Sabtu, 19 April 2025

Ilmu Hukum: Hakikat, Ruang Lingkup, dan Dinamika dalam Kehidupan Masyarakat

Ilmu Hukum

Hakikat, Ruang Lingkup, dan Dinamika dalam Kehidupan Masyarakat


Abstrak

Artikel ini membahas Ilmu Hukum secara komprehensif sebagai suatu disiplin ilmiah yang tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga berperan penting dalam dinamika sosial, politik, dan budaya masyarakat. Dimulai dengan pengenalan terhadap pengertian dan ruang lingkup Ilmu Hukum, artikel ini menguraikan berbagai pendekatan keilmuan yang digunakan, seperti pendekatan normatif-dogmatik, sosiologis, historis, filosofis, hingga kritis. Pembahasan dilanjutkan dengan klasifikasi dan cabang-cabang Ilmu Hukum, serta perkembangan historisnya di Indonesia dari masa pra-kolonial hingga era reformasi. Peran Ilmu Hukum dalam praktik juga dikaji, termasuk kontribusinya dalam pembentukan hukum positif, penegakan hukum, pendidikan profesi hukum, serta pemberdayaan masyarakat. Di bagian akhir, artikel ini menyoroti tantangan kontemporer yang dihadapi Ilmu Hukum, seperti globalisasi, kemajuan teknologi, pluralisme hukum, dan kebutuhan akan pembaruan pendidikan hukum. Artikel ini menegaskan bahwa masa depan Ilmu Hukum terletak pada kemampuannya untuk terus berkembang sebagai ilmu yang progresif, transformatif, dan berorientasi pada keadilan substantif.

Kata Kunci: Ilmu Hukum, pendekatan hukum, hukum progresif, keadilan, sistem hukum Indonesia, pendidikan hukum, globalisasi hukum.


PEMBAHASAN

Kajian Ilmu Hukum Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Hukum merupakan salah satu fondasi utama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ia berfungsi sebagai pedoman normatif yang mengatur hubungan antarmanusia agar berlangsung secara tertib, adil, dan berkeadaban. Dalam pandangan klasik, hukum dipandang sebagai sarana untuk mencapai keadilan (law as a tool of justice), sedangkan dalam perspektif modern, hukum juga dipahami sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) sebagaimana ditegaskan oleh Roscoe Pound.¹ Dengan demikian, hukum tidak hanya berfungsi memelihara keteraturan, tetapi juga menjadi sarana perubahan dan pembaharuan sosial.

Ilmu Hukum sebagai disiplin ilmu berkembang dari kebutuhan manusia untuk memahami, mengkaji, dan mengembangkan hukum secara sistematis dan rasional. Perkembangan Ilmu Hukum mencerminkan interaksi antara norma hukum dan realitas sosial yang melingkupinya. Menurut Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum tidak hanya terbatas pada studi terhadap peraturan perundang-undangan, melainkan juga mencakup upaya memahami hukum sebagai gejala sosial yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.² Hal ini menunjukkan bahwa Ilmu Hukum harus mampu menjembatani antara idealitas normatif dengan kenyataan empirik dalam praktik hukum.

Sebagai ilmu, Ilmu Hukum memiliki ciri khas yang membedakannya dari ilmu sosial lainnya. Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa Ilmu Hukum memiliki dua pendekatan utama, yakni pendekatan normatif yang menekankan analisis terhadap isi hukum positif dan pendekatan empiris yang mengkaji perilaku hukum dalam kenyataan sosial.³ Pendekatan ganda ini menjadi penting dalam memahami kompleksitas hukum dalam kehidupan nyata, di mana hukum tidak selalu beroperasi secara ideal.

Urgensi pembahasan tentang Ilmu Hukum semakin meningkat dalam konteks dinamika masyarakat modern yang ditandai oleh globalisasi, perkembangan teknologi informasi, serta munculnya berbagai isu lintas batas seperti hak asasi manusia, kejahatan siber, dan perubahan iklim. Perubahan tersebut menuntut adanya pemahaman hukum yang adaptif, kontekstual, dan transformatif.⁴ Oleh karena itu, memahami hakikat, ruang lingkup, serta dinamika Ilmu Hukum menjadi hal yang fundamental bagi siapa pun yang terlibat dalam pengkajian, pendidikan, dan praktik hukum.

Artikel ini disusun untuk memberikan pemahaman menyeluruh mengenai Ilmu Hukum, dimulai dari definisi dan ruang lingkupnya, pendekatan-pendekatan yang digunakan, klasifikasi cabang-cabang hukum, hingga tantangan dan prospeknya di masa depan. Dengan penyajian yang sistematis dan berbasis pada sumber-sumber ilmiah yang kredibel, diharapkan artikel ini dapat menjadi rujukan akademik yang bermanfaat bagi mahasiswa, dosen, praktisi hukum, dan masyarakat umum yang ingin memahami Ilmu Hukum secara komprehensif.


Footnotes

[1]                Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law (New Haven: Yale University Press, 1922), 30.

[2]                Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), 19–21.

[3]                Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), 5–7.

[4]                Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Kencana, 2011), 40–42.


2.           Pengertian Ilmu Hukum

Ilmu Hukum merupakan cabang ilmu pengetahuan yang secara sistematis mempelajari hukum sebagai suatu gejala normatif maupun sosial. Pengertian Ilmu Hukum tidak dapat dilepaskan dari karakteristik hukum itu sendiri sebagai sistem norma yang mengatur perilaku manusia dalam masyarakat. Hukum bersifat dinamis, kontekstual, dan tidak terlepas dari nilai-nilai keadilan yang melandasinya.

Menurut Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum adalah suatu ilmu yang tidak semata-mata membahas hukum sebagai teks atau kumpulan peraturan perundang-undangan, tetapi juga menempatkan hukum dalam konteks kehidupan sosial. Dalam pandangan progresifnya, hukum harus dipahami sebagai bagian dari proses sosial yang terus-menerus berkembang seiring perubahan masyarakat.¹ Dengan demikian, Ilmu Hukum tidak hanya mempelajari "apa hukum itu" tetapi juga "untuk apa hukum itu ada".

Berbeda dengan itu, Hans Kelsen, dalam Pure Theory of Law, memberikan batasan yang ketat terhadap Ilmu Hukum. Ia menekankan bahwa Ilmu Hukum harus bersifat murni (reine Rechtslehre), yaitu bebas dari unsur-unsur non-yuridis seperti politik, moralitas, atau sosiologi.² Menurut Kelsen, tugas Ilmu Hukum adalah mengkaji norma-norma hukum secara logis dan sistematis, dengan menempatkan norma hukum tertinggi (Grundnorm) sebagai landasan hierarkis dari keseluruhan sistem hukum.

Sementara itu, Soerjono Soekanto menawarkan pendekatan yang lebih integratif. Ia membedakan antara Ilmu Hukum normatif dan Ilmu Hukum empiris. Ilmu Hukum normatif mempelajari hukum sebagai sistem norma, sedangkan Ilmu Hukum empiris mempelajari hukum sebagai gejala sosial yang dapat diamati dan diukur dalam kehidupan masyarakat.³ Pendekatan ini mencerminkan pentingnya memahami hukum tidak hanya dari sisi normatif-tekstual, tetapi juga dari perspektif sosiologis.

Dalam kajian akademik, Ilmu Hukum juga sering dibedakan dari disiplin ilmu lain yang berkaitan, seperti:

·                     Dogmatika Hukum, yang fokus pada rekonstruksi sistem hukum positif berdasarkan interpretasi dan sistematisasi norma.

·                     Filsafat Hukum, yang mengkaji aspek-aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari hukum.

·                     Sosiologi Hukum, yang meneliti bagaimana hukum berfungsi dan beroperasi dalam masyarakat.

Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa Ilmu Hukum memiliki objek formal yang khas, yaitu norma hukum, yang membedakannya dari ilmu sosial lain yang mengkaji masyarakat secara umum. Ia juga menegaskan bahwa hukum harus dipahami tidak hanya sebagai sistem peraturan, tetapi juga sebagai sistem nilai.⁴ Oleh karena itu, Ilmu Hukum tidak dapat berdiri sendiri tanpa memahami konteks sosial dan filosofis dari hukum itu sendiri.

Dari berbagai pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa Ilmu Hukum merupakan ilmu yang multidimensi. Ia mencakup dimensi normatif, empiris, dan filosofis yang saling terkait. Pemahaman yang komprehensif terhadap Ilmu Hukum membutuhkan keseimbangan antara logika hukum, realitas sosial, serta nilai-nilai keadilan yang ingin diwujudkan oleh hukum.


Footnotes

[1]                Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), 22–24.

[2]                Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 1–5.

[3]                Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1982), 45–48.

[4]                Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Kencana, 2011), 12–15.


3.           Ruang Lingkup Ilmu Hukum

Ruang lingkup Ilmu Hukum mencerminkan keluasan aspek yang dipelajari dalam ilmu ini, baik dari segi objek material maupun objek formalnya. Pemahaman terhadap ruang lingkup ini menjadi penting untuk mengetahui batasan, pendekatan, dan dimensi kajian yang diwadahi dalam Ilmu Hukum sebagai suatu disiplin akademik.

3.1.       Objek Material dan Objek Formal Ilmu Hukum

Secara metodologis, Ilmu Hukum memiliki dua jenis objek: objek material dan objek formal. Objek material Ilmu Hukum adalah hukum itu sendiri, yaitu keseluruhan norma yang mengatur kehidupan masyarakat agar berlangsung secara tertib dan adil. Sementara itu, objek formalnya adalah cara atau pendekatan yang digunakan dalam mempelajari hukum

Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa objek formal Ilmu Hukum bersifat normatif, yakni menitikberatkan pada analisis terhadap norma-norma hukum sebagai sistem yang logis, rasional, dan konsisten.² Namun, dalam perkembangannya, pendekatan empiris juga digunakan untuk melihat bagaimana hukum bekerja dalam kenyataan sosial.

3.2.       Hukum sebagai Norma

Salah satu fokus utama Ilmu Hukum adalah hukum sebagai norma. Dalam konteks ini, Ilmu Hukum berfungsi untuk memahami, mengklasifikasi, dan menafsirkan peraturan hukum yang berlaku secara sistematis. Hal ini dikenal sebagai dogmatika hukum, yaitu cabang dari Ilmu Hukum yang bertujuan menyusun dan mengembangkan sistem hukum positif agar dapat diterapkan secara konsisten.³

Ilmu Hukum dalam aspek ini berurusan dengan konsep-konsep normatif seperti keadilan, kepastian hukum, legalitas, dan legitimasi. Sehingga, norma hukum tidak hanya dilihat sebagai aturan yang memaksa, tetapi juga sebagai cerminan nilai-nilai moral dan sosial dalam suatu masyarakat.

3.3.       Hukum sebagai Institusi Sosial

Selain sebagai norma, hukum juga merupakan institusi sosial. Dalam perspektif ini, hukum dipelajari sebagai hasil konstruksi sosial yang lahir dari kebutuhan masyarakat akan keteraturan dan keadilan.⁴ Studi hukum dalam konteks institusi sosial mengkaji bagaimana hukum diproduksi, diinterpretasi, dan diterapkan oleh lembaga-lembaga sosial seperti pengadilan, parlemen, kepolisian, dan sebagainya.

Eugen Ehrlich, pelopor Mazhab Sosiologi Hukum, menegaskan bahwa “law in the books” (hukum tertulis) sering kali berbeda dengan “law in action” (hukum dalam praktik).⁵ Oleh karena itu, ruang lingkup Ilmu Hukum juga harus mencakup studi empiris mengenai perilaku hukum dalam kehidupan nyata.

3.4.       Hukum sebagai Sistem Nilai dan Budaya

Ilmu Hukum juga mencakup pemahaman terhadap hukum sebagai sistem nilai dan bagian dari budaya masyarakat. Hukum tidak hidup dalam ruang hampa, melainkan dibentuk oleh konteks budaya, agama, adat, dan sejarah suatu bangsa.⁶ Dalam pendekatan ini, hukum dikaji sebagai ekspresi nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat, seperti keadilan, kesetaraan, dan hak asasi manusia.

Dalam konteks Indonesia, misalnya, hukum nasional tidak dapat dilepaskan dari pluralitas sistem hukum yang ada, seperti hukum adat, hukum Islam, dan hukum warisan kolonial. Ruang lingkup Ilmu Hukum di Indonesia karena itu juga melibatkan pemahaman atas pluralisme hukum tersebut dan bagaimana sistem-sistem hukum ini saling berinteraksi.

3.5.       Interdisipliner dan Multidisipliner

Karena kompleksitas objek kajiannya, Ilmu Hukum tidak dapat dipelajari secara tunggal. Ia memerlukan pendekatan interdisipliner dan multidisipliner, yang melibatkan ilmu-ilmu lain seperti sosiologi, filsafat, antropologi, politik, dan ekonomi.⁷ Dengan demikian, Ilmu Hukum berkembang menjadi ilmu yang dinamis dan terbuka terhadap perkembangan zaman dan tantangan sosial yang dihadapi masyarakat.


Footnotes

[1]                Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) (Jakarta: Kencana, 2009), 23.

[2]                Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), 8.

[3]                Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Kencana, 2011), 23–24.

[4]                Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), 35–37.

[5]                Eugen Ehrlich, Fundamental Principles of the Sociology of Law, trans. Walter L. Moll (Cambridge: Harvard University Press, 1936), 493.

[6]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 27–28.

[7]                Brian Z. Tamanaha, A General Jurisprudence of Law and Society (Oxford: Oxford University Press, 2001), 10.


4.           Tujuan dan Fungsi Ilmu Hukum

Ilmu Hukum sebagai suatu disiplin akademik memiliki peranan penting dalam menunjang keberfungsian hukum dalam masyarakat. Sebagai ilmu yang menelaah hukum secara sistematis, Ilmu Hukum tidak hanya bertujuan untuk memahami dan menjelaskan norma-norma hukum yang berlaku, tetapi juga berperan dalam membentuk, mengembangkan, dan mengawasi pelaksanaan hukum agar selaras dengan nilai-nilai keadilan dan perkembangan sosial.

4.1.       Tujuan Ilmu Hukum: Mewujudkan Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan

Dalam teori hukum klasik, hukum ideal harus mengandung tiga nilai fundamental, yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Pemikiran ini berkembang dari gagasan para filsuf hukum seperti Aristoteles dan diteruskan dalam kerangka hukum modern.¹

·                     Keadilan (justice) merupakan tujuan utama hukum menurut tradisi filsafat hukum. Keadilan dalam konteks hukum berarti memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.

·                     Kepastian hukum (legal certainty) memberikan rasa aman dan stabilitas karena norma-norma hukum bersifat tetap dan dapat diprediksi.

·                     Kemanfaatan (utility) menekankan fungsi hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan sosial, yakni ketertiban, kesejahteraan, dan harmoni sosial.

Achmad Ali menekankan bahwa Ilmu Hukum harus menjembatani ketiga nilai tersebut dalam realitas yang dinamis, agar hukum tidak hanya sekadar normatif tetapi juga berdaya guna bagi masyarakat.²

4.2.       Fungsi Normatif: Memberi Pedoman dan Struktur Sistem Hukum

Ilmu Hukum memiliki fungsi normatif, yaitu menjelaskan, menafsirkan, dan menyistematisasi norma-norma hukum yang berlaku. Dalam fungsinya ini, Ilmu Hukum bekerja seperti "arsitek" sistem hukum, yang membangun dan menata struktur peraturan perundang-undangan secara logis dan koheren.³ Dogmatika hukum—sebagai cabang normatif dari Ilmu Hukum—berperan penting dalam merumuskan konsep-konsep hukum seperti hak, kewajiban, subjek hukum, dan sanksi.

Fungsi ini sangat vital dalam praktik peradilan, pendidikan hukum, serta perumusan kebijakan publik. Tanpa penataan ilmiah terhadap norma, hukum menjadi tumpang tindih, kabur, dan rentan disalahgunakan.

4.3.       Fungsi Sosiologis: Alat Rekayasa Sosial dan Resolusi Konflik

Ilmu Hukum juga menjalankan fungsi sosiologis, yaitu melihat hukum sebagai alat untuk mengubah dan membentuk masyarakat (social engineering). Konsep ini pertama kali dikemukakan oleh Roscoe Pound, yang menyatakan bahwa hukum bukan hanya menjaga tatanan sosial, tetapi juga sarana untuk membentuk masyarakat menjadi lebih baik.⁴

Dalam masyarakat modern yang kompleks, hukum menjadi sarana utama dalam menyelesaikan konflik, membatasi kekuasaan, serta mendorong transformasi sosial. Oleh karena itu, Ilmu Hukum harus responsif terhadap perkembangan sosial dan kebutuhan masyarakat kontemporer.

4.4.       Fungsi Evaluatif dan Kritis terhadap Hukum Positif

Ilmu Hukum tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga evaluatif dan kritis. Ia bertugas mengkaji apakah hukum yang berlaku sudah sesuai dengan nilai-nilai keadilan, hak asasi manusia, serta prinsip-prinsip konstitusional.⁵ Melalui fungsi ini, Ilmu Hukum berperan sebagai pengawal moralitas hukum—menguji apakah hukum telah berfungsi sebagaimana mestinya atau justru menjadi alat penindasan.

Dalam praktiknya, fungsi kritis ini dilakukan melalui kajian yuridis akademik, uji materiil terhadap undang-undang, serta advokasi hukum berbasis hak dan keadilan substantif.

4.5.       Fungsi Praktis dalam Pendidikan dan Profesi Hukum

Ilmu Hukum juga memiliki fungsi praktis, khususnya dalam pendidikan hukum dan pelatihan profesi hukum. Ia membentuk kerangka berpikir yuridis, keterampilan argumentasi hukum, serta integritas profesional bagi calon-calon praktisi hukum: hakim, jaksa, advokat, notaris, maupun akademisi.⁶

Melalui Ilmu Hukum, para profesional tidak hanya dibekali dengan pengetahuan hukum positif, tetapi juga pemahaman kritis terhadap prinsip-prinsip dasar hukum dan tanggung jawab sosial mereka.


Footnotes

[1]                Gustav Radbruch, Legal Philosophy, trans. Kurt Wilk (New York: Greenwood Press, 1975), 41–43.

[2]                Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) (Jakarta: Kencana, 2009), 57.

[3]                Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Kencana, 2011), 31–34.

[4]                Roscoe Pound, Interpretations of Legal History (Cambridge: Harvard University Press, 1923), 58.

[5]                Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), 79–80.

[6]                Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya (Jakarta: Elsam, 2002), 26.


5.           Macam-Macam Pendekatan dalam Ilmu Hukum

Ilmu Hukum sebagai disiplin akademik tidak dapat dilepaskan dari keberagaman pendekatan yang digunakan untuk memahami dan menganalisis hukum. Pendekatan-pendekatan ini menunjukkan bahwa hukum dapat dilihat dari berbagai sudut pandang—baik sebagai norma, fakta sosial, maupun sistem nilai. Perbedaan pendekatan ini juga menegaskan bahwa hukum bukan hanya sistem peraturan tertulis, melainkan juga fenomena sosial yang kompleks dan dinamis.

5.1.       Pendekatan Normatif-Dogmatik

Pendekatan normatif-dogmatik merupakan pendekatan klasik dan dominan dalam studi hukum di Indonesia maupun secara global. Pendekatan ini memandang hukum sebagai sistem norma yang logis, terstruktur, dan konsisten. Fokus utama pendekatan ini adalah analisis terhadap isi hukum positif—yaitu peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, doktrin hukum, dan kebiasaan.¹

Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa pendekatan normatif bekerja dengan menggunakan logika deduktif dalam menafsirkan aturan hukum, menyusun argumentasi hukum, dan menemukan solusi atas kasus-kasus hukum tertentu.² Pendekatan ini penting dalam membentuk kepastian hukum, karena ia mengedepankan sistematisasi dan konsistensi norma.

5.2.       Pendekatan Sosiologis-Empiris

Berbeda dari pendekatan normatif, pendekatan sosiologis-empiris memandang hukum sebagai bagian dari realitas sosial. Pendekatan ini menekankan pada bagaimana hukum berfungsi dalam praktik, bukan hanya bagaimana ia dirumuskan. Dengan demikian, fokusnya adalah pada perilaku masyarakat terhadap hukum, efektivitas penegakan hukum, serta dinamika hubungan antara hukum dan struktur sosial.³

Soerjono Soekanto memelopori pendekatan ini di Indonesia dengan mengembangkan studi sosiologi hukum yang melihat hukum sebagai salah satu lembaga sosial yang hidup dalam masyarakat.⁴ Pendekatan ini sangat berguna dalam mengevaluasi keberhasilan suatu peraturan dalam mencapai tujuannya serta memahami mengapa suatu norma hukum ditaati atau justru diabaikan.

5.3.       Pendekatan Historis dan Komparatif

Pendekatan historis digunakan untuk memahami bagaimana suatu sistem hukum berkembang dari waktu ke waktu. Hukum tidak lahir dalam ruang hampa; ia dipengaruhi oleh sejarah politik, sosial, ekonomi, dan budaya suatu bangsa. Pendekatan ini membantu dalam menelusuri akar peraturan yang berlaku serta memberikan pemahaman atas logika pembentukannya.⁵

Sementara itu, pendekatan komparatif bertujuan untuk membandingkan sistem hukum dari berbagai negara atau tradisi hukum. Pendekatan ini sering digunakan untuk mencari solusi hukum yang lebih efektif, mengadopsi praktik terbaik dari negara lain, atau merancang harmonisasi hukum di tingkat internasional.⁶

5.4.       Pendekatan Filsafat dan Teoretis

Pendekatan filsafat hukum bertujuan untuk mengkaji dimensi-dimensi mendasar dari hukum, seperti hakikat keadilan, legalitas, moralitas, dan kebenaran hukum. Pendekatan ini berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar seperti: Apa itu hukum? Mengapa hukum harus ditaati? Apa hubungan antara hukum dan etika?_⁷

Tokoh-tokoh seperti Hans Kelsen (dengan Pure Theory of Law) dan Ronald Dworkin (dengan teori law as integrity) menjadi rujukan utama dalam pendekatan ini. Kajian filsafat hukum sangat penting dalam membentuk landasan normatif dan teoritis bagi sistem hukum yang adil dan manusiawi.

5.5.       Pendekatan Kritis dan Emansipatoris

Seiring berkembangnya pemikiran hukum kontemporer, muncul pendekatan kritis yang mencoba membongkar struktur kekuasaan di balik hukum yang tampak netral. Critical Legal Studies (CLS), Feminist Legal Theory, dan Postmodern Legal Theory merupakan contoh pendekatan ini.⁸

Pendekatan ini melihat hukum sebagai produk ideologi dan dominasi kelompok tertentu, serta mendorong pembaruan hukum yang lebih inklusif, adil gender, dan berpihak pada kelompok-kelompok marjinal. Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini mulai diadopsi dalam isu-isu seperti hukum dan keadilan gender, hukum adat, dan hak-hak masyarakat minoritas.⁹


Footnotes

[1]                Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Kencana, 2011), 25–27.

[2]                Ibid., 33.

[3]                Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), 36.

[4]                Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat (Jakarta: Rajawali, 1983), 7–10.

[5]                Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006), 14.

[6]                René David dan John E.C. Brierley, Major Legal Systems in the World Today (London: Stevens & Sons, 1985), 3–4.

[7]                Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 1–5.

[8]                Mark Kelman, A Guide to Critical Legal Studies (Cambridge: Harvard University Press, 1987), 1–3.

[9]                Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 129.


6.           Klasifikasi dan Cabang Ilmu Hukum

Ilmu Hukum sebagai bidang keilmuan memiliki struktur yang kompleks, mencakup berbagai cabang dan klasifikasi yang memudahkan pemahaman serta penerapannya dalam berbagai konteks. Klasifikasi ini tidak hanya mencerminkan pembagian teknis, tetapi juga menandakan perbedaan pendekatan, ruang lingkup, dan tujuan dari masing-masing cabang hukum. Secara umum, Ilmu Hukum dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori besar: hukum publik dan hukum privat, hukum materiil dan hukum formil, serta hukum nasional dan hukum internasional.

6.1.       Hukum Publik dan Hukum Privat

Klasifikasi klasik dalam Ilmu Hukum membedakan antara hukum publik (public law) dan hukum privat (private law).

·                     Hukum publik mengatur hubungan antara individu dengan negara, serta hubungan antarlembaga negara. Ia meliputi cabang-cabang seperti hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan hukum pidana.

·                     Hukum privat, di sisi lain, mengatur hubungan antara individu atau subjek hukum secara horizontal, seperti dalam hukum perdata, hukum keluarga, dan hukum dagang

Menurut Sudikno Mertokusumo, pembedaan ini berdasarkan pada pihak yang diuntungkan oleh norma hukum: bila norma tersebut melindungi kepentingan umum, maka termasuk hukum publik; bila melindungi kepentingan perorangan, termasuk hukum privat.²

6.2.       Hukum Materiil dan Hukum Formil

Klasifikasi lain yang penting dalam Ilmu Hukum adalah antara hukum materiil dan hukum formil.

·                     Hukum materiil adalah hukum yang mengatur isi atau substansi hak dan kewajiban, seperti dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) atau KUHPidana (KUHP).

·                     Hukum formil, atau hukum acara, merupakan aturan yang mengatur cara menegakkan hukum materiil, seperti hukum acara perdata, hukum acara pidana, dan hukum acara tata usaha negara

Perbedaan ini sangat penting dalam praktik peradilan, karena pengakuan terhadap suatu hak harus didukung oleh prosedur hukum yang sah.

6.3.       Cabang-Cabang Hukum Positif

Ilmu Hukum juga dikembangkan menjadi berbagai cabang hukum positif, yang masing-masing memiliki ruang lingkup dan objek kajian tersendiri:

·                     Hukum Perdata: mengatur hubungan hukum antarindividu, termasuk dalam aspek waris, perikatan, dan perjanjian.

·                     Hukum Pidana: mengatur perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana serta sanksi bagi pelakunya.

·                     Hukum Tata Negara: mengkaji struktur ketatanegaraan dan hubungan antarlembaga negara.

·                     Hukum Administrasi Negara: mengatur tindakan pemerintah dalam menjalankan fungsi eksekutif.

·                     Hukum Internasional: meliputi hukum internasional publik (hubungan antarnegara dan organisasi internasional) dan hukum internasional privat (hubungan perdata lintas negara).⁴

Cabang-cabang tersebut dapat dipelajari secara normatif maupun empiris, tergantung pendekatan yang digunakan.

6.4.       Hukum Nasional, Hukum Asing, dan Hukum Internasional

Hukum nasional merupakan sistem hukum yang berlaku dalam suatu negara tertentu, disusun berdasarkan sumber hukum yang sah seperti konstitusi, undang-undang, dan kebiasaan hukum. Dalam konteks Indonesia, hukum nasional juga meliputi hukum adat dan hukum agama yang hidup berdampingan dalam kerangka pluralisme hukum.⁵

Hukum asing merupakan sistem hukum dari negara lain yang dapat dipelajari untuk kepentingan komparatif atau harmonisasi hukum. Sementara hukum internasional dibentuk melalui perjanjian internasional, kebiasaan internasional, serta prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh komunitas global.⁶

6.5.       Klasifikasi Berdasarkan Fungsi dan Tujuan

Dalam perkembangan kontemporer, klasifikasi hukum juga bisa dibedakan berdasarkan fungsinya:

·                     Hukum represif, yang berfungsi memberikan sanksi atas pelanggaran (misalnya hukum pidana).

·                     Hukum preventif, yang berfungsi mencegah terjadinya pelanggaran (misalnya hukum lingkungan, hukum perlindungan konsumen).

·                     Hukum progresif, yang berorientasi pada keadilan substantif dan transformasi sosial. Pendekatan ini diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo, yang memandang hukum tidak sekadar sebagai institusi normatif, tetapi sebagai alat perjuangan untuk membela kemanusiaan.⁷


Footnotes

[1]                Sudikno Mertokusumo, Hukum dan Penemuan Hukum (Yogyakarta: Liberty, 2001), 13–14.

[2]                Ibid., 15.

[3]                Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Kencana, 2011), 36–37.

[4]                Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), 12–16.

[5]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 45–46.

[6]                Malcolm N. Shaw, International Law, 7th ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 25–26.

[7]                Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan (Jakarta: Kompas, 2008), 3–6.


7.           Perkembangan Ilmu Hukum di Indonesia

Ilmu Hukum di Indonesia berkembang dalam lintasan sejarah yang panjang dan kompleks, dipengaruhi oleh dinamika sosial, politik, dan budaya yang silih berganti. Mulai dari masa pra-kolonial yang ditandai dengan dominasi hukum adat dan hukum Islam, masa kolonial Belanda yang memperkenalkan sistem hukum Eropa Kontinental, hingga era pascakemerdekaan yang ditandai dengan upaya pembentukan sistem hukum nasional yang mandiri dan berkepribadian Indonesia.

7.1.       Masa Pra-Kolonial: Hukum Adat dan Hukum Islam

Sebelum kedatangan kolonialisme, sistem hukum yang berlaku di Nusantara bersumber dari hukum adat dan hukum Islam. Hukum adat hidup secara dinamis dalam masyarakat dan diwariskan secara lisan, mengatur kehidupan sosial berdasarkan nilai-nilai lokal, musyawarah, dan keseimbangan.¹ Hukum Islam mulai berkembang sejak abad ke-13 melalui dakwah dan aktivitas perdagangan, dan diadopsi terutama dalam bidang perdata seperti perkawinan, waris, dan muamalah.²

Meskipun belum berbentuk sistem kodifikasi tertulis, kedua sistem hukum ini memainkan peran besar dalam mengatur kehidupan masyarakat dan membentuk identitas hukum Indonesia.

7.2.       Masa Kolonial: Dominasi Hukum Barat

Dengan kedatangan Belanda, terutama setelah diberlakukannya Wetboek van Strafrecht (WvS) dan Burgerlijk Wetboek (BW) pada abad ke-19, sistem hukum di Indonesia mengalami formalisasi dan kodifikasi berdasarkan asas-asas hukum Eropa Kontinental

Pemberlakuan hukum Belanda dilakukan secara diskriminatif berdasarkan klasifikasi penduduk: Eropa, Timur Asing, dan Pribumi. Sistem ini menyebabkan marginalisasi hukum adat dan hukum Islam, yang hanya diakui sejauh tidak bertentangan dengan asas kolonial.⁴

Namun demikian, masa ini juga menandai lahirnya pendidikan hukum formal di Indonesia, seperti berdirinya Rechtshoogeschool te Batavia pada tahun 1924, yang menjadi embrio pendidikan hukum modern di Indonesia.⁵

7.3.       Masa Pascakemerdekaan: Kodifikasi dan Nasionalisasi

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, upaya pembentukan sistem hukum nasional mulai dirintis. UUD 1945 menjadi landasan konstitusional, namun produk hukum kolonial masih banyak dipertahankan karena kebutuhan akan kepastian hukum yang mendesak.⁶

Proses nasionalisasi hukum berjalan lambat dan menghadapi tantangan serius, antara lain keterbatasan tenaga ahli hukum, ketergantungan pada sistem Eropa Kontinental, serta pluralisme hukum yang kuat di masyarakat. Meski demikian, beberapa langkah penting dilakukan, seperti pembentukan Mahkamah Konstitusi, penguatan Mahkamah Agung, dan reformasi peradilan.

7.4.       Era Reformasi: Dinamika dan Tantangan Kontemporer

Sejak era Reformasi 1998, Ilmu Hukum di Indonesia mengalami transformasi besar-besaran, baik dalam praktik maupun dalam pendekatan akademis. Isu-isu seperti hak asasi manusia, korupsi, lingkungan hidup, dan hukum adat menjadi sorotan utama dalam studi hukum.⁷

Reformasi kelembagaan hukum juga diperkuat dengan lahirnya lembaga-lembaga seperti Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Mahkamah Konstitusi (MK), yang memperluas medan kajian Ilmu Hukum.⁸

Secara akademis, pendekatan hukum tidak lagi bersifat dogmatik semata, tetapi mulai mengintegrasikan pendekatan sosiologis, kritis, dan interdisipliner. Hal ini tercermin dalam kurikulum pendidikan tinggi hukum, yang kini memuat mata kuliah seperti Hukum dan Gender, Hukum Internasional HAM, serta Hukum Lingkungan.

7.5.       Tantangan Pengembangan Ilmu Hukum di Indonesia

Meski telah banyak mengalami kemajuan, pengembangan Ilmu Hukum di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan, antara lain:

·                     Kurangnya keterpaduan antara teori dan praktik hukum;

·                     Dominasi pendekatan normatif yang masih kuat dalam pendidikan hukum;

·                     Kesenjangan akses terhadap keadilan di daerah terpencil;

·                     Ketergantungan pada doktrin dan sistem hukum asing yang belum sepenuhnya dikontekstualisasikan.⁹

Sebagai solusi, beberapa ahli hukum seperti Satjipto Rahardjo mendorong perlunya pengembangan hukum progresif, yaitu pendekatan hukum yang berorientasi pada keadilan substantif dan kemanusiaan.¹⁰


Footnotes

[1]                Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Paramita, 1971), 5–7.

[2]                B.J.O. Schrieke, Indonesian Sociological Studies (The Hague: Van Hoeve, 1955), 88.

[3]                R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 1996), 1–2.

[4]                M. Yahya Harahap, Hukum Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 43–45.

[5]                Daniel S. Lev, Legal Evolution and Political Authority in Indonesia: Selected Essays (The Hague: Kluwer Law International, 2000), 27.

[6]                Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Konstitusi Press, 2007), 19–20.

[7]                Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 152.

[8]                Hikmahanto Juwana, “Reformasi Hukum di Indonesia,” Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM Vol. 12, No. 2 (2005): 145–147.

[9]                Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya (Jakarta: Elsam, 2002), 108–110.

[10]             Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan (Jakarta: Kompas, 2008), 2–4.


8.           Peran Ilmu Hukum dalam Praktik

Ilmu Hukum bukan hanya sebatas aktivitas teoretis yang berlangsung di ruang akademik, melainkan memiliki fungsi praktis yang sangat nyata dalam kehidupan masyarakat. Peran Ilmu Hukum dalam praktik mencakup penerapan norma hukum, pembentukan peraturan, penyelesaian sengketa, penegakan keadilan, hingga pembentukan karakter profesional hukum yang berintegritas. Dengan kata lain, Ilmu Hukum menjembatani antara teori hukum dan realitas hukum dalam masyarakat.

8.1.       Ilmu Hukum sebagai Fondasi Pembentukan Hukum Positif

Ilmu Hukum memainkan peran penting dalam proses legislasi, yaitu pembentukan hukum positif melalui perundang-undangan. Para ahli hukum menggunakan prinsip-prinsip hukum umum, logika hukum, dan nilai-nilai keadilan untuk merancang undang-undang yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.¹

Maria Farida Indrati menegaskan bahwa tanpa landasan ilmiah yang kuat, produk hukum cenderung bersifat tumpang tindih, multitafsir, atau bahkan bertentangan satu sama lain. Oleh karena itu, keterlibatan Ilmu Hukum dalam proses legislasi penting untuk menjamin kualitas dan keberlakuan hukum.²

8.2.       Ilmu Hukum dalam Penegakan Hukum

Dalam konteks penegakan hukum, Ilmu Hukum membantu para penegak hukum—hakim, jaksa, advokat, dan polisi—untuk memahami, menafsirkan, dan menerapkan peraturan perundang-undangan dengan tepat dan adil. Ilmu Hukum memberikan kerangka berpikir sistematis dan alat analisis yuridis yang dibutuhkan dalam proses pembuktian, pengambilan putusan, dan pelaksanaan keadilan.³

Satjipto Rahardjo bahkan mengingatkan bahwa penegakan hukum yang tidak didasari pemahaman filosofis dan sosiologis bisa berubah menjadi “kekuasaan normatif yang membelenggu,” bukan sarana keadilan.⁴ Oleh karena itu, Ilmu Hukum dibutuhkan agar penegakan hukum tidak hanya legal secara formal, tetapi juga legitim secara moral dan sosial.

8.3.       Ilmu Hukum dalam Penyelesaian Sengketa

Peran Ilmu Hukum juga sangat menonjol dalam penyelesaian konflik hukum, baik melalui lembaga peradilan (litigasi) maupun di luar pengadilan (non-litigasi), seperti arbitrase, mediasi, dan konsiliasi. Dalam konteks ini, Ilmu Hukum membantu para profesional hukum merumuskan strategi penyelesaian yang sesuai dengan norma hukum, prinsip keadilan, dan konteks sosial para pihak yang bersengketa.⁵

Melalui analisis yuridis dan interpretasi norma, Ilmu Hukum berperan dalam memberikan solusi konkret atas persoalan-persoalan hukum yang dihadapi masyarakat, baik dalam skala individu, korporasi, maupun negara.

8.4.       Ilmu Hukum dan Etika Profesi

Ilmu Hukum juga berkontribusi terhadap pembentukan etika profesi hukum, yang menjadi dasar moral bagi para pelaku hukum dalam menjalankan peran mereka. Profesi hukum, seperti hakim dan advokat, dituntut tidak hanya menguasai hukum positif, tetapi juga memiliki integritas, rasa keadilan, dan kepekaan sosial.⁶

Pendidikan Ilmu Hukum di tingkat perguruan tinggi menjadi tempat strategis untuk membangun karakter keilmuan dan etis para calon profesional hukum. Kurikulum hukum yang memasukkan mata kuliah seperti etika profesi, filsafat hukum, dan hak asasi manusia mencerminkan kesadaran akan pentingnya dimensi moral dalam praktik hukum.

8.5.       Ilmu Hukum dalam Advokasi dan Pemberdayaan Masyarakat

Dalam masyarakat sipil, Ilmu Hukum menjadi alat advokasi untuk memperjuangkan hak-hak warga negara, terutama kelompok-kelompok rentan seperti perempuan, anak, masyarakat adat, dan korban pelanggaran HAM.⁷

Organisasi non-pemerintah, paralegal, dan akademisi hukum memanfaatkan Ilmu Hukum untuk mengedukasi masyarakat, membentuk kesadaran hukum (legal awareness), dan mendorong perubahan sosial melalui jalur hukum. Pendekatan ini sejalan dengan pandangan hukum sebagai sarana emansipasi dan pembebasan, bukan sekadar alat kontrol sosial.


Footnotes

[1]                Hikmahanto Juwana, “Pentingnya Pendekatan Ilmiah dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM Vol. 13, No. 2 (2006): 151.

[2]                Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 81–83.

[3]                Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Kencana, 2011), 43–45.

[4]                Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan (Jakarta: Kompas, 2008), 7.

[5]                M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 23–24.

[6]                Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya (Jakarta: Elsam, 2002), 135–136.

[7]                Bivitri Susanti, “Advokasi Berbasis Hukum dalam Konteks Masyarakat Sipil,” dalam Hukum dalam Masyarakat Transisi, ed. Herlambang P. Wiratraman (Jakarta: Epistema Institute, 2010), 119.


9.           Tantangan dan Masa Depan Ilmu Hukum

Di tengah perubahan global yang pesat dan kompleksitas persoalan hukum yang terus berkembang, Ilmu Hukum menghadapi beragam tantangan yang menuntut pembaruan secara konseptual, metodologis, dan praktis. Tantangan ini juga sekaligus menjadi peluang untuk merumuskan masa depan Ilmu Hukum yang lebih responsif, inklusif, dan kontekstual.

9.1.       Tantangan Globalisasi dan Harmonisasi Hukum

Salah satu tantangan utama Ilmu Hukum saat ini adalah globalisasi hukum, yaitu keterhubungan sistem hukum antarnegara akibat perkembangan perdagangan internasional, teknologi, dan komunikasi. Globalisasi ini menimbulkan kebutuhan akan harmonisasi hukum, khususnya dalam bidang-bidang seperti investasi, perlindungan konsumen, perlindungan data pribadi, dan hukum lingkungan.¹

Ilmu Hukum dituntut untuk mampu memahami perbandingan sistem hukum (comparative law), serta merespons tuntutan internasional tanpa kehilangan jati diri hukum nasional. Ini menuntut adanya pendekatan yang terbuka terhadap sistem hukum asing, namun tetap berpijak pada nilai-nilai lokal dan konstitusi nasional.²

9.2.       Perkembangan Teknologi dan Hukum Digital

Transformasi digital juga menimbulkan tantangan besar bagi Ilmu Hukum, terutama dalam menghadapi isu-isu seperti cyber law, perlindungan data pribadi, kecerdasan buatan (AI), cryptocurrency, dan kejahatan siber. Perkembangan teknologi sering kali lebih cepat daripada proses legislasi, sehingga hukum kerap tertinggal dalam mengantisipasi realitas baru.³

Dalam konteks ini, Ilmu Hukum harus mengembangkan pendekatan interdisipliner yang menggabungkan pengetahuan hukum dengan ilmu komputer, etika teknologi, dan keamanan digital. Selain itu, penting bagi Ilmu Hukum untuk menumbuhkan kesadaran kritis terhadap dimensi etis dan sosial dari teknologi.⁴

9.3.       Tantangan Pluralisme Hukum dan Keadilan Sosial

Indonesia merupakan negara dengan pluralisme hukum yang tinggi, yang mencakup hukum nasional, hukum adat, dan hukum agama. Keberagaman ini menimbulkan tantangan dalam upaya membentuk sistem hukum yang kohesif namun tetap menghormati keragaman nilai-nilai lokal.⁵

Selain itu, masih banyak kelompok masyarakat yang belum mendapatkan akses keadilan secara memadai, seperti masyarakat adat, perempuan, dan kelompok miskin. Ilmu Hukum ditantang untuk mampu menjawab persoalan-persoalan tersebut dengan memperluas orientasi pada keadilan substantif, bukan sekadar keadilan formal.⁶

9.4.       Pembaruan Pendidikan dan Metodologi Hukum

Kritik terhadap pendidikan hukum di Indonesia mencerminkan tantangan lain bagi Ilmu Hukum, yaitu masih dominannya pendekatan normatif-dogmatik, minimnya pendekatan empiris dan kritis, serta lemahnya keterampilan praktis lulusan hukum.⁷

Ke depan, Ilmu Hukum perlu membenahi kurikulum pendidikan hukum dengan menyeimbangkan antara teori dan praktik, hukum positif dan hukum hidup, serta memasukkan kajian tentang etika, hak asasi manusia, dan teknologi hukum. Inovasi dalam metodologi pengajaran juga menjadi penting untuk mendorong keterlibatan mahasiswa secara aktif dan kontekstual.

9.5.       Masa Depan Ilmu Hukum: Menuju Hukum yang Progresif dan Emansipatoris

Untuk menjawab tantangan-tantangan di atas, masa depan Ilmu Hukum diarahkan menuju pendekatan yang lebih progresif, kritis, dan transformatif. Ilmu Hukum tidak boleh berhenti pada deskripsi dan sistematisasi norma, tetapi harus menjadi alat emansipasi dan pembebasan bagi masyarakat dari ketidakadilan struktural.

Satjipto Rahardjo memperkenalkan gagasan hukum progresif yang menekankan pentingnya menempatkan manusia sebagai pusat perhatian hukum.⁸ Pendekatan ini melihat hukum sebagai alat untuk menciptakan keadilan sosial, bukan sekadar menjaga ketertiban formal.

Selain itu, masa depan Ilmu Hukum harus mencakup peran teknologi hukum (legal tech), open access terhadap hukum, dan demokratisasi pengetahuan hukum agar hukum tidak hanya dimonopoli oleh segelintir elit, tetapi bisa diakses dan dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat.⁹


Footnotes

[1]                Malcolm N. Shaw, International Law, 7th ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 37–38.

[2]                René David dan John E.C. Brierley, Major Legal Systems in the World Today (London: Stevens & Sons, 1985), 6–9.

[3]                Bambang Pratama, “Regulasi Perlindungan Data Pribadi di Era Digital,” Jurnal Komunikasi dan Informasi Vol. 5, No. 1 (2018): 72–74.

[4]                Mireille Hildebrandt, Smart Technologies and the End(s) of Law (Cheltenham: Edward Elgar Publishing, 2015), 15–18.

[5]                Daniel S. Lev, Legal Evolution and Political Authority in Indonesia: Selected Essays (The Hague: Kluwer Law International, 2000), 92–94.

[6]                Bivitri Susanti, “Keadilan Substantif dalam Praktik Hukum Indonesia,” dalam Hukum Progresif dan Kritik Terhadap Positivisme Hukum, ed. Herlambang P. Wiratraman (Jakarta: Epistema Institute, 2011), 103.

[7]                Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya (Jakarta: Elsam, 2002), 119–122.

[8]                Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan (Jakarta: Kompas, 2008), 9–11.

[9]                Sinta Dewi Rosadi, “Teknologi Hukum dan Akses Keadilan,” Jurnal Hukum & Pembangunan Vol. 49, No. 1 (2019): 54–56.


10.       Kesimpulan

Ilmu Hukum merupakan disiplin ilmiah yang memainkan peranan sangat penting dalam menjaga tatanan sosial, menegakkan keadilan, dan mendorong kemajuan masyarakat. Sebagai ilmu, ia tidak hanya mengkaji hukum sebagai sistem norma, tetapi juga sebagai gejala sosial, struktur kelembagaan, dan refleksi nilai-nilai keadilan dalam suatu masyarakat.¹

Kajian terhadap Ilmu Hukum menunjukkan bahwa pendekatan terhadap hukum haruslah multidimensional. Pendekatan normatif-dogmatik tetap penting untuk membangun konsistensi sistem hukum, namun pendekatan sosiologis, historis, filosofis, dan bahkan kritis perlu diintegrasikan untuk memastikan bahwa hukum tetap kontekstual dan relevan dengan kebutuhan sosial.²

Klasifikasi Ilmu Hukum ke dalam hukum publik dan privat, materiil dan formil, serta cabang-cabang seperti hukum pidana, perdata, tata negara, dan internasional memperlihatkan keluasan dan kedalaman objek kajiannya. Dalam konteks Indonesia, pluralisme hukum menjadi tantangan sekaligus kekayaan tersendiri dalam pengembangan sistem hukum nasional.³

Perkembangan Ilmu Hukum di Indonesia menunjukkan dinamika yang khas—berangkat dari warisan hukum adat dan hukum Islam, melalui dominasi hukum kolonial, hingga menuju proses nasionalisasi dan reformasi hukum pascareformasi. Di tengah arus globalisasi, perkembangan teknologi digital, serta meningkatnya kesadaran akan hak asasi manusia, Ilmu Hukum dituntut untuk terus beradaptasi dan berkembang.⁴

Peran Ilmu Hukum dalam praktik sangat nyata, baik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, penegakan hukum, penyelesaian sengketa, maupun dalam membentuk etika profesi hukum. Di sisi lain, tantangan masa depan Ilmu Hukum meliputi kebutuhan akan pendekatan yang lebih inklusif, responsif, dan berbasis keadilan substantif.

Dalam konteks inilah, gagasan hukum progresif seperti yang dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo menjadi relevan. Hukum tidak cukup hanya ditaati secara formal, tetapi harus diposisikan sebagai instrumen pembebasan dan keadilan bagi masyarakat luas.⁵ Oleh karena itu, masa depan Ilmu Hukum harus diarahkan tidak hanya pada keunggulan konseptual dan metodologis, tetapi juga pada komitmen etik dan kemanusiaan.

Sebagai penutup, Ilmu Hukum harus terus dikembangkan sebagai ilmu yang membumi, bernilai praksis, dan berorientasi pada perubahan sosial yang adil dan berkelanjutan. Sinergi antara teori dan praktik, akademisi dan praktisi, hukum nasional dan global menjadi kunci untuk menjawab tantangan-tantangan hukum masa kini dan masa depan.


Footnotes

[1]                Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), 6–7.

[2]                Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Kencana, 2011), 28–30.

[3]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 42–43.

[4]                Hikmahanto Juwana, “Reformasi Hukum di Indonesia: Masalah dan Tantangan,” Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM Vol. 12, No. 3 (2005): 145.

[5]                Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan (Jakarta: Kompas, 2008), 4–6.


Daftar Pustaka

Achmad, A. (2009). Menguak teori hukum (legal theory) dan teori peradilan (judicialprudence). Kencana.

Asshiddiqie, J. (2005). Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia. Konstitusi Press.

Asshiddiqie, J. (2007). Pengantar ilmu hukum tata negara. Konstitusi Press.

Bivitri, S. (2010). Advokasi berbasis hukum dalam konteks masyarakat sipil. Dalam H. P. Wiratraman (Ed.), Hukum dalam masyarakat transisi (hlm. 113–130). Epistema Institute.

Bivitri, S. (2011). Keadilan substantif dalam praktik hukum Indonesia. Dalam H. P. Wiratraman (Ed.), Hukum progresif dan kritik terhadap positivisme hukum (hlm. 99–115). Epistema Institute.

David, R., & Brierley, J. E. C. (1985). Major legal systems in the world today (3rd ed.). Stevens & Sons.

Dewi Rosadi, S. (2019). Teknologi hukum dan akses keadilan. Jurnal Hukum & Pembangunan, 49(1), 52–60.

Ehrlich, E. (1936). Fundamental principles of the sociology of law (W. L. Moll, Trans.). Harvard University Press.

Farida Indrati, M. (2007). Ilmu perundang-undangan: Jenis, fungsi, dan materi muatan. Kanisius.

Harahap, M. Y. (1975). Hukum Islam dan masalah kenegaraan. Bulan Bintang.

Harahap, M. Y. (2004). Hukum acara perdata. Sinar Grafika.

Hildebrandt, M. (2015). Smart technologies and the end(s) of law. Edward Elgar Publishing.

Juwana, H. (2005). Reformasi hukum di Indonesia. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 12(2), 141–158.

Juwana, H. (2006). Pentingnya pendekatan ilmiah dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 13(2), 150–160.

Kelsen, H. (1967). Pure theory of law (M. Knight, Trans.). University of California Press.

Kelman, M. (1987). A guide to critical legal studies. Harvard University Press.

Lev, D. S. (2000). Legal evolution and political authority in Indonesia: Selected essays. Kluwer Law International.

Mahmud Marzuki, P. (2011). Pengantar ilmu hukum (Edisi revisi). Kencana.

Mertokusumo, S. (2001). Hukum dan penemuan hukum. Liberty.

Pound, R. (1923). Interpretations of legal history. Harvard University Press.

Pratama, B. (2018). Regulasi perlindungan data pribadi di era digital. Jurnal Komunikasi dan Informasi, 5(1), 71–79.

Radbruch, G. (1975). Legal philosophy (K. Wilk, Trans.). Greenwood Press.

Rahardjo, S. (2000). Ilmu hukum. Citra Aditya Bakti.

Rahardjo, S. (2008). Hukum progresif: Hukum yang membebaskan. Kompas.

Schrieke, B. J. O. (1955). Indonesian sociological studies. Van Hoeve.

Shaw, M. N. (2014). International law (7th ed.). Cambridge University Press.

Soekanto, S. (1982). Sosiologi suatu pengantar. RajaGrafindo Persada.

Soekanto, S. (1983). Sosiologi hukum dalam masyarakat. Rajawali.

Soekanto, S. (1986). Pengantar penelitian hukum. UI Press.

Soetandyo, W. (2002). Hukum: Paradigma, metode, dan dinamika masalahnya. Elsam.

Subekti, R. (1996). Pokok-pokok hukum perdata. Intermasa.

Susanti, B., & Wiratraman, H. P. (Eds.). (2011). Hukum progresif dan kritik terhadap positivisme hukum. Epistema Institute.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar