Ahmadiyah dalam Sejarah dan Kontroversi
Tinjauan Historis, Teologis, dan Sosiologis
Alihkan ke: Aliran-Aliran Ilmu Kalam.
Abstrak
Artikel ini mengkaji gerakan Ahmadiyah dari
perspektif historis, teologis, dan sosiologis dalam konteks dunia Islam secara
umum dan Indonesia secara khusus. Dimulai dari kelahirannya di India Britania
akhir abad ke-19 oleh Mirza Ghulam Ahmad, Ahmadiyah menawarkan semangat
pembaruan Islam melalui pendekatan rasional, non-kekerasan, dan global. Namun,
klaim kenabian pendirinya menimbulkan kontroversi besar yang berujung pada
eksklusi keagamaan dari umat Islam arus utama. Perpecahan internal antara
Ahmadiyah Qadian dan Lahore memperlihatkan dinamika ideologis yang kompleks
dalam tubuh gerakan ini. Di Indonesia, Ahmadiyah menghadapi penerimaan dan
penolakan yang berlapis, mulai dari kontribusi intelektual hingga marginalisasi
sosial, fatwa keagamaan, dan tindakan diskriminatif. Artikel ini menyoroti
bagaimana perdebatan teologis mengenai Ahmadiyah berdampak pada kebijakan
negara, serta memperlihatkan dilema antara perlindungan hak asasi manusia
dengan tekanan mayoritas. Dengan pendekatan interdisipliner, artikel ini
menegaskan pentingnya membangun ruang keberagamaan yang inklusif, adil, dan
konstitusional dalam masyarakat pluralistik.
Kata Kunci: Ahmadiyah, kenabian, khatm an-nubuwwah, minoritas
agama, kebebasan beragama, hak asasi manusia, Islam Indonesia, konflik
teologis, eksklusi sosial, toleransi.
PEMBAHASAN
Tinjauan Historis, Teologis, dan Sosiologis tentang Ahmadiyah
1.
Pendahuluan
Ahmadiyah merupakan
salah satu gerakan keagamaan modern dalam Islam yang lahir pada akhir abad
ke-19 di wilayah Punjab, India Britania. Didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada
tahun 1889, Ahmadiyah muncul sebagai respons terhadap tantangan kolonialisme,
misionaris Kristen, dan kekosongan spiritual di kalangan umat Islam saat itu.
Gerakan ini menyatakan dirinya sebagai bentuk kebangkitan Islam (tajdid)
melalui pendekatan damai dan rasional terhadap doktrin Islam, serta mengklaim
bahwa pendirinya diutus sebagai mujaddid, Al-Masih yang dijanjikan, dan Mahdi.1
Meskipun pada
awalnya mendapat dukungan dari sebagian masyarakat Muslim India karena semangat
pembaruannya, posisi teologis Mirza Ghulam Ahmad yang mengklaim kenabian
meskipun dalam makna non-literal kemudian menimbulkan kontroversi tajam. Hal
ini menjadi titik perbedaan utama antara Ahmadiyah dan mayoritas umat Islam
yang berpegang pada doktrin khatm an-nubuwwah (penutupan
kenabian) setelah Nabi Muhammad Saw.2
Perdebatan teologis
tersebut tidak hanya berkembang di wilayah asalnya, tetapi juga meluas ke
berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, tempat Ahmadiyah hadir sejak tahun
1925. Seiring waktu, eksistensi Ahmadiyah di Indonesia memicu perdebatan yang
kompleks, menyangkut isu-isu kebebasan beragama, identitas keislaman,
toleransi, dan pluralisme. Penolakan terhadap Ahmadiyah oleh sebagian besar
ulama dan lembaga keislaman arus utama, serta terjadinya sejumlah tindakan
diskriminatif, bahkan kekerasan, terhadap penganut Ahmadiyah menambah
kompleksitas wacana ini.3
Dalam konteks kajian
keislaman kontemporer, pembahasan mengenai Ahmadiyah menjadi penting tidak
hanya karena aspek teologisnya, tetapi juga karena pengaruhnya terhadap
dinamika sosial-keagamaan dan wacana hak asasi manusia. Kajian ini pun menjadi
relevan untuk memahami bagaimana umat Islam merespons perbedaan intra-agama dan
bagaimana negara bersikap terhadap kelompok minoritas agama.
Artikel ini berupaya
memberikan tinjauan historis, teologis, dan sosiologis terhadap gerakan
Ahmadiyah secara objektif dan ilmiah. Pendekatan yang digunakan bersifat
deskriptif-analitis berdasarkan sumber-sumber akademik yang kredibel, guna
membantu pembaca memahami akar masalah, perkembangan pemikiran, serta dampak
sosial yang ditimbulkan dari eksistensi dan kontroversi seputar Ahmadiyah.
Footnotes
[1]
Yohanan Friedmann, Prophecy Continuous: Aspects of Ahmadi Religious
Thought and Its Medieval Background (New Delhi: Oxford University Press,
2003), 1–5.
[2]
Ali Usman Qasmi, The Ahmadis and the Politics of Religious
Exclusion in Pakistan (London: Anthem Press, 2014), 37–40.
[3]
Noorhaidi Hasan, “Faith and Politics: The Rise of the Laskar Jihad in
the Era of Transition in Indonesia,” Indonesia no. 73 (2002): 159–187;
dan Ismatu Ropi, Religion and Regulation in Indonesia: Balancing Freedom
and Restriction (Singapore: Palgrave Macmillan, 2017), 89–92.
2.
Sejarah Lahirnya Ahmadiyah
Kemunculan Ahmadiyah
tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial, politik, dan keagamaan di India
Britania pada akhir abad ke-19. Masa ini ditandai oleh kolonialisme Inggris
yang menimbulkan krisis identitas di kalangan umat Islam. Ketika umat Islam
mengalami kemunduran politik, ekonomi, dan budaya, berbagai gerakan kebangkitan
Islam muncul sebagai bentuk respons terhadap tantangan modernitas dan
penjajahan. Salah satu gerakan yang lahir dari kondisi tersebut adalah Jemaat
Ahmadiyah, yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835–1908)
di Qadian, sebuah kota kecil di Punjab.1
Mirza Ghulam Ahmad
tumbuh dalam keluarga yang secara ekonomi cukup terpandang, meskipun secara
politik sudah tidak lagi berpengaruh. Ia dikenal sebagai pribadi yang taat
beragama dan sangat mendalami literatur Islam klasik, termasuk tafsir, hadis,
dan tasawuf.2 Sekitar tahun 1880, ia mulai dikenal luas setelah
menerbitkan karya monumentalnya, Barahin-e-Ahmadiyya, yang
dimaksudkan sebagai pembelaan terhadap Islam dalam menghadapi tantangan dari
misionaris Kristen dan gerakan Hindu reformis seperti Arya Samaj.3
Puncak dari dakwah
dan pemikiran Mirza Ghulam Ahmad terjadi pada tahun 1889, ketika ia secara
resmi mendirikan Jemaat Ahmadiyah dan mengklaim diri sebagai mujaddid
(pembaharu agama) dan mahdi (imam yang ditunggu
kedatangannya di akhir zaman).4 Tidak hanya itu, pada tahun-tahun
berikutnya, ia menyatakan diri sebagai Al-Masih al-Maud (Mesias yang
dijanjikan), bahkan menyebut dirinya sebagai nabi dalam pengertian tertentu,
yang menurutnya tidak bertentangan dengan finalitas kenabian Muhammad saw.,
karena kenabiannya bersifat non-legislatif dan berada dalam bayang-bayang
kenabian Muhammad.5
Klaim ini
menimbulkan kontroversi besar di kalangan umat Islam. Banyak ulama pada masa
itu, baik dari India maupun luar India, menolak keras klaim kenabian tersebut
dan menganggap Ahmadiyah sebagai aliran yang menyimpang. Namun demikian,
gerakan ini tetap berkembang pesat, membentuk sistem organisasi yang rapi,
menerbitkan literatur dalam berbagai bahasa, serta mengirim misionaris ke
berbagai negara.6
Ahmadiyah tumbuh
bukan hanya sebagai gerakan spiritual, tetapi juga sebagai proyek reformasi
sosial dan moral. Mereka menekankan pentingnya akhlak, rasionalitas,
antikekerasan, dan keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan. Dalam waktu singkat,
gerakan ini mendapatkan pengikut dari berbagai wilayah di India dan bahkan luar
negeri. Namun, seiring dengan pertumbuhan itu, resistensi dari umat Islam arus
utama juga makin menguat.7
Dengan demikian,
sejarah lahirnya Ahmadiyah merupakan bagian integral dari dinamika modernisme
Islam di Asia Selatan. Ia hadir sebagai upaya merekonstruksi identitas Islam
dalam dunia kolonial, namun pada saat yang sama menimbulkan perdebatan teologis
yang terus bergulir hingga hari ini.
Footnotes
[1]
Yohanan Friedmann, Prophecy Continuous: Aspects of Ahmadi Religious
Thought and Its Medieval Background (New Delhi: Oxford University Press,
2003), 1–3.
[2]
Simon Ross Valentine, Islam and the Ahmadiyya Jama'at: History,
Belief, Practice (London: Columbia University Press, 2008), 15–17.
[3]
Adil Hussain Khan, From Sufism to Ahmadiyya: A Muslim Minority
Movement in South Asia (Bloomington: Indiana University Press, 2015),
33–35.
[4]
Ali Usman Qasmi, The Ahmadis and the Politics of Religious
Exclusion in Pakistan (London: Anthem Press, 2014), 27–30.
[5]
Valentine, Islam and the Ahmadiyya Jama’at, 55–60.
[6]
Friedmann, Prophecy Continuous, 6–8.
[7]
Ishtiaq Ahmed, “The Politics of Religion in South and Southeast Asia,” Journal
of Islamic Studies 20, no. 2 (2009): 185–190.
3.
Ajaran Pokok Ahmadiyah
Ajaran Ahmadiyah
secara umum mengacu pada prinsip-prinsip Islam sebagaimana tercantum dalam
Al-Qur'an dan hadis, namun terdapat sejumlah penafsiran yang berbeda secara
signifikan dari arus utama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Perbedaan-perbedaan inilah
yang menjadi sumber utama kontroversi teologis antara Jemaat Ahmadiyah dan mayoritas
umat Islam.
3.1.
Kenabian dan Khatm an-Nubuwwah
Pokok ajaran yang
paling kontroversial dalam Ahmadiyah adalah klaim kenabian Mirza
Ghulam Ahmad. Dalam doktrin resmi Jemaat Ahmadiyah, Mirza
Ghulam Ahmad diyakini sebagai nabi non-syar‘i (bukan pembawa syariat), yang
diutus dalam rangka pembaruan iman dan moral umat Islam di akhir zaman.1
Meskipun ia tidak membawa hukum atau syariat baru, pengakuannya sebagai nabi
dipandang oleh banyak ulama sebagai pelanggaran terhadap konsep khatm
an-nubuwwah (penutupan kenabian) oleh Nabi Muhammad Saw.2
Namun, Ahmadiyah
memiliki pemahaman berbeda mengenai khatm an-nubuwwah. Mereka menafsirkan bahwa
penutupan kenabian tidak berarti berhentinya segala bentuk kenabian, tetapi
berhentinya kenabian independen yang membawa syariat baru. Dengan demikian,
kenabian Mirza Ghulam Ahmad diklaim tidak bertentangan dengan kenabian Muhammad
saw., karena ia dianggap sebagai zilli nabi (nabi bayangan) atau ummati
nabi (nabi dari umat Muhammad).3
3.2.
Al-Masih dan Al-Mahdi
Ahmadiyah juga meyakini
bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Al-Masih al-Maud (Mesias yang
dijanjikan) dan Imam Mahdi yang kedatangannya
telah dinubuatkan dalam banyak hadis. Mereka menolak keyakinan tradisional
tentang kembalinya Isa bin Maryam secara fisik menjelang kiamat, dan menyatakan
bahwa figur Al-Masih yang dimaksud adalah simbolik—yakni terwujud dalam pribadi
Mirza Ghulam Ahmad.4
Pemahaman ini
ditolak oleh mayoritas ulama karena bertentangan dengan hadis-hadis populer
mengenai turunnya Nabi Isa secara jasmani di akhir zaman. Oleh sebab itu,
keyakinan ini semakin mempertegas perbedaan ajaran Ahmadiyah dari Islam arus
utama.5
3.3.
Wahyu dan Ilham
Ahmadiyah meyakini
bahwa wahyu ilahi masih terus berlanjut kepada hamba-hamba pilihan Allah,
termasuk kepada Mirza Ghulam Ahmad, meskipun dalam bentuk yang tidak mengandung
syariat baru. Menurut mereka, wahyu seperti ini merupakan bentuk komunikasi
spiritual yang dimungkinkan dalam Islam, dan tidak sama dengan wahyu kenabian
yang mengandung hukum.6
Ajaran ini
menimbulkan keprihatinan di kalangan umat Islam, karena khawatir membuka
peluang munculnya nabi-nabi palsu. Namun Ahmadiyah tetap menegaskan bahwa
seluruh ajarannya berlandaskan Al-Qur'an dan tidak mengingkari keesaan Allah
maupun kerasulan Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir dalam makna membawa
syariat baru.7
3.4.
Jihad dan Toleransi
Ahmadiyah memiliki
pandangan damai dan non-kekerasan terhadap konsep jihad.
Mereka menafsirkan jihad secara spiritual dan moral, bukan bersenjata. Dalam
konteks kolonialisme Inggris di India, Mirza Ghulam Ahmad menolak bentuk jihad
fisik, dan mengarahkan umatnya untuk melakukan jihad melalui ilmu, dakwah, dan
pembenahan akhlak.8
Selain itu,
Ahmadiyah juga dikenal sebagai gerakan yang mendukung toleransi
antaragama dan menekankan pentingnya kerukunan umat manusia.
Hal ini ditunjukkan melalui aktivitas misi mereka yang mencakup penerbitan
literatur Islam dalam berbagai bahasa serta keterlibatan dalam dialog
antaragama.9
Footnotes
[1]
Yohanan Friedmann, Prophecy Continuous: Aspects of Ahmadi Religious
Thought and Its Medieval Background (New Delhi: Oxford University Press,
2003), 8–12.
[2]
Ali Usman Qasmi, The Ahmadis and the Politics of Religious
Exclusion in Pakistan (London: Anthem Press, 2014), 43–46.
[3]
Simon Ross Valentine, Islam and the Ahmadiyya Jama'at: History,
Belief, Practice (London: Columbia University Press, 2008), 58–60.
[4]
Adil Hussain Khan, From Sufism to Ahmadiyya: A Muslim Minority
Movement in South Asia (Bloomington: Indiana University Press, 2015),
70–72.
[5]
Irfan Ahmad, “State, Faith, and Fear: Muslims and Christians in South
Asia,” South Asia Research 29, no. 1 (2009): 1–28.
[6]
Friedmann, Prophecy Continuous, 14–17.
[7]
Valentine, Islam and the Ahmadiyya Jama’at, 88–90.
[8]
Qasmi, The Ahmadis and the Politics of Religious Exclusion,
51–53.
[9]
Khan, From Sufism to Ahmadiyya, 93–95.
4.
Perpecahan Internal: Ahmadiyah Qadian dan
Ahmadiyah Lahore
Perpecahan internal
dalam tubuh Ahmadiyah terjadi tak lama setelah wafatnya pendiri gerakan ini, Mirza
Ghulam Ahmad, pada tahun 1908. Semula, Jemaat Ahmadiyah tetap
utuh di bawah kepemimpinan Maulana Hakeem Noor-ud-Din,
yang menjabat sebagai khalifah pertama. Namun, setelah wafatnya Noor-ud-Din
pada tahun 1914, perbedaan pandangan di kalangan elit Ahmadiyah mengenai
interpretasi ajaran Ghulam Ahmad dan bentuk kepemimpinan yang ideal mulai
mencuat secara tajam.1
Perpecahan ini
memunculkan dua kelompok utama dalam Ahmadiyah: Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah
Lahore. Ahmadiyah Qadian, yang tetap bermarkas di Qadian
(India), dipimpin oleh Mirza Bashir-ud-Din Mahmud Ahmad,
putra dari Mirza Ghulam Ahmad, dan mengukuhkan sistem khilafah (kepemimpinan
sentral). Di sisi lain, kelompok yang menolak pengangkatan Bashir-ud-Din
membentuk Ahmadiyah Lahore, yang lebih
menekankan kepemimpinan kolektif (anjuman) dan pendekatan rasionalis terhadap
ajaran Mirza Ghulam Ahmad.2
4.1.
Perbedaan Ideologi tentang Kenabian
Perbedaan paling
signifikan antara kedua kelompok ini terletak pada penafsiran status kenabian
Mirza Ghulam Ahmad. Ahmadiyah Qadian meyakini bahwa
Ghulam Ahmad adalah seorang nabi dalam arti spiritual, meskipun tidak membawa
syariat baru dan kenabiannya berada dalam subordinasi mutlak terhadap kenabian
Muhammad saw. Mereka menyebutnya sebagai zilli nabi (nabi bayangan).3
Sebaliknya, Ahmadiyah
Lahore secara eksplisit menolak penggunaan istilah nabi
untuk Ghulam Ahmad. Mereka menganggapnya sebagai mujaddid, wali, atau
pembaharu, bukan nabi dalam pengertian apa pun. Menurut kelompok ini, mengakui
kenabian pasca-Muhammad bertentangan dengan doktrin khatm an-nubuwwah.4 Oleh
karena itu, mereka lebih diterima dalam forum-forum internasional Islam karena
posisi teologisnya yang lebih dekat dengan arus utama.
4.2.
Pandangan terhadap Umat Islam Lain
Perbedaan lain
muncul dalam hal sikap terhadap umat Islam di luar Ahmadiyah.
Ahmadiyah Qadian secara doktrinal menyatakan bahwa hanya pengikut Mirza Ghulam
Ahmad yang tergolong sebagai Muslim sejati, sedangkan Muslim lain dianggap
belum menerima kebenaran Mesias yang dijanjikan.5
Sementara itu,
Ahmadiyah Lahore bersikap lebih inklusif, dan menganggap semua umat Islam yang
mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai bagian dari umat Islam, terlepas dari
apakah mereka menerima Ghulam Ahmad atau tidak.6 Perbedaan sikap ini
berdampak besar terhadap penerimaan sosial dan legal masing-masing kelompok di
berbagai negara Muslim.
4.3.
Strategi Dakwah dan Hubungan dengan Dunia Islam
Ahmadiyah Qadian
tetap mempertahankan struktur kepemimpinan yang hierarkis dan mengembangkan
jaringan misi internasional yang luas. Mereka memiliki pusat global di Rabwah
(Pakistan) dan kemudian berpindah ke London setelah pengasingan khalifah
keempat akibat tekanan politik di Pakistan.7
Di sisi lain,
Ahmadiyah Lahore lebih fokus pada pendekatan intelektual dan apologetik dalam
dakwahnya. Mereka menerbitkan banyak karya berbahasa Inggris dan melakukan
pendekatan melalui kajian rasional atas ajaran Islam, yang kemudian berpengaruh
dalam komunitas akademik di Barat.8
Perpecahan ini bukan
sekadar konflik internal biasa, tetapi telah membentuk dua identitas teologis
dan strategis yang berbeda dalam tubuh gerakan Ahmadiyah. Meski berasal dari
akar yang sama, kedua cabang ini berkembang dengan orientasi, struktur, dan
penerimaan yang berbeda di mata umat Islam global.
Footnotes
[1]
Yohanan Friedmann, Prophecy Continuous: Aspects of Ahmadi Religious
Thought and Its Medieval Background (New Delhi: Oxford University Press,
2003), 20–23.
[2]
Simon Ross Valentine, Islam and the Ahmadiyya Jama'at: History,
Belief, Practice (London: Columbia University Press, 2008), 75–78.
[3]
Ali Usman Qasmi, The Ahmadis and the Politics of Religious
Exclusion in Pakistan (London: Anthem Press, 2014), 49–52.
[4]
Adil Hussain Khan, From Sufism to Ahmadiyya: A Muslim Minority
Movement in South Asia (Bloomington: Indiana University Press, 2015),
82–85.
[5]
Valentine, Islam and the Ahmadiyya Jama’at, 90.
[6]
Khan, From Sufism to Ahmadiyya, 86.
[7]
Qasmi, The Ahmadis and the Politics of Religious Exclusion,
63–64.
[8]
Friedmann, Prophecy Continuous, 26–28.
5.
Sikap Dunia Islam terhadap Ahmadiyah
Sejak awal
kemunculannya, gerakan Ahmadiyah telah menimbulkan kontroversi yang luas di
kalangan umat Islam global. Perbedaan teologis yang mendasar, terutama terkait
dengan doktrin kenabian dan penafsiran terhadap konsep khatm
an-nubuwwah, membuat mayoritas lembaga dan otoritas keagamaan di
dunia Islam memandang Ahmadiyah sebagai aliran yang menyimpang dari ajaran
Islam yang ortodoks.
5.1.
Pandangan Ulama dan Lembaga Keagamaan
Salah satu lembaga
paling awal yang secara tegas menolak Ahmadiyah adalah Darul
Uloom Deoband di India, yang mengeluarkan fatwa bahwa pengikut
Ahmadiyah bukanlah Muslim karena mengakui adanya nabi setelah Muhammad Saw.1
Penolakan ini kemudian diikuti oleh berbagai lembaga Islam terkemuka lainnya. Universitas
Al-Azhar di Mesir, sebagai otoritas keagamaan berpengaruh di
dunia Sunni, juga menyatakan bahwa keyakinan Ahmadiyah bertentangan dengan
prinsip dasar Islam.2
Lebih lanjut, Organisasi
Konferensi Islam (OKI) dalam resolusi tahun 1974 secara resmi
mengeluarkan Ahmadiyah dari lingkup umat Islam. Dalam forum tersebut, Pakistan
mengusulkan dan berhasil menggolkan resolusi yang menyatakan bahwa Ahmadiyah
bukan bagian dari umat Islam, dan keputusan itu disepakati oleh mayoritas
negara anggota OKI.3
5.2.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Di Indonesia, Majelis
Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan beberapa fatwa yang
menyatakan bahwa Ahmadiyah menyimpang dari ajaran Islam. Fatwa pertama
dikeluarkan pada tahun 1980 dan diperkuat kembali pada tahun 2005. MUI
menegaskan bahwa ajaran Ahmadiyah, khususnya yang mengakui kenabian Mirza Ghulam
Ahmad, bertentangan dengan akidah Islam dan umat Islam diimbau untuk tidak
mengikuti ajarannya.4
Fatwa ini menjadi
salah satu rujukan bagi pemerintah Indonesia dalam merespons eksistensi
Ahmadiyah, meskipun pemerintah juga berkewajiban menjamin kebebasan beragama
sesuai amanat konstitusi. Ketegangan antara posisi keagamaan dan perlindungan
hukum terhadap hak minoritas inilah yang menciptakan dilema kebijakan yang
berkelanjutan.5
5.3.
Tindakan Negara-Negara Muslim
Beberapa negara
mayoritas Muslim telah mengambil kebijakan hukum terhadap Ahmadiyah. Di Pakistan,
misalnya, konstitusi tahun 1974 secara resmi menyatakan bahwa Ahmadiyah bukan
bagian dari Islam, dan undang-undang selanjutnya bahkan melarang mereka
menggunakan simbol-simbol keislaman seperti menyebut masjid, mengumandangkan
azan, atau memberi salam Islami.6
Di Arab
Saudi, pengikut Ahmadiyah dilarang masuk untuk melaksanakan
ibadah haji karena dianggap bukan Muslim. Sementara itu, di negara-negara
seperti Malaysia dan Brunei,
Ahmadiyah dilarang menyebarkan ajarannya kepada umat Islam, meskipun
keberadaannya sebagai komunitas minoritas tetap diakui secara terbatas.7
5.4.
Respons dari Kalangan Muslim Progresif
Meskipun dominasi
penolakan terhadap Ahmadiyah cukup kuat, ada pula sebagian kalangan Muslim yang
menyerukan pendekatan yang lebih inklusif dan menekankan pentingnya
perlindungan terhadap kebebasan beragama. Beberapa organisasi HAM Muslim dan
akademisi Muslim progresif menilai bahwa status keislaman seseorang tidak bisa
semata-mata ditentukan oleh perbedaan tafsir teologis.8
Pendekatan ini menekankan bahwa meskipun ada perbedaan mendalam dalam
pemahaman agama, penolakan terhadap kekerasan dan diskriminasi terhadap
kelompok seperti Ahmadiyah harus dijadikan prinsip utama dalam masyarakat
majemuk. Pandangan ini, meskipun minoritas, mulai mendapat tempat dalam
diskursus modern tentang kebebasan beragama dan hak asasi manusia di dunia
Islam.
Footnotes
[1]
Yohanan Friedmann, Prophecy Continuous: Aspects of Ahmadi Religious
Thought and Its Medieval Background (New Delhi: Oxford University Press,
2003), 50–52.
[2]
Adil Hussain Khan, From Sufism to Ahmadiyya: A Muslim Minority
Movement in South Asia (Bloomington: Indiana University Press, 2015), 98.
[3]
Ali Usman Qasmi, The Ahmadis and the Politics of Religious Exclusion
in Pakistan (London: Anthem Press, 2014), 61–62.
[4]
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975
(Jakarta: Erlangga, 2011), 65–68.
[5]
Ismatu Ropi, Religion and Regulation in Indonesia: Balancing
Freedom and Restriction (Singapore: Palgrave Macmillan, 2017), 90–92.
[6]
Qasmi, The Ahmadis and the Politics of Religious Exclusion,
72–74.
[7]
Valentine, Islam and the Ahmadiyya Jama’at, 105–108.
[8]
Irfan Ahmad, “Genealogy of the Islamic State: Reflections on Maududi's
Political Thought and Islamism,” Journal of the Royal Anthropological
Institute 15, no. s1 (2009): S145–S162.
6.
Ahmadiyah di Indonesia
Kehadiran Ahmadiyah
di Indonesia merupakan bagian dari dinamika sejarah dakwah Islam modern yang
berlangsung sejak awal abad ke-20. Meskipun berasal dari India Britania,
gerakan ini berhasil menanamkan pengaruhnya di Nusantara melalui strategi misi,
jaringan keulamaan, dan literatur keislaman yang bersifat apologetik terhadap
serangan ideologis Barat dan misionaris Kristen.
6.1.
Sejarah Masuk dan Perkembangan Awal
Ahmadiyah masuk ke
Indonesia pada tahun 1925 melalui utusan resminya dari Qadian, Maulana
Rahmat Ali, yang pertama kali berdakwah di Tapaktuan, Aceh.
Pada tahun-tahun berikutnya, pusat aktivitas Ahmadiyah berpindah dan berkembang
pesat di Yogyakarta, Jakarta, dan Tasikmalaya,
serta wilayah-wilayah lainnya.1 Organisasi ini secara resmi
terdaftar dengan nama Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)
dan menjadi bagian dari cabang global Jemaat Ahmadiyah Qadian.
Di Indonesia juga
hadir Ahmadiyah
Lahore, yang menyebar terutama melalui kaum intelektual dan
tokoh modernis Islam. Ahmadiyah Lahore relatif lebih diterima di kalangan umat
Islam karena tidak mengakui kenabian Mirza Ghulam Ahmad secara eksplisit,
melainkan hanya sebagai mujaddid. Salah satu tokoh penting Ahmadiyah Lahore di
Indonesia adalah H.O.S. Tjokroaminoto, yang
pernah menerbitkan tulisan-tulisan terkait Ahmadiyah dalam majalah Islam
Raja dan Het Licht.2
6.2.
Peran Intelektual dan Dakwah
Pada masa awal
kemerdekaan hingga dekade 1970-an, Ahmadiyah turut berkontribusi dalam
pembangunan intelektual Islam di Indonesia. Mereka aktif menerbitkan buku,
majalah dakwah seperti Sinar Islam, serta mendirikan
lembaga pendidikan dan tempat ibadah. Salah satu kontribusi intelektual penting
adalah terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Indonesia yang dilakukan oleh tokoh
Ahmadiyah, yang saat itu masih langka di kalangan Muslim Indonesia.3
Ahmadiyah juga
dikenal karena pendekatannya yang rasional terhadap Islam, serta konsistensinya
dalam menentang kekerasan atas nama agama. Hal ini menyebabkan sebagian
kalangan modernis dan akademik melihat Ahmadiyah sebagai salah satu pelopor
pembaruan pemikiran Islam di Indonesia.4
6.3.
Penolakan dan Kontroversi Sosial
Namun, seiring
dengan menguatnya konservatisme dan eksklusivisme keagamaan sejak akhir
1990-an, keberadaan Ahmadiyah mulai menuai penolakan keras. Puncak kontroversi
terjadi setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI)
mengeluarkan fatwa pada tahun 2005 yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah
aliran sesat dan menyesatkan karena meyakini adanya nabi setelah Nabi Muhammad Saw.5
Fatwa ini memicu
berbagai aksi penolakan dan kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah, termasuk
pembakaran masjid, pengusiran warga, dan pelarangan aktivitas dakwah. Kasus
paling mencolok adalah tragedi Cikeusik tahun 2011, di
mana tiga anggota Ahmadiyah dibunuh secara brutal oleh sekelompok massa
intoleran.6
Pemerintah Indonesia
merespons dengan menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri
tahun 2008 yang membatasi aktivitas Ahmadiyah, namun tidak secara eksplisit
melarang keberadaannya. Keputusan ini menuai kritik dari kelompok hak asasi
manusia karena dinilai melanggar kebebasan beragama yang dijamin oleh UUD 1945.7
6.4.
Posisi Hukum dan Hak Konstitusional
Meskipun mengalami
tekanan dari berbagai pihak, keberadaan Ahmadiyah secara hukum tetap dijamin
oleh konstitusi Indonesia, khususnya Pasal 28E dan 29 UUD 1945 yang menjamin
kebebasan beragama dan berkeyakinan. Komnas HAM, Wahid Foundation, dan berbagai
organisasi sipil telah berulang kali menyerukan penghentian kekerasan terhadap
Ahmadiyah dan menuntut negara agar bersikap netral serta menjamin perlindungan
hak minoritas.8
Di tengah situasi
yang dilematis antara fatwa keagamaan dan konstitusi negara, Ahmadiyah di
Indonesia tetap bertahan sebagai komunitas keagamaan minoritas yang gigih
mempertahankan hak hidup, beragama, dan bermasyarakat secara damai. Keberadaan
mereka menjadi ujian nyata bagi praktik toleransi dan demokrasi dalam kehidupan
berbangsa di Indonesia.
Footnotes
[1]
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942
(Jakarta: LP3ES, 1996), 245–247.
[2]
Adil Hussain Khan, From Sufism to Ahmadiyya: A Muslim Minority
Movement in South Asia (Bloomington: Indiana University Press, 2015),
101–103.
[3]
Ismatu Ropi, Religion and Regulation in Indonesia: Balancing
Freedom and Restriction (Singapore: Palgrave Macmillan, 2017), 87–88.
[4]
Howard M. Federspiel, Islam and Ideology in the Emerging Indonesian
State: The Persatuan Islam (Persis), 1923–1957 (Leiden: Brill, 2001), 110.
[5]
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975
(Jakarta: Erlangga, 2011), 65–67.
[6]
Human Rights Watch, In Religion’s Name: Abuses against Religious
Minorities in Indonesia (New York: HRW, 2013), 34–37.
[7]
Ropi, Religion and Regulation in Indonesia, 92–93.
[8]
Komnas HAM, Laporan Tahunan 2012 (Jakarta: Komnas HAM, 2012),
58–60.
7.
Perspektif Sosiologis dan Hak Asasi Manusia
Dalam konteks studi
sosiologi agama dan hak asasi manusia (HAM), keberadaan Jemaat Ahmadiyah
menawarkan potret penting tentang dinamika konflik antara identitas
keagamaan mayoritas, kelompok minoritas, dan negara.
Ahmadiyah sering dijadikan objek marginalisasi sosial oleh masyarakat yang
mendasarkan identitas kolektifnya pada pemahaman keislaman arus utama,
sekaligus menghadapi dilema perlindungan dari negara yang terikat oleh
prinsip-prinsip konstitusional tentang kebebasan beragama.
7.1.
Marginalisasi Sosial dan Stigma Keagamaan
Secara sosiologis,
Ahmadiyah kerap mengalami proses stigmatisasi sebagai “bukan
Muslim” oleh mayoritas umat Islam, terutama karena perbedaan dalam memahami
konsep kenabian dan keislaman. Stigma ini tidak hanya dibentuk oleh diskursus
teologis, tetapi juga diperkuat oleh fatwa-fatwa resmi lembaga keagamaan dan
tekanan kelompok-kelompok keislaman konservatif.1
Labeling dan
marginalisasi tersebut menyebabkan terjadinya eksklusi sosial, di mana
komunitas Ahmadiyah seringkali diposisikan sebagai “yang lain” dalam
konstruksi identitas Islam di Indonesia. Dalam banyak kasus, stigma ini
berkembang menjadi diskriminasi aktif dalam bentuk
pembatasan aktivitas ibadah, pengucilan sosial, hingga kekerasan massa.2
7.2.
Negara, Agama, dan Dilema Netralitas
Dari perspektif
hubungan negara dan agama, kasus Ahmadiyah menunjukkan bahwa negara tidak
selalu netral dalam menjamin hak warganya. Meskipun konstitusi Indonesia
menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan,
namun dalam praktiknya, negara kerap terjebak dalam politik akomodasi
terhadap mayoritas keagamaan, terutama setelah keluarnya fatwa
MUI dan desakan dari kelompok Islamis.3
SKB Tiga Menteri
tahun 2008 yang membatasi kegiatan Ahmadiyah menunjukkan bahwa negara berupaya
melakukan kompromi antara tekanan kelompok keagamaan dan prinsip hak asasi
manusia, namun hasilnya justru mengaburkan posisi hukum dan membuka ruang bagi
pelanggaran HAM terhadap kelompok minoritas.4
Ismatu Ropi mencatat
bahwa regulasi semacam ini mencerminkan pola “simbolisme religius negara”,
di mana pemerintah menunjukkan sikap keberpihakan terhadap tafsir mayoritas
untuk menjaga stabilitas sosial, walaupun dengan mengorbankan hak-hak kelompok
tertentu.5
7.3.
Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama
Menurut kerangka
hukum internasional seperti Universal Declaration of Human Rights (UDHR)
dan International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), kebebasan
beragama mencakup hak untuk memiliki, mempraktikkan, menyebarkan, dan mengubah
keyakinan seseorang tanpa intimidasi atau kekerasan. Dalam konteks ini,
tindakan diskriminatif terhadap Ahmadiyah di berbagai negara, termasuk
pelarangan simbol, larangan dakwah, hingga kekerasan fisik, merupakan
pelanggaran terhadap standar HAM internasional.6
Indonesia sendiri
telah meratifikasi ICCPR melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, yang secara
hukum mengikat pemerintah untuk melindungi kebebasan beragama. Oleh karena itu,
pembatasan terhadap Ahmadiyah yang tidak didasarkan pada bukti pelanggaran
hukum pidana harus dipandang sebagai bentuk pelanggaran hak sipil.7
7.4.
Tantangan Pluralisme dan Jalan Menuju
Rekonsiliasi
Ahmadiyah menjadi
ujian penting bagi komitmen Indonesia terhadap pluralisme keagamaan. Konflik
antara kebebasan beragama dan eksklusivisme teologis mayoritas tidak bisa
diselesaikan hanya melalui regulasi formal, melainkan membutuhkan pendekatan
dialogis dan pendidikan toleransi di tingkat masyarakat akar rumput.8
Langkah-langkah
seperti kampanye edukasi tentang kebebasan beragama, pelibatan tokoh lintas
iman, serta reformasi dalam pengawasan ormas keagamaan ekstrem menjadi penting
untuk menciptakan iklim keberagamaan yang inklusif. Dalam hal ini, Ahmadiyah
tidak semata-mata sebagai objek studi, tetapi sebagai indikator penting sejauh
mana negara dan masyarakat bersedia menghargai keragaman sebagai kekuatan,
bukan ancaman.
Footnotes
[1]
Rumadi Ahmad, “Fatwa, Minoritas Keagamaan, dan Ruang Publik Islam di
Indonesia,” Studia Islamika 19, no. 3 (2012): 403–431.
[2]
Ismatu Ropi, Religion and Regulation in Indonesia: Balancing
Freedom and Restriction (Singapore: Palgrave Macmillan, 2017), 89–92.
[3]
Robert W. Hefner, Shari'a Politics: Islamic Law and Society in the
Modern World (Bloomington: Indiana University Press, 2011), 179–182.
[4]
Human Rights Watch, In Religion’s Name: Abuses against Religious
Minorities in Indonesia (New York: HRW, 2013), 12–15.
[5]
Ropi, Religion and Regulation in Indonesia, 95.
[6]
United Nations, Universal Declaration of Human Rights (New
York: UN, 1948), Article 18; dan International Covenant on Civil and
Political Rights, Article 18.
[7]
Komnas HAM, Laporan Tahunan 2012 (Jakarta: Komnas HAM, 2012),
63–66.
[8]
Wahid Foundation, Mapping Intolerance and Religious Freedom in
Indonesia (Jakarta: Wahid Institute, 2016), 42–45.
8.
Penutup
Studi mengenai
Ahmadiyah dalam konteks sejarah, teologi, dan sosiologi memperlihatkan betapa
kompleksnya interaksi antara agama, identitas, kekuasaan, dan hak asasi
manusia. Sebagai sebuah gerakan Islam modern yang lahir di tengah guncangan
kolonialisme dan kebangkitan pemikiran keagamaan pada akhir abad ke-19,
Ahmadiyah telah membangun tradisi intelektual, dakwah, dan organisasi yang
kuat, sembari memunculkan perbedaan teologis yang mendasar dengan arus utama
Islam—khususnya terkait dengan isu kenabian dan status Mirza Ghulam Ahmad.1
Di banyak negara
Muslim, termasuk Indonesia, keberadaan Ahmadiyah tidak sekadar menjadi isu
internal umat Islam, tetapi telah menjadi medan perdebatan antara otoritas
keagamaan dan negara, serta antara kebebasan
beragama dan tuntutan keseragaman teologis.
Penolakan terhadap Ahmadiyah, baik dalam bentuk fatwa, regulasi negara, maupun
aksi kekerasan, menandai kecenderungan eksklusivisme dalam praktik keagamaan
kontemporer.2
Namun demikian, jika
ditinjau dari perspektif hak asasi manusia dan prinsip demokrasi, Ahmadiyah
adalah bagian dari spektrum keragaman yang harus diakui dan dilindungi.
Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama, dan prinsip-prinsip hukum
internasional yang telah diratifikasi oleh negara memberikan landasan kuat
untuk melindungi hak kelompok minoritas seperti Jemaat Ahmadiyah.3
Dalam konteks
sosiologis, sikap terhadap Ahmadiyah mencerminkan sejauh mana masyarakat dapat
mengelola perbedaan internal dalam komunitas agama. Ketidakmampuan menerima
perbedaan seringkali berujung pada delegitimasi sosial, eksklusi, dan
kekerasan. Oleh karena itu, pendekatan dialogis, edukatif, dan berbasis hak
konstitusional menjadi penting dalam menciptakan ruang publik yang inklusif dan
damai.4
Kesimpulannya,
keberadaan Ahmadiyah menjadi ujian serius terhadap komitmen umat Islam—dan
negara—dalam menerapkan prinsip-prinsip rahmatan lil ‘alamin, serta
terhadap kemampuan demokrasi Indonesia dalam menjamin perlindungan
hak-hak minoritas. Mengabaikan hak mereka bukan hanya
pelanggaran terhadap nilai-nilai keislaman universal, tetapi juga ancaman
terhadap pluralisme dan stabilitas sosial secara keseluruhan.5
Footnotes
[1]
Yohanan Friedmann, Prophecy Continuous: Aspects of Ahmadi Religious
Thought and Its Medieval Background (New Delhi: Oxford University Press,
2003), 3–5.
[2]
Ismatu Ropi, Religion and Regulation in Indonesia: Balancing
Freedom and Restriction (Singapore: Palgrave Macmillan, 2017), 89–93.
[3]
Human Rights Watch, In Religion’s Name: Abuses against Religious
Minorities in Indonesia (New York: HRW, 2013), 10–12.
[4]
Rumadi Ahmad, “Fatwa, Minoritas Keagamaan, dan Ruang Publik Islam di
Indonesia,” Studia Islamika 19, no. 3 (2012): 423–425.
[5]
Wahid Foundation, Mapping Intolerance and Religious Freedom in
Indonesia (Jakarta: Wahid Institute, 2016), 47–50.
Daftar Pustaka
Ahmad, R. (2012). Fatwa,
minoritas keagamaan, dan ruang publik Islam di Indonesia. Studia Islamika,
19(3), 403–431. https://doi.org/10.15408/sdi.v19i3.370
Ahmed, I. (2009). The
politics of religion in South and Southeast Asia. Journal of Islamic
Studies, 20(2), 185–190. https://doi.org/10.1093/jis/etp006
Ahmad, I. (2009). Genealogy
of the Islamic state: Reflections on Maududi's political thought and Islamism. Journal
of the Royal Anthropological Institute, 15(S1), S145–S162. https://doi.org/10.1111/j.1467-9655.2009.01550.x
Federspiel, H. M. (2001). Islam
and ideology in the emerging Indonesian state: The Persatuan Islam (Persis),
1923–1957. Leiden: Brill.
Friedmann, Y. (2003). Prophecy
continuous: Aspects of Ahmadi religious thought and its medieval background.
New Delhi: Oxford University Press.
Hefner, R. W. (Ed.).
(2011). Shari'a politics: Islamic law and society in the modern world.
Bloomington: Indiana University Press.
Human Rights Watch. (2013).
In religion’s name: Abuses against religious minorities in Indonesia.
New York: Human Rights Watch.
Khan, A. H. (2015). From
Sufism to Ahmadiyya: A Muslim minority movement in South Asia.
Bloomington: Indiana University Press.
Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM). (2012). Laporan tahunan 2012. Jakarta: Komnas
HAM.
Majelis Ulama Indonesia.
(2011). Himpunan fatwa MUI sejak 1975. Jakarta: Erlangga.
Noer, D. (1996). Gerakan
modern Islam di Indonesia 1900–1942. Jakarta: LP3ES.
Qasmi, A. U. (2014). The
Ahmadis and the politics of religious exclusion in Pakistan. London:
Anthem Press.
Ropi, I. (2017). Religion
and regulation in Indonesia: Balancing freedom and restriction. Singapore:
Palgrave Macmillan.
United Nations. (1948). Universal
Declaration of Human Rights. https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights
United Nations. (1966). International
Covenant on Civil and Political Rights. https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/international-covenant-civil-and-political-rights
Valentine, S. R. (2008). Islam
and the Ahmadiyya Jama'at: History, belief, practice. London: Columbia
University Press.
Wahid Foundation. (2016). Mapping
intolerance and religious freedom in Indonesia. Jakarta: Wahid Institute.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar