pemahaman yang seimbang atas posisi Batiniyyah
dalam sejarah Islam—tidak hanya sebagai aliran kontroversial, tetapi juga
sebagai bagian dari keragaman tradisi intelektual Islam.
Kata Kunci: Batiniyyah, Ismailiyah, ta’wil, imam ma‘ṣūm, tafsir
batin, sejarah Islam, aliran keagamaan, esoterisme Islam, Dinasti Fatimiyah,
filsafat Islam.
PEMBAHASAN
Mengenal Aliran Batiniyyah Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Dalam sejarah
intelektual Islam, penafsiran terhadap wahyu Ilahi tidak hanya berlangsung
secara tekstual dan literal, tetapi juga menempuh pendekatan spiritual dan
simbolik. Salah satu aliran yang dikenal luas karena pendekatan tafsir batinnya
adalah Batiniyyah,
yang menekankan dimensi esoterik (batin) dari ajaran agama, berlawanan dengan
pemahaman lahiriah (zahir) yang lebih umum dianut oleh mayoritas umat Islam.
Pendekatan ini berkembang di kalangan Syiah, khususnya dalam sekte Ismailiyah,
yang kemudian menjadi akar utama kemunculan aliran Batiniyyah dalam bentuk yang
sistematis dan terorganisir.1
Istilah "Batiniyyah"
secara etimologis berasal dari kata bāṭin (باطن) dalam bahasa Arab, yang berarti “bagian terdalam” atau
“makna tersembunyi”.
Dalam konteks teologis, istilah ini mengacu pada keyakinan bahwa setiap ayat
dalam Al-Qur’an memiliki makna tersembunyi di balik makna lahiriahnya. Para
pengikut Batiniyyah percaya bahwa hanya para imam ma’shum yang memiliki
otoritas untuk menyingkap makna batin tersebut, dan pemahaman atas ajaran agama
tidak bisa diserahkan semata-mata kepada akal atau metode tekstual belaka.2
Perkembangan
Batiniyyah tidak terlepas dari dinamika politik, sosial, dan spiritual umat
Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw., khususnya ketika perpecahan antara
kelompok Sunni dan Syiah
semakin melebar. Ketegangan antara otoritas politik yang berkuasa (khususnya
Bani Abbasiyah) dan kelompok-kelompok oposisi yang menuntut hak kepemimpinan
atas dasar nasab atau keilmuan, turut mendorong lahirnya ajaran-ajaran esoterik
yang menjadi ciri khas Batiniyyah.3 Dalam konteks ini, Batiniyyah
muncul sebagai salah satu aliran dengan sistem pemikiran yang unik, menawarkan
spiritualitas dalam kerangka ta’wil mendalam terhadap teks-teks suci.
Namun, sepanjang sejarahnya,
Batiniyyah tidak lepas dari kontroversi. Banyak ulama Ahlus Sunnah menilai
ajaran-ajaran Batiniyyah sebagai bentuk penyimpangan dari prinsip-prinsip dasar
Islam, terutama karena cenderung mengaburkan batas-batas syariat dengan
interpretasi yang simbolik dan rahasia. Misalnya, Imam
al-Ghazali dalam karyanya Fada’ih al-Batiniyyah menyebut
bahwa aliran ini mengancam keutuhan agama karena menolak validitas pemahaman
syariat lahiriah secara menyeluruh.4 Bahkan dalam pandangan sebagian
kalangan, Batiniyyah dituduh sebagai gerakan yang sarat dengan misi politik
tersembunyi, kerahasiaan organisasi, serta ajaran-ajaran elitis yang tidak
terbuka bagi publik.5
Melalui artikel ini,
penulis berupaya menyajikan pemahaman komprehensif mengenai aliran Batiniyyah,
tidak hanya dari sudut pandang teologis, tetapi juga secara historis,
sosiologis, dan filosofis. Dengan pendekatan akademis berbasis sumber primer
dan sekunder yang kredibel, artikel ini bertujuan memberikan wawasan objektif
dan kontekstual terhadap aliran yang hingga kini masih menjadi bahan diskusi di
kalangan cendekiawan Muslim maupun orientalis.
Footnotes
[1]
Farhad Daftary, The Ismailis: Their History and Doctrines
(Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 87–89.
[2]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 99.
[3]
Heinz Halm, The Fatimids and Their Traditions of Learning
(London: I.B. Tauris, 1997), 21–25.
[4]
Abu Hamid al-Ghazali, Fada’ih al-Batiniyyah (Kairo: Dar
al-Ma’arif, n.d.), 13–17.
[5]
Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and
History in a World Civilization, Volume 2 (Chicago: University of Chicago
Press, 1974), 112–115.
2.
Asal Usul dan Sejarah Kemunculan
Kemunculan aliran Batiniyyah
tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah pasca wafatnya Nabi Muhammad saw.,
di mana terjadi perdebatan tentang otoritas kepemimpinan umat Islam. Perpecahan
antara kelompok Sunni dan Syiah
menjadi latar belakang utama munculnya gagasan esoterik dalam tubuh Islam.
Dalam konteks ini, Batiniyyah muncul sebagai ekspresi dari salah satu arus
dalam Syiah yang menekankan aspek batin (esoterik) agama, dan mempercayai bahwa
hanya para imam yang ditunjuk secara ilahi
yang dapat mengungkap makna terdalam dari ajaran Islam.1
Secara historis,
Batiniyyah berkembang paling menonjol dalam lingkungan Syiah
Ismailiyah, sebuah cabang dari Syiah yang meyakini bahwa Imamah
berlanjut melalui jalur Ismail bin Ja’far al-Shadiq, bukan melalui Musa
al-Kazim sebagaimana diyakini oleh Syiah Itsna 'Asyariyah (duabelas imam).
Perpecahan ini terjadi sekitar abad ke-2 H (8 M), dan menjadi titik awal
terbentuknya identitas teologis dan politik kelompok Batiniyyah, yang kemudian
berkembang menjadi jaringan bawah tanah yang tersebar di berbagai wilayah
Islam.2
Kelompok ini
menemukan momentum signifikan ketika mendirikan Dinasti Fatimiyah pada awal
abad ke-10 M di Afrika Utara, yang mengklaim sebagai keturunan langsung dari
Fatimah az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib. Di bawah pemerintahan Dinasti
Fatimiyah, Batiniyyah mendapatkan perlindungan dan bahkan menjadi ideologi
resmi negara. Para imam dan da’i Batiniyyah mengembangkan sistem pendidikan
rahasia dan struktur dakwah yang tersentralisasi, dengan pusat utama di Kairo
dan wilayah-wilayah Syam serta Persia.3
Menurut Farhad
Daftary, Batiniyyah tidak hanya merupakan aliran keagamaan,
tetapi juga sebuah gerakan revolusioner yang
menggunakan simbolisme keagamaan untuk menyampaikan kritik terhadap kekuasaan
politik Abbasiyah. Dalam hal ini, Batiniyyah menciptakan narasi alternatif
tentang legitimasi kekuasaan spiritual dan duniawi melalui konsep imam
tersembunyi (al-imam al-ghaib) dan penafsiran batin terhadap
syariat.4 Sistem dakwah Batiniyyah sangat terorganisir dan
mengandalkan hierarki pengetahuan di mana seorang murid harus melewati
tahapan-tahapan inisiasi untuk memperoleh pemahaman spiritual yang lebih dalam.
Seiring waktu, dari
akar yang sama, muncullah beberapa cabang dan turunan dari Batiniyyah, seperti Nizariyah,
yang terkenal dengan jaringan Hashashin (kelompok fida’i),
serta Druze
di wilayah Syam yang kemudian berkembang menjadi komunitas tersendiri. Meskipun
memiliki kesamaan dalam pendekatan batiniah terhadap ajaran agama,
masing-masing kelompok ini memiliki perbedaan signifikan dalam struktur teologi
dan sistem sosialnya.5
Dengan demikian,
Batiniyyah bukan sekadar fenomena teologis, tetapi juga sosial-politik yang
kompleks. Aliran ini memainkan peran penting dalam sejarah Islam pertengahan,
baik sebagai pengusung ideologi esoterik maupun sebagai kekuatan politik yang
menantang hegemoni ortodoksi Sunni.
Footnotes
[1]
Moojan Momen, An Introduction to Shi'i Islam: The History and
Doctrines of Twelver Shi'ism (New Haven: Yale University Press, 1985),
43–45.
[2]
Heinz Halm, Shi'ism (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004),
82–85.
[3]
W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought
(Oxford: Oneworld Publications, 1998), 282–284.
[4]
Farhad Daftary, The Ismailis: Their History and Doctrines
(Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 105–110.
[5]
Marshall G. S. Hodgson, The Order of Assassins: The Struggle of the
Early Nizari Isma'ilis against the Islamic World (The Hague: Mouton,
1955), 21–23.
3.
Doktrin dan Ajaran Pokok Batiniyyah
Ajaran Batiniyyah
berpijak pada keyakinan bahwa agama tidak semata-mata terdiri atas makna
lahiriah (zāhir), tetapi memiliki dimensi batiniah (bāṭin) yang lebih tinggi,
hanya dapat dipahami melalui bimbingan spiritual dari imam yang ma‘ṣūm
(terpelihara dari kesalahan). Dalam pandangan ini, makna zahir dari teks-teks
syariat sering kali dianggap sebagai simbol atau penutup bagi hakikat batin
yang lebih dalam dan bersifat rahasia.1
3.1.
Tafsir Esoterik dan
Hierarki Pengetahuan
Salah satu pilar
utama doktrin Batiniyyah adalah ta’wil, yaitu penafsiran
simbolik terhadap Al-Qur’an dan ajaran agama. Mereka meyakini bahwa ayat-ayat
Al-Qur’an tidak dapat dimaknai secara literal semata, melainkan harus
ditafsirkan secara simbolik untuk menemukan makna sejatinya. Sebagai contoh,
kewajiban-kewajiban syariat seperti salat, puasa, dan zakat dianggap sebagai
lambang dari kesetiaan terhadap imam dan struktur kosmik tertentu dalam doktrin
mereka.2
Dalam ajaran
Batiniyyah terdapat konsep hierarki pengetahuan, di mana
pemahaman terhadap ajaran agama disusun bertingkat dan hanya dapat diakses
melalui proses inisiasi. Individu yang ingin memahami kebenaran batin harus
terlebih dahulu melewati bimbingan dari seorang da‘i (pendakwah) atau ḥujjah
(perantara), hingga mencapai akses terhadap petunjuk dari imam.3
Struktur ini membentuk sistem da’wah rahasia yang sangat terorganisir dan
menjadi ciri khas gerakan Batiniyyah sepanjang sejarahnya.
3.2.
Konsep Imamah dan
Otoritas Spiritual
Dalam teologi
Batiniyyah, imam bukan hanya pemimpin
politik, tetapi juga pemegang kunci pengetahuan ilahi. Imam dipandang sebagai
manifestasi dari cahaya Tuhan di bumi dan satu-satunya pihak yang sah untuk
menyingkap makna batin dari syariat. Keberadaan imam dalam setiap zaman
dianggap mutlak, dan ketiadaan imam akan menyebabkan umat tersesat dalam
pemahaman zahir semata.4
Imam dalam ajaran
Batiniyyah diyakini memiliki sifat ma‘ṣūm, yakni tidak bisa salah
dan selalu berada dalam petunjuk Ilahi. Bahkan dalam beberapa pandangan ekstrem
Batiniyyah, imam dianggap memiliki sifat semi-ilahi, suatu pandangan
yang menuai kritik keras dari mayoritas ulama Sunni dan bahkan Syiah lainnya.5
3.3.
Penolakan terhadap
Taklif dan Syariat Zahir
Beberapa cabang
Batiniyyah, terutama dalam bentuk ekstremnya, menolak konsep taklīf
(kewajiban syariat) secara zahir. Bagi mereka, ketika seseorang telah mencapai
pemahaman batin, maka syariat lahiriah tidak lagi mengikat karena telah
digantikan oleh makna sejati. Pandangan ini menjadi salah satu alasan utama
ditolaknya ajaran Batiniyyah oleh mayoritas ulama, karena dianggap menghapus
esensi syariat dan membuka celah terhadap relativisme agama.6
3.4.
Kosmologi dan
Simbolisme
Batiniyyah juga
mengembangkan kosmologi metafisik yang
kompleks, di mana dunia ini dianggap sebagai refleksi dari realitas batin yang
lebih tinggi. Alam semesta dibagi dalam tingkatan-tingkatan spiritual yang
berkaitan erat dengan struktur imamat. Konsep seperti al-‘aql
al-awwal (akal pertama) dan an-nafs al-kulliyyah (jiwa
universal) menjadi bagian dari metafisika mereka yang banyak dipengaruhi oleh
filsafat Neoplatonisme dan gnostikisme.7
Kosmologi ini
digunakan untuk menjelaskan bahwa semua realitas material hanyalah bayangan
dari kebenaran spiritual yang hanya dapat diakses melalui imam. Bahkan,
pelaksanaan ibadah pun dilihat sebagai bentuk simbolis dari gerakan jiwa menuju
hakikat ketuhanan.
Footnotes
[1]
Farhad Daftary, The Ismailis: Their History and Doctrines
(Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 141–145.
[2]
Heinz Halm, The Fatimids and Their Traditions of Learning
(London: I.B. Tauris, 1997), 40–42.
[3]
W. Ivanow, The Alleged Founder of Ismailism: Abu Hatim al-Razi and
His Teachings (Bombay: The Royal Asiatic Society, 1946), 56–58.
[4]
Moojan Momen, An Introduction to Shi'i Islam (New Haven: Yale
University Press, 1985), 160–162.
[5]
Abu Hamid al-Ghazali, Fada’ih al-Batiniyyah (Cairo: Dar
al-Ma'arif, n.d.), 22–24.
[6]
Wilferd Madelung, “Fatimid Daʻwa and the Qarmaṭians of Bahrayn,” Studia
Islamica 38 (1973): 73–79.
[7]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard
(London: Kegan Paul, 1993), 92–96.
4.
Cabang dan Variasi Batiniyyah
Meskipun istilah “Batiniyyah”
sering digunakan secara umum untuk merujuk pada berbagai kelompok esoterik
dalam Islam, realitasnya, aliran ini bukan satu entitas tunggal. Batiniyyah
berkembang dalam berbagai bentuk dan manifestasi teologis yang berbeda,
tergantung pada konteks geografis, politik, dan sosiokultural masing-masing
komunitas. Variasi ini mencerminkan keragaman interpretasi terhadap prinsip
dasar ta’wil (penafsiran batin) dan imamah, serta bagaimana kedua konsep
tersebut diterapkan dalam kehidupan beragama.
4.1.
Ismailiyah: Akar
Teologis Batiniyyah
Cabang paling utama
dari Batiniyyah adalah Syiah Ismailiyah, yang berakar
pada perpecahan setelah wafatnya Imam Ja‘far al-Shadiq (w. 765 M). Para
pengikut Ismailiyah meyakini bahwa kepemimpinan imamah diteruskan kepada putra
beliau, Ismail bin Ja‘far, berbeda dengan Syiah Duabelas Imam (Itsna
‘Asyariyah) yang mengikuti Musa al-Kazim. Ismailiyah mengembangkan sistem
dakwah dan struktur hierarkis yang sangat kompleks, dan menjadi kekuatan
ideologis utama di balik berdirinya Dinasti Fatimiyah di Afrika
Utara dan Mesir.1
Di bawah Fatimiyah,
ajaran Batiniyyah diinstitusionalisasi melalui lembaga pendidikan seperti Dar
al-Hikmah di Kairo, yang menjadi pusat pengembangan ilmu-ilmu
esoterik, filsafat, dan teologi. Pandangan mereka tentang imam sebagai pusat
otoritas spiritual dan tafsir simbolik terhadap syariat menjadi karakteristik
utama doktrin mereka.2
4.2.
Nizariyah dan
Hashashin: Gerakan Militan Berbasis Esoterisme
Setelah wafatnya
Imam al-Mustansir Billah (w. 1094 M), Ismailiyah mengalami perpecahan internal
yang menghasilkan dua cabang utama: Nizariyah dan Musta‘liyah.
Nizariyah, yang mendukung putra sulung al-Mustansir yaitu Nizar, berkembang
terutama di Persia dan Syam di bawah kepemimpinan Hasan
Sabbah, seorang da‘i yang mendirikan benteng legendaris Alamut.3
Kelompok ini
terkenal karena jaringan Hashashin (fida'iyyun), yang
melakukan aksi-aksi pembunuhan politik terhadap tokoh-tokoh penting Sunni dan
Abbasiyah. Walaupun tindakan mereka kontroversial, secara doktrinal, Nizariyah
tetap menjunjung tinggi prinsip ta’wil dan kepemimpinan imam yang dianggap
sebagai sumber kebenaran batin. Gerakan ini juga mencerminkan perpaduan antara
strategi politik, spiritualitas esoterik, dan struktur intelektual yang kuat.4
4.3.
Druze: Evolusi
Ajaran Batiniyyah di Syam
Kelompok Druze
muncul pada awal abad ke-11 M di wilayah Syam, sebagai cabang yang lebih jauh
dari Musta‘liyah. Druze berkembang dengan pandangan bahwa Imam al-Hakim bi
Amrillah (w. 1021 M), khalifah Fatimiyah yang kontroversial, adalah manifestasi
Tuhan. Pandangan ini membawa mereka keluar dari mainstream Islam dan menjadi
komunitas tertutup dengan sistem kepercayaan yang sangat rahasia.5
Druze mengembangkan
kosmologi metafisik, doktrin reinkarnasi, dan sistem hierarkis yang tidak lagi
mengacu pada hukum Islam formal, melainkan pada prinsip spiritual yang mereka
yakini sebagai hasil dari penyingkapan batin. Meskipun berakar pada Batiniyyah,
sistem kepercayaan mereka kini telah menjadi identitas religius tersendiri yang
tidak lagi mengklaim sebagai bagian dari Islam.6
4.4.
Cabang Minor dan
Gerakan Sejenis
Selain kelompok
utama di atas, ada pula berbagai gerakan kecil yang mengusung semangat
Batiniyyah. Misalnya, kelompok Qarmathiyah di Bahrain dan Irak
timur yang terkenal karena aksi radikalnya menyerbu Makkah dan membawa lari
Hajar Aswad pada tahun 930 M. Meskipun secara ideologis berdekatan dengan
Ismailiyah, Qarmathiyah menampilkan wajah ekstrem dari ajaran batiniah dan
revolusi sosial-politik.7
Demikian pula, dalam
sejarah Islam ditemukan gerakan-gerakan mistik dan esoterik lainnya yang kadang
dikategorikan sebagai Batiniyyah, meskipun tanpa afiliasi langsung dengan
Ismailiyah. Sebagian dari mereka menunjukkan pengaruh gnostik, neoplatonik,
atau bahkan sinkretisme lokal dalam pemaknaan batin agama.
Footnotes
[1]
Farhad Daftary, The Ismailis: Their History and Doctrines
(Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 93–96.
[2]
Heinz Halm, The Fatimids and Their Traditions of Learning
(London: I.B. Tauris, 1997), 51–54.
[3]
Marshall G. S. Hodgson, The Order of Assassins: The Struggle of the
Early Nizari Isma'ilis against the Islamic World (The Hague: Mouton,
1955), 15–18.
[4]
Wladimir Ivanow, Alamut and Lamasar: The Ismaili Strongholds in
Persia (Tehran: Ismaili Society of Iran, 1960), 39–41.
[5]
Kamal S. Salibi, A House of Many Mansions: The History of Lebanon
Reconsidered (Berkeley: University of California Press, 1988), 87–89.
[6]
Nejla M. Abu Izzeddin, The Druzes: A New Study of their History,
Faith, and Society (Leiden: Brill, 1984), 34–38.
[7]
Wilferd Madelung, “The Qarmatians and the Fatimids,” Islamic
Studies 3, no. 2 (1964): 165–168.
5.
Kritik dan Kontroversi
Sejak kemunculannya,
aliran Batiniyyah telah menjadi subjek perdebatan dan kontroversi sengit dalam
sejarah pemikiran Islam. Hal ini terutama disebabkan oleh pendekatan
teologisnya yang sangat esoterik, sistem organisasi yang tertutup, serta
pengaruh politiknya yang sering berhadapan dengan kekuasaan ortodoks. Kritik
terhadap Batiniyyah datang dari berbagai kalangan, baik dari ulama Sunni,
kalangan Syiah non-Ismailiyah, maupun penguasa politik yang melihat gerakan ini
sebagai ancaman ideologis dan sosial.
5.1.
Tuduhan Ketertutupan
dan Elitisme
Salah satu kritik
utama terhadap Batiniyyah adalah sifat ajaran mereka yang bersifat tertutup
dan elitis, hanya dapat diakses oleh mereka yang telah melalui
tahapan-tahapan inisiasi khusus. Pengetahuan dianggap sebagai hak eksklusif
kalangan terbatas dalam hierarki keagamaan, terutama imam dan da‘i.
Ketertutupan ini menimbulkan kecurigaan di kalangan masyarakat luas, yang
menganggap Batiniyyah menyimpan ajaran-ajaran rahasia yang bertentangan dengan
prinsip keterbukaan dalam Islam.1
Kritik ini misalnya
dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam karya
polemisnya Fada’ih
al-Batiniyyah (Skandal-Skandal Kaum Batiniyyah), di mana ia menuduh
kelompok ini menyembunyikan kebenaran agama dari publik dan menggantinya dengan
sistem ketaatan buta kepada imam tanpa dasar dalil rasional maupun tekstual
yang dapat diverifikasi secara ilmiah maupun syar‘i.2
5.2.
Penolakan terhadap
Syariat Zahir
Kritikan keras juga
diarahkan pada aspek teologis Batiniyyah yang cenderung menolak
atau menafsirkan ulang syariat Islam secara simbolik, hingga
pada titik yang dianggap membatalkan syariat itu sendiri. Beberapa cabang
ekstrem Batiniyyah, seperti Qarmathiyah dan kelompok dalam Nizariyah awal,
mengajarkan bahwa setelah mencapai tingkat pemahaman batin, seseorang tidak
lagi terikat pada praktik-praktik syariat zahir seperti salat, puasa, dan
zakat, karena semua itu hanyalah simbol lahiriah dari ketaatan spiritual.3
Pandangan ini
dianggap menyimpang oleh mayoritas ulama Islam, karena bertentangan dengan
prinsip umum bahwa syariat berlaku universal dan tidak dapat digugurkan atas
dasar subjektivitas spiritual. Dalam pandangan Sunni ortodoks, pendekatan
Batiniyyah ini berisiko merelativisasi agama dan membuka ruang pembatalan
hukum-hukum Allah berdasarkan interpretasi pribadi.4
5.3.
Kecurigaan Politik
dan Gerakan Bawah Tanah
Di samping masalah
teologis, Batiniyyah juga kerap dicurigai sebagai gerakan
politik bawah tanah yang menggunakan agama sebagai kedok untuk mencapai
tujuan kekuasaan. Pandangan ini terutama muncul pada masa Daulah
Abbasiyah, ketika kelompok-kelompok Batiniyyah seperti
Ismailiyah dan Qarmathiyah melakukan perlawanan bersenjata dan mendirikan
negara-negara tandingan seperti Dinasti Fatimiyah di Afrika
Utara dan benteng Alamut di Persia.
Para penguasa
Abbasiyah menilai Batiniyyah sebagai kelompok subversif yang mengancam
stabilitas negara. Tuduhan ini diperkuat oleh aksi-aksi militan dari fida’i
Nizari (Hashashin), yang membunuh tokoh-tokoh penting politik dan agama melalui
operasi-operasi rahasia. Hal ini memperkuat stereotip bahwa Batiniyyah adalah
kelompok ekstremis yang menjustifikasi kekerasan atas nama agama dan wahyu
batin.5
5.4.
Kritik dari Kalangan
Syiah Lain
Menariknya,
Batiniyyah juga tidak lepas dari kritik internal dalam kalangan Syiah itu
sendiri. Syiah Duabelas Imam (Itsna ‘Asyariyah)
menolak klaim Batiniyyah bahwa imam harus hadir secara fisik di setiap masa dan
menolak penafsiran batin yang menggugurkan makna zahir. Bagi mereka, meskipun
ada ruang untuk ta’wil, makna zahir tetap memiliki kedudukan hukum yang sah dan
tidak dapat ditanggalkan. Mereka juga menolak pandangan ekstrem tentang
ketuhanan imam seperti yang diyakini oleh kelompok Druze atau Ismailiyah
ekstrem.6
Footnotes
[1]
Farhad Daftary, The Ismailis: Their History and Doctrines
(Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 147–149.
[2]
Abu Hamid al-Ghazali, Fada’ih al-Batiniyyah (Cairo: Dar
al-Ma'arif, n.d.), 18–22.
[3]
Heinz Halm, The Empire of the Mahdi: The Rise of the Fatimids,
trans. Michael Bonner (Leiden: Brill, 1996), 112–114.
[4]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 101.
[5]
Marshall G. S. Hodgson, The Order of Assassins: The Struggle of the
Early Nizari Isma'ilis against the Islamic World (The Hague: Mouton,
1955), 23–26.
[6]
Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and
Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985),
165–167.
6.
Warisan Intelektual dan Budaya
Meskipun Batiniyyah
sering kali dicurigai dan dikritik dalam sejarah Islam, tidak dapat diabaikan
bahwa aliran ini turut memberikan kontribusi penting dalam ranah intelektual,
spiritual, dan budaya dunia Islam. Melalui lembaga pendidikan,
karya sastra, filsafat, serta arsitektur, Batiniyyah meninggalkan jejak
intelektual yang kompleks dan dalam beberapa hal sangat maju dibandingkan
dengan arus utama pemikiran Islam pada masanya.
6.1.
Lembaga Pendidikan
dan Penyebaran Ilmu
Salah satu warisan
paling signifikan dari Batiniyyah adalah pendirian Dar
al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) di Kairo oleh Dinasti Fatimiyah
pada abad ke-10 M. Lembaga ini tidak hanya menjadi pusat pengajaran agama,
tetapi juga pusat perkembangan ilmu pengetahuan umum seperti filsafat,
matematika, astronomi, dan kedokteran. Dar al-Hikmah menjadi model awal
institusi pendidikan tinggi dalam dunia Islam yang mengintegrasikan pengetahuan
rasional dan spiritual.1
Lembaga-lembaga
pendidikan Batiniyyah juga memainkan peran penting dalam penyebaran sistem
ta’līm (pengajaran berjenjang), yang menekankan pengembangan spiritual secara
bertahap melalui bimbingan seorang da‘i. Konsep ini kelak memengaruhi sistem
tarekat sufi dan pendidikan keagamaan di berbagai belahan dunia Islam.2
6.2.
Karya Filsafat dan
Teologi Esoterik
Kelompok Batiniyyah,
khususnya Ismailiyah, turut melahirkan karya-karya intelektual yang mendalam,
khususnya dalam bidang filsafat Islam dan teologi. Salah satu contoh penting
adalah kumpulan risalah filosofis Ikhwan al-Shafa (Persaudaraan
Suci), yang terdiri atas 52 risalah mencakup berbagai bidang ilmu: logika, ilmu
alam, metafisika, dan etika. Meskipun asal-usul karya ini masih diperdebatkan,
banyak sejarawan menyepakati keterkaitannya dengan lingkungan intelektual
Ismailiyah.3
Ajaran mereka juga
memperkenalkan sintesis pemikiran Islam dengan filsafat Yunani, khususnya Neoplatonisme,
dalam menjelaskan struktur kosmos, hubungan antara akal universal dan jiwa
dunia, serta konsep penciptaan melalui emanasi (fayd). Gagasan ini sangat
memengaruhi perkembangan filsafat Islam klasik dan bahkan masuk dalam diskursus
filsafat Syiah Duabelas Imam melalui tokoh-tokoh seperti Mulla Sadra.4
6.3.
Sastra dan
Simbolisme
Literatur Batiniyyah
juga kaya akan simbolisme dan alegori. Banyak teks mereka ditulis dalam gaya
naratif dan metaforis, yang menyembunyikan makna batin di balik kisah dan
simbol. Strategi penulisan ini tidak hanya menunjukkan kehati-hatian politik,
tetapi juga menjadi bagian dari ajaran mereka bahwa kebenaran sejati tidak
dapat dipahami secara langsung, melainkan harus disingkap melalui proses
spiritual dan intelektual yang mendalam.5
Kontribusi ini
memperkaya khazanah sastra Arab-Persia dan memengaruhi tradisi penulisan dalam
komunitas-komunitas Ismailiyah modern, termasuk dalam penyebaran ajaran melalui
majlis dakwah dan naskah-naskah ta’wil.
6.4.
Arsitektur dan Seni
Dalam bidang
arsitektur, Dinasti Fatimiyah yang merupakan manifestasi politik Batiniyyah,
turut meninggalkan jejak monumental dalam bentuk masjid-masjid,
madrasah, dan istana di Kairo dan sekitarnya. Masjid al-Azhar
(970 M), misalnya, awalnya dibangun sebagai pusat penyebaran ajaran Ismailiyah,
sebelum kemudian menjadi universitas Islam Sunni terkemuka.6
Arsitektur Fatimiyah
mencerminkan estetika spiritual dan simbolisme kosmologis yang menjadi ciri
khas ajaran Batiniyyah. Desain geometris dan pola simetris dalam bangunan
mereka sering kali dimaknai sebagai refleksi dari tatanan spiritual alam
semesta yang diyakini dalam kosmologi mereka.
Footnotes
[1]
Heinz Halm, The Fatimids and Their Traditions of Learning
(London: I.B. Tauris, 1997), 55–59.
[2]
Wladimir Ivanow, Ismailism and Islam (London: Luzac & Co.,
1938), 81–83.
[3]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 47–50.
[4]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 100–104.
[5]
Farhad Daftary, Intellectual Traditions in Islam (London: I.B.
Tauris, 2000), 116–118.
[6]
Jonathan Bloom and Sheila Blair, Islam: A Thousand Years of Faith
and Power (New Haven: Yale University Press, 2002), 112–114.
7.
Batiniyyah dalam Dunia Kontemporer
Dalam dunia Islam
kontemporer, istilah Batiniyyah masih digunakan,
namun lebih sering sebagai label teologis bernada peyoratif terhadap
kelompok-kelompok yang dianggap terlalu menekankan aspek esoterik atau
menyimpang dari pemahaman syariat lahiriah. Meski demikian, kelompok-kelompok
yang secara historis dikategorikan sebagai bagian dari Batiniyyah, seperti Ismailiyah
Nizari, Druze, dan komunitas Tayyibi-Musta‘liyah,
masih eksis hingga hari ini dan menjalani dinamika sosial-keagamaan yang
kompleks dalam masyarakat modern.
7.1.
Ismailiyah Nizari di
Bawah Aga Khan
Kelompok Ismailiyah
yang paling menonjol saat ini adalah Nizari Ismailiyah, yang
dipimpin oleh Imam Aga Khan IV (Shah Karim
al-Husayni), keturunan langsung dari dinasti Fatimiyah. Komunitas ini telah
mengalami transformasi signifikan sejak abad ke-19, berpindah dari bentuk
militan menjadi komunitas progresif dan kosmopolitan. Di bawah kepemimpinan Aga
Khan, Ismailiyah dikenal dengan pendekatan modern terhadap agama, pendidikan,
dan pembangunan sosial melalui jaringan Aga Khan Development Network (AKDN).1
Aga Khan tidak hanya
dihormati sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga berperan aktif dalam
forum-forum internasional mengenai pembangunan berkelanjutan, pluralisme, dan
pendidikan. Ajaran Nizari modern tetap mempertahankan unsur ta’wil dan imamah,
tetapi dikemas dalam narasi yang lebih universal dan humanistik, berupaya
menjembatani antara spiritualitas dan tantangan kontemporer umat manusia.2
7.2.
Komunitas Druze:
Kepercayaan Rahasia dalam Negara Modern
Komunitas Druze,
yang sebagian besar berada di Lebanon, Suriah, dan Israel, tetap mempertahankan
ajaran esoterik mereka dengan ketat, termasuk kepercayaan kepada reinkarnasi
dan ketuhanan Imam al-Hakim bi Amrillah. Mereka dikenal sebagai komunitas yang tertutup
secara teologis, hanya membolehkan anggota yang lahir dalam
komunitas untuk mengikuti ajaran secara penuh. Meskipun demikian, secara
politik dan sosial, mereka aktif dalam kehidupan publik di negara-negara tempat
mereka tinggal, termasuk militer dan parlemen.3
Di tengah tantangan
politik Timur Tengah, komunitas Druze telah mengembangkan strategi bertahan
dengan sinkronisasi
identitas religius dan kewarganegaraan, menjadikan mereka salah
satu kelompok minoritas yang relatif stabil meskipun doktrin mereka sangat
berbeda dari mayoritas Muslim.4
7.3.
Kelangsungan
Tayyibi-Musta‘liyah dan Bohra
Kelompok Tayyibi-Musta‘liyah,
pecahan dari Ismailiyah setelah wafatnya Imam al-Amir (w. 1130 M), masih
bertahan di India dan Yaman, khususnya melalui komunitas Dawoodi
Bohra dan Sulaymani Bohra. Komunitas
Dawoodi Bohra dipimpin oleh seorang dā‘i al-mutlaq, karena mereka meyakini
bahwa imam sejati sedang dalam keadaan gaib (ghaybah). Mereka sangat
terorganisir dan aktif dalam bidang ekonomi, perdagangan, serta pendidikan di
Asia Selatan dan Afrika Timur.5
Meskipun jumlahnya
tidak besar, komunitas ini mempertahankan tradisi keilmuan Batiniyyah dalam
bentuk pengajaran ta’wil dan sistem hierarki keagamaan. Perpaduan antara
kesetiaan terhadap tradisi dan adaptasi modern menjadikan mereka salah satu
contoh keberlangsungan ajaran Batiniyyah dalam dunia yang berubah.6
7.4.
Stigma, Dialog, dan
Tantangan Global
Dalam wacana
keislaman kontemporer, istilah "Batiniyyah" masih sering
digunakan secara pejoratif oleh sebagian kalangan Sunni untuk menyerang lawan
ideologis, terutama kelompok yang dianggap menyelewengkan tafsir atau
menyimpang dari syariat. Penggunaan istilah ini sering tidak tepat secara
akademis, karena tidak selalu merujuk pada pengikut ajaran Ismailiyah atau
kelompok batiniah sejati, tetapi lebih sebagai retorika dalam konflik teologis
atau politik.7
Namun, di sisi lain,
sejumlah akademisi dan tokoh Muslim progresif berupaya membangun dialog
antarmazhab dan mengkaji ulang kontribusi intelektual
Batiniyyah secara lebih objektif. Pendekatan ini membuka ruang bagi penghargaan
terhadap keragaman pemikiran dalam Islam,
termasuk warisan esoterik yang dulunya dianggap tabu. Kecenderungan ini
mencerminkan adanya pergeseran dari pendekatan polemis ke
pendekatan historis dan fenomenologis dalam studi Islam modern.8
Footnotes
[1]
Farhad Daftary, A Modern History of the Ismailis: Continuity and
Change in a Muslim Community (London: I.B. Tauris, 2011), 2–6.
[2]
Karim Aga Khan IV, Where Hope Takes Root: Democracy and Pluralism
in an Interdependent World (Vancouver: Douglas & McIntyre, 2006),
19–23.
[3]
Nejla M. Abu Izzeddin, The Druzes: A New Study of Their History,
Faith and Society (Leiden: Brill, 1984), 105–108.
[4]
Kais Firro, A History of the Druzes (Leiden: Brill, 1992),
212–215.
[5]
Jonah Blank, Mullahs on the Mainframe: Islam and Modernity among
the Daudi Bohras (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 61–64.
[6]
Asghar Ali Engineer, “The Bohras: A Study in Minority Communalism,” Economic
and Political Weekly 19, no. 2 (1984): 57–60.
[7]
Wilferd Madelung, “Ismaili and Sunni Polemics: Reflections on the
Earliest Anti-Ismaili Writings,” Muslim World 74, no. 1 (1984): 1–17.
[8]
Reza Shah-Kazemi, “The Esoteric Ethics of the Ismailis: Reflections on
Spiritual Development and Liberation,” Journal of Islamic Ethics 1,
no. 1 (2017): 49–63.
8.
Kesimpulan
Batiniyyah merupakan
salah satu aliran dalam sejarah Islam yang menampilkan wajah keberagamaan yang
khas, dengan menekankan dimensi batin (esoterik) dari ajaran
agama. Lahir dari konteks ketegangan teologis dan politik pasca wafatnya Nabi
Muhammad ﷺ, Batiniyyah berkembang terutama melalui
jalur Syiah Ismailiyah,
yang kemudian memunculkan berbagai cabang seperti Nizariyah,
Musta‘liyah,
Qarmathiyah,
dan bahkan Druze. Dalam sejarahnya,
Batiniyyah memainkan peran penting tidak hanya dalam bidang keagamaan, tetapi
juga dalam dinamika sosial, politik, dan intelektual dunia Islam abad
pertengahan.
Ajaran Batiniyyah
berpusat pada keyakinan terhadap makna batin teks suci, otoritas
spiritual imam ma‘ṣūm, dan ta’wil
sebagai metode memahami kebenaran ilahi yang tersembunyi di balik syariat
zahir. Pendekatan ini, meskipun dianggap dalam oleh para pengikutnya,
menimbulkan kritik keras dari kalangan Sunni ortodoks dan bahkan sebagian
Syiah, karena dinilai membuka ruang relativisme hukum dan ketertutupan dogmatis
yang tidak dapat diverifikasi secara nash atau akal.1
Meski demikian,
kontribusi Batiniyyah terhadap dunia Islam tidak bisa diabaikan. Dari segi warisan
intelektual, mereka menghasilkan karya-karya penting dalam bidang
filsafat, kosmologi, logika, dan spiritualitas, termasuk kumpulan risalah Ikhwan
al-Shafa serta sistem pengajaran Dar al-Hikmah. Dari segi budaya
dan arsitektur, Dinasti Fatimiyah sebagai manifestasi politik
Batiniyyah meninggalkan jejak peradaban yang signifikan, seperti Masjid
al-Azhar dan tradisi intelektual Ismailiyah yang masih berlanjut hingga kini.2
Dalam konteks
kontemporer, kelompok-kelompok yang berakar pada Batiniyyah, seperti Nizari
Ismailiyah dan Dawoodi Bohra, telah
bertransformasi menjadi komunitas yang adaptif dan modern, mengedepankan
pendidikan, pembangunan, dan dialog antaragama. Di sisi lain, stigma negatif
terhadap istilah "Batiniyyah" masih muncul dalam wacana
polemik teologis, sering kali digunakan secara tidak akurat untuk mendiskreditkan
pandangan atau kelompok tertentu.3
Oleh karena itu,
pendekatan terhadap Batiniyyah memerlukan keseimbangan antara kritik teologis dan kajian
historis. Tidak cukup hanya menilai Batiniyyah dari sudut
penyimpangan, tetapi juga perlu mengakui kompleksitas dan kontribusinya
terhadap khazanah Islam. Kajian akademik yang objektif dan berbasis sumber
primer menjadi kunci untuk memahami posisi Batiniyyah dalam sejarah pemikiran
Islam secara utuh.4
Footnotes
[1]
Abu Hamid al-Ghazali, Fada’ih al-Batiniyyah (Cairo: Dar
al-Ma’arif, n.d.), 21–24.
[2]
Heinz Halm, The Fatimids and Their Traditions of Learning
(London: I.B. Tauris, 1997), 55–59; Farhad Daftary, The Ismailis: Their
History and Doctrines (Cambridge: Cambridge University Press, 1990),
145–147.
[3]
Wilferd Madelung, “Ismaili and Sunni Polemics: Reflections on the
Earliest Anti-Ismaili Writings,” Muslim World 74, no. 1 (1984): 1–17.
[4]
Farhad Daftary, A Short History of the Ismailis: Traditions of a
Muslim Community (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1998), 1–5.
Daftar Pustaka
Abu Izzeddin, N. M. (1984). The Druzes: A new
study of their history, faith and society. Leiden: Brill.
Al-Ghazali, A. H. (n.d.). Fada’ih al-Batiniyyah.
Cairo: Dar al-Ma’arif.
Blank, J. (2001). Mullahs on the mainframe:
Islam and modernity among the Daudi Bohras. Chicago: University of Chicago
Press.
Bloom, J., & Blair, S. (2002). Islam: A
thousand years of faith and power. New Haven: Yale University Press.
Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy
(L. Sherrard, Trans.). London: Kegan Paul.
Daftary, F. (1990). The Ismailis: Their history
and doctrines. Cambridge: Cambridge University Press.
Daftary, F. (1998). A short history of the
Ismailis: Traditions of a Muslim community. Edinburgh: Edinburgh University
Press.
Daftary, F. (2000). Intellectual traditions in
Islam. London: I.B. Tauris.
Daftary, F. (2011). A modern history of the
Ismailis: Continuity and change in a Muslim community. London: I.B. Tauris.
Engineer, A. A. (1984). The Bohras: A study in
minority communalism. Economic and Political Weekly, 19(2), 57–60.
Firro, K. (1992). A history of the Druzes.
Leiden: Brill.
Halm, H. (1996). The empire of the Mahdi: The
rise of the Fatimids (M. Bonner, Trans.). Leiden: Brill.
Halm, H. (1997). The Fatimids and their
traditions of learning. London: I.B. Tauris.
Hodgson, M. G. S. (1955). The order of
Assassins: The struggle of the early Nizari Isma'ilis against the Islamic world.
The Hague: Mouton.
Ivanow, W. (1938). Ismailism and Islam.
London: Luzac & Co.
Ivanow, W. (1946). The alleged founder of
Ismailism: Abu Hatim al-Razi and his teachings. Bombay: The Royal Asiatic
Society.
Ivanow, W. (1960). Alamut and Lamasar: The
Ismaili strongholds in Persia. Tehran: Ismaili Society of Iran.
Madelung, W. (1964). The Qarmatians and the
Fatimids. Islamic Studies, 3(2), 165–168.
Madelung, W. (1984). Ismaili and Sunni polemics:
Reflections on the earliest anti-Ismaili writings. Muslim World, 74(1),
1–17.
Momen, M. (1985). An introduction to Shi‘i
Islam: The history and doctrines of Twelver Shi‘ism. New Haven: Yale
University Press.
Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in
Islam. Cambridge: Harvard University Press.
Salibi, K. S. (1988). A house of many mansions:
The history of Lebanon reconsidered. Berkeley: University of California
Press.
Shah-Kazemi, R. (2017). The esoteric ethics of the
Ismailis: Reflections on spiritual development and liberation. Journal of
Islamic Ethics, 1(1), 49–63.
Watt, W. M. (1985). Islamic philosophy and
theology. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Watt, W. M. (1998). The formative period of
Islamic thought. Oxford: Oneworld Publications.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar