Hermeneutika Dekonstruktif
Dekonstruksi Makna dalam Teks Keagamaan
Alihkan ke: Matode Haermeneutika dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif pendekatan
hermeneutika dekonstruktif sebagai cabang pemikiran dalam tradisi filsafat
kontemporer yang menantang paradigma penafsiran klasik dan modern. Dengan
berakar pada filsafat Jacques Derrida, hermeneutika dekonstruktif menolak
asumsi tentang keutuhan makna, stabilitas teks, dan otoritas tunggal pengarang.
Melalui prinsip différance, aporia, dan ketaksadaran struktural teks,
pendekatan ini membuka ruang bagi pluralitas makna dan tanggung jawab etis
terhadap yang lain. Artikel ini menguraikan fondasi teoretis dekonstruksi,
membandingkannya dengan model hermeneutika klasik dan modern, serta menunjukkan
penerapannya dalam teks filsafat, sastra, dan keagamaan. Lebih jauh, dibahas
pula implikasi epistemologis dan etis dari pendekatan ini, serta respons kritis
yang diterimanya dari berbagai tradisi intelektual, termasuk hermeneutika
filosofis dan filsafat analitik. Di tengah era post-truth dan krisis
representasi, hermeneutika dekonstruktif hadir sebagai cara berpikir yang
reflektif, kritis, dan terbuka, yang menantang dominasi wacana tunggal serta
memperjuangkan keberagaman perspektif dalam praktik penafsiran.
Kata Kunci: Hermeneutika dekonstruktif; Jacques Derrida;
différance; aporia; kritik teks; etika pembacaan; epistemologi postmodern;
tafsir kritis; filsafat kontemporer.
PEMBAHASAN
Telaah Hermeneutika Dekonstruktif dalam Wacana Filsafat
1.
Pendahuluan
Dalam sejarah
filsafat Barat, hermeneutika telah memainkan peran penting sebagai disiplin
yang berupaya menjelaskan proses pemahaman terhadap teks, simbol, dan makna
dalam konteks historis maupun linguistik. Sejak kemunculannya sebagai metode
tafsir kitab suci dalam tradisi teologi Kristen hingga berkembang menjadi teori
pemahaman eksistensial dalam pemikiran Heidegger dan Gadamer, hermeneutika
terus mengalami evolusi konseptual dan metodologis. Namun, pada pertengahan
abad ke-20, muncul tantangan mendasar terhadap fondasi-fondasi klasik dan
modern dalam hermeneutika, terutama yang berkaitan dengan asumsi stabilitas
makna, koherensi penulis, dan kesatuan teks. Tantangan ini dimunculkan oleh
pendekatan dekonstruktif, yang dipelopori
oleh Jacques Derrida sebagai bentuk pembacaan yang menyingkap ketidakhadiran,
paradoks, dan retakan-retakan dalam teks yang selama ini tersembunyi oleh
klaim-klaim logocentris dalam tradisi Barat1.
Hermeneutika
dekonstruktif, sebagai suatu praktik dan pendekatan, bukan sekadar mengusulkan
metode baru dalam penafsiran, melainkan membongkar secara radikal asumsi-asumsi
dasar tentang teks dan makna. Derrida menolak gagasan bahwa makna dapat
ditransmisikan secara utuh dari pengarang kepada pembaca melalui teks. Baginya,
teks selalu mengandung différance—sebuah konsep yang
merujuk pada penundaan dan perbedaan makna yang tak pernah selesai2.
Dalam pengertian ini, setiap teks berada dalam kondisi “tidak utuh,”
terbuka terhadap pelampauan makna, dan penuh dengan struktur internal yang
saling menegasikan. Oleh karena itu, dekonstruksi bukanlah “destruksi”
terhadap makna, melainkan proses pembacaan yang menelusuri jejak-jejak
ketidakhadiran dan potensi pertentangan dalam konstruksi teks itu sendiri3.
Pendekatan
dekonstruktif juga mengkritik kepercayaan terhadap kehadiran langsung (presence)
yang menjadi ciri khas hermeneutika Gadamerian. Bagi Derrida, usaha memahami
makna dengan mengandaikan adanya horizon koheren antara teks dan pembaca adalah
bentuk dari metafisika kehadiran yang mesti
ditinjau ulang secara kritis4. Sebaliknya, hermeneutika
dekonstruktif menyarankan bahwa makna adalah hasil permainan tanda-tanda (play
of signifiers), yang tidak pernah berhenti dalam suatu titik fiksasi makna
tunggal. Oleh karena itu, teks selalu menolak untuk dijadikan objek pemaknaan
yang final.
Urgensi dari
pembahasan mengenai hermeneutika dekonstruktif menjadi semakin relevan dalam
konteks intelektual kontemporer yang ditandai oleh pluralitas penafsiran,
keraguan terhadap narasi besar, dan semakin cairnya batas antara teks, pembaca,
dan konteks. Di bidang studi sastra, filsafat, teologi, bahkan ilmu sosial,
pendekatan dekonstruktif memberikan ruang bagi pembacaan alternatif yang tidak
bersifat normatif, melainkan membuka potensi makna yang terpendam dan marginal5.
Oleh karena itu, kajian ini bertujuan untuk menelusuri akar filosofis
hermeneutika dekonstruktif, prinsip-prinsip utamanya, serta implikasinya dalam
ranah penafsiran teks di era pascamodern.
Footnotes
[1]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), xvii–xx.
[2]
Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1982), 3–27.
[3]
Jonathan Culler, On Deconstruction: Theory and Criticism after
Structuralism (Ithaca: Cornell University Press, 1982), 86–93.
[4]
Richard Kearney, Dialogues with Contemporary Continental Thinkers:
The Phenomenological Heritage (Manchester: Manchester University Press,
1984), 123–127.
[5]
John D. Caputo, Radical Hermeneutics: Repetition, Deconstruction,
and the Hermeneutic Project (Bloomington: Indiana University Press, 1987),
1–15.
2.
Dasar Filsafat Hermeneutika dan Tantangannya
Hermeneutika,
sebagai filsafat penafsiran, mengalami evolusi panjang dari tradisi tafsir
keagamaan hingga menjadi disiplin filosofis modern yang berupaya memahami
struktur dan dinamika makna dalam relasinya dengan bahasa, sejarah, dan
subyektivitas manusia. Pada tahap awal, tokoh seperti Friedrich
Schleiermacher (1768–1834) memformulasikan hermeneutika sebagai
seni memahami teks dengan menyatukan pemahaman gramatikal dan psikologis, yaitu
dengan menelusuri intensi atau “niat pengarang” yang terkandung dalam
struktur linguistiknya1. Hermeneutika Schleiermacher bercorak
rekonstruktif, menekankan pemulihan makna sebagaimana dimaksudkan oleh
pengarang, seolah-olah pembaca dapat “masuk” ke dalam pikiran pengarang
melalui pemahaman historis dan linguistik yang tepat.
Pendekatan ini
kemudian diperluas oleh Wilhelm Dilthey (1833–1911)
yang menempatkan hermeneutika sebagai metode utama dalam ilmu-ilmu humaniora (Geisteswissenschaften).
Dilthey menekankan pengalaman hidup (Erlebnis) sebagai dasar penafsiran,
di mana pemahaman tidak hanya bersifat linguistik tetapi juga
historis-eksistensial. Menurutnya, pemahaman terhadap tindakan manusia dalam
sejarah membutuhkan Verstehen—pemahaman dari dalam yang
menekankan pada empati dan rekonstruksi makna dalam konteks kehidupan manusia2.
Transformasi besar
terjadi dalam pemikiran Martin Heidegger yang menggeser
hermeneutika dari metode rekonstruktif menjadi fenomenologi ontologis. Dalam
karyanya Sein und
Zeit, Heidegger menunjukkan bahwa pemahaman bukan sekadar aktivitas
intelektual, melainkan struktur eksistensial dari keberadaan manusia (Dasein)
di dunia. Menurut Heidegger, “memahami” berarti menafsirkan
dunia dari horizon keterlemparan keberadaan kita sendiri, di mana
bahasa bukanlah sekadar alat netral, tetapi medan eksistensial tempat makna
dibuka dan dibentuk3.
Pengaruh Heidegger
diteruskan oleh Hans-Georg Gadamer dalam Wahrheit
und Methode, yang menekankan bahwa pemahaman adalah peristiwa
dialogis antara “horizon masa lalu” (teks, tradisi) dan “horizon
sekarang” (pembaca). Pemahaman terjadi melalui Fusionshorizont—fusi horizon yang
memungkinkan pembentukan makna baru dalam pengalaman dialogis dengan tradisi4.
Gadamer menolak pendekatan objektivistik dan menekankan bahwa pra-anggapan,
bahasa, dan tradisi membentuk kondisi kemungkinan bagi penafsiran.
Namun demikian,
pendekatan hermeneutika klasik dan eksistensial ini menghadapi kritik tajam
dari para pemikir poststrukturalis, khususnya Jacques Derrida, yang
mempersoalkan anggapan bahwa makna dapat dipahami atau direkonstruksi secara
utuh melalui proses hermeneutis. Menurut Derrida, seluruh proyek hermeneutika
tetap terjebak dalam apa yang ia sebut sebagai logocentrisme—keyakinan terhadap
kehadiran makna yang stabil, keutuhan identitas pengarang, serta kesatuan
struktur bahasa yang dapat ditangkap secara langsung oleh subjek penafsir5.
Kritik ini menjadi
tantangan besar terhadap fondasi hermeneutika klasik karena menunjukkan bahwa
teks tidak pernah hadir secara utuh, melainkan selalu mengandung perbedaan (différance),
penundaan, dan ketaksadaran struktural yang mengacaukan klaim koherensi makna.
Di sinilah muncul urgensi pendekatan dekonstruktif: bukan untuk menolak
penafsiran, melainkan untuk menunjukkan bahwa setiap penafsiran harus mengakui inkonsistensi
internal teks dan ketidakhadiran makna yang definitif.
Dengan demikian,
tantangan utama yang dihadirkan oleh hermeneutika dekonstruktif terhadap
fondasi hermeneutika tradisional adalah pembongkaran terhadap premis
keutuhan makna, stabilitas teks, dan kesatuan horizon pemahaman.
Apa yang dianggap sebagai makna dalam hermeneutika klasik, dalam dekonstruksi
justru menjadi medan permainan tak berujung antar penanda yang tidak pernah
mencapai signifikasi final6. Oleh karena itu, hermeneutika
dekonstruktif tidak dimaksudkan untuk “mengganti” hermeneutika tradisional,
tetapi untuk membongkar secara radikal kerangka dasarnya
dan membuka ruang bagi pembacaan yang lebih reflektif, kritis, dan plural.
Footnotes
[1]
Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, ed.
Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 5–22.
[2]
Wilhelm Dilthey, Selected Works, Volume IV: Hermeneutics and the
Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton:
Princeton University Press, 1996), 162–173.
[3]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 188–195.
[4]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed., trans. Joel
Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 269–305.
[5]
Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–294.
[6]
Christopher Norris, Derrida (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1987), 22–45.
3.
Dekonstruksi: Akar Pemikiran dan Fondasi
Teoretis
Dekonstruksi sebagai
pendekatan filosofis dan strategi pembacaan tidak dapat dilepaskan dari karya
dan pemikiran Jacques Derrida (1930–2004), seorang filsuf Prancis yang lahir
dari tradisi fenomenologi dan strukturalisme, tetapi kemudian melampauinya
melalui pembacaan kritis yang radikal. Derrida memperkenalkan istilah
“dekonstruksi” dalam karya monumentalnya De la grammatologie (Of
Grammatology, 1967), di mana ia menantang seluruh bangunan filsafat
Barat yang ia anggap terjebak dalam logocentrisme, yakni kepercayaan
akan kehadiran langsung makna melalui logos, nalar, atau kata-kata yang diklaim
sebagai pusat kebenaran1.
Dekonstruksi
bukanlah destruksi atau pembongkaran destruktif, tetapi merupakan strategi pembacaan
yang bertujuan mengungkap ketegangan, paradoks, dan kontradiksi yang
tersembunyi dalam teks. Strategi ini dilandasi oleh keyakinan bahwa setiap
teks, betapapun tampaknya koheren, menyimpan perpecahan internal yang tak dapat
dipersatukan secara total. Derrida menyebut bahwa teks adalah struktur yang
bersifat “autoimun”, dalam arti bahwa ia mengandung benih kehancurannya
sendiri melalui instabilitas maknanya2.
Dekonstruksi muncul
dari kritik terhadap strukturalisme linguistik yang berpuncak pada pandangan
Ferdinand de Saussure tentang tanda bahasa sebagai sistem yang terdiri dari penanda
(signifier) dan petanda (signified). Derrida
menerima struktur relasional ini, tetapi menambahkan bahwa hubungan antara
penanda dan petanda tidak bersifat tetap. Ia memperkenalkan konsep différance,
sebuah neologisme yang menyiratkan dua makna sekaligus: perbedaan
dan penundaan
makna. Dengan demikian, makna dalam bahasa selalu tertunda (deferred) dan tidak
pernah hadir secara penuh dalam satu kata atau konsep3.
Konsep différance
menggugurkan ilusi bahwa teks dapat memiliki satu makna definitif yang
ditentukan oleh pengarang. Dalam pandangan Derrida, makna adalah hasil dari jejak
(trace) yang tertinggal dari permainan penanda lain. Oleh sebab itu, teks tidak
memiliki pusat tetap; ia selalu bergerak, terbuka, dan berlaku
secara diferensial, tergantung pada konteks pembacaan dan interaksi
tanda-tanda di sekitarnya4.
Fondasi teoretis
dekonstruksi juga bersandar pada kritik Derrida terhadap metafisika
kehadiran (metaphysics of presence), yaitu tradisi panjang dalam
filsafat Barat yang menganggap kehadiran langsung (presentness) sebagai syarat
bagi pengetahuan dan kebenaran. Menurut Derrida, filsafat Barat sejak Plato
hingga Husserl selalu mengutamakan kehadiran, baik dalam bentuk suara, ide,
atau kesadaran, dan menganggap ketidakhadiran (absence), keterlambatan, atau
perbedaan sebagai kekurangan. Melalui dekonstruksi, Derrida membalik hierarki
ini dan menunjukkan bahwa kehadiran itu sendiri bergantung pada ketidakhadiran,
bahwa apa yang tampak utuh justru disusun dari kekosongan yang tersembunyi5.
Dekonstruksi juga
mengambil inspirasi dari Nietzsche dan Heidegger, dua tokoh yang membuka jalan
bagi dekonstruksi melalui kritik mereka terhadap metafisika. Nietzsche dengan
gagasan “kematian Tuhan” dan relativisme nilai menyingkap bahwa tidak
ada fondasi mutlak bagi kebenaran; sedangkan Heidegger, melalui analisis
ontologisnya, menunjukkan bahwa keberadaan itu sendiri selalu ditafsirkan dan
tidak pernah hadir secara langsung dalam kesadaran manusia6.
Dari semua itu,
dekonstruksi berdiri sebagai bentuk pembacaan filosofis yang berupaya mengguncang
stabilitas teks, membongkar oposisi biner (seperti
pengarang/pembaca, makna/teks, kehadiran/ketiadaan), dan menampilkan ketidakhadiran
sebagai kekuatan produktif dalam permainan makna. Ia bukan sekadar
alat kritik sastra, melainkan metode epistemologis dan ontologis yang menantang
seluruh kerangka berpikir logocentris dalam wacana modern.
Footnotes
[1]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 11–15.
[2]
Jacques Derrida, Dissemination, trans. Barbara Johnson
(Chicago: University of Chicago Press, 1981), 4–6.
[3]
Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1982), 1–27.
[4]
Christopher Norris, Derrida (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1987), 29–34.
[5]
John D. Caputo, Radical Hermeneutics: Repetition, Deconstruction,
and the Hermeneutic Project (Bloomington: Indiana University Press, 1987),
10–18.
[6]
Richard Kearney, Dialogues with Contemporary Continental Thinkers:
The Phenomenological Heritage (Manchester: Manchester University Press,
1984), 115–129.
4.
Hermeneutika Dekonstruktif: Prinsip dan
Pendekatan
Hermeneutika dekonstruktif
merupakan bentuk praksis penafsiran yang lahir dari pertemuan antara semangat
hermeneutika kontemporer dengan strategi dekonstruksi yang dikembangkan oleh
Jacques Derrida. Pendekatan ini tidak sekadar mencari makna dalam teks,
melainkan menyelidiki bagaimana teks itu sendiri secara internal mengganggu
atau menegasikan klaim koherensi dan stabilitas makna yang dikandungnya.
Sebagai bentuk pembacaan kritis, hermeneutika dekonstruktif tidak bertujuan
menetapkan makna definitif, melainkan membuka ruang bagi pluralitas interpretasi dan
menunjukkan kondisi keterbukaan makna sebagai sifat inheren dalam teks itu
sendiri1.
4.1.
Penolakan terhadap
Makna Final
Prinsip utama
hermeneutika dekonstruktif adalah ketidakmungkinan penutupan makna.
Tidak ada satu makna final yang dapat dipulihkan melalui pembacaan, karena teks
selalu melampaui dirinya sendiri. Dalam istilah Derrida, makna bersifat
tertunda dan bergeser terus-menerus melalui mekanisme différance,
sehingga setiap usaha penafsiran hanya akan menghasilkan pelapisan makna baru
yang terus bergerak2. Penafsiran dalam dekonstruksi bukan merupakan
proses menemukan kebenaran laten, tetapi eksplorasi terhadap jejak-jejak
makna yang hadir dalam ketidakhadirannya.
4.2.
Ketaksadaran Teks
dan Aporia
Hermeneutika
dekonstruktif juga menekankan pentingnya ketaksadaran teks (unconscious of
the text)—yaitu elemen-elemen yang tidak disadari atau tidak dimaksudkan oleh
penulis, tetapi muncul sebagai implikasi struktural dari bahasa itu sendiri3.
Unsur-unsur ini seringkali hadir dalam bentuk kontradiksi, celah logis, atau
ambiguitas yang tak terhindarkan. Dalam dekonstruksi, kontradiksi ini disebut aporia—titik-titik
dalam teks di mana makna menjadi tidak konsisten, tidak terpecahkan, atau
bahkan saling menegasikan. Justru pada titik-titik aporia inilah dekonstruksi
bekerja, menunjukkan bahwa struktur teks mengandung keretakan internal yang
tidak dapat direduksi oleh penafsiran konvensional4.
4.3.
Pergeseran Otoritas
dari Pengarang ke Pembaca
Hermeneutika klasik
dan modern masih cenderung mempertahankan kepercayaan terhadap intensi atau
horizon pengarang sebagai acuan pemahaman. Namun dalam pendekatan
dekonstruktif, pengarang tidak lagi memiliki otoritas tunggal
atas makna. Roland Barthes, dalam artikelnya “The Death of the
Author”, menyatakan bahwa teks tidak dimiliki oleh siapa pun, dan makna
muncul dalam pertemuan antara teks dan pembaca5. Hermeneutika
dekonstruktif melanjutkan prinsip ini dengan lebih jauh menolak struktur
hierarkis antara pengarang dan pembaca, serta menyamakan pembacaan dengan tindakan
penciptaan ulang yang bersifat terbuka dan subversif terhadap norma-norma
interpretatif.
4.4.
Permainan Penanda
(Play of Signifiers)
Makna dalam
hermeneutika dekonstruktif bukan hasil dari korelasi antara penanda (signifier)
dan petanda (signified), melainkan hasil dari pergerakan tak berujung dalam
jaringan penanda. Setiap kata hanya memperoleh maknanya melalui
perbedaan dari kata-kata lain, sehingga ia selalu dalam posisi yang tidak
tetap. Ini menyebabkan makna bersifat sementara, tersusun dalam medan perbedaan
yang disebut Derrida sebagai tekstualitas radikal6.
Pembacaan dekonstruktif mengamati bagaimana teks terus-menerus memproduksi dan
menganulir makna dalam dinamika tanda yang tak selesai.
4.5.
Etika Pembacaan dan
Kritik Ideologi
Hermeneutika
dekonstruktif juga mengandung dimensi etis dan politis dalam
praktik penafsirannya. Karena makna bersifat tidak final, maka setiap klaim
tentang kebenaran makna mengandung potensi kekerasan simbolik terhadap interpretasi
lain. Dengan menyuarakan yang termarjinalkan dan menunjukkan struktur eksklusi
dalam teks (termasuk wacana dominan), pendekatan ini menjadi
alat kritik terhadap kekuasaan dan ideologi yang bersembunyi di
balik representasi teks7. Oleh karena itu, hermeneutika
dekonstruktif tidak hanya bekerja pada level teoretis, tetapi juga sebagai
praktik pembebasan interpretatif.
Footnotes
[1]
John D. Caputo, Radical Hermeneutics: Repetition, Deconstruction,
and the Hermeneutic Project (Bloomington: Indiana University Press, 1987),
31–38.
[2]
Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1982), 1–27.
[3]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Marxism
and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg
(Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.
[4]
Jacques Derrida, Aporias, trans. Thomas Dutoit (Stanford:
Stanford University Press, 1993), 12–24.
[5]
Roland Barthes, “The Death of the Author,” in Image, Music, Text,
trans. Stephen Heath (New York: Hill and Wang, 1977), 142–148.
[6]
Christopher Norris, Deconstruction: Theory and Practice
(London: Routledge, 1991), 32–36.
[7]
Nicholas Royle, Jacques Derrida (London: Routledge, 2003),
104–109.
5.
Perbandingan: Hermeneutika Klasik, Modern, dan
Dekonstruktif
Hermeneutika sebagai
suatu medan filsafat dan metode penafsiran mengalami perkembangan historis dan
konseptual yang kompleks. Dari pendekatan klasik yang bersifat
rekonstruktif, ke arah modern yang eksistensial dan
dialogis, hingga pendekatan dekonstruktif yang subversif
terhadap konsep makna itu sendiri. Masing-masing pendekatan menandai pergeseran
paradigma yang signifikan dalam memahami teks, subjek, dan relasi makna.
5.1.
Hermeneutika Klasik:
Niat Pengarang dan Pemulihan Makna
Hermeneutika klasik,
seperti yang dikembangkan oleh Friedrich Schleiermacher dan Wilhelm
Dilthey, berupaya memahami teks melalui pemulihan maksud
pengarang dan konteks historisnya. Schleiermacher menekankan dua aspek utama: pemahaman
gramatikal (struktur bahasa teks) dan pemahaman psikologis (intensi pengarang),
yang bersama-sama memungkinkan rekonstruksi makna otentik1.
Bagi Dilthey, pemahaman adalah proses Verstehen, yakni penelusuran
kembali “pengalaman hidup” pengarang dalam konteks historis-budaya2.
Ciri khas
hermeneutika klasik adalah kepercayaan pada stabilitas makna,
keutuhan teks, dan otoritas pengarang sebagai sumber utama pengertian.
Penafsiran dianggap berhasil jika mampu mereproduksi secara akurat makna yang
dimaksudkan oleh pengarang asli.
5.2.
Hermeneutika Modern:
Subjek, Dialog, dan Tradisi
Perkembangan
hermeneutika memasuki tahap baru dalam pemikiran Martin
Heidegger dan Hans-Georg Gadamer, yang
menekankan bahwa pemahaman adalah bagian dari struktur eksistensial manusia
(Dasein). Heidegger menunjukkan bahwa manusia selalu “sudah berada di dunia”
dan menafsirkan dunia dari horizon keberadaannya. Dengan demikian, pemahaman
bukanlah reproduksi makna, melainkan pengungkapan eksistensial dari
keterlemparan dan keterlibatan manusia di dalam dunia3.
Sementara itu,
Gadamer menekankan aspek dialogis dalam pemahaman. Ia
menolak kemungkinan adanya objektivitas atau rekonstruksi makna final. Dalam Truth
and Method, ia memperkenalkan konsep fusi horizon
(Horizontverschmelzung), yakni pertemuan antara horizon teks (tradisi masa
lalu) dan horizon pembaca (pengalaman kini) yang menghasilkan pemahaman baru
melalui dialog4.
Berbeda dari
hermeneutika klasik, pendekatan modern mengakui keterlibatan subjek, pentingnya
pra-anggapan, dan keterbatasan historis dalam proses memahami. Namun, ia masih
mempertahankan bahwa pemahaman dapat dicapai dalam kerangka keterbukaan dan
penggabungan horizon-horizon yang berbeda.
5.3.
Hermeneutika
Dekonstruktif: Pembongkaran Struktur Makna
Hermeneutika
dekonstruktif menandai pemutusan radikal dari dua
pendekatan sebelumnya. Dipengaruhi oleh poststrukturalisme dan kritik Derrida
terhadap logocentrisme, pendekatan ini menolak asumsi bahwa makna dapat dihadirkan
secara utuh baik melalui rekonstruksi pengarang maupun dialog
historis5. Dekonstruksi memandang teks sebagai medan perbedaan
dan penundaan makna (différance), yang tidak dapat dipusatkan atau
ditutup oleh satu penafsiran tunggal6.
Tidak ada horizon
tunggal, tidak ada makna koheren, dan tidak ada struktur yang stabil. Teks,
dalam pandangan dekonstruktif, selalu mengandung aporia—titik-titik kontradiksi
yang menyabotase klaim makna yang definitif. Alih-alih “memahami” dalam
pengertian konvensional, hermeneutika dekonstruktif mendorong pembacaan
ulang secara kritis, membongkar oposisi-oposisi biner, dan
mengekspos mekanisme eksklusi dalam bahasa.
Perbedaan paling
mencolok antara dekonstruksi dan hermeneutika klasik atau modern terletak pada sikap
terhadap kehadiran dan makna. Jika Schleiermacher dan Gadamer
masih berpegang pada potensi pengertian, maka Derrida menegaskan bahwa
pengertian selalu tertunda, dan makna tidak pernah hadir secara penuh dalam
teks7.
Perbandingan Hermeneutika Klasik, Modern, dan Dekonstruktif
1)
Fokus Penafsiran:
Hermeneutika Klasik: Menekankan
pada usaha mengungkap dan merekonstruksi niat pengarang sebagai sumber
makna utama dalam teks.
Hermeneutika Modern:
Mengarahkan perhatian pada dialog antara horizon pembaca dan horizon
tradisi/teks, sehingga makna adalah hasil pertemuan historis yang dinamis.
Hermeneutika Dekonstruktif: Tidak mencari pusat makna, tetapi fokus pada ketidakhadiran,
pergeseran, dan kontradiksi internal (aporia) dalam teks.
2)
Tujuan Pemahaman:
Klasik: Bertujuan
untuk mengembalikan makna otentik sebagaimana dimaksudkan oleh
pengarang.
Modern: Bertujuan
untuk menghasilkan pemahaman baru melalui fusi horizon dalam
proses dialogis antara pembaca dan teks.
Dekonstruktif: Bertujuan
untuk membongkar oposisi biner, membuka pluralitas interpretasi, dan menunjukkan
retakan makna.
3)
Pandangan tentang Teks:
Klasik: Memandang
teks sebagai entitas koheren dan stabil, yang menyimpan makna tetap.
Modern: Melihat
teks sebagai entitas terbuka yang dapat berinteraksi dengan berbagai
konteks historis dan eksistensial.
Dekonstruktif: Menganggap
teks sebagai medan permainan penanda yang retak secara internal
dan tidak memiliki pusat tetap.
4)
Peran Pembaca:
Klasik: Pembaca
berperan reseptif dan pasif, dengan tugas memahami maksud pengarang.
Modern: Pembaca
dipandang sebagai subjek aktif dan partisipatif dalam proses pemahaman.
Dekonstruktif: Pembaca
mengambil posisi subversif dan kritis, bahkan menciptakan kembali
makna melalui pembacaan dekonstruktif.
5)
Sikap terhadap Makna:
Klasik: Menganggap
bahwa makna bersifat final dan dapat dipulihkan dengan benar melalui
metode yang tepat.
Modern: Meyakini
bahwa makna dapat dicapai meskipun bersifat kontekstual dan terbuka
terhadap perubahan.
Dekonstruktif: Menegaskan
bahwa makna tidak pernah final, selalu tertunda (deferred), dan
terus-menerus mengalami pergeseran diferensial.
Footnotes
[1]
Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, ed.
Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 22–25.
[2]
Wilhelm Dilthey, Selected Works, Volume IV: Hermeneutics and the
Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton:
Princeton University Press, 1996), 162–173.
[3]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 188–195.
[4]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed., trans. Joel
Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 269–305.
[5]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 158–164.
[6]
Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1982), 3–27.
[7]
John D. Caputo, Radical Hermeneutics: Repetition, Deconstruction,
and the Hermeneutic Project (Bloomington: Indiana University Press, 1987),
39–50.
6.
Studi Kasus: Penerapan Hermeneutika
Dekonstruktif
Hermeneutika
dekonstruktif sebagai praktik tafsir tidak hanya hadir dalam tataran teoritis,
tetapi juga sangat aplikatif dalam pembacaan teks filsafat, sastra, maupun
keagamaan. Penerapan metode ini memungkinkan pengungkapan makna-makna yang
tersembunyi, terpinggirkan, bahkan berlawanan dengan struktur wacana dominan
dalam teks. Berikut adalah tiga contoh studi kasus yang menunjukkan bagaimana
pendekatan dekonstruktif dapat diterapkan dalam analisis teks:
6.1.
Dekonstruksi Teks
Filsafat: Rousseau dalam Of Grammatology
Dalam Of
Grammatology, Derrida menerapkan dekonstruksi terhadap teks Essay on
the Origin of Languages karya Jean-Jacques Rousseau. Rousseau
membedakan antara tulisan (écriture) dan suara (parole), dan menempatkan suara
sebagai bentuk komunikasi yang lebih “alami” dan “otentik”.
Derrida membongkar hierarki ini dan menunjukkan bahwa tulisan bukan sekadar
pelengkap dari suara, melainkan selalu hadir dalam bahasa melalui sistem tanda
yang tidak dapat direduksi pada kehadiran langsung1.
Derrida menyoroti
bagaimana Rousseau secara tidak sadar menyelipkan peran utama tulisan
dalam argumen yang ia sendiri ingin subordinasikan. Ini menunjukkan bahwa teks
Rousseau mengandung ketegangan internal antara niat eksplisit
(menyubordinasikan tulisan) dan logika implisit (yang mengandalkan sistem
écriture untuk mengartikulasikan pemikirannya)2. Inilah
contoh bagaimana dekonstruksi bekerja: mengidentifikasi aporia dalam teks dan
menyingkap jejak-jejak makna yang menyangkal klaim utamanya.
6.2.
Pembacaan
Dekonstruktif terhadap Teks Sastra: Heart of Darkness oleh Joseph Conrad
Novel Heart of
Darkness sering dibaca sebagai kritik terhadap kolonialisme. Namun,
melalui pembacaan dekonstruktif, seperti yang dilakukan oleh Paul B. Armstrong,
teks ini ternyata tidak hanya menyuarakan perlawanan terhadap kolonialisme,
tetapi juga menyimpan ambivalensi ideologis yang
memperkuat stereotip kolonial3. Misalnya, narasi
Marlow—tokoh utama—berulang kali menyampaikan keraguan terhadap imperialisme,
namun secara struktural tetap mereproduksi dikotomi antara "barat-beradab"
dan "timur-primordial".
Dekonstruksi dalam
konteks ini tidak mencari pesan moral eksplisit dari teks, melainkan menelusuri
ketegangan naratif, pengulangan paradoksal, dan keretakan identitas
tokoh. Dengan demikian, Heart of Darkness dibaca bukan
hanya sebagai teks kritik, tetapi juga sebagai medan konflik diskursif antara
kolonialisme dan ketidakmampuannya melampaui struktur rasial yang menopangnya4.
6.3.
Tafsir Dekonstruktif
atas Teks Keagamaan: Kisah Pengorbanan Ibrahim
Studi dekonstruktif
atas teks keagamaan, seperti kisah pengorbanan Ibrahim (Abraham) dalam tradisi
Yahudi, Kristen, dan Islam, telah dilakukan oleh Derrida dalam esai The Gift
of Death. Ia menafsirkan perintah Tuhan kepada Abraham untuk
mengorbankan anaknya sebagai bentuk tanggapan terhadap ketakterhinggaan
yang tidak bisa dijelaskan secara moral rasional5. Derrida
membongkar bagaimana tradisi tafsir religius sering kali menyamarkan dimensi
etis dan eksistensial dari pengalaman keagamaan yang penuh paradoks.
Derrida menekankan
bahwa tindakan Abraham adalah bentuk tanggapan terhadap rahasia ilahi,
yang tak bisa direduksi pada kategori etik universal à la Kant. Tafsir
dekonstruktif terhadap kisah ini mengungkap bahwa makna religius tidak terletak
dalam normativitasnya, tetapi dalam keberadaannya sebagai jejak dari tanggung jawab
yang tidak dapat dijelaskan dan tidak dapat dipahami secara penuh6.
Implikasi dari Studi Kasus
Melalui ketiga
contoh di atas, tampak bahwa hermeneutika dekonstruktif:
·
Tidak bertujuan menyusun
tafsir tunggal yang definitif;
·
Lebih tertarik pada ketidakkonsistenan
internal, jejak-jejak ketidakhadiran, dan oposisi biner dalam teks;
·
Membuka ruang bagi interpretasi
alternatif, kritis, dan non-dogmatis, baik dalam teks
sekuler maupun religius;
·
Mengingatkan bahwa setiap
klaim makna selalu merupakan hasil dari konfigurasi kekuasaan dan struktur
bahasa.
Penerapan pendekatan
ini mendorong pembaca untuk lebih peka terhadap potensi ketaksadaran
struktural teks, dan mengembangkan etika membaca yang menolak
simplifikasi makna demi keterbukaan interpretatif yang terus berlangsung.
Footnotes
[1]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 101–140.
[2]
Jonathan Culler, On Deconstruction: Theory and Criticism after
Structuralism (Ithaca: Cornell University Press, 1982), 91–98.
[3]
Paul B. Armstrong, “Reading Heart of Darkness: An Introduction
to the Problems of Interpretation,” MLN 99, no. 5 (1984): 1120–1141.
[4]
Benita Parry, “Problems in Current Theories of Colonial Discourse,” Oxford
Literary Review 9, no. 1–2 (1987): 27–58.
[5]
Jacques Derrida, The Gift of Death, trans. David Wills
(Chicago: University of Chicago Press, 1995), 54–70.
[6]
John D. Caputo, The Prayers and Tears of Jacques Derrida: Religion
without Religion (Bloomington: Indiana University Press, 1997), 86–94.
7.
Implikasi Epistemologis dan Etis
Pendekatan
hermeneutika dekonstruktif, dengan seluruh kompleksitas dan subversivitasnya
terhadap tradisi filsafat Barat, memberikan implikasi yang luas dalam dua
dimensi fundamental filsafat: epistemologi (teori pengetahuan) dan etika
(filsafat moral). Alih-alih merusak landasan berpikir, pendekatan ini justru
menawarkan bentuk kewaspadaan baru terhadap asal-usul makna dan tanggung jawab
dalam menafsirkan dunia, teks, dan liyan.
7.1.
Implikasi
Epistemologis: Krisis Otoritas dan Pluralitas Kebenaran
Secara
epistemologis, hermeneutika dekonstruktif mengguncang asumsi-asumsi dasar
tentang objektivitas, representasi, dan validitas pengetahuan. Dalam kerangka
pemikiran Derrida, tidak ada akses langsung terhadap “realitas” atau makna yang
independen dari bahasa. Semua bentuk pemahaman selalu dimediasi oleh jejak
(trace) dari penanda lain, dan karena itu, setiap pengetahuan bersifat
sementara, tidak lengkap, dan terus-terbuka1.
Dengan demikian,
klaim-klaim epistemik yang didasarkan pada konsensus rasional, kejelasan logis,
atau autentisitas intensi menjadi relatif. Tidak ada otoritas tunggal dalam
menentukan makna suatu teks atau peristiwa. Sebaliknya, pengetahuan menjadi arena
tafsir yang terbuka, di mana perbedaan, kontradiksi, dan ambiguitas
harus diterima sebagai bagian dari struktur dasar makna2.
Konsekuensi dari hal
ini adalah penolakan terhadap metanarasi, atau narasi besar yang
mengklaim legitimasi universal, seperti rasionalisme Cartesian, humanisme
liberal, atau logos teologis. Derrida memperingatkan bahwa setiap sistem pemahaman
selalu mengandung eksklusi epistemik, yaitu apa yang
harus disingkirkan demi menjaga koherensi dan kehadiran suatu makna3.
Oleh karena itu, epistemologi dekonstruktif bukan tentang membangun sistem
baru, tetapi tentang menjaga keterbukaan dan kesadaran terhadap
batas dari sistem-sistem pengetahuan itu sendiri.
7.2.
Implikasi Etis:
Etika Ketidakhadiran dan Tanggung Jawab terhadap Yang Lain
Di balik kritiknya
yang radikal terhadap struktur makna, hermeneutika dekonstruktif justru
menawarkan dimensi etika yang sangat mendalam. Etika dalam kerangka ini tidak
didasarkan pada norma atau hukum moral yang mapan, melainkan pada kesadaran
terhadap tanggapan
terhadap yang tak dapat dihadirkan sepenuhnya—yaitu tanggung jawab
terhadap yang lain (the Other), yang selalu melampaui sistem kategorisasi
rasional dan normatif4.
Dalam The Gift
of Death, Derrida menekankan bahwa tanggung jawab sejati justru
muncul ketika kita tidak dapat membenarkan tindakan kita melalui
prinsip-prinsip moral universal. Artinya, etika tidak dimulai dari kepastian, tetapi dari
keterguncangan, dari pengalaman menghadapi yang tidak
terdefinisikan secara total5. Hal ini sejalan dengan
pemikiran Emmanuel Levinas, yang berpengaruh terhadap Derrida, bahwa etika
adalah relasi
asimetris dengan yang lain, yang tidak dapat dikurangi menjadi
kalkulasi rasional atau kontrak sosial6.
Etika dekonstruktif
menghindari posisi moralistik. Ia menuntut kerendahan hati epistemik dan kesiapsediaan
untuk mendengarkan yang terpinggirkan, yang sering kali diabaikan
oleh struktur narasi dominan. Dengan demikian, pembacaan dekonstruktif tidak
netral: ia bersifat kritis terhadap kekuasaan dan membela
keterbukaan terhadap kemungkinan lain, terutama terhadap
suara-suara yang disilakan diam atau disingkirkan.
7.3.
Kesadaran
Hermeneutik Baru: Membaca sebagai Tindakan Etis
Dalam kerangka ini,
pembacaan bukan lagi aktivitas akademik yang netral, melainkan tindakan
etis. Membaca secara dekonstruktif berarti memasuki ketegangan
antara pemahaman dan ketidaktahuan, antara pemaparan dan penyembunyian. John D.
Caputo menyebutnya sebagai bentuk “hermeneutika radikal” di mana
pembacaan dilakukan dalam kesadaran akan retakan makna, namun tanpa menyerah
pada relativisme nihilistik7.
Etika dalam
hermeneutika dekonstruktif bukanlah sistem yang tertutup, melainkan praktik
keterbukaan, ketelitian, dan tanggung jawab yang tak selesai. Ini berarti bahwa
penafsir yang etis adalah ia yang terus bersedia mempertanyakan pemahamannya
sendiri, dan yang sadar bahwa setiap pemaknaan selalu melibatkan potensi
kekerasan simbolik terhadap makna lain.
Footnotes
[1]
Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1982), 3–27.
[2]
Jonathan Culler, On Deconstruction: Theory and Criticism after
Structuralism (Ithaca: Cornell University Press, 1982), 86–102.
[3]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Subaltern Studies: Deconstructing
Historiography,” in Selected Subaltern Studies, ed. Ranajit Guha and
Gayatri Spivak (Oxford: Oxford University Press, 1988), 3–32.
[4]
Jacques Derrida, Adieu to Emmanuel Levinas, trans.
Pascale-Anne Brault and Michael Naas (Stanford: Stanford University Press,
1999), 26–31.
[5]
Jacques Derrida, The Gift of Death, trans. David Wills
(Chicago: University of Chicago Press, 1995), 53–70.
[6]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 194–215.
[7]
John D. Caputo, Radical Hermeneutics: Repetition, Deconstruction,
and the Hermeneutic Project (Bloomington: Indiana University Press, 1987),
46–59.
8.
Respons dan Kritik terhadap Hermeneutika
Dekonstruktif
Hermeneutika
dekonstruktif yang dipelopori oleh Jacques Derrida telah memicu perdebatan luas
dalam ranah filsafat, teori sastra, teologi, dan kajian budaya. Pendekatan ini
dianggap radikal karena mengguncang fondasi-fondasi utama dari praktik
penafsiran tradisional: stabilitas makna, intensi pengarang, serta kepastian
epistemik. Meskipun banyak diapresiasi karena menawarkan pembacaan yang lebih
kritis dan terbuka terhadap pluralitas makna, hermeneutika dekonstruktif juga
menuai sejumlah kritik serius dari berbagai kalangan pemikir, baik yang
bersikap konservatif maupun progresif.
8.1.
Tuduhan Relativisme
dan Nihilisme
Salah satu kritik
paling umum terhadap dekonstruksi adalah tuduhan bahwa pendekatan ini mengarah
pada relativisme
radikal, bahkan nihilisme epistemik. Karena
menolak kemungkinan makna final dan menganggap bahwa setiap makna bersifat
tertunda (différance),
dekonstruksi dianggap menghapus dasar bagi kebenaran, nilai, dan koherensi
interpretatif. Dalam pandangan Jürgen Habermas, misalnya,
pendekatan post-strukturalis seperti Derrida gagal membangun landasan normatif
yang diperlukan bagi komunikasi rasional dalam ruang publik1.
Habermas menilai
bahwa dekonstruksi, dengan menolak klaim validitas universal, justru melemahkan
kapasitas kritik sosial itu sendiri. Tanpa acuan nilai bersama, klaim
emansipatoris kehilangan bobot etis dan politis. Kritik ini diperkuat oleh Richard
Rorty, yang meskipun simpatik terhadap postmodernisme, menilai
bahwa pendekatan dekonstruktif sering kali terjebak dalam permainan teks yang
menjauh dari urgensi praksis historis2.
8.2.
Kritik dari
Hermeneutika Filosofis
Hermeneutika
dekonstruktif juga dikritik oleh tokoh-tokoh hermeneutika modern seperti Hans-Georg
Gadamer. Dalam dialog publik dengan Derrida di Paris pada 1981,
Gadamer menilai bahwa dekonstruksi terlalu menekankan aspek negatif
dari bahasa dan tidak memberikan tempat bagi kemungkinan pemahaman
dialogis yang konstruktif3. Bagi
Gadamer, bahasa adalah medium pengungkapan kebenaran dalam hubungan historis
yang dinamis, sedangkan dekonstruksi lebih menekankan keterpecahan dan ambiguitas
hingga mengabaikan peluang komunikasi makna.
Kritik Gadamer juga
mencerminkan kekhawatiran bahwa dekonstruksi dapat melemahkan aspek kepercayaan
dan penghayatan
dalam relasi antara pembaca dan teks. Jika semua makna dianggap tertunda dan
retak, maka tidak ada dasar bagi pemahaman yang bertanggung jawab dalam ruang
sosial maupun kultural.
8.3.
Kritik dari Tradisi
Analitik dan Ilmu Pengetahuan
Dari tradisi
filsafat analitik, respons terhadap dekonstruksi biasanya sangat keras. Filsuf
seperti John Searle secara terbuka
mengkritik Derrida dalam polemik yang terkenal terkait dengan teori tindak
tutur (speech
act theory). Searle menuduh bahwa tulisan Derrida tidak hanya tidak
jelas secara metodologis, tetapi juga tidak memiliki konsistensi argumentatif
yang dapat diuji melalui logika filosofis standar4.
Bagi para pemikir
analitik, klaim dekonstruktif sulit untuk diverifikasi dan cenderung
menggunakan bahasa yang gelap dan elusif. Ini dianggap bertentangan dengan
prinsip klarifikasi makna dan logika formal yang menjadi dasar dari filsafat
analitik kontemporer. Oleh karena itu, dekonstruksi kerap dicurigai sebagai
bentuk sofistikasi retoris yang tidak produktif secara ilmiah.
8.4.
Apresiasi Kritis dan
Pembelaan Terhadap Dekonstruksi
Meskipun demikian,
banyak cendekiawan membela pendekatan dekonstruktif sebagai bentuk penguatan
terhadap kepekaan kritis dalam membaca teks dan realitas sosial. John D.
Caputo, misalnya, menyebut dekonstruksi sebagai “hermeneutika
radikal” yang membebaskan kita dari tirani sistem makna tunggal dan
membuka ruang bagi tanggung jawab etis terhadap “yang lain”5.
Dekonstruksi tidak
harus dipahami sebagai penolakan terhadap makna atau kebenaran, melainkan
sebagai perlawanan
terhadap klaim dominasi atas makna. Dengan menolak totalitas,
dekonstruksi menjaga agar interpretasi tetap terbuka dan tidak diserap ke dalam
sistem yang menindas.
Selain itu,
pendekatan ini juga memberikan kontribusi besar dalam studi gender, postkolonialisme,
dan kritik ideologi. Para pemikir seperti Gayatri Spivak dan Homi
Bhabha memanfaatkan prinsip dekonstruksi untuk menyingkap
mekanisme kolonialisme dan patriarki yang terselubung dalam wacana budaya
dominan6.
8.5.
Tantangan
Kontemporer: Antara Permainan dan Tanggung Jawab
Kritik-kritik
tersebut menunjukkan bahwa tantangan utama bagi hermeneutika dekonstruktif di
era kontemporer adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara permainan teks dan tanggung
jawab interpretatif. Jika pendekatan ini ingin tetap relevan dalam
ruang akademik maupun publik, maka ia harus menunjukkan bahwa dekonstruksi
bukan hanya permainan intelektual, tetapi praktik kritis yang berakar pada etika
keterbukaan dan kepekaan terhadap yang termarjinalkan.
Dengan kata lain,
relevansi dekonstruksi diukur bukan dari kemampuannya menggugat, tetapi dari
kemampuannya menghidupkan ruang-ruang baru bagi dialog, refleksi, dan keadilan
epistemik.
Footnotes
[1]
Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity: Twelve
Lectures, trans. Frederick G. Lawrence (Cambridge, MA: MIT Press, 1987),
161–175.
[2]
Richard Rorty, Consequences of Pragmatism: Essays 1972–1980
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1982), 161–166.
[3]
Hans-Georg Gadamer dan Jacques Derrida, “Text and Interpretation,” trans.
Diane Michelfelder and Richard Palmer, Philosophy Today 26, no. 2
(1982): 107–128.
[4]
John R. Searle, “Reiterating the Differences: A Reply to Derrida,” in Glyph
1 (1977): 198–208.
[5]
John D. Caputo, Radical Hermeneutics: Repetition, Deconstruction,
and the Hermeneutic Project (Bloomington: Indiana University Press, 1987),
1–15.
[6]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Marxism
and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg
(Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.
9.
Relevansi Kontemporer dan Prospek Kajian
Hermeneutika Dekonstruktif
Dalam konteks
intelektual dan sosial abad ke-21 yang ditandai oleh krisis representasi,
fragmentasi identitas, serta pluralitas epistemik, pendekatan hermeneutika
dekonstruktif memperoleh relevansi yang semakin kuat. Pendekatan ini tidak
hanya menjadi medan kritik terhadap wacana dominan, tetapi juga berfungsi
sebagai alat
konseptual untuk mengurai kekuasaan yang bekerja secara halus dalam bahasa,
institusi, dan struktur pengetahuan.
9.1.
Relevansi dalam Era
Post-Truth dan Disinformasi
Kemunculan era post-truth,
di mana emosi dan opini subjektif lebih mempengaruhi opini publik daripada
fakta objektif, menantang paradigma lama tentang otoritas makna dan keabsahan
pengetahuan. Dalam lanskap semacam ini, hermeneutika dekonstruktif memainkan
peran penting sebagai pendekatan yang tidak menerima begitu saja klaim-klaim
makna dan kebenaran, melainkan membongkarnya secara kritis dan historis1.
Dekonstruksi, dengan
menyoroti bagaimana makna dibentuk oleh oposisi biner dan eksklusi simbolik,
dapat membantu menganalisis narasi-narasi dominan dalam politik, media, dan
budaya yang sering kali menyembunyikan bias ideologis di balik klaim netralitas
atau rasionalitas2.
9.2.
Kontribusi terhadap
Kajian Interdisipliner: Sastra, Gender, dan Poskolonialisme
Hermeneutika
dekonstruktif juga memiliki kontribusi besar dalam bidang kajian
interdisipliner. Dalam kajian sastra, pendekatan ini memungkinkan pembacaan
teks yang menggali ambiguitas, kekosongan, dan aporia,
sehingga memperkaya pemahaman akan dinamika wacana dalam narasi fiksi maupun nonfiksi3.
Dalam ranah kajian
gender dan poskolonialisme, pemikir seperti Gayatri Spivak dan Homi K.
Bhabha mengadaptasi prinsip dekonstruksi untuk mengungkap
cara-cara representasi kolonial dan patriarkal bekerja dalam bahasa dan
struktur budaya. Dekonstruksi membantu membongkar narasi pusat yang
menyingkirkan “yang lain”—seperti perempuan, masyarakat adat, atau
subjek-subjek subaltern—dari wacana modernitas Barat4.
9.3.
Prospek dalam
Teologi dan Studi Agama
Dalam teologi
kontemporer, pendekatan dekonstruktif telah membuka jalur baru bagi pembacaan
teks suci. John D. Caputo, misalnya,
menggunakan dekonstruksi dalam apa yang ia sebut sebagai “teologi
tanpa agama”, yang membuka ruang untuk pengalaman religius tanpa
terikat pada dogma atau otoritas institusional5. Di
sini, teks-teks keagamaan tidak dilihat sebagai sumber kebenaran mutlak,
melainkan sebagai medan tafsir yang memanggil tanggung jawab etis dari
pembacanya.
Dekonstruksi dalam
teologi juga berfungsi untuk menginterogasi struktur kuasa yang membentuk
otoritas tafsir, dan memberi perhatian pada dimensi ketidakhadiran
serta misteri dalam pengalaman keimanan. Dengan demikian, pendekatan ini
menghadirkan spiritualitas yang dekonstruktif:
tidak dogmatis, tetapi tetap penuh komitmen etis terhadap yang lain dan yang
ilahi6.
9.4.
Masa Depan Kajian
Hermeneutika Dekonstruktif: Antara Pembaruan dan Kritik
Ke depan, prospek
kajian hermeneutika dekonstruktif akan bergantung pada kemampuannya
untuk beradaptasi dengan tantangan kontemporer tanpa kehilangan kekuatan kritisnya.
Beberapa tantangan penting mencakup:
·
Bagaimana mempertahankan
kritik terhadap totalisasi makna tanpa terjerumus ke dalam nihilisme;
·
Bagaimana menerjemahkan
prinsip dekonstruksi ke dalam praktik sosial, pendidikan, dan transformasi
budaya konkret;
·
Bagaimana menjaga
keterbukaan tafsir sambil tetap mengupayakan ruang komunikasi yang etis dan
bertanggung jawab.
Dalam hal ini, kerja
para pemikir seperti Nicholas Royle dan Christopher
Norris menunjukkan bahwa dekonstruksi tidak harus dimaknai
sebagai penolakan terhadap makna, melainkan sebagai cara membaca
yang penuh kesadaran terhadap kompleksitas dan keterbatasan struktur makna
itu sendiri7.
Kesimpulan Sementara
Dekonstruksi, dalam
dimensi hermeneutikanya, tetap menjadi pendekatan yang sangat diperlukan di
tengah dunia yang penuh penafsiran, konflik wacana, dan krisis representasi. Ia
bukan metode untuk menemukan makna tunggal, tetapi cara untuk menjaga agar makna tidak menjadi
alat kekuasaan yang menindas. Dalam dunia yang semakin kompleks,
hermeneutika dekonstruktif mengajarkan kita untuk membaca dengan kerendahan
hati epistemik, kewaspadaan etis, dan keterbukaan interpretatif yang
berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Jacques Derrida, Limited Inc, trans. Samuel Weber and Jeffrey
Mehlman (Evanston: Northwestern University Press, 1988), 29–35.
[2]
Christopher Norris, Deconstruction: Theory and Practice
(London: Routledge, 1991), 65–72.
[3]
Jonathan Culler, On Deconstruction: Theory and Criticism after
Structuralism (Ithaca: Cornell University Press, 1982), 119–134.
[4]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Marxism
and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg
(Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.
[5]
John D. Caputo, The Weakness of God: A Theology of the Event
(Bloomington: Indiana University Press, 2006), 9–14.
[6]
Mark C. Taylor, Erring: A Postmodern A/theology (Chicago:
University of Chicago Press, 1984), 112–120.
[7]
Nicholas Royle, Jacques Derrida (London: Routledge, 2003),
122–130.
10.
Simpulan
Hermeneutika
dekonstruktif, sebagaimana dirumuskan dan dikembangkan oleh Jacques Derrida,
menandai pergeseran radikal dalam tradisi penafsiran filosofis Barat. Berbeda
dengan hermeneutika klasik yang mencari makna dalam intensi pengarang, dan
hermeneutika modern yang menekankan dialog historis antara teks dan pembaca,
hermeneutika dekonstruktif justru berangkat dari asumsi tentang ketidakhadiran
makna yang utuh dan stabil. Teks tidak dipahami sebagai entitas
koheren yang menyimpan satu makna tetap, melainkan sebagai medan perbedaan (différance),
di mana makna terus-menerus tertunda dan terbuka untuk interpretasi tanpa titik
henti1.
Derrida menunjukkan
bahwa struktur teks dibangun di atas ketegangan antara kehadiran dan
ketidakhadiran, antara maksud dan jejak, antara apa yang dikatakan dan apa yang
tak terucapkan. Inilah yang menyebabkan setiap teks, betapapun sistematiknya,
selalu menyimpan aporia—celah, paradoks, atau
ketegangan logis yang mengganggu stabilitas klaim maknanya sendiri2.
Melalui pembacaan dekonstruktif, teks tidak diinterpretasikan untuk menemukan
makna tunggal, melainkan dibuka untuk menunjuk pada pluralitas,
ketaksadaran struktural, dan kontradiksi internal.
Dari sisi epistemologis,
pendekatan ini menolak logika representasi yang menempatkan bahasa sebagai
cermin realitas. Dekonstruksi menggarisbawahi bahwa semua makna dikonstruksi
dalam jaringan penanda yang saling merujuk tanpa fondasi akhir3. Hal
ini menghasilkan bentuk epistemologi yang lebih reflektif, yang tidak
menjanjikan kepastian absolut, melainkan menumbuhkan kewaspadaan
kritis terhadap cara-cara makna dibentuk, dipaksakan, dan dinegosiasikan.
Dari sisi etis,
hermeneutika dekonstruktif membuka ruang bagi tanggung jawab terhadap yang
lain—baik itu dalam bentuk pembacaan yang lebih inklusif, maupun dalam
kesadaran akan batas-batas pengetahuan dan bahasa kita sendiri.
Etika dekonstruktif menolak keangkuhan epistemik dan menggantinya dengan kerendahan
hati interpretatif, yakni kesediaan untuk terus menunda penutupan
makna demi mendengar yang belum terdengar, melihat yang tersembunyi, dan
memahami yang terpinggirkan4.
Dalam konteks
kontemporer yang ditandai oleh fragmentasi wacana, dekonstruksi menawarkan alat
baca yang kuat untuk menantang struktur kuasa dalam bahasa, menolak reduksi
terhadap “kebenaran tunggal”, dan memperjuangkan keberagaman perspektif
dalam praktik pengetahuan dan keilmuan. Oleh karena itu, meskipun menuai kritik
karena dianggap relatifis atau bahkan nihilistik, dekonstruksi justru
memberikan sumbangsih penting dalam merekonstruksi horizon etis dan epistemologis
yang lebih terbuka, reflektif, dan tanggap terhadap kompleksitas realitas5.
Sebagai penutup,
dapat ditegaskan bahwa hermeneutika dekonstruktif bukan sekadar metode
pembacaan, tetapi merupakan sikap intelektual dan etis yang
mengajak kita untuk berpikir melampaui sistem, mendengar suara yang teredam,
dan menunda kepastian demi ruang-ruang kemungkinan yang lebih adil dan
inklusif.
Footnotes
[1]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 61–65.
[2]
Jacques Derrida, Aporias, trans. Thomas Dutoit (Stanford:
Stanford University Press, 1993), 12–24.
[3]
Christopher Norris, Derrida (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1987), 39–47.
[4]
John D. Caputo, The Prayers and Tears of Jacques Derrida: Religion
without Religion (Bloomington: Indiana University Press, 1997), 86–102.
[5]
Nicholas Royle, Jacques Derrida (London: Routledge, 2003),
122–130.
Daftar Pustaka
Armstrong, P. B. (1984).
Reading Heart of Darkness: An introduction to the problems of
interpretation. MLN, 99(5), 1120–1141. https://doi.org/10.2307/2905794
Barthes, R. (1977). Image,
music, text (S. Heath, Trans.). Hill and Wang.
Bhabha, H. K. (1994). The
location of culture. Routledge.
Caputo, J. D. (1987). Radical
hermeneutics: Repetition, deconstruction, and the hermeneutic project.
Indiana University Press.
Caputo, J. D. (1997). The
prayers and tears of Jacques Derrida: Religion without religion. Indiana
University Press.
Caputo, J. D. (2006). The
weakness of God: A theology of the event. Indiana University Press.
Culler, J. (1982). On
deconstruction: Theory and criticism after structuralism. Cornell
University Press.
Derrida, J. (1976). Of
grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Derrida, J. (1978). Writing
and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Derrida, J. (1981). Dissemination
(B. Johnson, Trans.). University of Chicago Press.
Derrida, J. (1982). Margins
of philosophy (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Derrida, J. (1988). Limited
Inc (S. Weber & J. Mehlman, Trans.). Northwestern University Press.
Derrida, J. (1993). Aporias
(T. Dutoit, Trans.). Stanford University Press.
Derrida, J. (1995). The
gift of death (D. Wills, Trans.). University of Chicago Press.
Derrida, J. (1999). Adieu
to Emmanuel Levinas (P.-A. Brault & M. Naas, Trans.). Stanford
University Press.
Dilthey, W. (1996). Selected
works, volume IV: Hermeneutics and the study of history (R. A. Makkreel
& F. Rodi, Eds.). Princeton University Press.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth
and method (2nd ed., J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.).
Continuum.
Habermas, J. (1987). The
philosophical discourse of modernity: Twelve lectures (F. G. Lawrence,
Trans.). MIT Press.
Heidegger, M. (1962). Being
and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Norris, C. (1987). Derrida.
Harvard University Press.
Norris, C. (1991). Deconstruction:
Theory and practice. Routledge.
Parry, B. (1987). Problems
in current theories of colonial discourse. Oxford Literary Review, 9(1–2),
27–58.
Rorty, R. (1982). Consequences
of pragmatism: Essays 1972–1980. University of Minnesota Press.
Royle, N. (2003). Jacques
Derrida. Routledge.
Searle, J. R. (1977).
Reiterating the differences: A reply to Derrida. Glyph, 1, 198–208.
Schleiermacher, F. (1998). Hermeneutics
and criticism (A. Bowie, Ed.). Cambridge University Press.
Spivak, G. C. (1988). Can
the subaltern speak? In C. Nelson & L. Grossberg (Eds.), Marxism and
the interpretation of culture (pp. 271–313). University of Illinois Press.
Spivak, G. C. (1988).
Subaltern studies: Deconstructing historiography. In R. Guha & G. C. Spivak
(Eds.), Selected subaltern studies (pp. 3–32). Oxford University
Press.
Taylor, M. C. (1984). Erring:
A postmodern a/theology. University of Chicago Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar