Ocean Economy
Potensi, Tantangan, dan Arah Pembangunan Berkelanjutan
Alihkan ke: Ilmu Ekonomi.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang
Ocean Economy sebagai salah satu pilar strategis pembangunan berkelanjutan di
abad ke-21. Ocean Economy mencakup berbagai sektor ekonomi yang berbasis laut
dan pesisir, seperti perikanan, transportasi maritim, energi laut, pariwisata
bahari, dan bioteknologi kelautan. Nilai ekonominya yang sangat
besar—diperkirakan mencapai triliunan dolar per tahun—menunjukkan potensinya
dalam mendukung pertumbuhan ekonomi global dan kesejahteraan masyarakat
pesisir. Namun demikian, pengembangannya menghadapi berbagai tantangan serius
seperti degradasi lingkungan laut, perubahan iklim, konflik pemanfaatan ruang
laut, serta kesenjangan teknologi dan pembiayaan. Sebagai solusi, pendekatan Blue Economy ditawarkan untuk memastikan pertumbuhan yang inklusif dan
berkelanjutan dengan menyeimbangkan kepentingan ekonomi, ekologi, dan sosial.
Artikel ini juga menyoroti pentingnya inovasi teknologi, pendidikan dan riset,
serta tata kelola laut yang kolaboratif dalam menentukan arah masa depan Ocean
Economy. Berdasarkan analisis ini, disusun sejumlah rekomendasi strategis untuk
pemerintah, sektor swasta, komunitas lokal, dan lembaga internasional dalam
mewujudkan ekonomi laut yang adil, tangguh, dan lestari.
Kata Kunci: Ocean Economy; Blue Economy; Ekonomi Laut;
Pembangunan Berkelanjutan; Tata Kelola Laut; Inovasi Kelautan; Circular
Economy; Konservasi Laut.
PEMBAHASAN
Menelusuri Ocean Economy Berdasarkan Referensi
Kredibel
1.
Pendahuluan
Laut dan samudra
telah lama menjadi tulang punggung bagi kehidupan ekonomi, sosial, dan ekologi
umat manusia. Dengan mencakup lebih dari 70 persen permukaan bumi, lautan tidak
hanya menyediakan sumber daya alam yang melimpah, tetapi juga menjadi jalur
utama perdagangan global, pengatur iklim, dan habitat bagi keanekaragaman
hayati yang luar biasa. Dalam beberapa dekade terakhir, istilah Ocean
Economy (Ekonomi Laut) mulai digunakan secara luas untuk
merujuk pada berbagai aktivitas ekonomi yang terjadi di laut dan kawasan
pesisir, mencakup sektor-sektor tradisional seperti perikanan dan pelayaran,
serta sektor baru seperti energi laut dan bioteknologi kelautan.
Menurut definisi dari
Organisation
for Economic Co-operation and Development (OECD), Ocean
Economy adalah "the sum of the economic activities of
ocean-based industries, together with the assets, goods and services provided
by marine ecosystems"_¹. Sementara itu, Bank Dunia menyatakan bahwa
Ocean Economy mencakup pemanfaatan berkelanjutan dari sumber daya laut untuk
pertumbuhan ekonomi, peningkatan mata pencaharian, dan pelestarian kesehatan
ekosistem laut². Definisi ini menunjukkan adanya keterkaitan erat antara aspek
ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam memahami dinamika kelautan.
Relevansi Ocean
Economy semakin meningkat di tengah tantangan global saat ini, seperti krisis
iklim, ketimpangan ekonomi, serta kebutuhan akan sumber daya alternatif yang
berkelanjutan. Laporan OECD memperkirakan bahwa pada tahun 2030, Ocean Economy
dapat bernilai lebih dari 3 triliun dolar AS, dengan
penyumbang utama dari sektor seperti pariwisata pesisir, akuakultur, dan energi
terbarukan³. Hal ini menjadikan Ocean Economy sebagai salah satu frontier
ekonomi masa depan yang potensial, terutama bagi negara-negara kepulauan dan
pesisir seperti Indonesia.
Namun, potensi besar
ini tidak lepas dari berbagai tantangan serius yang mengancam keberlanjutannya.
Polusi plastik, penangkapan ikan berlebih, serta kerusakan habitat laut menjadi
ancaman nyata yang dapat menurunkan produktivitas ekonomi laut⁴. Oleh karena
itu, dibutuhkan pendekatan lintas sektoral yang tidak hanya berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mempertimbangkan kelestarian ekosistem laut
dan pemberdayaan masyarakat pesisir.
Artikel ini
bertujuan untuk membahas secara komprehensif mengenai konsep Ocean Economy,
potensi yang dimilikinya, tantangan-tantangan utama yang dihadapi, serta arah
pengembangan berkelanjutan yang dapat ditempuh. Dengan mengacu pada berbagai
referensi internasional yang kredibel, artikel ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi dalam memperkuat pemahaman serta perumusan kebijakan yang berbasis
pada keseimbangan antara eksploitasi dan konservasi laut.
Footnotes
[1]
OECD, The Ocean Economy in
2030 (Paris: OECD Publishing, 2016),
17, https://doi.org/10.1787/9789264251724-en.
[2]
The World Bank, The Potential of the
Blue Economy: Increasing Long-term Benefits of the Sustainable Use of Marine
Resources for Small Island Developing States and Coastal Least Developed
Countries (Washington, DC: World
Bank, 2017), 4.
[3]
OECD, The Ocean Economy in
2030, 11.
[4]
UNCTAD,
Blue Economy for Sustainable Development (Geneva: United Nations Conference on Trade and
Development, 2020), 6, https://unctad.org/system/files/official-document/ditcted2020d3_en.pdf.
2.
Komponen dan Sektor dalam Ocean Economy
Ocean Economy
merupakan konsep ekonomi yang mencakup beragam aktivitas produktif yang
berlangsung di laut dan wilayah pesisir, baik yang bersifat ekstraktif, jasa,
maupun berbasis inovasi teknologi. Aktivitas-aktivitas ini dapat
diklasifikasikan ke dalam beberapa sektor utama, masing-masing dengan
kontribusi ekonomi, sosial, dan ekologis yang berbeda.
2.1.
Perikanan dan Budidaya Laut (Akuakultur)
Sektor perikanan
merupakan pilar tradisional Ocean Economy. Organisasi Pangan dan Pertanian
(FAO) mencatat bahwa sektor ini menyediakan mata pencaharian bagi lebih dari 59 juta
orang di seluruh dunia, sebagian besar di negara-negara
berkembang¹. Selain perikanan tangkap, akuakultur tumbuh pesat sebagai sumber
protein laut yang berkelanjutan. Pada tahun 2020, produksi akuakultur dunia
mencapai 87,5 juta ton, menyumbang lebih
dari separuh konsumsi ikan global².
2.2.
Transportasi Laut dan Pelabuhan
Transportasi laut
memainkan peran vital dalam perdagangan internasional. Sekitar 80
persen volume perdagangan dunia diangkut melalui laut, dengan
nilai mencapai triliunan dolar setiap tahunnya³. Infrastruktur pelabuhan, jalur
pelayaran, dan industri logistik maritim merupakan tulang punggung sistem
perdagangan global. Selain itu, sektor ini berkaitan erat dengan pembangunan
pelabuhan pintar (smart ports) dan efisiensi energi kapal.
2.3.
Energi Laut
Energi terbarukan
dari laut—seperti energi angin lepas pantai (offshore wind),
gelombang, pasang surut, dan panas laut—semakin dilirik sebagai solusi transisi
energi hijau. Offshore wind menjadi yang paling berkembang pesat, khususnya di
Eropa, China, dan Amerika Serikat. Menurut laporan IRENA, kapasitas pembangkit
angin lepas pantai meningkat dari hanya 4 GW pada 2011 menjadi lebih dari 64 GW
pada 2022⁴.
2.4.
Pariwisata Bahari dan Pesisir
Pariwisata berbasis
laut dan pesisir merupakan salah satu sektor penyumbang devisa terbesar bagi
banyak negara tropis dan kepulauan. Kegiatan seperti wisata pantai, selam
scuba, ekowisata laut, dan pelayaran kapal pesiar (cruise tourism) mendukung
pertumbuhan ekonomi lokal. Namun, sektor ini sangat sensitif terhadap degradasi
lingkungan dan perubahan iklim⁵.
2.5.
Bioteknologi Kelautan
Bioteknologi
kelautan adalah sektor yang relatif baru namun penuh potensi, melibatkan
eksplorasi mikroorganisme, alga, dan organisme laut lainnya untuk produk
farmasi, kosmetik, pangan, dan bahan bakar. Lautan dianggap sebagai biological
treasure chest dengan sumber daya genetik yang sangat beragam⁶.
Inovasi di bidang ini membuka peluang pengembangan ekonomi yang tinggi nilai
tambahnya.
2.6.
Eksplorasi dan Pertambangan Bawah Laut
Eksplorasi mineral
di dasar laut, seperti nodul mangan, kobalt, dan logam tanah jarang, mulai
dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan industri teknologi. Meski demikian,
eksploitasi ini menimbulkan kontroversi karena berpotensi merusak habitat laut
dalam yang belum banyak dipahami. International Seabed Authority (ISA) sedang
merumuskan standar global untuk regulasi sektor ini secara ketat⁷.
Footnotes
[1]
FAO, The State of World
Fisheries and Aquaculture 2022
(Rome: FAO, 2022), 11, https://www.fao.org/3/cc0461en/cc0461en.pdf.
[2]
Ibid., 23.
[3]
UNCTAD, Review of Maritime
Transport 2023 (Geneva: UNCTAD,
2023), 1, https://unctad.org/webflyer/review-maritime-transport-2023.
[4]
International Renewable Energy Agency (IRENA), Offshore Renewables: An Action Agenda for Deployment (Abu Dhabi: IRENA, 2023), 5, https://www.irena.org/publications.
[5]
OECD, The Ocean Economy in
2030 (Paris: OECD Publishing, 2016),
56, https://doi.org/10.1787/9789264251724-en.
[6]
UNCTAD, The Role of Marine
Biotechnology in the Blue Economy
(Geneva: UNCTAD, 2021), 3–4, https://unctad.org/system/files/official-document/ditctedinf2021d2_en.pdf.
[7]
International Seabed Authority (ISA), Deep Seabed Mining Regulations and Guidelines, accessed April 2025, https://www.isa.org.jm.
3.
Nilai Ekonomi Laut Global
Lautan dan ekosistem
pesisir memiliki nilai ekonomi yang sangat besar, baik dari sektor langsung
seperti perikanan dan pelayaran, maupun sektor tidak langsung seperti jasa
ekosistem yang menopang kehidupan manusia. Nilai ekonomi ini telah menjadi
perhatian global karena kontribusinya yang signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi, penciptaan lapangan kerja, serta keberlanjutan sumber daya alam.
Menurut OECD,
Ocean Economy secara global diperkirakan akan mencapai nilai lebih dari US$3
triliun per tahun pada 2030, dengan sektor-sektor utama seperti
energi lepas pantai, perikanan, pariwisata pesisir, dan transportasi laut
sebagai kontributor utama¹. Proyeksi ini mencerminkan peningkatan tajam dari
nilai ekonomi saat ini, yang pada tahun 2010 diperkirakan sebesar US$1,5
triliun². Peningkatan ini didorong oleh pertumbuhan populasi
dunia, urbanisasi pesisir, serta berkembangnya teknologi kelautan.
Selain nilai PDB
(Produk Domestik Bruto) langsung, Ocean Economy juga menyumbang secara
signifikan terhadap lapangan kerja global. Sekitar 350 juta
orang di seluruh dunia bergantung pada laut untuk mata
pencaharian mereka, terutama di sektor perikanan dan pariwisata laut³. Di
negara-negara berkembang dan kepulauan, sektor laut sering kali menjadi
satu-satunya sumber pendapatan utama bagi komunitas lokal.
3.1.
Studi Kasus Nilai Ekonomi Laut di Beberapa
Negara
3.1.1.
Indonesia
Sebagai negara
kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau, Indonesia memiliki
potensi Ocean Economy yang sangat besar. Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) memperkirakan bahwa potensi ekonomi kelautan Indonesia dapat mencapai
lebih dari US$1,33 triliun per tahun,
mencakup sektor perikanan tangkap, budidaya laut, bioteknologi, hingga wisata
bahari⁴. Namun, kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional masih berada
di bawah 10%, menunjukkan masih adanya kesenjangan antara potensi dan
realisasi.
3.1.2.
Norwegia
Norwegia merupakan
contoh negara maju yang berhasil mengelola sumber daya laut secara produktif
dan berkelanjutan. Ocean Economy di Norwegia mencakup sektor perikanan, minyak
dan gas lepas pantai, serta akuakultur. Industri salmon menjadi salah satu
ekspor terbesar Norwegia, menyumbang sekitar US$10 miliar per tahun.
Pemerintah Norwegia menempatkan Ocean Economy sebagai bagian penting dari
strategi diversifikasi ekonomi pasca minyak⁵.
3.1.3.
China
China merupakan
negara dengan kekuatan maritim yang terus berkembang. Dengan garis pantai
sepanjang lebih dari 14.000 km, Ocean Economy China mencakup pelabuhan besar,
industri perkapalan, energi lepas pantai, dan akuakultur skala besar. Nilai ekonomi
kelautan China diperkirakan melebihi US$1 triliun pada tahun 2021,
dengan kontribusi signifikan terhadap pembangunan wilayah pesisir⁶.
Nilai ekonomi laut
global yang terus meningkat menunjukkan bahwa laut bukan hanya sumber daya
ekologis, tetapi juga menjadi kunci dalam strategi pembangunan ekonomi masa
depan. Meski demikian, eksploitasi yang berlebihan dan perubahan iklim dapat
mengancam keberlanjutan nilai ini, jika tidak dikelola secara bertanggung jawab
dan inklusif.
Footnotes
[1]
OECD, The Ocean Economy in
2030 (Paris: OECD Publishing, 2016),
10, https://doi.org/10.1787/9789264251724-en.
[2]
Ibid., 9.
[3]
UNCTAD, Blue Economy for
Sustainable Development (Geneva:
United Nations, 2020), 7, https://unctad.org/system/files/official-document/ditcted2020d3_en.pdf.
[4]
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Rencana Induk Kelautan Nasional (Jakarta: KKP, 2021), 14.
[5]
Norwegian Ministry of Trade, Industry and Fisheries, Blue Opportunities: The Government’s Ocean Strategy (Oslo: Government of Norway, 2017), 5, https://www.regjeringen.no.
[6]
China Oceanic Development Foundation, China’s Ocean Development Report 2022 (Beijing: CODF, 2022), 8.
4.
Tantangan Utama dalam Pengembangan Ocean
Economy
Meskipun Ocean
Economy memiliki potensi besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi global dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, berbagai tantangan serius
mengancam keberlanjutan dan keadilan dalam pemanfaatannya. Tantangan-tantangan
ini tidak hanya bersifat teknis dan ekonomi, tetapi juga berkaitan erat dengan
isu lingkungan, sosial, dan tata kelola.
4.1.
Degradasi Lingkungan Laut
Salah satu ancaman
utama terhadap pengembangan Ocean Economy adalah kerusakan
ekosistem laut, yang disebabkan oleh aktivitas manusia seperti
penangkapan ikan berlebih (overfishing), pencemaran laut, dan
kerusakan habitat pesisir. Menurut laporan UNEP, sekitar 60%
ekosistem pesisir di dunia telah mengalami degradasi signifikan
akibat aktivitas ekonomi yang tidak berkelanjutan¹. Polusi plastik laut,
misalnya, diperkirakan mencapai 11 juta metrik ton per tahun,
dan jumlah ini dapat meningkat tiga kali lipat pada 2040 jika tidak ada
intervensi kebijakan yang kuat².
4.2.
Perubahan Iklim dan Dampaknya terhadap Laut
Perubahan iklim
berdampak langsung pada kelestarian dan produktivitas sektor kelautan.
Pemanasan suhu laut menyebabkan pemutihan terumbu karang secara massal, naiknya
permukaan laut mengancam komunitas pesisir, dan asidifikasi laut berdampak
buruk terhadap biota laut seperti kerang dan plankton³. Laporan IPCC
Special Report on the Ocean and Cryosphere menyebutkan bahwa
ekosistem laut kini berada dalam tekanan paling berat sepanjang sejarah modern
akibat perubahan iklim⁴. Hal ini menciptakan ketidakpastian dalam perencanaan
investasi dan strategi jangka panjang Ocean Economy.
4.3.
Kesenjangan Teknologi dan Akses Finansial
Negara-negara
berkembang, terutama negara kepulauan kecil (Small Island Developing States/SIDS)
dan negara pesisir dengan kapasitas fiskal terbatas, menghadapi kendala besar
dalam mengakses teknologi kelautan modern dan pembiayaan yang memadai.
Kurangnya infrastruktur digital, peralatan eksplorasi laut dalam, dan kapasitas
sumber daya manusia memperlambat adopsi inovasi dalam sektor seperti
bioteknologi laut dan energi terbarukan⁵. Selain itu, investasi sektor swasta
masih sangat rendah akibat tingginya risiko dan belum jelasnya kerangka
regulasi.
4.4.
Konflik Kepentingan Antar Sektor
Ocean Economy
bersifat lintas sektor dan lintas kepentingan, yang sering kali menimbulkan
konflik antara eksploitasi ekonomi dan konservasi. Contohnya, pembangunan
pelabuhan dan reklamasi pantai sering berbenturan dengan kawasan konservasi
mangrove atau wilayah perikanan tradisional masyarakat lokal. Kurangnya
koordinasi antar lembaga dan tumpang tindih kebijakan sering menyebabkan
ketidakefisienan dalam pengelolaan ruang laut⁶. Model tata kelola yang partisipatif
dan berbasis data menjadi sangat diperlukan untuk menghindari degradasi
lingkungan yang tidak disengaja.
Tantangan-tantangan
ini menunjukkan bahwa keberhasilan Ocean Economy tidak dapat hanya diukur dari
nilai ekonominya, tetapi juga dari sejauh mana ekonomi ini dikelola secara
inklusif, berkelanjutan, dan adil. Oleh karena itu, pendekatan lintas ilmu dan
lintas sektor perlu dikembangkan untuk memastikan bahwa pengelolaan sumber daya
laut dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi generasi sekarang dan
mendatang.
Footnotes
[1]
United Nations Environment Programme (UNEP), The Ocean and Coastal Economy: Sustainability, Resilience and
Inclusivity (Nairobi: UNEP, 2021),
12, https://www.unep.org/resources.
[2]
Pew Charitable Trusts and SYSTEMIQ, Breaking
the Plastic Wave: A Comprehensive Assessment of Pathways Towards Stopping Ocean
Plastic Pollution (Washington, DC:
Pew, 2020), 6, https://www.pewtrusts.org.
[3]
FAO, Impacts of Climate
Change on Fisheries and Aquaculture
(Rome: FAO, 2018), 10, https://www.fao.org/3/i9705en/i9705en.pdf.
[4]
IPCC, Special Report on the
Ocean and Cryosphere in a Changing Climate (Geneva: Intergovernmental Panel on Climate Change, 2019), 13, https://www.ipcc.ch/srocc/.
[5]
UNCTAD, Harnessing Blue Economy
Finance for Sustainable Development
(Geneva: UNCTAD, 2020), 18, https://unctad.org.
[6]
OECD, Marine Spatial
Planning: Assessing Current Practices and Linkages to Other Policy Areas (Paris: OECD Publishing, 2017), 8, https://doi.org/10.1787/9789264273528-en.
5.
Ekonomi Biru (Blue Economy) sebagai Alternatif
Berkelanjutan
Konsep Blue Economy (Ekonomi Biru) muncul sebagai respons atas perlunya
pendekatan yang lebih berkelanjutan dalam mengelola sumber daya laut. Jika
Ocean Economy menitikberatkan pada nilai ekonomi yang dihasilkan dari laut,
maka Blue Economy menambahkan dimensi keberlanjutan dan inklusivitas
dalam aktivitas kelautan. Pendekatan ini menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi
di sektor maritim harus berjalan seiring dengan pelestarian ekosistem laut dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat pesisir.
5.1.
Definisi dan Prinsip Ekonomi Biru
Menurut World
Bank, Blue Economy adalah "the sustainable use of ocean
resources for economic growth, improved livelihoods and jobs while preserving
the health of ocean ecosystem"_¹. Dengan kata lain, Blue Economy tidak
hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memperhitungkan daya dukung lingkungan
dan aspek sosial secara seimbang.
Adapun prinsip-prinsip
utama Blue Economy, sebagaimana dirumuskan oleh UNCTAD
dan FAO,
antara lain:
·
Efisiensi sumber daya dan
energi dalam kegiatan ekonomi laut
·
Perlindungan ekosistem dan
keanekaragaman hayati
·
Peningkatan kesejahteraan
sosial, terutama masyarakat pesisir
·
Tata kelola yang transparan
dan partisipatif²
Dengan pendekatan
ini, Blue Economy dapat menjadi instrumen strategis dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 14 (Life
Below Water), serta mendorong transformasi ekonomi rendah karbon.
5.2.
Perbedaan antara Ocean Economy dan Blue Economy
Meskipun istilah
Ocean Economy dan Blue Economy sering digunakan secara bergantian, terdapat
perbedaan penting antara keduanya. Ocean Economy merujuk pada seluruh aktivitas
ekonomi yang bersumber dari laut, baik yang berkelanjutan maupun tidak, seperti
eksploitasi minyak lepas pantai atau penangkapan ikan secara besar-besaran.
Sementara itu, Blue Economy membatasi dirinya hanya pada aktivitas yang memastikan
keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial dalam jangka
panjang³.
Tabel perbandingan
dari OECD menunjukkan bahwa Blue Economy lebih menekankan pada inclusive
growth, pelestarian jangka panjang, serta inovasi ramah lingkungan
sebagai basis pengembangan kebijakan⁴.
5.3.
Implementasi Blue Economy di Berbagai Negara
Beberapa negara
telah mengadopsi konsep Blue Economy ke dalam kebijakan nasional. Contohnya:
·
Seychelles,
sebagai negara kepulauan kecil, meluncurkan strategi Blue Economy
nasional yang mencakup konservasi 30% wilayah lautnya dan
pengembangan pariwisata laut berkelanjutan. Seychelles juga menerbitkan Blue
Bond sebagai instrumen pembiayaan inovatif untuk proyek-proyek
berbasis laut yang berkelanjutan⁵.
·
Indonesia
melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengembangkan konsep ekonomi
biru dalam bentuk ekonomi kelautan berkelanjutan,
termasuk dalam program penangkapan ikan terukur,
restorasi mangrove, dan pengembangan kawasan konservasi laut⁶.
·
Uni
Eropa mengadopsi strategi Blue Growth,
yang merupakan agenda jangka panjang untuk mendukung pertumbuhan sektor
kelautan yang berkelanjutan, dengan fokus pada inovasi dan pengelolaan berbasis
data⁷.
5.4.
Tantangan Implementasi
Walaupun konsep Blue Economy menjanjikan, pelaksanaannya di lapangan menghadapi berbagai tantangan.
Di antaranya adalah lemahnya kapasitas kelembagaan, terbatasnya data ilmiah
tentang ekosistem laut, resistensi dari pelaku industri konvensional, serta
perlunya integrasi antar sektor dan antar tingkat pemerintahan⁸. Oleh karena
itu, diperlukan kolaborasi yang kuat antara negara, sektor swasta, akademisi,
dan masyarakat sipil untuk mewujudkan ekonomi biru yang nyata dan berdampak.
Footnotes
[1]
The World Bank and United Nations Department of Economic and Social
Affairs (UNDESA), The Potential of the
Blue Economy: Increasing Long-term Benefits of the Sustainable Use of Marine
Resources for Small Island Developing States and Coastal Least Developed
Countries (Washington, DC: World
Bank, 2017), 4.
[2]
UNCTAD, Blue Economy for Sustainable
Development (Geneva: United Nations,
2020), 9–10, https://unctad.org/system/files/official-document/ditcted2020d3_en.pdf.
[3]
FAO, Blue Growth: Unlocking
the Potential of Seas and Oceans
(Rome: FAO, 2015), 2, https://www.fao.org/3/i3940e/i3940e.pdf.
[4]
OECD, Sustainable Ocean for
All: Harnessing the Benefits of Sustainable Ocean Economies for Developing
Countries (Paris: OECD Publishing,
2020), 21, https://doi.org/10.1787/bede6513-en.
[5]
World Bank, Seychelles Launches
World’s First Sovereign Blue Bond
(Washington, DC: World Bank, 2018), https://www.worldbank.org/en/news/press-release/2018/10/29/seychelles-launches-worlds-first-sovereign-blue-bond.
[6]
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Kebijakan Ekonomi Biru: Pilar Transformasi Kelautan dan
Perikanan (Jakarta: KKP, 2022), 6–9.
[7]
European Commission, Blue
Growth Strategy (Brussels: European
Union, 2017), https://oceans-and-fisheries.ec.europa.eu/topics/blue-economy/blue-growth_en.
[8]
Ibid., 12.
6.
Kebijakan dan Kerangka Regulasi
Pengembangan Ocean
Economy secara berkelanjutan tidak dapat dilepaskan dari peran kebijakan publik
dan kerangka regulasi yang kuat. Regulasi berfungsi sebagai instrumen penting
untuk menyeimbangkan antara eksploitasi ekonomi dan konservasi ekosistem laut.
Tanpa tata kelola yang baik, aktivitas ekonomi di laut cenderung mengarah pada
praktik yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat pesisir.
6.1.
Peran Organisasi Internasional
Sejumlah organisasi
internasional telah memainkan peran strategis dalam membangun kerangka kerja
global untuk pengelolaan Ocean Economy.
·
International
Maritime Organization (IMO) bertanggung jawab atas regulasi
keselamatan dan keamanan pelayaran internasional serta pencegahan polusi dari
kapal. Salah satu regulasi penting adalah MARPOL Convention,
yang mengatur pencegahan pencemaran laut oleh kapalⁱ.
·
United
Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) menyediakan
kerangka hukum komprehensif yang mengatur yurisdiksi negara atas wilayah laut,
termasuk hak dan kewajiban eksplorasi sumber daya laut, kebebasan navigasi, dan
perlindungan lingkungan laut².
·
UNCTAD
mendorong integrasi Blue Economy ke dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan
negara-negara berkembang, serta memfasilitasi dialog global dalam perdagangan
berbasis laut³.
·
FAO
melalui Code of Conduct for Responsible Fisheries memberikan
panduan etik dan teknis dalam pengelolaan perikanan yang berkelanjutan⁴.
6.2.
Kebijakan Nasional: Studi Kasus Indonesia dan
Uni Eropa
6.2.1.
Indonesia
Sebagai negara
maritim dengan wilayah laut yang luas, Indonesia telah menyusun sejumlah kebijakan
nasional yang mendukung pembangunan Ocean Economy. Dokumen strategis seperti Rencana
Induk Kelautan Nasional (RIKN) menetapkan visi pengelolaan
ruang laut terpadu dan berkelanjutan, yang mencakup zonasi laut, perlindungan
ekosistem, serta pemberdayaan masyarakat pesisir⁵. Selain itu, Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) mengimplementasikan kebijakan Ekonomi
Biru melalui lima pilar utama, seperti perluasan kawasan
konservasi laut dan penangkapan ikan terukur⁶.
6.2.2.
Uni
Eropa
Uni Eropa telah mengembangkan
kebijakan Blue Growth Strategy, yang
bertujuan untuk memaksimalkan potensi ekonomi sektor kelautan dan pesisir
secara berkelanjutan. Kebijakan ini mendorong inovasi, riset ilmiah, dan
pengelolaan berbasis data dalam sektor-sektor seperti energi laut, bioteknologi
kelautan, dan pelabuhan hijau⁷. Di samping itu, Marine Strategy Framework Directive (MSFD)
ditetapkan untuk mencapai kondisi lingkungan laut yang sehat pada tahun 2020
dan seterusnya⁸.
6.3.
Pentingnya Tata Kelola Laut yang Terintegrasi
Keberhasilan
kebijakan Ocean Economy sangat bergantung pada pendekatan tata kelola yang terintegrasi
atau integrated
ocean governance. Pendekatan ini menekankan pentingnya koordinasi
antar kementerian, kolaborasi lintas sektor (pemerintah, swasta, masyarakat sipil),
serta penggunaan data ilmiah dalam pengambilan keputusan⁹. Marine Spatial
Planning (MSP) menjadi instrumen penting dalam memastikan berbagai sektor dapat
memanfaatkan ruang laut secara harmonis dan efisien¹⁰.
Selain itu,
transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik juga menjadi pilar utama
dalam pengembangan kebijakan maritim yang inklusif dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
International Maritime Organization (IMO), International Convention for the Prevention of Pollution from
Ships (MARPOL), accessed April 2025,
https://www.imo.org/en/About/Conventions/ListOfConventions/Pages/MARPOL.aspx.
[2]
United Nations, United Nations
Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982, https://www.un.org/depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf.
[3]
UNCTAD, Blue Economy for
Sustainable Development (Geneva:
United Nations, 2020), 13, https://unctad.org/system/files/official-document/ditcted2020d3_en.pdf.
[4]
FAO, Code of Conduct for
Responsible Fisheries (Rome: FAO, 1995),
https://www.fao.org/fishery/code/en.
[5]
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik
Indonesia, Rencana Induk Kelautan
Nasional (RIKN) 2020–2045 (Jakarta:
Kemenko Marves, 2021), 5.
[6]
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Kebijakan Ekonomi Biru: Pilar Transformasi Kelautan dan
Perikanan (Jakarta: KKP, 2022), 6.
[7]
European Commission, Blue
Growth Strategy (Brussels: European
Union, 2017), https://oceans-and-fisheries.ec.europa.eu/topics/blue-economy/blue-growth_en.
[8]
European Commission, Marine
Strategy Framework Directive (MSFD),
2008/56/EC, https://environment.ec.europa.eu/topics/marine-environment/marine-strategy-framework-directive_en.
[9]
OECD, Sustainable Ocean for
All: Harnessing the Benefits of Sustainable Ocean Economies for Developing
Countries (Paris: OECD Publishing,
2020), 34, https://doi.org/10.1787/bede6513-en.
[10]
UNESCO-IOC, Marine Spatial
Planning: A Step-by-Step Approach toward Ecosystem-Based Management (Paris: UNESCO, 2009), https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000186559.
7.
Inovasi dan Teknologi dalam Ocean Economy
Perkembangan inovasi
dan teknologi memainkan peran penting dalam mempercepat
pertumbuhan Ocean Economy secara berkelanjutan. Teknologi kelautan modern tidak
hanya mendorong efisiensi dan produktivitas ekonomi laut, tetapi juga
meningkatkan kapasitas pemantauan, pelestarian, dan pemulihan ekosistem laut
yang terancam. Di era digital dan transisi hijau saat ini, Ocean Economy
semakin bergantung pada kemajuan teknologi lintas disiplin seperti big data,
kecerdasan buatan (AI), bioteknologi, serta energi terbarukan lepas pantai.
7.1.
Teknologi Pemantauan dan Observasi Laut
Kemajuan teknologi
pemantauan laut telah memungkinkan pengumpulan data kelautan secara lebih
cepat, luas, dan akurat. Penggunaan remote sensing berbasis
satelit, drone laut (autonomous underwater vehicles),
serta sistem
sensor berbasis IoT telah memperkuat kapasitas negara-negara
dalam melakukan real-time monitoring terhadap
kualitas air laut, pola arus, suhu, serta kondisi ekosistem seperti terumbu
karang dan mangrove¹.
Salah satu contoh
konkret adalah program Ocean Observing System yang
dikelola oleh Intergovernmental Oceanographic Commission (IOC)–UNESCO, yang
menjadi basis bagi analisis iklim, prediksi cuaca laut, dan penanganan bencana
seperti tsunami².
7.2.
Bioteknologi Kelautan
Marine
biotechnology merupakan sektor inovatif dalam Ocean Economy
yang memanfaatkan organisme laut—mulai dari mikroalga hingga bakteri
ekstremofilik—untuk produksi pangan fungsional, obat-obatan, bioenergi, dan
kosmetik. Laut dianggap sebagai “perpustakaan genetik terbesar” dengan potensi
eksplorasi yang luar biasa, khususnya dalam pengembangan enzim
laut, antibiotik baru, dan biosurfaktan alami³.
Pasar global
bioteknologi kelautan diperkirakan akan tumbuh pesat dan mencapai nilai lebih
dari USD 6 miliar pada tahun 2030, dengan peningkatan investasi
riset dari sektor publik dan swasta⁴.
7.3.
Digitalisasi dan Big Data dalam Ekonomi Laut
Pemanfaatan kecerdasan
buatan (AI), machine learning, dan big data
analytics semakin menjadi elemen kunci dalam mendukung
pengambilan keputusan di sektor kelautan. Aplikasi teknologi ini digunakan
untuk menganalisis pergerakan ikan, mengoptimalkan jalur pelayaran untuk
efisiensi bahan bakar, mendeteksi aktivitas penangkapan ikan ilegal (IUU
fishing), serta memantau perubahan ekosistem secara berkala⁵.
Sebagai contoh,
proyek Global Fishing
Watch, yang menggunakan data pelacakan kapal dari AIS
(Automatic Identification System), telah berhasil memetakan aktivitas global
kapal perikanan dan menjadi alat penting dalam transparansi pengelolaan
perikanan⁶.
7.4.
Inovasi Energi Terbarukan Lepas Pantai
Energi laut,
terutama angin lepas pantai (offshore wind),
menjadi sektor inovatif yang mendukung transisi energi bersih. Perkembangan
teknologi turbin terapung dan kabel bawah laut memungkinkan pengembangan ladang
angin di wilayah perairan dalam yang sebelumnya tidak terjangkau. Menurut IRENA,
kapasitas pembangkit listrik dari angin lepas pantai secara global mencapai 64 GW
pada 2022 dan diproyeksikan akan meningkat hingga 380 GW
pada 2030⁷.
Selain angin,
teknologi gelombang laut dan arus pasang surut
juga terus dikembangkan di sejumlah negara seperti Inggris, Kanada, dan Korea
Selatan.
7.5.
Akuakultur Cerdas dan Berkelanjutan
Sektor akuakultur
mengalami transformasi berkat penerapan teknologi seperti sistem
bioflok, RAS (Recirculating Aquaculture System),
dan penggunaan sensor digital untuk memantau kadar oksigen, suhu, serta
kualitas air. Akuakultur laut kini mengarah ke sistem offshore
aquaculture, yaitu budidaya ikan di perairan lepas yang minim
konflik lahan dan lebih ramah lingkungan⁸.
Inovasi ini meningkatkan
produktivitas, mengurangi dampak lingkungan, serta meminimalkan penggunaan
antibiotik berlebihan dalam budidaya laut.
Inovasi dan
teknologi bukan hanya akselerator bagi pertumbuhan Ocean Economy, tetapi juga
merupakan syarat mutlak untuk menjaga keberlanjutan jangka panjang. Namun,
adopsi teknologi ini masih menghadapi tantangan dalam hal pendanaan,
kesenjangan kapasitas SDM, serta akses data dan infrastruktur, terutama di
negara berkembang. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi multilateral, investasi
riset, dan pendekatan kebijakan yang pro-inovasi agar manfaat ekonomi laut
dapat dioptimalkan secara merata.
Footnotes
[1]
IOC–UNESCO, Global Ocean Observing
System 2030 Strategy (Paris: UNESCO,
2020), 9, https://www.ocean-ops.org/.
[2]
Ibid., 14.
[3]
UNCTAD, The Role of Marine
Biotechnology in the Blue Economy
(Geneva: United Nations, 2021), 3–4, https://unctad.org/system/files/official-document/ditctedinf2021d2_en.pdf.
[4]
FAO, Emerging Technologies
in Fisheries and Aquaculture (Rome:
FAO, 2022), 22, https://www.fao.org/publications.
[5]
OECD, Digitalisation and the
Ocean Economy (Paris: OECD
Publishing, 2020), 12, https://doi.org/10.1787/bede3b35-en.
[6]
Global Fishing Watch, Our
Work, accessed April 2025, https://globalfishingwatch.org/.
[7]
International Renewable Energy Agency (IRENA), Offshore Renewables: An Action Agenda for Deployment (Abu Dhabi: IRENA, 2023), 5, https://www.irena.org/publications.
[8]
World Bank, Aquaculture for
Development: Unlocking the Potential of Aquaculture in Developing Countries (Washington, DC: World Bank, 2021), 19.
8.
Peran Pendidikan dan Riset
Pengembangan Ocean
Economy yang berkelanjutan memerlukan dukungan kuat dari pendidikan
dan riset ilmiah. Tanpa sumber daya manusia (SDM) yang kompeten
dan pemahaman ilmiah yang memadai, berbagai potensi laut tidak akan dapat
dimanfaatkan secara optimal dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, pendidikan
dan riset menjadi fondasi strategis dalam mewujudkan transformasi ekonomi laut
menuju arah yang inklusif, inovatif, dan lestari.
8.1.
Kebutuhan Sumber Daya Manusia di Bidang
Kelautan
Meningkatnya
kompleksitas Ocean Economy menuntut ketersediaan tenaga kerja yang memiliki
keahlian lintas disiplin—termasuk ilmu kelautan, teknologi maritim,
bioteknologi, hukum laut, ekonomi lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam.
Laporan UNESCO mencatat bahwa negara-negara berkembang masih mengalami defisit
tenaga ahli kelautan, terutama di bidang oseanografi,
perencanaan ruang laut, dan ekonomi biru¹.
Institusi pendidikan
tinggi memiliki peran sentral dalam menyediakan kurikulum yang relevan dengan
kebutuhan pasar kerja kelautan. Program studi seperti ilmu kelautan, teknik
perkapalan, perikanan, serta pengelolaan wilayah pesisir perlu diperkuat dengan
pendekatan interdisipliner dan berbasis kompetensi masa depan.
8.2.
Kontribusi Riset dalam Pembangunan Ocean
Economy
Penelitian
ilmiah berperan penting dalam mendukung kebijakan, inovasi, dan
pengelolaan sumber daya laut. Melalui riset, data-data krusial tentang
keanekaragaman hayati laut, kualitas ekosistem, potensi energi laut, hingga
dampak perubahan iklim dapat dikumpulkan dan dianalisis secara sistematis.
Riset juga menjadi landasan bagi pengembangan teknologi kelautan serta
instrumen pemantauan dan peringatan dini bencana laut².
Program seperti Decade
of Ocean Science for Sustainable Development (2021–2030) yang
dicanangkan UNESCO bertujuan menjembatani kesenjangan antara sains dan
kebijakan, serta memperkuat kolaborasi antara peneliti, pembuat kebijakan,
sektor swasta, dan masyarakat³.
8.3.
Kolaborasi Internasional dan Pembangunan
Kapasitas
Banyak negara
berkembang menghadapi keterbatasan infrastruktur penelitian, akses pendanaan, serta
kurangnya jaringan akademik internasional. Oleh karena itu, penting untuk
membangun kemitraan riset lintas negara dan lintas
institusi. Inisiatif seperti Partnership for Observation of the Global Ocean
(POGO) dan Intergovernmental Oceanographic Commission
(IOC-UNESCO) telah memfasilitasi pelatihan, pertukaran
peneliti, dan proyek riset bersama antarnegara⁴.
Selain itu,
perluasan marine research stations, pusat
data kelautan, dan laboratorium inovasi maritim di tingkat nasional dan
regional menjadi langkah strategis dalam memperkuat kapasitas sains kelautan
secara merata.
8.4.
Peran Pendidikan Masyarakat dan Literasi Laut
Selain pendidikan
formal, upaya membangun literasi kelautan (ocean literacy)
di kalangan masyarakat umum juga sangat penting. Literasi kelautan membantu
masyarakat memahami pentingnya laut bagi kehidupan, serta mengubah perilaku
menuju praktik yang lebih ramah lingkungan. UNESCO mendefinisikan literasi
kelautan sebagai pemahaman tentang pengaruh laut terhadap manusia dan sebaliknya⁵.
Melalui program
kampanye publik, pendidikan lingkungan di sekolah, serta pelibatan komunitas
dalam proyek konservasi laut, masyarakat dapat menjadi mitra aktif dalam
menjaga ekosistem laut sekaligus mengambil manfaat ekonomi secara
berkelanjutan.
Secara keseluruhan,
sinergi antara pendidikan, riset, dan kebijakan menjadi kunci keberhasilan
dalam mewujudkan Ocean Economy yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi,
tetapi juga menjamin kelestarian sumber daya dan kesejahteraan generasi
mendatang.
Footnotes
[1]
UNESCO, Global Ocean Science
Report 2020: Charting Capacity for Ocean Sustainability (Paris: UNESCO Publishing, 2020), 54–56, https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000375147.
[2]
FAO, The State of World
Fisheries and Aquaculture 2022
(Rome: FAO, 2022), 98–100, https://www.fao.org/3/cc0461en/cc0461en.pdf.
[3]
Intergovernmental Oceanographic Commission (IOC)–UNESCO, Decade of Ocean Science for Sustainable Development
Implementation Plan (Paris: UNESCO,
2020), 8, https://oceanexpert.org/document/27347.
[4]
POGO (Partnership for Observation of the Global Ocean), POGO Annual Report 2023,
accessed April 2025, https://pogo-ocean.org.
[5]
UNESCO, Ocean Literacy for All:
A Toolkit (Paris: UNESCO, 2017), 11,
https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000251413.
9.
Arah Masa Depan Ocean Economy
Seiring dengan
meningkatnya kebutuhan global terhadap sumber daya alam yang berkelanjutan,
Ocean Economy diprediksi akan menjadi salah satu pilar utama pembangunan ekonomi
global abad ke-21. Namun, untuk memastikan bahwa pertumbuhan
ekonomi laut tidak mengorbankan kesehatan ekosistem dan keadilan sosial,
diperlukan transformasi paradigma menuju pendekatan yang lebih inklusif,
inovatif, dan berbasis keberlanjutan.
9.1.
Transisi Menuju Circular Ocean Economy
Salah satu arah masa
depan yang signifikan adalah penerapan prinsip circular economy dalam sektor
laut. Circular Ocean Economy menekankan pada pengurangan limbah, penggunaan kembali sumber
daya, dan desain sistem ekonomi laut yang tidak menghasilkan polusi.
Hal ini mencakup pengelolaan limbah plastik laut, daur ulang limbah perikanan,
dan optimalisasi limbah bio-organik dari industri akuakultur¹.
Menurut laporan
World Economic Forum, transisi menuju ekonomi laut sirkular dapat menciptakan
nilai ekonomi tambahan sebesar US$500 miliar per tahun dan
membuka hingga 10 juta lapangan kerja baru secara global pada
2030².
9.2.
Penguatan Peran Komunitas Pesisir dan
Masyarakat Adat
Masa depan Ocean
Economy yang adil harus menjamin peran sentral masyarakat pesisir dan masyarakat
adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut.
Pendekatan berbasis hak (rights-based approach) menekankan pentingnya pengakuan
terhadap kearifan lokal, hak akses laut tradisional, dan partisipasi aktif
masyarakat dalam tata kelola laut³.
UNDP menyatakan
bahwa keberhasilan proyek ekonomi biru sangat bergantung pada keterlibatan
komunitas lokal yang memahami konteks ekologis dan sosial setempat⁴. Oleh
karena itu, penguatan kapasitas lokal menjadi investasi penting ke depan.
9.3.
Integrasi Teknologi dan Digitalisasi untuk Laut
Cerdas
Ocean Economy masa
depan akan sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi digital, kecerdasan buatan (AI), big
data, dan automasi. Konsep “Smart Ocean” mengacu pada
sistem pengelolaan laut yang berbasis teknologi real-time untuk memantau,
merespons, dan mengelola ekosistem laut secara adaptif dan efisien⁵.
Penerapan sistem
pemantauan digital di sektor perikanan, pelayaran, dan konservasi laut dapat
meningkatkan transparansi, mengurangi praktik ilegal, serta memfasilitasi
pengambilan keputusan yang berbasis bukti ilmiah.
9.4.
Inovasi Pembiayaan dan Investasi Berkelanjutan
Pembangunan Ocean
Economy ke depan memerlukan pembiayaan yang masif namun harus selaras dengan
prinsip keberlanjutan. Inovasi pembiayaan seperti Blue
Bonds, impact investment, dan blended
finance menjadi sarana strategis untuk mendukung proyek
kelautan berkelanjutan⁶. Negara seperti Seychelles dan Fiji telah menunjukkan
keberhasilan dalam menerbitkan Blue Bonds untuk mendukung konservasi laut dan
mata pencaharian berkelanjutan.
Menurut UN
Environment Programme Finance Initiative (UNEP FI), potensi investasi kelautan
berkelanjutan dapat mencapai lebih dari US$175 miliar per tahun,
namun membutuhkan sistem regulasi dan insentif yang kondusif⁷.
9.5.
Kerja Sama Global dan Diplomasi Laut
Menghadapi tantangan
seperti perubahan iklim, penangkapan ikan ilegal, dan polusi lintas batas, kerja
sama internasional dalam bidang kelautan akan menjadi semakin penting. Diplomasi
laut (ocean diplomacy) akan berperan besar dalam menciptakan
rezim hukum laut yang adil, berbagi data oseanografi, serta memastikan akses
yang merata terhadap teknologi dan sumber daya laut global⁸.
Inisiatif seperti High
Level Panel for a Sustainable Ocean Economy dan Decade
of Ocean Science for Sustainable Development (2021–2030) akan
terus menjadi platform penting dalam membentuk konsensus global mengenai arah
pengelolaan laut ke depan.
Dengan demikian,
masa depan Ocean Economy tidak lagi semata-mata berorientasi pada eksploitasi
sumber daya, tetapi akan ditentukan oleh sejauh mana manusia
dapat hidup selaras dengan laut. Kolaborasi lintas sektor,
inovasi teknologi, pemberdayaan masyarakat, dan kepemimpinan global akan
menjadi kunci untuk menjadikan laut sebagai sumber kesejahteraan berkelanjutan
bagi generasi mendatang.
Footnotes
[1]
Ellen MacArthur Foundation, The
Circular Economy Opportunity for a New Plastics Economy in the Ocean (Cowes, UK: EMF, 2019), 5, https://www.ellenmacarthurfoundation.org/.
[2]
World Economic Forum, The
New Plastics Economy: Rethinking the Future of Plastics (Geneva: WEF, 2016), 25, https://www.weforum.org/reports/.
[3]
FAO, Securing Sustainable
Small-Scale Fisheries: A Global Ten-Year Initiative (Rome: FAO, 2023), 14, https://www.fao.org/documents/card/en/c/cc3304en/.
[4]
UNDP, Blue Economy: Shared
Opportunities for Sustainable Development (New York: UNDP, 2021), 10, https://www.undp.org/publications.
[5]
OECD, Digitalisation and the
Ocean Economy (Paris: OECD
Publishing, 2020), 19, https://doi.org/10.1787/bede3b35-en.
[6]
World Bank, Blue Bonds: Financing
Resilience of Coastal Ecosystems
(Washington, DC: World Bank, 2020), https://www.worldbank.org.
[7]
UN Environment Programme Finance Initiative (UNEP FI), Turning the Tide: How to Finance a Sustainable Ocean Recovery (Geneva: UNEP FI, 2021), 3, https://www.unepfi.org/.
[8]
High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy, Transformations for a Sustainable Ocean Economy (Washington, DC: Ocean Panel Secretariat, 2020), 7, https://oceanpanel.org/publications/.
10.
Kesimpulan dan Rekomendasi
10.1.
Kesimpulan
Ocean Economy telah
muncul sebagai salah satu poros strategis pembangunan global di abad ke-21,
dengan nilai ekonomi yang sangat besar dan potensi jangka panjang yang
menjanjikan. Lautan menyediakan beragam peluang ekonomi—dari perikanan dan
pariwisata hingga energi terbarukan dan bioteknologi—yang dapat mendukung
pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan, terutama bagi negara-negara kepulauan
dan pesisir¹.
Namun, potensi ini
dihadapkan pada tantangan multidimensional: degradasi lingkungan laut,
perubahan iklim, kesenjangan akses teknologi dan pembiayaan, serta konflik
kepentingan antar sektor². Dalam konteks ini, Ocean Economy tidak dapat dipisahkan dari
prinsip keberlanjutan dan inklusivitas. Konsep Blue Economy menjadi alternatif strategis untuk memastikan bahwa
pertumbuhan ekonomi laut sejalan dengan perlindungan ekosistem, pemberdayaan
masyarakat, dan keadilan antargenerasi³.
Ke depan, inovasi
teknologi, penguatan kebijakan, dan investasi pada pendidikan serta riset akan
menjadi fondasi penting untuk mewujudkan Ocean Economy yang tangguh dan adaptif
terhadap perubahan global⁴. Transformasi menuju Circular Ocean Economy dan tata
kelola laut yang berbasis data akan menjadi langkah kritis dalam menjaga
keberlanjutan laut sebagai penyedia kehidupan.
10.2.
Rekomendasi
Berdasarkan analisis
di atas, berikut adalah sejumlah rekomendasi strategis untuk berbagai pemangku
kepentingan dalam pengembangan Ocean Economy yang berkelanjutan:
10.2.1.
Untuk
Pemerintah:
·
Perkuat
kebijakan nasional kelautan yang berbasis pada prinsip Blue Economy dan tata kelola lintas sektor.
·
Investasikan
pada pendidikan dan riset kelautan untuk meningkatkan kapasitas
sumber daya manusia dan mendorong inovasi.
·
Perluas
kawasan konservasi laut dan terapkan pendekatan marine
spatial planning yang integratif⁵.
10.2.2.
Untuk
Sektor Swasta:
·
Adopsi prinsip Environmental,
Social, and Governance (ESG) dalam investasi kelautan.
·
Kembangkan teknologi
ramah lingkungan dan inovasi model bisnis berbasis sirkularitas
dalam pemanfaatan laut⁶.
·
Dukung kolaborasi riset dan
proyek-proyek publik-swasta di bidang energi laut, akuakultur berkelanjutan,
dan digitalisasi sektor maritim.
10.2.3.
Untuk
Komunitas Lokal dan Masyarakat Sipil:
·
Tingkatkan literasi
kelautan dan kesadaran akan pentingnya perlindungan ekosistem
laut melalui pendidikan komunitas.
·
Dorong partisipasi aktif
dalam perencanaan dan pemantauan kebijakan kelautan lokal.
·
Pelihara dan revitalisasi pengetahuan
lokal dan kearifan tradisional dalam pengelolaan sumber daya
laut⁷.
Untuk Lembaga Internasional dan Mitra
Pembangunan:
·
Fasilitasi akses
negara berkembang terhadap teknologi kelautan dan pembiayaan inovatif
seperti blue bonds dan blended finance.
·
Perkuat kerja
sama ilmiah dan diplomasi laut untuk mengatasi tantangan
transnasional seperti polusi laut dan perubahan iklim.
·
Dukung pelaksanaan Decade
of Ocean Science for Sustainable Development (2021–2030)
sebagai platform global untuk pembangunan kapasitas dan sinergi pengetahuan⁸.
Ocean Economy yang
berkelanjutan bukan sekadar tentang memanfaatkan laut secara ekonomis, tetapi
tentang membangun hubungan baru antara manusia dan laut—yang didasarkan pada
prinsip tanggung jawab, kesetaraan, dan kelestarian. Masa depan laut adalah
masa depan kita semua.
Footnotes
[1]
OECD, The Ocean Economy in
2030 (Paris: OECD Publishing, 2016),
10, https://doi.org/10.1787/9789264251724-en.
[2]
UNCTAD, Blue Economy for
Sustainable Development (Geneva:
United Nations, 2020), 6–8, https://unctad.org/system/files/official-document/ditcted2020d3_en.pdf.
[3]
The World Bank and UNDESA, The
Potential of the Blue Economy
(Washington, DC: World Bank, 2017), 4.
[4]
UNESCO, Global Ocean Science
Report 2020 (Paris: UNESCO
Publishing, 2020), 45, https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000375147.
[5]
UNESCO-IOC, Marine Spatial
Planning: A Step-by-Step Approach
(Paris: UNESCO, 2009), https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000186559.
[6]
Ellen MacArthur Foundation, The
Circular Economy Opportunity for a New Plastics Economy in the Ocean (Cowes: EMF, 2019), 6, https://www.ellenmacarthurfoundation.org/.
[7]
FAO, Securing Sustainable
Small-Scale Fisheries: A Global Ten-Year Initiative (Rome: FAO, 2023), 18, https://www.fao.org/documents/card/en/c/cc3304en/.
[8]
IOC–UNESCO, Decade of Ocean Science
for Sustainable Development Implementation Plan (Paris: UNESCO, 2020), 9, https://oceanexpert.org/document/27347.
Daftar Pustaka
Ellen MacArthur Foundation.
(2019). The circular economy opportunity for a new plastics economy in
the ocean. https://www.ellenmacarthurfoundation.org/
European Commission.
(2017). Blue growth strategy. https://oceans-and-fisheries.ec.europa.eu/topics/blue-economy/blue-growth_en
European Commission.
(2008). Marine Strategy Framework Directive (2008/56/EC). https://environment.ec.europa.eu/topics/marine-environment/marine-strategy-framework-directive_en
FAO. (1995). Code
of conduct for responsible fisheries. https://www.fao.org/fishery/code/en
FAO. (2015). Blue
growth: Unlocking the potential of seas and oceans. https://www.fao.org/3/i3940e/i3940e.pdf
FAO. (2018). Impacts
of climate change on fisheries and aquaculture. https://www.fao.org/3/i9705en/i9705en.pdf
FAO. (2022). The
state of world fisheries and aquaculture 2022. https://www.fao.org/3/cc0461en/cc0461en.pdf
FAO. (2023). Securing
sustainable small-scale fisheries: A global ten-year initiative. https://www.fao.org/documents/card/en/c/cc3304en/
FAO. (2022). Emerging
technologies in fisheries and aquaculture. https://www.fao.org/publications
Global Fishing Watch.
(2025). Our work. https://globalfishingwatch.org/
High Level Panel for a
Sustainable Ocean Economy. (2020). Transformations for a
sustainable ocean economy. https://oceanpanel.org/publications/
Intergovernmental
Oceanographic Commission (IOC) – UNESCO. (2009). Marine spatial
planning: A step-by-step approach toward ecosystem-based management.
https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000186559
IOC–UNESCO. (2020). Global
ocean observing system 2030 strategy. https://www.ocean-ops.org/
IOC–UNESCO. (2020). Decade
of ocean science for sustainable development implementation plan. https://oceanexpert.org/document/27347
International Maritime
Organization (IMO). (n.d.). International convention for the
prevention of pollution from ships (MARPOL). https://www.imo.org/en/About/Conventions/ListOfConventions/Pages/MARPOL.aspx
International Renewable
Energy Agency (IRENA). (2023). Offshore renewables: An action agenda for
deployment. https://www.irena.org/publications
Kementerian Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia. (2022). Kebijakan ekonomi biru:
Pilar transformasi kelautan dan perikanan. Jakarta: KKP.
Kementerian Koordinator
Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia. (2021). Rencana
induk kelautan nasional (RIKN) 2020–2045. Jakarta: Kemenko Marves.
OECD. (2016). The
ocean economy in 2030. https://doi.org/10.1787/9789264251724-en
OECD. (2017). Marine
spatial planning: Assessing current practices and linkages to other policy
areas. https://doi.org/10.1787/9789264273528-en
OECD. (2020). Digitalisation
and the ocean economy. https://doi.org/10.1787/bede3b35-en
OECD. (2020). Sustainable
ocean for all: Harnessing the benefits of sustainable ocean economies for
developing countries. https://doi.org/10.1787/bede6513-en
Partnership for Observation
of the Global Ocean (POGO). (2025). POGO annual report 2023.
https://pogo-ocean.org
Pew Charitable Trusts &
SYSTEMIQ. (2020). Breaking the plastic wave: A
comprehensive assessment of pathways towards stopping ocean plastic pollution.
https://www.pewtrusts.org/
The World Bank. (2017). The
potential of the blue economy: Increasing long-term benefits of the sustainable
use of marine resources for small island developing states and coastal least
developed countries. https://documents.worldbank.org/
The World Bank. (2020). Blue
bonds: Financing resilience of coastal ecosystems. https://www.worldbank.org
The World Bank. (2018). Seychelles
launches world’s first sovereign blue bond [Press release]. https://www.worldbank.org/en/news/press-release/2018/10/29/seychelles-launches-worlds-first-sovereign-blue-bond
UNCTAD. (2020). Blue
economy for sustainable development. https://unctad.org/system/files/official-document/ditcted2020d3_en.pdf
UNCTAD. (2021). The
role of marine biotechnology in the blue economy. https://unctad.org/system/files/official-document/ditctedinf2021d2_en.pdf
UNDP. (2021). Blue
economy: Shared opportunities for sustainable development. https://www.undp.org/publications
UNEP. (2021). The
ocean and coastal economy: Sustainability, resilience and inclusivity.
https://www.unep.org/resources
UNEP Finance Initiative
(UNEP FI). (2021). Turning the tide: How to finance a
sustainable ocean recovery. https://www.unepfi.org/
UNESCO. (2017). Ocean
literacy for all: A toolkit. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000251413
UNESCO. (2020). Global
ocean science report 2020: Charting capacity for ocean sustainability.
https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000375147
United Nations. (1982). United
Nations convention on the law of the sea (UNCLOS). https://www.un.org/depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf
World Bank. (2021). Aquaculture
for development: Unlocking the potential of aquaculture in developing countries.
https://www.worldbank.org
World Economic Forum.
(2016). The new plastics economy: Rethinking the future of plastics.
https://www.weforum.org/reports/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar