Minggu, 06 April 2025

Fiksi dan Fiktif: Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel

Fiksi dan Fiktif

Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel


Alihkan ke: Etimologis dan Terminologis.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara etimologis dan terminologis dua istilah yang sering kali disalahgunakan dalam praktik kebahasaan, yakni fiksi dan fiktif. Keduanya berasal dari akar kata Latin fingere yang berarti 'membentuk' atau 'menciptakan', namun mengalami perkembangan makna yang berbeda dalam konteks modern. Fiksi berkembang menjadi istilah sastra yang merujuk pada narasi imajinatif dengan nilai estetik, sementara fiktif digunakan dalam konteks administratif dan hukum untuk menunjuk pada hal-hal yang tidak nyata atau direkayasa, sering kali dengan konotasi negatif. Artikel ini menyajikan analisis perbandingan konseptual antara keduanya, serta menyoroti implikasi linguistik dan edukatif yang ditimbulkan oleh perbedaan tersebut. Pemahaman yang tepat atas kedua istilah ini penting untuk meningkatkan akurasi semantik, literasi kebahasaan, serta ketajaman berpikir kritis dalam dunia pendidikan dan komunikasi publik. Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan dukungan referensi dari kamus etimologi, teori semantik, kajian sastra, serta jurnal ilmiah untuk menghasilkan analisis yang komprehensif dan kredibel.

Kata Kunci: Fiksi, Fiktif, Etimologi, Terminologi, Semantik, Linguistik, Sastra, Literasi Bahasa.


PEMBAHASAN

Kajian Fiksi dan Fiktif Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Dalam khazanah bahasa Indonesia, istilah fiksi dan fiktif sering kali dianggap serupa bahkan dipertukarkan penggunaannya, baik dalam komunikasi lisan maupun tulisan. Padahal, kedua istilah ini memiliki perbedaan makna yang cukup mendasar, baik secara etimologis maupun terminologis. Kekeliruan dalam memahami dan menggunakan kedua istilah ini dapat menimbulkan bias makna, terutama dalam konteks pendidikan, penelitian ilmiah, dan karya sastra.

Secara umum, fiksi merujuk pada karya naratif yang bersifat rekaan, imajinatif, dan tidak secara langsung mengacu pada kenyataan faktual. Dalam dunia sastra, fiksi mencakup bentuk-bentuk seperti novel, cerpen, dan roman yang dibangun melalui struktur naratif tertentu untuk menyampaikan gagasan atau pengalaman manusia secara simbolik dan estetik. Robert Scholes menyebut fiksi sebagai “any narrative that is not entirely factual” dan menekankan bahwa unsur rekaan atau imajinasi menjadi esensi utama dari sebuah karya fiksi.¹

Sebaliknya, istilah fiktif lebih sering digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang tidak nyata atau palsu dalam konteks yang lebih teknis dan administratif, misalnya dalam frasa “data fiktif” atau “laporan fiktif”. Istilah ini cenderung memiliki konotasi negatif, berbeda dari fiksi yang justru dihargai dalam ranah seni dan sastra. Perbedaan semantik ini penting untuk dikenali agar tidak terjadi kekeliruan dalam penggunaan bahasa yang presisi dan kontekstual.

Dalam kajian linguistik dan etimologi, pemahaman terhadap asal-usul kata (etimon) dan perkembangan maknanya menjadi penting untuk menjelaskan bagaimana perubahan penggunaan istilah terjadi dalam lintas waktu dan konteks budaya.² Kajian etimologis dan terminologis tidak hanya memberikan wawasan sejarah kebahasaan, tetapi juga membantu memperkaya pemahaman terhadap dinamika makna dalam berbagai bidang ilmu, termasuk linguistik, sastra, dan semiotika.

Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menguraikan perbedaan antara fiksi dan fiktif dengan pendekatan etimologis dan terminologis secara komprehensif, berdasarkan referensi yang kredibel dari literatur ilmiah, kamus etimologi, kamus besar bahasa Indonesia, serta pandangan para ahli bahasa dan sastra. Dengan demikian, diharapkan pembaca memiliki pemahaman yang lebih tajam dan akurat dalam membedakan penggunaan kedua istilah tersebut.


Footnotes

[1]                Robert Scholes, Structuralism in Literature: An Introduction (New Haven: Yale University Press, 1974), 41.

[2]                Hans Marchand, The Categories and Types of Present-Day English Word-Formation (München: C.H. Beck’sche Verlagsbuchhandlung, 1969), 12.


2.           Asal Usul Etimologis Istilah "Fiksi"

Istilah fiksi dalam bahasa Indonesia merupakan serapan dari kata fiction dalam bahasa Inggris, yang memiliki akar kuat dalam tradisi bahasa Latin. Kata fiction berasal dari kata Latin fictio, yang bermakna ‘membentuk’, ‘membuat-buat’, atau ‘menciptakan’. Kata fictio sendiri merupakan turunan dari verba fingere, yang berarti ‘membentuk’, ‘memahat’, ‘membayangkan’, atau ‘menyusun sesuatu dalam pikiran’.¹ Dalam konteks ini, sejak awal istilah tersebut sudah mengandung muatan makna imajinatif dan rekaan, yakni sesuatu yang diciptakan secara mental atau naratif, bukan hasil penyalinan kenyataan secara literal.

Dalam perkembangannya, fiction dalam bahasa Inggris pada abad pertengahan digunakan untuk menunjuk segala bentuk narasi yang tidak dapat diverifikasi secara faktual, termasuk mitos, legenda, dan cerita-cerita rakyat.² Seiring pertumbuhan literatur dan teori sastra, istilah ini kemudian digunakan lebih spesifik untuk merujuk pada karya sastra naratif yang bersifat imajinatif, seperti novel dan cerpen. Penggunaan istilah ini menjadi mapan dalam wacana kesusastraan modern, terutama sejak abad ke-18 ketika genre novel mulai mendominasi dunia penerbitan di Eropa.

Menurut Oxford English Dictionary, fiction didefinisikan sebagai “literature in the form of prose, especially novels, that describes imaginary events and people.”_³ Definisi ini memperkuat posisi fiction sebagai istilah yang berkaitan erat dengan narasi berbasis imajinasi dan bukan representasi realitas secara langsung, meskipun dalam praktiknya, fiksi sering kali terinspirasi dari kenyataan.

Dalam bahasa Indonesia, istilah fiksi mulai digunakan secara luas pada abad ke-20, terutama melalui pengaruh kolonialisme dan pendidikan modern yang memperkenalkan bentuk-bentuk naratif Barat seperti novel dan roman. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fiksi diartikan sebagai “cerita rekaan (roman, novel, dan sebagainya)” atau “bukan kenyataan, hanya dalam pikiran.”_⁴ Ini menunjukkan bahwa dalam pemahaman kebahasaan kontemporer Indonesia, fiksi tetap mempertahankan akar makna asalnya sebagai sesuatu yang diciptakan oleh daya imajinasi, bukan hasil dokumentasi fakta-fakta empiris.

Kajian etimologis ini menjadi penting karena menjelaskan bagaimana fiksi sejak awal memiliki karakter kreatif dan konstruktif. Ia bukan kebohongan dalam pengertian moral, tetapi konstruksi naratif yang bertujuan untuk menyampaikan makna, emosi, dan pengalaman manusia melalui bentuk cerita yang imajinatif.⁵ Dengan demikian, pengertian etimologis ini selaras dengan pengertian terminologis yang berkembang dalam ilmu sastra.


Footnotes

[1]                Charlton T. Lewis and Charles Short, A Latin Dictionary (Oxford: Clarendon Press, 1879), s.v. “fingere.”

[2]                Northrop Frye, Anatomy of Criticism: Four Essays (Princeton: Princeton University Press, 1957), 41.

[3]                Oxford English Dictionary Online, s.v. “fiction,” accessed March 20, 2025, https://www.oed.com.

[4]                Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2023), s.v. “fiksi.”

[5]                M.H. Abrams and Geoffrey Harpham, A Glossary of Literary Terms, 11th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015), 131.


3.           Asal Usul Etimologis Istilah "Fiktif"

Istilah fiktif dalam bahasa Indonesia berasal dari kata fictif dalam bahasa Prancis atau fictitious dalam bahasa Inggris, yang keduanya berakar dari bahasa Latin ficticius. Kata ficticius merupakan bentuk turunan dari fingere, yang memiliki arti ‘membentuk’, ‘menciptakan’, atau ‘membayangkan’.¹ Oleh karena itu, secara etimologis, fiktif memiliki akar yang sama dengan fiksi, yaitu sama-sama berasal dari verba Latin fingere. Namun, jalur perkembangan maknanya berbeda, sehingga menghasilkan konotasi yang tidak identik.

Dalam bahasa Latin Klasik, ficticius digunakan untuk menunjuk sesuatu yang palsu, dibuat-buat, atau tidak asli—berlawanan dengan yang nyata atau otentik.² Dari akar kata tersebut, berkembanglah istilah fictitious dalam bahasa Inggris, yang menurut Oxford English Dictionary berarti “not real or true, being imaginary or having been fabricated.”_³ Istilah ini biasanya digunakan dalam konteks identitas, data, atau laporan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara faktual. Makna tersebut kemudian menurunkan konotasi negatif terhadap kata fiktif dalam penggunaannya saat ini.

Dalam bahasa Indonesia, fiktif merujuk pada sesuatu yang tidak benar-benar ada, tidak nyata, atau dibuat-buat. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan fiktif sebagai “tidak berdasarkan kenyataan; hanya dibuat-buat atau direkayasa.”_⁴ Penggunaan istilah ini dapat ditemukan dalam konteks administratif seperti “anggaran fiktif,” “identitas fiktif,” atau “laporan fiktif,” yang semuanya merujuk pada unsur ketidakjujuran atau pemalsuan informasi.

Meskipun secara etimologis fiksi dan fiktif berasal dari akar yang sama, yaitu fingere, perbedaan nuansa makna antara keduanya semakin jelas dalam perkembangan modern. Fiksi digunakan untuk merujuk pada karya naratif yang bersifat imajinatif dan dihargai secara estetik, sedangkan fiktif lebih sering digunakan untuk menunjukkan ketidakotentikan atau kepalsuan dalam konteks informasi atau fakta. Kajian semantik seperti ini penting untuk menunjukkan bagaimana jalur evolusi linguistik dapat memunculkan diferensiasi makna meskipun berasal dari akar yang sama.⁵

Perbedaan jalur semantik antara fiksi dan fiktif juga mencerminkan pergeseran fungsi dan konteks sosial masing-masing istilah. Fiksi berfungsi dalam ranah ekspresi artistik dan kesusastraan, sementara fiktif digunakan dalam konteks logistik, hukum, ekonomi, atau komunikasi formal yang menuntut akurasi fakta. Hal ini mempertegas perlunya pemahaman etimologis yang lebih dalam untuk mencegah generalisasi atau penyalahgunaan istilah yang tampaknya serupa.


Footnotes

[1]                Charlton T. Lewis and Charles Short, A Latin Dictionary (Oxford: Clarendon Press, 1879), s.v. “ficticius” dan “fingere.”

[2]                Michiel de Vaan, Etymological Dictionary of Latin and the Other Italic Languages (Leiden: Brill, 2008), 218.

[3]                Oxford English Dictionary Online, s.v. “fictitious,” accessed March 21, 2025, https://www.oed.com.

[4]                Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2023), s.v. “fiktif.”

[5]                Ghil'ad Zuckermann, Language Contact and Lexical Enrichment in Israeli Hebrew (New York: Palgrave Macmillan, 2003), 34.


4.           Definisi Terminologis ‘Fiksi’ dalam Kajian Sastra

Secara terminologis, fiksi dalam kajian sastra merujuk pada bentuk naratif yang disusun berdasarkan daya imajinasi pengarang, tanpa kewajiban untuk mengacu pada realitas faktual secara langsung. Fiksi menyajikan dunia yang diciptakan secara naratif, meskipun sering kali terinspirasi dari kenyataan sosial, psikologis, atau sejarah. Dalam konteks ini, fiksi bukan kebohongan, melainkan suatu bentuk konstruksi imajinatif yang memiliki nilai estetik dan makna simbolik.¹

Menurut M.H. Abrams, fiksi adalah “any narrative, especially in prose, about invented or imagined characters and events, as opposed to an account of actual happenings.”_² Abrams menekankan bahwa fiksi didefinisikan oleh kualitas imajinatifnya, bukan oleh hubungan langsungnya dengan fakta historis atau aktual. Pandangan ini sejalan dengan pendekatan struktural dalam teori sastra yang memandang fiksi sebagai sistem tanda yang dibentuk melalui struktur naratif tertentu.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fiksi diartikan sebagai “cerita rekaan (seperti roman atau novel)” dan “bukan kenyataan, hanya dalam angan-angan.”_³ Definisi ini menunjukkan bahwa dalam pemahaman kebahasaan umum, fiksi dikaitkan dengan dunia rekaan yang berada di luar jangkauan realitas empiris, namun tetap memiliki validitas simbolik atau representatif.

Tzvetan Todorov membedakan antara teks-teks fiksi dan nonfiksi berdasarkan konvensi penafsiran pembaca. Dalam karya fiksi, pembaca memahami bahwa narasi yang dibaca tidak menuntut verifikasi faktual, tetapi ditanggapi sebagai konstruksi artistik yang bermakna dalam konteks naratifnya.⁴ Artinya, perbedaan antara fiksi dan nonfiksi bukan hanya ditentukan oleh isi teks, tetapi juga oleh kesepakatan implisit antara penulis dan pembaca tentang cara membaca teks tersebut.

Robert Scholes memperluas definisi fiksi sebagai “any narrative that is not entirely factual,” menandaskan bahwa fiksi tidak terbatas pada karya sastra seperti novel dan cerpen, tetapi juga mencakup semua bentuk naratif yang tidak bisa diverifikasi secara faktual secara keseluruhan.⁵ Dalam pengertian ini, fiksi menjadi domain naratif yang beroperasi di antara kenyataan dan kemungkinan, menyusun makna melalui unsur plot, tokoh, latar, dan gaya bahasa.

Dalam pendekatan naratologis, seperti yang dikemukakan oleh Gérard Genette, fiksi dipandang sebagai konstruksi naratif yang tunduk pada logika tertentu yang disebut diegesis (penceritaan).⁶ Fiksi tidak semata-mata menyampaikan cerita, tetapi juga membentuk dunia cerita (storyworld) yang memiliki hukum, nilai, dan struktur internal tersendiri. Hal ini menjadikan fiksi sebagai sarana eksplorasi kebenaran eksistensial, psikologis, maupun moral yang tak selalu harus dibatasi oleh fakta historis.

Fiksi juga memiliki fungsi edukatif dan sosial. Seperti yang dijelaskan oleh Martha Nussbaum, membaca fiksi memperluas empati dan pemahaman moral pembaca karena memungkinkan mereka mengalami dunia dari sudut pandang orang lain.⁷ Oleh karena itu, fiksi tidak hanya merupakan produk estetik, tetapi juga instrumen reflektif yang memperkaya pemahaman manusia terhadap diri dan masyarakat.

Dengan demikian, secara terminologis dalam kajian sastra, fiksi dipahami sebagai karya imajinatif yang berfungsi sebagai konstruksi naratif, simbolik, dan interpretatif. Ia tidak dimaksudkan untuk memberikan dokumentasi faktual, melainkan untuk membangun pemahaman, makna, dan pengalaman melalui bahasa sastra yang khas.


Footnotes

[1]                Terry Eagleton, Literary Theory: An Introduction (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2008), 2.

[2]                M.H. Abrams and Geoffrey Harpham, A Glossary of Literary Terms, 11th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015), 131.

[3]                Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2023), s.v. “fiksi.”

[4]                Tzvetan Todorov, The Poetics of Prose, trans. Richard Howard (Oxford: Blackwell, 1977), 26.

[5]                Robert Scholes, Structuralism in Literature: An Introduction (New Haven: Yale University Press, 1974), 41.

[6]                Gérard Genette, Narrative Discourse: An Essay in Method, trans. Jane E. Lewin (Ithaca: Cornell University Press, 1980), 27–28.

[7]                Martha C. Nussbaum, Poetic Justice: The Literary Imagination and Public Life (Boston: Beacon Press, 1995), 5–6.


5.           Definisi Terminologis ‘Fiktif’ dalam Penggunaan Bahasa

Secara terminologis dalam ranah linguistik dan penggunaan sehari-hari, istilah fiktif merujuk pada sesuatu yang tidak memiliki keberadaan nyata, tidak berbasis pada fakta, atau merupakan hasil rekaan yang tidak dimaksudkan untuk tujuan estetis, sebagaimana pada karya sastra. Berbeda dengan fiksi yang diterima dan dihargai dalam konteks artistik dan literer, fiktif lebih sering dipakai dalam konteks administratif, hukum, dan ilmiah untuk menunjuk sesuatu yang tidak valid secara faktual atau tidak dapat diverifikasi keberadaannya di dunia nyata.¹

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fiktif didefinisikan sebagai “tidak berdasarkan kenyataan; hanya dibuat-buat atau direkayasa.”_² Definisi ini menunjukkan bahwa istilah ini tidak memiliki nilai apresiatif atau estetis, melainkan cenderung mengandung konotasi negatif yang berkaitan dengan kepalsuan, pemalsuan, atau manipulasi data dan informasi. Oleh karena itu, dalam penggunaannya, istilah fiktif sering muncul dalam konteks seperti “laporan fiktif”, “transaksi fiktif”, atau “identitas fiktif”, yang semuanya mengacu pada tindakan tidak jujur atau penyimpangan dari kenyataan objektif.

Dalam perspektif linguistik semantik, fiktif termasuk dalam kategori adjektiva evaluatif yang menyiratkan penilaian terhadap validitas ontologis suatu entitas atau pernyataan.³ Hal ini berbeda dari fiksi, yang meskipun juga menyangkut hal-hal yang tidak nyata, tidak membawa penilaian negatif, sebab berada dalam domain karya imajinatif yang sah secara budaya. Menurut Geoffrey Leech, dalam kerangka makna konseptual dan konotatif, istilah seperti fiktif membawa dimensi pragmatis yang berhubungan erat dengan konteks sosial dan niat komunikatif penutur.⁴

Dari sudut pandang komunikasi hukum dan bisnis, fiktif sangat berkaitan dengan ketidakabsahan informasi. Misalnya, dalam laporan keuangan, transaksi yang tidak memiliki bukti sah disebut transaksi fiktif karena tidak didukung data empiris atau dokumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan.⁵ Begitu pula dalam kajian hukum pidana, pembuatan identitas fiktif dikategorikan sebagai tindakan pemalsuan karena menyalahi keotentikan data personal yang sah.⁶

Selain itu, dalam analisis wacana, istilah fiktif sering digunakan untuk membongkar strategi manipulatif dalam praktik diskursif, di mana suatu informasi sengaja dikonstruksi untuk menciptakan kesan seolah-olah benar, padahal tidak. Hal ini menjadi relevan dalam konteks post-truth dan disinformasi digital yang mengaburkan batas antara fakta dan fiksi.⁷

Dengan demikian, secara terminologis, fiktif tidak hanya menunjuk pada sesuatu yang tidak nyata, tetapi juga menyiratkan intentionality—yakni adanya unsur kesengajaan dalam penciptaannya untuk tujuan tertentu yang bukan artistik atau literer. Inilah yang membedakannya secara tegas dari istilah fiksi, yang walaupun sama-sama tidak faktual, namun tidak mengandung niat menipu, melainkan mengekspresikan atau menyimbolkan makna melalui narasi imajinatif.


Footnotes

[1]                Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), 49.

[2]                Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2023), s.v. “fiktif.”

[3]                Stephen Ullmann, Semantics: An Introduction to the Science of Meaning (Oxford: Basil Blackwell, 1962), 73.

[4]                Geoffrey Leech, Semantics: The Study of Meaning, 2nd ed. (Harmondsworth: Penguin Books, 1981), 12–13.

[5]                Zainal Arifin Hoesein, Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif (Jakarta: Salemba Empat, 2020), 102.

[6]                Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Pemalsuan dan Penggunaannya dalam Hukum Pidana Indonesia (Semarang: FH UNDIP, 2014), 55.

[7]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 23–25.


6.           Perbandingan Konseptual: Fiksi vs. Fiktif

Secara etimologis, istilah fiksi dan fiktif berasal dari akar kata Latin yang sama, yaitu fingere, yang berarti ‘membentuk’, ‘menciptakan’, atau ‘membayangkan’_¹. Namun, meskipun berbagi asal-usul yang identik, perkembangan makna kedua istilah ini mengalami divergensi semantik dan pragmatis yang signifikan dalam konteks pemakaian modern.

Fiksi, dalam konteks sastra, adalah bentuk narasi imajinatif yang disusun untuk tujuan estetik, ekspresif, atau edukatif. Ia memiliki legitimasi budaya dan dinilai sebagai ekspresi kreatif yang bermakna dalam masyarakat.² Misalnya, novel, cerpen, atau roman dikategorikan sebagai fiksi, dan pembaca menyadari bahwa dunia yang disajikan dalam karya tersebut adalah rekaan, meskipun bisa mencerminkan realitas.³ Oleh karena itu, fiksi tidak dianggap sebagai kebohongan, tetapi sebagai strategi penceritaan yang membangun pemahaman manusia atas nilai, konflik, dan pengalaman hidup.

Sementara itu, fiktif lebih sering digunakan dalam konteks deskriptif yang bersifat teknis dan administratif, merujuk pada sesuatu yang tidak nyata, tidak berbasis data otentik, atau direkayasa secara sengaja. Istilah ini kerap diasosiasikan dengan makna negatif, seperti pemalsuan identitas, data, atau dokumen.⁴ Sebagai contoh, laporan keuangan yang memuat transaksi palsu disebut “transaksi fiktif”, yang berarti tidak benar-benar terjadi di dunia nyata dan mengarah pada potensi pelanggaran hukum atau etika.⁵

Perbedaan utama antara fiksi dan fiktif dapat dilihat dalam tiga dimensi:

1)                  Tujuan komunikasi:

Fiksi dimaksudkan untuk hiburan, refleksi, atau pembelajaran melalui narasi, sedangkan fiktif digunakan untuk menunjuk pada ketidakbenaran faktual yang seringkali disengaja.

2)                  Konteks pemakaian:

Fiksi muncul dalam wacana sastra dan budaya; fiktif dominan dalam wacana hukum, administrasi, jurnalistik, dan sains.⁶

3)                  Konotasi:

Fiksi memiliki konotasi netral hingga positif karena dianggap bernilai estetik, sedangkan fiktif memiliki konotasi negatif karena berkaitan dengan ketidakjujuran atau manipulasi.⁷

Stephen Ullmann dalam studi semantik menyebut fenomena seperti ini sebagai “divergence of lexical relatives,” yaitu ketika dua kata serumpun (cognates) berkembang ke arah makna yang berbeda akibat konteks sosial, budaya, dan fungsional yang tidak sama.⁸

Perbedaan konseptual ini menjadi penting terutama dalam dunia pendidikan dan komunikasi publik. Kesalahan dalam memahami atau menggunakan istilah ini dapat mengaburkan maksud pembicara atau penulis, bahkan menimbulkan kekeliruan dalam interpretasi hukum atau ilmiah. Misalnya, menyebut novel sebagai karya fiktif bukan hanya salah secara istilah, tetapi juga dapat mereduksi nilai estetik dan legitimasi karya tersebut sebagai fiksi yang sah dalam ranah sastra.⁹

Dengan demikian, meskipun memiliki akar etimologis yang sama, fiksi dan fiktif adalah dua istilah yang secara konseptual dan kontekstual berbeda. Membedakan keduanya secara tepat tidak hanya penting untuk kejelasan bahasa, tetapi juga untuk menjaga integritas komunikasi dalam berbagai bidang kehidupan.


Footnotes

[1]                Charlton T. Lewis and Charles Short, A Latin Dictionary (Oxford: Clarendon Press, 1879), s.v. “fingere.”

[2]                Terry Eagleton, Literary Theory: An Introduction (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2008), 5.

[3]                M.H. Abrams and Geoffrey Harpham, A Glossary of Literary Terms, 11th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015), 131.

[4]                Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2023), s.v. “fiktif.”

[5]                Zainal Arifin Hoesein, Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif (Jakarta: Salemba Empat, 2020), 102.

[6]                Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), 52–53.

[7]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 22–23.

[8]                Stephen Ullmann, Semantics: An Introduction to the Science of Meaning (Oxford: Basil Blackwell, 1962), 84.

[9]                Gorys Keraf, Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa (Jakarta: Nusa Indah, 2004), 119.


7.           Implikasi Linguistik dan Edukasi

Pemahaman yang tepat terhadap perbedaan antara fiksi dan fiktif bukan hanya penting dari segi semantik, tetapi juga memiliki implikasi luas dalam dunia pendidikan dan praktik berbahasa sehari-hari. Dalam konteks linguistik, kedua istilah ini mencerminkan dinamika makna dalam bahasa, di mana kata-kata yang berasal dari akar yang sama dapat mengalami pergeseran semantik dan pragmatik akibat konteks pemakaian yang berbeda.¹ Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya awareness terhadap makna kontekstual dalam praktik kebahasaan, terutama dalam komunikasi ilmiah, sastra, dan administratif.

Dalam ranah pendidikan bahasa, khususnya dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di tingkat menengah dan tinggi, perbedaan antara fiksi dan fiktif perlu dijelaskan secara eksplisit. Sering kali siswa menggunakan kedua istilah ini secara bergantian tanpa menyadari perbedaan nuansanya.² Hal ini bisa mengganggu akurasi pemahaman teks, terutama saat menganalisis karya sastra atau menulis karya ilmiah. Oleh karena itu, guru dan dosen memiliki peran penting dalam menanamkan sensitivitas semantik kepada peserta didik agar mereka mampu menggunakan istilah secara tepat sesuai konteksnya.

Dari perspektif pedagogis, pendekatan yang mengintegrasikan kajian etimologi dalam pengajaran kosakata dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan reflektif siswa terhadap makna kata.³ Menurut James Paul Gee, pembelajaran bahasa yang bermakna tidak hanya mengajarkan aturan formal, tetapi juga konteks sosial dan historis dari penggunaan bahasa tersebut.⁴ Dalam kasus fiksi dan fiktif, memahami asal-usul dan konotasi keduanya membantu siswa untuk tidak sekadar mengetahui arti kamus, tetapi juga menilai nilai sosial dan komunikatif dari istilah yang digunakan.

Lebih jauh, dalam dunia akademik dan penulisan ilmiah, ketidaktepatan dalam menggunakan istilah fiksi dan fiktif dapat menimbulkan kesalahan interpretasi, bahkan melemahkan validitas argumen. Misalnya, menyebut sebuah artikel ilmiah sebagai “tulisan fiktif” bisa menimbulkan konotasi buruk yang tidak dimaksudkan, sementara yang lebih tepat mungkin adalah “hipotetis” atau “simulatif”.⁵ Oleh karena itu, pelatihan terminologi akademik yang berbasis pada kejelasan makna dan akurasi semantik perlu diperkuat, khususnya di kalangan mahasiswa dan peneliti pemula.

Implikasi lainnya muncul dalam konteks literasi media dan kewargaan digital (digital citizenship). Di tengah arus informasi dan disinformasi di era digital, kemampuan membedakan antara fiksi, fiktif, dan fakta menjadi kompetensi literasi yang sangat krusial.⁶ Pemahaman istilah seperti “berita fiktif” tidak bisa disamakan dengan “berita fiksi”; yang pertama merujuk pada manipulasi informasi, sedangkan yang kedua bisa berarti berita rekaan dalam rubrik sastra. Ketepatan pemaknaan inilah yang menjadi landasan penting dalam pengembangan critical language awareness di era post-truth.⁷

Dengan demikian, implikasi linguistik dan edukatif dari perbedaan fiksi dan fiktif tidak dapat diremehkan. Kajian etimologis dan terminologis seperti ini dapat menjadi fondasi yang kuat bagi peningkatan kecakapan berbahasa, baik dalam lingkup pendidikan formal maupun dalam praktik komunikasi publik. Memahami secara tepat istilah-istilah yang tampak mirip tetapi berbeda makna adalah bagian dari literasi tingkat tinggi yang perlu terus dikembangkan dalam masyarakat berpengetahuan.


Footnotes

[1]                Stephen Ullmann, Semantics: An Introduction to the Science of Meaning (Oxford: Basil Blackwell, 1962), 142–143.

[2]                Suparno dan Mohammad Yunus, Keterampilan Berbahasa (Jakarta: Universitas Terbuka, 2004), 67.

[3]                David Crystal, How Language Works (London: Penguin Books, 2005), 202.

[4]                James Paul Gee, An Introduction to Discourse Analysis: Theory and Method, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 15.

[5]                Evi Eliyanah dan Endah Tri Priyatni, “Kesalahan Pemaknaan Kosakata Serapan dalam Penulisan Akademik Mahasiswa,” Jurnal Bahasa dan Sastra, Vol. 22, No. 2 (2022): 89–90.

[6]                Renee Hobbs, Digital and Media Literacy: Connecting Culture and Classroom (Thousand Oaks: Corwin, 2011), 71.

[7]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 35–37.


8.           Kesimpulan

Kajian etimologis dan terminologis terhadap istilah fiksi dan fiktif mengungkapkan bahwa meskipun keduanya berasal dari akar kata Latin yang sama, yaitu fingere yang berarti ‘membentuk’ atau ‘menciptakan’, perkembangan makna dan penggunaannya mengalami divergensi yang signifikan dalam sejarah bahasa dan praktik kebahasaan kontemporer.¹

Secara etimologis, fiksi (dari fictio) berkembang menjadi istilah yang merujuk pada narasi rekaan atau imajinatif yang memiliki nilai estetik dan legitimasi budaya dalam dunia sastra.² Dalam kerangka terminologis, fiksi adalah karya imajinatif yang bertujuan untuk merefleksikan pengalaman manusia melalui medium cerita, tanpa tuntutan untuk bersifat faktual.³ Sebaliknya, fiktif (dari ficticius atau fictitious) merujuk pada sesuatu yang tidak nyata, direkayasa, atau tidak berdasar pada kenyataan, dan penggunaannya lebih sering ditemukan dalam wacana hukum, administratif, dan ilmiah.⁴

Perbedaan utama antara kedua istilah ini terletak pada dimensi fungsi, konteks, dan konotasi: fiksi umumnya digunakan dalam konteks kreatif dan memiliki konotasi netral hingga positif, sedangkan fiktif digunakan dalam konteks faktual dan memiliki konotasi negatif karena terkait dengan ketidakbenaran atau manipulasi.⁵ Perbedaan ini menunjukkan pentingnya pemahaman semantik dan pragmatik dalam penggunaan bahasa secara tepat.

Dari perspektif linguistik, fenomena ini mencerminkan prinsip divergensi makna dalam cabang semantik historis dan menunjukkan bahwa kesamaan bentuk morfologis tidak menjamin kesamaan makna atau fungsi.⁶ Adapun dari sisi pendidikan, perbedaan konseptual antara fiksi dan fiktif perlu dijadikan perhatian utama dalam pengajaran literasi bahasa dan sastra, guna menghindari kesalahpahaman makna serta meningkatkan ketajaman berpikir kritis siswa dalam menggunakan bahasa.⁷

Implikasi lebih luas dari kajian ini juga menyentuh ranah literasi media, di mana kemampuan membedakan antara fiksi sebagai produk naratif yang sah dan fiktif sebagai bentuk penyesatan informasi menjadi sangat krusial di era digital dan post-truth.⁸ Oleh karena itu, pemahaman terhadap perbedaan keduanya tidak hanya relevan secara teoritis, tetapi juga aplikatif dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam praktik komunikasi, pendidikan, dan kebahasaan yang bertanggung jawab.

Sebagai penutup, dapat ditegaskan bahwa telaah etimologis dan terminologis bukan sekadar latihan kebahasaan semata, melainkan sebuah pendekatan penting dalam membangun kesadaran semantik yang mendalam, akurat, dan kontekstual. Dengan begitu, kita tidak hanya memahami kata-kata, tetapi juga memahami dunia yang dibentuk oleh kata-kata tersebut.⁹


Footnotes

[1]                Charlton T. Lewis and Charles Short, A Latin Dictionary (Oxford: Clarendon Press, 1879), s.v. “fingere.”

[2]                M.H. Abrams and Geoffrey Harpham, A Glossary of Literary Terms, 11th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015), 131.

[3]                Robert Scholes, Structuralism in Literature: An Introduction (New Haven: Yale University Press, 1974), 41.

[4]                Oxford English Dictionary Online, s.v. “fictitious,” accessed March 22, 2025, https://www.oed.com.

[5]                Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2023), s.v. “fiktif.”

[6]                Stephen Ullmann, Semantics: An Introduction to the Science of Meaning (Oxford: Basil Blackwell, 1962), 84.

[7]                David Crystal, How Language Works (London: Penguin Books, 2005), 238.

[8]                Renee Hobbs, Digital and Media Literacy: Connecting Culture and Classroom (Thousand Oaks: Corwin, 2011), 71.

[9]                James Paul Gee, An Introduction to Discourse Analysis: Theory and Method, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 19.


Daftar Pustaka

Abrams, M. H., & Harpham, G. G. (2015). A glossary of literary terms (11th ed.). Cengage Learning.

Chaer, A. (2012). Linguistik umum. Rineka Cipta.

Crystal, D. (2005). How language works. Penguin Books.

Eagleton, T. (2008). Literary theory: An introduction (2nd ed.). University of Minnesota Press.

Gee, J. P. (2011). An introduction to discourse analysis: Theory and method (3rd ed.). Routledge.

Genette, G. (1980). Narrative discourse: An essay in method (J. E. Lewin, Trans.). Cornell University Press.

Hobbs, R. (2011). Digital and media literacy: Connecting culture and classroom. Corwin.

Hoesein, Z. A. (2020). Akuntansi forensik dan audit investigatif. Salemba Empat.

Keraf, G. (2004). Komposisi: Sebuah pengantar kemahiran bahasa. Nusa Indah.

Leech, G. (1981). Semantics: The study of meaning (2nd ed.). Penguin Books.

Lewis, C. T., & Short, C. (1879). A Latin dictionary. Clarendon Press.

Marchand, H. (1969). The categories and types of present-day English word-formation. C.H. Beck’sche Verlagsbuchhandlung.

McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.

Nussbaum, M. C. (1995). Poetic justice: The literary imagination and public life. Beacon Press.

Oxford English Dictionary Online. (2025). Fiction; Fictitious. Retrieved March 20–22, 2025, from https://www.oed.com

Scholes, R. (1974). Structuralism in literature: An introduction. Yale University Press.

Suparno, & Yunus, M. (2004). Keterampilan berbahasa. Universitas Terbuka.

Todorov, T. (1977). The poetics of prose (R. Howard, Trans.). Blackwell.

Ullmann, S. (1962). Semantics: An introduction to the science of meaning. Basil Blackwell.

Vaan, M. de. (2008). Etymological dictionary of Latin and the other Italic languages. Brill.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). (2023). Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Eliyanah, E., & Priyatni, E. T. (2022). Kesalahan pemaknaan kosakata serapan dalam penulisan akademik mahasiswa. Jurnal Bahasa dan Sastra, 22(2), 89–90.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar