Fiksi dan Fiktif
Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel
Alihkan ke: Etimologis
dan Terminologis.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara etimologis dan
terminologis dua istilah yang sering kali disalahgunakan dalam praktik
kebahasaan, yakni fiksi dan fiktif. Keduanya berasal dari akar
kata Latin fingere yang berarti 'membentuk' atau 'menciptakan',
namun mengalami perkembangan makna yang berbeda dalam konteks modern. Fiksi
berkembang menjadi istilah sastra yang merujuk pada narasi imajinatif dengan
nilai estetik, sementara fiktif digunakan dalam konteks administratif
dan hukum untuk menunjuk pada hal-hal yang tidak nyata atau direkayasa, sering
kali dengan konotasi negatif. Artikel ini menyajikan analisis perbandingan
konseptual antara keduanya, serta menyoroti implikasi linguistik dan edukatif
yang ditimbulkan oleh perbedaan tersebut. Pemahaman yang tepat atas kedua
istilah ini penting untuk meningkatkan akurasi semantik, literasi kebahasaan,
serta ketajaman berpikir kritis dalam dunia pendidikan dan komunikasi publik.
Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan dukungan referensi dari
kamus etimologi, teori semantik, kajian sastra, serta jurnal ilmiah untuk
menghasilkan analisis yang komprehensif dan kredibel.
Kata Kunci: Fiksi, Fiktif, Etimologi, Terminologi,
Semantik, Linguistik, Sastra, Literasi Bahasa.
PEMBAHASAN
Kajian Fiksi dan Fiktif Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Dalam khazanah
bahasa Indonesia, istilah fiksi dan fiktif
sering kali dianggap serupa bahkan dipertukarkan penggunaannya, baik dalam
komunikasi lisan maupun tulisan. Padahal, kedua istilah ini memiliki perbedaan
makna yang cukup mendasar, baik secara etimologis maupun terminologis. Kekeliruan
dalam memahami dan menggunakan kedua istilah ini dapat menimbulkan bias makna,
terutama dalam konteks pendidikan, penelitian ilmiah, dan karya sastra.
Secara umum, fiksi
merujuk pada karya naratif yang bersifat rekaan, imajinatif, dan tidak secara langsung
mengacu pada kenyataan faktual. Dalam dunia sastra, fiksi mencakup
bentuk-bentuk seperti novel, cerpen, dan roman yang dibangun melalui struktur
naratif tertentu untuk menyampaikan gagasan atau pengalaman manusia secara
simbolik dan estetik. Robert Scholes menyebut fiksi sebagai “any narrative
that is not entirely factual” dan menekankan bahwa unsur rekaan atau
imajinasi menjadi esensi utama dari sebuah karya fiksi.¹
Sebaliknya, istilah fiktif
lebih sering digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang tidak nyata atau palsu
dalam konteks yang lebih teknis dan administratif, misalnya dalam frasa “data fiktif” atau “laporan fiktif”.
Istilah ini cenderung memiliki konotasi negatif, berbeda dari fiksi
yang justru dihargai dalam ranah seni dan sastra. Perbedaan semantik ini
penting untuk dikenali agar tidak terjadi kekeliruan dalam penggunaan bahasa
yang presisi dan kontekstual.
Dalam kajian
linguistik dan etimologi, pemahaman terhadap asal-usul kata (etimon)
dan perkembangan maknanya menjadi penting untuk menjelaskan bagaimana perubahan
penggunaan istilah terjadi dalam lintas waktu dan konteks budaya.² Kajian
etimologis dan terminologis tidak hanya memberikan wawasan sejarah kebahasaan,
tetapi juga membantu memperkaya pemahaman terhadap dinamika makna dalam
berbagai bidang ilmu, termasuk linguistik, sastra, dan semiotika.
Oleh karena itu,
artikel ini bertujuan untuk menguraikan perbedaan antara fiksi
dan fiktif
dengan pendekatan etimologis dan terminologis secara komprehensif, berdasarkan
referensi yang kredibel dari literatur ilmiah, kamus etimologi, kamus besar
bahasa Indonesia, serta pandangan para ahli bahasa dan sastra. Dengan demikian,
diharapkan pembaca memiliki pemahaman yang lebih tajam dan akurat dalam
membedakan penggunaan kedua istilah tersebut.
Footnotes
[1]
Robert Scholes, Structuralism in Literature: An Introduction
(New Haven: Yale University Press, 1974), 41.
[2]
Hans Marchand, The Categories and Types of Present-Day English
Word-Formation (München: C.H. Beck’sche Verlagsbuchhandlung, 1969), 12.
2.
Asal Usul Etimologis Istilah "Fiksi"
Istilah fiksi
dalam bahasa Indonesia merupakan serapan dari kata fiction dalam bahasa Inggris, yang
memiliki akar kuat dalam tradisi bahasa Latin. Kata fiction berasal dari kata Latin fictio,
yang bermakna ‘membentuk’, ‘membuat-buat’, atau ‘menciptakan’.
Kata fictio
sendiri merupakan turunan dari verba fingere, yang berarti ‘membentuk’,
‘memahat’, ‘membayangkan’, atau ‘menyusun sesuatu dalam
pikiran’.¹ Dalam konteks ini, sejak awal istilah tersebut sudah mengandung
muatan makna imajinatif dan rekaan, yakni sesuatu yang diciptakan secara mental
atau naratif, bukan hasil penyalinan kenyataan secara literal.
Dalam
perkembangannya, fiction dalam bahasa Inggris pada
abad pertengahan digunakan untuk menunjuk segala bentuk narasi yang tidak dapat
diverifikasi secara faktual, termasuk mitos, legenda, dan cerita-cerita
rakyat.² Seiring pertumbuhan literatur dan teori sastra, istilah ini kemudian
digunakan lebih spesifik untuk merujuk pada karya sastra naratif yang bersifat
imajinatif, seperti novel dan cerpen. Penggunaan istilah ini menjadi mapan
dalam wacana kesusastraan modern, terutama sejak abad ke-18 ketika genre novel
mulai mendominasi dunia penerbitan di Eropa.
Menurut Oxford
English Dictionary, fiction didefinisikan sebagai “literature
in the form of prose, especially novels, that describes imaginary events and
people.”_³ Definisi ini memperkuat posisi fiction sebagai istilah yang
berkaitan erat dengan narasi berbasis imajinasi dan bukan representasi realitas
secara langsung, meskipun dalam praktiknya, fiksi sering kali terinspirasi dari
kenyataan.
Dalam bahasa
Indonesia, istilah fiksi mulai digunakan secara luas
pada abad ke-20, terutama melalui pengaruh kolonialisme dan pendidikan modern
yang memperkenalkan bentuk-bentuk naratif Barat seperti novel dan roman. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fiksi diartikan sebagai “cerita rekaan
(roman, novel, dan sebagainya)” atau “bukan kenyataan, hanya dalam pikiran.”_⁴
Ini menunjukkan bahwa dalam pemahaman kebahasaan kontemporer Indonesia, fiksi
tetap mempertahankan akar makna asalnya sebagai sesuatu yang diciptakan oleh
daya imajinasi, bukan hasil dokumentasi fakta-fakta empiris.
Kajian etimologis
ini menjadi penting karena menjelaskan bagaimana fiksi sejak awal memiliki karakter
kreatif dan konstruktif. Ia bukan kebohongan dalam pengertian moral, tetapi
konstruksi naratif yang bertujuan untuk menyampaikan makna, emosi, dan
pengalaman manusia melalui bentuk cerita yang imajinatif.⁵ Dengan demikian,
pengertian etimologis ini selaras dengan pengertian terminologis yang
berkembang dalam ilmu sastra.
Footnotes
[1]
Charlton T. Lewis and Charles Short, A Latin Dictionary
(Oxford: Clarendon Press, 1879), s.v. “fingere.”
[2]
Northrop Frye, Anatomy of Criticism: Four Essays (Princeton:
Princeton University Press, 1957), 41.
[3]
Oxford English Dictionary Online, s.v. “fiction,” accessed March 20, 2025, https://www.oed.com.
[4]
Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, 2023), s.v. “fiksi.”
[5]
M.H. Abrams and Geoffrey Harpham, A Glossary of Literary Terms,
11th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015), 131.
3.
Asal Usul Etimologis Istilah "Fiktif"
Istilah fiktif
dalam bahasa Indonesia berasal dari kata fictif dalam bahasa Prancis atau fictitious
dalam bahasa Inggris, yang keduanya berakar dari bahasa Latin ficticius.
Kata ficticius
merupakan bentuk turunan dari fingere, yang memiliki arti ‘membentuk’,
‘menciptakan’, atau ‘membayangkan’.¹ Oleh karena itu, secara
etimologis, fiktif memiliki akar yang sama
dengan fiksi,
yaitu sama-sama berasal dari verba Latin fingere. Namun, jalur perkembangan
maknanya berbeda, sehingga menghasilkan konotasi yang tidak identik.
Dalam bahasa Latin
Klasik, ficticius
digunakan untuk menunjuk sesuatu yang palsu, dibuat-buat, atau tidak
asli—berlawanan dengan yang nyata atau otentik.² Dari akar kata tersebut,
berkembanglah istilah fictitious dalam bahasa Inggris,
yang menurut Oxford English Dictionary berarti “not
real or true, being imaginary or having been fabricated.”_³ Istilah ini
biasanya digunakan dalam konteks identitas, data, atau laporan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara faktual. Makna tersebut kemudian menurunkan
konotasi negatif terhadap kata fiktif dalam penggunaannya saat
ini.
Dalam bahasa
Indonesia, fiktif
merujuk pada sesuatu yang tidak benar-benar ada, tidak nyata, atau dibuat-buat.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan fiktif sebagai “tidak
berdasarkan kenyataan; hanya dibuat-buat atau direkayasa.”_⁴ Penggunaan
istilah ini dapat ditemukan dalam konteks administratif seperti “anggaran
fiktif,” “identitas fiktif,” atau “laporan fiktif,” yang
semuanya merujuk pada unsur ketidakjujuran atau pemalsuan informasi.
Meskipun secara
etimologis fiksi
dan fiktif
berasal dari akar yang sama, yaitu fingere, perbedaan nuansa makna
antara keduanya semakin jelas dalam perkembangan modern. Fiksi
digunakan untuk merujuk pada karya naratif yang bersifat imajinatif dan
dihargai secara estetik, sedangkan fiktif lebih sering digunakan untuk
menunjukkan ketidakotentikan atau kepalsuan dalam konteks informasi atau fakta.
Kajian semantik seperti ini penting untuk menunjukkan bagaimana jalur evolusi
linguistik dapat memunculkan diferensiasi makna meskipun berasal dari akar yang
sama.⁵
Perbedaan jalur
semantik antara fiksi dan fiktif
juga mencerminkan pergeseran fungsi dan konteks sosial masing-masing istilah. Fiksi
berfungsi dalam ranah ekspresi artistik dan kesusastraan, sementara fiktif
digunakan dalam konteks logistik, hukum, ekonomi, atau komunikasi formal yang
menuntut akurasi fakta. Hal ini mempertegas perlunya pemahaman etimologis yang
lebih dalam untuk mencegah generalisasi atau penyalahgunaan istilah yang
tampaknya serupa.
Footnotes
[1]
Charlton T. Lewis and Charles Short, A Latin Dictionary
(Oxford: Clarendon Press, 1879), s.v. “ficticius” dan “fingere.”
[2]
Michiel de Vaan, Etymological Dictionary of Latin and the Other
Italic Languages (Leiden: Brill, 2008), 218.
[3]
Oxford English Dictionary Online, s.v. “fictitious,” accessed March 21, 2025, https://www.oed.com.
[4]
Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, 2023), s.v. “fiktif.”
[5]
Ghil'ad Zuckermann, Language Contact and Lexical Enrichment in
Israeli Hebrew (New York: Palgrave Macmillan, 2003), 34.
4.
Definisi Terminologis ‘Fiksi’ dalam Kajian
Sastra
Secara terminologis,
fiksi
dalam kajian sastra merujuk pada bentuk naratif yang disusun berdasarkan daya
imajinasi pengarang, tanpa kewajiban untuk mengacu pada realitas faktual secara
langsung. Fiksi menyajikan dunia yang diciptakan secara naratif, meskipun
sering kali terinspirasi dari kenyataan sosial, psikologis, atau sejarah. Dalam
konteks ini, fiksi bukan kebohongan, melainkan suatu bentuk konstruksi
imajinatif yang memiliki nilai estetik dan makna simbolik.¹
Menurut M.H. Abrams,
fiksi adalah “any narrative, especially in prose, about invented or imagined
characters and events, as opposed to an account of actual happenings.”_²
Abrams menekankan bahwa fiksi didefinisikan oleh kualitas imajinatifnya, bukan
oleh hubungan langsungnya dengan fakta historis atau aktual. Pandangan ini
sejalan dengan pendekatan struktural dalam teori sastra yang memandang fiksi
sebagai sistem tanda yang dibentuk melalui struktur naratif tertentu.
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fiksi diartikan sebagai “cerita
rekaan (seperti roman atau novel)” dan “bukan kenyataan, hanya dalam
angan-angan.”_³ Definisi ini menunjukkan bahwa dalam pemahaman kebahasaan
umum, fiksi dikaitkan dengan dunia rekaan yang berada di luar jangkauan
realitas empiris, namun tetap memiliki validitas simbolik atau representatif.
Tzvetan Todorov
membedakan antara teks-teks fiksi dan nonfiksi berdasarkan konvensi penafsiran
pembaca. Dalam karya fiksi, pembaca memahami bahwa narasi yang dibaca tidak
menuntut verifikasi faktual, tetapi ditanggapi sebagai konstruksi artistik yang
bermakna dalam konteks naratifnya.⁴ Artinya, perbedaan antara fiksi dan
nonfiksi bukan hanya ditentukan oleh isi teks, tetapi juga oleh kesepakatan
implisit antara penulis dan pembaca tentang cara membaca teks tersebut.
Robert Scholes
memperluas definisi fiksi sebagai “any narrative that is not entirely
factual,” menandaskan bahwa fiksi tidak terbatas pada karya sastra seperti
novel dan cerpen, tetapi juga mencakup semua bentuk naratif yang tidak bisa
diverifikasi secara faktual secara keseluruhan.⁵ Dalam pengertian ini, fiksi
menjadi domain naratif yang beroperasi di antara kenyataan dan kemungkinan,
menyusun makna melalui unsur plot, tokoh, latar, dan gaya bahasa.
Dalam pendekatan
naratologis, seperti yang dikemukakan oleh Gérard Genette, fiksi dipandang
sebagai konstruksi naratif yang tunduk pada logika tertentu yang disebut diegesis
(penceritaan).⁶ Fiksi tidak semata-mata menyampaikan cerita, tetapi juga
membentuk dunia cerita (storyworld) yang memiliki hukum,
nilai, dan struktur internal tersendiri. Hal ini menjadikan fiksi sebagai
sarana eksplorasi kebenaran eksistensial, psikologis, maupun moral yang tak
selalu harus dibatasi oleh fakta historis.
Fiksi juga memiliki
fungsi edukatif dan sosial. Seperti yang dijelaskan oleh Martha Nussbaum,
membaca fiksi memperluas empati dan pemahaman moral pembaca karena memungkinkan
mereka mengalami dunia dari sudut pandang orang lain.⁷ Oleh karena itu, fiksi
tidak hanya merupakan produk estetik, tetapi juga instrumen reflektif yang
memperkaya pemahaman manusia terhadap diri dan masyarakat.
Dengan demikian,
secara terminologis dalam kajian sastra, fiksi dipahami sebagai karya
imajinatif yang berfungsi sebagai konstruksi naratif, simbolik, dan
interpretatif. Ia tidak dimaksudkan untuk memberikan dokumentasi faktual,
melainkan untuk membangun pemahaman, makna, dan pengalaman melalui bahasa
sastra yang khas.
Footnotes
[1]
Terry Eagleton, Literary Theory: An Introduction (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 2008), 2.
[2]
M.H. Abrams and Geoffrey Harpham, A Glossary of Literary Terms,
11th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015), 131.
[3]
Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, 2023), s.v. “fiksi.”
[4]
Tzvetan Todorov, The Poetics of Prose, trans. Richard Howard
(Oxford: Blackwell, 1977), 26.
[5]
Robert Scholes, Structuralism in Literature: An Introduction
(New Haven: Yale University Press, 1974), 41.
[6]
Gérard Genette, Narrative Discourse: An Essay in Method,
trans. Jane E. Lewin (Ithaca: Cornell University Press, 1980), 27–28.
[7]
Martha C. Nussbaum, Poetic Justice: The Literary Imagination and
Public Life (Boston: Beacon Press, 1995), 5–6.
5.
Definisi Terminologis ‘Fiktif’ dalam Penggunaan
Bahasa
Secara terminologis
dalam ranah linguistik dan penggunaan sehari-hari, istilah fiktif
merujuk pada sesuatu yang tidak memiliki keberadaan nyata, tidak berbasis pada
fakta, atau merupakan hasil rekaan yang tidak dimaksudkan untuk tujuan estetis,
sebagaimana pada karya sastra. Berbeda dengan fiksi yang diterima dan dihargai
dalam konteks artistik dan literer, fiktif lebih sering dipakai dalam
konteks administratif, hukum, dan ilmiah untuk menunjuk sesuatu yang tidak
valid secara faktual atau tidak dapat diverifikasi keberadaannya di dunia
nyata.¹
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fiktif didefinisikan sebagai “tidak
berdasarkan kenyataan; hanya dibuat-buat atau direkayasa.”_² Definisi ini
menunjukkan bahwa istilah ini tidak memiliki nilai apresiatif atau estetis,
melainkan cenderung mengandung konotasi negatif yang berkaitan dengan
kepalsuan, pemalsuan, atau manipulasi data dan informasi. Oleh karena itu,
dalam penggunaannya, istilah fiktif sering muncul dalam konteks
seperti “laporan fiktif”, “transaksi fiktif”, atau “identitas
fiktif”, yang semuanya mengacu pada tindakan tidak jujur atau penyimpangan
dari kenyataan objektif.
Dalam perspektif
linguistik semantik, fiktif termasuk dalam kategori adjektiva
evaluatif yang menyiratkan penilaian terhadap validitas ontologis
suatu entitas atau pernyataan.³ Hal ini berbeda dari fiksi,
yang meskipun juga menyangkut hal-hal yang tidak nyata, tidak membawa penilaian
negatif, sebab berada dalam domain karya imajinatif yang sah secara budaya.
Menurut Geoffrey Leech, dalam kerangka makna konseptual dan konotatif, istilah
seperti fiktif
membawa dimensi pragmatis yang berhubungan erat dengan konteks sosial dan niat
komunikatif penutur.⁴
Dari sudut pandang
komunikasi hukum dan bisnis, fiktif sangat berkaitan dengan
ketidakabsahan informasi. Misalnya, dalam laporan keuangan, transaksi yang
tidak memiliki bukti sah disebut transaksi fiktif karena tidak didukung data
empiris atau dokumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan.⁵ Begitu pula dalam
kajian hukum pidana, pembuatan identitas fiktif dikategorikan sebagai tindakan
pemalsuan karena menyalahi keotentikan data personal yang sah.⁶
Selain itu, dalam
analisis wacana, istilah fiktif sering digunakan untuk
membongkar strategi manipulatif dalam praktik diskursif, di mana suatu informasi
sengaja dikonstruksi untuk menciptakan kesan seolah-olah benar, padahal tidak.
Hal ini menjadi relevan dalam konteks post-truth dan disinformasi digital yang
mengaburkan batas antara fakta dan fiksi.⁷
Dengan demikian,
secara terminologis, fiktif tidak hanya menunjuk pada
sesuatu yang tidak nyata, tetapi juga menyiratkan intentionality—yakni adanya unsur
kesengajaan dalam penciptaannya untuk tujuan tertentu yang bukan artistik atau
literer. Inilah yang membedakannya secara tegas dari istilah fiksi,
yang walaupun sama-sama tidak faktual, namun tidak mengandung niat menipu,
melainkan mengekspresikan atau menyimbolkan makna melalui narasi imajinatif.
Footnotes
[1]
Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2012),
49.
[2]
Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, 2023), s.v. “fiktif.”
[3]
Stephen Ullmann, Semantics: An Introduction to the Science of
Meaning (Oxford: Basil Blackwell, 1962), 73.
[4]
Geoffrey Leech, Semantics: The Study of Meaning, 2nd ed.
(Harmondsworth: Penguin Books, 1981), 12–13.
[5]
Zainal Arifin Hoesein, Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif
(Jakarta: Salemba Empat, 2020), 102.
[6]
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Pemalsuan dan Penggunaannya dalam
Hukum Pidana Indonesia (Semarang: FH UNDIP, 2014), 55.
[7]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 23–25.
6.
Perbandingan Konseptual: Fiksi vs. Fiktif
Secara etimologis,
istilah fiksi
dan fiktif
berasal dari akar kata Latin yang sama, yaitu fingere, yang berarti ‘membentuk’,
‘menciptakan’, atau ‘membayangkan’_¹. Namun, meskipun berbagi
asal-usul yang identik, perkembangan makna kedua istilah ini mengalami
divergensi semantik dan pragmatis yang signifikan dalam konteks pemakaian
modern.
Fiksi,
dalam konteks sastra, adalah bentuk narasi imajinatif yang disusun untuk tujuan
estetik, ekspresif, atau edukatif. Ia memiliki legitimasi budaya dan dinilai
sebagai ekspresi kreatif yang bermakna dalam masyarakat.² Misalnya, novel,
cerpen, atau roman dikategorikan sebagai fiksi, dan pembaca menyadari bahwa
dunia yang disajikan dalam karya tersebut adalah rekaan, meskipun bisa
mencerminkan realitas.³ Oleh karena itu, fiksi tidak dianggap sebagai
kebohongan, tetapi sebagai strategi penceritaan yang membangun pemahaman
manusia atas nilai, konflik, dan pengalaman hidup.
Sementara itu, fiktif
lebih sering digunakan dalam konteks deskriptif yang bersifat teknis dan
administratif, merujuk pada sesuatu yang tidak nyata, tidak berbasis data otentik,
atau direkayasa secara sengaja. Istilah ini kerap diasosiasikan dengan makna
negatif, seperti pemalsuan identitas, data, atau dokumen.⁴ Sebagai contoh,
laporan keuangan yang memuat transaksi palsu disebut “transaksi fiktif”,
yang berarti tidak benar-benar terjadi di dunia nyata dan mengarah pada potensi
pelanggaran hukum atau etika.⁵
Perbedaan utama
antara fiksi
dan fiktif
dapat dilihat dalam tiga dimensi:
1)
Tujuan komunikasi:
Fiksi dimaksudkan untuk hiburan,
refleksi, atau pembelajaran melalui narasi, sedangkan fiktif digunakan
untuk menunjuk pada ketidakbenaran faktual yang seringkali disengaja.
2)
Konteks pemakaian:
Fiksi muncul dalam wacana sastra dan
budaya; fiktif dominan dalam wacana hukum, administrasi, jurnalistik,
dan sains.⁶
3)
Konotasi:
Fiksi memiliki konotasi netral hingga
positif karena dianggap bernilai estetik, sedangkan fiktif memiliki
konotasi negatif karena berkaitan dengan ketidakjujuran atau manipulasi.⁷
Stephen Ullmann dalam
studi semantik menyebut fenomena seperti ini sebagai “divergence of lexical
relatives,” yaitu ketika dua kata serumpun (cognates) berkembang ke arah
makna yang berbeda akibat konteks sosial, budaya, dan fungsional yang tidak
sama.⁸
Perbedaan konseptual
ini menjadi penting terutama dalam dunia pendidikan dan komunikasi publik.
Kesalahan dalam memahami atau menggunakan istilah ini dapat mengaburkan maksud
pembicara atau penulis, bahkan menimbulkan kekeliruan dalam interpretasi hukum
atau ilmiah. Misalnya, menyebut novel sebagai karya fiktif bukan hanya salah secara
istilah, tetapi juga dapat mereduksi nilai estetik dan legitimasi karya
tersebut sebagai fiksi yang sah dalam ranah sastra.⁹
Dengan demikian,
meskipun memiliki akar etimologis yang sama, fiksi dan fiktif
adalah dua istilah yang secara konseptual dan kontekstual berbeda. Membedakan
keduanya secara tepat tidak hanya penting untuk kejelasan bahasa, tetapi juga
untuk menjaga integritas komunikasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Footnotes
[1]
Charlton T. Lewis and Charles Short, A Latin Dictionary
(Oxford: Clarendon Press, 1879), s.v. “fingere.”
[2]
Terry Eagleton, Literary Theory: An Introduction (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 2008), 5.
[3]
M.H. Abrams and Geoffrey Harpham, A Glossary of Literary Terms,
11th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015), 131.
[4]
Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, 2023), s.v. “fiktif.”
[5]
Zainal Arifin Hoesein, Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif
(Jakarta: Salemba Empat, 2020), 102.
[6]
Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2012),
52–53.
[7]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 22–23.
[8]
Stephen Ullmann, Semantics: An Introduction to the Science of
Meaning (Oxford: Basil Blackwell, 1962), 84.
[9]
Gorys Keraf, Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa
(Jakarta: Nusa Indah, 2004), 119.
7.
Implikasi Linguistik dan Edukasi
Pemahaman yang tepat
terhadap perbedaan antara fiksi dan fiktif
bukan hanya penting dari segi semantik, tetapi juga memiliki implikasi luas
dalam dunia pendidikan dan praktik berbahasa sehari-hari. Dalam konteks
linguistik, kedua istilah ini mencerminkan dinamika makna dalam bahasa, di mana
kata-kata yang berasal dari akar yang sama dapat mengalami pergeseran semantik
dan pragmatik akibat konteks pemakaian yang berbeda.¹ Fenomena ini menunjukkan
betapa pentingnya awareness terhadap makna
kontekstual dalam praktik kebahasaan, terutama dalam komunikasi ilmiah, sastra,
dan administratif.
Dalam ranah
pendidikan bahasa, khususnya dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di tingkat
menengah dan tinggi, perbedaan antara fiksi dan fiktif
perlu dijelaskan secara eksplisit. Sering kali siswa menggunakan kedua istilah
ini secara bergantian tanpa menyadari perbedaan nuansanya.² Hal ini bisa
mengganggu akurasi pemahaman teks, terutama saat menganalisis karya sastra atau
menulis karya ilmiah. Oleh karena itu, guru dan dosen memiliki peran penting
dalam menanamkan sensitivitas semantik kepada peserta didik agar mereka mampu
menggunakan istilah secara tepat sesuai konteksnya.
Dari perspektif
pedagogis, pendekatan yang mengintegrasikan kajian etimologi dalam pengajaran
kosakata dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan reflektif siswa
terhadap makna kata.³ Menurut James Paul Gee, pembelajaran bahasa yang bermakna
tidak hanya mengajarkan aturan formal, tetapi juga konteks sosial dan historis
dari penggunaan bahasa tersebut.⁴ Dalam kasus fiksi dan fiktif,
memahami asal-usul dan konotasi keduanya membantu siswa untuk tidak sekadar
mengetahui arti kamus, tetapi juga menilai nilai sosial dan komunikatif dari
istilah yang digunakan.
Lebih jauh, dalam
dunia akademik dan penulisan ilmiah, ketidaktepatan dalam menggunakan istilah fiksi
dan fiktif
dapat menimbulkan kesalahan interpretasi, bahkan melemahkan validitas argumen.
Misalnya, menyebut sebuah artikel ilmiah sebagai “tulisan fiktif” bisa
menimbulkan konotasi buruk yang tidak dimaksudkan, sementara yang lebih tepat
mungkin adalah “hipotetis” atau “simulatif”.⁵ Oleh karena itu,
pelatihan terminologi akademik yang berbasis pada kejelasan makna dan akurasi
semantik perlu diperkuat, khususnya di kalangan mahasiswa dan peneliti pemula.
Implikasi lainnya
muncul dalam konteks literasi media dan kewargaan
digital (digital citizenship). Di tengah arus informasi dan
disinformasi di era digital, kemampuan membedakan antara fiksi,
fiktif,
dan fakta menjadi kompetensi literasi yang sangat krusial.⁶ Pemahaman istilah
seperti “berita fiktif” tidak bisa disamakan dengan “berita fiksi”;
yang pertama merujuk pada manipulasi informasi, sedangkan yang kedua bisa
berarti berita rekaan dalam rubrik sastra. Ketepatan pemaknaan inilah yang
menjadi landasan penting dalam pengembangan critical language awareness di era
post-truth.⁷
Dengan demikian,
implikasi linguistik dan edukatif dari perbedaan fiksi dan fiktif
tidak dapat diremehkan. Kajian etimologis dan terminologis seperti ini dapat
menjadi fondasi yang kuat bagi peningkatan kecakapan berbahasa, baik dalam
lingkup pendidikan formal maupun dalam praktik komunikasi publik. Memahami
secara tepat istilah-istilah yang tampak mirip tetapi berbeda makna adalah
bagian dari literasi tingkat tinggi yang perlu terus dikembangkan dalam
masyarakat berpengetahuan.
Footnotes
[1]
Stephen Ullmann, Semantics: An Introduction to the Science of
Meaning (Oxford: Basil Blackwell, 1962), 142–143.
[2]
Suparno dan Mohammad Yunus, Keterampilan Berbahasa (Jakarta:
Universitas Terbuka, 2004), 67.
[3]
David Crystal, How Language Works (London: Penguin Books,
2005), 202.
[4]
James Paul Gee, An Introduction to Discourse Analysis: Theory and
Method, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 15.
[5]
Evi Eliyanah dan Endah Tri Priyatni, “Kesalahan Pemaknaan Kosakata
Serapan dalam Penulisan Akademik Mahasiswa,” Jurnal Bahasa dan Sastra,
Vol. 22, No. 2 (2022): 89–90.
[6]
Renee Hobbs, Digital and Media Literacy: Connecting Culture and
Classroom (Thousand Oaks: Corwin, 2011), 71.
[7]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 35–37.
8.
Kesimpulan
Kajian etimologis
dan terminologis terhadap istilah fiksi dan fiktif
mengungkapkan bahwa meskipun keduanya berasal dari akar kata Latin yang sama,
yaitu fingere
yang berarti ‘membentuk’ atau ‘menciptakan’, perkembangan makna dan
penggunaannya mengalami divergensi yang signifikan dalam sejarah bahasa dan
praktik kebahasaan kontemporer.¹
Secara etimologis, fiksi
(dari fictio)
berkembang menjadi istilah yang merujuk pada narasi rekaan atau imajinatif yang
memiliki nilai estetik dan legitimasi budaya dalam dunia sastra.² Dalam
kerangka terminologis, fiksi adalah karya imajinatif yang bertujuan untuk
merefleksikan pengalaman manusia melalui medium cerita, tanpa tuntutan untuk
bersifat faktual.³ Sebaliknya, fiktif (dari ficticius
atau fictitious)
merujuk pada sesuatu yang tidak nyata, direkayasa, atau tidak berdasar pada
kenyataan, dan penggunaannya lebih sering ditemukan dalam wacana hukum,
administratif, dan ilmiah.⁴
Perbedaan utama
antara kedua istilah ini terletak pada dimensi fungsi, konteks, dan konotasi: fiksi
umumnya digunakan dalam konteks kreatif dan memiliki konotasi netral hingga
positif, sedangkan fiktif digunakan dalam konteks
faktual dan memiliki konotasi negatif karena terkait dengan ketidakbenaran atau
manipulasi.⁵ Perbedaan ini menunjukkan pentingnya pemahaman semantik dan
pragmatik dalam penggunaan bahasa secara tepat.
Dari perspektif
linguistik, fenomena ini mencerminkan prinsip divergensi makna dalam cabang
semantik historis dan menunjukkan bahwa kesamaan bentuk morfologis tidak
menjamin kesamaan makna atau fungsi.⁶ Adapun dari sisi pendidikan, perbedaan
konseptual antara fiksi dan fiktif
perlu dijadikan perhatian utama dalam pengajaran literasi bahasa dan sastra,
guna menghindari kesalahpahaman makna serta meningkatkan ketajaman berpikir
kritis siswa dalam menggunakan bahasa.⁷
Implikasi lebih luas
dari kajian ini juga menyentuh ranah literasi media, di mana kemampuan
membedakan antara fiksi sebagai produk naratif yang
sah dan fiktif
sebagai bentuk penyesatan informasi menjadi sangat krusial di era digital dan
post-truth.⁸ Oleh karena itu, pemahaman terhadap perbedaan keduanya tidak hanya
relevan secara teoritis, tetapi juga aplikatif dalam kehidupan sehari-hari,
khususnya dalam praktik komunikasi, pendidikan, dan kebahasaan yang bertanggung
jawab.
Sebagai penutup,
dapat ditegaskan bahwa telaah etimologis dan terminologis bukan sekadar latihan
kebahasaan semata, melainkan sebuah pendekatan penting dalam membangun
kesadaran semantik yang mendalam, akurat, dan kontekstual. Dengan begitu, kita
tidak hanya memahami kata-kata, tetapi juga memahami dunia yang dibentuk oleh kata-kata
tersebut.⁹
Footnotes
[1]
Charlton T. Lewis and Charles Short, A Latin Dictionary
(Oxford: Clarendon Press, 1879), s.v. “fingere.”
[2]
M.H. Abrams and Geoffrey Harpham, A Glossary of Literary Terms,
11th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015), 131.
[3]
Robert Scholes, Structuralism in Literature: An Introduction
(New Haven: Yale University Press, 1974), 41.
[4]
Oxford English Dictionary Online, s.v. “fictitious,” accessed March 22, 2025, https://www.oed.com.
[5]
Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, 2023), s.v. “fiktif.”
[6]
Stephen Ullmann, Semantics: An Introduction to the Science of
Meaning (Oxford: Basil Blackwell, 1962), 84.
[7]
David Crystal, How Language Works (London: Penguin Books,
2005), 238.
[8]
Renee Hobbs, Digital and Media Literacy: Connecting Culture and
Classroom (Thousand Oaks: Corwin, 2011), 71.
[9]
James Paul Gee, An Introduction to Discourse Analysis: Theory and
Method, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 19.
Daftar Pustaka
Abrams, M. H., &
Harpham, G. G. (2015). A glossary of literary terms (11th ed.). Cengage
Learning.
Chaer, A. (2012). Linguistik
umum. Rineka Cipta.
Crystal, D. (2005). How
language works. Penguin Books.
Eagleton, T. (2008). Literary
theory: An introduction (2nd ed.). University of Minnesota Press.
Gee, J. P. (2011). An
introduction to discourse analysis: Theory and method (3rd ed.).
Routledge.
Genette, G. (1980). Narrative
discourse: An essay in method (J. E. Lewin, Trans.). Cornell University
Press.
Hobbs, R. (2011). Digital
and media literacy: Connecting culture and classroom. Corwin.
Hoesein, Z. A. (2020). Akuntansi
forensik dan audit investigatif. Salemba Empat.
Keraf, G. (2004). Komposisi:
Sebuah pengantar kemahiran bahasa. Nusa Indah.
Leech, G. (1981). Semantics:
The study of meaning (2nd ed.). Penguin Books.
Lewis, C. T., & Short,
C. (1879). A Latin dictionary. Clarendon Press.
Marchand, H. (1969). The
categories and types of present-day English word-formation. C.H. Beck’sche
Verlagsbuchhandlung.
McIntyre, L. (2018). Post-truth.
MIT Press.
Nussbaum, M. C. (1995). Poetic
justice: The literary imagination and public life. Beacon Press.
Oxford English Dictionary
Online. (2025). Fiction; Fictitious. Retrieved March 20–22,
2025, from https://www.oed.com
Scholes, R. (1974). Structuralism
in literature: An introduction. Yale University Press.
Suparno, & Yunus, M.
(2004). Keterampilan berbahasa. Universitas Terbuka.
Todorov, T. (1977). The
poetics of prose (R. Howard, Trans.). Blackwell.
Ullmann, S. (1962). Semantics:
An introduction to the science of meaning. Basil Blackwell.
Vaan, M. de. (2008). Etymological
dictionary of Latin and the other Italic languages. Brill.
Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI). (2023). Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Eliyanah, E., &
Priyatni, E. T. (2022). Kesalahan pemaknaan kosakata serapan dalam
penulisan akademik mahasiswa. Jurnal Bahasa dan Sastra, 22(2),
89–90.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar