Ilmu Hukum
Hakikat, Ruang Lingkup, dan Dinamika dalam Kehidupan
Masyarakat
Abstrak
Artikel ini membahas Ilmu Hukum secara komprehensif
sebagai suatu disiplin ilmiah yang tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga
berperan penting dalam dinamika sosial, politik, dan budaya masyarakat. Dimulai
dengan pengenalan terhadap pengertian dan ruang lingkup Ilmu Hukum, artikel ini
menguraikan berbagai pendekatan keilmuan yang digunakan, seperti pendekatan
normatif-dogmatik, sosiologis, historis, filosofis, hingga kritis. Pembahasan
dilanjutkan dengan klasifikasi dan cabang-cabang Ilmu Hukum, serta perkembangan
historisnya di Indonesia dari masa pra-kolonial hingga era reformasi. Peran
Ilmu Hukum dalam praktik juga dikaji, termasuk kontribusinya dalam pembentukan
hukum positif, penegakan hukum, pendidikan profesi hukum, serta pemberdayaan
masyarakat. Di bagian akhir, artikel ini menyoroti tantangan kontemporer yang
dihadapi Ilmu Hukum, seperti globalisasi, kemajuan teknologi, pluralisme hukum,
dan kebutuhan akan pembaruan pendidikan hukum. Artikel ini menegaskan bahwa
masa depan Ilmu Hukum terletak pada kemampuannya untuk terus berkembang sebagai
ilmu yang progresif, transformatif, dan berorientasi pada keadilan substantif.
Kata Kunci: Ilmu Hukum, pendekatan hukum, hukum progresif,
keadilan, sistem hukum Indonesia, pendidikan hukum, globalisasi hukum.
PEMBAHASAN
Kajian Ilmu Hukum Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Hukum merupakan salah satu fondasi utama dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ia berfungsi sebagai pedoman
normatif yang mengatur hubungan antarmanusia agar berlangsung secara tertib,
adil, dan berkeadaban. Dalam pandangan klasik, hukum dipandang sebagai sarana
untuk mencapai keadilan (law as a tool of justice), sedangkan dalam
perspektif modern, hukum juga dipahami sebagai alat rekayasa sosial (law as
a tool of social engineering) sebagaimana ditegaskan oleh Roscoe Pound.¹
Dengan demikian, hukum tidak hanya berfungsi memelihara keteraturan, tetapi
juga menjadi sarana perubahan dan pembaharuan sosial.
Ilmu Hukum sebagai disiplin ilmu berkembang dari
kebutuhan manusia untuk memahami, mengkaji, dan mengembangkan hukum secara
sistematis dan rasional. Perkembangan Ilmu Hukum mencerminkan interaksi antara
norma hukum dan realitas sosial yang melingkupinya. Menurut Satjipto Rahardjo,
Ilmu Hukum tidak hanya terbatas pada studi terhadap peraturan
perundang-undangan, melainkan juga mencakup upaya memahami hukum sebagai gejala
sosial yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.² Hal ini menunjukkan bahwa
Ilmu Hukum harus mampu menjembatani antara idealitas normatif dengan kenyataan
empirik dalam praktik hukum.
Sebagai ilmu, Ilmu Hukum memiliki ciri khas yang
membedakannya dari ilmu sosial lainnya. Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa
Ilmu Hukum memiliki dua pendekatan utama, yakni pendekatan normatif yang
menekankan analisis terhadap isi hukum positif dan pendekatan empiris yang
mengkaji perilaku hukum dalam kenyataan sosial.³ Pendekatan ganda ini menjadi penting
dalam memahami kompleksitas hukum dalam kehidupan nyata, di mana hukum tidak
selalu beroperasi secara ideal.
Urgensi pembahasan tentang Ilmu Hukum semakin
meningkat dalam konteks dinamika masyarakat modern yang ditandai oleh
globalisasi, perkembangan teknologi informasi, serta munculnya berbagai isu
lintas batas seperti hak asasi manusia, kejahatan siber, dan perubahan iklim.
Perubahan tersebut menuntut adanya pemahaman hukum yang adaptif, kontekstual,
dan transformatif.⁴ Oleh karena itu, memahami hakikat, ruang lingkup, serta
dinamika Ilmu Hukum menjadi hal yang fundamental bagi siapa pun yang terlibat
dalam pengkajian, pendidikan, dan praktik hukum.
Artikel ini disusun untuk memberikan pemahaman
menyeluruh mengenai Ilmu Hukum, dimulai dari definisi dan ruang lingkupnya,
pendekatan-pendekatan yang digunakan, klasifikasi cabang-cabang hukum, hingga
tantangan dan prospeknya di masa depan. Dengan penyajian yang sistematis dan
berbasis pada sumber-sumber ilmiah yang kredibel, diharapkan artikel ini dapat menjadi
rujukan akademik yang bermanfaat bagi mahasiswa, dosen, praktisi hukum, dan
masyarakat umum yang ingin memahami Ilmu Hukum secara komprehensif.
Footnotes
[1]
Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy
of Law (New Haven: Yale University Press, 1922), 30.
[2]
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2000), 19–21.
[3]
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum
(Jakarta: UI Press, 1986), 5–7.
[4]
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum
(Jakarta: Kencana, 2011), 40–42.
2.
Pengertian
Ilmu Hukum
Ilmu Hukum merupakan cabang ilmu pengetahuan yang
secara sistematis mempelajari hukum sebagai suatu gejala normatif maupun
sosial. Pengertian Ilmu Hukum tidak dapat dilepaskan dari karakteristik hukum
itu sendiri sebagai sistem norma yang mengatur perilaku manusia dalam
masyarakat. Hukum bersifat dinamis, kontekstual, dan tidak terlepas dari
nilai-nilai keadilan yang melandasinya.
Menurut Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum adalah
suatu ilmu yang tidak semata-mata membahas hukum sebagai teks atau kumpulan
peraturan perundang-undangan, tetapi juga menempatkan hukum dalam konteks
kehidupan sosial. Dalam pandangan progresifnya, hukum harus dipahami sebagai
bagian dari proses sosial yang terus-menerus berkembang seiring perubahan
masyarakat.¹ Dengan demikian, Ilmu Hukum tidak hanya mempelajari "apa
hukum itu" tetapi juga "untuk apa hukum itu ada".
Berbeda dengan itu, Hans Kelsen, dalam Pure
Theory of Law, memberikan batasan yang ketat terhadap Ilmu Hukum. Ia
menekankan bahwa Ilmu Hukum harus bersifat murni (reine Rechtslehre),
yaitu bebas dari unsur-unsur non-yuridis seperti politik, moralitas, atau
sosiologi.² Menurut Kelsen, tugas Ilmu Hukum adalah mengkaji norma-norma hukum
secara logis dan sistematis, dengan menempatkan norma hukum tertinggi (Grundnorm)
sebagai landasan hierarkis dari keseluruhan sistem hukum.
Sementara itu, Soerjono Soekanto menawarkan
pendekatan yang lebih integratif. Ia membedakan antara Ilmu Hukum normatif dan
Ilmu Hukum empiris. Ilmu Hukum normatif mempelajari hukum sebagai sistem norma,
sedangkan Ilmu Hukum empiris mempelajari hukum sebagai gejala sosial yang dapat
diamati dan diukur dalam kehidupan masyarakat.³ Pendekatan ini mencerminkan
pentingnya memahami hukum tidak hanya dari sisi normatif-tekstual, tetapi juga
dari perspektif sosiologis.
Dalam kajian akademik, Ilmu Hukum juga sering
dibedakan dari disiplin ilmu lain yang berkaitan, seperti:
·
Dogmatika Hukum, yang fokus
pada rekonstruksi sistem hukum positif berdasarkan interpretasi dan
sistematisasi norma.
·
Filsafat Hukum, yang
mengkaji aspek-aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari hukum.
·
Sosiologi Hukum, yang
meneliti bagaimana hukum berfungsi dan beroperasi dalam masyarakat.
Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa Ilmu Hukum memiliki objek formal yang
khas, yaitu norma hukum, yang membedakannya dari ilmu sosial lain yang mengkaji
masyarakat secara umum. Ia juga menegaskan bahwa hukum harus dipahami tidak
hanya sebagai sistem peraturan, tetapi juga sebagai sistem nilai.⁴ Oleh karena
itu, Ilmu Hukum tidak dapat berdiri sendiri tanpa memahami konteks sosial dan
filosofis dari hukum itu sendiri.
Dari berbagai pandangan tersebut dapat disimpulkan
bahwa Ilmu Hukum merupakan ilmu yang multidimensi. Ia mencakup dimensi
normatif, empiris, dan filosofis yang saling terkait. Pemahaman yang
komprehensif terhadap Ilmu Hukum membutuhkan keseimbangan antara logika hukum,
realitas sosial, serta nilai-nilai keadilan yang ingin diwujudkan oleh hukum.
Footnotes
[1]
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2000), 22–24.
[2]
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max
Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 1–5.
[3]
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1982), 45–48.
[4]
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum
(Jakarta: Kencana, 2011), 12–15.
3.
Ruang
Lingkup Ilmu Hukum
Ruang lingkup Ilmu
Hukum mencerminkan keluasan aspek yang dipelajari dalam ilmu ini, baik dari
segi objek material maupun objek formalnya. Pemahaman terhadap ruang lingkup
ini menjadi penting untuk mengetahui batasan, pendekatan, dan dimensi kajian
yang diwadahi dalam Ilmu Hukum sebagai suatu disiplin akademik.
3.1. Objek Material dan Objek Formal Ilmu Hukum
Secara metodologis,
Ilmu Hukum memiliki dua jenis objek: objek material dan objek
formal. Objek material Ilmu Hukum adalah hukum
itu sendiri, yaitu keseluruhan norma yang mengatur kehidupan
masyarakat agar berlangsung secara tertib dan adil. Sementara itu, objek
formalnya adalah cara atau pendekatan yang digunakan dalam mempelajari
hukum.¹
Soerjono
Soekanto menjelaskan bahwa objek formal Ilmu Hukum bersifat
normatif, yakni menitikberatkan pada analisis terhadap norma-norma hukum
sebagai sistem yang logis, rasional, dan konsisten.² Namun, dalam
perkembangannya, pendekatan empiris juga digunakan untuk melihat bagaimana
hukum bekerja dalam kenyataan sosial.
3.2. Hukum sebagai Norma
Salah satu fokus
utama Ilmu Hukum adalah hukum sebagai norma. Dalam
konteks ini, Ilmu Hukum berfungsi untuk memahami, mengklasifikasi, dan menafsirkan
peraturan hukum yang berlaku secara sistematis. Hal ini dikenal sebagai dogmatika
hukum, yaitu cabang dari Ilmu Hukum yang bertujuan menyusun dan
mengembangkan sistem hukum positif agar dapat diterapkan secara konsisten.³
Ilmu Hukum dalam
aspek ini berurusan dengan konsep-konsep normatif seperti keadilan, kepastian
hukum, legalitas, dan legitimasi. Sehingga, norma hukum tidak hanya dilihat
sebagai aturan yang memaksa, tetapi juga sebagai cerminan nilai-nilai moral dan
sosial dalam suatu masyarakat.
3.3. Hukum sebagai Institusi Sosial
Selain sebagai
norma, hukum juga merupakan institusi sosial. Dalam
perspektif ini, hukum dipelajari sebagai hasil konstruksi sosial yang lahir
dari kebutuhan masyarakat akan keteraturan dan keadilan.⁴ Studi hukum dalam
konteks institusi sosial mengkaji bagaimana hukum diproduksi, diinterpretasi,
dan diterapkan oleh lembaga-lembaga sosial seperti pengadilan, parlemen,
kepolisian, dan sebagainya.
Eugen
Ehrlich, pelopor Mazhab Sosiologi Hukum, menegaskan bahwa “law
in the books” (hukum tertulis) sering kali berbeda dengan “law in action”
(hukum dalam praktik).⁵ Oleh karena itu, ruang lingkup Ilmu Hukum juga harus
mencakup studi empiris mengenai perilaku hukum dalam kehidupan nyata.
3.4. Hukum sebagai Sistem Nilai dan Budaya
Ilmu Hukum juga
mencakup pemahaman terhadap hukum sebagai sistem nilai dan
bagian dari budaya masyarakat. Hukum tidak
hidup dalam ruang hampa, melainkan dibentuk oleh konteks budaya, agama, adat,
dan sejarah suatu bangsa.⁶ Dalam pendekatan ini, hukum dikaji sebagai ekspresi
nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat, seperti keadilan, kesetaraan, dan
hak asasi manusia.
Dalam konteks
Indonesia, misalnya, hukum nasional tidak dapat dilepaskan dari pluralitas
sistem hukum yang ada, seperti hukum adat, hukum Islam, dan hukum warisan
kolonial. Ruang lingkup Ilmu Hukum di Indonesia karena itu juga melibatkan
pemahaman atas pluralisme hukum tersebut dan bagaimana sistem-sistem hukum ini
saling berinteraksi.
3.5. Interdisipliner dan Multidisipliner
Karena kompleksitas
objek kajiannya, Ilmu Hukum tidak dapat dipelajari secara tunggal. Ia
memerlukan pendekatan interdisipliner dan multidisipliner,
yang melibatkan ilmu-ilmu lain seperti sosiologi, filsafat, antropologi,
politik, dan ekonomi.⁷ Dengan demikian, Ilmu Hukum berkembang menjadi ilmu yang
dinamis dan terbuka terhadap perkembangan zaman dan tantangan sosial yang
dihadapi masyarakat.
Footnotes
[1]
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) (Jakarta: Kencana, 2009), 23.
[2]
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI
Press, 1986), 8.
[3]
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Kencana,
2011), 23–24.
[4]
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2000), 35–37.
[5]
Eugen Ehrlich, Fundamental Principles of the Sociology of Law,
trans. Walter L. Moll (Cambridge: Harvard University Press, 1936), 493.
[6]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia
(Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 27–28.
[7]
Brian Z. Tamanaha, A General Jurisprudence of Law and Society
(Oxford: Oxford University Press, 2001), 10.
4.
Tujuan
dan Fungsi Ilmu Hukum
Ilmu Hukum sebagai
suatu disiplin akademik memiliki peranan penting dalam menunjang keberfungsian
hukum dalam masyarakat. Sebagai ilmu yang menelaah hukum secara sistematis,
Ilmu Hukum tidak hanya bertujuan untuk memahami dan menjelaskan norma-norma
hukum yang berlaku, tetapi juga berperan dalam membentuk, mengembangkan, dan
mengawasi pelaksanaan hukum agar selaras dengan nilai-nilai keadilan dan
perkembangan sosial.
4.1. Tujuan Ilmu Hukum: Mewujudkan Keadilan, Kepastian,
dan Kemanfaatan
Dalam teori hukum
klasik, hukum ideal harus mengandung tiga nilai fundamental, yaitu keadilan,
kepastian
hukum, dan kemanfaatan. Pemikiran ini
berkembang dari gagasan para filsuf hukum seperti Aristoteles dan diteruskan
dalam kerangka hukum modern.¹
·
Keadilan
(justice) merupakan tujuan utama hukum menurut tradisi filsafat
hukum. Keadilan dalam konteks hukum berarti memberikan kepada setiap orang apa
yang menjadi haknya.
·
Kepastian
hukum (legal certainty) memberikan rasa aman dan stabilitas
karena norma-norma hukum bersifat tetap dan dapat diprediksi.
·
Kemanfaatan
(utility) menekankan fungsi hukum sebagai sarana untuk mencapai
tujuan sosial, yakni ketertiban, kesejahteraan, dan harmoni sosial.
Achmad
Ali menekankan bahwa Ilmu Hukum harus menjembatani ketiga nilai
tersebut dalam realitas yang dinamis, agar hukum tidak hanya sekadar normatif
tetapi juga berdaya guna bagi masyarakat.²
4.2. Fungsi Normatif: Memberi Pedoman dan Struktur Sistem
Hukum
Ilmu Hukum memiliki
fungsi normatif,
yaitu menjelaskan, menafsirkan, dan menyistematisasi norma-norma hukum yang
berlaku. Dalam fungsinya ini, Ilmu Hukum bekerja seperti "arsitek"
sistem hukum, yang membangun dan menata struktur peraturan perundang-undangan
secara logis dan koheren.³ Dogmatika hukum—sebagai cabang normatif dari Ilmu
Hukum—berperan penting dalam merumuskan konsep-konsep hukum seperti hak,
kewajiban, subjek hukum, dan sanksi.
Fungsi ini sangat
vital dalam praktik peradilan, pendidikan hukum, serta perumusan kebijakan
publik. Tanpa penataan ilmiah terhadap norma, hukum menjadi tumpang tindih,
kabur, dan rentan disalahgunakan.
4.3. Fungsi Sosiologis: Alat Rekayasa Sosial dan
Resolusi Konflik
Ilmu Hukum juga
menjalankan fungsi sosiologis, yaitu
melihat hukum sebagai alat untuk mengubah dan membentuk masyarakat
(social engineering). Konsep ini pertama kali dikemukakan oleh Roscoe
Pound, yang menyatakan bahwa hukum bukan hanya menjaga tatanan
sosial, tetapi juga sarana untuk membentuk masyarakat menjadi lebih baik.⁴
Dalam masyarakat
modern yang kompleks, hukum menjadi sarana utama dalam menyelesaikan konflik,
membatasi kekuasaan, serta mendorong transformasi sosial. Oleh karena itu, Ilmu
Hukum harus responsif terhadap perkembangan sosial dan kebutuhan masyarakat
kontemporer.
4.4. Fungsi Evaluatif dan Kritis terhadap Hukum Positif
Ilmu Hukum tidak
hanya bersifat deskriptif, tetapi juga evaluatif dan kritis. Ia
bertugas mengkaji apakah hukum yang berlaku sudah sesuai dengan nilai-nilai
keadilan, hak asasi manusia, serta prinsip-prinsip konstitusional.⁵ Melalui
fungsi ini, Ilmu Hukum berperan sebagai pengawal moralitas hukum—menguji apakah
hukum telah berfungsi sebagaimana mestinya atau justru menjadi alat penindasan.
Dalam praktiknya,
fungsi kritis ini dilakukan melalui kajian yuridis akademik, uji materiil
terhadap undang-undang, serta advokasi hukum berbasis hak dan keadilan
substantif.
4.5. Fungsi Praktis dalam Pendidikan dan Profesi Hukum
Ilmu Hukum juga
memiliki fungsi praktis, khususnya dalam
pendidikan hukum dan pelatihan profesi hukum. Ia membentuk kerangka berpikir
yuridis, keterampilan argumentasi hukum, serta integritas profesional bagi
calon-calon praktisi hukum: hakim, jaksa, advokat, notaris, maupun akademisi.⁶
Melalui Ilmu Hukum,
para profesional tidak hanya dibekali dengan pengetahuan hukum positif, tetapi
juga pemahaman kritis terhadap prinsip-prinsip dasar hukum dan tanggung jawab
sosial mereka.
Footnotes
[1]
Gustav Radbruch, Legal Philosophy, trans. Kurt Wilk (New York:
Greenwood Press, 1975), 41–43.
[2]
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) (Jakarta: Kencana, 2009), 57.
[3]
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Kencana,
2011), 31–34.
[4]
Roscoe Pound, Interpretations of Legal History (Cambridge:
Harvard University Press, 1923), 58.
[5]
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2000), 79–80.
[6]
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika
Masalahnya (Jakarta: Elsam, 2002), 26.
5.
Macam-Macam
Pendekatan dalam Ilmu Hukum
Ilmu Hukum sebagai
disiplin akademik tidak dapat dilepaskan dari keberagaman pendekatan yang
digunakan untuk memahami dan menganalisis hukum. Pendekatan-pendekatan ini
menunjukkan bahwa hukum dapat dilihat dari berbagai sudut pandang—baik sebagai
norma, fakta sosial, maupun sistem nilai. Perbedaan pendekatan ini juga
menegaskan bahwa hukum bukan hanya sistem peraturan tertulis, melainkan juga
fenomena sosial yang kompleks dan dinamis.
5.1. Pendekatan Normatif-Dogmatik
Pendekatan normatif-dogmatik
merupakan pendekatan klasik dan dominan dalam studi hukum di Indonesia maupun
secara global. Pendekatan ini memandang hukum sebagai sistem norma yang logis,
terstruktur, dan konsisten. Fokus utama pendekatan ini adalah analisis terhadap
isi hukum positif—yaitu peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, doktrin
hukum, dan kebiasaan.¹
Peter
Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa pendekatan normatif bekerja
dengan menggunakan logika deduktif dalam menafsirkan aturan hukum, menyusun
argumentasi hukum, dan menemukan solusi atas kasus-kasus hukum tertentu.²
Pendekatan ini penting dalam membentuk kepastian hukum, karena ia mengedepankan
sistematisasi dan konsistensi norma.
5.2. Pendekatan Sosiologis-Empiris
Berbeda dari
pendekatan normatif, pendekatan sosiologis-empiris
memandang hukum sebagai bagian dari realitas sosial. Pendekatan ini menekankan
pada bagaimana hukum berfungsi dalam praktik, bukan
hanya bagaimana ia dirumuskan. Dengan demikian, fokusnya adalah pada perilaku
masyarakat terhadap hukum, efektivitas penegakan hukum, serta dinamika hubungan
antara hukum dan struktur sosial.³
Soerjono
Soekanto memelopori pendekatan ini di Indonesia dengan
mengembangkan studi sosiologi hukum yang melihat hukum sebagai salah satu
lembaga sosial yang hidup dalam masyarakat.⁴ Pendekatan ini sangat berguna
dalam mengevaluasi keberhasilan suatu peraturan dalam mencapai tujuannya serta
memahami mengapa suatu norma hukum ditaati atau justru diabaikan.
5.3. Pendekatan Historis dan Komparatif
Pendekatan
historis digunakan untuk memahami bagaimana suatu sistem hukum
berkembang dari waktu ke waktu. Hukum tidak lahir dalam ruang hampa; ia
dipengaruhi oleh sejarah politik, sosial, ekonomi, dan budaya suatu bangsa.
Pendekatan ini membantu dalam menelusuri akar peraturan yang berlaku serta
memberikan pemahaman atas logika pembentukannya.⁵
Sementara itu, pendekatan
komparatif bertujuan untuk membandingkan sistem hukum dari
berbagai negara atau tradisi hukum. Pendekatan ini sering digunakan untuk
mencari solusi hukum yang lebih efektif, mengadopsi praktik terbaik dari negara
lain, atau merancang harmonisasi hukum di tingkat internasional.⁶
5.4. Pendekatan Filsafat dan Teoretis
Pendekatan
filsafat hukum bertujuan untuk mengkaji dimensi-dimensi
mendasar dari hukum, seperti hakikat keadilan, legalitas, moralitas, dan
kebenaran hukum. Pendekatan ini berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar
seperti: Apa itu hukum? Mengapa hukum harus ditaati? Apa hubungan antara
hukum dan etika?_⁷
Tokoh-tokoh seperti Hans
Kelsen (dengan Pure Theory of Law) dan Ronald
Dworkin (dengan teori law as integrity) menjadi rujukan
utama dalam pendekatan ini. Kajian filsafat hukum sangat penting dalam
membentuk landasan normatif dan teoritis bagi sistem hukum yang adil dan
manusiawi.
5.5. Pendekatan Kritis dan Emansipatoris
Seiring
berkembangnya pemikiran hukum kontemporer, muncul pendekatan kritis
yang mencoba membongkar struktur kekuasaan di balik hukum yang tampak netral. Critical
Legal Studies (CLS), Feminist Legal Theory, dan Postmodern
Legal Theory merupakan contoh pendekatan ini.⁸
Pendekatan ini
melihat hukum sebagai produk ideologi dan dominasi kelompok tertentu, serta
mendorong pembaruan hukum yang lebih inklusif, adil gender, dan berpihak pada
kelompok-kelompok marjinal. Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini mulai diadopsi
dalam isu-isu seperti hukum dan keadilan gender, hukum adat, dan hak-hak
masyarakat minoritas.⁹
Footnotes
[1]
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Kencana,
2011), 25–27.
[2]
Ibid., 33.
[3]
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2000), 36.
[4]
Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat (Jakarta:
Rajawali, 1983), 7–10.
[5]
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara
Pasca Reformasi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI,
2006), 14.
[6]
René David dan John E.C. Brierley, Major Legal Systems in the World
Today (London: Stevens & Sons, 1985), 3–4.
[7]
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley:
University of California Press, 1967), 1–5.
[8]
Mark Kelman, A Guide to Critical Legal Studies (Cambridge:
Harvard University Press, 1987), 1–3.
[9]
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan (Yogyakarta:
Kanisius, 2007), 129.
6.
Klasifikasi
dan Cabang Ilmu Hukum
Ilmu Hukum sebagai
bidang keilmuan memiliki struktur yang kompleks, mencakup berbagai cabang dan
klasifikasi yang memudahkan pemahaman serta penerapannya dalam berbagai
konteks. Klasifikasi ini tidak hanya mencerminkan pembagian teknis, tetapi juga
menandakan perbedaan pendekatan, ruang lingkup, dan tujuan dari masing-masing
cabang hukum. Secara umum, Ilmu Hukum dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa
kategori besar: hukum publik dan hukum privat, hukum materiil dan hukum formil,
serta hukum nasional dan hukum internasional.
6.1. Hukum Publik dan Hukum Privat
Klasifikasi klasik
dalam Ilmu Hukum membedakan antara hukum publik (public law) dan hukum
privat (private law).
·
Hukum
publik mengatur hubungan antara individu dengan negara, serta
hubungan antarlembaga negara. Ia meliputi cabang-cabang seperti hukum
tata negara, hukum administrasi negara,
dan hukum pidana.
·
Hukum
privat, di sisi lain, mengatur hubungan antara individu atau
subjek hukum secara horizontal, seperti dalam hukum perdata,
hukum keluarga, dan hukum
dagang.¹
Menurut Sudikno
Mertokusumo, pembedaan ini berdasarkan pada pihak yang
diuntungkan oleh norma hukum: bila norma tersebut melindungi kepentingan umum,
maka termasuk hukum publik; bila melindungi kepentingan perorangan, termasuk
hukum privat.²
6.2. Hukum Materiil dan Hukum Formil
Klasifikasi lain
yang penting dalam Ilmu Hukum adalah antara hukum materiil dan hukum
formil.
·
Hukum
materiil adalah hukum yang mengatur isi atau substansi hak dan
kewajiban, seperti dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) atau
KUHPidana (KUHP).
·
Hukum
formil, atau hukum acara, merupakan aturan yang mengatur cara
menegakkan hukum materiil, seperti hukum
acara perdata, hukum acara pidana,
dan hukum acara tata usaha negara.³
Perbedaan ini sangat
penting dalam praktik peradilan, karena pengakuan terhadap suatu hak harus didukung
oleh prosedur hukum yang sah.
6.3. Cabang-Cabang Hukum Positif
Ilmu Hukum juga
dikembangkan menjadi berbagai cabang hukum positif, yang
masing-masing memiliki ruang lingkup dan objek kajian tersendiri:
·
Hukum
Perdata: mengatur hubungan hukum antarindividu, termasuk dalam
aspek waris, perikatan, dan perjanjian.
·
Hukum
Pidana: mengatur perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana
serta sanksi bagi pelakunya.
·
Hukum
Tata Negara: mengkaji struktur ketatanegaraan dan hubungan
antarlembaga negara.
·
Hukum
Administrasi Negara: mengatur tindakan pemerintah dalam
menjalankan fungsi eksekutif.
·
Hukum
Internasional: meliputi hukum internasional publik (hubungan
antarnegara dan organisasi internasional) dan hukum internasional privat
(hubungan perdata lintas negara).⁴
Cabang-cabang
tersebut dapat dipelajari secara normatif maupun empiris, tergantung pendekatan
yang digunakan.
6.4. Hukum Nasional, Hukum Asing, dan Hukum
Internasional
Hukum
nasional merupakan sistem hukum yang berlaku dalam suatu negara
tertentu, disusun berdasarkan sumber hukum yang sah seperti konstitusi,
undang-undang, dan kebiasaan hukum. Dalam konteks Indonesia, hukum nasional
juga meliputi hukum adat dan hukum
agama yang hidup berdampingan dalam kerangka pluralisme hukum.⁵
Hukum
asing merupakan sistem hukum dari negara lain yang dapat
dipelajari untuk kepentingan komparatif atau harmonisasi hukum. Sementara hukum
internasional dibentuk melalui perjanjian internasional,
kebiasaan internasional, serta prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh
komunitas global.⁶
6.5. Klasifikasi Berdasarkan Fungsi dan Tujuan
Dalam perkembangan
kontemporer, klasifikasi hukum juga bisa dibedakan berdasarkan fungsinya:
·
Hukum
represif, yang berfungsi memberikan sanksi atas pelanggaran
(misalnya hukum pidana).
·
Hukum
preventif, yang berfungsi mencegah terjadinya pelanggaran
(misalnya hukum lingkungan, hukum perlindungan konsumen).
·
Hukum
progresif, yang berorientasi pada keadilan substantif dan
transformasi sosial. Pendekatan ini diperkenalkan oleh Satjipto
Rahardjo, yang memandang hukum tidak sekadar sebagai institusi
normatif, tetapi sebagai alat perjuangan untuk membela kemanusiaan.⁷
Footnotes
[1]
Sudikno Mertokusumo, Hukum dan Penemuan Hukum (Yogyakarta:
Liberty, 2001), 13–14.
[2]
Ibid., 15.
[3]
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Kencana,
2011), 36–37.
[4]
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2004), 12–16.
[5]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia
(Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 45–46.
[6]
Malcolm N. Shaw, International Law, 7th ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 2014), 25–26.
[7]
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan
(Jakarta: Kompas, 2008), 3–6.
7.
Perkembangan
Ilmu Hukum di Indonesia
Ilmu Hukum di
Indonesia berkembang dalam lintasan sejarah yang panjang dan kompleks,
dipengaruhi oleh dinamika sosial, politik, dan budaya yang silih berganti.
Mulai dari masa pra-kolonial yang ditandai dengan dominasi hukum adat dan hukum
Islam, masa kolonial Belanda yang memperkenalkan sistem hukum Eropa
Kontinental, hingga era pascakemerdekaan yang ditandai dengan upaya pembentukan
sistem hukum nasional yang mandiri dan berkepribadian Indonesia.
7.1. Masa Pra-Kolonial: Hukum Adat dan Hukum Islam
Sebelum kedatangan
kolonialisme, sistem hukum yang berlaku di Nusantara bersumber dari hukum
adat dan hukum Islam. Hukum adat hidup
secara dinamis dalam masyarakat dan diwariskan secara lisan, mengatur kehidupan
sosial berdasarkan nilai-nilai lokal, musyawarah, dan keseimbangan.¹ Hukum
Islam mulai berkembang sejak abad ke-13 melalui dakwah dan aktivitas
perdagangan, dan diadopsi terutama dalam bidang perdata seperti perkawinan,
waris, dan muamalah.²
Meskipun belum
berbentuk sistem kodifikasi tertulis, kedua sistem hukum ini memainkan peran
besar dalam mengatur kehidupan masyarakat dan membentuk identitas hukum
Indonesia.
7.2. Masa Kolonial: Dominasi Hukum Barat
Dengan kedatangan
Belanda, terutama setelah diberlakukannya Wetboek van Strafrecht (WvS)
dan Burgerlijk
Wetboek (BW) pada abad ke-19, sistem hukum di Indonesia mengalami
formalisasi
dan kodifikasi berdasarkan asas-asas hukum Eropa Kontinental.³
Pemberlakuan hukum
Belanda dilakukan secara diskriminatif berdasarkan klasifikasi penduduk: Eropa,
Timur Asing, dan Pribumi. Sistem ini menyebabkan marginalisasi hukum adat dan
hukum Islam, yang hanya diakui sejauh tidak bertentangan dengan asas kolonial.⁴
Namun demikian, masa
ini juga menandai lahirnya pendidikan hukum formal di Indonesia, seperti
berdirinya Rechtshoogeschool te Batavia
pada tahun 1924, yang menjadi embrio pendidikan hukum modern di Indonesia.⁵
7.3. Masa Pascakemerdekaan: Kodifikasi dan Nasionalisasi
Setelah Indonesia
merdeka pada tahun 1945, upaya pembentukan sistem hukum nasional mulai
dirintis. UUD 1945 menjadi landasan konstitusional, namun produk hukum
kolonial masih banyak dipertahankan karena kebutuhan akan
kepastian hukum yang mendesak.⁶
Proses nasionalisasi
hukum berjalan lambat dan menghadapi tantangan serius, antara
lain keterbatasan tenaga ahli hukum, ketergantungan pada sistem Eropa Kontinental,
serta pluralisme hukum yang kuat di masyarakat. Meski demikian, beberapa
langkah penting dilakukan, seperti pembentukan Mahkamah Konstitusi, penguatan
Mahkamah Agung, dan reformasi peradilan.
7.4. Era Reformasi: Dinamika dan Tantangan Kontemporer
Sejak era Reformasi
1998, Ilmu Hukum di Indonesia mengalami transformasi besar-besaran,
baik dalam praktik maupun dalam pendekatan akademis. Isu-isu seperti hak
asasi manusia, korupsi, lingkungan
hidup, dan hukum adat menjadi sorotan
utama dalam studi hukum.⁷
Reformasi
kelembagaan hukum juga diperkuat dengan lahirnya lembaga-lembaga seperti Komisi
Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Mahkamah Konstitusi
(MK), yang memperluas medan kajian Ilmu Hukum.⁸
Secara akademis,
pendekatan hukum tidak lagi bersifat dogmatik semata, tetapi mulai
mengintegrasikan pendekatan sosiologis, kritis, dan interdisipliner.
Hal ini tercermin dalam kurikulum pendidikan tinggi hukum, yang kini memuat
mata kuliah seperti Hukum dan Gender, Hukum Internasional HAM, serta Hukum
Lingkungan.
7.5. Tantangan Pengembangan Ilmu Hukum di Indonesia
Meski telah banyak
mengalami kemajuan, pengembangan Ilmu Hukum di Indonesia masih menghadapi
sejumlah tantangan, antara lain:
·
Kurangnya keterpaduan
antara teori dan praktik hukum;
·
Dominasi pendekatan
normatif yang masih kuat dalam pendidikan hukum;
·
Kesenjangan akses terhadap
keadilan di daerah terpencil;
·
Ketergantungan pada doktrin
dan sistem hukum asing yang belum sepenuhnya dikontekstualisasikan.⁹
Sebagai solusi,
beberapa ahli hukum seperti Satjipto Rahardjo mendorong
perlunya pengembangan hukum progresif, yaitu
pendekatan hukum yang berorientasi pada keadilan substantif dan kemanusiaan.¹⁰
Footnotes
[1]
Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1971), 5–7.
[2]
B.J.O. Schrieke, Indonesian Sociological Studies (The Hague:
Van Hoeve, 1955), 88.
[3]
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa,
1996), 1–2.
[4]
M. Yahya Harahap, Hukum Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975), 43–45.
[5]
Daniel S. Lev, Legal Evolution and Political Authority in
Indonesia: Selected Essays (The Hague: Kluwer Law International, 2000),
27.
[6]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta:
Konstitusi Press, 2007), 19–20.
[7]
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan (Yogyakarta:
Kanisius, 2007), 152.
[8]
Hikmahanto Juwana, “Reformasi Hukum di Indonesia,” Jurnal Hukum IUS
QUIA IUSTUM Vol. 12, No. 2 (2005): 145–147.
[9]
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika
Masalahnya (Jakarta: Elsam, 2002), 108–110.
[10]
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan
(Jakarta: Kompas, 2008), 2–4.
8.
Peran
Ilmu Hukum dalam Praktik
Ilmu Hukum bukan
hanya sebatas aktivitas teoretis yang berlangsung di ruang akademik, melainkan
memiliki fungsi praktis yang sangat
nyata dalam kehidupan masyarakat. Peran Ilmu Hukum dalam praktik mencakup
penerapan norma hukum, pembentukan peraturan, penyelesaian sengketa, penegakan
keadilan, hingga pembentukan karakter profesional hukum yang berintegritas.
Dengan kata lain, Ilmu Hukum menjembatani antara teori
hukum dan realitas hukum dalam
masyarakat.
8.1. Ilmu Hukum sebagai Fondasi Pembentukan Hukum
Positif
Ilmu Hukum memainkan
peran penting dalam proses legislasi, yaitu pembentukan
hukum positif melalui perundang-undangan. Para ahli hukum menggunakan
prinsip-prinsip hukum umum, logika hukum, dan nilai-nilai keadilan untuk
merancang undang-undang yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.¹
Maria
Farida Indrati menegaskan bahwa tanpa landasan ilmiah yang
kuat, produk hukum cenderung bersifat tumpang tindih, multitafsir, atau bahkan
bertentangan satu sama lain. Oleh karena itu, keterlibatan Ilmu Hukum dalam
proses legislasi penting untuk menjamin kualitas dan keberlakuan hukum.²
8.2. Ilmu Hukum dalam Penegakan Hukum
Dalam konteks
penegakan hukum, Ilmu Hukum membantu para penegak hukum—hakim, jaksa, advokat,
dan polisi—untuk memahami, menafsirkan, dan menerapkan peraturan
perundang-undangan dengan tepat dan adil. Ilmu Hukum memberikan kerangka
berpikir sistematis dan alat analisis yuridis yang
dibutuhkan dalam proses pembuktian, pengambilan putusan, dan pelaksanaan
keadilan.³
Satjipto
Rahardjo bahkan mengingatkan bahwa penegakan hukum yang tidak
didasari pemahaman filosofis dan sosiologis bisa berubah menjadi “kekuasaan
normatif yang membelenggu,” bukan sarana keadilan.⁴ Oleh karena itu, Ilmu
Hukum dibutuhkan agar penegakan hukum tidak hanya legal secara formal, tetapi
juga legitim
secara moral dan sosial.
8.3. Ilmu Hukum dalam Penyelesaian Sengketa
Peran Ilmu Hukum
juga sangat menonjol dalam penyelesaian konflik hukum,
baik melalui lembaga peradilan (litigasi) maupun di luar pengadilan
(non-litigasi), seperti arbitrase, mediasi, dan konsiliasi. Dalam konteks ini,
Ilmu Hukum membantu para profesional hukum merumuskan strategi penyelesaian
yang sesuai dengan norma hukum, prinsip keadilan, dan konteks sosial para pihak
yang bersengketa.⁵
Melalui analisis
yuridis dan interpretasi norma, Ilmu Hukum berperan dalam memberikan solusi
konkret atas persoalan-persoalan hukum yang dihadapi masyarakat,
baik dalam skala individu, korporasi, maupun negara.
8.4. Ilmu Hukum dan Etika Profesi
Ilmu Hukum juga
berkontribusi terhadap pembentukan etika profesi hukum, yang
menjadi dasar moral bagi para pelaku hukum dalam menjalankan peran mereka.
Profesi hukum, seperti hakim dan advokat, dituntut tidak hanya menguasai hukum
positif, tetapi juga memiliki integritas, rasa keadilan, dan kepekaan sosial.⁶
Pendidikan Ilmu
Hukum di tingkat perguruan tinggi menjadi tempat strategis untuk membangun karakter
keilmuan dan etis para calon profesional hukum. Kurikulum hukum
yang memasukkan mata kuliah seperti etika profesi, filsafat
hukum, dan hak asasi manusia mencerminkan
kesadaran akan pentingnya dimensi moral dalam praktik hukum.
8.5. Ilmu Hukum dalam Advokasi dan Pemberdayaan
Masyarakat
Dalam masyarakat
sipil, Ilmu Hukum menjadi alat advokasi untuk
memperjuangkan hak-hak warga negara, terutama kelompok-kelompok rentan seperti
perempuan, anak, masyarakat adat, dan korban pelanggaran HAM.⁷
Organisasi
non-pemerintah, paralegal, dan akademisi hukum memanfaatkan Ilmu Hukum untuk
mengedukasi masyarakat, membentuk kesadaran hukum (legal awareness), dan
mendorong perubahan sosial melalui jalur hukum. Pendekatan ini sejalan dengan
pandangan hukum sebagai sarana emansipasi dan pembebasan,
bukan sekadar alat kontrol sosial.
Footnotes
[1]
Hikmahanto Juwana, “Pentingnya Pendekatan Ilmiah dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan,” Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM Vol. 13,
No. 2 (2006): 151.
[2]
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan (Yogyakarta:
Kanisius, 2007), 81–83.
[3]
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Kencana,
2011), 43–45.
[4]
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan
(Jakarta: Kompas, 2008), 7.
[5]
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika,
2004), 23–24.
[6]
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika
Masalahnya (Jakarta: Elsam, 2002), 135–136.
[7]
Bivitri Susanti, “Advokasi Berbasis Hukum dalam Konteks Masyarakat
Sipil,” dalam Hukum dalam Masyarakat Transisi, ed. Herlambang P.
Wiratraman (Jakarta: Epistema Institute, 2010), 119.
9.
Tantangan
dan Masa Depan Ilmu Hukum
Di tengah perubahan
global yang pesat dan kompleksitas persoalan hukum yang terus berkembang, Ilmu
Hukum menghadapi beragam tantangan yang menuntut pembaruan secara konseptual,
metodologis, dan praktis. Tantangan ini juga sekaligus menjadi peluang untuk
merumuskan masa depan Ilmu Hukum yang lebih responsif, inklusif, dan kontekstual.
9.1. Tantangan Globalisasi dan Harmonisasi Hukum
Salah satu tantangan
utama Ilmu Hukum saat ini adalah globalisasi hukum, yaitu
keterhubungan sistem hukum antarnegara akibat perkembangan perdagangan
internasional, teknologi, dan komunikasi. Globalisasi ini menimbulkan kebutuhan akan harmonisasi
hukum, khususnya dalam bidang-bidang seperti investasi,
perlindungan konsumen, perlindungan data pribadi, dan hukum lingkungan.¹
Ilmu Hukum dituntut
untuk mampu memahami perbandingan sistem hukum (comparative law), serta
merespons tuntutan internasional tanpa kehilangan jati diri hukum nasional. Ini
menuntut adanya pendekatan
yang terbuka terhadap sistem hukum asing, namun tetap berpijak pada nilai-nilai
lokal dan konstitusi nasional.²
9.2. Perkembangan Teknologi dan Hukum Digital
Transformasi digital
juga menimbulkan tantangan besar bagi Ilmu Hukum, terutama dalam menghadapi
isu-isu seperti cyber law, perlindungan
data pribadi, kecerdasan buatan (AI), cryptocurrency,
dan kejahatan
siber. Perkembangan teknologi sering kali lebih cepat daripada
proses legislasi, sehingga hukum kerap tertinggal dalam mengantisipasi realitas
baru.³
Dalam konteks ini,
Ilmu Hukum harus mengembangkan pendekatan interdisipliner yang
menggabungkan pengetahuan hukum dengan ilmu komputer, etika teknologi, dan
keamanan digital. Selain itu, penting bagi Ilmu Hukum untuk menumbuhkan
kesadaran kritis terhadap dimensi etis dan sosial dari teknologi.⁴
9.3. Tantangan Pluralisme Hukum dan Keadilan Sosial
Indonesia merupakan
negara dengan pluralisme hukum yang tinggi, yang mencakup hukum nasional, hukum
adat, dan hukum agama. Keberagaman ini menimbulkan tantangan dalam upaya
membentuk sistem hukum yang kohesif namun tetap menghormati keragaman
nilai-nilai lokal.⁵
Selain itu, masih
banyak kelompok masyarakat yang belum mendapatkan akses keadilan secara memadai,
seperti masyarakat adat, perempuan, dan kelompok miskin. Ilmu Hukum ditantang
untuk mampu menjawab persoalan-persoalan tersebut dengan memperluas orientasi pada keadilan
substantif, bukan sekadar keadilan formal.⁶
9.4. Pembaruan Pendidikan dan Metodologi Hukum
Kritik terhadap
pendidikan hukum di Indonesia mencerminkan tantangan lain bagi Ilmu Hukum,
yaitu masih dominannya pendekatan normatif-dogmatik, minimnya pendekatan empiris dan kritis, serta
lemahnya keterampilan praktis lulusan hukum.⁷
Ke depan, Ilmu Hukum
perlu membenahi kurikulum pendidikan hukum
dengan menyeimbangkan antara teori dan praktik, hukum positif dan hukum hidup,
serta memasukkan kajian tentang etika, hak asasi manusia, dan teknologi hukum.
Inovasi dalam metodologi pengajaran juga menjadi penting untuk mendorong keterlibatan mahasiswa secara
aktif dan kontekstual.
9.5. Masa Depan Ilmu Hukum: Menuju Hukum yang Progresif
dan Emansipatoris
Untuk menjawab
tantangan-tantangan di atas, masa depan Ilmu Hukum diarahkan menuju pendekatan
yang lebih progresif, kritis, dan transformatif.
Ilmu Hukum tidak boleh berhenti pada deskripsi dan sistematisasi norma, tetapi
harus menjadi alat emansipasi dan pembebasan bagi masyarakat dari ketidakadilan struktural.
Satjipto
Rahardjo memperkenalkan gagasan hukum progresif yang menekankan
pentingnya menempatkan manusia sebagai pusat perhatian hukum.⁸ Pendekatan ini
melihat hukum sebagai alat untuk
menciptakan keadilan sosial, bukan sekadar menjaga ketertiban formal.
Selain itu, masa
depan Ilmu Hukum harus mencakup peran teknologi hukum (legal tech), open
access terhadap hukum, dan demokratisasi pengetahuan hukum
agar hukum tidak hanya dimonopoli oleh segelintir elit, tetapi bisa diakses dan
dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat.⁹
Footnotes
[1]
Malcolm N. Shaw, International Law, 7th ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 2014), 37–38.
[2]
René David dan John E.C. Brierley, Major Legal Systems in the World
Today (London: Stevens & Sons, 1985), 6–9.
[3]
Bambang Pratama, “Regulasi Perlindungan Data Pribadi di Era Digital,” Jurnal
Komunikasi dan Informasi Vol. 5, No. 1 (2018): 72–74.
[4]
Mireille Hildebrandt, Smart Technologies and the End(s) of Law
(Cheltenham: Edward Elgar Publishing, 2015), 15–18.
[5]
Daniel S. Lev, Legal Evolution and Political Authority in
Indonesia: Selected Essays (The Hague: Kluwer Law International, 2000),
92–94.
[6]
Bivitri Susanti, “Keadilan Substantif dalam Praktik Hukum Indonesia,”
dalam Hukum Progresif dan Kritik Terhadap Positivisme Hukum, ed.
Herlambang P. Wiratraman (Jakarta: Epistema Institute, 2011), 103.
[7]
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika
Masalahnya (Jakarta: Elsam, 2002), 119–122.
[8]
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan
(Jakarta: Kompas, 2008), 9–11.
[9]
Sinta Dewi Rosadi, “Teknologi Hukum dan Akses Keadilan,” Jurnal
Hukum & Pembangunan Vol. 49, No. 1 (2019): 54–56.
10. Kesimpulan
Ilmu Hukum merupakan disiplin ilmiah yang memainkan
peranan sangat penting dalam menjaga tatanan sosial, menegakkan keadilan, dan
mendorong kemajuan masyarakat. Sebagai ilmu, ia tidak hanya mengkaji hukum
sebagai sistem norma, tetapi juga sebagai gejala sosial, struktur
kelembagaan, dan refleksi nilai-nilai keadilan dalam suatu
masyarakat.¹
Kajian terhadap Ilmu Hukum menunjukkan bahwa
pendekatan terhadap hukum haruslah multidimensional. Pendekatan normatif-dogmatik
tetap penting untuk membangun konsistensi sistem hukum, namun pendekatan sosiologis,
historis, filosofis, dan bahkan kritis perlu
diintegrasikan untuk memastikan bahwa hukum tetap kontekstual dan relevan
dengan kebutuhan sosial.²
Klasifikasi Ilmu Hukum ke dalam hukum publik dan
privat, materiil dan formil, serta cabang-cabang seperti hukum pidana, perdata,
tata negara, dan internasional memperlihatkan keluasan dan kedalaman objek
kajiannya. Dalam konteks Indonesia, pluralisme hukum menjadi tantangan
sekaligus kekayaan tersendiri dalam pengembangan sistem hukum nasional.³
Perkembangan Ilmu Hukum di Indonesia menunjukkan
dinamika yang khas—berangkat dari warisan hukum adat dan hukum Islam, melalui
dominasi hukum kolonial, hingga menuju proses nasionalisasi dan reformasi hukum
pascareformasi. Di tengah arus globalisasi, perkembangan teknologi digital,
serta meningkatnya kesadaran akan hak asasi manusia, Ilmu Hukum dituntut untuk
terus beradaptasi dan berkembang.⁴
Peran Ilmu Hukum dalam praktik sangat nyata, baik
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, penegakan hukum, penyelesaian
sengketa, maupun dalam membentuk etika profesi hukum. Di sisi lain, tantangan
masa depan Ilmu Hukum meliputi kebutuhan akan pendekatan yang lebih inklusif,
responsif, dan berbasis keadilan substantif.
Dalam konteks inilah, gagasan hukum progresif
seperti yang dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo menjadi relevan. Hukum
tidak cukup hanya ditaati secara formal, tetapi harus diposisikan sebagai instrumen
pembebasan dan keadilan bagi masyarakat luas.⁵ Oleh karena itu, masa
depan Ilmu Hukum harus diarahkan tidak hanya pada keunggulan konseptual dan
metodologis, tetapi juga pada komitmen etik dan kemanusiaan.
Sebagai penutup, Ilmu Hukum harus terus dikembangkan
sebagai ilmu yang membumi, bernilai praksis, dan berorientasi
pada perubahan sosial yang adil dan berkelanjutan. Sinergi antara teori dan
praktik, akademisi dan praktisi, hukum nasional dan global menjadi kunci untuk
menjawab tantangan-tantangan hukum masa kini dan masa depan.
Footnotes
[1]
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum
(Jakarta: UI Press, 1986), 6–7.
[2]
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum
(Jakarta: Kencana, 2011), 28–30.
[3]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme
Indonesia (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 42–43.
[4]
Hikmahanto Juwana, “Reformasi Hukum di Indonesia:
Masalah dan Tantangan,” Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM Vol. 12, No. 3
(2005): 145.
[5]
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang
Membebaskan (Jakarta: Kompas, 2008), 4–6.
Daftar Pustaka
Achmad, A. (2009). Menguak teori hukum (legal
theory) dan teori peradilan (judicialprudence). Kencana.
Asshiddiqie, J. (2005). Konstitusi dan
konstitusionalisme Indonesia. Konstitusi Press.
Asshiddiqie, J. (2007). Pengantar ilmu hukum
tata negara. Konstitusi Press.
Bivitri, S. (2010). Advokasi berbasis hukum dalam
konteks masyarakat sipil. Dalam H. P. Wiratraman (Ed.), Hukum dalam
masyarakat transisi (hlm. 113–130). Epistema Institute.
Bivitri, S. (2011). Keadilan substantif dalam
praktik hukum Indonesia. Dalam H. P. Wiratraman (Ed.), Hukum progresif dan
kritik terhadap positivisme hukum (hlm. 99–115). Epistema Institute.
David, R., & Brierley, J. E. C. (1985). Major
legal systems in the world today (3rd ed.). Stevens & Sons.
Dewi Rosadi, S. (2019). Teknologi hukum dan akses
keadilan. Jurnal Hukum & Pembangunan, 49(1), 52–60.
Ehrlich, E. (1936). Fundamental principles of
the sociology of law (W. L. Moll, Trans.). Harvard University Press.
Farida Indrati, M. (2007). Ilmu
perundang-undangan: Jenis, fungsi, dan materi muatan. Kanisius.
Harahap, M. Y. (1975). Hukum Islam dan masalah
kenegaraan. Bulan Bintang.
Harahap, M. Y. (2004). Hukum acara perdata.
Sinar Grafika.
Hildebrandt, M. (2015). Smart technologies and
the end(s) of law. Edward Elgar Publishing.
Juwana, H. (2005). Reformasi hukum di Indonesia. Jurnal
Hukum IUS QUIA IUSTUM, 12(2), 141–158.
Juwana, H. (2006). Pentingnya pendekatan ilmiah
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM,
13(2), 150–160.
Kelsen, H. (1967). Pure theory of law (M.
Knight, Trans.). University of California Press.
Kelman, M. (1987). A guide to critical legal
studies. Harvard University Press.
Lev, D. S. (2000). Legal evolution and political
authority in Indonesia: Selected essays. Kluwer Law International.
Mahmud Marzuki, P. (2011). Pengantar ilmu hukum
(Edisi revisi). Kencana.
Mertokusumo, S. (2001). Hukum dan penemuan hukum.
Liberty.
Pound, R. (1923). Interpretations of legal
history. Harvard University Press.
Pratama, B. (2018). Regulasi perlindungan data
pribadi di era digital. Jurnal Komunikasi dan Informasi, 5(1), 71–79.
Radbruch, G. (1975). Legal philosophy (K.
Wilk, Trans.). Greenwood Press.
Rahardjo, S. (2000). Ilmu hukum. Citra
Aditya Bakti.
Rahardjo, S. (2008). Hukum progresif: Hukum yang
membebaskan. Kompas.
Schrieke, B. J. O. (1955). Indonesian
sociological studies. Van Hoeve.
Shaw, M. N. (2014). International law (7th
ed.). Cambridge University Press.
Soekanto, S. (1982). Sosiologi suatu pengantar.
RajaGrafindo Persada.
Soekanto, S. (1983). Sosiologi hukum dalam
masyarakat. Rajawali.
Soekanto, S. (1986). Pengantar penelitian hukum.
UI Press.
Soetandyo, W. (2002). Hukum: Paradigma, metode,
dan dinamika masalahnya. Elsam.
Subekti, R. (1996). Pokok-pokok hukum perdata.
Intermasa.
Susanti, B., & Wiratraman, H. P. (Eds.).
(2011). Hukum progresif dan kritik terhadap positivisme hukum. Epistema
Institute.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar