Perseroan Terbatas
Tinjauan atas UU No. 1 Tahun 1995 dan Regulasi Terkini
Alihkan ke: Ilmu Ekonomi.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai
kedudukan dan pengaturan hukum Perseroan Terbatas (PT) dalam sistem hukum
Indonesia, dengan fokus pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 dan
penyempurnaannya melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. PT sebagai bentuk
korporasi modern memiliki karakteristik sebagai persekutuan modal, subjek hukum
yang mandiri, serta menerapkan prinsip tanggung jawab terbatas. Kajian ini
menganalisis aspek historis, prosedural, struktural, serta tanggung jawab hukum
yang melekat pada organ PT, yaitu Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan
Komisaris. Selain itu, artikel ini menelaah mekanisme perubahan anggaran dasar
dan pembubaran perseroan sebagai bagian dari dinamika hukum korporasi.
Pendekatan perbandingan digunakan untuk meninjau
sistem hukum PT di Indonesia dengan sistem korporasi di negara lain seperti
Amerika Serikat (Delaware Corporation) dan Inggris (Private Limited
Company/Ltd). Temuan menunjukkan bahwa meskipun sistem hukum PT di Indonesia
telah mengalami kemajuan, masih terdapat ruang untuk penyempurnaan, khususnya
dalam aspek transparansi, efisiensi administrasi, penegakan hukum, dan
perlindungan investor. Artikel ini menutup dengan rekomendasi untuk reformasi
regulasi dan penguatan prinsip tata kelola perusahaan yang baik guna mendukung
pembangunan ekonomi nasional yang adil dan berkelanjutan.
Kata Kunci: Perseroan Terbatas, hukum korporasi, tanggung jawab
terbatas, corporate governance, UU No. 1 Tahun 1995, UU No. 40 Tahun 2007,
pembubaran perseroan, perbandingan hukum, badan hukum, tanggung jawab direksi.
PEMBAHASAN
Perseroan Terbatas (PT) dalam Perspektif Hukum Indonesia
1.
Pendahuluan
Perseroan Terbatas
(PT) merupakan salah satu bentuk badan hukum yang paling dominan digunakan
dalam praktik bisnis modern di Indonesia. Keberadaannya memegang peranan
penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, meningkatkan investasi,
dan menciptakan lapangan kerja. Dalam sistem hukum Indonesia, PT tidak hanya
merupakan instrumen bisnis, tetapi juga bagian integral dari struktur hukum
ekonomi yang mengatur relasi antara pemilik modal, pengelola, negara, dan masyarakat.
Seiring berkembangnya kebutuhan dan dinamika ekonomi, pengaturan hukum mengenai
PT pun mengalami perubahan dan penyempurnaan.
Secara yuridis,
pengaturan mengenai PT pertama kali dikodifikasi secara sistematis dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Undang-undang
ini merupakan tonggak penting dalam sejarah hukum korporasi Indonesia, karena
untuk pertama kalinya negara memberikan pengaturan yang menyeluruh dan terpadu
tentang status hukum, pembentukan, struktur organisasi, dan mekanisme
operasional PT sebagai badan hukum. Sebelumnya, pengaturan PT masih tersebar
dan tidak terintegrasi, bergantung pada ketentuan warisan kolonial seperti
Wetboek van Koophandel (WvK) dan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata).1
Namun, dalam
perkembangan selanjutnya, UU No. 1 Tahun 1995 dianggap belum sepenuhnya mampu
mengakomodasi kompleksitas kebutuhan dunia usaha yang semakin dinamis. Oleh
karena itu, pemerintah kemudian menggantikannya dengan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang hingga
kini menjadi dasar hukum utama pengaturan PT di Indonesia. UU ini tidak hanya
memperkuat aspek perlindungan hukum bagi pemegang saham dan pihak ketiga,
tetapi juga memperkenalkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good
Corporate Governance) sebagai elemen kunci dalam sistem korporasi
modern.2
Studi mengenai
korporasi, khususnya bentuk Perseroan Terbatas, penting dilakukan tidak hanya
dari sudut pandang ekonomi, tetapi juga dari perspektif hukum. Hal ini karena
korporasi merupakan entitas hukum yang memiliki hak dan kewajiban tersendiri,
terpisah dari pribadi para pendirinya. Pemahaman terhadap prinsip-prinsip dasar
hukum korporasi, termasuk asas tanggung jawab terbatas (limited
liability), pemisahan kekayaan pribadi dan kekayaan badan hukum,
serta struktur organ perusahaan, menjadi krusial dalam konteks kepastian hukum,
perlindungan hukum, dan keadilan dalam dunia usaha.3
Dengan
mempertimbangkan latar belakang tersebut, artikel ini bertujuan untuk mengkaji
secara komprehensif pengaturan hukum mengenai Perseroan Terbatas di Indonesia,
dengan fokus utama pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 dan perbandingannya
dengan regulasi terkini, yakni Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. Kajian ini
akan dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif, menggunakan sumber-sumber
hukum primer dan sekunder yang kredibel, serta akan ditelaah secara kritis
dalam rangka memberikan pemahaman yang lebih mendalam terhadap sistem hukum
korporasi di Indonesia.
Footnotes
[1]
Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), 17.
[2]
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Perseroan
Terbatas (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), 45–46.
[3]
Munir Fuady, Hukum Tentang Perseroan Terbatas (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2003), 8–10.
2.
Pengertian
dan Karakteristik Perseroan Terbatas
2.1.
Pengertian Perseroan
Terbatas
Secara umum, Perseroan
Terbatas (PT) adalah bentuk badan hukum yang didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal yang terdiri atas
saham, dan pemegang saham memiliki tanggung jawab terbatas sebesar nilai saham
yang dimilikinya. Pengertian ini pertama kali dirumuskan secara eksplisit dalam
Pasal 1
ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas, dan kemudian disempurnakan dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 40 Tahun 2007,
yang menyatakan:
“Perseroan
Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan
persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha
dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan
yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.”_ 1
Definisi tersebut
menunjukkan bahwa PT merupakan subjek hukum yang memiliki eksistensi terpisah
dari para pendirinya, dengan segala hak dan kewajiban yang melekat padanya.
Keberadaan badan hukum memberi PT kemampuan untuk memiliki kekayaan sendiri,
membuat perjanjian, serta menggugat dan digugat di pengadilan.
Munir Fuady
menegaskan bahwa PT adalah wujud konkret dari konsep "artificial person",
yaitu subjek hukum yang dibentuk oleh negara untuk menjalankan fungsi-fungsi
ekonomi tertentu, dengan pengakuan legal yang membuatnya berbeda dari individu
atau sekumpulan individu biasa.2 Dengan kata lain, pendirian PT
bukan hanya tindakan bisnis, tetapi juga tindakan hukum yang melibatkan
pendaftaran dan pengesahan dari negara melalui instansi yang berwenang.
2.2.
Karakteristik
Perseroan Terbatas
Perseroan Terbatas
memiliki sejumlah karakteristik utama yang membedakannya dari bentuk badan
usaha lainnya, seperti Firma atau CV (Commanditaire Vennootschap).
Karakteristik tersebut antara lain:
1)
Badan Hukum yang Sah
dan Terpisah
PT memiliki status sebagai badan hukum setelah
memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Status ini menjadikan PT sebagai entitas yang berdiri sendiri, terpisah dari
para pendirinya dan memiliki hak serta kewajiban sendiri.3
2)
Persekutuan Modal
Modal dalam PT berasal dari penyetoran para
pemegang saham. Modal tersebut terbagi dalam saham-saham yang menjadi bukti
kepemilikan masing-masing pihak dalam perusahaan. Pembagian saham mencerminkan
porsi hak suara dan keuntungan yang dapat diterima pemegang saham.4
3)
Tanggung Jawab Terbatas
Salah satu daya tarik utama PT adalah adanya prinsip
tanggung jawab terbatas, di mana para pemegang saham hanya
bertanggung jawab sebesar nilai nominal saham yang mereka miliki dan tidak
bertanggung jawab atas kewajiban hukum perusahaan dengan harta pribadi mereka.5
4)
Kepemilikan Saham yang
Dapat Dipindahtangankan
Saham dalam PT umumnya dapat dipindahtangankan,
kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar. Hal ini memberi fleksibilitas
kepada pemegang saham dan memudahkan perputaran modal di pasar modal, khususnya
bagi PT Terbuka.6
5)
Organisasi Terstruktur
PT memiliki struktur organisasi yang formal dan
hierarkis, terdiri dari tiga organ utama: Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS), Direksi,
dan Dewan Komisaris. Masing-masing organ memiliki
fungsi, wewenang, dan tanggung jawab yang diatur secara rinci dalam
undang-undang maupun anggaran dasar perseroan.7
Karakteristik-karakteristik
tersebut menunjukkan bahwa PT adalah bentuk badan usaha yang disiapkan untuk
menjalankan kegiatan ekonomi dalam skala menengah hingga besar, dengan sistem
hukum yang mendukung stabilitas, akuntabilitas, dan keberlanjutan usaha.
Footnotes
[1]
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 106, Pasal 1 angka 1.
[2]
Munir Fuady, Hukum Tentang Perseroan Terbatas (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2003), 9.
[3]
Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), 21.
[4]
R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Jakarta: Pradnya Paramita, 2003), 134.
[5]
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Perseroan
Terbatas (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), 58.
[6]
Sentosa Sembiring, Hukum Perseroan Terbatas (Bandung: Nuansa
Aulia, 2015), 72.
[7]
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, 76.
3.
Sejarah
dan Perkembangan Regulasi Perseroan Terbatas di Indonesia
Pengaturan mengenai
Perseroan Terbatas (PT) di Indonesia mengalami proses historis yang cukup
panjang dan kompleks, yang tidak terlepas dari pengaruh sistem hukum Eropa
kontinental, khususnya hukum Belanda. Sebelum Indonesia merdeka, ketentuan
mengenai badan usaha berbentuk perseroan telah diatur dalam Wetboek
van Koophandel voor Indonesië (WvK) atau Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (KUHD), yang merupakan peninggalan kolonial Belanda dan masih
berlaku sampai saat ini dalam beberapa bagian.1
Dalam WvK, ketentuan
mengenai PT tertuang dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 56a, namun
pengaturannya bersifat sangat terbatas dan tidak mengatur aspek-aspek modern
dari dunia usaha seperti perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas,
tanggung jawab sosial perusahaan, atau prinsip tata kelola perusahaan yang
baik. Hal ini menyebabkan ketentuan dalam WvK tidak lagi memadai untuk menjawab
kebutuhan pengembangan ekonomi nasional dalam era modernisasi dan globalisasi.2
Menyadari kebutuhan
akan sistem hukum perusahaan yang lebih komprehensif dan adaptif, pemerintah
Indonesia pada tahun 1995 menetapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas. UU ini merupakan kodifikasi pertama yang
secara sistematis mengatur seluruh aspek pendirian, struktur, pengelolaan, hingga
pembubaran PT. Kehadiran UU No. 1 Tahun 1995 dianggap sebagai langkah progresif
karena membawa Indonesia keluar dari ketergantungan terhadap regulasi kolonial
dan memasuki era modernisasi hukum perusahaan nasional.3
Namun, dalam
implementasinya, UU No. 1 Tahun 1995 masih menghadapi sejumlah kendala,
terutama dalam menyesuaikan diri dengan dinamika dunia usaha dan perkembangan
hukum korporasi global. Beberapa isu yang menjadi sorotan adalah kurangnya
pengaturan mengenai good corporate governance (GCG),
lemahnya perlindungan terhadap pemegang saham minoritas, serta belum optimalnya
transparansi dan akuntabilitas pengelolaan perusahaan.4
Sebagai respons atas
kelemahan tersebut, pemerintah Indonesia kemudian mengganti UU No. 1 Tahun 1995
dengan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. UU ini membawa
pembaruan signifikan, antara lain dengan:
·
Mempertegas prinsip
persekutuan modal sebagai inti dari PT;
·
Memperkenalkan mekanisme
perlindungan bagi pemegang saham minoritas;
·
Menyediakan pengaturan
lebih detail mengenai organ perseroan (RUPS, Direksi, Komisaris);
·
Menekankan penerapan
prinsip transparansi, akuntabilitas, dan tanggung
jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR).5
Dengan demikian, UU
No. 40 Tahun 2007 merupakan jawaban atas tuntutan hukum perusahaan yang lebih
modern dan progresif, serta lebih sesuai dengan semangat reformasi hukum di
Indonesia. Regulasi ini juga sejalan dengan kecenderungan global, di mana
keberadaan korporasi tidak hanya dilihat dari sisi profitabilitas ekonomi,
tetapi juga dari aspek etika, keberlanjutan, dan kontribusi sosial terhadap
masyarakat.6
Footnotes
[1]
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Perseroan
Terbatas (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), 12–13.
[2]
Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), 18.
[3]
Munir Fuady, Hukum Tentang Perseroan Terbatas (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2003), 15.
[4]
Daniel S. Lev, "Legal Evolution and Political Authority in
Indonesia: Selected Essays," Journal of Comparative Law, vol. 34,
no. 2 (2000): 237–239.
[5]
Agus Yudha Hernoko, “Prinsip Good Corporate Governance dalam
Undang-Undang Perseroan Terbatas,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 17,
no. 2 (2010): 145–146.
[6]
Erman Rajagukguk, “Corporate Social Responsibility dalam Hukum
Perusahaan Indonesia,” Jurnal Hukum Bisnis 24, no. 1 (2007): 30–31.
4.
Aspek
Hukum Pembentukan Perseroan Terbatas
Pembentukan
Perseroan Terbatas (PT) sebagai badan hukum merupakan proses hukum yang mengacu
pada sejumlah ketentuan formal dan substantif. Dalam konteks hukum Indonesia,
baik Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1995 maupun Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
menegaskan bahwa pembentukan PT tidak dapat dilakukan secara sepihak atau tidak
resmi. PT hanya dapat dianggap sah sebagai badan hukum apabila didirikan sesuai
ketentuan undang-undang dan telah memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia (dulu: Menteri Kehakiman). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7
ayat (4) UU No. 40 Tahun 2007, yang menyatakan bahwa perseroan
memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya keputusan Menteri
mengenai pengesahan sebagai badan hukum.1
4.1.
Syarat Formal
Pendirian
Secara garis besar,
prosedur pendirian PT mencakup tahapan-tahapan sebagai berikut:
1)
Pembuatan Akta
Pendirian oleh Notaris
Akta pendirian wajib dibuat dalam bahasa
Indonesia dan memuat anggaran dasar (AD)
serta keterangan lain yang disyaratkan. Anggaran dasar merupakan dokumen hukum
utama yang memuat identitas perseroan, tujuan usaha, struktur permodalan,
susunan organ, dan mekanisme pengambilan keputusan dalam PT.2
2)
Penandatanganan Akta
oleh Para Pendiri
Dalam ketentuan lama (UU No. 1 Tahun 1995), minimal
pendiri berjumlah dua orang. Ketentuan ini
diperbaharui dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 29 Tahun
2016, yang mengizinkan pendirian PT oleh satu
orang untuk UMK (Usaha Mikro dan Kecil), khususnya setelah
terbitnya UU Cipta Kerja.3
3)
Pengesahan oleh Menteri
Hukum dan HAM
Setelah akta pendirian ditandatangani dan
didaftarkan secara elektronik ke Kementerian Hukum dan HAM, perseroan akan
memperoleh Surat Keputusan Pengesahan Badan Hukum.
Pengesahan ini memiliki efek konstitutif, artinya PT baru dianggap sah secara
hukum setelah menteri menerbitkan pengesahan tersebut.4
4)
Pendaftaran dan
Pengumuman dalam Tambahan Berita Negara
Untuk memenuhi asas publisitas, setiap akta
pendirian yang telah disahkan wajib diumumkan dalam Tambahan
Berita Negara Republik Indonesia (BNRI). Tujuannya adalah
memberikan akses informasi hukum kepada pihak ketiga.5
4.2.
Persyaratan
Substantif
Selain aspek prosedural,
pendirian PT juga harus memenuhi sejumlah syarat substantif, yakni:
1)
Adanya Tujuan yang Sah
PT hanya dapat didirikan untuk menjalankan
kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan
kesusilaan. Hal ini mengacu pada asas legalitas dalam hukum perdata dan hukum
perusahaan.6
2)
Modal Dasar, Modal
Disetor, dan Modal Ditempatkan
UU No. 40 Tahun 2007 menetapkan bahwa modal
dasar adalah keseluruhan nilai nominal saham yang dapat
diterbitkan oleh perseroan, sedangkan modal ditempatkan
dan modal disetor adalah bagian dari modal dasar
yang telah dijanjikan dan dibayar oleh pendiri. Minimal 25% dari modal dasar
wajib disetor penuh pada saat pendirian PT.7 Ketentuan ini
diperlonggar dalam regulasi pasca UU Cipta Kerja untuk mendorong pendirian
usaha kecil.
3)
Kepemilikan Saham
Saham hanya dapat dimiliki oleh WNI dan/atau
badan hukum Indonesia untuk PT tertutup, sementara untuk PT terbuka dan/atau
penanaman modal asing berlaku ketentuan khusus berdasarkan peraturan investasi
dan sektor usaha tertentu.8
4)
Tujuan Laba (For-Profit
Orientation)
PT secara umum dibentuk untuk tujuan memperoleh
keuntungan (profit-oriented). Pengecualian berlaku untuk PT
berbasis sosial seperti PT BUMDes atau PT sosial sesuai
ketentuan sektor khusus.
4.3.
Validitas dan Akibat
Hukum
Apabila suatu
perseroan didirikan tanpa memenuhi persyaratan hukum yang berlaku—misalnya
tidak disahkan oleh Menteri atau tidak diumumkan di BNRI—maka keberadaan hukum
dari perseroan tersebut dapat dianggap batal demi hukum, dan pihak-pihak
yang menjalankan usaha atas nama PT tersebut dapat dikenai tanggung jawab
pribadi terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukan.9
Oleh karena itu,
penting bagi para pendiri dan pihak terkait untuk memahami secara mendalam
aspek hukum pembentukan PT sebagai bagian dari kepastian hukum dan perlindungan
hukum dalam dunia usaha.
Footnotes
[1]
Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, Pasal 7 ayat (4).
[2]
Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), 47.
[3]
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2016 tentang
Perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatas.
[4]
Munir Fuady, Hukum Tentang Perseroan Terbatas (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2003), 39–40.
[5]
Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas: Prinsip-Prinsip Hukum dan
Studi Kasus (Jakarta: Kencana, 2012), 56.
[6]
R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Jakarta: Pradnya Paramita, 2003), 263.
[7]
Sentosa Sembiring, Hukum Perseroan Terbatas (Bandung: Nuansa
Aulia, 2015), 94–95.
[8]
Erman Rajagukguk, “Aspek Hukum Investasi Asing di Indonesia,” Jurnal
Hukum Bisnis 20, no. 1 (2004): 20–21.
[9]
Agus Yudha Hernoko, “Tanggung Jawab Direksi dalam Hukum Perseroan
Terbatas,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 12, no. 3 (2005): 375–377.
5.
Organ
dan Struktur Internal Perseroan
Dalam sistem hukum
Indonesia, Perseroan Terbatas (PT) sebagai
badan hukum tidak hanya eksis secara yuridis melalui akta pendirian dan
pengesahan pemerintah, tetapi juga diwujudkan secara fungsional melalui
keberadaan organ-organ internalnya. Organ-organ ini memiliki peran krusial
dalam menjamin efektivitas pengelolaan, transparansi pengambilan keputusan,
serta pertanggungjawaban terhadap pemegang saham dan pihak ketiga.
Baik dalam UU No. 1
Tahun 1995 maupun UU No. 40 Tahun 2007,
disebutkan bahwa organ perseroan terdiri dari tiga elemen utama, yaitu:
1)
Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS),
2)
Direksi,
dan
3)
Dewan Komisaris.1
Ketiga organ ini
memiliki fungsi yang saling melengkapi dan saling mengawasi dalam suatu
struktur yang disebut sebagai sistem dua badan (two-tier system),
yang khas dalam tradisi hukum Eropa kontinental.
5.1.
Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS)
RUPS adalah organ
tertinggi dalam struktur PT, karena merupakan forum pengambilan
keputusan penting yang tidak diserahkan kepada direksi atau komisaris. Menurut
Pasal 1 angka 4 UU No. 40 Tahun 2007, RUPS adalah organ perseroan yang memegang
kekuasaan
tertinggi dalam perseroan dan berwenang untuk mengambil
keputusan-keputusan strategis yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan
komisaris.
Keputusan yang
diambil dalam RUPS meliputi, antara lain:
·
Pengesahan laporan tahunan;
·
Penetapan pembagian
dividen;
·
Pengangkatan dan
pemberhentian anggota direksi dan komisaris;
·
Persetujuan penggabungan,
peleburan, pengambilalihan, dan pembubaran perseroan.2
RUPS terdiri atas dua jenis:
1)
RUPS Tahunan,
yang wajib diselenggarakan paling lambat enam bulan setelah tahun buku
berakhir;
2)
RUPS Luar Biasa,
yang dapat diadakan sewaktu-waktu apabila dipandang perlu oleh direksi, dewan
komisaris, atau atas permintaan pemegang saham dengan kriteria tertentu.3
5.2.
Direksi
Direksi merupakan organ
eksekutif perseroan yang bertanggung jawab penuh atas
pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili
perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dalam praktik, direksi
bertindak sebagai “manajemen puncak” yang menjalankan roda operasional
perusahaan sehari-hari.
Tugas utama direksi
antara lain:
·
Menyusun rencana kerja dan
anggaran;
·
Menyusun laporan tahunan
dan keuangan;
·
Menjalankan kegiatan usaha
berdasarkan anggaran dasar;
·
Menyimpan dokumen penting
perseroan.4
Menurut Munir Fuady,
kedudukan direksi merupakan jabatan kepercayaan (fiduciary duty),
sehingga setiap tindakan yang merugikan perseroan akibat kelalaian atau
penyalahgunaan wewenang dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi oleh
pemegang saham atau pihak ketiga.5
5.3.
Dewan Komisaris
Dewan komisaris
merupakan organ pengawas dalam perseroan
yang bertugas melakukan pengawasan terhadap kebijakan direksi serta memberikan
nasihat kepada direksi. Meskipun tidak menjalankan fungsi eksekutif, dewan
komisaris memiliki hak untuk meminta keterangan dari direksi, memeriksa
dokumen, serta memberikan persetujuan dalam kebijakan tertentu yang ditentukan
dalam anggaran dasar atau keputusan RUPS.
UU No. 40 Tahun 2007
Pasal 108 ayat (1) menyatakan bahwa dewan komisaris wajib dengan itikad
baik, kehati-hatian, dan tanggung jawab penuh dalam menjalankan
tugasnya demi kepentingan dan kelangsungan hidup perseroan.6
Komisaris juga dapat
dibebankan tanggung jawab hukum apabila terjadi kerugian pada perseroan sebagai
akibat dari kelalaian mereka dalam melakukan fungsi pengawasan. Dalam beberapa
kasus, tanggung jawab komisaris dapat bersifat tanggung renteng (joint and several liability)
bersama dengan direksi, apabila terbukti ada pembiaran terhadap tindakan
penyimpangan yang merugikan perseroan.7
5.4.
Interaksi antar
Organ Perseroan
Hubungan antara
ketiga organ PT didasarkan pada prinsip pemisahan fungsi dan pembagian tanggung jawab.
Direksi sebagai pengelola bertanggung jawab kepada RUPS, sementara dewan
komisaris bertindak sebagai pengawas yang juga bertanggung jawab kepada RUPS.
Dengan struktur ini, diharapkan tercipta mekanisme check
and balance yang sehat dalam pengelolaan perusahaan.
Yahya Harahap
menekankan bahwa pemisahan kewenangan antara organ-organ perseroan ini adalah
kunci dari prinsip good corporate governance (GCG),
yang bertujuan melindungi kepentingan pemegang saham dan menjamin keberlanjutan
perusahaan dalam jangka panjang.8
Footnotes
[1]
Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, Pasal 1 angka 2, 4, dan 5.
[2]
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Perseroan
Terbatas (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), 79.
[3]
Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), 186–188.
[4]
Sentosa Sembiring, Hukum Perseroan Terbatas (Bandung: Nuansa
Aulia, 2015), 122.
[5]
Munir Fuady, Hukum Tentang Perseroan Terbatas (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2003), 102.
[6]
Indonesia, UU No. 40 Tahun 2007, Pasal 108 ayat (1).
[7]
Agus Yudha Hernoko, “Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris dalam
Perspektif Hukum Perusahaan,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 13, no. 2
(2006): 320–321.
[8]
Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, 212.
6.
Tanggung
Jawab Hukum dalam Perseroan Terbatas
Salah satu
karakteristik utama dari Perseroan Terbatas (PT) adalah adanya prinsip tanggung
jawab terbatas (limited liability) yang melekat
pada pemegang saham. Namun, prinsip ini tidak berlaku mutlak. Dalam beberapa
keadaan tertentu, tanggung jawab tersebut dapat diperluas, bahkan sampai pada
tingkat tanggung jawab pribadi terhadap pemegang saham, direksi, atau dewan
komisaris. Oleh karena itu, pemahaman terhadap sistem tanggung
jawab hukum dalam struktur PT sangat penting untuk menjamin
kepastian hukum dan mencegah penyalahgunaan bentuk badan hukum.
6.1.
Prinsip Tanggung
Jawab Terbatas
Menurut ketentuan Pasal 3
ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007, tanggung jawab pemegang saham
dalam PT terbatas pada nilai nominal saham yang dimilikinya. Artinya, apabila
perseroan mengalami kerugian atau memiliki utang, maka tanggung jawab pemegang
saham tidak melampaui nilai saham yang telah disetorkannya ke dalam perseroan.1
Prinsip ini
memberikan perlindungan hukum yang kuat
bagi investor dan mendorong pertumbuhan kegiatan ekonomi melalui investasi
modal. Namun, perlindungan tersebut bukan tanpa batas. Dalam hal terjadi penyalahgunaan
bentuk badan hukum atau terdapat unsur penipuan, penggelapan,
atau perbuatan melawan hukum, maka pengadilan dapat “membuka tabir hukum”
atau piercing
the corporate veil, dan menetapkan pertanggungjawaban pribadi.2
6.2.
Piercing the
Corporate Veil (Membuka Tirai Korporasi)
Konsep piercing
the corporate veil merupakan mekanisme hukum yang memungkinkan
pengabaian terhadap kepribadian hukum terpisah dari PT, apabila bentuk badan
hukum tersebut digunakan sebagai alat untuk menutupi perbuatan curang.
Beberapa kondisi yang dapat menimbulkan piercing the veil antara lain:
·
Perseroan tidak memiliki
pemisahan aset yang jelas antara aset pribadi dan aset perseroan;
·
Terjadi penyalahgunaan
kekuasaan oleh direksi atau pemegang saham;
·
Perseroan digunakan untuk
tujuan yang bertentangan dengan hukum.3
Yahya Harahap
menjelaskan bahwa meskipun UU No. 40 Tahun 2007 tidak menyebutkan istilah piercing
the veil secara eksplisit, namun prinsip ini tetap berlaku melalui pertanggungjawaban
perdata berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata atau melalui tanggung
jawab pidana jika ditemukan unsur kesengajaan dan kerugian
pihak lain.4
6.3.
Tanggung Jawab
Direksi
Direksi sebagai
organ eksekutif bertanggung jawab secara hukum atas pengurusan
perseroan. Jika direksi bertindak di luar batas wewenang atau
lalai dalam menjalankan tugasnya sehingga menimbulkan kerugian, maka mereka
dapat dimintai tanggung jawab secara pribadi.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 97 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007, yang
menyatakan bahwa direksi bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian
perseroan jika yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan
tugasnya.5
Direksi juga dapat
dimintai pertanggungjawaban oleh pihak ketiga, khususnya jika ia bertindak
tidak atas nama perseroan yang sah, atau melakukan perbuatan melawan hukum
dalam kapasitasnya sebagai pengurus perseroan.6
Munir Fuady
menekankan bahwa tanggung jawab hukum direksi bukan hanya bersifat internal
(kepada perseroan), tetapi juga eksternal (kepada pihak luar),
terutama dalam hal terjadi perbuatan hukum yang melibatkan pihak ketiga tanpa
kuasa yang sah.7
6.4.
Tanggung Jawab Dewan
Komisaris
Dewan komisaris
memiliki fungsi pengawasan dan pemberian nasihat kepada direksi. Apabila
terjadi pembiaran terhadap penyimpangan yang dilakukan
oleh direksi, maka komisaris dapat dimintai tanggung jawab
bersama. Pasal 114 UU No. 40 Tahun 2007 mengatur bahwa komisaris yang lalai
dalam menjalankan tugas pengawasan dan nasihat, dapat dimintai tanggung jawab
atas kerugian yang diderita perseroan.8
Tanggung jawab
komisaris bersifat fidusia (tanggung jawab karena kepercayaan),
yang menuntut sikap kehati-hatian dan tanggung jawab moral terhadap tindakan
korporasi. Apabila komisaris membiarkan praktik manipulatif atau tindakan
merugikan berlangsung tanpa pencegahan, maka ia dapat dianggap turut
bertanggung jawab secara hukum.9
6.5.
Tanggung Jawab
Korporasi dalam Tindak Pidana
Selain tanggung
jawab perdata, perseroan juga dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana dalam kasus tertentu, terutama yang
berkaitan dengan tindak pidana korporasi (corporate crime), seperti pencucian
uang, pelanggaran lingkungan, korupsi, dan tindak pidana ekonomi lainnya.
Dalam doktrin hukum
pidana modern, korporasi dapat dianggap sebagai subjek hukum pidana dan dapat
dikenai sanksi berupa denda, pencabutan izin, atau pembubaran badan hukum,
sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang maupun dalam KUHP Nasional 2023.10
Penegakan pidana terhadap korporasi umumnya dibarengi dengan penunjukan
pihak yang bertanggung jawab, yaitu direksi atau manajer yang
bertindak atas nama perseroan.
Kesimpulan Sementara
Dengan demikian,
tanggung jawab hukum dalam Perseroan Terbatas bersifat berlapis: mulai dari
tanggung jawab internal antar organ, hingga eksternal terhadap pihak ketiga dan
negara. Meskipun prinsip tanggung jawab terbatas menjadi dasar dari
perlindungan hukum dalam PT, terdapat ruang bagi perluasan tanggung jawab dalam
kasus penyalahgunaan, kelalaian, atau pelanggaran hukum. Mekanisme ini
memberikan keseimbangan antara perlindungan hukum bagi pelaku usaha dan
perlindungan hak-hak publik.
Footnotes
[1]
Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, Pasal 3 ayat (1).
[2]
Gunawan Widjaja, Prinsip-Prinsip Hukum Korporasi (Jakarta:
Kencana, 2012), 143.
[3]
Sentosa Sembiring, Hukum Perseroan Terbatas (Bandung: Nuansa
Aulia, 2015), 135.
[4]
Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), 305.
[5]
Indonesia, UU No. 40 Tahun 2007, Pasal 97 ayat (3).
[6]
Agus Yudha Hernoko, “Tanggung Jawab Hukum Direksi dalam Perspektif
Hukum Perusahaan,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 15, no. 1 (2008):
81–82.
[7]
Munir Fuady, Hukum Tentang Perseroan Terbatas (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2003), 111.
[8]
Indonesia, UU No. 40 Tahun 2007, Pasal 114 ayat (2).
[9]
Erman Rajagukguk, “Tanggung Jawab Komisaris dalam Sistem Hukum
Perseroan,” Jurnal Hukum Bisnis 18, no. 2 (2005): 102–104.
[10]
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional 2023,
Buku Kedua, Bab Korporasi.
7.
Perubahan
Anggaran Dasar dan Pembubaran Perseroan
Dalam siklus hidup
suatu Perseroan Terbatas (PT), perubahan anggaran dasar (AD)
dan pembubaran
perseroan merupakan dua hal penting yang berimplikasi besar
terhadap status hukum dan keberlanjutan eksistensi korporasi. Kedua aspek ini
diatur secara normatif dalam UU No. 1 Tahun 1995 dan
kemudian disempurnakan dalam UU No. 40 Tahun 2007 untuk
menjamin kepastian hukum, perlindungan pemegang saham, serta kelangsungan tata
kelola perusahaan yang baik.
7.1.
Perubahan Anggaran
Dasar
Anggaran
dasar merupakan dokumen hukum fundamental yang berfungsi
sebagai konstitusi internal bagi perseroan. Setiap perubahan terhadap anggaran
dasar harus dilakukan dengan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
dan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 21 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 menegaskan bahwa perubahan AD ditetapkan
oleh RUPS dan dituangkan dalam akta notaris dalam bahasa Indonesia.1
Perubahan anggaran
dasar mencakup, antara lain:
·
Perubahan nama dan
kedudukan perseroan;
·
Perubahan tujuan dan
kegiatan usaha;
·
Perubahan besaran modal
dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor;
·
Perubahan jumlah, klasifikasi,
dan hak atas saham;
·
Perubahan susunan organ
perseroan.2
Tidak semua
perubahan anggaran dasar memerlukan persetujuan dari Menteri Hukum dan HAM.
Dalam praktiknya, terdapat dua jenis perubahan:
1)
Perubahan yang
memerlukan persetujuan Menteri, seperti perubahan nama,
kedudukan, kegiatan usaha, jangka waktu, dan modal dasar;
2)
Perubahan yang cukup
dilaporkan, seperti perubahan susunan pengurus atau pemegang
saham, yang tetap harus dicatat dalam sistem administrasi hukum umum (AHU).3
Ketentuan ini
memberikan fleksibilitas dalam manajemen perusahaan, namun tetap mempertahankan
asas publisitas
hukum, agar pihak ketiga tidak dirugikan oleh perubahan yang
tidak diumumkan secara sah.
7.2.
Pembubaran Perseroan
Pembubaran
PT adalah proses hukum yang mengakhiri status badan hukum suatu
perseroan. Berdasarkan Pasal 142 UU No. 40 Tahun 2007, pembubaran perseroan
dapat terjadi karena:4
1)
Keputusan RUPS;
2)
Jangka waktu berdirinya perseroan
berakhir;
3)
Berdasarkan penetapan pengadilan;
4)
Dicabutnya izin usaha atau karena
ketentuan peraturan perundang-undangan;
5)
Keadaan tertentu berdasarkan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Setelah pembubaran,
perseroan tetap dalam status hukum “dalam likuidasi”
sampai selesainya proses penyelesaian harta kekayaan perseroan. Dalam tahap
ini, perseroan masih tetap bertindak atas nama hukum, namun terbatas hanya
untuk tujuan penyelesaian aset, pembayaran utang, dan pembagian sisa kekayaan
kepada pemegang saham.5
Likuidator
ditunjuk oleh RUPS atau pengadilan, dan bertugas untuk:
·
Mengumumkan pembubaran
dalam surat kabar dan Berita Negara RI;
·
Menyelesaikan utang piutang
perseroan;
·
Membagikan sisa hasil
likuidasi kepada pemegang saham;
·
Menyampaikan laporan akhir
kepada RUPS dan menteri.6
Apabila laporan
pertanggungjawaban likuidator disetujui, maka proses likuidasi dinyatakan
selesai, dan perseroan dihapus dari daftar perusahaan sebagai entitas hukum.
7.3.
Pembatalan dan
Gugatan Terhadap Proses Pembubaran
Dalam kasus tertentu,
proses pembubaran dapat digugat ke pengadilan oleh pihak yang berkepentingan,
misalnya:
·
Pemegang saham minoritas
yang merasa dirugikan oleh keputusan RUPS;
·
Kreditor yang belum
dilunasi haknya;
·
Pihak ketiga yang masih
memiliki hubungan hukum aktif dengan perseroan.
Yahya Harahap
mencatat bahwa salah satu kelemahan dalam praktik pembubaran PT di Indonesia
adalah minimnya
perlindungan hukum terhadap kreditor kecil dan lemahnya pengawasan terhadap
proses likuidasi, yang sering kali menyebabkan aset perseroan
tidak disalurkan secara adil.7
Oleh karena itu, UU
No. 40 Tahun 2007 memberikan dasar hukum yang lebih jelas dalam mengatur
mekanisme keberatan, penundaan, atau pembatalan terhadap keputusan pembubaran,
sebagai bagian dari prinsip perlindungan hukum dan keadilan prosedural.
Kesimpulan Sementara
Perubahan anggaran
dasar dan pembubaran perseroan merupakan instrumen penting dalam menjaga
fleksibilitas, akuntabilitas, dan dinamika hukum korporasi. Dengan adanya
aturan yang jelas, diharapkan tidak terjadi kekosongan hukum yang dapat
merugikan pemegang saham, kreditor, maupun pihak ketiga. Harmonisasi antara
ketentuan normatif dan praktik implementasi masih menjadi tantangan yang perlu
dibenahi demi penegakan tata kelola perusahaan yang sehat di Indonesia.
Footnotes
[1]
Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, Pasal 21 ayat (1).
[2]
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Perseroan
Terbatas (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), 106.
[3]
Sentosa Sembiring, Hukum Perseroan Terbatas (Bandung: Nuansa
Aulia, 2015), 161–162.
[4]
Indonesia, UU No. 40 Tahun 2007, Pasal 142.
[5]
Munir Fuady, Hukum Tentang Perseroan Terbatas (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2003), 131.
[6]
Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), 382.
[7]
Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, 386–387.
8.
Kedudukan
PT dalam Sistem Ekonomi Indonesia
Dalam sistem hukum
dan perekonomian Indonesia, Perseroan Terbatas (PT)
memiliki peran strategis sebagai entitas ekonomi sekaligus subjek hukum yang
berperan penting dalam mendukung pembangunan nasional. Sebagai bentuk korporasi
modern, PT memungkinkan penyatuan modal dari berbagai pihak secara efisien,
sekaligus menyediakan instrumen legal untuk menjalankan aktivitas usaha yang
terorganisasi dan bertanggung jawab. Dalam kerangka hukum, keberadaan PT tidak
hanya diposisikan sebagai pelaku usaha, melainkan juga sebagai aktor
pembangunan yang harus sejalan dengan prinsip keadilan sosial
dan tanggung jawab sosial.
8.1.
Peran PT dalam
Sistem Ekonomi Nasional
Menurut Pasal 33
ayat (4) UUD 1945 hasil amandemen, sistem perekonomian Indonesia disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, dengan prinsip berwawasan
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Dalam konteks ini, PT merupakan sarana legal yang diakui dan didorong negara
untuk menjalankan fungsi produktif dalam sistem ekonomi nasional.1
PT menjadi salah
satu bentuk badan usaha yang paling banyak digunakan dalam berbagai
sektor—mulai dari perdagangan, industri, jasa keuangan, hingga energi dan
pertambangan. Kemampuannya dalam menghimpun modal dari pemodal publik
(khususnya melalui PT Terbuka di pasar modal) menjadikan PT sebagai motor utama
dalam menstimulus
pertumbuhan ekonomi dan investasi di Indonesia.2
Erman Rajagukguk
mencatat bahwa karakter hukum PT yang fleksibel, skalabel, dan berorientasi
laba menjadikannya struktur yang paling adaptif terhadap tantangan pasar bebas
dan globalisasi ekonomi.3 Namun, fleksibilitas tersebut perlu
diseimbangkan dengan pengawasan hukum agar tidak menghasilkan praktik monopoli
atau eksploitasi sumber daya secara sewenang-wenang.
8.2.
Keterkaitan PT
dengan Good Corporate Governance (GCG)
Perkembangan
regulasi PT, khususnya melalui UU No. 40 Tahun 2007,
menunjukkan bahwa negara menempatkan Good Corporate Governance (GCG)
sebagai prinsip dasar dalam pembentukan dan pengelolaan perseroan. GCG meliputi
prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab,
independensi, dan kewajaran dalam pengambilan keputusan dan
pelaksanaan kegiatan usaha perseroan.4
Penerapan GCG
bertujuan agar PT tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi, tetapi juga menjamin
perlindungan
terhadap pemegang saham minoritas, kreditor, pekerja, dan lingkungan sekitar,
serta mencegah penyalahgunaan kekuasaan dalam internal perusahaan. Dengan demikian,
PT diharapkan menjadi institusi yang beretika, bukan sekadar mesin
ekonomi.
Yahya Harahap
menekankan bahwa ketentuan tentang tanggung jawab sosial perusahaan (corporate
social responsibility/CSR) dalam UU PT merupakan salah satu bentuk
konkret dari pergeseran paradigma hukum korporasi dari yang bersifat shareholder
oriented menuju stakeholder oriented.5
8.3.
PT dan Keadilan
Ekonomi
Meskipun PT adalah
sarana legal untuk mencapai efisiensi ekonomi, perlu diperhatikan bahwa bentuk
ini cenderung menempatkan modal sebagai kekuatan dominan,
yang berpotensi memperlebar kesenjangan ekonomi jika tidak diawasi secara adil.
Oleh karena itu, peran negara dalam mengatur dan membatasi konsentrasi
kekuasaan ekonomi sangat krusial, sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Dalam perspektif
pembangunan ekonomi yang inklusif, pembentukan PT berbasis ekonomi
kerakyatan, seperti BUMDesa berbentuk PT, koperasi yang
bermitra dengan PT, atau PT yang dimiliki komunitas lokal, merupakan bentuk
integrasi ideal antara logika pasar dan keadilan sosial.6
8.4.
Tantangan Hukum dan
Ekonomi
Kedudukan strategis
PT dalam sistem ekonomi juga menghadapi sejumlah tantangan, antara lain:
·
Minimnya pemahaman pelaku
usaha terhadap aspek hukum pendirian dan operasional PT;
·
Lemahnya penegakan hukum
dalam kasus penyalahgunaan PT sebagai alat pencucian uang atau penghindaran
pajak;
·
Belum meratanya penerapan
prinsip GCG, terutama pada PT skala menengah dan kecil;
·
Ketimpangan akses terhadap
modal dan teknologi antara PT besar dan kecil.7
Oleh karena itu,
penguatan sistem pengawasan, literasi hukum korporasi, dan insentif terhadap PT
yang taat hukum perlu ditingkatkan dalam kerangka reformasi hukum ekonomi
nasional.
Kesimpulan Sementara
Korporasi berbentuk
Perseroan Terbatas memiliki kedudukan sentral dalam struktur perekonomian
Indonesia, baik sebagai sarana penggerak pertumbuhan maupun
sebagai entitas hukum yang wajib tunduk pada prinsip keadilan dan
akuntabilitas. Regulasi tentang PT bukan hanya instrumen legal-formal, tetapi
juga ekspresi dari arah kebijakan ekonomi negara yang bertujuan untuk menciptakan
keseimbangan antara efisiensi pasar dan keadilan sosial.
Footnotes
[1]
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Pasal 33 ayat (4).
[2]
Gunawan Widjaja, Prinsip-Prinsip Hukum Korporasi (Jakarta:
Kencana, 2012), 4.
[3]
Erman Rajagukguk, “Korporasi dan Hukum Bisnis dalam Era Pasar Bebas,” Jurnal
Hukum Bisnis 17, no. 2 (2004): 55–56.
[4]
Agus Yudha Hernoko, “Prinsip Good Corporate Governance dalam UU PT,” Jurnal
Hukum Ius Quia Iustum 17, no. 2 (2010): 141.
[5]
Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), 255.
[6]
I Nyoman Nurjaya, “Pemberdayaan Masyarakat dan Keadilan Sosial dalam
Sistem Hukum Ekonomi Indonesia,” Jurnal Konstitusi 10, no. 3 (2013):
321–322.
[7]
Sentosa Sembiring, Hukum Perseroan Terbatas (Bandung: Nuansa
Aulia, 2015), 211–213.
9.
Perbandingan
Internasional
Untuk memperoleh
perspektif yang lebih luas mengenai pengaturan Perseroan Terbatas (PT), penting
untuk meninjau perbandingan dengan sistem hukum korporasi di negara lain.
Komparasi ini dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan regulasi nasional,
khususnya dalam hal prinsip pengelolaan perusahaan, perlindungan investor,
serta integrasi dengan standar hukum internasional. Dua sistem yang sering
dijadikan rujukan adalah sistem hukum korporasi di Amerika
Serikat (Delaware Corporation) dan Inggris
(Private Limited Company/Ltd), yang masing-masing mewakili
tradisi common law.
9.1.
Delaware Corporation
(Amerika Serikat)
Negara bagian
Delaware dikenal sebagai yurisdiksi korporasi paling populer di Amerika
Serikat. Sekitar 60% perusahaan publik dan lebih dari 1 juta
korporasi terdaftar di sana, termasuk sebagian besar perusahaan Fortune 500.1
Keunggulan Delaware terletak pada:
·
Fleksibilitas
struktur korporasi dalam Delaware General Corporation Law (DGCL);
·
Pengadilan
khusus bisnis (Delaware Court of Chancery) yang efisien dan
konsisten dalam menyelesaikan sengketa korporasi;
·
Perlindungan kuat terhadap manajer
dan direktur melalui prinsip business judgment rule.2
Dalam konteks ini,
PT di Indonesia belum memiliki lembaga peradilan yang setara dengan pengadilan
korporasi, dan belum mengatur secara rinci prinsip business
judgment rule, yaitu prinsip yang melindungi keputusan direksi
selama dilakukan dengan itikad baik, rasional, dan tidak bertentangan dengan
kepentingan perseroan.
Selain itu, Delaware
tidak mensyaratkan minimum modal dasar untuk pendirian
korporasi, berbeda dengan sistem hukum Indonesia (meski kini cenderung lebih
longgar sejak UU Cipta Kerja). Ini menunjukkan bahwa sistem AS lebih pro-investor
dan pro-entrepreneurship dengan meminimalisir hambatan
administratif.3
9.2.
Private Limited
Company (Ltd) di Inggris
Di Inggris, bentuk
usaha Private
Limited Company (Ltd) diatur dalam Companies
Act 2006, yang merupakan kodifikasi hukum korporasi paling komprehensif
di Eropa. Salah satu prinsip utama dalam sistem Inggris adalah:
·
Pemisahan
antara pemilik dan pengelola (separation of ownership and control);
·
Perlindungan terhadap
pemegang saham minoritas;
·
Kewajiban pelaporan berkala
yang diakses publik melalui Companies House.4
Sistem hukum
korporasi Inggris juga mengadopsi pendekatan fiduciary duty yang sangat
ketat terhadap para direktur, yang harus bertindak dalam kepentingan
terbaik perseroan (best interest of the company).
Ketentuan ini mirip dengan prinsip-prinsip pengelolaan dalam UU No. 40 Tahun
2007, namun pengawasannya di Inggris lebih terstruktur dan diintegrasikan
secara digital dan transparan melalui sistem registrasi
nasional.5
Dalam praktiknya,
Ltd di Inggris dapat didirikan oleh satu orang tanpa batasan jumlah
minimal modal, dan prosesnya dapat diselesaikan secara online dalam waktu satu
hari kerja. Kemudahan ini menunjukkan bagaimana teknologi digunakan untuk
menyederhanakan prosedur hukum tanpa mengorbankan kepastian hukum.
9.3.
Relevansi Bagi Hukum
Korporasi Indonesia
Melalui perbandingan
dengan sistem korporasi di AS dan Inggris, dapat diidentifikasi beberapa area
yang dapat dijadikan inspirasi reformasi hukum di
Indonesia:
1)
Penyederhanaan prosedur
digital untuk pendirian PT dan pelaporan perubahan AD;
2)
Pembentukan pengadilan
ekonomi atau korporasi khusus seperti Delaware Court of
Chancery;
3)
Penerapan tegas prinsip
fiduciary duty dan business judgment rule dalam praktik
pengurusan;
4)
Perluasan akses publik
terhadap informasi korporasi untuk memperkuat transparansi dan
akuntabilitas;
5)
Penguatan peran
regulator dalam memastikan kepatuhan terhadap prinsip tata
kelola perusahaan yang baik (GCG).
Namun, dalam
mengadopsi praktik internasional, perlu dipertimbangkan konteks
sosial, budaya, dan struktur ekonomi Indonesia, agar
prinsip-prinsip tersebut dapat berjalan efektif dalam kerangka sistem hukum
nasional yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945.
Kesimpulan Sementara
Perbandingan hukum
korporasi internasional mengungkapkan bahwa meskipun sistem hukum PT di
Indonesia telah mengalami kemajuan melalui UU No. 40 Tahun 2007, namun masih
terdapat ruang untuk penguatan, khususnya dalam aspek penegakan hukum,
transparansi, dan efisiensi administrasi. Sistem di Delaware dan Inggris
menunjukkan bahwa fleksibilitas hukum, perlindungan hukum, dan
sistem pengawasan yang cerdas dapat menciptakan iklim usaha
yang sehat sekaligus menjamin akuntabilitas.
Footnotes
[1]
Stephen M. Bainbridge, Corporate Law (New York: Foundation
Press, 2019), 32.
[2]
William T. Allen, Reinier Kraakman, and Guhan Subramanian, Commentaries
and Cases on the Law of Business Organization, 5th ed. (New York: Wolters
Kluwer, 2016), 213–215.
[3]
Robert W. Hamilton and Richard D. Freer, The Law of Corporations in
a Nutshell, 6th ed. (St. Paul: West Academic Publishing, 2011), 47.
[4]
Brenda Hannigan, Company Law, 5th ed. (Oxford: Oxford
University Press, 2018), 101.
[5]
Andrew Keay, “The Duty to Promote the Success of the Company: Is It Fit
for Purpose?” Business Law Review 36, no. 2 (2015): 69–70.
10. Kesimpulan dan Rekomendasi
10.1.
Kesimpulan
Kajian terhadap Perseroan
Terbatas (PT) dalam perspektif hukum Indonesia, khususnya
melalui penelusuran terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995
dan penyempurnaannya dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007,
menunjukkan bahwa PT merupakan instrumen hukum yang strategis dalam mendukung
pembangunan ekonomi nasional. Sebagai bentuk korporasi modern, PT menggabungkan
prinsip persekutuan modal, tanggung
jawab terbatas, dan perlindungan hukum, yang
menjadi fondasi penting dalam pengembangan dunia usaha di Indonesia.
Dari sisi historis,
transisi dari ketentuan kolonial dalam Wetboek van Koophandel (WvK)
menuju UU No. 1 Tahun 1995, dan kemudian UU No. 40 Tahun 2007, merupakan
tonggak penting dalam modernisasi sistem hukum perusahaan.
Perubahan ini membawa pergeseran paradigma dari pendekatan formalistik menjadi
lebih substantif, dengan menekankan prinsip good corporate governance (GCG),
tanggung
jawab sosial perusahaan (CSR), serta perlindungan
terhadap pemegang saham minoritas dan kreditor.1
Secara kelembagaan,
keberadaan tiga organ utama dalam PT—yakni Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS),
Direksi,
dan Dewan
Komisaris—menunjukkan struktur internal yang dirancang untuk
menciptakan keseimbangan wewenang dan tanggung jawab. Prinsip check
and balance antara ketiga organ ini diharapkan dapat mencegah
penyalahgunaan kekuasaan serta meningkatkan akuntabilitas pengelolaan perusahaan.2
Namun demikian,
penerapan prinsip-prinsip tersebut di tingkat praktik masih menghadapi
tantangan, antara lain lemahnya penegakan hukum, terbatasnya pemahaman pelaku
usaha terhadap aturan hukum korporasi, dan belum meratanya penerapan prinsip
GCG terutama pada perusahaan menengah dan kecil. Di sisi lain, perbandingan
dengan sistem hukum korporasi internasional (seperti di Delaware dan Inggris)
memperlihatkan bahwa masih terdapat ruang perbaikan, terutama dalam hal efisiensi
administratif, transparansi informasi, dan perlindungan
investor.3
10.2.
Rekomendasi
Berdasarkan temuan
dan analisis tersebut, beberapa rekomendasi dapat diajukan untuk memperkuat
sistem hukum Perseroan Terbatas di Indonesia:
1)
Penguatan Penegakan
Hukum Korporasi
Pemerintah perlu mendorong pembentukan atau
penguatan peradilan ekonomi atau korporasi khusus,
seperti yang diterapkan di Delaware (Court of Chancery), untuk menyelesaikan
sengketa korporasi secara cepat, profesional, dan konsisten. Ini akan
meningkatkan kepastian hukum bagi investor dan pelaku usaha.4
2)
Penyederhanaan
Administrasi Korporasi melalui Digitalisasi
Perluasan sistem digital untuk pendirian,
perubahan, pelaporan, dan pembubaran PT harus terus dikembangkan dan
dipermudah, dengan tetap menjaga akurasi dan validitas data hukum. Sistem
seperti Companies House di Inggris bisa dijadikan rujukan untuk
menciptakan database perusahaan nasional yang terbuka dan terintegrasi.5
3)
Penguatan Prinsip Good
Corporate Governance (GCG)
Pemerintah, otoritas pasar modal, dan asosiasi
profesi perlu memperkuat literasi dan pelatihan tentang GCG, khususnya bagi
pelaku UMKM yang berbadan hukum PT. Diperlukan regulasi insentif bagi PT yang
konsisten menerapkan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan tanggung jawab
sosial perusahaan.6
4)
Revisi Substansi UU PT
UU No. 40 Tahun 2007 perlu disesuaikan dengan
perkembangan global dan teknologi, termasuk memperjelas penerapan prinsip business
judgment rule, menegaskan definisi fiduciary duty direksi dan komisaris,
serta membuka ruang pendirian PT oleh satu orang secara lebih luas untuk sektor
non-UMKM dengan pengawasan memadai.7
5)
Harmonisasi dengan
Peraturan Perpajakan, Investasi, dan Ketentuan Sektor Khusus
UU PT perlu diharmonisasikan lebih erat dengan
regulasi sektoral seperti UU Penanaman Modal, UU PPN/PPh, serta ketentuan
industri tertentu, agar PT tidak menjadi celah hukum dalam penghindaran pajak,
pengalihan aset, atau manipulasi kepemilikan lintas sektor.
Penutup
Melalui pendekatan
hukum yang komprehensif, adaptif, dan berorientasi pada keadilan serta
efisiensi, diharapkan regulasi Perseroan Terbatas di Indonesia dapat menjawab
kebutuhan dunia usaha modern sekaligus memperkuat pondasi hukum dalam
pembangunan ekonomi nasional yang berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), 37–38.
[2]
Sentosa Sembiring, Hukum Perseroan Terbatas (Bandung: Nuansa
Aulia, 2015), 85.
[3]
Stephen M. Bainbridge, Corporate Law (New York: Foundation
Press, 2019), 29–30.
[4]
William T. Allen, Reinier Kraakman, and Guhan Subramanian, Commentaries
and Cases on the Law of Business Organization, 5th ed. (New York: Wolters
Kluwer, 2016), 178–179.
[5]
Brenda Hannigan, Company Law, 5th ed. (Oxford: Oxford
University Press, 2018), 113.
[6]
Agus Yudha Hernoko, “Prinsip Good Corporate Governance dalam UU PT,” Jurnal
Hukum Ius Quia Iustum 17, no. 2 (2010): 143.
[7]
Munir Fuady, Hukum Tentang Perseroan Terbatas (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2003), 158–160.
Daftar Pustaka
Allen, W. T., Kraakman, R., & Subramanian, G.
(2016). Commentaries and cases on the law of business organization (5th
ed.). Wolters Kluwer.
Bainbridge, S. M. (2019). Corporate law.
Foundation Press.
Fuady, M. (2003). Hukum tentang Perseroan
Terbatas. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Hamilton, R. W., & Freer, R. D. (2011). The
law of corporations in a nutshell (6th ed.). West Academic Publishing.
Hannigan, B. (2018). Company law (5th ed.).
Oxford University Press.
Harahap, Y. (2009). Hukum Perseroan Terbatas
(Rev. ed.). Jakarta: Sinar Grafika.
Hernoko, A. Y. (2005). Tanggung jawab direksi dalam
hukum perseroan terbatas. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 12(3), 375–377.
Hernoko, A. Y. (2006). Tanggung jawab direksi dan
komisaris dalam perspektif hukum perusahaan. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum,
13(2), 317–326.
Hernoko, A. Y. (2010). Prinsip good corporate
governance dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas. Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum, 17(2), 139–148.
Indonesia. (1995). Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1995 Nomor 13.
Indonesia. (2007). Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 106.
Indonesia. (2016). Peraturan Pemerintah Nomor 29
Tahun 2016 tentang Perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatas. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 122.
Indonesia. (2023). Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) Nasional 2023.
Keay, A. (2015). The duty to promote the success of
the company: Is it fit for purpose? Business Law Review, 36(2), 69–75.
Nurjaya, I. N. (2013). Pemberdayaan masyarakat dan
keadilan sosial dalam sistem hukum ekonomi Indonesia. Jurnal Konstitusi,
10(3), 318–330.
Rajagukguk, E. (2004). Korporasi dan hukum bisnis
dalam era pasar bebas. Jurnal Hukum Bisnis, 17(2), 50–60.
Rajagukguk, E. (2005). Tanggung jawab komisaris
dalam sistem hukum perseroan. Jurnal Hukum Bisnis, 18(2), 99–106.
Sembiring, S. (2015). Hukum Perseroan Terbatas.
Bandung: Nuansa Aulia.
Subekti, R., & Tjitrosudibio. (2003). Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita.
Widjaja, G., & Yani, A. (2000). Seri hukum
bisnis: Perseroan terbatas. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar