Rabu, 30 April 2025

Koperasi: Telaah atas UU No. 25 Tahun 1992 dan Regulasi Terkait

Koperasi

Telaah atas UU No. 25 Tahun 1992 dan Regulasi Terkait


Alihkan ke: Ilmu Ekonomi.

BUMN, Korporasi, Perseroan Terbatas.


Abstrak

Koperasi merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan ekonomi nasional yang berlandaskan pada prinsip kekeluargaan dan demokrasi ekonomi sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif peran strategis koperasi dalam perekonomian Indonesia berdasarkan kerangka hukum Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, serta menelaah tantangan dan dinamika aktual yang dihadapi koperasi dalam era transformasi digital dan globalisasi. Melalui pendekatan analisis normatif dan studi literatur terhadap berbagai regulasi serta sumber akademik, artikel ini menemukan bahwa meskipun koperasi memiliki potensi besar dalam mendukung ekonomi kerakyatan, kontribusinya terhadap PDB nasional masih rendah akibat berbagai kendala, seperti lemahnya tata kelola, rendahnya partisipasi anggota, ketertinggalan regulasi, dan keterbatasan inovasi. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah reformasi kelembagaan, digitalisasi sistem koperasi, penguatan pendidikan perkoperasian, dan perluasan kemitraan strategis untuk mewujudkan koperasi yang inklusif, modern, dan berdaya saing tinggi dalam konteks pembangunan ekonomi berkelanjutan.

Kata Kunci: Koperasi; Demokrasi Ekonomi; UU No. 25 Tahun 1992; Transformasi Digital; Ekonomi Kerakyatan; Reformasi Regulasi; Tata Kelola Koperasi.


PEMBAHASAN

Peran dan Tantangan Koperasi dalam Perekonomian Nasional


1.           Pendahuluan

Koperasi telah lama menjadi salah satu pilar penting dalam sistem perekonomian Indonesia. Sebagai bentuk badan usaha yang berlandaskan prinsip kekeluargaan dan gotong royong, koperasi bukan hanya sekadar entitas ekonomi, tetapi juga wahana pemberdayaan sosial yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan kesetaraan antar anggota. Peran koperasi dalam struktur ekonomi nasional tercermin dari kedudukannya sebagai sokoguru perekonomian yang secara eksplisit ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya pada Pasal 33 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”_¹

Sebagai perwujudan dari amanat konstitusi tersebut, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian diundangkan untuk memberikan landasan hukum yang kuat dan arah kebijakan dalam pengembangan koperasi di Indonesia. Undang-undang ini memuat prinsip-prinsip dasar koperasi, termasuk struktur organisasi, asas usaha, peran sosial, serta tanggung jawab hukum dan ekonomi yang melekat pada badan usaha koperasi. Dalam konteks pembangunan nasional, koperasi diharapkan mampu menjembatani kesenjangan sosial dan ekonomi dengan menjadi sarana bagi masyarakat—khususnya kelompok menengah ke bawah—untuk mengakses sumber daya ekonomi secara kolektif.²

Meskipun memiliki potensi besar, kontribusi koperasi terhadap produk domestik bruto (PDB) dan daya saing ekonomi nasional masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan bentuk badan usaha lainnya. Beberapa studi menunjukkan bahwa lemahnya manajemen, rendahnya partisipasi anggota, dan kurangnya akses terhadap inovasi serta teknologi menjadi hambatan utama dalam pengembangan koperasi.³ Hal ini diperparah dengan belum optimalnya implementasi regulasi yang berpihak pada penguatan koperasi secara berkelanjutan. Beberapa regulasi bahkan dinilai tumpang tindih atau tidak adaptif terhadap dinamika zaman, seperti munculnya koperasi digital dan koperasi berbasis platform teknologi.⁴

Selain itu, perubahan lanskap ekonomi global dan domestik akibat digitalisasi, perubahan pola konsumsi, serta dampak pandemi COVID-19 menuntut koperasi untuk melakukan transformasi struktural dan strategis. Inovasi model bisnis, peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta penguatan tata kelola menjadi keniscayaan agar koperasi tetap relevan dan berdaya saing tinggi dalam era ekonomi berbasis pengetahuan.⁵

Melalui artikel ini, penulis bertujuan untuk menelaah secara komprehensif peran koperasi dalam sistem ekonomi nasional berdasarkan ketentuan UU No. 25 Tahun 1992, serta membahas tantangan-tantangan yang dihadapi koperasi di era kontemporer. Pembahasan ini juga akan mengkaji perkembangan regulasi terkait, termasuk revisi kebijakan melalui UU Cipta Kerja, guna melihat sejauh mana negara hadir dalam mendukung revitalisasi koperasi. Harapannya, tulisan ini dapat memberikan kontribusi akademik dan praktis bagi pengembangan koperasi yang lebih inklusif, efisien, dan berkeadilan.


Footnotes

[1]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat (1).

[2]                Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116.

[3]                Mubyarto, Pengantar Ekonomi Kerakyatan (Yogyakarta: LP3ES, 2006), 65–68.

[4]                Rully Indrawan, “Tantangan Kelembagaan Koperasi di Era Digital,” Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik 12, no. 2 (2021): 101–112.

[5]                Nining I. Soesilo dan Wawan Hermawan, “Revitalisasi Koperasi melalui Inovasi Digital,” Jurnal Koperasi dan UMKM 7, no. 1 (2023): 22–36.


2.           Konsep Dasar Koperasi

2.1.       Definisi Koperasi

Dalam perspektif hukum nasional, koperasi didefinisikan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Pasal 1 sebagai “badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.”_¹ Definisi ini menunjukkan bahwa koperasi bukan hanya sekadar entitas bisnis, tetapi juga sebuah gerakan sosial dan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya secara kolektif.

Koperasi memiliki perbedaan mendasar dibandingkan dengan badan usaha lain, terutama dalam hal orientasi dan sistem pengelolaan. Jika perusahaan konvensional lebih berorientasi pada laba dan kepentingan pemilik modal, koperasi menempatkan anggota sebagai pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi.² Dengan demikian, kegiatan usaha koperasi diarahkan pada pemenuhan kebutuhan ekonomi anggota, bukan semata-mata mencari keuntungan.

2.2.       Asas dan Nilai-Nilai Koperasi

Asas koperasi yang menjadi fondasi operasionalnya adalah asas kekeluargaan dan gotong royong, sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 UU No. 25 Tahun 1992. Selain itu, koperasi juga mengadopsi nilai-nilai yang berkembang secara universal sebagaimana dirumuskan oleh International Cooperative Alliance (ICA), yang mencakup: keanggotaan sukarela dan terbuka, kendali demokratis oleh anggota, partisipasi ekonomi anggota, otonomi dan kemandirian, pendidikan dan pelatihan, kerja sama antar koperasi, serta kepedulian terhadap komunitas.³

Nilai-nilai ini menjadikan koperasi sebagai badan usaha yang menyeimbangkan antara tujuan ekonomi dan sosial. Menurut Suroto, koperasi tidak hanya berperan sebagai instrumen ekonomi rakyat, tetapi juga sebagai alat pembelajaran demokrasi ekonomi dalam praktik nyata.⁴

2.3.       Tujuan dan Fungsi Koperasi

Tujuan utama koperasi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, serta membangun tatanan perekonomian nasional yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 3 UU No. 25/1992). Dengan demikian, koperasi menjalankan dua fungsi utama: sebagai pelaku ekonomi dan sebagai agen perubahan sosial.

Dari sisi ekonomi, koperasi berfungsi sebagai alat produksi dan distribusi yang dimiliki dan dikendalikan oleh anggotanya. Sementara dari sisi sosial, koperasi menjadi sarana untuk memperkuat solidaritas ekonomi, mengurangi kesenjangan sosial, dan memberdayakan masyarakat secara inklusif.⁵ Studi-studi mutakhir juga menunjukkan bahwa keberadaan koperasi sangat efektif dalam membangun ekonomi lokal dan memperluas akses masyarakat terhadap sumber daya produktif.⁶

2.4.       Koperasi dalam Perspektif Internasional

Di tingkat global, koperasi diakui sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan. ICA mencatat bahwa terdapat lebih dari 3 juta koperasi di seluruh dunia yang memberikan dampak ekonomi signifikan dan menyerap lebih dari 280 juta tenaga kerja.⁷ Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam Recommendation No. 193 on the Promotion of Cooperatives (2002) menegaskan bahwa koperasi memiliki peran penting dalam penciptaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, dan pembangunan ekonomi berbasis masyarakat.⁸

Indonesia, sebagai negara dengan semangat kolektivisme yang kuat, memiliki potensi besar untuk menjadikan koperasi sebagai pilar utama ekonomi rakyat. Namun, implementasi nilai dan prinsip koperasi sebagaimana diadopsi oleh ICA masih memerlukan penguatan di tingkat kelembagaan dan pendidikan koperasi secara berkelanjutan.⁹


Footnotes

[1]                Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Pasal 1.

[2]                Sri Edi Swasono, Ekonomi Koperasi: Sebuah Pengantar (Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 2005), 21–23.

[3]                International Cooperative Alliance (ICA), Statement on the Cooperative Identity, 1995.

[4]                Suroto, Koperasi dan Politik Ekonomi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), 49.

[5]                Mubyarto, Pengantar Ekonomi Kerakyatan (Yogyakarta: LP3ES, 2006), 44–47.

[6]                Rahmawati dan Nuraini, “Peran Koperasi dalam Penguatan Ekonomi Lokal,” Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan 17, no. 2 (2020): 100–110.

[7]                ICA, World Cooperative Monitor 2022, https://monitor.coop

[8]                International Labour Organization, Recommendation 193: Promotion of Cooperatives (Geneva: ILO, 2002).

[9]                Wawan Hermawan, “Koperasi dan Masa Depan Ekonomi Inklusif di Indonesia,” Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial 5, no. 1 (2022): 67–79.


3.           Landasan Hukum Perkoperasian

3.1.       Koperasi dalam Konstitusi Negara

Koperasi sebagai bentuk usaha yang berorientasi pada kesejahteraan kolektif memiliki kedudukan konstitusional dalam sistem ekonomi Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”_¹ Pasal ini menempatkan koperasi sebagai manifestasi dari cita-cita ekonomi kerakyatan yang menjunjung tinggi prinsip keadilan sosial. Penafsiran atas pasal ini menegaskan bahwa koperasi bukan hanya instrumen ekonomi, tetapi juga sarana untuk mewujudkan demokrasi ekonomi dan pemerataan kesejahteraan.²

3.2.       Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian

Sebagai pelaksanaan dari amanat konstitusi, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian hadir sebagai kerangka hukum utama yang mengatur kedudukan, fungsi, struktur organisasi, dan mekanisme operasional koperasi. Undang-undang ini mengatur koperasi sebagai badan usaha berbadan hukum dengan berlandaskan prinsip-prinsip koperasi dan asas kekeluargaan.³

Beberapa pokok pengaturan penting dalam UU ini antara lain:

·                     Pasal 3 menetapkan tujuan koperasi, yakni meningkatkan kesejahteraan anggota dan masyarakat.

·                     Pasal 4 memuat prinsip koperasi, termasuk keanggotaan sukarela dan terbuka, pengelolaan secara demokratis, dan pembagian SHU (Sisa Hasil Usaha) yang adil sesuai partisipasi anggota.

·                     Pasal 23–30 mengatur struktur organisasi koperasi: Rapat Anggota sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, Pengurus sebagai pelaksana, dan Pengawas sebagai pengendali internal.⁴

Meskipun UU ini masih berlaku hingga kini, beberapa kalangan menilai bahwa substansinya sudah mulai tidak relevan terhadap kebutuhan koperasi modern. Banyak konsep penting koperasi digital, koperasi berbasis platform, serta perlindungan hukum konsumen dan anggota koperasi belum terakomodasi dalam regulasi ini.⁵

3.3.       Regulasi Pendukung dan Turunan

Selain UU No. 25 Tahun 1992, terdapat sejumlah peraturan pemerintah dan peraturan menteri yang mendukung implementasi teknis koperasi, di antaranya:

·                     Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1998 tentang Modal Penyertaan pada Koperasi, yang mengatur ketentuan tentang partisipasi modal dari luar anggota.

·                     Peraturan Menteri Koperasi dan UKM No. 9 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan dan Pembinaan Perkoperasian, yang mengatur standar pendirian, tata kelola, hingga pengawasan koperasi.

·                     Peraturan Menteri Koperasi dan UKM No. 15 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pengesahan Badan Hukum Koperasi, yang memanfaatkan teknologi digital dalam pengesahan koperasi melalui sistem AHU online.⁶

Pengaturan ini merupakan respons pemerintah terhadap kompleksitas pengembangan koperasi, terutama dalam aspek formalitas hukum dan efisiensi layanan birokrasi.

3.4.       Dampak UU Cipta Kerja terhadap Koperasi

Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja membawa implikasi penting terhadap dunia perkoperasian. Melalui perubahan dan penyederhanaan beberapa ketentuan dalam UU No. 25/1992, pemerintah mencoba mendorong iklim usaha yang lebih fleksibel bagi koperasi. Beberapa perubahan signifikan meliputi:

·                     Penyederhanaan prosedur pendirian koperasi (cukup oleh 9 orang).

·                     Pemberian keleluasaan usaha koperasi di berbagai sektor ekonomi.

·                     Digitalisasi pengesahan dan pengawasan koperasi.

Namun demikian, kritik juga muncul dari berbagai pihak, khususnya mengenai kecenderungan liberalisasi koperasi dan potensi melemahnya nilai-nilai kekeluargaan jika koperasi hanya diposisikan sebagai entitas bisnis tanpa memperhatikan prinsip dasarnya.⁷ Penyesuaian UU No. 25/1992 melalui UU Cipta Kerja dinilai masih memerlukan pengawasan ketat agar tidak mengaburkan identitas koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat.⁸

3.5.       Tantangan dalam Harmonisasi Regulasi

Hingga kini, pengaturan hukum koperasi di Indonesia masih menghadapi tantangan dalam hal harmonisasi antarperaturan. Beberapa persoalan yang muncul antara lain:

·                     Tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Koperasi dan lembaga lain.

·                     Ketidaksesuaian antara norma hukum formal dengan praktik lapangan koperasi.

·                     Kurangnya pembaruan regulasi sesuai perkembangan ekonomi digital.⁹

Untuk itu, diperlukan reformasi hukum perkoperasian yang tidak hanya memperkuat posisi koperasi dalam sistem hukum nasional, tetapi juga mampu menjawab tantangan zaman tanpa mengabaikan jati diri koperasi.


Footnotes

[1]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat (1).

[2]                Sri Edi Swasono, Demokrasi Ekonomi: Sistem Ekonomi Berkeadilan Sosial (Jakarta: LP3ES, 2006), 15.

[3]                Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 116.

[4]                R. Subiakto Tjakrawerdaya, Koperasi Indonesia: Sejarah, Landasan, dan Perkembangannya (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 104–112.

[5]                Imam Sukardi, “Koperasi di Era Ekonomi Digital: Antara Peluang dan Tantangan Regulasi,” Jurnal Hukum Ekonomi Syariah 4, no. 1 (2022): 44–56.

[6]                Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia, Peraturan Menteri Koperasi dan UKM No. 15 Tahun 2021, https://peraturan.bpk.go.id.

[7]                Muhammad Ridwan, “Evaluasi UU Cipta Kerja terhadap Prinsip Dasar Koperasi di Indonesia,” Jurnal Legislasi Indonesia 18, no. 3 (2021): 221–234.

[8]                Yulianto, “Koperasi dan Liberalisasi Ekonomi: Studi atas Perubahan Regulasi di Era Omnibus Law,” Jurnal Dinamika Hukum 23, no. 2 (2022): 180–195.

[9]                Hendar, “Reformasi Hukum Koperasi di Indonesia: Antara Harapan dan Kenyataan,” Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi 5, no. 2 (2020): 133–145.


4.           Jenis dan Bentuk Koperasi

4.1.       Pengelompokan Koperasi berdasarkan Jenis Usaha

Secara yuridis, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tidak secara eksplisit mengklasifikasikan koperasi berdasarkan jenis usahanya, namun dalam praktiknya koperasi di Indonesia umumnya dibagi menjadi beberapa jenis sesuai dengan kegiatan ekonominya. Klasifikasi ini juga merujuk pada pembagian yang digunakan oleh Kementerian Koperasi dan UKM, yakni:

·                     Koperasi Konsumen, yang bergerak dalam bidang penyediaan barang konsumsi bagi anggota dan masyarakat dengan harga yang wajar.

·                     Koperasi Produsen, yang beranggotakan produsen barang atau jasa dan bertujuan meningkatkan hasil produksi melalui penyediaan bahan baku, alat produksi, dan pemasaran.

·                     Koperasi Simpan Pinjam (KSP), yang menyediakan layanan keuangan berupa tabungan dan pinjaman untuk anggota secara lebih terjangkau dibanding lembaga keuangan konvensional.¹

·                     Koperasi Jasa, yang bergerak di bidang pelayanan jasa seperti transportasi, asuransi, atau keuangan non-bank lainnya.

·                     Koperasi Serba Usaha (KSU), yang menjalankan lebih dari satu bidang usaha secara terpadu untuk memenuhi kebutuhan anggota.²

Jenis-jenis koperasi ini dibentuk untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan potensi ekonomi dari anggotanya. Koperasi simpan pinjam, misalnya, menjadi tulang punggung inklusi keuangan di banyak daerah pedesaan, di mana akses terhadap lembaga keuangan formal masih terbatas.³

4.2.       Pengelompokan Koperasi berdasarkan Tingkatannya

Selain berdasarkan jenis usaha, koperasi juga dikelompokkan berdasarkan tingkatannya, yaitu:

·                     Koperasi Primer, yaitu koperasi yang beranggotakan orang-perorangan, dan merupakan bentuk koperasi paling dasar. Berdasarkan Pasal 6 UU No. 25 Tahun 1992, koperasi primer dapat didirikan oleh minimal 20 orang (namun direduksi menjadi 9 orang oleh UU Cipta Kerja).

·                     Koperasi Sekunder, yaitu koperasi yang anggotanya adalah koperasi-koperasi. Koperasi sekunder dapat berbentuk koperasi pusat, gabungan koperasi, dan induk koperasi, sesuai dengan kebutuhan skala dan koordinasi antar koperasi primer.⁴

Koperasi sekunder biasanya dibentuk untuk memperkuat daya tawar kolektif dalam hal pengadaan barang dan pemasaran, serta untuk menyinergikan kegiatan antar koperasi primer dalam satu sektor atau wilayah tertentu.

4.3.       Contoh Praktik Koperasi di Indonesia

Implementasi koperasi di Indonesia sangat beragam, mulai dari koperasi sekolah, koperasi petani, hingga koperasi pekerja atau buruh. Salah satu contoh koperasi besar yang sukses secara ekonomi dan kelembagaan adalah Koperasi Unit Desa (KUD) yang sejak era 1970-an didorong sebagai pusat pelayanan ekonomi rakyat di pedesaan, khususnya di sektor pertanian.⁵

Di era kontemporer, muncul pula koperasi berbasis teknologi digital seperti Koperasi Digital Baitul Maal wat Tamwil (BMT) dan koperasi platform seperti Koperasi Warung Tegal (Kowarteg Indonesia), yang berupaya merespons tantangan zaman melalui model bisnis berbasis aplikasi dan jejaring sosial.⁶

4.4.       Prosedur Pembentukan Koperasi

Proses pendirian koperasi diatur dalam Pasal 9 UU No. 25 Tahun 1992 dan peraturan pelaksanaannya. Beberapa prosedur utama meliputi:

·                     Penyusunan akta pendirian dan anggaran dasar koperasi oleh para pendiri;

·                     Pengajuan permohonan pengesahan badan hukum ke Kementerian Hukum dan HAM (melalui sistem AHU online);

·                     Penyelenggaraan rapat anggota pertama sebagai forum tertinggi pengambilan keputusan.⁷

Prosedur tersebut kini dipermudah dengan kebijakan digitalisasi layanan administrasi koperasi sebagaimana diatur dalam Permenkop UKM No. 15 Tahun 2021, guna mempercepat proses legalitas dan mendorong partisipasi masyarakat dalam pembentukan koperasi.

4.5.       Evaluasi dan Tantangan Implementasi

Meskipun klasifikasi koperasi tampak sistematis, pada praktiknya banyak koperasi menjalankan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan jenisnya, atau bahkan menyimpang dari prinsip-prinsip koperasi. Koperasi simpan pinjam, misalnya, sering disalahgunakan oleh oknum menjadi lembaga simpan pinjam liar dengan praktik bunga tinggi dan penagihan agresif.⁸

Oleh karena itu, pengawasan berbasis sistem dan peningkatan literasi koperasi menjadi hal yang mutlak untuk menjamin agar koperasi tetap berjalan sesuai dengan prinsip dasar dan fungsi sosial-ekonominya.


Footnotes

[1]                Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Pasal 16.

[2]                Kementerian Koperasi dan UKM RI, Buku Saku Perkoperasian Indonesia (Jakarta: Kemenkop UKM, 2021), 24–26.

[3]                Diah Ayu Nur Hidayah, “Peran Koperasi Simpan Pinjam dalam Meningkatkan Kesejahteraan Anggota,” Jurnal Ekonomi Mikro dan Keuangan 3, no. 1 (2020): 75–88.

[4]                Subiakto Tjakrawerdaya, Koperasi Indonesia: Sejarah, Landasan, dan Perkembangannya (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 117.

[5]                Mubyarto, Ekonomi Desa: Konsep, Kebijakan, dan Implementasi (Yogyakarta: BPFE, 2002), 91–93.

[6]                Rully Indrawan, “Model Koperasi Digital di Era Ekonomi Platform,” Jurnal Inovasi Ekonomi Digital 2, no. 1 (2022): 13–25.

[7]                Kementerian Koperasi dan UKM RI, Peraturan Menteri Koperasi dan UKM No. 15 Tahun 2021, https://peraturan.bpk.go.id.

[8]                Nur Azizah dan Dedi Supriadi, “Penyalahgunaan Praktik Koperasi Simpan Pinjam dan Perlindungan Hukum bagi Anggota,” Jurnal Hukum Ekonomi dan Sosial 6, no. 2 (2021): 112–125.


5.           Organisasi dan Tata Kelola Koperasi

5.1.       Struktur Organisasi Koperasi

Struktur organisasi koperasi diatur secara sistematis dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1992, khususnya pada Pasal 22 hingga Pasal 30. Struktur ini mencerminkan sistem demokrasi ekonomi, di mana anggota koperasi tidak hanya menjadi pengguna jasa, tetapi juga pemilik dan pengendali utama organisasi.¹

Terdapat tiga komponen utama dalam struktur organisasi koperasi, yaitu:

·                     Rapat Anggota, merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi. Semua keputusan strategis—seperti pengesahan laporan tahunan, pengangkatan pengurus dan pengawas, serta perubahan anggaran dasar—ditetapkan dalam forum ini.

·                     Pengurus, dipilih dari dan oleh anggota dalam rapat anggota untuk menjalankan operasional koperasi sehari-hari.

·                     Pengawas, bertugas mengawasi pelaksanaan kebijakan dan kinerja pengurus serta memastikan koperasi berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip dan tujuan yang telah ditetapkan.²

Keterlibatan aktif anggota dalam proses pengambilan keputusan menjadi salah satu ciri khas koperasi yang membedakannya dari badan usaha konvensional.³

5.2.       Prinsip Tata Kelola Koperasi yang Baik

Tata kelola koperasi yang baik atau Good Cooperative Governance (GCG) merupakan landasan penting untuk menciptakan koperasi yang sehat dan berkelanjutan. Konsep ini mencakup prinsip-prinsip:

·                     Transparansi, yakni keterbukaan dalam informasi keuangan dan keputusan organisasi;

·                     Akuntabilitas, yakni tanggung jawab pengurus kepada anggota dan hasil kinerja yang terukur;

·                     Partisipasi aktif anggota, dalam pengawasan dan pengambilan keputusan;

·                     Keadilan, dalam pembagian manfaat ekonomi sesuai kontribusi anggota;

·                     Kemandirian, dalam menjalankan usaha tanpa ketergantungan yang merusak otonomi koperasi.⁴

Menurut studi yang dilakukan oleh Siti Rokhati dan Arief Widodo, praktik GCG yang konsisten dapat meningkatkan kepercayaan anggota, efisiensi organisasi, serta daya saing koperasi di pasar.⁵ Namun, implementasi prinsip-prinsip ini masih belum optimal di sebagian besar koperasi, terutama koperasi kecil yang belum memiliki sistem akuntansi dan manajemen modern.

5.3.       Sistem Keanggotaan: Hak dan Kewajiban

Keanggotaan dalam koperasi bersifat sukarela dan terbuka, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 dan 6 UU No. 25 Tahun 1992. Anggota memiliki hak untuk:

·                     Menghadiri dan memberikan suara dalam rapat anggota;

·                     Mengajukan pendapat, kritik, dan usulan;

·                     Mendapatkan layanan dan manfaat ekonomi koperasi sesuai partisipasi.

Sementara itu, kewajiban anggota meliputi:

·                     Mematuhi anggaran dasar dan keputusan rapat anggota;

·                     Berpartisipasi aktif dalam kegiatan usaha;

·                     Menyimpan dan/atau menyetor modal sesuai kesepakatan.⁶

Sistem keanggotaan yang kuat merupakan fondasi dari koperasi yang demokratis dan inklusif. Namun kenyataannya, banyak anggota koperasi hanya berperan pasif sebagai pengguna jasa tanpa memahami tanggung jawab kelembagaan mereka, yang akhirnya berdampak pada lemahnya kontrol internal.⁷

5.4.       Sumber Modal dan Pengelolaan Keuangan Koperasi

Modal koperasi dapat bersumber dari:

·                     Simpanan Pokok dan Simpanan Wajib yang dibayar oleh anggota;

·                     Dana Cadangan, hasil penyisihan dari Sisa Hasil Usaha (SHU);

·                     Modal Penyertaan, yang dapat berasal dari luar anggota sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip koperasi.

Pasal 41 sampai 44 UU No. 25 Tahun 1992 menjelaskan bahwa modal koperasi digunakan untuk menunjang usaha, membayar kewajiban, dan menyejahterakan anggota.⁸

Pengelolaan keuangan koperasi dituntut untuk mengikuti prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas. Koperasi harus menyusun laporan keuangan tahunan yang diaudit secara internal atau eksternal dan disampaikan kepada rapat anggota. Ketidakterbukaan dalam laporan keuangan menjadi salah satu sumber utama krisis kepercayaan anggota terhadap pengurus.⁹

5.5.       Tantangan Tata Kelola di Era Digital

Di tengah transformasi digital dan disrupsi teknologi, koperasi menghadapi tantangan dalam memperbarui sistem tata kelolanya. Keterbatasan sumber daya manusia yang memahami teknologi informasi, serta belum terintegrasinya sistem akuntansi dan database keanggotaan, menjadi hambatan dalam menciptakan koperasi modern yang adaptif.¹⁰

Namun, berbagai inisiatif mulai dilakukan, seperti penggunaan aplikasi koperasi digital yang memungkinkan pengurus dan anggota mengakses data keuangan secara real-time, serta menyelenggarakan rapat anggota secara daring. Dukungan regulasi melalui Permenkop UKM No. 15 Tahun 2021 juga membuka peluang bagi pembaruan tata kelola berbasis digital.¹¹


Footnotes

[1]                Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Pasal 22–30.

[2]                R. Subiakto Tjakrawerdaya, Koperasi Indonesia: Sejarah, Landasan, dan Perkembangannya (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 113–116.

[3]                Sri Edi Swasono, Demokrasi Ekonomi: Sistem Ekonomi Berkeadilan Sosial (Jakarta: LP3ES, 2006), 45.

[4]                Muhammad Iqbal dan Nurul Fitri, “Good Cooperative Governance dalam Penguatan Kelembagaan Koperasi,” Jurnal Ekonomi Kerakyatan 6, no. 1 (2021): 13–21.

[5]                Siti Rokhati dan Arief Widodo, “Pengaruh Tata Kelola terhadap Kinerja Koperasi di Jawa Tengah,” Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan 11, no. 2 (2022): 101–114.

[6]                UU No. 25 Tahun 1992, Pasal 5–6.

[7]                Dedi Supriadi, “Partisipasi Anggota dalam Penguatan Demokrasi Ekonomi Koperasi,” Jurnal Sosial Ekonomi Koperasi 9, no. 2 (2020): 55–67.

[8]                UU No. 25 Tahun 1992, Pasal 41–44.

[9]                Laily Dwi Fitria, “Transparansi Keuangan dan Tingkat Kepercayaan Anggota pada Koperasi,” Jurnal Akuntansi dan Manajemen 14, no. 1 (2021): 73–85.

[10]             Heru Wibowo, “Digitalisasi Koperasi: Antara Keniscayaan dan Tantangan,” Jurnal Ekonomi Digital 5, no. 1 (2022): 88–95.

[11]             Kementerian Koperasi dan UKM, Peraturan Menteri Koperasi dan UKM No. 15 Tahun 2021, https://peraturan.bpk.go.id.


6.           Peran Strategis Koperasi dalam Perekonomian Nasional

6.1.       Koperasi sebagai Pilar Ekonomi Kerakyatan

Koperasi di Indonesia memiliki kedudukan strategis sebagai sokoguru perekonomian nasional, yang ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Sebagai wujud ekonomi kerakyatan, koperasi mengedepankan asas kekeluargaan dan prinsip-prinsip partisipatif dalam menjalankan fungsi produksinya.¹ Berbeda dengan perusahaan kapitalis yang memusatkan kekuasaan ekonomi pada pemilik modal, koperasi mendorong distribusi kekayaan dan akses ekonomi secara lebih merata kepada anggota dan masyarakat.

Menurut Sri Edi Swasono, koperasi merupakan pengejawantahan sistem ekonomi yang berkeadilan sosial karena menempatkan manusia (anggota) sebagai subjek utama kegiatan ekonomi, bukan sekadar objek pasar.² Dengan struktur kepemilikan yang kolektif dan partisipasi yang demokratis, koperasi berpotensi besar dalam menjawab berbagai persoalan ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial.

6.2.       Kontribusi Koperasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)

Data dari Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa meskipun koperasi memiliki jumlah unit yang besar (lebih dari 127.000 unit koperasi aktif hingga 2023), kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional masih tergolong rendah, yakni berkisar 5,1% pada tahun 2022.³ Angka ini mengindikasikan bahwa potensi koperasi sebagai kekuatan ekonomi rakyat belum dioptimalkan secara maksimal, terutama dalam aspek efisiensi usaha, tata kelola, dan inovasi model bisnis.

Beberapa studi menegaskan bahwa koperasi yang dikelola dengan baik dan berbasis komunitas cenderung mampu meningkatkan pendapatan anggota secara signifikan, terutama di sektor pertanian, perikanan, dan perdagangan mikro.⁴ Dengan demikian, penguatan kelembagaan koperasi secara struktural dan profesional menjadi prasyarat untuk mendorong kontribusi lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

6.3.       Koperasi dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat

Koperasi juga berperan besar dalam pemberdayaan ekonomi lokal dan komunitas berbasis mikro. Dalam konteks ini, koperasi menjadi media efektif untuk menghimpun potensi ekonomi kecil, memperkuat daya tawar petani, nelayan, pedagang kecil, dan kelompok rentan lainnya. Koperasi menyediakan akses terhadap pembiayaan, pelatihan kewirausahaan, serta jaminan pasar atas produk lokal.⁵

Keberadaan koperasi juga meningkatkan literasi keuangan dan digital bagi masyarakat di daerah terpencil yang tidak terjangkau oleh lembaga keuangan konvensional. Koperasi simpan pinjam, misalnya, telah terbukti memperluas inklusi keuangan di berbagai wilayah pedesaan Indonesia, di mana bank atau lembaga formal tidak hadir.⁶

6.4.       Peran Koperasi dalam Ekosistem UMKM

Koperasi memiliki potensi besar sebagai motor penggerak usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Melalui koperasi, UMKM dapat mengakses bahan baku, teknologi, dan pasar secara kolektif, sehingga memperkuat posisi tawar mereka dalam rantai nilai ekonomi.⁷ Model koperasi produsen, misalnya, sangat efektif dalam mengatasi masalah klasik UMKM seperti rendahnya skala ekonomi dan akses ke pasar global.

Studi dari International Labour Organization (ILO) juga menunjukkan bahwa koperasi dapat menjadi mitra strategis UMKM dalam mengembangkan praktik bisnis berkelanjutan, berbasis komunitas, dan ramah lingkungan.⁸

6.5.       Koperasi sebagai Agen Pemerataan dan Pengentasan Kemiskinan

Salah satu fungsi utama koperasi adalah menciptakan pemerataan ekonomi. Dengan mendistribusikan manfaat ekonomi secara proporsional terhadap kontribusi anggota, koperasi membantu meminimalisasi ketimpangan pendapatan antar kelompok masyarakat. Di banyak negara berkembang, koperasi terbukti menjadi mekanisme sosial yang efektif dalam mengangkat kelompok miskin ke dalam aktivitas ekonomi produktif.⁹

Di Indonesia, koperasi perempuan, koperasi petani, dan koperasi buruh telah memainkan peran penting dalam penguatan ekonomi keluarga miskin, melalui pembiayaan mikro, pelatihan keterampilan, dan pengorganisasian produksi.¹⁰

6.6.       Optimalisasi Peran Koperasi di Era Ekonomi Digital

Transformasi digital membuka peluang baru bagi koperasi untuk berperan lebih besar dalam perekonomian nasional. Digitalisasi koperasi dapat memperluas jangkauan layanan, meningkatkan efisiensi operasional, dan membangun jejaring antar koperasi secara lebih dinamis.¹¹

Namun, untuk mengoptimalkan peran tersebut, koperasi membutuhkan dukungan dalam bentuk kebijakan teknologi, infrastruktur digital, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Inisiatif seperti pengembangan koperasi berbasis platform (platform cooperative) perlu terus dikembangkan sebagai bagian dari strategi nasional ekonomi digital yang inklusif.¹²


Footnotes

[1]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat (1).

[2]                Sri Edi Swasono, Demokrasi Ekonomi: Sistem Ekonomi Berkeadilan Sosial (Jakarta: LP3ES, 2006), 53–55.

[3]                Kementerian Koperasi dan UKM RI, Laporan Tahunan Kinerja Koperasi dan UMKM 2022, https://kemenkopukm.go.id.

[4]                Siti Rahayu, “Kontribusi Koperasi terhadap Kesejahteraan Anggota: Studi Koperasi Petani di Jawa Barat,” Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan 10, no. 1 (2021): 22–30.

[5]                Dwi Rahmawati dan Hasan Basri, “Koperasi sebagai Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat,” Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora 5, no. 2 (2020): 112–123.

[6]                Rina Dewi dan Zainal Arifin, “Peran Koperasi Simpan Pinjam dalam Inklusi Keuangan Pedesaan,” Jurnal Ekonomi Pembangunan 12, no. 2 (2021): 91–102.

[7]                Hendar dan Sri Mulyati, “Koperasi dan UMKM: Kolaborasi dalam Penguatan Ekonomi Nasional,” Jurnal Ekonomi Kerakyatan 6, no. 1 (2022): 45–58.

[8]                International Labour Organization, Cooperatives and the Sustainable Development Goals (Geneva: ILO, 2017).

[9]                Mubyarto, Pengantar Ekonomi Kerakyatan (Yogyakarta: LP3ES, 2006), 83–86.

[10]             Nur Azizah, “Koperasi sebagai Alat Pemerataan Ekonomi: Studi Koperasi Perempuan di NTB,” Jurnal Pemberdayaan Ekonomi 4, no. 2 (2020): 67–78.

[11]             Heru Wibowo, “Digitalisasi Koperasi dan Masa Depan Ekonomi Kerakyatan,” Jurnal Inovasi Digital Ekonomi 3, no. 1 (2022): 19–27.

[12]             Rully Indrawan, “Platform Cooperative: Model Baru Koperasi Era Digital,” Jurnal Transformasi Digital 2, no. 1 (2021): 50–60.


7.           Tantangan dan Isu Aktual dalam Perkoperasian

7.1.       Lemahnya Manajemen dan Profesionalisme Pengelola

Salah satu tantangan utama dalam pengembangan koperasi di Indonesia adalah kualitas manajerial yang rendah. Banyak koperasi yang dikelola secara konvensional tanpa pendekatan profesional, baik dalam aspek perencanaan, pembukuan, pengawasan internal, maupun pelayanan kepada anggota.¹ Hal ini disebabkan oleh rendahnya kompetensi sumber daya manusia koperasi, kurangnya pelatihan manajemen, serta minimnya regenerasi kepengurusan.

Penelitian oleh Siti Rokhati menunjukkan bahwa koperasi yang tidak memiliki sistem tata kelola yang baik cenderung mengalami stagnasi bahkan kemunduran usaha.² Kurangnya penerapan prinsip good cooperative governance menyebabkan koperasi rentan terhadap konflik internal, penyalahgunaan wewenang, serta hilangnya kepercayaan anggota.

7.2.       Partisipasi Anggota yang Rendah

Koperasi idealnya dibangun atas dasar partisipasi aktif anggota dalam pengambilan keputusan dan kegiatan ekonomi. Namun, tingkat partisipasi anggota di banyak koperasi sangat minim, baik dalam hal kehadiran pada rapat anggota tahunan (RAT), keterlibatan dalam diskusi strategis, maupun kontribusi terhadap modal dan program koperasi.³

Menurut data Kemenkop UKM, sekitar 40% koperasi aktif secara administratif tetapi pasif secara fungsional, karena tidak menjalankan kegiatan ekonomi secara berkelanjutan.⁴ Ketidakterlibatan anggota dalam pengawasan dan pengambilan keputusan mengikis prinsip demokrasi ekonomi yang menjadi identitas koperasi itu sendiri.

7.3.       Inkonsistensi dan Ketertinggalan Regulasi

Meskipun UU No. 25 Tahun 1992 masih menjadi rujukan utama dalam hukum koperasi, regulasi ini dinilai banyak kalangan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan zaman.⁵ Ketiadaan aturan teknis yang akomodatif terhadap koperasi digital, koperasi platform, serta koperasi sektor jasa modern menimbulkan kekosongan hukum yang berpotensi disalahgunakan.

Perubahan melalui UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memang membawa beberapa kemudahan administratif, seperti penyederhanaan jumlah pendiri dan proses legalitas, namun belum menyentuh aspek substansial mengenai transformasi model bisnis koperasi.⁶

Selain itu, tumpang tindih kebijakan antara kementerian teknis, pemerintah daerah, dan lembaga pengawas juga menciptakan kebingungan dalam implementasi, khususnya terkait pengawasan, penyelesaian sengketa, dan perlindungan anggota.⁷

7.4.       Persaingan Usaha dan Disrupsi Teknologi

Koperasi saat ini menghadapi tekanan dari persaingan pasar bebas dan disrupsi teknologi digital. Di tengah dominasi platform e-commerce dan lembaga keuangan digital, koperasi yang belum bertransformasi menghadapi kesulitan dalam mempertahankan eksistensinya.⁸ Koperasi simpan pinjam, misalnya, kini harus bersaing dengan fintech peer-to-peer lending yang menawarkan akses cepat dan berbasis teknologi.

Riset oleh Heru Wibowo menunjukkan bahwa koperasi yang tidak melakukan digitalisasi dalam sistem manajemen dan layanannya akan tertinggal dan kehilangan kepercayaan generasi muda.⁹

7.5.       Praktik Koperasi Bermasalah dan Penyimpangan Prinsip

Kasus-kasus penyimpangan koperasi, seperti praktik koperasi abal-abal, simpan pinjam ilegal, dan pengelolaan dana anggota yang tidak transparan, masih sering terjadi di Indonesia. Beberapa koperasi bahkan menyalahgunakan badan hukum koperasi untuk praktik investasi bodong atau usaha simpan pinjam berskema rentenir.¹⁰

Kementerian Koperasi dan UKM mencatat bahwa dari lebih 127.000 koperasi yang terdaftar, sebagian besar tidak menjalankan prinsip koperasi dengan benar dan tidak menyelenggarakan RAT secara berkala.¹¹ Ketiadaan sistem pengawasan yang kuat, ditambah lemahnya literasi hukum dan ekonomi anggota, membuat koperasi mudah disalahgunakan oleh pengurus yang tidak bertanggung jawab.

7.6.       Minimnya Inovasi dan Adaptasi Model Bisnis

Di era globalisasi dan teknologi digital, koperasi dituntut untuk berinovasi dalam model bisnis dan pendekatan pelayanan. Namun, sebagian besar koperasi masih mempertahankan metode konvensional, seperti pencatatan manual, pelayanan terbatas, dan keterbatasan jaringan pasar.¹²

Minimnya inovasi menjadikan koperasi tidak menarik bagi generasi milenial dan Gen Z, yang lebih menyukai model usaha yang fleksibel, berbasis digital, dan cepat tanggap. Oleh karena itu, koperasi perlu merancang strategi transformasi dengan mengadopsi teknologi digital, memperluas kemitraan, dan memanfaatkan ekonomi platform untuk bertahan dan berkembang.


Footnotes

[1]                Suroto, Koperasi dan Politik Ekonomi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), 107–109.

[2]                Siti Rokhati dan Arief Widodo, “Pengaruh Tata Kelola terhadap Kinerja Koperasi di Jawa Tengah,” Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan 11, no. 2 (2022): 103–110.

[3]                Dedi Supriadi, “Partisipasi Anggota dalam Penguatan Demokrasi Ekonomi Koperasi,” Jurnal Sosial Ekonomi Koperasi 9, no. 2 (2020): 59–65.

[4]                Kementerian Koperasi dan UKM RI, Laporan Perkoperasian Indonesia 2022, https://kemenkopukm.go.id.

[5]                Imam Sukardi, “Koperasi di Era Ekonomi Digital: Antara Peluang dan Tantangan Regulasi,” Jurnal Hukum Ekonomi Syariah 4, no. 1 (2022): 45–54.

[6]                Muhammad Ridwan, “Evaluasi UU Cipta Kerja terhadap Prinsip Dasar Koperasi,” Jurnal Legislasi Indonesia 18, no. 3 (2021): 226–230.

[7]                Hendar, “Reformasi Hukum Koperasi di Indonesia: Antara Harapan dan Kenyataan,” Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi 5, no. 2 (2020): 138–142.

[8]                Heru Wibowo, “Digitalisasi Koperasi: Antara Keniscayaan dan Tantangan,” Jurnal Ekonomi Digital 5, no. 1 (2022): 90–98.

[9]                Ibid., 93.

[10]             Nur Azizah dan Dedi Supriadi, “Penyalahgunaan Praktik Koperasi Simpan Pinjam dan Perlindungan Hukum bagi Anggota,” Jurnal Hukum Ekonomi dan Sosial 6, no. 2 (2021): 113–119.

[11]             Kemenkop UKM, Statistik Koperasi 2023, https://kemenkopukm.go.id.

[12]             Rully Indrawan, “Platform Cooperative: Model Baru Koperasi Era Digital,” Jurnal Transformasi Digital 2, no. 1 (2021): 52–58.


8.           Reformasi dan Inovasi Koperasi di Era Modern

8.1.       Urgensi Reformasi Kelembagaan Koperasi

Kondisi koperasi Indonesia yang belum optimal secara struktural dan fungsional menuntut dilakukannya reformasi kelembagaan koperasi secara menyeluruh. Reformasi ini meliputi pembenahan regulasi, peningkatan tata kelola, dan penguatan fungsi koperasi sebagai instrumen demokrasi ekonomi.¹

UU No. 25 Tahun 1992 dianggap tidak lagi memadai dalam menghadapi kompleksitas ekonomi digital, globalisasi pasar, dan tuntutan profesionalisme. Oleh karena itu, diperlukan pembaruan regulasi yang tidak hanya bersifat prosedural, tetapi juga mencerminkan realitas sosial dan ekonomi kontemporer.² Selain itu, koperasi perlu diredefinisi tidak semata sebagai badan usaha, melainkan sebagai gerakan ekonomi berbasis komunitas yang adaptif dan progresif.

8.2.       Digitalisasi dan Teknologi sebagai Pendorong Inovasi

Salah satu strategi utama dalam reformasi koperasi adalah transformasi digital. Digitalisasi koperasi mencakup modernisasi layanan, penggunaan aplikasi berbasis web dan mobile, serta integrasi sistem akuntansi dan manajemen anggota secara daring.³

Inisiatif koperasi digital seperti Koperasi Simpan Pinjam Berbasis Aplikasi (KSPA), platform cooperative, dan koperasi berbasis blockchain telah mulai dikembangkan di berbagai daerah. Model ini memungkinkan efisiensi transaksi, transparansi pelaporan keuangan, serta partisipasi anggota yang lebih luas.⁴

Menurut Indrawan, koperasi yang mampu mengadopsi teknologi digital cenderung memiliki daya tahan lebih tinggi dalam menghadapi krisis, seperti pandemi COVID-19, karena dapat tetap melayani anggota secara daring.⁵

8.3.       Penguatan Pendidikan dan Literasi Perkoperasian

Inovasi koperasi tidak akan berjalan optimal tanpa penguatan kapasitas sumber daya manusia. Sayangnya, literasi koperasi di kalangan masyarakat masih rendah, termasuk di kalangan generasi muda. Oleh karena itu, diperlukan integrasi pendidikan koperasi dalam kurikulum sekolah dan program pelatihan berkelanjutan bagi pengurus dan anggota koperasi.⁶

Program pelatihan berbasis cooperative learning dan action research terbukti mampu meningkatkan kesadaran anggota terhadap prinsip-prinsip koperasi dan meningkatkan kapasitas manajerial.⁷ Selain itu, pendidikan perkoperasian juga perlu diarahkan pada pengembangan etika bisnis, kepemimpinan sosial, dan kecakapan digital.

8.4.       Revitalisasi Koperasi Melalui Kemitraan Strategis

Untuk memperkuat skala usaha dan daya saing koperasi, diperlukan kemitraan strategis antara koperasi dan berbagai pihak, termasuk pemerintah, BUMN, sektor swasta, dan lembaga pendidikan. Kolaborasi ini dapat berupa program inkubasi usaha, akses pembiayaan, transfer teknologi, dan pengembangan pasar.

Koperasi juga dapat terlibat dalam skema ekonomi hijau, pariwisata berbasis masyarakat, dan program hilirisasi komoditas lokal, sehingga memberikan nilai tambah bagi anggotanya.⁸ Kemitraan ini menjadi jembatan bagi koperasi untuk masuk dalam rantai pasok nasional maupun global.

8.5.       Koperasi Milenial dan Masa Depan Gerakan Koperasi

Tantangan terbesar sekaligus peluang emas bagi koperasi saat ini adalah melibatkan generasi muda dalam gerakan koperasi. Koperasi milenial tidak hanya menuntut pendekatan digital, tetapi juga struktur yang lebih fleksibel, inklusif, dan visioner.⁹

Beberapa koperasi generasi baru telah berhasil menggabungkan misi sosial dan model bisnis inovatif. Contohnya adalah koperasi pekerja lepas (freelance cooperative), koperasi seni dan budaya, serta koperasi teknologi yang mendistribusikan kepemilikan aplikasi digital secara demokratis kepada pengguna dan pengembang.¹⁰

Gerakan koperasi masa depan harus mampu menjawab isu-isu besar seperti keadilan digital, ekonomi berkelanjutan, dan redistribusi kekayaan berbasis komunitas.

8.6.       Arah Kebijakan Pemerintah dalam Penguatan Inovasi Koperasi

Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen terhadap reformasi koperasi melalui sejumlah kebijakan strategis, seperti:

·                     Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2022 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, yang menempatkan koperasi sebagai instrumen pembangunan inklusif;

·                     Digitalisasi layanan koperasi melalui sistem OSS dan AHU online;

·                     Program inkubasi koperasi dan UMKM berbasis teknologi dari Kemenkop UKM dan LIPI.¹¹

Namun, tantangan pelaksanaan masih meliputi keterbatasan anggaran, koordinasi lintas lembaga, serta resistensi terhadap perubahan di level koperasi itu sendiri.


Footnotes

[1]                Hendar, “Reformasi Hukum Koperasi di Indonesia: Antara Harapan dan Kenyataan,” Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi 5, no. 2 (2020): 133–145.

[2]                Imam Sukardi, “Koperasi di Era Ekonomi Digital: Antara Peluang dan Tantangan Regulasi,” Jurnal Hukum Ekonomi Syariah 4, no. 1 (2022): 44–56.

[3]                Heru Wibowo, “Digitalisasi Koperasi: Antara Keniscayaan dan Tantangan,” Jurnal Ekonomi Digital 5, no. 1 (2022): 88–95.

[4]                Rully Indrawan, “Platform Cooperative: Model Baru Koperasi Era Digital,” Jurnal Transformasi Digital 2, no. 1 (2021): 50–60.

[5]                Ibid., 57.

[6]                Dedi Supriadi, “Penguatan Literasi Koperasi di Sekolah Menengah: Sebuah Pendekatan Kurikuler,” Jurnal Pendidikan Ekonomi 9, no. 2 (2021): 112–120.

[7]                Nurul Hidayati dan Wawan Hermawan, “Strategi Peningkatan Kompetensi SDM Koperasi melalui Cooperative Learning,” Jurnal Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat 4, no. 1 (2022): 33–45.

[8]                Dwi Rahmawati, “Revitalisasi Koperasi melalui Kolaborasi Ekonomi Inklusif,” Jurnal Ilmu Ekonomi Sosial 7, no. 2 (2021): 66–77.

[9]                Suroto, Koperasi dan Politik Ekonomi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), 134–137.

[10]             International Cooperative Alliance, Exploring the Cooperative Identity in the Digital Age (Geneva: ICA, 2020).

[11]             Kementerian Koperasi dan UKM RI, Laporan Tahunan 2022, https://kemenkopukm.go.id.


9.           Penutup

Koperasi memiliki posisi strategis dalam struktur ekonomi Indonesia sebagai manifestasi dari semangat demokrasi ekonomi yang diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, yakni bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”_¹ Sebagai entitas ekonomi yang berbasis partisipasi anggota dan berlandaskan prinsip gotong royong, koperasi berperan penting dalam memperkuat ekonomi kerakyatan, mengurangi ketimpangan sosial, serta mendorong pemerataan hasil pembangunan.

Melalui pembahasan pada artikel ini, dapat disimpulkan bahwa UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian memberikan landasan hukum yang fundamental dalam mendefinisikan struktur, asas, dan tujuan koperasi.² Namun, tantangan yang dihadapi koperasi saat ini tidak hanya bersifat internal—seperti lemahnya tata kelola, rendahnya partisipasi anggota, dan kurangnya inovasi—tetapi juga eksternal, termasuk persaingan dengan pelaku usaha modern, disrupsi teknologi, serta ketertinggalan regulasi dalam merespons dinamika ekonomi digital.³

Transformasi koperasi di era modern memerlukan langkah-langkah reformasi yang menyeluruh dan terstruktur. Inovasi teknologi, penguatan pendidikan perkoperasian, dan kemitraan strategis harus menjadi bagian dari strategi revitalisasi koperasi. Pemerintah, melalui Kementerian Koperasi dan UKM, juga harus mempercepat harmonisasi regulasi dan meningkatkan dukungan kebijakan, termasuk melalui digitalisasi pelayanan, insentif fiskal, dan pengembangan koperasi milenial.⁴

Harapan besar terletak pada kemampuan koperasi untuk beradaptasi dan mengambil peran lebih besar dalam menghadirkan ekonomi yang adil, inklusif, dan berkelanjutan. Jika dikelola secara profesional, koperasi tidak hanya akan menjadi penyokong UMKM dan ekonomi lokal, tetapi juga akan bertransformasi menjadi kekuatan ekonomi nasional yang mampu bersaing secara global.⁵

Sebagaimana dikatakan oleh Sri Edi Swasono, “koperasi bukanlah usaha pinggiran, melainkan jantung dari sistem ekonomi berkeadilan sosial.”_⁶ Maka dari itu, tugas semua pihak—baik pemerintah, akademisi, praktisi, maupun masyarakat—adalah menjadikan koperasi sebagai rumah ekonomi rakyat yang modern, kuat, dan berdaya tahan dalam menghadapi zaman.


Footnotes

[1]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat (1).

[2]                Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 116.

[3]                Imam Sukardi, “Koperasi di Era Ekonomi Digital: Antara Peluang dan Tantangan Regulasi,” Jurnal Hukum Ekonomi Syariah 4, no. 1 (2022): 44–56.

[4]                Kementerian Koperasi dan UKM RI, Laporan Tahunan Koperasi dan UMKM 2022, https://kemenkopukm.go.id.

[5]                Heru Wibowo, “Digitalisasi Koperasi dan Masa Depan Ekonomi Kerakyatan,” Jurnal Inovasi Digital Ekonomi 3, no. 1 (2022): 19–27.

[6]                Sri Edi Swasono, Demokrasi Ekonomi: Sistem Ekonomi Berkeadilan Sosial (Jakarta: LP3ES, 2006), 83.


Daftar Pustaka

Azizah, N., & Supriadi, D. (2021). Penyalahgunaan praktik koperasi simpan pinjam dan perlindungan hukum bagi anggota. Jurnal Hukum Ekonomi dan Sosial, 6(2), 112–125.

Dewi, R., & Arifin, Z. (2021). Peran koperasi simpan pinjam dalam inklusi keuangan pedesaan. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 12(2), 91–102.

Hendar. (2020). Reformasi hukum koperasi di Indonesia: Antara harapan dan kenyataan. Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi, 5(2), 133–145.

Hidayah, D. A. N. (2020). Peran koperasi simpan pinjam dalam meningkatkan kesejahteraan anggota. Jurnal Ekonomi Mikro dan Keuangan, 3(1), 75–88.

Hidayati, N., & Hermawan, W. (2022). Strategi peningkatan kompetensi SDM koperasi melalui cooperative learning. Jurnal Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat, 4(1), 33–45.

Indrawan, R. (2021). Platform cooperative: Model baru koperasi era digital. Jurnal Transformasi Digital, 2(1), 50–60.

International Cooperative Alliance. (2020). Exploring the cooperative identity in the digital age. Geneva: ICA.

International Labour Organization. (2017). Cooperatives and the Sustainable Development Goals. Geneva: ILO.

Kementerian Koperasi dan UKM RI. (2021). Buku saku perkoperasian Indonesia. Jakarta: Kemenkop UKM.

https://kemenkopukm.go.id

Kementerian Koperasi dan UKM RI. (2022). Laporan tahunan koperasi dan UMKM 2022. Jakarta: Kemenkop UKM.

https://kemenkopukm.go.id

Kementerian Koperasi dan UKM RI. (2023). Statistik koperasi 2023. Jakarta: Kemenkop UKM.

https://kemenkopukm.go.id

Nur Azizah. (2020). Koperasi sebagai alat pemerataan ekonomi: Studi koperasi perempuan di NTB. Jurnal Pemberdayaan Ekonomi, 4(2), 67–78.

Rahmawati, D., & Basri, H. (2020). Koperasi sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi masyarakat. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 5(2), 112–123.

Rahmawati, D. (2021). Revitalisasi koperasi melalui kolaborasi ekonomi inklusif. Jurnal Ilmu Ekonomi Sosial, 7(2), 66–77.

Rahayu, S. (2021). Kontribusi koperasi terhadap kesejahteraan anggota: Studi koperasi petani di Jawa Barat. Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan, 10(1), 22–30.

Ridwan, M. (2021). Evaluasi UU Cipta Kerja terhadap prinsip dasar koperasi. Jurnal Legislasi Indonesia, 18(3), 221–234.

Rokhati, S., & Widodo, A. (2022). Pengaruh tata kelola terhadap kinerja koperasi di Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan, 11(2), 101–114.

Siti Rokhati, & Widodo, A. (2022). Pengaruh tata kelola terhadap kinerja koperasi di Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan, 11(2), 101–114.

Sri Edi Swasono. (2006). Demokrasi ekonomi: Sistem ekonomi berkeadilan sosial. Jakarta: LP3ES.

Subiakto Tjakrawerdaya, R. (2005). Koperasi Indonesia: Sejarah, landasan, dan perkembangannya. Jakarta: Balai Pustaka.

Sukardi, I. (2022). Koperasi di era ekonomi digital: Antara peluang dan tantangan regulasi. Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, 4(1), 44–56.

Suroto. (2016). Koperasi dan politik ekonomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Supriadi, D. (2020). Partisipasi anggota dalam penguatan demokrasi ekonomi koperasi. Jurnal Sosial Ekonomi Koperasi, 9(2), 55–67.

Wibowo, H. (2022). Digitalisasi koperasi: Antara keniscayaan dan tantangan. Jurnal Ekonomi Digital, 5(1), 88–95.

Wibowo, H. (2022). Digitalisasi koperasi dan masa depan ekonomi kerakyatan. Jurnal Inovasi Digital Ekonomi, 3(1), 19–27.

Yulianto. (2022). Koperasi dan liberalisasi ekonomi: Studi atas perubahan regulasi di era Omnibus Law. Jurnal Dinamika Hukum, 23(2), 180–195.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.

Peraturan Menteri Koperasi dan UKM Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pengesahan Badan Hukum Koperasi.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1998 tentang Modal Penyertaan pada Koperasi.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar