Minggu, 27 April 2025

Indeterminisme: Perspektif Filsafat, Sains, dan Teologi atas Ketidaktertiban dalam Realitas

Indeterminisme

Perspektif Filsafat, Sains, dan Teologi atas Ketidaktertiban dalam Realitas


Alihkan ke: Free Will.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep indeterminisme dalam kaitannya dengan filsafat, sains, dan teologi. Indeterminisme dipahami sebagai penolakan terhadap prinsip kausalitas universal, membuka kemungkinan adanya peristiwa yang tidak sepenuhnya ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya. Di bidang filsafat, indeterminisme berperan penting dalam mempertahankan argumen tentang kebebasan kehendak dan tanggung jawab moral, sebagaimana dikembangkan oleh para filsuf dari masa klasik hingga kontemporer. Dari sisi ilmiah, perkembangan fisika kuantum mengukuhkan adanya ketidakpastian fundamental dalam realitas alam semesta, yang mendukung keraguan terhadap determinisme mekanistik klasik. Dalam bidang teologi, berbagai tradisi keagamaan memperlihatkan ketegangan antara kedaulatan ilahi dan kebebasan manusia, dengan beberapa pendekatan modern seperti Open Theism mengadopsi indeterminisme secara eksplisit. Artikel ini juga mengkaji kritik utama terhadap indeterminisme, terutama masalah acakan dan tantangan terhadap rasionalitas, serta mengeksplorasi alternatif teoretis seperti kompatibilisme dan teori agensi kausal. Akhirnya, implikasi etis dan hukum dari pandangan indeterministik dianalisis, memperlihatkan tantangan dan peluang baru dalam memahami moralitas, penghargaan, dan tanggung jawab di dunia yang kompleks dan tidak sepenuhnya terdeterminasi. Artikel ini menegaskan bahwa indeterminisme, alih-alih menyederhanakan persoalan kebebasan dan agensi, justru memperkaya refleksi filosofis tentang tempat manusia dalam kosmos.

Kata Kunci: Indeterminisme, kehendak bebas, kausalitas, filsafat, fisika kuantum, teologi, determinisme, tanggung jawab moral, kompatibilisme, agensi kausal.


PEMBAHASAN

Menelusuri Indeterminisme Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Wacana tentang indeterminisme merupakan salah satu perdebatan sentral dalam filsafat, ilmu pengetahuan, dan teologi yang berkaitan erat dengan pertanyaan mendasar tentang kebebasan kehendak, kausalitas, serta struktur realitas. Dalam pengertian paling umum, indeterminisme merujuk pada pandangan bahwa tidak semua peristiwa di dunia ini ditentukan secara mutlak oleh sebab-sebab sebelumnya, melainkan mengandung unsur kebetulan, probabilitas, atau bahkan spontanitas yang tidak dapat diramalkan secara pasti.¹ Pandangan ini menantang posisi tradisional determinisme, yaitu keyakinan bahwa segala sesuatu terjadi karena sebab-sebab sebelumnya secara niscaya dan dapat dijelaskan oleh hukum alam yang tetap dan universal.²

Persoalan antara determinisme dan indeterminisme bukan sekadar spekulasi filosofis, melainkan juga memiliki konsekuensi praktis dalam memahami tanggung jawab moral, kebebasan individu, dan bahkan sistem hukum. Jika setiap tindakan manusia telah ditentukan secara kausal oleh kondisi sebelumnya, maka muncul pertanyaan kritis: apakah manusia benar-benar bebas dan bertanggung jawab atas tindakannya?_³ Di sisi lain, jika tindakan manusia adalah hasil dari peristiwa acak atau tidak terkausal, bagaimana mungkin manusia dikatakan sebagai subjek rasional dan etis?⁴

Dalam sejarah filsafat, perdebatan tentang determinisme dan indeterminisme telah berlangsung sejak masa klasik. Filsuf Yunani seperti Demokritos dan Epikuros mengembangkan pandangan berbeda tentang hubungan antara atomisme dan kebebasan, dengan Epikuros memperkenalkan "kemiringan acak" atom (clinamen) sebagai dasar bagi kebebasan kehendak.⁵ Sementara dalam tradisi modern, perdebatan ini berkembang dalam kerangka metafisika, etika, dan filsafat pikiran, seperti terlihat dalam karya-karya David Hume, Immanuel Kant, hingga para filsuf kontemporer seperti Peter van Inwagen dan Robert Kane.⁶

Di ranah ilmu pengetahuan, terutama dalam fisika modern, munculnya mekanika kuantum di awal abad ke-20 menjadi titik balik besar dalam mempertimbangkan kembali validitas determinisme klasik. Hukum Newton yang sebelumnya dipahami sebagai sistem deterministik digantikan oleh hukum-hukum kuantum yang bersifat probabilistik, seperti yang tercermin dalam prinsip ketidakpastian Heisenberg.⁷ Hal ini membuka ruang baru bagi pemikiran tentang indeterminisme dalam level fundamental realitas fisik, meskipun para fisikawan sendiri berbeda pendapat dalam menafsirkan makna filosofis dari probabilitas kuantum.⁸

Sementara itu, dalam teologi, diskusi tentang kehendak bebas dan takdir telah menjadi isu sentral sejak masa awal pemikiran keagamaan. Di dalam teologi Islam, misalnya, perdebatan antara kalangan Qadariyah, Jabariyah, Asy’ariyah, dan Muktazilah mencerminkan pertarungan antara determinisme ilahi dan kebebasan manusia dalam konteks qadha dan qadar.⁹ Demikian pula dalam teologi Kristen, perbedaan antara paham predestinasi Calvinis dan kebebasan kehendak Arminian memperlihatkan kompleksitas relasi antara kehendak Tuhan dan tanggung jawab manusia.¹⁰

Artikel ini bertujuan untuk menelusuri indeterminisme dalam lintas perspektif—filsafat, sains, dan teologi—secara mendalam dan sistematis. Melalui pendekatan multidisipliner, pembaca diharapkan dapat memahami bagaimana indeterminisme dikonstruksi, diperdebatkan, dan direspons dalam berbagai ranah pengetahuan, serta bagaimana konsep ini berdampak pada cara kita memandang kebebasan, moralitas, dan realitas itu sendiri.


Footnotes

[1]                Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Clarendon Press, 1983), 3–4.

[2]                Carl Hoefer, “Causal Determinism,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2020), https://plato.stanford.edu/entries/determinism-causal/.

[3]                Derk Pereboom, Living Without Free Will (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 4–6.

[4]                Robert Kane, The Significance of Free Will (Oxford: Oxford University Press, 1996), 65–70.

[5]                A. A. Long, Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics, 2nd ed. (Berkeley: University of California Press, 1986), 109–110.

[6]                Timothy O'Connor, “Free Will,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Spring 2021), https://plato.stanford.edu/entries/freewill/.

[7]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper, 1958), 42–45.

[8]                Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 189–191.

[9]                W. Montgomery Watt, Free Will and Predestination in Early Islam (Luzac & Co., 1948), 45–57.

[10]             Paul Helm, The Providence of God (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 1993), 123–134.


2.           Definisi dan Dasar Konseptual Indeterminisme

Indeterminisme adalah posisi filosofis yang berpendapat bahwa tidak semua peristiwa di alam semesta dikondisikan atau ditentukan secara mutlak oleh sebab-sebab sebelumnya. Dalam konteks ini, indeterminisme menyangkal prinsip kausalitas universal yang dianut oleh determinisme, yakni bahwa setiap kejadian memiliki sebab yang cukup yang meniscayakan kejadiannya.¹ Secara lebih khusus, indeterminisme membuka kemungkinan bahwa dalam beberapa kasus, peristiwa dapat terjadi tanpa sebab yang menentukan, atau minimal, melibatkan unsur probabilitas dan ketidakpastian.

Menurut Robert Kane, seorang filsuf kontemporer terkemuka dalam teori kehendak bebas, indeterminisme menyiratkan bahwa dalam beberapa keadaan tertentu, terdapat lebih dari satu masa depan yang secara nyata mungkin, dan bahwa agen bebas dapat memainkan peran kausal dalam menentukan di antara alternatif tersebut.² Hal ini bertentangan dengan determinisme, yang memandang masa depan sebagai kesinambungan logis dari masa kini melalui hukum-hukum alam yang tetap.

2.1.       Indeterminisme, Determinisme, dan Fatalisme

Penting untuk membedakan indeterminisme dari fatalisme. Fatalisme adalah pandangan bahwa semua kejadian telah ditakdirkan terjadi, terlepas dari tindakan atau kehendak individu, sedangkan indeterminisme justru menekankan bahwa tindakan manusia dapat berkontribusi nyata terhadap hasil di masa depan.³ Dalam fatalisme, upaya manusia dianggap sia-sia terhadap ketentuan takdir; dalam indeterminisme, ada ruang untuk kebebasan dan kontingensi yang berarti.

Sementara itu, determinisme mengklaim bahwa semua kejadian, termasuk tindakan manusia, adalah hasil yang niscaya dari sebab-sebab sebelumnya. Determinisme dapat berbentuk determinisme kausal (semua kejadian disebabkan) atau determinisme nomologis (hukum alam mengatur semua kejadian).⁴ Indeterminisme menyangkal keuniversalan klaim ini, setidaknya pada beberapa tingkat realitas.

2.2.       Konsep Probabilitas dan Peluang dalam Indeterminisme

Dalam banyak versi modern indeterminisme, seperti yang ditemukan dalam fisika kuantum, peristiwa dianggap mengikuti hukum probabilistik, bukan hukum deterministik. Mekanika kuantum, khususnya melalui interpretasi Kopenhagen, memperkenalkan ide bahwa partikel subatomik berperilaku dengan ketidakpastian inheren, di mana hanya probabilitas berbagai hasil yang dapat diketahui, bukan hasil pastinya.⁵ Ini berbeda secara radikal dari pandangan Newtonian sebelumnya, di mana dengan informasi sempurna tentang kondisi awal, seseorang dapat memprediksi seluruh masa depan sistem.

Dalam kerangka ini, konsep "peluang" (chance) menjadi pusat: beberapa peristiwa memang terjadi berdasarkan kemungkinan, bukan karena sebab-sebab yang mengharuskan. Menurut Tim Maudlin, dalam filsafat fisika kontemporer, peluang bukan sekadar ekspresi ketidaktahuan kita tentang sebab, tetapi merupakan fitur ontologis realitas itu sendiri dalam banyak teori fisika.⁶

2.3.       Indeterminisme dan Agensi Manusia

Salah satu motivasi utama bagi banyak filsuf yang mendukung indeterminisme adalah membela eksistensi kebebasan kehendak. Bila semua tindakan manusia secara kausal ditentukan oleh faktor-faktor luar atau kondisi awal, maka sulit mempertahankan bahwa manusia memiliki kontrol otentik atas pilihan-pilihan mereka. Indeterminisme menawarkan ruang bagi bentuk kontrol ini, dengan memberikan tempat bagi pengambilan keputusan yang tidak sepenuhnya ditentukan, namun juga tidak sepenuhnya acak, melainkan dipengaruhi oleh penilaian, alasan, dan kehendak internal agen.⁷

Peter van Inwagen, dalam argumentasinya tentang the Consequence Argument, menegaskan bahwa bila determinisme benar, maka tindakan manusia adalah konsekuensi dari hukum-hukum alam dan keadaan sebelum manusia lahir, sehingga manusia tidak bertanggung jawab atasnya.⁸ Oleh karena itu, untuk mempertahankan tanggung jawab moral, suatu bentuk indeterminisme diperlukan.


Footnotes

[1]                Carl Hoefer, “Causal Determinism,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2020), https://plato.stanford.edu/entries/determinism-causal/.

[2]                Robert Kane, The Significance of Free Will (Oxford: Oxford University Press, 1996), 82–85.

[3]                Richard Taylor, Metaphysics, 4th ed. (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1992), 46–47.

[4]                Ted Honderich, The Determinism and Freedom Philosophy Website (2005), http://www.ucl.ac.uk/~uctytho/dfwIntroIndex.htm.

[5]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper, 1958), 54–56.

[6]                Tim Maudlin, The Metaphysics Within Physics (Oxford: Oxford University Press, 2007), 97–100.

[7]                Robert Kane, The Oxford Handbook of Free Will, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2011), 388–391.

[8]                Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Clarendon Press, 1983), 55–66.


3.           Indeterminisme dalam Sejarah Filsafat

Gagasan tentang indeterminisme telah memiliki akar panjang dalam tradisi filsafat Barat, yang berkembang seiring dengan refleksi tentang kausalitas, kebebasan kehendak, dan tanggung jawab moral. Sejak masa klasik hingga pemikiran kontemporer, indeterminisme sering muncul sebagai jawaban terhadap kecenderungan deterministik dalam memahami dunia, sekaligus sebagai upaya mempertahankan otonomi manusia.

3.1.       Masa Klasik: Epikuros dan Atomisme

Dalam dunia Yunani kuno, sebagian besar filsuf pra-Sokratik seperti Demokritos dan Leukippos menganut pandangan atomisme deterministik, yakni bahwa segala kejadian adalah akibat gerakan atom-atom dalam ruang kosong menurut hukum kausal yang niscaya.¹ Namun, Epikuros (341–270 SM) mengembangkan revisi penting terhadap teori ini. Ia memperkenalkan gagasan "clinamen" atau kemiringan acak atom, yaitu penyimpangan spontan atom dari jalur lurusnya tanpa sebab yang dapat diprediksi.² Dengan mekanisme ini, Epikuros berusaha mempertahankan ruang bagi kehendak bebas di tengah mekanisme atomistik dunia.

Menurut Epikuros, tanpa adanya "kemiringan" ini, segala sesuatu akan terjadi secara mekanistik dan manusia tidak akan memiliki tanggung jawab atas tindakan mereka.³ Gagasan tentang kemungkinan spontanitas dalam tatanan atom ini menjadi salah satu formulasi awal tentang indeterminisme kosmologis yang berkaitan langsung dengan problem kebebasan manusia.

3.2.       Abad Pertengahan: Perdebatan Teologis tentang Kebebasan

Pada Abad Pertengahan, diskusi tentang kehendak bebas terutama terjadi dalam konteks teologi Kristen dan Islam. Di dunia Kristen, tokoh seperti Agustinus awalnya cenderung pada pandangan deterministik, tetapi kemudian berusaha menyeimbangkannya dengan konsep gratia (anugerah) dan liberum arbitrium (kehendak bebas).⁴

Dalam tradisi Islam, diskusi serupa terjadi antara Qadariyah (pendukung kebebasan manusia) dan Jabariyah (pendukung determinisme ilahi). Para teolog Muktazilah berargumen bahwa manusia harus memiliki kebebasan agar bisa dimintai pertanggungjawaban moral, sementara Asy’ariyah menekankan bahwa semua tindakan berada dalam kekuasaan Allah, meskipun tetap memberikan ruang bagi "perolehan" (kasb) manusia.⁵ Perdebatan ini menunjukkan bahwa gagasan tentang ketidakdeterminisan—setidaknya dalam konteks moral—telah menjadi bagian penting dalam pemikiran keagamaan-filosofis.

3.3.       Masa Modern: Kritik terhadap Determinisme Kausal

Masuk ke era modern, David Hume (1711–1776) memunculkan pendekatan skeptis terhadap hubungan sebab-akibat. Bagi Hume, kausalitas bukanlah sesuatu yang dapat diamati secara langsung di dunia, melainkan hanya kebiasaan asosiasi dalam pikiran manusia.⁶ Meskipun Hume sendiri sering dikategorikan sebagai determinis, kritiknya membuka ruang bagi pemikiran indeterministik, dengan mempertanyakan keharusan logis dari hubungan kausal.

Pada saat yang sama, Immanuel Kant (1724–1804) berpendapat bahwa dalam dunia fenomenal, semua kejadian tunduk pada kausalitas, tetapi dalam dunia noumenal (dunia "diri" sebagai hal-itu-sendiri), kebebasan dapat ditemukan.⁷ Kant dengan demikian memperkenalkan dualisme metafisik yang memungkinkan eksistensi indeterminisme dalam konteks kehendak rasional.

3.4.       Filsafat Kontemporer: Libertarianisme dan Argumentasi Modern

Dalam filsafat kontemporer, indeterminisme terutama diasosiasikan dengan libertarianisme metafisik mengenai kehendak bebas. Tokoh seperti Peter van Inwagen berargumen melalui Consequence Argument bahwa bila determinisme benar, maka segala tindakan manusia adalah akibat dari hukum-hukum alam dan masa lalu, sehingga manusia tidak memiliki kekuasaan atasnya.⁸ Oleh karena itu, untuk mempertahankan tanggung jawab moral, dibutuhkan bentuk indeterminisme.

Robert Kane mengembangkan konsep Self-Forming Actions (SFAs), yaitu tindakan-tindakan penting di mana agen menghadapi ketidakpastian rasional dan moral, dan memilih secara bebas, membentuk identitas moral mereka.⁹ Dalam model Kane, indeterminisme tidak membatalkan rasionalitas atau kontrol, melainkan justru mendasari pemilihan otentik yang memiliki nilai moral.

Selain itu, Jean-Paul Sartre, dalam kerangka eksistensialismenya, menekankan radikalitas kebebasan manusia dan menolak segala bentuk determinisme yang meminimalisasi tanggung jawab individu.¹⁰ Sartre melihat manusia sebagai makhluk yang dikutuk untuk bebas, terlepas dari segala kondisi objektif.


Footnotes

[1]                A. A. Long, Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics, 2nd ed. (Berkeley: University of California Press, 1986), 24–26.

[2]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), 10.133–134.

[3]                Timothy O'Connor, “Free Will,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Spring 2021), https://plato.stanford.edu/entries/freewill/.

[4]                Augustine, On Free Choice of the Will, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 1993), 29–31.

[5]                W. Montgomery Watt, Free Will and Predestination in Early Islam (London: Luzac, 1948), 68–77.

[6]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 74–77.

[7]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A533/B561.

[8]                Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Clarendon Press, 1983), 56–58.

[9]                Robert Kane, The Significance of Free Will (Oxford: Oxford University Press, 1996), 124–128.

[10]             Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 435–438.


4.           Indeterminisme dalam Ilmu Pengetahuan

Perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam fisika modern dan neurosains, telah memberikan kontribusi signifikan terhadap pemahaman kita tentang indeterminisme. Konsep ini menantang pandangan deterministik klasik dan membuka ruang bagi diskusi tentang kebebasan kehendak, kausalitas, dan struktur realitas.

4.1.       Fisika Klasik dan Pandangan Deterministik

Dalam kerangka fisika klasik, alam semesta dipandang sebagai sistem yang sepenuhnya deterministik. Pandangan ini berpuncak pada gagasan "demon Laplace", yang menyatakan bahwa jika seseorang mengetahui posisi dan momentum semua partikel di alam semesta pada suatu waktu tertentu, maka ia dapat memprediksi masa depan dan merekonstruksi masa lalu dengan presisi absolut.

“We ought to regard the present state of the universe as the effect of its antecedent state and as the cause of the state that is to follow.” — Pierre-Simon Laplace¹

Pandangan ini mendominasi pemikiran ilmiah hingga awal abad ke-20, ketika munculnya fisika kuantum mulai menggoyahkan keyakinan akan determinisme mutlak.

4.2.       Mekanika Kuantum dan Ketidakpastian Fundamental

Mekanikakuantum memperkenalkan elemen ketidakpastian ke dalam pemahaman kita tentang alam semesta. Prinsip ketidakpastian Heisenberg menyatakan bahwa tidak mungkin mengetahui secara simultan posisi dan momentum partikel dengan presisi tak terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat fundamental, alam semesta bersifat probabilistik, bukan deterministik.

“The more precisely the position is determined, the less precisely the momentum is known in this instant, and vice versa.” — Werner Heisenberg²

Selain itu, eksperimen seperti double-slit experiment menunjukkan bahwa partikel dapat menunjukkan perilaku gelombang dan partikel secara bersamaan, dan hasil pengamatan dapat dipengaruhi oleh tindakan pengukuran itu sendiri. Fenomena ini menantang pandangan deterministik dan menunjukkan bahwa realitas pada tingkat kuantum tidak sepenuhnya dapat diprediksi.

4.3.       Interpretasi Mekanika Kuantum dan Implikasinya

Berbagai interpretasi mekanika kuantum telah dikembangkan untuk memahami sifat probabilistik alam semesta:

·                     Interpretasi Kopenhagen:

Menekankan bahwa fungsi gelombang menggambarkan probabilitas, dan hanya saat pengukuran dilakukan, sistem "memilih" satu hasil tertentu.

·                     Interpretasi Many-Worlds:

Mengusulkan bahwa semua kemungkinan hasil dari suatu peristiwa kuantum benar-benar terjadi, masing-masing dalam cabang alam semesta yang berbeda.

·                     Interpretasi Bohmian:

Memperkenalkan variabel tersembunyi untuk mempertahankan determinisme, namun mengorbankan prinsip lokalitas.

Setiap interpretasi memiliki implikasi berbeda terhadap konsep indeterminisme dan kebebasan kehendak.

4.4.       Neurosains dan Kebebasan Kehendak

Dalam bidang neurosains, eksperimen Benjamin Libet pada 1980-an menunjukkan bahwa aktivitas otak yang berkaitan dengan gerakan terjadi sebelum individu menyadari keputusan untuk bergerak. Temuan ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana keputusan kita benar-benar bebas atau sudah ditentukan oleh proses neurologis sebelumnya.

“The initiation of the voluntary process by the brain occurs unconsciously, before there is any subjective awareness of the decision to act.” — Benjamin Libet³

Namun, beberapa peneliti berpendapat bahwa meskipun ada aktivitas otak awal, kesadaran masih memiliki peran dalam mengendalikan atau membatalkan tindakan, menunjukkan bahwa kebebasan kehendak mungkin masih kompatibel dengan temuan ini.

4.5.       Kompleksitas Sistem dan Ketidakpastian

Selain mekanika kuantum, teori chaos menunjukkan bahwa sistem deterministik dapat menunjukkan perilaku yang sangat sensitif terhadap kondisi awal, membuat prediksi jangka panjang menjadi sangat sulit. Fenomena ini menunjukkan bahwa bahkan dalam sistem yang secara teoritis deterministik, ketidakpastian praktis tetap ada.

“In deterministic systems, unpredictability can arise from the complexity and sensitivity to initial conditions.” — Edward Lorenz⁴

Hal ini memperkuat argumen bahwa indeterminisme tidak hanya terbatas pada tingkat kuantum, tetapi juga relevan dalam skala makroskopik.


Footnotes

[1]                Pierre-Simon Laplace, A Philosophical Essay on Probabilities, trans. Frederick Wilson Truscott and Frederick Lincoln Emory (New York: Dover Publications, 1951), 4.

[2]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper, 1958), 20.

[3]                Benjamin Libet, “Unconscious Cerebral Initiative and the Role of Conscious Will in Voluntary Action,” Behavioral and Brain Sciences 8, no. 4 (1985): 529–539.

[4]                Edward N. Lorenz, The Essence of Chaos (Seattle: University of Washington Press, 1993), 8.


5.           Implikasi Filsafat Indeterminisme

Indeterminisme, dengan penolakannya terhadap kausalitas universal dan determinasi mutlak, memiliki implikasi yang luas dan mendalam dalam bidang filsafat, terutama berkaitan dengan kebebasan kehendak, moralitas, dan konsepsi rasionalitas manusia. Perdebatan ini melibatkan pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang bagaimana manusia memahami dirinya sebagai agen yang bertanggung jawab dan bagaimana makna tindakan moral harus diposisikan dalam semesta yang tidak sepenuhnya deterministik.

5.1.       Hubungan antara Indeterminisme dan Kebebasan Kehendak

Salah satu motivasi utama bagi pengembangan teori indeterminisme adalah keinginan untuk mempertahankan kebebasan kehendak (free will) dalam arti kuat, yaitu kebebasan yang tidak sekadar kompatibel dengan determinisme, melainkan mengandaikan bahwa agen memiliki kendali sejati atas pilihan-pilihannya.¹ Dalam pandangan libertarianisme metafisik, kebebasan kehendak mensyaratkan bahwa pada saat membuat keputusan, agen tersebut memiliki lebih dari satu alternatif yang sungguh-sungguh mungkin secara aktual.²

Robert Kane mengusulkan konsep Self-Forming Actions (SFAs) untuk mendukung gagasan ini: momen-momen kritis di mana pilihan manusia tidak dideterminasi sepenuhnya, melainkan melibatkan ketegangan internal dan ketidakpastian rasional, sehingga memungkinkan agen untuk membentuk dirinya sendiri melalui keputusan tersebut.³ Indeterminisme dalam kerangka ini bukan berarti tindakan manusia terjadi secara acak, melainkan bahwa ada ketidakpastian kreatif dalam pengambilan keputusan, yang justru menjadi syarat bagi kebebasan otentik.

Namun, beberapa kritikus berpendapat bahwa indeterminisme malah dapat mengancam kebebasan, karena bila keputusan seseorang bergantung pada kejadian acak atau probabilistik, maka kontrol agen terhadap tindakannya menjadi dipertanyakan.⁴ Ini menimbulkan tantangan bagi teori libertarian untuk menjelaskan bagaimana ketidakdeterminasian tidak berujung pada ketidakterkaitan antara agen dan tindakan.

5.2.       Tantangan terhadap Rasionalitas dan Tanggung Jawab Moral

Implikasi lain dari indeterminisme adalah kaitannya dengan rasionalitas dan tanggung jawab moral. Jika tindakan manusia tidak dideterminasi, bagaimana seseorang dapat bertanggung jawab secara rasional atas tindakannya? Alfred Mele, seorang filsuf kontemporer, menunjukkan bahwa indeterminisme harus dibatasi sedemikian rupa agar tetap memungkinkan agen untuk bertindak berdasarkan alasan dan memiliki kendali deliberatif.⁵

Dalam konteks ini, banyak filsuf membedakan antara randomness murni dan indeterminisme terarah. Kehendak bebas yang bermakna tidak sekadar merupakan hasil ketidakpastian, melainkan tindakan yang berasal dari agen berdasarkan alasan, tujuan, dan nilai yang ia anut. Dengan demikian, meskipun indeterminisme memperkenalkan elemen ketidakpastian, kebebasan kehendak tetap bergantung pada struktur agen yang rasional dan deliberatif.

Peter van Inwagen melalui Consequence Argument menekankan bahwa determinisme membuat tindakan manusia sepenuhnya menjadi konsekuensi dari faktor-faktor di luar kendalinya, sehingga tanggung jawab moral menjadi tidak mungkin.⁶ Sebaliknya, dalam kerangka indeterminisme, tanggung jawab menjadi mungkin, namun membutuhkan penjelasan tentang bagaimana keputusan bebas dapat tetap dikaitkan dengan agen sebagai pengendali utama.

5.3.       Indeterminisme dan Penilaian Etis

Dalam ranah etika, indeterminisme memperkaya pemahaman tentang oportunitas moral. Jika masa depan tidak ditentukan sepenuhnya, maka agen moral memiliki peran kausal dalam membentuk realitas moral melalui pilihan-pilihan mereka. Hal ini memperbesar arti penting dari pertimbangan moral dan komitmen etis. Seperti yang diungkapkan oleh Roderick Chisholm, manusia dalam tindakan moralnya adalah "unmoved movers" yang menciptakan rantai kausalitas baru.⁷

Namun, di sisi lain, indeterminisme juga mengharuskan etika untuk lebih memperhatikan ketidakpastian tindakan dan kesalahan moral, karena bahkan pilihan yang terbaik secara rasional tidak selalu menghasilkan hasil yang diinginkan dalam dunia yang indeterministik. Ini memperkenalkan dimensi kerendahan hati epistemik (epistemic humility) dalam etika praktis.

5.4.       Kritik atas Indeterminisme Filsafati

Meskipun banyak filsuf mendukung peran indeterminisme dalam mempertahankan kebebasan kehendak, ada kritik signifikan. Salah satu kritik utama datang dari kompatibilis seperti Daniel Dennett, yang berpendapat bahwa kebebasan sejati tidak membutuhkan indeterminisme.⁸ Menurut kompatibilisme, kebebasan berarti bertindak sesuai dengan kehendak internal seseorang, tanpa paksaan eksternal, terlepas dari apakah dunia deterministik atau tidak.

Dennett juga mengingatkan bahwa indeterminisme radikal berpotensi menghancurkan struktur rasional tindakan dan pengambilan keputusan, karena keputusan yang "hanyalah" acak tidak dapat dikatakan sebagai tindakan bebas yang bertanggung jawab. Dengan demikian, perdebatan antara indeterminisme dan kompatibilisme tetap menjadi salah satu pertarungan intelektual terbesar dalam filsafat kontemporer.


Footnotes

[1]                Robert Kane, The Significance of Free Will (Oxford: Oxford University Press, 1996), 87–92.

[2]                Timothy O'Connor, “Free Will,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Spring 2021), https://plato.stanford.edu/entries/freewill/.

[3]                Robert Kane, The Oxford Handbook of Free Will, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2011), 388–391.

[4]                Alfred Mele, Free Will and Luck (Oxford: Oxford University Press, 2006), 44–48.

[5]                Alfred Mele, Autonomous Agents: From Self-Control to Autonomy (Oxford: Oxford University Press, 1995), 137–140.

[6]                Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Clarendon Press, 1983), 55–66.

[7]                Roderick Chisholm, “Human Freedom and the Self,” in Free Will, ed. Gary Watson (Oxford: Oxford University Press, 1982), 24–25.

[8]                Daniel C. Dennett, Elbow Room: The Varieties of Free Will Worth Wanting (Cambridge, MA: MIT Press, 1984), 139–144.


6.           Indeterminisme dalam Perspektif Teologis

Perdebatan mengenai indeterminisme tidak hanya menjadi isu dalam filsafat dan sains, tetapi juga memainkan peranan sentral dalam teologi berbagai tradisi keagamaan. Isu ini berkaitan erat dengan pertanyaan tentang kebebasan kehendak manusia, kedaulatan ilahi, serta tanggung jawab moral dalam kerangka keimanan. Dalam banyak sistem teologi, menjaga keseimbangan antara kekuasaan mutlak Tuhan dan kebebasan manusia merupakan tantangan konseptual yang kompleks.

6.1.       Indeterminisme dalam Teologi Islam

Dalam Islam, perdebatan mengenai kehendak bebas dan takdir (qadar) telah menghasilkan spektrum pandangan teologis. Qadariyah adalah salah satu kelompok awal yang menekankan kebebasan kehendak manusia, menolak pandangan bahwa Allah menentukan segala tindakan manusia secara absolut.¹ Bagi Qadariyah, manusia adalah agen bebas yang bertanggung jawab penuh atas amal perbuatannya, dan Allah hanya mengetahui, bukan menentukan, segala sesuatu sebelumnya.

Sebaliknya, Jabariyah berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kebebasan sama sekali; segala sesuatu ditentukan mutlak oleh kehendak Allah.² Pandangan ini menekankan kedaulatan mutlak Tuhan atas semua aspek ciptaan, bahkan mengorbankan tanggung jawab moral manusia.

Sementara itu, Asy'ariyah, yang menjadi mazhab teologi Sunni dominan, menawarkan posisi tengah melalui konsep kasb (perolehan).³ Dalam doktrin ini, Allah menciptakan semua tindakan manusia, tetapi manusia "memperoleh" tindakan tersebut melalui pilihan, sehingga tetap memiliki aspek tanggung jawab moral. Al-Ghazali dan para teolog Asy'ariyah lainnya berusaha mempertahankan kompatibilitas antara kehendak bebas manusia dalam arti terbatas dan ketetapan ilahi.

Muktazilah, sebagai mazhab rasionalis dalam Islam, lebih mendekati pandangan indeterministik dengan menegaskan bahwa manusia menciptakan amalnya sendiri melalui kehendak bebas.⁴ Dengan demikian, mereka menolak gagasan bahwa semua tindakan manusia ditentukan Allah, untuk mempertahankan keadilan Tuhan: mustahil bagi Allah yang adil untuk menghukum manusia atas perbuatan yang Ia tentukan sendiri.

6.2.       Indeterminisme dalam Teologi Kristen

Dalam tradisi Kristen, ketegangan antara predestinasi dan kehendak bebas juga sangat signifikan. Augustinus pada awalnya menekankan kebebasan kehendak, tetapi kemudian dalam karyanya yang lebih dewasa seperti De Praedestinatione Sanctorum, ia menegaskan bahwa anugerah Allah yang menentukan keselamatan manusia, sebuah pandangan yang mengarah pada determinisme teologis.⁵

Pada masa Reformasi, John Calvin mengembangkan teologi predestinasi yang kuat, mengajarkan bahwa Allah telah menetapkan sejak kekekalan siapa yang akan diselamatkan dan siapa yang akan dihukum.⁶ Calvinisme menekankan kedaulatan ilahi secara radikal, dan sering dikritik karena mengurangi peran kebebasan manusia.

Sebagai reaksi, Jacob Arminius dan para pengikutnya (Arminianisme) menekankan kebebasan kehendak manusia dalam menerima atau menolak anugerah keselamatan.⁷ Dalam pandangan Arminian, keselamatan memang bergantung pada anugerah Allah, tetapi manusia memiliki kapasitas untuk bekerja sama atau menolak. Dengan demikian, Arminianisme mengadopsi bentuk teologi yang lebih membuka ruang bagi indeterminisme dalam kehendak manusia.

6.3.       Indeterminisme dalam Tradisi Lain

Dalam agama Hindu dan Buddha, konsep karma mengimplikasikan semacam hubungan kausal antara tindakan dan akibatnya, tetapi tetap mengakui peran pilihan moral individu dalam membentuk nasibnya.⁸ Dalam banyak interpretasi Buddhis, tidak ada entitas permanen (anatman) yang bertindak, namun tindakan-tindakan bebas tetap dianggap nyata dan berimplikasi pada perjalanan samsara. Ini menunjukkan bahwa, meskipun tidak secara eksplisit menggunakan istilah "indeterminisme", tradisi-tradisi ini mengakui kontingensi nyata dalam kehidupan manusia.

6.4.       Teologi Kontemporer dan Indeterminisme

Dalam teologi kontemporer, muncul pendekatan baru seperti Open Theism, yang mempertahankan bahwa masa depan terbuka bahkan bagi Allah sendiri. Tokoh-tokoh seperti Clark Pinnock berargumen bahwa Allah mengetahui semua kemungkinan masa depan, tetapi tidak semua fakta masa depan telah menjadi aktual untuk diketahui secara pasti.⁹ Dengan demikian, Open Theism secara eksplisit mengadopsi indeterminisme dalam kerangka teologi, mempertahankan kedaulatan Allah sambil memberikan ruang sejati bagi kebebasan manusia.

Pendekatan ini, meskipun kontroversial di kalangan teolog konservatif, menunjukkan bahwa dalam diskursus teologis modern, indeterminisme mendapatkan tempat penting sebagai model alternatif yang serius untuk memahami hubungan antara Tuhan, dunia, dan manusia.


Footnotes

[1]                W. Montgomery Watt, Free Will and Predestination in Early Islam (London: Luzac, 1948), 46–49.

[2]                Ibid., 50–52.

[3]                Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 1997), 210–212.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 118–120.

[5]                Augustine, On the Predestination of the Saints, trans. Peter Holmes and Robert Ernest Wallis, in Nicene and Post-Nicene Fathers, ed. Philip Schaff (Buffalo, NY: Christian Literature Publishing Co., 1887), 495–497.

[6]                John Calvin, Institutes of the Christian Religion, trans. Henry Beveridge (Peabody, MA: Hendrickson Publishers, 2008), III.21–24.

[7]                Roger E. Olson, Arminian Theology: Myths and Realities (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 2006), 84–87.

[8]                Damien Keown, Buddhism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 43–45.

[9]                Clark H. Pinnock, Most Moved Mover: A Theology of God's Openness (Grand Rapids, MI: Baker Academic, 2001), 12–14.


7.           Implikasi Etis dan Hukum dari Indeterminisme

Indeterminisme membawa implikasi mendalam tidak hanya dalam filsafat teoretis, tetapi juga dalam ranah etika dan hukum. Karena persoalan tanggung jawab moral dan legal sangat bergantung pada asumsi tentang kebebasan kehendak, maka mempertanyakan determinisme berarti juga mempertanyakan dasar konseptual penghargaan, hukuman, dan pertanggungjawaban dalam masyarakat.

7.1.       Tanggung Jawab Moral dalam Konteks Indeterminisme

Salah satu premis penting dalam moralitas tradisional adalah bahwa individu bertanggung jawab atas tindakan mereka karena mereka memiliki kebebasan untuk memilih antara alternatif-alternatif moral. Jika setiap tindakan ditentukan secara kausal oleh kondisi sebelumnya, maka, seperti ditegaskan oleh Peter van Inwagen melalui Consequence Argument, sulit membenarkan penghakiman moral atas individu.¹

Dalam kerangka indeterminisme, tanggung jawab moral menjadi mungkin justru karena adanya ketidakpastian pilihan. Robert Kane mengembangkan argumen bahwa dalam situasi di mana agen menghadapi konflik nilai dan hasilnya tidak dideterminasi sebelumnya, tindakan yang dipilih merupakan hasil dari perjuangan moral autentik.² Oleh karena itu, ketidakdeterminisan menjadi landasan ontologis bagi konsep pertanggungjawaban yang bermakna: individu bertanggung jawab bukan karena mereka dikondisikan, melainkan karena mereka berkontribusi secara aktif terhadap pembentukan pilihan mereka.

Namun, ini juga menimbulkan tantangan: jika tindakan lahir sebagian dari elemen indeterministik, bagaimana memastikan bahwa agen tetap bertanggung jawab secara penuh dan tidak sekadar "beruntung" dalam hasil keputusannya?³ Pertanyaan ini mendorong filsuf libertarian seperti Alfred Mele untuk mengembangkan model tanggung jawab yang menggabungkan elemen ketidakdeterminisan dengan kontrol deliberatif agen.⁴

7.2.       Implikasi bagi Sistem Hukum

Dalam konteks hukum, prinsip culpability (kesalahan) bergantung pada asumsi bahwa pelaku memiliki kontrol sadar atas tindakannya. Jika kehendak bebas ditolak, atau jika tindakan manusia dipandang sebagai hasil tak terhindarkan dari kondisi neurologis atau lingkungan, maka dasar hukuman—yakni penghargaan atas otonomi pelaku—menjadi rapuh.⁵

Stephen Morse, seorang sarjana hukum dan psikiatri, mengakui bahwa banyak temuan neurosains yang tampaknya mendukung determinisme, namun ia menegaskan bahwa konsep tanggung jawab hukum tetap memerlukan fiksi praktis tentang agen rasional yang bertindak berdasarkan kehendaknya.⁶ Dengan kata lain, sistem hukum mempertahankan model tanggung jawab individual meskipun ada ketidakpastian ontologis tentang asal-usul tindakan manusia.

Dalam pendekatan ini, indeterminisme dapat dilihat sebagai memperkuat klaim bahwa individu, bukan sekadar produknya kondisi luar, memiliki kapasitas untuk memilih dan dengan demikian layak dipuji atau dihukum. Namun, adanya unsur probabilitas juga menuntut sistem hukum untuk lebih mempertimbangkan faktor-faktor seperti pengaruh neurologis, psikologis, dan lingkungan dalam menilai derajat tanggung jawab seseorang.

7.3.       Revisi Etis dan Hukum dalam Cahaya Indeterminisme

Beberapa filsuf, seperti Joshua Greene dan Jonathan Cohen, berargumen bahwa kemajuan dalam neurosains dan psikologi kognitif menuntut reformasi konseptual dalam sistem hukum, menggeser fokus dari penghukuman retributif ke pendekatan yang lebih utilitarian: pencegahan, rehabilitasi, dan proteksi sosial.⁷ Dalam model ini, ketimbang menghukum karena "layak dihukum," masyarakat bertindak untuk meminimalisasi kerugian sosial.

Jika indeterminisme benar, maka tindakan-tindakan manusia tidak sepenuhnya dapat diprediksi atau dikontrol, namun manusia tetap agen moral. Oleh karena itu, sistem hukum harus mempertimbangkan adanya elemen ketidakpastian, tanpa mengabaikan kebutuhan akan tanggung jawab sosial dan perlindungan kolektif.

Di bidang etika, indeterminisme mendorong ke arah etika probabilistik, di mana tindakan-tindakan dinilai tidak hanya berdasarkan niat dan konsekuensi aktual, tetapi juga berdasarkan struktur pilihan rasional dalam dunia yang tidak sepenuhnya dapat diprediksi. Ini mengajak pada pengembangan prinsip-prinsip moral yang lebih fleksibel, inklusif terhadap ketidakpastian, dan berorientasi pada maksud baik serta usaha rasional.


Footnotes

[1]                Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Clarendon Press, 1983), 56–58.

[2]                Robert Kane, The Significance of Free Will (Oxford: Oxford University Press, 1996), 127–130.

[3]                Alfred R. Mele, Free Will and Luck (Oxford: Oxford University Press, 2006), 5–7.

[4]                Alfred R. Mele, Autonomous Agents: From Self-Control to Autonomy (Oxford: Oxford University Press, 1995), 124–128.

[5]                Stephen J. Morse, “Determinism and the Death of Folk Psychology: Two Challenges to Responsibility from Neuroscience,” Minnesota Journal of Law, Science & Technology 9, no. 1 (2008): 1–36.

[6]                Stephen J. Morse, “Brain Overclaim Syndrome and Criminal Responsibility: A Diagnostic Note,” Ohio State Journal of Criminal Law 3 (2006): 397–412.

[7]                Joshua Greene and Jonathan Cohen, “For the Law, Neuroscience Changes Nothing and Everything,” Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences 359, no. 1451 (2004): 1775–1785.


8.           Kritik dan Alternatif terhadap Indeterminisme

Meskipun indeterminisme menawarkan landasan konseptual penting untuk membela kehendak bebas dan tanggung jawab moral, banyak kritik serius telah diajukan terhadapnya. Selain itu, beberapa alternatif teoretis berkembang untuk mengatasi keterbatasan baik dari determinisme maupun indeterminisme murni. Kritik dan alternatif ini membentuk peta kontemporer dari diskusi filosofis tentang kebebasan, kausalitas, dan agensi.

8.1.       Kritik terhadap Indeterminisme: Masalah Acakan (Randomness Problem)

Salah satu kritik paling umum terhadap indeterminisme adalah masalah acakan. Jika suatu tindakan tidak ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya, maka tampaknya tindakan tersebut terjadi secara acak, tanpa kontrol rasional dari agen. Hal ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana tindakan yang dihasilkan dari proses acak dapat dikatakan sebagai tindakan bebas atau bertanggung jawab?¹

Daniel C. Dennett dalam Elbow Room menegaskan bahwa kebebasan yang layak diinginkan bukanlah kebebasan dari sebab-akibat, melainkan kebebasan dari paksaan dan eksternalitas.² Menurut Dennett, ketidakdeterminasian tidak secara otomatis menghasilkan agensi atau tanggung jawab; bahkan bisa memperburuk masalah kontrol agensi, karena keputusan yang benar-benar acak tidak bisa menjadi milik agen dalam arti bermakna.

Demikian pula, Alfred Mele mengemukakan bahwa indeterminisme yang murni dapat menyebabkan luck objection: jika keberhasilan dalam pengambilan keputusan moral tergantung pada unsur keberuntungan acak, maka tanggung jawab moral menjadi terganggu.³

8.2.       Tantangan Rasionalitas: Hubungan Antara Indeterminasi dan Alasan

Kritik lain menyoroti bahwa dalam kerangka indeterminisme, sulit menjelaskan bagaimana tindakan bisa tetap rasional. Jika keputusan tidak ditentukan oleh pertimbangan alasan, mengapa keputusan tersebut bisa dianggap sebagai produk deliberasi yang rasional?⁴ Carl Ginet menyatakan bahwa tindakan bebas haruslah hasil dari pertimbangan alasan, tetapi indeterminisme seolah memperkenalkan gangguan ke dalam proses itu.

Untuk mengatasi tantangan ini, filsuf libertarian seperti Robert Kane berusaha menunjukkan bahwa indeterminisme tidak terjadi dalam keseluruhan proses berpikir, melainkan hanya dalam momen-momen krusial di mana alasan mendukung lebih dari satu pilihan. Dengan cara ini, ketidakdeterminasian memperkaya, bukan melemahkan, proses rasional.⁵ Namun, solusi ini masih menghadapi kritik tentang kompleksitas dan kejelasan mekanisme kontrol dalam kondisi indeterministik.

8.3.       Alternatif: Kompatibilisme

Sebagai alternatif terhadap baik determinisme keras maupun libertarianisme indeterministik, kompatibilisme menawarkan pendekatan yang berbeda. Kompatibilis berpendapat bahwa kebebasan dan determinisme dapat berdampingan: seseorang dianggap bebas jika ia bertindak sesuai dengan kehendaknya sendiri, bahkan jika kehendak itu ditentukan oleh kondisi sebelumnya.⁶

Harry Frankfurt, melalui konsep second-order desires, menunjukkan bahwa kebebasan bukan sekadar soal pilihan alternatif, tetapi soal keterkaitan agen dengan keinginannya sendiri.⁷ Menurut Frankfurt, seseorang bebas sejauh ia mengidentifikasi dirinya dengan kehendak yang mendorong tindakannya.

Kompatibilisme menolak bahwa indeterminisme adalah syarat bagi tanggung jawab moral, dengan alasan bahwa akuntabilitas bergantung pada otonomi internal, bukan pada ketidakpastian metafisik.

8.4.       Alternatif: Teori Agensi Kausal

Alternatif lain muncul dalam bentuk theory of agent-causation. Tokoh seperti Roderick Chisholm dan Timothy O'Connor mengusulkan bahwa tindakan bebas adalah hasil dari kausalitas agen, bukan kausalitas peristiwa.⁸ Dalam teori ini, agen (bukan sekadar peristiwa atau keadaan) menjadi penyebab pertama dari tindakan, tanpa harus tunduk pada determinisme kausal maupun acakan indeterministik.

Dalam pendekatan ini, agensi dipahami sebagai kapasitas fundamental untuk memulai urutan kausal secara bebas dan rasional. Meskipun konsep ini menghadapi kesulitan ontologis (misalnya, bagaimana agen bisa menyebabkan tanpa kondisi sebelumnya), teori ini tetap menjadi upaya penting untuk mensintesis kontrol, kebebasan, dan tanggung jawab dalam kerangka metafisik baru.


Footnotes

[1]                Derk Pereboom, Living Without Free Will (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 18–20.

[2]                Daniel C. Dennett, Elbow Room: The Varieties of Free Will Worth Wanting (Cambridge, MA: MIT Press, 1984), 120–123.

[3]                Alfred Mele, Free Will and Luck (Oxford: Oxford University Press, 2006), 5–7.

[4]                Carl Ginet, On Action (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 86–88.

[5]                Robert Kane, The Significance of Free Will (Oxford: Oxford University Press, 1996), 127–130.

[6]                John Martin Fischer, The Metaphysics of Free Will: An Essay on Control (Oxford: Blackwell, 1994), 17–19.

[7]                Harry G. Frankfurt, “Freedom of the Will and the Concept of a Person,” The Journal of Philosophy 68, no. 1 (1971): 5–20.

[8]                Timothy O'Connor, Persons and Causes: The Metaphysics of Free Will (New York: Oxford University Press, 2000), 75–78.


9.           Kesimpulan

Pembahasan mengenai indeterminisme mengungkapkan bahwa konsep ini memainkan peranan sentral dalam memahami hubungan antara realitas, kehendak bebas, kausalitas, etika, dan tanggung jawab moral. Berbeda dengan determinisme yang mengklaim bahwa semua kejadian merupakan akibat yang niscaya dari sebab-sebab sebelumnya, indeterminisme membuka ruang bagi kemungkinan alternatif dalam jalannya peristiwa, sehingga menghidupkan wacana tentang kebebasan manusia yang sejati.

Dalam tradisi filsafat, dari Epikuros hingga pemikir kontemporer seperti Robert Kane, indeterminisme digunakan untuk membela konsep kebebasan kehendak yang otentik, dimana agen manusia dipandang mampu mengambil keputusan yang tidak sepenuhnya ditentukan oleh kondisi luar atau masa lalu.¹ Gagasan ini, meskipun menimbulkan tantangan epistemologis dan metafisik, tetap menjadi fondasi utama bagi argumen-argumen libertarian dalam filsafat kehendak bebas.

Sains modern, khususnya melalui fisika kuantum, memperlihatkan bahwa ketidakpastian dan probabilitas adalah bagian integral dari struktur dasar realitas.² Penemuan-penemuan ini, meskipun tidak secara otomatis mendukung kebebasan kehendak, memperkuat kemungkinan bahwa dunia tidak tertutup secara deterministik, memberikan pembenaran ilmiah terhadap asumsi indeterminasi di tingkat fundamental.

Dalam konteks teologi, diskusi tentang indeterminisme mencerminkan perjuangan antara mempertahankan kedaulatan ilahi dan kebebasan manusia. Tradisi seperti Muktazilah dalam Islam dan Arminianisme dalam Kristen menegaskan pentingnya ruang kebebasan manusia demi keadilan dan tanggung jawab moral.³ Bahkan teologi kontemporer seperti Open Theism berupaya menyintesiskan konsep Allah yang Mahatahu dengan realitas masa depan yang belum sepenuhnya teraktualisasi.⁴

Namun demikian, indeterminisme bukan tanpa kritik. Masalah acakan (randomness problem) menimbulkan pertanyaan apakah tindakan bebas dapat dipertahankan dalam dunia yang melibatkan ketidakpastian.⁵ Alternatif seperti kompatibilisme dan teori agensi kausal menawarkan jalan tengah dengan menekankan pentingnya struktur internal agen ketimbang ketidakdeterminasian metafisik.⁶

Dalam bidang etika dan hukum, indeterminisme memperkaya pemahaman tentang tanggung jawab dengan menegaskan pentingnya kebebasan dalam membuat pilihan moral. Namun, ia juga mengharuskan pendekatan yang lebih nuansa terhadap persoalan penghargaan, hukuman, dan rehabilitasi, mengingat ketidakpastian inheren dalam tindakan manusia.⁷

Secara keseluruhan, diskursus tentang indeterminisme menantang manusia untuk merefleksikan kembali apa arti kebebasan, agensi, dan tanggung jawab di dunia yang kompleks dan dinamis. Alih-alih memberikan jawaban final, indeterminisme membuka ruang untuk dialog terus-menerus tentang tempat manusia dalam kosmos, antara hukum-hukum alam, kehendak individu, dan tuntutan moralitas.


Footnotes

[1]                Robert Kane, The Significance of Free Will (Oxford: Oxford University Press, 1996), 87–92.

[2]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper, 1958), 54–56.

[3]                W. Montgomery Watt, Free Will and Predestination in Early Islam (London: Luzac, 1948), 68–77; Roger E. Olson, Arminian Theology: Myths and Realities (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 2006), 84–87.

[4]                Clark H. Pinnock, Most Moved Mover: A Theology of God's Openness (Grand Rapids, MI: Baker Academic, 2001), 12–14.

[5]                Derk Pereboom, Living Without Free Will (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 18–20.

[6]                Harry G. Frankfurt, “Freedom of the Will and the Concept of a Person,” The Journal of Philosophy 68, no. 1 (1971): 5–20; Timothy O'Connor, Persons and Causes: The Metaphysics of Free Will (New York: Oxford University Press, 2000), 75–78.

[7]                Stephen J. Morse, “Determinism and the Death of Folk Psychology: Two Challenges to Responsibility from Neuroscience,” Minnesota Journal of Law, Science & Technology 9, no. 1 (2008): 1–36.


Daftar Pustaka

Augustine. (1887). On the predestination of the saints (P. Holmes & R. E. Wallis, Trans.). In P. Schaff (Ed.), Nicene and Post-Nicene Fathers (Vol. 5, pp. 495–497). Buffalo, NY: Christian Literature Publishing Co.

Carroll, S. (2016). The big picture: On the origins of life, meaning, and the universe itself. New York, NY: Dutton.

Dennett, D. C. (1984). Elbow room: The varieties of free will worth wanting. Cambridge, MA: MIT Press.

Diogenes Laertius. (1925). Lives of eminent philosophers (R. D. Hicks, Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). New York, NY: Columbia University Press.

Fischer, J. M. (1994). The metaphysics of free will: An essay on control. Oxford, UK: Blackwell.

Frankfurt, H. G. (1971). Freedom of the will and the concept of a person. The Journal of Philosophy, 68(1), 5–20.

Ginet, C. (1990). On action. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Greene, J., & Cohen, J. (2004). For the law, neuroscience changes nothing and everything. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences, 359(1451), 1775–1785. https://doi.org/10.1098/rstb.2004.1546

Heisenberg, W. (1958). Physics and philosophy: The revolution in modern science. New York, NY: Harper.

Hoefer, C. (2020). Causal determinism. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2020 Edition). Retrieved from https://plato.stanford.edu/entries/determinism-causal/

Kane, R. (1996). The significance of free will. Oxford, UK: Oxford University Press.

Kane, R. (Ed.). (2011). The Oxford handbook of free will (2nd ed.). Oxford, UK: Oxford University Press.

Keown, D. (2000). Buddhism: A very short introduction. Oxford, UK: Oxford University Press.

Laplace, P.-S. (1951). A philosophical essay on probabilities (F. W. Truscott & F. L. Emory, Trans.). New York, NY: Dover Publications.

Libet, B. (1985). Unconscious cerebral initiative and the role of conscious will in voluntary action. Behavioral and Brain Sciences, 8(4), 529–539. https://doi.org/10.1017/S0140525X00044903

Lorenz, E. N. (1993). The essence of chaos. Seattle, WA: University of Washington Press.

Long, A. A. (1986). Hellenistic philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics (2nd ed.). Berkeley, CA: University of California Press.

Maudlin, T. (2007). The metaphysics within physics. Oxford, UK: Oxford University Press.

Mele, A. R. (1995). Autonomous agents: From self-control to autonomy. Oxford, UK: Oxford University Press.

Mele, A. R. (2006). Free will and luck. Oxford, UK: Oxford University Press.

Morse, S. J. (2006). Brain overclaim syndrome and criminal responsibility: A diagnostic note. Ohio State Journal of Criminal Law, 3, 397–412.

Morse, S. J. (2008). Determinism and the death of folk psychology: Two challenges to responsibility from neuroscience. Minnesota Journal of Law, Science & Technology, 9(1), 1–36.

O'Connor, T. (2000). Persons and causes: The metaphysics of free will. New York, NY: Oxford University Press.

O'Connor, T. (2021). Free will. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2021 Edition). Retrieved from https://plato.stanford.edu/entries/freewill/

Olson, R. E. (2006). Arminian theology: Myths and realities. Downers Grove, IL: InterVarsity Press.

Pereboom, D. (2001). Living without free will. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Pinnock, C. H. (2001). Most moved mover: A theology of God's openness. Grand Rapids, MI: Baker Academic.

Sartre, J.-P. (1992). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). New York, NY: Washington Square Press.

Taylor, R. (1992). Metaphysics (4th ed.). Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

van Inwagen, P. (1983). An essay on free will. Oxford, UK: Clarendon Press.

Watt, W. M. (1948). Free will and predestination in early Islam. London, UK: Luzac.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar