Pemikiran Pythagoras
Fondasi Filsafat, Matematika, dan Kehidupan Etis dalam
Tradisi Awal Yunani Kuno
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran
Pythagoras, salah satu filsuf paling berpengaruh dari era Yunani Kuno, yang
dikenal karena kemampuannya menyinergikan dimensi rasional, etis, dan spiritual
dalam suatu sistem filsafat integral. Dengan mengacu pada sumber-sumber
kredibel dari literatur klasik dan studi kontemporer, artikel ini mengulas
biografi intelektual Pythagoras, struktur komunitas Pythagorean, serta
kontribusinya dalam bidang matematika, metafisika, dan etika. Melalui gagasan
bahwa bilangan merupakan prinsip ontologis yang mengatur alam semesta,
Pythagoras meletakkan dasar bagi pemahaman kosmos sebagai tatanan harmonis yang
dapat diakses melalui akal dan latihan spiritual. Pemikiran ini memberi
pengaruh besar terhadap filsafat Plato, Neoplatonisme, serta perkembangan sains
modern. Artikel ini juga mengkaji kritik-kritik modern terhadap unsur
numerologis dan mistisisme dalam ajaran Pythagoras, serta interpretasi ulangnya
dalam filsafat dan kosmologi kontemporer. Kesimpulannya, pemikiran Pythagoras
tetap relevan sebagai paradigma filosofis yang memadukan pengetahuan,
kebajikan, dan keharmonisan hidup.
Kata Kunci: Pythagoras, Pythagoreanisme, filsafat Yunani kuno,
metafisika bilangan, harmoni kosmos, etika asketik, pengaruh terhadap Plato, matematika
dan spiritualitas.
PEMBAHASAN
Telaah Kritis atas Pemikiran Pythagoras
1.
Pendahuluan
Dalam lintasan
sejarah intelektual Barat, Pythagoras sering kali ditempatkan sebagai figur
sentral yang menandai transisi penting dari pemikiran mitologis menuju
rasionalitas filosofis. Ia bukan hanya dikenal sebagai matematikawan ulung,
tetapi juga sebagai mistikus, etikus, dan pemikir metafisik yang
mengintegrasikan berbagai dimensi kehidupan manusia dalam satu sistem
kosmologis yang utuh. Dengan menekankan angka sebagai esensi terdalam dari
realitas, Pythagoras membuka jalan bagi sebuah paradigma baru dalam memahami alam
semesta, yaitu bahwa keteraturan dan harmoni dapat ditangkap melalui
prinsip-prinsip matematika yang abadi.
Keunikan posisi
Pythagoras dalam sejarah filsafat tidak hanya terletak pada kontribusi
teknisnya terhadap ilmu ukur, melainkan juga pada kemampuannya meramu
unsur-unsur matematis dengan visi spiritual yang dalam. Ajarannya melampaui
batasan ilmu eksakta dan merambah ke wilayah etika, musik, politik, bahkan
eskatologi. Pemikiran ini kemudian menjadi fondasi penting dalam perkembangan
filsafat Yunani klasik, terutama bagi Plato dan para filsuf Neoplatonis yang
banyak menyerap dan mengadaptasi prinsip-prinsip Pythagorean ke dalam
metafisika dan teori jiwa mereka.1
Tradisi filsafat
Yunani sebelum Socrates, yang sering disebut Presokratik, dikenal dengan
upaya-upaya awal untuk merumuskan prinsip-prinsip dasar realitas (arche).
Pythagoras, yang hidup pada abad ke-6 SM, menonjol di antara para pemikir
Presokratik lainnya karena pendekatannya yang unik terhadap filsafat alam,
yaitu dengan menempatkan angka dan proporsi sebagai dasar dari semua
eksistensi. Pendekatan ini bukan sekadar bersifat teoritis, tetapi juga
diwujudkan dalam komunitas spiritual yang ia dirikan, yaitu mazhab Pythagorean,
yang mempraktikkan gaya hidup asketik, pengendalian diri, dan pencarian harmoni
batin melalui pengetahuan akan keteraturan kosmik.2
Dalam kerangka
inilah, artikel ini akan menelusuri secara komprehensif dimensi-dimensi
pemikiran Pythagoras yang mencakup aspek matematis, metafisis, dan etis.
Pembahasan akan diarahkan pada pemahaman mendalam tentang bagaimana angka—dalam
pengertian Pythagorean—bukan hanya simbol kuantitatif, tetapi juga struktur
kualitatif yang membentuk hakikat dunia dan jiwa manusia. Dengan demikian,
telaah ini tidak hanya penting untuk mengungkap akar-akar rasionalitas ilmiah
dalam filsafat Barat, tetapi juga untuk memahami bagaimana nilai-nilai
spiritual dan etis diintegrasikan dalam pemikiran rasional sejak awal sejarah
filsafat.
Footnotes
[1]
Walter Burkert, Lore and Science in Ancient Pythagoreanism,
trans. Edwin L. Minar Jr. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1972),
129–135.
[2]
Carl A. Huffman, “Pythagoras,” The Stanford Encyclopedia of
Philosophy (Fall 2020), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/archives/fall2020/entries/pythagoras/.
2.
Biografi Singkat Pythagoras
Pythagoras
dilahirkan sekitar tahun 570 SM di pulau Samos, wilayah Ionia, sebuah pusat
budaya dan perdagangan yang berkembang pesat di Yunani Kuno. Meskipun tidak ada
catatan tertulis langsung dari tangan Pythagoras sendiri, tradisi biografi
mengenainya sebagian besar diturunkan melalui tulisan para pengikutnya dan
tokoh-tokoh filsafat kemudian, seperti Porphyrius, Iamblichus, serta catatan
dari Diogenes Laertius.1 Sejak muda, Pythagoras dikenal sebagai
sosok yang haus akan pengetahuan, yang mendorongnya untuk melakukan perjalanan
intelektual ke berbagai pusat peradaban kuno.
Menurut sejumlah sumber,
Pythagoras mengembara ke Mesir, Babilonia, dan mungkin juga India untuk
memperdalam pemahamannya tentang matematika, astronomi, dan spiritualitas. Di
Mesir, ia dikabarkan mempelajari ilmu-ilmu sakral dari para imam dan
mendapatkan pengaruh yang kuat dari sistem pemikiran dan ritus keagamaan
mereka, termasuk gagasan mengenai penyucian jiwa dan transmigrasi roh.2
Pengalaman intelektual ini kelak berpengaruh besar dalam pembentukan
filsafatnya, yang menekankan harmoni kosmik dan penyatuan spiritual.
Setelah kembali ke
Yunani, Pythagoras mengalami konflik dengan rezim tirani Polycrates di Samos
yang menyebabkan ia meninggalkan kampung halamannya dan bermigrasi ke Italia
Selatan, tepatnya di kota Kroton (sekarang Crotone), sekitar tahun 530 SM. Di
sana ia mendirikan sebuah komunitas filsafat yang dikenal sebagai Sekolah
Pythagorean.3 Komunitas ini lebih dari sekadar lembaga
pendidikan: ia merupakan persekutuan religius dan intelektual yang
mengintegrasikan pengajaran matematika, etika, dan kehidupan asketik.
Komunitas
Pythagorean ini dibangun atas prinsip disiplin spiritual, hidup bersama, dan
kesetiaan terhadap pemimpin dan aturan komunitas. Para anggotanya menjalani
gaya hidup vegetarian, praktik kesunyian (esoterisme), dan pengendalian diri
sebagai bentuk penyucian jiwa. Pythagoras sendiri dihormati tidak hanya sebagai
guru, tetapi juga sebagai figur setengah ilahi, bahkan oleh sebagian
pengikutnya dianggap sebagai utusan ilahi atau nabi.4
Namun demikian,
pengaruh Pythagoras di Kroton tidak berlangsung tanpa tantangan. Ketika
komunitasnya tumbuh dan mendapat pengaruh politik yang signifikan, muncul
resistensi dari kelompok-kelompok lokal yang berujung pada serangan terhadap
komunitas Pythagorean. Menurut beberapa versi, Pythagoras harus melarikan diri
atau bahkan wafat dalam peristiwa tersebut, meskipun kronologi dan penyebab
kematiannya masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan.5
Meskipun begitu,
warisan pemikirannya terus bertahan melalui para murid dan pengikutnya, dan
berperan besar dalam membentuk struktur awal pemikiran filsafat dan sains di
Barat. Sosok Pythagoras tetap hidup dalam tradisi filsafat sebagai perintis
yang menyatukan penalaran rasional dan pencarian spiritual dalam satu sistem
pemikiran yang utuh.
Footnotes
[1]
Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, ed. and
trans. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), 2.8.
[2]
Walter Burkert, Lore and Science in Ancient Pythagoreanism,
trans. Edwin L. Minar Jr. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1972),
111–120.
[3]
Carl A. Huffman, “Pythagoras,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy
(Fall 2020 Edition), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/archives/fall2020/entries/pythagoras/.
[4]
W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, vol. I: The
Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge University
Press, 1962), 173–175.
[5]
Christoph Riedweg, Pythagoras: His Life, Teaching, and Influence,
trans. Steven Rendall (Ithaca: Cornell University Press, 2005), 59–61.
3.
Pythagoras dan Tradisi Pythagorean
Pemikiran Pythagoras
tidak dapat dipisahkan dari komunitas spiritual-intelektual yang ia dirikan,
yaitu mazhab
Pythagorean (ho thiasos tōn Pythagoreion), yang
menjadi wadah utama penyebaran doktrin dan praktik filsafatnya. Tradisi ini
tidak hanya mencerminkan sistem ajaran filosofis, tetapi juga mencerminkan
suatu cara hidup yang mencakup aspek moral, ritual, dan metafisik secara
integral. Dalam komunitas ini, filsafat tidak dipahami sebagai aktivitas
teoritis belaka, melainkan sebagai bentuk latihan jiwa (askēsis
psychēs) menuju keselarasan dengan tatanan kosmos.1
3.1.
Komunitas dan Kehidupan
Asketik
Mazhab Pythagorean
di Kroton didirikan sekitar tahun 530 SM dan terdiri dari para murid yang
secara ketat mematuhi aturan komunitas. Pythagoras menekankan kehidupan komunal
yang dijalani secara harmonis, dengan prinsip koinōnia (komunitas hidup bersama)
yang menolak kepemilikan pribadi dan mendorong pengendalian diri serta kesederhanaan
hidup.2 Pola hidup ini bersifat asketik dan spiritual, mencakup
disiplin ketat seperti keheningan (sebagai bentuk pengendalian diri), puasa,
dan pantangan terhadap makanan tertentu—khususnya daging—sebagai bagian dari
ritual penyucian jiwa.
Komunitas tersebut
dibagi ke dalam dua kelompok besar: “matematikoi”, yaitu para murid
inti yang memperoleh ajaran esoteris langsung dari Pythagoras dan menjalani hidup
penuh kedisiplinan spiritual; dan “akousmatikoi”, yaitu para
pendengar yang hanya menerima ajaran lahiriah dan moral dari filsuf tersebut.3
Perbedaan ini menandai adanya tingkatan dalam pemahaman filsafat: dari sekadar
etika praktis menuju kepada visi metafisik yang mendalam tentang hakikat
realitas.
3.2.
Pandangan tentang Jiwa dan
Transmigrasi
Salah satu aspek
sentral dalam tradisi Pythagorean adalah doktrin metempsychosis, yaitu
kepercayaan bahwa jiwa manusia bersifat abadi dan akan bereinkarnasi ke dalam
berbagai bentuk kehidupan setelah kematian, tergantung pada kualitas moral
kehidupan sebelumnya.4 Jiwa dianggap terpenjara dalam tubuh (sōma
sēma), dan tujuan hidup adalah pembebasan dari siklus kelahiran
kembali melalui penyucian (katharsis) dan pengetahuan (gnōsis).
Dalam pandangan
Pythagorean, hidup yang selaras dengan tatanan kosmik akan mempercepat proses
pemurnian jiwa dan mendekatkannya kepada yang ilahi. Oleh sebab itu, filsafat
dijalankan sebagai bentuk pertapaan moral dan spiritual, bukan semata-mata
sebagai proses intelektual. Seperti dicatat oleh Iamblichus, “hidup
Pythagoras adalah suatu bentuk filsafat yang dijalani secara utuh—dengan
keharmonisan sebagai prinsip utama.”_5
3.3.
Keteraturan Hidup
Berdasarkan Harmoni Kosmik
Ciri khas ajaran
Pythagorean adalah keyakinan bahwa seluruh alam semesta diatur
oleh prinsip harmoni dan bilangan. Kehidupan manusia yang baik,
menurut mereka, harus mencerminkan keteraturan yang sama yang berlaku di alam.
Maka, setiap aspek kehidupan—mulai dari etika, musik, matematika, hingga
hubungan sosial—dipandang sebagai manifestasi dari struktur bilangan yang
mendasari kosmos.6
Pengajaran dalam
mazhab ini menggunakan simbol-simbol dan aforisme numerik sebagai media
kontemplatif. Misalnya, angka empat (tetraktys) dipuja sebagai lambang
kesempurnaan karena mewakili penjumlahan empat bilangan pertama (1+2+3+4=10),
yang dianggap sebagai dasar harmoni dan tatanan segala sesuatu.7
Dengan demikian, pendidikan dalam tradisi Pythagorean bukan hanya bersifat
rasional tetapi juga religius dan simbolik.
Tradisi Pythagorean,
sebagaimana diwariskan oleh Pythagoras dan diteruskan oleh para pengikutnya,
bukan sekadar warisan matematis, tetapi sebuah sistem kehidupan filosofis yang
menyatukan pemurnian etis, pemahaman kosmologis, dan praktik spiritual dalam
satu kesatuan yang koheren. Komunitas ini menandai fase awal filsafat sebagai
cara hidup (bios philosophos), suatu warisan
yang kelak dihidupkan kembali oleh filsuf-filsuf besar seperti Plato, Plotinus,
dan bahkan dalam spiritualitas filsafat Islam dan Kristen Abad Pertengahan.
Footnotes
[1]
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life: Spiritual Exercises from
Socrates to Foucault, ed. Arnold I. Davidson, trans. Michael Chase
(Oxford: Blackwell, 1995), 104.
[2]
Walter Burkert, Lore and Science in Ancient Pythagoreanism,
trans. Edwin L. Minar Jr. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1972),
110–115.
[3]
Carl A. Huffman, “Pythagoras,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy
(Fall 2020), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/archives/fall2020/entries/pythagoras/.
[4]
W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, vol. I: The
Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge University
Press, 1962), 191–194.
[5]
Iamblichus, Life of Pythagoras, trans. Thomas Taylor (London:
J.M. Watkins, 1818), 35–36.
[6]
Christoph Riedweg, Pythagoras: His Life, Teaching, and Influence,
trans. Steven Rendall (Ithaca: Cornell University Press, 2005), 79–83.
[7]
John Burnet, Early Greek Philosophy, 4th ed. (London: A. &
C. Black, 1930), 86.
4.
Matematika sebagai Jalan Menuju Kebenaran
Bagi Pythagoras dan
mazhab Pythagorean, matematika bukan sekadar alat untuk memahami
realitas fisik, melainkan merupakan wahyu kosmis yang mengungkapkan
struktur terdalam dari segala sesuatu. Dalam tradisi ini, angka dipandang
sebagai prinsip ontologis—yakni substansi dasar dari eksistensi—dan matematika
sebagai sarana epistemologis untuk mengakses kebenaran metafisik. Dengan kata
lain, bilangan dan proporsi bukan hanya alat pengukuran, tetapi juga
manifestasi dari tatanan ilahi yang mengatur alam semesta.1
4.1.
Angka sebagai Prinsip
Realitas (Arithmos kai Physis)
Pythagoras adalah
filsuf pertama yang secara eksplisit merumuskan gagasan bahwa angka
merupakan dasar segala sesuatu (arithmos einai tēs ousias).
Pandangan ini berpijak pada pengamatan terhadap keteraturan alam—seperti
pergerakan bintang, siklus waktu, dan bentuk-bentuk geometris—yang semuanya
mengikuti pola numerik tertentu.2 Dalam konteks ini, angka tidak
dipahami secara abstrak semata, melainkan sebagai prinsip aktif yang membentuk
dan menata dunia (kosmos), yang secara etimologis
berarti “tatanan” atau “keindahan”.
Konsepsi ini
membentuk dasar dari metafisika Pythagorean, di mana
angka memiliki status ontologis yang serupa dengan konsep "ide"
dalam filsafat Platonik. Misalnya, angka satu (1) melambangkan kesatuan dan
asal mula, dua (2) melambangkan dualitas dan gerakan, tiga (3) sebagai harmoni,
dan empat (4) sebagai fondasi kesempurnaan dalam tetraktys.3 Dengan
demikian, matematika menjadi instrumen kontemplatif untuk merenungkan hakikat
eksistensi.
4.2.
Teorema Pythagoras dan Simbolisme
Geometris
Meskipun dikenal
luas karena Teorema Pythagoras—yaitu bahwa
dalam segitiga siku-siku, kuadrat sisi miring sama dengan jumlah kuadrat kedua
sisi lainnya (a² + b² = c²)—peran teorema ini dalam tradisi Pythagorean jauh
melampaui ranah geometri praktis. Ia menjadi lambang keteraturan kosmik dan
hubungan proporsional dalam realitas. Teorema ini juga diterapkan dalam
arsitektur, musik, dan astronomi, menunjukkan bahwa keteraturan bilangan
berlaku universal.4
Di antara para murid
Pythagoras, geometri dianggap sebagai bentuk pengetahuan yang lebih tinggi
karena membebaskan pikiran dari pengaruh dunia indrawi dan mengarahkan jiwa
menuju bentuk-bentuk abadi dan sempurna. Dengan demikian, teorema dan
bentuk-bentuk matematis berfungsi sebagai jembatan antara dunia fisik dan dunia ide.5
4.3.
Musik dan Harmoni: Bilangan
sebagai Suara Alam Semesta
Kontribusi besar
lainnya dari Pythagoras adalah penemuan prinsip harmoni musik berdasarkan
proporsi bilangan. Ia menemukan bahwa interval musik yang
menyenangkan dihasilkan dari rasio numerik sederhana, seperti 1:2 (oktaf), 2:3
(kwint), dan 3:4 (kwart). Hal ini meyakinkan Pythagoras bahwa musik
bukan sekadar seni subjektif, melainkan ekspresi langsung dari keteraturan
matematis alam.6
Dari sinilah lahir
konsep “harmonia
mundi”, yaitu pandangan bahwa seluruh alam semesta adalah
simfoni harmonis yang dikendalikan oleh hukum-hukum bilangan. Sebagaimana
senar-senar menghasilkan bunyi melalui getaran teratur, begitu pula bintang-bintang
dan planet diyakini menghasilkan musik sferis (musik dari bola
langit), meskipun tidak terdengar oleh telinga manusia biasa. Pemahaman ini
memperkuat kepercayaan Pythagorean bahwa matematika adalah bahasa semesta dan jalan
menuju pencerahan spiritual.7
4.4.
Matematika dan Jiwa: Jalan
Menuju Pembersihan Diri
Dalam tradisi
Pythagorean, mempelajari matematika juga dianggap sebagai bentuk penyucian jiwa
(katharsis
psychēs). Karena matematika berhubungan dengan hal-hal yang tetap,
teratur, dan abadi, maka mengarahkan perhatian padanya membantu membebaskan
jiwa dari keterikatan pada dunia materi yang penuh perubahan dan kekacauan.8
Dalam pandangan ini, aktivitas intelektual adalah bentuk ibadah,
dan pengetahuan matematis merupakan sarana menuju kesatuan dengan tatanan
ilahi.
Pemahaman
Pythagorean tentang matematika mengubah paradigma ilmu pengetahuan pada masanya
dan mewariskan fondasi yang akan berpengaruh besar bagi para filsuf setelahnya,
termasuk Plato dan Kepler. Bagi Pythagoras, matematika bukan hanya alat
berpikir, tetapi juga cara hidup, bentuk kontemplasi,
dan jalan mistik menuju kebenaran tertinggi.
Footnotes
[1]
Christoph Riedweg, Pythagoras: His Life, Teaching, and Influence,
trans. Steven Rendall (Ithaca: Cornell University Press, 2005), 70–74.
[2]
W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, vol. I: The
Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge University
Press, 1962), 229–232.
[3]
John Burnet, Early Greek Philosophy, 4th ed. (London: A. &
C. Black, 1930), 91–94.
[4]
Carl A. Huffman, “Pythagoras,” The Stanford Encyclopedia of
Philosophy (Fall 2020), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/archives/fall2020/entries/pythagoras/.
[5]
Walter Burkert, Lore and Science in Ancient Pythagoreanism,
trans. Edwin L. Minar Jr. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1972),
136–138.
[6]
James Hannam, God’s Philosophers: How the Medieval World Laid the
Foundations of Modern Science (London: Icon Books, 2009), 45–47.
[7]
Thomas Stanley, Pythagoras: His Life and Teachings (New York:
Philosophical Library, 1956), 108–111.
[8]
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life, ed. Arnold I.
Davidson, trans. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 107–110.
5.
Metafisika dan Kosmologi Pythagoras
Pemikiran Pythagoras
mengenai metafisika dan kosmologi
merupakan dimensi integral dari filsafatnya yang menyatukan bilangan, struktur
alam semesta, dan keberadaan jiwa dalam suatu sistem yang harmonis dan
rasional. Dalam tradisi Pythagorean, kosmos bukanlah sekadar kumpulan materi
atau benda-benda fisik, tetapi sebuah struktur harmonis yang tertata menurut prinsip
bilangan, mencerminkan tatanan rasional yang bersifat ilahi.
Metafisika Pythagoras tidak hanya menyentuh aspek substansial dari realitas,
tetapi juga melibatkan aspek teleologis dan spiritual yang menempatkan manusia
dalam relasi moral dengan alam semesta.
5.1.
Kosmos sebagai Tatanan
Numerik yang Suci
Pythagoras dan para
pengikutnya beranggapan bahwa segala sesuatu yang ada tersusun dan dipahami
melalui bilangan. Dalam pandangan ini, angka bukan hanya alat
bantu manusia untuk menghitung, tetapi merupakan prinsip
realitas itu sendiri (to arithmon einai tēs ousias). Hal ini
berarti bahwa bilangan memiliki status ontologis yang menyusun dan menentukan
bentuk serta struktur segala sesuatu yang ada di alam semesta.1
Konsep ini tercermin
dalam istilah “kosmos” yang pertama kali digunakan oleh Pythagoras untuk
menunjuk alam semesta sebagai suatu tatanan yang harmonis dan indah,
bukan kekacauan atau kebetulan. Kosmos bersifat tertib karena diatur oleh
hukum-hukum matematis, dan keteraturan ini mencerminkan prinsip harmoni yang
mengikat segala elemen menjadi satu kesatuan yang koheren.2 Dalam
hal ini, metafisika Pythagorean bersifat
monistik-harmonis: dunia tidak terdiri dari unsur material yang
bersaing, melainkan dari satu prinsip universal, yakni bilangan, yang
menyatukan semua fenomena.
5.2.
Struktur Bilangan dan
Dualitas Kosmis
Dalam kerangka
metafisika Pythagorean, bilangan tidak hanya mencerminkan kuantitas, tetapi
juga kualitas. Setiap bilangan memiliki makna simbolik dan metafisik tertentu:
satu (1) mewakili kesatuan dan asal mula; dua (2) melambangkan perbedaan dan
konflik; tiga (3) menyiratkan harmoni dan rekonsiliasi; dan empat (4), terutama
dalam bentuk tetraktys (1+2+3+4=10),
melambangkan kesempurnaan dan fondasi dari realitas.3
Selain itu,
Pythagorean juga memperkenalkan konsep dualitas metafisik yang
meliputi pasangan-pasangan seperti terbatas–tak terbatas, ganjil–genap,
satu–banyak, kanan–kiri, terang–gelap, baik–jahat. Semua dualitas ini dipandang
sebagai manifestasi dari ketegangan dan harmoni kosmis yang bekerja melalui
prinsip bilangan dan keseimbangan.4 Maka dari itu, pemahaman
metafisika dalam tradisi ini selalu terkait dengan upaya menyatukan dua prinsip
yang tampak bertentangan ke dalam suatu keselarasan yang lebih tinggi.
5.3.
Jiwa dan Tatanan Semesta
Dalam kosmologi
Pythagorean, jiwa manusia adalah bagian dari kosmos dan
tunduk pada hukum-hukum yang sama dengan alam semesta. Jiwa
dianggap bersifat ilahi dan berasal dari wilayah langit, tetapi terjebak dalam
tubuh sebagai bentuk hukuman atau ketidaksempurnaan. Tujuan filsafat, dalam
kerangka ini, adalah untuk mengembalikan jiwa kepada asal-usul ilahinya melalui
pengetahuan
tentang tatanan kosmos dan hidup sesuai dengannya.5
Melalui proses katharsis
(penyucian), jiwa dibebaskan dari pengaruh dunia material dan dididik untuk
memahami prinsip-prinsip ilahi yang memerintah kosmos. Pengetahuan
metafisik tentang angka dan harmoni menjadi alat untuk
membimbing jiwa menuju kehidupan yang lebih tinggi dan abadi. Oleh karena itu, kosmologi
dan metafisika Pythagoras bersifat soteriologis, yaitu tidak
hanya menjelaskan asal-usul dunia tetapi juga memberikan jalan keselamatan bagi
jiwa.6
5.4.
Musik Sferis: Harmoni Alam
Semesta
Salah satu aspek
paling imajinatif dalam kosmologi Pythagoras adalah doktrin tentang “musik sferis”
(music of the spheres), yakni kepercayaan bahwa planet dan
bintang menghasilkan musik saat bergerak melalui angkasa. Meskipun suara ini
tidak terdengar oleh telinga manusia biasa, jiwa yang telah disucikan diyakini
mampu menangkap harmoni ilahi tersebut.7
Menurut mazhab
Pythagorean, pergerakan benda-benda langit mengikuti rasio numerik yang sama
dengan harmoni musik, dan dengan demikian mencerminkan prinsip keteraturan
kosmis yang absolut. Gagasan ini memperkuat pandangan bahwa realitas
bersifat musikal dan matematis secara fundamental, serta bahwa
pengetahuan sejati adalah pengetahuan tentang tatanan yang mengatur semuanya.
Metafisika dan
kosmologi Pythagoras menunjukkan bahwa dunia bukanlah sekadar objek observasi
fisik, melainkan medan spiritual yang penuh makna. Dengan menempatkan bilangan
sebagai prinsip utama realitas, Pythagoras menawarkan sebuah visi filsafat yang
menyatukan pengetahuan rasional, pengalaman estetis, dan pencerahan spiritual
dalam satu kesatuan yang utuh.
Footnotes
[1]
Christoph Riedweg, Pythagoras: His Life, Teaching, and Influence,
trans. Steven Rendall (Ithaca: Cornell University Press, 2005), 74–78.
[2]
Carl A. Huffman, “Pythagoras,” The Stanford Encyclopedia of
Philosophy (Fall 2020), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/archives/fall2020/entries/pythagoras/.
[3]
John Burnet, Early Greek Philosophy, 4th ed. (London: A. &
C. Black, 1930), 91–94.
[4]
W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, vol. I: The
Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge University
Press, 1962), 235–238.
[5]
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life: Spiritual Exercises from
Socrates to Foucault, ed. Arnold I. Davidson, trans. Michael Chase
(Oxford: Blackwell, 1995), 105–107.
[6]
Walter Burkert, Lore and Science in Ancient Pythagoreanism,
trans. Edwin L. Minar Jr. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1972),
142–146.
[7]
Thomas Stanley, Pythagoras: His Life and Teachings (New York:
Philosophical Library, 1956), 114–116.
6.
Etika dan Kehidupan Spiritual
Etika dalam filsafat
Pythagoras tidak berdiri sendiri sebagai sistem normatif, melainkan berakar
dalam pemahaman metafisis tentang harmoni kosmis dan transmigrasi
jiwa. Dalam tradisi Pythagorean, kehidupan moral merupakan
manifestasi konkret dari pengetahuan tentang tatanan semesta, dan praktik etis
dilihat sebagai latihan spiritual (askēsis)
untuk menyucikan jiwa serta menyelaraskan hidup manusia dengan prinsip
universal yang bersifat ilahi.
6.1.
Filsafat sebagai Latihan
Etis-Spiritual
Pythagoras tidak
memisahkan filsafat dari cara hidup; sebaliknya, ia menjadikan filsafat sebagai
“bios
philosophos”—cara hidup yang berakar pada disiplin moral dan
spiritual. Hidup yang baik, menurut ajaran Pythagoras, bukan ditentukan oleh
kenikmatan atau kepuasan duniawi, melainkan oleh kemampuan
jiwa untuk hidup selaras dengan tatanan kosmis yang diwujudkan
dalam bilangan dan harmoni.1
Pierre Hadot
menyebut pendekatan ini sebagai philosophy as a way of life, di
mana praktik-praktik seperti pengendalian diri, kontemplasi, kesunyian, dan
pengaturan pola makan dianggap sebagai bagian integral dari transformasi batin.2
Dalam konteks ini, etika menjadi bentuk latihan jiwa untuk membebaskan diri
dari hasrat duniawi dan mencapai keheningan batin (hesychia), sebuah keadaan spiritual
yang mencerminkan ketenangan tatanan alam.
6.2.
Prinsip Moral Pythagorean
Tradisi Pythagorean
mengajarkan sejumlah prinsip moral yang dikodifikasikan dalam bentuk aforisme
atau maksima, yang dikenal sebagai “akousmata”. Prinsip-prinsip
ini mencakup petunjuk praktis seperti menghormati para dewa, menjaga kejujuran,
menahan amarah, serta menghindari makanan tertentu (misalnya daging dan
kacang-kacangan tertentu) sebagai bagian dari praktik penyucian diri.3
Etika Pythagorean
juga menekankan pentingnya keadilan, keseimbangan, dan kesederhanaan
sebagai bentuk nyata dari harmoni batin. Keutamaan (aretē) bukan hanya tujuan etis,
melainkan juga kondisi ideal yang memungkinkan jiwa mendekati kesempurnaan
kosmis. Melalui pengembangan keutamaan inilah manusia diharapkan dapat
mengakhiri siklus kelahiran kembali (metempsychosis) dan bersatu kembali
dengan prinsip ilahi yang menjadi sumber eksistensi.
6.3.
Asketisisme dan
Pengendalian Diri
Asketisisme dalam
komunitas Pythagorean bukanlah bentuk penyiksaan diri, melainkan metode
transformasi eksistensial. Praktik vegetarian, larangan
terhadap konsumsi alkohol, serta pola tidur dan makan yang teratur merupakan
bagian dari proses internalisasi nilai-nilai etis dan pengendalian dorongan
nafsu yang dianggap memperkeruh kejernihan jiwa.4
Pythagoras
mengajarkan bahwa pengendalian diri (enkrateia) adalah jalan menuju
kebijaksanaan karena jiwa yang tidak terkendali akan tertutup dari cahaya
kebenaran. Dengan mengatur kehidupan jasmani dan mental melalui prinsip
matematika dan proporsi, manusia dilatih untuk membangun keselarasan
antara dunia dalam dan luar.
6.4.
Hubungan Etika dan
Kosmologi
Etika Pythagorean
bersifat kosmosentris, bukan
antropocentris. Artinya, nilai-nilai moral diturunkan dari prinsip tatanan
kosmik, bukan dari kehendak subjektif manusia. Oleh sebab itu, seseorang
bertindak secara etis bukan karena dorongan pribadi atau kepentingan sosial
semata, melainkan karena ia sadar akan posisinya dalam struktur semesta dan
berusaha hidup menurut prinsip ilahi yang mengatur dunia.5
Dalam hal ini, kehidupan
etis identik dengan kehidupan spiritual, dan pemahaman tentang
alam semesta menjadi fondasi bagi pembentukan karakter. Inilah yang menjadikan
filsafat Pythagorean sebagai filsafat yang holistik—menggabungkan teori,
praktik, moralitas, dan spiritualitas dalam satu sistem.
Etika dalam tradisi
Pythagoras merupakan refleksi dari pandangan metafisik bahwa segala sesuatu
memiliki tempat dan keteraturan dalam kosmos. Dengan menginternalisasi
prinsip-prinsip harmoni, pengendalian diri, dan kesucian, individu tidak hanya
menjalani kehidupan yang baik secara moral, tetapi juga berpartisipasi dalam
ritme ilahi yang menghidupi semesta.
Footnotes
[1]
Christoph Riedweg, Pythagoras: His Life, Teaching, and Influence,
trans. Steven Rendall (Ithaca: Cornell University Press, 2005), 92–96.
[2]
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life: Spiritual Exercises from
Socrates to Foucault, ed. Arnold I. Davidson, trans. Michael Chase
(Oxford: Blackwell, 1995), 104–110.
[3]
Walter Burkert, Lore and Science in Ancient Pythagoreanism,
trans. Edwin L. Minar Jr. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1972),
160–163.
[4]
W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, vol. I: The
Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge University
Press, 1962), 255–258.
[5]
Carl A. Huffman, “Pythagoras,” The Stanford Encyclopedia of
Philosophy (Fall 2020), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/archives/fall2020/entries/pythagoras/.
7.
Pengaruh dan Warisan Pemikiran Pythagoras
Pengaruh pemikiran
Pythagoras sangat luas dan mendalam, mencakup berbagai ranah filsafat, ilmu
pengetahuan, spiritualitas, dan kebudayaan Barat secara umum. Warisannya tidak
hanya bertahan dalam bentuk sistem matematika dan kosmologi, tetapi juga dalam
cara berpikir metafisik dan etis yang menghubungkan struktur realitas dengan
kehidupan manusia. Dari Plato hingga filsafat Neoplatonis, dari astronomi
Copernican hingga spiritualitas Renaissance, jejak-jejak Pythagoreanisme terus
beresonansi dalam sejarah pemikiran dunia.
7.1.
Pengaruh terhadap Plato dan
Filsafat Yunani Klasik
Salah satu warisan
intelektual terbesar Pythagoras terlihat dalam pemikiran Plato,
yang secara eksplisit menyerap banyak elemen dari ajaran Pythagorean, terutama
dalam hal matematika sebagai dasar realitas
dan konsepsi
jiwa sebagai entitas yang abadi dan rasional. Dalam Timaeus,
Plato menggambarkan alam semesta sebagai makhluk hidup yang diciptakan oleh Demiurgos
menggunakan prinsip-prinsip bilangan dan harmoni, suatu gagasan yang berasal langsung
dari kosmologi Pythagorean.1
Selain itu, struktur
sistem pendidikan dalam Republik mencerminkan ajaran
Pythagorean bahwa jiwa harus dilatih melalui tahapan matematika dan dialektika
untuk mencapai pemahaman tertinggi tentang realitas. Penekanan Plato terhadap
bentuk-bentuk ideal (eide) yang tidak berubah juga
sejalan dengan pandangan Pythagoras mengenai angka sebagai struktur tetap yang
mengatur segala perubahan di dunia fisik.2
7.2.
Neopythagoreanisme dan
Neoplatonisme
Pada era Romawi,
terjadi kebangkitan kembali ajaran Pythagorean dalam bentuk Neopythagoreanisme,
sebuah gerakan filsafat yang menekankan kembali nilai-nilai asketik, metafisika
angka, dan pencarian spiritual. Tokoh-tokoh seperti Apollonius
dari Tyana dan Numenius dari Apamea memadukan
ajaran Pythagorean dengan mistisisme Timur dan doktrin Platonik, membentuk
landasan bagi Neoplatonisme.3
Dalam Neoplatonisme,
terutama pada karya-karya Plotinus dan Porphyrius, prinsip-prinsip harmoni,
hierarki kosmik, dan pendakian jiwa menuju sumber ilahi kembali ditegaskan. Porphyrius
bahkan menulis biografi Pythagoras, yang mengidealkan sang
filsuf sebagai model filsafat hidup yang suci dan teratur.4 Dengan
demikian, ajaran Pythagoras menjadi semacam ars vitae, seni hidup filosofis
yang menyatukan etika, metafisika, dan mistisisme.
7.3.
Pengaruh terhadap Ilmu
Pengetahuan dan Astronomi Modern
Konsep tatanan
numerik yang mengatur alam semesta yang diwariskan oleh
Pythagoras memberi inspirasi besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern.
Dalam karyanya Mysterium Cosmographicum (1596), Johannes
Kepler secara eksplisit mengacu pada gagasan musik sferis dan
menyatakan bahwa “geometri adalah arsitektur ilahi.”_5 Kepler
meyakini bahwa hukum-hukum pergerakan planet mencerminkan harmoni matematis,
sejalan dengan visi Pythagorean tentang keteraturan kosmos.
Pemikiran Pythagoras
juga membentuk kerangka awal dalam filsafat sains yang berusaha menemukan
hukum-hukum universal dalam bentuk rumus matematis. Tradisi ini berlanjut
hingga Isaac Newton dan fisika modern, di mana matematika digunakan sebagai bahasa utama untuk
menjelaskan realitas. Konsep “alam sebagai kitab matematika”
(nature is written in the language of mathematics), sebagaimana
diungkapkan Galileo Galilei, merupakan manifestasi modern dari pandangan
Pythagorean klasik.6
7.4.
Pengaruh dalam Filsafat
Islam dan Renaisans Barat
Dalam tradisi
filsafat Islam, banyak tokoh—seperti al-Fārābī, Ikhwān
al-Ṣafāʼ, dan Suhrawardī—mengintegrasikan unsur-unsur
Pythagorean, terutama dalam kosmologi, teori musik, dan filsafat jiwa. Dalam Rasāʼil
Ikhwān al-Ṣafāʼ, misalnya, musik dan bilangan digunakan untuk
memahami tatanan spiritual dan pergerakan langit, mencerminkan prinsip harmonia
mundi ala Pythagoras.7
Demikian pula, humanisme
Renaisans menyerap kembali semangat Pythagorean melalui
tokoh-tokoh seperti Marsilio Ficino dan Pico della Mirandola yang memandang
filsafat sebagai jalan menuju penyatuan dengan prinsip ilahi. Tradisi ini
menjadikan Pythagoras sebagai simbol filsuf ideal: orang bijak yang memadukan
akal, estetika, dan kehidupan moral dalam satu harmoni yang utuh.8
Dengan demikian,
pengaruh Pythagoras melintasi batas zaman dan disiplin, dari metafisika Yunani
klasik hingga filsafat Islam, dari matematika murni hingga etika spiritual.
Warisannya tidak hanya membentuk cara berpikir ilmiah dan filosofis, tetapi
juga menegaskan bahwa pencarian kebenaran harus melibatkan keharmonisan antara
akal, jiwa, dan kosmos.
Footnotes
[1]
Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl (Indianapolis: Hackett
Publishing, 2000), 27–30.
[2]
W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, vol. I: The
Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge University
Press, 1962), 301–306.
[3]
John Dillon, The Middle Platonists: A Study of Platonism 80 B.C. to
A.D. 220 (Ithaca: Cornell University Press, 1996), 89–92.
[4]
Porphyry, Life of Pythagoras, trans. Kenneth Sylvan Guthrie
(Grand Rapids: Phanes Press, 1987), 3–5.
[5]
Johannes Kepler, Mysterium Cosmographicum, trans. A. M. Duncan
(New York: Abaris Books, 1981), 109–112.
[6]
Galileo Galilei, Il Saggiatore (The Assayer), in The
Controversy on the Comets of 1618, trans. Stillman Drake (Philadelphia:
University of Pennsylvania Press, 1960), 183.
[7]
Ikhwān al-Ṣafāʼ, Rasāʼil Ikhwān al-Ṣafāʼ, ed. and trans. Nasr
et al. (Oxford: Oxford University Press, 2010), 55–57.
[8]
Marsilio Ficino, The Letters of Marsilio Ficino, vol. 1,
trans. Language Department of the School of Economic Science (London:
Shepheard-Walwyn, 1975), 121–124.
8.
Kritik dan Interpretasi Modern
Meskipun pemikiran
Pythagoras memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan filsafat,
matematika, dan spiritualitas dalam tradisi intelektual Barat, para sarjana
modern tidak luput dari sikap kritis terhadap berbagai aspek dalam warisan
intelektualnya. Kritik-kritik tersebut muncul terutama dari sudut pandang
historis, epistemologis, dan metodologis. Di sisi lain, interpretasi
kontemporer juga menunjukkan minat yang besar untuk merehabilitasi atau
menafsirkan kembali gagasan-gagasan Pythagorean dalam konteks filosofis dan
ilmiah modern, menjadikannya relevan bagi diskusi lintas disiplin di abad
ke-21.
8.1.
Kesulitan Historiografis
dan Keotentikan Ajaran
Salah satu masalah
utama dalam kajian modern terhadap Pythagoras adalah minimnya
sumber primer yang berasal langsung dari dirinya. Tidak ada
satu pun karya tulis asli yang diketahui berasal dari Pythagoras; seluruh
ajaran dan catatan tentang hidupnya disampaikan melalui tangan para pengikutnya
atau filsuf-filsuf kemudian, seperti Porphyrius, Iamblichus, dan Diogenes
Laertius, yang hidup ratusan tahun setelah Pythagoras wafat.1
Sebagai akibatnya, pemilahan
antara ajaran asli Pythagoras dan elaborasi dari mazhab Pythagorean menjadi
sangat sulit. Sejumlah sejarawan filsafat, seperti Walter
Burkert, menunjukkan bahwa banyak bagian dari kosmologi dan metafisika yang
secara tradisional dikaitkan dengan Pythagoras lebih mungkin berasal dari
pengikutnya pada masa kemudian, terutama dari Neopythagoreanisme abad ke-1 SM
ke atas.2 Oleh karena itu, banyak pemikir modern lebih berhati-hati
dalam menisbatkan gagasan tertentu secara langsung kepada Pythagoras.
8.2.
Kritik Epistemologis
terhadap “Numerologi”
Salah satu kritik
tajam yang dilontarkan terhadap Pythagoreanisme adalah kecenderungannya
menuju numerologi—yaitu anggapan bahwa bilangan tidak hanya
bersifat kuantitatif, tetapi juga memiliki makna metafisik atau moral tertentu.
Dalam kerangka ilmiah modern, pendekatan ini dianggap terlalu spekulatif dan
tidak dapat dibuktikan secara empiris. Bertrand Russell, misalnya, menilai
bahwa Pythagoras memadukan mistisisme religius dengan logika matematika, yang
pada akhirnya menimbulkan dualitas yang membingungkan dalam sejarah filsafat
Barat.3
Kritik ini
mencerminkan pandangan filsafat sains modern yang menekankan verifikasi
empiris dan metode kuantitatif yang ketat, yang tentu saja
tidak sejalan dengan spekulasi metafisik Pythagorean mengenai musik sferis atau
keabadian angka. Bagi banyak ilmuwan kontemporer, keberhasilan matematika
modern justru terletak pada pemisahannya dari muatan metafisik dan religius.
8.3.
Reinterpretasi dalam
Konteks Filsafat dan Ilmu Kontemporer
Namun demikian,
tidak sedikit pula pemikir kontemporer yang mencoba mereinterpretasikan
Pythagoras secara positif dalam konteks interdisipliner modern.
Salah satunya adalah dalam bidang kosmologi teoritis dan filsafat matematika,
di mana gagasan bahwa alam semesta memiliki struktur matematis kembali mendapat
perhatian. Peneliti seperti Max Tegmark dalam The Mathematical Universe Hypothesis
menyatakan bahwa realitas fisik pada dasarnya bersifat matematis—sebuah gagasan
yang secara esensial menggemakan filsafat Pythagorean.4
Demikian pula, dalam
konteks filsafat pendidikan dan spiritualitas
kontemplatif, pemikiran Pythagoras tentang pembentukan jiwa
melalui harmoni dan latihan diri banyak diangkat kembali, terutama dalam
gerakan kontemporer seperti philosophy as a way of life (Pierre
Hadot) dan spiritual
exercises (Michel Foucault). Pendekatan ini menghidupkan kembali
aspek transformasional dari filsafat kuno, menjadikan Pythagoras relevan dalam
pengembangan etika pribadi dan pendidikan karakter di masa kini.5
8.4.
Simbolisme dan Nilai Budaya
Terlepas dari kritik
rasional-modern, Pythagoras tetap menjadi figur simbolik dalam sejarah intelektual dan
budaya. Ia kerap digambarkan sebagai arketipe filsuf yang
menyatukan ilmu dan spiritualitas, serta sebagai sosok guru bijak yang hidup
dalam keselarasan dengan alam semesta. Dalam seni, sastra, dan budaya populer,
Pythagoras terus muncul sebagai ikon dari harmoni kosmik dan pencarian
kebenaran yang menyeluruh.
Dengan demikian,
meskipun pendekatan metafisik dan numerologis Pythagoras mendapat tantangan
dari sains modern, relevansi filosofis dan etis dari ajarannya
terus dipertimbangkan dalam diskursus kontemporer. Ia tetap
dikenang bukan semata sebagai pionir matematika, tetapi juga sebagai pemikir
yang mengusulkan bahwa pengetahuan sejati harus melibatkan keteraturan
rasional, latihan spiritual, dan keterhubungan mendalam antara manusia dan alam
semesta.
Footnotes
[1]
Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, ed. and
trans. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), 2.8.
[2]
Walter Burkert, Lore and Science in Ancient Pythagoreanism,
trans. Edwin L. Minar Jr. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1972),
15–21.
[3]
Bertrand Russell, A History of Western Philosophy (London:
Routledge, 1946), 28–32.
[4]
Max Tegmark, “The Mathematical Universe,” Foundations of Physics
38, no. 2 (2008): 101–150.
[5]
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life: Spiritual Exercises from
Socrates to Foucault, ed. Arnold I. Davidson, trans. Michael Chase
(Oxford: Blackwell, 1995), 103–110.
9.
Kesimpulan
Pemikiran Pythagoras
menempati posisi yang sangat penting dalam sejarah filsafat karena ia tidak hanya
memperkenalkan pendekatan rasional terhadap alam semesta melalui matematika,
tetapi juga menyatukannya dengan dimensi etis dan spiritual kehidupan manusia.
Dalam warisan intelektualnya, kita menemukan fondasi bagi pandangan dunia yang
integral, di mana bilangan, kosmos, jiwa, dan etika membentuk suatu sistem yang
koheren dan saling menopang. Hal ini membedakan Pythagoras dari tokoh-tokoh
Presokratik lainnya, karena ia tidak hanya mencari arche sebagai prinsip fisik semata,
tetapi menjadikannya sebagai prinsip hidup yang membentuk struktur realitas
sekaligus tatanan moral manusia.1
Dari sisi ilmiah,
warisan Pythagoras memberikan dasar bagi perkembangan matematika
sebagai bahasa alam, sebagaimana kemudian diwujudkan dalam
filsafat Platonik dan ilmu pengetahuan modern. Gagasan bahwa realitas bersifat
matematis dan teratur, seperti yang tercermin dalam konsep harmonia
mundi, mengilhami generasi filsuf dan ilmuwan mulai dari Plato
hingga Kepler dan Newton.2 Bahkan dalam kosmologi kontemporer dan
filsafat matematika, pemikiran Pythagorean kembali mendapatkan tempat sebagai
pendekatan alternatif terhadap realitas fisik dan struktural.3
Di sisi lain,
dimensi etis dan spiritual dalam ajaran Pythagoras memperlihatkan bahwa filsafat
tidak hanya menyangkut pengetahuan teoretis, tetapi juga transformasi
eksistensial. Kehidupan asketik, keselarasan batin,
pengendalian diri, dan latihan jiwa adalah bagian dari upaya menyelaraskan diri
dengan hukum-hukum alam yang bersifat ilahi. Pandangan ini sangat berpengaruh
dalam tradisi-tradisi filsafat selanjutnya, baik dalam Neoplatonisme, filsafat
Islam, maupun dalam spiritualitas filsafat Renaissance.4
Namun demikian,
perlu diakui bahwa keterbatasan sumber historis membuat penilaian terhadap
pemikiran asli Pythagoras memerlukan kehati-hatian. Sebagian besar ajaran yang
dikenal sebagai Pythagoreanisme mungkin merupakan hasil rekonstruksi dan elaborasi
oleh para pengikutnya di masa kemudian.5 Meskipun demikian, esensi
pemikiran Pythagoras tetap relevan sebagai model filsafat yang menyatukan
intelektualitas, religiositas, dan moralitas.
Akhirnya, Pythagoras
tidak hanya layak dikenang sebagai matematikawan besar, tetapi
juga sebagai filsuf yang mengusulkan bahwa kebenaran sejati
hanya dapat dicapai melalui perpaduan antara rasio, kontemplasi, dan hidup yang
selaras dengan tatanan kosmos. Di tengah krisis fragmentasi
pengetahuan dan moralitas dalam dunia modern, warisan pemikiran Pythagoras
menawarkan paradigma alternatif yang menyatukan pengetahuan dan kebajikan dalam
harmoni yang tak lekang oleh waktu.
Footnotes
[1]
Christoph Riedweg, Pythagoras: His Life, Teaching, and Influence,
trans. Steven Rendall (Ithaca: Cornell University Press, 2005), 17–19.
[2]
W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, vol. I: The
Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge University
Press, 1962), 307–309.
[3]
Max Tegmark, “The Mathematical Universe,” Foundations of Physics
38, no. 2 (2008): 101–150.
[4]
John Dillon, The Middle Platonists: A Study of Platonism 80 B.C. to
A.D. 220 (Ithaca: Cornell University Press, 1996), 90–93.
[5]
Walter Burkert, Lore and Science in Ancient Pythagoreanism,
trans. Edwin L. Minar Jr. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1972),
15–22.
Daftar Pustaka
Burnet, J. (1930). Early
Greek philosophy (4th ed.). London: A. & C. Black.
Burkert, W. (1972). Lore
and science in ancient Pythagoreanism (E. L. Minar Jr., Trans.).
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Dillon, J. (1996). The
middle Platonists: A study of Platonism 80 B.C. to A.D. 220. Ithaca, NY:
Cornell University Press.
Diogenes Laertius. (1925). Lives
of eminent philosophers (R. D. Hicks, Ed. & Trans.). Cambridge, MA:
Harvard University Press.
Ficino, M. (1975). The
letters of Marsilio Ficino (Vol. 1, Language Dept. of the School of
Economic Science, Trans.). London: Shepheard-Walwyn.
Galilei, G. (1960). The
assayer (Il Saggiatore). In S. Drake (Trans.), The controversy on the
comets of 1618 (pp. 155–209). Philadelphia: University of Pennsylvania
Press.
Guthrie, W. K. C. (1962). A
history of Greek philosophy: Vol. I. The earlier Presocratics and the
Pythagoreans. Cambridge: Cambridge University Press.
Hadot, P. (1995). Philosophy
as a way of life: Spiritual exercises from Socrates to Foucault (M. Chase,
Trans.; A. I. Davidson, Ed.). Oxford: Blackwell.
Huffman, C. A. (2020).
Pythagoras. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy
(Fall 2020 Edition). https://plato.stanford.edu/archives/fall2020/entries/pythagoras/
Ikhwān al-Ṣafāʼ. (2010). Epistles
of the Brethren of Purity: The Ikhwan al-Safa and their Rasa'il: An
Introduction (N. S. Nasr et al., Eds. & Trans.). Oxford: Oxford
University Press.
Kepler, J. (1981). Mysterium
cosmographicum (A. M. Duncan, Trans.). New York: Abaris Books.
Plato. (2000). Timaeus
(D. J. Zeyl, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.
Porphyry. (1987). Life
of Pythagoras (K. S. Guthrie, Trans.). Grand Rapids, MI: Phanes Press.
Riedweg, C. (2005). Pythagoras:
His life, teaching, and influence (S. Rendall, Trans.). Ithaca, NY:
Cornell University Press.
Russell, B. (1946). A
history of Western philosophy. London: Routledge.
Stanley, T. (1956). Pythagoras:
His life and teachings. New York: Philosophical Library.
Tegmark, M. (2008). The
mathematical universe. Foundations of Physics, 38(2), 101–150. https://doi.org/10.1007/s10701-007-9186-9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar