Circular Economy
Paradigma Ekonomi Berkelanjutan untuk Masa Depan
Alihkan ke: Ilmu Ekonomi.
Abstak
Circular Economy (CE) atau ekonomi sirkular
merupakan paradigma ekonomi baru yang ditawarkan sebagai alternatif atas sistem
ekonomi linear yang selama ini mendominasi praktik produksi dan konsumsi
global. Konsep ini berfokus pada penghapusan limbah dan polusi sejak tahap
desain, memperpanjang siklus hidup produk, serta meregenerasi sistem alam.
Artikel ini menyajikan tinjauan komprehensif mengenai CE dengan mengkaji
prinsip-prinsip dasar, pilar implementasi, studi kasus global dan lokal,
manfaat, hingga tantangan yang dihadapi dalam penerapannya. Melalui pendekatan
berbasis literatur ilmiah dan kebijakan internasional yang kredibel, artikel
ini menunjukkan bahwa CE bukan sekadar solusi teknis terhadap permasalahan
lingkungan, tetapi juga kerangka kerja ekonomi yang dapat menciptakan efisiensi
sumber daya, inovasi bisnis, lapangan kerja ramah lingkungan, dan ketahanan
sistem ekonomi. Artikel ini juga menawarkan strategi implementasi CE yang dapat
diadopsi oleh pemerintah, industri, masyarakat, dan lembaga pendidikan guna
mempercepat transisi menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan, resilien, dan
inklusif.
Kata Kunci: Circular Economy, ekonomi sirkular, keberlanjutan,
efisiensi sumber daya, model bisnis berkelanjutan, ekonomi hijau, inovasi
lingkungan, extended producer responsibility.
PEMBAHASAN
Menelusuri Circular Economy Bedasarkan Referensi
Kredibel
1.
Pendahuluan
Selama lebih dari satu
abad, model ekonomi global didominasi oleh sistem linear yang berasaskan pada
pola ambil–buat–buang
(take–make–dispose).
Model ini bergantung pada eksploitasi sumber daya alam dalam jumlah besar,
proses produksi yang menghasilkan limbah tinggi, dan konsumsi yang tidak mempertimbangkan siklus hidup produk.
Akibatnya, dunia menghadapi krisis lingkungan yang makin mengkhawatirkan,
seperti perubahan iklim, pencemaran, dan penipisan sumber daya alam tak
terbarukan. Model ekonomi linear tidak lagi memadai untuk mendukung
keberlanjutan jangka panjang di tengah pertumbuhan populasi dan industrialisasi
yang pesat.¹
Sebagai respons
terhadap kegagalan sistem ekonomi linear, lahirlah konsep Circular
Economy atau ekonomi sirkular. Circular Economy
merupakan paradigma ekonomi alternatif yang bertujuan untuk menjaga nilai
produk, material, dan sumber daya selama mungkin dalam siklus ekonomi melalui
prinsip pengurangan limbah, penggunaan ulang,
perbaikan, dan daur ulang.² Berbeda dengan ekonomi linear yang bersifat eksploitatif
dan berorientasi jangka pendek, Circular Economy menekankan efisiensi sumber
daya dan perlindungan lingkungan, sekaligus membuka peluang inovasi dan
pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.³
Konsep ini
dipopulerkan oleh lembaga seperti Ellen MacArthur Foundation, yang
mendefinisikan Circular Economy sebagai sistem industri yang restoratif dan
regeneratif secara desain, dengan tujuan menghilangkan limbah melalui desain
produk yang cerdas dan model bisnis baru.⁴ Circular Economy juga mendapat
pengakuan internasional sebagai pendekatan strategis untuk mencapai tujuan
pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals),
khususnya dalam aspek konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab (SDG 12),
serta tindakan terhadap perubahan iklim (SDG 13).⁵
Dengan meningkatnya
kesadaran akan pentingnya keberlanjutan dan transisi energi, berbagai negara
dan sektor industri mulai mengadopsi prinsip-prinsip Circular Economy sebagai
strategi utama dalam kebijakan ekonomi dan lingkungan mereka. Namun demikian,
implementasi konsep ini tidak bebas tantangan. Dibutuhkan pemahaman yang
mendalam, komitmen lintas sektor, serta kebijakan yang mendukung untuk
mewujudkan ekonomi yang benar-benar sirkular dan berkelanjutan.
Oleh karena itu,
artikel ini bertujuan untuk menguraikan konsep Circular Economy secara
menyeluruh, dengan menjelaskan prinsip dasar, manfaat, tantangan, serta contoh
penerapannya di berbagai sektor dan negara. Dengan harapan, pemahaman ini dapat
mendorong transformasi menuju sistem ekonomi yang lebih adil, efisien, dan
berkelanjutan untuk generasi mendatang.
Footnotes
[1]
Walter R. Stahel, The Circular Economy: A
User’s Guide (London: Routledge,
2019), 3–4.
[2]
European Commission, Circular
Economy Action Plan: For a Cleaner and More Competitive Europe (Brussels: European Union, 2020), 5, https://environment.ec.europa.eu.
[3]
Kirchherr, Julian, Denise Reike, and Marko Hekkert, “Conceptualizing
the Circular Economy: An Analysis of 114 Definitions,” Resources, Conservation and Recycling 127 (2017): 221–32. https://doi.org/10.1016/j.resconrec.2017.09.005.
[4]
Ellen MacArthur Foundation, Completing
the Picture: How the Circular Economy Tackles Climate Change (Cowes, UK: Ellen MacArthur Foundation, 2019), 7. https://ellenmacarthurfoundation.org.
[5]
United Nations, Transforming Our World:
The 2030 Agenda for Sustainable Development (New York: UN, 2015), Goal 12 and 13, https://sdgs.un.org/goals.
2.
Perbandingan Ekonomi Linear vs Circular Economy
Model ekonomi linear
telah menjadi paradigma dominan dalam sistem produksi dan konsumsi global sejak
Revolusi Industri. Ciri utama dari model ini adalah pola ambil–buat–buang
(take–make–dispose),
di mana sumber daya alam diekstraksi, digunakan untuk membuat produk, dan
akhirnya dibuang sebagai limbah setelah masa guna yang singkat.¹ Model ini
sangat bergantung pada sumber daya alam yang melimpah, energi murah, dan asumsi
bahwa limbah dapat dikelola tanpa biaya lingkungan yang signifikan. Akibatnya,
ekonomi linear telah mendorong degradasi lingkungan, pencemaran, dan perubahan
iklim yang semakin memburuk.²
Dalam ekonomi linear, produk didesain tanpa mempertimbangkan keberlanjutan jangka panjang,
seperti kemudahan perbaikan, pembongkaran, atau daur ulang. Hal ini
memperpendek umur produk dan memperbesar volume limbah padat, terutama limbah
elektronik dan plastik.³ Laporan dari World Bank menyebutkan bahwa jika tidak
ada perubahan sistemik, timbunan limbah global akan meningkat menjadi 3,4
miliar ton per tahun pada 2050, naik dari 2 miliar ton pada 2016.⁴
Sebaliknya, Circular
Economy menawarkan pendekatan sistemik yang bertujuan untuk mengeliminasi
limbah dan polusi sejak tahap desain, menjaga produk dan material tetap
digunakan selama mungkin, serta meregenerasi sistem alam.⁵ Circular Economy
menekankan tiga prinsip utama:
(1)
mendesain ulang proses dan
produk agar bebas limbah dan polusi,
(2)
mempertahankan nilai produk
dan bahan selama mungkin melalui penggunaan ulang, perbaikan, dan daur ulang,
serta
(3)
mengembalikan sumber daya
ke alam dengan cara yang regeneratif._⁶
Perbedaan mendasar
antara kedua pendekatan ini dapat dirangkum dalam tabel berikut:
Tentu! Berikut adalah penyajian ulang tabel
“Perbedaan mendasar antara Ekonomi Linear vs Circular Economy” dalam bentuk
bullet points, agar lebih fleksibel untuk digunakan dalam artikel atau
presentasi:
1)
Model Produksi:
Ekonomi Linear: Berbasis
pada pola ambil – buat – buang.
Circular Economy: Berbasis
pada prinsip gunakan ulang – daur ulang – regenerasi.
2)
Umur Produk:
Ekonomi Linear: Produk cenderung
berumur pendek, didesain untuk konsumsi cepat dan dibuang setelah digunakan.
Circular Economy: Produk
didesain tahan lama, mudah diperbaiki, dan bisa digunakan berulang kali.
3)
Penggunaan Sumber Daya:
Ekonomi Linear: Bergantung
pada eksploitasi terus-menerus terhadap sumber daya alam.
Circular Economy:
Mengoptimalkan penggunaan sumber daya dengan prinsip penggunaan ulang dan
sirkulasi bahan.
4)
Limbah:
Ekonomi Linear: Limbah
dianggap sebagai hasil akhir yang tidak dapat dimanfaatkan kembali.
Circular Economy: Limbah
direduksi sejak tahap desain dan dipandang sebagai sumber daya potensial untuk
digunakan kembali.
5)
Dampak Lingkungan:
Ekonomi Linear: Tinggi –
menghasilkan emisi karbon, polusi, dan akumulasi limbah.
Circular Economy: Lebih
rendah – menekan emisi dan pencemaran melalui desain sirkular.
6)
Nilai Ekonomi Produk:
Ekonomi Linear: Nilai
produk hilang setelah masa pakainya selesai.
Circular Economy: Nilai
produk dipertahankan melalui perpanjangan siklus hidupnya (repair, reuse,
recycle).
Secara strategis,
Circular Economy juga membuka peluang untuk efisiensi biaya, penciptaan
lapangan kerja hijau (green jobs), dan inovasi model
bisnis baru seperti product-as-a-service atau sistem
sewa guna.⁷ Transisi dari ekonomi linear ke sirkular tidak hanya mendesak dari
sisi lingkungan, tetapi juga logis secara ekonomi dan sosial dalam jangka
panjang.
Dengan demikian,
Circular Economy bukan sekadar solusi teknis terhadap limbah, melainkan sebuah
transformasi menyeluruh terhadap sistem ekonomi dan cara pandang kita terhadap
nilai dari suatu produk.⁸
Footnotes
[1]
Walter R. Stahel, The Circular Economy: A
User’s Guide (London: Routledge,
2019), 12–14.
[2]
European Environment Agency, The
Circular Economy and the Environment: Europe’s Contribution (Luxembourg: Publications Office of the European
Union, 2016), 9–10.
[3]
Julian Kirchherr, Denise Reike, and Marko Hekkert, “Conceptualizing the
Circular Economy: An Analysis of 114 Definitions,” Resources, Conservation and Recycling 127 (2017): 223, https://doi.org/10.1016/j.resconrec.2017.09.005.
[4]
World Bank, What a Waste 2.0: A
Global Snapshot of Solid Waste Management to 2050 (Washington, DC: World Bank, 2018), https://datatopics.worldbank.org/what-a-waste.
[5]
Ellen MacArthur Foundation, Completing
the Picture: How the Circular Economy Tackles Climate Change (Cowes, UK: Ellen MacArthur Foundation, 2019), 7.
[6]
Ellen MacArthur Foundation, What
is a Circular Economy? https://ellenmacarthurfoundation.org/topics/circular-economy-introduction/overview.
[7]
Accenture Strategy, Waste
to Wealth: The Circular Economy Advantage (New York: Palgrave Macmillan, 2015), 31–33.
[8]
Stahel, The Circular Economy, 18–19.
3.
Prinsip-Prinsip Dasar Circular Economy
Circular Economy
(CE) bukan sekadar sistem pengelolaan limbah yang efisien, melainkan sebuah
pendekatan sistemik untuk merancang ulang seluruh proses ekonomi agar lebih
berkelanjutan dan restoratif. Konsep ini didasarkan pada sejumlah prinsip inti
yang saling terkait dan membentuk kerangka berpikir baru dalam produksi dan
konsumsi. Secara umum, ada tiga prinsip utama yang menjadi fondasi Circular
Economy, sebagaimana dirumuskan oleh Ellen MacArthur Foundation:
(1)
Mengeliminasi limbah dan
polusi sejak tahap desain;
(2)
Menjaga produk dan material
tetap digunakan selama mungkin; dan
(3)
Meregenerasi sistem alam._¹
3.1.
Mengeliminasi Limbah dan Polusi dari Awal
Dalam paradigma
linear, limbah dianggap sebagai keniscayaan dari proses produksi. Circular
Economy membalik cara pandang ini dengan menekankan pentingnya desain produk
dan sistem produksi yang sejak awal menghindari terciptanya limbah dan polusi.
Pendekatan ini dikenal sebagai eco-design atau desain
berkelanjutan, di mana produk dirancang agar mudah diperbaiki, didaur ulang,
atau dibongkar kembali.² Inovasi dalam bahan baku, teknologi produksi bersih,
dan pemilihan kemasan yang dapat terurai merupakan bagian dari strategi ini.
Dengan demikian, konsep CE mendorong pergeseran dari manajemen limbah ke pencegahan
limbah melalui desain.
3.2.
Menjaga Produk dan Material Tetap Digunakan
Selama Mungkin
Prinsip kedua
menekankan pentingnya mempertahankan nilai produk dan bahan selama mungkin
melalui strategi seperti penggunaan ulang (reuse), perbaikan (repair),
pembaruan (refurbish), dan daur ulang (recycle).³ Ini dikenal dengan konsep looping
atau siklus material, di mana bahan tidak dibuang setelah digunakan, tetapi
dimasukkan kembali ke dalam siklus ekonomi. Model bisnis berbasis layanan,
seperti product-as-a-service,
juga mendukung prinsip ini karena memungkinkan konsumen untuk mengakses produk
tanpa memilikinya secara permanen, sehingga produsen terdorong untuk menjaga
daya tahan dan kualitas produk.⁴
Prinsip ini juga
selaras dengan filosofi Cradle to Cradle, yang menekankan
bahwa setiap produk harus dirancang agar pada akhir siklus hidupnya dapat
menjadi input yang aman bagi sistem alam atau industri lainnya.⁵ Dengan
demikian, produk tidak memiliki “akhir hayat,” tetapi menjadi bagian dari
siklus berkelanjutan.
3.3.
Meregenerasi Sistem Alam
Berbeda dengan
ekonomi linear yang hanya mengambil dari alam tanpa mengembalikannya, Circular
Economy berupaya untuk meregenerasi ekosistem melalui
praktik-praktik seperti pertanian regeneratif, pemulihan bahan organik, dan
penggunaan energi terbarukan.⁶ Limbah organik, misalnya, dapat dikembalikan ke
tanah sebagai kompos untuk memperkaya kesuburan, sedangkan biomassa dapat
dimanfaatkan sebagai energi bersih. Pendekatan ini menempatkan sistem alam
sebagai bagian integral dari ekonomi dan bukan hanya sebagai sumber daya
eksternal.
Dengan ketiga
prinsip ini, Circular Economy tidak hanya menawarkan efisiensi sumber daya,
tetapi juga mendorong penciptaan nilai ekonomi dan sosial baru yang
berlandaskan pada keberlanjutan. Prinsip-prinsip tersebut tidak dapat
diterapkan secara terpisah, melainkan harus saling melengkapi dalam kerangka
sistemik yang holistik.
Footnotes
[1]
Ellen MacArthur Foundation, Completing
the Picture: How the Circular Economy Tackles Climate Change (Cowes, UK: Ellen MacArthur Foundation, 2019), 7, https://ellenmacarthurfoundation.org.
[2]
European Commission, Eco-design
Your Future: How Eco-design Can Help the Environment by Making Products Smarter (Luxembourg: Publications Office of the European
Union, 2012), 4–5.
[3]
Walter R. Stahel, The Circular Economy: A
User’s Guide (London: Routledge,
2019), 21–24.
[4]
Accenture Strategy, Waste
to Wealth: The Circular Economy Advantage (New York: Palgrave Macmillan, 2015), 63–67.
[5]
William McDonough and Michael Braungart, Cradle to Cradle: Remaking the Way We Make Things (New York: North Point Press, 2002), 92–95.
[6]
Ellen
MacArthur Foundation, “The Circular Economy in Detail,” accessed March 2025, https://ellenmacarthurfoundation.org/topics/circular-economy-introduction/overview.
4.
Pilar-Pilar Circular Economy
Agar prinsip-prinsip
dasar Circular Economy (CE) dapat diwujudkan secara nyata dan sistemik,
diperlukan struktur operasional yang menopang jalannya transformasi dari model
ekonomi linear. Pilar-pilar ini menjadi aspek praktis dan strategis yang
memungkinkan prinsip CE diterapkan secara luas dalam berbagai sektor. Beberapa
literatur dan laporan lembaga internasional mengidentifikasi lima pilar utama
Circular Economy:
(4)
Desain Produk
Berkelanjutan,
(5)
Model Bisnis Inovatif,
(6)
Teknologi dan Inovasi,
(7)
Pengelolaan Limbah dan
Material, serta
(8)
Perubahan Perilaku Konsumen
dan Edukasi._¹
4.1.
Desain Produk Berkelanjutan (Sustainable
Product Design)
Desain merupakan
tahap paling awal namun paling krusial dalam siklus hidup suatu produk. Dalam
CE, desain harus memperhatikan siklus penuh produk—mulai dari pemilihan bahan
yang ramah lingkungan hingga kemudahan perbaikan dan daur ulang.² Pendekatan
seperti design
for disassembly dan design for longevity memungkinkan
produk untuk lebih mudah dibongkar, diperbaiki, atau ditingkatkan sehingga
memperpanjang masa gunanya.³ Prinsip desain ini menghindari penggunaan bahan
berbahaya dan mendorong penggunaan bahan daur ulang atau biodegradable.⁴
4.2.
Model Bisnis Inovatif
Circular Economy
membuka peluang besar bagi munculnya model bisnis baru yang lebih efisien dan
berkelanjutan. Contohnya termasuk model berbasis layanan (product-as-a-service),
di mana konsumen membayar untuk fungsi atau manfaat produk, bukan
kepemilikannya.⁵ Contoh lain adalah ekonomi berbagi (sharing
economy), seperti car-sharing dan co-working space, yang
meningkatkan efisiensi pemanfaatan aset. Model bisnis seperti ini mendorong
produsen untuk menciptakan produk yang tahan lama dan mudah dirawat, karena
mereka tetap memiliki tanggung jawab terhadap produk setelah dijual atau
disewakan.⁶
4.3.
Teknologi dan Inovasi
Kemajuan teknologi
menjadi katalis penting dalam mempercepat adopsi CE. Digitalisasi, kecerdasan
buatan (AI), Internet of Things (IoT), dan blockchain memainkan peran dalam
pelacakan bahan baku, optimalisasi proses produksi, dan transparansi rantai
pasok.⁷ Teknologi memungkinkan sistem pengumpulan dan daur ulang yang lebih
efisien, serta mendukung peralihan ke energi terbarukan. Inovasi bahan juga
penting, seperti bioplastik, material yang dapat terurai, dan alternatif logam
tanah jarang.⁸
4.4.
Pengelolaan Limbah dan Material
Salah satu fondasi
CE adalah kemampuan untuk mengelola limbah sebagai sumber
daya sekunder yang memiliki nilai ekonomi. Ini mencakup sistem pengumpulan
selektif, pemrosesan limbah organik, dan fasilitas
daur ulang lanjutan.⁹ Pengelolaan limbah berbasis sirkular
mendorong pemisahan limbah di sumbernya dan memperbaiki infrastruktur untuk
menangani aliran material secara efisien. Beberapa kota di Eropa telah berhasil
menciptakan ekosistem industri sirkular yang terintegrasi, di mana limbah satu
sektor menjadi input bagi sektor lain (industri simbiosis).¹⁰
4.5.
Edukasi dan Perubahan Perilaku Konsumen
Circular Economy
tidak akan berhasil tanpa keterlibatan aktif dari konsumen. Oleh karena itu,
perubahan pola pikir dan perilaku menjadi kunci. Pendidikan lingkungan sejak
dini, kampanye publik, serta pelabelan produk berkelanjutan membantu
meningkatkan kesadaran konsumen dalam memilih produk yang ramah lingkungan dan
berpartisipasi dalam sistem daur ulang.¹¹ Pemerintah, lembaga pendidikan, dan
sektor swasta berperan besar dalam menyebarkan pengetahuan dan membentuk budaya
konsumsi berkelanjutan.
Dengan kelima pilar
ini, Circular Economy dapat diimplementasikan tidak hanya sebagai konsep ideal,
tetapi sebagai strategi nyata untuk membangun sistem ekonomi yang lebih
tangguh, adil, dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
European Commission, Circular
Economy Action Plan: For a Cleaner and More Competitive Europe (Brussels: European Union, 2020), 9–14, https://environment.ec.europa.eu.
[2]
Walter R. Stahel, The Circular Economy: A
User’s Guide (London: Routledge,
2019), 32–35.
[3]
OECD, Business Models for the
Circular Economy: Opportunities and Challenges from a Policy Perspective (Paris: OECD Publishing, 2019), 20–21, https://www.oecd.org.
[4]
European Environment Agency, Circular
by Design: Products in the Circular Economy (Luxembourg: Publications Office of the European Union, 2017), 5–6.
[5]
Accenture Strategy, Waste
to Wealth: The Circular Economy Advantage (New York: Palgrave Macmillan, 2015), 64–66.
[6]
Ellen MacArthur Foundation, Circular
Economy System Diagram (Cowes, UK:
Ellen MacArthur Foundation, 2017), https://ellenmacarthurfoundation.org.
[7]
McKinsey & Company, The
Circular Economy: Moving from Theory to Practice (Geneva: World Economic Forum, 2016), 18–20.
[8]
Kirchherr, Julian, Denise Reike, and Marko Hekkert. “Conceptualizing
the Circular Economy: An Analysis of 114 Definitions.” Resources, Conservation and Recycling 127 (2017): 225. https://doi.org/10.1016/j.resconrec.2017.09.005.
[9]
UN Environment Programme, Global
Waste Management Outlook (Nairobi:
UNEP, 2015), 94–98.
[10]
Kalundborg Symbiosis, “About Symbiosis,” accessed April 2025, https://www.symbiosis.dk/en.
[11]
Ellen
MacArthur Foundation, What Is the Circular
Economy? https://ellenmacarthurfoundation.org/topics/circular-economy-introduction/overview.
5.
Implementasi Circular Economy di Berbagai
Sektor
Circular Economy
(CE) bukan sekadar gagasan teoritis, tetapi telah diimplementasikan secara
nyata di berbagai sektor industri, baik dalam skala lokal maupun global.
Masing-masing sektor menghadapi tantangan dan peluang unik dalam mengadopsi
model sirkular, tergantung pada karakteristik bahan baku, struktur rantai
pasok, dan siklus hidup produk. Beberapa sektor kunci yang menunjukkan
transformasi signifikan dalam implementasi Circular Economy antara lain adalah industri
manufaktur, pertanian dan pangan, tekstil dan fesyen, konstruksi dan bangunan,
serta teknologi informasi dan elektronik.
5.1.
Industri Manufaktur
Industri manufaktur
merupakan sektor yang paling awal dan paling aktif mengadopsi prinsip-prinsip
CE, terutama melalui pendekatan remanufaktur, rekondisi,
dan desain
modular. Misalnya, perusahaan otomotif seperti Renault
telah menerapkan strategi remanufacturing pada komponen
kendaraan seperti mesin dan transmisi, yang menghemat energi hingga 80%
dibandingkan produksi baru.¹ Demikian pula, Michelin mengembangkan sistem tyre
leasing yang memungkinkan ban dikembalikan, diperbaharui, dan
digunakan kembali.²
Di sektor
elektronik, produsen seperti HP dan Dell
mendesain produknya agar mudah diperbaiki dan didaur ulang. HP, misalnya,
mengumpulkan kembali kartrid tinta bekas dari konsumen dan mengolahnya menjadi
produk baru sebagai bagian dari program closed-loop recycling.³
5.2.
Pertanian dan Pangan
Sektor pertanian dan
pangan menerapkan CE melalui pengurangan limbah makanan, penggunaan
kembali bahan organik, dan pertanian regeneratif. Limbah makanan
dari ritel atau rumah tangga dapat dikomposkan dan digunakan kembali sebagai
pupuk, sementara sisa hasil panen dapat diolah menjadi produk sampingan
bernilai ekonomis, seperti bioenergi atau pakan ternak.⁴
Beberapa inisiatif
global, seperti oleh WRAP UK dan program Food
Recovery Hierarchy dari US EPA, menekankan pentingnya hierarki
dalam pengelolaan limbah makanan: mulai dari pencegahan, redistribusi untuk
konsumsi manusia, hingga pemanfaatan energi.⁵ Selain itu, praktik pertanian
regeneratif yang menjaga keanekaragaman hayati dan meningkatkan
kesuburan tanah juga menjadi bagian penting dari ekonomi sirkular berbasis
alam.⁶
5.3.
Tekstil dan Fesyen
Industri tekstil
dikenal sebagai salah satu sektor dengan jejak lingkungan terbesar, termasuk
dalam hal konsumsi air, emisi gas rumah kaca, dan limbah pakaian. Circular
Economy menawarkan solusi melalui pendekatan slow fashion, daur
ulang serat, dan model berbagi pakaian.⁷
Perusahaan seperti Patagonia
dan H&M
telah menerapkan program pengumpulan kembali pakaian bekas (take-back programs)
untuk didaur ulang atau dijual kembali dalam bentuk pakaian second-hand.⁸
Inovasi serat seperti Econyl (nilon daur ulang dari
jaring ikan bekas) juga menjadi contoh bagaimana bahan limbah dapat diubah
menjadi produk berkualitas tinggi.⁹
5.4.
Konstruksi dan Bangunan
Sektor konstruksi
menghasilkan sekitar 30-40% dari total limbah padat global,
menjadikannya sektor prioritas dalam CE. Implementasi dilakukan melalui penggunaan
bahan bangunan daur ulang, desain modular, dan bangunan
yang bisa dibongkar pasang.¹⁰
Beberapa proyek
pembangunan di Belanda dan Skandinavia telah membangun gedung yang seluruh
bagiannya (baja, kayu, beton) dapat dibongkar dan digunakan kembali untuk
proyek lain.¹¹ Selain itu, pemanfaatan kembali puing bangunan, kaca, dan logam
sangat penting untuk mengurangi kebutuhan akan bahan mentah baru.
5.5.
Teknologi Informasi dan Elektronik
Industri elektronik
menghadapi tantangan besar terkait limbah elektronik (e-waste), yang pada 2019
mencapai lebih dari 53 juta ton secara global.¹²
Circular Economy diterapkan melalui desain modular, pengumpulan kembali
perangkat lama, dan pemanfaatan ulang komponen.
Contoh nyata datang
dari Fairphone,
perusahaan Belanda yang memproduksi smartphone modular yang dapat diperbaiki
dengan mudah oleh penggunanya sendiri.¹³ Selain itu, perusahaan besar seperti Apple
telah menggunakan robot daur ulang canggih seperti Daisy
untuk memisahkan komponen iPhone secara presisi untuk digunakan kembali.¹⁴
Implementasi
Circular Economy di berbagai sektor ini menunjukkan bahwa prinsip sirkular
bukan hanya idealisme, tetapi dapat diterapkan secara praktis dan menguntungkan
secara ekonomi. Namun, keberhasilan transformasi ini sangat bergantung pada
sinergi antara desain produk, model bisnis, kebijakan pemerintah, serta
kesadaran konsumen.
Footnotes
[1]
Ellen MacArthur Foundation, Circular
Economy Case Studies: Renault, https://ellenmacarthurfoundation.org.
[2]
Walter R. Stahel, The Circular Economy: A
User’s Guide (London: Routledge,
2019), 41.
[3]
HP, “HP Planet Partners Program,” accessed April 2025, https://www.hp.com.
[4]
FAO, The State of Food and
Agriculture: Food Loss and Waste
(Rome: FAO, 2019), 45–47.
[5]
United States Environmental Protection Agency (EPA), “Food Recovery
Hierarchy,” https://www.epa.gov/sustainable-management-food.
[6]
Regenerative Agriculture Foundation, “What is Regenerative
Agriculture?” https://regenerativeagriculturefoundation.org.
[7]
European Environment Agency, Textiles
and the Environment: The Role of Design in Europe’s Circular Economy (Luxembourg: Publications Office of the EU, 2019),
12–14.
[8]
H&M Group, “Garment Collecting Program,” https://hmgroup.com.
[9]
Econyl, “The Regenerated Nylon,” https://www.econyl.com.
[10]
World Green Building Council, The
Building Life Cycle: Circular Economy and Construction (London: WGBC, 2020), 8.
[11]
Ellen MacArthur Foundation, Circular
Buildings: Applying Circular Economy Principles to the Built Environment (Cowes, UK: Ellen MacArthur Foundation, 2016).
[12]
Global E-Waste Monitor, The
Global E-waste Statistics Partnership
(Geneva: ITU/UNU/ISWA, 2020), 2.
[13]
Fairphone, “Our Mission,” https://www.fairphone.com.
[14]
Apple, “Environmental Progress Report 2023,” https://www.apple.com/environment.
6.
Studi Kasus Global dan Lokal
Untuk memahami
penerapan nyata Circular Economy (CE), penting untuk menelaah bagaimana konsep
ini diimplementasikan oleh pelaku industri dan pemerintah di berbagai negara.
Studi kasus memberikan gambaran konkret tentang pendekatan yang berhasil,
tantangan yang dihadapi, serta inovasi yang dapat direplikasi. Berikut ini
adalah beberapa contoh penerapan CE secara global dan lokal yang menunjukkan
keberhasilan transformasi menuju ekonomi sirkular.
6.1.
Studi Kasus Global
6.1.1.
IKEA
(Swedia): Desain Produk Modular dan Bisnis Berbasis Sirkular
IKEA, raksasa ritel
perabot rumah tangga asal Swedia, merupakan salah satu pelopor dalam penerapan
prinsip Circular Economy pada skala besar. Perusahaan ini berkomitmen untuk
menjadi 100% sirkular pada tahun 2030, yang berarti seluruh produknya akan
dibuat dari bahan daur ulang atau dapat diperbarui.¹
IKEA telah
mengembangkan model “buy-back and resell”, di mana
pelanggan dapat menjual kembali furnitur bekas ke toko untuk diperbaiki dan
dijual kembali.² Selain itu, IKEA juga mulai merancang produknya agar modular
dan mudah dibongkar, memungkinkan perbaikan dan daur ulang
dengan lebih efisien. Hal ini sejalan dengan prinsip desain untuk perpanjangan
umur produk.
6.1.2.
Philips
(Belanda): Product-as-a-Service dalam Industri Kesehatan
Perusahaan
elektronik dan kesehatan asal Belanda, Philips, telah mengadopsi model
bisnis product-as-a-service
dalam penyediaan peralatan medis. Alih-alih menjual perangkat seperti mesin
MRI, Philips menawarkan sistem sewa dan layanan berlangganan, sehingga tanggung
jawab pemeliharaan dan daur ulang tetap berada di tangan produsen.³
Pendekatan ini
memungkinkan Philips untuk mendesain produk yang tahan lama dan dapat
diperbaharui, sekaligus memperkuat hubungan jangka panjang dengan pelanggan.
Model ini juga memastikan bahwa material bernilai tinggi seperti logam langka
dalam perangkat elektronik dapat dipulihkan secara optimal.⁴
6.1.3.
Renault
(Prancis): Remanufaktur Otomotif
Renault menjadi
pionir dalam penerapan remanufaktur (pengolahan
kembali komponen bekas) di sektor otomotif melalui fasilitas Choisy-le-Roi
di Prancis. Di fasilitas ini, mesin, transmisi, dan komponen lainnya diambil
dari kendaraan bekas, kemudian dibongkar, diperbaiki, dan dijual kembali dengan
kualitas setara baru.⁵
Kegiatan ini mampu
menghemat hingga 80% energi dan 88% air, serta
mengurangi emisi CO₂ secara signifikan dibandingkan dengan produksi komponen
baru.⁶ Renault membuktikan bahwa remanufaktur bukan hanya solusi lingkungan,
tetapi juga model bisnis yang menguntungkan.
6.2.
Studi Kasus Lokal (Indonesia)
6.2.1.
Rebricks:
Inovasi Limbah Plastik Menjadi Bata Bangunan
Startup asal
Jakarta, Rebricks, mengolah limbah
plastik multilapis—yang sulit didaur ulang—menjadi eco-bricks,
yaitu bahan bangunan ramah lingkungan yang dapat digunakan untuk paving block
dan bata ringan.⁷
Rebricks bekerja
sama dengan pelaku industri makanan dan minuman untuk mengumpulkan limbah
plastik kemasan dan mengolahnya melalui proses produksi yang minim emisi.
Inisiatif ini tidak hanya mengurangi volume sampah plastik yang masuk ke TPA,
tetapi juga membuka lapangan kerja hijau.⁸
6.2.2.
Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK): Gerakan Ekonomi Sirkular Nasional
Pemerintah Indonesia
melalui KLHK mulai mempromosikan ekonomi sirkular dalam kerangka kebijakan
nasional, antara lain melalui “Strategi Nasional Pengelolaan Sampah 2025”
dan dukungan terhadap inisiatif Extended Producer Responsibility (EPR).⁹
Melalui pendekatan
ini, produsen diwajibkan untuk mengambil tanggung jawab atas daur ulang kemasan
produknya. Beberapa produsen besar, seperti Danone dan Unilever Indonesia,
telah menjalankan skema pengumpulan kembali botol plastik dan kemasan untuk
didaur ulang.¹⁰ Hal ini menandai kolaborasi antara sektor publik dan swasta
dalam mendorong ekosistem ekonomi sirkular yang lebih luas.
Studi-studi di atas
menunjukkan bahwa implementasi CE dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan
yang disesuaikan dengan sektor dan skala usaha. Keberhasilan CE bergantung pada
desain
yang cerdas, kemitraan lintas sektor, serta dukungan kebijakan dan kesadaran
konsumen. Studi kasus global memberikan inspirasi, sementara
praktik lokal menunjukkan bahwa transisi menuju ekonomi sirkular juga sangat
mungkin dilakukan di Indonesia.
Footnotes
[1]
IKEA, Sustainability Report
FY20 (Leiden: Ingka Group, 2021),
11–12, https://www.ikea.com.
[2]
Ellen MacArthur Foundation, Circular
Economy Case Study: IKEA, https://ellenmacarthurfoundation.org.
[3]
Philips, Sustainability Report
2022, https://www.philips.com.
[4]
European Commission, Business
Models in a Circular Economy
(Brussels: EU, 2019), 15–16.
[5]
Ellen MacArthur Foundation, Circular
Economy Case Study: Renault, https://ellenmacarthurfoundation.org.
[6]
Renault Group, Sustainability and
Circular Economy Strategy, https://www.renaultgroup.com.
[7]
Rebricks, “Tentang Kami,” https://rebricks.id.
[8]
UNDP Indonesia, Circular Economy and
Waste Innovation in Indonesia
(Jakarta: UNDP, 2021), 26–28.
[9]
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Strategi Nasional Pengelolaan Sampah 2025, https://www.menlhk.go.id.
[10]
Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), Waste Management and Circular Economy Initiatives, https://www.ibcsd.or.id.
7.
Manfaat Circular Economy
Circular Economy
(CE) menawarkan serangkaian manfaat strategis yang menjangkau berbagai dimensi:
lingkungan,
ekonomi, dan sosial. Berbeda dengan sistem ekonomi linear yang
cenderung menguras sumber daya dan menghasilkan limbah dalam jumlah besar, CE
justru membangun ekosistem ekonomi yang berkelanjutan, resilien, dan inklusif.
Penerapan prinsip-prinsip CE secara sistemik membawa dampak positif yang
semakin diakui oleh pemerintah, dunia usaha, dan organisasi masyarakat sipil di
seluruh dunia.
7.1.
Pengurangan Limbah dan Polusi
Salah satu manfaat
paling langsung dari Circular Economy adalah pengurangan limbah padat dan polusi lingkungan.
Dengan memperpanjang siklus hidup produk, memanfaatkan kembali bahan, serta
menerapkan proses produksi bersih, CE secara signifikan mengurangi volume
limbah yang berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) maupun mencemari
ekosistem alami.¹
Menurut laporan dari
Ellen MacArthur Foundation, transisi menuju ekonomi sirkular berpotensi
mengurangi emisi gas rumah kaca global sebesar 9,3 miliar ton CO₂e per tahun pada 2050,
setara dengan 39% pengurangan emisi yang
dibutuhkan untuk menjaga pemanasan global di bawah 2°C.² Dengan demikian, CE
menjadi strategi krusial dalam mitigasi perubahan iklim.
7.2.
Efisiensi Penggunaan Sumber Daya
Circular Economy
memperkuat efisiensi material melalui
prinsip penggunaan ulang (reuse), daur ulang (recycle),
dan perpanjangan umur produk (life extension). Ini mengurangi
ketergantungan terhadap sumber daya alam yang terbatas, serta menghindari
eksploitasi yang berlebihan terhadap bahan mentah.³
World Resources
Institute (WRI) mencatat bahwa pendekatan sirkular dapat mengurangi tekanan
terhadap sumber daya alam seperti logam tanah jarang, air, dan energi hingga 20–40%,
tergantung pada sektor industrinya.⁴ Hal ini sangat penting di tengah
meningkatnya kekhawatiran akan kelangkaan sumber daya dan fluktuasi harga bahan
baku.
7.3.
Inovasi dan Pertumbuhan Ekonomi Baru
Circular Economy
mendorong lahirnya model bisnis inovatif yang menciptakan peluang
pertumbuhan ekonomi baru, seperti model berbasis layanan (product-as-a-service),
bisnis berbagi (sharing economy), serta teknologi
daur ulang canggih.⁵
Accenture
memperkirakan bahwa penerapan CE dapat menghasilkan potensi
nilai ekonomi global hingga USD 4,5 triliun pada 2030 melalui
peningkatan produktivitas material, inovasi teknologi, dan penciptaan pasar
baru.⁶ Hal ini menjadikan CE bukan hanya solusi lingkungan, tetapi juga
strategi bisnis masa depan.
7.4.
Penciptaan Lapangan Kerja Ramah Lingkungan
(Green Jobs)
CE menciptakan lapangan
kerja baru yang berorientasi pada keberlanjutan, terutama di
sektor perbaikan, pemeliharaan, daur ulang, remanufaktur, dan pengelolaan
limbah. Menurut International Labour Organization (ILO), transisi menuju
ekonomi sirkular dapat menciptakan sekitar 6 juta pekerjaan global bersih (net
jobs) pada tahun 2030.⁷
Di negara
berkembang, CE juga membuka peluang bagi ekonomi informal untuk berperan
aktif dalam sistem pengumpulan dan pengolahan limbah, tentu dengan dukungan
regulasi yang menjamin perlindungan kerja dan integrasi sosial.
7.5.
Ketahanan Ekonomi dan Rantai Pasok
Sistem ekonomi
sirkular membuat rantai pasok lebih tahan terhadap gangguan,
seperti fluktuasi harga bahan baku, konflik geopolitik, dan gangguan logistik.
Dengan mendaur ulang bahan dan memanfaatkan sumber daya lokal, CE mengurangi
ketergantungan terhadap pasokan global yang rentan.⁸
Pandemi COVID-19
memperlihatkan bahwa perusahaan dengan pendekatan sirkular lebih adaptif dan
tahan krisis, karena mereka memiliki kontrol lebih besar terhadap siklus hidup
produknya dan bahan yang digunakan.⁹
7.6.
Peningkatan Kesadaran dan Tanggung Jawab Sosial
Penerapan CE turut
mendorong perubahan pola pikir masyarakat
terhadap konsumsi dan kepemilikan. Konsumen menjadi lebih sadar akan dampak
lingkungan dari pilihan mereka, dan lebih cenderung memilih produk yang tahan
lama, dapat diperbaiki, atau dapat digunakan kembali.¹⁰
Kesadaran ini pada
gilirannya menciptakan tekanan pasar terhadap produsen untuk berinovasi secara
berkelanjutan dan lebih transparan dalam pelaporan dampak lingkungannya.
Circular Economy
membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan tidak harus
saling bertentangan. Justru, melalui pendekatan sirkular, masa depan ekonomi
global dapat dirancang untuk lebih cerdas, efisien, dan manusiawi.
Footnotes
[1]
European Environment Agency, The
Circular Economy and the Environment: Europe’s Contribution (Luxembourg: Publications Office of the European
Union, 2016), 13–15.
[2]
Ellen MacArthur Foundation, Completing
the Picture: How the Circular Economy Tackles Climate Change (Cowes, UK: EMF, 2019), 11.
[3]
Walter R. Stahel, The Circular Economy: A
User’s Guide (London: Routledge,
2019), 36–37.
[4]
World Resources Institute (WRI), Resource
Efficiency and Climate Change: Material Efficiency Strategies for a Low-Carbon
Future (Washington, DC: WRI, 2020),
23–25.
[5]
OECD, Business Models for the
Circular Economy: Opportunities and Challenges (Paris: OECD Publishing, 2019), 6–9.
[6]
Accenture Strategy, Waste
to Wealth: The Circular Economy Advantage (New York: Palgrave Macmillan, 2015), xv.
[7]
International Labour Organization (ILO), World Employment and Social Outlook 2018: Greening with Jobs (Geneva: ILO, 2018), 62.
[8]
McKinsey & Company, The
Circular Economy: Moving from Theory to Practice (Geneva: World Economic Forum, 2016), 12–14.
[9]
World Economic Forum, Circular
Economy and COVID-19: Opportunities and Challenges (Geneva: WEF, 2021), https://www.weforum.org.
[10]
Ellen MacArthur Foundation, What
Is the Circular Economy?, https://ellenmacarthurfoundation.org.
8.
Tantangan dan Hambatan Implementasi
Meskipun Circular
Economy (CE) menjanjikan berbagai manfaat strategis bagi
lingkungan, ekonomi, dan masyarakat, penerapannya tidak bebas dari tantangan.
Transisi dari ekonomi linear menuju ekonomi sirkular menuntut perubahan
sistemik yang kompleks dan lintas sektor. Terdapat sejumlah hambatan utama yang
sering dihadapi oleh pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat dalam
mewujudkan CE secara menyeluruh. Tantangan-tantangan ini dapat diklasifikasikan
ke dalam lima aspek utama: regulasi, teknologi dan infrastruktur, ekonomi
dan insentif, budaya dan perilaku, serta koordinasi dan tata kelola.
8.1.
Hambatan Regulasi dan Kebijakan
Salah satu kendala
terbesar dalam penerapan CE adalah ketidaksesuaian kebijakan dan regulasi
yang masih berbasis pada paradigma ekonomi linear. Banyak negara belum memiliki
kerangka hukum yang secara eksplisit mendukung prinsip-prinsip sirkular,
seperti extended
producer responsibility (EPR), insentif untuk daur ulang, dan
standar desain berkelanjutan.¹
Selain itu, regulasi
lingkungan yang ada sering kali fokus pada pengendalian dampak (end-of-pipe)
alih-alih pencegahan sejak tahap desain. Misalnya, di banyak yurisdiksi, produk
yang dirancang agar tahan lama atau dapat diperbaiki justru dikenai tarif pajak
yang lebih tinggi dibandingkan produk sekali pakai.² Ketidakharmonisan
kebijakan lintas sektor ini menghambat inovasi dan investasi dalam solusi
sirkular.
8.2.
Keterbatasan Teknologi dan Infrastruktur
Penerapan CE secara
luas sangat bergantung pada tersedianya teknologi pengolahan dan
infrastruktur daur ulang yang memadai. Di banyak negara
berkembang, fasilitas daur ulang masih minim dan belum mampu memproses material
kompleks seperti limbah elektronik atau plastik multilapis.³
Selain itu,
kurangnya sistem pengumpulan dan pemilahan limbah yang efisien di tingkat
konsumen menyebabkan tingginya kontaminasi material daur ulang, yang pada
akhirnya menurunkan nilai ekonominya.⁴ Kesenjangan teknologi ini menjadi tantangan
besar dalam mengalihkan aliran material dari ekonomi linear ke sistem sirkular.
8.3.
Ketidakpastian Ekonomi dan Kurangnya Insentif
Banyak perusahaan
enggan beralih ke model bisnis sirkular karena dianggap kurang
menguntungkan dalam jangka pendek. Biaya awal untuk mendesain
ulang produk, membangun sistem logistik balik (reverse logistics), atau
mengembangkan fasilitas pemrosesan sirkular kerap kali lebih tinggi daripada
model produksi konvensional.⁵
Selain itu, harga
bahan mentah baru yang murah, terutama di pasar global yang belum menerapkan
pajak karbon atau pembatasan sumber daya, membuat material daur ulang menjadi
kurang kompetitif.⁶ Ketidakseimbangan ini menciptakan hambatan pasar yang
signifikan bagi pelaku usaha sirkular.
8.4.
Hambatan Sosial dan Perilaku Konsumen
Transformasi menuju
CE tidak hanya soal teknologi, tetapi juga perubahan pola
pikir dan kebiasaan masyarakat. Banyak konsumen masih lebih
memilih produk murah dan baru daripada produk bekas atau hasil daur ulang,
karena persepsi kualitas, gengsi sosial, atau kurangnya informasi.⁷
Kesenjangan
pengetahuan tentang dampak lingkungan dari gaya hidup konsumtif juga menjadi
tantangan tersendiri. Tanpa pendidikan publik dan kampanye yang masif,
perubahan perilaku konsumen akan berlangsung lambat dan sporadis.
8.5.
Koordinasi Lintas Sektor dan Rantai Nilai
Circular Economy
menuntut kerja sama erat antar berbagai aktor dalam
rantai nilai, mulai dari produsen, distributor, konsumen,
hingga pengelola limbah. Namun dalam praktiknya, koordinasi ini sering kali
terhambat oleh kepentingan yang berbeda, minimnya platform kolaboratif, dan
kurangnya transparansi data antar pelaku.⁸
Selain itu, banyak
pelaku usaha, terutama UMKM, masih belum memiliki kapasitas atau sumber daya
untuk memahami dan mengimplementasikan prinsip-prinsip CE dalam bisnis mereka.
Mengatasi
tantangan-tantangan ini memerlukan pendekatan kolaboratif dan strategis,
termasuk reformasi kebijakan, investasi dalam teknologi hijau, penguatan
ekosistem bisnis sirkular, serta pembangunan kesadaran publik. Hanya dengan
cara inilah Circular Economy dapat berkembang dari sekadar wacana menjadi
sistem ekonomi baru yang inklusif dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
European Commission, Circular
Economy Action Plan: For a Cleaner and More Competitive Europe (Brussels: European Union, 2020), 7–8, https://environment.ec.europa.eu.
[2]
OECD, Policy Guidance on
Resource Efficiency (Paris: OECD
Publishing, 2016), 27–29.
[3]
UN Environment Programme (UNEP), Global
Waste Management Outlook (Nairobi:
UNEP, 2015), 42.
[4]
Ellen MacArthur Foundation, Completing
the Picture: How the Circular Economy Tackles Climate Change (Cowes, UK: EMF, 2019), 17.
[5]
Accenture Strategy, Waste
to Wealth: The Circular Economy Advantage (New York: Palgrave Macmillan, 2015), 87–88.
[6]
McKinsey & Company, The
Circular Economy: Moving from Theory to Practice (Geneva: World Economic Forum, 2016), 14–15.
[7]
Kirchherr, Julian, Denise Reike, and Marko Hekkert, “Barriers to the
Circular Economy: Evidence from the European Union,” Ecological Economics
150 (2018): 264–272. https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2018.04.028.
[8]
World Economic Forum, Circular
Economy Collaboration and Systems Thinking (Geneva: WEF, 2021), https://www.weforum.org.
9.
9. Strategi dan Rekomendasi
Menghadapi
kompleksitas tantangan dalam implementasi Circular Economy (CE), diperlukan
strategi yang terarah dan kolaboratif dari berbagai pemangku kepentingan.
Transisi menuju sistem ekonomi sirkular tidak akan tercapai hanya dengan
inisiatif individu atau perusahaan, tetapi memerlukan intervensi lintas sektor:
dari pemerintah, dunia usaha, masyarakat, hingga lembaga pendidikan dan penelitian.
Berikut ini adalah rekomendasi strategis yang dapat menjadi acuan dalam
mempercepat transformasi menuju ekonomi sirkular.
9.1.
Strategi untuk Pemerintah dan Pembuat Kebijakan
9.1.1.
Reformasi
Regulasi dan Kebijakan Insentif
Pemerintah harus
menciptakan kerangka hukum yang mendukung CE secara eksplisit, seperti
mendorong eco-design,
menerapkan extended
producer responsibility (EPR), serta memberikan insentif fiskal
bagi produk sirkular dan daur ulang.¹ Pemberlakuan pajak karbon dan penghapusan
subsidi untuk bahan mentah yang merusak lingkungan juga penting untuk
menciptakan level playing field bagi pelaku industri berkelanjutan.²
9.1.2.
Pembangunan
Infrastruktur dan Investasi Hijau
Diperlukan investasi
publik dalam pembangunan infrastruktur sirkular, seperti fasilitas pemrosesan
limbah canggih, pusat inovasi bahan daur ulang, serta sistem logistik balik.
Pemerintah juga dapat memfasilitasi akses pendanaan bagi pelaku industri kecil
dan menengah yang ingin beralih ke praktik sirkular.³
9.1.3.
Integrasi
Circular Economy dalam Agenda Nasional
Circular Economy
perlu diarusutamakan ke dalam rencana pembangunan nasional dan kebijakan
sektoral, seperti energi, transportasi, pertanian, dan industri. Negara-negara
seperti Belanda dan Finlandia telah menyusun roadmap nasional ekonomi sirkular
sebagai acuan jangka panjang.⁴ Indonesia juga telah mengambil langkah awal
melalui Strategi
Nasional Pengelolaan Sampah 2025 dan Low Carbon Development Initiative (LCDI).⁵
9.2.
Strategi untuk Sektor Industri dan Dunia Usaha
9.2.1.
Inovasi
Model Bisnis
Perusahaan dapat
mengadopsi model bisnis berbasis layanan seperti product-as-a-service, sharing
economy, atau leasing model, yang menekankan
akses dibanding kepemilikan.⁶ Inovasi ini tidak hanya mengurangi limbah, tetapi
juga menciptakan aliran pendapatan baru dan hubungan pelanggan jangka panjang.
9.2.2.
Desain
untuk Keberlanjutan
Pelaku industri
perlu menerapkan prinsip design for circularity, yaitu
mendesain produk agar mudah diperbaiki, ditingkatkan, atau didaur ulang. Ini
dapat dilakukan melalui pemilihan bahan ramah lingkungan, desain modular, dan
dokumentasi rantai pasok yang transparan.⁷
9.2.3.
Kolaborasi
dalam Ekosistem Sirkular
Industri perlu
membangun kemitraan lintas rantai pasok—dengan pemasok bahan baku, distributor,
serta pengelola limbah—untuk menciptakan ekosistem bisnis yang saling
menguatkan. Praktik industrial symbiosis seperti yang
dilakukan di Kalundborg, Denmark, menjadi contoh nyata keberhasilan kolaborasi
semacam ini.⁸
9.3.
Strategi untuk Konsumen dan Masyarakat
9.3.1.
Edukasi
dan Literasi Konsumen
Perubahan pola
konsumsi hanya bisa terjadi dengan peningkatan literasi masyarakat tentang
dampak lingkungan dari gaya hidup konsumtif. Kampanye publik, pelabelan produk
berkelanjutan, dan program pendidikan lingkungan perlu diperkuat untuk
membentuk budaya konsumsi yang sadar dan bertanggung jawab.⁹
9.3.2.
Partisipasi
dalam Ekonomi Sirkular
Masyarakat dapat
berkontribusi melalui tindakan-tindakan sederhana seperti memilah sampah,
menggunakan kembali barang bekas, memperbaiki barang rusak, serta mendukung
produk lokal yang ramah lingkungan. Selain itu, konsumen juga memiliki peran
sebagai agen perubahan melalui pilihan belanja yang beretika dan
berkelanjutan.¹⁰
9.4.
Strategi untuk Lembaga Pendidikan dan
Penelitian
9.4.1.
Integrasi
Circular Economy dalam Kurikulum
Institusi pendidikan
dapat mendorong transisi CE melalui integrasi tema sirkularitas dalam
kurikulum, riset interdisipliner, serta inkubator bisnis hijau. Pendidikan
tinggi memegang peran penting dalam melahirkan sumber daya manusia yang
kompeten dan visioner dalam pengembangan ekonomi sirkular.¹¹
9.4.2.
Pengembangan
Teknologi dan Inovasi Berbasis Riset
Lembaga riset dan
universitas perlu mendukung CE dengan menciptakan solusi teknologi baru untuk
daur ulang, pengolahan limbah, material biomimikri, dan sistem pelacakan rantai
pasok berbasis digital seperti blockchain atau IoT.¹²
Penutup Strategi
Transisi menuju
Circular Economy bukanlah proses instan. Ia membutuhkan komitmen
jangka panjang, kolaborasi multi-sektor, dan keberanian untuk mengubah
paradigma ekonomi yang telah mengakar. Namun dengan strategi
yang tepat dan dukungan kebijakan yang progresif, Circular Economy dapat
menjadi fondasi bagi masa depan ekonomi yang inklusif, resilien, dan
berkelanjutan.
Footnotes
[1]
European Commission, Circular
Economy Action Plan: For a Cleaner and More Competitive Europe (Brussels: EU, 2020), 15–18, https://environment.ec.europa.eu.
[2]
OECD, Policy Guidance on
Resource Efficiency (Paris: OECD
Publishing, 2016), 33–35.
[3]
UN Environment Programme (UNEP), Global
Waste Management Outlook (Nairobi:
UNEP, 2015), 102–104.
[4]
Ministry of Infrastructure and the Environment (Netherlands), A Circular Economy in the Netherlands by 2050: Government-wide
Programme (The Hague: Government of
the Netherlands, 2016), 4.
[5]
Bappenas, Low Carbon Development:
A Pathway to Sustainable Development in Indonesia (Jakarta: Bappenas & UNDP, 2019), 57–60.
[6]
Accenture Strategy, Waste
to Wealth: The Circular Economy Advantage (New York: Palgrave Macmillan, 2015), 61–64.
[7]
Ellen MacArthur Foundation, Circular
Design Guide (Cowes, UK: EMF, 2017),
https://circulardesignguide.com.
[8]
Kalundborg Symbiosis, “Industrial Symbiosis Case Study,” accessed April
2025, https://www.symbiosis.dk/en.
[9]
European Environment Agency, Textiles
and the Environment: The Role of Design in Europe’s Circular Economy (Luxembourg: Publications Office of the EU, 2019),
20.
[10]
United Nations Environment Programme (UNEP), One Planet Consumer Information Programme (Nairobi: UNEP, 2021), https://www.unep.org.
[11]
Kirchherr, Julian, and Marko Hekkert, “Education for a Circular
Economy,” Journal of Cleaner
Production 243 (2020): 118–126. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2019.118556.
[12]
World Economic Forum, Harnessing
Technology for the Circular Economy
(Geneva: WEF, 2022), https://www.weforum.org.
10.
Penutup
Circular Economy
(CE) telah muncul sebagai paradigma alternatif yang menjanjikan jalan keluar
dari krisis ekologis dan keterbatasan sistem ekonomi linear. Dengan prinsip
dasar seperti penghilangan limbah sejak tahap desain,
pemanfaatan
ulang produk dan material, serta regenerasi
sistem alam, CE mampu menyatukan kepentingan ekonomi, sosial,
dan lingkungan dalam satu kerangka sistemik yang holistik.¹
Transisi menuju
ekonomi sirkular bukan sekadar perubahan teknis, tetapi transformasi paradigma
yang mendalam: dari ekonomi yang berbasis pada ekstraksi dan konsumsi, menjadi
ekonomi yang menghargai keterbatasan sumber daya dan mendorong sirkulasi nilai
secara berkelanjutan. Seperti ditegaskan oleh Ellen MacArthur Foundation, CE
adalah “kerangka kerja pembangunan ekonomi yang disengaja dan restoratif,
yang mengutamakan desain sistem agar tidak menghasilkan limbah.”_²
Implementasi CE
telah menunjukkan hasil positif di berbagai sektor—manufaktur, pertanian,
konstruksi, fesyen, hingga elektronik. Dari perusahaan global seperti IKEA dan
Philips hingga inovasi lokal seperti Rebricks di Indonesia, semua membuktikan
bahwa pendekatan sirkular tidak hanya layak, tetapi juga menguntungkan dan
berdaya tahan dalam jangka panjang.³
Namun, untuk
menjadikan CE sebagai sistem ekonomi arus utama, diperlukan upaya kolektif
lintas aktor: kebijakan progresif dari pemerintah,
komitmen
dunia usaha, perubahan perilaku konsumen, serta
dukungan
riset dan pendidikan yang berkelanjutan. Tidak ada satu solusi
tunggal yang dapat berlaku universal, sehingga strategi transisi perlu
disesuaikan dengan konteks lokal, budaya, dan struktur ekonomi masing-masing
wilayah.⁴
Melalui penerapan ekonomi
sirkular, dunia memiliki kesempatan untuk membangun masa depan yang lebih resilien,
adil, dan regeneratif. Circular Economy bukan hanya tentang
menjaga lingkungan, tetapi tentang menciptakan sistem ekonomi yang bekerja bagi
manusia dan planet secara simultan. Sebagaimana dinyatakan
dalam laporan World Economic Forum, “Circularity is not a destination, but a
path toward a more sustainable and resilient economy.”_⁵
Oleh karena itu,
mendorong Circular Economy bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan
mendesak untuk menjamin kesejahteraan generasi sekarang dan
masa depan.
Footnotes
[1]
Walter R. Stahel, The Circular Economy: A
User’s Guide (London: Routledge,
2019), 7–8.
[2]
Ellen MacArthur Foundation, What
Is the Circular Economy?, https://ellenmacarthurfoundation.org.
[3]
UNDP Indonesia, Circular Economy and
Waste Innovation in Indonesia
(Jakarta: UNDP, 2021), 27–29; Ellen MacArthur Foundation, Case Studies: IKEA, Philips, https://ellenmacarthurfoundation.org.
[4]
OECD, Business Models for the
Circular Economy: Opportunities and Challenges from a Policy Perspective (Paris: OECD Publishing, 2019), 24–26.
[5]
World Economic Forum, Circular
Economy: The New Normal? (Geneva:
WEF, 2021), https://www.weforum.org.
Daftar Pustaka
Accenture Strategy. (2015).
Waste to wealth: The circular economy advantage.
Palgrave Macmillan.
Bappenas. (2019). Low
carbon development: A pathway to sustainable development in Indonesia.
Jakarta: Bappenas & UNDP.
Ellen MacArthur Foundation.
(2016). Circular buildings: Applying circular economy principles to the
built environment. Cowes, UK: Ellen MacArthur Foundation.
Ellen MacArthur Foundation.
(2017). Circular economy system diagram. https://ellenmacarthurfoundation.org
Ellen MacArthur Foundation.
(2017). Circular design guide. https://circulardesignguide.com
Ellen MacArthur Foundation.
(2019). Completing the picture: How the circular economy tackles climate
change. Cowes, UK: Ellen MacArthur Foundation.
Ellen MacArthur Foundation.
(2021). What is the circular economy? https://ellenmacarthurfoundation.org
European Commission.
(2012). Eco-design your future: How eco-design can help the environment
by making products smarter. Luxembourg: Publications Office of the
European Union.
European Commission.
(2020). Circular economy action plan: For a cleaner and more competitive
Europe. Brussels: European Union. https://environment.ec.europa.eu
European Environment
Agency. (2016). The circular economy and the environment:
Europe’s contribution. Luxembourg: Publications Office of the
European Union.
European Environment
Agency. (2017). Circular by design: Products in the
circular economy. Luxembourg: Publications Office of the European
Union.
European Environment
Agency. (2019). Textiles and the environment: The role of
design in Europe’s circular economy. Luxembourg: Publications
Office of the European Union.
Fairphone. (2025). Our
mission. https://www.fairphone.com
Food and Agriculture
Organization (FAO). (2019). The state of food and agriculture: Food
loss and waste. Rome: FAO.
Global E-waste Statistics
Partnership. (2020). The global e-waste monitor 2020.
Geneva: ITU, UNU, & ISWA.
H&M Group. (2025). Garment
collecting program. https://hmgroup.com
HP. (2025). HP
Planet Partners program. https://www.hp.com
Indonesia Business Council
for Sustainable Development (IBCSD). (2021). Waste management and
circular economy initiatives. https://www.ibcsd.or.id
International Labour
Organization. (2018). World employment and social outlook 2018:
Greening with jobs. Geneva: ILO.
Kalundborg Symbiosis.
(2025). About symbiosis. https://www.symbiosis.dk/en
Kirchherr, J., Reike, D.,
& Hekkert, M. (2017). Conceptualizing the circular economy: An analysis of
114 definitions. Resources, Conservation and Recycling,
127, 221–232. https://doi.org/10.1016/j.resconrec.2017.09.005
Kirchherr, J., &
Hekkert, M. (2020). Education for a circular economy. Journal
of Cleaner Production, 243, 118556. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2019.118556
Kirchherr, J., Reike, D.,
& Hekkert, M. (2018). Barriers to the circular economy: Evidence from the
European Union. Ecological Economics, 150,
264–272. https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2018.04.028
McDonough, W., &
Braungart, M. (2002). Cradle to cradle: Remaking the way we
make things. North Point Press.
McKinsey & Company.
(2016). The circular economy: Moving from theory to practice.
Geneva: World Economic Forum.
Ministry of Infrastructure
and the Environment (Netherlands). (2016). A circular economy in
the Netherlands by 2050: Government-wide programme. The Hague:
Government of the Netherlands.
OECD. (2016). Policy
guidance on resource efficiency. Paris: OECD Publishing.
OECD. (2019). Business
models for the circular economy: Opportunities and challenges from a policy
perspective. Paris: OECD Publishing.
Philips. (2022). Sustainability
report 2022. https://www.philips.com
Rebricks. (2025). Tentang
kami. https://rebricks.id
Renault Group. (2025). Sustainability
and circular economy strategy. https://www.renaultgroup.com
Stahel, W. R. (2019). The
circular economy: A user’s guide. Routledge.
UN Environment Programme
(UNEP). (2015). Global waste management outlook.
Nairobi: UNEP.
UN Environment Programme
(UNEP). (2021). One planet consumer information programme.
Nairobi: UNEP.
UNDP Indonesia. (2021). Circular
economy and waste innovation in Indonesia. Jakarta: UNDP.
United Nations. (2015). Transforming
our world: The 2030 agenda for sustainable development. https://sdgs.un.org/goals
United States Environmental
Protection Agency (EPA). (2025). Food recovery hierarchy. https://www.epa.gov/sustainable-management-food
World Bank. (2018). What
a waste 2.0: A global snapshot of solid waste management to 2050.
Washington, DC: World Bank. https://datatopics.worldbank.org/what-a-waste
World Economic Forum.
(2021). Circular economy and COVID-19: Opportunities and challenges.
Geneva: WEF.
World Economic Forum.
(2021). Circular economy: The new normal? Geneva: WEF.
World Economic Forum.
(2022). Harnessing technology for the circular economy.
Geneva: WEF.
World Green Building
Council. (2020). The building life cycle: Circular economy
and construction. London: WGBC.
World Resources Institute
(WRI). (2020). Resource efficiency and climate change:
Material efficiency strategies for a low-carbon future. Washington,
DC: WRI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar