Hermeneutika Filosofis
Antara Pemahaman dan Penafsiran
Alihkan ke: Matode Haermeneutika dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif
perkembangan dan kontribusi hermeneutika filosofis sebagai paradigma pemahaman
dalam filsafat modern dan kontemporer. Berbeda dengan pendekatan hermeneutika
metodologis yang menekankan teknik interpretasi terhadap teks, hermeneutika
filosofis menekankan bahwa pemahaman merupakan struktur eksistensial manusia
yang berakar dalam historisitas dan bahasa. Melalui pemikiran Martin Heidegger
dan Hans-Georg Gadamer, pemahaman dimaknai sebagai proses ontologis dan
dialogis yang terjadi dalam horizon tradisi dan pengalaman linguistik. Artikel
ini juga mengkaji dialog antara hermeneutika filosofis dengan teori kritis,
dekonstruksi, serta aplikasinya dalam ilmu humaniora seperti sastra, sejarah,
hukum, dan teologi. Isu-isu kunci seperti objektivitas makna, bahasa sebagai
medium pemahaman, etika interpretasi, dan relevansi humaniora dalam masyarakat
kontemporer turut dieksplorasi secara kritis. Dengan pendekatan ini,
hermeneutika filosofis tidak hanya menjadi refleksi teoritis, tetapi juga
menawarkan kontribusi praksis dalam membentuk pemahaman yang inklusif,
reflektif, dan transformatif.
Kata Kunci: Hermeneutika Filosofis, Pemahaman, Bahasa,
Ontologi, Martin Heidegger, Hans-Georg Gadamer, Fusi Cakrawala, Teori Kritis,
Paul Ricoeur, Ilmu Humaniora.
PEMBAHASAN
Pendekatan Hermeneutika Filosofis dalam Memahami Teks
1.
Pendahuluan
Hermeneutika, pada
awalnya, berkembang sebagai disiplin dalam penafsiran teks-teks suci dan
dokumen hukum dalam konteks tradisi klasik dan teologis. Namun, memasuki abad
ke-19 dan terutama abad ke-20, ia mengalami transformasi yang radikal menjadi sebuah filsafat
pemahaman yang tidak lagi terbatas pada teks, melainkan
merambah seluruh dimensi keberadaan manusia. Perkembangan ini ditandai oleh
munculnya apa yang kini dikenal sebagai hermeneutika filosofis, yakni
pendekatan yang menekankan bahwa pemahaman bukan sekadar teknik interpretatif,
melainkan sebuah struktur dasar dari eksistensi manusia itu sendiri.
Berbeda dari
pendekatan hermeneutik metodologis seperti yang dirintis oleh Friedrich
Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey, yang masih berpijak pada upaya membangun
metode pemahaman ilmiah terhadap teks dan pengalaman sejarah, hermeneutika
filosofis bertolak dari kesadaran akan keterbatasan metodologi objektif dalam
menjangkau kedalaman makna dan pengalaman manusia. Tokoh-tokoh seperti Martin
Heidegger dan Hans-Georg Gadamer menggeser pusat perhatian dari "bagaimana
kita memahami teks" menjadi "apa artinya menjadi makhluk yang mampu
memahami."¹ Dalam konteks ini, pemahaman menjadi cara eksistensial manusia
berada-di-dunia (Dasein), bukan sekadar aktivitas
kognitif yang dapat dianalisis secara terpisah dari latar historis dan
linguistiknya.²
Hermeneutika
filosofis juga menandai perubahan dalam filsafat bahasa dan epistemologi. Bahasa
tidak lagi dipahami sebagai alat netral untuk menyampaikan makna, melainkan
sebagai medium di mana pemahaman itu sendiri berlangsung. Dalam karya
monumentalnya Truth and Method, Gadamer
menekankan bahwa segala bentuk pemahaman merupakan dialog historis yang
melibatkan prakonsepsi, tradisi, dan horizon makna yang saling bertemu.³ Dengan
demikian, hermeneutika filosofis menghubungkan filsafat bahasa, ontologi, dan
teori pengetahuan dalam satu kesatuan reflektif.
Urgensi hermeneutika
filosofis dalam konteks filsafat kontemporer semakin mengemuka seiring dengan
berkembangnya kritik terhadap positivisme, objektivisme, dan klaim-klaim
universal dalam ilmu sosial dan humaniora. Kepekaan hermeneutika terhadap
konteks, sejarah, dan pluralitas makna memberikan alternatif metodologis yang
lebih inklusif dan reflektif dalam menghadapi kompleksitas realitas manusia
modern.⁴ Oleh karena itu, hermeneutika filosofis tidak hanya relevan sebagai
teori interpretasi, tetapi juga sebagai pendekatan kritis terhadap cara manusia
memahami diri, dunia, dan liyan.
Tulisan ini
bertujuan untuk mengulas secara mendalam karakter, prinsip dasar, dan tokoh
sentral hermeneutika filosofis, serta menunjukkan bagaimana pendekatan ini
memainkan peran signifikan dalam pemikiran filosofis modern dan kontemporer.
Dengan menggali akar historisnya, merinci perkembangan gagasan utama, dan
mengeksplorasi aplikasinya dalam wacana humaniora dan sosial, pembahasan ini
diharapkan dapat memberikan pemahaman menyeluruh mengenai kontribusi dan
relevansi hermeneutika filosofis dalam tradisi filsafat.
Footnotes
[1]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury Academic, 2013), 250–52.
[2]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 182–190.
[3]
Gadamer, Truth and Method, 267–273.
[4]
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern
University Press, 1969), 35–37.
2.
Akar
Historis Hermeneutika
Hermeneutika sebagai
disiplin intelektual memiliki akar yang sangat tua dalam sejarah pemikiran
Barat. Istilah hermeneuein dalam bahasa Yunani
berarti "menafsirkan" atau "menjelaskan," dan
secara etimologis dikaitkan dengan dewa Hermes, sang pembawa pesan para dewa
dalam mitologi Yunani. Namun, hermeneutika dalam pengertian sistematis mulai
berkembang dalam konteks teologis, terutama dalam upaya untuk menafsirkan
teks-teks suci seperti Alkitab.¹
Pada masa patristik
dan skolastik, tokoh-tokoh seperti Origenes, Agustinus,
dan kemudian Thomas Aquinas, telah
menerapkan pendekatan hermeneutik dalam menjelaskan makna literal, alegoris,
moral, dan anagogis dari Kitab Suci.² Dalam fase ini, hermeneutika merupakan
bagian dari teologi, bertujuan untuk mengungkap makna ilahi yang tersembunyi di
balik teks. Tradisi ini berlanjut selama berabad-abad dalam bentuk eksposisi
kitab suci di lingkungan gereja.
Transformasi besar
hermeneutika terjadi pada zaman modern, terutama melalui pemikiran Friedrich
Schleiermacher (1768–1834), yang pertama kali berupaya
menjadikan hermeneutika sebagai disiplin universal. Ia menekankan pentingnya
pemahaman terhadap konteks historis dan psikologis pengarang sebagai dasar dari
interpretasi teks. Schleiermacher memandang hermeneutika sebagai seni memahami
yang menggabungkan dimensi gramatikal dan teknis-psikologis dalam satu kesatuan
metode.³ Pemikirannya membuka jalan bagi hermeneutika sebagai metode ilmiah
dalam ilmu humaniora.
Pemikiran
Schleiermacher kemudian dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey (1833–1911),
yang menekankan hermeneutika sebagai dasar epistemologis ilmu-ilmu kemanusiaan
(Geisteswissenschaften).
Dilthey menolak penerapan metode ilmu alam pada studi kemanusiaan, karena
menurutnya dunia manusia dipahami bukan melalui penjelasan kausal, tetapi
melalui pengalaman
hidup (Erlebnis) yang ditafsirkan.⁴ Dengan
demikian, pemahaman menjadi pusat dalam metodologi ilmu sejarah dan budaya.
Namun, hermeneutika pada tahap ini masih bersifat metodologis—ia mencari
keabsahan interpretasi melalui struktur dan prosedur tertentu.
Barulah pada abad
ke-20, terutama melalui Martin Heidegger, hermeneutika
berubah dari metode menjadi filsafat. Dalam Being and Time (1927), Heidegger
mengembangkan apa yang ia sebut sebagai hermeneutika ontologis, yaitu upaya
untuk menyingkap struktur makna dari keberadaan manusia (Dasein) itu sendiri.
Pemahaman bukan lagi sekadar cara menafsirkan teks, melainkan cara manusia
"berada" di dunia.⁵ Dengan Heidegger, hermeneutika tidak lagi sekadar
alat untuk memahami makna, melainkan menjadi kerangka reflektif terhadap
eksistensi dan waktu.
Perubahan paradigma
ini membuka jalan bagi Hans-Georg Gadamer, murid
Heidegger, yang mengembangkan hermeneutika sebagai dialog historis antara
subjek dan tradisi, seperti tampak dalam karya monumentalnya Truth
and Method (1960). Gadamer menolak objektivitas dalam interpretasi
dan menekankan bahwa pemahaman selalu dipengaruhi oleh prasangka
(prejudices) dan sejarah efektual (Wirkungsgeschichte),
yang membentuk horizon makna seseorang.⁶ Dengan demikian, Gadamer melanjutkan
dan memperluas warisan Heideggerian ke dalam ranah bahasa dan sejarah.
Dengan latar
belakang inilah hermeneutika filosofis memperoleh bentuknya sebagai disiplin
yang tidak hanya menafsirkan teks, tetapi juga menafsirkan eksistensi manusia,
bahasa, dan sejarah secara reflektif dan ontologis. Ia menjadi semacam metafilsafat
yang mempertanyakan syarat-syarat kemungkinan pemahaman itu sendiri dalam dunia
yang terus berubah dan plural.
Footnotes
[1]
Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics,
trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 17.
[2]
Anthony C. Thiselton, The Two Horizons: New Testament Hermeneutics
and Philosophical Description (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1980), 95–97.
[3]
Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism and Other
Writings, ed. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
5–8.
[4]
Wilhelm Dilthey, Selected Works: Volume IV: Hermeneutics and the
Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton:
Princeton University Press, 1996), 161–164.
[5]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 61–66.
[6]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury Academic, 2013), 265–270.
3.
Hermeneutika
sebagai Filsafat Pemahaman
Hermeneutika
filosofis menandai pergeseran dari pendekatan metodologis menuju suatu
orientasi ontologis terhadap pemahaman. Dalam pendekatan ini, pemahaman tidak
lagi dilihat sebagai aktivitas teknis yang dikontrol melalui prosedur-prosedur
tertentu sebagaimana dalam ilmu pengetahuan atau filologi, tetapi sebagai
dimensi dasar dan tak terhindarkan dari eksistensi manusia. Dengan kata lain,
manusia tidak memiliki pemahaman sebagai suatu
keterampilan tambahan, melainkan menjadi makhluk yang selalu sudah
berada dalam horizon pemahaman.
Konsepsi ini berakar
kuat dalam karya Martin Heidegger, terutama
dalam Being
and Time (1927), di mana ia menempatkan Verstehen (pemahaman) sebagai
struktur ontologis dari Dasein—entitas manusiawi yang
senantiasa berada-di-dunia (In-der-Welt-sein). Bagi Heidegger,
pemahaman bukanlah hasil dari refleksi rasional yang sadar, melainkan merupakan
modus eksistensial yang mendahului refleksi.⁽¹⁾ Pemahaman menjadi cara berada
manusia dalam keterlibatannya yang praksis terhadap dunia dan makna-makna yang
dikandungnya. Dalam istilah Heidegger, dunia bukanlah sesuatu yang netral,
melainkan selalu “bermakna” karena manusia telah berada dalam jaringan relasi
pengertian.
Gagasan ini menjadi
dasar bagi Hans-Georg Gadamer dalam
mengembangkan pemikiran hermeneutika filosofis secara sistematik. Dalam Truth
and Method (1960), Gadamer berargumen bahwa segala pemahaman
merupakan suatu bentuk pengalaman kebenaran yang
berlangsung dalam konteks historis dan linguistik tertentu.⁽²⁾ Ia menolak ide
objektivitas absolut dalam interpretasi dan mengemukakan bahwa pemahaman selalu
melibatkan prasangka
(Vorurteile)
yang tidak sepenuhnya bisa dihindari. Prasangka di sini bukan dalam pengertian
negatif, melainkan sebagai horizon awal yang membentuk kemungkinan makna.
Pemahaman, dalam
konteks ini, merupakan proses dialektis yang terjadi melalui fusi
cakrawala (Horizontverschmelzung)—pertemuan
antara horizon makna si penafsir dan horizon historis dari teks atau tradisi
yang diinterpretasi.⁽³⁾ Proses ini tidak bersifat metodologis dalam arti ketat,
melainkan bersifat dialogis dan terbuka. Dengan demikian, hermeneutika
filosofis menawarkan suatu pandangan bahwa pengertian tidak dapat dilepaskan
dari situasi konkret subjek yang memahami.
Hermeneutika sebagai
filsafat pemahaman juga mengimplikasikan bahwa makna bukan sesuatu yang
tertutup dan tetap, melainkan terus terbentuk melalui keterlibatan eksistensial
manusia dalam sejarah dan bahasa.⁽⁴⁾ Oleh karena itu, setiap bentuk
interpretasi merupakan aktualisasi baru dari makna, dan tidak pernah merupakan
representasi final yang mengunci penafsiran.
Pemahaman juga tidak
dapat dipisahkan dari pengalaman dan kebertubuhan
manusia. Tokoh-tokoh seperti Paul Ricoeur mengembangkan dimensi ini lebih jauh
dengan menunjukkan bahwa pemahaman terhadap teks juga mencerminkan dinamika
antara “diri” dan “liyan” dalam proses pemaknaan.⁽⁵⁾ Ricoeur menyatakan bahwa
hermeneutika merupakan upaya untuk mengatasi distansiasi antara subjek dan
teks, bukan dengan meniadakan jarak tersebut, tetapi dengan mengubahnya menjadi
produktif melalui interpretasi reflektif.
Dari sini dapat
disimpulkan bahwa hermeneutika sebagai filsafat pemahaman tidak hanya relevan
dalam wacana teks, tetapi juga dalam memahami eksistensi, sejarah, bahasa, dan
pengalaman manusia secara menyeluruh. Ia tidak hanya menjawab bagaimana kita
memahami dunia, tetapi juga bagaimana dunia menjadi dapat-dipahami oleh manusia
yang terbatas dan kontekstual.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 182–189.
[2]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury Academic, 2013), 269–273.
[3]
Ibid., 305–311.
[4]
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern
University Press, 1969), 47–49.
[5]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of
Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 43–45.
4.
Martin
Heidegger dan Ontologi Pemahaman
Revolusi terbesar
dalam sejarah hermeneutika terjadi dengan karya Martin Heidegger, seorang
filsuf Jerman yang mengalihkan fokus hermeneutika dari metode interpretasi teks
ke eksistensi manusia itu sendiri. Dalam Being and Time (Sein und
Zeit, 1927), Heidegger memperkenalkan apa yang disebutnya sebagai
“hermeneutika ontologis”, yakni usaha untuk mengungkap struktur terdalam dari
keberadaan manusia melalui analisis eksistensial.⁽¹⁾
Bagi Heidegger,
pemahaman (Verstehen)
bukan sekadar aktivitas kognitif atau alat metodologis dalam menafsirkan teks,
melainkan cara utama di mana manusia—yang disebutnya Dasein—mengada
di dunia. Dasein
secara harfiah berarti "ada-di-sana" dan merujuk pada makhluk
yang menyadari keberadaannya, dan dalam konteks tersebut, pemahaman merupakan
cara Dasein
menjalin relasi dengan dunianya secara faktual dan praksis.⁽²⁾ Dalam kerangka
ini, pemahaman tidak dihasilkan melalui proses reflektif belaka, tetapi
mendahului setiap refleksi sebagai suatu kondisi awal dari keterlemparan
manusia ke dunia (Geworfenheit).
Heidegger membongkar
struktur eksistensial pemahaman sebagai bagian dari keseluruhan struktur
ontologis Dasein,
yang mencakup Befindlichkeit (terlemparnya
suasana-afektif), Verstehen (pemahaman), dan Rede
(percakapan atau diskursus).⁽³⁾ Pemahaman bersifat praksis karena berkaitan
langsung dengan tindakan, dan bukan sekadar pengetahuan teoritis; manusia
memahami melalui keterlibatan langsung dalam dunia yang bermakna.
Dalam analisisnya,
Heidegger menyatakan bahwa setiap tindakan memahami selalu dipengaruhi oleh apa
yang disebutnya sebagai keber-ada-an-di-muka (Vorhabe),
keber-ada-an-dalam-tinjauan
(Vorsicht),
dan keber-ada-an-dalam-konsep
(Vorgriff)—yakni
struktur awal yang mengarahkan makna bahkan sebelum penafsiran eksplisit
dimulai.⁽⁴⁾ Hal ini menunjukkan bahwa tidak pernah ada pemahaman yang
benar-benar bebas dari prapemaknaan (preunderstanding); semua bentuk
interpretasi adalah penyingkapan dari sesuatu yang sudah “selalu-sudah-dipahami”
(immer
schon verstanden).
Dalam kerangka ini,
Heidegger secara radikal memutuskan keterikatan hermeneutika dengan teori
representasi. Alih-alih merepresentasikan realitas objektif, pemahaman
mengungkap dunia dari sudut eksistensialitas manusia. Dunia bukanlah sekadar
kumpulan objek, tetapi medan makna di mana manusia secara aktif terlibat.⁽⁵⁾
Dengan kata lain, hermeneutika Heideggerian adalah
ontologi dari makna yang muncul dari keberadaan yang memahami.
Konsekuensi dari
pendekatan ini sangat luas. Pertama, ia menolak dikotomi klasik antara subjek
dan objek karena manusia tidak pernah berada di luar dunia yang ia pahami; ia
selalu “ada di dalamnya.” Kedua, pemahaman menjadi fenomena yang dinamis dan
temporal, seiring manusia menjalani waktu yang penuh kemungkinan dan
keterbatasan (Sein-zum-Tode,
being-toward-death).⁽⁶⁾ Ketiga, penafsiran bukanlah tindakan sekunder atas
makna, melainkan kegiatan asli dari keterlibatan eksistensial dengan dunia.
Pengaruh Heidegger
sangat besar terhadap para filsuf setelahnya, seperti Hans-Georg
Gadamer, Paul Ricoeur, bahkan para
pemikir post-strukturalis seperti Jacques Derrida. Namun,
signifikansi utama Heidegger tetap pada usahanya membebaskan hermeneutika dari
batasan metodologis dan mengembalikannya ke akar ontologis yang dalam, yaitu
bahwa menjadi manusia berarti menjadi makhluk yang mampu memahami, karena ia
telah dilemparkan ke dalam dunia yang bermakna.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 61–71.
[2]
Ibid., 78–79.
[3]
Ibid., 172–177.
[4]
Ibid., 191–195.
[5]
Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s
Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 95–98.
[6]
Heidegger, Being and Time, 276–283.
5.
Hans-Georg
Gadamer dan Hermeneutika Filosofis
Jika Heidegger
merevolusi hermeneutika dengan mengubahnya menjadi refleksi ontologis atas
keberadaan manusia, maka Hans-Georg Gadamer (1900–2002)
melanjutkan dan memperluas proyek tersebut ke dalam dimensi bahasa, sejarah,
dan tradisi. Dalam karya monumentalnya, Truth and Method (Wahrheit
und Methode, 1960), Gadamer menyusun landasan sistematis bagi hermeneutika
filosofis sebagai filsafat pemahaman historis dan linguistik,
sekaligus sebagai kritik terhadap objektivisme ilmu pengetahuan modern.¹
Bagi Gadamer, semua
pemahaman bersifat tertanam dalam sejarah (geschichtliche
Bewusstheit) dan dijalankan melalui medium bahasa.
Ia menolak gagasan bahwa interpretasi dapat dibebaskan dari latar belakang
historis atau dari prasangka (Vorurteile)
si penafsir. Dalam pandangannya, prasangka bukanlah penghalang bagi
pemahaman, melainkan struktur awal yang memungkinkan kita membuka diri terhadap
makna.² Pemahaman selalu terjadi dalam suatu dialog antara masa kini dan masa
lalu, antara subjek penafsir dan tradisi yang diwarisi.
Konsep kunci dalam
filsafat Gadamer adalah “fusi cakrawala” (Horizontverschmelzung),
yaitu proses dialogis di mana horizon historis si penafsir dan horizon teks
atau tradisi saling bertemu dan membentuk makna baru.³ Proses ini tidak pernah
bersifat final atau mutlak, karena setiap interpretasi terbuka terhadap
reinterpretasi dalam konteks historis yang berubah. Oleh karena itu, makna
adalah hasil dari pengalaman dialogis yang selalu berkembang.
Gadamer juga
mengkritik upaya menyamakan pemahaman dengan metode ilmiah.
Baginya, pemahaman adalah pengalaman akan kebenaran yang tidak dapat direduksi
ke dalam prosedur metodologis atau kriteria objektif.⁴ Ia mencontohkan
pemahaman dalam seni, sejarah, dan hukum, yang justru menuntut keterlibatan
subjektif, kepekaan terhadap konteks, dan dialog dengan tradisi. Dalam
pengertian ini, pemahaman adalah pengalaman kebenaran (Erfahrung
der Wahrheit) yang tak terpisahkan dari keterlibatan eksistensial
si subjek.
Salah satu
kontribusi penting Gadamer adalah pemahamannya tentang bahasa
sebagai medium pemahaman. Ia menyatakan bahwa “Being that can
be understood is language” (Sein, das verstanden werden kann, ist Sprache),
menandakan bahwa eksistensi itu sendiri hanya dapat muncul sebagai sesuatu yang
dapat dimengerti melalui bahasa.⁵ Dalam pengertian ini, bahasa bukan sekadar
alat untuk mengekspresikan pemikiran, melainkan ruang di mana makna dan
pengertian terbentuk secara dialogis. Bahasa adalah rumah keberadaan, dan
setiap tindakan memahami adalah tindakan berbicara bersama dengan tradisi.
Filsafat
hermeneutika Gadamer telah memberikan kontribusi besar dalam bidang humaniora,
teologi, hukum, dan estetika, terutama karena pendekatannya yang menolak
reduksionisme ilmiah dan membuka ruang bagi pemahaman historis yang dinamis dan
terbuka.⁶ Meski ia mendapat kritik dari pemikir seperti Jürgen Habermas, yang
menilai bahwa Gadamer terlalu mengidealkan tradisi dan mengabaikan potensi
dominasi dalam komunikasi, Gadamer tetap teguh dalam keyakinannya bahwa
pemahaman sejati lahir dari kesediaan untuk mendengar dan berdialog,
bukan dari dominasi metode atau ideologi.
Pada akhirnya,
hermeneutika filosofis versi Gadamer menunjukkan bahwa pemahaman tidak mungkin
netral, karena selalu terjadi dalam kerangka waktu, bahasa, dan sejarah. Namun
justru di sanalah terletak nilai dan keotentikan pemahaman manusia: sebagai
proses yang hidup, terbuka, dan partisipatif dalam menafsirkan dunia dan
keberadaan kita sendiri.
Footnotes
[1]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury Academic, 2013), xvi–xxii.
[2]
Ibid., 273–280.
[3]
Ibid., 305–311.
[4]
Ibid., 312–320.
[5]
Ibid., 470. Lihat juga Jean Grondin, Introduction to Philosophical
Hermeneutics, trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press,
1994), 124–126.
[6]
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern
University Press, 1969), 142–148.
6.
Hermeneutika
Filosofis dalam Dialog dengan Kritik Sosial dan Bahasa
Hermeneutika
filosofis, sebagaimana dirumuskan oleh Heidegger dan Gadamer, memang memberi
tekanan besar pada dimensi ontologis dan linguistik dari pemahaman. Namun,
pendekatan ini tidak luput dari kritik, terutama dari pemikir-pemikir yang
menilai bahwa refleksi hermeneutis perlu melampaui horizon historis dan
linguistik menuju ranah praksis sosial, kekuasaan, dan ideologi. Maka dari itu,
berkembanglah sebuah dialog produktif antara hermeneutika filosofis dan teori
kritis serta filsafat bahasa kontemporer,
yang memperkaya dan sekaligus menguji batas-batas pendekatan Gadamerian.
Salah satu tokoh
sentral dalam jembatan antara hermeneutika dan kritik sosial adalah Paul
Ricoeur, yang berupaya merekonsiliasi pendekatan
eksistensial-linguistik hermeneutika dengan kebutuhan akan jarak
kritis terhadap teks dan struktur makna. Dalam karya-karya seperti Interpretation
Theory dan Time and Narrative, Ricoeur
memperkenalkan model hermeneutika tiga tahap: dari
simbol, ke teks, dan akhirnya ke tindakan.⁽¹⁾ Ia menekankan pentingnya distansiasi
sebagai syarat produktif dalam interpretasi—berbeda dengan Gadamer yang
menekankan “keterlibatan historis”—karena menurut Ricoeur, pemahaman
sejati menuntut refleksi kritis terhadap struktur makna dan bahasa.⁽²⁾
Ricoeur juga
memperkenalkan konsep surplus of meaning sebagai
respons terhadap pendekatan strukturalis dan formalis, menunjukkan bahwa makna
tidak pernah bisa direduksi pada niat pengarang ataupun makna literal teks.⁽³⁾
Dengan demikian, ia membuka hermeneutika terhadap pluralitas makna, sembari
tetap menjaga dimensi etis dari interpretasi. Ricoeur, secara mendalam,
mengintegrasikan wacana hermeneutik dengan fenomenologi, naratologi,
dan bahkan teologi, menjadikannya salah
satu figur transformatif dalam perluasan cakupan hermeneutika filosofis.
Dialog antara
hermeneutika dan teori kritis mencapai puncaknya dalam debat
antara Gadamer dan Jürgen Habermas pada 1960-an dan 1970-an.
Habermas, tokoh utama Mazhab Frankfurt generasi kedua, mengkritik Gadamer
karena dianggap terlalu menerima tradisi dan otoritas tanpa cukup
mempertimbangkan struktur kekuasaan dan dominasi ideologis
yang menyertainya.⁽⁴⁾ Bagi Habermas, setiap pemahaman tidak hanya historis,
tetapi juga dipengaruhi oleh sistem komunikasi yang bisa dimanipulasi. Oleh
karena itu, ia menekankan perlunya pendekatan kritik ideologi dalam
hermeneutika agar proses interpretasi tidak menjadi reproduksi pasif
nilai-nilai dominan.⁽⁵⁾
Meski pada akhirnya
Gadamer menanggapi kritik tersebut dengan menunjukkan bahwa pemahaman selalu
bersifat dialogis dan tidak menutup kemungkinan untuk kritik, debat ini
menunjukkan batas dan potensi perluasan hermeneutika filosofis ke arah dimensi
sosial-politik.⁽⁶⁾ Perdebatan ini juga menandai titik temu antara filsafat
pemahaman dan etika diskursus, membuka jalan
bagi pengembangan teori komunikasi dan demokrasi deliberatif di tangan
Habermas.
Selain kritik
sosial, hermeneutika filosofis juga mengalami ketegangan dengan pemikiran post-strukturalis,
terutama dalam pendekatan dekonstruktif terhadap bahasa. Tokoh seperti Jacques
Derrida menolak asumsi bahwa pemahaman dapat menjangkau makna
stabil melalui bahasa, karena bagi Derrida, makna selalu tertunda (différance)
dan teks tidak pernah utuh secara logis atau ontologis.⁽⁷⁾ Dalam konteks ini,
hermeneutika Gadamerian dinilai terlalu mengidealkan koherensi dialogis dan
mengabaikan ketegangan, ketaksadaran, dan ironi dalam struktur bahasa itu
sendiri.
Namun demikian, para
pembela hermeneutika filosofis seperti Jean Grondin atau Richard Palmer
berargumen bahwa justru hermeneutika mampu menyediakan kerangka reflektif untuk
menghadapi relativisme postmodern, karena ia mengakui keterbatasan dan
historisitas pemahaman, sambil tetap mempertahankan kemungkinan dialog yang
bertanggung jawab.⁽⁸⁾ Hermeneutika tidak menolak pluralitas, tetapi juga tidak
menyerah pada nihilisme interpretatif.
Dengan demikian,
dialog hermeneutika filosofis dengan kritik sosial dan teori bahasa kontemporer
memperkaya dinamika filsafat interpretasi. Ia tidak hanya memperluas medan
refleksi ke ranah kekuasaan dan struktur bahasa, tetapi juga menguji kapasitas
hermeneutika untuk menjawab tantangan zaman: dari kebermaknaan teks, ke
struktur wacana, dan akhirnya ke dimensi tindakan sosial yang etis.
Footnotes
[1]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of
Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 71–77.
[2]
Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics II,
trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston: Northwestern University
Press, 1991), 135–140.
[3]
Ibid., 89.
[4]
Jürgen Habermas, “The Hermeneutic Claim to Universality,” dalam Contemporary
Hermeneutics, ed. Josef Bleicher (London: Routledge & Kegan Paul,
1980), 181–211.
[5]
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy
J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 314–320.
[6]
Hans-Georg Gadamer, “Reply to My Critics,” dalam The Hermeneutic
Tradition: From Ast to Ricoeur, ed. Gayle L. Ormiston and Alan D. Schrift
(Albany: SUNY Press, 1990), 273–297.
[7]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 62–66.
[8]
Jean Grondin, Sources of Hermeneutics (Albany: SUNY Press,
1995), 145–150.
7.
Isu-Isu
Kunci dalam Hermeneutika Filosofis
Sebagai cabang
filsafat yang berakar dalam problematika pemahaman dan interpretasi, hermeneutika
filosofis tidak luput dari sejumlah persoalan mendasar yang
terus menjadi bahan perdebatan dalam ranah teoretis maupun praksis. Sejumlah
isu kunci berikut menjadi medan utama refleksi dan kritik terhadap hermeneutika
filosofis dalam konteks kontemporer.
7.1.
Objektivitas dan Relativitas
Makna
Salah satu
perdebatan klasik dalam hermeneutika filosofis adalah pertanyaan tentang status
objektivitas dalam interpretasi. Para pemikir seperti Gadamer
menolak objektivitas dalam pengertian positivistik—yakni, bahwa pemahaman dapat
dilepaskan dari prakonsepsi dan kondisi historis subjek.⁽¹⁾ Bagi Gadamer, semua
pemahaman selalu terlibat dalam sejarah efektual (Wirkungsgeschichte) yang membentuk
horizon si penafsir, dan karenanya, makna tidak bersifat absolut. Namun,
penolakan terhadap objektivitas ini memunculkan kekhawatiran terhadap relativisme,
yaitu anggapan bahwa semua penafsiran memiliki nilai yang sama tanpa dasar
untuk evaluasi kritis.
Untuk menjawabnya,
hermeneutika filosofis memperkenalkan gagasan fusi cakrawala sebagai
mekanisme dialogis yang memungkinkan pembentukan makna intersubjektif tanpa
terjebak pada absolutisme maupun relativisme.⁽²⁾ Proses pemahaman dipahami
sebagai hasil interaksi antara horizon-horizon makna yang terbuka dan
berkembang secara historis.
7.2.
Intensi Pengarang dan
Otoritas Teks
Isu lain yang
menonjol adalah hubungan antara intensi pengarang dan otoritas
teks. Dalam tradisi hermeneutika klasik (Schleiermacher,
Dilthey), upaya interpretasi diarahkan untuk “mengulang” maksud
subjektif pengarang. Namun, dalam hermeneutika filosofis, pendekatan ini
ditinggalkan. Gadamer menegaskan bahwa teks memiliki “kehidupan sendiri”
yang melebihi niat pengarang, dan makna berkembang dalam dialog antara teks dan
pembaca.⁽³⁾
Pendekatan ini
bersinggungan dengan teori strukturalis dan post-strukturalis yang menolak
otoritas tunggal dalam teks. Ricoeur memperhalus posisi ini dengan menunjukkan
bahwa makna terletak di antara teks dan dunia yang ditunjukkannya, bukan hanya
dalam intensi subjektif.⁽⁴⁾ Maka, penafsiran bukanlah penggalian niat, tetapi
eksplorasi makna dalam konteks linguistik dan historis tertentu.
7.3.
Bahasa sebagai Medium
Pemahaman
Hermeneutika
filosofis juga mengusung premis fundamental bahwa bahasa
bukan hanya alat, tetapi medium pemahaman itu sendiri.
Pemikiran ini berakar pada Heidegger dan mencapai puncaknya dalam Gadamer, yang
menyatakan bahwa “Being that can be understood is language.”⁽⁵⁾ Artinya,
segala yang bisa dipahami harus terlebih dahulu hadir dalam bentuk linguistik.
Namun, ini juga
menimbulkan pertanyaan kritis: sejauh mana bahasa dapat diandalkan sebagai
jembatan pemahaman, dan tidak justru menjadi penghalang? Derrida, misalnya,
memperingatkan bahwa bahasa penuh dengan ambiguitas dan deferensialitas makna (différance),
sehingga stabilitas makna tidak pernah benar-benar tercapai.⁽⁶⁾ Maka,
hermeneutika filosofis harus bergulat dengan kemungkinan bahwa bahasa tidak
hanya memediasi, tetapi juga menggeser makna.
7.4.
Historisitas dan Kontekstualisasi
Pemahaman
Hermeneutika
filosofis menekankan bahwa pemahaman tidak terjadi dalam kevakuman, tetapi
dalam konteks
historis dan budaya tertentu. Namun, hal ini menimbulkan dilema
antara hermeneutika
simpatetik—yang berusaha memahami tradisi dari dalam—dengan hermeneutika
kritis, yang menilai bahwa beberapa bentuk tradisi justru harus
diinterogasi karena sarat kekuasaan dan ideologi.⁽⁷⁾
Habermas
menggarisbawahi pentingnya pemahaman yang tidak hanya melibatkan keterbukaan
dialogis, tetapi juga evaluasi kritis terhadap struktur sosial dan komunikatif
yang membentuk makna.⁽⁸⁾ Dengan demikian, hermeneutika filosofis diperluas ke
arah kritik
ideologi dan etika komunikasi, yang membuka
ruang bagi pemahaman yang transformatif.
7.5.
Etika Interpretasi dan
Tanggung Jawab Hermeneutik
Dalam konteks
pluralitas dunia kontemporer, hermeneutika filosofis juga dihadapkan pada
persoalan etika interpretasi. Apakah
semua interpretasi sah? Apakah ada batas moral atau epistemologis dalam
menafsirkan? Paul Ricoeur menekankan pentingnya keadilan hermeneutik (hermeneutic
justice), yakni kesediaan untuk memberi tempat bagi liyan, suara
minoritas, dan pengalaman yang berbeda.⁽⁹⁾
Etika hermeneutik
menuntut kerendahan
hati epistemik, kesediaan mendengarkan, serta tanggung jawab terhadap
dampak sosial dari interpretasi. Dalam konteks ini, hermeneutika filosofis
tidak hanya menjadi teori pemahaman, tetapi juga menjadi landasan bagi relasi
etis yang menghargai perbedaan dan keterbukaan terhadap makna yang belum
selesai.
Footnotes
[1]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury Academic, 2013), 266–273.
[2]
Ibid., 305–311.
[3]
Ibid., 292–295.
[4]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of
Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 87–89.
[5]
Gadamer, Truth and Method, 470.
[6]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 63–67.
[7]
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern
University Press, 1969), 150–152.
[8]
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy
J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 302–308.
[9]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey
(Chicago: University of Chicago Press, 1992), 187–190.
8.
Hermeneutika
Filosofis dan Implikasinya dalam Ilmu Humaniora
Hermeneutika
filosofis telah memberikan kontribusi besar dalam menata ulang fondasi
epistemologis dan metodologis ilmu-ilmu humaniora. Dengan menempatkan
pemahaman, bahasa, dan historisitas sebagai inti dari proses interpretasi,
pendekatan ini telah membuka paradigma baru dalam studi sejarah, sastra, hukum,
teologi, dan ilmu budaya, yang selama ini terjebak dalam model-model
positivistik dan objektivistik yang kaku.
8.1.
Reorientasi Epistemologis
dalam Humaniora
Di tengah dominasi
paradigma ilmu alam yang mengedepankan objektivitas, pengukuran, dan
kausalitas, hermeneutika filosofis menegaskan bahwa manusia
tidak dapat dipahami sebagai objek pasif, melainkan sebagai
subjek yang aktif secara historis dan linguistik. Wilhelm Dilthey, meskipun
masih dalam kerangka hermeneutika metodologis, telah merintis pembedaan antara Verstehen
(pemahaman) dalam ilmu kemanusiaan dan Erklären (penjelasan) dalam ilmu
alam.¹ Heidegger dan Gadamer melanjutkan gagasan ini dengan menunjukkan bahwa
pemahaman tidak dapat dipisahkan dari kondisi keberadaan manusia (Dasein)
dan tradisi yang membentuknya.²
Dalam konteks ini,
hermeneutika filosofis berfungsi sebagai kritik terhadap reduksionisme ilmiah
dan sebagai dasar alternatif bagi epistemologi humaniora,
di mana makna, pengalaman, dan narasi menjadi pusat perhatian.
8.2.
Aplikasi dalam Kajian Sastra
dan Teks
Dalam bidang sastra,
hermeneutika filosofis menawarkan pendekatan interpretatif yang menolak
dualisme antara “makna objektif teks” dan “respon pembaca yang subjektif”.
Gadamer berargumen bahwa pemahaman terhadap karya sastra bukanlah reproduksi
intensi pengarang, melainkan suatu dialog antara teks dan pembaca dalam
horizon sejarah masing-masing.³ Hal ini memungkinkan pluralitas
interpretasi yang sahih tanpa jatuh ke dalam relativisme total, karena tetap
dibimbing oleh horizon tradisi dan bahasa.
Paul Ricoeur
menambahkan bahwa teks sastra memiliki kemampuan untuk merefigurasikan realitas,
artinya membentuk kembali cara kita memahami dunia melalui simbol dan narasi.⁴
Oleh karena itu, hermeneutika tidak hanya menafsirkan teks, tetapi juga
memperluas horizon dunia pembaca, menjadikannya sarana transformasi pemahaman.
8.3.
Implikasi dalam Studi
Sejarah
Hermeneutika
filosofis juga berpengaruh besar dalam historiografi kontemporer,
khususnya dalam upaya menafsirkan dokumen sejarah bukan sebagai catatan netral,
melainkan sebagai produk konstruksi makna yang kompleks. Pengalaman historis
tidak bisa direduksi menjadi data, melainkan perlu dipahami dalam konteks
horizon waktu, bahasa, dan tujuan interpretatif si sejarawan.
Dalam hal ini,
pemikiran Gadamer tentang tradisi sebagai medium pemahaman
memberikan dasar teoritis yang kuat bagi historiografi reflektif.⁵ Sejarah
dipahami bukan sebagai pencarian kebenaran faktual semata, melainkan sebagai
medan interpretasi yang terbuka terhadap pemaknaan ulang, tanpa kehilangan
tanggung jawab akademik.
8.4.
Peran dalam Teologi dan
Studi Agama
Dalam ranah teologi,
hermeneutika filosofis memperkaya pendekatan terhadap teks-teks suci, khususnya
dalam tradisi Kristen dan Yahudi. Pemahaman religius tidak lagi direduksi pada
eksposisi literal atau historis, tetapi dilihat sebagai pengalaman
transformatif yang berlangsung dalam dialog antara teks, tradisi, dan komunitas
pembaca.⁶ Ini menghindari dua kutub ekstrem: fundamentalisme
tekstual di satu sisi, dan relativisme makna di sisi lain.
Pendekatan ini juga
telah mendorong teologi kontekstual dan interkultural, membuka dialog antara
teks suci dan kondisi historis konkret umat beriman di berbagai tempat dan
zaman.
8.5.
Sumbangan terhadap Ilmu
Hukum dan Etika
Dalam studi hukum,
hermeneutika filosofis memperkaya pemahaman terhadap teks hukum bukan sebagai
instruksi normatif yang statis, tetapi sebagai produk sejarah, bahasa, dan nilai-nilai yang
hidup dalam komunitas hukum. Interpretasi hukum, dalam kerangka
ini, melibatkan judgment dan kebijaksanaan
hermeneutik, bukan sekadar penerapan mekanis.⁷
Implikasinya juga
terasa dalam bidang etika, khususnya etika diskursif dan etika naratif.
Hermeneutika memungkinkan pemahaman etis yang kontekstual, terbuka terhadap
dialog, dan peka terhadap pluralitas moral.
8.6.
Transformasi Peran Humaniora
di Era Kontemporer
Akhirnya,
hermeneutika filosofis memberikan justifikasi filosofis terhadap relevansi
ilmu humaniora di tengah tantangan globalisasi, teknologi, dan krisis makna.
Di saat model-model teknokratis gagal menjawab kompleksitas manusia,
hermeneutika menawarkan pendekatan yang lebih manusiawi, reflektif, dan transformatif.
Ilmu humaniora,
melalui lensa hermeneutika, dipandang bukan hanya sebagai studi tentang
kebudayaan masa lalu, tetapi sebagai arena kritis untuk memahami dunia kini dan
memperluas cakrawala eksistensial manusia di masa depan.⁸
Footnotes
[1]
Wilhelm Dilthey, Selected Works, Volume IV: Hermeneutics and the
Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton:
Princeton University Press, 1996), 105–108.
[2]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 182–186.
[3]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury Academic, 2013), 305–312.
[4]
Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1, trans. Kathleen
McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984),
52–54.
[5]
Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics,
trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 132–135.
[6]
Anthony C. Thiselton, New Horizons in Hermeneutics (Grand Rapids,
MI: Zondervan, 1992), 215–220.
[7]
James Boyd White, The Legal Imagination (Chicago: University
of Chicago Press, 1973), 45–49.
[8]
Martha Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities
(Princeton: Princeton University Press, 2010), 95–98.
9.
Simpulan
Hermeneutika
filosofis merupakan salah satu tonggak penting dalam perkembangan filsafat
kontemporer yang berhasil menggeser paradigma interpretasi dari pendekatan teknis-metodologis
menuju refleksi ontologis dan linguistik yang lebih dalam. Dimulai dari kritik
terhadap positivisme dan formalisme dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora,
hermeneutika filosofis menegaskan bahwa pemahaman adalah modus eksistensial manusia,
yang berlangsung dalam dan melalui bahasa, sejarah, serta keterlibatan praksis
dengan dunia.¹
Kontribusi utama
Martin Heidegger dalam Being and Time menandai
transformasi radikal terhadap hermeneutika. Ia menempatkan Verstehen
(pemahaman) sebagai struktur dasar dari Dasein (keberadaan manusia), bukan
sebagai prosedur kognitif atau aktivitas interpretatif yang berdiri sendiri.²
Dalam pandangan ini, setiap pemahaman berakar dalam keterlemparan historis dan
keterlibatan praktis manusia terhadap dunianya, yang tidak bisa dipisahkan dari
dimensi temporalitas dan ketakterhindaran akan kematian.
Hans-Georg Gadamer,
dalam Truth
and Method, melanjutkan warisan Heidegger dengan membangun kerangka
sistematis untuk pemahaman sebagai proses historis-linguistik. Ia
memperkenalkan gagasan fusi cakrawala, prasangka
produktif, dan pengalaman kebenaran sebagai
unsur-unsur mendasar dari dinamika interpretasi.³ Dengan menolak objektivitas
ilmiah dalam bentuknya yang kaku, Gadamer menyodorkan hermeneutika sebagai
bentuk keterbukaan terhadap tradisi, sekaligus sebagai bentuk kritik terhadap
dominasi rasionalisme metodologis dalam filsafat modern.
Lebih lanjut, dalam
dialog dengan pemikir seperti Paul Ricoeur dan Jürgen Habermas, hermeneutika
filosofis memperluas cakupannya untuk merespons tantangan dari teori kritik
sosial dan dekonstruksi linguistik. Ricoeur menambahkan dimensi etis dan
naratif dalam interpretasi, sementara Habermas menekankan pentingnya aspek
kritis dan emansipatoris dalam proses pemahaman.⁴ Dialog ini membuktikan bahwa
hermeneutika filosofis bukanlah sistem tertutup, melainkan medan reflektif yang
senantiasa terbuka terhadap koreksi dan pengayaan.
Secara praktis,
hermeneutika filosofis juga telah memberikan dampak signifikan dalam rekonstruksi metodologis
ilmu-ilmu humaniora, seperti dalam studi sastra, sejarah,
hukum, teologi, dan budaya. Dengan mengedepankan pentingnya konteks,
pengalaman, dan bahasa, pendekatan hermeneutik menghindarkan peneliti dari
jebakan reduksionisme serta membuka jalan bagi pemahaman yang lebih mendalam
dan manusiawi terhadap makna-makna budaya.⁵
Dalam era
kontemporer yang ditandai oleh kompleksitas identitas, krisis makna, dan
dominasi teknologi, pendekatan hermeneutika filosofis memiliki nilai strategis
dalam membina
dialog antartradisi, mengkritisi ideologi tersembunyi dalam wacana publik, dan
membangun kesadaran etis terhadap pluralitas.⁶ Ia bukan sekadar
teori pemahaman, tetapi juga praksis filosofis yang menuntut keterlibatan
reflektif terhadap dunia dan diri sendiri.
Dengan demikian,
hermeneutika filosofis tetap relevan dan diperlukan dalam merespons tantangan
zaman, karena ia mengajarkan bahwa pemahaman bukanlah pencapaian akhir,
melainkan proses terbuka, historis, dan dialogis—sebuah
proses yang mendefinisikan keberadaan manusia sebagai makhluk yang selalu
dalam pemahaman.
Footnotes
[1]
Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics,
trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 7–9.
[2]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 183–187.
[3]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury Academic, 2013), 272–278.
[4]
Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics II,
trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston: Northwestern University
Press, 1991), 15–22; Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests,
trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 310–316.
[5]
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern
University Press, 1969), 172–178.
[6]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 121–125.
Daftar Pustaka
Bleicher, J. (1980). Contemporary hermeneutics:
Hermeneutics as method, philosophy and critique. Routledge & Kegan
Paul.
Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C.
Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Dilthey, W. (1996). Selected works, volume IV:
Hermeneutics and the study of history (R. A. Makkreel & F. Rodi, Eds.).
Princeton University Press.
Dreyfus, H. L. (1991). Being-in-the-world: A
commentary on Heidegger’s Being and Time, Division I. MIT Press.
Gadamer, H.-G. (2013). Truth and method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Bloomsbury Academic. (Original work
published 1960)
Grondin, J. (1994). Introduction to
philosophical hermeneutics (J. Weinsheimer, Trans.). Yale University Press.
Grondin, J. (1995). Sources of hermeneutics.
State University of New York Press.
Habermas, J. (1971). Knowledge and human
interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.
Habermas, J. (1980). The hermeneutic claim to
universality. In J. Bleicher (Ed.), Contemporary hermeneutics: Hermeneutics
as method, philosophy and critique (pp. 181–211). Routledge & Kegan
Paul.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work
published 1927)
Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why
democracy needs the humanities. Princeton University Press.
Palmer, R. E. (1969). Hermeneutics:
Interpretation theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer.
Northwestern University Press.
Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory:
Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University Press.
Ricoeur, P. (1984). Time and narrative: Vol. 1
(K. McLaughlin & D. Pellauer, Trans.). University of Chicago Press.
Ricoeur, P. (1991). From text to action: Essays
in hermeneutics II (K. Blamey & J. B. Thompson, Trans.). Northwestern
University Press.
Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K.
Blamey, Trans.). University of Chicago Press.
Schleiermacher, F. (1998). Hermeneutics and
criticism and other writings (A. Bowie, Ed.). Cambridge University Press.
Thiselton, A. C. (1980). The two horizons: New Testament
hermeneutics and philosophical description. Eerdmans.
Thiselton, A. C. (1992). New horizons in
hermeneutics. Zondervan.
White, J. B. (1973). The legal imagination.
University of Chicago Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar