Minggu, 27 April 2025

Hermeneutika Filosofis: Antara Pemahaman dan Penafsiran

Hermeneutika Filosofis

Antara Pemahaman dan Penafsiran


Alihkan ke: Matode Haermeneutika dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif perkembangan dan kontribusi hermeneutika filosofis sebagai paradigma pemahaman dalam filsafat modern dan kontemporer. Berbeda dengan pendekatan hermeneutika metodologis yang menekankan teknik interpretasi terhadap teks, hermeneutika filosofis menekankan bahwa pemahaman merupakan struktur eksistensial manusia yang berakar dalam historisitas dan bahasa. Melalui pemikiran Martin Heidegger dan Hans-Georg Gadamer, pemahaman dimaknai sebagai proses ontologis dan dialogis yang terjadi dalam horizon tradisi dan pengalaman linguistik. Artikel ini juga mengkaji dialog antara hermeneutika filosofis dengan teori kritis, dekonstruksi, serta aplikasinya dalam ilmu humaniora seperti sastra, sejarah, hukum, dan teologi. Isu-isu kunci seperti objektivitas makna, bahasa sebagai medium pemahaman, etika interpretasi, dan relevansi humaniora dalam masyarakat kontemporer turut dieksplorasi secara kritis. Dengan pendekatan ini, hermeneutika filosofis tidak hanya menjadi refleksi teoritis, tetapi juga menawarkan kontribusi praksis dalam membentuk pemahaman yang inklusif, reflektif, dan transformatif.

Kata Kunci: Hermeneutika Filosofis, Pemahaman, Bahasa, Ontologi, Martin Heidegger, Hans-Georg Gadamer, Fusi Cakrawala, Teori Kritis, Paul Ricoeur, Ilmu Humaniora.


PEMBAHASAN

Pendekatan Hermeneutika Filosofis dalam Memahami Teks


1.           Pendahuluan

Hermeneutika, pada awalnya, berkembang sebagai disiplin dalam penafsiran teks-teks suci dan dokumen hukum dalam konteks tradisi klasik dan teologis. Namun, memasuki abad ke-19 dan terutama abad ke-20, ia mengalami transformasi yang radikal menjadi sebuah filsafat pemahaman yang tidak lagi terbatas pada teks, melainkan merambah seluruh dimensi keberadaan manusia. Perkembangan ini ditandai oleh munculnya apa yang kini dikenal sebagai hermeneutika filosofis, yakni pendekatan yang menekankan bahwa pemahaman bukan sekadar teknik interpretatif, melainkan sebuah struktur dasar dari eksistensi manusia itu sendiri.

Berbeda dari pendekatan hermeneutik metodologis seperti yang dirintis oleh Friedrich Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey, yang masih berpijak pada upaya membangun metode pemahaman ilmiah terhadap teks dan pengalaman sejarah, hermeneutika filosofis bertolak dari kesadaran akan keterbatasan metodologi objektif dalam menjangkau kedalaman makna dan pengalaman manusia. Tokoh-tokoh seperti Martin Heidegger dan Hans-Georg Gadamer menggeser pusat perhatian dari "bagaimana kita memahami teks" menjadi "apa artinya menjadi makhluk yang mampu memahami."¹ Dalam konteks ini, pemahaman menjadi cara eksistensial manusia berada-di-dunia (Dasein), bukan sekadar aktivitas kognitif yang dapat dianalisis secara terpisah dari latar historis dan linguistiknya.²

Hermeneutika filosofis juga menandai perubahan dalam filsafat bahasa dan epistemologi. Bahasa tidak lagi dipahami sebagai alat netral untuk menyampaikan makna, melainkan sebagai medium di mana pemahaman itu sendiri berlangsung. Dalam karya monumentalnya Truth and Method, Gadamer menekankan bahwa segala bentuk pemahaman merupakan dialog historis yang melibatkan prakonsepsi, tradisi, dan horizon makna yang saling bertemu.³ Dengan demikian, hermeneutika filosofis menghubungkan filsafat bahasa, ontologi, dan teori pengetahuan dalam satu kesatuan reflektif.

Urgensi hermeneutika filosofis dalam konteks filsafat kontemporer semakin mengemuka seiring dengan berkembangnya kritik terhadap positivisme, objektivisme, dan klaim-klaim universal dalam ilmu sosial dan humaniora. Kepekaan hermeneutika terhadap konteks, sejarah, dan pluralitas makna memberikan alternatif metodologis yang lebih inklusif dan reflektif dalam menghadapi kompleksitas realitas manusia modern.⁴ Oleh karena itu, hermeneutika filosofis tidak hanya relevan sebagai teori interpretasi, tetapi juga sebagai pendekatan kritis terhadap cara manusia memahami diri, dunia, dan liyan.

Tulisan ini bertujuan untuk mengulas secara mendalam karakter, prinsip dasar, dan tokoh sentral hermeneutika filosofis, serta menunjukkan bagaimana pendekatan ini memainkan peran signifikan dalam pemikiran filosofis modern dan kontemporer. Dengan menggali akar historisnya, merinci perkembangan gagasan utama, dan mengeksplorasi aplikasinya dalam wacana humaniora dan sosial, pembahasan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman menyeluruh mengenai kontribusi dan relevansi hermeneutika filosofis dalam tradisi filsafat.


Footnotes

[1]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury Academic, 2013), 250–52.

[2]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 182–190.

[3]                Gadamer, Truth and Method, 267–273.

[4]                Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 35–37.


2.           Akar Historis Hermeneutika

Hermeneutika sebagai disiplin intelektual memiliki akar yang sangat tua dalam sejarah pemikiran Barat. Istilah hermeneuein dalam bahasa Yunani berarti "menafsirkan" atau "menjelaskan," dan secara etimologis dikaitkan dengan dewa Hermes, sang pembawa pesan para dewa dalam mitologi Yunani. Namun, hermeneutika dalam pengertian sistematis mulai berkembang dalam konteks teologis, terutama dalam upaya untuk menafsirkan teks-teks suci seperti Alkitab.¹

Pada masa patristik dan skolastik, tokoh-tokoh seperti Origenes, Agustinus, dan kemudian Thomas Aquinas, telah menerapkan pendekatan hermeneutik dalam menjelaskan makna literal, alegoris, moral, dan anagogis dari Kitab Suci.² Dalam fase ini, hermeneutika merupakan bagian dari teologi, bertujuan untuk mengungkap makna ilahi yang tersembunyi di balik teks. Tradisi ini berlanjut selama berabad-abad dalam bentuk eksposisi kitab suci di lingkungan gereja.

Transformasi besar hermeneutika terjadi pada zaman modern, terutama melalui pemikiran Friedrich Schleiermacher (1768–1834), yang pertama kali berupaya menjadikan hermeneutika sebagai disiplin universal. Ia menekankan pentingnya pemahaman terhadap konteks historis dan psikologis pengarang sebagai dasar dari interpretasi teks. Schleiermacher memandang hermeneutika sebagai seni memahami yang menggabungkan dimensi gramatikal dan teknis-psikologis dalam satu kesatuan metode.³ Pemikirannya membuka jalan bagi hermeneutika sebagai metode ilmiah dalam ilmu humaniora.

Pemikiran Schleiermacher kemudian dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey (1833–1911), yang menekankan hermeneutika sebagai dasar epistemologis ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Dilthey menolak penerapan metode ilmu alam pada studi kemanusiaan, karena menurutnya dunia manusia dipahami bukan melalui penjelasan kausal, tetapi melalui pengalaman hidup (Erlebnis) yang ditafsirkan.⁴ Dengan demikian, pemahaman menjadi pusat dalam metodologi ilmu sejarah dan budaya. Namun, hermeneutika pada tahap ini masih bersifat metodologis—ia mencari keabsahan interpretasi melalui struktur dan prosedur tertentu.

Barulah pada abad ke-20, terutama melalui Martin Heidegger, hermeneutika berubah dari metode menjadi filsafat. Dalam Being and Time (1927), Heidegger mengembangkan apa yang ia sebut sebagai hermeneutika ontologis, yaitu upaya untuk menyingkap struktur makna dari keberadaan manusia (Dasein) itu sendiri. Pemahaman bukan lagi sekadar cara menafsirkan teks, melainkan cara manusia "berada" di dunia.⁵ Dengan Heidegger, hermeneutika tidak lagi sekadar alat untuk memahami makna, melainkan menjadi kerangka reflektif terhadap eksistensi dan waktu.

Perubahan paradigma ini membuka jalan bagi Hans-Georg Gadamer, murid Heidegger, yang mengembangkan hermeneutika sebagai dialog historis antara subjek dan tradisi, seperti tampak dalam karya monumentalnya Truth and Method (1960). Gadamer menolak objektivitas dalam interpretasi dan menekankan bahwa pemahaman selalu dipengaruhi oleh prasangka (prejudices) dan sejarah efektual (Wirkungsgeschichte), yang membentuk horizon makna seseorang.⁶ Dengan demikian, Gadamer melanjutkan dan memperluas warisan Heideggerian ke dalam ranah bahasa dan sejarah.

Dengan latar belakang inilah hermeneutika filosofis memperoleh bentuknya sebagai disiplin yang tidak hanya menafsirkan teks, tetapi juga menafsirkan eksistensi manusia, bahasa, dan sejarah secara reflektif dan ontologis. Ia menjadi semacam metafilsafat yang mempertanyakan syarat-syarat kemungkinan pemahaman itu sendiri dalam dunia yang terus berubah dan plural.


Footnotes

[1]                Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 17.

[2]                Anthony C. Thiselton, The Two Horizons: New Testament Hermeneutics and Philosophical Description (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1980), 95–97.

[3]                Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism and Other Writings, ed. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 5–8.

[4]                Wilhelm Dilthey, Selected Works: Volume IV: Hermeneutics and the Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton: Princeton University Press, 1996), 161–164.

[5]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 61–66.

[6]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury Academic, 2013), 265–270.


3.           Hermeneutika sebagai Filsafat Pemahaman

Hermeneutika filosofis menandai pergeseran dari pendekatan metodologis menuju suatu orientasi ontologis terhadap pemahaman. Dalam pendekatan ini, pemahaman tidak lagi dilihat sebagai aktivitas teknis yang dikontrol melalui prosedur-prosedur tertentu sebagaimana dalam ilmu pengetahuan atau filologi, tetapi sebagai dimensi dasar dan tak terhindarkan dari eksistensi manusia. Dengan kata lain, manusia tidak memiliki pemahaman sebagai suatu keterampilan tambahan, melainkan menjadi makhluk yang selalu sudah berada dalam horizon pemahaman.

Konsepsi ini berakar kuat dalam karya Martin Heidegger, terutama dalam Being and Time (1927), di mana ia menempatkan Verstehen (pemahaman) sebagai struktur ontologis dari Dasein—entitas manusiawi yang senantiasa berada-di-dunia (In-der-Welt-sein). Bagi Heidegger, pemahaman bukanlah hasil dari refleksi rasional yang sadar, melainkan merupakan modus eksistensial yang mendahului refleksi.⁽¹⁾ Pemahaman menjadi cara berada manusia dalam keterlibatannya yang praksis terhadap dunia dan makna-makna yang dikandungnya. Dalam istilah Heidegger, dunia bukanlah sesuatu yang netral, melainkan selalu “bermakna” karena manusia telah berada dalam jaringan relasi pengertian.

Gagasan ini menjadi dasar bagi Hans-Georg Gadamer dalam mengembangkan pemikiran hermeneutika filosofis secara sistematik. Dalam Truth and Method (1960), Gadamer berargumen bahwa segala pemahaman merupakan suatu bentuk pengalaman kebenaran yang berlangsung dalam konteks historis dan linguistik tertentu.⁽²⁾ Ia menolak ide objektivitas absolut dalam interpretasi dan mengemukakan bahwa pemahaman selalu melibatkan prasangka (Vorurteile) yang tidak sepenuhnya bisa dihindari. Prasangka di sini bukan dalam pengertian negatif, melainkan sebagai horizon awal yang membentuk kemungkinan makna.

Pemahaman, dalam konteks ini, merupakan proses dialektis yang terjadi melalui fusi cakrawala (Horizontverschmelzung)—pertemuan antara horizon makna si penafsir dan horizon historis dari teks atau tradisi yang diinterpretasi.⁽³⁾ Proses ini tidak bersifat metodologis dalam arti ketat, melainkan bersifat dialogis dan terbuka. Dengan demikian, hermeneutika filosofis menawarkan suatu pandangan bahwa pengertian tidak dapat dilepaskan dari situasi konkret subjek yang memahami.

Hermeneutika sebagai filsafat pemahaman juga mengimplikasikan bahwa makna bukan sesuatu yang tertutup dan tetap, melainkan terus terbentuk melalui keterlibatan eksistensial manusia dalam sejarah dan bahasa.⁽⁴⁾ Oleh karena itu, setiap bentuk interpretasi merupakan aktualisasi baru dari makna, dan tidak pernah merupakan representasi final yang mengunci penafsiran.

Pemahaman juga tidak dapat dipisahkan dari pengalaman dan kebertubuhan manusia. Tokoh-tokoh seperti Paul Ricoeur mengembangkan dimensi ini lebih jauh dengan menunjukkan bahwa pemahaman terhadap teks juga mencerminkan dinamika antara “diri” dan “liyan” dalam proses pemaknaan.⁽⁵⁾ Ricoeur menyatakan bahwa hermeneutika merupakan upaya untuk mengatasi distansiasi antara subjek dan teks, bukan dengan meniadakan jarak tersebut, tetapi dengan mengubahnya menjadi produktif melalui interpretasi reflektif.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa hermeneutika sebagai filsafat pemahaman tidak hanya relevan dalam wacana teks, tetapi juga dalam memahami eksistensi, sejarah, bahasa, dan pengalaman manusia secara menyeluruh. Ia tidak hanya menjawab bagaimana kita memahami dunia, tetapi juga bagaimana dunia menjadi dapat-dipahami oleh manusia yang terbatas dan kontekstual.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 182–189.

[2]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury Academic, 2013), 269–273.

[3]                Ibid., 305–311.

[4]                Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 47–49.

[5]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 43–45.


4.           Martin Heidegger dan Ontologi Pemahaman

Revolusi terbesar dalam sejarah hermeneutika terjadi dengan karya Martin Heidegger, seorang filsuf Jerman yang mengalihkan fokus hermeneutika dari metode interpretasi teks ke eksistensi manusia itu sendiri. Dalam Being and Time (Sein und Zeit, 1927), Heidegger memperkenalkan apa yang disebutnya sebagai “hermeneutika ontologis”, yakni usaha untuk mengungkap struktur terdalam dari keberadaan manusia melalui analisis eksistensial.⁽¹⁾

Bagi Heidegger, pemahaman (Verstehen) bukan sekadar aktivitas kognitif atau alat metodologis dalam menafsirkan teks, melainkan cara utama di mana manusia—yang disebutnya Dasein—mengada di dunia. Dasein secara harfiah berarti "ada-di-sana" dan merujuk pada makhluk yang menyadari keberadaannya, dan dalam konteks tersebut, pemahaman merupakan cara Dasein menjalin relasi dengan dunianya secara faktual dan praksis.⁽²⁾ Dalam kerangka ini, pemahaman tidak dihasilkan melalui proses reflektif belaka, tetapi mendahului setiap refleksi sebagai suatu kondisi awal dari keterlemparan manusia ke dunia (Geworfenheit).

Heidegger membongkar struktur eksistensial pemahaman sebagai bagian dari keseluruhan struktur ontologis Dasein, yang mencakup Befindlichkeit (terlemparnya suasana-afektif), Verstehen (pemahaman), dan Rede (percakapan atau diskursus).⁽³⁾ Pemahaman bersifat praksis karena berkaitan langsung dengan tindakan, dan bukan sekadar pengetahuan teoritis; manusia memahami melalui keterlibatan langsung dalam dunia yang bermakna.

Dalam analisisnya, Heidegger menyatakan bahwa setiap tindakan memahami selalu dipengaruhi oleh apa yang disebutnya sebagai keber-ada-an-di-muka (Vorhabe), keber-ada-an-dalam-tinjauan (Vorsicht), dan keber-ada-an-dalam-konsep (Vorgriff)—yakni struktur awal yang mengarahkan makna bahkan sebelum penafsiran eksplisit dimulai.⁽⁴⁾ Hal ini menunjukkan bahwa tidak pernah ada pemahaman yang benar-benar bebas dari prapemaknaan (preunderstanding); semua bentuk interpretasi adalah penyingkapan dari sesuatu yang sudah “selalu-sudah-dipahami” (immer schon verstanden).

Dalam kerangka ini, Heidegger secara radikal memutuskan keterikatan hermeneutika dengan teori representasi. Alih-alih merepresentasikan realitas objektif, pemahaman mengungkap dunia dari sudut eksistensialitas manusia. Dunia bukanlah sekadar kumpulan objek, tetapi medan makna di mana manusia secara aktif terlibat.⁽⁵⁾ Dengan kata lain, hermeneutika Heideggerian adalah ontologi dari makna yang muncul dari keberadaan yang memahami.

Konsekuensi dari pendekatan ini sangat luas. Pertama, ia menolak dikotomi klasik antara subjek dan objek karena manusia tidak pernah berada di luar dunia yang ia pahami; ia selalu “ada di dalamnya.” Kedua, pemahaman menjadi fenomena yang dinamis dan temporal, seiring manusia menjalani waktu yang penuh kemungkinan dan keterbatasan (Sein-zum-Tode, being-toward-death).⁽⁶⁾ Ketiga, penafsiran bukanlah tindakan sekunder atas makna, melainkan kegiatan asli dari keterlibatan eksistensial dengan dunia.

Pengaruh Heidegger sangat besar terhadap para filsuf setelahnya, seperti Hans-Georg Gadamer, Paul Ricoeur, bahkan para pemikir post-strukturalis seperti Jacques Derrida. Namun, signifikansi utama Heidegger tetap pada usahanya membebaskan hermeneutika dari batasan metodologis dan mengembalikannya ke akar ontologis yang dalam, yaitu bahwa menjadi manusia berarti menjadi makhluk yang mampu memahami, karena ia telah dilemparkan ke dalam dunia yang bermakna.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 61–71.

[2]                Ibid., 78–79.

[3]                Ibid., 172–177.

[4]                Ibid., 191–195.

[5]                Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 95–98.

[6]                Heidegger, Being and Time, 276–283.


5.           Hans-Georg Gadamer dan Hermeneutika Filosofis

Jika Heidegger merevolusi hermeneutika dengan mengubahnya menjadi refleksi ontologis atas keberadaan manusia, maka Hans-Georg Gadamer (1900–2002) melanjutkan dan memperluas proyek tersebut ke dalam dimensi bahasa, sejarah, dan tradisi. Dalam karya monumentalnya, Truth and Method (Wahrheit und Methode, 1960), Gadamer menyusun landasan sistematis bagi hermeneutika filosofis sebagai filsafat pemahaman historis dan linguistik, sekaligus sebagai kritik terhadap objektivisme ilmu pengetahuan modern.¹

Bagi Gadamer, semua pemahaman bersifat tertanam dalam sejarah (geschichtliche Bewusstheit) dan dijalankan melalui medium bahasa. Ia menolak gagasan bahwa interpretasi dapat dibebaskan dari latar belakang historis atau dari prasangka (Vorurteile) si penafsir. Dalam pandangannya, prasangka bukanlah penghalang bagi pemahaman, melainkan struktur awal yang memungkinkan kita membuka diri terhadap makna.² Pemahaman selalu terjadi dalam suatu dialog antara masa kini dan masa lalu, antara subjek penafsir dan tradisi yang diwarisi.

Konsep kunci dalam filsafat Gadamer adalah “fusi cakrawala” (Horizontverschmelzung), yaitu proses dialogis di mana horizon historis si penafsir dan horizon teks atau tradisi saling bertemu dan membentuk makna baru.³ Proses ini tidak pernah bersifat final atau mutlak, karena setiap interpretasi terbuka terhadap reinterpretasi dalam konteks historis yang berubah. Oleh karena itu, makna adalah hasil dari pengalaman dialogis yang selalu berkembang.

Gadamer juga mengkritik upaya menyamakan pemahaman dengan metode ilmiah. Baginya, pemahaman adalah pengalaman akan kebenaran yang tidak dapat direduksi ke dalam prosedur metodologis atau kriteria objektif.⁴ Ia mencontohkan pemahaman dalam seni, sejarah, dan hukum, yang justru menuntut keterlibatan subjektif, kepekaan terhadap konteks, dan dialog dengan tradisi. Dalam pengertian ini, pemahaman adalah pengalaman kebenaran (Erfahrung der Wahrheit) yang tak terpisahkan dari keterlibatan eksistensial si subjek.

Salah satu kontribusi penting Gadamer adalah pemahamannya tentang bahasa sebagai medium pemahaman. Ia menyatakan bahwa “Being that can be understood is language” (Sein, das verstanden werden kann, ist Sprache), menandakan bahwa eksistensi itu sendiri hanya dapat muncul sebagai sesuatu yang dapat dimengerti melalui bahasa.⁵ Dalam pengertian ini, bahasa bukan sekadar alat untuk mengekspresikan pemikiran, melainkan ruang di mana makna dan pengertian terbentuk secara dialogis. Bahasa adalah rumah keberadaan, dan setiap tindakan memahami adalah tindakan berbicara bersama dengan tradisi.

Filsafat hermeneutika Gadamer telah memberikan kontribusi besar dalam bidang humaniora, teologi, hukum, dan estetika, terutama karena pendekatannya yang menolak reduksionisme ilmiah dan membuka ruang bagi pemahaman historis yang dinamis dan terbuka.⁶ Meski ia mendapat kritik dari pemikir seperti Jürgen Habermas, yang menilai bahwa Gadamer terlalu mengidealkan tradisi dan mengabaikan potensi dominasi dalam komunikasi, Gadamer tetap teguh dalam keyakinannya bahwa pemahaman sejati lahir dari kesediaan untuk mendengar dan berdialog, bukan dari dominasi metode atau ideologi.

Pada akhirnya, hermeneutika filosofis versi Gadamer menunjukkan bahwa pemahaman tidak mungkin netral, karena selalu terjadi dalam kerangka waktu, bahasa, dan sejarah. Namun justru di sanalah terletak nilai dan keotentikan pemahaman manusia: sebagai proses yang hidup, terbuka, dan partisipatif dalam menafsirkan dunia dan keberadaan kita sendiri.


Footnotes

[1]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury Academic, 2013), xvi–xxii.

[2]                Ibid., 273–280.

[3]                Ibid., 305–311.

[4]                Ibid., 312–320.

[5]                Ibid., 470. Lihat juga Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 124–126.

[6]                Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 142–148.


6.           Hermeneutika Filosofis dalam Dialog dengan Kritik Sosial dan Bahasa

Hermeneutika filosofis, sebagaimana dirumuskan oleh Heidegger dan Gadamer, memang memberi tekanan besar pada dimensi ontologis dan linguistik dari pemahaman. Namun, pendekatan ini tidak luput dari kritik, terutama dari pemikir-pemikir yang menilai bahwa refleksi hermeneutis perlu melampaui horizon historis dan linguistik menuju ranah praksis sosial, kekuasaan, dan ideologi. Maka dari itu, berkembanglah sebuah dialog produktif antara hermeneutika filosofis dan teori kritis serta filsafat bahasa kontemporer, yang memperkaya dan sekaligus menguji batas-batas pendekatan Gadamerian.

Salah satu tokoh sentral dalam jembatan antara hermeneutika dan kritik sosial adalah Paul Ricoeur, yang berupaya merekonsiliasi pendekatan eksistensial-linguistik hermeneutika dengan kebutuhan akan jarak kritis terhadap teks dan struktur makna. Dalam karya-karya seperti Interpretation Theory dan Time and Narrative, Ricoeur memperkenalkan model hermeneutika tiga tahap: dari simbol, ke teks, dan akhirnya ke tindakan.⁽¹⁾ Ia menekankan pentingnya distansiasi sebagai syarat produktif dalam interpretasi—berbeda dengan Gadamer yang menekankan “keterlibatan historis”—karena menurut Ricoeur, pemahaman sejati menuntut refleksi kritis terhadap struktur makna dan bahasa.⁽²⁾

Ricoeur juga memperkenalkan konsep surplus of meaning sebagai respons terhadap pendekatan strukturalis dan formalis, menunjukkan bahwa makna tidak pernah bisa direduksi pada niat pengarang ataupun makna literal teks.⁽³⁾ Dengan demikian, ia membuka hermeneutika terhadap pluralitas makna, sembari tetap menjaga dimensi etis dari interpretasi. Ricoeur, secara mendalam, mengintegrasikan wacana hermeneutik dengan fenomenologi, naratologi, dan bahkan teologi, menjadikannya salah satu figur transformatif dalam perluasan cakupan hermeneutika filosofis.

Dialog antara hermeneutika dan teori kritis mencapai puncaknya dalam debat antara Gadamer dan Jürgen Habermas pada 1960-an dan 1970-an. Habermas, tokoh utama Mazhab Frankfurt generasi kedua, mengkritik Gadamer karena dianggap terlalu menerima tradisi dan otoritas tanpa cukup mempertimbangkan struktur kekuasaan dan dominasi ideologis yang menyertainya.⁽⁴⁾ Bagi Habermas, setiap pemahaman tidak hanya historis, tetapi juga dipengaruhi oleh sistem komunikasi yang bisa dimanipulasi. Oleh karena itu, ia menekankan perlunya pendekatan kritik ideologi dalam hermeneutika agar proses interpretasi tidak menjadi reproduksi pasif nilai-nilai dominan.⁽⁵⁾

Meski pada akhirnya Gadamer menanggapi kritik tersebut dengan menunjukkan bahwa pemahaman selalu bersifat dialogis dan tidak menutup kemungkinan untuk kritik, debat ini menunjukkan batas dan potensi perluasan hermeneutika filosofis ke arah dimensi sosial-politik.⁽⁶⁾ Perdebatan ini juga menandai titik temu antara filsafat pemahaman dan etika diskursus, membuka jalan bagi pengembangan teori komunikasi dan demokrasi deliberatif di tangan Habermas.

Selain kritik sosial, hermeneutika filosofis juga mengalami ketegangan dengan pemikiran post-strukturalis, terutama dalam pendekatan dekonstruktif terhadap bahasa. Tokoh seperti Jacques Derrida menolak asumsi bahwa pemahaman dapat menjangkau makna stabil melalui bahasa, karena bagi Derrida, makna selalu tertunda (différance) dan teks tidak pernah utuh secara logis atau ontologis.⁽⁷⁾ Dalam konteks ini, hermeneutika Gadamerian dinilai terlalu mengidealkan koherensi dialogis dan mengabaikan ketegangan, ketaksadaran, dan ironi dalam struktur bahasa itu sendiri.

Namun demikian, para pembela hermeneutika filosofis seperti Jean Grondin atau Richard Palmer berargumen bahwa justru hermeneutika mampu menyediakan kerangka reflektif untuk menghadapi relativisme postmodern, karena ia mengakui keterbatasan dan historisitas pemahaman, sambil tetap mempertahankan kemungkinan dialog yang bertanggung jawab.⁽⁸⁾ Hermeneutika tidak menolak pluralitas, tetapi juga tidak menyerah pada nihilisme interpretatif.

Dengan demikian, dialog hermeneutika filosofis dengan kritik sosial dan teori bahasa kontemporer memperkaya dinamika filsafat interpretasi. Ia tidak hanya memperluas medan refleksi ke ranah kekuasaan dan struktur bahasa, tetapi juga menguji kapasitas hermeneutika untuk menjawab tantangan zaman: dari kebermaknaan teks, ke struktur wacana, dan akhirnya ke dimensi tindakan sosial yang etis.


Footnotes

[1]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 71–77.

[2]                Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston: Northwestern University Press, 1991), 135–140.

[3]                Ibid., 89.

[4]                Jürgen Habermas, “The Hermeneutic Claim to Universality,” dalam Contemporary Hermeneutics, ed. Josef Bleicher (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 181–211.

[5]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 314–320.

[6]                Hans-Georg Gadamer, “Reply to My Critics,” dalam The Hermeneutic Tradition: From Ast to Ricoeur, ed. Gayle L. Ormiston and Alan D. Schrift (Albany: SUNY Press, 1990), 273–297.

[7]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 62–66.

[8]                Jean Grondin, Sources of Hermeneutics (Albany: SUNY Press, 1995), 145–150.


7.           Isu-Isu Kunci dalam Hermeneutika Filosofis

Sebagai cabang filsafat yang berakar dalam problematika pemahaman dan interpretasi, hermeneutika filosofis tidak luput dari sejumlah persoalan mendasar yang terus menjadi bahan perdebatan dalam ranah teoretis maupun praksis. Sejumlah isu kunci berikut menjadi medan utama refleksi dan kritik terhadap hermeneutika filosofis dalam konteks kontemporer.

7.1.       Objektivitas dan Relativitas Makna

Salah satu perdebatan klasik dalam hermeneutika filosofis adalah pertanyaan tentang status objektivitas dalam interpretasi. Para pemikir seperti Gadamer menolak objektivitas dalam pengertian positivistik—yakni, bahwa pemahaman dapat dilepaskan dari prakonsepsi dan kondisi historis subjek.⁽¹⁾ Bagi Gadamer, semua pemahaman selalu terlibat dalam sejarah efektual (Wirkungsgeschichte) yang membentuk horizon si penafsir, dan karenanya, makna tidak bersifat absolut. Namun, penolakan terhadap objektivitas ini memunculkan kekhawatiran terhadap relativisme, yaitu anggapan bahwa semua penafsiran memiliki nilai yang sama tanpa dasar untuk evaluasi kritis.

Untuk menjawabnya, hermeneutika filosofis memperkenalkan gagasan fusi cakrawala sebagai mekanisme dialogis yang memungkinkan pembentukan makna intersubjektif tanpa terjebak pada absolutisme maupun relativisme.⁽²⁾ Proses pemahaman dipahami sebagai hasil interaksi antara horizon-horizon makna yang terbuka dan berkembang secara historis.

7.2.       Intensi Pengarang dan Otoritas Teks

Isu lain yang menonjol adalah hubungan antara intensi pengarang dan otoritas teks. Dalam tradisi hermeneutika klasik (Schleiermacher, Dilthey), upaya interpretasi diarahkan untuk “mengulang” maksud subjektif pengarang. Namun, dalam hermeneutika filosofis, pendekatan ini ditinggalkan. Gadamer menegaskan bahwa teks memiliki “kehidupan sendiri” yang melebihi niat pengarang, dan makna berkembang dalam dialog antara teks dan pembaca.⁽³⁾

Pendekatan ini bersinggungan dengan teori strukturalis dan post-strukturalis yang menolak otoritas tunggal dalam teks. Ricoeur memperhalus posisi ini dengan menunjukkan bahwa makna terletak di antara teks dan dunia yang ditunjukkannya, bukan hanya dalam intensi subjektif.⁽⁴⁾ Maka, penafsiran bukanlah penggalian niat, tetapi eksplorasi makna dalam konteks linguistik dan historis tertentu.

7.3.       Bahasa sebagai Medium Pemahaman

Hermeneutika filosofis juga mengusung premis fundamental bahwa bahasa bukan hanya alat, tetapi medium pemahaman itu sendiri. Pemikiran ini berakar pada Heidegger dan mencapai puncaknya dalam Gadamer, yang menyatakan bahwa “Being that can be understood is language.”⁽⁵⁾ Artinya, segala yang bisa dipahami harus terlebih dahulu hadir dalam bentuk linguistik.

Namun, ini juga menimbulkan pertanyaan kritis: sejauh mana bahasa dapat diandalkan sebagai jembatan pemahaman, dan tidak justru menjadi penghalang? Derrida, misalnya, memperingatkan bahwa bahasa penuh dengan ambiguitas dan deferensialitas makna (différance), sehingga stabilitas makna tidak pernah benar-benar tercapai.⁽⁶⁾ Maka, hermeneutika filosofis harus bergulat dengan kemungkinan bahwa bahasa tidak hanya memediasi, tetapi juga menggeser makna.

7.4.       Historisitas dan Kontekstualisasi Pemahaman

Hermeneutika filosofis menekankan bahwa pemahaman tidak terjadi dalam kevakuman, tetapi dalam konteks historis dan budaya tertentu. Namun, hal ini menimbulkan dilema antara hermeneutika simpatetik—yang berusaha memahami tradisi dari dalam—dengan hermeneutika kritis, yang menilai bahwa beberapa bentuk tradisi justru harus diinterogasi karena sarat kekuasaan dan ideologi.⁽⁷⁾

Habermas menggarisbawahi pentingnya pemahaman yang tidak hanya melibatkan keterbukaan dialogis, tetapi juga evaluasi kritis terhadap struktur sosial dan komunikatif yang membentuk makna.⁽⁸⁾ Dengan demikian, hermeneutika filosofis diperluas ke arah kritik ideologi dan etika komunikasi, yang membuka ruang bagi pemahaman yang transformatif.

7.5.       Etika Interpretasi dan Tanggung Jawab Hermeneutik

Dalam konteks pluralitas dunia kontemporer, hermeneutika filosofis juga dihadapkan pada persoalan etika interpretasi. Apakah semua interpretasi sah? Apakah ada batas moral atau epistemologis dalam menafsirkan? Paul Ricoeur menekankan pentingnya keadilan hermeneutik (hermeneutic justice), yakni kesediaan untuk memberi tempat bagi liyan, suara minoritas, dan pengalaman yang berbeda.⁽⁹⁾

Etika hermeneutik menuntut kerendahan hati epistemik, kesediaan mendengarkan, serta tanggung jawab terhadap dampak sosial dari interpretasi. Dalam konteks ini, hermeneutika filosofis tidak hanya menjadi teori pemahaman, tetapi juga menjadi landasan bagi relasi etis yang menghargai perbedaan dan keterbukaan terhadap makna yang belum selesai.


Footnotes

[1]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury Academic, 2013), 266–273.

[2]                Ibid., 305–311.

[3]                Ibid., 292–295.

[4]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 87–89.

[5]                Gadamer, Truth and Method, 470.

[6]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 63–67.

[7]                Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 150–152.

[8]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 302–308.

[9]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 187–190.


8.           Hermeneutika Filosofis dan Implikasinya dalam Ilmu Humaniora

Hermeneutika filosofis telah memberikan kontribusi besar dalam menata ulang fondasi epistemologis dan metodologis ilmu-ilmu humaniora. Dengan menempatkan pemahaman, bahasa, dan historisitas sebagai inti dari proses interpretasi, pendekatan ini telah membuka paradigma baru dalam studi sejarah, sastra, hukum, teologi, dan ilmu budaya, yang selama ini terjebak dalam model-model positivistik dan objektivistik yang kaku.

8.1.       Reorientasi Epistemologis dalam Humaniora

Di tengah dominasi paradigma ilmu alam yang mengedepankan objektivitas, pengukuran, dan kausalitas, hermeneutika filosofis menegaskan bahwa manusia tidak dapat dipahami sebagai objek pasif, melainkan sebagai subjek yang aktif secara historis dan linguistik. Wilhelm Dilthey, meskipun masih dalam kerangka hermeneutika metodologis, telah merintis pembedaan antara Verstehen (pemahaman) dalam ilmu kemanusiaan dan Erklären (penjelasan) dalam ilmu alam.¹ Heidegger dan Gadamer melanjutkan gagasan ini dengan menunjukkan bahwa pemahaman tidak dapat dipisahkan dari kondisi keberadaan manusia (Dasein) dan tradisi yang membentuknya.²

Dalam konteks ini, hermeneutika filosofis berfungsi sebagai kritik terhadap reduksionisme ilmiah dan sebagai dasar alternatif bagi epistemologi humaniora, di mana makna, pengalaman, dan narasi menjadi pusat perhatian.

8.2.       Aplikasi dalam Kajian Sastra dan Teks

Dalam bidang sastra, hermeneutika filosofis menawarkan pendekatan interpretatif yang menolak dualisme antara “makna objektif teks” dan “respon pembaca yang subjektif”. Gadamer berargumen bahwa pemahaman terhadap karya sastra bukanlah reproduksi intensi pengarang, melainkan suatu dialog antara teks dan pembaca dalam horizon sejarah masing-masing.³ Hal ini memungkinkan pluralitas interpretasi yang sahih tanpa jatuh ke dalam relativisme total, karena tetap dibimbing oleh horizon tradisi dan bahasa.

Paul Ricoeur menambahkan bahwa teks sastra memiliki kemampuan untuk merefigurasikan realitas, artinya membentuk kembali cara kita memahami dunia melalui simbol dan narasi.⁴ Oleh karena itu, hermeneutika tidak hanya menafsirkan teks, tetapi juga memperluas horizon dunia pembaca, menjadikannya sarana transformasi pemahaman.

8.3.       Implikasi dalam Studi Sejarah

Hermeneutika filosofis juga berpengaruh besar dalam historiografi kontemporer, khususnya dalam upaya menafsirkan dokumen sejarah bukan sebagai catatan netral, melainkan sebagai produk konstruksi makna yang kompleks. Pengalaman historis tidak bisa direduksi menjadi data, melainkan perlu dipahami dalam konteks horizon waktu, bahasa, dan tujuan interpretatif si sejarawan.

Dalam hal ini, pemikiran Gadamer tentang tradisi sebagai medium pemahaman memberikan dasar teoritis yang kuat bagi historiografi reflektif.⁵ Sejarah dipahami bukan sebagai pencarian kebenaran faktual semata, melainkan sebagai medan interpretasi yang terbuka terhadap pemaknaan ulang, tanpa kehilangan tanggung jawab akademik.

8.4.       Peran dalam Teologi dan Studi Agama

Dalam ranah teologi, hermeneutika filosofis memperkaya pendekatan terhadap teks-teks suci, khususnya dalam tradisi Kristen dan Yahudi. Pemahaman religius tidak lagi direduksi pada eksposisi literal atau historis, tetapi dilihat sebagai pengalaman transformatif yang berlangsung dalam dialog antara teks, tradisi, dan komunitas pembaca.⁶ Ini menghindari dua kutub ekstrem: fundamentalisme tekstual di satu sisi, dan relativisme makna di sisi lain.

Pendekatan ini juga telah mendorong teologi kontekstual dan interkultural, membuka dialog antara teks suci dan kondisi historis konkret umat beriman di berbagai tempat dan zaman.

8.5.       Sumbangan terhadap Ilmu Hukum dan Etika

Dalam studi hukum, hermeneutika filosofis memperkaya pemahaman terhadap teks hukum bukan sebagai instruksi normatif yang statis, tetapi sebagai produk sejarah, bahasa, dan nilai-nilai yang hidup dalam komunitas hukum. Interpretasi hukum, dalam kerangka ini, melibatkan judgment dan kebijaksanaan hermeneutik, bukan sekadar penerapan mekanis.⁷

Implikasinya juga terasa dalam bidang etika, khususnya etika diskursif dan etika naratif. Hermeneutika memungkinkan pemahaman etis yang kontekstual, terbuka terhadap dialog, dan peka terhadap pluralitas moral.

8.6.       Transformasi Peran Humaniora di Era Kontemporer

Akhirnya, hermeneutika filosofis memberikan justifikasi filosofis terhadap relevansi ilmu humaniora di tengah tantangan globalisasi, teknologi, dan krisis makna. Di saat model-model teknokratis gagal menjawab kompleksitas manusia, hermeneutika menawarkan pendekatan yang lebih manusiawi, reflektif, dan transformatif.

Ilmu humaniora, melalui lensa hermeneutika, dipandang bukan hanya sebagai studi tentang kebudayaan masa lalu, tetapi sebagai arena kritis untuk memahami dunia kini dan memperluas cakrawala eksistensial manusia di masa depan.⁸


Footnotes

[1]                Wilhelm Dilthey, Selected Works, Volume IV: Hermeneutics and the Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton: Princeton University Press, 1996), 105–108.

[2]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 182–186.

[3]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury Academic, 2013), 305–312.

[4]                Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1, trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 52–54.

[5]                Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 132–135.

[6]                Anthony C. Thiselton, New Horizons in Hermeneutics (Grand Rapids, MI: Zondervan, 1992), 215–220.

[7]                James Boyd White, The Legal Imagination (Chicago: University of Chicago Press, 1973), 45–49.

[8]                Martha Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 95–98.


9.           Simpulan

Hermeneutika filosofis merupakan salah satu tonggak penting dalam perkembangan filsafat kontemporer yang berhasil menggeser paradigma interpretasi dari pendekatan teknis-metodologis menuju refleksi ontologis dan linguistik yang lebih dalam. Dimulai dari kritik terhadap positivisme dan formalisme dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora, hermeneutika filosofis menegaskan bahwa pemahaman adalah modus eksistensial manusia, yang berlangsung dalam dan melalui bahasa, sejarah, serta keterlibatan praksis dengan dunia.¹

Kontribusi utama Martin Heidegger dalam Being and Time menandai transformasi radikal terhadap hermeneutika. Ia menempatkan Verstehen (pemahaman) sebagai struktur dasar dari Dasein (keberadaan manusia), bukan sebagai prosedur kognitif atau aktivitas interpretatif yang berdiri sendiri.² Dalam pandangan ini, setiap pemahaman berakar dalam keterlemparan historis dan keterlibatan praktis manusia terhadap dunianya, yang tidak bisa dipisahkan dari dimensi temporalitas dan ketakterhindaran akan kematian.

Hans-Georg Gadamer, dalam Truth and Method, melanjutkan warisan Heidegger dengan membangun kerangka sistematis untuk pemahaman sebagai proses historis-linguistik. Ia memperkenalkan gagasan fusi cakrawala, prasangka produktif, dan pengalaman kebenaran sebagai unsur-unsur mendasar dari dinamika interpretasi.³ Dengan menolak objektivitas ilmiah dalam bentuknya yang kaku, Gadamer menyodorkan hermeneutika sebagai bentuk keterbukaan terhadap tradisi, sekaligus sebagai bentuk kritik terhadap dominasi rasionalisme metodologis dalam filsafat modern.

Lebih lanjut, dalam dialog dengan pemikir seperti Paul Ricoeur dan Jürgen Habermas, hermeneutika filosofis memperluas cakupannya untuk merespons tantangan dari teori kritik sosial dan dekonstruksi linguistik. Ricoeur menambahkan dimensi etis dan naratif dalam interpretasi, sementara Habermas menekankan pentingnya aspek kritis dan emansipatoris dalam proses pemahaman.⁴ Dialog ini membuktikan bahwa hermeneutika filosofis bukanlah sistem tertutup, melainkan medan reflektif yang senantiasa terbuka terhadap koreksi dan pengayaan.

Secara praktis, hermeneutika filosofis juga telah memberikan dampak signifikan dalam rekonstruksi metodologis ilmu-ilmu humaniora, seperti dalam studi sastra, sejarah, hukum, teologi, dan budaya. Dengan mengedepankan pentingnya konteks, pengalaman, dan bahasa, pendekatan hermeneutik menghindarkan peneliti dari jebakan reduksionisme serta membuka jalan bagi pemahaman yang lebih mendalam dan manusiawi terhadap makna-makna budaya.⁵

Dalam era kontemporer yang ditandai oleh kompleksitas identitas, krisis makna, dan dominasi teknologi, pendekatan hermeneutika filosofis memiliki nilai strategis dalam membina dialog antartradisi, mengkritisi ideologi tersembunyi dalam wacana publik, dan membangun kesadaran etis terhadap pluralitas.⁶ Ia bukan sekadar teori pemahaman, tetapi juga praksis filosofis yang menuntut keterlibatan reflektif terhadap dunia dan diri sendiri.

Dengan demikian, hermeneutika filosofis tetap relevan dan diperlukan dalam merespons tantangan zaman, karena ia mengajarkan bahwa pemahaman bukanlah pencapaian akhir, melainkan proses terbuka, historis, dan dialogis—sebuah proses yang mendefinisikan keberadaan manusia sebagai makhluk yang selalu dalam pemahaman.


Footnotes

[1]                Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 7–9.

[2]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 183–187.

[3]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury Academic, 2013), 272–278.

[4]                Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston: Northwestern University Press, 1991), 15–22; Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 310–316.

[5]                Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 172–178.

[6]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 121–125.


Daftar Pustaka

Bleicher, J. (1980). Contemporary hermeneutics: Hermeneutics as method, philosophy and critique. Routledge & Kegan Paul.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Dilthey, W. (1996). Selected works, volume IV: Hermeneutics and the study of history (R. A. Makkreel & F. Rodi, Eds.). Princeton University Press.

Dreyfus, H. L. (1991). Being-in-the-world: A commentary on Heidegger’s Being and Time, Division I. MIT Press.

Gadamer, H.-G. (2013). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Bloomsbury Academic. (Original work published 1960)

Grondin, J. (1994). Introduction to philosophical hermeneutics (J. Weinsheimer, Trans.). Yale University Press.

Grondin, J. (1995). Sources of hermeneutics. State University of New York Press.

Habermas, J. (1971). Knowledge and human interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (1980). The hermeneutic claim to universality. In J. Bleicher (Ed.), Contemporary hermeneutics: Hermeneutics as method, philosophy and critique (pp. 181–211). Routledge & Kegan Paul.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work published 1927)

Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why democracy needs the humanities. Princeton University Press.

Palmer, R. E. (1969). Hermeneutics: Interpretation theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Northwestern University Press.

Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory: Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University Press.

Ricoeur, P. (1984). Time and narrative: Vol. 1 (K. McLaughlin & D. Pellauer, Trans.). University of Chicago Press.

Ricoeur, P. (1991). From text to action: Essays in hermeneutics II (K. Blamey & J. B. Thompson, Trans.). Northwestern University Press.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K. Blamey, Trans.). University of Chicago Press.

Schleiermacher, F. (1998). Hermeneutics and criticism and other writings (A. Bowie, Ed.). Cambridge University Press.

Thiselton, A. C. (1980). The two horizons: New Testament hermeneutics and philosophical description. Eerdmans.

Thiselton, A. C. (1992). New horizons in hermeneutics. Zondervan.

White, J. B. (1973). The legal imagination. University of Chicago Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar