Ekonomi Pembangunan
Teori, Dinamika, dan Tantangan Global dalam Mewujudkan
Pertumbuhan yang Inklusif dan Berkelanjutan
Alihkan ke: Ilmu Ekonomi.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai
ekonomi pembangunan sebagai cabang ilmu ekonomi yang memiliki peran strategis
dalam menjawab persoalan kemiskinan, ketimpangan, keterbelakangan struktural,
serta tantangan global kontemporer seperti krisis iklim dan transformasi
digital. Berangkat dari analisis teoritis klasik hingga pendekatan pembangunan
berkelanjutan, artikel ini mengeksplorasi fondasi konseptual, dinamika
implementasi, serta isu-isu strategis yang melingkupi pembangunan di negara
berkembang.
Melalui tinjauan terhadap teori-teori utama,
faktor-faktor penentu, dan kebijakan pembangunan, artikel ini menyoroti
pentingnya integrasi antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan
keberlanjutan lingkungan. Studi kasus dari berbagai kawasan dunia, termasuk
Asia Timur, Afrika Sub-Sahara, Amerika Latin, Tiongkok, dan Indonesia,
memberikan ilustrasi konkret tentang keberhasilan dan tantangan dalam merancang
strategi pembangunan yang efektif dan inklusif. Lebih lanjut, artikel ini
mengkaji keterkaitan ekonomi pembangunan dengan agenda Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (SDGs), serta memetakan prospek masa depan ekonomi pembangunan
dalam menghadapi revolusi teknologi, transisi energi hijau, dan pergeseran
geopolitik global.
Dengan pendekatan multidisipliner dan berbasis
referensi ilmiah yang kredibel, artikel ini berupaya memperkaya wacana akademik
dan kebijakan publik mengenai arah transformasi pembangunan ekonomi yang adil,
partisipatif, dan berdaya tahan.
Kata Kunci: Ekonomi pembangunan; kemiskinan; ketimpangan;
pembangunan berkelanjutan; SDGs; digitalisasi; green economy; kebijakan
pembangunan; negara berkembang.
PEMBAHASAN
Telaah Kritis tentang Ekonomi Pembangunan Berdasarkan
Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Dalam lanskap ekonomi global yang terus berkembang,
ekonomi pembangunan muncul sebagai salah satu cabang ilmu ekonomi yang paling
dinamis dan multidimensional. Ia tidak hanya membahas persoalan pertumbuhan
pendapatan nasional, tetapi juga menyentuh dimensi sosial, politik, dan
institusional dalam upaya meningkatkan kualitas hidup manusia secara
berkelanjutan. Dalam konteks ini, ekonomi pembangunan bertujuan untuk memahami
dan mengatasi tantangan-tantangan mendasar seperti kemiskinan, ketimpangan,
pengangguran, dan marginalisasi sosial yang masih menjadi realitas di banyak
negara berkembang.
Konsep pembangunan telah mengalami evolusi
konseptual sejak masa pascakolonial, di mana pembangunan awalnya dipandang
semata-mata sebagai pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, pendekatan
tersebut dinilai terlalu sempit karena gagal menangkap dimensi kesejahteraan
yang lebih luas. Sebagai respons terhadap keterbatasan ini, para ekonom seperti
Amartya Sen menekankan pentingnya pendekatan berbasis capabilities,
yaitu kemampuan manusia untuk menjalani kehidupan yang mereka nilai berharga,
bukan sekadar akumulasi kekayaan material semata¹. Pendekatan ini menjadi
tonggak penting dalam menggeser paradigma pembangunan dari sekadar pertumbuhan
ekonomi menuju pembangunan manusia yang menyeluruh dan berkelanjutan.
Dalam praktiknya, pembangunan ekonomi tidak bisa
dilepaskan dari konteks globalisasi dan kompleksitas hubungan internasional.
Ketergantungan negara-negara berkembang terhadap modal asing, teknologi, dan
pasar global sering kali menciptakan relasi yang timpang antara negara maju dan
negara berkembang, sebagaimana dikritisi oleh pendekatan strukturalis dan teori
ketergantungan². Di sisi lain, keberhasilan negara-negara seperti Korea Selatan
dan Tiongkok menunjukkan bahwa pembangunan yang berbasis kebijakan nasional
yang adaptif, investasi dalam pendidikan, dan penguatan institusi dapat
mendorong transformasi struktural secara signifikan³.
Tantangan-tantangan kontemporer seperti perubahan
iklim, pandemi global, konflik geopolitik, dan disrupsi digital semakin
memperkuat urgensi untuk mengkaji ulang arah pembangunan ekonomi. Agenda global
seperti Sustainable Development Goals (SDGs) yang dicanangkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi kerangka normatif bagi komunitas
internasional dalam membangun ekonomi yang inklusif, tangguh, dan ramah
lingkungan⁴.
Dengan latar belakang tersebut, artikel ini disusun
untuk memberikan tinjauan komprehensif mengenai teori, dinamika, serta isu-isu
strategis dalam ekonomi pembangunan. Pembahasan ini tidak hanya mencakup
fondasi teoritis dari berbagai pendekatan pembangunan, tetapi juga menyoroti
praktik-praktik kebijakan dan tantangan global yang dihadapi negara-negara
berkembang dalam upaya mewujudkan pertumbuhan yang berkeadilan dan
berkelanjutan. Harapannya, artikel ini dapat menjadi kontribusi ilmiah yang
relevan bagi pengembangan wacana ekonomi pembangunan, baik dalam kajian
akademis maupun dalam perumusan kebijakan publik.
Footnotes
[1]
Amartya Sen, Development as Freedom (New
York: Knopf, 1999), 87–110.
[2]
Theotonio Dos Santos, "The Structure of
Dependence," The American Economic Review 60, no. 2 (1970):
231–236.
[3]
Ha-Joon Chang, Kicking Away the Ladder:
Development Strategy in Historical Perspective (London: Anthem Press,
2002), 21–43.
[4]
United Nations, Transforming Our World: The 2030
Agenda for Sustainable Development (New York: UN Publishing, 2015), 5–18.
2.
Konsep
Dasar Ekonomi Pembangunan
Ekonomi pembangunan
merupakan cabang ilmu ekonomi yang secara khusus mempelajari proses-proses
ekonomi, sosial, dan institusional yang terjadi di negara-negara berkembang
dalam upaya mencapai kemajuan ekonomi dan kesejahteraan sosial secara
menyeluruh. Tidak seperti ekonomi makro atau mikro konvensional yang cenderung
netral secara spasial dan kontekstual, ekonomi pembangunan menekankan
pentingnya memahami realitas historis, struktural, dan kelembagaan dalam
dinamika pembangunan suatu negara¹.
2.1. Definisi dan Cakupan Ekonomi Pembangunan
Michael P. Todaro
dan Stephen C. Smith mendefinisikan ekonomi pembangunan sebagai “suatu studi
tentang bagaimana negara-negara dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan
ekonominya, mengurangi kemiskinan, dan membangun institusi yang mendukung
pembangunan berkelanjutan”.² Cakupan ekonomi pembangunan sangat luas,
mencakup isu-isu seperti kemiskinan absolut dan relatif, ketimpangan distribusi
pendapatan, pengangguran struktural, pembangunan manusia, serta keberlanjutan
lingkungan.
Pendekatan ini tidak
hanya mengukur kemajuan melalui indikator ekonomi seperti Produk Domestik Bruto
(PDB), tetapi juga melalui indeks-indeks sosial seperti Indeks
Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI), Indeks
Gini (untuk mengukur ketimpangan), dan Indeks Kemiskinan Multidimensi (Multidimensional
Poverty Index / MPI). ³ Indikator-indikator ini menegaskan bahwa
pembangunan tidak bisa hanya diukur dari sisi kuantitatif ekonomi, melainkan
harus juga mencakup kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.
2.2. Pertumbuhan Ekonomi vs. Pembangunan Ekonomi
Penting untuk
membedakan antara pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan pembangunan
ekonomi (economic
development). Pertumbuhan ekonomi merujuk pada peningkatan
kapasitas produksi nasional yang tercermin dalam kenaikan output (PDB atau
PNB), sedangkan pembangunan ekonomi mencakup transformasi struktural dalam
sektor-sektor ekonomi, distribusi pendapatan yang lebih merata, peningkatan
kualitas hidup, dan penguatan institusi⁴. Suatu negara dapat mengalami pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, tetapi tanpa pembangunan ekonomi yang merata, hasilnya
dapat berupa ketimpangan dan eksklusi sosial yang semakin dalam.
2.3. Dimensi Multidisipliner Ekonomi Pembangunan
Sebagai bidang
kajian, ekonomi pembangunan memiliki sifat interdisipliner yang kuat. Ia
bersinggungan dengan ilmu-ilmu sosial lainnya seperti sosiologi, ilmu politik,
dan antropologi ekonomi. Hal ini tercermin dalam pendekatannya yang
memperhatikan variabel kelembagaan, budaya, dan struktur sosial dalam
menjelaskan keberhasilan atau kegagalan pembangunan⁵. Dengan demikian, ekonomi
pembangunan tidak hanya membahas "apa yang harus dilakukan,"
tetapi juga "bagaimana" dan "mengapa" suatu
kebijakan bekerja atau gagal dalam konteks sosial tertentu.
2.4. Pembangunan sebagai Pemberdayaan dan Kebebasan
Pemikiran Amartya
Sen telah memberikan kontribusi penting dalam mereformulasi tujuan pembangunan
sebagai perluasan capabilities atau kemampuan dasar
manusia untuk memilih kehidupan yang mereka nilai penting. Sen berpendapat
bahwa pembangunan harus dipandang sebagai proses memperluas kebebasan
substantif manusia, termasuk kebebasan politik, akses terhadap pendidikan dan
kesehatan, serta jaminan keamanan ekonomi⁶. Perspektif ini memperkuat argumen
bahwa pembangunan yang sejati adalah pembangunan manusia, bukan semata
pembangunan ekonomi.
Footnotes
[1]
Gerald M. Meier dan James E. Rauch, Leading Issues in Economic
Development, 8th ed. (New York: Oxford University Press, 2005), 3–6.
[2]
Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, Economic Development,
13th ed. (Boston: Pearson Education, 2020), 5.
[3]
United Nations Development Programme (UNDP), Human Development
Report 2020: The Next Frontier—Human Development and the Anthropocene (New
York: UNDP, 2020), 23–30.
[4]
Debraj Ray, Development Economics (Princeton: Princeton
University Press, 1998), 9–11.
[5]
Douglass C. North, Institutions, Institutional Change and Economic
Performance (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 27–36.
[6]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A.
Knopf, 1999), 3–11.
3.
Teori-Teori
Ekonomi Pembangunan
Ekonomi pembangunan
telah berkembang melalui beragam pendekatan teoretis yang mencerminkan dinamika
sejarah, politik, dan struktur sosial-ekonomi global. Teori-teori ini tidak
hanya menyajikan kerangka analitis, tetapi juga memberikan arahan kebijakan
bagi negara-negara berkembang dalam mengatasi masalah kemiskinan, ketimpangan,
dan stagnasi ekonomi. Secara umum, teori-teori pembangunan dapat diklasifikasikan
ke dalam empat pendekatan besar: teori klasik dan neoklasik, teori strukturalis
dan ketergantungan, pendekatan modern berbasis manusia, dan teori pembangunan
berkelanjutan.
3.1. Teori Klasik dan Neoklasik
Teori klasik, yang
dirintis oleh Adam Smith dan David Ricardo, memandang pembangunan sebagai hasil
dari akumulasi modal, efisiensi pasar, dan spesialisasi kerja. Smith
mengedepankan konsep invisible hand yang diyakini akan
membawa kesejahteraan umum melalui kebebasan pasar¹. Ricardo, melalui teori
keunggulan komparatif, menekankan bahwa perdagangan internasional
dapat mendorong pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang dengan
mengalokasikan sumber daya secara efisien².
Sementara itu,
pendekatan neoklasik, seperti Solow Growth Model dan Harrod-Domar
Model, menekankan pentingnya akumulasi modal fisik, tabungan, dan
teknologi sebagai faktor utama pertumbuhan ekonomi jangka panjang³. Namun,
model ini dikritik karena terlalu menekankan aspek-aspek mekanistik dan kurang
memperhatikan faktor kelembagaan, sosial, serta distribusi hasil pembangunan.
3.2. Teori Strukturalis dan Ketergantungan
Berkebalikan dengan
pendekatan neoklasik, teori strukturalis melihat keterbelakangan ekonomi negara
berkembang sebagai hasil dari struktur ekonomi domestik yang dualistik dan
kurang terdiversifikasi. W. Arthur Lewis, misalnya, mengemukakan model
pembangunan dua sektor yang menggambarkan transisi tenaga kerja dari sektor
tradisional ke sektor modern sebagai pendorong utama pembangunan⁴.
Dalam kerangka yang
lebih kritis, teori ketergantungan yang dikembangkan oleh para pemikir Amerika
Latin seperti Raul Prebisch dan Theotonio Dos Santos menyoroti hubungan timpang
antara pusat (negara maju) dan pinggiran (negara berkembang). Ketimpangan
global ini dianggap sebagai hasil dari sistem kapitalisme internasional yang
mengeksploitasi sumber daya dan tenaga kerja negara-negara dunia ketiga⁵.
Karena itu, mereka menyarankan delinking atau pemutusan sebagian
hubungan ekonomi dengan sistem global sebagai strategi untuk membangun otonomi
nasional.
3.3. Pendekatan Modern: Capabilities dan Pembangunan
Manusia
Amartya Sen
memperkenalkan capabilities approach, sebuah
pendekatan normatif yang mendefinisikan pembangunan sebagai perluasan kebebasan
substantif manusia. Dalam pandangan Sen, pembangunan bukanlah sekadar
peningkatan pendapatan per kapita, tetapi proses memperluas pilihan dan
kebebasan individu untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anggap
bermakna⁶. Pendekatan ini menjadi dasar penyusunan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) oleh UNDP, yang menilai pembangunan
berdasarkan pendidikan, kesehatan, dan standar hidup layak.
3.4. Teori Pembangunan Berkelanjutan
Teori pembangunan
berkelanjutan muncul sebagai respons terhadap kerusakan lingkungan dan
ketimpangan generasi akibat model pembangunan eksploitatif. Konsep ini pertama
kali dipopulerkan oleh Laporan Brundtland (1987), yang
mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang "memenuhi
kebutuhan generasi masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang
dalam memenuhi kebutuhannya".⁷ Teori ini mengintegrasikan pertumbuhan
ekonomi, keberlanjutan lingkungan, dan keadilan sosial ke dalam satu kerangka
kebijakan pembangunan jangka panjang.
Dalam
implementasinya, pembangunan berkelanjutan tercermin dalam agenda Sustainable
Development Goals (SDGs) yang mencakup isu-isu kemiskinan,
energi bersih, pendidikan, kesetaraan gender, dan mitigasi perubahan iklim.
Pendekatan ini menandai transformasi paradigma dari pembangunan yang eksklusif
menjadi pembangunan yang inklusif dan transgenerasional.
Footnotes
[1]
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of
Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776), 15–35.
[2]
David Ricardo, On the Principles of Political Economy and Taxation
(London: John Murray, 1817), 78–92.
[3]
Robert M. Solow, "A Contribution to the Theory of Economic
Growth," Quarterly Journal of Economics 70, no. 1 (1956): 65–94.
[4]
W. Arthur Lewis, "Economic Development with Unlimited Supplies of
Labour," The Manchester School 22, no. 2 (1954): 139–191.
[5]
Theotonio Dos Santos, "The Structure of Dependence," The
American Economic Review 60, no. 2 (1970): 231–236.
[6]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A.
Knopf, 1999), 87–110.
[7]
World Commission on Environment and Development, Our Common Future
(Oxford: Oxford University Press, 1987), 43.
4.
Faktor-Faktor
Penentu Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi
merupakan proses yang kompleks dan multidimensional yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor internal dan eksternal. Keberhasilan suatu negara dalam mencapai
pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan sangat bergantung pada sinergi
antara sumber daya ekonomi, struktur kelembagaan, kondisi sosial-budaya, serta
dinamika global. Dalam kajian ekonomi pembangunan, beberapa faktor berikut
diakui secara luas sebagai determinan utama yang memengaruhi arah dan kecepatan
pembangunan.
4.1. Sumber Daya Manusia dan Pendidikan
Kualitas sumber daya
manusia merupakan fondasi penting dalam pembangunan ekonomi. Pendidikan tidak
hanya meningkatkan produktivitas individu, tetapi juga menciptakan efek ganda
terhadap pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kemampuan adaptasi, inovasi,
dan partisipasi warga dalam pembangunan⁽¹⁾. Menurut laporan Bank Dunia,
peningkatan satu tahun rata-rata pendidikan dapat meningkatkan pertumbuhan PDB
per kapita sebesar 0,37 persen⁽²⁾. Oleh karena itu, investasi dalam pendidikan
dasar, menengah, dan tinggi merupakan strategi kunci untuk mempercepat
transformasi ekonomi.
4.2. Infrastruktur dan Investasi Fisik
Ketersediaan
infrastruktur yang memadai seperti jalan, listrik, air bersih, dan teknologi
informasi sangat menentukan efisiensi ekonomi dan keterhubungan antar wilayah.
Infrastruktur yang baik menurunkan biaya logistik, membuka akses pasar, dan
menarik investasi swasta⁽³⁾. Studi oleh Calderón dan Servén menunjukkan bahwa
peningkatan infrastruktur berkorelasi signifikan dengan peningkatan pertumbuhan
ekonomi dan pengurangan ketimpangan pendapatan di negara berkembang⁽⁴⁾.
4.3. Kelembagaan dan Tata Kelola Pemerintahan
Institusi yang kuat
dan tata kelola pemerintahan yang baik memainkan peran kunci dalam menciptakan
iklim pembangunan yang stabil. Douglass North menekankan bahwa institusi
ekonomi—baik formal seperti sistem hukum dan regulasi, maupun informal seperti
norma sosial—menentukan insentif dan perilaku pelaku ekonomi⁽⁵⁾. Negara dengan
lembaga yang transparan, akuntabel, dan antikorupsi cenderung memiliki performa
pembangunan yang lebih baik daripada negara dengan kelembagaan yang lemah.
4.4. Teknologi dan Inovasi
Kemajuan teknologi
mendorong efisiensi, diversifikasi ekonomi, dan peningkatan nilai tambah
produk. Dalam ekonomi modern, adopsi teknologi digital seperti internet,
kecerdasan buatan, dan sistem informasi geografis telah menciptakan peluang
baru dalam sektor pertanian, manufaktur, dan jasa⁽⁶⁾. Teknologi juga memainkan
peran penting dalam memperluas inklusi keuangan melalui layanan keuangan
digital dan mendorong kewirausahaan berbasis inovasi.
4.5. Modal Sosial dan Budaya
Modal
sosial—termasuk jaringan sosial, kepercayaan antar individu, dan norma
kolaboratif—berkontribusi terhadap efektivitas kebijakan pembangunan.
Negara-negara dengan tingkat modal sosial yang tinggi cenderung memiliki
masyarakat yang lebih partisipatif dan responsif terhadap program
pembangunan⁽⁷⁾. Selain itu, nilai-nilai budaya seperti etos kerja, toleransi,
dan solidaritas sosial dapat memengaruhi arah pembangunan secara signifikan.
4.6. Stabilitas Makroekonomi dan Akses Pembiayaan
Stabilitas
makroekonomi, termasuk pengelolaan inflasi, defisit anggaran, dan nilai tukar,
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi investasi dan pertumbuhan ekonomi⁽⁸⁾.
Akses yang luas terhadap pembiayaan melalui perbankan atau lembaga keuangan
mikro juga memungkinkan masyarakat, terutama pelaku usaha kecil dan menengah,
untuk berkontribusi terhadap aktivitas produktif.
Footnotes
[1]
Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, Economic Development,
13th ed. (Boston: Pearson Education, 2020), 349–352.
[2]
World Bank, World Development Report 2018: Learning to Realize
Education’s Promise (Washington, DC: World Bank, 2018), 13.
[3]
John Weiss, Infrastructure and Economic Development (Manila:
Asian Development Bank Institute, 2008), 2–4.
[4]
César Calderón and Luis Servén, “Infrastructure and Economic
Development in Sub-Saharan Africa,” Journal of African Economies 19,
no. suppl_1 (2010): i13–i87.
[5]
Douglass C. North, Institutions, Institutional Change and Economic
Performance (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 3–10.
[6]
Carl J. Dahlman, The World Under Pressure: How China and India Are
Influencing the Global Economy and Environment (New York: Columbia
University Press, 2011), 87–91.
[7]
Robert D. Putnam, Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern
Italy (Princeton: Princeton University Press, 1993), 163–185.
[8]
International Monetary Fund (IMF), Macroeconomic Stability and
Development (Washington, DC: IMF, 2021), 14–16.
5.
Isu
dan Tantangan dalam Ekonomi Pembangunan Kontemporer
Dalam era
globalisasi yang ditandai oleh kemajuan teknologi, integrasi ekonomi global,
dan disrupsi struktural, tantangan dalam pembangunan ekonomi menjadi semakin
kompleks dan multidimensional. Negara-negara berkembang dihadapkan pada
kebutuhan untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan distribusi
yang adil, keberlanjutan lingkungan, dan ketahanan sosial. Beberapa isu utama
berikut ini menggambarkan tantangan kontemporer yang signifikan dalam ekonomi
pembangunan.
5.1. Ketimpangan Sosial dan Ekonomi
Salah satu tantangan
utama dalam pembangunan kontemporer adalah meningkatnya ketimpangan distribusi
pendapatan, baik antarindividu, antarwilayah, maupun antarnegara. Data dari
Oxfam menunjukkan bahwa 1% orang terkaya di dunia memiliki lebih dari separuh
kekayaan global, sementara ratusan juta orang masih hidup dalam kemiskinan
ekstrem¹. Ketimpangan yang tinggi berdampak negatif terhadap stabilitas sosial,
partisipasi ekonomi, dan kualitas demokrasi.
Penyebab ketimpangan
tidak hanya bersifat struktural—seperti warisan kolonial dan distribusi aset
yang tidak merata—tetapi juga bersumber dari sistem fiskal yang regresif,
keterbatasan akses pendidikan dan kesehatan, serta ketimpangan dalam
kepemilikan teknologi dan modal finansial².
5.2. Kemiskinan Multidimensi dan Kelaparan
Meskipun angka kemiskinan
ekstrem telah menurun secara global, bentuk kemiskinan yang lebih kompleks dan
multidimensi masih menjadi persoalan serius. Indeks Kemiskinan Multidimensi
(MPI) yang dikembangkan oleh UNDP mengungkapkan bahwa kemiskinan tidak hanya
terkait dengan pendapatan, tetapi juga mencakup kekurangan dalam pendidikan,
kesehatan, dan standar hidup layak³.
Krisis pangan dan
kelaparan juga menjadi isu kritis, terutama di wilayah-wilayah konflik dan
rentan perubahan iklim. Pandemi COVID-19 memperburuk kondisi ini dengan
mengganggu rantai pasok pangan global dan menurunkan daya beli rumah tangga
miskin⁴.
5.3. Pengangguran dan Informalitas
Tingkat pengangguran
yang tinggi, khususnya di kalangan anak muda dan perempuan, menjadi tantangan
besar bagi pembangunan ekonomi yang inklusif. Di banyak negara berkembang,
mayoritas penduduk bekerja di sektor informal dengan kondisi kerja yang tidak
layak dan tanpa jaminan sosial⁵. Kegagalan dalam menciptakan lapangan kerja
produktif menyebabkan stagnasi pendapatan dan melemahkan basis konsumsi
domestik yang diperlukan untuk pertumbuhan jangka panjang.
5.4. Ketimpangan Gender dan Eksklusi Sosial
Ketimpangan gender
merupakan hambatan serius terhadap pembangunan. Perempuan di banyak negara
berkembang masih menghadapi diskriminasi dalam akses pendidikan, pekerjaan, dan
layanan keuangan. Laporan Global Gender Gap Forum Ekonomi Dunia menunjukkan
bahwa pada tingkat saat ini, dibutuhkan lebih dari 130 tahun untuk menutup
kesenjangan global antara laki-laki dan perempuan⁶.
Selain gender, eksklusi
sosial terhadap kelompok minoritas, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat
juga menghambat pencapaian pembangunan yang merata. Inklusi sosial bukan hanya
soal keadilan moral, tetapi juga strategi pembangunan yang efektif.
5.5. Krisis Iklim dan Degradasi Lingkungan
Perubahan iklim dan
kerusakan lingkungan mengancam fondasi pembangunan ekonomi jangka panjang.
Negara berkembang, meskipun kontribusinya relatif kecil terhadap emisi global,
justru menjadi pihak yang paling rentan terhadap dampaknya—seperti bencana
alam, gagal panen, dan migrasi iklim⁷. Model pembangunan yang tidak ramah
lingkungan menyebabkan eksploitasi sumber daya alam secara tidak berkelanjutan,
yang pada akhirnya menimbulkan biaya sosial dan ekonomi yang tinggi.
5.6. Ketergantungan Global dan Kerentanan Eksternal
Negara berkembang
juga dihadapkan pada ketergantungan yang tinggi terhadap pasar ekspor, bantuan
luar negeri, dan investasi asing. Ketergantungan ini menciptakan kerentanan
terhadap fluktuasi harga komoditas, kebijakan proteksionisme negara maju, serta
gejolak keuangan global. Krisis keuangan 2008 dan pandemi COVID-19 menjadi
contoh nyata bagaimana guncangan global dapat secara signifikan mengganggu
pembangunan domestik⁸.
5.7. Perubahan Teknologi dan Disrupsi Digital
Meskipun teknologi membuka
peluang besar bagi pembangunan (misalnya dalam inklusi keuangan dan pendidikan
daring), ia juga membawa risiko disrupsi pasar tenaga kerja dan konsentrasi
kekayaan baru di tangan pemilik teknologi. Negara-negara yang gagal mengikuti
revolusi digital berisiko mengalami digital divide yang memperlebar
ketimpangan antarwilayah dan antarkelompok sosial⁹.
Footnotes
[1]
Oxfam, Inequality Kills: The Unparalleled Action Needed to Combat
Unprecedented Inequality in the Wake of COVID-19 (Oxford: Oxfam International,
2022), 4.
[2]
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 243–275.
[3]
United Nations Development Programme (UNDP), Global
Multidimensional Poverty Index 2023 (New York: UNDP and OPHI, 2023), 6–15.
[4]
FAO et al., The State of Food Security and Nutrition in the World
2022 (Rome: FAO, IFAD, UNICEF, WFP and WHO, 2022), x–xv.
[5]
International Labour Organization (ILO), World Employment and
Social Outlook: Trends 2023 (Geneva: ILO, 2023), 34–39.
[6]
World Economic Forum, Global Gender Gap Report 2023 (Geneva:
WEF, 2023), 5–7.
[7]
Nicholas Stern, The Economics of Climate Change: The Stern Review
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 27–35.
[8]
Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents Revisited:
Anti-Globalization in the Era of Trump (New York: W.W. Norton &
Company, 2018), 52–68.
[9]
United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), Digital
Economy Report 2021 (Geneva: UNCTAD, 2021), 21–28.
6.
Strategi
dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi
Strategi dan
kebijakan pembangunan ekonomi merupakan instrumen utama bagi negara-negara
berkembang dalam mengejar transformasi struktural, pengentasan kemiskinan,
serta pencapaian pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan. Formulasi strategi
pembangunan memerlukan pemahaman yang menyeluruh terhadap kondisi domestik,
potensi sumber daya, dan dinamika global. Dalam praktiknya, strategi
pembangunan ekonomi bersifat beragam, mulai dari pendekatan negara-sentris
hingga yang berbasis komunitas, serta mencakup berbagai kebijakan fiskal,
moneter, dan sektoral yang terintegrasi.
6.1. Perencanaan Pembangunan Nasional dan Internasional
Perencanaan
pembangunan telah menjadi instrumen utama dalam mengarahkan investasi publik,
mengoordinasikan sektor-sektor strategis, dan menetapkan prioritas pembangunan
jangka pendek hingga panjang. Di banyak negara berkembang, perencanaan ekonomi
dilakukan melalui rencana pembangunan lima tahunan, sebagaimana dicontohkan
oleh India dan Indonesia sejak era pascakemerdekaan¹. Rencana pembangunan juga
menjadi dasar pengalokasian anggaran dan sasaran capaian indikator
sosial-ekonomi.
Di tingkat
internasional, agenda seperti Sustainable Development Goals
(SDGs) menjadi rujukan normatif bagi negara-negara dalam merancang strategi
pembangunan yang menyelaraskan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Namun,
efektivitas rencana pembangunan sangat bergantung pada kapasitas kelembagaan,
partisipasi masyarakat, dan konsistensi implementasi kebijakan².
6.2. Peran Negara vs. Pasar dalam Strategi Pembangunan
Debat antara peran
negara dan pasar dalam pembangunan ekonomi telah berlangsung sejak dekade
1950-an. Pendekatan state-led development menekankan
pentingnya intervensi negara dalam sektor-sektor kunci, perlindungan industri
domestik, dan pengendalian distribusi sumber daya. Model ini berhasil diadopsi
oleh negara-negara Asia Timur seperti Korea Selatan dan Taiwan pada masa
industrialisasi awal³.
Sebaliknya,
pendekatan liberal berbasis pasar—yang dipopulerkan oleh Konsensus
Washington—mendorong deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi perdagangan
sebagai prasyarat pembangunan. Namun, pengalaman berbagai negara menunjukkan
bahwa pendekatan yang terlalu berpihak pada pasar sering kali gagal menciptakan
pembangunan yang inklusif, terutama jika institusi publik lemah dan ketimpangan
sosial tinggi⁴. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih seimbang melalui strategic
state intervention semakin dianjurkan dalam literatur pembangunan
kontemporer.
6.3. Peran Bantuan Luar Negeri dan Investasi Asing (FDI)
Bantuan luar negeri
(foreign
aid) dan investasi asing langsung (foreign direct investment – FDI)
merupakan dua instrumen penting dalam pembiayaan pembangunan, terutama di
negara-negara dengan keterbatasan fiskal dan rendahnya tabungan domestik.
Bantuan pembangunan multilateral dari lembaga-lembaga seperti World Bank, IMF,
dan UNDP banyak mendukung proyek-proyek infrastruktur, kesehatan, dan
pendidikan di negara berkembang⁵.
Namun, efektivitas
bantuan sering kali dipertanyakan, terutama bila tidak dikaitkan dengan
reformasi kelembagaan dan akuntabilitas. Di sisi lain, FDI dinilai lebih
berkelanjutan karena bersifat jangka panjang dan mendorong alih teknologi,
tetapi perlu regulasi yang kuat agar tidak menciptakan ketergantungan dan
eksploitasi sumber daya alam⁶.
6.4. Kebijakan Fiskal, Moneter, dan Perdagangan
Kebijakan fiskal
memainkan peran vital dalam pembiayaan pembangunan dan redistribusi pendapatan.
Peningkatan penerimaan pajak secara progresif serta alokasi anggaran yang
proporsional untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur merupakan bentuk
konkret dari kebijakan fiskal yang pro-pembangunan. Reformasi perpajakan yang
adil dan efisien menjadi keharusan untuk menciptakan ruang fiskal yang sehat⁷.
Kebijakan moneter,
terutama dalam menjaga stabilitas harga dan nilai tukar, penting dalam
menciptakan lingkungan makroekonomi yang kondusif bagi investasi dan
pertumbuhan. Sementara itu, kebijakan perdagangan yang inklusif, seperti
pemberian insentif bagi sektor ekspor dan penguatan produk domestik, dapat
meningkatkan daya saing dan mendorong industrialisasi⁸.
6.5. Strategi Pembangunan Partisipatif dan Berbasis
Komunitas
Kritik terhadap
pendekatan top-down dalam pembangunan telah mendorong munculnya strategi
pembangunan berbasis masyarakat (community-driven development – CDD).
Pendekatan ini menekankan partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi program pembangunan, sehingga lebih responsif
terhadap kebutuhan lokal dan meningkatkan keberlanjutan proyek⁹.
Program-program
seperti PNPM Mandiri di Indonesia dan proyek pembangunan desa di Afrika Timur
menunjukkan bahwa pendekatan partisipatif dapat meningkatkan efektivitas
penggunaan anggaran dan memperkuat kohesi sosial masyarakat setempat¹⁰.
Footnotes
[1]
Gunnar Myrdal, Asian Drama: An Inquiry into the Poverty of Nations
(New York: Pantheon Books, 1968), 216–221.
[2]
United Nations, Transforming Our World: The 2030 Agenda for
Sustainable Development (New York: UN Publishing, 2015), 5–11.
[3]
Ha-Joon Chang, Kicking Away the Ladder: Development Strategy in
Historical Perspective (London: Anthem Press, 2002), 14–37.
[4]
Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents (New
York: W.W. Norton & Company, 2002), 66–75.
[5]
Michael P. Todaro and Stephen C. Smith, Economic Development,
13th ed. (Boston: Pearson Education, 2020), 713–735.
[6]
Dani Rodrik, The Globalization Paradox: Democracy and the Future of
the World Economy (New York: W.W. Norton & Company, 2011), 180–188.
[7]
Richard M. Bird dan Eric M. Zolt, “Taxation and Development: The
Weakest Link?,” Essays in International Taxation 12, no. 2 (2005):
15–36.
[8]
Anne Krueger, “Trade Policy and Economic Development: How We Learn,” American
Economic Review 87, no. 1 (1997): 1–22.
[9]
Mansuri, Ghazala, dan Vijayendra Rao, Localizing Development: Does
Participation Work? (Washington, DC: World Bank, 2013), 3–21.
[10]
World Bank, Indonesia: Evaluation of the National Program for
Community Empowerment (PNPM) (Washington, DC: World Bank, 2012), 9–15.
7.
Studi
Kasus Global dan Regional
Analisis studi kasus
merupakan pendekatan penting dalam memahami dinamika nyata dari strategi dan
proses pembangunan ekonomi. Melalui pendekatan ini, kita dapat menelusuri
bagaimana berbagai negara merespons tantangan pembangunan dan mengadopsi
kebijakan yang sesuai dengan konteks sosio-ekonomi masing-masing. Studi-studi
berikut memperlihatkan keragaman model pembangunan yang diimplementasikan di
berbagai kawasan dunia, beserta pencapaiannya dan kendala yang dihadapi.
7.1. Asia Timur: Keberhasilan Industrialisasi dan Negara
Pembangun Aktif
Negara-negara Asia
Timur seperti Korea Selatan dan Taiwan sering dijadikan rujukan dalam literatur
pembangunan karena keberhasilannya dalam melakukan transformasi struktural yang
cepat melalui strategi industrialisasi berbasis ekspor. Di Korea Selatan,
strategi developmental
state dengan intervensi negara yang kuat dalam industri,
pendidikan, dan teknologi mendorong pertumbuhan PDB yang pesat sejak dekade
1960-an¹. Negara memfasilitasi konglomerasi industri (chaebol), memberikan
insentif ekspor, dan menjaga kestabilan makroekonomi.
Hal serupa terjadi
di Taiwan, di mana reformasi agraria dan investasi dalam pendidikan dasar
menciptakan basis sosial yang kuat untuk pertumbuhan industri kecil-menengah².
Kedua negara berhasil keluar dari jebakan pendapatan menengah dan menunjukkan
bahwa perencanaan ekonomi yang terfokus, institusi yang efektif, serta
keterbukaan yang selektif terhadap pasar global dapat menjadi kunci pembangunan
yang berkelanjutan.
7.2. Sub-Sahara Afrika: Tantangan Struktural dan
Ketergantungan Eksternal
Benua Afrika,
khususnya wilayah Sub-Sahara, menghadapi tantangan besar dalam pembangunan
ekonomi akibat lemahnya infrastruktur, institusi, dan ketergantungan tinggi
pada ekspor komoditas primer. Negara-negara seperti Nigeria dan Republik
Demokratik Kongo menunjukkan bagaimana kekayaan sumber daya alam tidak selalu
membawa kesejahteraan—fenomena yang dikenal sebagai resource curse³.
Meskipun demikian,
beberapa negara seperti Rwanda berhasil menunjukkan tren positif melalui
reformasi kelembagaan dan stabilitas politik. Rwanda menerapkan strategi
pembangunan nasional berbasis teknologi, pemberdayaan perempuan, dan pelayanan
publik berbasis hasil (performance-based governance), yang berdampak pada
peningkatan signifikan indeks pembangunan manusianya⁴.
7.3. Amerika Latin: Ketimpangan Struktural dan Gelombang
Reformasi
Amerika Latin
memiliki sejarah panjang intervensi negara dalam ekonomi, namun juga mengalami
krisis fiskal dan stagnasi pertumbuhan pada era 1980-an. Reformasi ekonomi
neoliberalisasi pada dekade 1990-an—melalui privatisasi dan liberalisasi
perdagangan—hanya sebagian berhasil, dan bahkan memperburuk ketimpangan
sosial⁵.
Namun, pada awal
abad ke-21, beberapa negara seperti Brasil dan Bolivia berhasil mengombinasikan
pertumbuhan ekonomi dengan ekspansi program kesejahteraan sosial. Misalnya,
program Bolsa Família di Brasil
berhasil mengurangi kemiskinan dan meningkatkan indikator pendidikan anak-anak
miskin⁶. Hal ini menunjukkan pentingnya sinergi antara pertumbuhan ekonomi dan
perlindungan sosial sebagai strategi pembangunan inklusif.
7.4. Indonesia: Dari Krisis ke Stabilitas dan Tantangan
Pemerataan
Indonesia merupakan
studi kasus yang kompleks karena pernah mengalami pertumbuhan pesat, krisis
ekonomi, reformasi politik, dan pembangunan demokrasi dalam waktu yang relatif
singkat. Setelah krisis ekonomi 1997–1998, Indonesia meluncurkan berbagai
reformasi institusional termasuk desentralisasi fiskal, reformasi perbankan,
dan kebijakan pembangunan pro-rakyat⁷.
Program seperti PNPM
Mandiri dan Dana Desa menunjukkan
keberhasilan dalam memberdayakan masyarakat di tingkat akar rumput. Namun,
tantangan tetap ada dalam bentuk ketimpangan wilayah, korupsi, dan daya saing
industri⁸. Meskipun demikian, Indonesia dinilai berhasil menjaga stabilitas
makroekonomi, memperluas akses pendidikan dan kesehatan, serta meningkatkan
posisi dalam indikator pembangunan global.
7.5. Tiongkok: Model Pembangunan Terkendali dan
Transformasi Struktural
Tiongkok merupakan
contoh pembangunan dengan pendekatan unik—market socialism—yang memadukan
perencanaan negara dengan mekanisme pasar. Reformasi ekonomi sejak era Deng
Xiaoping pada akhir 1970-an memungkinkan pertumbuhan ekonomi dua digit selama
lebih dari tiga dekade. Pemerintah memainkan peran dominan dalam pembangunan
infrastruktur, urbanisasi, dan investasi dalam teknologi tinggi⁹.
Namun, Tiongkok juga
menghadapi tantangan serius seperti ketimpangan wilayah, polusi lingkungan, dan
utang sektor publik. Kini, strategi “dual circulation” yang
mengedepankan penguatan konsumsi domestik dan inovasi teknologi menjadi kunci
masa depan pembangunan Tiongkok¹⁰.
Footnotes
[1]
Robert Wade, Governing the Market: Economic Theory and the Role of
Government in East Asian Industrialization (Princeton: Princeton
University Press, 1990), 43–76.
[2]
Alice H. Amsden, Asia's Next Giant: South Korea and Late
Industrialization (New York: Oxford University Press, 1989), 101–123.
[3]
Paul Collier, The Bottom Billion: Why the Poorest Countries Are
Failing and What Can Be Done About It (Oxford: Oxford University Press,
2007), 38–52.
[4]
African Development Bank, Rwanda Country Strategy Paper 2022–2026
(Abidjan: AfDB, 2022), 12–17.
[5]
Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work (New York: W.W.
Norton & Company, 2006), 89–103.
[6]
Fábio Veras Soares et al., “Evaluating the Impact of Brazil’s Bolsa
Família: Cash Transfer Programs in Comparative Perspective,” IPC Working
Paper Series no. 1 (2006): 4–12.
[7]
Hal Hill, The Indonesian Economy: Entering a New Era
(Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 49–64.
[8]
World Bank, Indonesia Economic Prospects: Boosting Competitiveness
(Washington, DC: World Bank, 2018), 23–30.
[9]
Barry Naughton, The Chinese Economy: Transitions and Growth
(Cambridge, MA: MIT Press, 2007), 215–240.
[10]
IMF, People’s Republic of China: 2023 Article IV Consultation—Staff
Report (Washington, DC: International Monetary Fund, 2023), 5–9.
8.
Ekonomi
Pembangunan dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)
Konsep Sustainable
Development Goals (SDGs), yang disahkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2015 sebagai kelanjutan dari Millennium
Development Goals (MDGs), telah memperluas cakrawala pembangunan dari dimensi
ekonomi ke dimensi sosial, ekologis, dan institusional secara menyeluruh. SDGs
terdiri dari 17 tujuan dan 169 indikator yang dirancang untuk mengatasi
tantangan global—termasuk kemiskinan, ketimpangan, perubahan iklim, degradasi
lingkungan, perdamaian, dan keadilan—dengan target pencapaian pada tahun 2030¹.
Sebagai cabang ilmu
yang menitikberatkan pada peningkatan kesejahteraan manusia dan transformasi
sosial-ekonomi, ekonomi pembangunan memiliki hubungan yang inheren dan
substansial dengan kerangka kerja SDGs. Berbeda dari pendekatan pertumbuhan
ekonomi konvensional yang sering berfokus pada peningkatan PDB semata, SDGs
mendorong pencapaian pembangunan inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan dalam
jangka panjang.
8.1. Dimensi Ekonomi dalam SDGs
Ekonomi pembangunan
secara langsung berkaitan dengan sejumlah tujuan SDGs yang berorientasi pada
pembangunan ekonomi, seperti:
·
SDG
1 (Tanpa Kemiskinan): Merujuk pada penghapusan kemiskinan dalam
segala bentuk, termasuk kemiskinan multidimensi yang sering menjadi fokus utama
dalam ekonomi pembangunan².
·
SDG
8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi): Mendorong
pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang inklusif dengan menciptakan lapangan
kerja produktif, terutama di negara berkembang yang mengalami tingkat
informalitas tinggi³.
·
SDG
9 (Industri, Inovasi, dan Infrastruktur): Menekankan pentingnya
industrialisasi inklusif dan berkelanjutan serta investasi dalam riset dan
teknologi⁴.
·
SDG
10 (Mengurangi Ketimpangan): Menyasar ketimpangan antar dan
dalam negara, sejalan dengan diskursus dalam ekonomi pembangunan mengenai
distribusi pendapatan dan kesempatan ekonomi⁵.
Pencapaian
tujuan-tujuan ini tidak hanya bergantung pada kebijakan makroekonomi yang
solid, tetapi juga pada reformasi kelembagaan dan penguatan kapasitas lokal.
8.2. Dimensi Sosial dan Lingkungan
Ekonomi pembangunan
kontemporer mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak memperhatikan aspek
sosial dan lingkungan akan menghasilkan ketimpangan struktural dan kerusakan
ekosistem yang mendalam. Oleh karena itu, SDGs yang berkaitan dengan pendidikan
berkualitas (SDG 4), kesetaraan gender (SDG 5), air
bersih dan sanitasi (SDG 6), serta aksi
terhadap perubahan iklim (SDG 13) menjadi bagian integral dari
strategi pembangunan yang holistik⁶.
Kerangka SDGs juga
memberikan tekanan kuat pada pentingnya pembangunan berwawasan lingkungan dan
intergenerasional. Pembangunan ekonomi yang bertumpu pada eksploitasi sumber
daya alam tak terbarukan dan tidak mempertimbangkan kapasitas regeneratif
lingkungan pada akhirnya akan kontraproduktif dan menciptakan kemiskinan
ekologis.
8.3. Indikator dan Evaluasi Capaian
Dalam konteks
ekonomi pembangunan, indikator SDGs digunakan sebagai alat ukur keberhasilan
pembangunan yang lebih luas dan komprehensif. Indikator seperti Indeks
Pembangunan Manusia (HDI), Indeks Kemiskinan Multidimensi (MPI),
dan Gini
Index sering digunakan sebagai pelengkap indikator SDGs untuk
mengevaluasi keberhasilan kebijakan pembangunan nasional dan daerah⁷.
Namun, tantangan
dalam pemantauan dan evaluasi SDGs masih signifikan, khususnya di negara-negara
dengan kapasitas statistik yang terbatas. Oleh karena itu, penguatan sistem
data dan transparansi kebijakan menjadi kunci dalam memastikan akuntabilitas
dan efektivitas implementasi SDGs dalam konteks pembangunan nasional.
8.4. Peran Lembaga Internasional dan Kemitraan Global
SDGs menekankan
pentingnya kemitraan lintas sektor dan lintas negara (SDG 17), yang mencakup
dukungan teknis, keuangan, dan kelembagaan dari berbagai aktor—termasuk lembaga
internasional, sektor swasta, dan masyarakat sipil. Lembaga seperti UNDP, World
Bank, dan OECD telah memainkan peran penting dalam membantu negara berkembang
menyelaraskan kebijakan pembangunan nasional mereka dengan tujuan SDGs melalui
penyediaan dana, pelatihan kebijakan, dan pengembangan kapasitas⁸.
Pendekatan
kolaboratif ini mencerminkan semangat baru dalam ekonomi pembangunan yang tidak
hanya menekankan pada pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi juga pada
solidaritas global dan tanggung jawab kolektif dalam menciptakan dunia yang
lebih adil dan lestari.
Footnotes
[1]
United Nations, Transforming Our World: The 2030 Agenda for
Sustainable Development (New York: UN Publishing, 2015), 5–17.
[2]
Sabina Alkire dan James Foster, “Counting and Multidimensional Poverty
Measurement,” Journal of Public Economics 95, no. 7–8 (2011): 476–487.
[3]
International Labour Organization (ILO), World Employment and
Social Outlook: Trends 2023 (Geneva: ILO, 2023), 15–19.
[4]
World Bank, World Development Report 2023: Migrants, Refugees, and
Societies (Washington, DC: World Bank, 2023), 66–73.
[5]
Thomas Piketty, Capital and Ideology (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2020), 701–728.
[6]
Jeffrey D. Sachs, The Age of Sustainable Development (New
York: Columbia University Press, 2015), 41–59.
[7]
United Nations Development Programme (UNDP), Human Development
Report 2021/2022 (New York: UNDP, 2022), 19–33.
[8]
OECD, Global Outlook on Financing for Sustainable Development 2023
(Paris: OECD Publishing, 2023), 9–13.
9.
Prospek
dan Arah Masa Depan Ekonomi Pembangunan
Memasuki era abad
ke-21 yang ditandai oleh kompleksitas global, ekonomi pembangunan menghadapi
tantangan baru sekaligus peluang transformatif yang tidak dapat diabaikan.
Perubahan iklim, revolusi digital, geopolitik multipolar, dan pandemi global
telah mengubah peta jalan pembangunan secara fundamental. Oleh karena itu, arah
masa depan ekonomi pembangunan dituntut untuk semakin adaptif, multidisipliner,
dan berbasis inklusi serta keberlanjutan. Berikut ini adalah beberapa
kecenderungan utama yang akan membentuk prospek ekonomi pembangunan dalam
dekade-dekade mendatang.
9.1. Transisi menuju Pembangunan Inklusif dan Berbasis
Keadilan Sosial
Isu ketimpangan
global yang semakin tajam mengharuskan pendekatan pembangunan di masa depan
untuk menitikberatkan pada inklusivitas dan keadilan sosial. Dalam konteks ini,
pembangunan tidak lagi diukur dari pertumbuhan output semata, tetapi dari
sejauh mana hasil pembangunan didistribusikan secara adil antarwilayah, antar
kelas sosial, dan antar gender¹. Pendekatan berbasis keadilan distributif,
seperti yang dikembangkan oleh Thomas Piketty dan Anthony Atkinson, memberikan
landasan konseptual untuk mendesain ulang sistem perpajakan, jaminan sosial,
serta akses universal terhadap pendidikan dan kesehatan².
9.2. Digitalisasi dan Ekonomi Berbasis Pengetahuan
Kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi (TIK) membuka babak baru dalam ekonomi pembangunan,
dengan munculnya ekonomi digital, otomatisasi, dan kecerdasan buatan (AI).
Negara-negara berkembang memiliki kesempatan untuk melakukan leapfrogging,
yakni melompati tahapan pembangunan konvensional melalui adopsi teknologi
baru³. Namun, tantangan besar tetap ada dalam bentuk kesenjangan akses digital,
rendahnya literasi teknologi, dan risiko pengangguran akibat disrupsi
teknologi⁴.
Oleh karena itu,
strategi pembangunan masa depan harus memasukkan transformasi digital sebagai
agenda prioritas yang mencakup perluasan infrastruktur internet, pengembangan
SDM digital, serta regulasi yang melindungi hak-hak pekerja dalam ekonomi
digital.
9.3. Pembangunan Hijau dan Transisi Energi Berkelanjutan
Krisis iklim telah
mendorong lahirnya paradigma green development, yang menekankan
pentingnya pembangunan ekonomi rendah karbon dan ramah lingkungan. Masa depan
ekonomi pembangunan sangat bergantung pada kemampuan negara-negara untuk
melaksanakan transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan,
seperti tenaga surya, angin, dan biomassa⁵.
Strategi pembangunan
hijau juga mencakup pengembangan green jobs, reformasi subsidi
energi, dan penguatan ekonomi sirkular sebagai cara untuk menjaga keberlanjutan
lingkungan tanpa mengorbankan pertumbuhan⁶. Pendekatan ini semakin mendapatkan
dukungan dalam kerangka Green New Deal di negara maju dan Just
Energy Transition di negara berkembang.
9.4. Penguatan Tata Kelola Global dan Regional
Di tengah
meningkatnya interdependensi antarnegara, masa depan pembangunan menuntut tata
kelola global yang lebih inklusif dan demokratis. Kelembagaan internasional
seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO dituntut untuk lebih responsif terhadap
kebutuhan negara-negara berkembang dan tidak sekadar menjadi penjaga
kepentingan ekonomi negara maju⁷.
Secara regional,
kerja sama pembangunan seperti ASEAN Economic Community (AEC), African
Continental Free Trade Area (AfCFTA), dan Belt and Road Initiative (BRI)
menjadi contoh penting bagaimana regionalisme dapat menjadi wahana untuk
integrasi pasar, pertukaran teknologi, dan stabilitas geopolitik yang lebih
seimbang.
9.5. Peran Generasi Muda dan Inovasi Sosial
Generasi muda di
negara-negara berkembang kini menjadi aktor penting dalam menentukan masa depan
pembangunan. Mereka bukan hanya sasaran dari kebijakan pembangunan, melainkan
juga motor inovasi sosial dan kewirausahaan berbasis komunitas. Perkembangan social
enterprise, start-up teknologi, dan gerakan
kewirausahaan hijau menandai munculnya bentuk-bentuk baru dari pembangunan yang
partisipatif dan berorientasi pada dampak sosial⁸.
Ke depan, peran
pendidikan transformatif dan pelibatan generasi muda dalam pengambilan
kebijakan publik menjadi kunci dalam menciptakan pembangunan yang berkelanjutan
dan visioner.
Footnotes
[1]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A.
Knopf, 1999), 87–110.
[2]
Thomas Piketty, Capital and Ideology (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2020), 712–738.
[3]
Carl J. Dahlman, The World Under Pressure: How China and India Are
Influencing the Global Economy and Environment (New York: Columbia
University Press, 2011), 111–119.
[4]
UNCTAD, Technology and Innovation Report 2021: Catching
Technological Waves (Geneva: UNCTAD, 2021), 17–34.
[5]
Nicholas Stern, Why Are We Waiting? The Logic, Urgency, and Promise
of Tackling Climate Change (Cambridge: MIT Press, 2015), 145–168.
[6]
OECD, Green Growth and Sustainable Development Forum (Paris:
OECD Publishing, 2020), 8–22.
[7]
Dani Rodrik, “The Global Governance of Trade As If Development Really
Mattered,” UNDP Background Paper, October 2001, 3–12.
[8]
Mariana Mazzucato, Mission Economy: A Moonshot Guide to Changing
Capitalism (London: Penguin Books, 2021), 166–182.
10. Penutup
Ekonomi pembangunan merupakan bidang kajian yang
terus berkembang, seiring dengan dinamika globalisasi, tantangan kemanusiaan,
dan transformasi struktural yang dihadapi oleh negara-negara berkembang. Sebagaimana
telah dibahas dalam artikel ini, ekonomi pembangunan tidak hanya berkutat pada
isu pertumbuhan pendapatan nasional, tetapi juga mencakup dimensi keadilan
sosial, keberlanjutan ekologis, penguatan institusi, serta peningkatan kualitas
hidup secara menyeluruh.
Teori-teori pembangunan yang lahir sejak era klasik
hingga kontemporer memberikan kerangka konseptual yang beragam dalam
menjelaskan dan merespons persoalan pembangunan. Pendekatan klasik dan
neoklasik menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi dan efisiensi pasar,
sementara pendekatan strukturalis dan ketergantungan menyoroti peran sejarah
dan struktur global dalam menciptakan keterbelakangan ekonomi. Dalam
perkembangan terbaru, ekonomi pembangunan semakin banyak mengadopsi pendekatan
berbasis manusia (human development) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) yang mengintegrasikan aspek sosial, lingkungan, dan
kelembagaan dalam perumusan strategi pembangunan¹.
Isu-isu kontemporer seperti kemiskinan
multidimensi, ketimpangan, pengangguran, eksklusi sosial, dan perubahan iklim
menuntut respons kebijakan yang lebih holistik, partisipatif, dan adaptif.
Dalam konteks ini, ekonomi pembangunan memainkan peran penting dalam mendesain
kebijakan publik yang tidak hanya pro-pertumbuhan, tetapi juga pro-rakyat dan
pro-lingkungan². Agenda Sustainable Development Goals (SDGs) yang
dirancang oleh PBB menjadi instrumen normatif sekaligus strategis dalam
menyelaraskan berbagai aspek pembangunan menuju arah yang lebih adil, inklusif,
dan lestari³.
Ke depan, prospek ekonomi pembangunan sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor transformatif seperti digitalisasi ekonomi,
transisi energi hijau, reformasi tata kelola global, serta keterlibatan
generasi muda dalam proses pembangunan. Oleh karena itu, diperlukan komitmen
politik yang kuat, tata kelola pemerintahan yang baik, serta sinergi antara
negara, masyarakat sipil, sektor swasta, dan komunitas global dalam
mengimplementasikan kebijakan pembangunan yang responsif terhadap kebutuhan
masa kini tanpa mengorbankan hak-hak generasi mendatang⁴.
Dengan semakin kompleksnya tantangan pembangunan
dan meningkatnya interkoneksi global, ekonomi pembangunan tidak hanya menjadi
instrumen analitis, tetapi juga menjadi panggilan moral untuk mewujudkan dunia
yang lebih manusiawi, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Amartya Sen, Development as Freedom (New
York: Alfred A. Knopf, 1999), 10–11.
[2]
Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work
(New York: W.W. Norton & Company, 2006), 89–93.
[3]
United Nations, Transforming Our World: The 2030
Agenda for Sustainable Development (New York: UN Publishing, 2015), 6–10.
[4]
Mariana Mazzucato, Mission Economy: A Moonshot
Guide to Changing Capitalism (London: Penguin Books, 2021), 166–175.
Daftar Pustaka
African Development Bank. (2022). Rwanda country
strategy paper 2022–2026. Abidjan: AfDB.
Amsden, A. H. (1989). Asia's next giant: South
Korea and late industrialization. New York: Oxford University Press.
Atkinson, A. B. (2015). Inequality: What can be
done? Cambridge, MA: Harvard University Press.
Bird, R. M., & Zolt, E. M. (2005). Taxation and
development: The weakest link? Essays in International Taxation, 12(2),
15–36.
Calderón, C., & Servén, L. (2010).
Infrastructure and economic development in Sub-Saharan Africa. Journal of
African Economies, 19(Suppl_1), i13–i87.
Collier, P. (2007). The bottom billion: Why the
poorest countries are failing and what can be done about it. Oxford: Oxford
University Press.
Dahlman, C. J. (2011). The world under pressure:
How China and India are influencing the global economy and environment. New
York: Columbia University Press.
International Labour Organization. (2023). World
employment and social outlook: Trends 2023. Geneva: ILO.
International Monetary Fund. (2021). Macroeconomic
stability and development. Washington, DC: IMF.
International Monetary Fund. (2023). People’s
Republic of China: 2023 Article IV consultation—Staff report. Washington,
DC: IMF.
Krueger, A. (1997). Trade policy and economic
development: How we learn. American Economic Review, 87(1), 1–22.
Mansuri, G., & Rao, V. (2013). Localizing
development: Does participation work? Washington, DC: World Bank.
Mazzucato, M. (2021). Mission economy: A
moonshot guide to changing capitalism. London: Penguin Books.
Meier, G. M., & Rauch, J. E. (2005). Leading
issues in economic development (8th ed.). New York: Oxford University
Press.
Myres, G. (1968). Asian drama: An inquiry into
the poverty of nations. New York: Pantheon Books.
Naughton, B. (2007). The Chinese economy:
Transitions and growth. Cambridge, MA: MIT Press.
North, D. C. (1990). Institutions, institutional
change and economic performance. Cambridge: Cambridge University Press.
OECD. (2020). Green growth and sustainable
development forum. Paris: OECD Publishing.
OECD. (2023). Global outlook on financing for
sustainable development 2023. Paris: OECD Publishing.
Oxfam. (2022). Inequality kills: The
unparalleled action needed to combat unprecedented inequality in the wake of
COVID-19. Oxford: Oxfam International.
Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first
century. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Piketty, T. (2020). Capital and ideology.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Putnam, R. D. (1993). Making democracy work:
Civic traditions in modern Italy. Princeton, NJ: Princeton University
Press.
Ray, D. (1998). Development economics.
Princeton, NJ: Princeton University Press.
Ricardo, D. (1817). On the principles of
political economy and taxation. London: John Murray.
Rodrik, D. (2001). The global governance of trade
as if development really mattered. UNDP Background Paper, October 2001.
Rodrik, D. (2011). The globalization paradox:
Democracy and the future of the world economy. New York: W.W. Norton &
Company.
Sachs, J. D. (2015). The age of sustainable
development. New York: Columbia University Press.
Sen, A. (1999). Development as freedom. New
York: Alfred A. Knopf.
Smith, A. (1776). An inquiry into the nature and
causes of the wealth of nations. London: W. Strahan and T. Cadell.
Soares, F. V., Ribas, R. P., & Osorio, R. G.
(2006). Evaluating the impact of Brazil’s Bolsa Família: Cash transfer programs
in comparative perspective. IPC Working Paper Series, No. 1.
Solow, R. M. (1956). A contribution to the theory
of economic growth. Quarterly Journal of Economics, 70(1), 65–94.
Stern, N. (2007). The economics of climate
change: The Stern review. Cambridge: Cambridge University Press.
Stern, N. (2015). Why are we waiting? The logic,
urgency, and promise of tackling climate change. Cambridge: MIT Press.
Stiglitz, J. E. (2002). Globalization and its
discontents. New York: W.W. Norton & Company.
Stiglitz, J. E. (2006). Making globalization
work. New York: W.W. Norton & Company.
Stiglitz, J. E. (2018). Globalization and its
discontents revisited: Anti-globalization in the era of Trump. New York:
W.W. Norton & Company.
Todaro, M. P., & Smith, S. C. (2020). Economic
development (13th ed.). Boston: Pearson Education.
UNCTAD. (2021). Technology and innovation report
2021: Catching technological waves. Geneva: UNCTAD.
United Nations. (2015). Transforming our world:
The 2030 agenda for sustainable development. New York: UN Publishing.
United Nations Conference on Trade and Development.
(2021). Digital economy report 2021. Geneva: UNCTAD.
United Nations Development Programme. (2020). Human
development report 2020: The next frontier—Human development and the
Anthropocene. New York: UNDP.
United Nations Development Programme. (2022). Human
development report 2021/2022. New York: UNDP.
United Nations Development Programme & Oxford
Poverty and Human Development Initiative. (2023). Global multidimensional
poverty index 2023. New York: UNDP.
Veras Soares, F., Ribas, R. P., & Osório, R. G.
(2006). Evaluating the impact of Brazil’s Bolsa Família. International
Poverty Centre Working Paper, 1, 1–20.
Wade, R. (1990). Governing the market: Economic
theory and the role of government in East Asian industrialization.
Princeton, NJ: Princeton University Press.
Weiss, J. (2008). Infrastructure and economic
development. Manila: Asian Development Bank Institute.
World Bank. (2012). Indonesia: Evaluation of the
National Program for Community Empowerment (PNPM). Washington, DC: World
Bank.
World Bank. (2018). Indonesia economic
prospects: Boosting competitiveness. Washington, DC: World Bank.
World Bank. (2023). World development report
2023: Migrants, refugees, and societies. Washington, DC: World Bank.
World Economic Forum. (2023). Global gender gap
report 2023. Geneva: WEF.
World Commission on Environment and Development.
(1987). Our common future. Oxford: Oxford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar