Senin, 28 April 2025

Hermeneutika Eksistensial: Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel

Hermeneutika Eksistensial

Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel


Alihkan ke: Matode Haermeneutika dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep hermeneutika eksistensial sebagai paradigma interpretatif yang menempatkan pemahaman bukan sekadar sebagai metode penafsiran teks, melainkan sebagai struktur ontologis dari keberadaan manusia. Berakar pada pemikiran Martin Heidegger dan dikembangkan oleh Hans-Georg Gadamer, hermeneutika eksistensial memandang makna sebagai hasil keterlibatan eksistensial antara subjek dan dunia, yang berlangsung dalam horizon historis, linguistik, dan pengalaman hidup. Artikel ini menelusuri fondasi filosofis eksistensial yang melandasi pendekatan ini, membandingkannya dengan hermeneutika tradisional, serta mengeksplorasi aplikasinya dalam berbagai bidang kontemporer, seperti teologi, sastra, psikoterapi, dan pendidikan. Dibahas pula implikasi epistemologis dan etis dari pendekatan ini, yang menekankan dialog, keterbukaan terhadap alteritas, dan tanggung jawab interpretatif. Di samping menawarkan kontribusi signifikan dalam ranah filsafat dan humaniora, hermeneutika eksistensial juga dihadapkan pada berbagai kritik, terutama terkait potensi subjektivisme, relativisme, dan keterbatasan metodologisnya. Artikel ini mengajak pembaca untuk merefleksikan kembali hakikat pemahaman sebagai peristiwa keberadaan yang terus terbuka terhadap makna.

Kata Kunci: Hermeneutika Eksistensial, Martin Heidegger, Hans-Georg Gadamer, Pemahaman, Makna, Ontologi, Eksistensi, Dialog, Kritik Hermeneutik.


PEMBAHASAN

Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Hermeneutika, sebagai seni dan teori penafsiran, telah mengalami evolusi yang panjang dari akar klasiknya dalam penafsiran teks-teks suci menuju dimensi filsafat yang lebih mendalam dan eksistensial. Perkembangan ini menandai pergeseran dari hermeneutika sebagai metode teknis dalam memahami maksud pengarang, menjadi cara fundamental manusia dalam memahami diri dan dunianya. Dalam hal ini, hermeneutika eksistensial bukan hanya menjawab pertanyaan “apa makna teks?”, melainkan juga “apa makna keberadaan?”—mengungkapkan hubungan intrinsik antara proses penafsiran dan realitas eksistensial manusia.

Sebagai sebuah pendekatan filosofis, hermeneutika eksistensial berakar pada pemikiran filsuf Jerman Martin Heidegger, khususnya dalam karya monumentalnya Sein und Zeit (1927). Heidegger menolak pemisahan subjek-objek dalam epistemologi modern dan mengajukan pemahaman (Verstehen) sebagai struktur ontologis dari Dasein, yakni eksistensi manusia yang “ada-di-dunia” secara historis, temporal, dan terbuka terhadap makna1. Bagi Heidegger, pemahaman bukanlah aktivitas mental yang bersifat reflektif atau rasional semata, tetapi merupakan cara dasar manusia berada di dunia, di mana makna senantiasa dibuka melalui keterlibatan eksistensial dalam kehidupan sehari-hari2.

Transformasi ini membuka jalan bagi Hans-Georg Gadamer untuk mengembangkan apa yang ia sebut sebagai hermeneutika filosofis, yang melihat penafsiran tidak hanya sebagai pemindahan makna dari masa lalu ke masa kini, melainkan sebagai dialog dinamis antara horizon pemahaman yang berbeda3. Dalam konteks ini, hermeneutika eksistensial menjadi medan pertemuan antara pengalaman konkret manusia, tradisi budaya, dan makna yang terus terbentuk secara historis.

Kebutuhan untuk memahami hermeneutika dalam perspektif eksistensial semakin penting di tengah tantangan interpretasi kontemporer yang tidak lagi terbatas pada teks, melainkan juga mencakup pengalaman eksistensial, trauma kolektif, identitas personal, bahkan spiritualitas. Dalam dunia pascamodern yang ditandai oleh pluralitas dan krisis makna, hermeneutika eksistensial menawarkan suatu pendekatan yang memungkinkan keterlibatan subjek dalam pencarian makna yang otentik, alih-alih sekadar reproduksi pengetahuan dari luar.

Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menjelajahi secara komprehensif gagasan-gagasan pokok hermeneutika eksistensial, menelusuri akar filosofisnya, menguraikan kontribusi tokoh-tokoh utamanya, serta menelaah relevansinya dalam konteks pemahaman kontemporer. Dengan landasan filsafat eksistensial, hermeneutika dalam pendekatan ini tidak hanya menjembatani antara teks dan pembaca, tetapi juga antara eksistensi dan makna—dua dimensi yang tak terpisahkan dalam hidup manusia.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 32–35.

[2]                Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 81–85.

[3]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 269–273.


2.           Landasan Filsafat Eksistensial

Filsafat eksistensial lahir sebagai reaksi terhadap rasionalisme dan positivisme modern yang dianggap terlalu menekankan pada objektivitas universal dan mengabaikan dimensi subjektif serta individual dari pengalaman manusia. Berakar dari pencarian makna dalam keberadaan yang konkret, filsafat ini berusaha memahami manusia bukan sebagai objek sains, melainkan sebagai subjek yang mengalami kecemasan, pilihan, tanggung jawab, dan keterlemparan dalam dunia yang tak sepenuhnya dapat dipahami secara sistematik. Dengan kata lain, eksistensialisme menegaskan primat eksistensi atas esensi—bahwa manusia tidak didefinisikan sebelumnya, melainkan membentuk dirinya sendiri melalui tindakan dan pemaknaan hidup1.

Tokoh awal yang sering disebut sebagai peletak dasar eksistensialisme modern adalah Søren Kierkegaard (1813–1855), seorang teolog dan filsuf asal Denmark. Ia menekankan pentingnya lompatan iman, subjektivitas, dan pilihan personal dalam keberagamaan dan kehidupan etis. Kierkegaard menentang sistem filsafat Hegel yang terlalu rasionalistik dan impersonal, dan menyatakan bahwa kebenaran tertinggi adalah kebenaran subjektif yang dihayati secara eksistensial2. Penerus kritisnya, Friedrich Nietzsche, membawa semangat eksistensial itu ke wilayah nihilisme dan dekonstruksi nilai-nilai lama. Dengan pernyataannya yang terkenal, “Tuhan telah mati,” Nietzsche menantang manusia untuk menciptakan makna baru dalam dunia yang kehilangan dasar transendennya3.

Fondasi-fondasi ini kemudian memperoleh bentuk ontologis yang lebih sistematik dalam pemikiran Martin Heidegger. Dalam karya Sein und Zeit (1927), Heidegger memperkenalkan konsep Dasein sebagai istilah untuk menunjuk manusia sebagai makhluk yang “ada-di-dunia” (in-der-Welt-sein) secara sadar dan terbuka terhadap keberadaan (Sein). Heidegger memisahkan dirinya dari pendekatan eksistensial yang masih terlalu psikologis atau etis, dan menawarkan suatu analisis eksistensial yang radikal—yakni bahwa struktur pemahaman, keterarahan terhadap masa depan (projeksi), dan keterlemparan ke dunia merupakan cara fundamental manusia berada4.

Menurut Heidegger, eksistensi manusia bersifat temporal dan finitis: manusia menyadari bahwa dirinya menuju kematian (Sein zum Tode), dan kesadaran akan kematian ini membentuk cara ia menghayati hidupnya secara otentik atau tidak otentik. Eksistensialisme Heidegger membuka jalan bagi pendekatan hermeneutik yang mengakar dalam pengalaman manusia sebagai penafsir terhadap makna hidupnya sendiri, di mana penafsiran bukanlah tindakan sekunder terhadap realitas, tetapi adalah inti dari eksistensi itu sendiri5.

Setelah Heidegger, pemikiran eksistensial memperoleh variasi dalam berbagai arah, termasuk dalam karya Jean-Paul Sartre yang menekankan kebebasan radikal dan tanggung jawab individu. Dalam L’Être et le Néant (1943), Sartre menyatakan bahwa eksistensi mendahului esensi, dan bahwa manusia “dikutuk untuk bebas” karena tidak ada esensi bawaan yang mengarahkan tindakannya selain kehendaknya sendiri6.

Di antara keseluruhan warisan filsafat eksistensial ini, muncul suatu kecenderungan untuk memahami makna sebagai sesuatu yang tidak diberikan secara objektif, melainkan dihasilkan dalam situasi konkret, melalui hubungan antara subjek dan dunia. Inilah dasar ontologis dan epistemologis dari hermeneutika eksistensial: bahwa setiap pemahaman adalah keterlibatan, dan setiap makna merupakan produk dari keberadaan yang terlempar dalam waktu, sejarah, dan bahasa.


Footnotes

[1]                William Barrett, Irrational Man: A Study in Existential Philosophy (New York: Anchor Books, 1990), 14–16.

[2]                Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, trans. David F. Swenson and Walter Lowrie (Princeton: Princeton University Press, 1941), 178–183.

[3]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), 181.

[4]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 78–90.

[5]                Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s Being and Time, Division I (Cambridge: MIT Press, 1991), 25–32.

[6]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 53–58.


3.           Hermeneutika Tradisional vs. Hermeneutika Eksistensial

Hermeneutika tradisional bermula sebagai metode interpretatif dalam konteks teologis dan filologis, terutama digunakan untuk menafsirkan teks-teks klasik dan kitab suci. Akar historisnya dapat ditelusuri pada praktik penafsiran di kalangan Yahudi Helenistik dan Bapa-Bapa Gereja Kristen, kemudian dikembangkan secara sistematis oleh para pemikir seperti Friedrich Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey pada abad ke-19. Hermeneutika dalam tradisi ini menekankan pemulihan makna orisinal teks melalui pendekatan historis dan psikologis terhadap maksud pengarang (authorial intent), serta melalui rekonstruksi konteks linguistik dan sosial teks tersebut1.

Friedrich Schleiermacher sering disebut sebagai "bapak hermeneutika modern" karena upayanya membangun prinsip-prinsip umum hermeneutika yang berlaku tidak hanya untuk teks suci, tetapi juga untuk seluruh bentuk komunikasi tertulis. Ia mengembangkan dua pendekatan kunci: gramatikal (analisis struktur bahasa) dan psikologis (rekonstruksi dunia batin pengarang). Menurut Schleiermacher, memahami teks berarti “mengulang proses kreatif” sang pengarang dalam batin pembaca2.

Sementara itu, Wilhelm Dilthey mengembangkan hermeneutika sebagai dasar dari ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften), membedakannya dari ilmu-ilmu alam (Naturwissenschaften). Ia menyatakan bahwa pemahaman (Verstehen) merupakan metode khas dalam ilmu humaniora, berbeda dari penjelasan kausalistik dalam ilmu eksakta. Bagi Dilthey, pemahaman diperoleh melalui rekonstruksi pengalaman hidup yang diungkapkan dalam teks, dan karenanya tetap berada dalam ranah sejarah dan konteks eksternal3.

Namun demikian, pendekatan tradisional ini mendapat kritik karena tetap mempertahankan pandangan representasional: bahwa makna teks dapat ditransfer dari pengarang ke pembaca secara objektif melalui analisis linguistik dan historis. Pandangan ini mengasumsikan adanya jarak antara subjek yang menafsirkan dan objek yang ditafsirkan, yang dapat diatasi melalui metode ilmiah.

Hermeneutika eksistensial hadir sebagai kritik terhadap paradigma ini, terutama melalui karya Martin Heidegger. Dalam Being and Time, Heidegger menyatakan bahwa pemahaman bukanlah sekadar tindakan intelektual untuk mengakses makna teks, melainkan merupakan struktur dasar eksistensi manusia (Dasein) itu sendiri4. Maka, hermeneutika bukan lagi metode teknis untuk membaca teks, tetapi merupakan ekspresi cara manusia memahami keberadaannya sendiri melalui keterlibatannya di dunia. Penafsiran bukan sekadar reproduksi makna, tetapi merupakan proses eksistensial di mana makna muncul dalam horizon historis dan temporalitas keberadaan.

Hans-Georg Gadamer melanjutkan warisan Heidegger ini dengan menyusun hermeneutika filosofis dalam karyanya Truth and Method. Ia menolak gagasan tentang objektivitas pemahaman dan menyatakan bahwa setiap pemahaman adalah hasil dari "fusi cakrawala" (Horizontverschmelzung) antara horizon pembaca dan horizon teks. Menurut Gadamer, kita tidak pernah membaca teks dari posisi netral, melainkan selalu membawa pra-pemahaman (Vorverständnis) yang terbentuk dari tradisi, bahasa, dan pengalaman hidup kita5.

Perbedaan mendasar antara hermeneutika tradisional dan hermeneutika eksistensial dapat diringkas sebagai berikut: hermeneutika tradisional menekankan teknik interpretasi yang menempatkan teks sebagai objek, sementara hermeneutika eksistensial menempatkan interpretasi sebagai pengalaman keterlibatan subjek dalam dunia yang dipahami. Dalam pendekatan eksistensial, makna tidak “disampaikan” oleh teks secara pasif, melainkan “dibuka” dalam proses dialogis antara penafsir dan realitas yang dihadapinya.

Dengan demikian, hermeneutika eksistensial melampaui batas-batas interpretasi tekstual semata, dan menjadi fondasi filosofis untuk memahami bagaimana manusia menemukan makna dalam eksistensinya yang konkret. Pemahaman menjadi peristiwa (Ereignis), bukan hasil, dan kebenaran menjadi sesuatu yang “terjadi” dalam perjumpaan antara subjek dan dunia, bukan sesuatu yang dikompilasi dari luar secara objektif6.


Footnotes

[1]                Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 37–42.

[2]                Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics: The Handwritten Manuscripts, ed. Heinz Kimmerle, trans. James Duke and Jack Forstman (Missoula: Scholars Press, 1977), 113–120.

[3]                Wilhelm Dilthey, Selected Works: Volume IV – Hermeneutics and the Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton: Princeton University Press, 1996), 106–110.

[4]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 191–198.

[5]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 269–278.

[6]                Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 149–152.


4.           Martin Heidegger: Pemelopornya

Martin Heidegger (1889–1976) merupakan tokoh sentral dalam peralihan hermeneutika dari pendekatan metodologis ke arah eksistensial dan ontologis. Melalui karya monumentalnya Sein und Zeit (Being and Time, 1927), Heidegger tidak hanya mereformulasi konsep pemahaman dalam konteks penafsiran teks, tetapi juga menjadikan pemahaman sebagai cara eksistensial manusia berada di dunia. Dalam kerangka ini, hermeneutika tidak lagi diposisikan sebagai metode epistemologis belaka, melainkan sebagai dimensi ontologis dari keberadaan manusia itu sendiri1.

Inti pemikiran Heidegger terletak pada konsep Dasein, istilah khas yang ia gunakan untuk menunjuk eksistensi manusia sebagai entitas yang memiliki kesadaran akan keberadaannya. Dasein secara literal berarti "ada-di-sana" (being-there), menandakan bahwa eksistensi manusia tidak bersifat abstrak, melainkan selalu terikat pada dunia dan konteks sejarah yang partikular2. Dalam pengertiannya, Dasein bukanlah subjek rasional seperti dalam tradisi Descartes, melainkan makhluk yang secara eksistensial “terlempar” (Geworfenheit) ke dalam dunia dan secara sadar hidup dalam proyek masa depan (Entwurf), dengan keterbatasan waktu dan kematian yang tak terhindarkan3.

Dalam konteks ini, Heidegger menolak pandangan bahwa pemahaman adalah aktivitas mental yang netral dan terpisah dari kehidupan konkret manusia. Sebaliknya, ia menyatakan bahwa pemahaman adalah struktur fundamental dari Dasein, bagian dari cara manusia “menjadi” dalam dunia. Setiap tindakan manusia yang penuh makna—baik berbicara, bekerja, mencipta, maupun menafsirkan teks—berakar dari struktur pemahaman eksistensial ini4. Oleh karena itu, pemahaman tidak perlu didahului oleh analisis teoritis atau metode ilmiah tertentu; ia selalu mendahului refleksi dan bersifat prateoritis (pre-theoretical).

Salah satu kontribusi Heidegger yang paling berpengaruh dalam bidang hermeneutika adalah kritiknya terhadap pendekatan yang menempatkan subjek-objek secara dikotomis. Ia menyatakan bahwa hubungan antara manusia dan dunia bersifat “koeksistensial”, di mana subjek tidak menafsirkan objek dari luar, tetapi sudah selalu berada di dalam dunia yang ditafsirkannya. Hal ini menandai pergeseran dari hermeneutika objektivis ke apa yang disebut hermeneutika ontologis, yaitu penafsiran sebagai pengungkapan (uncovering) makna yang tersembunyi dalam eksistensi5.

Heidegger juga memperkenalkan konsep penting lain, yaitu hermeneutic circle atau “lingkaran hermeneutik”. Dalam versi eksistensialnya, lingkaran ini menunjukkan bahwa kita hanya dapat memahami keseluruhan dari bagian, dan sebaliknya, bagian hanya dapat dipahami dalam terang keseluruhan—dan bahwa proses ini terjadi dalam horizon keberadaan yang dinamis. Lingkaran ini bukan kelemahan logis, tetapi justru kondisi fundamental bagi segala bentuk pemahaman manusia6.

Dampak pemikiran Heidegger terhadap perkembangan hermeneutika sangat luas. Ia mengilhami munculnya hermeneutika filosofis Hans-Georg Gadamer, hermeneutika kritik Paul Ricoeur, hingga pendekatan post-strukturalis seperti Jacques Derrida yang mencoba mendekonstruksi batas antara makna dan interpretasi. Namun dalam kerangka hermeneutika eksistensial, kontribusi Heidegger paling signifikan adalah transformasinya atas pemahaman sebagai modus eksistensial yang melekat dalam cara manusia mengalami, menafsirkan, dan memberi makna pada hidupnya di dunia.

Dengan demikian, Heidegger bukan hanya pelopor, tetapi juga pemikir revolusioner dalam sejarah hermeneutika. Ia membawa bidang ini keluar dari batasan metodologis ke dalam ranah ontologis, di mana penafsiran tidak sekadar kegiatan kognitif, tetapi merupakan ekspresi paling mendasar dari keberadaan manusia.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 35–38.

[2]                Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 13–16.

[3]                Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1999), 49–53.

[4]                Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 88–91.

[5]                Theodore Kisiel, The Genesis of Heidegger’s Being and Time (Berkeley: University of California Press, 1993), 87–92.

[6]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 269–270.


5.           Hans-Georg Gadamer dan Pengembangan Hermeneutika Filosofis

Hans-Georg Gadamer (1900–2002), murid sekaligus penerus pemikiran Martin Heidegger, memainkan peran fundamental dalam memperluas dan mematangkan hermeneutika eksistensial ke dalam bentuk yang ia sebut sebagai hermeneutika filosofis. Dalam karya monumentalnya Wahrheit und Methode (Truth and Method, 1960), Gadamer menolak gagasan bahwa hermeneutika hanyalah sebuah metode interpretatif yang bersifat teknis. Ia menegaskan bahwa pemahaman bukan sekadar proses mentransfer makna dari teks ke pembaca melalui aturan-aturan tertentu, melainkan merupakan pengalaman yang terbentuk dalam sejarah dan tradisi1.

Gadamer melanjutkan ide Heidegger tentang Dasein sebagai makhluk yang memahami dunia secara prateoritis dan eksistensial. Namun, ia memperluas cakrawala pemahaman ini dengan menekankan peran sejarah, bahasa, dan tradisi dalam membentuk horizon kesadaran manusia. Menurutnya, setiap pemahaman selalu bersifat historis—kita tidak pernah membaca atau menafsir dari “nol”, melainkan selalu dalam horizon tertentu yang diwariskan dari masa lalu melalui bahasa dan budaya2.

Salah satu konsep kunci dari hermeneutika Gadamer adalah Horizontverschmelzung atau “fusi cakrawala”. Gagasan ini merujuk pada pertemuan antara horizon pemahaman pembaca (yang dibentuk oleh waktu, budaya, pengalaman) dan horizon teks atau tradisi yang ditafsirkan. Pemahaman bukan hasil dari pemindahan makna yang objektif, tetapi dari proses dialogis di mana dua horizon tersebut bertemu dan membentuk makna baru. Proses ini bukanlah bentuk relasi epistemik belaka, tetapi pengalaman ontologis yang mempertemukan manusia dengan kebenaran3.

Gadamer juga mengkritik objektivisme dalam pendekatan humaniora dan ilmu sosial, terutama gagasan bahwa makna dapat digali secara netral dan universal. Sebaliknya, ia menyatakan bahwa setiap pemahaman selalu dipengaruhi oleh pra-pemahaman (Vorverständnis)—yakni struktur pengandaian awal yang tidak dapat dihindari dalam setiap proses interpretasi. Menurutnya, pra-pemahaman bukanlah penghalang bagi pemahaman, melainkan syarat kemungkinannya. Oleh karena itu, dialog yang jujur dengan teks atau tradisi tidak dimulai dari tabula rasa, melainkan dari keterbukaan terhadap perubahan dan transformasi makna melalui pengalaman historis4.

Dalam kaitannya dengan bahasa, Gadamer berpendapat bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga medium pemahaman itu sendiri. Manusia tidak hanya menggunakan bahasa untuk menafsir, melainkan berada dalam bahasa yang membentuk horizon eksistensialnya. Ia menyatakan, “Being that can be understood is language” (Sein, das verstanden werden kann, ist Sprache)5. Pernyataan ini menunjukkan bahwa eksistensi manusia yang dapat dipahami, hanya mungkin melalui bahasa—dan karena itu, seluruh pengalaman eksistensial manusia berakar dalam struktur linguistik.

Relevansi hermeneutika filosofis Gadamer terhadap hermeneutika eksistensial sangat signifikan. Ia memperkaya pemikiran Heidegger yang lebih ontologis dengan dimensi historis dan linguistik yang konkret. Hermeneutika menjadi bukan hanya alat penafsiran teks, tetapi juga metode eksistensial untuk menjalin hubungan dengan masa lalu, membentuk identitas, dan menegosiasikan makna dalam dunia yang terus berubah.

Secara keseluruhan, kontribusi Gadamer mengukuhkan posisi hermeneutika eksistensial dalam ranah filsafat kontemporer, terutama sebagai jalan tengah antara relativisme postmodern dan universalisme modern. Dengan menekankan pengalaman dialogis, keterbukaan terhadap tradisi, dan peran bahasa dalam pembentukan makna, Gadamer menawarkan paradigma pemahaman yang menghargai keberadaan manusia sebagai makhluk yang selalu berada “dalam proses penafsiran”.


Footnotes

[1]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), xx–xxi.

[2]                Jean Grondin, Hans-Georg Gadamer: A Biography, trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 2003), 243–247.

[3]                Gadamer, Truth and Method, 269–274.

[4]                Georgia Warnke, Gadamer: Hermeneutics, Tradition, and Reason (Stanford: Stanford University Press, 1987), 76–80.

[5]                Gadamer, Truth and Method, 432.


6.           Hermeneutika Eksistensial dalam Konteks Kontemporer

Hermeneutika eksistensial, sebagaimana dikembangkan oleh Heidegger dan Gadamer, telah menunjukkan daya jelajah filosofis yang luas dalam memahami realitas keberadaan manusia. Dalam konteks kontemporer, pendekatan ini mengalami perluasan aplikatif tidak hanya dalam filsafat dan teologi, tetapi juga dalam bidang-bidang seperti psikoterapi, studi agama, pendidikan, kritik sastra, hingga ilmu budaya. Ciri utama dari hermeneutika eksistensial kontemporer adalah kemampuannya untuk menghadirkan kembali dimensi makna yang bersifat personal, historis, dan temporal di tengah dominasi paradigma teknorasional dan positivistik.

Salah satu wilayah penting penerapan hermeneutika eksistensial adalah dalam psikoterapi eksistensial, sebagaimana tampak dalam karya Viktor E. Frankl, pendiri logoterapi. Dalam Man’s Search for Meaning, Frankl menyatakan bahwa penderitaan manusia menjadi tak tertanggungkan bukan karena intensitas rasa sakitnya, tetapi karena hilangnya makna1. Dalam pandangan ini, pencarian makna bukanlah urusan rasional-intelektual semata, melainkan kebutuhan eksistensial yang mendalam. Oleh karena itu, terapi menjadi proses hermeneutis, yakni upaya bersama antara terapis dan klien untuk menafsir ulang pengalaman hidup secara personal dan autentik.

Pendekatan hermeneutika eksistensial juga diterapkan dalam studi agama kontemporer, khususnya dalam memahami pengalaman keagamaan sebagai peristiwa kebermaknaan yang tak bisa direduksi ke dalam formulasi dogmatis atau sejarah literal. Paul Ricoeur, misalnya, mengembangkan pendekatan hermeneutis yang berusaha menjembatani antara struktur teks keagamaan dan pengalaman eksistensial pembacanya. Dalam hermeneutika Ricoeur, simbol-simbol religius tidak ditafsirkan secara harfiah, melainkan melalui “ekspresi makna ganda” yang membuka pemahaman terhadap kenyataan transenden melalui pengalaman batin yang konkret2. Di sini, iman dipahami sebagai bentuk keterbukaan terhadap makna yang melebihi kalkulasi rasional, namun tetap dapat dipahami dalam horizon eksistensial manusia.

Dalam kajian sastra dan seni, hermeneutika eksistensial membuka jalan untuk membaca karya bukan hanya sebagai produk estetik, tetapi sebagai cermin eksistensi manusia yang dihadapkan pada absurditas, keterasingan, dan pencarian makna. Tokoh-tokoh seperti Albert Camus dan Franz Kafka, meskipun bukan ahli hermeneutika, menampilkan dalam karya-karya mereka drama eksistensial manusia dalam dunia yang kehilangan pusat nilai. Melalui pendekatan hermeneutika eksistensial, pembacaan terhadap karya-karya ini dapat difokuskan pada proses penyingkapan (aletheia) makna hidup dalam keterbatasan dan ketegangan eksistensial3.

Di bidang pendidikan, hermeneutika eksistensial berkontribusi dalam membangun pendekatan pedagogis yang menekankan pentingnya keterlibatan personal siswa dalam proses belajar. Max van Manen, dalam Researching Lived Experience, menegaskan bahwa pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan proses penyingkapan makna melalui pengalaman belajar yang menyentuh dan reflektif4. Dengan pendekatan ini, guru bukan hanya fasilitator, tetapi penafsir dan pengiring dalam perjalanan eksistensial siswa menuju pemahaman yang bermakna.

Hermeneutika eksistensial juga menjadi kerangka kerja penting dalam kritik terhadap modernitas dan budaya populer, terutama melalui wacana postmodern yang mempertanyakan klaim-klaim kebenaran universal dan narasi besar. Dalam konteks ini, pendekatan hermeneutik menjadi alat untuk menelusuri makna yang terpendam dalam praktik-praktik budaya, identitas, dan narasi personal. Charles Taylor, misalnya, menggunakan pendekatan hermeneutika untuk menunjukkan bagaimana identitas modern terbentuk melalui proses historis penafsiran-diri (self-interpretation) dalam masyarakat yang plural dan sekuler5.

Secara umum, hermeneutika eksistensial dalam konteks kontemporer menantang dominasi pendekatan objektivis dan strukturalis yang cenderung mengabaikan dimensi subjektif, historis, dan temporal dari pemahaman manusia. Ia memulihkan kembali hakikat pemahaman sebagai tindakan eksistensial yang mengakar pada pengalaman, keterbukaan terhadap yang lain, dan pencarian makna dalam ketakterhindaran waktu dan sejarah. Maka, hermeneutika eksistensial bukan hanya relevan dalam diskursus akademik, tetapi juga dalam praksis kehidupan, terutama di zaman yang ditandai oleh krisis makna dan fragmentasi nilai.


Footnotes

[1]                Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch (Boston: Beacon Press, 2006), 106–110.

[2]                Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, trans. Emerson Buchanan (Boston: Beacon Press, 1967), 10–17.

[3]                Richard Kearney, On Stories (London: Routledge, 2002), 54–58.

[4]                Max van Manen, Researching Lived Experience: Human Science for an Action Sensitive Pedagogy (London: The Althouse Press, 1990), 5–10.

[5]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 25–30.


7.           Studi Kasus Aplikasi

Untuk mengilustrasikan bagaimana hermeneutika eksistensial bekerja secara konkret, bagian ini mengkaji dua studi kasus yang relevan: pertama, penafsiran eksistensial atas teks religius klasik, dan kedua, interpretasi eksistensial terhadap karya sastra. Keduanya menunjukkan bahwa makna tidak melekat secara objektif dalam teks, tetapi muncul melalui keterlibatan eksistensial antara pembaca dan teks dalam horizon pengalaman hidup yang konkret dan historis.

7.1.       Penafsiran Eksistensial terhadap Kitab Ayub

Kitab Ayub dalam Alkitab Ibrani dan Perjanjian Lama Kristen telah lama menjadi sumber refleksi teologis tentang penderitaan, keadilan ilahi, dan makna hidup. Namun, dalam perspektif hermeneutika eksistensial, Kitab Ayub tidak dipahami semata sebagai narasi historis atau doktrinal, melainkan sebagai representasi simbolik atas krisis makna eksistensial yang dialami manusia ketika dihadapkan pada absurditas penderitaan yang tidak dapat dijelaskan secara rasional.

Martin Buber dan kemudian Paul Ricoeur membaca Kitab Ayub sebagai ekspresi perjumpaan eksistensial antara manusia yang menderita dan Tuhan yang misterius. Dalam bacaan ini, pertanyaan-pertanyaan Ayub bukanlah tuntutan logis atas penjelasan, tetapi ekspresi kejujuran eksistensial yang menggugat struktur makna konvensional1. Ricoeur dalam The Symbolism of Evil menyatakan bahwa penderitaan Ayub membuka horizon pemahaman baru di mana manusia tidak lagi mengejar jawaban, melainkan belajar menerima keberadaan sebagai sesuatu yang terbuka dan penuh misteri2.

Dengan demikian, penafsiran eksistensial terhadap Kitab Ayub menolak pendekatan literalistik atau dogmatis, dan mengedepankan keterlibatan eksistensial pembaca dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang hidup, penderitaan, dan kehadiran transenden. Dalam hal ini, pemahaman menjadi bukan hasil penafsiran sistematis, melainkan peristiwa keterbukaan terhadap makna yang terus bergerak.

7.2.       Pembacaan Eksistensial terhadap Karya Franz Kafka: The Trial

Karya sastra The Trial (1915) karya Franz Kafka merupakan contoh klasik narasi eksistensial yang penuh dengan simbol keterasingan, absurditas, dan krisis identitas. Tokoh utamanya, Josef K., ditangkap dan diadili tanpa tahu kesalahan apa yang dituduhkan padanya. Ia hidup dalam sistem yang tidak transparan dan terus-menerus menggugat kehadiran makna, otoritas, dan keadilan.

Dalam kerangka hermeneutika eksistensial, teks ini dibaca sebagai penggambaran kondisi manusia modern yang terlempar dalam dunia birokratis dan kehilangan orientasi makna. Penafsiran terhadap The Trial tidak bertumpu pada simbol-simbol alegoris tertentu, tetapi pada pengalaman keterasingan yang dialami pembaca sendiri dalam menghayati absurditas kehidupan kontemporer. Gadamer dalam Truth and Method menggarisbawahi bahwa pengalaman estetis semacam ini membuka ruang refleksi eksistensial yang melampaui dimensi naratif dan logika teks itu sendiri3.

Interpretasi semacam ini juga didukung oleh pendekatan Ricoeur yang menekankan distansiasi sebagai prasyarat untuk refleksi kritis terhadap makna. Dalam membaca Kafka, pembaca diundang untuk menjalin kembali relasi dengan dunia kehidupannya sendiri melalui distorsi dan ironi yang ditampilkan dalam karya, bukan sekadar mencari pesan tersembunyi4.

Kedua studi kasus ini menunjukkan bahwa hermeneutika eksistensial mampu memberikan pendekatan yang lebih dalam dan manusiawi terhadap teks-teks yang kompleks. Teks religius dan sastra tidak diposisikan sebagai objek yang perlu direduksi atau dijelaskan secara sistematis, tetapi sebagai medan dialog eksistensial di mana makna muncul dari keterlibatan, penderitaan, dan pencarian manusia yang otentik.


Footnotes

[1]                Martin Buber, The Prophetic Faith (New York: Macmillan, 1949), 164–168.

[2]                Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, trans. Emerson Buchanan (Boston: Beacon Press, 1967), 317–319.

[3]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 121–124.

[4]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 89–92.


8.           Implikasi Epistemologis dan Etis

Hermeneutika eksistensial tidak hanya memengaruhi cara manusia menafsir teks atau pengalaman, tetapi juga membentuk kembali pemahaman kita tentang hakikat pengetahuan (epistemologi) dan tanggung jawab moral (etika). Implikasi epistemologis dan etis dari pendekatan ini sangat relevan dalam konteks dunia kontemporer yang ditandai oleh relativisme nilai, fragmentasi makna, serta krisis kepercayaan terhadap objektivitas ilmu pengetahuan modern.

8.1.       Implikasi Epistemologis: Pengetahuan sebagai Keterlibatan

Secara epistemologis, hermeneutika eksistensial menolak klaim bahwa pengetahuan adalah cerminan obyektif dari realitas eksternal yang dapat diakses secara netral oleh subjek yang otonom. Sebaliknya, pemahaman dipandang sebagai proses keterlibatan eksistensial antara subjek dan dunia yang dihadapinya. Dalam kerangka ini, pengetahuan tidak muncul dari jarak dan distansi, tetapi dari keterlemparan (Geworfenheit) dan keberada-di-dunia (In-der-Welt-sein) yang menjadi kondisi ontologis manusia1.

Heidegger menegaskan bahwa semua bentuk pemahaman manusia berada dalam horizon prateoritis yang sudah selalu didahului oleh pengalaman dunia. Ia menulis bahwa “penafsiran bukanlah suatu aktivitas sekunder dari pemahaman, tetapi manifestasi awal dari cara Dasein ada di dunia2. Artinya, kita tidak mungkin memahami sesuatu secara netral dan steril dari nilai-nilai; seluruh pengetahuan kita senantiasa diwarnai oleh sejarah, bahasa, tradisi, dan keterlibatan eksistensial.

Dalam pandangan Gadamer, ini berarti bahwa kebenaran bukanlah hasil dari korespondensi logis antara proposisi dan realitas, melainkan sesuatu yang terjadi dalam pengalaman hermeneutik itu sendiri. Ia menyatakan bahwa kebenaran adalah peristiwa historis yang berlangsung dalam dialog antara horizon yang berbeda, bukan entitas tetap yang menunggu untuk ditemukan3. Maka, epistemologi hermeneutika eksistensial bersifat dialogis, historis, dan terbuka terhadap perbedaan.

Paradigma ini memiliki implikasi penting bagi ilmu-ilmu humaniora, pendidikan, dan bahkan sains sosial: bahwa tidak ada “titik netral” atau “pandangan dari luar” yang sepenuhnya bebas nilai. Setiap klaim kebenaran memerlukan keterbukaan terhadap horizon pemahaman yang berbeda, serta kesadaran akan pra-pemahaman yang menyertai setiap proses interpretasi. Ini membuka ruang bagi epistemologi yang inklusif, dialogis, dan bersifat partisipatif.

8.2.       Implikasi Etis: Tanggung Jawab dalam Pemahaman

Implikasi etis dari hermeneutika eksistensial terletak pada kesadaran bahwa setiap tindakan pemahaman adalah tindakan yang mengandung tanggung jawab. Pemahaman tidak terjadi dalam ruang hampa, tetapi dalam relasi antar-subjektif yang menuntut keterbukaan, kejujuran eksistensial, dan penghargaan terhadap alteritas (keberlainan). Dalam hal ini, Ricoeur menekankan bahwa hermeneutika tidak hanya menyangkut makna, tetapi juga etika—yakni kesediaan untuk menempatkan diri dalam horizon yang lain tanpa meniadakan perbedaan4.

Ketika seseorang menafsir teks, pengalaman, atau tindakan orang lain, ia berhadapan dengan kenyataan bahwa setiap penafsiran dapat menyalahpahami, menyederhanakan, atau bahkan mereduksi makna yang sebenarnya. Karena itu, hermeneutika eksistensial menuntut kerendahan hati interpretatif—yakni kesediaan untuk terus membuka diri terhadap koreksi, dialog, dan pemaknaan ulang. Gadamer menyebut hal ini sebagai kebajikan hermeneutik, yakni sikap yang menggabungkan keterbukaan terhadap tradisi dan kerelaan untuk mendengarkan yang lain secara autentik5.

Etika hermeneutika ini juga menuntut kesadaran akan keterbatasan bahasa dan pemahaman manusia. Dalam dunia yang plural, hermeneutika eksistensial menawarkan dasar etis bagi dialog antarbudaya, antaragama, dan antaridentitas. Alih-alih memaksakan satu tafsir sebagai kebenaran tunggal, pendekatan ini mendorong pengakuan atas keberagaman makna dan tanggung jawab untuk menjalin pengertian tanpa menghapus perbedaan.

Dengan demikian, hermeneutika eksistensial mengubah epistemologi dari sistem representasi objektif menjadi pengalaman keterlibatan, dan mengubah etika dari sekadar kewajiban universal menjadi tanggung jawab personal dalam perjumpaan konkret. Keduanya berakar dalam pengalaman manusia sebagai makhluk penafsir yang terbatas namun senantiasa terbuka pada makna, baik dalam konteks pengetahuan maupun dalam relasi antarmanusia.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 78–83.

[2]                Ibid., 188.

[3]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 278–285.

[4]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 16–18.

[5]                Georgia Warnke, Gadamer: Hermeneutics, Tradition, and Reason (Stanford: Stanford University Press, 1987), 93–95.


9.           Kritik terhadap Hermeneutika Eksistensial

Meskipun hermeneutika eksistensial telah memberikan kontribusi penting dalam menggeser paradigma interpretasi dari pendekatan objektivistik menuju pemahaman yang bersifat eksistensial, dialogis, dan historis, pendekatan ini tidak luput dari kritik. Kritik tersebut datang baik dari arah metodologis, epistemologis, maupun etis, terutama dari kalangan positivis, strukturalis, post-strukturalis, dan bahkan dari filsuf yang berada dalam tradisi hermeneutik itu sendiri.

9.1.       Tuduhan Subjektivisme dan Relativisme

Salah satu kritik utama terhadap hermeneutika eksistensial adalah tuduhan bahwa pendekatan ini terlalu menekankan pada dimensi subjektif pemahaman, sehingga mengaburkan batas antara makna teks dan horizon pembaca. Karena makna dalam hermeneutika eksistensial dibentuk dalam pertemuan antara subjek dan dunia, para pengkritik mempertanyakan apakah pendekatan ini mampu menjamin stabilitas dan akurasi interpretasi.

Jürgen Habermas, misalnya, menilai bahwa hermeneutika Gadamer terlalu bergantung pada konsensus tradisi dan kurang memberikan ruang bagi kritik ideologis terhadap struktur kekuasaan dalam diskursus. Dalam The Hermeneutic Claim to Universality, Habermas berpendapat bahwa keterbukaan terhadap tradisi, sebagaimana dikemukakan Gadamer, justru dapat menutupi dominasi struktural dan mencegah pembacaan yang kritis terhadap teks maupun institusi sosial1. Dalam pandangan ini, hermeneutika eksistensial dianggap tidak cukup transformatif karena cenderung menerima horizon historis tanpa distansi kritis.

Paul Ricoeur sendiri, meskipun berangkat dari tradisi hermeneutika eksistensial, mengembangkan model hermeneutika ganda yang menggabungkan pemahaman eksistensial dengan distansi kritis. Ia memperingatkan bahwa terlalu mengandalkan pra-pemahaman tanpa penyaringan metodologis dapat menjebak dalam lingkaran subjektivisme. Oleh karena itu, ia mengusulkan pendekatan distansiasi reflektif, di mana pembaca perlu mengambil jarak dari teks untuk membuka ruang bagi penafsiran yang lebih objektif dan kritis2.

9.2.       Kritik dari Strukturalisme dan Post-strukturalisme

Strukturalisme dan post-strukturalisme memberikan tantangan besar terhadap asumsi hermeneutika eksistensial mengenai makna dan subjek penafsir. Claude Lévi-Strauss dan para strukturalis menganggap bahwa makna tidak terletak dalam pengalaman individual atau dalam horizon historis subjek, melainkan dalam struktur linguistik dan budaya yang bersifat impersonal dan universal. Dalam kerangka ini, penafsiran seharusnya fokus pada sistem tanda, bukan pada pengalaman eksistensial penafsir3.

Sementara itu, Jacques Derrida dan para post-strukturalis memberikan kritik yang lebih radikal dengan mendekonstruksi gagasan tentang “makna tetap” dan “horizon pemahaman”. Dalam Of Grammatology, Derrida menyatakan bahwa semua teks bersifat tératologis (penuh gangguan), dan bahwa setiap penafsiran tidak pernah final karena makna selalu ditunda (différance) dan tertunda oleh teks itu sendiri4. Bagi Derrida, hermeneutika Gadamer terlalu percaya pada kemungkinan fusi horizon dan kesatuan makna, padahal bahasa selalu bersifat ambivalen, terbuka, dan tidak sepenuhnya dapat dikuasai oleh subjek.

9.3.       Tantangan Metodologis dan Praktis

Kritik lain terhadap hermeneutika eksistensial menyangkut kegunaannya dalam konteks ilmiah dan metodologis, terutama dalam bidang ilmu sosial dan hukum. Para kritikus mempertanyakan sejauh mana pendekatan yang menekankan keterlibatan subjektif dan pengalaman eksistensial dapat diterapkan secara sistematik dan terverifikasi. Misalnya, dalam studi hukum, Stanley Fish menekankan bahwa semua interpretasi merupakan produk dari komunitas interpretatif tertentu, sehingga tidak mungkin benar-benar mencapai pemahaman yang universal atau objektif5.

Demikian pula dalam ilmu sosial, hermeneutika eksistensial dianggap terlalu mengabaikan kebutuhan untuk menjelaskan (explanation) secara kausal atau statistik. Para ilmuwan sosial seperti Anthony Giddens mencoba memediasi antara pemahaman hermeneutik dan penjelasan ilmiah dengan menyusun kerangka strukturasi, tetapi tetap mengakui bahwa hermeneutika eksistensial memiliki keterbatasan dalam hal prediksi dan generalisasi ilmiah6.


Dengan mempertimbangkan kritik-kritik ini, dapat disimpulkan bahwa hermeneutika eksistensial perlu membuka diri terhadap refleksi metodologis yang lebih luas dan kritis. Meskipun kekuatan utamanya terletak pada pemulihan dimensi makna yang personal, historis, dan dialogis, pendekatan ini tetap perlu diafirmasi dalam dialog interdisipliner agar tidak terjebak dalam subjektivisme atau relativisme yang mengaburkan tanggung jawab epistemologis dan etis penafsir.


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, “The Hermeneutic Claim to Universality,” dalam Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique, ed. Josef Bleicher (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 181–211.

[2]                Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston: Northwestern University Press, 2007), 137–144.

[3]                Claude Lévi-Strauss, Structural Anthropology, trans. Claire Jacobson and Brooke Grundfest Schoepf (New York: Basic Books, 1963), 31–34.

[4]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 61–65.

[5]                Stanley Fish, “Interpreting the Variorum,” dalam Is There a Text in This Class? The Authority of Interpretive Communities (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 147–174.

[6]                Anthony Giddens, The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (Cambridge: Polity Press, 1984), 284–289.


10.       Simpulan

Hermeneutika eksistensial merupakan transformasi radikal dalam sejarah pemikiran hermeneutik, yang menggeser fokus dari metode interpretatif teknis menuju pemahaman sebagai struktur dasar eksistensi manusia. Berakar dalam pemikiran Martin Heidegger dan dikembangkan lebih lanjut oleh Hans-Georg Gadamer, pendekatan ini memahami penafsiran bukan sebagai sekadar proses mental atau ilmiah, tetapi sebagai manifestasi ontologis dari cara manusia ada-di-dunia—yakni sebagai makhluk yang senantiasa menafsir, memahami, dan mencari makna dalam keterbatasan historis dan temporalitas keberadaan1.

Melalui pemahaman terhadap Dasein (Heidegger) dan konsep fusi cakrawala (Gadamer), hermeneutika eksistensial memperkenalkan suatu cara berpikir yang menekankan bahwa makna tidak bersifat tetap atau diberikan dari luar, melainkan dibentuk dalam relasi dialogis antara subjek, teks, dan dunia. Dengan demikian, setiap tindakan pemahaman adalah sebuah peristiwa eksistensial, bukan sekadar rekonstruksi historis atau analisis linguistik belaka2.

Dalam konteks kontemporer, pendekatan ini telah menunjukkan relevansi luas dalam berbagai bidang, termasuk psikoterapi, studi agama, pendidikan, seni, dan kritik budaya. Ia memberikan kerangka konseptual yang memungkinkan manusia modern untuk kembali menyentuh dimensi kedalaman makna yang sering terpinggirkan oleh dominasi rasionalisme dan teknokrasi. Hermeneutika eksistensial juga berperan sebagai jembatan antara pengalaman personal dan pemahaman intersubjektif, antara tradisi dan kreativitas, antara kebebasan dan tanggung jawab3.

Namun demikian, pendekatan ini tidak luput dari kritik. Beberapa pemikir, seperti Jürgen Habermas dan Jacques Derrida, mempertanyakan kecenderungan subjektivisme dan ketergantungan pada tradisi yang dianggap dapat membatasi potensi kritis dan transformatif dari hermeneutika. Tantangan-tantangan ini mendorong para pemikir hermeneutik untuk terus mengembangkan model yang lebih reflektif, inklusif, dan interdisipliner, sebagaimana dilakukan oleh Paul Ricoeur melalui penggabungan antara hermeneutika kepercayaan dan hermeneutika kecurigaan4.

Pada akhirnya, kekuatan utama hermeneutika eksistensial terletak pada pengakuannya bahwa manusia bukanlah subjek yang berdiri di luar realitas untuk menguasainya, melainkan makhluk yang terlibat secara total dalam dunia yang ditafsirkannya. Dalam keterlibatan itulah pemahaman dan makna tidak hanya ditemukan, tetapi juga diciptakan, dinegosiasikan, dan dijalani sebagai bagian dari keberadaan itu sendiri. Dengan menempatkan manusia sebagai makhluk penafsir yang terbatas namun terbuka, hermeneutika eksistensial mengajarkan bahwa pencarian makna adalah bagian dari panggilan ontologis manusia—suatu pencarian yang bersifat personal, historis, dan etis pada saat yang sama5.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 32–35.

[2]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 269–274.

[3]                Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 103–106.

[4]                Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation, trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 27–29.

[5]                Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 208–212.


Daftar Pustaka

Barrett, W. (1990). Irrational man: A study in existential philosophy. Anchor Books.

Buber, M. (1949). The prophetic faith. Macmillan.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Dilthey, W. (1996). Selected works: Volume IV – Hermeneutics and the study of history (R. A. Makkreel & F. Rodi, Eds.). Princeton University Press.

Dreyfus, H. L. (1991). Being-in-the-world: A commentary on Heidegger’s Being and time, Division I. MIT Press.

Fish, S. (1980). Interpreting the variorum. In Is there a text in this class? The authority of interpretive communities (pp. 147–174). Harvard University Press.

Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning (I. Lasch, Trans.). Beacon Press.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (2nd rev. ed., J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

Giddens, A. (1984). The constitution of society: Outline of the theory of structuration. Polity Press.

Grondin, J. (1994). Introduction to philosophical hermeneutics (J. Weinsheimer, Trans.). Yale University Press.

Grondin, J. (2003). Hans-Georg Gadamer: A biography (J. Weinsheimer, Trans.). Yale University Press.

Habermas, J. (1980). The hermeneutic claim to universality. In J. Bleicher (Ed.), Contemporary hermeneutics: Hermeneutics as method, philosophy and critique (pp. 181–211). Routledge & Kegan Paul.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Kearney, R. (2002). On stories. Routledge.

Kisiel, T. (1993). The genesis of Heidegger’s Being and time. University of California Press.

Lévi-Strauss, C. (1963). Structural anthropology (C. Jacobson & B. G. Schoepf, Trans.). Basic Books.

Palmer, R. E. (1969). Hermeneutics: Interpretation theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Northwestern University Press.

Ricoeur, P. (1967). The symbolism of evil (E. Buchanan, Trans.). Beacon Press.

Ricoeur, P. (1970). Freud and philosophy: An essay on interpretation (D. Savage, Trans.). Yale University Press.

Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory: Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University Press.

Ricoeur, P. (2007). From text to action: Essays in hermeneutics II (K. Blamey & J. B. Thompson, Trans.). Northwestern University Press.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K. Blamey, Trans.). University of Chicago Press.

Schleiermacher, F. (1977). Hermeneutics: The handwritten manuscripts (H. Kimmerle, Ed.; J. Duke & J. Forstman, Trans.). Scholars Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Van Manen, M. (1990). Researching lived experience: Human science for an action sensitive pedagogy. The Althouse Press.

Warnke, G. (1987). Gadamer: Hermeneutics, tradition, and reason. Stanford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar