Jumat, 04 April 2025

Meniti Jalan Ruhani: Tahapan Tasawuf dalam Bingkai Maqamat, Takhalli, Tahalli, dan Tajalli menurut Ulama Klasik

Meniti Jalan Ruhani

Tahapan Tasawuf dalam Bingkai Maqamat, Takhalli, Tahalli, dan Tajalli menurut Ulama Klasik


Alihkan ke: Ilmu Tawawuf.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tahapan perjalanan spiritual (suluk) dalam tasawuf Islam klasik melalui kerangka maqāmāt (tingkatan ruhani) serta tiga tahapan utama: takhallī (pemurnian diri dari akhlak tercela), taḥallī (penghiasan diri dengan akhlak mulia), dan tajallī (manifestasi cahaya Ilahi dalam hati). Pembahasan dilakukan dengan merujuk pada sumber-sumber otoritatif seperti Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn karya al-Ghazālī, al-Risālah al-Qushayriyyah, Manāzil al-Sā’irīn oleh al-Ḥarawī, serta pemikiran Ibn ‘Arabī dalam Futūḥāt al-Makkiyyah. Dengan pendekatan analitis dan kontekstual, artikel ini menekankan keterkaitan sistematis antara tahapan tersebut sebagai metode penyucian jiwa dan penguatan relasi eksistensial antara hamba dan Tuhannya. Selain itu, artikel ini menyoroti relevansi aktual tasawuf dalam membentuk etika individual dan sosial di tengah krisis spiritualitas modern. Diharapkan, kajian ini dapat memperkaya pemahaman akademik dan praktik spiritual pembaca terhadap dimensi batiniah Islam.

Kata Kunci: Tasawuf, Suluk, Maqamat, Takhalli, Tahalli, Tajalli, Penyucian Jiwa, Ulama Klasik.


PEMBAHASAN

Tahapan Tasawuf Klasik Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Tasawuf merupakan cabang spiritual dalam ajaran Islam yang menekankan pada dimensi batiniah, tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), serta pengalaman langsung terhadap kedekatan dengan Allah Swt. Ia hadir sebagai upaya menjembatani relasi antara aspek eksoterik dan esoterik dalam Islam, menjadikan syariat sebagai pondasi, dan hakikat sebagai tujuan puncak perjalanan ruhani. Dalam konteks ini, tasawuf berperan sebagai metode transformasi spiritual menuju maqam ma’rifah, yakni pengenalan sejati terhadap Tuhan melalui penyucian hati dan penempuhan jalan suluk yang konsisten.1

Tradisi tasawuf dalam Islam memiliki akar kuat dalam Al-Qur’an dan Hadis, sebagaimana tampak dalam konsep ihsan yang disebutkan dalam Hadis Jibril. Ihsan didefinisikan sebagai "engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu" (HR. Muslim).2 Definisi ini memberikan fondasi ontologis dan epistemologis bagi tasawuf, karena mengarahkan manusia kepada kesadaran ruhani yang mendalam dalam setiap aspek kehidupan. Dalam Al-Qur’an, penyucian jiwa diposisikan sebagai kunci keberuntungan hidup: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS. Asy-Syams [91] ayat 9–10).3

Dalam lintasan sejarahnya, tasawuf berkembang menjadi sebuah sistem spiritual yang terstruktur dan kaya, mencakup berbagai maqamat (tingkatan ruhani) yang harus dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Allah). Setiap maqam merupakan fase transformatif yang tidak hanya bersifat etis, tetapi juga eksistensial. Imam al-Qusyairi dalam al-Risalah al-Qusyairiyyah menyebutkan bahwa maqamat merupakan “perhentian-perhentian ruhani” yang dicapai melalui usaha dan mujahadah, berbeda dengan ahwal (keadaan ruhani) yang merupakan anugerah ilahiyah.4

Sebagai sistem etika spiritual, tahapan-tahapan dalam tasawuf juga dijelaskan melalui pendekatan metodologis berupa tiga pilar utama: takhalli (pengosongan diri dari akhlak tercela), tahalli (penghiasan diri dengan akhlak terpuji), dan tajalli (manifestasi cahaya ilahi dalam diri manusia). Konsep ini dijelaskan secara mendalam oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din sebagai kerangka kerja spiritual untuk mendidik jiwa dan membentuk kepribadian mukmin sejati.5 Pendekatan ini juga dipertahankan dan dikembangkan dalam berbagai tarekat sufi yang bertujuan membimbing murid dalam penyempurnaan ruhani secara bertahap dan disiplin.

Seiring dengan meningkatnya minat terhadap dimensi spiritual Islam di tengah krisis modernitas, pembahasan mengenai tahapan tasawuf semakin relevan untuk diangkat. Pemahaman yang benar dan kontekstual terhadap konsep maqamat, takhalli, tahalli, dan tajalli tidak hanya memperkaya khazanah keilmuan Islam, tetapi juga berkontribusi dalam membentuk kesadaran ruhani umat secara lebih mendalam. Artikel ini berupaya menyajikan penjelasan sistematis dan mendalam tentang keempat konsep tersebut dengan merujuk pada sumber-sumber otoritatif dalam tasawuf klasik dan tafsir Al-Qur’an, sehingga dapat menjadi acuan ilmiah dan spiritual yang kredibel.


Footnotes

[1]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 5.

[2]                Muslim ibn al-Hajjaj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitab al-Iman, Hadis no. 8, dalam Al-Maktabah al-Shamila.

[3]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2019), QS. Asy-Syams: 9–10.

[4]                Abdul Karim al-Qusyairi, Al-Risalah al-Qusyairiyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 101.

[5]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid III (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 2005), 12–18.


2.           Konsep Dasar Tasawuf dalam Perspektif Islam

Tasawuf merupakan dimensi batin dari Islam yang bertujuan menyempurnakan kualitas ruhani seorang mukmin dalam perjalanan menuju kedekatan dengan Allah (taqarrub ila Allah). Dalam tradisi Islam klasik, tasawuf dipandang sebagai penyempurna aspek lahiriah (syariat) dengan penghayatan batiniah (hakikat), membentuk kesatuan utuh antara keilmuan dan spiritualitas dalam bingkai tazkiyatun nafs (penyucian jiwa).1 Imam al-Ghazali menyebut tasawuf sebagai "inti dari syariat" yang menuntun manusia menuju ma’rifat, melalui proses pembinaan akhlak dan pembersihan hati dari penyakit-penyakit rohani.2

Secara historis, istilah "tasawuf" mulai dikenal secara formal pada abad ke-2 Hijriyah, meskipun praktiknya telah ada sejak masa Nabi Muhammad saw. dan para sahabat. Ulama seperti Abu Nashr as-Sarraj (w. 988 M) dalam al-Luma’ dan Imam al-Qusyairi (w. 1072 M) dalam al-Risalah al-Qusyairiyyah mencatat bahwa para sufi awal mengambil inspirasi dari kehidupan zuhud para sahabat seperti Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Farisi, dan Uwais al-Qarni, yang menekankan kesederhanaan, ketulusan, dan fokus pada akhirat.3

Tasawuf berakar kuat dalam Al-Qur’an dan Hadis. Ayat-ayat yang menekankan penyucian jiwa (tazkiyah), muraqabah (kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi), dan mahabbah (cinta kepada Allah) menjadi dasar utama pembinaan ruhani. Dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 151, Allah berfirman: “Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul dari (kalangan) kamu sendiri, yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu (yuzakkīkum)...”, yang oleh para mufassir seperti al-Razi dimaknai sebagai legitimasi tazkiyah sebagai bagian penting dari risalah kenabian.4

Dalam Hadis, konsep ihsan menjadi landasan utama tasawuf. Hadis Jibril yang diriwayatkan oleh Muslim menyebutkan: “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.”_5 Konsep ini menjadi pijakan utama dalam praksis tasawuf yang menekankan kesadaran transendental dan kehadiran ilahi dalam setiap aspek hidup.

Dalam pandangan Imam Junaid al-Baghdadi (w. 910 M), salah satu pendiri tasawuf sunni, tasawuf adalah “membersihkan hati dari selain Allah.”_6 Ini berarti bahwa inti dari jalan tasawuf adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan hidup (tauhid eksistensial). Dalam al-Taʿarruf li Madzhab Ahl al-Tasawwuf karya al-Kalabadzi, tasawuf dijelaskan sebagai "ilmu tentang keadaan hati dan cara memperbaikinya agar sesuai dengan ridha Allah."_7

Dalam kerangka keilmuan Islam, tasawuf menempati posisi yang saling melengkapi dengan fiqih dan akidah. Sebagaimana ditegaskan oleh Imam Malik, “Barang siapa yang belajar fiqih tanpa tasawuf, maka ia fasik. Barang siapa belajar tasawuf tanpa fiqih, maka ia zindiq. Dan barang siapa yang menggabungkan keduanya, maka ia telah mencapai kebenaran.”8 Ungkapan ini memperlihatkan bahwa keseimbangan antara dimensi lahir dan batin adalah kunci dalam membangun keberagamaan yang utuh.

Dengan demikian, tasawuf dalam Islam bukan sekadar ekspresi spiritual personal, tetapi merupakan bagian integral dari sistem keilmuan dan praksis Islam. Ia menawarkan jalan menuju kematangan ruhani melalui proses panjang yang terstruktur, sebagaimana akan dijelaskan dalam pembahasan tentang maqamat, takhalli, tahalli, dan tajalli.


Footnotes

[1]                Martin Lings, What is Sufism? (Cambridge: Islamic Texts Society, 1999), 11.

[2]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid I (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 2005), 37.

[3]                Abu Nasr as-Sarraj, al-Luma’ fi al-Tasawwuf, ed. Reynold A. Nicholson (Leiden: Brill, 1914), 15–17; Abdul Karim al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 54–56.

[4]                Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Kabir, Juz II (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1999), 368.

[5]                Muslim ibn al-Hajjaj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitab al-Iman, Hadis no. 8.

[6]                Abu al-Qasim al-Junaid, dikutip dalam Al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyyah, 85.

[7]                Abu Bakr al-Kalabadzi, al-Taʿarruf li Madzhab Ahl al-Tasawwuf, ed. Arthur J. Arberry (Cairo: Al-Maktabah al-Tijariyyah, 1933), 61.

[8]                Dikutip oleh Yusuf al-Qaradawi, al-Tasawwuf: Madkhal wa Mawsu’ah, (Beirut: Dar al-Shuruq, 2005), 114.


3.           Maqamat: Tahapan Spiritual Seorang Salik

Dalam disiplin tasawuf, maqāmāt (jamak dari maqām) merujuk pada tingkatan-tingkatan spiritual yang dilalui oleh seorang sālik (penempuh jalan menuju Allah) melalui usaha, mujahadah, dan riyādhah (latihan ruhani). Maqamat bukanlah keadaan yang datang secara tiba-tiba atau anugerah semata (sebagaimana ahwāl), melainkan hasil dari perjuangan aktif dan kesungguhan dalam mendekat kepada Allah.1 Konsep ini telah dijelaskan secara sistematis oleh para sufi klasik seperti Imam al-Qusyairi dalam al-Risālah al-Qusyairiyyah dan al-Harawi dalam Manāzil al-Sā’irīn.

Imam al-Qusyairi menyebut bahwa maqamat adalah tangga-tangga yang harus dilalui oleh seorang salik dalam mendekatkan diri kepada Tuhannya. Setiap maqam memiliki tuntutan dan rambu-rambu tertentu, serta menjadi prasyarat bagi maqam berikutnya. Seseorang tidak dapat berpindah ke maqam selanjutnya sebelum benar-benar menuntaskan maqam sebelumnya secara ikhlas dan utuh.2

Imam al-Harawi dalam Manāzil al-Sā’irīn menyusun 100 maqam, namun ulama lainnya merangkum inti maqamat menjadi 7 sampai 10 tahapan utama. Berikut adalah maqamat pokok yang secara umum disepakati oleh banyak ulama sufi:

3.1.       Taubat (al-Tawbah)

Tahap awal dalam perjalanan ruhani. Taubat sejati menurut al-Ghazali bukan sekadar penyesalan verbal, tetapi disertai penyesalan hati, komitmen meninggalkan dosa, dan tekad kuat untuk tidak mengulanginya.3 QS. At-Tahrim [66] ayat 8 mengisyaratkan konsep taubatan nasūḥā sebagai bentuk taubat yang murni dan bersih.

3.2.       Wara’

Setelah bertaubat, salik dituntut untuk menjaga diri dari hal-hal yang subhat (meragukan), tidak hanya yang haram. Wara’ merupakan tingkat kehati-hatian spiritual yang tinggi, sebagaimana sabda Nabi: “Halal itu jelas, haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara syubhat...” (HR. Bukhari dan Muslim).4

3.3.       Zuhud

Zuhud berarti tidak menggantungkan hati pada dunia, meskipun ia masih hidup di dalamnya. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Zuhud adalah ketika dunia tidak menguasai hatimu.”_5 QS. Al-Hadid [57] ayat 20 menggambarkan kefanaan dunia sebagai motivasi untuk memilih kehidupan akhirat.

3.4.       Tawakal

Tawakal bukanlah pasrah pasif, tetapi menyerahkan hasil kepada Allah setelah berusaha maksimal. Dalam QS. Al-Imran [03] ayat 159, Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk bermusyawarah dengan para sahabat dan kemudian bertawakkallah kepada Allah, yang menunjukkan bahwa tawakal datang setelah ikhtiar.

3.5.       Sabar

Sabar merupakan fondasi dalam menghadapi ujian ruhani dan duniawi. Dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, al-Ghazali membagi sabar menjadi tiga: sabar dalam ketaatan, sabar menjauhi maksiat, dan sabar dalam musibah.6 Allah menjanjikan keberkahan kepada orang-orang sabar dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 153.

3.6.       Syukur

Syukur bukan hanya ucapan lisan, tetapi manifestasi ketaatan melalui amal. Syukur yang benar melibatkan hati yang sadar, lisan yang memuji, dan anggota badan yang taat.7 QS. Ibrahim [14] ayat 7 menegaskan bahwa syukur akan menambah nikmat.

3.7.       Ridha

Maqam ridha adalah puncak penerimaan terhadap segala ketentuan Allah, baik yang menyenangkan maupun menyakitkan. Ridha membuahkan ketenangan batin dan ketundukan total terhadap qada dan qadar Allah (QS. Al-Bayyinah [98] ayat 8).

3.8.       Mahabbah (Cinta kepada Allah)

Mahabbah menjadi maqam tertinggi dalam banyak pandangan ulama sufi. Cinta yang sejati melahirkan kerinduan untuk selalu dekat dengan Allah dan menjadikan keridhaan-Nya sebagai satu-satunya tujuan. Ibnu Qayyim al-Jawziyyah menyebut mahabbah sebagai “inti dari semua maqamat.”_8

Penting untuk dicatat bahwa maqamat ini bukan sekadar urutan linear, tetapi juga saling terkait dan dapat berkembang secara spiral. Seorang salik bisa kembali memperkuat maqam sebelumnya saat menghadapi ujian dalam maqam yang lebih tinggi.

Melalui maqamat inilah salik dididik untuk menundukkan ego (nafs), membangun ketekunan spiritual, dan mengarahkan hidupnya semata-mata untuk meraih ridha dan kedekatan dengan Allah. Setiap maqam menuntut mujahadah yang berat, namun sekaligus menjadi jalan menuju penyempurnaan jiwa.


Footnotes

[1]                Carl W. Ernst, The Shambhala Guide to Sufism (Boston: Shambhala, 1997), 94–95.

[2]                Abdul Karim al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 132–134.

[3]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid IV (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 2005), 3–7.

[4]                Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Iman, Hadis no. 52; Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Musāqāt, Hadis no. 1599.

[5]                Ibn Rajab al-Hanbali, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001), 245.

[6]                Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid IV, 45–52.

[7]                Ahmad Farid, Min Ma’alim al-Ibadah fi al-Islam (Kairo: Dar al-Manar, 2004), 119–121.

[8]                Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Salikin, Jilid III (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), 6.


4.           Takhalli: Pemurnian Diri dari Akhlak Tercela

Dalam tradisi tasawuf, takhallī merupakan proses awal yang sangat penting dalam perjalanan spiritual seorang sālik. Secara etimologis, takhalli berasal dari kata Arab خَلَا – يَخْلُو yang berarti "mengosongkan" atau "membersihkan". Dalam konteks tasawuf, takhalli berarti mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela (akhlāq madzmūmah) sebagai langkah persiapan untuk menerima akhlak mulia dan tajalli Ilahi.1

Konsep ini sangat ditekankan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, di mana ia menyatakan bahwa pembersihan hati dari penyakit-penyakit batin adalah langkah pertama yang harus dilakukan sebelum hati bisa dipenuhi dengan cahaya spiritual dan makrifat.2 Sama seperti bejana yang harus dibersihkan sebelum diisi air bersih, demikian pula hati manusia yang harus disucikan dari kekotoran nafsu dan ego.

Proses takhalli berkaitan erat dengan tazkiyatun nafs, sebagaimana difirmankan Allah dalam QS. Asy-Syams [91] ayat 9–10: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”3 Tafsir klasik seperti Tafsir al-Razi dan al-Qurthubi menggarisbawahi bahwa penyucian ini tidak hanya mencakup amal lahiriah, tetapi lebih dalam lagi, yaitu penyucian hati dari sifat-sifat seperti riya’, ujub, hasad, ghadab, dan takabbur.4

4.1.       Akhlak-akhlak Tercela yang Harus Dikosongkan

Para ulama tasawuf klasik mengidentifikasi sejumlah sifat tercela utama yang menjadi penghalang utama dalam perjalanan spiritual, di antaranya:

·                     Riya’ (pamer ibadah): melakukan amal bukan karena Allah, tetapi untuk dilihat manusia. Nabi menyebut riya’ sebagai “syirik kecil” (HR. Ahmad).5

·                     Ujub (bangga diri): merasa amalnya cukup dan menganggap dirinya lebih baik dari orang lain.

·                     Hasad (dengki): tidak suka terhadap nikmat yang dimiliki orang lain.

·                     Takabbur (sombong): merendahkan orang lain dan menolak kebenaran.

·                     Hubb al-dunya (cinta dunia berlebihan): terlalu terikat pada kenikmatan dunia yang fana, yang disebut oleh Nabi sebagai "pangkal segala kesalahan" (HR. Baihaqi).6

Menurut al-Muhasibi dalam al-Ri'ayah li Huquq Allah, penyakit-penyakit ini jika tidak ditangani akan menjadi hijab antara hamba dan Tuhannya, bahkan bisa menghalangi pancaran cahaya ilahi yang menembus hati.7

4.2.       Metode Praktis Takhalli menurut Ulama Sufi

Para sufi klasik telah mengembangkan metode-metode mujahadah (perjuangan melawan hawa nafsu) yang dapat diterapkan dalam proses takhalli, antara lain:

·                     Muraqabah (menghadirkan kesadaran akan pengawasan Allah).

·                     Muhasabah (introspeksi dan evaluasi diri).

·                     Khalwat (menyendiri untuk menghindari godaan dunia).

·                     Dzikir dan istighfar yang terus-menerus untuk membersihkan hati.

Syeikh Abu Madyan (w. 594 H), seorang sufi besar dari Maghrib, menyatakan bahwa takhalli adalah pintu pertama menuju kesucian, dan tidak ada tajalli tanpa takhalli terlebih dahulu.8

Dengan demikian, takhalli bukan hanya sekadar pengendalian diri, tetapi merupakan proses aktif transformasi batiniah yang mengantarkan seorang salik untuk mampu menerima nilai-nilai Ilahiah. Ia menjadi pondasi bagi tahapan-tahapan selanjutnya seperti tahalli dan tajalli, karena hati yang kotor tidak mungkin mampu mencerminkan cahaya Ilahi.


Footnotes

[1]                Ahmad Zarruq, Qawa'id al-Tasawwuf, ed. Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Fikr, 1979), 23.

[2]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid III (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 2005), 7–10.

[3]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), QS. Asy-Syams: 9–10.

[4]                Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Kabir, Juz XXX (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 2001), 221; Abu ‘Abdillah al-Qurthubi, Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz XX (Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1967), 206.

[5]                Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, Hadis no. 23630.

[6]                Imam al-Baihaqi, Shu’ab al-Iman, Juz V (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 348.

[7]                Harith al-Muhasibi, al-Ri'ayah li Huquq Allah, ed. Abd al-Fattah Abu Ghuddah (Beirut: Maktabah al-Matbu’at al-Islamiyyah, 1994), 94–98.

[8]                Abu Madyan Shu‘ayb, dikutip dalam Vincent J. Cornell, Realm of the Saint: Power and Authority in Moroccan Sufism (Austin: University of Texas Press, 1998), 112.


5.           Tahalli: Menghiasi Diri dengan Akhlak Mulia

Setelah melalui proses takhalli—yakni pengosongan jiwa dari akhlak tercela—tahap selanjutnya dalam suluk (perjalanan spiritual) adalah tahallī, yaitu proses menghias diri dengan akhlak mulia (akhlāq maḥmūdah). Dalam perspektif tasawuf, tahalli bukan hanya merupakan konsekuensi logis dari takhalli, melainkan juga syarat utama untuk meraih maqam ma'rifah dan puncak spiritualitas, yaitu tajalli.1

Secara etimologis, tahallī berasal dari akar kata ḥ-l-y yang berarti "menghias" atau "memperindah". Dalam konteks spiritual, tahalli dimaknai sebagai pengisian hati dengan sifat-sifat luhur seperti keikhlasan, tawadhu’, sabar, syukur, ridha, dan cinta kepada Allah.2 Al-Ghazali menekankan bahwa tidak cukup hanya meninggalkan keburukan (takhalli), tetapi seorang sālik juga harus mengisi kekosongan tersebut dengan nilai-nilai positif sebagai bentuk penyempurnaan karakter ruhani.3

5.1.       Landasan Qur’ani dan Hadis tentang Tahalli

Prinsip tahalli sangat selaras dengan ajaran Al-Qur’an yang memerintahkan umat Islam untuk berakhlak mulia. QS. Al-Qalam [68] ayat 4 menegaskan akhlak Nabi Muhammad saw. sebagai teladan utama: “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.”_4 Tafsir al-Razi menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan kedudukan akhlak mulia sebagai inti dari kenabian dan jalan menuju kesempurnaan spiritual.5

Dalam Hadis, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad).6 Ini memperlihatkan bahwa pembentukan akhlak adalah misi inti dari kerasulan dan, oleh karena itu, menjadi poros dalam praktik tahalli seorang sufi.

5.2.       Sifat-sifat Akhlak Mulia dalam Tahalli

Para ulama tasawuf klasik merinci sejumlah sifat utama yang menjadi pilar dalam tahalli, antara lain:

·                     Ikhlas: Mengarahkan seluruh amal hanya kepada Allah. Menurut al-Ghazali, keikhlasan adalah fondasi amal yang diterima dan penentu maqam spiritual seseorang.7

·                     Tawadhu’ (rendah hati): Tidak merasa lebih baik dari orang lain, bahkan dalam amal ibadah. Nabi saw. bersabda, “Barang siapa merendahkan dirinya karena Allah, maka Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim).8

·                     Sabar dan Syukur: Dua sayap ruhani yang saling melengkapi. Al-Muhasibi dalam al-Ri'āyah menjelaskan bahwa sabar menghadapi ujian dan syukur atas nikmat adalah cermin kematangan jiwa.9

·                     Ridha: Menerima segala ketentuan Allah dengan lapang dada, sebagaimana dijelaskan dalam QS. At-Taubah [09] ayat 59.

·                     Mahabbah (cinta Ilahi): Akhlak ruhani tertinggi dalam tahalli. Ibn Qayyim menyatakan bahwa mahabbah menjadi motor utama dalam seluruh tahapan suluk.10

Dalam implementasinya, tahalli tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga harus menjadi amal praktis dalam kehidupan sehari-hari. Akhlak mulia yang ditanamkan melalui tahalli akan mewarnai sikap, tindakan, dan relasi sosial seorang sālik. Inilah yang menjadikan tasawuf tidak hanya sebagai proses spiritual individual, tetapi juga berdampak sosial secara luas.

5.3.       Metodologi Tahalli menurut Ulama Sufi

Ulama seperti al-Qusyairi dan al-Ghazali menggarisbawahi pentingnya mujahadah (perjuangan batin) dalam tahalli. Sifat-sifat mulia tidak bisa tumbuh secara instan, tetapi perlu dilatih secara terus-menerus. Al-Ghazali menggunakan istilah riyāḍah al-nafs (latihan jiwa) dalam proses ini, dengan pendekatan berikut:

·                     Latihan konsisten (istiqamah) dalam amal-amal seperti dzikir, qiyamullail, infak.

·                     Meneladani Nabi dan para salihin dalam perilaku dan tutur kata.

·                     Menghindari faktor-faktor eksternal yang dapat memicu kembalinya sifat-sifat tercela.

Dengan demikian, tahalli adalah manifestasi kecintaan sejati kepada Allah dan bentuk penyempurnaan jati diri seorang salik. Ia menjadi pilar penting dalam mendaki maqam-maqam ruhani dan menjadi jalan menuju pencapaian tertinggi: tajalli dan ma’rifatullah.


Footnotes

[1]                Ahmad Farid, Min Ma’alim al-‘Ibadah fi al-Islam (Kairo: Dar al-Manar, 2004), 138.

[2]                Martin Lings, What is Sufism? (Cambridge: Islamic Texts Society, 1999), 58.

[3]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid III (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 2005), 22–24.

[4]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), QS. Al-Qalam: 4.

[5]                Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Kabir, Juz XXX (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 2001), 142–143.

[6]                Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, Hadis no. 8729.

[7]                Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid III, 42.

[8]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Birr wa al-Silah, Hadis no. 2588.

[9]                Harith al-Muhasibi, al-Ri'ayah li Huquq Allah, ed. Abd al-Fattah Abu Ghuddah (Beirut: Maktabah al-Matbu’at al-Islamiyyah, 1994), 101–102.

[10]             Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Salikin, Jilid III (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), 12.


6.           Tajalli: Manifestasi Cahaya Ilahi dalam Hati

Dalam ranah tasawuf, puncak dari proses suluk (perjalanan ruhani) adalah tercapainya tajallī, yaitu manifestasi atau penampakan cahaya Ilahi dalam hati seorang salik. Tajalli berasal dari kata tajallā–yatajallā yang berarti “menampakkan diri dengan jelas”. Secara spiritual, tajalli merujuk pada pengalaman ruhani mendalam di mana seorang hamba menyaksikan kehadiran, keagungan, atau kemahacintaan Allah dalam dirinya, meskipun bukan dalam bentuk fisik atau material, melainkan dalam bentuk kesadaran batin yang luhur dan tak terdefinisikan.1

Konsep tajalli menjadi ciri khas pengalaman esoterik dalam tasawuf, sebagaimana dijelaskan oleh para sufi besar seperti Ibn ʿArabī, al-Harawī, dan al-Ghazālī. Ibn ʿArabī, dalam Futūḥāt al-Makkiyyah, menyatakan bahwa tajalli adalah proses di mana Allah memperkenalkan diri-Nya kepada hamba dalam berbagai bentuk tajalli af’al (perbuatan), sifat, dan zat, sesuai kapasitas spiritual hamba tersebut.2 Hal ini selaras dengan firman Allah dalam QS. Al-A’raf [07] ayat 143, ketika Nabi Musa a.s. meminta untuk melihat Allah, lalu Allah berfirman: “Kamu tidak akan sanggup melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap di tempatnya maka kamu akan dapat melihat-Ku.” Ketika Allah menampakkan diri (tajalla) kepada gunung itu, gunung hancur dan Nabi Musa pun jatuh pingsan.3

Menurut tafsir al-Rāzī dan al-Qurṭubī, ayat ini menunjukkan bahwa tajalli adalah manifestasi kebesaran Allah yang hanya dapat ditangkap oleh hati yang telah disucikan dan dipersiapkan secara spiritual, bukan oleh mata jasmani.4

6.1.       Tajalli dalam Perspektif Sufi Klasik

Para sufi membedakan beberapa tingkat tajalli:

1)                  Tajalli Af’al

Kesadaran terhadap kehendak dan perbuatan Allah dalam segala peristiwa dunia. Salik menyaksikan bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari kehendak-Nya. Ini sesuai dengan maqam tawakal dan ridha.

2)                  Tajalli Sifat

Hati mulai menyaksikan sifat-sifat Allah yang Maha Pengasih, Maha Bijaksana, dan seterusnya, dalam penciptaan. Ini menumbuhkan mahabbah dan fanā’ (lebur dalam sifat Allah).

3)                  Tajalli Dzat

Puncak tajalli, yakni kesadaran murni akan kehadiran Allah tanpa perantara makhluk. Ini bukan penglihatan fisik, tetapi pengalaman ruhani yang dalam istilah Ibn ‘Arabī disebut sebagai “syuhūd al-haqq” (penyaksian hakikat).5

Tajalli bukanlah sesuatu yang dicapai secara mekanis, tetapi buah dari perjalanan panjang takhalli dan tahalli, serta maqamat yang dijalani secara istiqamah. Seorang hamba tidak bisa “mengusahakan” tajalli secara langsung, namun ia dapat menyiapkan dirinya agar layak menerima cahaya-Nya.

6.2.       Tajalli dan Fanā’

Pengalaman tajalli seringkali berujung pada keadaan fanā’—lebur dalam kehadiran Allah—di mana ego dan identitas duniawi sirna. Dalam kondisi ini, seorang sufi merasa seolah-olah tidak ada yang nyata selain Allah (lā mawjūda illā Allāh). Namun, para sufi Sunni menekankan bahwa fanā’ bukan berarti bersatu secara zat dengan Tuhan (ittihād), melainkan kesadaran total akan kehambaan dan keagungan Allah.6

Al-Qusyairi menekankan bahwa tajalli sejati tidak menyebabkan seorang sufi kehilangan akal atau syariat, tetapi justru membuatnya semakin tunduk, penuh adab, dan takut kepada Allah, sebagaimana para Nabi yang sangat dekat dengan Allah tetapi tetap menjadi hamba sejati.7

6.3.       Kesiapan Spiritual untuk Tajalli

Agar hati mampu menerima tajalli, para sufi menekankan beberapa syarat utama:

·                     Kebersihan hati dari segala kotoran (takhalli).

·                     Terhiasnya hati dengan akhlak mulia (tahalli).

·                     Konsistensi dalam dzikir, tafakkur, dan ibadah malam.

·                     Menjaga pandangan, ucapan, dan makanan dari yang haram.

Dalam pandangan al-Ghazālī, tajalli akan terjadi secara alami pada jiwa yang telah mencapai kondisi tuma’ninah (ketenangan batin), karena cahaya Allah tidak akan hadir di hati yang gelap oleh dosa dan lalai.8

6.4.       Implikasi Tajalli dalam Kehidupan Ruhani

Tajalli bukanlah tujuan akhir dalam dirinya, tetapi indikator bahwa seorang hamba telah mendekat kepada Allah secara hakiki. Pengalaman tajalli yang otentik akan membuat seseorang:

·                     Lebih tawadhu’ dan tidak mengklaim maqam tertentu.

·                     Lebih peka terhadap kehadiran Allah dalam setiap peristiwa hidup.

·                     Menjadi agen kebaikan dan rahmat di tengah masyarakat, sebagaimana Nabi saw.


Footnotes

[1]                Javad Nurbakhsh, Sufism: Meaning, Knowledge and Unity (New York: Khaniqahi-Nimatullahi Publications, 1992), 77.

[2]                Ibn ‘Arabi, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. Osman Yahya (Beirut: Dar Ṣadir, 1999), Juz 3, 25–27.

[3]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), QS. Al-A’raf: 143.

[4]                Fakhruddin al-Rāzī, Tafsir al-Kabir, Juz IX (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 2001), 185; Abu ʿAbdillah al-Qurṭubī, al-Jamiʿ li Ahkam al-Qur’an, Juz VII (Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1967), 205–207.

[5]                William Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 143–145.

[6]                Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short History (Leiden: Brill, 2000), 121.

[7]                Abdul Karim al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 144.

[8]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid IV (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 2005), 67–70.


7.           Hubungan Antara Takhalli, Tahalli, dan Tajalli dalam Praktik Suluk

Dalam tradisi tasawuf klasik, tahapan takhallī, tahallī, dan tajallī merupakan tiga pilar utama dalam proses suluk (perjalanan spiritual) yang membentuk kerangka kerja transformasi ruhani seorang sālik. Ketiganya saling berkaitan erat dan membentuk urutan logis serta psikologis yang menggambarkan dinamika pembersihan, pengisian, dan pencahayaan jiwa. Takhalli berfungsi sebagai pembersihan wadah, tahalli sebagai pengisian wadah dengan akhlak mulia, dan tajalli sebagai manifestasi cahaya Ilahi dalam wadah yang telah bersih dan layak menerimanya.1

Imam al-Ghazālī menggambarkan hubungan ini sebagai tahapan internalisasi spiritual yang saling melengkapi dan tidak bisa dipisahkan. Menurutnya, seseorang tidak dapat mencapai kehadiran Ilahi (tajalli) jika hati masih dipenuhi dengan penyakit ruhani (tidak melakukan takhalli), dan tidak pula layak menerima cahaya tersebut jika tidak berhias dengan sifat-sifat yang disukai Allah (tahalli).2

7.1.       Urutan Hierarkis dan Fungsional

Ketiga konsep ini membentuk urutan hierarkis dalam suluk, sebagaimana dijelaskan oleh banyak ulama sufi:

1)                  Takhalli: Mengosongkan jiwa dari sifat-sifat tercela seperti riya’, ujub, hasad, dan takabbur.

2)                  Tahalli: Mengisi jiwa dengan akhlak mulia seperti ikhlas, tawadhu’, sabar, dan syukur.

3)                  Tajalli: Menyaksikan pancaran cahaya ilahi dalam hati yang telah siap secara spiritual.

Hubungan ini digambarkan dengan sangat apik oleh Ibn ʿAjībah dalam Iqāẓ al-Himam, di mana ia menyatakan bahwa: “Takhalli adalah syarat bagi tahalli, dan tahalli adalah sarana bagi tajalli.”3

7.2.       Dimensi Psikologis dan Teologis

Secara psikologis, takhalli berfungsi sebagai dekonstruksi ego dan penundukan nafsu yang menjadi sumber tirai antara hamba dan Tuhan. Setelah jiwa bersih dari egoisme dan hawa nafsu, proses tahalli bertindak sebagai rekonstruksi batiniah, mengarahkan karakter untuk selaras dengan sifat-sifat Ilahiah (asma’ al-husna) yang dapat diteladani oleh manusia. Inilah yang dalam filsafat Islam dikenal dengan istilah ta’alluq bi sifatillah (keterkaitan spiritual dengan sifat-sifat Allah).4

Secara teologis, tajalli bukanlah hasil dari usaha manusia semata, melainkan anugerah (fayḍ) dari Allah kepada hamba yang telah melalui proses tazkiyah (penyucian diri) secara total. Maka, tajalli tidak bisa dicapai tanpa takhalli dan tahalli, karena hati yang kotor atau kosong dari nilai tidak akan mampu memantulkan cahaya Ilahi, sebagaimana cermin yang buram tidak dapat memantulkan cahaya matahari.5

7.3.       Peran Suluk dan Tarekat

Dalam praktik tarekat sufi, ketiga proses ini dijalani dalam bimbingan seorang murshid (pembimbing spiritual). Proses takhalli biasanya dilakukan melalui latihan-latihan seperti riyāḍah al-nafs, khalwat, dzikir, dan mujāhadah. Tahalli ditanamkan melalui pembiasaan akhlak positif, sedangkan tajalli biasanya hadir dalam bentuk pengalaman ruhani yang mendalam dalam dzikir dan kontemplasi.

Al-Harawī, dalam Manāzil al-Sā’irīn, menekankan bahwa suluk tidak sekadar metode spiritual, melainkan juga pendidikan karakter dan emosi yang memungkinkan manusia sampai kepada puncak kemanusiaan sejatinya—yakni menjadi hamba yang sadar total akan Tuhan.6

7.4.       Konsekuensi Etis dan Sosial

Yang menarik dari hubungan ini adalah implikasi etis dan sosialnya. Takhalli dan tahalli menumbuhkan sikap etis yang kuat, seperti empati, pengendalian diri, kejujuran, dan keteguhan iman. Sedangkan tajalli, bila dipahami dan dijalani secara benar, tidak menjadikan seseorang merasa lebih suci, tetapi justru lebih tunduk, rendah hati, dan terbuka kepada sesama.

Ulama tasawuf seperti Abu Madyan menegaskan bahwa tajalli yang benar tidak membawa pada kebanggaan spiritual, tetapi pada kehinaan yang agung di hadapan-Nya.7 Dengan demikian, ketiganya membentuk kesatuan sistem transformasi ruhani yang menyatu dalam jalan suluk menuju Allah.


Footnotes

[1]                Ahmad Zarruq, Qawāʿid al-Taṣawwuf, ed. Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Fikr, 1979), 31.

[2]                Abu Hamid al-Ghazali, Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn, Jilid III (Beirut: Dar al-Maʿrifah, 2005), 22–24.

[3]                Ibn ʿAjibah, Iqāẓ al-Himam fī Sharḥ al-Ḥikam, ed. M. al-Saghir al-Ifrani (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), 88.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 101–102.

[5]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 215.

[6]                Abdullah Ansari al-Harawi, Manāzil al-Sā’irīn, ed. Sulayman Dunya (Kairo: Dar al-Maʿarif, 1973), 55–57.

[7]                Vincent J. Cornell, Realm of the Saint: Power and Authority in Moroccan Sufism (Austin: University of Texas Press, 1998), 112.


8.           Penutup

Tasawuf dalam tradisi Islam klasik bukan sekadar pendekatan spiritual yang bersifat personal atau mistis, melainkan sebuah sistem integratif yang menggabungkan dimensi etika, teologis, dan psikologis dalam rangka menyempurnakan kehidupan seorang mukmin. Dalam kerangka ini, tahapan maqāmāt, serta prinsip takhallī, taḥallī, dan tajallī, berperan sebagai peta ruhani yang sistematis dan terstruktur, membimbing seorang sālik dalam menapaki jalan menuju kedekatan hakiki dengan Allah Swt.

Sebagaimana ditegaskan oleh al-Qusyairi dan al-Ghazali, penyucian jiwa adalah pra-syarat mutlak untuk mendekat kepada Allah. Proses takhalli berperan sebagai pintu masuk yang membuka ruang hati dari segala kegelapan nafsu dan penyakit batin. Tahalli kemudian menghiasi hati yang bersih tersebut dengan akhlak-akhlak mulia yang sesuai dengan nilai-nilai Ilahiah. Puncaknya, dalam suasana batin yang bersih dan terhias, seorang hamba berpotensi mengalami tajalli, yaitu manifestasi cahaya dan kehadiran Tuhan dalam relung jiwanya, yang menandai keberhasilan spiritual paling tinggi.1

Secara praktis, tahapan-tahapan ini memiliki implikasi transformasional yang nyata. Bukan hanya dalam hubungan vertikal seorang hamba dengan Tuhannya, tetapi juga dalam relasi horizontalnya dengan sesama manusia dan lingkungan. Seorang salik sejati adalah pribadi yang santun, empatik, rendah hati, jujur, serta menjauhi sikap angkuh dan riya’. Inilah bukti bahwa tasawuf bukanlah eskapisme dari realitas, melainkan sarana pembentukan karakter dan peradaban ruhani yang luhur.2

Dalam konteks kehidupan modern yang penuh dengan kegelisahan spiritual dan degradasi moral, tasawuf—dengan pendekatannya yang humanistik dan transendental—menawarkan solusi etis dan spiritual yang sangat relevan. Upaya menghidupkan kembali semangat suluk dan maqamat dalam kehidupan sehari-hari bukan saja akan memperbaiki kualitas individu Muslim, tetapi juga akan menciptakan masyarakat yang lebih damai, bersih, dan berkeadaban.

Namun demikian, penting untuk diingat bahwa jalan tasawuf memerlukan bimbingan yang benar, niat yang tulus, serta disiplin yang tinggi. Ia bukan jalan pintas menuju makrifat, melainkan jalan panjang yang menuntut ketekunan dan kesabaran. Seperti yang dikatakan oleh Ibn ʿAṭāʾillah dalam al-Ḥikam, “Janganlah kamu merasa bahwa kau yang mendatangkan tajalli; sebab tajalli itu adalah karunia dari Allah kepada mereka yang telah membersihkan jalannya.”_3

Dengan demikian, memahami dan mengamalkan tahapan takhalli, tahalli, dan tajalli tidak hanya menjadi sarana penyempurnaan diri, tetapi juga menjadi jembatan ruhani menuju kedekatan dan cinta Ilahi yang sejati. Inilah hakikat dari tasawuf sebagaimana yang diajarkan oleh para ulama klasik: sebuah jalan ruhani yang membebaskan jiwa dari belenggu dunia, dan mengantarkannya menuju cahaya Tuhan.


Footnotes

[1]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid III (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 2005), 24–26; Abdul Karim al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 131–133.

[2]                Vincent J. Cornell, Realm of the Saint: Power and Authority in Moroccan Sufism (Austin: University of Texas Press, 1998), 141.

[3]                Ibn ʿAṭāʾillah al-Iskandari, al-Ḥikam al-ʿAṭāʾiyyah, ed. M. Fathy ʿUthman (Kairo: Dar al-Salam, 2001), Hikmah no. 160.


Daftar Pustaka

Ahmad, F. (2004). Min ma‘ālim al-‘ibādah fī al-Islām. Kairo: Dār al-Manār.

al-Bukhārī, M. ibn I. (n.d.). Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Beirut: Dār Ṭawq al-Najāh.

al-Ghazālī, A. H. (2005). Iḥyā’ ‘ulūm al-dīn (Jilid I–IV). Beirut: Dār al-Ma‘rifah.

al-Ḥarawī, A. A. (1973). Manāzil al-sā’irīn (ed. Sulayman Dunya). Kairo: Dār al-Ma‘ārif.

al-Kalābādhī, A. B. (1933). al-Ta‘arruf li madhhab ahl al-taṣawwuf (ed. A. J. Arberry). Cairo: al-Maktabah al-Tijariyyah.

al-Muḥāsibī, H. (1994). al-Ri‘āyah li ḥuqūq Allāh (ed. A. F. Abū Ghuddah). Beirut: Maktabah al-Maṭbū‘āt al-Islāmiyyah.

al-Qarāḍāwī, Y. (2005). al-Taṣawwuf: Madkhal wa mawsū‘ah. Beirut: Dār al-Shurūq.

al-Qurṭubī, A. A. (1967). al-Jāmi‘ li aḥkām al-Qur’ān (Juz VII & XX). Kairo: Dār al-Kutub al-Miṣriyyah.

al-Qushayrī, A. K. (2002). al-Risālah al-Qushayriyyah. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

al-Rāzī, F. (2001). Tafsīr al-kabīr. Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī.

al-Zarrūq, A. (1979). Qawā‘id al-taṣawwuf (ed. A. H. Maḥmūd). Kairo: Dār al-Fikr.

‘Aṭā’illah al-Iskandarī, I. (2001). al-Ḥikam al-‘Aṭā’iyyah (ed. M. F. ‘Uthmān). Kairo: Dār al-Salām.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of knowledge: Ibn al-‘Arabī’s metaphysics of imagination. Albany, NY: State University of New York Press.

Cornell, V. J. (1998). Realm of the saint: Power and authority in Moroccan Sufism. Austin, TX: University of Texas Press.

Departemen Agama Republik Indonesia. (2019). Al-Qur’an dan terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.

Ernst, C. W. (1997). The Shambhala guide to Sufism. Boston, MA: Shambhala.

Ibn ‘Ajībah, A. (2008). Iqāẓ al-himam fī sharḥ al-ḥikam (ed. M. al-Ṣaghīr al-Ifrānī). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (1996). Madārij al-sālikīn (Jilid III). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibn Rajab al-Ḥanbalī. (2001). Jāmi‘ al-‘ulūm wa al-ḥikam. Beirut: Mu’assasah al-Risālah.

Ibn ‘Arabī, M. (1999). al-Futūḥāt al-Makkiyyah (ed. O. Yahya). Beirut: Dār Ṣādir.

Knysh, A. (2000). Islamic mysticism: A short history. Leiden: Brill.

Lings, M. (1999). What is Sufism? Cambridge: Islamic Texts Society.

Muslim ibn al-Ḥajjāj. (n.d.). Ṣaḥīḥ Muslim. Beirut: Dār Ihyā’ al-Turāth al-‘Arabī.

Nurbakhsh, J. (1992). Sufism: Meaning, knowledge and unity. New York, NY: Khaniqahi-Nimatullahi Publications.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. Albany, NY: State University of New York Press.

Sarraj, A. N. (1914). al-Luma‘ fī al-taṣawwuf (ed. R. A. Nicholson). Leiden: Brill.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar