Ilmu Humaniora
Hakikat, Peran, dan Relevansinya dalam Dunia Modern
Alihkan ke: Cabang-Cabang Ilmu.
Filsafat, Sejarah, Sastra dan Bahasa, Agama,
Seni, Kebudayaan.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai
hakikat, peran, dan relevansi ilmu humaniora dalam konteks dunia modern yang
diwarnai oleh perkembangan teknologi, arus globalisasi, serta tantangan etika
dan kultural. Ilmu humaniora dipahami sebagai bidang ilmu yang menelaah
ekspresi, nilai, makna, dan pengalaman manusia melalui pendekatan
interpretatif, historis, dan kritis. Artikel ini mengulas sejarah perkembangan
humaniora sejak masa klasik hingga era digital, serta menyoroti metodologi yang
khas dalam kajian humaniora seperti hermeneutika, analisis teks, dan pendekatan
multidisipliner. Di tengah maraknya kecenderungan teknokratis dalam pendidikan
dan kebijakan publik, ilmu humaniora tetap relevan dalam membentuk karakter,
memperkuat identitas budaya, dan merespons krisis global secara etis. Artikel
ini menekankan pentingnya revitalisasi humaniora di masa depan melalui
integrasi teknologi, pendidikan kritis, dan kolaborasi lintas ilmu sebagai
upaya membangun masyarakat yang inklusif, beradab, dan berkepribadian.
Kata Kunci: Ilmu Humaniora, Nilai Kemanusiaan, Globalisasi,
Pendidikan Humanistik, Metodologi Kualitatif, Digital Humanities, Identitas
Budaya, Etika.
PEMBAHASAN
Kajian Ilmu Humaniora Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Ilmu humaniora merupakan
cabang ilmu yang berfokus pada kajian tentang manusia, kebudayaan, nilai-nilai,
dan ekspresi kehidupan dalam berbagai bentuknya. Dalam ranah akademik,
humaniora mencakup studi tentang filsafat, sejarah, sastra, bahasa, seni, dan
agama—yakni disiplin-disiplin yang menekankan pemahaman atas pengalaman manusia
secara mendalam, reflektif, dan kontekstual. Rene Wellek dan Austin Warren
menyatakan bahwa ilmu humaniora bertujuan untuk memahami karya-karya manusia
sebagai ekspresi budaya, bukan sekadar sebagai objek kajian objektif
sebagaimana dalam ilmu alam dan sosial.1
Urgensi membahas ilmu
humaniora di era modern semakin meningkat seiring dengan kompleksitas kehidupan
global yang ditandai oleh kemajuan teknologi, krisis kemanusiaan, serta
tantangan etika dan moral yang menyertainya. Ketika masyarakat global mengejar
efisiensi dan inovasi melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, kerap kali
nilai-nilai kemanusiaan terpinggirkan. Dalam konteks ini, humaniora hadir
sebagai pilar penting untuk menjaga dimensi kemanusiaan dalam kemajuan zaman, dengan
mendorong refleksi kritis, kepekaan etis, dan apresiasi terhadap keragaman
budaya.2
Ilmu humaniora juga berperan
penting dalam pembentukan identitas dan karakter bangsa. Di Indonesia,
pengembangan ilmu humaniora sangat relevan dalam upaya memperkuat budaya lokal,
menumbuhkan sikap toleransi antar umat beragama dan etnis, serta melestarikan
nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para leluhur. Kuntowijoyo bahkan
menekankan pentingnya “ilmuisasi humaniora” di Indonesia, agar ilmu ini tidak
hanya menjadi studi wacana tetapi mampu menjawab persoalan konkret dalam
masyarakat.3
Dalam pendidikan, keberadaan
ilmu humaniora sangat strategis dalam membangun kecakapan berpikir kritis,
kemampuan berargumentasi, serta kemampuan memahami kompleksitas persoalan
sosial dan budaya. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman yang komprehensif
terhadap hakikat, peran, serta relevansi ilmu humaniora agar keberadaannya
dapat diberdayakan secara maksimal dalam membentuk masyarakat yang beradab,
inklusif, dan berkepribadian.
Melalui artikel ini, penulis
akan membahas secara sistematis mengenai definisi dan ruang lingkup ilmu
humaniora, sejarah dan perkembangan keilmuannya, metodologi dan pendekatannya,
serta relevansinya dalam menghadapi tantangan dunia modern. Dengan berangkat
dari berbagai sumber ilmiah yang kredibel, diharapkan pembahasan ini dapat
memberikan kontribusi bagi penguatan peran ilmu humaniora dalam kehidupan
akademik maupun sosial.
Footnotes
[1]
Rene Wellek and Austin Warren, Theory of Literature, 3rd ed.
(New York: Harcourt, Brace & World, 1977), 27–30.
[2]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 2–5.
[3]
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu (Bandung: Mizan, 2006), 22–24.
2.
Definisi
dan Ruang Lingkup Ilmu Humaniora
Ilmu humaniora berasal dari
kata humanus dalam bahasa Latin, yang berarti "manusiawi,
berbudaya, dan beradab". Secara terminologis, ilmu humaniora merujuk
pada cabang ilmu yang menelaah berbagai ekspresi, nilai, dan pemikiran manusia
dalam konteks sejarah, budaya, bahasa, agama, dan seni. Menurut definisi yang
dikemukakan oleh American Academy of Arts and Sciences, humaniora adalah bidang
studi yang menyelidiki cara manusia memahami dan menginterpretasikan pengalaman
hidupnya melalui bahasa, sastra, filsafat, sejarah, agama, serta seni visual dan
pertunjukan.1
Dalam Theory of
Literature, Rene Wellek dan Austin Warren menjelaskan bahwa ilmu humaniora
berbeda dari ilmu alam dan ilmu sosial karena pendekatannya yang bersifat
interpretatif dan normatif, bukan eksperimental atau statistik. Humaniora
berfokus pada makna, nilai, dan intensi di balik karya dan tindakan manusia,
bukan sekadar mencari hukum-hukum umum yang berlaku secara universal.2
Oleh karena itu, kajian humaniora menuntut kepekaan, penilaian etis, dan
kemampuan untuk memahami konteks kultural serta historis dari suatu fenomena.
Ruang lingkup ilmu humaniora
mencakup beberapa cabang keilmuan utama, antara lain:
1)
Filsafat
– sebagai refleksi kritis atas eksistensi, pengetahuan, etika, dan realitas.
2)
Sejarah
– kajian sistematis tentang peristiwa masa lalu untuk memahami identitas dan
dinamika peradaban manusia.
3)
Sastra dan Bahasa – mempelajari karya-karya tulis, lisan, serta
struktur dan makna bahasa sebagai sarana ekspresi budaya.
4)
Agama
– studi tentang keyakinan, praktik keagamaan, dan pengaruh spiritual dalam
masyarakat manusia.
5)
Seni
– termasuk seni rupa, musik, tari, dan teater, yang mencerminkan kreativitas
dan ekspresi simbolik manusia.
6)
Kebudayaan
– kajian menyeluruh tentang norma, nilai, dan praktik sosial yang diwariskan
dari generasi ke generasi.
Di Indonesia, ruang lingkup
ilmu humaniora juga dikembangkan dalam konteks lokal yang khas. Misalnya,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dahulu—dan kini dilanjutkan oleh
BRIN—mengembangkan kajian kebudayaan dan bahasa daerah, tradisi lisan, serta
pemikiran keislaman sebagai bagian dari riset humaniora yang kontekstual dan
relevan dengan kebutuhan bangsa.3
Salah satu ciri penting dari
ilmu humaniora adalah sifatnya yang human-centered, yakni berfokus
pada pemahaman mendalam terhadap manusia sebagai subjek utama. Ini menjadikan
humaniora berperan sebagai penghubung antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai
kemanusiaan. Oleh karena itu, kontribusi ilmu humaniora tidak hanya bersifat
teoretis, melainkan juga praktis dalam memperkaya wawasan moral, spiritual, dan
budaya masyarakat.
Humaniora juga membentuk
kerangka konseptual untuk memahami isu-isu global kontemporer seperti hak asasi
manusia, konflik budaya, pluralisme, dan krisis identitas. Dalam konteks ini,
humaniora memberikan landasan etis dan historis yang memungkinkan masyarakat
untuk menyikapi perubahan dengan bijaksana dan penuh empati.4
Footnotes
[1]
American Academy of Arts and Sciences, The Heart of the Matter: The
Humanities and Social Sciences for a Vibrant, Competitive, and Secure Nation
(Cambridge, MA: American Academy of Arts and Sciences, 2013), 9–11.
[2]
Rene Wellek and Austin Warren, Theory of Literature, 3rd ed.
(New York: Harcourt, Brace & World, 1977), 34–38.
[3]
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agenda Riset Ilmu
Humaniora: Penguatan Karakter dan Budaya Bangsa (Jakarta: LIPI Press,
2018), 5–10.
[4]
Martha C. Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of
Reform in Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1997), 8–12.
3.
Sejarah
dan Perkembangan Ilmu Humaniora
Ilmu humaniora memiliki akar
yang sangat tua dalam sejarah intelektual manusia, yang dapat ditelusuri sejak
zaman Yunani Kuno. Pada masa itu, para filsuf seperti Socrates, Plato, dan
Aristoteles telah menggagas pentingnya berpikir reflektif dan etis tentang
kehidupan, manusia, dan masyarakat. Bagi Aristoteles, misalnya, kegiatan
filsafat dan seni merupakan sarana untuk mencapai eudaimonia—kebahagiaan
sebagai tujuan hidup yang luhur dan rasional.1
Gagasan-gagasan tersebut
kemudian diwariskan dan dikembangkan dalam pendidikan Romawi melalui konsep studia
humanitatis, yang mencakup gramatika, retorika, puisi, sejarah, dan
filsafat moral. Konsep ini menjadi dasar dari apa yang kini dikenal sebagai humanities.
Dalam pandangan para cendekiawan Renaisans seperti Petrarch dan Erasmus,
humaniora dipandang sebagai sarana untuk menghidupkan kembali warisan
intelektual klasik guna membentuk manusia yang utuh: cerdas, beradab, dan
bermoral.2 Masa Renaisans menjadi tonggak penting dalam perkembangan
humaniora karena menekankan nilai-nilai kemanusiaan, kreativitas individual,
dan rasionalitas sebagai inti dari peradaban.
Memasuki era modern, terutama
sejak Abad Pencerahan, ilmu humaniora terus berkembang seiring dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan filsafat. Tokoh-tokoh seperti Immanuel Kant, Friedrich
Schiller, dan Wilhelm Dilthey memberikan kontribusi besar dalam memformulasikan
humaniora sebagai bidang keilmuan yang memiliki otonomi dan metodologi
tersendiri. Dilthey, misalnya, membedakan antara ilmu alam (Naturwissenschaften)
yang menjelaskan fenomena melalui hukum-hukum universal, dan ilmu budaya (Geisteswissenschaften)
yang menafsirkan makna melalui pemahaman historis dan hermeneutik.3
Sementara itu, dalam tradisi
Islam, perkembangan humaniora juga sangat signifikan, meskipun tidak selalu
menggunakan istilah yang sama. Pada masa keemasan peradaban Islam (abad ke-8
hingga ke-13), para ilmuwan Muslim seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, dan
Ibn Khaldun telah mengembangkan pemikiran yang mencakup bidang filsafat, etika,
sejarah, seni, dan teori budaya. Ibn Khaldun, misalnya, dalam Muqaddimah-nya,
telah meletakkan dasar bagi pendekatan historis dan sosiologis dalam memahami
masyarakat dan peradaban.4
Di Indonesia, pengembangan
ilmu humaniora mulai mendapatkan perhatian lebih serius sejak masa kolonial dan
terus berlanjut pasca-kemerdekaan. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi dan riset
seperti Universitas Indonesia, UGM, dan LIPI (sekarang BRIN) memainkan peran
penting dalam mengembangkan kajian sastra, sejarah, antropologi budaya, serta
filsafat Indonesia. Dalam perkembangannya, humaniora di Indonesia tidak hanya
menyoroti warisan budaya lokal, tetapi juga berupaya menjawab tantangan
modernitas, pluralisme, dan globalisasi.5
Pada abad ke-21, ilmu
humaniora menghadapi tantangan baru sekaligus peluang untuk berkembang. Dengan
munculnya digital humanities, terjadi perluasan metode dan medan
kajian humaniora yang melibatkan teknologi digital dalam analisis data kultural
dan sejarah. Ini menunjukkan bahwa meskipun berakar pada tradisi klasik, ilmu
humaniora terus bertransformasi dan beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa
kehilangan esensinya sebagai pencarian makna, nilai, dan kemanusiaan.6
Footnotes
[1]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 7–10.
[2]
Charles G. Nauert, Humanism and the Culture of Renaissance Europe,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 18–22.
[3]
Wilhelm Dilthey, Introduction to the Human Sciences, trans.
Ramon J. Betanzos (Detroit: Wayne State University Press, 1988), 59–65.
[4]
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History,
trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 78–84.
[5]
LIPI, Agenda Riset Ilmu Humaniora: Penguatan Karakter dan Budaya
Bangsa (Jakarta: LIPI Press, 2018), 11–17.
[6]
David M. Berry, ed., Understanding Digital Humanities (London:
Palgrave Macmillan, 2012), 1–5.
4.
Pendekatan
dan Metodologi dalam Ilmu Humaniora
Ilmu humaniora memiliki
pendekatan dan metodologi yang khas, berbeda dari pendekatan dalam ilmu alam
dan sebagian besar ilmu sosial. Jika ilmu alam cenderung menggunakan pendekatan
kuantitatif, eksperimental, dan mencari hukum universal, maka humaniora
berfokus pada pendekatan interpretatif, historis, kritis, dan
kontekstual. Pendekatan ini bertujuan untuk memahami makna di balik
ekspresi manusia dalam teks, seni, bahasa, serta nilai-nilai budaya dan
spiritualitas yang menyertainya.
4.1.
Pendekatan
Hermeneutik
Salah satu pendekatan utama
dalam humaniora adalah hermeneutik, yakni seni dan ilmu tafsir
terhadap teks dan simbol budaya. Dalam tradisi filsafat, hermeneutik berkembang
dari pemikiran Friedrich Schleiermacher hingga Hans-Georg Gadamer. Gadamer
menekankan bahwa pemahaman tidak pernah bebas nilai, melainkan selalu berada
dalam suatu horizon sejarah, yang mempertemukan pembaca dan teks dalam
dialog kultural yang dinamis.1 Dengan demikian, pendekatan
hermeneutik tidak hanya memaknai teks secara literal, melainkan menafsirkannya
dalam konteks historis dan kultural yang lebih luas.
4.2.
Pendekatan Historis
dan Kontekstual
Humaniora juga menekankan
pentingnya pendekatan historis, yaitu memahami karya atau
gejala budaya dalam latar waktu dan tempat tertentu. Ini sejalan dengan
pandangan Wilhelm Dilthey yang menyatakan bahwa ilmu-ilmu budaya (Geisteswissenschaften)
harus "memahami" (verstehen) manusia melalui sejarah
dan pengalaman hidupnya.2 Dalam konteks ini, setiap artefak
budaya—baik itu sastra, seni, maupun filsafat—dipelajari dengan menelusuri
konteks sosial, politik, dan kepercayaan yang melatarinya.
4.3.
Pendekatan Kritis
dan Dekonstruktif
Sejak abad ke-20, muncul
pendekatan kritis dalam kajian humaniora yang dipengaruhi oleh
teori-teori sosial dan budaya, seperti Marxisme, feminisme,
post-strukturalisme, dan poskolonialisme. Pendekatan ini berusaha membongkar
struktur dominasi dalam wacana budaya dan mengungkap ideologi tersembunyi di
balik teks dan praktik sosial. Tokoh seperti Michel Foucault dan Jacques
Derrida mengembangkan metode dekonstruksi untuk menantang makna yang dianggap
stabil dan mengajak pembaca berpikir ulang terhadap relasi antara bahasa, kekuasaan,
dan pengetahuan.3
4.4.
Metodologi
Kualitatif dan Analisis Teks
Dalam praktiknya, ilmu
humaniora lebih banyak menggunakan metode kualitatif, seperti
studi kasus, analisis wacana, studi pustaka, hingga etnografi budaya. Salah
satu metode paling khas adalah analisis teks atau close
reading, yakni pembacaan mendalam dan kritis terhadap teks sastra,
dokumen sejarah, atau karya filsafat, guna menggali lapisan makna, struktur
simbolik, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.4
Metode ini menuntut
sensitivitas terhadap bahasa, gaya, dan konteks, serta keterampilan
interpretasi yang mendalam. Dalam dunia akademik, kemampuan ini merupakan ciri
utama dari humaniora, karena memungkinkan pembaca untuk melihat hubungan antara
bentuk dan makna dalam ekspresi manusia.
4.5.
Interdisiplinaritas
dan Inovasi Metodologis
Dalam perkembangannya, ilmu
humaniora juga mengalami perluasan pendekatan melalui integrasi dengan ilmu
lain. Lahirnya digital humanities menjadi bukti keterbukaan
humaniora terhadap inovasi metodologis. Digital humanities memanfaatkan
teknologi informasi untuk menganalisis data budaya secara kuantitatif dan
visual, seperti dalam proyek digitalisasi manuskrip, pemetaan sejarah, dan
analisis big data untuk studi literatur.5 Pendekatan ini membuka
peluang kolaborasi antara humaniora, ilmu komputer, dan ilmu sosial untuk
memperluas cakupan dan dampak kajian humaniora di masyarakat.
Dengan keragaman pendekatan
dan metodologi tersebut, ilmu humaniora membekali para peneliti dan pelajarnya
dengan kecakapan memahami manusia secara holistik: tidak hanya sebagai makhluk
biologis atau ekonomi, melainkan sebagai subjek yang berpikir, merasa, dan
mencipta dalam konteks kebudayaannya.
Footnotes
[1]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed., trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 301–305.
[2]
Wilhelm Dilthey, Pattern and Meaning in History, trans. H.P.
Rickman (New York: Harper Torchbooks, 1961), 85–90.
[3]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A.M.
Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), xv–xviii; Jacques Derrida, Of
Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins
University Press, 1976), 6–8.
[4]
Terry Eagleton, Literary Theory: An Introduction, 2nd ed.
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 3–7.
[5]
Matthew K. Gold, ed., Debates in the Digital Humanities
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 2012), 1–4.
5.
Peran
Ilmu Humaniora dalam Kehidupan Masyarakat
Ilmu humaniora memiliki peran
yang sangat strategis dalam membentuk masyarakat yang beradab, inklusif, dan
memiliki kesadaran historis serta etis yang kuat. Sebagai ilmu yang berfokus
pada nilai, makna, dan ekspresi manusia, humaniora tidak hanya berfungsi
sebagai bidang kajian akademik, tetapi juga sebagai pilar kebudayaan yang
menopang tatanan sosial secara menyeluruh.
5.1.
Pembentukan Nilai
dan Etika Kemanusiaan
Peran utama ilmu humaniora
terletak pada kontribusinya dalam membentuk dan mempertahankan nilai-nilai
kemanusiaan, seperti keadilan, kebebasan, tanggung jawab, dan solidaritas.
Melalui studi filsafat, sastra, sejarah, dan agama, individu diajak untuk
merefleksikan eksistensinya sebagai manusia dan menimbang dampak dari tindakan
sosial yang diambil. Martha Nussbaum menekankan bahwa pendidikan berbasis
humaniora sangat penting untuk melatih empati dan kepekaan moral dalam
masyarakat demokratis.1
5.2.
Penguatan Identitas
Budaya dan Kesadaran Historis
Humaniora juga berperan dalam
menjaga dan memperkuat identitas budaya masyarakat. Melalui kajian sejarah dan
bahasa, masyarakat dapat memahami akar budaya mereka, sekaligus memperkuat rasa
memiliki terhadap warisan lokal. Hal ini penting untuk membentuk kohesi sosial,
terutama dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia. Sejarah, misalnya,
bukan hanya berisi kronologi peristiwa, tetapi juga narasi tentang siapa kita,
dari mana kita berasal, dan ke mana arah tujuan kita sebagai bangsa.2
Selain itu, kesadaran
historis yang ditanamkan melalui humaniora menjadikan masyarakat lebih bijak
dalam menghadapi perubahan sosial dan politik. Mereka tidak mudah tercerabut
dari nilai-nilai yang telah teruji oleh waktu, sekaligus terbuka terhadap
inovasi dengan fondasi budaya yang kuat.
5.3.
Membangun Toleransi
dan Dialog Antarbudaya
Dalam dunia yang semakin
terhubung dan majemuk, kemampuan untuk memahami dan menghargai keragaman budaya
menjadi sangat penting. Di sinilah peran humaniora dalam membangun toleransi,
dialog antarbudaya, dan respek terhadap perbedaan.
Kajian agama, antropologi budaya, dan literatur perbandingan memberikan ruang
untuk mengenali pandangan dunia yang berbeda, tanpa harus terjebak dalam
stereotip dan prasangka.3
Melalui pendekatan humaniora,
masyarakat dapat dikembangkan menjadi lebih inklusif, saling menghormati, dan
terbuka terhadap perspektif global tanpa kehilangan jati diri lokal. Hal ini
penting dalam membangun masyarakat damai dan saling menguatkan dalam
keberagaman.
5.4.
Pembangunan Karakter
dan Pendidikan Kritis
Pendidikan yang berbasis
humaniora juga memainkan peran penting dalam pembangunan karakter
dan penguatan kecakapan berpikir kritis. Studi-studi dalam
bidang filsafat, etika, dan sastra melatih individu untuk mengajukan pertanyaan
mendalam tentang kehidupan, menimbang nilai secara rasional, dan mengembangkan
kemampuan berargumen secara logis. Hal ini berbeda dengan pendekatan
teknokratis yang lebih menekankan keterampilan fungsional.
Dalam laporan The Heart
of the Matter oleh American Academy of Arts and Sciences, dinyatakan bahwa
humaniora dibutuhkan untuk membekali warga negara dengan kompetensi
intelektual, etika, dan sosial agar mampu berpartisipasi aktif dalam demokrasi
modern.4
5.5.
Peran dalam
Penyelesaian Krisis Sosial dan Global
Ilmu humaniora juga memiliki
kontribusi penting dalam merespons berbagai krisis kontemporer, seperti konflik
etnis, krisis lingkungan, dan ketimpangan sosial. Pendekatan humaniora yang
reflektif dan berbasis nilai dapat menjadi penyeimbang terhadap pendekatan yang
terlalu teknologis atau ekonomis dalam menyelesaikan persoalan-persoalan
tersebut.
Sebagai contoh, studi etika
lingkungan dan filsafat ekologi telah menjadi bagian penting dalam gerakan
keberlanjutan dan kesadaran ekologis global. Demikian pula, narasi-narasi
sastra dan sejarah yang humanistik berperan besar dalam membentuk opini publik
dan advokasi sosial yang lebih berempati terhadap kelompok rentan dan
terpinggirkan.5
Footnotes
[1]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 6–8.
[2]
Peter Burke, What is Cultural History? 2nd ed. (Cambridge:
Polity Press, 2008), 17–19.
[3]
Edward W. Said, Culture and Imperialism (New York: Vintage
Books, 1993), xv–xx.
[4]
American Academy of Arts and Sciences, The Heart of the Matter: The
Humanities and Social Sciences for a Vibrant, Competitive, and Secure Nation
(Cambridge, MA: American Academy of Arts and Sciences, 2013), 10–13.
[5]
Timothy Morton, Ecology Without Nature: Rethinking Environmental
Aesthetics (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 21–24.
6.
Tantangan
Ilmu Humaniora di Era Digital dan Globalisasi
Di tengah dinamika zaman yang
ditandai oleh kemajuan teknologi informasi dan arus globalisasi yang masif,
ilmu humaniora menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Meskipun peran
humaniora dalam membentuk masyarakat yang beradab tetap penting, perubahan
lanskap sosial, ekonomi, dan teknologi telah memunculkan pertanyaan baru
tentang relevansi, metode, serta posisi humaniora dalam kehidupan modern.
6.1.
Komodifikasi Ilmu
dan Penurunan Minat terhadap Humaniora
Salah satu tantangan utama
yang dihadapi ilmu humaniora adalah komodifikasi pendidikan tinggi,
di mana orientasi pasar menjadi penentu nilai suatu disiplin ilmu. Program
studi yang tidak menjanjikan keuntungan ekonomi secara langsung, seperti
filsafat, sastra, dan sejarah, sering kali dianggap kurang relevan dibandingkan
dengan bidang-bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM).
Akibatnya, banyak lembaga pendidikan mengurangi anggaran, program, atau bahkan
menutup jurusan-jurusan humaniora.1
Fenomena ini bukan hanya
berdampak pada jumlah peminat, tetapi juga mempengaruhi posisi tawar humaniora
dalam kebijakan akademik dan pengambilan keputusan publik. David Theo Goldberg
menilai bahwa dalam sistem pendidikan global yang neoliberal, humaniora
cenderung dianggap sebagai “beban”, bukan sebagai aset peradaban.2
6.2.
Krisis Relevansi dan
Praktik Instrumentalisme
Ilmu humaniora juga kerap
dituding tidak memiliki manfaat langsung (practical utility) dalam
dunia kerja modern. Pandangan ini lahir dari paradigma instrumentalisme,
yaitu pandangan bahwa ilmu hanya berguna sejauh dapat menghasilkan keuntungan ekonomi
atau efisiensi teknologi. Hal ini menempatkan humaniora pada posisi marginal
karena kontribusinya bersifat jangka panjang dan kualitatif, seperti
pembentukan karakter, etika, dan pemahaman budaya.
Padahal, sebagaimana
dinyatakan oleh Martha Nussbaum, demokrasi yang sehat memerlukan warga negara
yang berpikir kritis, berempati, dan memiliki pemahaman sejarah dan
budaya—semuanya merupakan hasil dari pendidikan humaniora.3 Dengan
kata lain, tantangan bukan terletak pada “ketidakbergunaan” humaniora,
melainkan pada cara pandang masyarakat terhadap nilai ilmu.
6.3.
Adaptasi terhadap
Teknologi Digital
Perkembangan teknologi
digital juga menjadi tantangan sekaligus peluang bagi ilmu humaniora.
Di satu sisi, digitalisasi informasi dan kemunculan kecerdasan buatan (AI)
telah mengubah cara manusia berinteraksi dengan teks, bahasa, dan seni. Banyak
hasil karya humaniora—seperti manuskrip kuno, arsip sejarah, dan karya sastra
klasik—telah didigitalkan dan dibagikan secara luas. Namun, pendekatan
teknologi ini juga menuntut adaptasi metodologis dari para
akademisi humaniora.
Lahirnya bidang digital
humanities merupakan respons terhadap tantangan ini. Meskipun menjanjikan,
integrasi humaniora dengan teknologi digital memerlukan keahlian baru dan
kolaborasi lintas disiplin, yang sering kali belum tersedia dalam kurikulum
tradisional. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa datafikasi makna akan
mengurangi kedalaman interpretatif yang menjadi kekuatan utama humaniora.4
6.4.
Globalisasi dan
Tantangan Identitas Budaya
Globalisasi membuka akses
terhadap budaya dan informasi dari seluruh dunia, namun pada saat yang sama
dapat menimbulkan homogenisasi nilai dan erosi terhadap identitas budaya lokal.
Ilmu humaniora berada dalam posisi penting untuk menjaga keberagaman
budaya dan memperkuat identitas lokal di tengah gempuran budaya
global. Sayangnya, banyak masyarakat lebih mengutamakan budaya populer global
dibandingkan menggali warisan kultural sendiri.
Dalam konteks ini, humaniora
memiliki tugas untuk menghidupkan kembali narasi lokal melalui kajian bahasa
daerah, sejarah lokal, seni tradisional, dan nilai-nilai kearifan lokal. Hal
ini menjadi sangat penting di negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang
kaya akan keragaman budaya namun rentan terhadap dominasi nilai-nilai asing
akibat arus media global.5
6.5.
Ketimpangan Akses
dan Dukungan Institusional
Tantangan lain yang krusial
adalah ketimpangan akses terhadap sumber daya dan minimnya
dukungan institusional. Banyak lembaga riset dan perguruan tinggi di negara
berkembang mengalami keterbatasan dalam infrastruktur, pendanaan, dan publikasi
di bidang humaniora. Akibatnya, kontribusi ilmuwan humaniora dari negara-negara
non-Barat kerap kurang terdengar di panggung global.
Pemerataan akses terhadap
literatur, pelatihan, dan kolaborasi internasional menjadi tantangan tersendiri
yang perlu diatasi agar humaniora benar-benar menjadi ilmu global, bukan hanya
produk budaya Barat yang mendominasi narasi akademik internasional.6
Footnotes
[1]
Michael Bérubé and Jennifer Ruth, The Humanities, Higher Education,
and Academic Freedom: Three Necessary Arguments (New York: Palgrave
Macmillan, 2015), 21–23.
[2]
David Theo Goldberg, The Threat of Race: Reflections on Racial
Neoliberalism (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2009), 125–127.
[3]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 9–11.
[4]
Matthew K. Gold and Lauren F. Klein, eds., Debates in the Digital
Humanities (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2016), 3–6.
[5]
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “Humaniora Indonesia di Era Globalisasi:
Antara Krisis dan Harapan,” Humaniora Vol. 24, No. 3 (2012): 249–258.
[6]
Arief Subhan, “Ilmu Humaniora dan Pembangunan Kebudayaan Nasional,”
dalam Ilmu Humaniora untuk Kebangsaan, ed. A. Hasyim, (Yogyakarta:
CRCS UGM, 2017), 34–38.
7.
Relevansi
Ilmu Humaniora di Masa Depan
Meskipun menghadapi tantangan
yang signifikan di era digital dan globalisasi, ilmu humaniora tetap memegang
peranan vital dalam membentuk arah peradaban manusia ke depan. Relevansinya
tidak hanya bertahan, tetapi justru semakin meningkat di tengah krisis
kemanusiaan, disrupsi teknologi, dan kegamangan identitas budaya yang mewarnai
dunia kontemporer. Ilmu humaniora akan tetap relevan selama manusia masih
mencari makna hidup, nilai, dan jati diri.
7.1.
Humaniora dan Masa
Depan Kemanusiaan
Kemajuan teknologi seperti
kecerdasan buatan (AI), big data, dan otomasi telah mengubah wajah dunia kerja,
komunikasi, dan pendidikan. Namun, teknologi tanpa panduan nilai berpotensi
menimbulkan dehumanisasi. Dalam konteks ini, ilmu humaniora menawarkan kerangka
etis untuk menilai penggunaan teknologi serta dampaknya terhadap manusia dan
masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Edward Tenner, masa depan teknologi
membutuhkan pendekatan "humanistik" agar kemajuan tidak mengorbankan
kemanusiaan itu sendiri.1
Filsafat teknologi, etika
digital, dan kajian budaya media menjadi bidang-bidang baru dalam humaniora
yang sangat relevan untuk membekali masyarakat dalam menghadapi revolusi
digital. Humaniora memberikan landasan normatif agar manusia tidak sekadar
menjadi konsumen teknologi, tetapi juga menjadi subjek yang sadar akan nilai
dan tujuan pemanfaatannya.
7.2.
Kolaborasi
Multidisipliner dan Inovasi Humaniora
Masa depan humaniora akan
sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk berkolaborasi secara
multidisipliner dengan ilmu lain, seperti ilmu komputer, psikologi,
ekonomi, dan ilmu lingkungan. Integrasi ini telah terlihat dalam berbagai inisiatif
digital humanities, environmental humanities, dan medical
humanities, di mana pendekatan kualitatif dan interpretatif digunakan
untuk memperkaya analisis kuantitatif atau eksperimental dari disiplin lain.2
Misalnya, dalam bidang climate
change studies, peran humaniora sangat dibutuhkan untuk memahami narasi
publik, nilai budaya, dan dimensi etika dari perubahan iklim. Hal serupa
terjadi dalam studi kesehatan masyarakat, di mana kajian tentang budaya,
kepercayaan lokal, dan bahasa sangat penting dalam merancang intervensi
kesehatan yang efektif.
7.3.
Revitalisasi Peran
Humaniora dalam Pendidikan
Pendidikan masa depan tidak
cukup hanya mengandalkan kecakapan teknis (hard skills), tetapi juga
membutuhkan kecakapan berpikir kritis, empati, kreativitas, dan
komunikasi lintas budaya—semua itu merupakan hasil dari pendekatan
humaniora. UNESCO menegaskan bahwa pendidikan abad ke-21 harus mendorong
pembelajaran seumur hidup dengan orientasi humanistik, untuk menumbuhkan
kemampuan memahami dunia secara menyeluruh dan membentuk warga global yang
bertanggung jawab.3
Dengan memasukkan nilai-nilai
humaniora ke dalam kurikulum lintas bidang, pendidikan akan mampu menghasilkan
lulusan yang tidak hanya cakap secara teknis, tetapi juga memiliki kepekaan
moral dan etika dalam bertindak.
7.4.
Humaniora sebagai
Pilar Ketahanan Budaya dan Nasionalisme Positif
Di tengah arus globalisasi
yang dapat mengikis identitas lokal, ilmu humaniora tetap menjadi fondasi
penting dalam membangun ketahanan budaya dan nasionalisme yang inklusif.
Kajian sejarah, bahasa, seni, dan kearifan lokal akan terus berperan dalam
menjaga kontinuitas identitas bangsa, sambil tetap terbuka terhadap interaksi
antarbudaya secara sehat.
Sebagaimana ditegaskan oleh
tokoh kebudayaan Indonesia, Kuntowijoyo, penting untuk mentransformasikan
humaniora menjadi kekuatan sosial yang relevan secara kontekstual—yakni bukan
sekadar ilmu normatif, tetapi juga sebagai instrumen perubahan masyarakat
secara etis dan berkeadaban.4
7.5.
Peran Humaniora
dalam Menjawab Krisis Global
Krisis global seperti
pandemi, konflik kemanusiaan, ketimpangan sosial, hingga perubahan iklim tidak
dapat diselesaikan hanya melalui teknologi dan kebijakan ekonomi. Dibutuhkan pemahaman
nilai, makna, dan narasi kemanusiaan untuk membangun solusi yang
berkelanjutan dan berakar pada keadilan sosial. Di sinilah ilmu humaniora
memainkan peran kunci dalam menyusun kerangka etis dan historis bagi solusi
global.
Dengan demikian, masa depan
humaniora bukanlah tentang bertahan dalam keterpinggiran, tetapi justru
berkontribusi lebih besar dalam membentuk masyarakat yang reflektif, inklusif,
dan berorientasi pada kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Edward Tenner, Why Things Bite Back: Technology and the Revenge of
Unintended Consequences (New York: Vintage Books, 1997), 12–14.
[2]
Rens Bod, A New History of the Humanities: The Search for
Principles and Patterns from Antiquity to the Present (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 293–298.
[3]
UNESCO, Rethinking Education: Towards a Global Common Good?
(Paris: UNESCO Publishing, 2015), 42–45.
[4]
Kuntowijoyo, Ilmu Sosial Profetik: Sebuah Pendekatan (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2006), 35–37.
8.
Penutup
Ilmu humaniora, sebagai
bidang ilmu yang mempelajari ekspresi, nilai, dan makna kehidupan manusia,
memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk peradaban yang beradab,
inklusif, dan reflektif. Dalam artikel ini telah diuraikan bahwa ilmu humaniora
memiliki akar sejarah yang kuat, metodologi yang khas, serta kontribusi besar
dalam pembentukan nilai etika, identitas budaya, dan kesadaran historis
masyarakat.
Di tengah era digital dan
globalisasi, tantangan terhadap eksistensi ilmu humaniora memang semakin
kompleks, baik dari segi marjinalisasi institusional, tekanan pasar, hingga disrupsi
teknologi. Namun, berbagai tantangan tersebut justru menjadi panggilan untuk
merevitalisasi humaniora agar mampu beradaptasi, bersinergi dengan ilmu lain,
dan tetap relevan dengan konteks zaman. Melalui pendekatan kritis, reflektif,
dan multidisipliner, humaniora dapat memperluas cakupan dampaknya di berbagai
bidang kehidupan, termasuk pendidikan, kebijakan publik, media, teknologi, dan
pembangunan sosial.
Ke depan, ilmu humaniora
harus ditempatkan sebagai pilar penting dalam pembangunan manusia seutuhnya—yaitu
manusia yang tidak hanya terampil dan produktif, tetapi juga memiliki kesadaran
moral, historis, dan budaya yang mendalam. Pendidikan berbasis humaniora sangat
diperlukan untuk melahirkan generasi yang berpikir kritis, empatik, kreatif,
dan mampu hidup dalam masyarakat yang majemuk secara damai dan adil.1
Selain itu, dalam skala
global, humaniora diharapkan dapat menjadi bagian dari solusi terhadap berbagai
krisis kontemporer, seperti degradasi lingkungan, konflik antarbudaya, krisis
identitas, dan disorientasi moral. Dengan memberi ruang bagi pertanyaan
mendalam tentang tujuan hidup dan makna kebersamaan, humaniora mengingatkan
kita bahwa kemajuan sejati bukan hanya soal teknologi dan ekonomi, melainkan
juga soal kualitas kemanusiaan yang kita bangun bersama.
Sebagaimana ditegaskan oleh
UNESCO, masa depan pendidikan dan peradaban manusia harus dibangun di atas
landasan pengetahuan humanistik yang inklusif dan visioner,
yang mampu menjembatani antara sains dan nilai, antara inovasi dan
kebijaksanaan.2 Oleh karena itu, memperkuat posisi ilmu humaniora
bukanlah sebuah romantisme akademik, melainkan kebutuhan mendesak demi masa
depan umat manusia yang lebih etis, berkeadilan, dan berkepribadian.
Footnotes
[1]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 14–18.
[2]
UNESCO, Rethinking Education: Towards a Global Common Good?
(Paris: UNESCO Publishing, 2015), 10–12.
Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, H. S. (2012). Humaniora Indonesia di
era globalisasi: Antara krisis dan harapan. Humaniora, 24(3), 249–258.
American Academy of Arts and Sciences. (2013). The
heart of the matter: The humanities and social sciences for a vibrant,
competitive, and secure nation. Cambridge, MA: American Academy of Arts and
Sciences.
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.
Berry, D. M. (Ed.). (2012). Understanding
digital humanities. London: Palgrave Macmillan.
Bod, R. (2013). A new history of the humanities:
The search for principles and patterns from antiquity to the present.
Oxford: Oxford University Press.
Bérubé, M., & Ruth, J. (2015). The
humanities, higher education, and academic freedom: Three necessary arguments.
New York, NY: Palgrave Macmillan.
Burke, P. (2008). What is cultural history?
(2nd ed.). Cambridge: Polity Press.
Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C.
Spivak, Trans.). Baltimore, MD: Johns Hopkins University Press.
Dilthey, W. (1961). Pattern and meaning in
history (H. P. Rickman, Trans.). New York, NY: Harper Torchbooks.
Dilthey, W. (1988). Introduction to the human
sciences (R. J. Betanzos, Trans.). Detroit, MI: Wayne State University
Press.
Eagleton, T. (1996). Literary theory: An introduction
(2nd ed.). Minneapolis, MN: University of Minnesota Press.
Foucault, M. (1972). The archaeology of
knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). New York, NY: Pantheon Books.
Gold, M. K. (Ed.). (2012). Debates in the
digital humanities. Minneapolis, MN: University of Minnesota Press.
Gold, M. K., & Klein, L. F. (Eds.). (2016). Debates
in the digital humanities. Minneapolis, MN: University of Minnesota Press.
Goldberg, D. T. (2009). The threat of race:
Reflections on racial neoliberalism. Malden, MA: Blackwell Publishing.
Ibn Khaldun. (1967). The Muqaddimah: An
introduction to history (F. Rosenthal, Trans.). Princeton, NJ: Princeton
University Press.
Kuntowijoyo. (2006). Ilmu sosial profetik:
Sebuah pendekatan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kuntowijoyo. (2006). Islam sebagai ilmu.
Bandung: Mizan.
LIPI. (2018). Agenda riset ilmu humaniora:
Penguatan karakter dan budaya bangsa. Jakarta: LIPI Press.
Morton, T. (2007). Ecology without nature:
Rethinking environmental aesthetics. Cambridge, MA: Harvard University
Press.
Nauert, C. G. (2006). Humanism and the culture
of Renaissance Europe (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.
Nussbaum, M. C. (1997). Cultivating humanity: A
classical defense of reform in liberal education. Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why
democracy needs the humanities. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Said, E. W. (1993). Culture and imperialism.
New York, NY: Vintage Books.
Subhan, A. (2017). Ilmu humaniora dan pembangunan
kebudayaan nasional. In A. Hasyim (Ed.), Ilmu humaniora untuk kebangsaan
(pp. 34–38). Yogyakarta: CRCS UGM.
Tenner, E. (1997). Why things bite back:
Technology and the revenge of unintended consequences. New York, NY:
Vintage Books.
UNESCO. (2015). Rethinking education: Towards a
global common good? Paris: UNESCO Publishing.
Wellek, R., & Warren, A. (1977). Theory of
literature (3rd ed.). New York, NY: Harcourt, Brace & World.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar