Kamis, 17 April 2025

Aliran Sejarah Filsafat: Konsep, Pendekatan, dan Relevansinya dalam Kajian Filsafat

Aliran Sejarah Filsafat

Konsep, Pendekatan, dan Relevansinya dalam Kajian Filsafat


Alihkan ke: Aliran-Aliran dalam Filsafat.

Stoikisme, Epikureanisme, Skeptisisme Kuno, Platonisme, Aristotelianisme, Skolastisisme, Augustinisme, Thomisme, Cartesianisme, Empirisme Modern, Rasionalisme Modern, Eksistensialisme Modern, Postmodernisme, Nihilisme Kontemporer.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang aliran sejarah filsafat sebagai pendekatan metodologis dalam kajian filsafat. Aliran ini tidak hanya mengkaji filsafat sebagai himpunan ide, tetapi sebagai dinamika pemikiran yang berkembang dalam konteks historis, sosial, dan kultural. Dengan menelusuri berbagai pendekatan seperti kronologis, tematik, dialektis, genealogi kritis, dan hermeneutika kontekstual, artikel ini menunjukkan bahwa sejarah filsafat merupakan medium interpretatif yang memungkinkan pemahaman mendalam terhadap kontinuitas dan transformasi gagasan filosofis. Para tokoh utama seperti Hegel, Gilson, Copleston, Foucault, dan Gadamer diulas dalam kontribusinya terhadap pengembangan aliran ini. Selain itu, artikel ini juga mengulas kritik-kritik terhadap aliran sejarah filsafat, termasuk bahaya determinisme historis, anakronisme, dan narasi hegemonik Barat-sentris. Pada akhirnya, artikel ini menegaskan relevansi aliran sejarah filsafat dalam pendidikan, pengembangan kajian lintas budaya, serta sebagai landasan reflektif bagi pemikiran kontemporer yang lebih inklusif dan kontekstual.

Kata Kunci: sejarah filsafat; metodologi filsafat; Hegel; hermeneutika; genealogi; kontinuitas ide; kritik historisisme; filsafat kontemporer.


PEMBAHASAN

Menelusuri Aliran Sejarah Filsafat


1.           Pendahuluan

Sejarah filsafat bukan hanya sekadar kronik pemikiran yang tersusun dalam rentang waktu, tetapi merupakan medan konseptual di mana gagasan-gagasan besar manusia tentang realitas, pengetahuan, etika, dan eksistensi berinteraksi, bertentangan, dan berkembang secara dinamis. Dalam ranah filsafat akademik, pendekatan historis terhadap filsafat menjadi salah satu metode yang signifikan untuk memahami bukan hanya isi suatu pemikiran, tetapi juga konteks yang melahirkannya serta dampak yang ditimbulkannya dalam perjalanan intelektual umat manusia. Sejak masa Yunani kuno hingga era kontemporer, penulisan dan penelaahan terhadap sejarah filsafat telah menjadi tradisi yang berpengaruh dalam membentuk horizon intelektual para filsuf maupun pelajar filsafat.

Keberadaan aliran sejarah filsafat sebagai pendekatan tidak dapat dilepaskan dari kesadaran bahwa filsafat senantiasa hidup dalam konteks sejarah. Aliran ini menekankan bahwa setiap ide filosofis mesti dipahami dalam dinamika historisnya, bukan sebagai entitas ahistoris yang berdiri sendiri. Dalam pendekatan ini, penelusuran terhadap asal-usul gagasan, pengaruh lintas zaman, dan relasi dialektis antar gagasan menjadi esensial. Hal ini ditegaskan oleh Étienne Gilson, yang menyatakan bahwa “philosophy is not merely a collection of doctrines but a living tradition that evolves through historical continuity”.¹ Dengan demikian, filsafat tidak dapat dipisahkan dari proses kesejarahannya, karena makna dari setiap sistem pemikiran selalu terikat dengan konteks zaman dan problematika yang melatarinya.

Salah satu implikasi dari aliran sejarah filsafat adalah dorongan untuk memahami filsafat secara diakronik, yakni menelusuri transformasi ide-ide secara kronologis, dibandingkan dengan pendekatan sinkronik yang cenderung mengisolasi gagasan dalam satu titik waktu. Frederick Copleston, dalam karya monumentalnya A History of Philosophy, memberikan teladan bagaimana penelusuran sejarah filsafat bukan hanya menyusun fakta-fakta intelektual, tetapi juga menafsirkan hubungan ide dan perkembangan rasionalitas manusia dari masa ke masa.² Ia menekankan pentingnya kesinambungan dan perdebatan antar tokoh sebagai kunci memahami arah perkembangan pemikiran filsafat.

Pendekatan historis dalam filsafat juga memiliki dimensi hermeneutik, di mana makna suatu gagasan ditafsirkan berdasarkan horizon historis dari teks dan pembacanya. Hans-Georg Gadamer dalam Truth and Method menekankan bahwa pemahaman dalam filsafat bersifat historis karena selalu dibentuk oleh dialog antara masa lalu dan masa kini.³ Oleh karena itu, pembacaan sejarah filsafat bukan sekadar pembacaan dokumenter, melainkan interpretasi yang memerlukan kepekaan terhadap bahasa, konteks, dan horizon makna yang berubah.

Di sisi lain, beberapa pendekatan kontemporer terhadap sejarah filsafat juga memperlihatkan corak kritis terhadap konstruksi historis yang mapan. Misalnya, Michel Foucault melalui pendekatan genealogi, mengkritik narasi sejarah filsafat yang terlalu linear dan normatif. Baginya, sejarah ide lebih tepat dibaca sebagai medan konflik kekuasaan yang membentuk wacana dominan.⁴ Ini memperkaya perspektif dalam aliran sejarah filsafat, terutama dalam memandang sejarah sebagai konstruksi, bukan sekadar refleksi objektif.

Dengan mempertimbangkan berbagai pendekatan tersebut, aliran sejarah filsafat membuka ruang refleksi yang luas dan mendalam. Ia memungkinkan pemahaman filosofis yang lebih kontekstual, integratif, dan kritis terhadap warisan intelektual umat manusia. Artikel ini akan mengulas lebih lanjut tentang konsep aliran sejarah filsafat, pendekatan-pendekatan utamanya, tokoh-tokoh berpengaruh, serta kontribusinya terhadap perkembangan studi filsafat kontemporer.


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 3.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), xii–xv.

[3]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 290–297.

[4]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge and the Discourse on Language, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 15–20.


2.           Konsep Dasar Aliran Sejarah Filsafat

Aliran sejarah filsafat merupakan pendekatan filosofis yang menekankan pentingnya pemahaman terhadap gagasan-gagasan filosofis melalui lensa sejarah dan perkembangan temporalnya. Pendekatan ini tidak hanya berfungsi sebagai kajian terhadap teks-teks filsafat terdahulu, melainkan sebagai cara untuk memahami dinamika pemikiran filosofis dalam kaitannya dengan konteks zamannya dan dampaknya terhadap wacana intelektual yang lebih luas. Dalam pengertian ini, aliran sejarah filsafat menempatkan sejarah bukan sebagai latar belakang pasif, melainkan sebagai medium aktif pembentukan makna filosofis.

Secara fundamental, aliran sejarah filsafat berpijak pada asumsi bahwa gagasan tidak lahir dalam ruang hampa. Pemikiran filosofis berkembang sebagai respons terhadap tantangan-tantangan intelektual, sosial, politik, dan religius pada masa tertentu. Oleh karena itu, sejarah filsafat tidak dapat dipisahkan dari weltanschauung (pandangan dunia) suatu era. Paul Ricoeur menegaskan bahwa pemahaman filsafat secara historis mensyaratkan interpretasi yang bersifat hermeneutik, di mana ide-ide besar dipahami dalam jaringan relasi antara teks, konteks, dan horizon pembaca.¹

Konsep ini berbeda dengan pendekatan sistematis atau analitis yang cenderung menyoroti koherensi logis dari suatu sistem filsafat tanpa mengaitkannya dengan konteks historis yang melatarbelakanginya. Dalam aliran sejarah filsafat, sebuah gagasan dipahami secara diakronik, yaitu ditelusuri asal-usul, transformasi, dan pengaruh lanjutannya dalam perjalanan waktu. M.H. Abrams menyebut ini sebagai pendekatan “genealogis”, di mana suatu ide dipahami sebagai entitas yang memiliki silsilah dan evolusi tertentu.² Dengan demikian, aliran ini bertumpu pada prinsip bahwa untuk memahami suatu gagasan secara utuh, seseorang harus memahami asal-muasalnya, pergumulannya dalam sejarah, serta bagaimana ia ditafsirkan kembali dalam konteks baru.

Pendekatan ini juga memungkinkan pembacaan ulang terhadap filsafat sebagai tradisi diskursif, di mana terjadi dialog—dan kadang-kadang konflik—antara tokoh-tokoh dari masa yang berbeda. Sebagai contoh, Aristoteles mengembangkan sistem etikanya dengan merespons teori moral Plato, sementara Thomas Aquinas mengadaptasi filsafat Aristoteles ke dalam kerangka teologi Kristen. Relasi semacam ini hanya dapat dipahami dengan pendekatan sejarah filsafat yang tidak sekadar mengklasifikasi pemikiran, tetapi mengungkap jalinan wacana yang menghubungkan para filsuf lintas zaman.³

Aliran sejarah filsafat juga mengasumsikan bahwa setiap teks filosofis memiliki makna yang kontekstual dan dinamis. Makna tersebut tidak bersifat tetap, melainkan terbuka terhadap reinterpretasi seiring perubahan horizon pembaca dan dinamika historis. Hal ini menjadikan pendekatan sejarah filsafat sebagai pendekatan yang hermeneutik dan reflektif, sebagaimana dikembangkan dalam filsafat kontinental, terutama oleh Gadamer, yang menyatakan bahwa memahami filsafat berarti memasuki suatu dialog yang berlangsung secara historis antara “kita” dan “mereka” yang telah lalu.⁴

Lebih lanjut, aliran sejarah filsafat memberikan kontribusi penting dalam mencegah reduksiisme atau generalisasi dalam memahami pemikiran para filsuf. Dengan membingkai pemikiran tersebut secara historis, pendekatan ini menolak pembacaan anakronistik yang mencabut gagasan dari konteks zamannya. Hal ini penting karena banyak kesalahpahaman terhadap filsafat klasik terjadi ketika pembaca modern mengimposisikan kerangka berpikir kontemporer terhadap teks-teks lama tanpa mempertimbangkan nuansa sejarahnya.⁵

Secara keseluruhan, konsep dasar aliran sejarah filsafat menekankan bahwa filsafat adalah bagian dari dinamika historis umat manusia—ia tidak hanya merespons sejarah, tetapi juga membentuk sejarah. Oleh karena itu, memahami filsafat secara historis bukan hanya berarti mengenang masa lalu, tetapi juga menggali akar-akar pemikiran yang membentuk horizon intelektual kita hari ini.


Footnotes

[1]                Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston, IL: Northwestern University Press, 2007), 144.

[2]                M.H. Abrams, “The Historical Context of Critical Theory,” Critical Inquiry 5, no. 2 (1978): 168–169.

[3]                Anthony Kenny, An Illustrated Brief History of Western Philosophy (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2006), 55–68.

[4]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 290.

[5]                Quentin Skinner, “Meaning and Understanding in the History of Ideas,” History and Theory 8, no. 1 (1969): 3–53.


3.           Pendekatan-Pendekatan Utama dalam Aliran Sejarah Filsafat

Aliran sejarah filsafat tidak bersifat monolitik. Ia terdiri dari beragam pendekatan yang mencerminkan kekayaan metodologis dalam membaca, menafsirkan, dan menuliskan sejarah pemikiran filosofis. Setiap pendekatan membawa asumsi filosofis dan metodologis tersendiri mengenai bagaimana ide-ide berkembang, saling berinteraksi, serta membentuk trajektori filsafat secara keseluruhan. Berikut ini adalah lima pendekatan utama yang berperan dalam perkembangan aliran sejarah filsafat:

3.1.       Pendekatan Kronologis: Menelusuri Jalur Waktu Pemikiran

Pendekatan kronologis menekankan pentingnya urutan temporal dalam memahami perkembangan gagasan filosofis. Dalam pendekatan ini, pemikiran ditata secara linier dari masa ke masa dengan asumsi bahwa setiap fase filsafat merupakan kelanjutan atau reaksi terhadap fase sebelumnya. Pendekatan ini menjadi tulang punggung dari banyak karya sejarah filsafat klasik, termasuk karya Frederick Copleston, yang menyusun sejarah filsafat Barat dari Yunani kuno hingga abad ke-20 secara sistematis dan kronologis.¹

Dengan pendekatan ini, filsafat dilihat sebagai arus besar yang bergerak dari para presokratik menuju filsuf modern, menunjukkan kesinambungan dan evolusi ide. Namun, pendekatan ini sering dikritik karena terlalu menekankan linearitas dan mengabaikan keragaman kontekstual dari masing-masing pemikiran.²

3.2.       Pendekatan Tematik atau Problematik: Fokus pada Isu Filsafat

Alih-alih mengikuti urutan waktu, pendekatan tematik memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan utama dalam filsafat, seperti ontologi, epistemologi, etika, dan politik. Melalui pendekatan ini, pemikiran para filsuf dikaji berdasarkan cara mereka merespons isu tertentu, tanpa terlalu terpaku pada posisi historisnya.

Étienne Gilson, misalnya, menekankan bahwa perkembangan metafisika tidak dapat dipahami hanya dengan menelusuri urutan waktu, melainkan melalui pertanyaan ontologis yang konsisten dari Plato hingga Aquinas.³ Pendekatan ini memudahkan analisis perbandingan antar filsuf lintas zaman yang membahas tema serupa, namun berisiko mengabaikan pengaruh konteks historis secara lebih rinci.

3.3.       Pendekatan Dialektika Historis: Filsafat sebagai Medan Konfrontasi Ide

Pendekatan ini menganggap sejarah filsafat sebagai proses dialektis, di mana ide berkembang melalui ketegangan antara tesis, antitesis, dan sintesis. Tokoh sentral pendekatan ini adalah Georg Wilhelm Friedrich Hegel, yang melihat sejarah sebagai ekspresi dari “roh dunia” (Weltgeist) yang bergerak menuju aktualisasi kebebasan melalui pertarungan ide.⁴

Dalam kerangka ini, filsafat tidak sekadar mencatat sejarah pemikiran, melainkan menjadi bagian dari proses pembentukan kesadaran sejarah itu sendiri. Meski kuat dalam menjelaskan dinamika konflik ide, pendekatan ini sering dituding terlalu spekulatif dan normatif karena cenderung melihat sejarah sebagai teleologis—yaitu bergerak ke arah tujuan tertentu yang telah ditentukan.⁵

3.4.       Pendekatan Kritis-Ideologis: Genealogi dan Dekonstruksi Sejarah

Pendekatan ini berupaya membongkar struktur kekuasaan di balik wacana filsafat yang tampak netral. Michel Foucault merupakan salah satu pelopor pendekatan ini melalui metode genealogi, yang menelusuri sejarah pemikiran untuk menunjukkan bagaimana pengetahuan dan kekuasaan saling membentuk.⁶ Dalam pandangan ini, sejarah filsafat bukanlah catatan objektif dari kemajuan rasional, melainkan medan pertarungan diskursif yang menyembunyikan dominasi ideologis tertentu.

Pendekatan ini memberi kontribusi besar dalam menantang narasi tunggal sejarah filsafat, terutama narasi euro-sentris atau patriarkis. Namun, pendekatan ini juga menuai kritik karena cenderung menekankan dekonstruksi tanpa memberikan kerangka alternatif yang konsisten.⁷

3.5.       Pendekatan Kontekstual dan Hermeneutik: Filsafat sebagai Produk Sosial-Historis

Pendekatan ini memusatkan perhatian pada pentingnya memahami filsafat dalam konteks sosial, budaya, dan bahasanya. Dalam tradisi hermeneutik filosofis, sebagaimana dikembangkan oleh Hans-Georg Gadamer, setiap pemahaman terhadap teks filosofis bersifat historis dan dialogis.⁸ Artinya, pembaca selalu membawa horizon pengertiannya sendiri yang akan berinteraksi dengan horizon historis teks tersebut.

Kontekstualisme filosofis menolak pendekatan anakronistik dan mengajukan bahwa filsafat hanya dapat dimengerti bila ditelusuri dalam jaringan makna yang hidup dalam zamannya. Pendekatan ini juga penting dalam studi lintas budaya, seperti dalam filsafat Islam, India, dan Cina, yang sering diabaikan oleh pendekatan kronologis klasik.


Kesimpulan Sementara

Kelima pendekatan di atas menunjukkan bahwa aliran sejarah filsafat bukan hanya tentang menyusun masa lalu, tetapi juga tentang bagaimana masa lalu ditafsirkan, disusun ulang, dan diberi makna dalam horizon kekinian. Setiap pendekatan membawa perspektif unik—dari yang sistematis hingga kritis, dari yang tematik hingga hermeneutik—yang memperkaya pemahaman kita tentang kontinuitas dan kompleksitas filsafat sebagai tradisi intelektual.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), xii–xv.

[2]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1979), 204–206.

[3]                Étienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 13–15.

[4]                G.W.F. Hegel, Lectures on the History of Philosophy, trans. E.S. Haldane (London: Kegan Paul, 1892), I: 15–17.

[5]                Karl Popper, The Open Society and Its Enemies, Vol. 2: Hegel and Marx (London: Routledge, 1945), 266–268.

[6]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage, 1995), 27–30.

[7]                Nancy Fraser, “Foucault on Modern Power: Empirical Insights and Normative Confusions,” Praxis International 1, no. 3 (1981): 272–287.

[8]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 271–290.


4.           Tokoh-Tokoh Utama dalam Aliran Sejarah Filsafat

Aliran sejarah filsafat berkembang melalui kontribusi para pemikir yang menjadikan sejarah bukan hanya sebagai objek narasi, tetapi sebagai landasan epistemologis dan metodologis dalam memahami filsafat itu sendiri. Para tokoh ini tidak hanya menyusun kronik pemikiran, melainkan juga menafsirkan dan merekonstruksi dinamika ide-ide filosofis secara kritis, kontekstual, dan reflektif. Berikut ini lima tokoh utama yang berperan penting dalam membentuk dan mengembangkan pendekatan historis dalam filsafat:

4.1.       Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770–1831): Dialektika dan Teleologi Sejarah Filsafat

Hegel merupakan tokoh sentral dalam mendefinisikan sejarah filsafat sebagai proses dialektis yang mengarah pada realisasi kebebasan dan kesadaran diri Roh Absolut. Dalam karyanya Lectures on the History of Philosophy, Hegel menyatakan bahwa sejarah filsafat adalah bagian integral dari filsafat itu sendiri, karena ia mencerminkan perkembangan nalar yang terus bergerak menuju bentuk tertingginya.¹ Hegel memandang pemikiran filosofis sebagai hasil dari konflik ide yang bergerak melalui tahap tesis, antitesis, dan sintesis.

Bagi Hegel, sejarah filsafat bukanlah sekadar catatan ide masa lalu, melainkan aktualisasi dari proses rasional universal. Pemikiran ini menandai pergeseran paradigma dari historiografi filosofis deskriptif ke narasi filosofis normatif dan sistematik.² Meski gagasannya banyak dikritik karena bersifat spekulatif dan deterministik, kontribusinya terhadap pemahaman sejarah sebagai bagian tak terpisahkan dari filsafat sangat besar.

4.2.       Étienne Gilson (1884–1978): Historisisme dalam Filsafat Skolastik

Gilson adalah tokoh penting dalam menghidupkan kembali minat terhadap filsafat Abad Pertengahan, khususnya melalui pendekatan historis yang kontekstual. Dalam karya The Spirit of Mediaeval Philosophy, Gilson menunjukkan bahwa filsafat skolastik harus dipahami dalam kerangka teologis dan institusional abad pertengahan, bukan diukur dengan standar rasionalitas modern.³

Gilson menolak pendekatan ahistoris terhadap metafisika dan menyatakan bahwa gagasan filosofis memiliki makna hanya jika dipahami dalam konteks historis, linguistik, dan religiusnya. Ia juga memperingatkan bahaya anakronisme dalam membaca pemikir abad pertengahan.⁴ Pendekatannya menjadi landasan metodologis bagi studi filsafat historis berbasis konteks dan hermeneutika.

4.3.       Frederick Copleston (1907–1994): Sintesis Kronologis dan Analitis dalam Sejarah Filsafat Barat

Copleston dikenal luas melalui karya monumentalnya, A History of Philosophy, yang terdiri atas sembilan jilid dan menjadi referensi utama dalam studi filsafat Barat. Dalam karyanya, ia menggabungkan pendekatan kronologis dengan analisis sistematis terhadap argumen-argumen filosofis.⁵

Berbeda dengan pendekatan normatif Hegelian, Copleston berusaha menjaga netralitas historis tanpa menghilangkan dimensi kritis. Ia tidak hanya menjelaskan pemikiran para filsuf, tetapi juga memperlihatkan relasi ide antar zaman serta keterkaitan antara pemikiran dan kondisi sosial-politik zamannya.⁶ Karya Copleston menjadi model ideal bagi pendekatan sejarah filsafat yang akademis dan terstruktur.

4.4.       Michel Foucault (1926–1984): Genealogi dan Kritik terhadap Narasi Historis Filsafat

Foucault merevolusi studi sejarah filsafat dengan pendekatan genealogi, yaitu cara menelusuri asal-usul ide bukan sebagai evolusi linear, tetapi sebagai proses diskursif yang penuh diskontinuitas dan kekuasaan. Dalam The Archaeology of Knowledge dan Discipline and Punish, ia menunjukkan bagaimana konsep-konsep seperti “rasionalitas”, “subjektivitas”, atau “kebenaran” terbentuk dalam jaringan institusi dan relasi kekuasaan.⁷

Foucault menolak narasi universal sejarah filsafat yang bersifat euro-sentris dan patriarkis, serta membongkar konstruksi ideologis di balik klaim objektivitas sejarah.⁸ Pendekatannya memperluas horizon aliran sejarah filsafat dengan memasukkan dimensi politik dan kritik budaya sebagai bagian dari studi historis filsafat.

4.5.       Hans-Georg Gadamer (1900–2002): Hermeneutika Historis dalam Filsafat

Gadamer, melalui karya magnum opus-nya Truth and Method, menekankan bahwa pemahaman terhadap teks-teks filsafat bersifat dialogis dan historis. Ia mengembangkan gagasan tentang fusion of horizons, yakni pertemuan antara horizon makna dari masa lalu dan pembaca masa kini.⁹

Gadamer melihat sejarah filsafat sebagai percakapan abadi, di mana setiap interpretasi menghidupkan kembali makna teks dalam konteks yang baru. Kontribusinya sangat besar dalam menjadikan hermeneutika sebagai metode utama dalam studi filsafat historis, terutama dalam menjembatani pemikiran klasik dan kontemporer.¹⁰


Kesimpulan Sementara

Kelima tokoh di atas merepresentasikan spektrum pendekatan dalam aliran sejarah filsafat: dari dialektika dan kronologi hingga genealogi dan hermeneutika. Masing-masing memberikan kontribusi signifikan terhadap cara kita memahami sejarah sebagai medan refleksi filosofis yang kompleks, dinamis, dan selalu terbuka terhadap penafsiran ulang.


Footnotes

[1]                G.W.F. Hegel, Lectures on the History of Philosophy, trans. E.S. Haldane (London: Kegan Paul, 1892), I: 15–17.

[2]                Charles Taylor, Hegel and Modern Society (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 45–48.

[3]                Étienne Gilson, The Spirit of Mediaeval Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 12–15.

[4]                Armand A. Maurer, “Étienne Gilson and the History of Philosophy,” The Modern Schoolman 39, no. 1 (1961): 1–15.

[5]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), xii.

[6]                Richard Cross, “Frederick Copleston’s Contribution to the History of Philosophy,” New Blackfriars 85, no. 999 (2004): 426–430.

[7]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge and the Discourse on Language, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon, 1972), 3–20.

[8]                Nancy Fraser, “Foucault on Modern Power: Empirical Insights and Normative Confusions,” Praxis International 1, no. 3 (1981): 273.

[9]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 271–290.

[10]             Jean Grondin, Hans-Georg Gadamer: A Biography, trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 2003), 215–222.


5.           Kritik terhadap Aliran Sejarah Filsafat

Meskipun aliran sejarah filsafat memberikan kontribusi signifikan dalam menggali akar-akar pemikiran dan membentuk horizon reflektif filsafat kontemporer, pendekatan ini tidak luput dari berbagai kritik. Kritik-kritik tersebut berasal dari beragam spektrum filsafat, mulai dari aliran analitik yang menyoroti validitas logis, hingga pendekatan pascamodern yang mempertanyakan klaim-klaim naratif historis. Kritik terhadap aliran ini mencerminkan kompleksitas epistemologis dan metodologis dalam upaya memahami filsafat sebagai tradisi historis.

5.1.       Determinisme Historis: Bahaya Teleologi dalam Penafsiran

Salah satu kritik klasik terhadap pendekatan sejarah filsafat datang dari Karl Popper, yang menolak asumsi deterministik dalam sejarah pemikiran. Popper secara khusus menyoroti pendekatan Hegelian yang melihat sejarah sebagai proses menuju suatu tujuan yang pasti. Menurutnya, pandangan ini merupakan bentuk historisisme, yaitu kepercayaan bahwa sejarah tunduk pada hukum perkembangan yang pasti dan dapat diprediksi.¹ Popper berpendapat bahwa pendekatan semacam ini menutup kemungkinan kebebasan dan kreativitas dalam berpikir filosofis, serta berisiko menjadi alat pembenaran ideologi totaliter.²

Teleologisasi sejarah filsafat juga dikritik karena menyederhanakan kompleksitas historis dengan menyusun narasi linier yang seolah-olah setiap pemikiran pasti mengarah ke bentuk “kematangan” tertentu, sebagaimana diasumsikan dalam banyak narasi Barat-sentris tentang filsafat.³

5.2.       Presentisme dan Anakronisme: Proyeksi Masa Kini ke Masa Lalu

Kritik lain terhadap aliran sejarah filsafat adalah kecenderungannya melakukan presentisme, yakni membaca pemikiran masa lalu dengan kacamata konseptual masa kini. Hal ini sering mengakibatkan anakronisme, di mana ide-ide historis dicabut dari konteks asalnya dan ditafsirkan berdasarkan kerangka nilai dan kategori modern.

Quentin Skinner, dalam kajian sejarah ide-ide politik, menekankan bahwa memahami teks filosofis masa lalu memerlukan rekonstruksi konteks linguistik, intelektual, dan sosialnya.⁴ Ia memperingatkan agar tidak menjadikan filsafat sebagai koleksi proposisi-proposisi abadi yang dilepaskan dari dimensi sejarahnya. Kritik ini mengingatkan bahwa sejarah filsafat bukan sekadar katalog pemikiran, melainkan arsip dari wacana-wacana yang sangat kontekstual.

5.3.       Reduksionisme Historis: Filsafat Tergeser Menjadi Historiografi

Pendekatan historis yang terlalu dominan juga menuai kritik karena berisiko mereduksi filsafat menjadi historiografi semata. Kritik ini banyak muncul dari kalangan filsuf analitik, yang menekankan klarifikasi konsep dan argumentasi logis sebagai jantung filsafat.

Bertrand Russell, misalnya, dalam History of Western Philosophy, menyampaikan bahwa terlalu banyak penekanan pada sejarah dapat membuat filsafat kehilangan peran normatifnya dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar yang melampaui fakta sejarah.⁵ Di mata Russell, sejarah filsafat seharusnya bukan pengganti filsafat itu sendiri, melainkan instrumen untuk mempertajam pemahaman dan kritik terhadap argumen.

5.4.       Masalah Objektivitas dan Narasi Tunggal

Sejumlah pendekatan dalam sejarah filsafat, terutama yang bercorak naratif dan sistematik, sering kali menciptakan narasi tunggal yang bersifat hegemonik. Sejarah filsafat dalam versi ini biasanya menempatkan filsafat Barat sebagai pusat perkembangan rasionalitas manusia, sambil meminggirkan kontribusi tradisi-tradisi lain seperti filsafat Islam, India, atau Tiongkok.⁶

Peter Park mengkritik bagaimana sejarah filsafat modern dikonstruksi secara eksklusif untuk memperkuat identitas intelektual Eropa, yang berdampak pada penghapusan tradisi filsafat non-Barat dari kanon akademik.⁷ Kritik ini mendorong upaya dekolonisasi filsafat dan pembacaan ulang terhadap sejarah dengan lebih inklusif.

5.5.       Fragmentasi dan Dekonstruksi Berlebihan

Sebaliknya, kritik dari arah post-strukturalisme, terutama yang dipengaruhi oleh pemikiran Foucault dan Derrida, menyoroti kecenderungan aliran sejarah filsafat untuk mengkonstruksi kontinuitas semu dalam perkembangan ide. Foucault, melalui metode genealogi, menunjukkan bahwa banyak narasi sejarah filsafat hanya membangun ilusi koherensi, padahal sejatinya dipenuhi oleh diskontinuitas dan konflik wacana.⁸

Namun, pendekatan dekonstruktif ini sendiri tidak lepas dari kritik karena cenderung menolak struktur secara total, hingga berujung pada relativisme yang melemahkan usaha pemaknaan historis yang sistematik. Hal ini menunjukkan adanya ketegangan antara kebutuhan akan struktur historis dan kesadaran akan keberagaman serta kompleksitas wacana.


Kesimpulan Sementara

Berbagai kritik terhadap aliran sejarah filsafat menunjukkan bahwa pendekatan ini, meskipun penting dan produktif, harus dijalankan dengan kesadaran metodologis yang tinggi. Keseimbangan antara narasi historis dan analisis filosofis, antara kontinuitas dan diskontinuitas, serta antara tradisi dan inovasi, menjadi tantangan utama dalam mengembangkan sejarah filsafat yang relevan dan inklusif.


Footnotes

[1]                Karl R. Popper, The Poverty of Historicism (London: Routledge, 2002), 3–5.

[2]                Karl R. Popper, The Open Society and Its Enemies, Vol. 2: Hegel and Marx (London: Routledge, 1945), 266–270.

[3]                Robert C. Solomon, “History and Human Nature in Hegel’s Phenomenology,” Journal of the History of Philosophy 7, no. 4 (1969): 471–482.

[4]                Quentin Skinner, “Meaning and Understanding in the History of Ideas,” History and Theory 8, no. 1 (1969): 3–53.

[5]                Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: George Allen & Unwin, 1946), x.

[6]                Souleymane Bachir Diagne, “What is it to be a philosopher in our world today?” Diogenes 60, no. 1 (2013): 14–20.

[7]                Peter K.J. Park, Africa, Asia, and the History of Philosophy: Racism in the Formation of the Philosophical Canon, 1780–1830 (Albany, NY: SUNY Press, 2013), 1–5.

[8]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge and the Discourse on Language, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon, 1972), 21–30.


6.           Relevansi dan Kontribusi Aliran Sejarah Filsafat dalam Studi Filsafat Kontemporer

Di tengah kompleksitas wacana filsafat kontemporer, aliran sejarah filsafat tetap menunjukkan signifikansi epistemologis dan pedagogis yang tinggi. Pendekatan historis tidak hanya berfungsi sebagai alat bantu untuk memahami warisan intelektual masa lalu, tetapi juga sebagai kerangka kritis untuk menilai dan memperkaya diskursus filosofis masa kini. Dalam lanskap global yang ditandai oleh pluralisme, relativisme, dan krisis makna, aliran sejarah filsafat justru menawarkan stabilitas konseptual melalui pemahaman mendalam terhadap akar-akar pemikiran.

6.1.       Menjembatani Tradisi dan Inovasi dalam Filsafat

Salah satu kontribusi utama dari aliran sejarah filsafat adalah kemampuannya dalam menjembatani tradisi dan inovasi. Dengan menelusuri bagaimana gagasan berkembang dalam lintasan sejarah, pendekatan ini membantu memperlihatkan bahwa pemikiran baru seringkali merupakan reartikulasi atau transformasi dari gagasan yang telah ada sebelumnya. Alasdair MacIntyre, dalam karya After Virtue, menegaskan bahwa pemikiran etis kontemporer tidak dapat dimengerti tanpa pemahaman yang mendalam terhadap sejarah etika, dari Aristoteles hingga Hume.¹

Melalui pendekatan sejarah filsafat, inovasi tidak dipandang sebagai pemutusan total dari masa lalu, melainkan sebagai bagian dari dialog panjang antara zaman dan gagasan. Pemahaman ini menjaga kesinambungan filosofis dan menghindarkan kecenderungan radikal yang dapat menimbulkan pemutusan epistemologis yang tidak produktif.

6.2.       Memperkaya Kajian Interdisipliner dan Lintas Budaya

Dalam era globalisasi dan meningkatnya kesadaran akan pentingnya perspektif lintas budaya, aliran sejarah filsafat berperan penting dalam memperluas horizon pemikiran filosofis. Dengan menempatkan filsafat dalam konteks historis dan budaya yang berbeda, pendekatan ini membuka ruang bagi kajian interdisipliner yang mengaitkan filsafat dengan antropologi, teologi, sejarah, dan ilmu sosial.

Sebagai contoh, kebangkitan studi filsafat Islam klasik dalam kajian akademik Barat tidak dapat dilepaskan dari pendekatan sejarah filsafat yang mengakui bahwa pemikiran seperti Ibn Sina, Al-Farabi, atau Al-Ghazali bukan sekadar warisan teologis, tetapi juga kontributor sah dalam sejarah filsafat universal.² Sejumlah sarjana seperti Peter Adamson bahkan mengusung proyek History of Philosophy Without Any Gaps sebagai bentuk inklusi naratif filosofis non-Barat ke dalam kanon sejarah filsafat global.³

6.3.       Mendorong Refleksi Kritis atas Gagasan-Gagasan Kontemporer

Dengan menyediakan kerangka historis yang komprehensif, aliran sejarah filsafat memungkinkan kritik mendalam terhadap pemikiran kontemporer yang seringkali mengklaim kebaruan atau keunggulan tanpa menyadari akar historisnya. Sebagai contoh, konsep-konsep seperti “identitas,” “subjek,” dan “kebebasan” yang menjadi pusat dalam filsafat postmodern ternyata memiliki jejak panjang yang dapat ditelusuri hingga ke pemikiran Yunani dan skolastik.

Charles Taylor, dalam Sources of the Self, menunjukkan bahwa konsep modern tentang subjektivitas dan otonomi diri hanya dapat dimengerti dalam konteks historis dari tradisi Kristen, humanisme Renaissance, dan Pencerahan.⁴ Dalam konteks ini, aliran sejarah filsafat menyediakan sumber daya kritis untuk mengkaji apakah kebaruan benar-benar merupakan terobosan atau sekadar transformasi dari ide lama dalam wajah baru.

6.4.       Menghidupkan Dialog Filosofis sebagai Proses Historis

Kontribusi lain dari aliran sejarah filsafat adalah revitalisasi filsafat sebagai bentuk percakapan lintas zaman. Seperti yang dikemukakan oleh Hans-Georg Gadamer, pemahaman terhadap teks atau ide tidak bersifat statis, melainkan berkembang melalui dialog antara horizon masa lalu dan masa kini.⁵

Pendekatan ini sangat relevan di tengah fragmentasi diskursus modern, karena membantu menjaga kontinuitas pemikiran dan menghindarkan filsafat dari bahaya relativisme ekstrem. Ia juga memperkuat prinsip hermeneutik bahwa pemahaman adalah proses yang selalu terbuka dan berorientasi pada pemaknaan berkelanjutan.

6.5.       Relevansi dalam Pendidikan Filsafat dan Pengembangan Kurikulum

Dalam ranah pendidikan, aliran sejarah filsafat memberikan kontribusi penting dalam pengembangan kurikulum yang holistik dan historis. Buku-buku sejarah filsafat seperti karya Frederick Copleston, Anthony Kenny, atau Will Durant, tetap menjadi rujukan utama dalam pendidikan filsafat karena berhasil menyajikan perjalanan ide secara naratif, kritis, dan sistematis.

Studi historis memungkinkan siswa untuk memahami filsafat sebagai suatu dinamika, bukan sekadar akumulasi konsep abstrak. Hal ini menumbuhkan apresiasi intelektual dan kepekaan historis dalam memahami relevansi pemikiran masa lalu terhadap tantangan etis, sosial, dan eksistensial di era kini.⁶


Kesimpulan Sementara

Aliran sejarah filsafat membuktikan dirinya bukan sebagai pendekatan usang, melainkan sebagai metode reflektif yang mampu menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan pemikiran. Relevansinya terletak pada kemampuannya dalam menyediakan horizon historis yang kritis, membuka dialog lintas budaya dan tradisi, serta memperkaya filsafat sebagai praksis pembebasan, pemahaman, dan pencarian kebenaran yang berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 1–5.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 4–6.

[3]                Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2015), vii–x.

[4]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 3–4.

[5]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 295–300.

[6]                Anthony Kenny, An Illustrated Brief History of Western Philosophy, 2nd ed. (Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2006), ix–xii.


7.           Kesimpulan

Aliran sejarah filsafat merupakan pendekatan mendalam yang menempatkan filsafat dalam arus dinamika sejarah, budaya, dan wacana lintas zaman. Dengan menjadikan sejarah sebagai medan interpretatif, aliran ini tidak hanya berperan sebagai kerangka naratif atas perkembangan ide, tetapi juga sebagai instrumen epistemologis untuk memahami transformasi pemikiran manusia secara utuh dan kontekstual. Dalam kerangka tersebut, filsafat tidak dipahami sebagai sistem tertutup yang beku, melainkan sebagai percakapan historis yang terbuka terhadap penafsiran baru, reaktualisasi, dan bahkan dekonstruksi.

Dari segi konseptual, aliran ini menekankan bahwa pemikiran filosofis selalu terikat pada konteks historisnya dan tidak dapat dilepaskan dari horizon sosial, linguistik, maupun institusional yang membentuknya.¹ Pendekatan-pendekatan seperti kronologis, tematik, dialektika historis, genealogi kritis, serta hermeneutika kontekstual memberikan spektrum metodologis yang memperkaya pembacaan terhadap sejarah filsafat secara lebih mendalam dan beragam.²

Para tokoh utama dalam aliran ini—seperti Hegel, Gilson, Copleston, Foucault, dan Gadamer—telah menunjukkan bagaimana sejarah dapat dijadikan sebagai medan reflektif, normatif, bahkan subversif dalam menggali makna dan relevansi pemikiran filsafat. Kontribusi mereka menegaskan bahwa sejarah filsafat tidak semata-mata merupakan arsip gagasan, tetapi medan pembentukan dan kontestasi makna yang hidup.³

Walau demikian, aliran ini tidak luput dari kritik. Bahaya teleologisme, presentisme, euro-sentrisme, hingga reduksi filsafat menjadi sekadar historiografi merupakan tantangan serius yang perlu dihadapi dengan kewaspadaan metodologis.⁴ Namun, justru dari kritik-kritik tersebut, pendekatan historis dapat terus dikembangkan secara lebih reflektif dan inklusif, terutama dalam menjawab kebutuhan akan sejarah filsafat yang lintas budaya, antardisiplin, dan terbuka terhadap ragam narasi alternatif.

Dalam konteks filsafat kontemporer, aliran sejarah filsafat tetap memainkan peran penting: menjembatani tradisi dan inovasi, mendorong kritik terhadap konsep-konsep dominan, serta memperluas cakrawala wacana filosofis ke dalam dimensi global dan multikultural.⁵ Dengan membuka kembali percakapan antara masa lalu dan masa kini, pendekatan historis memperkaya pemahaman terhadap makna kemanusiaan, etika, dan rasionalitas dalam dunia yang terus berubah.

Sebagaimana dikemukakan oleh Paul Ricoeur, sejarah bukanlah sekadar “masa lalu yang telah mati,” melainkan “ruang makna” yang terus hidup dalam proses penafsiran.⁶ Dalam semangat inilah, aliran sejarah filsafat harus terus dihidupkan: bukan sebagai museum ide-ide tua, tetapi sebagai laboratorium pemikiran yang dinamis, kritis, dan membebaskan.


Footnotes

[1]                Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston, IL: Northwestern University Press, 2007), 144–146.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), xii–xv; Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge and the Discourse on Language, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon, 1972), 27–30.

[3]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 290–300; Étienne Gilson, The Spirit of Mediaeval Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 12–17.

[4]                Karl R. Popper, The Poverty of Historicism (London: Routledge, 2002), 3–5; Quentin Skinner, “Meaning and Understanding in the History of Ideas,” History and Theory 8, no. 1 (1969): 3–53.

[5]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 1–5; Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2015), vii–x.

[6]                Paul Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 1, trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 87.


Daftar Pustaka

Adamson, P. (2015). Philosophy in the Islamic world: A very short introduction. Oxford University Press.

Copleston, F. (1993). A history of philosophy: Volume 1: Greece and Rome. Image Books.

Diagne, S. B. (2013). What is it to be a philosopher in our world today? Diogenes, 60(1), 14–20. https://doi.org/10.1177/0392192113515494

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.

Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge and the discourse on language (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage.

Fraser, N. (1981). Foucault on modern power: Empirical insights and normative confusions. Praxis International, 1(3), 272–287.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

Gilson, É. (1952). Being and some philosophers. Pontifical Institute of Mediaeval Studies.

Gilson, É. (1991). The spirit of mediaeval philosophy. University of Notre Dame Press.

Grondin, J. (2003). Hans-Georg Gadamer: A biography (J. Weinsheimer, Trans.). Yale University Press.

Hegel, G. W. F. (1892). Lectures on the history of philosophy (E. S. Haldane, Trans.). Kegan Paul.

Kenny, A. (2006). An illustrated brief history of Western philosophy (2nd ed.). Wiley-Blackwell.

MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in moral theory (3rd ed.). University of Notre Dame Press.

Maurer, A. A. (1961). Étienne Gilson and the history of philosophy. The Modern Schoolman, 39(1), 1–15. https://doi.org/10.5840/schoolman196139125

Park, P. K. J. (2013). Africa, Asia, and the history of philosophy: Racism in the formation of the philosophical canon, 1780–1830. State University of New York Press.

Popper, K. R. (1945). The open society and its enemies: Volume 2: Hegel and Marx. Routledge.

Popper, K. R. (2002). The poverty of historicism. Routledge.

Ricoeur, P. (1984). Time and narrative: Volume 1 (K. McLaughlin & D. Pellauer, Trans.). University of Chicago Press.

Ricoeur, P. (2007). From text to action: Essays in hermeneutics II (K. Blamey & J. B. Thompson, Trans.). Northwestern University Press.

Russell, B. (1946). History of Western philosophy. George Allen & Unwin.

Skinner, Q. (1969). Meaning and understanding in the history of ideas. History and Theory, 8(1), 3–53. https://doi.org/10.2307/2504188

Solomon, R. C. (1969). History and human nature in Hegel’s Phenomenology. Journal of the History of Philosophy, 7(4), 471–482. https://doi.org/10.1353/hph.2008.0924

Taylor, C. (1979). Hegel and modern society. Cambridge University Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar