Senin, 28 April 2025

Hermeneutika Dekonstruktif: Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel

Hermeneutika Dekonstruktif

Dekonstruksi Makna dalam Teks Keagamaan


Alihkan ke: Matode Haermeneutika dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif pendekatan hermeneutika dekonstruktif sebagai cabang pemikiran dalam tradisi filsafat kontemporer yang menantang paradigma penafsiran klasik dan modern. Dengan berakar pada filsafat Jacques Derrida, hermeneutika dekonstruktif menolak asumsi tentang keutuhan makna, stabilitas teks, dan otoritas tunggal pengarang. Melalui prinsip différance, aporia, dan ketaksadaran struktural teks, pendekatan ini membuka ruang bagi pluralitas makna dan tanggung jawab etis terhadap yang lain. Artikel ini menguraikan fondasi teoretis dekonstruksi, membandingkannya dengan model hermeneutika klasik dan modern, serta menunjukkan penerapannya dalam teks filsafat, sastra, dan keagamaan. Lebih jauh, dibahas pula implikasi epistemologis dan etis dari pendekatan ini, serta respons kritis yang diterimanya dari berbagai tradisi intelektual, termasuk hermeneutika filosofis dan filsafat analitik. Di tengah era post-truth dan krisis representasi, hermeneutika dekonstruktif hadir sebagai cara berpikir yang reflektif, kritis, dan terbuka, yang menantang dominasi wacana tunggal serta memperjuangkan keberagaman perspektif dalam praktik penafsiran.

Kata Kunci: Hermeneutika dekonstruktif; Jacques Derrida; différance; aporia; kritik teks; etika pembacaan; epistemologi postmodern; tafsir kritis; filsafat kontemporer.


PEMBAHASAN

Telaah Hermeneutika Dekonstruktif dalam Wacana Filsafat


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah filsafat Barat, hermeneutika telah memainkan peran penting sebagai disiplin yang berupaya menjelaskan proses pemahaman terhadap teks, simbol, dan makna dalam konteks historis maupun linguistik. Sejak kemunculannya sebagai metode tafsir kitab suci dalam tradisi teologi Kristen hingga berkembang menjadi teori pemahaman eksistensial dalam pemikiran Heidegger dan Gadamer, hermeneutika terus mengalami evolusi konseptual dan metodologis. Namun, pada pertengahan abad ke-20, muncul tantangan mendasar terhadap fondasi-fondasi klasik dan modern dalam hermeneutika, terutama yang berkaitan dengan asumsi stabilitas makna, koherensi penulis, dan kesatuan teks. Tantangan ini dimunculkan oleh pendekatan dekonstruktif, yang dipelopori oleh Jacques Derrida sebagai bentuk pembacaan yang menyingkap ketidakhadiran, paradoks, dan retakan-retakan dalam teks yang selama ini tersembunyi oleh klaim-klaim logocentris dalam tradisi Barat1.

Hermeneutika dekonstruktif, sebagai suatu praktik dan pendekatan, bukan sekadar mengusulkan metode baru dalam penafsiran, melainkan membongkar secara radikal asumsi-asumsi dasar tentang teks dan makna. Derrida menolak gagasan bahwa makna dapat ditransmisikan secara utuh dari pengarang kepada pembaca melalui teks. Baginya, teks selalu mengandung différance—sebuah konsep yang merujuk pada penundaan dan perbedaan makna yang tak pernah selesai2. Dalam pengertian ini, setiap teks berada dalam kondisi “tidak utuh,” terbuka terhadap pelampauan makna, dan penuh dengan struktur internal yang saling menegasikan. Oleh karena itu, dekonstruksi bukanlah “destruksi” terhadap makna, melainkan proses pembacaan yang menelusuri jejak-jejak ketidakhadiran dan potensi pertentangan dalam konstruksi teks itu sendiri3.

Pendekatan dekonstruktif juga mengkritik kepercayaan terhadap kehadiran langsung (presence) yang menjadi ciri khas hermeneutika Gadamerian. Bagi Derrida, usaha memahami makna dengan mengandaikan adanya horizon koheren antara teks dan pembaca adalah bentuk dari metafisika kehadiran yang mesti ditinjau ulang secara kritis4. Sebaliknya, hermeneutika dekonstruktif menyarankan bahwa makna adalah hasil permainan tanda-tanda (play of signifiers), yang tidak pernah berhenti dalam suatu titik fiksasi makna tunggal. Oleh karena itu, teks selalu menolak untuk dijadikan objek pemaknaan yang final.

Urgensi dari pembahasan mengenai hermeneutika dekonstruktif menjadi semakin relevan dalam konteks intelektual kontemporer yang ditandai oleh pluralitas penafsiran, keraguan terhadap narasi besar, dan semakin cairnya batas antara teks, pembaca, dan konteks. Di bidang studi sastra, filsafat, teologi, bahkan ilmu sosial, pendekatan dekonstruktif memberikan ruang bagi pembacaan alternatif yang tidak bersifat normatif, melainkan membuka potensi makna yang terpendam dan marginal5. Oleh karena itu, kajian ini bertujuan untuk menelusuri akar filosofis hermeneutika dekonstruktif, prinsip-prinsip utamanya, serta implikasinya dalam ranah penafsiran teks di era pascamodern.


Footnotes

[1]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), xvii–xx.

[2]                Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 3–27.

[3]                Jonathan Culler, On Deconstruction: Theory and Criticism after Structuralism (Ithaca: Cornell University Press, 1982), 86–93.

[4]                Richard Kearney, Dialogues with Contemporary Continental Thinkers: The Phenomenological Heritage (Manchester: Manchester University Press, 1984), 123–127.

[5]                John D. Caputo, Radical Hermeneutics: Repetition, Deconstruction, and the Hermeneutic Project (Bloomington: Indiana University Press, 1987), 1–15.


2.           Dasar Filsafat Hermeneutika dan Tantangannya

Hermeneutika, sebagai filsafat penafsiran, mengalami evolusi panjang dari tradisi tafsir keagamaan hingga menjadi disiplin filosofis modern yang berupaya memahami struktur dan dinamika makna dalam relasinya dengan bahasa, sejarah, dan subyektivitas manusia. Pada tahap awal, tokoh seperti Friedrich Schleiermacher (1768–1834) memformulasikan hermeneutika sebagai seni memahami teks dengan menyatukan pemahaman gramatikal dan psikologis, yaitu dengan menelusuri intensi atau “niat pengarang” yang terkandung dalam struktur linguistiknya1. Hermeneutika Schleiermacher bercorak rekonstruktif, menekankan pemulihan makna sebagaimana dimaksudkan oleh pengarang, seolah-olah pembaca dapat “masuk” ke dalam pikiran pengarang melalui pemahaman historis dan linguistik yang tepat.

Pendekatan ini kemudian diperluas oleh Wilhelm Dilthey (1833–1911) yang menempatkan hermeneutika sebagai metode utama dalam ilmu-ilmu humaniora (Geisteswissenschaften). Dilthey menekankan pengalaman hidup (Erlebnis) sebagai dasar penafsiran, di mana pemahaman tidak hanya bersifat linguistik tetapi juga historis-eksistensial. Menurutnya, pemahaman terhadap tindakan manusia dalam sejarah membutuhkan Verstehen—pemahaman dari dalam yang menekankan pada empati dan rekonstruksi makna dalam konteks kehidupan manusia2.

Transformasi besar terjadi dalam pemikiran Martin Heidegger yang menggeser hermeneutika dari metode rekonstruktif menjadi fenomenologi ontologis. Dalam karyanya Sein und Zeit, Heidegger menunjukkan bahwa pemahaman bukan sekadar aktivitas intelektual, melainkan struktur eksistensial dari keberadaan manusia (Dasein) di dunia. Menurut Heidegger, “memahami” berarti menafsirkan dunia dari horizon keterlemparan keberadaan kita sendiri, di mana bahasa bukanlah sekadar alat netral, tetapi medan eksistensial tempat makna dibuka dan dibentuk3.

Pengaruh Heidegger diteruskan oleh Hans-Georg Gadamer dalam Wahrheit und Methode, yang menekankan bahwa pemahaman adalah peristiwa dialogis antara “horizon masa lalu” (teks, tradisi) dan “horizon sekarang” (pembaca). Pemahaman terjadi melalui Fusionshorizont—fusi horizon yang memungkinkan pembentukan makna baru dalam pengalaman dialogis dengan tradisi4. Gadamer menolak pendekatan objektivistik dan menekankan bahwa pra-anggapan, bahasa, dan tradisi membentuk kondisi kemungkinan bagi penafsiran.

Namun demikian, pendekatan hermeneutika klasik dan eksistensial ini menghadapi kritik tajam dari para pemikir poststrukturalis, khususnya Jacques Derrida, yang mempersoalkan anggapan bahwa makna dapat dipahami atau direkonstruksi secara utuh melalui proses hermeneutis. Menurut Derrida, seluruh proyek hermeneutika tetap terjebak dalam apa yang ia sebut sebagai logocentrisme—keyakinan terhadap kehadiran makna yang stabil, keutuhan identitas pengarang, serta kesatuan struktur bahasa yang dapat ditangkap secara langsung oleh subjek penafsir5.

Kritik ini menjadi tantangan besar terhadap fondasi hermeneutika klasik karena menunjukkan bahwa teks tidak pernah hadir secara utuh, melainkan selalu mengandung perbedaan (différance), penundaan, dan ketaksadaran struktural yang mengacaukan klaim koherensi makna. Di sinilah muncul urgensi pendekatan dekonstruktif: bukan untuk menolak penafsiran, melainkan untuk menunjukkan bahwa setiap penafsiran harus mengakui inkonsistensi internal teks dan ketidakhadiran makna yang definitif.

Dengan demikian, tantangan utama yang dihadirkan oleh hermeneutika dekonstruktif terhadap fondasi hermeneutika tradisional adalah pembongkaran terhadap premis keutuhan makna, stabilitas teks, dan kesatuan horizon pemahaman. Apa yang dianggap sebagai makna dalam hermeneutika klasik, dalam dekonstruksi justru menjadi medan permainan tak berujung antar penanda yang tidak pernah mencapai signifikasi final6. Oleh karena itu, hermeneutika dekonstruktif tidak dimaksudkan untuk “mengganti” hermeneutika tradisional, tetapi untuk membongkar secara radikal kerangka dasarnya dan membuka ruang bagi pembacaan yang lebih reflektif, kritis, dan plural.


Footnotes

[1]                Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, ed. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 5–22.

[2]                Wilhelm Dilthey, Selected Works, Volume IV: Hermeneutics and the Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton: Princeton University Press, 1996), 162–173.

[3]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 188–195.

[4]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 269–305.

[5]                Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–294.

[6]                Christopher Norris, Derrida (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1987), 22–45.


3.           Dekonstruksi: Akar Pemikiran dan Fondasi Teoretis

Dekonstruksi sebagai pendekatan filosofis dan strategi pembacaan tidak dapat dilepaskan dari karya dan pemikiran Jacques Derrida (1930–2004), seorang filsuf Prancis yang lahir dari tradisi fenomenologi dan strukturalisme, tetapi kemudian melampauinya melalui pembacaan kritis yang radikal. Derrida memperkenalkan istilah “dekonstruksi” dalam karya monumentalnya De la grammatologie (Of Grammatology, 1967), di mana ia menantang seluruh bangunan filsafat Barat yang ia anggap terjebak dalam logocentrisme, yakni kepercayaan akan kehadiran langsung makna melalui logos, nalar, atau kata-kata yang diklaim sebagai pusat kebenaran1.

Dekonstruksi bukanlah destruksi atau pembongkaran destruktif, tetapi merupakan strategi pembacaan yang bertujuan mengungkap ketegangan, paradoks, dan kontradiksi yang tersembunyi dalam teks. Strategi ini dilandasi oleh keyakinan bahwa setiap teks, betapapun tampaknya koheren, menyimpan perpecahan internal yang tak dapat dipersatukan secara total. Derrida menyebut bahwa teks adalah struktur yang bersifat “autoimun”, dalam arti bahwa ia mengandung benih kehancurannya sendiri melalui instabilitas maknanya2.

Dekonstruksi muncul dari kritik terhadap strukturalisme linguistik yang berpuncak pada pandangan Ferdinand de Saussure tentang tanda bahasa sebagai sistem yang terdiri dari penanda (signifier) dan petanda (signified). Derrida menerima struktur relasional ini, tetapi menambahkan bahwa hubungan antara penanda dan petanda tidak bersifat tetap. Ia memperkenalkan konsep différance, sebuah neologisme yang menyiratkan dua makna sekaligus: perbedaan dan penundaan makna. Dengan demikian, makna dalam bahasa selalu tertunda (deferred) dan tidak pernah hadir secara penuh dalam satu kata atau konsep3.

Konsep différance menggugurkan ilusi bahwa teks dapat memiliki satu makna definitif yang ditentukan oleh pengarang. Dalam pandangan Derrida, makna adalah hasil dari jejak (trace) yang tertinggal dari permainan penanda lain. Oleh sebab itu, teks tidak memiliki pusat tetap; ia selalu bergerak, terbuka, dan berlaku secara diferensial, tergantung pada konteks pembacaan dan interaksi tanda-tanda di sekitarnya4.

Fondasi teoretis dekonstruksi juga bersandar pada kritik Derrida terhadap metafisika kehadiran (metaphysics of presence), yaitu tradisi panjang dalam filsafat Barat yang menganggap kehadiran langsung (presentness) sebagai syarat bagi pengetahuan dan kebenaran. Menurut Derrida, filsafat Barat sejak Plato hingga Husserl selalu mengutamakan kehadiran, baik dalam bentuk suara, ide, atau kesadaran, dan menganggap ketidakhadiran (absence), keterlambatan, atau perbedaan sebagai kekurangan. Melalui dekonstruksi, Derrida membalik hierarki ini dan menunjukkan bahwa kehadiran itu sendiri bergantung pada ketidakhadiran, bahwa apa yang tampak utuh justru disusun dari kekosongan yang tersembunyi5.

Dekonstruksi juga mengambil inspirasi dari Nietzsche dan Heidegger, dua tokoh yang membuka jalan bagi dekonstruksi melalui kritik mereka terhadap metafisika. Nietzsche dengan gagasan “kematian Tuhan” dan relativisme nilai menyingkap bahwa tidak ada fondasi mutlak bagi kebenaran; sedangkan Heidegger, melalui analisis ontologisnya, menunjukkan bahwa keberadaan itu sendiri selalu ditafsirkan dan tidak pernah hadir secara langsung dalam kesadaran manusia6.

Dari semua itu, dekonstruksi berdiri sebagai bentuk pembacaan filosofis yang berupaya mengguncang stabilitas teks, membongkar oposisi biner (seperti pengarang/pembaca, makna/teks, kehadiran/ketiadaan), dan menampilkan ketidakhadiran sebagai kekuatan produktif dalam permainan makna. Ia bukan sekadar alat kritik sastra, melainkan metode epistemologis dan ontologis yang menantang seluruh kerangka berpikir logocentris dalam wacana modern.


Footnotes

[1]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 11–15.

[2]                Jacques Derrida, Dissemination, trans. Barbara Johnson (Chicago: University of Chicago Press, 1981), 4–6.

[3]                Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 1–27.

[4]                Christopher Norris, Derrida (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1987), 29–34.

[5]                John D. Caputo, Radical Hermeneutics: Repetition, Deconstruction, and the Hermeneutic Project (Bloomington: Indiana University Press, 1987), 10–18.

[6]                Richard Kearney, Dialogues with Contemporary Continental Thinkers: The Phenomenological Heritage (Manchester: Manchester University Press, 1984), 115–129.


4.           Hermeneutika Dekonstruktif: Prinsip dan Pendekatan

Hermeneutika dekonstruktif merupakan bentuk praksis penafsiran yang lahir dari pertemuan antara semangat hermeneutika kontemporer dengan strategi dekonstruksi yang dikembangkan oleh Jacques Derrida. Pendekatan ini tidak sekadar mencari makna dalam teks, melainkan menyelidiki bagaimana teks itu sendiri secara internal mengganggu atau menegasikan klaim koherensi dan stabilitas makna yang dikandungnya. Sebagai bentuk pembacaan kritis, hermeneutika dekonstruktif tidak bertujuan menetapkan makna definitif, melainkan membuka ruang bagi pluralitas interpretasi dan menunjukkan kondisi keterbukaan makna sebagai sifat inheren dalam teks itu sendiri1.

4.1.       Penolakan terhadap Makna Final

Prinsip utama hermeneutika dekonstruktif adalah ketidakmungkinan penutupan makna. Tidak ada satu makna final yang dapat dipulihkan melalui pembacaan, karena teks selalu melampaui dirinya sendiri. Dalam istilah Derrida, makna bersifat tertunda dan bergeser terus-menerus melalui mekanisme différance, sehingga setiap usaha penafsiran hanya akan menghasilkan pelapisan makna baru yang terus bergerak2. Penafsiran dalam dekonstruksi bukan merupakan proses menemukan kebenaran laten, tetapi eksplorasi terhadap jejak-jejak makna yang hadir dalam ketidakhadirannya.

4.2.       Ketaksadaran Teks dan Aporia

Hermeneutika dekonstruktif juga menekankan pentingnya ketaksadaran teks (unconscious of the text)—yaitu elemen-elemen yang tidak disadari atau tidak dimaksudkan oleh penulis, tetapi muncul sebagai implikasi struktural dari bahasa itu sendiri3. Unsur-unsur ini seringkali hadir dalam bentuk kontradiksi, celah logis, atau ambiguitas yang tak terhindarkan. Dalam dekonstruksi, kontradiksi ini disebut aporia—titik-titik dalam teks di mana makna menjadi tidak konsisten, tidak terpecahkan, atau bahkan saling menegasikan. Justru pada titik-titik aporia inilah dekonstruksi bekerja, menunjukkan bahwa struktur teks mengandung keretakan internal yang tidak dapat direduksi oleh penafsiran konvensional4.

4.3.       Pergeseran Otoritas dari Pengarang ke Pembaca

Hermeneutika klasik dan modern masih cenderung mempertahankan kepercayaan terhadap intensi atau horizon pengarang sebagai acuan pemahaman. Namun dalam pendekatan dekonstruktif, pengarang tidak lagi memiliki otoritas tunggal atas makna. Roland Barthes, dalam artikelnya “The Death of the Author”, menyatakan bahwa teks tidak dimiliki oleh siapa pun, dan makna muncul dalam pertemuan antara teks dan pembaca5. Hermeneutika dekonstruktif melanjutkan prinsip ini dengan lebih jauh menolak struktur hierarkis antara pengarang dan pembaca, serta menyamakan pembacaan dengan tindakan penciptaan ulang yang bersifat terbuka dan subversif terhadap norma-norma interpretatif.

4.4.       Permainan Penanda (Play of Signifiers)

Makna dalam hermeneutika dekonstruktif bukan hasil dari korelasi antara penanda (signifier) dan petanda (signified), melainkan hasil dari pergerakan tak berujung dalam jaringan penanda. Setiap kata hanya memperoleh maknanya melalui perbedaan dari kata-kata lain, sehingga ia selalu dalam posisi yang tidak tetap. Ini menyebabkan makna bersifat sementara, tersusun dalam medan perbedaan yang disebut Derrida sebagai tekstualitas radikal6. Pembacaan dekonstruktif mengamati bagaimana teks terus-menerus memproduksi dan menganulir makna dalam dinamika tanda yang tak selesai.

4.5.       Etika Pembacaan dan Kritik Ideologi

Hermeneutika dekonstruktif juga mengandung dimensi etis dan politis dalam praktik penafsirannya. Karena makna bersifat tidak final, maka setiap klaim tentang kebenaran makna mengandung potensi kekerasan simbolik terhadap interpretasi lain. Dengan menyuarakan yang termarjinalkan dan menunjukkan struktur eksklusi dalam teks (termasuk wacana dominan), pendekatan ini menjadi alat kritik terhadap kekuasaan dan ideologi yang bersembunyi di balik representasi teks7. Oleh karena itu, hermeneutika dekonstruktif tidak hanya bekerja pada level teoretis, tetapi juga sebagai praktik pembebasan interpretatif.


Footnotes

[1]                John D. Caputo, Radical Hermeneutics: Repetition, Deconstruction, and the Hermeneutic Project (Bloomington: Indiana University Press, 1987), 31–38.

[2]                Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 1–27.

[3]                Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Marxism and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg (Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.

[4]                Jacques Derrida, Aporias, trans. Thomas Dutoit (Stanford: Stanford University Press, 1993), 12–24.

[5]                Roland Barthes, “The Death of the Author,” in Image, Music, Text, trans. Stephen Heath (New York: Hill and Wang, 1977), 142–148.

[6]                Christopher Norris, Deconstruction: Theory and Practice (London: Routledge, 1991), 32–36.

[7]                Nicholas Royle, Jacques Derrida (London: Routledge, 2003), 104–109.


5.           Perbandingan: Hermeneutika Klasik, Modern, dan Dekonstruktif

Hermeneutika sebagai suatu medan filsafat dan metode penafsiran mengalami perkembangan historis dan konseptual yang kompleks. Dari pendekatan klasik yang bersifat rekonstruktif, ke arah modern yang eksistensial dan dialogis, hingga pendekatan dekonstruktif yang subversif terhadap konsep makna itu sendiri. Masing-masing pendekatan menandai pergeseran paradigma yang signifikan dalam memahami teks, subjek, dan relasi makna.

5.1.       Hermeneutika Klasik: Niat Pengarang dan Pemulihan Makna

Hermeneutika klasik, seperti yang dikembangkan oleh Friedrich Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey, berupaya memahami teks melalui pemulihan maksud pengarang dan konteks historisnya. Schleiermacher menekankan dua aspek utama: pemahaman gramatikal (struktur bahasa teks) dan pemahaman psikologis (intensi pengarang), yang bersama-sama memungkinkan rekonstruksi makna otentik1. Bagi Dilthey, pemahaman adalah proses Verstehen, yakni penelusuran kembali “pengalaman hidup” pengarang dalam konteks historis-budaya2.

Ciri khas hermeneutika klasik adalah kepercayaan pada stabilitas makna, keutuhan teks, dan otoritas pengarang sebagai sumber utama pengertian. Penafsiran dianggap berhasil jika mampu mereproduksi secara akurat makna yang dimaksudkan oleh pengarang asli.

5.2.       Hermeneutika Modern: Subjek, Dialog, dan Tradisi

Perkembangan hermeneutika memasuki tahap baru dalam pemikiran Martin Heidegger dan Hans-Georg Gadamer, yang menekankan bahwa pemahaman adalah bagian dari struktur eksistensial manusia (Dasein). Heidegger menunjukkan bahwa manusia selalu “sudah berada di dunia” dan menafsirkan dunia dari horizon keberadaannya. Dengan demikian, pemahaman bukanlah reproduksi makna, melainkan pengungkapan eksistensial dari keterlemparan dan keterlibatan manusia di dalam dunia3.

Sementara itu, Gadamer menekankan aspek dialogis dalam pemahaman. Ia menolak kemungkinan adanya objektivitas atau rekonstruksi makna final. Dalam Truth and Method, ia memperkenalkan konsep fusi horizon (Horizontverschmelzung), yakni pertemuan antara horizon teks (tradisi masa lalu) dan horizon pembaca (pengalaman kini) yang menghasilkan pemahaman baru melalui dialog4.

Berbeda dari hermeneutika klasik, pendekatan modern mengakui keterlibatan subjek, pentingnya pra-anggapan, dan keterbatasan historis dalam proses memahami. Namun, ia masih mempertahankan bahwa pemahaman dapat dicapai dalam kerangka keterbukaan dan penggabungan horizon-horizon yang berbeda.

5.3.       Hermeneutika Dekonstruktif: Pembongkaran Struktur Makna

Hermeneutika dekonstruktif menandai pemutusan radikal dari dua pendekatan sebelumnya. Dipengaruhi oleh poststrukturalisme dan kritik Derrida terhadap logocentrisme, pendekatan ini menolak asumsi bahwa makna dapat dihadirkan secara utuh baik melalui rekonstruksi pengarang maupun dialog historis5. Dekonstruksi memandang teks sebagai medan perbedaan dan penundaan makna (différance), yang tidak dapat dipusatkan atau ditutup oleh satu penafsiran tunggal6.

Tidak ada horizon tunggal, tidak ada makna koheren, dan tidak ada struktur yang stabil. Teks, dalam pandangan dekonstruktif, selalu mengandung aporia—titik-titik kontradiksi yang menyabotase klaim makna yang definitif. Alih-alih “memahami” dalam pengertian konvensional, hermeneutika dekonstruktif mendorong pembacaan ulang secara kritis, membongkar oposisi-oposisi biner, dan mengekspos mekanisme eksklusi dalam bahasa.

Perbedaan paling mencolok antara dekonstruksi dan hermeneutika klasik atau modern terletak pada sikap terhadap kehadiran dan makna. Jika Schleiermacher dan Gadamer masih berpegang pada potensi pengertian, maka Derrida menegaskan bahwa pengertian selalu tertunda, dan makna tidak pernah hadir secara penuh dalam teks7.


Perbandingan Hermeneutika Klasik, Modern, dan Dekonstruktif

1)                  Fokus Penafsiran:

Hermeneutika Klasik: Menekankan pada usaha mengungkap dan merekonstruksi niat pengarang sebagai sumber makna utama dalam teks.

Hermeneutika Modern: Mengarahkan perhatian pada dialog antara horizon pembaca dan horizon tradisi/teks, sehingga makna adalah hasil pertemuan historis yang dinamis.

Hermeneutika Dekonstruktif: Tidak mencari pusat makna, tetapi fokus pada ketidakhadiran, pergeseran, dan kontradiksi internal (aporia) dalam teks.

2)                  Tujuan Pemahaman:

Klasik: Bertujuan untuk mengembalikan makna otentik sebagaimana dimaksudkan oleh pengarang.

Modern: Bertujuan untuk menghasilkan pemahaman baru melalui fusi horizon dalam proses dialogis antara pembaca dan teks.

Dekonstruktif: Bertujuan untuk membongkar oposisi biner, membuka pluralitas interpretasi, dan menunjukkan retakan makna.

3)                  Pandangan tentang Teks:

Klasik: Memandang teks sebagai entitas koheren dan stabil, yang menyimpan makna tetap.

Modern: Melihat teks sebagai entitas terbuka yang dapat berinteraksi dengan berbagai konteks historis dan eksistensial.

Dekonstruktif: Menganggap teks sebagai medan permainan penanda yang retak secara internal dan tidak memiliki pusat tetap.

4)                  Peran Pembaca:

Klasik: Pembaca berperan reseptif dan pasif, dengan tugas memahami maksud pengarang.

Modern: Pembaca dipandang sebagai subjek aktif dan partisipatif dalam proses pemahaman.

Dekonstruktif: Pembaca mengambil posisi subversif dan kritis, bahkan menciptakan kembali makna melalui pembacaan dekonstruktif.

5)                  Sikap terhadap Makna:

Klasik: Menganggap bahwa makna bersifat final dan dapat dipulihkan dengan benar melalui metode yang tepat.

Modern: Meyakini bahwa makna dapat dicapai meskipun bersifat kontekstual dan terbuka terhadap perubahan.

Dekonstruktif: Menegaskan bahwa makna tidak pernah final, selalu tertunda (deferred), dan terus-menerus mengalami pergeseran diferensial.


Footnotes

[1]                Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, ed. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 22–25.

[2]                Wilhelm Dilthey, Selected Works, Volume IV: Hermeneutics and the Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton: Princeton University Press, 1996), 162–173.

[3]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 188–195.

[4]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 269–305.

[5]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 158–164.

[6]                Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 3–27.

[7]                John D. Caputo, Radical Hermeneutics: Repetition, Deconstruction, and the Hermeneutic Project (Bloomington: Indiana University Press, 1987), 39–50.


6.           Studi Kasus: Penerapan Hermeneutika Dekonstruktif

Hermeneutika dekonstruktif sebagai praktik tafsir tidak hanya hadir dalam tataran teoritis, tetapi juga sangat aplikatif dalam pembacaan teks filsafat, sastra, maupun keagamaan. Penerapan metode ini memungkinkan pengungkapan makna-makna yang tersembunyi, terpinggirkan, bahkan berlawanan dengan struktur wacana dominan dalam teks. Berikut adalah tiga contoh studi kasus yang menunjukkan bagaimana pendekatan dekonstruktif dapat diterapkan dalam analisis teks:

6.1.       Dekonstruksi Teks Filsafat: Rousseau dalam Of Grammatology

Dalam Of Grammatology, Derrida menerapkan dekonstruksi terhadap teks Essay on the Origin of Languages karya Jean-Jacques Rousseau. Rousseau membedakan antara tulisan (écriture) dan suara (parole), dan menempatkan suara sebagai bentuk komunikasi yang lebih “alami” dan “otentik”. Derrida membongkar hierarki ini dan menunjukkan bahwa tulisan bukan sekadar pelengkap dari suara, melainkan selalu hadir dalam bahasa melalui sistem tanda yang tidak dapat direduksi pada kehadiran langsung1.

Derrida menyoroti bagaimana Rousseau secara tidak sadar menyelipkan peran utama tulisan dalam argumen yang ia sendiri ingin subordinasikan. Ini menunjukkan bahwa teks Rousseau mengandung ketegangan internal antara niat eksplisit (menyubordinasikan tulisan) dan logika implisit (yang mengandalkan sistem écriture untuk mengartikulasikan pemikirannya)2. Inilah contoh bagaimana dekonstruksi bekerja: mengidentifikasi aporia dalam teks dan menyingkap jejak-jejak makna yang menyangkal klaim utamanya.

6.2.       Pembacaan Dekonstruktif terhadap Teks Sastra: Heart of Darkness oleh Joseph Conrad

Novel Heart of Darkness sering dibaca sebagai kritik terhadap kolonialisme. Namun, melalui pembacaan dekonstruktif, seperti yang dilakukan oleh Paul B. Armstrong, teks ini ternyata tidak hanya menyuarakan perlawanan terhadap kolonialisme, tetapi juga menyimpan ambivalensi ideologis yang memperkuat stereotip kolonial3. Misalnya, narasi Marlow—tokoh utama—berulang kali menyampaikan keraguan terhadap imperialisme, namun secara struktural tetap mereproduksi dikotomi antara "barat-beradab" dan "timur-primordial".

Dekonstruksi dalam konteks ini tidak mencari pesan moral eksplisit dari teks, melainkan menelusuri ketegangan naratif, pengulangan paradoksal, dan keretakan identitas tokoh. Dengan demikian, Heart of Darkness dibaca bukan hanya sebagai teks kritik, tetapi juga sebagai medan konflik diskursif antara kolonialisme dan ketidakmampuannya melampaui struktur rasial yang menopangnya4.

6.3.       Tafsir Dekonstruktif atas Teks Keagamaan: Kisah Pengorbanan Ibrahim

Studi dekonstruktif atas teks keagamaan, seperti kisah pengorbanan Ibrahim (Abraham) dalam tradisi Yahudi, Kristen, dan Islam, telah dilakukan oleh Derrida dalam esai The Gift of Death. Ia menafsirkan perintah Tuhan kepada Abraham untuk mengorbankan anaknya sebagai bentuk tanggapan terhadap ketakterhinggaan yang tidak bisa dijelaskan secara moral rasional5. Derrida membongkar bagaimana tradisi tafsir religius sering kali menyamarkan dimensi etis dan eksistensial dari pengalaman keagamaan yang penuh paradoks.

Derrida menekankan bahwa tindakan Abraham adalah bentuk tanggapan terhadap rahasia ilahi, yang tak bisa direduksi pada kategori etik universal à la Kant. Tafsir dekonstruktif terhadap kisah ini mengungkap bahwa makna religius tidak terletak dalam normativitasnya, tetapi dalam keberadaannya sebagai jejak dari tanggung jawab yang tidak dapat dijelaskan dan tidak dapat dipahami secara penuh6.


Implikasi dari Studi Kasus

Melalui ketiga contoh di atas, tampak bahwa hermeneutika dekonstruktif:

·                     Tidak bertujuan menyusun tafsir tunggal yang definitif;

·                     Lebih tertarik pada ketidakkonsistenan internal, jejak-jejak ketidakhadiran, dan oposisi biner dalam teks;

·                     Membuka ruang bagi interpretasi alternatif, kritis, dan non-dogmatis, baik dalam teks sekuler maupun religius;

·                     Mengingatkan bahwa setiap klaim makna selalu merupakan hasil dari konfigurasi kekuasaan dan struktur bahasa.

Penerapan pendekatan ini mendorong pembaca untuk lebih peka terhadap potensi ketaksadaran struktural teks, dan mengembangkan etika membaca yang menolak simplifikasi makna demi keterbukaan interpretatif yang terus berlangsung.


Footnotes

[1]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 101–140.

[2]                Jonathan Culler, On Deconstruction: Theory and Criticism after Structuralism (Ithaca: Cornell University Press, 1982), 91–98.

[3]                Paul B. Armstrong, “Reading Heart of Darkness: An Introduction to the Problems of Interpretation,” MLN 99, no. 5 (1984): 1120–1141.

[4]                Benita Parry, “Problems in Current Theories of Colonial Discourse,” Oxford Literary Review 9, no. 1–2 (1987): 27–58.

[5]                Jacques Derrida, The Gift of Death, trans. David Wills (Chicago: University of Chicago Press, 1995), 54–70.

[6]                John D. Caputo, The Prayers and Tears of Jacques Derrida: Religion without Religion (Bloomington: Indiana University Press, 1997), 86–94.


7.           Implikasi Epistemologis dan Etis

Pendekatan hermeneutika dekonstruktif, dengan seluruh kompleksitas dan subversivitasnya terhadap tradisi filsafat Barat, memberikan implikasi yang luas dalam dua dimensi fundamental filsafat: epistemologi (teori pengetahuan) dan etika (filsafat moral). Alih-alih merusak landasan berpikir, pendekatan ini justru menawarkan bentuk kewaspadaan baru terhadap asal-usul makna dan tanggung jawab dalam menafsirkan dunia, teks, dan liyan.

7.1.       Implikasi Epistemologis: Krisis Otoritas dan Pluralitas Kebenaran

Secara epistemologis, hermeneutika dekonstruktif mengguncang asumsi-asumsi dasar tentang objektivitas, representasi, dan validitas pengetahuan. Dalam kerangka pemikiran Derrida, tidak ada akses langsung terhadap “realitas” atau makna yang independen dari bahasa. Semua bentuk pemahaman selalu dimediasi oleh jejak (trace) dari penanda lain, dan karena itu, setiap pengetahuan bersifat sementara, tidak lengkap, dan terus-terbuka1.

Dengan demikian, klaim-klaim epistemik yang didasarkan pada konsensus rasional, kejelasan logis, atau autentisitas intensi menjadi relatif. Tidak ada otoritas tunggal dalam menentukan makna suatu teks atau peristiwa. Sebaliknya, pengetahuan menjadi arena tafsir yang terbuka, di mana perbedaan, kontradiksi, dan ambiguitas harus diterima sebagai bagian dari struktur dasar makna2.

Konsekuensi dari hal ini adalah penolakan terhadap metanarasi, atau narasi besar yang mengklaim legitimasi universal, seperti rasionalisme Cartesian, humanisme liberal, atau logos teologis. Derrida memperingatkan bahwa setiap sistem pemahaman selalu mengandung eksklusi epistemik, yaitu apa yang harus disingkirkan demi menjaga koherensi dan kehadiran suatu makna3. Oleh karena itu, epistemologi dekonstruktif bukan tentang membangun sistem baru, tetapi tentang menjaga keterbukaan dan kesadaran terhadap batas dari sistem-sistem pengetahuan itu sendiri.

7.2.       Implikasi Etis: Etika Ketidakhadiran dan Tanggung Jawab terhadap Yang Lain

Di balik kritiknya yang radikal terhadap struktur makna, hermeneutika dekonstruktif justru menawarkan dimensi etika yang sangat mendalam. Etika dalam kerangka ini tidak didasarkan pada norma atau hukum moral yang mapan, melainkan pada kesadaran terhadap tanggapan terhadap yang tak dapat dihadirkan sepenuhnya—yaitu tanggung jawab terhadap yang lain (the Other), yang selalu melampaui sistem kategorisasi rasional dan normatif4.

Dalam The Gift of Death, Derrida menekankan bahwa tanggung jawab sejati justru muncul ketika kita tidak dapat membenarkan tindakan kita melalui prinsip-prinsip moral universal. Artinya, etika tidak dimulai dari kepastian, tetapi dari keterguncangan, dari pengalaman menghadapi yang tidak terdefinisikan secara total5. Hal ini sejalan dengan pemikiran Emmanuel Levinas, yang berpengaruh terhadap Derrida, bahwa etika adalah relasi asimetris dengan yang lain, yang tidak dapat dikurangi menjadi kalkulasi rasional atau kontrak sosial6.

Etika dekonstruktif menghindari posisi moralistik. Ia menuntut kerendahan hati epistemik dan kesiapsediaan untuk mendengarkan yang terpinggirkan, yang sering kali diabaikan oleh struktur narasi dominan. Dengan demikian, pembacaan dekonstruktif tidak netral: ia bersifat kritis terhadap kekuasaan dan membela keterbukaan terhadap kemungkinan lain, terutama terhadap suara-suara yang disilakan diam atau disingkirkan.

7.3.       Kesadaran Hermeneutik Baru: Membaca sebagai Tindakan Etis

Dalam kerangka ini, pembacaan bukan lagi aktivitas akademik yang netral, melainkan tindakan etis. Membaca secara dekonstruktif berarti memasuki ketegangan antara pemahaman dan ketidaktahuan, antara pemaparan dan penyembunyian. John D. Caputo menyebutnya sebagai bentuk “hermeneutika radikal” di mana pembacaan dilakukan dalam kesadaran akan retakan makna, namun tanpa menyerah pada relativisme nihilistik7.

Etika dalam hermeneutika dekonstruktif bukanlah sistem yang tertutup, melainkan praktik keterbukaan, ketelitian, dan tanggung jawab yang tak selesai. Ini berarti bahwa penafsir yang etis adalah ia yang terus bersedia mempertanyakan pemahamannya sendiri, dan yang sadar bahwa setiap pemaknaan selalu melibatkan potensi kekerasan simbolik terhadap makna lain.


Footnotes

[1]                Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 3–27.

[2]                Jonathan Culler, On Deconstruction: Theory and Criticism after Structuralism (Ithaca: Cornell University Press, 1982), 86–102.

[3]                Gayatri Chakravorty Spivak, “Subaltern Studies: Deconstructing Historiography,” in Selected Subaltern Studies, ed. Ranajit Guha and Gayatri Spivak (Oxford: Oxford University Press, 1988), 3–32.

[4]                Jacques Derrida, Adieu to Emmanuel Levinas, trans. Pascale-Anne Brault and Michael Naas (Stanford: Stanford University Press, 1999), 26–31.

[5]                Jacques Derrida, The Gift of Death, trans. David Wills (Chicago: University of Chicago Press, 1995), 53–70.

[6]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 194–215.

[7]                John D. Caputo, Radical Hermeneutics: Repetition, Deconstruction, and the Hermeneutic Project (Bloomington: Indiana University Press, 1987), 46–59.


8.           Respons dan Kritik terhadap Hermeneutika Dekonstruktif

Hermeneutika dekonstruktif yang dipelopori oleh Jacques Derrida telah memicu perdebatan luas dalam ranah filsafat, teori sastra, teologi, dan kajian budaya. Pendekatan ini dianggap radikal karena mengguncang fondasi-fondasi utama dari praktik penafsiran tradisional: stabilitas makna, intensi pengarang, serta kepastian epistemik. Meskipun banyak diapresiasi karena menawarkan pembacaan yang lebih kritis dan terbuka terhadap pluralitas makna, hermeneutika dekonstruktif juga menuai sejumlah kritik serius dari berbagai kalangan pemikir, baik yang bersikap konservatif maupun progresif.

8.1.       Tuduhan Relativisme dan Nihilisme

Salah satu kritik paling umum terhadap dekonstruksi adalah tuduhan bahwa pendekatan ini mengarah pada relativisme radikal, bahkan nihilisme epistemik. Karena menolak kemungkinan makna final dan menganggap bahwa setiap makna bersifat tertunda (différance), dekonstruksi dianggap menghapus dasar bagi kebenaran, nilai, dan koherensi interpretatif. Dalam pandangan Jürgen Habermas, misalnya, pendekatan post-strukturalis seperti Derrida gagal membangun landasan normatif yang diperlukan bagi komunikasi rasional dalam ruang publik1.

Habermas menilai bahwa dekonstruksi, dengan menolak klaim validitas universal, justru melemahkan kapasitas kritik sosial itu sendiri. Tanpa acuan nilai bersama, klaim emansipatoris kehilangan bobot etis dan politis. Kritik ini diperkuat oleh Richard Rorty, yang meskipun simpatik terhadap postmodernisme, menilai bahwa pendekatan dekonstruktif sering kali terjebak dalam permainan teks yang menjauh dari urgensi praksis historis2.

8.2.       Kritik dari Hermeneutika Filosofis

Hermeneutika dekonstruktif juga dikritik oleh tokoh-tokoh hermeneutika modern seperti Hans-Georg Gadamer. Dalam dialog publik dengan Derrida di Paris pada 1981, Gadamer menilai bahwa dekonstruksi terlalu menekankan aspek negatif dari bahasa dan tidak memberikan tempat bagi kemungkinan pemahaman dialogis yang konstruktif3. Bagi Gadamer, bahasa adalah medium pengungkapan kebenaran dalam hubungan historis yang dinamis, sedangkan dekonstruksi lebih menekankan keterpecahan dan ambiguitas hingga mengabaikan peluang komunikasi makna.

Kritik Gadamer juga mencerminkan kekhawatiran bahwa dekonstruksi dapat melemahkan aspek kepercayaan dan penghayatan dalam relasi antara pembaca dan teks. Jika semua makna dianggap tertunda dan retak, maka tidak ada dasar bagi pemahaman yang bertanggung jawab dalam ruang sosial maupun kultural.

8.3.       Kritik dari Tradisi Analitik dan Ilmu Pengetahuan

Dari tradisi filsafat analitik, respons terhadap dekonstruksi biasanya sangat keras. Filsuf seperti John Searle secara terbuka mengkritik Derrida dalam polemik yang terkenal terkait dengan teori tindak tutur (speech act theory). Searle menuduh bahwa tulisan Derrida tidak hanya tidak jelas secara metodologis, tetapi juga tidak memiliki konsistensi argumentatif yang dapat diuji melalui logika filosofis standar4.

Bagi para pemikir analitik, klaim dekonstruktif sulit untuk diverifikasi dan cenderung menggunakan bahasa yang gelap dan elusif. Ini dianggap bertentangan dengan prinsip klarifikasi makna dan logika formal yang menjadi dasar dari filsafat analitik kontemporer. Oleh karena itu, dekonstruksi kerap dicurigai sebagai bentuk sofistikasi retoris yang tidak produktif secara ilmiah.

8.4.       Apresiasi Kritis dan Pembelaan Terhadap Dekonstruksi

Meskipun demikian, banyak cendekiawan membela pendekatan dekonstruktif sebagai bentuk penguatan terhadap kepekaan kritis dalam membaca teks dan realitas sosial. John D. Caputo, misalnya, menyebut dekonstruksi sebagai “hermeneutika radikal” yang membebaskan kita dari tirani sistem makna tunggal dan membuka ruang bagi tanggung jawab etis terhadap “yang lain5.

Dekonstruksi tidak harus dipahami sebagai penolakan terhadap makna atau kebenaran, melainkan sebagai perlawanan terhadap klaim dominasi atas makna. Dengan menolak totalitas, dekonstruksi menjaga agar interpretasi tetap terbuka dan tidak diserap ke dalam sistem yang menindas.

Selain itu, pendekatan ini juga memberikan kontribusi besar dalam studi gender, postkolonialisme, dan kritik ideologi. Para pemikir seperti Gayatri Spivak dan Homi Bhabha memanfaatkan prinsip dekonstruksi untuk menyingkap mekanisme kolonialisme dan patriarki yang terselubung dalam wacana budaya dominan6.

8.5.       Tantangan Kontemporer: Antara Permainan dan Tanggung Jawab

Kritik-kritik tersebut menunjukkan bahwa tantangan utama bagi hermeneutika dekonstruktif di era kontemporer adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara permainan teks dan tanggung jawab interpretatif. Jika pendekatan ini ingin tetap relevan dalam ruang akademik maupun publik, maka ia harus menunjukkan bahwa dekonstruksi bukan hanya permainan intelektual, tetapi praktik kritis yang berakar pada etika keterbukaan dan kepekaan terhadap yang termarjinalkan.

Dengan kata lain, relevansi dekonstruksi diukur bukan dari kemampuannya menggugat, tetapi dari kemampuannya menghidupkan ruang-ruang baru bagi dialog, refleksi, dan keadilan epistemik.


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity: Twelve Lectures, trans. Frederick G. Lawrence (Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 161–175.

[2]                Richard Rorty, Consequences of Pragmatism: Essays 1972–1980 (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1982), 161–166.

[3]                Hans-Georg Gadamer dan Jacques Derrida, “Text and Interpretation,” trans. Diane Michelfelder and Richard Palmer, Philosophy Today 26, no. 2 (1982): 107–128.

[4]                John R. Searle, “Reiterating the Differences: A Reply to Derrida,” in Glyph 1 (1977): 198–208.

[5]                John D. Caputo, Radical Hermeneutics: Repetition, Deconstruction, and the Hermeneutic Project (Bloomington: Indiana University Press, 1987), 1–15.

[6]                Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Marxism and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg (Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.


9.           Relevansi Kontemporer dan Prospek Kajian Hermeneutika Dekonstruktif

Dalam konteks intelektual dan sosial abad ke-21 yang ditandai oleh krisis representasi, fragmentasi identitas, serta pluralitas epistemik, pendekatan hermeneutika dekonstruktif memperoleh relevansi yang semakin kuat. Pendekatan ini tidak hanya menjadi medan kritik terhadap wacana dominan, tetapi juga berfungsi sebagai alat konseptual untuk mengurai kekuasaan yang bekerja secara halus dalam bahasa, institusi, dan struktur pengetahuan.

9.1.       Relevansi dalam Era Post-Truth dan Disinformasi

Kemunculan era post-truth, di mana emosi dan opini subjektif lebih mempengaruhi opini publik daripada fakta objektif, menantang paradigma lama tentang otoritas makna dan keabsahan pengetahuan. Dalam lanskap semacam ini, hermeneutika dekonstruktif memainkan peran penting sebagai pendekatan yang tidak menerima begitu saja klaim-klaim makna dan kebenaran, melainkan membongkarnya secara kritis dan historis1.

Dekonstruksi, dengan menyoroti bagaimana makna dibentuk oleh oposisi biner dan eksklusi simbolik, dapat membantu menganalisis narasi-narasi dominan dalam politik, media, dan budaya yang sering kali menyembunyikan bias ideologis di balik klaim netralitas atau rasionalitas2.

9.2.       Kontribusi terhadap Kajian Interdisipliner: Sastra, Gender, dan Poskolonialisme

Hermeneutika dekonstruktif juga memiliki kontribusi besar dalam bidang kajian interdisipliner. Dalam kajian sastra, pendekatan ini memungkinkan pembacaan teks yang menggali ambiguitas, kekosongan, dan aporia, sehingga memperkaya pemahaman akan dinamika wacana dalam narasi fiksi maupun nonfiksi3.

Dalam ranah kajian gender dan poskolonialisme, pemikir seperti Gayatri Spivak dan Homi K. Bhabha mengadaptasi prinsip dekonstruksi untuk mengungkap cara-cara representasi kolonial dan patriarkal bekerja dalam bahasa dan struktur budaya. Dekonstruksi membantu membongkar narasi pusat yang menyingkirkan “yang lain”—seperti perempuan, masyarakat adat, atau subjek-subjek subaltern—dari wacana modernitas Barat4.

9.3.       Prospek dalam Teologi dan Studi Agama

Dalam teologi kontemporer, pendekatan dekonstruktif telah membuka jalur baru bagi pembacaan teks suci. John D. Caputo, misalnya, menggunakan dekonstruksi dalam apa yang ia sebut sebagai “teologi tanpa agama”, yang membuka ruang untuk pengalaman religius tanpa terikat pada dogma atau otoritas institusional5. Di sini, teks-teks keagamaan tidak dilihat sebagai sumber kebenaran mutlak, melainkan sebagai medan tafsir yang memanggil tanggung jawab etis dari pembacanya.

Dekonstruksi dalam teologi juga berfungsi untuk menginterogasi struktur kuasa yang membentuk otoritas tafsir, dan memberi perhatian pada dimensi ketidakhadiran serta misteri dalam pengalaman keimanan. Dengan demikian, pendekatan ini menghadirkan spiritualitas yang dekonstruktif: tidak dogmatis, tetapi tetap penuh komitmen etis terhadap yang lain dan yang ilahi6.

9.4.       Masa Depan Kajian Hermeneutika Dekonstruktif: Antara Pembaruan dan Kritik

Ke depan, prospek kajian hermeneutika dekonstruktif akan bergantung pada kemampuannya untuk beradaptasi dengan tantangan kontemporer tanpa kehilangan kekuatan kritisnya. Beberapa tantangan penting mencakup:

·                     Bagaimana mempertahankan kritik terhadap totalisasi makna tanpa terjerumus ke dalam nihilisme;

·                     Bagaimana menerjemahkan prinsip dekonstruksi ke dalam praktik sosial, pendidikan, dan transformasi budaya konkret;

·                     Bagaimana menjaga keterbukaan tafsir sambil tetap mengupayakan ruang komunikasi yang etis dan bertanggung jawab.

Dalam hal ini, kerja para pemikir seperti Nicholas Royle dan Christopher Norris menunjukkan bahwa dekonstruksi tidak harus dimaknai sebagai penolakan terhadap makna, melainkan sebagai cara membaca yang penuh kesadaran terhadap kompleksitas dan keterbatasan struktur makna itu sendiri7.


Kesimpulan Sementara

Dekonstruksi, dalam dimensi hermeneutikanya, tetap menjadi pendekatan yang sangat diperlukan di tengah dunia yang penuh penafsiran, konflik wacana, dan krisis representasi. Ia bukan metode untuk menemukan makna tunggal, tetapi cara untuk menjaga agar makna tidak menjadi alat kekuasaan yang menindas. Dalam dunia yang semakin kompleks, hermeneutika dekonstruktif mengajarkan kita untuk membaca dengan kerendahan hati epistemik, kewaspadaan etis, dan keterbukaan interpretatif yang berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Jacques Derrida, Limited Inc, trans. Samuel Weber and Jeffrey Mehlman (Evanston: Northwestern University Press, 1988), 29–35.

[2]                Christopher Norris, Deconstruction: Theory and Practice (London: Routledge, 1991), 65–72.

[3]                Jonathan Culler, On Deconstruction: Theory and Criticism after Structuralism (Ithaca: Cornell University Press, 1982), 119–134.

[4]                Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Marxism and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg (Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.

[5]                John D. Caputo, The Weakness of God: A Theology of the Event (Bloomington: Indiana University Press, 2006), 9–14.

[6]                Mark C. Taylor, Erring: A Postmodern A/theology (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 112–120.

[7]                Nicholas Royle, Jacques Derrida (London: Routledge, 2003), 122–130.


10.       Simpulan

Hermeneutika dekonstruktif, sebagaimana dirumuskan dan dikembangkan oleh Jacques Derrida, menandai pergeseran radikal dalam tradisi penafsiran filosofis Barat. Berbeda dengan hermeneutika klasik yang mencari makna dalam intensi pengarang, dan hermeneutika modern yang menekankan dialog historis antara teks dan pembaca, hermeneutika dekonstruktif justru berangkat dari asumsi tentang ketidakhadiran makna yang utuh dan stabil. Teks tidak dipahami sebagai entitas koheren yang menyimpan satu makna tetap, melainkan sebagai medan perbedaan (différance), di mana makna terus-menerus tertunda dan terbuka untuk interpretasi tanpa titik henti1.

Derrida menunjukkan bahwa struktur teks dibangun di atas ketegangan antara kehadiran dan ketidakhadiran, antara maksud dan jejak, antara apa yang dikatakan dan apa yang tak terucapkan. Inilah yang menyebabkan setiap teks, betapapun sistematiknya, selalu menyimpan aporia—celah, paradoks, atau ketegangan logis yang mengganggu stabilitas klaim maknanya sendiri2. Melalui pembacaan dekonstruktif, teks tidak diinterpretasikan untuk menemukan makna tunggal, melainkan dibuka untuk menunjuk pada pluralitas, ketaksadaran struktural, dan kontradiksi internal.

Dari sisi epistemologis, pendekatan ini menolak logika representasi yang menempatkan bahasa sebagai cermin realitas. Dekonstruksi menggarisbawahi bahwa semua makna dikonstruksi dalam jaringan penanda yang saling merujuk tanpa fondasi akhir3. Hal ini menghasilkan bentuk epistemologi yang lebih reflektif, yang tidak menjanjikan kepastian absolut, melainkan menumbuhkan kewaspadaan kritis terhadap cara-cara makna dibentuk, dipaksakan, dan dinegosiasikan.

Dari sisi etis, hermeneutika dekonstruktif membuka ruang bagi tanggung jawab terhadap yang lain—baik itu dalam bentuk pembacaan yang lebih inklusif, maupun dalam kesadaran akan batas-batas pengetahuan dan bahasa kita sendiri. Etika dekonstruktif menolak keangkuhan epistemik dan menggantinya dengan kerendahan hati interpretatif, yakni kesediaan untuk terus menunda penutupan makna demi mendengar yang belum terdengar, melihat yang tersembunyi, dan memahami yang terpinggirkan4.

Dalam konteks kontemporer yang ditandai oleh fragmentasi wacana, dekonstruksi menawarkan alat baca yang kuat untuk menantang struktur kuasa dalam bahasa, menolak reduksi terhadap “kebenaran tunggal”, dan memperjuangkan keberagaman perspektif dalam praktik pengetahuan dan keilmuan. Oleh karena itu, meskipun menuai kritik karena dianggap relatifis atau bahkan nihilistik, dekonstruksi justru memberikan sumbangsih penting dalam merekonstruksi horizon etis dan epistemologis yang lebih terbuka, reflektif, dan tanggap terhadap kompleksitas realitas5.

Sebagai penutup, dapat ditegaskan bahwa hermeneutika dekonstruktif bukan sekadar metode pembacaan, tetapi merupakan sikap intelektual dan etis yang mengajak kita untuk berpikir melampaui sistem, mendengar suara yang teredam, dan menunda kepastian demi ruang-ruang kemungkinan yang lebih adil dan inklusif.


Footnotes

[1]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 61–65.

[2]                Jacques Derrida, Aporias, trans. Thomas Dutoit (Stanford: Stanford University Press, 1993), 12–24.

[3]                Christopher Norris, Derrida (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1987), 39–47.

[4]                John D. Caputo, The Prayers and Tears of Jacques Derrida: Religion without Religion (Bloomington: Indiana University Press, 1997), 86–102.

[5]                Nicholas Royle, Jacques Derrida (London: Routledge, 2003), 122–130.


Daftar Pustaka

Armstrong, P. B. (1984). Reading Heart of Darkness: An introduction to the problems of interpretation. MLN, 99(5), 1120–1141. https://doi.org/10.2307/2905794

Barthes, R. (1977). Image, music, text (S. Heath, Trans.). Hill and Wang.

Bhabha, H. K. (1994). The location of culture. Routledge.

Caputo, J. D. (1987). Radical hermeneutics: Repetition, deconstruction, and the hermeneutic project. Indiana University Press.

Caputo, J. D. (1997). The prayers and tears of Jacques Derrida: Religion without religion. Indiana University Press.

Caputo, J. D. (2006). The weakness of God: A theology of the event. Indiana University Press.

Culler, J. (1982). On deconstruction: Theory and criticism after structuralism. Cornell University Press.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Derrida, J. (1978). Writing and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Derrida, J. (1981). Dissemination (B. Johnson, Trans.). University of Chicago Press.

Derrida, J. (1982). Margins of philosophy (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Derrida, J. (1988). Limited Inc (S. Weber & J. Mehlman, Trans.). Northwestern University Press.

Derrida, J. (1993). Aporias (T. Dutoit, Trans.). Stanford University Press.

Derrida, J. (1995). The gift of death (D. Wills, Trans.). University of Chicago Press.

Derrida, J. (1999). Adieu to Emmanuel Levinas (P.-A. Brault & M. Naas, Trans.). Stanford University Press.

Dilthey, W. (1996). Selected works, volume IV: Hermeneutics and the study of history (R. A. Makkreel & F. Rodi, Eds.). Princeton University Press.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (2nd ed., J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

Habermas, J. (1987). The philosophical discourse of modernity: Twelve lectures (F. G. Lawrence, Trans.). MIT Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Norris, C. (1987). Derrida. Harvard University Press.

Norris, C. (1991). Deconstruction: Theory and practice. Routledge.

Parry, B. (1987). Problems in current theories of colonial discourse. Oxford Literary Review, 9(1–2), 27–58.

Rorty, R. (1982). Consequences of pragmatism: Essays 1972–1980. University of Minnesota Press.

Royle, N. (2003). Jacques Derrida. Routledge.

Searle, J. R. (1977). Reiterating the differences: A reply to Derrida. Glyph, 1, 198–208.

Schleiermacher, F. (1998). Hermeneutics and criticism (A. Bowie, Ed.). Cambridge University Press.

Spivak, G. C. (1988). Can the subaltern speak? In C. Nelson & L. Grossberg (Eds.), Marxism and the interpretation of culture (pp. 271–313). University of Illinois Press.

Spivak, G. C. (1988). Subaltern studies: Deconstructing historiography. In R. Guha & G. C. Spivak (Eds.), Selected subaltern studies (pp. 3–32). Oxford University Press.

Taylor, M. C. (1984). Erring: A postmodern a/theology. University of Chicago Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar