Koperasi
Telaah atas UU No. 25 Tahun 1992 dan Regulasi Terkait
Alihkan ke: Ilmu Ekonomi.
BUMN, Korporasi, Perseroan Terbatas.
Abstrak
Koperasi merupakan salah satu pilar utama dalam
pembangunan ekonomi nasional yang berlandaskan pada prinsip kekeluargaan dan
demokrasi ekonomi sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Artikel ini
bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif peran strategis koperasi dalam
perekonomian Indonesia berdasarkan kerangka hukum Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1992 tentang Perkoperasian, serta menelaah tantangan dan dinamika aktual yang
dihadapi koperasi dalam era transformasi digital dan globalisasi. Melalui
pendekatan analisis normatif dan studi literatur terhadap berbagai regulasi
serta sumber akademik, artikel ini menemukan bahwa meskipun koperasi memiliki
potensi besar dalam mendukung ekonomi kerakyatan, kontribusinya terhadap PDB
nasional masih rendah akibat berbagai kendala, seperti lemahnya tata kelola,
rendahnya partisipasi anggota, ketertinggalan regulasi, dan keterbatasan
inovasi. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah reformasi kelembagaan,
digitalisasi sistem koperasi, penguatan pendidikan perkoperasian, dan perluasan
kemitraan strategis untuk mewujudkan koperasi yang inklusif, modern, dan
berdaya saing tinggi dalam konteks pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Kata Kunci: Koperasi;
Demokrasi Ekonomi; UU No. 25 Tahun 1992; Transformasi Digital; Ekonomi
Kerakyatan; Reformasi Regulasi; Tata Kelola Koperasi.
PEMBAHASAN
Peran dan Tantangan Koperasi dalam Perekonomian
Nasional
1.
Pendahuluan
Koperasi telah lama
menjadi salah satu pilar penting dalam sistem perekonomian Indonesia. Sebagai
bentuk badan usaha yang berlandaskan prinsip kekeluargaan dan gotong royong,
koperasi bukan hanya sekadar entitas ekonomi, tetapi juga wahana pemberdayaan
sosial yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan kesetaraan antar anggota.
Peran koperasi dalam struktur ekonomi nasional tercermin dari kedudukannya
sebagai sokoguru perekonomian yang secara eksplisit ditegaskan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya pada
Pasal 33 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”_¹
Sebagai perwujudan
dari amanat konstitusi tersebut, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian diundangkan untuk memberikan landasan hukum yang
kuat dan arah kebijakan dalam pengembangan koperasi di Indonesia. Undang-undang
ini memuat prinsip-prinsip dasar koperasi, termasuk struktur organisasi, asas
usaha, peran sosial, serta tanggung jawab hukum dan ekonomi yang melekat pada
badan usaha koperasi. Dalam konteks pembangunan nasional, koperasi diharapkan
mampu menjembatani kesenjangan sosial dan ekonomi dengan menjadi sarana bagi
masyarakat—khususnya kelompok menengah ke bawah—untuk mengakses sumber daya
ekonomi secara kolektif.²
Meskipun memiliki
potensi besar, kontribusi koperasi terhadap produk domestik bruto (PDB) dan
daya saing ekonomi nasional masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan
bentuk badan usaha lainnya. Beberapa studi menunjukkan bahwa lemahnya
manajemen, rendahnya partisipasi anggota, dan kurangnya akses terhadap inovasi
serta teknologi menjadi hambatan utama dalam pengembangan koperasi.³ Hal ini
diperparah dengan belum optimalnya implementasi regulasi yang berpihak pada
penguatan koperasi secara berkelanjutan. Beberapa regulasi bahkan dinilai
tumpang tindih atau tidak adaptif terhadap dinamika zaman, seperti munculnya
koperasi digital dan koperasi berbasis platform teknologi.⁴
Selain itu, perubahan
lanskap ekonomi global dan domestik akibat digitalisasi, perubahan pola
konsumsi, serta dampak pandemi COVID-19 menuntut koperasi untuk melakukan
transformasi struktural dan strategis. Inovasi model bisnis, peningkatan
kualitas sumber daya manusia, serta penguatan tata kelola menjadi keniscayaan
agar koperasi tetap relevan dan berdaya saing tinggi dalam era ekonomi berbasis
pengetahuan.⁵
Melalui artikel ini,
penulis bertujuan untuk menelaah secara komprehensif peran koperasi dalam
sistem ekonomi nasional berdasarkan ketentuan UU No. 25 Tahun 1992, serta
membahas tantangan-tantangan yang dihadapi koperasi di era kontemporer.
Pembahasan ini juga akan mengkaji perkembangan regulasi terkait, termasuk
revisi kebijakan melalui UU Cipta Kerja, guna melihat sejauh
mana negara hadir dalam mendukung revitalisasi koperasi. Harapannya, tulisan
ini dapat memberikan kontribusi akademik dan praktis bagi pengembangan koperasi
yang lebih inklusif, efisien, dan berkeadilan.
Footnotes
[1]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat
(1).
[2]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116.
[3]
Mubyarto, Pengantar Ekonomi Kerakyatan (Yogyakarta: LP3ES,
2006), 65–68.
[4]
Rully Indrawan, “Tantangan Kelembagaan Koperasi di Era Digital,” Jurnal
Ekonomi & Kebijakan Publik 12, no. 2 (2021): 101–112.
[5]
Nining I. Soesilo dan Wawan Hermawan, “Revitalisasi Koperasi melalui
Inovasi Digital,” Jurnal Koperasi dan UMKM 7, no. 1 (2023): 22–36.
2.
Konsep
Dasar Koperasi
2.1.
Definisi Koperasi
Dalam perspektif
hukum nasional, koperasi didefinisikan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
Pasal 1 sebagai “badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan
hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi
sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas
kekeluargaan.”_¹ Definisi ini menunjukkan bahwa koperasi bukan hanya
sekadar entitas bisnis, tetapi juga sebuah gerakan sosial dan ekonomi yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya secara kolektif.
Koperasi memiliki
perbedaan mendasar dibandingkan dengan badan usaha lain, terutama dalam hal
orientasi dan sistem pengelolaan. Jika perusahaan konvensional lebih
berorientasi pada laba dan kepentingan pemilik modal, koperasi menempatkan anggota
sebagai pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi.² Dengan
demikian, kegiatan usaha koperasi diarahkan pada pemenuhan kebutuhan ekonomi
anggota, bukan semata-mata mencari keuntungan.
2.2.
Asas dan Nilai-Nilai Koperasi
Asas koperasi yang
menjadi fondasi operasionalnya adalah asas kekeluargaan dan gotong royong,
sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 UU No. 25 Tahun 1992. Selain itu, koperasi
juga mengadopsi nilai-nilai yang berkembang secara universal sebagaimana
dirumuskan oleh International Cooperative Alliance (ICA),
yang mencakup: keanggotaan sukarela dan terbuka, kendali demokratis oleh
anggota, partisipasi ekonomi anggota, otonomi dan kemandirian, pendidikan dan
pelatihan, kerja sama antar koperasi, serta kepedulian terhadap komunitas.³
Nilai-nilai ini
menjadikan koperasi sebagai badan usaha yang menyeimbangkan antara tujuan
ekonomi dan sosial. Menurut Suroto, koperasi tidak hanya berperan sebagai
instrumen ekonomi rakyat, tetapi juga sebagai alat pembelajaran demokrasi
ekonomi dalam praktik nyata.⁴
2.3.
Tujuan dan Fungsi Koperasi
Tujuan utama
koperasi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan anggota pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya, serta membangun tatanan
perekonomian nasional yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 (Pasal 3 UU No. 25/1992). Dengan demikian, koperasi menjalankan dua
fungsi utama: sebagai pelaku ekonomi dan sebagai agen
perubahan sosial.
Dari sisi ekonomi,
koperasi berfungsi sebagai alat produksi dan distribusi yang dimiliki dan
dikendalikan oleh anggotanya. Sementara dari sisi sosial, koperasi menjadi
sarana untuk memperkuat solidaritas ekonomi, mengurangi kesenjangan sosial, dan
memberdayakan masyarakat secara inklusif.⁵ Studi-studi mutakhir juga
menunjukkan bahwa keberadaan koperasi sangat efektif dalam membangun ekonomi
lokal dan memperluas akses masyarakat terhadap sumber daya produktif.⁶
2.4.
Koperasi dalam Perspektif Internasional
Di tingkat global,
koperasi diakui sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan. ICA mencatat
bahwa terdapat lebih dari 3 juta koperasi di seluruh dunia yang memberikan
dampak ekonomi signifikan dan menyerap lebih dari 280 juta tenaga kerja.⁷
Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam Recommendation No. 193 on the Promotion of
Cooperatives (2002) menegaskan bahwa koperasi memiliki peran
penting dalam penciptaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, dan
pembangunan ekonomi berbasis masyarakat.⁸
Indonesia, sebagai
negara dengan semangat kolektivisme yang kuat, memiliki potensi besar untuk
menjadikan koperasi sebagai pilar utama ekonomi rakyat. Namun, implementasi
nilai dan prinsip koperasi sebagaimana diadopsi oleh ICA masih memerlukan
penguatan di tingkat kelembagaan dan pendidikan koperasi secara berkelanjutan.⁹
Footnotes
[1]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian, Pasal 1.
[2]
Sri Edi Swasono, Ekonomi Koperasi: Sebuah Pengantar (Jakarta:
Lembaga Penerbit FEUI, 2005), 21–23.
[3]
International Cooperative Alliance (ICA), Statement on the Cooperative
Identity, 1995.
[4]
Suroto, Koperasi dan Politik Ekonomi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2016), 49.
[5]
Mubyarto, Pengantar Ekonomi Kerakyatan (Yogyakarta: LP3ES,
2006), 44–47.
[6]
Rahmawati dan Nuraini, “Peran Koperasi dalam Penguatan Ekonomi Lokal,” Jurnal
Ekonomi dan Kewirausahaan 17, no. 2 (2020): 100–110.
[7]
ICA, World Cooperative Monitor 2022, https://monitor.coop
[8]
International Labour Organization, Recommendation 193: Promotion of
Cooperatives (Geneva: ILO, 2002).
[9]
Wawan Hermawan, “Koperasi dan Masa Depan Ekonomi Inklusif di
Indonesia,” Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial 5, no. 1 (2022): 67–79.
3.
Landasan
Hukum Perkoperasian
3.1.
Koperasi dalam Konstitusi Negara
Koperasi sebagai
bentuk usaha yang berorientasi pada kesejahteraan kolektif memiliki kedudukan
konstitusional dalam sistem ekonomi Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 33
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang berbunyi, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas
asas kekeluargaan.”_¹ Pasal ini menempatkan koperasi sebagai manifestasi
dari cita-cita ekonomi kerakyatan yang menjunjung tinggi prinsip keadilan
sosial. Penafsiran atas pasal ini menegaskan bahwa koperasi bukan hanya
instrumen ekonomi, tetapi juga sarana untuk mewujudkan demokrasi ekonomi dan
pemerataan kesejahteraan.²
3.2.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian
Sebagai pelaksanaan
dari amanat konstitusi, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian hadir sebagai kerangka hukum utama yang mengatur
kedudukan, fungsi, struktur organisasi, dan mekanisme operasional koperasi.
Undang-undang ini mengatur koperasi sebagai badan usaha berbadan hukum dengan
berlandaskan prinsip-prinsip koperasi dan asas kekeluargaan.³
Beberapa pokok pengaturan
penting dalam UU ini antara lain:
·
Pasal
3 menetapkan tujuan koperasi, yakni meningkatkan kesejahteraan
anggota dan masyarakat.
·
Pasal
4 memuat prinsip koperasi, termasuk keanggotaan sukarela dan
terbuka, pengelolaan secara demokratis, dan pembagian SHU (Sisa Hasil Usaha)
yang adil sesuai partisipasi anggota.
·
Pasal
23–30 mengatur struktur organisasi koperasi: Rapat Anggota
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, Pengurus sebagai pelaksana, dan Pengawas
sebagai pengendali internal.⁴
Meskipun UU ini
masih berlaku hingga kini, beberapa kalangan menilai bahwa substansinya sudah
mulai tidak relevan terhadap kebutuhan koperasi modern. Banyak konsep penting
koperasi digital, koperasi berbasis platform, serta perlindungan hukum konsumen
dan anggota koperasi belum terakomodasi dalam regulasi ini.⁵
3.3.
Regulasi Pendukung dan Turunan
Selain UU No. 25
Tahun 1992, terdapat sejumlah peraturan pemerintah dan peraturan menteri yang
mendukung implementasi teknis koperasi, di antaranya:
·
Peraturan
Pemerintah No. 33 Tahun 1998 tentang Modal Penyertaan pada
Koperasi, yang mengatur ketentuan tentang partisipasi modal dari luar anggota.
·
Peraturan
Menteri Koperasi dan UKM No. 9 Tahun 2018 tentang
Penyelenggaraan dan Pembinaan Perkoperasian, yang mengatur standar pendirian, tata
kelola, hingga pengawasan koperasi.
·
Peraturan
Menteri Koperasi dan UKM No. 15 Tahun 2021 tentang Tata Cara
Pendaftaran dan Pengesahan Badan Hukum Koperasi, yang memanfaatkan teknologi
digital dalam pengesahan koperasi melalui sistem AHU online.⁶
Pengaturan ini
merupakan respons pemerintah terhadap kompleksitas pengembangan koperasi,
terutama dalam aspek formalitas hukum dan efisiensi layanan birokrasi.
3.4.
Dampak UU Cipta Kerja terhadap Koperasi
Undang-Undang
No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja membawa implikasi penting
terhadap dunia perkoperasian. Melalui perubahan dan penyederhanaan beberapa
ketentuan dalam UU No. 25/1992, pemerintah mencoba mendorong iklim usaha yang
lebih fleksibel bagi koperasi. Beberapa perubahan signifikan meliputi:
·
Penyederhanaan prosedur
pendirian koperasi (cukup oleh 9 orang).
·
Pemberian keleluasaan usaha
koperasi di berbagai sektor ekonomi.
·
Digitalisasi pengesahan dan
pengawasan koperasi.
Namun demikian,
kritik juga muncul dari berbagai pihak, khususnya mengenai kecenderungan
liberalisasi koperasi dan potensi melemahnya nilai-nilai kekeluargaan jika
koperasi hanya diposisikan sebagai entitas bisnis tanpa memperhatikan prinsip
dasarnya.⁷ Penyesuaian UU No. 25/1992 melalui UU Cipta Kerja dinilai masih
memerlukan pengawasan ketat agar tidak mengaburkan identitas koperasi sebagai
gerakan ekonomi rakyat.⁸
3.5.
Tantangan dalam Harmonisasi Regulasi
Hingga kini,
pengaturan hukum koperasi di Indonesia masih menghadapi tantangan dalam hal
harmonisasi antarperaturan. Beberapa persoalan yang muncul antara lain:
·
Tumpang tindih kewenangan
antara Kementerian Koperasi dan lembaga lain.
·
Ketidaksesuaian antara
norma hukum formal dengan praktik lapangan koperasi.
·
Kurangnya pembaruan
regulasi sesuai perkembangan ekonomi digital.⁹
Untuk itu, diperlukan
reformasi hukum perkoperasian yang tidak hanya memperkuat posisi koperasi dalam
sistem hukum nasional, tetapi juga mampu menjawab tantangan zaman tanpa
mengabaikan jati diri koperasi.
Footnotes
[1]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat
(1).
[2]
Sri Edi Swasono, Demokrasi Ekonomi: Sistem Ekonomi Berkeadilan
Sosial (Jakarta: LP3ES, 2006), 15.
[3]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian, Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 116.
[4]
R. Subiakto Tjakrawerdaya, Koperasi Indonesia: Sejarah, Landasan,
dan Perkembangannya (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 104–112.
[5]
Imam Sukardi, “Koperasi di Era Ekonomi Digital: Antara Peluang dan
Tantangan Regulasi,” Jurnal Hukum Ekonomi Syariah 4, no. 1 (2022):
44–56.
[6]
Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia, Peraturan Menteri
Koperasi dan UKM No. 15 Tahun 2021, https://peraturan.bpk.go.id.
[7]
Muhammad Ridwan, “Evaluasi UU Cipta Kerja terhadap Prinsip Dasar
Koperasi di Indonesia,” Jurnal Legislasi Indonesia 18, no. 3 (2021):
221–234.
[8]
Yulianto, “Koperasi dan Liberalisasi Ekonomi: Studi atas Perubahan
Regulasi di Era Omnibus Law,” Jurnal Dinamika Hukum 23, no. 2 (2022):
180–195.
[9]
Hendar, “Reformasi Hukum Koperasi di Indonesia: Antara Harapan dan
Kenyataan,” Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi 5, no. 2 (2020):
133–145.
4.
Jenis
dan Bentuk Koperasi
4.1.
Pengelompokan Koperasi berdasarkan Jenis Usaha
Secara yuridis, Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1992 tidak secara eksplisit mengklasifikasikan
koperasi berdasarkan jenis usahanya, namun dalam praktiknya koperasi di
Indonesia umumnya dibagi menjadi beberapa jenis sesuai dengan kegiatan
ekonominya. Klasifikasi ini juga merujuk pada pembagian yang digunakan oleh
Kementerian Koperasi dan UKM, yakni:
·
Koperasi
Konsumen, yang bergerak dalam bidang penyediaan barang konsumsi
bagi anggota dan masyarakat dengan harga yang wajar.
·
Koperasi
Produsen, yang beranggotakan produsen barang atau jasa dan
bertujuan meningkatkan hasil produksi melalui penyediaan bahan baku, alat
produksi, dan pemasaran.
·
Koperasi
Simpan Pinjam (KSP), yang menyediakan layanan keuangan berupa
tabungan dan pinjaman untuk anggota secara lebih terjangkau dibanding lembaga
keuangan konvensional.¹
·
Koperasi
Jasa, yang bergerak di bidang pelayanan jasa seperti
transportasi, asuransi, atau keuangan non-bank lainnya.
·
Koperasi
Serba Usaha (KSU), yang menjalankan lebih dari satu bidang
usaha secara terpadu untuk memenuhi kebutuhan anggota.²
Jenis-jenis koperasi
ini dibentuk untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan potensi ekonomi dari
anggotanya. Koperasi simpan pinjam, misalnya, menjadi tulang punggung inklusi
keuangan di banyak daerah pedesaan, di mana akses terhadap lembaga keuangan
formal masih terbatas.³
4.2.
Pengelompokan Koperasi berdasarkan Tingkatannya
Selain berdasarkan
jenis usaha, koperasi juga dikelompokkan berdasarkan tingkatannya,
yaitu:
·
Koperasi
Primer, yaitu koperasi yang beranggotakan orang-perorangan, dan
merupakan bentuk koperasi paling dasar. Berdasarkan Pasal 6 UU No. 25 Tahun
1992, koperasi primer dapat didirikan oleh minimal 20 orang
(namun direduksi menjadi 9 orang oleh UU Cipta Kerja).
·
Koperasi
Sekunder, yaitu koperasi yang anggotanya adalah
koperasi-koperasi. Koperasi sekunder dapat berbentuk koperasi pusat, gabungan
koperasi, dan induk koperasi, sesuai dengan kebutuhan skala dan koordinasi
antar koperasi primer.⁴
Koperasi sekunder
biasanya dibentuk untuk memperkuat daya tawar kolektif dalam hal pengadaan
barang dan pemasaran, serta untuk menyinergikan kegiatan antar koperasi primer
dalam satu sektor atau wilayah tertentu.
4.3.
Contoh Praktik Koperasi di Indonesia
Implementasi
koperasi di Indonesia sangat beragam, mulai dari koperasi sekolah, koperasi
petani, hingga koperasi pekerja atau buruh. Salah satu contoh koperasi besar
yang sukses secara ekonomi dan kelembagaan adalah Koperasi
Unit Desa (KUD) yang sejak era 1970-an didorong sebagai pusat
pelayanan ekonomi rakyat di pedesaan, khususnya di sektor pertanian.⁵
Di era kontemporer,
muncul pula koperasi berbasis teknologi digital seperti Koperasi
Digital Baitul Maal wat Tamwil (BMT) dan koperasi platform
seperti Koperasi Warung Tegal (Kowarteg Indonesia),
yang berupaya merespons tantangan zaman melalui model bisnis berbasis aplikasi
dan jejaring sosial.⁶
4.4.
Prosedur Pembentukan Koperasi
Proses pendirian
koperasi diatur dalam Pasal 9 UU No. 25 Tahun 1992
dan peraturan pelaksanaannya. Beberapa prosedur utama meliputi:
·
Penyusunan akta pendirian
dan anggaran dasar koperasi oleh para pendiri;
·
Pengajuan permohonan
pengesahan badan hukum ke Kementerian Hukum dan HAM (melalui sistem AHU
online);
·
Penyelenggaraan rapat
anggota pertama sebagai forum tertinggi pengambilan keputusan.⁷
Prosedur tersebut
kini dipermudah dengan kebijakan digitalisasi layanan administrasi koperasi sebagaimana
diatur dalam Permenkop UKM No. 15 Tahun 2021,
guna mempercepat proses legalitas dan mendorong partisipasi masyarakat dalam
pembentukan koperasi.
4.5.
Evaluasi dan Tantangan Implementasi
Meskipun klasifikasi
koperasi tampak sistematis, pada praktiknya banyak koperasi menjalankan
kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan jenisnya, atau bahkan menyimpang dari
prinsip-prinsip koperasi. Koperasi simpan pinjam, misalnya, sering
disalahgunakan oleh oknum menjadi lembaga simpan pinjam liar dengan praktik
bunga tinggi dan penagihan agresif.⁸
Oleh karena itu,
pengawasan berbasis sistem dan peningkatan literasi koperasi menjadi hal yang
mutlak untuk menjamin agar koperasi tetap berjalan sesuai dengan prinsip dasar
dan fungsi sosial-ekonominya.
Footnotes
[1]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian, Pasal 16.
[2]
Kementerian Koperasi dan UKM RI, Buku Saku Perkoperasian Indonesia
(Jakarta: Kemenkop UKM, 2021), 24–26.
[3]
Diah Ayu Nur Hidayah, “Peran Koperasi Simpan Pinjam dalam Meningkatkan
Kesejahteraan Anggota,” Jurnal Ekonomi Mikro dan Keuangan 3, no. 1
(2020): 75–88.
[4]
Subiakto Tjakrawerdaya, Koperasi Indonesia: Sejarah, Landasan, dan
Perkembangannya (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 117.
[5]
Mubyarto, Ekonomi Desa: Konsep, Kebijakan, dan Implementasi
(Yogyakarta: BPFE, 2002), 91–93.
[6]
Rully Indrawan, “Model Koperasi Digital di Era Ekonomi Platform,” Jurnal
Inovasi Ekonomi Digital 2, no. 1 (2022): 13–25.
[7]
Kementerian Koperasi dan UKM RI, Peraturan Menteri Koperasi dan UKM
No. 15 Tahun 2021, https://peraturan.bpk.go.id.
[8]
Nur Azizah dan Dedi Supriadi, “Penyalahgunaan Praktik Koperasi Simpan
Pinjam dan Perlindungan Hukum bagi Anggota,” Jurnal Hukum Ekonomi dan
Sosial 6, no. 2 (2021): 112–125.
5.
Organisasi
dan Tata Kelola Koperasi
5.1.
Struktur Organisasi Koperasi
Struktur organisasi
koperasi diatur secara sistematis dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1992,
khususnya pada Pasal 22 hingga Pasal 30. Struktur ini mencerminkan sistem
demokrasi ekonomi, di mana anggota koperasi tidak hanya menjadi pengguna jasa,
tetapi juga pemilik dan pengendali utama organisasi.¹
Terdapat tiga
komponen utama dalam struktur organisasi koperasi, yaitu:
·
Rapat
Anggota, merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi.
Semua keputusan strategis—seperti pengesahan laporan tahunan, pengangkatan
pengurus dan pengawas, serta perubahan anggaran dasar—ditetapkan dalam forum
ini.
·
Pengurus,
dipilih dari dan oleh anggota dalam rapat anggota untuk menjalankan operasional
koperasi sehari-hari.
·
Pengawas,
bertugas mengawasi pelaksanaan kebijakan dan kinerja pengurus serta memastikan
koperasi berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip dan tujuan yang telah
ditetapkan.²
Keterlibatan aktif
anggota dalam proses pengambilan keputusan menjadi salah satu ciri khas
koperasi yang membedakannya dari badan usaha konvensional.³
5.2.
Prinsip Tata Kelola Koperasi yang Baik
Tata kelola koperasi
yang baik atau Good Cooperative Governance (GCG)
merupakan landasan penting untuk menciptakan koperasi yang sehat dan
berkelanjutan. Konsep ini mencakup prinsip-prinsip:
·
Transparansi,
yakni keterbukaan dalam informasi keuangan dan keputusan organisasi;
·
Akuntabilitas,
yakni tanggung jawab pengurus kepada anggota dan hasil kinerja yang terukur;
·
Partisipasi
aktif anggota, dalam pengawasan dan pengambilan keputusan;
·
Keadilan,
dalam pembagian manfaat ekonomi sesuai kontribusi anggota;
·
Kemandirian,
dalam menjalankan usaha tanpa ketergantungan yang merusak otonomi koperasi.⁴
Menurut studi yang
dilakukan oleh Siti Rokhati dan Arief Widodo, praktik GCG yang konsisten dapat
meningkatkan kepercayaan anggota, efisiensi organisasi, serta daya saing
koperasi di pasar.⁵ Namun, implementasi prinsip-prinsip ini masih belum optimal
di sebagian besar koperasi, terutama koperasi kecil yang belum memiliki sistem
akuntansi dan manajemen modern.
5.3.
Sistem Keanggotaan: Hak dan Kewajiban
Keanggotaan dalam
koperasi bersifat sukarela dan terbuka,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 dan 6 UU No. 25 Tahun 1992. Anggota
memiliki hak untuk:
·
Menghadiri dan memberikan
suara dalam rapat anggota;
·
Mengajukan pendapat,
kritik, dan usulan;
·
Mendapatkan layanan dan
manfaat ekonomi koperasi sesuai partisipasi.
Sementara itu,
kewajiban anggota meliputi:
·
Mematuhi anggaran dasar dan
keputusan rapat anggota;
·
Berpartisipasi aktif dalam
kegiatan usaha;
·
Menyimpan dan/atau menyetor
modal sesuai kesepakatan.⁶
Sistem keanggotaan
yang kuat merupakan fondasi dari koperasi yang demokratis dan inklusif. Namun
kenyataannya, banyak anggota koperasi hanya berperan pasif sebagai pengguna
jasa tanpa memahami tanggung jawab kelembagaan mereka, yang akhirnya berdampak
pada lemahnya kontrol internal.⁷
5.4.
Sumber Modal dan Pengelolaan Keuangan Koperasi
Modal koperasi dapat
bersumber dari:
·
Simpanan
Pokok dan Simpanan Wajib yang dibayar oleh anggota;
·
Dana
Cadangan, hasil penyisihan dari Sisa Hasil Usaha (SHU);
·
Modal
Penyertaan, yang dapat berasal dari luar anggota sepanjang
tidak bertentangan dengan prinsip koperasi.
Pasal 41 sampai 44
UU No. 25 Tahun 1992 menjelaskan bahwa modal koperasi digunakan untuk menunjang
usaha, membayar kewajiban, dan menyejahterakan anggota.⁸
Pengelolaan keuangan
koperasi dituntut untuk mengikuti prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas.
Koperasi harus menyusun laporan keuangan tahunan yang
diaudit secara internal atau eksternal dan disampaikan kepada rapat anggota.
Ketidakterbukaan dalam laporan keuangan menjadi salah satu sumber utama krisis
kepercayaan anggota terhadap pengurus.⁹
5.5.
Tantangan Tata Kelola di Era Digital
Di tengah
transformasi digital dan disrupsi teknologi, koperasi menghadapi tantangan
dalam memperbarui sistem tata kelolanya. Keterbatasan sumber daya manusia yang
memahami teknologi informasi, serta belum terintegrasinya sistem akuntansi dan
database keanggotaan, menjadi hambatan dalam menciptakan koperasi modern yang
adaptif.¹⁰
Namun, berbagai
inisiatif mulai dilakukan, seperti penggunaan aplikasi koperasi digital yang
memungkinkan pengurus dan anggota mengakses data keuangan secara real-time,
serta menyelenggarakan rapat anggota secara daring. Dukungan regulasi melalui
Permenkop UKM No. 15 Tahun 2021 juga membuka peluang bagi pembaruan tata kelola
berbasis digital.¹¹
Footnotes
[1]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian, Pasal 22–30.
[2]
R. Subiakto Tjakrawerdaya, Koperasi Indonesia: Sejarah, Landasan,
dan Perkembangannya (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 113–116.
[3]
Sri Edi Swasono, Demokrasi Ekonomi: Sistem Ekonomi Berkeadilan
Sosial (Jakarta: LP3ES, 2006), 45.
[4]
Muhammad Iqbal dan Nurul Fitri, “Good Cooperative Governance dalam
Penguatan Kelembagaan Koperasi,” Jurnal Ekonomi Kerakyatan 6, no. 1
(2021): 13–21.
[5]
Siti Rokhati dan Arief Widodo, “Pengaruh Tata Kelola terhadap Kinerja
Koperasi di Jawa Tengah,” Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan
11, no. 2 (2022): 101–114.
[6]
UU No. 25 Tahun 1992, Pasal 5–6.
[7]
Dedi Supriadi, “Partisipasi Anggota dalam Penguatan Demokrasi Ekonomi
Koperasi,” Jurnal Sosial Ekonomi Koperasi 9, no. 2 (2020): 55–67.
[8]
UU No. 25 Tahun 1992, Pasal 41–44.
[9]
Laily Dwi Fitria, “Transparansi Keuangan dan Tingkat Kepercayaan
Anggota pada Koperasi,” Jurnal Akuntansi dan Manajemen 14, no. 1
(2021): 73–85.
[10]
Heru Wibowo, “Digitalisasi Koperasi: Antara Keniscayaan dan Tantangan,”
Jurnal Ekonomi Digital 5, no. 1 (2022): 88–95.
[11]
Kementerian Koperasi dan UKM, Peraturan Menteri Koperasi dan UKM
No. 15 Tahun 2021, https://peraturan.bpk.go.id.
6.
Peran
Strategis Koperasi dalam Perekonomian Nasional
6.1.
Koperasi sebagai Pilar Ekonomi Kerakyatan
Koperasi di
Indonesia memiliki kedudukan strategis sebagai sokoguru perekonomian nasional,
yang ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Sebagai wujud ekonomi
kerakyatan, koperasi mengedepankan asas kekeluargaan dan prinsip-prinsip
partisipatif dalam menjalankan fungsi produksinya.¹ Berbeda dengan perusahaan
kapitalis yang memusatkan kekuasaan ekonomi pada pemilik modal, koperasi
mendorong distribusi kekayaan dan akses ekonomi secara lebih merata kepada
anggota dan masyarakat.
Menurut Sri Edi
Swasono, koperasi merupakan pengejawantahan sistem ekonomi yang berkeadilan
sosial karena menempatkan manusia (anggota) sebagai subjek utama kegiatan
ekonomi, bukan sekadar objek pasar.² Dengan struktur kepemilikan yang kolektif
dan partisipasi yang demokratis, koperasi berpotensi besar dalam menjawab
berbagai persoalan ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan
sosial.
6.2.
Kontribusi Koperasi terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB)
Data dari
Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa meskipun koperasi memiliki jumlah
unit yang besar (lebih dari 127.000 unit koperasi aktif hingga 2023),
kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
nasional masih tergolong rendah, yakni berkisar 5,1% pada tahun 2022.³ Angka
ini mengindikasikan bahwa potensi koperasi sebagai kekuatan ekonomi rakyat
belum dioptimalkan secara maksimal, terutama dalam aspek efisiensi usaha, tata
kelola, dan inovasi model bisnis.
Beberapa studi
menegaskan bahwa koperasi yang dikelola dengan baik dan berbasis komunitas
cenderung mampu meningkatkan pendapatan anggota secara signifikan, terutama di
sektor pertanian, perikanan, dan perdagangan mikro.⁴ Dengan demikian, penguatan
kelembagaan koperasi secara struktural dan profesional menjadi prasyarat untuk
mendorong kontribusi lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
6.3.
Koperasi dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Koperasi juga
berperan besar dalam pemberdayaan ekonomi lokal dan komunitas
berbasis mikro. Dalam konteks ini, koperasi menjadi media
efektif untuk menghimpun potensi ekonomi kecil, memperkuat daya tawar petani,
nelayan, pedagang kecil, dan kelompok rentan lainnya. Koperasi menyediakan
akses terhadap pembiayaan, pelatihan kewirausahaan, serta jaminan pasar atas
produk lokal.⁵
Keberadaan koperasi
juga meningkatkan literasi keuangan dan digital
bagi masyarakat di daerah terpencil yang tidak terjangkau oleh lembaga keuangan
konvensional. Koperasi simpan pinjam, misalnya, telah terbukti memperluas
inklusi keuangan di berbagai wilayah pedesaan Indonesia, di mana bank atau
lembaga formal tidak hadir.⁶
6.4.
Peran Koperasi dalam Ekosistem UMKM
Koperasi memiliki
potensi besar sebagai motor penggerak usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Melalui koperasi, UMKM dapat mengakses bahan baku, teknologi, dan pasar secara
kolektif, sehingga memperkuat posisi tawar mereka dalam rantai nilai ekonomi.⁷
Model koperasi produsen, misalnya, sangat efektif dalam mengatasi masalah
klasik UMKM seperti rendahnya skala ekonomi dan akses ke pasar global.
Studi dari
International Labour Organization (ILO) juga menunjukkan bahwa koperasi dapat
menjadi mitra strategis UMKM dalam mengembangkan praktik bisnis berkelanjutan,
berbasis komunitas, dan ramah lingkungan.⁸
6.5.
Koperasi sebagai Agen Pemerataan dan
Pengentasan Kemiskinan
Salah satu fungsi
utama koperasi adalah menciptakan pemerataan ekonomi. Dengan
mendistribusikan manfaat ekonomi secara proporsional terhadap kontribusi
anggota, koperasi membantu meminimalisasi ketimpangan pendapatan antar kelompok
masyarakat. Di banyak negara berkembang, koperasi terbukti menjadi mekanisme sosial
yang efektif dalam mengangkat kelompok miskin ke dalam aktivitas ekonomi
produktif.⁹
Di Indonesia,
koperasi perempuan, koperasi petani, dan koperasi buruh telah memainkan peran
penting dalam penguatan ekonomi keluarga miskin, melalui pembiayaan mikro,
pelatihan keterampilan, dan pengorganisasian produksi.¹⁰
6.6.
Optimalisasi Peran Koperasi di Era Ekonomi
Digital
Transformasi digital
membuka peluang baru bagi koperasi untuk berperan lebih besar dalam
perekonomian nasional. Digitalisasi koperasi dapat memperluas jangkauan
layanan, meningkatkan efisiensi operasional, dan membangun jejaring antar
koperasi secara lebih dinamis.¹¹
Namun, untuk
mengoptimalkan peran tersebut, koperasi membutuhkan dukungan dalam bentuk
kebijakan teknologi, infrastruktur digital, dan peningkatan kapasitas sumber
daya manusia. Inisiatif seperti pengembangan koperasi berbasis platform
(platform cooperative) perlu terus dikembangkan sebagai bagian dari strategi
nasional ekonomi digital yang inklusif.¹²
Footnotes
[1]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat
(1).
[2]
Sri Edi Swasono, Demokrasi Ekonomi: Sistem Ekonomi Berkeadilan
Sosial (Jakarta: LP3ES, 2006), 53–55.
[3]
Kementerian Koperasi dan UKM RI, Laporan Tahunan Kinerja Koperasi
dan UMKM 2022, https://kemenkopukm.go.id.
[4]
Siti Rahayu, “Kontribusi Koperasi terhadap Kesejahteraan Anggota: Studi
Koperasi Petani di Jawa Barat,” Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan 10,
no. 1 (2021): 22–30.
[5]
Dwi Rahmawati dan Hasan Basri, “Koperasi sebagai Instrumen Pemberdayaan
Ekonomi Masyarakat,” Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora 5, no. 2 (2020):
112–123.
[6]
Rina Dewi dan Zainal Arifin, “Peran Koperasi Simpan Pinjam dalam
Inklusi Keuangan Pedesaan,” Jurnal Ekonomi Pembangunan 12, no. 2 (2021):
91–102.
[7]
Hendar dan Sri Mulyati, “Koperasi dan UMKM: Kolaborasi dalam Penguatan
Ekonomi Nasional,” Jurnal Ekonomi Kerakyatan 6, no. 1 (2022): 45–58.
[8]
International Labour Organization, Cooperatives and the Sustainable
Development Goals (Geneva: ILO, 2017).
[9]
Mubyarto, Pengantar Ekonomi Kerakyatan (Yogyakarta: LP3ES,
2006), 83–86.
[10]
Nur Azizah, “Koperasi sebagai Alat Pemerataan Ekonomi: Studi Koperasi
Perempuan di NTB,” Jurnal Pemberdayaan Ekonomi 4, no. 2 (2020): 67–78.
[11]
Heru Wibowo, “Digitalisasi Koperasi dan Masa Depan Ekonomi Kerakyatan,”
Jurnal Inovasi Digital Ekonomi 3, no. 1 (2022): 19–27.
[12]
Rully Indrawan, “Platform Cooperative: Model Baru Koperasi Era
Digital,” Jurnal Transformasi Digital 2, no. 1 (2021): 50–60.
7.
Tantangan
dan Isu Aktual dalam Perkoperasian
7.1.
Lemahnya Manajemen dan Profesionalisme
Pengelola
Salah satu tantangan
utama dalam pengembangan koperasi di Indonesia adalah kualitas
manajerial yang rendah. Banyak koperasi yang dikelola secara
konvensional tanpa pendekatan profesional, baik dalam aspek perencanaan,
pembukuan, pengawasan internal, maupun pelayanan kepada anggota.¹ Hal ini
disebabkan oleh rendahnya kompetensi sumber daya manusia koperasi, kurangnya
pelatihan manajemen, serta minimnya regenerasi kepengurusan.
Penelitian oleh Siti
Rokhati menunjukkan bahwa koperasi yang tidak memiliki sistem tata kelola yang
baik cenderung mengalami stagnasi bahkan kemunduran usaha.² Kurangnya penerapan
prinsip good
cooperative governance menyebabkan koperasi rentan terhadap konflik
internal, penyalahgunaan wewenang, serta hilangnya kepercayaan anggota.
7.2.
Partisipasi Anggota yang Rendah
Koperasi idealnya
dibangun atas dasar partisipasi aktif anggota dalam pengambilan keputusan dan
kegiatan ekonomi. Namun, tingkat partisipasi anggota di
banyak koperasi sangat minim, baik dalam hal kehadiran pada rapat anggota
tahunan (RAT), keterlibatan dalam diskusi strategis, maupun kontribusi terhadap
modal dan program koperasi.³
Menurut data
Kemenkop UKM, sekitar 40% koperasi aktif secara administratif tetapi
pasif secara fungsional, karena tidak menjalankan kegiatan
ekonomi secara berkelanjutan.⁴ Ketidakterlibatan anggota dalam pengawasan dan
pengambilan keputusan mengikis prinsip demokrasi ekonomi yang menjadi identitas
koperasi itu sendiri.
7.3.
Inkonsistensi dan Ketertinggalan Regulasi
Meskipun UU No.
25 Tahun 1992 masih menjadi rujukan utama dalam hukum koperasi,
regulasi ini dinilai banyak kalangan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan
zaman.⁵ Ketiadaan aturan teknis yang akomodatif terhadap koperasi digital,
koperasi platform, serta koperasi sektor jasa modern menimbulkan kekosongan
hukum yang berpotensi disalahgunakan.
Perubahan melalui UU No.
11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memang membawa beberapa
kemudahan administratif, seperti penyederhanaan jumlah pendiri dan proses
legalitas, namun belum menyentuh aspek substansial mengenai transformasi model
bisnis koperasi.⁶
Selain itu, tumpang
tindih kebijakan antara kementerian teknis, pemerintah daerah, dan lembaga
pengawas juga menciptakan kebingungan dalam implementasi, khususnya terkait
pengawasan, penyelesaian sengketa, dan perlindungan anggota.⁷
7.4.
Persaingan Usaha dan Disrupsi Teknologi
Koperasi saat ini
menghadapi tekanan dari persaingan pasar bebas dan disrupsi
teknologi digital. Di tengah dominasi platform e-commerce dan
lembaga keuangan digital, koperasi yang belum bertransformasi menghadapi
kesulitan dalam mempertahankan eksistensinya.⁸ Koperasi simpan pinjam,
misalnya, kini harus bersaing dengan fintech peer-to-peer lending yang
menawarkan akses cepat dan berbasis teknologi.
Riset oleh Heru
Wibowo menunjukkan bahwa koperasi yang tidak melakukan digitalisasi dalam
sistem manajemen dan layanannya akan tertinggal dan kehilangan kepercayaan
generasi muda.⁹
7.5.
Praktik Koperasi Bermasalah dan Penyimpangan
Prinsip
Kasus-kasus
penyimpangan koperasi, seperti praktik koperasi abal-abal,
simpan pinjam ilegal, dan pengelolaan dana anggota yang tidak transparan, masih
sering terjadi di Indonesia. Beberapa koperasi bahkan menyalahgunakan badan
hukum koperasi untuk praktik investasi bodong atau usaha simpan pinjam berskema
rentenir.¹⁰
Kementerian Koperasi
dan UKM mencatat bahwa dari lebih 127.000 koperasi yang terdaftar, sebagian
besar tidak menjalankan prinsip koperasi dengan benar dan tidak
menyelenggarakan RAT secara berkala.¹¹ Ketiadaan sistem pengawasan yang kuat,
ditambah lemahnya literasi hukum dan ekonomi anggota, membuat koperasi mudah
disalahgunakan oleh pengurus yang tidak bertanggung jawab.
7.6.
Minimnya Inovasi dan Adaptasi Model Bisnis
Di era globalisasi
dan teknologi digital, koperasi dituntut untuk berinovasi dalam model bisnis
dan pendekatan pelayanan. Namun, sebagian besar koperasi masih mempertahankan
metode konvensional, seperti pencatatan manual, pelayanan terbatas, dan
keterbatasan jaringan pasar.¹²
Minimnya inovasi
menjadikan koperasi tidak menarik bagi generasi
milenial dan Gen
Z, yang lebih menyukai model usaha yang fleksibel, berbasis digital, dan
cepat tanggap. Oleh karena itu, koperasi perlu merancang strategi transformasi
dengan mengadopsi teknologi digital, memperluas kemitraan, dan memanfaatkan
ekonomi platform untuk bertahan dan berkembang.
Footnotes
[1]
Suroto, Koperasi dan Politik Ekonomi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2016), 107–109.
[2]
Siti Rokhati dan Arief Widodo, “Pengaruh Tata Kelola terhadap Kinerja
Koperasi di Jawa Tengah,” Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan
11, no. 2 (2022): 103–110.
[3]
Dedi Supriadi, “Partisipasi Anggota dalam Penguatan Demokrasi Ekonomi
Koperasi,” Jurnal Sosial Ekonomi Koperasi 9, no. 2 (2020): 59–65.
[4]
Kementerian Koperasi dan UKM RI, Laporan Perkoperasian Indonesia
2022, https://kemenkopukm.go.id.
[5]
Imam Sukardi, “Koperasi di Era Ekonomi Digital: Antara Peluang dan
Tantangan Regulasi,” Jurnal Hukum Ekonomi Syariah 4, no. 1 (2022):
45–54.
[6]
Muhammad Ridwan, “Evaluasi UU Cipta Kerja terhadap Prinsip Dasar
Koperasi,” Jurnal Legislasi Indonesia 18, no. 3 (2021): 226–230.
[7]
Hendar, “Reformasi Hukum Koperasi di Indonesia: Antara Harapan dan
Kenyataan,” Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi 5, no. 2 (2020):
138–142.
[8]
Heru Wibowo, “Digitalisasi Koperasi: Antara Keniscayaan dan Tantangan,”
Jurnal Ekonomi Digital 5, no. 1 (2022): 90–98.
[9]
Ibid., 93.
[10]
Nur Azizah dan Dedi Supriadi, “Penyalahgunaan Praktik Koperasi Simpan
Pinjam dan Perlindungan Hukum bagi Anggota,” Jurnal Hukum Ekonomi dan
Sosial 6, no. 2 (2021): 113–119.
[11]
Kemenkop UKM, Statistik Koperasi 2023, https://kemenkopukm.go.id.
[12]
Rully Indrawan, “Platform Cooperative: Model Baru Koperasi Era
Digital,” Jurnal Transformasi Digital 2, no. 1 (2021): 52–58.
8.
Reformasi
dan Inovasi Koperasi di Era Modern
8.1.
Urgensi Reformasi Kelembagaan Koperasi
Kondisi koperasi
Indonesia yang belum optimal secara struktural dan fungsional menuntut
dilakukannya reformasi kelembagaan koperasi
secara menyeluruh. Reformasi ini meliputi pembenahan regulasi, peningkatan tata
kelola, dan penguatan fungsi koperasi sebagai instrumen demokrasi ekonomi.¹
UU No. 25 Tahun 1992
dianggap tidak lagi memadai dalam menghadapi kompleksitas ekonomi digital,
globalisasi pasar, dan tuntutan profesionalisme. Oleh karena itu, diperlukan
pembaruan regulasi yang tidak hanya bersifat prosedural, tetapi juga
mencerminkan realitas sosial dan ekonomi kontemporer.² Selain itu, koperasi
perlu diredefinisi tidak semata sebagai badan usaha, melainkan sebagai gerakan
ekonomi berbasis komunitas yang adaptif dan progresif.
8.2.
Digitalisasi dan Teknologi sebagai Pendorong
Inovasi
Salah satu strategi
utama dalam reformasi koperasi adalah transformasi digital.
Digitalisasi koperasi mencakup modernisasi layanan, penggunaan aplikasi
berbasis web dan mobile, serta integrasi sistem akuntansi dan manajemen anggota
secara daring.³
Inisiatif koperasi
digital seperti Koperasi Simpan Pinjam Berbasis Aplikasi (KSPA),
platform
cooperative, dan koperasi berbasis blockchain telah mulai
dikembangkan di berbagai daerah. Model ini memungkinkan efisiensi transaksi,
transparansi pelaporan keuangan, serta partisipasi anggota yang lebih luas.⁴
Menurut Indrawan,
koperasi yang mampu mengadopsi teknologi digital cenderung memiliki daya tahan
lebih tinggi dalam menghadapi krisis, seperti pandemi COVID-19, karena dapat
tetap melayani anggota secara daring.⁵
8.3.
Penguatan Pendidikan dan Literasi Perkoperasian
Inovasi koperasi
tidak akan berjalan optimal tanpa penguatan kapasitas sumber daya manusia.
Sayangnya, literasi koperasi di kalangan masyarakat masih rendah, termasuk di
kalangan generasi muda. Oleh karena itu, diperlukan integrasi pendidikan
koperasi dalam kurikulum sekolah dan program pelatihan berkelanjutan bagi
pengurus dan anggota koperasi.⁶
Program pelatihan
berbasis cooperative
learning dan action research terbukti mampu
meningkatkan kesadaran anggota terhadap prinsip-prinsip koperasi dan
meningkatkan kapasitas manajerial.⁷ Selain itu, pendidikan perkoperasian juga
perlu diarahkan pada pengembangan etika bisnis, kepemimpinan sosial, dan
kecakapan digital.
8.4.
Revitalisasi Koperasi Melalui Kemitraan
Strategis
Untuk memperkuat
skala usaha dan daya saing koperasi, diperlukan kemitraan strategis antara
koperasi dan berbagai pihak, termasuk pemerintah, BUMN, sektor swasta, dan
lembaga pendidikan. Kolaborasi ini dapat berupa program inkubasi usaha, akses
pembiayaan, transfer teknologi, dan pengembangan pasar.
Koperasi juga dapat
terlibat dalam skema ekonomi hijau, pariwisata berbasis masyarakat, dan program
hilirisasi komoditas lokal, sehingga memberikan nilai tambah bagi anggotanya.⁸
Kemitraan ini menjadi jembatan bagi koperasi untuk masuk dalam rantai pasok
nasional maupun global.
8.5.
Koperasi Milenial dan Masa Depan Gerakan
Koperasi
Tantangan terbesar
sekaligus peluang emas bagi koperasi saat ini adalah melibatkan
generasi muda dalam gerakan koperasi. Koperasi milenial tidak
hanya menuntut pendekatan digital, tetapi juga struktur yang lebih fleksibel,
inklusif, dan visioner.⁹
Beberapa koperasi
generasi baru telah berhasil menggabungkan misi sosial dan model bisnis
inovatif. Contohnya adalah koperasi pekerja lepas (freelance cooperative),
koperasi seni dan budaya, serta koperasi teknologi yang mendistribusikan
kepemilikan aplikasi digital secara demokratis kepada pengguna dan
pengembang.¹⁰
Gerakan koperasi
masa depan harus mampu menjawab isu-isu besar seperti keadilan digital, ekonomi
berkelanjutan, dan redistribusi kekayaan berbasis komunitas.
8.6.
Arah Kebijakan Pemerintah dalam Penguatan Inovasi
Koperasi
Pemerintah Indonesia
telah menunjukkan komitmen terhadap reformasi koperasi melalui sejumlah
kebijakan strategis, seperti:
·
Peraturan
Presiden No. 2 Tahun 2022 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional,
yang menempatkan koperasi sebagai instrumen pembangunan inklusif;
·
Digitalisasi
layanan koperasi melalui sistem OSS dan AHU online;
·
Program
inkubasi koperasi dan UMKM berbasis teknologi dari Kemenkop UKM
dan LIPI.¹¹
Namun, tantangan
pelaksanaan masih meliputi keterbatasan anggaran, koordinasi lintas lembaga,
serta resistensi terhadap perubahan di level koperasi itu sendiri.
Footnotes
[1]
Hendar, “Reformasi Hukum Koperasi di Indonesia: Antara Harapan dan
Kenyataan,” Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi 5, no. 2 (2020):
133–145.
[2]
Imam Sukardi, “Koperasi di Era Ekonomi Digital: Antara Peluang dan
Tantangan Regulasi,” Jurnal Hukum Ekonomi Syariah 4, no. 1 (2022):
44–56.
[3]
Heru Wibowo, “Digitalisasi Koperasi: Antara Keniscayaan dan Tantangan,”
Jurnal Ekonomi Digital 5, no. 1 (2022): 88–95.
[4]
Rully Indrawan, “Platform Cooperative: Model Baru Koperasi Era
Digital,” Jurnal Transformasi Digital 2, no. 1 (2021): 50–60.
[5]
Ibid., 57.
[6]
Dedi Supriadi, “Penguatan Literasi Koperasi di Sekolah Menengah: Sebuah
Pendekatan Kurikuler,” Jurnal Pendidikan Ekonomi 9, no. 2 (2021):
112–120.
[7]
Nurul Hidayati dan Wawan Hermawan, “Strategi Peningkatan Kompetensi SDM
Koperasi melalui Cooperative Learning,” Jurnal Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat 4, no. 1 (2022): 33–45.
[8]
Dwi Rahmawati, “Revitalisasi Koperasi melalui Kolaborasi Ekonomi
Inklusif,” Jurnal Ilmu Ekonomi Sosial 7, no. 2 (2021): 66–77.
[9]
Suroto, Koperasi dan Politik Ekonomi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2016), 134–137.
[10]
International Cooperative Alliance, Exploring the Cooperative
Identity in the Digital Age (Geneva: ICA, 2020).
[11]
Kementerian Koperasi dan UKM RI, Laporan Tahunan 2022, https://kemenkopukm.go.id.
9.
Penutup
Koperasi memiliki
posisi strategis dalam struktur ekonomi Indonesia sebagai manifestasi dari
semangat demokrasi ekonomi yang diamanatkan oleh Pasal 33
ayat (1) UUD 1945, yakni bahwa “Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”_¹ Sebagai entitas ekonomi
yang berbasis partisipasi anggota dan berlandaskan prinsip gotong royong,
koperasi berperan penting dalam memperkuat ekonomi kerakyatan, mengurangi
ketimpangan sosial, serta mendorong pemerataan hasil pembangunan.
Melalui pembahasan
pada artikel ini, dapat disimpulkan bahwa UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
memberikan landasan hukum yang fundamental dalam mendefinisikan struktur, asas,
dan tujuan koperasi.² Namun, tantangan yang dihadapi koperasi saat ini tidak
hanya bersifat internal—seperti lemahnya tata kelola, rendahnya partisipasi
anggota, dan kurangnya inovasi—tetapi juga eksternal, termasuk persaingan
dengan pelaku usaha modern, disrupsi teknologi, serta ketertinggalan regulasi
dalam merespons dinamika ekonomi digital.³
Transformasi
koperasi di era modern memerlukan langkah-langkah reformasi yang menyeluruh dan
terstruktur. Inovasi teknologi, penguatan pendidikan perkoperasian, dan
kemitraan strategis harus menjadi bagian dari strategi revitalisasi koperasi.
Pemerintah, melalui Kementerian Koperasi dan UKM, juga harus mempercepat harmonisasi
regulasi dan meningkatkan dukungan kebijakan, termasuk melalui digitalisasi
pelayanan, insentif fiskal, dan pengembangan koperasi milenial.⁴
Harapan besar
terletak pada kemampuan koperasi untuk beradaptasi dan mengambil peran lebih
besar dalam menghadirkan ekonomi yang adil, inklusif, dan berkelanjutan.
Jika dikelola secara profesional, koperasi tidak hanya akan menjadi penyokong
UMKM dan ekonomi lokal, tetapi juga akan bertransformasi menjadi kekuatan
ekonomi nasional yang mampu bersaing secara global.⁵
Sebagaimana
dikatakan oleh Sri Edi Swasono, “koperasi bukanlah usaha pinggiran,
melainkan jantung dari sistem ekonomi berkeadilan sosial.”_⁶ Maka dari itu,
tugas semua pihak—baik pemerintah, akademisi, praktisi, maupun
masyarakat—adalah menjadikan koperasi sebagai rumah ekonomi rakyat yang modern,
kuat, dan berdaya tahan dalam menghadapi zaman.
Footnotes
[1]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat
(1).
[2]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian, Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 116.
[3]
Imam Sukardi, “Koperasi di Era Ekonomi Digital: Antara Peluang dan
Tantangan Regulasi,” Jurnal Hukum Ekonomi Syariah 4, no. 1 (2022):
44–56.
[4]
Kementerian Koperasi dan UKM RI, Laporan Tahunan Koperasi dan UMKM
2022, https://kemenkopukm.go.id.
[5]
Heru Wibowo, “Digitalisasi Koperasi dan Masa Depan Ekonomi Kerakyatan,”
Jurnal Inovasi Digital Ekonomi 3, no. 1 (2022): 19–27.
[6]
Sri Edi Swasono, Demokrasi Ekonomi: Sistem Ekonomi Berkeadilan
Sosial (Jakarta: LP3ES, 2006), 83.
Daftar Pustaka
Azizah, N., & Supriadi, D. (2021).
Penyalahgunaan praktik koperasi simpan pinjam dan perlindungan hukum bagi
anggota. Jurnal Hukum Ekonomi dan Sosial, 6(2), 112–125.
Dewi, R., & Arifin, Z. (2021). Peran koperasi
simpan pinjam dalam inklusi keuangan pedesaan. Jurnal Ekonomi Pembangunan,
12(2), 91–102.
Hendar. (2020). Reformasi hukum koperasi di
Indonesia: Antara harapan dan kenyataan. Jurnal Hukum dan Pembangunan
Ekonomi, 5(2), 133–145.
Hidayah, D. A. N. (2020). Peran koperasi simpan
pinjam dalam meningkatkan kesejahteraan anggota. Jurnal Ekonomi Mikro dan
Keuangan, 3(1), 75–88.
Hidayati, N., & Hermawan, W. (2022). Strategi
peningkatan kompetensi SDM koperasi melalui cooperative learning. Jurnal
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat, 4(1), 33–45.
Indrawan, R. (2021). Platform cooperative: Model
baru koperasi era digital. Jurnal Transformasi Digital, 2(1), 50–60.
International Cooperative Alliance. (2020). Exploring
the cooperative identity in the digital age. Geneva: ICA.
International Labour Organization. (2017). Cooperatives
and the Sustainable Development Goals. Geneva: ILO.
Kementerian Koperasi dan UKM RI. (2021). Buku
saku perkoperasian Indonesia. Jakarta: Kemenkop UKM.
Kementerian Koperasi dan UKM RI. (2022). Laporan
tahunan koperasi dan UMKM 2022. Jakarta: Kemenkop UKM.
Kementerian Koperasi dan UKM RI. (2023). Statistik
koperasi 2023. Jakarta: Kemenkop UKM.
Nur Azizah. (2020). Koperasi sebagai alat
pemerataan ekonomi: Studi koperasi perempuan di NTB. Jurnal Pemberdayaan
Ekonomi, 4(2), 67–78.
Rahmawati, D., & Basri, H. (2020). Koperasi
sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi masyarakat. Jurnal Ilmu Sosial dan
Humaniora, 5(2), 112–123.
Rahmawati, D. (2021). Revitalisasi koperasi melalui
kolaborasi ekonomi inklusif. Jurnal Ilmu Ekonomi Sosial, 7(2), 66–77.
Rahayu, S. (2021). Kontribusi koperasi terhadap
kesejahteraan anggota: Studi koperasi petani di Jawa Barat. Jurnal Ekonomi
dan Kewirausahaan, 10(1), 22–30.
Ridwan, M. (2021). Evaluasi UU Cipta Kerja terhadap
prinsip dasar koperasi. Jurnal Legislasi Indonesia, 18(3), 221–234.
Rokhati, S., & Widodo, A. (2022). Pengaruh tata
kelola terhadap kinerja koperasi di Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Manajemen dan
Akuntansi Terapan, 11(2), 101–114.
Siti Rokhati, & Widodo, A. (2022). Pengaruh tata
kelola terhadap kinerja koperasi di Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Manajemen dan
Akuntansi Terapan, 11(2), 101–114.
Sri Edi Swasono. (2006). Demokrasi ekonomi:
Sistem ekonomi berkeadilan sosial. Jakarta: LP3ES.
Subiakto Tjakrawerdaya, R. (2005). Koperasi Indonesia:
Sejarah, landasan, dan perkembangannya. Jakarta: Balai Pustaka.
Sukardi, I. (2022). Koperasi di era ekonomi
digital: Antara peluang dan tantangan regulasi. Jurnal Hukum Ekonomi
Syariah, 4(1), 44–56.
Suroto. (2016). Koperasi dan politik ekonomi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Supriadi, D. (2020). Partisipasi anggota dalam
penguatan demokrasi ekonomi koperasi. Jurnal Sosial Ekonomi Koperasi, 9(2),
55–67.
Wibowo, H. (2022). Digitalisasi koperasi: Antara
keniscayaan dan tantangan. Jurnal Ekonomi Digital, 5(1), 88–95.
Wibowo, H. (2022). Digitalisasi koperasi dan masa
depan ekonomi kerakyatan. Jurnal Inovasi Digital Ekonomi, 3(1), 19–27.
Yulianto. (2022). Koperasi dan liberalisasi
ekonomi: Studi atas perubahan regulasi di era Omnibus Law. Jurnal Dinamika
Hukum, 23(2), 180–195.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun
1992 tentang Perkoperasian.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2022 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
Peraturan Menteri Koperasi dan UKM Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pengesahan
Badan Hukum Koperasi.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33
Tahun 1998 tentang Modal Penyertaan pada Koperasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar