Blue Economy
Paradigma Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Laut untuk
Masa Depan
Alihkan ke: Ilmu Ekonomi.
Abstrak
Artikel ini membahas secara
komprehensif konsep Ekonomi Biru (Blue Economy) sebagai
paradigma pembangunan berkelanjutan yang berfokus pada pemanfaatan sumber daya
laut secara bertanggung jawab. Ekonomi Biru tidak hanya menjanjikan pertumbuhan
ekonomi, tetapi juga menjaga kesehatan ekosistem laut dan mendukung keadilan
sosial, khususnya bagi komunitas pesisir. Pembahasan mencakup definisi dan
prinsip dasar Blue Economy menurut lembaga-lembaga internasional, pilar-pilar
utama seperti perikanan berkelanjutan, energi terbarukan laut, konservasi
ekosistem, dan bioteknologi maritim, serta manfaatnya bagi ketahanan pangan,
penciptaan lapangan kerja, dan mitigasi perubahan iklim. Artikel ini juga
mengulas tantangan implementasi Blue Economy, termasuk lemahnya tata kelola,
konflik ruang laut, dan keterbatasan data. Fokus khusus diberikan pada konteks
Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki potensi besar namun menghadapi
tantangan struktural dalam mengembangkan ekonomi biru. Sebagai penutup, artikel
menawarkan strategi implementasi dan rekomendasi kebijakan untuk mewujudkan
Blue Economy yang berkelanjutan melalui integrasi lintas sektor, penguatan
regulasi, pemberdayaan masyarakat pesisir, serta kerja sama internasional.
Artikel ini diharapkan dapat menjadi landasan konseptual dan praktis bagi
perumus kebijakan, akademisi, dan pelaku pembangunan maritim.
Kata Kunci: Ekonomi Biru, Pembangunan
Berkelanjutan, Laut dan Pesisir, Tata Kelola Kelautan, Indonesia, Konservasi
Laut, Blue Economy, SDGs.
PEMBAHASAN
Menelusuri Blue Economy Berdasarkan Referensi
Kredibel
1.
Pendahuluan
Lautan mencakup
lebih dari 70% permukaan bumi dan merupakan sistem pendukung kehidupan yang
sangat penting bagi umat manusia. Ia menyediakan oksigen, mengatur iklim,
menjadi jalur utama perdagangan global, serta sumber mata pencaharian bagi
lebih dari tiga miliar orang di dunia, terutama di negara-negara berkembang
yang bergantung pada sumber daya laut dan pesisir untuk penghidupan mereka
sehari-hari.1 Laut juga merupakan rumah bagi keanekaragaman hayati
yang luar biasa, menyediakan pangan, energi, dan bahan baku industri yang
berkontribusi signifikan terhadap perekonomian global.
Namun demikian,
ekosistem laut saat ini menghadapi tekanan yang semakin serius akibat
eksploitasi berlebihan, polusi, perubahan iklim, dan pembangunan yang tidak
terkelola secara berkelanjutan. Laporan United Nations Environment Programme
(UNEP) memperkirakan bahwa sekitar 60% ekosistem pesisir dunia telah mengalami
degradasi parah akibat aktivitas manusia, seperti reklamasi, penangkapan ikan
yang berlebihan, dan pencemaran limbah industri maupun domestik.2
Selain itu, kenaikan suhu laut dan pengasaman akibat emisi karbon dioksida
telah menyebabkan kerusakan pada terumbu karang dan gangguan terhadap rantai
makanan laut.3
Dalam konteks
tantangan global tersebut, konsep Ekonomi Biru (Blue Economy)
muncul sebagai pendekatan baru dalam pengelolaan sumber daya laut yang tidak
hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menekankan
keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial. Menurut definisi World Bank,
Ekonomi Biru adalah “pemanfaatan berkelanjutan sumber daya laut untuk
pertumbuhan ekonomi, peningkatan mata pencaharian, dan penciptaan lapangan
kerja, sambil tetap menjaga kesehatan ekosistem laut dan pesisir.”_4
Konsep ini menggeser
paradigma pembangunan maritim dari yang bersifat eksploitatif menjadi
regeneratif, dengan menempatkan keberlanjutan sebagai inti kebijakan dan
praktik ekonomi di wilayah pesisir dan laut. Selain itu, Blue Economy juga
dianggap mampu mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development Goals/SDGs), khususnya tujuan ke-14 yaitu “Life
Below Water”, yang menekankan perlindungan dan pemanfaatan
berkelanjutan ekosistem laut.5
Oleh karena itu,
penting bagi negara-negara, termasuk Indonesia sebagai negara kepulauan
terbesar di dunia, untuk memahami, mengembangkan, dan mengimplementasikan
prinsip-prinsip Ekonomi Biru secara strategis. Dengan pendekatan yang tepat,
Blue Economy dapat menjadi paradigma pembangunan masa depan yang tidak hanya
memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga menjaga keberlanjutan lingkungan laut
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Footnotes
[1]
Food and Agriculture Organization of the United Nations, The State
of World Fisheries and Aquaculture 2020: Sustainability in Action (Rome:
FAO, 2020), 4.
[2]
United Nations Environment Programme, Global Environment Outlook
GEO-6: Healthy Planet, Healthy People (Cambridge: Cambridge University
Press, 2019), 235.
[3]
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Special Report on
the Ocean and Cryosphere in a Changing Climate (Geneva: IPCC, 2019), 11.
[4]
World Bank and United Nations Department of Economic and Social
Affairs, The Potential of the Blue Economy: Increasing Long-Term Benefits
of the Sustainable Use of Marine Resources for Small Island Developing States
and Coastal Least Developed Countries (Washington, DC: World Bank, 2017),
vi.
[5]
United Nations, Transforming Our World: The 2030 Agenda for
Sustainable Development (New York: United Nations, 2015), Goal 14.
2.
Definisi dan Konsep Dasar Blue Economy
Konsep Ekonomi
Biru (Blue Economy) lahir sebagai respons terhadap kebutuhan
mendesak untuk menjadikan sektor kelautan sebagai pilar pembangunan yang
berkelanjutan. Pada dasarnya, istilah ini mencerminkan sebuah pendekatan baru
yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dari sumber daya laut, tetapi
juga menempatkan keberlanjutan lingkungan dan inklusi sosial sebagai komponen
utamanya.
Menurut World
Bank, Blue Economy didefinisikan sebagai “pemanfaatan
berkelanjutan dari sumber daya laut untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan mata
pencaharian, dan penciptaan lapangan kerja, sambil menjaga kesehatan ekosistem
laut.”_¹ Definisi ini menekankan pentingnya keseimbangan antara pembangunan
ekonomi dan konservasi lingkungan. Dalam konteks ini, laut tidak hanya
dipandang sebagai sumber komoditas, tetapi juga sebagai sistem ekologi yang
harus dijaga keberlangsungannya.
United
Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD)
menambahkan bahwa Blue Economy adalah “ekonomi yang menumbuhkan
kesejahteraan manusia dan keadilan sosial, sekaligus mengurangi risiko
lingkungan dan kelangkaan ekologi.”_² Pendekatan ini mengintegrasikan
dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam kebijakan pembangunan kelautan.
Dengan kata lain, Blue Economy adalah bagian dari visi pembangunan yang inklusif,
adil, dan ekologis.
Dalam literatur
kebijakan global, sering kali terjadi tumpang tindih antara istilah Blue
Economy, Green Economy, dan Ocean Economy. Meski saling berkaitan, ketiganya memiliki fokus yang
berbeda. Green Economy lebih menekankan
transisi menuju pembangunan rendah karbon dan efisien sumber daya di berbagai
sektor, termasuk sektor darat dan laut. Ocean Economy, di sisi lain,
merujuk secara sempit pada seluruh kegiatan ekonomi yang berasal dari laut
tanpa selalu mempertimbangkan keberlanjutan.³ Adapun Blue Economy menempatkan
keberlanjutan ekologis sebagai fondasi, bukan hanya sebagai pelengkap.
Laporan dari Organisation
for Economic Co-operation and Development (OECD) menegaskan
bahwa Blue Economy mencakup berbagai sektor kelautan seperti perikanan,
pariwisata bahari, transportasi laut, energi terbarukan lepas pantai, dan
bioteknologi laut, yang semuanya harus dikembangkan dalam kerangka tata kelola
yang ramah lingkungan dan inklusif.⁴ Dengan demikian, Blue Economy bukan
sekadar kegiatan ekonomi, tetapi juga sebuah paradigma pembangunan yang
menyeluruh.
Konsep ini juga
menjadi semakin penting seiring meningkatnya tekanan terhadap ekosistem laut
akibat pertumbuhan penduduk, industrialisasi, dan perubahan iklim. Blue Economy
hadir sebagai solusi untuk membangun masa depan laut yang produktif sekaligus
terlindungi. Ia tidak hanya bertujuan menjaga keberlanjutan lingkungan, tetapi
juga memastikan bahwa manfaat ekonomi laut dapat dirasakan oleh masyarakat
lokal secara adil dan berkelanjutan.⁵
Footnotes
[1]
World Bank and United Nations Department of Economic and Social
Affairs, The Potential of the Blue Economy: Increasing Long-Term Benefits
of the Sustainable Use of Marine Resources for Small Island Developing States
and Coastal Least Developed Countries (Washington, DC: World Bank, 2017),
vi.
[2]
United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), The
Oceans Economy: Opportunities and Challenges for Small Island Developing States
(New York: United Nations, 2014), 1.
[3]
Sumaila, U. Rashid, et al. “Ocean Finance: Financing the Transition to
a Sustainable Ocean Economy.” UNDP & Sustainable Development Solutions
Network (2020): 6.
[4]
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), The
Ocean Economy in 2030 (Paris: OECD Publishing, 2016), 15.
[5]
Patil, Pawan G., et al., Toward a Blue Economy: A Pathway for
Sustainable Growth in Indonesia (Washington, DC: World Bank Group, 2016),
8.
3.
Pilar-Pilar Utama Ekonomi Biru
Ekonomi Biru (Blue
Economy) merupakan kerangka pembangunan kelautan yang holistik dan
multidimensional. Untuk menjalankan prinsip-prinsip keberlanjutan secara
konkret, Blue Economy dikembangkan melalui sejumlah pilar
utama yang menjadi sektor strategis. Pilar-pilar ini tidak
berdiri sendiri, melainkan saling terkait dalam upaya menjaga keseimbangan
antara manfaat ekonomi dan perlindungan lingkungan laut.
3.1.
Perikanan
Berkelanjutan
Perikanan merupakan
tulang punggung ekonomi kelautan di banyak negara, termasuk Indonesia. Namun,
praktik penangkapan ikan yang berlebihan dan destruktif telah mengancam stok
ikan global. Laporan FAO menyatakan bahwa sekitar 34% stok ikan dunia ditangkap
secara berlebihan, melampaui batas keberlanjutan biologisnya.¹ Oleh karena itu,
pendekatan Blue Economy menekankan praktik penangkapan ikan yang bertanggung jawab,
pemulihan stok ikan, serta perlindungan habitat penting seperti terumbu karang
dan hutan bakau.
3.2.
Energi Laut Terbarukan
Laut menyimpan
potensi besar sebagai sumber energi terbarukan, seperti
energi gelombang, pasang surut, dan angin lepas pantai. International Renewable
Energy Agency (IRENA) mencatat bahwa pengembangan energi laut tidak hanya membantu
mengurangi emisi karbon, tetapi juga membuka lapangan kerja dan meningkatkan
ketahanan energi di wilayah pesisir.² Negara-negara maju seperti Inggris,
Prancis, dan China telah mengembangkan teknologi ini secara progresif,
sementara negara berkembang mulai merintis pemanfaatannya.
3.3.
Ekowisata Bahari dan
Pariwisata Berkelanjutan
Sektor pariwisata
bahari menawarkan peluang ekonomi besar, namun dapat menjadi ancaman jika tidak
dikelola secara berkelanjutan. Ekowisata bahari dalam konteks Blue Economy mendorong
pengembangan pariwisata yang menghormati kearifan lokal, menjaga kelestarian
ekosistem, dan melibatkan masyarakat pesisir sebagai pelaku utama.³ Model
ekowisata yang sukses, seperti konservasi hiu paus di Teluk Cenderawasih atau
wisata berbasis komunitas di Raja Ampat, membuktikan bahwa pendekatan ini dapat
menghasilkan manfaat ekonomi sekaligus menjaga alam.
3.4.
Transportasi Laut
Ramah Lingkungan
Transportasi laut
merupakan tulang punggung perdagangan global, namun juga menjadi kontributor
signifikan emisi gas rumah kaca dan pencemaran laut. Blue Economy mendorong
transformasi sektor ini melalui penggunaan bahan bakar rendah emisi,
digitalisasi pelayaran, dan peningkatan efisiensi pelabuhan.⁴ Inisiatif seperti
International Maritime Organization (IMO) Strategy on GHG Emissions menjadi
panduan global dalam mengurangi jejak karbon sektor maritim.
3.5.
Konservasi dan
Restorasi Ekosistem Laut
Keberhasilan Blue
Economy bergantung pada keutuhan ekosistem laut. Oleh
karena itu, konservasi laut — melalui pembentukan Kawasan Konservasi Laut
(KKL), restorasi terumbu karang, dan rehabilitasi mangrove — menjadi pilar
penting. Data UNEP menunjukkan bahwa setiap dolar yang diinvestasikan untuk
konservasi mangrove dapat menghasilkan manfaat ekonomi senilai USD 3–10 dalam jangka
panjang.⁵
3.6.
Bioteknologi Kelautan
dan Inovasi Biru
Blue Economy juga
mencakup pengembangan bioteknologi kelautan, seperti
eksplorasi organisme laut untuk farmasi, pangan, dan kosmetik. Potensi laut
dalam sebagai sumber genetik dan biokimiawi belum sepenuhnya tergali, padahal
dapat membuka cakrawala baru dalam inovasi sains dan industri ramah
lingkungan.⁶ Pemanfaatan ini harus dilakukan secara hati-hati dalam kerangka
etika dan konservasi.
Footnotes
[1]
Food and Agriculture Organization of the United Nations, The State
of World Fisheries and Aquaculture 2020: Sustainability in Action (Rome:
FAO, 2020), 7.
[2]
International Renewable Energy Agency (IRENA), Renewable Energy: A
Gender Perspective (Abu Dhabi: IRENA, 2019), 18.
[3]
United Nations World Tourism Organization (UNWTO), Sustainable
Tourism for Development Guidebook (Madrid: UNWTO, 2013), 85.
[4]
International Maritime Organization, Initial IMO Strategy on
Reduction of GHG Emissions from Ships (London: IMO, 2018), 3.
[5]
United Nations Environment Programme, The Economics of Ecosystems
and Biodiversity for Water and Wetlands (Geneva: UNEP, 2013), 44.
[6]
OECD, Marine Biotechnology: Enabling Solutions for Ocean
Productivity and Sustainability (Paris: OECD Publishing, 2013), 12.
4.
Manfaat dan Potensi Blue Economy
Implementasi ekonomi
biru (Blue Economy) memiliki potensi besar untuk mentransformasikan cara
manusia memanfaatkan laut secara berkelanjutan. Tidak hanya menjanjikan
pertumbuhan ekonomi, Blue Economy juga mampu memberikan manfaat ekologis dan
sosial yang luas. Dalam konteks global dan nasional, potensi ini mencakup
beberapa aspek utama berikut:
4.1.
Kontribusi terhadap
Pertumbuhan Ekonomi
Sektor kelautan
telah menjadi penyumbang signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) banyak
negara. Menurut laporan OECD, nilai ekonomi kelautan
global diperkirakan mencapai USD 1,5 triliun per tahun dan dapat meningkat
menjadi lebih dari USD 3 triliun pada tahun 2030 jika dikelola secara
berkelanjutan.¹ Di Indonesia, sektor kelautan menyumbang sekitar 6–7% terhadap
PDB nasional, dengan potensi yang masih belum tergali optimal, terutama dari
sektor pariwisata bahari, energi laut, dan perikanan bernilai tambah.²
4.2.
Penciptaan Lapangan
Kerja Ramah Lingkungan
Ekonomi biru
mendukung penciptaan lapangan kerja hijau (green jobs)
di berbagai sektor, seperti perikanan berkelanjutan, konservasi laut,
pembangunan infrastruktur pelabuhan hijau, dan industri energi terbarukan.
Laporan World Bank menunjukkan bahwa investasi dalam sektor-sektor Blue Economy
dapat menciptakan peluang kerja yang inklusif, khususnya bagi masyarakat
pesisir yang selama ini rentan secara ekonomi.³ Sektor pariwisata bahari
berbasis komunitas, misalnya, mampu menyerap tenaga kerja lokal secara langsung
sekaligus menggerakkan ekonomi mikro.
4.3.
Ketahanan Pangan dan Energi
Dengan populasi
global yang terus meningkat, laut menjadi sumber penting untuk menjamin ketahanan
pangan melalui perikanan dan akuakultur yang berkelanjutan. FAO
menyebutkan bahwa perikanan dan budidaya laut saat ini menyediakan lebih dari
20% kebutuhan protein hewani bagi lebih dari 3 miliar orang.⁴ Selain itu,
pengembangan energi laut terbarukan seperti
pasang surut dan gelombang dapat meningkatkan ketahanan energi, khususnya di
wilayah terpencil yang sulit dijangkau jaringan listrik konvensional.
4.4.
Konservasi
Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem
Salah satu manfaat
utama dari pendekatan Blue Economy adalah tercapainya konservasi dan restorasi
ekosistem laut secara aktif. Kawasan konservasi laut tidak hanya melindungi
biodiversitas, tetapi juga meningkatkan produktivitas perikanan melalui efek
"spill-over" ke wilayah sekitarnya.⁵ Restorasi habitat seperti
mangrove dan padang lamun juga memberikan layanan ekosistem penting seperti
perlindungan pantai dari abrasi dan penyerapan karbon biru (blue carbon), yang
sangat penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
4.5.
Peran dalam Mitigasi
dan Adaptasi Perubahan Iklim
Ekosistem pesisir
seperti mangrove, rawa asin, dan padang lamun memiliki kemampuan menyerap
karbon lima kali lebih besar dibandingkan hutan darat.⁶ Dalam kerangka Blue
Economy, pelestarian dan pemulihan ekosistem ini menjadi strategi utama dalam
mitigasi perubahan iklim. Selain itu, pendekatan ekonomi biru juga
memfasilitasi adaptasi masyarakat pesisir,
melalui pembangunan infrastruktur tahan iklim, sistem peringatan dini, dan
diversifikasi sumber mata pencaharian.
Footnotes
[1]
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), The
Ocean Economy in 2030 (Paris: OECD Publishing, 2016), 10.
[2]
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Rencana Aksi
Ekonomi Biru Indonesia (Jakarta: KKP RI, 2022), 5.
[3]
World Bank and United Nations, The Potential of the Blue Economy:
Increasing Long-Term Benefits of the Sustainable Use of Marine Resources for
Small Island Developing States and Coastal Least Developed Countries
(Washington, DC: World Bank, 2017), 13.
[4]
Food and Agriculture Organization of the United Nations, The State
of World Fisheries and Aquaculture 2020: Sustainability in Action (Rome:
FAO, 2020), 8.
[5]
United Nations Environment Programme, Blue Carbon: The Role of
Healthy Oceans in Binding Carbon (Nairobi: UNEP, 2009), 6.
[6]
Herr, Dorothée, Emily Pidgeon, and Dan Laffoley, Blue Carbon Policy
Framework: Towards Inclusion of Coastal Ecosystem in Climate Change Policies
(Arlington: Conservation International, 2011), 4.
5.
Tantangan dan Isu Strategis
Meskipun konsep Ekonomi
Biru menjanjikan transformasi positif bagi pembangunan
berkelanjutan berbasis laut, implementasinya tidak lepas dari berbagai
tantangan dan isu strategis. Hambatan-hambatan ini bersifat multidimensional
dan memerlukan pendekatan lintas sektor, lintas wilayah, serta dukungan
kebijakan yang komprehensif. Berikut adalah tantangan utama yang dihadapi dalam
penerapan Blue Economy, baik di level global maupun nasional:
5.1.
Keterbatasan Data dan
Riset Kelautan
Kebijakan berbasis
bukti (evidence-based policy) sangat bergantung pada data yang akurat dan
sistem riset yang memadai. Namun, sektor kelautan masih menghadapi kendala
serius dalam hal keterbatasan data spasial, stok sumber daya,
dan dinamika ekosistem laut. Banyak wilayah pesisir belum
terpetakan secara detail, dan data mengenai keanekaragaman hayati laut maupun
potensi bioteknologi kelautan masih sangat terbatas.¹ Kurangnya investasi dalam
riset dan pengembangan (litbang) juga menghambat pengambilan kebijakan yang
adaptif dan akurat.
5.2.
Lemahnya Penegakan
Hukum dan Tata Kelola
Isu governance
menjadi persoalan krusial dalam pengelolaan laut. Praktik penangkapan ikan
ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (Illegal, Unreported, and Unregulated
Fishing/IUU Fishing) masih marak terjadi, merugikan negara
secara ekonomi dan ekologis.² Selain itu, tumpang tindih kewenangan
antarinstansi, minimnya koordinasi lintas sektor, serta lemahnya pengawasan
lapangan memperparah situasi ini. Penegakan hukum yang inkonsisten juga
melemahkan kepercayaan masyarakat dan pelaku usaha terhadap sistem pengelolaan
kelautan.
5.3.
Konflik Pemanfaatan
Ruang Laut
Dengan bertambahnya
sektor yang memanfaatkan laut—mulai dari perikanan, energi, pariwisata, hingga
pelayaran—konflik ruang laut menjadi isu
strategis yang semakin kompleks. Ketiadaan sistem tata ruang laut yang
terintegrasi (marine spatial planning/MSP) seringkali menyebabkan konflik
antara pemangku kepentingan, baik di tingkat lokal maupun nasional.³ Hal ini
dapat berdampak pada kerusakan ekosistem dan terganggunya kegiatan ekonomi yang
bergantung pada kestabilan laut.
5.4.
Ketimpangan Akses dan
Distribusi Manfaat Ekonomi
Salah satu prinsip
dasar Blue Economy adalah inklusivitas sosial, namun
dalam praktiknya masih terjadi ketimpangan dalam akses dan distribusi manfaat.
Masyarakat pesisir, terutama kelompok nelayan kecil dan perempuan, sering kali
tidak mendapatkan manfaat proporsional dari proyek-proyek kelautan.⁴ Tanpa
intervensi kebijakan afirmatif, Blue Economy berisiko melestarikan ketimpangan
struktural dan memperbesar kesenjangan sosial-ekonomi.
5.5.
Degradasi Lingkungan
dan Dampak Perubahan Iklim
Laut saat ini berada
dalam kondisi tertekan akibat pencemaran plastik, tumpahan minyak, sedimentasi,
dan limbah industri.⁵ Selain itu, dampak perubahan iklim seperti
kenaikan permukaan laut, pengasaman laut, dan meningkatnya suhu air laut telah
menyebabkan kerusakan ekosistem seperti terumbu karang dan padang lamun.
Isu-isu ini memerlukan penanganan lintas batas dan integrasi antara kebijakan
iklim dan kebijakan pembangunan kelautan.
Footnotes
[1]
Intergovernmental Oceanographic Commission of UNESCO, Global Ocean
Science Report 2020: Charting Capacity for Ocean Sustainability (Paris:
UNESCO Publishing, 2020), 15.
[2]
Food and Agriculture Organization of the United Nations, Global
Study on Transshipment: Regulations, Practices and Monitoring (Rome: FAO,
2020), 9.
[3]
Ehler, Charles, and Fanny Douvere, Marine Spatial Planning: A
Step-by-Step Approach toward Ecosystem-Based Management (Paris: UNESCO/IOC
Manual and Guides, 2009), 18.
[4]
United Nations Development Programme (UNDP), Blue Economy and
Inclusive Development: Opportunities, Challenges and the Way Forward (New
York: UNDP, 2018), 21.
[5]
United Nations Environment Programme, From Pollution to Solution: A
Global Assessment of Marine Litter and Plastic Pollution (Nairobi: UNEP,
2021), 3.
6.
Blue Economy dalam Konteks Indonesia
Sebagai negara
kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki posisi strategis dalam
implementasi ekonomi biru (Blue Economy). Wilayah laut
Indonesia yang luas—mencapai sekitar 6,4 juta km² termasuk Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE)—menyimpan kekayaan sumber daya alam dan jasa lingkungan yang
sangat besar. Posisi ini tidak hanya memberikan potensi ekonomi luar biasa,
tetapi juga tanggung jawab besar dalam menjaga keberlanjutan ekosistem laut
regional dan global.
6.1.
Visi Maritim dan
Komitmen Nasional
Pemerintah Indonesia
telah menunjukkan komitmen kuat terhadap pengembangan Blue Economy melalui
berbagai kebijakan strategis. Visi “Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia”
yang dicanangkan sejak 2014 merupakan fondasi untuk menempatkan sektor kelautan
sebagai pusat pembangunan nasional.¹ Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2020–2024, pembangunan kelautan diarahkan untuk memperkuat
konektivitas maritim, pelestarian sumber daya, serta pemberdayaan masyarakat
pesisir.²
Pada tahun 2022, Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) meluncurkan Rencana
Aksi Ekonomi Biru yang berfokus pada lima program prioritas:
perluasan kawasan konservasi laut, penangkapan ikan terukur berbasis kuota,
pengembangan budidaya laut berkelanjutan, pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil, serta pengelolaan sampah plastik laut.³ Pendekatan ini
menunjukkan pergeseran kebijakan dari eksploitasi sumber daya menuju
pengelolaan yang berbasis konservasi dan keberlanjutan.
6.2.
Potensi Sumber Daya
Laut Indonesia
Indonesia memiliki
potensi sumber daya kelautan yang sangat besar, mulai dari perikanan
tangkap dan budidaya, pariwisata bahari, energi
laut, hingga bioteknologi kelautan. Potensi
nilai ekonomi sektor kelautan Indonesia diperkirakan mencapai USD 1,33
triliun per tahun, dengan sektor perikanan dan pariwisata
menjadi kontributor terbesar.⁴ Namun demikian, hingga kini pemanfaatan potensi
tersebut belum optimal karena kendala regulasi, infrastruktur, dan kapasitas
SDM.
6.3.
Praktik Baik dan
Inisiatif Lokal
Berbagai inisiatif
lokal menunjukkan bahwa pendekatan Blue Economy dapat diimplementasikan secara
efektif di tingkat komunitas. Contohnya adalah pengelolaan kawasan konservasi laut berbasis
masyarakat di Wakatobi dan Raja Ampat, yang telah terbukti
mampu meningkatkan populasi ikan karang sekaligus mendukung ekonomi lokal
melalui ekowisata.⁵ Selain itu, program Kampung Bahari Nusantara (TNI AL)
dan Desa
Wisata Bahari turut memperkuat integrasi antara pelestarian
lingkungan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir.⁶
6.4.
Tantangan Khusus
Indonesia
Meski memiliki
potensi besar, implementasi Blue Economy di Indonesia menghadapi tantangan
kompleks, seperti tumpang tindih regulasi antarinstansi, degradasi lingkungan
akibat kegiatan industri pesisir, serta konflik ruang laut antara sektor
ekonomi dan konservasi.⁷ Selain itu, tingkat kemiskinan dan kerentanan
masyarakat pesisir masih menjadi persoalan struktural yang memerlukan
pendekatan pembangunan inklusif dan berkeadilan.
6.5.
Arah Masa Depan
Masa depan Blue
Economy di Indonesia bergantung pada keberhasilan integrasi antara ilmu
pengetahuan, kebijakan, dan pemberdayaan masyarakat. Peningkatan investasi di
bidang riset kelautan, pengembangan teknologi ramah lingkungan, serta kerjasama
internasional di bidang pengelolaan laut menjadi kunci sukses implementasi Blue
Economy yang berkelanjutan. Sebagai negara yang tergabung dalam berbagai forum
internasional seperti Our Ocean Conference dan High-Level
Panel for a Sustainable Ocean Economy, Indonesia memiliki
peluang besar untuk memainkan peran sebagai pemimpin regional dalam
transformasi ekonomi maritim yang berkelanjutan.⁸
Footnotes
[1]
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik
Indonesia, Dokumen Poros Maritim Dunia (Jakarta: Kemenko Marves,
2015), 3.
[2]
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 (Jakarta: Bappenas,
2020), 242.
[3]
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Rencana Aksi
Ekonomi Biru Indonesia 2022–2024 (Jakarta: KKP RI, 2022), 6.
[4]
Patil, Pawan G., et al., Toward a Blue Economy: A Pathway for
Sustainable Growth in Indonesia (Washington, DC: World Bank Group, 2016),
4.
[5]
Conservation International Indonesia, Community-Based Marine
Conservation in Indonesia (Jakarta: CI Indonesia, 2019), 12.
[6]
TNI Angkatan Laut, Kampung Bahari Nusantara: Program Sinergi
Maritim dan Sosial (Jakarta: Dinas Potensi Maritim TNI AL, 2021), 5.
[7]
United Nations Development Programme (UNDP), Blue Economy and
Inclusive Development: Indonesia Country Profile (Jakarta: UNDP Indonesia,
2020), 18.
[8]
High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy, Ocean Solutions
That Benefit People, Nature and the Economy (Washington, DC: World
Resources Institute, 2020), 30.
7.
Strategi Implementasi dan Rekomendasi Kebijakan
Keberhasilan
penerapan ekonomi biru (Blue Economy) tidak hanya bergantung pada besarnya
potensi sumber daya kelautan, tetapi juga pada efektivitas strategi
implementasi dan kebijakan pendukungnya. Mengingat kompleksitas
sektor kelautan yang melibatkan banyak aktor dan sektor, pendekatan strategis
harus dilakukan secara integratif, adaptif, dan kolaboratif.
Berikut adalah strategi implementasi utama serta rekomendasi kebijakan yang
relevan untuk mewujudkan Blue Economy secara berkelanjutan:
7.1.
Integrasi Lintas
Sektor dan Tata Kelola yang Koheren
Pembangunan ekonomi
biru menuntut koordinasi lintas sektor seperti perikanan, energi, pariwisata,
pelayaran, konservasi, dan riset. Saat ini, tumpang tindih kebijakan dan
lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintah masih menjadi kendala utama.¹ Oleh
karena itu, diperlukan kerangka tata kelola terpadu
melalui pendekatan marine spatial planning (MSP), ecosystem-based
management (EBM), dan one map policy untuk memastikan
sinergi antar sektor.² Pembentukan lembaga koordinatif lintas kementerian di
bawah kendali langsung presiden juga dapat memperkuat konsistensi kebijakan.
7.2.
Penguatan Regulasi dan
Insentif Ekonomi
Kebijakan ekonomi
biru memerlukan payung hukum yang kuat, baik
dalam bentuk undang-undang, peraturan turunan, maupun kerangka kebijakan
sektoral. Selain penegakan hukum atas pelanggaran, pemerintah perlu menciptakan
insentif ekonomi untuk mendorong investasi berkelanjutan. Misalnya, melalui skema
pajak karbon laut, subsidi hijau, dan pembiayaan
biru (blue financing), seperti obligasi laut (blue
bonds) dan kemitraan investasi hijau.³ Bank Dunia bahkan mencatat
bahwa pembiayaan inovatif menjadi elemen kunci untuk mendanai konservasi dan
pembangunan kelautan berkelanjutan.⁴
7.3.
Pengembangan Sumber
Daya Manusia dan Riset Kelautan
Ketersediaan SDM
maritim yang berkualitas menjadi prasyarat keberhasilan Blue Economy.
Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu memperkuat kurikulum
kelautan berkelanjutan, memperluas akses pendidikan vokasi
kelautan, dan mendorong pengembangan keterampilan teknologi ramah laut.⁵ Selain
itu, peningkatan investasi dalam riset kelautan dan data spasial
sangat penting untuk mendukung pengambilan kebijakan berbasis bukti. Kolaborasi
dengan perguruan tinggi dan lembaga riset internasional perlu difasilitasi
secara intensif.
7.4.
Pemberdayaan Komunitas
Pesisir dan Inklusi Sosial
Ekonomi biru yang
sukses tidak bisa dilepaskan dari partisipasi aktif masyarakat pesisir,
terutama nelayan kecil, perempuan, dan komunitas adat. Pemerintah perlu
mengadopsi pendekatan community-based development,
memperluas skema perlindungan sosial bagi pekerja sektor informal pesisir,
serta memberikan akses terhadap pembiayaan mikro dan pelatihan usaha biru (blue
enterprises).⁶ Inklusi sosial ini menjadi pondasi keadilan dalam distribusi
manfaat ekonomi laut.
7.5.
Diplomasi Maritim dan
Kerja Sama Internasional
Sebagai negara
maritim dengan kawasan laut strategis, Indonesia perlu aktif dalam diplomasi
kelautan global, termasuk dalam forum seperti High-Level Panel
for a Sustainable Ocean Economy, ASEAN Blue Economy Framework, dan UN Ocean
Conference. Kerja sama internasional penting untuk transfer teknologi,
mobilisasi dana kelautan, dan perlindungan terhadap sumber daya lintas batas.⁷
Indonesia juga dapat memanfaatkan momentum tersebut untuk mendorong pengakuan
atas kearifan lokal dan hak-hak masyarakat pesisir dalam kebijakan global.
Footnotes
[1]
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kajian
Pembangunan Ekonomi Biru di Indonesia (Jakarta: Bappenas, 2022), 27.
[2]
Charles Ehler and Fanny Douvere, Marine Spatial Planning: A
Step-by-Step Approach Toward Ecosystem-Based Management (Paris:
UNESCO/IOC, 2009), 14.
[3]
UN Global Compact, Practical Guidance to Blue Bond Issuers
(New York: United Nations, 2021), 9.
[4]
World Bank, Financing the Blue Economy: A Primer on Blue Bonds
(Washington, DC: World Bank, 2018), 5.
[5]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Peta Jalan Pendidikan Vokasi Kelautan 2021–2025 (Jakarta:
Kemdikbudristek, 2021), 12.
[6]
United Nations Development Programme (UNDP), Blue Economy and
Inclusive Development: Opportunities and Challenges (New York: UNDP,
2018), 21.
[7]
High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy, Ocean Action
2030: Transformations for a Sustainable Ocean Economy (Washington, DC:
World Resources Institute, 2021), 18.
8.
Penutup
Di tengah
meningkatnya tekanan terhadap sumber daya laut dan pesisir akibat eksploitasi
berlebihan, perubahan iklim, dan polusi, Ekonomi Biru (Blue Economy)
hadir sebagai paradigma alternatif yang menjanjikan pertumbuhan
ekonomi yang inklusif sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan.
Melalui pendekatan yang berbasis ekosistem, teknologi inovatif, dan tata kelola
yang partisipatif, Blue Economy bukan hanya sebuah konsep, tetapi juga solusi
konkret untuk pembangunan berkelanjutan abad ke-21.
Seperti yang
ditekankan dalam laporan Panel Tingkat Tinggi untuk Ekonomi Laut Berkelanjutan,
laut yang sehat bukan sekadar keharusan ekologis, tetapi juga fondasi
bagi stabilitas ekonomi dan sosial global.¹ Blue Economy
memberikan jalan tengah antara konservasi dan pembangunan, dengan cara
mengintegrasikan kepentingan ekonomi, sosial, dan ekologis dalam satu kerangka
kebijakan yang sinergis.
Bagi negara seperti
Indonesia, dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia dan kekayaan laut yang
melimpah, Blue Economy adalah bukan sekadar peluang, melainkan keniscayaan.²
Namun, agar potensi ini dapat dioptimalkan, dibutuhkan keseriusan dalam
reformasi kebijakan, investasi pada sumber daya manusia, penguatan riset
kelautan, serta pemberdayaan masyarakat pesisir yang selama ini termarjinalkan.
Penerapan ekonomi
biru juga tidak dapat berjalan tanpa dukungan kerja sama internasional.
Masalah-masalah seperti overfishing lintas batas, polusi plastik laut, dan
degradasi keanekaragaman hayati laut adalah tantangan global yang menuntut
kolaborasi lintas negara, lintas sektor, dan lintas generasi.³ Dalam konteks
inilah, Blue Economy dapat menjadi instrumen diplomasi maritim yang
mengedepankan solidaritas, keberlanjutan, dan keadilan antar bangsa.
Akhirnya, Blue
Economy adalah gambaran masa depan yang ingin kita capai: dunia
di mana laut tidak hanya dilihat sebagai sumber daya yang bisa dieksploitasi,
tetapi sebagai sistem kehidupan yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab.
Laut yang sehat akan menghasilkan ekonomi yang sehat. Oleh karena itu,
keberhasilan ekonomi biru memerlukan komitmen kolektif, kepemimpinan visioner, dan
aksi nyata di semua level pemerintahan, sektor swasta, dan masyarakat sipil.⁴
Dengan langkah yang tepat hari ini, kita dapat mewariskan laut yang lebih baik
bagi generasi mendatang.
Footnotes
[1]
High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy, Ocean Solutions
That Benefit People, Nature and the Economy (Washington, DC: World
Resources Institute, 2020), 3.
[2]
Patil, Pawan G., et al., Toward a Blue Economy: A Pathway for
Sustainable Growth in Indonesia (Washington, DC: World Bank Group, 2016),
4.
[3]
United Nations Environment Programme, From Pollution to Solution: A
Global Assessment of Marine Litter and Plastic Pollution (Nairobi: UNEP,
2021), 5.
[4]
World Bank and United Nations, The Potential of the Blue Economy:
Increasing Long-Term Benefits of the Sustainable Use of Marine Resources for
Small Island Developing States and Coastal Least Developed Countries
(Washington, DC: World Bank, 2017), 18.
Daftar Pustaka
Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional. (2020). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2020–2024. Jakarta: Bappenas.
Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional. (2022). Kajian Pembangunan Ekonomi Biru di Indonesia.
Jakarta: Bappenas.
Conservation International
Indonesia. (2019). Community-Based Marine Conservation in Indonesia.
Jakarta: CI Indonesia.
Ehler, C., & Douvere,
F. (2009). Marine spatial planning: A step-by-step approach toward
ecosystem-based management. Paris: UNESCO/IOC.
Food and Agriculture
Organization of the United Nations. (2020). The state of world fisheries
and aquaculture 2020: Sustainability in action. Rome: FAO.
Food and Agriculture
Organization of the United Nations. (2020). Global study on transshipment:
Regulations, practices and monitoring. Rome: FAO.
High Level Panel for a
Sustainable Ocean Economy. (2020). Ocean solutions that benefit people,
nature and the economy. Washington, DC: World Resources Institute.
High Level Panel for a
Sustainable Ocean Economy. (2021). Ocean action 2030: Transformations for a
sustainable ocean economy. Washington, DC: World Resources Institute.
Intergovernmental
Oceanographic Commission of UNESCO. (2020). Global ocean science report
2020: Charting capacity for ocean sustainability. Paris: UNESCO
Publishing.
International Maritime
Organization. (2018). Initial IMO strategy on reduction of GHG emissions
from ships. London: IMO.
International Renewable
Energy Agency. (2019). Renewable energy: A gender perspective. Abu Dhabi:
IRENA.
Kementerian Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia. (2022). Rencana aksi ekonomi biru Indonesia
2022–2024. Jakarta: KKP RI.
Kementerian Koordinator
Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia. (2015). Dokumen Poros
Maritim Dunia. Jakarta: Kemenko Marves.
Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2021). Peta jalan
pendidikan vokasi kelautan 2021–2025. Jakarta: Kemdikbudristek.
Organisation for Economic
Co-operation and Development. (2016). The ocean economy in 2030.
Paris: OECD Publishing.
Organisation for Economic
Co-operation and Development. (2013). Marine biotechnology: Enabling
solutions for ocean productivity and sustainability. Paris: OECD
Publishing.
Patil, P. G., Virdin, J.,
Diez, S. M., Roberts, J., & Singh, A. (2016). Toward a blue economy: A
pathway for sustainable growth in Indonesia. Washington, DC: World Bank
Group.
Sumaila, U. R., et al.
(2020). Ocean finance: Financing the transition to a sustainable ocean
economy. UNDP & Sustainable Development Solutions Network.
TNI Angkatan Laut. (2021). Kampung
Bahari Nusantara: Program sinergi maritim dan sosial. Jakarta: Dinas
Potensi Maritim TNI AL.
United Nations. (2015). Transforming
our world: The 2030 agenda for sustainable development. New York: United
Nations.
United Nations Conference
on Trade and Development. (2014). The oceans economy: Opportunities and
challenges for small island developing states. New York: United Nations.
United Nations Development
Programme. (2018). Blue economy and inclusive development: Opportunities,
challenges and the way forward. New York: UNDP.
United Nations Development
Programme. (2020). Blue economy and inclusive development: Indonesia
country profile. Jakarta: UNDP Indonesia.
United Nations Environment
Programme. (2009). Blue carbon: The role of healthy oceans in binding
carbon. Nairobi: UNEP.
United Nations Environment
Programme. (2013). The economics of ecosystems and biodiversity for water
and wetlands. Geneva: UNEP.
United Nations Environment
Programme. (2019). Global environment outlook GEO-6: Healthy planet,
healthy people. Cambridge: Cambridge University Press.
United Nations Environment
Programme. (2021). From pollution to solution: A global assessment of
marine litter and plastic pollution. Nairobi: UNEP.
United Nations Global
Compact. (2021). Practical guidance to blue bond issuers. New York:
United Nations.
United Nations World
Tourism Organization. (2013). Sustainable tourism for development guidebook.
Madrid: UNWTO.
World Bank. (2018). Financing
the blue economy: A primer on blue bonds. Washington, DC: World Bank.
World Bank, & United
Nations Department of Economic and Social Affairs. (2017). The potential of
the blue economy: Increasing long-term benefits of the sustainable use of
marine resources for small island developing states and coastal least developed
countries. Washington, DC: World Bank.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar