Ma’rifat dalam Tasawuf
Hakikat Pengetahuan Tertinggi dalam Hubungan Hamba
dengan Allah
Alihkan ke: Ilmu Tawawuf.
Abstrak
Artikel ini mengkaji konsep hakikat dalam
tasawuf Islam sebagai salah satu tahapan penting dalam perjalanan spiritual seorang
Muslim menuju kedekatan dengan Allah Swt. Melalui pendekatan
deskriptif-kualitatif yang berbasis pada kajian literatur klasik dan
kontemporer, artikel ini mengurai pengertian hakikat dari segi etimologis,
terminologis, serta posisi dan hubungannya dengan syari’at dan thariqat.
Pembahasan juga mencakup landasan hakikat dalam Al-Qur’an dan Hadis, pandangan
para ulama sufi klasik seperti Imam Al-Ghazali, Al-Qusyairi, dan Junaid
al-Baghdadi, serta ciri-ciri orang yang mencapai maqam hakikat. Di samping itu,
artikel ini menyoroti sejumlah kontroversi terkait penyimpangan pemahaman
terhadap hakikat dan pelurusannya dalam tradisi Ahlus Sunnah wal Jamaah. Hasil
kajian menunjukkan bahwa hakikat bukanlah bentuk pelepasan dari syari’at,
melainkan puncak dari penghayatan batin terhadap ajaran agama. Integrasi antara
syari’at, thariqat, dan hakikat menjadi kunci keseimbangan spiritual yang
otentik dalam Islam.
Kata Kunci: Tasawuf, hakikat, syari’at, thariqat, spiritualitas
Islam, ulama sufi klasik, Ahlus Sunnah wal Jamaah.
PEMBAHASAN
Ma’rifat dalam Tasawuf Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Tasawuf merupakan
salah satu dimensi penting dalam khazanah keilmuan Islam yang menekankan pada
aspek penyucian jiwa dan pendekatan spiritual kepada Allah Swt. Dalam
perjalanan spiritual seorang Muslim, dikenal empat tahapan yang menjadi pilar
fundamental dalam disiplin tasawuf, yaitu Syari’at, Thariqat, Hakikat, dan Ma’rifat.
Keempatnya bukanlah entitas yang saling terpisah, melainkan membentuk suatu
kesinambungan proses menuju kedekatan hakiki dengan Sang Khalik.¹
Tahapan Syari’at
merupakan fondasi awal yang berorientasi pada pelaksanaan hukum-hukum lahiriah,
seperti ibadah, muamalah, dan akhlak sesuai tuntunan syariat Islam. Setelah
itu, seorang salik (penempuh jalan spiritual) akan menapaki Thariqat,
yakni metode atau jalan tertentu yang digunakan untuk menyucikan jiwa melalui
bimbingan seorang mursyid. Dari sini, barulah seseorang dapat mencapai Hakikat,
yaitu penyaksian batin terhadap kebenaran sejati yang bersumber dari Allah.
Puncaknya adalah Ma’rifat, yakni pengenalan
mendalam terhadap Allah yang dilandasi oleh cinta, kesadaran, dan ketiadaan
ego.²
Dalam tradisi
tasawuf klasik, pembahasan tentang tahapan ini banyak dijumpai dalam
karya-karya besar seperti Ihya’ Ulumuddin karya Imam
Al-Ghazali dan Risalah al-Qusyairiyah karya Abu
Qasim Al-Qusyairi. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa perjalanan spiritual harus
dimulai dari disiplin lahiriah (syari’at), lalu ditingkatkan dengan latihan
ruhani (thariqat), hingga akhirnya ruh memperoleh pemahaman yang mendalam dan
intuitif terhadap realitas (hakikat).³ Sementara itu, Al-Qusyairi menekankan
bahwa hakikat bukanlah sekadar pengetahuan teoretis, melainkan pengalaman
eksistensial yang hanya bisa diraih melalui mujahadah (perjuangan jiwa) dan
suluk yang konsisten.⁴
Hakikat menjadi inti
dari tasawuf karena berkaitan langsung dengan realitas terdalam manusia dan
hubungan spiritualnya dengan Allah. Dalam pandangan para sufi, hakikat adalah
kebenaran batin yang terungkap setelah hijab (penghalang) duniawi tersingkap.⁵
Oleh sebab itu, pemahaman terhadap hakikat bukan hanya menjadi kebutuhan
spiritual individual, tetapi juga membuka cakrawala umat Islam terhadap
kedalaman ajaran agama yang melampaui aspek legal-formal.⁶
Melalui artikel ini,
penulis akan menguraikan secara sistematis konsep Hakikat dalam tasawuf Islam dengan
mengacu pada sumber-sumber klasik dan kontemporer yang kredibel. Pendekatan ini
bertujuan untuk memberikan pemahaman yang utuh, baik dari sisi historis, konseptual,
maupun aplikatif terhadap salah satu pilar utama dalam dunia tasawuf tersebut.
Footnotes
[1]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill:
University of North Carolina Press, 1975), 3–5.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of
Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 15–17.
[3]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, vol. 4 (Beirut: Dar al-Fikr,
n.d.), 201–205.
[4]
Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, ed. Abdul Halim Mahmud
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 88–93.
[5]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press,
1989), 42–44.
[6]
Nasr Abu Zayd, Ima’ al-Isharat: Hermeneutika dan Tafsir Tasawuf
(Yogyakarta: LKiS, 2002), 101–103.
2.
Pengertian Hakikat
2.1.
Definisi Etimologis dan Terminologis
Secara etimologis,
kata “hakikat”
berasal dari bahasa Arab al-ḥaqīqah (الْحَقِيقَة), turunan dari akar kata ḥaqqa–yaḥiqqu
(حقّ–يحقّ)
yang bermakna benar, nyata, tetap, atau pasti.¹ Dalam bahasa Arab klasik, hakikat
menunjuk pada sesuatu yang esensial dan tetap, berbeda dari bentuk-bentuk
lahiriah yang bersifat relatif dan berubah-ubah.² Oleh karena itu, para sufi
memahami hakikat
sebagai realitas terdalam dari segala sesuatu, yang hanya dapat diketahui
melalui pencerahan batin dan penyucian jiwa.
Secara terminologis
dalam tradisi tasawuf, hakikat merujuk pada tingkatan
spiritual di mana seorang salik (penempuh jalan sufi) menyaksikan kebenaran
sejati tentang Tuhan, alam, dan dirinya sendiri.³ Hakikat bukanlah sekadar
pengetahuan intelektual (ma’lumat), melainkan syuhud (penyaksian batiniah)
terhadap realitas ketuhanan yang tidak dapat dijangkau oleh akal semata. Dalam
pandangan Imam Al-Ghazali, hakikat adalah pengetahuan yang diperoleh bukan
melalui pembelajaran biasa, melainkan melalui pengalaman ruhani yang mendalam,
sebagaimana pengetahuan yang dialami oleh para nabi dan wali.⁴
2.2.
Hakikat dalam Konteks Ilmu Tasawuf
Dalam hierarki
tasawuf, hakikat berada pada posisi ketiga setelah syari’at
dan thariqat,
dan menjadi jembatan menuju tingkatan ma’rifat. Menurut Al-Qusyairi
dalam Risalah
al-Qusyairiyah, hakikat adalah rahasia yang dikaruniakan Allah
kepada hati para hamba-Nya yang telah melewati proses mujahadah, riyadhah, dan fana’
(penghapusan ego).⁵ Oleh karena itu, orang yang mencapai hakikat disebut telah
menyingkap tirai-tirai lahiriah dan menyentuh substansi batiniah kehidupan
spiritual.
Konsep ini juga
diperkuat oleh Imam Junaid al-Baghdadi yang menyatakan bahwa “Tasawuf adalah
bahwa Allah mematikanmu dari dirimu dan menghidupkanmu dengan-Nya.”⁶ Pernyataan
ini mengindikasikan bahwa hakikat melibatkan proses fana’ (lenyapnya kesadaran ego) dan
baqa’
(kekal dalam kesadaran akan Allah), sehingga seorang sufi tidak lagi terikat
oleh eksistensi duniawi, melainkan sepenuhnya terhubung dengan kebenaran ilahi.
Hakikat juga dapat
dimaknai sebagai kebenaran terdalam dari amal-amal ibadah dan akhlak. Seseorang
yang shalat, misalnya, tidak hanya melakukan gerakan dan bacaan lahiriah, tetapi
dalam tingkat hakikat ia mengalami pertemuan batin dengan Tuhan melalui
kekhusyukan yang sempurna.⁷ Inilah mengapa para sufi memandang bahwa hakikat
adalah ruh dari syari’at dan thariqat; tanpa hakikat, ibadah hanya akan menjadi
rutinitas formal tanpa kedalaman makna.
2.3.
Perbandingan dengan Pemahaman Intelektual
Berbeda dengan
filsafat yang mengandalkan analisis logis dan spekulatif, tasawuf menekankan
pengalaman eksistensial sebagai jalan menuju kebenaran.⁸ Dalam hal ini, hakikat
menolak pendekatan rasional murni terhadap ketuhanan, karena hakikat Allah
tidak bisa dijangkau oleh akal terbatas. Oleh sebab itu, menurut William C.
Chittick, hakikat hanya bisa dicapai oleh hati yang telah dibersihkan dari
syahwat duniawi dan dipenuhi cahaya ilahiyah.⁹
Dengan demikian,
pengertian hakikat dalam tasawuf bukanlah konsep abstrak semata, melainkan
realitas yang hadir dan dialami oleh hamba yang telah menyempurnakan
perjalanannya melalui disiplin spiritual dan ketekunan ibadah. Hakikat menjadi
bukti bahwa jalan menuju Tuhan bukan hanya melalui nalar, tetapi lebih dalam
lagi melalui hati yang tercerahkan dan jiwa yang tunduk sepenuhnya kepada-Nya.
Footnotes
[1]
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, ed. J.
Milton Cowan (Urbana: Spoken Language Services, 1994), s.v. "ḥaqqa."
[2]
E.W. Lane, An Arabic-English Lexicon, Book I (London: Williams
and Norgate, 1863), 614.
[3]
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran
(Bandung: Mizan, 1995), 201.
[4]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr,
n.d.), 86.
[5]
Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, ed. Abdul Halim Mahmud
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 91.
[6]
Junaid al-Baghdadi, kutipan dalam Annemarie Schimmel, Mystical
Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press,
1975), 110.
[7]
Abu Hamid al-Ghazali, Mishkat al-Anwar (The Niche of Lights),
trans. W.H.T. Gairdner (London: E.J.W. Gibb Memorial, 1924), 25–27.
[8]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 132.
[9]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 42.
3.
Landasan Hakikat dalam Al-Qur’an dan Hadis
Konsep hakikat
dalam tasawuf tidak muncul dalam ruang hampa, melainkan memiliki akar yang kuat
dalam ajaran Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad Saw. Meskipun istilah hakikat
secara literal tidak disebutkan secara eksplisit dalam teks Al-Qur’an, namun
nilai-nilai dan maknanya tersirat dalam banyak ayat yang menunjukkan kedalaman
spiritual, penyaksian batin, dan kesadaran akan realitas ilahi.
3.1.
Al-Qur’an sebagai Sumber Inspirasi Hakikat
Salah satu ayat yang
sering dirujuk oleh para sufi dalam menjelaskan pengalaman batin menuju hakikat
adalah firman Allah dalam:
QS. Al-Hajj (22) ayat
46
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ
لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ
تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
"Maka apakah mereka tidak
berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat
memahami atau telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Sesungguhnya
bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada."_¹
Ayat ini menjelaskan
bahwa kebutaan hakiki bukanlah kebutaan inderawi, melainkan kebutaan spiritual.
Tafsir klasik seperti Tafsir al-Qurthubi menegaskan bahwa
hati yang tidak dapat memahami kebenaran merupakan bentuk penghalang terbesar
dalam mengenal Allah.² Dalam konteks tasawuf, pengenalan ini bukan sekadar
mengetahui, tetapi mengalami dan menyaksikan kebenaran ilahi dalam batin —
inilah inti dari hakikat.
Ayat lain yang kerap
dikaitkan dengan hakikat adalah:
QS. An-Nur (24) ayat 35
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
ۚ
"Allah adalah cahaya langit dan
bumi."
نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ
ۚ
"Cahaya di atas cahaya. Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki."_³
Ayat ini secara
simbolik menggambarkan proses spiritual pencapaian hakikat sebagai perjalanan
menuju cahaya ilahi. Imam Al-Ghazali dalam Mishkat al-Anwar menafsirkan ayat
ini sebagai proses pencerahan ruhani yang menyingkap realitas terdalam melalui
nur (cahaya) ilahiah yang menyinari hati manusia.⁴
Selain itu, QS.
Al-Baqarah (2) ayat 2 menyebut:
ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”
Menunjukkan bahwa
hidayah dan kebenaran sejati hanya bisa diraih oleh orang yang bertakwa, yaitu
mereka yang telah membersihkan diri lahir dan batin, dan berada di jalan
hakikat.⁵
3.2.
Hadis-Hadis tentang Hakikat dan Dimensi Batin
Hadis yang paling
mendasar dan sering dijadikan rujukan para sufi dalam menjelaskan hakikat
adalah hadis tentang ihsan, yaitu:
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ،
فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ، فَإِنَّهُ يَرَاكَ
"Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau
melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu." (HR.
Muslim, No. 8)⁶
Hadis ini secara
tegas menyiratkan konsep muraqabah (merasa diawasi Allah)
dan musyahadah
(penyaksian ruhani), yang merupakan dua pilar utama dalam pendekatan hakikat.
Menurut Imam Nawawi, hadis ini menjelaskan derajat tertinggi dalam agama
setelah Islam dan Iman, yaitu Ihsan — keadaan spiritual yang hanya bisa dicapai
melalui penyucian jiwa secara mendalam.⁷
Selain itu, sabda
Nabi Saw berikut juga memiliki makna batin yang dalam:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ
وَلَا إِلَى أَجْسَادِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa
dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR.
Muslim, No. 2564)⁸
Hadis ini
menunjukkan pentingnya dimensi batin dan kesucian hati sebagai tolok ukur utama
di sisi Allah. Dalam kajian tasawuf, ini menjadi dasar bahwa hakikat amal
bukanlah bentuk luarnya, melainkan niat, ikhlas, dan kesadaran ruhani yang
menyertainya.
3.3.
Integrasi antara Syari’at dan Hakikat dalam
Dalil-Dalil
Dalam banyak tafsir
dan syarah hadis, para ulama sufi menegaskan bahwa hakikat
tidak berdiri sendiri, melainkan justru merupakan kedalaman
dari syari’at itu sendiri. Tafsir Ibn ‘Ajibah, seorang sufi Maroko,
membedakan antara tafsir “syari’at” (lahir) dan tafsir “ishari” (batin) dalam
membaca Al-Qur’an. Ia menjelaskan bahwa Al-Qur’an memiliki banyak lapisan
makna, dan hakikat adalah salah satu lapisan terdalam yang hanya bisa diakses
oleh hati yang bersih.⁹
Dengan demikian,
Al-Qur’an dan Hadis tidak hanya menjadi dasar hukum lahiriah, tetapi juga
merupakan sumber utama untuk membimbing para pencari kebenaran menuju kesadaran
hakiki akan keberadaan dan keesaan Allah. Konsep hakikat dalam tasawuf
merupakan hasil dari tafsir yang mendalam dan pengalaman spiritual yang
terinspirasi oleh firman dan sabda Rasulullah Saw.
Footnotes
[1]
Al-Qur’an, Surah Al-Hajj (22) ayat 46.
[2]
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, vol. 12 (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006), 105.
[3]
Al-Qur’an, Surah An-Nur (24) ayat 35.
[4]
Abu Hamid al-Ghazali, Mishkat al-Anwar, trans. W.H.T. Gairdner
(London: E.J.W. Gibb Memorial, 1924), 39–41.
[5]
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah (2) ayat 2.
[6]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Iman, Hadis No.
8.
[7]
Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, vol. 1 (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 2001), 157–159.
[8]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Birr, Hadis No.
2564.
[9]
Ahmad Ibn ‘Ajibah, Al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Qur’an al-Majid,
vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 22–23.
4.
Hakikat dalam Pandangan Ulama Tasawuf Klasik
Para ulama tasawuf
klasik telah memberikan kontribusi penting dalam membentuk pemahaman mendalam
tentang konsep hakikat. Dalam kerangka
epistemologi Islam, mereka memandang hakikat sebagai tingkat spiritual
yang hanya dapat dicapai melalui penyucian batin, perjuangan ruhani (mujahadah),
dan pengalaman eksistensial yang melampaui batas-batas rasionalitas formal.
Perspektif mereka tidak hanya mencerminkan kedalaman pengalaman pribadi, tetapi
juga bersandar pada pemahaman yang komprehensif terhadap Al-Qur’an, Hadis,
serta realitas batin manusia.
4.1.
Imam Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M)
Imam Al-Ghazali,
dalam karya monumentalnya Ihya’ Ulumuddin, menjelaskan bahwa hakikat
merupakan kebenaran terdalam yang hanya dapat diraih setelah menempuh jalan syari’at
dan thariqat.
Baginya, ilmu hakikat adalah ilmu laduni, yaitu pengetahuan yang
diperoleh langsung dari Allah melalui penyucian hati dan penghilangan
sifat-sifat tercela.¹ Ia membagi pengetahuan ke dalam tiga tingkatan: ‘ilm
al-yaqin (ilmu yang bersifat teoritis), ‘ayn
al-yaqin (penyaksian terhadap kebenaran), dan haqq
al-yaqin (pengalaman langsung terhadap kebenaran). Hakikat,
menurut Al-Ghazali, berada pada tingkatan haqq al-yaqin, yang melibatkan
kehadiran batiniah secara penuh di hadapan Allah.²
Lebih lanjut dalam Mishkat
al-Anwar, Al-Ghazali menggunakan metafora cahaya untuk
menggambarkan perjalanan spiritual menuju hakikat. Cahaya ilahi yang memancar
ke dalam hati seorang hamba yang suci akan membimbingnya pada pengenalan
terhadap hakikat segala sesuatu, termasuk realitas dirinya dan Tuhan.³
4.2.
Abu Qasim Al-Qusyairi (w. 465 H/1072 M)
Dalam karyanya Risalah
al-Qusyairiyah, Abu Qasim Al-Qusyairi menekankan bahwa hakikat
adalah anugerah yang diberikan kepada hati yang telah melalui proses panjang
penyucian dan riyadhah. Ia menjelaskan bahwa para ahli hakikat adalah mereka
yang mampu menyeimbangkan antara aspek lahir (syari’at) dan aspek batin
(thariqat), dan mencapai kondisi spiritual di mana mereka tidak hanya
mengetahui kebenaran, tetapi hidup di dalamnya.⁴
Menurut Al-Qusyairi,
tanda-tanda orang yang mencapai hakikat adalah keterputusan dari ketergantungan
terhadap makhluk, kerendahan hati yang mendalam, serta kebeningan hati yang
terus-menerus tertuju kepada Allah. Ia juga mengingatkan agar pemahaman tentang
hakikat tidak menjauhkan seseorang dari syari’at, karena syari’at adalah jalan
yang mengantar kepada hakikat.⁵
4.3.
Junaid al-Baghdadi (w. 298 H/910 M)
Junaid al-Baghdadi,
yang dijuluki sebagai "Sayyid al-Taifah" dalam dunia tasawuf,
dikenal dengan pandangannya yang moderat dan rasional. Ia menegaskan bahwa hakikat
tidak dapat dipisahkan dari syari’at. Dalam salah satu pernyataannya yang
masyhur, ia mengatakan:
طَرِيقُنَا هٰذَا مُقَيَّدٌ بِالْكِتَابِ
وَالسُّنَّةِ، فَمَنْ لَمْ يَقْرَأِ الْقُرْآنَ، وَلَمْ يَكْتُبِ الْحَدِيثَ، لَا يُقْتَدَى
بِهِ فِي هٰذَا الْأَمْرِ.
“Jalan kami ini terikat dengan Kitab
(Al-Qur'an) dan Sunnah. Barang siapa tidak membaca Al-Qur'an dan tidak
menulis hadis, maka ia tidak dapat diikuti dalam perkara ini.”_⁶
Menurut Junaid,
hakikat adalah kondisi fana’ (lenyapnya kesadaran ego
diri) dan baqa’
(kekal dalam kehadiran Allah).⁷ Hakikat sejati bukanlah pelepasan dari tanggung
jawab syari’at, tetapi penghayatan batin yang mendalam terhadap makna syari’at
itu sendiri. Baginya, seorang salik yang telah mencapai hakikat justru semakin
taat kepada hukum Allah karena ia telah merasakan kehadiran-Nya dalam setiap
detik kehidupan.
4.4.
Ibn ‘Arabi (w. 638 H/1240 M)
Ibn ‘Arabi
memperluas cakupan konsep hakikat ke dalam ranah metafisika
Islam. Dalam karya Futuhat al-Makkiyah, ia
memperkenalkan istilah "al-Haqiqah al-Muhammadiyyah"
sebagai realitas tertinggi dari segala yang ada, dan menjadikan Rasulullah Saw
sebagai manifestasi puncak hakikat tersebut.⁸ Bagi Ibn ‘Arabi, semua eksistensi
adalah pancaran dari hakikat ilahi, dan orang yang telah sampai pada puncak
kesadaran ini akan melihat seluruh alam sebagai tajalli (manifestasi) dari
Asma’ dan Sifat Allah.⁹
Hakikat, dalam
pandangannya, bukan hanya tentang pengenalan batin terhadap Tuhan, tetapi
tentang kesadaran ontologis bahwa seluruh realitas berakar pada Yang Maha Esa.
Meskipun pandangan Ibn ‘Arabi menuai kontroversi di kalangan fuqaha,
pemikirannya tetap menjadi rujukan utama dalam studi tasawuf filsafat dan
spiritualitas Islam hingga kini.¹⁰
Kesimpulan Sub-Bagian
Pandangan
ulama-ulama tasawuf klasik menunjukkan bahwa hakikat bukanlah doktrin yang
terpisah dari ajaran Islam yang sahih. Ia justru merupakan intisari dari
perjalanan ruhani yang terpandu oleh syari’at. Para tokoh seperti Al-Ghazali,
Al-Qusyairi, Junaid al-Baghdadi, dan Ibn ‘Arabi memberikan landasan teoritis
dan praktis untuk memahami bahwa hakikat adalah hasil dari proses panjang
penyucian jiwa, pencarian makna, dan penyaksian langsung terhadap kebenaran
ilahi yang mendalam.
Footnotes
[1]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, vol. 3 (Beirut: Dar
al-Fikr, n.d.), 86–89.
[2]
Ibid., 91.
[3]
Abu Hamid al-Ghazali, Mishkat al-Anwar, trans. W.H.T. Gairdner
(London: E.J.W. Gibb Memorial, 1924), 39–45.
[4]
Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, ed. Abdul Halim Mahmud
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 88–93.
[5]
Ibid., 95–96.
[6]
Abu al-Qasim al-Qushayri, al-Risala al-Qushayriyya fi Ilm
al-Tasawwuf, ed. Abd al-Halim Mahmud (Cairo: Dar al-Maarif, 1972), 67.
[7]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill:
University of North Carolina Press, 1975), 109–111.
[8]
Ibn ‘Arabi, Al-Futuhat al-Makkiyyah, vol. 1 (Beirut: Dar
Sadir, 1998), 204–210.
[9]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 90–92.
[10]
Alexander Knysh, Ibn ‘Arabi in the Later Islamic Tradition: The
Making of a Polemical Image in Medieval Islam (Albany: SUNY Press, 1999),
45–47.
5.
Ciri dan Tanda Orang yang Mencapai Hakikat
Dalam perspektif
tasawuf, pencapaian hakikat bukan sekadar keberhasilan
intelektual, melainkan hasil dari penyempurnaan perjalanan ruhani yang
melibatkan penyucian hati, kedalaman zikir, serta pemusatan jiwa kepada Allah Swt.
Ulama tasawuf klasik menekankan bahwa orang yang mencapai hakikat
bukanlah mereka yang hanya berbicara tentang kebenaran, melainkan mereka yang mengalami
dan hidup di dalam kebenaran itu sendiri.¹
Berikut adalah
beberapa ciri dan tanda yang disepakati oleh para sufi sebagai karakteristik
orang yang telah mencapai derajat hakikat:
5.1.
Bersih dari Ketergantungan kepada Dunia
Salah satu tanda
paling menonjol dari seorang yang telah mencapai hakikat adalah terlepasnya
hati dari ketergantungan terhadap dunia (tajrid).
Dunia tidak lagi menjadi tujuan, tetapi hanya sarana untuk mendekat kepada
Allah.² Al-Qusyairi menjelaskan bahwa para ahli hakikat telah memutuskan
ikatan-ikatan duniawi dan menggantinya dengan kesadaran penuh terhadap Allah
dalam setiap aspek kehidupan.³
Imam Al-Ghazali
menggambarkan kondisi ini sebagai zuhud hakiki, yaitu bukan sekadar
meninggalkan dunia secara fisik, melainkan menyingkirkannya dari hati.⁴ Bahkan
ketika mereka memiliki dunia, hati mereka tidak bergantung padanya.
5.2.
Senantiasa Menghadirkan Allah dalam Hati
(Muraqabah dan Musyahadah)
Orang yang telah
sampai pada hakikat selalu dalam keadaan muraqabah, yakni merasa diawasi
oleh Allah dalam setiap keadaan. Lebih tinggi dari itu adalah musyahadah,
yaitu menyaksikan kehadiran Allah secara batin, sehingga seluruh tindakannya
menjadi bentuk ibadah murni.⁵
Hadis ihsan menjadi
dasar utama prinsip ini:
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ،
"Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau
melihat-Nya..." (HR. Muslim)⁶
Menurut Imam Nawawi,
inilah derajat tertinggi dalam agama, dan hanya dapat dicapai oleh mereka yang
telah mengalami tajalli (penyingkapan ilahi) dalam
batinnya.⁷
5.3.
Akhlak yang Lembut dan Hati yang Rendah
Ciri lain dari orang
yang mencapai hakikat adalah kelembutan akhlaknya, kerendahan
hatinya, dan kesabarannya dalam menghadapi
makhluk. Mereka tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, melainkan dengan
kasih sayang dan doa.⁸ Imam Junaid al-Baghdadi menyatakan:
عَلَامَةُ أَهْلِ الْحَقِيقَةِ أَنْ لَا
يَحْسُدُوا مَنْ نَالَ، وَلَا يُبْغِضُوا مَنْ خَالَفَ، وَلَا يَفْتَخِرُوا عَلَى
مَنْ عُمِلَ لَهُمْ بِهِ.
“Tanda ahli hakikat adalah tidak
mendengki orang yang memperoleh (karunia), tidak membenci orang yang
menyelisihi (atau berdosa), dan tidak menyombongkan diri atas amal yang
dilakukan untuk mereka.”_⁹
Orang yang telah
menyaksikan hakikat tidak melihat dirinya lebih baik dari orang lain karena ia
memahami hakikat kelemahan dirinya dan kebesaran Allah.
5.4.
Hilangnya Ego dan Kemauan Diri (Fana' dan
Baqa')
Seorang yang
mencapai hakikat telah mengalami fana’, yaitu lenyapnya
kesadaran ego atau diri (nafs), dan digantikan dengan baqa’,
yaitu kekekalan dalam kesadaran terhadap Allah.¹⁰ Dalam fase ini, kehendak diri
sepenuhnya tunduk pada kehendak ilahi.
Ibn ‘Arabi
menjelaskan bahwa orang yang telah fana’ tidak lagi melihat sesuatu
selain Allah dalam eksistensi; seluruh realitas menjadi cermin dari
kehadiran-Nya.¹¹
5.5.
Kesinambungan dalam Amal dan Kehidupan
Sederhana
Orang yang telah
mencapai hakikat dikenal dengan istiqamah dalam amal-amal lahir
dan batin. Mereka tidak terjebak pada keistimewaan lahiriah, tetapi menjalani
hidup dengan kesederhanaan, keteraturan, dan konsistensi dalam ibadah dan
pelayanan kepada sesama.¹² Mereka senantiasa menjaga adab,
bahkan terhadap orang-orang awam, karena menyadari bahwa segala sesuatu berasal
dari dan kembali kepada Allah.
5.6.
Rahasia Amal dan Tidak Mencari Pengakuan
Ciri penting lainnya
adalah tidak
menampakkan amal dan tidak mencari pengakuan manusia. Mereka
menyembunyikan amal sebagaimana seseorang menyembunyikan aib, karena tahu bahwa
hanya Allah yang berhak menilai.¹³ Seperti kata Al-Fudhail ibn ‘Iyadh:
مَنْ عَرَفَ اللَّهَ سَتَرَ عَمَلَهُ كَمَا
يَسْتُرُ ذَنْبَهُ
"Orang yang mengenal Allah akan
menyembunyikan amalnya sebagaimana ia menyembunyikan dosanya."_¹⁴
Kesimpulan Sub-Bagian
Ciri-ciri orang yang
mencapai hakikat lebih tampak dalam kehalusan batin dan kesempurnaan akhlak,
bukan pada simbol-simbol lahiriah yang kasat mata. Mereka adalah hamba-hamba
yang telah mengenal Allah bukan hanya dengan lisan dan akal, tetapi dengan hati
dan penyaksian ruhani. Melalui proses panjang mujahadah dan bimbingan mursyid,
mereka mencapai maqam spiritual yang membawa ketenangan, kasih, dan rahmat bagi
lingkungan sekitarnya.
Footnotes
[1]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill:
University of North Carolina Press, 1975), 106–108.
[2]
Harun Nasution, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya
(Jakarta: UI Press, 1999), 45.
[3]
Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, ed. Abdul Halim Mahmud
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 92.
[4]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr,
n.d.), 106–107.
[5]
Abu al-Qasim al-Qushayri, al-Risala al-Qushayriyya fi Ilm
al-Tasawwuf, ed. Abd al-Halim Mahmud (Cairo: Dar al-Maarif, 1972), 89–90.
[6]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Iman, Hadis No.
8.
[7]
Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, vol. 1 (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 2001), 160.
[8]
Abu Hamid al-Ghazali, Bidayat al-Hidayah (Beirut: Dar al-Fikr,
2000), 112–114.
[9]
Cited in Al-Qusyairi, Risalah, 93.
[10]
Abu Nasr as-Sarraj, Kitab al-Luma’, ed. Reynold A. Nicholson
(Leiden: Brill, 1914), 110–112.
[11]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 98.
[12]
Martin Lings, What is Sufism? (Cambridge: Islamic Texts
Society, 1993), 65.
[13]
Sayyid Husein Nasr, The Garden of Truth (New York: HarperOne,
2007), 150–152.
[14]
Ibn Rajab al-Hanbali, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (Cairo:
Maktabah al-Qudsi, 1980), 113.
6.
Perbedaan dan Hubungan Hakikat dengan Syari’at
dan Thariqat
Dalam struktur spiritualitas
Islam yang dikembangkan dalam tradisi tasawuf, terdapat tiga tahap utama
sebelum mencapai ma’rifat, yaitu syari’at,
thariqat,
dan hakikat.
Masing-masing memiliki dimensi, fungsi, dan pendekatan yang berbeda, namun
ketiganya merupakan bagian dari satu kesatuan jalan menuju Allah Swt.¹ Ulama
tasawuf menegaskan bahwa ketiga konsep ini tidak berdiri sendiri,
melainkan saling melengkapi, sebagaimana akar, batang, dan buah pada sebuah
pohon.
6.1.
Syari’at: Landasan Lahiriah
Syari’at
adalah dimensi lahiriah dari agama Islam yang mencakup hukum-hukum fikih,
ibadah, dan akhlak. Ia menjadi fondasi utama dalam membangun hubungan vertikal
dan horizontal seorang Muslim melalui aturan yang ditetapkan Allah dan
Rasul-Nya.² Dalam pandangan tasawuf, syari’at berperan sebagai pintu
gerbang awal menuju pengenalan yang lebih dalam terhadap
hakikat.³
Imam Al-Ghazali
menekankan bahwa seseorang tidak dapat mencapai hakikat tanpa terlebih dahulu
menegakkan syari’at dengan benar. Ia menyatakan bahwa syari’at adalah jalan
keselamatan dan pembimbing yang menerangi jalan ruhani menuju kedekatan dengan
Allah.⁴
6.2.
Thariqat: Jalan Penyucian Jiwa
Setelah menapaki
syari’at, seorang salik (penempuh jalan spiritual) memasuki thariqat,
yaitu metode atau jalan spiritual yang ditempuh dengan bimbingan seorang
mursyid (guru ruhani). Thariqat merupakan bentuk latihan spiritual (riyadhah),
zikir, mujahadah, dan suluk yang bertujuan untuk menyucikan jiwa dari
sifat-sifat tercela.⁵
Al-Qusyairi dalam Risalah
al-Qusyairiyah menggambarkan thariqat sebagai proses pembersihan
batin agar hati dapat menjadi wadah bagi cahaya ilahi. Tanpa thariqat,
seseorang hanya akan berhenti pada aspek formalitas agama tanpa menyentuh makna
batinnya.⁶
6.3.
Hakikat: Inti dan Realitas Batin
Hakikat
merupakan tahapan ketika seorang salik mencapai kesadaran ruhani yang dalam
tentang keberadaan Allah dan rahasia penciptaan. Ia telah melampaui
bentuk-bentuk dan simbol-simbol lahiriah, dan masuk ke dalam pengalaman
batiniah yang penuh makrifat.⁷ Hakikat bukan berarti meninggalkan syari’at dan
thariqat, tetapi merupakan buah dari pengamalan keduanya
secara sempurna.
Menurut Junaid
al-Baghdadi,
مَن فَتَحَ لَهُ طَرِيقُ الْحَقِيقَةِ وَلَمْ
يُقَيِّدْ نَفْسَهُ بِقُيُودِ الشَّرِيعَةِ، فَهُوَ زِنْدِيقٌ.
"Barang siapa yang dibukakan baginya
jalan hakikat namun tidak membatasi dirinya dengan syari’at, maka ia adalah
seorang zindiq."_⁸
Dengan demikian,
hakikat tidak pernah membenarkan pelepasan dari syari’at, namun justru
memperdalam pemahaman dan penghayatan terhadapnya.
6.4.
Hubungan Simbolik: Akar, Batang, dan Buah
Dalam tradisi sufi,
sering digunakan analogi pohon untuk
menggambarkan keterkaitan antara ketiga unsur ini:
·
Syari’at
diibaratkan akar: menjadi dasar dan
penopang seluruh bangunan spiritual.
·
Thariqat
adalah batang dan cabang: sarana
untuk naik dan berkembang.
·
Hakikat
adalah buah: hasil akhir dari
perjalanan ruhani yang matang dan menyeluruh.⁹
Tanpa akar, pohon
akan roboh. Tanpa batang, buah tak akan tumbuh. Tanpa buah, pohon kehilangan
tujuan. Oleh karena itu, integrasi ketiganya adalah mutlak
dalam pencapaian spiritual yang sah dalam Islam.
6.5.
Bahaya Memisahkan Hakikat dari Syari’at
Dalam sejarahnya,
beberapa kelompok ekstrem mengklaim telah mencapai hakikat dan karena itu
merasa bebas dari kewajiban syari’at. Pendapat ini ditolak keras oleh para
ulama sufi ortodoks. Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa pengabaian terhadap
syari’at atas nama hakikat adalah bentuk penyimpangan yang
membahayakan.¹⁰ Ia menegaskan bahwa hakikat sejati justru membawa seseorang
kepada ketaatan lahir dan batin secara sempurna.
Demikian pula,
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menyatakan:
الشَّرِيعَةُ أَمْرُ اللَّهِ، وَالطَّرِيقَةُ
سَبِيلُهُ، وَالْحَقِيقَةُ مُشَاهَدَتُهُ، فَمَنْ فَرَّقَ بَيْنَهُنَّ فَقَدْ
جَهِلَ اللَّهَ.
"Syari’at adalah perintah
Allah, thariqat adalah jalan-Nya, dan hakikat adalah penyaksian terhadap-Nya.
Maka siapa yang memisahkan salah satunya dari yang lain, sungguh ia belum
mengenal Allah."_¹¹
Kesimpulan Sub-Bagian
Perbedaan antara
syari’at, thariqat, dan hakikat terletak pada aspek dan fungsinya dalam
membentuk kepribadian spiritual seorang Muslim. Namun, ketiganya adalah bagian
dari satu
jalan yang utuh menuju Allah. Syari’at menjadi dasar lahiriah,
thariqat membentuk jalan batin, dan hakikat merupakan tujuan ruhani yang
melampaui simbol-simbol, menuju keintiman dengan Sang Pencipta. Memisahkan atau
menyepelekan salah satunya adalah bentuk ketidakseimbangan dalam perjalanan
spiritual.
Footnotes
[1]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill:
University of North Carolina Press, 1975), 106–110.
[2]
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran
(Bandung: Mizan, 1995), 153.
[3]
Martin Lings, What is Sufism? (Cambridge: Islamic Texts
Society, 1993), 37.
[4]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, vol. 1 (Beirut: Dar
al-Fikr, n.d.), 12–13.
[5]
Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, ed. Abdul Halim Mahmud
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 77.
[6]
Ibid., 78–80.
[7]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 92–94.
[8]
Cited in Abu Nasr as-Sarraj, Kitab al-Luma’, ed. Reynold A.
Nicholson (Leiden: Brill, 1914), 121.
[9]
Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of
Sufism (New York: HarperOne, 2007), 56–57.
[10]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, vol. 4, 107.
[11]
Abdul Qadir al-Jilani, Futuh al-Ghaib (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1999), 54.
7.
Kontroversi dan Pelurusan Konsep Hakikat
Konsep hakikat
dalam tasawuf merupakan tema yang sangat mendalam sekaligus kontroversial dalam
diskursus pemikiran Islam. Di satu sisi, ia mencerminkan pencapaian spiritual
tertinggi seorang salik; di sisi lain, pemahamannya yang abstrak sering kali
disalahartikan hingga melahirkan pemikiran-pemikiran ekstrem yang menyimpang
dari kerangka syari’at. Karena itulah, penting dilakukan pelurusan dan
penegasan terhadap posisi hakikat yang benar dalam tradisi
tasawuf otentik sebagaimana diajarkan para ulama besar.
7.1.
Kontroversi: Antara Eksklusivitas dan
Penyelewengan
Sejak era klasik,
sebagian kelompok sufi tertentu mengklaim telah mencapai maqam hakikat
dan dengan alasan itu merasa tidak lagi terikat oleh hukum syari’at. Mereka
beranggapan bahwa ketika seseorang telah "menyaksikan" Tuhan secara
batin (musyahadah), maka ritual lahiriah tidak lagi diperlukan karena mereka
telah berada dalam kehadiran ilahiah yang abadi.¹
Pandangan ini
dikritik keras oleh ulama sufi ortodoks. Imam Al-Ghazali menyebut perilaku
seperti ini sebagai bentuk ghurur (tipu daya spiritual)
yang justru menjauhkan seseorang dari kedekatan sejati dengan Allah. Dalam Ihya’
Ulumuddin, ia menegaskan bahwa semakin tinggi maqam seorang salik,
semakin besar pula rasa tunduknya terhadap syari’at.²
Fenomena serupa juga
pernah terjadi dalam sejarah pemikiran Islam, seperti munculnya kelompok hululiyyah
(penganut doktrin penyatuan mutlak antara manusia dan Tuhan) dan ittihadiyyah
(penyatu absolut antara makhluk dan Khaliq), yang kemudian mendapat perlawanan
dari para fuqaha dan ahli hadis.³ Meskipun beberapa tokoh seperti al-Hallaj dan
Ibn ‘Arabi diperdebatkan, para ulama seperti Ibn Taymiyyah dan Al-Dzahabi
membedakan antara puncak pengalaman batin yang otentik dan penyimpangan
aqidah.⁴
7.2.
Pelurusan: Hakikat Tidak Menafikan Syari’at
Para ulama tasawuf
klasik secara konsisten menegaskan bahwa hakikat yang benar tidak
bertentangan dengan syari’at, melainkan memperdalam dan
memperindah pengamalan syari’at. Menurut Imam Junaid al-Baghdadi, "Setiap
jalan menuju hakikat yang tidak melintasi syari’at adalah kesesatan."_⁵
Pernyataan ini menegaskan bahwa pengalaman ruhani harus tetap berada dalam
koridor wahyu dan sunnah.
Al-Qusyairi dalam Risalah
al-Qusyairiyah menulis bahwa seorang sufi sejati justru
menjadi pelaksana syari’at paling konsisten, karena ia
merasakan makna terdalam dari setiap amal lahir.⁶ Kesalehan batin tidak
menghapus kewajiban syari’at, melainkan menyempurnakannya.
Bahkan Ibn ‘Arabi,
yang sering dianggap kontroversial, menyatakan bahwa tahapan
hakikat tidak menghapus dimensi syari’at. Dalam Futuhat
al-Makkiyah, ia menulis bahwa syari’at adalah bentuk yang harus
dijaga oleh semua tingkatan spiritual agar tidak terjerumus dalam waham (delusi
mistis).⁷
7.3.
Kritik dan Klarifikasi dari Ulama Non-Sufi
Ulama kalangan
non-sufi pun memberikan kontribusi terhadap pelurusan konsep hakikat. Ibn
Taymiyyah, meskipun dikenal sebagai pengkritik tasawuf falsafi, tetap
menghargai tasawuf yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Majmu’
al-Fatawa, ia menyatakan bahwa hakikat yang ditempuh melalui
mujahadah dan muraqabah bisa benar selama tidak bertentangan dengan syari’at.⁸
Sementara itu, ulama
kontemporer seperti Yusuf al-Qaradawi dan Wahbah al-Zuhaili juga mendukung
pengembangan tasawuf yang berintegrasi dengan fikih dan akidah, sambil menolak
segala bentuk ekstremisme dalam penghayatan hakikat yang mengarah pada bid’ah
atau ilhad (penyimpangan).⁹
7.4.
Kesadaran Kontekstual: Tasawuf di Era Modern
Dalam konteks
masyarakat modern, kesalahpahaman terhadap hakikat dapat terjadi akibat
minimnya pendidikan spiritual yang seimbang antara teks dan pengalaman. Oleh
karena itu, penting bagi para pendidik dan pembina ruhani untuk menekankan
integrasi antara syari’at, thariqat, dan hakikat, serta
menyadarkan bahwa hakikat bukanlah "izin bebas" dari syari’at,
melainkan buah dari kesetiaan terhadap syari’at yang dihayati secara
mendalam.¹⁰
Kesimpulan Sub-Bagian
Konsep hakikat
adalah mutiara dalam samudra tasawuf, tetapi dapat menjadi batu sandungan bila
disalahpahami. Penegasan para ulama klasik bahwa hakikat adalah kedalaman,
bukan kebebasan dari hukum menjadi kunci dalam meluruskan
pandangan keliru. Hakikat sejati justru melahirkan kesadaran spiritual yang
lebih tinggi terhadap kewajiban syari’at, bukan pelepasan darinya. Dalam
tradisi Ahlus Sunnah wal Jamaah, tidak ada pencapaian ruhani yang sah tanpa
tunduk kepada ketentuan syari’at.
Footnotes
[1]
Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short History (Leiden:
Brill, 2000), 87–89.
[2]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, vol. 4 (Beirut: Dar
al-Fikr, n.d.), 111–113.
[3]
Louis Massignon, The Passion of al-Hallaj, trans. Herbert
Mason (Princeton: Princeton University Press, 1982), 119–121.
[4]
Ibn Taymiyyah, Majmu’ al-Fatawa, vol. 11 (Riyadh: Dar
al-Watan, 1995), 18–20.
[5]
Abu Nasr as-Sarraj, Kitab al-Luma’, ed. Reynold A. Nicholson
(Leiden: Brill, 1914), 131.
[6]
Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, ed. Abdul Halim Mahmud
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 96–97.
[7]
Ibn ‘Arabi, Al-Futuhat al-Makkiyyah, vol. 2 (Beirut: Dar
Sadir, 1998), 344.
[8]
Ibn Taymiyyah, Majmu’ al-Fatawa, vol. 10, 648.
[9]
Yusuf al-Qaradawi, al-Tasawuf baina al-Ifrath wa al-Tafrith
(Kairo: Maktabah Wahbah, 1985), 57–60.
[10]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
146–148.
8.
Kesimpulan
Konsep hakikat
dalam tasawuf merupakan salah satu fondasi terdalam dari spiritualitas Islam
yang bersumber dari Al-Qur’an, Hadis, serta pengalaman ruhani para ulama dan
tokoh sufi klasik. Sebagai tahap ketiga dalam struktur perjalanan spiritual
setelah syari’at dan thariqat, hakikat bukanlah entitas yang berdiri sendiri,
melainkan buah dari pengamalan syari’at dan thariqat
secara konsisten dan mendalam.¹
Dalam pandangan
ulama sufi seperti Imam Al-Ghazali, Al-Qusyairi, dan Junaid al-Baghdadi,
hakikat adalah pencapaian batiniah yang menjadikan seorang hamba mengenal
realitas ilahi secara langsung melalui pengalaman spiritual yang bersih dari
ego dan syahwat duniawi.² Tahapan ini dicirikan dengan penyaksian ruhani
(musyahadah), keterputusan dari ketergantungan makhluk, serta kemantapan dalam
muraqabah dan keikhlasan ibadah.³
Namun demikian,
perjalanan menuju hakikat bukanlah jalan yang bebas nilai dan tanpa kendali. Ia
harus senantiasa berpijak pada syari’at sebagai poros utama,
dan tidak boleh menjadi alasan untuk melanggar batas-batas hukum Islam.
Ulama-ulama seperti Ibn Taymiyyah, al-Qaradawi, dan Abdul Qadir al-Jailani
menegaskan bahwa setiap maqam spiritual yang tidak dilandasi oleh syari’at
adalah bentuk penyimpangan.⁴ Oleh karena itu, pengalaman hakikat harus dipahami
dalam kerangka keseimbangan antara pengamalan lahiriah (syari’at), bimbingan
ruhani (thariqat), dan penyaksian batin (hakikat).
Hakikat sejati
melahirkan pribadi Muslim yang lebih rendah hati, ikhlas, konsisten dalam amal,
dan lembut terhadap sesama. Ia bukan hanya menjadi penghayat kebenaran, tetapi
juga pembawa
cahaya kebenaran dalam lingkungan sosialnya.⁵ Dalam konteks
kekinian, pemahaman yang benar terhadap hakikat menjadi penting untuk
menghindari ekstremisme spiritual, sekaligus memperkaya pendekatan keislaman
yang inklusif dan berakar kuat pada tradisi.
Dengan demikian,
hakikat tidak boleh dipisahkan dari syari’at, dan syari’at akan menjadi lebih
bermakna bila dijalani dengan semangat hakikat. Inilah sinergi antara bentuk
dan makna, antara hukum dan cinta, antara ketaatan dan penyaksian, yang menjadi
inti dari perjalanan spiritual Islam yang utuh dan menyeluruh.
Footnotes
[1]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill:
University of North Carolina Press, 1975), 110–112.
[2]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, vol. 3 (Beirut: Dar
al-Fikr, n.d.), 87–89; Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, ed. Abdul
Halim Mahmud (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 88–93.
[3]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 95–96.
[4]
Ibn Taymiyyah, Majmu’ al-Fatawa, vol. 10 (Riyadh: Dar
al-Watan, 1995), 648; Yusuf al-Qaradawi, al-Tasawuf baina al-Ifrath wa
al-Tafrith (Kairo: Maktabah Wahbah, 1985), 60; Abdul Qadir al-Jilani, Futuh
al-Ghaib (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1999), 54.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of
Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 152–153.
Daftar Pustaka
Abu Hamid al-Ghazali. (n.d.). Ihya’ Ulumuddin
(Vol. 1–4). Beirut: Dar al-Fikr.
Abu Hamid al-Ghazali. (1924). Mishkat al-Anwar
(The Niche of Lights) (W. H. T. Gairdner, Trans.). London: E.J.W. Gibb
Memorial.
Abu Nasr as-Sarraj. (1914). Kitab al-Luma’
(R. A. Nicholson, Ed.). Leiden: Brill.
Al-Qaradawi, Y. (1985). Al-Tasawuf baina
al-Ifrath wa al-Tafrith. Kairo: Maktabah Wahbah.
Al-Qusyairi, A. Q. (2002). Risalah
al-Qusyairiyah (A. H. Mahmud, Ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Qushayri, A. Q. (1972). Al-Risala
al-Qushayriyya fi Ilm al-Tasawwuf (A. H. Mahmud, Ed.). Cairo: Dar
al-Ma’arif.
Al-Jilani, A. Q. (1999). Futuh al-Ghaib.
Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Al-Qurthubi, M. A. A. (2006). Al-Jami’ li Ahkam
al-Qur’an (Vol. 12). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Chittick, W. C. (1989). The Sufi Path of
Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination. Albany: State University
of New York Press.
Fazlur Rahman. (1982). Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago
Press.
Hallaj, al-. (1982). The Passion of al-Hallaj
(L. Massignon, Author; H. Mason, Trans.). Princeton: Princeton University
Press.
Ibn ‘Ajibah, A. (2002). Al-Bahr al-Madid fi
Tafsir al-Qur’an al-Majid (Vol. 1). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Ibn ‘Arabi, M. A. (1998). Al-Futuhat
al-Makkiyyah (Vol. 1–2). Beirut: Dar Sadir.
Ibn Rajab al-Hanbali. (1980). Jami’ al-‘Ulum wa
al-Hikam. Cairo: Maktabah al-Qudsi.
Ibn Taymiyyah. (1995). Majmu’ al-Fatawa
(Vol. 10–11). Riyadh: Dar al-Watan.
Knysh, A. (1999). Ibn ‘Arabi in the Later
Islamic Tradition: The Making of a Polemical Image in Medieval Islam.
Albany: State University of New York Press.
Knysh, A. (2000). Islamic Mysticism: A Short
History. Leiden: Brill.
Lane, E. W. (1863). An Arabic-English Lexicon
(Book I). London: Williams and Norgate.
Lings, M. (1993). What is Sufism? Cambridge:
Islamic Texts Society.
Massignon, L. (1982). The Passion of al-Hallaj
(Vol. 1) (H. Mason, Trans.). Princeton: Princeton University Press.
Muslim ibn al-Hajjaj. (n.d.). Sahih Muslim.
Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Nasr, S. H. (2007). The Garden of Truth: The
Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition. New York:
HarperOne.
Nasution, H. (1995). Islam Rasional: Gagasan dan
Pemikiran. Bandung: Mizan.
Nasution, H. (1999). Tasawuf: Perkembangan dan
Pemurniannya. Jakarta: UI Press.
Schimmel, A. (1975). Mystical Dimensions of
Islam. Chapel Hill: University of North Carolina Press.
Wehr, H. (1994). A Dictionary of Modern Written
Arabic (J. M. Cowan, Ed.). Urbana: Spoken Language Services.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar