Minggu, 23 Maret 2025

Ilmu Humaniora: Hakikat, Peran, dan Relevansinya dalam Dunia Modern

Ilmu Humaniora

Hakikat, Peran, dan Relevansinya dalam Dunia Modern


Alihkan ke: Cabang-Cabang Ilmu.

Filsafat, Sejarah, Sastra dan Bahasa, Agama, Seni, Kebudayaan.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai hakikat, peran, dan relevansi ilmu humaniora dalam konteks dunia modern yang diwarnai oleh perkembangan teknologi, arus globalisasi, serta tantangan etika dan kultural. Ilmu humaniora dipahami sebagai bidang ilmu yang menelaah ekspresi, nilai, makna, dan pengalaman manusia melalui pendekatan interpretatif, historis, dan kritis. Artikel ini mengulas sejarah perkembangan humaniora sejak masa klasik hingga era digital, serta menyoroti metodologi yang khas dalam kajian humaniora seperti hermeneutika, analisis teks, dan pendekatan multidisipliner. Di tengah maraknya kecenderungan teknokratis dalam pendidikan dan kebijakan publik, ilmu humaniora tetap relevan dalam membentuk karakter, memperkuat identitas budaya, dan merespons krisis global secara etis. Artikel ini menekankan pentingnya revitalisasi humaniora di masa depan melalui integrasi teknologi, pendidikan kritis, dan kolaborasi lintas ilmu sebagai upaya membangun masyarakat yang inklusif, beradab, dan berkepribadian.

Kata Kunci: Ilmu Humaniora, Nilai Kemanusiaan, Globalisasi, Pendidikan Humanistik, Metodologi Kualitatif, Digital Humanities, Identitas Budaya, Etika.


PEMBAHASAN

Kajian Ilmu Humaniora Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Ilmu humaniora merupakan cabang ilmu yang berfokus pada kajian tentang manusia, kebudayaan, nilai-nilai, dan ekspresi kehidupan dalam berbagai bentuknya. Dalam ranah akademik, humaniora mencakup studi tentang filsafat, sejarah, sastra, bahasa, seni, dan agama—yakni disiplin-disiplin yang menekankan pemahaman atas pengalaman manusia secara mendalam, reflektif, dan kontekstual. Rene Wellek dan Austin Warren menyatakan bahwa ilmu humaniora bertujuan untuk memahami karya-karya manusia sebagai ekspresi budaya, bukan sekadar sebagai objek kajian objektif sebagaimana dalam ilmu alam dan sosial.1

Urgensi membahas ilmu humaniora di era modern semakin meningkat seiring dengan kompleksitas kehidupan global yang ditandai oleh kemajuan teknologi, krisis kemanusiaan, serta tantangan etika dan moral yang menyertainya. Ketika masyarakat global mengejar efisiensi dan inovasi melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, kerap kali nilai-nilai kemanusiaan terpinggirkan. Dalam konteks ini, humaniora hadir sebagai pilar penting untuk menjaga dimensi kemanusiaan dalam kemajuan zaman, dengan mendorong refleksi kritis, kepekaan etis, dan apresiasi terhadap keragaman budaya.2

Ilmu humaniora juga berperan penting dalam pembentukan identitas dan karakter bangsa. Di Indonesia, pengembangan ilmu humaniora sangat relevan dalam upaya memperkuat budaya lokal, menumbuhkan sikap toleransi antar umat beragama dan etnis, serta melestarikan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para leluhur. Kuntowijoyo bahkan menekankan pentingnya “ilmuisasi humaniora” di Indonesia, agar ilmu ini tidak hanya menjadi studi wacana tetapi mampu menjawab persoalan konkret dalam masyarakat.3

Dalam pendidikan, keberadaan ilmu humaniora sangat strategis dalam membangun kecakapan berpikir kritis, kemampuan berargumentasi, serta kemampuan memahami kompleksitas persoalan sosial dan budaya. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman yang komprehensif terhadap hakikat, peran, serta relevansi ilmu humaniora agar keberadaannya dapat diberdayakan secara maksimal dalam membentuk masyarakat yang beradab, inklusif, dan berkepribadian.

Melalui artikel ini, penulis akan membahas secara sistematis mengenai definisi dan ruang lingkup ilmu humaniora, sejarah dan perkembangan keilmuannya, metodologi dan pendekatannya, serta relevansinya dalam menghadapi tantangan dunia modern. Dengan berangkat dari berbagai sumber ilmiah yang kredibel, diharapkan pembahasan ini dapat memberikan kontribusi bagi penguatan peran ilmu humaniora dalam kehidupan akademik maupun sosial.


Footnotes

[1]                Rene Wellek and Austin Warren, Theory of Literature, 3rd ed. (New York: Harcourt, Brace & World, 1977), 27–30.

[2]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 2–5.

[3]                Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu (Bandung: Mizan, 2006), 22–24.


2.           Definisi dan Ruang Lingkup Ilmu Humaniora

Ilmu humaniora berasal dari kata humanus dalam bahasa Latin, yang berarti "manusiawi, berbudaya, dan beradab". Secara terminologis, ilmu humaniora merujuk pada cabang ilmu yang menelaah berbagai ekspresi, nilai, dan pemikiran manusia dalam konteks sejarah, budaya, bahasa, agama, dan seni. Menurut definisi yang dikemukakan oleh American Academy of Arts and Sciences, humaniora adalah bidang studi yang menyelidiki cara manusia memahami dan menginterpretasikan pengalaman hidupnya melalui bahasa, sastra, filsafat, sejarah, agama, serta seni visual dan pertunjukan.1

Dalam Theory of Literature, Rene Wellek dan Austin Warren menjelaskan bahwa ilmu humaniora berbeda dari ilmu alam dan ilmu sosial karena pendekatannya yang bersifat interpretatif dan normatif, bukan eksperimental atau statistik. Humaniora berfokus pada makna, nilai, dan intensi di balik karya dan tindakan manusia, bukan sekadar mencari hukum-hukum umum yang berlaku secara universal.2 Oleh karena itu, kajian humaniora menuntut kepekaan, penilaian etis, dan kemampuan untuk memahami konteks kultural serta historis dari suatu fenomena.

Ruang lingkup ilmu humaniora mencakup beberapa cabang keilmuan utama, antara lain:

1)                  Filsafat – sebagai refleksi kritis atas eksistensi, pengetahuan, etika, dan realitas.

2)                  Sejarah – kajian sistematis tentang peristiwa masa lalu untuk memahami identitas dan dinamika peradaban manusia.

3)                  Sastra dan Bahasa – mempelajari karya-karya tulis, lisan, serta struktur dan makna bahasa sebagai sarana ekspresi budaya.

4)                  Agama – studi tentang keyakinan, praktik keagamaan, dan pengaruh spiritual dalam masyarakat manusia.

5)                  Seni – termasuk seni rupa, musik, tari, dan teater, yang mencerminkan kreativitas dan ekspresi simbolik manusia.

6)                  Kebudayaan – kajian menyeluruh tentang norma, nilai, dan praktik sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Di Indonesia, ruang lingkup ilmu humaniora juga dikembangkan dalam konteks lokal yang khas. Misalnya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dahulu—dan kini dilanjutkan oleh BRIN—mengembangkan kajian kebudayaan dan bahasa daerah, tradisi lisan, serta pemikiran keislaman sebagai bagian dari riset humaniora yang kontekstual dan relevan dengan kebutuhan bangsa.3

Salah satu ciri penting dari ilmu humaniora adalah sifatnya yang human-centered, yakni berfokus pada pemahaman mendalam terhadap manusia sebagai subjek utama. Ini menjadikan humaniora berperan sebagai penghubung antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, kontribusi ilmu humaniora tidak hanya bersifat teoretis, melainkan juga praktis dalam memperkaya wawasan moral, spiritual, dan budaya masyarakat.

Humaniora juga membentuk kerangka konseptual untuk memahami isu-isu global kontemporer seperti hak asasi manusia, konflik budaya, pluralisme, dan krisis identitas. Dalam konteks ini, humaniora memberikan landasan etis dan historis yang memungkinkan masyarakat untuk menyikapi perubahan dengan bijaksana dan penuh empati.4


Footnotes

[1]                American Academy of Arts and Sciences, The Heart of the Matter: The Humanities and Social Sciences for a Vibrant, Competitive, and Secure Nation (Cambridge, MA: American Academy of Arts and Sciences, 2013), 9–11.

[2]                Rene Wellek and Austin Warren, Theory of Literature, 3rd ed. (New York: Harcourt, Brace & World, 1977), 34–38.

[3]                Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agenda Riset Ilmu Humaniora: Penguatan Karakter dan Budaya Bangsa (Jakarta: LIPI Press, 2018), 5–10.

[4]                Martha C. Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1997), 8–12.


3.           Sejarah dan Perkembangan Ilmu Humaniora

Ilmu humaniora memiliki akar yang sangat tua dalam sejarah intelektual manusia, yang dapat ditelusuri sejak zaman Yunani Kuno. Pada masa itu, para filsuf seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles telah menggagas pentingnya berpikir reflektif dan etis tentang kehidupan, manusia, dan masyarakat. Bagi Aristoteles, misalnya, kegiatan filsafat dan seni merupakan sarana untuk mencapai eudaimonia—kebahagiaan sebagai tujuan hidup yang luhur dan rasional.1

Gagasan-gagasan tersebut kemudian diwariskan dan dikembangkan dalam pendidikan Romawi melalui konsep studia humanitatis, yang mencakup gramatika, retorika, puisi, sejarah, dan filsafat moral. Konsep ini menjadi dasar dari apa yang kini dikenal sebagai humanities. Dalam pandangan para cendekiawan Renaisans seperti Petrarch dan Erasmus, humaniora dipandang sebagai sarana untuk menghidupkan kembali warisan intelektual klasik guna membentuk manusia yang utuh: cerdas, beradab, dan bermoral.2 Masa Renaisans menjadi tonggak penting dalam perkembangan humaniora karena menekankan nilai-nilai kemanusiaan, kreativitas individual, dan rasionalitas sebagai inti dari peradaban.

Memasuki era modern, terutama sejak Abad Pencerahan, ilmu humaniora terus berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan filsafat. Tokoh-tokoh seperti Immanuel Kant, Friedrich Schiller, dan Wilhelm Dilthey memberikan kontribusi besar dalam memformulasikan humaniora sebagai bidang keilmuan yang memiliki otonomi dan metodologi tersendiri. Dilthey, misalnya, membedakan antara ilmu alam (Naturwissenschaften) yang menjelaskan fenomena melalui hukum-hukum universal, dan ilmu budaya (Geisteswissenschaften) yang menafsirkan makna melalui pemahaman historis dan hermeneutik.3

Sementara itu, dalam tradisi Islam, perkembangan humaniora juga sangat signifikan, meskipun tidak selalu menggunakan istilah yang sama. Pada masa keemasan peradaban Islam (abad ke-8 hingga ke-13), para ilmuwan Muslim seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, dan Ibn Khaldun telah mengembangkan pemikiran yang mencakup bidang filsafat, etika, sejarah, seni, dan teori budaya. Ibn Khaldun, misalnya, dalam Muqaddimah-nya, telah meletakkan dasar bagi pendekatan historis dan sosiologis dalam memahami masyarakat dan peradaban.4

Di Indonesia, pengembangan ilmu humaniora mulai mendapatkan perhatian lebih serius sejak masa kolonial dan terus berlanjut pasca-kemerdekaan. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi dan riset seperti Universitas Indonesia, UGM, dan LIPI (sekarang BRIN) memainkan peran penting dalam mengembangkan kajian sastra, sejarah, antropologi budaya, serta filsafat Indonesia. Dalam perkembangannya, humaniora di Indonesia tidak hanya menyoroti warisan budaya lokal, tetapi juga berupaya menjawab tantangan modernitas, pluralisme, dan globalisasi.5

Pada abad ke-21, ilmu humaniora menghadapi tantangan baru sekaligus peluang untuk berkembang. Dengan munculnya digital humanities, terjadi perluasan metode dan medan kajian humaniora yang melibatkan teknologi digital dalam analisis data kultural dan sejarah. Ini menunjukkan bahwa meskipun berakar pada tradisi klasik, ilmu humaniora terus bertransformasi dan beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan esensinya sebagai pencarian makna, nilai, dan kemanusiaan.6


Footnotes

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 7–10.

[2]                Charles G. Nauert, Humanism and the Culture of Renaissance Europe, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 18–22.

[3]                Wilhelm Dilthey, Introduction to the Human Sciences, trans. Ramon J. Betanzos (Detroit: Wayne State University Press, 1988), 59–65.

[4]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 78–84.

[5]                LIPI, Agenda Riset Ilmu Humaniora: Penguatan Karakter dan Budaya Bangsa (Jakarta: LIPI Press, 2018), 11–17.

[6]                David M. Berry, ed., Understanding Digital Humanities (London: Palgrave Macmillan, 2012), 1–5.


4.           Pendekatan dan Metodologi dalam Ilmu Humaniora

Ilmu humaniora memiliki pendekatan dan metodologi yang khas, berbeda dari pendekatan dalam ilmu alam dan sebagian besar ilmu sosial. Jika ilmu alam cenderung menggunakan pendekatan kuantitatif, eksperimental, dan mencari hukum universal, maka humaniora berfokus pada pendekatan interpretatif, historis, kritis, dan kontekstual. Pendekatan ini bertujuan untuk memahami makna di balik ekspresi manusia dalam teks, seni, bahasa, serta nilai-nilai budaya dan spiritualitas yang menyertainya.

4.1.       Pendekatan Hermeneutik

Salah satu pendekatan utama dalam humaniora adalah hermeneutik, yakni seni dan ilmu tafsir terhadap teks dan simbol budaya. Dalam tradisi filsafat, hermeneutik berkembang dari pemikiran Friedrich Schleiermacher hingga Hans-Georg Gadamer. Gadamer menekankan bahwa pemahaman tidak pernah bebas nilai, melainkan selalu berada dalam suatu horizon sejarah, yang mempertemukan pembaca dan teks dalam dialog kultural yang dinamis.1 Dengan demikian, pendekatan hermeneutik tidak hanya memaknai teks secara literal, melainkan menafsirkannya dalam konteks historis dan kultural yang lebih luas.

4.2.       Pendekatan Historis dan Kontekstual

Humaniora juga menekankan pentingnya pendekatan historis, yaitu memahami karya atau gejala budaya dalam latar waktu dan tempat tertentu. Ini sejalan dengan pandangan Wilhelm Dilthey yang menyatakan bahwa ilmu-ilmu budaya (Geisteswissenschaften) harus "memahami" (verstehen) manusia melalui sejarah dan pengalaman hidupnya.2 Dalam konteks ini, setiap artefak budaya—baik itu sastra, seni, maupun filsafat—dipelajari dengan menelusuri konteks sosial, politik, dan kepercayaan yang melatarinya.

4.3.       Pendekatan Kritis dan Dekonstruktif

Sejak abad ke-20, muncul pendekatan kritis dalam kajian humaniora yang dipengaruhi oleh teori-teori sosial dan budaya, seperti Marxisme, feminisme, post-strukturalisme, dan poskolonialisme. Pendekatan ini berusaha membongkar struktur dominasi dalam wacana budaya dan mengungkap ideologi tersembunyi di balik teks dan praktik sosial. Tokoh seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida mengembangkan metode dekonstruksi untuk menantang makna yang dianggap stabil dan mengajak pembaca berpikir ulang terhadap relasi antara bahasa, kekuasaan, dan pengetahuan.3

4.4.       Metodologi Kualitatif dan Analisis Teks

Dalam praktiknya, ilmu humaniora lebih banyak menggunakan metode kualitatif, seperti studi kasus, analisis wacana, studi pustaka, hingga etnografi budaya. Salah satu metode paling khas adalah analisis teks atau close reading, yakni pembacaan mendalam dan kritis terhadap teks sastra, dokumen sejarah, atau karya filsafat, guna menggali lapisan makna, struktur simbolik, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.4

Metode ini menuntut sensitivitas terhadap bahasa, gaya, dan konteks, serta keterampilan interpretasi yang mendalam. Dalam dunia akademik, kemampuan ini merupakan ciri utama dari humaniora, karena memungkinkan pembaca untuk melihat hubungan antara bentuk dan makna dalam ekspresi manusia.

4.5.       Interdisiplinaritas dan Inovasi Metodologis

Dalam perkembangannya, ilmu humaniora juga mengalami perluasan pendekatan melalui integrasi dengan ilmu lain. Lahirnya digital humanities menjadi bukti keterbukaan humaniora terhadap inovasi metodologis. Digital humanities memanfaatkan teknologi informasi untuk menganalisis data budaya secara kuantitatif dan visual, seperti dalam proyek digitalisasi manuskrip, pemetaan sejarah, dan analisis big data untuk studi literatur.5 Pendekatan ini membuka peluang kolaborasi antara humaniora, ilmu komputer, dan ilmu sosial untuk memperluas cakupan dan dampak kajian humaniora di masyarakat.

Dengan keragaman pendekatan dan metodologi tersebut, ilmu humaniora membekali para peneliti dan pelajarnya dengan kecakapan memahami manusia secara holistik: tidak hanya sebagai makhluk biologis atau ekonomi, melainkan sebagai subjek yang berpikir, merasa, dan mencipta dalam konteks kebudayaannya.


Footnotes

[1]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 301–305.

[2]                Wilhelm Dilthey, Pattern and Meaning in History, trans. H.P. Rickman (New York: Harper Torchbooks, 1961), 85–90.

[3]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A.M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), xv–xviii; Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 6–8.

[4]                Terry Eagleton, Literary Theory: An Introduction, 2nd ed. (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 3–7.

[5]                Matthew K. Gold, ed., Debates in the Digital Humanities (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2012), 1–4.


5.           Peran Ilmu Humaniora dalam Kehidupan Masyarakat

Ilmu humaniora memiliki peran yang sangat strategis dalam membentuk masyarakat yang beradab, inklusif, dan memiliki kesadaran historis serta etis yang kuat. Sebagai ilmu yang berfokus pada nilai, makna, dan ekspresi manusia, humaniora tidak hanya berfungsi sebagai bidang kajian akademik, tetapi juga sebagai pilar kebudayaan yang menopang tatanan sosial secara menyeluruh.

5.1.       Pembentukan Nilai dan Etika Kemanusiaan

Peran utama ilmu humaniora terletak pada kontribusinya dalam membentuk dan mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan, seperti keadilan, kebebasan, tanggung jawab, dan solidaritas. Melalui studi filsafat, sastra, sejarah, dan agama, individu diajak untuk merefleksikan eksistensinya sebagai manusia dan menimbang dampak dari tindakan sosial yang diambil. Martha Nussbaum menekankan bahwa pendidikan berbasis humaniora sangat penting untuk melatih empati dan kepekaan moral dalam masyarakat demokratis.1

5.2.       Penguatan Identitas Budaya dan Kesadaran Historis

Humaniora juga berperan dalam menjaga dan memperkuat identitas budaya masyarakat. Melalui kajian sejarah dan bahasa, masyarakat dapat memahami akar budaya mereka, sekaligus memperkuat rasa memiliki terhadap warisan lokal. Hal ini penting untuk membentuk kohesi sosial, terutama dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia. Sejarah, misalnya, bukan hanya berisi kronologi peristiwa, tetapi juga narasi tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana arah tujuan kita sebagai bangsa.2

Selain itu, kesadaran historis yang ditanamkan melalui humaniora menjadikan masyarakat lebih bijak dalam menghadapi perubahan sosial dan politik. Mereka tidak mudah tercerabut dari nilai-nilai yang telah teruji oleh waktu, sekaligus terbuka terhadap inovasi dengan fondasi budaya yang kuat.

5.3.       Membangun Toleransi dan Dialog Antarbudaya

Dalam dunia yang semakin terhubung dan majemuk, kemampuan untuk memahami dan menghargai keragaman budaya menjadi sangat penting. Di sinilah peran humaniora dalam membangun toleransi, dialog antarbudaya, dan respek terhadap perbedaan. Kajian agama, antropologi budaya, dan literatur perbandingan memberikan ruang untuk mengenali pandangan dunia yang berbeda, tanpa harus terjebak dalam stereotip dan prasangka.3

Melalui pendekatan humaniora, masyarakat dapat dikembangkan menjadi lebih inklusif, saling menghormati, dan terbuka terhadap perspektif global tanpa kehilangan jati diri lokal. Hal ini penting dalam membangun masyarakat damai dan saling menguatkan dalam keberagaman.

5.4.       Pembangunan Karakter dan Pendidikan Kritis

Pendidikan yang berbasis humaniora juga memainkan peran penting dalam pembangunan karakter dan penguatan kecakapan berpikir kritis. Studi-studi dalam bidang filsafat, etika, dan sastra melatih individu untuk mengajukan pertanyaan mendalam tentang kehidupan, menimbang nilai secara rasional, dan mengembangkan kemampuan berargumen secara logis. Hal ini berbeda dengan pendekatan teknokratis yang lebih menekankan keterampilan fungsional.

Dalam laporan The Heart of the Matter oleh American Academy of Arts and Sciences, dinyatakan bahwa humaniora dibutuhkan untuk membekali warga negara dengan kompetensi intelektual, etika, dan sosial agar mampu berpartisipasi aktif dalam demokrasi modern.4

5.5.       Peran dalam Penyelesaian Krisis Sosial dan Global

Ilmu humaniora juga memiliki kontribusi penting dalam merespons berbagai krisis kontemporer, seperti konflik etnis, krisis lingkungan, dan ketimpangan sosial. Pendekatan humaniora yang reflektif dan berbasis nilai dapat menjadi penyeimbang terhadap pendekatan yang terlalu teknologis atau ekonomis dalam menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut.

Sebagai contoh, studi etika lingkungan dan filsafat ekologi telah menjadi bagian penting dalam gerakan keberlanjutan dan kesadaran ekologis global. Demikian pula, narasi-narasi sastra dan sejarah yang humanistik berperan besar dalam membentuk opini publik dan advokasi sosial yang lebih berempati terhadap kelompok rentan dan terpinggirkan.5


Footnotes

[1]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 6–8.

[2]                Peter Burke, What is Cultural History? 2nd ed. (Cambridge: Polity Press, 2008), 17–19.

[3]                Edward W. Said, Culture and Imperialism (New York: Vintage Books, 1993), xv–xx.

[4]                American Academy of Arts and Sciences, The Heart of the Matter: The Humanities and Social Sciences for a Vibrant, Competitive, and Secure Nation (Cambridge, MA: American Academy of Arts and Sciences, 2013), 10–13.

[5]                Timothy Morton, Ecology Without Nature: Rethinking Environmental Aesthetics (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 21–24.


6.           Tantangan Ilmu Humaniora di Era Digital dan Globalisasi

Di tengah dinamika zaman yang ditandai oleh kemajuan teknologi informasi dan arus globalisasi yang masif, ilmu humaniora menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Meskipun peran humaniora dalam membentuk masyarakat yang beradab tetap penting, perubahan lanskap sosial, ekonomi, dan teknologi telah memunculkan pertanyaan baru tentang relevansi, metode, serta posisi humaniora dalam kehidupan modern.

6.1.       Komodifikasi Ilmu dan Penurunan Minat terhadap Humaniora

Salah satu tantangan utama yang dihadapi ilmu humaniora adalah komodifikasi pendidikan tinggi, di mana orientasi pasar menjadi penentu nilai suatu disiplin ilmu. Program studi yang tidak menjanjikan keuntungan ekonomi secara langsung, seperti filsafat, sastra, dan sejarah, sering kali dianggap kurang relevan dibandingkan dengan bidang-bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM). Akibatnya, banyak lembaga pendidikan mengurangi anggaran, program, atau bahkan menutup jurusan-jurusan humaniora.1

Fenomena ini bukan hanya berdampak pada jumlah peminat, tetapi juga mempengaruhi posisi tawar humaniora dalam kebijakan akademik dan pengambilan keputusan publik. David Theo Goldberg menilai bahwa dalam sistem pendidikan global yang neoliberal, humaniora cenderung dianggap sebagai “beban”, bukan sebagai aset peradaban.2

6.2.       Krisis Relevansi dan Praktik Instrumentalisme

Ilmu humaniora juga kerap dituding tidak memiliki manfaat langsung (practical utility) dalam dunia kerja modern. Pandangan ini lahir dari paradigma instrumentalisme, yaitu pandangan bahwa ilmu hanya berguna sejauh dapat menghasilkan keuntungan ekonomi atau efisiensi teknologi. Hal ini menempatkan humaniora pada posisi marginal karena kontribusinya bersifat jangka panjang dan kualitatif, seperti pembentukan karakter, etika, dan pemahaman budaya.

Padahal, sebagaimana dinyatakan oleh Martha Nussbaum, demokrasi yang sehat memerlukan warga negara yang berpikir kritis, berempati, dan memiliki pemahaman sejarah dan budaya—semuanya merupakan hasil dari pendidikan humaniora.3 Dengan kata lain, tantangan bukan terletak pada “ketidakbergunaan” humaniora, melainkan pada cara pandang masyarakat terhadap nilai ilmu.

6.3.       Adaptasi terhadap Teknologi Digital

Perkembangan teknologi digital juga menjadi tantangan sekaligus peluang bagi ilmu humaniora. Di satu sisi, digitalisasi informasi dan kemunculan kecerdasan buatan (AI) telah mengubah cara manusia berinteraksi dengan teks, bahasa, dan seni. Banyak hasil karya humaniora—seperti manuskrip kuno, arsip sejarah, dan karya sastra klasik—telah didigitalkan dan dibagikan secara luas. Namun, pendekatan teknologi ini juga menuntut adaptasi metodologis dari para akademisi humaniora.

Lahirnya bidang digital humanities merupakan respons terhadap tantangan ini. Meskipun menjanjikan, integrasi humaniora dengan teknologi digital memerlukan keahlian baru dan kolaborasi lintas disiplin, yang sering kali belum tersedia dalam kurikulum tradisional. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa datafikasi makna akan mengurangi kedalaman interpretatif yang menjadi kekuatan utama humaniora.4

6.4.       Globalisasi dan Tantangan Identitas Budaya

Globalisasi membuka akses terhadap budaya dan informasi dari seluruh dunia, namun pada saat yang sama dapat menimbulkan homogenisasi nilai dan erosi terhadap identitas budaya lokal. Ilmu humaniora berada dalam posisi penting untuk menjaga keberagaman budaya dan memperkuat identitas lokal di tengah gempuran budaya global. Sayangnya, banyak masyarakat lebih mengutamakan budaya populer global dibandingkan menggali warisan kultural sendiri.

Dalam konteks ini, humaniora memiliki tugas untuk menghidupkan kembali narasi lokal melalui kajian bahasa daerah, sejarah lokal, seni tradisional, dan nilai-nilai kearifan lokal. Hal ini menjadi sangat penting di negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang kaya akan keragaman budaya namun rentan terhadap dominasi nilai-nilai asing akibat arus media global.5

6.5.       Ketimpangan Akses dan Dukungan Institusional

Tantangan lain yang krusial adalah ketimpangan akses terhadap sumber daya dan minimnya dukungan institusional. Banyak lembaga riset dan perguruan tinggi di negara berkembang mengalami keterbatasan dalam infrastruktur, pendanaan, dan publikasi di bidang humaniora. Akibatnya, kontribusi ilmuwan humaniora dari negara-negara non-Barat kerap kurang terdengar di panggung global.

Pemerataan akses terhadap literatur, pelatihan, dan kolaborasi internasional menjadi tantangan tersendiri yang perlu diatasi agar humaniora benar-benar menjadi ilmu global, bukan hanya produk budaya Barat yang mendominasi narasi akademik internasional.6


Footnotes

[1]                Michael Bérubé and Jennifer Ruth, The Humanities, Higher Education, and Academic Freedom: Three Necessary Arguments (New York: Palgrave Macmillan, 2015), 21–23.

[2]                David Theo Goldberg, The Threat of Race: Reflections on Racial Neoliberalism (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2009), 125–127.

[3]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 9–11.

[4]                Matthew K. Gold and Lauren F. Klein, eds., Debates in the Digital Humanities (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2016), 3–6.

[5]                Heddy Shri Ahimsa-Putra, “Humaniora Indonesia di Era Globalisasi: Antara Krisis dan Harapan,” Humaniora Vol. 24, No. 3 (2012): 249–258.

[6]                Arief Subhan, “Ilmu Humaniora dan Pembangunan Kebudayaan Nasional,” dalam Ilmu Humaniora untuk Kebangsaan, ed. A. Hasyim, (Yogyakarta: CRCS UGM, 2017), 34–38.


7.           Relevansi Ilmu Humaniora di Masa Depan

Meskipun menghadapi tantangan yang signifikan di era digital dan globalisasi, ilmu humaniora tetap memegang peranan vital dalam membentuk arah peradaban manusia ke depan. Relevansinya tidak hanya bertahan, tetapi justru semakin meningkat di tengah krisis kemanusiaan, disrupsi teknologi, dan kegamangan identitas budaya yang mewarnai dunia kontemporer. Ilmu humaniora akan tetap relevan selama manusia masih mencari makna hidup, nilai, dan jati diri.

7.1.       Humaniora dan Masa Depan Kemanusiaan

Kemajuan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), big data, dan otomasi telah mengubah wajah dunia kerja, komunikasi, dan pendidikan. Namun, teknologi tanpa panduan nilai berpotensi menimbulkan dehumanisasi. Dalam konteks ini, ilmu humaniora menawarkan kerangka etis untuk menilai penggunaan teknologi serta dampaknya terhadap manusia dan masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Edward Tenner, masa depan teknologi membutuhkan pendekatan "humanistik" agar kemajuan tidak mengorbankan kemanusiaan itu sendiri.1

Filsafat teknologi, etika digital, dan kajian budaya media menjadi bidang-bidang baru dalam humaniora yang sangat relevan untuk membekali masyarakat dalam menghadapi revolusi digital. Humaniora memberikan landasan normatif agar manusia tidak sekadar menjadi konsumen teknologi, tetapi juga menjadi subjek yang sadar akan nilai dan tujuan pemanfaatannya.

7.2.       Kolaborasi Multidisipliner dan Inovasi Humaniora

Masa depan humaniora akan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk berkolaborasi secara multidisipliner dengan ilmu lain, seperti ilmu komputer, psikologi, ekonomi, dan ilmu lingkungan. Integrasi ini telah terlihat dalam berbagai inisiatif digital humanities, environmental humanities, dan medical humanities, di mana pendekatan kualitatif dan interpretatif digunakan untuk memperkaya analisis kuantitatif atau eksperimental dari disiplin lain.2

Misalnya, dalam bidang climate change studies, peran humaniora sangat dibutuhkan untuk memahami narasi publik, nilai budaya, dan dimensi etika dari perubahan iklim. Hal serupa terjadi dalam studi kesehatan masyarakat, di mana kajian tentang budaya, kepercayaan lokal, dan bahasa sangat penting dalam merancang intervensi kesehatan yang efektif.

7.3.       Revitalisasi Peran Humaniora dalam Pendidikan

Pendidikan masa depan tidak cukup hanya mengandalkan kecakapan teknis (hard skills), tetapi juga membutuhkan kecakapan berpikir kritis, empati, kreativitas, dan komunikasi lintas budaya—semua itu merupakan hasil dari pendekatan humaniora. UNESCO menegaskan bahwa pendidikan abad ke-21 harus mendorong pembelajaran seumur hidup dengan orientasi humanistik, untuk menumbuhkan kemampuan memahami dunia secara menyeluruh dan membentuk warga global yang bertanggung jawab.3

Dengan memasukkan nilai-nilai humaniora ke dalam kurikulum lintas bidang, pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang tidak hanya cakap secara teknis, tetapi juga memiliki kepekaan moral dan etika dalam bertindak.

7.4.       Humaniora sebagai Pilar Ketahanan Budaya dan Nasionalisme Positif

Di tengah arus globalisasi yang dapat mengikis identitas lokal, ilmu humaniora tetap menjadi fondasi penting dalam membangun ketahanan budaya dan nasionalisme yang inklusif. Kajian sejarah, bahasa, seni, dan kearifan lokal akan terus berperan dalam menjaga kontinuitas identitas bangsa, sambil tetap terbuka terhadap interaksi antarbudaya secara sehat.

Sebagaimana ditegaskan oleh tokoh kebudayaan Indonesia, Kuntowijoyo, penting untuk mentransformasikan humaniora menjadi kekuatan sosial yang relevan secara kontekstual—yakni bukan sekadar ilmu normatif, tetapi juga sebagai instrumen perubahan masyarakat secara etis dan berkeadaban.4

7.5.       Peran Humaniora dalam Menjawab Krisis Global

Krisis global seperti pandemi, konflik kemanusiaan, ketimpangan sosial, hingga perubahan iklim tidak dapat diselesaikan hanya melalui teknologi dan kebijakan ekonomi. Dibutuhkan pemahaman nilai, makna, dan narasi kemanusiaan untuk membangun solusi yang berkelanjutan dan berakar pada keadilan sosial. Di sinilah ilmu humaniora memainkan peran kunci dalam menyusun kerangka etis dan historis bagi solusi global.

Dengan demikian, masa depan humaniora bukanlah tentang bertahan dalam keterpinggiran, tetapi justru berkontribusi lebih besar dalam membentuk masyarakat yang reflektif, inklusif, dan berorientasi pada kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Edward Tenner, Why Things Bite Back: Technology and the Revenge of Unintended Consequences (New York: Vintage Books, 1997), 12–14.

[2]                Rens Bod, A New History of the Humanities: The Search for Principles and Patterns from Antiquity to the Present (Oxford: Oxford University Press, 2013), 293–298.

[3]                UNESCO, Rethinking Education: Towards a Global Common Good? (Paris: UNESCO Publishing, 2015), 42–45.

[4]                Kuntowijoyo, Ilmu Sosial Profetik: Sebuah Pendekatan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 35–37.


8.           Penutup

Ilmu humaniora, sebagai bidang ilmu yang mempelajari ekspresi, nilai, dan makna kehidupan manusia, memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk peradaban yang beradab, inklusif, dan reflektif. Dalam artikel ini telah diuraikan bahwa ilmu humaniora memiliki akar sejarah yang kuat, metodologi yang khas, serta kontribusi besar dalam pembentukan nilai etika, identitas budaya, dan kesadaran historis masyarakat.

Di tengah era digital dan globalisasi, tantangan terhadap eksistensi ilmu humaniora memang semakin kompleks, baik dari segi marjinalisasi institusional, tekanan pasar, hingga disrupsi teknologi. Namun, berbagai tantangan tersebut justru menjadi panggilan untuk merevitalisasi humaniora agar mampu beradaptasi, bersinergi dengan ilmu lain, dan tetap relevan dengan konteks zaman. Melalui pendekatan kritis, reflektif, dan multidisipliner, humaniora dapat memperluas cakupan dampaknya di berbagai bidang kehidupan, termasuk pendidikan, kebijakan publik, media, teknologi, dan pembangunan sosial.

Ke depan, ilmu humaniora harus ditempatkan sebagai pilar penting dalam pembangunan manusia seutuhnya—yaitu manusia yang tidak hanya terampil dan produktif, tetapi juga memiliki kesadaran moral, historis, dan budaya yang mendalam. Pendidikan berbasis humaniora sangat diperlukan untuk melahirkan generasi yang berpikir kritis, empatik, kreatif, dan mampu hidup dalam masyarakat yang majemuk secara damai dan adil.1

Selain itu, dalam skala global, humaniora diharapkan dapat menjadi bagian dari solusi terhadap berbagai krisis kontemporer, seperti degradasi lingkungan, konflik antarbudaya, krisis identitas, dan disorientasi moral. Dengan memberi ruang bagi pertanyaan mendalam tentang tujuan hidup dan makna kebersamaan, humaniora mengingatkan kita bahwa kemajuan sejati bukan hanya soal teknologi dan ekonomi, melainkan juga soal kualitas kemanusiaan yang kita bangun bersama.

Sebagaimana ditegaskan oleh UNESCO, masa depan pendidikan dan peradaban manusia harus dibangun di atas landasan pengetahuan humanistik yang inklusif dan visioner, yang mampu menjembatani antara sains dan nilai, antara inovasi dan kebijaksanaan.2 Oleh karena itu, memperkuat posisi ilmu humaniora bukanlah sebuah romantisme akademik, melainkan kebutuhan mendesak demi masa depan umat manusia yang lebih etis, berkeadilan, dan berkepribadian.


Footnotes

[1]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 14–18.

[2]                UNESCO, Rethinking Education: Towards a Global Common Good? (Paris: UNESCO Publishing, 2015), 10–12.


Daftar Pustaka

Ahimsa-Putra, H. S. (2012). Humaniora Indonesia di era globalisasi: Antara krisis dan harapan. Humaniora, 24(3), 249–258.

American Academy of Arts and Sciences. (2013). The heart of the matter: The humanities and social sciences for a vibrant, competitive, and secure nation. Cambridge, MA: American Academy of Arts and Sciences.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.

Berry, D. M. (Ed.). (2012). Understanding digital humanities. London: Palgrave Macmillan.

Bod, R. (2013). A new history of the humanities: The search for principles and patterns from antiquity to the present. Oxford: Oxford University Press.

Bérubé, M., & Ruth, J. (2015). The humanities, higher education, and academic freedom: Three necessary arguments. New York, NY: Palgrave Macmillan.

Burke, P. (2008). What is cultural history? (2nd ed.). Cambridge: Polity Press.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Baltimore, MD: Johns Hopkins University Press.

Dilthey, W. (1961). Pattern and meaning in history (H. P. Rickman, Trans.). New York, NY: Harper Torchbooks.

Dilthey, W. (1988). Introduction to the human sciences (R. J. Betanzos, Trans.). Detroit, MI: Wayne State University Press.

Eagleton, T. (1996). Literary theory: An introduction (2nd ed.). Minneapolis, MN: University of Minnesota Press.

Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). New York, NY: Pantheon Books.

Gold, M. K. (Ed.). (2012). Debates in the digital humanities. Minneapolis, MN: University of Minnesota Press.

Gold, M. K., & Klein, L. F. (Eds.). (2016). Debates in the digital humanities. Minneapolis, MN: University of Minnesota Press.

Goldberg, D. T. (2009). The threat of race: Reflections on racial neoliberalism. Malden, MA: Blackwell Publishing.

Ibn Khaldun. (1967). The Muqaddimah: An introduction to history (F. Rosenthal, Trans.). Princeton, NJ: Princeton University Press.

Kuntowijoyo. (2006). Ilmu sosial profetik: Sebuah pendekatan. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kuntowijoyo. (2006). Islam sebagai ilmu. Bandung: Mizan.

LIPI. (2018). Agenda riset ilmu humaniora: Penguatan karakter dan budaya bangsa. Jakarta: LIPI Press.

Morton, T. (2007). Ecology without nature: Rethinking environmental aesthetics. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Nauert, C. G. (2006). Humanism and the culture of Renaissance Europe (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Nussbaum, M. C. (1997). Cultivating humanity: A classical defense of reform in liberal education. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why democracy needs the humanities. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Said, E. W. (1993). Culture and imperialism. New York, NY: Vintage Books.

Subhan, A. (2017). Ilmu humaniora dan pembangunan kebudayaan nasional. In A. Hasyim (Ed.), Ilmu humaniora untuk kebangsaan (pp. 34–38). Yogyakarta: CRCS UGM.

Tenner, E. (1997). Why things bite back: Technology and the revenge of unintended consequences. New York, NY: Vintage Books.

UNESCO. (2015). Rethinking education: Towards a global common good? Paris: UNESCO Publishing.

Wellek, R., & Warren, A. (1977). Theory of literature (3rd ed.). New York, NY: Harcourt, Brace & World.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar