Indeterminisme
Perspektif Filsafat, Sains, dan Teologi atas Ketidaktertiban dalam Realitas
Alihkan ke: Free
Will.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep indeterminisme
dalam kaitannya dengan filsafat, sains, dan teologi. Indeterminisme dipahami
sebagai penolakan terhadap prinsip kausalitas universal, membuka kemungkinan
adanya peristiwa yang tidak sepenuhnya ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya.
Di bidang filsafat, indeterminisme berperan penting dalam mempertahankan argumen
tentang kebebasan kehendak dan tanggung jawab moral, sebagaimana dikembangkan
oleh para filsuf dari masa klasik hingga kontemporer. Dari sisi ilmiah,
perkembangan fisika kuantum mengukuhkan adanya ketidakpastian fundamental dalam
realitas alam semesta, yang mendukung keraguan terhadap determinisme mekanistik
klasik. Dalam bidang teologi, berbagai tradisi keagamaan memperlihatkan
ketegangan antara kedaulatan ilahi dan kebebasan manusia, dengan beberapa
pendekatan modern seperti Open Theism mengadopsi indeterminisme secara
eksplisit. Artikel ini juga mengkaji kritik utama terhadap indeterminisme,
terutama masalah acakan dan tantangan terhadap rasionalitas, serta
mengeksplorasi alternatif teoretis seperti kompatibilisme dan teori agensi
kausal. Akhirnya, implikasi etis dan hukum dari pandangan indeterministik
dianalisis, memperlihatkan tantangan dan peluang baru dalam memahami moralitas,
penghargaan, dan tanggung jawab di dunia yang kompleks dan tidak sepenuhnya
terdeterminasi. Artikel ini menegaskan bahwa indeterminisme, alih-alih
menyederhanakan persoalan kebebasan dan agensi, justru memperkaya refleksi
filosofis tentang tempat manusia dalam kosmos.
Kata Kunci: Indeterminisme, kehendak bebas, kausalitas,
filsafat, fisika kuantum, teologi, determinisme, tanggung jawab moral,
kompatibilisme, agensi kausal.
PEMBAHASAN
Menelusuri Indeterminisme Berdasarkan Referensi
Kredibel
1.
Pendahuluan
Wacana tentang indeterminisme
merupakan salah satu perdebatan sentral dalam filsafat, ilmu pengetahuan, dan teologi
yang berkaitan erat dengan pertanyaan mendasar tentang kebebasan kehendak, kausalitas, serta struktur realitas. Dalam pengertian paling umum, indeterminisme merujuk
pada pandangan bahwa tidak semua peristiwa di dunia ini ditentukan
secara mutlak oleh sebab-sebab sebelumnya, melainkan mengandung
unsur kebetulan, probabilitas, atau bahkan spontanitas yang tidak dapat
diramalkan secara pasti.¹ Pandangan ini menantang posisi tradisional determinisme,
yaitu keyakinan bahwa segala sesuatu terjadi karena sebab-sebab sebelumnya
secara niscaya dan dapat dijelaskan oleh hukum alam yang tetap dan universal.²
Persoalan antara
determinisme dan indeterminisme bukan sekadar spekulasi filosofis, melainkan
juga memiliki konsekuensi praktis dalam memahami tanggung
jawab moral, kebebasan individu, dan bahkan sistem
hukum. Jika setiap tindakan manusia telah ditentukan secara
kausal oleh kondisi sebelumnya, maka muncul pertanyaan kritis: apakah
manusia benar-benar bebas dan bertanggung jawab atas tindakannya?_³ Di sisi
lain, jika tindakan manusia adalah hasil dari peristiwa acak atau tidak
terkausal, bagaimana mungkin manusia dikatakan sebagai subjek rasional dan
etis?⁴
Dalam sejarah
filsafat, perdebatan tentang determinisme dan indeterminisme telah berlangsung
sejak masa klasik. Filsuf Yunani seperti Demokritos dan Epikuros
mengembangkan pandangan berbeda tentang hubungan antara atomisme dan kebebasan,
dengan Epikuros memperkenalkan "kemiringan acak" atom
(clinamen) sebagai dasar bagi kebebasan kehendak.⁵ Sementara dalam tradisi
modern, perdebatan ini berkembang dalam kerangka metafisika, etika, dan
filsafat pikiran, seperti terlihat dalam karya-karya David
Hume, Immanuel Kant, hingga para
filsuf kontemporer seperti Peter van Inwagen dan Robert
Kane.⁶
Di ranah ilmu pengetahuan,
terutama dalam fisika modern, munculnya mekanika kuantum di awal abad ke-20 menjadi titik balik besar dalam
mempertimbangkan kembali validitas determinisme klasik. Hukum Newton yang
sebelumnya dipahami sebagai sistem deterministik digantikan oleh hukum-hukum
kuantum yang bersifat probabilistik, seperti yang tercermin dalam prinsip
ketidakpastian Heisenberg.⁷ Hal ini membuka ruang baru bagi
pemikiran tentang indeterminisme dalam level fundamental realitas fisik,
meskipun para fisikawan sendiri berbeda pendapat dalam menafsirkan makna
filosofis dari probabilitas kuantum.⁸
Sementara itu, dalam
teologi,
diskusi tentang kehendak bebas dan takdir telah menjadi isu sentral sejak masa
awal pemikiran keagamaan. Di dalam teologi Islam, misalnya, perdebatan
antara kalangan Qadariyah, Jabariyah,
Asy’ariyah,
dan Muktazilah
mencerminkan pertarungan antara determinisme ilahi dan kebebasan manusia dalam
konteks qadha dan qadar.⁹ Demikian pula dalam teologi Kristen, perbedaan
antara paham predestinasi Calvinis dan kebebasan
kehendak Arminian memperlihatkan kompleksitas relasi antara
kehendak Tuhan dan tanggung jawab manusia.¹⁰
Artikel ini
bertujuan untuk menelusuri indeterminisme dalam lintas perspektif—filsafat,
sains, dan teologi—secara mendalam dan sistematis. Melalui pendekatan
multidisipliner, pembaca diharapkan dapat memahami bagaimana indeterminisme
dikonstruksi, diperdebatkan, dan direspons dalam berbagai ranah pengetahuan,
serta bagaimana konsep ini berdampak pada cara kita memandang kebebasan,
moralitas,
dan realitas
itu sendiri.
Footnotes
[1]
Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Clarendon
Press, 1983), 3–4.
[2]
Carl Hoefer, “Causal Determinism,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2020), https://plato.stanford.edu/entries/determinism-causal/.
[3]
Derk Pereboom, Living Without Free Will (Cambridge: Cambridge
University Press, 2001), 4–6.
[4]
Robert Kane, The Significance of Free Will (Oxford: Oxford
University Press, 1996), 65–70.
[5]
A. A. Long, Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics,
2nd ed. (Berkeley: University of California Press, 1986), 109–110.
[6]
Timothy O'Connor, “Free Will,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Spring 2021), https://plato.stanford.edu/entries/freewill/.
[7]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern
Science (New York: Harper, 1958), 42–45.
[8]
Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and
the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 189–191.
[9]
W. Montgomery Watt, Free Will and Predestination in Early Islam
(Luzac & Co., 1948), 45–57.
[10]
Paul Helm, The Providence of God (Downers Grove, IL: InterVarsity
Press, 1993), 123–134.
2.
Definisi
dan Dasar Konseptual Indeterminisme
Indeterminisme
adalah posisi filosofis yang berpendapat bahwa tidak semua peristiwa di alam semesta
dikondisikan atau ditentukan secara mutlak oleh sebab-sebab sebelumnya.
Dalam konteks ini, indeterminisme menyangkal prinsip kausalitas universal yang
dianut oleh determinisme, yakni bahwa setiap kejadian memiliki sebab yang cukup
yang meniscayakan kejadiannya.¹ Secara lebih khusus, indeterminisme membuka
kemungkinan bahwa dalam beberapa kasus, peristiwa dapat terjadi tanpa
sebab yang menentukan, atau minimal, melibatkan unsur probabilitas
dan ketidakpastian.
Menurut Robert Kane,
seorang filsuf kontemporer terkemuka dalam teori kehendak bebas, indeterminisme
menyiratkan bahwa dalam beberapa keadaan tertentu, terdapat lebih dari satu
masa depan yang secara nyata mungkin, dan bahwa agen bebas dapat memainkan
peran kausal dalam menentukan di antara alternatif tersebut.² Hal ini
bertentangan dengan determinisme, yang memandang masa depan sebagai
kesinambungan logis dari masa kini melalui hukum-hukum alam yang tetap.
2.1.
Indeterminisme,
Determinisme, dan Fatalisme
Penting untuk
membedakan indeterminisme dari fatalisme.
Fatalisme adalah pandangan bahwa semua kejadian telah ditakdirkan terjadi,
terlepas dari tindakan atau kehendak individu, sedangkan indeterminisme justru
menekankan bahwa tindakan manusia dapat berkontribusi nyata
terhadap hasil di masa depan.³ Dalam fatalisme, upaya manusia
dianggap sia-sia terhadap ketentuan takdir; dalam indeterminisme, ada ruang
untuk kebebasan
dan kontingensi yang berarti.
Sementara itu, determinisme
mengklaim bahwa semua kejadian, termasuk tindakan manusia, adalah hasil yang
niscaya dari sebab-sebab sebelumnya. Determinisme dapat berbentuk determinisme
kausal (semua kejadian disebabkan) atau determinisme
nomologis (hukum alam mengatur semua kejadian).⁴ Indeterminisme
menyangkal keuniversalan klaim ini, setidaknya pada beberapa tingkat realitas.
2.2.
Konsep Probabilitas
dan Peluang dalam Indeterminisme
Dalam banyak versi
modern indeterminisme, seperti yang ditemukan dalam fisika kuantum, peristiwa
dianggap mengikuti hukum probabilistik, bukan hukum
deterministik. Mekanika kuantum, khususnya melalui interpretasi
Kopenhagen, memperkenalkan ide bahwa partikel
subatomik berperilaku dengan ketidakpastian inheren, di mana hanya
probabilitas berbagai hasil yang dapat diketahui, bukan hasil
pastinya.⁵ Ini berbeda secara radikal dari pandangan Newtonian sebelumnya, di
mana dengan informasi sempurna tentang kondisi awal, seseorang dapat
memprediksi seluruh masa depan sistem.
Dalam kerangka ini,
konsep "peluang"
(chance) menjadi pusat: beberapa peristiwa memang terjadi
berdasarkan kemungkinan, bukan karena sebab-sebab yang mengharuskan. Menurut
Tim Maudlin, dalam filsafat fisika kontemporer, peluang bukan sekadar ekspresi
ketidaktahuan kita tentang sebab, tetapi merupakan fitur
ontologis realitas itu sendiri dalam banyak teori fisika.⁶
2.3.
Indeterminisme dan
Agensi Manusia
Salah satu motivasi
utama bagi banyak filsuf yang mendukung indeterminisme adalah membela
eksistensi kebebasan kehendak. Bila semua tindakan manusia
secara kausal ditentukan oleh faktor-faktor luar atau kondisi awal, maka sulit
mempertahankan bahwa manusia memiliki kontrol otentik atas
pilihan-pilihan mereka. Indeterminisme menawarkan ruang bagi bentuk kontrol
ini, dengan memberikan tempat bagi pengambilan keputusan yang tidak sepenuhnya
ditentukan, namun juga tidak sepenuhnya acak, melainkan
dipengaruhi oleh penilaian, alasan, dan kehendak internal agen.⁷
Peter van Inwagen,
dalam argumentasinya tentang the Consequence Argument,
menegaskan bahwa bila determinisme benar, maka tindakan manusia adalah
konsekuensi dari hukum-hukum alam dan keadaan sebelum manusia lahir, sehingga
manusia tidak bertanggung jawab atasnya.⁸ Oleh karena itu, untuk mempertahankan
tanggung
jawab moral, suatu bentuk indeterminisme diperlukan.
Footnotes
[1]
Carl Hoefer, “Causal Determinism,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2020), https://plato.stanford.edu/entries/determinism-causal/.
[2]
Robert Kane, The Significance of Free Will (Oxford: Oxford
University Press, 1996), 82–85.
[3]
Richard Taylor, Metaphysics, 4th ed. (Englewood Cliffs, NJ:
Prentice Hall, 1992), 46–47.
[4]
Ted Honderich, The Determinism and Freedom Philosophy Website
(2005), http://www.ucl.ac.uk/~uctytho/dfwIntroIndex.htm.
[5]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern
Science (New York: Harper, 1958), 54–56.
[6]
Tim Maudlin, The Metaphysics Within Physics (Oxford: Oxford
University Press, 2007), 97–100.
[7]
Robert Kane, The Oxford Handbook of Free Will, 2nd ed.
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 388–391.
[8]
Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Clarendon
Press, 1983), 55–66.
3.
Indeterminisme
dalam Sejarah Filsafat
Gagasan tentang indeterminisme
telah memiliki akar panjang dalam tradisi filsafat Barat, yang berkembang
seiring dengan refleksi tentang kausalitas, kebebasan kehendak, dan tanggung jawab moral. Sejak
masa klasik hingga pemikiran kontemporer, indeterminisme sering muncul sebagai
jawaban terhadap kecenderungan deterministik dalam memahami dunia, sekaligus
sebagai upaya mempertahankan otonomi manusia.
3.1.
Masa Klasik: Epikuros
dan Atomisme
Dalam dunia Yunani
kuno, sebagian besar filsuf pra-Sokratik seperti Demokritos
dan Leukippos
menganut pandangan atomisme deterministik, yakni
bahwa segala kejadian adalah akibat gerakan atom-atom dalam ruang kosong
menurut hukum kausal yang niscaya.¹ Namun, Epikuros (341–270 SM)
mengembangkan revisi penting terhadap teori ini. Ia memperkenalkan gagasan "clinamen"
atau kemiringan acak atom, yaitu penyimpangan spontan atom dari jalur lurusnya
tanpa sebab yang dapat diprediksi.² Dengan mekanisme ini, Epikuros berusaha
mempertahankan ruang bagi kehendak bebas di tengah
mekanisme atomistik dunia.
Menurut Epikuros,
tanpa adanya "kemiringan" ini, segala sesuatu akan terjadi
secara mekanistik dan manusia tidak akan memiliki tanggung jawab atas tindakan
mereka.³ Gagasan tentang kemungkinan spontanitas dalam tatanan atom ini menjadi
salah satu formulasi awal tentang indeterminisme kosmologis yang
berkaitan langsung dengan problem kebebasan manusia.
3.2.
Abad Pertengahan:
Perdebatan Teologis tentang Kebebasan
Pada Abad
Pertengahan, diskusi tentang kehendak bebas terutama terjadi dalam konteks
teologi Kristen dan Islam. Di dunia Kristen, tokoh seperti Agustinus
awalnya cenderung pada pandangan deterministik, tetapi kemudian
berusaha menyeimbangkannya dengan konsep gratia (anugerah) dan liberum
arbitrium (kehendak bebas).⁴
Dalam tradisi Islam,
diskusi serupa terjadi antara Qadariyah (pendukung kebebasan
manusia) dan Jabariyah (pendukung
determinisme ilahi). Para teolog Muktazilah berargumen bahwa manusia harus
memiliki kebebasan agar bisa dimintai pertanggungjawaban moral, sementara
Asy’ariyah menekankan bahwa semua tindakan berada dalam kekuasaan Allah,
meskipun tetap memberikan ruang bagi "perolehan" (kasb)
manusia.⁵ Perdebatan ini menunjukkan bahwa gagasan tentang
ketidakdeterminisan—setidaknya dalam konteks moral—telah menjadi bagian penting
dalam pemikiran keagamaan-filosofis.
3.3.
Masa Modern: Kritik
terhadap Determinisme Kausal
Masuk ke era modern,
David
Hume (1711–1776) memunculkan pendekatan skeptis terhadap
hubungan sebab-akibat. Bagi Hume, kausalitas bukanlah sesuatu yang dapat
diamati secara langsung di dunia, melainkan hanya kebiasaan
asosiasi dalam pikiran manusia.⁶ Meskipun Hume sendiri sering
dikategorikan sebagai determinis, kritiknya membuka ruang bagi pemikiran
indeterministik, dengan mempertanyakan keharusan logis dari hubungan kausal.
Pada saat yang sama,
Immanuel
Kant (1724–1804) berpendapat bahwa dalam dunia fenomenal, semua
kejadian tunduk pada kausalitas, tetapi dalam dunia noumenal (dunia "diri"
sebagai hal-itu-sendiri), kebebasan dapat ditemukan.⁷ Kant dengan demikian
memperkenalkan dualisme metafisik yang memungkinkan
eksistensi indeterminisme dalam konteks kehendak rasional.
3.4.
Filsafat Kontemporer:
Libertarianisme dan Argumentasi Modern
Dalam filsafat
kontemporer, indeterminisme terutama diasosiasikan dengan libertarianisme
metafisik mengenai kehendak bebas. Tokoh seperti Peter
van Inwagen berargumen melalui Consequence Argument bahwa bila
determinisme benar, maka segala tindakan manusia adalah akibat dari hukum-hukum
alam dan masa lalu, sehingga manusia tidak memiliki kekuasaan atasnya.⁸ Oleh
karena itu, untuk mempertahankan tanggung jawab moral,
dibutuhkan bentuk indeterminisme.
Robert
Kane mengembangkan konsep Self-Forming Actions (SFAs),
yaitu tindakan-tindakan penting di mana agen menghadapi ketidakpastian rasional
dan moral, dan memilih secara bebas, membentuk identitas moral mereka.⁹ Dalam
model Kane, indeterminisme tidak membatalkan rasionalitas atau kontrol,
melainkan justru mendasari pemilihan otentik yang memiliki
nilai moral.
Selain itu, Jean-Paul
Sartre, dalam kerangka eksistensialismenya, menekankan radikalitas
kebebasan manusia dan menolak segala bentuk determinisme yang
meminimalisasi tanggung jawab individu.¹⁰ Sartre melihat manusia sebagai
makhluk yang dikutuk untuk bebas, terlepas dari segala kondisi objektif.
Footnotes
[1]
A. A. Long, Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics,
2nd ed. (Berkeley: University of California Press, 1986), 24–26.
[2]
Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R. D.
Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), 10.133–134.
[3]
Timothy O'Connor, “Free Will,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Spring 2021), https://plato.stanford.edu/entries/freewill/.
[4]
Augustine, On Free Choice of the Will, trans. Thomas Williams
(Indianapolis: Hackett, 1993), 29–31.
[5]
W. Montgomery Watt, Free Will and Predestination in Early Islam
(London: Luzac, 1948), 68–77.
[6]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 74–77.
[7]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A533/B561.
[8]
Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Clarendon
Press, 1983), 56–58.
[9]
Robert Kane, The Significance of Free Will (Oxford: Oxford
University Press, 1996), 124–128.
[10]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 435–438.
4.
Indeterminisme
dalam Ilmu Pengetahuan
Perkembangan ilmu
pengetahuan, khususnya dalam fisika modern dan neurosains, telah memberikan
kontribusi signifikan terhadap pemahaman kita tentang indeterminisme. Konsep
ini menantang pandangan deterministik klasik dan membuka ruang bagi diskusi
tentang kebebasan kehendak, kausalitas, dan struktur realitas.
4.1.
Fisika Klasik dan
Pandangan Deterministik
Dalam kerangka fisika
klasik, alam semesta dipandang sebagai sistem yang sepenuhnya
deterministik. Pandangan ini berpuncak pada gagasan "demon
Laplace", yang menyatakan bahwa jika seseorang mengetahui
posisi dan momentum semua partikel di alam semesta pada suatu waktu tertentu,
maka ia dapat memprediksi masa depan dan merekonstruksi masa lalu dengan
presisi absolut.
“We ought to regard the present state of the
universe as the effect of its antecedent state and as the cause of the state
that is to follow.” — Pierre-Simon Laplace¹
Pandangan ini
mendominasi pemikiran ilmiah hingga awal abad ke-20, ketika munculnya fisika
kuantum mulai menggoyahkan keyakinan akan determinisme mutlak.
4.2.
Mekanika Kuantum dan
Ketidakpastian Fundamental
Mekanikakuantum memperkenalkan elemen ketidakpastian ke dalam pemahaman
kita tentang alam semesta. Prinsip ketidakpastian Heisenberg menyatakan bahwa
tidak mungkin mengetahui secara simultan posisi dan momentum partikel dengan
presisi tak terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat fundamental, alam
semesta bersifat probabilistik, bukan deterministik.
“The more precisely the position is
determined, the less precisely the momentum is known in this instant, and vice
versa.” — Werner Heisenberg²
Selain itu,
eksperimen seperti double-slit experiment
menunjukkan bahwa partikel dapat menunjukkan perilaku gelombang dan partikel
secara bersamaan, dan hasil pengamatan dapat dipengaruhi oleh tindakan
pengukuran itu sendiri. Fenomena ini menantang pandangan deterministik dan
menunjukkan bahwa realitas pada tingkat kuantum tidak sepenuhnya dapat
diprediksi.
4.3.
Interpretasi Mekanika
Kuantum dan Implikasinya
Berbagai interpretasi
mekanika kuantum telah dikembangkan untuk memahami sifat probabilistik alam
semesta:
·
Interpretasi
Kopenhagen:
Menekankan bahwa fungsi gelombang menggambarkan
probabilitas, dan hanya saat pengukuran dilakukan, sistem "memilih"
satu hasil tertentu.
·
Interpretasi
Many-Worlds:
Mengusulkan bahwa semua kemungkinan hasil dari
suatu peristiwa kuantum benar-benar terjadi, masing-masing dalam cabang alam
semesta yang berbeda.
·
Interpretasi
Bohmian:
Memperkenalkan variabel tersembunyi untuk
mempertahankan determinisme, namun mengorbankan prinsip lokalitas.
Setiap interpretasi
memiliki implikasi berbeda terhadap konsep indeterminisme dan kebebasan
kehendak.
4.4.
Neurosains dan
Kebebasan Kehendak
Dalam bidang neurosains,
eksperimen Benjamin Libet pada 1980-an menunjukkan bahwa aktivitas otak yang
berkaitan dengan gerakan terjadi sebelum individu menyadari keputusan untuk
bergerak. Temuan ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana keputusan kita
benar-benar bebas atau sudah ditentukan oleh proses neurologis sebelumnya.
“The initiation of the voluntary process by
the brain occurs unconsciously, before there is any subjective awareness of the
decision to act.” — Benjamin Libet³
Namun, beberapa
peneliti berpendapat bahwa meskipun ada aktivitas otak awal, kesadaran masih
memiliki peran dalam mengendalikan atau membatalkan tindakan, menunjukkan bahwa
kebebasan kehendak mungkin masih kompatibel dengan temuan ini.
4.5.
Kompleksitas Sistem
dan Ketidakpastian
Selain mekanika
kuantum, teori chaos menunjukkan bahwa
sistem deterministik dapat menunjukkan perilaku yang sangat sensitif terhadap
kondisi awal, membuat prediksi jangka panjang menjadi sangat sulit. Fenomena
ini menunjukkan bahwa bahkan dalam sistem yang secara teoritis deterministik,
ketidakpastian praktis tetap ada.
“In deterministic systems, unpredictability
can arise from the complexity and sensitivity to initial conditions.” —
Edward Lorenz⁴
Hal ini memperkuat
argumen bahwa indeterminisme tidak hanya terbatas pada tingkat kuantum, tetapi
juga relevan dalam skala makroskopik.
Footnotes
[1]
Pierre-Simon Laplace, A Philosophical Essay on Probabilities,
trans. Frederick Wilson Truscott and Frederick Lincoln Emory (New York: Dover
Publications, 1951), 4.
[2]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern
Science (New York: Harper, 1958), 20.
[3]
Benjamin Libet, “Unconscious Cerebral Initiative and the Role of
Conscious Will in Voluntary Action,” Behavioral and Brain Sciences 8,
no. 4 (1985): 529–539.
[4]
Edward N. Lorenz, The Essence of Chaos (Seattle: University of
Washington Press, 1993), 8.
5.
Implikasi
Filsafat Indeterminisme
Indeterminisme,
dengan penolakannya terhadap kausalitas universal dan determinasi mutlak,
memiliki implikasi yang luas dan mendalam dalam bidang filsafat, terutama berkaitan
dengan kebebasan kehendak, moralitas, dan konsepsi
rasionalitas manusia. Perdebatan ini melibatkan
pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang bagaimana manusia memahami dirinya
sebagai agen yang bertanggung jawab dan bagaimana makna tindakan moral harus
diposisikan dalam semesta yang tidak sepenuhnya deterministik.
5.1.
Hubungan antara
Indeterminisme dan Kebebasan Kehendak
Salah satu motivasi
utama bagi pengembangan teori indeterminisme adalah keinginan untuk
mempertahankan kebebasan kehendak (free will)
dalam arti kuat, yaitu kebebasan yang tidak sekadar kompatibel dengan
determinisme, melainkan mengandaikan bahwa agen memiliki kendali sejati atas
pilihan-pilihannya.¹ Dalam pandangan libertarianisme
metafisik, kebebasan kehendak mensyaratkan bahwa pada saat
membuat keputusan, agen tersebut memiliki lebih dari satu alternatif yang
sungguh-sungguh mungkin secara aktual.²
Robert
Kane mengusulkan konsep Self-Forming Actions (SFAs)
untuk mendukung gagasan ini: momen-momen kritis di mana pilihan manusia tidak
dideterminasi sepenuhnya, melainkan melibatkan ketegangan internal dan
ketidakpastian rasional, sehingga memungkinkan agen untuk membentuk dirinya
sendiri melalui keputusan tersebut.³ Indeterminisme dalam kerangka ini bukan
berarti tindakan manusia terjadi secara acak, melainkan bahwa ada ketidakpastian
kreatif dalam pengambilan keputusan, yang justru menjadi syarat
bagi kebebasan otentik.
Namun, beberapa
kritikus berpendapat bahwa indeterminisme malah dapat mengancam kebebasan,
karena bila keputusan seseorang bergantung pada kejadian acak atau
probabilistik, maka kontrol agen terhadap tindakannya menjadi dipertanyakan.⁴
Ini menimbulkan tantangan bagi teori libertarian untuk menjelaskan bagaimana
ketidakdeterminasian tidak berujung pada ketidakterkaitan antara agen
dan tindakan.
5.2.
Tantangan terhadap
Rasionalitas dan Tanggung Jawab Moral
Implikasi lain dari
indeterminisme adalah kaitannya dengan rasionalitas dan tanggung
jawab moral. Jika tindakan manusia tidak dideterminasi,
bagaimana seseorang dapat bertanggung jawab secara rasional atas tindakannya? Alfred
Mele, seorang filsuf kontemporer, menunjukkan bahwa
indeterminisme harus dibatasi sedemikian rupa agar tetap memungkinkan agen
untuk bertindak
berdasarkan alasan dan memiliki kendali deliberatif.⁵
Dalam konteks ini,
banyak filsuf membedakan antara randomness murni dan indeterminisme
terarah. Kehendak bebas yang bermakna tidak sekadar merupakan
hasil ketidakpastian, melainkan tindakan yang berasal dari agen berdasarkan
alasan, tujuan, dan nilai yang ia anut. Dengan demikian, meskipun
indeterminisme memperkenalkan elemen ketidakpastian, kebebasan kehendak tetap
bergantung pada struktur agen yang rasional dan
deliberatif.
Peter
van Inwagen melalui Consequence Argument menekankan
bahwa determinisme membuat tindakan manusia sepenuhnya menjadi konsekuensi dari
faktor-faktor di luar kendalinya, sehingga tanggung jawab moral menjadi tidak
mungkin.⁶ Sebaliknya, dalam kerangka indeterminisme, tanggung jawab menjadi
mungkin, namun membutuhkan penjelasan tentang bagaimana keputusan bebas dapat
tetap dikaitkan dengan agen sebagai pengendali utama.
5.3.
Indeterminisme dan
Penilaian Etis
Dalam ranah etika,
indeterminisme memperkaya pemahaman tentang oportunitas moral. Jika masa
depan tidak ditentukan sepenuhnya, maka agen moral memiliki peran
kausal dalam membentuk realitas moral melalui pilihan-pilihan
mereka. Hal ini memperbesar arti penting dari pertimbangan moral dan komitmen
etis. Seperti yang diungkapkan oleh Roderick Chisholm, manusia
dalam tindakan moralnya adalah "unmoved movers" yang
menciptakan rantai kausalitas baru.⁷
Namun, di sisi lain,
indeterminisme juga mengharuskan etika untuk lebih memperhatikan ketidakpastian
tindakan dan kesalahan moral, karena bahkan
pilihan yang terbaik secara rasional tidak selalu menghasilkan hasil yang
diinginkan dalam dunia yang indeterministik. Ini memperkenalkan dimensi kerendahan
hati epistemik (epistemic humility) dalam etika praktis.
5.4.
Kritik atas
Indeterminisme Filsafati
Meskipun banyak
filsuf mendukung peran indeterminisme dalam mempertahankan kebebasan kehendak,
ada kritik signifikan. Salah satu kritik utama datang dari kompatibilis
seperti Daniel Dennett, yang
berpendapat bahwa kebebasan sejati tidak membutuhkan indeterminisme.⁸ Menurut
kompatibilisme, kebebasan berarti bertindak sesuai dengan kehendak internal
seseorang, tanpa paksaan eksternal, terlepas dari apakah dunia deterministik
atau tidak.
Dennett juga
mengingatkan bahwa indeterminisme radikal
berpotensi menghancurkan struktur rasional tindakan dan pengambilan keputusan,
karena keputusan yang "hanyalah" acak tidak dapat dikatakan
sebagai tindakan bebas yang bertanggung jawab. Dengan demikian, perdebatan
antara indeterminisme dan kompatibilisme tetap menjadi salah satu pertarungan
intelektual terbesar dalam filsafat kontemporer.
Footnotes
[1]
Robert Kane, The Significance of Free Will (Oxford: Oxford
University Press, 1996), 87–92.
[2]
Timothy O'Connor, “Free Will,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Spring 2021), https://plato.stanford.edu/entries/freewill/.
[3]
Robert Kane, The Oxford Handbook of Free Will, 2nd ed.
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 388–391.
[4]
Alfred Mele, Free Will and Luck (Oxford: Oxford University
Press, 2006), 44–48.
[5]
Alfred Mele, Autonomous Agents: From Self-Control to Autonomy
(Oxford: Oxford University Press, 1995), 137–140.
[6]
Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Clarendon
Press, 1983), 55–66.
[7]
Roderick Chisholm, “Human Freedom and the Self,” in Free Will,
ed. Gary Watson (Oxford: Oxford University Press, 1982), 24–25.
[8]
Daniel C. Dennett, Elbow Room: The Varieties of Free Will Worth
Wanting (Cambridge, MA: MIT Press, 1984), 139–144.
6.
Indeterminisme
dalam Perspektif Teologis
Perdebatan mengenai
indeterminisme tidak hanya menjadi isu dalam filsafat dan sains, tetapi juga
memainkan peranan sentral dalam teologi berbagai tradisi keagamaan. Isu ini
berkaitan erat dengan pertanyaan tentang kebebasan kehendak manusia, kedaulatan
ilahi, serta tanggung jawab moral dalam
kerangka keimanan. Dalam banyak sistem teologi, menjaga keseimbangan antara
kekuasaan mutlak Tuhan dan kebebasan manusia merupakan tantangan konseptual
yang kompleks.
6.1.
Indeterminisme dalam
Teologi Islam
Dalam Islam,
perdebatan mengenai kehendak bebas dan takdir (qadar) telah menghasilkan
spektrum pandangan teologis. Qadariyah adalah salah satu
kelompok awal yang menekankan kebebasan kehendak manusia, menolak pandangan
bahwa Allah menentukan segala tindakan manusia secara absolut.¹ Bagi Qadariyah,
manusia adalah agen bebas yang bertanggung jawab penuh atas amal perbuatannya,
dan Allah hanya mengetahui, bukan menentukan, segala sesuatu sebelumnya.
Sebaliknya, Jabariyah
berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kebebasan sama sekali; segala sesuatu
ditentukan mutlak oleh kehendak Allah.² Pandangan ini menekankan kedaulatan
mutlak Tuhan atas semua aspek ciptaan, bahkan mengorbankan tanggung jawab moral
manusia.
Sementara itu, Asy'ariyah,
yang menjadi mazhab teologi Sunni dominan, menawarkan posisi tengah melalui
konsep kasb
(perolehan).³ Dalam doktrin ini, Allah menciptakan semua tindakan manusia,
tetapi manusia "memperoleh" tindakan tersebut melalui pilihan,
sehingga tetap memiliki aspek tanggung jawab moral. Al-Ghazali
dan para teolog Asy'ariyah lainnya berusaha mempertahankan kompatibilitas
antara kehendak bebas manusia dalam arti terbatas dan ketetapan ilahi.
Muktazilah,
sebagai mazhab rasionalis dalam Islam, lebih mendekati pandangan indeterministik
dengan menegaskan bahwa manusia menciptakan amalnya sendiri melalui kehendak
bebas.⁴ Dengan demikian, mereka menolak gagasan bahwa semua tindakan manusia
ditentukan Allah, untuk mempertahankan keadilan Tuhan: mustahil bagi Allah yang
adil untuk menghukum manusia atas perbuatan yang Ia tentukan sendiri.
6.2.
Indeterminisme dalam
Teologi Kristen
Dalam tradisi
Kristen, ketegangan antara predestinasi dan kehendak
bebas juga sangat signifikan. Augustinus pada awalnya
menekankan kebebasan kehendak, tetapi kemudian dalam karyanya yang lebih dewasa
seperti De
Praedestinatione Sanctorum, ia menegaskan bahwa anugerah Allah yang
menentukan keselamatan manusia, sebuah pandangan yang mengarah pada
determinisme teologis.⁵
Pada masa Reformasi,
John
Calvin mengembangkan teologi predestinasi yang kuat,
mengajarkan bahwa Allah telah menetapkan sejak kekekalan siapa yang akan
diselamatkan dan siapa yang akan dihukum.⁶ Calvinisme menekankan kedaulatan
ilahi secara radikal, dan sering dikritik karena mengurangi peran kebebasan
manusia.
Sebagai reaksi, Jacob
Arminius dan para pengikutnya (Arminianisme) menekankan kebebasan
kehendak manusia dalam menerima atau menolak anugerah
keselamatan.⁷ Dalam pandangan Arminian, keselamatan memang bergantung pada
anugerah Allah, tetapi manusia memiliki kapasitas untuk bekerja sama atau
menolak. Dengan demikian, Arminianisme mengadopsi bentuk teologi yang lebih
membuka ruang bagi indeterminisme dalam kehendak manusia.
6.3.
Indeterminisme dalam
Tradisi Lain
Dalam agama
Hindu dan Buddha, konsep karma
mengimplikasikan semacam hubungan kausal antara tindakan dan akibatnya, tetapi
tetap mengakui peran pilihan moral individu dalam
membentuk nasibnya.⁸ Dalam banyak interpretasi Buddhis, tidak ada entitas
permanen (anatman) yang bertindak, namun tindakan-tindakan bebas tetap dianggap
nyata dan berimplikasi pada perjalanan samsara. Ini menunjukkan bahwa, meskipun
tidak secara eksplisit menggunakan istilah "indeterminisme",
tradisi-tradisi ini mengakui kontingensi nyata dalam kehidupan manusia.
6.4.
Teologi Kontemporer
dan Indeterminisme
Dalam teologi
kontemporer, muncul pendekatan baru seperti Open Theism, yang
mempertahankan bahwa masa depan terbuka bahkan bagi
Allah sendiri. Tokoh-tokoh seperti Clark Pinnock berargumen bahwa
Allah mengetahui semua kemungkinan masa depan, tetapi tidak semua fakta masa
depan telah menjadi aktual untuk diketahui secara pasti.⁹ Dengan demikian, Open
Theism secara eksplisit mengadopsi indeterminisme dalam kerangka teologi,
mempertahankan kedaulatan Allah sambil memberikan ruang sejati bagi kebebasan
manusia.
Pendekatan ini,
meskipun kontroversial di kalangan teolog konservatif, menunjukkan bahwa dalam
diskursus teologis modern, indeterminisme mendapatkan tempat penting sebagai
model alternatif yang serius untuk memahami hubungan antara Tuhan, dunia, dan
manusia.
Footnotes
[1]
W. Montgomery Watt, Free Will and Predestination in Early Islam
(London: Luzac, 1948), 46–49.
[2]
Ibid., 50–52.
[3]
Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, trans.
Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 1997), 210–212.
[4]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 118–120.
[5]
Augustine, On the Predestination of the Saints, trans. Peter
Holmes and Robert Ernest Wallis, in Nicene and Post-Nicene Fathers,
ed. Philip Schaff (Buffalo, NY: Christian Literature Publishing Co., 1887),
495–497.
[6]
John Calvin, Institutes of the Christian Religion, trans.
Henry Beveridge (Peabody, MA: Hendrickson Publishers, 2008), III.21–24.
[7]
Roger E. Olson, Arminian Theology: Myths and Realities
(Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 2006), 84–87.
[8]
Damien Keown, Buddhism: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2000), 43–45.
[9]
Clark H. Pinnock, Most Moved Mover: A Theology of God's Openness
(Grand Rapids, MI: Baker Academic, 2001), 12–14.
7.
Implikasi
Etis dan Hukum dari Indeterminisme
Indeterminisme
membawa implikasi mendalam tidak hanya dalam filsafat teoretis, tetapi juga
dalam ranah etika dan hukum.
Karena persoalan tanggung jawab moral dan legal sangat bergantung pada asumsi
tentang kebebasan kehendak, maka mempertanyakan determinisme berarti juga
mempertanyakan dasar konseptual penghargaan, hukuman, dan pertanggungjawaban
dalam masyarakat.
7.1.
Tanggung Jawab Moral
dalam Konteks Indeterminisme
Salah satu premis
penting dalam moralitas tradisional adalah bahwa individu bertanggung jawab
atas tindakan mereka karena mereka memiliki kebebasan untuk memilih antara
alternatif-alternatif moral. Jika setiap tindakan ditentukan secara kausal oleh
kondisi sebelumnya, maka, seperti ditegaskan oleh Peter
van Inwagen melalui Consequence Argument, sulit
membenarkan penghakiman moral atas individu.¹
Dalam kerangka indeterminisme,
tanggung jawab moral menjadi mungkin justru karena adanya ketidakpastian
pilihan. Robert Kane mengembangkan
argumen bahwa dalam situasi di mana agen menghadapi konflik nilai dan hasilnya
tidak dideterminasi sebelumnya, tindakan yang dipilih merupakan hasil dari
perjuangan moral autentik.² Oleh karena itu, ketidakdeterminisan menjadi
landasan ontologis bagi konsep pertanggungjawaban yang bermakna: individu
bertanggung jawab bukan karena mereka dikondisikan, melainkan karena mereka
berkontribusi secara aktif terhadap pembentukan pilihan mereka.
Namun, ini juga
menimbulkan tantangan: jika tindakan lahir sebagian dari elemen
indeterministik, bagaimana memastikan bahwa agen tetap bertanggung jawab secara
penuh dan tidak sekadar "beruntung" dalam hasil keputusannya?³
Pertanyaan ini mendorong filsuf libertarian seperti Alfred Mele
untuk mengembangkan model tanggung jawab yang menggabungkan elemen
ketidakdeterminisan dengan kontrol deliberatif agen.⁴
7.2.
Implikasi bagi Sistem
Hukum
Dalam konteks hukum,
prinsip culpability (kesalahan)
bergantung pada asumsi bahwa pelaku memiliki kontrol sadar atas tindakannya.
Jika kehendak bebas ditolak, atau jika tindakan manusia dipandang sebagai hasil
tak terhindarkan dari kondisi neurologis atau lingkungan, maka dasar
hukuman—yakni penghargaan atas otonomi pelaku—menjadi
rapuh.⁵
Stephen
Morse, seorang sarjana hukum dan psikiatri, mengakui bahwa
banyak temuan neurosains yang tampaknya mendukung determinisme, namun ia
menegaskan bahwa konsep tanggung jawab hukum tetap memerlukan fiksi praktis
tentang agen rasional yang bertindak berdasarkan kehendaknya.⁶ Dengan kata
lain, sistem hukum mempertahankan model tanggung jawab individual meskipun ada
ketidakpastian ontologis tentang asal-usul tindakan manusia.
Dalam pendekatan
ini, indeterminisme
dapat dilihat sebagai memperkuat klaim bahwa individu, bukan sekadar produknya
kondisi luar, memiliki kapasitas untuk memilih dan dengan demikian layak dipuji
atau dihukum. Namun, adanya unsur probabilitas juga menuntut sistem hukum untuk
lebih mempertimbangkan faktor-faktor seperti pengaruh neurologis, psikologis,
dan lingkungan dalam menilai derajat tanggung jawab seseorang.
7.3.
Revisi Etis dan Hukum
dalam Cahaya Indeterminisme
Beberapa filsuf,
seperti Joshua Greene dan Jonathan
Cohen, berargumen bahwa kemajuan dalam neurosains dan psikologi
kognitif menuntut reformasi konseptual dalam sistem hukum, menggeser fokus dari
penghukuman retributif ke pendekatan yang lebih utilitarian: pencegahan,
rehabilitasi, dan proteksi sosial.⁷ Dalam model ini, ketimbang menghukum karena
"layak dihukum," masyarakat bertindak untuk meminimalisasi
kerugian sosial.
Jika indeterminisme
benar, maka tindakan-tindakan manusia tidak sepenuhnya dapat diprediksi atau
dikontrol, namun manusia tetap agen moral. Oleh karena itu, sistem hukum harus
mempertimbangkan adanya elemen ketidakpastian, tanpa mengabaikan kebutuhan akan
tanggung jawab sosial dan perlindungan kolektif.
Di bidang etika,
indeterminisme mendorong ke arah etika probabilistik, di mana
tindakan-tindakan dinilai tidak hanya berdasarkan niat dan konsekuensi aktual,
tetapi juga berdasarkan struktur pilihan rasional dalam dunia yang tidak
sepenuhnya dapat diprediksi. Ini mengajak pada pengembangan prinsip-prinsip
moral yang lebih fleksibel, inklusif terhadap ketidakpastian, dan berorientasi
pada maksud baik serta usaha rasional.
Footnotes
[1]
Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Clarendon
Press, 1983), 56–58.
[2]
Robert Kane, The Significance of Free Will (Oxford: Oxford
University Press, 1996), 127–130.
[3]
Alfred R. Mele, Free Will and Luck (Oxford: Oxford University
Press, 2006), 5–7.
[4]
Alfred R. Mele, Autonomous Agents: From Self-Control to Autonomy
(Oxford: Oxford University Press, 1995), 124–128.
[5]
Stephen J. Morse, “Determinism and the Death of Folk Psychology: Two
Challenges to Responsibility from Neuroscience,” Minnesota Journal of Law,
Science & Technology 9, no. 1 (2008): 1–36.
[6]
Stephen J. Morse, “Brain Overclaim Syndrome and Criminal Responsibility:
A Diagnostic Note,” Ohio State Journal of Criminal Law 3 (2006):
397–412.
[7]
Joshua Greene and Jonathan Cohen, “For the Law, Neuroscience Changes
Nothing and Everything,” Philosophical Transactions of the Royal Society B:
Biological Sciences 359, no. 1451 (2004): 1775–1785.
8.
Kritik
dan Alternatif terhadap Indeterminisme
Meskipun
indeterminisme menawarkan landasan konseptual penting untuk membela kehendak
bebas dan tanggung jawab moral, banyak kritik serius telah diajukan
terhadapnya. Selain itu, beberapa alternatif teoretis berkembang untuk
mengatasi keterbatasan baik dari determinisme maupun indeterminisme murni.
Kritik dan alternatif ini membentuk peta kontemporer dari diskusi filosofis
tentang kebebasan, kausalitas, dan agensi.
8.1.
Kritik terhadap Indeterminisme:
Masalah Acakan (Randomness Problem)
Salah satu kritik
paling umum terhadap indeterminisme adalah masalah acakan. Jika suatu
tindakan tidak ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya, maka tampaknya tindakan
tersebut terjadi secara acak, tanpa kontrol rasional dari agen. Hal ini
menimbulkan pertanyaan: bagaimana tindakan yang dihasilkan dari proses acak
dapat dikatakan sebagai tindakan bebas atau bertanggung jawab?¹
Daniel
C. Dennett dalam Elbow Room menegaskan bahwa kebebasan
yang layak diinginkan bukanlah kebebasan dari sebab-akibat,
melainkan kebebasan dari paksaan dan eksternalitas.² Menurut Dennett,
ketidakdeterminasian tidak secara otomatis menghasilkan agensi atau tanggung
jawab; bahkan bisa memperburuk masalah kontrol agensi, karena keputusan yang
benar-benar acak tidak bisa menjadi milik agen dalam arti bermakna.
Demikian pula, Alfred
Mele mengemukakan bahwa indeterminisme yang murni dapat
menyebabkan luck objection: jika
keberhasilan dalam pengambilan keputusan moral tergantung pada unsur keberuntungan
acak, maka tanggung jawab moral menjadi terganggu.³
8.2.
Tantangan
Rasionalitas: Hubungan Antara Indeterminasi dan Alasan
Kritik lain
menyoroti bahwa dalam kerangka indeterminisme, sulit menjelaskan bagaimana
tindakan bisa tetap rasional. Jika keputusan tidak ditentukan oleh pertimbangan
alasan, mengapa keputusan tersebut bisa dianggap sebagai produk deliberasi yang
rasional?⁴ Carl Ginet menyatakan bahwa
tindakan bebas haruslah hasil dari pertimbangan alasan, tetapi indeterminisme
seolah memperkenalkan gangguan ke dalam proses itu.
Untuk mengatasi
tantangan ini, filsuf libertarian seperti Robert Kane berusaha
menunjukkan bahwa indeterminisme tidak terjadi dalam keseluruhan proses
berpikir, melainkan hanya dalam momen-momen krusial di mana alasan mendukung
lebih dari satu pilihan. Dengan cara ini, ketidakdeterminasian memperkaya,
bukan melemahkan, proses rasional.⁵ Namun, solusi ini masih menghadapi kritik
tentang kompleksitas dan kejelasan mekanisme kontrol dalam kondisi
indeterministik.
8.3.
Alternatif:
Kompatibilisme
Sebagai alternatif
terhadap baik determinisme keras maupun libertarianisme indeterministik, kompatibilisme
menawarkan pendekatan yang berbeda. Kompatibilis berpendapat bahwa kebebasan
dan determinisme dapat berdampingan: seseorang dianggap bebas
jika ia bertindak sesuai dengan kehendaknya sendiri, bahkan jika kehendak itu
ditentukan oleh kondisi sebelumnya.⁶
Harry
Frankfurt, melalui konsep second-order desires,
menunjukkan bahwa kebebasan bukan sekadar soal pilihan alternatif, tetapi soal keterkaitan
agen dengan keinginannya sendiri.⁷ Menurut Frankfurt, seseorang
bebas sejauh ia mengidentifikasi dirinya dengan kehendak yang mendorong
tindakannya.
Kompatibilisme
menolak bahwa indeterminisme adalah syarat bagi tanggung jawab moral, dengan
alasan bahwa akuntabilitas bergantung pada otonomi internal, bukan pada
ketidakpastian metafisik.
8.4.
Alternatif: Teori
Agensi Kausal
Alternatif lain
muncul dalam bentuk theory of agent-causation.
Tokoh seperti Roderick Chisholm dan Timothy
O'Connor mengusulkan bahwa tindakan bebas adalah hasil dari kausalitas
agen, bukan kausalitas peristiwa.⁸ Dalam teori ini, agen (bukan
sekadar peristiwa atau keadaan) menjadi penyebab pertama dari tindakan, tanpa
harus tunduk pada determinisme kausal maupun acakan indeterministik.
Dalam pendekatan
ini, agensi dipahami sebagai kapasitas fundamental untuk memulai urutan kausal
secara bebas dan rasional. Meskipun konsep ini menghadapi kesulitan ontologis
(misalnya, bagaimana agen bisa menyebabkan tanpa kondisi sebelumnya), teori ini
tetap menjadi upaya penting untuk mensintesis kontrol, kebebasan, dan tanggung
jawab dalam kerangka metafisik baru.
Footnotes
[1]
Derk Pereboom, Living Without Free Will (Cambridge: Cambridge
University Press, 2001), 18–20.
[2]
Daniel C. Dennett, Elbow Room: The Varieties of Free Will Worth
Wanting (Cambridge, MA: MIT Press, 1984), 120–123.
[3]
Alfred Mele, Free Will and Luck (Oxford: Oxford University
Press, 2006), 5–7.
[4]
Carl Ginet, On Action (Cambridge: Cambridge University Press,
1990), 86–88.
[5]
Robert Kane, The Significance of Free Will (Oxford: Oxford
University Press, 1996), 127–130.
[6]
John Martin Fischer, The Metaphysics of Free Will: An Essay on
Control (Oxford: Blackwell, 1994), 17–19.
[7]
Harry G. Frankfurt, “Freedom of the Will and the Concept of a Person,” The
Journal of Philosophy 68, no. 1 (1971): 5–20.
[8]
Timothy O'Connor, Persons and Causes: The Metaphysics of Free Will
(New York: Oxford University Press, 2000), 75–78.
9.
Kesimpulan
Pembahasan mengenai indeterminisme
mengungkapkan bahwa konsep ini memainkan peranan sentral dalam memahami
hubungan antara realitas, kehendak bebas, kausalitas, etika,
dan tanggung jawab moral. Berbeda dengan determinisme yang
mengklaim bahwa semua kejadian merupakan akibat yang niscaya dari sebab-sebab
sebelumnya, indeterminisme membuka ruang bagi kemungkinan alternatif dalam
jalannya peristiwa, sehingga menghidupkan wacana tentang kebebasan manusia yang
sejati.
Dalam tradisi
filsafat, dari Epikuros hingga pemikir
kontemporer seperti Robert Kane, indeterminisme
digunakan untuk membela konsep kebebasan kehendak yang otentik, dimana agen
manusia dipandang mampu mengambil keputusan yang tidak sepenuhnya ditentukan
oleh kondisi luar atau masa lalu.¹ Gagasan ini, meskipun menimbulkan tantangan
epistemologis dan metafisik, tetap menjadi fondasi utama bagi argumen-argumen
libertarian dalam filsafat kehendak bebas.
Sains modern,
khususnya melalui fisika kuantum, memperlihatkan
bahwa ketidakpastian dan probabilitas adalah bagian integral dari struktur
dasar realitas.² Penemuan-penemuan ini, meskipun tidak secara otomatis
mendukung kebebasan kehendak, memperkuat kemungkinan bahwa dunia tidak tertutup
secara deterministik, memberikan pembenaran ilmiah terhadap asumsi
indeterminasi di tingkat fundamental.
Dalam konteks
teologi, diskusi tentang indeterminisme mencerminkan perjuangan antara
mempertahankan kedaulatan ilahi dan kebebasan
manusia. Tradisi seperti Muktazilah dalam Islam dan Arminianisme
dalam Kristen menegaskan pentingnya ruang kebebasan manusia demi keadilan dan
tanggung jawab moral.³ Bahkan teologi kontemporer seperti Open
Theism berupaya menyintesiskan konsep Allah yang Mahatahu
dengan realitas masa depan yang belum sepenuhnya teraktualisasi.⁴
Namun demikian,
indeterminisme bukan tanpa kritik. Masalah acakan (randomness problem)
menimbulkan pertanyaan apakah tindakan bebas dapat dipertahankan dalam dunia
yang melibatkan ketidakpastian.⁵ Alternatif seperti kompatibilisme
dan teori
agensi kausal menawarkan jalan tengah dengan menekankan
pentingnya struktur internal agen ketimbang ketidakdeterminasian metafisik.⁶
Dalam bidang etika
dan hukum, indeterminisme memperkaya pemahaman tentang tanggung jawab dengan
menegaskan pentingnya kebebasan dalam membuat pilihan moral. Namun, ia juga
mengharuskan pendekatan yang lebih nuansa terhadap persoalan penghargaan,
hukuman, dan rehabilitasi, mengingat ketidakpastian inheren dalam tindakan
manusia.⁷
Secara keseluruhan,
diskursus tentang indeterminisme menantang manusia untuk merefleksikan kembali
apa arti kebebasan, agensi, dan tanggung jawab di dunia yang kompleks dan
dinamis. Alih-alih memberikan jawaban final, indeterminisme membuka ruang untuk
dialog terus-menerus tentang tempat manusia dalam kosmos, antara hukum-hukum
alam, kehendak individu, dan tuntutan moralitas.
Footnotes
[1]
Robert Kane, The Significance of Free Will (Oxford: Oxford
University Press, 1996), 87–92.
[2]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern
Science (New York: Harper, 1958), 54–56.
[3]
W. Montgomery Watt, Free Will and Predestination in Early Islam
(London: Luzac, 1948), 68–77; Roger E. Olson, Arminian Theology: Myths and
Realities (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 2006), 84–87.
[4]
Clark H. Pinnock, Most Moved Mover: A Theology of God's Openness
(Grand Rapids, MI: Baker Academic, 2001), 12–14.
[5]
Derk Pereboom, Living Without Free Will (Cambridge: Cambridge
University Press, 2001), 18–20.
[6]
Harry G. Frankfurt, “Freedom of the Will and the Concept of a Person,” The
Journal of Philosophy 68, no. 1 (1971): 5–20; Timothy O'Connor, Persons
and Causes: The Metaphysics of Free Will (New York: Oxford University
Press, 2000), 75–78.
[7]
Stephen J. Morse, “Determinism and the Death of Folk Psychology: Two
Challenges to Responsibility from Neuroscience,” Minnesota Journal of Law,
Science & Technology 9, no. 1 (2008): 1–36.
Daftar Pustaka
Augustine. (1887). On the predestination of the
saints (P. Holmes & R. E. Wallis, Trans.). In P. Schaff (Ed.), Nicene
and Post-Nicene Fathers (Vol. 5, pp. 495–497). Buffalo, NY: Christian
Literature Publishing Co.
Carroll, S. (2016). The big picture: On the
origins of life, meaning, and the universe itself. New York, NY: Dutton.
Dennett, D. C. (1984). Elbow room: The varieties
of free will worth wanting. Cambridge, MA: MIT Press.
Diogenes Laertius. (1925). Lives of eminent
philosophers (R. D. Hicks, Trans.). Cambridge, MA: Harvard University
Press.
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic
philosophy (3rd ed.). New York, NY: Columbia University Press.
Fischer, J. M. (1994). The metaphysics of free
will: An essay on control. Oxford, UK: Blackwell.
Frankfurt, H. G. (1971). Freedom of the will and
the concept of a person. The Journal of Philosophy, 68(1), 5–20.
Ginet, C. (1990). On action. Cambridge, UK:
Cambridge University Press.
Greene, J., & Cohen, J. (2004). For the law,
neuroscience changes nothing and everything. Philosophical Transactions of
the Royal Society B: Biological Sciences, 359(1451), 1775–1785. https://doi.org/10.1098/rstb.2004.1546
Heisenberg, W. (1958). Physics and philosophy:
The revolution in modern science. New York, NY: Harper.
Hoefer, C. (2020). Causal determinism. In E. N.
Zalta (Ed.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2020
Edition). Retrieved from https://plato.stanford.edu/entries/determinism-causal/
Kane, R. (1996). The significance of free will.
Oxford, UK: Oxford University Press.
Kane, R. (Ed.). (2011). The Oxford handbook of
free will (2nd ed.). Oxford, UK: Oxford University Press.
Keown, D. (2000). Buddhism: A very short
introduction. Oxford, UK: Oxford University Press.
Laplace, P.-S. (1951). A philosophical essay on
probabilities (F. W. Truscott & F. L. Emory, Trans.). New York, NY:
Dover Publications.
Libet, B. (1985). Unconscious cerebral initiative
and the role of conscious will in voluntary action. Behavioral and Brain
Sciences, 8(4), 529–539. https://doi.org/10.1017/S0140525X00044903
Lorenz, E. N. (1993). The essence of chaos.
Seattle, WA: University of Washington Press.
Long, A. A. (1986). Hellenistic philosophy:
Stoics, Epicureans, Sceptics (2nd ed.). Berkeley, CA: University of
California Press.
Maudlin, T. (2007). The metaphysics within physics.
Oxford, UK: Oxford University Press.
Mele, A. R. (1995). Autonomous agents: From
self-control to autonomy. Oxford, UK: Oxford University Press.
Mele, A. R. (2006). Free will and luck.
Oxford, UK: Oxford University Press.
Morse, S. J. (2006). Brain overclaim syndrome and
criminal responsibility: A diagnostic note. Ohio State Journal of Criminal
Law, 3, 397–412.
Morse, S. J. (2008). Determinism and the death of
folk psychology: Two challenges to responsibility from neuroscience. Minnesota
Journal of Law, Science & Technology, 9(1), 1–36.
O'Connor, T. (2000). Persons and causes: The
metaphysics of free will. New York, NY: Oxford University Press.
O'Connor, T. (2021). Free will. In E. N. Zalta
(Ed.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2021 Edition).
Retrieved from https://plato.stanford.edu/entries/freewill/
Olson, R. E. (2006). Arminian theology: Myths
and realities. Downers Grove, IL: InterVarsity Press.
Pereboom, D. (2001). Living without free will.
Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Pinnock, C. H. (2001). Most moved mover: A
theology of God's openness. Grand Rapids, MI: Baker Academic.
Sartre, J.-P. (1992). Being and nothingness
(H. E. Barnes, Trans.). New York, NY: Washington Square Press.
Taylor, R. (1992). Metaphysics (4th ed.).
Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
van Inwagen, P. (1983). An essay on free will.
Oxford, UK: Clarendon Press.
Watt, W. M. (1948). Free will and predestination
in early Islam. London, UK: Luzac.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar