Kamis, 17 April 2025

Pemikiran Pythagoras: Fondasi Filsafat, Matematika, dan Kehidupan Etis dalam Tradisi Awal Yunani Kuno

Pemikiran Pythagoras

Fondasi Filsafat, Matematika, dan Kehidupan Etis dalam Tradisi Awal Yunani Kuno


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran Pythagoras, salah satu filsuf paling berpengaruh dari era Yunani Kuno, yang dikenal karena kemampuannya menyinergikan dimensi rasional, etis, dan spiritual dalam suatu sistem filsafat integral. Dengan mengacu pada sumber-sumber kredibel dari literatur klasik dan studi kontemporer, artikel ini mengulas biografi intelektual Pythagoras, struktur komunitas Pythagorean, serta kontribusinya dalam bidang matematika, metafisika, dan etika. Melalui gagasan bahwa bilangan merupakan prinsip ontologis yang mengatur alam semesta, Pythagoras meletakkan dasar bagi pemahaman kosmos sebagai tatanan harmonis yang dapat diakses melalui akal dan latihan spiritual. Pemikiran ini memberi pengaruh besar terhadap filsafat Plato, Neoplatonisme, serta perkembangan sains modern. Artikel ini juga mengkaji kritik-kritik modern terhadap unsur numerologis dan mistisisme dalam ajaran Pythagoras, serta interpretasi ulangnya dalam filsafat dan kosmologi kontemporer. Kesimpulannya, pemikiran Pythagoras tetap relevan sebagai paradigma filosofis yang memadukan pengetahuan, kebajikan, dan keharmonisan hidup.

Kata Kunci: Pythagoras, Pythagoreanisme, filsafat Yunani kuno, metafisika bilangan, harmoni kosmos, etika asketik, pengaruh terhadap Plato, matematika dan spiritualitas.


PEMBAHASAN

Telaah Kritis atas Pemikiran Pythagoras


1.           Pendahuluan

Dalam lintasan sejarah intelektual Barat, Pythagoras sering kali ditempatkan sebagai figur sentral yang menandai transisi penting dari pemikiran mitologis menuju rasionalitas filosofis. Ia bukan hanya dikenal sebagai matematikawan ulung, tetapi juga sebagai mistikus, etikus, dan pemikir metafisik yang mengintegrasikan berbagai dimensi kehidupan manusia dalam satu sistem kosmologis yang utuh. Dengan menekankan angka sebagai esensi terdalam dari realitas, Pythagoras membuka jalan bagi sebuah paradigma baru dalam memahami alam semesta, yaitu bahwa keteraturan dan harmoni dapat ditangkap melalui prinsip-prinsip matematika yang abadi.

Keunikan posisi Pythagoras dalam sejarah filsafat tidak hanya terletak pada kontribusi teknisnya terhadap ilmu ukur, melainkan juga pada kemampuannya meramu unsur-unsur matematis dengan visi spiritual yang dalam. Ajarannya melampaui batasan ilmu eksakta dan merambah ke wilayah etika, musik, politik, bahkan eskatologi. Pemikiran ini kemudian menjadi fondasi penting dalam perkembangan filsafat Yunani klasik, terutama bagi Plato dan para filsuf Neoplatonis yang banyak menyerap dan mengadaptasi prinsip-prinsip Pythagorean ke dalam metafisika dan teori jiwa mereka.1

Tradisi filsafat Yunani sebelum Socrates, yang sering disebut Presokratik, dikenal dengan upaya-upaya awal untuk merumuskan prinsip-prinsip dasar realitas (arche). Pythagoras, yang hidup pada abad ke-6 SM, menonjol di antara para pemikir Presokratik lainnya karena pendekatannya yang unik terhadap filsafat alam, yaitu dengan menempatkan angka dan proporsi sebagai dasar dari semua eksistensi. Pendekatan ini bukan sekadar bersifat teoritis, tetapi juga diwujudkan dalam komunitas spiritual yang ia dirikan, yaitu mazhab Pythagorean, yang mempraktikkan gaya hidup asketik, pengendalian diri, dan pencarian harmoni batin melalui pengetahuan akan keteraturan kosmik.2

Dalam kerangka inilah, artikel ini akan menelusuri secara komprehensif dimensi-dimensi pemikiran Pythagoras yang mencakup aspek matematis, metafisis, dan etis. Pembahasan akan diarahkan pada pemahaman mendalam tentang bagaimana angka—dalam pengertian Pythagorean—bukan hanya simbol kuantitatif, tetapi juga struktur kualitatif yang membentuk hakikat dunia dan jiwa manusia. Dengan demikian, telaah ini tidak hanya penting untuk mengungkap akar-akar rasionalitas ilmiah dalam filsafat Barat, tetapi juga untuk memahami bagaimana nilai-nilai spiritual dan etis diintegrasikan dalam pemikiran rasional sejak awal sejarah filsafat.


Footnotes

[1]                Walter Burkert, Lore and Science in Ancient Pythagoreanism, trans. Edwin L. Minar Jr. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1972), 129–135.

[2]                Carl A. Huffman, “Pythagoras,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2020), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/archives/fall2020/entries/pythagoras/.


2.           Biografi Singkat Pythagoras

Pythagoras dilahirkan sekitar tahun 570 SM di pulau Samos, wilayah Ionia, sebuah pusat budaya dan perdagangan yang berkembang pesat di Yunani Kuno. Meskipun tidak ada catatan tertulis langsung dari tangan Pythagoras sendiri, tradisi biografi mengenainya sebagian besar diturunkan melalui tulisan para pengikutnya dan tokoh-tokoh filsafat kemudian, seperti Porphyrius, Iamblichus, serta catatan dari Diogenes Laertius.1 Sejak muda, Pythagoras dikenal sebagai sosok yang haus akan pengetahuan, yang mendorongnya untuk melakukan perjalanan intelektual ke berbagai pusat peradaban kuno.

Menurut sejumlah sumber, Pythagoras mengembara ke Mesir, Babilonia, dan mungkin juga India untuk memperdalam pemahamannya tentang matematika, astronomi, dan spiritualitas. Di Mesir, ia dikabarkan mempelajari ilmu-ilmu sakral dari para imam dan mendapatkan pengaruh yang kuat dari sistem pemikiran dan ritus keagamaan mereka, termasuk gagasan mengenai penyucian jiwa dan transmigrasi roh.2 Pengalaman intelektual ini kelak berpengaruh besar dalam pembentukan filsafatnya, yang menekankan harmoni kosmik dan penyatuan spiritual.

Setelah kembali ke Yunani, Pythagoras mengalami konflik dengan rezim tirani Polycrates di Samos yang menyebabkan ia meninggalkan kampung halamannya dan bermigrasi ke Italia Selatan, tepatnya di kota Kroton (sekarang Crotone), sekitar tahun 530 SM. Di sana ia mendirikan sebuah komunitas filsafat yang dikenal sebagai Sekolah Pythagorean.3 Komunitas ini lebih dari sekadar lembaga pendidikan: ia merupakan persekutuan religius dan intelektual yang mengintegrasikan pengajaran matematika, etika, dan kehidupan asketik.

Komunitas Pythagorean ini dibangun atas prinsip disiplin spiritual, hidup bersama, dan kesetiaan terhadap pemimpin dan aturan komunitas. Para anggotanya menjalani gaya hidup vegetarian, praktik kesunyian (esoterisme), dan pengendalian diri sebagai bentuk penyucian jiwa. Pythagoras sendiri dihormati tidak hanya sebagai guru, tetapi juga sebagai figur setengah ilahi, bahkan oleh sebagian pengikutnya dianggap sebagai utusan ilahi atau nabi.4

Namun demikian, pengaruh Pythagoras di Kroton tidak berlangsung tanpa tantangan. Ketika komunitasnya tumbuh dan mendapat pengaruh politik yang signifikan, muncul resistensi dari kelompok-kelompok lokal yang berujung pada serangan terhadap komunitas Pythagorean. Menurut beberapa versi, Pythagoras harus melarikan diri atau bahkan wafat dalam peristiwa tersebut, meskipun kronologi dan penyebab kematiannya masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan.5

Meskipun begitu, warisan pemikirannya terus bertahan melalui para murid dan pengikutnya, dan berperan besar dalam membentuk struktur awal pemikiran filsafat dan sains di Barat. Sosok Pythagoras tetap hidup dalam tradisi filsafat sebagai perintis yang menyatukan penalaran rasional dan pencarian spiritual dalam satu sistem pemikiran yang utuh.


Footnotes

[1]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, ed. and trans. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), 2.8.

[2]                Walter Burkert, Lore and Science in Ancient Pythagoreanism, trans. Edwin L. Minar Jr. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1972), 111–120.

[3]                Carl A. Huffman, “Pythagoras,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2020 Edition), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/archives/fall2020/entries/pythagoras/.

[4]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, vol. I: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 173–175.

[5]                Christoph Riedweg, Pythagoras: His Life, Teaching, and Influence, trans. Steven Rendall (Ithaca: Cornell University Press, 2005), 59–61.


3.           Pythagoras dan Tradisi Pythagorean

Pemikiran Pythagoras tidak dapat dipisahkan dari komunitas spiritual-intelektual yang ia dirikan, yaitu mazhab Pythagorean (ho thiasos tōn Pythagoreion), yang menjadi wadah utama penyebaran doktrin dan praktik filsafatnya. Tradisi ini tidak hanya mencerminkan sistem ajaran filosofis, tetapi juga mencerminkan suatu cara hidup yang mencakup aspek moral, ritual, dan metafisik secara integral. Dalam komunitas ini, filsafat tidak dipahami sebagai aktivitas teoritis belaka, melainkan sebagai bentuk latihan jiwa (askēsis psychēs) menuju keselarasan dengan tatanan kosmos.1

3.1.       Komunitas dan Kehidupan Asketik

Mazhab Pythagorean di Kroton didirikan sekitar tahun 530 SM dan terdiri dari para murid yang secara ketat mematuhi aturan komunitas. Pythagoras menekankan kehidupan komunal yang dijalani secara harmonis, dengan prinsip koinōnia (komunitas hidup bersama) yang menolak kepemilikan pribadi dan mendorong pengendalian diri serta kesederhanaan hidup.2 Pola hidup ini bersifat asketik dan spiritual, mencakup disiplin ketat seperti keheningan (sebagai bentuk pengendalian diri), puasa, dan pantangan terhadap makanan tertentu—khususnya daging—sebagai bagian dari ritual penyucian jiwa.

Komunitas tersebut dibagi ke dalam dua kelompok besar: “matematikoi”, yaitu para murid inti yang memperoleh ajaran esoteris langsung dari Pythagoras dan menjalani hidup penuh kedisiplinan spiritual; dan “akousmatikoi”, yaitu para pendengar yang hanya menerima ajaran lahiriah dan moral dari filsuf tersebut.3 Perbedaan ini menandai adanya tingkatan dalam pemahaman filsafat: dari sekadar etika praktis menuju kepada visi metafisik yang mendalam tentang hakikat realitas.

3.2.       Pandangan tentang Jiwa dan Transmigrasi

Salah satu aspek sentral dalam tradisi Pythagorean adalah doktrin metempsychosis, yaitu kepercayaan bahwa jiwa manusia bersifat abadi dan akan bereinkarnasi ke dalam berbagai bentuk kehidupan setelah kematian, tergantung pada kualitas moral kehidupan sebelumnya.4 Jiwa dianggap terpenjara dalam tubuh (sōma sēma), dan tujuan hidup adalah pembebasan dari siklus kelahiran kembali melalui penyucian (katharsis) dan pengetahuan (gnōsis).

Dalam pandangan Pythagorean, hidup yang selaras dengan tatanan kosmik akan mempercepat proses pemurnian jiwa dan mendekatkannya kepada yang ilahi. Oleh sebab itu, filsafat dijalankan sebagai bentuk pertapaan moral dan spiritual, bukan semata-mata sebagai proses intelektual. Seperti dicatat oleh Iamblichus, “hidup Pythagoras adalah suatu bentuk filsafat yang dijalani secara utuh—dengan keharmonisan sebagai prinsip utama.”_5

3.3.       Keteraturan Hidup Berdasarkan Harmoni Kosmik

Ciri khas ajaran Pythagorean adalah keyakinan bahwa seluruh alam semesta diatur oleh prinsip harmoni dan bilangan. Kehidupan manusia yang baik, menurut mereka, harus mencerminkan keteraturan yang sama yang berlaku di alam. Maka, setiap aspek kehidupan—mulai dari etika, musik, matematika, hingga hubungan sosial—dipandang sebagai manifestasi dari struktur bilangan yang mendasari kosmos.6

Pengajaran dalam mazhab ini menggunakan simbol-simbol dan aforisme numerik sebagai media kontemplatif. Misalnya, angka empat (tetraktys) dipuja sebagai lambang kesempurnaan karena mewakili penjumlahan empat bilangan pertama (1+2+3+4=10), yang dianggap sebagai dasar harmoni dan tatanan segala sesuatu.7 Dengan demikian, pendidikan dalam tradisi Pythagorean bukan hanya bersifat rasional tetapi juga religius dan simbolik.


Tradisi Pythagorean, sebagaimana diwariskan oleh Pythagoras dan diteruskan oleh para pengikutnya, bukan sekadar warisan matematis, tetapi sebuah sistem kehidupan filosofis yang menyatukan pemurnian etis, pemahaman kosmologis, dan praktik spiritual dalam satu kesatuan yang koheren. Komunitas ini menandai fase awal filsafat sebagai cara hidup (bios philosophos), suatu warisan yang kelak dihidupkan kembali oleh filsuf-filsuf besar seperti Plato, Plotinus, dan bahkan dalam spiritualitas filsafat Islam dan Kristen Abad Pertengahan.


Footnotes

[1]                Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life: Spiritual Exercises from Socrates to Foucault, ed. Arnold I. Davidson, trans. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 104.

[2]                Walter Burkert, Lore and Science in Ancient Pythagoreanism, trans. Edwin L. Minar Jr. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1972), 110–115.

[3]                Carl A. Huffman, “Pythagoras,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2020), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/archives/fall2020/entries/pythagoras/.

[4]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, vol. I: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 191–194.

[5]                Iamblichus, Life of Pythagoras, trans. Thomas Taylor (London: J.M. Watkins, 1818), 35–36.

[6]                Christoph Riedweg, Pythagoras: His Life, Teaching, and Influence, trans. Steven Rendall (Ithaca: Cornell University Press, 2005), 79–83.

[7]                John Burnet, Early Greek Philosophy, 4th ed. (London: A. & C. Black, 1930), 86.


4.           Matematika sebagai Jalan Menuju Kebenaran

Bagi Pythagoras dan mazhab Pythagorean, matematika bukan sekadar alat untuk memahami realitas fisik, melainkan merupakan wahyu kosmis yang mengungkapkan struktur terdalam dari segala sesuatu. Dalam tradisi ini, angka dipandang sebagai prinsip ontologis—yakni substansi dasar dari eksistensi—dan matematika sebagai sarana epistemologis untuk mengakses kebenaran metafisik. Dengan kata lain, bilangan dan proporsi bukan hanya alat pengukuran, tetapi juga manifestasi dari tatanan ilahi yang mengatur alam semesta.1

4.1.       Angka sebagai Prinsip Realitas (Arithmos kai Physis)

Pythagoras adalah filsuf pertama yang secara eksplisit merumuskan gagasan bahwa angka merupakan dasar segala sesuatu (arithmos einai tēs ousias). Pandangan ini berpijak pada pengamatan terhadap keteraturan alam—seperti pergerakan bintang, siklus waktu, dan bentuk-bentuk geometris—yang semuanya mengikuti pola numerik tertentu.2 Dalam konteks ini, angka tidak dipahami secara abstrak semata, melainkan sebagai prinsip aktif yang membentuk dan menata dunia (kosmos), yang secara etimologis berarti “tatanan” atau “keindahan”.

Konsepsi ini membentuk dasar dari metafisika Pythagorean, di mana angka memiliki status ontologis yang serupa dengan konsep "ide" dalam filsafat Platonik. Misalnya, angka satu (1) melambangkan kesatuan dan asal mula, dua (2) melambangkan dualitas dan gerakan, tiga (3) sebagai harmoni, dan empat (4) sebagai fondasi kesempurnaan dalam tetraktys.3 Dengan demikian, matematika menjadi instrumen kontemplatif untuk merenungkan hakikat eksistensi.

4.2.       Teorema Pythagoras dan Simbolisme Geometris

Meskipun dikenal luas karena Teorema Pythagoras—yaitu bahwa dalam segitiga siku-siku, kuadrat sisi miring sama dengan jumlah kuadrat kedua sisi lainnya (a² + b² = c²)—peran teorema ini dalam tradisi Pythagorean jauh melampaui ranah geometri praktis. Ia menjadi lambang keteraturan kosmik dan hubungan proporsional dalam realitas. Teorema ini juga diterapkan dalam arsitektur, musik, dan astronomi, menunjukkan bahwa keteraturan bilangan berlaku universal.4

Di antara para murid Pythagoras, geometri dianggap sebagai bentuk pengetahuan yang lebih tinggi karena membebaskan pikiran dari pengaruh dunia indrawi dan mengarahkan jiwa menuju bentuk-bentuk abadi dan sempurna. Dengan demikian, teorema dan bentuk-bentuk matematis berfungsi sebagai jembatan antara dunia fisik dan dunia ide.5

4.3.       Musik dan Harmoni: Bilangan sebagai Suara Alam Semesta

Kontribusi besar lainnya dari Pythagoras adalah penemuan prinsip harmoni musik berdasarkan proporsi bilangan. Ia menemukan bahwa interval musik yang menyenangkan dihasilkan dari rasio numerik sederhana, seperti 1:2 (oktaf), 2:3 (kwint), dan 3:4 (kwart). Hal ini meyakinkan Pythagoras bahwa musik bukan sekadar seni subjektif, melainkan ekspresi langsung dari keteraturan matematis alam.6

Dari sinilah lahir konsep “harmonia mundi”, yaitu pandangan bahwa seluruh alam semesta adalah simfoni harmonis yang dikendalikan oleh hukum-hukum bilangan. Sebagaimana senar-senar menghasilkan bunyi melalui getaran teratur, begitu pula bintang-bintang dan planet diyakini menghasilkan musik sferis (musik dari bola langit), meskipun tidak terdengar oleh telinga manusia biasa. Pemahaman ini memperkuat kepercayaan Pythagorean bahwa matematika adalah bahasa semesta dan jalan menuju pencerahan spiritual.7

4.4.       Matematika dan Jiwa: Jalan Menuju Pembersihan Diri

Dalam tradisi Pythagorean, mempelajari matematika juga dianggap sebagai bentuk penyucian jiwa (katharsis psychēs). Karena matematika berhubungan dengan hal-hal yang tetap, teratur, dan abadi, maka mengarahkan perhatian padanya membantu membebaskan jiwa dari keterikatan pada dunia materi yang penuh perubahan dan kekacauan.8 Dalam pandangan ini, aktivitas intelektual adalah bentuk ibadah, dan pengetahuan matematis merupakan sarana menuju kesatuan dengan tatanan ilahi.


Pemahaman Pythagorean tentang matematika mengubah paradigma ilmu pengetahuan pada masanya dan mewariskan fondasi yang akan berpengaruh besar bagi para filsuf setelahnya, termasuk Plato dan Kepler. Bagi Pythagoras, matematika bukan hanya alat berpikir, tetapi juga cara hidup, bentuk kontemplasi, dan jalan mistik menuju kebenaran tertinggi.


Footnotes

[1]                Christoph Riedweg, Pythagoras: His Life, Teaching, and Influence, trans. Steven Rendall (Ithaca: Cornell University Press, 2005), 70–74.

[2]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, vol. I: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 229–232.

[3]                John Burnet, Early Greek Philosophy, 4th ed. (London: A. & C. Black, 1930), 91–94.

[4]                Carl A. Huffman, “Pythagoras,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2020), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/archives/fall2020/entries/pythagoras/.

[5]                Walter Burkert, Lore and Science in Ancient Pythagoreanism, trans. Edwin L. Minar Jr. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1972), 136–138.

[6]                James Hannam, God’s Philosophers: How the Medieval World Laid the Foundations of Modern Science (London: Icon Books, 2009), 45–47.

[7]                Thomas Stanley, Pythagoras: His Life and Teachings (New York: Philosophical Library, 1956), 108–111.

[8]                Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life, ed. Arnold I. Davidson, trans. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 107–110.


5.           Metafisika dan Kosmologi Pythagoras

Pemikiran Pythagoras mengenai metafisika dan kosmologi merupakan dimensi integral dari filsafatnya yang menyatukan bilangan, struktur alam semesta, dan keberadaan jiwa dalam suatu sistem yang harmonis dan rasional. Dalam tradisi Pythagorean, kosmos bukanlah sekadar kumpulan materi atau benda-benda fisik, tetapi sebuah struktur harmonis yang tertata menurut prinsip bilangan, mencerminkan tatanan rasional yang bersifat ilahi. Metafisika Pythagoras tidak hanya menyentuh aspek substansial dari realitas, tetapi juga melibatkan aspek teleologis dan spiritual yang menempatkan manusia dalam relasi moral dengan alam semesta.

5.1.       Kosmos sebagai Tatanan Numerik yang Suci

Pythagoras dan para pengikutnya beranggapan bahwa segala sesuatu yang ada tersusun dan dipahami melalui bilangan. Dalam pandangan ini, angka bukan hanya alat bantu manusia untuk menghitung, tetapi merupakan prinsip realitas itu sendiri (to arithmon einai tēs ousias). Hal ini berarti bahwa bilangan memiliki status ontologis yang menyusun dan menentukan bentuk serta struktur segala sesuatu yang ada di alam semesta.1

Konsep ini tercermin dalam istilah “kosmos” yang pertama kali digunakan oleh Pythagoras untuk menunjuk alam semesta sebagai suatu tatanan yang harmonis dan indah, bukan kekacauan atau kebetulan. Kosmos bersifat tertib karena diatur oleh hukum-hukum matematis, dan keteraturan ini mencerminkan prinsip harmoni yang mengikat segala elemen menjadi satu kesatuan yang koheren.2 Dalam hal ini, metafisika Pythagorean bersifat monistik-harmonis: dunia tidak terdiri dari unsur material yang bersaing, melainkan dari satu prinsip universal, yakni bilangan, yang menyatukan semua fenomena.

5.2.       Struktur Bilangan dan Dualitas Kosmis

Dalam kerangka metafisika Pythagorean, bilangan tidak hanya mencerminkan kuantitas, tetapi juga kualitas. Setiap bilangan memiliki makna simbolik dan metafisik tertentu: satu (1) mewakili kesatuan dan asal mula; dua (2) melambangkan perbedaan dan konflik; tiga (3) menyiratkan harmoni dan rekonsiliasi; dan empat (4), terutama dalam bentuk tetraktys (1+2+3+4=10), melambangkan kesempurnaan dan fondasi dari realitas.3

Selain itu, Pythagorean juga memperkenalkan konsep dualitas metafisik yang meliputi pasangan-pasangan seperti terbatas–tak terbatas, ganjil–genap, satu–banyak, kanan–kiri, terang–gelap, baik–jahat. Semua dualitas ini dipandang sebagai manifestasi dari ketegangan dan harmoni kosmis yang bekerja melalui prinsip bilangan dan keseimbangan.4 Maka dari itu, pemahaman metafisika dalam tradisi ini selalu terkait dengan upaya menyatukan dua prinsip yang tampak bertentangan ke dalam suatu keselarasan yang lebih tinggi.

5.3.       Jiwa dan Tatanan Semesta

Dalam kosmologi Pythagorean, jiwa manusia adalah bagian dari kosmos dan tunduk pada hukum-hukum yang sama dengan alam semesta. Jiwa dianggap bersifat ilahi dan berasal dari wilayah langit, tetapi terjebak dalam tubuh sebagai bentuk hukuman atau ketidaksempurnaan. Tujuan filsafat, dalam kerangka ini, adalah untuk mengembalikan jiwa kepada asal-usul ilahinya melalui pengetahuan tentang tatanan kosmos dan hidup sesuai dengannya.5

Melalui proses katharsis (penyucian), jiwa dibebaskan dari pengaruh dunia material dan dididik untuk memahami prinsip-prinsip ilahi yang memerintah kosmos. Pengetahuan metafisik tentang angka dan harmoni menjadi alat untuk membimbing jiwa menuju kehidupan yang lebih tinggi dan abadi. Oleh karena itu, kosmologi dan metafisika Pythagoras bersifat soteriologis, yaitu tidak hanya menjelaskan asal-usul dunia tetapi juga memberikan jalan keselamatan bagi jiwa.6

5.4.       Musik Sferis: Harmoni Alam Semesta

Salah satu aspek paling imajinatif dalam kosmologi Pythagoras adalah doktrin tentang “musik sferis” (music of the spheres), yakni kepercayaan bahwa planet dan bintang menghasilkan musik saat bergerak melalui angkasa. Meskipun suara ini tidak terdengar oleh telinga manusia biasa, jiwa yang telah disucikan diyakini mampu menangkap harmoni ilahi tersebut.7

Menurut mazhab Pythagorean, pergerakan benda-benda langit mengikuti rasio numerik yang sama dengan harmoni musik, dan dengan demikian mencerminkan prinsip keteraturan kosmis yang absolut. Gagasan ini memperkuat pandangan bahwa realitas bersifat musikal dan matematis secara fundamental, serta bahwa pengetahuan sejati adalah pengetahuan tentang tatanan yang mengatur semuanya.


Metafisika dan kosmologi Pythagoras menunjukkan bahwa dunia bukanlah sekadar objek observasi fisik, melainkan medan spiritual yang penuh makna. Dengan menempatkan bilangan sebagai prinsip utama realitas, Pythagoras menawarkan sebuah visi filsafat yang menyatukan pengetahuan rasional, pengalaman estetis, dan pencerahan spiritual dalam satu kesatuan yang utuh.


Footnotes

[1]                Christoph Riedweg, Pythagoras: His Life, Teaching, and Influence, trans. Steven Rendall (Ithaca: Cornell University Press, 2005), 74–78.

[2]                Carl A. Huffman, “Pythagoras,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2020), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/archives/fall2020/entries/pythagoras/.

[3]                John Burnet, Early Greek Philosophy, 4th ed. (London: A. & C. Black, 1930), 91–94.

[4]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, vol. I: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 235–238.

[5]                Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life: Spiritual Exercises from Socrates to Foucault, ed. Arnold I. Davidson, trans. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 105–107.

[6]                Walter Burkert, Lore and Science in Ancient Pythagoreanism, trans. Edwin L. Minar Jr. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1972), 142–146.

[7]                Thomas Stanley, Pythagoras: His Life and Teachings (New York: Philosophical Library, 1956), 114–116.


6.           Etika dan Kehidupan Spiritual

Etika dalam filsafat Pythagoras tidak berdiri sendiri sebagai sistem normatif, melainkan berakar dalam pemahaman metafisis tentang harmoni kosmis dan transmigrasi jiwa. Dalam tradisi Pythagorean, kehidupan moral merupakan manifestasi konkret dari pengetahuan tentang tatanan semesta, dan praktik etis dilihat sebagai latihan spiritual (askēsis) untuk menyucikan jiwa serta menyelaraskan hidup manusia dengan prinsip universal yang bersifat ilahi.

6.1.       Filsafat sebagai Latihan Etis-Spiritual

Pythagoras tidak memisahkan filsafat dari cara hidup; sebaliknya, ia menjadikan filsafat sebagai “bios philosophos”—cara hidup yang berakar pada disiplin moral dan spiritual. Hidup yang baik, menurut ajaran Pythagoras, bukan ditentukan oleh kenikmatan atau kepuasan duniawi, melainkan oleh kemampuan jiwa untuk hidup selaras dengan tatanan kosmis yang diwujudkan dalam bilangan dan harmoni.1

Pierre Hadot menyebut pendekatan ini sebagai philosophy as a way of life, di mana praktik-praktik seperti pengendalian diri, kontemplasi, kesunyian, dan pengaturan pola makan dianggap sebagai bagian integral dari transformasi batin.2 Dalam konteks ini, etika menjadi bentuk latihan jiwa untuk membebaskan diri dari hasrat duniawi dan mencapai keheningan batin (hesychia), sebuah keadaan spiritual yang mencerminkan ketenangan tatanan alam.

6.2.       Prinsip Moral Pythagorean

Tradisi Pythagorean mengajarkan sejumlah prinsip moral yang dikodifikasikan dalam bentuk aforisme atau maksima, yang dikenal sebagai “akousmata”. Prinsip-prinsip ini mencakup petunjuk praktis seperti menghormati para dewa, menjaga kejujuran, menahan amarah, serta menghindari makanan tertentu (misalnya daging dan kacang-kacangan tertentu) sebagai bagian dari praktik penyucian diri.3

Etika Pythagorean juga menekankan pentingnya keadilan, keseimbangan, dan kesederhanaan sebagai bentuk nyata dari harmoni batin. Keutamaan (aretē) bukan hanya tujuan etis, melainkan juga kondisi ideal yang memungkinkan jiwa mendekati kesempurnaan kosmis. Melalui pengembangan keutamaan inilah manusia diharapkan dapat mengakhiri siklus kelahiran kembali (metempsychosis) dan bersatu kembali dengan prinsip ilahi yang menjadi sumber eksistensi.

6.3.       Asketisisme dan Pengendalian Diri

Asketisisme dalam komunitas Pythagorean bukanlah bentuk penyiksaan diri, melainkan metode transformasi eksistensial. Praktik vegetarian, larangan terhadap konsumsi alkohol, serta pola tidur dan makan yang teratur merupakan bagian dari proses internalisasi nilai-nilai etis dan pengendalian dorongan nafsu yang dianggap memperkeruh kejernihan jiwa.4

Pythagoras mengajarkan bahwa pengendalian diri (enkrateia) adalah jalan menuju kebijaksanaan karena jiwa yang tidak terkendali akan tertutup dari cahaya kebenaran. Dengan mengatur kehidupan jasmani dan mental melalui prinsip matematika dan proporsi, manusia dilatih untuk membangun keselarasan antara dunia dalam dan luar.

6.4.       Hubungan Etika dan Kosmologi

Etika Pythagorean bersifat kosmosentris, bukan antropocentris. Artinya, nilai-nilai moral diturunkan dari prinsip tatanan kosmik, bukan dari kehendak subjektif manusia. Oleh sebab itu, seseorang bertindak secara etis bukan karena dorongan pribadi atau kepentingan sosial semata, melainkan karena ia sadar akan posisinya dalam struktur semesta dan berusaha hidup menurut prinsip ilahi yang mengatur dunia.5

Dalam hal ini, kehidupan etis identik dengan kehidupan spiritual, dan pemahaman tentang alam semesta menjadi fondasi bagi pembentukan karakter. Inilah yang menjadikan filsafat Pythagorean sebagai filsafat yang holistik—menggabungkan teori, praktik, moralitas, dan spiritualitas dalam satu sistem.


Etika dalam tradisi Pythagoras merupakan refleksi dari pandangan metafisik bahwa segala sesuatu memiliki tempat dan keteraturan dalam kosmos. Dengan menginternalisasi prinsip-prinsip harmoni, pengendalian diri, dan kesucian, individu tidak hanya menjalani kehidupan yang baik secara moral, tetapi juga berpartisipasi dalam ritme ilahi yang menghidupi semesta.


Footnotes

[1]                Christoph Riedweg, Pythagoras: His Life, Teaching, and Influence, trans. Steven Rendall (Ithaca: Cornell University Press, 2005), 92–96.

[2]                Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life: Spiritual Exercises from Socrates to Foucault, ed. Arnold I. Davidson, trans. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 104–110.

[3]                Walter Burkert, Lore and Science in Ancient Pythagoreanism, trans. Edwin L. Minar Jr. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1972), 160–163.

[4]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, vol. I: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 255–258.

[5]                Carl A. Huffman, “Pythagoras,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2020), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/archives/fall2020/entries/pythagoras/.


7.           Pengaruh dan Warisan Pemikiran Pythagoras

Pengaruh pemikiran Pythagoras sangat luas dan mendalam, mencakup berbagai ranah filsafat, ilmu pengetahuan, spiritualitas, dan kebudayaan Barat secara umum. Warisannya tidak hanya bertahan dalam bentuk sistem matematika dan kosmologi, tetapi juga dalam cara berpikir metafisik dan etis yang menghubungkan struktur realitas dengan kehidupan manusia. Dari Plato hingga filsafat Neoplatonis, dari astronomi Copernican hingga spiritualitas Renaissance, jejak-jejak Pythagoreanisme terus beresonansi dalam sejarah pemikiran dunia.

7.1.       Pengaruh terhadap Plato dan Filsafat Yunani Klasik

Salah satu warisan intelektual terbesar Pythagoras terlihat dalam pemikiran Plato, yang secara eksplisit menyerap banyak elemen dari ajaran Pythagorean, terutama dalam hal matematika sebagai dasar realitas dan konsepsi jiwa sebagai entitas yang abadi dan rasional. Dalam Timaeus, Plato menggambarkan alam semesta sebagai makhluk hidup yang diciptakan oleh Demiurgos menggunakan prinsip-prinsip bilangan dan harmoni, suatu gagasan yang berasal langsung dari kosmologi Pythagorean.1

Selain itu, struktur sistem pendidikan dalam Republik mencerminkan ajaran Pythagorean bahwa jiwa harus dilatih melalui tahapan matematika dan dialektika untuk mencapai pemahaman tertinggi tentang realitas. Penekanan Plato terhadap bentuk-bentuk ideal (eide) yang tidak berubah juga sejalan dengan pandangan Pythagoras mengenai angka sebagai struktur tetap yang mengatur segala perubahan di dunia fisik.2

7.2.       Neopythagoreanisme dan Neoplatonisme

Pada era Romawi, terjadi kebangkitan kembali ajaran Pythagorean dalam bentuk Neopythagoreanisme, sebuah gerakan filsafat yang menekankan kembali nilai-nilai asketik, metafisika angka, dan pencarian spiritual. Tokoh-tokoh seperti Apollonius dari Tyana dan Numenius dari Apamea memadukan ajaran Pythagorean dengan mistisisme Timur dan doktrin Platonik, membentuk landasan bagi Neoplatonisme.3

Dalam Neoplatonisme, terutama pada karya-karya Plotinus dan Porphyrius, prinsip-prinsip harmoni, hierarki kosmik, dan pendakian jiwa menuju sumber ilahi kembali ditegaskan. Porphyrius bahkan menulis biografi Pythagoras, yang mengidealkan sang filsuf sebagai model filsafat hidup yang suci dan teratur.4 Dengan demikian, ajaran Pythagoras menjadi semacam ars vitae, seni hidup filosofis yang menyatukan etika, metafisika, dan mistisisme.

7.3.       Pengaruh terhadap Ilmu Pengetahuan dan Astronomi Modern

Konsep tatanan numerik yang mengatur alam semesta yang diwariskan oleh Pythagoras memberi inspirasi besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern. Dalam karyanya Mysterium Cosmographicum (1596), Johannes Kepler secara eksplisit mengacu pada gagasan musik sferis dan menyatakan bahwa “geometri adalah arsitektur ilahi.”_5 Kepler meyakini bahwa hukum-hukum pergerakan planet mencerminkan harmoni matematis, sejalan dengan visi Pythagorean tentang keteraturan kosmos.

Pemikiran Pythagoras juga membentuk kerangka awal dalam filsafat sains yang berusaha menemukan hukum-hukum universal dalam bentuk rumus matematis. Tradisi ini berlanjut hingga Isaac Newton dan fisika modern, di mana matematika digunakan sebagai bahasa utama untuk menjelaskan realitas. Konsep “alam sebagai kitab matematika” (nature is written in the language of mathematics), sebagaimana diungkapkan Galileo Galilei, merupakan manifestasi modern dari pandangan Pythagorean klasik.6

7.4.       Pengaruh dalam Filsafat Islam dan Renaisans Barat

Dalam tradisi filsafat Islam, banyak tokoh—seperti al-Fārābī, Ikhwān al-Ṣafāʼ, dan Suhrawardī—mengintegrasikan unsur-unsur Pythagorean, terutama dalam kosmologi, teori musik, dan filsafat jiwa. Dalam Rasāʼil Ikhwān al-Ṣafāʼ, misalnya, musik dan bilangan digunakan untuk memahami tatanan spiritual dan pergerakan langit, mencerminkan prinsip harmonia mundi ala Pythagoras.7

Demikian pula, humanisme Renaisans menyerap kembali semangat Pythagorean melalui tokoh-tokoh seperti Marsilio Ficino dan Pico della Mirandola yang memandang filsafat sebagai jalan menuju penyatuan dengan prinsip ilahi. Tradisi ini menjadikan Pythagoras sebagai simbol filsuf ideal: orang bijak yang memadukan akal, estetika, dan kehidupan moral dalam satu harmoni yang utuh.8


Dengan demikian, pengaruh Pythagoras melintasi batas zaman dan disiplin, dari metafisika Yunani klasik hingga filsafat Islam, dari matematika murni hingga etika spiritual. Warisannya tidak hanya membentuk cara berpikir ilmiah dan filosofis, tetapi juga menegaskan bahwa pencarian kebenaran harus melibatkan keharmonisan antara akal, jiwa, dan kosmos.


Footnotes

[1]                Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl (Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 27–30.

[2]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, vol. I: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 301–306.

[3]                John Dillon, The Middle Platonists: A Study of Platonism 80 B.C. to A.D. 220 (Ithaca: Cornell University Press, 1996), 89–92.

[4]                Porphyry, Life of Pythagoras, trans. Kenneth Sylvan Guthrie (Grand Rapids: Phanes Press, 1987), 3–5.

[5]                Johannes Kepler, Mysterium Cosmographicum, trans. A. M. Duncan (New York: Abaris Books, 1981), 109–112.

[6]                Galileo Galilei, Il Saggiatore (The Assayer), in The Controversy on the Comets of 1618, trans. Stillman Drake (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1960), 183.

[7]                Ikhwān al-Ṣafāʼ, Rasāʼil Ikhwān al-Ṣafāʼ, ed. and trans. Nasr et al. (Oxford: Oxford University Press, 2010), 55–57.

[8]                Marsilio Ficino, The Letters of Marsilio Ficino, vol. 1, trans. Language Department of the School of Economic Science (London: Shepheard-Walwyn, 1975), 121–124.


8.           Kritik dan Interpretasi Modern

Meskipun pemikiran Pythagoras memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan filsafat, matematika, dan spiritualitas dalam tradisi intelektual Barat, para sarjana modern tidak luput dari sikap kritis terhadap berbagai aspek dalam warisan intelektualnya. Kritik-kritik tersebut muncul terutama dari sudut pandang historis, epistemologis, dan metodologis. Di sisi lain, interpretasi kontemporer juga menunjukkan minat yang besar untuk merehabilitasi atau menafsirkan kembali gagasan-gagasan Pythagorean dalam konteks filosofis dan ilmiah modern, menjadikannya relevan bagi diskusi lintas disiplin di abad ke-21.

8.1.       Kesulitan Historiografis dan Keotentikan Ajaran

Salah satu masalah utama dalam kajian modern terhadap Pythagoras adalah minimnya sumber primer yang berasal langsung dari dirinya. Tidak ada satu pun karya tulis asli yang diketahui berasal dari Pythagoras; seluruh ajaran dan catatan tentang hidupnya disampaikan melalui tangan para pengikutnya atau filsuf-filsuf kemudian, seperti Porphyrius, Iamblichus, dan Diogenes Laertius, yang hidup ratusan tahun setelah Pythagoras wafat.1

Sebagai akibatnya, pemilahan antara ajaran asli Pythagoras dan elaborasi dari mazhab Pythagorean menjadi sangat sulit. Sejumlah sejarawan filsafat, seperti Walter Burkert, menunjukkan bahwa banyak bagian dari kosmologi dan metafisika yang secara tradisional dikaitkan dengan Pythagoras lebih mungkin berasal dari pengikutnya pada masa kemudian, terutama dari Neopythagoreanisme abad ke-1 SM ke atas.2 Oleh karena itu, banyak pemikir modern lebih berhati-hati dalam menisbatkan gagasan tertentu secara langsung kepada Pythagoras.

8.2.       Kritik Epistemologis terhadap “Numerologi”

Salah satu kritik tajam yang dilontarkan terhadap Pythagoreanisme adalah kecenderungannya menuju numerologi—yaitu anggapan bahwa bilangan tidak hanya bersifat kuantitatif, tetapi juga memiliki makna metafisik atau moral tertentu. Dalam kerangka ilmiah modern, pendekatan ini dianggap terlalu spekulatif dan tidak dapat dibuktikan secara empiris. Bertrand Russell, misalnya, menilai bahwa Pythagoras memadukan mistisisme religius dengan logika matematika, yang pada akhirnya menimbulkan dualitas yang membingungkan dalam sejarah filsafat Barat.3

Kritik ini mencerminkan pandangan filsafat sains modern yang menekankan verifikasi empiris dan metode kuantitatif yang ketat, yang tentu saja tidak sejalan dengan spekulasi metafisik Pythagorean mengenai musik sferis atau keabadian angka. Bagi banyak ilmuwan kontemporer, keberhasilan matematika modern justru terletak pada pemisahannya dari muatan metafisik dan religius.

8.3.       Reinterpretasi dalam Konteks Filsafat dan Ilmu Kontemporer

Namun demikian, tidak sedikit pula pemikir kontemporer yang mencoba mereinterpretasikan Pythagoras secara positif dalam konteks interdisipliner modern. Salah satunya adalah dalam bidang kosmologi teoritis dan filsafat matematika, di mana gagasan bahwa alam semesta memiliki struktur matematis kembali mendapat perhatian. Peneliti seperti Max Tegmark dalam The Mathematical Universe Hypothesis menyatakan bahwa realitas fisik pada dasarnya bersifat matematis—sebuah gagasan yang secara esensial menggemakan filsafat Pythagorean.4

Demikian pula, dalam konteks filsafat pendidikan dan spiritualitas kontemplatif, pemikiran Pythagoras tentang pembentukan jiwa melalui harmoni dan latihan diri banyak diangkat kembali, terutama dalam gerakan kontemporer seperti philosophy as a way of life (Pierre Hadot) dan spiritual exercises (Michel Foucault). Pendekatan ini menghidupkan kembali aspek transformasional dari filsafat kuno, menjadikan Pythagoras relevan dalam pengembangan etika pribadi dan pendidikan karakter di masa kini.5

8.4.       Simbolisme dan Nilai Budaya

Terlepas dari kritik rasional-modern, Pythagoras tetap menjadi figur simbolik dalam sejarah intelektual dan budaya. Ia kerap digambarkan sebagai arketipe filsuf yang menyatukan ilmu dan spiritualitas, serta sebagai sosok guru bijak yang hidup dalam keselarasan dengan alam semesta. Dalam seni, sastra, dan budaya populer, Pythagoras terus muncul sebagai ikon dari harmoni kosmik dan pencarian kebenaran yang menyeluruh.


Dengan demikian, meskipun pendekatan metafisik dan numerologis Pythagoras mendapat tantangan dari sains modern, relevansi filosofis dan etis dari ajarannya terus dipertimbangkan dalam diskursus kontemporer. Ia tetap dikenang bukan semata sebagai pionir matematika, tetapi juga sebagai pemikir yang mengusulkan bahwa pengetahuan sejati harus melibatkan keteraturan rasional, latihan spiritual, dan keterhubungan mendalam antara manusia dan alam semesta.


Footnotes

[1]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, ed. and trans. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), 2.8.

[2]                Walter Burkert, Lore and Science in Ancient Pythagoreanism, trans. Edwin L. Minar Jr. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1972), 15–21.

[3]                Bertrand Russell, A History of Western Philosophy (London: Routledge, 1946), 28–32.

[4]                Max Tegmark, “The Mathematical Universe,” Foundations of Physics 38, no. 2 (2008): 101–150.

[5]                Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life: Spiritual Exercises from Socrates to Foucault, ed. Arnold I. Davidson, trans. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 103–110.


9.           Kesimpulan

Pemikiran Pythagoras menempati posisi yang sangat penting dalam sejarah filsafat karena ia tidak hanya memperkenalkan pendekatan rasional terhadap alam semesta melalui matematika, tetapi juga menyatukannya dengan dimensi etis dan spiritual kehidupan manusia. Dalam warisan intelektualnya, kita menemukan fondasi bagi pandangan dunia yang integral, di mana bilangan, kosmos, jiwa, dan etika membentuk suatu sistem yang koheren dan saling menopang. Hal ini membedakan Pythagoras dari tokoh-tokoh Presokratik lainnya, karena ia tidak hanya mencari arche sebagai prinsip fisik semata, tetapi menjadikannya sebagai prinsip hidup yang membentuk struktur realitas sekaligus tatanan moral manusia.1

Dari sisi ilmiah, warisan Pythagoras memberikan dasar bagi perkembangan matematika sebagai bahasa alam, sebagaimana kemudian diwujudkan dalam filsafat Platonik dan ilmu pengetahuan modern. Gagasan bahwa realitas bersifat matematis dan teratur, seperti yang tercermin dalam konsep harmonia mundi, mengilhami generasi filsuf dan ilmuwan mulai dari Plato hingga Kepler dan Newton.2 Bahkan dalam kosmologi kontemporer dan filsafat matematika, pemikiran Pythagorean kembali mendapatkan tempat sebagai pendekatan alternatif terhadap realitas fisik dan struktural.3

Di sisi lain, dimensi etis dan spiritual dalam ajaran Pythagoras memperlihatkan bahwa filsafat tidak hanya menyangkut pengetahuan teoretis, tetapi juga transformasi eksistensial. Kehidupan asketik, keselarasan batin, pengendalian diri, dan latihan jiwa adalah bagian dari upaya menyelaraskan diri dengan hukum-hukum alam yang bersifat ilahi. Pandangan ini sangat berpengaruh dalam tradisi-tradisi filsafat selanjutnya, baik dalam Neoplatonisme, filsafat Islam, maupun dalam spiritualitas filsafat Renaissance.4

Namun demikian, perlu diakui bahwa keterbatasan sumber historis membuat penilaian terhadap pemikiran asli Pythagoras memerlukan kehati-hatian. Sebagian besar ajaran yang dikenal sebagai Pythagoreanisme mungkin merupakan hasil rekonstruksi dan elaborasi oleh para pengikutnya di masa kemudian.5 Meskipun demikian, esensi pemikiran Pythagoras tetap relevan sebagai model filsafat yang menyatukan intelektualitas, religiositas, dan moralitas.

Akhirnya, Pythagoras tidak hanya layak dikenang sebagai matematikawan besar, tetapi juga sebagai filsuf yang mengusulkan bahwa kebenaran sejati hanya dapat dicapai melalui perpaduan antara rasio, kontemplasi, dan hidup yang selaras dengan tatanan kosmos. Di tengah krisis fragmentasi pengetahuan dan moralitas dalam dunia modern, warisan pemikiran Pythagoras menawarkan paradigma alternatif yang menyatukan pengetahuan dan kebajikan dalam harmoni yang tak lekang oleh waktu.


Footnotes

[1]                Christoph Riedweg, Pythagoras: His Life, Teaching, and Influence, trans. Steven Rendall (Ithaca: Cornell University Press, 2005), 17–19.

[2]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, vol. I: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 307–309.

[3]                Max Tegmark, “The Mathematical Universe,” Foundations of Physics 38, no. 2 (2008): 101–150.

[4]                John Dillon, The Middle Platonists: A Study of Platonism 80 B.C. to A.D. 220 (Ithaca: Cornell University Press, 1996), 90–93.

[5]                Walter Burkert, Lore and Science in Ancient Pythagoreanism, trans. Edwin L. Minar Jr. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1972), 15–22.


Daftar Pustaka

Burnet, J. (1930). Early Greek philosophy (4th ed.). London: A. & C. Black.

Burkert, W. (1972). Lore and science in ancient Pythagoreanism (E. L. Minar Jr., Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Dillon, J. (1996). The middle Platonists: A study of Platonism 80 B.C. to A.D. 220. Ithaca, NY: Cornell University Press.

Diogenes Laertius. (1925). Lives of eminent philosophers (R. D. Hicks, Ed. & Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Ficino, M. (1975). The letters of Marsilio Ficino (Vol. 1, Language Dept. of the School of Economic Science, Trans.). London: Shepheard-Walwyn.

Galilei, G. (1960). The assayer (Il Saggiatore). In S. Drake (Trans.), The controversy on the comets of 1618 (pp. 155–209). Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

Guthrie, W. K. C. (1962). A history of Greek philosophy: Vol. I. The earlier Presocratics and the Pythagoreans. Cambridge: Cambridge University Press.

Hadot, P. (1995). Philosophy as a way of life: Spiritual exercises from Socrates to Foucault (M. Chase, Trans.; A. I. Davidson, Ed.). Oxford: Blackwell.

Huffman, C. A. (2020). Pythagoras. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2020 Edition). https://plato.stanford.edu/archives/fall2020/entries/pythagoras/

Ikhwān al-Ṣafāʼ. (2010). Epistles of the Brethren of Purity: The Ikhwan al-Safa and their Rasa'il: An Introduction (N. S. Nasr et al., Eds. & Trans.). Oxford: Oxford University Press.

Kepler, J. (1981). Mysterium cosmographicum (A. M. Duncan, Trans.). New York: Abaris Books.

Plato. (2000). Timaeus (D. J. Zeyl, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.

Porphyry. (1987). Life of Pythagoras (K. S. Guthrie, Trans.). Grand Rapids, MI: Phanes Press.

Riedweg, C. (2005). Pythagoras: His life, teaching, and influence (S. Rendall, Trans.). Ithaca, NY: Cornell University Press.

Russell, B. (1946). A history of Western philosophy. London: Routledge.

Stanley, T. (1956). Pythagoras: His life and teachings. New York: Philosophical Library.

Tegmark, M. (2008). The mathematical universe. Foundations of Physics, 38(2), 101–150. https://doi.org/10.1007/s10701-007-9186-9


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar