Sabtu, 12 April 2025

Ocean Economy: Potensi, Tantangan, dan Arah Pembangunan Berkelanjutan

Ocean Economy

 

Potensi, Tantangan, dan Arah Pembangunan Berkelanjutan


Alihkan ke: Ilmu Ekonomi.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang Ocean Economy sebagai salah satu pilar strategis pembangunan berkelanjutan di abad ke-21. Ocean Economy mencakup berbagai sektor ekonomi yang berbasis laut dan pesisir, seperti perikanan, transportasi maritim, energi laut, pariwisata bahari, dan bioteknologi kelautan. Nilai ekonominya yang sangat besar—diperkirakan mencapai triliunan dolar per tahun—menunjukkan potensinya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi global dan kesejahteraan masyarakat pesisir. Namun demikian, pengembangannya menghadapi berbagai tantangan serius seperti degradasi lingkungan laut, perubahan iklim, konflik pemanfaatan ruang laut, serta kesenjangan teknologi dan pembiayaan. Sebagai solusi, pendekatan Blue Economy ditawarkan untuk memastikan pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan dengan menyeimbangkan kepentingan ekonomi, ekologi, dan sosial. Artikel ini juga menyoroti pentingnya inovasi teknologi, pendidikan dan riset, serta tata kelola laut yang kolaboratif dalam menentukan arah masa depan Ocean Economy. Berdasarkan analisis ini, disusun sejumlah rekomendasi strategis untuk pemerintah, sektor swasta, komunitas lokal, dan lembaga internasional dalam mewujudkan ekonomi laut yang adil, tangguh, dan lestari.

Kata Kunci: Ocean Economy; Blue Economy; Ekonomi Laut; Pembangunan Berkelanjutan; Tata Kelola Laut; Inovasi Kelautan; Circular Economy; Konservasi Laut.


PEMBAHASAN

Menelusuri Ocean Economy Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Laut dan samudra telah lama menjadi tulang punggung bagi kehidupan ekonomi, sosial, dan ekologi umat manusia. Dengan mencakup lebih dari 70 persen permukaan bumi, lautan tidak hanya menyediakan sumber daya alam yang melimpah, tetapi juga menjadi jalur utama perdagangan global, pengatur iklim, dan habitat bagi keanekaragaman hayati yang luar biasa. Dalam beberapa dekade terakhir, istilah Ocean Economy (Ekonomi Laut) mulai digunakan secara luas untuk merujuk pada berbagai aktivitas ekonomi yang terjadi di laut dan kawasan pesisir, mencakup sektor-sektor tradisional seperti perikanan dan pelayaran, serta sektor baru seperti energi laut dan bioteknologi kelautan.

Menurut definisi dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Ocean Economy adalah "the sum of the economic activities of ocean-based industries, together with the assets, goods and services provided by marine ecosystems"_¹. Sementara itu, Bank Dunia menyatakan bahwa Ocean Economy mencakup pemanfaatan berkelanjutan dari sumber daya laut untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan mata pencaharian, dan pelestarian kesehatan ekosistem laut². Definisi ini menunjukkan adanya keterkaitan erat antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam memahami dinamika kelautan.

Relevansi Ocean Economy semakin meningkat di tengah tantangan global saat ini, seperti krisis iklim, ketimpangan ekonomi, serta kebutuhan akan sumber daya alternatif yang berkelanjutan. Laporan OECD memperkirakan bahwa pada tahun 2030, Ocean Economy dapat bernilai lebih dari 3 triliun dolar AS, dengan penyumbang utama dari sektor seperti pariwisata pesisir, akuakultur, dan energi terbarukan³. Hal ini menjadikan Ocean Economy sebagai salah satu frontier ekonomi masa depan yang potensial, terutama bagi negara-negara kepulauan dan pesisir seperti Indonesia.

Namun, potensi besar ini tidak lepas dari berbagai tantangan serius yang mengancam keberlanjutannya. Polusi plastik, penangkapan ikan berlebih, serta kerusakan habitat laut menjadi ancaman nyata yang dapat menurunkan produktivitas ekonomi laut⁴. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan lintas sektoral yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mempertimbangkan kelestarian ekosistem laut dan pemberdayaan masyarakat pesisir.

Artikel ini bertujuan untuk membahas secara komprehensif mengenai konsep Ocean Economy, potensi yang dimilikinya, tantangan-tantangan utama yang dihadapi, serta arah pengembangan berkelanjutan yang dapat ditempuh. Dengan mengacu pada berbagai referensi internasional yang kredibel, artikel ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam memperkuat pemahaman serta perumusan kebijakan yang berbasis pada keseimbangan antara eksploitasi dan konservasi laut.


Footnotes

[1]                OECD, The Ocean Economy in 2030 (Paris: OECD Publishing, 2016), 17, https://doi.org/10.1787/9789264251724-en.

[2]                The World Bank, The Potential of the Blue Economy: Increasing Long-term Benefits of the Sustainable Use of Marine Resources for Small Island Developing States and Coastal Least Developed Countries (Washington, DC: World Bank, 2017), 4.

[3]                OECD, The Ocean Economy in 2030, 11.

[4]              UNCTAD, Blue Economy for Sustainable Development (Geneva: United Nations Conference on Trade and Development, 2020), 6, https://unctad.org/system/files/official-document/ditcted2020d3_en.pdf.


2.           Komponen dan Sektor dalam Ocean Economy

Ocean Economy merupakan konsep ekonomi yang mencakup beragam aktivitas produktif yang berlangsung di laut dan wilayah pesisir, baik yang bersifat ekstraktif, jasa, maupun berbasis inovasi teknologi. Aktivitas-aktivitas ini dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa sektor utama, masing-masing dengan kontribusi ekonomi, sosial, dan ekologis yang berbeda.

2.1.       Perikanan dan Budidaya Laut (Akuakultur)

Sektor perikanan merupakan pilar tradisional Ocean Economy. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mencatat bahwa sektor ini menyediakan mata pencaharian bagi lebih dari 59 juta orang di seluruh dunia, sebagian besar di negara-negara berkembang¹. Selain perikanan tangkap, akuakultur tumbuh pesat sebagai sumber protein laut yang berkelanjutan. Pada tahun 2020, produksi akuakultur dunia mencapai 87,5 juta ton, menyumbang lebih dari separuh konsumsi ikan global².

2.2.       Transportasi Laut dan Pelabuhan

Transportasi laut memainkan peran vital dalam perdagangan internasional. Sekitar 80 persen volume perdagangan dunia diangkut melalui laut, dengan nilai mencapai triliunan dolar setiap tahunnya³. Infrastruktur pelabuhan, jalur pelayaran, dan industri logistik maritim merupakan tulang punggung sistem perdagangan global. Selain itu, sektor ini berkaitan erat dengan pembangunan pelabuhan pintar (smart ports) dan efisiensi energi kapal.

2.3.       Energi Laut

Energi terbarukan dari laut—seperti energi angin lepas pantai (offshore wind), gelombang, pasang surut, dan panas laut—semakin dilirik sebagai solusi transisi energi hijau. Offshore wind menjadi yang paling berkembang pesat, khususnya di Eropa, China, dan Amerika Serikat. Menurut laporan IRENA, kapasitas pembangkit angin lepas pantai meningkat dari hanya 4 GW pada 2011 menjadi lebih dari 64 GW pada 2022⁴.

2.4.       Pariwisata Bahari dan Pesisir

Pariwisata berbasis laut dan pesisir merupakan salah satu sektor penyumbang devisa terbesar bagi banyak negara tropis dan kepulauan. Kegiatan seperti wisata pantai, selam scuba, ekowisata laut, dan pelayaran kapal pesiar (cruise tourism) mendukung pertumbuhan ekonomi lokal. Namun, sektor ini sangat sensitif terhadap degradasi lingkungan dan perubahan iklim⁵.

2.5.       Bioteknologi Kelautan

Bioteknologi kelautan adalah sektor yang relatif baru namun penuh potensi, melibatkan eksplorasi mikroorganisme, alga, dan organisme laut lainnya untuk produk farmasi, kosmetik, pangan, dan bahan bakar. Lautan dianggap sebagai biological treasure chest dengan sumber daya genetik yang sangat beragam⁶. Inovasi di bidang ini membuka peluang pengembangan ekonomi yang tinggi nilai tambahnya.

2.6.       Eksplorasi dan Pertambangan Bawah Laut

Eksplorasi mineral di dasar laut, seperti nodul mangan, kobalt, dan logam tanah jarang, mulai dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan industri teknologi. Meski demikian, eksploitasi ini menimbulkan kontroversi karena berpotensi merusak habitat laut dalam yang belum banyak dipahami. International Seabed Authority (ISA) sedang merumuskan standar global untuk regulasi sektor ini secara ketat⁷.


Footnotes

[1]                FAO, The State of World Fisheries and Aquaculture 2022 (Rome: FAO, 2022), 11, https://www.fao.org/3/cc0461en/cc0461en.pdf.

[2]                Ibid., 23.

[3]                UNCTAD, Review of Maritime Transport 2023 (Geneva: UNCTAD, 2023), 1, https://unctad.org/webflyer/review-maritime-transport-2023.

[4]                International Renewable Energy Agency (IRENA), Offshore Renewables: An Action Agenda for Deployment (Abu Dhabi: IRENA, 2023), 5, https://www.irena.org/publications.

[5]                OECD, The Ocean Economy in 2030 (Paris: OECD Publishing, 2016), 56, https://doi.org/10.1787/9789264251724-en.

[6]                UNCTAD, The Role of Marine Biotechnology in the Blue Economy (Geneva: UNCTAD, 2021), 3–4, https://unctad.org/system/files/official-document/ditctedinf2021d2_en.pdf.

[7]                International Seabed Authority (ISA), Deep Seabed Mining Regulations and Guidelines, accessed April 2025, https://www.isa.org.jm.


3.           Nilai Ekonomi Laut Global

Lautan dan ekosistem pesisir memiliki nilai ekonomi yang sangat besar, baik dari sektor langsung seperti perikanan dan pelayaran, maupun sektor tidak langsung seperti jasa ekosistem yang menopang kehidupan manusia. Nilai ekonomi ini telah menjadi perhatian global karena kontribusinya yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, serta keberlanjutan sumber daya alam.

Menurut OECD, Ocean Economy secara global diperkirakan akan mencapai nilai lebih dari US$3 triliun per tahun pada 2030, dengan sektor-sektor utama seperti energi lepas pantai, perikanan, pariwisata pesisir, dan transportasi laut sebagai kontributor utama¹. Proyeksi ini mencerminkan peningkatan tajam dari nilai ekonomi saat ini, yang pada tahun 2010 diperkirakan sebesar US$1,5 triliun². Peningkatan ini didorong oleh pertumbuhan populasi dunia, urbanisasi pesisir, serta berkembangnya teknologi kelautan.

Selain nilai PDB (Produk Domestik Bruto) langsung, Ocean Economy juga menyumbang secara signifikan terhadap lapangan kerja global. Sekitar 350 juta orang di seluruh dunia bergantung pada laut untuk mata pencaharian mereka, terutama di sektor perikanan dan pariwisata laut³. Di negara-negara berkembang dan kepulauan, sektor laut sering kali menjadi satu-satunya sumber pendapatan utama bagi komunitas lokal.

3.1.       Studi Kasus Nilai Ekonomi Laut di Beberapa Negara

3.1.1.      Indonesia

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau, Indonesia memiliki potensi Ocean Economy yang sangat besar. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memperkirakan bahwa potensi ekonomi kelautan Indonesia dapat mencapai lebih dari US$1,33 triliun per tahun, mencakup sektor perikanan tangkap, budidaya laut, bioteknologi, hingga wisata bahari⁴. Namun, kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional masih berada di bawah 10%, menunjukkan masih adanya kesenjangan antara potensi dan realisasi.

3.1.2.      Norwegia

Norwegia merupakan contoh negara maju yang berhasil mengelola sumber daya laut secara produktif dan berkelanjutan. Ocean Economy di Norwegia mencakup sektor perikanan, minyak dan gas lepas pantai, serta akuakultur. Industri salmon menjadi salah satu ekspor terbesar Norwegia, menyumbang sekitar US$10 miliar per tahun. Pemerintah Norwegia menempatkan Ocean Economy sebagai bagian penting dari strategi diversifikasi ekonomi pasca minyak⁵.

3.1.3.      China

China merupakan negara dengan kekuatan maritim yang terus berkembang. Dengan garis pantai sepanjang lebih dari 14.000 km, Ocean Economy China mencakup pelabuhan besar, industri perkapalan, energi lepas pantai, dan akuakultur skala besar. Nilai ekonomi kelautan China diperkirakan melebihi US$1 triliun pada tahun 2021, dengan kontribusi signifikan terhadap pembangunan wilayah pesisir⁶.


Nilai ekonomi laut global yang terus meningkat menunjukkan bahwa laut bukan hanya sumber daya ekologis, tetapi juga menjadi kunci dalam strategi pembangunan ekonomi masa depan. Meski demikian, eksploitasi yang berlebihan dan perubahan iklim dapat mengancam keberlanjutan nilai ini, jika tidak dikelola secara bertanggung jawab dan inklusif.


Footnotes

[1]                OECD, The Ocean Economy in 2030 (Paris: OECD Publishing, 2016), 10, https://doi.org/10.1787/9789264251724-en.

[2]                Ibid., 9.

[3]                UNCTAD, Blue Economy for Sustainable Development (Geneva: United Nations, 2020), 7, https://unctad.org/system/files/official-document/ditcted2020d3_en.pdf.

[4]                Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Rencana Induk Kelautan Nasional (Jakarta: KKP, 2021), 14.

[5]                Norwegian Ministry of Trade, Industry and Fisheries, Blue Opportunities: The Government’s Ocean Strategy (Oslo: Government of Norway, 2017), 5, https://www.regjeringen.no.

[6]                China Oceanic Development Foundation, China’s Ocean Development Report 2022 (Beijing: CODF, 2022), 8.


4.           Tantangan Utama dalam Pengembangan Ocean Economy

Meskipun Ocean Economy memiliki potensi besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi global dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, berbagai tantangan serius mengancam keberlanjutan dan keadilan dalam pemanfaatannya. Tantangan-tantangan ini tidak hanya bersifat teknis dan ekonomi, tetapi juga berkaitan erat dengan isu lingkungan, sosial, dan tata kelola.

4.1.       Degradasi Lingkungan Laut

Salah satu ancaman utama terhadap pengembangan Ocean Economy adalah kerusakan ekosistem laut, yang disebabkan oleh aktivitas manusia seperti penangkapan ikan berlebih (overfishing), pencemaran laut, dan kerusakan habitat pesisir. Menurut laporan UNEP, sekitar 60% ekosistem pesisir di dunia telah mengalami degradasi signifikan akibat aktivitas ekonomi yang tidak berkelanjutan¹. Polusi plastik laut, misalnya, diperkirakan mencapai 11 juta metrik ton per tahun, dan jumlah ini dapat meningkat tiga kali lipat pada 2040 jika tidak ada intervensi kebijakan yang kuat².

4.2.       Perubahan Iklim dan Dampaknya terhadap Laut

Perubahan iklim berdampak langsung pada kelestarian dan produktivitas sektor kelautan. Pemanasan suhu laut menyebabkan pemutihan terumbu karang secara massal, naiknya permukaan laut mengancam komunitas pesisir, dan asidifikasi laut berdampak buruk terhadap biota laut seperti kerang dan plankton³. Laporan IPCC Special Report on the Ocean and Cryosphere menyebutkan bahwa ekosistem laut kini berada dalam tekanan paling berat sepanjang sejarah modern akibat perubahan iklim⁴. Hal ini menciptakan ketidakpastian dalam perencanaan investasi dan strategi jangka panjang Ocean Economy.

4.3.       Kesenjangan Teknologi dan Akses Finansial

Negara-negara berkembang, terutama negara kepulauan kecil (Small Island Developing States/SIDS) dan negara pesisir dengan kapasitas fiskal terbatas, menghadapi kendala besar dalam mengakses teknologi kelautan modern dan pembiayaan yang memadai. Kurangnya infrastruktur digital, peralatan eksplorasi laut dalam, dan kapasitas sumber daya manusia memperlambat adopsi inovasi dalam sektor seperti bioteknologi laut dan energi terbarukan⁵. Selain itu, investasi sektor swasta masih sangat rendah akibat tingginya risiko dan belum jelasnya kerangka regulasi.

4.4.       Konflik Kepentingan Antar Sektor

Ocean Economy bersifat lintas sektor dan lintas kepentingan, yang sering kali menimbulkan konflik antara eksploitasi ekonomi dan konservasi. Contohnya, pembangunan pelabuhan dan reklamasi pantai sering berbenturan dengan kawasan konservasi mangrove atau wilayah perikanan tradisional masyarakat lokal. Kurangnya koordinasi antar lembaga dan tumpang tindih kebijakan sering menyebabkan ketidakefisienan dalam pengelolaan ruang laut⁶. Model tata kelola yang partisipatif dan berbasis data menjadi sangat diperlukan untuk menghindari degradasi lingkungan yang tidak disengaja.


Tantangan-tantangan ini menunjukkan bahwa keberhasilan Ocean Economy tidak dapat hanya diukur dari nilai ekonominya, tetapi juga dari sejauh mana ekonomi ini dikelola secara inklusif, berkelanjutan, dan adil. Oleh karena itu, pendekatan lintas ilmu dan lintas sektor perlu dikembangkan untuk memastikan bahwa pengelolaan sumber daya laut dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi generasi sekarang dan mendatang.


Footnotes

[1]                United Nations Environment Programme (UNEP), The Ocean and Coastal Economy: Sustainability, Resilience and Inclusivity (Nairobi: UNEP, 2021), 12, https://www.unep.org/resources.

[2]                Pew Charitable Trusts and SYSTEMIQ, Breaking the Plastic Wave: A Comprehensive Assessment of Pathways Towards Stopping Ocean Plastic Pollution (Washington, DC: Pew, 2020), 6, https://www.pewtrusts.org.

[3]                FAO, Impacts of Climate Change on Fisheries and Aquaculture (Rome: FAO, 2018), 10, https://www.fao.org/3/i9705en/i9705en.pdf.

[4]                IPCC, Special Report on the Ocean and Cryosphere in a Changing Climate (Geneva: Intergovernmental Panel on Climate Change, 2019), 13, https://www.ipcc.ch/srocc/.

[5]                UNCTAD, Harnessing Blue Economy Finance for Sustainable Development (Geneva: UNCTAD, 2020), 18, https://unctad.org.

[6]                OECD, Marine Spatial Planning: Assessing Current Practices and Linkages to Other Policy Areas (Paris: OECD Publishing, 2017), 8, https://doi.org/10.1787/9789264273528-en.


5.           Ekonomi Biru (Blue Economy) sebagai Alternatif Berkelanjutan

Konsep Blue Economy (Ekonomi Biru) muncul sebagai respons atas perlunya pendekatan yang lebih berkelanjutan dalam mengelola sumber daya laut. Jika Ocean Economy menitikberatkan pada nilai ekonomi yang dihasilkan dari laut, maka Blue Economy menambahkan dimensi keberlanjutan dan inklusivitas dalam aktivitas kelautan. Pendekatan ini menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi di sektor maritim harus berjalan seiring dengan pelestarian ekosistem laut dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.

5.1.       Definisi dan Prinsip Ekonomi Biru

Menurut World Bank, Blue Economy adalah "the sustainable use of ocean resources for economic growth, improved livelihoods and jobs while preserving the health of ocean ecosystem"_¹. Dengan kata lain, Blue Economy tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memperhitungkan daya dukung lingkungan dan aspek sosial secara seimbang.

Adapun prinsip-prinsip utama Blue Economy, sebagaimana dirumuskan oleh UNCTAD dan FAO, antara lain:

·                     Efisiensi sumber daya dan energi dalam kegiatan ekonomi laut

·                     Perlindungan ekosistem dan keanekaragaman hayati

·                     Peningkatan kesejahteraan sosial, terutama masyarakat pesisir

·                     Tata kelola yang transparan dan partisipatif²

Dengan pendekatan ini, Blue Economy dapat menjadi instrumen strategis dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 14 (Life Below Water), serta mendorong transformasi ekonomi rendah karbon.

5.2.       Perbedaan antara Ocean Economy dan Blue Economy

Meskipun istilah Ocean Economy dan Blue Economy sering digunakan secara bergantian, terdapat perbedaan penting antara keduanya. Ocean Economy merujuk pada seluruh aktivitas ekonomi yang bersumber dari laut, baik yang berkelanjutan maupun tidak, seperti eksploitasi minyak lepas pantai atau penangkapan ikan secara besar-besaran. Sementara itu, Blue Economy membatasi dirinya hanya pada aktivitas yang memastikan keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial dalam jangka panjang³.

Tabel perbandingan dari OECD menunjukkan bahwa Blue Economy lebih menekankan pada inclusive growth, pelestarian jangka panjang, serta inovasi ramah lingkungan sebagai basis pengembangan kebijakan⁴.

5.3.       Implementasi Blue Economy di Berbagai Negara

Beberapa negara telah mengadopsi konsep Blue Economy ke dalam kebijakan nasional. Contohnya:

·                     Seychelles, sebagai negara kepulauan kecil, meluncurkan strategi Blue Economy nasional yang mencakup konservasi 30% wilayah lautnya dan pengembangan pariwisata laut berkelanjutan. Seychelles juga menerbitkan Blue Bond sebagai instrumen pembiayaan inovatif untuk proyek-proyek berbasis laut yang berkelanjutan⁵.

·                     Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengembangkan konsep ekonomi biru dalam bentuk ekonomi kelautan berkelanjutan, termasuk dalam program penangkapan ikan terukur, restorasi mangrove, dan pengembangan kawasan konservasi laut⁶.

·                     Uni Eropa mengadopsi strategi Blue Growth, yang merupakan agenda jangka panjang untuk mendukung pertumbuhan sektor kelautan yang berkelanjutan, dengan fokus pada inovasi dan pengelolaan berbasis data⁷.

5.4.       Tantangan Implementasi

Walaupun konsep Blue Economy menjanjikan, pelaksanaannya di lapangan menghadapi berbagai tantangan. Di antaranya adalah lemahnya kapasitas kelembagaan, terbatasnya data ilmiah tentang ekosistem laut, resistensi dari pelaku industri konvensional, serta perlunya integrasi antar sektor dan antar tingkat pemerintahan⁸. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi yang kuat antara negara, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sipil untuk mewujudkan ekonomi biru yang nyata dan berdampak.


Footnotes

[1]                The World Bank and United Nations Department of Economic and Social Affairs (UNDESA), The Potential of the Blue Economy: Increasing Long-term Benefits of the Sustainable Use of Marine Resources for Small Island Developing States and Coastal Least Developed Countries (Washington, DC: World Bank, 2017), 4.

[2]                UNCTAD, Blue Economy for Sustainable Development (Geneva: United Nations, 2020), 9–10, https://unctad.org/system/files/official-document/ditcted2020d3_en.pdf.

[3]                FAO, Blue Growth: Unlocking the Potential of Seas and Oceans (Rome: FAO, 2015), 2, https://www.fao.org/3/i3940e/i3940e.pdf.

[4]                OECD, Sustainable Ocean for All: Harnessing the Benefits of Sustainable Ocean Economies for Developing Countries (Paris: OECD Publishing, 2020), 21, https://doi.org/10.1787/bede6513-en.

[5]                World Bank, Seychelles Launches World’s First Sovereign Blue Bond (Washington, DC: World Bank, 2018), https://www.worldbank.org/en/news/press-release/2018/10/29/seychelles-launches-worlds-first-sovereign-blue-bond.

[6]                Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Kebijakan Ekonomi Biru: Pilar Transformasi Kelautan dan Perikanan (Jakarta: KKP, 2022), 6–9.

[7]                European Commission, Blue Growth Strategy (Brussels: European Union, 2017), https://oceans-and-fisheries.ec.europa.eu/topics/blue-economy/blue-growth_en.

[8]                Ibid., 12.


6.           Kebijakan dan Kerangka Regulasi

Pengembangan Ocean Economy secara berkelanjutan tidak dapat dilepaskan dari peran kebijakan publik dan kerangka regulasi yang kuat. Regulasi berfungsi sebagai instrumen penting untuk menyeimbangkan antara eksploitasi ekonomi dan konservasi ekosistem laut. Tanpa tata kelola yang baik, aktivitas ekonomi di laut cenderung mengarah pada praktik yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat pesisir.

6.1.       Peran Organisasi Internasional

Sejumlah organisasi internasional telah memainkan peran strategis dalam membangun kerangka kerja global untuk pengelolaan Ocean Economy.

·                     International Maritime Organization (IMO) bertanggung jawab atas regulasi keselamatan dan keamanan pelayaran internasional serta pencegahan polusi dari kapal. Salah satu regulasi penting adalah MARPOL Convention, yang mengatur pencegahan pencemaran laut oleh kapalⁱ.

·                     United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) menyediakan kerangka hukum komprehensif yang mengatur yurisdiksi negara atas wilayah laut, termasuk hak dan kewajiban eksplorasi sumber daya laut, kebebasan navigasi, dan perlindungan lingkungan laut².

·                     UNCTAD mendorong integrasi Blue Economy ke dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan negara-negara berkembang, serta memfasilitasi dialog global dalam perdagangan berbasis laut³.

·                     FAO melalui Code of Conduct for Responsible Fisheries memberikan panduan etik dan teknis dalam pengelolaan perikanan yang berkelanjutan⁴.

6.2.       Kebijakan Nasional: Studi Kasus Indonesia dan Uni Eropa

6.2.1.    Indonesia

Sebagai negara maritim dengan wilayah laut yang luas, Indonesia telah menyusun sejumlah kebijakan nasional yang mendukung pembangunan Ocean Economy. Dokumen strategis seperti Rencana Induk Kelautan Nasional (RIKN) menetapkan visi pengelolaan ruang laut terpadu dan berkelanjutan, yang mencakup zonasi laut, perlindungan ekosistem, serta pemberdayaan masyarakat pesisir⁵. Selain itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengimplementasikan kebijakan Ekonomi Biru melalui lima pilar utama, seperti perluasan kawasan konservasi laut dan penangkapan ikan terukur⁶.

6.2.2.      Uni Eropa

Uni Eropa telah mengembangkan kebijakan Blue Growth Strategy, yang bertujuan untuk memaksimalkan potensi ekonomi sektor kelautan dan pesisir secara berkelanjutan. Kebijakan ini mendorong inovasi, riset ilmiah, dan pengelolaan berbasis data dalam sektor-sektor seperti energi laut, bioteknologi kelautan, dan pelabuhan hijau⁷. Di samping itu, Marine Strategy Framework Directive (MSFD) ditetapkan untuk mencapai kondisi lingkungan laut yang sehat pada tahun 2020 dan seterusnya⁸.

6.3.       Pentingnya Tata Kelola Laut yang Terintegrasi

Keberhasilan kebijakan Ocean Economy sangat bergantung pada pendekatan tata kelola yang terintegrasi atau integrated ocean governance. Pendekatan ini menekankan pentingnya koordinasi antar kementerian, kolaborasi lintas sektor (pemerintah, swasta, masyarakat sipil), serta penggunaan data ilmiah dalam pengambilan keputusan⁹. Marine Spatial Planning (MSP) menjadi instrumen penting dalam memastikan berbagai sektor dapat memanfaatkan ruang laut secara harmonis dan efisien¹⁰.

Selain itu, transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik juga menjadi pilar utama dalam pengembangan kebijakan maritim yang inklusif dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                International Maritime Organization (IMO), International Convention for the Prevention of Pollution from Ships (MARPOL), accessed April 2025, https://www.imo.org/en/About/Conventions/ListOfConventions/Pages/MARPOL.aspx.

[2]                United Nations, United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982, https://www.un.org/depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf.

[3]                UNCTAD, Blue Economy for Sustainable Development (Geneva: United Nations, 2020), 13, https://unctad.org/system/files/official-document/ditcted2020d3_en.pdf.

[4]                FAO, Code of Conduct for Responsible Fisheries (Rome: FAO, 1995), https://www.fao.org/fishery/code/en.

[5]                Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia, Rencana Induk Kelautan Nasional (RIKN) 2020–2045 (Jakarta: Kemenko Marves, 2021), 5.

[6]                Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Kebijakan Ekonomi Biru: Pilar Transformasi Kelautan dan Perikanan (Jakarta: KKP, 2022), 6.

[7]                European Commission, Blue Growth Strategy (Brussels: European Union, 2017), https://oceans-and-fisheries.ec.europa.eu/topics/blue-economy/blue-growth_en.

[8]                European Commission, Marine Strategy Framework Directive (MSFD), 2008/56/EC, https://environment.ec.europa.eu/topics/marine-environment/marine-strategy-framework-directive_en.

[9]                OECD, Sustainable Ocean for All: Harnessing the Benefits of Sustainable Ocean Economies for Developing Countries (Paris: OECD Publishing, 2020), 34, https://doi.org/10.1787/bede6513-en.

[10]             UNESCO-IOC, Marine Spatial Planning: A Step-by-Step Approach toward Ecosystem-Based Management (Paris: UNESCO, 2009), https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000186559.


7.           Inovasi dan Teknologi dalam Ocean Economy

Perkembangan inovasi dan teknologi memainkan peran penting dalam mempercepat pertumbuhan Ocean Economy secara berkelanjutan. Teknologi kelautan modern tidak hanya mendorong efisiensi dan produktivitas ekonomi laut, tetapi juga meningkatkan kapasitas pemantauan, pelestarian, dan pemulihan ekosistem laut yang terancam. Di era digital dan transisi hijau saat ini, Ocean Economy semakin bergantung pada kemajuan teknologi lintas disiplin seperti big data, kecerdasan buatan (AI), bioteknologi, serta energi terbarukan lepas pantai.

7.1.       Teknologi Pemantauan dan Observasi Laut

Kemajuan teknologi pemantauan laut telah memungkinkan pengumpulan data kelautan secara lebih cepat, luas, dan akurat. Penggunaan remote sensing berbasis satelit, drone laut (autonomous underwater vehicles), serta sistem sensor berbasis IoT telah memperkuat kapasitas negara-negara dalam melakukan real-time monitoring terhadap kualitas air laut, pola arus, suhu, serta kondisi ekosistem seperti terumbu karang dan mangrove¹.

Salah satu contoh konkret adalah program Ocean Observing System yang dikelola oleh Intergovernmental Oceanographic Commission (IOC)–UNESCO, yang menjadi basis bagi analisis iklim, prediksi cuaca laut, dan penanganan bencana seperti tsunami².

7.2.       Bioteknologi Kelautan

Marine biotechnology merupakan sektor inovatif dalam Ocean Economy yang memanfaatkan organisme laut—mulai dari mikroalga hingga bakteri ekstremofilik—untuk produksi pangan fungsional, obat-obatan, bioenergi, dan kosmetik. Laut dianggap sebagai “perpustakaan genetik terbesar” dengan potensi eksplorasi yang luar biasa, khususnya dalam pengembangan enzim laut, antibiotik baru, dan biosurfaktan alami³.

Pasar global bioteknologi kelautan diperkirakan akan tumbuh pesat dan mencapai nilai lebih dari USD 6 miliar pada tahun 2030, dengan peningkatan investasi riset dari sektor publik dan swasta⁴.

7.3.       Digitalisasi dan Big Data dalam Ekonomi Laut

Pemanfaatan kecerdasan buatan (AI), machine learning, dan big data analytics semakin menjadi elemen kunci dalam mendukung pengambilan keputusan di sektor kelautan. Aplikasi teknologi ini digunakan untuk menganalisis pergerakan ikan, mengoptimalkan jalur pelayaran untuk efisiensi bahan bakar, mendeteksi aktivitas penangkapan ikan ilegal (IUU fishing), serta memantau perubahan ekosistem secara berkala⁵.

Sebagai contoh, proyek Global Fishing Watch, yang menggunakan data pelacakan kapal dari AIS (Automatic Identification System), telah berhasil memetakan aktivitas global kapal perikanan dan menjadi alat penting dalam transparansi pengelolaan perikanan⁶.

7.4.       Inovasi Energi Terbarukan Lepas Pantai

Energi laut, terutama angin lepas pantai (offshore wind), menjadi sektor inovatif yang mendukung transisi energi bersih. Perkembangan teknologi turbin terapung dan kabel bawah laut memungkinkan pengembangan ladang angin di wilayah perairan dalam yang sebelumnya tidak terjangkau. Menurut IRENA, kapasitas pembangkit listrik dari angin lepas pantai secara global mencapai 64 GW pada 2022 dan diproyeksikan akan meningkat hingga 380 GW pada 2030⁷.

Selain angin, teknologi gelombang laut dan arus pasang surut juga terus dikembangkan di sejumlah negara seperti Inggris, Kanada, dan Korea Selatan.

7.5.       Akuakultur Cerdas dan Berkelanjutan

Sektor akuakultur mengalami transformasi berkat penerapan teknologi seperti sistem bioflok, RAS (Recirculating Aquaculture System), dan penggunaan sensor digital untuk memantau kadar oksigen, suhu, serta kualitas air. Akuakultur laut kini mengarah ke sistem offshore aquaculture, yaitu budidaya ikan di perairan lepas yang minim konflik lahan dan lebih ramah lingkungan⁸.

Inovasi ini meningkatkan produktivitas, mengurangi dampak lingkungan, serta meminimalkan penggunaan antibiotik berlebihan dalam budidaya laut.


Inovasi dan teknologi bukan hanya akselerator bagi pertumbuhan Ocean Economy, tetapi juga merupakan syarat mutlak untuk menjaga keberlanjutan jangka panjang. Namun, adopsi teknologi ini masih menghadapi tantangan dalam hal pendanaan, kesenjangan kapasitas SDM, serta akses data dan infrastruktur, terutama di negara berkembang. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi multilateral, investasi riset, dan pendekatan kebijakan yang pro-inovasi agar manfaat ekonomi laut dapat dioptimalkan secara merata.


Footnotes

[1]                IOC–UNESCO, Global Ocean Observing System 2030 Strategy (Paris: UNESCO, 2020), 9, https://www.ocean-ops.org/.

[2]                Ibid., 14.

[3]                UNCTAD, The Role of Marine Biotechnology in the Blue Economy (Geneva: United Nations, 2021), 3–4, https://unctad.org/system/files/official-document/ditctedinf2021d2_en.pdf.

[4]                FAO, Emerging Technologies in Fisheries and Aquaculture (Rome: FAO, 2022), 22, https://www.fao.org/publications.

[5]                OECD, Digitalisation and the Ocean Economy (Paris: OECD Publishing, 2020), 12, https://doi.org/10.1787/bede3b35-en.

[6]                Global Fishing Watch, Our Work, accessed April 2025, https://globalfishingwatch.org/.

[7]                International Renewable Energy Agency (IRENA), Offshore Renewables: An Action Agenda for Deployment (Abu Dhabi: IRENA, 2023), 5, https://www.irena.org/publications.

[8]                World Bank, Aquaculture for Development: Unlocking the Potential of Aquaculture in Developing Countries (Washington, DC: World Bank, 2021), 19.


8.           Peran Pendidikan dan Riset

Pengembangan Ocean Economy yang berkelanjutan memerlukan dukungan kuat dari pendidikan dan riset ilmiah. Tanpa sumber daya manusia (SDM) yang kompeten dan pemahaman ilmiah yang memadai, berbagai potensi laut tidak akan dapat dimanfaatkan secara optimal dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, pendidikan dan riset menjadi fondasi strategis dalam mewujudkan transformasi ekonomi laut menuju arah yang inklusif, inovatif, dan lestari.

8.1.       Kebutuhan Sumber Daya Manusia di Bidang Kelautan

Meningkatnya kompleksitas Ocean Economy menuntut ketersediaan tenaga kerja yang memiliki keahlian lintas disiplin—termasuk ilmu kelautan, teknologi maritim, bioteknologi, hukum laut, ekonomi lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam. Laporan UNESCO mencatat bahwa negara-negara berkembang masih mengalami defisit tenaga ahli kelautan, terutama di bidang oseanografi, perencanaan ruang laut, dan ekonomi biru¹.

Institusi pendidikan tinggi memiliki peran sentral dalam menyediakan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja kelautan. Program studi seperti ilmu kelautan, teknik perkapalan, perikanan, serta pengelolaan wilayah pesisir perlu diperkuat dengan pendekatan interdisipliner dan berbasis kompetensi masa depan.

8.2.       Kontribusi Riset dalam Pembangunan Ocean Economy

Penelitian ilmiah berperan penting dalam mendukung kebijakan, inovasi, dan pengelolaan sumber daya laut. Melalui riset, data-data krusial tentang keanekaragaman hayati laut, kualitas ekosistem, potensi energi laut, hingga dampak perubahan iklim dapat dikumpulkan dan dianalisis secara sistematis. Riset juga menjadi landasan bagi pengembangan teknologi kelautan serta instrumen pemantauan dan peringatan dini bencana laut².

Program seperti Decade of Ocean Science for Sustainable Development (2021–2030) yang dicanangkan UNESCO bertujuan menjembatani kesenjangan antara sains dan kebijakan, serta memperkuat kolaborasi antara peneliti, pembuat kebijakan, sektor swasta, dan masyarakat³.

8.3.       Kolaborasi Internasional dan Pembangunan Kapasitas

Banyak negara berkembang menghadapi keterbatasan infrastruktur penelitian, akses pendanaan, serta kurangnya jaringan akademik internasional. Oleh karena itu, penting untuk membangun kemitraan riset lintas negara dan lintas institusi. Inisiatif seperti Partnership for Observation of the Global Ocean (POGO) dan Intergovernmental Oceanographic Commission (IOC-UNESCO) telah memfasilitasi pelatihan, pertukaran peneliti, dan proyek riset bersama antarnegara⁴.

Selain itu, perluasan marine research stations, pusat data kelautan, dan laboratorium inovasi maritim di tingkat nasional dan regional menjadi langkah strategis dalam memperkuat kapasitas sains kelautan secara merata.

8.4.       Peran Pendidikan Masyarakat dan Literasi Laut

Selain pendidikan formal, upaya membangun literasi kelautan (ocean literacy) di kalangan masyarakat umum juga sangat penting. Literasi kelautan membantu masyarakat memahami pentingnya laut bagi kehidupan, serta mengubah perilaku menuju praktik yang lebih ramah lingkungan. UNESCO mendefinisikan literasi kelautan sebagai pemahaman tentang pengaruh laut terhadap manusia dan sebaliknya⁵.

Melalui program kampanye publik, pendidikan lingkungan di sekolah, serta pelibatan komunitas dalam proyek konservasi laut, masyarakat dapat menjadi mitra aktif dalam menjaga ekosistem laut sekaligus mengambil manfaat ekonomi secara berkelanjutan.


Secara keseluruhan, sinergi antara pendidikan, riset, dan kebijakan menjadi kunci keberhasilan dalam mewujudkan Ocean Economy yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga menjamin kelestarian sumber daya dan kesejahteraan generasi mendatang.


Footnotes

[1]                UNESCO, Global Ocean Science Report 2020: Charting Capacity for Ocean Sustainability (Paris: UNESCO Publishing, 2020), 54–56, https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000375147.

[2]                FAO, The State of World Fisheries and Aquaculture 2022 (Rome: FAO, 2022), 98–100, https://www.fao.org/3/cc0461en/cc0461en.pdf.

[3]                Intergovernmental Oceanographic Commission (IOC)–UNESCO, Decade of Ocean Science for Sustainable Development Implementation Plan (Paris: UNESCO, 2020), 8, https://oceanexpert.org/document/27347.

[4]                POGO (Partnership for Observation of the Global Ocean), POGO Annual Report 2023, accessed April 2025, https://pogo-ocean.org.

[5]                UNESCO, Ocean Literacy for All: A Toolkit (Paris: UNESCO, 2017), 11, https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000251413.


9.           Arah Masa Depan Ocean Economy

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan global terhadap sumber daya alam yang berkelanjutan, Ocean Economy diprediksi akan menjadi salah satu pilar utama pembangunan ekonomi global abad ke-21. Namun, untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi laut tidak mengorbankan kesehatan ekosistem dan keadilan sosial, diperlukan transformasi paradigma menuju pendekatan yang lebih inklusif, inovatif, dan berbasis keberlanjutan.

9.1.       Transisi Menuju Circular Ocean Economy

Salah satu arah masa depan yang signifikan adalah penerapan prinsip circular economy dalam sektor laut. Circular Ocean Economy menekankan pada pengurangan limbah, penggunaan kembali sumber daya, dan desain sistem ekonomi laut yang tidak menghasilkan polusi. Hal ini mencakup pengelolaan limbah plastik laut, daur ulang limbah perikanan, dan optimalisasi limbah bio-organik dari industri akuakultur¹.

Menurut laporan World Economic Forum, transisi menuju ekonomi laut sirkular dapat menciptakan nilai ekonomi tambahan sebesar US$500 miliar per tahun dan membuka hingga 10 juta lapangan kerja baru secara global pada 2030².

9.2.       Penguatan Peran Komunitas Pesisir dan Masyarakat Adat

Masa depan Ocean Economy yang adil harus menjamin peran sentral masyarakat pesisir dan masyarakat adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut. Pendekatan berbasis hak (rights-based approach) menekankan pentingnya pengakuan terhadap kearifan lokal, hak akses laut tradisional, dan partisipasi aktif masyarakat dalam tata kelola laut³.

UNDP menyatakan bahwa keberhasilan proyek ekonomi biru sangat bergantung pada keterlibatan komunitas lokal yang memahami konteks ekologis dan sosial setempat⁴. Oleh karena itu, penguatan kapasitas lokal menjadi investasi penting ke depan.

9.3.       Integrasi Teknologi dan Digitalisasi untuk Laut Cerdas

Ocean Economy masa depan akan sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi digital, kecerdasan buatan (AI), big data, dan automasi. Konsep “Smart Ocean” mengacu pada sistem pengelolaan laut yang berbasis teknologi real-time untuk memantau, merespons, dan mengelola ekosistem laut secara adaptif dan efisien⁵.

Penerapan sistem pemantauan digital di sektor perikanan, pelayaran, dan konservasi laut dapat meningkatkan transparansi, mengurangi praktik ilegal, serta memfasilitasi pengambilan keputusan yang berbasis bukti ilmiah.

9.4.       Inovasi Pembiayaan dan Investasi Berkelanjutan

Pembangunan Ocean Economy ke depan memerlukan pembiayaan yang masif namun harus selaras dengan prinsip keberlanjutan. Inovasi pembiayaan seperti Blue Bonds, impact investment, dan blended finance menjadi sarana strategis untuk mendukung proyek kelautan berkelanjutan⁶. Negara seperti Seychelles dan Fiji telah menunjukkan keberhasilan dalam menerbitkan Blue Bonds untuk mendukung konservasi laut dan mata pencaharian berkelanjutan.

Menurut UN Environment Programme Finance Initiative (UNEP FI), potensi investasi kelautan berkelanjutan dapat mencapai lebih dari US$175 miliar per tahun, namun membutuhkan sistem regulasi dan insentif yang kondusif⁷.

9.5.       Kerja Sama Global dan Diplomasi Laut

Menghadapi tantangan seperti perubahan iklim, penangkapan ikan ilegal, dan polusi lintas batas, kerja sama internasional dalam bidang kelautan akan menjadi semakin penting. Diplomasi laut (ocean diplomacy) akan berperan besar dalam menciptakan rezim hukum laut yang adil, berbagi data oseanografi, serta memastikan akses yang merata terhadap teknologi dan sumber daya laut global⁸.

Inisiatif seperti High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy dan Decade of Ocean Science for Sustainable Development (2021–2030) akan terus menjadi platform penting dalam membentuk konsensus global mengenai arah pengelolaan laut ke depan.


Dengan demikian, masa depan Ocean Economy tidak lagi semata-mata berorientasi pada eksploitasi sumber daya, tetapi akan ditentukan oleh sejauh mana manusia dapat hidup selaras dengan laut. Kolaborasi lintas sektor, inovasi teknologi, pemberdayaan masyarakat, dan kepemimpinan global akan menjadi kunci untuk menjadikan laut sebagai sumber kesejahteraan berkelanjutan bagi generasi mendatang.


Footnotes

[1]                Ellen MacArthur Foundation, The Circular Economy Opportunity for a New Plastics Economy in the Ocean (Cowes, UK: EMF, 2019), 5, https://www.ellenmacarthurfoundation.org/.

[2]                World Economic Forum, The New Plastics Economy: Rethinking the Future of Plastics (Geneva: WEF, 2016), 25, https://www.weforum.org/reports/.

[3]                FAO, Securing Sustainable Small-Scale Fisheries: A Global Ten-Year Initiative (Rome: FAO, 2023), 14, https://www.fao.org/documents/card/en/c/cc3304en/.

[4]                UNDP, Blue Economy: Shared Opportunities for Sustainable Development (New York: UNDP, 2021), 10, https://www.undp.org/publications.

[5]                OECD, Digitalisation and the Ocean Economy (Paris: OECD Publishing, 2020), 19, https://doi.org/10.1787/bede3b35-en.

[6]                World Bank, Blue Bonds: Financing Resilience of Coastal Ecosystems (Washington, DC: World Bank, 2020), https://www.worldbank.org.

[7]                UN Environment Programme Finance Initiative (UNEP FI), Turning the Tide: How to Finance a Sustainable Ocean Recovery (Geneva: UNEP FI, 2021), 3, https://www.unepfi.org/.

[8]                High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy, Transformations for a Sustainable Ocean Economy (Washington, DC: Ocean Panel Secretariat, 2020), 7, https://oceanpanel.org/publications/.


10.       Kesimpulan dan Rekomendasi

10.1.    Kesimpulan

Ocean Economy telah muncul sebagai salah satu poros strategis pembangunan global di abad ke-21, dengan nilai ekonomi yang sangat besar dan potensi jangka panjang yang menjanjikan. Lautan menyediakan beragam peluang ekonomi—dari perikanan dan pariwisata hingga energi terbarukan dan bioteknologi—yang dapat mendukung pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan, terutama bagi negara-negara kepulauan dan pesisir¹.

Namun, potensi ini dihadapkan pada tantangan multidimensional: degradasi lingkungan laut, perubahan iklim, kesenjangan akses teknologi dan pembiayaan, serta konflik kepentingan antar sektor². Dalam konteks ini, Ocean Economy tidak dapat dipisahkan dari prinsip keberlanjutan dan inklusivitas. Konsep Blue Economy menjadi alternatif strategis untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi laut sejalan dengan perlindungan ekosistem, pemberdayaan masyarakat, dan keadilan antargenerasi³.

Ke depan, inovasi teknologi, penguatan kebijakan, dan investasi pada pendidikan serta riset akan menjadi fondasi penting untuk mewujudkan Ocean Economy yang tangguh dan adaptif terhadap perubahan global⁴. Transformasi menuju Circular Ocean Economy dan tata kelola laut yang berbasis data akan menjadi langkah kritis dalam menjaga keberlanjutan laut sebagai penyedia kehidupan.

10.2.    Rekomendasi

Berdasarkan analisis di atas, berikut adalah sejumlah rekomendasi strategis untuk berbagai pemangku kepentingan dalam pengembangan Ocean Economy yang berkelanjutan:

10.2.1.  Untuk Pemerintah:

·                     Perkuat kebijakan nasional kelautan yang berbasis pada prinsip Blue Economy dan tata kelola lintas sektor.

·                     Investasikan pada pendidikan dan riset kelautan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dan mendorong inovasi.

·                     Perluas kawasan konservasi laut dan terapkan pendekatan marine spatial planning yang integratif⁵.

10.2.2.  Untuk Sektor Swasta:

·                     Adopsi prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam investasi kelautan.

·                     Kembangkan teknologi ramah lingkungan dan inovasi model bisnis berbasis sirkularitas dalam pemanfaatan laut⁶.

·                     Dukung kolaborasi riset dan proyek-proyek publik-swasta di bidang energi laut, akuakultur berkelanjutan, dan digitalisasi sektor maritim.

10.2.3.  Untuk Komunitas Lokal dan Masyarakat Sipil:

·                     Tingkatkan literasi kelautan dan kesadaran akan pentingnya perlindungan ekosistem laut melalui pendidikan komunitas.

·                     Dorong partisipasi aktif dalam perencanaan dan pemantauan kebijakan kelautan lokal.

·                     Pelihara dan revitalisasi pengetahuan lokal dan kearifan tradisional dalam pengelolaan sumber daya laut⁷.

Untuk Lembaga Internasional dan Mitra Pembangunan:

·                     Fasilitasi akses negara berkembang terhadap teknologi kelautan dan pembiayaan inovatif seperti blue bonds dan blended finance.

·                     Perkuat kerja sama ilmiah dan diplomasi laut untuk mengatasi tantangan transnasional seperti polusi laut dan perubahan iklim.

·                     Dukung pelaksanaan Decade of Ocean Science for Sustainable Development (2021–2030) sebagai platform global untuk pembangunan kapasitas dan sinergi pengetahuan⁸.


Ocean Economy yang berkelanjutan bukan sekadar tentang memanfaatkan laut secara ekonomis, tetapi tentang membangun hubungan baru antara manusia dan laut—yang didasarkan pada prinsip tanggung jawab, kesetaraan, dan kelestarian. Masa depan laut adalah masa depan kita semua.


Footnotes

[1]                OECD, The Ocean Economy in 2030 (Paris: OECD Publishing, 2016), 10, https://doi.org/10.1787/9789264251724-en.

[2]                UNCTAD, Blue Economy for Sustainable Development (Geneva: United Nations, 2020), 6–8, https://unctad.org/system/files/official-document/ditcted2020d3_en.pdf.

[3]                The World Bank and UNDESA, The Potential of the Blue Economy (Washington, DC: World Bank, 2017), 4.

[4]                UNESCO, Global Ocean Science Report 2020 (Paris: UNESCO Publishing, 2020), 45, https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000375147.

[5]                UNESCO-IOC, Marine Spatial Planning: A Step-by-Step Approach (Paris: UNESCO, 2009), https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000186559.

[6]                Ellen MacArthur Foundation, The Circular Economy Opportunity for a New Plastics Economy in the Ocean (Cowes: EMF, 2019), 6, https://www.ellenmacarthurfoundation.org/.

[7]                FAO, Securing Sustainable Small-Scale Fisheries: A Global Ten-Year Initiative (Rome: FAO, 2023), 18, https://www.fao.org/documents/card/en/c/cc3304en/.

[8]                IOC–UNESCO, Decade of Ocean Science for Sustainable Development Implementation Plan (Paris: UNESCO, 2020), 9, https://oceanexpert.org/document/27347.


Daftar Pustaka

Ellen MacArthur Foundation. (2019). The circular economy opportunity for a new plastics economy in the ocean. https://www.ellenmacarthurfoundation.org/

European Commission. (2017). Blue growth strategy. https://oceans-and-fisheries.ec.europa.eu/topics/blue-economy/blue-growth_en

European Commission. (2008). Marine Strategy Framework Directive (2008/56/EC). https://environment.ec.europa.eu/topics/marine-environment/marine-strategy-framework-directive_en

FAO. (1995). Code of conduct for responsible fisheries. https://www.fao.org/fishery/code/en

FAO. (2015). Blue growth: Unlocking the potential of seas and oceans. https://www.fao.org/3/i3940e/i3940e.pdf

FAO. (2018). Impacts of climate change on fisheries and aquaculture. https://www.fao.org/3/i9705en/i9705en.pdf

FAO. (2022). The state of world fisheries and aquaculture 2022. https://www.fao.org/3/cc0461en/cc0461en.pdf

FAO. (2023). Securing sustainable small-scale fisheries: A global ten-year initiative. https://www.fao.org/documents/card/en/c/cc3304en/

FAO. (2022). Emerging technologies in fisheries and aquaculture. https://www.fao.org/publications

Global Fishing Watch. (2025). Our work. https://globalfishingwatch.org/

High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy. (2020). Transformations for a sustainable ocean economy. https://oceanpanel.org/publications/

Intergovernmental Oceanographic Commission (IOC) – UNESCO. (2009). Marine spatial planning: A step-by-step approach toward ecosystem-based management. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000186559

IOC–UNESCO. (2020). Global ocean observing system 2030 strategy. https://www.ocean-ops.org/

IOC–UNESCO. (2020). Decade of ocean science for sustainable development implementation plan. https://oceanexpert.org/document/27347

International Maritime Organization (IMO). (n.d.). International convention for the prevention of pollution from ships (MARPOL). https://www.imo.org/en/About/Conventions/ListOfConventions/Pages/MARPOL.aspx

International Renewable Energy Agency (IRENA). (2023). Offshore renewables: An action agenda for deployment. https://www.irena.org/publications

Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. (2022). Kebijakan ekonomi biru: Pilar transformasi kelautan dan perikanan. Jakarta: KKP.

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia. (2021). Rencana induk kelautan nasional (RIKN) 2020–2045. Jakarta: Kemenko Marves.

OECD. (2016). The ocean economy in 2030. https://doi.org/10.1787/9789264251724-en

OECD. (2017). Marine spatial planning: Assessing current practices and linkages to other policy areas. https://doi.org/10.1787/9789264273528-en

OECD. (2020). Digitalisation and the ocean economy. https://doi.org/10.1787/bede3b35-en

OECD. (2020). Sustainable ocean for all: Harnessing the benefits of sustainable ocean economies for developing countries. https://doi.org/10.1787/bede6513-en

Partnership for Observation of the Global Ocean (POGO). (2025). POGO annual report 2023. https://pogo-ocean.org

Pew Charitable Trusts & SYSTEMIQ. (2020). Breaking the plastic wave: A comprehensive assessment of pathways towards stopping ocean plastic pollution. https://www.pewtrusts.org/

The World Bank. (2017). The potential of the blue economy: Increasing long-term benefits of the sustainable use of marine resources for small island developing states and coastal least developed countries. https://documents.worldbank.org/

The World Bank. (2020). Blue bonds: Financing resilience of coastal ecosystems. https://www.worldbank.org

The World Bank. (2018). Seychelles launches world’s first sovereign blue bond [Press release]. https://www.worldbank.org/en/news/press-release/2018/10/29/seychelles-launches-worlds-first-sovereign-blue-bond

UNCTAD. (2020). Blue economy for sustainable development. https://unctad.org/system/files/official-document/ditcted2020d3_en.pdf

UNCTAD. (2021). The role of marine biotechnology in the blue economy. https://unctad.org/system/files/official-document/ditctedinf2021d2_en.pdf

UNDP. (2021). Blue economy: Shared opportunities for sustainable development. https://www.undp.org/publications

UNEP. (2021). The ocean and coastal economy: Sustainability, resilience and inclusivity. https://www.unep.org/resources

UNEP Finance Initiative (UNEP FI). (2021). Turning the tide: How to finance a sustainable ocean recovery. https://www.unepfi.org/

UNESCO. (2017). Ocean literacy for all: A toolkit. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000251413

UNESCO. (2020). Global ocean science report 2020: Charting capacity for ocean sustainability. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000375147

United Nations. (1982). United Nations convention on the law of the sea (UNCLOS). https://www.un.org/depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf

World Bank. (2021). Aquaculture for development: Unlocking the potential of aquaculture in developing countries. https://www.worldbank.org

World Economic Forum. (2016). The new plastics economy: Rethinking the future of plastics. https://www.weforum.org/reports/


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar