Tokoh-Tokoh Filsafat
Jejak Pemikiran dari Klasik hingga Kontemporer
Alihkan ke: Aliran-Aliran Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif
perkembangan pemikiran filsafat melalui tokoh-tokoh utama dari berbagai zaman
dan tradisi—mulai dari filsafat Yunani klasik, filsafat Islam klasik, abad
pertengahan Barat, hingga era modern dan kontemporer. Setiap periode dianalisis
berdasarkan kontribusi tokoh-tokohnya terhadap tema-tema fundamental filsafat
seperti pengetahuan, realitas, etika, dan eksistensi. Dalam konteks filsafat
Islam, artikel ini menyoroti bagaimana para pemikir Muslim merespons dan
mengembangkan warisan filsafat Yunani dalam bingkai wahyu dan rasionalitas, serta
bagaimana para pemikir Islam modern dan kontemporer berupaya merumuskan kembali
relevansi filsafat dalam menghadapi tantangan zaman modern. Penutup artikel
menghadirkan perbandingan lintas tokoh dan era yang menunjukkan transformasi
sekaligus kesinambungan dalam diskursus filsafat dunia. Pendekatan
historis-tematis ini bertujuan untuk memberikan pemahaman menyeluruh tentang
pentingnya filsafat dalam membentuk cara pandang kritis, reflektif, dan
humanistik terhadap kehidupan.
Kata Kunci: Filsafat,
Tokoh Filsafat, Filsafat Islam, Modernisme, Eksistensialisme, Rasionalisme,
Etika, Pengetahuan, Sejarah Pemikiran.
PEMBAHASAN
Tokoh-Tokoh Filsafat
1.
Pendahuluan
Filsafat, yang secara harfiah berasal dari bahasa
Yunani philo (cinta) dan sophia (kebijaksanaan), merupakan suatu
upaya intelektual manusia untuk memahami hakikat realitas, pengetahuan, etika,
dan eksistensi. Sejak zaman kuno, manusia telah bergulat dengan
pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang hidup, alam semesta, dan tempatnya dalam
kehidupan ini. Dalam konteks tersebut, lahirlah para filsuf sebagai pemikir
yang berupaya merumuskan jawaban melalui metode rasional, reflektif, dan
sistematis terhadap persoalan-persoalan besar dalam kehidupan manusia.
Para tokoh filsafat memainkan peran penting dalam
membentuk perkembangan pemikiran dunia, baik di bidang ilmu pengetahuan, agama,
politik, hingga etika. Pemikiran mereka tidak hanya mempengaruhi masa di mana
mereka hidup, tetapi juga menanamkan akar yang kuat bagi bangunan intelektual
umat manusia di masa depan. Sebagaimana diungkapkan Bertrand Russell, “sejarah
filsafat, dalam arti tertentu, adalah upaya umat manusia untuk memahami dirinya
sendiri melalui renungan terhadap dunia dan dirinya.”_¹
Filsafat tidak pernah hadir sebagai satu bentuk tunggal,
melainkan berkembang dalam beragam konteks budaya dan agama. Dari Socrates di
Athena yang berdialog tentang kebajikan, hingga Al-Farabi di Baghdad yang
membahas negara utama, serta Immanuel Kant di Königsberg yang menguraikan
batas-batas rasio murni—semua filsuf ini merefleksikan kondisi intelektual dan
spiritual zaman mereka. Oleh karena itu, memahami tokoh-tokoh filsafat berarti
menggali warisan intelektual yang membentang melintasi waktu dan ruang, dari
Timur hingga Barat, dari zaman klasik hingga era postmodern.
Selain sebagai warisan historis, pemikiran para
filsuf juga memiliki nilai praktis dalam dunia modern. Filsafat membantu kita
untuk berpikir kritis, memilah argumentasi, serta membangun sikap reflektif dan
terbuka terhadap perbedaan. Bahkan, dalam era digital yang serba cepat dan
dangkal, filsafat menjadi oasis ketenangan yang mengajak manusia untuk berhenti
sejenak dan merenung secara mendalam.
Artikel ini disusun untuk memberikan gambaran
menyeluruh tentang para tokoh penting dalam sejarah filsafat, baik dari tradisi
Barat maupun Islam. Penyajian dilakukan secara kronologis dan tematik agar
pembaca dapat menangkap dinamika pemikiran serta kaitan antar tokoh dalam
lintasan sejarah filsafat. Dengan mempelajari para pemikir besar ini, diharapkan
pembaca tidak hanya mengenal nama dan konsep-konsep besar, tetapi juga
terdorong untuk mengembangkan kebijaksanaan dalam kehidupan pribadi maupun
sosial.
Catatan Kaki
[1]
Bertrand Russell, A History of Western Philosophy
(New York: Simon & Schuster, 1945), 1.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Volume 1: Greece and Rome (New York: Doubleday, 1993), xv.
[3]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI Press, 1986), 49.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An
Illustrated Study (London: World Wisdom, 2001), 19–20.
2.
Tokoh-Tokoh
Filsafat Zaman Klasik
Zaman klasik dalam
sejarah filsafat merujuk pada periode berkembangnya filsafat di dunia Yunani
Kuno hingga masa kekaisaran Romawi. Masa ini dianggap sebagai fondasi utama
bagi tradisi filsafat Barat, karena melahirkan gagasan-gagasan besar mengenai
etika, logika, metafisika, dan politik yang terus berpengaruh hingga masa kini.
Beberapa tokoh sentral dari era ini adalah Socrates, Plato, dan Aristoteles,
yang sering disebut sebagai trinitas filsafat Yunani, serta
para pemikir Helenistik seperti Epictetus dan Plotinus.
2.1.
Filsuf Yunani Kuno
2.1.1.
Socrates (469–399 SM)
Socrates dikenal
sebagai bapak filsafat moral. Ia tidak meninggalkan karya tulis, namun
pemikirannya dicatat oleh murid-muridnya, terutama Plato. Metode Socrates yang
terkenal adalah metode dialektika atau elenchus, yaitu proses tanya jawab
kritis untuk menguji dan menyaring keyakinan moral seseorang hingga ditemukan
prinsip yang lebih universal.¹
Socrates percaya
bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh dengan mengenal diri sendiri,
sebagaimana semboyan terkenalnya, "Know thyself." Ia
menolak menerima bayaran untuk ajarannya dan lebih suka berkeliling kota Athena
untuk berdialog dengan siapa pun. Pemikiran dan keberaniannya mempertanyakan
nilai-nilai tradisional membuatnya dijatuhi hukuman mati oleh negara kota
Athena.²
2.1.2.
Plato (427–347 SM)
Sebagai murid
Socrates, Plato mengembangkan pemikiran gurunya dalam karya-karya filosofis
yang ditulis dalam bentuk dialog, dengan Socrates sebagai tokoh utama. Ia
dikenal melalui teori ide (forms), yakni keyakinan bahwa
realitas sejati berada pada dunia ide yang tetap dan sempurna, bukan dunia
fisik yang berubah-ubah.³
Plato juga
mendirikan Akademia,
sekolah filsafat pertama di dunia Barat. Dalam The Republic, ia menguraikan
pandangannya tentang keadilan dan negara ideal yang dipimpin oleh philosopher
king, yaitu penguasa yang bijak dan mencintai kebenaran.⁴
2.1.3.
Aristoteles (384–322 SM)
Aristoteles, murid
Plato, mengembangkan pendekatan yang lebih empiris daripada gurunya. Ia
meletakkan dasar-dasar logika formal melalui karya Organon, dan berkontribusi besar
dalam bidang metafisika, etika, politik, serta ilmu alam.⁵
Dalam etika,
Aristoteles memperkenalkan konsep kebajikan (virtue) sebagai jalan
tengah antara dua ekstrem, dan bahwa kebahagiaan (eudaimonia) adalah tujuan tertinggi
kehidupan manusia.⁶ Berbeda dari Plato yang memisahkan dunia ide dan realitas,
Aristoteles menyatakan bahwa bentuk (form) ada dalam benda itu sendiri, bukan
di dunia terpisah.
2.2.
Filsuf Helenistik dan
Romawi
2.2.1.
Epictetus (50–135 M) dan Marcus Aurelius
(121–180 M)
Keduanya merupakan
tokoh terkemuka dari mazhab Stoa, yang mengajarkan bahwa kebajikan sejati
terletak pada pengendalian diri dan hidup sesuai dengan akal budi alam.
Epictetus menekankan bahwa kebahagiaan tidak tergantung pada kondisi eksternal,
melainkan pada sikap batin yang rasional terhadap kehidupan.⁷ Marcus Aurelius,
seorang kaisar Romawi sekaligus filsuf, menulis Meditations, sebuah refleksi
pribadi yang menekankan pentingnya kesadaran diri, tanggung jawab moral, dan
ketenangan jiwa dalam menghadapi tantangan hidup.⁸
2.2.2.
Plotinus (204–270 M)
Sebagai tokoh utama
Neoplatonisme, Plotinus mengembangkan gagasan Plato dengan pendekatan mistis
dan metafisik. Dalam Enneads, ia mengajarkan bahwa
segala sesuatu berasal dari The One (Yang Esa), sumber realitas
mutlak dan tidak terbagi. Jiwa manusia, menurutnya, memiliki potensi untuk
kembali bersatu dengan Yang Esa melalui kontemplasi dan penyucian diri.⁹
Gagasan Plotinus ini kelak sangat berpengaruh pada filsafat Kristen, Islam, dan
mistisisme Timur.
Para tokoh zaman
klasik ini membentuk fondasi dari berbagai aliran pemikiran yang muncul
setelahnya. Karya dan gagasan mereka tidak hanya menjadi tonggak dalam sejarah
filsafat, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi ilmu pengetahuan, teologi,
dan etika di berbagai peradaban.
Catatan Kaki
[1]
Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic
(Oxford: Oxford University Press, 1981), 3–4.
[2]
Bertrand Russell, A History of Western Philosophy
(New York: Simon & Schuster, 1945), 90–92.
[3]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Volume 1: Greece and
Rome (New York: Doubleday, 1993), 198–203.
[4]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube,
revised C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book V.
[5]
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 10–18.
[6]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence
Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book II.
[7]
Epictetus, Discourses and Selected Writings,
trans. Robert Dobbin (London: Penguin Books, 2008), 17–22.
[8]
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays
(New York: Modern Library, 2003), 45–50.
[9]
Plotinus, The Enneads, trans. Stephen
MacKenna (London: Penguin Classics, 1991), 1.6.
3.
Tokoh-Tokoh
Filsafat Islam Klasik
Filsafat Islam
klasik muncul sebagai kelanjutan dan pengembangan dari tradisi filsafat Yunani
yang diterjemahkan dan dikaji oleh para cendekiawan Muslim pada abad ke-8
hingga ke-13 M. Meskipun disebut "filsafat Islam", para tokohnya
tidak selalu membahas ajaran agama secara langsung, melainkan berusaha
menyelaraskan antara wahyu dan akal dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan
mendasar tentang eksistensi, akhlak, dan hakikat pengetahuan.¹
Para filsuf Muslim
klasik hidup dan berkarya dalam konteks keilmuan yang kosmopolitan, seperti di
Baghdad, Kairo, Damaskus, hingga Andalusia. Mereka tidak hanya mewarisi
pemikiran Yunani (terutama Plato dan Aristoteles), tetapi juga memperkaya dan
mengembangkan gagasannya ke dalam sintesis khas dunia Islam.
3.1.
Al-Kindī (c. 801–873 M)
Dikenal sebagai “filsuf
Arab pertama”, Al-Kindī adalah tokoh awal dalam gerakan
penerjemahan dan pengembangan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Ia menulis
lebih dari 200 risalah dalam bidang filsafat, matematika, logika, kedokteran,
dan teologi.²
Al-Kindī menekankan
pentingnya filsafat sebagai sarana memahami kebenaran, bahkan menyebutnya
sebagai anugerah yang diberikan Allah kepada umat manusia.³ Dalam pandangannya,
akal dan wahyu tidaklah bertentangan, dan pengetahuan yang diperoleh melalui
filsafat dapat mendekatkan manusia kepada Tuhan.
3.2.
Al-Fārābī (c. 872–950 M)
Al-Fārābī dikenal
sebagai “Guru
Kedua” (setelah Aristoteles) dalam tradisi filsafat Islam. Ia
banyak mengulas logika, metafisika, etika, dan filsafat politik. Salah satu
karyanya yang monumental adalah Al-Madīnah al-Fādhilah (Negara
Utama), di mana ia menggambarkan struktur masyarakat ideal yang dipimpin oleh
manusia bijak dan bermoral tinggi.⁴
Dalam pandangan
Al-Fārābī, tujuan tertinggi manusia adalah mencapai kebahagiaan (sa‘ādah),
dan hal itu hanya dapat dicapai melalui pemahaman filosofis yang mendalam serta
kehidupan yang sesuai dengan akal dan wahyu.⁵
3.3.
Ibn Sīnā (Avicenna,
980–1037 M)
Ibn Sīnā adalah filsuf
dan ilmuwan Muslim paling berpengaruh dalam sejarah intelektual Islam dan
Barat. Ia dikenal dengan karyanya Al-Shifā’ (Kesembuhan) dan Al-Qānūn
fī al-Ṭibb (Kanon Kedokteran), yang menjadi rujukan di dunia Islam
dan Eropa hingga berabad-abad kemudian.⁶
Dalam metafisika,
Ibn Sīnā mengembangkan teori tentang wājib al-wujūd (wujud yang wajib),
yakni Tuhan sebagai sumber keberadaan segala sesuatu.⁷ Ia juga mengemukakan
teori jiwa dan intelek yang berpengaruh besar dalam teologi dan psikologi
filosofis. Meskipun ia mengintegrasikan filsafat dan agama, beberapa
pandangannya—terutama soal keabadian dunia—dikritik oleh kalangan teolog
seperti Al-Ghazālī.
3.4.
Al-Ghazālī (1058–1111 M)
Al-Ghazālī adalah
tokoh sentral dalam sejarah intelektual Islam yang memainkan peran penting
dalam mengkritik dan menyaring ajaran filsafat. Dalam karyanya Tahāfut
al-Falāsifah (Kekacauan Para Filsuf), ia mengkritik keras beberapa
doktrin para filsuf seperti Ibn Sīnā, khususnya dalam tiga isu: kekekalan alam,
pengetahuan Tuhan tentang partikular, dan kebangkitan jasmani.⁸
Namun, Al-Ghazālī
bukan anti-filsafat secara mutlak. Dalam karya Maqāṣid al-Falāsifah, ia justru
menjelaskan filsafat dengan jernih, sebelum mengkritisinya secara metodis. Ia
kemudian lebih mengarahkan spiritualitas Islam ke jalan tasawuf sebagai
sintesis antara akal dan hati.⁹
3.5.
Ibn Rushd (Averroes,
1126–1198 M)
Ibn Rushd adalah
pembela rasionalisme Islam yang gigih melawan serangan terhadap filsafat,
khususnya dari Al-Ghazālī. Dalam Tahāfut al-Tahāfut (Kekacauan atas
Kekacauan), ia menjawab kritik Al-Ghazālī dan menyatakan bahwa filsafat tidak
bertentangan dengan syariat, bahkan menjadi sarana untuk memahami wahyu secara
lebih mendalam.¹⁰
Ibn Rushd juga
menekankan pentingnya penafsiran alegoris terhadap teks suci ketika tampak
bertentangan dengan akal. Pandangan ini kelak mempengaruhi para pemikir Yahudi
(seperti Maimonides) dan Kristen (seperti Thomas Aquinas).¹¹ Di Eropa Latin, ia
dikenal sebagai The Commentator atas
komentar-komentarnya yang mendalam terhadap karya Aristoteles.
Para filsuf Islam
klasik ini menunjukkan bahwa filsafat bukanlah ancaman bagi iman, melainkan
alat untuk memperdalam penghayatan terhadap kebenaran. Melalui akal, mereka
berusaha memahami wahyu dan realitas secara menyeluruh, membentuk tradisi
intelektual Islam yang rasional, terbuka, dan reflektif.
Catatan Kaki
[1]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy
(Cambridge: Polity Press, 2000), 1–2.
[2]
Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2015), 18–21.
[3]
Al-Kindī, “On First Philosophy,” in Medieval Islamic Philosophical Writings,
ed. Muhammad Ali Khalidi (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 2–5.
[4]
Al-Fārābī, The Perfect State, trans. Richard
Walzer (Chicago: KAZI Publications, 1998), 33–40.
[5]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 120–123.
[6]
Gutas, Dimitri, Avicenna and the Aristotelian Tradition
(Leiden: Brill, 2001), 145–150.
[7]
Ibn Sīnā, Metaphysics of the Healing, trans.
Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 257–260.
[8]
Al-Ghazālī, The Incoherence of the Philosophers,
trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 5–10.
[9]
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 92–97.
[10]
Ibn Rushd, The Incoherence of the Incoherence,
trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 245–250.
[11]
Sarah Stroumsa, Averroes and the Rational Theology
(Aldershot: Ashgate, 2009), 56–60.
4.
Tokoh-Tokoh
Filsafat Abad Pertengahan Barat
Filsafat Abad
Pertengahan Barat merupakan periode yang berlangsung kira-kira dari abad ke-5
hingga ke-15 M. Era ini sering disebut sebagai masa "Skolastik", di
mana para pemikir Kristen berupaya menyelaraskan ajaran agama (iman) dengan
filsafat rasional, khususnya warisan pemikiran Plato dan Aristoteles.¹
Berbeda dengan
filsafat klasik Yunani yang lebih independen dari aspek teologis, filsafat abad
pertengahan sangat dipengaruhi oleh doktrin gereja. Namun demikian, tokoh-tokoh
pada masa ini tidak sekadar menjadi apologet agama, tetapi juga memberikan
kontribusi penting dalam bidang logika, metafisika, dan etika. Dua di antara
filsuf paling menonjol dalam periode ini adalah Augustinus dan Thomas Aquinas.
4.1.
Augustinus (354–430 M)
Augustinus dari
Hippo adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam filsafat dan teologi
Kristen awal. Sebagai mantan penganut Manikheisme dan kemudian filsuf
Neoplatonis, ia mengalami perubahan mendalam setelah memeluk agama Kristen dan
menjadi uskup. Dalam karyanya yang terkenal Confessiones dan De
Civitate Dei (Kota Tuhan), Augustinus
menggambarkan kehidupan manusia sebagai pergulatan antara dua cinta: cinta
kepada Allah dan cinta kepada dunia.²
Augustinus
mengembangkan teori tentang waktu sebagai fenomena batiniah, serta doktrin
tentang kehendak bebas yang menjadi landasan etika Kristen. Ia juga menyatakan
bahwa iman dan akal bukanlah dua hal yang bertentangan, tetapi saling
mendukung, sebagaimana ungkapannya yang terkenal: “Credo ut intelligam” (Aku percaya
agar dapat memahami).³ Dalam hal ini, ia menekankan primasi iman, namun tetap
membuka ruang bagi akal sebagai sarana untuk memahami iman itu sendiri.
4.2.
Thomas Aquinas (1225–1274
M)
Thomas Aquinas
adalah puncak dari tradisi filsafat skolastik di Barat. Ia dikenal sebagai Doctor
Angelicus, dan merupakan tokoh yang secara sistematis
mensintesiskan filsafat Aristoteles dengan teologi Kristen.⁴ Karya utamanya, Summa
Theologiae, menjadi tonggak penting dalam pemikiran teologis dan
filosofis Gereja Katolik.
Aquinas berpendapat
bahwa akal dan wahyu berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan, sehingga
keduanya tidak akan bertentangan jika dipahami secara benar. Ia membedakan
antara fides
(iman) dan ratio
(akal), dan memberikan ruang bagi filsafat untuk mengkaji kebenaran yang dapat
diketahui secara rasional, sementara teologi berkaitan dengan kebenaran
suprarasional.⁵
Salah satu
kontribusinya yang paling terkenal adalah lima jalan (quinque viae) untuk
membuktikan keberadaan Tuhan, yang semuanya didasarkan pada pengamatan empiris
terhadap gerak, sebab-akibat, kemungkinan, gradualitas, dan tujuan dalam alam
semesta.⁶ Aquinas juga mengembangkan filsafat hukum alam (natural law), yang
mempengaruhi pemikiran etika, politik, dan hukum Barat hingga kini.
Signifikansi dan Warisan Pemikiran
Filsafat abad
pertengahan barat tidak hanya menjadi jembatan antara filsafat klasik dan
modern, tetapi juga membentuk kerangka berpikir dunia Barat dalam memahami
hubungan antara iman dan akal. Meskipun sering dianggap sebagai periode
stagnasi intelektual oleh sebagian kalangan, para filsuf seperti Augustinus dan
Aquinas justru meletakkan dasar penting bagi rasionalisasi teologi dan
pengembangan sistem pemikiran yang mendalam.
Karya-karya mereka
memengaruhi para filsuf selanjutnya, baik dalam tradisi Kristen, Islam, maupun
pemikiran sekuler di era modern. Pemikiran Aquinas, misalnya, masih menjadi
acuan utama dalam filsafat Katolik kontemporer, sedangkan gagasan Augustinus
tentang kehendak dan waktu tetap relevan dalam diskusi filsafat eksistensial
dan fenomenologis masa kini.⁷
Catatan Kaki
[1]
Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 10–12.
[2]
Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick
(Oxford: Oxford University Press, 2008), Book VII.
[3]
Robert Pasnau, Metaphysical Themes 1274–1671
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 33.
[4]
Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas
(Oxford: Clarendon Press, 1992), 5–8.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of
the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.1, a.1–8.
[6]
Anthony Kenny, Aquinas on Being (Oxford: Clarendon
Press, 2002), 80–85.
[7]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 2: Medieval
Philosophy (New York: Doubleday, 1993), 310–320.
5.
Tokoh-Tokoh
Filsafat Zaman Modern
Zaman modern dalam
sejarah filsafat biasanya dimulai sejak abad ke-17 M, ditandai dengan munculnya
pemikiran rasionalistik dan empiristik yang berusaha membebaskan filsafat dari
otoritas gereja dan doktrin skolastik abad pertengahan.¹ Para filsuf modern
cenderung lebih berfokus pada epistemologi (teori pengetahuan), metafisika
baru, serta fondasi ilmiah yang rasional. Masa ini juga menjadi titik balik
dalam cara manusia memahami diri, dunia, dan Tuhan melalui pendekatan kritis
dan sistematis.
Beberapa tokoh utama
dalam fase awal filsafat modern antara lain René Descartes, John Locke,
Immanuel Kant, dan G.W.F. Hegel.
5.1.
René Descartes (1596–1650)
René Descartes
dianggap sebagai bapak filsafat modern karena
pendekatannya yang revolusioner dalam mempertanyakan semua keyakinan yang tidak
dapat dipastikan secara mutlak. Dalam karyanya Meditations on First Philosophy,
Descartes memulai filsafatnya dengan meragukan segala hal yang dapat diragukan,
hingga ia menemukan kebenaran pertama yang tak terbantahkan dalam ungkapan
terkenalnya: “Cogito, ergo sum” (Aku berpikir, maka aku ada).²
Descartes membangun
filsafat berdasarkan rasio (rasionalisme), yakni keyakinan
bahwa pengetahuan sejati dapat dicapai melalui akal budi. Ia juga membedakan
secara tegas antara res cogitans (substansi berpikir)
dan res
extensa (substansi yang dapat diukur), yang menjadi dasar bagi
pandangan dualisme
antara pikiran dan materi.³
5.2.
John Locke (1632–1704)
Sebagai tokoh utama
dalam empirisme
Inggris, Locke berpendapat bahwa akal manusia pada dasarnya adalah tabula
rasa (kertas kosong), yang kemudian diisi oleh pengalaman. Dalam An Essay
Concerning Human Understanding, ia menolak gagasan bawaan (innate
ideas) dan menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari dua
sumber utama: pengalaman inderawi (sensation) dan refleksi atas pengalaman
tersebut.⁴
Locke juga berperan
penting dalam filsafat politik modern, terutama melalui Two
Treatises of Government, di mana ia menyatakan bahwa hak asasi
manusia seperti kehidupan, kebebasan, dan milik adalah hak alamiah yang harus
dilindungi negara.⁵ Pemikirannya memberikan fondasi bagi liberalisme modern dan
sistem demokrasi konstitusional.
5.3.
Immanuel Kant (1724–1804)
Immanuel Kant adalah
tokoh sentral yang menyatukan dua arus besar sebelumnya—rasionalisme dan
empirisme—melalui pendekatannya yang disebut kritik. Dalam karya monumentalnya Critique
of Pure Reason, Kant berargumen bahwa pengetahuan bukan hanya
ditentukan oleh pengalaman, tetapi juga oleh struktur apriori dalam akal
manusia.⁶
Kant membedakan
antara fenomena
(dunia sebagaimana yang tampak) dan noumena (dunia sebagaimana adanya)
yang tidak dapat diketahui secara langsung. Ia juga terkenal karena teorinya
dalam etika deontologis, terutama prinsip imperatif kategoris, yakni bahwa
tindakan moral harus dilakukan karena kewajiban, bukan akibat atau tujuan.⁷
Bagi Kant, manusia adalah makhluk rasional yang memiliki martabat dan harus
diperlakukan sebagai tujuan, bukan sebagai alat.
5.4.
G.W.F. Hegel (1770–1831)
Hegel adalah pemikir
idealis Jerman yang dikenal melalui konsep dialektika—suatu proses
perkembangan gagasan melalui tiga tahap: tesis, antitesis, dan sintesis.
Dalam Phenomenology
of Spirit, Hegel menyatakan bahwa realitas dan pemikiran berkembang
secara historis dan logis menuju kesadaran diri absolut.⁸
Berbeda dari Kant
yang membatasi pengetahuan pada pengalaman, Hegel percaya bahwa akal mampu
memahami keseluruhan realitas secara rasional. Ia juga menyatukan antara logika
dan sejarah, antara pikiran dan kenyataan, sehingga dikenal dengan semboyannya:
“What is rational is real; and what is real is rational.”_⁹
Hegel memberikan
kontribusi besar dalam filsafat sejarah, etika, dan politik, serta mempengaruhi
banyak pemikir besar sesudahnya, termasuk Karl Marx dan tokoh-tokoh
eksistensialis.
Penutup Bagian
Filsafat modern
adalah fase penting dalam sejarah intelektual dunia, karena membuka jalan bagi
lahirnya sains modern, rasionalitas sekuler, serta wacana kebebasan individu
dan hak asasi manusia. Meskipun kritik terhadapnya muncul pada era kontemporer,
warisan para pemikir zaman modern tetap menjadi fondasi utama dalam filsafat,
ilmu pengetahuan, dan kebudayaan hingga hari ini.
Catatan Kaki
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 4: Modern
Philosophy: From Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994),
xiii–xiv.
[2]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–19.
[3]
Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography
(Oxford: Oxford University Press, 1995), 105–110.
[4]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding,
ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), Book II, Chapter I.
[5]
John Locke, Two Treatises of Government, ed.
Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 271–285.
[6]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
A51/B75.
[7]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:421–4:430.
[8]
G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans.
A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 66–80.
[9]
G.W.F. Hegel, Elements of the Philosophy of Right,
trans. H.B. Nisbet (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), Preface,
20–21.
6.
Tokoh-Tokoh
Filsafat Kontemporer
Filsafat kontemporer
mencakup pemikiran filsuf dari akhir abad ke-19 hingga sekarang. Ciri utama
dari periode ini adalah keberagaman aliran dan pendekatan, serta meningkatnya
refleksi kritis terhadap persoalan bahasa, kekuasaan, eksistensi manusia, dan
struktur sosial.¹ Filsafat tidak lagi terbatas pada spekulasi metafisik atau
analisis rasional semata, tetapi juga menyentuh dimensi psikologis,
eksistensial, dan politis yang lebih kompleks.
Beberapa tokoh
sentral dalam filsafat kontemporer adalah Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Jean-Paul Sartre, dan Michel Foucault. Masing-masing membawa paradigma baru yang menandai
pergeseran cara berpikir modern ke postmodern.
6.1.
Karl Marx (1818–1883)
Karl Marx adalah
tokoh penting dalam filsafat sosial dan politik yang dikenal dengan teori materialisme
historis. Dalam karya terkenalnya The Communist Manifesto dan Das
Kapital, Marx mengajukan kritik tajam terhadap kapitalisme, yang
menurutnya menindas kelas pekerja dan menciptakan ketimpangan sosial.²
Marx memandang
sejarah sebagai hasil pertentangan kelas, dan perubahan sosial sebagai
konsekuensi dari konflik ekonomi yang melekat dalam sistem produksi. Ia menolak
idealisme Hegelian dan menekankan bahwa kesadaran manusia ditentukan oleh
kondisi materialnya: “Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaannya,
tetapi justru keberadaan sosialnya yang menentukan kesadarannya.”_³
6.2.
Friedrich Nietzsche
(1844–1900)
Nietzsche adalah
filsuf yang sering dikaitkan dengan nihilisme, kritik terhadap moralitas
tradisional, dan pernyataannya yang terkenal “Tuhan telah mati.”_⁴ Dalam
karyanya Thus
Spoke Zarathustra, ia memperkenalkan konsep Übermensch
(manusia unggul) sebagai simbol individu yang mampu menciptakan nilai-nilai
baru setelah runtuhnya tatanan nilai lama.
Nietzsche menolak
moralitas Kristen yang menurutnya melemahkan kehendak manusia. Ia mengusung
konsep will to
power (kehendak untuk berkuasa) sebagai dorongan utama dalam
kehidupan.⁵ Meskipun sering disalahpahami, pemikirannya sangat berpengaruh
dalam eksistensialisme, psikoanalisis, dan teori budaya abad ke-20.
6.3.
Jean-Paul Sartre
(1905–1980)
Sebagai tokoh utama eksistensialisme
ateistik, Sartre berpendapat bahwa manusia tidak memiliki esensi
bawaan dan harus menciptakan dirinya sendiri melalui tindakan bebas. Dalam Being
and Nothingness, ia menyatakan bahwa eksistensi mendahului esensi:
manusia “ada” terlebih dahulu, lalu mendefinisikan siapa dirinya melalui
pilihan dan tanggung jawab.⁶
Bagi Sartre,
kebebasan adalah kenyataan mutlak manusia, namun kebebasan itu juga menimbulkan
angst
(kecemasan) karena setiap individu bertanggung jawab penuh atas hidupnya
sendiri. Ia juga memperkenalkan gagasan the look—cara orang lain memandang
kita sebagai objek—yang menciptakan ketegangan dalam hubungan antarmanusia.⁷
6.4.
Michel Foucault (1926–1984)
Foucault adalah
pemikir poststrukturalis yang terkenal dengan analisisnya tentang relasi antara
pengetahuan dan kekuasaan. Dalam karya seperti Discipline and Punish dan The
History of Sexuality, Foucault mengkaji bagaimana institusi seperti
sekolah, rumah sakit, dan penjara membentuk subjek manusia melalui praktik
disipliner dan kontrol tubuh.⁸
Foucault menolak
pandangan bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang netral. Ia berpendapat bahwa
pengetahuan selalu terikat pada struktur kekuasaan, dan bahwa identitas manusia
dibentuk oleh wacana-diskursus sosial yang berlaku.⁹ Dengan demikian, ia
menggeser perhatian filsafat dari pertanyaan tentang hakikat “kebenaran” ke
bagaimana kebenaran dibentuk dan diterapkan dalam masyarakat.
Refleksi Akhir
Para filsuf
kontemporer ini telah mengguncang fondasi pemikiran modern dan membuka jalan
bagi pendekatan kritis terhadap realitas sosial, bahasa, dan makna diri.
Filsafat tidak lagi dipahami semata sebagai upaya mencari kebenaran mutlak,
tetapi sebagai medan pertarungan ide, kritik, dan refleksi atas struktur kuasa
yang menyusun pengalaman manusia. Warisan pemikiran mereka menjadi sangat
relevan dalam menghadapi kompleksitas zaman global dan postmodern.
Catatan Kaki
[1]
Richard Kearney, Modern Movements in European Philosophy
(Manchester: Manchester University Press, 1986), 1–3.
[2]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, trans.
Samuel Moore (London: Penguin Classics, 2002), 67–68.
[3]
Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political
Economy, trans. N.I. Stone (Chicago: Charles H. Kerr, 1904), 11.
[4]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), §125.
[5]
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage Books, 1989), §§19–23.
[6]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel
E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 21–30.
[7]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 52–55.
[8]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 135–140.
[9]
Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. 1: An
Introduction, trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990),
92–102.
7.
Tokoh-Tokoh
Filsafat Islam Modern dan Kontemporer
Memasuki abad ke-19
dan ke-20, dunia Islam menghadapi tantangan besar berupa kolonialisme,
modernitas Barat, dan krisis internal dalam pemikiran keagamaan. Dalam konteks
inilah lahir berbagai pemikir Muslim modern yang berusaha mereformulasi warisan
intelektual Islam agar tetap relevan dalam dunia modern. Filsafat Islam modern
dan kontemporer tidak hanya membahas metafisika atau logika, tetapi juga
isu-isu sosial, politik, pendidikan, serta hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan.¹
Tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, Syed Muhammad Naquib al-Attas, dan Harun Nasution memberikan
kontribusi penting dalam menghidupkan kembali tradisi filsafat Islam, sambil
mengintegrasikannya dengan tantangan zaman modern.
7.1.
Muhammad Abduh (1849–1905)
Muhammad Abduh
adalah tokoh pembaharu asal Mesir yang dikenal sebagai pelopor modernisme
Islam. Ia berusaha menyelaraskan ajaran Islam dengan rasionalitas modern dan
ilmu pengetahuan. Dalam pandangannya, Islam sejati tidak bertentangan dengan
akal dan kemajuan.²
Sebagai murid Jamal
al-Din al-Afghani, Abduh mendorong pembebasan umat Islam dari taklid dan
keterbelakangan intelektual. Ia menekankan perlunya ijtihad (penggunaan akal dalam
menafsirkan agama) dan pembaruan pendidikan Islam.³ Dalam karyanya Risālat
al-Tawḥīd, Abduh menegaskan bahwa keesaan Tuhan harus dipahami
secara rasional dan bukan sekadar dogma.⁴
7.2.
Fazlur Rahman (1919–1988)
Fazlur Rahman adalah
cendekiawan asal Pakistan yang kemudian menetap di Amerika Serikat. Ia dikenal
karena usahanya mengontekstualisasikan pemikiran Islam dalam kerangka modern,
khususnya dalam bidang etika dan tafsir. Dalam Islam and Modernity, Rahman
menyatakan bahwa umat Islam harus kembali kepada semangat etis Al-Qur’an, bukan
hanya pada literalitas teks.⁵
Ia mengembangkan
pendekatan double
movement dalam tafsir Al-Qur’an, yaitu: (1) memahami konteks
historis ayat saat diturunkan, lalu (2) mengekstrak prinsip moral universal
yang dapat diterapkan dalam konteks kekinian.⁶ Filsafat Fazlur Rahman
menekankan rasionalitas, moralitas sosial, dan pentingnya pendidikan dalam
transformasi umat.
7.3.
Syed Muhammad Naquib al-Attas (lahir 1931)
Al-Attas adalah
filsuf Muslim asal Malaysia yang terkenal dengan gagasannya tentang Islamisasi
ilmu pengetahuan. Ia mengkritik pandangan sekuler Barat yang
memisahkan antara ilmu dan nilai spiritual. Dalam Islam and Secularism, ia menyatakan
bahwa ilmu dalam Islam harus diarahkan pada adab, yaitu pembentukan pribadi
berilmu yang berakhlak.⁷
Menurut al-Attas,
krisis umat Islam bukan karena kekurangan ilmu, tetapi karena kekacauan makna
dan kehilangan orientasi ruhani. Ia menekankan pentingnya konsep ta’dīb
dalam pendidikan, yakni pembentukan manusia yang seimbang antara akal, hati,
dan spiritualitas.⁸ Filsafatnya menyatukan warisan metafisika Islam klasik
dengan tantangan epistemologis kontemporer.
7.4.
Harun Nasution (1919–1998)
Harun Nasution
adalah pemikir Muslim Indonesia yang dikenal sebagai pelopor pembaruan
pemikiran Islam di lingkungan perguruan tinggi Islam Indonesia. Dalam karya Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, ia memperkenalkan pemikiran
rasional dalam studi Islam dan mendorong kajian-kajian keislaman yang bersifat
kritis dan ilmiah.⁹
Harun terinspirasi
oleh pemikir-pemikir modernis seperti Muhammad Abduh dan memperkenalkan
filsafat serta ilmu kalam dalam kurikulum IAIN (sekarang UIN). Ia menekankan
pentingnya penggunaan akal dalam memahami agama dan membangun Islam yang
inklusif, toleran, dan terbuka terhadap kemajuan zaman.¹⁰
Refleksi Akhir
Filsafat Islam
modern dan kontemporer adalah bentuk respons kreatif terhadap perubahan zaman
yang cepat. Para pemikir ini tidak hanya mempertahankan identitas keislaman,
tetapi juga mengembangkan kerangka konseptual baru yang memungkinkan Islam
berdialog dengan dunia modern secara aktif dan produktif. Mereka telah membuka
jalan bagi tumbuhnya pemikiran Islam yang dinamis, kontekstual, dan tetap
berpijak pada nilai-nilai wahyu dan akal.
Catatan Kaki
[1]
Charles E. Butterworth and Blake Andrée Kessel, The
Introduction of Arabic Philosophy into Europe (Leiden: Brill,
1994), 6–9.
[2]
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age 1798–1939
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 130–140.
[3]
Yvonne Haddad, Contemporary Islam and the Challenge of History
(Albany: SUNY Press, 1982), 55–57.
[4]
Muhammad Abduh, The Theology of Unity, trans. Ishaq
Musa’ad and Kenneth Cragg (London: Allen & Unwin, 1966), 20–25.
[5]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press,
1982), 2–5.
[6]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an: Towards a Contemporary
Approach (London: Routledge, 2006), 150–153.
[7]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur:
ISTAC, 1993), 20–22.
[8]
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed
Muhammad Naquib al-Attas (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 65–70.
[9]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
Jilid I (Jakarta: UI Press, 1986), 12–14.
[10]
M. Amin Abdullah, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi,
dan Etika Keilmuan Islam (Yogyakarta: LKiS, 2006), 20–22.
8.
Perbandingan
Pemikiran Tokoh-Tokoh
Sepanjang sejarah
filsafat, para pemikir dari berbagai era dan peradaban telah memberikan
kontribusi unik terhadap pemahaman manusia tentang realitas, pengetahuan,
moralitas, dan eksistensi. Meski hidup dalam konteks budaya dan historis yang
berbeda, terdapat benang merah sekaligus perbedaan mendasar antara pemikiran
tokoh-tokoh dari zaman klasik, abad pertengahan, modern, hingga
kontemporer—baik dalam tradisi filsafat Barat maupun Islam.
8.1.
Rasio, Wahyu, dan Sumber
Pengetahuan
Salah satu perbedaan
paling mencolok dalam sejarah filsafat adalah sikap terhadap hubungan antara akal dan
wahyu. Filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles
menjadikan akal sebagai alat utama dalam menjelaskan realitas dan kebenaran.
Plato berpendapat bahwa pengetahuan sejati hanya dapat dicapai melalui
kontemplasi rasional terhadap dunia ide.¹
Dalam tradisi Islam
klasik, tokoh seperti Al-Fārābī dan Ibn Sīnā
juga menjunjung tinggi akal, bahkan meyakini bahwa kenabian merupakan bentuk
tertinggi dari intelek aktif yang mencapai iluminasi ilahiah.² Namun, Al-Ghazālī
mengkritik kepercayaan buta terhadap filsafat dan mengingatkan tentang batasan
akal dalam menjangkau hal-hal ghaib yang menjadi domain wahyu.³
Dalam filsafat
modern, Descartes menempatkan akal
sebagai fondasi kebenaran melalui metode keraguan metodis. Sedangkan Locke
dan Hume
menekankan pengalaman sebagai dasar pengetahuan (empirisme).⁴ Kant
kemudian memadukan keduanya dalam kerangka kritik: pengetahuan tidak hanya
berasal dari pengalaman, tetapi juga dibentuk oleh struktur a priori dalam akal
manusia.⁵
8.2.
Hakikat Realitas dan
Keberadaan
Pemikiran tentang realitas
(ontologi) juga menunjukkan variasi yang signifikan. Plato
mengajukan dualisme antara dunia ide dan dunia inderawi, sedangkan Aristoteles
menolak dikotomi ini dan menyatakan bahwa bentuk inheren dalam substansi dunia
nyata.⁶
Dalam Islam, Ibn Sīnā
mengembangkan teori tentang wujūd (eksistensi) dan māhiyyah
(hakikat), serta konsep wājib
al-wujūd (Yang
Wajib Ada), yang kemudian diadopsi dan dipertajam oleh teolog seperti Mullā Ṣadrā
dengan filsafat eksistensialisme Islam-nya.⁷
Filsuf modern
seperti Hegel memandang realitas
sebagai sesuatu yang berkembang melalui dialektika historis menuju kesadaran
diri absolut.⁸ Sebaliknya, Nietzsche justru menolak
struktur metafisik dan menegaskan bahwa realitas adalah permainan kekuatan yang
terus berubah, tanpa makna tetap atau hakikat abadi.⁹
8.3.
Etika dan Moralitas
Dalam soal etika,
pendekatan para filsuf juga sangat beragam. Socrates dan Aristoteles
percaya bahwa kebajikan (virtue) dan kebahagiaan
(eudaimonia) adalah tujuan
hidup manusia, yang dicapai melalui hidup selaras dengan rasio dan kebiasaan
baik.¹⁰
Dalam Islam, Al-Fārābī
dan Ibn Miskawayh mengaitkan etika dengan kesempurnaan jiwa dan
pencapaian kebahagiaan ukhrawi. Sementara Fazlur Rahman mengembangkan
etika Qur’ani yang menekankan keadilan sosial, kebebasan, dan tanggung jawab
moral dalam konteks kontemporer.¹¹
Kant,
dalam filsafat Barat modern, menekankan bahwa moralitas bersumber dari prinsip
rasional yang universal, yakni imperatif kategoris—bahwa seseorang
harus bertindak seolah-olah prinsip tindakannya bisa dijadikan hukum
universal.¹² Di sisi lain, Sartre dan para eksistensialis
justru melihat moralitas sebagai hasil pilihan bebas individu yang bertanggung
jawab penuh atas makna hidupnya sendiri.¹³
8.4.
Manusia dan Eksistensinya
Gagasan tentang manusia
dan eksistensi mengalami transformasi besar dalam filsafat
kontemporer. Jika dalam filsafat klasik manusia dilihat sebagai makhluk
rasional (zoon logikon), maka dalam filsafat eksistensialis dan postmodern,
manusia dipandang sebagai makhluk yang dilempar ke dalam dunia tanpa makna
bawaan, dan harus menciptakan maknanya sendiri.
Sartre
menyatakan bahwa eksistensi mendahului esensi; manusia ada terlebih dahulu,
lalu menentukan dirinya melalui kebebasan.¹⁴ Foucault bahkan menolak konsep
subjek tetap, dan menyatakan bahwa identitas manusia dibentuk oleh wacana
sosial dan struktur kekuasaan.¹⁵
Sebaliknya, pemikir
Islam modern seperti al-Attas menolak pandangan
sekuler tentang manusia, dan kembali menekankan bahwa manusia adalah makhluk
spiritual yang memiliki tujuan hidup ilahiah, yaitu taḥqīq al-‘ubūdiyyah (realitas
kehambaan).¹⁶
8.5.
Pengaruh Lintas Tradisi
Perbandingan juga
menunjukkan bahwa terjadi pengaruh lintas peradaban yang
signifikan. Filsafat Yunani menginspirasi filsafat Islam klasik, yang kemudian
diserap kembali oleh filsuf Barat abad pertengahan (misalnya Ibn Rushd
memengaruhi Thomas Aquinas). Filsafat modern kemudian lahir sebagai
respons terhadap skolastik abad pertengahan, dan filsafat kontemporer
berkembang sebagai kritik terhadap modernisme.
Dengan demikian,
sejarah filsafat tidak bersifat linear, melainkan dialogis dan saling
memengaruhi. Meskipun terjadi perbedaan dalam metodologi dan konteks, benang
merah yang menghubungkan semua pemikir adalah usaha untuk memahami hakikat manusia,
dunia, dan Tuhan dengan akal dan kesadaran yang mendalam.
Catatan Kaki
[1]
Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic
(Oxford: Oxford University Press, 1981), 22–25.
[2]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 120–123.
[3]
Al-Ghazālī, The Incoherence of the Philosophers,
trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 8–12.
[4]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 4: Modern
Philosophy (New York: Doubleday, 1994), 75–85.
[5]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
A51/B75.
[6]
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 15–17.
[7]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University
Press, 2010), 33–40.
[8]
G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans.
A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 80–85.
[9]
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage Books, 1968), 12–15.
[10]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence
Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book II.
[11]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press,
1982), 22–26.
[12]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:421–4:430.
[13]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 51–53.
[14]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel
E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 22–27.
[15]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge,
trans. A.M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 50–60.
[16]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur:
ISTAC, 1993), 85–90.
9.
Penutup
Perjalanan sejarah filsafat dari zaman klasik
hingga kontemporer menunjukkan dinamika intelektual umat manusia dalam mencari
makna eksistensi, kebenaran, dan kebijaksanaan hidup. Dari Socrates yang
memulai filsafat dengan dialog dan perenungan etis, hingga Foucault yang
mengkritisi wacana dan kekuasaan dalam konstruksi pengetahuan, setiap tokoh
menghadirkan paradigma berpikir yang unik dan kontekstual terhadap zamannya.¹
Filsafat bukanlah sekadar kajian teoretis yang jauh
dari realitas, melainkan alat untuk memahami dan menafsirkan dunia secara lebih
kritis dan mendalam. Filsafat mengajarkan manusia untuk bertanya secara
radikal, menyelidiki secara rasional, dan mengevaluasi secara reflektif
terhadap segala hal yang dianggap sudah pasti.² Dalam hal ini, peran para
filsuf menjadi sangat penting: mereka tidak hanya menjadi pemikir, tetapi juga
pemandu arah bagi transformasi budaya dan peradaban.
Tradisi filsafat Islam juga membuktikan bahwa Islam
bukanlah agama yang menolak akal, tetapi justru menghargainya sebagai anugerah
Tuhan yang harus digunakan untuk memahami wahyu dan semesta. Pemikiran Al-Fārābī,
Ibn Sīnā, Al-Ghazālī, dan Ibn Rushd, serta tokoh-tokoh
modern seperti Abduh, Fazlur Rahman, dan al-Attas,
menunjukkan adanya kesinambungan antara iman, akal, dan realitas sosial.³
Mereka berhasil menjembatani nilai-nilai wahyu dengan dinamika zaman melalui
pendekatan filosofis yang inklusif dan rasional.
Di tengah tantangan zaman kontemporer—seperti
krisis moral, relativisme nilai, disorientasi identitas, dan kemajuan teknologi
yang tak terarah—filsafat tetap memiliki peran strategis. Filsafat menawarkan
ruang bagi refleksi mendalam, membantu membedakan antara kebenaran dan opini,
serta membangun sikap hidup yang bijaksana dan bertanggung jawab.⁴ Seperti
dinyatakan Bertrand Russell, “Filsafat, meskipun tidak dapat memberi jawaban
pasti seperti ilmu eksakta, tetap bernilai karena memperluas cakrawala
pemikiran dan membebaskan pikiran dari tirani kebiasaan.”_⁵
Maka, mengenal dan memahami para tokoh filsafat
bukan hanya penting dari sisi historis, tetapi juga merupakan bagian dari upaya
untuk membangun kesadaran intelektual dan spiritual. Para filsuf dari berbagai
zaman telah memberikan warisan pemikiran yang dapat kita jadikan cermin dalam
membangun peradaban yang lebih rasional, manusiawi, dan berkeadaban.
Dengan demikian, filsafat bukan hanya untuk para
pemikir atau akademisi, tetapi untuk siapa saja yang ingin hidup secara lebih
sadar, bermakna, dan bertanggung jawab.
Catatan Kaki
[1]
Bryan Magee, The Story of Philosophy
(London: Dorling Kindersley, 2001), 16–18.
[2]
Richard Kearney, Philosophy at the Limit
(London: Routledge, 1984), 5–7.
[3]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Polity Press, 2000), 92–94.
[4]
Martha C. Nussbaum, Cultivating Humanity: A
Classical Defense of Reform in Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1997), 18–20.
[5]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 157.
Daftar Pustaka
Adamson, P. (2015). Philosophy in the Islamic
world: A very short introduction. Oxford University Press.
Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and secularism.
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).
Al-Fārābī. (1998). The perfect state (R.
Walzer, Trans.). KAZI Publications.
Al-Ghazālī. (2000). The incoherence of the
philosophers (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press.
Annas, J. (1981). An introduction to Plato’s
Republic. Oxford University Press.
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Hackett Publishing.
Augustine. (2008). Confessions (H. Chadwick,
Trans.). Oxford University Press.
Barnes, J. (2000). Aristotle: A very short
introduction. Oxford University Press.
Butterworth, C. E., & Kessel, B. A. (1994). The
introduction of Arabic philosophy into Europe. Brill.
Copleston, F. (1993). A history of philosophy:
Volume 1 – Greece and Rome. Doubleday.
Copleston, F. (1993). A history of philosophy:
Volume 2 – Medieval philosophy. Doubleday.
Copleston, F. (1994). A history of philosophy:
Volume 4 – Modern philosophy: From Descartes to Leibniz. Doubleday.
Davies, B. (1992). The thought of Thomas Aquinas.
Clarendon Press.
Descartes, R. (1996). Meditations on first
philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy
(2nd ed.). Columbia University Press.
Foucault, M. (1972). The archaeology of
knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.
Foucault, M. (1990). The history of sexuality,
Vol. 1: An introduction (R. Hurley, Trans.). Vintage Books.
Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The
birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.
Gaukroger, S. (1995). Descartes: An intellectual
biography. Oxford University Press.
Gilson, E. (1991). The spirit of medieval
philosophy. University of Notre Dame Press.
Griffel, F. (2009). Al-Ghazali's philosophical
theology. Oxford University Press.
Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian
tradition: Introduction to reading Avicenna's philosophical works. Brill.
Haddad, Y. (1982). Contemporary Islam and the
challenge of history. SUNY Press.
Hegel, G. W. F. (1977). Phenomenology of spirit
(A. V. Miller, Trans.). Oxford University Press.
Hegel, G. W. F. (1991). Elements of the
philosophy of right (H. B. Nisbet, Trans.). Cambridge University Press.
Hourani, A. (1983). Arabic thought in the
liberal age 1798–1939. Cambridge University Press.
Kalin, I. (2010). Knowledge in later Islamic
philosophy: Mullā Ṣadrā on existence, intellect, and intuition. Oxford
University Press.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.
Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kearney, R. (1984). Philosophy at the limit.
Routledge.
Kearney, R. (1986). Modern movements in European
philosophy. Manchester University Press.
Leaman, O. (2000). A brief introduction to
Islamic philosophy. Polity Press.
Locke, J. (1975). An essay concerning human
understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press.
Locke, J. (1988). Two treatises of government
(P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press.
Magee, B. (2001). The story of philosophy.
Dorling Kindersley.
Marx, K. (1904). A contribution to the critique
of political economy (N. I. Stone, Trans.). Charles H. Kerr.
Marx, K., & Engels, F. (2002). The Communist
manifesto (S. Moore, Trans.). Penguin Classics.
Nasr, H. (2001). Islamic science: An illustrated
study. World Wisdom.
Nasution, H. (1986). Islam ditinjau dari
berbagai aspeknya: Jilid I. UI Press.
Nietzsche, F. (1974). The gay science (W.
Kaufmann, Trans.). Vintage Books.
Nietzsche, F. (1989). Beyond good and evil
(W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books.
Nietzsche, F. (1968). The will to power (W.
Kaufmann, Trans.). Vintage Books.
Pasnau, R. (2011). Metaphysical themes 1274–1671.
Oxford University Press.
Plato. (1992). The republic (G. M. A. Grube
& C. D. C. Reeve, Trans.). Hackett Publishing.
Plotinus. (1991). The Enneads (S. MacKenna,
Trans.). Penguin Classics.
Rahman, F. (1982). Islam and modernity:
Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.
Russell, B. (1945). A history of western
philosophy. Simon & Schuster.
Russell, B. (1998). The problems of philosophy.
Oxford University Press.
Saeed, A. (2006). Interpreting the Qur’an:
Towards a contemporary approach. Routledge.
Sartre, J.-P. (1993). Being and nothingness
(H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a
humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
Stroumsa, S. (2009). Averroes and the rational
theology. Ashgate.
Thomas Aquinas. (1947). Summa theologiae
(Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.
Wan Daud, W. M. N. (1998). The educational
philosophy and practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas. ISTAC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar