Hermeneutika Eksistensial
Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel
Alihkan ke: Matode Haermeneutika dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep hermeneutika
eksistensial sebagai paradigma interpretatif yang menempatkan pemahaman
bukan sekadar sebagai metode penafsiran teks, melainkan sebagai struktur
ontologis dari keberadaan manusia. Berakar pada pemikiran Martin Heidegger dan
dikembangkan oleh Hans-Georg Gadamer, hermeneutika eksistensial memandang makna
sebagai hasil keterlibatan eksistensial antara subjek dan dunia, yang
berlangsung dalam horizon historis, linguistik, dan pengalaman hidup. Artikel
ini menelusuri fondasi filosofis eksistensial yang melandasi pendekatan ini,
membandingkannya dengan hermeneutika tradisional, serta mengeksplorasi
aplikasinya dalam berbagai bidang kontemporer, seperti teologi, sastra,
psikoterapi, dan pendidikan. Dibahas pula implikasi epistemologis dan etis dari
pendekatan ini, yang menekankan dialog, keterbukaan terhadap alteritas, dan
tanggung jawab interpretatif. Di samping menawarkan kontribusi signifikan dalam
ranah filsafat dan humaniora, hermeneutika eksistensial juga dihadapkan pada
berbagai kritik, terutama terkait potensi subjektivisme, relativisme, dan
keterbatasan metodologisnya. Artikel ini mengajak pembaca untuk merefleksikan
kembali hakikat pemahaman sebagai peristiwa keberadaan yang terus terbuka
terhadap makna.
Kata Kunci: Hermeneutika Eksistensial, Martin Heidegger,
Hans-Georg Gadamer, Pemahaman, Makna, Ontologi, Eksistensi, Dialog, Kritik
Hermeneutik.
PEMBAHASAN
Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Hermeneutika,
sebagai seni dan teori penafsiran, telah mengalami evolusi yang panjang dari
akar klasiknya dalam penafsiran teks-teks suci menuju dimensi filsafat yang
lebih mendalam dan eksistensial. Perkembangan ini menandai pergeseran dari
hermeneutika sebagai metode teknis dalam memahami maksud pengarang, menjadi cara fundamental manusia dalam
memahami diri dan dunianya. Dalam hal ini, hermeneutika eksistensial bukan
hanya menjawab pertanyaan “apa makna teks?”, melainkan juga “apa
makna keberadaan?”—mengungkapkan hubungan intrinsik antara proses
penafsiran dan realitas eksistensial manusia.
Sebagai sebuah pendekatan
filosofis, hermeneutika eksistensial berakar pada pemikiran filsuf Jerman Martin Heidegger, khususnya dalam
karya monumentalnya Sein und Zeit (1927). Heidegger
menolak pemisahan subjek-objek dalam epistemologi modern dan mengajukan
pemahaman (Verstehen)
sebagai struktur ontologis dari Dasein, yakni eksistensi manusia
yang “ada-di-dunia” secara historis, temporal, dan terbuka terhadap
makna1. Bagi Heidegger, pemahaman bukanlah aktivitas mental yang
bersifat reflektif atau rasional semata, tetapi merupakan cara dasar manusia
berada di dunia, di mana makna senantiasa dibuka melalui keterlibatan
eksistensial dalam kehidupan sehari-hari2.
Transformasi ini
membuka jalan bagi Hans-Georg Gadamer untuk mengembangkan apa yang ia sebut
sebagai hermeneutika
filosofis, yang melihat penafsiran tidak hanya sebagai pemindahan
makna dari masa lalu ke masa kini, melainkan sebagai dialog dinamis antara
horizon pemahaman yang berbeda3.
Dalam konteks ini, hermeneutika eksistensial menjadi medan pertemuan antara
pengalaman konkret manusia, tradisi budaya, dan makna yang terus terbentuk
secara historis.
Kebutuhan untuk
memahami hermeneutika dalam perspektif eksistensial semakin penting di tengah
tantangan interpretasi kontemporer yang tidak lagi terbatas pada teks,
melainkan juga mencakup pengalaman eksistensial, trauma kolektif, identitas
personal, bahkan spiritualitas. Dalam dunia pascamodern yang ditandai oleh
pluralitas dan krisis makna, hermeneutika eksistensial menawarkan suatu
pendekatan yang memungkinkan
keterlibatan subjek dalam pencarian makna yang otentik, alih-alih sekadar
reproduksi pengetahuan dari luar.
Oleh karena itu,
artikel ini bertujuan untuk menjelajahi secara komprehensif gagasan-gagasan
pokok hermeneutika eksistensial, menelusuri akar filosofisnya, menguraikan
kontribusi tokoh-tokoh utamanya, serta menelaah relevansinya dalam konteks
pemahaman kontemporer. Dengan landasan filsafat eksistensial, hermeneutika
dalam pendekatan ini tidak hanya menjembatani antara teks dan pembaca, tetapi
juga antara eksistensi dan makna—dua dimensi yang tak terpisahkan dalam hidup
manusia.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 32–35.
[2]
Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics,
trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 81–85.
[3]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 269–273.
2.
Landasan Filsafat
Eksistensial
Filsafat
eksistensial lahir sebagai reaksi terhadap rasionalisme dan positivisme modern
yang dianggap terlalu menekankan pada objektivitas universal dan mengabaikan
dimensi subjektif serta individual dari pengalaman manusia. Berakar dari
pencarian makna dalam keberadaan yang konkret, filsafat ini berusaha memahami
manusia bukan sebagai objek sains, melainkan sebagai subjek yang mengalami
kecemasan, pilihan, tanggung jawab, dan keterlemparan dalam dunia yang tak
sepenuhnya dapat dipahami secara sistematik. Dengan kata lain, eksistensialisme menegaskan primat
eksistensi atas esensi—bahwa manusia tidak didefinisikan sebelumnya, melainkan
membentuk dirinya sendiri melalui tindakan dan pemaknaan hidup1.
Tokoh awal yang
sering disebut sebagai peletak dasar eksistensialisme modern adalah Søren
Kierkegaard (1813–1855), seorang teolog dan filsuf asal Denmark. Ia menekankan
pentingnya lompatan iman, subjektivitas, dan pilihan personal dalam
keberagamaan dan kehidupan etis. Kierkegaard menentang sistem filsafat Hegel
yang terlalu rasionalistik dan impersonal,
dan menyatakan bahwa kebenaran tertinggi adalah kebenaran subjektif yang
dihayati secara eksistensial2. Penerus kritisnya, Friedrich
Nietzsche, membawa semangat eksistensial itu ke wilayah nihilisme dan
dekonstruksi nilai-nilai lama. Dengan pernyataannya yang terkenal, “Tuhan
telah mati,” Nietzsche menantang manusia untuk menciptakan makna baru dalam
dunia yang kehilangan dasar transendennya3.
Fondasi-fondasi ini
kemudian memperoleh bentuk ontologis yang lebih sistematik dalam pemikiran
Martin Heidegger. Dalam karya Sein und Zeit (1927), Heidegger memperkenalkan konsep Dasein
sebagai istilah untuk menunjuk manusia sebagai makhluk yang “ada-di-dunia”
(in-der-Welt-sein)
secara sadar dan terbuka terhadap keberadaan (Sein). Heidegger memisahkan
dirinya dari pendekatan eksistensial yang masih terlalu psikologis atau etis,
dan menawarkan suatu analisis eksistensial yang radikal—yakni bahwa struktur
pemahaman, keterarahan terhadap masa depan (projeksi), dan keterlemparan ke
dunia merupakan cara fundamental manusia berada4.
Menurut Heidegger,
eksistensi manusia bersifat temporal dan finitis: manusia menyadari bahwa
dirinya menuju kematian (Sein zum Tode), dan kesadaran akan
kematian ini membentuk cara ia menghayati hidupnya secara otentik atau tidak otentik. Eksistensialisme
Heidegger membuka jalan bagi pendekatan hermeneutik yang mengakar dalam
pengalaman manusia sebagai penafsir terhadap makna hidupnya sendiri, di mana
penafsiran bukanlah tindakan sekunder terhadap realitas, tetapi adalah inti
dari eksistensi itu sendiri5.
Setelah Heidegger,
pemikiran eksistensial memperoleh variasi dalam berbagai arah, termasuk dalam
karya Jean-Paul Sartre yang menekankan kebebasan radikal dan tanggung jawab
individu. Dalam L’Être et le Néant (1943), Sartre
menyatakan bahwa eksistensi mendahului esensi, dan bahwa manusia “dikutuk untuk bebas” karena tidak ada
esensi bawaan yang mengarahkan tindakannya selain kehendaknya sendiri6.
Di antara
keseluruhan warisan filsafat eksistensial ini, muncul suatu kecenderungan untuk
memahami makna sebagai sesuatu yang tidak diberikan secara objektif, melainkan
dihasilkan dalam situasi konkret, melalui hubungan antara subjek dan dunia.
Inilah dasar ontologis dan epistemologis dari hermeneutika eksistensial: bahwa setiap pemahaman adalah
keterlibatan, dan setiap makna merupakan produk dari keberadaan yang terlempar
dalam waktu, sejarah, dan bahasa.
Footnotes
[1]
William Barrett, Irrational Man: A Study
in Existential Philosophy (New York:
Anchor Books, 1990), 14–16.
[2]
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific
Postscript, trans. David F. Swenson
and Walter Lowrie (Princeton: Princeton University Press, 1941), 178–183.
[3]
Friedrich Nietzsche, The
Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage Books, 1974), 181.
[4]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New
York: Harper & Row, 1962), 78–90.
[5]
Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A
Commentary on Heidegger’s Being and Time, Division I (Cambridge: MIT Press, 1991), 25–32.
[6]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square
Press, 1992), 53–58.
3.
Hermeneutika Tradisional vs.
Hermeneutika Eksistensial
Hermeneutika
tradisional bermula sebagai metode interpretatif dalam konteks teologis dan
filologis, terutama digunakan untuk menafsirkan teks-teks klasik dan kitab
suci. Akar historisnya dapat ditelusuri pada praktik penafsiran di kalangan
Yahudi Helenistik dan Bapa-Bapa Gereja Kristen, kemudian dikembangkan secara
sistematis oleh para pemikir seperti Friedrich Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey pada abad ke-19. Hermeneutika
dalam tradisi ini menekankan pemulihan makna orisinal teks melalui pendekatan
historis dan psikologis terhadap maksud pengarang (authorial intent), serta
melalui rekonstruksi konteks linguistik dan sosial teks tersebut1.
Friedrich
Schleiermacher sering disebut sebagai "bapak hermeneutika modern"
karena upayanya membangun prinsip-prinsip umum hermeneutika yang berlaku tidak
hanya untuk teks suci, tetapi juga untuk seluruh bentuk komunikasi tertulis. Ia
mengembangkan dua pendekatan kunci: gramatikal (analisis struktur bahasa) dan
psikologis (rekonstruksi dunia batin pengarang).
Menurut Schleiermacher, memahami teks berarti “mengulang proses kreatif”
sang pengarang dalam batin pembaca2.
Sementara itu,
Wilhelm Dilthey mengembangkan hermeneutika sebagai dasar dari ilmu-ilmu
kemanusiaan (Geisteswissenschaften),
membedakannya dari ilmu-ilmu alam (Naturwissenschaften). Ia menyatakan
bahwa pemahaman (Verstehen) merupakan metode khas
dalam ilmu humaniora, berbeda
dari penjelasan kausalistik dalam ilmu eksakta. Bagi Dilthey, pemahaman
diperoleh melalui rekonstruksi pengalaman hidup yang diungkapkan dalam teks,
dan karenanya tetap berada dalam ranah sejarah dan konteks eksternal3.
Namun demikian,
pendekatan tradisional ini mendapat kritik karena tetap mempertahankan
pandangan representasional: bahwa makna teks dapat ditransfer dari pengarang ke
pembaca secara objektif melalui analisis linguistik dan historis. Pandangan ini mengasumsikan adanya jarak
antara subjek yang menafsirkan dan objek yang ditafsirkan, yang dapat diatasi
melalui metode ilmiah.
Hermeneutika
eksistensial hadir sebagai kritik terhadap paradigma ini, terutama melalui
karya Martin Heidegger. Dalam Being and Time, Heidegger
menyatakan bahwa pemahaman bukanlah sekadar tindakan intelektual untuk
mengakses makna teks, melainkan merupakan struktur dasar eksistensi manusia (Dasein)
itu sendiri4. Maka, hermeneutika bukan lagi metode teknis untuk
membaca teks, tetapi merupakan ekspresi cara manusia memahami keberadaannya
sendiri melalui keterlibatannya di dunia. Penafsiran bukan sekadar reproduksi makna, tetapi merupakan
proses eksistensial di mana makna muncul dalam horizon historis dan
temporalitas keberadaan.
Hans-Georg Gadamer
melanjutkan warisan Heidegger ini dengan menyusun hermeneutika filosofis dalam
karyanya Truth
and Method. Ia menolak gagasan tentang objektivitas pemahaman dan
menyatakan bahwa setiap pemahaman adalah hasil dari "fusi cakrawala"
(Horizontverschmelzung)
antara horizon pembaca dan horizon teks. Menurut Gadamer, kita tidak pernah
membaca teks dari posisi netral, melainkan selalu membawa pra-pemahaman
(Vorverständnis)
yang terbentuk dari tradisi, bahasa, dan pengalaman hidup kita5.
Perbedaan mendasar
antara hermeneutika tradisional dan hermeneutika eksistensial dapat diringkas sebagai berikut: hermeneutika tradisional
menekankan teknik interpretasi yang menempatkan teks sebagai objek, sementara
hermeneutika eksistensial menempatkan interpretasi sebagai pengalaman keterlibatan
subjek dalam dunia yang dipahami. Dalam pendekatan eksistensial, makna tidak “disampaikan”
oleh teks secara pasif, melainkan “dibuka” dalam proses dialogis antara
penafsir dan realitas yang dihadapinya.
Dengan demikian,
hermeneutika eksistensial melampaui batas-batas interpretasi tekstual semata,
dan menjadi fondasi filosofis untuk memahami bagaimana manusia menemukan makna dalam eksistensinya yang konkret.
Pemahaman menjadi peristiwa (Ereignis), bukan hasil, dan
kebenaran menjadi sesuatu yang “terjadi” dalam perjumpaan antara subjek
dan dunia, bukan sesuatu yang dikompilasi dari luar secara objektif6.
Footnotes
[1]
Jean Grondin, Introduction to
Philosophical Hermeneutics, trans.
Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 37–42.
[2]
Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics:
The Handwritten Manuscripts, ed.
Heinz Kimmerle, trans. James Duke and Jack Forstman (Missoula: Scholars Press,
1977), 113–120.
[3]
Wilhelm Dilthey, Selected Works: Volume
IV – Hermeneutics and the Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton: Princeton
University Press, 1996), 106–110.
[4]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New
York: Harper & Row, 1962), 191–198.
[5]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 269–278.
[6]
Richard E. Palmer, Hermeneutics:
Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969),
149–152.
4.
Martin Heidegger:
Pemelopornya
Martin Heidegger
(1889–1976) merupakan tokoh sentral dalam peralihan hermeneutika dari
pendekatan metodologis ke arah eksistensial dan ontologis. Melalui karya
monumentalnya Sein und Zeit (Being
and Time, 1927), Heidegger tidak hanya mereformulasi konsep
pemahaman dalam konteks penafsiran
teks, tetapi juga menjadikan pemahaman sebagai cara eksistensial manusia berada
di dunia. Dalam kerangka ini, hermeneutika tidak lagi diposisikan sebagai
metode epistemologis belaka, melainkan sebagai dimensi ontologis dari
keberadaan manusia itu sendiri1.
Inti pemikiran
Heidegger terletak pada konsep Dasein, istilah khas yang ia
gunakan untuk menunjuk eksistensi manusia sebagai entitas yang memiliki
kesadaran akan keberadaannya. Dasein secara literal berarti
"ada-di-sana" (being-there), menandakan bahwa eksistensi manusia tidak
bersifat abstrak, melainkan selalu terikat pada dunia dan konteks sejarah yang
partikular2. Dalam pengertiannya, Dasein bukanlah subjek rasional
seperti dalam tradisi Descartes, melainkan makhluk yang secara eksistensial “terlempar”
(Geworfenheit)
ke dalam dunia dan secara sadar hidup dalam proyek masa depan (Entwurf),
dengan keterbatasan waktu dan kematian yang tak terhindarkan3.
Dalam konteks ini,
Heidegger menolak pandangan bahwa pemahaman adalah aktivitas mental yang netral
dan terpisah dari kehidupan konkret manusia. Sebaliknya, ia menyatakan bahwa
pemahaman adalah struktur fundamental dari Dasein, bagian dari cara manusia “menjadi”
dalam dunia. Setiap tindakan manusia yang penuh makna—baik berbicara, bekerja,
mencipta, maupun menafsirkan teks—berakar dari struktur pemahaman eksistensial
ini4. Oleh karena itu, pemahaman tidak perlu didahului oleh analisis
teoritis atau metode ilmiah tertentu; ia selalu mendahului refleksi dan
bersifat prateoritis (pre-theoretical).
Salah satu
kontribusi Heidegger yang paling berpengaruh dalam bidang hermeneutika adalah
kritiknya terhadap pendekatan yang
menempatkan subjek-objek secara dikotomis. Ia menyatakan bahwa hubungan antara
manusia dan dunia bersifat “koeksistensial”, di mana subjek tidak
menafsirkan objek dari luar, tetapi sudah selalu berada di dalam dunia yang
ditafsirkannya. Hal ini menandai pergeseran dari hermeneutika objektivis ke apa
yang disebut hermeneutika ontologis, yaitu
penafsiran sebagai pengungkapan (uncovering) makna yang tersembunyi
dalam eksistensi5.
Heidegger juga
memperkenalkan konsep penting lain, yaitu “hermeneutic circle”
atau “lingkaran hermeneutik”. Dalam versi eksistensialnya, lingkaran ini
menunjukkan bahwa kita hanya dapat memahami keseluruhan dari bagian, dan
sebaliknya, bagian hanya dapat dipahami dalam terang keseluruhan—dan bahwa
proses ini terjadi dalam horizon keberadaan yang dinamis. Lingkaran ini bukan kelemahan logis, tetapi justru kondisi
fundamental bagi segala bentuk pemahaman manusia6.
Dampak pemikiran
Heidegger terhadap perkembangan hermeneutika sangat luas. Ia mengilhami
munculnya hermeneutika
filosofis Hans-Georg Gadamer, hermeneutika kritik Paul Ricoeur,
hingga pendekatan post-strukturalis seperti Jacques Derrida yang mencoba
mendekonstruksi batas antara makna dan interpretasi. Namun dalam kerangka
hermeneutika eksistensial, kontribusi Heidegger paling signifikan adalah transformasinya atas pemahaman sebagai modus
eksistensial yang melekat dalam cara manusia mengalami,
menafsirkan, dan memberi makna pada hidupnya di dunia.
Dengan demikian,
Heidegger bukan hanya pelopor, tetapi juga pemikir revolusioner dalam sejarah hermeneutika. Ia membawa bidang ini keluar
dari batasan metodologis ke dalam ranah ontologis, di mana penafsiran tidak
sekadar kegiatan kognitif, tetapi merupakan ekspresi paling mendasar dari
keberadaan manusia.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 35–38.
[2]
Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s
Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 13–16.
[3]
Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca, NY: Cornell
University Press, 1999), 49–53.
[4]
Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics,
trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 88–91.
[5]
Theodore Kisiel, The Genesis of Heidegger’s Being and Time
(Berkeley: University of California Press, 1993), 87–92.
[6]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 269–270.
5.
Hans-Georg Gadamer dan
Pengembangan Hermeneutika Filosofis
Hans-Georg Gadamer
(1900–2002), murid sekaligus penerus pemikiran Martin Heidegger, memainkan
peran fundamental dalam memperluas dan mematangkan hermeneutika eksistensial ke
dalam bentuk yang ia sebut sebagai hermeneutika filosofis. Dalam karya
monumentalnya Wahrheit und Methode (Truth
and Method, 1960), Gadamer menolak gagasan bahwa hermeneutika
hanyalah sebuah metode interpretatif yang bersifat teknis. Ia menegaskan bahwa
pemahaman bukan sekadar proses mentransfer makna dari teks ke pembaca melalui aturan-aturan tertentu, melainkan
merupakan pengalaman yang terbentuk dalam sejarah dan tradisi1.
Gadamer melanjutkan
ide Heidegger tentang Dasein sebagai makhluk yang
memahami dunia secara prateoritis dan eksistensial. Namun, ia memperluas
cakrawala pemahaman ini dengan menekankan peran sejarah, bahasa, dan tradisi
dalam membentuk horizon kesadaran manusia. Menurutnya, setiap pemahaman selalu
bersifat historis—kita tidak pernah membaca atau menafsir dari “nol”, melainkan selalu dalam horizon
tertentu yang diwariskan dari masa lalu melalui bahasa dan budaya2.
Salah satu konsep
kunci dari hermeneutika Gadamer adalah Horizontverschmelzung
atau “fusi cakrawala”. Gagasan ini merujuk pada pertemuan antara horizon
pemahaman pembaca (yang dibentuk oleh waktu, budaya, pengalaman) dan horizon
teks atau tradisi yang ditafsirkan. Pemahaman bukan hasil dari pemindahan makna
yang objektif, tetapi dari proses dialogis
di mana dua horizon tersebut bertemu dan membentuk makna baru. Proses ini
bukanlah bentuk relasi epistemik belaka, tetapi pengalaman ontologis yang
mempertemukan manusia dengan kebenaran3.
Gadamer juga
mengkritik objektivisme dalam pendekatan humaniora dan ilmu sosial, terutama
gagasan bahwa makna dapat digali secara netral dan universal. Sebaliknya, ia
menyatakan bahwa setiap pemahaman selalu dipengaruhi oleh pra-pemahaman
(Vorverständnis)—yakni
struktur pengandaian awal yang tidak dapat dihindari dalam setiap proses
interpretasi. Menurutnya, pra-pemahaman bukanlah penghalang
bagi pemahaman, melainkan syarat kemungkinannya. Oleh karena itu, dialog yang
jujur dengan teks atau tradisi tidak dimulai dari tabula rasa, melainkan dari keterbukaan terhadap
perubahan dan transformasi makna melalui pengalaman historis4.
Dalam kaitannya
dengan bahasa, Gadamer berpendapat bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi,
tetapi juga medium pemahaman itu sendiri. Manusia tidak hanya menggunakan
bahasa untuk menafsir, melainkan berada dalam bahasa yang membentuk horizon
eksistensialnya. Ia menyatakan, “Being that can be understood is language”
(Sein, das verstanden werden kann, ist Sprache)5. Pernyataan
ini menunjukkan bahwa eksistensi
manusia yang dapat dipahami, hanya mungkin melalui bahasa—dan karena itu,
seluruh pengalaman eksistensial manusia berakar dalam struktur linguistik.
Relevansi hermeneutika
filosofis Gadamer terhadap hermeneutika eksistensial sangat signifikan. Ia
memperkaya pemikiran Heidegger yang lebih ontologis dengan dimensi historis dan
linguistik yang konkret. Hermeneutika menjadi bukan hanya alat penafsiran teks, tetapi juga metode eksistensial
untuk menjalin hubungan dengan masa lalu, membentuk identitas, dan
menegosiasikan makna dalam dunia yang terus berubah.
Secara keseluruhan,
kontribusi Gadamer mengukuhkan posisi hermeneutika eksistensial dalam ranah
filsafat kontemporer, terutama sebagai jalan tengah antara relativisme
postmodern dan universalisme modern. Dengan menekankan pengalaman dialogis,
keterbukaan terhadap tradisi, dan peran bahasa dalam pembentukan makna, Gadamer
menawarkan paradigma pemahaman
yang menghargai keberadaan manusia sebagai makhluk yang selalu berada “dalam
proses penafsiran”.
Footnotes
[1]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), xx–xxi.
[2]
Jean Grondin, Hans-Georg Gadamer: A Biography, trans. Joel
Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 2003), 243–247.
[3]
Gadamer, Truth and Method, 269–274.
[4]
Georgia Warnke, Gadamer: Hermeneutics, Tradition, and Reason
(Stanford: Stanford University Press, 1987), 76–80.
[5]
Gadamer, Truth and Method, 432.
6.
Hermeneutika Eksistensial
dalam Konteks Kontemporer
Hermeneutika
eksistensial, sebagaimana dikembangkan oleh Heidegger dan Gadamer, telah
menunjukkan daya jelajah filosofis yang luas dalam memahami realitas keberadaan
manusia. Dalam konteks kontemporer, pendekatan ini mengalami perluasan
aplikatif tidak hanya dalam filsafat dan teologi, tetapi juga dalam
bidang-bidang seperti psikoterapi, studi agama, pendidikan, kritik sastra,
hingga ilmu budaya. Ciri utama dari hermeneutika eksistensial kontemporer
adalah kemampuannya untuk menghadirkan kembali dimensi makna yang bersifat personal, historis, dan temporal di tengah
dominasi paradigma teknorasional dan positivistik.
Salah satu wilayah
penting penerapan hermeneutika eksistensial adalah dalam psikoterapi
eksistensial, sebagaimana tampak dalam karya Viktor E. Frankl,
pendiri logoterapi. Dalam Man’s Search for Meaning, Frankl
menyatakan bahwa penderitaan manusia menjadi tak tertanggungkan bukan karena
intensitas rasa sakitnya, tetapi karena hilangnya makna1. Dalam
pandangan ini, pencarian makna bukanlah urusan rasional-intelektual semata,
melainkan kebutuhan eksistensial yang mendalam. Oleh karena itu, terapi menjadi
proses hermeneutis, yakni upaya bersama antara terapis dan klien untuk menafsir
ulang pengalaman hidup secara personal dan autentik.
Pendekatan
hermeneutika eksistensial juga diterapkan dalam studi agama kontemporer,
khususnya dalam memahami pengalaman keagamaan sebagai peristiwa kebermaknaan yang tak bisa direduksi ke
dalam formulasi dogmatis atau sejarah literal. Paul Ricoeur, misalnya,
mengembangkan pendekatan hermeneutis yang berusaha menjembatani antara struktur
teks keagamaan dan pengalaman eksistensial pembacanya. Dalam hermeneutika
Ricoeur, simbol-simbol religius tidak ditafsirkan secara harfiah, melainkan
melalui “ekspresi makna ganda” yang membuka pemahaman terhadap kenyataan
transenden melalui pengalaman batin yang konkret2. Di sini, iman
dipahami sebagai bentuk keterbukaan terhadap makna yang melebihi kalkulasi
rasional, namun tetap dapat dipahami dalam horizon eksistensial manusia.
Dalam kajian
sastra dan seni, hermeneutika eksistensial membuka jalan untuk
membaca karya bukan hanya sebagai produk estetik, tetapi sebagai cermin
eksistensi manusia yang dihadapkan pada absurditas, keterasingan, dan pencarian
makna. Tokoh-tokoh seperti Albert Camus dan Franz Kafka, meskipun bukan ahli
hermeneutika, menampilkan dalam karya-karya mereka drama eksistensial manusia
dalam dunia yang kehilangan pusat nilai. Melalui pendekatan hermeneutika
eksistensial, pembacaan terhadap karya-karya ini dapat difokuskan pada proses
penyingkapan (aletheia) makna hidup dalam
keterbatasan dan ketegangan eksistensial3.
Di bidang pendidikan,
hermeneutika eksistensial berkontribusi dalam membangun pendekatan pedagogis
yang menekankan pentingnya keterlibatan personal siswa dalam proses belajar.
Max van Manen, dalam Researching Lived Experience,
menegaskan bahwa pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan
proses penyingkapan makna melalui pengalaman belajar yang menyentuh dan
reflektif4. Dengan pendekatan ini, guru bukan hanya fasilitator,
tetapi penafsir dan pengiring dalam perjalanan eksistensial siswa menuju
pemahaman yang bermakna.
Hermeneutika
eksistensial juga menjadi kerangka kerja penting dalam kritik
terhadap modernitas dan budaya populer, terutama melalui wacana
postmodern yang mempertanyakan klaim-klaim kebenaran universal dan narasi
besar. Dalam konteks ini, pendekatan hermeneutik menjadi alat untuk menelusuri
makna yang terpendam dalam praktik-praktik budaya, identitas, dan narasi
personal. Charles Taylor, misalnya, menggunakan pendekatan hermeneutika untuk
menunjukkan bagaimana identitas modern terbentuk melalui proses historis penafsiran-diri (self-interpretation)
dalam masyarakat yang plural dan sekuler5.
Secara umum,
hermeneutika eksistensial dalam konteks kontemporer menantang dominasi
pendekatan objektivis dan strukturalis yang cenderung mengabaikan dimensi
subjektif, historis, dan temporal dari pemahaman manusia. Ia memulihkan kembali
hakikat pemahaman sebagai tindakan eksistensial yang mengakar pada pengalaman,
keterbukaan terhadap yang lain, dan pencarian makna dalam ketakterhindaran
waktu dan sejarah. Maka, hermeneutika eksistensial bukan hanya relevan dalam
diskursus akademik, tetapi juga dalam praksis kehidupan, terutama di zaman yang
ditandai oleh krisis makna dan fragmentasi nilai.
Footnotes
[1]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch
(Boston: Beacon Press, 2006), 106–110.
[2]
Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, trans. Emerson Buchanan
(Boston: Beacon Press, 1967), 10–17.
[3]
Richard Kearney, On Stories (London: Routledge, 2002), 54–58.
[4]
Max van Manen, Researching Lived Experience: Human Science for an
Action Sensitive Pedagogy (London: The Althouse Press, 1990), 5–10.
[5]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 25–30.
7.
Studi Kasus Aplikasi
Untuk
mengilustrasikan bagaimana hermeneutika eksistensial bekerja secara konkret,
bagian ini mengkaji dua studi kasus yang relevan: pertama, penafsiran
eksistensial atas teks religius klasik, dan kedua, interpretasi eksistensial
terhadap karya sastra. Keduanya menunjukkan bahwa makna tidak melekat secara objektif dalam teks, tetapi muncul melalui
keterlibatan eksistensial antara pembaca dan teks dalam horizon pengalaman
hidup yang konkret dan historis.
7.1.
Penafsiran
Eksistensial terhadap Kitab Ayub
Kitab Ayub dalam
Alkitab Ibrani dan Perjanjian Lama Kristen telah lama menjadi sumber refleksi
teologis tentang penderitaan, keadilan ilahi, dan makna hidup. Namun, dalam
perspektif hermeneutika eksistensial, Kitab Ayub tidak dipahami semata sebagai
narasi historis atau doktrinal, melainkan sebagai representasi simbolik atas
krisis makna eksistensial yang dialami manusia
ketika dihadapkan pada absurditas penderitaan yang tidak dapat dijelaskan
secara rasional.
Martin Buber dan
kemudian Paul Ricoeur membaca Kitab Ayub sebagai ekspresi perjumpaan eksistensial antara manusia yang menderita
dan Tuhan yang misterius. Dalam bacaan ini, pertanyaan-pertanyaan Ayub bukanlah
tuntutan logis atas penjelasan, tetapi ekspresi kejujuran eksistensial yang
menggugat struktur makna konvensional1. Ricoeur dalam The
Symbolism of Evil menyatakan bahwa penderitaan Ayub membuka horizon
pemahaman baru di mana manusia tidak lagi mengejar jawaban, melainkan belajar
menerima keberadaan sebagai sesuatu yang terbuka dan penuh misteri2.
Dengan demikian,
penafsiran eksistensial terhadap Kitab Ayub menolak pendekatan literalistik
atau dogmatis, dan mengedepankan keterlibatan eksistensial pembaca dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan mendalam
tentang hidup, penderitaan, dan kehadiran transenden. Dalam hal ini, pemahaman
menjadi bukan hasil penafsiran sistematis, melainkan peristiwa keterbukaan
terhadap makna yang terus bergerak.
7.2.
Pembacaan
Eksistensial terhadap Karya Franz Kafka: The Trial
Karya sastra The
Trial (1915) karya Franz Kafka merupakan contoh klasik narasi
eksistensial yang penuh dengan simbol keterasingan, absurditas, dan krisis
identitas. Tokoh utamanya, Josef K., ditangkap dan diadili tanpa tahu kesalahan
apa yang dituduhkan padanya. Ia hidup dalam sistem yang tidak transparan dan
terus-menerus menggugat kehadiran makna, otoritas, dan keadilan.
Dalam kerangka
hermeneutika eksistensial, teks ini dibaca sebagai penggambaran kondisi manusia
modern yang terlempar dalam dunia birokratis dan kehilangan orientasi makna.
Penafsiran terhadap The Trial tidak bertumpu pada
simbol-simbol alegoris tertentu, tetapi pada pengalaman keterasingan yang
dialami pembaca sendiri dalam menghayati absurditas kehidupan kontemporer.
Gadamer dalam Truth and Method menggarisbawahi
bahwa pengalaman estetis semacam ini membuka ruang refleksi eksistensial yang
melampaui dimensi naratif dan logika teks itu sendiri3.
Interpretasi semacam
ini juga didukung oleh pendekatan Ricoeur yang menekankan distansiasi
sebagai prasyarat untuk refleksi
kritis terhadap makna. Dalam membaca Kafka, pembaca diundang untuk menjalin
kembali relasi dengan dunia kehidupannya sendiri melalui distorsi dan ironi
yang ditampilkan dalam karya, bukan sekadar mencari pesan tersembunyi4.
Kedua studi kasus
ini menunjukkan bahwa hermeneutika eksistensial mampu memberikan pendekatan
yang lebih dalam dan manusiawi terhadap teks-teks yang kompleks. Teks religius dan sastra tidak diposisikan sebagai
objek yang perlu direduksi atau dijelaskan secara sistematis, tetapi sebagai
medan dialog eksistensial di mana makna muncul dari keterlibatan, penderitaan,
dan pencarian manusia yang otentik.
Footnotes
[1]
Martin Buber, The Prophetic Faith (New York: Macmillan, 1949),
164–168.
[2]
Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, trans. Emerson Buchanan
(Boston: Beacon Press, 1967), 317–319.
[3]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 121–124.
[4]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning
(Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 89–92.
8.
Implikasi Epistemologis dan
Etis
Hermeneutika
eksistensial tidak hanya memengaruhi cara manusia menafsir teks atau
pengalaman, tetapi juga membentuk kembali pemahaman kita tentang hakikat
pengetahuan (epistemologi) dan tanggung jawab moral (etika). Implikasi epistemologis dan etis dari
pendekatan ini sangat relevan dalam konteks dunia kontemporer yang ditandai
oleh relativisme nilai, fragmentasi makna, serta krisis kepercayaan terhadap
objektivitas ilmu pengetahuan modern.
8.1.
Implikasi
Epistemologis: Pengetahuan sebagai Keterlibatan
Secara
epistemologis, hermeneutika eksistensial menolak klaim bahwa pengetahuan adalah
cerminan obyektif dari realitas eksternal yang dapat diakses secara netral oleh
subjek yang otonom. Sebaliknya, pemahaman dipandang sebagai proses keterlibatan eksistensial antara subjek dan
dunia yang dihadapinya. Dalam
kerangka ini, pengetahuan tidak muncul dari jarak dan distansi, tetapi dari keterlemparan
(Geworfenheit)
dan keberada-di-dunia
(In-der-Welt-sein)
yang menjadi kondisi ontologis manusia1.
Heidegger menegaskan
bahwa semua bentuk pemahaman manusia berada dalam horizon prateoritis yang
sudah selalu didahului oleh pengalaman dunia. Ia menulis bahwa “penafsiran
bukanlah suatu aktivitas sekunder dari pemahaman, tetapi manifestasi awal dari
cara Dasein ada di dunia”2.
Artinya, kita tidak mungkin memahami sesuatu secara netral dan steril dari
nilai-nilai; seluruh pengetahuan
kita senantiasa diwarnai oleh sejarah, bahasa, tradisi, dan keterlibatan
eksistensial.
Dalam pandangan
Gadamer, ini berarti bahwa kebenaran bukanlah hasil dari korespondensi logis
antara proposisi dan realitas,
melainkan sesuatu yang terjadi dalam pengalaman
hermeneutik itu sendiri. Ia menyatakan bahwa kebenaran adalah peristiwa
historis yang berlangsung dalam dialog antara horizon yang berbeda, bukan
entitas tetap yang menunggu untuk ditemukan3. Maka,
epistemologi hermeneutika eksistensial bersifat dialogis, historis, dan terbuka
terhadap perbedaan.
Paradigma ini
memiliki implikasi penting bagi ilmu-ilmu humaniora, pendidikan, dan bahkan
sains sosial: bahwa tidak ada “titik netral” atau “pandangan dari luar”
yang sepenuhnya bebas nilai. Setiap klaim kebenaran memerlukan keterbukaan
terhadap horizon pemahaman yang berbeda, serta kesadaran akan pra-pemahaman
yang menyertai setiap proses interpretasi. Ini membuka ruang bagi epistemologi
yang inklusif, dialogis, dan bersifat partisipatif.
8.2.
Implikasi Etis:
Tanggung Jawab dalam Pemahaman
Implikasi etis dari
hermeneutika eksistensial terletak pada kesadaran bahwa setiap tindakan
pemahaman adalah tindakan yang mengandung tanggung jawab. Pemahaman tidak
terjadi dalam ruang hampa, tetapi dalam relasi antar-subjektif yang menuntut keterbukaan, kejujuran
eksistensial, dan penghargaan terhadap alteritas (keberlainan). Dalam hal ini,
Ricoeur menekankan bahwa hermeneutika tidak hanya menyangkut makna, tetapi juga
etika—yakni kesediaan untuk menempatkan diri dalam horizon yang lain tanpa
meniadakan perbedaan4.
Ketika seseorang
menafsir teks, pengalaman, atau tindakan orang lain, ia berhadapan dengan
kenyataan bahwa setiap penafsiran dapat menyalahpahami, menyederhanakan, atau
bahkan mereduksi makna yang sebenarnya. Karena itu, hermeneutika eksistensial menuntut kerendahan hati interpretatif—yakni
kesediaan untuk terus membuka diri terhadap koreksi, dialog, dan pemaknaan
ulang. Gadamer menyebut hal ini sebagai kebajikan hermeneutik, yakni sikap
yang menggabungkan keterbukaan terhadap tradisi dan kerelaan untuk mendengarkan
yang lain secara autentik5.
Etika hermeneutika
ini juga menuntut kesadaran akan keterbatasan bahasa dan pemahaman manusia.
Dalam dunia yang plural, hermeneutika eksistensial menawarkan dasar etis bagi
dialog antarbudaya, antaragama, dan antaridentitas. Alih-alih memaksakan satu
tafsir sebagai kebenaran tunggal, pendekatan
ini mendorong pengakuan atas keberagaman makna dan tanggung jawab untuk
menjalin pengertian tanpa menghapus perbedaan.
Dengan demikian,
hermeneutika eksistensial mengubah epistemologi dari sistem representasi
objektif menjadi pengalaman keterlibatan, dan mengubah etika dari sekadar
kewajiban universal menjadi tanggung jawab personal dalam perjumpaan konkret. Keduanya berakar dalam pengalaman
manusia sebagai makhluk penafsir yang terbatas namun senantiasa terbuka pada
makna, baik dalam konteks pengetahuan maupun dalam relasi antarmanusia.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 78–83.
[2]
Ibid., 188.
[3]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 278–285.
[4]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey
(Chicago: University of Chicago Press, 1992), 16–18.
[5]
Georgia Warnke, Gadamer: Hermeneutics, Tradition, and Reason
(Stanford: Stanford University Press, 1987), 93–95.
9.
Kritik terhadap Hermeneutika
Eksistensial
Meskipun
hermeneutika eksistensial telah memberikan kontribusi penting dalam menggeser
paradigma interpretasi dari pendekatan objektivistik menuju pemahaman yang
bersifat eksistensial, dialogis, dan historis, pendekatan ini tidak luput dari
kritik. Kritik tersebut datang baik dari arah metodologis, epistemologis,
maupun etis, terutama dari kalangan positivis, strukturalis, post-strukturalis,
dan bahkan dari filsuf yang berada dalam
tradisi hermeneutik itu sendiri.
9.1.
Tuduhan
Subjektivisme dan Relativisme
Salah satu kritik
utama terhadap hermeneutika eksistensial adalah tuduhan bahwa pendekatan ini
terlalu menekankan pada dimensi subjektif pemahaman, sehingga mengaburkan batas
antara makna teks dan horizon pembaca. Karena makna dalam hermeneutika
eksistensial dibentuk dalam pertemuan antara
subjek dan dunia, para pengkritik mempertanyakan apakah pendekatan ini mampu
menjamin stabilitas dan akurasi interpretasi.
Jürgen Habermas,
misalnya, menilai bahwa hermeneutika Gadamer terlalu bergantung pada konsensus
tradisi dan kurang memberikan ruang bagi kritik ideologis terhadap struktur
kekuasaan dalam diskursus. Dalam The Hermeneutic Claim to Universality,
Habermas berpendapat bahwa keterbukaan terhadap tradisi, sebagaimana
dikemukakan Gadamer, justru dapat menutupi dominasi struktural dan mencegah
pembacaan yang kritis terhadap teks maupun institusi sosial1.
Dalam pandangan ini, hermeneutika eksistensial dianggap tidak cukup
transformatif karena cenderung menerima horizon historis tanpa distansi kritis.
Paul Ricoeur
sendiri, meskipun berangkat dari tradisi hermeneutika eksistensial,
mengembangkan model hermeneutika ganda yang
menggabungkan pemahaman eksistensial dengan distansi kritis. Ia memperingatkan
bahwa terlalu mengandalkan pra-pemahaman
tanpa penyaringan metodologis dapat menjebak dalam lingkaran subjektivisme.
Oleh karena itu, ia mengusulkan pendekatan distansiasi reflektif, di mana
pembaca perlu mengambil jarak dari teks untuk membuka ruang bagi penafsiran
yang lebih objektif dan kritis2.
9.2.
Kritik dari Strukturalisme
dan Post-strukturalisme
Strukturalisme dan
post-strukturalisme memberikan tantangan besar terhadap asumsi hermeneutika
eksistensial mengenai makna dan subjek penafsir. Claude Lévi-Strauss dan para
strukturalis menganggap bahwa makna tidak terletak dalam pengalaman individual
atau dalam horizon historis subjek, melainkan dalam struktur linguistik dan
budaya yang bersifat impersonal dan universal. Dalam kerangka ini, penafsiran
seharusnya fokus pada sistem tanda, bukan pada pengalaman eksistensial penafsir3.
Sementara itu,
Jacques Derrida dan para post-strukturalis memberikan kritik yang lebih radikal
dengan mendekonstruksi gagasan tentang “makna tetap” dan “horizon
pemahaman”. Dalam Of Grammatology, Derrida menyatakan
bahwa semua teks bersifat tératologis (penuh gangguan), dan
bahwa setiap penafsiran tidak pernah final karena makna selalu ditunda (différance)
dan tertunda oleh teks itu sendiri4. Bagi
Derrida, hermeneutika Gadamer terlalu percaya pada kemungkinan fusi horizon dan
kesatuan makna, padahal bahasa selalu bersifat ambivalen, terbuka, dan tidak
sepenuhnya dapat dikuasai oleh subjek.
9.3.
Tantangan
Metodologis dan Praktis
Kritik lain terhadap
hermeneutika eksistensial menyangkut kegunaannya dalam konteks ilmiah dan
metodologis, terutama dalam bidang ilmu sosial dan hukum. Para kritikus
mempertanyakan sejauh mana pendekatan yang menekankan keterlibatan subjektif
dan pengalaman eksistensial dapat diterapkan secara sistematik dan
terverifikasi. Misalnya, dalam studi hukum,
Stanley Fish menekankan bahwa semua interpretasi merupakan produk dari
komunitas interpretatif tertentu, sehingga tidak mungkin benar-benar mencapai
pemahaman yang universal atau objektif5.
Demikian pula dalam
ilmu sosial, hermeneutika eksistensial dianggap terlalu mengabaikan kebutuhan
untuk menjelaskan (explanation) secara kausal atau statistik. Para ilmuwan
sosial seperti Anthony Giddens mencoba memediasi antara pemahaman hermeneutik dan penjelasan ilmiah dengan menyusun
kerangka strukturasi,
tetapi tetap mengakui bahwa hermeneutika eksistensial memiliki keterbatasan
dalam hal prediksi dan generalisasi ilmiah6.
Dengan
mempertimbangkan kritik-kritik ini, dapat disimpulkan bahwa hermeneutika
eksistensial perlu membuka diri terhadap refleksi metodologis yang lebih luas dan kritis. Meskipun kekuatan utamanya
terletak pada pemulihan dimensi makna yang personal, historis, dan dialogis,
pendekatan ini tetap perlu diafirmasi dalam dialog interdisipliner agar tidak
terjebak dalam subjektivisme atau relativisme yang mengaburkan tanggung jawab
epistemologis dan etis penafsir.
Footnotes
[1]
Jürgen Habermas, “The Hermeneutic Claim to Universality,” dalam Contemporary
Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique, ed. Josef
Bleicher (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 181–211.
[2]
Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics II,
trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston: Northwestern University
Press, 2007), 137–144.
[3]
Claude Lévi-Strauss, Structural Anthropology, trans. Claire
Jacobson and Brooke Grundfest Schoepf (New York: Basic Books, 1963), 31–34.
[4]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 61–65.
[5]
Stanley Fish, “Interpreting the Variorum,” dalam Is There a Text in
This Class? The Authority of Interpretive Communities (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1980), 147–174.
[6]
Anthony Giddens, The Constitution of Society: Outline of the Theory
of Structuration (Cambridge: Polity Press, 1984), 284–289.
10.
Simpulan
Hermeneutika
eksistensial merupakan transformasi radikal dalam sejarah pemikiran
hermeneutik, yang menggeser fokus dari metode interpretatif teknis menuju pemahaman
sebagai struktur dasar eksistensi manusia. Berakar dalam pemikiran Martin
Heidegger dan dikembangkan lebih lanjut oleh Hans-Georg Gadamer, pendekatan ini
memahami penafsiran bukan sebagai sekadar proses mental atau ilmiah, tetapi
sebagai manifestasi ontologis dari cara manusia ada-di-dunia—yakni sebagai makhluk
yang senantiasa menafsir, memahami, dan mencari makna dalam keterbatasan
historis dan temporalitas keberadaan1.
Melalui pemahaman
terhadap Dasein
(Heidegger) dan konsep fusi cakrawala (Gadamer),
hermeneutika eksistensial memperkenalkan suatu cara berpikir yang menekankan
bahwa makna tidak bersifat tetap atau diberikan dari luar, melainkan dibentuk
dalam relasi dialogis antara subjek, teks, dan dunia. Dengan demikian, setiap
tindakan pemahaman adalah sebuah peristiwa eksistensial, bukan sekadar
rekonstruksi historis atau analisis linguistik belaka2.
Dalam konteks
kontemporer, pendekatan ini telah menunjukkan relevansi luas dalam berbagai
bidang, termasuk psikoterapi, studi agama, pendidikan, seni, dan kritik budaya. Ia memberikan kerangka
konseptual yang memungkinkan manusia modern untuk kembali menyentuh dimensi
kedalaman makna yang sering terpinggirkan oleh dominasi rasionalisme dan
teknokrasi. Hermeneutika eksistensial juga berperan sebagai jembatan antara
pengalaman personal dan pemahaman intersubjektif, antara tradisi dan
kreativitas, antara kebebasan dan tanggung jawab3.
Namun demikian,
pendekatan ini tidak luput dari kritik. Beberapa pemikir, seperti Jürgen
Habermas dan Jacques Derrida, mempertanyakan kecenderungan subjektivisme dan
ketergantungan pada tradisi yang dianggap dapat membatasi potensi kritis dan
transformatif dari hermeneutika. Tantangan-tantangan ini mendorong para pemikir
hermeneutik untuk terus mengembangkan model yang lebih reflektif, inklusif, dan
interdisipliner, sebagaimana dilakukan oleh Paul Ricoeur melalui penggabungan
antara hermeneutika
kepercayaan dan hermeneutika kecurigaan4.
Pada akhirnya,
kekuatan utama hermeneutika eksistensial terletak pada pengakuannya bahwa
manusia bukanlah subjek yang berdiri di luar realitas untuk menguasainya,
melainkan makhluk yang terlibat secara total dalam dunia yang ditafsirkannya. Dalam keterlibatan itulah
pemahaman dan makna tidak hanya ditemukan, tetapi juga diciptakan,
dinegosiasikan, dan dijalani sebagai bagian dari keberadaan itu sendiri. Dengan
menempatkan manusia sebagai makhluk penafsir yang terbatas namun terbuka,
hermeneutika eksistensial mengajarkan bahwa pencarian makna adalah bagian dari
panggilan ontologis manusia—suatu pencarian yang bersifat personal, historis,
dan etis pada saat yang sama5.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 32–35.
[2]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 269–274.
[3]
Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics,
trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 103–106.
[4]
Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation,
trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 27–29.
[5]
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern
University Press, 1969), 208–212.
Daftar Pustaka
Barrett, W. (1990). Irrational man: A study in existential
philosophy. Anchor Books.
Buber, M. (1949). The prophetic faith.
Macmillan.
Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C.
Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Dilthey, W. (1996). Selected works: Volume IV –
Hermeneutics and the study of history (R. A. Makkreel & F. Rodi, Eds.).
Princeton University Press.
Dreyfus, H. L. (1991). Being-in-the-world: A
commentary on Heidegger’s Being and time, Division I. MIT Press.
Fish, S. (1980). Interpreting the variorum. In Is
there a text in this class? The authority of interpretive communities (pp.
147–174). Harvard University Press.
Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning
(I. Lasch, Trans.). Beacon Press.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (2nd
rev. ed., J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.
Giddens, A. (1984). The constitution of society:
Outline of the theory of structuration. Polity Press.
Grondin, J. (1994). Introduction to
philosophical hermeneutics (J. Weinsheimer, Trans.). Yale University Press.
Grondin, J. (2003). Hans-Georg Gadamer: A
biography (J. Weinsheimer, Trans.). Yale University Press.
Habermas, J. (1980). The hermeneutic claim to
universality. In J. Bleicher (Ed.), Contemporary hermeneutics: Hermeneutics
as method, philosophy and critique (pp. 181–211). Routledge & Kegan
Paul.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Kearney, R. (2002). On stories. Routledge.
Kisiel, T. (1993). The genesis of Heidegger’s
Being and time. University of California Press.
Lévi-Strauss, C. (1963). Structural anthropology
(C. Jacobson & B. G. Schoepf, Trans.). Basic Books.
Palmer, R. E. (1969). Hermeneutics:
Interpretation theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer.
Northwestern University Press.
Ricoeur, P. (1967). The symbolism of evil
(E. Buchanan, Trans.). Beacon Press.
Ricoeur, P. (1970). Freud and philosophy: An
essay on interpretation (D. Savage, Trans.). Yale University Press.
Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory:
Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University Press.
Ricoeur, P. (2007). From text to action: Essays
in hermeneutics II (K. Blamey & J. B. Thompson, Trans.). Northwestern
University Press.
Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K.
Blamey, Trans.). University of Chicago Press.
Schleiermacher, F. (1977). Hermeneutics: The
handwritten manuscripts (H. Kimmerle, Ed.; J. Duke & J. Forstman,
Trans.). Scholars Press.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The
making of the modern identity. Harvard University Press.
Van Manen, M. (1990). Researching lived
experience: Human science for an action sensitive pedagogy. The Althouse
Press.
Warnke, G. (1987). Gadamer: Hermeneutics,
tradition, and reason. Stanford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar