Minggu, 20 April 2025

Materi 2 LDK 2025: Manajemen Kegiatan Ekstrakurikuler Seni dan Olahraga

Materi 2 LDK 2025

Manajemen Kegiatan Ekstrakurikuler Seni dan Olahraga

“Strategi, Implementasi, dan Evaluasi dalam Meningkatkan Potensi Peserta Didik”


Alihkan ke: MPK, OSIS.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai manajemen kegiatan ekstrakurikuler seni dan olahraga sebagai bagian integral dari pengembangan potensi peserta didik dalam pendidikan menengah. Melalui pendekatan multidimensional yang mencakup aspek perencanaan, implementasi, pengorganisasian, serta evaluasi dan monitoring, artikel ini menekankan pentingnya tata kelola kegiatan ekstrakurikuler yang sistematis, partisipatif, dan berkelanjutan. Berdasarkan kajian literatur dari sumber-sumber ilmiah dan regulasi nasional, artikel ini menunjukkan bahwa kegiatan seni dan olahraga berperan penting dalam membentuk karakter, meningkatkan keterampilan sosial, serta menumbuhkan kreativitas dan sportivitas siswa. Dilengkapi dengan studi kasus dari sekolah-sekolah yang berhasil mengembangkan program unggulan, artikel ini juga menguraikan tantangan praktis dalam pelaksanaan ekstrakurikuler serta solusi strategis yang dapat diterapkan oleh satuan pendidikan. Temuan artikel ini merekomendasikan perlunya sinergi antara pemangku kepentingan sekolah dan komunitas untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang mendukung pengembangan holistik peserta didik.

Kata Kunci: Manajemen ekstrakurikuler; seni; olahraga; pendidikan karakter; evaluasi pendidikan; strategi pembinaan; kegiatan siswa.


PEMBAHASAN

Manajemen Kegiatan Ekstrakurikuler Seni dan Olahraga


1.           Pendahuluan

Kegiatan ekstrakurikuler merupakan bagian integral dari sistem pendidikan yang berfungsi sebagai pelengkap kegiatan intrakurikuler dalam membentuk karakter, keterampilan, dan potensi peserta didik secara holistik. Dalam konteks pendidikan abad ke-21, keberadaan kegiatan ekstrakurikuler tidak lagi dipandang sebagai pelengkap semata, melainkan sebagai instrumen strategis untuk mengembangkan soft skills, kreativitas, dan daya saing siswa di luar ruang kelas formal. Kegiatan seni dan olahraga termasuk dua bentuk ekstrakurikuler yang paling umum diimplementasikan karena keduanya mampu menyeimbangkan perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa secara simultan.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan aktif siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler seni dan olahraga berkontribusi terhadap peningkatan disiplin, kerja sama tim, kepemimpinan, serta keterampilan sosial yang berharga dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia kerja di masa depan.¹ Kegiatan seni seperti musik, tari, dan lukis menumbuhkan apresiasi budaya, ekspresi diri, dan sensitivitas emosional, sementara kegiatan olahraga melatih kebugaran jasmani, sportivitas, serta daya juang yang tinggi.² Oleh karena itu, manajemen yang baik terhadap kegiatan ini sangat penting agar tujuan pendidikan menyeluruh dapat tercapai secara efektif.

Di Indonesia, regulasi mengenai ekstrakurikuler telah ditetapkan dalam Permendikbud No. 62 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa kegiatan ekstrakurikuler bertujuan untuk mengembangkan potensi, bakat, minat, kepribadian, dan kemandirian peserta didik secara optimal.³ Dalam praktiknya, pelaksanaan ekstrakurikuler di sekolah memerlukan sistem manajemen yang terencana, terorganisasi, dan terukur agar kegiatan tersebut tidak hanya menjadi rutinitas belaka, melainkan mampu menghasilkan output dan outcome yang signifikan. Manajemen kegiatan ekstrakurikuler seni dan olahraga mencakup proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, hingga evaluasi, yang kesemuanya menuntut keterlibatan aktif dari berbagai unsur sekolah termasuk kepala sekolah, pembina, guru, dan peserta didik sendiri.⁴

Lebih lanjut, tantangan dalam pengelolaan kegiatan ekstrakurikuler kerap kali muncul dalam bentuk keterbatasan sumber daya, kurangnya dukungan stakeholder, serta belum optimalnya sistem evaluasi berkelanjutan.⁵ Oleh karena itu, diperlukan suatu pendekatan manajerial yang tidak hanya berbasis administrasi, tetapi juga responsif terhadap dinamika kebutuhan siswa dan perkembangan zaman. Melalui pengelolaan yang baik, kegiatan ekstrakurikuler seni dan olahraga tidak hanya menjadi media ekspresi dan aktualisasi diri siswa, tetapi juga menjadi wahana strategis dalam pembentukan karakter unggul dan berdaya saing global.


Footnotes

[1]                Linda Darling-Hammond et al., Preparing Teachers for a Changing World: What Teachers Should Learn and Be Able to Do (San Francisco: Jossey-Bass, 2005), 254.

[2]                David G. Nicholls, The Philosophy of Education: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 136.

[3]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 62 Tahun 2014 tentang Kegiatan Ekstrakurikuler pada Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Kemendikbud, 2014).

[4]                Peter F. Oliva dan William R. Gordon, Developing the Curriculum, 8th ed. (Boston: Pearson, 2013), 310–312.

[5]                Endang Susilowati, “Manajemen Kegiatan Ekstrakurikuler dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan,” Jurnal Administrasi Pendidikan 23, no. 1 (2020): 57–68.


2.           Landasan Teoretis Manajemen Kegiatan Ekstrakurikuler

Manajemen dalam konteks pendidikan merupakan suatu proses sistematis yang bertujuan untuk mencapai tujuan pendidikan melalui perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi berbagai sumber daya yang tersedia.¹ Konsep manajemen kegiatan ekstrakurikuler seni dan olahraga tidak terlepas dari prinsip-prinsip umum manajemen, yang pertama kali dirumuskan oleh Henry Fayol—meliputi planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), commanding (pelaksanaan), coordinating (koordinasi), dan controlling (pengawasan).² Dalam praktik pendidikan, prinsip-prinsip tersebut disesuaikan dengan kebutuhan pengembangan peserta didik secara komprehensif, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik.

Secara konseptual, kegiatan ekstrakurikuler dipahami sebagai aktivitas pendidikan di luar mata pelajaran wajib, yang bertujuan untuk memperluas wawasan, minat, serta keterampilan siswa melalui berbagai bentuk kegiatan yang bersifat pilihan atau pengayaan.³ Menurut Goodlad, kegiatan ekstrakurikuler merupakan bagian dari kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) yang memainkan peran penting dalam pembentukan karakter dan nilai-nilai sosial siswa.⁴ Dalam hal ini, seni dan olahraga menjadi wahana efektif dalam menumbuhkan disiplin, tanggung jawab, kerja sama, dan kreativitas.

Dari sudut pandang pedagogis, kegiatan ekstrakurikuler berlandaskan pada teori pendidikan progresif dari John Dewey yang menekankan pentingnya pengalaman langsung (experiential learning) dalam proses pendidikan. Dewey percaya bahwa pembelajaran yang bermakna terjadi ketika peserta didik berpartisipasi aktif dalam kegiatan yang relevan dengan kehidupannya.⁵ Kegiatan seni dan olahraga yang bersifat praktik langsung merupakan cerminan dari pendekatan ini, karena memungkinkan peserta didik mengalami sendiri proses belajar melalui tindakan, eksplorasi, dan refleksi.

Dalam pendekatan manajerial, pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler perlu dikelola secara profesional dan sistematis. Glickman menekankan pentingnya pendekatan supervisi klinis dan kolaboratif dalam pembinaan kegiatan sekolah non-akademik, termasuk kegiatan seni dan olahraga.⁶ Supervisi yang efektif akan mendorong peningkatan kualitas pelaksanaan kegiatan serta memberikan ruang evaluasi bagi ketercapaian tujuan pendidikan nonformal di sekolah. Hal ini menjadi penting mengingat bahwa kegiatan ekstrakurikuler yang dikelola secara asal-asalan tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan pribadi maupun akademik peserta didik.

Dari perspektif regulasi pendidikan di Indonesia, Permendikbud No. 62 Tahun 2014 menjelaskan bahwa kegiatan ekstrakurikuler dilaksanakan dengan prinsip sukarela, tidak membebani, dan mendukung pengembangan karakter.⁷ Berdasarkan regulasi ini, manajemen ekstrakurikuler harus berorientasi pada pembentukan nilai-nilai kejujuran, sportivitas, kepemimpinan, dan kerja sama. Oleh karena itu, manajemen yang efektif mensyaratkan adanya sinergi antara visi kelembagaan, kompetensi pembina, dan partisipasi aktif peserta didik.

Dengan demikian, landasan teoretis manajemen kegiatan ekstrakurikuler seni dan olahraga berada pada persilangan antara teori manajemen pendidikan, teori perkembangan peserta didik, serta kerangka kebijakan pendidikan nasional. Ketiganya membentuk dasar yang kokoh bagi pengembangan program yang tidak hanya terstruktur tetapi juga kontekstual dan responsif terhadap kebutuhan peserta didik abad ke-21.


Footnotes

[1]                Terry R. Anderson, Managing Education: Strategies and Tactics (New York: Harper & Row, 2001), 48.

[2]                Henry Fayol, General and Industrial Management, trans. Constance Storrs (London: Pitman Publishing, 1949), 19–26.

[3]                Daryanto, Evaluasi Pendidikan, ed. 2 (Yogyakarta: Gava Media, 2012), 122.

[4]                John I. Goodlad, Curriculum Inquiry: The Study of Curriculum Practice (New York: McGraw-Hill, 1979), 62.

[5]                John Dewey, Experience and Education (New York: Macmillan, 1938), 25.

[6]                Carl D. Glickman, Supervision and Instructional Leadership: A Developmental Approach, 8th ed. (Boston: Allyn & Bacon, 2010), 196–198.

[7]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 62 Tahun 2014 tentang Kegiatan Ekstrakurikuler pada Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Kemendikbud, 2014).


3.           Tujuan dan Fungsi Kegiatan Ekstrakurikuler Seni dan Olahraga

Kegiatan ekstrakurikuler seni dan olahraga memiliki peran yang strategis dalam menunjang keberhasilan pendidikan secara menyeluruh. Di luar proses pembelajaran intrakurikuler yang bersifat kognitif, kegiatan ini mengakomodasi aspek afektif dan psikomotorik siswa yang tidak kalah penting dalam membentuk pribadi yang seimbang dan berkarakter. Secara umum, tujuan kegiatan ekstrakurikuler adalah untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan potensi, minat, dan bakatnya secara optimal di bidang tertentu, termasuk seni dan olahraga.¹

Dalam Permendikbud No. 62 Tahun 2014, dijelaskan bahwa kegiatan ekstrakurikuler bertujuan untuk mengembangkan kepribadian, bakat, minat, kemampuan sosial, dan semangat kebangsaan peserta didik.² Kegiatan seni berperan dalam menumbuhkan apresiasi budaya, estetika, ekspresi diri, serta memperkaya kecerdasan emosional. Sementara itu, kegiatan olahraga berfokus pada penguatan jasmani, keterampilan motorik, sportivitas, dan disiplin diri. Kedua jenis kegiatan ini memiliki korelasi yang erat dengan pengembangan karakter dan soft skills peserta didik yang sangat dibutuhkan di era global.

Menurut J.E. Ormrod, partisipasi dalam kegiatan seni memperkuat keterampilan berpikir kritis, inovasi, dan empati sosial, sedangkan olahraga berkontribusi pada pengembangan kerja sama tim, daya tahan mental, serta kemampuan kepemimpinan.³ Seni membuka ruang untuk refleksi dan eksplorasi identitas personal, sedangkan olahraga mempertemukan individu dalam dinamika kolektif yang menguji komitmen dan solidaritas.⁴

Secara pedagogis, kegiatan ekstrakurikuler juga berfungsi sebagai experiential learning, yaitu proses pembelajaran yang berbasis pengalaman nyata.⁵ Melalui kegiatan seni dan olahraga, peserta didik tidak hanya memahami nilai-nilai seperti kerja keras, kesabaran, dan resiliensi secara teoritis, tetapi juga mengalaminya langsung dalam proses kreatif atau kompetitif. Dengan demikian, pengalaman belajar menjadi lebih bermakna dan membentuk integritas pribadi siswa.

Selain itu, fungsi kegiatan ekstrakurikuler juga mencakup penguatan hubungan sosial antarsiswa, peningkatan keterlibatan sekolah dengan masyarakat, serta pembentukan lingkungan pendidikan yang inklusif dan suportif. Dalam banyak kasus, keterlibatan siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler menjadi faktor protektif terhadap perilaku menyimpang dan meningkatkan motivasi belajar.⁶ Oleh karena itu, kegiatan ini berfungsi tidak hanya sebagai sarana pengembangan bakat, tetapi juga sebagai mekanisme pembinaan karakter dan intervensi sosial yang efektif.

Dengan mempertimbangkan tujuan dan fungsi tersebut, manajemen kegiatan ekstrakurikuler seni dan olahraga di sekolah perlu dirancang secara strategis, terencana, dan terintegrasi dengan visi misi pendidikan, agar hasilnya benar-benar mencerminkan kemajuan holistik peserta didik, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat.


Footnotes

[1]                Syaiful Sagala, Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2010), 87.

[2]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 62 Tahun 2014 tentang Kegiatan Ekstrakurikuler pada Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Kemendikbud, 2014).

[3]                Jeanne Ellis Ormrod, Educational Psychology: Developing Learners, 9th ed. (Boston: Pearson, 2017), 219–221.

[4]                David J. Hargreaves, Dorothy Miell, dan Raymond MacDonald, eds., Musical Imaginations: Multidisciplinary Perspectives on Creativity, Performance and Perception (Oxford: Oxford University Press, 2012), 76.

[5]                Kolb, David A., Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1984), 38.

[6]                J. Mahoney dan B. Cairns, “Do Extracurricular Activities Protect Against Early School Dropout?”, Developmental Psychology 33, no. 2 (1997): 241–253.


4.           Perencanaan Kegiatan Ekstrakurikuler

Perencanaan merupakan tahap awal dan paling fundamental dalam proses manajemen kegiatan ekstrakurikuler. Dalam teori manajemen pendidikan, perencanaan diartikan sebagai proses sistematis untuk menentukan arah, sasaran, strategi, dan tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.¹ Kegiatan ekstrakurikuler seni dan olahraga, karena bersifat multidimensional dan membutuhkan keterlibatan banyak pihak, memerlukan perencanaan yang matang agar tidak hanya bersifat seremonial, tetapi juga memberikan manfaat konkret bagi pengembangan peserta didik.

Langkah pertama dalam perencanaan kegiatan ekstrakurikuler adalah identifikasi kebutuhan dan potensi peserta didik. Hal ini dapat dilakukan melalui survei minat, observasi keseharian siswa, wawancara dengan guru, serta analisis partisipasi siswa pada tahun-tahun sebelumnya.² Pendekatan ini sejalan dengan prinsip learner-centered planning yang menempatkan peserta didik sebagai subjek utama proses pendidikan.³ Kegiatan seni dan olahraga harus selaras dengan kebutuhan aktual siswa agar partisipasi mereka bersifat sukarela dan bermakna.

Langkah berikutnya adalah penetapan tujuan dan indikator keberhasilan. Tujuan kegiatan ekstrakurikuler harus bersifat spesifik, terukur, dapat dicapai, relevan, dan berbatas waktu (SMART).⁴ Misalnya, dalam ekstrakurikuler seni tari, tujuan dapat mencakup peningkatan keterampilan koreografi dasar dalam waktu satu semester, sedangkan dalam cabang olahraga futsal, tujuan bisa difokuskan pada penguatan koordinasi tim dan peningkatan stamina fisik.⁵ Indikator keberhasilan dapat berupa ketercapaian target keikutsertaan, peningkatan kemampuan teknis siswa, atau capaian prestasi dalam ajang kompetisi.

Selanjutnya, perlu dilakukan penyusunan struktur kegiatan yang mencakup jadwal latihan, alokasi waktu, anggaran dana, serta pemetaan peran pembina, pelatih, dan koordinator kegiatan. Perencanaan jadwal harus memperhatikan keseimbangan antara kegiatan ekstrakurikuler dan beban akademik siswa agar tidak menimbulkan kelelahan maupun penurunan prestasi belajar.⁶ Selain itu, perencanaan logistik, seperti pemanfaatan ruang, sarana latihan, dan kelengkapan alat, harus dirinci secara realistis dan sesuai dengan kapasitas sekolah.

Tidak kalah penting adalah perencanaan sumber daya manusia, yaitu pemilihan pembina atau pelatih yang kompeten, inspiratif, dan memiliki pemahaman pedagogis yang baik.⁷ Pembina bukan hanya berperan sebagai instruktur teknis, tetapi juga sebagai pendamping proses pembentukan karakter dan motivator yang menumbuhkan semangat belajar siswa melalui seni dan olahraga.

Dalam konteks manajemen berbasis sekolah (MBS), keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, termasuk kepala sekolah, guru, komite sekolah, dan orang tua, sangat penting dalam perencanaan kegiatan ekstrakurikuler.⁸ Kegiatan seni dan olahraga dapat menjadi wahana kolaboratif antara sekolah dan komunitas, dengan memanfaatkan sumber daya eksternal seperti sanggar seni lokal, klub olahraga, dan tokoh masyarakat yang relevan.

Perencanaan yang terarah dan partisipatif akan menghasilkan program ekstrakurikuler yang efektif, adaptif terhadap dinamika kebutuhan siswa, serta selaras dengan misi pendidikan yang holistik dan transformatif. Dengan demikian, perencanaan bukan sekadar tahapan administratif, tetapi menjadi jantung dari keberhasilan manajemen kegiatan ekstrakurikuler secara keseluruhan.


Footnotes

[1]                George R. Terry, Principles of Management (Homewood, IL: Irwin, 1960), 19.

[2]                Sudarwan Danim, Manajemen Pendidikan: Teori dan Praktik (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 145–147.

[3]                Peter Senge et al., Schools That Learn: A Fifth Discipline Fieldbook for Educators, Parents, and Everyone Who Cares About Education (New York: Crown Business, 2000), 122.

[4]                Robert F. Mager, Preparing Instructional Objectives (Belmont, CA: Fearon Publishers, 1997), 31–34.

[5]                Mohamad Syarif Sumantri dan Made Sutama, Strategi Pembelajaran: Teori dan Praktik di Sekolah (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), 101.

[6]                Muhaimin, Manajemen Pendidikan: Aplikasi dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) (Jakarta: Kencana, 2009), 211–212.

[7]                Linda Darling-Hammond dan Gary Sykes, “Wanted: A National Teacher Supply Policy for Education,” Educational Policy Analysis Archives 11, no. 33 (2003): 2–5.

[8]                Mulyasa E., Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 168.


5.           Implementasi dan Pengorganisasian Kegiatan

Setelah proses perencanaan yang sistematis, tahapan berikutnya dalam manajemen kegiatan ekstrakurikuler seni dan olahraga adalah implementasi dan pengorganisasian kegiatan. Implementasi mencakup seluruh aktivitas pelaksanaan program yang telah dirancang, sedangkan pengorganisasian berfokus pada penataan sumber daya manusia, sarana, dan prosedur untuk mendukung keberlangsungan kegiatan secara efisien dan efektif.¹ Kegiatan ekstrakurikuler yang diimplementasikan secara tepat akan berdampak langsung terhadap peningkatan partisipasi, motivasi, dan pencapaian siswa.

5.1.       Model Pengorganisasian Kegiatan

Dalam praktiknya, terdapat beberapa model pengorganisasian kegiatan ekstrakurikuler yang diterapkan di sekolah, yaitu:

1)                  Model terpusat: Di mana seluruh kegiatan dirancang dan dikendalikan oleh sekolah secara langsung melalui kepala sekolah atau wakil bidang kesiswaan.

2)                  Model desentralisasi: Kegiatan diserahkan kepada unit-unit kecil atau klub ekstrakurikuler yang memiliki otonomi dalam merancang dan melaksanakan program, dengan tetap berada dalam pengawasan sekolah.

3)                  Model berbasis partisipasi masyarakat: Melibatkan komunitas lokal, alumni, dan lembaga mitra dalam pengelolaan kegiatan, seperti bekerja sama dengan sanggar seni atau klub olahraga profesional.²

Pemilihan model pengorganisasian sangat bergantung pada karakteristik sekolah, sumber daya yang tersedia, serta budaya partisipatif di lingkungan pendidikan tersebut.

5.2.       Pelaksanaan Kegiatan Seni dan Olahraga

Dalam bidang seni, implementasi kegiatan meliputi pelatihan, produksi karya, pertunjukan, dan apresiasi seni. Program seni dapat mencakup musik, tari, teater, seni rupa, dan film pendek. Pelaksanaan harus mempertimbangkan prinsip inklusivitas dan ekspresi kreatif siswa secara individual maupun kelompok.³ Guru pembina berperan sebagai fasilitator dan mentor yang membimbing siswa untuk mengembangkan bakat sekaligus membangun keberanian dalam berekspresi.

Di sisi lain, kegiatan olahraga mencakup latihan fisik, teknik permainan, strategi tim, dan pelaksanaan pertandingan. Kegiatan ini biasanya dijalankan secara periodik dan terstruktur dengan orientasi pada pembinaan fisik, pembentukan disiplin, serta penguatan kerja sama tim.⁴ Pembina olahraga bertanggung jawab untuk menyusun modul latihan yang sesuai dengan usia dan tingkat kebugaran siswa, sekaligus membangun etos sportivitas dan ketekunan.

5.3.       Distribusi Peran dan Tanggung Jawab

Suksesnya implementasi sangat dipengaruhi oleh pembagian peran yang jelas antara semua pihak terkait. Kepala sekolah berperan sebagai pengarah strategis dan pengambil kebijakan, sedangkan wakil kepala sekolah bidang kesiswaan bertanggung jawab sebagai koordinator operasional kegiatan.⁵ Guru pembina atau pelatih merupakan ujung tombak pelaksanaan program, yang berinteraksi langsung dengan siswa dalam kegiatan sehari-hari. Selain itu, perlu dibentuk tim pendukung administrasi dan dokumentasi yang memastikan keteraturan jadwal, absensi peserta, dan pelaporan kegiatan.

5.4.       Sarana, Prasarana, dan Pendanaan

Pengorganisasian kegiatan tidak dapat dilepaskan dari dukungan sarana dan prasarana yang memadai, seperti ruang latihan, peralatan seni, lapangan olahraga, serta sistem administrasi digital untuk mengelola jadwal dan evaluasi.⁶ Kegiatan yang didukung oleh infrastruktur yang baik akan lebih efektif dalam menjangkau tujuan pembelajaran nonformal. Dari sisi pendanaan, pengelolaan ekstrakurikuler dapat memanfaatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), sumbangan sukarela, dan kolaborasi dengan pihak eksternal.⁷ Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana sangat penting untuk membangun kepercayaan seluruh pemangku kepentingan.

5.5.       Penjaminan Mutu dan Pengawasan

Selama implementasi berlangsung, penting untuk dilakukan proses pengawasan (supervisi) secara berkala oleh manajemen sekolah. Supervisi tidak hanya mengamati pelaksanaan teknis, tetapi juga mengevaluasi proses pembelajaran yang terjadi, hubungan interpersonal dalam kelompok, dan dampak terhadap perkembangan siswa.⁸ Glickman menyarankan pendekatan supervisi kolaboratif, di mana pembina dan supervisor berdialog untuk mengembangkan kualitas kegiatan secara berkelanjutan.⁹

Dengan pengorganisasian yang terstruktur dan implementasi yang konsisten, kegiatan ekstrakurikuler seni dan olahraga dapat menjadi wahana pembentukan karakter, pelatihan kepemimpinan, serta peningkatan prestasi siswa dalam berbagai aspek kehidupan.


Footnotes

[1]                George R. Terry, Principles of Management (Homewood, IL: Irwin, 1960), 25.

[2]                Suyanto dan A. Djihad Hisyam, Refleksi Pendidikan di Indonesia (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000), 98–99.

[3]                David J. Elliott, Music Matters: A New Philosophy of Music Education (New York: Oxford University Press, 1995), 112.

[4]                Jean Côté dan Ronnie Lidor, “Conditioning and Sport Expertise,” Journal of Sports Sciences 27, no. 13 (2009): 1347–1356.

[5]                Mulyasa E., Manajemen Berbasis Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 186.

[6]                Sudarwan Danim, Manajemen dan Kepemimpinan Transformasional dalam Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2013), 154.

[7]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Petunjuk Teknis BOS Reguler Tahun 2023 (Jakarta: Kemendikbud, 2023), 11–13.

[8]                Carl D. Glickman, Supervision and Instructional Leadership: A Developmental Approach, 8th ed. (Boston: Allyn & Bacon, 2010), 209.

[9]                Glickman, Supervision and Instructional Leadership, 210.


6.           Evaluasi dan Monitoring Kegiatan

Evaluasi dan monitoring merupakan komponen krusial dalam manajemen kegiatan ekstrakurikuler seni dan olahraga, karena berfungsi untuk menilai efektivitas pelaksanaan program sekaligus menjadi dasar perbaikan berkelanjutan. Evaluasi adalah proses sistematis untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi guna menentukan pencapaian tujuan kegiatan, sedangkan monitoring adalah proses pengawasan yang dilakukan secara berkala untuk memastikan bahwa pelaksanaan kegiatan berjalan sesuai rencana.¹ Keduanya saling melengkapi dan harus dilaksanakan secara berkesinambungan.

6.1.       Tujuan dan Prinsip Evaluasi

Evaluasi kegiatan ekstrakurikuler memiliki beberapa tujuan utama: (1) menilai ketercapaian tujuan program, (2) mengetahui efektivitas metode dan strategi pelaksanaan, (3) mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan kegiatan, serta (4) menyediakan data untuk perencanaan ke depan.² Prinsip evaluasi pendidikan yang baik adalah objektif, sistematis, berorientasi pada tujuan, dan bersifat formatif maupun sumatif.³ Dalam konteks kegiatan seni dan olahraga, evaluasi tidak hanya mengukur hasil akhir seperti prestasi atau keterampilan teknis, tetapi juga menilai proses pembelajaran, keterlibatan emosional, dan pengembangan karakter siswa.

6.2.       Teknik dan Instrumen Evaluasi

Teknik evaluasi dapat dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Evaluasi kuantitatif digunakan untuk menilai indikator yang dapat diukur secara numerik, seperti jumlah kehadiran, frekuensi latihan, atau pencapaian skor dalam kompetisi. Evaluasi kualitatif digunakan untuk menilai aspek-aspek yang bersifat subjektif, seperti motivasi, kerja sama tim, kreativitas, atau etika berolahraga.⁴

Instrumen evaluasi yang digunakan dapat berupa:

·                     Angket kepuasan siswa dan pembina terhadap pelaksanaan kegiatan;

·                     Observasi langsung terhadap sikap dan partisipasi siswa;

·                     Jurnal kegiatan harian/mingguan;

·                     Portofolio karya seni atau catatan latihan olahraga;

·                     Laporan kinerja pelatih/pembina dan dokumentasi kegiatan.

Setiap instrumen perlu disesuaikan dengan karakteristik kegiatan yang dievaluasi serta tujuan yang ingin dicapai, agar data yang diperoleh relevan dan dapat ditindaklanjuti.

6.3.       Indikator Keberhasilan

Indikator keberhasilan kegiatan ekstrakurikuler seni dan olahraga dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori:

1)                  Indikator partisipatif, seperti tingkat kehadiran, antusiasme, dan retensi peserta;

2)                  Indikator kompetensi, seperti peningkatan kemampuan teknis, kreativitas, atau penguasaan teknik olahraga;

3)                  Indikator karakter dan sosial, seperti kerja sama tim, disiplin, tanggung jawab, dan sportivitas.⁵

Penggunaan indikator yang jelas akan membantu sekolah dalam mengevaluasi keberhasilan program secara objektif dan komprehensif.

6.4.       Monitoring dan Supervisi Berkelanjutan

Monitoring kegiatan dilakukan secara berkelanjutan selama masa pelaksanaan program, baik oleh pembina langsung maupun oleh pihak manajemen sekolah. Monitoring dapat berupa observasi lapangan, evaluasi berkala, diskusi reflektif dengan siswa, dan pertemuan antar pembina.⁶ Prinsip dasar monitoring yang efektif adalah konsistensi, partisipasi, dan tindak lanjut. Tanpa monitoring yang terstruktur, banyak potensi masalah seperti ketidakteraturan kegiatan, konflik antaranggota, atau rendahnya motivasi siswa tidak dapat dideteksi sejak dini.

Supervisi dari kepala sekolah dan koordinator kesiswaan juga berperan penting dalam menjaga mutu pelaksanaan. Glickman menekankan bahwa supervisi pendidikan yang efektif bersifat kolaboratif dan mendukung peningkatan kapasitas pembina secara profesional, bukan sekadar kontrol administratif.⁷

6.5.       Umpan Balik dan Perbaikan Program

Setelah evaluasi dilakukan, sekolah harus menyusun rekomendasi dan rencana tindak lanjut. Hasil evaluasi harus dijadikan dasar untuk menyempurnakan perencanaan di tahun ajaran berikutnya. Pelibatan siswa dalam memberi umpan balik sangat penting agar suara mereka didengar sebagai subjek pembelajaran. Evaluasi yang dilakukan secara terbuka dan berkelanjutan menciptakan budaya reflektif yang menjadi fondasi penting bagi peningkatan kualitas kegiatan ekstrakurikuler.

Dengan demikian, evaluasi dan monitoring bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi merupakan instrumen strategis dalam menjamin keberlanjutan, relevansi, dan efektivitas kegiatan ekstrakurikuler seni dan olahraga sebagai sarana pembentukan generasi yang sehat, kreatif, dan berkarakter.


Footnotes

[1]                Daniel L. Stufflebeam dan Anthony J. Shinkfield, Evaluation Theory, Models, and Applications, 2nd ed. (San Francisco: Jossey-Bass, 2007), 10–12.

[2]                Nana Sudjana dan Ibrahim, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), 42.

[3]                J. McMillan, Classroom Assessment: Principles and Practice for Effective Standards-Based Instruction, 6th ed. (Boston: Pearson, 2014), 94–97.

[4]                Arikunto, Suharsimi dan Cepi Safruddin Abdul Jabar, Evaluasi Program Pendidikan: Pedoman Teoretis Praktis bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), 122–124.

[5]                Endang Mulyasa, Manajemen dan Kepemimpinan Kepala Sekolah (Jakarta: Bumi Aksara, 2015), 233–235.

[6]                Mulyadi, Manajemen Pendidikan: Teori dan Praktik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), 198.

[7]                Carl D. Glickman, Supervision and Instructional Leadership: A Developmental Approach, 8th ed. (Boston: Allyn & Bacon, 2010), 210.


7.           Tantangan dan Solusi dalam Manajemen Kegiatan Ekstrakurikuler

Meskipun kegiatan ekstrakurikuler seni dan olahraga memiliki peran strategis dalam pendidikan karakter dan pengembangan bakat peserta didik, implementasinya di lapangan tidak lepas dari berbagai tantangan. Tantangan ini dapat berasal dari aspek internal sekolah maupun eksternal, yang jika tidak diatasi secara sistematis akan berdampak negatif terhadap kualitas dan keberlanjutan program ekstrakurikuler. Oleh karena itu, diperlukan solusi strategis dan inovatif untuk menjawab berbagai permasalahan tersebut.

7.1.       Keterbatasan Sarana, Prasarana, dan Dana

Salah satu tantangan utama dalam pengelolaan kegiatan ekstrakurikuler adalah keterbatasan sarana dan prasarana yang mendukung, seperti ruang latihan, alat musik, kostum seni, atau fasilitas olahraga. Sekolah di daerah tertinggal atau dengan dana operasional terbatas sering kali tidak mampu menyediakan fasilitas minimal yang layak.¹ Hal ini diperburuk oleh kurangnya akses terhadap dana khusus yang dialokasikan untuk pengembangan kegiatan nonakademik.

Solusi untuk persoalan ini adalah optimalisasi anggaran yang tersedia melalui perencanaan yang efisien serta menjalin kemitraan dengan pihak luar seperti sanggar seni lokal, klub olahraga, dan sponsor dari sektor swasta.² Pemerintah juga dapat mengambil peran lebih aktif dengan menyalurkan bantuan sarana ekstrakurikuler secara merata berdasarkan kebutuhan dan potensi masing-masing sekolah.

7.2.       Rendahnya Partisipasi dan Komitmen Siswa

Tantangan berikutnya adalah minimnya partisipasi siswa, yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti beban akademik yang tinggi, kurangnya motivasi, atau tidak adanya kegiatan yang sesuai dengan minat mereka.³ Di samping itu, masih terdapat anggapan dari sebagian peserta didik dan orang tua bahwa kegiatan ekstrakurikuler tidak sepenting pelajaran utama.

Solusi atas permasalahan ini adalah melakukan pemetaan minat dan bakat siswa secara rutin, menyediakan kegiatan yang beragam dan relevan, serta melakukan sosialisasi manfaat kegiatan ekstrakurikuler dalam pengembangan diri dan portofolio akademik.⁴ Penerapan pendekatan pembelajaran berbasis minat (interest-based learning) juga dapat meningkatkan keterlibatan peserta didik dalam kegiatan di luar kelas.⁵

7.3.       Kompetensi Pembina yang Belum Merata

Kualitas kegiatan sangat bergantung pada kompetensi pembina atau pelatih. Dalam banyak kasus, guru yang ditugaskan menjadi pembina tidak memiliki latar belakang keahlian yang sesuai dengan bidang seni atau olahraga yang dibina.⁶ Akibatnya, kegiatan ekstrakurikuler hanya dijalankan secara formalitas dan kurang berdampak signifikan terhadap peningkatan keterampilan siswa.

Solusi yang dapat diterapkan antara lain: memberikan pelatihan khusus bagi pembina ekstrakurikuler, membuka akses kerja sama dengan praktisi profesional di luar sekolah, serta memanfaatkan program coaching clinic untuk peningkatan kapasitas teknis dan pedagogis guru.⁷ Kejelasan sistem rekrutmen pembina dan penyusunan standar kompetensi juga perlu dikembangkan untuk menjamin kualitas pelaksanaan.

7.4.       Tidak Adanya Sistem Evaluasi yang Terintegrasi

Sering kali, kegiatan ekstrakurikuler tidak disertai dengan mekanisme evaluasi yang baku, sehingga sulit diukur efektivitas dan dampaknya terhadap perkembangan siswa. Evaluasi hanya dilakukan sebatas laporan administratif tanpa analisis mendalam mengenai capaian keterampilan, sikap, atau kontribusi kegiatan terhadap pembentukan karakter siswa.⁸

Solusi yang disarankan adalah pengembangan instrumen evaluasi kualitatif dan kuantitatif yang disesuaikan dengan jenis kegiatan dan indikator keberhasilan yang telah ditetapkan. Sistem ini juga harus diintegrasikan ke dalam rapor pendidikan karakter, sebagai bagian dari pelaporan perkembangan peserta didik secara menyeluruh.⁹

7.5.       Kurangnya Dukungan dari Stakeholder

Kurangnya dukungan dari orang tua, komite sekolah, dan komunitas sekitar juga menjadi hambatan dalam pengembangan program ekstrakurikuler. Beberapa pihak memandang kegiatan tersebut sebagai pemborosan waktu dan dana, terutama jika tidak menghasilkan prestasi yang terlihat secara langsung.¹⁰

Untuk mengatasi hal ini, sekolah harus membangun komunikasi yang aktif dan terbuka dengan para stakeholder melalui forum orang tua, publikasi kegiatan, serta pelibatan langsung dalam kegiatan seperti festival seni atau turnamen olahraga.¹¹ Meningkatkan literasi publik tentang nilai pendidikan nonformal menjadi bagian penting dari perubahan paradigma ini.


Dengan memahami berbagai tantangan tersebut dan merumuskan solusi yang sistematis, manajemen kegiatan ekstrakurikuler seni dan olahraga dapat dijalankan secara optimal. Penguatan kapasitas internal sekolah, pengembangan jaringan kolaboratif, dan peningkatan kesadaran akan nilai pendidikan holistik menjadi fondasi utama bagi keberhasilan program ekstrakurikuler yang berdaya guna.


Footnotes

[1]                Suyanto dan A. Djihad Hisyam, Refleksi Pendidikan di Indonesia (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000), 103.

[2]                Mulyasa E., Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 215.

[3]                Endang Susilowati, “Manajemen Kegiatan Ekstrakurikuler dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan,” Jurnal Administrasi Pendidikan 23, no. 1 (2020): 63.

[4]                Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2017), 198.

[5]                Carol Ann Tomlinson, The Differentiated Classroom: Responding to the Needs of All Learners, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2014), 47.

[6]                Arief S. Sadiman, Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), 142.

[7]                Linda Darling-Hammond, Powerful Teacher Education: Lessons from Exemplary Programs (San Francisco: Jossey-Bass, 2006), 211.

[8]                Suharsimi Arikunto, Evaluasi Program Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), 109–110.

[9]                Direktorat Pembinaan SMA, Panduan Penilaian Ekstrakurikuler dalam Kurikulum 2013 (Jakarta: Kemendikbud, 2016), 17–18.

[10]             Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), 89.

[11]             Peter Senge et al., Schools That Learn: A Fifth Discipline Fieldbook for Educators, Parents, and Everyone Who Cares About Education (New York: Crown Business, 2000), 262.


8.           Studi Kasus dan Praktik Baik

Untuk memahami implementasi nyata dari manajemen kegiatan ekstrakurikuler seni dan olahraga secara efektif, studi kasus dari sekolah-sekolah yang telah berhasil menerapkannya menjadi referensi penting. Studi kasus bukan hanya memberikan ilustrasi keberhasilan, tetapi juga menyajikan strategi konkret, inovasi kebijakan, dan pendekatan kolaboratif yang dapat direplikasi di institusi pendidikan lain. Dalam konteks ini, keberhasilan tidak hanya diukur dari prestasi kompetitif semata, tetapi juga dari sejauh mana kegiatan tersebut mampu meningkatkan partisipasi, keterampilan, karakter, dan semangat kebangsaan peserta didik.

8.1.       Studi Kasus 1: SMA Negeri 1 Bantul – Yogyakarta (Ekstrakurikuler Musik Tradisional)

SMA Negeri 1 Bantul merupakan salah satu sekolah yang berhasil mengembangkan kegiatan ekstrakurikuler seni, khususnya musik tradisional gamelan, sebagai bagian integral dari pembentukan karakter dan pelestarian budaya lokal. Program ini dikelola dengan melibatkan guru seni budaya dan seniman lokal yang berpengalaman sebagai pelatih. Kegiatan gamelan dilakukan dua kali seminggu dan diselenggarakan di rumah budaya yang dibangun di lingkungan sekolah.¹

Keberhasilan program ini tidak hanya tercermin dari prestasi siswa dalam ajang Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N), tetapi juga dari meningkatnya rasa bangga terhadap warisan budaya, serta meningkatnya keterampilan kolaboratif dan disiplin peserta.² Kegiatan ini juga menjadi sarana integrasi sosial karena melibatkan siswa lintas kelas dan latar belakang.

Faktor kunci dari keberhasilan tersebut adalah:

·                     Perencanaan program berbasis budaya lokal;

·                     Keterlibatan praktisi budaya dalam pelatihan;

·                     Dukungan anggaran dari BOSDA dan sponsor lokal;

·                     Evaluasi berbasis portofolio karya dan pertunjukan berkala.

8.2.       Studi Kasus 2: SMK Negeri 3 Malang – Jawa Timur (Ekstrakurikuler Futsal dan Atletik)

SMK Negeri 3 Malang dikenal memiliki sistem manajemen kegiatan olahraga yang sangat terstruktur, khususnya pada cabang futsal dan atletik. Sekolah ini membentuk unit khusus bernama “Tim Pembinaan Olahraga Sekolah” yang bertugas menyusun program latihan, mengatur jadwal sparing antar sekolah, dan membina hubungan dengan klub-klub olahraga profesional.³

Program ekstrakurikuler ini berhasil mengantar siswa tidak hanya berprestasi di tingkat kota dan provinsi, tetapi juga mendapat beasiswa atlet dari perguruan tinggi. Keberhasilan ini tidak lepas dari pelatihan intensif berbasis modul, kerja sama dengan pelatih berlisensi, serta adanya sistem insentif bagi siswa yang menunjukkan peningkatan performa.⁴

Poin penting dari praktik baik ini adalah:

·                     Pengorganisasian tim olahraga berbasis struktur kepelatihan;

·                     Manajemen waktu antara akademik dan latihan fisik;

·                     Monitoring performa fisik dan psikologis siswa secara berkala;

·                     Integrasi evaluasi ke dalam pelaporan kemajuan belajar.

8.3.       Praktik Baik Inovasi Digital: Sistem Informasi Ekstrakurikuler (SIEKUR)

Sejumlah sekolah menengah di Jakarta dan Bandung telah mulai menerapkan Sistem Informasi Ekstrakurikuler (SIEKUR), yakni platform digital berbasis web atau aplikasi yang digunakan untuk memfasilitasi pendaftaran, absensi, jadwal, dokumentasi kegiatan, hingga pelaporan evaluasi kegiatan ekstrakurikuler.⁵ Sistem ini memungkinkan manajemen kegiatan dilakukan lebih transparan, terukur, dan terdokumentasi secara rapi, sekaligus mempermudah interaksi antara pembina, siswa, dan orang tua.

Inovasi ini berperan penting dalam meminimalkan kendala administratif dan meningkatkan akuntabilitas kegiatan ekstrakurikuler. Lebih dari itu, pendekatan digital juga memudahkan refleksi berbasis data yang akurat untuk keperluan evaluasi dan pengambilan kebijakan sekolah.⁶

8.4.       Pembelajaran dari Studi Kasus

Dari ketiga contoh di atas, terdapat sejumlah prinsip dan praktik yang dapat diadopsi oleh sekolah lain:

·                     Kegiatan ekstrakurikuler harus kontekstual dan relevan dengan minat siswa serta potensi lokal;

·                     Manajemen kegiatan perlu melibatkan stakeholder eksternal seperti komunitas budaya atau klub olahraga;

·                     Dibutuhkan struktur organisasi dan sistem evaluasi yang jelas;

·                     Pemanfaatan teknologi informasi memperkuat efektivitas pengelolaan.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip tersebut, sekolah dapat menciptakan ekosistem kegiatan ekstrakurikuler seni dan olahraga yang berdampak jangka panjang dalam membentuk peserta didik yang cerdas, kreatif, sehat, dan berkarakter kuat.


Footnotes

[1]                Retno Rahayu, “Pelestarian Budaya Melalui Ekstrakurikuler Gamelan di Sekolah,” Jurnal Pendidikan Seni dan Budaya 12, no. 2 (2020): 157.

[2]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Panduan FLS2N Jenjang SMA (Jakarta: Direktorat PSMA, 2021), 23.

[3]                M. Nur Rohman dan F. Ayunda, “Manajemen Ekstrakurikuler Olahraga di SMK Negeri 3 Malang,” Jurnal Manajemen Pendidikan Indonesia 5, no. 1 (2022): 44.

[4]                Ismail Fahmi dan Luki Andika, “Peran Pelatih Berlisensi dalam Pembinaan Prestasi Olahraga Sekolah,” Jurnal Olahraga Prestasi 7, no. 2 (2021): 35–36.

[5]                Dwi Hastuti, “Digitalisasi Administrasi Ekstrakurikuler melalui SIEKUR di SMAN 2 Bandung,” Jurnal Teknologi Pendidikan 18, no. 1 (2022): 67–68.

[6]                Tony Widyastono, Manajemen Inovasi Pendidikan Berbasis Teknologi Informasi (Jakarta: Kencana, 2020), 174.


9.           Kesimpulan

Manajemen kegiatan ekstrakurikuler seni dan olahraga merupakan bagian tak terpisahkan dari proses pendidikan holistik yang bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik secara menyeluruh—baik dari aspek intelektual, emosional, sosial, maupun fisik. Dalam sistem pendidikan modern, kegiatan ekstrakurikuler tidak lagi diposisikan sebagai pelengkap semata, melainkan sebagai instrumen strategis dalam membentuk karakter, menumbuhkan kreativitas, dan memperkuat integritas siswa di tengah kompleksitas tantangan abad ke-21.¹

Sebagaimana telah diuraikan dalam bagian-bagian sebelumnya, pengelolaan kegiatan ekstrakurikuler seni dan olahraga harus dilandasi oleh prinsip-prinsip manajemen pendidikan yang sistematis, meliputi: perencanaan berbasis kebutuhan peserta didik, pengorganisasian yang partisipatif, implementasi yang terstruktur, serta evaluasi dan monitoring berkelanjutan.² Dalam praktik terbaik yang ditemukan pada sejumlah studi kasus, keberhasilan kegiatan ini sangat ditentukan oleh keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, kapasitas pembina, dan inovasi dalam pelaksanaan program, termasuk penggunaan teknologi digital sebagai alat bantu manajerial.³

Kegiatan seni memberi ruang bagi peserta didik untuk mengekspresikan diri, menumbuhkan sensitivitas estetika, serta mengenal nilai-nilai budaya lokal dan global. Sementara itu, kegiatan olahraga mengembangkan kedisiplinan, kerja sama tim, sportivitas, dan ketahanan fisik serta mental.⁴ Kombinasi dari kedua bidang ini secara signifikan berkontribusi terhadap pembangunan karakter yang seimbang dan kompetitif. Bahkan, dalam banyak penelitian ditemukan bahwa siswa yang aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler menunjukkan tingkat motivasi belajar dan prestasi akademik yang lebih tinggi dibanding mereka yang tidak terlibat.⁵

Namun, efektivitas kegiatan ini sangat tergantung pada kemampuan manajerial sekolah dalam mengatasi tantangan-tantangan seperti keterbatasan sarana, rendahnya partisipasi, belum meratanya kompetensi pembina, serta kurangnya sistem evaluasi yang integratif. Oleh karena itu, diperlukan komitmen kolektif dan pendekatan kolaboratif antar elemen sekolah, pemerintah, komunitas, dan orang tua untuk menciptakan ekosistem ekstrakurikuler yang sehat, dinamis, dan berkelanjutan.⁶

Pada akhirnya, manajemen kegiatan ekstrakurikuler seni dan olahraga bukan hanya soal administratif atau teknis, melainkan tentang bagaimana sekolah menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan yang memanusiakan manusia.⁷ Kegiatan ini membentuk arena pendidikan yang otentik—tempat siswa belajar bukan hanya untuk tahu, tetapi juga untuk menjadi.


Footnotes

[1]                John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 201–202.

[2]                George R. Terry, Principles of Management (Homewood, IL: Irwin, 1960), 21–24.

[3]                Dwi Hastuti, “Digitalisasi Administrasi Ekstrakurikuler melalui SIEKUR di SMAN 2 Bandung,” Jurnal Teknologi Pendidikan 18, no. 1 (2022): 68.

[4]                David J. Hargreaves, Dorothy Miell, dan Raymond MacDonald, eds., Musical Imaginations: Multidisciplinary Perspectives on Creativity, Performance and Perception (Oxford: Oxford University Press, 2012), 81; Jean Côté dan Ronnie Lidor, “Conditioning and Sport Expertise,” Journal of Sports Sciences 27, no. 13 (2009): 1347.

[5]                J. Mahoney dan B. Cairns, “Do Extracurricular Activities Protect Against Early School Dropout?”, Developmental Psychology 33, no. 2 (1997): 244.

[6]                Mulyasa E., Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 232–235.

[7]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2005), 72.


Daftar Pustaka

Arikunto, S., & Abdul Jabar, C. S. (2014). Evaluasi program pendidikan: Pedoman teoretis praktis bagi mahasiswa dan praktisi pendidikan. Bumi Aksara.

Côté, J., & Lidor, R. (2009). Conditioning and sport expertise. Journal of Sports Sciences, 27(13), 1347–1356. https://doi.org/10.1080/02640410903062040

Danim, S. (2008). Manajemen pendidikan: Teori dan praktik. Pustaka Setia.

Darling-Hammond, L. (2006). Powerful teacher education: Lessons from exemplary programs. Jossey-Bass.

Darling-Hammond, L., & Sykes, G. (2003). Wanted: A national teacher supply policy for education. Educational Policy Analysis Archives, 11(33), 1–55. https://doi.org/10.14507/epaa.v11n33.2003

Dewey, J. (1916). Democracy and education: An introduction to the philosophy of education. Macmillan.

Dewey, J. (1938). Experience and education. Macmillan.

Direktorat Pembinaan SMA. (2016). Panduan penilaian ekstrakurikuler dalam Kurikulum 2013. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Elliott, D. J. (1995). Music matters: A new philosophy of music education. Oxford University Press.

Fahmi, I., & Andika, L. (2021). Peran pelatih berlisensi dalam pembinaan prestasi olahraga sekolah. Jurnal Olahraga Prestasi, 7(2), 33–38.

Freire, P. (2005). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.

Glickman, C. D. (2010). Supervision and instructional leadership: A developmental approach (8th ed.). Allyn & Bacon.

Goodlad, J. I. (1979). Curriculum inquiry: The study of curriculum practice. McGraw-Hill.

Hargreaves, D. J., Miell, D., & MacDonald, R. (Eds.). (2012). Musical imaginations: Multidisciplinary perspectives on creativity, performance and perception. Oxford University Press.

Hastuti, D. (2022). Digitalisasi administrasi ekstrakurikuler melalui SIEKUR di SMAN 2 Bandung. Jurnal Teknologi Pendidikan, 18(1), 66–70.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2014). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 62 Tahun 2014 tentang kegiatan ekstrakurikuler pada pendidikan dasar dan menengah. Kemendikbud.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2021). Panduan FLS2N jenjang SMA. Direktorat Pembinaan SMA.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2023). Petunjuk teknis BOS Reguler tahun 2023. Kemendikbud.

Kolb, D. A. (1984). Experiential learning: Experience as the source of learning and development. Prentice Hall.

Mahoney, J., & Cairns, R. B. (1997). Do extracurricular activities protect against early school dropout? Developmental Psychology, 33(2), 241–253. https://doi.org/10.1037/0012-1649.33.2.241

McMillan, J. H. (2014). Classroom assessment: Principles and practice for effective standards-based instruction (6th ed.). Pearson.

Mulyadi. (2017). Manajemen pendidikan: Teori dan praktik. Pustaka Pelajar.

Mulyasa, E. (2009). Manajemen berbasis sekolah: Konsep, strategi, dan implementasi. Remaja Rosdakarya.

Mulyasa, E. (2015). Manajemen dan kepemimpinan kepala sekolah. Bumi Aksara.

Nicholls, D. G. (2008). The philosophy of education: An introduction. Cambridge University Press.

Ormrod, J. E. (2017). Educational psychology: Developing learners (9th ed.). Pearson.

Rahayu, R. (2020). Pelestarian budaya melalui ekstrakurikuler gamelan di sekolah. Jurnal Pendidikan Seni dan Budaya, 12(2), 154–160.

Rohman, M. N., & Ayunda, F. (2022). Manajemen ekstrakurikuler olahraga di SMK Negeri 3 Malang. Jurnal Manajemen Pendidikan Indonesia, 5(1), 42–50.

Sagala, S. (2010). Manajemen strategik dalam peningkatan mutu pendidikan. Alfabeta.

Sadiman, A. S. (2011). Media pendidikan: Pengertian, pengembangan, dan pemanfaatannya. RajaGrafindo Persada.

Senge, P., Cambron-McCabe, N., Lucas, T., Smith, B., & Dutton, J. (2000). Schools that learn: A fifth discipline fieldbook for educators, parents, and everyone who cares about education. Crown Business.

Stufflebeam, D. L., & Shinkfield, A. J. (2007). Evaluation theory, models, and applications (2nd ed.). Jossey-Bass.

Sumantri, M. S., & Sutama, M. (2015). Strategi pembelajaran: Teori dan praktik di sekolah. Rajawali Pers.

Sukmadinata, N. S. (2017). Pengembangan kurikulum: Teori dan praktik. Remaja Rosdakarya.

Sumantri, M. S. (2015). Strategi pembelajaran: Teori dan praktik di sekolah. Rajawali Pers.

Suyanto, & Hisyam, A. D. (2000). Refleksi pendidikan di Indonesia. Adicita Karya Nusa.

Tafsir, A. (2007). Ilmu pendidikan dalam perspektif Islam. Remaja Rosdakarya.

Terry, G. R. (1960). Principles of management. Irwin.

Tomlinson, C. A. (2014). The differentiated classroom: Responding to the needs of all learners (2nd ed.). ASCD.

Widyastono, T. (2020). Manajemen inovasi pendidikan berbasis teknologi informasi. Kencana.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar