Rabu, 09 April 2025

Blue Economy: Paradigma Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Laut untuk Masa Depan

Blue Economy

Paradigma Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Laut untuk Masa Depan


Alihkan ke: Ilmu Ekonomi.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep Ekonomi Biru (Blue Economy) sebagai paradigma pembangunan berkelanjutan yang berfokus pada pemanfaatan sumber daya laut secara bertanggung jawab. Ekonomi Biru tidak hanya menjanjikan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjaga kesehatan ekosistem laut dan mendukung keadilan sosial, khususnya bagi komunitas pesisir. Pembahasan mencakup definisi dan prinsip dasar Blue Economy menurut lembaga-lembaga internasional, pilar-pilar utama seperti perikanan berkelanjutan, energi terbarukan laut, konservasi ekosistem, dan bioteknologi maritim, serta manfaatnya bagi ketahanan pangan, penciptaan lapangan kerja, dan mitigasi perubahan iklim. Artikel ini juga mengulas tantangan implementasi Blue Economy, termasuk lemahnya tata kelola, konflik ruang laut, dan keterbatasan data. Fokus khusus diberikan pada konteks Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki potensi besar namun menghadapi tantangan struktural dalam mengembangkan ekonomi biru. Sebagai penutup, artikel menawarkan strategi implementasi dan rekomendasi kebijakan untuk mewujudkan Blue Economy yang berkelanjutan melalui integrasi lintas sektor, penguatan regulasi, pemberdayaan masyarakat pesisir, serta kerja sama internasional. Artikel ini diharapkan dapat menjadi landasan konseptual dan praktis bagi perumus kebijakan, akademisi, dan pelaku pembangunan maritim.

Kata Kunci: Ekonomi Biru, Pembangunan Berkelanjutan, Laut dan Pesisir, Tata Kelola Kelautan, Indonesia, Konservasi Laut, Blue Economy, SDGs.


PEMBAHASAN

Menelusuri Blue Economy Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Lautan mencakup lebih dari 70% permukaan bumi dan merupakan sistem pendukung kehidupan yang sangat penting bagi umat manusia. Ia menyediakan oksigen, mengatur iklim, menjadi jalur utama perdagangan global, serta sumber mata pencaharian bagi lebih dari tiga miliar orang di dunia, terutama di negara-negara berkembang yang bergantung pada sumber daya laut dan pesisir untuk penghidupan mereka sehari-hari.1 Laut juga merupakan rumah bagi keanekaragaman hayati yang luar biasa, menyediakan pangan, energi, dan bahan baku industri yang berkontribusi signifikan terhadap perekonomian global.

Namun demikian, ekosistem laut saat ini menghadapi tekanan yang semakin serius akibat eksploitasi berlebihan, polusi, perubahan iklim, dan pembangunan yang tidak terkelola secara berkelanjutan. Laporan United Nations Environment Programme (UNEP) memperkirakan bahwa sekitar 60% ekosistem pesisir dunia telah mengalami degradasi parah akibat aktivitas manusia, seperti reklamasi, penangkapan ikan yang berlebihan, dan pencemaran limbah industri maupun domestik.2 Selain itu, kenaikan suhu laut dan pengasaman akibat emisi karbon dioksida telah menyebabkan kerusakan pada terumbu karang dan gangguan terhadap rantai makanan laut.3

Dalam konteks tantangan global tersebut, konsep Ekonomi Biru (Blue Economy) muncul sebagai pendekatan baru dalam pengelolaan sumber daya laut yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menekankan keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial. Menurut definisi World Bank, Ekonomi Biru adalah “pemanfaatan berkelanjutan sumber daya laut untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan mata pencaharian, dan penciptaan lapangan kerja, sambil tetap menjaga kesehatan ekosistem laut dan pesisir.”_4

Konsep ini menggeser paradigma pembangunan maritim dari yang bersifat eksploitatif menjadi regeneratif, dengan menempatkan keberlanjutan sebagai inti kebijakan dan praktik ekonomi di wilayah pesisir dan laut. Selain itu, Blue Economy juga dianggap mampu mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), khususnya tujuan ke-14 yaitu “Life Below Water”, yang menekankan perlindungan dan pemanfaatan berkelanjutan ekosistem laut.5

Oleh karena itu, penting bagi negara-negara, termasuk Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, untuk memahami, mengembangkan, dan mengimplementasikan prinsip-prinsip Ekonomi Biru secara strategis. Dengan pendekatan yang tepat, Blue Economy dapat menjadi paradigma pembangunan masa depan yang tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga menjaga keberlanjutan lingkungan laut dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.


Footnotes

[1]                Food and Agriculture Organization of the United Nations, The State of World Fisheries and Aquaculture 2020: Sustainability in Action (Rome: FAO, 2020), 4.

[2]                United Nations Environment Programme, Global Environment Outlook GEO-6: Healthy Planet, Healthy People (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 235.

[3]                Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Special Report on the Ocean and Cryosphere in a Changing Climate (Geneva: IPCC, 2019), 11.

[4]                World Bank and United Nations Department of Economic and Social Affairs, The Potential of the Blue Economy: Increasing Long-Term Benefits of the Sustainable Use of Marine Resources for Small Island Developing States and Coastal Least Developed Countries (Washington, DC: World Bank, 2017), vi.

[5]                United Nations, Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development (New York: United Nations, 2015), Goal 14.


2.           Definisi dan Konsep Dasar Blue Economy

Konsep Ekonomi Biru (Blue Economy) lahir sebagai respons terhadap kebutuhan mendesak untuk menjadikan sektor kelautan sebagai pilar pembangunan yang berkelanjutan. Pada dasarnya, istilah ini mencerminkan sebuah pendekatan baru yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dari sumber daya laut, tetapi juga menempatkan keberlanjutan lingkungan dan inklusi sosial sebagai komponen utamanya.

Menurut World Bank, Blue Economy didefinisikan sebagai “pemanfaatan berkelanjutan dari sumber daya laut untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan mata pencaharian, dan penciptaan lapangan kerja, sambil menjaga kesehatan ekosistem laut.”_¹ Definisi ini menekankan pentingnya keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan konservasi lingkungan. Dalam konteks ini, laut tidak hanya dipandang sebagai sumber komoditas, tetapi juga sebagai sistem ekologi yang harus dijaga keberlangsungannya.

United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) menambahkan bahwa Blue Economy adalah “ekonomi yang menumbuhkan kesejahteraan manusia dan keadilan sosial, sekaligus mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi.”_² Pendekatan ini mengintegrasikan dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam kebijakan pembangunan kelautan. Dengan kata lain, Blue Economy adalah bagian dari visi pembangunan yang inklusif, adil, dan ekologis.

Dalam literatur kebijakan global, sering kali terjadi tumpang tindih antara istilah Blue Economy, Green Economy, dan Ocean Economy. Meski saling berkaitan, ketiganya memiliki fokus yang berbeda. Green Economy lebih menekankan transisi menuju pembangunan rendah karbon dan efisien sumber daya di berbagai sektor, termasuk sektor darat dan laut. Ocean Economy, di sisi lain, merujuk secara sempit pada seluruh kegiatan ekonomi yang berasal dari laut tanpa selalu mempertimbangkan keberlanjutan.³ Adapun Blue Economy menempatkan keberlanjutan ekologis sebagai fondasi, bukan hanya sebagai pelengkap.

Laporan dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menegaskan bahwa Blue Economy mencakup berbagai sektor kelautan seperti perikanan, pariwisata bahari, transportasi laut, energi terbarukan lepas pantai, dan bioteknologi laut, yang semuanya harus dikembangkan dalam kerangka tata kelola yang ramah lingkungan dan inklusif.⁴ Dengan demikian, Blue Economy bukan sekadar kegiatan ekonomi, tetapi juga sebuah paradigma pembangunan yang menyeluruh.

Konsep ini juga menjadi semakin penting seiring meningkatnya tekanan terhadap ekosistem laut akibat pertumbuhan penduduk, industrialisasi, dan perubahan iklim. Blue Economy hadir sebagai solusi untuk membangun masa depan laut yang produktif sekaligus terlindungi. Ia tidak hanya bertujuan menjaga keberlanjutan lingkungan, tetapi juga memastikan bahwa manfaat ekonomi laut dapat dirasakan oleh masyarakat lokal secara adil dan berkelanjutan.⁵


Footnotes

[1]                World Bank and United Nations Department of Economic and Social Affairs, The Potential of the Blue Economy: Increasing Long-Term Benefits of the Sustainable Use of Marine Resources for Small Island Developing States and Coastal Least Developed Countries (Washington, DC: World Bank, 2017), vi.

[2]                United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), The Oceans Economy: Opportunities and Challenges for Small Island Developing States (New York: United Nations, 2014), 1.

[3]                Sumaila, U. Rashid, et al. “Ocean Finance: Financing the Transition to a Sustainable Ocean Economy.” UNDP & Sustainable Development Solutions Network (2020): 6.

[4]                Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), The Ocean Economy in 2030 (Paris: OECD Publishing, 2016), 15.

[5]                Patil, Pawan G., et al., Toward a Blue Economy: A Pathway for Sustainable Growth in Indonesia (Washington, DC: World Bank Group, 2016), 8.


3.           Pilar-Pilar Utama Ekonomi Biru

Ekonomi Biru (Blue Economy) merupakan kerangka pembangunan kelautan yang holistik dan multidimensional. Untuk menjalankan prinsip-prinsip keberlanjutan secara konkret, Blue Economy dikembangkan melalui sejumlah pilar utama yang menjadi sektor strategis. Pilar-pilar ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling terkait dalam upaya menjaga keseimbangan antara manfaat ekonomi dan perlindungan lingkungan laut.

3.1.       Perikanan Berkelanjutan

Perikanan merupakan tulang punggung ekonomi kelautan di banyak negara, termasuk Indonesia. Namun, praktik penangkapan ikan yang berlebihan dan destruktif telah mengancam stok ikan global. Laporan FAO menyatakan bahwa sekitar 34% stok ikan dunia ditangkap secara berlebihan, melampaui batas keberlanjutan biologisnya.¹ Oleh karena itu, pendekatan Blue Economy menekankan praktik penangkapan ikan yang bertanggung jawab, pemulihan stok ikan, serta perlindungan habitat penting seperti terumbu karang dan hutan bakau.

3.2.       Energi Laut Terbarukan

Laut menyimpan potensi besar sebagai sumber energi terbarukan, seperti energi gelombang, pasang surut, dan angin lepas pantai. International Renewable Energy Agency (IRENA) mencatat bahwa pengembangan energi laut tidak hanya membantu mengurangi emisi karbon, tetapi juga membuka lapangan kerja dan meningkatkan ketahanan energi di wilayah pesisir.² Negara-negara maju seperti Inggris, Prancis, dan China telah mengembangkan teknologi ini secara progresif, sementara negara berkembang mulai merintis pemanfaatannya.

3.3.       Ekowisata Bahari dan Pariwisata Berkelanjutan

Sektor pariwisata bahari menawarkan peluang ekonomi besar, namun dapat menjadi ancaman jika tidak dikelola secara berkelanjutan. Ekowisata bahari dalam konteks Blue Economy mendorong pengembangan pariwisata yang menghormati kearifan lokal, menjaga kelestarian ekosistem, dan melibatkan masyarakat pesisir sebagai pelaku utama.³ Model ekowisata yang sukses, seperti konservasi hiu paus di Teluk Cenderawasih atau wisata berbasis komunitas di Raja Ampat, membuktikan bahwa pendekatan ini dapat menghasilkan manfaat ekonomi sekaligus menjaga alam.

3.4.       Transportasi Laut Ramah Lingkungan

Transportasi laut merupakan tulang punggung perdagangan global, namun juga menjadi kontributor signifikan emisi gas rumah kaca dan pencemaran laut. Blue Economy mendorong transformasi sektor ini melalui penggunaan bahan bakar rendah emisi, digitalisasi pelayaran, dan peningkatan efisiensi pelabuhan.⁴ Inisiatif seperti International Maritime Organization (IMO) Strategy on GHG Emissions menjadi panduan global dalam mengurangi jejak karbon sektor maritim.

3.5.       Konservasi dan Restorasi Ekosistem Laut

Keberhasilan Blue Economy bergantung pada keutuhan ekosistem laut. Oleh karena itu, konservasi laut — melalui pembentukan Kawasan Konservasi Laut (KKL), restorasi terumbu karang, dan rehabilitasi mangrove — menjadi pilar penting. Data UNEP menunjukkan bahwa setiap dolar yang diinvestasikan untuk konservasi mangrove dapat menghasilkan manfaat ekonomi senilai USD 3–10 dalam jangka panjang.⁵

3.6.       Bioteknologi Kelautan dan Inovasi Biru

Blue Economy juga mencakup pengembangan bioteknologi kelautan, seperti eksplorasi organisme laut untuk farmasi, pangan, dan kosmetik. Potensi laut dalam sebagai sumber genetik dan biokimiawi belum sepenuhnya tergali, padahal dapat membuka cakrawala baru dalam inovasi sains dan industri ramah lingkungan.⁶ Pemanfaatan ini harus dilakukan secara hati-hati dalam kerangka etika dan konservasi.


Footnotes

[1]                Food and Agriculture Organization of the United Nations, The State of World Fisheries and Aquaculture 2020: Sustainability in Action (Rome: FAO, 2020), 7.

[2]                International Renewable Energy Agency (IRENA), Renewable Energy: A Gender Perspective (Abu Dhabi: IRENA, 2019), 18.

[3]                United Nations World Tourism Organization (UNWTO), Sustainable Tourism for Development Guidebook (Madrid: UNWTO, 2013), 85.

[4]                International Maritime Organization, Initial IMO Strategy on Reduction of GHG Emissions from Ships (London: IMO, 2018), 3.

[5]                United Nations Environment Programme, The Economics of Ecosystems and Biodiversity for Water and Wetlands (Geneva: UNEP, 2013), 44.

[6]                OECD, Marine Biotechnology: Enabling Solutions for Ocean Productivity and Sustainability (Paris: OECD Publishing, 2013), 12.


4.           Manfaat dan Potensi Blue Economy

Implementasi ekonomi biru (Blue Economy) memiliki potensi besar untuk mentransformasikan cara manusia memanfaatkan laut secara berkelanjutan. Tidak hanya menjanjikan pertumbuhan ekonomi, Blue Economy juga mampu memberikan manfaat ekologis dan sosial yang luas. Dalam konteks global dan nasional, potensi ini mencakup beberapa aspek utama berikut:

4.1.       Kontribusi terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Sektor kelautan telah menjadi penyumbang signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) banyak negara. Menurut laporan OECD, nilai ekonomi kelautan global diperkirakan mencapai USD 1,5 triliun per tahun dan dapat meningkat menjadi lebih dari USD 3 triliun pada tahun 2030 jika dikelola secara berkelanjutan.¹ Di Indonesia, sektor kelautan menyumbang sekitar 6–7% terhadap PDB nasional, dengan potensi yang masih belum tergali optimal, terutama dari sektor pariwisata bahari, energi laut, dan perikanan bernilai tambah.²

4.2.       Penciptaan Lapangan Kerja Ramah Lingkungan

Ekonomi biru mendukung penciptaan lapangan kerja hijau (green jobs) di berbagai sektor, seperti perikanan berkelanjutan, konservasi laut, pembangunan infrastruktur pelabuhan hijau, dan industri energi terbarukan. Laporan World Bank menunjukkan bahwa investasi dalam sektor-sektor Blue Economy dapat menciptakan peluang kerja yang inklusif, khususnya bagi masyarakat pesisir yang selama ini rentan secara ekonomi.³ Sektor pariwisata bahari berbasis komunitas, misalnya, mampu menyerap tenaga kerja lokal secara langsung sekaligus menggerakkan ekonomi mikro.

4.3.       Ketahanan Pangan dan Energi

Dengan populasi global yang terus meningkat, laut menjadi sumber penting untuk menjamin ketahanan pangan melalui perikanan dan akuakultur yang berkelanjutan. FAO menyebutkan bahwa perikanan dan budidaya laut saat ini menyediakan lebih dari 20% kebutuhan protein hewani bagi lebih dari 3 miliar orang.⁴ Selain itu, pengembangan energi laut terbarukan seperti pasang surut dan gelombang dapat meningkatkan ketahanan energi, khususnya di wilayah terpencil yang sulit dijangkau jaringan listrik konvensional.

4.4.       Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem

Salah satu manfaat utama dari pendekatan Blue Economy adalah tercapainya konservasi dan restorasi ekosistem laut secara aktif. Kawasan konservasi laut tidak hanya melindungi biodiversitas, tetapi juga meningkatkan produktivitas perikanan melalui efek "spill-over" ke wilayah sekitarnya.⁵ Restorasi habitat seperti mangrove dan padang lamun juga memberikan layanan ekosistem penting seperti perlindungan pantai dari abrasi dan penyerapan karbon biru (blue carbon), yang sangat penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim.

4.5.       Peran dalam Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Ekosistem pesisir seperti mangrove, rawa asin, dan padang lamun memiliki kemampuan menyerap karbon lima kali lebih besar dibandingkan hutan darat.⁶ Dalam kerangka Blue Economy, pelestarian dan pemulihan ekosistem ini menjadi strategi utama dalam mitigasi perubahan iklim. Selain itu, pendekatan ekonomi biru juga memfasilitasi adaptasi masyarakat pesisir, melalui pembangunan infrastruktur tahan iklim, sistem peringatan dini, dan diversifikasi sumber mata pencaharian.


Footnotes

[1]                Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), The Ocean Economy in 2030 (Paris: OECD Publishing, 2016), 10.

[2]                Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Rencana Aksi Ekonomi Biru Indonesia (Jakarta: KKP RI, 2022), 5.

[3]                World Bank and United Nations, The Potential of the Blue Economy: Increasing Long-Term Benefits of the Sustainable Use of Marine Resources for Small Island Developing States and Coastal Least Developed Countries (Washington, DC: World Bank, 2017), 13.

[4]                Food and Agriculture Organization of the United Nations, The State of World Fisheries and Aquaculture 2020: Sustainability in Action (Rome: FAO, 2020), 8.

[5]                United Nations Environment Programme, Blue Carbon: The Role of Healthy Oceans in Binding Carbon (Nairobi: UNEP, 2009), 6.

[6]                Herr, Dorothée, Emily Pidgeon, and Dan Laffoley, Blue Carbon Policy Framework: Towards Inclusion of Coastal Ecosystem in Climate Change Policies (Arlington: Conservation International, 2011), 4.


5.           Tantangan dan Isu Strategis

Meskipun konsep Ekonomi Biru menjanjikan transformasi positif bagi pembangunan berkelanjutan berbasis laut, implementasinya tidak lepas dari berbagai tantangan dan isu strategis. Hambatan-hambatan ini bersifat multidimensional dan memerlukan pendekatan lintas sektor, lintas wilayah, serta dukungan kebijakan yang komprehensif. Berikut adalah tantangan utama yang dihadapi dalam penerapan Blue Economy, baik di level global maupun nasional:

5.1.       Keterbatasan Data dan Riset Kelautan

Kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) sangat bergantung pada data yang akurat dan sistem riset yang memadai. Namun, sektor kelautan masih menghadapi kendala serius dalam hal keterbatasan data spasial, stok sumber daya, dan dinamika ekosistem laut. Banyak wilayah pesisir belum terpetakan secara detail, dan data mengenai keanekaragaman hayati laut maupun potensi bioteknologi kelautan masih sangat terbatas.¹ Kurangnya investasi dalam riset dan pengembangan (litbang) juga menghambat pengambilan kebijakan yang adaptif dan akurat.

5.2.       Lemahnya Penegakan Hukum dan Tata Kelola

Isu governance menjadi persoalan krusial dalam pengelolaan laut. Praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing/IUU Fishing) masih marak terjadi, merugikan negara secara ekonomi dan ekologis.² Selain itu, tumpang tindih kewenangan antarinstansi, minimnya koordinasi lintas sektor, serta lemahnya pengawasan lapangan memperparah situasi ini. Penegakan hukum yang inkonsisten juga melemahkan kepercayaan masyarakat dan pelaku usaha terhadap sistem pengelolaan kelautan.

5.3.       Konflik Pemanfaatan Ruang Laut

Dengan bertambahnya sektor yang memanfaatkan laut—mulai dari perikanan, energi, pariwisata, hingga pelayaran—konflik ruang laut menjadi isu strategis yang semakin kompleks. Ketiadaan sistem tata ruang laut yang terintegrasi (marine spatial planning/MSP) seringkali menyebabkan konflik antara pemangku kepentingan, baik di tingkat lokal maupun nasional.³ Hal ini dapat berdampak pada kerusakan ekosistem dan terganggunya kegiatan ekonomi yang bergantung pada kestabilan laut.

5.4.       Ketimpangan Akses dan Distribusi Manfaat Ekonomi

Salah satu prinsip dasar Blue Economy adalah inklusivitas sosial, namun dalam praktiknya masih terjadi ketimpangan dalam akses dan distribusi manfaat. Masyarakat pesisir, terutama kelompok nelayan kecil dan perempuan, sering kali tidak mendapatkan manfaat proporsional dari proyek-proyek kelautan.⁴ Tanpa intervensi kebijakan afirmatif, Blue Economy berisiko melestarikan ketimpangan struktural dan memperbesar kesenjangan sosial-ekonomi.

5.5.       Degradasi Lingkungan dan Dampak Perubahan Iklim

Laut saat ini berada dalam kondisi tertekan akibat pencemaran plastik, tumpahan minyak, sedimentasi, dan limbah industri.⁵ Selain itu, dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan laut, pengasaman laut, dan meningkatnya suhu air laut telah menyebabkan kerusakan ekosistem seperti terumbu karang dan padang lamun. Isu-isu ini memerlukan penanganan lintas batas dan integrasi antara kebijakan iklim dan kebijakan pembangunan kelautan.


Footnotes

[1]                Intergovernmental Oceanographic Commission of UNESCO, Global Ocean Science Report 2020: Charting Capacity for Ocean Sustainability (Paris: UNESCO Publishing, 2020), 15.

[2]                Food and Agriculture Organization of the United Nations, Global Study on Transshipment: Regulations, Practices and Monitoring (Rome: FAO, 2020), 9.

[3]                Ehler, Charles, and Fanny Douvere, Marine Spatial Planning: A Step-by-Step Approach toward Ecosystem-Based Management (Paris: UNESCO/IOC Manual and Guides, 2009), 18.

[4]                United Nations Development Programme (UNDP), Blue Economy and Inclusive Development: Opportunities, Challenges and the Way Forward (New York: UNDP, 2018), 21.

[5]                United Nations Environment Programme, From Pollution to Solution: A Global Assessment of Marine Litter and Plastic Pollution (Nairobi: UNEP, 2021), 3.


6.           Blue Economy dalam Konteks Indonesia

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki posisi strategis dalam implementasi ekonomi biru (Blue Economy). Wilayah laut Indonesia yang luas—mencapai sekitar 6,4 juta km² termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)—menyimpan kekayaan sumber daya alam dan jasa lingkungan yang sangat besar. Posisi ini tidak hanya memberikan potensi ekonomi luar biasa, tetapi juga tanggung jawab besar dalam menjaga keberlanjutan ekosistem laut regional dan global.

6.1.       Visi Maritim dan Komitmen Nasional

Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen kuat terhadap pengembangan Blue Economy melalui berbagai kebijakan strategis. Visi “Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia” yang dicanangkan sejak 2014 merupakan fondasi untuk menempatkan sektor kelautan sebagai pusat pembangunan nasional.¹ Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, pembangunan kelautan diarahkan untuk memperkuat konektivitas maritim, pelestarian sumber daya, serta pemberdayaan masyarakat pesisir.²

Pada tahun 2022, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) meluncurkan Rencana Aksi Ekonomi Biru yang berfokus pada lima program prioritas: perluasan kawasan konservasi laut, penangkapan ikan terukur berbasis kuota, pengembangan budidaya laut berkelanjutan, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta pengelolaan sampah plastik laut.³ Pendekatan ini menunjukkan pergeseran kebijakan dari eksploitasi sumber daya menuju pengelolaan yang berbasis konservasi dan keberlanjutan.

6.2.       Potensi Sumber Daya Laut Indonesia

Indonesia memiliki potensi sumber daya kelautan yang sangat besar, mulai dari perikanan tangkap dan budidaya, pariwisata bahari, energi laut, hingga bioteknologi kelautan. Potensi nilai ekonomi sektor kelautan Indonesia diperkirakan mencapai USD 1,33 triliun per tahun, dengan sektor perikanan dan pariwisata menjadi kontributor terbesar.⁴ Namun demikian, hingga kini pemanfaatan potensi tersebut belum optimal karena kendala regulasi, infrastruktur, dan kapasitas SDM.

6.3.       Praktik Baik dan Inisiatif Lokal

Berbagai inisiatif lokal menunjukkan bahwa pendekatan Blue Economy dapat diimplementasikan secara efektif di tingkat komunitas. Contohnya adalah pengelolaan kawasan konservasi laut berbasis masyarakat di Wakatobi dan Raja Ampat, yang telah terbukti mampu meningkatkan populasi ikan karang sekaligus mendukung ekonomi lokal melalui ekowisata.⁵ Selain itu, program Kampung Bahari Nusantara (TNI AL) dan Desa Wisata Bahari turut memperkuat integrasi antara pelestarian lingkungan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir.⁶

6.4.       Tantangan Khusus Indonesia

Meski memiliki potensi besar, implementasi Blue Economy di Indonesia menghadapi tantangan kompleks, seperti tumpang tindih regulasi antarinstansi, degradasi lingkungan akibat kegiatan industri pesisir, serta konflik ruang laut antara sektor ekonomi dan konservasi.⁷ Selain itu, tingkat kemiskinan dan kerentanan masyarakat pesisir masih menjadi persoalan struktural yang memerlukan pendekatan pembangunan inklusif dan berkeadilan.

6.5.       Arah Masa Depan

Masa depan Blue Economy di Indonesia bergantung pada keberhasilan integrasi antara ilmu pengetahuan, kebijakan, dan pemberdayaan masyarakat. Peningkatan investasi di bidang riset kelautan, pengembangan teknologi ramah lingkungan, serta kerjasama internasional di bidang pengelolaan laut menjadi kunci sukses implementasi Blue Economy yang berkelanjutan. Sebagai negara yang tergabung dalam berbagai forum internasional seperti Our Ocean Conference dan High-Level Panel for a Sustainable Ocean Economy, Indonesia memiliki peluang besar untuk memainkan peran sebagai pemimpin regional dalam transformasi ekonomi maritim yang berkelanjutan.⁸


Footnotes

[1]                Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia, Dokumen Poros Maritim Dunia (Jakarta: Kemenko Marves, 2015), 3.

[2]                Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 (Jakarta: Bappenas, 2020), 242.

[3]                Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Rencana Aksi Ekonomi Biru Indonesia 2022–2024 (Jakarta: KKP RI, 2022), 6.

[4]                Patil, Pawan G., et al., Toward a Blue Economy: A Pathway for Sustainable Growth in Indonesia (Washington, DC: World Bank Group, 2016), 4.

[5]                Conservation International Indonesia, Community-Based Marine Conservation in Indonesia (Jakarta: CI Indonesia, 2019), 12.

[6]                TNI Angkatan Laut, Kampung Bahari Nusantara: Program Sinergi Maritim dan Sosial (Jakarta: Dinas Potensi Maritim TNI AL, 2021), 5.

[7]                United Nations Development Programme (UNDP), Blue Economy and Inclusive Development: Indonesia Country Profile (Jakarta: UNDP Indonesia, 2020), 18.

[8]                High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy, Ocean Solutions That Benefit People, Nature and the Economy (Washington, DC: World Resources Institute, 2020), 30.


7.           Strategi Implementasi dan Rekomendasi Kebijakan

Keberhasilan penerapan ekonomi biru (Blue Economy) tidak hanya bergantung pada besarnya potensi sumber daya kelautan, tetapi juga pada efektivitas strategi implementasi dan kebijakan pendukungnya. Mengingat kompleksitas sektor kelautan yang melibatkan banyak aktor dan sektor, pendekatan strategis harus dilakukan secara integratif, adaptif, dan kolaboratif. Berikut adalah strategi implementasi utama serta rekomendasi kebijakan yang relevan untuk mewujudkan Blue Economy secara berkelanjutan:

7.1.       Integrasi Lintas Sektor dan Tata Kelola yang Koheren

Pembangunan ekonomi biru menuntut koordinasi lintas sektor seperti perikanan, energi, pariwisata, pelayaran, konservasi, dan riset. Saat ini, tumpang tindih kebijakan dan lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintah masih menjadi kendala utama.¹ Oleh karena itu, diperlukan kerangka tata kelola terpadu melalui pendekatan marine spatial planning (MSP), ecosystem-based management (EBM), dan one map policy untuk memastikan sinergi antar sektor.² Pembentukan lembaga koordinatif lintas kementerian di bawah kendali langsung presiden juga dapat memperkuat konsistensi kebijakan.

7.2.       Penguatan Regulasi dan Insentif Ekonomi

Kebijakan ekonomi biru memerlukan payung hukum yang kuat, baik dalam bentuk undang-undang, peraturan turunan, maupun kerangka kebijakan sektoral. Selain penegakan hukum atas pelanggaran, pemerintah perlu menciptakan insentif ekonomi untuk mendorong investasi berkelanjutan. Misalnya, melalui skema pajak karbon laut, subsidi hijau, dan pembiayaan biru (blue financing), seperti obligasi laut (blue bonds) dan kemitraan investasi hijau.³ Bank Dunia bahkan mencatat bahwa pembiayaan inovatif menjadi elemen kunci untuk mendanai konservasi dan pembangunan kelautan berkelanjutan.⁴

7.3.       Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Riset Kelautan

Ketersediaan SDM maritim yang berkualitas menjadi prasyarat keberhasilan Blue Economy. Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu memperkuat kurikulum kelautan berkelanjutan, memperluas akses pendidikan vokasi kelautan, dan mendorong pengembangan keterampilan teknologi ramah laut.⁵ Selain itu, peningkatan investasi dalam riset kelautan dan data spasial sangat penting untuk mendukung pengambilan kebijakan berbasis bukti. Kolaborasi dengan perguruan tinggi dan lembaga riset internasional perlu difasilitasi secara intensif.

7.4.       Pemberdayaan Komunitas Pesisir dan Inklusi Sosial

Ekonomi biru yang sukses tidak bisa dilepaskan dari partisipasi aktif masyarakat pesisir, terutama nelayan kecil, perempuan, dan komunitas adat. Pemerintah perlu mengadopsi pendekatan community-based development, memperluas skema perlindungan sosial bagi pekerja sektor informal pesisir, serta memberikan akses terhadap pembiayaan mikro dan pelatihan usaha biru (blue enterprises).⁶ Inklusi sosial ini menjadi pondasi keadilan dalam distribusi manfaat ekonomi laut.

7.5.       Diplomasi Maritim dan Kerja Sama Internasional

Sebagai negara maritim dengan kawasan laut strategis, Indonesia perlu aktif dalam diplomasi kelautan global, termasuk dalam forum seperti High-Level Panel for a Sustainable Ocean Economy, ASEAN Blue Economy Framework, dan UN Ocean Conference. Kerja sama internasional penting untuk transfer teknologi, mobilisasi dana kelautan, dan perlindungan terhadap sumber daya lintas batas.⁷ Indonesia juga dapat memanfaatkan momentum tersebut untuk mendorong pengakuan atas kearifan lokal dan hak-hak masyarakat pesisir dalam kebijakan global.


Footnotes

[1]                Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kajian Pembangunan Ekonomi Biru di Indonesia (Jakarta: Bappenas, 2022), 27.

[2]                Charles Ehler and Fanny Douvere, Marine Spatial Planning: A Step-by-Step Approach Toward Ecosystem-Based Management (Paris: UNESCO/IOC, 2009), 14.

[3]                UN Global Compact, Practical Guidance to Blue Bond Issuers (New York: United Nations, 2021), 9.

[4]                World Bank, Financing the Blue Economy: A Primer on Blue Bonds (Washington, DC: World Bank, 2018), 5.

[5]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peta Jalan Pendidikan Vokasi Kelautan 2021–2025 (Jakarta: Kemdikbudristek, 2021), 12.

[6]                United Nations Development Programme (UNDP), Blue Economy and Inclusive Development: Opportunities and Challenges (New York: UNDP, 2018), 21.

[7]                High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy, Ocean Action 2030: Transformations for a Sustainable Ocean Economy (Washington, DC: World Resources Institute, 2021), 18.


8.           Penutup

Di tengah meningkatnya tekanan terhadap sumber daya laut dan pesisir akibat eksploitasi berlebihan, perubahan iklim, dan polusi, Ekonomi Biru (Blue Economy) hadir sebagai paradigma alternatif yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan. Melalui pendekatan yang berbasis ekosistem, teknologi inovatif, dan tata kelola yang partisipatif, Blue Economy bukan hanya sebuah konsep, tetapi juga solusi konkret untuk pembangunan berkelanjutan abad ke-21.

Seperti yang ditekankan dalam laporan Panel Tingkat Tinggi untuk Ekonomi Laut Berkelanjutan, laut yang sehat bukan sekadar keharusan ekologis, tetapi juga fondasi bagi stabilitas ekonomi dan sosial global.¹ Blue Economy memberikan jalan tengah antara konservasi dan pembangunan, dengan cara mengintegrasikan kepentingan ekonomi, sosial, dan ekologis dalam satu kerangka kebijakan yang sinergis.

Bagi negara seperti Indonesia, dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia dan kekayaan laut yang melimpah, Blue Economy adalah bukan sekadar peluang, melainkan keniscayaan.² Namun, agar potensi ini dapat dioptimalkan, dibutuhkan keseriusan dalam reformasi kebijakan, investasi pada sumber daya manusia, penguatan riset kelautan, serta pemberdayaan masyarakat pesisir yang selama ini termarjinalkan.

Penerapan ekonomi biru juga tidak dapat berjalan tanpa dukungan kerja sama internasional. Masalah-masalah seperti overfishing lintas batas, polusi plastik laut, dan degradasi keanekaragaman hayati laut adalah tantangan global yang menuntut kolaborasi lintas negara, lintas sektor, dan lintas generasi.³ Dalam konteks inilah, Blue Economy dapat menjadi instrumen diplomasi maritim yang mengedepankan solidaritas, keberlanjutan, dan keadilan antar bangsa.

Akhirnya, Blue Economy adalah gambaran masa depan yang ingin kita capai: dunia di mana laut tidak hanya dilihat sebagai sumber daya yang bisa dieksploitasi, tetapi sebagai sistem kehidupan yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Laut yang sehat akan menghasilkan ekonomi yang sehat. Oleh karena itu, keberhasilan ekonomi biru memerlukan komitmen kolektif, kepemimpinan visioner, dan aksi nyata di semua level pemerintahan, sektor swasta, dan masyarakat sipil.⁴ Dengan langkah yang tepat hari ini, kita dapat mewariskan laut yang lebih baik bagi generasi mendatang.


Footnotes

[1]                High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy, Ocean Solutions That Benefit People, Nature and the Economy (Washington, DC: World Resources Institute, 2020), 3.

[2]                Patil, Pawan G., et al., Toward a Blue Economy: A Pathway for Sustainable Growth in Indonesia (Washington, DC: World Bank Group, 2016), 4.

[3]                United Nations Environment Programme, From Pollution to Solution: A Global Assessment of Marine Litter and Plastic Pollution (Nairobi: UNEP, 2021), 5.

[4]                World Bank and United Nations, The Potential of the Blue Economy: Increasing Long-Term Benefits of the Sustainable Use of Marine Resources for Small Island Developing States and Coastal Least Developed Countries (Washington, DC: World Bank, 2017), 18.


Daftar Pustaka

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2020). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024. Jakarta: Bappenas.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2022). Kajian Pembangunan Ekonomi Biru di Indonesia. Jakarta: Bappenas.

Conservation International Indonesia. (2019). Community-Based Marine Conservation in Indonesia. Jakarta: CI Indonesia.

Ehler, C., & Douvere, F. (2009). Marine spatial planning: A step-by-step approach toward ecosystem-based management. Paris: UNESCO/IOC.

Food and Agriculture Organization of the United Nations. (2020). The state of world fisheries and aquaculture 2020: Sustainability in action. Rome: FAO.

Food and Agriculture Organization of the United Nations. (2020). Global study on transshipment: Regulations, practices and monitoring. Rome: FAO.

High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy. (2020). Ocean solutions that benefit people, nature and the economy. Washington, DC: World Resources Institute.

High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy. (2021). Ocean action 2030: Transformations for a sustainable ocean economy. Washington, DC: World Resources Institute.

Intergovernmental Oceanographic Commission of UNESCO. (2020). Global ocean science report 2020: Charting capacity for ocean sustainability. Paris: UNESCO Publishing.

International Maritime Organization. (2018). Initial IMO strategy on reduction of GHG emissions from ships. London: IMO.

International Renewable Energy Agency. (2019). Renewable energy: A gender perspective. Abu Dhabi: IRENA.

Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. (2022). Rencana aksi ekonomi biru Indonesia 2022–2024. Jakarta: KKP RI.

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia. (2015). Dokumen Poros Maritim Dunia. Jakarta: Kemenko Marves.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2021). Peta jalan pendidikan vokasi kelautan 2021–2025. Jakarta: Kemdikbudristek.

Organisation for Economic Co-operation and Development. (2016). The ocean economy in 2030. Paris: OECD Publishing.

Organisation for Economic Co-operation and Development. (2013). Marine biotechnology: Enabling solutions for ocean productivity and sustainability. Paris: OECD Publishing.

Patil, P. G., Virdin, J., Diez, S. M., Roberts, J., & Singh, A. (2016). Toward a blue economy: A pathway for sustainable growth in Indonesia. Washington, DC: World Bank Group.

Sumaila, U. R., et al. (2020). Ocean finance: Financing the transition to a sustainable ocean economy. UNDP & Sustainable Development Solutions Network.

TNI Angkatan Laut. (2021). Kampung Bahari Nusantara: Program sinergi maritim dan sosial. Jakarta: Dinas Potensi Maritim TNI AL.

United Nations. (2015). Transforming our world: The 2030 agenda for sustainable development. New York: United Nations.

United Nations Conference on Trade and Development. (2014). The oceans economy: Opportunities and challenges for small island developing states. New York: United Nations.

United Nations Development Programme. (2018). Blue economy and inclusive development: Opportunities, challenges and the way forward. New York: UNDP.

United Nations Development Programme. (2020). Blue economy and inclusive development: Indonesia country profile. Jakarta: UNDP Indonesia.

United Nations Environment Programme. (2009). Blue carbon: The role of healthy oceans in binding carbon. Nairobi: UNEP.

United Nations Environment Programme. (2013). The economics of ecosystems and biodiversity for water and wetlands. Geneva: UNEP.

United Nations Environment Programme. (2019). Global environment outlook GEO-6: Healthy planet, healthy people. Cambridge: Cambridge University Press.

United Nations Environment Programme. (2021). From pollution to solution: A global assessment of marine litter and plastic pollution. Nairobi: UNEP.

United Nations Global Compact. (2021). Practical guidance to blue bond issuers. New York: United Nations.

United Nations World Tourism Organization. (2013). Sustainable tourism for development guidebook. Madrid: UNWTO.

World Bank. (2018). Financing the blue economy: A primer on blue bonds. Washington, DC: World Bank.

World Bank, & United Nations Department of Economic and Social Affairs. (2017). The potential of the blue economy: Increasing long-term benefits of the sustainable use of marine resources for small island developing states and coastal least developed countries. Washington, DC: World Bank.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar