Sabtu, 05 April 2025

Aliran Batiniyyah: Antara Tafsir Batin dan Kontroversi Pemikiran dalam Sejarah Islam

Aliran Batiniyyah

Antara Tafsir Batin dan Kontroversi Pemikiran dalam Sejarah Islam


Alihkan ke: Aliran-Aliran Ilmu Kalam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif aliran Batiniyyah dalam sejarah pemikiran Islam, mulai dari asal-usul kemunculannya dalam konteks perpecahan Sunni–Syiah, hingga pengaruhnya dalam bidang teologi, filsafat, budaya, dan politik Islam. Batiniyyah dikenal sebagai aliran yang menekankan makna batin (esoterik) dari ajaran agama dan memandang otoritas imam ma‘ṣūm sebagai kunci untuk memahami hakikat agama. Artikel ini menjelaskan perkembangan cabang-cabang utama Batiniyyah, seperti Ismailiyah, Nizariyah, Druze, dan Musta‘liyah, serta kontribusi mereka dalam bidang pendidikan, arsitektur, filsafat, dan sastra. Di sisi lain, artikel ini juga mengulas kritik keras terhadap Batiniyyah dari kalangan ulama Sunni dan Syiah, termasuk tuduhan penolakan syariat, ketertutupan ajaran, dan motif politik tersembunyi. Dalam dunia kontemporer, beberapa komunitas Batiniyyah seperti Nizari Ismailiyah dan Bohra tetap bertahan dengan transformasi yang progresif. Melalui pendekatan historis dan akademik berbasis sumber primer dan sekunder yang kredibel, artikel ini menawarkan pemahaman yang seimbang atas posisi Batiniyyah dalam sejarah Islam—tidak hanya sebagai aliran kontroversial, tetapi juga sebagai bagian dari keragaman tradisi intelektual Islam.

Kata Kunci: Batiniyyah, Ismailiyah, ta’wil, imam ma‘ṣūm, tafsir batin, sejarah Islam, aliran keagamaan, esoterisme Islam, Dinasti Fatimiyah, filsafat Islam.


PEMBAHASAN

Mengenal Aliran Batiniyyah Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah intelektual Islam, penafsiran terhadap wahyu Ilahi tidak hanya berlangsung secara tekstual dan literal, tetapi juga menempuh pendekatan spiritual dan simbolik. Salah satu aliran yang dikenal luas karena pendekatan tafsir batinnya adalah Batiniyyah, yang menekankan dimensi esoterik (batin) dari ajaran agama, berlawanan dengan pemahaman lahiriah (zahir) yang lebih umum dianut oleh mayoritas umat Islam. Pendekatan ini berkembang di kalangan Syiah, khususnya dalam sekte Ismailiyah, yang kemudian menjadi akar utama kemunculan aliran Batiniyyah dalam bentuk yang sistematis dan terorganisir.1

Istilah "Batiniyyah" secara etimologis berasal dari kata bāṭin (باطن) dalam bahasa Arab, yang berarti “bagian terdalam” atau “makna tersembunyi”. Dalam konteks teologis, istilah ini mengacu pada keyakinan bahwa setiap ayat dalam Al-Qur’an memiliki makna tersembunyi di balik makna lahiriahnya. Para pengikut Batiniyyah percaya bahwa hanya para imam ma’shum yang memiliki otoritas untuk menyingkap makna batin tersebut, dan pemahaman atas ajaran agama tidak bisa diserahkan semata-mata kepada akal atau metode tekstual belaka.2

Perkembangan Batiniyyah tidak terlepas dari dinamika politik, sosial, dan spiritual umat Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw., khususnya ketika perpecahan antara kelompok Sunni dan Syiah semakin melebar. Ketegangan antara otoritas politik yang berkuasa (khususnya Bani Abbasiyah) dan kelompok-kelompok oposisi yang menuntut hak kepemimpinan atas dasar nasab atau keilmuan, turut mendorong lahirnya ajaran-ajaran esoterik yang menjadi ciri khas Batiniyyah.3 Dalam konteks ini, Batiniyyah muncul sebagai salah satu aliran dengan sistem pemikiran yang unik, menawarkan spiritualitas dalam kerangka ta’wil mendalam terhadap teks-teks suci.

Namun, sepanjang sejarahnya, Batiniyyah tidak lepas dari kontroversi. Banyak ulama Ahlus Sunnah menilai ajaran-ajaran Batiniyyah sebagai bentuk penyimpangan dari prinsip-prinsip dasar Islam, terutama karena cenderung mengaburkan batas-batas syariat dengan interpretasi yang simbolik dan rahasia. Misalnya, Imam al-Ghazali dalam karyanya Fada’ih al-Batiniyyah menyebut bahwa aliran ini mengancam keutuhan agama karena menolak validitas pemahaman syariat lahiriah secara menyeluruh.4 Bahkan dalam pandangan sebagian kalangan, Batiniyyah dituduh sebagai gerakan yang sarat dengan misi politik tersembunyi, kerahasiaan organisasi, serta ajaran-ajaran elitis yang tidak terbuka bagi publik.5

Melalui artikel ini, penulis berupaya menyajikan pemahaman komprehensif mengenai aliran Batiniyyah, tidak hanya dari sudut pandang teologis, tetapi juga secara historis, sosiologis, dan filosofis. Dengan pendekatan akademis berbasis sumber primer dan sekunder yang kredibel, artikel ini bertujuan memberikan wawasan objektif dan kontekstual terhadap aliran yang hingga kini masih menjadi bahan diskusi di kalangan cendekiawan Muslim maupun orientalis.


Footnotes

[1]                Farhad Daftary, The Ismailis: Their History and Doctrines (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 87–89.

[2]                W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 99.

[3]                Heinz Halm, The Fatimids and Their Traditions of Learning (London: I.B. Tauris, 1997), 21–25.

[4]                Abu Hamid al-Ghazali, Fada’ih al-Batiniyyah (Kairo: Dar al-Ma’arif, n.d.), 13–17.

[5]                Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, Volume 2 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 112–115.


2.           Asal Usul dan Sejarah Kemunculan

Kemunculan aliran Batiniyyah tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah pasca wafatnya Nabi Muhammad saw., di mana terjadi perdebatan tentang otoritas kepemimpinan umat Islam. Perpecahan antara kelompok Sunni dan Syiah menjadi latar belakang utama munculnya gagasan esoterik dalam tubuh Islam. Dalam konteks ini, Batiniyyah muncul sebagai ekspresi dari salah satu arus dalam Syiah yang menekankan aspek batin (esoterik) agama, dan mempercayai bahwa hanya para imam yang ditunjuk secara ilahi yang dapat mengungkap makna terdalam dari ajaran Islam.1

Secara historis, Batiniyyah berkembang paling menonjol dalam lingkungan Syiah Ismailiyah, sebuah cabang dari Syiah yang meyakini bahwa Imamah berlanjut melalui jalur Ismail bin Ja’far al-Shadiq, bukan melalui Musa al-Kazim sebagaimana diyakini oleh Syiah Itsna 'Asyariyah (duabelas imam). Perpecahan ini terjadi sekitar abad ke-2 H (8 M), dan menjadi titik awal terbentuknya identitas teologis dan politik kelompok Batiniyyah, yang kemudian berkembang menjadi jaringan bawah tanah yang tersebar di berbagai wilayah Islam.2

Kelompok ini menemukan momentum signifikan ketika mendirikan Dinasti Fatimiyah pada awal abad ke-10 M di Afrika Utara, yang mengklaim sebagai keturunan langsung dari Fatimah az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib. Di bawah pemerintahan Dinasti Fatimiyah, Batiniyyah mendapatkan perlindungan dan bahkan menjadi ideologi resmi negara. Para imam dan da’i Batiniyyah mengembangkan sistem pendidikan rahasia dan struktur dakwah yang tersentralisasi, dengan pusat utama di Kairo dan wilayah-wilayah Syam serta Persia.3

Menurut Farhad Daftary, Batiniyyah tidak hanya merupakan aliran keagamaan, tetapi juga sebuah gerakan revolusioner yang menggunakan simbolisme keagamaan untuk menyampaikan kritik terhadap kekuasaan politik Abbasiyah. Dalam hal ini, Batiniyyah menciptakan narasi alternatif tentang legitimasi kekuasaan spiritual dan duniawi melalui konsep imam tersembunyi (al-imam al-ghaib) dan penafsiran batin terhadap syariat.4 Sistem dakwah Batiniyyah sangat terorganisir dan mengandalkan hierarki pengetahuan di mana seorang murid harus melewati tahapan-tahapan inisiasi untuk memperoleh pemahaman spiritual yang lebih dalam.

Seiring waktu, dari akar yang sama, muncullah beberapa cabang dan turunan dari Batiniyyah, seperti Nizariyah, yang terkenal dengan jaringan Hashashin (kelompok fida’i), serta Druze di wilayah Syam yang kemudian berkembang menjadi komunitas tersendiri. Meskipun memiliki kesamaan dalam pendekatan batiniah terhadap ajaran agama, masing-masing kelompok ini memiliki perbedaan signifikan dalam struktur teologi dan sistem sosialnya.5

Dengan demikian, Batiniyyah bukan sekadar fenomena teologis, tetapi juga sosial-politik yang kompleks. Aliran ini memainkan peran penting dalam sejarah Islam pertengahan, baik sebagai pengusung ideologi esoterik maupun sebagai kekuatan politik yang menantang hegemoni ortodoksi Sunni.


Footnotes

[1]                Moojan Momen, An Introduction to Shi'i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi'ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 43–45.

[2]                Heinz Halm, Shi'ism (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 82–85.

[3]                W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Oxford: Oneworld Publications, 1998), 282–284.

[4]                Farhad Daftary, The Ismailis: Their History and Doctrines (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 105–110.

[5]                Marshall G. S. Hodgson, The Order of Assassins: The Struggle of the Early Nizari Isma'ilis against the Islamic World (The Hague: Mouton, 1955), 21–23.


3.           Doktrin dan Ajaran Pokok Batiniyyah

Ajaran Batiniyyah berpijak pada keyakinan bahwa agama tidak semata-mata terdiri atas makna lahiriah (zāhir), tetapi memiliki dimensi batiniah (bāṭin) yang lebih tinggi, hanya dapat dipahami melalui bimbingan spiritual dari imam yang ma‘ṣūm (terpelihara dari kesalahan). Dalam pandangan ini, makna zahir dari teks-teks syariat sering kali dianggap sebagai simbol atau penutup bagi hakikat batin yang lebih dalam dan bersifat rahasia.1

3.1.       Tafsir Esoterik dan Hierarki Pengetahuan

Salah satu pilar utama doktrin Batiniyyah adalah ta’wil, yaitu penafsiran simbolik terhadap Al-Qur’an dan ajaran agama. Mereka meyakini bahwa ayat-ayat Al-Qur’an tidak dapat dimaknai secara literal semata, melainkan harus ditafsirkan secara simbolik untuk menemukan makna sejatinya. Sebagai contoh, kewajiban-kewajiban syariat seperti salat, puasa, dan zakat dianggap sebagai lambang dari kesetiaan terhadap imam dan struktur kosmik tertentu dalam doktrin mereka.2

Dalam ajaran Batiniyyah terdapat konsep hierarki pengetahuan, di mana pemahaman terhadap ajaran agama disusun bertingkat dan hanya dapat diakses melalui proses inisiasi. Individu yang ingin memahami kebenaran batin harus terlebih dahulu melewati bimbingan dari seorang da‘i (pendakwah) atau ḥujjah (perantara), hingga mencapai akses terhadap petunjuk dari imam.3 Struktur ini membentuk sistem da’wah rahasia yang sangat terorganisir dan menjadi ciri khas gerakan Batiniyyah sepanjang sejarahnya.

3.2.       Konsep Imamah dan Otoritas Spiritual

Dalam teologi Batiniyyah, imam bukan hanya pemimpin politik, tetapi juga pemegang kunci pengetahuan ilahi. Imam dipandang sebagai manifestasi dari cahaya Tuhan di bumi dan satu-satunya pihak yang sah untuk menyingkap makna batin dari syariat. Keberadaan imam dalam setiap zaman dianggap mutlak, dan ketiadaan imam akan menyebabkan umat tersesat dalam pemahaman zahir semata.4

Imam dalam ajaran Batiniyyah diyakini memiliki sifat ma‘ṣūm, yakni tidak bisa salah dan selalu berada dalam petunjuk Ilahi. Bahkan dalam beberapa pandangan ekstrem Batiniyyah, imam dianggap memiliki sifat semi-ilahi, suatu pandangan yang menuai kritik keras dari mayoritas ulama Sunni dan bahkan Syiah lainnya.5

3.3.       Penolakan terhadap Taklif dan Syariat Zahir

Beberapa cabang Batiniyyah, terutama dalam bentuk ekstremnya, menolak konsep taklīf (kewajiban syariat) secara zahir. Bagi mereka, ketika seseorang telah mencapai pemahaman batin, maka syariat lahiriah tidak lagi mengikat karena telah digantikan oleh makna sejati. Pandangan ini menjadi salah satu alasan utama ditolaknya ajaran Batiniyyah oleh mayoritas ulama, karena dianggap menghapus esensi syariat dan membuka celah terhadap relativisme agama.6

3.4.       Kosmologi dan Simbolisme

Batiniyyah juga mengembangkan kosmologi metafisik yang kompleks, di mana dunia ini dianggap sebagai refleksi dari realitas batin yang lebih tinggi. Alam semesta dibagi dalam tingkatan-tingkatan spiritual yang berkaitan erat dengan struktur imamat. Konsep seperti al-‘aql al-awwal (akal pertama) dan an-nafs al-kulliyyah (jiwa universal) menjadi bagian dari metafisika mereka yang banyak dipengaruhi oleh filsafat Neoplatonisme dan gnostikisme.7

Kosmologi ini digunakan untuk menjelaskan bahwa semua realitas material hanyalah bayangan dari kebenaran spiritual yang hanya dapat diakses melalui imam. Bahkan, pelaksanaan ibadah pun dilihat sebagai bentuk simbolis dari gerakan jiwa menuju hakikat ketuhanan.


Footnotes

[1]                Farhad Daftary, The Ismailis: Their History and Doctrines (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 141–145.

[2]                Heinz Halm, The Fatimids and Their Traditions of Learning (London: I.B. Tauris, 1997), 40–42.

[3]                W. Ivanow, The Alleged Founder of Ismailism: Abu Hatim al-Razi and His Teachings (Bombay: The Royal Asiatic Society, 1946), 56–58.

[4]                Moojan Momen, An Introduction to Shi'i Islam (New Haven: Yale University Press, 1985), 160–162.

[5]                Abu Hamid al-Ghazali, Fada’ih al-Batiniyyah (Cairo: Dar al-Ma'arif, n.d.), 22–24.

[6]                Wilferd Madelung, “Fatimid Daʻwa and the Qarmaṭians of Bahrayn,” Studia Islamica 38 (1973): 73–79.

[7]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 92–96.


4.           Cabang dan Variasi Batiniyyah

Meskipun istilah “Batiniyyah” sering digunakan secara umum untuk merujuk pada berbagai kelompok esoterik dalam Islam, realitasnya, aliran ini bukan satu entitas tunggal. Batiniyyah berkembang dalam berbagai bentuk dan manifestasi teologis yang berbeda, tergantung pada konteks geografis, politik, dan sosiokultural masing-masing komunitas. Variasi ini mencerminkan keragaman interpretasi terhadap prinsip dasar ta’wil (penafsiran batin) dan imamah, serta bagaimana kedua konsep tersebut diterapkan dalam kehidupan beragama.

4.1.       Ismailiyah: Akar Teologis Batiniyyah

Cabang paling utama dari Batiniyyah adalah Syiah Ismailiyah, yang berakar pada perpecahan setelah wafatnya Imam Ja‘far al-Shadiq (w. 765 M). Para pengikut Ismailiyah meyakini bahwa kepemimpinan imamah diteruskan kepada putra beliau, Ismail bin Ja‘far, berbeda dengan Syiah Duabelas Imam (Itsna ‘Asyariyah) yang mengikuti Musa al-Kazim. Ismailiyah mengembangkan sistem dakwah dan struktur hierarkis yang sangat kompleks, dan menjadi kekuatan ideologis utama di balik berdirinya Dinasti Fatimiyah di Afrika Utara dan Mesir.1

Di bawah Fatimiyah, ajaran Batiniyyah diinstitusionalisasi melalui lembaga pendidikan seperti Dar al-Hikmah di Kairo, yang menjadi pusat pengembangan ilmu-ilmu esoterik, filsafat, dan teologi. Pandangan mereka tentang imam sebagai pusat otoritas spiritual dan tafsir simbolik terhadap syariat menjadi karakteristik utama doktrin mereka.2

4.2.       Nizariyah dan Hashashin: Gerakan Militan Berbasis Esoterisme

Setelah wafatnya Imam al-Mustansir Billah (w. 1094 M), Ismailiyah mengalami perpecahan internal yang menghasilkan dua cabang utama: Nizariyah dan Musta‘liyah. Nizariyah, yang mendukung putra sulung al-Mustansir yaitu Nizar, berkembang terutama di Persia dan Syam di bawah kepemimpinan Hasan Sabbah, seorang da‘i yang mendirikan benteng legendaris Alamut.3

Kelompok ini terkenal karena jaringan Hashashin (fida'iyyun), yang melakukan aksi-aksi pembunuhan politik terhadap tokoh-tokoh penting Sunni dan Abbasiyah. Walaupun tindakan mereka kontroversial, secara doktrinal, Nizariyah tetap menjunjung tinggi prinsip ta’wil dan kepemimpinan imam yang dianggap sebagai sumber kebenaran batin. Gerakan ini juga mencerminkan perpaduan antara strategi politik, spiritualitas esoterik, dan struktur intelektual yang kuat.4

4.3.       Druze: Evolusi Ajaran Batiniyyah di Syam

Kelompok Druze muncul pada awal abad ke-11 M di wilayah Syam, sebagai cabang yang lebih jauh dari Musta‘liyah. Druze berkembang dengan pandangan bahwa Imam al-Hakim bi Amrillah (w. 1021 M), khalifah Fatimiyah yang kontroversial, adalah manifestasi Tuhan. Pandangan ini membawa mereka keluar dari mainstream Islam dan menjadi komunitas tertutup dengan sistem kepercayaan yang sangat rahasia.5

Druze mengembangkan kosmologi metafisik, doktrin reinkarnasi, dan sistem hierarkis yang tidak lagi mengacu pada hukum Islam formal, melainkan pada prinsip spiritual yang mereka yakini sebagai hasil dari penyingkapan batin. Meskipun berakar pada Batiniyyah, sistem kepercayaan mereka kini telah menjadi identitas religius tersendiri yang tidak lagi mengklaim sebagai bagian dari Islam.6

4.4.       Cabang Minor dan Gerakan Sejenis

Selain kelompok utama di atas, ada pula berbagai gerakan kecil yang mengusung semangat Batiniyyah. Misalnya, kelompok Qarmathiyah di Bahrain dan Irak timur yang terkenal karena aksi radikalnya menyerbu Makkah dan membawa lari Hajar Aswad pada tahun 930 M. Meskipun secara ideologis berdekatan dengan Ismailiyah, Qarmathiyah menampilkan wajah ekstrem dari ajaran batiniah dan revolusi sosial-politik.7

Demikian pula, dalam sejarah Islam ditemukan gerakan-gerakan mistik dan esoterik lainnya yang kadang dikategorikan sebagai Batiniyyah, meskipun tanpa afiliasi langsung dengan Ismailiyah. Sebagian dari mereka menunjukkan pengaruh gnostik, neoplatonik, atau bahkan sinkretisme lokal dalam pemaknaan batin agama.


Footnotes

[1]                Farhad Daftary, The Ismailis: Their History and Doctrines (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 93–96.

[2]                Heinz Halm, The Fatimids and Their Traditions of Learning (London: I.B. Tauris, 1997), 51–54.

[3]                Marshall G. S. Hodgson, The Order of Assassins: The Struggle of the Early Nizari Isma'ilis against the Islamic World (The Hague: Mouton, 1955), 15–18.

[4]                Wladimir Ivanow, Alamut and Lamasar: The Ismaili Strongholds in Persia (Tehran: Ismaili Society of Iran, 1960), 39–41.

[5]                Kamal S. Salibi, A House of Many Mansions: The History of Lebanon Reconsidered (Berkeley: University of California Press, 1988), 87–89.

[6]                Nejla M. Abu Izzeddin, The Druzes: A New Study of their History, Faith, and Society (Leiden: Brill, 1984), 34–38.

[7]                Wilferd Madelung, “The Qarmatians and the Fatimids,” Islamic Studies 3, no. 2 (1964): 165–168.


5.           Kritik dan Kontroversi

Sejak kemunculannya, aliran Batiniyyah telah menjadi subjek perdebatan dan kontroversi sengit dalam sejarah pemikiran Islam. Hal ini terutama disebabkan oleh pendekatan teologisnya yang sangat esoterik, sistem organisasi yang tertutup, serta pengaruh politiknya yang sering berhadapan dengan kekuasaan ortodoks. Kritik terhadap Batiniyyah datang dari berbagai kalangan, baik dari ulama Sunni, kalangan Syiah non-Ismailiyah, maupun penguasa politik yang melihat gerakan ini sebagai ancaman ideologis dan sosial.

5.1.       Tuduhan Ketertutupan dan Elitisme

Salah satu kritik utama terhadap Batiniyyah adalah sifat ajaran mereka yang bersifat tertutup dan elitis, hanya dapat diakses oleh mereka yang telah melalui tahapan-tahapan inisiasi khusus. Pengetahuan dianggap sebagai hak eksklusif kalangan terbatas dalam hierarki keagamaan, terutama imam dan da‘i. Ketertutupan ini menimbulkan kecurigaan di kalangan masyarakat luas, yang menganggap Batiniyyah menyimpan ajaran-ajaran rahasia yang bertentangan dengan prinsip keterbukaan dalam Islam.1

Kritik ini misalnya dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam karya polemisnya Fada’ih al-Batiniyyah (Skandal-Skandal Kaum Batiniyyah), di mana ia menuduh kelompok ini menyembunyikan kebenaran agama dari publik dan menggantinya dengan sistem ketaatan buta kepada imam tanpa dasar dalil rasional maupun tekstual yang dapat diverifikasi secara ilmiah maupun syar‘i.2

5.2.       Penolakan terhadap Syariat Zahir

Kritikan keras juga diarahkan pada aspek teologis Batiniyyah yang cenderung menolak atau menafsirkan ulang syariat Islam secara simbolik, hingga pada titik yang dianggap membatalkan syariat itu sendiri. Beberapa cabang ekstrem Batiniyyah, seperti Qarmathiyah dan kelompok dalam Nizariyah awal, mengajarkan bahwa setelah mencapai tingkat pemahaman batin, seseorang tidak lagi terikat pada praktik-praktik syariat zahir seperti salat, puasa, dan zakat, karena semua itu hanyalah simbol lahiriah dari ketaatan spiritual.3

Pandangan ini dianggap menyimpang oleh mayoritas ulama Islam, karena bertentangan dengan prinsip umum bahwa syariat berlaku universal dan tidak dapat digugurkan atas dasar subjektivitas spiritual. Dalam pandangan Sunni ortodoks, pendekatan Batiniyyah ini berisiko merelativisasi agama dan membuka ruang pembatalan hukum-hukum Allah berdasarkan interpretasi pribadi.4

5.3.       Kecurigaan Politik dan Gerakan Bawah Tanah

Di samping masalah teologis, Batiniyyah juga kerap dicurigai sebagai gerakan politik bawah tanah yang menggunakan agama sebagai kedok untuk mencapai tujuan kekuasaan. Pandangan ini terutama muncul pada masa Daulah Abbasiyah, ketika kelompok-kelompok Batiniyyah seperti Ismailiyah dan Qarmathiyah melakukan perlawanan bersenjata dan mendirikan negara-negara tandingan seperti Dinasti Fatimiyah di Afrika Utara dan benteng Alamut di Persia.

Para penguasa Abbasiyah menilai Batiniyyah sebagai kelompok subversif yang mengancam stabilitas negara. Tuduhan ini diperkuat oleh aksi-aksi militan dari fida’i Nizari (Hashashin), yang membunuh tokoh-tokoh penting politik dan agama melalui operasi-operasi rahasia. Hal ini memperkuat stereotip bahwa Batiniyyah adalah kelompok ekstremis yang menjustifikasi kekerasan atas nama agama dan wahyu batin.5

5.4.       Kritik dari Kalangan Syiah Lain

Menariknya, Batiniyyah juga tidak lepas dari kritik internal dalam kalangan Syiah itu sendiri. Syiah Duabelas Imam (Itsna ‘Asyariyah) menolak klaim Batiniyyah bahwa imam harus hadir secara fisik di setiap masa dan menolak penafsiran batin yang menggugurkan makna zahir. Bagi mereka, meskipun ada ruang untuk ta’wil, makna zahir tetap memiliki kedudukan hukum yang sah dan tidak dapat ditanggalkan. Mereka juga menolak pandangan ekstrem tentang ketuhanan imam seperti yang diyakini oleh kelompok Druze atau Ismailiyah ekstrem.6


Footnotes

[1]                Farhad Daftary, The Ismailis: Their History and Doctrines (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 147–149.

[2]                Abu Hamid al-Ghazali, Fada’ih al-Batiniyyah (Cairo: Dar al-Ma'arif, n.d.), 18–22.

[3]                Heinz Halm, The Empire of the Mahdi: The Rise of the Fatimids, trans. Michael Bonner (Leiden: Brill, 1996), 112–114.

[4]                W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 101.

[5]                Marshall G. S. Hodgson, The Order of Assassins: The Struggle of the Early Nizari Isma'ilis against the Islamic World (The Hague: Mouton, 1955), 23–26.

[6]                Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 165–167.


6.           Warisan Intelektual dan Budaya

Meskipun Batiniyyah sering kali dicurigai dan dikritik dalam sejarah Islam, tidak dapat diabaikan bahwa aliran ini turut memberikan kontribusi penting dalam ranah intelektual, spiritual, dan budaya dunia Islam. Melalui lembaga pendidikan, karya sastra, filsafat, serta arsitektur, Batiniyyah meninggalkan jejak intelektual yang kompleks dan dalam beberapa hal sangat maju dibandingkan dengan arus utama pemikiran Islam pada masanya.

6.1.       Lembaga Pendidikan dan Penyebaran Ilmu

Salah satu warisan paling signifikan dari Batiniyyah adalah pendirian Dar al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) di Kairo oleh Dinasti Fatimiyah pada abad ke-10 M. Lembaga ini tidak hanya menjadi pusat pengajaran agama, tetapi juga pusat perkembangan ilmu pengetahuan umum seperti filsafat, matematika, astronomi, dan kedokteran. Dar al-Hikmah menjadi model awal institusi pendidikan tinggi dalam dunia Islam yang mengintegrasikan pengetahuan rasional dan spiritual.1

Lembaga-lembaga pendidikan Batiniyyah juga memainkan peran penting dalam penyebaran sistem ta’līm (pengajaran berjenjang), yang menekankan pengembangan spiritual secara bertahap melalui bimbingan seorang da‘i. Konsep ini kelak memengaruhi sistem tarekat sufi dan pendidikan keagamaan di berbagai belahan dunia Islam.2

6.2.       Karya Filsafat dan Teologi Esoterik

Kelompok Batiniyyah, khususnya Ismailiyah, turut melahirkan karya-karya intelektual yang mendalam, khususnya dalam bidang filsafat Islam dan teologi. Salah satu contoh penting adalah kumpulan risalah filosofis Ikhwan al-Shafa (Persaudaraan Suci), yang terdiri atas 52 risalah mencakup berbagai bidang ilmu: logika, ilmu alam, metafisika, dan etika. Meskipun asal-usul karya ini masih diperdebatkan, banyak sejarawan menyepakati keterkaitannya dengan lingkungan intelektual Ismailiyah.3

Ajaran mereka juga memperkenalkan sintesis pemikiran Islam dengan filsafat Yunani, khususnya Neoplatonisme, dalam menjelaskan struktur kosmos, hubungan antara akal universal dan jiwa dunia, serta konsep penciptaan melalui emanasi (fayd). Gagasan ini sangat memengaruhi perkembangan filsafat Islam klasik dan bahkan masuk dalam diskursus filsafat Syiah Duabelas Imam melalui tokoh-tokoh seperti Mulla Sadra.4

6.3.       Sastra dan Simbolisme

Literatur Batiniyyah juga kaya akan simbolisme dan alegori. Banyak teks mereka ditulis dalam gaya naratif dan metaforis, yang menyembunyikan makna batin di balik kisah dan simbol. Strategi penulisan ini tidak hanya menunjukkan kehati-hatian politik, tetapi juga menjadi bagian dari ajaran mereka bahwa kebenaran sejati tidak dapat dipahami secara langsung, melainkan harus disingkap melalui proses spiritual dan intelektual yang mendalam.5

Kontribusi ini memperkaya khazanah sastra Arab-Persia dan memengaruhi tradisi penulisan dalam komunitas-komunitas Ismailiyah modern, termasuk dalam penyebaran ajaran melalui majlis dakwah dan naskah-naskah ta’wil.

6.4.       Arsitektur dan Seni

Dalam bidang arsitektur, Dinasti Fatimiyah yang merupakan manifestasi politik Batiniyyah, turut meninggalkan jejak monumental dalam bentuk masjid-masjid, madrasah, dan istana di Kairo dan sekitarnya. Masjid al-Azhar (970 M), misalnya, awalnya dibangun sebagai pusat penyebaran ajaran Ismailiyah, sebelum kemudian menjadi universitas Islam Sunni terkemuka.6

Arsitektur Fatimiyah mencerminkan estetika spiritual dan simbolisme kosmologis yang menjadi ciri khas ajaran Batiniyyah. Desain geometris dan pola simetris dalam bangunan mereka sering kali dimaknai sebagai refleksi dari tatanan spiritual alam semesta yang diyakini dalam kosmologi mereka.


Footnotes

[1]                Heinz Halm, The Fatimids and Their Traditions of Learning (London: I.B. Tauris, 1997), 55–59.

[2]                Wladimir Ivanow, Ismailism and Islam (London: Luzac & Co., 1938), 81–83.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 47–50.

[4]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 100–104.

[5]                Farhad Daftary, Intellectual Traditions in Islam (London: I.B. Tauris, 2000), 116–118.

[6]                Jonathan Bloom and Sheila Blair, Islam: A Thousand Years of Faith and Power (New Haven: Yale University Press, 2002), 112–114.


7.           Batiniyyah dalam Dunia Kontemporer

Dalam dunia Islam kontemporer, istilah Batiniyyah masih digunakan, namun lebih sering sebagai label teologis bernada peyoratif terhadap kelompok-kelompok yang dianggap terlalu menekankan aspek esoterik atau menyimpang dari pemahaman syariat lahiriah. Meski demikian, kelompok-kelompok yang secara historis dikategorikan sebagai bagian dari Batiniyyah, seperti Ismailiyah Nizari, Druze, dan komunitas Tayyibi-Musta‘liyah, masih eksis hingga hari ini dan menjalani dinamika sosial-keagamaan yang kompleks dalam masyarakat modern.

7.1.       Ismailiyah Nizari di Bawah Aga Khan

Kelompok Ismailiyah yang paling menonjol saat ini adalah Nizari Ismailiyah, yang dipimpin oleh Imam Aga Khan IV (Shah Karim al-Husayni), keturunan langsung dari dinasti Fatimiyah. Komunitas ini telah mengalami transformasi signifikan sejak abad ke-19, berpindah dari bentuk militan menjadi komunitas progresif dan kosmopolitan. Di bawah kepemimpinan Aga Khan, Ismailiyah dikenal dengan pendekatan modern terhadap agama, pendidikan, dan pembangunan sosial melalui jaringan Aga Khan Development Network (AKDN).1

Aga Khan tidak hanya dihormati sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga berperan aktif dalam forum-forum internasional mengenai pembangunan berkelanjutan, pluralisme, dan pendidikan. Ajaran Nizari modern tetap mempertahankan unsur ta’wil dan imamah, tetapi dikemas dalam narasi yang lebih universal dan humanistik, berupaya menjembatani antara spiritualitas dan tantangan kontemporer umat manusia.2

7.2.       Komunitas Druze: Kepercayaan Rahasia dalam Negara Modern

Komunitas Druze, yang sebagian besar berada di Lebanon, Suriah, dan Israel, tetap mempertahankan ajaran esoterik mereka dengan ketat, termasuk kepercayaan kepada reinkarnasi dan ketuhanan Imam al-Hakim bi Amrillah. Mereka dikenal sebagai komunitas yang tertutup secara teologis, hanya membolehkan anggota yang lahir dalam komunitas untuk mengikuti ajaran secara penuh. Meskipun demikian, secara politik dan sosial, mereka aktif dalam kehidupan publik di negara-negara tempat mereka tinggal, termasuk militer dan parlemen.3

Di tengah tantangan politik Timur Tengah, komunitas Druze telah mengembangkan strategi bertahan dengan sinkronisasi identitas religius dan kewarganegaraan, menjadikan mereka salah satu kelompok minoritas yang relatif stabil meskipun doktrin mereka sangat berbeda dari mayoritas Muslim.4

7.3.       Kelangsungan Tayyibi-Musta‘liyah dan Bohra

Kelompok Tayyibi-Musta‘liyah, pecahan dari Ismailiyah setelah wafatnya Imam al-Amir (w. 1130 M), masih bertahan di India dan Yaman, khususnya melalui komunitas Dawoodi Bohra dan Sulaymani Bohra. Komunitas Dawoodi Bohra dipimpin oleh seorang dā‘i al-mutlaq, karena mereka meyakini bahwa imam sejati sedang dalam keadaan gaib (ghaybah). Mereka sangat terorganisir dan aktif dalam bidang ekonomi, perdagangan, serta pendidikan di Asia Selatan dan Afrika Timur.5

Meskipun jumlahnya tidak besar, komunitas ini mempertahankan tradisi keilmuan Batiniyyah dalam bentuk pengajaran ta’wil dan sistem hierarki keagamaan. Perpaduan antara kesetiaan terhadap tradisi dan adaptasi modern menjadikan mereka salah satu contoh keberlangsungan ajaran Batiniyyah dalam dunia yang berubah.6

7.4.       Stigma, Dialog, dan Tantangan Global

Dalam wacana keislaman kontemporer, istilah "Batiniyyah" masih sering digunakan secara pejoratif oleh sebagian kalangan Sunni untuk menyerang lawan ideologis, terutama kelompok yang dianggap menyelewengkan tafsir atau menyimpang dari syariat. Penggunaan istilah ini sering tidak tepat secara akademis, karena tidak selalu merujuk pada pengikut ajaran Ismailiyah atau kelompok batiniah sejati, tetapi lebih sebagai retorika dalam konflik teologis atau politik.7

Namun, di sisi lain, sejumlah akademisi dan tokoh Muslim progresif berupaya membangun dialog antarmazhab dan mengkaji ulang kontribusi intelektual Batiniyyah secara lebih objektif. Pendekatan ini membuka ruang bagi penghargaan terhadap keragaman pemikiran dalam Islam, termasuk warisan esoterik yang dulunya dianggap tabu. Kecenderungan ini mencerminkan adanya pergeseran dari pendekatan polemis ke pendekatan historis dan fenomenologis dalam studi Islam modern.8


Footnotes

[1]                Farhad Daftary, A Modern History of the Ismailis: Continuity and Change in a Muslim Community (London: I.B. Tauris, 2011), 2–6.

[2]                Karim Aga Khan IV, Where Hope Takes Root: Democracy and Pluralism in an Interdependent World (Vancouver: Douglas & McIntyre, 2006), 19–23.

[3]                Nejla M. Abu Izzeddin, The Druzes: A New Study of Their History, Faith and Society (Leiden: Brill, 1984), 105–108.

[4]                Kais Firro, A History of the Druzes (Leiden: Brill, 1992), 212–215.

[5]                Jonah Blank, Mullahs on the Mainframe: Islam and Modernity among the Daudi Bohras (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 61–64.

[6]                Asghar Ali Engineer, “The Bohras: A Study in Minority Communalism,” Economic and Political Weekly 19, no. 2 (1984): 57–60.

[7]                Wilferd Madelung, “Ismaili and Sunni Polemics: Reflections on the Earliest Anti-Ismaili Writings,” Muslim World 74, no. 1 (1984): 1–17.

[8]                Reza Shah-Kazemi, “The Esoteric Ethics of the Ismailis: Reflections on Spiritual Development and Liberation,” Journal of Islamic Ethics 1, no. 1 (2017): 49–63.


8.           Kesimpulan

Batiniyyah merupakan salah satu aliran dalam sejarah Islam yang menampilkan wajah keberagamaan yang khas, dengan menekankan dimensi batin (esoterik) dari ajaran agama. Lahir dari konteks ketegangan teologis dan politik pasca wafatnya Nabi Muhammad , Batiniyyah berkembang terutama melalui jalur Syiah Ismailiyah, yang kemudian memunculkan berbagai cabang seperti Nizariyah, Musta‘liyah, Qarmathiyah, dan bahkan Druze. Dalam sejarahnya, Batiniyyah memainkan peran penting tidak hanya dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam dinamika sosial, politik, dan intelektual dunia Islam abad pertengahan.

Ajaran Batiniyyah berpusat pada keyakinan terhadap makna batin teks suci, otoritas spiritual imam ma‘ṣūm, dan ta’wil sebagai metode memahami kebenaran ilahi yang tersembunyi di balik syariat zahir. Pendekatan ini, meskipun dianggap dalam oleh para pengikutnya, menimbulkan kritik keras dari kalangan Sunni ortodoks dan bahkan sebagian Syiah, karena dinilai membuka ruang relativisme hukum dan ketertutupan dogmatis yang tidak dapat diverifikasi secara nash atau akal.1

Meski demikian, kontribusi Batiniyyah terhadap dunia Islam tidak bisa diabaikan. Dari segi warisan intelektual, mereka menghasilkan karya-karya penting dalam bidang filsafat, kosmologi, logika, dan spiritualitas, termasuk kumpulan risalah Ikhwan al-Shafa serta sistem pengajaran Dar al-Hikmah. Dari segi budaya dan arsitektur, Dinasti Fatimiyah sebagai manifestasi politik Batiniyyah meninggalkan jejak peradaban yang signifikan, seperti Masjid al-Azhar dan tradisi intelektual Ismailiyah yang masih berlanjut hingga kini.2

Dalam konteks kontemporer, kelompok-kelompok yang berakar pada Batiniyyah, seperti Nizari Ismailiyah dan Dawoodi Bohra, telah bertransformasi menjadi komunitas yang adaptif dan modern, mengedepankan pendidikan, pembangunan, dan dialog antaragama. Di sisi lain, stigma negatif terhadap istilah "Batiniyyah" masih muncul dalam wacana polemik teologis, sering kali digunakan secara tidak akurat untuk mendiskreditkan pandangan atau kelompok tertentu.3

Oleh karena itu, pendekatan terhadap Batiniyyah memerlukan keseimbangan antara kritik teologis dan kajian historis. Tidak cukup hanya menilai Batiniyyah dari sudut penyimpangan, tetapi juga perlu mengakui kompleksitas dan kontribusinya terhadap khazanah Islam. Kajian akademik yang objektif dan berbasis sumber primer menjadi kunci untuk memahami posisi Batiniyyah dalam sejarah pemikiran Islam secara utuh.4


Footnotes

[1]                Abu Hamid al-Ghazali, Fada’ih al-Batiniyyah (Cairo: Dar al-Ma’arif, n.d.), 21–24.

[2]                Heinz Halm, The Fatimids and Their Traditions of Learning (London: I.B. Tauris, 1997), 55–59; Farhad Daftary, The Ismailis: Their History and Doctrines (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 145–147.

[3]                Wilferd Madelung, “Ismaili and Sunni Polemics: Reflections on the Earliest Anti-Ismaili Writings,” Muslim World 74, no. 1 (1984): 1–17.

[4]                Farhad Daftary, A Short History of the Ismailis: Traditions of a Muslim Community (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1998), 1–5.


Daftar Pustaka

Abu Izzeddin, N. M. (1984). The Druzes: A new study of their history, faith and society. Leiden: Brill.

Al-Ghazali, A. H. (n.d.). Fada’ih al-Batiniyyah. Cairo: Dar al-Ma’arif.

Blank, J. (2001). Mullahs on the mainframe: Islam and modernity among the Daudi Bohras. Chicago: University of Chicago Press.

Bloom, J., & Blair, S. (2002). Islam: A thousand years of faith and power. New Haven: Yale University Press.

Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy (L. Sherrard, Trans.). London: Kegan Paul.

Daftary, F. (1990). The Ismailis: Their history and doctrines. Cambridge: Cambridge University Press.

Daftary, F. (1998). A short history of the Ismailis: Traditions of a Muslim community. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Daftary, F. (2000). Intellectual traditions in Islam. London: I.B. Tauris.

Daftary, F. (2011). A modern history of the Ismailis: Continuity and change in a Muslim community. London: I.B. Tauris.

Engineer, A. A. (1984). The Bohras: A study in minority communalism. Economic and Political Weekly, 19(2), 57–60.

Firro, K. (1992). A history of the Druzes. Leiden: Brill.

Halm, H. (1996). The empire of the Mahdi: The rise of the Fatimids (M. Bonner, Trans.). Leiden: Brill.

Halm, H. (1997). The Fatimids and their traditions of learning. London: I.B. Tauris.

Hodgson, M. G. S. (1955). The order of Assassins: The struggle of the early Nizari Isma'ilis against the Islamic world. The Hague: Mouton.

Ivanow, W. (1938). Ismailism and Islam. London: Luzac & Co.

Ivanow, W. (1946). The alleged founder of Ismailism: Abu Hatim al-Razi and his teachings. Bombay: The Royal Asiatic Society.

Ivanow, W. (1960). Alamut and Lamasar: The Ismaili strongholds in Persia. Tehran: Ismaili Society of Iran.

Madelung, W. (1964). The Qarmatians and the Fatimids. Islamic Studies, 3(2), 165–168.

Madelung, W. (1984). Ismaili and Sunni polemics: Reflections on the earliest anti-Ismaili writings. Muslim World, 74(1), 1–17.

Momen, M. (1985). An introduction to Shi‘i Islam: The history and doctrines of Twelver Shi‘ism. New Haven: Yale University Press.

Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.

Salibi, K. S. (1988). A house of many mansions: The history of Lebanon reconsidered. Berkeley: University of California Press.

Shah-Kazemi, R. (2017). The esoteric ethics of the Ismailis: Reflections on spiritual development and liberation. Journal of Islamic Ethics, 1(1), 49–63.

Watt, W. M. (1985). Islamic philosophy and theology. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Watt, W. M. (1998). The formative period of Islamic thought. Oxford: Oneworld Publications.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar