Sabtu, 05 April 2025

Ahmadiyah dalam Sejarah dan Kontroversi

Ahmadiyah dalam Sejarah dan Kontroversi

Tinjauan Historis, Teologis, dan Sosiologis


Alihkan ke: Aliran-Aliran Ilmu Kalam.


Abstrak

Artikel ini mengkaji gerakan Ahmadiyah dari perspektif historis, teologis, dan sosiologis dalam konteks dunia Islam secara umum dan Indonesia secara khusus. Dimulai dari kelahirannya di India Britania akhir abad ke-19 oleh Mirza Ghulam Ahmad, Ahmadiyah menawarkan semangat pembaruan Islam melalui pendekatan rasional, non-kekerasan, dan global. Namun, klaim kenabian pendirinya menimbulkan kontroversi besar yang berujung pada eksklusi keagamaan dari umat Islam arus utama. Perpecahan internal antara Ahmadiyah Qadian dan Lahore memperlihatkan dinamika ideologis yang kompleks dalam tubuh gerakan ini. Di Indonesia, Ahmadiyah menghadapi penerimaan dan penolakan yang berlapis, mulai dari kontribusi intelektual hingga marginalisasi sosial, fatwa keagamaan, dan tindakan diskriminatif. Artikel ini menyoroti bagaimana perdebatan teologis mengenai Ahmadiyah berdampak pada kebijakan negara, serta memperlihatkan dilema antara perlindungan hak asasi manusia dengan tekanan mayoritas. Dengan pendekatan interdisipliner, artikel ini menegaskan pentingnya membangun ruang keberagamaan yang inklusif, adil, dan konstitusional dalam masyarakat pluralistik.

Kata Kunci: Ahmadiyah, kenabian, khatm an-nubuwwah, minoritas agama, kebebasan beragama, hak asasi manusia, Islam Indonesia, konflik teologis, eksklusi sosial, toleransi.


PEMBAHASAN

Tinjauan Historis, Teologis, dan Sosiologis tentang Ahmadiyah


1.           Pendahuluan

Ahmadiyah merupakan salah satu gerakan keagamaan modern dalam Islam yang lahir pada akhir abad ke-19 di wilayah Punjab, India Britania. Didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1889, Ahmadiyah muncul sebagai respons terhadap tantangan kolonialisme, misionaris Kristen, dan kekosongan spiritual di kalangan umat Islam saat itu. Gerakan ini menyatakan dirinya sebagai bentuk kebangkitan Islam (tajdid) melalui pendekatan damai dan rasional terhadap doktrin Islam, serta mengklaim bahwa pendirinya diutus sebagai mujaddid, Al-Masih yang dijanjikan, dan Mahdi.1

Meskipun pada awalnya mendapat dukungan dari sebagian masyarakat Muslim India karena semangat pembaruannya, posisi teologis Mirza Ghulam Ahmad yang mengklaim kenabian meskipun dalam makna non-literal kemudian menimbulkan kontroversi tajam. Hal ini menjadi titik perbedaan utama antara Ahmadiyah dan mayoritas umat Islam yang berpegang pada doktrin khatm an-nubuwwah (penutupan kenabian) setelah Nabi Muhammad Saw.2

Perdebatan teologis tersebut tidak hanya berkembang di wilayah asalnya, tetapi juga meluas ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, tempat Ahmadiyah hadir sejak tahun 1925. Seiring waktu, eksistensi Ahmadiyah di Indonesia memicu perdebatan yang kompleks, menyangkut isu-isu kebebasan beragama, identitas keislaman, toleransi, dan pluralisme. Penolakan terhadap Ahmadiyah oleh sebagian besar ulama dan lembaga keislaman arus utama, serta terjadinya sejumlah tindakan diskriminatif, bahkan kekerasan, terhadap penganut Ahmadiyah menambah kompleksitas wacana ini.3

Dalam konteks kajian keislaman kontemporer, pembahasan mengenai Ahmadiyah menjadi penting tidak hanya karena aspek teologisnya, tetapi juga karena pengaruhnya terhadap dinamika sosial-keagamaan dan wacana hak asasi manusia. Kajian ini pun menjadi relevan untuk memahami bagaimana umat Islam merespons perbedaan intra-agama dan bagaimana negara bersikap terhadap kelompok minoritas agama.

Artikel ini berupaya memberikan tinjauan historis, teologis, dan sosiologis terhadap gerakan Ahmadiyah secara objektif dan ilmiah. Pendekatan yang digunakan bersifat deskriptif-analitis berdasarkan sumber-sumber akademik yang kredibel, guna membantu pembaca memahami akar masalah, perkembangan pemikiran, serta dampak sosial yang ditimbulkan dari eksistensi dan kontroversi seputar Ahmadiyah.


Footnotes

[1]                Yohanan Friedmann, Prophecy Continuous: Aspects of Ahmadi Religious Thought and Its Medieval Background (New Delhi: Oxford University Press, 2003), 1–5.

[2]                Ali Usman Qasmi, The Ahmadis and the Politics of Religious Exclusion in Pakistan (London: Anthem Press, 2014), 37–40.

[3]                Noorhaidi Hasan, “Faith and Politics: The Rise of the Laskar Jihad in the Era of Transition in Indonesia,” Indonesia no. 73 (2002): 159–187; dan Ismatu Ropi, Religion and Regulation in Indonesia: Balancing Freedom and Restriction (Singapore: Palgrave Macmillan, 2017), 89–92.


2.           Sejarah Lahirnya Ahmadiyah

Kemunculan Ahmadiyah tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial, politik, dan keagamaan di India Britania pada akhir abad ke-19. Masa ini ditandai oleh kolonialisme Inggris yang menimbulkan krisis identitas di kalangan umat Islam. Ketika umat Islam mengalami kemunduran politik, ekonomi, dan budaya, berbagai gerakan kebangkitan Islam muncul sebagai bentuk respons terhadap tantangan modernitas dan penjajahan. Salah satu gerakan yang lahir dari kondisi tersebut adalah Jemaat Ahmadiyah, yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835–1908) di Qadian, sebuah kota kecil di Punjab.1

Mirza Ghulam Ahmad tumbuh dalam keluarga yang secara ekonomi cukup terpandang, meskipun secara politik sudah tidak lagi berpengaruh. Ia dikenal sebagai pribadi yang taat beragama dan sangat mendalami literatur Islam klasik, termasuk tafsir, hadis, dan tasawuf.2 Sekitar tahun 1880, ia mulai dikenal luas setelah menerbitkan karya monumentalnya, Barahin-e-Ahmadiyya, yang dimaksudkan sebagai pembelaan terhadap Islam dalam menghadapi tantangan dari misionaris Kristen dan gerakan Hindu reformis seperti Arya Samaj.3

Puncak dari dakwah dan pemikiran Mirza Ghulam Ahmad terjadi pada tahun 1889, ketika ia secara resmi mendirikan Jemaat Ahmadiyah dan mengklaim diri sebagai mujaddid (pembaharu agama) dan mahdi (imam yang ditunggu kedatangannya di akhir zaman).4 Tidak hanya itu, pada tahun-tahun berikutnya, ia menyatakan diri sebagai Al-Masih al-Maud (Mesias yang dijanjikan), bahkan menyebut dirinya sebagai nabi dalam pengertian tertentu, yang menurutnya tidak bertentangan dengan finalitas kenabian Muhammad saw., karena kenabiannya bersifat non-legislatif dan berada dalam bayang-bayang kenabian Muhammad.5

Klaim ini menimbulkan kontroversi besar di kalangan umat Islam. Banyak ulama pada masa itu, baik dari India maupun luar India, menolak keras klaim kenabian tersebut dan menganggap Ahmadiyah sebagai aliran yang menyimpang. Namun demikian, gerakan ini tetap berkembang pesat, membentuk sistem organisasi yang rapi, menerbitkan literatur dalam berbagai bahasa, serta mengirim misionaris ke berbagai negara.6

Ahmadiyah tumbuh bukan hanya sebagai gerakan spiritual, tetapi juga sebagai proyek reformasi sosial dan moral. Mereka menekankan pentingnya akhlak, rasionalitas, antikekerasan, dan keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan. Dalam waktu singkat, gerakan ini mendapatkan pengikut dari berbagai wilayah di India dan bahkan luar negeri. Namun, seiring dengan pertumbuhan itu, resistensi dari umat Islam arus utama juga makin menguat.7

Dengan demikian, sejarah lahirnya Ahmadiyah merupakan bagian integral dari dinamika modernisme Islam di Asia Selatan. Ia hadir sebagai upaya merekonstruksi identitas Islam dalam dunia kolonial, namun pada saat yang sama menimbulkan perdebatan teologis yang terus bergulir hingga hari ini.


Footnotes

[1]                Yohanan Friedmann, Prophecy Continuous: Aspects of Ahmadi Religious Thought and Its Medieval Background (New Delhi: Oxford University Press, 2003), 1–3.

[2]                Simon Ross Valentine, Islam and the Ahmadiyya Jama'at: History, Belief, Practice (London: Columbia University Press, 2008), 15–17.

[3]                Adil Hussain Khan, From Sufism to Ahmadiyya: A Muslim Minority Movement in South Asia (Bloomington: Indiana University Press, 2015), 33–35.

[4]                Ali Usman Qasmi, The Ahmadis and the Politics of Religious Exclusion in Pakistan (London: Anthem Press, 2014), 27–30.

[5]                Valentine, Islam and the Ahmadiyya Jama’at, 55–60.

[6]                Friedmann, Prophecy Continuous, 6–8.

[7]                Ishtiaq Ahmed, “The Politics of Religion in South and Southeast Asia,” Journal of Islamic Studies 20, no. 2 (2009): 185–190.


3.           Ajaran Pokok Ahmadiyah

Ajaran Ahmadiyah secara umum mengacu pada prinsip-prinsip Islam sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an dan hadis, namun terdapat sejumlah penafsiran yang berbeda secara signifikan dari arus utama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Perbedaan-perbedaan inilah yang menjadi sumber utama kontroversi teologis antara Jemaat Ahmadiyah dan mayoritas umat Islam.

3.1.       Kenabian dan Khatm an-Nubuwwah

Pokok ajaran yang paling kontroversial dalam Ahmadiyah adalah klaim kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Dalam doktrin resmi Jemaat Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad diyakini sebagai nabi non-syar‘i (bukan pembawa syariat), yang diutus dalam rangka pembaruan iman dan moral umat Islam di akhir zaman.1 Meskipun ia tidak membawa hukum atau syariat baru, pengakuannya sebagai nabi dipandang oleh banyak ulama sebagai pelanggaran terhadap konsep khatm an-nubuwwah (penutupan kenabian) oleh Nabi Muhammad Saw.2

Namun, Ahmadiyah memiliki pemahaman berbeda mengenai khatm an-nubuwwah. Mereka menafsirkan bahwa penutupan kenabian tidak berarti berhentinya segala bentuk kenabian, tetapi berhentinya kenabian independen yang membawa syariat baru. Dengan demikian, kenabian Mirza Ghulam Ahmad diklaim tidak bertentangan dengan kenabian Muhammad saw., karena ia dianggap sebagai zilli nabi (nabi bayangan) atau ummati nabi (nabi dari umat Muhammad).3

3.2.       Al-Masih dan Al-Mahdi

Ahmadiyah juga meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Al-Masih al-Maud (Mesias yang dijanjikan) dan Imam Mahdi yang kedatangannya telah dinubuatkan dalam banyak hadis. Mereka menolak keyakinan tradisional tentang kembalinya Isa bin Maryam secara fisik menjelang kiamat, dan menyatakan bahwa figur Al-Masih yang dimaksud adalah simbolik—yakni terwujud dalam pribadi Mirza Ghulam Ahmad.4

Pemahaman ini ditolak oleh mayoritas ulama karena bertentangan dengan hadis-hadis populer mengenai turunnya Nabi Isa secara jasmani di akhir zaman. Oleh sebab itu, keyakinan ini semakin mempertegas perbedaan ajaran Ahmadiyah dari Islam arus utama.5

3.3.       Wahyu dan Ilham

Ahmadiyah meyakini bahwa wahyu ilahi masih terus berlanjut kepada hamba-hamba pilihan Allah, termasuk kepada Mirza Ghulam Ahmad, meskipun dalam bentuk yang tidak mengandung syariat baru. Menurut mereka, wahyu seperti ini merupakan bentuk komunikasi spiritual yang dimungkinkan dalam Islam, dan tidak sama dengan wahyu kenabian yang mengandung hukum.6

Ajaran ini menimbulkan keprihatinan di kalangan umat Islam, karena khawatir membuka peluang munculnya nabi-nabi palsu. Namun Ahmadiyah tetap menegaskan bahwa seluruh ajarannya berlandaskan Al-Qur'an dan tidak mengingkari keesaan Allah maupun kerasulan Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir dalam makna membawa syariat baru.7

3.4.       Jihad dan Toleransi

Ahmadiyah memiliki pandangan damai dan non-kekerasan terhadap konsep jihad. Mereka menafsirkan jihad secara spiritual dan moral, bukan bersenjata. Dalam konteks kolonialisme Inggris di India, Mirza Ghulam Ahmad menolak bentuk jihad fisik, dan mengarahkan umatnya untuk melakukan jihad melalui ilmu, dakwah, dan pembenahan akhlak.8

Selain itu, Ahmadiyah juga dikenal sebagai gerakan yang mendukung toleransi antaragama dan menekankan pentingnya kerukunan umat manusia. Hal ini ditunjukkan melalui aktivitas misi mereka yang mencakup penerbitan literatur Islam dalam berbagai bahasa serta keterlibatan dalam dialog antaragama.9


Footnotes

[1]                Yohanan Friedmann, Prophecy Continuous: Aspects of Ahmadi Religious Thought and Its Medieval Background (New Delhi: Oxford University Press, 2003), 8–12.

[2]                Ali Usman Qasmi, The Ahmadis and the Politics of Religious Exclusion in Pakistan (London: Anthem Press, 2014), 43–46.

[3]                Simon Ross Valentine, Islam and the Ahmadiyya Jama'at: History, Belief, Practice (London: Columbia University Press, 2008), 58–60.

[4]                Adil Hussain Khan, From Sufism to Ahmadiyya: A Muslim Minority Movement in South Asia (Bloomington: Indiana University Press, 2015), 70–72.

[5]                Irfan Ahmad, “State, Faith, and Fear: Muslims and Christians in South Asia,” South Asia Research 29, no. 1 (2009): 1–28.

[6]                Friedmann, Prophecy Continuous, 14–17.

[7]                Valentine, Islam and the Ahmadiyya Jama’at, 88–90.

[8]                Qasmi, The Ahmadis and the Politics of Religious Exclusion, 51–53.

[9]                Khan, From Sufism to Ahmadiyya, 93–95.


4.           Perpecahan Internal: Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore

Perpecahan internal dalam tubuh Ahmadiyah terjadi tak lama setelah wafatnya pendiri gerakan ini, Mirza Ghulam Ahmad, pada tahun 1908. Semula, Jemaat Ahmadiyah tetap utuh di bawah kepemimpinan Maulana Hakeem Noor-ud-Din, yang menjabat sebagai khalifah pertama. Namun, setelah wafatnya Noor-ud-Din pada tahun 1914, perbedaan pandangan di kalangan elit Ahmadiyah mengenai interpretasi ajaran Ghulam Ahmad dan bentuk kepemimpinan yang ideal mulai mencuat secara tajam.1

Perpecahan ini memunculkan dua kelompok utama dalam Ahmadiyah: Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore. Ahmadiyah Qadian, yang tetap bermarkas di Qadian (India), dipimpin oleh Mirza Bashir-ud-Din Mahmud Ahmad, putra dari Mirza Ghulam Ahmad, dan mengukuhkan sistem khilafah (kepemimpinan sentral). Di sisi lain, kelompok yang menolak pengangkatan Bashir-ud-Din membentuk Ahmadiyah Lahore, yang lebih menekankan kepemimpinan kolektif (anjuman) dan pendekatan rasionalis terhadap ajaran Mirza Ghulam Ahmad.2

4.1.       Perbedaan Ideologi tentang Kenabian

Perbedaan paling signifikan antara kedua kelompok ini terletak pada penafsiran status kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Ahmadiyah Qadian meyakini bahwa Ghulam Ahmad adalah seorang nabi dalam arti spiritual, meskipun tidak membawa syariat baru dan kenabiannya berada dalam subordinasi mutlak terhadap kenabian Muhammad saw. Mereka menyebutnya sebagai zilli nabi (nabi bayangan).3

Sebaliknya, Ahmadiyah Lahore secara eksplisit menolak penggunaan istilah nabi untuk Ghulam Ahmad. Mereka menganggapnya sebagai mujaddid, wali, atau pembaharu, bukan nabi dalam pengertian apa pun. Menurut kelompok ini, mengakui kenabian pasca-Muhammad bertentangan dengan doktrin khatm an-nubuwwah.4 Oleh karena itu, mereka lebih diterima dalam forum-forum internasional Islam karena posisi teologisnya yang lebih dekat dengan arus utama.

4.2.       Pandangan terhadap Umat Islam Lain

Perbedaan lain muncul dalam hal sikap terhadap umat Islam di luar Ahmadiyah. Ahmadiyah Qadian secara doktrinal menyatakan bahwa hanya pengikut Mirza Ghulam Ahmad yang tergolong sebagai Muslim sejati, sedangkan Muslim lain dianggap belum menerima kebenaran Mesias yang dijanjikan.5

Sementara itu, Ahmadiyah Lahore bersikap lebih inklusif, dan menganggap semua umat Islam yang mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai bagian dari umat Islam, terlepas dari apakah mereka menerima Ghulam Ahmad atau tidak.6 Perbedaan sikap ini berdampak besar terhadap penerimaan sosial dan legal masing-masing kelompok di berbagai negara Muslim.

4.3.       Strategi Dakwah dan Hubungan dengan Dunia Islam

Ahmadiyah Qadian tetap mempertahankan struktur kepemimpinan yang hierarkis dan mengembangkan jaringan misi internasional yang luas. Mereka memiliki pusat global di Rabwah (Pakistan) dan kemudian berpindah ke London setelah pengasingan khalifah keempat akibat tekanan politik di Pakistan.7

Di sisi lain, Ahmadiyah Lahore lebih fokus pada pendekatan intelektual dan apologetik dalam dakwahnya. Mereka menerbitkan banyak karya berbahasa Inggris dan melakukan pendekatan melalui kajian rasional atas ajaran Islam, yang kemudian berpengaruh dalam komunitas akademik di Barat.8

Perpecahan ini bukan sekadar konflik internal biasa, tetapi telah membentuk dua identitas teologis dan strategis yang berbeda dalam tubuh gerakan Ahmadiyah. Meski berasal dari akar yang sama, kedua cabang ini berkembang dengan orientasi, struktur, dan penerimaan yang berbeda di mata umat Islam global.


Footnotes

[1]                Yohanan Friedmann, Prophecy Continuous: Aspects of Ahmadi Religious Thought and Its Medieval Background (New Delhi: Oxford University Press, 2003), 20–23.

[2]                Simon Ross Valentine, Islam and the Ahmadiyya Jama'at: History, Belief, Practice (London: Columbia University Press, 2008), 75–78.

[3]                Ali Usman Qasmi, The Ahmadis and the Politics of Religious Exclusion in Pakistan (London: Anthem Press, 2014), 49–52.

[4]                Adil Hussain Khan, From Sufism to Ahmadiyya: A Muslim Minority Movement in South Asia (Bloomington: Indiana University Press, 2015), 82–85.

[5]                Valentine, Islam and the Ahmadiyya Jama’at, 90.

[6]                Khan, From Sufism to Ahmadiyya, 86.

[7]                Qasmi, The Ahmadis and the Politics of Religious Exclusion, 63–64.

[8]                Friedmann, Prophecy Continuous, 26–28.


5.           Sikap Dunia Islam terhadap Ahmadiyah

Sejak awal kemunculannya, gerakan Ahmadiyah telah menimbulkan kontroversi yang luas di kalangan umat Islam global. Perbedaan teologis yang mendasar, terutama terkait dengan doktrin kenabian dan penafsiran terhadap konsep khatm an-nubuwwah, membuat mayoritas lembaga dan otoritas keagamaan di dunia Islam memandang Ahmadiyah sebagai aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang ortodoks.

5.1.       Pandangan Ulama dan Lembaga Keagamaan

Salah satu lembaga paling awal yang secara tegas menolak Ahmadiyah adalah Darul Uloom Deoband di India, yang mengeluarkan fatwa bahwa pengikut Ahmadiyah bukanlah Muslim karena mengakui adanya nabi setelah Muhammad Saw.1 Penolakan ini kemudian diikuti oleh berbagai lembaga Islam terkemuka lainnya. Universitas Al-Azhar di Mesir, sebagai otoritas keagamaan berpengaruh di dunia Sunni, juga menyatakan bahwa keyakinan Ahmadiyah bertentangan dengan prinsip dasar Islam.2

Lebih lanjut, Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam resolusi tahun 1974 secara resmi mengeluarkan Ahmadiyah dari lingkup umat Islam. Dalam forum tersebut, Pakistan mengusulkan dan berhasil menggolkan resolusi yang menyatakan bahwa Ahmadiyah bukan bagian dari umat Islam, dan keputusan itu disepakati oleh mayoritas negara anggota OKI.3

5.2.       Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan beberapa fatwa yang menyatakan bahwa Ahmadiyah menyimpang dari ajaran Islam. Fatwa pertama dikeluarkan pada tahun 1980 dan diperkuat kembali pada tahun 2005. MUI menegaskan bahwa ajaran Ahmadiyah, khususnya yang mengakui kenabian Mirza Ghulam Ahmad, bertentangan dengan akidah Islam dan umat Islam diimbau untuk tidak mengikuti ajarannya.4

Fatwa ini menjadi salah satu rujukan bagi pemerintah Indonesia dalam merespons eksistensi Ahmadiyah, meskipun pemerintah juga berkewajiban menjamin kebebasan beragama sesuai amanat konstitusi. Ketegangan antara posisi keagamaan dan perlindungan hukum terhadap hak minoritas inilah yang menciptakan dilema kebijakan yang berkelanjutan.5

5.3.       Tindakan Negara-Negara Muslim

Beberapa negara mayoritas Muslim telah mengambil kebijakan hukum terhadap Ahmadiyah. Di Pakistan, misalnya, konstitusi tahun 1974 secara resmi menyatakan bahwa Ahmadiyah bukan bagian dari Islam, dan undang-undang selanjutnya bahkan melarang mereka menggunakan simbol-simbol keislaman seperti menyebut masjid, mengumandangkan azan, atau memberi salam Islami.6

Di Arab Saudi, pengikut Ahmadiyah dilarang masuk untuk melaksanakan ibadah haji karena dianggap bukan Muslim. Sementara itu, di negara-negara seperti Malaysia dan Brunei, Ahmadiyah dilarang menyebarkan ajarannya kepada umat Islam, meskipun keberadaannya sebagai komunitas minoritas tetap diakui secara terbatas.7

5.4.       Respons dari Kalangan Muslim Progresif

Meskipun dominasi penolakan terhadap Ahmadiyah cukup kuat, ada pula sebagian kalangan Muslim yang menyerukan pendekatan yang lebih inklusif dan menekankan pentingnya perlindungan terhadap kebebasan beragama. Beberapa organisasi HAM Muslim dan akademisi Muslim progresif menilai bahwa status keislaman seseorang tidak bisa semata-mata ditentukan oleh perbedaan tafsir teologis.8

Pendekatan ini menekankan bahwa meskipun ada perbedaan mendalam dalam pemahaman agama, penolakan terhadap kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok seperti Ahmadiyah harus dijadikan prinsip utama dalam masyarakat majemuk. Pandangan ini, meskipun minoritas, mulai mendapat tempat dalam diskursus modern tentang kebebasan beragama dan hak asasi manusia di dunia Islam.


Footnotes

[1]                Yohanan Friedmann, Prophecy Continuous: Aspects of Ahmadi Religious Thought and Its Medieval Background (New Delhi: Oxford University Press, 2003), 50–52.

[2]                Adil Hussain Khan, From Sufism to Ahmadiyya: A Muslim Minority Movement in South Asia (Bloomington: Indiana University Press, 2015), 98.

[3]                Ali Usman Qasmi, The Ahmadis and the Politics of Religious Exclusion in Pakistan (London: Anthem Press, 2014), 61–62.

[4]                Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975 (Jakarta: Erlangga, 2011), 65–68.

[5]                Ismatu Ropi, Religion and Regulation in Indonesia: Balancing Freedom and Restriction (Singapore: Palgrave Macmillan, 2017), 90–92.

[6]                Qasmi, The Ahmadis and the Politics of Religious Exclusion, 72–74.

[7]                Valentine, Islam and the Ahmadiyya Jama’at, 105–108.

[8]                Irfan Ahmad, “Genealogy of the Islamic State: Reflections on Maududi's Political Thought and Islamism,” Journal of the Royal Anthropological Institute 15, no. s1 (2009): S145–S162.


6.           Ahmadiyah di Indonesia

Kehadiran Ahmadiyah di Indonesia merupakan bagian dari dinamika sejarah dakwah Islam modern yang berlangsung sejak awal abad ke-20. Meskipun berasal dari India Britania, gerakan ini berhasil menanamkan pengaruhnya di Nusantara melalui strategi misi, jaringan keulamaan, dan literatur keislaman yang bersifat apologetik terhadap serangan ideologis Barat dan misionaris Kristen.

6.1.       Sejarah Masuk dan Perkembangan Awal

Ahmadiyah masuk ke Indonesia pada tahun 1925 melalui utusan resminya dari Qadian, Maulana Rahmat Ali, yang pertama kali berdakwah di Tapaktuan, Aceh. Pada tahun-tahun berikutnya, pusat aktivitas Ahmadiyah berpindah dan berkembang pesat di Yogyakarta, Jakarta, dan Tasikmalaya, serta wilayah-wilayah lainnya.1 Organisasi ini secara resmi terdaftar dengan nama Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan menjadi bagian dari cabang global Jemaat Ahmadiyah Qadian.

Di Indonesia juga hadir Ahmadiyah Lahore, yang menyebar terutama melalui kaum intelektual dan tokoh modernis Islam. Ahmadiyah Lahore relatif lebih diterima di kalangan umat Islam karena tidak mengakui kenabian Mirza Ghulam Ahmad secara eksplisit, melainkan hanya sebagai mujaddid. Salah satu tokoh penting Ahmadiyah Lahore di Indonesia adalah H.O.S. Tjokroaminoto, yang pernah menerbitkan tulisan-tulisan terkait Ahmadiyah dalam majalah Islam Raja dan Het Licht.2

6.2.       Peran Intelektual dan Dakwah

Pada masa awal kemerdekaan hingga dekade 1970-an, Ahmadiyah turut berkontribusi dalam pembangunan intelektual Islam di Indonesia. Mereka aktif menerbitkan buku, majalah dakwah seperti Sinar Islam, serta mendirikan lembaga pendidikan dan tempat ibadah. Salah satu kontribusi intelektual penting adalah terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Indonesia yang dilakukan oleh tokoh Ahmadiyah, yang saat itu masih langka di kalangan Muslim Indonesia.3

Ahmadiyah juga dikenal karena pendekatannya yang rasional terhadap Islam, serta konsistensinya dalam menentang kekerasan atas nama agama. Hal ini menyebabkan sebagian kalangan modernis dan akademik melihat Ahmadiyah sebagai salah satu pelopor pembaruan pemikiran Islam di Indonesia.4

6.3.       Penolakan dan Kontroversi Sosial

Namun, seiring dengan menguatnya konservatisme dan eksklusivisme keagamaan sejak akhir 1990-an, keberadaan Ahmadiyah mulai menuai penolakan keras. Puncak kontroversi terjadi setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pada tahun 2005 yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat dan menyesatkan karena meyakini adanya nabi setelah Nabi Muhammad Saw.5

Fatwa ini memicu berbagai aksi penolakan dan kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah, termasuk pembakaran masjid, pengusiran warga, dan pelarangan aktivitas dakwah. Kasus paling mencolok adalah tragedi Cikeusik tahun 2011, di mana tiga anggota Ahmadiyah dibunuh secara brutal oleh sekelompok massa intoleran.6

Pemerintah Indonesia merespons dengan menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tahun 2008 yang membatasi aktivitas Ahmadiyah, namun tidak secara eksplisit melarang keberadaannya. Keputusan ini menuai kritik dari kelompok hak asasi manusia karena dinilai melanggar kebebasan beragama yang dijamin oleh UUD 1945.7

6.4.       Posisi Hukum dan Hak Konstitusional

Meskipun mengalami tekanan dari berbagai pihak, keberadaan Ahmadiyah secara hukum tetap dijamin oleh konstitusi Indonesia, khususnya Pasal 28E dan 29 UUD 1945 yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Komnas HAM, Wahid Foundation, dan berbagai organisasi sipil telah berulang kali menyerukan penghentian kekerasan terhadap Ahmadiyah dan menuntut negara agar bersikap netral serta menjamin perlindungan hak minoritas.8

Di tengah situasi yang dilematis antara fatwa keagamaan dan konstitusi negara, Ahmadiyah di Indonesia tetap bertahan sebagai komunitas keagamaan minoritas yang gigih mempertahankan hak hidup, beragama, dan bermasyarakat secara damai. Keberadaan mereka menjadi ujian nyata bagi praktik toleransi dan demokrasi dalam kehidupan berbangsa di Indonesia.


Footnotes

[1]                Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942 (Jakarta: LP3ES, 1996), 245–247.

[2]                Adil Hussain Khan, From Sufism to Ahmadiyya: A Muslim Minority Movement in South Asia (Bloomington: Indiana University Press, 2015), 101–103.

[3]                Ismatu Ropi, Religion and Regulation in Indonesia: Balancing Freedom and Restriction (Singapore: Palgrave Macmillan, 2017), 87–88.

[4]                Howard M. Federspiel, Islam and Ideology in the Emerging Indonesian State: The Persatuan Islam (Persis), 1923–1957 (Leiden: Brill, 2001), 110.

[5]                Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975 (Jakarta: Erlangga, 2011), 65–67.

[6]                Human Rights Watch, In Religion’s Name: Abuses against Religious Minorities in Indonesia (New York: HRW, 2013), 34–37.

[7]                Ropi, Religion and Regulation in Indonesia, 92–93.

[8]                Komnas HAM, Laporan Tahunan 2012 (Jakarta: Komnas HAM, 2012), 58–60.


7.           Perspektif Sosiologis dan Hak Asasi Manusia

Dalam konteks studi sosiologi agama dan hak asasi manusia (HAM), keberadaan Jemaat Ahmadiyah menawarkan potret penting tentang dinamika konflik antara identitas keagamaan mayoritas, kelompok minoritas, dan negara. Ahmadiyah sering dijadikan objek marginalisasi sosial oleh masyarakat yang mendasarkan identitas kolektifnya pada pemahaman keislaman arus utama, sekaligus menghadapi dilema perlindungan dari negara yang terikat oleh prinsip-prinsip konstitusional tentang kebebasan beragama.

7.1.       Marginalisasi Sosial dan Stigma Keagamaan

Secara sosiologis, Ahmadiyah kerap mengalami proses stigmatisasi sebagai “bukan Muslim” oleh mayoritas umat Islam, terutama karena perbedaan dalam memahami konsep kenabian dan keislaman. Stigma ini tidak hanya dibentuk oleh diskursus teologis, tetapi juga diperkuat oleh fatwa-fatwa resmi lembaga keagamaan dan tekanan kelompok-kelompok keislaman konservatif.1

Labeling dan marginalisasi tersebut menyebabkan terjadinya eksklusi sosial, di mana komunitas Ahmadiyah seringkali diposisikan sebagai “yang lain” dalam konstruksi identitas Islam di Indonesia. Dalam banyak kasus, stigma ini berkembang menjadi diskriminasi aktif dalam bentuk pembatasan aktivitas ibadah, pengucilan sosial, hingga kekerasan massa.2

7.2.       Negara, Agama, dan Dilema Netralitas

Dari perspektif hubungan negara dan agama, kasus Ahmadiyah menunjukkan bahwa negara tidak selalu netral dalam menjamin hak warganya. Meskipun konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, namun dalam praktiknya, negara kerap terjebak dalam politik akomodasi terhadap mayoritas keagamaan, terutama setelah keluarnya fatwa MUI dan desakan dari kelompok Islamis.3

SKB Tiga Menteri tahun 2008 yang membatasi kegiatan Ahmadiyah menunjukkan bahwa negara berupaya melakukan kompromi antara tekanan kelompok keagamaan dan prinsip hak asasi manusia, namun hasilnya justru mengaburkan posisi hukum dan membuka ruang bagi pelanggaran HAM terhadap kelompok minoritas.4

Ismatu Ropi mencatat bahwa regulasi semacam ini mencerminkan pola “simbolisme religius negara”, di mana pemerintah menunjukkan sikap keberpihakan terhadap tafsir mayoritas untuk menjaga stabilitas sosial, walaupun dengan mengorbankan hak-hak kelompok tertentu.5

7.3.       Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama

Menurut kerangka hukum internasional seperti Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), kebebasan beragama mencakup hak untuk memiliki, mempraktikkan, menyebarkan, dan mengubah keyakinan seseorang tanpa intimidasi atau kekerasan. Dalam konteks ini, tindakan diskriminatif terhadap Ahmadiyah di berbagai negara, termasuk pelarangan simbol, larangan dakwah, hingga kekerasan fisik, merupakan pelanggaran terhadap standar HAM internasional.6

Indonesia sendiri telah meratifikasi ICCPR melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, yang secara hukum mengikat pemerintah untuk melindungi kebebasan beragama. Oleh karena itu, pembatasan terhadap Ahmadiyah yang tidak didasarkan pada bukti pelanggaran hukum pidana harus dipandang sebagai bentuk pelanggaran hak sipil.7

7.4.       Tantangan Pluralisme dan Jalan Menuju Rekonsiliasi

Ahmadiyah menjadi ujian penting bagi komitmen Indonesia terhadap pluralisme keagamaan. Konflik antara kebebasan beragama dan eksklusivisme teologis mayoritas tidak bisa diselesaikan hanya melalui regulasi formal, melainkan membutuhkan pendekatan dialogis dan pendidikan toleransi di tingkat masyarakat akar rumput.8

Langkah-langkah seperti kampanye edukasi tentang kebebasan beragama, pelibatan tokoh lintas iman, serta reformasi dalam pengawasan ormas keagamaan ekstrem menjadi penting untuk menciptakan iklim keberagamaan yang inklusif. Dalam hal ini, Ahmadiyah tidak semata-mata sebagai objek studi, tetapi sebagai indikator penting sejauh mana negara dan masyarakat bersedia menghargai keragaman sebagai kekuatan, bukan ancaman.


Footnotes

[1]                Rumadi Ahmad, “Fatwa, Minoritas Keagamaan, dan Ruang Publik Islam di Indonesia,” Studia Islamika 19, no. 3 (2012): 403–431.

[2]                Ismatu Ropi, Religion and Regulation in Indonesia: Balancing Freedom and Restriction (Singapore: Palgrave Macmillan, 2017), 89–92.

[3]                Robert W. Hefner, Shari'a Politics: Islamic Law and Society in the Modern World (Bloomington: Indiana University Press, 2011), 179–182.

[4]                Human Rights Watch, In Religion’s Name: Abuses against Religious Minorities in Indonesia (New York: HRW, 2013), 12–15.

[5]                Ropi, Religion and Regulation in Indonesia, 95.

[6]                United Nations, Universal Declaration of Human Rights (New York: UN, 1948), Article 18; dan International Covenant on Civil and Political Rights, Article 18.

[7]                Komnas HAM, Laporan Tahunan 2012 (Jakarta: Komnas HAM, 2012), 63–66.

[8]                Wahid Foundation, Mapping Intolerance and Religious Freedom in Indonesia (Jakarta: Wahid Institute, 2016), 42–45.


8.           Penutup

Studi mengenai Ahmadiyah dalam konteks sejarah, teologi, dan sosiologi memperlihatkan betapa kompleksnya interaksi antara agama, identitas, kekuasaan, dan hak asasi manusia. Sebagai sebuah gerakan Islam modern yang lahir di tengah guncangan kolonialisme dan kebangkitan pemikiran keagamaan pada akhir abad ke-19, Ahmadiyah telah membangun tradisi intelektual, dakwah, dan organisasi yang kuat, sembari memunculkan perbedaan teologis yang mendasar dengan arus utama Islam—khususnya terkait dengan isu kenabian dan status Mirza Ghulam Ahmad.1

Di banyak negara Muslim, termasuk Indonesia, keberadaan Ahmadiyah tidak sekadar menjadi isu internal umat Islam, tetapi telah menjadi medan perdebatan antara otoritas keagamaan dan negara, serta antara kebebasan beragama dan tuntutan keseragaman teologis. Penolakan terhadap Ahmadiyah, baik dalam bentuk fatwa, regulasi negara, maupun aksi kekerasan, menandai kecenderungan eksklusivisme dalam praktik keagamaan kontemporer.2

Namun demikian, jika ditinjau dari perspektif hak asasi manusia dan prinsip demokrasi, Ahmadiyah adalah bagian dari spektrum keragaman yang harus diakui dan dilindungi. Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama, dan prinsip-prinsip hukum internasional yang telah diratifikasi oleh negara memberikan landasan kuat untuk melindungi hak kelompok minoritas seperti Jemaat Ahmadiyah.3

Dalam konteks sosiologis, sikap terhadap Ahmadiyah mencerminkan sejauh mana masyarakat dapat mengelola perbedaan internal dalam komunitas agama. Ketidakmampuan menerima perbedaan seringkali berujung pada delegitimasi sosial, eksklusi, dan kekerasan. Oleh karena itu, pendekatan dialogis, edukatif, dan berbasis hak konstitusional menjadi penting dalam menciptakan ruang publik yang inklusif dan damai.4

Kesimpulannya, keberadaan Ahmadiyah menjadi ujian serius terhadap komitmen umat Islam—dan negara—dalam menerapkan prinsip-prinsip rahmatan lil ‘alamin, serta terhadap kemampuan demokrasi Indonesia dalam menjamin perlindungan hak-hak minoritas. Mengabaikan hak mereka bukan hanya pelanggaran terhadap nilai-nilai keislaman universal, tetapi juga ancaman terhadap pluralisme dan stabilitas sosial secara keseluruhan.5


Footnotes

[1]                Yohanan Friedmann, Prophecy Continuous: Aspects of Ahmadi Religious Thought and Its Medieval Background (New Delhi: Oxford University Press, 2003), 3–5.

[2]                Ismatu Ropi, Religion and Regulation in Indonesia: Balancing Freedom and Restriction (Singapore: Palgrave Macmillan, 2017), 89–93.

[3]                Human Rights Watch, In Religion’s Name: Abuses against Religious Minorities in Indonesia (New York: HRW, 2013), 10–12.

[4]                Rumadi Ahmad, “Fatwa, Minoritas Keagamaan, dan Ruang Publik Islam di Indonesia,” Studia Islamika 19, no. 3 (2012): 423–425.

[5]                Wahid Foundation, Mapping Intolerance and Religious Freedom in Indonesia (Jakarta: Wahid Institute, 2016), 47–50.


Daftar Pustaka

Ahmad, R. (2012). Fatwa, minoritas keagamaan, dan ruang publik Islam di Indonesia. Studia Islamika, 19(3), 403–431. https://doi.org/10.15408/sdi.v19i3.370

Ahmed, I. (2009). The politics of religion in South and Southeast Asia. Journal of Islamic Studies, 20(2), 185–190. https://doi.org/10.1093/jis/etp006

Ahmad, I. (2009). Genealogy of the Islamic state: Reflections on Maududi's political thought and Islamism. Journal of the Royal Anthropological Institute, 15(S1), S145–S162. https://doi.org/10.1111/j.1467-9655.2009.01550.x

Federspiel, H. M. (2001). Islam and ideology in the emerging Indonesian state: The Persatuan Islam (Persis), 1923–1957. Leiden: Brill.

Friedmann, Y. (2003). Prophecy continuous: Aspects of Ahmadi religious thought and its medieval background. New Delhi: Oxford University Press.

Hefner, R. W. (Ed.). (2011). Shari'a politics: Islamic law and society in the modern world. Bloomington: Indiana University Press.

Human Rights Watch. (2013). In religion’s name: Abuses against religious minorities in Indonesia. New York: Human Rights Watch.

Khan, A. H. (2015). From Sufism to Ahmadiyya: A Muslim minority movement in South Asia. Bloomington: Indiana University Press.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). (2012). Laporan tahunan 2012. Jakarta: Komnas HAM.

Majelis Ulama Indonesia. (2011). Himpunan fatwa MUI sejak 1975. Jakarta: Erlangga.

Noer, D. (1996). Gerakan modern Islam di Indonesia 1900–1942. Jakarta: LP3ES.

Qasmi, A. U. (2014). The Ahmadis and the politics of religious exclusion in Pakistan. London: Anthem Press.

Ropi, I. (2017). Religion and regulation in Indonesia: Balancing freedom and restriction. Singapore: Palgrave Macmillan.

United Nations. (1948). Universal Declaration of Human Rights. https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights

United Nations. (1966). International Covenant on Civil and Political Rights. https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/international-covenant-civil-and-political-rights

Valentine, S. R. (2008). Islam and the Ahmadiyya Jama'at: History, belief, practice. London: Columbia University Press.

Wahid Foundation. (2016). Mapping intolerance and religious freedom in Indonesia. Jakarta: Wahid Institute.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar