Selasa, 01 April 2025

Syiah dalam Perspektif Teologis dan Historis

Syiah dalam Perspektif Teologis dan Historis

Studi Kritis atas Mazhab Syiah dan Implikasinya


Alihkan ke: Aliran-Aliran Ilmu Kalam.


Abstrak

Artikel ini menyajikan eksplorasi komprehensif terhadap Syiah sebagai salah satu aliran dalam sejarah pemikiran dan akidah Islam. Kajian dimulai dari latar belakang historis kemunculannya pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw, yang dipicu oleh perbedaan pandangan tentang suksesi kepemimpinan umat. Artikel ini kemudian menguraikan pokok-pokok ajaran Syiah, mencakup konsep Imamah, kemaksuman Imam, serta pandangan khas terhadap sahabat Nabi, hadis, dan praktik keagamaan tertentu. Pembahasan dilanjutkan dengan pengenalan terhadap tiga cabang utama Syiah, yakni Itsna ‘Asyariyyah, Ismailiyah, dan Zaidiyah, serta perbandingannya dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dari sudut akidah, hukum, dan tradisi.

Selain itu, artikel ini juga mengungkap kontribusi intelektual Syiah dalam peradaban Islam, khususnya dalam bidang filsafat, ilmu kalam, hadis, dan pendidikan. Kritik-kritik terhadap Syiah dari perspektif Ahlus Sunnah wal Jamaah dijelaskan secara sistematis, disertai ajakan untuk bersikap ilmiah dalam menyikapi perbedaan mazhab. Artikel ini menekankan pentingnya penguatan akidah Ahlus Sunnah, adab dalam perbedaan, serta perlunya pendekatan ukhuwah Islamiyah dalam menghadapi keberagaman pemikiran dalam Islam.

Kata Kunci: Syiah, Ahlus Sunnah wal Jamaah, Imamah, Itsna ‘Asyariyyah, perbandingan mazhab, kontribusi intelektual, ukhuwah Islamiyah, kritik Syiah, sikap ilmiah.


PEMBAHASAN

Syiah dalam Perspektif Teologis dan Historis


1.           Pendahuluan

Sejak awal kemunculannya, Islam telah mengalami dinamika pemikiran yang beragam, baik dalam aspek teologi, politik, maupun praktik keagamaan. Salah satu dinamika penting yang muncul dalam sejarah Islam adalah lahirnya berbagai aliran akidah yang berkembang seiring pergulatan umat dalam memahami ajaran Islam secara komprehensif. Di antara aliran tersebut, Syiah menempati posisi penting sebagai salah satu mazhab besar dalam Islam yang memiliki sejarah panjang, pengikut yang signifikan, dan sistem teologi tersendiri yang khas.

Secara terminologis, istilah Syiah berasal dari bahasa Arab al-syī‘ah (الشيعة), yang berarti "kelompok pendukung" atau "pengikut"—khususnya merujuk pada pendukung setia Ali bin Abi Thalib, menantu dan sepupu Nabi Muhammad Saw Meskipun pada awalnya bersifat politis, gerakan Syiah lambat laun berkembang menjadi aliran teologis yang menyusun doktrin keimanan secara sistematis, terutama terkait konsep Imamah sebagai kepemimpinan spiritual dan politik umat Islam yang dianggap memiliki legitimasi ilahiah.²

Kemunculan aliran Syiah tidak dapat dilepaskan dari dinamika sejarah Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw, terutama dalam soal suksesi kepemimpinan. Perbedaan pandangan mengenai siapa yang paling berhak menggantikan Nabi menjadi titik awal dari pembentukan identitas Syiah. Dalam perspektif Syiah, kepemimpinan setelah Nabi harus berada di tangan Ahlul Bait, dimulai dari Ali bin Abi Thalib dan dilanjutkan oleh para imam dari keturunannya yang dipandang sebagai figur ma’shum (terpelihara dari dosa) dan memiliki otoritas dalam menafsirkan ajaran agama.³

Dalam sejarahnya, Syiah berkembang menjadi beberapa cabang, yang paling dominan adalah Itsna ‘Asyariyyah (Syiah Imamiyah/ Dua Belas Imam), yang kini menjadi mazhab resmi negara Iran dan dianut oleh komunitas Syiah terbesar di dunia. Selain itu, terdapat juga cabang Zaidiyah yang lebih moderat dan berkembang di Yaman, serta Ismailiyah yang lebih esoteris dan filosofis.⁴

Pemahaman terhadap aliran Syiah sangat penting dalam konteks keilmuan, terutama dalam studi perbandingan mazhab, sejarah pemikiran Islam, dan dinamika sosial-politik dunia Muslim. Pendekatan akademik yang objektif akan membantu membedakan antara fakta sejarah, pemikiran teologis, dan penilaian sektarian, sehingga dapat menciptakan pemahaman yang lebih utuh dan adil.


Footnotes

[1]                Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 12.

[2]                Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 15–16.

[3]                Sachedina, Abdulaziz. The Just Ruler in Shi'ite Islam: The Comprehensive Authority of the Jurist in Imamite Jurisprudence (New York: Oxford University Press, 1988), 28.

[4]                Heinz Halm, Shiism (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 45–47.


2.           Latar Belakang Munculnya Syiah

Munculnya aliran Syiah tidak dapat dipisahkan dari dinamika politik dan sosial umat Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw pada tahun 632 M. Persoalan inti yang menjadi pemicu awal lahirnya Syiah adalah masalah suksesi kepemimpinan, yakni siapa yang paling berhak menggantikan Nabi sebagai pemimpin umat Islam. Dalam pandangan kelompok yang kelak dikenal sebagai Syiah, kepemimpinan seharusnya dilanjutkan oleh Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi, atas dasar kedekatan nasab, kecakapan, serta berbagai pernyataan Nabi yang dipahami sebagai penunjukan terhadap dirinya.¹

Namun, dalam peristiwa di Saqifah Bani Sa‘idah, sebagian besar sahabat sepakat mengangkat Abu Bakar al-Shiddiq sebagai khalifah pertama, dengan alasan kemendesakan situasi politik dan sosial saat itu.² Meskipun Ali menerima keputusan tersebut demi menjaga persatuan umat, sebagian pengikutnya tetap meyakini bahwa hak kepemimpinan telah disisihkan secara tidak sah. Kelompok inilah yang kemudian disebut sebagai Syī‘at ‘Ali atau “pengikut Ali.”³

Dalam masa-masa awal, gerakan Syiah bersifat politis, bukan teologis. Mereka tidak menolak sahabat Nabi secara keseluruhan, tetapi lebih menekankan pada keutamaan dan hak kepemimpinan Ali. Namun, konflik-konflik politik seperti Perang Jamal dan Perang Shiffin—yang mempertemukan Ali dengan Aisyah serta Muawiyah—semakin mempertajam identitas kelompok Syiah sebagai entitas yang berbeda dari arus utama umat Islam saat itu.⁴

Puncak eskalasi yang memperkuat identitas Syiah terjadi pada peristiwa Tragedi Karbala tahun 61 H / 680 M, ketika cucu Nabi, Husain bin Ali, terbunuh secara tragis oleh pasukan Yazid bin Muawiyah. Peristiwa ini tidak hanya menjadi luka historis mendalam bagi komunitas Syiah, tetapi juga menjadi titik balik dalam pembentukan teologi Syiah yang menekankan nilai-nilai pengorbanan, keadilan, dan penolakan terhadap tirani.⁵

Sejak saat itu, Syiah mengalami transformasi dari gerakan politik menjadi aliran keagamaan yang memiliki sistem akidah, fiqh, dan struktur kepemimpinan sendiri. Doktrin Imamah pun mulai dirumuskan, dengan keyakinan bahwa para imam dari keturunan Ali dan Fatimah telah ditunjuk oleh Allah dan memiliki otoritas spiritual serta pengetahuan khusus dalam menafsirkan wahyu.⁶

Dengan demikian, Syiah lahir dari kombinasi antara loyalitas terhadap Ahlul Bait, respons terhadap realitas politik, serta keyakinan akan kepemimpinan ilahiah yang tidak semata-mata ditentukan oleh musyawarah atau konsensus umat.


Footnotes

[1]                Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 27–30.

[2]                Fred M. Donner, Muhammad and the Believers: At the Origins of Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2010), 161.

[3]                Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 15.

[4]                Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, Volume 1: The Classical Age of Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 204–206.

[5]                Heinz Halm, Shiism (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 23–26.

[6]                Abdulaziz Abdulhussein Sachedina, Islamic Messianism: The Idea of the Mahdi in Twelver Shi‘ism (Albany: State University of New York Press, 1981), 41–43.


3.           Pokok-Pokok Ajaran Syiah

Aliran Syiah, khususnya dalam tradisi Itsna ‘Asyariyyah (Dua Belas Imam), memiliki sistem teologi yang khas dan berbeda dari Ahlus Sunnah wal Jamaah. Meskipun Syiah meyakini lima rukun dasar Islam seperti syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji, mereka juga memiliki pokok-pokok akidah tersendiri yang menjadi fondasi keimanan mereka. Pokok-pokok tersebut dikenal dengan istilah uṣūl al-dīn (prinsip-prinsip agama), yang secara umum meliputi:

3.1.       Al-Tauhid (Keimanan kepada Ke-Esa-an Allah)

Syiah meyakini tauhid sebagai inti ajaran Islam yang tidak bisa dikompromikan. Namun, dalam aspek tertentu, Syiah memberikan tekanan yang kuat terhadap penolakan terhadap anthropomorphism (penyerupaan Allah dengan makhluk), serta menekankan aspek tanzih (pensucian Allah dari segala sifat makhluk).¹ Dalam konteks ini, mereka bersejalan dengan pendekatan teologis kelompok-kelompok rasional seperti Mu‘tazilah, khususnya dalam pemahaman terhadap sifat-sifat Tuhan.

3.2.       Al-‘Adl (Keadilan Ilahi)

Konsep ‘adl atau keadilan Ilahi merupakan pilar kedua dalam teologi Syiah. Mereka meyakini bahwa Allah tidak akan bertindak zalim terhadap makhluk-Nya, dan seluruh tindakan Allah harus selaras dengan prinsip keadilan.² Pemahaman ini juga berkaitan dengan kebebasan kehendak manusia (ikhtiyar), serta penolakan terhadap faham jabr (determinisme). Oleh karena itu, manusia dianggap bertanggung jawab penuh atas amal perbuatannya.

3.3.       Al-Nubuwwah (Kenabian)

Syiah meyakini para nabi sebagai perantara antara Allah dan manusia yang menerima wahyu secara langsung. Nabi terakhir adalah Muhammad Saw, yang kedudukannya sangat sentral dan tidak tergantikan. Mereka juga menekankan pentingnya kesucian dan kemaksuman para nabi, yakni terbebas dari dosa dan kesalahan dalam menyampaikan ajaran Tuhan.³

3.4.       Al-Imamah (Kepemimpinan Spiritual dan Politik)

Inilah doktrin paling khas dalam ajaran Syiah. Mereka meyakini bahwa setelah wafatnya Nabi, Allah telah menetapkan para Imam dari keturunan Ali dan Fatimah sebagai pemimpin yang sah dan ma’shum. Para Imam ini tidak hanya pemimpin politik, tetapi juga memiliki otoritas spiritual dan keilmuan yang bersumber dari wahyu secara batin.⁴ Dalam tradisi Syiah Imamiyah, terdapat dua belas Imam, dimulai dari Ali bin Abi Thalib dan diakhiri dengan Muhammad al-Mahdi, yang diyakini masih hidup dalam keadaan ghaib dan akan muncul kembali di akhir zaman sebagai penegak keadilan.⁵

3.5.       Al-Ma‘ad (Kebangkitan dan Hari Kiamat)

Seperti halnya umat Islam pada umumnya, Syiah juga meyakini adanya hari kebangkitan, hisab, surga, dan neraka. Namun, dalam beberapa literatur Syiah, penekanan terhadap pembalasan atas kezaliman, terutama kepada Ahlul Bait, menjadi aspek penting dari narasi eskatologi mereka.⁶ Keyakinan ini juga terkait dengan doktrin raj‘ah, yaitu kembalinya sebagian orang (termasuk Imam tertentu) ke dunia sebelum kiamat untuk menegakkan keadilan dan membalas kezaliman yang telah terjadi.

3.6.       Tambahan Pokok Ajaran Khusus: Taqiyyah dan Wilayah

Selain lima pokok di atas, Syiah juga dikenal dengan dua konsep penting berikut:

·                     Taqiyyah, yakni menyembunyikan keyakinan demi menjaga keselamatan jiwa dalam situasi yang membahayakan. Ajaran ini muncul dari pengalaman historis minoritas yang sering mendapat tekanan.⁷

·                     Wilayah, yaitu konsep loyalitas dan kecintaan mutlak kepada para Imam Ahlul Bait. Wilayah menjadi dasar hubungan spiritual antara umat dan para Imam, dan bahkan dianggap sebagai bagian penting dari keimanan.⁸


Footnotes

[1]                Abdulaziz Abdulhussein Sachedina, Islamic Messianism: The Idea of the Mahdi in Twelver Shi‘ism (Albany: State University of New York Press, 1981), 22–23.

[2]                Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 164–165.

[3]                Sayyid Muhammad Rizvi, Elements of Islamic Belief: Based on Shi'a School of Thought (Toronto: Islamic Education and Information Centre, 2004), 27–29.

[4]                Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 33–34.

[5]                Heinz Halm, Shiism (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 70–73.

[6]                Etan Kohlberg, Belief and Law in Imami Shi‘ism (Aldershot: Variorum, 1991), 234–235.

[7]                Farhad Daftary, A Short History of the Ismailis: Traditions of a Muslim Community (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1998), 21.

[8]                Abdulaziz A. Sachedina, The Just Ruler in Shi'ite Islam: The Comprehensive Authority of the Jurist in Imamite Jurisprudence (New York: Oxford University Press, 1988), 45–46.


4.           Cabang-Cabang dan Perbandingan Antar Cabang Syiah

4.1.       Cabang-Cabang Syiah

Meskipun memiliki akar historis dan teologis yang sama, aliran Syiah dalam perkembangannya terbagi menjadi beberapa cabang utama. Perbedaan ini muncul karena perbedaan pandangan mengenai silsilah Imamah, serta isu-isu politik, filsafat, dan spiritualitas yang berkembang di berbagai wilayah. Tiga cabang utama Syiah yang dikenal dalam sejarah Islam adalah Itsna ‘Asyariyyah (Imamiyah/ Dua Belas Imam), Ismailiyah, dan Zaidiyah. Masing-masing memiliki ciri khas dalam aspek akidah, fikih, dan pengamalan keagamaan.

4.1.1.      Syiah Itsna ‘Asyariyyah (Imamiyah / Dua Belas Imam)

Kelompok ini adalah cabang terbesar dalam Syiah, yang meyakini adanya dua belas Imam sebagai penerus spiritual dan politik Nabi Muhammad Saw. Imamah dimulai dari Ali bin Abi Thalib hingga Muhammad al-Mahdi, yang dipercaya oleh penganutnya sebagai Imam ke-12 yang masih hidup dalam keadaan ghaib (ghaibah kubra) dan akan muncul kembali di akhir zaman sebagai Al-Mahdi al-Muntazhar (Juru Selamat yang Dinanti).¹

Syiah Imamiyah berkembang pesat di wilayah Iran, Irak, Lebanon (Hizbullah), dan sebagian wilayah Teluk, dan kini merupakan mazhab resmi negara Republik Islam Iran sejak revolusi tahun 1979.² Sistem teologinya sangat sistematis, dengan penekanan pada konsep Wilayat al-Faqih (otoritas keagamaan oleh ulama) dalam masa ketiadaan Imam.³

4.1.2.      Syiah Ismailiyah

Ismailiyah merupakan cabang Syiah yang meyakini bahwa Isma‘il bin Ja‘far, putra Imam Ja‘far al-Shadiq, adalah Imam ketujuh yang sah, berbeda dengan Imamiyah yang menganggap Musa al-Kazhim sebagai Imam setelah Ja‘far.⁴ Perbedaan ini memicu perpecahan yang signifikan, karena Isma‘il wafat lebih dulu dari ayahnya, namun pengikutnya tetap meyakini keberlangsungan imamah dari garis keturunannya.

Ismailiyah cenderung bersifat esoteris, dengan pemikiran filsafat yang kuat, serta penafsiran batiniah terhadap teks-teks agama.⁵ Dalam sejarahnya, mereka pernah membentuk Daulah Fatimiyah di Mesir (909–1171 M), dan kini memiliki pengikut dalam komunitas Nizari Ismailiyah yang dipimpin oleh Aga Khan.⁶ Ismailiyah juga dikenal dengan warisan intelektual yang luas, terutama dalam bidang logika, filsafat, dan ilmu kebatinan.

4.1.3.      Syiah Zaidiyah

Zaidiyah merupakan cabang Syiah yang paling dekat dengan Ahlus Sunnah dalam hal fikih dan pemikiran teologi. Mereka mengakui Zaid bin Ali, cucu dari Husain bin Ali, sebagai Imam setelah Ali Zainal Abidin.⁷ Berbeda dengan Imamiyah dan Ismailiyah, Zaidiyah tidak menganggap Imam sebagai ma’shum dan tidak meyakini keberadaan Imam ghaib. Mereka juga berpendapat bahwa keimaman bisa diperoleh oleh siapa pun dari keturunan Hasan dan Husain yang memenuhi syarat dan menyatakan revolusi menegakkan kebenaran.

Mazhab ini berkembang terutama di wilayah Yaman Utara, dan menjadi dasar kekuasaan politik Imamah Zaidi di sana hingga awal abad ke-20.⁸ Dalam praktik ibadah dan hukum Islam, Zaidiyah banyak mengadopsi pendekatan fikih Hanafi dan Syafi‘i, sehingga sering dianggap sebagai jembatan antara Sunni dan Syiah.

4.2.       Perbandingan Ringkas Cabang-Cabang Syiah

4.2.1.      Syiah Itsna ‘Asyariyyah (Imamiyah / Dua Belas Imam)

·                     Imam ke-7: Musa al-Kazhim

·                     Jumlah Imam: 12

·                     Imam Ghaib: Diyakini, yaitu Imam ke-12 (Muhammad al-Mahdi)

·                     Kemaksuman Imam: Ya (ma’shum)

·                     Fikih: Fikih khas Imamiyah

·                     Wilayah utama: Iran, Irak, Lebanon

4.2.2.      Syiah Ismailiyah

·                     Imam ke-7: Isma‘il bin Ja‘far

·                     Jumlah Imam: Bervariasi, tergantung cabang Ismailiyah (Nizariyah, Musta’liyah, dll.)

·                     Imam Ghaib: Diyakini oleh sebagian kelompok

·                     Kemaksuman Imam: Ya (ma’shum)

·                     Fikih: Bercorak batiniah dan esoterik

·                     Wilayah utama: India, Pakistan, Afrika Timur, Asia Tengah

4.2.3.    Syiah Zaidiyah

·                     Imam ke-7: Tidak spesifik; mereka mengakui Zaid bin Ali sebagai Imam setelah Ali Zainal Abidin

·                     Jumlah Imam: Tidak dibatasi; setiap keturunan Hasan atau Husain yang memenuhi syarat dapat menjadi Imam

·                     Imam Ghaib: Tidak diyakini

·                     Kemaksuman Imam: Tidak dianggap ma’shum

·                     Fikih: Mirip dengan fikih Sunni (terutama Hanafi dan Syafi‘i)

·                     Wilayah utama: Yaman


Footnotes

[1]                Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 45–47.

[2]                Hamid Algar, The Roots of the Islamic Revolution in Iran (New York: Islamic Publications International, 2001), 33–34.

[3]                Abdulaziz Sachedina, The Just Ruler in Shi'ite Islam: The Comprehensive Authority of the Jurist in Imamite Jurisprudence (New York: Oxford University Press, 1988), 93–95.

[4]                Heinz Halm, Shiism (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 49–50.

[5]                Farhad Daftary, The Isma‘ilis: Their History and Doctrines (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 63.

[6]                Shafique N. Virani, The Ismailis in the Middle Ages: A History of Survival, a Search for Salvation (New York: Oxford University Press, 2007), 112.

[7]                Wilferd Madelung, Religious Trends in Early Islamic Iran (Albany: SUNY Press, 1985), 104.

[8]                R. B. Serjeant, The Zaidi Imams of Yemen (London: Royal Asiatic Society, 1968), 17–18.


5.           Perbandingan dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah

Perbedaan antara Syiah, khususnya cabang Itsna ‘Asyariyyah (Imamiyah), dan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) bukan hanya dalam aspek politik sejarah, tetapi juga dalam struktur akidah, sumber hukum, dan otoritas keagamaan. Berikut adalah poin-poin perbandingan utama yang dapat dijelaskan secara ilmiah:

5.1.       Pandangan tentang Kepemimpinan (Imamah vs Khilafah)

·                     Syiah Imamiyah meyakini bahwa kepemimpinan (Imamah) merupakan rukun agama dan merupakan hak Ahlul Bait, khususnya para imam yang telah ditetapkan oleh Allah melalui wahyu. Imam dianggap ma’shum dan memiliki otoritas spiritual serta penafsiran sah terhadap wahyu.¹

·                     Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa kepemimpinan setelah Nabi adalah masalah ijtihadiyah, bukan bagian dari rukun iman. Pemilihan khalifah dilakukan melalui musyawarah dan bai’at oleh umat. Tidak ada konsep kemaksuman dalam diri khalifah.²

5.2.       Pandangan tentang Sahabat Nabi

·                     Syiah membedakan sahabat Nabi dalam dua kategori: yang setia kepada Ali dan Ahlul Bait, dan yang dianggap menyimpang. Beberapa sahabat terkemuka, seperti Abu Bakar, Umar, dan Aisyah, dikritik keras dalam literatur Syiah klasik karena dianggap merampas hak kepemimpinan Ali.³

·                     Ahlus Sunnah memuliakan seluruh sahabat Nabi secara umum, termasuk Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Mereka diyakini sebagai generasi terbaik umat Islam dan adil dalam menyampaikan agama.⁴

5.3.       Sumber Ajaran dan Hadis

·                     Syiah lebih mengandalkan riwayat dari Ahlul Bait dan para murid mereka sebagai sumber utama hadis. Kitab-kitab utama hadis Syiah antara lain Al-Kāfī oleh Al-Kulainī, Man Lā Yaḥḍuruhu al-Faqīh oleh Al-Shaykh al-Ṣadūq, dan Tahdzib al-Ahkam oleh Al-Ṭūsī.⁵

·                     Ahlus Sunnah menerima hadis yang diriwayatkan oleh seluruh sahabat yang tsiqah, tanpa membatasi hanya pada Ahlul Bait. Kitab hadis utama mereka mencakup Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, dan kitab-kitab Sunan lainnya.⁶

5.4.       Konsep Kemaksuman

·                     Syiah Imamiyah meyakini bahwa para Imam adalah ma’shum, yakni terjaga dari dosa dan kesalahan baik dalam perbuatan maupun penyampaian ilmu agama.⁷

·                     Ahlus Sunnah hanya menganggap Nabi Muhammad Saw sebagai ma’shum dalam menyampaikan wahyu. Para khalifah, ulama, dan tokoh umat dianggap sebagai manusia biasa yang bisa benar dan salah.

5.5.       Praktik Keagamaan

·                     Syiah memiliki beberapa perbedaan dalam praktik ibadah, seperti penggabungan waktu salat (tanpa sebab tertentu), adzan tanpa lafaz "ash-shalatu khairun min al-naum", dan sujud di atas tanah (turbah). Mereka juga memiliki perayaan 'Ashura yang sangat menonjol sebagai bentuk penghormatan terhadap Imam Husain.⁸

·                     Ahlus Sunnah umumnya memisahkan waktu salat, mengumandangkan adzan sesuai dengan kebiasaan sejak zaman Nabi, dan sujud di atas permukaan apa pun yang suci. Peringatan 'Ashura dilakukan dengan puasa sunnah, bukan dengan ritual duka cita.

5.6.       Kedudukan Ahlul Bait

·                     Syiah menempatkan Ahlul Bait (keturunan Nabi dari jalur Fatimah dan Ali) sebagai pusat teologi, sumber otoritas keilmuan, dan simbol spiritual utama. Wilayah (loyalitas kepada Ahlul Bait) dianggap bagian dari keimanan.⁹

·                     Ahlus Sunnah juga memuliakan Ahlul Bait, namun tetap menjaga keseimbangan dalam penghormatan terhadap seluruh sahabat. Ahlul Bait dimuliakan sebagai keluarga Nabi, tetapi tidak diberi status ma’shum.

5.7.       Struktur Ulama dan Kewenangan Religius

·                     Syiah Imamiyah memiliki struktur marja‘ taqlid, yakni ulama besar yang menjadi rujukan dalam urusan fikih. Dalam konteks Iran, ulama bahkan memiliki otoritas politik melalui konsep Wilāyat al-Faqīh.¹⁰

·                     Ahlus Sunnah tidak mengenal struktur otoritas tunggal dalam agama. Keputusan-keputusan keagamaan bersifat desentralisasi melalui mazhab-mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi‘i, Hanbali).


Footnotes

[1]                Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 151–153.

[2]                Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 35.

[3]                Heinz Halm, Shiism (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 19–20.

[4]                Jonathan A.C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices of Interpreting the Prophet's Legacy (Oxford: Oneworld Publications, 2014), 102.

[5]                Etan Kohlberg, Belief and Law in Imami Shi‘ism (Aldershot: Variorum, 1991), 32.

[6]                Harald Motzki, Hadith: Origins and Developments (Aldershot: Ashgate, 2004), 86.

[7]                Abdulaziz Sachedina, Islamic Messianism: The Idea of the Mahdi in Twelver Shi‘ism (Albany: SUNY Press, 1981), 44.

[8]                Hamid Dabashi, Shi‘ism: A Religion of Protest (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 89.

[9]                S.H.M. Jafri, The Origins and Early Development of Shi‘a Islam (London: Longman, 1979), 62.

[10]             Abdulaziz Sachedina, The Just Ruler in Shi‘ite Islam: The Comprehensive Authority of the Jurist in Imamite Jurisprudence (New York: Oxford University Press, 1988), 99–101.


6.           Kontribusi Syiah dalam Sejarah Islam

Meskipun sering kali menjadi minoritas dalam sejarah umat Islam, komunitas Syiah telah memberikan kontribusi signifikan dalam berbagai bidang kehidupan keislaman, khususnya dalam pengembangan ilmu keislaman, filsafat, tasawuf, serta lembaga pendidikan. Kontribusi ini tidak hanya terbatas pada wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kekuatan Syiah, tetapi juga dalam konteks umum peradaban Islam.

6.1.       Kontribusi dalam Ilmu Hadis dan Ushuluddin

·                     Para ulama Syiah, khususnya dari tradisi Imamiyah, memiliki warisan keilmuan yang kaya dalam bidang ilmu hadis, fiqh, dan teologi (kalam). Salah satu karya hadis paling terkenal dalam tradisi Syiah adalah Al-Kāfī karya Al-Kulainī (w. 941 M), yang dianggap sebagai salah satu kitab hadis otoritatif oleh kalangan Syiah Imamiyah

·                     Dalam bidang teologi, tokoh seperti Syaikh Al-Mufid (w. 1022 M) dan Al-‘Allāmah Al-Hilli (w. 1325 M) memainkan peran penting dalam sistematisasi doktrin Syiah dan penulisan kitab-kitab kalam yang berpengaruh.²

6.2.       Kontribusi dalam Filsafat dan Pemikiran Rasional

·                     Pemikir Syiah banyak terlibat dalam pengembangan filsafat Islam, terutama melalui figur-figur seperti Nasir al-Din al-Tusi (w. 1274 M), yang dikenal karena kontribusinya dalam logika, astronomi, dan filsafat teologi.³ Ia turut memperkaya warisan intelektual Islam melalui karyanya Tajrid al-I‘tiqād, yang menjadi rujukan penting dalam diskursus teologi rasional Syiah dan juga dipelajari oleh kalangan Sunni.

·                     Tokoh lain, Mulla Sadra (w. 1640 M), menjadi pionir dalam mazhab hikmah muta‘āliyah (filsafat transendental), yang menggabungkan filsafat, teosofi, dan intuisi spiritual (kasyf).⁴ Pemikirannya masih berpengaruh kuat di Iran modern dan lembaga-lembaga pendidikan tinggi Syiah.

6.3.       Peran dalam Lembaga Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan

·                     Komunitas Syiah mendirikan pusat-pusat pendidikan Islam (hawzah ilmiyyah) yang sangat berpengaruh, seperti Hawzah Najaf di Irak dan Hawzah Qom di Iran. Institusi ini menjadi pusat pembelajaran fikih, akidah, logika, dan tafsir bagi kalangan Syiah dan bahkan terbuka bagi mahasiswa internasional.⁵

·                     Di masa Dinasti Buyid (945–1055 M) dan Safawiyah (1501–1736 M), Syiah memainkan peran penting dalam mensponsori ilmuwan dan mendukung perkembangan intelektual Islam, termasuk melalui penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab dan Persia.⁶

6.4.       Kontribusi dalam Sejarah Politik dan Kebudayaan

·                     Dalam bidang politik, Syiah telah melahirkan berbagai dinasti dan negara yang berpengaruh dalam sejarah Islam, antara lain:

(#) Dinasti Fatimiyah (909–1171 M) di Mesir, yang mendirikan Universitas Al-Azhar dan memberikan pengaruh besar dalam pendidikan dan administrasi negara.⁷

(#) Dinasti Safawiyah di Persia, yang menjadikan Syiah Imamiyah sebagai mazhab resmi dan membentuk identitas nasional Iran yang kuat hingga kini.⁸

·                     Syiah juga memberikan kontribusi dalam seni, arsitektur, dan sastra Islam, termasuk dalam tradisi puisi religius (seperti marsiyah dan noha) yang berkembang pesat dalam konteks peringatan Karbala dan perjuangan Imam Husain.

6.5.       Peran dalam Pemikiran Sosial dan Perlawanan

·                     Konsep keadilan, penindasan (zulm), dan pemberontakan terhadap tirani menjadi tema sentral dalam pemikiran politik Syiah, terutama setelah peristiwa Karbala. Hal ini menginspirasi banyak gerakan sosial dan politik, seperti revolusi Iran 1979 yang dipimpin oleh Ayatollah Ruhollah Khomeini, yang menggabungkan ide-ide spiritual dan politik dalam kerangka Wilayat al-Faqih.⁹

·                     Spirit keberpihakan kepada yang tertindas (mustadh‘afin) menjadi bagian dari nilai perjuangan Syiah yang menginspirasi berbagai pergerakan perlawanan di Timur Tengah, termasuk di Lebanon, Irak, dan Palestina.


Footnotes

[1]                Al-Kulaini, Al-Kāfī, ed. Ali Akbar al-Ghaffari (Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1981), jilid 1, pendahuluan.

[2]                Etan Kohlberg, Belief and Law in Imami Shi‘ism (Aldershot: Variorum, 1991), 115–117.

[3]                Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 85.

[4]                Mulla Sadra, Asfar al-Arba‘ah, ed. Muhammad Rida al-Muzaffar (Teheran: Sadr Institute, 1981), pendahuluan.

[5]                Linda S. Walbridge, The Most Learned of the Shi‘a: The Institution of the Marja‘ Taqlid (New York: Oxford University Press, 2001), 46–48.

[6]                Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, Vol. 2 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 34–36.

[7]                Heinz Halm, Shiism (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 65–67.

[8]                Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 148–149.

[9]                Hamid Algar, The Roots of the Islamic Revolution in Iran (New York: Islamic Publications International, 2001), 57–59.


7.           Kritik terhadap Syiah

Sebagai salah satu aliran dalam Islam, Syiah telah menjadi subjek kritik dari berbagai kalangan, terutama dari Ahlus Sunnah wal Jamaah. Kritik-kritik ini mencakup aspek akidah, sumber hukum, praktik keagamaan, dan pandangan terhadap sahabat Nabi. Berikut adalah beberapa kritik utama yang sering disampaikan:

7.1.       Konsep Imamah dan Kemaksuman Imam

·                     Kritik: Syiah Imamiyah meyakini bahwa para Imam adalah ma’shum (terjaga dari dosa dan kesalahan), memiliki otoritas spiritual, dan merupakan penerus langsung Nabi Muhammad Saw dalam memimpin umat.¹

·                     Pandangan Sunni: Ahlus Sunnah wal Jamaah menolak konsep kemaksuman selain pada Nabi Muhammad Saw dan menganggap bahwa kepemimpinan umat ditentukan melalui musyawarah dan bai’at, bukan melalui penunjukan ilahi.²

7.2.       Pandangan terhadap Sahabat Nabi

·                     Kritik: Beberapa literatur Syiah mengandung kritik keras terhadap sahabat Nabi, terutama Abu Bakar, Umar, dan Aisyah, yang dianggap telah merampas hak kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.³

·                     Pandangan Sunni: Ahlus Sunnah wal Jamaah memuliakan seluruh sahabat Nabi secara umum dan menganggap mereka sebagai generasi terbaik umat Islam.⁴

7.3.       Sumber Hadis dan Validitasnya

·                     Kritik: Syiah memiliki koleksi hadis tersendiri, seperti Al-Kāfī karya Al-Kulainī, yang oleh sebagian kalangan Sunni dianggap mengandung riwayat-riwayat lemah atau bertentangan dengan ajaran Islam.⁵

·                     Pandangan Sunni: Ahlus Sunnah memiliki metodologi ketat dalam menilai hadis, dan sebagian ulama Sunni menganggap bahwa metodologi periwayatan hadis Syiah kurang akurat dan ilmiah.⁶

7.4.       Praktik Taqiyyah (Penyamaran Keimanan)

·                     Kritik: Syiah membolehkan taqiyyah, yaitu menyembunyikan keyakinan dalam kondisi tertentu untuk menjaga keselamatan diri. Hal ini oleh sebagian pihak dianggap sebagai pembenaran untuk berbohong.⁷

·                     Pandangan Sunni: Ahlus Sunnah umumnya tidak mengadopsi praktik taqiyyah secara luas dan menekankan kejujuran dalam menyampaikan kebenaran, meskipun dalam kondisi sulit.

7.5.       Praktik Nikah Mut’ah (Perkawinan Sementara)

·                     Kritik: Syiah membolehkan nikah mut’ah, yaitu perkawinan dengan batas waktu tertentu. Praktik ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai legalisasi prostitusi dan bertentangan dengan nilai-nilai pernikahan dalam Islam.⁸

·                     Pandangan Sunni: Ahlus Sunnah wal Jamaah mengharamkan nikah mut’ah dan menganggap bahwa pernikahan harus bersifat permanen dan berdasarkan komitmen jangka panjang.

7.6.       Perayaan Asyura dan Praktik Tatbir

·                     Kritik: Dalam memperingati hari Asyura, sebagian penganut Syiah melakukan tatbir, yaitu menyakiti diri sendiri sebagai bentuk duka atas wafatnya Imam Husain. Praktik ini oleh banyak ulama dianggap sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.⁹

·                     Pandangan Sunni: Ahlus Sunnah memperingati Asyura dengan puasa sunnah, bukan dengan praktik-praktik yang menyakiti diri.

7.7.       Tuduhan terhadap Al-Qur’an

·                     Kritik: Beberapa riwayat dalam literatur Syiah, seperti dalam Al-Kāfī, menyebutkan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang dibawa oleh Jibril kepada Nabi Muhammad Saw berjumlah 17.000 ayat, yang oleh sebagian kalangan Sunni dianggap sebagai indikasi adanya keyakinan tentang tahrif (perubahan) Al-Qur’an.¹⁰

·                     Pandangan Sunni: Ahlus Sunnah meyakini bahwa Al-Qur’an terjaga keasliannya dan tidak mengalami perubahan sejak diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.


Footnotes

[1]                Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 151–153.

[2]                Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 35.

[3]                Heinz Halm, Shiism (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 19–20.

[4]                Jonathan A.C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices of Interpreting the Prophet's Legacy (Oxford: Oneworld Publications, 2014), 102.

[5]                Etan Kohlberg, Belief and Law in Imami Shi‘ism (Aldershot: Variorum, 1991), 32.

[6]                Ahmad al-Afghaanee, The Mirage in Iran (Tawheed Publications, 1985), 45.

[7]                Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2005), 93.

[8]                Shahla Haeri, Law of Desire: Temporary Marriage in Shi‘i Iran (Syracuse: Syracuse University Press, 1989), x.

[9]                Hamid Dabashi, Shi‘ism: A Religion of Protest (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 89.

[10]             Al-Kulaini, Al-Kāfī, ed. Ali Akbar al-Ghaffari (Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1981), Juz II, 634.


8.           Sikap Ilmiah dalam Menyikapi Syiah

Dalam dunia keilmuan Islam, keberadaan berbagai aliran pemikiran, termasuk Syiah, merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah intelektual umat Islam. Perbedaan antara Ahlus Sunnah wal Jamaah dan Syiah bukan sekadar perbedaan pandangan teologis, tetapi juga merupakan hasil dari dinamika sosial-politik, budaya, dan pergulatan intelektual selama berabad-abad. Oleh karena itu, menyikapi perbedaan ini menuntut pendekatan ilmiah yang objektif, proporsional, dan berlandaskan prinsip ukhuwah Islamiyah.

8.1.       Membedakan antara Kajian Akademik dan Penilaian Dogmatis

·                     Kajian terhadap Syiah perlu diletakkan dalam kerangka studi perbandingan mazhab, bukan sebagai ajang pembenaran sepihak atau penghakiman mutlak. Pendekatan seperti ini memungkinkan para pelajar dan peneliti untuk memahami posisi teologis, metodologis, dan historis Syiah secara adil.¹

·                     Dalam ranah akademik, objektivitas dan penggunaan sumber primer yang kredibel dari masing-masing mazhab sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman dan bias sektarian.²

8.2.       Menghindari Takfir dan Fanatisme Mazhab

·                     Salah satu prinsip penting dalam menyikapi perbedaan adalah menghindari sikap takfir (mengafirkan) terhadap kelompok lain yang masih mengakui dua kalimat syahadat, salat, dan rukun Islam yang pokok. Mayoritas ulama Ahlus Sunnah, seperti Imam al-Ghazali, menekankan bahwa perbedaan dalam hal ijtihadiyah tidak boleh menjadi dasar pengkafiran

·                     Fanatisme mazhab yang berlebihan juga dapat memecah belah umat dan menimbulkan konflik horizontal yang tidak produktif. Sebaliknya, sikap tasamuh (toleransi) dan adab al-ikhtilaf (etika perbedaan) perlu dikedepankan dalam kehidupan bermasyarakat.⁴

8.3.       Menjaga Persatuan Umat dan Ukhuwah Islamiyah

·                     Dalam konteks modern, umat Islam dihadapkan pada tantangan global yang menuntut solidaritas dan kerjasama lintas mazhab. Memperbesar titik temu dan memperkecil titik perbedaan adalah pendekatan yang lebih maslahat. Ulama seperti Dr. Yusuf al-Qaradawi dan Sayyid Muhammad Bāqir al-Sadr pernah menyerukan pentingnya taqrib bayna al-mazahib (pendekatan antar mazhab) sebagai jalan keluar dari konflik sektarian.⁵

·                     Prinsip ini juga ditegaskan dalam dokumen Risalah Amman (Amman Message, 2004) yang ditandatangani oleh ratusan ulama dari berbagai mazhab Islam, termasuk Sunni dan Syiah, yang mengakui keabsahan mazhab-mazhab tersebut dalam Islam.⁶

8.4.       Menguatkan Akidah Ahlus Sunnah dengan Ilmu dan Hikmah

·                     Sambil tetap memahami keberagaman pemikiran Islam, umat Ahlus Sunnah dituntut untuk menguatkan akidahnya sendiri melalui kajian mendalam terhadap Al-Qur'an, hadis, dan karya-karya ulama yang kredibel. Sikap ini akan membentuk kepercayaan diri dalam bermazhab tanpa merasa perlu menyerang kelompok lain.

·                     Imam Syafi‘i dalam al-Risalah mencontohkan bagaimana seseorang bisa berpegang teguh pada kebenaran pendapatnya, sambil tetap menghargai pendapat orang lain yang berbeda.⁷

8.5.       Menjadikan Perbedaan Sebagai Sarana Menambah Wawasan

·                     Perbedaan antar mazhab seharusnya tidak selalu dilihat sebagai ancaman, melainkan dapat menjadi sarana untuk memperluas wawasan keislaman, mendalami khazanah intelektual Islam, dan meningkatkan semangat untuk meneliti dan berdiskusi.

·                     Dalam tradisi klasik Islam, perdebatan antara ulama Sunni dan Syiah berlangsung secara terbuka namun tetap ilmiah, sebagaimana tampak dalam karya-karya seperti al-Milal wa al-Nihal karya al-Syahrastani.⁸


Kesimpulan Sementara

Sikap ilmiah terhadap Syiah haruslah didasarkan pada pemahaman yang mendalam, pengkajian sumber primer, dan penghormatan terhadap khazanah pemikiran Islam. Umat Islam perlu menyikapi perbedaan ini dengan kearifan, keseimbangan antara prinsip dan toleransi, serta komitmen terhadap persatuan umat.


Footnotes

[1]                Farhad Daftary, A History of Shi‘i Islam (London: I.B. Tauris, 2013), x–xi.

[2]                William C. Chittick, The Heart of Islamic Philosophy (New York: Oxford University Press, 2001), 12.

[3]                Al-Ghazali, Faysal al-Tafriqah bayn al-Islam wa al-Zandaqah, ed. Muhammad Mustafa Abu al-A‘la (Cairo: Dar al-Salam, 1993), 87–88.

[4]                Taha Jabir Al-Alwani, Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 45.

[5]                Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Jihad (Cairo: Maktabah Wahbah, 2009), 1016.

[6]                Royal Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought, The Amman Message, accessed January 2025, https://ammanmessage.com.

[7]                Muhammad ibn Idris al-Shafi‘i, al-Risalah, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Cairo: Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah, 1940), 20.

[8]                Muhammad ibn ‘Abd al-Karim al-Shahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1993), 142–145.


9.           Penutup

9.1.       Kesimpulan

Eksplorasi terhadap Syiah sebagai salah satu aliran dalam Islam menunjukkan bahwa perbedaan yang ada antara Syiah dan Ahlus Sunnah wal Jamaah mencakup berbagai aspek fundamental dalam teologi, kepemimpinan, fikih, dan tradisi keagamaan. Akar historisnya berawal dari persoalan suksesi kepemimpinan pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw, yang kemudian berkembang menjadi sistem keyakinan dan pemikiran tersendiri yang sistematis, terutama dalam tradisi Syiah Imamiyah (Itsna ‘Asyariyyah)

Syiah telah memberikan kontribusi dalam berbagai bidang keilmuan seperti filsafat, hadis, fikih, hingga institusi pendidikan.² Namun demikian, sejumlah kritik teologis dan metodologis tetap dilayangkan oleh Ahlus Sunnah, khususnya terkait konsep Imamah, kemaksuman Imam, pandangan terhadap sahabat Nabi, serta praktik-praktik keagamaan tertentu seperti taqiyyah, nikah mut’ah, dan tatbir

Dalam konteks ini, pendekatan ilmiah sangat penting untuk mengkaji perbedaan tersebut secara objektif, jujur, dan adil, dengan tetap memegang teguh akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Keberadaan Syiah sebagai salah satu mazhab dalam sejarah Islam dapat menjadi bahan kajian intelektual yang mendorong sikap kritis sekaligus toleran dalam memahami keragaman umat.

9.2.       Rekomendasi (dalam Kerangka Ahlus Sunnah wal Jamaah)

1)                  Memperkuat Pemahaman Akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah

Umat Islam, khususnya generasi muda, perlu dibekali dengan pemahaman akidah yang benar berdasarkan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah. Pembelajaran harus dilakukan secara mendalam dan sistematis melalui kitab-kitab ulama terpercaya seperti al-‘Aqidah al-Tahawiyyah dan al-Fiqh al-Akbar karya Imam Abu Hanifah.⁴

2)                  Menjaga Akhlak dan Adab dalam Perbedaan

Meskipun terdapat perbedaan mendasar dengan Syiah, dialog dan perbedaan hendaknya dihadapi dengan akhlak mulia dan adab al-ikhtilaf sebagaimana diajarkan oleh ulama salaf. Hindari sikap fanatik dan caci maki, serta kedepankan hujjah ilmiah yang santun.⁵

3)                  Melakukan Kajian Ilmiah terhadap Literatur Syiah

Pelajar dan akademisi Ahlus Sunnah perlu mengkaji literatur Syiah dari sumber primer yang otentik agar bisa memahami dengan benar dan tidak hanya berdasarkan narasi sekunder atau polemik semata. Hal ini penting untuk menyusun argumen dakwah dan bantahan yang rasional serta bertanggung jawab.⁶

4)                  Menghindari Takfir, Mengedepankan Ukhuwah

Selama seseorang masih mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan salat, dan meyakini pokok-pokok Islam, maka ia tidak boleh mudah dikafirkan. Ulama besar seperti Imam al-Ghazali telah mengingatkan agar tidak gegabah dalam menyesatkan kelompok lain kecuali dengan bukti yang sangat jelas.⁷

5)                  Menjaga Persatuan Umat Islam dalam Keragaman Mazhab

Di tengah tantangan global yang dihadapi umat Islam hari ini, seperti sekularisme, Islamofobia, dan penjajahan budaya, penting untuk membangun solidaritas umat tanpa mencairkan prinsip-prinsip akidah. Perbedaan mazhab tidak boleh dijadikan alat perpecahan, tetapi harus dihadapi dengan hikmah dan strategi dakwah yang tepat.⁸


Footnotes

[1]                Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 45–46.

[2]                Farhad Daftary, A History of Shi‘i Islam (London: I.B. Tauris, 2013), 104–106.

[3]                Heinz Halm, Shiism (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 67–69.

[4]                Abu Ja‘far al-Tahawi, al-‘Aqidah al-Tahawiyyah, ed. Ahmad Shakir (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1972), 11.

[5]                Taha Jabir al-Alwani, Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 62–63.

[6]                Etan Kohlberg, Belief and Law in Imami Shi‘ism (Aldershot: Variorum, 1991), 12–14.

[7]                Al-Ghazali, Faysal al-Tafriqah bayn al-Islam wa al-Zandaqah, ed. Muhammad Mustafa Abu al-A‘la (Cairo: Dar al-Salam, 1993), 84–85.

[8]                Royal Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought, The Amman Message, accessed January 2025, https://ammanmessage.com.


Daftar Pustaka

Al-Ghazali. (1993). Faysal al-Tafriqah bayn al-Islam wa al-Zandaqah (M. M. Abu al-A‘la, Ed.). Cairo: Dar al-Salam.

Al-Kulaini. (1981). Al-Kāfī (A. A. al-Ghaffari, Ed.). Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah.

Al-Shafi‘i, M. I. (1940). Al-Risalah (A. M. Shakir, Ed.). Cairo: Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah.

Al-Shahrastani, M. A. K. (1993). Al-Milal wa al-Nihal. Beirut: Dar al-Ma‘rifah.

Alwani, T. J. (1992). Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam. Beirut: Dar al-Fikr.

Brown, J. A. C. (2014). Misquoting Muhammad: The challenge and choices of interpreting the Prophet’s legacy. Oxford: Oneworld Publications.

Crone, P. (2005). Medieval Islamic political thought. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Dabashi, H. (2011). Shi‘ism: A religion of protest. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Daftary, F. (1990). The Isma‘ilis: Their history and doctrines. Cambridge: Cambridge University Press.

Daftary, F. (2013). A history of Shi‘i Islam. London: I.B. Tauris.

Donner, F. M. (2010). Muhammad and the believers: At the origins of Islam. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Haeri, S. (1989). Law of desire: Temporary marriage in Shi‘i Iran. Syracuse: Syracuse University Press.

Halm, H. (2004). Shiism. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Hodgson, M. G. S. (1974). The venture of Islam, Volume 1: The classical age of Islam. Chicago: University of Chicago Press.

Hodgson, M. G. S. (1974). The venture of Islam, Volume 2: Conscience and history in a world civilization. Chicago: University of Chicago Press.

Kohlberg, E. (1991). Belief and law in Imami Shi‘ism. Aldershot: Variorum.

Madelung, W. (1997). The succession to Muhammad: A study of the early caliphate. Cambridge: Cambridge University Press.

Momen, M. (1985). An introduction to Shi‘i Islam: The history and doctrines of Twelver Shi‘ism. New Haven: Yale University Press.

Motzki, H. (2004). Hadith: Origins and developments. Aldershot: Ashgate.

Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in Islam. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Royal Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought. (2004). The Amman message. Retrieved January 2025, from https://ammanmessage.com

Sachedina, A. A. (1981). Islamic messianism: The idea of the Mahdi in Twelver Shi‘ism. Albany: State University of New York Press.

Sachedina, A. A. (1988). The just ruler in Shi‘ite Islam: The comprehensive authority of the jurist in Imamite jurisprudence. New York: Oxford University Press.

Serjeant, R. B. (1968). The Zaidi Imams of Yemen. London: Royal Asiatic Society.

Shahrastani, M. A. K. (1993). Al-Milal wa al-Nihal. Beirut: Dar al-Ma‘rifah.

Virani, S. N. (2007). The Ismailis in the Middle Ages: A history of survival, a search for salvation. New York: Oxford University Press.

Walbridge, L. S. (2001). The most learned of the Shi‘a: The institution of the Marja‘ Taqlid. New York: Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar