Syiah dalam Perspektif Teologis dan Historis
Studi Kritis atas Mazhab Syiah dan Implikasinya
Alihkan ke: Aliran-Aliran Ilmu Kalam.
Abstrak
Artikel ini menyajikan eksplorasi komprehensif
terhadap Syiah sebagai salah satu aliran dalam sejarah pemikiran dan akidah
Islam. Kajian dimulai dari latar belakang historis kemunculannya pasca wafatnya
Nabi Muhammad Saw, yang dipicu oleh perbedaan pandangan tentang suksesi
kepemimpinan umat. Artikel ini kemudian menguraikan pokok-pokok ajaran Syiah,
mencakup konsep Imamah, kemaksuman Imam, serta pandangan khas terhadap sahabat
Nabi, hadis, dan praktik keagamaan tertentu. Pembahasan dilanjutkan dengan
pengenalan terhadap tiga cabang utama Syiah, yakni Itsna ‘Asyariyyah,
Ismailiyah, dan Zaidiyah, serta perbandingannya dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah
dari sudut akidah, hukum, dan tradisi.
Selain itu, artikel ini juga mengungkap kontribusi
intelektual Syiah dalam peradaban Islam, khususnya dalam bidang filsafat, ilmu
kalam, hadis, dan pendidikan. Kritik-kritik terhadap Syiah dari perspektif
Ahlus Sunnah wal Jamaah dijelaskan secara sistematis, disertai ajakan untuk
bersikap ilmiah dalam menyikapi perbedaan mazhab. Artikel ini menekankan
pentingnya penguatan akidah Ahlus Sunnah, adab dalam perbedaan, serta perlunya
pendekatan ukhuwah Islamiyah dalam menghadapi keberagaman pemikiran dalam
Islam.
Kata Kunci: Syiah, Ahlus Sunnah wal Jamaah, Imamah, Itsna
‘Asyariyyah, perbandingan mazhab, kontribusi intelektual, ukhuwah Islamiyah,
kritik Syiah, sikap ilmiah.
PEMBAHASAN
Syiah dalam Perspektif Teologis dan Historis
1.
Pendahuluan
Sejak awal
kemunculannya, Islam telah mengalami dinamika pemikiran yang beragam, baik
dalam aspek teologi, politik, maupun praktik keagamaan. Salah satu dinamika
penting yang muncul dalam sejarah Islam adalah lahirnya berbagai aliran akidah
yang berkembang seiring pergulatan umat dalam memahami ajaran Islam secara
komprehensif. Di antara aliran tersebut, Syiah menempati posisi penting
sebagai salah satu mazhab besar dalam Islam yang memiliki sejarah panjang,
pengikut yang signifikan, dan sistem teologi tersendiri yang khas.
Secara terminologis,
istilah Syiah
berasal dari bahasa Arab al-syī‘ah (الشيعة), yang berarti "kelompok pendukung" atau
"pengikut"—khususnya merujuk pada pendukung setia Ali bin Abi
Thalib, menantu dan sepupu Nabi Muhammad Saw.¹
Meskipun pada awalnya bersifat politis, gerakan Syiah lambat laun berkembang
menjadi aliran teologis yang menyusun doktrin keimanan secara sistematis,
terutama terkait konsep Imamah sebagai kepemimpinan spiritual
dan politik umat Islam yang dianggap memiliki legitimasi ilahiah.²
Kemunculan aliran
Syiah tidak dapat dilepaskan dari dinamika sejarah Islam pasca wafatnya Nabi
Muhammad Saw, terutama dalam soal suksesi kepemimpinan. Perbedaan
pandangan mengenai siapa yang paling berhak menggantikan Nabi menjadi titik
awal dari pembentukan identitas Syiah. Dalam perspektif Syiah, kepemimpinan
setelah Nabi harus berada di tangan Ahlul Bait, dimulai dari Ali bin Abi Thalib
dan dilanjutkan oleh para imam dari keturunannya yang dipandang sebagai figur
ma’shum (terpelihara dari dosa) dan memiliki otoritas dalam menafsirkan ajaran
agama.³
Dalam sejarahnya,
Syiah berkembang menjadi beberapa cabang, yang paling dominan adalah Itsna ‘Asyariyyah (Syiah Imamiyah/ Dua Belas Imam), yang kini menjadi
mazhab resmi negara Iran dan dianut oleh komunitas Syiah terbesar di dunia.
Selain itu, terdapat juga cabang Zaidiyah yang lebih moderat dan
berkembang di Yaman, serta Ismailiyah yang lebih esoteris
dan filosofis.⁴
Pemahaman terhadap aliran
Syiah sangat penting dalam konteks keilmuan, terutama dalam studi perbandingan
mazhab, sejarah pemikiran Islam, dan dinamika sosial-politik dunia Muslim.
Pendekatan akademik yang objektif akan membantu membedakan antara fakta
sejarah, pemikiran teologis, dan penilaian sektarian, sehingga dapat
menciptakan pemahaman yang lebih utuh dan adil.
Footnotes
[1]
Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early
Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 12.
[2]
Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and
Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985),
15–16.
[3]
Sachedina, Abdulaziz. The Just Ruler in Shi'ite Islam: The
Comprehensive Authority of the Jurist in Imamite Jurisprudence (New York:
Oxford University Press, 1988), 28.
[4]
Heinz Halm, Shiism (Edinburgh: Edinburgh University Press,
2004), 45–47.
2.
Latar Belakang Munculnya Syiah
Munculnya aliran Syiah
tidak dapat dipisahkan dari dinamika politik dan sosial umat Islam pasca
wafatnya Nabi Muhammad Saw pada tahun 632 M. Persoalan inti yang menjadi pemicu
awal lahirnya Syiah adalah masalah suksesi kepemimpinan, yakni
siapa yang paling berhak menggantikan Nabi sebagai pemimpin umat Islam. Dalam
pandangan kelompok yang kelak dikenal sebagai Syiah, kepemimpinan seharusnya
dilanjutkan oleh Ali bin Abi Thalib, sepupu
sekaligus menantu Nabi, atas dasar kedekatan nasab, kecakapan, serta berbagai
pernyataan Nabi yang dipahami sebagai penunjukan terhadap dirinya.¹
Namun, dalam
peristiwa di Saqifah Bani Sa‘idah, sebagian
besar sahabat sepakat mengangkat Abu Bakar al-Shiddiq sebagai
khalifah pertama, dengan alasan kemendesakan situasi politik dan sosial saat
itu.² Meskipun Ali menerima keputusan tersebut demi menjaga persatuan umat,
sebagian pengikutnya tetap meyakini bahwa hak kepemimpinan telah disisihkan
secara tidak sah. Kelompok inilah yang kemudian disebut sebagai Syī‘at
‘Ali atau “pengikut Ali.”³
Dalam masa-masa
awal, gerakan Syiah bersifat politis, bukan teologis. Mereka tidak menolak
sahabat Nabi secara keseluruhan, tetapi lebih menekankan pada keutamaan dan hak
kepemimpinan Ali. Namun, konflik-konflik politik seperti Perang
Jamal dan Perang Shiffin—yang
mempertemukan Ali dengan Aisyah serta Muawiyah—semakin mempertajam identitas
kelompok Syiah sebagai entitas yang berbeda dari arus utama umat Islam saat
itu.⁴
Puncak eskalasi yang
memperkuat identitas Syiah terjadi pada peristiwa Tragedi
Karbala tahun 61 H / 680 M, ketika cucu Nabi, Husain
bin Ali, terbunuh secara tragis oleh pasukan Yazid bin Muawiyah.
Peristiwa ini tidak hanya menjadi luka historis mendalam bagi komunitas Syiah,
tetapi juga menjadi titik balik dalam pembentukan teologi Syiah yang menekankan
nilai-nilai pengorbanan, keadilan, dan penolakan terhadap tirani.⁵
Sejak saat itu,
Syiah mengalami transformasi dari gerakan politik menjadi aliran keagamaan yang
memiliki sistem akidah, fiqh, dan struktur kepemimpinan sendiri. Doktrin Imamah
pun mulai dirumuskan, dengan keyakinan bahwa para imam dari keturunan Ali dan
Fatimah telah ditunjuk oleh Allah dan memiliki otoritas spiritual serta
pengetahuan khusus dalam menafsirkan wahyu.⁶
Dengan demikian,
Syiah lahir dari kombinasi antara loyalitas terhadap Ahlul Bait, respons
terhadap realitas politik, serta keyakinan akan kepemimpinan ilahiah yang tidak
semata-mata ditentukan oleh musyawarah atau konsensus umat.
Footnotes
[1]
Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early
Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 27–30.
[2]
Fred M. Donner, Muhammad and the Believers: At the Origins of Islam
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2010), 161.
[3]
Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and
Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 15.
[4]
Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, Volume 1: The
Classical Age of Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1974),
204–206.
[5]
Heinz Halm, Shiism (Edinburgh: Edinburgh University Press,
2004), 23–26.
[6]
Abdulaziz Abdulhussein Sachedina, Islamic Messianism: The Idea of
the Mahdi in Twelver Shi‘ism (Albany: State University of New York Press,
1981), 41–43.
3.
Pokok-Pokok Ajaran Syiah
Aliran Syiah,
khususnya dalam tradisi Itsna ‘Asyariyyah (Dua Belas
Imam), memiliki sistem teologi yang khas dan berbeda dari Ahlus Sunnah wal Jamaah. Meskipun Syiah meyakini lima rukun dasar Islam seperti syahadat, salat,
zakat, puasa, dan haji, mereka juga memiliki pokok-pokok akidah tersendiri
yang menjadi fondasi keimanan mereka. Pokok-pokok tersebut dikenal dengan
istilah uṣūl
al-dīn (prinsip-prinsip agama), yang secara umum meliputi:
3.1.
Al-Tauhid (Keimanan kepada Ke-Esa-an Allah)
Syiah meyakini
tauhid sebagai inti ajaran Islam yang tidak bisa dikompromikan. Namun, dalam
aspek tertentu, Syiah memberikan tekanan yang kuat terhadap penolakan
terhadap anthropomorphism (penyerupaan Allah dengan makhluk),
serta menekankan aspek tanzih (pensucian Allah dari
segala sifat makhluk).¹ Dalam konteks ini, mereka bersejalan dengan pendekatan
teologis kelompok-kelompok rasional seperti Mu‘tazilah, khususnya dalam
pemahaman terhadap sifat-sifat Tuhan.
3.2.
Al-‘Adl (Keadilan Ilahi)
Konsep ‘adl
atau keadilan Ilahi merupakan pilar kedua dalam teologi Syiah. Mereka meyakini
bahwa Allah tidak akan bertindak zalim terhadap makhluk-Nya, dan seluruh
tindakan Allah harus selaras dengan prinsip keadilan.² Pemahaman ini juga
berkaitan dengan kebebasan kehendak manusia (ikhtiyar),
serta penolakan terhadap faham jabr (determinisme). Oleh karena
itu, manusia dianggap bertanggung jawab penuh atas amal perbuatannya.
3.3.
Al-Nubuwwah (Kenabian)
Syiah meyakini para
nabi sebagai perantara antara Allah dan manusia yang menerima wahyu secara
langsung. Nabi terakhir adalah Muhammad Saw, yang kedudukannya
sangat sentral dan tidak tergantikan. Mereka juga menekankan pentingnya kesucian
dan kemaksuman para nabi, yakni terbebas dari dosa dan
kesalahan dalam menyampaikan ajaran Tuhan.³
3.4.
Al-Imamah (Kepemimpinan Spiritual dan Politik)
Inilah doktrin
paling khas dalam ajaran Syiah. Mereka meyakini bahwa setelah wafatnya Nabi,
Allah telah menetapkan para Imam dari keturunan Ali
dan Fatimah sebagai pemimpin yang sah dan ma’shum. Para Imam ini tidak hanya
pemimpin politik, tetapi juga memiliki otoritas spiritual dan keilmuan
yang bersumber dari wahyu secara batin.⁴ Dalam tradisi Syiah Imamiyah, terdapat
dua
belas Imam, dimulai dari Ali bin Abi Thalib dan diakhiri dengan
Muhammad
al-Mahdi, yang diyakini masih hidup dalam keadaan ghaib dan
akan muncul kembali di akhir zaman sebagai penegak keadilan.⁵
3.5.
Al-Ma‘ad (Kebangkitan dan Hari Kiamat)
Seperti halnya umat
Islam pada umumnya, Syiah juga meyakini adanya hari kebangkitan, hisab,
surga,
dan neraka.
Namun, dalam beberapa literatur Syiah, penekanan terhadap pembalasan
atas kezaliman, terutama kepada Ahlul Bait, menjadi aspek
penting dari narasi eskatologi mereka.⁶ Keyakinan ini juga terkait dengan
doktrin raj‘ah, yaitu kembalinya
sebagian orang (termasuk Imam tertentu) ke dunia sebelum kiamat untuk
menegakkan keadilan dan membalas kezaliman yang telah terjadi.
3.6.
Tambahan Pokok Ajaran Khusus: Taqiyyah dan
Wilayah
Selain lima pokok di
atas, Syiah juga dikenal dengan dua konsep penting berikut:
·
Taqiyyah,
yakni menyembunyikan keyakinan demi menjaga keselamatan jiwa dalam situasi yang
membahayakan. Ajaran ini muncul dari pengalaman historis minoritas yang sering
mendapat tekanan.⁷
·
Wilayah,
yaitu konsep loyalitas dan kecintaan mutlak kepada para Imam Ahlul Bait.
Wilayah menjadi dasar hubungan spiritual antara umat dan para Imam, dan bahkan
dianggap sebagai bagian penting dari keimanan.⁸
Footnotes
[1]
Abdulaziz Abdulhussein Sachedina, Islamic Messianism: The Idea of
the Mahdi in Twelver Shi‘ism (Albany: State University of New York Press,
1981), 22–23.
[2]
Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and
Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 164–165.
[3]
Sayyid Muhammad Rizvi, Elements of Islamic Belief: Based on Shi'a
School of Thought (Toronto: Islamic Education and Information Centre,
2004), 27–29.
[4]
Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early
Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 33–34.
[5]
Heinz Halm, Shiism (Edinburgh: Edinburgh University Press,
2004), 70–73.
[6]
Etan Kohlberg, Belief and Law in Imami Shi‘ism (Aldershot:
Variorum, 1991), 234–235.
[7]
Farhad Daftary, A Short History of the Ismailis: Traditions of a Muslim
Community (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1998), 21.
[8]
Abdulaziz A. Sachedina, The Just Ruler in Shi'ite Islam: The
Comprehensive Authority of the Jurist in Imamite Jurisprudence (New York:
Oxford University Press, 1988), 45–46.
4.
Cabang-Cabang dan Perbandingan Antar Cabang
Syiah
4.1.
Cabang-Cabang Syiah
Meskipun memiliki
akar historis dan teologis yang sama, aliran Syiah dalam perkembangannya
terbagi menjadi beberapa cabang utama. Perbedaan ini muncul karena perbedaan
pandangan mengenai silsilah Imamah, serta isu-isu
politik, filsafat, dan spiritualitas yang berkembang di berbagai wilayah. Tiga
cabang utama Syiah yang dikenal dalam sejarah Islam adalah Itsna ‘Asyariyyah (Imamiyah/ Dua Belas Imam), Ismailiyah,
dan Zaidiyah.
Masing-masing memiliki ciri khas dalam aspek akidah, fikih, dan pengamalan
keagamaan.
4.1.1.
Syiah Itsna ‘Asyariyyah (Imamiyah / Dua Belas Imam)
Kelompok ini adalah
cabang terbesar dalam Syiah, yang meyakini adanya dua
belas Imam sebagai penerus spiritual dan politik Nabi Muhammad Saw.
Imamah dimulai dari Ali bin Abi Thalib hingga Muhammad
al-Mahdi, yang dipercaya oleh penganutnya sebagai Imam ke-12
yang masih
hidup dalam keadaan ghaib (ghaibah kubra) dan akan muncul
kembali di akhir zaman sebagai Al-Mahdi al-Muntazhar (Juru Selamat
yang Dinanti).¹
Syiah Imamiyah
berkembang pesat di wilayah Iran, Irak, Lebanon (Hizbullah), dan sebagian
wilayah Teluk, dan kini merupakan mazhab resmi negara Republik
Islam Iran sejak revolusi tahun 1979.² Sistem teologinya sangat sistematis,
dengan penekanan pada konsep Wilayat al-Faqih (otoritas
keagamaan oleh ulama) dalam masa ketiadaan Imam.³
4.1.2.
Syiah
Ismailiyah
Ismailiyah merupakan
cabang Syiah yang meyakini bahwa Isma‘il bin Ja‘far, putra Imam
Ja‘far al-Shadiq, adalah Imam ketujuh yang sah, berbeda dengan Imamiyah yang
menganggap Musa al-Kazhim sebagai Imam
setelah Ja‘far.⁴ Perbedaan ini memicu perpecahan yang signifikan, karena
Isma‘il wafat lebih dulu dari ayahnya, namun pengikutnya tetap meyakini
keberlangsungan imamah dari garis keturunannya.
Ismailiyah cenderung
bersifat esoteris, dengan pemikiran
filsafat yang kuat, serta penafsiran batiniah terhadap teks-teks agama.⁵ Dalam
sejarahnya, mereka pernah membentuk Daulah Fatimiyah di Mesir
(909–1171 M), dan kini memiliki pengikut dalam komunitas Nizari
Ismailiyah yang dipimpin oleh Aga Khan.⁶ Ismailiyah juga
dikenal dengan warisan intelektual yang luas, terutama dalam bidang logika,
filsafat, dan ilmu kebatinan.
4.1.3.
Syiah
Zaidiyah
Zaidiyah merupakan
cabang Syiah yang paling dekat dengan Ahlus Sunnah dalam hal fikih dan
pemikiran teologi. Mereka mengakui Zaid bin Ali, cucu dari Husain
bin Ali, sebagai Imam setelah Ali Zainal Abidin.⁷ Berbeda dengan Imamiyah dan
Ismailiyah, Zaidiyah tidak menganggap Imam sebagai ma’shum
dan tidak meyakini keberadaan Imam ghaib. Mereka juga berpendapat bahwa
keimaman bisa diperoleh oleh siapa pun dari keturunan Hasan dan Husain yang
memenuhi syarat dan menyatakan revolusi menegakkan kebenaran.
Mazhab ini
berkembang terutama di wilayah Yaman Utara, dan menjadi dasar
kekuasaan politik Imamah Zaidi di sana hingga
awal abad ke-20.⁸ Dalam praktik ibadah dan hukum Islam, Zaidiyah banyak
mengadopsi pendekatan fikih Hanafi dan Syafi‘i, sehingga
sering dianggap sebagai jembatan antara Sunni dan Syiah.
4.2.
Perbandingan Ringkas Cabang-Cabang Syiah
4.2.1.
Syiah Itsna ‘Asyariyyah (Imamiyah / Dua Belas Imam)
·
Imam
ke-7: Musa al-Kazhim
·
Jumlah
Imam: 12
·
Imam
Ghaib: Diyakini, yaitu Imam ke-12 (Muhammad al-Mahdi)
·
Kemaksuman
Imam: Ya (ma’shum)
·
Fikih:
Fikih khas Imamiyah
·
Wilayah
utama: Iran, Irak, Lebanon
4.2.2.
Syiah
Ismailiyah
·
Imam
ke-7: Isma‘il bin Ja‘far
·
Jumlah
Imam: Bervariasi, tergantung cabang Ismailiyah (Nizariyah,
Musta’liyah, dll.)
·
Imam
Ghaib: Diyakini oleh sebagian kelompok
·
Kemaksuman
Imam: Ya (ma’shum)
·
Fikih:
Bercorak batiniah dan esoterik
·
Wilayah
utama: India, Pakistan, Afrika Timur, Asia Tengah
4.2.3.
Syiah
Zaidiyah
·
Imam
ke-7: Tidak spesifik; mereka mengakui Zaid bin Ali sebagai Imam
setelah Ali Zainal Abidin
·
Jumlah
Imam: Tidak dibatasi; setiap keturunan Hasan atau Husain yang
memenuhi syarat dapat menjadi Imam
·
Imam
Ghaib: Tidak diyakini
·
Kemaksuman
Imam: Tidak dianggap ma’shum
·
Fikih:
Mirip dengan fikih Sunni (terutama Hanafi dan Syafi‘i)
·
Wilayah
utama: Yaman
Footnotes
[1]
Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and
Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985),
45–47.
[2]
Hamid Algar, The Roots of the Islamic Revolution in Iran (New
York: Islamic Publications International, 2001), 33–34.
[3]
Abdulaziz Sachedina, The Just Ruler in Shi'ite Islam: The
Comprehensive Authority of the Jurist in Imamite Jurisprudence (New York:
Oxford University Press, 1988), 93–95.
[4]
Heinz Halm, Shiism (Edinburgh: Edinburgh University Press,
2004), 49–50.
[5]
Farhad Daftary, The Isma‘ilis: Their History and Doctrines
(Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 63.
[6]
Shafique N. Virani, The Ismailis in the Middle Ages: A History of
Survival, a Search for Salvation (New York: Oxford University Press,
2007), 112.
[7]
Wilferd Madelung, Religious Trends in Early Islamic Iran
(Albany: SUNY Press, 1985), 104.
[8]
R. B. Serjeant, The Zaidi Imams of Yemen (London: Royal
Asiatic Society, 1968), 17–18.
5.
Perbandingan dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah
Perbedaan antara Syiah,
khususnya cabang Itsna ‘Asyariyyah (Imamiyah),
dan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) bukan hanya dalam aspek politik
sejarah, tetapi juga dalam struktur akidah, sumber hukum, dan otoritas
keagamaan. Berikut adalah poin-poin perbandingan utama yang dapat dijelaskan
secara ilmiah:
5.1.
Pandangan tentang Kepemimpinan (Imamah vs
Khilafah)
·
Syiah Imamiyah meyakini bahwa kepemimpinan (Imamah) merupakan rukun
agama dan merupakan hak Ahlul Bait,
khususnya para imam yang telah ditetapkan oleh Allah melalui wahyu. Imam
dianggap ma’shum dan memiliki
otoritas spiritual serta penafsiran sah terhadap wahyu.¹
·
Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa kepemimpinan setelah Nabi
adalah masalah ijtihadiyah,
bukan bagian dari rukun iman. Pemilihan khalifah dilakukan melalui musyawarah
dan bai’at oleh umat. Tidak ada konsep kemaksuman dalam diri khalifah.²
5.2.
Pandangan tentang Sahabat Nabi
·
Syiah
membedakan sahabat Nabi dalam dua kategori: yang setia kepada Ali dan Ahlul
Bait, dan yang dianggap menyimpang. Beberapa sahabat terkemuka, seperti Abu
Bakar, Umar, dan Aisyah, dikritik keras dalam literatur Syiah klasik karena
dianggap merampas hak kepemimpinan Ali.³
·
Ahlus Sunnah memuliakan seluruh sahabat Nabi secara umum, termasuk
Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Mereka diyakini sebagai generasi terbaik umat
Islam dan adil dalam menyampaikan agama.⁴
5.3.
Sumber Ajaran dan Hadis
·
Syiah
lebih mengandalkan riwayat dari Ahlul Bait
dan para murid mereka sebagai sumber utama hadis. Kitab-kitab utama hadis Syiah
antara lain Al-Kāfī oleh Al-Kulainī, Man Lā Yaḥḍuruhu al-Faqīh
oleh Al-Shaykh al-Ṣadūq, dan Tahdzib al-Ahkam oleh Al-Ṭūsī.⁵
·
Ahlus Sunnah menerima hadis yang diriwayatkan oleh seluruh sahabat
yang tsiqah, tanpa membatasi hanya pada Ahlul Bait. Kitab hadis utama mereka
mencakup Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, dan kitab-kitab
Sunan lainnya.⁶
5.4.
Konsep Kemaksuman
·
Syiah Imamiyah meyakini bahwa para Imam adalah ma’shum,
yakni terjaga dari dosa dan kesalahan baik dalam perbuatan maupun penyampaian
ilmu agama.⁷
·
Ahlus Sunnah hanya menganggap Nabi Muhammad Saw sebagai ma’shum dalam
menyampaikan wahyu. Para khalifah, ulama, dan tokoh umat dianggap sebagai
manusia biasa yang bisa benar dan salah.
5.5.
Praktik Keagamaan
·
Syiah
memiliki beberapa perbedaan dalam praktik ibadah, seperti penggabungan
waktu salat (tanpa sebab tertentu), adzan
tanpa lafaz "ash-shalatu khairun min al-naum", dan sujud
di atas tanah (turbah). Mereka juga memiliki perayaan 'Ashura
yang sangat menonjol sebagai bentuk penghormatan terhadap Imam Husain.⁸
·
Ahlus Sunnah umumnya memisahkan waktu salat, mengumandangkan adzan
sesuai dengan kebiasaan sejak zaman Nabi, dan sujud di atas permukaan apa pun
yang suci. Peringatan 'Ashura dilakukan dengan puasa sunnah, bukan dengan
ritual duka cita.
5.6.
Kedudukan Ahlul Bait
·
Syiah
menempatkan Ahlul Bait (keturunan Nabi
dari jalur Fatimah dan Ali) sebagai pusat teologi, sumber otoritas keilmuan,
dan simbol spiritual utama. Wilayah (loyalitas kepada Ahlul Bait) dianggap
bagian dari keimanan.⁹
·
Ahlus Sunnah juga memuliakan Ahlul Bait, namun tetap menjaga
keseimbangan dalam penghormatan terhadap seluruh sahabat. Ahlul Bait dimuliakan
sebagai keluarga Nabi, tetapi tidak diberi status ma’shum.
5.7.
Struktur Ulama dan Kewenangan Religius
·
Syiah Imamiyah memiliki struktur marja‘ taqlid,
yakni ulama besar yang menjadi rujukan dalam urusan fikih. Dalam konteks Iran,
ulama bahkan memiliki otoritas politik melalui konsep Wilāyat
al-Faqīh.¹⁰
·
Ahlus Sunnah tidak mengenal struktur otoritas tunggal dalam agama.
Keputusan-keputusan keagamaan bersifat desentralisasi melalui mazhab-mazhab
fikih (Hanafi, Maliki, Syafi‘i, Hanbali).
Footnotes
[1]
Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and
Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985),
151–153.
[2]
Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early
Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 35.
[3]
Heinz Halm, Shiism (Edinburgh: Edinburgh University Press,
2004), 19–20.
[4]
Jonathan A.C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices
of Interpreting the Prophet's Legacy (Oxford: Oneworld Publications,
2014), 102.
[5]
Etan Kohlberg, Belief and Law in Imami Shi‘ism (Aldershot:
Variorum, 1991), 32.
[6]
Harald Motzki, Hadith: Origins and Developments (Aldershot:
Ashgate, 2004), 86.
[7]
Abdulaziz Sachedina, Islamic Messianism: The Idea of the Mahdi in
Twelver Shi‘ism (Albany: SUNY Press, 1981), 44.
[8]
Hamid Dabashi, Shi‘ism: A Religion of Protest (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2011), 89.
[9]
S.H.M. Jafri, The Origins and Early Development of Shi‘a Islam
(London: Longman, 1979), 62.
[10]
Abdulaziz Sachedina, The Just Ruler in Shi‘ite Islam: The
Comprehensive Authority of the Jurist in Imamite Jurisprudence (New York:
Oxford University Press, 1988), 99–101.
6.
Kontribusi Syiah dalam Sejarah Islam
Meskipun sering kali
menjadi minoritas dalam sejarah umat Islam, komunitas Syiah telah memberikan
kontribusi signifikan dalam berbagai bidang kehidupan keislaman, khususnya
dalam pengembangan
ilmu keislaman, filsafat, tasawuf,
serta lembaga
pendidikan. Kontribusi ini tidak hanya terbatas pada
wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kekuatan Syiah, tetapi juga dalam konteks
umum peradaban Islam.
6.1.
Kontribusi dalam Ilmu Hadis dan Ushuluddin
·
Para ulama Syiah, khususnya
dari tradisi Imamiyah, memiliki warisan keilmuan yang kaya dalam bidang ilmu
hadis, fiqh, dan teologi
(kalam). Salah satu karya hadis paling terkenal dalam tradisi
Syiah adalah Al-Kāfī karya Al-Kulainī (w. 941 M),
yang dianggap sebagai salah satu kitab hadis otoritatif oleh kalangan Syiah Imamiyah.¹
·
Dalam bidang teologi, tokoh
seperti Syaikh Al-Mufid (w. 1022 M)
dan Al-‘Allāmah Al-Hilli (w. 1325 M) memainkan peran
penting dalam sistematisasi doktrin Syiah dan penulisan kitab-kitab kalam yang
berpengaruh.²
6.2.
Kontribusi dalam Filsafat dan Pemikiran
Rasional
·
Pemikir Syiah banyak
terlibat dalam pengembangan filsafat Islam, terutama
melalui figur-figur seperti Nasir al-Din al-Tusi (w. 1274 M),
yang dikenal karena kontribusinya dalam logika, astronomi, dan filsafat
teologi.³ Ia turut memperkaya warisan intelektual Islam melalui karyanya Tajrid
al-I‘tiqād, yang menjadi rujukan penting dalam diskursus teologi rasional
Syiah dan juga dipelajari oleh kalangan Sunni.
·
Tokoh lain, Mulla
Sadra (w. 1640 M), menjadi pionir dalam mazhab hikmah muta‘āliyah (filsafat transendental), yang menggabungkan
filsafat, teosofi, dan intuisi spiritual (kasyf).⁴ Pemikirannya masih
berpengaruh kuat di Iran modern dan lembaga-lembaga pendidikan tinggi Syiah.
6.3.
Peran dalam Lembaga Pendidikan dan Ilmu
Pengetahuan
·
Komunitas Syiah mendirikan
pusat-pusat pendidikan Islam (hawzah ilmiyyah) yang sangat berpengaruh, seperti
Hawzah Najaf di Irak dan Hawzah
Qom di Iran. Institusi ini menjadi pusat pembelajaran fikih,
akidah, logika, dan tafsir bagi kalangan Syiah dan bahkan terbuka bagi
mahasiswa internasional.⁵
·
Di masa Dinasti Buyid
(945–1055 M) dan Safawiyah (1501–1736 M),
Syiah memainkan peran penting dalam mensponsori ilmuwan dan mendukung
perkembangan intelektual Islam, termasuk melalui penerjemahan karya-karya
Yunani ke dalam bahasa Arab dan Persia.⁶
6.4.
Kontribusi dalam Sejarah Politik dan Kebudayaan
·
Dalam bidang politik, Syiah
telah melahirkan berbagai dinasti dan negara yang berpengaruh dalam sejarah
Islam, antara lain:
(#)
Dinasti Fatimiyah (909–1171 M) di Mesir, yang mendirikan Universitas
Al-Azhar dan memberikan pengaruh besar dalam pendidikan dan
administrasi negara.⁷
(#)
Dinasti Safawiyah di Persia, yang menjadikan Syiah Imamiyah
sebagai mazhab resmi dan membentuk identitas nasional Iran yang kuat hingga
kini.⁸
·
Syiah juga memberikan
kontribusi dalam seni, arsitektur, dan sastra Islam, termasuk dalam tradisi puisi
religius (seperti marsiyah dan noha) yang berkembang pesat
dalam konteks peringatan Karbala dan perjuangan
Imam Husain.
6.5.
Peran dalam Pemikiran Sosial dan Perlawanan
·
Konsep keadilan,
penindasan (zulm), dan pemberontakan
terhadap tirani menjadi tema sentral dalam pemikiran politik
Syiah, terutama setelah peristiwa Karbala. Hal ini menginspirasi banyak gerakan
sosial dan politik, seperti revolusi Iran 1979 yang
dipimpin oleh Ayatollah Ruhollah Khomeini,
yang menggabungkan ide-ide spiritual dan politik dalam kerangka Wilayat
al-Faqih.⁹
·
Spirit keberpihakan kepada
yang tertindas (mustadh‘afin) menjadi bagian dari nilai perjuangan
Syiah yang menginspirasi berbagai pergerakan perlawanan di Timur Tengah,
termasuk di Lebanon, Irak, dan Palestina.
Footnotes
[1]
Al-Kulaini, Al-Kāfī, ed. Ali Akbar al-Ghaffari (Teheran: Dar
al-Kutub al-Islamiyyah, 1981), jilid 1, pendahuluan.
[2]
Etan Kohlberg, Belief and Law in Imami Shi‘ism (Aldershot:
Variorum, 1991), 115–117.
[3]
Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 85.
[4]
Mulla Sadra, Asfar al-Arba‘ah, ed. Muhammad Rida al-Muzaffar
(Teheran: Sadr Institute, 1981), pendahuluan.
[5]
Linda S. Walbridge, The Most Learned of the Shi‘a: The Institution
of the Marja‘ Taqlid (New York: Oxford University Press, 2001), 46–48.
[6]
Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History
in a World Civilization, Vol. 2 (Chicago: University of Chicago Press,
1974), 34–36.
[7]
Heinz Halm, Shiism (Edinburgh: Edinburgh University Press,
2004), 65–67.
[8]
Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and
Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985),
148–149.
[9]
Hamid Algar, The Roots of the Islamic Revolution in Iran (New
York: Islamic Publications International, 2001), 57–59.
7.
Kritik terhadap Syiah
Sebagai salah satu
aliran dalam Islam, Syiah telah menjadi subjek
kritik dari berbagai kalangan, terutama dari Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Kritik-kritik ini mencakup aspek akidah, sumber
hukum, praktik keagamaan, dan pandangan
terhadap sahabat Nabi. Berikut adalah beberapa kritik utama
yang sering disampaikan:
7.1.
Konsep Imamah dan Kemaksuman Imam
·
Kritik:
Syiah Imamiyah meyakini bahwa para Imam adalah ma’shum
(terjaga dari dosa dan kesalahan), memiliki otoritas spiritual,
dan merupakan penerus langsung Nabi Muhammad Saw dalam memimpin umat.¹
·
Pandangan
Sunni: Ahlus Sunnah wal Jamaah menolak konsep kemaksuman selain
pada Nabi Muhammad Saw dan menganggap bahwa kepemimpinan umat ditentukan
melalui musyawarah dan bai’at,
bukan melalui penunjukan ilahi.²
7.2.
Pandangan terhadap Sahabat Nabi
·
Kritik:
Beberapa literatur Syiah mengandung kritik keras terhadap
sahabat Nabi, terutama Abu Bakar, Umar, dan Aisyah, yang
dianggap telah merampas hak kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.³
·
Pandangan
Sunni: Ahlus Sunnah wal Jamaah memuliakan seluruh sahabat Nabi
secara umum dan menganggap mereka sebagai generasi terbaik umat Islam.⁴
7.3.
Sumber Hadis dan Validitasnya
·
Kritik:
Syiah memiliki koleksi hadis tersendiri, seperti Al-Kāfī karya
Al-Kulainī, yang oleh sebagian kalangan Sunni dianggap mengandung riwayat-riwayat
lemah atau bertentangan dengan ajaran Islam.⁵
·
Pandangan
Sunni: Ahlus Sunnah memiliki metodologi ketat dalam menilai
hadis, dan sebagian ulama Sunni menganggap bahwa metodologi
periwayatan hadis Syiah kurang akurat dan ilmiah.⁶
7.4.
Praktik Taqiyyah (Penyamaran Keimanan)
·
Kritik:
Syiah membolehkan taqiyyah, yaitu
menyembunyikan keyakinan dalam kondisi tertentu untuk menjaga keselamatan diri.
Hal ini oleh sebagian pihak dianggap sebagai pembenaran untuk
berbohong.⁷
·
Pandangan
Sunni: Ahlus Sunnah umumnya tidak mengadopsi praktik taqiyyah
secara luas dan menekankan kejujuran dalam menyampaikan kebenaran,
meskipun dalam kondisi sulit.
7.5.
Praktik Nikah Mut’ah (Perkawinan Sementara)
·
Kritik:
Syiah membolehkan nikah mut’ah, yaitu
perkawinan dengan batas waktu tertentu. Praktik ini oleh sebagian kalangan
dianggap sebagai legalisasi prostitusi dan
bertentangan dengan nilai-nilai pernikahan dalam Islam.⁸
·
Pandangan
Sunni: Ahlus Sunnah wal Jamaah mengharamkan nikah mut’ah dan
menganggap bahwa pernikahan harus bersifat permanen
dan berdasarkan komitmen jangka panjang.
7.6.
Perayaan Asyura dan Praktik Tatbir
·
Kritik:
Dalam memperingati hari Asyura, sebagian
penganut Syiah melakukan tatbir, yaitu menyakiti
diri sendiri sebagai bentuk duka atas wafatnya Imam Husain. Praktik ini oleh
banyak ulama dianggap sebagai perbuatan yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam.⁹
·
Pandangan
Sunni: Ahlus Sunnah memperingati Asyura dengan puasa
sunnah, bukan dengan praktik-praktik yang menyakiti diri.
7.7.
Tuduhan terhadap Al-Qur’an
·
Kritik:
Beberapa riwayat dalam literatur Syiah, seperti dalam Al-Kāfī,
menyebutkan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang dibawa oleh
Jibril kepada Nabi Muhammad Saw berjumlah 17.000 ayat, yang
oleh sebagian kalangan Sunni dianggap sebagai indikasi adanya
keyakinan tentang tahrif (perubahan) Al-Qur’an.¹⁰
·
Pandangan
Sunni: Ahlus Sunnah meyakini bahwa Al-Qur’an
terjaga keasliannya dan tidak mengalami perubahan sejak
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Footnotes
[1]
Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and
Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985),
151–153.
[2]
Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early
Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 35.
[3]
Heinz Halm, Shiism (Edinburgh: Edinburgh University Press,
2004), 19–20.
[4]
Jonathan A.C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices
of Interpreting the Prophet's Legacy (Oxford: Oneworld Publications, 2014),
102.
[5]
Etan Kohlberg, Belief and Law in Imami Shi‘ism (Aldershot:
Variorum, 1991), 32.
[6]
Ahmad al-Afghaanee, The Mirage in Iran (Tawheed Publications,
1985), 45.
[7]
Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 2005), 93.
[8]
Shahla Haeri, Law of Desire: Temporary Marriage in Shi‘i Iran
(Syracuse: Syracuse University Press, 1989), x.
[9]
Hamid Dabashi, Shi‘ism: A Religion of Protest (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2011), 89.
[10]
Al-Kulaini, Al-Kāfī, ed. Ali Akbar al-Ghaffari (Teheran: Dar
al-Kutub al-Islamiyyah, 1981), Juz II, 634.
8.
Sikap Ilmiah dalam Menyikapi Syiah
Dalam dunia keilmuan
Islam, keberadaan berbagai aliran pemikiran, termasuk Syiah,
merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah intelektual umat Islam. Perbedaan
antara Ahlus Sunnah wal Jamaah dan Syiah bukan sekadar perbedaan pandangan
teologis, tetapi juga merupakan hasil dari dinamika sosial-politik, budaya, dan
pergulatan intelektual selama berabad-abad. Oleh karena itu, menyikapi
perbedaan ini menuntut pendekatan ilmiah yang objektif, proporsional,
dan berlandaskan prinsip ukhuwah Islamiyah.
8.1.
Membedakan antara Kajian Akademik dan Penilaian
Dogmatis
·
Kajian terhadap Syiah perlu
diletakkan dalam kerangka studi perbandingan mazhab,
bukan sebagai ajang pembenaran sepihak atau penghakiman mutlak. Pendekatan
seperti ini memungkinkan para pelajar dan peneliti untuk memahami posisi
teologis, metodologis, dan historis Syiah secara adil.¹
·
Dalam ranah akademik, objektivitas
dan penggunaan sumber primer yang kredibel dari masing-masing
mazhab sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman dan bias sektarian.²
8.2.
Menghindari Takfir dan Fanatisme Mazhab
·
Salah satu prinsip penting
dalam menyikapi perbedaan adalah menghindari sikap
takfir (mengafirkan) terhadap kelompok lain yang masih mengakui
dua kalimat syahadat, salat, dan rukun Islam yang pokok. Mayoritas ulama Ahlus Sunnah, seperti Imam al-Ghazali,
menekankan bahwa perbedaan dalam hal ijtihadiyah tidak
boleh menjadi dasar pengkafiran.³
·
Fanatisme mazhab yang
berlebihan juga dapat memecah belah umat dan menimbulkan konflik horizontal
yang tidak produktif. Sebaliknya, sikap tasamuh
(toleransi) dan adab al-ikhtilaf (etika perbedaan)
perlu dikedepankan dalam kehidupan bermasyarakat.⁴
8.3.
Menjaga Persatuan Umat dan Ukhuwah Islamiyah
·
Dalam konteks modern, umat
Islam dihadapkan pada tantangan global yang menuntut solidaritas
dan kerjasama lintas mazhab. Memperbesar titik temu dan
memperkecil titik perbedaan adalah pendekatan yang lebih maslahat. Ulama
seperti Dr. Yusuf al-Qaradawi dan
Sayyid Muhammad Bāqir al-Sadr pernah menyerukan
pentingnya taqrib bayna al-mazahib (pendekatan antar
mazhab) sebagai jalan keluar dari konflik sektarian.⁵
·
Prinsip ini juga ditegaskan
dalam dokumen Risalah Amman (Amman Message, 2004)
yang ditandatangani oleh ratusan ulama dari berbagai mazhab Islam, termasuk
Sunni dan Syiah, yang mengakui keabsahan mazhab-mazhab tersebut dalam Islam.⁶
8.4.
Menguatkan Akidah Ahlus Sunnah dengan Ilmu dan
Hikmah
·
Sambil tetap memahami
keberagaman pemikiran Islam, umat Ahlus Sunnah dituntut untuk menguatkan
akidahnya sendiri melalui kajian mendalam terhadap Al-Qur'an,
hadis, dan karya-karya ulama yang kredibel. Sikap ini akan membentuk
kepercayaan diri dalam bermazhab tanpa merasa perlu menyerang kelompok lain.
·
Imam
Syafi‘i dalam al-Risalah mencontohkan bagaimana
seseorang bisa berpegang teguh pada kebenaran pendapatnya, sambil tetap
menghargai pendapat orang lain yang berbeda.⁷
8.5.
Menjadikan Perbedaan Sebagai Sarana Menambah
Wawasan
·
Perbedaan antar mazhab
seharusnya tidak selalu dilihat sebagai ancaman, melainkan dapat menjadi sarana
untuk memperluas wawasan keislaman, mendalami khazanah
intelektual Islam, dan meningkatkan semangat untuk meneliti dan berdiskusi.
·
Dalam tradisi klasik Islam,
perdebatan antara ulama Sunni dan Syiah
berlangsung secara terbuka namun tetap ilmiah, sebagaimana tampak dalam
karya-karya seperti al-Milal wa al-Nihal karya al-Syahrastani.⁸
Kesimpulan Sementara
Sikap ilmiah
terhadap Syiah haruslah didasarkan pada pemahaman yang mendalam, pengkajian sumber
primer, dan penghormatan terhadap khazanah pemikiran Islam.
Umat Islam perlu menyikapi perbedaan ini dengan kearifan, keseimbangan
antara prinsip dan toleransi, serta komitmen
terhadap persatuan umat.
Footnotes
[1]
Farhad Daftary, A History of Shi‘i Islam (London: I.B. Tauris,
2013), x–xi.
[2]
William C. Chittick, The Heart of Islamic Philosophy (New
York: Oxford University Press, 2001), 12.
[3]
Al-Ghazali, Faysal al-Tafriqah bayn al-Islam wa al-Zandaqah,
ed. Muhammad Mustafa Abu al-A‘la (Cairo: Dar al-Salam, 1993), 87–88.
[4]
Taha Jabir Al-Alwani, Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam (Beirut:
Dar al-Fikr, 1992), 45.
[5]
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Jihad (Cairo: Maktabah Wahbah,
2009), 1016.
[6]
Royal Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought, The Amman Message,
accessed January 2025, https://ammanmessage.com.
[7]
Muhammad ibn Idris al-Shafi‘i, al-Risalah, ed. Ahmad Muhammad
Shakir (Cairo: Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah, 1940), 20.
[8]
Muhammad ibn ‘Abd al-Karim al-Shahrastani, al-Milal wa al-Nihal
(Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1993), 142–145.
9.
Penutup
9.1.
Kesimpulan
Eksplorasi terhadap
Syiah sebagai salah satu aliran dalam Islam menunjukkan bahwa perbedaan yang
ada antara Syiah dan Ahlus Sunnah wal Jamaah mencakup berbagai aspek
fundamental dalam teologi, kepemimpinan, fikih, dan tradisi keagamaan. Akar
historisnya berawal dari persoalan suksesi kepemimpinan pasca
wafatnya Nabi Muhammad Saw, yang kemudian berkembang menjadi sistem keyakinan
dan pemikiran tersendiri yang sistematis, terutama dalam tradisi Syiah Imamiyah (Itsna ‘Asyariyyah).¹
Syiah telah
memberikan kontribusi dalam berbagai bidang keilmuan seperti filsafat, hadis,
fikih, hingga institusi pendidikan.² Namun demikian, sejumlah kritik
teologis dan metodologis tetap dilayangkan oleh Ahlus Sunnah,
khususnya terkait konsep Imamah, kemaksuman
Imam, pandangan terhadap sahabat Nabi,
serta praktik-praktik keagamaan tertentu seperti taqiyyah,
nikah
mut’ah, dan tatbir.³
Dalam konteks ini,
pendekatan ilmiah sangat penting untuk mengkaji perbedaan tersebut secara objektif,
jujur, dan adil, dengan tetap memegang teguh akidah Ahlus
Sunnah wal Jamaah. Keberadaan Syiah sebagai salah satu mazhab dalam sejarah
Islam dapat menjadi bahan kajian intelektual yang mendorong sikap kritis sekaligus
toleran dalam memahami keragaman umat.
9.2.
Rekomendasi (dalam Kerangka Ahlus Sunnah wal
Jamaah)
1)
Memperkuat Pemahaman
Akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah
Umat Islam, khususnya generasi muda, perlu
dibekali dengan pemahaman akidah yang benar berdasarkan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah. Pembelajaran harus dilakukan secara mendalam dan sistematis
melalui kitab-kitab ulama terpercaya seperti al-‘Aqidah al-Tahawiyyah
dan al-Fiqh al-Akbar karya Imam Abu Hanifah.⁴
2)
Menjaga Akhlak dan Adab
dalam Perbedaan
Meskipun terdapat perbedaan mendasar dengan
Syiah, dialog dan perbedaan hendaknya dihadapi dengan akhlak
mulia dan adab al-ikhtilaf sebagaimana diajarkan oleh ulama
salaf. Hindari sikap fanatik dan caci maki, serta kedepankan hujjah ilmiah yang
santun.⁵
3)
Melakukan Kajian Ilmiah
terhadap Literatur Syiah
Pelajar dan akademisi Ahlus Sunnah perlu mengkaji
literatur Syiah dari sumber primer yang otentik agar bisa memahami dengan benar
dan tidak hanya berdasarkan narasi sekunder atau polemik semata. Hal ini
penting untuk menyusun argumen dakwah dan bantahan yang rasional serta
bertanggung jawab.⁶
4)
Menghindari Takfir,
Mengedepankan Ukhuwah
Selama seseorang masih mengucapkan dua kalimat
syahadat, mendirikan salat, dan meyakini pokok-pokok Islam, maka ia tidak boleh
mudah dikafirkan. Ulama besar seperti Imam al-Ghazali
telah mengingatkan agar tidak gegabah dalam menyesatkan kelompok
lain kecuali dengan bukti yang sangat jelas.⁷
5)
Menjaga Persatuan Umat
Islam dalam Keragaman Mazhab
Di tengah tantangan global yang dihadapi umat Islam
hari ini, seperti sekularisme, Islamofobia, dan penjajahan budaya, penting
untuk membangun solidaritas umat tanpa
mencairkan prinsip-prinsip akidah. Perbedaan mazhab tidak boleh dijadikan alat
perpecahan, tetapi harus dihadapi dengan hikmah dan strategi dakwah yang
tepat.⁸
Footnotes
[1]
Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and
Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985),
45–46.
[2]
Farhad Daftary, A History of Shi‘i Islam (London: I.B. Tauris,
2013), 104–106.
[3]
Heinz Halm, Shiism (Edinburgh: Edinburgh University Press,
2004), 67–69.
[4]
Abu Ja‘far al-Tahawi, al-‘Aqidah al-Tahawiyyah, ed. Ahmad
Shakir (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1972), 11.
[5]
Taha Jabir al-Alwani, Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam (Beirut:
Dar al-Fikr, 1992), 62–63.
[6]
Etan Kohlberg, Belief and Law in Imami Shi‘ism (Aldershot:
Variorum, 1991), 12–14.
[7]
Al-Ghazali, Faysal al-Tafriqah bayn al-Islam wa al-Zandaqah,
ed. Muhammad Mustafa Abu al-A‘la (Cairo: Dar al-Salam, 1993), 84–85.
[8]
Royal Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought, The Amman Message,
accessed January 2025, https://ammanmessage.com.
Daftar Pustaka
Al-Ghazali. (1993). Faysal
al-Tafriqah bayn al-Islam wa al-Zandaqah (M. M. Abu al-A‘la, Ed.). Cairo:
Dar al-Salam.
Al-Kulaini. (1981). Al-Kāfī
(A. A. al-Ghaffari, Ed.). Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah.
Al-Shafi‘i, M. I. (1940). Al-Risalah
(A. M. Shakir, Ed.). Cairo: Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah.
Al-Shahrastani, M. A. K.
(1993). Al-Milal wa al-Nihal. Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
Alwani, T. J. (1992). Adab
al-Ikhtilaf fi al-Islam. Beirut: Dar al-Fikr.
Brown, J. A. C. (2014). Misquoting
Muhammad: The challenge and choices of interpreting the Prophet’s legacy.
Oxford: Oneworld Publications.
Crone, P. (2005). Medieval
Islamic political thought. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Dabashi, H. (2011). Shi‘ism:
A religion of protest. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Daftary, F. (1990). The
Isma‘ilis: Their history and doctrines. Cambridge: Cambridge University
Press.
Daftary, F. (2013). A
history of Shi‘i Islam. London: I.B. Tauris.
Donner, F. M. (2010). Muhammad
and the believers: At the origins of Islam. Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Haeri, S. (1989). Law
of desire: Temporary marriage in Shi‘i Iran. Syracuse: Syracuse University
Press.
Halm, H. (2004). Shiism.
Edinburgh: Edinburgh University Press.
Hodgson, M. G. S. (1974). The
venture of Islam, Volume 1: The classical age of Islam. Chicago:
University of Chicago Press.
Hodgson, M. G. S. (1974). The
venture of Islam, Volume 2: Conscience and history in a world civilization.
Chicago: University of Chicago Press.
Kohlberg, E. (1991). Belief
and law in Imami Shi‘ism. Aldershot: Variorum.
Madelung, W. (1997). The
succession to Muhammad: A study of the early caliphate. Cambridge:
Cambridge University Press.
Momen, M. (1985). An
introduction to Shi‘i Islam: The history and doctrines of Twelver Shi‘ism.
New Haven: Yale University Press.
Motzki, H. (2004). Hadith:
Origins and developments. Aldershot: Ashgate.
Nasr, S. H. (1968). Science
and civilization in Islam. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Royal Aal al-Bayt Institute
for Islamic Thought. (2004). The Amman message. Retrieved January
2025, from https://ammanmessage.com
Sachedina, A. A. (1981). Islamic
messianism: The idea of the Mahdi in Twelver Shi‘ism. Albany: State
University of New York Press.
Sachedina, A. A. (1988). The
just ruler in Shi‘ite Islam: The comprehensive authority of the jurist in
Imamite jurisprudence. New York: Oxford University Press.
Serjeant, R. B. (1968). The
Zaidi Imams of Yemen. London: Royal Asiatic Society.
Shahrastani, M. A. K.
(1993). Al-Milal wa al-Nihal. Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
Virani, S. N. (2007). The
Ismailis in the Middle Ages: A history of survival, a search for salvation.
New York: Oxford University Press.
Walbridge, L. S. (2001). The
most learned of the Shi‘a: The institution of the Marja‘ Taqlid. New York:
Oxford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar