Minggu, 06 April 2025

Ma’rifat dalam Tasawuf: Hakikat Pengetahuan Tertinggi dalam Hubungan Hamba dengan Allah

Ma’rifat dalam Tasawuf

Hakikat Pengetahuan Tertinggi dalam Hubungan Hamba dengan Allah


Alihkan ke: Ilmu Tawawuf.


Abstrak

Artikel ini mengkaji konsep hakikat dalam tasawuf Islam sebagai salah satu tahapan penting dalam perjalanan spiritual seorang Muslim menuju kedekatan dengan Allah Swt. Melalui pendekatan deskriptif-kualitatif yang berbasis pada kajian literatur klasik dan kontemporer, artikel ini mengurai pengertian hakikat dari segi etimologis, terminologis, serta posisi dan hubungannya dengan syari’at dan thariqat. Pembahasan juga mencakup landasan hakikat dalam Al-Qur’an dan Hadis, pandangan para ulama sufi klasik seperti Imam Al-Ghazali, Al-Qusyairi, dan Junaid al-Baghdadi, serta ciri-ciri orang yang mencapai maqam hakikat. Di samping itu, artikel ini menyoroti sejumlah kontroversi terkait penyimpangan pemahaman terhadap hakikat dan pelurusannya dalam tradisi Ahlus Sunnah wal Jamaah. Hasil kajian menunjukkan bahwa hakikat bukanlah bentuk pelepasan dari syari’at, melainkan puncak dari penghayatan batin terhadap ajaran agama. Integrasi antara syari’at, thariqat, dan hakikat menjadi kunci keseimbangan spiritual yang otentik dalam Islam.

Kata Kunci: Tasawuf, hakikat, syari’at, thariqat, spiritualitas Islam, ulama sufi klasik, Ahlus Sunnah wal Jamaah.


PEMBAHASAN

Ma’rifat dalam Tasawuf Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Tasawuf merupakan salah satu dimensi penting dalam khazanah keilmuan Islam yang menekankan pada aspek penyucian jiwa dan pendekatan spiritual kepada Allah Swt. Dalam perjalanan spiritual seorang Muslim, dikenal empat tahapan yang menjadi pilar fundamental dalam disiplin tasawuf, yaitu Syari’at, Thariqat, Hakikat, dan Ma’rifat. Keempatnya bukanlah entitas yang saling terpisah, melainkan membentuk suatu kesinambungan proses menuju kedekatan hakiki dengan Sang Khalik.¹

Tahapan Syari’at merupakan fondasi awal yang berorientasi pada pelaksanaan hukum-hukum lahiriah, seperti ibadah, muamalah, dan akhlak sesuai tuntunan syariat Islam. Setelah itu, seorang salik (penempuh jalan spiritual) akan menapaki Thariqat, yakni metode atau jalan tertentu yang digunakan untuk menyucikan jiwa melalui bimbingan seorang mursyid. Dari sini, barulah seseorang dapat mencapai Hakikat, yaitu penyaksian batin terhadap kebenaran sejati yang bersumber dari Allah. Puncaknya adalah Ma’rifat, yakni pengenalan mendalam terhadap Allah yang dilandasi oleh cinta, kesadaran, dan ketiadaan ego.²

Dalam tradisi tasawuf klasik, pembahasan tentang tahapan ini banyak dijumpai dalam karya-karya besar seperti Ihya’ Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali dan Risalah al-Qusyairiyah karya Abu Qasim Al-Qusyairi. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa perjalanan spiritual harus dimulai dari disiplin lahiriah (syari’at), lalu ditingkatkan dengan latihan ruhani (thariqat), hingga akhirnya ruh memperoleh pemahaman yang mendalam dan intuitif terhadap realitas (hakikat).³ Sementara itu, Al-Qusyairi menekankan bahwa hakikat bukanlah sekadar pengetahuan teoretis, melainkan pengalaman eksistensial yang hanya bisa diraih melalui mujahadah (perjuangan jiwa) dan suluk yang konsisten.⁴

Hakikat menjadi inti dari tasawuf karena berkaitan langsung dengan realitas terdalam manusia dan hubungan spiritualnya dengan Allah. Dalam pandangan para sufi, hakikat adalah kebenaran batin yang terungkap setelah hijab (penghalang) duniawi tersingkap.⁵ Oleh sebab itu, pemahaman terhadap hakikat bukan hanya menjadi kebutuhan spiritual individual, tetapi juga membuka cakrawala umat Islam terhadap kedalaman ajaran agama yang melampaui aspek legal-formal.⁶

Melalui artikel ini, penulis akan menguraikan secara sistematis konsep Hakikat dalam tasawuf Islam dengan mengacu pada sumber-sumber klasik dan kontemporer yang kredibel. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang utuh, baik dari sisi historis, konseptual, maupun aplikatif terhadap salah satu pilar utama dalam dunia tasawuf tersebut.


Footnotes

[1]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 3–5.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 15–17.

[3]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, vol. 4 (Beirut: Dar al-Fikr, n.d.), 201–205.

[4]                Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, ed. Abdul Halim Mahmud (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 88–93.

[5]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 42–44.

[6]                Nasr Abu Zayd, Ima’ al-Isharat: Hermeneutika dan Tafsir Tasawuf (Yogyakarta: LKiS, 2002), 101–103.


2.           Pengertian Hakikat

2.1.       Definisi Etimologis dan Terminologis

Secara etimologis, kata “hakikat” berasal dari bahasa Arab al-ḥaqīqah (الْحَقِيقَة), turunan dari akar kata ḥaqqa–yaḥiqqu (حقّيحقّ) yang bermakna benar, nyata, tetap, atau pasti.¹ Dalam bahasa Arab klasik, hakikat menunjuk pada sesuatu yang esensial dan tetap, berbeda dari bentuk-bentuk lahiriah yang bersifat relatif dan berubah-ubah.² Oleh karena itu, para sufi memahami hakikat sebagai realitas terdalam dari segala sesuatu, yang hanya dapat diketahui melalui pencerahan batin dan penyucian jiwa.

Secara terminologis dalam tradisi tasawuf, hakikat merujuk pada tingkatan spiritual di mana seorang salik (penempuh jalan sufi) menyaksikan kebenaran sejati tentang Tuhan, alam, dan dirinya sendiri.³ Hakikat bukanlah sekadar pengetahuan intelektual (ma’lumat), melainkan syuhud (penyaksian batiniah) terhadap realitas ketuhanan yang tidak dapat dijangkau oleh akal semata. Dalam pandangan Imam Al-Ghazali, hakikat adalah pengetahuan yang diperoleh bukan melalui pembelajaran biasa, melainkan melalui pengalaman ruhani yang mendalam, sebagaimana pengetahuan yang dialami oleh para nabi dan wali.⁴

2.2.       Hakikat dalam Konteks Ilmu Tasawuf

Dalam hierarki tasawuf, hakikat berada pada posisi ketiga setelah syari’at dan thariqat, dan menjadi jembatan menuju tingkatan ma’rifat. Menurut Al-Qusyairi dalam Risalah al-Qusyairiyah, hakikat adalah rahasia yang dikaruniakan Allah kepada hati para hamba-Nya yang telah melewati proses mujahadah, riyadhah, dan fana’ (penghapusan ego).⁵ Oleh karena itu, orang yang mencapai hakikat disebut telah menyingkap tirai-tirai lahiriah dan menyentuh substansi batiniah kehidupan spiritual.

Konsep ini juga diperkuat oleh Imam Junaid al-Baghdadi yang menyatakan bahwa “Tasawuf adalah bahwa Allah mematikanmu dari dirimu dan menghidupkanmu dengan-Nya.”⁶ Pernyataan ini mengindikasikan bahwa hakikat melibatkan proses fana’ (lenyapnya kesadaran ego) dan baqa’ (kekal dalam kesadaran akan Allah), sehingga seorang sufi tidak lagi terikat oleh eksistensi duniawi, melainkan sepenuhnya terhubung dengan kebenaran ilahi.

Hakikat juga dapat dimaknai sebagai kebenaran terdalam dari amal-amal ibadah dan akhlak. Seseorang yang shalat, misalnya, tidak hanya melakukan gerakan dan bacaan lahiriah, tetapi dalam tingkat hakikat ia mengalami pertemuan batin dengan Tuhan melalui kekhusyukan yang sempurna.⁷ Inilah mengapa para sufi memandang bahwa hakikat adalah ruh dari syari’at dan thariqat; tanpa hakikat, ibadah hanya akan menjadi rutinitas formal tanpa kedalaman makna.

2.3.       Perbandingan dengan Pemahaman Intelektual

Berbeda dengan filsafat yang mengandalkan analisis logis dan spekulatif, tasawuf menekankan pengalaman eksistensial sebagai jalan menuju kebenaran.⁸ Dalam hal ini, hakikat menolak pendekatan rasional murni terhadap ketuhanan, karena hakikat Allah tidak bisa dijangkau oleh akal terbatas. Oleh sebab itu, menurut William C. Chittick, hakikat hanya bisa dicapai oleh hati yang telah dibersihkan dari syahwat duniawi dan dipenuhi cahaya ilahiyah.⁹

Dengan demikian, pengertian hakikat dalam tasawuf bukanlah konsep abstrak semata, melainkan realitas yang hadir dan dialami oleh hamba yang telah menyempurnakan perjalanannya melalui disiplin spiritual dan ketekunan ibadah. Hakikat menjadi bukti bahwa jalan menuju Tuhan bukan hanya melalui nalar, tetapi lebih dalam lagi melalui hati yang tercerahkan dan jiwa yang tunduk sepenuhnya kepada-Nya.


Footnotes

[1]                Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, ed. J. Milton Cowan (Urbana: Spoken Language Services, 1994), s.v. "ḥaqqa."

[2]                E.W. Lane, An Arabic-English Lexicon, Book I (London: Williams and Norgate, 1863), 614.

[3]                Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), 201.

[4]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, n.d.), 86.

[5]                Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, ed. Abdul Halim Mahmud (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 91.

[6]                Junaid al-Baghdadi, kutipan dalam Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 110.

[7]                Abu Hamid al-Ghazali, Mishkat al-Anwar (The Niche of Lights), trans. W.H.T. Gairdner (London: E.J.W. Gibb Memorial, 1924), 25–27.

[8]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 132.

[9]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 42.


3.           Landasan Hakikat dalam Al-Qur’an dan Hadis

Konsep hakikat dalam tasawuf tidak muncul dalam ruang hampa, melainkan memiliki akar yang kuat dalam ajaran Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad Saw. Meskipun istilah hakikat secara literal tidak disebutkan secara eksplisit dalam teks Al-Qur’an, namun nilai-nilai dan maknanya tersirat dalam banyak ayat yang menunjukkan kedalaman spiritual, penyaksian batin, dan kesadaran akan realitas ilahi.

3.1.       Al-Qur’an sebagai Sumber Inspirasi Hakikat

Salah satu ayat yang sering dirujuk oleh para sufi dalam menjelaskan pengalaman batin menuju hakikat adalah firman Allah dalam:

QS. Al-Hajj (22) ayat 46

أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ

"Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada."_¹

Ayat ini menjelaskan bahwa kebutaan hakiki bukanlah kebutaan inderawi, melainkan kebutaan spiritual. Tafsir klasik seperti Tafsir al-Qurthubi menegaskan bahwa hati yang tidak dapat memahami kebenaran merupakan bentuk penghalang terbesar dalam mengenal Allah.² Dalam konteks tasawuf, pengenalan ini bukan sekadar mengetahui, tetapi mengalami dan menyaksikan kebenaran ilahi dalam batin — inilah inti dari hakikat.

Ayat lain yang kerap dikaitkan dengan hakikat adalah:

QS. An-Nur (24) ayat 35

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ

"Allah adalah cahaya langit dan bumi."

نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ

"Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki."_³

Ayat ini secara simbolik menggambarkan proses spiritual pencapaian hakikat sebagai perjalanan menuju cahaya ilahi. Imam Al-Ghazali dalam Mishkat al-Anwar menafsirkan ayat ini sebagai proses pencerahan ruhani yang menyingkap realitas terdalam melalui nur (cahaya) ilahiah yang menyinari hati manusia.⁴

Selain itu, QS. Al-Baqarah (2) ayat 2 menyebut:

ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ

“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”

Menunjukkan bahwa hidayah dan kebenaran sejati hanya bisa diraih oleh orang yang bertakwa, yaitu mereka yang telah membersihkan diri lahir dan batin, dan berada di jalan hakikat.⁵

3.2.       Hadis-Hadis tentang Hakikat dan Dimensi Batin

Hadis yang paling mendasar dan sering dijadikan rujukan para sufi dalam menjelaskan hakikat adalah hadis tentang ihsan, yaitu:

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ، فَإِنَّهُ يَرَاكَ

"Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu." (HR. Muslim, No. 8)⁶

Hadis ini secara tegas menyiratkan konsep muraqabah (merasa diawasi Allah) dan musyahadah (penyaksian ruhani), yang merupakan dua pilar utama dalam pendekatan hakikat. Menurut Imam Nawawi, hadis ini menjelaskan derajat tertinggi dalam agama setelah Islam dan Iman, yaitu Ihsan — keadaan spiritual yang hanya bisa dicapai melalui penyucian jiwa secara mendalam.⁷

Selain itu, sabda Nabi Saw berikut juga memiliki makna batin yang dalam:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا إِلَى أَجْسَادِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim, No. 2564)⁸

Hadis ini menunjukkan pentingnya dimensi batin dan kesucian hati sebagai tolok ukur utama di sisi Allah. Dalam kajian tasawuf, ini menjadi dasar bahwa hakikat amal bukanlah bentuk luarnya, melainkan niat, ikhlas, dan kesadaran ruhani yang menyertainya.

3.3.       Integrasi antara Syari’at dan Hakikat dalam Dalil-Dalil

Dalam banyak tafsir dan syarah hadis, para ulama sufi menegaskan bahwa hakikat tidak berdiri sendiri, melainkan justru merupakan kedalaman dari syari’at itu sendiri. Tafsir Ibn ‘Ajibah, seorang sufi Maroko, membedakan antara tafsir “syari’at” (lahir) dan tafsir “ishari” (batin) dalam membaca Al-Qur’an. Ia menjelaskan bahwa Al-Qur’an memiliki banyak lapisan makna, dan hakikat adalah salah satu lapisan terdalam yang hanya bisa diakses oleh hati yang bersih.⁹

Dengan demikian, Al-Qur’an dan Hadis tidak hanya menjadi dasar hukum lahiriah, tetapi juga merupakan sumber utama untuk membimbing para pencari kebenaran menuju kesadaran hakiki akan keberadaan dan keesaan Allah. Konsep hakikat dalam tasawuf merupakan hasil dari tafsir yang mendalam dan pengalaman spiritual yang terinspirasi oleh firman dan sabda Rasulullah Saw.


Footnotes

[1]                Al-Qur’an, Surah Al-Hajj (22) ayat 46.

[2]                Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, vol. 12 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006), 105.

[3]                Al-Qur’an, Surah An-Nur (24) ayat 35.

[4]                Abu Hamid al-Ghazali, Mishkat al-Anwar, trans. W.H.T. Gairdner (London: E.J.W. Gibb Memorial, 1924), 39–41.

[5]                Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah (2) ayat 2.

[6]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Iman, Hadis No. 8.

[7]                Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2001), 157–159.

[8]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Birr, Hadis No. 2564.

[9]                Ahmad Ibn ‘Ajibah, Al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Qur’an al-Majid, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 22–23.


4.           Hakikat dalam Pandangan Ulama Tasawuf Klasik

Para ulama tasawuf klasik telah memberikan kontribusi penting dalam membentuk pemahaman mendalam tentang konsep hakikat. Dalam kerangka epistemologi Islam, mereka memandang hakikat sebagai tingkat spiritual yang hanya dapat dicapai melalui penyucian batin, perjuangan ruhani (mujahadah), dan pengalaman eksistensial yang melampaui batas-batas rasionalitas formal. Perspektif mereka tidak hanya mencerminkan kedalaman pengalaman pribadi, tetapi juga bersandar pada pemahaman yang komprehensif terhadap Al-Qur’an, Hadis, serta realitas batin manusia.

4.1.       Imam Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M)

Imam Al-Ghazali, dalam karya monumentalnya Ihya’ Ulumuddin, menjelaskan bahwa hakikat merupakan kebenaran terdalam yang hanya dapat diraih setelah menempuh jalan syari’at dan thariqat. Baginya, ilmu hakikat adalah ilmu laduni, yaitu pengetahuan yang diperoleh langsung dari Allah melalui penyucian hati dan penghilangan sifat-sifat tercela.¹ Ia membagi pengetahuan ke dalam tiga tingkatan: ‘ilm al-yaqin (ilmu yang bersifat teoritis), ‘ayn al-yaqin (penyaksian terhadap kebenaran), dan haqq al-yaqin (pengalaman langsung terhadap kebenaran). Hakikat, menurut Al-Ghazali, berada pada tingkatan haqq al-yaqin, yang melibatkan kehadiran batiniah secara penuh di hadapan Allah.²

Lebih lanjut dalam Mishkat al-Anwar, Al-Ghazali menggunakan metafora cahaya untuk menggambarkan perjalanan spiritual menuju hakikat. Cahaya ilahi yang memancar ke dalam hati seorang hamba yang suci akan membimbingnya pada pengenalan terhadap hakikat segala sesuatu, termasuk realitas dirinya dan Tuhan.³

4.2.       Abu Qasim Al-Qusyairi (w. 465 H/1072 M)

Dalam karyanya Risalah al-Qusyairiyah, Abu Qasim Al-Qusyairi menekankan bahwa hakikat adalah anugerah yang diberikan kepada hati yang telah melalui proses panjang penyucian dan riyadhah. Ia menjelaskan bahwa para ahli hakikat adalah mereka yang mampu menyeimbangkan antara aspek lahir (syari’at) dan aspek batin (thariqat), dan mencapai kondisi spiritual di mana mereka tidak hanya mengetahui kebenaran, tetapi hidup di dalamnya.⁴

Menurut Al-Qusyairi, tanda-tanda orang yang mencapai hakikat adalah keterputusan dari ketergantungan terhadap makhluk, kerendahan hati yang mendalam, serta kebeningan hati yang terus-menerus tertuju kepada Allah. Ia juga mengingatkan agar pemahaman tentang hakikat tidak menjauhkan seseorang dari syari’at, karena syari’at adalah jalan yang mengantar kepada hakikat.⁵

4.3.       Junaid al-Baghdadi (w. 298 H/910 M)

Junaid al-Baghdadi, yang dijuluki sebagai "Sayyid al-Taifah" dalam dunia tasawuf, dikenal dengan pandangannya yang moderat dan rasional. Ia menegaskan bahwa hakikat tidak dapat dipisahkan dari syari’at. Dalam salah satu pernyataannya yang masyhur, ia mengatakan:

طَرِيقُنَا هٰذَا مُقَيَّدٌ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، فَمَنْ لَمْ يَقْرَأِ الْقُرْآنَ، وَلَمْ يَكْتُبِ الْحَدِيثَ، لَا يُقْتَدَى بِهِ فِي هٰذَا الْأَمْرِ.

Jalan kami ini terikat dengan Kitab (Al-Qur'an) dan Sunnah. Barang siapa tidak membaca Al-Qur'an dan tidak menulis hadis, maka ia tidak dapat diikuti dalam perkara ini.”_⁶

Menurut Junaid, hakikat adalah kondisi fana’ (lenyapnya kesadaran ego diri) dan baqa’ (kekal dalam kehadiran Allah).⁷ Hakikat sejati bukanlah pelepasan dari tanggung jawab syari’at, tetapi penghayatan batin yang mendalam terhadap makna syari’at itu sendiri. Baginya, seorang salik yang telah mencapai hakikat justru semakin taat kepada hukum Allah karena ia telah merasakan kehadiran-Nya dalam setiap detik kehidupan.

4.4.       Ibn ‘Arabi (w. 638 H/1240 M)

Ibn ‘Arabi memperluas cakupan konsep hakikat ke dalam ranah metafisika Islam. Dalam karya Futuhat al-Makkiyah, ia memperkenalkan istilah "al-Haqiqah al-Muhammadiyyah" sebagai realitas tertinggi dari segala yang ada, dan menjadikan Rasulullah Saw sebagai manifestasi puncak hakikat tersebut.⁸ Bagi Ibn ‘Arabi, semua eksistensi adalah pancaran dari hakikat ilahi, dan orang yang telah sampai pada puncak kesadaran ini akan melihat seluruh alam sebagai tajalli (manifestasi) dari Asma’ dan Sifat Allah.⁹

Hakikat, dalam pandangannya, bukan hanya tentang pengenalan batin terhadap Tuhan, tetapi tentang kesadaran ontologis bahwa seluruh realitas berakar pada Yang Maha Esa. Meskipun pandangan Ibn ‘Arabi menuai kontroversi di kalangan fuqaha, pemikirannya tetap menjadi rujukan utama dalam studi tasawuf filsafat dan spiritualitas Islam hingga kini.¹⁰


Kesimpulan Sub-Bagian

Pandangan ulama-ulama tasawuf klasik menunjukkan bahwa hakikat bukanlah doktrin yang terpisah dari ajaran Islam yang sahih. Ia justru merupakan intisari dari perjalanan ruhani yang terpandu oleh syari’at. Para tokoh seperti Al-Ghazali, Al-Qusyairi, Junaid al-Baghdadi, dan Ibn ‘Arabi memberikan landasan teoritis dan praktis untuk memahami bahwa hakikat adalah hasil dari proses panjang penyucian jiwa, pencarian makna, dan penyaksian langsung terhadap kebenaran ilahi yang mendalam.


Footnotes

[1]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, n.d.), 86–89.

[2]                Ibid., 91.

[3]                Abu Hamid al-Ghazali, Mishkat al-Anwar, trans. W.H.T. Gairdner (London: E.J.W. Gibb Memorial, 1924), 39–45.

[4]                Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, ed. Abdul Halim Mahmud (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 88–93.

[5]                Ibid., 95–96.

[6]                Abu al-Qasim al-Qushayri, al-Risala al-Qushayriyya fi Ilm al-Tasawwuf, ed. Abd al-Halim Mahmud (Cairo: Dar al-Maarif, 1972), 67.

[7]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 109–111.

[8]                Ibn ‘Arabi, Al-Futuhat al-Makkiyyah, vol. 1 (Beirut: Dar Sadir, 1998), 204–210.

[9]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 90–92.

[10]             Alexander Knysh, Ibn ‘Arabi in the Later Islamic Tradition: The Making of a Polemical Image in Medieval Islam (Albany: SUNY Press, 1999), 45–47.


5.           Ciri dan Tanda Orang yang Mencapai Hakikat

Dalam perspektif tasawuf, pencapaian hakikat bukan sekadar keberhasilan intelektual, melainkan hasil dari penyempurnaan perjalanan ruhani yang melibatkan penyucian hati, kedalaman zikir, serta pemusatan jiwa kepada Allah Swt. Ulama tasawuf klasik menekankan bahwa orang yang mencapai hakikat bukanlah mereka yang hanya berbicara tentang kebenaran, melainkan mereka yang mengalami dan hidup di dalam kebenaran itu sendiri.¹

Berikut adalah beberapa ciri dan tanda yang disepakati oleh para sufi sebagai karakteristik orang yang telah mencapai derajat hakikat:

5.1.       Bersih dari Ketergantungan kepada Dunia

Salah satu tanda paling menonjol dari seorang yang telah mencapai hakikat adalah terlepasnya hati dari ketergantungan terhadap dunia (tajrid). Dunia tidak lagi menjadi tujuan, tetapi hanya sarana untuk mendekat kepada Allah.² Al-Qusyairi menjelaskan bahwa para ahli hakikat telah memutuskan ikatan-ikatan duniawi dan menggantinya dengan kesadaran penuh terhadap Allah dalam setiap aspek kehidupan.³

Imam Al-Ghazali menggambarkan kondisi ini sebagai zuhud hakiki, yaitu bukan sekadar meninggalkan dunia secara fisik, melainkan menyingkirkannya dari hati.⁴ Bahkan ketika mereka memiliki dunia, hati mereka tidak bergantung padanya.

5.2.       Senantiasa Menghadirkan Allah dalam Hati (Muraqabah dan Musyahadah)

Orang yang telah sampai pada hakikat selalu dalam keadaan muraqabah, yakni merasa diawasi oleh Allah dalam setiap keadaan. Lebih tinggi dari itu adalah musyahadah, yaitu menyaksikan kehadiran Allah secara batin, sehingga seluruh tindakannya menjadi bentuk ibadah murni.⁵

Hadis ihsan menjadi dasar utama prinsip ini:

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ،

"Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya..." (HR. Muslim)⁶

Menurut Imam Nawawi, inilah derajat tertinggi dalam agama, dan hanya dapat dicapai oleh mereka yang telah mengalami tajalli (penyingkapan ilahi) dalam batinnya.⁷

5.3.       Akhlak yang Lembut dan Hati yang Rendah

Ciri lain dari orang yang mencapai hakikat adalah kelembutan akhlaknya, kerendahan hatinya, dan kesabarannya dalam menghadapi makhluk. Mereka tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, melainkan dengan kasih sayang dan doa.⁸ Imam Junaid al-Baghdadi menyatakan:

عَلَامَةُ أَهْلِ الْحَقِيقَةِ أَنْ لَا يَحْسُدُوا مَنْ نَالَ، وَلَا يُبْغِضُوا مَنْ خَالَفَ، وَلَا يَفْتَخِرُوا عَلَى مَنْ عُمِلَ لَهُمْ بِهِ.

Tanda ahli hakikat adalah tidak mendengki orang yang memperoleh (karunia), tidak membenci orang yang menyelisihi (atau berdosa), dan tidak menyombongkan diri atas amal yang dilakukan untuk mereka.”_⁹

Orang yang telah menyaksikan hakikat tidak melihat dirinya lebih baik dari orang lain karena ia memahami hakikat kelemahan dirinya dan kebesaran Allah.

5.4.       Hilangnya Ego dan Kemauan Diri (Fana' dan Baqa')

Seorang yang mencapai hakikat telah mengalami fana’, yaitu lenyapnya kesadaran ego atau diri (nafs), dan digantikan dengan baqa’, yaitu kekekalan dalam kesadaran terhadap Allah.¹⁰ Dalam fase ini, kehendak diri sepenuhnya tunduk pada kehendak ilahi.

Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa orang yang telah fana’ tidak lagi melihat sesuatu selain Allah dalam eksistensi; seluruh realitas menjadi cermin dari kehadiran-Nya.¹¹

5.5.       Kesinambungan dalam Amal dan Kehidupan Sederhana

Orang yang telah mencapai hakikat dikenal dengan istiqamah dalam amal-amal lahir dan batin. Mereka tidak terjebak pada keistimewaan lahiriah, tetapi menjalani hidup dengan kesederhanaan, keteraturan, dan konsistensi dalam ibadah dan pelayanan kepada sesama.¹² Mereka senantiasa menjaga adab, bahkan terhadap orang-orang awam, karena menyadari bahwa segala sesuatu berasal dari dan kembali kepada Allah.

5.6.       Rahasia Amal dan Tidak Mencari Pengakuan

Ciri penting lainnya adalah tidak menampakkan amal dan tidak mencari pengakuan manusia. Mereka menyembunyikan amal sebagaimana seseorang menyembunyikan aib, karena tahu bahwa hanya Allah yang berhak menilai.¹³ Seperti kata Al-Fudhail ibn ‘Iyadh:

مَنْ عَرَفَ اللَّهَ سَتَرَ عَمَلَهُ كَمَا يَسْتُرُ ذَنْبَهُ

"Orang yang mengenal Allah akan menyembunyikan amalnya sebagaimana ia menyembunyikan dosanya."_¹⁴


Kesimpulan Sub-Bagian

Ciri-ciri orang yang mencapai hakikat lebih tampak dalam kehalusan batin dan kesempurnaan akhlak, bukan pada simbol-simbol lahiriah yang kasat mata. Mereka adalah hamba-hamba yang telah mengenal Allah bukan hanya dengan lisan dan akal, tetapi dengan hati dan penyaksian ruhani. Melalui proses panjang mujahadah dan bimbingan mursyid, mereka mencapai maqam spiritual yang membawa ketenangan, kasih, dan rahmat bagi lingkungan sekitarnya.


Footnotes

[1]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 106–108.

[2]                Harun Nasution, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: UI Press, 1999), 45.

[3]                Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, ed. Abdul Halim Mahmud (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 92.

[4]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, n.d.), 106–107.

[5]                Abu al-Qasim al-Qushayri, al-Risala al-Qushayriyya fi Ilm al-Tasawwuf, ed. Abd al-Halim Mahmud (Cairo: Dar al-Maarif, 1972), 89–90.

[6]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Iman, Hadis No. 8.

[7]                Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2001), 160.

[8]                Abu Hamid al-Ghazali, Bidayat al-Hidayah (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 112–114.

[9]                Cited in Al-Qusyairi, Risalah, 93.

[10]             Abu Nasr as-Sarraj, Kitab al-Luma’, ed. Reynold A. Nicholson (Leiden: Brill, 1914), 110–112.

[11]             William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 98.

[12]             Martin Lings, What is Sufism? (Cambridge: Islamic Texts Society, 1993), 65.

[13]             Sayyid Husein Nasr, The Garden of Truth (New York: HarperOne, 2007), 150–152.

[14]             Ibn Rajab al-Hanbali, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (Cairo: Maktabah al-Qudsi, 1980), 113.


6.           Perbedaan dan Hubungan Hakikat dengan Syari’at dan Thariqat

Dalam struktur spiritualitas Islam yang dikembangkan dalam tradisi tasawuf, terdapat tiga tahap utama sebelum mencapai ma’rifat, yaitu syari’at, thariqat, dan hakikat. Masing-masing memiliki dimensi, fungsi, dan pendekatan yang berbeda, namun ketiganya merupakan bagian dari satu kesatuan jalan menuju Allah Swt.¹ Ulama tasawuf menegaskan bahwa ketiga konsep ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling melengkapi, sebagaimana akar, batang, dan buah pada sebuah pohon.

6.1.       Syari’at: Landasan Lahiriah

Syari’at adalah dimensi lahiriah dari agama Islam yang mencakup hukum-hukum fikih, ibadah, dan akhlak. Ia menjadi fondasi utama dalam membangun hubungan vertikal dan horizontal seorang Muslim melalui aturan yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.² Dalam pandangan tasawuf, syari’at berperan sebagai pintu gerbang awal menuju pengenalan yang lebih dalam terhadap hakikat.³

Imam Al-Ghazali menekankan bahwa seseorang tidak dapat mencapai hakikat tanpa terlebih dahulu menegakkan syari’at dengan benar. Ia menyatakan bahwa syari’at adalah jalan keselamatan dan pembimbing yang menerangi jalan ruhani menuju kedekatan dengan Allah.⁴

6.2.       Thariqat: Jalan Penyucian Jiwa

Setelah menapaki syari’at, seorang salik (penempuh jalan spiritual) memasuki thariqat, yaitu metode atau jalan spiritual yang ditempuh dengan bimbingan seorang mursyid (guru ruhani). Thariqat merupakan bentuk latihan spiritual (riyadhah), zikir, mujahadah, dan suluk yang bertujuan untuk menyucikan jiwa dari sifat-sifat tercela.⁵

Al-Qusyairi dalam Risalah al-Qusyairiyah menggambarkan thariqat sebagai proses pembersihan batin agar hati dapat menjadi wadah bagi cahaya ilahi. Tanpa thariqat, seseorang hanya akan berhenti pada aspek formalitas agama tanpa menyentuh makna batinnya.⁶

6.3.       Hakikat: Inti dan Realitas Batin

Hakikat merupakan tahapan ketika seorang salik mencapai kesadaran ruhani yang dalam tentang keberadaan Allah dan rahasia penciptaan. Ia telah melampaui bentuk-bentuk dan simbol-simbol lahiriah, dan masuk ke dalam pengalaman batiniah yang penuh makrifat.⁷ Hakikat bukan berarti meninggalkan syari’at dan thariqat, tetapi merupakan buah dari pengamalan keduanya secara sempurna.

Menurut Junaid al-Baghdadi,

مَن فَتَحَ لَهُ طَرِيقُ الْحَقِيقَةِ وَلَمْ يُقَيِّدْ نَفْسَهُ بِقُيُودِ الشَّرِيعَةِ، فَهُوَ زِنْدِيقٌ.

"Barang siapa yang dibukakan baginya jalan hakikat namun tidak membatasi dirinya dengan syari’at, maka ia adalah seorang zindiq."_⁸

Dengan demikian, hakikat tidak pernah membenarkan pelepasan dari syari’at, namun justru memperdalam pemahaman dan penghayatan terhadapnya.

6.4.       Hubungan Simbolik: Akar, Batang, dan Buah

Dalam tradisi sufi, sering digunakan analogi pohon untuk menggambarkan keterkaitan antara ketiga unsur ini:

·                     Syari’at diibaratkan akar: menjadi dasar dan penopang seluruh bangunan spiritual.

·                     Thariqat adalah batang dan cabang: sarana untuk naik dan berkembang.

·                     Hakikat adalah buah: hasil akhir dari perjalanan ruhani yang matang dan menyeluruh.⁹

Tanpa akar, pohon akan roboh. Tanpa batang, buah tak akan tumbuh. Tanpa buah, pohon kehilangan tujuan. Oleh karena itu, integrasi ketiganya adalah mutlak dalam pencapaian spiritual yang sah dalam Islam.

6.5.       Bahaya Memisahkan Hakikat dari Syari’at

Dalam sejarahnya, beberapa kelompok ekstrem mengklaim telah mencapai hakikat dan karena itu merasa bebas dari kewajiban syari’at. Pendapat ini ditolak keras oleh para ulama sufi ortodoks. Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa pengabaian terhadap syari’at atas nama hakikat adalah bentuk penyimpangan yang membahayakan.¹⁰ Ia menegaskan bahwa hakikat sejati justru membawa seseorang kepada ketaatan lahir dan batin secara sempurna.

Demikian pula, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menyatakan:

الشَّرِيعَةُ أَمْرُ اللَّهِ، وَالطَّرِيقَةُ سَبِيلُهُ، وَالْحَقِيقَةُ مُشَاهَدَتُهُ، فَمَنْ فَرَّقَ بَيْنَهُنَّ فَقَدْ جَهِلَ اللَّهَ.

"Syari’at adalah perintah Allah, thariqat adalah jalan-Nya, dan hakikat adalah penyaksian terhadap-Nya. Maka siapa yang memisahkan salah satunya dari yang lain, sungguh ia belum mengenal Allah."_¹¹


Kesimpulan Sub-Bagian

Perbedaan antara syari’at, thariqat, dan hakikat terletak pada aspek dan fungsinya dalam membentuk kepribadian spiritual seorang Muslim. Namun, ketiganya adalah bagian dari satu jalan yang utuh menuju Allah. Syari’at menjadi dasar lahiriah, thariqat membentuk jalan batin, dan hakikat merupakan tujuan ruhani yang melampaui simbol-simbol, menuju keintiman dengan Sang Pencipta. Memisahkan atau menyepelekan salah satunya adalah bentuk ketidakseimbangan dalam perjalanan spiritual.


Footnotes

[1]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 106–110.

[2]                Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), 153.

[3]                Martin Lings, What is Sufism? (Cambridge: Islamic Texts Society, 1993), 37.

[4]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, n.d.), 12–13.

[5]                Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, ed. Abdul Halim Mahmud (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 77.

[6]                Ibid., 78–80.

[7]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 92–94.

[8]                Cited in Abu Nasr as-Sarraj, Kitab al-Luma’, ed. Reynold A. Nicholson (Leiden: Brill, 1914), 121.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism (New York: HarperOne, 2007), 56–57.

[10]             Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, vol. 4, 107.

[11]             Abdul Qadir al-Jilani, Futuh al-Ghaib (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1999), 54.


7.           Kontroversi dan Pelurusan Konsep Hakikat

Konsep hakikat dalam tasawuf merupakan tema yang sangat mendalam sekaligus kontroversial dalam diskursus pemikiran Islam. Di satu sisi, ia mencerminkan pencapaian spiritual tertinggi seorang salik; di sisi lain, pemahamannya yang abstrak sering kali disalahartikan hingga melahirkan pemikiran-pemikiran ekstrem yang menyimpang dari kerangka syari’at. Karena itulah, penting dilakukan pelurusan dan penegasan terhadap posisi hakikat yang benar dalam tradisi tasawuf otentik sebagaimana diajarkan para ulama besar.

7.1.       Kontroversi: Antara Eksklusivitas dan Penyelewengan

Sejak era klasik, sebagian kelompok sufi tertentu mengklaim telah mencapai maqam hakikat dan dengan alasan itu merasa tidak lagi terikat oleh hukum syari’at. Mereka beranggapan bahwa ketika seseorang telah "menyaksikan" Tuhan secara batin (musyahadah), maka ritual lahiriah tidak lagi diperlukan karena mereka telah berada dalam kehadiran ilahiah yang abadi.¹

Pandangan ini dikritik keras oleh ulama sufi ortodoks. Imam Al-Ghazali menyebut perilaku seperti ini sebagai bentuk ghurur (tipu daya spiritual) yang justru menjauhkan seseorang dari kedekatan sejati dengan Allah. Dalam Ihya’ Ulumuddin, ia menegaskan bahwa semakin tinggi maqam seorang salik, semakin besar pula rasa tunduknya terhadap syari’at.²

Fenomena serupa juga pernah terjadi dalam sejarah pemikiran Islam, seperti munculnya kelompok hululiyyah (penganut doktrin penyatuan mutlak antara manusia dan Tuhan) dan ittihadiyyah (penyatu absolut antara makhluk dan Khaliq), yang kemudian mendapat perlawanan dari para fuqaha dan ahli hadis.³ Meskipun beberapa tokoh seperti al-Hallaj dan Ibn ‘Arabi diperdebatkan, para ulama seperti Ibn Taymiyyah dan Al-Dzahabi membedakan antara puncak pengalaman batin yang otentik dan penyimpangan aqidah.⁴

7.2.       Pelurusan: Hakikat Tidak Menafikan Syari’at

Para ulama tasawuf klasik secara konsisten menegaskan bahwa hakikat yang benar tidak bertentangan dengan syari’at, melainkan memperdalam dan memperindah pengamalan syari’at. Menurut Imam Junaid al-Baghdadi, "Setiap jalan menuju hakikat yang tidak melintasi syari’at adalah kesesatan."_⁵ Pernyataan ini menegaskan bahwa pengalaman ruhani harus tetap berada dalam koridor wahyu dan sunnah.

Al-Qusyairi dalam Risalah al-Qusyairiyah menulis bahwa seorang sufi sejati justru menjadi pelaksana syari’at paling konsisten, karena ia merasakan makna terdalam dari setiap amal lahir.⁶ Kesalehan batin tidak menghapus kewajiban syari’at, melainkan menyempurnakannya.

Bahkan Ibn ‘Arabi, yang sering dianggap kontroversial, menyatakan bahwa tahapan hakikat tidak menghapus dimensi syari’at. Dalam Futuhat al-Makkiyah, ia menulis bahwa syari’at adalah bentuk yang harus dijaga oleh semua tingkatan spiritual agar tidak terjerumus dalam waham (delusi mistis).⁷

7.3.       Kritik dan Klarifikasi dari Ulama Non-Sufi

Ulama kalangan non-sufi pun memberikan kontribusi terhadap pelurusan konsep hakikat. Ibn Taymiyyah, meskipun dikenal sebagai pengkritik tasawuf falsafi, tetap menghargai tasawuf yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Majmu’ al-Fatawa, ia menyatakan bahwa hakikat yang ditempuh melalui mujahadah dan muraqabah bisa benar selama tidak bertentangan dengan syari’at.⁸

Sementara itu, ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qaradawi dan Wahbah al-Zuhaili juga mendukung pengembangan tasawuf yang berintegrasi dengan fikih dan akidah, sambil menolak segala bentuk ekstremisme dalam penghayatan hakikat yang mengarah pada bid’ah atau ilhad (penyimpangan).⁹

7.4.       Kesadaran Kontekstual: Tasawuf di Era Modern

Dalam konteks masyarakat modern, kesalahpahaman terhadap hakikat dapat terjadi akibat minimnya pendidikan spiritual yang seimbang antara teks dan pengalaman. Oleh karena itu, penting bagi para pendidik dan pembina ruhani untuk menekankan integrasi antara syari’at, thariqat, dan hakikat, serta menyadarkan bahwa hakikat bukanlah "izin bebas" dari syari’at, melainkan buah dari kesetiaan terhadap syari’at yang dihayati secara mendalam.¹⁰


Kesimpulan Sub-Bagian

Konsep hakikat adalah mutiara dalam samudra tasawuf, tetapi dapat menjadi batu sandungan bila disalahpahami. Penegasan para ulama klasik bahwa hakikat adalah kedalaman, bukan kebebasan dari hukum menjadi kunci dalam meluruskan pandangan keliru. Hakikat sejati justru melahirkan kesadaran spiritual yang lebih tinggi terhadap kewajiban syari’at, bukan pelepasan darinya. Dalam tradisi Ahlus Sunnah wal Jamaah, tidak ada pencapaian ruhani yang sah tanpa tunduk kepada ketentuan syari’at.


Footnotes

[1]                Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short History (Leiden: Brill, 2000), 87–89.

[2]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, vol. 4 (Beirut: Dar al-Fikr, n.d.), 111–113.

[3]                Louis Massignon, The Passion of al-Hallaj, trans. Herbert Mason (Princeton: Princeton University Press, 1982), 119–121.

[4]                Ibn Taymiyyah, Majmu’ al-Fatawa, vol. 11 (Riyadh: Dar al-Watan, 1995), 18–20.

[5]                Abu Nasr as-Sarraj, Kitab al-Luma’, ed. Reynold A. Nicholson (Leiden: Brill, 1914), 131.

[6]                Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, ed. Abdul Halim Mahmud (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 96–97.

[7]                Ibn ‘Arabi, Al-Futuhat al-Makkiyyah, vol. 2 (Beirut: Dar Sadir, 1998), 344.

[8]                Ibn Taymiyyah, Majmu’ al-Fatawa, vol. 10, 648.

[9]                Yusuf al-Qaradawi, al-Tasawuf baina al-Ifrath wa al-Tafrith (Kairo: Maktabah Wahbah, 1985), 57–60.

[10]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 146–148.


8.           Kesimpulan

Konsep hakikat dalam tasawuf merupakan salah satu fondasi terdalam dari spiritualitas Islam yang bersumber dari Al-Qur’an, Hadis, serta pengalaman ruhani para ulama dan tokoh sufi klasik. Sebagai tahap ketiga dalam struktur perjalanan spiritual setelah syari’at dan thariqat, hakikat bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan buah dari pengamalan syari’at dan thariqat secara konsisten dan mendalam

Dalam pandangan ulama sufi seperti Imam Al-Ghazali, Al-Qusyairi, dan Junaid al-Baghdadi, hakikat adalah pencapaian batiniah yang menjadikan seorang hamba mengenal realitas ilahi secara langsung melalui pengalaman spiritual yang bersih dari ego dan syahwat duniawi.² Tahapan ini dicirikan dengan penyaksian ruhani (musyahadah), keterputusan dari ketergantungan makhluk, serta kemantapan dalam muraqabah dan keikhlasan ibadah.³

Namun demikian, perjalanan menuju hakikat bukanlah jalan yang bebas nilai dan tanpa kendali. Ia harus senantiasa berpijak pada syari’at sebagai poros utama, dan tidak boleh menjadi alasan untuk melanggar batas-batas hukum Islam. Ulama-ulama seperti Ibn Taymiyyah, al-Qaradawi, dan Abdul Qadir al-Jailani menegaskan bahwa setiap maqam spiritual yang tidak dilandasi oleh syari’at adalah bentuk penyimpangan.⁴ Oleh karena itu, pengalaman hakikat harus dipahami dalam kerangka keseimbangan antara pengamalan lahiriah (syari’at), bimbingan ruhani (thariqat), dan penyaksian batin (hakikat).

Hakikat sejati melahirkan pribadi Muslim yang lebih rendah hati, ikhlas, konsisten dalam amal, dan lembut terhadap sesama. Ia bukan hanya menjadi penghayat kebenaran, tetapi juga pembawa cahaya kebenaran dalam lingkungan sosialnya.⁵ Dalam konteks kekinian, pemahaman yang benar terhadap hakikat menjadi penting untuk menghindari ekstremisme spiritual, sekaligus memperkaya pendekatan keislaman yang inklusif dan berakar kuat pada tradisi.

Dengan demikian, hakikat tidak boleh dipisahkan dari syari’at, dan syari’at akan menjadi lebih bermakna bila dijalani dengan semangat hakikat. Inilah sinergi antara bentuk dan makna, antara hukum dan cinta, antara ketaatan dan penyaksian, yang menjadi inti dari perjalanan spiritual Islam yang utuh dan menyeluruh.


Footnotes

[1]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 110–112.

[2]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, n.d.), 87–89; Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, ed. Abdul Halim Mahmud (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 88–93.

[3]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 95–96.

[4]                Ibn Taymiyyah, Majmu’ al-Fatawa, vol. 10 (Riyadh: Dar al-Watan, 1995), 648; Yusuf al-Qaradawi, al-Tasawuf baina al-Ifrath wa al-Tafrith (Kairo: Maktabah Wahbah, 1985), 60; Abdul Qadir al-Jilani, Futuh al-Ghaib (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1999), 54.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 152–153.


Daftar Pustaka

Abu Hamid al-Ghazali. (n.d.). Ihya’ Ulumuddin (Vol. 1–4). Beirut: Dar al-Fikr.

Abu Hamid al-Ghazali. (1924). Mishkat al-Anwar (The Niche of Lights) (W. H. T. Gairdner, Trans.). London: E.J.W. Gibb Memorial.

Abu Nasr as-Sarraj. (1914). Kitab al-Luma’ (R. A. Nicholson, Ed.). Leiden: Brill.

Al-Qaradawi, Y. (1985). Al-Tasawuf baina al-Ifrath wa al-Tafrith. Kairo: Maktabah Wahbah.

Al-Qusyairi, A. Q. (2002). Risalah al-Qusyairiyah (A. H. Mahmud, Ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Qushayri, A. Q. (1972). Al-Risala al-Qushayriyya fi Ilm al-Tasawwuf (A. H. Mahmud, Ed.). Cairo: Dar al-Ma’arif.

Al-Jilani, A. Q. (1999). Futuh al-Ghaib. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Al-Qurthubi, M. A. A. (2006). Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Vol. 12). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination. Albany: State University of New York Press.

Fazlur Rahman. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Hallaj, al-. (1982). The Passion of al-Hallaj (L. Massignon, Author; H. Mason, Trans.). Princeton: Princeton University Press.

Ibn ‘Ajibah, A. (2002). Al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Qur’an al-Majid (Vol. 1). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Ibn ‘Arabi, M. A. (1998). Al-Futuhat al-Makkiyyah (Vol. 1–2). Beirut: Dar Sadir.

Ibn Rajab al-Hanbali. (1980). Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam. Cairo: Maktabah al-Qudsi.

Ibn Taymiyyah. (1995). Majmu’ al-Fatawa (Vol. 10–11). Riyadh: Dar al-Watan.

Knysh, A. (1999). Ibn ‘Arabi in the Later Islamic Tradition: The Making of a Polemical Image in Medieval Islam. Albany: State University of New York Press.

Knysh, A. (2000). Islamic Mysticism: A Short History. Leiden: Brill.

Lane, E. W. (1863). An Arabic-English Lexicon (Book I). London: Williams and Norgate.

Lings, M. (1993). What is Sufism? Cambridge: Islamic Texts Society.

Massignon, L. (1982). The Passion of al-Hallaj (Vol. 1) (H. Mason, Trans.). Princeton: Princeton University Press.

Muslim ibn al-Hajjaj. (n.d.). Sahih Muslim. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Nasr, S. H. (2007). The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition. New York: HarperOne.

Nasution, H. (1995). Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan.

Nasution, H. (1999). Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: UI Press.

Schimmel, A. (1975). Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: University of North Carolina Press.

Wehr, H. (1994). A Dictionary of Modern Written Arabic (J. M. Cowan, Ed.). Urbana: Spoken Language Services.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar