Rabu, 30 April 2025

Perseroan Terbatas: Tinjauan atas UU No. 1 Tahun 1995 dan Regulasi Terkini

Perseroan Terbatas

Tinjauan atas UU No. 1 Tahun 1995 dan Regulasi Terkini


Alihkan ke: Ilmu Ekonomi

BUMN, Korporasi, Koperasi.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai kedudukan dan pengaturan hukum Perseroan Terbatas (PT) dalam sistem hukum Indonesia, dengan fokus pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 dan penyempurnaannya melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. PT sebagai bentuk korporasi modern memiliki karakteristik sebagai persekutuan modal, subjek hukum yang mandiri, serta menerapkan prinsip tanggung jawab terbatas. Kajian ini menganalisis aspek historis, prosedural, struktural, serta tanggung jawab hukum yang melekat pada organ PT, yaitu Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris. Selain itu, artikel ini menelaah mekanisme perubahan anggaran dasar dan pembubaran perseroan sebagai bagian dari dinamika hukum korporasi.

Pendekatan perbandingan digunakan untuk meninjau sistem hukum PT di Indonesia dengan sistem korporasi di negara lain seperti Amerika Serikat (Delaware Corporation) dan Inggris (Private Limited Company/Ltd). Temuan menunjukkan bahwa meskipun sistem hukum PT di Indonesia telah mengalami kemajuan, masih terdapat ruang untuk penyempurnaan, khususnya dalam aspek transparansi, efisiensi administrasi, penegakan hukum, dan perlindungan investor. Artikel ini menutup dengan rekomendasi untuk reformasi regulasi dan penguatan prinsip tata kelola perusahaan yang baik guna mendukung pembangunan ekonomi nasional yang adil dan berkelanjutan.

Kata Kunci: Perseroan Terbatas, hukum korporasi, tanggung jawab terbatas, corporate governance, UU No. 1 Tahun 1995, UU No. 40 Tahun 2007, pembubaran perseroan, perbandingan hukum, badan hukum, tanggung jawab direksi.


PEMBAHASAN

Perseroan Terbatas (PT) dalam Perspektif Hukum Indonesia


1.           Pendahuluan

Perseroan Terbatas (PT) merupakan salah satu bentuk badan hukum yang paling dominan digunakan dalam praktik bisnis modern di Indonesia. Keberadaannya memegang peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, meningkatkan investasi, dan menciptakan lapangan kerja. Dalam sistem hukum Indonesia, PT tidak hanya merupakan instrumen bisnis, tetapi juga bagian integral dari struktur hukum ekonomi yang mengatur relasi antara pemilik modal, pengelola, negara, dan masyarakat. Seiring berkembangnya kebutuhan dan dinamika ekonomi, pengaturan hukum mengenai PT pun mengalami perubahan dan penyempurnaan.

Secara yuridis, pengaturan mengenai PT pertama kali dikodifikasi secara sistematis dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Undang-undang ini merupakan tonggak penting dalam sejarah hukum korporasi Indonesia, karena untuk pertama kalinya negara memberikan pengaturan yang menyeluruh dan terpadu tentang status hukum, pembentukan, struktur organisasi, dan mekanisme operasional PT sebagai badan hukum. Sebelumnya, pengaturan PT masih tersebar dan tidak terintegrasi, bergantung pada ketentuan warisan kolonial seperti Wetboek van Koophandel (WvK) dan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).1

Namun, dalam perkembangan selanjutnya, UU No. 1 Tahun 1995 dianggap belum sepenuhnya mampu mengakomodasi kompleksitas kebutuhan dunia usaha yang semakin dinamis. Oleh karena itu, pemerintah kemudian menggantikannya dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang hingga kini menjadi dasar hukum utama pengaturan PT di Indonesia. UU ini tidak hanya memperkuat aspek perlindungan hukum bagi pemegang saham dan pihak ketiga, tetapi juga memperkenalkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) sebagai elemen kunci dalam sistem korporasi modern.2

Studi mengenai korporasi, khususnya bentuk Perseroan Terbatas, penting dilakukan tidak hanya dari sudut pandang ekonomi, tetapi juga dari perspektif hukum. Hal ini karena korporasi merupakan entitas hukum yang memiliki hak dan kewajiban tersendiri, terpisah dari pribadi para pendirinya. Pemahaman terhadap prinsip-prinsip dasar hukum korporasi, termasuk asas tanggung jawab terbatas (limited liability), pemisahan kekayaan pribadi dan kekayaan badan hukum, serta struktur organ perusahaan, menjadi krusial dalam konteks kepastian hukum, perlindungan hukum, dan keadilan dalam dunia usaha.3

Dengan mempertimbangkan latar belakang tersebut, artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif pengaturan hukum mengenai Perseroan Terbatas di Indonesia, dengan fokus utama pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 dan perbandingannya dengan regulasi terkini, yakni Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. Kajian ini akan dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif, menggunakan sumber-sumber hukum primer dan sekunder yang kredibel, serta akan ditelaah secara kritis dalam rangka memberikan pemahaman yang lebih mendalam terhadap sistem hukum korporasi di Indonesia.


Footnotes

[1]                Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 17.

[2]                Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), 45–46.

[3]                Munir Fuady, Hukum Tentang Perseroan Terbatas (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), 8–10.


2.           Pengertian dan Karakteristik Perseroan Terbatas

2.1.       Pengertian Perseroan Terbatas

Secara umum, Perseroan Terbatas (PT) adalah bentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal yang terdiri atas saham, dan pemegang saham memiliki tanggung jawab terbatas sebesar nilai saham yang dimilikinya. Pengertian ini pertama kali dirumuskan secara eksplisit dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, dan kemudian disempurnakan dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 40 Tahun 2007, yang menyatakan:

Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.”_ 1

Definisi tersebut menunjukkan bahwa PT merupakan subjek hukum yang memiliki eksistensi terpisah dari para pendirinya, dengan segala hak dan kewajiban yang melekat padanya. Keberadaan badan hukum memberi PT kemampuan untuk memiliki kekayaan sendiri, membuat perjanjian, serta menggugat dan digugat di pengadilan.

Munir Fuady menegaskan bahwa PT adalah wujud konkret dari konsep "artificial person", yaitu subjek hukum yang dibentuk oleh negara untuk menjalankan fungsi-fungsi ekonomi tertentu, dengan pengakuan legal yang membuatnya berbeda dari individu atau sekumpulan individu biasa.2 Dengan kata lain, pendirian PT bukan hanya tindakan bisnis, tetapi juga tindakan hukum yang melibatkan pendaftaran dan pengesahan dari negara melalui instansi yang berwenang.

2.2.       Karakteristik Perseroan Terbatas

Perseroan Terbatas memiliki sejumlah karakteristik utama yang membedakannya dari bentuk badan usaha lainnya, seperti Firma atau CV (Commanditaire Vennootschap). Karakteristik tersebut antara lain:

1)                  Badan Hukum yang Sah dan Terpisah

PT memiliki status sebagai badan hukum setelah memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Status ini menjadikan PT sebagai entitas yang berdiri sendiri, terpisah dari para pendirinya dan memiliki hak serta kewajiban sendiri.3

2)                  Persekutuan Modal

Modal dalam PT berasal dari penyetoran para pemegang saham. Modal tersebut terbagi dalam saham-saham yang menjadi bukti kepemilikan masing-masing pihak dalam perusahaan. Pembagian saham mencerminkan porsi hak suara dan keuntungan yang dapat diterima pemegang saham.4

3)                  Tanggung Jawab Terbatas

Salah satu daya tarik utama PT adalah adanya prinsip tanggung jawab terbatas, di mana para pemegang saham hanya bertanggung jawab sebesar nilai nominal saham yang mereka miliki dan tidak bertanggung jawab atas kewajiban hukum perusahaan dengan harta pribadi mereka.5

4)                  Kepemilikan Saham yang Dapat Dipindahtangankan

Saham dalam PT umumnya dapat dipindahtangankan, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar. Hal ini memberi fleksibilitas kepada pemegang saham dan memudahkan perputaran modal di pasar modal, khususnya bagi PT Terbuka.6

5)                  Organisasi Terstruktur

PT memiliki struktur organisasi yang formal dan hierarkis, terdiri dari tiga organ utama: Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Dewan Komisaris. Masing-masing organ memiliki fungsi, wewenang, dan tanggung jawab yang diatur secara rinci dalam undang-undang maupun anggaran dasar perseroan.7

Karakteristik-karakteristik tersebut menunjukkan bahwa PT adalah bentuk badan usaha yang disiapkan untuk menjalankan kegiatan ekonomi dalam skala menengah hingga besar, dengan sistem hukum yang mendukung stabilitas, akuntabilitas, dan keberlanjutan usaha.


Footnotes

[1]                Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Pasal 1 angka 1.

[2]                Munir Fuady, Hukum Tentang Perseroan Terbatas (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), 9.

[3]                Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 21.

[4]                R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003), 134.

[5]                Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), 58.

[6]                Sentosa Sembiring, Hukum Perseroan Terbatas (Bandung: Nuansa Aulia, 2015), 72.

[7]                M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, 76.


3.           Sejarah dan Perkembangan Regulasi Perseroan Terbatas di Indonesia

Pengaturan mengenai Perseroan Terbatas (PT) di Indonesia mengalami proses historis yang cukup panjang dan kompleks, yang tidak terlepas dari pengaruh sistem hukum Eropa kontinental, khususnya hukum Belanda. Sebelum Indonesia merdeka, ketentuan mengenai badan usaha berbentuk perseroan telah diatur dalam Wetboek van Koophandel voor Indonesië (WvK) atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), yang merupakan peninggalan kolonial Belanda dan masih berlaku sampai saat ini dalam beberapa bagian.1

Dalam WvK, ketentuan mengenai PT tertuang dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 56a, namun pengaturannya bersifat sangat terbatas dan tidak mengatur aspek-aspek modern dari dunia usaha seperti perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas, tanggung jawab sosial perusahaan, atau prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Hal ini menyebabkan ketentuan dalam WvK tidak lagi memadai untuk menjawab kebutuhan pengembangan ekonomi nasional dalam era modernisasi dan globalisasi.2

Menyadari kebutuhan akan sistem hukum perusahaan yang lebih komprehensif dan adaptif, pemerintah Indonesia pada tahun 1995 menetapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. UU ini merupakan kodifikasi pertama yang secara sistematis mengatur seluruh aspek pendirian, struktur, pengelolaan, hingga pembubaran PT. Kehadiran UU No. 1 Tahun 1995 dianggap sebagai langkah progresif karena membawa Indonesia keluar dari ketergantungan terhadap regulasi kolonial dan memasuki era modernisasi hukum perusahaan nasional.3

Namun, dalam implementasinya, UU No. 1 Tahun 1995 masih menghadapi sejumlah kendala, terutama dalam menyesuaikan diri dengan dinamika dunia usaha dan perkembangan hukum korporasi global. Beberapa isu yang menjadi sorotan adalah kurangnya pengaturan mengenai good corporate governance (GCG), lemahnya perlindungan terhadap pemegang saham minoritas, serta belum optimalnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan perusahaan.4

Sebagai respons atas kelemahan tersebut, pemerintah Indonesia kemudian mengganti UU No. 1 Tahun 1995 dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. UU ini membawa pembaruan signifikan, antara lain dengan:

·                     Mempertegas prinsip persekutuan modal sebagai inti dari PT;

·                     Memperkenalkan mekanisme perlindungan bagi pemegang saham minoritas;

·                     Menyediakan pengaturan lebih detail mengenai organ perseroan (RUPS, Direksi, Komisaris);

·                     Menekankan penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR).5

Dengan demikian, UU No. 40 Tahun 2007 merupakan jawaban atas tuntutan hukum perusahaan yang lebih modern dan progresif, serta lebih sesuai dengan semangat reformasi hukum di Indonesia. Regulasi ini juga sejalan dengan kecenderungan global, di mana keberadaan korporasi tidak hanya dilihat dari sisi profitabilitas ekonomi, tetapi juga dari aspek etika, keberlanjutan, dan kontribusi sosial terhadap masyarakat.6


Footnotes

[1]                Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), 12–13.

[2]                Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 18.

[3]                Munir Fuady, Hukum Tentang Perseroan Terbatas (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), 15.

[4]                Daniel S. Lev, "Legal Evolution and Political Authority in Indonesia: Selected Essays," Journal of Comparative Law, vol. 34, no. 2 (2000): 237–239.

[5]                Agus Yudha Hernoko, “Prinsip Good Corporate Governance dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 17, no. 2 (2010): 145–146.

[6]                Erman Rajagukguk, “Corporate Social Responsibility dalam Hukum Perusahaan Indonesia,” Jurnal Hukum Bisnis 24, no. 1 (2007): 30–31.


4.           Aspek Hukum Pembentukan Perseroan Terbatas

Pembentukan Perseroan Terbatas (PT) sebagai badan hukum merupakan proses hukum yang mengacu pada sejumlah ketentuan formal dan substantif. Dalam konteks hukum Indonesia, baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 maupun Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 menegaskan bahwa pembentukan PT tidak dapat dilakukan secara sepihak atau tidak resmi. PT hanya dapat dianggap sah sebagai badan hukum apabila didirikan sesuai ketentuan undang-undang dan telah memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (dulu: Menteri Kehakiman). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7 ayat (4) UU No. 40 Tahun 2007, yang menyatakan bahwa perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya keputusan Menteri mengenai pengesahan sebagai badan hukum.1

4.1.       Syarat Formal Pendirian

Secara garis besar, prosedur pendirian PT mencakup tahapan-tahapan sebagai berikut:

1)                  Pembuatan Akta Pendirian oleh Notaris

Akta pendirian wajib dibuat dalam bahasa Indonesia dan memuat anggaran dasar (AD) serta keterangan lain yang disyaratkan. Anggaran dasar merupakan dokumen hukum utama yang memuat identitas perseroan, tujuan usaha, struktur permodalan, susunan organ, dan mekanisme pengambilan keputusan dalam PT.2

2)                  Penandatanganan Akta oleh Para Pendiri

Dalam ketentuan lama (UU No. 1 Tahun 1995), minimal pendiri berjumlah dua orang. Ketentuan ini diperbaharui dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 29 Tahun 2016, yang mengizinkan pendirian PT oleh satu orang untuk UMK (Usaha Mikro dan Kecil), khususnya setelah terbitnya UU Cipta Kerja.3

3)                  Pengesahan oleh Menteri Hukum dan HAM

Setelah akta pendirian ditandatangani dan didaftarkan secara elektronik ke Kementerian Hukum dan HAM, perseroan akan memperoleh Surat Keputusan Pengesahan Badan Hukum. Pengesahan ini memiliki efek konstitutif, artinya PT baru dianggap sah secara hukum setelah menteri menerbitkan pengesahan tersebut.4

4)                  Pendaftaran dan Pengumuman dalam Tambahan Berita Negara

Untuk memenuhi asas publisitas, setiap akta pendirian yang telah disahkan wajib diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia (BNRI). Tujuannya adalah memberikan akses informasi hukum kepada pihak ketiga.5

4.2.       Persyaratan Substantif

Selain aspek prosedural, pendirian PT juga harus memenuhi sejumlah syarat substantif, yakni:

1)                  Adanya Tujuan yang Sah

PT hanya dapat didirikan untuk menjalankan kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan kesusilaan. Hal ini mengacu pada asas legalitas dalam hukum perdata dan hukum perusahaan.6

2)                  Modal Dasar, Modal Disetor, dan Modal Ditempatkan

UU No. 40 Tahun 2007 menetapkan bahwa modal dasar adalah keseluruhan nilai nominal saham yang dapat diterbitkan oleh perseroan, sedangkan modal ditempatkan dan modal disetor adalah bagian dari modal dasar yang telah dijanjikan dan dibayar oleh pendiri. Minimal 25% dari modal dasar wajib disetor penuh pada saat pendirian PT.7 Ketentuan ini diperlonggar dalam regulasi pasca UU Cipta Kerja untuk mendorong pendirian usaha kecil.

3)                  Kepemilikan Saham

Saham hanya dapat dimiliki oleh WNI dan/atau badan hukum Indonesia untuk PT tertutup, sementara untuk PT terbuka dan/atau penanaman modal asing berlaku ketentuan khusus berdasarkan peraturan investasi dan sektor usaha tertentu.8

4)                  Tujuan Laba (For-Profit Orientation)

PT secara umum dibentuk untuk tujuan memperoleh keuntungan (profit-oriented). Pengecualian berlaku untuk PT berbasis sosial seperti PT BUMDes atau PT sosial sesuai ketentuan sektor khusus.

4.3.       Validitas dan Akibat Hukum

Apabila suatu perseroan didirikan tanpa memenuhi persyaratan hukum yang berlaku—misalnya tidak disahkan oleh Menteri atau tidak diumumkan di BNRI—maka keberadaan hukum dari perseroan tersebut dapat dianggap batal demi hukum, dan pihak-pihak yang menjalankan usaha atas nama PT tersebut dapat dikenai tanggung jawab pribadi terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukan.9

Oleh karena itu, penting bagi para pendiri dan pihak terkait untuk memahami secara mendalam aspek hukum pembentukan PT sebagai bagian dari kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam dunia usaha.


Footnotes

[1]                Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 7 ayat (4).

[2]                Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 47.

[3]                Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2016 tentang Perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatas.

[4]                Munir Fuady, Hukum Tentang Perseroan Terbatas (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), 39–40.

[5]                Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas: Prinsip-Prinsip Hukum dan Studi Kasus (Jakarta: Kencana, 2012), 56.

[6]                R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003), 263.

[7]                Sentosa Sembiring, Hukum Perseroan Terbatas (Bandung: Nuansa Aulia, 2015), 94–95.

[8]                Erman Rajagukguk, “Aspek Hukum Investasi Asing di Indonesia,” Jurnal Hukum Bisnis 20, no. 1 (2004): 20–21.

[9]                Agus Yudha Hernoko, “Tanggung Jawab Direksi dalam Hukum Perseroan Terbatas,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 12, no. 3 (2005): 375–377.


5.           Organ dan Struktur Internal Perseroan

Dalam sistem hukum Indonesia, Perseroan Terbatas (PT) sebagai badan hukum tidak hanya eksis secara yuridis melalui akta pendirian dan pengesahan pemerintah, tetapi juga diwujudkan secara fungsional melalui keberadaan organ-organ internalnya. Organ-organ ini memiliki peran krusial dalam menjamin efektivitas pengelolaan, transparansi pengambilan keputusan, serta pertanggungjawaban terhadap pemegang saham dan pihak ketiga.

Baik dalam UU No. 1 Tahun 1995 maupun UU No. 40 Tahun 2007, disebutkan bahwa organ perseroan terdiri dari tiga elemen utama, yaitu:

1)                  Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS),

2)                  Direksi, dan

3)                  Dewan Komisaris.1

Ketiga organ ini memiliki fungsi yang saling melengkapi dan saling mengawasi dalam suatu struktur yang disebut sebagai sistem dua badan (two-tier system), yang khas dalam tradisi hukum Eropa kontinental.

5.1.       Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

RUPS adalah organ tertinggi dalam struktur PT, karena merupakan forum pengambilan keputusan penting yang tidak diserahkan kepada direksi atau komisaris. Menurut Pasal 1 angka 4 UU No. 40 Tahun 2007, RUPS adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan berwenang untuk mengambil keputusan-keputusan strategis yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris.

Keputusan yang diambil dalam RUPS meliputi, antara lain:

·                     Pengesahan laporan tahunan;

·                     Penetapan pembagian dividen;

·                     Pengangkatan dan pemberhentian anggota direksi dan komisaris;

·                     Persetujuan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pembubaran perseroan.2

RUPS terdiri atas dua jenis:

1)                  RUPS Tahunan, yang wajib diselenggarakan paling lambat enam bulan setelah tahun buku berakhir;

2)                  RUPS Luar Biasa, yang dapat diadakan sewaktu-waktu apabila dipandang perlu oleh direksi, dewan komisaris, atau atas permintaan pemegang saham dengan kriteria tertentu.3

5.2.       Direksi

Direksi merupakan organ eksekutif perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dalam praktik, direksi bertindak sebagai “manajemen puncak” yang menjalankan roda operasional perusahaan sehari-hari.

Tugas utama direksi antara lain:

·                     Menyusun rencana kerja dan anggaran;

·                     Menyusun laporan tahunan dan keuangan;

·                     Menjalankan kegiatan usaha berdasarkan anggaran dasar;

·                     Menyimpan dokumen penting perseroan.4

Menurut Munir Fuady, kedudukan direksi merupakan jabatan kepercayaan (fiduciary duty), sehingga setiap tindakan yang merugikan perseroan akibat kelalaian atau penyalahgunaan wewenang dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi oleh pemegang saham atau pihak ketiga.5

5.3.       Dewan Komisaris

Dewan komisaris merupakan organ pengawas dalam perseroan yang bertugas melakukan pengawasan terhadap kebijakan direksi serta memberikan nasihat kepada direksi. Meskipun tidak menjalankan fungsi eksekutif, dewan komisaris memiliki hak untuk meminta keterangan dari direksi, memeriksa dokumen, serta memberikan persetujuan dalam kebijakan tertentu yang ditentukan dalam anggaran dasar atau keputusan RUPS.

UU No. 40 Tahun 2007 Pasal 108 ayat (1) menyatakan bahwa dewan komisaris wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan tanggung jawab penuh dalam menjalankan tugasnya demi kepentingan dan kelangsungan hidup perseroan.6

Komisaris juga dapat dibebankan tanggung jawab hukum apabila terjadi kerugian pada perseroan sebagai akibat dari kelalaian mereka dalam melakukan fungsi pengawasan. Dalam beberapa kasus, tanggung jawab komisaris dapat bersifat tanggung renteng (joint and several liability) bersama dengan direksi, apabila terbukti ada pembiaran terhadap tindakan penyimpangan yang merugikan perseroan.7

5.4.       Interaksi antar Organ Perseroan

Hubungan antara ketiga organ PT didasarkan pada prinsip pemisahan fungsi dan pembagian tanggung jawab. Direksi sebagai pengelola bertanggung jawab kepada RUPS, sementara dewan komisaris bertindak sebagai pengawas yang juga bertanggung jawab kepada RUPS. Dengan struktur ini, diharapkan tercipta mekanisme check and balance yang sehat dalam pengelolaan perusahaan.

Yahya Harahap menekankan bahwa pemisahan kewenangan antara organ-organ perseroan ini adalah kunci dari prinsip good corporate governance (GCG), yang bertujuan melindungi kepentingan pemegang saham dan menjamin keberlanjutan perusahaan dalam jangka panjang.8


Footnotes

[1]                Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 1 angka 2, 4, dan 5.

[2]                Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), 79.

[3]                Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 186–188.

[4]                Sentosa Sembiring, Hukum Perseroan Terbatas (Bandung: Nuansa Aulia, 2015), 122.

[5]                Munir Fuady, Hukum Tentang Perseroan Terbatas (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), 102.

[6]                Indonesia, UU No. 40 Tahun 2007, Pasal 108 ayat (1).

[7]                Agus Yudha Hernoko, “Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris dalam Perspektif Hukum Perusahaan,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 13, no. 2 (2006): 320–321.

[8]                Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, 212.


6.           Tanggung Jawab Hukum dalam Perseroan Terbatas

Salah satu karakteristik utama dari Perseroan Terbatas (PT) adalah adanya prinsip tanggung jawab terbatas (limited liability) yang melekat pada pemegang saham. Namun, prinsip ini tidak berlaku mutlak. Dalam beberapa keadaan tertentu, tanggung jawab tersebut dapat diperluas, bahkan sampai pada tingkat tanggung jawab pribadi terhadap pemegang saham, direksi, atau dewan komisaris. Oleh karena itu, pemahaman terhadap sistem tanggung jawab hukum dalam struktur PT sangat penting untuk menjamin kepastian hukum dan mencegah penyalahgunaan bentuk badan hukum.

6.1.       Prinsip Tanggung Jawab Terbatas

Menurut ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007, tanggung jawab pemegang saham dalam PT terbatas pada nilai nominal saham yang dimilikinya. Artinya, apabila perseroan mengalami kerugian atau memiliki utang, maka tanggung jawab pemegang saham tidak melampaui nilai saham yang telah disetorkannya ke dalam perseroan.1

Prinsip ini memberikan perlindungan hukum yang kuat bagi investor dan mendorong pertumbuhan kegiatan ekonomi melalui investasi modal. Namun, perlindungan tersebut bukan tanpa batas. Dalam hal terjadi penyalahgunaan bentuk badan hukum atau terdapat unsur penipuan, penggelapan, atau perbuatan melawan hukum, maka pengadilan dapat “membuka tabir hukum” atau piercing the corporate veil, dan menetapkan pertanggungjawaban pribadi.2

6.2.       Piercing the Corporate Veil (Membuka Tirai Korporasi)

Konsep piercing the corporate veil merupakan mekanisme hukum yang memungkinkan pengabaian terhadap kepribadian hukum terpisah dari PT, apabila bentuk badan hukum tersebut digunakan sebagai alat untuk menutupi perbuatan curang. Beberapa kondisi yang dapat menimbulkan piercing the veil antara lain:

·                     Perseroan tidak memiliki pemisahan aset yang jelas antara aset pribadi dan aset perseroan;

·                     Terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh direksi atau pemegang saham;

·                     Perseroan digunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan hukum.3

Yahya Harahap menjelaskan bahwa meskipun UU No. 40 Tahun 2007 tidak menyebutkan istilah piercing the veil secara eksplisit, namun prinsip ini tetap berlaku melalui pertanggungjawaban perdata berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata atau melalui tanggung jawab pidana jika ditemukan unsur kesengajaan dan kerugian pihak lain.4

6.3.       Tanggung Jawab Direksi

Direksi sebagai organ eksekutif bertanggung jawab secara hukum atas pengurusan perseroan. Jika direksi bertindak di luar batas wewenang atau lalai dalam menjalankan tugasnya sehingga menimbulkan kerugian, maka mereka dapat dimintai tanggung jawab secara pribadi. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 97 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007, yang menyatakan bahwa direksi bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan jika yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya.5

Direksi juga dapat dimintai pertanggungjawaban oleh pihak ketiga, khususnya jika ia bertindak tidak atas nama perseroan yang sah, atau melakukan perbuatan melawan hukum dalam kapasitasnya sebagai pengurus perseroan.6

Munir Fuady menekankan bahwa tanggung jawab hukum direksi bukan hanya bersifat internal (kepada perseroan), tetapi juga eksternal (kepada pihak luar), terutama dalam hal terjadi perbuatan hukum yang melibatkan pihak ketiga tanpa kuasa yang sah.7

6.4.       Tanggung Jawab Dewan Komisaris

Dewan komisaris memiliki fungsi pengawasan dan pemberian nasihat kepada direksi. Apabila terjadi pembiaran terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh direksi, maka komisaris dapat dimintai tanggung jawab bersama. Pasal 114 UU No. 40 Tahun 2007 mengatur bahwa komisaris yang lalai dalam menjalankan tugas pengawasan dan nasihat, dapat dimintai tanggung jawab atas kerugian yang diderita perseroan.8

Tanggung jawab komisaris bersifat fidusia (tanggung jawab karena kepercayaan), yang menuntut sikap kehati-hatian dan tanggung jawab moral terhadap tindakan korporasi. Apabila komisaris membiarkan praktik manipulatif atau tindakan merugikan berlangsung tanpa pencegahan, maka ia dapat dianggap turut bertanggung jawab secara hukum.9

6.5.       Tanggung Jawab Korporasi dalam Tindak Pidana

Selain tanggung jawab perdata, perseroan juga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam kasus tertentu, terutama yang berkaitan dengan tindak pidana korporasi (corporate crime), seperti pencucian uang, pelanggaran lingkungan, korupsi, dan tindak pidana ekonomi lainnya.

Dalam doktrin hukum pidana modern, korporasi dapat dianggap sebagai subjek hukum pidana dan dapat dikenai sanksi berupa denda, pencabutan izin, atau pembubaran badan hukum, sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang maupun dalam KUHP Nasional 2023.10 Penegakan pidana terhadap korporasi umumnya dibarengi dengan penunjukan pihak yang bertanggung jawab, yaitu direksi atau manajer yang bertindak atas nama perseroan.


Kesimpulan Sementara

Dengan demikian, tanggung jawab hukum dalam Perseroan Terbatas bersifat berlapis: mulai dari tanggung jawab internal antar organ, hingga eksternal terhadap pihak ketiga dan negara. Meskipun prinsip tanggung jawab terbatas menjadi dasar dari perlindungan hukum dalam PT, terdapat ruang bagi perluasan tanggung jawab dalam kasus penyalahgunaan, kelalaian, atau pelanggaran hukum. Mekanisme ini memberikan keseimbangan antara perlindungan hukum bagi pelaku usaha dan perlindungan hak-hak publik.


Footnotes

[1]                Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 3 ayat (1).

[2]                Gunawan Widjaja, Prinsip-Prinsip Hukum Korporasi (Jakarta: Kencana, 2012), 143.

[3]                Sentosa Sembiring, Hukum Perseroan Terbatas (Bandung: Nuansa Aulia, 2015), 135.

[4]                Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 305.

[5]                Indonesia, UU No. 40 Tahun 2007, Pasal 97 ayat (3).

[6]                Agus Yudha Hernoko, “Tanggung Jawab Hukum Direksi dalam Perspektif Hukum Perusahaan,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 15, no. 1 (2008): 81–82.

[7]                Munir Fuady, Hukum Tentang Perseroan Terbatas (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), 111.

[8]                Indonesia, UU No. 40 Tahun 2007, Pasal 114 ayat (2).

[9]                Erman Rajagukguk, “Tanggung Jawab Komisaris dalam Sistem Hukum Perseroan,” Jurnal Hukum Bisnis 18, no. 2 (2005): 102–104.

[10]             Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional 2023, Buku Kedua, Bab Korporasi.


7.           Perubahan Anggaran Dasar dan Pembubaran Perseroan

Dalam siklus hidup suatu Perseroan Terbatas (PT), perubahan anggaran dasar (AD) dan pembubaran perseroan merupakan dua hal penting yang berimplikasi besar terhadap status hukum dan keberlanjutan eksistensi korporasi. Kedua aspek ini diatur secara normatif dalam UU No. 1 Tahun 1995 dan kemudian disempurnakan dalam UU No. 40 Tahun 2007 untuk menjamin kepastian hukum, perlindungan pemegang saham, serta kelangsungan tata kelola perusahaan yang baik.

7.1.       Perubahan Anggaran Dasar

Anggaran dasar merupakan dokumen hukum fundamental yang berfungsi sebagai konstitusi internal bagi perseroan. Setiap perubahan terhadap anggaran dasar harus dilakukan dengan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 21 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 menegaskan bahwa perubahan AD ditetapkan oleh RUPS dan dituangkan dalam akta notaris dalam bahasa Indonesia.1

Perubahan anggaran dasar mencakup, antara lain:

·                     Perubahan nama dan kedudukan perseroan;

·                     Perubahan tujuan dan kegiatan usaha;

·                     Perubahan besaran modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor;

·                     Perubahan jumlah, klasifikasi, dan hak atas saham;

·                     Perubahan susunan organ perseroan.2

Tidak semua perubahan anggaran dasar memerlukan persetujuan dari Menteri Hukum dan HAM. Dalam praktiknya, terdapat dua jenis perubahan:

1)                  Perubahan yang memerlukan persetujuan Menteri, seperti perubahan nama, kedudukan, kegiatan usaha, jangka waktu, dan modal dasar;

2)                  Perubahan yang cukup dilaporkan, seperti perubahan susunan pengurus atau pemegang saham, yang tetap harus dicatat dalam sistem administrasi hukum umum (AHU).3

Ketentuan ini memberikan fleksibilitas dalam manajemen perusahaan, namun tetap mempertahankan asas publisitas hukum, agar pihak ketiga tidak dirugikan oleh perubahan yang tidak diumumkan secara sah.

7.2.       Pembubaran Perseroan

Pembubaran PT adalah proses hukum yang mengakhiri status badan hukum suatu perseroan. Berdasarkan Pasal 142 UU No. 40 Tahun 2007, pembubaran perseroan dapat terjadi karena:4

1)                  Keputusan RUPS;

2)                  Jangka waktu berdirinya perseroan berakhir;

3)                  Berdasarkan penetapan pengadilan;

4)                  Dicabutnya izin usaha atau karena ketentuan peraturan perundang-undangan;

5)                  Keadaan tertentu berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Setelah pembubaran, perseroan tetap dalam status hukum “dalam likuidasi” sampai selesainya proses penyelesaian harta kekayaan perseroan. Dalam tahap ini, perseroan masih tetap bertindak atas nama hukum, namun terbatas hanya untuk tujuan penyelesaian aset, pembayaran utang, dan pembagian sisa kekayaan kepada pemegang saham.5

Likuidator ditunjuk oleh RUPS atau pengadilan, dan bertugas untuk:

·                     Mengumumkan pembubaran dalam surat kabar dan Berita Negara RI;

·                     Menyelesaikan utang piutang perseroan;

·                     Membagikan sisa hasil likuidasi kepada pemegang saham;

·                     Menyampaikan laporan akhir kepada RUPS dan menteri.6

Apabila laporan pertanggungjawaban likuidator disetujui, maka proses likuidasi dinyatakan selesai, dan perseroan dihapus dari daftar perusahaan sebagai entitas hukum.

7.3.       Pembatalan dan Gugatan Terhadap Proses Pembubaran

Dalam kasus tertentu, proses pembubaran dapat digugat ke pengadilan oleh pihak yang berkepentingan, misalnya:

·                     Pemegang saham minoritas yang merasa dirugikan oleh keputusan RUPS;

·                     Kreditor yang belum dilunasi haknya;

·                     Pihak ketiga yang masih memiliki hubungan hukum aktif dengan perseroan.

Yahya Harahap mencatat bahwa salah satu kelemahan dalam praktik pembubaran PT di Indonesia adalah minimnya perlindungan hukum terhadap kreditor kecil dan lemahnya pengawasan terhadap proses likuidasi, yang sering kali menyebabkan aset perseroan tidak disalurkan secara adil.7

Oleh karena itu, UU No. 40 Tahun 2007 memberikan dasar hukum yang lebih jelas dalam mengatur mekanisme keberatan, penundaan, atau pembatalan terhadap keputusan pembubaran, sebagai bagian dari prinsip perlindungan hukum dan keadilan prosedural.


Kesimpulan Sementara

Perubahan anggaran dasar dan pembubaran perseroan merupakan instrumen penting dalam menjaga fleksibilitas, akuntabilitas, dan dinamika hukum korporasi. Dengan adanya aturan yang jelas, diharapkan tidak terjadi kekosongan hukum yang dapat merugikan pemegang saham, kreditor, maupun pihak ketiga. Harmonisasi antara ketentuan normatif dan praktik implementasi masih menjadi tantangan yang perlu dibenahi demi penegakan tata kelola perusahaan yang sehat di Indonesia.


Footnotes

[1]                Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 21 ayat (1).

[2]                Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), 106.

[3]                Sentosa Sembiring, Hukum Perseroan Terbatas (Bandung: Nuansa Aulia, 2015), 161–162.

[4]                Indonesia, UU No. 40 Tahun 2007, Pasal 142.

[5]                Munir Fuady, Hukum Tentang Perseroan Terbatas (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), 131.

[6]                Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 382.

[7]                Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, 386–387.


8.           Kedudukan PT dalam Sistem Ekonomi Indonesia

Dalam sistem hukum dan perekonomian Indonesia, Perseroan Terbatas (PT) memiliki peran strategis sebagai entitas ekonomi sekaligus subjek hukum yang berperan penting dalam mendukung pembangunan nasional. Sebagai bentuk korporasi modern, PT memungkinkan penyatuan modal dari berbagai pihak secara efisien, sekaligus menyediakan instrumen legal untuk menjalankan aktivitas usaha yang terorganisasi dan bertanggung jawab. Dalam kerangka hukum, keberadaan PT tidak hanya diposisikan sebagai pelaku usaha, melainkan juga sebagai aktor pembangunan yang harus sejalan dengan prinsip keadilan sosial dan tanggung jawab sosial.

8.1.       Peran PT dalam Sistem Ekonomi Nasional

Menurut Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 hasil amandemen, sistem perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, dengan prinsip berwawasan kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Dalam konteks ini, PT merupakan sarana legal yang diakui dan didorong negara untuk menjalankan fungsi produktif dalam sistem ekonomi nasional.1

PT menjadi salah satu bentuk badan usaha yang paling banyak digunakan dalam berbagai sektor—mulai dari perdagangan, industri, jasa keuangan, hingga energi dan pertambangan. Kemampuannya dalam menghimpun modal dari pemodal publik (khususnya melalui PT Terbuka di pasar modal) menjadikan PT sebagai motor utama dalam menstimulus pertumbuhan ekonomi dan investasi di Indonesia.2

Erman Rajagukguk mencatat bahwa karakter hukum PT yang fleksibel, skalabel, dan berorientasi laba menjadikannya struktur yang paling adaptif terhadap tantangan pasar bebas dan globalisasi ekonomi.3 Namun, fleksibilitas tersebut perlu diseimbangkan dengan pengawasan hukum agar tidak menghasilkan praktik monopoli atau eksploitasi sumber daya secara sewenang-wenang.

8.2.       Keterkaitan PT dengan Good Corporate Governance (GCG)

Perkembangan regulasi PT, khususnya melalui UU No. 40 Tahun 2007, menunjukkan bahwa negara menempatkan Good Corporate Governance (GCG) sebagai prinsip dasar dalam pembentukan dan pengelolaan perseroan. GCG meliputi prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, dan kewajaran dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan usaha perseroan.4

Penerapan GCG bertujuan agar PT tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi, tetapi juga menjamin perlindungan terhadap pemegang saham minoritas, kreditor, pekerja, dan lingkungan sekitar, serta mencegah penyalahgunaan kekuasaan dalam internal perusahaan. Dengan demikian, PT diharapkan menjadi institusi yang beretika, bukan sekadar mesin ekonomi.

Yahya Harahap menekankan bahwa ketentuan tentang tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) dalam UU PT merupakan salah satu bentuk konkret dari pergeseran paradigma hukum korporasi dari yang bersifat shareholder oriented menuju stakeholder oriented.5

8.3.       PT dan Keadilan Ekonomi

Meskipun PT adalah sarana legal untuk mencapai efisiensi ekonomi, perlu diperhatikan bahwa bentuk ini cenderung menempatkan modal sebagai kekuatan dominan, yang berpotensi memperlebar kesenjangan ekonomi jika tidak diawasi secara adil. Oleh karena itu, peran negara dalam mengatur dan membatasi konsentrasi kekuasaan ekonomi sangat krusial, sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Dalam perspektif pembangunan ekonomi yang inklusif, pembentukan PT berbasis ekonomi kerakyatan, seperti BUMDesa berbentuk PT, koperasi yang bermitra dengan PT, atau PT yang dimiliki komunitas lokal, merupakan bentuk integrasi ideal antara logika pasar dan keadilan sosial.6

8.4.       Tantangan Hukum dan Ekonomi

Kedudukan strategis PT dalam sistem ekonomi juga menghadapi sejumlah tantangan, antara lain:

·                     Minimnya pemahaman pelaku usaha terhadap aspek hukum pendirian dan operasional PT;

·                     Lemahnya penegakan hukum dalam kasus penyalahgunaan PT sebagai alat pencucian uang atau penghindaran pajak;

·                     Belum meratanya penerapan prinsip GCG, terutama pada PT skala menengah dan kecil;

·                     Ketimpangan akses terhadap modal dan teknologi antara PT besar dan kecil.7

Oleh karena itu, penguatan sistem pengawasan, literasi hukum korporasi, dan insentif terhadap PT yang taat hukum perlu ditingkatkan dalam kerangka reformasi hukum ekonomi nasional.


Kesimpulan Sementara

Korporasi berbentuk Perseroan Terbatas memiliki kedudukan sentral dalam struktur perekonomian Indonesia, baik sebagai sarana penggerak pertumbuhan maupun sebagai entitas hukum yang wajib tunduk pada prinsip keadilan dan akuntabilitas. Regulasi tentang PT bukan hanya instrumen legal-formal, tetapi juga ekspresi dari arah kebijakan ekonomi negara yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara efisiensi pasar dan keadilan sosial.


Footnotes

[1]                Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat (4).

[2]                Gunawan Widjaja, Prinsip-Prinsip Hukum Korporasi (Jakarta: Kencana, 2012), 4.

[3]                Erman Rajagukguk, “Korporasi dan Hukum Bisnis dalam Era Pasar Bebas,” Jurnal Hukum Bisnis 17, no. 2 (2004): 55–56.

[4]                Agus Yudha Hernoko, “Prinsip Good Corporate Governance dalam UU PT,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 17, no. 2 (2010): 141.

[5]                Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 255.

[6]                I Nyoman Nurjaya, “Pemberdayaan Masyarakat dan Keadilan Sosial dalam Sistem Hukum Ekonomi Indonesia,” Jurnal Konstitusi 10, no. 3 (2013): 321–322.

[7]                Sentosa Sembiring, Hukum Perseroan Terbatas (Bandung: Nuansa Aulia, 2015), 211–213.


9.           Perbandingan Internasional

Untuk memperoleh perspektif yang lebih luas mengenai pengaturan Perseroan Terbatas (PT), penting untuk meninjau perbandingan dengan sistem hukum korporasi di negara lain. Komparasi ini dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan regulasi nasional, khususnya dalam hal prinsip pengelolaan perusahaan, perlindungan investor, serta integrasi dengan standar hukum internasional. Dua sistem yang sering dijadikan rujukan adalah sistem hukum korporasi di Amerika Serikat (Delaware Corporation) dan Inggris (Private Limited Company/Ltd), yang masing-masing mewakili tradisi common law.

9.1.       Delaware Corporation (Amerika Serikat)

Negara bagian Delaware dikenal sebagai yurisdiksi korporasi paling populer di Amerika Serikat. Sekitar 60% perusahaan publik dan lebih dari 1 juta korporasi terdaftar di sana, termasuk sebagian besar perusahaan Fortune 500.1 Keunggulan Delaware terletak pada:

·                     Fleksibilitas struktur korporasi dalam Delaware General Corporation Law (DGCL);

·                     Pengadilan khusus bisnis (Delaware Court of Chancery) yang efisien dan konsisten dalam menyelesaikan sengketa korporasi;

·                     Perlindungan kuat terhadap manajer dan direktur melalui prinsip business judgment rule.2

Dalam konteks ini, PT di Indonesia belum memiliki lembaga peradilan yang setara dengan pengadilan korporasi, dan belum mengatur secara rinci prinsip business judgment rule, yaitu prinsip yang melindungi keputusan direksi selama dilakukan dengan itikad baik, rasional, dan tidak bertentangan dengan kepentingan perseroan.

Selain itu, Delaware tidak mensyaratkan minimum modal dasar untuk pendirian korporasi, berbeda dengan sistem hukum Indonesia (meski kini cenderung lebih longgar sejak UU Cipta Kerja). Ini menunjukkan bahwa sistem AS lebih pro-investor dan pro-entrepreneurship dengan meminimalisir hambatan administratif.3

9.2.       Private Limited Company (Ltd) di Inggris

Di Inggris, bentuk usaha Private Limited Company (Ltd) diatur dalam Companies Act 2006, yang merupakan kodifikasi hukum korporasi paling komprehensif di Eropa. Salah satu prinsip utama dalam sistem Inggris adalah:

·                     Pemisahan antara pemilik dan pengelola (separation of ownership and control);

·                     Perlindungan terhadap pemegang saham minoritas;

·                     Kewajiban pelaporan berkala yang diakses publik melalui Companies House.4

Sistem hukum korporasi Inggris juga mengadopsi pendekatan fiduciary duty yang sangat ketat terhadap para direktur, yang harus bertindak dalam kepentingan terbaik perseroan (best interest of the company). Ketentuan ini mirip dengan prinsip-prinsip pengelolaan dalam UU No. 40 Tahun 2007, namun pengawasannya di Inggris lebih terstruktur dan diintegrasikan secara digital dan transparan melalui sistem registrasi nasional.5

Dalam praktiknya, Ltd di Inggris dapat didirikan oleh satu orang tanpa batasan jumlah minimal modal, dan prosesnya dapat diselesaikan secara online dalam waktu satu hari kerja. Kemudahan ini menunjukkan bagaimana teknologi digunakan untuk menyederhanakan prosedur hukum tanpa mengorbankan kepastian hukum.

9.3.       Relevansi Bagi Hukum Korporasi Indonesia

Melalui perbandingan dengan sistem korporasi di AS dan Inggris, dapat diidentifikasi beberapa area yang dapat dijadikan inspirasi reformasi hukum di Indonesia:

1)                  Penyederhanaan prosedur digital untuk pendirian PT dan pelaporan perubahan AD;

2)                  Pembentukan pengadilan ekonomi atau korporasi khusus seperti Delaware Court of Chancery;

3)                  Penerapan tegas prinsip fiduciary duty dan business judgment rule dalam praktik pengurusan;

4)                  Perluasan akses publik terhadap informasi korporasi untuk memperkuat transparansi dan akuntabilitas;

5)                  Penguatan peran regulator dalam memastikan kepatuhan terhadap prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG).

Namun, dalam mengadopsi praktik internasional, perlu dipertimbangkan konteks sosial, budaya, dan struktur ekonomi Indonesia, agar prinsip-prinsip tersebut dapat berjalan efektif dalam kerangka sistem hukum nasional yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945.


Kesimpulan Sementara

Perbandingan hukum korporasi internasional mengungkapkan bahwa meskipun sistem hukum PT di Indonesia telah mengalami kemajuan melalui UU No. 40 Tahun 2007, namun masih terdapat ruang untuk penguatan, khususnya dalam aspek penegakan hukum, transparansi, dan efisiensi administrasi. Sistem di Delaware dan Inggris menunjukkan bahwa fleksibilitas hukum, perlindungan hukum, dan sistem pengawasan yang cerdas dapat menciptakan iklim usaha yang sehat sekaligus menjamin akuntabilitas.


Footnotes

[1]                Stephen M. Bainbridge, Corporate Law (New York: Foundation Press, 2019), 32.

[2]                William T. Allen, Reinier Kraakman, and Guhan Subramanian, Commentaries and Cases on the Law of Business Organization, 5th ed. (New York: Wolters Kluwer, 2016), 213–215.

[3]                Robert W. Hamilton and Richard D. Freer, The Law of Corporations in a Nutshell, 6th ed. (St. Paul: West Academic Publishing, 2011), 47.

[4]                Brenda Hannigan, Company Law, 5th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2018), 101.

[5]                Andrew Keay, “The Duty to Promote the Success of the Company: Is It Fit for Purpose?” Business Law Review 36, no. 2 (2015): 69–70.


10.       Kesimpulan dan Rekomendasi

10.1.    Kesimpulan

Kajian terhadap Perseroan Terbatas (PT) dalam perspektif hukum Indonesia, khususnya melalui penelusuran terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 dan penyempurnaannya dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, menunjukkan bahwa PT merupakan instrumen hukum yang strategis dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional. Sebagai bentuk korporasi modern, PT menggabungkan prinsip persekutuan modal, tanggung jawab terbatas, dan perlindungan hukum, yang menjadi fondasi penting dalam pengembangan dunia usaha di Indonesia.

Dari sisi historis, transisi dari ketentuan kolonial dalam Wetboek van Koophandel (WvK) menuju UU No. 1 Tahun 1995, dan kemudian UU No. 40 Tahun 2007, merupakan tonggak penting dalam modernisasi sistem hukum perusahaan. Perubahan ini membawa pergeseran paradigma dari pendekatan formalistik menjadi lebih substantif, dengan menekankan prinsip good corporate governance (GCG), tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), serta perlindungan terhadap pemegang saham minoritas dan kreditor.1

Secara kelembagaan, keberadaan tiga organ utama dalam PT—yakni Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Dewan Komisaris—menunjukkan struktur internal yang dirancang untuk menciptakan keseimbangan wewenang dan tanggung jawab. Prinsip check and balance antara ketiga organ ini diharapkan dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan serta meningkatkan akuntabilitas pengelolaan perusahaan.2

Namun demikian, penerapan prinsip-prinsip tersebut di tingkat praktik masih menghadapi tantangan, antara lain lemahnya penegakan hukum, terbatasnya pemahaman pelaku usaha terhadap aturan hukum korporasi, dan belum meratanya penerapan prinsip GCG terutama pada perusahaan menengah dan kecil. Di sisi lain, perbandingan dengan sistem hukum korporasi internasional (seperti di Delaware dan Inggris) memperlihatkan bahwa masih terdapat ruang perbaikan, terutama dalam hal efisiensi administratif, transparansi informasi, dan perlindungan investor.3

10.2.    Rekomendasi

Berdasarkan temuan dan analisis tersebut, beberapa rekomendasi dapat diajukan untuk memperkuat sistem hukum Perseroan Terbatas di Indonesia:

1)                  Penguatan Penegakan Hukum Korporasi

Pemerintah perlu mendorong pembentukan atau penguatan peradilan ekonomi atau korporasi khusus, seperti yang diterapkan di Delaware (Court of Chancery), untuk menyelesaikan sengketa korporasi secara cepat, profesional, dan konsisten. Ini akan meningkatkan kepastian hukum bagi investor dan pelaku usaha.4

2)                  Penyederhanaan Administrasi Korporasi melalui Digitalisasi

Perluasan sistem digital untuk pendirian, perubahan, pelaporan, dan pembubaran PT harus terus dikembangkan dan dipermudah, dengan tetap menjaga akurasi dan validitas data hukum. Sistem seperti Companies House di Inggris bisa dijadikan rujukan untuk menciptakan database perusahaan nasional yang terbuka dan terintegrasi.5

3)                  Penguatan Prinsip Good Corporate Governance (GCG)

Pemerintah, otoritas pasar modal, dan asosiasi profesi perlu memperkuat literasi dan pelatihan tentang GCG, khususnya bagi pelaku UMKM yang berbadan hukum PT. Diperlukan regulasi insentif bagi PT yang konsisten menerapkan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan tanggung jawab sosial perusahaan.6

4)                  Revisi Substansi UU PT

UU No. 40 Tahun 2007 perlu disesuaikan dengan perkembangan global dan teknologi, termasuk memperjelas penerapan prinsip business judgment rule, menegaskan definisi fiduciary duty direksi dan komisaris, serta membuka ruang pendirian PT oleh satu orang secara lebih luas untuk sektor non-UMKM dengan pengawasan memadai.7

5)                  Harmonisasi dengan Peraturan Perpajakan, Investasi, dan Ketentuan Sektor Khusus

UU PT perlu diharmonisasikan lebih erat dengan regulasi sektoral seperti UU Penanaman Modal, UU PPN/PPh, serta ketentuan industri tertentu, agar PT tidak menjadi celah hukum dalam penghindaran pajak, pengalihan aset, atau manipulasi kepemilikan lintas sektor.


Penutup

Melalui pendekatan hukum yang komprehensif, adaptif, dan berorientasi pada keadilan serta efisiensi, diharapkan regulasi Perseroan Terbatas di Indonesia dapat menjawab kebutuhan dunia usaha modern sekaligus memperkuat pondasi hukum dalam pembangunan ekonomi nasional yang berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 37–38.

[2]                Sentosa Sembiring, Hukum Perseroan Terbatas (Bandung: Nuansa Aulia, 2015), 85.

[3]                Stephen M. Bainbridge, Corporate Law (New York: Foundation Press, 2019), 29–30.

[4]                William T. Allen, Reinier Kraakman, and Guhan Subramanian, Commentaries and Cases on the Law of Business Organization, 5th ed. (New York: Wolters Kluwer, 2016), 178–179.

[5]                Brenda Hannigan, Company Law, 5th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2018), 113.

[6]                Agus Yudha Hernoko, “Prinsip Good Corporate Governance dalam UU PT,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 17, no. 2 (2010): 143.

[7]                Munir Fuady, Hukum Tentang Perseroan Terbatas (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), 158–160.


Daftar Pustaka

Allen, W. T., Kraakman, R., & Subramanian, G. (2016). Commentaries and cases on the law of business organization (5th ed.). Wolters Kluwer.

Bainbridge, S. M. (2019). Corporate law. Foundation Press.

Fuady, M. (2003). Hukum tentang Perseroan Terbatas. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Hamilton, R. W., & Freer, R. D. (2011). The law of corporations in a nutshell (6th ed.). West Academic Publishing.

Hannigan, B. (2018). Company law (5th ed.). Oxford University Press.

Harahap, Y. (2009). Hukum Perseroan Terbatas (Rev. ed.). Jakarta: Sinar Grafika.

Hernoko, A. Y. (2005). Tanggung jawab direksi dalam hukum perseroan terbatas. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 12(3), 375–377.

Hernoko, A. Y. (2006). Tanggung jawab direksi dan komisaris dalam perspektif hukum perusahaan. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 13(2), 317–326.

Hernoko, A. Y. (2010). Prinsip good corporate governance dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 17(2), 139–148.

Indonesia. (1995). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13.

Indonesia. (2007). Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106.

Indonesia. (2016). Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2016 tentang Perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatas. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 122.

Indonesia. (2023). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional 2023.

Keay, A. (2015). The duty to promote the success of the company: Is it fit for purpose? Business Law Review, 36(2), 69–75.

Nurjaya, I. N. (2013). Pemberdayaan masyarakat dan keadilan sosial dalam sistem hukum ekonomi Indonesia. Jurnal Konstitusi, 10(3), 318–330.

Rajagukguk, E. (2004). Korporasi dan hukum bisnis dalam era pasar bebas. Jurnal Hukum Bisnis, 17(2), 50–60.

Rajagukguk, E. (2005). Tanggung jawab komisaris dalam sistem hukum perseroan. Jurnal Hukum Bisnis, 18(2), 99–106.

Sembiring, S. (2015). Hukum Perseroan Terbatas. Bandung: Nuansa Aulia.

Subekti, R., & Tjitrosudibio. (2003). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita.

Widjaja, G., & Yani, A. (2000). Seri hukum bisnis: Perseroan terbatas. Jakarta: RajaGrafindo Persada.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar