Minggu, 23 Maret 2025

Tokoh-Tokoh Filsafat: Jejak Pemikiran dari Klasik hingga Kontemporer

Tokoh-Tokoh Filsafat

Jejak Pemikiran dari Klasik hingga Kontemporer


Alihkan ke: Aliran-Aliran Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif perkembangan pemikiran filsafat melalui tokoh-tokoh utama dari berbagai zaman dan tradisi—mulai dari filsafat Yunani klasik, filsafat Islam klasik, abad pertengahan Barat, hingga era modern dan kontemporer. Setiap periode dianalisis berdasarkan kontribusi tokoh-tokohnya terhadap tema-tema fundamental filsafat seperti pengetahuan, realitas, etika, dan eksistensi. Dalam konteks filsafat Islam, artikel ini menyoroti bagaimana para pemikir Muslim merespons dan mengembangkan warisan filsafat Yunani dalam bingkai wahyu dan rasionalitas, serta bagaimana para pemikir Islam modern dan kontemporer berupaya merumuskan kembali relevansi filsafat dalam menghadapi tantangan zaman modern. Penutup artikel menghadirkan perbandingan lintas tokoh dan era yang menunjukkan transformasi sekaligus kesinambungan dalam diskursus filsafat dunia. Pendekatan historis-tematis ini bertujuan untuk memberikan pemahaman menyeluruh tentang pentingnya filsafat dalam membentuk cara pandang kritis, reflektif, dan humanistik terhadap kehidupan.

Kata Kunci: Filsafat, Tokoh Filsafat, Filsafat Islam, Modernisme, Eksistensialisme, Rasionalisme, Etika, Pengetahuan, Sejarah Pemikiran.


PEMBAHASAN

Tokoh-Tokoh Filsafat


1.           Pendahuluan

Filsafat, yang secara harfiah berasal dari bahasa Yunani philo (cinta) dan sophia (kebijaksanaan), merupakan suatu upaya intelektual manusia untuk memahami hakikat realitas, pengetahuan, etika, dan eksistensi. Sejak zaman kuno, manusia telah bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang hidup, alam semesta, dan tempatnya dalam kehidupan ini. Dalam konteks tersebut, lahirlah para filsuf sebagai pemikir yang berupaya merumuskan jawaban melalui metode rasional, reflektif, dan sistematis terhadap persoalan-persoalan besar dalam kehidupan manusia.

Para tokoh filsafat memainkan peran penting dalam membentuk perkembangan pemikiran dunia, baik di bidang ilmu pengetahuan, agama, politik, hingga etika. Pemikiran mereka tidak hanya mempengaruhi masa di mana mereka hidup, tetapi juga menanamkan akar yang kuat bagi bangunan intelektual umat manusia di masa depan. Sebagaimana diungkapkan Bertrand Russell, “sejarah filsafat, dalam arti tertentu, adalah upaya umat manusia untuk memahami dirinya sendiri melalui renungan terhadap dunia dan dirinya.”_¹

Filsafat tidak pernah hadir sebagai satu bentuk tunggal, melainkan berkembang dalam beragam konteks budaya dan agama. Dari Socrates di Athena yang berdialog tentang kebajikan, hingga Al-Farabi di Baghdad yang membahas negara utama, serta Immanuel Kant di Königsberg yang menguraikan batas-batas rasio murni—semua filsuf ini merefleksikan kondisi intelektual dan spiritual zaman mereka. Oleh karena itu, memahami tokoh-tokoh filsafat berarti menggali warisan intelektual yang membentang melintasi waktu dan ruang, dari Timur hingga Barat, dari zaman klasik hingga era postmodern.

Selain sebagai warisan historis, pemikiran para filsuf juga memiliki nilai praktis dalam dunia modern. Filsafat membantu kita untuk berpikir kritis, memilah argumentasi, serta membangun sikap reflektif dan terbuka terhadap perbedaan. Bahkan, dalam era digital yang serba cepat dan dangkal, filsafat menjadi oasis ketenangan yang mengajak manusia untuk berhenti sejenak dan merenung secara mendalam.

Artikel ini disusun untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang para tokoh penting dalam sejarah filsafat, baik dari tradisi Barat maupun Islam. Penyajian dilakukan secara kronologis dan tematik agar pembaca dapat menangkap dinamika pemikiran serta kaitan antar tokoh dalam lintasan sejarah filsafat. Dengan mempelajari para pemikir besar ini, diharapkan pembaca tidak hanya mengenal nama dan konsep-konsep besar, tetapi juga terdorong untuk mengembangkan kebijaksanaan dalam kehidupan pribadi maupun sosial.


Catatan Kaki

[1]                Bertrand Russell, A History of Western Philosophy (New York: Simon & Schuster, 1945), 1.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Volume 1: Greece and Rome (New York: Doubleday, 1993), xv.

[3]                Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI Press, 1986), 49.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (London: World Wisdom, 2001), 19–20.


2.           Tokoh-Tokoh Filsafat Zaman Klasik

Zaman klasik dalam sejarah filsafat merujuk pada periode berkembangnya filsafat di dunia Yunani Kuno hingga masa kekaisaran Romawi. Masa ini dianggap sebagai fondasi utama bagi tradisi filsafat Barat, karena melahirkan gagasan-gagasan besar mengenai etika, logika, metafisika, dan politik yang terus berpengaruh hingga masa kini. Beberapa tokoh sentral dari era ini adalah Socrates, Plato, dan Aristoteles, yang sering disebut sebagai trinitas filsafat Yunani, serta para pemikir Helenistik seperti Epictetus dan Plotinus.

2.1.       Filsuf Yunani Kuno

2.1.1.    Socrates (469–399 SM)

Socrates dikenal sebagai bapak filsafat moral. Ia tidak meninggalkan karya tulis, namun pemikirannya dicatat oleh murid-muridnya, terutama Plato. Metode Socrates yang terkenal adalah metode dialektika atau elenchus, yaitu proses tanya jawab kritis untuk menguji dan menyaring keyakinan moral seseorang hingga ditemukan prinsip yang lebih universal.¹

Socrates percaya bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh dengan mengenal diri sendiri, sebagaimana semboyan terkenalnya, "Know thyself." Ia menolak menerima bayaran untuk ajarannya dan lebih suka berkeliling kota Athena untuk berdialog dengan siapa pun. Pemikiran dan keberaniannya mempertanyakan nilai-nilai tradisional membuatnya dijatuhi hukuman mati oleh negara kota Athena.²

2.1.2.    Plato (427–347 SM)

Sebagai murid Socrates, Plato mengembangkan pemikiran gurunya dalam karya-karya filosofis yang ditulis dalam bentuk dialog, dengan Socrates sebagai tokoh utama. Ia dikenal melalui teori ide (forms), yakni keyakinan bahwa realitas sejati berada pada dunia ide yang tetap dan sempurna, bukan dunia fisik yang berubah-ubah.³

Plato juga mendirikan Akademia, sekolah filsafat pertama di dunia Barat. Dalam The Republic, ia menguraikan pandangannya tentang keadilan dan negara ideal yang dipimpin oleh philosopher king, yaitu penguasa yang bijak dan mencintai kebenaran.⁴

2.1.3.    Aristoteles (384–322 SM)

Aristoteles, murid Plato, mengembangkan pendekatan yang lebih empiris daripada gurunya. Ia meletakkan dasar-dasar logika formal melalui karya Organon, dan berkontribusi besar dalam bidang metafisika, etika, politik, serta ilmu alam.⁵

Dalam etika, Aristoteles memperkenalkan konsep kebajikan (virtue) sebagai jalan tengah antara dua ekstrem, dan bahwa kebahagiaan (eudaimonia) adalah tujuan tertinggi kehidupan manusia.⁶ Berbeda dari Plato yang memisahkan dunia ide dan realitas, Aristoteles menyatakan bahwa bentuk (form) ada dalam benda itu sendiri, bukan di dunia terpisah.

2.2.       Filsuf Helenistik dan Romawi

2.2.1.    Epictetus (50–135 M) dan Marcus Aurelius (121–180 M)

Keduanya merupakan tokoh terkemuka dari mazhab Stoa, yang mengajarkan bahwa kebajikan sejati terletak pada pengendalian diri dan hidup sesuai dengan akal budi alam. Epictetus menekankan bahwa kebahagiaan tidak tergantung pada kondisi eksternal, melainkan pada sikap batin yang rasional terhadap kehidupan.⁷ Marcus Aurelius, seorang kaisar Romawi sekaligus filsuf, menulis Meditations, sebuah refleksi pribadi yang menekankan pentingnya kesadaran diri, tanggung jawab moral, dan ketenangan jiwa dalam menghadapi tantangan hidup.⁸

2.2.2.    Plotinus (204–270 M)

Sebagai tokoh utama Neoplatonisme, Plotinus mengembangkan gagasan Plato dengan pendekatan mistis dan metafisik. Dalam Enneads, ia mengajarkan bahwa segala sesuatu berasal dari The One (Yang Esa), sumber realitas mutlak dan tidak terbagi. Jiwa manusia, menurutnya, memiliki potensi untuk kembali bersatu dengan Yang Esa melalui kontemplasi dan penyucian diri.⁹ Gagasan Plotinus ini kelak sangat berpengaruh pada filsafat Kristen, Islam, dan mistisisme Timur.


Para tokoh zaman klasik ini membentuk fondasi dari berbagai aliran pemikiran yang muncul setelahnya. Karya dan gagasan mereka tidak hanya menjadi tonggak dalam sejarah filsafat, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi ilmu pengetahuan, teologi, dan etika di berbagai peradaban.


Catatan Kaki

[1]                Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford: Oxford University Press, 1981), 3–4.

[2]                Bertrand Russell, A History of Western Philosophy (New York: Simon & Schuster, 1945), 90–92.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Volume 1: Greece and Rome (New York: Doubleday, 1993), 198–203.

[4]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube, revised C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book V.

[5]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 10–18.

[6]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book II.

[7]                Epictetus, Discourses and Selected Writings, trans. Robert Dobbin (London: Penguin Books, 2008), 17–22.

[8]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2003), 45–50.

[9]                Plotinus, The Enneads, trans. Stephen MacKenna (London: Penguin Classics, 1991), 1.6.


3.           Tokoh-Tokoh Filsafat Islam Klasik

Filsafat Islam klasik muncul sebagai kelanjutan dan pengembangan dari tradisi filsafat Yunani yang diterjemahkan dan dikaji oleh para cendekiawan Muslim pada abad ke-8 hingga ke-13 M. Meskipun disebut "filsafat Islam", para tokohnya tidak selalu membahas ajaran agama secara langsung, melainkan berusaha menyelaraskan antara wahyu dan akal dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang eksistensi, akhlak, dan hakikat pengetahuan.¹

Para filsuf Muslim klasik hidup dan berkarya dalam konteks keilmuan yang kosmopolitan, seperti di Baghdad, Kairo, Damaskus, hingga Andalusia. Mereka tidak hanya mewarisi pemikiran Yunani (terutama Plato dan Aristoteles), tetapi juga memperkaya dan mengembangkan gagasannya ke dalam sintesis khas dunia Islam.

3.1.       Al-Kindī (c. 801–873 M)

Dikenal sebagai “filsuf Arab pertama”, Al-Kindī adalah tokoh awal dalam gerakan penerjemahan dan pengembangan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Ia menulis lebih dari 200 risalah dalam bidang filsafat, matematika, logika, kedokteran, dan teologi.²

Al-Kindī menekankan pentingnya filsafat sebagai sarana memahami kebenaran, bahkan menyebutnya sebagai anugerah yang diberikan Allah kepada umat manusia.³ Dalam pandangannya, akal dan wahyu tidaklah bertentangan, dan pengetahuan yang diperoleh melalui filsafat dapat mendekatkan manusia kepada Tuhan.

3.2.       Al-Fārābī (c. 872–950 M)

Al-Fārābī dikenal sebagai “Guru Kedua” (setelah Aristoteles) dalam tradisi filsafat Islam. Ia banyak mengulas logika, metafisika, etika, dan filsafat politik. Salah satu karyanya yang monumental adalah Al-Madīnah al-Fādhilah (Negara Utama), di mana ia menggambarkan struktur masyarakat ideal yang dipimpin oleh manusia bijak dan bermoral tinggi.⁴

Dalam pandangan Al-Fārābī, tujuan tertinggi manusia adalah mencapai kebahagiaan (sa‘ādah), dan hal itu hanya dapat dicapai melalui pemahaman filosofis yang mendalam serta kehidupan yang sesuai dengan akal dan wahyu.⁵

3.3.       Ibn Sīnā (Avicenna, 980–1037 M)

Ibn Sīnā adalah filsuf dan ilmuwan Muslim paling berpengaruh dalam sejarah intelektual Islam dan Barat. Ia dikenal dengan karyanya Al-Shifā’ (Kesembuhan) dan Al-Qānūn fī al-Ṭibb (Kanon Kedokteran), yang menjadi rujukan di dunia Islam dan Eropa hingga berabad-abad kemudian.⁶

Dalam metafisika, Ibn Sīnā mengembangkan teori tentang wājib al-wujūd (wujud yang wajib), yakni Tuhan sebagai sumber keberadaan segala sesuatu.⁷ Ia juga mengemukakan teori jiwa dan intelek yang berpengaruh besar dalam teologi dan psikologi filosofis. Meskipun ia mengintegrasikan filsafat dan agama, beberapa pandangannya—terutama soal keabadian dunia—dikritik oleh kalangan teolog seperti Al-Ghazālī.

3.4.       Al-Ghazālī (1058–1111 M)

Al-Ghazālī adalah tokoh sentral dalam sejarah intelektual Islam yang memainkan peran penting dalam mengkritik dan menyaring ajaran filsafat. Dalam karyanya Tahāfut al-Falāsifah (Kekacauan Para Filsuf), ia mengkritik keras beberapa doktrin para filsuf seperti Ibn Sīnā, khususnya dalam tiga isu: kekekalan alam, pengetahuan Tuhan tentang partikular, dan kebangkitan jasmani.⁸

Namun, Al-Ghazālī bukan anti-filsafat secara mutlak. Dalam karya Maqāṣid al-Falāsifah, ia justru menjelaskan filsafat dengan jernih, sebelum mengkritisinya secara metodis. Ia kemudian lebih mengarahkan spiritualitas Islam ke jalan tasawuf sebagai sintesis antara akal dan hati.⁹

3.5.       Ibn Rushd (Averroes, 1126–1198 M)

Ibn Rushd adalah pembela rasionalisme Islam yang gigih melawan serangan terhadap filsafat, khususnya dari Al-Ghazālī. Dalam Tahāfut al-Tahāfut (Kekacauan atas Kekacauan), ia menjawab kritik Al-Ghazālī dan menyatakan bahwa filsafat tidak bertentangan dengan syariat, bahkan menjadi sarana untuk memahami wahyu secara lebih mendalam.¹⁰

Ibn Rushd juga menekankan pentingnya penafsiran alegoris terhadap teks suci ketika tampak bertentangan dengan akal. Pandangan ini kelak mempengaruhi para pemikir Yahudi (seperti Maimonides) dan Kristen (seperti Thomas Aquinas).¹¹ Di Eropa Latin, ia dikenal sebagai The Commentator atas komentar-komentarnya yang mendalam terhadap karya Aristoteles.


Para filsuf Islam klasik ini menunjukkan bahwa filsafat bukanlah ancaman bagi iman, melainkan alat untuk memperdalam penghayatan terhadap kebenaran. Melalui akal, mereka berusaha memahami wahyu dan realitas secara menyeluruh, membentuk tradisi intelektual Islam yang rasional, terbuka, dan reflektif.


Catatan Kaki

[1]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 2000), 1–2.

[2]                Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2015), 18–21.

[3]                Al-Kindī, “On First Philosophy,” in Medieval Islamic Philosophical Writings, ed. Muhammad Ali Khalidi (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 2–5.

[4]                Al-Fārābī, The Perfect State, trans. Richard Walzer (Chicago: KAZI Publications, 1998), 33–40.

[5]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 120–123.

[6]                Gutas, Dimitri, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2001), 145–150.

[7]                Ibn Sīnā, Metaphysics of the Healing, trans. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 257–260.

[8]                Al-Ghazālī, The Incoherence of the Philosophers, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 5–10.

[9]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 92–97.

[10]             Ibn Rushd, The Incoherence of the Incoherence, trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 245–250.

[11]             Sarah Stroumsa, Averroes and the Rational Theology (Aldershot: Ashgate, 2009), 56–60.


4.           Tokoh-Tokoh Filsafat Abad Pertengahan Barat

Filsafat Abad Pertengahan Barat merupakan periode yang berlangsung kira-kira dari abad ke-5 hingga ke-15 M. Era ini sering disebut sebagai masa "Skolastik", di mana para pemikir Kristen berupaya menyelaraskan ajaran agama (iman) dengan filsafat rasional, khususnya warisan pemikiran Plato dan Aristoteles

Berbeda dengan filsafat klasik Yunani yang lebih independen dari aspek teologis, filsafat abad pertengahan sangat dipengaruhi oleh doktrin gereja. Namun demikian, tokoh-tokoh pada masa ini tidak sekadar menjadi apologet agama, tetapi juga memberikan kontribusi penting dalam bidang logika, metafisika, dan etika. Dua di antara filsuf paling menonjol dalam periode ini adalah Augustinus dan Thomas Aquinas.

4.1.       Augustinus (354–430 M)

Augustinus dari Hippo adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam filsafat dan teologi Kristen awal. Sebagai mantan penganut Manikheisme dan kemudian filsuf Neoplatonis, ia mengalami perubahan mendalam setelah memeluk agama Kristen dan menjadi uskup. Dalam karyanya yang terkenal Confessiones dan De Civitate Dei (Kota Tuhan), Augustinus menggambarkan kehidupan manusia sebagai pergulatan antara dua cinta: cinta kepada Allah dan cinta kepada dunia.²

Augustinus mengembangkan teori tentang waktu sebagai fenomena batiniah, serta doktrin tentang kehendak bebas yang menjadi landasan etika Kristen. Ia juga menyatakan bahwa iman dan akal bukanlah dua hal yang bertentangan, tetapi saling mendukung, sebagaimana ungkapannya yang terkenal: “Credo ut intelligam” (Aku percaya agar dapat memahami).³ Dalam hal ini, ia menekankan primasi iman, namun tetap membuka ruang bagi akal sebagai sarana untuk memahami iman itu sendiri.

4.2.       Thomas Aquinas (1225–1274 M)

Thomas Aquinas adalah puncak dari tradisi filsafat skolastik di Barat. Ia dikenal sebagai Doctor Angelicus, dan merupakan tokoh yang secara sistematis mensintesiskan filsafat Aristoteles dengan teologi Kristen.⁴ Karya utamanya, Summa Theologiae, menjadi tonggak penting dalam pemikiran teologis dan filosofis Gereja Katolik.

Aquinas berpendapat bahwa akal dan wahyu berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan, sehingga keduanya tidak akan bertentangan jika dipahami secara benar. Ia membedakan antara fides (iman) dan ratio (akal), dan memberikan ruang bagi filsafat untuk mengkaji kebenaran yang dapat diketahui secara rasional, sementara teologi berkaitan dengan kebenaran suprarasional.⁵

Salah satu kontribusinya yang paling terkenal adalah lima jalan (quinque viae) untuk membuktikan keberadaan Tuhan, yang semuanya didasarkan pada pengamatan empiris terhadap gerak, sebab-akibat, kemungkinan, gradualitas, dan tujuan dalam alam semesta.⁶ Aquinas juga mengembangkan filsafat hukum alam (natural law), yang mempengaruhi pemikiran etika, politik, dan hukum Barat hingga kini.


Signifikansi dan Warisan Pemikiran

Filsafat abad pertengahan barat tidak hanya menjadi jembatan antara filsafat klasik dan modern, tetapi juga membentuk kerangka berpikir dunia Barat dalam memahami hubungan antara iman dan akal. Meskipun sering dianggap sebagai periode stagnasi intelektual oleh sebagian kalangan, para filsuf seperti Augustinus dan Aquinas justru meletakkan dasar penting bagi rasionalisasi teologi dan pengembangan sistem pemikiran yang mendalam.

Karya-karya mereka memengaruhi para filsuf selanjutnya, baik dalam tradisi Kristen, Islam, maupun pemikiran sekuler di era modern. Pemikiran Aquinas, misalnya, masih menjadi acuan utama dalam filsafat Katolik kontemporer, sedangkan gagasan Augustinus tentang kehendak dan waktu tetap relevan dalam diskusi filsafat eksistensial dan fenomenologis masa kini.⁷


Catatan Kaki

[1]                Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 10–12.

[2]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 2008), Book VII.

[3]                Robert Pasnau, Metaphysical Themes 1274–1671 (Oxford: Oxford University Press, 2011), 33.

[4]                Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Clarendon Press, 1992), 5–8.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.1, a.1–8.

[6]                Anthony Kenny, Aquinas on Being (Oxford: Clarendon Press, 2002), 80–85.

[7]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Doubleday, 1993), 310–320.


5.           Tokoh-Tokoh Filsafat Zaman Modern

Zaman modern dalam sejarah filsafat biasanya dimulai sejak abad ke-17 M, ditandai dengan munculnya pemikiran rasionalistik dan empiristik yang berusaha membebaskan filsafat dari otoritas gereja dan doktrin skolastik abad pertengahan.¹ Para filsuf modern cenderung lebih berfokus pada epistemologi (teori pengetahuan), metafisika baru, serta fondasi ilmiah yang rasional. Masa ini juga menjadi titik balik dalam cara manusia memahami diri, dunia, dan Tuhan melalui pendekatan kritis dan sistematis.

Beberapa tokoh utama dalam fase awal filsafat modern antara lain René Descartes, John Locke, Immanuel Kant, dan G.W.F. Hegel.

5.1.       René Descartes (1596–1650)

René Descartes dianggap sebagai bapak filsafat modern karena pendekatannya yang revolusioner dalam mempertanyakan semua keyakinan yang tidak dapat dipastikan secara mutlak. Dalam karyanya Meditations on First Philosophy, Descartes memulai filsafatnya dengan meragukan segala hal yang dapat diragukan, hingga ia menemukan kebenaran pertama yang tak terbantahkan dalam ungkapan terkenalnya: Cogito, ergo sum (Aku berpikir, maka aku ada).²

Descartes membangun filsafat berdasarkan rasio (rasionalisme), yakni keyakinan bahwa pengetahuan sejati dapat dicapai melalui akal budi. Ia juga membedakan secara tegas antara res cogitans (substansi berpikir) dan res extensa (substansi yang dapat diukur), yang menjadi dasar bagi pandangan dualisme antara pikiran dan materi.³

5.2.       John Locke (1632–1704)

Sebagai tokoh utama dalam empirisme Inggris, Locke berpendapat bahwa akal manusia pada dasarnya adalah tabula rasa (kertas kosong), yang kemudian diisi oleh pengalaman. Dalam An Essay Concerning Human Understanding, ia menolak gagasan bawaan (innate ideas) dan menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari dua sumber utama: pengalaman inderawi (sensation) dan refleksi atas pengalaman tersebut.⁴

Locke juga berperan penting dalam filsafat politik modern, terutama melalui Two Treatises of Government, di mana ia menyatakan bahwa hak asasi manusia seperti kehidupan, kebebasan, dan milik adalah hak alamiah yang harus dilindungi negara.⁵ Pemikirannya memberikan fondasi bagi liberalisme modern dan sistem demokrasi konstitusional.

5.3.       Immanuel Kant (1724–1804)

Immanuel Kant adalah tokoh sentral yang menyatukan dua arus besar sebelumnya—rasionalisme dan empirisme—melalui pendekatannya yang disebut kritik. Dalam karya monumentalnya Critique of Pure Reason, Kant berargumen bahwa pengetahuan bukan hanya ditentukan oleh pengalaman, tetapi juga oleh struktur apriori dalam akal manusia.⁶

Kant membedakan antara fenomena (dunia sebagaimana yang tampak) dan noumena (dunia sebagaimana adanya) yang tidak dapat diketahui secara langsung. Ia juga terkenal karena teorinya dalam etika deontologis, terutama prinsip imperatif kategoris, yakni bahwa tindakan moral harus dilakukan karena kewajiban, bukan akibat atau tujuan.⁷ Bagi Kant, manusia adalah makhluk rasional yang memiliki martabat dan harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sebagai alat.

5.4.       G.W.F. Hegel (1770–1831)

Hegel adalah pemikir idealis Jerman yang dikenal melalui konsep dialektika—suatu proses perkembangan gagasan melalui tiga tahap: tesis, antitesis, dan sintesis. Dalam Phenomenology of Spirit, Hegel menyatakan bahwa realitas dan pemikiran berkembang secara historis dan logis menuju kesadaran diri absolut.⁸

Berbeda dari Kant yang membatasi pengetahuan pada pengalaman, Hegel percaya bahwa akal mampu memahami keseluruhan realitas secara rasional. Ia juga menyatukan antara logika dan sejarah, antara pikiran dan kenyataan, sehingga dikenal dengan semboyannya: “What is rational is real; and what is real is rational.”_⁹

Hegel memberikan kontribusi besar dalam filsafat sejarah, etika, dan politik, serta mempengaruhi banyak pemikir besar sesudahnya, termasuk Karl Marx dan tokoh-tokoh eksistensialis.


Penutup Bagian

Filsafat modern adalah fase penting dalam sejarah intelektual dunia, karena membuka jalan bagi lahirnya sains modern, rasionalitas sekuler, serta wacana kebebasan individu dan hak asasi manusia. Meskipun kritik terhadapnya muncul pada era kontemporer, warisan para pemikir zaman modern tetap menjadi fondasi utama dalam filsafat, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan hingga hari ini.


Catatan Kaki

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 4: Modern Philosophy: From Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), xiii–xiv.

[2]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–19.

[3]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Oxford University Press, 1995), 105–110.

[4]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), Book II, Chapter I.

[5]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 271–285.

[6]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75.

[7]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:421–4:430.

[8]                G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 66–80.

[9]                G.W.F. Hegel, Elements of the Philosophy of Right, trans. H.B. Nisbet (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), Preface, 20–21.


6.           Tokoh-Tokoh Filsafat Kontemporer

Filsafat kontemporer mencakup pemikiran filsuf dari akhir abad ke-19 hingga sekarang. Ciri utama dari periode ini adalah keberagaman aliran dan pendekatan, serta meningkatnya refleksi kritis terhadap persoalan bahasa, kekuasaan, eksistensi manusia, dan struktur sosial.¹ Filsafat tidak lagi terbatas pada spekulasi metafisik atau analisis rasional semata, tetapi juga menyentuh dimensi psikologis, eksistensial, dan politis yang lebih kompleks.

Beberapa tokoh sentral dalam filsafat kontemporer adalah Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Jean-Paul Sartre, dan Michel Foucault. Masing-masing membawa paradigma baru yang menandai pergeseran cara berpikir modern ke postmodern.

6.1.       Karl Marx (1818–1883)

Karl Marx adalah tokoh penting dalam filsafat sosial dan politik yang dikenal dengan teori materialisme historis. Dalam karya terkenalnya The Communist Manifesto dan Das Kapital, Marx mengajukan kritik tajam terhadap kapitalisme, yang menurutnya menindas kelas pekerja dan menciptakan ketimpangan sosial.²

Marx memandang sejarah sebagai hasil pertentangan kelas, dan perubahan sosial sebagai konsekuensi dari konflik ekonomi yang melekat dalam sistem produksi. Ia menolak idealisme Hegelian dan menekankan bahwa kesadaran manusia ditentukan oleh kondisi materialnya: “Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaannya, tetapi justru keberadaan sosialnya yang menentukan kesadarannya.”_³

6.2.       Friedrich Nietzsche (1844–1900)

Nietzsche adalah filsuf yang sering dikaitkan dengan nihilisme, kritik terhadap moralitas tradisional, dan pernyataannya yang terkenal “Tuhan telah mati.”_⁴ Dalam karyanya Thus Spoke Zarathustra, ia memperkenalkan konsep Übermensch (manusia unggul) sebagai simbol individu yang mampu menciptakan nilai-nilai baru setelah runtuhnya tatanan nilai lama.

Nietzsche menolak moralitas Kristen yang menurutnya melemahkan kehendak manusia. Ia mengusung konsep will to power (kehendak untuk berkuasa) sebagai dorongan utama dalam kehidupan.⁵ Meskipun sering disalahpahami, pemikirannya sangat berpengaruh dalam eksistensialisme, psikoanalisis, dan teori budaya abad ke-20.

6.3.       Jean-Paul Sartre (1905–1980)

Sebagai tokoh utama eksistensialisme ateistik, Sartre berpendapat bahwa manusia tidak memiliki esensi bawaan dan harus menciptakan dirinya sendiri melalui tindakan bebas. Dalam Being and Nothingness, ia menyatakan bahwa eksistensi mendahului esensi: manusia “ada” terlebih dahulu, lalu mendefinisikan siapa dirinya melalui pilihan dan tanggung jawab.⁶

Bagi Sartre, kebebasan adalah kenyataan mutlak manusia, namun kebebasan itu juga menimbulkan angst (kecemasan) karena setiap individu bertanggung jawab penuh atas hidupnya sendiri. Ia juga memperkenalkan gagasan the look—cara orang lain memandang kita sebagai objek—yang menciptakan ketegangan dalam hubungan antarmanusia.⁷

6.4.       Michel Foucault (1926–1984)

Foucault adalah pemikir poststrukturalis yang terkenal dengan analisisnya tentang relasi antara pengetahuan dan kekuasaan. Dalam karya seperti Discipline and Punish dan The History of Sexuality, Foucault mengkaji bagaimana institusi seperti sekolah, rumah sakit, dan penjara membentuk subjek manusia melalui praktik disipliner dan kontrol tubuh.⁸

Foucault menolak pandangan bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang netral. Ia berpendapat bahwa pengetahuan selalu terikat pada struktur kekuasaan, dan bahwa identitas manusia dibentuk oleh wacana-diskursus sosial yang berlaku.⁹ Dengan demikian, ia menggeser perhatian filsafat dari pertanyaan tentang hakikat “kebenaran” ke bagaimana kebenaran dibentuk dan diterapkan dalam masyarakat.


Refleksi Akhir

Para filsuf kontemporer ini telah mengguncang fondasi pemikiran modern dan membuka jalan bagi pendekatan kritis terhadap realitas sosial, bahasa, dan makna diri. Filsafat tidak lagi dipahami semata sebagai upaya mencari kebenaran mutlak, tetapi sebagai medan pertarungan ide, kritik, dan refleksi atas struktur kuasa yang menyusun pengalaman manusia. Warisan pemikiran mereka menjadi sangat relevan dalam menghadapi kompleksitas zaman global dan postmodern.


Catatan Kaki

[1]                Richard Kearney, Modern Movements in European Philosophy (Manchester: Manchester University Press, 1986), 1–3.

[2]                Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, trans. Samuel Moore (London: Penguin Classics, 2002), 67–68.

[3]                Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, trans. N.I. Stone (Chicago: Charles H. Kerr, 1904), 11.

[4]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), §125.

[5]                Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1989), §§19–23.

[6]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 21–30.

[7]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 52–55.

[8]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 135–140.

[9]                Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. 1: An Introduction, trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 92–102.


7.           Tokoh-Tokoh Filsafat Islam Modern dan Kontemporer

Memasuki abad ke-19 dan ke-20, dunia Islam menghadapi tantangan besar berupa kolonialisme, modernitas Barat, dan krisis internal dalam pemikiran keagamaan. Dalam konteks inilah lahir berbagai pemikir Muslim modern yang berusaha mereformulasi warisan intelektual Islam agar tetap relevan dalam dunia modern. Filsafat Islam modern dan kontemporer tidak hanya membahas metafisika atau logika, tetapi juga isu-isu sosial, politik, pendidikan, serta hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan.¹

Tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, Syed Muhammad Naquib al-Attas, dan Harun Nasution memberikan kontribusi penting dalam menghidupkan kembali tradisi filsafat Islam, sambil mengintegrasikannya dengan tantangan zaman modern.

7.1.       Muhammad Abduh (1849–1905)

Muhammad Abduh adalah tokoh pembaharu asal Mesir yang dikenal sebagai pelopor modernisme Islam. Ia berusaha menyelaraskan ajaran Islam dengan rasionalitas modern dan ilmu pengetahuan. Dalam pandangannya, Islam sejati tidak bertentangan dengan akal dan kemajuan.²

Sebagai murid Jamal al-Din al-Afghani, Abduh mendorong pembebasan umat Islam dari taklid dan keterbelakangan intelektual. Ia menekankan perlunya ijtihad (penggunaan akal dalam menafsirkan agama) dan pembaruan pendidikan Islam.³ Dalam karyanya Risālat al-Tawḥīd, Abduh menegaskan bahwa keesaan Tuhan harus dipahami secara rasional dan bukan sekadar dogma.⁴

7.2.       Fazlur Rahman (1919–1988)

Fazlur Rahman adalah cendekiawan asal Pakistan yang kemudian menetap di Amerika Serikat. Ia dikenal karena usahanya mengontekstualisasikan pemikiran Islam dalam kerangka modern, khususnya dalam bidang etika dan tafsir. Dalam Islam and Modernity, Rahman menyatakan bahwa umat Islam harus kembali kepada semangat etis Al-Qur’an, bukan hanya pada literalitas teks.⁵

Ia mengembangkan pendekatan double movement dalam tafsir Al-Qur’an, yaitu: (1) memahami konteks historis ayat saat diturunkan, lalu (2) mengekstrak prinsip moral universal yang dapat diterapkan dalam konteks kekinian.⁶ Filsafat Fazlur Rahman menekankan rasionalitas, moralitas sosial, dan pentingnya pendidikan dalam transformasi umat.

7.3.       Syed Muhammad Naquib al-Attas (lahir 1931)

Al-Attas adalah filsuf Muslim asal Malaysia yang terkenal dengan gagasannya tentang Islamisasi ilmu pengetahuan. Ia mengkritik pandangan sekuler Barat yang memisahkan antara ilmu dan nilai spiritual. Dalam Islam and Secularism, ia menyatakan bahwa ilmu dalam Islam harus diarahkan pada adab, yaitu pembentukan pribadi berilmu yang berakhlak.⁷

Menurut al-Attas, krisis umat Islam bukan karena kekurangan ilmu, tetapi karena kekacauan makna dan kehilangan orientasi ruhani. Ia menekankan pentingnya konsep ta’dīb dalam pendidikan, yakni pembentukan manusia yang seimbang antara akal, hati, dan spiritualitas.⁸ Filsafatnya menyatukan warisan metafisika Islam klasik dengan tantangan epistemologis kontemporer.

7.4.       Harun Nasution (1919–1998)

Harun Nasution adalah pemikir Muslim Indonesia yang dikenal sebagai pelopor pembaruan pemikiran Islam di lingkungan perguruan tinggi Islam Indonesia. Dalam karya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, ia memperkenalkan pemikiran rasional dalam studi Islam dan mendorong kajian-kajian keislaman yang bersifat kritis dan ilmiah.⁹

Harun terinspirasi oleh pemikir-pemikir modernis seperti Muhammad Abduh dan memperkenalkan filsafat serta ilmu kalam dalam kurikulum IAIN (sekarang UIN). Ia menekankan pentingnya penggunaan akal dalam memahami agama dan membangun Islam yang inklusif, toleran, dan terbuka terhadap kemajuan zaman.¹⁰


Refleksi Akhir

Filsafat Islam modern dan kontemporer adalah bentuk respons kreatif terhadap perubahan zaman yang cepat. Para pemikir ini tidak hanya mempertahankan identitas keislaman, tetapi juga mengembangkan kerangka konseptual baru yang memungkinkan Islam berdialog dengan dunia modern secara aktif dan produktif. Mereka telah membuka jalan bagi tumbuhnya pemikiran Islam yang dinamis, kontekstual, dan tetap berpijak pada nilai-nilai wahyu dan akal.


Catatan Kaki

[1]                Charles E. Butterworth and Blake Andrée Kessel, The Introduction of Arabic Philosophy into Europe (Leiden: Brill, 1994), 6–9.

[2]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age 1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 130–140.

[3]                Yvonne Haddad, Contemporary Islam and the Challenge of History (Albany: SUNY Press, 1982), 55–57.

[4]                Muhammad Abduh, The Theology of Unity, trans. Ishaq Musa’ad and Kenneth Cragg (London: Allen & Unwin, 1966), 20–25.

[5]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 2–5.

[6]                Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 150–153.

[7]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 20–22.

[8]                Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 65–70.

[9]                Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI Press, 1986), 12–14.

[10]             M. Amin Abdullah, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika Keilmuan Islam (Yogyakarta: LKiS, 2006), 20–22.


8.           Perbandingan Pemikiran Tokoh-Tokoh

Sepanjang sejarah filsafat, para pemikir dari berbagai era dan peradaban telah memberikan kontribusi unik terhadap pemahaman manusia tentang realitas, pengetahuan, moralitas, dan eksistensi. Meski hidup dalam konteks budaya dan historis yang berbeda, terdapat benang merah sekaligus perbedaan mendasar antara pemikiran tokoh-tokoh dari zaman klasik, abad pertengahan, modern, hingga kontemporer—baik dalam tradisi filsafat Barat maupun Islam.

8.1.       Rasio, Wahyu, dan Sumber Pengetahuan

Salah satu perbedaan paling mencolok dalam sejarah filsafat adalah sikap terhadap hubungan antara akal dan wahyu. Filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles menjadikan akal sebagai alat utama dalam menjelaskan realitas dan kebenaran. Plato berpendapat bahwa pengetahuan sejati hanya dapat dicapai melalui kontemplasi rasional terhadap dunia ide.¹

Dalam tradisi Islam klasik, tokoh seperti Al-Fārābī dan Ibn Sīnā juga menjunjung tinggi akal, bahkan meyakini bahwa kenabian merupakan bentuk tertinggi dari intelek aktif yang mencapai iluminasi ilahiah.² Namun, Al-Ghazālī mengkritik kepercayaan buta terhadap filsafat dan mengingatkan tentang batasan akal dalam menjangkau hal-hal ghaib yang menjadi domain wahyu.³

Dalam filsafat modern, Descartes menempatkan akal sebagai fondasi kebenaran melalui metode keraguan metodis. Sedangkan Locke dan Hume menekankan pengalaman sebagai dasar pengetahuan (empirisme).⁴ Kant kemudian memadukan keduanya dalam kerangka kritik: pengetahuan tidak hanya berasal dari pengalaman, tetapi juga dibentuk oleh struktur a priori dalam akal manusia.⁵

8.2.       Hakikat Realitas dan Keberadaan

Pemikiran tentang realitas (ontologi) juga menunjukkan variasi yang signifikan. Plato mengajukan dualisme antara dunia ide dan dunia inderawi, sedangkan Aristoteles menolak dikotomi ini dan menyatakan bahwa bentuk inheren dalam substansi dunia nyata.⁶

Dalam Islam, Ibn Sīnā mengembangkan teori tentang wujūd (eksistensi) dan māhiyyah (hakikat), serta konsep wājib al-wujūd (Yang Wajib Ada), yang kemudian diadopsi dan dipertajam oleh teolog seperti Mullā Ṣadrā dengan filsafat eksistensialisme Islam-nya.⁷

Filsuf modern seperti Hegel memandang realitas sebagai sesuatu yang berkembang melalui dialektika historis menuju kesadaran diri absolut.⁸ Sebaliknya, Nietzsche justru menolak struktur metafisik dan menegaskan bahwa realitas adalah permainan kekuatan yang terus berubah, tanpa makna tetap atau hakikat abadi.⁹

8.3.       Etika dan Moralitas

Dalam soal etika, pendekatan para filsuf juga sangat beragam. Socrates dan Aristoteles percaya bahwa kebajikan (virtue) dan kebahagiaan (eudaimonia) adalah tujuan hidup manusia, yang dicapai melalui hidup selaras dengan rasio dan kebiasaan baik.¹⁰

Dalam Islam, Al-Fārābī dan Ibn Miskawayh mengaitkan etika dengan kesempurnaan jiwa dan pencapaian kebahagiaan ukhrawi. Sementara Fazlur Rahman mengembangkan etika Qur’ani yang menekankan keadilan sosial, kebebasan, dan tanggung jawab moral dalam konteks kontemporer.¹¹

Kant, dalam filsafat Barat modern, menekankan bahwa moralitas bersumber dari prinsip rasional yang universal, yakni imperatif kategoris—bahwa seseorang harus bertindak seolah-olah prinsip tindakannya bisa dijadikan hukum universal.¹² Di sisi lain, Sartre dan para eksistensialis justru melihat moralitas sebagai hasil pilihan bebas individu yang bertanggung jawab penuh atas makna hidupnya sendiri.¹³

8.4.       Manusia dan Eksistensinya

Gagasan tentang manusia dan eksistensi mengalami transformasi besar dalam filsafat kontemporer. Jika dalam filsafat klasik manusia dilihat sebagai makhluk rasional (zoon logikon), maka dalam filsafat eksistensialis dan postmodern, manusia dipandang sebagai makhluk yang dilempar ke dalam dunia tanpa makna bawaan, dan harus menciptakan maknanya sendiri.

Sartre menyatakan bahwa eksistensi mendahului esensi; manusia ada terlebih dahulu, lalu menentukan dirinya melalui kebebasan.¹⁴ Foucault bahkan menolak konsep subjek tetap, dan menyatakan bahwa identitas manusia dibentuk oleh wacana sosial dan struktur kekuasaan.¹⁵

Sebaliknya, pemikir Islam modern seperti al-Attas menolak pandangan sekuler tentang manusia, dan kembali menekankan bahwa manusia adalah makhluk spiritual yang memiliki tujuan hidup ilahiah, yaitu taḥqīq al-‘ubūdiyyah (realitas kehambaan).¹⁶

8.5.       Pengaruh Lintas Tradisi

Perbandingan juga menunjukkan bahwa terjadi pengaruh lintas peradaban yang signifikan. Filsafat Yunani menginspirasi filsafat Islam klasik, yang kemudian diserap kembali oleh filsuf Barat abad pertengahan (misalnya Ibn Rushd memengaruhi Thomas Aquinas). Filsafat modern kemudian lahir sebagai respons terhadap skolastik abad pertengahan, dan filsafat kontemporer berkembang sebagai kritik terhadap modernisme.

Dengan demikian, sejarah filsafat tidak bersifat linear, melainkan dialogis dan saling memengaruhi. Meskipun terjadi perbedaan dalam metodologi dan konteks, benang merah yang menghubungkan semua pemikir adalah usaha untuk memahami hakikat manusia, dunia, dan Tuhan dengan akal dan kesadaran yang mendalam.


Catatan Kaki

[1]                Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford: Oxford University Press, 1981), 22–25.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 120–123.

[3]                Al-Ghazālī, The Incoherence of the Philosophers, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 8–12.

[4]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 4: Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1994), 75–85.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75.

[6]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 15–17.

[7]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 33–40.

[8]                G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 80–85.

[9]                Friedrich Nietzsche, The Will to Power, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1968), 12–15.

[10]             Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book II.

[11]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 22–26.

[12]             Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:421–4:430.

[13]             Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 51–53.

[14]             Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 22–27.

[15]             Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A.M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 50–60.

[16]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 85–90.


9.           Penutup

Perjalanan sejarah filsafat dari zaman klasik hingga kontemporer menunjukkan dinamika intelektual umat manusia dalam mencari makna eksistensi, kebenaran, dan kebijaksanaan hidup. Dari Socrates yang memulai filsafat dengan dialog dan perenungan etis, hingga Foucault yang mengkritisi wacana dan kekuasaan dalam konstruksi pengetahuan, setiap tokoh menghadirkan paradigma berpikir yang unik dan kontekstual terhadap zamannya.¹

Filsafat bukanlah sekadar kajian teoretis yang jauh dari realitas, melainkan alat untuk memahami dan menafsirkan dunia secara lebih kritis dan mendalam. Filsafat mengajarkan manusia untuk bertanya secara radikal, menyelidiki secara rasional, dan mengevaluasi secara reflektif terhadap segala hal yang dianggap sudah pasti.² Dalam hal ini, peran para filsuf menjadi sangat penting: mereka tidak hanya menjadi pemikir, tetapi juga pemandu arah bagi transformasi budaya dan peradaban.

Tradisi filsafat Islam juga membuktikan bahwa Islam bukanlah agama yang menolak akal, tetapi justru menghargainya sebagai anugerah Tuhan yang harus digunakan untuk memahami wahyu dan semesta. Pemikiran Al-Fārābī, Ibn Sīnā, Al-Ghazālī, dan Ibn Rushd, serta tokoh-tokoh modern seperti Abduh, Fazlur Rahman, dan al-Attas, menunjukkan adanya kesinambungan antara iman, akal, dan realitas sosial.³ Mereka berhasil menjembatani nilai-nilai wahyu dengan dinamika zaman melalui pendekatan filosofis yang inklusif dan rasional.

Di tengah tantangan zaman kontemporer—seperti krisis moral, relativisme nilai, disorientasi identitas, dan kemajuan teknologi yang tak terarah—filsafat tetap memiliki peran strategis. Filsafat menawarkan ruang bagi refleksi mendalam, membantu membedakan antara kebenaran dan opini, serta membangun sikap hidup yang bijaksana dan bertanggung jawab.⁴ Seperti dinyatakan Bertrand Russell, “Filsafat, meskipun tidak dapat memberi jawaban pasti seperti ilmu eksakta, tetap bernilai karena memperluas cakrawala pemikiran dan membebaskan pikiran dari tirani kebiasaan.”_⁵

Maka, mengenal dan memahami para tokoh filsafat bukan hanya penting dari sisi historis, tetapi juga merupakan bagian dari upaya untuk membangun kesadaran intelektual dan spiritual. Para filsuf dari berbagai zaman telah memberikan warisan pemikiran yang dapat kita jadikan cermin dalam membangun peradaban yang lebih rasional, manusiawi, dan berkeadaban.

Dengan demikian, filsafat bukan hanya untuk para pemikir atau akademisi, tetapi untuk siapa saja yang ingin hidup secara lebih sadar, bermakna, dan bertanggung jawab.


Catatan Kaki

[1]                Bryan Magee, The Story of Philosophy (London: Dorling Kindersley, 2001), 16–18.

[2]                Richard Kearney, Philosophy at the Limit (London: Routledge, 1984), 5–7.

[3]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 2000), 92–94.

[4]                Martha C. Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1997), 18–20.

[5]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1998), 157.


Daftar Pustaka

Adamson, P. (2015). Philosophy in the Islamic world: A very short introduction. Oxford University Press.

Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and secularism. International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).

Al-Fārābī. (1998). The perfect state (R. Walzer, Trans.). KAZI Publications.

Al-Ghazālī. (2000). The incoherence of the philosophers (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press.

Annas, J. (1981). An introduction to Plato’s Republic. Oxford University Press.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.

Augustine. (2008). Confessions (H. Chadwick, Trans.). Oxford University Press.

Barnes, J. (2000). Aristotle: A very short introduction. Oxford University Press.

Butterworth, C. E., & Kessel, B. A. (1994). The introduction of Arabic philosophy into Europe. Brill.

Copleston, F. (1993). A history of philosophy: Volume 1 – Greece and Rome. Doubleday.

Copleston, F. (1993). A history of philosophy: Volume 2 – Medieval philosophy. Doubleday.

Copleston, F. (1994). A history of philosophy: Volume 4 – Modern philosophy: From Descartes to Leibniz. Doubleday.

Davies, B. (1992). The thought of Thomas Aquinas. Clarendon Press.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (2nd ed.). Columbia University Press.

Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.

Foucault, M. (1990). The history of sexuality, Vol. 1: An introduction (R. Hurley, Trans.). Vintage Books.

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.

Gaukroger, S. (1995). Descartes: An intellectual biography. Oxford University Press.

Gilson, E. (1991). The spirit of medieval philosophy. University of Notre Dame Press.

Griffel, F. (2009). Al-Ghazali's philosophical theology. Oxford University Press.

Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian tradition: Introduction to reading Avicenna's philosophical works. Brill.

Haddad, Y. (1982). Contemporary Islam and the challenge of history. SUNY Press.

Hegel, G. W. F. (1977). Phenomenology of spirit (A. V. Miller, Trans.). Oxford University Press.

Hegel, G. W. F. (1991). Elements of the philosophy of right (H. B. Nisbet, Trans.). Cambridge University Press.

Hourani, A. (1983). Arabic thought in the liberal age 1798–1939. Cambridge University Press.

Kalin, I. (2010). Knowledge in later Islamic philosophy: Mullā Ṣadrā on existence, intellect, and intuition. Oxford University Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kearney, R. (1984). Philosophy at the limit. Routledge.

Kearney, R. (1986). Modern movements in European philosophy. Manchester University Press.

Leaman, O. (2000). A brief introduction to Islamic philosophy. Polity Press.

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press.

Locke, J. (1988). Two treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press.

Magee, B. (2001). The story of philosophy. Dorling Kindersley.

Marx, K. (1904). A contribution to the critique of political economy (N. I. Stone, Trans.). Charles H. Kerr.

Marx, K., & Engels, F. (2002). The Communist manifesto (S. Moore, Trans.). Penguin Classics.

Nasr, H. (2001). Islamic science: An illustrated study. World Wisdom.

Nasution, H. (1986). Islam ditinjau dari berbagai aspeknya: Jilid I. UI Press.

Nietzsche, F. (1974). The gay science (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books.

Nietzsche, F. (1989). Beyond good and evil (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books.

Nietzsche, F. (1968). The will to power (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books.

Pasnau, R. (2011). Metaphysical themes 1274–1671. Oxford University Press.

Plato. (1992). The republic (G. M. A. Grube & C. D. C. Reeve, Trans.). Hackett Publishing.

Plotinus. (1991). The Enneads (S. MacKenna, Trans.). Penguin Classics.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.

Russell, B. (1945). A history of western philosophy. Simon & Schuster.

Russell, B. (1998). The problems of philosophy. Oxford University Press.

Saeed, A. (2006). Interpreting the Qur’an: Towards a contemporary approach. Routledge.

Sartre, J.-P. (1993). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.

Stroumsa, S. (2009). Averroes and the rational theology. Ashgate.

Thomas Aquinas. (1947). Summa theologiae (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.

Wan Daud, W. M. N. (1998). The educational philosophy and practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas. ISTAC.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar