Meniti Jalan Ruhani
Tahapan Tasawuf dalam Bingkai Maqamat, Takhalli,
Tahalli, dan Tajalli menurut Ulama Klasik
Alihkan ke: Ilmu Tawawuf.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tahapan
perjalanan spiritual (suluk) dalam tasawuf Islam klasik melalui kerangka maqāmāt
(tingkatan ruhani) serta tiga tahapan utama: takhallī (pemurnian diri
dari akhlak tercela), taḥallī (penghiasan diri dengan akhlak mulia), dan
tajallī (manifestasi cahaya Ilahi dalam hati). Pembahasan dilakukan
dengan merujuk pada sumber-sumber otoritatif seperti Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn
karya al-Ghazālī, al-Risālah al-Qushayriyyah, Manāzil al-Sā’irīn
oleh al-Ḥarawī, serta pemikiran Ibn ‘Arabī dalam Futūḥāt al-Makkiyyah.
Dengan pendekatan analitis dan kontekstual, artikel ini menekankan keterkaitan
sistematis antara tahapan tersebut sebagai metode penyucian jiwa dan penguatan
relasi eksistensial antara hamba dan Tuhannya. Selain itu, artikel ini
menyoroti relevansi aktual tasawuf dalam membentuk etika individual dan sosial
di tengah krisis spiritualitas modern. Diharapkan, kajian ini dapat memperkaya
pemahaman akademik dan praktik spiritual pembaca terhadap dimensi batiniah
Islam.
Kata Kunci: Tasawuf,
Suluk, Maqamat, Takhalli, Tahalli, Tajalli, Penyucian Jiwa, Ulama Klasik.
PEMBAHASAN
Tahapan Tasawuf Klasik Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Tasawuf merupakan
cabang spiritual dalam ajaran Islam yang menekankan pada dimensi batiniah,
tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), serta pengalaman langsung terhadap kedekatan
dengan Allah Swt. Ia hadir sebagai upaya menjembatani relasi antara aspek
eksoterik dan esoterik dalam Islam, menjadikan
syariat sebagai pondasi, dan hakikat sebagai tujuan puncak perjalanan ruhani.
Dalam konteks ini, tasawuf berperan sebagai metode transformasi spiritual
menuju maqam ma’rifah, yakni pengenalan sejati terhadap Tuhan melalui penyucian
hati dan penempuhan jalan suluk yang konsisten.1
Tradisi tasawuf
dalam Islam memiliki akar kuat dalam Al-Qur’an dan Hadis, sebagaimana tampak
dalam konsep ihsan yang disebutkan dalam Hadis
Jibril. Ihsan didefinisikan sebagai "engkau menyembah Allah seakan-akan
engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia
melihatmu" (HR. Muslim).2 Definisi ini memberikan fondasi
ontologis dan epistemologis bagi tasawuf, karena mengarahkan manusia kepada
kesadaran ruhani yang mendalam dalam setiap aspek kehidupan. Dalam Al-Qur’an,
penyucian jiwa diposisikan sebagai kunci keberuntungan hidup: “Sesungguhnya
beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya” (QS. Asy-Syams [91] ayat 9–10).3
Dalam lintasan
sejarahnya, tasawuf berkembang menjadi sebuah sistem spiritual yang terstruktur
dan kaya, mencakup berbagai maqamat (tingkatan ruhani) yang harus dilalui oleh
seorang salik
(penempuh jalan Allah). Setiap maqam merupakan fase transformatif yang tidak
hanya bersifat etis, tetapi juga eksistensial. Imam al-Qusyairi dalam al-Risalah
al-Qusyairiyyah menyebutkan bahwa maqamat merupakan “perhentian-perhentian
ruhani” yang dicapai melalui usaha dan mujahadah, berbeda dengan ahwal
(keadaan ruhani) yang merupakan anugerah ilahiyah.4
Sebagai sistem etika
spiritual, tahapan-tahapan dalam tasawuf juga dijelaskan melalui pendekatan
metodologis berupa tiga pilar utama: takhalli (pengosongan diri dari
akhlak tercela), tahalli (penghiasan diri dengan
akhlak terpuji), dan tajalli (manifestasi cahaya
ilahi dalam diri manusia). Konsep ini dijelaskan secara mendalam oleh Imam
al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din sebagai kerangka
kerja spiritual untuk mendidik jiwa dan membentuk kepribadian mukmin sejati.5
Pendekatan ini juga dipertahankan dan dikembangkan dalam berbagai tarekat sufi
yang bertujuan membimbing murid dalam penyempurnaan ruhani secara bertahap dan
disiplin.
Seiring dengan
meningkatnya minat terhadap dimensi spiritual Islam di tengah krisis
modernitas, pembahasan mengenai tahapan tasawuf semakin relevan untuk diangkat.
Pemahaman yang benar dan kontekstual terhadap konsep maqamat, takhalli,
tahalli, dan tajalli tidak hanya memperkaya khazanah keilmuan Islam, tetapi
juga berkontribusi dalam membentuk kesadaran ruhani umat secara lebih mendalam.
Artikel ini berupaya menyajikan penjelasan sistematis dan mendalam tentang
keempat konsep tersebut dengan merujuk pada sumber-sumber otoritatif dalam tasawuf
klasik dan tafsir Al-Qur’an, sehingga dapat menjadi acuan ilmiah dan spiritual
yang kredibel.
Footnotes
[1]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 5.
[2]
Muslim ibn al-Hajjaj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitab al-Iman, Hadis no.
8, dalam Al-Maktabah al-Shamila.
[3]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2019), QS. Asy-Syams: 9–10.
[4]
Abdul Karim al-Qusyairi, Al-Risalah al-Qusyairiyyah (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 101.
[5]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid III (Beirut:
Dar al-Ma‘rifah, 2005), 12–18.
2.
Konsep
Dasar Tasawuf dalam Perspektif Islam
Tasawuf merupakan
dimensi batin dari Islam yang bertujuan menyempurnakan kualitas ruhani seorang
mukmin dalam perjalanan menuju kedekatan dengan Allah (taqarrub ila Allah).
Dalam tradisi Islam klasik, tasawuf dipandang sebagai penyempurna aspek
lahiriah (syariat) dengan penghayatan batiniah (hakikat), membentuk kesatuan
utuh antara keilmuan dan spiritualitas dalam bingkai tazkiyatun
nafs (penyucian jiwa).1 Imam al-Ghazali menyebut tasawuf
sebagai "inti dari syariat" yang menuntun manusia menuju
ma’rifat, melalui proses pembinaan akhlak dan pembersihan hati dari
penyakit-penyakit rohani.2
Secara historis,
istilah "tasawuf" mulai dikenal secara formal pada abad ke-2
Hijriyah, meskipun praktiknya telah ada sejak masa Nabi Muhammad saw. dan para
sahabat. Ulama seperti Abu Nashr as-Sarraj (w. 988 M) dalam al-Luma’
dan Imam al-Qusyairi (w. 1072 M) dalam al-Risalah al-Qusyairiyyah mencatat
bahwa para sufi awal mengambil inspirasi dari kehidupan zuhud para sahabat
seperti Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Farisi, dan Uwais al-Qarni, yang
menekankan kesederhanaan, ketulusan, dan fokus pada akhirat.3
Tasawuf berakar kuat
dalam Al-Qur’an dan Hadis. Ayat-ayat yang menekankan penyucian jiwa (tazkiyah),
muraqabah (kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi), dan mahabbah (cinta
kepada Allah) menjadi dasar utama pembinaan ruhani. Dalam QS. Al-Baqarah [02]
ayat 151, Allah berfirman: “Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu
seorang Rasul dari (kalangan) kamu sendiri, yang membacakan ayat-ayat Kami
kepada kamu dan menyucikan kamu (yuzakkīkum)...”, yang oleh para
mufassir seperti al-Razi dimaknai sebagai legitimasi tazkiyah sebagai bagian
penting dari risalah kenabian.4
Dalam Hadis, konsep
ihsan menjadi landasan utama tasawuf. Hadis Jibril yang diriwayatkan oleh Muslim
menyebutkan: “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah
seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya maka
sesungguhnya Dia melihatmu.”_5 Konsep ini menjadi
pijakan utama dalam praksis tasawuf yang menekankan kesadaran transendental dan
kehadiran ilahi dalam setiap aspek hidup.
Dalam pandangan Imam
Junaid al-Baghdadi (w. 910 M), salah satu pendiri tasawuf sunni, tasawuf adalah
“membersihkan
hati dari selain Allah.”_6 Ini berarti bahwa inti dari
jalan tasawuf adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan hidup (tauhid
eksistensial). Dalam al-Taʿarruf li Madzhab Ahl al-Tasawwuf
karya al-Kalabadzi, tasawuf dijelaskan sebagai "ilmu tentang keadaan
hati dan cara memperbaikinya agar sesuai dengan ridha Allah."_7
Dalam kerangka
keilmuan Islam, tasawuf menempati posisi yang saling melengkapi dengan fiqih
dan akidah. Sebagaimana ditegaskan oleh Imam Malik, “Barang siapa yang belajar fiqih tanpa tasawuf,
maka ia fasik. Barang siapa belajar tasawuf tanpa fiqih, maka ia zindiq. Dan
barang siapa yang menggabungkan keduanya, maka ia telah mencapai kebenaran.”8
Ungkapan ini memperlihatkan bahwa keseimbangan antara dimensi lahir dan batin
adalah kunci dalam membangun keberagamaan yang utuh.
Dengan demikian,
tasawuf dalam Islam bukan sekadar ekspresi spiritual personal, tetapi merupakan
bagian integral dari sistem keilmuan dan praksis Islam. Ia menawarkan jalan
menuju kematangan ruhani melalui proses panjang yang terstruktur, sebagaimana
akan dijelaskan dalam pembahasan tentang maqamat, takhalli, tahalli, dan
tajalli.
Footnotes
[1]
Martin Lings, What is Sufism? (Cambridge: Islamic Texts
Society, 1999), 11.
[2]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid I (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, 2005), 37.
[3]
Abu Nasr as-Sarraj, al-Luma’ fi al-Tasawwuf, ed. Reynold A.
Nicholson (Leiden: Brill, 1914), 15–17; Abdul Karim al-Qusyairi, al-Risalah
al-Qusyairiyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 54–56.
[4]
Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Kabir, Juz II (Beirut: Dar Ihya
al-Turats al-‘Arabi, 1999), 368.
[5]
Muslim ibn al-Hajjaj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitab al-Iman, Hadis no.
8.
[6]
Abu al-Qasim al-Junaid, dikutip dalam Al-Qusyairi, al-Risalah
al-Qusyairiyyah, 85.
[7]
Abu Bakr al-Kalabadzi, al-Taʿarruf li Madzhab Ahl al-Tasawwuf,
ed. Arthur J. Arberry (Cairo: Al-Maktabah al-Tijariyyah, 1933), 61.
[8]
Dikutip oleh Yusuf al-Qaradawi, al-Tasawwuf: Madkhal wa Mawsu’ah,
(Beirut: Dar al-Shuruq, 2005), 114.
3.
Maqamat:
Tahapan Spiritual Seorang Salik
Dalam disiplin
tasawuf, maqāmāt
(jamak dari maqām) merujuk pada
tingkatan-tingkatan spiritual yang dilalui oleh seorang sālik
(penempuh jalan menuju Allah) melalui usaha, mujahadah, dan riyādhah (latihan
ruhani). Maqamat bukanlah keadaan yang datang secara tiba-tiba atau anugerah
semata (sebagaimana ahwāl), melainkan hasil dari
perjuangan aktif dan kesungguhan dalam mendekat kepada Allah.1 Konsep
ini telah dijelaskan secara sistematis oleh para sufi klasik seperti Imam
al-Qusyairi dalam al-Risālah al-Qusyairiyyah dan
al-Harawi dalam Manāzil al-Sā’irīn.
Imam al-Qusyairi
menyebut bahwa maqamat adalah tangga-tangga yang harus dilalui oleh seorang
salik dalam mendekatkan diri kepada Tuhannya. Setiap maqam memiliki tuntutan
dan rambu-rambu tertentu, serta menjadi prasyarat bagi maqam berikutnya.
Seseorang tidak dapat berpindah ke maqam selanjutnya sebelum benar-benar
menuntaskan maqam sebelumnya secara ikhlas dan utuh.2
Imam al-Harawi dalam
Manāzil
al-Sā’irīn menyusun 100 maqam, namun ulama lainnya merangkum inti
maqamat menjadi 7 sampai 10 tahapan utama. Berikut adalah maqamat pokok yang
secara umum disepakati oleh banyak ulama sufi:
3.1.
Taubat (al-Tawbah)
Tahap awal dalam
perjalanan ruhani. Taubat sejati menurut al-Ghazali bukan sekadar penyesalan
verbal, tetapi disertai penyesalan hati, komitmen meninggalkan dosa, dan tekad
kuat untuk tidak mengulanginya.3 QS. At-Tahrim [66] ayat 8
mengisyaratkan konsep taubatan nasūḥā sebagai bentuk
taubat yang murni dan bersih.
3.2.
Wara’
Setelah bertaubat,
salik dituntut untuk menjaga diri dari hal-hal yang subhat (meragukan), tidak
hanya yang haram. Wara’ merupakan tingkat kehati-hatian spiritual yang tinggi,
sebagaimana sabda Nabi: “Halal itu jelas, haram itu jelas, dan di
antara keduanya ada perkara syubhat...” (HR. Bukhari dan Muslim).4
3.3.
Zuhud
Zuhud berarti tidak
menggantungkan hati pada dunia, meskipun ia masih hidup di dalamnya. Imam Ahmad
bin Hanbal berkata, “Zuhud adalah ketika dunia tidak menguasai hatimu.”_5
QS. Al-Hadid [57] ayat 20 menggambarkan kefanaan dunia sebagai motivasi untuk
memilih kehidupan akhirat.
3.4.
Tawakal
Tawakal bukanlah
pasrah pasif, tetapi menyerahkan hasil kepada Allah setelah berusaha maksimal.
Dalam QS. Al-Imran [03] ayat 159, Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk
bermusyawarah dengan para sahabat dan kemudian bertawakkallah kepada Allah, yang
menunjukkan bahwa tawakal datang setelah ikhtiar.
3.5.
Sabar
Sabar merupakan
fondasi dalam menghadapi ujian ruhani dan duniawi. Dalam Ihya’
‘Ulum al-Din, al-Ghazali membagi sabar menjadi tiga: sabar dalam
ketaatan, sabar menjauhi maksiat, dan sabar dalam musibah.6 Allah
menjanjikan keberkahan kepada orang-orang sabar dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat
153.
3.6.
Syukur
Syukur bukan hanya
ucapan lisan, tetapi manifestasi ketaatan melalui amal. Syukur yang benar
melibatkan hati yang sadar, lisan yang memuji, dan anggota badan yang taat.7
QS. Ibrahim [14] ayat 7 menegaskan bahwa syukur akan menambah nikmat.
3.7.
Ridha
Maqam ridha adalah
puncak penerimaan terhadap segala ketentuan Allah, baik yang menyenangkan
maupun menyakitkan. Ridha membuahkan ketenangan batin dan ketundukan total
terhadap qada dan qadar Allah (QS. Al-Bayyinah [98] ayat 8).
3.8.
Mahabbah (Cinta kepada
Allah)
Mahabbah menjadi
maqam tertinggi dalam banyak pandangan ulama sufi. Cinta yang sejati melahirkan
kerinduan untuk selalu dekat dengan Allah dan menjadikan keridhaan-Nya sebagai
satu-satunya tujuan. Ibnu Qayyim al-Jawziyyah menyebut mahabbah sebagai “inti
dari semua maqamat.”_8
Penting untuk
dicatat bahwa maqamat ini bukan sekadar urutan linear, tetapi juga saling
terkait dan dapat berkembang secara spiral. Seorang salik bisa kembali
memperkuat maqam sebelumnya saat menghadapi ujian dalam maqam yang lebih
tinggi.
Melalui maqamat
inilah salik dididik untuk menundukkan ego (nafs), membangun ketekunan
spiritual, dan mengarahkan hidupnya semata-mata untuk meraih ridha dan
kedekatan dengan Allah. Setiap maqam menuntut mujahadah yang berat, namun
sekaligus menjadi jalan menuju penyempurnaan jiwa.
Footnotes
[1]
Carl W. Ernst, The Shambhala Guide to Sufism (Boston:
Shambhala, 1997), 94–95.
[2]
Abdul Karim al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyyah (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 132–134.
[3]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid IV (Beirut:
Dar al-Ma‘rifah, 2005), 3–7.
[4]
Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab
al-Iman, Hadis no. 52; Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab
al-Musāqāt, Hadis no. 1599.
[5]
Ibn Rajab al-Hanbali, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (Beirut:
Muassasah al-Risalah, 2001), 245.
[6]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid IV, 45–52.
[7]
Ahmad Farid, Min Ma’alim al-Ibadah fi al-Islam (Kairo: Dar
al-Manar, 2004), 119–121.
[8]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Salikin, Jilid III
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), 6.
4.
Takhalli:
Pemurnian Diri dari Akhlak Tercela
Dalam tradisi
tasawuf, takhallī merupakan proses awal
yang sangat penting dalam perjalanan spiritual seorang sālik.
Secara etimologis, takhalli berasal dari kata Arab خَلَا –
يَخْلُو yang berarti "mengosongkan"
atau "membersihkan". Dalam konteks tasawuf, takhalli berarti mengosongkan
hati dari sifat-sifat tercela (akhlāq madzmūmah) sebagai
langkah persiapan untuk menerima akhlak mulia dan tajalli Ilahi.1
Konsep ini sangat
ditekankan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, di mana ia
menyatakan bahwa pembersihan hati dari penyakit-penyakit batin
adalah langkah pertama yang harus dilakukan sebelum hati bisa dipenuhi dengan
cahaya spiritual dan makrifat.2 Sama seperti bejana
yang harus dibersihkan sebelum diisi air bersih, demikian pula hati manusia
yang harus disucikan dari kekotoran nafsu dan ego.
Proses takhalli
berkaitan erat dengan tazkiyatun nafs, sebagaimana
difirmankan Allah dalam QS. Asy-Syams [91] ayat 9–10: “Sesungguhnya
beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya, dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya.”3 Tafsir klasik seperti Tafsir
al-Razi dan al-Qurthubi menggarisbawahi bahwa
penyucian ini tidak hanya mencakup amal lahiriah, tetapi lebih dalam lagi,
yaitu penyucian hati dari sifat-sifat seperti riya’, ujub, hasad, ghadab, dan
takabbur.4
4.1.
Akhlak-akhlak Tercela yang
Harus Dikosongkan
Para ulama tasawuf
klasik mengidentifikasi sejumlah sifat tercela utama yang menjadi penghalang
utama dalam perjalanan spiritual, di antaranya:
·
Riya’ (pamer
ibadah): melakukan amal bukan karena Allah, tetapi untuk dilihat
manusia. Nabi menyebut riya’ sebagai “syirik kecil” (HR. Ahmad).5
·
Ujub (bangga diri):
merasa amalnya cukup dan menganggap dirinya lebih baik dari orang lain.
·
Hasad (dengki):
tidak suka terhadap nikmat yang dimiliki orang lain.
·
Takabbur (sombong):
merendahkan orang lain dan menolak kebenaran.
·
Hubb al-dunya
(cinta dunia berlebihan): terlalu terikat pada kenikmatan dunia yang
fana, yang disebut oleh Nabi sebagai "pangkal segala kesalahan"
(HR. Baihaqi).6
Menurut al-Muhasibi
dalam al-Ri'ayah
li Huquq Allah, penyakit-penyakit ini jika tidak ditangani akan
menjadi hijab antara hamba dan Tuhannya, bahkan bisa menghalangi pancaran
cahaya ilahi yang menembus hati.7
4.2.
Metode Praktis Takhalli
menurut Ulama Sufi
Para sufi klasik
telah mengembangkan metode-metode mujahadah (perjuangan melawan hawa nafsu)
yang dapat diterapkan dalam proses takhalli, antara lain:
·
Muraqabah
(menghadirkan kesadaran akan pengawasan Allah).
·
Muhasabah
(introspeksi dan evaluasi diri).
·
Khalwat
(menyendiri untuk menghindari godaan dunia).
·
Dzikir dan
istighfar yang terus-menerus untuk membersihkan hati.
Syeikh Abu Madyan
(w. 594 H), seorang sufi besar dari Maghrib, menyatakan bahwa takhalli adalah pintu
pertama menuju kesucian, dan tidak ada tajalli tanpa takhalli
terlebih dahulu.8
Dengan demikian, takhalli
bukan hanya sekadar pengendalian diri, tetapi merupakan proses
aktif transformasi batiniah yang mengantarkan seorang salik
untuk mampu menerima nilai-nilai Ilahiah. Ia menjadi pondasi bagi
tahapan-tahapan selanjutnya seperti tahalli dan tajalli,
karena hati yang kotor tidak mungkin mampu mencerminkan cahaya Ilahi.
Footnotes
[1]
Ahmad Zarruq, Qawa'id al-Tasawwuf, ed. Abdul Halim Mahmud
(Kairo: Dar al-Fikr, 1979), 23.
[2]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid III (Beirut:
Dar al-Ma‘rifah, 2005), 7–10.
[3]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), QS. Asy-Syams: 9–10.
[4]
Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Kabir, Juz XXX (Beirut: Dar
Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 2001), 221; Abu ‘Abdillah al-Qurthubi, Tafsir
al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz XX (Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah,
1967), 206.
[5]
Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, Hadis no. 23630.
[6]
Imam al-Baihaqi, Shu’ab al-Iman, Juz V (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2000), 348.
[7]
Harith al-Muhasibi, al-Ri'ayah li Huquq Allah, ed. Abd
al-Fattah Abu Ghuddah (Beirut: Maktabah al-Matbu’at al-Islamiyyah, 1994),
94–98.
[8]
Abu Madyan Shu‘ayb, dikutip dalam Vincent J. Cornell, Realm of the
Saint: Power and Authority in Moroccan Sufism (Austin: University of Texas
Press, 1998), 112.
5.
Tahalli:
Menghiasi Diri dengan Akhlak Mulia
Setelah melalui
proses takhalli—yakni
pengosongan jiwa dari akhlak tercela—tahap selanjutnya dalam suluk (perjalanan
spiritual) adalah tahallī, yaitu proses menghias
diri dengan akhlak mulia (akhlāq maḥmūdah). Dalam perspektif
tasawuf, tahalli bukan hanya merupakan konsekuensi logis dari takhalli,
melainkan juga syarat utama untuk meraih maqam ma'rifah dan
puncak spiritualitas, yaitu tajalli.1
Secara etimologis, tahallī
berasal dari akar kata ḥ-l-y yang berarti "menghias"
atau "memperindah". Dalam konteks spiritual, tahalli dimaknai
sebagai pengisian hati dengan sifat-sifat luhur seperti
keikhlasan, tawadhu’, sabar, syukur, ridha, dan cinta kepada Allah.2
Al-Ghazali menekankan bahwa tidak cukup hanya meninggalkan keburukan
(takhalli), tetapi seorang sālik juga harus mengisi kekosongan
tersebut dengan nilai-nilai positif sebagai bentuk penyempurnaan karakter
ruhani.3
5.1.
Landasan Qur’ani dan Hadis
tentang Tahalli
Prinsip tahalli sangat
selaras dengan ajaran Al-Qur’an yang memerintahkan umat Islam untuk berakhlak
mulia. QS. Al-Qalam [68] ayat 4 menegaskan akhlak Nabi Muhammad saw. sebagai
teladan utama: “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi
pekerti yang agung.”_4 Tafsir al-Razi menjelaskan bahwa
ayat ini menunjukkan kedudukan akhlak mulia sebagai inti dari kenabian dan
jalan menuju kesempurnaan spiritual.5
Dalam Hadis,
Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad).6 Ini memperlihatkan
bahwa pembentukan akhlak adalah misi inti dari kerasulan dan, oleh karena itu,
menjadi poros dalam praktik tahalli seorang sufi.
5.2.
Sifat-sifat Akhlak Mulia
dalam Tahalli
Para ulama tasawuf
klasik merinci sejumlah sifat utama yang menjadi pilar dalam tahalli, antara
lain:
·
Ikhlas:
Mengarahkan seluruh amal hanya kepada Allah. Menurut al-Ghazali, keikhlasan
adalah fondasi amal yang diterima dan penentu maqam spiritual seseorang.7
·
Tawadhu’ (rendah
hati): Tidak merasa lebih baik dari orang lain, bahkan dalam amal
ibadah. Nabi saw. bersabda, “Barang siapa merendahkan dirinya karena Allah,
maka Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim).8
·
Sabar dan Syukur:
Dua sayap ruhani yang saling melengkapi. Al-Muhasibi dalam al-Ri'āyah menjelaskan
bahwa sabar menghadapi ujian dan syukur atas nikmat adalah cermin kematangan
jiwa.9
·
Ridha:
Menerima segala ketentuan Allah dengan lapang dada, sebagaimana dijelaskan
dalam QS. At-Taubah [09] ayat 59.
·
Mahabbah (cinta
Ilahi): Akhlak ruhani tertinggi dalam tahalli. Ibn Qayyim menyatakan
bahwa mahabbah menjadi motor utama dalam seluruh tahapan suluk.10
Dalam
implementasinya, tahalli tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga harus
menjadi amal praktis dalam kehidupan sehari-hari. Akhlak mulia yang ditanamkan
melalui tahalli akan mewarnai sikap, tindakan, dan relasi sosial seorang sālik.
Inilah yang menjadikan tasawuf tidak hanya sebagai proses spiritual individual,
tetapi juga berdampak sosial secara luas.
5.3.
Metodologi Tahalli menurut
Ulama Sufi
Ulama seperti
al-Qusyairi dan al-Ghazali menggarisbawahi pentingnya mujahadah
(perjuangan batin) dalam tahalli. Sifat-sifat mulia tidak bisa
tumbuh secara instan, tetapi perlu dilatih secara terus-menerus. Al-Ghazali
menggunakan istilah riyāḍah al-nafs (latihan jiwa)
dalam proses ini, dengan pendekatan berikut:
·
Latihan konsisten
(istiqamah) dalam amal-amal seperti dzikir, qiyamullail, infak.
·
Meneladani Nabi dan
para salihin dalam perilaku dan tutur kata.
·
Menghindari
faktor-faktor eksternal yang dapat memicu kembalinya sifat-sifat
tercela.
Dengan demikian, tahalli
adalah manifestasi kecintaan sejati kepada Allah dan bentuk penyempurnaan jati
diri seorang salik. Ia menjadi pilar penting dalam mendaki
maqam-maqam ruhani dan menjadi jalan menuju pencapaian tertinggi: tajalli dan
ma’rifatullah.
Footnotes
[1]
Ahmad Farid, Min Ma’alim al-‘Ibadah fi al-Islam (Kairo: Dar
al-Manar, 2004), 138.
[2]
Martin Lings, What is Sufism? (Cambridge: Islamic Texts
Society, 1999), 58.
[3]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid III (Beirut:
Dar al-Ma‘rifah, 2005), 22–24.
[4]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), QS. Al-Qalam: 4.
[5]
Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Kabir, Juz XXX (Beirut: Dar Ihya
al-Turats al-‘Arabi, 2001), 142–143.
[6]
Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, Hadis no. 8729.
[7]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid III, 42.
[8]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Birr wa al-Silah,
Hadis no. 2588.
[9]
Harith al-Muhasibi, al-Ri'ayah li Huquq Allah, ed. Abd
al-Fattah Abu Ghuddah (Beirut: Maktabah al-Matbu’at al-Islamiyyah, 1994),
101–102.
[10]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Salikin, Jilid III
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), 12.
6.
Tajalli:
Manifestasi Cahaya Ilahi dalam Hati
Dalam ranah tasawuf,
puncak dari proses suluk (perjalanan ruhani) adalah tercapainya tajallī,
yaitu manifestasi
atau penampakan cahaya Ilahi dalam hati seorang salik. Tajalli
berasal dari kata tajallā–yatajallā yang berarti “menampakkan
diri dengan jelas”. Secara spiritual, tajalli merujuk pada pengalaman
ruhani mendalam di mana seorang hamba menyaksikan kehadiran, keagungan, atau
kemahacintaan Allah dalam dirinya, meskipun bukan dalam bentuk fisik atau
material, melainkan dalam bentuk kesadaran batin yang luhur dan tak
terdefinisikan.1
Konsep tajalli
menjadi ciri khas pengalaman esoterik dalam tasawuf, sebagaimana dijelaskan
oleh para sufi besar seperti Ibn ʿArabī, al-Harawī, dan al-Ghazālī. Ibn
ʿArabī, dalam Futūḥāt al-Makkiyyah, menyatakan
bahwa tajalli adalah proses di mana Allah memperkenalkan diri-Nya kepada hamba
dalam berbagai bentuk tajalli af’al (perbuatan), sifat, dan zat, sesuai
kapasitas spiritual hamba tersebut.2 Hal ini selaras dengan firman
Allah dalam QS. Al-A’raf [07] ayat 143, ketika Nabi Musa a.s. meminta untuk
melihat Allah, lalu Allah berfirman: “Kamu tidak akan sanggup melihat-Ku, namun
lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap di tempatnya maka kamu akan dapat
melihat-Ku.” Ketika Allah menampakkan diri (tajalla) kepada
gunung itu, gunung hancur dan Nabi Musa pun jatuh pingsan.3
Menurut tafsir
al-Rāzī dan al-Qurṭubī, ayat ini menunjukkan bahwa tajalli adalah manifestasi
kebesaran Allah yang hanya dapat ditangkap oleh hati yang telah disucikan dan
dipersiapkan secara spiritual, bukan oleh mata jasmani.4
6.1.
Tajalli dalam Perspektif
Sufi Klasik
Para sufi membedakan
beberapa tingkat tajalli:
1)
Tajalli Af’al
Kesadaran terhadap kehendak dan perbuatan Allah
dalam segala peristiwa dunia. Salik menyaksikan bahwa semua yang terjadi adalah
bagian dari kehendak-Nya. Ini sesuai dengan maqam tawakal dan ridha.
2)
Tajalli Sifat
Hati mulai menyaksikan sifat-sifat Allah yang
Maha Pengasih, Maha Bijaksana, dan seterusnya, dalam penciptaan. Ini
menumbuhkan mahabbah dan fanā’ (lebur dalam sifat Allah).
3)
Tajalli Dzat
Puncak tajalli, yakni kesadaran murni akan kehadiran
Allah tanpa perantara makhluk. Ini bukan penglihatan fisik, tetapi pengalaman
ruhani yang dalam istilah Ibn ‘Arabī disebut sebagai “syuhūd al-haqq”
(penyaksian hakikat).5
Tajalli bukanlah
sesuatu yang dicapai secara mekanis, tetapi buah dari perjalanan panjang takhalli dan
tahalli, serta maqamat yang dijalani secara istiqamah. Seorang
hamba tidak bisa “mengusahakan” tajalli secara langsung, namun ia dapat
menyiapkan dirinya agar layak menerima cahaya-Nya.
6.2.
Tajalli dan Fanā’
Pengalaman tajalli
seringkali berujung pada keadaan fanā’—lebur dalam kehadiran
Allah—di mana ego dan identitas duniawi sirna. Dalam kondisi ini, seorang sufi
merasa seolah-olah tidak ada yang nyata selain Allah (lā mawjūda illā Allāh).
Namun, para sufi Sunni menekankan bahwa fanā’ bukan berarti bersatu secara zat
dengan Tuhan (ittihād), melainkan kesadaran
total akan kehambaan dan keagungan Allah.6
Al-Qusyairi
menekankan bahwa tajalli sejati tidak menyebabkan seorang sufi kehilangan akal
atau syariat, tetapi justru membuatnya semakin tunduk, penuh adab, dan takut kepada
Allah, sebagaimana para Nabi yang sangat dekat dengan Allah
tetapi tetap menjadi hamba sejati.7
6.3.
Kesiapan Spiritual untuk
Tajalli
Agar hati mampu
menerima tajalli, para sufi menekankan beberapa syarat utama:
·
Kebersihan hati
dari segala kotoran (takhalli).
·
Terhiasnya hati
dengan akhlak mulia (tahalli).
·
Konsistensi dalam
dzikir, tafakkur, dan ibadah malam.
·
Menjaga pandangan,
ucapan, dan makanan dari yang haram.
Dalam pandangan
al-Ghazālī, tajalli akan terjadi secara alami pada jiwa yang telah mencapai
kondisi tuma’ninah
(ketenangan batin), karena cahaya Allah tidak akan hadir di hati yang gelap
oleh dosa dan lalai.8
6.4.
Implikasi Tajalli dalam
Kehidupan Ruhani
Tajalli bukanlah
tujuan akhir dalam dirinya, tetapi indikator bahwa seorang hamba telah mendekat
kepada Allah secara hakiki. Pengalaman tajalli yang otentik
akan membuat seseorang:
·
Lebih tawadhu’ dan tidak
mengklaim maqam tertentu.
·
Lebih peka terhadap
kehadiran Allah dalam setiap peristiwa hidup.
·
Menjadi agen kebaikan dan
rahmat di tengah masyarakat, sebagaimana Nabi saw.
Footnotes
[1]
Javad Nurbakhsh, Sufism: Meaning, Knowledge and Unity (New
York: Khaniqahi-Nimatullahi Publications, 1992), 77.
[2]
Ibn ‘Arabi, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. Osman Yahya (Beirut:
Dar Ṣadir, 1999), Juz 3, 25–27.
[3]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), QS. Al-A’raf: 143.
[4]
Fakhruddin al-Rāzī, Tafsir al-Kabir, Juz IX (Beirut: Dar Ihya
al-Turats al-‘Arabi, 2001), 185; Abu ʿAbdillah al-Qurṭubī, al-Jamiʿ li
Ahkam al-Qur’an, Juz VII (Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1967),
205–207.
[5]
William Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 143–145.
[6]
Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short History (Leiden:
Brill, 2000), 121.
[7]
Abdul Karim al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyyah (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 144.
[8]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid IV (Beirut:
Dar al-Ma‘rifah, 2005), 67–70.
7.
Hubungan
Antara Takhalli, Tahalli, dan Tajalli dalam Praktik Suluk
Dalam tradisi
tasawuf klasik, tahapan takhallī, tahallī,
dan tajallī
merupakan tiga pilar utama dalam proses suluk
(perjalanan spiritual) yang membentuk kerangka kerja transformasi ruhani
seorang sālik.
Ketiganya saling berkaitan erat dan membentuk urutan logis serta psikologis
yang menggambarkan dinamika pembersihan, pengisian, dan pencahayaan jiwa. Takhalli
berfungsi sebagai pembersihan wadah, tahalli sebagai pengisian wadah
dengan akhlak mulia, dan tajalli sebagai manifestasi
cahaya Ilahi dalam wadah yang telah bersih dan layak menerimanya.1
Imam al-Ghazālī
menggambarkan hubungan ini sebagai tahapan internalisasi spiritual yang saling
melengkapi dan tidak bisa dipisahkan. Menurutnya, seseorang tidak dapat
mencapai kehadiran Ilahi (tajalli) jika hati masih dipenuhi dengan penyakit
ruhani (tidak melakukan takhalli), dan tidak pula layak menerima cahaya
tersebut jika tidak berhias dengan sifat-sifat yang disukai Allah (tahalli).2
7.1.
Urutan Hierarkis dan
Fungsional
Ketiga konsep ini
membentuk urutan hierarkis dalam suluk,
sebagaimana dijelaskan oleh banyak ulama sufi:
1)
Takhalli:
Mengosongkan jiwa dari sifat-sifat tercela seperti riya’, ujub, hasad, dan
takabbur.
2)
Tahalli: Mengisi
jiwa dengan akhlak mulia seperti ikhlas, tawadhu’, sabar, dan syukur.
3)
Tajalli:
Menyaksikan pancaran cahaya ilahi dalam hati yang telah siap secara spiritual.
Hubungan ini
digambarkan dengan sangat apik oleh Ibn ʿAjībah dalam Iqāẓ
al-Himam, di mana ia menyatakan bahwa: “Takhalli adalah syarat bagi tahalli, dan
tahalli adalah sarana bagi tajalli.”3
7.2.
Dimensi Psikologis dan
Teologis
Secara psikologis, takhalli
berfungsi sebagai dekonstruksi ego dan penundukan nafsu yang menjadi sumber
tirai antara hamba dan Tuhan. Setelah jiwa bersih dari egoisme dan hawa nafsu,
proses tahalli
bertindak sebagai rekonstruksi batiniah, mengarahkan karakter untuk selaras
dengan sifat-sifat Ilahiah (asma’ al-husna) yang dapat diteladani oleh manusia.
Inilah yang dalam filsafat Islam dikenal dengan istilah ta’alluq
bi sifatillah (keterkaitan spiritual dengan sifat-sifat Allah).4
Secara teologis, tajalli
bukanlah hasil dari usaha manusia semata, melainkan anugerah (fayḍ) dari Allah
kepada hamba yang telah melalui proses tazkiyah (penyucian diri) secara total.
Maka, tajalli
tidak bisa dicapai tanpa takhalli dan tahalli, karena hati yang
kotor atau kosong dari nilai tidak akan mampu memantulkan cahaya Ilahi,
sebagaimana cermin yang buram tidak dapat memantulkan cahaya matahari.5
7.3.
Peran Suluk dan Tarekat
Dalam praktik
tarekat sufi, ketiga proses ini dijalani dalam bimbingan seorang murshid
(pembimbing spiritual). Proses takhalli biasanya dilakukan melalui
latihan-latihan seperti riyāḍah al-nafs, khalwat,
dzikir,
dan mujāhadah.
Tahalli ditanamkan melalui pembiasaan akhlak positif, sedangkan tajalli
biasanya hadir dalam bentuk pengalaman ruhani yang mendalam dalam dzikir dan
kontemplasi.
Al-Harawī,
dalam Manāzil
al-Sā’irīn, menekankan bahwa suluk tidak sekadar metode spiritual,
melainkan juga pendidikan karakter dan emosi
yang memungkinkan manusia sampai kepada puncak kemanusiaan sejatinya—yakni
menjadi hamba yang sadar total akan Tuhan.6
7.4.
Konsekuensi Etis dan Sosial
Yang menarik dari
hubungan ini adalah implikasi etis dan sosialnya. Takhalli
dan tahalli menumbuhkan sikap etis yang kuat, seperti empati,
pengendalian diri, kejujuran, dan keteguhan iman. Sedangkan tajalli,
bila dipahami dan dijalani secara benar, tidak menjadikan seseorang merasa
lebih suci, tetapi justru lebih tunduk, rendah hati, dan terbuka kepada sesama.
Ulama tasawuf
seperti Abu Madyan menegaskan bahwa tajalli
yang benar tidak membawa pada kebanggaan spiritual, tetapi pada kehinaan yang
agung di hadapan-Nya.7 Dengan demikian, ketiganya
membentuk kesatuan sistem transformasi ruhani yang menyatu dalam jalan suluk
menuju Allah.
Footnotes
[1]
Ahmad Zarruq, Qawāʿid al-Taṣawwuf, ed. Abdul Halim Mahmud
(Kairo: Dar al-Fikr, 1979), 31.
[2]
Abu Hamid al-Ghazali, Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn, Jilid III (Beirut:
Dar al-Maʿrifah, 2005), 22–24.
[3]
Ibn ʿAjibah, Iqāẓ al-Himam fī Sharḥ al-Ḥikam, ed. M. al-Saghir
al-Ifrani (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), 88.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 101–102.
[5]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 215.
[6]
Abdullah Ansari al-Harawi, Manāzil al-Sā’irīn, ed. Sulayman
Dunya (Kairo: Dar al-Maʿarif, 1973), 55–57.
[7]
Vincent J. Cornell, Realm of the Saint: Power and Authority in
Moroccan Sufism (Austin: University of Texas Press, 1998), 112.
8.
Penutup
Tasawuf dalam
tradisi Islam klasik bukan sekadar pendekatan spiritual yang bersifat personal
atau mistis, melainkan sebuah sistem integratif yang
menggabungkan dimensi etika, teologis, dan psikologis dalam rangka
menyempurnakan kehidupan seorang mukmin. Dalam kerangka ini, tahapan maqāmāt,
serta prinsip takhallī, taḥallī,
dan tajallī,
berperan sebagai peta ruhani yang sistematis dan terstruktur, membimbing
seorang sālik
dalam menapaki jalan menuju kedekatan hakiki dengan Allah Swt.
Sebagaimana
ditegaskan oleh al-Qusyairi dan al-Ghazali, penyucian jiwa adalah pra-syarat
mutlak untuk mendekat kepada Allah. Proses takhalli berperan
sebagai pintu masuk yang membuka ruang hati dari segala kegelapan nafsu dan
penyakit batin. Tahalli kemudian menghiasi hati yang bersih tersebut dengan
akhlak-akhlak mulia yang sesuai dengan nilai-nilai Ilahiah. Puncaknya, dalam
suasana batin yang bersih dan terhias, seorang hamba berpotensi mengalami
tajalli, yaitu manifestasi cahaya dan kehadiran Tuhan dalam relung jiwanya,
yang menandai keberhasilan spiritual paling tinggi.1
Secara praktis,
tahapan-tahapan ini memiliki implikasi transformasional yang
nyata. Bukan hanya dalam hubungan vertikal seorang hamba dengan Tuhannya,
tetapi juga dalam relasi horizontalnya dengan sesama manusia dan lingkungan.
Seorang salik sejati adalah pribadi yang santun, empatik, rendah hati, jujur,
serta menjauhi sikap angkuh dan riya’. Inilah bukti bahwa tasawuf bukanlah
eskapisme dari realitas, melainkan sarana pembentukan karakter dan peradaban
ruhani yang luhur.2
Dalam konteks
kehidupan modern yang penuh dengan kegelisahan spiritual dan degradasi moral,
tasawuf—dengan pendekatannya yang humanistik dan transendental—menawarkan solusi
etis dan spiritual yang sangat relevan. Upaya menghidupkan
kembali semangat suluk dan maqamat dalam kehidupan sehari-hari bukan saja akan
memperbaiki kualitas individu Muslim, tetapi juga akan menciptakan masyarakat
yang lebih damai, bersih, dan berkeadaban.
Namun demikian,
penting untuk diingat bahwa jalan tasawuf memerlukan bimbingan
yang benar, niat yang tulus, serta disiplin yang tinggi. Ia
bukan jalan pintas menuju makrifat, melainkan jalan panjang yang menuntut
ketekunan dan kesabaran. Seperti yang dikatakan oleh Ibn ʿAṭāʾillah dalam al-Ḥikam,
“Janganlah
kamu merasa bahwa kau yang mendatangkan tajalli; sebab tajalli itu adalah
karunia dari Allah kepada mereka yang telah membersihkan jalannya.”_3
Dengan demikian,
memahami dan mengamalkan tahapan takhalli, tahalli, dan tajalli
tidak hanya menjadi sarana penyempurnaan diri, tetapi juga menjadi jembatan
ruhani menuju kedekatan dan cinta Ilahi yang sejati. Inilah hakikat dari
tasawuf sebagaimana yang diajarkan oleh para ulama klasik: sebuah jalan
ruhani yang membebaskan jiwa dari belenggu dunia, dan
mengantarkannya menuju cahaya Tuhan.
Footnotes
[1]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid III (Beirut:
Dar al-Ma‘rifah, 2005), 24–26; Abdul Karim al-Qusyairi, al-Risalah
al-Qusyairiyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 131–133.
[2]
Vincent J. Cornell, Realm of the Saint: Power and Authority in
Moroccan Sufism (Austin: University of Texas Press, 1998), 141.
[3]
Ibn ʿAṭāʾillah al-Iskandari, al-Ḥikam al-ʿAṭāʾiyyah, ed. M.
Fathy ʿUthman (Kairo: Dar al-Salam, 2001), Hikmah no. 160.
Daftar Pustaka
Ahmad, F. (2004). Min ma‘ālim al-‘ibādah fī
al-Islām. Kairo: Dār al-Manār.
al-Bukhārī, M. ibn I. (n.d.). Ṣaḥīḥ al-Bukhārī.
Beirut: Dār Ṭawq al-Najāh.
al-Ghazālī, A. H. (2005). Iḥyā’ ‘ulūm al-dīn
(Jilid I–IV). Beirut: Dār al-Ma‘rifah.
al-Ḥarawī, A. A. (1973). Manāzil al-sā’irīn
(ed. Sulayman Dunya). Kairo: Dār al-Ma‘ārif.
al-Kalābādhī, A. B. (1933). al-Ta‘arruf li
madhhab ahl al-taṣawwuf (ed. A. J. Arberry). Cairo: al-Maktabah
al-Tijariyyah.
al-Muḥāsibī, H. (1994). al-Ri‘āyah li ḥuqūq
Allāh (ed. A. F. Abū Ghuddah). Beirut: Maktabah al-Maṭbū‘āt al-Islāmiyyah.
al-Qarāḍāwī, Y. (2005). al-Taṣawwuf: Madkhal wa
mawsū‘ah. Beirut: Dār al-Shurūq.
al-Qurṭubī, A. A. (1967). al-Jāmi‘ li aḥkām
al-Qur’ān (Juz VII & XX). Kairo: Dār al-Kutub al-Miṣriyyah.
al-Qushayrī, A. K. (2002). al-Risālah
al-Qushayriyyah. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
al-Rāzī, F. (2001). Tafsīr al-kabīr. Beirut:
Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī.
al-Zarrūq, A. (1979). Qawā‘id al-taṣawwuf
(ed. A. H. Maḥmūd). Kairo: Dār al-Fikr.
‘Aṭā’illah al-Iskandarī, I. (2001). al-Ḥikam
al-‘Aṭā’iyyah (ed. M. F. ‘Uthmān). Kairo: Dār al-Salām.
Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of
knowledge: Ibn al-‘Arabī’s metaphysics of imagination. Albany, NY: State
University of New York Press.
Cornell, V. J. (1998). Realm of the saint: Power
and authority in Moroccan Sufism. Austin, TX: University of Texas Press.
Departemen Agama Republik Indonesia. (2019). Al-Qur’an
dan terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.
Ernst, C. W. (1997). The Shambhala guide to
Sufism. Boston, MA: Shambhala.
Ibn ‘Ajībah, A. (2008). Iqāẓ al-himam fī sharḥ
al-ḥikam (ed. M. al-Ṣaghīr al-Ifrānī). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (1996). Madārij
al-sālikīn (Jilid III). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ibn Rajab al-Ḥanbalī. (2001). Jāmi‘ al-‘ulūm wa
al-ḥikam. Beirut: Mu’assasah al-Risālah.
Ibn ‘Arabī, M. (1999). al-Futūḥāt al-Makkiyyah
(ed. O. Yahya). Beirut: Dār Ṣādir.
Knysh, A. (2000). Islamic mysticism: A short
history. Leiden: Brill.
Lings, M. (1999). What is Sufism? Cambridge:
Islamic Texts Society.
Muslim ibn al-Ḥajjāj. (n.d.). Ṣaḥīḥ Muslim.
Beirut: Dār Ihyā’ al-Turāth al-‘Arabī.
Nurbakhsh, J. (1992). Sufism: Meaning, knowledge
and unity. New York, NY: Khaniqahi-Nimatullahi Publications.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred.
Albany, NY: State University of New York Press.
Sarraj, A. N. (1914). al-Luma‘ fī al-taṣawwuf
(ed. R. A. Nicholson). Leiden: Brill.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar